Anda di halaman 1dari 23

TEORI KETELADANAN GURU

REWARD AND PUNISHMENT PERSPEKTIF ABDULLAH NASHIH


ULWAN DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh:

Muh Fajri Ardiansyah (02111423044)

PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) DATOKARAMA PALU
TAHUN 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad saw.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Pendidikan
Islam. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi penulis dan pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi
agar makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai penulis, kami merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat membutuhkan saran dan kritik yang dapat membangun
kesempurnaan dari makalah ini agar bisa menjadi tulisan yang bermanfaat bagi
penulis dan pembaca.

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

BAB I ....................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 5
C. Tujuan ............................................................................................................. 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ...................................................................................................... 6
A. Biografi Abdullah Nashih Ulwan ................................................................... 6
B. Pengertian Etika, Moral Akhlak dan Keteladanan ...................................... 8
C. Konsep Pendidikan Etika dan Keteladanan ................................................ 11
D. Konsep Reward dan Punishment ................................................................. 18
BAB III .................................................................................................................. 21
PENUTUP ............................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan. Problem-
problem di dunia modern justru disebabkan oleh pemikiran manusia sendiri.
Dibalik kemajuan ilmu dan teknologi, dunia modern sesungguhnya berhadapan
dengan masalah-masalah yang mengancam martabat manusia. Keberhasilan dalam
ekonomi, struktur politik dan peradaban yang maju, pada saat yang sama manusia
menjadi tawanan atas hasil ciptaannya sendiri. Masalah yang melanda kehidupan
manusia era modern ini tidak terlepas dari Barat yang bercita-cita melepaskan diri
dari pengaruh agama. Manusia era modern sekarang ini diposisikan sebagai
mekanisme sebuah proses produksi semata (pabrik). Oleh sebab itu, dalam proses
kerja itu manusia kemudian terbelenggu oleh hasil kerjanya sendiri, terpisah dari
sesamanya. 1

Masalah yang muncul belakangan dalam konteks pendidikan Indonesia


adalah dalam menciptakan masyarakat yang berbudi pekerti. Derasnya arus
informasi tentu berpengaruh terhadap pola-pola budaya, etika, dan moral
masyarakat. Budaya yang semula dianggap tabu, kemudian menjadi hal yang
biasa saja. Krisis moral etika terjadi berakibat pada rendahnya tingkat social
capital. Kita berada pada zona zero trust society.2 Efeknya negatif dari
globalisasi seperti miskinnya nilai spiritual, manusia semata menjadi makhluk
material, sekularisasi, kehampaan hidup, tak bermakna dan lain sebagainya.3
Berdasarkan uraian tersebut, dalam upaya pengembangan model pendidikan

1
. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, cet. 3, (Bandung: Mizan, 1991),
159-161.
2
. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen
Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009),
101-102.
3
. Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kepita Selekta
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 51-52.

4
Islam sentuhan yang mencakup setidaknya tiga aspek, yaitu pertama adalah
aspek knowing, yaitu pemahaman yang benar terhadap ajaran agama. Kedua
adalah aspek doing praktik yang benar dalam beragama, dan ketiga adalah aspek
being yaitu kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama Islam. 4

Penanaman nilai-nilai pendidikan Islam tersebut bertujuan agar dalam


proses pendidikannya dapat tertanam ke dalam jiwa anak didik. Apabila nilai
telah tertanam dengan kuat, maka nilai tersebut menjadi jiwa yang selalu
mengarahkan kepada hal yang positif. Disisi lain, kecenderungan anak adalah
suka meniru, meniru yang baik dan juga meniru yang buruk, keduanya ditiru.5
Oleh sebab itu, seorang pendidik bertugas mengendalikan perilaku anak-anak
didiknya itu, karena dalam diri anak yang penting adalah mereka meniru orang
yang dianggap sebagai panutan baginya. Oleh sebab itu, kaitannya dalam konsep
karakteristik seorang pendidik sebagai mana yang diungkap oleh Abdullah
Nashih Ulwan memberikan gambaran tentang konsep keteladanan dan
kepribadian dari karakter Nabi Muhammad SAW.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah konsep etika dan keteladanan seorang pendidik perspektif


Abdullah Nashih Ulawan?
2. Bagaimanakah konsep reward and punishment menurut Abdullah Nashih
Ulwan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep etika dan keteladanan guru menurut Abdullah
Nashih Ulwan
2. Untuk mengetahui konsep reward and punishment menurut Abdullah
Nashih Ulwan.

4
. Muhaimin, Op.Cit, 3.
5
. Lift Anis Ma'shumah dalam Ismail SM, (ed), Paradigma Pendidikan Islam, cet. 1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 226.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Abdullah Nashih Ulwan


Abdullah Nashih Ulwan seorang ulama dan tokoh pendidikan kontemporer,
beliau dilahirkan di kota Halab, Syuriah, pada tahun 1928 M. karir pendidikannya
kebanyakan ditempuh di kotanya sendiri. Tercatat dari mulai tingkat dasar sampai
sekolah atas jurusan Syariah diselesaikannya pada tahun 1949 M. selanjutnya
menyelesaikan kuliah di fakultas Ushuluddin universitas al-azhar Mesir pada
tahun 1952 M, serta menerima ijazah spesialisasi pendidikan setara dengan
Master of Arts (MA) pada tahun 1954 M. Ulwan hidup pada masa terjadinya
propaganda modernisasi pemikiran Islam, manakala terjadi dialog antara Barat
dan Islam. Hal ini terekam jelas dari jejak-jejak yang ditinggalkannya. 6
Ulwan bukanlah orang yang mudah terpengaruh oleh hal-hal yang baru.
Ulwan melihat buah pemikiran dalam Islam adalah untuk umat Islam sendiri,
maka dalam Islam sendiri terdapat pokok-pokok pengetahuan yang orsinil perlu
digali dan dikemukan oleh umat Islam sendiri. Seakan Ulwan tidak mengikuti
jejak pendahulunya dalam modernisasi, pengakuan al-albani, Ulwan adalah
seorang penulis pendidikan anak yang ditinjau dari sudut pandang secara panjang
lebar, luas, dan jujur. Memperbanyak bukti-bukti Islam yang terdapat dalam al-
qur an, al-sunnah, dan peninggalan intelektual pendahulu yang saleh untuk
menetapkan hukum, wasiat dan adab. Beliau juga merupakan penulis mandiri di
dalam pembahasan-pembahasan pendidikan yang terpenting ini dengan referensi
pada tulisan-tulisan kaum muslimin secara murni, tanpa mengambil referensi
kepada pendapat-pendapat pemikir dari Barat kecuali dalam keadaan yang sangat
terpaksa untuk maksud tertentu. Karena beliau menulis untuk kepentingan kaum
muslim dan untuk mengarahkan mereka, sehingga beliau membatasi metodenya

6
. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-aulad fi al-islam, Jilid. II, (Beirut: Dar al-salam,
1983), 119.

6
kepada Islam, dan lagi pula karena beliau memiliki budaya dan kultur yang
berlandaskan Islam serta berbagai pengalaman kaum muslimin terdahulu dan
dewasa ini. Maka membuatnya tidak memerlukan pendapat orang lain. 7 Sejatinya,
Ulwan adalah pemikir Islam orisinal, gambaran ini diilustrasikan dalam karya
besarnya, Tarbiyah al-aulad fi al-islam. Seringkali Ulwan mengutip al-qur an dan
Hadits dalam mendukung pemikiran-pemikirannya. Dalam memandang media
audio-visual (terutama televisi), yang banyak disoroti adalah efek negatifnya yang
merupakan ciri khas kaum saleh muslim (terutama kaum asketis) terdahulu.
Dalam hal ini ada kemiripan dengan Ibn Miskawaih, akan tetapi ada pemisah
yang mencolok antara keduanya. Ibn Miskawaih merupakan tokoh Islam yang
akrab dengan pemikir-pemikir Yunani yang dipropagandakan sebagai akar
pemikiran Barat, sedangkan Ulwan adalah pemikir Islam orisinal. 8
Ulwan juga seorang penulis produktif, banyak sekali karya-karya terkenal
yang telah ditulisnya. Secara garis besar karya-karyanya dapat dibagi dalam empat
kelompok besar, yaitu:
1. Bidang pendidikan dan pengajaran Ila Waratsati al-anbiya i Hatta Ya lama al-
syabab Tarbiyah al-aulad fi al-islam Hukum al-islam fi al-tilfiziyyun
2. Bidang fiqh dan muammalah Fadhail al-shiyam wa Ahkamuh Ahkam al-zakat
Adab al-khithabah wa al-zifaf wa Huquq al-zaujain Aqabat al-zawaj wa al-thuruq Mu
alajatiha ala Dawai al- Islam Nihzam al-rizq fi al-islam Hukm al-islam fi Wasail al-
Ilam Al-Islam Syariah al-zaman wa al-makan
3. Bidang akidah Syubuhat wa Rudud Haula al-aqidah wa Ashl al-irtsan Huriyah al-
Itiqad fi al-syariah

7
. Wahbi Sulaiman al-ghawajj al-albani, Sebuah Pengantar, dalam Abdullah Nashih Ulwan,
Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999)
8
. Abdullah Nashih Ulwan Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan, dalam Ruswan
Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999), 53-54.

7
4. Bidang umum Al-Takaful al-ijtima i fi al-islam Shalahuddin al-ayyubi Ahkam al-ta
min Takwin al-syahsyiyah al-insaniyah fi Nazhair al-islam Al-Qaumiyah fi Mizan al-
islam.
B. Pengertian Etika, Moral Akhlak dan Keteladanan
Menurut bahasa etika ialah ilmu yang membahas tentang perihal yang baik
dan perihal yang buruk, dan membahas tentang masalah hak dan kewajiban moral
atau akhlak (baik dan buruk).9 Etika dalam pandangan Amin Syukur disebut ilmu
akhlak. Akhlak adalah suatu bidang ilmu yang membahas permasalahan perilaku
manusia tentang perihal baik dan buruknya. Dalam pandangan Fazlur Rahman
kerangka akhlak meliputi Iman, Islam dan Taqwa. Ketiga tidak dapat dipisahkan.
Iman terkait dengan kehidupan batin, Islam berkaitan dengan amalan lahir, dan
taqwa secara serempak terdiri dari keimanan dan keislaman.10
Moral dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti; 1. Ajaran tentang baik
buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak budi
pekerti; 2. Kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap
dalam perbuatan; 3. Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.
Moral adalah segala yang berurusan dengan sopan santun, yang
berhubungan dengan etiket. Sumber moral bisa berasal dari tradisi masyarakat,
agama, ideologi atau gabungan dari beberapa sumber tersebut. Oleh sebab itu,
kepribadian seseorang bisa dipengaruhi oleh cara berpikirnya yang berdasarkan
pertimbangan moral tertentu. Pertimbangan berdasarkan moral yang baik yang
dimiliki seseorang akan dapat membantu dalam pembentukan kepribadian yang
baik. 11

Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu khalaqa, dengan bentuk jamaknya

9
. Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002),309.
10
. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 163-165.
11
. Syarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet 1, 34.

8
adalah khuluqun yang artinya tabiat, budi pekerti. Kata itu dalam kamus al-
Munawir artinya adat kebiasaan (al-adat), keprawiraan, kekesatriaan, kejantanan
(al-muru’at), agama (ad-din), kemarahan (al-ghadab). Selain itu pula memiliki
kesesuaian dengan khalqun yang artinya adalah kejadian. Kata lainnya adalah
khaliq yang artinya pencipta dan makhluk yang artinya diciptakan. 12

Terminologi akhlak menurut Ibnu Miskawaih (Wafat 421 H/1030 M)


dalam kitabnya Ta hdzibal-Akhlak sebagai berikut:13
Artinya:
“Akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa melalui pikiran dan pertimbangan”.

Berdasarkan pengertian di atas bahwa akhlak atau khuluq merupakan suatu


sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga akhlak akan muncul dengan
spontan tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak
lagi memerlukan dorongan dari luar jiwa manusia.

Penjelasan Amin Syukur tentang akhlak merupakan bagian dari tasawuf. Salah
satu karakteristik mistisisme termasuk tasawuf adalah peningkatan moralitas/etika.
Oleh karena itu, tasawuf mempunyai kaitan erat dengan teori-teori moral yang lazim
disebut etika. Teori etika al-Ghazali umumnya ditulis setelah menempuh jalan
hidup sufi. Disebabkan kondisi kerohaniannya banyak berpengaruh terhadap
bangunan konsepsi etikanya. Di sisi lain, teori etikanya juga dilatarbelakangi oleh
kondisiobyektif masyarakatnya yang mengalami degradasi moralnya dan merugikan
kehidupan akhirat. Perhatian utama hidup dan pemikirannya selama menempuh
kehidupan sufi adalah kehidupan akhirat yang baik, karena faktor inilah yang
menyebabkan etikanya bersifat religius dansufistik.14

12
. Tim Penyusun Kamus, Op.Cit,754-755.
13
. Dalam Maktabah Samilah, Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih,
Tahdzibal-Akhlak wa Tathir al-A’araq, Juz 1, (Bairut: Maktabah al-Tsaqafah ad-Diniyyah, 2001), 41.
14
. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.
183.

9
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, pengertian etika ialah ilmu yang
membicarakan tentang sesuatu yang menurut ukuran dikatakan baik dan buruk
tentang perihal yang terkait dengan moral (akhlak). Adapun moral membahas tentang
hal-hal yang berkaitan sopan santun. Adapun sumbernya dapat berasal dari
kebudayaan, tradisi atau adat istiadat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan
dari beberapa sumber. Sumber moral dalam Islam paling utama adalah agama,
sebagai cerminan keimanan seseorang dalam berperilaku dalam kehidupannya.

Untuk memudahkan pemahaman tentang persamaan dan perbedaan etika,


moral, dan akhlak sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, penulis sajikan
keterangannya sebagai berikut.

Persamaan/ Etika Moral Akhlak


Perbedaan
Objek Material Material Material
adalah adalah adalah
manusia manusia manusia
dan formal dan formal dan formal
perbuatannya perbuatannya perbuatannya
Sumber Akal pikiran, Norma, nilai, Al-Qur’an,
rasio, filsafat adat, dan sunah Nabi,
kebudayaan atsar, tabi’
tabiin, ulama
Fungsi Penentu Penentu Penentu
ukuran ukuran ukuran
baik dan baik dan baik dan
buruk suatu buruk suatu buruk suatu
perbuatan perbuatan perbuatan
manusia manusia manusia
Sifat Relatif, Relatif, Mutlak,
terbatas, dan terbatas, dan Abadi,
berubah-ubah berubah- Universal dan
(temporal) ubah tidak dapat

10
(temporal) diubah

Adapun keteladanan berasal dari kata teladan yang artinya adalah sesuatu
hal yang layak dan patut untuk ditiru, dengan kata lain merupakan contoh yang
baik. 15 Pandangan Said Muhammad Qabil, keteladanan merupakan contoh yang
diikuti oleh orang lain, lalu di ikuti oleh orang yang lainnya dan akan melakukan
apa yang dilakukan oleh yang mencontohkannya.16 Teladan adalah di antara
metode yang paling penting dalam pendidikan, baik untuk pendidikan yang sudah
dewasa maupun untuk anak kecil sama saja. Teladan melahirkan sikap
menghargai keutamaan akhlak melalui pengamalannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Keteladanan seorang pendidik merupakan salah satu faktor kunci yang
menentukan baik buruknya sifat anak. Bila orang tua berakhlak mulia dan
menghindari perilaku tercela maka anak akan mencontohnya. Oleh sebab itu,
sebagai orang tua harus menjadi teladan dan dapat memperlihatkan contoh yang
baik kepada anak-anaknya. 17

C. Konsep Pendidikan Etika dan Keteladanan

Memahami pola dan corak pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, dapat


dipetakan menjadi beberapa aspek yaitu aspek pedagogis, aspek sosial kultural, dan
aspek tauhid. Aspek- aspek itu kemudian dikaitkan untuk dianalisis dan
diinterpretasikan dalam bentuk konseppendidikan etika, pendidikan keteladanan dan
karakteristik kepribadian guru sebagaimana yang menjadi masalah penelitian ini.
Adapun aspek-aspek tersebut dijelaskan sebagai berikut:

15
. Tim Reality, Kamus Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, (Surabaya: Reality Publisher,
2008), 625.
16
. Mahmud Al-Khal’awi dan Muhamad Said Mursi, Mendidik Anak dengan Cerdas, (Solo:
Insan Kamil, 2007), 90.
17
. Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah, (Yogyakarta: Belukar,
2006), 34

11
1. Aspek Pedagogis

Seorang guru atau pendidik dapat memandang manusia sebagai animal


educandum yaitu makhluk yang memerlukan pendidikan. Meskipun dalam perpektif
dan pandangan ini bahwa proses pendidikan dan perlakuannya bukan sebagai hewan
yang dapat didik, namun sebagai manusia dengan segala potensi yang ada dan
dimilikinya dapat di didik dan dikembangkan. Pandangan ini, Islam mengarahkan
kepada kita bahwa seorang anak sesungguhnya telah dibekali berbagai macam potensi
yang apabila potensi tersebut dikembangkan akan menjadi manusia secara fisik dan
mental akan memadai. 18

Abdullah Nashih Ulwan menyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak-anak


berbeda satu sama lainnya, termasuk kemampuan dan bakatnya. Guru atau pendidik
yang bijak adalah yang mampu menempatkan anak sesuai dengan bakat dan
minatnya serta dalam lingkungan yang sesuai dalam proses pendidikannya. 19

Dalam proses pendidikan anak akan berhasil jika ada keserasian antara
kecerdasan dan minatnya, antara pembawaan dan pandangannya. Siapa yang
cenderung kepada sastra, syair tulis menulis, tidak menonjol di bidang ilmu ukur,
ilmu eksak, kedokteran dan matematika. Siapa yang berbakat dalam ilmu ukur,
matematika, kedokteran maka sulit menonjol dalam syair dansastra.20

2. Aspek Sosiologi dan Kultural

Pada prinsipnya manusia merupakan makhluk homosocius, yaitu makhluk yang


berwatak dasar dengan insting untuk hidup secara berkelompok (sosial). Aspek ini
memberikan pemahaman bahwa manusia mempunyai jiwa sosial dalam
mengembangkan hubungan timbal balik (interaksi) dalam anggota masyarakat dalam
kesatuan hidupnya.

18
. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. 2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), 86-89.
19
. ibid, 445.
20
. ibid, 450.

12
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial, makhluk berkebudayaan,
makhluk yang membutuhkan dan memerlukan makhluk lainnya. Oleh karena itu
maka manusia perlu melakukan pemindahan dan penyaluran serta pengoperan
kebudayaannya kepada generasiyang akan menggantikannya di kemudian hari. 21

Abdullah Nashih Ulwan menyatakan bahwa guru bertanggung jawab terhadap


pendidikan sosial sejak dini agar di tengah-tengah masyarakat nanti mampu bergaul dan
berperilaku sosial yang baik. Pentingnya pendidikan dalam aspek sosial dan kultural
karena merupakan manifestasi perilaku dan watak dalam pergaulan dengan orang
lain. 22 Dalam pendidikan sosial, menurut Abdullah Nashih Ulwan pentingnya
menanamkan prinsip dasar kejiwaan yang menjadi tanggung jawab guru yang
meliputi takwa, persaudaraan, kasih sayang, mengutamakan orang lain, pemaaf, dan
memiliki sifat keberanian.23

Tanggung jawab pendidik dalam etika pergaulan sosial, Abdullah Nashih


Ulwan menyinggung pentingnya memelihara hak orang lain, hak orang tua, tetangga,
guru, teman dan sanak saudara. Serta masalah dalam etika sosial, seperti etika makan
minum, memberi salam, berbicara, bergurau, ta’ziyah dan etika dalam bersin dan
menguap. 24

Berdasarkan uraian di atas, dalam proses pendidikan guru tidak hanya


menyampaikan kepada anak didik yang berorientasi transfer of knowledge, akan
tetapi berorientasi transfer of value. Guru wajib menjalankan dan melaksanakan
prinsip dasar etika pergaulan sosial dalam kehidupannya sehari-hari dan menjaga
hak orang lain serta dalam masalah etika sosial. Dalam hal ini guru berperan penting
dalam mengimplementasikannya agar seorang pendidik dapat menjadi teladan bagi
anak didik serta memiliki kepribadian yang baik.

21
. Abdullah Nashih Ulwan, Op.Cit, hlm. 435.
22
. ibid, 436
23
. ibid, 439
24
. ibid, 463

13
3. Aspek Tauhid

Aspek ini memberikan informasi bahwa sesungguhnya manusia merupakan


makhluk yang berketuhanan, makhluk yang percaya adanya Tuhan, dapat disebut
juga sebagai homo religius (makhluk yang percaya dengan Tuhan dengan cara
beragama). Kemampuan mendasar inilah yang menyebabkan manusia menjadi
makhluk yang berketuhanan karena di dalam jiwa manusia terdapat insting religius,
kecenderungan percaya pada agama. Karena merupakan hal yang mendasar, bila
tidak dididik melalui sebuah proses pendidikan yang memadai akan berakibat tidak
berkembang sebagaimana yang dikehendaki. Dengan demikian pendidikan
keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan kedua insting tersebut.25

Abdullah Nashih Ulwan menyatakan aspek Tauhid dalam tanggung jawab


pendidikaniman adalah hal yang paling utama. Tanggung jawab pendidikan iman
dalam perspektif Abdullah Nashih Ulwan merupakan hal yang utama dan
prioritas, karena menjadi dasar dalam akidah islam. Tanggung jawab pendidikan
imanyakni meliputi menanamkan kalimat tauhid, mengenalkan tentang persoalan
hukum halal dan haram, menyuruh anak untuk menjalankan ibadah ketika
memasuki usia 7 tahun, serta mendidik untuk mencintai Rasulullah, keluarganya,
sahabatnya dan pentingnya dalam pendidikan al-Qur’an. 26

4. Konsep Pendidikan Etika

Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Sebagaimana yang telah


dijelaskan bahwa etika bersifat teoritis dalam menjelaskan perbuatan- perbuatan
yang berkaitan dengan hal-hal yang baik dan buruk. Dalam pandangan Islam,
etika dapat disamakan dengan ilmu akhlak yaitu suatu ilmu yang membicarakan
kaidah tentang tingkah laku manusia yang dapat dipandang berdasarkan nilai baik

25
. Nur Uhbiyati, Op.Cit, 86-89.
26
. Abdullah Nashih Ulwan, Op.Cit, hlm. 165.

14
dan buruknya. 27

Akhlak mengandung beberapa pengertiansebagai berikut:28

a. Tabiat yaitu sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki
dan tanpa diupayakan.
b. Adat yaitu sifat dalam diri yang diupayakan manusia melalui latihan yakni
berdasarkan keinginan.
c. Watak yakni meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang
diupayakan hingga menjadi adat.

Akhlak atau khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang
akan muncul secara spontan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih
dahulu dalam melahirkan perbuatan-perbuatan, serta tidak memerlukan dorongan
dari luar sebagaimana yang diutarakan oleh Imam al-Ghazali dan IbnuMiskawaih.

Etika atau akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus
pendidikan islam. Telaah tentang konsep etika oleh Abdullah Nashih Ulwan sejalan
dengan teori etika al- Ghazali yang bercorak teologis yang berakar pada pemikiran
Aristoteles dan para filosof muslim lainnya seperti ibnu Sina, al-Farabi, dan Ibnu
Miskawaih yang menimbang bahwa nilai kebaikan dan keburukan suatu perbuatan
dikaitkan dengan akibatnya. 29

Dalam menempatkan suatu perbuatan- perbuatan yang lahir dengan kehendak


dan disengaja hingga dapat dinilai baik atau buruk ada beberapa syarat yang perlu
diperhatikan:

a. Situasi yang memungkinkan tindakan memilih bukan karena paksaan, adanya


ke- mauan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja.
b. Tahu apa yang dilakukan, yaitu mengenai nilai-nilai baik dan buruknya.

27
. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 163.
28
. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011), 10.
29
. Amin Syukur dan Masyarudin, Intelektualisme Tasawuf, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2012), hlm. 186.

15
Pokok permasalahan yang menjadi bahasan ilmu akhlak adalah perbuatan dan
perilaku manusia, lalu ditentukan kriterianya tersebut, apakah termasuk bagian dari
kriteria yang baik atau kriteria yang buruk. Oleh sebab itu, ruang lingkup
pembahasan ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. maka ukuran yang harus digunakan
adalah ukuran normatif., jika perbuatan tersebut dikatakan baik atau buruk.

Pembagian skhlak secara definitif secara umum di bedakan menjadi dua, yaitu
akhlak terpuji (mahmudah) dan akhlak yang tercela (madzmumah). Jika suatu
perbuatan manusia sesuai dengan perintah Allah dan rasul, kemudian melahirkan
perbuatan yang baik, itulah yang disebut sebagai akhlak terpuji. Jika sesuai dengan
apa yang dilarang, perbuatan-perbuatan yang buruk, perilaku tersebut dinamakan
sebagai yang tercela.

Moral merupakan cermin dari keadaan jiwa dan sekaligus gerak-gerik,


perilaku atau tindakan manusia. Karena memang tak seorang pun manusia yang
dapat terlepas dari moral, sehingga manusia akan dinilai berakhlak mulia
sekiranya jiwa dan tindakannya menunjukkan kepada hal-hal yang baik, yang
dipandang mulia. Demikian pula sebaliknya manusia akan dinilai bermoral
rendah sekiranya jiwa dan tindakannya menunjukkan kepada perbuatan-perbuatan
yangdipandang tercela.30

Berdasarkan uraian di atas, akhlak berhubungan dengan gejala jiwa


sehingga dapat menimbulkan perilaku. Bila perilaku yang timbul baik maka
dinyatakan akhlak yang baik. Bila perilaku yang timbul buruk, maka dikatakan
akhlak yang buruk. Bedanya dengan moral, ukur baik dan buruk mengikuti
ketentuan agama, sedangkan moral berdasarkan adat istiadat dan budaya
manusia.

5. Konsep Pendidikan Keteladanan

30
. Muhammad Zain Yusuf, Akhlak Tasawuf, (Semarang: Al-Husna, 1993), 22.

16
Keteladanan merupakan sebuah metode yang digunakan untuk
merealisasikan tujuan pendidikan Islam dengan memberi contoh keteladanan
yang baik agar anak didik dapat berkembang secara fisik dan mental serta
memiliki akhlak yang baik. 31 Dalam hal ini Abdullah Nashih Ulwan
menyatakan bahwa keteladanan merupakan metode yang berpengaruh dan
terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk karakteristik
anak. Pendidik merupakan figur terbaik dalam pandangan anak yang akan ditiru
oleh mereka dalam berbagai bentuk perkataan dan perbuatan.32Meskipun
manusia memiliki kepribadian yang unik dan membedakannya dengan
kepribadian manusia lainnya, di dalam diri manusia terdapat potensi dasar
(fitrah) yang sama sebagai individu. Fitrah berarti potensi yang dimiliki manusia
untuk menerima agama, iman dan tauhid serta perilaku suci. Dalam
pertumbuhannya, manusia itu sendiri yang berupaya mengarahkan fitrah kepada
iman atau tauhid melalui pendidikan, pergaulan dan lingkungan yang kondusif.33
Oleh sebab itu, diperlukannya pendidikan melalui keteladanan dan pembiasaan
agar fitrah manusia senantiasa terjaga.Akhlak manusia dapat dibina proses
pendidikan dan pembiasaan, sehingga suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya
otomatis tanpa direncanakan terlebih dulu dan dilakukan dengan otomatis tanpa
pelu dipikirkan lagi. Dengan proses pendidikan pembiasaan memberikan
kesempatan kepada anak didik terbiasa mengamalkan ajaran-ajaran agamanya,
baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Pembiasaan diri dan pengalaman ini penting untuk diterapkan karena
pembentukan akhlak dan rohani, serta pembinaan sosial memerlukan latihan
yang terus menerus. Pendidikan dengan pembiasaan yaitu membiasakan anak

31
. Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), 102.
32
. Abdullah Nashih Ulwan, Op.Cit, 142
33
. Abdurrahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), 46.

17
dengan hal-hal tertentu sehingga menjadi kebiasaan dirinya, dan melakukannya
dengan tanpa perlu pengarahan. 34
Yang tidak kalah pentingnya dalam usaha pembentukan karakter anak
melalui pembiasaan yaitu dengan cara melatih dan membiasakan anak dengan
segala jenis perilaku, etika dan akhlak Islami. Dengan membiasakan anak
berakhlak Islami pada akhirnya menjadi kebiasaan yang mengakar dalam diri
anak dan karakter yang istimewa bagi anak, orang tua membiasakan diri pada
anaknya dengan tradisi-tradisi Islami yang merupakan metode yang menyeluruh
dan mencakup seluruh lini kehidupan dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Pembentukan kebiasaan dapat dilakukan melalui teladan yang baik.35
D. Konsep Reward dan Punishment
Abdullah Nashih Ulwan Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Ulwan
merupakan tokoh ulama Islam orisinal, beliau jarang mengutip pendapat orang-
orang di luar Islam. Ulwan mengutip sebuah hadits dari Aisyah, ketika menjawab
pertanyaan tentang akhlak Nabi saw. Jawaban Aisyah akhlak Nabi adalah al-
quran. Menurut Ulwan, jawaban tersebut sangat mendalam, singkat dan
universal, karena menghimpun metode al-qur an secara universal dan prinsip-
prinsip budi pekerti yang utama. Dengan demikian Nabi saw. merupakan
penterjemah hidup keutamaan-keutamaan al-qur an, gambaran yang bergerak
dari petunjuk al-quran yang abadi. 36 Sehingga segala sesuatu yang telah
dicontohkan dan dipraktikan oleh Nabi saw. harus direfleksikan oleh umat Islam
sendiri. Sebagaiman petunjukkan al-qur an menyebutkan pada surah Al-ahzab
ayat 21 yang artinya:
“Sesungguhnya bagi kamu sekalian dalam diri Rasulullah terdapat suri
tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan

34
. Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak, (Jakarta: Pustaka
AlKautsar, 2006), 62.
35
. Ibid, 46.
36
. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-aulad fi al-islam, Jilid II, op. cit., 635.

18
hari akhir, dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya.”
Lalu pada surah Al-hasyr ayat 7 yang artinya:
“Dan segala apa yang telah dikerjakan oleh Rasul maka ambillah, segala
apa yang dilarang olehnya maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada
Allah sesungguhnya Ia Maha dasyat siksaan-nya.”
Melihat melalui kaca mata pendidikan, Nabi saw. dianggap oleh para sahabat
sebagai guru riil, an actual teacher, yang bisa dilihat seharihari dengan mata
kepala sendiri. Umat yang sekarang memandang Nabi sebagai guru imajiner,
tetapi efektif. Yakni guru yang belum pernah bertatap muka, tapi kedekatan umat
Islam dengannya dan ajaran-ajarannya mengalahkan dimensi ruang dan waktu.
Sehingga pendidikan yang diajukan oleh ulwan adalah hasil dari interpretasi dan
modifikasinya terhadap al-qur an dan sunnah Nabi saw. Dengan demikian,
seorang pendidik harus mampu merefleksikan perilaku pendidikan yang telah
dilakukan oleh Nabi yang sangat menomersatukan perhatianya terhadap umat.
Ketika pendidik mendapatkan anak didiknya mengerjakan perbuatan munkar
atau dosa, seperti mencuri atau mengeluarkan kata-kata kotor, pendeknya
melakukan pelanggaran dan menyalahi ketentuan dari akhlak, perlu adanya
tahdzir, peringatan dan penjelasan bahwa perbuatan tersebut munkar, keji, busuk
dan hukumnya haram. Sebaliknya, ketika anak didik mengerjakan kebaikan atau
perbuatan ma’ruf seperti sadaqah atau memberikan pertolongan, pendidik
memberikan targhib, dorongan atau dukungan, untuk terus mengerjakan serta
menjelaskan bahwa perbuatan tersebut baik dan halal. 37 Menurut Ulwan, dalam
rangka rangka menghasilkan dan memilki peran yang sangat besar dalam
membentuk moral, dan membiasakan anak didik berakhlak mulia yaitu
diantaranya dengan cara targhib (pemberian stimulus berupa pujian dan sesuatu
yang menyenangkan) dan tarhib (pemberian stimulus berupa peringatan atau
sesuatu yang ditakuti). Atau bahkan pendidik pada kondisi tertentu terpaksa
memberikan uqubah, hukuman, jika dipandang terdapat kemaslahatan dalam

37
. ibid, 89.

19
proses taqwim alinhiraf wa al- iwijaj, meluruskan penyimpangan dan
penyelewengan.

Uraian tersebut menegaskan bahwa Ulwan memiliki Istilah yang selaras


dengan konsep reward dan punishment. Tahdzir lebih mengarah kepada
peringatan, bentuk verbal, sehingga dijadikan konsep umum untuk istilah
punishment dalam pendidikan modern kurang terwakili. Lebih tepatnya tahdzir
berkedudukan sebagai bagian dari bentuk punishment sendiri. Berbeda dengan
targhib dan tarhib, keduanya memiliki makana yang lebih luas bisa berbentuk
fisik maupun nonfisik, atau verbal nonverbal. 38 Uqub atau iqab, lebih mengarah
kepada hukuman fisik dan keras, berbeda dengan tarhib yang lebih lunak.
Demikian bahasa Arab memang kaya dengan padanan kata yang memiliki
kesamaan arti, namun sebenarnya masing-masing kata memiliki spesifikasi
makna tertentu. Mengenai bentuk-bentuk dari targhib dan tarhib dapat berupa
peringatan melalui daftar verbal ketika anak didik melakukan sesuatu yang
munkar. Memberikan pujian, rasa hormat, dan dorongan ketika ia melakukan
sesuatu yang baik agar senantiasa mengulangi perbuatan tersebut.39 Menurut
Ulwan syariat Islam yang lurus dan adil serta prinsipprinsipnya yang universal,
sesungguhnya memiliki peran dalam melindungi kebutuhan-kebutuhan primer
yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Selanjutnya kebutuhan
primer tersebut terkenal dengan sebutan al-dharuriyyat al-khams, yaitu menjaga
agama, menjaga jiwa, menjaga kehormatan, menjaga akal dan menjaga harta
benda. Dalam rangka memelihara masalah tersebut, syariat telah meletakan
berbagai uqubah (hukuman) yang mencegah, bahkan bagi setiap pelanggar dan
perusak kehormatannya akan merasakan kepedihan.40

38
. Muhammad Thalib, Pendidikan dengan Metode 30 T, (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1996), 156-157.
39
. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-aulad fi al-islam, Jilid II, op. cit.,729.
40
. ibid, 753.

20
BAB III
PENUTUP
Corak pemikiran Abdullah Nashih Ulwan dipetakan menjadi beberapa
aspek, yaitu aspek pedagogis, aspek sosial dan kultural, dan aspek tauhid. Aspek-
aspek tersebut dikaitkan dengan konsep pendidikan etika dan keteladanan adalah
bagian dari tanggung jawab pendidik. Konsep pendidikan etika disebut
pendidikan akhlak yang membahas tentang perbuatan-perbuatan manusia dan
menetapkan perbuatan-perbuatan itu tergolong perbuatan yang baik atau
perbuatan yang buruk. Adapun dalam konsep pendidikan keteladanan menurut
Abdullah Nashih Ulwan melahirkan sikap menghargai keutamaan akhlak melalui
praktik dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pendidikan etika
dan keteladanan Abdullah Nashih Ulwan menempatkan guru sebagai model,
yaitu pendidikan yang dapat menampilkan perilakunya yang baik sebagai contoh
atau teladan kepada anak-anak didiknya agar dapat melahirkan perilaku yang
baik sebagai cerminan kepribadian guru.
Seorang pendidik harus pendai menyembunyikan kemarahannya,
menampakkan kesabaran, hormat, lemah lembut, kasih sayang, dan tabah dalam
mencapai sesuatu keinginan. Dengan demikian dalam memandang kesalahan
anak, seorang pendidik tidak langsung menyimaknya hanya sebagai kesalahan
semata. Akan tetapi, harus senantiasa melihat apa sebab yang melatar belakangi
kesalahan tersebut. Bisa jadi karena unsur ketidaktahuan, keteledoran, atau
kemungkinan-kemungkinan lain, mengingat anak didik bukanlah seperti
pendidik sendiri, bukan orang dewasa.

21
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011).

Abdullah Nashih Ulwan Pemikiran-pemikirannya dalam Bidang Pendidikan, dalam


Ruswan Thoyib (eds.), Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).

Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah al-aulad fi al-islam, Jilid II, op. cit.,729.

Abdurrahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan


Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011).

Amin Syukur dan Masyarudin, Intelektualisme Tasawuf, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2012).

Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).

Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).

Binti Maunah, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009).

Dalam Maktabah Samilah, Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub Miskawaih,
Tahdzibal-Akhlak wa Tathir al-A’araq, Juz 1, (Bairut: Maktabah al-Tsaqafah
ad-Diniyyah, 2001).

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, cet. 3, (Bandung: Mizan,


1991).

Lift Anis Ma'shumah dalam Ismail SM, (ed), Paradigma Pendidikan Islam, cet. 1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Mahmud Al-Khal’awi dan Muhamad Said Mursi, Mendidik Anak dengan Cerdas,
(Solo: Insan Kamil, 2007).

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan,


Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2009).

Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Usia Pra Sekolah, (Yogyakarta:


Belukar, 2006).

22
Muhammad Rasyid Dimas, 25 Cara Mempengaruhi Jiwa dan Akal Anak, (Jakarta:
Pustaka AlKautsar, 2006).

Muhammad Thalib, Pendidikan dengan Metode 30 T, (Bandung: Irsyad Baitus


Salam, 1996).

Muhammad Zain Yusuf, Akhlak Tasawuf, (Semarang: Al-Husna, 1993).

Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. 2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998).

Syarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet 1.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002).

Tim Reality, Kamus Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, (Surabaya: Reality Publisher,
2008).

Wahbi Sulaiman al-ghawajj al-albani, Sebuah Pengantar, dalam Abdullah Nashih


Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, Jilid I, (Jakarta:
Pustaka Amani, 1999).

Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kepita Selekta
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).

23

Anda mungkin juga menyukai