Anda di halaman 1dari 22

BAKAT, NALURI DAN FITRAH MANUSIA MENURUT

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dipresentasikan pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam Pascasarjana


Konsentrasi Pendidikan dan Keguruan
UIN Alauddin Makassar Oleh:

DIAN FIRDIANI
NIM : 80100322027

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Moh. Natsir Mahmud, M.A
Dr. H. A. Marjuni, M.Pd

PROGRAM DOKTOR DIRASAT ISLAMIYAH


KONSENTRASI PENDIDIKAN DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dilahirkan ke dunia ini, dalam keadaan fitrah, makna fitrah adalah:

agama (Islam), tauhid, suci, bersih atau tidak membawa dosa warisan, seperangkat

potensi dasar, karakter alami, penciptaan sebagai sunnatullah. Manusia lahir dengan

membawa fitrah, yang mencakup fitrah agama, fitrah intelek, fitrah sosial, fitrah

ekonomi, fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu,

ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan, cinta tanah air, dan sebagai.

Fitrah (potensi) tersebut, harus mendapat tempat dan perhatian, serta pengaruh dari

faktor oksigen manusia (lingkungan) untuk mengembangkan dan

mengaktualisasikan potensi dalam kehidupan sehari- hari. Islam menegaskan

bahwa anak pada dasarnya baik. Ketika dilahirkan dalam fitrah (suci). Sehingga

seorang bayi, hidup dalam alam paradiso (kalau mati dalam Islam yaitu langsung

masuk ke surga). Al-Qur’an menjelaskan kepribadian manusia dan ciri-ciri

umumnya yang membedakan dengan makhluk lain. Al-Qur’an juga menyebutkan

sebagian pola dan model umum kepribadian yang banyak terdapat pada semua

masyarakat1. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78:

1 Abdul Hamid Mursi. 1997. SDM yang Produktif: Pendekatan al-Qur’an dan Sains.

Jakarta: Gema Insani Press.

2
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan

tidak tahu apa-apa. Dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan daya

nalar agar kamu bersyukur”.

Manusia merupakan makhluk yang istimewa. Hal ini dikarenakan manusia

dikaruniai akal sebagai keistimewaan dibandingkan makhluk lainnya. Manusia

merupakan makhluk mulia dari segenap makhluk yang ada di alam raya ini. Allah

telah memberikan manusia dengan berbagai keutamaan sebagai ciri khas yang

membedakan dengan makhluk yang lain. Untuk mengetahui komponen yang ada

dalam diri manusia, bisa dilihat pengertian manusia dari tinjauan al-Qur’an.

Keistimewaan manusia juga dikarenakan manusia memiliki potensi yang

dikenal dengan istilah fitrah. Banyak persepsi mengenai makna fitrah, sehingga

kadang melenceng dari konsep fitrah yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist.

Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah merupakan

kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk

pertama kalinya dan struktur alamiah manusia sejak awal kelahirannya telah

memiliki agama bawaan secara alamiah yakni agama tauhid. Islam sebagai agama

fitrah tidak hanya sesuai dengan naluri keberagamaan manusia, bahkan menunjang

pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menjadikan eksistensinya utuh

dengan kepribadiannya yang sempurnah.

Islam menawarkan sebuah pandangan yang berbeda mengenai manusia, yaitu

bahwa manusia adalah makhluk yang fitrah. Fitrah mempunyai arti murni dan

mempunyai potensi untuk mengenal Tuhan, strukturnya terdiri dari aspek lahiriah

(jasad) dan aspek batin (rûh). Selain itu, Islam juga berpandangan bahwa struktur

manusia pada aspek batinnya sesuai dengan modus dan aksidentalnya, seperti akal

3
yang ada jika berhubungan dengan intelek, jiwa yang ada ketika berhubungan

dengan tubuh manusia, dan hati ketika berhubungan dengan intuisi2

Tujuan pendidikan Islam sebagaimana di atas dapat diwujudkan dengan upaya

mengarahkan, membimbing anak didik, mengontrol dan memberikan masukan,

tetapi yang lebih penting dari itu adalah menumbuhkembangkan potensi-potensi

alamiah yang diterima anak sejak ia dilahirkan. Potensi-potensi itulah yang dikenal

dalam pendidikan Islam sebagai fitrah. Fitrah dengan berbagai definisinya

dikembangakan melalui proses pembelajaran dalam pendidikan Islam dengan

menekankan keseimbangan antara fitrah lahiriyah dan fitrah bâthiniyah3

Aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan proses pemanusiaan

manusia(humanizing of human being) atau upaya untuk membantu subjek

(individu) secara normatif berkembang lebih baik. Upaya membantu manusia

berkembang normatif lebih baik dimulai dari proses merumuskan hakikat manusia.

Sebab, tanpa pemahaman yang benar tentang apa, siapa,mengapa, dan untuk apa

manusia, maka pendidikan akan gagal mewujudkan manusiayang dicita-citakan.

Begitu menariknya membicarakan tentang hakikat manusia dengan segalapotensi

yang dimilikinya, agar manusia tidak keluar dari fitrah kemanusiaannya.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dibahas sebelumnya, maka
dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas sebagai berikut.
1. Bagaimana manusia sebagai makhluk berbakat?

2. Bagaimana manusia sebagai makhluk bernaluri?

2 Muhammad Faiz Al Afify. Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam”. Jurnal Tsaqofah
Vaolume 14. Number 2. November 2019. Hlm 296
3 Mohammad Muchlis Solichim. Fitrah; Konsep dan Pengembangannya dalam Pendidikan

Islam. Tadris. 238 Volume 2. 2007. Hlm. 236

4
3. Bagaimana manusia memiliki potensi fitrah?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penulisan makalah

ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui konsep manusia sebagai makhluk berbakat

2. Mengetahui konsep manusia sebagai makhluk bernaluri

3. Mengetahui konsep fitrah manusia

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Manusia Sebagai Makhluk Berbakat (Mawahib)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI), kata bakat diartikan sebagai

kepandaian, sifat pembawaan yang dibawa sejak lahir (Departemen Pendidikan

Nasional). Sedangkan dalam Bahasa Inggris, bakat sering digambarkan dengan

kata “talent” yang berarti kemampuan alami seseorang yang luar biasa akan sesuatu

hal atas kemampuan seseorang yang di atas rata-rata kemampuan orang lain akan

sesuatu hal.4

Menurut Bingham bakat adalah sesuatu yang telah didapat setelah

mendapatkan sebuah pelatihan. Sedangkan Guilford menyatakan bahwa bakat

mencakup tiga dimensi psikologis yaitu dimensi perseptual (meliputi: kepekaan

indra, perhatian, orientasi ruang dan waktu), dimensi psikomotor (meliputi:

kekuatan, ketepatan, keluwesan) dan dimensi intelektual (meliputi: ingatan,

pengenalan, evaluasi, berfikir). Menurut munandar, bakat adalah kemampuan

bawaan seseorang yang merupakan potensi yang masih perlu dilatih dan

dikembangkan agar dapat terwujud. 5

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli pendidikan di atas mengenai

pengertian bakat, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa bakat adalah

kemampuan-kemampuan unggul seseorang yang membuat seseorang tersebut

memperoleh prestasi, baik dalam satu bidang maupun banyak bidang. Hal ini

menunjukkan bahwa peserta didik yang satu dengan yang lain memiliki kapasitas

4 Andin Sefrina. 2013. Deteksi Minat Bakat Anak. Yogyakarta: Media Pressindo.
5 Utami Munandar, 2016, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:
Rineka Cipta)

6
(kemampuan) yang berbeda. Misalnya ada peserta yang hanya berbakat dalam

bidang akademik saja dan tidak berbakat di bidang lainnya dan ada peserta didik

yang berbakat di bidang akademik juga berbakat di bidang non akademik, misalnya

olah raga, seni atau lainnya.

Dalam Pendidikan Islam, Mawahib (bakat) mengacu pada keimanan kepada

Allah. Imam bagi seorang mukmin meruapakan daya penggerak utama dalam

dirinya yang memberikan semangat untuk selalu mencari kebenaran yang hakiki

dari Allah. Islam selalu medorong manusia untuk mencari pembuktian melalui

penelitian, berpikir, dan merenungkan kearah iman yang benar.

Setiap individu memiliki bakat khusus yang berbeda-beda. Usaha pengenalan

bakat ini mula-mula pada bidang pekerjaan, tetapi kemudian dalam bidang

pendidikan. Pemberian nama terhadap jenis-jenis bakat biasanya berdasarkan

bidang apa bakat tersebut berfungsi, seperti bakat matematika, bakat menganalisis,

olah raga, seni, musik, bahasa, teknik dan sebagainya. Conny Semiawan dan Utami

Munandar mengklasifikasikan jenis-jenis bakat khusus, baik yang masih berupa

potensi maupun yang sudah terwujud menjadi lima bidang, yaitu: a) bakat

intelektual umum, b) bakat akademik khusus, c) bakat berpikir kreatif-produktif, d)

bakat dalam salah satu bidang seni, e) bakat psikomotor, d) Bakat.

B. Manusia Sebagai Makhluk Bernaluri

Naluri ialah pembawaan alami yang tidak disadari atau tidak perlu dipelajari

karena memang sudah bawaan (fitrah atau kodrat) dari Pencipta, yang mendorong

untuk berbuat sesuatu, dan terdapat pada semua jenis makhluk hidup, baik itu

hewan maupun manusia. Biasanya kata naluri digunakan untuk menunjuk sesuatu

berupa pembawaan khas suatu makhluk atau berupa kasih sayang induk pada

7
anaknya. 6

Dalam perspektif Pendidikan islam, naluri dapat juga diartikan sebagai

potensi manusia sejak lahir. Kemampuan menerima sifat-sifat tuhan dan

mengembangkan sifat-sifat tersebut meruapakan potensi dasar manusia yang

dibawa sejak lahir. Naluri adalah potensi alami yang ada pada diri manusia untuk

menjaga dan melestarikan kelangsungan hidupnya, untuk menjaga spesiesnya, dan

agar mendapat petunjuk mengenai adanya Al khaliq (Sang Pencipta). Naluri itu

tidak bisa terindera dengan indera secara langsung. Namun akal mampu

mengindera eksistensinya melalui penampakan-penampakannya. Ada banyak

pendapat mengenai jenis-jenis naluri pada manusia seperti rasa takut, keibuan,

kebapakan, kasih sayang, ingin memiliki, ingin tahu, dan masih banyak lagi.

Namun Menurut Taqiyuddin An Nabhani semua itu hanyalah penampakan atau

menifestasi dari hanya tiga jenis naluri, yaitu :

a. Gharizah al-baqa’ (Naluri mempertahankan diri)

Adapun wujud naluri mempertahankan diri ini terlihat saat manusia

mempertahankan dirinya, membela tanah air dan tempat kelahirannya,

keinginan memimpin, menguasai dan mendominasi orang lain, dan sebagainya

Setiap manusia mempunyai keinginan untuk memiliki, merasa takut, berani,

senang berkelompok dan berbagai aktifitas sejenis, yang dilakukan dalam

rangka mempertahankan diri. Rasa takut ini bukanlah naluri; keinginan untuk

memiliki juga bukan naluri; berani bukan naluri; senang berkelopok bukan

naluri; dan seterusnya. Semua ini hanyalah manifestasi atau penampakan dari

Gharizah al-baqa’ (naluri mempertahankan diri).

6 Azhari, Akyas. 2004. Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Mizan Publika.

8
b. Gharizah al-nau’ (Naluri melestarikan keturuan)

Adapun tujuan dari penciptaan naluri ini adalah untuk melestarikan

keturunan. Namun, sekalipun naluri melestarikan jenis dapat dipuaskan oleh

manusia dengan sesama jenisnya –pria dengan pria atau wanita dengan wanita-

dan dapat pula dipuaskan dengan binantang atau dengan sarana-sarana lain,

tetapi cara semacam itu tidak akan mungkin dapat mewujudkan tujuan

diciptakannya naluri tersebut kecuali pada satu kondisi saja, yaitu pemenuhan

naluri tersebut oleh seorang wanita dengan seorang pria atau sebaliknya.

c. Gharizah al-tadayyun (naluri Beragama)

Gharizah al-tadayyun (naluri beragama) yang membangkitkannya adalah

berpikir tentang ayat-ayat Allah SWT, hari kiamat, atau sesuatu yang

berkolerasi dengannya, atau melihat keindahan ciptaan Allah dilangit dan di

bumi atau yang berkolerasi dengannya. Adapun manifestasi atau wujud dari

naluri ini adalah menyucikan terhadap sesuatu yang diyakini sebagai Sang

Pencipta yang mengatur segala sesuatu, atau sesuatu yang diilustrasikan

sebagai manifestasi Sang Pencipta. Terkadang takdis nampak dengan

manifestasi yang sebenarnya, maka menjadi ibadah, terkadang pula nampak

dengan gambaran paling minim yaitu berupa penghormatan dan pengagungan.

Menurut Taqiyuddin An Nabhani apabila naluri manusia bangkit, maka ia akan

menuntut pemuasan. Begitupun sebaliknya, jika naluri itu tidak bangkit, ia tidak

menuntut pemuasan. Jika naluri menuntut pemuasan, naluri itu akan mendorong

manusia untuk mewujudkan pemuasannya. Jika belum berhasil mewujudkan

pemuasan, manusia akan gelisah selama naluri tersebut masih bergejolak. Setelah

gejolak naluri tersebut reda, rasa gelisah itupun akan hilang.

9
C. Manusia Memiliki Potensi Fitrah

Secara etimologi, kata “fitrah” berasal dari bahasa Arab ( ‫“ )ﺮﻄﻓة‬fatara” yang

berarti mencipta. Diartikan juga dengan belahan, muncul, kejadian, suci, tabiat, dan

penciptaan. Jika fitrah dihubungkan dengan manusia, maka yang dimaksud dengan

fitrah manusia adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaannya sejak lahir, atau

dalam bahasa Melayu disebut dengan keadaan semula jadi (Mubarok, 2003). Al-

Qur’an sendiri menyebut fitrah dengan segala bentuk derivasinya sebanyak 20 kali.

Berdasarkan hasil pelacakan dan penghimpunan ayat-ayat tersebut, diperoleh

makna fitrah berarti ciptaan, perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ikhlas, dan

tauhid.

Secara terminologi, beberapa pakar memberikan interpretasi fitrah berdasarkan

pada hadis Nabi saw.

Artinya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah seorang anak

dilahirkan melainkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang

menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Muslim).

Hadis tersebut mengindikasikan bahwa fitrah adalah kemampuan sebagai

pembawaan berupa potensi yang baik. Ayah dan ibu dalam hadis tersebut adalah

pendidik dan lingkungan yang keduanya sangat berpengaruh dan menentukan

perkembangan seseorang.

Pengertian dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa

penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Seperti yang

tersurat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:

10
Artinya :“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama

Allah;(pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)

Fitrah juga dimaknai sebagai unsur-unsur dan sistem yang Allah anugerahkan

kepada setiap makhluk. Fitrah manusia adalah apa yang diciptakan Allah dalam diri

manusia yang terdiri dari jasad, akal dan jiwaJadi, fitrah adalah potensi untuk

berevolusi menuju ketinggian, keluhuran dan kesempurnaan. Oleh karena itu, fitrah

hanya dimiliki oleh manusia yang bisa dikembangkan sebaik- baiknya atau

menurun erendahrendahnya, sehingga manusia bisa hidup berdasarkan fitrahnya

atau sebaliknya

Haimin, dan Abdul Mujib (1993) merangkum beberapa makna fitrah, yaitu: 1)

suci (tuhr), 2) agama Islam (din al-Islam), 3) mengakui ke-Esa-an Allah (tauhid),

4) murni (ikhlas), 5) kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan

untuk menerima kebenaran, 6) potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi

dan a‘rifatullah, 7) ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan

kesengsaraan, 8) tabiat alami yang dimiliki manusia (human nature), serta 9) insting

(al-garizah) dan wahyu dari Allah (al-munazzalah). Pendapat ini mengindikasikan

bahwa fitrah merupakan seperangkat alat atau potensi manusia yang tidak terbatas

pada pengEsa-an Tuhan dan kebenaran menerima agama saja, akan tetapi lebih

kompleks dari pada itu. Bahwa fitrah merupakan segenap potensi atau kemampuan

yang melekat pada diri manusia yang Allah berikan sebagai bekal kekhalifahannya

untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan ebagai alat untuk ma‘rifatullah

(mengenal Tuhan).

11
Berdasarkan penjelasan para pakar mengenai makna dan pengertian fitrah

manusia, dapat dipahami bahwa fitrah merupakan default factory setting manusia.

Di mana perangkat kerasnya (tubuh lahiriah) dibuat sedemikian rupa sebagai bekal

kekhalifahan dan untuk melakukan rutinitas ibadah kepada Allah. Begitu pun

perangkat lunaknya (jiwa batiniah) telah di-setting dengan iman kepada Allah,

kesiapan untuk menerima dan elaksanakan agama.

D. Pendidikan Islam Berorientasi pada pengembangan Bakat, Naluri dan

Fitrah.

Di dalam diri manusia terdapat fitrah, bakat dan naluri yang harus

dirkembangkan cara-cara bertahap. Pendidikan islam bergerak untuk menuntun

anak mengarah pada perkembangan yang lebih baik. Pendidikan islam bertujuan

membangun sebuah masyarakat yang cerah, bebas dari konflik, ketidak adilan,

agresi, kebodohan, dan dosa. Karena manusia harus mencapai kesucian, pencerahan

dan sublimitas, intelektualitas dan meraih kemuliaan. Kesempurnaan manusia tidak

tergantung pada masalah fisik saja, tetapi kesempurnaan sejati manusia ada pada

kebebasan dirinya dari hawa nafsu dan ketergantungan pada kelezatan duniawi, dan

pada pencapaian sisi kemanusiaan dengan memperbaiki sensitivitasnya,

berdirisiplin, dan berkomitmen dengan sebuah cita-cita tinggi dan cakrawala yang

luas.7

Dari sini bisa digarisbawahi bahwa pendidikan islam merupakan salah satu

sarana yang dapat menumbuhkembangkan potensipotensi yang ada dalam diri

manusia sesuai dengan fitrah penciptaannya, sehingga mampu berperan dan dapat

7 Sayyid Mujtaba Musawilari. 2003. Hidup Kreatif, Mengendalikan Gejolak Jiwa, Mengubah

Problema Menjadi Prestasi dan Kesuksesan, (Terj.) M. Khairul Anam, (Jakarta; Intisari Press.

12
diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Abu Ahmadi mengemukakan bahwa

tujuan dari pendidikan adalah menyempurnakan perilaku. dan membina kebiasaan

sehingga siswa terampil menjawab tantangan situasi hidup secara manusiawi”

Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional kita yaitu untuk membentuk

manusia Indonesia seutuhnya, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI

No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 3 “Pendidikan

Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab

Berdasarkan fitrahnya, setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini, akan mampu

berkembang menuju pada keadaan yang lebih baik, tanpa memandang lingkungan

individu maupun sosialnya.”

Pada hakikatnya, setiap manusia bercita-cita untuk mencapai kesempurnaan

diri sesuai dengan sifat kelembutan dan kecerdasan intelektualnya. Intelektual dan

jiwa manusia memungkinkan tercapainya sebuah kedalaman, kekuatan, dan

kecepatan gerak menuju kesempurnaan. Pendidikan islam berorientasi pada

pembentukan hal tersebut, yang dapat dimaknai dengan pembentukan akhlak yang

mulia sesuai dimensi kefitrahan, memberikan keterampilan kepada anak sesuai

bakat, serta mengarahkan naluri menjadi potensi-potensi baru dan tidak berhenti

pada satu titik usaha melaingkan terus menerus.

Ada tiga alasan penyebab awal kenapa manusia memerlukan pendidikan,

yaitu:pertama, dalam tatanan kehidupan masyarakat, ada upaya pewarisan nilai

13
kebudayaan antara generasi tua kepada generasi muda, dengan tujuan agar nilai

hidup masyarakat tetap berlanjut dan terpelihara. Nilai-nilai tersebut meliputi nilai

intelektual, seni, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kedua, alam kehidupan

manusia sebagai individu, memiliki kecendrungan untuk dapat mengembnagkan

potensi-potensi yang ada dalamdirinyaseoptimal mungkin.Untuk maksud tersebut,

manusia perlu suatu sarana.Saran itu adalah pendidikan.Ketiga, konvergensi dari

kedua tuntutan di atas yang pengaplikasiannya adalah lewat Pendidikan.

1. Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan

praktek kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang

manusia. Ada dua implikasi penting dalam hubungannya dengan pendidikan

Islam13yaitu: Karena manusia adalah makhluk yang merupakan resultan dari

dua komponen (materi dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses

pembinaan yang mengacu kearah realisasi dan pengembangan komponen-

komponen tersebut. Sistim pendidikan Islam harus dibangun diatas konsep

kesatuan (integrasi) antara pendidikan qalbiyah dan aqliyah sehingga mampu

menghasilkan manusia Muslim yang pintar secara intelektual dan terpuji secara

moral.

2. Al-quran menjelaskan bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini adalah

sebagai khalifah dan ‘abd. Untuk melaksanakan tugas ini Allah membekali

dengan seperangkat potensi. Dalam konteks ini, maka pendidikan harus

merupakan upaya yang ditujukan ke arah pengembangan potensi yang dimiliki

manusia secara maksimal sehingga dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit,

dalam arti berkemampuan menciptakan sesuatu yang bermamfaat bagi diri,

masyarakat dan lingkungannya sebagai realisasi fungsi dan tujuan

14
penciptaannya, baik sebagai khalifah maupun ‘abd.

Kedua hal di atas harus menjadi acuan dasar dalam menciptakan dan

mengembangkan sistem pedidikan Islam masa kini dan masa depan.

Fungsionalisasi pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya sangat bergantung

pada sejauh mana kemampuan umat Islam menterjemahkan dan merealisasikan

konsep filsafat penciptaan manusia dan fungsipenciptaannya dalam alam semesta

ini. Untuk menjawab hal itu, maka pendidikan Islam dijadikan sebagai sarana yang

kondusif bagi proses transformasi ilmu pengetahuan dan budaya Islami dari satu

generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks ini dipahami bahwa posisi manusia

sebagai khalifah dan ‘abd menghendaki program pendidikan yang menawarkan

sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar manusia tegar

sebagai khalifah dan taqwa sebagai substansi dan aspek ‘abd.

Untuk mengembangkan potensi atau kemampuan dasar, maka manusia

membutuhkan adanya bantuan dari orang lain untuk membimbing, mendorong, dan

mengarahkan agar berbagai potensi tersebut dapat bertumbuh dan berkembang

secara wajar dan secara optimal, sehingga kehidupannya kelak dapat berdaya guna

dan berhasil guna. Dengan begitu mereka akan dapat memenuhi kebutuhan

hidupnya dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik lingkungan

fisik maupun lingkungan sosial.

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan bagi

manusia, ada tiga aliran yang sangat populer, yakni aliran Empirisme, Nativisme,

dan Konvergensi.

Doktrin aliran empirisme yang amat masyhur adalah “Tabula Rasa,” sebuah

istilah bahasa latin yang berarti batu tulis atau lembaran kosong. Tabula rasa

15
menekankan pentingnya pengalaman, lingkungan dan pendidikan.Artinya

perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan

pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap

tidak ada pengaruhnya.Aliran empirisme dengan tokoh utamanya adalah John

Locke (1632-1704). Aliran ini berpendapat jika seorang peserta didik memperoleh

kesempatan yang memadai untuk belajar ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi

seorang politisi, karena ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik. Dia tidak

akan pernah menjadi pemusik, walaupun orang tuanya pemusik sejati.

Suatu prinsip yang dikemukakan oleh John Locke sebagai konsekuensi dari

teorinya tentang tabula rasa adalah bahwa setiap tingkah laku pada dasarnya

dipelajari. Karena itu tingkah laku dapat diubah melalui pengalaman baru. Dengan

demikian jelaslah pandangan empirisme bahwa Pendidikan dan perkembangan

anak ditentukan oleh faktor lingkungan, baik melalui pengalaman yang

diperolehnya dengan bebas maupun melalui program pendidikan.

Kebalikan dari aliran empirisme adalah aliran Nativisme berpandangan bahwa

yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor

pembawaan. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan

kepada yang baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.16Tokoh

utama aliran ini ialah Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman.Ia

menganut aliran filsafat nativisme, dikenal juga dengan aliran pesimistis yang

memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Karena penganut aliran ini

berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya,

sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh sama sekali.

Berdasarkan pandangan tersebut di atas maka keberhasilan pendidikan

16
ditentukan oleh peserta didik sendiri.Bagi nativisme lingkungan sekitar tidak ada

artinya, sebab lingkungan tidak berdaya dalam mempengaruhi perkembangan

anak.Perkembangan anak merupakan hasil perubahan dari sifat-sifat pembawaan

itu sendiri.Secara ekstrem dapat dikatakan bahwa paham ini tidak mempercayai

pengaruh pendidikan terhadap perkembangan anak.

Sedangkan aliran konvergensi berpandangan bahwa seorang anak dilahirkan di

dunia sudah disertai dengan pembawaan baik maupun pembawaan buruk. Dalam

proses perkembangannya faktor pembawaan dan faktor lingkungan sama-sama

mempunyai peranan yang sangat penting. Tokoh utamanya adalah William Stern

(1871-1938). Dia mengatakan bahwa bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan

berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan

perkembangan bakat itu. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak akan

menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau pada diri anak tidak terdapat

bakat yang diperlukan untuk mengembangkan potensi dan kemampuan anak yang

diharapkan. William Stern berkesimpulan bahwa hasil pendidikan itu tergantung

dari pembawaan dan lingkungan.

Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia,

William Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada

lingkungan ataupengalaman, juga tidak berpegang hanya pada pembawaan tetapi

berpegang pada kedua faktor tersebut sama pentingnya. Faktor pembawaan tidak

berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebalikya, faktor

pengalaman tanpa faktor bakat atau pembawaan tidak akan mampu

mengembangkan manusia sesuai yang diharapkan.

Pandangan Islam lebih bercorak konvergensi daripada empiris dan nativis,

17
karena mengakui adanya pengaruh internal berupa keimanan dalam diri dan

pengaruh eksternal yang berupa kegiatan sosial dalam bermasyarakat.

Konsep fitrah memilki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan pada landasan

al-Tauhid.Apa saja yang dipelajari oleh anak hendaknya tidak bertentangan dengan

konsep al-Tauhid. Sebab al-Tauhid merupakan inti semua ajaran agama yang

dianugerahkan Allah kepada manusia.Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam

hendaknya berisikan nilai-nilai keislaman yang pada akhirnya mengarah pada

konsep al-Tauhid ini. Selain itu, firah manusia juga mempunyai kebutuhan-

kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti makan, minum, seks dan lain

sebagainya.Pemenuhan kebutuhan jasmani ini harus diarahkan dalam rangka

mengaktualisasikan fitrah manusia.

Potensi dasar fitrah manusia harus ditumbuh kembangkan secara optimaldan

terpadu melalui proses pendidikan sepanjang hayat. Manusia diberi kebebasan

untuk berikhtiar mengembangkan potensi-potensi dasar fitrah yang dimilikinya.

Namun dalam pertumbuhan dan perkembangannya tidak bias dilepaskan dari

adanya batas-batas tertentu, yaitu adanya hukum-hukum tertentu yang menguasai

alam, hukum-hukum yang menguasai benda-benda maupun manusia, yang tidak

tunduk dan tidak tergantung pada kemauan manusia. Disamping itu, pertumbuhan

dan perkembangan potensi dasar fitrah manusia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor

hereditas, lingkungan alam dan geografis, lingkungan sosio kultural dan sejarah.

Oleh karena itu maka minat, bakat dan kemampuan skill dan sikap manusia yang

diwujudkan dalam kegiatan ikhtiarnya dan hasil yang dicapinya bermacam-macam

Pendidikan memikul beban amanah yang sangat berat, yakni memberdayakan

potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan

18
agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba, yang siap menjalankan risalah

yang dibebankan kepadanya yakni “khalifah fil ardl”. Oleh karena itu, pendidikan

berarti merupakan suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai:

makhluk yang beriman, berpikir dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan

lingkungannya. Membangun sekolah berkualitas berarti menyelenggarakan proses

pendidikan yang membentuk kepribadian peserta didik agar sesuai dengan

fitrahnya.

Memberdayakan potensi fitrah manusia haruslah berkesesuaian dengannilai-

nilai yang mendasari fitrah itu sendiri, yakni nilai-nilai robbani yang bersumber

kepada Rab yang menciptakan manusia itu sendiri, sebagai zat yang maha

mengetahui akan segala sifat dan tabiat manusia. Dengan mengacu pada nilai-nilai

tersebut, maka dengan sendirinya proses pendidikan niscaya akan memperhatikan

azas-azas fisiologis, psikologis dan paedagogis yangmelekat erat sebagai

sunnatulkaun pada pertumbuhan dan perkembanga manusia, juga memperhatikan

situasi dan kondisi zaman di mana peserta didik menjalankan kehidupan

kelak.Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas

tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensifitrah

manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agaria dapat

memfungsikan dirinya sebagai hamba (Qs. As-Syams: 8, Adz-Zariyat:56), yang

siap menjalankan risalah yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah di muka

bumi (Qs..(2): 30: (33): 72). Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu proses

membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa,

berpikir dan berkarya, sehat, kuat, dan berketerampilan tinggi untuk kemaslahatan

diri, masyarakat, dan lingkungannya.

19
Fitrah manusia merupakan potensi dasar perkembangan manusia yang dibawa

sejak lahir dan merupakan pusat dasar segala tindakan, yang berkembang secara

menyeluruh dan bersifat dinamis-responsif setiap perkembangan lingkungan,

menempatkan fitrah pada posisi sentral dalam memanusiakan manusia.

20
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Hal ini berarti, secara fisiknya,

semua manusia dilahirkan dalam keadaan sama-sama lemah, namun bukan berarti

ia bagaikan kertas putih atau kosong seperti yang dikatakan John lock atau tak

berdaya seperti pandangannya jabariyah. Hal ini karena manusia memiliki potensi

yang berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menyangkut daya nalar,

mental, maupun psikisnya yang berbedabeda jenis dan tingkatannya. Pada beberapa

ayat al-Qur’an, Hadits, maupun keterangan para ulama dan para mufassir, hampir

semuanya memperkuatkan adanya fitrah yang telah dibawa sejak lahir. Hanya saja

eksistensi fitrah ini akan lain ketika lahir dan berkembang hingga dewasa. Oleh

karena itu, dibutuhkan pendidikan sebagai salah satu sarana yang dapat

menumbuhkankembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sesuai

dengan fitrah penciptaannya. Sehingga pada gilirannya, mampu berperan dan dapat

mendatangkan manfaat dalam berbagai aspek kehidupan. Jadi, tujuan dari

pendidikan islam pada dasarnya adalah ingin menyempurnakan perilaku dan

menumbuhkan manusia searah fitrahnya, mengembangkan bakat serta mendorong

naluri kemanusiaan kea rah pencapaian cita-cita yang luhur. Pembahasan makalah

ini berimplikasi secara teoritis yaitu pengembangan teori pendidikan yang

didasarkan pada aspek fitrah manusia, bakat dan naluri kemanusiaan. Sedangkan

implikasi praktisnya adalah mendorong perilaku manusiah agar selalu mewujudkan

praktik pendidikan yang berorientasi pada fitrah, bakat dan naluri kemanusiaan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Mursi. 1997. SDM yang Produktif: Pendekatan al-Qur’an dan Sains.
Jakarta: Gema Insani Press.

Andin Sefrina. 2013. Deteksi Minat Bakat Anak. Yogyakarta: Media Pressindo.

Azhari, Akyas. 2004. Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Mizan Publika.

Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Enung Fatimah, 2010, Psikologi Perkembangan. Bandung: CV. Pustaka Setia.


Jamal Ma’mur Asmani, 2012, Kiat Mengembangkan Bakat Anak di
Sekolah Yogyakarta: Media Pressindo. Minderop, Albertine. 2013.
Psikologi Sastra. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor.

Sayyid Mujtaba Musawilari. 2003. Hidup Kreatif, Mengendalikan Gejolak Jiwa,


Mengubah Problema Menjadi Prestasi dan Kesuksesan, (Terj.) M. Khairul
Anam, Jakarta; Intisari Press.

Shahih Imam Abu Dawud, dalam kitab Al-Sunnah, hadits. 4091.

Sumadi Suryabrata, 2011, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, hlm. 160.

Utami Munandar, 2010, Anak-Anak Berbakat Pembinaan dan Pendidikannya,


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Utami Munandar, 2016, Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:


Rineka Cipta)..

Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum.Yogyakarta: Penerbit ANDI.

22

Anda mungkin juga menyukai