Anda di halaman 1dari 17

IBNU MISKAWAIH

(Falsafah Jiwa dan Etika Islam)

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Dosen Pengampu :
Dr. H. Reza Ahmad Zaini, L.c, MA.
Dr. Binti Mualamah, S.Ag, M.Pd.

Oleh:
Anggi Ameilia Sari Rahma Putri
NIM. 12851221004

PROGRAM STUDI
TADRIS MATEMATIKA
PASCASARJANA UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
NOVEMBER 2021
PRAKATA

Segala puji syukur bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan taufik-Nya kepada seluruh umat manusia, sehingga kita tetap iman
dan Islam, serta komitmen sebagai insan yang haus akan ilmu pengetahuan.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pemikiran
dan Peradaban Islam yang diampu oleh Dr. H. Reza Ahmad Zaini, L.c, MA. dan
Dr. Binti Mualamah, M.Pd. dan juga merupakan sebagian dari syarat yang harus
dipenuhi oleh penulis guna lulus mata kuliah Sejarah Pemikiran dan Peradaban
Islam.

Selesainya penyusunan makalah ini berkat bimbingan dari dosen pengampu,


dan juga berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

a. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung yang telah memberikan izin kepada penulis untuk
mengumpulkan data sebagai bahan penulisan makalah ini.
b. Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag. selaku Direktur Pascasarjana yang selalu
memberikan dorongan semangat dalam mengemban ilmu pengetahuan selama
perkuliahan.
c. Dr. H. Reza Ahmad Zaini, L.c, MA. dan Dr. Binti Mualamah, M.Pd. selaku
dosen pengampu mata kuliah Sejarah Perdaban dan Pemikiran Islam yang
selalu memberikan dorongan semangat dalam mengemban ilmu pengetahuan
selama perkuliahan.
d. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Pascasarjana UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung yang telah berjasa mengantarkan penulis untuk mengetahui arti
pentingnya ilmu pengetahuan.
e. Kedua orang tua yang tercinta yang telah memberikan bimbingan, dukungan
moral dan spiritual selama studi, serta senantiasa memberikan kasih
sayangnya yang tidak ternilai harganya.

ii
f. Teman-teman angkatan 2021 program studi Tadris Matematika yang selalu
ada memberikan dukungan dan bantuannya, baik suka maupun duka selama
ini, serta memberikan motivasi.
Dengan penuh harapan, semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah swt.
dan tercatat sebagai amal shalih. Jazakumullah khoirul jaza’. Akhirnya, makalah
ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca dengan harapan adanya saran dan
kritik yang bersifat konstruktif demi pengembangan dan perbaikan, serta
pengembangan lebih sempurna dalam kajian-kajian pendidikan Islam. Semoga
karya ini bermanfaat dan mendapat Ridha Allah SWT. Amin.

Tulungagung, 17 November 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PRAKATA ...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................... 2

BAB II Pembahasan

A. Biografi Ibnu Miskawaih ................................................................... 3


B. Falsafah Jiwa Ibnu Miskawaih........................................................... 4
C. Etika Islam Ibnu Miskawaih .............................................................. 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 12
B. Saran .................................................................................................. 12

DAFTAR RUJUKAN

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecenderungan yang dimiliki oleh manusia pada awalnya yaitu ingin


mengetahui dirinya sendiri. Dari hal tersebut merupakan hal yang rasional
karena antar manusia satu dengan yang lainnya itu berbeda. Jika dipikir
secara matang-matang memang penting untuk mengetahui atau mengenal
dirinya sendiri. Pada diri manusia ini memiliki tubuh dan jiwa. Jiwa menurut
ibnu miskawaih seorang ahli filsuf adalah sebuah inti yang sangat halus dan
jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab tidak hancurnya
kematian jasmani.1

Dalam Al-Qur‟an juga memandang manusia sebagai makhluk serba


dimensi, diantaranya manusia memiliki sejumlah emosi yang bersifat etis.
Artinya manusia memiliki potensi untuk menjadi bermoral, yaitu hidup
dengan tatanan nilai dan norma. Etika dalam kehidupan manusia itu dapat
membawa diri dan menangani hidupnya secara bertanggung jawab agar
berhasil sebagai manusia dan hidupnya lebih bermutu dengan memiliki
potensi yang tinggi, akan tetapi dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari
banyak tokoh yang menjadi figure di masyarakat mengalami banyak kasus
yang tidak perlu dicontoh seperti korupsi, kolusi, dsb. Tidak hanya
dikalangan para tkoh, akan tetapi dikalangan pelajar juga terjadi perilaku
yang bertentangan dengan moral atau akhlak islam, sehingga dengan adanya
berbagai permasalahan terkait adab sopan santun peru adanya etika dan
aturan yang perlu dipahami.

1
Ibrahim Nasbi, “Filsafat al-Nafs dan Filsafat al-Akhlak”,dalam Jurnal Shaut Al-
‘Arabiyah, vol.4,no. 1 (2015), 4.

1
2

Dalam hal ini juga perlu adanya pengembangan pendidikan karakter yang
bertujuan untuk memberikan arahan terkait etika baik dalam pendidikan
maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter ini bisa dijalankan,
saat disekolah seperti disiplin ilmu, dll. Oleh karena itu, sangatlah penting
untuk melakukan kajian tentang konsep-konsep etika islam. Etika islam ini
juga didefinisikan oleh ahli filosuf yaitu ibnu miskawaih, menurut beliau
etika adalah keadaan jiwa yang melahirkan perbuatan tanpa pikiran dan
perenungan2

B. Rumusan Masalah
Adapun dalam makalah ini, penulis memiliki rumusan masalah tentang
Ibnu Miskawaih adalah sebagai berikut:
1. Siapakah Ibnu Miskawaih?
2. Apa yang dimaksud dengan Falsafah Jiwa Ibnu Miskawaih?
3. Apa yang dimaksud dengan Etika Islam Ibnu Miskawaih?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Ibnu Miswaiah
2. Untuk mengetahui Falsafah Jiwa Ibnu Miskawaih
3. Untuk mengetahui Etika Islam Ibnu Miskawaih

2
Nizar, “Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih”, dalam Jurnal Aqlam: Journal of Islam and
Plurality,vol. 1, no 1 (2016), 39.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Miskawaih

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin


Muhammad bin Ya‟qub. Ibnu Miskawaih al-Khazin ar-Razi al Isfahani., atau
dikenal dengan sebutan Ibnu Miskawaih. Beliau memiliki beberapa nama
yaitu Abu „Ali dan Laqab Al-Khazin. Ibnu maskawaih lahir di Rayy sehingga
beliau dikenal dengan ar-Razi atau dipanggil dengan al-Khazin dan beliau
meninggal di Isfahan pada 16 Februari 1030. Beliau hidup pada masa daulah
bani Abbasiyyah dalam pemerintahan Buwayhiyah (632—1062 M) yang para
pemukanya penganut Syi‟ah Zaydiyah. Beliau memiliki beberapa guru,
seperti Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhi mengenai tarikh al-Thabari,
Abu Thayyib al-Razi. Pekerjaan Ibnu Miskawaih yaitu pernah menjadi
bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka
dinasti buwahi, selain itu juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli
bahasa3. Pemikiran Ibnu mikawaih adalah penyelarasan dari filsafat yunani
dan pemikiran islam4. Dalam hal ini membahas tentang konsep etika dari
Plato dan Aristoteles yang diramu dengan ajaran Islam serta diperkaya
dengan pengalaman hidup pribadinya dan situasi yang terjadi pada zaman itu.

Bagian terpenting dalam pemikiran ibnu miskawaih yaitu falsafah


jiwa dan etika islam. Ibnu Miskawaih ini tidak hanya sebagai seorang filosuf
akan tetapi beliau juga seorang Moralis, Sastrawan, ahli kimia dan ahli
sejarah.

3
Faisal Abdullah, “Konsepsi Ibnu Miskawaih Tentang Moral, Etika dan Akhlak serta
Relevansinya Bagi Pendidikan Islam”, dalam Jurnal of Research and Thought of Islamic
Education, vol. 3, no 1 (2020), 42
4
Ibid.,

3
4

Terdapat beberapa karya dari Ibn Miskawaih yang tidak hanya tentang
aspek keilmuan saja seperti5 :

1. Al-Fauz al-Akbar (Kemenangan besar)


2. Al-Fauz al-Asghar (Kemenangan Kecil)
3. Tajarib al-Umam (Pengalaman bangsa-bangsa; sebuah sejarah tentang
banjir besar yang ditulis pada tahun 369H/979M)
4. Uns al-Farid (Kesenangan yang tiada taranya; kumpulan anekdot,
syair, peribahasa dan kata-kata mutiara)
5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)
6. Al-Musthafa (yang terpilih: syair-syair pilihan)
7. Jawi dan Khirad (Kumpulan ungkapan bijak)
8. Al-Jami’ (tentang jamaah)
9. Al-Siyar (tentang aturan hidup)
10. Kitab al-Ashribah (tentang minuman)
11. Tahzib al-AKhlaq (tentang pembinaan akhlak)

B. Falsafah Jiwa Ibnu Miskawaih


Ibnu Miskawaih mendeskripsikan bahwa dalam diri manusia terdapat
tubuh dan jiwa. Jiwa menurut ibnu miskawaih adalah sebuah inti yang sangat
halus dan jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab tidak
hancurnya kematian jasmani6. Salah satu indra manusia tidak dapat
merasakan jiwa, ada pula yang mengatakan bahwa jiwa adalah sesuatu yang
mempunyai perbuatan yang berbeda dengan karakteristik perbuatan tubuh,
sehingga saat terjadi suatu hal jiwa tidak dapat berada bersama-sama dengan
tubuh. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan tubuh baik dalam sifat dan
bentuknya, serta jiwa tidak bisa berganti dan tidak pula berubah, contohnya:,
bila lilin mencair pada wadah tertentu , maka lilin tersebut tidak akan
membentuk bentuk lain selain wadahnya tersebut. Hal ini berarti perubahan

5
Muliatul Maghfiroh, “Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahzib Al-Akhlaq Karya Ibnu
Miskawaih”, dalam Jurnal Pendidikan Islam, vol.11, no. 2 (2016), 209-210
6
Ibrahim Nasbi, “Filsafat al-Nafs dan Filsafat al-Akhlak”,…..
5

dan peningkatan akan dialami oleh manusia jika ia terus berlatih, yang
akhirnya memiliki atau menguasai ilmu pengetahuan.
Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa
binatang dengan adanya kekuatan berpikir yang menjadi sumber
pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih
jauh, menurutnya jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yaitu 7:
1. Daya Nafsu yang buruk. Jiwa ini menjadi dasar syahwat, usaha
mencario makan, kerinduan untuk menikmati makanan, minuman,
perkawinan, serta berbagai kenikmatan individu lainnya. Pusat daya
jiwa ini ada dalam hati.
2. Daya Berani yang sedang. Jiwa ini menjadi dasar kemarahan,
tantangan, dan keberanian atas hal yang menakutkan. Pusatnya dihati
3. Daya berfikir yang baik. Jiwa ini menjadi dasar berfikir, membedakan,
dan menalar hakikat segala sesuatu. Pusatnya di otak.

Kekuatan atau daya ini setiap manusia akan mengalami yang berbeda-
beda. Manusia dikatakan menjadi manusia apabila memiliki jiwa yang cerdas.
Dengan jiwa yang cerdas ini manusia dapat dibedakan dengan binatang baik
itu tingkat derajatnya. Berkenaan tersebut, ibnu miskawaih mengatakan
bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ujub, sombong,
pongolok-olok, penipu dan hina, sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai
sifat adil, harga diri, berani, pemurah, dan cinta.

C. Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih


Ibn miskawaih dikenal sebagai bapak etika islam atau moralis karena
seluruh perhatiannya kepada akhlak8. Melalui hal tersebut, menginginkan
untuk mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk
melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna, serta tujuan
Nabi Muhammad diutus oleh Allah yaitu untuk menyempurnakan akhlak
manusia. Ibnu Miskawaih sebelum membahas tentang etika akan menyelami

7
Harpan Reski Mulia, “Pendidikan Karakter : Analisa Pemikiran Ibnu Miskawaih”, dalam
Jurnal Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan, vol. 15, no. 1 (2019), 42
8
Muliatul Maghfiroh, “Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahzib......, 212
6

terlebih dahulu tentang jiwa manusia. Sehingga ibnu Miskawaih dapat


mendefinisikan Etika adalah keadaan jiwa yang melahirkan perbuatan tanpa
pikiran dan perenungan9.
Dalam pandangan ibnu miskawaih, etika dapat dikembalikan pada dua
bagian yaitu kepada tabiat atau fitrah dan yang kedua yaitu ketika manusia
usaha yang nantinya akan berubah menjadi suatu kebiasaan. Akan tetapi Ibnu
Miskawaih lebih cenderung pada yang kedua, yaitu seluruh etika tegantung
kepada hasil usaha. Ia memandang bahwa manusia itu semuanya dapat
beretika, baik itu melalui prosesnya cepat ataupun lambat, sehingga dari ini
manusia dapat berubah akhlaknya. Dalam hal ini diperlukan syariat, nasihat-
nasihat dan berbagai ajaran tentang adab sopan santun yang nantinya akan
berdampak pada manusia. Masalah yang perlu dibahas terkait Etika yaitu
1. Kebaikan dan Keburukan
Manusia merupakan makhluk yang memiliki perilaku yang khas 10.
Kemampuan berpikir merupakan salah satu dari perilaku khas yang
dimiliki manusia. Dalam berpikir akan menentukan mana lebih tepat dan
benar, serta lebih baik dalam pemilihannya, sehingga kesempurnaan
manusia ini lebih besar. Manusia lebih baik apabila bisa memilih
pilihannya dengan tepat dan sesuai, dengan memperhatikan substansi
serta yang membedakan dirinya dengan seluruh benda alam yang ada di
dunia. Kebaikan menurut Ibnu Miskawaih merupakan suatu keadaan
dimana telah sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud dari
tujuan manusia diciptakan, sedangkan keburukan adalah beberapa hal yang
menjadi hambatan bagi manusia untuk mencapai kebaikan, baik itu berupa
kemalasan ataupun upaya dalam mencari sebuah kebaikan.
Kebaikan ini dibagi menjadi dua yaitu kebaikan secara umum dan
secara khusus. Kebaikan secara umum adalah kebaikan bagi seluruh
manusia yang kebaikannya sudah disepakati oleh seluruh manusia,
sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan seseorang secara pribadinya

9
Nizar, “Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih”….,39
10
Abdul Hakim, “Filsafat Etika Ibn Miskawaih”,dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, vol. 13,
no 2 (2014), 137
7

masing-masing. Kebaikan khusus inilah yng disebut sebagai kebahagiaan.


Kebahagiaan yang dimiliki setiap orang yang berbeda-beda.11
2. Kebahagiaan
Kebahagiaan terdapat dua pandangan pokok yang pertama menurut
plato hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan, karena itu selama
manusia masih berhubungan dengan badan, ia tidak akan memperoleh
kebahagiaan, sedangkan menurut aristoteles kebahagiaan bisa dialami di
dunia meskipun jiwa dan badan masih melekat12. Dari keduanya ini ibnu
miskawaih mengompromikan sehingga pada diri manusia terdapat dua
unsur yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya.
Kebahagiaan menurut ibnu miskawaih digambarkan sebagai sesuatu yang
paling nikmat, paling utama, paling baik, dan paling sejati. Kenikmatan
dalam kebahagiaan ini dibagi menjadi dua yaitu kenikmatan pasif dan
kenikmatan aktif13.
Kenikmatan pasif ini dimiliki oleh manusia dan binatang tak
berakal disertai dengan hawa nafsu dan emosi balas dendam. Kenikmatan
ini cepat hilang bisa juga menjadi sebuah penderitaan atau suatu hal yang
menjijikkan, sedangkan kenikmatan aktif merupakan kenikmatan yang
lahir dalam bentuk intelektual dan di bawah naungan cahaya illahi,
sehingga kenikmatan ini tidak akan berubah dan selalu tetap ada.
Mulyadhi Kartanegara mencoba mengkategorikan kebahagiaan
pemikiran ibnu miskawaih ke dalam lima macam atau jenjang kebahagiaan
yang dapat diperoleh dan dirasakan manusia yaitu,
a. Jenjang pertama, kebahagiaan fisik, yang biasanya dipandang
banyak orang sebagai satu-satunya kebahagiaan. Misalnya ada
orang yang beranggapan bahwa orang kalau kaya pasti akan
bahagia.
b. Kebahagaiaan mental, kebahagiaan ini bentuknya leboh abstrak
dari kebahagiaan fisik. Misalnya, imajinasi seorang pelukis

11
Nizar, “Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih”……
12
Ibid…..,
13
Abdul Hakim, “Filsafat Etika Ibn Miskawaih”,…..139
8

untuk menghasilkan suatu karya seni, yang menimbulkan


sebuah kebahagiaan tersendiri.
c. Kebahagiaan intelektual, kebahagiaan yang diperoleh manusia
dari ilmu pengetahuan.
d. Kebahagiaan moral, rasa bahagia yang dicapai ketika telah
mampu menerapkan ilmu ke kehidupan sehari-hari.
e. Kebahagiaan spiritual, merupakan kebahagiaan lebih tinggi,
3. Kebajikan adalah titik tengah14
Ajaran etika Ibnu Miskawaih berpusat pada teori jalan tengah yang
dirumuskannya. Inti teori ini mengemukakan bahwa keutamaan akhlak
secara umum diartikan sebagai posisi tengah dengan ekstrem kelebihan
dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya
bernafsu ketika iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara
mengumbar nafsu (al syrarah) dan mengabaikan nafsu (khumud al
syahwah). Keutamaan akan muncul apabila bisa mengendalikan nafsunya
oleh pikiran, yang artinya mampu menyesuaikan dengan benar sehingga
tidak dikuasai oleh nafsu. Jika terjadi al syarah maka akan tenggelam
dalam kenikmatan dan melampaui batas, sedangkan khumud al syahwwad
yaitu tidak mau berusaha untuk memperoleh kenikmatan yang baik sebatas
yang diperlukan oleh tubuh sesuai yang diizinkan syariat dan akal.
Posisi tengah daya berani ketika syaja‟ah (keberanian) yang
terletak antara pengecut (al jubn) dan nekad (al tahawwur). Keutamaan ini
muncul pada manusia sewaktu nafsunya dibimbing oleh jiwa dan nathiqah.
Artinya ia tidak takut terhadap hak-hak besar jika pelaksanaannya
membawa kebaikan dan mempertahankannya merupakan hal yang terpuji.
Al jubn merupakan rasa takut terhadap sesuatu yang seharusnya tidak
ditakuti sedangkan al tathawwur digolongkan berani terhadap sesuatu yang
seharusnya tidak diperlukan sikap ini.
Posisi tengah daya berpikir adalah al hikmah (kebijaksanaan) yang
terletak antara kebodohan (al safih) dan kedunguan (al balah). Al safih
yang dimaksud adalah penggunaan daya piker yang tidak tepat, sedangkan

14
Abdul Hakim, “Filsafat Etika Ibn Miskawaih”….., 138
9

al balah mrupakan membekukan dan mengesampingkan daya piker walau


sebetulnya mempunyai kemampuan. Dengan demikian yang menjadi
tekanan Ibnu Miskawaih disini bukan dari segi kualitas daya ikir akan
tetapi pada sisi kemauan untuk menggunakannya.
Kombinasi dari ketiganya membuahkan sebuah keutamaan yaitu
berupa keadilan (al adalah). Keadilan ini merupakan posisi tengah antara
berbuat aniaya dan teraniaya.keadilan ini antara berbuat aniaya dan
teraniaya dan posisi nya ditengah tengah. Dikatakan demikian karena
seeorang tidak dapat disebut sebagai kstria jika ia tidak adil. Demikian
pula seseorang tidak dapat disebut pemberani jika tidak mengetahui
keadilan jiwa atau dirinya dan mengarahkan semua indranya untuk tidak
mencapai tingkat nekad maupun pengecut. Al hakim tidak akan
memperoleh al hikmah apabila jika ia tidak menegakkan keadilan dalam
berbagai pengetahuan dan tidak menjauhkan dari sifat kelancangan dan
kebodohan. Dengan hal ini untuk menjadi adil maka perlu
mengkombinasikan antar ketiganya.
Keempat keutamaan akhlak ini merupakan pokok atau induk
akhlak yang mulia. Akhlak mulia lainnya seperti jujur, ikhlas, kasih
saying, hemat dsb merupakan cabang dari akhlak tersebut. Cabang ini
jumlah nya sampai tak terhitung. Dalam hal ini juga dapat dilihat dalam
tabel
Ekstrim Kekurangan Posisi Tengah Ekstrim Kelebihan
(Al Tafrith) (Al Wasath) (Al Ifrath)
Kedunguan Kebijaksanaan Kelancangan
Pengecut Keberanian Nekad
Dingin hati Menahan Diri Rakus
Teraniaya Keadilan Aniaya

4. Cinta
Menurut Ibnu Miskawaih asas semua keutamaan adalah cinta
kepada semua manusia. Manusia tidak akan sampai pada tingkat
10

kesempurnaan jika tidak dapat menunjukkan pengertian terhadap sesama


jenisnya.
Ibnu miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta yang
dibagi menjadi 2 yaitu cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia.
Cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah, sedangkan cinta
kepada manusia contohnya seperti cinta anak kepada orang tuanya, cinta
seorang murid kepada gurunya, sebab guru salah satu yang mendidik
murid-muridnya untuk mencapai sebuah keutamaan15. Berdasarkan hal
tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dalam pemikiran ibnu miskawaih
dalam dunia pemikiran islam maupun dunia pada umumnya sangat besar
perannya dan pengaruhnya.
5. Pendidikan Akhlak
Ibnu Miskawaih dalam karangannya banyak menunjukkan pokok
pendidikan akhlak, ketika beliau mengangkat persoalan yang wajib bagi
kebutuhan manusia dan jiwa sebagai salah satu hal yang menentukan
perubahan psikologis ketika terjadi interaksi sesama manusia16. Dari
beberapa uraian diatas memberikan konsekuensi logis, yang pada umunya
merupakan hal yang wajib dipelajari di dalam pendidikan moral atau
akhlak, sebaiknya dalam mempelajari ilmu yang diajarkan tentang proses
pendidikan moral tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik
semata tetapi akan lebih bermanfaat jika dipergunakan dalam hubungan
social atau yang bersifat ketika substansial ketika penerapannya.
Ibnu miskawaih merumuskan tujuan pendidikan akhlak agar
terciptanya manusia sebagai filsuf, oleh sebab itu Ibnu Miskawaih
menguraikan beberapa ilmu yang dapat di pelajari untuk menjadi seorang
filosuf, ilmu tersebut ialah:
1. Matematika
2. Logika
3. Ilmu kealaman

15
A Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 180-181
16
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 13
11

Sehingga, dapat diketahui bahwa dari ketiganya ini, merupakan


ilmu pendidikan yang diajarkan ibnu miskawaih, tidak hanya diajarkan
semata-mata karena tujuan akademik, akan tetapi lebih ketujuan yang lebih
mengarah kepada intinya yaitu pendidikan akhlak yang mulia. Memiliki
banyak ilmu ataupun pengetahuan maka akan dapat dilihat akan semakin
tinggi akhlak seseorang tersebut.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad
bin Ya‟qub. Ibnu Miskawaih al-Khazin ar-Razi al Isfahani., atau dikenal
dengan sebutan Ibnu Miskawaih. Beliau memiliki beberapa nama yaitu
Abu „Ali dan Laqab Al-Khazin. Beliau meninggal di Isfahan pada 16
Februari 1030. Beliau hidup pada masa daulah bani Abbasiyyah dalam
pemeintahan Buwayhiyah (632—1062 M) yang para pemukanya penganut
Syi‟ah Zaydiyah. Bagian terpenting dalam pemikiran ibnu miskawaih
yaitu falsafah jiwa dan etika islam. Ibnu Miskawaih, ini tidak hanya
sebagai seorang filosuf akan tetapi beliau juga seorang Moralis, Sastrawan,
ahli kimia dan ahli sejarah.
2. Jiwa menurut ibnu miskawaih adalah sebuah inti yang sangat halus dan
jauhar rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab tidak hancurnya
kematian jasmani. Tidak dapat dirasakan oleh salah satu indra manusia dan
hanya mengetahui dirinya sendiri. jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan
yaitu: Daya Nafsu yang buruk, Daya Berani yang sedang, Daya berfikir
yang baik.
3. Etika adalah keadaan jiwa yang melahirkan perbuatan tanpa pikiran dan
perenungan. Masalah yang perlu dibahas terkait Etika yaitu Kebaikan dan
Keburukan, Kebahagiaan, Kebajikan, Cinta, Pendidikan Akhlak

B. Saran
Sangatlah diperlukan bagi kita untuk mempelajari terkait falsafah jiwa dan
etika islam Ibnu Miskawaih ini,karena dengan belajar toko filsafat ini kita
bisa mengetahui biografi salah satu ahli filsuf, falsafah jiwa serta cara kita
ber-etika islam. Dan agar kita juga bisa mengambil kekurangan dan kelebihan
dari ilmu dari falsafah jiwa dan etika islam ibnu miskawaih

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Faisal. 2020. “Konsepsi Ibnu Miskawaih Tentang Moral, Etika dan
Akhlak serta Relevansinya Bagi Pendidikan Islam”, dalam Jurnal of
Research and Thought of Islamic Education, Vol. 3, No. 1, 39-58.

Hakim, Abdul. 2014. “Filsafat Etika Ibn Miskawaih”,dalam Jurnal Ilmu


Ushuluddin, Vol. 13, No. 2, 135-143.

Maghfiroh, Muliatul. 2016. “Pendidikan Akhlak Menurut Kitab Tahzib Al-


Akhlaq Karya Ibnu Miskawaih”, dalam Jurnal Pendidikan Islam,
Vol.11, No. 2, 207-218.

Mulia, Harpan Reski. 2019. “Pendidikan Karakter : Analisa Pemikiran Ibnu


Miskawaih”, dalam Jurnal Tarbawi: Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. 15,
No. 1, 39-51.

Mustofa, A. 1997. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Nata, Abuddin. 2003. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian
Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nasbi, Ibrahim. 2015. “Filsafat al-Nafs dan Filsafat al-Akhlak,” dalam Jurnal
Shaut Al-‘Arabiyah, Vol.4, No. 1, 1-15.

Nizar. 2016. “Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih,” dalam Jurnal Aqlam: Journal of
Islam and Plurality, Vol. 1, No. 1, 35-42.

13

Anda mungkin juga menyukai