Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

“Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih”

Dosen Pengampu

Dr. Djeprin E. Hulawa, M.Ag.

Disusun Oleh:

1. Annisa Syukra Syawitri (12110220768)


2. Dina Febriyani Mahfiroh (12110220734)
3. Puspita Sari Ritonga (12110220801)
4. Salsabila Aulia (12110220808)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah Filafat pendidikan
Islam tentang “Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih”.

Adapun makalah “Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih” ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembutan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan,
baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu, saran dan kritik
sangat kami harapkan supaya kami dapat memperbaiki makalah ini dan menjadi pembelajaran di
masa yang akan datang.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga dari makalah Bahasa Indonesia tentang paragraf
ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap
pembacanya.

Pekanbaru, 13 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 2
A. Biografi Ibnu Miskawaih ..................................................................................................... 2
B. Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih ............................................................................... 4
C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih Dengan Pendidikan Masa
Sekarang ...................................................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 11
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 11
B. Saran .................................................................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara tentang pendidikan, kita tidak bisa lepas dengan para pemikir filsafat, karena
merekalah yang pertama kali memunculkan teori tentang kesadaran manusia untuk mengerti
dan memahami terhadap kehidupannya. Memang pada akhirnya banyak teori-teori
pendidikan yang bermunculan dari tokoh-tokoh yang bukan dari golongan filosuf, tetapi
kerangka berfikir yang digunakan tidak bisa dilepaskan dari kerangka berfikir filsafat. Maka
tidaklah heran apabila fisafat disebut sebagai induk Ilmu Pengetahuan.
Dalam hal ini para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktek
kependidikan (baca; Islam) harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia.
Pembicaraan diseputar persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam
pendidikan. Tanpa kejelasan tentang konsep ini pendidikan akan merabaraba. Bahkan
menurut Ali Ashraf, pendidikan Islam tidak akan dapat difahami secara jelas tanpa terlebih
dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan individu seutuhnya.
pendidikan islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk
membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial, untuk mengarahkan potensi
baik potensi dasar (fitrah) maupun ajar yang sesuai dengan fitahnya melalui proses
intelektual dan spritual berlandaskan nilai islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia
dan di akhirat.2 Dari uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa pemikiran muslim tentang
pendidikan islam tidaklah monotelik Pemikiran-pemikiran kependidikan yang diajukan para
tokoh klasik tidak menutup kemungkinan masih ada yang cocok dan perlu dilaksanakan. D i
tengah-tengah situasi dimana umat islam saat ini sedang mencari model pendidikan yang
unggul dan terpadu sebagai upaya menajwab kebutuhan masyarakat.
Tokoh yang akan kita kaji saat ini (Baca; Ibnu Miskawih ) adalah sosok yang mula-mula
berangkat dari pemikiran filsafat. Setelah masuk Islam akhirnya beliau melakukan kajian-
kajian pemikiran Islam, Namun demikian dalam kajian dan analisanya tentu beliau tetap
menggunakan filsafat sebagai landasan pemikirannya, tentunya kemudian dipadupadankan
dengan dasar-dasar islam sebagai bahan kajiannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Biografi Ibnu Miskawaih?


2. Bagaimana Konsep Pemikiran Pendidikan Islam Menurut Ibnu Miskawaih?
3. Bagaimana Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih Dengan Pendidikan
Masa Terkini?

C. Tujuan

4. Memaparkan biografi Ibnu Miskawaih


5. Menjelaskan konsep pemikiran pendidikan islam menurut Ibnu Miskawaih
6. Menjelaskan relevansi pemikiran pendidikan islam Ibnu Miskawaih dengan pendidikan
masa terkini

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Miskawaih

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub
ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/941 M dan wafat di
Asfhan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.1 Dari segi latar belakang
pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Bahwa dapat dijumpai keterangan,
bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi; mempelajari filsafat
dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib.
Dalam bidang pekerjaan tercatat bahwa pekerjaan utama Ibnu Miskawaih adalah
bendaharawan, sekretaris, pustakawan dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi.
Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu
Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibn Miskawaih juga dikenal
sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w. 310
H/923 M). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu
Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya
berupa buku dan artikel.2
Dalam Ensiklopedi Islam dikatakan, Ibnu Miskawaih adalah seorang ahli sejarah dan
filsafat. D isamping itu, ia juga seorang moralis, penyair serta ahli kimia.3
Yakut berkata bahwa ia pada mulanya beragama majusi kemudian memeluk Islam.
Tetapi barangkali hal ini benar bagi ayahnya karena miskawaih sendiri seperti yang tercermin
pada namanya ialah putera seorang muslim yang bernama Muhammad. Miskawaih
merupakan seorang yang mempelajari falsafah terlebih dahulu tidak dimulai dengan ilmu alat
lainnya berbeda dari kebiasaan para filosof lain.
Yang terdahulu dipelajari adalah mengenai masalah akhlak dan ilmu jiwa bukan logika
teori pengetahuan dan ilmu metodenya, tetapi beliau termasuk diantara tokoh pemikir yang
menguasai secara sempurna filsafat-filsafat dan ilmu-ilmu terdahulu.4
Miskawaih pada awalnya belajar sejarah terutama Tarikh at-Thabari kepada Abu Bakr
Ibnu Kamil al- Qadhi (350H/960M). Miskawaih juga banyak belajar ilmu-ilmu filsafat dari
Ibnu al-Khammar dan memperkenalkan karya-karya Aristoteles. Selain itu Miskawaih
menyerap ilmu kimia dari Abu al-Thayyib al Razi, seorang ahli kimia. Disiplin ilmunya
meliputi kedokteran, bahasa, sejarah, dan filsafat. Akan tetapi, dia populer sebagai seorang
filosof akhlak daripada filosof ketuhanan. Bisa jadi, hal ini dipicu oleh kekacauan masyarakat
pada masanya.5
Dilihat dari tahun lahir dan wafatnya, Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan
Bani Abbas yang berada di bawah pengaruh Bani Buwaih. Puncak prestasi atau zaman
keemasan kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masa ’Adhud Ad-Daulah yang berkuasa dari
tahun 367 hingga 372 H. Pada masa inilah Ibn Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk

1
Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam, (Khairo: Dar al-A’rif, 1945), h. 71
2
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 5
3
Majid Fakrhy, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 265
4
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Temanggung: D imas, 1993), h.47
5
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 127

2
menjadi bendaharawan dan pada masa ini jugalah Ibn Miskawaih muncul sebagai seorang
filosof, tabib, ilmuwan dan pujangga.6
Tetapi di samping itu, ada hal yang tidak menyenangkan hatinya, yaitu kemerosotan
moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah ia tertarik untuk menitik beratkan
perhatiannya pada bidang etika Islam. Setelah kematian Mu’izz, beliau telah dilantik menjadi
Ketua Perpustakaan. Ini telah membuka peluang kepada Ibnu Miskawaih untuk menambah
ilmu pengetahuan karena beliau berpeluang untuk membaca berbagai buku yang ditulis oleh
para ilmuan Islam dan Yunani. Beliau kemudian dilantik menjadi Ketua Pemegang Amanah
Khazanah yang bertanggungjawab menjaga perpustakaan Malik Adhdud Daulah.
Sehubungan dengan itu, hasil ketekunan dan kerajinan beliau dalam mencari ilmu
pengetahuan akhirnya memberi hasil yang bernilai kepadanya. Ibnu Maskawaih telah
berhasil membina dan membuktikan ketokohannya sebagai ilmuan yang mempunyai
pengetahuan yang luas dalam berbagai bidang.
Riwayat detail mengenai riwayat pendidikan Ibn Maskawaih tidak diketahui dengan
jelas. Maskawaih tidak menulis biografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak
memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun dalam
beberapa literatur dapat di temukan oleh penulis adalah sebagai berikut : Ia belajar sejarah,
terutama Tarikh At-Thabary, kepada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al Qaghi (350 H/960 M).
Ibn Al-Khammar, mufassir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-
ilmu filsafat. Maskawaih mengkaji alkimia bersama abu At-Thayyib ar-Razi, seorang ahli
alkimia.7
Ibn Miskawaih dikenal sebagai filosof etika dalam Islam. Karenanya, karya-karya yang
dihasilkan adalah kebanyakan bercerita masalah pendidikan, pengajaran, etika yang utama,
dan metode-metode yang baik semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya.8
a. Tahdzib al-akhlaq wa tathir al-a’ raq, sebuah kitab yang mendeskripsikan etika dan
filsafat sosial masyarakat terdahulu. Suatu bentuk pemilihan antara perilaku yang sesuai
dengan syari’at dan perilaku yang menyimpang, beberapa pengalaman hidup yang
dilaluinya, dan jalan metodologis kearah etika yang baik.
b. Kitab al-Sa’adah, sebuah kitab filsafat etika yang menjadi orientasi semua manusia.
Kitab ini disusun sebagai hadiah bagi ibn al-Amid.
c. Kitab Fauz al-Ashgr.
d. Kitab Jawidan khard, sebuah kitab Persia yang berisi tentang hikmah-hikmah dan sastra.
e. Tajarib al-umam, sebuah kitab sejarah.
f. Kitab Uns Al-Farid, sebuah kitab ringkasan yang didalamnya dibahas kisah-kisah, syair-
syair, hikmah-hikmah, dan perumpamaan-perumpamaan.
g. Kitab Al-Sayr, sebuah kitab sejarah perjalanan seseorang dan berbagai problematika
yang dihadapinya, serta dibubuhkan pula jalan keluarnya.

6
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan K eislaman: Seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi,
(Bandung: Mizan, 1993), h. 92
7
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Fiosof dan Filsafatnya, h. 128
8
Muhammad A thif A l-Iraqy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Khairo: Dar al-Ma’ rif, 1978), h.78

3
B. Pemikiran Pendidikan Ibnu Miskawaih
Pendidikan Ibnu Miskawaih lebih difokuskan pada pendidikan akhlak. Perihal tersebut
tertuang dalam bukunya Tandzibul Akhlaq wa Tahrir al-A’ raq yang artinya untuk mencapai
cita-cita hendaknya berbekal pribadi susila, berwatak yang lahir dari padanya perilaku-
perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia. Budi (jiwa atau watak), lahir pekerti (perilaku)
yang mulia.
Di sini terlihat dengan jelas, bahwa karena dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam
bidang etika Islam, maka konsep pendidikan yang dibangunnya pun lebih dominan tentang
pendidikan etika Islam. Ibnu Miskawaih menyebutkan bahwa akhlak merupakan kondisi jiwa
yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan perbuatan, baik berupa perbuatan
baik ataupun perbuatan yang bernilai tidak baik.9
Akhlak pada substansinya bersifat natural serta pembiasaan. Artinya akhlak manusia
pada hakikatnya dapat dibina melalui pembiasaan dan latihan atau melalui belajar. Maka dari
itu Ibnu Miskawaih sebenarnya merumuskan bahwa akhlak tidak hanya bersifat natural
(pembawaan sejak lahir) namun juga dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan ataupun
pembinaan dan pembiasaan.
Pendidikan akhlak menurut Ibnu Miskawaih diupayakan untuk mewujudkan batin yang
mendorong secara spontan guna melahirkan perbuatan atau perilaku yang baik. Sehingga
melalui akhlak yang baik ini manusia mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup.

1. Dasar Pendidikan
a. Syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar pendidikan.
Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor penentu
bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan
perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah),
dan keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan
penalaran yang akurat. Dengan demikian syariat agama merupakan landasan pokok
bagi pelaksanaan pendidikan yang merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karena itu, prinsip syariat harus diterapkan dalam proses pendidikan, yang meliputi
aspek hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia
dengan makhluk lainnya.
b. Psikologi, menurut Ibnu Miskawaih, antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa
erat kaitannya. Untuk menjadikan karakter yang baik, harus melalui
perekayasaan yang didasarkan pada pendidikan serta pengarahan yang sistematis. Itu
semua tidak akan tercapai kecuali dengan mengetahui jiwa lebih dahulu. Jika jiwa
dipergunakan dengan baik, maka manusia akan sampai kepada tujuan yang tertinggi
dan mulia serta akhlak mulia.10
Maka dari itu, jiwa merupakan landasan yang penting bagi pelaksanaan
pendidikan. Pendidikan tanpa pengetahuan psikologi laksana pekerjaan tanpa pijakan.
Dengan demikian teori psikologi perlu diaplikasikan dalam proses pendidikan. Dalam hal
ini Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada
pengetahuan psikologi.

9
Ibn Miskawaih , Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’ raq, (Beirut Mansyurat Dar Maktabah al-Haya), h.62
10
Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak menurut Ibnu Miskawaih, (Jakarta: IA IN Jakarta, 1996) h. 77-78

4
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan oleh Ibn Miskawaih adalah
terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan
semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan ini, maka Ahmad Abd Al-Hamid As-
sya’ir dan Muhammad Yusuf Musa11 menggolongkan Ibn Miskawaih sebagai filosof
yang bermazhab as-Sa’adah di bidang akhlak. As-Sa’adah memang merupakan
persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus bagi pendidikan
akhlak, makna as-Sa’adah sebagaimana dinyatakan M. Abd Hak Anshari tidak mungkin
dapat dicari padanan katanya dalam bahasa inggris walaupun secara umum diartikan
Happiness, menurutnya as-Sa’adah merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya
terkandung unsur kebahagiaan, kemakmuran, keberhasilan, kesempurnaan, kesenangan,
dan kecantikan.
Berdasarkan uraian diatas maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai
Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni mencakup kebahagiaan hidup
manusia dalam arti yang seluas-luasnya.

3. Materi Pendidikan
Pada materi pendidikan Ibn Miskawaih ditujukan agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi pendidikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan pendidikan.
Materi-materi yang dimaksud diabdikan pula sebagai bentuk pengabdian kepada Allah
SWT. Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dapat dipahami sebagai materi
pendidikan akhlaknya yaitu: hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, hal-hal
yang wajib bagi jiwa, dan hal-hal yang wajib bagi hubungannya.12
Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia antara lain
shalat, puasa dan sa’i. Selanjutnya, materi pendidikan ahklak yang wajib dipelajari bagi
kebutuhan jiwa dicontohkan oleh Ibn Miskawaih dengan pembahasan akidah yang
benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-Nya serta motivasi senang kepada
ilmu dan materi yang terkait dengan keperluan manusia dengan manusia dicontohkan
dengan materi ilmu Muammalat, perkawinan, saling menasehati, mempererat hubungan
silaturahim, saling membantu, saling mengingatkan, saling tolong menolong dalam
kebaikan, dan sebagainya. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih
memang terlihat mengarah kepada terciptanya manusia agar sebagai filosof. Oleh karena
itu, Ibn Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu yang dapat dipelajari agar
menjadi seorang filosuf. Ilmu tersebut ialah: matematika, logika dan ilmu kealaman.
Jadi, jika dianalisa dengan secara seksama, bahwa berbagai ilmu pendidikan yang
diajarkan Ibn Miskawaih dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan semata -
mata karena ilmu itu sendiri atau tujuan akademik tetapi kepada tujuan yang lebih pokok
yaitu akhlak yang mulia. Dengan kata lain setiap ilmu membawa misi akhlak yang mulia
dan bukan semata-mata ilmu. Semakin banyak dan tinggi ilmu seseorang maka akan
semakin tinggi pula akhlaknya.
Ibnu Miskawaih membagi ilmu kepada dua golongan: al-ulumul syarifah (ilmu-
ilmu yang mulia) dan al-ulumul radli’ah (ilmu-ilmu yang hina). Martabat suatu ilmu
sesuai dengan urutan martabat hakikat ilmu itu dalam alam ini, misalnya ilmu tentang
11
Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, (Khairo: Muassasat alKhanji, 1963), cet III h.111
12
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 52

5
manusia lebih mulia dari objek binatang, ilmu binatang lebih mulia dari tumbuh-
tumbuhan. Dari pemikiran Ibnu Miskawaih ini, bisa dipahami bahwa kecenderungan
Ibnu Miskawaih kepada ulumul ‘aqliyah, sebagai ilmu yang utama dipelajari karena
menunjang tercapainya kualitas manusia yang sempurna (Istighfarotur Rahmaniyah,
2010: 160).
Ibnu Miskawaih menyebutkan tiga hal yang dijadikan sebagai materi pendidikan
akhlak, yaitu: pertama, pendidikan yang wajib bagi kebutuhan jiwa. Kedua, pendidikan
yang wajib bagi kebutuhan tubuh. Ketiga, pendidikan yang wajib terkait dengan
hubungan manusia dengan sesamanya. Ketiga pokok materi ini dapat diperoleh dari
berbagai jenis ilmu. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi keperluan jiwa seperti
pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala kebesaran-
Nya dan pemberian motivasi untuk senang kepada ilmu (Suwito, 2004: 119). Ibnu
Miskawaih tidak membeda-bedakan antara materi dalam ilmu agama dan ilmu bukan
agama, dan hukum mempelajarinya. Ibnu Miskawaih tidak merinci materi pendidikan
yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia. Materi pendidikan akhlak yang wajib bagi
kebutuhan tubuh manusia disebut oleh Ibnu Miskawaih antara lain shalat, puasa, dan sa’i
(Suwito, 2004: 120).
Materi yang ada dalam berbagai ilmu tampak semata-mata untuk urusan dunia
seperti nahwu, mantiq, matematika, dan ilmu pasti lain, dipahami oleh Ibnu Miskawaih
sebagai upaya untuk memperbaiki akhlak manusia yang diarahkan kepada pengabdian
kepada Tuhan. Tampaknya cara semacam ini yang diinginkan oleh pakar Islam akhir-
akhir ini untuk mengislamisasi- kan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu
cara semacam ini pula yang didambakan oleh para ahli agar tidak ada dikotomi dalam
pendidikan.
Ruang lingkup akhlak yang dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran akhlak
bagi orang tua dan pendidik adalah sebagai berikut:
a. Akhlak kepada Allah, ada tiga macam yaitu kewajiban beribadah secara fisik,
kewajiban jiwa, dan kewajiban terhadap-Nya saat berinteraksi sosial, seperti saat
bermuamalah dan sebagainya. (Ibnu Miskawaih, 1329 H: 102).
b. Akhlak terhadap diri sendiri, yakni dengan memenuhi segala kebutuhan dirinya
sendiri, menghormati, menyayangi dan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Ibnu
Miskawaih memaparkan bahwa berakhlak baik dengan diri sendiri yakni dengan
menjaga kesehatan baik jasmani maupun rohani (Ibnu Miskawaih, 1329 H: 155).
c. Akhlak kepada sesama manusia, Ibnu Miskawaih mengatakan hubungan antara
sesama manusia hendaknya saling memuliakan, dengan bersikap adil ketika
memutuskan sesuatu dan sebagainya (Ibnu Miskawaih, 1329 H: 123).

4. Pendidik dan Anak Didik


Pendidik dan anak didik mendapat perhatian khusus dari Ibn Miskawaih.
Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang pertama bagi anak-anaknya
karena peran yang demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu
adanya hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta
kasih. Kecintaan anak didik terhadap gurunya menurut Ibn Miskawaih disamakan
kedudukannya dengan kecintaan hamba kepada Tuhannya, akan tetapi karena tidak ada

6
yang sanggup melakukannya, maka Ibn Miskawaih mendudukan cinta murid terhadap
gurunya berada diantara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.13
Seorang guru menurut Ibn Miskawaih dianggap lebih berperan dalam mendidik
kejiwaan muridnya dalam mencapai kejiwaan sejati. Guru sebagai orang yang
dimuliakan dan kebaikan yang diberikannya adalah kebaikan illahi. Dengan demikian
bahwa guru yang tidak mencapai derajat nabi, terutama dalam hal cinta kasih anak didik
terhadap pendidiknya, dinilai sama dengan seorang teman atau saudara, karena dari
mereka itu dapat juga diproleh ilmu dan adab.
Cinta murid terhadap guru biasa masih menempati posisi lebih tinggi daripada
cinta anak terhadap orang tua, akan tetapi tidak mencapai cinta murid terhadap guru
idealnya. Jadi posisi guru dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Adapun yang dimaksud guru biasa oleh Ibn Miskawaih adalah bukan dalam arti
guru formal karena jabatan, tetapi guru biasa memiliki berbagai persyaratan antara lain:
bisa dipercaya, pandai, dicintai, sejarah hidupnya tidak tercemar di masyarakat, dan
menjadi cermin atau panutan, dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang dididiknya.
Perlu hubungan cinta kasih antara guru dan murid dipandang demikian penting,
karena terkait dengan keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar
yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif
bagi keberhasilan pendidikan.

5. Metode Pendidikan
Metodologi Ibn Miskawaih sasarannya adalah perbaikan akhlak, metode ini
berkaitan dengan metode pendidikan akhlak. Ibn Miskawaih berpendirian bahwa
masalah perbaikan akhlak bukanlah merupakan bawaan atau warisan melainkan bahwa
akhlak seorang dapat diusahakan atau menerima perubahan yang diusahakan. Maka
usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan adanya cara-cara yang efektif yang
selanjutnya dikenal dengan istilah metodologi.14
Terdapat beberapa metode pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih,
di antaranya adalah:
a. Metode Alami
Menurut Ibnu Miskawaih, dalam pendidikan karakter dan dalam mengarahkannya
kepada kesempurnaan, pendidik harus menggunakan cara alami, yaitu berupa
menemukan bagian-bagian jiwa dalam diri peserta didik yang muncul lebih dulu,
kemudian mulai memperbaharuinya, baru selanjutnya pada bagian-bagian jiwa yang
muncul kemudian (Ibnu Miskawaih, 1329 H: 27). Dididik secara bertahap, cara ini
berangkat dari pengamatan potensi manusia dan mengikuti proses perkembangan
manusia secara alami. Dimana temukan potensi yang muncul lebih dahulu,
selanjutnya pendidikannya diupayakan sesuai dengan kebutuhan.

b. Metode Bimbingan
Metode ini penting untuk mengarahkan peserta didik kepada tujuan pendidikan
yang diharapkan yaitu mentaati syariat dan berbuat baik. Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa sasaran pendidikan ahklak adalah tiga bagian dari jiwa (Ibnu
13
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009) h.15.
14
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
Raja GrafindoPersada. 2003), h.149

7
Miskawaih, 1329 H: 13), yaitu bagian jiwa yang berkaitan dengan berfikir. Bagian
jiwa yang membuat manusia bisa marah, berani, ingin berkuasa, dan menginginkan
berbagai kehormatan dan jabatan; dan bagian jiwa yang membuat manusia memiliki
nafsu syahwat dan nafsu makan, minum dan berbagai kenikmatan indrawi.
Sementara itu, agama mempunyai peranan penting dalam pendidikan akhlak yaitu
menjadi pembatas atau pengingat ketika tiga fakultas tersebut berjalan tidak dengan
semestinya. Maka, bimbingan atau arahan dari orang tua untuk menunjukkan
batasan-batasan itu sangat diperlukan.

c. Metode Pembiasaan
Ibnu Miskawaih menawarkan metode efektif yang terfokus dalam mengubah
akhlak menjadi baik dengan dua pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan
pelatihan, serta peneladanan dan peniruan. Kalau tabiat-tabiat ini diabaikan dan
tidak didisiplinkan dan dikoreksi, maka dia bakal tumbuh berkembang mengikuti
tabiatnya, dan selama hidupnya kondisinya tidak akan berubah (Ibnu Miskawaih,
1329 H: 28). Pembiasaan dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan
berprilaku yang baik, sopan dan menghormati orang lain. Sedangkan pelatihan dapat
diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama keluarga seperti salat, puasa dan
latihan-latihan yang lainnya. Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang
yang dianggap sebagai panutan; baik orang tuanya, guru-gurunya, ataupun siapapun
yang layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter seperti itulah
sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa diabaikan begitu saja.

d. Metode Hukuman, Hardikan, dan Pukulan yang Ringan


Ibnu Miskawaih mengatakan dalam proses pembinaan akhlak adakalanya boleh
dicoba jalan dengan menghardik, hukuman, dan pukulan ringan. Tetapi metode ini
adalah jalan terakhir sebagai obat (ultimum remedium) jika jalan-jalan lainnya tidak
mempan. Ibnu Miskawaih percaya metode ini mampu membuat peserta didik untuk
tidak berani melakukan keburukan dan dengan sendirinya mereka akan menjadi
manusia yang baik. Hukuman tersebut semata-mata hanya untuk menakuti atau
memberi pelajaran supaya ketika seorang anak melakukan kesalahan, ia tidak akan
melakukan kesalahan lagi untuk yang kedua kalinya (Ibnu Miskawaih, 1329 H: 29).
Dengan metode ini, akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji
dengan jalan pendidikan (tarbiyah al-akhlaq) dan latihan-latihan. Pemikiran seperti
ini jelas sejalan dengan ajaran Islam secara eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini
dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki
akhlak manusia. Kebenaran ini jelas tidak dapat dibantah, sedangkan akhlak atau
sifat binatang saja bisa berubah dari liar menjadi jinak, apalagi manusia (Sirajuddin
Zar, 2007: 136).

6. Lingkungan Pendidikan
Ibn Miskawaih berpendapat bahwa usaha mencapai kebahagiaan (as-sa’adah)
tidak dapat dilakukan sendiri, tetapi harus bersama atas dasar saling menolong dan saling
melengkapi. Kondisi demikian akan tercipta apabila sesama manusia saling mencintai.
Setiap pribadi merasa bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan
yang lainnya. Jika tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat dicapai dengan

8
sempurna.15 Atas dasar itu, maka setiap induvidu mendapati posisi sebagai salah satu
anggota dari seluruh anggota badan. Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan
anggota-anggota badannya.
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa selama di alam ini, manusia memerlukan
kondisi yang baik di luar dirinya. Sebaik-baik orang adalah orang yang berbuat baik
terhadap keluarganya dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya, mulai dari
saudara, anak, kerabat, keturunan, rekanan, tetangga, hingga teman. Disamping itu,
tabi’at manusia adalah tabi’at memelihara diri, karena itu manusia selalu berusaha untuk
memperolehnya bersama dengan mahluk sejenisnya. Di antara cara untuk menempuhnya
adalah dengan saling bertemu, manfaat dari pertemuan diantaranya adalah akan
memperkuat aqidah yang benar dan kestabilan cinta sesamanya.
Kondisi di atas akan dapat tercipta bilamana situasi politik pemerintahan
mengizinkan. Kepala Negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk
menciptakannya. Karena itu, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa agama dan Negara
ibarat dua saudara yang saling melengkapi. Satu dengan lainnya saling
menyempurnakan. Cinta kasih kepala Negara (pemimpin) terhadap rakyatnya hendaknya
semisal cinta kasih orang tua terhadap anak-anaknya. Terhadap pemimpin yang
demikian, rakyat wajib mencintainya semisal cinta anak terhadap orang tuanya.
Ibnu Miskawaih tidak membicarakan lingkungan pendidikan keluarga, sekolah
dan masyarakat tetapi ia hanya membicarakan hal ini secara umum, yaitu dengan
membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari lingkungan
pemerintah yang menyangkut hubungan rakyat dan pemimpinnya, sampai lingkungan
keluarga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota lingkungan
lainnya.

C. Relevansi Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Miskawaih Dengan


Pendidikan Masa Sekarang
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari
dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa
adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan
yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan
Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap
budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral
merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri
manusia.
Ibnu Miskawaih bahwa dari segi peran dan fungsi manusia sebagai hamba Allah dan
khalifah Allah fi al-Ardh, pendidikan bertujuan untuk mendidik manusia agar mampu
menjalankan aktivitasnya dengan baik dan sempurna dengan jalan mujahadah, pengontrolan
diri, persahabatan, cinta, kebaikan, dan kebahagian agar tidak ada niat untuk merusak jagad
raya ini. Dengan demikian tampak jelas adanya relevansi pemikiran Ibnu Miskawaih tentang
manusia dan tujuan pendidikan. Ibnu Miskawaih mengharapakan konsep tersebut tidak
bersifat teoritis tetapi lebih kepada ranah praktis. Hal ini dibuktikan dengan konsep manusia
yang bersifat menyeluruh yakni mencari kebahagiaan hidup manusia dalam artian seluas-

15
M.M Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Penerbit Mizan, 1993), h. 39

9
luasnya. Adapun dalam konteks keidonesiaan, relevansi yang dikemukakan tersebut
sepertinya hanya bersifat teoritis, belum sampai pada tahap praktis sebagaimana yang
diharapakan. Sebab manusia dipandang secara sebagian dari keseluruhan pemahaman tentang
konsep manusia. Akibatnya tujuan pendidikan yang telah dirumuskan mengalami rintangan
dalam pencapaian. Hal ini tentu terjadi ketidak sesuaian antara konsep dan realita.
Ibnu Miskawaih membagi ilmu kepada dua golongan, di Indonesia dibagi kepada dua
bentuk, yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Ilmu agama ialah ilmu yang diwahyukan artinya
bersumber dari wahyu. Kategori ilmu agama ini seperti Al-Quran, qira’ah, hafalan qur’an,
tafsir, sunnah, sirah nabi, sahabat, ulama, akhlak, tauhid, hadits, ushul fiqh, fiqih, bahasa
Qur’an (nahwu, shorf, dan balaghoh), metafisika Islam, perbandingan agama, dan
kebudayaan Islam. Sementara ilmu umum dibagi dalam empat bagian: pertama, pengetahuan
imajinatif atau seni (arsitektur Islam, bahasa-bahasa). Kedua, pengetahuan intelektual
meliputi; pengetahuan sosial (kesusanteraan, filsafat, pendidikan, ekonomi, pengetahuan
politik, pandangan Islam terhadap politik, ekonomi, kehidupan sosial, perang dan damai, dan
lain-lain, kemudian, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi). Pengetahuan
kealaman meliputi; (filsafat sain, matematika, statistika, fisika, kimia, life sciences,
astronomi, pengetahuan tentang ruang angkasa, dan lain-lain). Ketiga, rekayasa dan
teknologi, kedokteran, pertanian, dan kehutanan. Keempat, pengetahuan praktis;
perdagangan, administrasi, perpustakaan, home sciences, komunikasi.
Oleh karena itu, pandangan Ibnu Miskawaih tentang ilmu dan klasifikasinya patut
dijadikan rujukan untuk pelaksanaan pendidikan karakter di Indonesia. Penggolongan ilmu
yang dilakukan oleh Ibnu Miskawaih terfokus kepada jiwa yang menjadikan sumber adanya
daya berfikir oleh manusia. Sebab, ilmu yang diperoleh manusia melalui daya berfikir yang
keberadaan ilmu tersebut bersumber dari kekuasaan pencipta Allah SWT. Sementara kiat
untuk memperoleh keberadaan ilmu itu diserahkan kepada manusia dan bergantung pada
kehendak-Nya. Perlu diketahui, untuk memperoleh kesempurnaan manusia dan segenap
potensialnya perlu mengejawantahkan potensi tersebut serta berusaha untuk
mempertahankannya.
Konsep pendidik dan peserta didik yang ditawarkan Ibnu Miskawaih tetap relevan untuk
dikaji dan dikembangkan dalam meningkatkan pendidikan akhlak atau karakter di Indonesia.
Pendidik yang berperan dalam mendidik jiwa peserta didik adalah orang tua untuk mencapai
kebahagiaan sejati. Pendidik akan mengajak, merangkul dan mengajarkan peserta didik
kebijaksanaan, berperilaku adil, mencintai kebaikan untuk mendapatkan kebahagiaan yang
abadi. Adapun yang diharapkan, adanya cinta yang tidak memiliki cacat dan terlepas dari
pengaruh kematerian, cinta yang dimaksud adalah cinta Ilahi.
Peserta didik harus memiliki kesadaran bahwa ilmu yang dituntut adalah karunia Allah
semata, rajin menuntut ilmu, selalu optimis, dan tidak mengandalkan kekuatan berfikir atau
logika. Pandangan seperti ini menunjukkan bahwa peserta didik diharapkan tidak hanya
cerdas intelektual semata, tetapi cerdas emosional, spiritual, dan yang terpenting cerdas
religius sehingga jadilah peserta didik yang saleh, tekun dan kedudukannya memperoleh
kebahagiaan yang sempurna lagi hakiki.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ibnu Miskawaih adalah seorang filsuf muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika
islam. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu
Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/941 M dan wafat di Asfhan
pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Sebelum Ibnu Miskawaih memeluk agama
Islam pada mulanya ia beragama majusi kemudian memeluk Islam.
Dari berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya, Ibn Miskawaih memberikan perhatian
besar kepada masalah akhlak sehingga ia dikenal sebagai seorang pemikir muslim dalam
bidang ini. Sebagai bukti atas kebesarannya itu, ia telah menulis banyak buku. Pemikiran
Ibnu Miskawaih dalam pendidikan tidak dapat dilepaskan dari konsepnya tentang manusia
dan akhlak.
Menurut Ibnu Miskawaih, pendidikan yang sistematis dapat dilaksanakan apabila didasari
dengan pengetahuan mengenai jiwa yang benar. Oleh karena itu pengetahuan tentang jiwa
adalah sangat penting sekali dalam proses pendidikan. Kajian mengenai konsep pendidikan
yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih, diharapkan mampu menguak konsep pendidikan
Islam dalam skala khusus, terutama pendidikan akhlak yang dirasa penting, karena setiap
budaya memiliki norma etika atau tata susila yang harus dipatuhi. Oleh karena itu, moral
merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, yang hanya terdapat pada diri
manusia.

B. Saran

Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari banyaknya kekurangan dalam
penyusunannya yang disebabkan karena keterbatasan kemampuan kami. Maka dari itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari bapak dosen maupun dari pembaca agar
makalah ini lebih mendekati kesempurnaan. Semoga penyusunan makalah ini mendapat
ridho dari Allah SWT.

11
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.


Bagir, Haidar. 2005. Filsafat Islam, Filsafat Islam, Bandung: Mizan.
Basyir, Ahmad Azhar. 1993. Refleksi atas Persoalan Keislaman: Seputar filsafat, hukum,
politik dan ekonomi, Bandung: Mizan.
Dasoeki, Thawil Akhyar. 1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, Temanggung: Dimas.
Daudy, Ahmad. 1986. Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Fakrhy, Maji. 1986. Sejarah Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Jaya.
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam; Kajian Teoritis dan pemikiran Tokoh,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ibn Miskawaih. Tahzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’ raq, Beirut Mansyurat Dar Maktabah
al-Haya.
Kholiq,Abdul. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, Semarang: Pustaka Pelajar Offset.
Mahmud. 2011. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Musa, Muhammad Yusuf. 1945. Filsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Khairo: Dar al-A’rif.
Mustafa, A. 2009. Filsafat Islam, Bandung: Pusataka Setia.
Nata, Abuddin. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

12

Anda mungkin juga menyukai