Anda di halaman 1dari 40

HAUL, TAHLIL, DAN MANAKIB: PERDEBATAN

AKADEMIK DALAM TINJAUAN PARA ULAMA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Masail Al-Fikh


Dosen Pengampu : Dr. Zainal Anshari, S.Pd.I., M.Pd.I.

Oleh:

Ali Harozim (T20191066)


Kurnia Anisya M. (T20191093)
Afi Faiqotul H. (T20191099)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER
MEI 2022

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan izin-Nya sehingga mampu menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW,
ahli bait, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah dengan judul Haul, Tahlil dan Manakib: Perdebatan Akademik
dalam Tinjauan Para Ulama disusun untuk memenuhi tugas individu mata kuliah
Masail Al-Fikh. Dalam menyelesaikan makalah ini saya mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, SE., MM. selaku rektor UIN KH.
Achmad Siddiq Jember
2. Ibu Dr. Hj. Mukni’ah, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan
3. Ibu Dr. Hj. Fathiyaturrahmah, M.Ag. selaku Kepala Program Studi
Pendidikan Agama Islam
4. Dr. Zainal Anshari, S.Pd.I., M.Pd.I. selaku dosen pengampu mata
kuliah Masail al-Fikh yang telah banyak memberikan kontribusi,
bimbingan, motivasi serta arahannya dalam proses penyusunan
makalah ini, dan
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan di
dalam makalah ini. Untuk itu saya berharap adanya berupa kritik maupun saran,
yang nantina membangun untuk keberhasilan penulisan yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dalam meningkatkan
wawasannya.
Jember, 22 Mei 2022

Kelompok 11

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... iv


A. Latar Belakang ............................................................................................ iv
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ v
C. Tujuan .......................................................................................................... v
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 1
A. Pengertian Haul, Tahlil, dan Manakib ......................................................... 1
B. Sejarah Singkat Haul, Tahlil, dan Manakib ................................................. 4
C. Perdebatan Secara Akademik oleh Para Ulama Mengenai Haul, Tahlil, dan
Manakib ............................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 32
A. Kesimpulan. ............................................................................................... 32
B. Saran. .......................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

iii
1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan masyarakat sering melahirkan persoalan-
persoalan yang harus dibahas. Persoalan-persoalan yang harus dibahas
tersebut dinisabkan dengan ajaran Islam maka paling tidak terdapat dua
kemungkinan.
Pertama, persoalan tersebut jika dicairkan landasan syar’inya, maka
dapat ditemukan kedudukan hukum dan jawaban yang tegas, jelas secara
eksplisit pada sumber-sumber utama ajaran Islam yaitu alquran dan al-
Sunnah.
Kedua, tidak ditemukan landasan syar’i yang eksplisit atas persoalan-
persoalan baru dalam alquran dan sunah. Untuk yang kedua ini
membutuhkan pemikiran-pemikiran hukum dari para ulama yang memiliki
otoritas tentangnya. Para ulama harus bekerja keras memecahkan dan
mencari solusi atas persoalan-persoalan baru tersebut.
Berbagai langkah pun ditempuh, antara lain melakukan kajian
mendalam, berijitihad, dalam proyek reinterprestasi terhadap sumber-
sumber tekstual, termasuk memecahkan permasalahan yang secara tekstual
tidak didapati kejelasannya didalam kedua sumber ajaran Islam, alquran
dan sunah.1
Adapun dinamika kehidupan masyarakat biasanya di identikkan atau
berhubungan dengan amaliyah-amaliyah (perbuatan) yang dilakukan. Para
ulama merumuskan atau menghukumi berbagai jenis amaliyah baik
dilakukan secara personal atau jamaah, dapat dipastikan ada sisi
mendukung (setuju) dan tidak mendukung (tidak setuju). Hal ini memang
dikarenakan setelah wafat atau meninggalnya Nabi Muhammad saw.
menimbulkan perbedaan, dengan tidak ada sosok yang bisa ditanyai
langsung atau ingin tahu kevalidan sesuatu. Dan dapat dipastikan juga

1
Hasbi Umar, Nalar Fiqh Kontemporer (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), 5.

iv
berbagai refrensi-refrensi baik berupa kitab yang dibuat acuan setelah
alquran dan sunah sangat beragam, sehingga dapat dipastikan perbedaan
terkait hal itu wajar.
Berbicara mengenai amaliyah, ada beberapa amaliyah yang sering
dilakukan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia. Adapun amaliyah
tersebut adalah haul, tahlil, dan manaqib, hal ini menjadi perbincangan
serius dalam Islam. Ada pihak yang melakukan amaliyah tersebut dengan
argumennya, dan ada juga yang tidak melakukan amaliyah tersebut atas
dasar argumentasi berupa refrensi yang telah didapatkan. Jadi setiap dua
pendapat saling mempertahankan argumentasi, sehingga dinamika yang
telah usai dibahas oleh para ulama pada zaman itu masih eksis sampai hari
ini.
Terkait dengan pembahasan di atas, maka perlu bagi penulis untuk
melakukan sebuah pendeskripsian berupa makalah dengan fokus
pembahasan pada amaliyah haul, tahlil, dan manakib: perdebatan
akademik dalam tinjauan para ulama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud haul, tahlil, dan manakib ?
2. Bagaimana sejarah singkat haul, tahlil, dan manakib ?
3. Bagaimana perdebatan secara akademik oleh para ulama mengenai
haul, tahlil, dan manakib ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui maksud haul, tahlil, dan manakib.
2. Untuk mengetahui sejarah singkat haul, tahlil, dan manakib.
3. Untuk mengetahui perdebatan secara akademik oleh para ulama
mengenai haul, tahlil, dan manakib.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Haul, Tahlil, dan Manakib


Manusia dan kebudayaan merupakan dua sisi yang sangat erat
hubungannya. Tidak ada masyarakat yang hidup tanpa kebudayaan.
Karena kebudayaan, masyarakat bisa hidup dan berkembang. Meskipun
keduanya secara teoritis dan analitis tidak dapat dipisahkan, akan tetapi
tidak mudah untuk menentukan dimana letak garis pemisah antara
masyarakat dan kebudayaan karena keduanya terkait sangat erat.
Kebudayaan lahir karena diciptakan manusia dan bertujuan untuk
berinteraksi dengan alam lingkungannya. Dalam masyarakat Islam
tradisional, perkataan kiai dan tokoh agama, begitu berpengaruh, karena
dianggap sebagai manifestasi dari hukum sosial. Kebudayaan bukan
sesuatu yang datang secara alamiah sejak lahir, melainkan tumbuh dan
berkembang melalui interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya.

1. Haul
Haul dalam bahasa Arab yang berarti tahun, dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa mempunyai arti yang sangat khusus,
yaitu suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati
meninggalnya seseorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’
atau kiai. Haul merupakan sebuah spiritual yang mencampurkan
budaya lokal dan nilai-nilai Islami, sehingga sangat tampak
adanya lokalitas yang masih kental Islami. Slametan adalah suatu
upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum
dibagikan. Upacara ini biasanya dipimpin oleh modin, atau orang
yang dianggap mahir membaca doa keselamatan dalam ayat-ayat
alquran.
Haul merupakan salah satu tradisi yang berkembang kuat di
kalangan Nahdliyin. Berbentuk peringatan kematian seseorang

1
pada setiap tahun. Biasanya dilakukan tepat pada harinya, tanggal
dan pasaran kematian.
Acara haul ini tidak semata-mata ziarah kubur melainkan
banyak acara yang mengiringinya. Haul lebih menonjolkan aspek-
aspek Islam seperti pembacaan doa, khataman, pengajian, dan
sebagainya. Di dalam acara penyelenggaraan haul tersebut dibuat
kepanitiaan khusus yang bertanggung jawab atas jalannya acara,
mulai dari awal sampai akhir. Kepanitiaan ini terdiri dari
perwakilan kiai, tokoh masyarakat, serta pemuda. Salah satu yang
paling utama dari panitia yaitu menyusun acara yang akan
dilaksanakan.
2. Tahlil
Secara bahasa tahlilan berakar dari kata bahasa arab, yakni
hallala yuhallilu tahlilan artinya adalah membaca atau mengucap
kalimat "Laa ila ha illallah" makna inilah yang dimaksud dengan
pengertian tahlilan. Dikatakan sebagai tahlil, karena memang
dalam pelaksanaannya lebih banyak membaca kalimat-kalimat
tahlil yang mengesakan Allah seperti bacaan tahlil (Laa ila ha
illallah) dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat
setempat atau pemahaman dari guru (syekh) suatu daerah tertentu.
Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil (Laa ila ha illallah)
ada juga bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah),
takbir (Allahu akbar), shalawat (Allahumma sholli‘ala syaidina
Muhammad), serta beberapa ayat alquran seperti QS.Yaasin, QS.
Al-Baqarah : 1-5, 163, 255, 284-286, dan lain sebagainya yang
bagi umat muslim dianggap memiliki fadhilah dan syafaat.
Sebagian muslim sering mengamalkannya dalam segala macam
acara, bahkan dalam resepsi (sebelum atau sesudah akad nikah)
tidak meninggalkan amalan tahlilan ini. Dengan kata lain, dalam
tahlilan menggunakan bacaan-bacaan (doa) tertentu yang
mengandung banyak keutamaan (fadhilah). Fenomena yang

2
terlihat di masyarakat, penyebutan kata tahlilan umumnya dipakai
untuk persembahan yang di kelompokan menurut jenis, maksud,
dan suasananya.
Ketika dipakai untuk peristiwa gembira (kemenangan) tahlilan
disebut sebagai syukuran, ketika dipakai untuk peristiwa sedih
(kematian), ketika dipakai untuk meminta perlindungan (pindah
rumah, menempati kantor atau rumah baru, awal membuka usaha
dll.) disebut selamatan, dan ketika dipakai untuk meminta sesuatu
(menghasratkan sesuatu) disebut hajatan. Selain itu tahlilan juga
dilaksanakan pada acara-acara tertentu seperti saat seseorang akan
pergi jauh dan dalam waktu yang cukup lama (pergi haji,
merantau belajar, atau bekerja di luar negeri), acara pertemuan
keluarga seperti arisan keluarga maupun halal-bihalal, dan
khitanan.
Tradisi tahlilan dalam masyarakat Jawa juga sering disebut
dengan kata sedekah (sedekahan, karena dalam setiap kegiatannya
dianggap selalu memberikan sedekah (pemberian) baik bagi
mereka yang datang berkunjung atau bagi pemilik hajat. Jadi
masing-masing saling bersedekah (memberi) dalam bentuk barang
atau pun berupa dukungan moral yang sangat mereka harapkan.
Dukungan moral diantara mereka secara psikologis dapat saling
memberi motivasi. Dalam kenyataan istilah syukuran, hajatan dan
sedekah sulit dibedakan, mereka lebih sering menggunakan kata
tahlilan.2
3. Manakib
Pembacaan manakib adalah fenomena sosial yang
keberadaannya sudah menjadi tradisi berabad-abad lamanya.
Tradisi pembacaan manakib juga keberadaannya menyejarah
dengan budaya dan psikologi masyarakat dari waktu ke waktu

2
Nur Siti Hasanah, Moderasi Islam di tengah masyarakat Multikultural (Jember: STAI Qodiri
jember), 5.

3
yang kemudian keberadaannya tentunya berpengaruh pada
perubahan tingkah laku masyarakat di sebagian atau di semua
aspek kehidupan masyarakat pelakunya. Selain merupakan aspek
seremonial, manakiban juga memiliki aspek mistikal. Sebenarnya
kata manakiban berasal dari kata ‘manaqib’ (bahasa Arab), yang
berarti biografi, kemudian ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa
Indonesia) menjadi manakiban yang berarti kegiatan pembacaan
manaqib (biografi) Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, seorang wali
yang sangat legendaris di Indonesia.
Isi kandungan kitab manakib itu meliputi silsilah nasab
Syaikh ‘Abdul Qodir al-Jailani, sejarah hidupnya, akhlaq dan
karamah-karamahnya, di samping itu tercantum juga doa-doa
bersajak (nadham) yang bermuatan pujian dan tawassul (berdoa
kepada Allah swt. melalui perantaraan). Harapan para pengamal
manaqib untuk mendapat keberkahan dari pembacaan manakib ini
didasarkan atas adanya keyakinan bahwa Syaikh‘Abdul Qodir al-
Jailani adalah quthb al-auliya yang sangat istimewa, yang dapat
mendatangkan berkah dalam kehidupan seseorang

B. Sejarah Singkat Haul, Tahlil, dan Manakib

1. Haul
Tradisi haul biasanya hanya ditemui di kalangan masyarakat muslim
sunni seperti di negeri Yaman, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan
negara-negara lain dengan komunitas muslin sunni lainnya. Peringatan
haul sangat dipengaruhi oleh ajaran yang menempatkan guru sebagai
panutan atas dedikasi pengajaran ilmu terhadap masyarakat umum dan
murid-muridnya, sehingga kewafatan mereka layak diperingati oleh
keluarga dan murid-muridnya untuk mengenang keteladanan dan
keutamaan tertentu yang tak dimiliki sembarang orang pada masa
hidupnya. Acara haul akan terasa lebih besar bila tokoh tersebut
terkenal sebagai ulama besar atau pendiri sebuah pesantren.

4
Tradisi haul pertama kali berkembang di kalangan masyarakat
muslim di Hadramaut, Yaman. Di kawasan tersebut masyarakat
terstratifikasi dalam kelas-kelas sosial yang berdasarkan latar belakang
keturunan yakni para sayid atau keturunan Nabi Muhammad yang
berada di jajaran paling atas strata sosial, masyayikh atau keturunan
tokoh pemikir Islam yang tidak punya latar belakang keturunan Nabi
Muhammad qabail atau anggota suku-suku terkemuka dan masaakin
atau orang-orang miskin yang tak punya ilmu, harta maupun latar
belakang keturunan seperti kelompok lain yang disebutkan sebelumnya.
2. Tahlil
Tahlil berawal dari kata hallala-yuhallilu-tahlilan yang memiliki
makna membaca kalimat la ilaha illa Allah, jika diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia khususnya seorang hamba yang memiliki harapan
bahwa tidak ada tuhan selain Allah demikian seorang hamba yang
memiliki harapan bahwa tidak ada tuhan yang harus dimuliakan kecuali
Allah swt. yang adil. Tahlilan menggabungkan serangkaian acara
pembacaan ayat-ayat alquran dan pengakuan bertekad untuk
memberikan hadiah kepada orang-orang yang telah meninggal.
Majunya acara-acara tersebut menjadikan adat tahlilan ini mainstream
di kalangan umat Islam Indonesia khususnya kelompok masyarakat
Nahdatul Ulama.

Sedangkan tahlil dalam bahasa sehari-hari adalah mengucapkan


kalimat-kalimat yang dapat diterima dan memohon secara bersama-
sama bagi individu yang telah meninggal dunia. Adat tahlilan boleh
dilakukan di ruangan doa, rumah, atau kumpul bersama asalkan
diketahui penyebabnya dan diampuni dosanya oleh Allah. Biasanya
tahlilan ini dilakukan pada hari kamis malam jumat atau pada hari-hari
tertentu setelah seorang meninggal akan tetapi itu bukan batasan untuk
dua peristiwa tersebut selama adat tahlil atau doa kepada tuhan dengan
meminta pengampunan (istighfar) menjadi minat inti yang mendasar.

5
Madchan Anies membuat diagram Sembilan bidang dasar dalam tahlil
antara lain :

a. Tawassul al-Fatihah
b. Surat al-Ikhlas, al-Mu’awwidzatain, dan al-Fatihah
c. Tentang permulaan surat al-Baqarah
d. Surat al-Baqarah 163 dan ayat kursi
e. Ayat-ayat terakhir surat al-Baqarah
f. Bacaan tarhin dan tabaruk dengan surat Hud 73 dan al-Ahdzab
33
g. Shalawat, hasbalah, dan hauqolah
h. Bacaan istighfar, tahlil, dan tasbih
i. Doa penutup tahlil.

Pada forum Bahtsul Masail oleh para kyai Ahli Thariqah sebagian
mereka berpendapat bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah
Sayyid Ja’far Al- Barzanji. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan
bahwa yang menyusun tahlil pertama kali adalah Sayyid Abdullah bin
Alwi Al Haddad. Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang paling kuat
tentang siapa penyusun pertama tahlil adalah Imam Sayyid Abdullah
bin Alwi Al Haddad. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa Imam
Al- Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada
Sayyid Ja’far Al – Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H. Pendapat
tersebut diperkuat oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin
Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al Haddad, bahwa
kebiasaan imam Abdullah Al Haddad sesudah membaca Ratib adalah
bacaan tahlil. Para hadirin yang hadir dalam majelis Imam Al Haddad
ikut membaca tahlil secara bersama-sama tidak ada yang saling
mendahului sampai dengan 500 kali.

Menurut penyelidikan para ahli, ritual tahlilan diadopsi oleh para


dai terdahulu dari upacara kepercayaan animisme, agama Budha dan

6
Hindu yang kemudian diganti dengan ritual yang diambil dari alquran
dan Hadits. Sebelum agama Hindu, Budha dan Islam masuk ke
Indonesia, kepercayaan yang dianut bangsa Indonesia antara lain adalah
animisme. Menurut kepercayaan animisme, bila seseorang meninggal
dunia, maka ruhnya akan datang ke rumah pada malam hari
mengunjungi keluarganya. Ketika agama Hindu dan Budha masuk di
Indonesia, kedua agama ini tidak mampu merubah tradisi animisme
tersebut. Bahkan, tradisi tersebut berlangsung terus sampai agama Islam
masuk ke Indonesia yang dibawa oleh para ulama, yang dikenal dengan
Wali Songo. Setelah orang-orang tersebut masuk Islam, mereka juga
tetap melakukan ritual tersebut.

Sebagai langkah awal, para ulama terdahulu tidak memberantasnya


tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu
menjadi upacara yang bernafaskan Islam sehingga tidak bertentangan
dengan pokok-pokok ajaran Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-
pauk untuk sedekah. Mantra-mantra diganti dengan dzikir, doa dan
bacaan-bacaan alquran. Upacara seperti ini kemudian dinamakan
tahlilan yang sekarang telah menjadi tradisi dan budaya pada sebagian
besar masyarakat di Indonesia. Tahlilan yang pada mulanya ditradisikan
oleh Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang
mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo mengajarkan
nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi
Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan
tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai-nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada tetangga, kerabat atau saudara yang
meninggal dunia, maka para kerabat famili dan tetangga biasanya akan
berkumpul dan “jagongan” (berbincang-bincang) di rumah duka.
Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain
kartu/judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta

7
membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan mayit.
3. Manakib
Sejarah munculnya dzikir manakib terkait dengan tersebarnya
ajaran tasawuf di Indonesia. Oleh karena itu, timbullah bermacam-
macam amalan termasuk amalan dzikir dalam Islam, seperti tarekat
yang kemudian berkembang menjadi sebuah amalan-amalan baru,
seperti manakib yang telah menyebar di berbagai penjuru. Dzikir
sebagai sebuah cara pendekatan diri kepada Allah memiliki beberapa
teknis, sebagaimana terdapat di kalangan para pengamal tarekat
maupun pengamal manakib. Dzikir merupakan latihan yang bernilai
ibadah untuk mendapatkan keberkahan sejati dari Allah. Di samping itu
juga merupakan suatu cara untuk menyebut, mensucikan sifat-sifat
Allah akan kesempurnaan-Nya.3
Sejarah perkembangan manakib di Indonesia sudah ada sejak para
ulama Islam yang dipimpin oleh para sufi yang mengajarkan Islam.
Dimulai dari ajaran yang berupa amalan-amalan tarekat, hingga yang
berbentuk amalan-amalan dzikir lainnya karena merupakan budaya
sejak awal Islam datang ke Indonesia. Selain itu, sarana dakwah
Islamiyah ini didasarkan pada wujud karakteristik masyarakat Indonesia
yang masih dianggap mempercayai hal mistik, seperti meyakini
kekeramatan sang wali, karamah sang wali, dan keistemewaan para
tokoh yang mereka anggap sebagai waliyullah sehingga dijadikan
sebagai panutan dengan cara melakukan kegiatan dzikir manakib secara
rutin. Dibanding ajaran-ajarannya, justru pengenalan masyarakat
terhadap Syaikh Abdul Qadir lebih dominan pada keajaiban-keajaiban,
keluarbiasaan, dan kesaktian atau keampuhannya yang bersumber pada
kitab-kitab manakib. Yang dimaksud dengan kitab-kitab manakib yaitu
kitab nurul burhani, dimana kitab tersebut mengandung sifat-sifat

3
M. Yusuf Asri, Profil paham dan Gerakan Keagamaan (Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan, 2009), 41.

8
keistimewaan atau karamah Syaikh Abdul Qadir Jailani yang paling
dianggap istimewa dan diyakini memiliki berkah besar dalam upacara
manakiban, adalah karena dalam kitab manakib terdapat silsilah nasab
Syaikh. Dengan membaca silsilah nasab ini seseorang akan mendapat
berkah yang sangat banyak.4

C. Perdebatan Secara Akademis oleh Para Ulama Mengenai Haul,


Tahlil, dan Manakib
Perdebatan dapat dipahami dua pendapat yang tak searah atau tidak
sama, sehingga tidak ada titik temu diantara keduanya. Hal ini dikarenakan
berbagai faktor, dalam ilmu fiqih menjadi kewajaran jikalau para ulama
tidak sama pendapatnya atau argumentasi yang berseberangan. Dari hal
tersebut ada hal terpenting pendapat dari masing-masing ulama memilki
argumentasi yang kuat, sehingga mampu untuk mempertanggungjawabkan
argumentasi. Atas dasar sumber berupa refrensi jelas dan nalar yang
digunakan dapat diterima dengan akal sehat.

Dalam pembahasan sub bab ini akan memaparkan berbagai pendapat


ulama mengenai haul, tahlil, dan manaqib, baik yang setuju (pro) dan yang
tidak setuju (kontra) dengan dilakukannya amaliyah tersebut.

1. Haul
a. Kontra
Pendapat pertama dalam lingkup kontra, yakni
sebagaimana dalam surah al-Maidah ayat 3 yang secara tidak
langsung menegaskan bahwasanya agama telah
disempurnakan saat sebelum wafatnya nabi Muhammad saw.
adapun surah al-Maidah ayat 3 berbunyi :5

‫ٱْل ْسلَٰ َم ِد ًۭينا‬


ِْ ‫يت لَ ُكم‬ ِ ِ
ُ ُ ‫ت َعلَْي ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض‬
ِ
ُ ‫ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأَْْتَ ْم‬
ُ ْ‫ٱلْيَ ْوَم أَ ْك َمل‬
4
Muhammad Sholikhin, 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir Jailan
(Yogjakarta: Mutiara Media, 2009), 19.
5
Admin, “Tahlilan, Haul, dan Semacamnya Adalah Bid’ah Tercela menurut Muktamar NU ke-1
Tahun 1926,” NAHIMUNKAR, diakses 28 Mei 2022, Tahlilan, Haul dan Semacamnya Adalah
Bid’ah Tercela Menurut Muktamar NU ke-1 Tahun 1926 – Nahimunkar.

9
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam
sebagai agamamu.”
Pendapat kedua dalam lingkup kontra, yakni dalam
perayaan haul terdapat wasilah ghuluw (berlebih-lebihan)
terhadap orang-orang sholih dan tempat-tempat keramat,
sehingga berdo’a dan memohon pertolongan kepada selain
Allah swt., bertabaruk (ngalap berkah) yang keliru dan
keyakinan-keyakinan keliru lainnya. Firman Allah swt. :
۟
‫ب ََل تَغْلُوا ِِف ِدينِ ُك ْم‬
ِ َٰ‫يَٰٰٓأ َْهل ٱلْكِت‬
َ
Artinya : “Wahai ahli kitab, janganlah kamu
melampaui batas dalam agamamu.” (QS. an-Nisa‘
[4]: 171).
Ayat ini, sekalipun ditujukan kepada ahli kitab,
maksudnya adalah untuk memberikan peringatan kepada
umat ini agar menjauhi sebab-sebab yang mengantarkan
murka Allah swt. kepada umat-umat sebelumnya. Nabi
Muhammad saw. bersabda:
ِ ‫الدي ِن فَإََِّّنَا أَهلَك من َكا َن قَب لَ ُكم الْغُلُُّو ِِف‬
‫الدين‬ ِ ‫َي أَيُّها النَّاس إِ ََّي ُكم والْغُلَُّو ِِف‬
ُ ْ َْ َ ْ َْ ُ َ َ
Artinya : “Wahai sekalian manusia, waspadalah
kalian terhadap sikap berlebih-lebihan dalam agama
karena sikap berlebih-lebihan dalam agama telah
membinasakan orang-orang sebelum kalian.”
Pendapat ketiga dalam lingkup kontra, yakni bila
perayaan atau haul ini diselenggarakan di area pekuburan.
Maka terjatuh dalam larangan menjadikan kuburan sebagai
tempat perayaan dan larangan menjadikan kuburan sebagai
tempat ibadah. Rasulullah bersabda :

10
ِ
َ ‫صلُّوا َعلَ َّي فَإِ َّن‬
ُ ‫ص ََلتَ ُك ْم تَ ْب لُغُِِن َحْي‬
‫ث ُكْن تُ ْم‬ َ ‫ََل ََْت َعلُوا قَِْْبي عيدا َو‬
Artinya: “Janganlah kamu jadikan kuburanku
sebagai ’id (perayaan) dan bersholawatlah kamu
kepadaku karena sholawat itu akan sampai
kepadaku di mana pun kamu berada.”
Jika Rasulullah melarang kuburannya dijadikan sebagai
tempat hari raya, haul, atau tempat kunjungan beramai-ramai,
bagaimana dengan kuburan selainnya. Tentu saja dilarang
juga. Rasulullah bersabda :
ِ‫ت الَّ ِذي تُ ْقرأُ فِ ِيه ُسورةُ الْبَ َقرة‬
ِ ‫ إِ َّن الشَّيطَا َن ي ْن ِفر ِمن الْب ي‬،‫ََل ََْتعلُوا ب يوتَ ُكم م َقابِر‬
َْ ْ ُ َ ْ
َ َ َ َ َ ْ ُُ َ
Artinya: “Janganlah kalian menjadikan rumah-
rumah kalian sebagai kuburan, karena
sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibacakan
di dalamnya Surah al-Baqoroh.” (HR. Muslim:
1300)

Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah


tempat untuk beribadah. Oleh karena itu, Nabi menganjurkan
untuk membaca alquran di rumah dan melarang menjadikan
rumah sebagai kuburan yang tidak dibacakan alquran di
dalamnya.

b. Pro
Permasalahan haul ini, akan lebih bernuansa agamis dan
terasa dahsyat ketika yang meninggal itu seorang tokoh yang
kharismatik, ulama besar, pendiri sebuah pesantren, dan lain
sebagainya. Bahkan lebih dari itu, haul diaplikasikan oleh
banyak institusi pemerintah dalam bentuk peringatan hari jadi
kota atau daerah. Hal ini bisa dikemas dalam berbagia acara,
mulai dari pentas budaya, seni dan hasil produk andalan

11
daerah itu sendiri, bahkan pada puncaknya sering diisi
penyampaian mauidzatul hasanah dari tokoh masyarakat,
yang sebelumnya diawali bacaan istighatsah, tahlil, dan
sebagainya.
Adapun rangkaian acara dapat bervariatif ada
pengajian, tabligh akbar, istighatsah akbar, mujahadah,
musyawarah, halaqah, mengenang dan menceritakan riwayat,
orang yang di hauli dengan cerita cerita yang baik yang
sekiranya bisa dijadikan sebagai suri tauladan, bersedekah
dan lain lain.6

‫واكن صلعم وسلم ويدعو هلم مبا تقدم رواه مسلم واحمد وابن‬, ‫يزورقبورشهداء احد وقبور اهل ابلقيع‬

‫ماجه‬
Artinya : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam
berziarah ke makam syuhada’ (orang-orang yang
mati syahid) dalam perang Uhud dan makam
keluarga Baqi’ Dia mengucapkan salam dan
mendoakan mereka atas amal-amal yang telah
mereka kerjakan (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu
Majah).
Dan juga dijelaskan:

‫قال لواقدي واكن رس ل اهلل صلعم ىف لك حول واذا لقاهم اب لشعب رفع صو‬. ‫يزور قتىل احد‬

‫ته يقول السال م عليكم مبا صربتم فنعم عقبدار واكن ابو بكر يفعله مثل ذلك وكذالك عمربن‬

‫عثمان للسيد جعفر الرب زنىج قال‬. ‫وىف هنجل ابل غه‬- ‫اىل ان قال‬- ‫اخلطاب مث وىف منا قب‬

‫سيد الشهداء حمزة رض واكن عليه الصالة والسال م أييت قبور شهداء ابحد‬.

6
Tim LTM-PBNU, Wahabi Menuduh-NU Menjawab (Jakarta: Lembaha Ta’mir Masjid NU,
2018), 92-98.

12
Artinya : Al-Waqidi berkata : Rasulullah shollallohu
‘alaihi wa sallam mengunjungi makam para
pahlawan Uhud pada setiap tahun. Jika telah sampai
di Syi’ib (tempat makam mereka), Rosululloh agak
keras berucap: Assalaamu’alaikum bima shobartum
fani’ma uqbad daar (semoga kalian selalu mendapat
kesejahteraan atas kesabaran yang telah kalian
lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling
nikmat). Abu Bakar, Umar, dan Ustman, juga
melakukan hal yang serupa.

(Manaqib Sayyid As-Syuhada’ Hamzah bin Abi Tholib


yang ditulis Sayyid Ja’far al-Barzanji, beliau berkata:
Rasulullah mengunjungi makam Syuhada’ Uhud pada awal
setiap tahun).

Dalil kedua, al-fatawa al-Kubra, juz II hlm, 18 : Ahkam


al-fukaha, juz III, hlm. 41-42 :

‫ث اََّهنَا تَ ْشتَ ُم َغالِبا َعلَى ثَََلثَِة أ ُُم ْوٍر‬ َّ ُ‫ض ْاَلَْولِيَ ِاء َوالْعُلَ َم ِاء ِِمَّاَلَيَْن َهاه‬
َ ُ‫الش ِريْ َعةُ الْغَُّراء‬
ُ ‫حْي‬, ِ ‫ِذ ْكَريَ ْوِم الْ َوفَاةِلِبَ ْع‬

‫آن َواْ َلو ْع ِد‬


ِ ‫ وِمْن ها قِراَةُ اْل ُقر‬،‫ب وكِ ََل ُُها َغي م ْن ِه ٍي عْنه‬
ْ َ َ َ ُ َ َ ُ ْ َ َ ‫ُّق ابْملَأْ ُك ْول َواْملَ َشا ِر‬
ِ ِ ِ ُ ‫ وتَصد‬،‫ِمْن ها ِزَيرةُ اْل ُقب وِر‬
َ َ ُْ َ َ َ
ِ ‫ك مستَحسن لِلْح‬
‫ث َغلَى ُسلُ ْو ِك الطَّ ِريْ َقتِ ِه اْمل ْح ُم ْوَدةِ َك َما ِِف‬ ِ
َ ‫ب اْملتَ َو َِّف َوذَال‬
ِ‫الدي ِِن وقَ ْد ي ْذ َكر فِي ِه مناق‬
ََ ْ ُ ُ َ ْ
ِ
َ َ ٌ َ ْ ْ َ ُ ُ
ِ ِ ِ َّ َ‫َّاِن ِمن الْ َفتَ ِوى اْل ُكْبى َِِلب ِن حج ٍر ون‬ ِ
‫ب َم َع‬ ُ ‫ َوََْي ُرُم النَّ ْد‬:‫ عبَ َارةُ َش ْر َح ِي اْلعُبَاب‬:ُ‫ص عبَاَرتُه‬ َ َ َ ْ َْ َ ِ ‫ا ْْلُْزء الث‬
‫ب‬ ِ ِ‫اََِّل ِذ ْكر َمنَاك‬-‫ال‬ َ َ‫اِ ََل اَ ْن ق‬-‫ص َّوبَهُ اَْلَ ْسنَ ِوي‬ ِ ِ
َ ‫اْلبُ َكاء َك َما َح َكاهُ ِِف اَْلَذْ َكا ِر َو َجَزَم بِه ِِف اْملَ ْج ُم ْوِع َو‬
ُ
ُ‫اع ِة أَ ْشبَهُ لِ َما يَْن َشأ‬ ٍِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ‫ع ٍِاِل ورٍع اَو‬
َ َّ‫صال ٍح للْ َحث َعلَى ُسلُ ْوك طَ ِريْ َقته َو ُح ْس ُن الظَّ ِن بِه بَ ْل ه َي حْي نَئذ ِابلط‬ َ ْ ََ َ
‫صا ِر‬ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫لْب وا ْْلَ ِي وِمن َمثَّ ماز َال َكثِي ِمن‬
ِِ ِ
َ ‫الص َحابَة َو َغ ِْيه ْم م َن اْلعُلَ َماء يَ ْف َعلُ ْوَهنَا َعلَى ِمََِر اَْل ْع‬ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ‫َعْن َها م َن ا‬
‫ِم ْن غَ ِْي اِنْ َكا ٍر‬

13
Artinya : Memperingati hari wafat para wali dan
para ulama termasuk amal yang tidak dilarang
agama. Ini tiada lain karena peringatan itu biasanya
mengandung sedikitnya 3 hal: ziarah kubur, sedekah
makanan dan minuman dan keduanya tidak dilarang
agama. Sedang unsur ketiga adalah karena ada acara
baca alquran dan nasehat keagamaan. Kadang
dituturkan juga manaqib (biografi) orang yang telah
meninggal. Cara ini baik-baik untuk mendorong
orang lain untuk mengikuti jalan terpuji yang telah
dilakukan si mayit, sebagaimana telah disebutkan
dalam qitab fatawa al-Kubara, juz II, Ibnu Hajar,
yang teksnya adalah ungkapan terperinci dari al-
Ubab adalah haram meratapi mayit sambil menangis
seperti diceritakan dalam kitab al-Azkar dan
dipedomani dalam al-Majmu’, al-Asnawi
membenarkan cerita ini. Sampai pernyatan..kecuali
menuturkan biografi orang alim yang Wira’i dan
soleh guna mendorong orang mengikuti jalannya
dan berbaik sangka dengannya. Juga agar orang bisa
langsung berbuat taat, melakukan kebaikan seperti
jalan yang telah dilalui almarhum. Inilah sebabnya
sebagian sahabat dan ulama selalu melakukan hal
ini sekian kurun waktu tanpa ada yang
mengingkarinya.

2. Tahlil
a. Kontra
Pendapat pertama dalam lingkup kontra, yaitu ijma’
ulama bahwa nabi, para sahabat, dan para imam madzhab
tidak pernah tahlilan. Tentu sangat tidak diragukan bahwa

14
acara tahlilan sebagaimana acara maulid Nabi dan bid’ah-
bid’ah yang lainnya, tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi,
tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi’in, dan
bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab
(Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad
rahimahumullah).7
Tidaklah diragukan bahwa Nabi telah kehilangan
banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau
yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau
(Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim) meninggal
semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka
yang ditahlilkan oleh Nabi.
Istri beliau yang sangat beliau cintai, yaitu Siti
Khodijah juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi
sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7,
ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau
tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau
cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau
Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja’far bin Abi
Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang
meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari
mereka yang di tahlilkan oleh Nabi.
Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-
Khulafaa’ ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali)
tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara
mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.
Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam
Asy-Syaafi’i) :

7
Admin, “Tahlilan Adalah Bid’ah Menurut Madzhab Syafi’i,” Firanda.com, diakses 28 Mei 2022,
TAHLILAN ADALAH BID’AH MENURUT MADZHAB SYAFI’I | Firanda.com.

15
‫فَ َما َِلْ يَ ُك ْن يَ ْوَمئِ ٍذ ِديْنا َلَ يَ ُك ْو ُن الْيَ ْوَم ِديْنا‬

Artinya : “Maka perkara apa saja yang pada hari itu


(pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi,
yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan
merupakan perkara agama maka pada hari ini juga
bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya
Ibnu Hazm 6/255)

Pendapat kedua dalam lingkup kontra, yaitu yang sunah


adalah meringankan beban keluarga mayat, bukan malah
memberatkan. Tragis dalam acara tahlilan ini ternyata terasa
berat bagi sebagian kaum muslimin yang tingkat ekonominya
rendah. Seharusnya keluarga yang ditinggal dibantu, ternyata
kenyataannya malah dibebani dengan acara yang
berkepanjangan. Dan biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan
(hari 1-7, hari ke-40, hari ke-100, dan hari ke-1000.

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja’far.


Maka Nabi bersabda :

‫صنَعُوا ِِل ِل َج ْع َفَر طَ َعاما فَإِنَّهُ قَ ْد أ َََت ُه ْم َما يُ ْشغِلُ ُه ْم‬ِ


ْ‫ا‬

Artinya : “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far,


karena sesungguhnya telah datang kepada mereka
perkara yang menyibukan mereka” (HR Abu
Dawud no 3132)

Al-Imam Asy-Syafi’I rahimahullah berkata :

16
‫وت َولَْي لَتِ ِه طَ َعاما يُ ْشبِعُ ُه ْم فإن‬ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِِ ُّ ‫وأ ُِح‬
ُ َُ‫ب ْل َيان الْ َميِت أو ذي قَ َرابَته أَ ْن يَ ْع َملُوا ِل َْه ِل الْ َميِت يف يَ ْوم َي‬ َ
َّ ‫ذلك ُسنَّةٌ َوِذ ْكٌر َك ِرميٌ وهو من فِ ْع ِل أ َْه ِل ا ْْلَِْي قَ ْب لَنَا َوبَ ْع َد ََن ِِلَنَّهُ لَ َّما جاء نَ ْع ُي َج ْع َف ٍر قال رسول‬
ِ‫اَّلل‬

‫اج َعلُوا ِِل ِل َج ْع َف ٍر طَ َعاما فإنه قد َجاءَ ُه ْم أ َْمٌر يَ ْشغَلُ ُه ْم‬


ْ ‫اَّللُ عليه وسلم‬
َّ ‫صلى‬

Artinya : “Dan aku menyukai jika para tetangga


mayat atau para kerabatnya untuk membuat
makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan
mereka pada siang dan malam hari kematian sang
mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk
kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang
baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala
datang kabar tentang kematian Ja’far maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’afar,
karena telah datang kepada mereka perkara yang
menyibukkan mereka” (Kitab Al-Umm 1/278).

Dan adapun ketiga dalam lingkup kontra, yaitu


argument madzhab syafi’i yang menunjukkan makruhnya
atau bidahnya acara tahlilan. adzhab syafi’i memakruhkan
sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam
rangka menerima tamu-tamu yang berta’ziyah, akan tetapi
hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan
mereka. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

17
Artinya : “Adapun duduk-duduk untuk ta’ziyah
maka Al-Imam Asy-Syafi’i menashkan
(menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab
serta seluruh ahli fikih madzhab syafi’i akan
makruhnya hal tersebut. Mereka (para ulama
madzhab syafi’i) berkata : Yang dimaksud dengan
“duduk-duduk untuk ta’ziyah” adalah para keluarga
mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang
hendak ta’ziyah pun mendatangi mereka. Mereka
(para ulama madzhab syafi’i) berkata : Akan tetapi
hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk
memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa
yang bertemu mereka memberi ta’ziyah kepada
mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki
dan wanita dalam hal dimakruhkannya duduk-
duduk untuk ta’ziyah.” Al-Imam Asy-Syafi’i
berkata dalam kitab “Al-Umm”: “Dan aku benci al-
maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah
keluarga mayat) meskipun mereka tidak menangis.
Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan
membebani pembiayayan….”. ini adalah lafal nash
(pernyataan) Al-Imam Asy-syafi’i dalam kitab al-
Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih
madzhab syafi’i. Dan penulis (kitab al-

18
Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk
pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu
bahwasanya model seperti ini adalah muhdats
(bid’ah)” (Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzdzab
5/278-279). Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para
ulama madzhab syafi’i memandang makruhnya
berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena
ada 3 alasan. Pertama, hal ini hanya memperbarui
kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-
kumpul meskipun mereka tidak menangis. Kedua
adalah hal ini hanya menambah biaya. Dan yang
ketiga adalah hal ini termasuk bid’ah (muhdats).

b. Pro
Kata tahlil dengan pengertian ini telah muncul dan ada
di masa Rasulullah shalla Allahu alaihi wa sallam,
sebagaimana dalam sabda beliau:8

‫َح ِد ُك ْم‬ ِ
َ ‫صبِ ُح َعلَى ُك ِل ُس ََل َمى م ْن أ‬ َ َ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ ق‬
ْ ُ‫ال ي‬ َّ ‫صلَّى‬ ِ ِ‫َع ْن الن‬
َ ‫َّب‬
ٍ‫يدةٍ ص َدقَةٌ وُك ُّل ََتْلِيلَ ٍة ص َدقَةٌ وُك ُّل تَ ْكبِية‬ ِ ٍ ِ‫ص َدقَةٌ فَ ُك ُّل تَسب‬
َ َ َ َ َ َ ‫ص َدقَةٌ َوُك ُّل ََْتم‬
َ ‫يحة‬
َ ْ َ
ِ َ‫ك رْكعت‬
‫ان‬ ِ ِ ُ ‫وف ص َدقَةٌ وَهنْي عن الْمنْ َك ِر ص َدقَةٌ وُُي ِز‬
ِ ‫ص َدقَةٌ وأَمر ِابلْمعر‬
َ َ َ ‫ئ م ْن ذَل‬ َْ َ ُ َْ ٌ َ َ ُْ َ ٌْ َ َ
‫ُّحى‬ ِ
َ ‫يَ ْرَكعُ ُه َما م ْن الض‬

Artinya : “Dari Abu Dzar radliallahu ‘anhu, dari


Nabi shalla Allahu alaihi wa sallam, sesungguhnya
beliau bersabda: “Bahwasanya pada setiap tulang
sendi kalian ada sedekah. Setiap bacaan tasbih itu

8
Tim LTM-PBNU, Wahabi Menuduh-NU Menjawab (Jakarta: Lembaha Ta’mir Masjid NU,
2018), 32-33.

19
adalah sedekah, setiap bacaan tahmid itu adalah
sedekah, setiap bacaan TAHLIL itu adalah sedekah,
setiap bacaan takbir itu adalah sedekah, dan amar
ma’ruf nahi munkar itu adalah sedekah, dan
mencukupi semua itu dua rakaat yang dilakukan
seseorang dari shalat dluha.” (HR. Muslim).

Tidak ada pernyataan Imam Syafi’i maupun ulama


besar pengikut madzhabnya seperti Imam Nawawi, Imam
Ibnu Hajar al-asqalani, Imam Ibnu Katsir, Imam ar-Ramli dll
yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan haram dan
bid’ah. Sebagaimana dipahami, ritual tahlilan mengandung
beberapa hal. Adapun yang pertama, tahlilan mengandung
dzikir bersama atau berjamaah. Sementara para ulama yang
disebutkan di atas tidak ada yang mengharamkan dzikir
Bersama atau berjamaah. Justru kebolehan dzikir Bersama
dan berjamaah telah menjadi kesepakatan para ulama salaf
dan khalaf. Salah satunya adalah pendapat al-Imam Sya’rani,
beliau berkata :9

‫اج ِد‬
ِ ‫اب ِذ ْك ِرا ْْلماع ِة ِِف ا ْْلماع ِة ِِف الْمس‬
ََ َ ََ َ ََ ِ ‫استِ ْحب‬
َ ْ ‫َْجَ َع الْعُلَ َماءُ َسلَف َاو َخلَفا َعلَى‬
ْ‫أ‬

‫صل اَْو قَا ِر ٍى‬ ِ ِ ِ ِ ِ


ُ ‫َو َغ ِْيَها م ْن َغ ِْيه نَك ٍْي اََّل اَ ْن يُّ َشو‬
َ ‫ش َج ْهَرُه ْم َعلى ََنئ ِم اَْو ُم‬

Artinya : “Para ulama salaf dan khalaf telah


bersepakat tentang di sunahkannya dzikir berjamaah
di masjid-masjid atau lainnya, tanpa ada yang
menentang dari seorang pun, kecuali apabila suara
keras mereka dapat menganggu orang yang tidur,
shalat atau membaca alquran.” (Hasyiyah al-
Thahthawi ‘ala Maraqi al-Falah, hal.208).

9
M. Idrus Ramli, Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram? (Surabaya: Khalista, 2011), 13-32.

20
‫‪Yang kedua, dalam komposisi bacaan tahlilan yang‬‬
‫‪mencampur antara alquran, tahlil, tahmid, takbir, shalawat,‬‬
‫‪dll. Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan kaum kontra yang‬‬
‫‪menulis selebaran manhaj salaf tsb, pernah ditanya tentang‬‬
‫‪ritual seperti tahlilan, yang mencampur antara ayat alquran,‬‬
‫‪tahlil, istighfar, shalawat, dll dalam satu komposisi. Ternyata‬‬
‫‪Ibnu Taimiyah membenarkan serta mengajurkannya. Dalam‬‬
‫‪hal ini Ibnu Taimiyah berkata :‬‬

‫ول َهلم ‪ :‬ه َذا ِ‬


‫الذ ْك ُر بِ ْد َعةٌ َو َج ْه ُرُك ْم‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َو ُسئ َل ‪َ :‬ع ْن َر ُج ٍل يُنْك ُر َعلَى أ َْه ِل الذ ْك ِر يَ ُق ُ ُْ َ‬
‫َحيَ ِاء‬ ‫ِ ِِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ِيف الذ ْك ِر بِ ْد َعةٌ َوُه ْم يَ ْفتَت ُحو َن ِابلْ ُق ْرآن َوََيْتَت ُمو َن ُمثَّ يَ ْدعُو َن للْ ُم ْسلم َ‬
‫ني ْاِل ْ‬
‫يد والت ِ‬ ‫ِ‬
‫ات وَُيمعو َن التَّسبِيح والت ِ‬
‫يل َوالتَّ ْكبِ َي َوا ْْلَْوقَلَةَ َويُ َ‬
‫صلُّو َن َعلَى‬ ‫َّهل َ‬
‫َّحم َ َ ْ‬‫ْ ََ ْ‬ ‫َو ْاِل َْم َو َ ْ َ ُ‬
‫استِ َم ِاع كِتَابِِه‬ ‫ِ ِ ِِ ِ‬ ‫ِ‬
‫اب ‪ :‬اَل ْجت َماعُ لذ ْك ِر هللا َو ْ‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه َو َسلَّ َم فَأ َ‬
‫َج َ‬ ‫النِ ِ‬
‫َّب َ‬
‫ات فَِفي‬
‫ات ِيف ْاِلَوقَ ِ‬
‫ت والْعِباد ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫والدُّع ِاء عمل ِ‬
‫ْ‬ ‫ض ِل الْ ُق ُرَاب َ َ َ‬
‫صال ٌح َوُه َو م ْن أَفْ َ‬
‫َ َ ََ ٌ َ‬
‫ني ِيف‬ ‫ِ‬ ‫ال ‪ِ ِ ِ َّ :‬‬ ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ قَ َ‬
‫صلَّى َّ‬ ‫الص ِح ِ‬
‫يح َع ْن النِ ِ‬
‫(إن ََّّلل َم ََلئ َكة َسيَّاح َ‬ ‫َّب َ‬ ‫َّ‬
‫ِ‬ ‫ِ ِ‬
‫اجتِ ُك ْم) َوذَ َكَر ا ْْلَد َ‬
‫يث‬ ‫ض فَإِذَا َمُّروا ب َق ْوم يَ ْذ ُك ُرو َن هللاَ تَنَ َاد ْوا َهلُ ُّموا َإَل َح َ‬
‫ْاِل َْر ِ‬

‫ِ ِ‬ ‫ِِ‬
‫(و َج ْد ََن ُه ْم يُ َسبِ ُحونَك َوََْي َم ُدونَك) لَك ْن يَنْ بَغي أَ ْن يَ ُكو َن َه َذا أ ْ‬
‫َحيَاَن ِيف‬ ‫َوفيه َ‬
‫ات َو ْاِل َْمكِنَ ِة فَ ََل ُُْي َع ُل ُسنَّة َراتِبَة َُيَافَ ُ‬
‫ظ َعلَْي َها َّإَل َما َس َّن َر ُس ُ‬
‫ول‬ ‫ض ْاِلَوقَ ِ‬
‫بَ ْع ِ ْ‬
‫الصلَو ِ‬
‫ات ا ْْلَ ْم ِ‬
‫س‬ ‫هللاِ صلَّى هللا علَي ِه وسلَّم الْم َداومةَ علَي ِه ِيف ا ْْلم ِ ِ‬
‫اعات ؟ م ْن َّ َ‬
‫ََ َ‬ ‫َ ُ َ ْ َ َ َ ُ ََ َ ْ‬
‫اْلنْس ِ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ات وِمن ا ْْلمع ِ‬
‫ِيف ا ْْلم ِ‬
‫ان َعلَى‬ ‫ات َو ْاِل َْعيَاد َوََْن ِو ذَل َ‬
‫ك ‪َ .‬وأ ََّما ُحمَافَظَةُ ْ َ‬ ‫اع َ ْ ُ ُ َ‬ ‫ََ َ‬
‫َّها ِر‬ ‫الذ ْك ِر أَو الد ِ‬
‫الص ََلةِ أَو الْ ِقراءةِ أَو ِ‬ ‫ٍ ِ‬
‫يف الن َ‬
‫ُّعاء طََر َْ‬
‫ْ َ‬ ‫أ َْوَراد لَهُ م ْن َّ ْ َ َ ْ‬

‫‪21‬‬
Artinya : Ibnu Taimiyah ditanya, tentang seseorang
yang mengingkari ahli dzikir (berjama’ah) dengan
berkata pada mereka : “Dzikir kalian ini bid’ah,
mengeraskan suara yang kalian lakukan juga
bid’ah.” Jama’ah tersebut memulai dan menutup
dzikirnya dengan al qur’an, lalu mendo’akan kaum
muslimin yang masih hidup dan yang sudah
meninggal. Mereka merangkai bacaan Tasbih,
Tahmid, Tahlil, Takbir, Hauqolah (Laa Haula Wa
Laa Quwwata Illa Billah) dan sholawat kepada Nabi
shollallohu ‘alaihi wasallam Syaikh Ibnu Taimiyah
menjawab :”Berkumpul untuk berdzikir,
mendengarkan alquran dan berdoa adalah amal
sholih dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling
utama di setiap waktu. Dalam shohih (Al Bukhori)
bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Sesungguhnya Allah memiliki banyak
malaikat yang selalu bepergian di muka bumi.
Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang
yang berdzikir kepada Allah, maka mereka
memanggil : “Silahkan sampaikan hajat kalian”,
Ibnu Taimiyah menuturkan hadits tersebut (secara
utuh), dan di dalamnya terdapat redaksi; “Kami
menemukan mereka bertasbih dan bertahmid
kepada-Mu”. Akan tetapi hendaknya hal ini
dilakukan dalam sebagian waktu dan keadaan, dan
tidak menjadikannya sebagai sunah yang dipelihara
yang mengiringi shalat, kecuali perkara yang telah
di contohkan Rasululloh shollallohu ‘alaihi
wasallam untuk di lakukan secara istiqamah berupa
sholat lima waktu, jum’at, dan perayaan-perayaan

22
(‘id) juga yang semisal. Adapun memelihara
rutinitas wirid-wirid yang ada padanya, berupa
sholawat, bacaan alquran, dzikir, atau do’a setiap
pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan
lain-lain, hal ini merupakan sunah Rasululloh
shollallohu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba
Alloh yang sholih zaman dahulu dan sekarang.
(Majmu’ Fataawaa, vol. 22, hal. 520)

Dan yang ketiga, dalam ritual tahlilan terjadi


pengiriman hadiah pahala bacaan alquran, tahlil, tahmid,
takmir, shalawat dan lain-lain kepada si Mati. Pengiriman
hadiah pahala alquran, tahlil, dll, tidak di hukumi bidah dan
haram oleh Imam Syafi’i dan para ulama besar yang menjadi
pengikut mazhabnya seperti Imam Nawawi dll. Dalam hal
pengiriman hadiah pahala amal saleh kepada orang yang
sudah meninggal terjadi perbedaan pendapat. Pertama,
pengiriman hadiah pahala amal saleh selain bacaan alquran
seperti haji, sedekah, dan doa. Dalam hal ini, para ulama salaf
maupun khalaf sepakat mengatakan sampai. Kedua,
pengiriman hadiah pahala bacaan alquran kepada orang yang
sudah meninggal, menurut Imam Syafi’i tidak sampai,
sementara menurut mayoritas ulama salaf dan imam yang
tiga sampai. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Suyuthi berkata :

‫ف َواِل َِء َّم ِة الث َََّلثَةُ َعلَى‬


ِ َ‫السل‬ ِ ِ‫اب الْ ِقراءةِ لِلْمي‬
َّ ‫ت فَ ُج ْم ُه ْوُر‬ َ ََ
ِ ‫صوِل ثَو‬
ِْ ‫ف‬
َ ْ ُ ‫يف ُو‬
ِ
َ ‫اُ ْختُل‬
‫س‬ َ ‫ك أَِم ُامنَا الشَّافِعِ ُّي ُم ْستَ ِدَلًّ بَِق ْولِِه تَ َع‬
َ ‫اَل َوأَ ْن لَْي‬
ِ ِ ‫وخالَف‬,‫الْوصوِل‬
َ ‫يف ذَل‬
ْ َ َ َ ُْ ُ
ِ ِ ِِ
َ ‫ل ْْلنْ َسان أََّل َم‬
‫اس َعى‬

23
Artinya : “terjadi perselisihan pendapat mengenai
sampainya pahala bacaan alquran kepada si Mati.
Mayoritas ulama salaf dan imam yang tiga
berpendapat sampai. Sementara Imam Syafi’i,
panutan kami, menyelisihinya (mengatakan tidak
sampai), berlandaskan dalil firman Allah SWT:
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”
(QS. al-Najm: 39). (Al-Hafizh al-Suyuthi, Syarh al-
Shudur, hal.267)

Dalam pernyataan di atas diterangkan bahwa mayoritas


ulama salaf dan imam madzhab yang tiga (Abu Hanifah,
Malik, dan Ahmad bin Hanbal) berpendapat sampainya
pahala bacaan alquran kepada orang yang meninggal.
Sementara Imam al-Syafi’I berpendapat bahw hal itu tidak
sampai berdasarkan QS. al-Najm: 39. Al-Hafizh
Syamsyuddin bin Abdul Wahid al-Maqdisi berkata dalam
risalahnya tentang sampainya pahala bacaan alquran kepada
orang yang meninggal, bahwa mayoritas ulama telah
menjawab argumentasi Imam al-Syafi’i di atas dengan
beberapa hujjah berikut ini :

Pertama, ayat QS. al-Najm: 39 telah di-nasakh (diganti


status hukumnya) dengan ayat :

ٍ َ‫وا لَّذِ ين آم نُوا واتَّب ع تْ ه م ذُرِيَّ تُ ه م ِبَِِي‬


‫ان أَ ْْلَ ْق نَا ِبِِ ْم ذُرِيَّ تَ ُه ْم َومَ ا‬ ُْ ُْ ََ َ َ َ َ
‫ني‬ ِ ِ ٍِ ٍ ِ ِِ ِ
ٌ ‫ب َره‬
َ ‫س‬
َ ‫اه ْم م ْن عَ َم ل ه ْم م ْن َش ْي ء ۚ كُ لُّ ْام رئ مبَا َك‬
ُ َ‫أَلَتْ ن‬

Artinya : Dan orang-orang yang beriman, dan yang


anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka

24
dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit
pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Kedua, ayat QS. al-Najm: 39 diatas khusus bagi kaum


Nabi Ibrahim as. dan Nabi Musa as.. Sedangkan umat Islam,
akan memperoleh apa yang mereka usahakan sendiri dan
yang diusahakan orang lain untuk mereka sebagaimana
dikatakan oleh Ikrimah.

Ketiga, yang dimaksud dengan manusia dalam QS. al-


Najm:39 tersebut adalah orang kafir. Sedangkan orang
mukmin akan memperoleh pahala yang diusahakannya
sendiri dan yang diusahakan orang lain untuknya,
sebagaimana dikatakan oleh Imam ar-Rabi’ bin Anas.

Keempat, seorang manusia memang hanya akan


memperoleh pahala dari apa yang diusahakannya sendiri
berdasarkan keadilan Tuhan. Akan tetapi jika melihat
anugerah Tuhan, boleh saja Allah menambah pahalanya
dengan apa yang diusahakan orang lain untuknya sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya, sebagaimana dikatakan oleh
Imam al-Husain bin al-Fadhal.

Kelima, huruf jar lam dalam kalimat lil-insan bermakna


‘ala, yaitu manusia hanya akan disiksa karena apa yang
diusahakannya. Jadi ayat tersebut berkaitan dengan siksa,
bukan pahala.

Di sisi lain, mayoritas ulama yang berpendapat


sampainya pahala bacaan alquran kepada orang yang
meninggal berdalil dengan dalil-dalil berikut ini:

25
Pertama, dianalogikan dengan pahala doa, sedekah,
puasa, haji dan memerdekakan budak yang dapat dihadiahkan
kepada orang yang meninggal. Menurut mereka, apabila
pahala doa, sedekah, puasa, haji dan memerdekakan budak
dapat dihadiahkan kepada orang yang meninggal, mengapa
pahala bacaan alquran tidak bisa.

Kedua, tradisi kaum salaf dari golongan sahabat Anshar


yang membacakan alquran di makam keluarga mereka yang
meninggal. Al-Khallal dalam al-Jami, berikut ini :

‫ت اِ ْختَ لَ ُف ْوا اِ ََل قَِْْبهِ يَ ْقَرءُ ْو َن‬


ُ ِ‫ات َهلُُم الْ َمي‬
ِ ْ‫ت اِْلَن‬
َ ‫ص ُار اذَا َم‬
َ
ِ َ‫ َكان‬:‫ال‬
ْ ‫َع ِن الش‬
َ َ‫َّعِ ِب ق‬

‫لَهُ الْ ُق ْرآَ َن‬

Artinya : “Sya’bi berkata: “Kaum Anshar, apabila


seseorang di antara mereka meninggal, maka
mereka selalu mendatangi makamnya membacakan
al-Qur’an untuknya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam
al-Mushannaf [juz 4 hal. 236], dan al-Khallal dalam
al-Amr bil-Ma’ruf wa al-Nahy ‘ani al-Munkar [hal.
89]).

Ketiga, banyak sekali hadits-hadits yang menunjukkan


sampainya pahala bacaan alquran kepada orang yang
meninggal, antara lain hadits-hadits berikut ini:

َ‫َح ٌد) إِ ْح َدى َع َشَرة‬ ِ ِ


َ ‫ َم ْن َمَّر َعلَى الْ َم َقاب ِر َوقَ َرأَ (قُ ْل ُه َو هللاُ أ‬:‫َع ْن َعل ٍي َم ْرفُ ْوعا‬
ِ ‫مَّرة ُمثَّ وهب أَجره لِ ْْلَمو‬
ِ ‫ات أ ُْع ِطي ِمن اَْلَج ِر بِع َد ِد اَْلَمو‬
‫ات‬َْ َ ْ َ َ َ ْ َُ ْ َ َ َ َ

Artinya : “Dari Ali secara marfu’ (dinisbatkan


kepada Nabi): “Barangkali siapa yang melewati

26
makam, lalu membaca Qul huwa Allah ahad,
sebelas kali, kemudian menghadiahkan pahalanya
kepada orang-orang sudah meninggal, maka ia akan
diberi pahala sebanyak orang-orang yang meninggal
itu.” (HR. al-Samarqandi dalam Fadhail Qul huwa
Allah ahad dan al-Rafi’i).

ِ ِ ِ ِ
ْ ِ‫َع ْن أ‬
ُ‫ َوقُ ْل ُه َو هللا‬،‫ َم ْن َد َخ َل الْ َم َقابَر ُمثَّ قَ َرأَ فَاَتَةَ الْكتَاب‬:‫َِب ُهَريْ َرةَ َم ْرفُ ْوعا‬

َ ‫ت ِم ْن َكَلَِم‬
‫ك ِل َْه ِل‬ ُ ْ‫اب َما قَ َرأ‬
َ ‫ت ثَ َو‬
ُ ‫ِن َج َع ْل‬ِِ َ َ‫ ُمثَّ ق‬،‫ َوأَ ْهلَا ُكم التَّ َكاثُر‬،‫َح ٌد‬
ْ ‫ إ‬:‫ال‬ ُ ُ َ‫أ‬

َ ‫ َكانُ ْوا ُش َف َعاءَ لَهُ إِ ََل هللاِ تَ َع‬،‫ات‬


‫اَل‬ ِ َ‫الْم َقابِ ِر ِمن الْم ْؤِمنِني والْم ْؤِمن‬
ُ َ َْ ُ َ َ

Artinya: “Dari Abu Hurairah secara marfu’:


“Barangsiapa mendatangi kuburan lalu membaca
surah al-Fatihah, Qul huwallahu ahad dan
alhakumuttakatsur, kemudian mengatakan: “Ya
Allah, aku hadiahkan pahala bacaan al-Qur’an ini
bagi kaum beriman laki-laki dan perempuan di
kuburan ini,” maka mereka akan menjadi
penolongnya kepada Allah.” (HR. Sa’ad al-
Zanjani).

ٍ َ‫ب ا ْْلََلَِّل بِ َسنَ ِدهِ َع ْن أَن‬


‫ َم ْن َد َخ َل‬:‫س َم ْرفُ ْوعا‬ ِ ‫وأَخرج عب ُد الْع ِزي ِز‬
ُ ‫صاح‬
َ ْ َ َْ َ َ ْ َ
ِ ِ
ٌ َ‫ َوَكا َن لَهُ بِ َع َدد َم ْن فْي َها َح َسنا‬،‫َّف هللاُ َعْن ُه ْم‬
‫ت‬ َ ‫ َخف‬،‫ فَ َقَرأَ ُس ْوَرةَ يس‬،‫الْ َم َقابَِر‬.

Artinya: “Abdul Aziz-murid al-Imam al-Khallal,


meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas bin
Malik secara marfu’: “Barangsiapa mendatangi
kuburan, lalu membaca surah Yasin, maka Allah
akan meringankan siksaan mereka, dan ia akan

27
memperoleh pahala sebanyak orang-orang yang ada
di kuburan itu.” (Kedua hadits di atas juga
disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, pendiri aliran Wahabi, dalam kitabnya
Ahkam Tamanni al-Maut, hal. 75).

Setelah menyebutkan ketiga hadits di atas dan empat


hadits lainnya, al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul Wahid al-
Maqdisi berkata, hadits-hadits di atas meskipun nilainya
dhaif (lemah), secara keseluruhan menunjukkan bahwa
pengiriman hadiah pahala bacaan alquran memiliki dasar dari
hadits Nabi.

Keempat, kaum Muslimin dalam setiap kurun waktu


selalu berkumpul dan membacakan alquran untuk orang-
orang mereka yang meninggal tanpa ada ulama yang
mengingkarinya, sehingga hal tersebut menjadi ijma’.
Demikian pernyataan al-Hafizh Syamsuddin bin Abdul
Wahid al-Maqdisi, ulama terkemuka madzhab Hanbali,
dalam risalahnya tentang sampainya pahala bacaan alquran
kepada orang yang sudah meninggal, dan dikutip secara
lengkap oleh al-Hafizh al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur
(hal. 267-269) dan al-Imam al-Safarini al-Hanbali dalam al-
Buhur al-Zakhirah (juz 1, hal. 359-363).

3. Manakib
a. Kontra
Perihal kontra terhadap manakib sendiri, susah untuk
menemukan dalil. Hal ini dikarenakan perdebatannya hanya
sekilas penganalogian. Maksudnya adalah mereka yang
kontra terhadap amaliah manakib hanya memperkarakan

28
mengenai siapa yang dimanakibkan dan juga adanya jamuan
dalam pelaksanaannya.
Dapat dipahami bersama, bahwasanya perihal amaliah
manakib yang popular adalah manakib Syekh Abdul Qodir
Jailani. Mereka menyangkal bahwasanya yang di manakibkan
bukan sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. Akan tetapi,
yang di manakibkan hanyalah Syekh Abdul Qodir Jailani.
Yang mana notabenenya beliau hanya seorang auliya’ bukan
salah satu sahabat Nabi Muhammad saw. mereka
menganggap hal ini terlalu berlebihan untuk dilakukan.
b. Pro
Dalil mengenai manaqib itu banyak terdapat dalam al-
Quran, semisal manaqibnya Ashabul Kahfi, Raja
Dzulqurnain, Sayyidatuna Maryam, Sayyidina Luqmanul
Hakim dan lain sebagainya. adapun dalil yang digunakan
hujjah untuk memperbolehkan praktek manaqib yaitu sebuah
hadits yang terdapat dalam kitab Bughyat al-Mustarsyidin
halaman 97:10

‫ َم ْن‬: ‫لى ﺍﻪﻠﻟُ َعلَْي ِه َﻭ َسلَّ َمَ ﺍنَّهُ قاََﻝ‬ ِ


َ ‫َﻭَّﺭ َﺥ َﻭقَ ْد َﻭَﺭَﺩ ِيف ْﺍََلثَِر َع ْن َسيِد ﺍلْبَ َش ِر‬
َّ ‫ص‬
‫ض َوا َن هللاِ ِيف‬
ْ ‫ب ِر‬ ِ
ْ ‫ُم ْؤمناَ فَ َكأََّنَّاََ ﺍ ْحياَهُ َﻭ َم ْن قَ ََرﺃ َتَ ِرَْيَهُ فَ َكأََّنَّاَ َز َارهُ فَ َق ْد‬
َ ‫است ْو َج‬
‫ُح ُزْوِر ا ْْلَن َِّة‬

Tersebut dalam surat atsar: Rasulullah pernah


bersabda: “Siapa membuat sejarah orang mukmin
(yang sudah meninggal ) sama saja menghidupkan
kembali; siapa membacakan sejarahnya seolah-olah

10
Sumarsam, “Pengertian, Manfaat, dan Dalil Manaqib,” NULinggau.or.id, diakses 29 Mei 2022,
https://www.nulinggau.or.id/2021/08/pengertian-manfaat-dan-dalil-manaqib.html.

29
ia sedang, siapa yang mengunjunginya, Allah akan
memberikan surga.”

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud


dan at-Tirmidzi:

‫قاﻝ ﺭسوﻝ ﺍﻪﻠﻟ صلﻯاﻪﻠﻟ عليه ﻭسلم َم ْن َﻭَّﺭ َﺥ ُم ْسلِما فَ َكأَ ََّّنَاَ ﺍ ْحيَاهُ َﻭ َم ْن َﺯ َﺍﺭ‬
ِ ِ
‫ ﺭﻭه ﺍبو ﺩﺍﻭﺩ‬.‫اع ِِت‬ ْ َ‫َعالما فَ َكأَ ََّّنَا َﺯ َﺍﺭ ِِن َﻭ َم ْن َﺯ َﺍﺭِِن بَ ْع َد َﻭفَاتى َﻭ َجب‬
َ ‫ت لَهُ َش َف‬
‫ﻭترمذﻯ‬

Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa membuat


tarikh (Biografi) seorang muslim, maka sama
dengan menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah
kepada orang alim, maka sama dengan ziarah
kepadaku (Nabi Saw). Dan barang siapa berziarah
kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya
mendapat syafaatku esok di hari kiamat". (HR. Abu
Dawud dan at-Tirmidzi).

Dalam kitab Jala’ adz-Dzulam ‘ala ‘Aqidat al-‘Awam


dijelaskan:

ِ ِ ِ ِ
‫س ﺍلْ ََْبكاَ ِﺕ‬ ِ ‫ض ِل َﻭﺍ ْْلَْ َي‬
َ ‫ﺍﺕَ ﺍ ْﻥ يَلْتَم‬ ُ ‫ِ ﺍ ْعلَ ْم يَنْ بَغ ِي ل ُك ِل ُم ْسل ٍم طاَل‬
ْ ‫ب ﺍلْ َف‬

‫ﺍﺕ ْﺍَِل ْﻭلِياَِﺀ ِيف‬


ِ ‫ضَر‬ َّ ‫ﺍستِجاَبَِة ﺍلدُّعاَِﺀ َﻭنُُز ْﻭ ِﻝ‬
َ ‫ﺍلر ْْﺣاَ ِﺕ ِيف َح‬ ْ ‫اﺕ َﻭ‬
ِ ‫َﻭﺍلنَّ َف َح‬

‫ََﻣاَلِ ِس ِه ْم َﻭ َْجْعِ ِه ْمَ ﺍ ْحيَاﺀ ََﻭﺃ ْم َوﺍَت َﻭعِنْ َد قُبُ ْوِﺭ ِه ْم َﻭ َح َاﻝ ِﺫ ْك ِرِه ْم َﻭعِنْ َد َكثْ َرِﺓ‬

‫ جَلﺀ ﺍلظَلﻡ‬. ‫ضلِ ِه ْم َﻭنَ ْش ِر َمناَقِبِ ِه ْم‬ ِ ‫ﺍ ْْلُ ُم ْو ِﻉ ِيف ِﺯَيَﺭﺍَتِِ ْم َﻭعِنْ َد َم َذﺍ َكَر‬
ْ َ‫ﺍﺕ ف‬

‫على عقيدﺓ ﺍلعوﺍﻡ‬

30
Artinya : "Ketahuilah seyogyanya bagi setiap
muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan, agar
ia mencari berkah dan anugerah serta terkabulnya
doa dan turunnya rahmat di depan para wali, di
majelis-majelis dan perkumpulan mereka, baik
masih hidup atau pun sudah mati, di kuburan
mereka ketika mengingat mereka, dan ketika orang
banyak berkumpul dalam menziarahi mereka, dan
pembacaan riwayat hidup mereka (manakiban)"

Dan jikalau ditinjau kembali secara arti, manakib


berartikan biografi. Dan disisi lain manfaat manakib sendiri
adalah seorang yang membacanya mengetahui seseorang
tersebut secara biografi. Dan Dalam sebuah hadits riwayat
ad-Dailami dalam kitab Musnad al- Firdaus riwayat dari
Sayyidina Mu’adz bin Jabal Ra.:

‫ﺫكر ﺍِلنبياﺀ من ﺍلعباﺩﺓ ﻭﺫكر ﺍلصاْلني كفاﺭﺓ ﻭﺫكر ﺍملوﺕ صدقة ﻭﺫكر‬

‫ﺍلقْب يقربكم من ﺍْلنة‬

Artinya : “Mengingat para Nabi adalah ibadah,


mengingat orang-orang sholeh adalah
kafarat/tebusan (bagi dosa), mengingat mati adalah
sedekah dan mengingat kubur mendekatkan kalian
kepada surga.”

Manakib yang popular di Indonesia, yakni manakib


Syekh Abdul Qadir Jailani. Akan tetapi, sepengetahuan
penulis ada juga manakib Siti Khadijah (Istri pertama
Rasulullah SAW) hal ini dilakukan oleh Alm. KH. Maimoen
Zubair Sarang semasa hidupnya. Dan hari ini beliau
dimakamkan dekat dengan makam Siti Khadijah.

31
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Haul dalam bahasa Arab yang berarti tahun, dalam masyarakat
Indonesia, khususnya Jawa mempunyai arti yang sangat khusus, yaitu
suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya
seseorang yang ditokohkan dari para wali, ulama’ atau kiai.
Secara bahasa tahlilan berakar dari kata bahasa arab, yakni hallala
yuhallilu tahlilan artinya adalah membaca atau mengucap kalimat "Laa ila
ha illallah". Dan sedangkan pengertian manakib adalah kata manakiban
berasal dari kata ‘manaqib’ (bahasa Arab), yang berarti biografi, kemudian
ditambah dengan akhiran ‘an’ (bahasa Indonesia) menjadi manakiban yang
berarti kegiatan pembacaan manakib (biografi).
Tradisi haul pertama kali berkembang di kalangan masyarakat
muslim di Hadramaut, Yaman. Di kawasan tersebut masyarakat
terstratifikasi dalam kelas-kelas sosial yang berdasarkan latar belakang
keturunan yakni para sayid atau keturunan Nabi Muhammad yang berada
di jajaran paling atas strata sosial, masyayikh atau keturunan tokoh
pemikir Islam yang tidak punya latar belakang keturunan Nabi
Muhammad.
Ritual tahlilan diadopsi oleh para dai terdahulu dari upacara
kepercayaan animisme, agama Budha dan Hindu yang kemudian diganti
dengan ritual yang diambil dari alquran dan Hadits. Sebelum agama
Hindu, Budha dan Islam masuk ke Indonesia, kepercayaan yang dianut
bangsa Indonesia antara lain adalah animisme. Menurut kepercayaan
animisme, bila seseorang meninggal dunia, maka ruhnya akan datang ke
rumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Ketika agama Hindu
dan Budha masuk di Indonesia, kedua agama ini tidak mampu merubah
tradisi animisme tersebut. Bahkan, tradisi tersebut berlangsung terus
sampai agama Islam masuk ke Indonesia yang dibawa oleh para ulama,

32
yang dikenal dengan Wali Songo. Setelah orang-orang tersebut masuk
Islam, mereka juga tetap melakukan ritual tersebut.
Sejarah perkembangan manakib di Indonesia sudah ada sejak para
ulama Islam yang dipimpin oleh para sufi yang mengajarkan Islam.
Dimulai dari ajaran yang berupa amalan-amalan tarekat, hingga yang
berbentuk amalan-amalan dzikir lainnya karena merupakan budaya sejak
awal Islam datang ke Indonesia.
Dari amaliah-amaliah tersebut memunculkan sebuah keragaman
dalam kehidupan, sehingga ada yang mengamalkan dan ada juga yang
tidak. Perdebatan dipicu dari perbedaan pandangan beberapa orang atau
kelompok mengenai amaliah tersebut. Perdebatan kedua pihak, baik yang
pro maupun yang kontra dianggap sah, ketika sama-sama memiliki
argumentasi yang kuat. Akan tetapi, yang kita ketahui hari ini banyak
orang menyalahkan tanpa ingin mengetahui terlebih dahulu argumen apa
yang dipegang sebagai rujukan. Dan inilah yang menimbulkan perdebatan
yang tidak ada ujungnya. Maka, perdebatan secara akademik harus
dilakukan atas dasar kita mengetahui perbedaan berlandaskan argumentasi
yang memiliki acuan masing-masing perseorangan atau kelompok.
B. Saran
Pembahasan makalah ini yaitu tentang Haul, Tahlil dan Manakib:
Perdebatan Akademik dalam Tinjauan Para Ulama. Perdebatan secara
akademik adalah suatu hal yang penting bagi kita semua, agar kita
mengetahui bahwasanya para ulama’ mengalami fase perbedaan pendapat
juga. Akan tetapi, perbedaan tersebut berlandaskan atas referensi-referensi
yang jelas. Dan makalah ini diharapkan pembaca mampu memahami
bagaimana perdebatan akademik para ulama mengenai Haul, Tahlil dan
Manakib yang telah dijelaskan. Dan semoga bermanfaat bagi para
pembaca dalam meningkatkan wawasannya.

33
DAFTAR PUSTAKA
Admin. “Tahlilan Adalah Bid’ah Menurut Madzhab Syafi’i.” Firanda.com.
diakses 28 Mei 2022. TAHLILAN ADALAH BID’AH MENURUT MADZHAB
SYAFI’I | Firanda.com.
Admin. “Tahlilan, Haul, dan Semacamnya Adalah Bid’ah Tercela menurut
Muktamar NU ke-1 Tahun 1926.” NAHIMUNKAR. diakses 28 Mei 2022.
Tahlilan, Haul dan Semacamnya Adalah Bid’ah Tercela Menurut Muktamar NU
ke-1 Tahun 1926 – Nahimunkar.
Asri, Yusuf M.. Profil paham dan Gerakan Keagamaan. Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2009.
Hasanah, Siti Nur. Moderasi Islam di tengah masyarakat Multikultural. Jember:
STAI Qodiri jember.
Ramli, Idrus M.. Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?. Surabaya: Khalista,
2011.
Sholikhin, Muhammad. 17 Jalan menggapai Mahkota Sufi Syaikh Abdul Qadir
Jailani. Yogjakarta: Mutiara Media, 2009.
Sumarsam. “Pengertian, Manfaat, dan Dalil Manaqib.” NULinggau.or.id. diakses
29 Mei 2022. https://www.nulinggau.or.id/2021/08/pengertian-manfaat-dan-
dalil-manaqib.html.
Tim LTM-PBNU. Wahabi Menuduh-NU Menjawab. Jakarta: Lembaha Ta’mir
Masjid NU, 2018.
Umar, Hasbi. Nalar Fiqh Kontemporer. Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.

34

Anda mungkin juga menyukai