Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PEMIKIRAN HASAN HANAFI

A. PENDAHULUAN

Sekian banyak cendikiawan Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada
Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha mengembangkan pemikirannya
untuk membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari
cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif dengan memunculkan suatu gagasan
tentang keharusan bagi Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi
pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri yang membuat
kaum Muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi
Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Proyek besar itu dia tempuh dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran
keagamaan Islam.
Teologi islam (ilm al-kalam asy’ari), secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan
secara ‘ilmiah’ maupun ‘filosofis’. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan
doktrin dan memelihara kemurniaannya, bukan dialektik tentang konsep watak sosial dan sejarah, disamping
ini ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil
Tuhan di bumi. Hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia.
Sealain itu secara praktis, teologi tidak bias menjadi pandangan yang benar-benar hidup dan memberi
motifasi dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas dasar kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (spilt) antara keimanan teoritik dan
keimanan praktis dalam umat, yang akhirnya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau singkritisme
kepribadian. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya faham keagamaan dan
sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik),
konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme juga sosialisme (dalam ekonomi).
B. Riwayat Hidup
Hassan Hanafi adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari
1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya
dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan
kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi,
Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.[1] Hal ini menunjukkan bahwa
Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi.
Selain itu ia juga mempelajari pemikiran sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program
pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan
baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia
canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini
dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Tahun 1952 itu juga, tamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas
Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar Sarjana muda, kemudian ia melanjutkan study ke
Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan progam Master dan Dokternya
sekaligus dengan tesis. Disamping dunia akademik Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dan
kemasyarakatan. Aktif sebagai sekertaris umum Persatuan Masyarakat Fislafat Islam Mesir, anggota Ikatan
Penulis asia-afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di
dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal
ilmiah Al-Yasar Al-Islamai.
Ituah Hanafi, ayah dari tiga orang anak. Ia sekurang-kurangnya pernah menulis 20 buku dan puluhan
makalah ilmiah yang lain. Karyanya yang popular ialah Al-Yasar al-Islami (Islam kiri), Min al-`Aqidah ila al-
Thawrah (Dari Teologi ke Revolusi), Turath wa Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan), Islam in The Modern World
(1995), dan lainnya. Ternyata, Hasan Hanafi bukan sekadar pemikir revolusioner, tapi juga reformis tradisi
intelektual Islam klasik.

[1] ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989, h. 133
C. Kondisi Sosial
Hanafi lahir dibesarkan dalam kondisi masyarakat Mesir yang penuh pergolakan dan pertentangan.
Dari sisi Sosial Politik, saat itu terdapat dua kelompok ekstern yang saling berebut pengaruh. Pada sayap kiri
ada partai komunis yang semakin kuat atas pengaruh Soviyet di seluruh dunia. Kemenanga Soviyet salama
perang dan dikukuhkannya perwakilan soviyet di Kaoiro (1942) ini semakin meningkatkan minat mahasiswa
untuk belajar Komunisme. Semntar di sayap kanan, ada Ikhwanul Muslimin, didirikan Hasan al-Bana tahun
1929 di Ismailia yang pro-Islam dan anti barat. Kelompok ini memiliki sejumlah besar pengikut, termasuk
hanafi sendiri pada awalnya.
Pemerintah mesir sendiri ambil alih dalam pergolakan tersebut, dengan melakukan pebersihan
terhadap kaum komunis (1946) setelah setahun sebelumnya melarang aktifitaskelompok ini. Pergolakan ini
terus berlanjut, setelah tahun 1952 meletus revolusi yang dimotori oleh Ahmad Husain, tokoh partai sosialis.
Dari sisi Pemikiran, ada tiga kelompok pemikiran yang berbeda dan bersaing saat itu. Pertama, kelompok yang
cenderung pada Islam (the islam trend) yang diwakili oleh, al-Bana dengan Ikhwanul Muslim-nya. Kedua,
kelompok yang cenderung pada pemikiran bebas dan rasional (the rasional scientific and liberal trend) Luthfi
al-Sayyid dan para emigrant Syiria yang lari ke Mesir. Dasar pemikiran kelompok ini bukan Islam tetapi
peradaban Baraat dengan presentasi-presentasinya. Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan Islam dan
Barat (the synthetic trend) yang diwakili oleh ‘Ali ‘Adul Raziq (1966)
Dalam menghadapi tnatangan mordenitas dan liberalism politik, kelompok pertama dan kebanyakan
ulama konservatif menganggap bahwa politik Barat tidak bisa diterapkan di Mesir, bid’ah. Pengadopsian sistem
politik Barat oleh pemerintah Mesir berarti pengingkaran terhadap nilai-nilai Islam. Sebaliknya, kelompok
kedua yang kebanyakan para sarjana didikan barat menganggap bahwa, jika mwsie ingin maju, maka harus
menerapkan sistem Barat. Mereka menganggap bahwa para ulama adalah kemdala Mordenisasi, bahkan
penyebab keterbelakangan Mesir dalam sosial politik dan ekonomi.pemikiran dan gerakan kelompok kedua ini,
banyak mendapat dukungan daari pemerintah, sehingga dalam hal tertentu mereka dapat menjalankan program-
programnya.
Hanafi sendiri tidak begitu setuju dengan gagasan-gagasan kelompok pemikiran diatas, meski awal
karier intelektualnya pernah berpihak pada kelompok pertama, tetapi pemikirannya mengalami proses dengan
banyak dipengaruhi oleh kelompok dua dan tiga, terutama setelah belajar di prancis.
Pemikiran Kiri Islam Hasan Hanafi

Oleh: Khoirur Rizal Umami


Inspirasi kiri islam timbul karena melihat keberhasilan ropolusi islam di Iran, dimana rakyatnya tegak
kokoh melawan tekanan militer dan menumbangkan rejim syah atas nama islam untuk menumpas otoriter.
Maka dapatlah dilihat bahwa kiri islam adalah benteng pelindung bagi islam, yang akan mengembangkan
reformasi agama.
Kiri islam berakar pada gerakan – gerakan islam kontemporer: sanusiyah, omar mokhtar di libiya,
mahdiisme di sudan, ikatan ulama aljazair, yang menggabungkan repolusi nyata menentang imprialisme dan
repolusi pemikiran untuk mengentaskan keterbelakangan ummat.
Pemikiran Hasan Hanafi ini sangat perlu untuk dicermati dalam rangka membangun kembali turas klasik
yang telah pernah mengantarkan umat ke zaman keemasannya.
Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, merupakan antara tokoh yang akrab dengan
simbol-simbol pembaharuan dan revolusioner. Idea-idea seperti Islam kiri, oksidentalisme adalah yang sering
dikatkan padanya. Tema-tema tersebut dikemasnya dalam rangkaian projek besar; pembaharuan pemikiran
Islam, dan usaha untuk membangkitkan umat dari kemunduran dan kolonialisme moden.
Dilahirkan di Kaherah, Mesir, pada 14 Februari 1934, Hanafi sewaktu kecil adalah seperti masyarakat
Mesir yang lainnya, iaitu memperoleh pendidikan agama yang cukup. Pendidikan rendah dan tingginya ia
tempuh di kota kelahirannya. Sedangkan gelar doktorat ia raih pada 1966 di Universiti Sorbonne, Paris,
Perancis dengan disertasi berjudul Essai Sur la Methode d’exegese (Essai Tentang Metode Penafsiran).
Pada 1971, disertasi ini memperoleh hadiah sebagai karya tulis terbaik di Mesir. Dari Paris, ia kembali
ke almamaternya, Universiti Kaherah dan mengajar falsafah Islam. Ia kini dipercaya sebagai pengarah bagi
jurusan program tersebut.
Sebagai pemikir modernis, gagasan Hanafi terfokus pada perlunya pembaharuan rekonstruksi Islam
yang disusunnya dalam konsep besar Turats wa Tajdid (Turats dan Pembaharuan), dan Al Yasar Al Islami
(Islam Kiri) yang ia cetuskan pada 1981. Konsep itu merupakan kelangsungan dari gagasan Al Urwatul
Wutsqonya Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurutnya, penggunaan nama ‘kiri’ sangat
penting kerana dalam citra akademik, kata tersebut berkonotasi perlawanan dan kritisisme. Menurutnya, Islam
kiri adalah hasil nyata dari Revolusi Islam Iran yang merupakan salah satu respon Islam terhadap Barat.
Dunia Islam kini sedang menghadapi ancaman yang berasal dari luar yaitu Imperialisme, Zionisme,
dan kapitalisme. Sedangkan faktor dari dalamnya adalah kemiskinan, ketertindasan dan keterbelakangan. Umat
Islam, terutama kelompok miskin tertindas, di era globalisasi kapitalisme akan menghadapi gelombang
kemiskinan struktural yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Golongan Muslim miskin membutuhkan
teologi, paradigma dan analisis sosial yang memihak pada mereka. Itulah teologi bagi kaum tertindas, teologi
yang membebaskan mereka dari ketertindasan dan eksploitasi global. Bagi golongan miskin dan marjinal,
kehadiran globalisasi lebih membawa ancaman ketimbang berkah.
Upaya kritis untuk menyelesaikan permasalahan ini harus segera dilakukan demi menyelamatkan Islam
dari kemunduran dan benturan bertubi-tubi dari arus global. Tumpuan utama kemunduran tersebut jelas berawal
dari kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat di negeri-negeri muslim sendiri. Efek domino atas
fenomena kemiskinan muncul dalam beragam wajah dan gejala, dari kemerosotan moral, kriminalitas, masalah
kesehatan, kedaulatan dan independensi negara, bahkan sampai menghambat aktivitas ritual keberagamaan
umat.
Hasan Hanafi mewacanakan tentang keharusan bagi dunia islam untuk mengembangkan wawasan
kehidupan progresif, dengan dimensi pembebasan didalamnya. Gagasan akan keadilan sosial yang harus
ditegakkan kalau manusia ingin berfungsi sebagai pelaksana fungsi ketuhanan di muka bumi. Ini hanya bisa
diwujudkan jika ada para pejuang pembebasan umat manusia yang tergabung dalam kegiatan yang terorganisasi
yang mengarah pada tujuan pembebasan tersebut. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi gagasan Hasan
Hanafi mengenai Islamic Left atau kiri Islam.
Hasan Hanafi mengacu pada sosialisme dan memodifikasi pemikiran Marxisme-Leninisme. Modifikasi
disini artinya bahwa hakikat materealistik dari determinisme historis yang meniscayakan kehancuran ideologi-
ideologi besar modern ditolak secara tegas. Determinisme historis yang meniscayakan kebebasan manusia itu
diberi roh non materealistik.
Bisa disimpulkan bahwa hasan hanafi mencoba untuk menjadikan pemikiran kiri islam sebagai bentuk
perlawanan terhadap penindasan. Gerakan kiri islam ini ditujukan guna menggerakan gerakan sosial
revolusioner yang mengusung gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner
dari feodalisme dan kapitalisme.

Pengertian Kiri Islam


Istilah kiri islam yang dimotori oleh hasan hanafi merupakan upaya untuk menggali pendewasaan makna
revolusioner dari islam, sebagai konsekuensi logis dari keberpihakannya kepada umat yang lemah dan tertindas.
Makna kiri dalam pengertian hasan hanafi ini merupakan sebuah gerakan revolusi (moral-moral revolution
govement) untuk memperjuangkan harkat dan martabat kaum tertindas, sehingga persamaan (egalitarian) dan
keadilan umat manusia sejajar satu sama lain.
Inilah sesungguhnya, secara teologis, misi diciptakannya manusia oleh tuhan sebagai wakil tuhan dalam
melaksanakan fungsi ketuhanan di muka bumi. Dengan demikian, kiri merupakan kritisisme religius dalam
persoalan sosial ekonomi yang berpangkal dari tataran normatif ke pro aktif yang dalam istilah hasan hanafi
disebut “Dari Akidah Menuju Revolusi”. Secara umum, konsep kiri selalu diartikan secara politis-ideologis
yang cenderung radikal, sosialis, reformis, progresif atau bahkan liberal. Dengan demikian, secara garis besar
kiri selalu menginginkan adanya progresifitas untuk menolak status quo.
Bila kita cermati lebih lanjut, kiri islam-nya hasan hanafi merupakan sintesa dari sistem ideologi
kapitalisme yang gagal mengangkat martabat manusia. Latar belakang kemunculan kiri islam hasan hanafi juga
tidak lepas dari adanya persaingan kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme. Hasan hanafi relatif mampu
melakukan modifikasi konsep sosialisme yang materialistik dan determinisme historik.
Ini dilakukan supaya islam yang sejak awalnya merupakan sistem kehidupan yang membebaskan
kaum tertindas tetap dipertahankan dan menjadi suatu sistem ideologi yang populistik (ideologi kaum tertindas)
yang selama ini selalu diklaim sosialisme. Hal inilah yang menjadi kesimpulan dan pilihan hasan hanafi yang
menamakan gerakannya dengan kiri islam yang selalu mengedepankan progresifitas religius dan pranata-
pranata lainnya yang bersifat spiritualitas dan historis.
Kiri islam merupakan sintesis dari eksplorasi dan tafsir ulang yang cerdas terhadap khasanah
keilmuan islam dan juga dari analisis konsep Marxian atas kondisi obyektif serta tradisi yang mengakar pada
rakyat. Kiri bertumpu pada tataran tiga metodologi, sejarah Islam, fenomenologi dan analisis sosial marxian.
Oksidentalisme: suatu sikap atas tradisi Barat
Hasan Hanafi dengan kiri islamnya sangat menentang peradaban barat, khususnya imperialisme
ekonomi dan kebudayaan. Hasan hanafi memperkuat umat islam dengan memperkokoh tradisinya sendiri.
Karena itu, tugas kiri islam adalah pertama, melokalisasi barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos
dunia barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan barat untuk menjadi paradigma
kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban barat pada batas-batas kebaratannya.
Asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban
dan banyak jalan menuju jalan kemajuan. Ketiga, hasan hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan barat
sebagai objek kajian. Oksidentalisme bagi hasan hanafi merupakan suatu upaya menandingi orientalisme dan
meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra islam, ia memberikan jalan dengan
melakukan reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
Munculnya oksidentalisme pada mulanya hanyalah gagasan yang lebih bersifat reaksi ketimbang
sebuah proyek peradaban yang mempunyai tujuan tertentu. Dalam kaitan ini, ada indikasi ketidakpuasan
terhadap kajian-kajian Barat dan kebaratan yang sudah ada. Pertama, karena kajian - kajian semacam itu
merupakan produk Barat yang notabene ¬tidak bisa lepas dari bias dan subyektivitas. Kedua, kajian semacam
itu tidak lebih dari sebuah promosi peradaban orang lain yang kurang (untuk tidak mengatakan kosong) dari
kritisisme. Lebih dari sekedar alasan ini, nampak kelahiran oksidentalisme didorong oleh faktor emosional atas
kesalahan - kesalahan dari Barat yang dialami dunia Timur pada umumnya dan dunia Islam khususnya. Barat
dengan segala implikasinya telah berjaya menguasai Timur. Penguasaan, atau lebih tepatnya kolonialisme,
Barat atas Timur ini dalam perjalanan sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari orientalisme. sehubungan dengan
hal ini, Ahmad Sahal mengemukakan :
“Orientalisme adalah konsep Barat mengenai the Otherness dari dunia Timur. Sejak renaissance,
Barat menemukan kesadaran humanisme sebagai identitas budaya mereka, sertamerta timbul definisi the Other
dari budaya non - Barat. Timur adalah dunia lain karena penuh misteri, eksotik, aneh, bermental pasif, dan
seterusnya. Artinya, Timur harus `divisualisasikan`. Proyek sivilisasi lalu menjadi pembenaran ideologis bagi
berlangusngnya kolonialisme. Humanisme, orientalisme, dan kolonialisme dalam sejarahnya ternyata berjalan
paralel. Tidak heran bila sistem pengetahuan orinentalisme selama berabad - abad menjadi alat kepentingan
kolonialisme. Karena, mengetahui Timur identik dengan menguasainya”.
Dengan demikian, terbentuknya oksidentalisme adalah sebagai upaya untuk menangkis serangan
Westernisasi yang sudah semakin meluas saja wilayah jangkauannya, tidak saja terbatas dalam kehidupan seni
dan budaya, melainkan sudah meluas ke dalam tata - cara kehidupan sehari - hari. Westernisasi adalah bagian
tak terpisahkan dari alienasi, yaitu saat berpindahnya subyek diri (ego) kepada yang lain (the other). Seseorang
yang terbaratkan adalah yang sudah alamiahnya, menjelaskan proporsinya, asal - usulnya, kesesuaiannya
dengan situasi kesejahteraan tertentu, jenis religiusitas dan karakteristik masyarakatnya sehingga dapat
dihadapkan pada peradaban non Eropa, untuk memperlihatkan bahwa terdapat banyak model peradaban dan
banyak jalan menuju kemajuan.
Khoirur Rizal Umami, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia FIB Universitas Brawijaya

D. Teologi Antroposentris
Karena menganggap teologi islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Hanafi mengajuka konsep baru
tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi bukan sekedar sebagai dogma keagamaan yang
kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan social,menjadikan keimanan berfungsi secara
actual. Karena itu gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentransformasikan teologi
tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris dari Tuhan kepada manusia (bumi). Pemikiran ini
didasarkan pada dua alasan yaitu : pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di
tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat
teoritik tetapi sekaligus praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.
Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas social,
Hanafi menawarkan dua teori. Pertama, analisa bahasa. bahasa dan istilah dalam teologi klasik adalah warisan
nenek moyang dalam bidang teologi yang khas dan seolah-olah sudah menjadi doktrin. Kedua, analisa realitas.
Menurut Hanafi analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis, munculnya teologi di
masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Dan berguna juga
untuk menentukan stressing bagi arah dan orientasi teologi kontemporer.
Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuah fenomena
atau realitas. Untuk sampai pada tingkatan tersebut, menurtu Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini,
peneliti harus melalui minimal dua tahapan penyaringan (reduksi). Reduksi fenomenologi dan reduksi eidetic.
Pada tahap pertama, atau biasa disebut dengan metode apache. Hanafi menggunakan metode ini untuk
menganalisa dan memahami realitas social, polotik dan ekonomi. Hanafi ingin agar realitas islam berbicara bagi
dirinya sendiri, bahwa islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata islam itu sendiri, bukan dari Barat.
Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.[2]
Hermeneutic adalah sebuah cara penafsiran teks atau symbol. Meatode ini mensyaratkan adanya
kemampuan untuk menafsirkan masa lampau uang tidak dialamai, kemudian dibawa ke msa sekarang. Hanafi
menggunakan meatode Hermeneutik untuk melanfingkan gagasannya berupa antroposentrisme teologis dari
wahyu kepada kenyataan, bagi hanafi yang dimaksud hermeneutic bukan saja intepretasi tetapi ilmu yang
menjelaskan tentang pikiran tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sacral menjadi realitas social.

E. Operasionalisasi Teologi Hanafi


Dari dua konsep di atas, ditambah metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekontruksi
teologi dengan cara menafsir ulang tema teologi klasik secara metaforis analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga
pemikiran penting Hanafi yang berhubingan dengan tema-tema kalam, dzat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan
mengenai Tauhid. Disini terlihat Hanafi mencoba mengubahe term-term keagamaan dari yang spiritual dan
sacral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka
untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih
berorientasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang pemikiran Hanafi mengenai sifat-sifat (aushaf) Tuhan
yang enam: wujud, qidam baqa’, mukhalafah li al-hawaditsi, qiyam binafsih dan wahdaniyah.
Wujud, menurut Hanafi wujud di sini tidak menjelaskan wujud tuhan, Karena Tuhan tidak memerlukan
pengakuan. Tanpa manusia Tuhan tetap wujud, wujud disini berarti tajribah wujudiyah pada manusia. Qidam
(dahulu) berarti pengalaman kesejahteraan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia di dalam sejarah.
Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejahteran untuk digunakan dalam melihat realitas dan
masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Ketiga Baqa’ berarti
kekal, pengalaman, kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana berarti tuntutan manusia untuk membuat
dirinya tidak cepat rusak atau fana.
Keempat mukhalafah li al-hawaditsi berbeda dengan yang lainnya dan qiyam binafsih berdiri sendiri,
keduanya tuntutan agar umat manusia manusia mampu menunjukan eksistensinya secara mandiri dan berani
tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi
tentang titik-titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk
mencapai sebuah tujuan akhir. Kelima, wahdaniyah. (keesaan) bukan merujuk pada keesaan Tuhan, penscian

[2] Hanafi, muqaddimah, 63-64.


Tuhan dari kegandaan (syirik) yang diarahkan pada faham trinitas, maupun politheisme, tetapi tetapi lebih
mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan.
Dengan penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yagn dimaksud dengan
istilah tauhid ini, bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas
maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistic, seprti
hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunitik.
Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhid bukan berarti sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi
ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah ke tindakan konkrit,
baik dari sisi penafian maupun penetapan. Dengan demikian dalam konteks kemanusiaan yang lebih konkrit,
tauhid adalah upaya pada kesatuan social masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin.tauhid berarti kesatuan
kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan
berkembang.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program
pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan
baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia
canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini
dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.

F. Penutup
Kesimpulan
Hasan Hanafi adalah cendikiawan muslim yang berkeyakinan bahwa tradisi agama mempunyai pijakan
ideologis yang kuat untuk menggerakkan perubahan sosial. Pengelaborasian tradisi lama dengan abstraksi dari
basis material massa dan kebudayaan dari ideologi-ideologi modern merupakan pertautan menarik diantara
bangunan epistemologi dari sebuah paradigma. Tradisi lama akan dianggap efekti dalam menggerakkan massa,
karena ia berakar dan melembaga sebagai tradisi dalam masyarakat, sedangkan abstraksi ideologi modern dapat
memberikan spirit untuk mengarahkan nuansa progresivitas gerakan massa.
Melalui gagasan kiri Islam, Hasan Hanafi ingin menginginkan adanya pertautan antara agama dan revolusi.
Sehingga agama bisa dijadikan alat untuk membebaskan manusia dari penindasan yang dilakukan penguasa.
Agama harus mampu menggerakan semangat rakyat untuk melakukan revolusi demi terciptanya masyarakat
tanpa kelas.
Sedangkan konsep oksidentalisme, menurut gagassan Hasan Hanafi, berusaha untuk menyeimbangkan
pola pikir antara Barat dengan Timur. Jika selama ini Barat selalu menganggap Timur sebagai Obyek, maka
oksidentalisme Hanafi, mencoba membalik pemikiran ini dengan menjadikan Barat sebagai obyek yang diteliti
oleh Timur.
Jika kedua konsep ini digabungkan maka masyarakat Islam mampu hidup rukun tanpa klas, dan
peradaban dunia milik semua manusia. Tidak ada lagi dikotomi penindas dan tertindas, barat dan timur, kaya
dan miskin, karena semuanya sama baik dari segi material maupun dari segi peradaban.
Berdasarkan uraian diatas disampaikan beberapa hal, Pertama, dari sisi metodologis, Hasan Hanafi ada
kesamaan dengan cara berfikir barat. Kesamaannya teletak pada persoalan arab (Islam) dalam konteksnya
sendiri, statemennya bahwa kemajuan islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi)
tetapi harus didasarkan atas khasanah, pemikiran islam sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl.
Kedua dari sisi gagasan, jika ditelussuri dari sisi gagasan dari para tokoh sebelumnya, terus terang apa yang
disampaikan Hanafi dari rekontruksi kalamnya bukan sesuatu yang baru, dalam makna yang sebenarnya. Apa
yang disampaikan bahwa deskripsi dzat dan sifat Tuhan adalah deskripsi mengenai manusia iedeal, yang telah
disampaikan oleh Mu’tazillah dan kaum sufis, begitu pula konsepnya tentang tauhid yang mendunia telah
disampaikan oleh klangan Syi’ah. Tetapi hanafi mampu mengemas konsep-konsep tersebut secara lebih utuh,
jelas dan up to date.
Merespon kondisi tersebut, Hasan Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat,
khususnya imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam dengan
memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam yang merupakan salah satu gagasan progressifnya
adalah: Pertama, melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia Barat sebagai pusat
peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-
bangsa lain. Kedua, mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya. asal-usulnya, kesesuaian
dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju
jalan kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan Barat sebagai objek kajian,
yakni sebagaimana yang dia tulis dalam Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme).
Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi Orientalisme dan meruntuhkannya
hingga ke akar-akarnya. Untuk mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan reformasi
agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.

Anda mungkin juga menyukai