Anda di halaman 1dari 5

Serangkaian kisah yang tertulis dalam cerita terjadi pada bulan terakhir di tahun

2021. Terlepas dari rasa yang tak sampai, semoga setiap yang tertulis disini
sebagaimana mestinya tak seperti cerita kita yang telah usai.
***
Di setiap emosi yang manusia punya, bagiku tak perlu sulit
mengekspresikannya dengan berbagai hal yang sukar dan tak wajar, cukup dengan
distraksi. Menulis adalah distraksi paling tepat di segala emosi. Merangkai frasa
dengan jemariku yang berperasaan, membumbuinya dengan diksi yang berbaris di
setiap rentetan kalimatnya, lalu menuangnya pada lembar kosong yang meminta
untuk dihuni.
Akhir di bulan Desember kembali menyapa seolah memberi kesempatan
sebelum kemudian pergi, berganti dengan tahun yang baru. Menghabiskan akhir
tahun rasanya harus diselaraskan dengan hati, sehingga pilihan yang tepat sebagai
simbol perpisahan adalah Kota Jogja. Seperti yang dikenal Jogja karena
keistimewaannya, di Jogja inilah kisahku jatuh karena ‘pesonanya’. Seperti halnya
kisah kemarin dimulai, lembar penutup ceritanya mungkin juga akan tuntas di
kota yang sama.
Sekalipun dengan rasa yang berbeda.
Perjalanan dari Jakarta-Jogja diprediksi mencapai 10 jam lamanya.
Sebelum keberangkatan ke Jogja bersama Kayana-salah seorang teman satu FEB
di kampus yang sama denganku, universitas di daerah Pondok Labu. Pagi sekali
mobilnya melipir ke salah satu warung kecil di kawasan Sawah Besar, Jakarta
untuk menikmati soto kaki langganan semasa SMA.
“Terakhir kesini waktu lo masih sama Jo nggak sih, La? lama banget ya,
awal tahun ini,” pertanyaan spontan darinya membuatku bereaksi, “ hahaha iya.
Kan pas putus emang nggak pernah kesini lagi.” Tawaku hambar sekalipun
diiringi kelakar. Bukankah mayoritas orang seperti itu? tak ingin lagi menemukan
kebahagiaan ditempat yang sama kehilangannya? dan aku salah satunya.
Kayana merotasikan aksanya, dia terkekeh pelan, “sayang banget sih
kalian putus, keliatan si Jo masih sayang sama lo. Apalagi kalo inget dulu Jovan
selaluuu aja nitip bekal lewat gue, kalo nggak Rasi, terus dia bilang gini, ‘Kay,
kasih Nala dong. Itu anak sibuk skripsian mulu sampe lupa makan.’ Aduh gue
kalo inget mah nangis La.” Ucapan berlebihannya membuatku mendelik, “lebay,
stop ngomongin yang udah-udah ah,” aku menghentikan kelakarnya.
“Hahaha iya maaf La maaf,” balasnya seraya mengalihkan atensiku pada
pedagang yang berjalan menuju kami, “ ini mbak, yang satu nggak pake tomat
ya.” Pria paruh baya itu menaruh mangkuk soto didepanku.
Genap 1 tahun. Dahulu tempat ini merupakan kuliner langgananku dan
Jovan. Seseorang dengan janjinya untuk menetap, namun pada akhirnya pergi
hanya karena inginnya yang hebat. Dia yang memberiku atap, dan angannya yang
memberi kami sekat. Terkadang memang, beberapa cerita yang dipaksa usai tak
harus selalu diingat sebagai poros hidup. Cerita ada untuk menyembuhkan, ada
untuk menguatkan, sekalipun tak selaras dan patah oleh kenyataan.
I didn't mean to try you on
But I still know your birthday
And your mother's favorite song
Seolah keping kenangan tengah berkesinambungan dengan diriku saat ini,
terlalu banyak teriakan memekik di kepalaku, menyumpahi hipokampus yang
tengah berpesta merayakan kepahitan tengah mengisi kekosongan dalam diriku.
Teriakan itu selalu tenggelam dengan asam lidahku yang kelu, mereka
menguncinya rapat-rapat, tak mengizinkan siapapun masuk kecuali jiwaku
sendiri. Lagu Sorry-Halsey seolah diputar milyaran kali rasanya. Memuntahkan
kekosongan yang sedari tadi kurasakan.
“Tapi, Nala, bukannya setiap rasa punya masanya masing-masing?
bukannya segala hal yang kita lakukan kemarin cuma serpihan dari perwujudan
rasa itu sendiri? terus, kenapa kamu masih minta kita diperpanjang masanya?
bukannya itu kalimat paling egois?.“
Rangkaian kata terpahit yang selalu disenandungkan amigdalaku.
Setiap pengalaman yang kita punya, entah pahit manisnya, baik buruknya,
semua pasti ada maknanya. Sebab Tuhan memberikan makna dari semua
ciptaannya, bahkan hal kecil sekalipun. Dan seperti penggalan kepahitan yang
kuceritakan sebelumnya, penuh akan tanda tanya yang mencari maknanya sendiri.
Sebab diri ini terlampau pecundang menemukan.

19:32, Jogjakarta.
Setibanya di Jogja menyempurnakan swastamita yang bergerak perlahan
seakan tak ingin pergi. Kami Menyusuri Alun-alun Selatan yang berada di
kawasan Keraton, saat ini menjadi manifestasi ruang publik dalam lingkup tata
ruang ibu kota kerajaan. Alun-alun ini disebut juga sebagai Alun-alun Pengkeran
atau Alun-alun belakang karena letaknya berada di belakang keraton. Aku dan
Kayana menikmati pesona lampu malam yang tenggelam dalam kilauan,
menikmati kuliner di Malioboro, setelahnya berjalan kaki menyusuri Alun-alun
hingga malam semakin naik.
“Ke Hotel sekarang aja Kay, capek banget gue,” kataku gusar dan Kayana
menyetujui sebab kami belum beristirahat sejak tadi. Sembari menuju penginapan
yang telah kami pesan, beberapa jalan di sekitar Malioboro mengingatkanku pada
hal yang seharusnya usai. Seperti saat melewati Pasar Beringharjo, Jalan Margo
Mulyo, dan Benteng Vredeburg yang dulu selalu ‘kami’ kunjungi.
31 Desember 2021.
365 hari terlewati. Dengan lembar epilog menantinya. Pada malam ini
berakhir segala cerita yang telah berjalan walau beberapa tidak sesuai ingin kita.
Tetapi Tuhan akan selalu menghadirkan kesempatan, bukan? Tuhan akan selalu
memberinya agar kesempatan selalu hadir di tangan kita, manusia dan
eksistensinya.
Panorama Arunika di Gunung Api Nglanggeran pagi ini tampak lebih
cantik dari biasanya. Bagiku, menanti fajar sama seperti menanti hal-hal baik yang
belum pernah kita lewati sebelumnya. Dengan cahayanya yang terpancar memberi
kekuatan, dan hangatnya membuatku seolah sembuh. Di puncak Nglanggeran, aku
dapat melihat panorama Jogjakarta yang kian memadat dengan awan rendah yang
menyelimuti kawasan Gunung Kidul sebelah selatan.
Jemariku merogoh tas ransel di sisi kanan, berusaha menemukan sesuatu
yang seharusnya kubawa dari Jakarta. Sebelumnya Kayana sudah mewanti-
wantiku agar tak membawa benda itu dan membuangnya jauh sebelum hari ini
tiba, dan aku berbohong bahwa aku telah membuang benda itu jauh -jauh.
Polaroid bersama Jovan saat fajar di Gunung Api Nglanggeran.
Pengalaman 1 tahun lalu. Sebenarnya, apa arti dari pengalaman itu
sendiri? hal yang dijalani dan dirasai? atau sekadar sesuatu yang pernah terjadi?
menurutku lebih dari itu. Pengalaman itu luas serta merupakan hasil persentuhan
panca indra, sehingga membentuk suatu memori atau lazim disebut pengetahuan.
“Belum lo buang juga, La?,” suara Kayana terdengar tidak suka dari
belakangku, ia mendesis pelan, menatap tajam polaroid yang baru saja
kukeluarkan. “Mau sampai kapan sih egois kayak gini? jadi buat lo kepergian kita
ke Jogja ini cuma nostalgia sama yang udah-udah? bela-belain gue reschedule ke
Amerta, cuma buat ngabisin akhir tahun bareng lo disini, taunya gini yang lo
lakuin, kenapa sih, La? gue udah bilang sama lo buat nggak nyimpen hal nggak
penting kayak gitu kalo cuma bikin sakit.” Nyatanya aku masih mendewakan
sesuatu yang sepantasnya berlalu.
“ Susah ya La, buat jujur, sampe harus nutup-nutupin kayak gini.” Mendistorsi
segala eksistensi itu sendiri. Karena sejatinya manusia hidup dalam ketakutan
yang kehilangan maknanya masing-masing. Sebab yang kita butuh hanya sebuah
kesetaraan yang sanggup membeli rasa dan kekosongannya, dan segala teori
tentang mampu.
Drown in sparkle Anindya Nalakarsa. Tertulis lengkap dengan tanggalnya,
1 Januari. Ditempat saat momen itu diambil, disinilah tempat berpijak saat cerita
itu berakhir. Aku menoleh pada Kayana yang masih setia berdiri di belakangku,
dan kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Beberapa cerita ditukar,
lantaran isinya sukar diganti. Sebagian rasa yang belum tuntas memang harus
berakhir, terganti, dan menutup koma yang berkepanjangan.
“ Sorry tadi gue lancang banget ya La?,” dia berangsur memelukku,
membuatku spontan berjengit. “Maafin gue ya, Kay. Selama ini gue bohong kalo
udah biasa aja dan nggak inget yang udah-udah, gue nggak mau lo kebebanan
sama semua cerita gue,” tuturku pada akhirnya. Memuntahkan semua ketakutan
dari palung tersembunyi paling dalam. “ Gue juga, La. Gue minta maaf karena
kelewat batas, tapi gue cuma mau jaga perasaan lo aja, biar ga stuck terus,” lucu
bagaimana kita pada sesama, seolah paling menjaga, ternyata hanya saling
menyakiti.
Malam itu kami seperti terlahir kembali di tahun yang baru.
Dengan rasa dan masa yang berbeda. Pengalaman telah bertransformasi menjadi
sebuah pemikiran dan pengetahuan, seolah segala cerita di hari kemarin hanyalah
pelajaran untukku menempa hari ini dengan hebat.
Cerita ini didedikasikan khusus untuk Jovan, Kayana, Bunda, teman-
teman, dan terakhir, kamu, yang telah menyempatkan cerita ini untuk memeluk.

Anda mungkin juga menyukai