Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

NAHDATUL ULAMA DAN PEMBAHARUAN ISLAM


KONTEMPORER DI INDONESIA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah PPMDI

Dengan

Dosen pengampu : Drs. H. Barkatullah Amin, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Kelompok 13

Almaduri Hayastri : 2204117358

Aminah : 2204117359

Fitri Hasanah : 2204117371

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM RASYIDIYAH KHALIDIYAH

AMUNTAI 2023/2024
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah PPMDI , dengan
judul “Nahdatul Ulama dan Pembaharuan Islam Kontemporer di Indonesia”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan
yang kami miliki.

Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan
bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat.

Amuntai, 17 November 2023

Kelompok 13

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Nahdlatul Ulama .................................................................................. 3


B. Pembaharuan Islam Kontemporer di Indonesia .................................. 10

BAB II PENUTUP ........................................................................................ 18

A. Kesimpulan ......................................................................................... 18
B. Saran .................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia
yang didirikan pada tahun 1926 oleh KH Hasyim Asy‟ari. NU memiliki
sejarah panjang dalam perjuangan untuk mempertahankan dan
memperjuangkan nilai-nilai Islam di Indonesia. Organisasi ini memiliki jutaan
anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dan berperan penting dalam
kehidupan sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia. NU juga memiliki
lembaga-lembaga pendidikan dan sosial yang berperan dalam memajukan
masyarakat Indonesia.
Latar belakang terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU) terkait dengan
kondisi sejarah dan keagamaan Indonesia pada awal abad ke-20. Pada periode
pasca-Perang Dunia I, Indonesia masih di bawah penjajahan Belanda. NU
muncul sebagai respons terhadap perubahan pemikiran Islam global, terutama
gerakan Wahabi di Arab Saudi, yang memicu kebutuhan ulama Indonesia,
seperti K.H. Hasyim Asy‟ari, untuk merumuskan kembali ajaran Islam yang
sesuai dengan konteks lokal.
Dalam konteks tersebut, NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926,
menunjukkan kesadaran ulama akan pentingnya bersatu dan berkonsolidasi.
Organisasi ini diperkuat oleh semangat kebangkitan dan peran ulama sebagai
pemimpin spiritual umat. NU juga berusaha mempertahankan tradisi Islam
lokal dengan menekankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, madzhab Syafi‟i,
dan warisan kepesantrenan. Ini mencerminkan tantangan terhadap nilai-nilai
tradisional di tengah arus modernitas, sambil mempertahankan identitas
keislaman yang kokoh. NU, sejak berdiri, telah berkomitmen untuk

1
memelihara dan menyebarkan ajaran Islam yang dianggap sesuai dengan
nilai-nilai keagamaan dan budaya Indonesia.
Selanjutnya pembaharuan Islam kontemporer di Indonesia mencakup
sejarah panjang yang bermula dari pengaruh ulama-ulama Melayu pada abad
ke-17 hingga perkembangan gerakan modern Islam pada abad ke-20. Proses
ini terjadi melalui beberapa tahap, termasuk pembaruan pendidikan dan
gerakan politik. Dengan beragam tokoh dan organisasi seperti
Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Sarekat Islam, Indonesia mengalami
transformasi signifikan dalam wacana pemikiran Islamnya. Pemikiran ini
diwarnai oleh respons terhadap modernisasi, kolonialisme, dan perubahan
sosial, menciptakan kerangka pembaharuan Islam kontemporer di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Itu Nahdlatul Ulama, sejarah, tokoh dan pemikiran pemikirannya?
2. Bagaimana pembaharuan Islam kontemporer di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Nahdlatul Ulama, sejarah, tokoh dan pemikiran
pemikirannya.
2. Untuk mengetahui Bagaimana pembaharuan Islam kontemporer di
Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nahdlatul Ulama
1. Pengertian Nahdlatul Ulama
Nahdlatul ulama berasal dari bahasa Arab yang ditulis sebagai ُ‫ضة‬
َ ‫نَ ْه‬
ْ Nahdatul sendiri berarti 'bangkit' atau 'bergerak', sedangkan ulama
‫العُلَ َما ْء‬.
bermakna ulama atau pemuka agama. Nahdlatul Ulama memiliki arti
kebangkitan para ulama. Istilah “kebangkitan” itu sendiri pada dasarnya
mengandung arti yang lebih aktif jika dibandingkan dengan kata
“perkumpulan” atau “perhimpunan”. Seperti kita ketahui, para ulama
merupakan panutan umat dimana umat akan mengikutinya. Oleh karena
itu, dengan kepemimpinan para ulama, diharapkan arah kebangkitan dan
kejayaan umat islam serta kaum muslimin akan lebih terlihat jelas dan
nyata.
2. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh para
ulama pada tanggal 31 Januari 1926 / 16 Rajab 1344 H2 di kampung
Kertopaten Surabaya. Untuk memahami NU sebagai organisasi
keagamaan secara tepat, belumlah cukup jika hanya melihat dari sudut
formal semenjak ia lahir. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk
jam‟iyyah, ia terlebih dulu ada dan berwujud jama‟ah (community) yang
terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik
sendiri.1
NU didirikan sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran
keagamaan dan politik dunia Islam pada awal abad ke-20. Latar
belakangnya terkait erat dengan arus pembaharuan di Arab Saudi pada

1
Fahrudin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama, (Jakarta Pustaka Alvabet 2009).50-

3
tahun 1924, di mana Raja Hijaz, Syarif Husein, yang berpaham Sunni,
ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud yang menganut aliran Wahabi. Pada
tahun yang sama, K.H. Wahab Chasbullah di Indonesia mengajukan
gagasan kepada K.H. Hasyim Asyari untuk mendirikan NU sebagai
respons terhadap perubahan tersebut. Meskipun baru mendapat izin pada
tahun 1926, NU akhirnya didirikan setelah dua tahun dengan
mengumpulkan para ulama.2
Berdirinya Nahdlatul Ulama tidak terlepas dengan upaya
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini
bersumber dari Al-qur‟an, Sunnah, Ijma‟(keputusan-keputusan para
ulama‟sebelumnya) dan Qiyas (kasus-kasus yang ada dalam cerita
alQur‟an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H. Mustofa
Bisri ada tiga substansi, yaitu:
1) Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam menganut salah satu ajaran
dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟I, dan Hanbali), yang
dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi‟i.
2) Dalam soal tauhid (ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-
Asy‟ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidzi.
3) Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim
AlJunaidi. Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif.
Pemikiran Sunni dalam bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih
salah satu pendapat yang benar.3
Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka
dalam masalh Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih
pendapat Qodariyah, sedangkan dalam masalah pelaku dosa besar memilih
pendapat Murji‟ah yang menyatakan bahwa sang pelaku menjadi kufur,

2
Sutarmo, Gerakan Sosial Keagamaan Modernis, (Yogyakarta: Suaka Alva 2005).100,
3
Lathiful Khuluk, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: Lkis
Printing Cemerlang).56,

4
hanya imannya yang masih (fasiq). Pemikiran yang dikembangkan oleh
Hasan Al-Basri inilah yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai
pemikiran Ahlus sunnah waljama‟ah.
3. Tokoh Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama
1) KH Hasyim Asy'ari
KH Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Gedang,
Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra ketiga dari pasangan Kiai
Asy'ari dan Nyai Halimah. Setelah mengenyam pendidikan di Jawa
dan Mekkah, ia kemudian mendirikan NU bersama beberapa tokoh
Islam lainnya di Jawa Timur. Selain menjadi salah satu tokoh pendiri
NU, KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan
Indonesia. Perjuangannya melawan penjajahan terhadap Indonesia
juga ia aplikasikan dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di
Jombang. Tebuireng dianggapnya sebagai simbol perlawanan atas
modernisasi dan industrialisasi penjajah yang memeras sumber daya
rakyat. Bahkan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa haram bagi
rakyat Indonesia saat itu yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda.
2) KH Abdul Wahab Hasbullah
Selain KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahab Hasbullah juga
berperan dalam mendirikan organisasi Islam NU. Bahkan KH Abdul
Wahab Hasbullah mendirikan media massa atau surat kabar "Soeara
Nahdlatul Oelama" dan "Berita Nahdlatul Ulama". KH Abdul Wahab
Hasbullah lahir di Jombang pada 31 Maret 1888 dan tumbuh menjadi
seorang ulama yang memiliki pandangan modern. Ia adalah ulama
yang memelopori kebebasan berpikir untuk kalangan umat Islam di
Indonesia. Pemikiran itu ia tuangkan dengan mendirikan kelompok
diskusi bernama Tashwirul Afkar di Surabaya pada 1941. Seiring
berjalannya waktu, kelompok diskusi ini berkembang dan sangat

5
populer di kalangan pemuda dan bahkan menjadi ajang komunikasi
dan tukar informasi antartokoh nasional.
3) Bisri Syansuri
KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada 18
September 1886 dari pasangan Syansuri dan Mariah. KH Bisri
Syansuri merupakan tokoh pergerakan yang bersama KH Abdul
Wahab Hasbullah mendirikan kelompok diskusi Taswirul Afkar di
Surabaya. Selain itu, ia juga berperan aktif dalam musyawarah hukum
islam yang sering berlangsung di lingkungan pondok pesantren hingga
akhirnya membentuk NU. Di dalam NU, KH Bisri Syansuri berupaya
mengembangkan rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan
yang dirintisnya di berbagai tempat.4
4. Pemikiran Nahdlatul Ulama.
1) Pemikiran Sosial Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis)
dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu
Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fiqih mengikuti satu mazhab, yaitu mazhab
Syafi'i. Meskipun mengakui tiga madzhab yang lain: Hanafi, Maliki,
Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4
di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara
tasawuf dengan syariat.

4
Siti Nur Aidah. Biografi Para Kiai Pendiri Nahdlatul Ulama. Yogyakarta: Penerbit KBM Indonesia
(2020).

6
Gagasan kembali ke khitah pada tahun 1984, merupakan
momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah
wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam
bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU
dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan
gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Jadi selain mengutamakan dasar paham keagamaannya dari Al-
Quran dan Sunnah NU juga mengembangkan pemikiran-pemkiran
terdahulu yang telah disebutkan di atas. Menurut Ahmad Zahro, NU
mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam, yaitu
Al-Quran, as-Sunnah, al-ijma’ dan al-qiyas.5
Berbeda dengan organisasi-organisasi tradisionalos yang lain,
NU tidak hanya mengaku sebagai penganut paham Ahlussunnah Wal-
Jama‟ah, tetapi juga mengembangkannya secara lebih komprehensif.
Menurut ulama-ulama NU, Aswaja adalah corak keberagaman umat
Islam, baik pemahaman maupun praktik, yang didasarkan atas
tradisionalisme mazhabiyah. Ia merupakan sistem ajaran Islam yang
dijajarkan dan dipraktikan Nabi dan para Sahabatnya. Untuk merinci
lebih jelas rumusan Aswaja, ulama NU menempatkan kalam sebagai
sistem kepercayaan, fikih sebagai norma yang mengatur kehidupan,
serta tasawuf sebagai tuntunan dalam membina akhlak dan
mencerahkan rohani, bukan sebagai ajaran yang terpisah satu sama
lain, melainkan sebagai tiga aspek yang menyatu sebagai ajaran Islam.
Ulama NU telah merumuskan paham Aswaja tersebut secara lebih
konkret untuk menjadi pegangan organisasi dan warga nahdliyin,
yakni dalam I‟tiqad menganut teologi Al-Asy‟ari dan Al-Maturidi,
dalam fiqh mengikuti salah satu dari empat imam mazhab: Abu
5
Ahmad Zahro, Tradisi Inteltual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999, Yogyakarta: LKiS, 2004,
hlm. 19.

7
Hanafi, Maliki ibnu Anas, Muhammad Idris asy-Syafi‟I, dan Ahmad
ibnu Hanbal, sedangkan dalam tasawuf mengikuti ajaran Junaidi al-
Baghdadi dan Abu Hamid al-Ghazali.6
Dalam perkembangan NU, munculnya gairah baru
intelektualisme NU tidak lepas dan keputusan NU meninggalkan
hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke
khittah 1926 pada tahun 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elit
NU tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga
mempunyai waktu lebih banyak untuk memerintahkan masalah
pendidikan. Setelah itu, terpilihnya kiyai Achmad Siddiq sebagai Rais
„Aam Syuriyah dan Abdurahman Wahid sebagai ketua umum
Tanfiziyah PB NU pada muktamar di Situbondo tahun 1984
mempunyai pengaruh signifikan perkembangan pemikiran Islam di
NU mempunyai makna yang strategis untuk terus menjadikan NU
sebagai eksemplar gerakan intelektual, bukan semata-mata sebagai
gerakan politik.7
Tujuan NU sendiri terhadap paham keagamaannya adalah
berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlusunnah wal-
Jama’ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan
demi kemaslahatan, kesejahtraan umat dan demi tercapainya rahmat
bagi semesta. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, NU melaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut:
a) Di bidang agama, mengupayakan terlaksananya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlusunnah wal-Jama’ah.

6
Djohan Effendi, Pembauran Tanpa Membongkar Tradisi, Wacana Keagamaan di Kalangan
Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur, Jakarta; PT Kompas Media Nusantara, 2010, hlm.
103-104.
7
Ahmad Asep Hidayat dkk, Studi Islam di Asia Tenggara, Bandunga: Pustaka Setia, 2014, hlm. 251.

8
b) Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
mengupayakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesaui dengan
ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang
bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta
berguna bagi agama, bangsa dan negara.
c) Di bidang sosial, mengupayakan dan mendorong pemberdayaan di
bidang kesehatan, kemaslahatan dan ketahanan keluarga, dan
pendampingan mayarakat yang tersinggirkan (mutsadl’afin).
d) Di bidang ekonomi, mengupayakan peningkatan pendapatan
masyarakat dan lapangan kerja atau usaha untuk kemakmuran
yang merata.
e) Mengembangkan usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan
pihak dalam dan luar negeri yang bermanfaat bagi masyarakat
banyak guna terwujudnya Khairah Ummah.
NU memiliki cita-cita untuk mewujudkan hubungan antar
bangsa yang adil, damai, dan manusiawi dengan saling pengertian
dan ketergantungan. Untuk mencapai tujuan ini, NU bertekad
mengembangkan ukuwah Islamiyah, ukuwah Wathoniyah, dan
ukuwah Insaniyah yang mengejar kepentingan nasional dan
internasional. Prinsip-prinsip yang dipegang teguh meliputi al-
ikhlas (ketulusan), al-„adalah (keadilan), at-tawassuth (moderasi),
at-tawazun (keseimbangan), dan at-tasamuh (toleransi), sesuai
dengan semangat dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Qanun Asasi. Dalam mengaplikasikan pemahaman keagamaannya,
NU memiliki tujuan khusus untuk menjadi tolak ukur dalam
pemahaman agama bagi kader-kadernya dan masyarakat umum,
menjadikan NU sebagai organisasi tradisional yang mengutamakan
kemaslahatan umat.

9
2) Pemikiran Sosial Politik
Perkembangan politik Nahdlatul Ulama (NU), yang awalnya
terlibat dalam politik kenegaraan pasca-Kemerdekaan Indonesia. NU,
sebagai organisasi sosial dan politik keagamaan, menghadapi
persinggungan dengan politik kekuasaan. Meskipun awalnya
mendukung pembentukan Masyumi, NU menghadapi konflik internal
dan kekecewaan politik. Pada Pemilu 1955, NU berhasil membuktikan
diri sebagai kekuatan politik yang signifikan, tetapi kemudian terlibat
dalam politik pragmatis yang mengakibatkan pergeseran dari khittah
awalnya.
Pada tahun 1973, NU bergabung dengan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) di bawah tekanan Orde Baru. Setelah Muktamar
NU di Situbondo, NU menyatakan kembali ke khittah 1926, menolak
berpolitik praktis. Namun, setelah reformasi 1998, muncul partai-
partai yang mengatasnamakan NU, termasuk Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). PKB memperoleh kursi di DPR dan membawa
Abdurahman Wahid menjadi Presiden RI pada tahun 1999.
Selanjutnya, NU terus memasuki ranah politik, menjadi partai
politik dan mengikuti pemilu 2004 dengan PKB memperoleh 52 kursi
DPR. Greg Fealy menyoroti tujuan politik NU sebagai penyaluran
dana pemerintah, peluang bisnis, dan menduduki jabatan birokrasi.
Meskipun terlibat dalam politik, NU juga mempertahankan orientasi
keagamaannya dan terus mengedepankan prinsip-prinsip seperti
ketulusan, keadilan, moderasi, keseimbangan, dan toleransi.
B. Pembaharuan Islam Kontemporer di Indonesia
Islam kontemporer di Indonesia adalah adaptasi agama dengan Zaman
modern. Pembaharuan islam kontemporer di Indonesia sesungguhnya tidak
terlepas dari perkembangan islam kontemporer di dunia Islam umumnya. Hal
ini di sebabkan karena para intelektual muslim indonesia banyak belajar di

10
negara-negara Islam modern dan di negara-negara Barat. Oleh karena itu
pembaharuan islam kontemporer di Indonesia yang dilakukan oleh kaum
intelektual muslimnya sedikit terjadi kolaborasi pemikiran antara pemikiran
Islam kontemporer yang berasal dari jazirah Arab dan pemikiran islam
kontemporer yang dikembangkan oleh para Islamog yang ada di universitas-
universitas Barat.
1) Pembaruan Islam di Indonesia Abad Ke 18-19
Pada abad ke-17, perkembangan Islam di Nusantara sangat
terpengaruh oleh tiga orang ulama Melayu Indonesia yaitu; Al-Raniri, Al-
Sinkili dan Al-Maqassari yang berpatok kepada keselarasan antara syariat
dan tasawuf. Usaha-usaha pembaruan mereka disebut sebagai pembaruan
(tajdid), kembali kepada ortodoksi sunni dan semakin intensifnya
Islamisasi di Nusantara. Tapi di pihak lain, Hamka dan Federspiel
menyatakan bahwa pembaruan di Nusantara dengan kebangkitan Gerakan
Paderi di Sumatera Barat pada ermulaan abad ke-19.8
Bahkan Deliar Noer menyebutkan abad ke-20 sebagai awal pembaruan
Islam di Indonesia dengan berargumen bahwa sebelum abad ke-20 Islam
di Indonesia di dominasi oleh tasawuf, cangkokan mistisisme Islam
dengan kepercayan Hindu Budha yang sudah terlebih dahulu ada. 9 Deliar
Noer juga menyebut abad ke-18 sudah ada pengaruh-pengaruh dari Arab
tapi lebih kepada pengaruh dalam pengertian politik, pan-Islamisme.
Sebagai kelanjutan dari Al-Raniri, Al-Sinkili dan Al Maqassari, pada
abad ke-18, Azra menyebutkan beberapa wilayah penting seperti;
Palembang di Sumatera Selatan: Syihab Al-Din bin Abdlah Muhammad,
Kemas Fakhr Al-Din, Abd Al-Shamad AlPalimbani, Kemas Muhammad
bin Ahmad dan Muhammad Muhyi Al-Din bin Syihab Al-Din; di

8
Hamka, Riwayat Hidup dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera (Djakarta; Djayamurni, 1963), h.
26.
9
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942 (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 7 - 36.

11
Kalimantan Selatan: Muhammad Arsyad Al-Banjari, Muhammad Nafis
Al-Banjari; dari Sulawesi: Abd Al-Wahab Al-Bugisi; dari Batavia: Abd
Al-Rahman Al-Mashri AlBatatawi; dan dari Patani Thailand Selatan: Abd
Allah Al-Fatani. Meskipun sebagian informasi dari sebagian mereka ini
sangat minim, akan tetapi karir dan ajaran mereka ini terlibat baik secara
sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama yang berperan penting di
Nusantara abad ke-18.10 Apalagi mereka dihadapkan dengan kekuasaan
kolonial memberikan sumbangan peningkatkan kepedulian terhadap masa
depan Islam di Nusantara.11
2) Pembaruan Islam Di Indonesia Abad Ke-20
Berbeda dengan masa sebelumnya pola pembaruan yang berpusat pada
tokoh sentral dengan kekuatan jaringannya, pada awal abad ke-20 ini
terjadi pergeseran pola pergerakan dalam pembaruan. Merujuk Deliar
Noer, pembaruan di awal abad 20 dapat dilihat dalam dua bentuk yang
disebutnya sebagai; Pertama, Asal-usul dan pertumbuhan gerakan Modern
Islam dalam bentuk gerakan pendidikan Islam. Kedua, Asal-usul dan
pertumbuhan gerakan modern Islam dalam bentuk gerakan politik.
1. Gerakan modern Islam dalam bidang pendidikan
Beberapa titik yang menjadi awal bagi pembaruan pendidikan
Islam di abad ke 20 adalah:
a. Wilayah Sumatera Bagian Barat (Minangkabau)
Pada abad ke-20, Syaikh Ahmad Khatib, seorang Imam
Mazhab Syafi‟i dari Minangkabau, memainkan peran utama dalam
menyebarkan pemikirannya yang dipelajari oleh jemaah haji dari
Mekkah. Murid-muridnya, seperti Syaikh Muhammad Tahir
Jalaluddin dan Haji Abdul Karim Amrullah, memainkan peran

10
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII,
Akar Pembaruan Islam Indonesia, h. 302 – 304.
11
Ibid., h. 335-336.

12
kunci dalam pembaruan Minangkabau. Syaikh Taher Djalaluddin,
melalui majalah Al-Imam di Singapura, menggagas ide kemajuan
umat Islam dengan mengutip pemikiran Muhammad Abduh.
Sementara Syaikh Muhammad Djamil Djambek, ahli falak dan
pendiri Surau Inyik Djambek, berkontribusi pada pembaruan
dengan mendirikan organisasi sosial Tsamaratul Ikhwan. Haji
Abdul Karim Amrullah, yang memperkenalkan Muhammadiyah di
Minangkabau, mendirikan Sumatra Thawalib dan partai politik
Persatuan Muslimin Indonesia. Meskipun diasingkan oleh Belanda
pada tahun 1941, pergerakan pembaruan di Minangkabau terus
berkembang melalui tokoh seperti Haji Abdullah Ahmad, Syaikh
Ibrahim Musa, dan Jainuddin Labai El Yunusi, serta lembaga
seperti Majallah Al-Manar, Sekolah Adabiah, dan Sumatera
Thawalib.
b. Masyarakat Arab
Kedatangan orang Arab ke Nusantara telah terjadi sebelum orang
Eropa dan China. Mereka terlibat dalam perdagangan, menikahi
wanita setempat, dan mempertahankan hubungan sosial budaya
yang intens. Meskipun mempertahankan minat terhadap daerah
asal, keturunan Arab di Nusantara, terutama yang progresif,
membentuk organisasi seperti Jamiat Khair pada tahun 1905.
Organisasi ini fokus pada pendidikan dasar menggunakan Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris, serta mengirim anak-anak muda ke
Turki untuk pendidikan lanjutan. Meski berhasil meluas,
perpecahan antara golongan sayyid dan non-sayyid muncul,
melahirkan organisasi baru seperti Al-Irsyad. Dalam
perkembangannya, Al-Irsyad lebih berkembang dibandingkan
dengan Jamiat Khair, bekerjasama dengan Muhammadiyah dan

13
Persatuan Islam untuk memperluas pengaruhnya dalam masalah
pendidikan dan Islam.
c. Muhammadiyah
Muhammadiyah, didirikan oleh K. H. A. Dahlan pada 18
November 1912 di Yogyakarta, merupakan respons terhadap
gagasan Islam transnasional dan keprihatinan terhadap
kolonialisme serta seruan untuk kemajuan dalam bidang
keagamaan, pendidikan, dan politik. Dipengaruhi oleh pembaruan
di dunia Islam, K. H. A. Dahlan dan murid-muridnya membentuk
Muhammadiyah sebagai wadah ide-ide dalam pendidikan dan
masalah umat Islam. Lokalnya, Muhammadiyah muncul sebagai
jawaban terhadap ketidakpuasan dalam umat Islam yang
menghadapi campuran ajaran, ketertinggalan pendidikan, dan
upaya kristenisasi dari luar. Organisasi ini, fokus pada kemajuan
pendidikan, menggabungkan aspek agama dan umum dengan
model pendidikan Belanda. Muhammadiyah juga aktif dalam
memfasilitasi kesejahteraan masyarakat melalui lembaga Penolong
Kesejahteraan Ummat, yang berkembang menjadi Panti Asuhan
Muhammadiyah, Poliklinik, dan Rumah Sakit Muhammadiyah.
Dalam waktu singkat, Muhammadiyah tumbuh pesat tidak hanya
di Jawa, tetapi juga menyebar ke sebagian besar Indonesia.
d. Persatuan Islam
Organisasi ini berawal dari pertemuan berkala di rumah seorang
anggota kelompok asal Sumatera di Bandung, namun seiring
waktu, anggota kelompok ini berkembang lebih luas. Haji Zamzam
dan Haji Muhammad Yunus aktif menyampaikan pemikiran
keagamaan dalam pertemuan tersebut, membahas masalah aktual
termasuk yang diulas dalam majalah Al-Manar dan isu komunis
yang meresap dalam Syarikat Islam. Meskipun Persis tidak terlalu

14
tertarik membuka cabang di tempat lain, organisasi ini fokus
menyebarkan ide-ide melalui pertemuan umum, tabligh, kelompok
studi, pendirian sekolah, serta distribusi pamflet, majalah, dan
kitab-kitab. Terbitan dari Persis digunakan di sekolah-sekolah Al-
Irsyad dan Muhammadiyah. Dengan dukungan kuat dari tokoh A.
Hassan dan didukung oleh tokoh muda seperti Muhammad Natsir,
yang dianggap sebagai juru bicara Persis, organisasi ini menjadi
salah satu tokoh utama dalam gerakan Persis.
2. Gerakan modern Islam dalam bidang politik
Gerakan politik Islam pertama di Indonesia dimulai dengan
Sarekat Islam, yang awalnya terbentuk sebagai Serikat Dagang Islam
oleh pedagang Solo yang terpinggirkan..12 Pada 11 November 1911, di
bawah kepemimpinan Raden Mas Adi Tirtoadisurjo, organisasi ini
mengalami transformasi menjadi Serikat Islam dengan anggaran dasar
dan hubungan pusat-daerah. Meskipun diakui di berbagai daerah, di
Jawa, Residen Surakarta sempat membekukan Sarekat Islam atas
keterlibatannya dalam pemogokan dan konflik dengan kelompok Cina.
Omar Said Tjokroaminoto kemudian bergabung dan mencoba
membuat anggaran dasar nasional, yang ditolak Belanda. Sarekat
Islam berjuang untuk perbaikan kondisi buruh, keadilan, dan melawan
sewenang-wenang. Meski berhasil memperjuangkan hak-hak
masyarakat, organisasi ini melemah akibat perselisihan internal terkait
infiltrasi faham komunis. Selain itu, di luar Jawa, terdapat Partai
Muslimin Indonesia (PMI) di Minangkabau, berfokus pada
kebangsaan dan keagamaan, didirikan oleh Haji Ilyas Yaqub dan
Muchtar Lutfi. PMI memperkuat basisnya, mendirikan Islamic
Collage, Gerakan Kepanduan, Al-Hilal, dan aktif di bidang

12
Serikat Dagang Islam didirikan oleh para pedagang Solo yang terdiri dari K. H. Samanhoeddhi, M.
Asmodimedjo, M. Kertotaruno, M. Somowardojo, M. Haji Abdulradjak pada tanggal 16 Oktober 1905.

15
ekonomi.Perpecahan di Sarekat Islam menghasilkan Persatuan Islam
Indonesia (PII), berkolaborasi dengan Partai Serikat Islam Indonesia
(PSII), melahirkan Partai Islam Indonesia (PII) yang mengalami
pasang surut seiring waktu.
3. Pembaruan Islam Indonesia Setelah Kemerdekaan
Pembaruan Islam pasca-Kemerdekaan dimulai dengan peralihan
pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1960-an. Pilihan
modernisasi Orde Baru, yang cenderung ke arah Barat, membawa suasana
baru dalam masyarakat. Intelektual Indonesia pada awal dekade ini
mengadopsi teori modernisasi Barat, sementara kalangan Islam
dihadapkan pada dilema antara mendukung pemerintahan baru atau
menolak dengan risiko kehilangan kesempatan berpartisipasi.13
Dalam menghadapi modernisasi, Dawam Raharjo mengkategorikan
cendekiawan Islam ke dalam tiga pola. Pertama, kelompok apologi yang
awalnya bersifat pembelaan, namun kemudian berusaha menyesuaikan
diri dan beradaptasi dengan proses modernisasi. Kedua, kelompok yang
melakukan apologi terhadap ajaran Islam, menolak modernisasi karena
dianggap sebagai upaya westernisasi dan sekularisasi. Ketiga, kelompok
dengan pola tanggapan kreatif yang mengambil jalur dialogis dan
menggunakan pendekatan intelektual dalam menghadapi modernisasi.14
Fokus pembicaraan kita tertuju pada pola ketiga sebagai respons
intelektual yang lebih ilmiah dan sistematis terhadap masalah modernisasi.
Deliar Noer menilai modernisasi bukanlah persoalan teologis, melainkan
sesuai dengan esensi ajaran Islam tentang kemasyarakatan. Menyatakan
bahwa ajaran Islam selalu modern, Deliar Noer berpendapat bahwa
masyarakat muslim harus merealisasikan konsep modernitas. Untuk
13
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan
Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 6.
14
M. Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia, dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan
Muslim (Jakarta: Mizan, 1993), h. 381 – 382.

16
merespons modernisasi secara kreatif, ia menekankan pentingnya
mengatasi masalah internal umat, termasuk taklid buta pada tradisi abad
pertengahan, praktik sufi yang ekstensif, pandangan legalistik eksklusif,
dan keterlibatan berlebihan dalam pergumulan politik. Nurcholis Madjid,
sebagai tokoh muda pada tahun 60-an, melihat modernisasi sebagai
identik dengan rasionalisasi yang perlu merombak pola pikir dan tata kerja
lama yang tidak rasional, dengan tujuan mencapai efisiensi dan
kebahagiaan umat manusia. Meskipun mendukung modernisasi yang
sesuai dengan fitrah dan sunnatullah, Nurcholis Madjid menolak jika
modernisasi diartikan sebagai westernisasi.15

15
Lihat M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta; Paramadina, 1995), h. 42 - 47

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan Islam yang didirikan


pada tahun 1926 sebagai respons terhadap perkembangan pemikiran keagamaan
dan politik dunia Islam pada awal abad ke-20. NU memiliki akar dalam ajaran
Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menganut madzhab Syafi‟i dalam fiqih. Tokoh
pendiri NU, seperti KH Hasyim Asy‟ari, KH Abdul Wahab Hasbullah, dan Bisri
Syansuri, memainkan peran penting dalam membentuk organisasi ini.

Pemikiran NU mencakup aspek sosial keagamaan, mengambil jalan tengah


antara ekstrim aqli dan naqli, serta menggabungkan pemikiran Sunni dalam
bidang teologi, tauhid, dan tasawuf. Gerakan NU mengalami evolusi pemikiran
dan mencapai momentum penting pada tahun 1984 dengan keputusan kembali ke
khittah 1926, fokus pada pendidikan, dan meninggalkan urusan politik praktis.

Tujuan NU adalah mewujudkan ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk
menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan kesejahteraan umat. NU juga
memiliki cita-cita untuk membangun hubungan antar bangsa yang adil, damai,
dan manusiawi.

Sejarah pembaruan Islam kontemporer di Indonesia melibatkan adaptasi


agama dengan zaman modern. Pembaruan pada abad ke-18 dan 19 dipengaruhi
oleh ulama Melayu dan gerakan Paderi di Sumatera Barat. Pada abad ke-20,
pembaruan terjadi dalam bidang pendidikan dan politik. Gerakan modern Islam
seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam memainkan peran penting dalam
transformasi sosial dan pendidikan.

Pembaruan Islam di Indonesia pasca-kemerdekaan melibatkan peralihan ke


Orde Baru pada tahun 1960-an. Intelektual muslim menghadapi dilema antara
mendukung pemerintahan baru atau menolaknya. Respon terhadap modernisasi
mencakup kelompok apologi, kelompok yang menolak modernisasi, dan
kelompok dengan respons kreatif yang menghadapi masalah modernisasi secara
ilmiah. Dengan demikian, pemahaman tentang sejarah dan pemikiran Nahdlatul
Ulama serta pembaruan Islam di Indonesia mencerminkan dinamika kompleks
dalam merespon perkembangan zaman dan perubahan sosial.

18
B. Saran

Semoga dengan selesainya penulisan makalah ini. Kami berharap agar para
pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami tentang “Nahdatul Ulama dan
Pembaharuan Islam Kontemporer di Indonesia”. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kepada Bapak dosen dan seluruh pembaca agar dapat memberikan kritik dan
sarannya untuk menyempurnakan makalah ini.

19
DAFTAR ISI

Aidah, Siti Nur. (2020). Biografi Para Kiai Pendiri Nahdlatul Ulama. Yogyakarta:
Penerbit KBM Indonesia.
Fahrudin, Fuad. (2009) Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, Jakarta: Pustaka Alvabet.
Anwar, M. Syafii (1995) Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 6.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, Akar Pembaruan Islam Indonesia, hlm. 302 – 304.
Effendi, Djohan. (2010) Pembauran Tanpa Membongkar Tradisi, Wacana
Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus
Dur, Jakarta; PT Kompas Media Nusantara, hlm. 103-104.
Hamka. (1963) Riwayat Hidup dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Djakarta;
Djayamurni, hlm. 26.
Hidayat, Ahmad Asep dkk.(2014) Studi Islam di Asia Tenggara, Bandung: Pustaka
Setia, hlm. 251.
Khulu, Lathiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy‟ari,
Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang, hlm.5.
Noer, Deliar. (1996) Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta:
LP3ES, hlm. 7 - 36.
Raharjo, M. Dawam. (1993) Intelektual, Intelegensia, dan Prilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendikiawan Muslim, Jakarta: Mizan, hlm. 381 – 382.
Sutarmo. (2005) Gerakan Sosial Keagamaan Modernis, Yogyakarta: Suaka Alva,
hlm. 100.
Zahro, Ahmad. (2004) Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa‟il 1926-1999,
Yogyakarta: LKiS, hlm. 19.

20

Anda mungkin juga menyukai