Anda di halaman 1dari 15

INTEGRASI ILMU ISMAIL RAJI AL-FARUQI

Oleh
Helmi Muti Sofie
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
helmi.mutisufi@gmail.com

ABSTRAK
Ismail Raji al-Faruqi adalah sosok yang produktif, semua tulisannya pada dasarnya
adalah ide dan teori cemerlang untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu
pengetahuan yang dikemas dalam bingkai Islamisasi ilmu pengetahuan. Ide
islamisasi pada dasarnya muncul karena adanya paradigma yang sekuler, sehingga
pengetahuan modern menjadi kering, bahkan terpisah dari nilai- nilai tauhid.
Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi
keislaman dan nilai- nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini
menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Atas dasar ini, al-
Faruqi merancang proyek Islamisasi ilmu pengetahuan.
Kata Kunci: Integrasi, Ilmu Pengetahuan, Al-Faruqi

PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuaan pada dasarnya berfungsi untuk menjawab dan
memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia sehingga dengan
majunya ilmu pengetahuan, tingkat kesejahteraan hidup manusia akan meningkat.
Perkembangan ilmu pengetahuan pada empat dasawarsa terakhir banyak diwarnai
oleh para filosof baik Barat maupun Timur, telah menjadikan ilmu pengetahuan
yang terlalu rasionalistik pada gilirannya menghampakan manusia.1

Perseteruan antara ilmu pengetahuan dan agama seperti tidak ada habisnya.
Krisis ilmu pengetahuan modern ini telah sampai pada krisis landasan filosofis.
Pondasi epistimologi positivisme-rasionalisme yang digunakan ilmu pengetahuan
modern sebagai topangan berfikir secara lambat laun tapi pasti telah meniadakan
keberadaan nilai terutama nilai agama atau menihilkan keberadaan Tuhan. Hal ini
didukung dengan pernyataan bahwa ilmu yang objektif itu bebas nilai. Dengan
istilah yang lain, di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis
spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme,

1
F. Nashori, Membangun Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Sipress, 1996), 15.
empirisme, dan positivisme, ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern
di mana sekularisme menjadi suatu tema bagi kehidupan modern.2 Sehingga
dampak dari paradigma sekularisme tersebut, ilmu pengetahuan dan agama menjadi
terpisahkan.

Isu dan problem inilah yang kemudian menyadarkan al-Faruqi akan


perlunya filosofis yang intensif ke arah Islamisasi ilmu pengetahuan modern atau
kontemporer. Dalam banyak tulisannya ia menekankan pentingnya spiritualitas
sebagai aspek ilmu sosial yang valid dan menyarankan agar ilmuan Muslim dilatih
dalam bidang aksiologi, ontologi, teologi dan estetika agar dapat mengembangkan
keilmuan yang dimilikinya.

PEMBAHASAN

Biografi Ismail Raji al-Faruqi

Ismail Raji al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari


1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Mei 1986. Ayahnya bernama Abd al-
Huda al-Faruqi adalah seorang hakim muslim yang sangat patuh pada agamanya.
Al-Faruqi memperoleh pendidikan agama dari rumah terutama ayahnya dan masjid
lokal setempat. Ia lahir dari sebuah keluarga terpandang di Jaffa, sebuah daerah di
Palestina ketika belum direbut oleh Israel. Sebagai orang yang sangat kuat
keterikatan batinnya dengan Palestina, dan pernah mengalami sendiri tragedi yang
dialami rakyat Palestina, dia menjadi salah seorang penentang gigih zionisme.
Hingga kematiannya, al-Faruqi tetap berpendapat bahwa negara Israel harus
dirobohkan, dan rakyat Palestina berhak melakukan aksi melawan mereka.3

Pendidikan dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon, pada tahun


1926-1936. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di The American
University, Beirut, tempat ia memperoleh gelar Bachelor of Arts (BA)-nya pada

2
Mughni Syafiq A. Nilai-Nilai Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 95.
3
Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam: Menjelajah Khazanah
Peradaban Gemilang, terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 2002), 6.
tahun 1941.4 Dengan gelar sarjana muda, al-Faruqi pernah menjadi pegawai negeri
selama empat tahun di Palestina dan mencapai jabatan sebagai gubernur di Galilela
pada usia 24 tahun. Namun jabatan ini tidak lama, karena pada tahun 1947 propinsi
tersebut jatuh ke tangan Israel, dan ini membuat langkah al-Faruqi menuju Amerika
Serikat tahun 1948.5

Setahun kemudian ia hijrah ke Amerika dan melanjutkan studinya di


Indiana University sampai meraih gelar Master di bidang filsafat pada tahun 1949.
Dua tahun kemudian ia meraih gelar master kedua dalam bidang yang sama dari
Universitas Harvard. Puncaknya tahun 1952, al-Faruqi meraih gelar Ph.D dari
Universitas Indiana, dengan disertasi berjudul On Justifying the God: Metaphysic
and Epistemology of Value. Namun, apa yang dicapai ini tidak memuaskannya.
Karena itu, ia kemudian pergi ke Mesir untuk lebih mendalami ilmu-ilmu keislaman
di Universitas al-Azhar, Kairo.6

Sekembalinya dari kairo ke Amerika Utara, ia menjadi professor tamu studi-


studi Islam di Institut Studi Islam dan menjadi mahasiswa tingkat doctoral penerima
beasiswa pada Fakultas Teologi di Universitas McGill dari tahun 1956-1961,
tempat ia belajar tentang Kristen dan Yahudi. Ia lalu memulai karir profesionalnya
sebagai guru besar studi Islam pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi dari tahun
1961-1963.7 Dua tahun di Pakistan, tahun 1963, al-Faruqi kembali ke Amerika dan
mengajar di School of Devinity, Universitas Chicago, sambil melakukan kajian
keislaman di Universitas Syracuse, New York. Selanjutnya, tahun 1968, al-Faruqi
pindah dan menjadi guru besar Pemikiran dan Kebudayaan Islam di Temple
University, Philadelphia. Di sini al-Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies
sekaligus memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986. Menurut beberapa
sumber, al-Faruqi meninggal karena diserang orang tak dikenal yang diidentifikasi

4
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006),
209.
5
Kafrawi RIdwan, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhouve, 1995), 334.
6
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundanmentalisme Modern hingga Post-
Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), 49.
7
John L. Esposito, Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001), 40.
sebagai agen Mossad, agen rahasia Israel. Tragedi ini juga menewaskan istrinya,
Dr. Louis Lamya dan kedua putranya.8

Pada tahun 1960, Al-Faruqi menikah dengan Lois Ibsen, yang setelah
masuk Islam beralih nama menjadi Lamya al-Faruqi, wanita asli Amerika.
Perempuan yang awalnya menggeluti dunia musik, dan setelah menikah
mengalihkan konsentrasinya pada studi Islam di McGill University Canada, hingga
berhasil memperoleh gelar Doktor dari Syracuse University pada tahun 1974,
dengan disertasi yang berjudul The Nature of Musical Art of Islamic Culture (Watak
Seni Musik dalam Kebudayaan Islam).

Di samping kontribusinya yang besar dalam memperkenalkan studi-studi


keislaman di berbagai perguruan tinggi di Amerika dan proyeknya yang terkenal,
‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’ (Islamization of Knowledge), Faruqi juga aktif
dalam gerakan-gerakan keislaman dan keagamaan. Bersama istrinya, Dr. Louis
Lamya, ia membentuk kelompok-kelompok kajian Islam, seperti Muslem Student
Association (MSA), American Academy of Religion (AAR), mendirikan Himpunan
Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social Scientist - AMSS),
Islamic Society of North America (ISNA), menerbitkan jurnal American Journal of
Islamic Social Sciences (AJISS), dan yang menomental, mendirikan Perguruan
Tinggi Pemikiran Islam (The International Institue of Islamic Thought -IIIT).9

Selain itu, Faruqi juga duduk sebagai penasehat serta ikut mendesain
program studi Islam di berbagai Universitas di dunia Islam, antara lain, di Pakistan,
India, Afrika Selatan, Malaysia, Saudi Arabia dan Mesir. Selain itu, Faruqi juga
ikut mendesain program studi Islam di tempat-tempat isolatif seperti di Universitas
Mindanau, Philipina Selatan, dan Universitas Qum, Teheran, Iran. 10

Selama hidupnya, al-Faruqi adalah sosok yang produktif, lebih dari dua
puluh buku dalam berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus

8
Ismael R. al-Faruqi, Seni Tauhid, terj. Hartono, (Yogyakarta: Bentang, 1999), 274.
9
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik, 50.
10
Lamya al-Faruqi, Alaih Masa Depan Kaum Wanita, terj. Masyhur Abadi, (Surabaya: al-Fikr,
1997), ix.
artikel telah dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan-
gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu, yang
dikemas dalam bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan. Beberapa karyanya
adalah sebagai berikut: Christian Ethics: A Systematic and Historical Analysis of
Its Dominant Ideas, The Great Asian Religions, Historical Atlas of the Religions of
the World, Sources of IslamicThought: Three Epistles on Tawhid by Muhammad
ibn ‘Abd al Wahhab, Islam and Culture, Islamic Thought and Culture, Islamization
of Knowledge, Tawhid: Its Implications for Thought And Life dan lainnya. Beberapa
karya penting Ismail Raji al-Faruqi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Pemikiran-pemikirannya dapat diamati dari karya-karyanya tersebut.
Pemikiran- pemikirannya tentang Islam dianggap mempunyai nilai penting, karena
selain perhatiannya atas dunia dan umat Islam juga yang terpenting adalah
pembelaan atas umat Islam sungguh luar biasa.11

Kensep Integrasi Ilmu

Wacana tentang integrasi ilmu dan agama telah muncul cukup lama. Meski
tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit, dikalangan Muslim
modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dan wahyu (Iman),
telah cukup lama beredar. Cukup popular juga dikalangan Muslim pandangan
bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah
integrated. Dalam konteks Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi”
dipopulerkan Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan
sains-agama dengan “integrasi”.12

Ismail Raji al-Faruqi sebagai seorang penggagas konsep islamisasi


pengetahuan mengatakan bahwa apa yang dicapai sains modern, dalam berbagai
aspeknya merupakan sesuatu yang sangat menakjubkan. Namun, kemajuan tersebut
ternyata juga memberikan dampak lain yang tidak kalah mengkhawatirkannya.
Akibat dari paradigma yang sekuler, pengetahuan modern menjadi kering, bahkan

11
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998), 264-265.
12
Zainal Abidin Bagir, et al., Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2005), 20.
terpisah dari nilai- nilai tauhid: suatu prinsip global yang mencakup lima kesatuan,
yaitu keesatuan Tuhan, kesatuan alam, kesatuan kebenaran, kesatuan hidup dan
kesatuan umat manusia. Jelasnya, sains modern telah lepas atau melepaskan diri
dari nilai-nilai teologis. 13

Perceraian sains modern dari nilai-nilai teologis ini memberikan dampak


negatif. Pertama, dalam aplikasinya, sains modern melihat alam beserta hukum dan
polanya, termasuk manusia sendiri, hanya sebagai sesuatu yang bersifat material
dan insidental yang eksis tanpa intervensi Tuhan. Karena itu, manusia bisa
mengeksploitasi kekayaan alam tanpa memperhitungkan nilai-nilai spiritualitas.
Kedua, secara metodologis, sains modern ini, tidak terkecuali ilmu- ilmu sosialnya,
menjadi sulit diterapkan untuk memahami realitas sosial masyarakat muslim yang
mempunyai pandangan hidup berbeda dari Barat.14

Sementara itu, keilmuan Islam sendiri yang dianggap bersentuhan dengan


nilai-nilai teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa
memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu kealaman yang
dianggap sekuler. Demi menjaga identitas keislaman dalam persaingan budaya
global, para ilmuan muslim bersikap defensif dengan mengambil posisi
konservatif-statis, yakni dengan melarang segala bentuk inovasi dan
mengedepankan ketaatan fanatik terhadap syarī`ah (fikih produk abad
pertengahan). Mereka menganggap bahwa syarī`ah (fikih) adalah hasil karya yang
telah paripurna, sehingga segala perubahan dan pembaharuan atasnya adalah
penyimpangan dan setiap penyimpangan adalah sesat dan bid`ah. Mereka
melupakan sumber utama kreatifitas, yakni ijtihad, bahkan mencanangkan
ketertutupannya. Sikap sebagian ilmuan muslim tersebut, pada akhirnya juga
menimbulkan pemisahan wahyu dari akal, pemisahan pemikiran dari aksi dan
pemisahan pemikiran dari kultur, sehingga menimbulkan stagnasi keilmuan
dikalangan mereka.15

13
Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik Sekapur Sirih Nurcholis Madjid, (Jakarta: Terprit, 1993),
63.
14
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Vol. 1, (Jakarta: Jambatan, 1992), 242.
15
Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1995), 41.
Berangkat dari fenomena tersebut Ismail Raji al-Faruqi melihat kenyataan
bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan
pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap
mendua, antara tradisi keislaman dan nilai- nilai peradaban Barat. Pandangan
dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat
Islam. Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara
muslim. Dan bisa dikatakan hal itu telah menghancurkan umat Islam dari ajaran Al-
Qur’an dan Hadits. Dengan adanya westernisasi, berbagai pandangan hidup Barat
diterima umat Islam tanpa adanya filter sebagai penyaring kehidupan Barat yang
masuk di dunia Islam. Sehingga umat Islam dewasa ini menjadi kebingungan tanpa
arah, yang disebabkan oleh keadaan kultur integritas Islam terpecah baik dalam
aspek pemikiran maupun perbuatan.

Berangkat dari hal tersebut, Ismail Raji al-Faruqi berfikir bahwa salah satu
cara dalam menghilangkan dualisme tersebut dengan cara mengislamisasikan
pengetahuan-pengetahuan atau dengan melakukan sebuah akulturasi sebuah
pengetahuan-pengetahuan. Sehingga apa yang dikonsepsikan bahwa ilmu
pengetahuan bersifat kebaratan dan mengandung dualisme tersebut bisa dilebur
dengan ajaran tauhid dan beberapa normatif dalam agama Islam.

Bagi al-Faruqi, pendekatan yang dipakai adalah dengan jalan menuang


kembali seluruh khazanah sains Barat dalam kerangka Islam yang prakteknya tidak
lebih dari usaha penulisan kembali buku-buku teks dan berbagai disiplin ilmu
dengan wawasan ajaran Islam. Sedang menurut al-Attas adalah dengan jalan
pertama-tama sains Barat harus dibersihkan dulu unsur-unsur Islam yang esensial
dan konsep-konsep kunci sehingga menghasilkan komposisi yang merangkum
pengetahuan inti. Bahkan dewasa ini muncul pendekatan baru yaitu merumuskan
landasan filsafat ilmu yang islami sebelum melakukan islamisasi pengetahuan.
Sejalan dengan kedua tokoh di atas, Sayyid Husein Nasr mengkritik sains Barat,
karena menyebabkan kehancuran manusia dan alam. Oleh karena itu, Nasr
menganjurkan agar semua aktivitas keilmuan harus tunduk kepada norma agama
dan hukum-hukum suci Islam. Sayangnya, Nasr tidak merinci langkah selanjutnya
islamisasi sains. Ia cenderung menggambarkan prinsip umum dari bangunan sains
agar tidak terpisah dari muatan nilai agama.16

Jika melihat alasan atau latar belakang perlunya islamisasi menurut tokoh
ini, maka akan terlihat adanya kesamaan pemikiran yaitu bahwa peradaban yang
dibawa oleh Barat adalah peradaban yang menjunjung tinggi nilai dikotomis. Dan
nilai ini tentunya bertentangan dengan nilai yang ada dalam Islam yaitu tauhid.

Sebagai penggagas ide islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi memberikan


gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima
program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu:17

1. Penguasaan disiplin ilmu modern.


2. Penguasaan khazanah Islam.
3. Menentukan relevansi Islam dengan masing- masing disiplin ilmu.
4. Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan
ilmu- ilmu modern.
5. Mengarahkan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai
pemenuhan pola rancana Allah swt.

Lima sasaran rencana kerja islamisasi di atas, menunjukkan bahwa


islamisasi ilmu menghendaki umat Islam untuk senantiasa memiliki kemauan untuk
mengembangkan, berinovasi, sehingga perkembangan ilmu tetap berlandaskan
Islam. Tentunya, ketika ilmu berlandaskan Islam, maka ilmu tersebut mustahil
memberikan efek negatif terhadap manusia itu sendiri, yang terpenting sebenarnya
adalah bagaimana umat Islam terus melakukan “membaca”. Umat Islam seharusnya
memiliki perhatian yang besar terhadap perkembangan ilmu.

Metodologi Implementasi Konsep Integrasi Ilmu al-Faruqi

16
Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), 152.
17
Abuddin Nata, dkk. Integrasi Ilmu, 144.
Untuk merubah paradigma sekulerisme di dunia Islam, al-Faruqi
meletakkan prinsip tauhid sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup
Islam. Prinsip-prinsip tauhid itu terdiri dari lima macam kesatuan, yaitu:18

1. Keesaan (kesatuan) Tuhan, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang
menciptakan dan memelihara semesta. Implikasinya, berkaitan dengan
pengetahuan adalah bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan
memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari realitas absolut (Tuhan),
melainkan melihatnya sebagai bagian yang integral dari eksistensi Tuhan.
Karena itu, islamisasi ilmu mengarahkan pengetahuan pada kondisi analisa dan
sintesa tentang hubungan realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan (divine
pattern).
2. Kesatuan ciptaan, bahwa semesta yang ada ini baik yang material, psikis,
spasial (ruang), biologis, sosial maupun estetis, adalah kesatuan yang integral.
Masing-masing saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan
hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan.
Dalam kaitannya dengan islamisasi ilmu, maka setiap penelitian dan usaha
pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan
realisasi ibadah kepada-Nya.
3. Kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kebenaran bersumber pada realitas, dan
realitas bersumber dari satu yaitu Tuhan. Maka, apa yang disampaikan lewat
wahyu tidak bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduanya diciptakan
oleh Tuhan. Al-Faruqi merumuskan kesatuan kebenaran ini sebagai berikut:
a) Bahwa berdasarkan wahyu, kita tidak boleh membuat klaim yang
paradoksal dengan realitas. Pernyataan yang diajarkan wahyu pasti benar
dan harus berhubungan dan sesuai dengan realitas. Jika terjadi perbedaan
atau bahkan pertentangan antara temuan sains dan wahyu, seorang muslim
harus mempertimbangkan kembali pemahamannya atas teks atau mengkaji
ulang data-data penelitiannya;

18
Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi, 99-118.
b) Bahwa dengan tidak adanya kontradiksi antara nalar dan wahyu, berarti
tidak ada satupun kontradiksi antara realitas dan wahyu yang tidak
terpecahkan. Karena itu, seorang muslim harus terbuka dan senantiasa
berusaha merekonsiliasikan antara ajaran agama dengan kemajuan Iptek;
c) Bahwa pengamatan dan penyelidikan terhadap semesta dengan bagian-
bagiannya tidak akan pernah berakhir, karena pola-pola Tuhan tidak
terhingga. Betapapun mendalam dan banyaknya seseorang menemukan
data baru, semakin banyak pula data yang belum terungkap. Karena itu,
seorang muslim dituntut bersikap open minded, rasional dan toleran
terhadap bukti dan penemuan baru.
4. Kesatuan hidup. Menurut al-Faruqi, kehendak Tuhan terdiri atas dua macam:
(1) berupa hukum alam (sunnatullah) dengan segala regularitasnya yang
memungkinkan diteliti dan diamati, materi; (2) berupa hukum moral yang harus
dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada dan seirama dalam
kepribadian seorang muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang
bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.
5. Kesatuan manusia yang universal mencakup seluruh umat manusia tanpa
terkecuali. Maka, pengembangan sains harus berdasar pada kemaslahatan
manusia secara universal.

Tujuan dan Langkah Kerja Islamisasi

Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi


itu dilakukan, Al- Faruqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi,
yaitu: Pertama, Penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua, Penguasaan khazanah
warisan Islam. Ketiga, Membangun relevansi Islam dengan masing-masing disiplin
ilmu modern. Keempat, Mamadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara
kreatif dengan ilmu- ilmu modern. Kelima, Pengarahan aliran pemikiran Islam ke
jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12
langkah yang secara kronologis harus ditempuh, yaitu:19

1. Penguasaan disiplin ilmu modern: penguasaan kategoris. Pada langkah


awal ini, disiplin-disiplin ilmu modern harus dipecah-pecah menjadi kategori-
kategori, prinsip-prinsip, metode, problema dan tema-tema. Penguraian tersebut
harus mencerminkan daftar isi sebuah buku daras (pelajaran) dalam bidang
metodologi disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan. Hasil uraian tersebut tidak
hanya berbentuk judul-judul bab, tapi harus berbentuk kalimat-kalimat yang
memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problem dan
tema pokok disiplin-disiplin ilmu yang bersangkutan.
2. Survei disiplin ilmu. Pada tahap ini, setiap disiplin ilmu modern harus disurvei
dan ditulis dalam bentuk bagan (skema) mengenai asal-usul, perkembangan dan
pertumbuhan metodologinya, keluasan cakupannya serta sumbangan pemikiran
yang telah diberikan para tokoh utamanya. Bibliografi dengan keterangan yang
memadai dari karya-karya terpenting di bidang ini harus pula dicantumkan
sebagai penutup dari masing-masing disiplin ilmu. Langkah ini bertujuan
menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di
dunia Barat.
3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi. Pada tahap ini, perlu dicari
sampai sejauh mana khazanah Islam menyentuh dan membahas objek disiplin
ilmu modern tertentu. Tujuannya agar dapat ditemukan relevansi di antara
khazanah Barat dan Islam. Ini penting, karena banyak ilmuan muslim didikan
Barat tidak mengenal khazanah Islam sendiri, kemudian mengangap bahwa
khazanah keilmuan Islam tidak membahas disiplin ilmu yang ditekuni. Padahal,
yang terjadi adalah bahwa ia tidak mengenal kategori-kategori khazanah ilmiah
Islam yang digunakan oleh ilmuan muslim tradisional untuk mengklasifikasi
objek disiplin ilmu yang ditekuninya.
4. Penguasaan khazanah ilmiah Islam tahap analisa. Tahap ini diadakan
analisis terhadap khazanah Islam dengan latar belakang historis dan kaitannya

19
Ismail R. al-Faruqi, Islamisasi, 99-118.
dengan berbagai bidang kehidupan manusia. Analisa historis ini dapat
memperjelas berbagai wilayah wawasan Islam itu sendiri. Namun, analisa ini
tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus dibuat daftar urut prioritas, dan
yang paling penting adalah bahwa prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah
pokok dan tema-tema abadi, yakni tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan
relevansinya kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategis
penelitian dan pendidikan Islam.
5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu.
Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama, apa
yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al- Qur'an hingga pemikir-
pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam
disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika
dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern
tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan
atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, ke arah mana kaum
muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga
memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah
disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
7. Penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk
setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya
harus dirumuskan.
8. Survei permasalahan yang dihadapi umat Islam. Suatu studi sistematis
harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial ekonomi, inteltektual,
kultural, moral dan spritual yang sedang dihadapi kaum muslimin saat ini.
Untuk bisa mengidentifikasi semuanya dibutuhkan survei empiris dan analisa
kritis secara konprehensif. Kearifan yang terkandung dalam setiap disiplin ilmu
harus dimanfaatkan untuk memecahkan problem umat Islam. Tidak seorang
muslimpun boleh membatasi ilmunya dalam satu titik yang hanya memuaskan
keinginan intelektulitasnya, lepas dari realitas, harapan dan aspirasi umat Islam.
9. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama,
namun kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, bahkan mencakup
seluruh alam semesta.
10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap
melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin moderen, serta
untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini khazanah
pemikir Islam harus disambungkan dengan prestasi-prestasi moderen, dan harus
menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas
daripada yang sudah dicapai disiplin-disiplin moderen.
11. Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern ke Dalam Kerangka Islam:
Buku-buku Pelajaran Tingkat Universitas. Pada dasarnya, para pemikir
Islam tidak akan tiba pada suatu penyelesaian yang sama, atau memilih pilihan
yang sama dalam hal penentuan relevansi Islam terhadap eksistensi umat Islam
di masa kini dan masa mendatang. Perbedaan pendapat itu bukan saja tidak
dihindari, tetapi bahkan sangat diharapkan. Sehingga kesadaran mereka
menjadi lebih kaya dengan berbagai macam pertimbangan. Berdasarkan
wawasan-wawasan baru tentang makna Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi
realisasi makna tersebut, maka ditulislah buku-buku daras untuk perguruan
tinggi, dalam semua bidang ilmu. Inilah puncak dari gerakan islamisasi
pengetahuan. Namun, penulisan buku-buku daras ini sendiri bukan pencapaian
final, melainkan justru baru sebagai permulaan dari sebuah perkembangan
peradaban Islam dimasa depan. Buku-buku daras hanya sebagai pedoman
umum bagi perkembangan selanjutnya. Karena itu, essei-essei yang
mencerminkan dobrakan pandangan bagi setiap topik dan cabang ilmu harus
pula ditulis sebagai “wawasan latar belakang” atau “bidang relevansi” yang dari
sana diharapkan akan muncul wawasan baru Islam bagi masing-masing cabang
ilmu modern.
12. Penyebaran Ilmu-ilmu yang Telah Diislamiskan. Selain langkah tersebut
diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah
mendistribusikan karya-karya tersebut ke seluruh masyarakat Islam. Selain itu
juga perlu mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan
berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan
masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin. Para ahli yang
membuat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar.
Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metoda
yang diperlukan.

Melihat pandangan al-Faruqi mengenai islamisasi ilmu, tampak bahwa al-


Faruqi menginginkan bangunan ilmu yang integral, terpadu dan saling melengkapi
antar disiplin ilmu keislaman dengan disiplin ilmu modern. Untuk itu banyak sekali
proyek islamisasi yang sudah dilakukan. Proyek islamisasi ilmu dimaksudkan
untuk menciptakan masyarakat yang islami yang diekspresikan dengan tema
ummatisme. Proyek ini memberi penekanan pada ilmu pengetahuan, sains, dan
pendidikan, karena elemen-elemen tersebut merupakan pijakan awal dalam
membangun sebuah masyarakat. Jika masyarakat dibangun di atas landasan yang
islami yang termanifestasikan di dalam pendidikan maka sebuah tata dunia baru
yang sesuai dengan nilai dan norma-norma yang ada pada masa nabi Muhammad
saw. akan segera terwujud

KESIMPULAN

Al-Faruqi adalah salah seorang tokoh yang memiliki gagasan brilian dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi umat Islam. Idenya tidak lepas dari konsep
tauhid, karena tauhid adalah esensi Islam yang mencakup seluruh aktifitas manusia.
Sebagai penggagas ide islamisasi ilmu pengetahuan, al-Faruqi memberikan
gambaran tentang bagaimana islamisasi itu dilakukan. Al-Faruqi menetapkan lima
program sasaran dari rencana kerja islamisasi ilmu, yaitu: 1) Penguasaan disiplin
ilmu modern. 2) Penguasaan khazanah Islam. 3) Menentukan relevansi Islam
dengan masing- masing disiplin ilmu. 4) Mencari cara untuk melakukan sintesa
kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu- ilmu modern. 5) Mengarahkan aliran
pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rancana Allah swt.
Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut, al-Faruqi menyusun 12 langkah yang
secara kronologis harus ditempuh.
DAFTAR PUSTAKA

A. Mughni Syafiq. 2001. Nilai-Nilai Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Al-Faruqi, Ismail Raji dan Lois Lamya al-Faruqi, 2002. Atlas Budaya Islam:
Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, terj. Ilyas Hasan. Bandung:
Mizan.
__________. 1999. Seni Tauhid. terj. Hartono. Yogyakarta: Bentang.

__________. 1995. Islamisasi Pengetahuan. terj. Anas Mahyudin. Bandung:


Pustaka.
Al-Faruqi, Lamya. 1997. Alaih Masa Depan Kaum Wanita. terj. Masyhur Abadi.
Surabaya: al-Fikr.
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam dari Fundanmentalisme Modern
hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.

Bagir, Zainal Abidin, et al. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama Interpretasi dan Aksi.
Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Esposito, John L. 2001. Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan.
Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani.
Nashori, F. 1996. Membangun Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Sipress.
Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedia Islam Indonesia. Vol. 1. Jakarta: Jambatan.

Nata, Abuddin. dkk. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Pardoyo. 1993. Sekularisasi Dalam Polemik Sekapur Sirih Nurcholis Madjid.
Jakarta: Terprit.
Ridwan, Kafrawi. 1995. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhouve.
Sani, Abdul. 1998. Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai