Anda di halaman 1dari 32

Makalah Sejarah Sosial Pendidikan Islam

MAKALAH

SISTEM PENDIDIKAN NAHDLATUL ULAMA

Dosen Pengampu

Dr. Zainal Efendi Hasibuan, M.A


NIP.

Ditulis Oleh:

WIRDATUL FUADI
NIM. 205 01 00038

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PADANGSIDIMPUAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan menyebut nama Allah SWT. yang maha pengasih lagi maha
penyayang, puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat, hidayat dan inayahnya, sehinggga penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan judul “Sistem Pendidikan
Nahdlatul Ulama” diajukan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah Sejarah
Sosial Pendidikan Islam Pascasarjana Pendidikan Agama Islam di Institut Agama
Islam Negeri Padangsidimpuan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Makalah ini sangat jauh dari
kesempurnaan, maka kami sebagai penyusun makalah sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca untuk lebih bisa menyempurnakan
makalah ini. Dan penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pengumpulan materi ini, karena makalah ini tersusun
dari berbagai sumber, baik berupa buku teks, tulisan, ataupun internet. Oleh
karena itu, penulis menerima segala saran dan kritik yang bersifat membangun
demi melengkapi dan memperbaiki pada karya ilmiah yang akan mendatang.
Billahittaufiq wal hidayah Wassalaamu`alaikum wr.wb.

Padangsidimpuan, Januari 2021


Penyusun

WIRDATUL FUADI
NIM. 205 01 0038

1
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................... 3
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................ 4
BAB II: PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) ....................... 6
B. Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Nahdlatul Ulama ... 10
C. Kontribusi Lembaga Pendidikan NU Dalam Pengembangan
Pendidikan Di Indonesia ............................................................... 13
D. Gerakan-Gerakan dalam Lembaga Pendidikan NU
1. Muslimat Nahdhatul Ulama (Muslimat NU) .......................... 19
2. L.P. Ma’arif ............................................................................. 20
3. IPNU ....................................................................................... 21
4. IPPNU ..................................................................................... 22
5. PERGURU .............................................................................. 22
6. PMII ........................................................................................ 22
E. Tokoh-Tokoh Nahdlatul Ulama
1. Hadratussyekh KH Hasyim As’yari ........................................ 23
2. KH Abdul Wahid Hasyim ....................................................... 24
3. KH Zainal Mustafa .................................................................. 24
4. KH Idham Chalid ......................................................................
5. KH Abdul Wahab Chasbullah................................................. 24
6. KH As’ad Syamsul Arifin ....................................................... 25
F. Keberadaan Ulama dan Kiai serta Tradisi-Tradisi di
Nahdlatul Ulama ........................................................................... 25
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 30
B. Saran ........................................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah suatu usaha untuk menumbuhkan dan
mengembangkan potensi-potensi bawaan, baik jasmani maupun rohani,
sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem kemasyarakatan dan
kebudayaan. Dalam kehidupan manusia, pendidikan itu diartikan sebagai
kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Sebab tanpa
pendidikan maka mustahil manusia itu dapat hidup dan berkembang sesuai
dengan cita-cita untuk kehidupan yang lebih maju, sejahtera dan bahagia.
Melalui pendidikan manusia dapat belajar dalam mengahadapi
segala problematika yang ada di alam semesta ini dalam hal untuk
mempertahankan kehidupannya, membentuk kepribadiannya, serta dapat
memaknai kehidupan secara baik. Dalam upaya pengembangan
pendidikan di Indonesia, UU No 20 tahun 2003 tentang pendidikan
nasional, pasal 9 bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan.
Nahdaltul Ulama (NU), adalah sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan dan keagamaan yang berperan dalam bidang pendidikan.
Tahun 1926, organisasi ini sangat memperhatikan pendidikan terutama
kebedaradaan pondok pesantren. Tahun 1927, dalam Statutent Nahdlatoel
Oelama, menyatakan bahwa NU memiliki tujuan untuk mencerdaskan
sumber daya manusia dengan membantu pembangunan pondok pesantren.
NU merupakan sebuah mitra yang sejajar dengan pemerintah
dalam penyelenggaraan pendidikan nasional dimana NU mempunyai
kesempatan luas dalam mewujudkan tujuan organisasi dalam UU No. 2
tahun 2003 tentang pendidikan Nasional. NU merupakan organisasi sosial
keagamaan yang unik. Didirikan oleh ulama pesantren tahun 1926 di
Surabaya. Memiliki jaringan struktur kelembagaan organisasi mulai dari
pusat sampai desa. Sebagai organisasi ulama, kedudukan mereka dalam
NU sangat penting. Tetapi peran mereka sebagai pemimpin yang
berpengaruh pada komunitas mereka sendiri telah membentuk pranata

3
lain, sehingga keberadaan mereka dalam NU juga mewakili ‘kepentingan’
pranata mereka.
Organisasi jami’iyah Nahdatul Ulama yang didirikan tahun 1926 di
Surabaya dipelopori oleh ulama yang berpusat di pesantren-pesantren,
organisasi-organisasi ini memiliki wawasan keagamaan yang berakar pada
tradisi keilmuwan tertentu, berkesinambungan serta menelusuri mata
rantai historis sejak abad pertengahan, yaitu ahlussunnah wal jamaah.
Pandangan ini menekankan tiga prinsip yaitu mengikuti faham Asy’ariyah
dan Maturidiyah dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari mazhab
empat dalam bidang fikih, dan mengikuti faham al-Junaid dalam bidang
tasawuf.1

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU)?
2. Bagaimana sistem pendidikan-pendidikan di pesantren Nahdlatul
Ulama?
3. Bagaimana kontribusi lembaga pendidikan NU dalam pengembangan
pendidikan di Indonesia?
4. Apa saja gerakan-gerakan yang dilakukan NU dalam lembaga
pendidikan?
5. Siapa sajakah tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU)?
6. Bagaimana keberadaan kiai atau tradisi-tradisi lama Nahdlatul Ulama
(NU)?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU).
2. Untuk mengetahui sistem pendidikan-pendidikan di pesantren
Nahdlatul Ulama.

1
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik
( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 5.

4
3. Untuk menjelaskan kontribusi lembaga pendidikan NU dalam
pengembangan pendidikan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui gerakan-gerakan NU dalam lembaga pendidikan.
5. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
6. Untuk mengetahui keberadaan kiai atau tradisi-tradisi lama Nahdlatul
Ulama (NU).

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 oleh sejumlah
ulama tradisional dan pengusaha Jawa Timur. Pembentukan organisasi ini
merupakan reaksi terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis,
Muhammadiyah dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam
gerakan politik, Sarekat Islam (SI). Pendirinya adalah KH. Wahab
Hasbullah, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisri Jombang, KH. Ridwan di
Semarang dll.2
Nahdlatul Ulama berasal dari bahasa Arab. Nahdlatul artinya
adalah bangkit atau bergerak. Nama Nahdlatul Ulama merupakan usulan-
usulan dari para ulama-ulama. Lambang dari nahdlatul ulama adalah:
1. Globe (bola dunia) melambangkan bumi tempat manusia hidup dan
mencari kehidupan dengan cara berjuang, beramal, dan berilmu. Bumi
mengingatkan pada manusia yang berasal dari tanah dan kembali ke
tanah.
2. Peta Indonesia yang terlihat dalam globe (bola dunia). Melambangkan
bahwa NU berdiri di Indonesia dan berjuang untuk kekayaan RI.
3. Tali bersimpul yang melingkari globe (bola dunia), melambangkan
persatuan yang kokoh serta ikatan yang dibawahnya melambangkan
hubungan manusia dengan Allah SWT.
4. Bintang besar, melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Empat bintang diatas garis katulistiwa melambangkan kepemimpinan
khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin
Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian empat digaris bawah
katulistiwa melambangkan empat madzhab yaitu: Imam Syafi’i, Maliki,
Hanafi, serta Hambali.
5. Tulisan arab “Nahdlatul Ulama” mebentang dari kanan ke kiri, dimana
ini menunjukkan organisasi yang berarti kebangkitan ulama.

2
A Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi NU di Indonesia (Yogyakarta: LkiS,
1995), HLM. 68.

6
6. Warna dasar hijau melambangkan kesuburan tanah air Indonesia
sedangkan tulisan warna putih melambangkan kesucian.3
Jadi Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi yang
mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan sangat berperan penting
dalam kejayaan negara Republik Indonesia.
Sedangkan latar belakang berdirinya Nahdlatul Ulama (NU), tidak
bisa dilepaskan dari keadaan umat Islam saat itu, hal itu dapat dilihat dari
dua sisi. Pertama, saat itu umat Islam Indonesia sedang berada dalam
cengkraman penjajah Belanda. Sehingga ketentraman masyarakat umat
Islam pada saat beribadah banyak terganggu, sebab hak-hak mereka
sedang berada dibawah cengkraman kaum penjajah Belanda. Kedua,
munculnya gerakan pembaharuan Islam dimana gerakan ini berfaham
menentang tradisi umat Islam yang telah lama ada di Indonesia. Mereka
beranggapan bahwa nilai-nilai keislaman masyarakat nusantara pada saat
itu belum sempurna, dan dipenuhi oleh praktek-praktek tahayul, bid’ah
dah khurafat. Bahkan tuduhan syirik tidak jarang pada umat Islam
Indonesia yang berpegang pada tradisi. Namun bukan hanya itu, mereka
telah membentuk kekuatan melalui pendirian organisasi-organisasi yang
berfaham wahabi.4
Keterbelakangan, baik itu secara mental maupun ekonomi yang
telah dialami bangsa Indonesia, baik akibat penjajahan maupun
kungkungan tradisi, menjadi tekad bagi kaum pelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan
organisasi. Gerakan ini muncul tahun 1908 yang dikenal dengan
Kebangkitan Nasional.
Selain kedua faktor tersebut, ada juga faktor secara Internasional,
yaitu: kebijakan Raja Abdul Aziz bin Suud (Saudi Arabia). Ketika Raja
Ibnu Suud ingin menerapkan asas tunggal yaitu mazhab wahabi di Mekah,

3
Sejarah Nahdlatul Ulama, http://digilib.uinsby.ac.id/8810/5/BAB%20II.pdf (diakses: 31
Desember 2020), pukul 19:41, hlm. 27-29.
4
SMK Ma’arif NU Sumpiuh, Materi ke NU an,
http://www.smkmaarifnu1sumpiuh.sch.id/nu.pdf (diakses: 27 Desember 2020), pukul: 23.45.

7
dan hendak menghancurkan peninggalan sejarah Islam ataupun pra-Islam,
dimana selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid’ah. Kemudian
faham wahabi mendapat dukungan dari kaum modernis di Indonesia, baik
itu dari kalangan Muhammadiyah yang dipimpin Ahmad Dahlan, maupun
PSII yang dipimpin H.O.S.Tjokroaminoto. Namun, kalangan pesantren
yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan mazhab dan
penghancuran warisan peradaban. Sikap yang berbeda itu, maka kalangan
pesantren dikeluarkan dan tidak dilibatkan dalam delegasi Mu’tamar Alam
Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah. Maka kalangan pesantren
terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz,
diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.5
K.H Hasyim Asyari menyarankan agar komite Hijaz tidak hanya
dibentuk untuk urusan Muktamar saja, tetapi dikembangkan menjadi
sebagai organisasi permanen untuk memperjuangkan dan melestarikan
ajaran Islam Ahlus-sunnah wal Jamaah. Ahlus-sunnah wal Jamaah adalah
sawadul a’zhom (golongan terbesar) dari umat Nabi Muhammad SAW.6
Nahdlatul Ulama (NU) disebut dengan aqidah Ahl al-Sunnah wa
al-Jamaah (Aswaja). Doktrin tersebut berpangkal pada tiga buah panutan:
mengikuti paham al-Ash’ari dan al-Maturidi dalam bertahid (teologi),
mengikuti salah satu mazhab fikih yang empat (Hanafi, Maliki, Shafi’i dan
Hambali) dan mengikuti cara yang ditetapkan oleh al-Junaidi al-Baghdadi
dan Abu Hamid al-Ghazali dalam bertarekat dan bertasawuf. Dengan
tradisi keilmuwan seperti ini “NU mengembangkan tradisi keilmuagamaan
paripurna dengan membagi siklus kehidupan para warganya dalam jumlah
lingkaran kegiatan atau bidang perhatian baku” papar Abdurrahman
Wahid (Gus Dur).7 Dengan berteologi mengikuti paham al-Ash’ari dan al-
Maturidi, sejatinya warga NU digiring untuk bersikap moderat. Sebab

5
Rumah Aswaja, Mengenal ke NU-an,
https://www.academia.edu/28667498/Mengenal_Ke_NU_an (diakses pada 28 Desember 2020),
pukul: 07:27.
6
Tim Harakah Islamiyah, Buku Pintar Aswaja (Harakah Islamiyah), hlm. 19.
7
Chafid Wahyudi, Nahdlatul Ulama & Civil Religion Melacak Akar Civil Religion dalam
Keagamaan NU (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 73.

8
kesejarahan kehadiran al-Ash’ari dan al-Maturidi adalah berada di tengah-
tengah benturan antara Khawarij, Qodariyah (sikap lahir) dan Murji’ah
(sikap batin).
Ketiga alasan diatas kemudian menjadi titik awal NU berdiri,
dengan terlebih dahulu membentuk Komite Hijaz yang diketuai oleh K.H
Wahab Hasbullah. Komite Hijaz ini merupakan organisasi yang bersifat
embrional dan dibentuk untuk menghadiri kongres Umat Islam di Mekah.
Namun sebelum berangkat ke Mekah, muncullah kesepakatan untuk
membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama).8
Ada beberapa sejumlah ajaran atau pemikiran dalam Nahdlatul
Ulama, yaitu:
1. NU mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Hadist, NU juga
mengamalkan ibadah yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-
Qur’an seperti tahlilan.
2. Mengikuti hasil ijtihad imam-imam mazhab empat, terutama mazhab
Syafi’i.
3. Disamping menggunakan al-Qur’an dan hadist, NU juga menjadikan
pendapat sahabat, tabiiin serta para ulama sebagai rujukan dalam
berakidah dan beribadah.
4. Meyakini adanya berkah yang diambil dari orang-orang shalih.
5. Pesantren dan kiai dijadikan sebagai rujukan penting dalam mengatasi
problem kehidupan.9
Jadi dapat disimpulkan bahwa NU berdiri untuk mempertahankan
ajaran Islam Ahlus sunnah wal Jamaah yang mengakui dan mengikuti
madzhab, NU juga sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum kolonial
Belanda dalam memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, NU merupakan

8
Abdul Chalik, Nahdlatul Ulama dan Geopolitik Perubahan dan Kesinambungan
(Surabaya: Impulse Buku Pintar,2011), hlm. 13.
9
Yusuf Hanafi, dkk, Pendidikan Islam Transformatif Membentuk Pribadi Berkarakter
(Jawa Timur: Penerbit Dream Litera, 2014), hlm. 206-207.

9
ujung dari perjalanan dan perkembangan gagasan yang muncul dikalangan
kyai.

B. Sejarah Perkembangan Lembaga Pendidikan Nahdlatul Ulama


Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926
bertepatan tanggal 16 Rajab 1334 H di Surabaya oleh K.H Hasyim Asy’ari
dan para tokoh ulama-ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur.
Berdirinya NU diawali dengan lahirnya Nahdlatuttujjar (1918) yang
muncul sebagai lembaga gerakan ekonomi pedesaan, kemudian disusul
oleh munculnya Taswirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan
kebudayaan, dan Nahdatul Watan (1924) sebagai gerakan politik dalam
bentuk pendidikan. Oleh karena itu, ditemukanlah tiga pilar penting bagi
NU yaitu:
1. Wawasan ekonomi kerakyatan
2. Wawasan keilmuan, sosial budaya
3. Wawasan kebangsaan.10
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa (ormas) terbesar di
Indonesia, maka memperoleh porsi yang sama sebagaimana Islam
terhadap kemajuan atau kemunduran Indonesia. Meskipun NU bukanlah
satu-satunya wajah Islam Indonesia, namun sebagai ormas terbesar,
menyebabkan NU tidak bisa jauh dari tanggungjawab yang terkandung
dalam tubuh besarnya. NU diuji dalam hal kapasitas dan kapabilitasnya
sebagai pembawa umat terbesar di Indonesia. Jika sekali salah melangkah,
sorotan dan cacian tak dapat dipungkiri tepat pada ulu hati ormas ini.
Namun, NU tetap eksis bahkan NU pernah menduduki kursi nomor satu
Indonesia.
Ketika NU disebut, maka akan terbayang di benak kita, sebuah
komunitas yang memakai sarung, kopyah, dan kitab kuning. Sebuah
komunitas yang besar yang tidak mau menikmati kemodernan. Begitu juga

10
Ali Rahim, “Nahdlatul Ulama Peranan dan Sistem Pendidikannya” Jurnal Al-Hikmah,
Vol. XIV. No 2, 2013.

10
dalam hal pendidikan yang telah dijalankan. Pendidikan NU, akan
terbayang di benak kita sebuah pendidikan tradisional yang bernama
pesantren dimana sebagian santri (peserta didik) kurang akrab dengan
modernisasi. Santri NU, dalam praktek pendidikannya tidak memakai
celana bahan, dasi dan tas nyentrik, sebagaimana di sekolah-sekolah
lainnya. Peserta didik (santri) justru mengggunakan sarung, tanpa dasi dan
tas (biasanya para santri menenteng langsung setumpuk kitab kuning
dengan gagah), bahkan tidak sedikit yang menjalankan proses
pendidikannya tanpa kursi belajar. Suasana belajar mengajar sering
dijumpai hanya cukup dengan lesehan.
Pesantren merupakan sejenis sekolah tingkat dasar dan menengah yang
disertai asrama dimana para peserta didiknya (santri) mempelajari kitab-
kitab agama di bawah bimbingan para kiai. Banyak pemuda muslim
menetap dalam kurun waktu beberapa tahun di Mekah untuk belajar
kepada para guru terkemuka disana, kemudian mereka kembali ke Jawa
mendirikan pesantren sendiri. Kemudian pesantren yang didirikan tersebut
tidak selalu jauh dari perkotaan. Pesantren paling tidak terdiri dari rumah
kiai, sebuah mesjid dan asrama-asrama untuk para santri-santrinya.
Seiring berkembangnya zaman, maka pendidikan NU mengalami
pembaharuan oleh KH. Wahid Hasyim. Ia merupakan tokoh yang dikenal
sebagai pengurus besar Nahdlatul Ulama (PB NU) bagian Ma’arif tahun
1940. Pemabaharuan ini, guna perbaikan sistem pesantren yang
merupakan buah tangan dari hasil perjalanannya ke Timur Tengah. Pada
tahun 1962, tepatnya saat musyawarah tingkat wilayah PBNU bagian
Ma’arif yang berlangsung di Jawa Barat, usaha pembaharuan pendidikan
ini berhasil disahkan, bahkan diterima sebagai model yang diterapkan pada
lembaga-lembaga pendidikan yang dibawah naungan NU, terutama
berbentuk madrasah.
Pada kurun pembaharuan inilah, terjadi pergeseran penting di
lingkungan pendidikan NU. Dimana materi sudah tidak hanya berorientasi
pada penguasaan pengetahuan agama, dengan sumber pokoknya pada

11
kitab kuning. Materi pelajaran umum mulai dimasukkan dalam sistem
yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dibawah naungan NU.
Model pendidikanya dengan model pendidikan campuran, yang
komposisinya terdiri dari 70% pendidikan agama dan 30% pendidikan
umum seperti bahasa Inggris, ilmu ukur, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu
Pengetahuan Sosial.
Sebagai bentuk kesungguhan dalam meningkatkan mutu pendidikan,
pada tahun 2003, tepatnya tanggal 30 Desember 2003 lalu, pengurus Pusat
Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (PP. LP. Ma’arif NU)
mengadakan sebuah seminar buku publikasi NU dengan tema, “NU: Dari
Ulama untuk Indonesia”. Sekjen PP. LP. Ma’arif NU, memfokuskan
tulisannya seputar dunia pendidikan NU dengan tajuk “Kiprah Nahdlatul
Ulama dalam Bidang Pendidikan. Indikasi keseriusan NU dalam dunia
pendidikan bisa dilihat dari gelarnya forum muktamar selanjutnya. Hingga
muktamar ke-30 (tahun 1999) di Lirboyo, Kediri.
NU memandang sistem pendidikan telah lama dianut di Indonesia
hanya menekankan pada proses transfer, baik pengetahuan maupun
teknologi. Hal ini tersebut bagi NU akan merendahkan martabat
kemanusiaan peserta didik itu sendiri. Karena jika hanya proses transfer
satu sisi, maka hanya menempatkan peserta didik sebagai tabung yang
akan diisi pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, pola pendidikan
hanya menempatkan peserta didik sebagai objek yang pasif (the education
of bank system). Kemudian guru hanya dipergunakan tidak lebih dari
sekedar instrumen pemindah (penghubung) pengetahuan dan teknologi
kepada peserta didik. Sebuah hubungan yang sama sekali tidak manusiawi
serta cenderung kaku. Manusia diperlakukan tak ubahnya seperti mesin
dan hanya diambil nilai-nilai gunanya saja. Padahal kehidupan manusia
tidak homogen, oleh karena itu, perlakuan kepada manusia pun harus multi
perspektif.
Kemudian dalam praktek pendidikannnya, NU menempatkan anak
didik sebagai subjek aktif, sebagai pencari pengetahuan dan pembentuk

12
dirinya. Salah satu program permanen Nahdlatul Ulama adalah urusan
madrasah atau sekolah, yang diberi nama dengan istilah Ma’arif. Dari
sudut historis pendidikan madrasah di lingkungan NU. NU memiliki peran
yang tidak kecil dalam pertumbuhan dan perkembangan madrasah.
Bahkan langkah kategorisasi dan penjenjangan madrasah yang dilakukan
NU merupakan inspiasi bagi pembakuan penjenjangan pendidikan
madrasah sebagaimana diterapkan oleh Sistem Pendidikan Nasional. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa NU sejak semula telah memiliki tekad dan niat
yang kuat untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
tertuang dan menjadi tujuan bangsa dalam UUD 1945.11

C. Kontribusi Lembaga Pendidikan NU Dalam Pengembangan


Pendidikan Di Indonesia
Sejarah membuktikan bahwa peran dan sumbangan Nahdlatul
Ulama (NU) terhadap kehidupan bangsa Indonesia tidaklah kecil.
Sumbangan ini tampak lebih besar lagi, jika dilihat dalam hal lembaga
pendidikan NU seperti pesantren, madrasah, atau sekolah NU yang
didirikan secara tradisional atas prakarsa serta kerjasama masyarakat yang
sangat semangat sehingga dapat berkembang dengan pesat bahkan menjadi
pilihan bagi para umat.
Agus Maimun menyatakan bahwa kita dapat menyaksikan betapa
mampunya lembaga pendidikan NU dalam melayani kebutuhan
pendidikan masyarakat dan menjangkau seluruh bagian wilayah Indonesia
yang belum berhasil dijangkau oleh sekolah umum melalui sistem sekolah
konvensional atau sekolah inpres sekalipun.
Salah satu usaha yang dilakukan Nahdlatul Ulama dalam hal
menciptakan konsistensi dan keutuhan langka perjuangan dalam
pendidikan ialah menegaskan arah serta meletakkan landasan dasar
kebijakan pengembangan program pendidikan di lingkungan Nahdlatul

11
Nadjid Mukhtar, Na’rif Mari Peduli Pendidikan Kita. http://
https://drive.google.com/file/d/1PtIZjjF9FRPRopzR8XM-eQh_NZeYedqG/view (diakses: 28
Desember 2020), Pukul. 21:24.

13
Ulama (NU). Modal pendidikan yang dilakukan NU sehingga dapat
memainkan peranan serta memberikan sumbangan yang sangat berharga
dalam upaya penataan kembali sistem pendidikan nasional.
Peranan serta sumbangan yang dilakukan NU pada dasarnya dapat
dilihat antara lain:
1. Sistem pendidikan yang dikembangkan NU berwatak mandiri seperti
dalam hal pengelolaannya.
2. Perpaduan antara jiwa penggerakan dan keharusan mengorganisasi
diri.12

NU telah menempatkan lembaga pendidikannya pada posisi yang


sangat strategis yaitu sebagai lembaga pendidikan alternatif, posisi yang
bersifat partisipatif, dan posisi komplementer. Oleh karena itu, peran-
peran NU dalam pendidikan sesungguhnya sangat kaya dan strategis.
Peran pendidikan NU dikatakan bersifat alternatif adalah pendidikan
pesantren yang dirintis, dikelola dan dikembangkan secara individual oleh
para ulama dan para tokoh NU selama ini sudah sangat memberikan
sumbangan yang begitu besar pada masyarakat, pemerintah dan bangsa
Indonesia. Selanjutnya, peranan yang bersifat partisipatif artinya dengan
mendirikan sekolah-sekolah formal seperi madrasah, sekolah dan sekolah
umum hingga unversitas yang menggunakan nama atau lambang NU.
Posisi strategis lembaga pendidikan NU lainnya adalah sebagai
komplementer yakni berupa pesantren, Ma’had atau diniyah yang menyatu
dengan pendidikan formal termasuk lembaga pendidikan yang berstatus
negeri.
Dari segi sosial LP. Ma’arif sangat besar terhadap pembentukan
watak sosial masyarakat yang berpendidikan. Hal ini dapat dilihat bahwa
madrasah/ sekolah yang berada di daerah-daerah pedesaan atau pelosok
desa kebanyakan adalah sekolah/ madrasah yang diprakarsai oleh

12
Ali Rahim, Nahdlatul Ulama Peranan dan Sitem Pendidikannya (Jurnal Al-Hikmah Vol.
XIV NO. 2, 2013, hlm. 180.

14
Nahdlatul Ulama. Sehingga masyarakat khususnya yang berada di daerah
yang agak jauh dari perkotaan tidak kesulitan dalam mendapatkan
pendidikan.
Sedangkan dari segi budaya NU juga terus menerus memberikan
pemahaman dengan mengenalkan warisan budaya dikalangan Ahlu
Sunnah Wal Jamaah dalam bentuk bacaan-bacaan atau pelajaran di
madrasah, kesenian bagi anak didik dan generasi muda, seperti melalui
pelajaran ke-NU an yang banyak membahas tentang segala sesuatu yang
berkaitan dengan NU, dimana tahun 1993 mulai dimasukkan dalam tes
sumtif, dengan didukung sarana dan prasarana tempat belajar yang
memadai yaitu pendirian madrasah-madrasah dari tingkat atas dengan
melibatkan potensi warga masyarakat NU dan instansi-instansi terkait.
Pengaruh pendidikan NU semakin terasa ditengah-tengah masyarakat
dengan berdirinya sekolah menengah kejuruan yakni SMK Ma’arif NU
pada tahun 1991 yang menghasilkan lulusan yang sudah siap bekerja di
masyarakat.
Nahdlatul Ulama mempunyai lembaga pendidikan yang cukup
banyak sebagai basis transmisi keilmuannya, yaitu pesantren. Pesantren
mempunyai kekuatan tersendiri berupa nilai yang jarang dimiliki oleh
lembaga lainnya. Dengan berbagai kekhasan, pesantren terbukti mampu
bertahan dalam masyarakat yang terus berubah sepanjang masa. Namun
demikian, masih ditemukan pula berbagai kelemahan seperti model
kepemimpinan yang masih cenderung sentralistik bertumpu kuat kharisma
kiai atau otoritas perseorangan, tidak menumbuhkan kritisme santri,
sehingga pengajarannnya tidak terprogram dan sebagainya.
Usaha NU dalam pendidikan telah tampak hasilnya dimana banyak
sekolah-sekolah NU didirikan, bahkan pada tahun 2004 LP Ma’arif yang
bekerjasama dengan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) mendapat
penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai lembaga
pendidikan Ma’arif NU dengan jumlah lembaga pendidikan terbanyak
mulai pendidikan dasar sehingga pendidikan menengah atas.

15
Lembaga pendidikan di bawah LP. Ma’arif berjumlah 12. 094
dengan rincian sebagai berikut:
No Provinsi Ibtidai Tsana Aliya Perguruan SD SMP SMA SMK
yah wiyah h Tinggi
1. Bali 41 15 10 2 0 0 0 0
2. Bangka 2 5 2 0 0 0 0 0
Belitung
3. Banten 0 22 3 0 0 0 0 0
4. Bengkul 7 9 6 0 0 0 0 0
u
5. DKI 374 103 33 7 5 68 0 0
Jakarta
6. Jambi 10 27 3 0 0 0 0 0
7. Jawa 351 235 67 13 4 69 12 11
Barat
8. Jawa 1445 458 142 13 5 11 1 44
Tengah
9. Jawa 4412 1228 530 35 58 67 30 39
Timur
10 Kaliman 69 27 22 1 0 0 0 0
tan
Selatan
11 Kaliman 4 3 1 1 1 3 0 1
tan
Tengah
12 Kaliman 19 40 17 1 0 0 0 0
tan
Timur
13 Lampun 65 115 39 1 1 37 20 22
g
14 NAD 127 87 49 0 0 0 0 0
15 NTB 31 60 27 1 0 0 0 0
16 NTT 14 9 2 1 0 0 0 0
17 Papua 1 7 2 0 0 0 0 0
18 Riau 0 0 17 0 0 0 0 0
19 Sul-Sel 30 24 17 3 0 2 0 0
20 Sulut 2 8 4 1 0 0 0 0
21 Sum-Sel 30 8 3 0 5 5 3 0
22 Sumut 313 489 0 1 1 1 0 0

16
23 Yogyaka 105 12 6 0 0 15 5 18
rta
Total 7452 2991 1002 81 80 278 71 137
Sumber data: Profil dan direktori NU, 2009.13
Berdasarkan data yang telah dijabarkan diatas, maka akan dapat
diketahui bahwa secara kuantitas lembaga pendidikan NU terbanyak di
wilayah Indonesia adalah madrasah ibtidaiyah yakni sebanyak 7452 dan
yang paling sedikit adalah SMA dengan jumlah sebanyak 71 sekolah.
Selanjutnya provinsi yang terbanyak jumlah lembaga pendidikan NU nya
adalah provinsi Jawa Timur yaitu 6399, dan provinsi paling sedikit jumlah
lembaga pendidikan NU nya adalah Papua yakni hanya 10 Madrasah. Jadi
dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan NU dominan berada di
pulau Jawa.
Sedangkan dari segi kuaitas, antara sekolah dalam lembaga
pendidikan NU yang paling menonjol telah merain Sertifikat Sistem
Manajemen Mutu (SMM) NU ISO 9001-2000 yakni SMK Ma’arif NU
Kebumen pada tanggal 31 Jnuari 2007. Selanjutnya untuk perguruan
tinggi NU pada tahun 2009 berjumlah 81 perguruan tinggi. Adapun
perguruan tinggi yang paling diminati oleh masyarakat adalah UNIMA
(Universitas Islam Malang), UNISBA (Universitas Islam Bandung), UIJ
(Universitas Islam Jember), Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang,
Universitas Islam Sumatera (UISU), Universitas Islam Jakarta (UNISJA),
Universitas NU Yogyakarta, dan Universitas Islam Madura.
Jadi dapat disimpulkan bahwa NU dan LP. Ma’arif sangat
berkontribusi terhadap pendidikan di Negara Indonesia dari jenjang
pendidikan dasar hingga lembaga pendidikan tinggi.
D. Gerakan-Gerakan dalam Lembaga Pendidikan NU
Dengan jumlah anggota mencapai 83 juta orang (menurut survaey
ISNU) telah diakui bahwa Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi massa
Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Sumber lain menyatakan

13
Ibid., hlm. 182.

17
jumlah anggota NU 70 juta orang (Antara News 2011), sedangkan Indo
Barometer, menemukan dari sekitar 191,4 juta penduduk Indonesia yang
Muslim (mengadopsi data sensus tahun 2000), sekitar 75 persen dari
jumlah tersebut mengaku warga nahdliyin. Artinya jumlah warga NU
sekitar 143 juta tahun 2000.
Salah satu tujuan dari didirikannya NU adalah untuk mewujudkan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan NU. Karenanya
Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi
mewujudkan masyarakat yang mandiri. Gagasan dan gerakan pendidikan
ini telah dimulai sejak perintisan pendirian NU di Indonesia. Dimulai dari
gerakan ekonomi kerakyatan melalui Nadlatut Tujjar (1918), disusul
dengan Tashwirul Afkar (1922) sebagai gerakan keilmuan dan
kebudayaan, hingga Nahdlatul Wathan (1924) yang merupakan gerakan
politik di bidang pendidikan, maka ditemukanlah tiga pilar penting bagi
Nadhlatul Ulama yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab
1334 H, yaitu: (1) ekonomi kerakyatan; (2) pendidikan; dan (3)
kebangsaan.
Untuk merealisasikan pilar-pilar tersebut NU secara aktif
melakukan gerakan sosial- keagamaan untuk memberdayakan umat. Di
sini dirasakan pentingnya membuat lini organisasi yang efektif dan
mampu merepresentasikan cita-cita NU. Maka lahirlah lembaga-lembaga
dan lajnah; Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif, Lembaga Dakwah,
Lembaga Sosial Mabarrot, Lembaga Pengembangan Pertanian, dan lain
sebagainya. LP Ma‘arif NU dibentuk untuk melakukan gerakan
pemberdayaan umat di bidang pendidikan yang sejak semula menjadi
perhatian para ulama pendiri (the founding fathers) NU.

1. Muslimat Nahdhatul Ulama (Muslimat NU)


Muslimat NU lahir pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya pada
tanggal 15 – 21 Juni 1940 dengan nama Nahdhatul Ulama Muslimat
(NUM). Pada wakt itu Muslimat masih menjadi bagian dari NU dan

18
belum berdiri sendiri. Baru pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto,
Jawa Tengah, pada tanggal 26-29 Maret 1946, NUM disahkan
menjadi organisasi yang berdiri sendiri dan menjadi Badan Otonom
(BANOM) Nahdhatul Ulama, sehingga namanyapun juga berubah
menjadi Muslimat Nahdhatul Ulama disingkat menjadi Muslimat
NU.14
2. L.P. Ma’arif
Ma‘arif terus menjalankan tugas yang dibebankan NU untuk
mencerdaskan bangsa, sesuai dengan dinamika perkembangan NU dan
bangsa. Sejak tahun 1935 NU mulai merintis madrasah di luar
pesantren, yang dilaksanakan secara klasikal. Sistem kelas yang
disusun meliputi Madrasah Umum dan Madrasah Ikhtishashiyyah
(kejuruan). Madrasah Umum dengan 13 jenjang kelas dari tingkat
Awwaliyah (2 tahun), Ibtida‘iyah (3 tahun),Tsanawiyah (3 tahun),
Mu‘allimin Wustha (2 tahun) dan Mu‘allimin Ulya (3 tahun).
Sedangkan bidang kejuruannya meliputi bidang Qudlat (hukum),
Tijarah (perdagangan), Nijarah (pertukangan), Zira‘ah (pertanian),
Fuqara‘ (sekolah khusus fakir miskin) dan Kejuruan khusus. Pada
tahun 1937, NU mempelopori pendirian al Majlis al Islami al A‘la
Indonesia (MIAI) dalam rangka mempersatukan langkah organisasi
Islam di Indonesia.Tampil sebagai ketua Wahid Hasyim dengan Faqih
Usman dari Muhammadiyah sebagai sekretarisnya.
Ketika penjajah Jepang masuk Indonesia pada Maret 1942
perkumpulan NU dan organisasi lainnya dibubarkan oleh pemerintah
pendudukan Jepang. Para ulama melanjutkan gerakannya di MIAI dan
kemudian mendirikan Majelis Syuro Muslimn Indonesia (Masyumi).
Setelah Masyumi berdiri, MIAI dibubarkan. Melalui Masyumi dan
juga melalui pengaruh para kyai di Shumubu, NU senantiasa membela
kepentingan umat Islam, masih dengan cara-cara akomodatif.

14
Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundametalisme Islam
(Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 38-39.

19
September 1943 M, atas permintaan Wahid Hasyim lewat parlemen
Jepang mengijinkan NU dan Muhammadiyah diaktifkan kembali dan
bisa beraktivitas seperti di masa penjajahan Belanda. Namun demikian
masa pendudukan Jepang yang sangat singkat, tahun 1942-1945,
adalah masa yang sangat sulit bagi bangsa Indonesia, termasuk NU.
Namun demikian, dengan segala kesulitan dan keterbatasannya saat
itu Ma‘arif tetap menjalankan tugasnya mencerdaskan anak bangsa.
3. IPNU
IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) adalah badan otonom
Nahdlatul Ulama yang berfungsi untuk membantu melaksanakan
kebijakan NU pada segmen pelajar dan santri putra. IPNU didirikan di
Semarang pada tanggal 24 Februari 1954. IPNU didirikan oleh
Shufyan Cholil (mahasiswa UGM), H. Mustafa (Solo) dan Abdul
Ghony Farida (Semarang). Ketua umum pertama IPNU adalah M.
Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konfrensi Segi Lima yang
diselenggarakan di Solo pada April-1 Mei 1954. Keputusan IPNU
sebagai badan otonom NU ditetapkan dalam Muktamar ke 20 tahun
1954 di Surabaya yang menyatakan bahwa IPNU adalah satu-satunya
organisasi pelajar yang secara resmi bernaung di bawah NU dan hanya
untuk pelajar laki-laki. Sedangkan pelajar putri akan diwadahi secara
terpisah.
4. IPPNU
Berdasarkan keputusan muktamar itu beberapa aktifis pelajar putri
menggagas perlunya dibentuk sebuah organisasi pelajar khusus putri.
Setelah mengadakan konsultasi dengan dua jajaran pengurus teras
badan otonom NU yang diserahi tanggung jawab dalam pembinaan
organisasi pelajar yaitu: ketua PB Ma’arif NU, KHM. Syukri Ghazali,
dan ketua PP Muslimat NU, Hj. Mahmudah Mawardi. Pada tanggal 28
Februari-5 Maret 1955 para aktifis pelajar putri NU mgadakan
pertemuan di Malang dan menyepakati pembentukan organisasi IPNU
putri.

20
5. PERGUNU
PERGUNU (Persatuan Guru Nahdlatul Ulama) lahir sesudah dua
organisasi pelajar tersebut, meski sudah dirintis sejak sebelumnya,
tepatnya tahun 1952. Organisasi ini dibentuk atas inisiatif para peserta
Kongres Ma‘arif se-Indonesia, yang antara lain memberikan mandat
kepada Ma‘arif Cabang Surabaya untuk menyiapkan
pembentukannya. Pada tanggal 1 Mei 1958, Ma‘arif Cabang Surabaya
berhasil membentuk Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PERGUNU)
Cabang Surabaya yang sekaligus sebagai kantor pusatnya. Kemudian,
berdasarkan hasil Muktamar II PERGUNU, kedudukan kantor pusat
dipindahkan ke Jakarta. Sejak lahir hingga akhir pemerintahan Orde
Lama, roda organisasi PERGUNU berjalan baik.
Namun, selama masa orde baru, PERGUNU seolah-olah mati suri,
dan tidak menunjukkan aktivitas yang cukup berarti. Apalagi ketika
pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo. NU memutuskan
kembali ke Khitah 1926 dan tidak berpolitik praktis, PERGUNU
seperti terlepas dari NU.
6. PMII
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Gagasan pendirian
organisasi mahasiswa NU muncul pada Muktamar II IPNU di
Pekalongan (1-5 Januari 1957). Namun gagasan itu belum terwujud.
Baru pada Muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958)
dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh
Isma‘il Makki (Yogyakarta). Kemudian pada Konferensi Besar
(KONBES) IPNU I di Kaliurang tanggal 14-17 Maret 1960
diputuskan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara
khusus di perguruan tinggi. Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 14-16
April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di
Sekolah Mu‘amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah
adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung,

21
Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta
perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah NU. Dari
musyawarah tersebut pada tanggal 17 April 1960 dideklarasikan
organisasi mahasiswa yang bernama PMII.15

E. Tokoh-Tokoh Nahdlatul Ulama (NU)


Jam’iyyah Nahdlatul Ulama melahirkan beberapa pejuang yang
telah merebut serta mempertahankan kemerdekaan negara Republik
Indonesia. Walaupun sosok pahlawan serta yang berperan penting dari NU
dan pesantren terbilang banyak. Namun ada beberapa yang mendapat gelar
pahlawan Nasional. Berikut ini beberapa tokoh-tokoh NU yang mendapat
gelar pahlawan nasional, yaitu:16
1. Hadratussyekh KH Hasyim As’yari
Hadratussyekh KH Hasyim As’yari adalah tokoh utama dan
pendiri Nahdlatul Ulama. Beliau merupakan satu-satunya penyandang
gelar Rais Akbar NU hingga akhir hayatnya. KH Hasyim As’yari
ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 17 November 1964
berkat jasanya yang sangat berperan besar melawan penjajah. Salah
satu jasa beliau adalah memutuskan NU untuk mengeluarkan resolusi
jihad pada 22 Oktober 1945. Kemudian tanggal tersebut dijadikan
sebagai hari santri nasional.
2. KH Abdul Wahid Hasyim
KH Abdul Wahid Hasyim adalah putra Hadratussyekh KH Hasyim
As’yari dan ayah dari presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid.
Beliau merupakan salah satu anggota BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan panitia PPKI. Di
pondok pesantren Tebuireng beliau sangat mempelopori pahlawan
masuknya ilmu pengetahuan ke dunia pesantren. Kemudian beliau

15
Kahzanah, LP. Ma’arif Dari Masa ke Masa, http://maarifnu.org/2020/09/03/lp-maarif-
dari-masa-ke-masa (diakses: 07 Januari 2021), pukul: 15.00.
16
NU Online, https://www.nu.or.id/post/read/83084/inilah-tokoh-tokoh-nu-bergelar-
pahlawan-nasional (diakses: 31 Desember 2020), pukul: 21:11.

22
ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 17 November
1960.
3. KH Zainal Mustofa
KH Zainal Mustofa adalah tokoh NU yang berasal dari
Tasikmalaya, kemudian beliau pernah menjadi salah satu wakil Rais
Suria. Beliau juga merupakan seorang kiai yang secara terang-
terangan sangat menentang melawan penjajah Belanda. Beliau
mendapatkan gelar sebagai pahlawan Nasional pada tahun 1972.
4. KH Idham Chalid
KH Idham Chalid pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri
Indonesia pada kabinet Ali Sastroamidjojo II dan kabinet Djuanda.
Idham Chalid juga pernah menjabat sebagai ketua MPR dan DPR.
Selain menjabat sebagai politikus, beliau juga merupakan ketua umum
pengurus besar Nahdlatul Ulama pada tahun 1956-1984. Idham Chalid
ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 8 November 2011.
Kemudian pada 19 Desember 2016, pemerintah mengabadikan sosok
beliau di pecahan uang kertas rupiah baru, pecahan Rp. 5000.
5. KH Abdul Wahab Chasbullah
KH Abdul Wahab Chasbullah adalah salah satu pendiri NU.
Sebelumnya, ia pendiri kelompok diskusi Tashwirul Afkar
(Pergolakan Pemikiran), pendiri madrasah Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Negeri), pendiri Nahdlatut Tujjar (kebangkitan
pedagang). Sejak 1924, mengusulkan agar dibentuk perhimpunan
ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis.
6. KH As’ad Syamsul Arifin
KH As’ad Syamsul Arifin adalah seorang kiai yang berperang
melawan penjajah. Kiai As’ad menjadi motor yang menggerakkan
massa dalam ekonomi-sosial masyarakat. Kiai As’ad juga berperan
menjelaskan kedudukan pancasila tidak akan mengganggu nilai-nilai

23
keislaman. Beliau mendapat anugerah pahlawan pada 9 November
2016.17

F. Keberadaan Ulama dan Kiai serta Tradisi-Tradisi di Nahdlatul


Ulama
NU dibentuk sebagai wadah jamaah yang tidak setuju dengan
kebijakan kelompok Islam Wahabi yang berkuasa di Arab Saudi kala itu.
NU sebagai jam’iyyah (organisasi) yang berbasis para kyai dan santri di
pesantren-pesantren (yang juga merupakan lembaga pendidikan tertua di
Nusantara). NU berperan aktif dalam perjuangan melawan penjajah dan
terus berbenah dalam pembangunan NKRI serta mengembangkan
keilmuan keislaman.
Dalam rangka melaksanakan ikhtiyar-ikhtiarnya, NU membentuk
organisasi yang mempunyai struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat
untuk melaksanakan koordinasi bagi tercapainya tujuan yang telah
ditentukan, baik itu tujuan untuk keagamaan maupun tujuan untuk
kemasyarakatan.
Karena pada dasarnya NU adalah jam’iyyah diniyyah yang
membawa paham keagamaan, maka ulama sebagai mata rantai pembawa
faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah selalu ditempatkan sebagai
pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya
organisasi.
Posisi dan peran ulama dan kiai dalam perspektif Nahdlatul Ulama
(NU), ulama dan kyai adalah sama. Sebagaimana diketahui bahwa NU
lahir dari perkumpulan para kiai-kiai pesantren. Nama Nahdlatul Ulama
yang berari kebangkitan-kebangkitan para ulama yang menjadi nama dari
organisasi tersebut mengisyaratkan akan posisi dan peran ulama yang
begitu banyak dan signifikan dalam organisasi kemasyarakatan.
Paham keulamaan pada mulanya hanya berlaku pada kalangan
pesantren dan masyarakat sekelilingnya (seperti tata hubungan santri

17
Ibid.,

24
dengan kiai dan anggota masyarakat dengan pesantren yang penuh dengan
kesopanan penghormatan kepada otoritas ulama atau kiai) seakan-akan
menemukan wadah atau tempat untuk mewujudkan dalam bentuk dan
formulasi yang jelas dalam struktur NU. Peran ulama dalam pesantren
sangat menonjol di NU dan menjadikan budaya pesantren sebagai budaya
dalam perjalanan roda organisasi tersebut.
Ulama dalam NU ditempatkan sebagai posisi tertinggi baik secara
struktural maupun kultural. Penempatan lembaga syuriah pada struktur
paling atas dalam pengurusan NU, merupakan bukti nyata perwujudan
paham keulamaan dan kepesantrenan dalam organisasi NU.
Peran ulama dalam struktur NU bukan hanya sekedar pimpinan
tertinggi, tetapi juga menjadi pengawas, pembimbing, Pembina dan
penegur apabila terjadi penyimpangan dalam pandangan mereka.
Sementara dalam tataran kultural, ulama atau kiai memiliki posisi yang
tidak kalah penting dalam kultur masyarakat NU. Keberadaan ulama atau
kiai ditengah-tengah santri dan masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan
dengan posisi para raja di Jawa, dimana raja benar-benar memiliki peran
penting dalam rangka mengarahkan masyarakatnya. Hanya saja yang
berbeda adalah; pertama, keberadaan raja lebih sebagai pemimpin suatu
komunitas plural dengan sumber legetimasi social yang ascribed.
Sedangkan kiai merupakan komunitas yang homogenreligius yang
legetimasinya bersifat socially achieved. Kedua, titah raja berdasarkan
aturan kerajaan yang bersifat sekuler, sedangkan titah kiai selalu
diatasnamakan dan di bawah panduan legitimasi hukum-hukum Tuhan dan
sunnah Nabi serta pendapat Ulama salaf18
Penempatan posisi ulama atau yang begitu tinggi dalam NU telah
dikukuhkan dalam aturan organisasi yang memiliki kekuatan legal. Hal
tersebut tertulis dalam AD-ART NU yang berbunyi “kepengurusan NU
terdiri dari syuriah dan tanfidziyah. Syuriah merupakan pimpinan tertinggi

18
Martin Van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru
(Yogyakarta: LkiS, 1999), hlm. 20.

25
NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi
kegiatan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tanfidziyah merupakan pelaksana
sehari-hari”. Lebih dari itu pengurus syuriah yang terdiri dari para ulama
atau kiai memiliki hak veto dalam tugasnya sebagai pengawas organisasi.
Otoritas ini juga dicantumkan dalam AD-ART NU, yaitu “dalam rangka
pembinaan, pembimbingan dan pengawasan, maka syuriah berkewajiban
setiap saat memberikan teguran, saran bimbingan kepada seluruh
perangkat organisasi. Apabila suatu keputusan atau kebjaksanaan suatu
perangkat organisasi dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam, maka
syuriah berhak membatalkan. Dan pembatalan tersebut diambil dalam
suatu rapat pengurus syuriah lengkap”.
Jadi dapat dikatakan bahwa ulama atau kiai dalam struktur NU
memiliki posisi yang sangat tinggi dan peran yang dominan dan
signifikan. Peran ulama dalam struktur NU bukan hanya sekedar pimpinan
tertinggi, tetapi juga menjadi pengawas, pembimbing, Pembina dan
penegur apabila terjadi penyimpangan dalam pandangan mereka.
Sementara dalam tataran kultural, ulama atau kiai memiliki posisi yang
tidak kalah penting dalam kultur masyarakat NU. Keberadaan ulama atau
kiai ditengah-tengah santri dan masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan
dengan posisi para raja di Jawa, dimana raja benar-benar memiliki peran
penting dalam rangka mengarahkan masyarakatnya. Hanya saja yang
berbeda adalah; pertama, keberadaan raja lebih sebagai pemimpin suatu
komunitas plural dengan sumber legetimasi social yang ascribed.
Sedangkan kiai merupakan komunitas yang homogenreligius yang
legetimasinya bersifat socially achieved. Kedua, titah raja berdasarkan
aturan kerajaan yang bersifat sekuler, sedangkan titah kiai selalu
diatasnamakan dan di bawah panduan legitimasi hukum-hukum Tuhan dan
sunnah Nabi serta pendapat Ulama salaf.19

19
Mohammad Darwis, Peran Ulama Pesantren dalam Perspektif NU, Jurnal Tarbiyatuna,
Vol. 8, No. 1 Februari, 2015, hlm. 42-45.

26
Berikut ini ada beberapa peran ulama di Nahdlatul Ulama:20
1. Bidang Agama
Ulama sebagai salah satu pewaris para nabi dan sebagai pemimpin
umat Islam mempunyai peran yang sangat penting yaitu memperjuangkan
dan mengembangkan syariat Islam. Ulama diartikan sebagai seseorang
yang mempunyai pengetahuan yang mendalam dalam masalah agama dan
masalah sosial kemasyarakatan yang dapat dibuktikan dari kepribadian
para ulama yang sangat agamis. Oleh sebab itu, agama dijadikan sebagai
tauladan dalam kehidupan bermasyarakat oleh siapapun.
Ulama dianggap sebagai penjaga ilmu Allah. Jika Allah
berkehendak mencabut ilmunya dari muka bumi, maka Dia akan mencabut
ulama. Oleh sebab itu, seringkali ulama dijadikan barometer dalam tata
kehidupan bermasyarakat. Ia merupakan kunci pembuka pemahaman
keagamaan dalam masyarakat. Jika ulama keluar dari kepribadiannya
sebagai ulama, maka itu berarti ilmu Allah telah tercabut dari muka bumi
sehingga kezaliman terjadi dimana-mana.
2. Bidang Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Meskipun pada awalnya ulama adalah pemimpin keagamaan,
namun dalam prakteknya adalah pmimpin masyarakat dalam menghadapi
setiap bahaya yang mengancam. Ulama adalah pemimpin dalam hal
melawan penjajah yang menindas rakyat. Ulama adalah guru bagi para
warga negara dalam berjuang dan mengisi kemerdekaan. Ulama
merupakan tulang punggung negara dan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu,
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ulama mempunyai peran yang
sangat penting dalam menjaga negara kesatuan Republik Indonesia.
3. Bidang Pembangunan Ekonomi
Di dalam bidang perekonomian, ulama dengan fikih muamalahnya
mampu mempelopori umat dalam hal mempraktekkan nilai-nilai
keislaman dalam hal perdagangan. Ulama memberikan contoh usaha dan

20
Laduni, Kedudukan dan Fungsi Ulama Menurut Nahdlatul Ulama,
https://www.laduni.id/post/read/61601/kedudukan-dan-fungsi-ulama-menurut-nahdlatul-ulama
(diakses: 07 Januari 2021), pukul: 19:42.

27
perdagangan melalui wirausaha dan koperasi yang merupakan soko guru
perekonomian Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya
KOPONTREN (Koperasi Pondok Pesantren) yang tersebar luas di seluruh
penjuru Indonesia.
4. Bidang Hukum dan Pemerintah
Ulama banyak memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perumusan
NKRI.
5. Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, ulama sebagai penjaga ilmu. Oleh sebab
itu, ulama dalam dunia pendidikan memiliki peran yang sangat penting
dan sangatlah sentral. Setiap pesantren pasti mempunyai ulama yang
mengajarkan pendidikan agama kepada masyarakat. Karena peran ulama
sangat besar maka ulama dan kyai memiliki posisi sebagai Syuriyah.21
Sedangkan dalam hal tradisi NU mampu mendudukkan
kebudayaan itu secara proporsional dan telah menempatkan NU sebagai
organisasi yang berkonsentrasi dalam pemeliharaan tradisi Islam di
Indonesia. Dalam implikasinya, NU lebih populis ditengah-tengah
masyarakat. Kerapatan dan kedekatan NU dengan kebudayaan lokal
memposisikan eksistensi NU didukung oleh berbagai kelompok sosial.
Contohnya, tradisi tahlilan. Upaya pembaharuan yang dilakukan Nahdlatul
Ulama adalah mengambil hal baru yang lebih baik. Jadi, Nahdlatul Ulama
ditengah-tengah antara tradisi lama dan budaya baru yang lebih baik. NU
berupaya membangun wacana baru dan khas dibandingkan organisasi lain
dalam upaya merespon arus modernisasi. Ketika organisasi Islam lainnya
bermusuhan dengan tradisi lokal guna mengikuti irama kemodrenan, NU
justru berusaha melindunginya, lalu menjadi organisasi yang berkarakter
melindungi tradisi.22

21
Ibid.,
22
Ali Anwar, Advonturisme NU (Bandung: Humaniora, 2004), hlm. 134.

28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926
bertepatan tanggal 16 Rajab 1334 H di Surabaya oleh K.H Hasyim Asy’ari
dan para tokoh ulama-ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur.
Nahdlatul Ulama berdiri untuk mempertahankan ajaran Islam Ahlus
sunnah wal Jamaah yang mengakui dan mengikuti madzhab, NU juga
sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum kolonial Belanda dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Selain itu, NU merupakan ujung dari
perjalanan dan perkembangan gagasan yang muncul dikalangan kyai.
Salah satu tujuan dari didirikannya NU adalah untuk mewujudkan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan NU. Karenanya
Bagi NU, pendidikan menjadi pilar utama yang harus ditegakkan demi
mewujudkan masyarakat yang mandiri. Karena pada dasarnya NU adalah
jam’iyyah diniyyah yang membawa paham keagamaan, maka ulama
sebagai mata rantai pembawa faham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah
selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan
pembimbing utama jalannya organisasi. . Peran ulama dalam struktur NU
bukan hanya sekedar pimpinan tertinggi, tetapi juga menjadi pengawas,
pembimbing, Pembina dan penegur apabila terjadi penyimpangan dalam
pandangan mereka. Sementara dalam tataran kultural, ulama atau kiai
memiliki posisi yang tidak kalah penting dalam kultur masyarakat NU..
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima
segala bentuk kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini. Penulis
sadar bahwa dalam makalah ini masih sangat banyak kekurangan baik
dalam penulisan, literatur dan lain-lain.

29
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Ali, Advonturisme NU, Bandung: Humaniora, 2004.

Baso, Ahmad, NU Studies: Pergolakan Pemikiran Antara Fundametalisme Islam,


Jakarta: Erlangga, 2006.

Chalik, Abdul, Nahdlatul Ulama dan Geopolitik Perubahan dan Kesinambungan,


Surabaya: Impulse Buku Pintar,2011.

Darwis, Mohammad, Peran Ulama Pesantren dalam Perspektif NU, Jurnal


Tarbiyatuna, Vol. 8, No. 1 Februari, 2015.

Haidar, M. Ali, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam
Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Hanafi, Yusuf, dkk, Pendidikan Islam Transformatif Membentuk Pribadi


Berkarakter, Jawa Timur: Penerbit Dream Litera, 2014.

Karim, A Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi NU di Indonesia, Yogyakarta:


LkiS, 1995.

Rahim, Ali, “Nahdlatul Ulama Peranan dan Sistem Pendidikannya” Jurnal Al-
Hikmah, Vol. XIV. No 2, 2013.

Tim Harakah Islamiyah, Buku Pintar Aswaja, Harakah Islamiyah.

Van Bruinessen, Martin, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana


Baru, Yogyakarta: LkiS, 1999.

Wahyudi, Chafid, Nahdlatul Ulama & Civil Religion Melacak Akar Civil Religion
dalam Keagamaan NU, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013.

Kahzanah, LP. Ma’arif Dari Masa ke Masa, http://maarifnu.org/2020/09/03/lp-


maarif-dari-masa-ke-masa (diakses: 07 Januari 2021)

Laduni, Kedudukan dan Fungsi Ulama Menurut Nahdlatul Ulama,


https://www.laduni.id/post/read/61601/kedudukan-dan-fungsi-ulama-
menurut-nahdlatul-ulama (diakses: 07 Januari 2021)

Nadjid Mukhtar, Na’rif Mari Peduli Pendidikan Kita. http://


https://drive.google.com/file/d/1PtIZjjF9FRPRopzR8XM-
eQh_NZeYedqG/view. diakses: 28 Desember 2020, Pukul. 21:24.

NU Online, https://www.nu.or.id/post/read/83084/inilah-tokoh-tokoh-nu-bergelar-
pahlawan-nasional (iakses: 31 Desember 2020)

30
Rumah Aswaja, Mengenal ke NU-an,
https://www.academia.edu/28667498/Mengenal_Ke_NU_an (diakses pada
28 Desember 2020)

Sejarah Nahdlatul Ulama, http://digilib.uinsby.ac.id/8810/5/BAB%20II.pdf


(diakses: 31 Desember 2020)

SMK Ma’arif NU Sumpiuh, Materi ke NU an,


http://www.smkmaarifnu1sumpiuh.sch.id/nu.pdf (diakses: 27 Desember
2020)

31

Anda mungkin juga menyukai