“ASWAJA”
Dosen Pengampu : Efendi, S.Pd., M.Pd
Disusun oleh
Uswatun Khasanah
Binti Awalul Mukaromah
KELAS : PAI A1
Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..........................................................................................9
B. Saran ....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa latar belakang lahirnya NU?
2. Bagaimana Proses Kelahiran NU?
3. Bagaimana Maksud faham inklufisme?
4. Bagaimana Maksud faham Pluralisme?
C. TUJUAN
1. Mampu mengetahui latar belakang lahirnya NU.
2. Mampu Mengetahui Proses Kelahiran NU.
3. Mampu Memahami faham Inklufisme.
4. Mampu Memahami faham pluralisme.
1
H. Umar Burhan, Hari-Hari Sekitar Lhir NU, (Jakarta: Aula,1981) h. 21
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
As’ad Thoha, dkk, Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-An, 2013. Hal.85
3
3Sutarmo, Gerakan Sosial Keagamaan Modernis, (Yogyakarta: Suaka Alva
2005)
2
kebebasan bermadzab di Makkah dan Madinah. Usulan dari KH.Wahab
Hasbullah tersebut kurang mendapat perhatian. Dan akhirnya dapat
dipahami bahwa Central Comite Chilafat sebagai delegasi resmi umat
Islam Indonesia ke mukhtamar dunia islam di Makkah. Dari banyaknya
uraian di atas bahwa setidaknya ada dua peristiwa penting yang menjadi
latar belakang untuk mendirikan NU, yaitu :
1. Munculnya organisasi pergerakan nasional baik organisasi
keagamaan maupun organisasi kebangsaan yang bertujuan
untuk membangkitkan semangat nasionalisme bangsa
indonesia dalam mencapai kemerdekaan, dan merupakan
wadah untuk menyatukan langkah para ulama’ dalam tugas
pengabdian yang tidak lagi terbatas pada soal kepesantrenan
dan kegiatan ritual keagamaan, dll.
2. Adanya perubahan pemerintahan di tanah hijaz(sekarang saudi
arabia) yang dikuasai oleh pengikut wahabi pada tahun 1924.4
Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini
bersumber dari Al-qur’an, Sunnah, Ijma’(keputusan-keputusan para
ulama’sebelumnya) dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita
alQur’an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa
Bisri ada tiga substansi, yaitu:
1. Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah
satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan
Hanbali), yang dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat
madzhab Syafi’i.
2. Dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi.
3. Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu
Qosim AlJunaidi. Proses konsulidasi faham Sunni berjalan
4
Ibid, hal.86
3
secara evolutif. Pemikiran Sunni dalam bidang teologi bersikap
elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar.5
B. PROSES KELAHIRAN NU
Dengan memperhatikan dinamika perkembangan yang ada pada
masa itu, KH. Abdul Wahab Hasbullah berinisiatif untuk
menyampaikangagasan perlunya mendirikan organisasi para ulama’
pesantren kepada gurunya, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Namun beliau masih belum bisa menyetujuinya sebelum memohon
petunjuk terlebih dahulu kepada Allah SWT melalui shalat istikharah.
Di samping itu, KH. Hasyim Asy’ari sebagai bapak umat islam yang
selalu diminta nasihat oleh berbagai tokoh pergerakan nasional.
Khawatir apabila beliau mendirikan organisasi sendiri akan memecah
belah persatuan bangsa Indonesia, khususnya umat islam yang justru
akan menguntungkan pihak penjajah. Oleh karena itu beliau bertindak
sangat hati-hati dengan menghitung manfaat dan ruginya mendirikan
sebuah organisasi untuk para ulama’ pesantren.
Dengan demikian, sebenarnya gagasan yang di sampaikan oleh
KH. Abdul Wahab itu diterima oleh KH. Hasyim Asy’ari, akan tetapi
masih dalam batas sebagai gagasan cemerlang. Kemudian beliau
melakukan shalat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah
SWT. Petunjuk Allah SWT yang menjadi isyarat perkenannya bagi
berdirinya sebuah jam’iyah (organisasi) untuk para ulama’ pesantren
itu tidak di terima langsung oleh KH. Hayim Asy’ari, tetapi justru di
terima oleh KH. Khalil Bangkalan, seorang ulama’ yang sangat
berpengaruh dan guru KH. Hasyim Asy’ari.
Petunjuk pertama diterima pada tahun 1924 berupa tongkat yang
kemudian di sampaikan oleh KH. Khalil kepada KH. Hasyim Asy’ari
melalui santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (dikenal
sebagai kyai pemangku pp. salafiyah as-syafi’iyah sukorejo,
5
Lathiful Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari
(Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang).56,
4
asembagus-situbondo dan sudah wafat), disertai dengan ayat Al-qur’an
yang menceritakan mu’jizat Nabi Musa AS yaitu terdapat pada surat
Thaha:17-23.
Petunjuk kedua juga dating dari KH. Khalil yang di sampaikan
kepada KH. Hasyim Asy ‘ari melalui as’ad syamsul arifin pada tahun
1925. Pada kali kedua ini, as’ad membawa tasbih yang di kalungkan di
leherny. Tasbih itu kemudian di sampaikannya kepada KH. Hasyim
Asy’ari dengan disertai bacaan asmaul husna “ Ya Jabbar ya qahhar”
3X. Dengan petunjuk kedua inilah KH. Hasyim Asy’ari berkeyakinan
bahwa Allah SWT telah memperkenankan bagi para ulama’ pesantren
untuk mendirikan sebuah jam’iyah (organisasi).
Setelah itu KH. Hasyim Asy’ari memerintahkan kepada KH.
Wahab agar mempersiapkan berdirinya sebuah organisasi yang di cita-
cita kan. Menindak lanjuti perintah gurunya, KH. Abdu Wahab
Hasbullah segera menghubungi para ulama’ pesantren, dan secara
intensif mengadakan rapat-rapat dan diskusi-diskusi. Sehingga
terbentuklah Komite Hijas yang merupakan embrio bagi jam’iyah
Nahdlatul Ulama’.
Peristiwa sejarah yang terurai di atas menunjukkan bahwa jam’iyah
NU lahir tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana
lazimnya pembentukan sebuah organisasi modern. Jam’iyah NU lahir
berdasarkan petunjuk Allah SWT. Fungsi gagasan tidak begitu
dominan, tetapi faktor penentu adalah permohonan kepada Allah SWT
melalui shalat istikharah yang di tindak lanjuti dengan musyawarah.
Hal ini sesuai dengan makna hadits Rasulullah SAW, yang artinya
“tidak akan rugi orang yang beristikharah dan tidak akan menyesal
orang yang bermusyawarah”. Setelah memperoleh restu dari Hadratus
syaikh KH. Hasim Asy’ari, langkah awal yang dilakukan oleh KH.
Wahab Hasbullah bersama para ulama’ yang tergabung dalam Taswirul
Afkar dan Nahdlatul Wathan adalah membentuk komite hijas sebagai
delegasi para ulama’ pesantren untuk menghadapi langsung kepada raja
5
ibnu saud, penguasa hijas(Saudi Arabia) dengan susunan kepanitiaan
sebagai berikut :
Penasihat : KH. Abdul Wahab Hasbullah
KH. Khalil Masyhuri
Ketua : H. Hasan Gipo
Wakil Ketua : H. Sholeh Syamil
Sekretaris : Muhammad Shadiq
Pembantu : KH. Abdul Halim
Pada 16 Rajab 2344 H/ 31 Januari 1926 M, Komite Hijas mengadakan
rapat di Surabaya dengan mengundang para ulama’ terkemuka di jawa
dan Madura. Rapat yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asyari dan KH.
Asnawi (kudus) itu menghasilkan beberapa keputusan penting.
Diantaranya adalah bahwa pertemuan tersebut sepakat untuk
membentuk sebuah jam’iyah (organisasi) sebagai wadah perkumpulan
dan persatuan ulama’ menuju terciptanya izzul islam wal muslimin
(kejayaan islam dan kaum muslimin). Dan Jam’iyah itu diberi nama
“NAHDLATUL ULAMA”.6
C. FAHAM INKLUFISME
Kata inklufisme adalah antonim dari kata ekslusifisme yang
berarti suatu paham yang menganggap bahwa hanyalah pemahaman
kelomponya saja yang benar, sedangkan pemahaman kelompok yang
lain di anggap salah.
Adapun yang dimaksud dengan Inklufisme adalah suatu paham
yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada
kelompoknya sendiri, melainkan juga ada pada kelompok lain.
Termasuk dalam komunitas umat beragama. Hal ini berangkat dari
sebuah keyakinan bahwa inti agama adalah sama, yakni membawa
ajaran keselamatan, tetapi syari’at dan ajaran dari masing-masing
agama berbeda. Itulah sunnatullah (hukum alam) yang tidak seorangpun
mampu mengubahnya.
6
Ibid. Hal.89
6
Sebagai pengamal ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, kita
harus meyakini bahwa ajaran yang kita ikuti adalah benar tanpa
menyalahkan paham atau pemikiran orang lain yang tidak sepaham
dengan kita. Artinya kita harus selalu menghormati atau menghargai
aneka ragam pemahaman baik dalam lingkup intra agama (antar sesama
muslim) maupun antar umat beragama.
Hal yang perlu dipahami bahwa setiap sesuatu selalu mempunyai dua
unsur yaitu universal(umum) dan particular(khusus). Semakin kuat
seseorang memahami kedua aspek tersebut, baik umum ataupun
khsusus maka akan semakin terbuka dalam hal bersikap inklusif
terhadap kelompok lain.
Inklufisme merupakan sesuatu yang pasti terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat, sehingga pemahaman terhadap pihak lain tidak hanya
terbatas pada keyakinan yang ada pada masing-masing kelompok.
Melainkan juga mencoba memahami hal-hal yang terdapat pada
kelompok lain. Berdasarkan uraian tersebut dalam mengaplikasikan
ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah pada era global sekarang ini,
pemahaman keagamaan harus didasari dengan sikap inklusif. Yang
diharapkan dapat tercipta kedamaian, kesetaraan, persamaan, kerukunan
dan keadilan dalam kehidupan sosial. Yang mana hal ini sesuai dengan
karakter faham keagamaan Aswaja yaitu,
At-tawassuth (sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan), Al-
I’tidal (tegak lurus/teguh pendirian serta selalu berpihak pada kebenaran
dan keadilan). Dan At-tawazun (seimbang dan penuh pertimbangan).7
D. FAHAM PLURALISME
Pluralisme artinya bukan satu tetapi banyak dan banyak itu artinya
bermacam-macam karena tidak ada yang sama. Ahlussunnah Wal
Jama’ah memahami pluralisme sebagai sebua keterlibatan aktif di
tengah-tengah keragaman dan perbedaan. Dalam hal ini, Ahlussunnah
Wal Jama’ah memiliki pemahaman :
7
Ibid. Hal.10
7
Pluralisme sebenarya berbicara dalam tataran fakta an realita,
bukan berbicara padatataran aqidah. Artinya pada tataran aqidah kita
harus tetap meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritualnya
tersendiri, sehingga suatu agama atau keyakinan tentunya akan ber beda
dengan yang lain. Sedangkan dalam tataran sosial dan kebudayaan
dibutuhkan keterlibatan aktif diantara semua lapisan masyarakat untuk
membangun sebuah kebersamaan. Sebab dengan kebersamaan itu ebuah
bangsa akan tumbuh dengan baik dan mampu melahirkan karya-karya
besar bagi kemanusiaan yang universal. Oleh karena itu , pluralisme
dalam tataran sosial lebi dari sekedar mengakui keragaman dan
perbedaan, melainkan juga merangkai keragaman itu untuk tujuan
kebersamaan.
Puralisme bukanlah relativisme yakni upaya menemukan
komitmen bersama di antara berbagai komitmen. Setiap agama dan
ideologi mempunyai komitmen masing-masing, namun dari sekian
komitmen yang beragam itu harus di carikan komitmen bersama untuk
memfokuskan perhatian pada kepetingan bersama. Oleh karena itu
pluralisme sangatlah berbeda dengan relativisme yang menafikan
pentingnya upaya membangun komitmen bersama di antara berbagai
komunitas masyarakat. Sedangkan relativisme berada pada posisi
menafikan komitmen bahkan menafikan kebenaran itu sendiri.8
BAB III
8
Ibid. Hal.13
8
PENUTUP
A. KESIMPULAN
I. Latar belakang untuk mendirikan NU, yaitu :
a) Munculnya organisasi pergerakan nasional baik organisasi
keagamaan maupun organisasi kebangsaan yang bertujuan untuk
membangkitkan semangat nasionalisme bangsa indonesia dalam
mencapai kemerdekaan, dan merupakan wadah untuk menyatukan
langkah para ulama’ dalam tugas pengabdian yang tidak lagi terbatas
pada soal kepesantrenan dan kegiatan ritual keagamaan, dll.
b) Adanya perubahan pemerintahan di tanah hijaz(sekarang saudi
arabia) yang dikuasai oleh pengikut wahabi pada tahun 1924.
II. NU lahir tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana
lazimnya pembentukan sebuah organisasi modern. Jam’iyah NU lahir
berdasarkan petunjuk Allah SWT. Fungsi gagasan tidak begitu dominan,
tetapi faktor penentu adalah permohonan kepada Allah SWT melalui
shalat istikharah yang di tindak lanjuti dengan musyawarah.
III. Adapun yang dimaksud dengan Inklufisme adalah suatu paham yang
menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada kelompoknya
sendiri, melainkan juga ada pada kelompok lain. Termasuk dalam
komunitas umat beragama. Hal ini berangkat dari sebuah keyakinan
bahwa inti agama adalah sama, yakni membawa ajaran keselamatan,
tetapi syari’at dan ajaran dari masing-masing agama berbeda. Itulah
sunnatullah (hukum alam) yang tidak seorangpun mampu mengubahnya.
IV. Pluralisme artinya bukan satu tetapi banyak dan banyak itu artinya
bermacam-macam karena tidak ada yang sama. Ahlussunnah Wal Jama’ah
memahami pluralisme sebagai sebua keterlibatan aktif di tengah-tengah
keragaman dan perbedaan.
B. SARAN
9
Berdasarkan yang tertera pada uraian di atas, maka dalam hal ini
penulis dapat memberikan saran kepada pembaca, bahwasanya ilmu
pengetahuan tidak bersumber dari buku saja , melainkan bisa di dapat juga
dari pengalaman pribadi ataupun dari orang lain. Kami selaku penulis
mengharapkan kritik dan saran sebagai perbaikan untuk ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
10
H. Umar Burhan, Hari-Hari Sekitar Lhir NU, (Jakarta: Aula,1981) h. 21
As’ad Thoha, dkk, Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-An, 2013. Hal.85
Sutarmo, Gerakan Sosial Keagamaan Modernis,
(Yogyakarta: Suaka Alva 2005)
Lathiful Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asy’ari (Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang).56,
11