Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“Pemikiran Para Filsuf Muslim Dunia Tentang Pendidikan


Islam”

Dosen Pengampu :

Wahyuni Ahadiyah, S.Pd. I, M.Pd.

Disusun oleh :
1. Liya Hidayah (012010142)
2. Pirdi Apandi (012010136)
3. Uswatun khasanah (012010120)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, marilah sama-sama kita ucapkan kepada Allah SWT yang
masih memberikan kita kesehatan dan kesempatan dan yang paling utama adalah
nikmat Iman dan Islam sehingga kita semua bisa menjalani rutinitas kita
sehari-hari dan terkhusus bagi Kami sendiri, yang akahirnya dapat menyelesaikan
Tugas Makalah ini. Shalawat dan salam marilah sama-sama kita curahkan kepada
Nabiyullah Muhammad SAW, kekasih Allah SWT yang berkat beliau kita bisa
menikmati hari-hari ini tanpa ada kekurangan sedikitpun asalkan kita bergantung
kepada apa yang telah beliau tinggalkan yaitu Al-Quran dan Sunnah. Marilah kita
perbanyak mengucapkan shalawat kepada beliau agar kita termasuk ummatnya
yang mendapatkan syafaatnya kelak di yaumil akhir kelak. Aamiin.
Kami masih menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata baik. Oleh
karena itu kami meminta kritik dan saran para pembaca yang sifatnya membangun
agar nantinya Kami dapat membuat makalah yang jauh lebih baik lagi. Akhirul
kalam, Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Lamongan, 17 November
2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................................. 1

BAB I Pendahuluan ............................................................................ 2

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 2

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2

C. Tujuan penulisan ......................................................................... 2

BAB II Pembahasan ........................................................................... 3

A. Pendidikan Islam Prespektif Ibnu Makawaih ............................. 3

B. Pendidikan Islam Prespektif Ibnu Khaldun ................................. 7

C. Pendidikan Islam Prespektif Ikhwan Al Safa ............................ 11

BAB III Penutup ................................................................................ 14

A. Kesimpulan .................................................................................. 14

B. Saran ............................................................................................ 14

Daftar Pustaka ..................................................................................... 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses dari peberdayaan potensi dalam diri manusia serta
pengembangan intelektualitas pemikiran. Dengan pendidikan diharapkan tumbuh
generasi-generasi penerus yang berkarakter Islami. Banyak faktor yang bisa
mempengaruhi dalam pendidikan terhadap manusia, diantaranya faktor keluarga,
faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor teman dan faktor politik. Bahkan faktor
dari bawaan masing-masing pribadi manusia/potensi bawaan (fitrah, bakat) yang
bersangkutan juga sangat mempengaruhi. Sehingga bisa saja terjadi dua anak dari
keluarga dan keturunan yang sama, dibesarkan dan didik dalam lingkungan dan
lembaga yang sama, dalam waktu dan guru yang sama namun akan menjadi
generasi yang berbeda.
Mengenai konsep pendidikan terhadap manusia, banyak sekali rumusan pemikiran
para cendikiawan, baik cendikiawan muslim maupun non muslim. Rumusan
konsep tersebut sangat beragam, namun tidak semuanya berbeda. Makalah ini
menjelaskan tentang pemikiran pendidikan dari tokoh muslim terkemuka Ibnu
Maskawaih, pemikiran Ibnu Khaldun dan pemikiran Ikhwan Shafa. Selain tentang
pemikiran pendidikan Ibnu Khaldun dan pemikiran Ikhwan al-Shafa akan
disinggung mengenai riwayat hidup yang melatar belakangi hasil pemikirannya
dan karya-karya hasil pemikiran.
Meskipun tiga tokoh pemikiran ini mempunyai latar belakang kehidupan yang
berbeda, namun hasil pemikirannya mempunyai banyak kesamaan, hususnya
dalam bidang pendidikan manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan bagaimana pendidikan Islam menurut Ibnu Makawaih
2. Jelaskan bagaimana pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun
3. Jelaskan bagaimana pendidikan Islam menurut Ikhwan Al Safa

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pendidikan Islam prespektif Ibnu Maskawaih
2. Memahami pendidikan Islam prespektif Ibnu Khaldun.
3. Menjelaskan pendidikan Iskam prespektif Ikhwan Al Safa

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Islam Prespektif Pemikiran Ibnu Maskawaih

1. Biografi Ibnu Maskawaih


Nama lengkapnya adalah Abû ‘Alî al-Khasim Ahmad bin Ya’kûb bin Miskawaih.
Ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Miskawaih. Beliau dilahirkan di kota Ray
(Iran) pada tahun 320 H/932 M.1 Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya,
Ibnu Miskawaih mempelajari kitab Tarîkh al-Thabarî kepada Abû Bakar Ahmad
Ibnu Kamîl al-Qadhî (w. 350 H/960 M). Selain belajar sejarah, beliau pun
mempelajari filsafat kepada Ibnu alKhammar, salah seorang komentator
Aristoteles dan al-Hasan Ibnu Siwar, seorang ‘ulama pengkaji filsafat, kedokteran
dan logika. Tidak hanya sebatas itu, beliau pun mempelajari ilmu bahasa, ilmu
kedokteran, ilmu fiqih, hadis, matematika, musik, ilmu militer, dan lainnya.
Karena beliau memiliki tingkat kecerdasan yang sangat tinggi, maka beliau pun
dapat melahap habis semua pelajaran yang diberikan kepadanya. Walhasil, beliau
pun menjadi salah seorang filsuf Islam terkemuka di zamannya.
Ibnu Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwaihi. Dinasti Buwaihi adalah salah
satu dinasti yang lahir ke dalam tubuh pemerintahan Bani Abbasiyah di kota
Baghdad sebagai ibu kota Bani Abbasiyah, sehingga tidak berlebihan jika
diumpamakan Dinasti Buwaihi bagaikan benalu yang tumbuh pada sebuah pohon.
Pada masa itu sifat-sifat rakus akan kekuasaan dan harta kekayaan menjadi tabiat
para tokoh-tokoh politik, akibatnya dekadensi moral hampir melanda semua
lapisan masyarakat. Semenatara di pihak lain, kaum sufi hidup dengan
berkontemplasi menjauhkan diri dari komunitas masyarakat yang sudah dilanda
dekadensi moral tersebut. Kondisi sosial ini pada perjalanan berikutnya sangat
berpengaruh dalam membentuk pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih.

2. Pendidikan Islam Prespektif Ibnu Maskawaih


a. Dasar pendidikan

Ada beberapa komponen pendidikan Islam yakni tujuan, metode, pendidik


dan peserta didik yang merupakan satu kesatuan utuh yang disebut sebagai sistem
pendikan Islam. Adapun komponen pendidikan yang dikemukakan Ibnu
Miskawaih ialah; Dasar pendidikan, Tujuan Pendidikan, pendidik dan peserta
didik, fungsi pendidikan, materi pendidikan dan metode serta media pendidikan.

1
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 56.

5
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu dan ia berfungsi sebagai
pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai. Menurut Ibnu Miskawaih ada 2
yaitu;

● Syariat sebagai dasar pendidikan. Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan


secara pasti apa yang menjadi dasar pendidikan. Akan tetapi, ia
menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya
karakter manusia. Dengan syariat, manusia terbiasa untuk melakukan
perbuatan terpuji, menjadikan jiwa mereka siap
menerima al-hikmah dan fadilah. Karena rujukan syariat agamaadalah
Al-Quran dan As-Sunnah, dua hal terakhir menjadi sumber yang paling
asasi.

● Pengetahuan psikologi sebagai dasar pendidikan. Ibnu Miskawaih


pada awal tulisannya dalam Tahzib menegaskan adanya hubungan
antara pendidikan dan pengetahuan tentangjiwa. Untuk memiliki karakter
yang baik,manusia harus melalui perekayasaan (sina'ah) dan
pengarahan pendidikan secara sistematis (ala tartib ta 'limy) Pembentukan
karakter baik tersebut dapat tercapai jika kita memahami makna jiwa,
mulai penciptaan, tujuan, kekuatan atau daya, dan malakah-nya. Jiwa yang
dibina dengan tepat akan menjadikan manusia tersebutmencapai
kesempunaan. Pembinaan jiwa tersebut dapat dilakukan melalui
pendidikan.

b. Tujuan Pendidikan

Corak pemikiran pendidikan Ibnu Miskawaih lebih bertendensi etis dan


moral. Hal ini terlihat dalam merumuskan pendapatnya tentang tujuan pendidikan
sebagai berikut ;

⮚ Tercapainya akhlak mulia;Ibnu Miskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan


pendidikan adalah terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia, yang
disebutnya isabah al-khuluq asy-syarif, yaitu pribadi yang mulia secara
substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang temporal dan aksidental,
seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.

⮚ Kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan; Pada hakikatnya, tujuan


pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia. Tercapainya
tujuan merupakan langkah bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang
terakhir, yaitu kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan.

6
c. Pendidik dan Peserta didik

Ibnu Miskawaih mengelompokkan pendidik kepada orangtua, guru atau


filsuf, pemuka masyarakat, dan raja atau penguasa. Ibnu Miskawaih menjelaskan
bahwa kewajiban orangtua mendidik anak-anak mereka supaya menaati syariat
dan seluruh sopan santun dengan berbagai cara.

Menurut Ibnu Miskawaih, guru atau filsuf adalah penyebab eksistensi


intelektual manusia karena pendidikan yang mereka berikan dan ilmu yang
mereka kembangkan. Tugas pemuka masyarakat, yaitu pertama, meluruskan dan
memandu manusia dengan ilmu-ilmu rasional dengan melatih daya-daya analisis
potensinya. Kedua, memandu manusia dengan keterampilan praktis sesuai dengan
kemampuannya.

Pengertian peserta didik bagi Ibnu Miskawaih cukup luas, yaitu semua


orang yang memperoleh atau memberikan bimbingan, bantuan, dan latihan dari
orang lain, baik berupa ilmu pengetahuan maupun keterampilan guna
mengembangkan diri. Menurutnya, manusia memiliki watak yang berbeda. Ada
yang memiliki sifat baik sejak awal dan ada juga yang tidak memiliki sifat
tersebut. Akan tetapi, pembawaan sifat tersebut dapat berubah, jika ia memiliki
kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Jika perbedaan watak ini
diabaikan, setiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individun yang tabi'i, di
sinilah letak pentingnya pendidikan agama. Ibnu Miskawaih mengemukakan
bahwa respons individudalam menerima pendidikan ada yang harus dengan
paksaan. Ada pula manusia yang responnya sangat mudah dan cepat karena ia
mempunyai watak yang baik, potensi unggul.

Mengenai tahapan perkembangan kejiwaan manusia, menurut Ibnu


Miskawaih, berkembang dari tingkat sederhana pada tingkat yang tinggi.
Awalnya, daya yang muncul berhubungan dengan makanan, untuk bertahan hidup
lalu berkembang daya yang bersifat syahwiyah, yang membuatnya cendrung pada
kesenangan. Kemudian, berkembang daya imajinasi melalui pancaindra,
selanjutnya muncul daya gadhabiyah. Ia mencoba mengatasi apa-apa yang
merusak diri dan mencari yang bermanfaat dari dirinya. Setelah itu, muncul secara
berangsur daya atau kekuatan natiqah yang ditandai dengan rasa malu. Pada tahap
ini, manusia akan merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saat ini
jiwa sudah siap menerima pendidikan. Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa
pendidikan dapat diperolah melalui latihan dan pembiasaan pada anak. Hal ini
karena jiwa anak pada awalnya masih sederhana. Jika ia mendapat gambar

7
tertentu, ia akan tumbuh bersama dengan gambar tersebut, dan terbiasa
dengannya.

Hubungan pendidik dengan subjek haruslah didasarkan pada cinta, kasih


sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan, dan fadilah. Hal ini karena menurut
Ibnu Miskawaih manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan
kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan dankebaikan serta berupaya
memperoleh keutamaan. Untuk itu, dalam pendidikan diperlukan komunikasi dua
arah (interaksi) dan multiarah (transaksi).

d. Fungsi pendidikan

Menurut Ibnu Miskawaih, fungsi pendidikan adalah:

● Menanamkan akhlak mulia; Bagi Ibnu Miskawaih, pembentukan akhlak


mulia sebagai tujuan pendidikan, sekaligus sebagai fungsi pendidikan.
Nilai-nilai akhlak mulia yang perlu ditanamkan dan dibiasakan itu pada
aspek spiritual seperti jujur, tabah, sabar, dan lain-lain. Juga pada aspek
jasmani seperti adab berpakaian, berbicara, dan lain-lain.

● Memanusiakan manusia; Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa tugas


pendidikan adalah menundukkan manusia sesuai dengan substansinya
sebagai makhluk yang termulia. Selain itu, pendidikan bertugas mengangkat
manusia dari tingkat terendah pada tingkat tinggi.

● Sosialisasi individual; Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa kebajikan


dan malakah manusia sangat banyak jumlahnya, dan seorang individu tidak
dapat mencapainya sendirian. Sejumlah individu harus bersatu untuk
mencapai kebahagiaan bersama sehingga satu sama lainrya saling
menyempumakan. Masing-masing individu menjadikan dirinya seperti satu
tubuh yang saling menunjang.

Manusia, menurut Ibnu Miskawaih, tidak dapat mandiri dalam


menyempumakan esensi dan substansinya sebagai insan tanpa berintegrasi dengan
individu lainnya. Oleh karena itu, diperlukan segala bentuk hubungan sosial
lainnya, di antaranya melalui interaksi pendidik-subjek didik dalam proses
pendidikan.

e. Materi pendidikan

Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan dengan tegas materi apa yang harus
diajarkan kepada peserta didik. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa ia

8
menekankan materi pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi terciptanya akhlak
mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta esensinya.

Mengenai urutan yang harus diajarkan pada peserta didik, yang pertama
sekali adalah kewajiban-kewajiban syariat, sehingga peserta didik terbiasa.
Kemudian,materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas
terpuji merasuk dalam dirinya, dan terbiasa dengan perkataan yang benar dan
argumentasi yang tepat.Kemudian,meningkat setahap demi setahap pada materi
ilmu lainnya sehingga subjek didik mencapai tingkat kesempurnaan.

f. Metode dan media pendidikan

1) Metode alami (tab'iy)

2) Nasihat dan tuntunan sebagai metode pendidikan

3) Ancaman, hardikan, pukulan, dan hukuman sebagai metode pendidikan.

4) Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan

5) Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan.

B. Pendidikan Islam Prespektif Pemikiran Ibnu Khaldun

a. Biografi Ibnu Khaldun


Ibnu Khaldun adalah salah seorang tokoh pendidikan Islam, selama ini lebih
dikenal sebagai seorang sosiolog, sejarawan, ekonom dan faqih. Ibnu Khaldun
dilahirkan di Tunisia (Guzzah) pada bulan Ramadan tanggal 27 Mei 1332. Nama
lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Muhammad
bin Khaldun Al-Maliki. Sebenarnya Khaldun adalah kakek dari Ibnu Khaldun dan
langsung menjadi nama sukunya. Nama aslinya adalah Khalid. Karena ia seorang
yang besar, kata akhirnya dengan wau dan nun, sehingga menjadi Khaldun. Bapak
Ibnu Khaldun bernama Muhammad bin Muhammad, jadi anak dari Muhammad
pula.2
Sejak kecil ia menerima pendidikan di masjid Gubbah Tunisia. Karena
kemampuannya menghafal Alqur’an, dia akhirnya mahir dalam qiraat sab’ah.
Juga mempelajari ilmu syariat seperti Tafsir, Hadis, Fiqh Maliki, Tauhid dan Usul
Fiqh. Guru Ibnu Khaldun yang pertama adalah bapaknya sendiri yang juga tinggal
di Tunisia. Ibnu Khaldun dikenal sebagai orang yang berpandangan tajam,

2
Imam Munawwir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa,
Surabaya: Bina Ilmu, 1985, h. 415.

9
berpikiran mendalam, cermat dan cepat tanggap, serta mampu dalam memerintah
dan mengintisarikan perundang-undangan.
Ibnu Khaldun adalah seorang penulis, karya tulis Ibnu Khaldun telah banyak
macamnya antara lain adalah Ilmu Mantiq, Ringkasan Filsafat Ibnu Rusyd, juga
mengarang tentang Fiqih, Kesusasteraan Arab dan Ilmu Hitung. Tetapi yang
sampai kepada kita hanyalah sebuah karangan termasyhur yang telah kita kenal
yaitu kitab tentang ungkapan dan perantara dasar dari masyarakat Arab dan non
Arab, Barbar serta pemegang kekuasaan besar pada masanya. Ibnu Khaldun
menulis sebuah karangan tentang sejarah perjalanan hidupnya sendiri dengan
judul At-Ta’rif Bil Ibnu Khaldun Warihiatun Gharban Wa Syarqan (perjalanan
Ibnu Khaldun di negara Maghrib dan timur). Juz pertama dikenal dengan
Muqaddimah yang menjadikan Ibnu Khaldun terkenal baik dikalangan para
ilmuwan timur dan barat.3
Ibnu Khaldun membagi kitab Muqaddimahnya yang terkenal itu menjadi bagian
yang membahas tentang Ilmu Sejarah yang terdiri dari 6 pasal, yaitu:
1) Membahas tentang kehidupan manusia menurut jumlah dan jenis serta
penyebarannya di bumi
2) Tentang kehidupan orang Badui dan kabilahnya dan bangsa primitive
3) Tentang negara dan kerajaan serta disebutkan pula tentang tingkat
kekuasaannya
4) Tentang kehidupan peradaban, kota dan tempat tinggal
5) Tentang pekerjaan penghidupan, karya hasil usaha beserta segi-segi
6) Tentang ilmu pengetahuan dan cara memperolehnya.
Ibnu khaldun telah banyak menghasilkan karya tulis dalam berbagai bidang,
namun meskipun banyak karya yang telah dihasilkan oleh Ibnu Khaldun justru
ketenarannya bukan dengan Kitab Al-Bar atau dengan yang lainnya, tetapi Ibnu
Khaldun banyak dikenal oleh para ilmuwan dengan adanya Kitab
Muqaddimahnya, karena seluruh bangunan teorinya tentang Ilmu Sosial,
Kebudayaan dan Sejarah termuat dalam Al-Muqaddimah, Kitab Al-Bar hanya
merupakan bukti empiris historis dari teori yang telah dikembangkan.4

b. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam


Dalam Muqaddimahnya Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia itu jenis
binatang dan bahwa Allah SWT telah membedakannya dengan binatang karena
kemampuan manusia untuk berfikir yang Allah ciptakan untuknya dan dengan

3
Ali al-Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h.193
4
Ahmad Syafii Maarif, Iibnuu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Jakarta: Gema
Insani Press, 1996, h.49.

10
kemampuannya itu dapat mengatur tindakan secara tertib, inilah akal pembeda.
Atau kalau kemampuannya itu membantunya untuk memperoleh pengetahuan
tentang ide atau hal-hal yang bermanfaat atau merusak baginya, inilah yang
disebut akal eksperimental. Atau kalau kemampuan itu membantunya
memperoleh persepsi tentang sesuatu yang mewujudkan sebagaimana adanya baik
yang gaib ataupun yang nampak.5
Kemampuan manusia untuk berfikir baru memperoleh setelah sifat
kebinatangannya mencapai kesempurnaan didalam dirinya. Itu dimulai dari
kemampuan membedakan (tamyiz). Sebelum manusia tamyiz, dia sama sekali
tidak memiliki pengetahuan dan dianggap sebagian dari binatang. Asal usul
manusia diciptakan dari setetes air mani (sperma), segumpal darah, sekerat daging
dan masih ditentukan rupa dan mentalnya. Adapun yang dicapai sesudah itu
adalah merupakan akibat dari persepsi sensual dan kemampuan berfikir yang
dianugerahkan Allah kepadanya.
Pada kondisinya semula sebelum mencapai tamyiz, manusia adalah materi
seluruhnya karena ia tidak mengetahui semua pengetahuan yang dicari melalui
organ tubuhnya sendiri. Maka kemanusiaannya pun mencapai kesempurnaan
eksistensinya.6 Ibnu khaldun juga berpendapat bahwa dari balik upayanya untuk
mencapai ilmu itu, manusia bertujuan dapat mengerti tentang berbagai aspek
pengetahuan yang dia pandang sebagai alat yang membantunya untuk bisa hidup
dengan baik didalam masyarakat maju dan berbudaya. Yang sejalan dengan
pandangan Ibnu Khaldun adalah Herbert Spencer. Spencer berpendapat bahwa
pendidikan harus membantu individu agar dapat “hidup baik” yang dicantumkan
dalam kurikulumnya yang terkenal itu. Dia lebih mengutamakan ilmu dariapda
aspek pengetahuan yang lain. Dia mengatakan bahwa kurikulumnya ini menjamin
tercapai tujuan.

c. Unsur-Unsur Pendidikan Islam


Menurut Ibnu Khaldun dunia pendidikan khususnnya Pendidikn Islam
dipengaruhi beberapa faktor sekaligus yang dapat dijadikan alasan serta sebagai
dasar pertimbangan menentukan tujuan pendidikan, yaitu:
1. Adanya tenaga pendidik, pada proses mendidik/mencari ilmu pengetahuan
tentunya dibutuhkan seorang pendidik. Pendidik sendiri tidak dipisahkan
dalam dunia pendidikan, dari merekalah peserta didik akan memperoleh
ilmu pengetahuan. Pendidik dalam prakteknya diharapkan mampu
memberi pengetahuan yang jelas serta dalam proses pengajarannya

5
Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Terjemah), Jakarta: Amadie Thoha Pustaka Firdaus, 1986, h.531.
6

11
hendaknya mengedepankan kearifan dan kebijaksanaan. Seorang pendidik
tidak dibenarkan memberi ilmu pengetahuan yang tidak benar dan
bersikap kasar terhadap peserta didik, sebab jika ini terjadi pengaruhnya
terhadap peserta didik sangat tidak baik. Peserta didik merasa dirinya
diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh pendidik dan pada khirnya
mereka akan terganggu perkembangan pola pikirnya.
2. Adanya pengaruh Filsafat Sosiologis, sebagaimana diketahui bahwa
pengaruh filsafat dalam dunia pendidikan sangatlah penting, sebab dengan
dasar filsafat maka esensi dari pendidikan akan tercapai. Filsafat sosiologis
sendiri mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan, tak bisa
dipungkiri bahwa dalam memperoleh dan proses akhir dari pendidikan itu
sendiri adanya korelasi baik antara masyarakat (kebutuhan) dengan ilmu
pengetahuan, artinya dalam mencari ilmu pengetahuan dan
mempelajarinya hendaknya sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat, kita tak mencari ilmu jika pada kenyataannya ilmu tersebut
tidak dibutuhkan oleh masyaraakat apalagi pada zaman sekarang yang
semuanya berkaitan dengan teknologi,
3. Perencanaan ilmu pengetahuan, kiranya menjadi salah satu faktor penting
dan ada keterkaitan dengan faktor pertama, karena bila dunia pendidikan
tegasnya sekolah maupun perguruan tinggi tidak
menyiapkan/merencanakan ilmu pengetahuan apa yang akan diajarkan
kepada peserta didik, maka yang terjadi ketidakjelasan mau dibawa
kemana peserta didik tersebut, dan pada akhirnya perkembangan
masyarakat menjadi stagnan. Disini menurut penulis menjadi titik lemah
pada instansi pendidikan saat ini, dunia pendidikan Islam belum mampu
membuat satu perencanaan yang matang tentang ilmu pengetahuan
terhadap peserta didik dan menjadi kebutuhan masyarakat dewasa ini
4. Pendidikan sebagai aktifitas akal insani sendiri, menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari dua point diatas, dunia pendidikan (sekolah/perguruan
tinggi) hendaknya tidak bersifat memberi ilmu tapi harus mampu
merangsang dan menumbuhkan aktifitas akal peserta didik. Dengan
demikian, peserta tidak duduk dan mendengarkan saja tapi mereka akan
befikir dengan akal/otak) tentang apa yang diberikan oleh pendidik dan
akhirnya peserta dengan akalnya akan melahirkan hakikat baru dalam ilmu
pendidikan. Dari tujuan pendidikannya itu Ibnu Khaldun memegang
bahwa Alqur’an dan Sunnah sebagai sumber dari segala isi pendidikan
yang harus diberikan kepada anak didik. Sehingga dengan demikian

12
keluarganya akan mejadi orang berkualitas dari segala bidang baik dari
ilmu duniwi maupun ukhrowi.

Dari tujuan pendidikannya itu Ibnu Khaldun memegang bahwa Alqur’an dan
Sunnah sebagai sumber dari segala isi pendidikan yang harus diberikan kepada
anak didik. Sehingga dengan demikian keluarganya akan mejadi orang berkualitas
dari segala bidang baik dari ilmu duniwi maupun ukhrowi. Sangat tepat sekali
seandainya kita merealisasikan tujuan yang telah ada dan ini telah lama
dikumandangkan sejak zamannya hingga sekarang. Penulis menganggap tujuan
pendidikan menurut Ibnu Khaldun ini akan tetap menjadi rujukan yang sesuai
dengan masa mendatang.
Dengan merealisasikan tujuan pendiidkan tersebut tentu akan menghasilkan
keluarga sebagimana diharapkan bagaimana anak didik itu dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat
menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan tuntutan zaman, karena anak didik
telah menjadi berfikir kreatif, berwawasan luas, dinamis, dan inovatif serta
tertanamnya rasa kemadirian yang kuat.

C. Pendidikan Islam Prespektif Pemikiran Ikhwan Al-Safa

1. Biografi Ikhwan Al-Safa

Ikhwan Shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim yang sekitar abad
ke-4 H/10 M di Bashrah.7 Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al
wafa’, ahl ‘adl dan abna’ al Hamd. Tokoh terkemuka sebagai pelopor organisasi
ini ialah Ahmad Ibnu Abdillah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr Al Busti
yang terkenal dengan sebutan Al Muqaddasi, Zaid Ibnu Rifa’ah dan Abu
Al-Hasan Ali Ibnu Harun Al Zanjany.

Kelompok ini merupakan gerakan bawah tanah yang mempertahankan


semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya di kalangan
pengikutnya. Gerakannya baru terungkap setelah berkuasanya Dinasti Buwaihi
(945 M ± 1055 M) yang berfaham syiah di Baghdad pada tahun 983 M. Ikhwan
Shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah
islamiyah yang lahir di tengah-tengah komonitas sunni di masa khilafah
Abbasiyah. Sehingga salah satu bentuk ajaran Ikhwan Shafa adalah paham
taqiyah (menyembunyikan keyakinan). Kerahasiaan kelompok ini juga
disebabkan karena dukungan mereka terhadap pemikiran Mu’tazilah yang telah

7
Muhammad ‘athif Al-Iraqy, al Falsafah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al Ma’arif, 1978), hlm.29.

13
dihapuskan oleh khalifah al Mutawakkil dari sekte sunni. Maka kaum rasionalis
dicopot dari jabatan pemerintahan dan diusir dari baghdad. Ikhwan Shafa adalah
sekelompok tokoh pemikir yang hidup dalam lingkungan yang tidak bersahabat
dengan fahamnya. Sehingga rasa tertekan itu membuatnya prihatin dan menjadi
motifasi besar untuk berfikir mendapatkan solusi keluar dari jeratan tersebut dan
berusaha menyadarkan masyarakat bisa berfikir sefaham dengannya.

2. Pendidikan Islam Prespektif Pemikiran Ikhwan Al-Safa

Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum


kelahiran. Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh
keadaan kehamilam dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian,
perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim. Dalam
sejarah Islam, kelompok ini tampil eksklusif dalam gerakan reformatif
pendidikannya, karena itu mereka adalah ta’limiyyun (pengajaran) dalam
melangsungkan kegiatan keilmuannya organisasi ini memandang pendidikan
dengan pandangan yang bersifat rasional dan empiric, atau perpaduan antara
pandangan yang bersifat intelektual dan faktual. Mereka memandang ilmu sebagai
gambaran dari sesuatu yang diketahui dari alam ini. Dengan kata lain yang
dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena mendapat bahan informasi
yang dikirim oleh panca indera.8

Menurut Ikhwan al Safa, hakekat manusia adalah terletak pada jiwanya,


sementara jasad merupakan penjara bagi jiwa, oleh karena itu kelompok ini
membuat perumpamaan bagi orang yang belum dididik dengan ilmu aqidah,
ibarat kertas putih bersih, belum ternoda apapun juga. Apabila kertas ini ditulis
sesuatu, maka kertas tersebut telah memiliki bekas yang tidak akan dihilangkan.

a. Cara Mendapatkan Ilmu

Ketika lahiri jiwa tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, proses


perolehan pengetahuan manusia digambarkan Ikhwan al Safa secara dramatis
dilakukan melalui perlimpahan. Proses perlimpahan itu bermula dari jiwa
universal kepada jiwa manusia setelah terlebih dahulu melalui proses imanasi,
secara berproses manusia mulai menerima rangsangan dari alam sekitarnya.
Menurut Ikhwan al-Shafa, pengetahuan umum dapat diperoleh dengan tiga cara,
yaitu:

8
Dr. H. Abuddin Nata, MA. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta, Logos Wacana Ilmu. 2005.hlm
232

14
● Dengan pancaindera. Pancaindera hanya dapat memperoleh pengetahuan
tentang perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera, dan yang
kita ketahui hanyalah perubahan-perubahan ruang dan waktu.

● Dengan akal prima atau berpikir murni. Akal murni juga harus dibantu oleh
indera.

● Melalui inisiasi. Cara ini berkaitan erat dengan doktrin esoteris Ikhwan
al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan secara
langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan
sedalam-dalamnya. Guru mendapatkan ilmunya dari Imam (pemimpin
agama) dan Imam dari Imam lain, dan para Imam mendapatnya dari Nabi,
dan Nabi dari Allah, sumber ilmu paling akhir. Konsep Imam ini disinyalir
bahwa Ikhwan al-Shafa mengabdopsi konsep imam dalam pemahaman
Syi’ah, yang lebih menekankan pada sikap eksklusif dalam memilih imam
dari kelompoknya sendiri.

Pada bagian lain Ikhwan berpendapat bahwa pada dasarnya semua ilmu itu
harus diusahakan (muktasabah) bukan dari pemberian tanpa usaha. Ilmu yang
demikian dapat diperoleh dengan menggunakan panca indra. Sesuatu yang
terlukis dalam pemikiran itu bukanlah sesuatu yang hekekatnya telah ada dalam
pemikiran, melainkan lukisan tersebut merupakan pantulan yang terjadi karena
adanya kiriman dari panca indra. Jadi bukan karena ide dari alam pikiran. Dengan
panca indra itulah manusia dapat mengetahui sesuatu pandangan. Meskipun lebih
menekankan pada kekuatan akal dalam proses pencarian ilmu, akan tetapi
menurutnya panca indra dan akal memiliki keterbatasan dan tidak mungkin sesuai
sampai pada pengetahuan tentang esensi Tuhan. Oleh karena itu diperlukan
pendekatan inisiasi yaitu bimbingan/otoritas ajaran agama. Karena itu juga
Ikhwan al Safa menolak pendapat yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah
markuzah (harta tersembunyi) sebagaimana pendapat Plato yang beraliran
idealisme. Plato mengatakan bahwa jiwa manusia hidup bersama alam ide yang
dapat mengetahui segala sesuatu yang ada. Karena itu untuk dapat mendapatkan
ilmu pengetahuan seseorang harus berhubungan dengan alam ide. Aliran
idealisme inilah yang ditentang oleh Ikhwan al Safa. Aliran Ikhwan al Safa lebih
dekat dengan aliran John Locke yang bersifat empirisme. Aliran ini menilai
bahwa awal pengetahuan terjadi karena panca indra berinteraksi dengan alam
nyata. Begitu juga dengan cara mendapatkan ilmu itu harus diusahakan dengan
cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Hal inilah yang
dapat memperkuat daya ingatan dan kedalaman ilmu seseorang.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ibnu maskawaih menjelaskan ada beberapa komponen pendidikan Islam


yakni tujuan, metode, pendidik dan peserta didik yang merupakan satu kesatuan
utuh yang disebut sebagai sistem pendikan Islam. Adapun komponen pendidikan
yang dikemukakan Ibnu Miskawaih ialah; Dasar pendidikan, Tujuan Pendidikan,
pendidik dan peserta didik, fungsi pendidikan, materi pendidikan dan metode serta
media pendidikan. Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu dan ia
berfungsi sebagai pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai.

Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa manusia itu jenis binatang dan bahwa
Allah SWT telah membedakannya dengan binatang karena kemampuan manusia
untuk berfikir yang Allah ciptakan untuknya dan dengan kemampuannya itu dapat
mengatur tindakan secara tertib, inilah akal pembeda. Atau kalau kemampuannya
itu membantunya untuk memperoleh pengetahuan tentang ide atau hal-hal yang
bermanfaat atau merusak baginya, inilah yang disebut akal eksperimental. Atau
kalau kemampuan itu membantunya memperoleh persepsi tentang sesuatu yang
mewujudkan sebagaimana adanya baik yang gaib ataupun yang nampak.
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran.
Sebab, kondisi dari bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan
kehamilam dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian
pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim. Mereka
memandang ilmu sebagai gambaran dari sesuatu yang diketahui dari alam ini.
Dengan kata lain yang dihasilan dari pemikiran manusia itu terjadi karena
mendapat bahan informasi yang dikirim oleh panca indera.

B. Saran

Kami masih menyadari bahwa dalam penyusunan dan penyelesaian


makalah ini mungkin masih terdapat banyak kesalahan, kekeliriun yang tidak
kami sadari. Oleh karenanya, kami berharap kepada para pembaca agar berkenan
memberikan sepatah dua kata kritikan dan masukan yang sifatnya membangun
agar nantinya dapat kami jadikan sebagai media pembelajaran untuk kedepannya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat terkhusus bagi kami pemateri dan
dan seluruh pihak yang telah membaca makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

‘athif Al-Iraqy, Muhammad. 1987. al Falsafah al-Islamiyah. Kairo: Dar al


Ma’arif.
Al-Jumbulati, Ali. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Khaldun, Ibnu. 1986. Muqaddimah (Terjemah). Jakarta: Amadie Thoha Pustaka
Firdaus.
Munawwir, Imam. 1985. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari
Masa ke Masa. Surabaya: Bina Ilmu.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nata, Abuddin. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Syafii Maarif, Ahmad. 1996. Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan
Timur.Jakarta: Gema Insani Press.

17

Anda mungkin juga menyukai