Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENDIDKAN MULTIKULTUR BERBASIS MODERASI

DALIL ALQUR’AN TENTANG MODERASI BERAGAMA SERTA


PENAFSIRANNYA

PENDIDIKAN MODERASI BERAGAMA DALAM KURIKULUM


PESANREN

DISUSUN

ELSI SUSANTI

NIM 20010103

DOSEN PENGAMPUH :

EMY HERAWATI M.pd.i

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-QURANIYAH

MANNA BENGKULU SELATAN

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah S.W.T yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Serta mari sama-sama kita panjatkan puja dan syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Dalil Alqur-an Tentang Moderasi
Beragama dan Pendidikan Moderasi Beragama Dalam Kurikulum Pesantren”.
Makalah ini disusun berdasarkan tugas dari proses pembelajaran yang telah telah
dititipkan kepada kelompok kami. Makalah ini disusun dengan menghadapi
berbagai rintangan, namun dengan kesabaran kami mencoba untuk menyelesaikan
makalah ini.

Makalah ini memuat tentang “Dalil Alqur-an Tentang Moderasi Beragama dan
Pendidikan Moderasi Beragama Dalam Kurikulum Pesantren”, tema ini akan
dibahas di makalah ini sengaja dipilih oleh dosen pengampuh kami untuk kami
pelajari lebih dalam. Butuh waktu yang cukup panjang untuk mendalami materi
ini sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Kami selaku penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen


pengampuh yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat dinilai dengan baik dan dihargai oleh
pembaca meski makalah ini masih mempunyai kekurangan, kami selaku penyusun
mohon kritik dan sarannya. Terima kasih.

September 2022

Elsi Susanti
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN…………………………………………………..………….i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah……………………...……………………………….……3

BAB II PEMBAHASAN 2

A. Dalil Alqur’an Tentang Moderasi……………...………..………………...4

B. Moderasi Dalam Kurikulum Pesantren…...…………….…………………5

BAB III Kesimpulan……………….……...…………………….…………….…3

A. Kesimpulan……………………………………….………………….……6

B. Daftar Pustaka……………..……..………………………………………..7
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sejak lahir seorang manusia sudah langsung terlibat di dalam kegiatan

pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dilatih, dijaga, dan dididik oleh

orang tua, keluarga dan masyarakatnya menuju tingkat kematangan,

sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola

kelangsungan hidupnya. karena manusia pendidikan mutlak ada dan

karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia

yang manusiawi.

Di dalam keonteks pendidikan, manusia adalah makhluk yang selalu

mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek,

selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan

perilakunya. jelaslah bahwa pendidikan bertujuan untuk meningkatkan

kualitas hidup manusia, baik pendidikan yang berlangsung secara alami

oleh orang tua atau masyarakat terlebih pendidikan tersistem yang

diselenggarakan oleh sekolah. Jadi kesimpulannya adalah manusia

memiliki beberapa potensi yang ada pada dirinya, yaitu potensi intelektual,

rasa. karsa, karya dan religi yang bisa dan akan ditumbuh dan kembangkan

melalui proses pendidikan yang baik dan terarah..

Tampaklah bahwa manusia itu sangat membutuhkan pendidikan.

Karena melalui pendidikan manusia dapat mempunyai kemampuan-

kemampuan mengatur dan mengontrol serta menentukan dirinya sendiri.

Melalui pendidikan pula perkembangan kepribadian manusia dapat


diarahkan kepada yang lebih baik. Dan melalui pendidikan kemampuan

tingkah laku manusia dapat didekati dan dianalisis secara murni. Dalam

makalah ini akan dibahas mengenai hubungan manusia dengan pendidikan

itu sendiri

Hampir semua orang dikenali pendidikan dan melaksanakan

pendidikan. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya, dan

manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka juga akan

mendidik anak-anaknya. Begitupula di sekolah dan perguruan tinggi, para

siswa dan mahasiswa dididik oleh dosen dan para guru. Pendidikan adalah

khas milik dan alat manusia. Tidak ada mahluk lain yang membutuhkan

pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa hubungan antara manusia dan pendidikan ?

2. Apa kaitan antara manusia, pendidikan dan kebudayaan ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui hubunga n antara manusia dan pendidikan.

2. Untuk mengetahui  kaitan antara manusia, pendidikan dan kebudayaan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Dalil Alqur’an Tentang Moderasi Beragama Serta Penafsirannya


1. Profil Ibnu Katsir
Nama lengkap ibnu katsir adalah ‘imad al-Din Abu al-fida Ismail ibn
al-khathib Syihab al-Din Abi Hafash ‘Amr ibn Katsir al-Qurasyiy al-
Syafi’i. ia lahir pada tahun 700 H/ 1301 m di Midjal yang masuk dalam
wilayah Busrah, sehingga pada dirinya diletakkan predikat (al-Busrah).
Ibnu Katsir adalah anak dari Shihab Ad-Din Abu Hafsah Amr Ibn Dhaw
Ibn Zara’ Al-Qurasyiy, yang mserupakan seorang ulama terkemuka pada
masanya. Ayahnya yang bermashab Syafi’I dan pernah mendalami
mazhab Hanafi. Usia ibnu Katsir ketika ayahnya wafat belum mencapai
usia tiga tahun, sedangkan usia anak yang belum mencapai tiga tahun
tampaknya sulit untuk dapat mengenang suatu peristiwa sebagai halnya
dalam mimpinya.
Ibnu Katsir ditinggal wafat oleh ayahnya disaat masih kanak-kanak,
hal ini berarti semasa ayahnya hidup Ibnu Katsir belum siap menerima
didikan keilmuan langsung olehnya sebagaimana umumnya dialami anak-
anak ulama pada masanya. Dalam bidang hadis, Ibnu Katsir belajar kepada
Syekh Najm al-Din al-‘Asqalani dan Syihab al-Din Ibn AL-Hjar yang
lebih dikenal dengan panggilan Ibn al-Syahnah. Dalam bidang fiqih Ibnu
Katsir berguru kepada dua ulama terkemuka yakni Syekh Barhan al-Din
al-Fazari dan Kamal al-Din Ibn Qadhi Syuhbah. Masa kecil, yakni pada
tahun 711 H beliau telah menyelesaikan hafalan Qur’an nya dan
dilanjutakan dengan memperdalam ilmu qiraat. Dalam kajian tafsir terkait
gru yang secara khusus yang membimbingnya. Akan tetapi berdasarkan
uraian dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah, dengan jelas bahwa
beliau biasanya menghadiri kajian-kajian yang dibawakan oleh Ibnu
Taymiyah, hingga akhirnya Ibnu Katsir memperoleh bekal ilmu tafsir
dalam menyusun tafsirnya. Menurut Manna al-Qattan, Ibnu Katsir
merupakan pakar fiqih yang dapat dipercaya, pakar hadis yang cerdas,
sejarawan ulung dan pakar tafsir yang paripurna.
Adapun beberapa karya yang terkemuka dari Ibnu Katsir yakni. Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzhim, al-Bidayah wa al-Nihavah, lami’ Qur’an
al-‘Adzim,tafsir ini memiliki gaya yang sama dengan Tafsir Ibnu Jarir at-
Tabari. Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang terkenal dan
popular dengan gaya bil ma’tsur, yaitu dengan menjadikan sumber-sumber
primer dengan mementingkan riwayat-riwayat yang otentik dan menolak
pengaruh-pengaruh sperti halnya Israiliyat. Ibnu Katsir dalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an memakai bahasa yang sederhana dan mudah dipahami.
Sistematika yang di tempuh Ibnu Katsir dalam menafsirkan al-Qur’an
yaitu dengan menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan
rentetan mushaf, ayat perayat dan aurah persurah dengan memulaikan dari
surah al-Fatihah dan diakhiri surah an-Nas atau lebih dikenal dengan
isltilah tartib mushafi. Mengalami penafsiranya Ibnu Katsir menyajikan
sekolompok ayat yang dianggap berkaitan dan berhubungan dalam tema
kecil.
Dalam hal ini Ibnu Katsir cendurung menggunakan metode tahlili.
Tafsir ini yang paling masyur yang memberikan perhatian besar terhadap
riwayat-riawayat dari pada mufassir slaf.
1. Pengertian Moderasi Beragama
Secara bahasa, moderasi berasal dari bahasa Latin yaitu moderation
yang berarti sedang. Sedang yang dimaksud adalah tidak berlebihan dan
tidak kekurangan. Moderation dalam bahasa Inggris yang berarti
mengurangi sikap ekstrim. Sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan
kata wasath atay wasathiyah yang artinya tengah atau berada diantara dua
ujung. Menurut pakar bahasa Arab, kata wasath memiliki arti “segala yang
baik sesuai dengan objeknya”. Seperti halnya kata “dermawan”, yang
berarti sikap diantar kikir dan boros. Moderasi menurut istilah dalam
Kamus Bahasa Indonesia memiliki dua makna yaitu menghindari perilaku
dan ungkapan ekstrim, cenderung kearah dimensi jalan tengah maupun
mempertimbangkan pihak lain. Adapu lawan kata moderasi adalah
berlebihan atau tatharruf dalam bahasa Arab, adapun dalam bahasa inggris
dimaknai extreme, radical, dan excessive.
Ketika dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang
selalu cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan
ekstremisme adalah gerak sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju
sisi tertular dan ekstrem (centrifugal). Ibarat bandul jam, ada gerak yang
dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem melainkan bergerak
menuju ke tengah-tengah. Moderasi beragama kemudian dapat dipahami
sebagai cara pandang, sikap dan perilaku yang selalu mengambil posisi di
tengah-tengah, dengan selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam
beragama. Dalam hal ini diperlukan adanya ukuran dan batasan serta
indikator menentukan cara pandang, sikap dan perilaku dalam beragama
tertentu itu tergolong moderat atau ekstrem. Ukuran tersebut dapat dibuat
dengan berlandaskan pada sumber-sumber terpercaya, terpercaya seperti
teks-teks agama, kontitusi negara, kearifan lokal, serta consensus dan
kesepakatan bersama. Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci
terciptanya toleransi dan kerukunan, secara umum. Kunci keseimbangan
demi terpeliharanya perdaban dan terciptanya perdamaian dengan
menempuh jalan moderasi. Karena dengan cara inilah masingmasing umat
dalam beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat,
menerima perbedaan serta hidup bersama dalam damai dan harmoni,
dalam masayarakat multikultural seperti Indonesia, karena moderasi
beragama bukan sebuah pilihan melainkan suatu keharusan.
Moderasi merupakan sebuah kondisi terpuji yang menjaga seseorang
dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap berlebih-lebihan dan
sikap muqashshir yang mengurang- ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah
swt. Sifat wasathiyah umat Islam adalah anugerah yang diberikan Allah
swt secara khusus. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah
swt, maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih. Sifat ini
telah menjadikan umat Islam sebagai umat moderat; moderat dalam segala
urusan, baik urusan agama atau urusan sosial di dunia.
Penafsiran Al-Qur’an Setidaknya kata wasth dalam berbagai
bentuknya dalam al-Qur’an disebut sebanyak lima kali, masing-masing
dalam QS. alBaqarah/2: 143 dan 238, QS. al-Maidah/5: 89, QS. al-
Qalam/68: 28, serta dalam QS. al-Adiyat/100: 5. Pada dasarnya
penggunaan istilah wasth dalam ayat-ayat tersebut dapat merujuk pada
pengertian “tengah, adil dan pilihan”.
1. Ummatan Wasathan
Kata ummatan wasathan seringkali dijadikan sebagai rujukan tentang
moderasi beragama karena ciri-ciri orang moderat adalah adil yang dalam
pandangan orang Islam disebut dengan wasathiyyah. Wasathiyah dalam al-
Quran disebut dengan menggunakan kata wasathan yang disandingkan
dengan kata ummatan terdapat dalam QS. al-Baqarah/2: 143. Kata ummat
dalam bentuk mufrad terulang sebanyak 51 kali dan bentuk plural
(ummama) ada 13 kali di dalam al-Quran. Kata ummat berasal dari kata
amma-yaummu memiliki arti menuju, meneladani, dan menumpu.
Sedangkan al-wasath dalam bahasa Arab adalah isim yang digunakan
untuk mufrad, jama’ muzakkar dan muannats. Maka dari itu, jika kata
wasathan diisnadkan pada kata ummat maka berarti umat yang seimbang,
umat pertengahan dan umat yang terbaik. Sebagaimana dalam QS. al-
Baqarah/2: 143.

Arab-Latin: Wa każālika ja'alnākum ummataw wasaṭal litakụnụ


syuhadā`a 'alan-nāsi wa yakụnar-rasụlu 'alaikum syahīdā, wa mā ja'alnal-
qiblatallatī kunta 'alaihā illā lina'lama may yattabi'ur-rasụla mim may
yangqalibu 'alā 'aqibaīh, wa ing kānat lakabīratan illā 'alallażīna
hadallāh, wa mā kānallāhu liyuḍī'a īmānakum, innallāha bin-nāsi
lara`ụfur raḥīm

Terjemahnya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat
yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa
yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu
terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan
Allah tidak akan menyianyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.

Menurut Ibnu Katsir kata wasath di sini adalah pilihan yang terbaik.
Sebagaimana yang diungkpkan bahwa orang Quraisy adalah orang orang
Arab pilihan, baik dalam nasab maupun tempat tinggal, artinya yang
terbaik sebagaimana yang dikatakan Rasulullah saw. Wasathan fi Qaumihi
yang artinya beliau adalah orang terbaik dan termulia.
Sedangkan menurut at-Thabari kata wasathan diartikan adil, Sayyid
Quthub juga mengartikan kata tersebut dengan maskud baik, utama, adil
dan pertengahan.28 Muhammad Quraish Shihab dalam hal ini memberi
maksud dari kata tersebut yaitu moderat, adil dan tidak berlebihan.29 Hal
ini sebagimana diperkuat dengan asbabun nuzul ayat tersebut yang
diriwayatkan dari Ibnu Ishaq beliau berkata Ismail bin Khalid memberi
tahu saya dari Abu Ishaq dari Barra’, terkait pertanyaan orang Muslim.
Orang-orang Muslim yang telah meninggal sebelum kiblat kita berubah
dan bagaimana shalat kita ketika kita masih menghadap ke arah Baitul
Maqdis? Maka turunlah ayat tersebut yang menyatakan bahwa Allah tidak
akan menyia- nyiakan iman hambanya yang telah beribadah kepadanya
dan dengan tegas bahwa nasib mereka tetap berada disurga.
Secara garis besar ayat tersebut berkaitan dengan penjelasan
perubahan arah kiblat yang awalnya menghadap ke Baitul Maqdis di
Negara Palestina yang diubah menghadap Ka’bah di Kota Mekkah. Dari
perubahan arah kiblat tersebut memperjelas siapa orang yang mengikuti
Rasulullah dan siapa orang yang tetap memeluk agama Nasrani dan
Yahudi. Maka dari itu bagi orang yang mengikuti Rasulullah saw, salat
menghadap arah kiblat maka orang tersebut sebagai orang yang terbaik
(ummatan wasathan), atau orang yang mendapat petunjuk dari Allah.
2. Wustha
Masih dalam surah yang sama terdapat kata wustha yaitu dalam QS. al-
Baqarah/2: 238.

Arab-Latin: ḥāfiẓụ 'alaṣ-ṣalawāti waṣ-ṣalātil-wusṭā wa qụmụ lillāhi


qānitīn

Terjemahnya: Peliharalah shalatmu dan peliharalah shalat wustha, berdirilah untuk Allah
(dalam salat) dengan khusyu.

Maksud dari Ibnu Katsir pada ayat ini bahwa Allah telah
memrintahkan untuk memelihara semua shalat pada waktunya masing-
masing, memelihara ketentuannya dan kamu mengerjakannya tepat pada
waktunya.
Dalam ayat tersebut terdapat kata wustha yang berkaitan dengan
perkara salat. Salat wustha adalah salat yang waktunya berada ditengah.
Akan tetapi, ada perbedaan sudut pandang, yang pertama mengatakan salat
subuh adalah salat wustha, jika hari dimulai dari tenggelamnya matahari.
Berbeda dengan pendapat yang kedua, mengatakan bahwa salat wustha
adalah salat ashar karena mereka memulai hari dengan terbitnya fajar.
Pendapat keduanya dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW
bahwasanya ketika terjadi perang Ahzab, Rasulullah saw dan para pasukan
terpaksa menunda salat Ashar.
Perdebatan tersebut membuat mereka (para musuh) menyibukkan kita
membahas terkait tentang salat wustha hingga kita (orang Muslim) sibuk
memperdebatkannya yang berujung pada perselisihan dan pertengkaran
sampai mereka lupa melakukan salat tepat waktu. Dalam hal ini terdapat
perintah anjuran bagi orang Muslim untuk melaksanakan salat tepat waktu
dengan khusyu. Ketepatan dalam melaksanakan ibadah juga akan
berpengaruh pada kebiasaan orang tersebut dalam mengerjakan sesuatu
untuk selalu berusaha menyelesaikan setiap tugas tepat waktu. Salat tepat
waktu dapat menghindarkan diri dari perbuatan tercela misalnya berbuat
tidak adil terhadap orang yang tidak sependapat atau seagama. Maka dari
itu melaksanakan salat tepat waktu dan khusyu dapat memelihara sikap
adil secara konsisten tanpa memandang latarbelakang seseorang.
3. Ausat
Kata ausath terdapat dalam QS. al-Maidah/5: 89.

Arab-Latin: Lā yu`ākhiżukumullāhu bil-lagwi fī aimānikum wa lākiy


yu`ākhiżukum bimā 'aqqattumul-aimān, fa kaffāratuhū iṭ'āmu 'asyarati
masākīna min ausaṭi mā tuṭ'imụna ahlīkum au kiswatuhum au taḥrīru
raqabah, fa mal lam yajid fa ṣiyāmu ṡalāṡati ayyām, żālika kaffāratu
aimānikum iżā ḥalaftum, waḥfaẓū aimānakum, każālika yubayyinullāhu
lakum āyātihī la'allakum tasykurụn

Terjemahnya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan
jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar
kamu bersyukur (kepada-Nya).
Dalam hal ini Ibnu Katsir mengutip dari Ibnu Jarir ayat ini
menjelaskan tentang kaffarat seseorang yang melanggar sumpah yaitu
dengan memberi orang miskin makanan. Makanan (pertengahan) seperti
yang diberikan kepada keluarganya. Maksud dari pertengahan adalah
standar jumlah makanan dan kualitas makanan yang akan diberikan
kepada orang miskin. Oleh karena itu sebagai orang Muslim harus mampu
menepati janji kepada orang lain dan bertanggung jawab atas perbuatanya,
karena itu merupakan karakter orang moderat.
4. Ausatuhum
Kata ausatuhum terdapat dalam QS. al-Qalam/68: 28.

Arab-Latin: Qāla ausaṭuhum a lam aqul lakum lau lā tusabbiḥụn

Terjemahnya: Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka:


"Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada
Tuhanmu).

Menurut Ibnu Katsir maksud dari kata ausatuhum sebagaimana dikutip


dari Ibnu Jarir bahwa orang tersebut yang mengucapkan kata Insya Allah,
dianggap sebagai tasbih.37 Sedangkan menurut M. Quraish Shihab kata
ausathuhum dimaknai dengan golongan yang terbaik atau paling moderat.
Dalam ayat tersebut terdapat pesan bahwa kita sebagai orang Islam harus
bijak dalam bersikap dan bertindak, sebaiknya berfikir terlebih dahulu dan
selalu mengingat Allah. Jika dalam melakukan sesuatu berfikir terlebih
dahulu dan mengingat Allah maka ketika mau melakukan sesuatu yang
bertentang dengan ajaran agama Islam maka ia akan mempertimbangkan
konsekuensinya yang harus dipertanggungjawabkan. Karena orang yang
terbaik adalah orang yang bijak dalam mengambil keputusan sehingga ia
selalu berusaha untuk bersikap moderat.
5. Fawasathna
Kata tersebut terdapat dalam QS. al-‘Adiyat/100: 4-5.

Terjemahnya: Maka ia menerbangkan debu. Dan menyerbu ke tengah-tengah

Menurut Ibnu Katsir kata fawasathna memiliki makna kudakuda itu


berkumpul dengan mengambil posisi dibagian tengahtengah medan.40
Ibnu Hatim, al-Bazar dan al-Hakim juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia
mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw saat itu mengirim pasukan
berkuda, dengan mengutus Bani Kinanah yaitu al-Mundzir bin Amru al-
Anshari salah satu pemimpin dalam Bai’at Aqabah akan tetapi hingga satu
bulan tidak ada kabar.41 Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwasanya
ketika berjuang dijalan Allah janganlah takut dalam menghadapi musuh
dan berusaha membangkitkan semangat perjuangan dikalangan orang
Muslim. Selalu siap berperang dan terjun ke medan pertempuran bila
dipanggil untuk menghancurkan musuh yang menyerang. Dari sini
terdapat pesan bahwasanya berjuang melawan kelompok minoritas yang
terdiskriminasi karena perbedaan suku, ras, budaya maupun agama wajib
dilakukan. Agar kelompok yang terdiskriminatif tersebut mendapatkan
perlindungan dan kebebasan sebagai warga negara.
Moderasi menurut Ibnu ‘Asyur moderasi dalam bahasa Arab yaitu
wasath yang artinya sesuatu yang berada ditengah, atau sesuatu yang
memiliki dua ujung yang sebanding ukuranya, sedangkan menurut istilah
nilai-nilai Islam yang dibangun atas pemikiran yang lurus. Menurut
Quraish Shihab moderasi yaitu berperilaku seimbang dalam
menyelesaikan persoalan kehidupan duniawi dan ukhrawi disertai dengan
penyesuaian diri terhadap kondisi yang sedang dihadapi berdasarkan
petunjuk ajaran agama.
Sedangkan moderasi jika dihubungkan dengan masalah agama yaitu
bersikap adil dan seimbang dalam menyelesaikan suatu permasalan yang
berkaitan dengan agama maupun kehidupan sosial bermasyarakat.
Bersikap moderat merupakan cara agar seseorang tidak terlalu fanatik
dalam beragama sehingga dapat merugikan orang lain, begitupun dalam
kehidupan sosial, seseorang tidak boleh terlalu fanatik pada kelompok
masyarakat tertentu. Sehingga dapat menyebabkan pertengkaran dan
ketidaknyamanan masyarakat lainya. Maka dari itu, moderasi beragama
harus dipahami oleh setiap masyarakat sebagai sikap beragama yang
seimbang. Yaitu saling menghormati ibadah antar pemeluk agama lain.
Keseimbangan dalam beragama akan menghindarkan kita dari sikap
berlebihan dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti telah ada
sebelumnya, moderasi beragama menjadi salah satu solusi atas munculnya
dua kutub ekstrem dalam beragama yaitu kutub liberal dan
ultrakonservatif.

B. Pendidikan Moderasi Beragama Dalam Kurikulum Pesantren


Secara etimologi, pesantren berasal dari pe-santri-an, yakni tempat
berkumpulnya sekolompok santri. Pesantren didefinisikan sebagai suatu
tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran islam dan
didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen.
Jadi pesantren adalah tempat berkumpulnya sekelompok orang sebagai
seorang peserta didik atau “santri” yang sedang belajar agama islam.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam perkembangannya
sekarang, pesantren memang perlu untuk dipilah-pilah agar tidak rabun
saat menatapnya. Dalam suasana maraknya radikalisme, ekstremisme, dan
sebagainya. Membuat masyarakat berstigma negative tehadap pesantren
dilingkungan sekitar mereka, yang saat ini pesantren tidak hanya dapat
ditemukan di desa, namun juga di kota-kota besar. Banyaknya pesantren
saat ini sebagai permintaan akan perkembangan zaman yang semakin tidak
bias dihindari yang berakibat pada banyaknya keterbukaan suatu
kelompok akan paham yang berlebihan yang berdalih pada kata “dakwah”
membuat pesantren bercitra menakutkan.
Pesantren yang termasuk lembaga pedidikan islam yang cukup
banyak peminat dan sekaligus menjadi sember tumbuhnya generasi-
generasi bangsa. Perlu mengokohkan peran institusi pendidikan islam
pondok pesantren sebagai benteng menanggulangi radikalisme dan
terorisme di Indonesia. Sejalan dengan yang di canangkan oleh kementrian
agama untuk mencegah kekerasan dan radikalisme di pesantren, pihak
kementrian agama (Kemenag) sudah meluncurkan moderasi agama
sebagai panduan pembelajaran di pesantren.
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti
kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Moderasi beragama
adalah adil dan berimbang dalam memandang, menyikapi, dan
mempraktikkan semua konsep yang berpasangan di atas. Dalam KBBI,
kata “adil” diartikan: 1) tidak berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak
kepada kebenaran; dan 3) sepatutnya/tidak sewenangwenang.4 Jadi,
moderasi beragama adalah meyakini secara absolut ajaran agama yang kita
yakini dan memberikan ruang terhadap agama yang diyakini oleh orang
lain.
Dalam UU pesantren juga menyebutkan bahwa pesantren
memegang fungsi dakwah atau penyebarluasan ajaran agama Islam. Pasal
dan ayat dalam ketentuan ini sebenarnya bukan merupakan aturan, namun
merupakan penegasan mengenai model dakwah yang selama ini dijalankan
pesantren. Pesantren adalah pusat dakwah Islam yang moderat
(tawassuth), menghargai tradisi masyarakat dan menggelorakan semangat
cinta tanah air Indonesia.
Pertanyaannya adalah mengapa harus moderasi beragama dalam
menjawab fenomena radikal dan ekstrimisme? Moderasi beragama
menjadi suatu hal yang penting dalam sebuah Negara yang homogen,
memberikan pemahaman bahwa nilai-nilai bersikap dalam knteks
keberagaman menjadikan kita tidak egoisme, intoleran,diskriminatif dan
sebagainya. menjawab bagaimana cara berislam dalam masyarakat yang
plural, dan bernegara dalam masyarakat yang religious. Ajaran ini
menekankan pentingya keseimbangan, tidak berdiri pada kutub ekstrim,
baik dalam pemahaman dan pengamalan. Moderatisme dalam Islam juga
mengajarkan inklusifme, persaudaraan, toleransi, perdamaian dan Islam
sebagai rahmatan lil’alamin.
Beberapa dalil telah menjelaskan tentang ummat Islam dipandang
sebagai ummatanwasathan, sebagai ummat yang cinta perdamaian dan anti
kekerasan. Dengan wajah senyum tersebut, Ummat Islam tampil sebagai
ummat yang mengutamakan misi perdamaian, kekerasan dan toleransi
diantaranya;
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali(agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-
orang bersaudara” (Qs. Ali Imran (3): 103).
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah bersaudara karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah
supaya kamu mendapat rahmat” (Qs. Al-Hujarat (49): 10).
Selanjutnya , perkumpulan, solidaritas dan persaudaraan
merupakan hal yang sudah diketahui manfaatnya oleh setiap orang.
Rasuulah SAW bersabda,”kekuasaan Allah SWT bersama sebuah
kelompok, dan barang siapa mereka mengucilkan diri, maka setan akan
menerkamnya, sebagaimana serigala menerkamnya,sebagaimana serigala
menerkam kambing.
Sebagai wujud mengokohkan dan menguatkan peran pesantren
dalam menangkal radikalisme dan ekstrimisme perlu adanya internalisasi
moderasi beragama dalam kurikulum pesantren. Yang bertujuan untuk
menengahi kedua kutub ekstrem ini, dengan menekankan pentingnya
internalisasi ajaran agama secara substantif di satu sisi, dan melakukan
kontekstualisasi teks agama di sisi lain.
Bentuk internalisasi dalam kurikulum pesantren yaitu pada Hidden
curriculum dan core kurikulum. pada Hidden curriculum menjadi efek
penggiring terhadap materi pelajaran. Dalam pengembangannya,
kurikulum tersembunyi memainkan peran dari segi afektif pendidik yang
ditiru/dijadikan contoh dan mengandung pesan moral serta niai-nilai
positif yang berkenaan dengan moderasi beragama. Misalnya dalam
indicator moderasi beragama terdapat 4 hal; 1) komitmen kebangsaan; 2)
toleransi; 3) antikekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan
lokal6. Pada sikap toleransi, santri selalu disertai dengan sikap hormat,
menerima orang yang berbeda sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir
positif. Implementasinya pada saat pelaksanaan pembelajaran berlangsung,
pendidik berusaha memadukan materi pembelajaran dengan nilai-nilai atau
pesan-pesan moral dengan konteks moderasi beragama.
Core curriculum merupakan kurikulum yang memuat pengetahuan
umum untuk semua santri sebagai pengalaman belajar. Konten atau materi
pembelajaran memang diarahkan untuk membentuk karakter moderat bagi
santri. Hal tersebut secara tersurat diajarkan dalam setiap materi yang
berhubungan langsung dengan pembentukan karakter santri yang moderat.
Hal ini juga tidak jauh beda dengan pelaksanaan dalam kurikulum
tersembunyi, yaitu dalam pelaksanaannya harus diawali pendidik terlebih
daluhu, karena pendidik sebagai role model, yaitu pendidik senantiasa
dituntut menjadi sebuah model dalam pendidikan karakter dan penanaman
nilai-niai moral.7 Moderasi beragama dimasukkan dalam materi sebagai
bahan ajar yang diintegrasikan dengan pendidikan multicultural, yaitu
menurut Ainurrafiq Dawam adalah proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas, dan heterogenitasnya sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Dengan
begitu, lembaga pendidikan pesantren mampu berperan berperan dalam
menyiapkan seperangkat pengetahuan praktis tentang moderasi beragama
di dalam kurikulum dan setiap akademisi akan memiliki acuan nilai yang
eksplisit.
Hal ini penting untuk dicapai karena memiliki sikap moderat bagi
santri sebagai sebuah keharusan dalam meminimalisir dampak negatif dari
bahaya radikalisme di pesantren.
Tidak hanya santri yang moderat tapi juga melaui santri
peningkatan dan keseimbangan anatara kemampuan untuk menjadi
manusia yang baik dan memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup
secara layak bersama dengan kebhinekaan (plurality) di lingkungan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Moderasi beragama merupakan isu yang cukup mencuat dan cukup
hangat dibicarakan dalam dekade ini. Menteri agama Lukman Hakim
Saifuddin sangat antusias menghadapinya karena melalui konsep moderasi
beragama kegaduhan dalam masyarakat akan dapat diatasi terutama
masalah konflik antara umat beragama dan interen umat beragama itu
sendiri karena selama ini radikalisme kekerasan beragama dan terorisme
selalu disemat kepada kelompok-kelompok Islam yang notabenenya
memang fakta di lapangan riil dan nyata.
Al-Quran sebagai kitab suci dan Hadis sebagai sabda Nabi
Muhammad , keduanya merupakan pedoman hidup dan sumber rujukan
umat Islam dalam memutuskan segala perkara yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Moderasi beragama yang diberi arti sebagai
beragama dengan mengambil posisi jalan tengah dan seimbang tidak
ekstrem dan berlebih-lebihan telah ditawarkan Al-Quran dan Hadis
beberapa abad yang lalu. Bahkan bukan dalam moderasi beragama ketika
menghadapi masyarakat plural saja tetapi lebih jauh mendalam dan
universal sampai kepada masalah fenomena alam, masalah moral, masalah
bagaimana cara menangani dunia dan alam termasuk seni dalam hidup
harus serasi dan seimbang, jikalau keseimbangan ini tidak dipahami dan
diterapkan dunia dan manusia yang hidup di dalamnya akan kacau dan
berantakan.
Keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga masyarakat sejak
awal telah mampu mengako-modasikan berbagai macam perubahan, baik
dalam segi struktural maupun sistematik pembelajaran.
Internalisasi nilai-nilai moderasi pada pendidikan begitu penting dalam
menata peradaban dunia dalam bidang pendidikan. Dengan rasa toleransi
yang tinggi tidak akan menyalahkan perbedaan. Namun bukan berarti
ajaran islam moderat ini plin plan, tapi ajaran ini akan menyaring
pertikaian yang ada dan menyatukan perbedaan yang memecah belah nusa,
bangsa, dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Akhmadi, Agus. 2019. Religious Moderation In Indonesia’s Diversity.
Jurnal Diklat Keagamaan 13(2) Alatas, Alwi. 2015. AL FATIH " Sang
Penakluk Konstantinopel". Jakarta: Zikrul Hakim Al-Qur’an Al-Karim
Anwar, Rosihan. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
Ardiansyah. 2016. Islam Wasatîyah Dalam Perspektif Hadis: Dari Konsep
Menuju Aplikasi. Jurnal Mutawâtir 6(2). Mustafa, Agus. 2012.
Mengarungi ‘Arsy Allah. Surabaya: PADMA Press Qardhawi, Yusuf.
2017. Islam Jalam Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Agama.
Bandung: Mizan
Bawani, Imam. 2011. Pesantren Buruh Pabrik: Pemberdayaan Buruh
Pabrik Berbasis Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Haeruddin, Mamang Muhammad. 2015. Berkah Islam Indonesia. Jakarta:
Elex Media Komputindo Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi
Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Anda mungkin juga menyukai