Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

FAHAM-FAHAM DAN ALIRAN-ALIRAN


PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM YANG
BERKEMBANG DARI DULU HINGGA SEKARANG

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Muhammad Nursalim Azmi, M. Ag

Oleh:

Irhamina 20.11.20.0109.01840

Jamilah 20.11.20.0109.01843
Jihan Hayati 20.11.20.0109.01844
Mariathul Kiptiyah 20.11.20.0109.01856

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN (STIQ) AMUNTAI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
shalawat dan salam kita haturkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW beserta seluruh
keluarga, sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, dengan segala rahmat dan inayah-Nya makalah yang berjudul
“Faham-Faham dan Aliran-Aliran Pemikiran Pendidikan Islam yang
Berkembang dari Dulu Hingga Sekarang”, sebagai salah satu tugas pada mata
Filsafat Pendidikan Islam dalam program Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di
Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur`an dapat diselesaikan. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan
serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.
Penulis sangat menyadari, dalam penulisan makalah ini banyak sekali
menerima bantuan, baik tenaga maupun pikiran. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan tersebut, terutama kepada
Mu’allim Muhammad Nursalim Azmi, M. Ag yang telah banyak memberikan
bimbingan dan petunjuk serta koreksi dalam penulisan makalah ini, serta semua
pihak yang telah memberi bantuan, fasilitas, informasi, meminjamkan buku-buku
dan literatur-literatur yang penulis perlukan, sehingga makalah ini bisa
diselesaikan.
Akhirnya penulis harapkan kiranya makalah ini bermanfaat bagi kita semua
dan diberkahi oleh Allah SWT. Aamiin yaa rabbal ‘alamin.

Amuntai, 25 Februari 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
A. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam yang
Berkembang pada Periode Klasik ....................................................................... 6
B. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam yang
Berkembang pada Periode Modern ................................................................... 12
C. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam yang
Berkembang di Indonesia .................................................................................. 16
D. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam yang
Berkembang pada Periode Kontemporer .......................................................... 22
BAB III ................................................................................................................. 31
PENUTUP ............................................................................................................. 31
A. Kesimpulan ................................................................................................ 31
B. Kritik dan Saran ......................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah Pendidikan_Islam di Indonesia telah dimulai sejak
masuknya Islam ke Nusantara, para pedagang yang merangkap sebagai
mubaligh dan pendidik; ketika itu telah memperkenalkan ajaran Islam
kepada masyarakat pribumi. Pendidikan awal itu belum memiliki sarana dan
fasilitas, belum ada jadwal dan materi tertentu, lebih banyak dalam bentuk
pergaulan antara mubaligh/pendidik dan masyarakat sekitar. Setelah
masyarakat Muslim terbentuk, mulailah dibangun masjid sebagai tempat
ibadah dan pendidikan. Dengan demikian, tumbuhlah lembaga pendidikan
awal yakni masjid. Di masjid dilaksanakan aktivitas ibadah shalat dan juga
pendidikan Islam, memperkenalkan akidah dan ibadah serta belajar
membaca Al-Qur’an.
Oleh karena semakin banyaknya peserta didik, sesuai arus dinamika
perkembangan Islam, mulailah dibutuhkan lembaga pendidikan di luar
masjid. Maka, tumbuhlah lembaga pendidikan pesantren, menasah,
rangkang, dayah, dan surau. Lembaga pendidikan ini berkembang karena
dukungan masyarakat dan kerajaan Islam kala itu.
Masuknya ide-ide pembaruan pemikiran ke Indonesia pada awal
abad ke-20 yang dibawa oleh para pelajar Islam Indonesia yang pulang dari
Timur Tengah, maka mulailah era baru dalam pendidikan Islam, yakni
timbulnya dinamika dan perubahan pada lembaga pendidikan Islam. Pada
masa itu muncullah madrasah sebagai institusi yang memadukan antara
sistem pesantren dan sekolah, serta sistem pembelajarannya pun telah
berubah dari sistem tradisional menjuju sistem modern. Lembaga
pendidikan pesantren pun mengalami dinamika pula dengan munculnya
beberapa pesantren modern.

3
Setelah kemerdekaan Indonesia, tumbuhlah berbagai lembaga
pendidikan. Pendidikan merupakan sarana yang diciptakan untuk
membentuk manusia yang utuh. Tentunya sasaran dari pendidikan ini
adalah manusia. Pendidikan bermaksud menumbuh kembangkan potensi-
potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih untuk
menjadi manusia. Pendidikan selalu mengalami perkembangan, seiring
dengan perkembangan sosial budaya dan perkembangan Iptek.
Perkembangan pendidikan itu, mengakibatkan terbentuknya pemikiran-
pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan yang di sebut juga
dengan aliran-aliran pendidikan.
Pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung seperti
diskusi yang berkepanjangan, yaitu pemikiran-pemikiran terdahulu selalu
ditanggapi dengan pro dan kontra oleh pemikiran-pemikiran berikutnya.
Dari pemikiran-pemikiran tersebut terbentuk aliran-aliran baru yang
merupakan perkembangan dari aliran sebelumnya yang bertujuan untuk
membentuk suatu pola pikir manusia yang lebih baik dengan mengikuti
aliran-aliran dalam pendidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang pada periode klasik?
2. Apa saja faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang pada periode modern?
3. Apa saja faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang di Indonesia?
4. Apa saja faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran pendidikan Islam
yang berkembang pada periode kontemporer?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran
pendidikan Islam yang berkembang pada periode klasik.

4
2. Untuk mengetahui faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran
pendidikan Islam yang berkembang pada periode modern.
3. Untuk mengetahui faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran
pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia.
4. Untuk mengetahui faham-faham dan aliran-aliran tokoh pemikiran
pendidikan Islam yang berkembang pada periode kontemporer.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam


yang Berkembang pada Periode Klasik
1. Ibnu Khaldun
Tokoh ini mempunyai nama lengkap ‘Abd Al-Rahmân ibn
Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Al-Hasan ibn Jâbir ibn
Muhammad ibn Ibrâhîm ibn Khâlid ibn ‘Usmân ibn Hâni ibn Al-Khaththâb
ibn Kuraib ibn Ma‘dikarib ibn Al-Hâris ibn Wâil ibn Hujr. Dia pun sering
disebut dengan gelar (laqb) Walî al-dîn, sebuah gelar yang diberikan
kepadanya ketika memangku jabatan Hakim Agung di Mesir. Akan tetapi,
ia lebih populer dengan panggilan Ibnu Khaldun, yang dinisbatkan kepada
nama kakeknya yang kesembilan, yaitu Khâlid.1
Sebagai seorang filsuf Muslim, pemikiran Ibnu Khaldun sangatlah
rasional dan banyak berpegang kepada logika. Hal ini sangat dimungkinkan
karena Ibnu Khaldun pernah belajar filsafat pada masa mudanya. Banyak
pemikiran para filsuf sebelumnya telah memengaruhi pemikiran
filsafatnya.2
Ibnu Khaldun mengatakan, al ‘ilmu wa al-ta’lim tabi’iyyan fi al-
umran al-basyari. Pengetahuan dan pendidikan merupakan tuntutan alami
dari peradaban (al-umran) manusia. Ide tentang adanya hubungan antara
ilmu dan peradaban memunculkan suatu ide yang lain, yang merupakan
konsekuensi logisnya yaitu: al ‘ulum innama takastrat haisu yaksuru al
‘umran wa ta’adzama al-hadarah. Pengetahuan akan berkembang sesuai
dengan perkembangan peradaban.

1
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 191.
2
Suharto, 203.

6
Kalau diperhatikan hubungan pengetahuan dan peradaban dari
kedua ide Ibnu Khaldun tersebut, maka tampak jelas hubungan antara
pengetahuan dan peradaban adalah hubungan saling mempengaruhi.
Peradaban bisa menyebabkan peradaban maju, peradaban maju bisa
memicu peningkatan pengetahuan.3
Menurut Ibnu Khaldun, pertumbuhan pendidikan dan ilmu
pengetahuan dipengaruhi peradaban. Terjadinya perbedaan lapisan sosial
dalam masyarakat akibat hasil kecerdasan yang diproses melalui
pengajaran.
Menurut Ibnu Khaldun mengajarkan pengetahuan kepada anak didik
akan berhasil apabila dilakukan dengan bertahap, setapak demi setapak,
sedikit demi sedikit. Dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak
didik, Ibnu Khaldun menganjurkan kepada para guru agar mengajar dengan
menggunakan metode pembelajaran yang baik dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Ibnu Khaldun berpendapat, orang yang mendapat keahlian dalam
bidang tertentu jarang sekali ahli pada bidang lainnya. Hal ini lantaran sekali
seseorang menjadi ahli hingga keahliannya tersebut tertanam berurat
berakar dalam jiwanya sehingga ia tidak akan ahli lagi dalam bidang
lainnya, kecuali keahlian yang pertama tadi belum tetanam kuat dan
memberi corak pemikirannya. Alasannya karena keahlian merupakan sifat
atau corak jiwa yang tidak dapat tumbuh serempak.4
2. Muhammad Iqbal
Tokoh ini mempunyai nama lengkap dan biasa dipanggil dengan
sebutan Muhammad Iqbal. Ia lahir di Sialkot, kawasan Punjab pada 9
November 1877. Kawasan ini sebelum tahun 1947 masih termasuk wilayah
India. Kemudian setelah Pakistan menyatakan berpisah dari India pada 1947
sebagai negara merdeka, kawasan ini secara otomatis masuk dalam wilayah

3
Suharto, 177–178.
4
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan,
179–181.

7
Pakistan.746 Akan tetapi, oleh karena Muhammad Iqbal meninggal
sembilan tahun sebelum Pakistan menyatakan kemerdekaannya, banyak
para pemerhati Iqbal memasukkannya sebagai seorang pembaru dari India,
bukan Pakistan.5
Pemikiran muhammad Iqbal dalam pendidikan, menurut K.G.
Saiyidain dalam buku Iqbal’s Educational Philosophy mengemukakan
bahwa paling tidak ada delapan pandangan Iqbal tentang pendidikan dalam
rangka melaksanakan gagasan rekonstruksi pemikirannya. Kedelapan
pandangan ini sebagai berikut:6
a. Konsep individu
b. Pertumbuhan individu
c. Keseimbangan jasmani dan rohani
d. Pertautan individu dengan masyarakat
e. Kreativitas individu
f. Peran intelek dan intuisi
g. Pendidikan watak
h. Pendidikan social
Dengan delapan pandangan tentang pendidikan ini, kiranya dapat
dikatakan bahwa rekonstruksi pendidikan menurut Muhammad Iqbal
merupakan suatu upaya kreatif dalam memahami proses pendidikan secara
filosofis. Gagasan rekonstruksi pendidikan ini sebenarnya dilontarkan Iqbal
sebagai reaksi atas ketidakpuasannya terhadap totalitas peradaban India
khususnya, dan peradaban manusia pada umumnya. Muhammad Iqbal
memandang perlunya dilakukan rekonstruksi pendidikan karena telah
terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
yang dilakukan oleh sistem pendidikan yang ada.7

5
Suharto, 234.
6
Suharto, 240–242.
7
Suharto, 243.

8
3. Ibnu Sina
Ibnu Sina sebenarnya lebih dikenal sebagai seorang filosof
ketimbang pakar atau pemikir pendidikan. Namun, klasifikasi ilmu yang
tidak terlalu rigid saat itu menjadikan seorang filosof, termasuk Ibnu Sina,
mengetahui dan menguasai segala jenis ilmu secara excellent, antara lain
mengenai pendidikan. Konsep pendidikan Ibnu Sina, misalnya, dalam
banyak hal merupakan sintesis antara pemikiran Yunani (terutama
Aristoteles dan neo-Platonis) dan Islam, karena dia lahir dan dibesarkan
dalam sebuah tradisi berfilsafat yang sedang merebak di kalangan umat
Islam.8
Sebagai pemikir-intelektual independen, Ibnu Sina membangun
sendiri warna pemikiran filosofis-idealis yang bertitik-tumpu pada fondasi
yang dibangun para pendahulunya. Oleh sebab itu, di kalangan filosof Ibnu
Sina dikenal sebagai pembangun filsafat peripatetik (al-Hikmah al-Masy-
sy’iyah). Apakah mazhab pendidikan yang dianut Ibn Sina juga bertumpu
pada pemikiran filosofis-idealis? Jika menilik tujuan pendidikan yang
dirumuskan Ibn Sina, yaitu pengembangan seluruh potensi yang dimiliki
seseorang ke arah perkembangan yang sempurna, meliputi fisik, intelektual,
dan budi pekerti, tampaknya Ibn Sina berdiri di antara faktor dasar (potensi
yang dimiliki manusia sejak lahir, fitrah) dan ajar (pembinaan yang
dilakukan melalui pendidikan). Ini berarti, dalam pandangan Barat, Ibn Sina
mengikuti mazhab konvergensi. Selain itu, Ibnu Sina berpendapat, tujuan
pendidikan harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar
dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan
pekerjaan yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan dan
kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Juga diberikan pendidikan
keterampilan supaya tumbuh tenaga-tenaga profesional. Pandangan ini
tidak akan jelas tanpa mengaitkan dengan pandangannya mengenai hakikat
manusia (anak didik) dan materi kurikulum yang dirumuskan oleh Ibn Sina.

8
H. Abuddin Nata, SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM Pada Periode Klasik dan
Pertengahan, Cetakan ke-3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), 236–237.

9
Pandangan dasar Ibn Sina tentang manusia bertolak dari ke" duaan",
yaitu tubuh dan jiwa manusia sebagaimana pandangan filosof Yunani dan
diikuti oleh beberapa filosof lain. Karena mengakui dualitas ini, Ibn Sina
menghendaki:9 pertama, tujuan utama (ultimate goal) pendidikan adalah
lahirnya potensi insan kamil, yaitu manusia yang terbina seluruh potensi
dirinya secara seimbang dan menyeluruh. Kedua, tersedianya kurikulum
yang memungkinkan berkembangnya seluruh manusia, meliputi dimensi
fisik, intelektual, dan jiwa. Kurikulum, menurut Ibnu Sina lebih lanjut, harus
di dasarkan pada tingkat perkembangan usia anak didik.10
4. Ibn Miskawaih
Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai ahli etika ketimbang seorang
filosof. Sebagaimana filosof pendahulunya, Ibnu Miskawaih juga
menyebutkan bahwa jiwa manusia mempunyai tiga daya, yaitu daya
bernafsu (al-nafs al-bahimiyyah) sebagai daya terendah, daya kebinatangan
atau daya marah (al-nafs al-sabiliyyah) sebagai daya tengah, dan daya pikir
(al-nafs al-nathiqoh) sebagai daya tertinggi. Daya yang terakhir ini terdiri
dari dua bagian, yaitu akal teoretis (al-nadzary) dan praktis (al-'amali).
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa ketiga daya itu diperlukan
untuk kebahagiaan manusia. Namun jiwa11 itu harus dikontrol atau
dikendalikan agar mencapai keadaan jiwa yang seimbang (moderat,
wasatiyah). Dengan pemikiran inilah Ibnu Miskawaih mengaitkan daya-
daya ini dengan sifat-sifat keutamaan. Sifat hikmah (al-hikmah) adalah sifat
utama bagi daya berpikir (al-nafs al-nathiqah) dan ia lahir dari ilmu. Sifat
ini merupakan sifat tengah antara ekstrim minus (al-tafrith) dungu (al-
balah) dan ekstrim berlebihan (al-ifrath) lancang (al-safah). Keberanian
(al-saja'ah) adalah sifat ngahan antara takut/pengecut (a-jubn) dan nekat
(al-tahawwur) yang berasal dari al-nafs al-sabuiyah. Adapun al-nafs al-
bahimiyah akan melahirkan atau sepadan dengan sifat iffah (menerima apa

9
Nata, 237–239.
10
Nata, 240.
11
Nata, hal. 241.

10
adanya) yang merupakan sifat tengah antara rakus (al- syaraf dan tidak
punya keinginan apa-apa (al-khumud). Jika ketiga jenis sifat-sifat
keutamaan ini telah serasa dan sepadan, lahirlah sifat utama yang keempat,
yaitu adil (al-'adalah) yang merupakan sifat tengah antara mengalah (al-
jawr) dan aniaya (al-indhilam). Keempat sifat utama ini dikenal dengan
sebutan al-Fadha'il al-Arba'ah.12
5. Ikhwan Al-Shafa
Ikhwan Al-Shafa merupakan kelompok persaudaraan para filosof
dan pemikir yang diduga hidup di Basrah sekitar paruh kedua abad 4 H/10
M pada saat Baghdad berada di bawah pemerintahan Bani Buwaihi.
Gerakan ini bersifat rahasia dan memiliki pemikiran yang radikal.13
Kontribusi penting dari Ikhwan Al-Shafa untuk teori pendidikan
adalah konsep pendidikan dan pengajaran anak dan remaja. Menurut
Ikhwan, selama 4 tahun pertama dalam hidupnya seorang pelajar
memperoleh pengetahuan melalui indera (khawas) dan instink (garaizah).
Pendidikan konvensional dimulai di maktab atau sekolah dasar di bawah
bimbingan guru (mu'alim). Pendidikan remaja memperoleh perhatian utama
dalam konsepsi Ikhwan Al-Shafa. Karena itu, remaja harus dididik di level
yang lebih tinggi oleh seorang guru yang disebut ustad di lembaga yang
disebut majelis. Subjek yang diajarkan adalah 'ilm (dalam konteks filsafat
dan sains).14
Sebelum memperoleh pengajaran, akal ('aql bi al-quwwah, mind)
bukan fitrah seperti halnya pemikiran pendidikan biasanya karena Ikhwan
Al-Shafa konsen terhadap filsafat yang mengagungkan akal-dilukiskan
ibarat tabularasa, yaitu akal masih potensial (emanasi dari ‘aql bi al-kulli),
ibarat kertas yang putih bersih tanpa tulisan di atasnya. Bila sudah tertera
tulisan, ia sulit melukisnya atau mengganti dengan tulisan lain. Hubungan
yang bersifat fisik berhenti karena kematian, sedangkan hubungan spiritual

12
Nata, hal. 242.
13
Nata, hal. 247.
14
Nata, hal. 248.

11
tidak mengenal akhir karena jiwa tetap hidup meskipun raga telah mati.
Pada titik ini tampak Ikhwan Al-Shafa mempertimbangkan bahwa potensi
bawaan (dalam hal ini akal) terutama pada tahun-tahun awal kehidupan
manusia-kurang penting karena boleh jadi sudah tercemar dengan kondisi
lingkungan. Karena itu harus ada bentuk pengajaran lebih tinggi yang
diarahkan pada remaja dalam hubungan yang sifatnya spiri- tual. Dengan
pemahaman ini bisa disebut bahwa Ikhwan Al- Shafa menganut mazhab
spiritualis murni.15
Ikhwan Al-Shafa membagi kelompok be- lajar berdasarkan kategori
umur dan kualitas kebijaksanaan (wisdom) anggotanya.
a. Kelompok I dijuluki Ikhwan "yang saleh dan pengasih" (al-abrar al-
ruhama'). Berumur 15-29 tahun, dari kalangan prispengrajin (umur dan
asal seseorang bukan dalam kategori fisik dan apa yang ada di
masyarakat, tetapi representasi nap spiritualitas pada tingkat rendah).
b. Kelompok II disebut Ikhwan "yang religius dan terpelajar" (al-akhyar
al-fudhala'). Berumur 30-39 dari kalangan politisi.
c. Kelompok III disebut Ikhwan "yang mulia, terpelajar dan bijaksana (al-
fudhala' al-kiram). Berumur 40-50 dari ka- langan raja dan sultan
(bukan dalam pengertian negara, tetapi tingkat kesucian dan ketinggian
spiritualitas seseorang).16

B. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam


yang Berkembang pada Periode Modern
1. Muhammad Abduh
Tokoh ini mempunyai nama lengkap Muhammad Ibn Abduh ibn
Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab dipanggil dengan sebutan Muhammad
Abduh. Dia lahir pada 1266 H (1849 M) dari keluarga petani yang taat
beragama di Desa Mahallat Nashr,679 wilayah Buhairah, sebuah desa yang
terletak kurang lebih 15 km dari Damanhûr, Mesir. Ayahnya berasal dari
Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sedangkan ibunya berasal dari

15
Nata, hal. 249.
16
Nata, hal. 250.

12
keturunan Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku Umar Ibn Al-
Khaththâb.
Agenda-agenda pembaruannya tidak terlepas dari akar-akar
pemikiran Islam, sebagai sebuah sikap dan pandangan keberagamaan yang
dimilikinya. Muhammad Abduh telah menjadikan akar-akar itu sebagai ciri
khas pembaruannya. Berbagai persoalan kaum Muslim yang muncul
berkaitan dengan tantangan dunia modern telah dicarikan solusinya dan
didekati oleh Muhammad Abduh dengan perspektif agama. Inilah karakter
terkuat dari pembaruan yang dilakukan kaum Muslim pada masa yang
paling awal.17
Dari keempat agenda pembaruan Muhammad Abduh yaitu
purifikasi, reformasi, reformulasi dan pembelaan Islam. Masalah reformasi
pendidikan dan reformulasi hukum kiranya mendapat penekanan khusus
dari Muhammad Abduh. Dalam konteks ini, John L. Esposito menyebutkan
bahwa Muhammad Abduh adalah tokoh awal dalam pembaruan bidang
pendidikan dan hukum. Bagaimana pendidikan menurut Abduh? Rasyid
Ridla, murid Abduh, menuturkan bahwa pendidikan bagi Muhammad
Abduh bertujuan “mendidik akal dan jiwa serta mengembangkannya hingga
batas-batas yang memungkinkan anak didik mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat”.
Dari tujuan pendidikan di atas, Muhammad Abduh tampaknya
berkeinginan agar proses pendidikan dapat membentuk kepribadian Muslim
yang seimbang. Pendidikan baginya bukan hanya bertujuan
mengembangkan aspek kognitif (akal) semata, melainkan pula perlu
menyelaraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik
(keterampilan).18
Menurut Muhammad Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang
paling strategis untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial

17
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan,
215.
18
Suharto, 231.

13
secara sistematis. Gagasannya yang paling mendasar dalam sistem
pendidikan adalah bahwa ia sangat menentang sistem dualisme.
Menurutnya, dalam lembaga-lembaga pendidikan umum harus diajarkan
agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga pendidikan agama harus
diajarkan ilmu pengetahuan modern.19
Di sinilah kiranya letak urgensi pemikiran reformasi Muhammad
Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu
prinsip keseimbangan dalam pendidikan. Muhammad Abduh berusaha
menyeimbangkan antara aspek intelek dan aspek moral dalam sebuah sistem
pendidikan Islam. Dengan adanya prinsip keseimbangan dalam sistem
pendidikan Islam, menurut Muhammad Abduh, kaum Muslim diharapkan
dapat berpacu dengan Barat untuk menemukan ilmu pengetahuan baru dan
dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.20
2. Ikhwan al-Muslimin
Ikhwan al-Muslimun adalah sebuah gerakan Islam yang aktif
mempromosikan dan menerapkan ajaran agama berdasarkan Al-Qur'an dan
Sunah secara ketat dalam kehidupan umat. Organisasi ini didirikan tahun
1928 di Ismailiyah (Mesir) oleh Hasan Al-Banna. Menurut Dr. Muhammad
Sayyid Al-Wakil, Ikhwan al-Muslimin adalah gerakan yang memadukan
kehidupan keagamaan dengan kehidupan politik, menggabungkan antara
kondisi sosial dengan kondisi perekonomian, serta memformulasikan semua
itu secara modern.21
Keberhasilan organisasi ini dalam pandangan Yusuf Al-Qardhawy
didukung oleh lima faktor utama, yaitu:
a. Yang tak tergoyahkan bahwa pendidikan adalah satu-satunya jalan untuk
mengubah masyarakat, membentuk pemimpin dan mewujudkan cita-cita.
b. Rencana pendidikan yang mempunyai tujuan tertentu.

19
Muhammad Fauzi, “Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Di Mesir,” Jurnal
Tarbiyah 24, no. 2 (2017): 396.
20
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam Pendidikan,
233.
21
Haji Jalaluddin, FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DARI ZAMAN KE ZAMAN, Ed. 1
Cet. 2 (Depok: Rajawali Pers, 2019), hal. 107.

14
c. Suasana kebersamaan yang positif.
d. Pemimpin yang mendidik dengan bakat.
e. Pendidik yang ikhlas, kuat, dan tepercaya (Yusuf Al-Qardhawy: 11-12).22
Dalam bidang pendidikan, memang Ikhwan al-Muslimin memiliki
konsep khusus. Pendidikan Islam dalam pengertian dan penerapannya
menurut Ikhwan al-Muslimin mempunyai ciri-ciri khas. Intinya adalah
Ketuhanan. Tiang pendidikan berdasarkan Ketuhanan adalah hati yang
hidup yang berhubungan dengan Allah Swt., yakni meyakini pertemuan
dengan-Nya dan hisab-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan
siksa-Nya. Dengan demikian, pendidikan Ikhwan al- Muslimin bertujuan
menghidupkan hati supaya ia tidak mati, memperbaiki sehingga ia tidak
rusak dan menghaluskannya sehingga ia tidak menjadi kasar dan keras.23
Pada hakikatnya pendidikan Islam mementingkan keseluruhan
aspek- aspek ini dan berusaha mewujudkan secara utuh, mencakup akal dan
hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Pendidikan
Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam keadaan senang atau
susah, maupun dalam keadaan damai dan perang, serta menyiapkannya
untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya,
manis dan pahitnya. Pendidikan mesti menyatu dengan masyarakat, serta
kondisi sosio-kultural yang melatarbelakanginya.24
Pendidikan Islam menurut Ikhwan al-Muslimin selain berdasarkan
keimanan atau ketuhanan, lengkap dan menyeluruh, maka ciri yang penting
lainnya, yaitu bersifat positif dan membangun, serasi atau seimbang atau
pertengahan. Pendidikan tidak membolehkan tenggelam dan hancur
bersama masyarakat atau mengikuti dalam hal yang baik dan buruk, halal
dan haram atas nama "perkembangan" atau "perubahan" sebagaimana tema
yang menjadi sandaran penganjur "werstrenisasi" dan "pembaruan" di
negeri-negeri Islam. Pendidikan Islam harus diselamatkan dari pengaruh

22
Jalaluddin, hal. 109.
23
Jalaluddin, hal. 110.
24
Jalaluddin, hal. 112.

15
unsur-unsur kebudayaan sekular yang sama sekali tidak sejalan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis.25
Gaung dari pemikiran pendidikan Hasan Al-Banna dengan gerakan
pembaruannya melalui Ikhwan al-Muslimin menyebar ke berbagai wilayah
Islam. Karya-karya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional.
Sehubungan dengan itu cukup beralasan bila Dr. Muhammad Sayid Al-
Wakil menempatkan Ikhwan al-Muslimin sebagai "Pergerakan Islam
Terbesar Abad ke-14 Hijriyyah. "Menurutnya, pergerakan tersebut
merupakan gerakan Islam dengan perspektif yang komprehensif. Ikhwan al-
Muslimin adalah gerakan yang memadukan kehidupan keagamaan dengan
kehidupan politik, menggabungkan antara kondisi sosial dengan kondisi
perekonomian, serta memformulasikan semua itu secara modern.26

C. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam


yang Berkembang di Indonesia
1. K. H. Hasyim Asy'ari
K. H. Hasyim Asy'ari nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim
Asy'ari ibn 'Abd al-Wahid ibn 'Abd al-Halim. Beliau merupakan salah satu
tokoh pembaruan pendidikan islam di indonesia. Dalam hubungannya dengan
bidang pendidikan islam banyak aktivitas yang dilakukan anrtara lain:
a. Mengajar
Mengajar merupakan profesi yang ditekuni Hasyim Asy'ari dari sejak
kecil. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercaya oleh gurunya
mengajar santri-santri yang baru masuk. Bahkan, ketika di Makkah ia pun sudah
mengejar. Sepulang dari Makkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok
ayahnya, Pondok Nggedang.
b. Mendirikan Pesantren
Hasyim Asy'ari mendirikan pondok pesantren yang dikelolanya sendiri di
Desa Tebu Ireng, Jombang, Hasyim Asy'ari sengaja memilih lokasi yang

25
Jalaluddin, hal. 113.
26
Jalaluddin, hal. 115.

16
penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk Mulanya
pilihannya itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya Akan tetapi,
Hasyim Asy'ari meyakinkan mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak
ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Dengan
pertimbangan yang demikian itu, maka pada tahun 1899 berdirilah sebuah
pondok pesantren di Tebu Ireng. Bertahun-tahun lamanya Hasyim Asy'ari
membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan,
terutama dari masyarakat sekelilingnya. Namun pesantren tersebut terus,
berkembang dengan pesat. Santri yang semula hanya berjumlah 28 orang
kemudian bertambah terus dari tahun ke tahun sampai mencapai ribuan orang.
Mereka itu bukan hanya datang dan daerah yang dekat, melainkan juga dari
berbagai pelosok tanah air.
c. Mendirikan Organisasi
Hasyim Asy'ari melihat bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-
citanya termasuk dalam bidang pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa
organisasi. Untuk tujuan tersebut, maka pada tahun 1926 ia bersama dengan
KH. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya di Jawa Timur
mendirikan Jamiah Nahdatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya Kiai Hasyim
dipercaya memimpin organisasi itu sebagai Rais Akbar. Jabatan ini
dipegangnya dalam beberapa periode kepengurusan.
Pada tahun 1930, dalam Muktamar NU ke-3 Kiai Hasyim selaku Rais
Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU Pokok-
pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai ganun asasi Jamiah NU
(Undang-undang dasar Jamiah NU). Intisari dari qanun asasi itu mencakup: (1)
latar belakang berdirinya Jamiah NU, (2) hakikat dan jati diri Jamiah NU, (3)
potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU, (4) perlunya ulama
bersama (ijtima'), saling mengenal (za'aruf), rukun bersatu (ittihad), dan saling
mengasihi satu sama lain (ta alluf) di dalam satu wadah yang dinamakan NU,
dan (5) keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab
yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
d. Berjuang Melawan Belanda

17
Pada masa revolusi fisik melawan penjajahan Belanda, KH Hasyim
Asy'ari dikenal karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihad- ya
yang menggelorakan para santri dan masyarakat Islam. Ia mengajak mereka
untuk berjihad melawan penjajah dan menolak kerja sama dengan penjajah.
Demikian pula halnya di masa pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942,
tatkala penguasa Jepang menduduki Jombang, K.H.Hasyim Asy'ari ditangkap
dan dimasukkah ke dalam tahanan. Lalu diasingkan ke Mojo- kerto untuk
ditahan bersama-sama dengan serdadu-serdadu sekutu Berbulan-bulan ia
mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan
atas dirinya.
e. Aktif di Masyumi
Hasyim Asy'ari pernah menjabat Ketua Besar Masyumi ketika NU
menjadi anggota. Dalam suatu kesempatan pidato di hadapan ulama seluruh
Jawa pada tanggal 30 Juli 1946 di Bandung, Kiai Hasyim Asy'ari melontarkan
kritik tajam terhadap kekejaman Belanda dan mengimbau agar tetap waspada
terhadap politik bangsa Jepang. Kedua bangsa itu dicap kafir dan umat Islam
dilarang mempercayai orang-orang kafir Karena peran dan jasanya ini, nama
K.H. Hasyim Asy'ari diabadikan menjadi Universitas (1969) dalam lingkungan
Pondok Pesantren Tebu Ireng.27
2. Zakiah Darajat
Gagasan dan pemikiran Zakiah Darajat dalam bidang pendidikan Islam
meliputi hal sebagai berikut:
Pertama, hakikat pendidikan Islam. Menurut Zakiah Daradjat, hakikat
pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan Islam
sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja seperti segi akidah,
Ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya, bahkan lebih
luas daripada semua itu. Dengan kata lain pendidikan Islam memiliki perhatian

27
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Satu (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), 121–124.

18
yang lebih luas dari ketiga hal tersebut saja.28 Hal ini menjadi titik tekan
Zakiah, karena baik pendidikan nasional maupun pendidikan Islam pada
umumnya hanya memfokuskan pada salah satu aspek saja. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa pendidikan islam mencakup semua dimensi manusia
sebagaimana ditentukan oleh ajaran islam.
Kedua, Landasam Pendidikan. Sejalan dengan hakikat pendidikan
islam sebagaimana tersebut di atas, Zakiah berpendapat bahwa landasan
pendidikan islam adalah Alquran, Al-Sunnah dan ijtihad.
Menurut Zakiah Darajat, ajaran-ajaran yang berkaitan dengan
keimanan di dalam Alquran tidak sebanyak dengan ajaran yang menekankan
amal perbuatan. Hal ini menunjukkan bahwa amal dalam Islam amat
dipentingkan untuk dilaksanakan. Amal perbuatan yang berkaitan dengan
Tuhan, dengan diri sendiri, masyarakat dan alam lingkungan adalah termasuk
lingkungan aktivitas manusia. Istilah-istilah yang berbicarakan hubungan
manusia dengan Tuhan biasanya disebut ibadah. Sedangkan ajaran yang
menggambarkan hubungan manusia dengan selain Allah disebut Muamalah
dan tindakan yang menyangkut etika dan budi pekerti dan pergaulan biasanya
disebut akhlak.29
Dengan melihat kandungan Alquran yang demikian itu Alquran sebagai
kitab suci agama Islam harus dijadikan landasan dan sumber utama pendidikan
Islam. Selanjutnya Al Sunah sebagai landasan pendidikan yang kedua berisikan
aqidah dan Syariah. Sunah berisi petunjuk dan pedoman demi kemaslahatan
hidupnya dalam segala aspek dengan tujuan untuk membina umat manusia
seutuhnya atau seorang muslim yang beriman dan bertakwa.
Landasan pendidikan berikutnya adalah ijtihad. secara harfiah ijtihad
berarti usaha yang sungguh-sungguh dan sekuat tenaga. Sedangkan dalam ilmu
fiqih, ijtihad diartikan sebagai upaya mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan
kemampuan untuk menghasilkan keputusan-keputusan hukum berdasarkan

28
Zakiah Daradjat, “Interelasi Ilmu Pendidikan Islam dengan Disiplin ilmu-ilmu Lainnya,’’
dalam Ahmad Tafsir, Epistemologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:Fak Tarbiyah IAIN
Gunung Djati, 1995), 98-99.
29
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1078), hlm. 20.

19
petunjuk Alquran dan as-sunah. Dalam bidang pendidikan, ijtihad ditujukan
untuk mengikuti dan mengarahkan perkembangan zaman yang terus-menerus
berubah. Dengan demikian, praktek ijtihad harus berhubungan dengan hal-hal
yang secara langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi
dan situasi tertentu. Berbagai teori tentang pendidikan mau tidak mau harus
dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan umat Islam. Dengan adanya
ijtihad maka dinamika pendidikan Islam akan terus berkibar dan sejalan dengan
tantangan zaman.
Ketiga, tujuan Pendidikan Islam. Menurut Zakiah Daradjat, tujuan
dasar pendidikan Islam adalah membina manusia agar menjadi hamba Allah
yang Saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran, dan
perasaannya.30
Keempat, Lingkungan dan Tanggung Jawab Pendidikan. Menurut
Zakiah Daradjat terdapat tiga lingkungan yang bertanggung jawab dalam
mendidik anak. Ketiga lingkungan yang bertanggung jawab tersebut adalah
keluarga (kedua orang tua), sekolah (para guru), dan masyarakat (tokoh
masyarakat dan pemerintah).31
3. K. H. Ahmad Dahlan
K. H. Ahmad Dahlan adalah tokoh pembaru pendidikan Islam dari
jawa. Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad
Khan(tokoh pembaru Islam di India) mengenai pembentukan
kepribadian.Ahmad Dahlan menganggap bahwa pembentukan kepribadian
sebagai target penting dari tujuan-tujuan pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak
seorangpun dapat mencapai kebesaran di dunia ini dan di akhirat kecuali
mereka yang memiliki kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian
yang baik adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Alquran dan hadis.32
Selain itu, Ahmad Dahlan juga berpandangan bahwa pendidikan Harus
membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk

30
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam, op. cit, hlm. 35.
31
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), 71.
32
Suja’i, Muhammadiyah dan Pendirinya (Yogyakarta: Majelis Pustaka, 1989), 17.

20
mencapai kemajuan materiil. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa kemajuan
materiil merupakan prioritas Karena dengan cara itu kesejahteraan mereka
akan bisa sejajar dengan kaum kolonial.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana
tersebut di atas dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah
yang didirikannya Salah satu kegiatan atau program unggulan organisasi ini
adalah bidang pendidikan.
Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang
diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan
agama dan pada saat yang sama bisa memberikan mata pelajaran umum. Usaha
awal ini belum mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat seperti
tercermin pada sedikitnya jumlah siswa yang mendaftarkan diri di sekolah
tersebut. Ketika sekolah ini dibuka hnya ada 9 prang siswa yabg mendaftar.
Tanggapan yang kurang memuaskan dari masyarakat terhadap sekolah
dengan model baru ini tidak mengedarkan semangat Ahmad Dahlan. Ia tidak
segan-segan menjenguk anak-anak sampai ke rumahnya untuk mengajak
mereka masuk sekolah. Ahmad Dahlan juga meminta bantuan keuangan pada
anggota-anggota Budi Utomo. Usaha yang sungguh-sungguh Itu membuahkan
hasil seperti tergambar dalam jumlah murid yang menyikat menjadi 20 siswa
dalam waktu 6 bulan. Anggota-anggota Budi Utomo juga menyiapkan diri
untuk membantu dengan mendekati pemerintah untuk mendapatkan bantuan
keuangan. Pada tanggal 1 Desember 1911, sekolah tersebut diberi nama
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dan menjadi sekolah dasar pertama di
Yogyakarta yang memberikan pelajaran agama dan ilmu pengetahuan umum.33
Pendirian organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912
M atau 8 Dzulhijjah 1330 H. turut mempercepat pendirian sekolah-sekolah
baru dengan model yang baru ini. Perkembangan sekolah Muhammadiyah
mengalami "booming" setelah tahun 1921. Pada tahun itu pemerintah
mengeluarkan peraturan yang membolehkan pendirian cabang-cabang

33
Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, 104.

21
Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Mengikuti diberlakukannya peraturan ini
Muhammadiyah melakukan restrukturisasi organisasi, Di mana urusan-urusan
sekolah yang sebelumnya ditangani langsung oleh Ahmad Dahlan, kemudian
ditangani oleh Bagian Sekolah.34
Pandangan Ahmad Dahlan di bidang pendidikan dapat dilihat dari
kegiatan pendidikan Muhammadiyah. Muhammadiyah melanjutkan model
sekolah gubernemen di samping juga sekolah desa di kampung Ahmad Dahlan
sendiri. Selain mendirikan sekolah yang mengikuti model gubernemen, juga
didirikan sekolah yang lebih bersifat keagamaan, misalnya Madrasah Diniyah
di Minangkabau, dimaksudkan untuk mengganti dan memperbaiki pengajian
Al-Qur’an yang tradisional.
Abuddin Nata (1997) menyimpulkan ide yangdikemukakan oleh
Ahmad Dahlan adalah: a) memperbaharui dalam bidang pembentukan lembaga
pendidikan Islam yang semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah, b)
memasukkan mata pelajaran umum pada sekolah-sekolah agama atau
madrasah, c) mengadakan perubahan dalam metode pembelajaran dari metode
sorogan kepada metode yang lebih bervarisasi, d) mengajarkan sikap hidup
yang toleran dan terbuka, dan e) dengan organisasi Muhammadiyah
dikembangkan lembaga pendidikan yang lebih bervariasi dengan
memperkenalkan dan menerapkan manajemen modern dalam sistem
pendidikan.35

D. Faham-Faham dan Aliran-Aliran Tokoh Pemikiran Pendidikan Islam


yang Berkembang pada Periode Kontemporer
Dunia Islam telah sadar akan kelemahannya setelah jatuhnya Mesir ke
tangan Barat. Sehingga pada periode modern ditandai oleh kebangkitan umat
Islam. Peradaban baru yang lebih tinggi yang telah muncul di Barat juga
merupakan ancaman bagi dunia Islam. Dengan demikian pemikiran-pemikiran

34
Nata, 104.
35
Ahmad Syar’I, Filsafat Pendidikan Islam (Palangkaraya: CV Narasi Nara, t.t.), 190–191.

22
tentang pembaruan pendidikan Islam itu muncul semasa wilayah kekuasaan
Islam berada di bawah kekuasaan kolonial.
Namun pada periode kontemporer, Dunia Islam sudah berstatus sebagai
wilayah bebas dari kolonial Barat. Dunia Islam pecah dan membentuk negara
masing-masing yang mengacu kepada prinsip demokrasi Barat. Perubahan ini
memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangnya peradaban Barat yang
sekular. Akibatnya nilai-nilai ajaran Islam sebagai sistem nilai mulai tergeser
secara perlahan.36
Untuk menghadapi kondisi demikian, para pemikir pendidikan Islam
kembali muncul dengan gagasan-gagasan baru mereka. Namun pemikiran
tersebut terbatas pada ruang lingkup negara masing-masing. Di satu sisi,
wawasan pendidikan baru yang dinilai sesuai dengan kebutuhan peningkatan
kualitas umat Muslim diperlukan dunia Islam, dan juga mampu memenuhi
tuntutan zamannya. Namun upaya tersebut juga perlu didukung dan melibatkan
negara-negara Islam secara menyeluruh.37
Oleh karena itu, gaung dari ide pembaruan pemikiran dalam Islam,
khususnya yang berhubungan dengan pendidikan semakin meluas. Berbagai
pertemuan pakar pendidikan Islam antar negara dilangsungkan. Puncaknya
adalah penyelenggaraan Konferensi Pendidikan Islam sedunia.
Penyelenggaraannya telah berlangsung selama empat kali dan menghasilkan
berbagai kesepakatan dan rumusan tentang pendidikan Islam.
Pemikiran yang tidak jauh berbeda memang sudah pernah
dikemukakan oleh tokoh-tokoh intelektual Muslim di Periode Klasik. Seperti
Ibn Khaldun, Al-Ghazali, maupun tokoh-tokoh lainnya. Namun pemikiran
yang muncul dalam Konferensi Pendidikan Islam se-Dunia dikondisikan untuk
menghadapi perkembangan zaman modern, seperti yang sedang dihadapi dunia
pendidikan Islam ketika itu.

36
Jalaluddin, Filsafat Pendidikan Islam Dari Zaman Ke Zaman, dua (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2019), 225–226.
37
Jalaluddin, 226.

23
Tantangan yang paling mengemuka adalah pengaruh filsafat
pendidikan Barat yang sudah masuk dalam sistem pendidikan dunia Islam.
Dengan demikian, gagasan yang dimunculkan dalam konferensi tentang
pendidikan Islam tersebut dititikberatkan pada upaya untuk mengembalikan
sistem pendidikan Islam ke sumber filsafat pendidikan Islam secara murni.
Juga sekaligus menyesuaikannya dengan perkembangan zaman dan
kebutuhannya.
Tokoh-tokoh yang dinilai paling mengemuka dalam menyampaikan
gagasan-gagasan yang berisi pemikiran baru dalam pendidikan Islam di
antaranya adalah Syed Hussein Nassar, Isma'il Raj'i Al-Faruqi, maupun Syed
Muhammad Naquib Al-Attas. Masih banyak tokoh-tokoh pendidikan Muslim
yang juga memiliki ide cukup cemerlang. Namun dalam kesempatan ini
pembahasan hanya akan dititikberatkan pada pemikiran tiga tokoh saja, yaitu:38
1. Isma'il Raj'i al-Faruqi (1921-1986)
Al-Faruqi menyatakan suatu kenyataan sejarah yang sulit untuk
dipungkiri bahwa keadaan umat Islam sampai sekarang masih berada dalam
kondisi yang memprihatinkan. Walaupun umat Islam telah sejak dua abad
lampau memasuki abad modern dengan mengumandangkan pembaruan di
segala bidang, namun di segi pendidikan, umat Islam berada dalam keadaan
yang terburuk.
Kemerosotan kaum Muslimin dalam zaman kemunduran menyebabkan
kebodohan. Umat menjadi fanatik secara harfiah kepada syari'at dan
meninggalkan suatu sumber kreativitas yang telah mendapat tempat dalam
bentuk ijtihad. Masyarakat Muslim juga melihat kemajuan Barat dalam bidang
ekonomi sebagai sesuatu yang mengagumkan. Sehingga sebagian kaum
Muslimin yang tergoda oleh kemajuan Barat tersebut berupaya untuk
mengadakan reformasi dengan westrenisasi. Dan menyebabkan
menghancurkan umat Islam itu sendiri. Zaman kemunduran terjadi dalam
berbagai bidang kehidupan, namun masalah utama kaum Muslimin terjadi di

38
Jalaluddin, 227–28.

24
bidang pendidikan. Sehingga pendidikan juga yang akan menjawab segala
problema tersebut.39
Dewasa ini, dunia pendidikan Islam telah banyak dipengaruhi oleh
berbagai etika, hingga memberi dampak negatif terhadap sistem pendidikan
dan kehidupan umat Islam itu sendiri. Terjadi kemerosotan moral, serta terjadi
pergeseran sumber rujukan akhlak dari sumber yang Islami ke sumber-sumber
yang bukan Islam. Menurut pandangan Al- Faruqi, keadaan ini mempercepat
timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan dan kehidupan umat Islam.
Di satu sisi umat Islam telah mengenal peradaban Barat modern, tetapi
di sisi lain mereka kehilangan pedoman hidup yang bersumber dari moral
agama. Di sinilah Al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam bagaikan
berada di persimpangan jalan. Umat Islam selalu mengambil sikap mendua,
antara tradisi keislaman dan nilai-nilai Barat modern. Pandangan dualisme ini
menjadi sebab kemunduran yang dialami oleh umat Islam. Bahkan sudah
berada pada tingkat yang serius yang disebut oleh Al-Faruqi sebagai
malaisme.40
Gejala the lack of vision juga disebut oleh Al-Faruqi, yaitu kehilangan
yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.
Meskipun kaum Muslimin seperti para cendikiawan sudah menggunakan
sistem pendidikan sekular Barat, namun mereka tidak menghasilkan
sesuatupun yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Karena
pendidikan di Dunia Islam tidak memiliki wawasan. Menurut Al-Faruqi upaya
untuk menghilangkan gejala ini adalah melalui pendidikan. Al-Faruqi melihat
pentingnya untuk mengembalikan visi keislaman umat melalui jalur
pendidikan yang serasi dengan zaman dan agama, yang intinya adalah tauhid.
Sebagai filsafat dan pandangan hidup, tauhid memiliki implikasi dalam segala
aspek kehidupan manusia.
Usaha ke arah itu dalam pandangan Al-Faruqi yang optimis dapat
dilakukan dalam kaitannya dengan pembentukan umat melalui usaha yang

39
Jalaluddin, 230.
40
Jalaluddin, 231–232.

25
sungguh-sungguh. Salah satu usaha yang dapat ditempuh adalah konsep
Islamisasi ilmu pengetahuan. Dan dalam jalur tersebut pendidikan dapat
diperankan semaksimal mungkin.
Dapat disimpulkan inti dari pemikiran Al-faruqi adalah pembentukan
umat harus dilakukan sebagai langkah lanjutan dari peradaban yang sudah ada
dan yang sedang berjalan. Namun segala bentuk sistem nilai yang mendasari
peradaban itu harus ditambah dengan pandangan hidup umat Islam itu sendiri,
yaitu pandangan hidup yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Sunah.41
2. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin
Al-Attas dilahirkan tanggal 5 September 1931 di Bogor, Jawa Barat.
Pengalaman dan latar belakang pendidikan yang dimiliki beliau membawanya
sampai ke dunia pendidikan. Melalui kemampuan intelektualitasnya, Naquib
mencoba untuk menemukan solusinya terhadap masalah pendidikan Islam ini.
Mulai dari menelusuri konsep pendidikan Islam melalui pendekatan filsafat
pendidikan.42
Di buku Konsep Pendidikan Islam ia mempermasalahkan istilah- istilah
pendidikan yang digunakan sebagai konsep pendidikan di dunia Islam, yakni
tarbiyah. Beliau menilai penggunaan istilah tarbiyah untuk menggambarkan
pendidikan Islam terlalu dipaksakan. Pertama, dalam ensiklopedi bahasa Arab
tidak dijumpai penggunaan tarbiyah dalam pengertian pendidikan bagi
manusia. Kedua, Al-Qur'an menggunakan tarbiyah tidak untuk
menggambarkan faktor-faktor esensial pengetahuan dan intelektual. Ketiga,
pengertian tarbiyah bila dikonotasikan dengan pengetahuan hanya sebatas
kepemilikan ilmu pengetahuan, bukan proses penanamannya. Itulah tiga
argumen yang memperkuat kelemahan penggunaan tarbiyah menurutnya.
Menurut Naquib Al-Attas, tarbiyah tidak memberi pemahaman
pendidikan sesuai dengan perspektif Islam. Dan tidak mencerminkan
komponen inti dari pendidikan Islam yang sesungguhnya, yakni ilmu

41
Jalaluddin, 232–234.
42
Jalaluddin, 234.

26
pengetahuan dan intelektualitas. Beliau melihat kekeliruan pendidikan Islam
berawal dari penggunaan konsep dasar ini. Pemikiran Naquib Al-Attas juga
melangkah ke sistem pendidikan Islam. Al-Attas merangkum bahasannya
tentang beberapa aspek dalam sistem pendidikan Islam tersebut, antara lain
mengenai manusia, ilmu pengetahuan, dan universitas. 43
a. Sistem Pendidikan Islam
Naquib Al-Attas menggunakan amsal ketika menjelaskan tentang
manusia,. Menurutnya setiap manusia tak ubahnya sebuah miniatur kerajaan,
representasi mikrokosmos (alam shaghir) dari mikrokosmos (al-alam al-
kabir). Dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan adalah untuk menjadi
seorang manusia yang baik. Oleh karena itu sistem pendidikan dalam Islam
mestilah mencerminkan manusia, bukan negara. Perwujudan paling tinggi dan
paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Universitas
dirancang untuk mencerminkan universal. berpendapat, universitas modern
yang berdasarkan model-model Barat tidak mencerminkan manusia, melainkan
mencerminkan negara sekuler.
Hanya dalam Islam, dalam pribadi suci Nabi Saw. sajalah, Manusia
Universal atau sempurna itu ternyatakan. Karena itu konsep pendidikan Islam
hanya berkenan dengan manusia saja, maka perumusannya sebagai suatu
sistem harus mengambil model manusia sebagaimana tersempurnakan di
dalam pribadi suci Nabi Saw. Jadi universitas Islam itu mesti mencerminkan
Nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar, dan fungsinya adalah
untuk menghasilkan manusia, laki-laki dan perempuan yang mutunya sedekat
mungkin menyerupai Beliau. Rujukannya adalah sabda Rasul Allah saw. yang
terkait dengan pendidikan Beliau sendiri: "Tuhanku telah mendidikku, dan
dengan demikian menjadilah pendidikanku yang terbaik." 44
b. Pengetahun
Konsep pengetahuan yang dikemukakan oleh Naquib Al-Attas, juga
berawal dari pembahasan mengenal manusia. Manusia adalah jiwa sekaligus

43
Jalaluddin, 236–38.
44
Jalaluddin, 238–239.

27
jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan rohaniah. Sebagaimana manusia
memiliki dwi-sifat, demikian pulalah ilmu terdiri dari dua jenis. Pertama,
adalah berian Allah. Kedua, adalah ilmu capaian. Pada hakikatnya, dalam
Islam, semua ilmu datang dari Allah, tapi cara kedatangannya yaitu Aushul dan
washul serta fakultas- fakultas dan indra yang menerima dan menafsirkannya
berbeda.
Dalam konteks universal Naquib Al-Attas membuat pembagian
pengetahuan sebagai berikut:
1) Ilmu-ilmu agama (fardhu 'ain): yaitu Al-Qur'an, Al-Sunnah, Al-Syari'ah,
Teologi, Metafisika Islam, Ilmu-Ilmu Linguistik.
2) Ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis (fardhu kifayah), yaitu Ilmu-
ilmu kemanusiaan, Ilmu-ilmu alam, Ilmu-ilmu terapan dan Ilmu-ilmu
teknologi.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas juga menawarkan pemikiran
mengenai Islamisasi ilmu. Menurutnya Islamisasi ilmu mengandung arti
pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi
sekuler, dan dari makna-makna, serta ungkapan-ungkapan manusia-manusia
sekuler. Pemikiran Naquib Al-Attas ia terapkan dalam bentuk aktivitas
keilmuan di International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC) yang didirikan tahun 1987. Dia berjuang untuk menjadikan ISTAC
sebagai refleksi dari insan kamil. Tata fisik bangunan ISTAC betul-betul
menggambarkan seorang Muslim sejati.
Sebenarnya masih banyak pemikiran-pemikiran Syed Muhammad Naquib
Al-Attas yang berhubungan dengan pembaruan pendidikan Islam. Namun
gagasan tersebut tampaknya tersarikan dalam bukunya berjudul The Concept
of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education.45
3. Hasan Langgulung
Hasan Langgulung dilahirkan di Rappang, Sulawesi Selatan pada
tanggal 16 Oktober 1934. Hasan Langgulung memperoleh gelar Doktor (Ph.D.)

45
Jalaluddin, 239–241.

28
dalam bidang Psikologi Pendidikan dari University of Georgia, Amerika
Serikat. Sebagai seorang akademisi, Hasan Langgulung dikenal sebagai
penulis yang produktif. Lebih dari 60 artikel telah diterbitkan di berbagai jurnal
dalam dan luar. Sementara buku-buku tentang psikologi, pendidikan, filsafat
dan Islam berjumlah sekitar 14 buah.46
Pemikiran pendidikan Hasan Langgulung juga mengacu ke pendidikan
Islam menjelang abad ke-21 yaitu pandangan Islam terhadap masalah
pendidikan dan pembangunan. Mengenai hal ini ia mengungkapkan bahwa
pandangan Islam terhadap masalah ini terkandung dalam pandangan Universal
terhadap manusia sebagai yang akan dididik. Pandangan Islam terhadap
manusia bertolak dari prinsip tauhid kepada Allah Swt. yang memandang alam
jagat raya sebagai suatu sistem terpadu berdiri di atas keseimbangan roh dan
badan, agar manusia selamat dari pertikaian, perselisihan dan pertentangan.
Antara akal dan benda atau salah satunya mengatasi yang lain. Pendidikan
Islam itu harus diasaskan atas dasar pokok, yaitu bahwa manusia itu adalah
makhluk Allah dan diberi tugas untuk memikul amanah sedang makhluk-
makhluk lain tidak. la diperintahkan hidup di permukaan bumi sejalan dengan
ajaran Ilahi.47
Menurut Hasan Langgulung, sejalan dengan pemahaman yang
demikian itu maka pandangan Islam terhadap pendidikan adalah: Pertama,
generasi muda haruslah dididik menyembah Allah, menunaikan fardhu-fardhu
ibadah dan berpegang teguh terhadap segala tuntutannya sepanjang hidupnya.
Kedua, generasi muda harus dididik hidup dalam masyarakat yang sehat dan
mengakui prinsip persaudaraan, kerja sama, persamaan, partisipasi yang tegak
di atas hak dan kewajiban dalam rangka sistem jaminan sosial (takaful ijtima'i)
yang diakui oleh Islam. Ketiga, generasi muda baru harus dididik
menggunakan akal. Keempat, generasi baru haruslah dididik bersifat terbuka
kepada orang lain dan menjauhi sifat menyendiri dan tanpa berlebihan
menonjolkan diri. Kelima, generasi baru harus dididik menggunakan pemikiran

46
Jalaluddin, 241–242.
47
Jalaluddin, 254.

29
ilmiah dan menggunakan pencapaiannya itu dalam perencanaan dan
penyelidikan- penyelidikan.48
Hasan Langgulung terkesan begitu prihatin terhadap pengaruh
peradaban Barat terhadap masa depan umat Islam. Menurutnya pendidikan
Islam mesti mampu mempersiapkan generasi baru Muslim. Generasi baru yang
terdidik, memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, serta mampu
menjalankan syariat Islam dan memikul amanah.
Warisan nilai- nilai peradaban awal kebangkitan Islam, maupun zaman
klasik harus ditempatkan sebagai landasan pijak. Ia tampaknya begitu
menghargai karya- karya besar para pemikir Muslim zaman klasik ini, antara
lain al-Zarnuji. Menurutnya pemikiran al-Zarnuji ini memiliki landasan filsafat
yang kuat. Bagi mereka yang memahami aliran psikologi humanistik,
pemikiran al-Zarnuji dalam pendidikan harus diteroboskan menuju abad ke-21.
Di sini terlihat bahwa Hasan Langgulung memiliki strategi yang
berbeda dengan pemikiran rekan-rekannya, baik Isma'il Raj'i Al-Faruqi dan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Keduanya lebih cenderung memilih jalur
"Islamisasi ilmu pengetahuan." Peradaban Barat terlebih dahulu perlu dilandasi
nilai-nilai tauhid, dikembalikan ke paradigma wahyu. Sebaliknya Hasan
Langgulung dapat menerima peradaban Barat secara terbuka sebagaimana
adanya. Namun demikian umat Muslim, melalui generasi barunya juga harus
mampu memberi andilnya dari hasil kajian keilmuan, maupun kreativitas dan
inovasi teknologi yang dihasilkan. Peradaban baru dihasilkan dari perpaduan
dimaksud.49

48
Jalaluddin, 255.
49
Jalaluddin, 256–257.

30
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman terhadap berbagai aliran pendidikan memiliki arti yang
sangat penting. Ketika seorang pendidik hendak menangkap dari setiap
dinamika perkembangan pemikiran tentang pendidikan yang tengah terjadi
bagaimanapun juga aliran-aliran pendidikan pada dasarnya merupakan
gagasan dari para pemikir berpengaruh secara luas pada zamannya sehingga
tidak akan bisa terabaikan.
Penting dalam pendidik sebagai bekal bagi tenaga pendidik sehingga
memiliki wawasan historis yang lebih luas dan menambah ketajaman
analisis dalam mengaitkan keberadaan masa lampau dan masa sekarang
pada setiap aliran pendidikan memiliki pandangan yang berbeda dalam
memandang perkembangan manusia Hal ini berdasarkan faktor-faktor
dominan yang dijadikan sebagai dasar pijakan bagi perkembangan manusia.

B. Kritik dan Saran


Demikianlah makalah ini kami buat, semoga pembahasan dan
penjelasannya dapat dipahami oleh pembaca umumnya dan pemakalah
khususnya. Penulisan makalah mengenai tentang faham-faham dan aliran
aliran pemikiran pendidikan Islam yang berkembang dari dulu hingga
sekarang diharapkan dapat menambah ilmu serta wawasan pada pembaca
lebih jauh lagi. Penulis juga menyarankan agar pembaca lebih mendalami
tentang materi dari berbagai literatur lain, baik yang tersedia secara daring
maupun luring guna meningkatkan pengetahuan bagi para pembaca.
Penulis juga menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

31
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat, Zakiah. Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Mental. Jakarta:
Bulan Bintang, 1977.
Fauzi, Muhammad. “Tokoh-Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Di Mesir.” Jurnal
Tarbiyah 24, no. 2 (2017).
Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam Dari Zaman Ke Zaman. Dua. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2019.
Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Satu.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Nata, H. Abuddin. SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM Pada Periode Klasik dan
Pertengahan. Cetakan ke-3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam Menguatkan Epistemologi Islam dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014.
Suja’i. Muhammadiyah dan Pendirinya. Yogyakarta: Majelis Pustaka, 1989.
Syar’I, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Palangkaraya: CV Narasi Nara, t.t.

32

Anda mungkin juga menyukai