Anda di halaman 1dari 42

ASWAJA VERSI NAHDLATUL ULAMA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ASWAJA

Disusun oleh:

Erin Fa’izatul Ilmi

Dosen Pengampu:

Drs. H. Sueib Junaidi, SH, M.SI.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-AZHAR

MENGANTI GRESIK

2017

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini semata-mata disusun dan diajukan untuk
memenuhi tugas Matakuliah Bahasa Arab Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-
Azhar Menganti Gresik Tahun Pelajaran 2016.

Kedua kalinya sholawat serta salam tidak lupa kami panjatkan kepada
junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari jalan
kegelapan menuju jalan yang terang benerang yakni Addinul Islam, Agama yang
diridhoi oleh Allah SWT.

Dengan selesainya makalah ini penulis juga mengucapkan banyak terima


kasih kepada berbagai pihak diantaranya:

1. Bapak Drs. Imam Bahrozi, MM selaku ketua STAI Al-azhar Menganti Gresik

2. Drs. H. Sueib junaidi, SH, M. Si. selaku dosen pengampu

3. Teman-teman khususnya kelas 1B prodi PAI yang senantiasa memberikan saran


dan kritiknya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh


karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak untuk
menyempurnakan makalah ini.

Demikian atas keikut sertaannya dalam menyelesaikan pembuatan makalah ini


penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Menganti…………2017

penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii


DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2
A. Nahdlatul Ulama’ ..................................................................................... 2
1. Pengertian Aswaja .............................................................................. 2
2. Sejarah Berdirinya NU ....................................................................... 3
3. Muktamar ......................................................................................... 15
4. Fikrah Nahdliyyah ............................................................................ 20
B. Nahdlatul Ulama’ dan Perspektif Fiqih .................................................. 21
1. Dasar Keagamaan NU ...................................................................... 21
2. Sistem Bermadzhab .......................................................................... 23
3. Sekilas Tentang Taqlid ..................................................................... 24
4. NU dan Masalah Talfiq .................................................................... 29
5. NU dan Masalah Bid’ah ................................................................... 30
6. NU dan Masalah Al Kufru ............................................................... 35
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 39
A. KESIMPULAN ...................................................................................... 39

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara organisatoris, Ahlusunnah waljama’ah mengalami pelembagaan di
tengah-tengan Muslim Nusantara sejak kehadiran KHM. Hasyim Asy’ari dan
generasi muslim pada zamannya. Bersama kolega-koleganya, KHM. Hasyim
berhasil mempelopori berdirinya organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang
secara legal berbasis pada Ahlusunnah Waljama’ah.

Dalam anggaran dasar hasil Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928 M,
secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan membentengi
artikulasi fiqih empat madzhab di tanah air. Sebagaimana tercantum pada pasal
2 Qonum asasi li jam’iyat Nahdlat al ulama’ ( Anggaran dasar NU), yaitu :

Memegang teguh pada salah satu dari madzhab empat (yaitu madzhabnya
Imam Muhammad bin Idris al-syafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu
Hanifah an-nu’man dan Imam Ahmad bin Hanbal).

Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Nahdlatul Ulama?
2. Apa pengertian Nahdlatul Ulama dan perspektif fiqih?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang Nahdlatul Ulama.
2. Untuk mengetahui tentang Nahdlatul Ulama dan perspektif fiqih.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Nahdlatul Ulama’
1. Pengertian Aswaja
Sesuai dengan hasil keputusan Bahtsul Masa’il Munas Alim Ulama’ NU di
Jakarta tanggal 25-28 Juli 2002, Ahlusunnah Wal Jama’ah dita’rifkan
sebagai berikut:

‫اهل السنة والجماعة هو من اتبع وتمسك بكتاب هللا وبما عليه رسول هللا ص م واصحابه وبماعليه‬
‫السلف الصالح وتابعواهم‬

“ Ahlusunnah wal jamaah adalah orang yang memegang teguh Al Qur’an


dan mengikuti segala sesuatu yang telah dijalankan oleh Rosullullah SAW,
para sahabatnya, serta Salaf As Sholeh dan para penerusnya”.

Aswaja menurut NU adalah dasar dan paham keagamaan sebagaimana


ditulis oleh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasi sebagai berikut:

a. Dalam Aqidah mengikuti salah satu dari Imam Abu Hasan Al Asy’ari
dan Imam Abu Mansur Al Maturidzi.
b. Dalam Ubudiyah (praktek peribadatan) mengikuti salah satu madzhab
empat: Abu Hanifah, Malik bin Anas, Muhammad Asy Syafi’i, dan
Ahmad bin Hambal.
c. Dalam Tasawwuf mengikuti salah satu dua imam yaitu Abu Qosim Al
Junaidi Al Baghdadi dan Abu Hamid Al Ghozali.

Sedangkan dalam menghadapi masalah budaya atau problem sosial yang


berkembang di tengah masyarakat NU menggunakan pendekatan sikap
sebagai berikut:

a. Sikap Tawassut dan I’tidal (moderat, adil, dan tidak ekstrim).


b. Sikap Tasammuh (toleransi, lapang dada, dan saling pengertian).
c. Sikap Tawazun / seimbang dalam berkhidmad.

2
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Dalam mensikapi perkembangan budaya, NU tetap mendasarkan pada


kaidah:

‫المحافظة علي القديم الصالح واالخذ باالجديد االصلح‬

“ Mempertahankan tradisi lama yang masih relevan, dan merespon


terhadap gagasan baru yang lebih baik dan lebih relevan”.

2. Sejarah Berdirinya NU
NU berdiri berkat perjuangan rintisan sejumlah ulama’ yang memiliki
wawasan keagamaan yang sama. Mereka adalah:
a. KH. M. Hasyim Asy’ari : Tebuireng
b. KH. Abu Wahab Hasbullah : Jombang
c. KH. Maksum : Lasem
d. KH. Ridlwan : Semarang
e. KH. Nawawi : Pasuruan
f. KH. Nahrawi Muchtar : Malang
g. KH. Ridwan : Surabaya
h. KH. Absullah Ubaid : Surabaya
i. KH. Alwi Abdul Aziz : Malang
j. KH. Abdul Halim : Cirebon
k. KH. Doro Muntoho : Madiun
l. KH. Dahlan Abdul Qohar : Kertosono
m. KH. Abdullah Faqih : Gresik

KH. M. Hasyim Asy’ari dan KH. Abd Wahab Hasbullah bertindak sebagai
pemrakarsa.

Latar belakang berdirinya NU:

a. Sebab tidak langsung.

3
1) Pada permulaan abad ke 20 umat Islam mengalami kegoncangan
akibat kekalahan Turki Usmani pada PD I, yang dipandang sebagai
kejatuhan dunia Islam.
2) Pengikut gerakan Wahabi dibawah pimpinan Ibnu Saud berhasil
mengusir Syarif Husein dari Wilayah Hijaz pada tahun 1924, tempat
kedua kota Suci Mekkah dan Madinah.
3) Di Indonesia pada tahun-tahun itu muncul:
a) Gerakan-gerakan keagamaan yang dikenal dengan gerakan
pembaharuan, sebagai akibat pemikiran Muhammad bin Abdul
Wahab dari Saudi Arabiyah dan Muhammad Abduh dari Mesir.
b. Sebab langsung.

Sebagai reaksi terhadap Khilafah:

1) Pada tahun 1942 Mesir memprakarsai mengadakan Kongres Umat


Islam Sedunia yang akan diadakan bulan Maret 1925. Untuk
menanggapi undangan Mesir tersebut umat Islam Indonesia
mengadakan:
a) Kongres Al Islam II di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924.
Hasil kongres:
 Terbentuk komite Khilafah, dengan komposisi pengurus:
Ketua : Wondo Adi Suryo (Wondo Amiseno) PSII.
 Wakil ketua : KH. Abd. Wahab Hasbullah (ulama’
tradisional).
b) Kongres Al Islam III Desember 1924 di Surabaya.
Keputusan kongres:
Mengirim sebuah delegasi ke kongres Kairo, terdiri dari:
 Suryo Pranoto PSII
 H. Fachruddin Muhammadiyah
 KH. Abd. Wahab Hasbullah, (tradisi) tetapi kongres Kairo
ditunda.

4
2) Undangan Ibnu Saud kepada umat Islam untuk kongres di Mekkah
yang diselenggarakan pada tahun 1926. Untuk merespon undangan
tersubut, maka umat Islam Indonesia mengadakan:
a) Kongres Al Islam ke IV pada tanggal 21-27 Agustus 1925 di
Yogyakarta.
b) Kongres Al Islam ke V tanggal 6 Pebruari 1926 bertempat di
Bandung.

Kedua kongres ini kelihatannya di dominasi oleh golongan Pebaharu


Islam

Malah pada tanggal 8-10 Januari 1926 kaum pembaharu


mengadakan rapat di Cianjur, keputusan rapat mengirim delegasi
sebagai utusan Indonesia ke kongres Mekkah terdiri dari:

a) HOS Cokro Aminoto PSII


b) KH. Mas Mansyur Muhammadiyah
 Kongres Al Islam ke V di Bandung pada Pebruari 1926
memperkuat hasil rapat Cianjur.
 KH. Abu wahab atas nama kalangan tradisi mengajukan usul
kepada kongres agar diajukan ke kongres di Mekkah, agar di
hormati oleh penguasa baru di Hijaz. Usul-usul tersebut
adalah:
- Kebiasaan-kebiasaan agama seperti : membangun
kuburan.
- Membaca doa Dalailul Khoirot.
- Ajaran Madzhab.
c. Sebab Khusus
1) Pertentangan antara kaum tua dan kaum muda, yaitu
Muhammadiyah dan Persis (Persatuan Islam) di Jawa meluaskan
sayapnya ke Jatim sampai sampai ke Surabaya yang kemudian
menjadi pusat NU.

5
2) 3 orang pembaharu yang banyak berhasil di Jatim dalam da’wahnya
selalu menggoncangkan kaum tradisi.
a) KH. Mas Mansyur
b) Pakih Hasyim dari Minangkabau murid H. Rasul yang
bekerjasama dengan Al Irsyad dalam tablighnya yang
kontroversi menggoncangkan kaum tradisi. Dia menganjurkan
menghapuskan Usholli dan kebiasaan lain kaum tua. Dan
mendorong kalangan islam kembali kepada al qur’an, as sunnah
dan tidak terhenti pada kitab-kitab madzhab.
c) Al Hassan pendiri Persis yang selalu ingin menghapus usholli
dan talqin.
3) Komite Hijaz
Setelah usul KH. Abd. Wahab pada kongres Al Islam ke V
di Bandung tidak mendapat respon, maka KH. Abd. Wahab bersama
dengan golongan tradisi membentuk Komite Merumbuk Hijaz.
Dalam rapat tanggal 31 januari 1926 bertempat di desa
kertopaten surabaya, maka rapat memutuskan 2 hal:
a) Membentuk suatu jam’iyah untuk wadah persatuan para ulama’
dalam tugas memimpin umat menuju tercapainya “Izzul Islam
Wal Muslimin”. Atas usul KH. Alwi Abd. Aziz, jam’iyah ini
diberi nama “NAHDLATUL ULAMA’”.
b) Mengirim delegasi ke mekkah untuk bertemu langsung dengan
Raja Abd Aziz bin Saud untuk mempersembahkan usul-usul
sebagaimana yang di usulkan KH. Abd Wahab kepada kongres
Al Islam ke V di Bandung.

Adapun delegasi sebagai utusan NU adalah:

 KH. Bisyri dari Jombang.


 KH. Asnawi dari Kudus.

6
Kemudian digantikan oleh:

 KH. Kholil dari Lasem.


 KH. Abd Wahab dari Surabaya.
4) Pada tanggal 27 Maret 1928 NU mengumumkan bahwa KH. Abd
Wahab dan Ustadz Ghonaim Al Misri Al Amir akan berangkat ke
Mekkah sebagai utusan. Utusan tiba di Mekkah pada 17 April 1928
dan diterima oleh Raja tanggal 13 Juni 1928.
Adapun usul yang diajukan NU adalah:
a) Tidak melarang pada siapa pun yang menjalankan madzhab
Syafi’i.
b) Melarang orang yang menghalangi perjalanan madzhab Syafi’i.
c) Menetapkan angkat ziarah ke Madinah dan ziarah ke makam
Syuhada’ dan bekas-bekasnya.
d) Membolehkan orang yang wirid zikir yang benar, Burdah dan
Dalailul Khoirot. Dan mengaji kitab Fiqih Syafi’i, Tuhfah,
Nihaya dan Ibn Bajah.
e) Memelihara kubur Rosulullah SAW.
f) Jangan merusak kubur Syuhada.
g) Tarid biaya orang dan barang di pelabuhan Jeddah.
h) Melarang Syekh-Syekh mencari jama’ah haji datang ke
Indonesia.

Jawaban Raja yang disampaikan dalam surat tanggal 13 Juni 1928


No: 2028 ialah “Raja mengatakan bahwa”:

 Perbaikan di Hijaz merupakan kewajiban tiap pemerintah di


Hijaz.
 Akan memperbaiki perjalanan Haji sepanjang perbaikan ini
tidak melanggar ketentuan Islam.
 Kaum muslimin bebas menjalankan praktek agama dan
keyakinan mereka kecuali urusan yang Tuhan Allah
mengharamkan dan tiada terdapat suatu dalil dari kitab Allah

7
dan sunnah Rosulullah dan tidak dalam madzhabnya orang
dulu-dulu yang sholeh dan tidak dari sabda salah satu Imam
empat.
5) Tujuan Nahdlatul Ulama’
Pada tahun 1927 dirumuskan tujuan NU yaitu:
a) Memperkuat ikatan kepada salah satu madzhab empat.
b) Melakukan kegiatan yang bermanfaat untuk anggota sesuai
dengan Islam.
6) Pengurus Pusat Pertama.
Artikel 7 anggaran Dasar NU.
a) KH. M. Hasyim Asy’ari Rois/Ketua
b) KH. Said bin Sholeh Wkil Rois
c) KH. Mas. Alwi bin Abd Aziz Katib/Sekertaris
d) K. Abdullah Ali A’wan/Komisaris
e) H. Hasan Gipo Ketua
f) H. Achjab Wakil Ketua
g) H. Ihsan Bendahara
h) H. Ahmad Sodiq Al Sugeng Sekertaris

Yudodiwiryo

i) H. Sholeh Samil Komisaris

Nahdlatul Ulama’ mendapat pengakuan pemeintah Hindia Belanda


6 Pebruari 1930.

7) Dasar NU

Nahdlatul Ulama’ berkaidah Islam menurut Ahlusunnah Wal


Jama’ah dan menganut madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali).

8) Asas NU
Nahdlatul Ulama’ berasaskan pancasila.
9) Tujuan NU

8
a) Memperjuangkan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan
Ahlusunnah Wal Jama’ah.
b) Menganut madzhab empat di tengah-tengah kehidupan di dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
10) Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama’ tahun 2010. Keputusan
Muktamar ke 32 NU No. II/MNU/2010
BAB I
Pasal I:
1. Perkumpulan/jam’iyah ini bernama Nahdlatul Ulama’.
2. Nahdlatul Ulama’ didirikan di Surabayapada tanggal 31 Januari
1926 untuk waktu yang tak terbatas.

Pasal 2:

NU berkedudukan di Jakarta, Ibu Kota Negara Republik Indonesia.


Tempat kedudukan pengurus Besarnya.

Pasal 3:

1. NU sebagai Badan Hukum perkumpulan bergerak dalam bidang


keagamaan, pendidikan dan sosial.
2. NU memiliki hak-hak secara hukum sebagai Badan Hukum
perkumpulan termasuk didalamnya hak atas tanah dan asset-
asset lainnya.

BAB II

Pedoman, Aqidah dan Asas.

Pasal 4:

NU berpedoman kepada Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ dan Al


Qiyas.

Pasal 5:

9
NU beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah Wal
Jama’ah dalam bidang aqidah mengikuti Madzhab Imam Abu Hasan
Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi, dalam bidang fiqih
mengikuti sala satu dari madzhab empat dan dalam bidang tassawuf
mengikuti madzhab Imam Al Junaidi Al Baghdadi dan Abu Hamid
Al Ghozaly.

Pasal 6:

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara, NU berasas


Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

BAB III

Tujuan dan Usaha.

Pasal 8:

1. NU adalah Perkumpulan/Jam’iyah diniyah Islamiyah


Ijtima’iyah (Organisasi Sosial Keagamaan Islam) untuk
menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan
ketinggian harkat dan martabat manusia.
2. Tujuan NU adalah berlakunya agama Islam yang menganut
faham Ahlusunnah Wal Jama’ah untuk terwujudnya tatanan
masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan
umat dan demi tercapainya rahmat bagi semesta.

Pasal 9:

Untuk mewujudkan tujuan pasal 8, maka NU melakukan


usaha-usaha sebagai berikut:

a. Di bidang Agama, mengupayakan berlakunya ajaran Islam yang


menganut faham Ahlusunnah Wal Jama’ah.
b. Di bidang pendidikan, pengajaran serta pengembangan
kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam untuk membina

10
umat agar menjadi muslim yang taqwa, berbudi luhur,
berpengetahuan luas dan terampil berguna bagi agama, bangsa
dan Negara.
c. Di bidang sosial, mengupayakan dan mendorong pemberdayaan
di bidang kesehatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga dan
pendampingan masyarakat yang terpinggirkan (Mustadh’afin).
d. Di bidang ekonomi, mengupayakan peningkatan masyarakat dan
lapangan pekerjaan/usaha untuk kemakmuran yang merata.
e. Mengembangkan usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan
pihak dalam dan luar negeri yang bermanfaat bagi masyarakat
banyak terwujudnya khoiro ummah.

BAB IV

Struktur dan perangkat organisasi

Pasal 12:

Struktur organisasi Nahdlatul Ulama’ terdari dari:

1. Pengurus besar
2. Pengurus Wilayah
3. Pengurus Cabang/Pengurus Cabang istimewa
4. Pengurus Majelis Wakil Cabang
5. Pengurus Ranting
6. Pengurus Anak Ranting
11) Anggaran Rumah Tangga (ART) NU. Keputusan Muktamar ke 32
NU nomor II/MNU-32/2010
BAB V
Perangkat Organisasi
Pasal: 17
Perangkat organisasi NU terdiri atas:
a) Lembaga.
b) Lajnah.

11
c) Badan Otonom.

Pasal: 18

1. Lembaga adalah perangkat departemensasi organisasi NU yang


berfungsi sebagai pelaksana kebijakan NU khususnya berkaitan
dengan bidang tertentu.
Lembaga yang dimaksud pada pasal 17 (a) ayat (1) pasal 18
antara lain adalah:
a) Lembaga Dakwah NU (LDNU) bertugas melaksanakan
kebijakan NU dibidang pengembnagan agama Islam
menurut faham Ahlusunnah Wal Jama’ah.
b) Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP MA’ARIF NU) bertugas
dibidang pendidikan dan pengajaran formal.
c) Robithoh Ma’ahid Al Islamiyah (RMI) bertugas dibidang
pondok pesantren dan pendidikan keagamaan.
d) Lembaga Perekonomian NU (LPNU) bertugas dibidang
pengembangan ekonomi warga NU.
e) Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LPPNU) bertugas
di bidang pengembangan pertanian, lingkungan hidup, dan
ekonomi dan eksplorasi kelautan.
f) Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU) bertugas
dibidang kesejahteraan keluarga, sosial dan kependudukan.
g) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia
(LAKPESDAM) bertugas dibidang pengkajian dan
pengembangan sumber daya manusia.
h) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBHNU)
bertugas melaksanakan pendampingan, penyuluhan,
konsultasi dan kajian kebijakan hukum.
i) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI)
bertugas dibidang pengembangan seni budaya.

12
j) Lembaga Amil Zakat NU (LAZMU) bertugas menghimpun,
mengelola dan mentasyarufkan zakat dan shodaqoh kepada
mustahiqnya.
k) Lembaga Waqaf dan Pertahanan NU (LWPNU) bertugas
mengurus, mengelola serta mengembangkan tanah waqof
dan bangunan serta harta benda waqof lainnya milik NU.
l) Lembaga Bahstul Masa’il NU (LBMNU) bertugas
membahas masalah-masalah maudluiyah (tematik) dan
waqiyah (aktual) dan akan menjadi Keputusan Pengurus
Besar NU.
m) Lembaga Takmir Masjid NU (LTMNU) bertugas dibidang
pengembangan dan pemberdayaan Masjid.
n) Lembaga Kesehatan NU (LKNU) bertugas dibidang
kesehatan.

Pasal 19:

1. Lajnah adalah perangkat organisasi NU untuk melaksanakan


program NU yang memerlukan penanganan khusus.
2. Lajnah sebagaimana tersebut pada pasal 19 ayat 1 adalah
sebagai berikut:
a. Lajnah Falakiyah NU (LFNU) bertugas mengelola
masalah Rukyat, Hisab dan pengembangan ilmu Falak.
b. Lajnah Ta’rif Wan Nasr (LTNNU) bertugas
mengembangkan penulisan, penerjemahan dan
penerbitan kitab/buku serta media informasi menurut
Ahlusunnah Wal Jama’ah.
c. Lembaga Pendidikan Tinggi NU (LPTNU) bertugas
mengembangkan pendidikan tinggi NU.

Pasal 20:

13
1. Badan Otonom adalah perangkat organisasi NU yang
berfungsi melaksanakan kebijakan NU yang berkaitan
dengan kelompok masyarakat tertentu dan
beranggotakan perorangan.
2. Badan Otonom dikelompokkan dalam kategori badan
otonom berbasis usia, dan kelompok masyarakat
tertentu, dan badan otonom berbasis profesi dan
kekhususan lainnya.
3. Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat
tertentu adalah:
a. Muslimat NU untuk anggota perempuan NU.
b. Fatayat NU untuk anggota perempuan muda NU
berusia maksimal 40 tahun.
c. Gerakan Pemuda Ansor (GP ANSOR NU) untuk
anggota laki-laki NU berumur maksimal 40 tahun.
d. Ikatan Pelajar NU (IPNU) untuk pelajar dan santri
laki-laki NU yang yang maksimal berumus 30 tahun.
e. Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) untuk pelajar dan
santri perempuan NU yang maksimal 30 tahun.
4. Badan Otonom lainnya berbasis profesi:
a. Jam’iyah Ahli Thoriqot Al Mu’tabaroh An
Nahdiyah, untuk anggota NU pengamal tarekat yang
mu’tabar.
b. Jam’iyah Qurro Wal Huffadz, untuk anggota NU
yang berprofesi Qori’/Qori’ah dan
Hafidz/Hafidhzoh.
c. Ikatan Sarjanah NU disingkat ISNU adalah Badan
Otonom yang berfungsi membantu melaksanakan
kebijakan NU pada kelompok sarjanah dan kaum
intelektual.

14
d. Serikat Buruh Islam Indonesia (SARBUMUSI)
untuk anggota NU yang berprofesi
buruh/karyawan/tenaga kerja.
e. Pagar Nusa untuk anggota NU yang bergerak pada
pengembangan seni bela diri.
f. Persatuan Guru NU (PERGUNU) untuk anggota NU
yang berprofesi sebagai guru dan ustadz.

3. Muktamar
Sejak berdirinya sampai tahun 2010, NU sudah 32 kali
melaksanakan muktamar.

Muktamar pertama dilaksanakan pada tanggal 21-23 September


1926 di Surabaya. Keputusan pertama diantarannya adalah menetapkan diri
sebagai pembela paham Ahlusunnah Wal Jama’ah.

Muktamar ke-2 dilaksanakan pada tanggal 9-11 Oktober 1927 di


Pineleh, Surabaya, dibuka oleh Gubernur van der Plas. Selain masalah
agama, muktamar ini membicarakan pula urusan bank, pajak, pegadaian,
akad jual beli dan sistem perekonomian dalam Islam.

Muktamar ke-3 dilaksanakan tanggal 29-30 September 1928 di


Surabaya. Muktamar memutuskan pemilihan pengurus ditentukan dengan
suara terbanyak dan memperkuat hubungan kerja sama antara pesantren-
pesantren dan melakukan studi perbandingan di beberapa pesantren penting.

Muktamar ke-4 dilaksanakan pada tanggal 17-20 September 1929 di


Semarang. Keputusan utama diantaranya adalah memperkokoh persatuan
diantara ulama. Keputusan itu diambil sehubungan dengan terjadinya
perpecahan di dala tubuh Sareat Islam menjadi SI Merah yang berhaluan
komunis dan SI Putih yang tetap memegang prinsip semula.

15
Muktamar ke-5 diadakan pada tanggal 7-10 September 1930 di
Pekalongan. Masalah yang dibicarakan dalam muktamar ini diantaranya
adalah hukum-hukum Islam sekitar perkawinan dan urusan wali hakim.

Muktamar ke-6 diadakan pada tanggal 26-29 Agustus 1931 di


Cirebon. Dalam muktamar ini tampil tokoh-tokoh muda sebagai pemimpin
NU, seperti M. Saifuddin Zuhri, KH. Muflich, KH. Dachlan, K. Zainal
Arifin, KH. Ruchyat, dan KH. Hulaini.

Muktamar ke-7 diadakan pada tanggal 6-9 Agustus 1932 di


Bandung. Pembicaraan penting diantara muktamar ini diantaraya ialah
mengenai hukum suntikan mayat. Muktamar ini mengakibtkan tumbuhnya
banyak cabang di daerah Jawa Barat.

Muktamar ke-8 diadakan pada tanggal 5-7 Mei 1933 di Jakarta.


Masalah-masalah penting yang dibicarakan adalah rukyat (masalah melihat
bulan untuk mengawali dan mengakhiri bulan puasa Ramadhan) dan ‘Aqoid
(aqidah), serta beberapa masalah ibadat.

Muktamar ke-9 dilaksanakan pada tanggal 21-26 April 1934 di


Banyuwangi. Disini mulai dipisahkan sidang-sidang Syuriah dan
Tanfidziyah. Pengurus Tanfidzyah tidak berhak memutuskan sesuatu. Di
dalam muktamar ini lahir wadah pemuda NU yang disebut Ansor Nahdlatul
Ulama (ANU) yang pada tahun 1949 berubah nama menjadi Gerakan
Pemuda Ansor (GP Ansor).

Muktamar ke-10 di;aksanakan pada tanggal 13-18 April 1935 di


Solo. Muktamar ini membuat resolusi menantang kebijaksanaan Belanda
mengenai pengangkatan pejabat yang mengurus soal agama Islam.

Mukatamar ke-11 dilaksanakan pada tanggal 8-12 Juni 1936 di


Banjarmasin, merupakan muktamar pertama yang dilakukan di luar Jawa.
Disini diresmikan penggabungan Hidayah al-Islamiyah (sebuah organisasi
lokal di Kalimantan) dengan NU.

16
Muktamar ke-12 dilaksanakan pada tanggal 20-24 Juni 1937 di
Malang. Muktamar ini banyak memperdebatkan keberadaan GP Ansor,
walaupun atas kebijaksanaan KH. Hasyim Asy’ari selaku Rois Akbar
persoalan Ansor dapat diselesaikan dengan baik.

Muktamar ke-13 pada tanggal 11-16 Juni 1938 di Menes, Jawa


Barat, memutuskan berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif),
dengan ketuanya KH. Abdul Wahid Hasyim. Strategi pengembangan
pendidikan sekolah NU dibagi dua yaitu sekolah umum dan madrasah.
Selain itu juga dibentuk organisasi wanita NU bernama Nahdlatul Ulama
bagian Muslimat (NUM) yang pada tahun 1946 diresmikan menjadi badan
otonom dengan nama Muslimat Nahdlatul Ulama ( Muslimat NU).

Muktamar ke-14 dilaksanakan pada tanggal 15-21 Juli 1939 di


Magelang. Diantara masalah yang dibicarakan ialah resolusi pencabutan
ordonansi guru.

Muktamar ke-15 dilaksanakan pada tanggal 15-21 Juli 1940 di


Surabaya, merupakan muktamar terakhir pada masa penjajahan Belanda.

Muktamar ke-16 dilaksanakan pada tanggal 26-29 Maret 1946 di


Purwokerto. Muktamar menegaskan masuknya NU menjadi anggota
istimewa Masyumi. Muktamar berlangsung ditengah-tengah gencarnya
serangan Sekutu.

Muktamar ke-17 dilaksanakan pada tanggal 23-25 Mei 1948 di


Madiun. Disini KH. Abdul Wahid Hasyim mrmbentuk Biro Politik NU
yang bertugas melakukan perundingan-perundingan dengan kelompok
intelektual yang berkuasa di Masyumi.

Muktamar ke-18 dilaksanakan padatanggal 20 April-3 Mei 1950 di


Jakarta. Keputusan penting diantaranya adalah NU keluar dari Masyumi
karena pertentangan-pertentangan dengan kelompok intelektual tak
terselesaikan. Akan tetapi pelaksanaannya ditangguhkan sambil menunggu
Mayumi meninjau pendiriannya. Keputusan lain adalah perubahan istilah

17
Rois Akbar yang biasa dipakai untuk jabatan Ketua Umum menjadi Rois
Am.

Muktamar ke-19 dilaksanakan pada tanggal 28 April-1 Mei 1952 di


Palembang. Muktamar mengukuhkan sikap NU untuk memisahkan diri dari
Masyumi dan selanjutnya mendirikan partai sendiri, Partai NU.

Muktamar ke-20 diadakan pada tanggal 8-13 September 1954 di


Surabaya. Ini merupakan muktamar pertama sejak NU menjadi partai
politik. Materi yang dibahas lebih banyak berupa persiapan dan konsolidasi
partai menjelang Pemilu.

Muktamar ke-21 diadakan pada tanggal 14-18 Desember 1956 di


Medan. Pembicaran utama dalam muktamar ini masih berkisar pada
masalah politik.

Muktamar ke-22 diadakan pada tanggal 13-18 Desember 1959 di


Jakarta. Muktamar memutuskan Rois Am Syuriah adalah KH. Abdul
Wahab Hasbullah menggantikan KH. Hasyim Asy’ari yang wafat dua tahun
sebelumnya, sedangkan Ketua Umum Tanfidzyah dijabat oleh Dr. KH.
Idham Chalid. Selain itu dibentuk pula lembaga baru dalam partai yang
disebut sebagai Dewan Partai.

Muktamar ke-23 diadakan pada tanggal 24-29 Desember 1962 di


Solo. Dalam muktamar ini mulai muncul suara-suara yang tak menghendaki
NU menjadi partai politik dan menyeru agar kembali kepada bentuknya
yang semula, yaitu sebagai Jamiyah Diniyah (organisasi keagamaan).
Terjadinya pertentangan di kalangan tokoh-tokoh NU mulai
memprihatinkan sejumlah ulama.

Muktamar ke-24 diadakan pada tanggal 3-9 Juli 1968 di Bandung.


Pembahasan soal-soal politik dan pemilihan pimpinan NU menjadi topik
utama dan berlangsung hangat. Tokoh muda H. M. Subchan ZE, mulai
menunjukkan pengaruhnya yang kuat.

18
Muktamar ke-25 dilaksanakan pada tanggal 20-25 Desember 1971
di Surabaya. Keinginan H.M. Subchan ZE untuk mengubah citra politik NU
hampir menjadi kenyataan, namun KH. Bisri Syamsuri, Rois Am yang
menggantikan KH. Abdul Wahab Hasbullah menentang dengan keras.
Bahkan, H.M. Subchan ZE kemudian dipecat dari jabatannya selaku Wakil
Ketua PB NU.

Muktamar ke-26 dilaksanakan pada tanggal 6-11 Juni 1979 di


Semarang. Para ulama mengusulkan agar segera meninjau kembali NU
menjadi Jamiyah Diniyah. Keinginan ini semakin kuat terutama setelah
semua partai Islam difungsikan ke dalam satu partai, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Gerak NU dalam bidang politik
praktis semakin sempit, ditambah lagi dengan adanya kemelut dalam PPP.

Muktamar ke-27 dilaksanakan pada tanggal 8-24 Desember 1984 di


Situbondo, Jawa Timur. Muktamar menetapkan NU melepaskan
keterkaitannya pada politik dan kembali ke Khittah 1926, yaitu kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan.

Muktamar ke-28 dilaksanaa\kan pada tanggal 25-28 November


1989 di Krapyak, Yogyakarta. Muktamar kembali mempertegas hakikat
keberadaan NU sebagai Jamiyah Diniyah.

Muktamar ke-29 dilaksanakan di Cipasung Jawa Barat pada 24


Desember 1994.

Muktamar ke-30 dilaksanakan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri


Jatim pada 21-26 November 1999.

Muktamar ke-31 dilaksanakan di Asrama haji Donohudan Boyolali


Surakarta 28 November-2 Desember 2004.

Muktamar ke-32 dilaksanakan di Asrama haji Sudiang Makassar


pada 22-28 Maret 2010.

19
4. Fikrah Nahdliyyah
Perjalanan waktu membawa Nahdlatul Ulama berinteraksi dengan
organisasi-organisasi lain yang memiliki karakter dan cara fikir berbeda.
Akibatnya, warga NU sendiri banyak yang kehilangan identitas ke-NU-
annya. Banyak orang yang secara formal masih mengatas namakan warga
Nahdliyyin, tetapi cara berfikirnya tidak lagi mencerminkan karakteristik
Nahdlatul Ulama.

Hal ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya fikrah


nahdliyyin yang seharusnya menjadi landasan bagi setiap nahdliyyin di
dalam bersikap dan bertindak. Oleh karena itu, untuk menjaga nilai-nilai
historis dan tetap meneguhkan Nahdlatul Ulama pada garis-garis
perjuangannya (khiththah).

Yang dimaksud dengan Fikrah Nahdliyah adalah kerangka berfikir


yang didasarkan pada ajaran Ahlusunnah Wal Jama’ah yang dijadikan
landasan berfikir Nahdlatul Ulama (khithah Nahdliyah) untuk menentukan
arah perjuangan dalam rangka Ishlah al-ummah (perbaikan umat).

Dalam merespon persoalan, baik yang berkenan dengan persoalan


keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj
Ahlusunnah Wal Jamaah sebagai berikut:

a. Fikrah Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama


senantiasa bersifat tawazun (seimbang) dan itidal (moderat) dalam
menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama senantiasa menghindari
sikap tafrith (radikal kiri) atau ifroth (radikal kanan).
b. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat
hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah,
cara pikir, dan budayanya berbeda.
c. Fikrah Ishlahiyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama
senantiasa mengupayakan perbaikan menuju arah yang lebih baik (al
ishlah ila ma huwa ai-ashlah).

20
d. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama
senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai
persoalan.
e. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama
senantiasa menggunakan kerangka berfikir yang mengacu kepada
manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.

B. Nahdlatul Ulama’ dan Perspektif Fiqih


1. Dasar Keagamaan NU
Nahdlatul Ulama (NU) mendasarkan paham keagamaannya kepada
sumber ajaran islam, berupa Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’, dan Al
Qiyas.

a. Al Qur’an
‫ المتعبد بتالوته‬,‫كالم هللا المنزل على محمد ص م المعجز بنفسه‬
Kalam Allah yang ditirunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai
mukjizat terhadap dirinya menjadi ibadah bagi yang membacanya.
Pengertian ini meliputi 4 hal:
1) Hakikat Al Qur’an ialah kalam Allah baik lafal maupun isi
kandungannya.
2) Al Qur’an diturunkan dari sisi Allah melalui perantara Malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjadi peringatan.
3) Keadaan Al Qur’an sebagai mukjizat, karenanya ia
mengungkapkan ucapan yang suci baik lafal, keteraturan kalimat
maupun maknanya.
4) Merupakan ibadah bagi yang membacanya apakah mengerti
maknanya atau tidak.
b. Al Sunnah
Al Sunnah menurut ulama usul fiqih
‫ماصدر عن النبى ص م غير القران‬

21
As Sunnah ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW selain Al Qur’an.
Hal ini mencakup uacapan Nabi Muhammad SAW, perbuatan,
ketetapan, tulisan, petunjuk, cita-cita dan semua yang beliau
tinggalkan. Keterkaitan As Sunnah dengan Al Qur’an terdapat 3
macam:
1) Sunnah Muakkadah, yaitu sunnah yang memberi penguatan apa
yang diterangkan dalam Al Qu’an seperti wajibnya sholat, zakat,
puasa dan sebagainya.
2) Sunnah Mubayyanah atau Mufassiroh artinya sebagai penjelas dari
apa yang ada dalam Al Qur’an, sehingga menjadi jelas
keterangannya kepada umatnya.
Misalnya: jumlah rakaat sholat, zakat dan kapan waktunya.
3) Sunnah Istiqlaliyah atau Zaidah artinya Hadis yang berfungsi
memberi tambahan ketentuan yang ada dalam Al Qur’an.
c. Ijma’
Ijma’ menurut bahasa: kekuatan hati dan adanya kesepakatan.
Menurut ahli Usul Fiqih.
‫اتفاق مجتهدى عصر من العصور من امة محمد ص م بعد وفاته وعلى امردينى‬
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap persoalan agama pada
suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW.
Definisi ini mengandung 5 komitmen:
1) Menyandarkan kesepakat tersebut kepada ulama Mujtahidin. Ijma’
tidak syah manakala kesepakatan dilakukan oleh sebagian Imam
Mujtahid.
2) Yang dimaksud Ulama Mujtahid ialah orang yang berada sekarang
(hidup) dan melakukan kesepakatan.
3) Perkumpulan dan kesepakatan tersebut terdiri orang-orang Islam.
Ijma’ tidak berlaku jika dilakukan orang selain Islam.
4) Ijma’ terjadi setelah wafatnya Nabi, sebab ijma’ tidak ada ketika
beliau masih hidup.

22
5) Masalah yang dibahas dalam pertemuan ini adalah masalah yang
menyangkut keagamaan, bukan masalah yang bersifat keduniaan
dan akal semata.
d. Al Qiyas
Qiyas: sesuatu yang ditentukan atau al musawa, menyamakan.
Qiyas menurut Ahli Usul Fiqih.
‫حمل فرع على اصل فى حكم بجامع بينهما‬
Membawa cabang (furu’) atas ashal (pokok) dalam satu hukum
dengan mengumpulkan keduanya.
Jelasnya: menyamakan hukum sesuatu peristiwa yang tidak ada Nash
mengenai hukumnya dengan suatu peristiwa yang ada Nash
hukumnya, karena adanya persamaan illat (alasan). Ta’rif ini
mengandung 4 hukum:
1) Asal atau pokok yang dijadikan bandingan atau maqis terhadap
suatu masalah.
2) Cabang yakni suatu yang akan diqiyaskan dengan maqis.
3) Hukum asal.
4) Sifat yang akan disamakan atau dipadukan.

2. Sistem Bermadzhab
Madzhab menurut kamus Al Muhith oleh Fairus Abadi adalah Atthoriqoh
(jalan).

Menurut Zainal Abidin Dimyati adalah:

‫المذهب هو االحكام فى المسائل التى ذهب واعتقد واختارهااالمام المجتهد‬

Madzhab adalah hukum-hukum dalam berbagai masalah yang diambil,


diyakini dan dipilih oleh pada Imam Mujtahid.

Menurut muktamar NU ke-1 21 Oktober 1926 di Surabaya, dinyatakan


wajib hukumnya bagi umat Islam mengikuti salah satu madzhab dari empat
madzhab yang ada dan tersohor. Berikut aliran madzhabnya telah
dikodofikasikan (mudawanan).

23
Adapun empat madzhab adalah:

a. Madzhab Hanafi : yaitu madzhab Abu Hanifah Al Nu’man bin Tsabit.


(80 H-150 H).
b. Madzhab Maliki : yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik
(Madinah 90 H-179 H).
c. Madzhab Syafi’i : yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin
Syafi’i. (Gazza 150-204 H).
d. Madzhab Hambali : yaitu Imam Ahmad bin Hambal. (Marwaz 164-
241 H).

Alasan mengenai kewajiban bermadzhab menurut Ali Al Khowash


ialah “anda harus mengikuti suatu madzhab selama anda belum sampai
mengetahui inti agama, karena khawatir terjatuh pada kesesatan”.

Pada masalah fiqih NU wajib mengikuti salah satu madzhab empat,


karena apabila tidan akan dikhawatirkan terjadi pencampuradukan antara
yang hak dan yang batil, atau tergelincir dalam kesalahan atau mengambil
hukum yang mudah-mudah saja. Sehingga cenderung se enaknya saja.

Pada hakikatnya, sistem bermadzhab tidak mempertantangkan


antara sistem ijtihad dan sistem taqlid. Tetapi merangkaikan keduanya pada
satu proposi yang serasi.

Di Indonesia, yang paling banyak diikuti ialah madzhab Syafi’i baik Qouly
atau Manhajnya.

Berpijak keterangan-keterangan di atas warga Nahdliyyin wajib:

a. Mendasarkan ilmu pengetahuannya, utamanya yang menyangkut ibadah

3. Sekilas Tentang Taqlid


a. Menurut Muhammad bin Husein Al Jaizari dalam kitab Muallimil Usul
Fiqih Ahlusunnah Wal Jama’ah, taqlid dalam arti bahasa
mengalungkan kalung diatas leher. Adapun dalam pengertian istilah
taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain yang merupakan hasil

24
ijtihad, karena tidak mengerti dalil-dalil atas sebuah persoalan.
Pengertian ini terjadi ;
1) Taqlid mengambil pendapat orang lain atas hasil ijtihadnya.

Adapun mengambil dari Al Qur’an, hadis, ijma’, tidak dikatakan


taqlid, tetapi ittiba’ namanya. Sedangkan yang dimaksud pendapat
lain ialah hasil ijtihad dari seorang imam Mujtahid.

2) Taqlid terjadi karena tidak mengerti dasar atau dalil dari suatu
peristiwa kejadian. Sebab secara umum muqollid (orang yang
bertaqlid) ialah orang yang bodoh yang tidak mampu dan tidak
mempunyai pandangan yang dapat menunjukkan dasar-dasarnya
dengan cara mengambil pendapat orang lain dan mampu
menjelaskan dengan benar, ini tidak disebut taqlid tetapi disebut
Tarjih atau Ikhtiyar.
3) Taqlid itu terbatas pada soal ijtihad.
Artinya sesuatu yang mubah dalam ijtihad dari berbagai masalah.
Maka yang demikian dibolehkan taqlid. Namun sesuatu yang
haram dalam ijtihad, haram pula ada taqlid didalamnya.
4) Orang yang bertaqlid hendaknya mengikuti Imam Mujtahid dalam
hasil ijtihadnya, bukan untuk menguatkan, membenarkan atau
menyalahkan. Karena yang namanya muqollid itu tidak mampu
atas hal itu.

Secara umum menurut ulama’ Fiqih, Taqlid hukumnya jaiz (boleh) bagi
mereka yang tidak mampu mengemukakan pendapatnya melalui dalil
istimbat hukum. Sedangkan hukum taqlid ditafsil, ada yang mengatakan
boleh da nada yang mengatakan tidak boleh. Taqlid yang boleh harus
memenuhi beberapa syarat :

1) Orang yang bertaqlid benar-benar bodoh, tidak mampu memahami


hukum Allah dan Rasulnya. Jika orang tersebut mampu melaksanakan
ijtihad boleh juga bertaqlid dengan alasan untuk dibuat perbandingan

25
dalil, sempitnya waktu untuk mengadakan ijtihad tidak ada kejelasan
dalil terhadap suatu masalah. Bila kelemahan ini terjadi maka gugurlah
bagi dirinya kewajiban ijtihad dan berganti menjadi taqlid.

2) Bertaqlid kepada orang yang diketahui memiliki ilmu ijtihad dari ahli
agama dan ahli kebajikan.

3) Bagi muqollid tidak perlu dijelaskan dan ditampakkan dalil atau


pendapat lain yang lebih kuat diluar yang diikutinya. Karena jika
muqollid itu mengerti kebenaran dan memahami dalil-dalil, maka yang
demikian tidak diperkenankan bertaqlid tetapi wajib mengikuti apa yang
diterangkan kebenarannya itu.

4) Materi taqlid itu tidak boleh bertentangan dengan nash-nash Syar’i atau
bertentangan denagn umat.

5) Seorang muqollid tidak boleh menekankan pada madzhab tertentu dalam


berbagai masalah, tetapi berjalan diatas kebenaran bahkan mengikuti
yang lebih dekat dengan kebenaran dibarengi denagn taqwa kepada Allah
SWT. Sesuai dengan kemampuannya.

Adapun taqlid yang tercela dan dilarang itu bermacam-macam. Diantaranya


sebagai berikut :

1) Bertentangan pada Al Qur’an dan Al Hadis atau mengikuti ajaran nenek


moyang mereka.

‫وإذاقيل لهم اتبعوأماأنزل هللا قالوأبل نتبع ما وحدناعليه ءاباءنا أولوكان الشيطن يدعوهم الى عذاب‬
‫السعير‬

“Dan apabila dikatakan kepada mereka” ikutilah apa yang diturunkan


oleh Allah, mereka menjawab (tidak) tapi kami hanya mengikuti apa
yang kami dapat bapak-bapak kami mengerjakannya” Dan walaupun
syetan menyuruh mereka kedalam siksa api neraka yang menyala-nya”.

26
2) Bertaqlid kepada orang yang tidak mengerti kondisi orang yang
bertaqlid.

‫وال تقف ما ليس لك به علم‬

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai


pengetahuan”.

3) Taqlid yang bertentangan dengan firman Allah dan Sabda Rasulnya.

‫اتبعوأماأنزل اليكم من ربكم وال تتبعوأمن دونه أولياء قليال ما تذ كرون‬

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah


kamu mengikuti pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran”.

4) Taqlid tidak boleh setelah ada ketegasan yang benar dan mengetahui
dalil-dalilnya.

5) Taqlidnya seorang mujtahid yang mampu melakukan ijtihad dengan


keluasan waktu, meskipun tidak ada kebutuhan.

6) Taqlidnya seorang mujtahid yang nyata kebenaran semua ijtihadnya.

a. Adapun menurut Muhammad bin Husain Al Jaizary, dalam ma’alimil


Ushil hal 490 taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa harus
mengetahui dalil yang digunakan atas kesalihan pendapat tersebut
walaupun mengetahui kessashihan hujjah taqlid itu sendiri.

b. Sedangkan nmenurut KH Bisri Musthofa bahwa taqlid adalah


berpegangan atau mengamalkan keterangan mujtahid tanpa harus
mengetahui dalil-dalilnya.

c. Taqlid hukumnya haram bagi seorang mujtahid dan wajib bagi yang
bukan mujtahid (awam). Dengan demikian yang bertaqlid itu tidak
hanya orang awam, orang-orang alim pun juga muqollid kepada Imam
mujtahud sepanjang dirinya tidak dalam derajat mujtahid. Mereka
wajib bertaqlid, sebab pengetahuan mereka pada dalil yang digunakan

27
tidak sampai pada proses, metode, seluk beluk dalam menentukan
hukum. Hal ini sesuai pendapat Imam Thayib bin Abi Bakar Al
Hadromi.

‫اماالعالم يبلغ رتبة اال حتهاد فهو كا لعا مى فى وجوب التقليد‬

“orang alim yang tidak sampai pada tingkatan ijtihad, maka


sebagaimana orang awam mereka wajib bertaqlid”.

Hukum wajib bertaqlid juga disebutkan dalam Al Qur’an surat An


Nisa’ ayat 83.

‫ولوردودالى الرسولوالى أولى االمر منهم لعلمه الذين يستنبطو نه منهم‬

Kalau mengembalikan mereka akan sesuatu persoalan maka Rasul


Nya dan orang yang menguasai urusannya, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari
mereka.

d. Taqlid itu ada 2 macam.

1. Taqlid A’ma (taqlid buta) yaitu menerima pendapat mentah-


mentah.

2. Taqlid Alim Ghoiru Mujtahidin yaitu orang pandai tetapi belum


mencapai tingkatan mujtahid.

Mengikuti pendapant para imam mujtahid itu lebih baik dari pada
memaksakan diri untuk berijtihad, padahal mereka tidak memiliki
kemampuan iuntuk melakukannya. Taqlid adalah sunnatullah (hukum
alam) yang tidak dapat dipungkiri kebenerannya. Namun demikian
umat islam jangan terperangkap pada taqlid buta, karena hal tersebut
menggambarkan keterbelakangan dan kejumudan, pdahal umat
diperintah keluar dari kemiskinan dan kebodohan.

28
e. Taqlid adalah sesuatu yang harus dilakukan bagi orang islam yang
bukan mujtahid.

4. NU dan Masalah Talfiq


Talfiq menurut bahasa : melipat.

Menurut Muhammad Amin Kurdi, talfiq adalah

‫عدم التلفيق بان ال يلفق في قضية واحدة ابتداء وال دوا مابين قولين يتولدمنهما حقيقة ال يقول يها صا حبا‬
‫هما‬

Adalah tidak talfiq, yaitu tidak mencampur dua pendapat dalam satu
Qodiyah (masalah), baik sejak awal mauppun semuanya yang nantinya dari
pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tidak pernah dikatakan
oleh orang yang berpendapat

Talfiq ada beberapa macam :

a. Tatabbu ‘al Rukhsoh ((‫ تتبع الرخعبة‬yaitu mencari yang gampang dalam
menggabungkan dua pendapat mujtahid dalam satu ibadah.

Contoh : wudlu menurut Imam Syafi’I sedang batalnya wudhu menurut


Madzhab Imam Hanafi.

b. Tanaqul (‫ )تنا قل‬berpindah-pindah madzhab atas dasar mudlorot atau


masyaqqot syar’i.

Contoh : penganut madzhab Syafi’I dalam masalah thawaf kemudian


dia pindah madzhab ke madzhab Hanafi.

Dan hukum orentasinya adalah Hifdu al Din (menjaga agama) atau Hifdu al
Aqli (menjaga akal), Hifdu al Nafs (menjaga jiwa), Hifdu al Nasl (menjaga
keturunan), Hifdul Mal (menjaga harta), dan Hifdul al ‘Aradl (menjaga
kehormatan).

29
5. NU dan Masalah Bid’ah
Secara umum bid’ah ialah segala sesuatu yang diada-adakan dalam bentuk
yang belum ada contohnya.

a. Bid’ah dalam pandangan usul fiqih ada 2 macam :

1) Bid’ah meliputi segala sesuatu yang diada-adakan soal ibadah saja.


Bid’ah dalam pengertian ini adalah urusan yang sengaja diada-adakan
dalam agama yang dipandang menyamai syarat itu sendiri. Dan
mengerjakannya secara berlebih-lebihan dalam soal ibadah kepada
Allah.

2) Bid’ah meliputi segala urusan yang sengaja diada-adakan dalam


agama. Baik yang berkaitan dengan urusan ibadah maupun urusan
adat. Perbuatan ini seakan-akan urusan agama, yang dipandang
menyamai syariat sehingga mengerjakannya sama dengan
mengerjakan agama.

b. Bid’ah dalam ilmu fiqih.

Bid’ah ada 2 jenis :

1) Bid’ah tercela yang diada-adakan serta bertentang dengan Al Qur’an,


As Sunnah, maupun Ijma’. Inilah bid’ah yang sama sekali tidak di
izinkan oleh agama.
2) Bid’ah meliputi segala yang diada-adakan sesudah nabi SAW. Baik
berupa kebaikan maupun kejahatan, baik mengenai adat yaitu yang
berurusan dengan keduniaan.

‫لقوله صليا هللا عليه وسلم من احدث فى امرناهذاماليس منه فهورد وقوله ص م وكل محد ثه بدعه‬

Ulama’ telah menjelaskan arti kedua hadis tersebut adalah ditunjukan


untuk merubah hukum dengan keyakinan bahwa sesuatu yang bukan
ibadah adalah dianggap ibadah. Dan hukum semua hal-hal yang baru
yang diada-adakan secara mutlak.

30
3) Dalam Qowaidul Ahkam Fi Masalihil Anam, Moh. Izudin Abd
Salam hal 172.

‫البدعة فعل مالم بعهد فى عصر رسول هللا ص م‬

“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal


(terjadi) pada masa Rasulullah”

Dari pengertian ini ulama’ Salafus Sholih mengembangkan menjadi 5


macam yaitu :

a. Bid’ah Wajibah, yaitu bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-


hal yang diwajibkan oleh syara’.

Contoh : mempelajari ilmu nahwu shorof untuk memahami isi


kandungan Al Qur’an.

b. Bid’ah Muharromah yaitu bid’ah yang bertentangan dengan syara’.


Seperti : madzhab jabariyah, madzhab Qodariyah.

c. Bid’ah Mandzubah yaitu segala sesuatu yang baik, seperti tidak


pernah dilakukan oleh Rasulullah. Contoh : shalat tarawih berjama’ah
sebulan penuh.

d. Bid’ah Makruhah.

Contoh : menghiasi masjid.

e. Bid’ah Mubahah.

Contoh : berjabat tangan setelah shalat dan makan makanan yang


lezat.

4) Imam Syafi’i sebagaimana dikutip dalam Fathul Bari, mengatakan :

. ‫المحد ثاث ضربان ما احدث بخالف كتابا اوثنة اواثرا او اجما عا فهدة بدعة الضاللة‬
)‫ومااحدث من الخم ال يخالف شيئامن ذالك فهي محدثه غير مدمومة (فتح البارى حو‬

31
5) Syeh Nabil Husen, dalam Bid’ah Hasanah Wa Asluha Minalkitabi
Was Sunnah hal 28 memberi penjelasan tentang pembagian Bid’ah
menjadi 2 sebagai berikut :

‫ فاما‬,‫ بدعة حسنة بدعة ضال لة‬.‫وقد تكلم اهل العلم فى الحد ثات التى قسموهاالتى قسمين‬
‫ من‬. ‫ ص م‬,‫ وهي دا خلة تحت قول‬. ‫البدعة الحسنة فهي الموافق لكتاباهلل وسنة رسول هللا ص م‬
‫ ومن‬.‫سن فى اال سالم سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها بعده وال ينقض من اجورهم شيئ‬
‫ رواه‬.‫سن فى اال سالم سنه سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها بعده وال ينقض من اوزارهم شيئ‬
‫مسلم‬

Jadi Bid’ah dapat dibagi menjadi 2:

a. Bid’ah Hasanah :

- Bid’ah Wajibah

- Bid’ah Mandzubah

- Bid’ah Mubahah

b. Bid’ah Sayyi’ah (dlolalah)

- Bid’ah Muharromah

- Bid’ah Makruhah

Kesimpulan : semua bid’ah itu dilarang agama, sebab yang tidak


diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan
sendi-sendi agama Islam.

6) Muktamar NU ke 32 Makassar 2010.

Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang baru.

Bid’ah menurut syara’ adalah memunculkan sesuatu yang baru


sepeninggal Rasulullah SAW. Dalam masalah agama setelah
sempurna.

Bid’ah dibagi menjadi 2 macam :

32
a. Bid’ah Hasanah atau Mahmudah yaitu bid’ah atau yang baru dan
sesuai dengan Al Qur’an, As Sunnah, Atsar Sahabat dan Ijma’.
Sebagaimana sumber Islam.
b. Bid’ah Sayyidah dan Madzmumah yaitu sesuatu yang baru tidak
sesuai dengan syari’at Islam.
c. Ditinjau dari segi hukumnya dibagi 5 bagian:
1) Wajib
2) Mandzub atau sunnah
3) Mubah
4) Makruh
5) Haram
7) Bid’ah dalam pandangan KH. Hasyim Asy’ari

Menurut Syekh Zaruq dalam kitab “Iddatul Murid”, bahwa bid’ah


menurut syari’at adalah memperbaharui perkara dalam agama yang
menyerupai ajaran agama itu sendiri, padahal bukan bagian dari
agama. Baik bentuk maupun hakikatnya. Sebagaimana sabda Nabi
SAW.

‫من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد‬

Artinya : Barang siapa yang membuat-buat dalam agama kami ini


(yang) bukan bagian dari padanya, maka hal tersebut ditolak.(HR.
Bukhari, Muslim).

Dan juga sabda Nabi SAW.

‫وكل محد ثة بدعة‬

Artinya : Dan setiap hal yang dibuat-buat (dalam agama) adalah


bid’ah. (HR. Nisa’i, Ibnu Majah).

Para ulama telah menjelaskan bahwa pengertian kedua


hadist diatas adalah dikembalikan pada masalah hukum meyakini
sesuatu (amalan) yang tidak bisa mendekatkan diri kepada Allah

33
sebagai bisa mendekatkan diri kepada Allah WWT bukan mutlak
semua pembaharuan (dalam agama).

Karena mungkin saja pembaharuan tersebut terdapat


landasan ushulnya dalam agama, atau terdapat contoh Furu’iyah,
maka diqiyaskanlah terhadapnya.

Ada kaidah bahwa :

,‫ان ما عمل به السلف وتبعهم الخلف اليعسح أن يكون بدعة وال مذموما‬
‫وماتركه بكل وجه واضع ال يصح أن يكون سنة وال محمودا‬

“sesungguhnya sesuatu amaln yang dipraktikkan oleh ulama’


salaf dan diikuti oleh ulama khalaf tidak bisa disebut bid’ah dan
tidak bisa dikatakan tercela. Dan setiap sesuatu yang
ditinggalkan oleh mereka dari berbagai jalan yang jelas, tidak
bisa disebut sunnah dan tidak bisa dikatakan terpuji”

Menurut Imam Syafi’I tidak termasuk bid’ah walaupun


tidak dipraktikkan para ulama’ salaf, karena mungkin saja
mereka tidak mempraktikkannya karena ada suatu udzur atau
karena mereka mengamalkan sesuatu yang lebih afdzal.

Para ulama juga berbeda pendapat tentang amalan yang


tidak dalil sunnahnya, akan tetapi tidak ada tasyabuh di
dalamnya. Maka Imam Malik berkata adalah bid’ah. Dan
menurut Imam Syafi’i tidak termasuk bid’ah, dengan bersandar
pada Hadist.

‫م تركته لكم فهو عفو‬

Artinya : Apa yang aku tinggalkan pada kalian (tanpa


penjelasan), maka hal tersebut sesuatu yang dimaafkan.

Syeikh Zaruq berkata : berdasarkan prinsip inilah para


ulama berbeda pendapat (misalnya) dalam masalah membuat

34
kalangan (halaqah/dzikir), dzikir dengan suara keras, (dzikir)
berjamaah dan berdoa. Karena ada beberapa hadist yang
menganjurkannya, tetapi tidak dipraktikkan oleh ulama’ salaf
maka, setiap orang yang menyetujui (perbuatan-perbuatan
tersebut) tidak bisa dikatakn bid’ah bagi penentangnya. Sebab
hal itu adalah hasil ijtihad.

Telah kita ketahui bahwa hukum Allah yang dihasilkan dari ijtihad
furu’iyah adalah sama benarnya. Sedangkan Rasulullah bersabda :

‫ال يصلين احد العصر اال في بنى قر يضة‬

Artinya : janganlah ada seorangpun yang shalat ashar kecuali di


Bani Quraidlah. (HR. Bukhari)

Dan ternyata telah datang waktu ashar ketika mereka di


tengah perjalanan. Maka sebagian sahabat berkata, Rasulullah
memerintahkan kita untuk bergegas dan mereka shalat di jalan.
Dan sebagian yang lain berkata, Rasulullah memerintahkita untuk
menunaikan shalat ditempat (Bani Quraidlah) sebgaiman bunyi
hadist tersebut. Lalu mereka mengakhiri shalat ashar. Dan ternyata
Rasulullah tidak mencela seorangpun diantara mereka.

a. Hendaklah setiap setiap perbuatan ditakar dengan


pertimbangan hukum. Yang perinciannya ada enam yaitu
wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf aula dan mubah. Setiap
hal yang termasuk dalam salah satu kategori dalam status
hukum tersebut, sementara yang tidak bisa maka dianggap
bid’ah. Maka banyak ulama’ yang menggunakan metode
penetapan hukum menggunakan takaran ini.

6. NU dan Masalah Al Kufru


Keputusan komisi Bahtsul Masail MUNAS NU Muktamar ke 32 Makassar
2010 tanggal 22-29 Maret 2010 sebagai berikut :

35
a. Al Kufru menurut bahasa : Al Satru Wa Al Taghthiyah (tutup)

‫الكفر لعة السئر والتغطية‬

b. Al Kufru dalam terminology : mengingkari apa yang sudah pasti


dibawah Rasulullah SAW.

‫الكفراصطال حا هو انكار ما علم بااضرورة ما جاء به الرسول هللا ص م‬

Ulama’ mengklarifikasi kufur menjadi 4 bagian :

a. Kufr Ingkar : orang yang mengingkari dan tidak mengakui Allah


sama sekali.
b. Seperti : kufurnya fir’aun.
c. Kufr Juhud : seseorang mengakui Allah dalam hatinya saja,
lisannya tidak pernah menyatakan pengakunnya itu.
Contoh : kuftnya iblis.
d. Kuft Inad : seorang mengakui Allah dalam hatinya dan
menyatakan pengakunnya dengan lisannya, hanya saj atidak mau
menjadikannya sebagai keyakinan.
Contoh : kufrnya Abu Sufyan dan Abi Thalib.
e. Kuft Nifaq : seseorang mengakui dengan lisannya, hanya saja
hatinya tidak mau mengakuinya.

Batasan kufr ialah : seseorang yang ingkar terhadap Imam, rukun Islam dan
sesuatu yang diketahui secara pasti dari Rasulullah SAW

‫انكار ما علم بالضرورة ما جيئ به الرسو ل هللا ص م‬

Yang menjadikan orang menjadi kafir atu Riddah dalam pandangan NU dan
Ahlusunnah Wal Jama’ah.

a. Dalam I’tiqod

1) Syak (ragu atau atas adanya Tuhan)

2) Syak (ragu arau kerasulan Nabi Muhammad SAW)

36
3) Syak akan Al Qur’an sebagian wahyu Tuhan.

4) Syak terhadap hari kiamat, hari akhir, surge, neraka dan lain
sebagainya.

5) Syak isro’ mi’roj Nabi Muhammad SAW.

6) Meng I’tiqodkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.

7) Meng I’tiqodkan bahwa Tuhan bertubuh seperti manusia.

8) Menghalalkan pekerjaan yang sepakat ulama’ Islam


mengharamkannya. Umpamanya : meyakini bahwa zina boleh
bagimya boleh berhenti puasa baginya. Membunuh orang boleh
baginya.

9) Mengharamkan pekerjaan yang sudah sepakat ulama’-ulama’ Islam


membolehkannya. Umpama : kawin haram baginya, jual beli haram
baginya.

10) Meniadakat suatu amalan ibadah yang telah sepakat ulama’ Islam
mewajibkannya. Umpama : shalat, zakat dan lain sebagainya.

11) Mengingkari kesahabatan sahabat-sahabat Nabi yang utama. Seperti


: Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Usman,
Sayyidina Ali.

12) Mengingkari sepotong atau seluruhnya Al Qur’an atau sepotong


tambahan ayat dengan tujuan menjadikan ia menjadi Al Qur’an.

13) Mengingkari dari salah satu sari Rasyl yang telah sepakat ulama’-
ulama’ Islam mengatakan Rasul.

14) Mendustakan Rasul-Rasul Tuhan.

15) Meng I’tiqodkan ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

16) Mendakwahkan jadi Nabi atau Rasul sesudah Nabi Muhammad


SAW.

37
b. Dalam Amalan

1) Sujud kepada berhala, pada matahari, bulan, dll.

2) Sujud kepada manusia secara sukarela.

3) Menghina Nabi-Nabi atau Rasul-Rasul dengan lisan atau perbuatan.

4) Menghina kitab-kitab suci dengan lisan dan perbuatan.

5) Mengejek-ejek Agama atau Tuhan dengan lisan dan tulisan.

c. Dalam Perkataan

1) Mengucapkan “Hai Kafir” kepada orang Islam.

2) Mengejek atau menghina nama Tuhan.

3) Mengejek atau menghina hari akhir, surga, neraka, dll.

4) Mengejek syariat Islam, Shalat, Zakat, Thawaf.

5) Mengejek Malaikat.

6) Mengejek Nabi dan Rasul.

7) Mengejek keluarga Nabi.

8) Mengejek Nabi Muhammad SAW

38
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ahlusunnah Wal jama’ah adalah orang yang memegang teguh Al Qur’an
dan mengikuti segala sesuatu yang telah dijalankan oleh Rosulullah SAW, para
sahabatnya, serta Salaf As Sholih dan para penerusnya.

Menurut sejarah berdirinya NU , NU berdiri berkat perjuangan dari


sejumlah ulama dan para kiai yang memiliki wawasan keagamaan yang sama.

NU sudah melaksanakan muktamar selama 32 kali sejak berdirinya sampai


tahun 2010.

Dasar keagamaan NU adalah; Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Al Qiyas.

39

Anda mungkin juga menyukai