Anda di halaman 1dari 15

POKOK – POKOK PEMIKIRAN

ISMAIL RAJI AL FARUQI, HM. RASYIDI, HARUN NASUTION, HASAN HANAFI

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata kuliah Tauhid

Dosen Pengampu : Ismatul Izzah, S.Thi. M.A

Disusun Oleh :

ARIEF AZIZY (15710014)

FAULIA SILATU RAHMAWATI (15710055)

RAHMAT BUDI ABDILLAH (15710044)

BUNGA AULIA HASNANDYA (15710019)

M. FAKHRU RIZA (15710047)

DANU SUGIARTO (15710017)

OKTAVIANI WULANDARI (15710056)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan semakin berkembangnya peradaban dunia, terutama perubahan-perubahan
besar yang dimulai ketika bangkitnya eropa dari masa kegelapan pada abad ke-14 M, dan
sampai kontemporer hari ini, semakin besar pula arus perubahan baik peradaban, sosial dan
pemikiran. Dan dalam rentang masa tersebut, kondisi umat islam tidak ada progresifitas yang
berarti dalam pemikiran dan peradaban umat islam. Dalam rentang masa bangkitnya eropa,
hingga dimulainya era modern, kondisi peradaban umat islam hanya menjadi negara dunia
ketiga dalam konstelasi masyarakat dunia, dan juga umat islam pada masa saat itu merupakan
bangsa yang terjajah.
Dalam masa itu juga, pemikiran-pemikiran umat islam yang responsif terhadap
kondisi peradaban yang baru (modern) tidak ada perkembangan yang berarti sama sekali dan
celakanya, umat islam terjebak dalam penyakit fatalisme (taklid buta) karya ulama’ klasik.
Kemudian, pada era kontemporer munculah pemikir-pemikir baru, para pemikir ini
mengkritisi produk-produk ulama’ klasik abad pertengahan, dan merekonstruksinya. Para
pemikir tersebut diantaranya adalah Ismail Raji Al-Faruqi, HM. Rasyidi, Harun Nasution dan
Hasan Hanafi.
B. Rumusan masalah
1. Siapa Ismail Raji Al – faruqi dan bagaimana pokok pemikirannya ?
2. Siapa HM. Rasyidi dan bagaimana pokok pemikirannya ?
3. Siapa Harun nasution dan bagaimana pokok pemikirannya ?
4. Siapa Hasan Hanafi dan bagaimana pokok pemikirannya ?
C. Tujuan Penulisan
Supaya kita tahu bahwasan nya banyak pokok pokok pemikiran islam yang
mempengarui pergerakan teologi di indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ismail Raji Al-Faruqi

Islam Raji Al-Faruqi, lahir pada tanggal 1 januari 1921 di Jaffa Palestina. Pendidikan
dsaranya di mulai di madrasah, lalu pendidikan menengah di College des Freses St. Joseph,
dengan bahasa pengantar Prancis. Pada tahun 1941, Al faruqi mengambil kuliah filsafat di
American University, Beirut. Setelah tamat dan meraih gelar Bachelor of Arts, ia kemudian
bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada pemerintah inggris-yang memegang mandat atas
Palestina ketika itu selama empat tahun. Karena kepemimpinannya menonjol, pada usia 24
tahun, ia diangkat menjadi Gubernur Galilea.1
Pada tahun 1948, Palestina di jarah israel dan faruqi, seperti warga palestina lainnya,
terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah
Palestina. Setelah setahun menganggur, pada tahun berikutnya, 1949, Faruqi hijrah ke AS
untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar master filsafat dari University Indiana. Dua
tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard.
Di Harvard inilah pengalaman mengajarinya, yakni belajar tanpa dukungan finansial
itu sulit. Biaya kuliah yang tinggi di AS mengharuskannya untuk bekerja. Dengan uang US$
1.000 dari American Council of Learned Sociates (honornya menerjemahkan dua buku
bahasa arab), ia memasuki bisnis kontruksi. Dengan menspesialisasikan diri pada bangunan
rumah, kesempatan untuk menjadi kaya sangat terbuka baginya. Akan tetapi, hasrat dan bakat
bisnis itu ditepisnya. Faruqi memilih kembali ke Universitas Indiana, pada tahun 1952 beliau
meraih gelar Ph.D filsafat dengan disertasi yang berjudul On Justifiying the God :
Metaphysics and Epistimology of Value.2
Sambil bergurau, Faruqi mengenang kisah itu. ”kami para filosof, membutuhkan
waktu untuk bertafakur sendiri. Kau tidak dapat bekerja dan menulis disertasi filsafat pada
saat bersamaan,” katanya pada steve jonhson, murid kristennya yang membutuhkan biaya
hidup enam bulan untuk menulis disertasinya. Kemudian lanjutnya, “Begini saja, kau kan
tahun bagaimana menjadi pendeta. Cobalah jadi pendeta...”
Merasa kurang pengetahuannya mengenai islam – walaupun sudah bergelar doktor –
faruqi lalu pergi ke Mesir. Selama tiga tahun, ia menyelesaikan pascasarjana di Universitas

1
Prof. Dr. Abdul Rozak, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag : Ilmu kalam, Pustaka setia ; Bandung.
2
Ibid, hlm 228
Al-azhar. Karena kuat dorongan belajarnya itu pulalah, beliau memenuhi undangan Wilfried
C. Smith untuk bergabung dengan Institute of islamic Studies di Universitas McGill, Canada.
Ia mempelajari etika Yahudi dan Kristen.3
Pada tahun 1964, Ismail Al-faruqi kembali ke AS. Pertama – tama yang dia kerjakan
adalah menjadi seorang guru besar tamu pada Universitas Chicago dan Associate Profesor
bidang agama pada Universitas Syracuse. Lalu pada tahun 1986, hingga wafatnya, beliau
menjabat sebagai guru besar agama pada Universitas Temple. Bersamaan itu juga ia menjabat
sebagai profesor studi keislaman pada Central Institute of islamic Research.4
Di ruang kuliah, faruqi tergolong seorang pengajar yang humoris dan memilki banyak
cara untuk membuat muridnya tidak merasa jenuh. “Faruqi penuh semangat dan dinamis.
Kuliah – kuliahnya mengenai islam menjadikan iman dan sejarah islam sebagai sesuatu yang
hidup di kelas. Saya tak pernah melihat ada mahasiswa yang mengantuk di kelas.” Kenang L.
Esposito5, mantan muridnya, seorang yang menjadi pemerhati perkembangan Islam di Asia
Tenggara. Diantara kontribusi terbesar Faruqi adalah kepeloporannya memperkenalkan
program studi – studi islam di Universitas AS. Sayyed Husain Nasr, sarjana muslim yang
juga mengajar di berbagai universitas di AS, menyebutnya sebagai “sarjana muslim pertama
yang mnededikasikan sepanjang hayatnya pada studi – studi Islam di AS dan menjadikan AS
sebagai kediaman terakhirnya.”6
Faruqi juga sangat berjasa dalam memperkenalkan kepada masyarakat amerika
tentang hakikat islma yang sebelumnya sebagai agama yang buruk, disamping itu ia aktif
pula menghadiri berbagai pertemuan sekitar studi agama – agama yang ada. Bahkan, beliau
sempat membentuk kelompok kajian islam American Academy of Religion dan mengetahui
komitme pengarahnya selama beberapa tahun. Kepedulian terhadap islam dan kaum
muslimin diawali oleh komimen teguhnya pada islam. Oleh karena itu, aktivitas –
aktivitasnya melampaui batas – batas akademis. Ia dapat disebut juga sebagai sarjana, aktivis,
dan pemimpin yang mendedikasikan dan mengaktualisasikan islam dan sejarah, seperti yang
diungkapkan muridnya. Keaktifan beliau di berbagai kelompok studi islam dan
keterlibatannya dalam gerakan – gerakan islam amat menonjol. Ia adalah tokoh di balik
pembentukan MSA, ISNA7, AJISS, AMSS, IIIT, dan banyak lagi lembaga keislaman di AS.

3
Ibid, hlm 228
4
Ibid, hlm 228
5
Salah satu seorang murid dari Ismail Raji Al – Faruqi
6
Ibid, hlm 229
7
Mayarakat Islam Amerika Utara
B. Pemikiran Kalam Ismail Raji Al – Faruqi

Pemikiran Al – faruqi tentang kalam dapat di telusuri melalui karyanya yang berjudul,
Tahwid : Its Implications for Thought and life. (Edisi indonesia berjudul Tauhid). Sesuai
dengan judulnya, buku ini mengupas hakikat tauhid secara mendalam Al – faruqi
menjelaskan hakikat tauhid sebagai berikut :
A. Tauhid sebagai pengalaman agama
Inti pengalaman agama, kata Al faruqi adalah tuhan. Kalimat syahadat menempati
posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran
Tuhan mengisi kesadaran muslim dalam setiap waktu. Bagi kamu muslimin, tuhan benar –
benar merupakan obsesi yang agung.8 Esensi pengalaman agama dalam tiada lain adalah
realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia – sia.9
B. Tauhid Sebagai pandangan dunia
Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang,
dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
C. Tauhid Sebagai intisari Islam
Tauhid dapat dipastikan bahwa esensi peradaban islam adalah islam sendiri, dan
esensi islam adalah tauhid atau pengesaan tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam islam
yang dapat di lepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, islam tidak ada. Tanpa tauhid, bukan hanya
sunnah nabi yang patut di ragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna.10
D. Tauhid sebagai prinsip sejarah
Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika
ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral di ukur dari tingkat keberhasilan yang di
capainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi islam tidka mempunyai sejarah
formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al – qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi
para pengikutnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agam Yahudi atau kristen. Ia
di pandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.11
E. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
Berbeda dengan “iman” kristen, iman islam adalah kebenaran yang di berikan
kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja.
Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang sulit di pahami dan tidak dapat

8
Ismail Raji Al – Faruqi, Tauhid, Terj. Rahmani Astuti, Pustaka, 1988, hlm 1.
9
Ibid, hlm 13
10
Ibid, hlm 16, 17, 18
11
Ibid, hlm 35, 37
diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran –
kebenarannya telah di hadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalam keadaan utuh dan di
tetapkan sebagai kebenaran.12
F. Tauhid sebagai prinsip metafisika
Dalam islam, alam adalah ciptaan dan anugrah. Sebagai ciptaan, ia bersifat
teleologis, sempurna dan teratur. Sebagai anugrah, ia merupakan kebaikan yang tak
mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya adalah memungkinkan
manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaiaan ini, keteraturan,
bertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat islam tentang alam.13
G. Tauhid sebagai prinsip etika
Tauhid menegaskan bahwa tuhan telah memberikan amanat-nya kepada manusia,
suatu amanat yang tidak mampu di pikul oleh langit dan bumi, amanat yang mereka hindari
dengan penuh ketakutan. Amanat atau kepercayaan ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur
etika dari kehendak ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan
kemerdekaan, dan manusia adalah satu – satunya makhluk yang mampu melaksanakannya.
Dalam islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan di bagun di atasnya.14
H. Tauhid Sebagai prinsip tata sosial
Dalam islam, tidak ada perbedaan antara manusia satu dan lainnya. Masyarakat
islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik
sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (Dzimmah). Masyarakat islam
harusnberusaha mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak,
ia akan kehilangan klaim keislamnanya. Selanjutnya, ia mungkin akan terus hidup sebagai
suatu komunitas islam yang lain, atau oleh komunitas non-islam.15
I. Tauhid sebagai prinsip ummah
Al – faruqi menjelaskan prinsip ummah tauhidi dengan tiga identitas : Pertama,
menentang etnosentrisme. Maksudnya tata sosial islam adalah universal, tidak hanya
segelintir manusia. Kedua, universalisme. Maksudnya, islam bersifat universal dalam artian
meliputi seluruh manusia. Cita - cita komunitas universal adalah cita – cita islam yang
diungkapkan dalam ummah duni. Ketiga, totalisme. Maksudnya islam relevan dengan setiap
bidang kegiatan hidup manusia. Totalisme tata sosial islam tidak hanya menyangkut aktivitas
manusia dan tujuannya di masa mereka saja, tetapi mencakup seluruh aktivitas di setiap masa
12
Ibid, hlm 42
13
Ibid, hlm 51
14
Ibid, hlm 61, 64
15
Ibid, hlm 102
dan tempat. Keempat, kemerdekaan maksudnya, tata sosial islam adalah kemerdekaan. Jika
dibangun dengan kekerasan atau dengan memaksa rakyat, islam akan kehilangan sifatnya
yang khas.16
J. Tauhid sebagai prinsip keluarga
Al – faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari
gerogotan komunisme dan ideologi – ideologi barat, umat islam akan menjadi masyarakatb
yang selamat dan tetap menempati kedudukannya yang terhormat. Keluarga islam memiliki
peluang lebih besar untuk tetap lestari sebab di topang oleh hukum islam dan di detreminisi
oleh hubungan erat dengan tauhid.17
K. Tauhid sebagai prinsip tata politik
Al – faruqi mengkaitkan tata politik tauhidi dengan kekhalifahan, kekhalifahan
didefinisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yakni kesepakatan wawasan (ijma al-
iradah), dan tindakan (ijma al-amal). Wawasan yang dimaksud Al – faruqi adalah
pengetahuan akan nilai – nilai yang membentuk kehendak ilahi. Kehendak yang dimaksud
beliau juga apa yang di sebutnya dengan ashabiyyah, yakni kepedulian kaum muslimin
menanggapi peristiwa – peristiwa dan situasi dengan satu cara yang sama, dalam kepatuhan
yang padu terhadap seruan Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah
pelaksanaam kewajiban yang timbul dari kesepakatan.18
L. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
Al – faruqi melihat bahwa premis mayor implikasi islam untuk tata ekonomi
melahirkan dua prinsip utama : Pertama, bahwa tak ada seorang atau kelompok pun boleh
mmeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri
dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada
driri mereka sendiri.19
M. Tauhid sebagai prinsip estetika
Tauhid tidak menentang kreativitas seni ; juga tidak menentang kenikmatan dan
keindahan. Sebaliknya, islam memberkati keindahan. Islam menganggap bahwa
keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang di
wahyukan dalam firman – firman-Nya.20

16
Ibid, hlm 109,110, 111 dan 112
17
Ismail Raji Al – Faruqi, Tauhid, Terj. Rahmani Astuti, Pustaka, 1988, hlm 137
18
Ibid, hlm 149, 151, dan 154
19
Ibid, hlm 176
20
Ibid, hlm 207
A. Biografi HM. Rasyidi

Sekilas tentang H.M Rasyidi, beliau lahir di kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 –
30 Januari 2001) adalah mantan menteri agama Indonesia pada Kabinet Syahrir I dan Kabinet
Sjahrir II. Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris
(Doktor 1956) Guru pada islamitische MiddelBaare School (Pesantren Luhur), Surakarta.
Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta karya Koreksi
terhadap Dr. Harun Nasution tentang islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan bintang,
1977, strategi kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media dakwah, 1979.
Kebebasan Beragama, media Dakwah, 1979. Janji – janji islam, terjemahan dari Roger
Garandy.21
Di dalam konteks kajian pertumbuhan kajian akademik islam di indonesia, orang
akan sulit mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi
islam di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar
di Kanada. Lepas dari retorika – retorika anti baratnya, orang tak akan luput mendapati
bahwa hampir keseluruhan kontruksi akademik nya dibangun atas dasar unsur – unsur yang
ia dapatkan dari Barat. Tegasnya kaum orientalis22 dari pada lainnya. Ia adalah intelektual
indonesia yang paling banyak memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan
ramuan – ramuan intelektual dari gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha
mengirim lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke Montreal sehingga banyak orang yang benar –
benar banyak terimakasih kepadanya. Dan apa yang telah dirintisnya itu kemudian diteruskan
dalam skala yang lebih besar dan penuh harapan oleh Munawir Sjadzali.23

B. Pemikiran kalam H.M. Rasyidi

Pemikiran kalam rasjidi dapat ditelusuri dari kritikan – kritikan yang di


selamatkan kepada Harun Nasution dan Nurcholis Majid, secara garis besar pemikiran
kalamnya dapat di kemukakan sebagai berikut :
a. Tentang perdebatan ilmu kalam dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan penegertian
ilmu kalam dan Teologi, Untuk itu Rasyidi berkata, “... Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah

21
http://ukhuwahislah.blogspot.com
22
Kaum orientalis yaitu, sekelompok golongan dari orang – orang atau bangsa – bangsa barat, yang
berkonsentrasi di bidang keilmuan untuk mengkaji secara penuh keilmuan timur.
23
Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islami, Paradigma, Jakarta, 1997 hlm 61
teologi islam dan teologi adalh ilmu kalam kristen,” 24 Selanjutnya Rasyidi menelusuri sejarah
kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan
tauhid atau ilmu kalam karena mereka tak memiliki istilah lian. Teologi terdiri dari dua
perkataan yaitu, teo (theos) artinya Tuhan dan Logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu
tentang ketuhanan. Adapun sebab timbulnya teologi dalam keristen adalah ketuhanan Nabi
isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal25 atau trinitas26. Namun, kata teologi kemudian
mengandung beberapa aspek agama kristen yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga
teologi dalam kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam.27
b. Tema – tema ilmu kalam
Salah satu tema – tema ilmu kalam Hatun nasution yang di kritik Rasjidi
adalah deskripsi aliran – aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat
islam sekarang, khususnya di indonesia. Untuk itu, Rasjidi berpendapat menonjolkan
perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazillah, sebagianmana dilakukan Harun
Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Memang tidak ada agama yang
mengagungkan akal seperti Islam, tetapi dengan menggambarkan bahwa akal dapat
mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu hanya membuat nilai yang dihasilkan pikiran
manusia bersifat absolut – universal, berarti meremehkan ayat – ayat Al – Qur’an seperti,
Wallahu Ya’lamu wa antum la ta’ lamun (Dan Allah – lah yang Maha mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui.) (Q.S Al – Baqarah [2] ; 232). Rasjidi kemudian
menegaskan pada saat ini, di barat sudah dirasakan bahwa akal tidak mampu mengetahui baik
dan buruk. Buktinya adalah kemunculan eksistensialisme28 sebagai mana reaksi terhadap
aliran rasionalisme.29
Rasjidi mengakui bahwa soal – soal yang pernah di perbincangkan pada dua
belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang
sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasjidi menguraikan, yang masih
dirasakan olehg umat islam poada umumnya adalah kebenaran Syi’ah.30
c. Hakikat Iman
24
H.M Rasjidi, Koreksi terhadap DR. Harun Nasution, tentang “islam di tinjau dari beberapa aspeknya”,
Bulan Bintang, Jakarta, 1977
25
Suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan tiga pribadi Allah yang berada dalam kekekalan.
26
Doktri di dalam agama kristen, yang dimana doktri ini mengakui bahwasannya tuhan itu maha esa, namun
hadir ketiganya dan sama kemuliannya.
27
Ibid, hlm 33 – 34
28
Aliran filsafta yg fahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa pemikiran secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar.
29
Paham filsafat yang mengatakan bahwa akal adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Jadi
menurut aliran ini, suatu aliran yang di mana pengetahuan di peroleh melalui berfikir.
30
Ibid, hlm 104
Bagian ini merupakan kritikan rasjidi terhadap diskrisi iman yang di berikan
Nurcholish Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan, Dan sikap
apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut
takwa. Takwa di perkuat dengan kontak yang kontinu dengan tuhan. Apresiasi ketuhanan
menumbuhkan kesdaran ketuhanan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan
bersatunya manusia dengan Tuhan.”31. Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan
bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan tuhan, tetapi dapat dilihat
dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam
masyarakat perlu dijelaskan di sini bahwa bersatunya sesorang dengan Tuhan tidak
merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi,
yang lebih penting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah, dan
kemasyarakatan.32

A. Biografi Harun Nasution

Harun nasution dilahirkan dipematang siantar, sumatera utara, pada hari selasa 23
september 1919. Sejak kecil Harun nasution dikenal gemar mendalami ilmu agama. Beliau
adalah seorang yang memiliki kecerdasan dan semangatnya mencari ilmu menjadi spirit
utama hidupnya. Bahkan diusianya yang setengah abad ia belum punya rumah justru karena
kecintaannya mendalami ilmu dinegeri orang. Besar dipematangsiantar, guru besar filsafat
islam ini adalah putera keempat Abdul Jabbar Ahmad, ulama, pedagang, hakim sekaligus
penghulu dikota itu. Ibunya adalah seorang keturunan mandailing, tapanuli selatan,
menguasai bahasa arab karena pernah bermukim dimekkah.33

Setiba di tanah air pada tahun 1969, Harun Nasution langsung mencemplungkan diri
dalam bidang akademis dengan menjadi dosen pada IAIN jakarta, IKIP jakarta, dan
kemudian juga pada Universitas Nasional. Kegiatan akademis dirangkapnya dengan kegiatan
administrasi ketiak beliau memimpin IAIN, ketua lembaga Pembinaan Pendidikan Agama
IKIP Jakarta, dan terakhir pimpinan fakultas pascasarjana IAIN jakarta. Harun Nasution
adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN
ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan
31
HM. Rasjidi, Koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977.
hlm 61
32
Ibid, hlm 63
33
Zaim Uchrowi, “Menyeru pemikiran rasional Mu’tazillah, dalam aqib sumito (ketua panitia) Refleksi
Pembaharuan Pemikiran islam, 70 Tahun harun nasution, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Jakarta, 1989,
hlm 3 dan seterusnya.
itu tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya. Beliau menjadi tokoh sentral dalam
memperkenalkan teologi tradisional di indonesia, khususnya di lingkungan IAIN.34

B. Pemikiran Kalam Harun Nasution

a. Peranan akal

Dalam tulisannya Harun Nasution terlihat sekali kekagumannya pada


Muhammad Abduh dan teologi rasional mu’tazilah. Ia menganggap bahwa teologi
Muhammad Abduh banyak persamaanya dengan teologi Mu’tazilah walaupun juga terdapat
pebedaan. Menurutnya hanya dalam teologi Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, manusia
akan dapat menjauhi hidup yang kacau, walaupun tanpa turunnya wahyu. Karena akal selain
dapat membedakan yang baik dan buruk juga dapat mengetahui bahwa manusia wajib
berbuat baik dan menjahui perbuatan jahat. Selain itu dalam berbagai tulisannya Harun
Nasution menghubungkan akal dengan wahyu dan lebih tajam lagi melihat fungsi akal itu
dalam pandangan Al-quran yang demikian penting dan bebas. Harun Nasution menulis dalam
bukunya berjudul teologi islam (1986:56) : “Akal melambangkan kekutan manusia. Karena
akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukan kekuatan mahkluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya untuk
mengalahkan mahkluk lain. Bertambah lemah akal manusia, bertambah rendah pulalah
kekuatan-kekuatan lain tersebut”.35
b. Pembaharuan Teologi islam

Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya


dibangun di atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam adalah
disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan
kaum modernis lain pendahulunya yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi
islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi
fatalistik, irasional, pre-determinisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka
menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib
umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah mengubah teologi mereka
menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori

34
Prof. Dr. Abdul Rozak, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag : Ilmu kalam, Pustaka setia ; Bandung.
35
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran – aliran sejarah Aanalisa perbandingan, Ui Press, jakarta.
modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni
teologi mu’tazilah.36
c. Hubungan akal dan wahyu

Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan
wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang menimbulkan pertanyaan,
tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-
qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-
galanya . wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.37

Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu
fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tetap tunduk kepada teks wahyu.
Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk
menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu dengan
kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretai. Yang dipertentangkan dalam sejarah
pemikiran islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks
wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu iti juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya
dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.38
A. Biografi Hasan Hanafi

Hasan Hanafi merupakan salah satu ulama’ kontemporer islam


yang berwarganegara mesir. Beliau lahir di Kairo Mesir pada tanggal 13
Februari 1935. Ia berlatar belakang keluarga musisi. Sejak masa sekolah,
Hasan Hanafi sudah mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
populer di mesir kala itu, yaitu Ikhwanul Muslimin. Dan juga ia juga
tertarik dengan pemikiran Sayid Qutb tentang keadilan sosial dalam
Islam. Salah satu karya besar dari Hasan Hanafi yaitu Kiri Islam, yang
memuat mengenai pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya
sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia.39
A. Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
a. Kritik terhadap teologi tradisional

36
Mansoer faqih, “Mencari Teologi Tertindas (khidmat dan kritik untuk Guruku Prof. Harun Nasution)”, dalam
suminto, op.cit., hlm. 167.
37
Lihat pada Harun Nasution, Op. Cit.,
38
Nasution, Akal... op.cit., hlm 101 – 102
39
Prof.Dr. Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Pustaka Setia Bandung. hlm 234
Hasan Hanafi menilai bahwa orientasi konseptual sistem
kepercayaan (teologi) harus dirubah atau disesuaikan dengan konteks
perubahan sosial-politik yang terjadi. E. Kusnadiningrat mengatakan,
Teologi tradisional menurut Hasan Hanafi, lahir dalam konteks sejarah
ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transedensi Tuhan,
diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama.Doktrin itu dimaksudkan
untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.
Sementra itu, kondisi sosio-politik umat islam saat ini mengalami
perubahan-perubahan. Oleh karena itu, konsep yang lama harus dirubah
dan disesuaikan dengan konteks zaman saat ini.40
Hasan hanafi memandang bahwa teologi merupakan produk dari
refleksi terhadap konflik-konflik sosial politik, dan bukan merupakan
pemikiran yang murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan.41
Hasan Hanafi memandang, teologi tradisional tidak mampu menjawab
tantangan zaman yang terjadi pada umat islam. Dan kemudian,
menjadikan umat islam berkepribadian ganda. Fenomena ini tampak
dalam kehidupan umat islam saat ini : sinkretisme antara kultur
keagamaan dan sekulerisme (dalam kebudayaan), antara tradisional dan
moderen (peradaban), antara timur dan barat (politik), antara
konservatisme dan progresivisme (sosial) dan antara kapitalisme dan
sosialisme (ekonomi).42
b. Rekonstruksi teologi
Melihat sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu
mengajukan saran rekonstruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin
untuk memfungsikan teologi untuk memfungsikan teologi menjadi ilmu-
ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu dengan melakukan
rekonstruksi dan revisi, serta membangun lagi epistemologi lama yang
rancu dan palsu menuju epistemologi baru yang sahih dan lebih
signifikan. Tujuan rekonstruksi teologi hanafi adalah menjadikan teologi
tidak sekedar menjdi dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan
menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan

40
Ibid.
41
Ibid
42
Ibid, hlm 236
keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai
landasan etik dan motivasi manusia.43

BAB III

KESIMPULAN

I. Pemikiran Ismail raji al – faruqi :

a. Tauhid sebagai pengalaman agama


b. Tauhid Sebagai pandangan dunia
c. Tauhid Sebagai intisari Islam
d. Tauhid sebagai prinsip sejarah
e. Tauhid sebagai prinsip pengetahuan
f. Tauhid sebagai prinsip metafisika
g. Tauhid sebagai prinsip etika
h. Tauhid Sebagai prinsip tata sosial
i. Tauhid sebagai prinsip ummah
j. Tauhid sebagai prinsip keluarga
k. Tauhid sebagai prinsip tata politik
l. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi
m. Tauhid sebagai prinsip estetika
II. Pemikiran kalam H.M Rasyidi
Pemikiran kalam rasjidi dapat ditelusuri dari kritikan – kritikan yang di
selamatkan kepada Harun Nasution dan Nurcholis Majid, secara garis besar pemikiran
kalamnya dapat di kemukakan sebagai berikut :
a. Tentang perdebatan ilmu kalam dan teologi
b. Tema – tema ilmu kalam
c. Hakikat Iman

43
Ibid.
III. Pemikiran kalam Harun Nasution :
a. Peranan akal
b. Pembaharuan Teologi islam
c. Hubungan akal dan wahyu
IV. Pemikiran kalam Hasan Hanafi :
a. Kritik terhadap teologi tradisional
b. Rekonstruksi teologi

DAFTAR PUSTAKA

Rozak Abdul, M.Ag dan Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag : Ilmu kalam, Pustaka setia ;
Bandung.
Ismail Raji Al – Faruqi, Tauhid, Terj. Rahmani Astuti, Pustaka, 1988.
HM. Rasjidi, Koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Bulan Bintang,
Jakarta, 1977.
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran – aliran sejarah Aanalisa perbandingan, Ui Press,
jakarta.

Zaim Uchrowi, “Menyeru pemikiran rasional Mu’tazillah, dalam aqib sumito (ketua panitia)
Refleksi Pembaharuan Pemikiran islam, 70 Tahun harun nasution, Lembaga Studi
Agama dan Filsafat, Jakarta, 1989, hlm 3 dan seterusnya.
Mansoer faqih, “Mencari Teologi Tertindas (khidmat dan kritik untuk Guruku Prof. Harun
Nasution)”, dalam suminto
Nurcholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islami, Paradigma, Jakarta, 1997 hlm 61

HM. Rasjidi, Koreksi terhadap DR. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi, Bulan Bintang,
Jakarta, 1977.

H.M Rasjidi, Koreksi terhadap DR. Harun Nasution, tentang “islam di tinjau dari beberapa
aspeknya”,Bulan Bintang, Jakarta, 1977

Raji, Ismail Al – faruqi, Seni tauhid (Cultural Atlas Of islam), Yayasan Bentang Budaya,
Yogyakarta, 1999

Anda mungkin juga menyukai