Anda di halaman 1dari 30

1

MAKALAH

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

“ PROBLEMA-PROBLEMA POKOK FILSAFAT


PENDIDIKAN ISLAM”

Dosen Pengampu : Abdul Haris Rasyidi, M.S.I

Disusun oleh :
ELI SETIAWATI
NIM : ( ........................................... )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)


FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
PALAPA NUSANTARA LOMBOK TIMUR – NTB
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
2

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang masih memberikan anugerah dan
inayahNya sehingga makalah yang berjudul problema-problema pokok filsafat
pendidikan islam. Trimakasih kami ucapkan kepada Bapak Abdul Haris Rasyidi,
M.S.I yang telah membimbing dan memberikan ide dalam penulisan makalah ini.
Di dalam filsafat, terdapat tiga masalah utama, yakni: masalah keberadaan
termasuk masalah kenyataan, masalah pengetahuan termasuk masalah kebenaran
dan masalah nilai. Masalah pertama dikaji dalam cabang filsafat yang disebut
metafisika. Masalah kedua dikaji dalam cabang filsafat yang disebut
epistemology, dan masalah ketiga dikaji dalam cabang filsafat yang disebut
aksiologi.
Problematika filsafat pendidikan akan selalu timbul dan ide-ide filosofis,
baik yang menyangkut masalah realitas, pengetahuan, maupun masalah nilai.
Sebagaimana kita ketahui ada banyak aliran atau filsuf yang memiliki
konsepsi tentang realitas, pengetahuan dan nilai. Pendidikan itu sendiri
merupakan pelaksana dari ide-ide filsafat itu sendiri. Dalam makalah ini akan
dibahas tentang problema-problema pokok filsafat pendidikan islam.
Dalam penulisan makalah ini telah diupayakan dengan semaksimal, walau
demikian kekhilafan sudah tentu terjadi. Dengan demikian saran dan kritikan
makalah ini tetap kami terima untuk perbaikan makalah ini agar menjadi lebih
baik.

Penulis
3

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan Makalah.................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 5
A. Peranan Filsafat Pendidikan Islam................................................................. 5
B. Problema-problema Pokok Filsafat Pendidikan Islam..................................... 9
1. Ontologi Filsafat Pendidikan Islam........................................................... 10
2. Epistiomologi Filsafat Pendidikan Islam.................................................. 14
3. Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam.......................................................... 18
BAB III KESIMPULAN...................................................................................... 23
A. Kesimpulan..................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 24
4

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan dalam perspektif Islam dikenal dengan istilah tarbiyah, ta’lim,
ta’dib dan riyadah. Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai proses
transternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui
upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan dan pengasuhan potensinya guna
1
mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat.
Jadi pendidikan islam adalah suatu pendidikan yang dalam pelaksanaannya
mempunyai karakteristik dan sifat keislaman, yakni pendidikan yang didirikan
dan dikembangkan diatas dasar ajaran yang bersumber dari Islam. Hal ini berarti,
bahwa seluruh pemikiran dan aktifitas pendidikan Islam tidak mungkin lepas dari
ketentuan bahwa semua pengembangan dan aktifitas kependidikan Islam haruslah
benar-benar merupakan realisasi dan pengembangan dari ajaran Islam itu sendiri.
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam adalah suatu sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh
hamba Allah, sebagaiman Islam telah menjadi pedoman bagi seluruh aspek
kehidupan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi
Secara sederhana dapat diartikan bahwa, pendidikan islam pada dasarnya
memproyeksikan diri memproduk insan yang kamil, yaitu manusia yang
sempurna dalam segala hal. Untuk meraih tujuan ini maka realisasinya harus
sepenuhnya bersumber dari cita-cita yang diwahyukan Allah swt. dan Sunnah
Nabi Muhammad saw. yang Tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan
hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan pribadi-pribadi hamba Allah
yang selalu bertakwa kepadaNya, dan dapat mencapai kehidupan yang
berbahagia di dunia dan akhirat. Mengenai ini dalam Alquran telah dijelaskan
dalam surah Al-Dzariat: 56:
    
 
5

Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.(Mengenalku) (Al-Dzariyat:56)

1
Abdul Mujib, Jusuf Muzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media Group,
hal. 6. 2006),
6

Berdasarkan ayat di atas sangaat jelas bahwa tujuan dari pendidikan islam itu
pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa
misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan akhirat. Kesejahtraan itu dapat
diproleh apabila kita menjalankan tugas kita sebagai hamba yaitu untuk beribadah
kepada sang Khalik. Karena dengan mengenal Sang Pencipta kita akan merasa butuh
kepada Nya, dan kita akan menjalankan segala urusan-urusan yang di printahkan.
Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama
dan ahli pendidikan islam. Diantaranya adalah salah seorang cendikiawan islam yaitu
2
Ibnu Khaldun. Menurut Ibn Khaldun ada tiga tingkat tujuan pendidikan Islam yaitu :
1. Pengembangan kemahiran dalam bidang tertentu,
2. Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman,
3. Pembinaan pemikiran yang baik, oleh karena itu pendidikan sebaiknya dibentuk dan
direalisasikan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangan potensi psikologis peserta didik.
Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan islam pada dasarnya merupakan suatu
proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan itu secara alamiah
adalah kedewasaan atau kematangan. Sebab potensi yang dimiliki oleh manusia secara
bertahap berjalan secara alamiah menuju kedewasaan dan kematangan. Potensi tersebut
akan terwujud apabila dikondisikan secara alamiah dan sosial manusia memungkinkan.
Ini merupakan suatu masalah dalam proses perkembangan manusia, karena setiap
manusia memiliki potensi dan kehidupan sosial yang berbeda. Masalahnya terletak
bagaimana suatu individu menghadapi proses perkembangan tersebut.
Adanya aktivitas dalam pendidikan dan lembaga pendidikan merupakan jawaban
dari manusia terhadap masalah tersebut. Timbul problem dan pikiran pemecahan itu
adalah bidang filsafat, dalam hal ini berarti filsafat pendidikan. Dapat diuraikan bahwa
pendidikan merupakana pelaksana dari ide-ide filsafat. Jika dikaitkan dalam islam
berarti ide-ide filsafat tersebut tidak terlepas dari sumber islam itu sendiri. Jadi peranan
filsafat pendidikan islam merupakan sumber pendorong adanya pendidikan islam.
Secara sederhana, ketika filsafat pendidikan islam merupakan suatu pendorong
adanya pendidikan islam, maka muncullah problematika-problematikan untuk
menyeleraskan pendidikan dengan tuntutan zaman. Problematika filsafat pendidikan
2
Warul Walidin, Konstelasi Pemikiran Ibnu Khaldun, (Lhokseumawe: Nadiya Foundation,
2003), Hal. 105.
7

tersebut bersumber dalam bidang pendidikan itu sendiri. Juga, tidak dapat dipisahkan
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Tidak bisa kita pungkiri
lagi bahwa proses pendidikan itu tidak berlangsung di ruang kosong, melainkan berada
di tengah-tengah masyarakat yang selalu berubah cepat, sehingga apa yang terjadi
dalam masyarakat akan berpengaruh pada bidang pendidikan.
Menurut Harold Titus (dalam Yunus Abu Bakar) mengemukakan lima
pengertian mengenai falsafat sebagai berikut:
1. Falsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam
yang biasanya diterima secara kritis.
2. Falsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap
yang sangat kita junjung tinggi.
3. Falsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4. Falsafat adalah analisa logis dari bahasan serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep.
5. Falsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian
3
dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli falsafat .
Memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan oleh para
ahlinya, yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat tertentu,
mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata. Dalam hal ini berarti, dalam dunia
pendidikan islam itu sendiri telah dikembangkan dan dapat diterapkan dalam praktek
kependidikan islam sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan hidup yang juga
berkembang dalam masyarakat. Di sinilah letak fungsi filsafat pendidikan islam dalam
memilih dan mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau perlu juga merevisi teori
pendidikan tersebut, yang sesuai dan relevan dengan kebutuhan, tujuan dan pandangan
hidup dari masyarakat sesuai dengan hakikat pendidikan dalam islam. Konsep
pendidikan dalam filsafat pendidikan islam merupakan ide pendidikan yang langsung
bersumber dari Allah swt. Sebagai pendidik yang maha sempurna dan konsep
pendidikan yang sempurna. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diambil
judul yang dikaji dan diuraikan yaitu tentang problema-problema pokok dalam filsafat
pendidikan islam.

3
Yunus Abu Bakar, Filsafat Pendidikan Islam, (Bahan Ajar, UIN Sunan Ampel Surabaya,
2014), hal. 1.
8

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana peranan Filsafat Pendidikan Islam?
2. Bagaimana problema-problema pokok filsafat pendidikan islam?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengkaji peranan filsafat pendidikan islam
2. Menguraikan problema-problema pokok filsafat pendidikan islam
9

BAB II
PEMBAHASAN

A. Peranan Filsafat Pendidikan Islam


Manusia dalam perjalanan hidupnya tidak pernah terlepas dari makhluk, dalam
arti kata bahwa mulai dari dalam kandungan sampai manusia itu meninggalkan dunia ini
alam terus berperan dalam hidup setiap manusia. Secara tidak langsung alam ini
merupakan guru manusia itu sendiri. Pandangan Islam tentang alam, manusia dan
masyarakat, bahkan seluruh realitas alam jika dikaji secara lebih mendalam dan intensif
tentu akan mengarah pada timbulnya problem mengenai filsafat atau pandangan hidup,
4
muaranya juga merupakan subsistem dari filsafat pendidikan . Melalui potensi yang
dimiliki oleh manusia itu sendiri, untuk menghadapi alam selalui berupaya agar bisa
berdampingan dengan alam itu sendiri walaupun sebagian manusia dengan potensi yang
dimilikinya alam ini menjadi rusak. Tapi disisi lain dapat dilihat bahwa dengan proses
berpikir tersebut manusia sudah berfilsafat. Sesuai dengan landasan yang digunakan,
ide-ide dari pikiran tersebut dibuat dalam satu konsep dan dituangkan dalam sebuah
aturan yang dinamakan dengan pedidikan.
Menurut Ibnu Khaldun, kemampuan berpikir manusia baru secara aktual jika
5
telah memiliki kemampuan membedakan . Akal pikir manusia akan mencari persepsi-
persepsi yang tidak dimilikinya, dengan begitu manusia akan mencari objek dan subjek
yang lain yang tidak dimilikinya. Setelah itu, hasil pemikiran tersebut akan dicurahkan
satu persatu dalam suatu kebenaran yang manfaatnya dapat dirasakan esensi dan
eksestensinya.
Kemajuan suatu umat dan bangsa sangat tergantung pada jenis ilmu yang
dikembangkannya. Dalam kenyataan sejarah, abad ke-8 sampai abad ke-13 umat Islam
mengalami kemajuan. Salah satu penyebab sehingga umat Islam mengalami kemajuan
pada masa itu karena umat Islam mengembangkan ilmu integralistitik. Setelah abad ke-
13 peradaban Islam mengalami kemunduran, disebabkan umat Islam tidak lagi
6
mengembangkan ilmu seperti di era kejayaannya . Bahkan pada masa kini umat Islam
mengalami permasalahan dalam pengembangan ilmu, disebabkan munculnya jenis ilmu

4
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1986), hal. 3.
5
Warul Walidin,...Konstelasi Pemikiran.......hal.104.
6
Haidar Putra Daulay, Modernisasi Islam: Tokoh Gerakan dan Gagasa, (Bandung:
Ciptapustaka Media, 2001), hal.178.
10

baru di dunia Islam. Pada masa ini umat islam risih dalam mempelajari sehingga
ketinggalan dengan negara-negara barat. Ketika negara barat masuk pada masa
kemajuan dunia ilmu dan teknologi, umat islam baru terjaga sehingga umat islam hanya
tergiring untuk mulai sadar akan hal itu.
Dalam menyikapi masa yang kelam ini, untuk merebut dan meraih kejayaan,
umat Islam harus terus menerus mencari paradigma pendidikan dengan berusaha
menggali kembali ajaran Islam, baik Al-Qur‟an, al-sunnah, sejarah Islam maupun
7
tulisan para ulama dan sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu . Pencarian paradigma
pendidikan Islam dimaksudkan agar ditemukan konsep dan sistem pendidikan Islam
secara utuh yang dapat menjawab permasalahan yang dihadapi umat islam
sehinggatidak jauh dari peradapan yang sedang berjalan. Yang terpenting adalah agar
tidak sulit mengembangkan teori ilmu yang tidak bebas nilai dari ajaran Islam,
kemudian mengoperasionalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ajaran Islam
sebagaimana terkandung dalam Al-Qur‟an dan al-sunnah sebenarnya kaya akan
fundamental doctrines dan fundamental values dalam berbagai aspek kehidupan
manusia, yang dapat digali dan ditangkap sesuai disiplin keilmuan atau bidang keahlian
8
seseorang . Para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam akan berusaha
mengungkap dan menggalinya dari aspek kependidikan.
Salah satu upaya penggalian dan pengkajian fundamental doctrines dan
fundamentalis values dari Al-Qur‟an dan al-sunnah yang dilakukan oleh para pemerhati
dan pengembang pendidikan Islam, yakni upaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai
dasar yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan Hadis dengan mengikutsertakan dan
mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik di bidang pendidikan. Salah
satu kelemahan pendidikan Islam yang dirasakan adalah kaya konsep fundasional atau
kajian teoritis, tetapi miskin demensi operasional atau praktisnya, atau sebaliknya kaya
operasional tetapi lepas dari konsep fundasionalnya. Hal inilah yang membuat keilmuan
islam tersebut tidak terlihat nuansa karakteristik keislamannya atau konsep keilmuan
yang kaku. Padahal pada dasarnya sumber utama islam adalah al Quran dan Hadis,
kedua sumber tersebut sangat konplit isinya untuk menjawab permasalahan umat islam.
Tetapi untuk merealisasikan isi kandungan kedua sumber tersebut masih dangkal alat

7
Azzumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal.85.
8
Ibid,....hal. 87.
11

untuk mengkajinya. Untuk mencegah timbulnya kesenjangan antara teori dan praktek,
maka salah satu cara yang ditempuh adalah mencari konsep-konsep filosofis pendidikan
Islam. Berbicara konsep-konsep filosofis setiap bidang, termasuk pendidikan Islam
tertuju pada ontologi, epistimologi dan aksiologi. Penguatan pada setiap disiplin ilmu
sangat ditentukan ketiga hal tersebut. Artinya syarat keilmiahan sebuah ilmu sangat
ditentukan ketiga sasaran kajian filsafat tersebut.
Syariat sendiri mewajibkan nadhar (penelitian) terhadap semua wujud dengan
(penalaran) rasio, dan kemudian mengambil pelajaran (i’tibar) darinya. Sedangkan
i’tibar itu sendiri tidak lebih dari menggali dan mengeluarkan sesuatu yang majhul dari
sesuatu yang maklum. Hal tersebut dapat diambil dari karya-karya aplikatif yang
bersifat amaliah (praktis) dan puncak dari semua karya itu adalah filsafat (Rusyd dalam
9
human) . Pada dasarnya berfilsafat adalah berfikir secara mendalam dan sampai kepada
berspekulasi. Untuk itu, filsafat menghendaki olah pikir yang sadar, teliti dan teratur.
Dengan kata lain, manusia menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan
dan hukum-hukum yang ada, berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik
yang berasal dari dalam dirinya atau diluarnya. Ajakan kembali kepada Islam bukan
sekadar ajakan kepada peninggalan masa lalu yang harus dipelihara, tetapi adalah
ajakan kepada sumber vital, dinamis, berkembang dan progressif sepanjang masa. Ia
memiliki fleksibelitas pada prinsip-prinsip umumnya yang berkenaan dengan
penyusunan kehidupan manusia menyebabkannya sesuai bagi setiap waktu dan
10
tempat .
Pendidikan Islam sebagaimana juga pendidikan modern harus dilandasi oleh
suatu pemikiran filosofis tertentu dalam usaha memecahkan problem yang dihadapinya.
Filsafat pendidikan Islam dalam hal ini memainkan peran penting bagaimana
menguraikan problematika mendasar dalam pendidikan Islam. Adapun filsafat
pendidikan Islam berasal dari filsafat hidup Islam, hal itu mencakup kebenaran (truth)
yang bersifat spekulatif dan praktikal yang menolong untuk menafsirkan tentang
manusia, sifat-sifat ilahiyah-Nya, nasib kesudahannya, dan keseluruhan hakikat

9
Human Mustajib, Filsafat Pendidikan Hasan Langgulung, (Jurnal El Tarbawi: Vol.IX, No
2, 2016). Hal. 84
10
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna,1987),
hal.44
12

(reality). Hal tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip tertinggi dan tidak berubah pada
11
kesalahan bagi tingkah laku individu dan masyarakat (Langgulung, dalam Human) .
Manusia kemudian melihat kenyataan bahwa yang terjadi dalam kehidupan ini
tidak semua berkembang sesuai sebagaimana yang diharapkan. Lahirlah di dalam
pemikiran manusia problem-problem tentang kemungkinan terhadap perkembangan
potensi manusia itu. Terutama dalam syariat islam yang kebenaran itu bersumber
langsung dari Allah swt. Aturan-aturan tersebut telah jelas tinggal bagaimana manusia
menyelaraskan dalam kehidupan. Dengan adanya aktivitas dan lembaga pendidikan
yang merupakan jawaban dari masalah-masalah yang dihadapi manusia. Karena
pendidikan merupakan pelaksana ide-ide dari filsafat itu sendiri. Dalam bentuknya yang
lebih terperinci kemudian filsafat pendidikan islam menjadi jiwa dan pedoman asasi
pendidikan. Ajaran yang termuat dalam wahyu merupakan dasar dan sumber bagi
filsafat. Hal ini menunjukkan filsafat pendidikan Islam yang berisi teori umum
mengenai pendidikan Islam dikontruksikan berdasarkan konsep ajaran Islam yang
termuat dalam al-Qur‟an dan Hadist. Meskipun demikian, filsafat pendidikan Islam juga
mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang sejalan, atau tidak bertentangan dengan
12
pokok ajaran Islam .
Hakikat manusia pada dasarnya adalah tidak terlepas dari aqal, nafs, dan qalb.
Ketiga hal inilah yang bersatu dalam ruh yang mengistruksikan jasad untuk melakukan
sesuatu. Ketika nafs tidak terkendali oleh qalb maka jiwa manusia akan mengarahkan
kepada hal-hal yang tidak baik. Disinilah peran penting dari filsafat pendidikan islam itu
sendiri, yaitu untuk mengkonsep idep pendidikan yang bersumber dari wahyu ilahi dan
hadis rasulullah saw. Karena sebaik-baik pendidik adalah Allah swt, dan rasulullah
merupakan peserta didik yang sempurna, karena merupakan didikan langsung dari Allah
swt.

B. Problema-Problema Pokok Filsafat Pendidikan Islam


Sumber utama dalam Filsafat pendidikan Islam yang didasarkan atas ajaran
wahyu, pada hakekatnya sejalan dengan yang dikehendaki oleh berfikir falsafi
yakni
mendasar, menyeluruh tentang kebenaran yang ditawarkannya. Dalam proses

11
Humam, Filsafat Pendidikan...., hal. 86
12
Zubaedi. Isu-isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita selekta
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 23.
13

pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof
sepanjang kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan
berbagai macam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut adakalanya saling
menguatkan dan adapula yang berbeda atau berlawanan. Sehingga hal ini menyababkan
suatu problematika dalam filsafat pendidikan Islam.
Masalah dalam dunia pendidikan merupakan masalah hidup dan kehidupan yang
dijalani oleh manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses
perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Hadis Nabi Saw mengatakan “ Tuntutlah
ilmu mulai dari buaian hingga ke liang lahat, ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan
aktivitas kehidupan manusia itu adalah proses pendidikan segala pengalaman sepanjang
hidupnya merupakan dan memberikan pengaruh pendidikan baginya. Berdasarkan hal
ini secara umum pendidikan itu tidak ada batasan, karena kesempatan orang untuk
mendapatkan ilmu berbeda-beda. Walau demikian, untuk secara formal bahwa peserta
didik harus mendapatkan pendidikan yang berstruktur dengan memberikan dasar- dasar
dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang tumbuh, yang dalam prakteknya
identik dengan pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan kondisi serta
lingkungan belajar yang serba terkontrol.
Berdasarkan hal tersebut, masalah pendidikan akan berhubungan langsung
dengan hidup dan kehiupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa
yang telah sadar akan kemanusiannya, dalam membimbing, melatih,mengajar dan
menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar
nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas
hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan cirri-ciri kemanusianya Dan
pendidikan formal disekolah hanya bagian kecil saja daripadanya.
Perkembangan zaman dalam kehidupan manusia berjalan secara langsung begitu
cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut.
Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan
melahirkan tiga dimensi utama sekaligus. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah
ontologi (apa yang menjadi obyek suatu ilmu), epistemologi (cara mendapatkan ilmu),
dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang ada, yang
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.
Epistemologi adalah sarana, sumber, tata cara untuk menggunakannya dengan langkah-
14

langkah progresinya menuju pengetahuan (ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai


sebagai tolok ukur kebenaran (ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam
13
penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu .
1. Landasan Ontologi Pendidikan Islam
Manusia jika dikelompokkan dari segi kajian ontologi maka dapat dilihat dari
tiga sudut pandang, yaitu manusia sebagai individu, manusia sebagai makhluk sosial
dan manusia yang hidup dialam. Jika ditinjau dari manusia hidup di alam, berarti
perkembangan dari kehidupan manusia itu tergantung bagaimana cara manusia
menghargai alam dan mengajarkan kepada generasi selanjutnya. Pada dasarnya alam ini
diciptakan Allah swt untuk manusia. Walaupun demikian bukan berarti manusia
bertindak semena-mena berbuat sekendak hatinnya. Kemampuan manusia untuk
menguasai alam ini terbatas sesuai dengan yang telah ditaqdirkan Allah swt. Tugas
manusia sebagai khalifah dipermukaan bumi ini adalah untuk menjaga keseimbangan
alam dan menjalankan perintah allah swt.
      
        
    
       
     
  
Artinya: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al Baqarah: 30)

Walau demikian, meskipun telah ditundukkan untuk manusia dan dirancang


sesuai dengan hukum-hukum Allah swt sehingga memungkinkan untk diketahui
manusia, namun Allah swt tetap memerintahkan manusia untuk mempelajari alam
14
semesta dengan semua fonomena dan noumenanya . Alam ini merupakan objek ilmu
pengetahuan yang dapat diolah untuk pemanfaatan bagi manusia.
Manusia sebagai mahluk individu, yang pada dasarnya manusia itu sendiri
berkembang dan bergerak menuju kearah kesempurnaan. Proses perubahan dan

13
Muhammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan
Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), hal. 28.
14
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan Islam:membangun Kerangka Ontologi, Epistimologi,
dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islam, (Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2008), hal.11.
15

perkembangan ini baik fisik maupun rohani manusia perlu diberikan pendidikan agar
dapat menjalani kehidupan ini. Dikarenakan manusia itu sendiri merupakan integrasi
yang utuh antara dimensi material dan non material, maka pendidikan islami harus
merupakan suatu proses memberikan bantuan kemudahan kepada peserta didik untuk
dapat mengembangkan kedua dimensi tersebut dengan segenap daya-daya potensi yang
15
dimilikinya .
Manusia sebagai mahluk sosial, merupakan kehidupan manusia itu sendiri yang
hidup dimasyarakat. Masyarakat itu sendiri merupakan suatu kesatuan individu yang
memiliki keinginan yang sama dan tujuan yang sama. Mencermati hal tersebut, maka
setiap masyarakat memiliki tanggung jawab edukatif untuk mengingatkan, mengajak,
mendidik, melatih, mengarahkan dan membimbing sesamanya agar tetap berpegang
16
teguh pada perjanjian atau syahadah primordialnya dengan Allah swt . Dalam hal ini,
harapan utama dalam filsafat pendidikan islam adalah agar terbentuknya peradapan
manusia.
Ketiga kajian tersebut di atas merupakan hakikat dari alam, manusia, dan sosial.
Ketiga hal tersebut merupakan objek dari pendidikan itu sendiri yang ide-idenya dari
filsafat pendidikan. Berbicara dari hakikat sejalan dengan kajian dari ontologi dari
filsafat. ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan
segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab
akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kuasa prima dalam suatu hubungan yang
17
menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan . Ontologi dapat pula diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu
adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau panca indera. Dengan demikian,
obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan
pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes
bahwa“ontology is the theory of being qua being ”, artinya ontologi adalah teori tentang
18
wujud .

15
Ibid,....,hal.30.
16
Ibid,..., hal.38.
17
Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar- Ruzz
Media, 2007), hal 44.
18
Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan,.......hal. 32.
16

Obyek telaah ontologi adalah yang ada dalam hal ini berarti Ontologi
membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu Hal
senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri, bahwa ontologi membahas apa yang
ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan suatu pengkajian mengenai teori
19
tentang ada . Dapat dihapahami bahwa ontologi mempertanyakan hakikat realitas yang
ada di dunia ini. Dalam interaksinya dengan alam semesta, manusia mempertanyakan
apakah realitas alam semesta ini merupakan realitas materi. Ataukah ada realitas dibalik
sesuatu yang ada itu. Apakah alam semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan.
Ataukah alam semesta ini bersifat tidak kekal.
Telah disebutkan di atas bahwa alam, manusia dan sosial masyarakat merupakan
wadah untuk pendidikan. Dalam lingkungan yang nampak ini termasuk segala yang
mengalami perubahan. Disini terdapat ketidaksempurnaan, ketidakteraturan,
ketidaktenangan, dan inilah alam kesulitan dan kesusahan, alam penderitaan dan
kesengsaraan dan alam kejahatan atau dosa. Sebaliknya keadaan alam realitas yang
sejati tidaklah demikian, dia merupakan alam ideal, alam pikiran sejati dan murni. Jadi
di alam inilah terdapat nilai-nilai yang langgeng, kualitas yang abadi dan disanalah
terdapat keteraturan, kebenaran sejati, kemakmuran, kedamaian, dan kelestarian segala
sesuatu. Hakikat dari alam, manusia, dan sosial masyarakat merupakan kajian ontologi
filsafat pendidikan islam. Ini berarti pendidikan islam itu sendiri harus seirama dengan
hal tersebut agar hakikat dari tujuan pendidikan itu tercapai yaitu menjadi insan yang
kamil yang mendapat kesejahtraan dunia dan akhirat.
Pandangan ontologi ini secara praktis akan menjadi masalah utama pendidikan.
Sebab anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk
mengetahui sesuatu. Anak-anak di sekolah atau masyarakat akan menghadapi realita,
20
obyek pengalaman, benda mati, sub human dan human . Demikian juga dengan realita
alam semesta ini dan eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani. Jadi Anak-
anak sebagai peserta didik harus dibimbing, dibina dan ditumbuh kembangkan untuk
memahami realitas dunia yang nyata ini dan untuk membimbing pengertian anak-anak
dalam memahami suatu realita bukanlah semata-mata kewajiban sekolah atau
pendidikan. Kewajiban sekolah juga untuk membina kesabaran tentang kebenaran yang

19
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.(Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2003), hal 34.
20
Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan,.......hal. 30
17

berpangkal atas realita. Ini berarti realita itu sebagai tahap pertama, sebagai stimulus
untuk menyelami kebenaran. Peserta didik juga secara sistematis wajib dibina potensi
berpikir kritis untuk mengerti kebenaran sesuai dengan tingkatan kemampuannya dalam
memahami realita tersebut.
Dengan pembinaan dan bimbingan tersebut, diharapkan peserta didik mampu
mengerti perubahan-perubahan di dalam lingkungan hidupnya baik tentang adat istiadat,
tata sosial dan pola-pola masyarakat, maupun tentang nilai-nilai moral dan hukum.
Daya pikir yang kritis akan sangat membantu pengertian tersebut. Kewajiban pendidik
kaitannya dengan ontologis ini ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis pada
anak. Implikasi pandangan ontologi dalam filsafat pendidikan islam terhadap
pendidikan islam adalah bahwa dunia pengalaman manusia yang harus memperkaya
kepribadian bukanlah hanya alam raya dan isinya dalam arti sebagai pengalaman sehari-
hari.
Jadi permasalahan utama dalam kajian ontology dalam filsafat pendidikan islam
adalah tentang hakikat dari konsep pendidikan itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas
bahwa manusia tidak bisa terlepas dari alam, perkembangan individu manusia itu
sendiri, dan kehidupan social manusia itu sendiri. Dari tiga konsep telaah inilah kajian
ontology menguraikan bagaimana konsep pendidikan itu sendiri berdasarkan filsafat
pendidikan islam yang meliputi tentang bagaiman hakikat pendidik, peserta didik,
kurikulum, serta sarana dan prasarana pendidikan. Dalam filsafat pendidikan islam
pendidik itu adalah Allah swt itu sendiri. Jadi, pendidik disini bukanlah yang tergambar
seolah-olah berdiri didepan kelas. Kajian ontologi disini adalah sebagai pendidik maka
harus dapat meresapi bagaimana sifat-sifat allah swt. Allah itu maha Rahim, maka
sebagai pendidik harus dapat mengimplementasikan sifat kasih sayang itu terhadap
dirinya untuk mendidik anak didiknya. Begitu juga dengan sifat-sifat Allah swt. lainnya.
Jadi dapat di dikatakan adalah pendidik dalam filsafat pendidikan islam dalam
kajian ontologi filsafat pendidikan islam adalah Siapa saja orang yang bertanggung
jawab terhadap perkembangannya anak didik yang mengimplementasikan sifat-sifat
Allah swt. Orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua (ayah, ibu) anak
didik, karena dapat dilihat dari dua hal, yaitu Pendidik berarti juga orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani
dan rohaninya, agar menacapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan
18

mematuhi tingkat kedewasaannya, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai


hamba dan khalifah Allah SWT. Dan mampu sebagai makhluk sosial, dan sebagai
makhluk individu yang mandiri. Pendidik harus mampu membentuk rupa mental-
rohaniah anak didik. Sebab pada hakiktnya pendidik telah merepkan kedalam jiwamu
dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya ke jalan keselamatan dan keabadian,
seperti apa yang telah dilakukan oleh Allah swt ketika mengajarkan Nabi Adam as.
Begitu juga halnya dengan peserta didik dan kurikulum, dalam kajian ontologi
filsafat pendidikan islam sistem pendidikan tersebut dikembalikan kepada Allah swt.
Yang berupa wahyu ilahi dan sunnah rasulullah saw. konsep tersebut sudah tergambar
jelas dalam islam bagaimana mekanismenya dan konsepnya.
2. Landasan Epistimologi Pendidikan Islam
Sedemikian jauh dunia pendidikan islam dianggap sebagai proses penyerahan
kebudayaan islam umumnya, dan ilmu pengetahuan khususnya. Yang menjadi
pertanyaan adalah apa sesungguhnya ilmu itu, dari mana sumber ilmu tersebut dan
bagaimana proses terjadinya. Inilah urusan epistimologi filsafat pendidikan islam itu.
Suryasumantri dalam Rasydin mengatakan bahwa epistimologi adalah bagian dari
filsafat ilmu membahas tentang proses dan prosedur menggali ilmu, metode untuk
meraih ilmu yang benar, makna dan kriteria kebenaran serta sarana yang digunakan
21
untuk mendapatkan ilmu .
Dalam alquran disebutkan bahwa manusia memiliki potensi yang dapat
digunakan untuk meraih ilmu sehingga dapat menjalan tugasnya sebagai khalifah
dipermukaan bumi ini.
      
      


 
 

Artinya:dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak
mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati,
agar kamu bersyukur. (QS. An Nahl:78)
Berdasarkan ayat tersebut, potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia adalah jiwa,
pendengaran, penglihatandan hati. Potensi-potensi inilah yang digunakan untuk
memproleh ilmu. Diahir ayat dinyatakan bahwa dengan potensi-potensi yang telah

21
Al Rasyidin dan Ja‟far, Filsafat Ilmu Dalam Tradisi Islam, (Medan: Perdana Publishing,
19
2015), hal. 79.
20

diamanahkan Allah swt kepada manusia supaya manusia itu bersyukur. Makasud
bersyukur disini adalah bertanggung jawab dan menggunakan amanah yang telah
diberikan Allah swt dengan baik. Mula-mula manusia percaya bahwa dengan kekuasaan
pengenalannya ia dapat mencapai realitas sebagaimana adanya. Epistomologi mengkaji
mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu, serta bagaimana proses
terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut, Brameld mendefinisikan
epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan
22
kebenaran kepada murid-muridnya . Kebenaran dalam filsafat pendidikan islam adalah
kebenaran yang bersumber dari Al Quran dan hadis. Tetapi tidak menafikan sumber lain
yang berdasarkan pemikiran manusia selama pemikiran itu sejalan dengan sumber islam
itu sendiri.
Pengetahuan dalam islam berasal dari wahyu Allah swt yang diberikan kepada
Nabi Muhammad Saw, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar.
Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh
memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara
rasional. Tapi kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak
masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan. Jawaban yang diberikan agama atas
satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal
ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia
beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti yang
tampak dari pemikiran-pemikiran filosof muslim. Jika ia tidak beragama, biasanya
filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (ahklak) untuk
dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi
atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan
manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber
dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati atau yang disebut
dengan alam akhirat. Dalam filsafat pendidikan islam, kegunaan epistimologi adalah
untuk memproleh ilmu pengtahuan sehingga kegunaan ilmu tersebut dapat digunakan
untuk menjelaskan, meramal atau memerkirakan, dan mengontrol. Penjelasan tersebut
bersumber dari alquran dan hadis.. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan

22
Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan,.......hal. 32
21

memerkirakan apa yang akan terjadi dalam pendidikan. Dari perkiraan itu, kita
memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang
mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Dalam kajian epistimologi filasafat pendidikan islam, ilmu itu dengan jenis
apapun berasal dari Allah swt. Ketika ditinjau dari berbagai aspek maka muncullah
dikotomi ilmu pengetahuan itu sendiri. Dikotomi ilmu adalah sikap yang membagi atau
membedakan ilmu secara teliti dan jelas menjadi dua bentuk atau dua jenis yang
dianggap saling bertentangan serta sulit untuk diintegralkan Dengan demikian, apapun
bentuk pembedaan secara diametral terhadap ilmu secara bertentangan adalah berarti
dikotomi ilmu. Sehingga secara umum timbul istilah “ilmu umum (non agama) dan ilmu
agama; ilmu dunia dan ilmu akhirat; ilmu hitam dan ilmu putih; ilmu eksak dan ilmu
non-eksak, dan lain-lain. Bahkan ada pembagian yang sangat ekstrim dalam pembagian
ilmu pengetahuan dengan istilah seperti ilmu akhirat dan ilmu dunia; ilmu
syar‟iyyah
23
dan ilmu ghairu syar‟iyyah .
Dalam perspektif fakta sejarah, proses pengembangan budaya dan ilmu
pengetahuan dalam islam, terjadi akulturasi nilai antar disiplin khazanah keilmuan
islam. Pemikiran filsafat diadopsi sebagai dasar pola pikir dalam ilmu kalam –padahal
keduanya merupakan disiplin ilmu yang berbeda- , maka terkesan adanya infiltrasi
teori- teori yang fregmentatif-konfrontatif dengan doktrin islam. Melihat fakta tersebut,
tokoh- tokoh agam islam mengeluarkan fatwa-fatwa yang “membabi buta” hingga
mengharamkan filsafat, dan mengkafirkan orang-orang yang mempelajaridan
mengajarkannya. Salah satunya adalah al-Ghazali dengan bukunya “Tahafut
al-
24
Falasifah” dengan banyak mengecam filsafat .
Sedemikian hebatnya Al-Ghazali dalam penguasaan ilmu memunculkan
pertanyaan besar, apakah masih belum cukup untuk memberikan pengakuan bahwa ia
benar-benar mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kemajuan peradaban dan
perkembangan dunia intelekual umat islam bahkan non-islam. Dan kecamana Al-
Ghazali terhadap para filosof dengan argument rasional dan filosofis dalam Tahafut al-
Falasifah masih belum cukup untuk menunjukkan bahwa yang ia lakukan bukan dalam

23
Baharuddin, Dkk., Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada
Masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 44
24
Al-Ghazali, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As‟ad, (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2003), hal. xii
22

rangka membunuh kreatifitas intelektual umat islam, apalagi menjauhkan peradaban


islam dari filsafat. Justru sebaliknya ia memberikan apresiasi yang sangat positif
terhadap akal sebagai salah satu instrumen mencari pengetahuan, karena yang
dilakukannya adalah dalam rangka mendudukkan akal manusia pada batas-batas
25
wilayahnya .
Dalam kritiknya Al-Ghazali mengatakan “kafir” terhadap para filosof muslim
saat itu, ia menilai mereka terlalu jauh terkontaminasi logika Yunani yang tidak
dilandasi pada kebenaran wahyu Tuhan.[14] Sanggahan Al-Ghazali terhadap metafisika
spektakuler filosof muslim dan system pemikirirannya, tentang jaringan relasional
antara sebab-akibat pada peristiwa dan phenomena alam, merupakan sebuah perdebatan
menarik dalam sejarah pemikiran islam. Hal ini terbukti dengan munculnya counter
kritis Ibnu Rusyd terhadap pandangan Al-Ghazali yang dituangkan dalam Tahafut al-
Tahafut.[15]
Terlepas dari kebesaran Al-Ghazali dan kritiknya tersebut, pasca Al-Ghazali realitas
ilmu menunjukkan semakin dikotomik bahkan ada gab antara dualisme ilmu, antara
“ilmu agama” dan ilmu umum” terbuka sangat lebar. Tragisnya lagi adalah kondisi para
ilmuan atau filosof yang banyak dikucilkan, bahkan ada sebagian dari mereka yang
kemudian ditangkap, dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibakar, seperti
yang dialami oleh al-Rukn dan Ibnu Rusyd. Dengan demikian, sejak saat itu
berkembanglah paham anti ilmu pengetahuan (“ilmu non agama”) dikalangan umat
islam hingga berabad-abad lamanya.
Epistimologi filsafat pendidikan Islam mengandung sebuah konsep yang holistik
mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat pemisahan pengetahuan
dengan nilai-nilai. Al-Qur‟an menekankan agar umat Islam mencari ilmu pengetahuan
dengan meneliti alam semesta ini, dan bagi orang yang menuntut ilmmu pengetahuan
diberikan derajat yang tinggi. Ilmu pengetahuan dan agama merupakan sesuatu hal yang
harus dipahami sebagai suatu yang totalitas dan integral. Imam Al-Ghazali seorang guru
besar dari universitas Nizhamiyah Bagdad. Al-Ghazali mengemukakan ilmu
26
pengetahuan berdasarkan tiga kriteria :
1. Sumber

25
Ahmad Zainul Hamdi, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali, (Jumal Al-
Tahrir, 2001), hal. 174
26
http://pontrennurulhuda. blogspot. com /2009/01/ dikotomi - ilmu
pengetahuan.html. Diakses tanggal 2 Oktober 2018
23

a. Pengetahuan yang diwahyukan; pengetahuan ini diperoleh khusus oleh para nabi
dan rasul. Manusia memiliki keharusan untuk mengikuti pengetahuan yang terdapat
pada wahyu yang diturukan kepada Nabi dan Rasul-Nya
b. Pengetahuan yang tidak diwahyukan; sumber pokok dari ilmu pengetahuan Ini
adalah akal, penngamatan, percobaan, dan artikulasi (penyesuaian).
2. Kewajiban-kewajiban
a. Pengetahuan yang diwajibkan kepada setiap orang (fardhu al-„ain); pengetahuan
yang penting sekali umtuk keselamatan seseorang, misalnya etika sosial, kesusialaan
dan hukum sipil.
b. Pengetahuan yang diwajibkan kepada masyarakat (fardhu al-kifayah): yaitu
pengetahuan yang penting sekali untuk keselamatan seluruh masyarakat misalnya
pertanaian, obat-obatan, arsitektur dan teknik mesin.
3.Fungsi sosial
a. Ilmu-ilmu yang patut dhargai yaitu ilmu-ilmu sains yang berguna dan tidak boleh
diabaikan karena segala aktivitas hidup ini tergantung padanya.
b. Ilmu-ilmu yang patut dikutuk; astrologi, magig, berbagai ilmu yang tidak
bermanfaat.
c. Dari kerangka keilmuan di atas dapat dipahami bahwa antara agama dan sains tidak
berdiri sebagai dua buah kultur yang saling berpisah tapi merupakan sesuatu yang
integral. Pertentangan ilmu pengetahuan dengan agama terjadi pada abad
pertengahan, setelah pelajar Yunani dari Konstatinopel ke Eropa. Sehingga terjadilah
rasa permusuhan dan jurang pemisah antara ilmu pengetahuan dan agama.
3. Landasan Aksiologi Pendidikan Islam
Secara sederhana aksiologi dalam filsafat pendidikan islam dapat diartikan
mempelajari tentang hakikat nilai dari pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini aksiologi
berkaitan dengan kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini
merupakan bidang kajian tentang dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai
subsransif dan standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan
perilaku sosial. Suryasumantri menyimpulkan pengertian dari aksiologi adalah bagian
dari filsafat ilmu yang membahas tentang keguanaan dan penggunaan ilmu, kaitan
antara penggunaan ilmu dengan kaedah moral, hubungan antara prosedur dengan
24

27
oprasionalisasi norma-norma moral dan profesionalisme . Dalam peradapan islam,
penggunaan ilmu harus sesuai dengan standar syariah islam. Abu Ishaq As Syatibi
28
dalam Al Rasyidin menjelaskan bahwa , tujuan dari penetapan standar itu adalah:
- Memelihara agama
- Memelihara akal
- Memelihara keturunanan
- Memelihara harta
Pada zaman sekarang ini, Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu
manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana
yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya menjadi insan yang kamil, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Maksudnya adalah manusia sudah membuat
tujuan sendiri sesuai dengan nafsunya atau kemauannya sendiri dan untuk
kepentingannya sendiri. Dalam filsafat pendidikan islam, berbicara mengenai aksiologi,
berarti berbicara mengenai tujuan dari pendidikan itu sendiri yaitu pembentukan
manusia yang berakhlak dan insan yang kamil.
Kegunaan pendidikan secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia
tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Pendidikan itu
implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan dijelaskan
seberapa jauh pendidikan islam itu mempunyai peranan dalam membatu mencapai
kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini dan di akhirat. Manusia belajar dari
pengalamannya dan berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-
aturannya, dalam hal ini berarti wahyu Allah swt dan hadis. Pendidikan islam
merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang
obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan keinginan
pribadi sehingga dengan pendidikan, manusia tidak akan mementingkan dirinya sendiri.
Pembentukan kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh dimensi ruh yang
merupakan anugerah Allah swt, bukan dimensi jasad. Dalam persepektif ini, jasad pada
hakikatnya adalah wahana berlakunyad dorongan atau keinginan-keinginan ruhiyah
29
manusia . Dalam persepektif islam, agar tercapainya insan yang kamil melalui

27
Al Rasyidin, Filsafat Ilmu,...hal.145
28
Ibid,...hal.147
29
Al Rasyidin, Falsafah Pendidikan,...hal 88
25

pendidikan maka perlu keseimbangan aqal, qalbu, dan nafs. Berdasarkan hal ini, proses
ta‟lim, tarbiyah, atau ta‟dib dalam pembentukan kepribadian muslim harus diawali
dari tazkiyatun nafs. Ketika nafs sudah bersih dari pengaruh-pengaruh yang tidak baik
maka dengan mudahnya menerima inti dari agama itu sendiri.
Segala sesuatu yang penting dalam pendidikan Islam adalah aspek tujuan.
Sebab, dengan mengetahui tujuan maka gerak langkah manusia ke depan akan sesuai
dengan konsep yang diinginkan. Dalam alquran banyak sekali pernyataan ayat-
ayat yang mengindikasikan tentang tujuan pendidikan islam itu sendiri, diantaranya
adalah tujuan individual. Tujuan individual dalam pendidikan Islam sangat dicerminkan
oleh sikap atau perilaku masing-masing individu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Omar Mohammad At-Toumy Al-Syaibani, bahwa tujuan-tujuan individual adalah yang
berkaitan dengan individu-individu, pelajaran (learning) dan dengan pribadi-pribadi
mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut ada perubahan yang
diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan pada pertumbuhan yang
diingini pada pribadi mereka, dan pada persiapan yang dimestikan kepada mereka pada
30
kehidupan dunia akhirat .
Tujuan individual dalam pendidikan Islam sangat ditentukan oleh diri sendiri
dan orang lain. Apakah dari individu tersebut mau mengubah aktivitas dan sikapnya
menuju yang lebih baik sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan begitu tujuan
individual dari ketiga ayat tersebut adalah mensyukuri atas nikmat Allah SWT. yang
diberikan kepada manusia, berupa diutusnya Rasulullah SAW. Di muka bumi ini.
Dengan mensyukurinya secara otomatis pula mereka telah mengimani Allah SWT.,
Rasul-Nya dan wahyu yang diberikan kepada Rasulnya. Tujuan individual yang
bertujuan untuk mengubah secara pribadi dari segi sikapnya atau tingkah lakunya yang
mencerminkan keimanan kepada Allah SWT. Dan Rasulnya tanpa keragu-raguan.
Selanjutnya adalah konsep tujuan sosial, selain tujuan-tujuan Individual dalam
pendidikan Islam, maka ada tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh Pendidikan
Islam. Hal ini ditandai dengan Allah SWT. menurunkan Nabi SAW. dari kaumnya
sendiri. Setiap masyarakat dimanapun berada, biasanya memiliki nilai-nilai adat yang
telah disepakati dan dipegang serta ditaati bersama. Baik nilai positif maupun nilai
negatif. Nabi Muhammad SAW. diutus Allah SWT. di negeri Arab yang pada saat itu
30
Omar Mohammad At-Toumy Al-Syaibani, Falsafah pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1979), hlm. 399
26

umat yang dihadapi beliau adalah masyarakat Arab Jahiliyyah. Islam dalam
menghadapi nilai-nilai positif yang telah ada akan selalu memotivasi dan mendukung.
Akan tetapi dengan nilai-nilai yang negatif, Islam akan menolak dan meluruskannya.
Dalam karya Ahmad Munir yang berjudul Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan
Al-Qur‟an tentang Pendidikan, bahwa dalam Pandangan al-Qur‟an, suatu perubahan
akan terlaksana jika dipenuhi dua syarat pokoknya yaitu; pertama, adanya nilai atau ide,
kedua adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Syarat
yang pertama tertuang dalam petunjuk al-Qur‟an serta penjelasan Rasulullah SAW.
Syarat ke dua adalah manusia-manusia yang hidup dalam suatu tempat dan terikat
dengan hukum-hukum masyarakat yang telah ditetapkan. Dalam hal ini manusia adalah
31
pelaku perubahan sekaligus yang menciptakan sejarah . Manusia adalah sebagai
agent
sosial of change, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, manusia mampu
memberikan pemikiran-pemikiran atau konsep yang akan dijalankan ke depannya sesuai
dengan perkembangan zaman. Manusia sebagai khalifah fil ardhi, memiliki peran
sentral dalam hal social, artinya tujuan pendidikan Islam jika tidak menghasilkan tujuan
sosial, maka sebuah kemustahilan. Karena tujuan pendidikan Islam secara tidak
langsung akan mendorong rasa persatuan dan rasa memiliki. Pada ketiga ayat tersebut
menggambarkan ada tiga tahap menuju tujuan sosial dalam pendidikan Islam.
Konsep tujuan tertinggi atau terakhir dalam pendidikan Islam ada akhirnya
sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah SWT. yaitu
menjadi hamba Allah yang paling taqwa, mengantarkan subjek didik sebagai
khalifatullah fil ard (wakil Allah di bumi), memperoleh kesejahteraan, kebahagiaan
hidup di dunia sampai akhirat. Tujuan tertinggi pendidikan Islam dapat terlihat bahwa
pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang
32
terwujud .
Artinya konsep tujuan pendidikan Islam tertinggi tidak hanya berorientasi pada
teoritis saja, akan tetapi berjalan seimbang antara Teoritis dan praktis. Sehingga pada
intinya tujuan pendidikan Islam tidak memisahkan iman dan amal shaleh. Tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dengan pembacaan, penyucian, dan pengajaran
sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut sama dengan pengabdian kepada Allah.

31
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: TERAS, 2008), hlm. 184
32
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung; CV. Pustaka Setia, 1997), hlm. 12
27

Sehingga dapat dikatakan tujuan tertinggi pendidikan Islam meliputi aspek kejiwaan
yang abstrak yaitu filsafat hidup dan kepercayaan. Dengan kata lain pendidikan Islam
secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai Islam bersasaran pada tiga dimensi
hubungan manusia selaku khalifah di muka bumi, yakni sebagai berikut;
1. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya,
2. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras dan seimbang dengan
masyarakatnya,
3. Mengembangkan kemampuan untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan
kekayaan alam bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta
bagi kepentingan ubudiyahnya kepada Allah SWT. Dengan dilandasi sikap yang
33
harmonis pula .

33
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta; PT Bumi Aksara, 2005), hlm.121
28

BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Filsafat pendidikan islam menentukan tujuan akhir, maksud, objektif, nilai-nilai


dan cita-cita yang telah ditentukan lebih dahulu oleh filsafat hidup Islam dan
dilaksanakan oleh proses pendidikan. Di sinilah terletak pentingnya kembali pada
filsafat pendidikan Islam karena konsep filsafat Islam cukup luas dan komprehensif.
Bahkan teori-teori pengetahuan yang dibawa oleh filsafat Barat modern belum dapat
menandingi teori-teori filsafat Islam yang karya-karyanya bukan hanya tersebar di
dunia Islam tetapi juga mempengaruhi pemikiran Barat sendiri. Supaya ahli-ahli
pendidikan muslim dapat menciptakan suatu filsafat pendidikan yang sesuai bagi
masyarakat Islam progressif yang menggabungkan antara keaslian dan kemampuan,
haruslah mereka memelihara berbagai faktor dan kembali keberbagai sumber Islam.
29

DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyidin dan Ja‟far, 2015, Filsafat Ilmu Dalam Tradisi Islam, Medan: Perdana
Publishing.
Al-Ghazali, 2003, Neraca Kebenaran, diterjemahkan oleh Kamran As’ad, Yogyakarta:
Pustaka Sufi.
As-Syaibani, Omar Mohammad At-Toumy, 1979, Falsafah pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979.
Arifin, Muzayyin2005, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Al Rasyidin, 2008, Falsafah Pendidikan Islam:membangun Kerangka Ontologi,
Epistimologi, dan Aksiologi Praktik Pendidikan Islam, Bandung: Cipta
Pustaka Media Perintis.
Azra, Azzumardi, 1999 Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium
Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakar, Yunus Abu, 2014, Filsafat Pendidikan Islam, Bahan Ajar, UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Baharuddin, Dkk., 2011, Dikotomi Pendidikan Islam: Historisitas dan Implikasi Pada
Masyarakat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya,
Daulay, Haidar Putra, 2001, Modernisasi Islam: Tokoh Gerakan dan Gagasa, Bandung:
Ciptapustaka Media
Hamdi, Ahmad Zainul, 2001, Epistemologi dalam Konstruksi Filsafat Al-Ghazali,
Jumal Al-Tahrir.
http://pontrennurulhuda.blogspot.com/2009/01/dikotomi-ilmu-pengetahuan.html.
Diakses tanggal 2 Oktober 2018
Langgulung, Hasan, 1986, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna.
Langgulung, Hasan, 1987 Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna.
Mujib, Abdul dan Jusuf Muzakir, 2006, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Prenada Media
Group.
Mustajib, Human, 2016 Filsafat Pendidikan Hasan Langgulung, Jurnal El Tarbawi:
Vol.IX, No 2
Munir, Ahmad, 2008. Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang
Pendidikan, Yogyakarta: TERAS, 2008.
Syam, Muhammad Noor, 1986. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat
Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.
Suhartono, Suparlan, 2007, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-
Ruzz Media.
Sumantri, Jujun S. Suria, 2003, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Uhbiyati, Nur, 1997, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Walidin, Warul, 2003, Konstelasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Lhokseumawe: Nadiya
Foundation.
Zubaedi, 2012, Isu-isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita
selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
30

Anda mungkin juga menyukai