Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

KONSEP MANUSIA DALAM KAJIAN FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PENGAMPU :

Bpk. Dr. Syarnubi M.Pd.I

DISUSUN OLEH:

Siti Nur Inayah ( 2110202005)

Dwi Dinda Framudia (2110202028)

Mayra Fadila Kurniati (2110202033)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembahasan mengenai manusia merupakan bahasan yang tiada habisnya


jika digali dari seluruh aspek kehidupannya. Manusia merupakan makhluk yang
terunik dan kompleks, sebab manusia mampu mempunyai cara-cara tersendiri dan
kreatif dibanding makhluk yang lainnya dalam segala hal. Baik dalam hal
memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan mengembangkan ilmu pengetahuannya
dan tekhnologinya sehingga akan berbeda-beda dalam setiap zaman. Ini tidak akan
kita temui pada hewan, dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologinya.

Manusia adalah makhluk yang bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya


sendiri, keberadaannya, dan dunia seluruhnya. Jadi, dari semula ia berbakat
filosofis, sebagaimana sudah tampak dengan jelas pada anak-anak. Secara spontan
dan tanpa berpikir masak-masak. Seorang anak mempertanyakan segala sesuatu,
bahkan mengenai dari mana asalnya dan ke mana arahnya. Saat manusia itu
bertanya akan dirinya, ia mencari dan mengandaikan bahwa akan tercapainya dari
pencariannya itu. Yang pada ahirnya menjadi pengalaman dan ilmu yang
dikemudian hari disampaikan kepada generasi setelahnya. Inilah manusia,
senantiasa ingin tahu dan mengembangkan keingintahuannya itu menjadi pelajaran
dan pendidikan.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Manusia

2. Apa Pengrtian Pendidikan Islam

3. Bagaimana Konsep Manusia Dalam Kajian Filosofis Islam

C. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Manusia

2. Mengetahui Pengertian Pendidikan Islam

3. Mengetahui Bagaimana Konsep Manusia Dalam Kajian Filosofis Islam

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MANUSIA DAN PENDIDIKAN ISLAM

1. Pengertian Manusia

Manusia adalah makhluk ciptaan allah SWT yang paling sempurna, tinggi
derajatnya serta mempunyai nafsu dan akal pikiran. Dalam konsepsi islam, Manusia
merupakan satu hakikat yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi material
(jasad) dan dimensi immaterial (ruh,jiwa,akal dan lain sebagainya).

Menurut Mohammad Irfan dan Matsuki HS, “Al-Qur’an memperkenalkan tiga


istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna pokok manusia, yaitu al-basyar,
al-insan, dan an-nas. Ahli lain menambahkan istilah lain yang mengacu pada makna
manusia yaitu Adam yakni,representasi manusia.” 1

1. Al-Basyar

Menurut Fadilah Suralaga, kata basyar berasal dari kata yang pada mulanya
berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama
lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena memiliki
kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Proses kejadian
manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap
kedewasaan.2

2. Al-Insan

Kata insan diambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan nampak.
Kata insan dalam Al-Qur’an digunakan untuk menunjukkan kepada manusia
dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang
dengan yang lain. Akibat perbedaan fisik, mental dan kecerdasan.”

3. An-Nas

Konsep al-nas mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam
arti al-nas ini paling banyak disebut Al-Qur’an, yakni sebanyak 240 kali.
Menariknya, dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al-Qur’an
tidak pernah melakukan generalisasi. Sejak dulu para pakar telah mencoba meneliti

1
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma Pendidikan
Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. I, h. 55.
2
Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005), Cet. I, h. 11

4
perihal makhluk yang bernama manusia dengan menggunakan berbagai teori yang
bersumber dari logika dan penggunaan istilah yang bermacam-macam. Penggunaan
istilah ini di ambil dari kebiasaan-kebiasaan manusia dalam menjalani
kehidupannya.

Menurut Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, para filsuf mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang cenderung terus-menerus mencipta (uncountable
creator). Para ahli ilmu sosial mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
cenderung berkumpul (zoonpoliticon) sehingga merasa tersiksa kalau diasingkan
dari pergaulan antarmanusia. Ahli jiwa mengatakan bahwa manusia itu adalah
makhluk yang memiliki perasaan (feeling), makhluk yang berpikir (thinking) dan
berkeinginan (willing). Para ahli ilmu biologi mengatakan bahwa manusia itu
tersusun dari unsur-unsur hayati.3

Menurut Daniel Djuned dalam bukunya Antropologi Al-Qur‟an. Mengatakan


bahwa para ulama klasik, baik filsuf, mutakallimin, ataupun ahli ushul melihat
manusia hanya sebagai hamba Allah yang diberi akal dan dilengkapi dengan
sejumlah potensi atau istitha‟ah, kebebasan memilih atau berkehendak (freewill)
dan bebas bertindak (freeact) yang berimplikasi dengan adanya tanggung jawab,
meskipun mereka sedikit berbeda dalam analisis tentang bagaimana potensi itu
diberikan Tuhan.4

Dari pengertian tentang manusia di atas dapat disimpulkan bahwa Manusia


merupakan makhluk Tuhan yang dianugerahi dengan berbagai potensi serta
diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak, Adakalanya pemikiran dan
tindakannya itu mengarah kepada keburukan dan dapat berakibat pada
pengerusakkan alam. Namun, dapat pula mengarah kepada kebaikkan yang akan
membawa kemaslahatan untuk dirinya, sesama makhluk, maupun alam semesta.

2. Pengertian Pendidikan Islam

Menurut rumusan Seminar Nasional tentang Pendidikan Islam se-Indonesia


tahun 1960, sebagaimana dikutip oleh M.Arifin pengertian pendidikan islam ialah
“Sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani
manusia menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, membelajarkan,
melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.” 5

3
Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005)
4
Daniel Djuned,Antropologi Al-Qur‟an, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 88
5
M. Arifin, ibid., h. 13-14

5
Dari hasil konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di
Islamabad, Pakistan, sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin, “Pendidikan Islam
adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua aspeknya, baik
aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah baik secara individual
maupun kolektif menuju ke arah pencapaian kesempurnaan hidup sesuai dengan
ajaran Islam”.6

Menurut Ahmad D. Marimba, “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani


rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya
kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.7

Menurut A. Fatah Yasin pendidikan Islam merupakan pendidikan Islam


merupakan pendidikan yang integral dan berkesinambungan serta mencakup semua
aspek kepribadian manusia. Aspek-aspek yang diperhatikan oleh pendidikan Islam
adalah: jasad, akal, akidah, emosi, estetika, dan sosial. Karena itu, pendidikan Islam
harus diarahkan untuk pengembangan aspek-aspek tersebut kepada hal-hal yang
bermanfaat dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, pendidikan Islam ingin
membentuk manusia yang menyadari dan melaksanakan tugas-tugas dan
kekhalifahannya serta memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa
mengenal batas. Namun juga menyadari bahawa hakikat keseluruhan hidup dan
pemilikan ilmu pengetahuan yang dimaksud tetap bersumber dan bermuara kepada
Allah SWT.8

Maka dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan


Islam adalah suatu usaha yang dilakukan secara berkesinambungan untuk
mengembangkan semua aspek kepribadian manusia baik jasmani maupun rohani,
untuk kemudian diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan
ajaran Islam.

6
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press,2008),
hlm.24
7
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1980), Cet.
IV, hlm. 23
8
A. Fatah Yasin, ibid hlm. 108

6
B. KONSEP MANUSIA DALAM FILOSOFIS PENDIDIKAN ISLAM

1. Kedudukan Manusia dalam filosofis Pendidikan islam

Menurut Umiarso dan Zamroni, dalam konsepsi Al-Qur’an, manusia


menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat di jagat raya ini, bahkan
kemuliannya lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat dan makhluk ciptaan Allah
lainnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar sebagai
mandataris Allah (khalifah Allah fi al ardh) dalam mengatur tata kehidiupan di
dunia.9

Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti, istilah
ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. yakni sebagai
sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi.Kedudukan seluruh
manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam firman-Nya di atas, tidaklah
dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas sebagai wakil atau pemimpin umat
dalam hal pemerintahan. Akan tetapi khalifah di sini memiliki arti bahwa setiap
manusia memiliki tanggung jawab untuk dapat mengolah dan menaburkan benih-
benih kebaikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

Ibnu Arabi mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Yunasril Ali, bahwa jabatan
khalifah itu hanya milik insan kamil, karena pada dirinya dari aspek batin-
terproyeksi pula nama-nama dan sifat-sifat ilahi. Yang dimaksud khalifah di sini
bukan semata-mata jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas
memimpin/mengendalikan pemerintahan dalam suatu wilayah negara (khalifah al-
zhahiriyah), tetapi lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang kedudukannya
sebagai wakil (na‟ib) Allah. Atau lebih spesifik lagi, sebagai manifestasi nama-
nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi (al khalifah al ma‟nawiyah) hingga
kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.10

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat disimpulkan


bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah di bumi, yakni bertugas
memanifestasikan nama-nama serta sifat-sifat Allah di muka bumi ini, hingga
kenyataan adanya Allah adalah benar adanya. Dan kedudukan tersebut hanya dapat
diemban oleh insan kamil, yakni manusia yang memiliki keutamaan di sisi Tuhan
maupun di sisi makhluk-Nya.

9
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur,(Jogjakarta:
Ar Ruzz Media, 2011), hlm. 65
10
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ,Arabi oleh Al
Jili,(Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 80

7
2. Proses Penciptaan Manusia

Manusia diciptakan Tuhan melalui serangkaian proses alami yang berlangsung


dalam beberapa tahap. Proses penciptaan manusia dijelaskan oleh Allah SWT
dalam firmannya surat Al-Mu’minun ayat 12-14:

Yang artinya:

“Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari
tanah. Kemudian kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim).Kemudian air mani itu kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu
sesuatu yang melekat itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan
daging. Kemudian, kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha suci
Allah, pencipta yang paling baik”

Dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan


manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: Pertama, disebut dengan tahapan
primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahap primordial terjadi pada
manusia pertama, Adam as. Ia diciptakan oleh Allah SWT dari al-tin (tanah), al-
turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam
yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah
meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri (manusia) tersebut. Selanjutnya, tahapan
biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia
diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nutfah) yang tersimpan
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nutfah itu dijadikan darah beku
(alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian
dijadikannya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang-
belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh.

Menurut Musa Asy’arie, sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto,“Terdapat


empat tahap proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh,
dan tahap nafs.11

A. Tahap Jasad

Al-Qur’an menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah dari al-


tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat). Penciptaan dari tanah ini
tidak berarti bahwa manusia dicetak dari bahan tanah, seperti orang membuat
patung dari tanah. Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu sari pati yang
membentuk tumbuhan atau binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi
manusia.

11
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I,hlm 82

8
Dalam Biologi awal mula terciptanya janin di rahim seorang ibu ialah
bersumber dari percampuran sperma laki-laki dengan sel telur perempuan yang
semuanya itu merupakan hasil dari olahan makanan yang mereka cerna setiap
harinya. Dan semua makanan tersebut dihasilkan dari dalam bumi, sehingga proses
penciptaan manusia dari tanah hanya merupakan istilah maknawiyah saja. Proses
penciptaan manusia dari tanah yang bersifat zhahiriyah hanya pernah terjadi pada
proses penciptaan manusia yang paling awal, yakni Nabi Adam AS.

B. Tahap Hayat

Menurut Toto Suharto, awal mula kehidupan manusia menurut Al-Qur’an


adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang (QS. Al-Anbiya: 30).
Maksud air kehidupan disini adalah air yang hina atau sperma (QS. As-Sajdah: 8).
Sperma ini kemudian membuahi sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu.
Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat (kehidupan) seorang manusia.12

Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah bersumber dari air
juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales,hal ini dikarenakan segala
unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi salah satu kebutuhan dan menjadi
bagian dari dirinya. Baik itu hewan, tumbuhan maupun manusia.

Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang


dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di dalamnya terdapat
zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur. Sehingga jasad janin yang
nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu akan dapat hidup dan memiliki
karakteristik makhluk hidup pada umumnya, seperti membutuhkan makanan,
bergerak, bernafas, dan menanggapi rangsang.

C. Tahap Ruh

Kata ruh berasal dari kata ar-ruh yang berarti angin. Oleh karena itu, ar-ruh
disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir,sebagaimana
dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam berbagai arti, tetapi
yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad.” 13

Menurut I.R. Poedjawijatna, “Kebanyakan ahli filsafat Yunani berpendapat


bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat meninggalkan badan.
Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi, meluncur ke angkasa
luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.” 14

12
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I
13
Umiarso dan Zamroni, ibid., h. 77
14
I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), (Jakarta: Bina Aksara, 1983),
Cet. III, h. 67

9
Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri manusia dan
kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran, penglihatan, dan hati
merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan dalam diri manusia adalah ruh.
Ruhlah yang kiranya dapat membimbing, pendengaran, penglihatan dan hati untuk
memahami kebenaran.

d. Tahap Nafs

Menurut Toto Suharto, kata nafs dalam Al-Qur’an mempunyai empat


pengertian, yaitu nafsu, napas, jiwa, dan diri. Dari keempat pengertian ini, Al-
Qur’an lebih sering menggunakan kata nafs untuk pengertian diri. Diri atau keakuan
adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi
atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas
kehidupan manusia.15

Dalam diri manusia, terdapat jasad sebagai wadah bagi ruh dan dengan
gabungan keduanya kemudian menjadi hiduplah jasad tersebut. Gabungan unsur-
unsur tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah aksi atau tindakan. Dengan
adanya aksi tersebutlah baru manusia dapat dikatakan hidup. Oleh karena itu, dalam
hidupnya manusia selalu bergerak, bersosialisasi dan tidak pernah berhenti untuk
berkreativitas dan mengelola sumber daya alam guna menjaga keberlangsungan
hidupnya dan melestarikan alam semesta.

3. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan Islam

Menurut Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Madyo Eko Susilo dan RB


Kasihadi, Manusia itu adalah “animal educandum‟ (makhluk yang harus dididik)
dan “homo educandus‟ (makhluk yang dapat mendidik).” 16. Dari hakikat ini jelas
bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi manusia.

Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Qur’an surat Al’Alaq ayat 1-5:

Yang artinya;

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang
Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.

15
Toto Suharto, , Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I. Hlm 83
16
Madyo Eko Susilo Dan RB Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),
h. 18

10
Agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai, dimulai
dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai macam ilmu
pengetahuan. Islam di samping menekankan kepada umatnya untuk belajar juga
menyuruh umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Jadi Islam
mewajibkan umatnya belajar dan mengajar.

Menurut Zuhairini, dkk, “Melakukan proses belajar dan mengajar adalah


bersifat manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk
“homo educandus”, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik dan
mendidik”.17

a. Manusia sebagai subjek pendidikan

Menurut Ahmad D. Marimba, “Yang dimaksud dari manusia sebagai subjek


pendidikan adalah manusia dalam perannya sebagai pendidik, secara umum
pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab mendidik. Mereka adalah
manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya melaksanakan proses
pendidikan”.18

Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni,


“Makhluk yang paling mulia di muka bumi ialah manusia. Sedangkan, yang paling
mulia penampilannya adalah kalbunya. Guru atau pengajar selalu
menyempurnakan, mengagungkan, dan mensucikan kalbu itu serta menuntunnya
untuk dekat dengan Allah.” Ia juga menambahkan, “Seseorang yang berilmu
kemudian bekerja dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah
kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain, sedangkan ia
sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain, ia
sendiri pun harum”.19

Pendidik, selain bertugas melakukan transfer of knowledge, juga adalah


seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta didiknya. Menurut
Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, “Dengan paradigma ini,
seorang pendidik harus dapat memotivasi dan memfasilitasi peserta didik agar
dapat mengaktualisasikan sifat-sifat Tuhan yang baik, sebagai potensi yang perlu
dikembangkan”.20

17 Zuhairini, dkk, ibid., hlm. 99


18 Ahmad. D. Marimba, ibid., hlm. 37
19 Umiarso dan Zamroni, ibid., hlm. 85
20 Toto Suharto, , Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I, hlm. 116

11
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
manusia sebagai subjek pendidikan adalah merupakan seorang pendidik, dalam hal
ini pendidik tugas seorang pendidik bukanlah sekedar melakukan transfer ilmu saja,
melainkan juga sebagai penanam nilai-nilai moral pada diri peserta didik.

b. Manusia sebagai objek pendidikan

Menurut Toto Suharto, “Manusia sebagai objek pendidikan yakni manusia


dalam perannya sebagai peserta didik, peserta didik dalam paradigma berarti orang
yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dasar (fitrah) yang perlu
dikembangkan”.21

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31:

Yang artinya:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,


kemudian mengemukakannya kepada para malaikat. Lalu mereka berkata:
"Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-
orang yang benar!."

Menurut Umiarso dan Zamroni, ayat ini menggambarkan pada kita betapa
fitrah manusia sebagai peserta didik sudah diaplikasikan oleh manusia pertama,
yaitu Adam, sebagaimana Allah mengajarkan kepada nabi Adam AS nama-nama
benda secara keseluruhan. Dialog tersebut menjadi indikasi betapa proses
pendidikan mempunyai urgenitas tersendiri dalam Islam.22

Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat, dkk, “Fungsi murid dalam interaksi
belajar-mengajar adalah sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek, karena murid
menentukan hasil belajar dan sebagai objek, karena muridlah yang menerima
pelejaran dari guru”. 23

Jadi, manusia sebagai objek pendidikan ialah saat manusia berada pada posisi
sebagai penerima materi atau ilmu. Namun, tetap saja hasil akhirnya ditentukan
oleh mereka sendiri sebagai subjek penentu.

21
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I,hlm 119
22
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur,(Jogjakarta
Ar Ruzz Media, 2011), hlm 83
23
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995),
Cet-I, hlm 268

12
4. Tujuan hidup manusia

Al-Qur’an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin


dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.

Menurut Toto Suharto, “Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan
dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Yaitu,
nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada Allah
dalam segala tingkah lakunya”. 24

Tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan
Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia.
Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya merupakan tujuan akhir
pendidikan Islam.

24 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I., hlm. 83

13
KESIMPULAN

1.Manusia adalah makhluk ciptaan allah SWT yang paling sempurna, tinggi
derajatnya serta mempunyai nafsu dan akal pikiran. Dalam konsepsi islam,
Manusia merupakan satu hakikat yang mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi
material (jasad) dan dimensi immaterial (ruh,jiwa,akal dan lain sebagainya).
pada makna pokok manusia, yaitu al-basyar, al-insan, dan an-nas.

2. Dari hasil konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di


Islamabad, Pakistan, sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin, “Pendidikan
Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua
aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah
baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian
kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.

3. manusia menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat di jagat raya ini,
bahkan kemuliannya lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat dan makhluk
ciptaan Allah lainnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang
besar sebagai mandataris Allah (khalifah Allah fi al ardh) dalam mengatur tata
kehidiupan di dunia.

Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti, istilah
ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. yakni
sebagai sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi.Kedudukan
seluruh manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam firman-Nya di
atas, tidaklah dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas sebagai wakil atau
pemimpin umat dalam hal pemerintahan. Akan tetapi khalifah di sini memiliki
arti bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk dapat mengolah dan
menaburkan benih-benih kebaikan sebagai wakil Tuhan di muka bumi.

dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah


di bumi, yakni bertugas memanifestasikan nama-nama serta sifat-sifat Allah di
muka bumi ini, hingga kenyataan adanya Allah adalah benar adanya. Dan
kedudukan tersebut hanya dapat diemban oleh insan kamil, yakni manusia yang
memiliki keutamaan di sisi Tuhan maupun di sisi makhluk-Nya.

14
DAFTAR PUSTKA
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. I

Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta:


UIN Jakarta Press, 2005)

Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011).

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/intel/article/view/3943

Madyo Eko Susilo Dan RB Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Bumi


Aksara, 2001),

D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif,


1980), Cet. IV,

http://journal.iaimsinjai.ac.id/index.php/al-qalam/index

Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan


Timur,(Jogjakarta Ar Ruzz Media, 2011),

https://www.rendrafr.com/2018/12/filsafat-pendidikan-konsep-manusia-dan.html

15

Anda mungkin juga menyukai