Anda di halaman 1dari 2

Albas yang Melebur dalam Ambiguitas

Juli, pukulan datang berkali-kali. Ketiadaan yang menguji. Aku, langit yang mencari bumi. Bumi
yang penuh arogansi, langit tak tau diri dengan ribuan akseptasi.
Wahai hati, ini bukan logika tak berperasaan! Aku hengkang menapak luka yang tak kunjung
hilang. Meski kucoba merajut perdamaian dengan membuang segala keraguan. Aku seekor burung
yang keluar dari sarang namun akhirnya ditelan malam tanpa bintang.
Aku berada dalam suatu sisi perjalanan. Dalam alur anabasis kehidupan. Karena cinta sejati adalah
yang tak mencapai tujuan.
Dimanakah dirimu?
Tak sengaja kuberpapasan dengan keharumanmu, karena kau adalah perjalananku.
Di atas pasir waktu, kau ukir namaku lalu pergi meninggalkanku.
Aku yang tak pantas? Ataukah kisah kita yang seolah tak kunjung tuntas?
Kisah yang tak tuntas membuatku harus melepas.
Aku bak albas yang melebur dalam ambiguitas.
Hempas.

Blitar, 21 Juli 2019


Apakah ini pagi? Sudah tak bisa lagi membedakan matahari setelah lama terpenjara dalam
hati. Lama tidak melihat matahari pagi, begitu pula ketika petang. Sepanjang hari sejak dini hari
hingga memasuki malam terkurung dalam sekapan permainan, ini matahari petang! Tapi telah
dibantah, ini pagi! Tetap tak percaya, tunggu saja apakah meninggi? Bila tidak berarti tenggelam.
Hari akan memasuki malam.

Permainan yang telah menyita waktu, hingga menyiksa mata. Ketegangan diciptakan hingga lupa
waktu yang dihabiskan dengan percuma. Telah dibuat gangguan jiwa. Telah melupakan pagi.
Tak tahu lagi matahari meninggi. Jam-jam telah diikat mati. Permainan semakin membuat
kecanduan hingga kegelisahan hati. Kita memang mudah dipermainkan diri sendiri. Setelah itu
mencari kesalahan orang lain untuk pembenaran diri.

Sungailiat, 21 Juli 2019

Oleh : Rustian Al Ansori

Anda mungkin juga menyukai