Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
1. Liya Hidayah (012010142)
2. Pirdi Apandi (012010136)
3. Uswatun khasanah (012010120)
Lamongan, 17 November
2021
Penulis
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................. 14
B. Saran ............................................................................................ 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses dari peberdayaan potensi dalam diri manusia serta
pengembangan intelektualitas pemikiran. Dengan pendidikan diharapkan tumbuh
generasi-generasi penerus yang berkarakter Islami. Banyak faktor yang bisa
mempengaruhi dalam pendidikan terhadap manusia, diantaranya faktor keluarga,
faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor teman dan faktor politik. Bahkan faktor
dari bawaan masing-masing pribadi manusia/potensi bawaan (fitrah, bakat) yang
bersangkutan juga sangat mempengaruhi. Sehingga bisa saja terjadi dua anak dari
keluarga dan keturunan yang sama, dibesarkan dan didik dalam lingkungan dan
lembaga yang sama, dalam waktu dan guru yang sama namun akan menjadi
generasi yang berbeda.
Mengenai konsep pendidikan terhadap manusia, banyak sekali rumusan pemikiran
para cendikiawan, baik cendikiawan muslim maupun non muslim. Rumusan
konsep tersebut sangat beragam, namun tidak semuanya berbeda. Makalah ini
menjelaskan tentang pemikiran pendidikan dari tokoh muslim terkemuka Ibnu
Maskawaih, pemikiran Ibnu Khaldun dan pemikiran Ikhwan Shafa. Selain tentang
pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun dan pemikiran Ikhwan al-Shafa akan
disinggung mengenai riwayat hidup yang melatar belakangi hasil pemikirannya
dan karya-karya hasil pemikiran.
Meskipun tiga tokoh pemikiran ini mempunyai latar belakang kehidupan yang
berbeda, namun hasil pemikirannya mempunyai banyak kesamaan, hususnya
dalam bidang pendidikan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan bagaimana pendidikan Islam menurut Ibnu Makawaih
2. Jelaskan bagaimana pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun
3. Jelaskan bagaimana pendidikan Islam menurut Ikhwan Al Safa
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pendidikan Islam prespektif Ibnu Maskawaih
2. Memahami pendidikan Islam prespektif Ibnu Khaldun.
3. Menjelaskan pendidikan Iskam prespektif Ikhwan Al Safa
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 56.
5
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu dan ia berfungsi sebagai
pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih ada 2
yaitu;
b. Tujuan Pendidikan
6
c. Pendidik dan Peserta didik
7
tertentu, ia akan tumbuh bersama dengan gambar tersebut, dan terbiasa
dengannya.
d. Fungsi pendidikan
e. Materi pendidikan
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan dengan tegas materi apa yang harus
diajarkan kepada peserta didik. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa ia
8
menekankan materi pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi terciptanya akhlak
mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta esensinya.
Mengenai urutan yang harus diajarkan pada peserta didik, yang pertama
sekali adalah kewajiban-kewajiban syariat, sehingga peserta didik terbiasa.
Kemudian,materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas
terpuji merasuk dalam dirinya, dan terbiasa dengan perkataan yang benar dan
argumentasi yang tepat.Kemudian,meningkat setahap demi setahap pada materi
ilmu lainnya sehingga subjek didik mencapai tingkat kesempurnaan.
2
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa,
Surabaya: Bina Ilmu, 1985, h. 415.
9
berpikiran mendalam, cermat dan cepat tanggap, serta mampu dalam memerintah
dan mengintisarikan perundang-undangan.
Ibnu Khaldun adalah seorang penulis, karya tulis Ibnu Khaldun telah banyak
macamnya antara lain adalah Ilmu Mantiq, Ringkasan Filsafat Ibnu Rusyd, juga
mengarang tentang Fiqih, Kesusasteraan Arab dan Ilmu Hitung. Tetapi yang
sampai kepada kita hanyalah sebuah karangan termasyhur yang telah kita kenal
yaitu kitab tentang ungkapan dan perantara dasar dari masyarakat Arab dan non
Arab, Barbar serta pemegang kekuasaan besar pada masanya. Ibnu Khaldun
menulis sebuah karangan tentang sejarah perjalanan hidupnya sendiri dengan
judul At-Ta’rif Bil Ibnu Khaldun Warihiatun Gharban Wa Syarqan (perjalanan
Ibnu Khaldun di negara Maghrib dan timur). Juz pertama dikenal dengan
Muqaddimah yang menjadikan Ibnu Khaldun terkenal baik dikalangan para
ilmuwan timur dan barat.3
Ibnu Khaldun membagi kitab Muqaddimahnya yang terkenal itu menjadi bagian
yang membahas tentang Ilmu Sejarah yang terdiri dari 6 pasal, yaitu:
1) Membahas tentang kehidupan manusia menurut jumlah dan jenis serta
penyebarannya di bumi
2) Tentang kehidupan orang Badui dan kabilahnya dan bangsa primitive
3) Tentang negara dan kerajaan serta disebutkan pula tentang tingkat
kekuasaannya
4) Tentang kehidupan peradaban, kota dan tempat tinggal
5) Tentang pekerjaan penghidupan, karya hasil usaha beserta segi-segi
6) Tentang ilmu pengetahuan dan cara memperolehnya.
Ibnu khaldun telah banyak menghasilkan karya tulis dalam berbagai bidang,
namun meskipun banyak karya yang telah dihasilkan oleh Ibnu Khaldun justru
ketenarannya bukan dengan Kitab Al-Bar atau dengan yang lainnya, tetapi Ibnu
Khaldun banyak dikenal oleh para ilmuwan dengan adanya Kitab
Muqaddimahnya, karena seluruh bangunan teorinya tentang Ilmu Sosial,
Kebudayaan dan Sejarah termuat dalam Al-Muqaddimah, Kitab Al-Bar hanya
merupakan bukti empiris historis dari teori yang telah dikembangkan.4
3
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h.193
4
Ahmad Syafii Maarif, Iibnuu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996, h.49.
10
kemampuannya itu dapat mengatur tindakan secara tertib, inilah akal pembeda.
Atau kalau kemampuannya itu membantunya untuk memperoleh pengetahuan
tentang ide atau hal-hal yang bermanfaat atau merusak baginya, inilah yang
disebut akal eksperimental. Atau kalau kemampuan itu membantunya
memperoleh persepsi tentang sesuatu yang mewujudkan sebagaimana adanya baik
yang gaib ataupun yang nampak.5
Kemampuan manusia untuk berfikir baru memperoleh setelah sifat
kebinatangannya mencapai kesempurnaan didalam dirinya. Itu dimulai dari
kemampuan membedakan (tamyiz). Sebelum manusia tamyiz, dia sama sekali
tidak memiliki pengetahuan dan dianggap sebagian dari binatang. Asal usul
manusia diciptakan dari setetes air mani (sperma), segumpal darah, sekerat daging
dan masih ditentukan rupa dan mentalnya. Adapun yang dicapai sesudah itu
adalah merupakan akibat dari persepsi sensual dan kemampuan berfikir yang
dianugerahkan Allah kepadanya.
Pada kondisinya semula sebelum mencapai tamyiz, manusia adalah materi
seluruhnya karena ia tidak mengetahui semua pengetahuan yang dicari melalui
organ tubuhnya sendiri. Maka kemanusiaannya pun mencapai kesempurnaan
eksistensinya.6 Ibnu khaldun juga berpendapat bahwa dari balik upayanya untuk
mencapai ilmu itu, manusia bertujuan dapat mengerti tentang berbagai aspek
pengetahuan yang dia pandang sebagai alat yang membantunya untuk bisa hidup
dengan baik didalam masyarakat maju dan berbudaya. Yang sejalan dengan
pandangan Ibnu Khaldun adalah Herbert Spencer. Spencer berpendapat bahwa
pendidikan harus membantu individu agar dapat “hidup baik” yang dicantumkan
dalam kurikulumnya yang terkenal itu. Dia lebih mengutamakan ilmu dariapda
aspek pengetahuan yang lain. Dia mengatakan bahwa kurikulumnya ini menjamin
tercapai tujuan.
5
Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Terjemah), Jakarta: Amadie Thoha Pustaka Firdaus, 1986, h.531.
6
11
hendaknya mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan. Seorang pendidik
tidak dibenarkan memberi ilmu pengetahuan yang tidak benar dan
bersikap kasar terhadap peserta didik, sebab jika ini terjadi pengaruhnya
terhadap peserta didik sangat tidak baik. Peserta didik merasa dirinya
diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pendidik dan pada khirnya
mereka akan terganggu perkembangan pola pikirnya.
2. Adanya pengaruh Filsafat Sosiologis, sebagaimana diketahui bahwa
pengaruh filsafat dalam dunia pendidikan sangatlah penting, sebab dengan
dasar filsafat maka esensi dari pendidikan akan tercapai. Filsafat sosiologis
sendiri mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan, tak bisa
dipungkiri bahwa dalam memperoleh dan proses akhir dari pendidikan itu
sendiri adanya korelasi baik antara masyarakat (kebutuhan) dengan ilmu
pengetahuan, artinya dalam mencari ilmu pengetahuan dan
mempelajarinya hendaknya sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat, kita tak mencari ilmu jika pada kenyataannya ilmu tersebut
tidak dibutuhkan oleh masyaraakat apalagi pada zaman sekarang yang
semuanya berkaitan dengan teknologi,
3. Perencanaan ilmu pengetahuan, kiranya menjadi salah satu faktor penting
dan ada keterkaitan dengan faktor pertama, karena bila dunia pendidikan
tegasnya sekolah maupun perguruan tinggi tidak
menyiapkan/merencanakan ilmu pengetahuan apa yang akan diajarkan
kepada peserta didik, maka yang terjadi ketidakjelasan mau dibawa
kemana peserta didik tersebut, dan pada akhirnya perkembangan
masyarakat menjadi stagnan. Disini menurut penulis menjadi titik lemah
pada instansi pendidikan saat ini, dunia pendidikan Islam belum mampu
membuat satu perencanaan yang matang tentang ilmu pengetahuan
terhadap peserta didik dan menjadi kebutuhan masyarakat dewasa ini
4. Pendidikan sebagai aktifitas akal insani sendiri, menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari dua point diatas, dunia pendidikan (sekolah/perguruan
tinggi) hendaknya tidak bersifat memberi ilmu tapi harus mampu
merangsang dan menumbuhkan aktifitas akal peserta didik. Dengan
demikian, peserta tidak duduk dan mendengarkan saja tapi mereka akan
befikir dengan akal/otak) tentang apa yang diberikan oleh pendidik dan
akhirnya peserta dengan akalnya akan melahirkan hakikat baru dalam ilmu
pendidikan. Dari tujuan pendidikannya itu Ibnu Khaldun memegang
bahwa Alqur’an dan Sunnah sebagai sumber dari segala isi pendidikan
yang harus diberikan kepada anak didik. Sehingga dengan demikian
12
keluarganya akan mejadi orang berkualitas dari segala bidang baik dari
ilmu duniwi maupun ukhrowi.
Dari tujuan pendidikannya itu Ibnu Khaldun memegang bahwa Alqur’an dan
Sunnah sebagai sumber dari segala isi pendidikan yang harus diberikan kepada
anak didik. Sehingga dengan demikian keluarganya akan mejadi orang berkualitas
dari segala bidang baik dari ilmu duniwi maupun ukhrowi. Sangat tepat sekali
seandainya kita merealisasikan tujuan yang telah ada dan ini telah lama
dikumandangkan sejak zamannya hingga sekarang. Penulis menganggap tujuan
pendidikan menurut Ibnu Khaldun ini akan tetap menjadi rujukan yang sesuai
dengan masa mendatang.
Dengan merealisasikan tujuan pendiidkan tersebut tentu akan menghasilkan
keluarga sebagimana diharapkan bagaimana anak didik itu dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat
menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tuntutan zaman, karena anak didik
telah menjadi berfikir kreatif, berwawasan luas, dinamis, dan inovatif serta
tertanamnya rasa kemadirian yang kuat.
Ikhwan Shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim yang sekitar abad
ke-4 H/10 M di Bashrah.7 Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al
wafa’, ahl ‘adl dan abna’ al Hamd. Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi
ini ialah Ahmad Ibnu Abdillah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr Al Busti
yang terkenal dengan sebutan Al Muqaddasi, Zaid Ibnu Rifa’ah dan Abu
Al-Hasan Ali Ibnu Harun Al Zanjany.
7
Muhammad ‘athif Al-Iraqy, al Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al Ma’arif, 1978), hlm.29.
13
dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dari sekte sunni. Maka kaum rasionalis
dicopot dari jabatan pemerintahan dan diusir dari baghdad. Ikhwan Shafa adalah
sekelompok tokoh pemikir yang hidup dalam lingkungan yang tidak bersahabat
dengan fahamnya. Sehingga rasa tertekan itu membuatnya prihatin dan menjadi
motifasi besar untuk berfikir mendapatkan solusi keluar dari jeratan tersebut dan
berusaha menyadarkan masyarakat bisa berfikir sefaham dengannya.
8
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. 2005.hlm
232
14
● Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang
kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.
● Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh
indera.
● Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan
al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin
agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi,
dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir
bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman
Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri.
Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu
harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang
terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam
pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena
adanya kiriman dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan
panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan. Meskipun lebih
menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi
menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai
sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan
pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama. Karena itu juga
Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah
markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran
idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang
dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan
ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide. Aliran
idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa. Aliran Ikhwan al Safa lebih
dekat dengan aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran ini menilai
bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam
nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan
cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang
dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia itu jenis binatang dan bahwa
Allah SWT telah membedakannya dengan binatang karena kemampuan manusia
untuk berfikir yang Allah ciptakan untuknya dan dengan kemampuannya itu dapat
mengatur tindakan secara tertib, inilah akal pembeda. Atau kalau kemampuannya
itu membantunya untuk memperoleh pengetahuan tentang ide atau hal-hal yang
bermanfaat atau merusak baginya, inilah yang disebut akal eksperimental. Atau
kalau kemampuan itu membantunya memperoleh persepsi tentang sesuatu yang
mewujudkan sebagaimana adanya baik yang gaib ataupun yang nampak.
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran.
Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan
kehamilam dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian
pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim. Mereka
memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang diketahui dari alam ini.
Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena
mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indera.
B. Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17