Anda di halaman 1dari 10

PENDEKATAN DAKWAH NU

Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas kelompok Mata Kuliah Teori dan Perbandingan Dakwah

Dosen Pengampu : Drs. Uwoh Saepuloh, M.Ag.

Di susun oleh :

Hida Tazkiatul Muktafa (1144030034)

Dwi Ambarwati (1144030023)

Imron Khoirudin (1144030038)


Jurusan Manajemen Dakwah

Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

2015 M / 1437 H

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dari sudut bahasa kata dakwah berasal dari bahasa Arab ( ً‫ دعوة‬-‫يدعو‬-‫ ) دعا‬yang berarti menyeru,
meminta, menuntun, mengiring atau memanggul, mengajak orang lain supaya mengikuti, bergabung,
memahami untuk memiliki suatu tindakan dan tujuan yang sama sesuai dengan harapan oleh
penyerunya.

Sedangkan dakwah menurut istilah, ada beberapa pengertian, diantaranya dakwah dimaksudkan seruan
untuk beriman kepada Allah, beriman kepada apa-apar yang dibawa oleh para rosul-Nya, menyeru
untuk mempercayai apa yang diberitakan oleh para rosul serta mentaati apa-apa yang diperintahkan
mereka, hal itu mencakup seruan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat, melaksanakan shalat,
zakat, puasa bulan ramadhan dan haji. Singkatnya menurut Abdul Karim Zaidan, dakwah adalah
menyeru kepada agama Allah yakni agama Islam.

Menurut Muhammad al-Rawi; dakwah merupakan pedoman yang lengkap tentang perilaku manusia
serta ketentuan hak dan kewajiban. Menurut Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuniy menyampaikan
Islam kepada umat menusia, mengajarkan dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata.

Adapun tujuan dakwah dalam pengertian ini ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di
dunia dan di akhirat yang diridhai oleh Allah yakni dengan menyampaikan nilai-nilai yang dapat
mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan yang diridhai oleh Allah SWT sesuai dengan segi atau
bidangnya masing-masing.

Gerakan pembaharuan merupakan suatu perkumpulan terstruktur yang mempunyai misi sebagai
pembenahan pemahaman, kepercayaan ataupun agama untuk menjadikan ke depan lebih baik. Gerakan
tersebut sangat berarti eksistensinya, terutama dalam memperjuangkan dan menyempurnakan agama.
Agama islam misalnya, membutuhkan gerakan tersebut tidak lain supaya keberadaannya tetap ada dan
tidak terhapus dari alam (hilang / musnah).
Gerakan ini tidak mungkin seluruh dunia ini sama dan selaras pemahamannya. Hal ini dikarenakan cara
pandang individu atau kelompok yang sangat majemuk dan kompleks dalam memahami sesuatu.
Perkembangan dan keadaan zaman membuat dua pedoman hidup dinul islam, Al-Qur’an dan Hadits
mengalami perubahan dalam menafsirkannya. Dikarenakan timbul penafsiran yang berbeda-beda
sehingga memunculkan beberapa para penafsir yang sangat kompleks. Kemajemukan pemahaman ini
yang kemudian para penafsir itu menyebarluaskan argumennya kepada masyarakat yang semakin lama
semakin besar dan membentuk suatu komunitas yang disebut gerakan pembaharu.

Di indonesia, gerakan pembaharu bermacam-macam. Namun yang paling termasyhur dan terkenal
hanya ada dua: NU dan Muhammadiyah. Antara keduanya memiliki visi, misi, cara pandang dan tujuan
yang berbeda satu sama lain. Walaupun begitu, mereka tidak bertentangan dengan landasan pokok atau
syari’at agama islam. Dengan adanya gerakan pembaharu tersebut, ciri dan kemajemukan Indonesia
akan ke-bhineka tunggal ika-nya sungguh terasa di masyarakat dan menjadi pengoreksian atas tafsiran-
tafsiran agama islam dan menjadikan ke depan lebih baik.[1]

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah singkat berdirinya NU ?

2. Bagaimana paham atau kerangka berfikir NU ?

3. Bagaimana metode pendekatan dakwah NU ?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui sejarah singkat berdirinya NU.

2. Mengetahui kerangka berfikir atau paham yang di anut NU.

3. Mengetahui metode pendekatan dakwah NU.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat NU (Nahdlatul Ulama)

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah
sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 oleh KH
Hasyim Asy’ari dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Tujuan didirikannya NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat
penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul
1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar
ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan
bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kelahiran NU diawali proses yang panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan nasionalisme
yang antara lain ditandai dengan berdirinya SI (sebelumnya bernama SDI) telah mengilhami sejumlah
pemuda pesantren yang bermukim di Mekkah untuk mendirikan cabang perimpunan itu disana. Belum
sempat berkembang mereka segera mudik kembali karena pecah perang dunia. Namun obsesi mereka
masih terus berlanjut setelah mereka menetap kembali di tanah air.[2]

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional
tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul
Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul
Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat
pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah,
kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan
penghancuran warisan peradaban tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam
Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan
bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang
dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala
penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di
Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memper-juangkan kebebasan bermazhab dan
berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Namun peristiwa itu sebenarnya hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan social kultural
yang panjang. Lembaga pendidikan pesantren yang dikembangkan para ulama telah merintis arah
perkembangan social kultural masyarakat dengan visi keagamaan yang kuat. Jika mereka kemudian
membentuk ikatan lembaga social yang lebih formal, tujuan pokoknya, seperti halnya lembaga
pesantren itu, ialah untuk menegakkan kalimah Allah (I’la’I kalimatillah). Visi ini kemudian
dikembangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut dengan jihad fii sabiilillah.[3]

Berbagai komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa
perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi
perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kese-pakatan
untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344
H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut
kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama
membentuk NU ialah motif keagamaan sebagai jihad fii sabiilillah. Aspek kedua yang mendorong mereka
ialah tanggung jawab pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai upaya pelestarian ajaran
mazhab ahlussunnah waljama’ah. Ini tidak berarti statis, tidak berkembang, sebab pengembangan yang
dilakukan justru bertumpu pada akar kesejarahan sehingga pemikiran yang dikembangkan itu memiliki
konteks historis. Aspek ketiga ialah dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan
pendidikan, social dan ekonomi. Ini ditandai dengan pembentukkan Nahdatul Watan, Taswi-rul Afkar,
Nahdatut Tujjar, dan Ta’mirul Masajid. Aspek keempat ialah motif politik yang ditandai semangat
nasionalisme ketika pendiri NU itu mendirikan cabang SI di Mekkah serta obsesi mengenai hari depan
negeri merdeka bagi ummat Islam.[4]

B. Kerangka Berfikir NU

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara
ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU
tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas
empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung mengikuti
mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi, imam Maliki,dan imam
Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan
kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang
fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[5]

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu
anggota, pendukung atau simpatisan dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah
warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmipun yang
bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada upaya serius di tumbuh NU di tingkat apapun
untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari
segi politik, ini bisa dilihat dari jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan
dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai SUNI, dan sebagian dari PPP. Dari segi paham keagamaan
maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham kegamaan NU. Maka dalam
hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yiatu berkisar 48% dari Muslim santri Indonesia.
Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim
santri Indonesia dapat dikatakan pendukung atau pengikut paham keagamaan NU. Sedangkan jumlah
Muslim santri yang disebut sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka yang sama paham
keagamaannya dengan paham kegamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga atau mau
disebut berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan
Sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai profesi beragam yang sebagian besar dari
mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi
karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai
ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia
pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan
industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri.
Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di
perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual
dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.
Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari
ilmu ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para
doktor dan magister ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap
lapisan kepengurusan NU.[6]

Usaha-usaha yang dilakukan organisasi NU antara lain:

1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang
berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.

2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk
membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya
Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di
Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.

4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil


pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya
BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.

5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan
menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi
pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan merahil 45 kursi DPR
dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung
Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI,
terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting
adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB
memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.
Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

C. Metode Pendekatan Dakwah NU

Dalam metodenya NU menggunakan metode yang digunakan Wali Songo dulu. Nahdlatul Ulama
berkomitmen memperkuat pendekatan budaya sebagai salah satu elemen penting dakwah Islam di
Tanah Air. Sebab, dengan budaya lah agama Islam dapat diterima baik oleh penduduk pribumi awal
kedatangan Islam. Kebudayaan Islam lokal saat ini kian terancam oleh beragam budaya dan ideologi baik
yang muncul dari kalangan barat ataupun timur. Akibatnya, upaya memperkenalkan Islam sebagai
agama yang damai dan cinta keindahan justru semakin buram oleh pertarungan budaya tersebut.

NU melakukan berbagai upaya agar akulturasi budaya tersebut tetap menjadi khittah kuat organisasi
yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Salah satunya melalui upaya sosialiasi ke pondok pesantren
yang merupakan basis kaderisasi potensial di kalangan NU. Termasuk pula memberikan penyadaran
kepada warga nahdliyyin akan pentingnya menggunakan budaya dalam berdakwah. “NU concern ke
kaderisasi sebagai gerakan cultural dan NU tidak masuk wilayah politik.

Pendekatan budaya, bisa dilakukan memakai berbagai media mutakhir termasuk melalui film sebagai
media dakwah kebudayaan. Hanya saja, kiprah warga nahdliyin dalam seni budaya dan perfilman diakui
cenderung melemah. Fakta ini bertolak belakang dengan era 70 an. Ketika itu, beragam karya
berkualitas berhasil disumbangkan oleh kalangan nahdliyyin dan Kekuatan cultural itulah perlu
dikuatkan lagi.

Menurut Muhammad Tholhah Hasan dalam bukunya yang berjudul “Ahlussunnah Wal-Jama’ah; dalam
Persepsi dan Tradisi NU” mengemukakan bahwa untuk dapat memahami Ahlussunnah wal Jama’ah
secara utuh, tidak mungkin hanya menggunakan pendekatan doctrinal saja, tetapi sedikitnya
menggunakan tiga macam pendekatan, yaitu :

Pertama : Pendekatan Historis, Ahlussunnah wal Jama’ah ini telah melahirkan konsep dan pandangan
serta doktrin-doktrin yang secara teoritis bersentuhan dengan perjalanan sejarah umat ini sejak zaman
Rasulullah SAW. sampai zaman mutaakhir. Meskipun akar-akarnya tetap terkait kuat dengan aqidah
“Tauhid”, dan prinsip-prinsip keimanan yang abadi, tetapi wujud formulasi konseptualnya bias berbeda.

Kedua : Pendekatan Kultural, muncul dan berkembangnya “Ilmu Kalam” sebagai disiplin keilmuan Islam
yang berkonsentrasi pada masalah-masalah aqidah dengan menggunakan dalil-dalil ‘aqliyah (argument
rasional) tidak lepas dari factor internal Islam maupun factor eksternal (terjadinya akulturasi atau
persentuhan antar budaya), seperti perluasan disiplin keilmuan Islam, ada Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqih, Ilmu
Hadits, Ilmu Nahwu dan lain sebagainya, disamping berkembangnya ilmu-ilmu non-syari’ah, seperti
Filsafat, Kedokteran, Ilmu Alam, Matematika, Kimia, dan lain-lain, yang kesemuanya secara akumulatif
memperluas cakrawala pemikiran umat Islam.

Di tengah-tengah pergumulan pemikiran yang demikian (intelektualitas dan religiusitas), para ulama dan
pemikir Ahlusunnah wal Jama’ah mengambil posisi baru, dari pendekatan Salaf yang mencukupkan diri
dengan dalil-dalil Naqliyah, menjauhi ta’wil dan tafsir ayat-ayat mutasyabihat dengan sikap tafwidl
(penyerahan total) ke pendekatan Kholaf (yang menggunakan dalil-dalil ‘aqliyah disamping dalil-dalil
naqliyah, melakukan penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang lebih mudah dicerna awam dan lebih
menyelamatkan mereka dari jebakan faham tasybih/penyerupaan Tuhan dengan sifat makhluk, dan
mentolelir system ta’wil secara kritis dan hati-hati). Disinilah tokoh-tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah
seperti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi serta para pengikutnya berperan.

Ketiga : Pendekatan Doktrinal, meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok/golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam, dengan Fokus masalah ushuluddin
(fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak bisa lepas dari dimensi ke Islaman
lainnya, seperti dimensi Syari’ah Fiqhiyah atau dimensi Tashawwuf, bahkan masalah budaya, politik dan
social, karena kuatnya jaringan yang tali-temali antara yang fundamental tadi dengan cabang-
rantingnya.[7]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah
sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 oleh KH
Hasyim Asy’ari dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Tujuan didirikannya NU adalah menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di
tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam metodenya NU menggunakan metode yang digunakan Wali Songo dulu. Nahdlatul Ulama
berkomitmen memperkuat pendekatan budaya sebagai salah satu elemen penting dakwah Islam di
Tanah Air. Sebab, dengan budaya lah agama Islam dapat diterima baik oleh penduduk pribumi awal
kedatangan Islam. Kebudayaan Islam lokal saat ini kian terancam oleh beragam budaya dan ideologi baik
yang muncul dari kalangan barat ataupun timur. Akibatnya, upaya memperkenalkan Islam sebagai
agama yang damai dan cinta keindahan justru semakin buram oleh pertarungan budaya tersebut.

NU melakukan berbagai upaya agar akulturasi budaya tersebut tetap menjadi khittah kuat organisasi
yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari itu. Salah satunya melalui upaya sosialiasi ke pondok pesantren
yang merupakan basis kaderisasi potensial di kalangan NU. Termasuk pula memberikan penyadaran
kepada warga nahdliyyin akan pentingnya menggunakan budaya dalam berdakwah. “NU concern ke
kaderisasi sebagai gerakan cultural dan NU tidak masuk wilayah politik.

DAFTAR PUSTAKA

Asj’ari, Hasjim, 1969, Ihya’ ‘Amal al-Fudala’, Kendal: NU Jawa Tengah.

Haidar, M. Ali, 1998, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, Jakarta : PT.Gramedia

Pustaka Utama.

Hasan, Muhammad Tholhah, 2005, Ahlussunnah Wal-Jama’ah; dalam Persepsi dan

Tradisi NU, Jakarta : Lantabora Press.

Kuntowidjoyo, 1985, Dinamika Sejarah Ummat Islam Indonesia, Yogyakarta:

Salahuddin Press.

Lathief, Hasjim, 1979, Nahdlatul Ulama Penegak Panji Ahlussunnah Wal jamaah,

Surabaya : Pengurus NU Wilayah Jawa Timur


[1] Kuntowidjoyo, Dinamika Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1985), hlm
6

[2] M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 1998),
hlm 314

[3] Hasjim Asj’ari, Ihya’ ‘Amal al-Fudala’ (Kendal: NU Jawa Tengah, 1969), hlm 14

[4] M. Ali Haidar., Ibid, hlm 316

[5] M. Ali Haidar,. Ibid, hlm 210

[6] Hasjim Latief, Nahdlatul Ulama Penegak Panji Ahlussunnah Wal jamaah, (Surabaya : Pengurus NU
Wilayah Jawa Timur, 1979) hlm. 78

[7] Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah Wal-Jama’ah; dalam Persepsi dan Tradisi NU, (Jakarta :
Lantabora Press, 2005), hlm xiii-xviii

Anda mungkin juga menyukai