Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PEMIKIRAN MODEREN HUKUM ISLAM

“PEMIKIRAN HASAN HANAFI”

Dosen pengampu : H.khoirul asfiyak Mh.i


Disusun oleh:
Ziadul ulum wahid
Ahmad gautsul anam
Sofwatur rohman
Khozainul fauziyah
Popiy nafasati s.

Fakultas agama islam prodi ahwal asy syakhsiyah angkatan 2018


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam sejarah dan kebudayaan  Islam di bagi dalam beberapa periodesasi. Pada periode
klasik peradaban islam sangat maju, dilihat dari ilmu pengetahuan, kebudayaan, artitekstur yg
ada pada masa itu sangat maju. Padahal di dunia barat masih gelap gulita tentang ilmu
pengetahuan, kebudayaan. Bisa di katakan pada masa itu barat sangat tertinggal sekali dengan
dunia Islam. Mulai pada pertengahan Barat sudah mulai bangkit sedangkan islam mulai terpuruk
akibat dari serangan bangsa mongol. Ilmu pengetahuan, kebudayaan dan bahkan kehidupan di
dunia islam bisa di bilang mati. Pada masa periode modern ini islam mulai bangkit dari
keterpurukan, mengejar ketertinggalan dari dunia barat.

Kebangkitan-kebangkitan ini berasal dari dunia Arab. Banyak para tokoh yang mulai
melakukan penggerakan untuk bisa bangkit dan melawan terhadap keadaan yang terpuruk. Para
tokoh ini ada yang melakukan gerakan fisik untuk melakukan revolusioner dan ada pula tokoh
yang lebih suka mengeluarkan ide-idenya untuk membangkitkan semangat dan menimbulkan
kemauan untuk berubah. Ada pula tokoh yang menggabungkan antar keduanya antara
perjuangan fisik dan gerakan pemikiran.

Pada kesempatan kali ini akan dicoba di jabarkan  tentang seorang tokoh revolusioner
mulai dari biografi, setting sosial, pemikirannya, karya-karyanya yang sampai saat ini masih bisa
kita rasakan pengaruhnya, yaitu tentang tokoh Dr. Hasan Hanafi.

B. Rumusan masalah
1. Siapakah tokoh pemikir islam
2. Apa saja jenis pemikiran hasan hanafi mengenai hukum islam?

C. Tujuan
1. Mengenal seorang tokoh pemikir islam hasan hanafi
2. Mengetahui pemikiran pemikiran hasan hanafi.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    Biografi dan Setting Sosial Hasan Hanafi

Hasan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir di dekat Benteng Salahuddin,
daerah Perkampungan Al-Azhar. Perkampungan ini dekat dengan Universitas Al-Azhar dimana
tempat ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari berbagai dunia. Tradisi
keilmuan berkembang disana sejak lama. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak
terlalu mendukung. Menurut sejarah dan kebudayaan kota Mesir telah dipengaruhi oleh
peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk da Tukri
dan bahkan Eropa Modern. Hasan Hanafi adalah filusuf hukum Islam serta guru Besar Fakultas
Filsafat Universitas kairo.[1]

Hasan hanafi sekolah di sekolah dasar, selesai tahun 1948. Melanjutkan ke Madrasah
Tsanawiyah “Khalil Agha” kairo selesai tahun 1952.mulai di tsanawiyah inilah, ia mulai aktif
mengikuti diskusi-diskusi al-ikhwan al- muslimun. Dari kegiatannya ini pemikirannya mulai
berkembang. Setelah Tsanawiyah Ia melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas kairo
selesai pada tahun 1956 sebagai Sarjana muda. Setelah itu Hanafi melanjutkan studi di
Universitas Sorbonne Prancis dengan mengambil konsentrasi pada kajian pemikiran Barat pra-
Modern dan Modern. Menyelesaikan program master dan doktornya pada tahun 1966, dengan
tesis Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu
Ushul Fiqh dan desertasi berjudul L’Exegese de La Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode
Phenomenologie et sonapplication au Phenomene Religiux.[2]

Hasan Hanafi kecil hidup di lingkungan yang di jajah oleh bangsa asing. Kenyataan ini
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya. Karena sikapnya inilah ia ahirnya
memberanikan diri mendaftar sebagai sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948
ketika usianya baru mencapai 13 tahun. Tetapi ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena mereka
menganggap hanafi masih terlalu muda. Ia merasa kecewa dan menganggap bahwa mesir saat itu
sedang terjadi problem persatuan dan perpecahan.

Kejadian yang diaalami olehnya pada masa itu, terutama di kampus. membuatnya bangkit
menjadi seorang yang pemikir, pembaharu, dan reformis. Ia merasa prihatin dengan keadaan
umat islam yang tertinggal dan permasalahan internal yang berkepanjangan yang tak usai-usai.
Ketika dia sekolah di Francis, ia mendapat tempat yang kondusif untuk belajar ia mulai mencari-
cari jawaban atas permasalahn yang dihadapi oleh negerinya, beserta rumusan-rumusan jawaban
untuk mengatasi dan menanggulangi permasalahan. Disana ia juga mulai berfikir secara
metodologi lewat buku-buku karya orientalis dan perkuliahan yang ia ikuti.

Ia juga sempat belajar pada seorang reformis katolik,Jean Gitton, tentang metodologi
berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dar Paul Ricouer, analisis
kesadaran dari Husserl, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Prof.
Masnion.[3]Setelah kembalinya ia dari kuliah di Sarbonne Prancis pada tahun 1966, timbulah
keinggin beliau untuk mengembangkan tulisan-tulisannya. Tetapi niat ini terurung ketika tahun
1967 Mesir diserang oleh Israel. Keadaan ini menimbulkan semangat nasionalismenya muncul.
Ia kemudian bersatu bersama rakyat.

Hasan Hanafi juga mengajar di Universitas Cairo disela-sela waktu luangnya. Ia juga
mulai giat menulis artikel-artikel untuk menanggapi permasalahan aktual yang sedang dihadapi
oleh bangsanya. Ia memanfaatkan media massa dalam menyampaikan hasil pemikirannya.

Hasan Hanafi juga mengajar di beberapa Universitas di Luar Negeri, ia juga pernah
menjadi Profesor tamu di beberapa negara seperti Perancis (1969), Prancis, Belgia, Amerika
Serikat, Kuwait, Maroko dan Jepang. Pada tahun 1984-1985 ia diangkat sebagai guru besar tamu
di Universitas Tokyo, dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang pada tahun
1985-1987.

Ada hal menarik tentang alasan Hasan Hanafi pergi ke Ameika Serikat, ini berawal dari
adanya keberatan dari pihak pemerintah pada aktivitasnya di Mesir sehingga ia diberi opsi ia
akan tetap melanjutkan aktivitasnya atau pergi ke Amerika. Dengan desakkan dari pemerintah
akhirnya Hassan Hanafi pergi ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975),
dan baru kembali setelah terjadi gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat. Dan kehidupan barunya
di Negara itu memberikan ia kesempatan untuk banyak menulistentang dialok antar agama
dengan revolusi. Baru setelah kembali dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaharuan
pemikiran islam secara menyeluruh.[4]

Basis sosial Hasan Hanafi adalah kondisi obyektif dunia Islam pada umumnya yang
masih mempresentasikan diri dengan simbol-simbol keterbelakangan kemiskinan kebodohan dan
sebagainnya, sebagai musuh internal umat. Sementara kapitalisme global dengan sejumlah
tawaran-tawaran entetisnya berupa proyek rasionalisasi dan sistem pengorganisasi sosial yang
bersifat absolut sebagai penggolongan kebebasan manusia yang bersifat tunggal dan hegemonik.
Realitas ini menghadapakan timur pada situasi yang dilematis. Di satu sisi dihadapkan pada
situasi untuk menerima kapitalisme global dengan segala implikasinya  sebagai keniscayaan
sejarah , sementara di sisi lain, kondisi obyektif dunia timur (Islam) masih diselimuti problem
internal berupa ketidaksiapan sosiologis maupun epistimologis sebagai basis kebudayaannya.

Meskipun di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh


kelompok Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis beberapa
karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats wa Tajdid)
dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta
kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar  yakni dunia Eropa atau Barat.[5]

Bagi kelompok konservatif, Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam lainnya


dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam didalam kehidupan umat
manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan dunia Barat.
Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam.[6]

Komitmen sebagai pemikir dan keterlibatanya dalam pergumulan perubahan sosial


membawa Hasan Hanafi pada refleksi orogresif-transformatif. Kemenangan revolusi islam iran
1979 yang berhasil meruntuhkan kekuasaan syah iran dukungan AS, memberikan sebuah
semangat bagi dirinya serta anakmuda lainnya untuk terlibat dalam perubahan sosial politik.
Hasan Hanafi berkeyakinan bahwa islam sebagai ideologi dan sumber motivasi terbukti masih
merupakan senjata ampuh bagi setiap gerakan massa. Realitas ini merupakan satu bukti pula
betapa dunia timur (Islam) mempunyai tradisi lama yang sanggup memberikan spirit bagi
perubahan sosial politik..

B.     Pemikiran Hasan Hanafi tentang Tafsir/Hermeneutik Al-Quran

Hasan hanafi mempunyai banyak sekali pemikiran dalam dunia islam. Ada hasil
pemikiran beliau dalam hal “politik” yang sangat terkenal yaitu Kiri Islam dan dalam bidang
tafsir karyanya adalah Hermeneutika Al-quran. Ada juga tentang oksidentalisme. Disini akan
coba di jelaskn beberapa inti pemikiran dari Hasan Hanafi.

Buku karya Hasan Hanafi yang disusunnya selama 10 tahun ini terdiri dari lima volume.
Volume pertama terfokus pada premis-premis teoritis (al-muqaddimah an-nazhariyyah), volume
ke 2 membahas tntang ketauhidan (at-tauhid), volume ketiga membahas tentang keadialn (al-
adl), volume keempat mendiskusikan tentang kenabian (an-nubuwwah al-muad) dan volume
yang terakhir berbicara tentang amal, keimanan dan imamah. Pada kelima karya nya hanya pada
volume pertamalah ia mampu menuangkan ide-ide pemikiran yang sangat cemerlang yang diberi
nama at-turats wa at-Tajdid ini berbicara tentang tradisi barat.[7]

Hasan Hanafi dalam karyanya yang berjudul at-turats wa at-Tajdid dirumuskan kedalam


3 bagian yang saling berhubungan.[8] Pertama adalah rekonstruksi tradisi Islam dengan
melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan “apresiasi terhadap hasanah
klasik”. Kedua rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis
yang tercermin dalam “sikap kita terhadap barat”. Yang ketiga adalah upaya membangun sebuah
teori interpretasi al-Quran yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skla global
yang memposisikan islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan (sikap kita terhadap
realitas).

 
Pandangan Hanafi terhadap al-Quran

Hasan hanafi adalah seorang tokoh konrtemporer, tetapi dalam pemikirannya ia berbeda
dengan kebanyakan ulama lainnya. Ia tidak mempermasalahkan keotentikan dan keabsahan teks
al-Quran. Menurut Hanafi dari sekian banyak kitab suci yang di turunkan oleh Alloh swt hanya
al-Quarna lah yang bisa di jamin keasliannya saat ini. Hanafi juga sepakat dengan ulama
terdahulu hanafi menyatakan bahwasanya Alloh swt menurunkan al-Quran secara vertikal
kepada nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Dalam proses vertikal ini Malaikat dan Nabi
Muhammad bertindak sebagi Passive transmiters. Keduanya bertindak sebagai sebagai record
sepenuhnya, sehingga wahyu alloh bersifat verbatim.[9]

Sebagai passive transmitters, Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad menyampaikanapa


adanya wahyu yang mereka terima dari Allah. Sebagai contoh, ada beberapa surat Al-Qur’an
yang dimulai dengan huruf-huruf muqaṭṭa’ah seperti Nūn, Qāf, Yāsīn dan lain sebagainya,
kemudian terdapat pula ayat yang mengkritik Nabi Muhammad seperti yang terdapat pada awal
surat Abbasa. Keberadaan ayat-ayat semacam ini merupakan bukti internal bahwa Al-Qur’an
otentik, terbebas dari campur tangan Nabi Muhammad. [10]           Hanafi juga meyakini bahwa
semua ayat dalam al-Quran itu mempunyai asbabul nuzul.

Menurut Hasan Hanafi al-Quran sebagai wahyu mempunyai 3 keunggulan dibandingkan dengan
kitab-kitab lainnya.

1. Al-Quran adalah kitab terakhir dalam sejarah kenabian sejak nabi Adam as sampai nabi
Muhammad saw. Sebagai kitab terakhir adalah ia yang kitab yang sempurna bentuknya,
dan oleh karena itu ia dijadikan sumber syariat tanpa harus menunggu perubahan,
penggantian dan penghapusan.
2. Al-Quran adalah kitab yang paling di jamin keotentikannya, tidak ada perubahan di
dalamnya. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang terdapat perubahan didalamnya.
3. Al-Quran adalah kitab suci yang terakhir diturunkan dan tidak sekaligus melainkan
bertahap sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pada saat itu. Ayat-ayat al-Quran yang
turun sebagai penyelesaian atas kondisi pada saat itu. Ayat-ayat tersebut terkumpul
selama 23 tahun dan sekarang kita kenal dengan mushaf al-Quran.

Menurut Hasan Hanafi membaca teks sama saja dengan memahaminya. Teks adalah perubahan
kehendak dari lisan menjadi tulis. Menurutnya teks bukanlah dokumen yang lebih dekat kepada
catatan kuno tetapi realitas yang hidup dalam keadaan diam, yang akan terbangkit melalui
pembacaan sehinnga hidup kembali dalam berbagai bentuk.[11] Teks bukan saja sebagai bentuk
dokumentasian yang bertujuan untuk melestarikan dan untuk mencatat melainkan cermin
keotoritasan pengorentasian, koodifikasi dan penetapan hukum.
Pandangan Hasan Hanafi terhadap Penfsiran Klasik al-Quran

Awal mula Hanafi mengemukakan pendapatnya tentang al-Quran adalah ketika dia tidak
merasa puas dengan teori klasik yang telah dibangun oleh ulama tafsir. Ia beranggapan bahwa 
teori yang dipakai tidak memiliki teori yang solid yang memiliki prinsip-prinsip yang teruji dan
terseleksi. Karena penafsiran model klasik ini tidak menginjak pada level syarah (komentar),
tafsil (detailisasi) dan tikrar (pengulangan) serta penjelas tentang apa point-point yang harus di
tekankan ketika menafsirkan ayat/surah tertentu. disisi lain ia mengabaikan kehidupan, problem,
kebutuhan manusia yanag mengakibatkan teks tersebut hanya berkutat pada dirinya sendiri.[12]

Teori tafsir adalh teori yang menghbungkan antara wahyu dan realitaz( antara dunia dan
akhirat dan manusia dg tuhan).[13] Menurut Hasan Hanafi problematika penafsiran al-Quran
klasik ada 2 hal yang berpengaruh besar. Pertama tentang krisis Orientasi dan yang kedua adalah
krisis Epistimologi.

1. Krisis Orientasi

Hanafi menginginkan penafsiran al-Quran menjadi sumber rujukan utama dalam


bidang keilmuan lainnya seperti filsafat, fiqih, tasawuf ushul fiqih dll. Penafsiran klasik tidak
pernah tuntas dan tafsir ini hanya terjebak pada orientasi metodologis dari disiplin ilmu
klasik islam. Dalam penafsiran ini al-Quran lebih banyak digunakan sebagai justifikasi atas
posisi keilmuan lain daripada memahaninya secara sunggung-sungguh. al-Quran dipaksakan
untuk menguatkan posisi ilmu yang lain. Orientasi tafsir klasik menurut hasan hanafi
mempunyai 3 kelemahan. Pertama penafsiran ini lebih bersifat teosentris daripada
antroposentris. Kedua, berujukan kepada lingkup islam klasik, dan yang terakhir tidak pernah
dimulai dengan mengkritik.

2. Krisis epistimologis

Kebanyakan tafsir yang klasik hanya skedar menjelaskan masalah-masalah yang tidak
menyinggung dengan permasalahan masyarakat. Di dalamnya hanya mengulang-ngulang
saja pendapat para ulama terdahulu dan mengemasnya dengan berbagai argumen.

 
Metode Hermeneutika Hasan Hanafi

Hal ingin diwujudkan Hanafi dalam pemikirannya adalah merekonstruksi peradaban


dengan menunjukan pada sumber-sumbrnya, atau reinterprtasi wahyu itu sendiri yang
mendasarkan kepada realitas kehidupan kontemporer masyarakat. Hanafi menggunakan
hermeneutika sebagai alternatif metode interpretasi teks atas

Hanafi juga menambahkan pendapatnya secara jelas bahwa ia menyatakan keluar dari
tradisionalisme (taklidisme) dan tidak mengikuti jejak para salaf ash-shalih. [14] Hasan Hanafi
secara tegas mengajak kepada kita untuk mengalih fokus kajian dari Alloh swt dan Rosul, yang
menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan tradisional, menuju manusia yang sekarang
sbagai objek kajian.

Kelemahan Tafsir Klasik[15]

a. Tafsir itu slalu lebih merupakan teori tentang eksistensi Alloh swt daripada tentang eksistensi
manusia.

b. Tafsir klasik selalu terkait dengan kondisi lokal islam tempat dahulu islam lahir, Khususnya
dari segi sosial dan ekonmi.

c. Penulisan tafsir tidak dimulai dengn mengeritik, menyerukn perbaikan dan perubahan radikal
atas kondisi yg bertentangan dengan agama.

Metodologi Penulisan Hermeneutika Hasan Hanafi[16]

Wahyu di letakkan dalam tanda kurung ”epoche” tidak afirmasi.

Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis,
dokumen sejarah dan sebagainya.

Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah
perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.

Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh
perbedaan pemahaman penafsir

Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis

Krakteristik Penafsiran Hasan Hanafi[17]

Tafsir itu harus menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz’i).

Tafsir ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu’i)


Bersifat temporal (at-tafsir az-zamani.

Realistik (at-tafsir al-waqi’i). Dimulai dari problematika yang dialami oleh orang muslim.

Beroeientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan
kata.

bersifat experimental, karena tafsir ini merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan
pengalaman hidup mufassir.

perhatian terhadap problem kontemporer.

C.    Kiri Islam hasan Hanafi

Pengertian Kiri Islam

Makna kata “kiri” disini adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti
resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak anatara realitas dan idealitas. Ia juga istilah ilmu-
ilmu kemanusiaan secara umum. Kata Kiri Islam sendiri muncul secara spontan. Penamaan itu
pun setelah meliahat realitas yang berkembang dalam masyarakat khususnya umat islam yang
kehidupannya terkotak-kotak seperti antara penguasa dan rakyat, kaya dengan yang miskin,
atasan dengan bawahan, dll. Kiri Islam berada pada posisi yang dikuasai, si miskin,
terpinggirkan.[18]Kiri Islam berada pada pihak yang terkotak-kotak di bawah, mengambil hak-hak
kaum miskin yang terenggut oleh orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah
menjadi umat yang super, menjadikan manusia tidak hidup terkotak-kotak menjadikan manusia
sama tingginya. Dalam bahasa ilmu politik, kiri berarti perjuangan dan kritisisme.

Isi Pemikiran Kiri Islam

Kiri islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan islam, revolusi
islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat.[19]

Revitalisasi khazanah islam klasik. Hasan hanafi menekankan bahwa perlunya rasionalisme
untuk revitalisasi khazanah islam. Rasionalisme adalah keniscayaan untuk kemajuan dan
kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia islam.

Perlunya menantang peradaban Barat. Ia mengingatkan tentang bahayanya imperalisme kultural


barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya.

Analisis terhadap realitas dunia Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks
(nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada
dirinya sendiri.
Karya tulis hasan hanafi tentang kiri Islam ini di buat oleh beliau sekitar sepuluh tahun dalam
lima jilid dan terbit pada tahun 1988 dan karya ini disebut-sebut sebagai karya yang paling
fenumental dalam sejarah karyanya. Kiri islam bukan hanya bentuk respon hasan hanafi  atas
revolusi Islam di Iran. Dalam karyanya yang lain yang menggambarkan pula tentang
pemikirannya tentang “Agama dan Pembebasan” mngkin kita mengkaji Teologi pembebasan.
Disini Hanafi tidak hanya mengeluarkan tentang isu-isu revolusioner tentang dunia Arab-Islam
tetapi juga berkaitan dengan Teologi Pembahasan.[20]

D.    Pemikiran Tentang Oksidentalisme

Menurut Nurcholis Madjid oksidentalisme adalah “pengetahuan akademik tentang


budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat” (N. Madjid “orientalisme dan oksidentalisme, 2000).
Secara umumnya oksidentalis adalah pengkajian orang-orang timur tentang orang-orang barat
dari bahasa, kebudayaan dll yang berhubungan dengan Barat.

Hasan Hanafi adalah orang yang digadang-gadang sebagai pencetus adanya


oksidentalisme. Ia merasa tidak setuju dengan lingkungan disekitar yang sangat dihegemoni oleh
bangsa barat, yang seolah-olah barat adalah pusat dari segalanya. Dengan keadaan yang seperti
itu membuat Hanafi mengeluarkan pemikirannya tentang barat dan ia mempolerkanlah term
oksidentalisme.

Beberapa pemikiran hasan hanafi tentang Oksidentalisme. Hasan hanafi menginginkan


seorang oksidentalisme mempunyai tugas untuk merumuskan tugas-tugas sebagi pengkaji tradisi
barat, seperti berikut:[21]

Melenyapkan superrioritas Barat dngan menjadikannya sebagai obyek kajian dan


menumbangkan kaum minoritas dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hal ini bisa di
tandai dengan hialngnya dikotomi antara tuan dengan hamba.

Menghapus mitos kebudayaan Barat atau Kosmopolit sebagai kebudayaan yang harus di
adopsi oleh seluruh bangsa. Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa kebudayaan
terbaik adalah kebudayaan barat. Untuk menghapus mitos ini hanafi menawarkan solusi yaitu
dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan akan mengembalikan Barat pada batas-batas
alamiyahnya.

Mengakhiri kontrol eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak baru bagi
sejarah manusia. Hal ini dimulai dengan masa pembebasan yang bertepatan dengan krisis abad
20 di Eropa. Penariakn mundur Eropa ke batas geografisnya. Melemahnya kebudayaan Barat dan
pengaruhnya terhadap bangsa lain.

Meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme sejarah Eropa untuk kemdian


dilakukan penulisan ulang sejarah Dunia dengan kacamata yang lebih obyektif dan netral serta
lebih bersifat adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
Sebagian Karya-Karya dari Hasan Hanafi

Essai Sur La Methode d’ Exegese (Esai tentang metode Penafsiran) Tahun 1966.

Tulisan di media massa seperti Al-Katib, Al-Adab, Mimbar Islam, Al-fikr al-Mu’ashir, sekitar
tahun 1970-an.

Qudhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.

Al-Din wa al-Tsurah fi Mishr sekitar tahun 1952-1981

Al-Turats wa al-Tajdid sekitar tahun1980an.

Sebenarnya karya-karya Hasan Hanafi banyak sekali, entah itu yang yang berbentuk buku,
artikel atau dalam bentuk tulisan lainnya.

F.     Pengaruh dan Pro Kontra Pemikiran Hassan Hanafi

Meskipun di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh


kelompok Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis beberapa
karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats wa Tajdid)
dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta
kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar  yakni dunia Eropa atau Barat.[22]

Bagi kelompok konservatif Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam


lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam didalam
kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh kepentingan-
kepentingan dunia Barat[23]. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif telah mengkafirkan ajaran-
ajaran modernis Islam.[24]

Selain mendapat kecaman dari kelompok-kelompok Islam konservatif, Hassan Hanafi


juga mendapat cekalan dari pemerintahan Mesir. Ketika pemerintahan Mesir memberikan pilihan
kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan 
gerak-geriknya, atau pergi keluar negri. Dengan desakkan dari pemerintah akhirnya Hassan
Hanafi pergi ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975), dan baru kembali
setelah terjadi gerakan anti-pemerintah Anwar Sadat.
BAB III

PENUTUP

Hasan Hanafi adalah tokoh pemikir modern dan penggerak dalam dunia islam. Ia
mempunyai berbagai pemikiran yang reformis dan revolusioner dalam pembaharu pemikiran-
pemikiran islam. Ide-ide pemikiran ini berada pada berbagai bidang, tetapi hanya beberapa
pemikiran beliau yang sangat fenomenal dan sangat berpengaruh hingga sekarang.

Beberapa inti pemikiran beliau adalah tentang Kiri Islam yaitu bentuk perlawanan
“politik” dalam memperbaiki kehidupan masyarakat dalam menghadapi kenyataan. Teori ini
ingin menghapus adanya sekat-sekat yang ada dalam realitas masyarakat seperti tuan dengan
hambanya, atasan dengan bawahannya, si kaya dan si miskin, dll.

Inti pemikiran yang kedua yaitu dengan tentang Hermeneutika Al-Quran. Pemikiran
mengkritik tentang model penafsiran klasik yang hanya berkutat menafsirkan yang berhubungan
dengan teosentris saja tanpa ada pengaruh terhadap realita kehidupan. Ia juga memberikan
model-model penafsiran yang berhubungan keadaan sekarang.

Pemikiran yang ketiga adalah tentang oksidentalisme, dimana ia orang pertama yang
mencetuskan tentang term oksidentalisme. Pemikiran ini muncul sebagai reaksi dia terhadap
hegemoni bangsa barat yang selalu mendominasi setiap unsur kehidupan.

Mungkin ini adalah gambaran sekilas tentang pemikiran hasan hanafi yang dapat kami
sampaikan. Tentunya banyak sekali pemikiran dari Hasan Hanafi yang belum sempat terbahas.
pembahasan di atas hanyalah sebagian kecil dari hasil pemikirannnya.

 
REFERENSI

Shimogaki,Kazuo.1997. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme.Yogyakarta : LkiS

Muhammad Hamid an-Nashir.2004. Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-


Afghani Hingga Islam Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-
Taghrib, Jakarta: Darul Haq.

Sholahuddin, Devi Muharrom.2010. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan


Hanafi.File PDF

http://id.scribd.com/doc/39806219/Makalah-Biografi-Dan-Pemikiran-Hassan-Hanafi4

Listiyono Santoso dkk.2003. Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz Press Yogyakarta.

Harb, Ali.2003. kritik nalar al-Quran .lkis Yogyakarta

Al-Hamdi, Ridho (03511268).2007. Skripsi: Epistemologi Oksidentalisme Hasan


Hanafi.Yogyakarta.

[1].  http://id.scribd.com/doc/39806219/Makalah-Biografi-Dan-Pemikiran-Hassan-Hanafi4

2. Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an


Hasan Hanafi.2010

[3]. http://www.scribd.com/doc/39806219/Makalah-Biografi-Dan-Pemikiran-Hassan-Hanafi4?

[4]. http://www.scribd.com/doc/39806219/Makalah-Biografi-Dan-Pemikiran-Hassan-Hanafi4?

[5]. Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Ar-Ruzz Press Yogyakarta, 2003), Hlm.270

[6]. Muhammad Hamid an-Nashir, 2004. Hlm. 207

[7]. Ali harb, kritik nalar al-Quran (lkis Yogyakarta ) 2003 hlm. 32

[8]. Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan


Hanafi.2010
  [9]. Hanafi, Hasan.Hermeneutika Al-Quran?.(Yogyakarta .2010) hlm 41

[10]. Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an


Hasan Hanafi.2010

[11]. Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an


Hasan Hanafi.2010

[12]. Hanafi, Hasan.Hermeneutika Al-Quran?.(Yogyakarta .2010) hlm 40

[13]. Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan


Hanafi.2010

[14]. Ali harb. Kritik Nalar al-Quran (lkis Yogyakarta ) 2003 hlm. 33

[15]. Hanafi, hasan. Hermenutika Al-Quran?. Hlm 7-10

[16] .Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan


Hanafi.2010

[17]. Sholahuddin, Devi Muharrom. Kritik Terhadap Metodologi Tafsir Al-Qur’an Hasan


Hanafi.2010

[18]. Shimogaki,Kazuo. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme.(Yogyakarta : LkiS,


1997).hlm. 88

[19]. Shimogaki,Kazuo. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme.(Yogyakarta : LkiS,


1997).hlm. 7-8

[20]. Shimogaki,Kazuo. Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme.(Yogyakarta : LkiS,


1997).hlm. 11

[21]. Al-Hamdi, Ridho (03511268). Skripsi: Epistemologi Oksidentalisme Hasan Hanafi.


( Yogyakarta, 2007) hlm. 75-77

[22]. Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Ar-Ruzz Press Yogyakarta, 2003), Hlm.270

[23]. Muhammad Hamid an-Nashir, Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-


Afghani Hingga Islam Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-
Taghrib, (Darul Haq, Jakarta 2004), Hlm. 285

Anda mungkin juga menyukai