1. LATAR BELAKANG
Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Organisasi ini
merupakan sebuah organisasi masyarakat Islam terbesar ditanah air yang tidak pernah tuntas
untuk diamati dan diteliti. Nahdlatul Ulama adalah sebuah organisasi yang dikontrol oleh
para ulama yang memiliki massa pengikut riil.
Nahdlatul Ulama juga adalah organisasi ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan pondok pesantren, dan dalam mengingat sebagaian besar pendiri dan
pendukung utamanya merupakan para kiai. Dalam perjuangannya, Nahdlatul Ulama banyak
memiliki hal yang dikembangkan dan dilestarikan mulai dari pendidikan, sosial, politik,
ekonomi dan lain-lain1.
Keberadaan organisasi yang didirikan oleh para ulama ini sangatlah diperhitungkan
dalam kancah perpolitikan di wilayah negara Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sejarah
perjalanan panjang yang mengiringi perjalanan bangsa negara Indonesia, menjadikan
organisasi ini mempunyai kekuatan untuk memberikan perubahan bagi perkembangan Islam
di negara Indonesia.
Pemikiran untuk kembali ke Khittah NU yang diucapkan oleh KH. Ahmad Shiddiq
dalam muktamar NU yang ke 27 di Situbondo. Paham atau ajaran yang utama sudah
1
Ahmad Zainuri, Doktrin Kultural Politik Nu, Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam, Vol 18, No
2 (2021),hlm.73
1
berkembang yang disebut dengan Khittah NU 1926. Para Ulama pembangun ini diungkapkan
dan disalurkan kedalam NU, untuk dilestarikan dan diberikan menjadi “trayek” (garis
perjalanan) untuk organisasi itu. Secara garis besar dari Khittah NU merupakan untuk
mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat dalam politik
praktis.2
Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk menciptakan kesadaran dan keimanan
bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya untuk bersedia hidup
bermasyarakat, serta manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya. Sikap
persatuan dan kesatuan, saling membantu, saling menghargai atau ikatan hati merupakan
yang jadi syarat dari belahan munculnya tali persaudaraan (al-ukhuwah) dan saling mengasihi
untuk menjadi pedoman dalam terciptanya tatanan kemasysrakatan yang baik dan sejahtera.
Nahdlatul Ulama merupakan sebagai jam’iyyah diniyah dalam wadah bagi para ulama
dan pengikut-pengikutnya yang didirikan 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M. Organisasi
ini didirikan dengan tujuan untuk melestarikan, memelihara, mengembangkan serta
mengamalkan ajaran Islam yang berpedoman Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut
empat maadzhab, yaitu Abu Hanifah An-Nu’man (Imam Hanafi), Imam Malik bin Anas
(Imam Maliki), Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal (Imam Hambali), serta untuk mempersatukan langkah-langkah para ulama dan
pengikut-pengikutnya untuk melakukan kegiatan yang memiliki tujuan untuk menciptakan
kemaslahatan atau kebaikan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat serta
martabat manusia.3
Nahdlatul Ulama merupakan gerakan keagamaan yang memiliki tujuan untuk ikut
membangun, menjaga dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada
Allah SWT, terampil, cerdas, tentram, berakhlak mulia, adil dan sejahtera. Nahdlatul Ulama
bertujuan untuk mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiyar yang
didasari oleh dasar-dasar dan ajaran-ajaran faham keagamaan yang membentuk sikap serta
kepribadian yang sesuai ajaran agama islam.
2
Akhmad Syaekhu Rakhman, Dinamika Perkembangan Politik Nahdatul Ulama Pasca Khittah,
Heuristik: Jurnal Pendidikan Sejarah. 1 (1) (2021),hlm. 8-17
3
Fitrotun Nikmah, Implementasi Konsep At-Tawasuth Ahlus- Sunnahwal Jama'ah Dalam Membangun
Karakter Anak Di Tingkat Sekolah Dasar (Studi Analisis Khittahnahdlatul Ulama), Jurnal Tarbawi Vol. 15.
No.1 (2018),hlm. 208-2011,
2
Dalam perjalanannya Nahdlatul Ulama melewati serangkaian perjuangan yang tidak
mudah. Nahdlatul Ulama yang awalnya memutuskan sebagai organisasi politik telah kembali
pada organisasi kemasyarakatan untuk membantu segala kebutuhan manusia. Nahdlatul
Ulama inilah yang kemudian disebut sebagai Khittah Nahdlatul Ulama. Maka dari itu,
pembahasan tersebut menarik untuk dibahas dan didiskusikan di dalam kelas.
2. RUMUSAN MASALAH
3. PEMBAHASAN
3
Kelahiran dari khittah NU ini merupakan sebagai nilai-nilai garis serta jalan
perjuangan, selalu ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan
masyarakat NU. keberadaanya jauh sebelum tahun 1984, bahkan sebelum NU berdiri
sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara lisan dan akhlak.
Adapun dilihat dari kata “Khittah NU”, ini juga dapat disamakan dengan kata
“Khittah 26”. Menurut Bahasa Kata “khittah 26” ini merujuk pada arti garis, nilai-
nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU
didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 yaitu sebagai gerakan sosial-
keagamaan.
Kandungan dari khittah NU, merupakan inti ajaran Islam yang diambil dari
Al-Quran, al-Hadits, Ijma' dan dan Qiyas serta dipadukan dari hasil ijtihad para
Mujtahid Mutlhlaq Mustaqil Ulama yang berkembang di Negara Indonesia. Adapun
dari penulis Khittoh Nahdiyyah adalah KH Achmad Shidiq (Tokoh atau ulama
kharismatik yang berasal dari Jember) pada tahun 1979.
Dari pertanyaannnya Al-qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas sudah ada, mengapa
NU masih menggunakan Khittah? Yaitu Al-quran dan hadis merupakan sumber
hukum Islam yang autentik berlaku di seluruh zaman dan tempat, akan tetapi Khittah
NU merupakan rumusan kontret intisari dari al-Qur‟an-al-Hadis lebih spesifik di
bidang aqidah, syariah, akhlaq.
4
Nahdiyyah yaitu tidak identik dengan Negara Islam (Darul Islam) dalam konteks ke-
Indonesiaan, akan tetapi Negara adalah sebuah hukum Negara yang diatur sesuai
dengan nilai-nilai ajaran-ajaran agama islam.
Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut pada faham
Ahlussunnah wal Jama'ah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi
kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.
5
Tokoh NU
I. KH Hasyim Asy'ari
6
B. Latar Belakang Berdirinya Khittah Nahdlatul Ulama
Sebelum membahas tentang latar Belakang khittah NU, Sebaiknya kita bahas
sedikit dahulu tentang pengertian khittah NU. Khittah sendiri memiliki arti garis atau
jalur yang diikuti, jalur atau garis yang sering ditempuh oleh orang NU untuk
merealisasikan cita-cita. Dapat disimpulkan bahwasanya khittah NU merupakan
landasan bertindak, berfikir, bersikap para orang NU baik secara organisasi maupun
individu.
Begitulah pengertian singkat tentang khittah NU yang dirumuskan oleh
muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Dan dibawah ini akan dijelaskan secara
lebih terperinci bagaimana latar belakang dari khittah NU.
Pada tahun 1975, muncul gagasan untuk menetapkan khittah NU ketika NU
telah kembali sebagai jam'iyyah diniyah. Dikarenakan sebelumnya NU menugaskan
fungsi politiknya kedalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan), menjadi langkah
selanjutnya dari langkah sederhana partai di Indonesia.5
Sesudah kembali jadi jam'iyyah diniyyah, barulah terasa jika NU sudah
kembali pada garis sebagaimana mulanya, yaitu pada khittahnya. Sangat terasa
kesemrawutan selama ini. Ada simpang siur di dalam gerak dan badan NU. Banyak
orang yang berharap, utamanya para sesepuh ulama dan juga para generasi muda,
bahwasanya akan timbul pemikiran segar pada badan NU sehingga ada perbaikan
dalam pergerakan.
Pada masa itulah terdengar kata kembali pada semangat 1926, kembali kepada
khittah 1926 dan lain-lainnya. Semakin lama, semakin kencang gema semboyan itu.
Apalagi fakta membuktikan bahwa setelah berfusi politiknya kedalam PPP, kondisi
NU tambah terpuruk dan makin semrawut.
Pemikiran " Kembali pada khittah " itu makin terhambat oleh kesusahan-
kesusahan tentang pembuatannya seperti gimana. Apa aja yang terkait komponen atau
unsur khittah dan macam mana rumusan redaksinya. Orang telah sering
menyampaikan jika NU telah mempunyai khittah yang bagus. Akan tetapi mana
kehebatan itu dan bagaimana runtutannya, belum bisa diketahui dan dipahami dengan
cepat dan mudah.
Ada juga sebab pokok munculnya kesusahan perumusan pada masa itu ialah:
5
Ahmad Khoiron Minan, Partai Persatuan Pembangunan pasca kembalinya NU ke khittah 1926 tahun
1984-1994, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018, Hlm 23
7
a) Nahdliyin melalui petunjuk dan keteladanan yang bertahap diberikan dari para
Ulama, dibandingkan diberi secara tertulis serta lengkap berbentuk risalah.
b) Kegiatan menulis dikalangan tokoh NU masih belum merata, masih lebih
banyak menyampaikan atau merumuskan pesannya secara langsung atau lisan.
c) Kaum nahdliyin rata-rata belum terbiasa menerima pikiran atau pesan secara
tertulis karena belum tingginya budaya membaca.
Akan tetapi bagaimanapun susahnya membuat rumusan khittah NU, perumusan wajib
dilakukan sebab hal tersebut diperlukan. Telah banyak angkatan baru NU yang tak
sempat belajar secara langsung pada tokoh angkatan pertama. Tak salah jika
kemudian penghayatan dan faham mereka pada bagaimana dan apa NU itu secara
benar, kurang lengkap dan mendalam. Padahal diantara mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup mumpuni itu telah berperan penting menjadi pengurus.
Pada saat tahun 1979 saat muktamar akan diselenggarakan di Semarang, Kyai
Ahmad Siddiq yang menjadi golongan pemikir NU, membangun rumusan khittah
pada sebuah buku yang judulnya Khittah Nahdliyah. Kemudian tahun 1980 munculah
cetakan yang kedua dari buku itu yang menjadi cikal bakal perumusan khittah NU.6
Pada tanggal 12 Mei 1983 tepatnya di hotel Hasta di Jakarta, terdapat 24 orang
yang terdiri atas tokoh-tokoh NU. 24 orang disebut sebagai majelis 24, diantaranya
adalah Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Mustofa Bisri, Muhammad Thohir,
Kyai Sahal Mahfud, Kyai Muchid Muzadi dari Jember, M. zamroni, Mhabub Junaidi,
Abdullah Syarwani, Said Budairi, Slamet Efendi Yusuf, Masdar Sarid Mas’ud, dan
lain shebaiginy. Mereka membahas kemelut yang menerpa NU dan bagaimana cara
mengatasinya. Meski mereka tak mempunyai otoritas apapun pada saat itu, akan
tetapi kegigihan mereka mendatangkan hasil. Awalnya mereka menyampaikan
gagasan, lalu kemudian membentuk tim tujuh utuk pemulihan khitah yang tugasnya
mengembangkan, memperjuangkan dan merumuskan gagasan. Perumusan itu
berjudul " Menatap NU dimasa depan " yang selanjutnya disampaikan pada anggota
organisasi didalam NU.
6
Akhmad Sayuti, Wasino, Ibnu Sodiq, Dinamika Politik Partai Nahdlatul Ulama di Semarang Tahun
1952-1979, UNNES, Semarang, 2018, hlm.55
8
dan para ulama-ulama lainnya dalam mengadakan kesepakatan dan musyawarah para
alim ulama di pondok pesantren Salafiyah Syafiiah di Situbondo. Yang menjadi
panitia penyelenggara ialah KH Abdurrahman Wahid dan para kawannya yang juga
anggota tim tujuh.
Musyawarah nasional pada masa itu sangat bersejarah, memiliki arti penting bagi
NU, hingga untuk tata negara dan bangsa Indonesia. Ada 2 putusan penting, yakni:
Didalam MUNAS ini juga berhasil membuat tiga keputusan dalam terwujudnya
Khittah 1926, diantaranya:
7
Muhammad Eko Subagtio, Perjalanan Politik Nahdlatul Ulama Tahun 1973-1984, Universitas
Negeri Surabaya, Surabaya, 2019. hlm.61
9
Setelah Munas berhasil dalam kesepakatannya, setahun kemudian dilanjutkan
dengan adanya bentuk "Rujuk internal”. Dengan begitulah muktamar ke 27 sudah bisa
diselenggarakan dalam keadaan telah kembali utuh. Saat sebelumnya NU dipandang
sebagai organisasi masyarakat yang sukar diajak bekerja sama, akan tetapi sudah tidak
lagi sebagai organisasi yang dapat ditinggalkan tapi sebagai pihak yang dibutuhkan.8
8
Abdurrahman, Kiprah KHR As' ad Syamsul Arifin dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 (1984) di
Situbondo, UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2019, hlm. 69
10
Dengan berbekal tekad dan semangat balik kepada khitah 1926 dan juga
bermodal cikal bakal rumusan khittah Nahdliyah karya KH ahmad Siddiq yang
disusun oleh tim tujuh, serta digabungkan dengan makalah Pemulihan khitah bagi NU
1926. Pokok pikiran tentang perbaikan khittah NU, maka muktamar ke 27 pada tahun
1984 di Situbondo ditetapkan sebagai rumusan akhir Khittah Nahdlatul Ulama.
9
Masmuni Mahatma, Paradigma Politik Nahdlatul Ulama Dalam Bernegara, Jurnal Dakwah dan
Pengembangan Sosial Kemanusiaan Vol. 8 No. 1, hlm. 31-54
10
Firdaus Muhammad, Dinamika Pemikiran dan Gerakan Politik Nahdlatul Ulama, Jurnal Kalam,
hlm. 57-61
11
untuk menjaga kebinekaan, dan mengejar cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang
maju dan tertib.
Dalam berbagai waktu, khittah NU selalu dibicarakan, terutama saat
menjelang pentas politik. Terkadang bukan untuk mengingatkan kembali tujuan
khittah yang sebenarnya, tetapi untuk menjegal lawan politik dengan menggunakan
alasan khittah ketika ada calon yang dianggap sebagai pengurus NU dan
menggunakan posisinya untuk mencari untung dari politik kekuasaan. Ini juga
menjadi tugas bersama untuk mendefinisikan khittah secara tegas terkait dengan
politik praktis, biar tidak jadi pasal karet yang bisa digunakan untuk kepentingan
pribadi.11
Apa yang sudah dilakukan oleh NU sebagai organisasi agama, inilah yang
sesungguhnya perlu diteguhkan kembali dalam peringatan 33 tahun khittah, bahwa
kegiatan-kegiatan NU adalah kegiatan membangun masyarakat yang sejahtera.
Khittah harus menjadi patokan dalam bersikap dan bertindak. Ditengah liberalisasi
informasi saat ini, khittah menemukan konteksnya untuk menjaga diri dengan
menerima dan mengelola informasi secara kritis.
Di tengah gencarnya aliran-aliran keislaman lain yang dengan bebas masuk ke
Indonesia dari luar negeri yang biasa disebut islam tradsional, bentuk realita dari
penyapaan warga NU dengan ajaran-ajaran agama islam yang akan menjaga mereka
tetap teguh dalam mengamalkan dan melestarikan nilai-nilai NU. Seperti inilah
keislaman Indonesia. Yang kita yakini bisa mencampurkan antara nilai-nilai
keislaman dan nasionalisme.12
Percampuran rumusan Khittah NU di situbondo ini sangat universal karena
sangat menegaskan tentang kembalinya NU sebagai jam’iyah diniyah-ijtima’iyah.
Rumusan tersebut mencakup dari pengertian Khittah NU, latar belakang berdirinya
Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, ikhtiar-
ikhtiar yang dilakukan NU, dan hubungan NU dengan bangsa.
Dalam formasi itu, ditegaskan pula bahwa jam’iyah secara organisatoris tidak
terikat dengan organisasi politik dan organisasi manapun. Sementara dalam paham
keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut ahlussunah waljamaah dengan
mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam
11
Subaidi, Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2019, hlm. 26
12
Hairus Salim, M. Ridwan, Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural, (Yogyakarta: LkiS,
2017), hlm. 66
12
menafsirkan sumber sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan
mengikuti madzhab ahlussunah waljamaah di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.
Di bidang Akidah NU mengikuti dan mengakui paham aswaja yang dipelopori
oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang
fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai pendapat aswaja yang masih ada sampai
saat ini. Di bidang tasawuf NU mengikuti Imam al-Ghazali dan imam-imam lain.
Dalam penerapan nilai-nilai aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa
keagamaan NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU
dengan tegas menjelaskan bahwa tidak bermaksud untuk menghapus nilai-nilai
tersebut, dari sini aspek lokalitas Nahdlatul Ulama sangat jelas dan ditekankan untuk
dijaga.13
Dalam masyarakat, Khittah NU menjelaskan 4 prinsip Aswaja: tawasut (sikap
tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan),
tawazun (seimbang dalam beriadah kepada tuhan dan sesama umat), dan amar ma’ruf
nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan mencegah keburukan).
Fungsi ulama juga diterangkan kembali oleh Khittah NU sebagai pembawa
paham islam ahlussunah waljamaah ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai
pengelola, pengawas, pebimbing utama jalannya suatu lembaga atau organisasi.
Fungsi ulama ini tidak dirancang sebagai penghalang kreativitas, tetapi justru
sebaliknya untuk melindungi kreativitas. Dalam hubungan dengan kreativitas itu,
Khittah NU menyebutkan bahwa jam’iyah NU harus siap menyesuaikan diri dengan
setiap perubahan yang membawa kemaslahatan, menjunjung tinggi kebersamaan
masyarakat, menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya. Khittah NU juga
menegaskan aspek penting kaitanya dengan bangsa.14
Dalam hal ini, setiap warga NU diminta menjadi warga Negara yang
senantiasa menjunjung tinggi pancasila dan UUD 1945 sebagai bagian dari umat
islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa memegang teguh prinsip
persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup bersama. Ini dikarenakan Indonesia
dan umat islam Indonesia sendiri sangatlah beragam.15
Jelas sekali cita-cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu
luhur, juga terlihat Khittah NU menegaskan tempatnya sebagai tindakan sosial
13
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Solo: Jatayu, 2018, hlm. 68
14
Abdul Muchtich dan Muzadi. 2018. Mengenal Nadhlatul Ulama. Surabaya: Khalista, hlm. 156
15
Sumanto Al-qurtuby, Nadhlatul Ulama dari Politik Keasaan Sampai Pemikiran Keagamaan.,
Semarang: Elsa Press,2020, hlm. 345
13
keagamaan yang akan menangani masalah-masalah masyarakat. Hanya saja, dalam
praktik, tarikan politik praktis selalu menjadi gairah yang mempengaruhi keberadaan
jam’iyah NU. Di titik ini, Khittah NU selalu menghadapi kenyataan sulit, pertarungan
internal, dan sekaligus berjalan ditengah kebangsaan dan dunia global.
Peran khittah dalam pelurusan kembalinya Nahdlatul Ulama sebagai
organisasi kemasyarakatan yang membantu berbagai hal masalah-masalah yang
dihadapi manusia.16 Oleh karena itu, urgensi khittah bagi Nahdlatul Ulama sangat
berpengaruh bagi kemajuan dan keseimbangan peran Nahdlatul Ulama kedepannya.
Harapannya bagi semua generasi penerus Nahdlatul Ulama untuk selalu menjaga
khittah dan melestarikan nilai-nilai Ahlussunnah Wal-Jamaah sebagai pedoman dalam
hidup, berbangsa, dan bernegara.
3. KESIMPULAN
16
Nur Khalik Ridwan, Ensiklopedia Khittah Nu, Bandung, Diva Press: 2020, hlm. 98
14
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (2019). Kiprah KHR As`ad Syamsul Arifin dalam Muktamar Nadhlatul Ulama
ke-27 (1984) di Situbondo. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Al-qurtuby, S. (2020). Nahdlatul Ulama dari Politik Keasaan Sampai Pemikiran
Keagamaan. 345: Elsa Press.
Anam, C. (2018). Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama . Solo: Jatayu.
Khalid, A. (2017). Khittoh Nahdliyyah Sebagai Upaya Pengembangan Kehidupan
Keberagaman dan Keagamaan di Indonesia. Jurnal Keagamaan, 10.
Minan, A. K. (2018). Partai Persatuan Pembangunan Pasca Kembalinya NU Ke Khittah
1926 tahun 1984-1994. Surabaya: UIN Sunan Ampel.
Muzadi, A. M. (2018). Mengenal Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista.
Nikmah, F. (2018). Implementasi Konsep At-Tawasuth Ahlussunnah Wal-Jamaah Dalam
Membangun Karakter Anak di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal Tarbawi Vol. 15 No. 1,
208-211.
Rahman, A. S. (2021). Dinamika Perkembangan Politik Nahdlatul Ulama Pasca Khittah.
Jurnal Pendidikan Sejarah, 8-17.
Ridwan, H. S. (2017). Kultur Hibrida : Anak Muda NU di Jalur Kultural. Yogyakarta: LKIS.
Shodiq, A. S. (2018). Dinamika Politik Partai Nahdlatul Ulama di Semarang Tahun 1952-
1979. Semarang: UNNES.
Siradj, S. A. (2019). Ahlussunnah Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: LKPSM.
Subagtio, M. E. (2019). Perjalanan Politik Nahdlatul Ulama Tahun 1973-1984. Surabaya:
Universitas Negeri Surabaya.
Subaidi. (2019). Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif. Jakarta: LP3ES Indonesia.
Zainuri, A. (2021). Doktrin Kultural Politik NU. Jurnal Ilmiah Peradaban Islam Vol. 18 No.
1, 56-58.
15