Oleh:
Lailatul Chasifah (225011103)
Qurrotu Ayuni (225011104)
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Perbandingan Pemikiran 2 Tokoh Filsuf (Ibnu Sina Dan Ibnu Miskawaih)
Mengenai Pendidikan Islam.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi ujian
akhir semester (UAS) dari Bpk Dr. Rifqi Khairul Anam, M.Si. pada mata
kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan bagi pembaca dan juga penulis.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Probolinggo,29,Januari,2023
Penulis,
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................3
A. Kesimpulan .................................................................................20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Filsafat Pendidikan Islam?
1
2. Bagaimana Konsep Pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih Dalam
Dunia Pendidikan Islam?
3. Bagaimana Cara Mengaktualisasikan Pemikiran Ibnu Sina dan
Miskawaih di Zaman Modern?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
2. Mengetahui Konsep Pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih Dalam
Dunia Pendidikan Islam
3. Mengetahui Cara Mengaktualisasikan Pemikiran Ibnu Sina dan
Miskawaih di Zaman Modern
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
antar gejala yang bermacam macam meliputi: (1)proses Pendidikan sebagai
rancangan yang terpadu dan menyeluruh (2)menjelaskan berbagai makana yang
mendasar tentang segala istilah Pendidikan:dan (3)pokok-pokok yang menjadi
dasar dari konsep Pendidikan dalam kaitannya dengan bidang kehidupan manusia
(Al-syaibany,1973).
B. Konsep Pemikiran dari Ibnu Sina dan Ibnu Muskawaih Dalam Dunia
Pendidikan Islam
1. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Sina
a. Tujuan Pendidikan
4
kehidupan manusia. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi syarat bagi
terwujudnya suatu sosok pribadi berakhlak mulia meliputi aspek pribadi, sosial
dan spiritual. Ketiganya harus berfungsi secara integral dan komprehensif.
Pembentukan akhlak mulia ini juga bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
(sa’adah). Kebahagiaan menurut Ibnu Sina dapat diperoleh manusia secara
bertahap. Dari tujuan pendidikan yang berkenaan dengan budi pekerti, kesenian,
dan perlunya keterampilan sesuai dengan bakat dan minat tentu erat kaitannya
dengan perkembangan jiwa seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan
pendidikan yang bersifat spiritual mendapat penekanan yang lebih.
b. Kurikulum
Kurikulum pada prinsipnya ialah (1) suatu program pendidikan yang isinya
sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistimatis dan (2) program kegiatan
yang diperlukan sebagai syarat untuk menyelesaikan suatu program pendidikan
tertentu yang dikemas dalam kegiatan kurikulum (intracurricular), kegiatan
penyertaan kurikulum (co-curriculum), dan diluar kegiatan kurikulum
(ekstrakurikuler) untuk mencapai tujuan pendidikan. Ibnu Sina juga menyinggung
tentang beberapa ilmu yang perlu dipelajari dan dikuasai oleh anak didik.
Abuddin Nata menyimpulkan bahwa rumusan kurikulum Ibnu Sina didasarkan
kepada tingkat perkembangan usia anak didik, yaitu:
Pertama, Usia 3-5 tahun. Menurut Ibnu Sina, pada usia ini anak didik perlu
diberi mata pelajaran olahraga, budi pekerti, kebersihan, seni suara dan kesenian.
Masing-masing materi ini memiliki tujuan dan cara pengembangannya dapat
dilakukan sebagai berikut.
5
unuk membekali anak agar memiliki kebiasaan sopan santun dalam pergaulan
hidup sehari-hari. Pelajaran budi pekerti ini sangat dibutuhkan dalam rangka
membina kepribadian anak sehingga jiwanya menjadi suci dan terhindar dari
perbuatanperbuatan buruk yang dapat mengakibatkan jiwanya rusak dan sulit
diperbaiki kelak pada usia dewasa. Dengan demikian, Ibnu Sina memandang
pelajaran akhlak sangat penting ditanamkan kepada anak sejak usia dini.
Sedangkan pelajaran pendidikan kebersihan juga mendapat perhatian Ibnu Sina.
Pendidikan ini diarahkan agar anak memiliki kebiasaan mencintai kebersihan
yang juga menjadi salah satu ajaran mulia dalam Islam. Untuk pendidikan seni
suara dan kesenian diperlukan agar anak memiliki ketajaman perasaan dalam
mencintai serta meningkatkan daya khayalnya. Jiwa seni perlu dimiliki sebagai
salah satu upaya untuk memperhalus budi yang pada gilirannya akan melahirkan
akhlak yang senang keindahan. Dari keempat pelajaran yang perlu diberikan
kepada anak pada usia 3-5 tahun, menunjukkan bahwa Ibnu Sina telah
memandang penting pendidikan pada usia dini.
Kedua, Usia 6-14 tahun. Kurikulum untuk anak usia 6-14 tahun menurut Ibnu
Sina adalah mencakup pelajaran membaca dan menghafal al-Qur’an, pelajaran
agama, pelajaran syar’i dan pelajaran olahraga.
Pelajaran al-Qur’an dan pelajaran agama yang paling utama diberikan kepada
anak yang sudah mulai berfungsi rasionalitasnya. Pelajaran membaca dan
menghafal al-Qur’an menurut Ibnu Sina berguna disamping untuk mendukung
pelaksanaan ibadah yang memerlukan bacaan ayat-ayat alQur’an, juga untuk
mendukung keberhasilan dalam mempelajari agama Islam seperti pelajaran tafsir
al-Qur’an, fiqih, tauhid, akhlak dan pelajaran agama lainnya yang sumber
utamanya adalah al-Qur’an.
6
tingkat usia ini. Dari sekian banyak olahraga, menurut Ibnu Sina yang perlu
dimasukkan ke dalam kurikulum atau rancangan mata pelajaran adalah olahraga
adu kekuatan, meloncat, jalan cepat, memanah, berjalan dengan satu kaki dan
mengendarai unta. Tentu semua ini berdasarkan kebutuhan anak dan disesuaikan
dengan tingkat perkembangannya.
Ketiga, Usia 14 tahun ke atas. Pada usia 14 tahun ke atas, Ibnu Sina
memandang mata pelajaran yang harus di berikan kepada anak berbeda dengan
usia sebelumnya. Mata pelajaran yang dapat diberikan kepada anak usia 14 tahun
ke atas, sangat banyak jumlahnya. Namun pelajaran tersebut perlu dipilih sesuai
dengan bakat dan minat anak. Ini menunjukkan perlu adanya pertimbangan
dengan kesiapan anak didik. Dengan cara demikian, anak akan memiliki kesiapan
untuk menerima pelajaran tersebut dengan baik. Ibnu Sina menganjurkan kepada
para pendidik agar meilih jenis pelajaran yang berkaitan dengan keahlian tertentu
yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh anak didiknya. Jadi, pada usia ini,
anak didik diarahkan untuk menguasai suatu bidang ilmu tertentu (spesialisasi
bidang keilmuan).
c. Metode Pembelajaran
Ibnu Sina juga memiliki beberapa konsep metode pembelajaran. Pada dasarnya
metode pembelajaran yang ia tawarkan memiliki perbedaan antara materi yang
satu dan materi pelajaran yang lainnya. Artinya, pemilihan dan penetapan metode
harus mempertimbangkan karakeristik dari masing-masing materi pelajaran,
disamping juga harus mempertimbangkan tingkat perkembangan/psikologis anak
didik. Hal itu bisa dilihat dari beberapa metode yang ditawarkannya.22 Menurut
Abuddin Nata, di antara metode yang ditawarkan Ibnu Sina adalah metode talqin,
demonstrasi, pembiasaan dan teladan, diskusi, magang dan penugasan. Ketujuh
metode pembelajaran ini akan dijelaskan di bawah ini, ditambah lagi dengan
metode targhib.
7
dan mengulangi bacaan tersebut perlahan-lahan dan dilakukan berulang-ulang,
hingga akhirnya ia hafal.
Kelima, Metode Magang, Ibnu Sina telah menggunakan metode ini dalam
kegiatan pengajaran yang dilakukannya. Para murid Ibnu Sina yang mempelajari
ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan teori dan praktik. Metode ini
akan menimbulkan manfaat ganda, yaitu disamping akan membuat anak didik
mahir dalam suatu bidang ilmu, juga akan mendatangkan keahlian dalam bekerja
yang menghasilkan kesejahteraan secara ekonomis.
8
Keenam, Metode Penugasan, dilakukan dengann menyusun sejumlah modul
atau naskah kemudian menyampaikan kepada para murid untuk dipelajarinya.
Cara ini ia lakukan antara lain ia lakukan kepada salah seorang muridnya Abu ar-
Raihan al-Biruni dan Abi Husain Ahmad as-Suhaili. Dalam bahasa Arab,
pengajaran dengan penugasan ini dikenal dengan istilah alta’lim bi al-marasil
(pengajaran dengan mengirimkan sejumlah naskah atau modul).
Dari beberapa metode yang diuraikan diatas, menunjukkan bahwa Ibnu Sina
memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan. Paling tidak ada empat
karakteristik metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina, yaitu: (1). Pemilihan dan
penerapan metode harus disesuaikan dengan karakteristik materi pelajaran, (2).
Metode juga diterapkan dengan mempertimbangkan psikolois anak didik,
termasuk bakat dan mina anak, (3). Metode yang ditawarkan tidaklah kaku, akan
tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak didik, dan (4).
Ketepatan dalam memilih dalam menerapkan metode sangat menentukan
keberhasilan pembelajaran.
d. Konsep Guru
Guru memiliki peran sangat penting dalam pendidikan. Ibnu Sina pun menulis
beberapa pemikirannya tentang konsep guru, terutama menyangkut guru yang
baik. Menurutnya guru yang baik adalah guru yang berakal cerdas, beragama,
mngetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan
tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main terhadap muridnya, tidak bermuka
masam, sopan santun, bersih dan suci murni.
Tugas seorang guru dalam mendidik tidaklah mudah. Sebab, pada hakikatnya
tugas pendidikan yang utama adalah membentuk perkembangan anak dan
membiasakan kebiasaan yang baik dan sifat-sifat yang baik menjadi factor utama
guna mencapai kebahagiaan anak. Oleh karena itu, orang yang ditiru hendaklah
9
menjadi pemimpin yang baik, contoh yang bagus dan berakhlak hingga tidak
meninggalkan kesan buruk dalam jiwa anak yang menirunya.
Kemudian Ibnu Sina juga menambahkan bahwa seorang guru itu sebaiknya
dari kaum yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar,
telaten dalam membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu,
gemar bergaul dengan anak-anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri.
Selain itu guru juga harus mengutamakan kepentingan umat daripada kepentingan
diri sendiri, menjaukan diri dari meniru sifat raja dan orang-orang berakhlak
rendah, mengetahui etika dalam majelis ilmu, sopan dan santun dalam berdebat,
berdiskusi dan bergaul Rumusan di atas menunjukan bahwa Ibnu Sina
menginginkan seorang guru meiliki kompetensi keilmuan yang bagus,
berkepribadian mulia dan kharismatik sehingga dihormati dan menjadi idola bagi
anak didiknya. Hal ini penting, sebab jika guru tidak memiliki wawasan yang luas
tentang materi pelajaran yang diasuhnya dan kurang memiliki kharismatik,
tentulah anak didik kurang menyukainya. Jika hal itu terjadi, maka ilmu akan sulit
didapat, meskipun diketahui tetapi keberkahannya jelas berkurang.
Ibnu Sina membolehkan pelkasanaan hukuman dengan cara yang ekstra hati-
hati, dan hal itu hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau tidak normal.
Sedangkan dalam keadaan normal. Sedangkan dalam keadaan normal, hukuman
tidak boleh dilakukan. Sikap humanistic ini sangat sejalan dengan alam demokrasi
10
yang menuntut keadilan, kemanusiaan, kesederajatan dan sebagainya. .
(ANSARISANUSIN212)
b. Materi Pendidikan
Sejalan dengan uraian diatas Ibnu Miskawaih bahwa ada hal pokok sebagai
materi pendidikan yaitu pertama, hal-hal yang wajib kebutuhan manusia. Kedua,
hal-hal yang berhungan dengan jiwa manusia dan ketiga hal- hal yang
behubungan dengan sesama manusia.
Ketiga hal tersebut menurut Ibnu Miskawaih dapat diperoleh dari ilmuilmu
yang secara garis besar dapat dikelompokkan mejadi dua. Pertama, ilmuilmu yang
berkaitan dengan pemikiran atau disebut al-Ulum al Fikriyah dan kedua ilmu-ilmu
yang berhubungan dengan indera yang disbut al-ulum al- hissiyah. Dalam hal ini
Ibnu Miskawaih tidak membeda-bedakan antara ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu
11
non agama. Ibnu Miskawaih juga tidak menjelaskansecara rinci materi pendidikan
yang wajib bagi kebutuhan manusia, hal itu dikandung maksud bahwa walaupun
tidak di jelaskan menyeluruh sebenarnya orang sudah bisa memahami
kelanjutannnya.
Namun demikian yang perlu dicatat bahwa karena tujuan yang ingin dicapai
adalah menuju kejalan Allah, maka apapun bentuk materi yang diajarkan akan
senantiasa membantu manusia untuk menuju ke arah taqorrub kepada Tuhannya.
d. Lingkungan Pendidikan
12
Masyarakat. Ibnu Miskawaih berpendapat dari ketiga lingkungan tersebut
hendaknya diupayakan sekondusif benar agar tercipta lingkungan yang baik.
Terkait dengan tanggung jawab lingkungan pendidikan ini Ibnu Miskawih
berpendapat bahwa pemimpin harus mengupayakan adanya lingkungan yang ada.
Dan itu menjadi tanggung jawab pemerintah.
e. Metode
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina tentang pendidikan Islam yang telah
diuraikan di atas, ada beberapa pemikirannya yang tetap relevan untuk
diaktualisasikan dalam pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini.
Bahkan aktualisasi pemikiran Ibnu Sina ini bisa menjadi pendidikan alternative
dalam mewujudkan pendidikan Islam yang mampu menjawab tanrangan zaman.
13
Adapun yang perlu mendapat perhatian dari pemikiran Ibnu Sina tersebut adalah
sebagai berikut:
Ibnu Sina yang sering dikenal dunia internasional sebagai ahli dibidang
kedokteran (termasuk rumpun sains) dan filosof, ternyata memahami benar
tentang al-Qur’an. Bahkan pada usia masih muda, sekitar 10 tahun,
iatelahmenghafal seluruh al-Qur’an. Itu artinya al-Qur’an sangat menentukan
keberhasilan Ibnu Sina seorang ilmuwan tiada tandingan di masanya. Tampaknya
14
ia juga menyadari pengaruh al-Qur’an tersebut sehingga ia menawarkan
pentingnya mempelajari aQur’an yang dimulai sejak dini bahkan perlu
mengajarkan untuk menghafalnya pada usia 6-14 tahun. Dalam konteks
pendidikan Islam di Indonesia, tampaknya pendidikan al-Qur’an kurang mendapat
perhatian serius. Tingkat Sekolah Dasar, misalnya, masih lebih memfokuskan
belajar baca tulis al-Qur’an, sementara di Madrasah, al-Qur’an hanya menjadi
salah satu pelajaran yang digabungkan dengan Al-Qur’anHadits, itu pun kadang-
kadang kurang maksimal. Untuk itu orang tua harus mengajarkan al-Qur’an sejak
dini pada anaknya. Sementara pihak sekolah, seharusnya mengintegrasikan
ayatayat al-Qur’an ke seluruh mata pelajaran, khususnya pada tingkat pendidikan
SMP/MTs dan SMA/MA. Dalam hal ini, seluruh guru bidang studi perlu
mendapat pelatihan dan pembinaan khusus untuk dapat mengintegrasikan ayat-
ayat al-Qur’an tersebut ke dalam pelajaran yang diasuhnya. Dengan upaya ini,
diharapkan anak didik akan merasa semakin dekat dengan al-Qur’an serta akan
lahir generasi penerus Ibnu Sina sebagai “ulama yang ilmuwan, atau ilmuwan
yang ulama”.
Salah sat pemikiran penting Ibnu Sina dalam filsafat adalah jiwa. Jika
ditelusuri pemikian pendidikan Islam Ibnu Sina tampaknya akan diarahkan pada
perkembangan potensi anak didik agar memiliki tingkat jiwa yang tertinggi. Kita
memahami bahwa konsep jiwa yang tawarkannya telah mencakup kecerdasan
intelektual, emosional dan spiritual sbagaimana yang dikenal dewasa ini, bahkan
melebihi konsep itu.
Integralistik.
15
tidak ke-ulma’annya dapat dilihat dari pemikiran filsafatnya serta penguasaannya
terhadap ilmu al-Qur’an. Akhirnya, teori-teori yang dihasilkannya tetap
berlandaskan kepada ajaran Islam. Dalam konteks pendidikan di Indonesia,
paradigma semacam ini harus terbangun. Adanya istilah “pendidikan umum” dan
“pendidikan agama” yang biasa dikenal di negeri ini sering kali menimbulkan
pradigma dikotonomik yang bertentangan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain.
Paradigm semacan ini menimbulkan beberapa persoalan, seperti: ilmu yang
dimiliki tidak mengantarkan seseorang dekat kepada Allah, sikap beragama hanya
urusan privasi seseorang, pembinaan akhlak hanya tugas guru agama yang banyak
berbicara tentang nilai, kecenderungan hidup pragmatis-materialistik lebih
menguat, dan sebagainya. Oleh karena itu, pemikiran Ibnu Sina ini patut
diaktualisasikan dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas; beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta cerdas dalam
menyelesaikan berbagai persoalan sehingga menemukan kebahagiaan hakiki, baik
di dunia maupun di akhirat .(ANSARISANUSIN212)
16
masyarakat. Dan yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh
nilai-nilai seperti materialisme, konsumerisme, hedonisme, penggunaan
kekerasan, dan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat.
Menghadapi Globalisasi itu, seyogyanya kita sebagai umat Islam tidak
menyikapinya dengan sikap apriori (menolak) apa saja yang berasal dari efek
globalisasi dengan dalih semua itu berasal dari Barat yang bersifat negatif. Ingat
tidak ada hal negatif yang sepenuhnya negatif, dan juga tidak ada hal positif yang
sepenuhnya positif. Oleh, karena itu kita haruslah bersikap selektif dan memfilter
nilai-nilai dan menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat
mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka
hadapi dan alami.
Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi
kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat
diwujudkan bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor
pendidikan lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan
secara integral. Di samping itu, pendidikan harus diarahkan secara seimbang
antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan mempunyai peran
penting dalam sosialisasi nilai-nilai (akhlak) kepada peserta didik, maka
diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan
zaman.
Membangun manusia seutuhnya merupakan tujuan ideal dari pendidikan di
Indonesia. Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya tersebut, diawali
dengan melihat manusia itu memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikis
(jiwa). Didalam aspek psikis inilah duduknya pendidikan karakter. Lahirnya
sebuah sikap dan perilaku itu dimotori penggeraknya dalam jiwa seseorang.
Karena itulah membangun jiwa seutuhnya haruslah berawal dari pembangunan
jiwa manusia. Dan dalam hal ini, Ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral
(moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan
manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqwîm) harus
berbanding lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan
manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan
penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak
17
bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi
menghubungkannya dengan kenikmatan spiritual dengan etika sebagai
kontrolnya. Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar
kita tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya,
melainkan kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian
rupa agar segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk
kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Nilai-nilai pendidikan seperti itu harus mulai ditanamkan sejak usia dini.
Karena hal itu tidak bersifat alami dalam diri manusia tapi harus diusahakan jadi
merupakan suatu kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan
etika pergaulan dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Mengacu dari
tridomain pendidikan (domain kognitif, domain afektif, dan domain
psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD’45 khususnya
yang tertuang dalam UU No.2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak
didominasi oleh domain afektif atau cenderung kepada pembentukan sikap. Hal
ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (keperibadian yang luhur) berfungsi sebagai
pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus
berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-
nilai luhur tersebut yaitu beriman, berakhlakul karimah, dan berama shaleh
utamanya yang bersumber pada nilai-nilai ajaran agama (Islam) adalah bagian
dari nilai luhur itu.
Dari dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih yaitu melalui
pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari
orang yang ada di sekitarnya. Dapat dilihat perlu adanya upaya dari para pendidik
baik orang tua maupun guru-guru yang patut dijadikan panutan bagi peserta
didiknya. Karena peran yang mulai itulah agama menempatkan orang tua sebagai
manusia yang harus di taati setelah Allah SWT dan rasulnya. Selain orang tua
yang memiliki peran yang sangat urgen, guru juga tidak kalah penting peranannya
sebagai wakil dari orang tuanya. Apalagi saat ini tidak sedikit orang tua yang
sibuk dengan aktifitasnya di luar rumah sehingga anak-anaknya lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan guru dan teman-temannya di sekolah. Dari situ
guru di tuntut untuk profesional dibidangnya selain itu juga ia harus memiliki
18
kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Oleh sebab itu,
seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi
harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi anak didiknya.
Apapun sistem ataupun pendidikan etika yang diajarkannya, menurut Ibn
Miskawaih guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya
proses pendidikan. Namun eksistensinya tidak bertumpu pada ilmu yang
dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun
metodologi yang digunakannya dalam pendidikan.
Dari pembiasaan dan pelatihan diharapkan membentuk manusia karakter, ada
tujuh stategi dalam membentuk karakter yakni habituasi (pembiasaan) dan
pembudayaan yang baik, mempelajari hal-hal yang baik, moral feeling dan loving
(merasakan dan mencintai yang baik), moral acting (tindakan yang baik), moral
model(keteladanan) dari lingkungan sekitar, dan tobat (kembali) kepada Allah
SWT setelah melakukan kesalahan. (MIAI FIAI UII2017)
19
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
20
Sementara metode dan alat pendidikan yang dapat digunakan menurut Ibn
Miskawaih adalah metode alami (tabi’i), nasihat dan tuntunan ancaman
hardikan pukulan dan hukuman, sanjungan dan pujian, serta mendidik
berdasarkan asasasas pendidikan.
21
DAFTAR PUSTAKA
MEDIA, 2013.
Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan etika Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu
Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan, Malang: UIN-
Malik, 2010, hlm.15.
22