Anda di halaman 1dari 355

“Bekerjalah, Anakku, sebab semesta menginginkanmu bekerja, bukan meng-

hafal. Mencoba, dan teruslah mencoba, sampai engkau menemukan legenda


hidupmu sendiri. Di dalam kemiskinan dan keterbatasan, janganlah kita mem-
buat pembenaran untuk kalah atau menyerah!” ucap Bu Kasmini kepada semua
muridnya di Madrasah Kampung Sawah.

“Novel ini harus dibaca oleh para guru, orang tua, juga birokrat yang mengurusi
dunia pendidikan kita. Sebagai karya sastra, penggalian tema pendidikannya
sangat dalam dan pilihan bahasanya sangat indah. Sebagai inspirasi dan mo-
tivasi, sangat nikmat dibaca dan diresapi. Ini novel best-seller! Tak kalah di-
banding kehebatan Laskar Pelangi!”
Sunardian Wirodono, produser, sutradara, peneliti, dan pengarang Syair Pan-
jang Aceh (Syahie Panyang Aceh).
Sang Pelopor

1
Alang-alang Timur

Jaminan Kepuasan
Apabila Anda mendapatkan buku ini dalam keadaan cacat produksi
(di luar kesengajaan kami), seperti halaman kosong atau terbalik,
silahkan ditukar di toko tempat Anda membeli atau langsung kepada
kami dan kami akan menggantinya segera dengan buku yang bagus.

2
Sang Pelopor

3
Alang-alang Timur

SANG PELOPOR

Alang-alang Timur

Editor
Suminaring Prasojo
Tata Sampul
.................
Tata Isi
S. Lestari
Pracetak
Ita, Dwi, Yanto
Cetakan Pertama
Desember 2008

Penerbit
DIVA Press
(Anggota IKAPI)
Sampangan Gg. Perkutut No.325-B
Jl. Wonosari, Baturetno
Banguntapan Jogjakarta
Telp: (0274) 4353776, 7418727
Fax: (0274) 4353776
E-mail: ircisod68@yahoo.com
Website: www.divapress-online.com

4
Sang Pelopor

Catatan Editor

A kan lebih tepat jika catatan ini sebagai


ungkapan rasa bangga kami karena memiliki
kesempatan menyunting naskah Sang Pelopor. Di
dunia yang serba tak pasti dan tak memberikan
kesempatan bagi setiap perbedaan untuk hidup,
novel tersebut hadir dengan begitu menyentuh.
Dengan jalinan kisah yang mengalir lincah, penulis
berhasil membius pembaca, lantas membawanya
pada petualangan dan cara pandang yang baru
tentang bagaimana meraih cita-cita.
Ketika ada sebagian kalangan yang masih begitu
kaku dalam menyikapi hidup, penulis rupanya telah
melompat seraya berseru bahwa masa depan dapat
tercipta di antara berbagai keterbatasan. Bahwa
stigma “bodoh” dapat runtuh begitu saja dengan

5
Alang-alang Timur

upaya keras tak berkesudahan. Bahwa mimpi dan


kerja keras adalah pasangan tak terpisahkan demi
mewujudkan legenda hidup.
“Di dalam kemiskinan dan keterbatasan,
janganlah kita membuat pembenaran untuk kalah
atau menyerah!” demikian ucap Bu Kasmini kepada
semua muridnya, satu ketika.
Jujur, itu adalah sebaris kalimat yang sangat
inspiratif bagi siapa pun. Harus diakui pula, kalimat
sekaligus motivasi serupa itulah yang sesungguhnya
sangat dibutuhkan anak-anak Indonesia sekarang
ini. Sekalipun kecerdasan, daya kritis, dan kemam-
puan inovatif anak-anak di dalam Sang Pelopor terasa
begitu jauh dari realitas kita, namun Anda sebagai
penulis sungguh telah berbagi keyakinan bahwa
masih ada harapan untuk negeri kita, untuk masa
depan anak-anak Indonesia. Bahwa sistem pen-
didikan yang sejatinya dibutuhkan anak-anak kita
adalah pendidikan yang membebaskan, sebagai-
mana yang diterapkan di Madrasah Kampung
Sawah.
Usai membaca, lantas menarik benang merah
antara realitas kekinian dan novel ini, tersiratlah
dengan jelas bahwa penulis berusaha menggali tafsir
atas setiap kenyataan hidup yang pernah dilaluinya.
Dan, inilah yang justru memberikan ruh kuat bagi

6
Sang Pelopor

Sang Pelopor. Tak semata dalam ceritanya, ruh


tersebut juga tercermin pada penokohan, pada
bagaimana setiap tokohnya menghayati dan
menempuh hidup di jalan masing-masing.
Milan Kundera pernah berujar bahwa menjadi
penulis bukanlah untuk mengkhutbahkan kebe-
naran, namun untuk menggali dan menemukan
kebenaran, kendati hanya seserpih. Maka, melalui
tulisan, kuaklah terus kebenaran itu dengan
semangat post-positivistik seperti yang telah Anda
lakukan di dalam Sang Pelopor. Kami tunggu sekuel
berikutnya, dan teruslah menulis!

Suminaring Prasojo

7
Alang-alang Timur

8
Sang Pelopor

1
Mozaik Fajar di Desa
Fajar
Nengahan

M alam hampir berlalu. Bulan tanggal dua


berangsur-angsur ke barat. Di sampingnya,
bintang fajar bersinar sempurna, seolah ingin
bersaing dengan saudaranya; sang rembulan.
Sementara itu, angin bertiup sangat pelan. Hanya
mampu sedikit menggoyangkan pucuk-pucuk
daun.
Saat yang ditunggu jutaan umat manusia pun
tiba. Sepertiga malam. Saat di mana dibukakan
pintu rahmat dan ampunan. Saat didengar dan
dikabulkannya doa-doa. Namun, saat mustajab itu
hanya sedikit orang yang tahu. Mereka lebih
memilih merapatkan selimut daripada memenuhi
suara hatinya. Sebuah kenyamanan yang menipu,
meski di antara sekian banyak manusia yang tertipu

9
Alang-alang Timur

masih ada jiwa-jiwa yang mau menyambut seruan


lembut itu.
Irama malam mengalir dalam diam. Tenang.
Hanya terdengar gemerisik daun-daun bambu yang
bergesekan lembut diterpa angin malam. Suara
serangga sudah lama pergi. Di angkasa, bintang-
gemintang pun menghilang, tidak mampu berbaur
dengan terangnya sinar kehidupan. Hanya satu atau
dua bintang yang menyala lemah, termasuk bintang
fajar. Bintang itu masih setia memberikan kerlipnya
untuk keindahan langit dunia. Tidak ada yang abadi
di dunia ini, pun sang bintang. Dia pergi seraya me-
ninggalkan cahaya lemahnya yang makin lama makin
menjauh. Seperti titik debu yang hilang tertiup
angin, menyisakan gugus putih laksana asap tipis.
Alam terhampar dalam ketenangan dan kekhu-
syukan doa-doa. Dalam simpuh penyesalan akan
dosa. Dalam harapan-harapan setiap makhluk. Alam
bertasbih dalam diamnya, bertakbir dalam gemerisik
anginnya, dan bertahmid dalam gemericik airnya.
Alam memiliki cara tersendiri untuk mengagungkan
Tuhannya.
Desa Nengahan1 terbentang dalam balutan
cahaya lemah sang rembulan tanggal dua. Desa itu

1
Sebuah desa terpencil di Klaten, Jawa Tengah.

10
Sang Pelopor

bulat memanjang dikelilingi bukit-bukit tandus di


sebelah selatan. Bukit-bukit itu hanya tampak hijau
ketika musim penghujan. Ketika kemarau, mereka
hanyalah bukit kerontang dengan pokok-pokok
tetumbuhan menjulang. Tepat di bawahnya,
beberapa sungai mengalir dari celah dua bukit yang
sempit itu. Sungai-sungai itu berpencar, lantas
menyatu di ujung desa, mirip sebentuk capit udang
raksasa. Aliran sang sungai selalu memberikan cinta
pada tanaman padi petani. Sawah-sawah mereka
pun senantiasa hijau, kendati kemarau melanda tiada
usai.
Di sebelah timur, hamparan sawah berpetak-
petak membentuk lanskap keindahan. Padi nan
subur telah menguning berselang-seling dengan
palawija. Galengan membelah sawah, membentuk
persegi panjang tak beraturan, seolah tak bertepi
dengan saluran-saluran pengairan di sisinya.
Di sebelah utara, rumah-rumah penduduk mem-
bentuk blok-blok kampung. Atapnya yang mayo-
ritas joglo membentuk suatu garis simetris yang
saling menguatkan. Di sisi barat, Gunung Jabalkat
selalu biru dan berdiri begitu kokoh. Di gunung
inilah salah seorang pengikut setia Sunan Kalijaga
dimakamkan.

11
Alang-alang Timur

Tepat di tengah-tengah desa, susunan bebatuan


membentuk jalan yang membelah desa menjadi dua
bagian yang sama besar. Jalan itu memanjang
berkelok-kelok seperti ular putih kekuningan dan
menghilang ditelan rimbun pohon bambu.
Kenapa dinamakan Desa Nengahan? Konon,
desa ini terletak tepat di tengah-tengah Pulau Jawa.
Jadi, kalau dibuat dua garis yang saling ber-
singgungan antara Ujung Kulon dan Banyuwangi,
lalu antara sisi selatan dan sisi utara Pulau Jawa, maka
di tengah garis singgung itulah Desa Nengahan
berada. Tepatnya, di tenggara Merapi.
Bila dilihat dari atas, desa itu serupa tempayan
raksasa yang terbalik dengan sedikit memanjang di
salah satu sisinya. Segala keindahannya ibarat sebuah
kanvas dengan lukisan mempesona, tanpa perlu
tambahan, tidak butuh coretan. Sebab, yang
dibutuhkan hanyalah hati untuk memandang
keelokannya. Bukan dengan mata untuk menatap-
nya, sebab mata biasa tertipu oleh kerlip cahaya.
Tak berapa lama, suara adzan memecah kebeku-
an malam. Suaranya yang lembut mendayu me-
manggil setiap insan yang masih beriman untuk
mendatanginya. Masjid itu tidak begitu besar. Di
sanalah kami biasa memadu rindu, mengisi relung-
relung hati yang hakiki. Sungguh merupakan

12
Sang Pelopor

rumah bagi jiwa-jiwa perindu surga; tempat


berlabuh bagi ruh yang penat oleh fatamorgana. Di
tempat ini juga, segala gersang hati kami terobati.
Rona kemerahan di angkasa tampak seperti
lidah api raksasa. Embun menetes di pucuk-pucuk
daun akasia. Kabut tebal membatasi jarak pandang
hingga beberapa meter. Kudengar suara sandal
diseret, beradu dengan tanah rumah kami. Derit
pintu terdengar jelas membuyarkan mimpiku. Aku
bergegas bangun, melipat sarung kumal yang
kujadikan kemul semalam. Ya, sarung ini adalah
sarung warisan dari bapakku, sebelum beliau
meninggal. Hadiah di hari sunatku. Sarung ini
begitu berharga bagiku, melebihi apa pun, karena
dialah teman setiaku di musim hujan seperti saat
ini.
Kulangkahkan kaki menyambut panggilan
Allah. Kuambil air wudhu di pancuran belakang
rumah. Dinginnya air segera menghilangkan
kantukku. Pancuran itu memancar hanya di musim
penghujan saja. Ketika kemarau tiba, mata air itu
kering. Sebagai gantinya, kami biasa berwudhu di
sumur sebelah rumah. Di kampung, satu sumur
biasa dipakai untuk dua hingga empat keluarga.
Walaupun air adalah kebutuhan pokok manusia,
namun pengadaannya dilakukan dengan bergotong-

13
Alang-alang Timur

royong. Semua bisa memanfaatkan, semua bisa


memiliki. Begitulah kehidupan di kampung yang
rukun dan damai.
Di masjid, ketiga sahabat sudah menungguku.
Apa pun musimnya, mereka akan tetap mendatangi
waktu mustajab saat ini. Sulthan tampak bergegas
berdiri untuk mengumandangkan iqamat.
“Waduh, telat lagi! Belum sempat aku shalat
sunnah, jamaah sudah mau ditegakkan,” pikirku.
Memang, tidak ada yang kehilangan bila aku
tidak bisa shalat Fajar dua rakaat yang kata Rasulullah,
pahalanya sebesar bumi dan seisinya.
“Besok harus datang gasik2 lagi,” tekadku.
Selepas shalat Subuh, hari pun mulai terang.
Matahari menerobos celah-celah daun yang rapat
rindang. Cahayanya yang keemasan menimbulkan
siluet warna-warni di gemericik air sungai. Burung-
burung berkicau, bersahutan menyambut datang-
nya pagi. Daun pun bergesekan, bersuara serupa
nyanyian biola. Di kejauhan, hewan ternak melenguh
kelaparan seraya keluar dari kandang. Suaranya
berselang-seling dengan lesung beradu alu milik
ibu-ibu yang menumbuk padi. Serangkai isyarat
bahwa kehidupan desa baru saja dimulai.
2
Lebih pagi, lebih awal.

14
Sang Pelopor

Seperti biasa, tugasku adalah membantu ibu


membuat arem-arem untuk dijual ke pasar. Dengan
cekatan, kuambil daun pisang di samping rumah,
lalu kusobek seukuran kira-kira dua puluh senti-
meter untuk membungkus nasi berbumbu itu.
Arem-arem ibuku terkenal enak karena komposisi
antara beras dan bumbunya pas.
Setiap hari, sarapanku hanya arem-arem dua
bungkus. Meski dari rumah sudah kenyang, ibu
masih menyuruhku membawa dua bungkus untuk
bekal. Kata ibuku, arem-arem ini lebih sehat dari
jajanan di sekolah. Ah, tahu apa ibu tentang
makanan sehat? Satu hal yang pasti, ibu tidak keluar
uang untuk jajanku.
Begitulah kegiatanku setiap hari. Sungguh
rutinitas yang menjemukan. Tapi, sesuatu yang
membosankan, kalau dilaksanakan dengan ikhlas
akan menjadi sesuatu yang indah. Demikian nasihat
bapakku dulu. []

15
Alang-alang Timur

16
Sang Pelopor

2
Empat Sekawan

P ulang sekolah adalah saat yang


membahagiakan bagiku. Karena, setelah
sekian jam mengikuti pelajaran, aku merasa bagai
dikungkung di sebuah ruangan sempit dengan
wajah-wajah membosankan. Begitu keluar sekolah,
aku seperti menemukan diriku kembali. Entah
mengapa, sekolah dasar yang sebagian besar orang
menganggapnya sebagai kawah candradimuka tidak
bisa membahagiakanku. Hanyalah bosan, suntuk,
dan ingin cepat pulang yang kurasakan. Sebenarnya,
aku senang sekali sekolah biar pintar. Namun, begitu
sampai di sekolah, aku ingin cepat istirahat atau
pulang. Sebab, hanya saat itulah aku bisa bebas
bermain.

17
Alang-alang Timur

Setelah kupikir-pikir, mungkin sistem pem-


belajaran atau bahkan gurunya yang membosankan.
Entahlah. Seperti biasanya, satu guru selalu
mengampu beberapa mata pelajaran. Kadang,
dalam satu hari, enam mata pelajaran diampu oleh
dua orang guru saja. Praktis, satu hari hanya bertatap
muka dengan dua pengajar yang berwajah lelah.
Lelah karena jarak antara rumah dan jalan yang naik
turun begitu jauh. Lelah karena melihat wajah-wajah
kami yang dungu dan kucel.
Kami berempat pulang berjalan kaki melewati
pematang sawah. Jalan itu, menurutku, lebih dekat
daripada lewat jalan kampung, walaupun baju dan
kaki kami kotor terkena lumpur. Salah satu
sahabatku, Seno, kalau bercanda terkadang kelewat-
an. Pernah aku ditarik-tarik ke sawah yang baru
menguning padinya. Kami bergulingan di antara
jerami yang menopang bulir-bulir padi. Kami
tertawa-tawa, meskipun badan kami gatal tersentuh
daun padi yang berambut. Kulihat beberapa batang
padi ambruk tertimpa tubuh Seno yang gendut.
Memang, di antara kami, hanya dia yang berbadan
subur. Maklum, dia orang kaya. Ayahnya seorang
guru SMP di kota kecamatan. Tapi, rupanya
kecerdasan ayahnya tidak menurun kepada anaknya.
Mungkin juga karena anak itu terlalu banyak
makan.

18
Sang Pelopor

Kata ayahku, makan itu harus cukup, tidak


boleh berlebihan. Sebab, perut kita harus disisakan
untuk udara dan air. Kalau terlalu banyak makanan,
itu namanya serakah. Karena, tempat yang semesti-
nya untuk air dan udara justru digunakan untuk
makanan. Itulah yang menyebabkan perut kita sakit.
Itu kata ayahku. Tapi, entahlah. Sebab, sampai
sekarang aku belum pernah makan kenyang.
Hari ini hari Sabtu. Berarti, besok adalah hari
Minggu; saat yang ditunggu kami berempat. Di hari
itulah kami bermain sepuasnya. Benar-benar hari
bebas bagi kami. Bahkan, kami menyebut hari
Minggu adalah hari rayanya setiap minggu. Namun,
aku salah. Seharusnya, sebagai orang Islam, hari
rayanya adalah Jum’at. Meski begitu, hari Minggu
adalah hari di mana kami bisa memancing, mandi
di kali, mencari belalang, atau mencari kayu bakar.
Pokoknya, kami bisa melakukan apa saja yang kami
sukai.
Besok, kami ada jadwal memancing di dam desa
kami. Jadwal? Kayak orang penting saja. Begitulah
kami, empat sekawan, biasa mendiskusikan acara apa
yang akan kami adakan ketika Minggu atau hari
libur tiba.

***

19
Alang-alang Timur

Pada hari Minggu, aku bangun pagi-pagi.


Setelah kewajiban kepada Allah dan orang tua
ditunaikan, aku bergegas ke belakang rumah. Di
dekat tempat sampah, aku pun mencari cacing.
Tetanggaku yang kebetulan menjemur pakaian
menegurku.
“Mau mancing, Li?”
“Iya, Mas! Diajak temen-temen…!”
“Mau mancing di mana, Li? Di sawah?”
“Tidak Mas. Di dam saja. Kata Seno, kemarin
ayahnya dapat tawes besar.”
Begitulah di kampung. Sering kali orang
menanyakan sesuatu yang sebenarnya tak perlu
dijawab. Tetapi, demi menjaga keakraban antar-
sesama warga, kadang kala kita mesti menanyakan
sesuatu yang kita sendiri tahu jawabannya.

***

Dam itu tidak terlalu besar, hanya sekitar 4-5


hektar saja. Meski begitu, dam kecil itu lumayanlah
untuk menampung air hujan yang kalau di musim
kemarau bisa dialirkan ke sawah-sawah petani.
Dulu, sebelum ada bendungan itu, mereka yang
pekerjaan utamanya mengolah sawah akan susah.
Terkadang, jika salah memperkirakan musim hujan,

20
Sang Pelopor

maka panen akan sering gagal. Tapi, alhamdulillah


sekarang bisa panen dua kali setahun. Untuk masa
tanam setelah musim kemarau, maju atau mundur
satu bulan saja bisa. Asalkan air dam sudah penuh,
para petani mulai bisa menanam. Kalaupun ketika
sudah ditanam, namun dalam masa satu bulan tidak
ada hujan, maka tinggal membuka pintu airnya.
Kini, musim memang bergulir tak pasti. Itulah
pentingnya menabung apa saja, terutama menabung
air serupa di dalam dam itu.
Bapakku dulu juga sering mengajariku mena-
bung. “Ingat, Le…, menabung akan memulia-
kanmu. Seperti Nabi Yusuf yang memerintahkan
penduduk Mesir agar menabung untuk menghadapi
masa paceklik panjang waktu itu,” nasihat bapak.
Selain untuk mengairi sawah, bendungan di
desaku berfungsi juga sebagai kolam ikan yang besar.
Siapa saja boleh memancing di dam, asalkan tidak
menggunakan setrum atau racun. Selain berbahaya,
tentunya juga akan merusak lingkungan. Berbagai
jenis ikan hidup di sana. Nila, tawes, lele, dan masih
banyak jenis yang lain. Sehingga, kalau sekadar
untuk lauk seluruh kampung setiap hari, kukira akan
cukup.
Tidak seperti biasanya, sedari tadi menjulurkan
joran tak satu umpan disentuh ikan. Teman-

21
Alang-alang Timur

temanku sama saja. Sepi. Mungkinkah karena kami


datang agak kesiangan, sehingga ikan-ikan pun
sudah sarapan? Entahlah, yang kutahu, sekenyang
apa pun ikan, kalau diberi makan tetap saja
menyambarnya.
“Kok sepi, Li?” kata Seno dengan mata menyipit
lantaran terkena sinar matahari pagi.
“Tahu ah, No! Mungkin, ikan-ikan itu mencium
baumu yang belum mandi. Jadi, mereka tak
selera…,” kataku, mengejek.
Belum sempat Seno menimpali, kulihat Sulthan
menarik jorannya. Di sana menggantung seekor
ikan wader. Besarnya tak lebih dari jari manisku
sewaktu bayi.
“Bagus! Mau dibakar atau digoreng, Than?”
tanyaku kepada Sulthan.
“Enaknya dipepes. Dikasih kelapa lima butir,
pastilah cukup untuk kita berempat!” kata Sukar,
tak kalah seru.
Sampai menjelang zhuhur, tak satu pun ikan
tersangkut pancingku. Barangkali, hari ini adalah
hari sial kami. Biasanya, kami dapat banyak ikan.
Satu-satunya ikan yang tersangkut mata kail kami
hanyalah wader kecil.

22
Sang Pelopor

Kami pulang sambil tersenyum-senyum. Sukar


dan Sulthan bahkan berebut ikan mungil itu. Sulthan
merasa lebih berhak membawa wader itu karena dia
yang mendapatkannya. Sukar pun demikian. Ia akan
memasak ikan itu di rumah. Kulihat mereka sampai
berguling-guling di atas tanah berkerikil dan
bercadas kecil. Pasti sakit punggung mereka. Setelah
Sukar mendapatkan ikan wader, Sulthan, si pahlawan
mancing hari itu, tidak terima. Dadanya naik turun,
namun amarahnya tetap dipendam. Daripada ikan
itu remuk, lebih baik mengalah.
“Dasar Sukar! Sulit lho…!” umpat Sulthan.
Itu adalah kata-kata yang paling dibenci Sukar.
Namun, anak itu hanya diam saja sembari menimang-
nimang si wader mungil. Biasanya, kalau kata sakti
itu disebut, Sukar akan marah bagai bantheng ketaton.1
Dia lebih memilih menyelamatkan ikannya daripada
perasaannya.

***

Di rumah Sukar, kami berbagi tugas seperti


biasanya. Aku menyimpan pancing-pancing itu.
Sukar memanjat kelapa. Sementara Sulthan asyik
dengan ikan kesayangannya itu. Setelah semua
1
Banteng terluka.

23
Alang-alang Timur

bahan siap, yaitu kelapa parut, ikan, dan bumbu-


bumbunya, sekarang giliran Seno menyiapkan api
untuk memasak. Semenjak tadi, cuma Seno yang
belum dapat tugas.
Ketika sudah tercium bau harum khas pepes,
Sukar telah menyiapkan nasi di atas tambir.2 Kami
pun makan dengan lahapnya. Kami memang
terbiasa begitu. Walaupun tadi sempat berantem,
tapi satu menit kemudian sudah rukun lagi.

***

Rambutnya gimbal seperti setahun tidak


keramas. Kulitnya hitam legam, selegam pekerjaan-
nya sehari-hari, yaitu membantu bapaknya di sawah.
Wajahnya bulat telur dengan telinga agak besar
sebelah. Tangannya yang sewaktu bayi dulu mulus,
sekarang kasar dengan kapal di antara jempol dan
kelingkingnya. Ketika musim kemarau, benjolan
keras itu berisi air bening. Jika terkelupas, maka akan
terlihat lapisan putih yang terasa sangat perih.
Bila dilihat dari usianya, anak itu luar biasa.
Bocah lelaki seumurannya di kota sibuk dengan play
station dan bike jump. Sementara dia setiap usai
sekolah bermain dengan cangkul, bajak, dan panas-
2
Sejenis tampah.

24
Sang Pelopor

nya mentari siang. Tak salah jika kulitnya hitam


terpanggang terik matahari.
Dia orang yang pantang mengeluh. Katanya,
orang yang suka mengeluh itu pertanda orang yang
tidak percaya pada kemampuan sendiri. Bahkan, dia
bilang, tangan yang kasar karena bekerja lebih
dicintai Nabi daripada tangan halus, namun
pekerjaannya meminta-minta.
Sukar, namanya. Kehidupannya pun sulit.
Namun, jiwanya sungguh putih. Aku tak tahu
kenapa orang tuanya dulu memberikan nama itu
tanpa tambahan apa pun. Seandainya ada tambahan
sehingga menjadi Sukarno, mungkin artinya akan
lain. Satu yang kupahami, menjelang kelahirannya,
hidup lagi susah. Pangan mahal dan langka. Minyak
tanah menghilang, bahkan untuk sekadar menyala-
kan teplok pun tidak ada.
Menjelang adzan Maghrib di mana mendung
bergulung-gulung disertai angin dan sambaran
kilat, saat itulah ibunya merasakan mulas, pertanda
hendak melahirkan. Bapaknya panik luar biasa
karena harus segera memanggil dukun beranak.
Dengan meraba-raba di antara gelap, diambilnya
senter tua warisan simbah, lalu bergegas ke rumah
sang dukun bayi.

25
Alang-alang Timur

Ketika dukun itu tiba, Sukar kecil hampir


mbrojol3 karena ingin segera melihat terangnya dunia.
Dia tidak tahu, saat itu dunia sangat gelap. Dengan
diterangi senter yang baterainya hampir habis, lahir-
lah anak manusia itu.
Ketika sang jabang bayi lahir, senter itu pun
tidak mampu lagi memberikan cahayanya, walau
hanya setitik. Sukar lahir dalam kegelapan. Untuk
mengenang masa itu, dinamailah bayi itu Sukar
seiring dengan geledek yang menyambar. Entah
benar atau tidak cerita itu, ketika kutanyakan kepada
Sukar, dia hanya cengengesan seperti biasanya.
Sebenarnya, aku tidak setuju jika dia dikasih
nama itu. Karena, sesuatu yang tidak baik bukan
untuk dikenang, tetapi untuk dijadikan pelajaran
supaya besok tidak terulang. Sesuatu yang buruk
itu pun bukan untuk diabadikan, terlebih sebagai nama
bagi seseorang. Kira-kira, apa motivasi bapaknya
memberikan nama itu, tidak ada yang tahu. Padahal,
menurut Rasulullah, nama adalah doa dan harapan.
Dulu, aku juga malu lantaran dinamai Mohammad
Ali. Kayak petinju saja. Namun, setelah dewasa, aku
merasa keliru telah merasa malu karena namaku.
Muhammad adalah manusia mulia yang Allah pun

3
Lahir.

26
Sang Pelopor

tidak menciptakan dunia jika nama itu tidak


diciptakan. Rasulullah, sang manusia mulia itu.
Sudah ratusan, ribuan, bahkan jutaan karya telah
dibuat untuk melukiskan keagungan pribadinya,
baik sebagai rasul maupun manusia biasa.
Muhammad sebagai pedagang; dialah pedagang
yang jujur dan amanah. Ia pula yang meletakkan
fondasi dasar etika bisnis yang kita kenal sekarang.
Rasulullah sebagai panglima perang; beliau adalah
ahli strategi perang yang andal dan mampu
mengambil keputusan tepat di saat genting dengan
pertimbangan-pertimbangan jitu. Rasulullah
sebagai kepala rumah tangga; dia adalah seorang
suami yang shalih, sekaligus ayah yang mencintai
dan dicintai anak-anaknya.
Sementara itu, Ali adalah sahabat yang juga
menantu Rasulullah. Seseorang yang Allah mulia-
kan karena ilmu dan zuhudnya terhadap harta.
Bahkan, Rasulullah pernah bersabda, barang siapa
akan memasuki samudra ilmu, maka Ali-lah pintu
gerbangnya. Ketika kebanyakan orang dimuliakan
karena harta dan kedudukannya pada waktu itu, Ali
justru dimuliakan Allah dan rasul-Nya karena
kecerdasannya.
Setelah aku mengetahui kedua hal tersebut, aku
pun bersyukur dan berterima kasih kepada bapak

27
Alang-alang Timur

yang telah memberiku nama dengan nama yang


agung.
Sukar itu orangnya cengengesan, tapi pandai.
Selain paling pinter membaca al-Qur’an, dia juga
paling jago main benthik. Itu lho permainan tradisi-
onal khas Jawa Tengah. Permainan itu membutuh-
kan dua batang kayu yang panjangnya berbeda; satu
sebagai benthong (induk benthik) dan satu lagi menjadi
janak (anak benthik). Sebelum permainan dimulai,
kami harus menggali lubang kecil yang memanjang
di tanah. Pemain dibagi menjadi dua tim; satu
kelompok bermain dan satu lagi berjaga-jaga.
Ada tiga tahapan dalam permainan benthik.
Pertama, cuthatan, yaitu memainkan anak benthik
dengan cara men-cuthat sejauh-jauhnya dan berusaha
agar janak yang panjangnya kira-kira 20 cm itu tidak
tertangkap. Soalnya, kalau tertangkap, maka pemain
akan mati. Tahap kedua, menampel atau menangkis
janak sejauh-jauhnya. Lalu, si penjaga melemparkan
janak ke arah benthong yang ditaruh di sekitar lubang.
Kalau kena, mati. Jika tidak kena, berarti pemain
akan memperoleh nilai dan dihitung dengan benthong
yang panjangnya sekitar 30 cm itu. Langkah per-
mainan yang ketiga adalah roket; memainkan janak
dengan cara menampel, lalu menarikannya di udara.
Setelah itu, berapa kali janak ditarikan, lantas

28
Sang Pelopor

dikalikan dengan berapa jauh janak terlempar. Itulah


hasil yang akan diperoleh pemain. Mudah, bukan?
Demikianlah permainan benthik sanggup men-
jadi hiburan sederhana, namun seru bagi anak-anak
desa seperti kami. Maklum, di kampung kami
belum ada play station. Kalau kami ingin bermain,
maka permainan itu harus kami buat sendiri. Selain
bermain benthik, kami juga bermain lomba me-
manjat kelapa. Dalam permainan yang satu itu,
akulah jagonya karena kelapa yang berhasil kupetik
selalu yang terbanyak.

***

Jika melihat sambal, ingatanku langsung


melayang pada satu sosok tinggi, jangkung, dan
kurus. Kulitnya agak terang bila dibandingkan
kami. Dialah Sulthan; sang jagoan makan sambal.
Aneh, pikir kami. Terbuat dari apa perut temanku
itu? Katanya, kalau tidak makan sambal satu hari
saja, rasanya lemas. Untung saja ususnya kuat. Kata
Rasulullah, makan sesuatu itu tidak boleh berlebih-
an. Makanan yang berlebihan akan menimbulkan
akibat tidak baik bagi anggota tubuh kita.
Selain jago makan sambal, Sulthan ternyata juga
jago main cirak kemiri. Kemiri yang masih bercang-
kang menjadi mainan mengasyikkan bagi kami.

29
Alang-alang Timur

Ketika musim kemiri tiba, kami biasa bermain cirak


sepulang sekolah. Kalau lagi asyik main, kadang
kami sampai lupa bahwa waktu ashar sudah lewat.
Sebab, begitu mendengar azan dan permainan akan
disudahi, yang kalah bersikukuh agar permainan
diteruskan. Akhirnya, kami sama-sama merugi
lantaran kehilangan kesempatan untuk shalat Ashar
berjamaah, bahkan sering bolos mengaji. Ya, yang
menang jadi arang, yang kalah jadi abu.
Cirak kemiri, kelereng, maupun gelang karet
adalah kegemaran kami semua. Tetapi, setelah kami
tahu bahwa itu bisa membuat kami bermusuhan,
maka kami pun menciptakan permainan yang bisa
menjadikan kami berteman terus. Mancing, main
tembak-tembakan dengan bambu, atau mencari
kayu bakar. Selain dimanfaatkan sendiri, kayu itu
juga bisa dijual. Selama ini, kami terbiasa memasak
dengan kayu. Hanya bahan bakar itulah yang begitu
melimpah di desa kami.
Oh, ya, Sulthan cenderung pendiam. Namun,
dari diamnya itu muncul ide-ide yang terkadang
tidak kami bayangkan sebelumnya. Misalnya, ketika
malam Minggu kemarin, kami tidak punya acara apa
pun. Si rambut keriting itu mengajak main gobak
sodor. Setelah bosan, dilanjutkan dengan main petak
umpet yang membuat malam Minggu kami

30
Sang Pelopor

semakin hidup. Melihat kecerdasan Sulthan, pernah


kutanyakan tentang cita-citanya.
“Besok mau jadi apa?” tanyaku pada saat itu.
Dia pun menjawab dengan mantap, “Ahli
geologi….”
Tapi, di lain waktu, ketika melihat betapa
remang bercahayakan senthir4, dia berkata lain. “Aku
mau jadi ahli teknik listrik, Li, yang bisa memberikan
penerangan dengan harga murah dan menjangkau
seluruh pelosok kampung.”
Rupanya, di balik karakter pendiamnya, Sulthan
pun seorang pemikir ulung. Menurut ustadzku,
orang yang pendiam itu belum tentu bodoh. Orang
yang demikian bisa saja pintar karena lebih banyak
mendengar dan mencerna ilmu pengetahuan dari-
pada omong kosong.

***

Sosok Seno lain lagi. Dia pendek, gendut, dengan


rambut agak ke atas menantang matahari. Kalau
ikut lomba lari, temanku yang menggemaskan itu
pasti dapat nomor satu. Nomor satu dari belakang,
maksudku. Pernah pada waktu jam olah raga,

4
Sejenis lampu minyak berukuran kecil.

31
Alang-alang Timur

pelajaran saat itu adalah lari. Karena selalu kalah,


Pak Basuki, guru olah raga kami, punya inisiatif
untuk menggabungkan Seno dengan regu putri.
Anehnya, dia tetap saja kalah. Kami biasa meledek-
nya ketika dia baru sampai, sedangkan kami sudah
duduk santai.
“Inilah dia juara pertama lari sepuluh kilo…!”
“Dari belakang…!” tambah teman-temanku.
Kami tertawa, sedangkan anak berlemak itu
hanya tersenyum sambil ngos-ngosan. Sudah tidak
punya tenaga lagi untuk marah, rupanya. Walaupun
gendut, pendek, dan hitam, Seno berhati bersih. Dia
tidak segan-segan membantu kalau kami sedang
membutuhkannya. Maklum, di antara kami, Seno-
lah yang paling mampu. Bahkan baru rumahnya
yang bisa pasang listrik. Tempat tinggalnya yang
dekat dengan jalan kecamatan dan dilewati jaringan
kabel listrik memang memungkinkan untuk dialiri
listrik.
Kami biasa belajar bersama di rumah Seno yang
terang benderang di malam hari. Orang tuanya
sangat senang kalau kami belajar di sana dan
mengajari anaknya yang agak tertinggal dalam
pelajaran. Ibu Seno yang baik hati pun selalu
menyediakan penganan untuk kami. []

32
Sang Pelopor

3
Ulah Kami

S ekolah, bagiku, adalah sesuatu yang


menyebalkan. Inginnya aku lari dari pelajaran-
pelajaran yang membuatku tambah mengantuk itu.
Sekolah tak lebih sebagai rutinitas yang tanpa
nyawa. Kalau tidak karena ibu memaksaku berang-
kat, aku akan tidur seharian atau pergi jauh dan tidak
kembali ke sekolah.
Tetapi, jiwaku berkata lain: aku harus belajar,
aku harus pintar. Aku tidak mau hanya menjadi
penjual arem-arem seperti ibuku. Ya, aku harus lebih
baik dari siapa pun. Namun, ketika membayangkan
gerbang sekolah, semangatku kembali meluruh.
Belajar dan terus belajar, tes, lulus, dapat ijazah,
lantas melamar pekerjaan. Mungkin semua itu yang
melintas di benak sebagian besar murid di sekolah-

33
Alang-alang Timur

ku, bahkan mungkin seluruh siswa di dunia. Oh…,


alangkah sempitnya hidup ini andai tujuan belajar
hanya untuk mendapatkan selembar ijazah, lalu
ijazah itu dianggap sebagai benda keramat yang
menentukan masa depan.
Mungkin, itulah yang menyebabkanku malas
belajar; tidak memiliki motivasi belajar di lingkup
sekolah. Bukannya bodoh, bahkan hampir semua
pelajaran yang diajarkan bisa kuterima dengan baik.
Nyaris setiap penerimaan rapor, aku selalu masuk
peringkat sepuluh besar. Kalaupun kalah, paling
tertinggal dari Sulthan. Memang, dalam beberapa
hal, kami berdua berkompetisi.
Ketika kuutarakan kepada Sulthan tentang
pandanganku tersebut, dia pun mengiyakan.
Mungkin, itu yang membuat guru-guru jengkel
kepada kami. Padahal, murid yang juara biasanya
disayang guru. Mungkin, karena ia merasa berhasil
dalam mendidik muridnya. Tapi, itu tidak berlaku
bagi kami. Melihat kenakalan dan pertanyaan-
pertanyaan kami, wali kelas bertambah benci kepada
kami.
Pernah kami membolos karena tidak suka guru
Matematika kami. Pak guru itu ternyata galak.
Akhirnya, di hari berikutnya, kami harus menjalani
sidang demi sidang yang melelahkan, dari wali kelas,

34
Sang Pelopor

guru BP, sampai kepala sekolah. Sebagai hukuman,


kami pun harus membersihkan WC.
Di lain waktu, kami melontarkan pertanyaan-
pertanyaan nyeleneh yang membuat para guru antipati
mengajar di kelas 5B.
“Pak Guru, kenapa air laut asin? Kok tidak
manis?”
“Kenapa saklar kalau ditekan off kok lampu
mati? Tapi, kalau ditekan on, lampu menyala?”
Begitulah beberapa pertanyaan nyeleneh-ku
kepada Pak Bambang. Aku bertanya seperti itu
karena ketika aku belajar di rumah Seno, kulihat
ibunya menyalakan lampu dengan menekan saklar.
Ruang tamu yang remang-remang pun akhirnya
menjadi terang benderang. Bukannya menjawab,
guru Bahasa Inggris itu menertawakan dan meng-
ejekku sebagai anak kampungan.
“Negara kita kan kaya sumber minyak bumi,
tapi kita kok malah impor dari Singapura untuk
pemenuhan solar? Padahal, Singapura itu negara
kecil yang tidak punya tambang minyak bumi…,”
tanya Sulthan di satu kesempatan.
Sayang, temanku itu pun memperoleh tanggap-
an tak bersahabat. Bukan menjawab pertanyaan
Sulthan, sang bapak guru malah marah dan
mengumpatnya.

35
Alang-alang Timur

“Tahu apa kamu tentang kebutuhan negara, hai


Anak kecil?!” demikian hardik guru kami itu.
Begitu juga ketika Seno bertanya tentang
nekatnya negara kita mengandalkan pasokan listrik
dari generator berbahan bakar minyak dan batu bara
yang jelas-jelas suatu saat akan habis. Padahal,
Indonesia adalah negara tropis yang kaya akan
sumber tenaga yang murah. Energi matahari, misal-
nya. Selama kurang lebih sembilan jam, Indonesia
menerima energi gratis itu.
Mendengar pertanyaan Seno, Bu Indri pun
meradang. Memangnya ada hubungan apa antara
pasokan listrik, energi matahari, dan pelajaran
keterampilan? Aku sendiri heran. Dapat pertanyaan
dari mana anak subur itu?
Namun, di antara sekian guru, ternyata ada
seorang guru yang mau meladeni pikiran-pikiran
liar kami. Kami memanggilnya Bu Guru Bijak.
Walaupun dengan keterbatasan ilmu dalam
menanggapi pertanyaan kami, kami sangat menyu-
kainya.
“Bu Guru, generator itu apa?” tanya Sulthan.
“Generator adalah alat yang bisa menghasilkan
arus listrik ketika kumparannya berputar,” jawab Bu
Guru Bijak.

36
Sang Pelopor

Namun, ketika ditanya lebih lanjut, dibuat dari


apakah generator itu, Bu Guru Bijak hanya diam
saja. Kami tetap senang, meski jawabannya belum
memuaskan. Paling tidak, ada yang bersimpati
dengan keingintahuan kami.
Memang, kadang pertanyaan kami sangat aneh,
bahkan sering tidak ada sangkut pautnya dengan
pelajaran.
“Kenapa kalau naik gunung, hawanya tambah
sejuk? Padahal, kita lebih dekat dengan matahari?”
Fajar yang senang mendaki itu tidak mau kalah.
Padahal, waktu itu pelajaran Matematika. Guru
kami pun tidak bisa menjawabnya, lantas melem-
parkan pertanyaan itu supaya ditanyakan ketika jam
pelajaran IPA.
Semakin lama, rasa ingin tahu kami kian
menjadi-jadi. Mungkin, bila itu suatu penyakit,
maka sudah mencapai tahap kritis. Dengan pertanya-
an-pertanyaan yang sulit dijawab, kegusaran para
guru pun makin bertambah kepada kami. Padahal,
kami bertanya karena kami tidak tahu dan ingin
tahu. Kami mengira, gurulah tempat bertanya yang
paling tepat.
Sayang, guru-guru mengira kami bertanya
karena bodoh dan tidak tahu diri. Meski begitu, ada
juga guru yang bijaksana mengakui kekurangan

37
Alang-alang Timur

ilmunya dan menyarankan untuk bertanya saat


sudah menginjak SMA. Sungguh, itu sebuah
kejujuran yang tidak kumengerti, kendati aku
menyadari bahwa guru adalah manusia biasa yang
tidak selalu serba tahu.
Begitulah kami belajar. Hanya seperti air
mengalir yang mengikuti arus, disertai kekakuan
hubungan antara guru dan murid. Biarlah kami
mengikuti ke mana arus itu bermuara, apakah ke
samudra pengetahuan ataukah ke pelimbahan. Dan,
aku tak ingin keingintahuan kami bermuara ke
tempat kotor itu.
Klimaksnya, ketika keingintahuan Sulthan akan
masalah energi dan listrik begitu memuncak. Sampai
benar-benar akut, bahkan aku melihatnya sangat
terobsesi dengan hal satu itu. Tidak ada hari tanpa
bertanya tentang listrik, listrik, dan listrik. Sesuatu
yang berhubungan dengan energi yang dihasilkan
generator itu telah memenuhi otaknya. Seandainya
aku boleh membedah otaknya, pasti di dalamnya
ada partikel-partikel yang berujung pada satu
muara: listrik.
Setiap hari, di semua jam pelajaran, pasti ada
pertanyaan yang datang dari mulut Sulthan.
Pertanyaannya berbeda-beda, tapi menuju pada satu
topik: listrik. Diamnya Sulthan karena memikirkan

38
Sang Pelopor

listrik. Berjalannya Sulthan lantaran membayangkan


listrik. Bahkan, tidurnya pun pasti sembari memim-
pikan listrik. Energi itu laiknya kekasih yang selalu
dikenang dan diimpikan bocah lelaki itu.
Sebenarnya, kami merasa terganggu oleh
kegilaan Sulthan. Namun, karena pertanyaannya
masuk akal, kami diam saja. Bu guru bahkan
mengatakan Sulthan sebagai anak bodoh. Aku
sebagai temannya merasa kasihan kepada anak cerdas
itu. Selama ini, aku belum pernah melihat ibu guru
semarah itu. Bahkan, beliau mengancam akan
membawa masalah itu ke hadapan kepala sekolah.
“Agar kamu tidak membuat gaduh kelas lagi!”
kata sang ibu guru.
Aku benar-benar merinding mendengar ancam-
an itu. Memang, apa salah Sulthan sampai hendak
dilaporkan kepala sekolah? Bukankah dia bertanya
karena memang sungguh tidak tahu? Kulihat
Sulthan tengah tertunduk. Matanya berkaca-kaca.
Selama bersahabat dengan dia, aku belum pernah
melihatnya menangis. Seharusnya, yang mendapat
perlakuan seperti itu adalah aku. Sebab, akulah yang
biasa bikin kelas segaduh pasar.
Bu guru beranjak pergi dari hadapan kami
berbarengan dengan lonceng tanda pulang ber-
bunyi. Sejak kami sekolah di sini, inilah kepulangan

39
Alang-alang Timur

yang tidak kami sambut dengan gembira. Kulihat


Sulthan belum beranjak dari tempat duduknya. Dia
masih menunduk gelisah.
“Sudahlah, Sulthan. Sekolah nggak mungkin
mengeluarkan kamu…,” kataku mencoba meng-
hiburnya.
Kami, empat sekawan, berhamburan menuju
meja anak itu, lalu menuntunnya pulang. Belulang-
nya bagai dilolosi seketika. Dia kembali terduduk,
namun akhirnya bangkit juga. Kami berjalan dalam
diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kami
pun pulang dengan seribu gundah di hati.

***

Pagi menjelang. Kami menghampiri Sulthan


untuk mengajaknya berangkat bareng. Namun,
tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumahnya.
Ibunya sudah ke pasar untuk berjualan tempe.
Kupanggil-panggil, tetap tak ada sahutan.
“Sulthan, ayo berangkat!” teriakku sambil
mengetuk-ngetuk pintu rumahnya.
Senyap. Atau, mungkinkah dia sudah berang-
kat? Kuberanikan diri membuka pintu yang tidak
dikunci. Kami bergantian memanggilnya.

40
Sang Pelopor

“Than, mlebu ora?” 1


Kami bergegas ke kamar Sulthan. Sebenarnya,
ini tidak sopan. Tetapi, kami terpaksa melakukannya.
Kami khawatir terjadi apa-apa pada sahabat kami
yang satu itu.
“Lho, Than? Kok masih tidur? Kamu kenapa?”
tanyaku, sangat keheranan melihat kondisinya.
Dia tidak menjawab, malah menarik sarung
kumalnya ke wajahnya. Diam.
“Aku tidak berani masuk, Li. Takut dikeluar-
kan…,” jawabnya, murung.
“Tidak, Than. Kamu harus berangkat. Kita tak
mungkin sekolah tanpa kamu.”
“Kalian harus masuk. Jangan pedulikan aku.
Jalan kalian masih panjang. Kalau dikeluarkan, biar
aku saja…,” kata Sulthan, masih tak bersemangat.
Akhirnya, kami berangkat tanpa Sulthan. Dan,
itu keberangkatan paling menyedihkan bagi kami.

***

Selama satu minggu Sulthan tidak masuk


sekolah. Sakit. Setiap kami main ke rumahnya, dia
hanya mengurung diri di dalam kamar.

1
Than, masuk tidak?

41
Alang-alang Timur

Hari Senin berikutnya, setelah upacara, aku dan


Sukar dipanggil menghadap kepala sekolah. Aku
deg-degan, sampai tanganku dingin. Akhirnya,
kutarik tangan Sukar, bergegas ke kantor kepala
sekolah. Kulihat beliau sudah menunggu di sofa
ruang tamu kantornya.
“Permisi, Pak,” kataku, basa-basi.
“Ya, silakan duduk…!”
“Ini, tolong sampaikan kepada orang tua
Sulthan. Soalnya, sudah kami undang sejak Kamis,
mereka tidak datang,” tambah Pak Kepala Sekolah
sambil menyerahkan map biru bertanda logo
sekolah.
“Apa betul Sulthan jadi dikeluarkan dari
sekolah?” berondongku hampir tidak bisa menguasai
diri.
Beliau terdiam, lantas menarik napas panjang
sebelum melanjutkan ucapannya. Ada benda berat
menggelayuti kepala beliau. Aku mengira apa yang
akan diucapkan beliau.
“Mulai besok, sekolah kalian akan lebih tenang,”
jawab Bapak Kepala Sekolah, akhirnya.
“Maksud Bapak?” potong Sukar, tidak sabar.
“Ya, Sulthan dikeluarkan. Itu lebih baik
daripada dia menjadi biang masalah di sekolah ini

42
Sang Pelopor

nantinya. Kami, dewan guru, sudah mempertim-


bangkan dengan matang. Kami juga sudah menye-
lidikinya dan menemukan majalah yang tidak pantas
dibaca anak seusia kalian. Bahkan, dia pernah
membawa majalah itu ke sekolah dan ditunjukkan
ke anak-anak putri. Itu sungguh meracuni kepri-
badian kalian. Makanya, jangan dekat-dekat dengan
Sulthan!”
Kami berdua diam saja. Aku seperti terhempas
dalam kejadian satu bulan lalu. Sulthan membawa
majalah usang bergambar wanita dengan pakaian
seadanya. Sebenarnya, yang membawa majalah itu
Sukar, tapi diselipkan di tas Sulthan. Sampai di
sekolah, Sulthan kaget melihat di tasnya ada majalah.
Dia membukanya dan diperlihatkan kepada murid
putri. Kebetulan, guru yang galak sedang masuk
kelas kami. Dia lantas merampas dan memarahi
Sulthan. Pembelaan anak itu pun tidak berarti.
Kami masih terpaku dalam diam. Kami berdua
memutuskan untuk undur diri dari hadapan Bapak
Kepala Sekolah. Dengan tetap membisu, aku dan
Sukar kembali ke kelas. Muka kami pun tertekuk
tidak puas. Kulihat Seno menghampiri meja kami.
“Bagaimana, Li…?” tanyanya menggantung.
Melihat wajah kami, dia urung melanjutkan
pertanyaannya. Seketika, bu guru memandangi

43
Alang-alang Timur

kami. Dia mengetuk-ngetukkan penggaris di papan


tulis.
“Ayo diam! Kalau masih ingin ramai, di luar saja.
Jangan mengganggu teman kalian yang lagi
belajar!” tegurnya, sangat tegas.
Kami mengikuti pelajaran saat itu dengan layu.
Ketika jam terakhir yang diasuh oleh Bu Guru Bijak
berlangsung, kuberanikan untuk bertanya kepada-
nya.
“Kenapa teman kami dikeluarkan, Bu?”
Guru kami yang baik itu berhenti menulis, lalu
memandang kami semua. Dia diam sesaat.
“Bapak Kepala Sekolah punya alasan yang
masuk akal untuk mengeluarkan teman kalian. Dan,
saya rasa itu lebih baik bagi kalian.”
“Tapi, yang menyelipkan majalah di tas Sulthan
itu saya, Bu…,” kata Sukar dengan jujur.
Kuakui keberanian Sukar untuk jujur adalah
keberanian yang luar biasa.
“Lain kali, jangan diulangi, ya?” kata Bu Guru
Bijak, menasihati Sukar.
“Tapi, kenapa sekolah tega memenggal kepala
kami?!”
“Maksud Ananda…?”

44
Sang Pelopor

“Kami berempat adalah sahabat sejati. Lebih dari


saudara, bahkan. Kami bagaikan satu tubuh, satu
jiwa. Kami tidak bisa sekolah tanpa kehadiran
Sulthan di antara kami…!”
“Anakku, di sekolah ini, kita satu keluarga. Jadi,
anggaplah semua teman kalian sama. Bukankah
teman kalian banyak?”
“Ya, kami saudara. Tapi, kami berempat lebih
dari itu. Kami adalah satu, tidak bisa dipisahkan….”
Hari-hari di sekolah kami lalui dengan sendu.
Februari yang kelabu. Padahal, biasanya bulan ini
adalah bulan terindah. Sebab, bulan itu adalah
puncak musim penghujan. Air sungai akan melim-
pah. Bahkan, dulu kami mengira bulan Februari
adalah bulan paling berkah karena bersamaan dengan
panen padi. Namun, sekarang? Ah, kami tak dapat
membayangkan bagaimana akan menjalani hari-
hari kami ketika satu saudara terlepas dari sisi kami.

***

Satu bulan telah berlalu. Kami berangkat dan


pulang sekolah seakan-akan merupakan rutinitas
yang mengalir tanpa cahaya. Tanpa ruh. Tak ada lagi
gojekan. Tak ada lagi canda tawa, walaupun kami
berangkat bersama-sama.

45
Alang-alang Timur

Seusai sekolah, setelah kami bisa berempat lagi,


bagiku itulah saat-saat matahari bersinar cerah. Tapi,
sungguh tidak secerah dulu. Kini, ada mendung
menggelayut di wajah Sulthan. Kami berusaha
menghalaunya, kendati terasa sulit sekali.
“Sekarang, apa usahamu untuk sekolah lagi,
Than?” celetuk Seno ketika kami sedang mancing
di kedung tengah sawah.
“Entahlah. Mungkin, sudah nasibku seperti ini.
Pupus di tengah jalan….”
“Tidak, Than…! Kamu harus sekolah. Kamu
tidak boleh menyerah seperti itu. Tidak harus di SD
negeri. Kamu bisa sekolah di SD Inpres atau di
madrasah. Yang penting, kamu sekolah…!”
“Apa kira-kira mereka mau menerimaku sebagai
murid?”
“Kamu harus mencobanya!” sambung Sukar.
“Atau, mungkin tahun ajaran besok kamu bisa
mencoba,” tambahku.
“Tapi, apakah aku bisa belajar, sedangkan kita
tidak satu kelas lagi?”
“Pasti bisa, Than! Harus bisa!”
“Masa depanmu ditentukan sekarang. Aku
yakin, kamu bisa!”

46
Sang Pelopor

“Atau, gini aja. Kamu cari informasi sekolah


mana yang bisa menampungmu. Setelah itu, kami
semua akan pindah supaya kita bisa bersama-sama
lagi.”
“Masalahnya tidak sesederhana itu, Li.”
“Kamu mendaftar sebelum tahun ajaran baru.
Begitu jelas kamu diterima, kami bertiga akan
keluar dan mendaftar di sekolah barumu. Walaupun
kami akan kehilangan satu tahun dan harus meng-
ulang di kelas lima lagi, kami rela berkorban sedikit
untuk masa depanmu.”
“Kalau aku diterima di madrasah yang jauh,
kalian juga nekat pindah? Soalnya, aku pesimis bisa
diterima di SD Inpres.”
“Pasti, Than! Demi persahabatan kita…!”
“Memangnya, berapa kilo jarak antara kampung
kita dan madrasah di dekat nenekmu itu?”
“Lebih dari dua puluh kilo. Bukan jarak yang
dekat, Li.”
“Itu bukan jarak yang jauh, Than. Yang penting,
kamu bisa sekolah…!”
“Akan aku coba di SD Inpres dulu.”
Kami berempat pulang dengan membawa
banyak nila siang itu. Rupanya, hari itu hari hoki
bagi kami. Rencananya, nanti malam akan kami

47
Alang-alang Timur

bakar di rumah Sulthan. Kami melangkah dengan


mantap. Ada secercah harapan di antara riak-riak raut
muka Sulthan yang mendung.
Kabar terakhir yang kudengar, Sulthan ditolak
oleh SD Inpres. Sekolah itu telah termakan isu
kelakuannya yang tak terpuji. Lalu, ia mencoba
mendaftar di pondok pesantren khusus putra di desa
sebelah. Katanya, menunggu satu minggu untuk
didiskusikan pimpinan pondok. Namun, satu hari
kemudian, sang pimpinan mengabarkan bahwa
kepindahan Sulthan ditolak oleh dewan guru.
Hampir saja anak obsesif itu putus asa. Kami pun
kembali menyemangatinya. Jalan terakhir yaitu di
madrasah yang letaknya di dekat tempat tinggal
nenek Sulthan. Sebenarnya, madrasah itu tidak
termasuk dalam daftar kami. []

48
Sang Pelopor

4
Madrasah
Kampung Sawah

G edung itu tidak begitu besar, namun


memanjang dengan bangunan pokok berupa
enam ruangan. Di sebelah baratnya membujur dua
ruangan lagi yang terpisah. Bangunan tua itu sama
sekali tak menyiratkan sebuah sekolah. Hanya papan
nama di bagian depan; papan berwarna hitam
dengan tulisan putih mengkilap, yang mengisyarat-
kan bahwa bangunan itu adalah lembaga pendidik-
an. Sebuah tiang bendera dari besi yang tidak begitu
tinggi terpancang tepat di tengah halaman, seolah
membaginya menjadi dua bagian sama besar.
Dari jauh lebih mirip gudang tembakau atau
semacam gudang beras. Temboknya sungguh mem-
prihatinkan dengan warna cat yang sama sekali tidak
kelihatan aslinya. Selapis warna antara biru dan

49
Alang-alang Timur

putih, namun bercampur cokelat debu yang


menempel bertahun-tahun. Hanya taman meman-
jang di depan gedung itu yang memperlihatkan
bahwa tangan-tangan lembut berada di balik
keindahan bunganya. Agak jauh di bagian depan,
menjulang pohon-pohon besar yang menaungi
halaman dari teriknya siang hari.
Mereka menyebut gedung itu sekolah. Di
belakangnya, terhampar sawah yang berkotak-kotak
dengan beberapa gedung di tengah-tengahnya.
Mereka menyebutnya tempat belajar. Di kanan dan
kirinya, terbentang ladang dengan palawija yang
menghijau. Mereka menyebut bangunan itu tempat
menimba ilmu. Di depannya, bukit-bukit kecil yang
menghijau ditumbuhi aneka tanaman keras yang
berselang-seling dengan tanaman buah. Mereka
menyebutnya Madrasah Ibtidaiyah al-Fikri, tapi
kami menamakannya Madrasah Kampung Sawah.
Bagi kami, itulah nama yang tepat. Bagaimanapun,
sekolah itu terletak di perkampungan yang dikeli-
lingi sawah nan luas.

***

Aku seperti tersadar dari mimpi buruk karena


telah memilih Madrasah Kampung Sawah sebagai
sekolah baruku. Melihat fisik bangunannya, kembali

50
Sang Pelopor

rasa ragu menyusup ke rongga dadaku. Tak salah


jika orang tua kami menolak mentah-mentah atas
kepindahan ini. Apalagi ayah Seno. Namun,
kekerasan hati Seno yang memberikan dua pilihan
antara pindah atau keluar membuat sang ayah meng-
alah. Seno memang tidak pernah menyediakan
pilihan ketiga. Selain jauh, orang tua kami pun mem-
pertimbangkan kualitas pendidikan di madrasah itu.
Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Semua sudah
terjadi dan kami tak ingin surut.
Tetapi, keterpurukan kami terbayar oleh senyum
ramah kepala sekolah dan guru-guru kami yang
baru. Juga perkenalan dengan teman-teman baru
yang menawan. Dengan segala kesederhanaan yang
melebihi keadaan kami, mereka masih bisa mem-
berikan senyum terbaik untuk kami. Kesan indah
itu muncul pada hari ini. Di hari pertamaku masuk
madrasah yang dikelilingi areal sawah.
Akhirnya, kami duduk semeja lagi di kelas baru.
Aku dan Sukar, sedangkan Seno bersama Sulthan.
Kami duduk di pinggir, dekat dengan jendela.
Ketika jendela itu hendak kubuka, terdengarlah suara
berat dari engsel-engselnya. Rupanya, jendela itu sudah
sangat rapuh. Sedemikian rapuh, seandainya aku
nekat membukanya, tak tahu apa yang akan terjadi.
Mungkin, jendela itu akan terpisah dari kosennya.

51
Alang-alang Timur

Aku hanya bisa melihat indahnya bunga-bunga


di taman itu. Namun, tak dapat mencium wangi
bunganya. Di jendela ini, aku juga bisa melihat anak-
anak kelas 4 sedang berolah raga di lapangan. Tapi,
setelah kuamati, mereka tidak seperti melakukan
olah raga. Ada kata-kata berbahasa Inggris yang
mereka ucapkan. Ternyata, anak-anak itu tengah
menghafalkan kosakata baru sambil bernyanyi.
Itulah keanehan pertama yang kujumpai di sekolah
ini.
Suara sumbang antara sopran dan mezzo sopran
ditambah suara bas yang sangat tidak kompak
terdengar keras dari mulut mereka. Para murid kelas
4 itu asyik melafazhkan warna-warna dengan
menggunakan contoh benda di sekitarnya.
“Sepatu hitam….”
“Black…!”
“Celana merah….”
“Red…!”
“Daun hijau….”
“Green…!”
“Kertas putih….”
“White…!”
“Gigi kuning….”

52
Sang Pelopor

Ah, mereka pun tertawa bersama. Tanpa ada


yang memberikan aba-aba. Begitu menikmati
kegembiraan belajar mereka. Begitu bersemangat
mengenal hal-hal baru di pagi yang bersinar cerah
saat ini.
Lagi, sebuah paduan suara tanpa intonasi, zig-
zag, dan tidak beraturan tengah mereka gelar.
Namun, bocah-bocah lugu itu tampak senang sekali.
Sesekali, diiringi tepuk pundak dan tepuk tangan.
Kadang, mereka pun diminta maju untuk menulis-
kan kosakata baru di papan tulis yang disandarkan
di batang waru.

***

Dua minggu telah berlalu. Memang, sejak


pertama masuk Madrasah Kampung Sawah, aku
menemukan begitu banyak keganjilan. Namun,
kami hanya diam saja. Mungkin lantaran belum
terbiasa. Meski demikian, sejauh ini kami selalu
menikmati saat-saat belajar kami. Dan, yang lebih
aneh lagi, hari libur jatuh pada hari Jum’at, bukan
Minggu. Jadi, kami harus menata ulang jadwal
bermain kami.
Bermain? Rasanya, setiap hari kami bermain di
sekolah ini. Semua mata pelajaran diajarkan dengan
permainan. Seperti kemarin, kami belajar Ilmu

53
Alang-alang Timur

Pengetahuan Alam di kebun samping sekolah. Pak


Bari membimbing kami semua. Pada hari itu, kami
membahas tentang fotosintesis yang prosesnya
dibantu sinar matahari.
“Anak-anak, coba perhatikan pohon pisang itu!”
pinta Pak Bari kepada semua siswa.
“Yang mana, Pak Guru?” tanya kami semua.
Soalnya, banyak pohon pisang di tegalan1 ini, mulai
dari yang kecil sampai yang sudah berbuah.
“Yang mana saja. Lihatlah daunnya. Daun yang
berwarna hijau itu menandakan mengandung
klorofil, yaitu zat hijau daun. Dengan bantuan sinar
matahari, daun memasak sari pati makanan dan air
yang diubah menjadi makanan. Makanan itu lantas
disimpan di bagian-bagian tumbuhan. Pada pisang,
zat makanan disimpan di dalam buahnya. Untuk ubi
jalar yang di samping pohon pisang itu, makanan
disimpan pada umbinya.”
Ketika Pak Bari berhenti menerangkan, celoteh
anak-anak terdengar berebutan untuk bertanya. Namun,
beliau menjawab semua tanya kami dengan senang.
“Bertanyalah, Anakku…! Sejauh apa pun rasa ingin
tahumu, semampu mungkin akan Bapak jawab.

1
Tanah yang luas dan rata, biasanya ditanami palawija, dan pengairannya
bergantung pada hujan.

54
Sang Pelopor

Atau, mungkin ada penjelasan Bapak yang belum jelas,


Nak? Dengan senang hati akan Bapak ulangi…,”
begitu sabar, Pak Bari memberi kami kesempatan
untuk memahami lebih lanjut tentang fotosintesis.
Kami semua terdiam, bingung hendak bertanya
apa. Sebab, hampir semua pelajaran hari itu sudah
diterangkan dengan lugas. Alangkah senang hati
kami menerima pelajaran dari semua guru.
Begitulah keseharian kami. Belajar kami adalah
bermain. Bermain kami adalah belajar. Kami pun
merasa betah dan berharap pelajaran tak lekas usai.
Dengan pembelajaran serupa ini, kami bahkan kian
akrab. Terkadang, pelajaran itu berupa permainan
kelompok. Pak guru memecah semua siswa secara
acak bergantian. Jadi, kami sering bergonta-ganti
teman di dalam sebuah kelompok. Dulu, kami yang
semula hanya dekat dengan sahabat sendiri,
sekarang sudah akrab dengan teman-teman baru.
Kami di kelas 5 yang jumlahnya cuma delapan
belas orang sudah merasa bagai satu keluarga.
Bahkan, ketika ada teman yang sakit, kami langsung
diajak menengoknya ketika jam pelajaran terakhir.
“Anak-anakku sekalian, berhubung ada teman
kita yang sakit, maka jam terakhir hari ini ditiadakan.
Sebagai gantinya, kita akan menengoknya. Namun,
sebelumnya kita tutup dengan doa. Jangan lupa

55
Alang-alang Timur

berdoa untuk kesembuhan teman kalian…,”


demikian pesan guru kami.
Usai guru menutup pelajaran terakhir, kami
pun berhamburan keluar kelas. Ketika melewati
kelas 4, aku menjulurkan lidah, mengejek seraya
mengepalkan tangan ke udara.
“Yes! Mulih gasik…!”2 seruku sambil memukul-
mukul ke atas.
“Horeee…!!! Pulang…! Pulang…!” sahut yang
lain.
Terlihat wajah-wajah iri dan ingin tahu terpancar
dari mata mereka yang meredup dengan bibir
mengerucut itu. Pastinya, mereka tak akan merasa-
kan kegembiraan kami saat ini.
Kami berjalan beriringan dengan dipimpin Bu
Murni, sang guru kesenian, menuju rumah Tias.
Jalannya begitu sempit, naik turun, lagi berkelok-
kelok dan hanya cukup untuk satu orang. Kadang
kala, ada teman kami yang terpeleset atau terpelan-
ting ke sawah. Kami bersorak riang, seolah keseng-
saraannya adalah hiburan bagi kami.
“Hati-hati, Anakku! Jalannya licin…,” pesan ibu
guru cantik itu.

2
Yes! Pulang lebih awal…!

56
Sang Pelopor

Sesampainya di tepi sungai yang tak begitu besar


dengan arus tenang, kami berhenti. Teman-teman
kami mencopot sepatunya yang telah berlepotan
lumpur. Anak-anak yang paling mampu di antara
kami hanya berjumlah tak lebih dari jari di tangan
kananku. Selebihnya bertelanjang kaki. Mungkin,
bagi siswa yang mampu, sepatu adalah kebutuhan
pokok. Namun, kebutuhan pokok bagiku adalah
perut.
“Kamu bisa beli sepatu. Tapi, selama satu bulan,
kamu harus puasa dan tidak jajan,” teringat aku akan
kata ibuku ketika aku minta dibelikan sepatu.
Mata Bu Murni nanar melihat aliran sungai,
sebab air yang tenang biasanya sangat dalam.
Seketika, keraguan membersit di wajahnya. Segera
kuambil batu sekepalan tangan, lantas kulempar-
kan ke dalam air. Terdengar bunyi kecipak, muncul
gelombang kecil yang segera memudar dihempas
arus air.
“Tidak dalam!” seru batinku, ingin bersorak
gembira.
Jika sungai itu dalam, pasti suaranya lain. Aku
segera menyeberangi sungai itu diikuti teman-teman
pria. Sesampainya di tepi sungai, teman-teman putri
dan Bu Murni menyusul kami. Mereka sedikit
mengangkat roknya supaya tidak basah. Sesekali,

57
Alang-alang Timur

ujung rok mereka terkena kecipak lidah-lidah arus


itu.
Di rumah Tias, kami tak sabar ingin berceloteh
banyak hal, mulai dari pelajaran hingga perjalanan
heroik menyeberangi sungai. Sesekali, tawa kami
pecah. Sejenak, rumah yang sepi ini pun menjadi
semarak. Bu guru pun begitu gembira melihat rona
kesembuhan di wajah Tias. Walaupun masih sedikit
pucat, kulihat bibirnya sesekali tersenyum men-
dengar lelucon kami. []

58
Sang Pelopor

5
Senin yang Bercahaya

S enin pun datang. Satu ketika yang bagi sebagian


orang merupakan saat yang menyebalkan.
Namun, tentunya tidak bagi kami. Hari Senin
adalah permainan sedunia. Hari untuk menyalurkan
kreativitas kami. Hari dengan pakaian bebas,
sebebas imajinasi kami mengembangkan permain-
an-permainan baru. Memang, sejak dini kami sudah
diajarkan menyukai hari Senin. I love Monday…!
Seluruh siswa segera membuat kelompok-
kelompok kecil yang terdiri dari lima sampai
sepuluh orang. Selama satu jam pelajaran ke depan,
kami hanya bermain. Ada yang bermain lompat tali,
dakon, petak umpet, dan lain sebagainya. Malah ada
yang main naik-naik ke puncak pohon, tinggi-tinggi
sekali. Sampai-sampai ujung dahan paling tinggi itu

59
Alang-alang Timur

pun melengkung. Sungguh, sebuah permainan yang


berbahaya.
Para guru hanya mengawasi kami, tanpa berani
menegur. Mereka sangat percaya bahwa kami bisa
menjaga diri. Baru aku tahu, permainan itu bernama
“monyet manjat pohon”. Anak yang paling tinggi
memanjat pohon, maka dialah yang juara. Jerit keta-
kutan terdengar di antara teman-teman putri ketika
melihat seorang teman bergelantungan di pucuk
pohon akasia. Semakin kencang menjerit, semakin
bersemangat dia menjadi juara. Seolah-olah itu demi
menunjukkan bahwa mereka pantas dijadikan
teman dekat.
Sungguh, inilah hari bergembira sedunia. Hari
Senin kami yang indah, bukan harinya pegawai
negeri yang dilanda kekhawatiran kala tanggal tua.
Kebahagiaan itu dirasakan juga oleh kelompokku.
Kami bermain tebak kata. Ini adalah permainan
favorit kami. Selain asyik, permainan itu juga
berguna untuk mengasah otak. Hampir setiap Senin
kami memainkannya. Walaupun begitu, kami tidak
jemu karena pertanyaan yang dilontarkan selalu
berbeda.
Kami bertujuh di dalam satu kelompok. Kami
lalu mengundi untuk membagi kami menjadi dua
kelompok. Anak yang mendapatkan undian terakhir

60
Sang Pelopor

akan menjadi hakim. Cara mainnya sangat mudah.


Kelompok satu menyebutkan ciri-ciri atau identifi-
kasi objek jawaban kepada kelompok dua secara
bertahap. Kelompok dua lantas mendiskusikannya
untuk menjawab pertanyaan itu. Penjawab diberi
kesempatan untuk menjawab hingga tiga pertanya-
an. Kalau jawabannya salah semua, nilainya nol.
Sementara itu, si pemberi pertanyaan akan memper-
oleh nilai satu. Aku, Seno, dan Farhan tergabung
dalam kelompok satu, sedangkan Karang, Fahri, dan
Bambang masuk kelompok dua. Sukar bertugas
sebagai hakim, lengkap dengan jubahnya.
“Badannya sangat besar,” kataku, membuka
permainan.
“Dinosaurus…!” jawab Fahri.
“Salah! Hidungnya panjang….”
“Ya, kalau itu mudah! Aku tahu jawabannya.
Gajah, to?!” jawab kelompok dua dengan sangat
percaya diri.
“Masih salah! Bukan gajah…! Hewan itu hidup
di air,” kataku lagi yang dalam kelompok satu
ditunjuk menjadi juru bicara.
Mereka terdiam. Suasana senyap sejenak. Mereka
sungguh tidak menyangka akan memperoleh per-
tanyaan penutup itu. Kelompok kami pun bersorak
dan mengejek kegagalan mereka menjawab.

61
Alang-alang Timur

“Setelah didiskusikan dengan kabinet kami,


kami juga memperhatikan, menimbang, dan
memutuskan bahwa jawabannya adalah ikan
cucut…,” jawab kelompok dua yang diwakili Fahri
sebagai juru bicara.
“Bagaimana sang hakim?” tanyanya lagi.
“Walaupun tidak ada yang ngasih amplop waktu
lobi di restoran, melainkan hanya makan gratis, aku
harus jujur pada nuraniku bahwa keputusannya
adalah… benar!” kata Sukar sambil memperagakan
layaknya seorang hakim memutuskan perkara besar.
Palu telah diketok. Apa boleh buat? Tim kami
pun kalah. Begitulah permainan itu berlangsung.
Tak terasa, dua jam pelajaran hampir selesai.
Memang, dengan bermain dan bergembira, waktu
terasa bergulir lebih cepat. Berbeda dari saat kita
sedang bersedih, jarum jam laksana siput yang kaki-
nya korengan. Itulah sugesti. Suasana hati men-
dorong dunia serasa berlari, atau sebaliknya.
Lonceng berbunyi. Sebelum masuk kelas, kami
membersihkan arena bermain. Tidak ada yang
memerintah, tidak ada yang memaksa. Semua kami
lakukan seperti air yang mengalir sebab kebersihan
adalah tanggung jawab bersama. Oleh karenanya,
tidak ada jadwal piket di kelas. Semua kami lakukan

62
Sang Pelopor

bersama-sama, bahkan berebutan. Ya, bagi kami,


kebersihan adalah sebagian dari iman.
Kami memasuki ruang kelas bagai memasuki
gedung pertunjukan opera dengan riang gembira.
Sebuah pembuka hari yang menyenangkan.
Aku jadi teringat waktu masih sekolah di SD
negeri dulu. Setiap hari Senin, upacara bendera yang
diiringi petuah dari pembina upacara. Kami tidak
boleh ini, kami tidak boleh itu. Tidak boleh
membuang sampah sembarangan. Di sekolahku
yang baru, larangan-larangan itu tidak ada. Di sini
hanya ada teladan dari semua warga madrasah,
terutama dari bapak dan ibu guru.
Suatu ketika, Seno sembarangan membuang
bungkus kacang. Kebetulan, Bu Murni melihatnya.
Beliau pun menghampiri anak itu seraya menepuk
pundaknya dengan lembut.
“Anakku, itu keranjang sampahnya di pojok
sana…,” kata Bu Marni dengan lembut, tanpa
bermaksud menyinggung perasaan Seno.
Seno pun segera bangkit untuk mengambil
sampah itu diiringi tangan putih sang ibu guru
memungut daun-daun kering dan bungkus arem-
arem. Aku tersipu malu karena bungkus arem-arem
itu milikku. Begitulah cara guru kami mendidik.
Bukan dengan kata-kata, melainkan dengan usapan

63
Alang-alang Timur

lembut di kepala atau tepukan hangat di pundak


kami.
Begitu pula ketika teman kami, Fajar, membolos
sekolah karena diajak beli kelinci di pasar kabupaten.
Bukan hukuman, juga bukan kata-kata kasar yang
diperolehnya. Namun, senyuman lembut Bapak
Kepala Sekolah.
“Apa pekerjaan bapakmu, Nak Fajar?” tanya
beliau, ramah.
“Tukang bangunan, Pak…,” jawab Fajar dengan
kepala menunduk.
“Sekarang, Ananda ikut Bapak, ya?”
“Ke mana, Pak?”
“Sudah…, pokoknya ikut saja di belakang
Bapak.”
Rupanya, diajaknya Fajar berkeliling kecamatan.
Mereka melaju perlahan dalam diam. Sesekali, roda
sepeda tua itu melewati jalanan berlubang dan
berbatu, mengguncang-guncang tubuh guru dan
murid yang seperti kakek dan cucunya itu.
Sesampainya di Puskesmas yang hampir roboh
di sisi kecamatan, mereka berhenti. Terlihat beberapa
tukang bangunan sedang membongkar satu-
satunya gedung Puskesmas di kecamatan kami.

64
Sang Pelopor

Bangunan itu sudah sangat tua – peninggalan


Belanda – yang sejak aku lahir sudah berdiri. Rupa-
nya, kokoh gedung itu tidak mampu berhadapan
dengan laju sang waktu. Zaman telah berubah.
Puskesmas itu tak mampu lagi menampung begitu
banyak warga yang ingin berobat murah.
Bapak Kepala Sekolah dan Fajar turun dari
sepeda, lantas menyandarkan kendaraan roda dua
itu di pohon beringin yang berumur sepantaran
dengan bangunan yang dinaunginya itu. Pak Kepala
Sekolah menyelonjorkan kaki di bawah pohon
keramat itu. Napas tuanya naik turun satu-satu.
Fajar masih terpaku berdiri di sisi lelaki bijak itu,
belum mengerti apa maksudnya.
“Anakku, lihatlah bapak-bapak tukang bangun-
an itu…! Bayangkanlah bahwa satu di antara
mereka adalah bapakmu. Jerih payahnya mencari
uang adalah untuk membiayai sekolah anaknya. Apa
yang kamu pikirkan, seandainya anak yang jadi
tumpuan harapannya mengkhianati dengan jalan
membolos? Bukankah itu perbuatan yang tidak
mungkin dilakukan siswa yang baik?” ujar sang
pimpinan madrasah setelah napasnya kembali
tenang. Ada kelembutan yang arif tersimpan di
dalam suara dan kalimatnya.

65
Alang-alang Timur

Fajar tertunduk seketika. Dia tidak sanggup


berucap sepatah kata. Cukup guncangan pundak
dan air mata yang menganak sungai di sudut
matanya sebagai jawaban.
Akhirnya, mereka berdua kembali ke sekolah.
Masih dalam diam, seperti ketika mereka berangkat.
Sesekali, Fajar menyeka air matanya. Sementara itu,
Bapak Kepala Sekolah mengelap peluh dengan
lengan bajunya. Mereka meniti jalan tanpa sepotong
kalimat terdengar. Hampir dua jam pelajaran guru
dan murid itu pergi. Fajar memang telah kehilangan
dua jam belajarnya. Namun, dia telah mendapatkan
pelajaran yang lebih berharga daripada pelajaran apa
pun; pelajaran tentang tanggung jawab sebagai anak
maupun sebagai murid. []

66
Sang Pelopor

6
Ruang Kelasku
Begitu Luas

P agi itu, angin bertiup basah. Di angkasa,


mendung bergulung-gulung bagai raksasa
hitam yang sedang murka. Hari telah naik sepeng-
galah. Waktu dhuha tiba. Namun, matahari tak
kunjung menampakkan diri. Perlahan-lahan,
mendung itu berubah menjadi gerimis yang
semakin lama kian deras. Hujan pun menghentikan
aktivitas sebagian orang, namun tidak bagi kami.
Seperti biasa, kami berangkat ke sekolah dengan
bertelanjang kaki. Karena, bagi kami, sepatu
hanyalah akan menghambat perjalanan. Apalagi,
saat hujan seperti ini.
Kami berangkat dengan semburat cerah di
wajah, sekalipun mendung di atas kepala kami.
Sebagian orang menganggap hujan adalah bencana

67
Alang-alang Timur

karena begitu musim ini tiba, pasti banjir akan


datang. Menenggelamkan sebagian kampung yang
sungainya tak mampu menampung air berlimpah.
Tidak demikian bagi petani. Bagi mereka, hujan
adalah berkah dan pengharapan. Seiring dengan
hujan itulah musim menanam pun tiba.
Begitu pula bagi kami. Musim hujan adalah
masa-masa menanam untuk jiwa-jiwa kami yang
haus akan ilmu pengetahuan dan budi pekerti.
Hujan telah menguatkan kaki-kaki kami. Musim itu
telah membuat kebal badan-badan kami dari masuk
angin dan flu; dua penyakit yang aku tidak
mengenalnya lagi.
Dulu, sewaktu kami masih di SD negeri, guru
kami sering menerangkan bahwa hujan adalah
sumber penyakit. Begitu musim hujan tiba, batuk
dan pilek pasti mewabah. Setelah sekolah di
madrasah, kami jadi tahu bahwa bukanlah hujan
yang menjadi sumber penyakit. Tetapi, lemahnya
daya tahan tubuhlah yang menyebabkan penyakit
menghinggapi badan seseorang.

“(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk


sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan

68
Sang Pelopor

dan untuk menguatkan hatimu serta memperteguh


dengannya telapak kaki(mu)….”1

Melalui kearifan itulah kami diajarkan untuk


memandang hujan dengan cara pandang berbeda.
Hujan adalah berkah. Air yang turun dari langit
itulah sarana menguatkan jiwa dan fisik kami. Untuk
menyambut hujan, biasanya kami berdoa bersama
dengan mengangkat kedua belah tangan ke langit.
“Ya Allah, semoga hujan yang Kau turunkan ini
lebat dan membawa manfaat. Amin….”
Sesampainya di gerbang sekolah, hujan kian
menderas. Payung dari daun pisang itu tak mampu
lagi melindungiku dari terpaan angin yang mem-
bawa titik air hujan. Tubuhku basah, pun jiwaku.
Mungkin, hanya buku-buku di dalam tas yang ku-
bungkus dengan tas kresek yang tidak ikut kuyup.
Bagaimanapun, bagi kami, buku adalah ruh kami.
Nyawa kami, bahkan mungkin lebih.
Riuh teman-teman terdengar di teritis sekolah,
menunggu lonceng tanda masuk kelas. Kebetulan,
sekarang adalah hari Selasa di mana jam pertama
adalah olah raga. Belajar kami adalah olah raga, olah
raga kami adalah bermain. Kami tidak bisa mem-

1
QS. al-Anfaal [8]: 11.

69
Alang-alang Timur

bedakan antara belajar, olah raga, dan bermain karena


ketiganya terjadi dalam satu waktu.
Kulihat Seno dan kawan-kawan telah meng-
ambil bola di gudang. Seno yang biasanya agak
antipati terhadap pelajaran olah raga tampak begitu
riang. Sementara itu, regu putri akan bermain kasti.
Kami membagi lapangan yang luas untuk dua
permainan.
Sepak bola sambil berhujan ria adalah kesukaan-
ku, walaupun air berlumpur kadang-kadang
mampir di wajahku. Kami bermain dengan tanpa
menanggalkan baju putih merah. Kami telanjur
basah, sehingga biarlah kami teruskan olah raga itu.
Untuk pelajaran berikutnya, kami telah menyiapkan
baju ganti dari rumah. Pagi tadi, kami membung-
kusnya bersama beberapa buku. Baju apa saja, yang
penting sopan dikenakan. Ada yang pakai kaos, ada
pula yang memilih berkemeja lengan pendek.
Untuk hal seperti ini, sekolah memberikan toleransi
tentang makna keseragaman. Kendati warna-warni,
bagi kami tetaplah indah seperti pelangi.
Hari itu, reguku kalah di skor delapan-kosong.
Setelah kupikir-pikir, mempercayakan gawang
kepada Seno, kawanku yang tubuhnya berlemak,
adalah suatu kesalahan besar. Jangankan menang-

70
Sang Pelopor

kap bola, menangkap rambutan yang kulempar


kalem saja tidak bisa.
Itulah kebahagiaan. Bagi sebagian orang,
kebahagiaan adalah rumah bagus, mobil mewah,
jabatan mapan, dan sebagainya. Namun, tidak bagi
kami. Kebahagiaan bagi kami adalah sepak bola
sambil hujan-hujanan, mancing dapat banyak ikan,
mandi di kali, dan sejenisnya. Bahkan, sambil hujan-
hujanan, kami bisa belajar tentang kualitas air.
Kebutuhan air bagi makhluk hidup. Bahkan, pernah
sambil berolah raga di bawah derasnya hujan, kami
mempelajari siklus air. Kami berkecipakan dengan
senangnya sambil sesekali terdengar jeritan atau
cekikikan teman-teman putri karena terkena air kotor.
“Lihatlah karunia Allah itu, Anakku! Bagaimana
Allah menciptakan mendung yang dengan kuasa-
Nya digerakkan angin, lalu dijatuhkan di tempat-
tempat yang dipilih Allah. Itulah yang disebut
hujan…,” papar Ustadz Zahid sambil sesekali
tangannya menyeka wajah yang kuyup dibelai air
dingin itu.
Kami mendengarkannya sembari menggigil
kedinginan. Kami menggosok-gosokkan tangan
untuk sekadar menghangatkan tubuh.
“Bagaimana mendung itu tercipta, Ustadz?”
tanya Tias.

71
Alang-alang Timur

“Anakku, mendung itu tercipta dari uap air yang


dipadatkan, sehingga menyerupai gumpalan awan
hitam atas izin Allah.”
“Kenapa bisa menguap, Ustadz?” selaku.
“Air menguap atas bantuan sinar matahari.”
“Mengapa air menguap, padahal bumi sangat
membutuhkan air?” tanya Fikram, ingin tahu.
“Itulah kuasa Allah. Allah menguapkan air
untuk menyaringnya. Allah hanya mengambil air
yang bersih saja,” jawab Ustadz Zahid.
Sejenak, ustadz muda itu terdiam. Matanya yang
bulat memandang kami. Melihat wajah kami yang
begitu antusias, dia pun tersenyum.
“Sebagai contoh, air laut. Allah hanya menguap-
kan air laut saja, sedangkan asin garamnya ditinggal.
Seperti kita ketahui, garam amat berguna bagi
tubuh. Membuat garam juga dapat menjadi mata
pencaharian bagi para petani garam. Ketika kita
mengeringkan pakaian di bawah sinar matahari,
maka yang tertinggal adalah baju kita. Matahari
hanya menyisakan yang bersih saja…,” jelas sang
ustadz, begitu sabar dan detail.
“Mungkin, ada yang belum jelas?” tanya beliau.
Kami diam saja. Sekali waktu, terdengar
gemeretuk gigi-gigi kami saling beradu. Meski

72
Sang Pelopor

tubuh menggigil, hati kami bersorak atas karunia


hujan.
“Kalau tidak ada yang bertanya, ayo kita ke
sungai…!” ajak Ustadz Zahid, bersemangat.
“Asyik…! Kita mandi…!!!”
“Ayo berenang…!!!”
Kami berjalan mengikuti sang ustadz, seperti
prajurit yang patuh kepada panglimanya. Terlihat
bibir Seno membiru. Bibir kami semua membiru.
Juga bibir Tias yang baru sembuh dari sakit.
“Hujan akan menguatkan tubuhmu, Tias…,”
batinku.
Semoga Tias tidak sakit lagi. Sungguh, aku
berharap demikian.
“Kamu memang tidak boleh sakit, Matahari-
ku…!” sekali lagi, aku berucap di dalam hati.
Semenjak aku resmi sebagai warga madrasah ini,
kami bersahabat dekat. Kami berjalan, tertawa, dan
menangis bersama di sekolah ini. Aku dan Tias hanya
bersahabat, tidak lebih. Tetapi, kata teman-teman-
ku, kami berpacaran. Aku tidak mengerti kenapa
mereka berkata begitu. Satu yang kutahu, jika ada
teman laki-laki yang berangkat bersama Tias,
rasanya hati ini pengin marah. Seperti kemarin,
ketika Tias berboncengan payung daun pisang

73
Alang-alang Timur

bersama Fikram, maka hatiku tiba-tiba memanas.


Kata Sulthan, itu namanya cemburu. Aku cuek saja.
“Jangan rebut rembulanku. Jangan padamkan
cahaya hatiku…!” hanya inilah inginku.
Tias tidaklah cantik, menurutku. Terlebih,
kulitnya hitam. Namun, kalau kudengar suaranya,
rasanya anganku melayang-layang tak menyentuh
tanah. Suaranya yang lembut seperti milik Celine
Dion dalam film Titanic. Wajah Tias oval dengan
tahi lalat di dagu kiri. Hidungnya bangir dengan
pipi rata ideal. Rambutnya panjang tergerai,
terkadang disisir dengan poni lembutnya. Ketika
berjalan, rambut itu berayun-ayun dengan anak
rambut menutupi alis dan sebagian matanya.
Kelincahannya melebihi apa pun. Itulah sebabnya
ketika dia sakit, kami seakan kehilangan si kijang
gesit. Matahari bahkan serasa enggan bersinar.
“Air menguap atas bantuan sinar matahari, lalu
terciptalah mendung atas izin Allah. Berarak-arak,
uap air itu ditiup angin menuju tempat yang dipilih-
Nya. Mungkin di gunung, di laut, atau di sawah
yang subur. Di sanalah hujan turun. Air yang
menggenang sebagian meresap ke tanah, sebagian
mengalir ke selokan, lantas menuju sungai. Terakhir,
sampailah ia ke laut. Menguap, mendung, hujan,
sungai, laut, menguap lagi. Begitu seterusnya…,”

74
Sang Pelopor

lanjut Ustadz Zahid, membuyarkan lamunanku


tadi.
“Kenapa kadang hujan turun di tempat yang
salah, Ustadz?” suara si kijang lincah itu mengalih-
kan perhatian kami dari wajah sang ustadz.
“Maksud Ananda…?”
“Kadang, hujan turun di kota-kota besar dan
menyebabkan banjir. Bukankah itu kekeliruan?
Akan lebih bermanfaat apabila hujan turun di sawah
atau kebun, supaya kita bisa panen lebih banyak,”
protes Tias kepada Tuhan.
Oh, bukan! Sungguh, itu bukan protes atas
kehendak-Nya yang mengirimkan hujan di tempat-
tempat tertentu. Namun, keluguan dan rasa ingin
tahulah yang mendorong hati bening Tias untuk
bertanya. Mendengar suaranya, sejenak aku seperti
terbang jauh meninggalkan bumi. Suaranya
sungguh lembut, nyaring, dan tegas bertekanan.
Aku seakan lupa bahwa saat ini sedang berdiri di
tepi sungai dengan air deras menimpa kepala kami.
Cinta monyet memang aneh.
“Hujan tidak pernah turun di tempat yang salah,
Anakku. Semuanya sudah ditakar sesuai kadar
kebutuhan. Kalaupun terjadi banjir, itu bukan
kesalahan Allah, melainkan kesalahan manusia yang
tidak menjaga keseimbangan alam. Sayangnya,

75
Alang-alang Timur

semua orang, entah orang biasa maupun pejabat,


mengambinghitamkan hujan. Itu salah satu ketidak-
mampuan pejabat kita mencari solusi untuk meng-
atasi banjir.”
Kami membisu sambil mengangguk-angguk
tanda paham. Namun, dalam batin, aku tertawa kala
teringat kata-kata seorang pejabat yang mengolok-
olok cuaca yang telah menenggelamkan ibu kota.
Sungguh sebuah kebodohan yang ditutupi dengan
pernyataan politis untuk lari dari masalah.
“Ini adalah kesalahan cuaca yang terlalu ekstrem,
ditambah lagi kesalahan masyarakat Bogor yang
seenaknya membuang sampah di sungai. Mereka
yang membuang sampah, kita yang menuai banjir,”
kata sang pejabat berkumis dengan berapi-api.
Aku tersenyum simpul mendengar umpatannya
yang menyalahkan segala hal yang bisa disalahkan.
Ketika ditanya tentang solusi pencegahan dan
penanggulangan banjir, mulutnya masih penuh
dengan cercaan dan kata-kata, menghindar dari
masalah. Sungguh kontras dengan janjinya dulu
sewaktu kampanye.
Namun, sepengetahuanku, banjir Jakarta terjadi
karena ketamakan manusia dalam menguasai dunia.
Bagaimana mungkin kawasan hijau yang berfungsi
sebagai resapan air disulap menjadi perumahan

76
Sang Pelopor

mewah. Rawa-rawa sebagai penampungan air


diuruk untuk dibangun mal dan supermarket yang
harganya ratusan juta rupiah untuk satu meter
perseginya. Kepala daerah mana yang tidak ngiler
andai sejengkal wilayahnya dihargai ratusan juta,
walaupun dengan itu dia harus mengorbankan
warganya yang hidup di daerah rendah. Memang,
sedari dulu kekuasaan tak berpihak kepada yang
lemah.
“Kalau ada yang belum jelas, simpan dulu
pertanyaan kalian untuk minggu depan atau bisa
didiskusikan bersama teman-teman. Sekarang, kita
berkemas-kemas masuk kelas, lalu pulang,” kata
Ustadz Zahid, menutup pelajaran terakhir hari ini.
Ah, kegembiraan dan kepuasan hati menyeruak
seketika di ruang kelas kami yang begitu luas, seakan
tak bertepi. Aku sangat tidak setuju sekolah
membatasi ruang belajar hanya di bangunan persegi
panjang yang sempit dan pengap. Ruang kelas, bagi
kami, adalah lapangan, sungai, sawah, dan ladang.
Di mana saja ada ilmu, di sanalah kami belajar. []

77
Alang-alang Timur

78
Sang Pelopor

7
Sekolah Lapangan

A khir Maret, matahari pagi bersinar begitu


hangat. Bulan Maret biasanya adalah saat
terakhir musim penghujan, sekaligus masa panca-
roba menuju kemarau yang panas. Banyak orang
yang membenci akhir bulan. Pada tanggal itulah
orang biasanya akan mengencangkan ikat pinggang,
bahkan ada sebagian yang menyebutnya sebagai
tanggal menggali lubang.
Bagi kami, akhir bulan adalah hari mengevaluasi
diri. Apa yang telah kami capai sebulan kemarin,
apa yang belum kami raih, adakah rencana-rencana
yang perlu diperbaiki atau dimatangkan untuk
mempermudah suatu cita. Biasanya, di akhir bulan
ada ujian untuk memperbaiki segala kekurangan
ketika mengikuti pelajaran kemarin, supaya bulan
depan memperoleh hasil yang lebih baik lagi.

79
Alang-alang Timur

Kalau sekolah lain ulangan bersama setiap tiga


bulan atau satu semester, namun sekolah kami tidak
demikian. Madrasah kami menyelenggarakan
evaluasi setiap bulan. Biasanya diadakan setiap
tanggal 27, meski bisa maju atau mundur satu hari.
Karena itu, kami harus mempersiapkannya jauh hari
sebelum ulangan.
Satu hari usai ulangan yang memusingkan, atau
ketika nilai telah ditetapkan oleh masing-masing
guru, maka hari selanjutnya ialah membahas
bersama semua soal ulangan yang kami kerjakan.
Tanggal satu menjelang. Suatu permulaan
dalam satu bulan yang sangat ditunggu-tunggu
kami, para penghuni kelas lima. Karena di hari itulah
semangat kami dipompa lewat kata-kata bijak guru
motivasi kami: sang kepala sekolah. Hari-hari
dengan segudang kegiatan akan kami lalui dengan
cara pandang baru. Karena ibarat energi baterai yang
hampir habis, tanggal satu adalah saatnya men-
charger ulang semangat kami.
Seperti biasa, jam pertama adalah saatnya
mengingat kembali cita-cita atau impian kami,
bahkan tujuan kami bersekolah di madrasah ini.
“Anak-anakku, ingatlah kembali tujuan kalian
sekolah di madrasah ini. Apakah karena teman-
teman kalian banyak di sini? Ataukah berharap

80
Sang Pelopor

mendapatkan selembar ijazah dengan angka-angka


untuk setiap bidang studi? Kalau motivasi belajar
anak-anakku hanya sebatas itu, maka kalian
termasuk orang yang salah dan kalah. Sebab, kalian
telah tertipu oleh sebuah pandangan bahwa nilai
hanyalah berupa angka-angka, bukan kebajikan diri.
Padahal, sekolah dianggap berhasil apabila ada
perubahan menuju yang lebih baik dan kemajuan
di semua bidang kehidupan. Sekolah belum diang-
gap berhasil kalau hanya mampu melahirkan orang-
orang pintar, tapi minteri1 orang lain. Pandai, tapi
menipu.
“Itulah sebabnya di sekolah yang kita cintai ini
diajarkan akhlak. Bukan sekadar teori-teori yang
dihafalkan, namun untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Bahkan, sekolah tidak akan
memberikan surat kelulusan, sepandai apa pun
kalian, jika tidak diikuti nilai akhlak yang baik. Ini
hanyalah sedikit pembuka dari Bapak. Selanjutnya,
seperti biasa, saya minta kalian maju satu-satu untuk
memaparkan cita-cita kalian, lantas mengevaluasi
langkah-langkah apa yang telah dilakukan untuk
mewujudkan impian kalian. Bapak ingin lihat,
sejauh mana komitmen kalian tentang tujuan hidup
kalian. Kalau kalian berubah cita-cita, ungkapkanlah
1
Mengakali atau menipu.

81
Alang-alang Timur

alasannya. Tolong dimulai dari meja depan yang


paling kanan. Silakan!”
Rustam yang berbadan tegap bagai raksasa pun
melangkah maju. Dengan percaya diri, ditentengnya
sebuah buku kecil dalam genggaman tangan kiri.
Memang, ini adalah agenda rutin setiap tanggal satu,
sekaligus untuk melatih keberanian kami. Terlihat
anak itu sangat mempersiapkan diri. Langkahnya
tegap bagai seorang perwira yang mendapat
perintah dari atasan.
“Aku ingin jadi tentara,” kata Rustam, mengge-
legar dan memecahkan kebekuan sudut-sudut
ruangan. Cita-citanya masih sama seperti bulan
kemarin.
“Aku telah mengumpulkan informasi dari koran,
majalah, dan telah mengklipingnya menjadi sebuah
buku.”
“Aku ingin menjadi pilot,” terdengar suara lembut
milik Wisnu, menggantikan suara berat Rustam.
“Aku ingin menjadi penulis.”
“Jadi ahli listrik….”
“Petani yang sukses….”
“Aku ingin jadi ahli lingkungan. Sebab, negara
ini banyak perusak hutan dan sangat membutuhkan
penyelamat pohon…!” seru Tias, berapi-api.

82
Sang Pelopor

“Bermimpilah, Anak-anakku! Setinggi kalian


bisa bermimpi. Kelak, kalian akan menjadi apa yang
kalian impikan…!” kata Pak Hadi, menutup
pertemuan pada kesempatan kali ini.
Semarak tanggal satu sama seperti dulu.
Biasanya, setelah memaparkan keinginan-keinginan
kami ketika dewasa nanti, acara selanjutnya adalah
piknik. Ya, rekreasi ke mana saja. Namun, piknik
kami berbeda. Jangan membayangkan kami pergi
dengan bus ber-AC atau mobil yang besar. Itu
kemewahan yang tampaknya mustahil bagi kami.
Piknik kami yang disebut para guru sebagai sekolah
lapangan hanya akan ditempuh dengan bersepeda
atau berjalan kaki. Tetapi, kalau tempatnya jauh,
kami akan menyewa colt bak terbuka yang biasa
digunakan untuk mengangkut sapi. Kami berdiri
di bak belakang bersama-sama, layaknya orang akan
berkampanye.
Kami biasa menjalani sekolah lapangan di pantai,
pasar, bandara, atau ke mana saja sesuai keinginan
dan cita-cita kami. Besok, rencananya kami akan ke
bandara. Itu demi menuruti keinginan Wisnu yang
bercita-cita sebagai pilot. Itu juga sebagai hadiah
untuk Wisnu karena nilainya termasuk yang terbaik.
Memperhatikan perawakan Wisnu yang tinggi,
tapi kurus, aku sangsi bahwa dia bisa menjadi pilot.

83
Alang-alang Timur

Rangka tubuhnya menonjol dengan belulang yang


keras. Namun, menjadi pilot, itulah cita-citanya.
Wisnu tak boleh berhenti mengejar dan meraih
mimpinya itu.
Setinggi apa pun impian, yang kita butuhkan
hanyalah tangga untuk mewujudkannya. Sudah
sampai di anak tangga berapakah kita naik, tentu
hanya diri kita yang tahu. Mungkin baru satu anak
tangga, atau mungkin belum menginjak satu pun,
itu tidak penting! Bagaimanapun, yang penting kita
harus selalu berusaha. Bukankah angka seribu
dimulai dari angka satu?

***

Hari masih begitu pagi. Udara sejuk memenuhi


rongga paru-paru kami. Udara itulah yang menurut
para pakar termasuk udara yang paling baik bagi
pernapasan. Di pagi itulah pepohonan hijau meng-
hasilkan oksigen untuk kelangsungan hidup dunia.
Kita harus berterima kasih pada tumbuhan karena
atas jasanya udara senantiasa bersih. Keberadaannya
adalah sebuah keniscayaan. Aku sangat sedih melihat
hutan-hutanku yang hijau dirusak oleh orang-orang
yang seharusnya melindungi kelestariannya.
Sinar matahari cerah menerangi halaman sekolah
kami. Cahayanya yang kekuningan menampilkan

84
Sang Pelopor

lukisan memukau hasil guratan tangan Sang Maha


Sempurna. Waktu belumlah menunjukkan angka
tujuh, namun kami telah berkumpul menunggu
mobil jemputan. Masing-masing dari kami mem-
bawa bekal dari rumah karena jajan di sana sangat
mahal. Ada yang membawa onde-onde, roti, bahkan
nasi bungkus.
Sementara itu, aku membawa arem-arem. Tadi
pagi, ibuku membungkus sepuluh sebagai bekal
perjalananku nanti. Sebenarnya, arem-arem itu
masih agak panas, tapi ibu tetap memaksaku
membawanya. Mungkin, ibu takut anak semata
wayangnya ini kelaparan. Aku kasihan sama ibuku.
Memberi sepuluh arem-arem berarti memotong
keuntungannya pagi ini.
“Tidak ada yang rugi, Anakku, karena memberi
lebih baik daripada menerima. Bawalah untukmu
dan teman-temanmu…,” begitu kata ibuku saat aku
berpamitan tadi pagi. Pekerjaan belumlah selesai,
namun aku harus segera beranjak meninggalkannya.
Aku tersadar dari lamunan kala kepala sekolah-
ku datang beriringan dengan deru suara mobil.
Kendaraan itu tidaklah besar, namun cukup untuk
mengangkut kami semua. Ada pembatas besi di
sekelilingnya yang bisa kami gunakan untuk
berpegangan. Baknya tampak bersih. Di bagian

85
Alang-alang Timur

pojok tampak ban serep yang biasa kami gunakan


untuk duduk bergantian kalau capek berdiri.
Melihat ban itu aku teringat waktu belajar
lapangan ke kantor polisi, kemarin. Sampai di jalan
batas kecamatan, ban mobil yang kami tumpangi
bocor. Beruntung sopirnya sigap, lalu menepikan
mobil. Kami segera turun. Pak sopir mengambil
dongkrak dan ban cadangan. Tapi, ketika dia hendak
mengganti ban yang bocor, guru kami melarangnya.
Beliau memanggil salah satu siswa terbaiknya untuk
praktik gratis.
“Nak Handoko, coba kemari…!”
“Nah, ini dia kami tampilkan ahli kita…!” seru
kami menyemangati Handoko.
Dengan bantuan Rustam yang tenaganya kuat
sekali, maka selesailah pekerjaan itu. Mungkin, itu
memakan waktu lebih lama dan kami harus sabar
menunggu sambil kepanasan. Pak guru kelihatan
puas. Pak sopir pun memeriksa, mungkin bautnya
belum sempurna. Ditekannya sekali lagi kunci pas
itu dengan tenaga penuh. Pak sopir pun tersenyum
untuk Handoko. Itu adalah senyum paling berarti
dalam hidup anak itu.
Rombongan kecil kami pun tiba di kapolsek
ketika hari beranjak naik. Tampak di halaman yang
ditumbuhi rumput hijau itu para anggota polisi

86
Sang Pelopor

sedang apel pagi. Mereka berbaris rapi sekali. Kami


memperhatikan dari halaman samping di dekat
tempat parkir. Beberapa motor besar dan mobil
patroli tampak anggun di pojok halaman. Kami
tetap menunggui apel hingga berakhir. Polisi jaga
menyalami dan mempersilakan kami.
Sesekali, terdengar lengkingan sang komandan
memberikan perintah atau menerima laporan
dengan suara tegas dan berwibawa.
“Bertanyalah pada Bapak ini tentang semua
yang ingin kalian ketahui,” kata guru kami.
Kami maju dengan ragu-ragu. Menurut yang
kami dengar, polisi itu angker dan menakutkan.
Tapi, setelah melihat bapak itu kesan menakutkan
pun segera hilang. Senyumnya sangat ramah, meski
kumisnya memang agak menyeramkan.
“Pagi, Adik-adik! Kenalkan, nama Bapak,
Suharno…,” kata polisi yang wajahnya hitam itu
sambil menjulurkan tangan.
Kami masih berdiam dalam rasa takut. Kube-
ranikan bersalaman terlebih dulu, lantas diikuti
kawan-kawan yang lain. Kami tertawa. Tanganku
yang kecil ini seperti tenggelam di balik tangan
kukuh sang polisi.
“Kenapa Bapak tidak ikut upacara?” tanyaku.

87
Alang-alang Timur

“Oooh…, itu apel pagi. Ya…, semacam upacara.


Begitulah tugas di sini. Walau sedang ada acara, apa
pun itu, harus ada yang jaga. Setelah mereka selesai
apel, biasanya kami melapor kepada komandan
sambil bergantian jaga.
“Berarti, Bapak sejak malam di sini?”
“Ya, begitulah….”
“Berarti, Bapak belum mandi, dong?” selorohku,
spontan.
“Ssstt…!” desis guruku seraya menjewer
kupingku dengan lembut.
“Nanti. Nanti setelah tugas selesai.”
Kami menunggu apel pagi ditemani Pak
Suharno dan Pak Tarno. Kami bertanya apa saja,
mereka pun menjawab dengan ramah. Setelah
komandan menutup apel pagi, semua polisi pun
bubar dan bergegas ke bagiannya masing-masing.
Kedua polisi ramah itu menyerahkan tugas berjaga
kepada polisi pengganti.
“Kenalkan, Anak-anak, ini Mas Bayu, sedangkan
itu Mas Hendro,” kata Pak Suharno sambil memberi-
kan penjelasan ala kadarnya kepada penggantinya itu.
“Siap!” tanggap sang polisi pengganti.
Kami diajak berkeliling ke semua bagian
bangunan megah ini. Kami seperti turis, sedangkan

88
Sang Pelopor

Mas Bayu yang gendut itu guide kami. Sungguh


belajar yang sangat mengesankan. Mereka bergan-
tian menerangkan cara-cara yang dapat kami tem-
puh untuk menjadi polisi.
“Yang jelas, badan dan mental harus kuat, sebab
latihannya lumayan berat. Bukan cuma fisik, tapi
juga psikologis…,” tambah Mas Bayu.

***

Aku tersadar dari mimpi. Tidur sambil duduk


memang tidak nyaman. Mobil berhenti di perem-
patan lampu merah. Di samping kiri, gedung wakil
rakyat tampak menjulang megah, dilengkapi
berbagai macam fasilitas. Aku sempat berpikir,
apakah mereka yang duduk di sana benar-benar
memperhatikan nasib kami? Ah, aku sangsi terhadap
mereka.
Nyatanya atap gedung sekolahku hampir roboh.
Alih-alih diperbaiki, ditinjau pun tidak. Justru yang
terjadi adalah saling lempar tanggung jawab. Kami
diam menahan gundah kalau-kalau atap itu roboh.
Kami hanya bisa bersabar, bersabar, dan terus
bersabar. Mungkin, sampai suatu saat ada salah satu
anak yang tertimpa genting atau usuk.

89
Alang-alang Timur

Tias limbung. Salah seorang kawan menahannya


supaya tidak jatuh. Dengan terhuyung-huyung, Tias
mencoba duduk. Fikram mendekati dan membantu-
nya duduk di pojok bak. Dia menawari minum yang
segera diteguknya hingga tandas. Hatiku panas
seketika, namun hanya bisa diam. Dalam keadaan
genting, segala sesuatu dapat terjadi. Memang, kalau
ada yang mendekati si kenari kecilku, hatiku tidak
rela, bahkan sekadar menawari minuman. Tetapi,
logika haruslah mengalahkan perasaan. Kalau kita
terlalu sering menuruti perasaan, maka akan kacau
akibatnya.
Aku pun teringat ketika kami duduk di atas batu
besar, di bukit kecil belakang sekolah. Kami baru
saja usai mengikuti pelajaran Bahasa Inggris dengan
pendekatan conversation. Memang, belajar dengan
cara tersebut akan lebih mudah bagi kami yang baru
mengenal bahasa asing.
Siang itu, kami berdua tidak langsung kembali
ke kelas sebab setelah itu adalah jam istirahat. Ah,
istirahat? Apa bedanya istirahat dan pelajaran?
Malah kadang kami tidak pernah istirahat seharian
penuh. Semua sambung-menyambung. Dari
pelajaran satu ke pelajaran yang lain, bahkan kami
mengikuti pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam sambil
menikmati bekal kami dari rumah.

90
Sang Pelopor

Semua sudah pulang. Rupanya, rindang


pepohonan di atas kami lebih menarik daripada
bermain di halaman sekolah. Kata-kata Sukar
kembali terngiang di telingaku. “Kalau kamu suka Tias,
ya bilang saja. Nanti keburu diembat Fikram, lho!”
Aku ragu. Aku dan Tias kembali membisu.
Hanya mata kami yang berbicara. Tias tampak
gelisah dan beranjak menyusul temannya. Aku
berdiri, lantas segera kuraih tangannya. Dia
mengibaskan tanganku.
“Inilah saat yang tepat,” batinku.
“Tias, aku mencintaimu. Aku ingin kamu jadi
pacarku,” kataku. Badan ini terasa ringan bagai di
angkasa yang tanpa gravitasi setelah beban berat
berjuta-juta ton itu kucurahkan.
Tias berbalik. “Aku tidak mau jadi pacarmu. Aku
mau jadi istrimu, tapi nanti. Bukan sekarang.”
“Apa maksudmu?”
“Aku tak ingin pacaran seperti kakakku.”
“Kakakmu pacaran, Tias? Apa hubungannya?”
“Ya! Kakakku pacaran. Setiap hari mereka
berantem terus. Baru baikan, sehari-dua hari
berantem lagi. Aku nggak ingin seperti itu. Aku
nggak ingin pacaran denganmu. Aku tidak ingin
berantem denganmu.”

91
Alang-alang Timur

“Apakah kalau pacaran berarti berantem?”


“Iya, kakakku seperti itu. Aku ingin menikah
seperti Kak Sinta dan Kak Rama. Mereka menikah,
tidak pacaran, tidak berantem.”
“Kata Sukar, pacaran itu ciuman, lalu berpuisi.
Ketika kita membaca puisi dengan pacar, dunia
serasa milik berdua.”
“Aku nggak mau pacaran, nggak mau ciuman!
Kata ustadz, itu dosa…!”
“Dosa…?!”
“Iya. Kalau kita belum nikah, lalu ciuman, itu
dosa. Kalau sudah menikah, tidak berdosa.”
“Kalau gitu, ciumannya besok saja kalau sudah
menikah. Sekarang, kita pacaran saja.”
“Aku nggak mau pacaran. Aku mau menikah,
lalu ciuman. Tapi, besok! Bukan sekarang…!”
Kami terdiam dan segera berlari-lari kecil
menyusul teman-teman. Ranting-ranting kecil ber-
patahan terinjak kaki-kaki kami yang sedang jatuh
cinta. Kami bagai sepasang burung kutilang yang
berkejaran. Kalau bukan suara gemerisik itu,
mungkin kami sudah lupa bahwa kami masih
menginjak bumi.

***

92
Sang Pelopor

Kami memasuki pintu gerbang bandara.


Seorang satpam yang masih muda dengan celana
biru tua dan baju putih memperhatikan kendaraan
kami. Pak guru turun. Terjadi tawar-menawar
sebentar, lalu pal dibuka dan mobil pun berjalan
mulus. Aku paham, mungkin satpam itu curiga ada
mobil sapi mengangkut anak-anak yang salah jalan.
Tempat parkir itu tak begitu luas ketika kami
memasukinya. Hanya terhampar sebuah ruang
terbuka yang dibatasi pagar setinggi satu meter.
Mungkin, lantai batako yang membedakan ruangan
ini dari areal terbuka lain. Di sana, telah diparkir
beberapa mobil pribadi dan dua bus ukuran sedang.
Rupanya, kami tidak sendiri.
Ketika pandangan kami arahkan ke selatan, di
sana terlihat hamparan tanah lapang yang luas. Ter-
dapat beberapa pesawat dengan lambung super besar
sedang mengeluarkan isi perutnya. Pak guru bilang,
itu pesawat kargo. Tugasnya melayani pengiriman
barang antardaerah, bahkan antarnegara. Kami
berjalan bergandengan tangan diiringi guru kami.
Orang tua yang rambutnya sudah memutih itu
memperkenalkan kami kepada Pak Burhan. Lelaki
bertubuh jangkung itu menyalami kami satu per
satu. Tak berapa lama, kami telah akrab dengan
petugas bandara itu. Dia menjawab satu demi satu

93
Alang-alang Timur

semua pertanyaan kami. Sambil berjalan, beliau


menerangkan masing-masing loket penerbangan,
mulai dari antardaerah sampai regional.
“Bandara ini termasuk kecil,” kata Pak Burhan.
Tapi, menurutku bandara itu sangat luas. Kata
Pak Burhan, bandara yang melayani penerbangan
internasional memiliki luas dua kali lebih besar dari
bandara yang tengah kami kunjungi. Di sana, kata-
nya ada banyak sekali pesawat-pesawat berbadan
lebar yang besarnya dua kali lipat dari pesawat yang
barusan kulihat. Aku tak bisa, walaupun sekadar
membayangkan sebuah pesawat besar yang meng-
angkasa. Ilmu pengetahuan memang menohok
simpul-simpul logika begitu cepat.
Kami mohon diri ketika terdengar adzan Zhuhur.
Kami pun segera menuju masjid kecil di pojok ruang
parkir untuk mendirikan shalat dan beristirahat.
Dinginnya air wudhu sedikit mengurangi kege-
rahanku. Memang, saat istirahatlah badan akan
terasa capai. Aku segera membuka bekal, kukeluar-
kan semuanya. Kami berlima; aku, Sulthan, Seno,
Sukar, dan Rustam, pun makan dengan lahap. Kami
saling bertukar bekal untuk saling mencicipinya.
Rencananya, seusai istirahat, kami akan berkunjung
ke museum dirgantara yang letaknya bersebelahan
dengan bandara.

94
Sang Pelopor

Siang yang cerah, secerah otak kami, terutama


Wisnu. Kulihat calon pilot itu tak henti-hentinya
mengembangkan senyum. Seakan terbayar sudah
jerih payahnya belajar sebelum ujian kemarin.
Sebuah harga yang pantas dibayar untuk sebuah
usaha dan keyakinan.
Begitulah cara kami berdemokrasi, bahwa yang
terbaik yang akan kami pilih. Sama sekali berbeda
dari demokrasi sekarang ini di mana yang kaya yang
pastinya terpilih. Kami dididik untuk menjadi yang
terbaik sebelum memperoleh hadiah. Sebuah
kesenangan yang bisa dinikmati bersama. Tidak ada
yang abadi di dunia ini, termasuk ranking sekolah
kami. Setiap bulan pasti ada gebrakan-gebrakan di
antara salah satu siswa. Peringkat kelas ibarat piala
bergilir bagi siapa pun yang berani menebusnya.

***

Museum dirgantara itu berbentuk joglo yang


memanjang. Di halamannya yang luas tampak
sebuah pesawat kecil. Itu adalah salah satu pesawat
penumpang yang pertama kali dimiliki Indonesia.
Anak-anak bergantian menaiki pesawat itu. Wisnu
tampak begitu menggebu ingin naik pesawat
tersebut, sedangkan kami harus antri.

95
Alang-alang Timur

“Anak-anak, itu adalah replika pesawat penum-


pang pertama yang dimiliki Indonesia. Sedangkan
yang asli tersimpan di museum Banda Aceh,” kata
Pak Hadi, sedikit memberikan penjelasan.
“Kenapa di Aceh, Pak Guru?”
“Seperti kita ketahui, Aceh adalah modal per-
tama Republik Indonesia. Begitu juga pengadaan
pesawat penumpang. Pada waktu itu, Presiden
Sukarno mengeluh kepada rakyat Aceh tentang
tekanan dunia internasional, terutama Belanda yang
belum mengakui RI. Satu-satunya jalan adalah
perang diplomasi. Pada waktu Indonesia baru merdeka,
angkutan udara masih langka, bahkan Indonesia belum
mempunyai satu pun pesawat untuk mobilisasi
politik. Yang dimiliki baru angkutan darat dan laut.
Oleh karenanya, bagi sebuah negara yang masih
bayi, angkutan udara adalah kebutuhan mendesak.
Sedangkan kas negara kosong. Membeli armada
udara adalah suatu kemustahilan. Lalu, Daud Broueh
yang waktu itu menjabat gubernur mengumpulkan
semua pengusaha dan rakyat Aceh yang peduli pada
negara. Itu adalah rapat raksasa terbesar waktu itu.
“Setelah semuanya berkumpul, berbicaralah
Sukarno seraya memohon disertai air mata mem-
banjir. Para pengusaha tersentuh, rakyat Aceh pun
tersentuh. Serta-merta, mereka memberikan semua

96
Sang Pelopor

yang mereka miliki. Ada uang, cincin, kalung, dan


gelang, bahkan seandainya jiwa-jiwa mereka laku
dijual, mungkin mereka juga akan memberikannya.
Dan, itu adalah sumbangan spontan terbesar yang
pernah terjadi di negeri ini, bahkan mungkin belum
pernah terjadi di dunia,” kisah Pak Hadi, panjang
dan lebar.
Pak Hadi berhenti sebentar. Diambilnya air
minum di tas cangklongnya. Perlahan-lahan,
diminumnya air itu. Kami menahan napas, menung-
gu kelanjutan ceritanya.
“Anak-anakku sekalian, memang benar semua
harta itu untuk membeli dua buah pesawat. Untuk
menghormati rakyat Aceh, pesawat itu diberi nama
Saulawah 1 dan Saulawah 2. Nama itu adalah nama
gunung di mana rapat raksasa itu dilaksanakan.
Dalam kunjungan selanjutnya, atas nama bangsa
Indonesia, Presiden Sukarno mengucapkan banyak
terima kasih. Beliau pun menyatakan bahwa Aceh
adalah modal pertama negara Indonesia. Ya, tanah
rencong adalah cikal bakal kedirgantaraan Indo-
nesia…,” lanjut Pak Hadi.
“Kalau memang demikian, kenapa setelah
Indonesia benar-benar merdeka, rakyat Aceh
dilupakan, bahkan saat kepemimpinannya sekali-
pun?” protes Tias sangat kritis.

97
Alang-alang Timur

Dengan arif, Pak Hadi mencoba menjawab


pertanyaan Tias. “Itulah noda sejarah, Anakku. Pada
waktu menerima sumbangan itu, Presiden Sukarno
pernah berjanji kepada rakyat Aceh untuk memberi-
kan semua keinginan mereka. Yaitu mengurus
pemerintahannya sendiri – di bawah naungan RI –
dan ditegakkannya syariat Islam di bumi Serambi
Makkah. Tapi, janji tinggal janji. Sukarno lupa akan
janjinya. Ia malah menggabungkan wilayah Aceh
dengan Sumatra Utara.”
“Anak-anakku, kalau kalian punya janji, jangan
pernah mengingkarinya,” tambah guru kami.
Aku termenung. Semua membisu. Kami pun
paham, semua pesawat Saulawah yang tersebar di
museum dirgantara hanyalah replika. Sedangkan
yang asli tersimpan di Aceh.
Rombongan kami lantas berkeliling dari pesawat
komersial, pesawat latih, bahkan pesawat pengebom
milik TNI Angkatan Udara. Pesawat latih adalah
pesawat kecil untuk melatih calon pilot. Kami
paling lama di tempat ini. Tampak berjajar aneka
pesawat latih, mulai dari yang kecil bermesin
tunggal hingga yang agak besar bermesin ganda.
Setelah puas berkeliling di halaman, kami
memasuki bangunan utama museum dirgantara.
Untuk bisa masuk, kami harus membeli tiket. Orang

98
Sang Pelopor

tua baik itu membelikannya untuk kami semua. Dia


rela merogoh kantong pribadi demi kemajuan kami.
Saya tak bisa membayangkan seorang guru yang
gajinya tak seberapa harus mengongkosi kegiatan
belajar lapangan ini.
Sesampainya di dalam, kami harus berputar
mengikuti arah jarum jam sesuai tanda panah yang
ditunjuk. Di dinding ruangan terpampang foto-foto
beraneka pesawat. Sesampainya di ujung ruangan,
tampak kerumunan anak-anak. Rupanya, ada
pemotretan dengan kostum pilot. Wisnu terlonjak.
Namun, guru kami memberikan aba-aba supaya
keluar gedung yang sesak ini. Terlihat gurat kecewa
di wajah Wisnu. Orang tua bijaksana itu paham.
Dielusnya kepala Wisnu dengan lembut.
“Fotonya nanti di luar saja. Seperti yang kalian
lihat, di luar lebih nyaman dan lebih murah,” kata
Pak Hadi.
Kami baru tahu kalau yang duduk-duduk di
bawah pohon cendana tadi adalah tukang foto
amatiran. Bedanya, mereka adalah tukang foto yang
bekerja untuk pribadi, bukan karyawan museum.
Begitu sampai di luar, angin sejuk menerpa
wajah kami yang kusut. Bapak Kepala Sekolah
memanggil dua orang tukang foto untuk meng-
abadikan momen bersejarah itu.

99
Alang-alang Timur

Kami semua bergiliran berfoto di tempat-


tempat kesukaan kami dengan kostum pinjaman
dari tukang foto. Ada berbagai ukuran untuk tubuh
kami. Waktu giliran Seno, hampir semua baju sesak,
tak mampu menampung tubuh gendutnya. Setelah
memaksakan diri mengenakan kostum pilot yang
terbesar, Seno akhirnya berfoto di samping pesawat
latih bermesin tunggal sembari menggamit helm
pilot. Pesawat kecil itu seperti tenggelam di samping
tubuh gemuk Seno. Bagai kilat, lampu blitz
menyambar mata kami. Aku baru tahu, lampu
itulah yang menyebabkan aku tampak merem di
foto, seperti seorang pilot yang mengantuk karena
kurang tidur. []

100
Sang Pelopor

8
Ekspresi Jiwa Kami

J am berganti hari. Minggu telah dilewati. Bulan


demi bulan pun telah kami lewati. Musim
kemarau menjelang. Daun-daun berguguran,
berganti dengan pucuk-pucuk hijau dedaunan
muda.
Kampung sawah telah memainkan irama
kehidupan yang harmonis. Alam dan manusia hidup
berdampingan, bagai alunan orkestra yang menya-
nyikan lagu kenangan dinamis. Semua berjalan
mengalir. Sadar akan posisinya masing-masing,
berjalan beriringan tanpa saling mendahului. Petani,
pedagang, peternak, anak-anak, dan orang tua
semua mengalir sesuai dengan ritme dan intonasi
yang pas. Tidak kurang, tidak lebih. Begitulah hidup
harus selaras dengan fitrah masing-masing. Seperti

101
Alang-alang Timur

air dan udara yang akan senantiasa memberikan


kehidupan.
Pagi yang cerah. Secerah visi dan misi hidup
kami. Hidup harus terus berjalan, apa pun yang akan
terjadi. Duka dan derita hanyalah sebagian kerikil
yang harus kami hadapi. Tak peduli berapa kali kami
tersandung, yang penting sebanyak itu pula kami
bangkit dan berjalan meneruskan langkah. Berjalan
dengan lebih berhati-hati dan waspada supaya tidak
terjungkal lagi.
Kami akan terus berjalan, hingga asa kami
tercapai atau tertimbun tanah dan dimakan cacing.
Mati dalam menggapai rembulan atau demi meme-
tik bintang itu lebih mulia daripada duduk
melamun. Bagaimanapun, mati adalah misteri.
Orang akan tetap mati, sekalipun bersembunyi di
dalam sebuah bejana yang tertutup rapat.
Langit memancarkan biru yang menggairahkan,
memacu semangat diri di pembuka hari yang masih
pagi. Sayang, tidak demikian dengan wajah Pak
Hadi. Sorot matanya yang tajam meredup. Ada
mendung membayang di dua bola matanya. Tak
disangka, mendung itu kini menjelma rintik gerimis
yang kian lama kian deras. Kami semua terdiam,
tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya.
Sekuat tenaga, sosok tua yang biasanya bercahaya

102
Sang Pelopor

itu mencoba bertahan, supaya tidak ketahuan semua


muridnya. Tapi, kami lebih mengerti pribadi beliau
daripada tahi lalat di pipi orang tua kami.
Pak Hadi, guru yang sangat kami hormati, masih
membisu. Dunia pun terbungkam. Jarum jam
bahkan seakan berhenti berdetak, menunggu apa
yang akan terjadi. Hatiku bertanya-tanya, gerangan
apa yang telah membuat sedih pelitaku di malam
hari itu?
“Anak-anakku sekalian….”
Pak guru yang mengabdikan seluruh hidupnya
bagi madrasah kami itu tidak melanjutkan kalimat-
nya. Kami menahan napas, menanti kata-kata
berikutnya. Pak Hadi kembali membuka-buka
koran lusuh di tangan kirinya. Koran itu adalah
bacaan rutin kami. Lembaran-lembaran berita harian
itu selalu diambilnya dari kantor kecamatan. Setiap
pagi, sebelum menyampaikan pelajaran, beliau
mengayuh sepeda hingga puluhan kilometer demi
mengejar setumpuk informasi untuk kami.
Surat kabar itu edisi kemarin. Setelah dibaca di
kecamatan, biasanya akan dibuang atau disimpan di
gudang. Pak guru merasa sayang membuang sebuah
informasi. Ia pun meminta koran itu untuk dibaca
di Madrasah Kampung Sawah. Kadang, kami
membacanya bergantian di depan kelas, sesuai

103
Alang-alang Timur

dengan topik kesukaan kami. Olah raga, berita


kriminal, ataukah informasi lain. Satu hal yang
paling aku suka adalah berita internasional. Dengan
melahapnya, aku bisa mengetahui peristiwa di
belahan bumi yang lain.
“Anak-anakku sekalian, hari ini adalah hari
berkabung bagi kita. Ada kabar kurang menyenang-
kan dari saudara kita yang jauh di sana. Kita tidak
kenal mereka. Mereka pun tidak kenal kita. Namun,
persaudaraan ini telah terangkai jauh sebelum kita
dilahirkan. Mereka adalah penjaga al-Aqsha, masjid
suci kaum muslimin. Mereka berjuang sendirian
menghadapi kezhaliman dengan hanya bersenjata-
kan batu. Seperti nenek moyang kita saat mengusir
penjajah Belanda dengan senjata seadanya: bambu
runcing…,” ungkap Pak Hadi, pelan dan seolah tak
berbahagia. Mata tuanya menerawang jauh ke
depan.
“Mereka menyerang, menerjang, bahkan
terkadang rela menjadi martir untuk menjaga
kesucian masjid al-Aqsha. Palestina adalah tanah
Umar yang diwakafkan untuk kaum muslimin. Kita
harus menjaganya. Kita harus mempertahankannya.
Dunia marah, tapi mereka hanya bisa marah, tak
lebih. Ketika genderang perang ditabuh, anak-anak
Palestina dengan hanya bersenjatakan batu dan ibu-

104
Sang Pelopor

ibu turun ke medan perang dengan hanya membawa


pisau dapur. Mereka juga hanya bisa marah…,”
lanjut Pak Hadi, lantas berhenti seraya mengatur
napas. Terlihat guncangan-guncangan kecil di
pundaknya. Dia tidak menangis. Namun, pasti telah
terjadi sesuatu yang luar biasa.
“Apa yang bisa kami lakukan, Pak Guru?”
tanyaku, memecah kebekuan di pagi ini.
“Banyak. Ada banyak hal yang dapat kita
lakukan untuk mereka. Kita bisa mengirimkan
bahan makanan, obat-obatan. Dan, yang paling
penting, kita berdoa untuk mereka, tiap selesai shalat
atau kapan pun kita mau. Anak-anakku, untuk
menunjukkan rasa simpati kita pada mereka,
bolehlah kita berapresiasi tentang perjuangan
mereka dalam bentuk apa pun yang kalian bisa.
Puisi, drama, teks doa, dan sebagainya. Sekarang,
selesaikan tugas kalian dengan tenang. Kalian boleh
membuat kelompok belajar dan mendiskusikannya
dengan teman kalian,” kata Pak Hadi.
Sebentar saja, kelas menjadi sedikit gaduh.
Terdengar suara kursi dan meja digeser. Ada yang
keluar kelas; ke sungai atau ke kebun. Mereka bebas
mencari tempat-tempat yang dipandang dapat
memberikan gagasan dan inspirasi. Sebenarnya,
pelajaran itu adalah pelajaran Agama Islam. Namun,

105
Alang-alang Timur

entah mengapa bisa menjadi pelajaran Sejarah.


Dalam seketika, berubah lagi menjadi pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Kami berkumpul lagi di kelas untuk mem-
bacakan atau memperagakan karya kami. Dalam
sekejap, anak-anak Madrasah Kampung Sawah
menjadi manusia yang tak kukenal sebelumnya.
Bagai mangga muda yang dikarbit supaya cepat
matang, bakat-bakat terpendam pun terkuak. Ada
anak yang biasanya pendiam, lalu menjadi aktor
dadakan yang memperagakan anak-anak Palestina
dengan kerikil-kerikil di tangan. Mereka lantas
melemparkan kerikil itu ke arah serdadu-serdadu
Israel. Para serdadu pun lari terbirit-birit karena
batu-batu itu nyata adanya.
Sukar yang biasanya urakan kini berubah
menjadi alim. Dia maju ke hadapan teman-teman
dengan tenang, meski seorang diri. Dia membuka
kertas yang dilipat manis di tangannya. Satu
tangannya kemudian menengadah ke langit.
“Ya Allah, berikanlah kekuatan, ketabahan, dan
kemenangan kepada mereka yang telah menegak-
kan dan memperjuangkan kalimat-Mu di bumi jihad
Palestina…,” ucap Sukar, begitu khusyuk.
Selesai berdoa, dia kembali ke tempat duduk-
nya, tanpa ekspresi. Kami melongo. Pak Hadi

106
Sang Pelopor

bangkit dari duduknya, lantas mengucap “Amin”


dan memberikan tepuk tangan atas keberanian
Sukar tampil di depan semua kawan. Kami pun ikut
bertepuk tangan.
“Mari, yang lain. Silakan!” kata Pak Hadi,
memberikan kesempatan kepada siswa lainnya.
Seorang murid putri berponi dengan dua kuncir
di rambut maju ke depan. Dialah yang akhir-akhir
ini telah memporak-porandakan sudut-sudut hatiku.
Tias. Dia bersama Dewi, teman sebangkunya.
Tangan kirinya menggamit al-Qur’an terjemahan.
Dengan tajwid yang pas, matahariku membaca salah
satu ayat al-Qur’an. Suaranya bagai setetes air
membasahi dahaga sang musafir. Mendayu-dayu,
panjang pendeknya sesuai dengan irama kaidah
membaca al-Qur’an. Sungguh, Tias membaca
dengan jiwanya, bukan dengan lidahnya. Hatinya
basah, hati kami semua basah oleh keelokan bahasa
kalimat suci itu. Selanjutnya, disambung saritilawah
oleh Dewi.

“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang


membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar
ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar. (Allah berbuat demikian untuk membina-
sakan mereka) dan untuk memberikan kemenangan

107
Alang-alang Timur

kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan


yang baik. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” 1

Mereka berdua kembali ke bangku masing-


masing. Sebelum tubuh Tias dan Dewi beradu
dengan kursi, guru yang hatinya mudah tersentuh
itu menyongsong dan memberikan ucapan terima
kasih. Pak Hadi selalu begitu, senantiasa mampu
menggiring jiwa kami untuk memiliki kelembutan.
Sekarang, giliran Seno ke depan untuk mewakili
kelompoknya. Dia mengeluarkan selembar kertas
kucel dari dalam saku celananya. Pada kertas
berukuran folio itu terdapat beberapa coretan dan
sapuan tippex yang mengganggu pandangan.
Sebelum membaca, Seno menarik napas panjang,
lantas membuangnya perlahan-lahan. Seperti
seorang aktor yang tengah mempelajari naskah film.
Wajahnya yang semula cerah tiba-tiba tersaput
mendung. Kini, dia hadir di hadapanku sebagai
sosok Seno yang tidak kukenal. Seno dari negeri
antah berantah. Dia membaca dengan segenap
penghayatan. Terdengar suaranya teratur berte-
kanan. Sesekali menghentak, menyayat, meninggi,
namun tetap mengikuti irama yang mengalir indah.
1
QS. al-Anfaal [8]: 17.

108
Sang Pelopor

Di sini, darah masih mengalir


Di gurun-gurun tandus tanpa tanaman
Di balik batu cadas kering tak berair

Di sini, darah masih mengalir


Di samping pohon kurma yang layu
Di bawah pohon zaitun yang menjulang
Seorang bocah kecil dengan batu di tangan
Memburu, menerjang
Melawan thaghut-thaghut bertopi baja
Tank-tank berpeluru penuh
Pesawat tempur yang mengecilkan nyali
Sampai perutnya terburai
Otaknya tercecer
Pensil dan buku tulis lusuh lepas dari genggaman
Semua diam, dunia diam

Wahai, Saudaraku! Bangunlah!


Sadarkah kau
Kala engkau tidur di ranjang yang empuk
Di sana saudaramu ditikam, diberondong
Sadarkah kau
Kala engkau menyelesaikan makan siangmu
Di sana saudaramu dibantai, dihabisi
Sampai sungai-sungai mengalirkan darah
Dan air-air berbau anyir, berwarna merah
Bagimu, Palestina adalah film
Yang enak didengar, enak ditonton

109
Alang-alang Timur

Kamu buta!
Oleh hitamnya minyak di sumur belakang rumahmu
Telingamu tuli
Oleh gemerincing dinar kekayaan rakyatmu
Kamu bisu
Oleh minyak yang harganya selangit
Kamu lumpuh
Membawa kunci-kunci brankas uangmu
Seperti Qarun yang tertatih-tatih

Suaraku tercekat
Aku pun diam…

Seno undur diri dengan muka sendu, sama


seperti ketika masih berpuisi di depan tadi. Hari ini,
Seno telah menjelma sebagai Chairil Anwar atau
Taufiq Ismail, bahkan mungkin gabungan keduanya.
Itu adalah puisi terbaik yang pernah diciptakannya.
Ternyata, di balik hobi makannya, tersimpan energi
cadangan yang sewaktu-waktu bisa meledak,
bahkan sanggup memutuskan simpul-simpul logika
bahwa orang gendut itu identik dengan kebodohan.
Ya, Seno pun berhasil menjadi pahlawan bagi
kelompoknya. []

110
Sang Pelopor

9
Sang P elopor
Pelopor

P ohon akasia masih berdiri kokoh di tempatnya,


sama seperti kemarin. Daunnya yang rimbun
selalu setia memberikan naungan rindang bagi anak-
anak yang bermain di bawahnya. Sementara itu,
burung-burung madu bercengkerama dengan
bebasnya. Sesekali, mereka menjatuhkan kembang-
kembang kuning itu setelah mengisap madunya.
Bunga-bunga pun jatuh menyentuh wajah-wajah
lugu. Namun, bocah-bocah itu tak mempeduli-
kannya. Mereka terus saja bermain, bermain, dan tak
henti bermain. Sebab, bagi manusia-manusia kecil
itu, hidup hanyalah permainan dan senda gurau. Ya,
begitulah kami menjalani masa kecil di pedesaan.
Sepulang sekolah, kami berkumpul di rumah
Sukar untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

111
Alang-alang Timur

Sebenarnya, ini bukan sesuatu yang wajib bagi kami.


Sekolah kami membebaskan untuk tidak mengerja-
kannya kalau sekiranya mengganggu pekerjaan yang
diperintahkan orang tua. Namun demikian, kami
harus memiliki alasan kuat untuk meninggalkan
pekerjaan rumah yang diberikan guru kami. Tidak
ada makian, tidak ada hukuman. Sekolah sangat
maklum akan hal ini. Sebab, usai sekolah adalah
saatnya bersosialisasi dengan masyarakat maupun
keluarga.
Rumah Sukar paling jauh di antara kami. Tepat-
nya, di dekat Sungai Langgeng; sungai besar yang
membelah desa kami. Menuju rumahnya bagaikan
menuju alam lain. Kami harus mendaki dan menu-
runi bukit sebanyak empat kali, lalu menyeberangi
anak sungai yang tak begitu dalam. Bangunan
berbentuk joglo itu tak begitu besar, tapi terasa
nyaman untuk dihuni. Udaranya masih bersih
karena pohon-pohon besar menaungi rumah khas
Jawa itu. Meski rumah itu sangat terpencil, diling-
kupi semak dan pepohonan raksasa, Sukar tetap saja
pemberani. Ketika ditinggal orang tuanya kondang-
an di desa sebelah, dia memilih di rumah sendirian.
Selesai mengerjakan PR, kami berencana
menarik bubu yang dipasang kemarin. Bubu adalah
perangkap ikan dari bambu. Kami membuatnya

112
Sang Pelopor

sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak


bisa keluar lagi. Kami menaburkan makanan
kesukaan ikan di dalamnya, membuat ikan berebut
memasuki bubu kami. Ikan di sungai ini sangat
melimpah. Ikan adalah protein gratis yang disedia-
kan alam untuk kita. Kita tinggal merawat
kelestariannya agar anak dan cucu bisa menikmati-
nya. Hasil tangkapan hari ini sangat banyak, hingga
kami bingung mau diapakan ikan-ikan itu.
“Digoreng saja, Kar!” usul Seno.
“Aku tak punya minyak, No. Akhir-akhir ini,
minyak tak terbeli keluarga kami.”
“Kalau gitu, dibakar saja! Tinggal digarami…,
oke, deh!”
“Nah, kalau gitu, aku setuju…!” kata Sukar
kemudian.
Kami segera berbagi tugas. Ada yang cari kayu
bakar, ada yang membersihkan ikan dan meracik
bumbu. Untuk yang terakhir, Sulthan adalah
jagonya. Dia bisa menimbang berapa siung bawang
dan garam yang harus disiapkan untuk menghasil-
kan rasa yang pas. Dan, itu adalah rahasia terbesarnya
yang sulit ditiru sampai sekarang.
Selesai mengerjakan PR dan makan ikan bakar
hasil jerih payah sendiri adalah surga yang terben-
tang di dunia. Kalau surga dunia itu benar-benar

113
Alang-alang Timur

ada, maka kuteriakkan pada dunia bahwa kami


pernah mencicipinya di rumah Sukar yang sepi.
“Kira-kira, Pak Guru sakitnya parah nggak, ya?”
tanya Seno, si jago makan.
“Pak Guru nggak mau berobat ke rumah sakit,
sih…,” tambah anak lelaki yang kelihatan tambah
gemuk kalau belajar kelompok di rumah Sukar itu.
Memang, sudah seminggu Pak Hadi yang sudah
tua itu sakit. Jika beliau tidak mengajar kami, dunia
terasa gelap. Bagaimanapun, Pak Hadi adalah mata-
hari yang senantiasa memberikan cahaya bagi kami.
Kami pun gelisah. Dunia ikut gelisah. Dewan guru
sudah membujuknya untuk berobat ke rumah sakit
kabupaten, tapi beliau bergeming.
“Dekat dengan anak-anakku adalah obat paling
mujarab,” katanya, suatu hari.
Rumah beliau memang menyatu dengan
sekolah. Kami bisa menjenguk kapan pun kami mau.
Beliau adalah aset paling berharga yang dimiliki
Madrasah Kampung Sawah, bahkan bangsa ini.
Lelaki itu adalah sosok pendidik yang sangat
melekat di hati anak didiknya. Kami menganggap-
nya sebagai orang tua, kakek, bahkan teman kami.
Sang penghibur di kala kami sedih, pemberi moti-
vasi di saat semangat kami menurun.

114
Sang Pelopor

Perawakan Pak Hadi termasuk tinggi untuk


ukuran kami. Tanpa ragu, tanpa pamrih, beliau
mendobrak sistem pendidikan di negeri ini. Sang
pelopor itu pun bekerja bukan karena gaji, tapi demi
pengabdian total bagi kemajuan desa. Banyak sudah
yang dikorbankan Pak Hadi untuk madrasah ini.
Beliau serahkan berhektar-hektar sawahnya untuk
pengembangan pendidikan kami. Tak salah jika
hasilnya adalah anak-anak yang berakhlak dan siap
terjun ke masyarakat.
“Sekolah tak sekadar transfer ilmu, namun harus
bisa memberikan manfaat lebih bagi lingkungannya.
Oleh karena itu, kalian harus menunjukkan hasil
karya yang bermanfaat bagi orang-orang di dekat
kalian, sebelum meninggalkan kelas ini,” katanya
sebelum sakit.
Karena sekolah ini berbeda, maka standar kelu-
lusan kami pun tak sama dengan sekolah lain. Kami
belum dianggap lulus kalau kami hanya bisa menger-
jakan soal ulangan akhir. Kami harus menyerahkan
hasil karya kami sebelum meninggalkan sekolah ini.
Kami bisa menyerahkan apa saja untuk itu. Karya
tulis, kumpulan puisi, novel, atau penemuan-
penemuan yang kami anggap bermanfaat.
Tahun kemarin adalah puncak kesuksesan
Madrasah Kampung Sawah. Selain catatan akhlak

115
Alang-alang Timur

yang nyaris sempurna, sekolah kami telah memper-


sembahkan dua karya terbaik dari dua orang siswa
terpilih. Dia adalah Firman yang telah mengangkat
nasib petani cabai dengan menemukan formula
alami untuk memberantas hama wereng yang biasa
menyerang ladang lombok orang tuanya.
Dia menggabungkan rimpang jahe yang panas
dengan daun mimba. Caranya sangat mudah. Jahe
dicuci bersih, dipotong-potong, dicampur dengan
daun mimba, lalu direbus sampai airnya tersisa dua
pertiganya. Setelah itu, dinginkan campuran
tersebut, lalu disaring. Cairan inilah yang digunakan
untuk melenyapkan hama yang menghancurkan
panen lombok tahun kemarin. Selain murah dan bisa
dibuat sendiri, insektisida itu juga aman bagi
manusia dan tidak mengganggu proses penyerbuk-
an bunga karena disukai lebah. Sungguh, sebuah
karya yang membanggakan.
Satu karya yang juga menakjubkan adalah
penemuan Sugeng Prasetya, tentang keterkaitan
antara batang pisang dan peternak lele. Berikut kisah
kawanku itu.
“Ikan lele adalah ikan konsumsi yang permin-
taannya terus meningkat akhir-akhir ini. Tapi,
banyak peternak yang meninggalkan tambaknya,
termasuk orang tua kami. Itu disebabkan oleh

116
Sang Pelopor

mahalnya pakan yang tidak seimbang dengan


tingkat penjualan hasil panen. Itu sungguh
memprihatinkan. Orang tua kami memilih ganti
pekerjaan daripada terus-terusan buntung. Mereka
meninggalkan tambak yang kering dan kosong itu.
Aku sebagai anaknya sungguh miris memikirkan
sumber penghasilan kami.
“Dua bulan kemudian, aku datang pada orang
tua dan menawarkan sebuah konsep. Aku pun
meminta izin untuk mengelola ideku. Orang tua
memberiku modal. Perlu teman-teman ketahui, itu
adalah modal terakhir yang dimiliki orang tuaku.
Sedikit modal itu kupecah menjadi dua. Sebagian
untuk membeli bata, semen, pasir, dan kawat kasa.
Sisanya kusimpan untuk membeli benih lele. Lalu,
kubuat kandang yang mirip kandang ayam. Setelah
selesai, kandang itu kami isi dengan cacahan batang
pisang dan kubiarkan selama satu minggu. Setelah
agak membusuk, kumasukkan induk-induk bekicot.
Setelah satu atau dua bulan, kandang telah berisi
ratusan, bahkan ribuan bekicot. Inilah waktu yang
tepat untuk menebar benih di tambak yang telah
penuh airnya.
“Selama satu bulan, anak-anak lele itu tetap
kuberi pakan pelet buatan pabrik sambil sesekali
kukenalkan dengan cacahan bekicot. Setelah lele

117
Alang-alang Timur

berumur satu bulan ke atas, kuberi pakan cacahan


bekicot. Dengan cara itu, berarti aku telah memang-
kas 2/3 biaya pakan. Mungkin, suatu hari nanti aku
akan membuat pelet dengan kombinasi daun-daun-
an, bekatul, dan cacahan bekicot supaya hasilnya
lebih maksimal.”
Sungguh sebuah gebrakan yang cerdas. Sugeng
Prasetya telah menjadi pahlawan bagi keluarganya.
Akhirnya, tambak lele milik keluarganya bisa
diselamatkan. Bahkan, penemuannya ditiru oleh
tetangganya. Karya itu pun tersimpan rapi di
perpustakaan sekolah kami.

***

Waktu terus bergulir, namun Pak Hadi tak


kunjung sembuh. Hanya sorot mata tajam yang
menggambarkan semangat hidupnya.
“Tetaplah belajar, Anakku! Sesungguhnya, ada
banyak matahari di sekolah kalian yang senantiasa
memancarkan cahaya….”
Itulah nasihat Pak Hadi saat terakhir kali kami
menjenguknya. Kami sadar, orang tidak boleh
terfokus pada satu figur. Apalagi, di sekolah kami
ada banyak guru yang baik. Bu Murni yang cantik,
Bu Kasmini, dan Ustadz Zahid. Semuanya meng-

118
Sang Pelopor

abdi untuk kami, demi kemajuan kami. Mereka


bekerja tanpa pamrih dengan memaksimalkan
segala potensi mereka. Waktu, tenaga, pikiran,
bahkan sebagian gaji bulanan yang tak seberapa
mereka gunakan untuk membiayai program-
program sekolah. Mereka telah mengajariku tentang
arti pengabdian yang sempurna. Dedikasi total tanpa
cela. Itulah makna ikhlas dari sudut pandang yang
berbeda.
Sesungguhnya, guru-guru kami yang lain pun
belajar banyak hal kepada sosok ringkih itu. Belajar
tentang kesederhanaan, keikhlasan, dan semangat
memberi. Dan, itulah cinta. Cinta adalah memberi,
memberi, dan memberi. Seberapa banyak kau beri-
kan cinta, sebanyak itu pula cinta akan kau terima.
Seminggu telah berlalu dan Pak Hadi masih setia
di tempat tidurnya. Aku bersyukur bisa mengenal
beliau, bahkan menjadi muridnya. Sungguh, itu
suatu anugerah terindah di sepanjang jalan hidupku.
Aku tak bisa membayangkan seandainya tak pernah
bertemu Pak Hadi atau tetap belajar di SD yang
dulu. Bagiku, sekolah di SD negeri adalah sebuah
mimpi buruk.
Di sekolah negeri tersebut, siswa diperlakukan
bagai robot yang harus siap sedia menerima perin-
tah. Tak ada kata “tidak” bagi siswa. Guru seperti

119
Alang-alang Timur

majikan yang harus selalu dituruti. Kami berangkat


sekolah seolah sekadar menjalani rutinitas yang
tidak bertepi, tanpa misi, tanpa visi. Begitu bel
berbunyi berarti “ladang penyiksaan” dimulai. Kami
memasuki kelas bagai memasuki sebuah penjara
yang menyeramkan. Pak guru yang seharusnya
mengayomi pun menjelma menjadi monster mena-
kutkan. Apalagi, jika salah satu dari kami tidak
mengerjakan PR. Hukuman pasti menghadang.
Bagi mereka, PR adalah suatu kewajiban. Mereka
tidak sadar, pekerjaan rumah itu telah merampas
waktu bersosialisasi dan bermain kami.
Masih membekas jelas dalam ingatanku, Senin
adalah hari dimulainya pembunuhan kreativitas
kami. Terlebih, setelah upacara bendera adalah
pelajaran Matematika. Pelajaran yang membuat
bulu kudukku berdiri. Begitu kaki Pak Harmanto
memasuki ruang kelas, bagiku itulah saat-saat
menegangkan dalam hidupku. Guru Matematika
itu memang berwajah ganteng. Namun, bagiku,
wajahnya lebih menakutkan daripada sosok menye-
ramkan yang sering mengganggu tidurku. Raut
mukanya yang tak ramah selalu cemberut. Selera
humor pun tampaknya telah hilang dari kamus
hidupnya. Ah, guru seperti inilah yang telah
membunuh semangatku!

120
Sang Pelopor

“Kamu memang bodoh! Gini aja nggak bisa?!”


Itu adalah kalimat pamungkas yang akan selalu
menutup pelajaran pagi itu. Bagiku, sebenarnya
tidak ada yang namanya murid bodoh. Sebab, yang
ada adalah ketidakmampuan guru dalam mengapre-
siasi ketertinggalan kami. Matematika memang
sulit. Akan bertambah sulit kalau penyampainya
adalah seseorang yang tak ramah. Bagaimana
pelajaran bisa masuk ke otak, sedangkan hati kami
tertutup? Sebuah suasana yang membuat aku
pengen lari dari sekolah saat itu juga. Kata-katanya
telah merontokkan cita-citaku.
“Kami bukan anak bodoh!” bantahku di dalam
hati.
“Kami hanya tak mampu mengerjakan soal itu.
Tapi, kami bisa mengerjakan soal IPA, Bahasa
Indonesia, dan menggambar,” batinku, membela
diri.
Seketika, kami seakan memasuki lorong gelap
ilmu pengetahuan yang tak bertepi. Tidak ada yang
berusaha memberikan cahaya, termasuk guruku.
Aku merasa, sang waktu telah menikamku dari
belakang. Dia telah menjerumuskan diriku ke dalam
keputusasaan tak berujung.
Pintu gerbang itu masih tegak berdiri. Di kanan
dan kirinya terpancang pagar setinggi dua meter.

121
Alang-alang Timur

Dinding tebal seolah pembatas dari dunia luar.


Jendela kaca yang bening bagai berbenturan dengan
tembok. Ya, pandangan kami berhenti hanya sampai
di situ. Setiap hari. Sungguh, tembok sekolah negeri
itu telah menjelma menjadi terali besi yang meng-
urung pandangan dan pikiran kami.
Di balik tembok itu terbentang sawah, kebun
mangga dan pepaya, bukit, serta semak belukar. Aku
ingat, di sawah itulah, sebelum tembok angkuh itu
berdiri, kami bersahabat dengan petani yang sedang
membajak sawah. Juga dengan para buruh dan
penyabit rumput. Persahabatan kami begitu erat,
sehingga kami pun sering diberi mangga kalau lagi
musim panen.
Kami hanya mampu membayangkan, di balik
tembok itu juga ada sungai kecil yang berair jernih
dan banyak ikannya. Dulu, kami sering bermain dan
mencari ikan di sana. Aku ingat, kami berempat
kerap kena setrap karena tidak mendengar bel
berbunyi di kala sedang asyik memancing. Tapi, itu
dulu, bukan sekarang. Tembok tebal itu telah
mengurung kebebasan dan hak kami bersosialisasi
dengan alam.
Ya, di dalam lingkup tembok tinggi sekolah
negeri, kami bagaikan burung dalam sangkar. Kami
dipaksa melahap ilmu pengetahuan yang tidak kami

122
Sang Pelopor

sukai. Kami ibarat sebuah gelas kosong yang diisi


berbagai cairan angka, rumus, huruf, dan bermacam
dogma hingga penuh, bahkan meluber. Otak pun
terasa sesak, tak tersisa lagi rongga udara di sana.
Aku termangu dan membisu menatap pintu
gerbang sekolahku dulu. Pohon sengon masih tegak
dan angkuh, seperti penghuninya. Perlahan-lahan,
kututup buku harianku. Tak akan pernah kubuka
lagi sebab aku takut, walau sekadar membayang-
kannya. []

123
Alang-alang Timur

124
Sang Pelopor

10
Matematika dan
Cinta

P agi di musim kemarau selalu cerah. Semilir


angin menggoyangkan dahan-dahan mung-
gur di tengah sawah. Menjatuhkan rintik-rintik
lembut dedaunan yang sudah tua. Serupa kehidup-
an, daun-daun itu berguguran untuk digantikan
yang baru. Sesekali, mereka menerpa wajah kami,
juga buku-buku kami. Kusingkirkan jauh-jauh
bagian pohon yang mengganggu mata pena kami.
Bukan, bukan pengganggu. Helai-helai daun itu
adalah belaian lembut alam yang selalu menemani
belajar kami.
Di bawah pohon cinta yang rindang, kami
belajar Matematika. Pelajaran yang paling kubenci
dalam sejarah hidupku. Kami belajar apa saja di pagi
ini. Waktu, jarak, kecepatan, dan cinta. Ya, ada cinta

125
Alang-alang Timur

bersemi di tengah sawah luas milik sekolah kami.


Cinta pada sesuatu yang dulu paling kubenci. Benar,
diam-diam kini aku telah mencintai Matematika.
Tidak ada orang yang tahu. Tias pun tidak. Seandai-
nya Tias tahu, mungkin dia akan cemburu, mungkin
juga tidak.
“Seno, coba kerjakan soal nomor delapan dan
terangkan pada temanmu cara termudah untuk
menyelesaikannya,” suara lembut Bu Murni timbul
tenggelam di antara batang-batang jagung yang
hampir dipanen.
Aku ingat, kami, semua murid kelas lima, yang
menanam jagung itu. Pelajaran Kesenian, bertepatan
dengan jam terakhir di hari itu, kami isi dengan
bernyanyi sambil menanam. Kaki-kaki kami
berlepotan lumpur, juga baju kami. Kami senang.
Bu Murni pun demikian. Saat panen tiba, setiap anak
akan mendapat bagian satu tongkol. Tidak kurang,
tidak lebih. Jagung rebus telah menyatukan hati
guru dan anak didik. Tiada jarak di antara kami. Bagi
kami, Bu Murni adalah sahabat kami.
“Saya tidak bisa, Bu Guru…,” ujar Seno,
menjawab dengan percaya diri.
“Huuu…!” kami menyorakinya, sehingga sawah
yang tenang itu sedikit lebih hidup.

126
Sang Pelopor

“Tidak apa-apa, Seno. Kamu hanya sedikit


belum memahami penjelasan saya,” tanggap Bu
Murni, lembut dan pengertian.
“Tapi, saya bisa menyelesaikan nomor sembilan
atau sepuluh,” tambah Seno, bersemangat.
“Ya, tidak apa-apa dilompati. Biar nanti Ali yang
mengerjakan nomor delapan. Silakan maju!”
Seno pun maju, tanpa merasa takut salah. Setelah
beberapa saat, anak itu berhasil menjawab soal yang
diberikan guru kami. Dia pun dapat menjelaskan
bagaimana cara termudah untuk mengerjakannya.
Seno kembali duduk setelah maju tak lebih dari 30
detik, tepatnya 28,5 detik. Anak yang dulunya
paling anti terhadap pelajaran berhitung itu melesat
bagai anak panah. Aku tidak yakin bahwa Seno tak
bisa mengerjakan soal nomor delapan. Bagaimana-
pun, soal itu lebih mudah. Atau, mungkin dia hanya
ingin berkata “tidak” untuk soal yang tidak
disukainya.
Aku dan kawan-kawan melongo. Anak gemuk
itu telah berubah menjadi anak super Habibie. Dia
menjawab dengan tangkas dan lugas. Bocah lelaki
yang dulu paling takut maju, bahkan sering nangis
kalau disuruh Pak Harmanto itu telah menjelma
sebagai orator ulung. Sungguh sebuah lompatan
katak melayang yang jauh ke depan. Simpul-simpul

127
Alang-alang Timur

otaknya yang dulu terkunci sekarang telah terbuka


lebar. Dan, Bu Murni sangat berjasa karenanya.
Betul kata beliau, jika hati sudah terbuka, maka
otomatis otak akan membuka diri untuk menerima
cahaya ilmu pengetahuan.
Selesai pelajaran Matematika, kami kembali ke
kelas. Kami mencuci kaki di sungai kecil yang kami
lewati. Kaki kami bersih. Pikiran dan hati kami pun
jernih. Hanya Bu Murni yang sanggup memupus
ketumpulan otak kami. Bagi kami, Matematika
adalah sawah, gunung, angin sepoi-sepoi, dan wajah
teduh sang ibu guru.
Terlihat pipi Bu Murni yang putih bersih merona
merah jambu saat diterpa sinar matahari. Cinta
kepada kami telah menuntunnya untuk memaknai
arti kata “cantik”. Cantik adalah rela berkorban.
Cantik adalah apabila ada senyum yang tulus di
wajah. Sebuah makna yang tidak terangkum di
dalam kamus mana pun. []

128
Sang Pelopor

11
Let’s Stretch Our Ar ms!
Arms!

M atahari tampak malu-malu di balik bukit


hijau sebelah timur sekolah kami. Suara
burung-burung bersahutan menyambut pagi.
Terlihat Garrulax leucolophus1 bertengger di salah satu
dahan sengon laut yang menjulang. Seekor burung
kecil yang bulunya didominasi warna putih dan
cokelat. Bagian kepala sampai batas mantel hingga
perut berwarna putih bersih. Bulu hitam mem-
bentang menyerupai pita dari pangkal paruh
melewati garis mata hingga bagian telinga. Bulu
sayap sampai ekornya berwarna cokelat merata.
Sebuah padu padan warna yang mempesona.
Matanya lebar dan bersinar. Kakinya hitam, kokoh
mencengkeram ranting-ranting kecil.

1
Poksai berjambul putih.

129
Alang-alang Timur

Kicauan merdunya membuat suasana pagi kian


semarak. Rupanya, keindahan bulu dan kicauan
itulah yang membuat keberadaan burung itu makin
langka. Bagiku, setiap pagi mendengar suaranya
adalah suatu anugerah. Burung kecil itu milik alam
raya. Mereka mempersembahkan suara indahnya
dengan gratis untuk kita. Namun, ada tangan-
tangan kotor yang berusaha merenggutnya dari
alam. Mereka memasukkannya ke dalam sangkar-
sangkar sempit. Aku tak bisa membayangkan sean-
dainya manusia pun dimasukkan ke dalam ruangan
yang sempit itu. Tentu mereka akan berontak,
menangis, dan menjerit. Tapi, entah mengapa orang-
orang memuji suara poksai sebagai kicauan manis.
Burung adalah makhluk yang konsisten. Kicauan
dan tangisannya selalu merdu. Hanya mereka yang
memiliki hati yang bisa membedakannya.
Burung berjambul putih itu adalah jenis burung
yang lincah. Hampir tak pernah diam, selalu
melompat dari satu dahan ke dahan lain. Itulah cara
burung poksai menikmati kebebasan, selalu
bercengkerama, menari, dan menyanyi. Mereka
memberikan yang terbaik untuk sang pagi. Aku tak
tahu, sampai kapan mereka akan berbagi keceriaan
dengan hari-hariku. Kicau poksai adalah lambang
kehidupan; suara merdu yang datang seiring dengan
semburat mentari pagi.

130
Sang Pelopor

Seketika, alam pun ikut bernyanyi mengikuti


irama indah itu. Daun dan ranting mengalunkan
simponi dengan harmoni serasi. Semakin kencang
angin bertiup, kian rancak suasana pagi. Semua
mengalir berirama hingga sang waktu berganti.
Kulangkahkan kaki sepenuh semangat. Sejenak,
wajah Tias menari-nari, membuat pagiku makin
bercahaya. Ekor kudanya berayun-ayun bagaikan
lambaian tangan bidadari. Aku harus segera
mengenyahkan wajah lucu itu dari pelupuk mata.
Sebab, hari ini adalah hari Kamis. Itu berarti aku
harus lekas sampai di sekolah untuk mempersiapkan
air wijikan bagi guru kami. Tiba di sekolah, aku
segera berlari mengambil ember kecil dan mengisi-
nya dengan air sumur di samping sekolah.
Setiap pagi, kami bergantian mengambil air
untuk mencuci tangan itu. Semua berjalan seperti
jarum jam di kantor guru. Tidak ada yang menyu-
ruh, tidak ada yang disuruh. Semua sudah mengerti
tugas masing-masing.
Bahkan kalau papan tulis di kelas sudah pudar,
kami akan segera menggantinya. Di gudang sekolah
memang ada papan tulis cadangan. Jadi, kalau warna
hitamnya sudah menghilang terkena penghapus
yang kainnya hampir habis, kami bergegas menu-
karnya. Kami lantas mengecat papan tulis tersebut

131
Alang-alang Timur

bersama-sama sepulang sekolah atau ketika


pelajaran Kesenian.
Begitu juga kalau penghapus di kelas sudah aus,
maka kami akan membuat yang baru. Caranya sangat
mudah. Potong kayu reng kira-kira 7 cm, haluskan,
lalu bubuhkan lem. Sekolah menyediakan lem tersebut
untuk kami. Kalau sedang habis, kami akan memin-
tanya di bengkel dekat pasar. Mereka memaklumi
kemiskinan sekolah kami, sehingga mereka pun
mengulurkan lem itu sembari tersenyum. Sebuah
senyum yang aku tak bisa mengartikannya. Setelah
siap, lalu dilapisi bantalan kain atau karung goni yang
berlapis-lapis supaya awet. Penghapus indah pun
selesai kami buat.
Olah raga adalah pelajaran pertama kami di hari
ini. Entah untuk apa, guru meminta kami membawa
alat tulis ke lapangan. Juga kursi, sikat gigi, dan sisir.
Kami juga disuruh mengambil air untuk dibawa serta.
“Anak-anak sekalian, hari ini kita akan mempe-
ragakan gerakan-gerakan yang tentunya kalian
sudah mengenalnya. Namun, kali ini Bapak akan
memberikan perintah dengan bahasa Inggris. Kalian
harus menjawab dan melaksanakan perintah dengan
benar. Untuk pemanasan, silakan berlari keliling
lapangan dua kali,” kata Pak Herman, mengawali
pelajaran pagi ini.

132
Sang Pelopor

Kami segera berlari sesuka hati kami dengan


gaya-gaya yang telah beliau ajarkan. Ada lari
mundur, lari ke samping, zig-zag, meloncat-loncat,
lari patah-patah, lari putus-putus, atau lari dengan
kombinasi semuanya asalkan tidak bertabrakan.
Usai lari dua putaran, sambil menunggu Seno,
kami mengatur napas di tempat buku-buku kami
letakkan. Guru olah raga kami segera mendiktekan
perintah berikut translate-nya.
“Dengarkan baik-baik, sebab Bapak tidak akan
mengulanginya,” katanya, membuat telinga kami
terbuka lebar, naik seperti telinga seekor kelinci.
Pak guru pun mendiktekan perintah satu demi
satu. Kami pun diminta berbaris enam-enam ke
belakang.
“Let’s stretch our arms!” kata Pak Herman sambil
meniup peluit.
Beberapa anak mengikuti perintahnya. Sebagian
yang lain terbengong-bengong, atau membuka
catatan dan segera merentangkan tangan.
“Yes, like this! Bapak hanya memberi contoh kali
ini saja. Selanjutnya segera ikuti!” tambahnya saat
melihat kegugupan kami.
“Yes, Sir…!” jawab kami serempak.
“Are you ready now?”

133
Alang-alang Timur

“Yes!”
“All right. One, two, three, four!!!”
“Wiggle your hips! Six, seven, eight!”
“Touch your toes! Prit, prit, prit…!”
“Bend your knees! Six, seven, eight!”
Hari semakin siang. Suasana pun bertambah
menyenangkan. Kami hanya mengingat nama-nama
anggota tubuh. Satu yang membuat kami ingat
adalah nama-nama anggota tubuh. Kami segera
bertindak, walaupun sering salah. Kami pun tertawa,
menertawakan kebodohan diri sendiri.
“Reach high! Touch your nose…!”
“Strech, strech, strech!”
“Reach high! Touch your ears! Prit, prit, prit…!”
“Reach high! Touch your head! One, two, three…!”
“Anak-anak sekalian, Bapak kira pemanasan kali
ini cukup. Sambil istirahat, Bapak ingin menguji
kalian satu per satu. Kerjakan yang Bapak perintah-
kan. Ali, silakan ke depan!”
Aku melangkah maju ke hadapan Pak Herman
dan semua kawan.
“Ali, wiggle your hips!” perintah beliau kepadaku.
Aku tetap diam. Perlahan, kukumpulkan
segenap ingatanku. Tanganku di pinggang – seperti

134
Sang Pelopor

berkacak pinggang – kurendahkan sedikit pantatku,


lantas segera kugoyangkan memutar. Aku ter-
senyum. Aku sendiri tidak yakin, apakah gerakanku
ini benar ataukah salah. Namun, setelah gaya
ngeborku, tepuk tangan teman-teman terdengar
menggema dengan diiringi tawa terpingkal-pingkal.
“Tias, brush your teeth!”
“Seno, wash your face!”
“Handoko, comb your hair! Priiit!!!”
Handoko maju sambil membawa sisir. Dia
tampak celingukan, benarkah perintah itu? Sebab,
kepalanya botak. Hampir tak ada sehelai rambut
pun di kepalanya. Kami pun menertawakan
Handoko.
“Monyet botak sedang sisiran…!” teriak kami
sambil mengiringi Handoko dengan tetabuhan
topeng monyet.
Handoko menyeringai. Mukanya merah padam,
merasa dikerjai guru kami. Namun, anak itu tak
marah karenanya.
Setelah permainan selesai, kami baru tahu apa
kegunaan ketiga benda itu: sikat gigi, sisir, dan air.
Sebuah permainan yang menyenangkan! Selain
badan kami sehat, pikiran pun bertambah sehat
karena melihat tontonan gratis. []

135
Alang-alang Timur

136
Sang Pelopor

12
Sang Pendaki Sejati
Pendaki

A wan tipis berarak beriringan ditiup angin pagi.


Langit biru di angkasa menggambarkan
panorama yang menawan. Kabut pagi belumlah
hilang. Embun pun belum mengering, namun kami
telah berkumpul di rumah Wisnu. Rumah sang
calon pilot itu terletak di kaki Gunung Sumilir.
Rumahnya paling besar bila dibandingkan dengan
rumah para tetangganya.
Tampak sumur di sebelah timur berdekatan
dengan pohon mangga. Padasan yang tutupnya tak
begitu rapat meneteskan butir-butir kristal di ujung
bawahnya. Satu kebiasaan di desa, apabila membuat
sumur pasti di luar rumah dan terpisah dari rumah
utama. Ini bertujuan untuk memberikan kesem-
patan kepada tetangga yang ingin menggunakan air

137
Alang-alang Timur

bersih tanpa merasa risih. Sebab, bagi kami, air adalah


milik bersama. Tidak ada yang boleh memilikinya
secara pribadi.
Rencananya, pagi ini kami akan mendaki Sumilir.
Gunung itu tampak kokoh menantang di hadapan
kami. Ini bukan yang pertama kali kami menakluk-
kannya. Kami sudah sering melakukan hal itu.
Wahai, kawan! Lihatlah calon pilot kita! Dia
memakai celana doreng, kaos ketat, dan sepatu
PDL1. Sebuah kostum yang sempurna. Ditambah
tas ransel berisi penuh yang menggelayut mem-
bebani punggungnya yang kerempeng. Kasihan dia!
Dengan kaos doreng ketat itu, tulang-tulang
rusuknya terlihat semakin menonjol. Sangat kontras
dengan tas yang menggelembung di punggungnya.
Kami melewati pematang sawah di kaki Bukit
Handoro. Ada banyak bukit yang harus kami lewati
untuk mencapai puncak. Handoro adalah bukit
pertama yang harus kami taklukkan. Ada rasa
bahagia tak terkira di dalam dada karena hari ini aku
akan menundukkan puncak kesepuluh. Tahun lalu,
aku telah melakukannya dengan sukses.
Petak demi petak kami lalui. Di hadapan kami,
hamparan padi menguning laksana sebuah perma-

1
Sepatu militer.

138
Sang Pelopor

dani Persia yang bermotif kotak-kotak, diselingi daun


hijau ketela dan jagung di sepanjang sisinya. Kami
harus melewati jalan setapak ini satu per satu.
Kulihat Wisnu berhenti di petak terakhir.
“Teman-teman, tunggu sebentar! Kita tambah
bekal kita…!” kata Wisnu sambil menarik beberapa
ketela pohon di petak terakhir sawah miliknya.
Dikeluarkannya tas plastik untuk membungkus
umbi besar dan panjang itu.
Kami melanjutkan perjalanan mendaki pung-
gung Handoro. Bukit itu tidaklah besar, namun
hanya dialah yang punya nama. Bukit lain tidak.
Bukit kecil ini adalah titik awal dari sebuah pen-
dakian. Ibarat kelahiran bagi perjalanan seorang
manusia. Tiba di puncak, Seno merengek minta
istirahat. Napasnya satu- dua tak beraturan.
“Istirahat dulu ya, Kawan! Aku haus…,” pinta
Seno sambil mengatur napasnya yang terengah-
engah.
“Ini baru lima menit, No. Perjalanan masih
jauh…!”
“Iya, aku tahu. Cuma sebentar, kok!” Seno segera
menurunkan bekal di punggungnya.
Kami pun terpaksa mengikuti kemauan anak
itu. Diteguknya air putih dengan rakus.

139
Alang-alang Timur

“Ingat, No! Perjalanan belum seberapa. Kita


harus berhemat…,” kata Sukar sambil merebut
botol minuman yang tinggal setengah.
“Maaf deh, Friend! Aku haus, nih!” kata Seno,
mengiba.
Kami pun melanjutkan pendakian. Bukit demi
bukit, kami tempuh dengan sukses. Menjelang adzan
Zhuhur, bukit terakhir sudah kami taklukkan. Seno
tertatih-tatih menyeret kaki. Sudah menjadi kese-
pakatan bahwa kami tidak beristirahat hingga
mencapai bukit terakhir.
Kami pun berhenti untuk melepas lelah dan
menunaikan shalat Zhuhur. Dalam bekerja, kami
memang terbiasa berpatokan pada alur waktu shalat,
bukan jam, bukan perut. Sekolah juga begitu. Kami
beristirahat kedua pas waktu Zhuhur. Dengan begitu,
kami bisa shalat berjamaah di mushala pojok sekolah
kami.
Di sebuah tanah lapang, di bawah pohon asam
kandis, kami membuka bekal. Segera kukumpulkan
ranting-ranting untuk membakar ketela. Angin sepoi
membelai wajah kami, membuat bayang-bayang semu
menggelayuti mata kami. Tapi, kami harus tetap
terjaga karena perjalanan berat masih menanti. Kami
segera bangkit mengumpulkan sisa-sisa kekuatan
untuk memulai langkah pertama seusai istirahat.

140
Sang Pelopor

Hidup memang tidak selalu berjalan terus. Ada


kala kita mesti beristirahat; mengumpulkan tenaga
untuk menghadapi kehidupan selanjutnya. Istirahat
bukan berarti kalah. Istirahat hanyalah pematangan
strategi dan evaluasi langkah untuk mencapai hasil
yang lebih baik. Karena, setelah layar terkembang,
pantang surut kembali. Tantangan demi tantangan
harus kita hadapi. Itulah proses. Banyak orang yang
tidak menyukai proses. Begitu lahir langsung ingin
berada di puncak. Orang yang demikian tidak akan
menikmati kebahagiaan, namun justru mudah ter-
peleset atau tergelincir. Bagaimanapun, yang ia
miliki hanyalah fondasi kehidupan yang begitu rapuh.
Mereka yang menyukai tantangan dan rintangan
berarti telah memilih proses sebagai jalan sebelum
meraih puncak. Bagi mereka, kedua hal itu bukan
untuk dihindari, tapi untuk dihadapi. Jatuh bangun
dalam kehidupan adalah hal biasa. Kegagalan demi
kegagalan adalah guru yang bijaksana.
Di sisi timur, tampak warna-warni tenda para
pendaki. Rupanya, mereka sudah merasa puas,
kendati baru mencapai separuh perjalanan. Orang-
orang itu telah berani memulai, tetapi begitu melihat
indahnya lembah dan hijaunya pemandangan di atas
sana, mereka begitu terpesona dan memutuskan
berhenti untuk lekas menikmati jerih payahnya.

141
Alang-alang Timur

Orang ini adalah tipikal orang yang akan


berhenti berjuang sebelum meraih puncak. Baginya,
langkahnya sudah cukup. Ia pun tidak merasa
tertarik untuk terus mendaki karena takut terpeleset
atau terluka lebih parah. Ia tahu, tantangan di
depannya pastilah lebih rumit dan terjal, sehingga
memutuskan untuk berakhir saja. Sungguh sayang!
Kuayunkan langkah demi langkah dengan
mantap, meski sesekali kami terpeleset dan jatuh.
Kami segera bangkit tertatih-tatih menuju puncak
kesuksesan. Pendakian ini ibarat sebuah perjuangan.
Semua orang pasti ingin menuju puncak keindahan,
namun hanya sedikit yang mau melakukan perjalan-
an yang sangat melelahkan ini.
Sebagian merasa gamang untuk memulai sebuah
langkah pertama karena beratnya medan perjuang-
an dan jauhnya langkah yang ditempuh. Mereka
diliputi keraguan dan ketakutan yang diciptakan
sendiri. Orang-orang semacam ini tidak pernah
melangkah lantaran sibuk memikirkan rintangan
yang bakal menghadang. Mereka memilih keluar,
menghindar, dan berhenti.
Ya, mereka sama sekali tidak punya nyali untuk
menghadapi tantangan. Kekhawatiran dan kecemas-
an adalah pikiran yang pertama kali muncul dalam
benak mereka ketika melihat sebuah prospek.

142
Sang Pelopor

Mereka memilih mengabaikan peluang yang ter-


hampar di depan, bahkan sama sekali tak memiliki
keberanian untuk mengukir prestasi dalam hidup.
Hidup pun apa adanya, sehingga orang akan segera
melupakan setelah kematian mereka. Menjalani
kehidupan secara monoton tanpa warna, mereka
selalu terjebak dalam pikiran negatif.
Mereka meninggalkan berbagai impian seraya
memilih jalan yang mereka anggap lapang dan lebih
mudah. Ironisnya, seiring berjalannya sang waktu,
mereka mengalami kesengsaraan yang jauh lebih
pedih dari yang ingin mereka hindari. Itulah akibat
mengabaikan peluang menggapai hidup lebih ter-
hormat. Mereka telah menghabiskan seluruh hidup
hanya untuk keasyikan yang melenakan. Waktu
yang dimiliki sama sekali tidak produktif. Saat-saat
yang memilukan adalah ketika mereka menoleh ke
belakang dan melihat kehidupan yang dijalani
sungguh tidak menyenangkan. Mereka akhirnya
mati dalam kesengsaraan dan kesepian. Orang pun
akan segera melupakan mereka karena tak satu yang
mereka tinggalkan dalam kehidupan ini.

***

Matahari beranjak condong ke barat. Terik


sinarnya tak mampu menyurutkan langkah kami.

143
Alang-alang Timur

Sesekali, kami beristirahat sekadar untuk mengen-


durkan otot-otot yang kaku. Kutoleh ke belakang
sembari menunggu Seno. Alangkah kagetnya kami
karena anak gemuk itu tidak terlihat di jalan setapak
yang kami lalui.
“Seno…! Kamu di mana?!!”
“Seno! Kamu jangan bercanda…!”
Panik, kami memanggil-manggil Seno. Akhir-
nya, kami berbalik arah untuk mencarinya. Kute-
lusuri jalan setapak yang tadi kami lalui. Kusibak
semak belukar yang sangat rimbun. Mungkin saja
dia sengaja bersembunyi, menggoda kami, tapi
hasilnya tetap nihil. Kami pun berpencar dan sepakat
dalam sepuluh menit segera kembali. Pohon mahoni
besar kami jadikan kamp. Sebagian barang kami
tinggal di bawah pohon itu. Kami berpikir,
kalaupun tertinggal, Seno tidaklah terlalu jauh dari
kami. Sebentar kemudian, kami telah kembali.
“Wisnu, gimana? Ketemu?” berondongku.
Wisnu menggeleng. Sukar juga demikian. Kami
duduk di bawah pohon itu dengan putus asa.
Tinggal menunggu Sulthan. Sayang, dia pun datang
dengan tangan hampa. Kulihat Sukar hampir
menangis. Mata lelaki sebayaku itu berkaca-kaca.
Mungkinkah Seno terjatuh ke jurang…?

144
Sang Pelopor

“Seno…!!!” sekali lagi, aku berteriak sekencang-


nya.
Kulihat semak dekat tebing di bawah pohon
akasia tampak bergerak-gerak. Tampak menonjol
sepatu olah raga Seno. Kami segera mendekatinya.
“Seno, kamu kenapa?!” kataku dengan panik
sambil memegang kepalanya.
Seno diam saja, tak bergerak. Hanya napasnya
yang naik turun teratur. Kami menggoyang-
goyangkan tubuhnya. Segera kubalurkan balsam di
sekitar hidung Seno untuk membuatnya lekas
siuman. Tapi, dia tetap saja terdiam, membuat kami
kian panik.
“Tolong pijat jempol kakinya sekuat tenaga
kalian!” kataku, tegas.
Aku sendiri mengurut tangan Seno dan mene-
kan-nekan bagian di antara jempol dan telunjuknya.
Seno tampak bergerak, lantas mengaduh. Matanya
masih terpejam. Sekali lagi, dia mengaduh sambil
terbatuk-batuk. Kami makin kuat memijatnya. Dia
terlonjak seketika hingga terduduk. Namun, belum
sampai sempurna duduk, Seno sudah ambruk lagi.
Dengan sigap, Sukar menangkap tubuh tambun itu.
Mata Seno sedikit terbuka. Refleks, ia pun menarik
tangannya.
“Oouww!!! Sakit…!” teriaknya, spontan.

145
Alang-alang Timur

“Kamu kenapa, Seno…?” tanya Sulthan.


Seno diam sambil mengatur napas. “Aku
kelelahan, lalu duduk di bawah pohon. Setelah itu,
aku tertidur….”
“Kamu bukan tertidur, No! Tapi, pingsan…!”
“Aku nggak ingat apa-apa setelah itu….”
“Oke. Sekarang kamu sudah sembuh. Ayo kita
ke bawah pohon itu! Biar lebih nyaman.”
Kami segera bangkit. Sukar dan Wisnu mema-
pah tubuh Seno.
“Bagaimana, Li? Kita akan kembali saja?”
“Entahlah. Yang penting kita istirahat dulu.”
“Kita tidak akan kembali. Kita akan lanjutkan
perjalanan ini!” kata Wisnu dengan lantang.
“Iya, tapi kita juga harus memperhatikan kondisi
Seno.”
“Demi Allah, aku akan melanjutkan perjalanan
ini sendiri jika kalian kembali. Lihatlah, satu jam lagi
kita akan sampai di puncak! Kita akan berkemah atau
menginap di rumah penduduk…!” sahut Wisnu,
ambisius.
Kami pun terdiam. Membisu dalam letih badan
kami.

***

146
Sang Pelopor

Angin sepoi menerbangkan daun-daun. Di atas


kami, berdiri kokoh puncak Sumilir yang menantang
kami. Kami masih memulihkan tenaga hingga
waktu ashar. Selesai shalat, aku kembali termenung,
merangkai kembali tujuan mendaki gunung ini.
Akankah aku gagal dan kalah hanya karena sesuatu
yang dilakukan seorang kawan? Atau, haruskah aku
menuntaskan perjalanan menuju puncak dengan
menuruti keegoisanku karena meninggalkan teman
seperjuangan? Wisnu tidak sabar, sedangkan Seno
masih lemah, walau wajahnya sudah sedikit segar
setelah beberapa saat beristirahat.
“Bagaimana keadaanmu, Seno? Kamu cukup
kuat untuk melanjutkan perjalanan kita?” tanyaku.
Seno menarik napas panjang. Keraguan terlihat
menggelayuti matanya.
“Kamu harus kuat, Kawan. Satu jam lagi kita
akan sampai.”
“Bertahanlah! Perjuangan tinggal sejengkal
lagi,” tambah Sukar.
Terlihat Seno berdiri. Kami terus menye-
mangatinya, terlebih Wisnu.
“Insya Allah, aku kuat!” ujar Seno, mantap.
Suaranya yang lantang memudarkan keraguanku
akan kondisi fisiknya.

147
Alang-alang Timur

Kami pun melanjutkan perjalanan, meski


perlahan-lahan. Seno yang biasanya tertinggal kami
biarkan jalan terlebih dulu. Rasa bahagia menye-
limuti dada kami. Setelah sekian jauh perjalanan
kami tempuh dengan berbagai tantangan dan
rintangan, puncak kesuksesan itu akhirnya kami
raih.
“Kamilah para pendaki sejati!!!” sorak batinku,
penuh bangga dan bahagia, kendati lelah begitu
terasa.
Seorang pendaki sejati, bagiku, adalah dia yang
selalu melakukan proses pendakian tanpa kenal
lelah. Walaupun di tengah jalan kerap bertemu
rintangan, dia selalu mencari celah kemungkinan
dan peluang tanpa mempedulikan hambatan yang
menghadang. Dia akan terfokus pada tujuan-tujuan
hidupnya. Dengan cara itulah jalan untuk meng-
gapai tujuan akan terbentang.
Seorang pendaki sejati selalu meningkatkan
kualitas hidupnya pada tataran yang lebih tinggi
demi memberikan kontribusi maksimal. Kesuk-
sesan, bagi sang pendaki, bukanlah tujuan hidup.
Keberhasilan adalah sebuah perjalanan hidup yang
harus terus-menerus diciptakan. Sungguh, pendaki
adalah pembelajar sejati. Ia sangat menyukai
tantangan karena meyakini bahwa setiap tantangan

148
Sang Pelopor

pasti menghasilkan sebuah pembelajaran yang suatu


saat akan bermanfaat.
Walau harus terjatuh, sang pendaki sejati akan
bangun dan mencoba melangkah lagi. Tidak ada
istilah “berhenti” di dalam hidupnya. Memang,
terkadang seseorang harus berhenti, beristirahat,
atau mundur selangkah untuk menghimpun tenaga.
Tak mengapa jika hasil akhirnya adalah sepuluh
langkah kemajuan bagi diri. Benar, ada harga yang
mesti dibayar untuk sebuah jalan yang dipilih.
Sebab, hidup adalah sebuah pilihan.

***

Ketika matahari semakin condong ke barat,


sampailah kami di puncak Sumilir. Rasanya terbayar
sudah segala lelah dan dahaga. Kami langsung
bersujud penuh rasa syukur, terlebih Seno. Anak itu
tak henti-hentinya mencubiti tangannya.
“Bagai mimpi!” seru Seno, tak menyangka akan
keberhasilan ini.
Saat-saat di puncak adalah hal yang mem-
bahagiakan bagi kami. Kebahagiaan yang tidak bisa
ditorehkan dengan kata-kata. Kami telah meng-
alahkan semua hambatan yang menghadang
langkah. Terlebih hambatan yang datang dari diri

149
Alang-alang Timur

sendiri. Kami pun membentuk sebuah lingkaran


untuk berembuk.
“Baiknya bagaimana, Li? Kita akan istirahat di
rumah penduduk atau…?” kata Sukar, meng-
gantung.
“Sebaiknya menggelar tenda saja karena kita
istirahat kan cuma sebentar. Tengah malam nanti,
kita akan turun,” jawabku.
“Lagian, ini kan musim kemarau. Pasti tak ada
hujan.”
“Iya, daripada nanti kita malah merepotkan dan
mengganggu ketenangan penduduk,” tambah
Wisnu.
Akhirnya, kami menggelar terpal yang telah
kami siapkan sebelumnya. Satu terpal kami jadikan
atap, sedangkan yang satu lagi sebagai alas. Kami
berbagi tugas dan tanggung jawab sesuai kemam-
puan masing-masing. Pendakian ini sungguh telah
menyatukan hati kami untuk bekerja sama. []

150
Sang Pelopor

13
Memahat Cita-cita

U sai shalat Maghrib, kami berkumpul di sebuah


batu datar yang banyak terdapat di puncak
Sumilir. Batu besar yang permukaannya tidak rata
itu, bagi kami, lebih lembut dari permadani mana
pun. Ketela bakar dan secangkir kopi menemani
obrolan kami. Kusapukan pandangan ke sekeliling.
Pepohonan raksasa bagaikan jajaran tonggak
penunggu gunung yang abadi. Begitu rapatnya,
sehingga kalau dilihat dari angkasa mungkin kami
tidak akan terlihat. Hanya asap api unggun yang
membubung ke atas sebagai penanda keberadaan
kami.
Penduduk desa di bawah sana memang harus
berterima kasih kepada orang-orang di puncak
gunung ini. Seandainya mereka begitu rakus

151
Alang-alang Timur

menebang pohon-pohon yang sudah besar, semua


orang akan merugi. Namun, hal itu tidak mereka
lakukan.
“Alam adalah sahabat kami. Dia telah memberi-
kan semua yang kami minta. Ketela, pisang, kayu,
dan kebutuhan hidup yang lain. Sudah semestinya
kami menjaga alam semesta,” begitu kata Pak
Somad, tetua desa di gunung ini.
Di puncak Gunung Sumilir memang tersebar
beberapa kampung. Mereka hidup rukun dan damai.
Di sebelah timur ada jalan aspal mulus yang
menghubungkan kampung dan dunia luar. Peme-
rintah kabupaten telah membangunnya untuk desa-
desa di puncak Sumilir. Jalan itu berlenggak-leng-
gok, lalu berhenti di pinggang sebelah timur.
Tepatnya, di petilasan Samber Nyawa, sepuluh
kilometer dari tempat kami berdiri. Kami biasa
berkunjung ke petilasan yang menjadi kebanggaan
masyarakat setempat itu. Di sanalah Samber Nyawa,
pangeran yang menjadi raja pertama di Kadipaten
Mangkunegaran, pernah menyepi untuk mencari
ketenangan.
Angin malam berhembus kencang, membuat
kami merapat ke api unggun. Kunang-kunang
berkejaran bagai peri malam. Semua gelap gulita.
Hanya kerlap-kerlip lampu minyak di rumah-

152
Sang Pelopor

rumah penduduk yang menandakan kehidupan saat


itu. Namun, beberapa rumah yang agak bagus
terlihat benderang. Di jalan raya, lampu kendaraan
berlari seakan berkejaran. Alangkah tenangnya
suasana malam di sini. Tanpa berisik suara-suara
kendaraan bermesin, tanpa musik, tanpa radio.
Hanya ada irama malam yang sunyi. Sesekali, suara
serangga malam bersahutan diiringi desir angin yang
menyanyikan langgam surgawi.
Sebelum shalat Isya, aku ingin memberitahukan
sebuah rencana besar kepada teman-teman. Rencana
itu murni keinginanku sendiri. Tidak ada yang tahu.
“Teman-teman, setelah isya nanti, kita harus
segera meninggalkan tempat ini. Namun, sebelum
pergi, kita harus memberikan tanda bahwa kita
pernah datang kemari,” kataku sambil mengeluar-
kan ruji-ruji yang telah kuasah ujungnya.
“Alat itu untuk apa, Li?” tanya Sukar, mengira-
ngira maksudku. Insting detektifnya berbicara.
“Sebelum kita benar-benar pergi meninggalkan
tempat ini, marilah kita mengukir cita-cita kita di
sini. Nanti, sepuluh atau dua puluh tahun yang akan
datang, kita akan datang lagi ke sini. Insya Allah….”
Kami segera berpencar sembari membawa ruji,
masing-masing satu. Segera terdengar besi kecil itu
beradu dengan batu. Suaranya memecah kesunyian
153
Alang-alang Timur

malam, memantul berkejaran. Satu yang pasti


adalah impian Wisnu, yaitu menjadi pilot. Mungkin,
anak itu sedang menuliskan huruf terakhir dari kata
“pilot”. Aku sendiri selesai paling awal karena hanya
menatah empat huruf. Batu hitam yang tadinya
polos telah menjadi ukiran huruf yang indah.
Rangkaian empat huruf itu memahatkan satu cita-
cita: guru. Kiranya, serangkai kata itu telah mewakili
suasana hatiku. Andai mereka tahu huruf apa yang
telah kuukir, mungkin mereka akan menertawakan
atau malah memujiku.
Bagiku, menjadi guru adalah sebuah peng-
abdian mulia. Bagaimanapun, guru adalah ujung
tombak kemajuan suatu bangsa. Konon, setelah
kalah perang, kaisar Jepang segera mengumpulkan
semua jenderalnya. Ada hal yang ingin ditanyakan
sang kaisar pada waktu itu. Pertanyaan yang muncul
sungguh di luar dugaan. Sebab, yang ditanyakan
bukan jumlah serdadu atau pesawat tempur yang
tersisa, melainkan jumlah guru dan dosen yang
selamat. Sikap tersebut mencerminkan sikap
pemimpin bangsa yang berpandangan jauh ke depan.
Guru adalah ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu
pengetahuan adalah syarat mutlak menuju kema-
juan sebuah bangsa yang baru saja lebur karena dua
bom atom itu. Sejarah membuktikan, Jepang yang

154
Sang Pelopor

jauh lebih porak-poranda daripada Indonesia mampu


berlari lebih cepat demi mengejar ketertinggalan,
sehingga akhirnya menempatkan diri sebagai negara
paling maju di Asia. Aku yakin, jika kita peduli
kepada para pendidik, maka Indonesia akan ber-
potensi lebih maju daripada Jepang.
Dulu, tidak pernah terlintas di benakku untuk
bermimpi menjadi pengajar. Pak Hadi, orang tua
berwajah teduh itulah, yang telah menuntun nurani-
ku sehingga akhirnya menetapkan guru sebagai
pilihan hidup. Pengabdian seorang guru akan senan-
tiasa mengalirkan pahala sampai kapan pun, bahkan
dalam bingkai ridha Tuhan. Sungguh, menjadi guru
adalah menuliskan cinta dan perjuangan di dalam
jiwa putih setiap anak.
Kawan-kawan belum tahu cita-citaku ini,
apalagi Tias. Bukannya aku malu mengungkapkan-
nya, namun menurut pikiranku, menjadi pengajar
itu tidak mudah. Aku tak bisa membayangkan
apakah aku bisa meneruskan sekolah setelah lulus
nanti. Ketika disuruh maju ke kelas tempo hari, aku
mengatakan ingin menjadi pedagang yang sukses.
Bagiku, menjadi guru yang ikhlas atau pedagang
yang jujur itu sama mulianya. Atau, menjadi guru
mungkin semacam cita-cita cadangan. Impian
nomor dua, katakanlah begitu. Bisa saja menjadi

155
Alang-alang Timur

guru sekaligus pedagang yang sukses. Bukankah itu


dua kemuliaan dalam satu genggaman?
Sejenak, aku berhenti berkhayal ketika seekor
kunang-kunang menghampiri diriku. Kerlip
cahayanya menarikan simponi malam. Kini, tiba
saatnya kami harus membongkar tenda, lantas
mempersiapkan diri membawa bekal masing-
masing. Setelah semua siap, kami kembali berkum-
pul untuk shalat Isya berjamaah.
Usai shalat, aku selaku imam sedikit mem-
berikan renungan atau semacam salam perpisahan
pada semesta raya.
“Teman-teman sekalian, kita datang kemari
bukan tanpa tujuan. Kita datang ke sini bukan
untuk berbangga diri karena telah menaklukkan
puncak ini. Bagiku, menaklukkan puncak ego itu
lebih penting daripada menaklukkan gunung apa
pun. Tadi, telah sama-sama kita ukir cita-cita kita.
Yang terakhir kali, mari kita berdoa, semoga Allah
memudahkan jalan kita dalam menggapainya.”
Seketika, kami terdiam. Semua terpaku dalam
kebisuan. Alam pun tak bersuara, hanya meng-
angguk-angguk tertiup angin, seolah ikut meng-
amini doa kami. []

156
Sang Pelopor

14
Pasar Tradisional

P asar itu pasar induk kota kecamatan. Selain


pasar induk, ada beberapa pasar kecil di
seantero Bayat. Kami menyebutnya pasar krempyeng
alias pasar yang ramai hanya di waktu pagi saja. Pasar
induk begitu ramai ketika kami datang. Sesampainya
di sebelah pasar hewan, kami berkumpul bersama
Ustadz Zahid.
“Anak-anakku sekalian, berpencarlah mulai
sekarang sesuai kelompok kalian. Tapi, jangan lupa,
sekitar satu jam lagi kalian kembali berkumpul
bersama Bapak. Bertanyalah kepada pedagang-
pedagang itu sesuka kalian, sebanyak yang kalian
ingin tahu. Namun, bertanyalah dengan cara yang
sopan. Amati dan catatlah yang kalian anggap
perlu!” pesan Ustadz Zahid kepada kami.

157
Alang-alang Timur

Kami segera masuk pasar sesuai minat dan


keinginan kelompok. Pasar itu dikelompokkan
sesuai bagiannya sendiri-sendiri. Di sisi kiri ada los
ikan, bersebelahan dengan los sayuran dan kelon-
tong. Di sebelah kanan, los buah berjajar dan ber-
sebelahan dengan los pakaian dan grosir. Sementara
itu, di bagian belakang terdapat los gerabah dan
pasar hewan.
Pasar kambing adalah tempat favorit kami.
Walaupun orang menyebutnya pasar kambing, tapi
ada hewan lain yang diperjualbelikan di sana. Antara
lain ayam, bebek, kelinci, dan burung di ujung
paling selatan. Pasar krempyeng ini biasanya ramai
pada hari tertentu saja, yaitu Rabu dan Sabtu. Selain
kedua hari tersebut, pasar tampak sepi dan hanya
terlihat beberapa petani yang menggelar hasil kebun
di pinggir jalan.
Kebetulan, sekarang adalah Rabu. Pak guru
memang tahu apa yang kami mau. Banyak orang
menuntun kambing atau hewan lain untuk diper-
jualbelikan. Di antara mereka tentu saja terdapat
calon pembeli atau belantik. Siapa pun memang
harus berhati-hati dengan ulah belantik yang biasa
menawarkan dagangan orang lain. Belantik sebenar-
nya tidak punya barang dagangan, tapi lagaknya sok
menawarkan, sok merayu calon pembeli. Aku paling

158
Sang Pelopor

sebel sama dia, seolah pasar hewan ini daerah ke-


kuasaannya. Tak jarang, penjual maupun pembeli
harus patuh pada aturannya.
Seorang penjual harus mengatakan harga hewan
yang dijualnya, lantas belantik akan membawa dan
menawarkan hewan tersebut semaunya. Dengan
cara inilah penjual yang otomatis si pemilik dagang-
an tidak cukup mempunyai kuasa atas barang
dagangan sendiri. Sebuah praktik yang sejatinya
tidak adil. Bagaimana mungkin belantik yang tidak
punya apa pun mempunyai kuasa atas barang
dagangan orang lain? Sementara itu, dia hanya tahu
untung besar. Apabila barang dagangan yang
ditawarkan tidak laku, maka belantik akan segera
mengembalikannya kepada penjual.
Kami terus berputar dari los satu ke los lain. Tak
lupa kami catat segala yang kami sukai. Sesampai-
nya di los pasar daging, bau amis menusuk-nusuk
hidungku. Di depan kami tampak berderet-deret
paha ayam. Di sampingnya bergelantungan daging
kambing dan daging sapi yang sungguh menggoda
pandanganku. Aku membayangkan, seandainya
salah satu dari menu orang kaya itu tersaji di meja
dapurku, pasti aku akan segera menyikatnya sampai
habis. Bahkan, mungkin sampai lupa membaca
basmalah lantaran tak tahan saat mencium aroma

159
Alang-alang Timur

rempah-rempah yang melumuri makanan berharga


mahal itu. Orang miskin seperti aku memang hanya
bisa membayangkan. Ya, hanya bisa membayangkan.
Aku juga paham bahwa daging itu ditata rapi bukan
untukku, namun untuk mereka yang berkantong tebal.
Selama ini, bagi keluargaku, makan daging
adalah sebuah kemewahan setara mobil mewah yang
hanya dijumpai di alam mimpi. Dalam setahun,
kesempatan menikmati daging dapat kuhitung
dengan salah satu tanganku. Kesempatan pertama
adalah saat Idul Adha. Selebihnya hanya ketika
tetangga kami menggelar hajatan. Hanya itu. Ya,
sungguh hanya itu!
Usai berkeliling pasar, kami pun keluar melewati
para penjual sayuran. Di sana-sini, bertumpuk
sayuran terlihat beraneka jenis. Los sayuran mendo-
minasi hampir setengah luas pasar ini. Sebagian besar
memang berasal dari petani di Bayat. Hanya
beberapa jenis sayuran yang didatangkan dari luar,
seperti kubis, wortel, dan seledri. Sayuran tersebut
biasanya datang agak siang, menjelang pasar tutup.
Puluhan truk tumpah ruah di pojok-pojok pasar.
Para pedagang pun berebutan kulakan semampu isi
kantong mereka untuk dijual esok hari.
Sayuran hasil kebun petani kami memang harus
bersaing dengan sayuran pendatang. Sayuran

160
Sang Pelopor

semacam kangkung, bayam, kenikir, dan buncis


mulai tersisih. Padahal, menurut para ahli, sayuran
hijau produk lokal memiliki kandungan vitamin
yang lebih besar dari produk luar. Tetapi, peduli apa
sebagian masyarakat kita soal gizi? Rasa gengsi dan
bangga mengonsumsi makanan luar telah mem-
butakan hati dan pikiran mereka.
Sampai di pintu keluar, kami berpapasan dengan
rombongan Tias. Dia tampak asyik memperhatikan
pedagang sayur yang sedang melayani pembeli. Tangan
terampilnya sesekali mencatat di sebuah buku kecil.
Keringat sebesar kedelai menetes, mengalir di
keningnya. Dengan berkeringat seperti itu, wajah
Tias bertambah cantik. Namun, agak lucu juga
karena wajah hitamnya kemerahan terkena mentari
pagi. Aku tersenyum lega demi melihat tahi lalat
kecil masih setia di dagu bawahnya. Kata ibuku, orang
yang kian menarik di kala berkeringat dan kelelahan
menandakan bahwa orang tersebut suka bekerja keras.
Tias seperti seorang wartawan yang tengah
mewawancarai sang narasumber. Gaya bicaranya
lincah dan enak didengar, membuat pedagang itu
tak merasa terganggu. Sesekali, dia membantu
mengambilkan beberapa terung atau buncis untuk
ditimbang. Sebuah simbiosis mutualisme yang
harmonis, kupikir.

161
Alang-alang Timur

Di samping Tias tampak seorang pedagang


sayur yang losnya agak sepi. Sang pedagang, ibu
setengah baya itu, diumpat-umpat seorang lelaki
berwajah menakutkan. Tangan laki-laki itu meng-
gebrak-gebrak meja timbangan sambil melempar-
kan sayuran sehingga membuat pembeli urung
mendekat. Sang ibu hanya diam membisu dan tak
berani, walau sekadar menatap muka pria kasar itu.
“Kemarin kamu sudah tidak setor. Sekarang
mangkir. Maumu apa?!” tanya lelaki itu seraya
membentak.
“Maaf, Pak. Hari ini sepi. Lagi pula banyak bon
yang harus saya lunasi…,” kata ibu itu, ketakutan.
“Alasan saja! Banyak bon kan salahmu sendiri!
Hidup kok ngutang terus?! Kalau minggu ini tidak
lunas, jangan harap bisa ngutang lagi!”
“Maaf, Pak. Sekali lagi maaf. Hari ini memang
sepi. Tolong saya sekali lagi, Pak. Besok mau saya
pakai untuk nyunatke thole1…,” pinta ibu tengah baya
itu, memelas. “Mohon ditolong sekali lagi ya,
Pak…,” tambahnya.
Aku yang melihat drama pagi itu ikut prihatin.
Sebuah ironi dalam dunia dagang dipertontonkan
secara nyata. Seorang pedagang yang juga pemilik

1
Mengkhitankan anak.

162
Sang Pelopor

usaha tak lebih dari sekadar anak buah pemilik


modal. Mereka meminjam uang untuk modal atau
kebutuhan konsumsi, lalu mencicil pinjaman selama
sebulan dengan bunga sepuluh persen. Sungguh
sebuah praktik kezhaliman. Mana mungkin seorang
pedagang akan maju, sedangkan modal dipinjam dari
rentenir? Secara tidak langsung, mereka merupakan
pegawai yang menjalankan uang.
Parahnya, untung atau tidak untung, mereka
wajib membayar cicilan tersebut. Seandainya untung
pun, mungkin keuntungannya hanya cukup untuk
membayar bunga kepada rentenir. Lantas, bagai-
mana jika pedagang merugi? Padahal, dalam hal ini,
pihak rentenir tidak mau tahu. Dia hanya peduli
bahwa uangnya kembali dan berbunga, lalu diputar
lagi dan selalu untung. Ah, malang benar nasib
pedagang kecil…. []

163
Alang-alang Timur

164
Sang Pelopor

15
Listrik Kinetik

“A nak-anakku sekalian, perhatikanlah ini! Ini


adalah batu baterai 1,5 volt, lalu ini motor
listrik, sedangkan ini dinamo. Satu lagi, ini kabel dan
lampu bohlam,” kata Pak Hadi sambil menunjuk
satu per satu semua benda di depannya.
“Hari ini, kita akan mengenal alat-alat ini berikut
kegunaannya. Coba perhatikan! Arus akan mengalir
dari kutub positif ke kutub negatif. Tandanya adalah
menyalanya lampu atau motor listrik ini,” tambah-
nya lagi sambil menghubungkan baterai dengan
motor listrik atau bohlam.
Seketika, lampu kecil yang biasa dipasang untuk
senter pun menyala dan motor listrik bekas mainan itu
berputar. Sebaliknya, apabila salah satu kabel diputus
dari ujung baterai, maka lampu akan padam seketika.

165
Alang-alang Timur

“Itu karena arus listriknya berhenti meng-


alir…,” terang Pak Hadi demi melihat wajah-wajah
bengong di hadapannya.
“Aneh. Ini bukan pertama kalinya aku melihat
percobaan itu. Bahkan, aku sering memainkannya
di rumah. Tapi, ketika yang berbicara di depanku
adalah kepala sekolahku, aku pun bagai tersihir.
“Jadi, arus hanya akan mengalir kalau sisi negatif
terhubung dengan sisi positif.”
“Lalu, dinamo itu untuk apa, Pak Guru?” tanya
Sulthan dengan rasa ingin tahu memuncak di ubun-
ubun. Membran-membran otaknya mungkin berki-
latan, menginginkan suatu jawaban yang harus
dipenuhi.
“Sebuah pertanyaan bagus, Anakku! Dinamo
adalah bentuk kecil dari generator. Kalau motor
listrik berputar karena ada arus listrik, maka dinamo
menghasilkan energi listrik jika berputar. Ali dan
Rustam, Bapak minta tolong, ya. Tolong tuntun
sepeda Bapak kemari, Nak…!”
Kami pun bergegas memenuhi permintaan
kepala sekolah kami. Sepeda onthel itu sudah pucat,
sehingga warna dasarnya tidak terlihat lagi. Hanya
ada warna cokelat kehitaman yang sedikit klimis
pada sepeda tua Pak Hadi. Meski begitu, ruji dan
peleknya sedikit mengkilap, pertanda sering

166
Sang Pelopor

dibersihkan. Pak Hadi mengetes sepedanya dengan


memutar pedal. Ban sepeda pun berputar kencang.
“Anak-anak, coba perhatikan! Temanmu akan
mempraktikkan cara kerja dinamo ini,” ucap beliau
sembari menghubungkan dua buah kabel pada
lampu kutub positif dan kutub negatif.
“Anakku sekalian, karena ini adalah arus kecil
yang masih bolak-balik, maka kalian cukup meng-
gunakan arus negatif saja. Sedangkan untuk sisi
positifnya, kalian bisa menggunakan apa saja.
Contohnya sepeda ini. Nanti, biar kalian mencoba
sendiri di rumah.”
“Kalau pohon bisa nggak, Pak Guru?” tanya
Rustam, tiba-tiba.
“Wah, kalau itu Bapak belum pernah mencoba-
nya. Mungkin, nanti bisa kamu coba sendiri…,”
jawab pak guru yang bijak itu dengan jujur, tanpa
bermaksud mengecewakan Rustam.
Rustam mendekatkan kepala dinamo ke ban
sepeda. Ditekannya kuat-kuat generator kecil itu.
Perlahan-lahan, kukayuh sepeda tua milik kepala
sekolah kami. Lampu pun menyala redup. Makin
kencang mengayuhnya, nyala lampu menjadi kian
terang. Sesekali, aku menyeka keringat karena
panas. Rupanya, atap daun kelapa di atasku sudah
banyak yang bocor. Beberapa bagian tampak

167
Alang-alang Timur

berlubang. Mungkin, di awal musim hujan besok,


kami akan menggantinya. Daun kelapa memang
tidak seawet seng. Sekitar satu atau dua tahun, atap
sederhana ruang kelas kami harus segera diganti.
Murid kelas enam biasa mengganti atap tempat
kami belajar di hari libur. Pagi, sebelum shalat
Jum’at, mereka menganyam daun kelapa dan
membuat tali dari bambu. Ketika siang menjelang,
mereka akan menurunkan atap lama, lantas meng-
gantinya dengan yang baru. Walaupun kelelahan,
semua murid sangat senang. Sebab, bagi kami, saung
di lereng bukit belakang sekolah ini adalah rumah
kami. Karenanya, kami harus peduli.
Di sanalah kami bisa belajar bergantian kalau
lagi bosan belajar di dalam kelas yang sempit. Di
tempat ini pula, pandangan kami bebas melahap
hijaunya pepohonan. Di samping saung, tumbuh
pohon mangga yang sangat besar. Bahkan, saking
besarnya, tangan kami berdua tidak cukup memeluk
pohon yang sedikit memberikan rindang di siang
hari. Buah mangga yang tidak terlalu besar sesekali
jatuh menimpa atap saung. Tapi, rasanya atap ini
terlalu kuat untuk ditembus mangga-mangga itu.
Saung itu tidak terlalu besar, namun mampu
menampung kami semua. Tiang-tiang bambunya
terlihat kokoh menyangga atap. Di bawah tiang

168
Sang Pelopor

bambu adalah tempat favoritku. Di sanalah aku dan


kawan-kawan biasa menyandarkan punggung lelah
kami. Di depan ada papan tulis yang besar sekali.
Cat hitamnya masih kelihatan mengkilap karena
baru dicat Fikram kemarin. Warna basahnya pun
masih tampak, tapi ketika kusentuh ternyata sudah
kering. Siluet matahari yang menimpanya memang
menipu pandangan. Di beberapa bagian ada coretan-
coretan tangan kreatif. Puisi, gambar Semar atau
Bagong, lukisan gunung, dan sebagainya. Tepat di
belakang papan tulis ada dinding gedek membatasi
pandangan kami. Itulah satu-satunya dinding di
saung ini, memang sengaja dibuat untuk memfokus-
kan pandangan kami.
Udara panas kian menghangatkan percobaan
siang ini. Sesekali, kami keluar saung untuk mencari
daun. Daun apa saja yang bisa buat kipasan.
Beberapa siswa sudah membawa kipas bambu dari
rumah. Kadang, buku kami pun bisa berperan ganda
untuk mencatat pelajaran sekaligus untuk kipasan.
Perlahan, kupelankan kayuhan pedal sepeda Pak
Hadi. Sepeda itu miring ke kiri. Rupanya, tanah pasir
di bawah kami tidak cukup kuat menahan beban
sepeda. Pak Hadi mengambil batu lempeng tipis
yang lumayan besar untuk mengganjal jagrak
sepedanya.

169
Alang-alang Timur

Percobaan selanjutnya adalah tentang motor


listrik. Motor listrik kecil itu pun berputar. Suaranya
berdesing seiring bertambahnya arus yang masuk.
Namun, pijar lampu sepeda tiba-tiba meredup.
“Lampu ini lebih redup karena harus berbagi
arus dengan motor listrik. Ini bisa kita siasati dengan
memperbesar dinamo,” terang Pak Hadi.
Kami mengangguk sembari mendengarkan
penjelasan beliau. Sesekali, Sulthan menanyakan
sesuatu tentang percobaan kali ini. Dengan tuntas,
Pak Hadi pun menjawab semua pertanyaan anak itu.
Sulthan memang sangat mendominasi percobaan
siang ini dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terjangkau pikiran kami. Semikonduktor, isolator,
listrik statis, listrik kinetis, dan lain-lain. Otaknya
berpijaran. Satu yang kutakutkan ialah penyakit
listriknya akan kambuh. Maklum, Sulthan sangat
menyukai segala hal yang berkaitan dengan listrik.

***

Hari berikutnya, sebelum masuk sekolah,


Sulthan menarik tanganku menuju samping
sekolah. Dia berbicara dengan nada serius. Raut
wajahnya cemas, sedangkan matanya memerah
seperti orang kurang tidur.

170
Sang Pelopor

“Aku semalam mimpi, tapi anehnya seperti


nyata, Li!” ujar Sulthan, begitu menggebu.
“Mimpi apa, Than? Mimpi buruk, ya?” tanggap-
ku, mencoba berempati kepada kawanku yang satu itu.
“Aku tidak tahu apakah mimpiku itu baik atau
buruk. Yang kutahu, engkau bersamaku dalam
mimpi itu.”
“Ceritakan, Kawan!”
“Begini, Li. Saat itu, sekitarku tampak gelap
gulita. Aku tidak bisa melihat apa pun. Tiba-tiba,
dari jauh ada seseorang yang membawa obor. Aku
baru tahu, engkau berdiri di sampingku kala obor
itu menerangimu. Engkau hanya diam saja, sama
sepertiku. Aku baru tahu lelaki tua itu ketika kami
sudah saling berdekatan. Lelaki itu tak lain adalah
bapak kepala sekolah kita. Beliau diiringi beberapa
siswa di belakangnya. Yang membuat aku bingung,
dia menyerahkan salah satu obornya kepadaku dan
berkata, ‘Anakku, berilah penerang untuk mereka
yang membutuhkanmu. Bapak yakin, kamu
mampu.’ Lalu, dia berpaling kepadamu, memberi-
kan obor, dan berkata, ‘Ali, Anakku, engkau adalah
penerang bagi sekolah kita. Kuberikan obor ini
untuk menerangi mereka.’ Setelah itu, beliau pun
menghilang. Inilah yang membingungkanku. Usai
bermimpi, aku jadi tidak bisa tidur lagi.”

171
Alang-alang Timur

“Makanya matamu merah, Than! Tapi, kamu


tidak apa-apa, kan?”
“Nggak papa, Li….”
“Gini aja. Kamu harus sekuat tenaga menyem-
bunyikan mimpimu itu. Jangan sampai diceritakan
pada siapa pun. Aku takut, ini akan jadi fitnah,”
tegasku.
“Tapi, apa yang akan terjadi dengan Pak Hadi?”
tanya Sulthan, sedikit khawatir.
“Insya Allah tidak apa-apa, Kawan. Begitu juga
kita. Kita berdoa saja, semoga mimpimu itu pertanda
baik buat kita. Soalnya, aku juga tidak tahu pasti
arti mimpi seperti itu.”
Segera, setelah lonceng berbunyi, kutarik tangan
Sulthan sambil jari telunjukku menempel di mulut.
Dia pun mengangguk, tanda mengerti maksudku.

***

Siangnya, sepulang sekolah, aku ke rumah


Sulthan. Sementara itu, teman-teman lainnya tidak
datang.
“Syukurlah, kami bisa ngobrol sepuasnya,”
batinku.
Kamar Sulthan penuh dengan kertas-kertas
yang berserakan. Majalah, koran, dan buku-buku

172
Sang Pelopor

lama yang jilidannya sudah lepas. Di sebelah kanan


depan ada papan yang di atasnya ada beberapa kertas
putih dengan coretan-coretan kasar, bersanding
dengan aneka kabel, bahkan lampu dan mainan
tamiya yang sudah rusak.
Namun, aku tercengang saat melihat sebuah alat
di samping papan itu. Alat itu seperti pemarut
kelapa yang digerakkan dengan pedal yang diputar
dengan tangan. Di ujung yang biasa terdapat gigi
lancip pemarut diganti dengan gigi-gigi putar
beraturan. Gigi putar itu menempel pada dinamo
yang cukup besar yang ujungnya sudah dimodifikasi
sedemikian rupa, sehingga menempel pada gigi
putar beraturan itu. Body dinamo ditekan pada
papan dan disekrup kuat-kuat. Sekrup itu bisa diatur
sesuai kebutuhan, sehingga dinamo bisa digeser
mengikuti letak gigi putar beraturan.
Sulthan tampak asyik menyambung kabel di
salah satu ujung bawah dinamo yang menghantar-
kan arus negatif. Satu kabelnya lantas disambungkan
dengan ruji yang ditancapkan pada tanah. Dia
tersenyum kepadaku sambil terus bekerja. Aku
mendekat dan duduk di atas dipan.
“Li, aku minta tolong, jangan cerita pada teman-
teman, ya? Aku malu kalau percobaanku ini gagal…,”
pinta Sulthan, penuh permohonan kepadaku.

173
Alang-alang Timur

“Kenapa mesti malu? Justru mungkin lebih baik


mereka tahu, agar bisa membantumu,” saranku.
“Iya, tapi besok aja. Aku mau berusaha sendiri
dulu. Sebenarnya aku pusing juga. Beberapa kali
kubongkar pasang rangkaian ini, tapi belum ber-
hasil. Pernah menyala sebentar, lalu bohlamnya
selalu putus. Kenapa, ya?” kata Sulthan, setengah
mengeluhkan kesulitannya.
Aku berusaha lebih dekat lagi sembari berharap
dapat memecahkan masalah Sulthan. Aku kembali
membayangkan saat praktik kelistrikan di saung
dulu. Susunannya sudah benar, kabel-kabelnya pun
sesuai dengan buku-buku teori.
“Dari mana kamu dapat dinamo gede ini, Than?”
“Dari bengkel Pak Pono, waktu kita belajar
lapangan di sana. Karena belum puas, keesokan
harinya aku main lagi ke sana sampai sore. Ketika
mau pulang, aku dikasih ini.”
“Atau memang dinamonya yang bermasalah ya,
Than?”
“Maksudmu…?”
“Mungkin saja dinamo ini sudah mati atau
lilitannya sudah ada yang putus. Jadi, arusnya nggak
stabil.”

174
Sang Pelopor

“Memang ada banyak kemungkinan, Li. Tapi,


aku yakin bukan dinamonya yang bermasalah.
Ceritanya begini. Waktu itu ada seorang bapak
mengendarai mobil yang lumayan bagus masuk ke
bengkel. Dia mengeluh karena lampunya kurang
terang. Setelah dicek Pak Pono, ternyata dinamo
penyedia arusnya sudah tua dan harus diganti.
Memang benar dinamo masalahnya. Tapi, dia bilang,
sebenarnya dinamonya masih bagus. Namun, karena
sudah tua, daya hantarnya jadi tidak sebesar yang
baru. Apalagi ditambah banyaknya aksesori lampu
yang tentunya membutuhkan arus lebih besar. Usai
diperbaiki, ketika dicoba, lampu mobil itu memang
terang sekali. Ketika dinamo lama itu dibungkus,
mau dikasihkan yang punya mobil, ia bilang di-
tinggal saja. Aku yang membantu memperbaiki mobil
itu dapat hadiah dinamo ini. Aku yakin, Pak Pono
tidak bohong. Dia pemilik bengkel yang jujur, Li.”
“Aku tahu, Than. Ini hanya perkiraanku saja,
kok. Oh, ya, coba tolong gerakkan pedal itu per-
lahan.”
Sulthan mengerjakan semua perintahku,
sedangkan aku mencabut kabel yang tadi dihu-
bungkan ke bohlam kecil. Ketika kuhubungkan,
kedua kabel itu mengeluarkan percikan api. Sulthan
agak menjauh.

175
Alang-alang Timur

“Tolong lebih cepat lagi!” pintaku.


Sulthan pun memutar pedal lebih cepat lagi.
Aku kembali menghubungkan kedua kabel ber-
muatan listrik itu sambil menjauhkan wajahku.
Percikan-percikan api yang lumayan besar muncul
kembali. Sesekali, lidah api itu seperti kilat yang
membuat pandangan kami sedikit kabur.
“Cukup, Than!”
Aku tersenyum sambil memejamkan mata.
Kukedip-kedipkan mataku untuk beradaptasi
kembali dengan sekelilingku.
“Masalahnya sudah ketemu, Than!” kataku
sambil melonjak kegirangan.
“Maksudmu, Li?”
“Terang aja lampunya langsung mati. Lha ini,
lampu sekecil ini kamu kasih tegangan 220 volt.
Tegangan sebesar itu bisa untuk menyalakan lampu
mobil yang besarnya sepuluh kali dari lampumu
ini.”
“Tapi, kemarin sempat nyala, Li.”
“Iya. Tapi, cuma sebentar, to? Ini namanya
overload. Lampu sekecil ini paling banter dengan
dinamo sepeda atau batu baterai paling banyak
empat buah.”

176
Sang Pelopor

Sulthan pun mengangguk-angguk tanda


mengerti. Aku tersenyum puas karena telah berhasil
memosisikan diri sebagai kawan yang bisa memecah-
kan masalahnya.
“Lalu, sekarang bagaimana, Li?”
“Ya, kamu harus ganti lampu itu dengan lampu
mobil yang sebesar jempol kaki ibumu itu.”
“Oke deh, Profesor. Tapi, aku lagi nggak punya
uang. Semua uangku habis untuk membeli perleng-
kapan ini. Kamu punya uang nggak? Rasanya, aku
sudah tidak sabar melihat usahaku berhasil.”
“Sama, Than. Atau, gini aja. Kita kerja dulu. Cari
kayu sebanyak-banyaknya, lalu kita jual. Hasilnya
kita belikan bohlam. Piye?1”
“Ah, kesuwen!”2
“Sabar, Kawan. Seorang peneliti itu harus sabar.
Oke?!”
“Iya, deh!”
Melihat kekerasan tekad Sulthan untuk segera
melihat percobaannya berhasil, aku jadi tersenyum
sendiri. Seketika, aku teringat ungkapan Edison
dalam kunci sukses ilmuwan, tepatnya pada pasal

1
Bagaimana?
2
Ah, kelamaan!

177
Alang-alang Timur

dua ayat satu. Dia menyebutkan, “Mencoba dan


mencobalah terus. Apabila masih gagal, mencobalah
sekali lagi sampai uangmu benar-benar habis.
Apabila uangmu habis, maka engkau akan berpikir
untuk mengutang.”
Ini sama persis dengan yang dialami Sulthan,
temanku itu. Dia bahkan mengotot mau minta atau
pinjam lampu di bengkel Pak Pono saat itu juga.
Ah, he’s crazy…! Meski begitu, aku sangat kagum
pada cita-cita dan usaha kerasnya. Bagiku, itu adalah
suatu pemikiran dan upaya yang tak terduga oleh
anak seusia kami. []

178
Sang Pelopor

16
Pembangkit Listrik Tenaga
Tenaga
Pancuran

S eminggu telah berlalu sejak percobaan itu.


Sulthan bertambah pendiam. Hari-harinya
dihabiskan di perpustakaan. Dia membaca apa saja
tentang energi listrik. Semua dilahapnya seorang diri.
Kami seperti kehilangan seorang sahabat, tapi kami
bisa memakluminya. Bahkan, Seno sering mem-
bantu dengan membawakan buku-buku atau apa
pun yang menjurus pada satu bahasan: listrik.
Menurut Sulthan, tidak ada topik yang semenarik
listrik. Listrik telah menjadi semacam saingan
pertemanan kami. Kami merasa cemburu karenanya.
Namun, kami diam saja.
“Aku tambah pusing, Li…,” keluh Sulthan,
suatu hari di hadapanku.

179
Alang-alang Timur

“Itulah, Than. Kalau segala sesuatu dilakukan


secara berlebihan, akan tidak baik jadinya. Kamu
harus berhenti dulu, Kawan! Apalagi, sebentar lagi
ada tes kenaikan kelas,” tanggapku, pelan dan
mencoba mengerti kesulitannya.
“Tidak, Li. Aku akan tambah pusing kalau aku
berhenti. Aku masih punya impian satu lagi yang
belum terwujud. Lagi pula, ujian masih satu
setengah bulan lagi. Aku pikir, waktunya pasti
cukup.”
“Apa itu, Kawan?”
“Gini lho, Friend. Kita kan harus memutar pedal
itu untuk menyalakan lampu. Lampu akan padam
kalau kayuhanku berhenti. Padahal, ketika meng-
ayuh, kita tidak bisa melakukan apa pun, bahkan
kita juga akan cepat lelah.”
“Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Li?”
“Bagaimana kalau kita menggunakan media lain
yang bisa memutar dinamo terus-menerus? Dengan
begitu, kita bisa membaca buku atau melakukan apa
saja tanpa capai memutar pedal itu.”
“Aku paham yang kau maksud, Kawan. Menurut
yang kubaca, kita bisa menggunakan angin atau air.
Tapi, keduanya mustahil.”
“Maksudmu…?”

180
Sang Pelopor

“Tenaga angin tidak mungkin karena di sini


anginnya sedang. Ada angin besar hanya pada waktu
tertentu saja. Padahal, ini kan harus setiap saat?
Tenaga air juga tidak mungkin. Untuk memutar
dinamo, harus ada curah air yang tinggi supaya
bertekanan besar. Sedangkan pintu air dam di sawah
sana tidak bertekanan tinggi.”
Aku diam. Sulthan juga diam. Hanya pikiran
kami yang berpijaran meletup-letup demi menye-
lesaikan percobaan ini.
“Aku ada ide, Li!” seru Sulthan, tiba-tiba dan
penuh energi.
“Apa itu, Sobat?”
“Bagaimana kalau pancuran di belakang
rumahmu, Li?!”
“Ah, kau, Friend! Pancuran itu hanya mengalir
di musim hujan saja. Lagi pula, kalau pakai pancuran,
yang untung kan aku? Rumahku yang terang. Mana
mungkin menarik kabel dari rumahku ke rumah-
mu? Jaraknya kan jauh….”
“Bukan masalah bagiku, Li! Yang penting,
percobaan ini berhasil dulu. Itu sudah bisa mengobati
pusingku…!”
“Bolehlah kita coba.”

181
Alang-alang Timur

Angin bertiup kencang, memainkan rambutku


yang sedikit keriting. Semilirnya sedikit mendingin-
kan otak kami. Aku tahu, seandainya kecepatan
angin itu stabil, maka akan bisa untuk menggerak-
kan baling-baling dinamo, sehingga rumah kami
pun benderang.
Kami bertekad, mulai saat ini kami akan bekerja
dan terus bekerja. Kami semakin rajin mencari kayu
bakar, atau ke sawah seusai sekolah untuk bekerja
sebagai buruh tani. Apa saja akan kami lakukan
untuk mendapatkan uang, asalkan halal. Sesuatu
yang paling berat, yaitu mencangkul di musim
kemarau. Itu yang belum pernah kami lakukan.
Biasanya, kami hanya menanam jagung atau kedelai,
atau menyiangi rumput saja. Semua kami kerjakan
dengan sepenuh hati demi satu tujuan: rumah terang
benderang di malam hari untuk belajar menghadapi
tes kenaikan kelas.
Setelah memperoleh uang secukupnya, kami
akan membelanjakannya untuk membeli semen
beberapa kilogram. Dan, yang paling mahal menurut
kami yaitu merangkai kisi-kisi putar yang dihubung-
kan dengan kepala dinamo. Kisi-kisi yang berfungsi
sebagai baling-baling itu harus panjang tangkainya
untuk menjauhkan dinamo dari titik jatuh air.
Dengan begitu, dinamo akan aman, tidak terkena

182
Sang Pelopor

percikan air. Kisi-kisi itu dibuat dari besi kecil


panjang yang ujungnya bersirip putar semacam
baling-baling. Kisi-kisi tersebut kemudian dilas agar
tersambung dengan kepala dinamo yang di bagian
dalamnya terdapat suatu alat untuk menahan
guncangan. Dengan demikian, ketika baling-baling
terkena air dam, maka putarannya akan tetap stabil.
Karena percobaan ini sebuah proyek besar, kami
libatkan semua anggota Empat Sekawan ditambah
Wisnu. Dengan adanya proyek ini, Wisnu sekarang
resmi bergabung dengan kami. Tidak ada pesta,
tidak ada perayaan. Hanya ada sebuah pernyataan
tulus darinya untuk membantu proyek kami hingga
tuntas.
Semua teman di sekolah adalah saudara. Namun,
bagi kami, Empat Sekawan lebih dari itu. Kami
semacam kelompok persaudaraan yang tidak
membedakan latar belakang. Kami seperti satu
tubuh, tak ada yang bisa menceraikan kami. Karena
sekarang kami berlima, maka kelompok kami pun
berganti menjadi Lima Sekawan. Lambang kelom-
pok kami adalah obor. Ya, obor, bukan lilin. Sebab,
lilin hanya bisa menerangi orang lain, sedangkan
dirinya sendiri hancur. Obor memberikan penerang-
an tanpa merugikan siapa pun.

183
Alang-alang Timur

Telah banyak yang kami kerjakan bersama.


Tetapi, yang paling besar bagi kami adalah proyek
ini. Bukan hanya masalah iuran uang, tapi juga
semua pemikiran dan tenaga kami satukan. Bagai
harmoni semesta raya yang saling membantu, saling
mendukung dalam setiap keadaan, tanpa kenal lelah
atau batas waktu. Saling bekerja sama, itulah yang
kami tekankan di dalam Lima Sekawan.
Kami semua bekerja sesuai kompetensi masing-
masing. Ada yang merangkai baling-baling. Ada
yang membelokkan sementara aliran air, menanam
plat. Ada pula yang memasang kabel rangkaian
dengan beberapa lampu. Setidaknya, ada tiga lampu
yang kami pasang. Satu di ruang belajar, sebuah di
ruang tamu, dan satu lagi di dekat pancuran. Ini
memudahkan kami untuk mengontrol di malam
hari. Menanam pelat semen adalah pekerjaan yang
paling sulit. Bagaimanapun, kami harus bolak-balik
membongkar untuk menyesuaikan titik jatuh air.
Setelah semua selesai, kami pun beristirahat.
Rencananya, dinamo akan kami tanam besok setelah
alas pelat sudah cukup kuat.

***

Ketika pertama kali mengalirkan pancuran itu


ke tempat semula, kami semua tegang. Bahkan,

184
Sang Pelopor

lebih tegang daripada menonton film hantu yang


paling menyeramkan sekalipun. Rasanya, sudah
tidak sabar hati ini menunggu apa yang akan terjadi.
Karena Sulthan adalah sang inspirator proyek, maka
dialah yang kami tunjuk untuk membuka pintu
aliran. Pintu tersebut hanya berupa papan tipis yang
dilapisi seng bekas, sehingga dengan sekali angkat
mengalirlah air pada tempat yang semestinya.
Sayang, di musim kemarau, air mengalir tak begitu
deras. Namun, aliran yang kecil itu sudah bisa
memutar baling-baling di bawahnya. Seiring ber-
putarnya kisi-kisi yang dihubungkan dengan tangkai
sepanjang satu meter itu, kumparan di dalam
dinamo pun berdesing, mengalirkan arus listrik
sehingga lampu pun menyala.
Seketika, senyum kami pun mengembang.
Kulihat setitik air bening di sudut mata sang
inspirator. Tidak ada yang tahu, karena dia buru-
buru memalingkan wajah ke bohlam yang ber-
pendar redup. Kutahu, tangisnya adalah tangis
kebahagiaan. Terlihat Seno terlonjak kegirangan,
menari-nari seperti topeng monyet diberi mainan.
Kami semua larut dalam kebahagiaan. Aku
kembali terbayang bagaimana panasnya di sawah
sambil mencangkul, pun tangan kami yang lecet-
lecet berair karena sering beradu dengan garan pacul.

185
Alang-alang Timur

Terlintas pula di benak bagaimana kayu-kayu itu


kami angkut di atas kepala, lalu kami tawarkan dari
kedai satu ke kedai lain. Semua menawar di bawah
harga yang kami tetapkan.
“Maaf, Nak. Kayunya masih banyak. Kalau
boleh, seribu tujuh ratus saja, ya!”
Suara pemilik kedai yang lembut itu kembali
bergema ketika kutawarkan harga dua ribu untuk
jerih payah ini. Kembali kuangkut kayu itu di atas
kepala yang belum sepenuhnya hilang sakitnya. Aku
terus mengangkutnya sampai pasar induk dengan
tambahan dua ratus perak. Tidak lebih!
Rasanya, segala lelah kini menguap lenyap demi
melihat berpendarnya filamen kawat wolfram1 itu.
Cahayanya yang kuning, bagi kami, lebih berharga
dari apa pun. Ya, sinar itu adalah obat lelah yang
tidak dijual di apotek. Lebih manjur dari obat apa
pun.
“Tapi, nyalanya redup ya, Li?” ujar Sulthan yang
membuatku tergeragap dalam dunia nyata lagi. Aku
baru sadar bahwa pendar cahaya lampu itu memang
kurang terang.

1
Kawat tipis berpilin di bagian tengah bohlam yang berpendar jika dialiri
arus listrik.

186
Sang Pelopor

“Padahal, idealnya empat lampu, seperti di mobil


itu. Bahkan, mungkin lebih…,” tambah sang
konseptor cilik itu.
Sulthan pun kembali membolak-balik kitab
listrik lusuh di tangannya. Tangannya kelihatan
mencoretkan sesuatu di halaman yang masih
kosong. Keningnya membentuk lipatan serupa
garis-garis beraturan. Otaknya jelas bekerja lebih
keras lagi untuk mengetahui penyebabnya.
“Aku tahu sekarang, Kawan! Pertama, airnya
kecil, sehingga tekanannya juga kecil. Akibatnya,
putarannya tak maksimal, sehingga arus yang
dihasilkan juga kecil…!” cerocos Sulthan. Tangan-
nya bergerak-gerak layaknya seorang guru yang
tengah menerangkan sesuatu dengan serius.
“Yang kedua, dinamonya sudah tua, sehingga
arusnya tidak sebesar kalau baru,” tambahnya lagi.
Kami mengangguk, menyetujui argumennya.
“Coba kalau dikurangi lampunya, Kar! Kukira,
kalau hanya dua akan lebih terang…,” ide Sulthan,
seakan tak pernah kering.
Kami bergegas kembali bekerja. Wisnu menu-
tup pintu air, sedangkan Sukar memotong instalasi
di ruang belajar. Sekarang, tinggal dua instalasi
lampu. Sulthan kembali meneliti sambungan itu.

187
Alang-alang Timur

Dua jempol tangannya ke atas, pertanda sudah betul.


Bagi kami, dia bukan sekadar konseptor, namun juga
mandor dan ahli mekanik. Semua dilakukannya
bersama-sama tanpa membedakan jenis pekerjaan.
Bahkan, noda semen di kaosnya masih ada. Kaos
itulah yang dipakai tempo hari untuk memasang
pelat besi di bawah pancuran. Noda semen itu
memang tidak bisa hilang. Biarlah noda itu akan
menjadi kenangan tak terlupakan bagi Sulthan.
Setelah selesai, kami kembali mengalirkan air itu
ke tempat semula. Benar juga kata Sulthan. Dengan
dikurangi satu lampu, bohlam itu menyala dengan
lebih terang. Kami merasa sangat gembira. Seolah-
olah, kelelahan ini sudah terbayar tunai dengan pijar
terang lampu itu. Walaupun memang terangnya
masih jauh dari bohlam 5 watt, tapi yang kecil ini
adalah kebahagiaan tak terkira bagi kami.

***

Ketika mendengar keberhasilan percobaan


kami, banyak orang berbondong ingin melihat
langsung PLTA buatan kami. Aku tak menyangka
akan menjadi terkenal seperti ini. Rupanya, rumahku
yang terletak di bawah lereng bukit menjadi berkah
tersendiri. Pancuran kecil itu telah menulis legenda-
nya sendiri. Air menjadi obor, itulah ilmu pengeta-

188
Sang Pelopor

huan. Sesuatu yang mustahil pun bisa menjadi


kenyataan berkat ilmu.
Rumahku yang sempit rasanya tak mampu
menampung orang-orang yang hendak melihat hasil
karya kami. Mereka datang silih berganti, seperti
melihat hewan aneh atau sesuatu yang begitu asing.
Aku maklum, desa ini miskin hiburan. Jadi, sesuatu
yang aneh akan menjadi hiburan menarik bagi kami.
Terlebih, desa ini begitu kecil. Andai ada angin yang
bertiup pun, kabar akan segera menyebar begitu
luas.
Demi memuaskan dahaga orang-orang tentang
ilmu, siang pun kami terpaksa menyalakan lampu.
Sesuatu yang aneh bagi sebagian orang. Mereka
melihat bohlam menyala bagai melihat bulan di
siang hari. Banyak yang bertanya ini dan itu atau
kronologis penciptaan PLTA kecil kami. Secara
bergantian, kami pun menjawab semua tanya yang
mereka lontarkan. Tak dipungkiri, satu kebanggaan
terbit di hati kami berlima. Kami, anak-anak
Madrasah Kampung Sawah, telah menulis sejarah-
nya sendiri di rumah kecil ini….

***

Hari-hari telah berlalu. Begitu banyak hal yang


telah berubah. Bunga-bunga, daun, ranting, dan

189
Alang-alang Timur

pepohonan meranggas sejalan dengan takdirnya.


Bunga kertas masih melekat di tangkainya. Hanya
beberapa rantingnya yang kian memanjang.
Memang, tidak ada hal di dunia ini yang tidak
berubah. Barangkali, yang tidak berubah hanyalah
modul pendidikan di SD negeri saja. Para guru
mungkin sudah diganti, namun cara mengajarnya
masih sama. Sungguh sayang, sebenarnya.
Lonceng baru saja berbunyi. Aku dan Sulthan
dipanggil ke kantor kepala sekolah. Hatiku ber-
tanya-tanya, ada apa gerangan. Atau, kesalahan
apakah yang telah kuperbuat sehingga diminta
menghadap beliau. Selama aku sekolah di sini, amat
jarang ada siswa yang ditimbali2 Pak Hadi. Biasanya,
beliau datang sendiri kepada kami.
Sesampainya di ruangan beliau, tampak sang
kepala sekolah yang merangkap mengajar apa saja
itu sudah menunggu. Pak Hadi memakai jas yang
sudah luntur warnanya. Rambutnya yang ditutupi
peci butut sudah memutih semua, hanya ada satu-
dua yang masih hitam. Dengan jas itu, beliau
terkesan gagah. Ketika melihat kami datang, beliau
langsung berdiri seraya menyalami kami. Satu
senyuman terlukis begitu ramah dan hangat di
2
Dipanggil atau diminta menghadap seseorang yang lebih tua atau
dihormati.

190
Sang Pelopor

bibirnya. Lewat celah bibir itu, beberapa giginya


yang sudah tanggal tampak mengintip keluar.
Senyum itu sungguh menenteramkan hatiku, bahwa
kami dipanggil bukan karena melakukan kesalahan.
“Bapak telah mendengar semuanya tentang
kalian. Bapak berterima kasih karena kalian telah
sudi mempraktikkan sendiri di rumah…,” ucap Pak
Hadi.
Entah mengapa, aku merasa ada keharuan yang
menyeruak rongga dada ini dalam seketika, tak
tercegah.
“Iya, Pak. Kami cuma coba-coba karena penasar-
an,” kataku, lirih.
“Itu bagus. Rasa ingin tahu telah mengantarkan
kalian menjadi orang yang berani melangkah.
Memang, kita jangan hanya berani membayangkan,
tapi juga harus berani mencoba!”
Ah, satu semangat yang begitu berarti kembali
terhembus lewat kata-kata bijak guru senior kami.
Semangat yang telah mendorong kami untuk
senantiasa berbuat yang terbaik untuk masa depan
dan siapa pun.
“Kami beberapa kali gagal, Pak Guru…,” aku
Sulthan.

191
Alang-alang Timur

“Tidak apa-apa. Lanjutkan percobaan kalian,


karena kegagalan hanyalah satu tahap menuju
keberhasilan.”
“Karya kami belum sempurna, Pak,” kataku,
merendah.
“Jangan berkecil hati. Teruslah mencoba, terus-
lah membuat kesalahan-kesalahan. Ingat, dengan
sering membuat kesalahan, dengan sering membuat
kegagalan, itu akan memacu kita menciptakan karya
terbaik. Sekali lagi, selamat untuk kalian! Sekarang,
kalian boleh ke kelas. Kalau tidak keberatan, nanti
sore Bapak akan berkunjung ke rumahmu, Ali.”
“Dengan senang hati, Pak Guru…,” jawab kami
serempak.

***

Sore itu adalah hari yang bersejarah bagi rumah-


ku. Sebab, kepala sekolahku akan berkunjung.
Sesuatu yang jarang dilakukan petinggi sekolah
terhadap anak didiknya. Namun, tidak bagi kepala
sekolah kami. Hampir semua muridnya pernah beliau
kunjungi. Ini akan mempererat persaudaraan di
antara guru dan wali murid. Kunjungan itu biasanya
karena salah satu murid telah berprestasi di sekolah
atau di lingkungannya. Sungguh sebuah kehormat-
an lantaran Pak Hadi mau berkunjung ke rumahku.

192
Sang Pelopor

Sejak siang tadi, Lima Sekawan dan beberapa


teman telah berkumpul. Ibu dan pakde memper-
siapkan sedikit penganan di dapur, sedangkan kami
belajar di ruang tengah. Sesekali, aku memperhati-
kan jam karet yang melingkar di tangan Seno.
“Pak Hadi adalah orang yang selalu menepati
janji,” hiburku dalam hati.
Benar saja. Kecemasan kami tak beralasan
karena kulihat sosok yang masih gagah di usia
tuanya itu datang sendirian sambil menenteng tas
plastik hitam. Terlihat ujung-ujung tongkol segar
menyembul dari tas yang penuh itu. Kami segera
berdiri menyambut beliau.
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wa bara-
katuh…,” jawab kami serempak.
Kulihat ibu dan pakde pun tergopoh-gopoh dari
dapur demi menyambut sang tamu.
“Monggo…monggo…!3 Silakan duduk, Pak…,”
kata ibuku.
Pak Hadi pun duduk sambil menyerahkan
bungkusan plastik kepada kami. “Ini untuk meraya-
kan kemenangan kalian,” kata beliau kemudian.

3
Silakan…silakan…!

193
Alang-alang Timur

Segera saja kami terlibat dalam obrolan meng-


asyikkan. Tidak ada jarak lagi di antara kami. Mata
senja Pak Hadi menyapu seisi ruangan ini. Demi
melihat rumus-rumus dan beberapa kosakata bahasa
Inggris di dinding gedek, beliau tersenyum. Aku
memang sering mencatat sesuatu yang sulit bagiku,
lalu kutempel di dinding bambu itu.
Upaya tersebut memudahkanku dalam meng-
ingat kata-kata asing atau rumus-rumus rumit. Di
mana-mana ada tempelan. Di ruang tamu, di dapur,
di kamar, bahkan di WC pun ada. Sungguh bukan
hiasan yang menarik untuk dipandang, apalagi aku
menempelkannya hanya dengan lidi dan sobekan
kertas tak beraturan. Ketika matanya tertuju pada
bohlam yang tergantung di atas kami, guru kami
bergegas berdiri.
“Kok tidak dinyalakan, Li?”
“Iya, Pak, sebentar lagi,” jawabku.
“Mari ke belakang,” kata Pak Hadi.
Segera, kami mengikuti langkahnya. Sesampai-
nya di PLTA hasil ciptaan kami, beliau berhenti,
lantas meneliti dengan saksama bagian-bagian jalur
arus keluar.
“Sulthan, kayaknya ada yang kurang ini?”
Kami segera mendekat.

194
Sang Pelopor

“Di belakang dinamo yang berputar ini, seharus-


nya ada kipasnya. Ini berfungsi sebagai pendingin
dinamo supaya tetap dingin saat berputar,” jelas Pak
Hadi seraya menunjuk bagian yang dimaksudnya.
“Cara membuatnya gimana, Pak?”
“Sama persis seperti kipas angin itu. Tiga atau
empat sirip sudah cukup. Atau, beli yang seukuran
ini juga ada.”
“Memasangnya…?”
“Ya, tinggal diikutkan di as belakang dinamo itu.
Cuma, masangnya ke dalam supaya anginnya juga
masuk ke dynamo. Dan, yang lebih penting mem-
buatkan rumah untuk dinamo itu agar di musim
hujan tetap terlindung.”
Sulthan mengangguk. Rambutnya yang sedikit
berombak menari-nari dipermainkan angin sore. Dia
beranjak membuka pintu saluran air. Seketika,
lampu pun menyala. Begitu terang. Begitu melega-
kan hati kami. []

195
Alang-alang Timur

196
Sang Pelopor

17
Padhang Bulan 1

S enin telah datang. Inilah hari pertama kami


mengikuti ujian akhir kenaikan kelas. Selama
seminggu ke depan, tes akan berlangsung. Sebenar-
nya, ujian akhir bersama ini tidaklah begitu penting
bagi sekolah kami. Kalau tidak sebagai syarat kenaik-
an, pastilah kami tidak akan mengikutinya. Walau-
pun begitu, sekolah tetap patuh demi standarisasi
SD kami.
Hari Minggu kemarin adalah saat terakhir
mental kami digojlok demi menghadapi ujian.
Sesuatu yang tidak pernah kami terima di SD-ku
yang dulu. Biasanya, menjelang ujian, kami berlatih
mengerjakan soal-soal sampai otak kami dipenuhi

1
Saat di mana rembulan bersinar begitu indah, menerangi semesta.

197
Alang-alang Timur

berbagai kemungkinan jawaban yang benar. Latihan


ini bukan sekadar pemanasan, tapi justru memaksa
memasukkan berlembar-lembar soal beserta
jawabannya ke saraf memori otak kami. Sehingga,
bukannya jernih dan cerdas, otak kami malah makin
buntu dan kacau.
Di madrasah ini, latihan-latihan semacam itu
tidak ada sama sekali. Hanya ada sedikit pengantar
dari kepala sekolah dan dewan guru tentang tujuan
kami bersekolah. Saat itulah mereka pun meng-
ingatkan kembali cita-cita kami. Cara sederhana ini
terbukti manjur agar kami lebih bertanggung jawab
kepada orang tua maupun sekolah tercinta. Dengan
semangat yang mereka pompakan itulah, kepala
kami lebih fresh, mental pun lebih siap ketika
menghadapi ujian. Sebab, bagi kami, yang penting
adalah kejujuran dan kerja keras. Sementara itu, nilai
hanyalah semacam buah dari usaha keras kami.

***

Saat lonceng berbunyi adalah satu ketika yang


melegakan hati kami. Setelah sekian jam berkutat
dengan soal-soal ujian, otak kami perlahan-lahan
akan mendingin lagi. Materi soal itu tidak terlalu
sulit, tapi juga tidak begitu mudah untuk kami.
Kami tetap mengerjakan dengan sepenuh hati,

198
Sang Pelopor

sebab ada tanggung jawab besar di bahu kami.


Tanggung jawab terhadap orang tua maupun sekolah
kami. Ketika melewati huma di samping sekolah,
Sulthan berlari menjajariku.
“Aku ada ide baru, Li!” serunya, seolah tak bisa
membendung curahan gagasan di dalam otaknya.
Setengah terkejut, aku bertanya kepadanya,
“Apa itu, Sobat?”
“Akhir-akhir ini, aku pusing memikirkan
bagaimana agar lampu itu tetap menyala di musim
kemarau.”
“Sebenarnya, aku juga memikirkan itu. Tapi,
sekarang ini aku harus fokus pada ujian dulu.”
“Iya, aku tahu itu. Sebenarnya, aku punya konsep
tentang tenaga pengganti air. Aku yakin, itu bisa
digunakan kapan saja. Mungkin, besok setelah ujian,
kita bisa mencobanya bersama.”
Aku merasa lega mendengar pernyataan Sulthan
yang penuh pengertian kepadaku. Diam-diam, aku
berharap untuk keberhasilannya, untuk semangat-
nya yang semoga tak pernah padam.
Kami terus melangkah. Setelah menyeberangi
sebuah sungai besar, kami berpisah di jalan kecil,
lantas menuju rumah kami masing-masing.

***

199
Alang-alang Timur

Liburan telah tiba. Satu saat untuk meng-


istirahatkan pikiran dari berbagai rutinitas sekolah.
Dalam hidup ini, memang harus ada kesempatan
untuk kita memanjakan diri. Bagi kami, liburan
berarti mancing lagi, mandi di kali lagi, dan ber-
sampan sepuasnya. Tapi, yang terakhir ini harus
kami urungkan, sebab kemarau kali ini membuat
arus sungai tak memungkinkan untuk bersampan.
Bagi kami, bersampan tanpa ada tantangan adalah
sesuatu yang tidak menarik.
Malam terus merambat kian pekat. Namun,
anak-anak Desa Nengahan masih asyik bermain di
halaman rumah Pak Lurah yang sangat luas. Cahaya
rembulan yang hampir penuh menerobos gelap malam,
memberikan terang kepada siapa pun, termasuk hati
kami. Saat padhang bulan adalah waktu yang
membahagiakan bagi anak-anak desa seperti kami.
Penuh sukacita, dari berbagai penjuru mata
angin, kami datang ke halaman yang besarnya bagai
lapangan bola itu. Seperti laron mengerubuti senthir.2
Kami pun berkelompok sesuai permainan kesukaan
kami.
Cublak cublak suweng/ Suwenge ting gelender/ Mambu
ketindung gudel/ Pak empong lera-lere/ Sopo ngguyu

2
Sejenis lampu minyak yang berukuran kecil.

200
Sang Pelopor

ndelikake/ Sir sirpong dhele kopong/ Sir sirpong dhele


kopong//

Terdengar lagu Cublak-cublak Suweng mengiringi


permainan anak-anak putri. Witri bertindak sebagai
terhukum, tengah duduk bersimpuh seraya menelung-
kup di lantai tanah. Ia dikelilingi semua mentas, yaitu para
pemain yang menghukumnya. Salah seorang pemain
mentas ditunjuk sebagai simbok atau induk semang.
Kedua belah tangan para mentas diletakkan di
punggung Witri dengan menghadap ke atas. Begitu
para mentas menyanyikan Cublak-cublak Suweng,
maka simbok memegang suweng3 di tangan kanan dan
ditekankan secara berurutan ke semua telapak
tangan mentas. Tiba pada lirik “Pak empong lera-lere”,
telapak tangan para mentas pun menggenggam erat.
Ketika nyanyian sampai pada lirik “Sir sirpong
dhele kopong”, sembari menggenggam tangan, mentas
menjulurkan telunjuknya ke arah luar dan melaku-
kan gerakan seolah-olah sedang mengiris bawang.
Ini berarti saatnya Witri harus menebak di tangan
siapakah suweng itu tergenggam. Apabila tidak
ditemukan, para mentas akan tertawa dan menyoraki
Witri. Pada lirik “Pak empong lera-lere, sopo ngguyu

3
Giwang. Dalam permainan, biasanya dapat diganti dengan cincin atau
karet gelang.

201
Alang-alang Timur

ndelikake” yang kedua atau selanjutnya, Witri mene-


gakkan badan dan menebak di dalam genggaman
siapakah suweng tersimpan.
“Atik, coba buka genggamanmu!” pinta Witri
sambil tangannya berusaha membuka genggaman
tangan Atik.
Sementara itu, Atik dengan sekuat tenaga akan
melindungi genggamannya. Witri pun akan
meragukan tebakannya.
“Pasti di tanganmu, Atik! Ayo buka!” pinta
Witri lagi.
Atik pun membuka genggamannya dengan
sukarela. Ternyata benar, ada suweng dari karet gelang
di genggaman Atik. Witri spontan melonjak riang
dan yang lain pun turut bersorak senang.
“Ayo, Atik dadi…!” 4
“Hore…! Atik jadi!”
Akhirnya, Atik pun mendapat giliran menjadi
yang terhukum. Untung saja tebakan Witri benar.
Kalau salah, aku tak bisa membayangkan seandainya
anak perempuan itu menjadi terhukum terus, seperti
kemarin.

***
4
Ayo, Atik jadi…!

202
Sang Pelopor

“Apa yang kau pikirkan, Sobat?”


Aku mencoba memecah kebisuan di antara
diriku dan Sulthan yang semenjak tadi asyik meng-
amati permainan anak-anak yang lain. Malam ini,
kami berdua sengaja tidak ikut bermain. Sebab, kami
lelah sekali setelah seharian bermain layang-layang.
“Kemarin, aku sudah menemukan cara agar
dinamo bisa terus berputar kapan pun. Tapi,
sekarang aku ragu…,” jawab Sulthan. Ada pesi-
misme yang mendadak menjalari semangatnya yang
tempo hari begitu menggelora.
“Kenapa harus ragu? Kita harus mencoba-
nya…!” kataku, mencoba memicu kembali semangat
dan keyakinan diri Sulthan.
“Waktu kita belajar bersama di rumah Seno, aku
minta izin ke belakang. Sampai di kamar mandi, ayah
Seno menyuruhku menyalakan pompa karena tam-
pungannya habis. Ketika kunyalakan, aku jadi ter-
tegun melihat betapa putaran pompa itu begitu kuat,
sehingga dapat menyedot air dari dalam sumur. Aku
jadi berpikir, seandainya mesin itu dihubungkan
dengan dinamo, pasti lampu akan menyala terus
kapan pun kita mau.”
“Iya, tapi beban listrik yang dibutuhkan pompa
itu sangat besar lho, Than.”

203
Alang-alang Timur

“Itulah yang kuragukan, Kawan. Daya sebanyak


350 watt bukanlah beban yang kecil. Aku tak bisa
menghitung berapa rupiah tagihan rekening
bapaknya Seno jika ide gila ini jadi dilaksanakan.”
“Kita memang sebaiknya menghitung dulu
kurang dan lebihnya pemikiran kita sebelum mewu-
judkannya.”
“Tapi, aku akan dibuat penasaran kalau belum
mencoba, Li!”
“Itu terserah kamu, Kawan! Aku yakin, kamu
sudah memperhitungkan semua risikonya. Lakukan
ke mana pikiran akan membawamu, Than!”

***
Dokri legendha nagasari ri…/ Riwul owal-awul jenang
katul tul…/ Tolen alen-alen jadah manten ten…/
Titenono besuk gedhe dadi opo po…/ Podheng bako
enang mbako sedheng dheng…/ Dhengkok eyok-eyok
koyo kodhok//

Anak-anak riuh rendah menyanyikan tembang


dolanan Dokri. Lagu itu mengalun seiring dengan
Cublak-cublak suweng di sisi lain lapangan. Salah satu
dari mereka membuat lingkaran besar sambil terus
bernyanyi. Lingkaran itu lantas dibagi menyerupai
ruji-ruji sepeda, sesuai jumlah anak yang turut bermain.

204
Sang Pelopor

Usai lagu kedua, mereka bubar untuk mencari


pecahan genting atau tembikar atau semacam batu
kecil yang tipis. Apa pun yang didapatkan, anak-
anak itu harus segera kembali ke dalam pilar-pilar
lingkaran, menghuni tempatnya semula. Mereka
memberikan pecahan genting itu kepada hakim
yang menggambar lingkaran tadi. Sang hakim yang
juga pimpinan permainan akan menatanya di tengah-
tengah lingkaran. Setelah selesai, hakim mencari
batu yang agak besar untuk dipegangnya sendiri.
Batu itulah yang disebut kodhok. Sambil bernyanyi,
mereka terus memutar batu hakim dari satu tangan
ke tangan temannya.
Ketika putaran batu kodhok tiba pada lirik
terakhir, maka anak yang memperolehnya akan
menjadi si terhukum. Hakim segera merebut batu
itu, lalu digunakan untuk mengacak susunan
pecahan genting dari jarak yang telah ditentukan,
yaitu sekitar dua meter dari pusat lingkaran. Apabila
meleset, maka giliran yang lain sampai benar-benar
acak. Setelah piramid pecahan genting itu runtuh
acak, anak-anak akan segera berlari, bersembunyi
sesukanya. Meski begitu, tempat persembunyian
tersebut tidak boleh keluar dari area yang telah
disepakati, yaitu halaman depan dan samping kanan
rumah Pak Lurah.

205
Alang-alang Timur

Karang, lelaki jangkung yang menjadi terhu-


kum, bergegas mengumpulkan dan menata kembali
sebuah piramid dari pecahan genting, berurutan dari
yang besar di tengah lingkaran. Dari jauh, piramid
itu seakan melambangkan sesuatu yang magis. Hanya
orang-orang tertentu saja yang dapat mengartikan
simbol yang menyiratkan cakra manggilingan5 atau
semacam roda pedati yang selalu berputar, sedang-
kan piramid di tengahnya sebagai as roda.
Mereka terus bermain. Sang terhukum pun
berganti-ganti, sehingga pergantian tersebut ibarat
sebuah roda yang berputar. Usai menata piramid, si
terhukum segera mencari teman-temannya yang
bersembunyi.
“Dooor!!! Fahri mati…!” teriaknya sambil
bergegas lari ke batu kodhok sebagai prasyarat kobong6.
“Dorr!!! Fajar, Imam mati…!”
Begitu seterusnya, hingga semua kawan berhasil
ditemukan anak yang berperan sebagai terhukum. Saat
permainan berakhir, semua anak kembali ke posisi
semula, yaitu menempati pilar dalam lingkaran pusat.

***

5
Senjata cakra dalam kisah Mahabarata.
6
Terbakar atau mati. Dalam konteks ini berarti telah kalah dalam
permainan.

206
Sang Pelopor

Waktu terus berlari. Semribit7 angin malam


menusuk kulit. Satu per satu, teman-temanku pun
memilih pulang. Andai mata ini belum mengantuk,
mungkin kami akan terus bermain. Sampai pagi,
bahkan. Namun, itu tak akan pernah kami lakukan.
Tidak semestinya liburan dihabiskan hanya untuk
bermain saja. Terlebih, ini adalah liburan kenaikan
kelas yang berarti masa-masa persiapan menuju
jenjang selanjutnya.
Ya, kami harus segera menyusun rencana awal
masa kelas enam dan mulai memikirkan sesuatu
yang dapat kami berikan sebagai kenang-kenangan
sepeninggal kami. Sebenarnya, aku iri kepada
Sulthan. Dia telah menghasilkan berbagai macam
percobaan yang mungkin salah satunya akan dinilai
sebagai syarat kelulusannya kelak.
Seno yang biasanya banyak tertinggal juga
begitu kreatif dengan sepeda BMX-nya. Ketika
kutanya, dia kelihatan enggan bercerita. Bahkan,
saat aku main ke rumahnya dan kulihat Seno sedang
memasang dinamo besar di sepedanya, anak itu
menutupi dan mengalihkan pembicaraan.
Di masa liburan seperti ini, biasanya kami
gunakan untuk bermain bersama. Namun, hal itu

7
Desir kencang.

207
Alang-alang Timur

tidak lagi kami lakukan pada tahun ini. Memancing


di tambak hanyalah sebuah mimpi, bahkan sekadar
mandi di kali pun sampai liburan hampir habis tak
pernah kami lakukan. Semua sahabatku asyik
dengan kesibukan masing-masing. Sukar dan
Wisnu, yang biasanya paling hobi mancing dan
mandi di sungai, tidak pernah mengajakku lagi. Aku
sangat kehilangan mereka. Tetapi, aku maklum,
tidak selamanya kami akan main-main terus.
Sesekali, ternyata kawan-kawanku bisa serius juga.
Aku iri. Ya, aku iri kepada kalian. Karena, sampai
saat ini aku belum punya suatu rencana atau gagasan
yang akan kupersembahkan pada sekolah. Listrik
tenaga pancuran adalah milik Sulthan. Aku tidak
akan pernah mengakuinya, walaupun tempatnya di
rumahku. Sebenarnya, bisa saja aku bergabung
dalam satu kelompok dengan Sulthan. Bukankah
aku sedikit banyak telah membantunya? Namun,
itu tidak akan pernah kulakukan. Aku akan mem-
persembahkan hasil karyaku sendiri, meski hanya
sebuah penggaris kayu yang kubuat dengan segenap
pemikiran dan tenagaku sendiri. Atau, mungkin
hanya sebuah puisi atau cerpen yang bisa kuberikan.
Sayang, aku bukanlah pujangga. Tidak ada satu tetes
pun darah pujangga mengalir di tubuhku.

208
Sang Pelopor

Satu yang pasti, pantang bagiku mendompleng


nama besar orang lain. Entahlah, aku tak tahu apa
persembahanku nanti. Ketika liburan nyaris ber-
akhir, aku bahkan belum mendapatkan satu pun ide.
“Bukankah waktunya masih satu tahun, Li?”
suara batinku terdengar menenteramkan gundahku.
Aku tahu, waktunya masih lama. Apa pun bisa
terjadi dalam setahun mendatang. Tapi, kalau tidak
kumulai sedari sekarang, kapan lagi? Atau, haruskah
aku menunggu semua karya teman-temanku selesai,
lantas aku baru akan menciptakan satu karya? Ah,
tidak! Tidak! Aku harus mulai berkarya sejak
sekarang. Aku akan membuat apa pun yang ada di
pikiranku, kendati nantinya akan kutinggalkan, ku-
ganti dengan ide lain, atau mungkin berhenti sama
sekali untuk memulai rencana baru. Sebab, bagiku
melakukan sekali atau dua kali percobaan dan gagal
adalah lebih baik daripada tidak melakukan apa pun.
Sebenarnya, bukan aku tidak pernah mencoba
melakukan apa pun. Namun, sejak kegagalan tempo
hari, aku belum memulai percobaan baru atau
sekadar memperbaikinya. Saat itu, kucoba mencipta-
kan listrik tenaga angin. Sesuatu yang aku tentang
sebelumnya bersama Sulthan. Aku membuat kipas
dari baling-baling kipas angin, lalu di belakangnya
kulengkapi dengan dinamo.

209
Alang-alang Timur

Memang, ketika ada angin besar, kipas itu


berputar kencang dan lampu pun menyala. Namun,
itu tidak lama karena ketika angin besar sudah lewat,
maka kipas pun berhenti. Mungkin, kipas kecil itu
tak memiliki daya cukup untuk memutar dinamo
yang besarnya sama persis seperti yang digunakan
PLTA ciptaan Sulthan. Bahkan, ketika ada angin
sedang pun, kipas itu tak jua berputar. Aku berpikir,
apakah kipasnya kurang besar, ataukah dinamo itu
yang kebesaran? Sampai sekarang, pikiranku masih
buntu. Aku berencana, besok akan mengganti salah
satunya. Barangkali, kipasnya kuganti dengan yang
besar. Atau, dinamonya saja yang akan kuganti
dengan yang lebih kecil, sehingga lebih ringan. []

210
Sang Pelopor

18
Hari Pertama di
Pertama
Kelas Enam

L iburan telah berlalu. Kini, jam sekolah


kembali aktif sebagaimana biasa. Hari ini
adalah saat pertama kami bersekolah lagi. Ada
kebahagiaan tersendiri yang membuncah di hati
kami. Setelah satu minggu lebih kami berpisah dan
belajar sendiri di rumah, tentunya ada segudang
cerita yang bisa kami bagi dengan semua teman.
Teman-temanku sungguh bersemangat men-
ceritakan liburan masing-masing. Namun, hingga
bel masuk berbunyi, tak satu yang kuceritakan. Aku
tak punya pengalaman apa pun selama liburan
kemarin. Masa-masa santai itu hanya kugunakan
untuk mencoba menciptakan listrik tenaga angin.
Itu pun gagal.

211
Alang-alang Timur

Jam pelajaran pertama, usai mengumpulkan


rapor, kami diminta Bu Kasmini untuk bercerita apa
saja yang telah kami lakukan selama liburan. Kami
pun maju satu per satu sesuai nomor absen. Sambil
mendengarkan teman-teman bercerita, Bu Kas
menulis jadwal pelajaran selama enam bulan ke
depan. Namun, jadwal tersebut bisa berubah kapan
pun kami mau, terutama jika kami ingin mengejar
ketertinggalan dalam pelajaran tertentu.
Waktu kelas lima kemarin, selama hampir dua
bulan, pelajaran PMP kami tiadakan. Kesempatan
itu kami gunakan untuk mengejar ketertinggalan
kami dalam pelajaran Bahasa Inggris. Begitu juga
Sejarah yang nyaris satu bulan hanya kami pelajari
di rumah. Kekosongan tersebut kami ganti dengan
bidang studi Matematika. Bagi kami, Sejarah dan
PMP cukup pelajari dengan membaca kapan pun
kita mau. Buku pegangan tentang kedua pelajaran
tersebut bisa kami baca sewaktu istirahat atau
memancing.
Abadi yang nomor urutnya pertama bergegas
maju dengan langkah tegap. Pagi itu, dia berkisah
tentang pengalamannya berkunjung ke rumah sang
kakek di Desa Tanggul Angin. Desa itu masih satu
kecamatan dengan desa kami.

212
Sang Pelopor

“Pagi-pagi sekali, aku sudah menyiapkan jaring


dan ember. Aku hanya memakai pakaian seadanya,
bahkan kakek cuma pakai celana saja. Hari itu, kami
akan ngentas1 lele. Kata kakekku, sebenarnya masa
panen masih satu minggu lagi. Tapi, karena aku
datang pas awal liburan, jadi terpaksa kakek mema-
jukan panen…,” tutur Abadi, membuka peng-
alamannya bersama kakek di desa.
Sejenak, anak itu berhenti demi melihat ekspresi
kami. Melihat kami begitu antusias, dia melanjutkan
ceritanya.
“Sepagi itu, kami sudah mandi lumpur. Aku dan
kakek menguras kolam dengan membuka tanggul
buangan. Supaya lebih cepat lagi, kami mengurasnya
dengan ember. Sesekali, kakiku diseruduk ikan lele.
Rasanya geli, apalagi jika kena sungutnya yang
panjang…!”
“Ha…ha…ha…!” kami ikut tertawa kala
Abadi memperagakan kegeliannya saat kaki-kaki
dekilnya dibelai-belai sungut lele.
“Hampir satu jam menguras, akhirnya pekerjaan
melelahkan itu selesai juga. Di hadapan kami,
ratusan ikan lele bergeleparan karena kurang air.
Dalam sekejap, kolam itu seperti cendol di dalam

1
Memanen ikan dari kolam.

213
Alang-alang Timur

mangkuk raksasa. Kakek segera mentas2 dari air, lalu


mengambil beberapa drum dan ember besar di
gubuk samping kolam. Gubuk itu biasa kakek
gunakan untuk menyimpan barang-barang, atau
berlindung dari hujan saat memberi makan lele.
Kami segera menjaring cendol-cendol hitam itu,
lantas memasukkan semua ke drum dan ember.
“Tak berapa lama, paman datang membawa
mobil bak terbuka, dan membantu menjaring ikan
yang tinggal sedikit. Saat ikan lele tinggal beberapa,
memang susah dijala. Aku pun pasrah dan mentas.
Tapi, paman menyuruhku turun lagi. Ternyata,
paman dan kakek punya ide, membentangkan jaring
besar yang panjangnya sampai menyentuh kedua sisi
kolam. Mereka berjalan pelan-pelan sambil merun-
duk. ‘Ayo, giring kemari, Bad!’ begitu perintah
pamanku yang segera kulakukan. Dengan cara
seperti itu, hampir semua lele terperangkap jaring,
paling hanya tinggal satu-dua. Aku mencobanya
dengan jaring tangan, tapi selalu gagal. ‘Biarlah, Bad.
Untuk tinggalan saja!’ kata paman.
“Paman dan kakek menimbang semua lele
dengan timbangan bandul yang dikaitkan di pohon
mangga dekat kolam. Sesekali, kakek memilah

2
Keluar dari kolam.

214
Sang Pelopor

beberapa lele superjumbo di ember tersendiri. Kata


kakek, ikan itu tidak untuk dijual. ‘Tidak laku dijual,
Bad!’ kata kakek. Aku baru tahu, lele besar itu
adalah tinggalan yang tidak terjaring waktu panen
kemarin.
“Teman-teman, panenan hari itu sangat me-
muaskan. Dengan bibit yang sama, hasilnya lebih
besar dari panenan dulu. Padahal, panennya maju
satu minggu. Aku juga bingung. Ketika kutanya-
kan, kakek menjawab, ‘Ya…, itulah rezeki, Bad!
Atau, mungkin karena kamu datang membantu
Kakek, ya?’
“Bagiku, itu adalah sebuah jawaban yang tidak
memuaskan. Ketika kutanyakan lagi apakah
panenan kemarin lebih besar ataukah sama, kakek
menjawab bahwa besarnya lele itu hampir sama.
Berarti, ada kemungkinan hasil panen pagi itu lebih
besar. Hanya saja, bibit yang disebar memang lebih
sedikit yang mati daripada sebaran kemarin. Perlu
teman-teman ketahui, bibit lele akan mati jika
belum beradaptasi dengan lingkungan kolam.
Pakan pun akan sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan lele. Pengaruh tersebut ada dua
kemungkinan, apakah karena kualitas ataukah
kuantitas pakan. Namun, sampai pulang, aku belum
pernah menanyakan perkiraanku ini pada kakek.”

215
Alang-alang Timur

Abadi yang biasanya pendiam itu mengakhiri


ceritanya, lantas kembali ke tempat duduknya. Aku
tidak menyangka, ternyata dia seorang analis ikan
yang kritis. Segala sesuatu diperhatikan dengan
saksama dan menjadi catatan tersendiri baginya.
Mungkin, dia nanti akan menjadi penyuluh
perikanan atau mungkin petani tambak. Biarlah
waktu yang akan menjawab dan mengarahkan
semua potensinya.
Sekarang, giliran Arya. Lalu, secara berturut-
turut, Dewi dan Handoko menceritakan liburan
mereka ke Semarang. Semarang memang tidak asing
bagiku. Namun, hingga sebesar ini, tak pernah sekali
pun aku mengunjungi ibu kota provinsiku itu.
Handoko masih mencerocos tanpa henti. Hanya
sesekali matanya memandang Bu Kas. Ketika yang
ditatap memperhatikannya, anak itu melanjutkan
kisahnya dengan sedikit tekanan pada tempat-
tempat tertentu. Dengan pilihan kata terbaik, dia
bercerita dalam struktur kalimat yang memikat
hati. Tak dipungkiri, suaranya bahkan menjelma
sebagai sesuatu yang membius pendengaran kami.
Ya, secara lengkap, Handoko berbagi pengalaman
mulai dari naik bus sampai hari pertama di rumah
pamannya. Dia pun membawa kami ke Pasar Johar,

216
Sang Pelopor

Tugu Muda, Simpang Lima, dan seterusnya hingga


tak satu bagian terlewatkan.
Aku tahu, setelah Handoko, tibalah giliranku.
Aku sudah mempersiapkan semuanya. Aku memang
tidak punya pengalaman semenarik temanku tadi.
Karena, selama liburan kemarin, aku hanya di
rumah saja untuk membantu ibu dan mencari kayu
bakar. Hanya saat liburanlah aku bisa mengisi penuh
celengan jagoku dengan uang hasil menjual kayu
bakar. Sesekali, dengan bekerja sebagai buruh tani
pun akan memberiku sedikit penghasilan untuk
kutabung. Aku memang tidak boleh menyia-
nyiakan kesempatan berharga itu demi membiayai
percobaan-percobaan listrikku.
Semuanya kuceritakan. Hanya satu yang ku-
sembunyikan, yaitu kegagalanku dalam melakukan
eksperimen. Aku tak mau kegagalanku menyurut-
kan semangat teman-teman dalam melakukan
percobaan.
Aku kembali ke bangku dengan tenang. Tidak
ada tepuk tangan. Tiada kekaguman. Memang
sudah kuduga sebelumnya. Bu Kasmini pun datang
menghampiriku. Beliau mengelus rambutku, men-
coba menenteramkan gemuruh di dalam dadaku.
Hampir saja aku menangis kala merasakan tangan
lembut itu. Sebuah pengalaman liburan yang

217
Alang-alang Timur

sederhana, tak ada warna.


“Anak-anakku, itu tadi pengalaman teman
kalian. Dia pantas menjadi contoh buat kita semua.
Di dalam kemiskinan dan keterbatasan, janganlah
kita membuat pembenaran untuk kalah atau
menyerah. Kita harus terus berusaha supaya kita
tetap sekolah. Biarlah Allah yang akan menilai usaha
kita….”
Begitu lembut, suara Bu Kas mampu menyu-
supkan satu keyakinan ke dalam batin ini, bahwa
langkahku tak boleh berhenti. Bahwa masa depan
tengah menantiku di ujung sana, meski harus kuraih
dengan kerja keras tiada henti. Ah, sebuah senyum
mengembang di dalam jiwaku, seketika.
Tak disangka, kalimat bijak sang ibu guru telah
membuat anak-anak yang lain terdiam. Entah apa
yang tengah berkelindan di dalam benak mereka saat
ini. Hanya ada derik meja dan kursi bersinggungan
dengan lantai sekolah kami.
“Sekarang anakku, Seno…,” kata Bu Kas,
menyudahi kebekuan dan kebisuan di dalam ruang
kelas ini.
Seno pun maju dengan gaya khasnya. Dia
berjalan dengan tegap. Sesekali, perutnya yang
seolah hamil lima bulan tampak berayun-ayun. Seno
bercerita dengan diselingi lelucon, sehingga kami

218
Sang Pelopor

terpingkal-pingkal dibuatnya. Bahkan, ketika tidak


sedang melucu pun, gaya bicaranya sudah membuat
kami tersenyum.
Seno telah menceritakan semuanya. Namun, aku
tahu ada yang disembunyikan Seno, yaitu tentang
sepeda BMX kecilnya. Sejak sebelum liburan
kemarin, sepeda itu seakan lenyap dari muka bumi.
Ya, dia telah merahasiakan eksperimennya dari kami
semua.
Matahari terus bergulir menuju siang. Teman-
temanku telah usai menceritakan pengalaman
mereka bersamaan dengan suara lonceng istirahat.
Hari ini, walaupun cuma sebentar, tapi kami telah
belajar banyak hal. Kami bepergian melintasi jarak
dan waktu. Saat yang sekejap itu sungguh telah
membawa kami pada pengalaman-pengalaman
heroik semua kawan. Kami bahkan sudah berpe-
tualang ke Semarang dengan Simpang Limanya, ke
Wonogiri dengan kebun kacangnya, dan sebagainya.
Satu yang membuatku yakin, bahwa dunia ini
ternyata sangat luas. []

219
Alang-alang Timur

220
Sang Pelopor

19
Bougainvillea

T aman itu tidak terlalu besar, namun


memanjang dari ruang kelas satu hingga
kelas enam. Hanya terpotong sekitar satu meter,
tepat di ruang kelas empat. Lebar taman itu tak lebih
dari setengah meter. Di ujung barat dan timur ter-
dapat bambu kuning yang ditata berurutan, seperti
sebaris pagar hidup. Di bagian depan, anyelir dan
chrysanthemum warna-warni tertata dalam pesona
indahnya. Ketika semuanya berbunga, taman itu
adalah surga yang menampak di pelupuk mata.
Anyelir merah muda diselingi chrysanthemum
kuning, putih, dan merah menyala. Betapa menawan
hati.
Sebagian orang mengartikan bunga sebagai
lambang cinta. Namun, menurutku tidaklah demi-

221
Alang-alang Timur

kian. Tergantung dari sudut pandang mana kita


melihatnya. Bagiku, bunga adalah lambang per-
sahabatan kami. Di taman inilah, kami bekerja sama
merawatnya supaya tetap memikat dipandang mata.
Ada yang menyirami, memupuk, atau menyiangi
rumput-rumput liar. Semua menuju pada satu
tujuan, yaitu menciptakan taman nan elok. Mung-
kin, suatu saat nanti, aku akan memetik satu-dua
kuntum bunga dan merangkainya, lalu kuper-
sembahkan untuk kepala sekolah kami.
Di bagian tengah taman, berjajarlah sun flower
yang sedang merekah. Ada satu atau dua kelopaknya
yang layu. Biji dari bunga yang mirip matahari itu
enak dimakan dan banyak mengandung vitamin E.
Kami biasa memetiknya setelah benar-benar layu,
sehingga terlihat dengan jelas bulu-bulu halus di
ujung kumpulan bijinya.
Aku pernah melihat biji bunga matahari dibuat
snack yang dikemas menarik dengan gambar bunga
dan dua helai daun yang menjuntai. Ketika kulihat,
harganya sungguh mahal buat kantongku. Harga
segitu bisa buat jajanku selama seminggu. Akhirnya,
aku bertekad akan membuat jajanan idamanku itu
sendiri.
Caranya sangat mudah. Setelah dijemur, lantas
digoreng. Namun, ketika aku mencicipinya, terasa

222
Sang Pelopor

ada yang kurang. Setelah kupikir-pikir, aku baru


ingat, makanan lezat itu belum kububuhi garam.
Aku pun terus mencoba sampai kutemukan formula
pas untuk biji kecil yang renyah itu. Caranya,
sebelum digoreng, biji direndam dulu dengan air
garam secukupnya. Selanjutnya, biji-biji itu dijemur
hingga benar-benar kering, lalu digoreng. Dengan
cara ini, rasanya hampir menyerupai yang dijual di
toko.
Di depan ruang kelas empat, tepat di garis
pemotong taman, tumbuhlah dengan anggun dua
pohon bougainvillea yang berbunga merah muda
dan putih. Dahan-dahannya yang tinggi kami
rangkai berjalinan, hingga menyerupai sebuah
gapura. Dari jauh, pohon itu akan terlihat berang-
kaian menjadi satu. Di bagian bawah, beberapa
dahannya berbunga kuning, merah tua, dan ungu.
Itu adalah hasil sambungan yang merupakan
percobaan kami, beberapa waktu silam.
Waktu itu, kami ingin bunga bougainvillea itu
tak hanya memiliki dua warna, namun lima, enam,
atau mungkin sepuluh. Bagiku, semakin banyak
warna, bunga kami akan kian indah bagai pelangi.
Pelangi, pada dasarnya, hanya terdiri dari tujuh
warna. Tapi, kombinasi di antara beberapa warna
yang berdekatan menghasilkan warna yang lebih tua

223
Alang-alang Timur

atau lebih muda. Itulah mengapa pelangi seperti


sejuta warna. Kendati berlainan warna yang tentu
saja lengkap dengan gradasinya, pelangi tetaplah
satu warna, yaitu warna keindahan.
Selintas ingatan tiba-tiba hadir kembali di
benakku.
“Kenapa sekolah kami tidak memakai seragam,
Pak Guru?” tanyaku, suatu ketika kepada Pak Hadi.
Sekolah kami memang aneh. Walaupun baju
putih merah diwajibkan setiap Senin hingga Kamis,
terkadang ada beberapa teman yang mengenakan
pakaian bebas. Dewan guru sangat maklum. Sebab,
baju kami rata-rata hanya sepasang. Tidak mungkin
kami memakainya selama empat hari berturut-turut.
“Anakku, lihatlah pelangi. Lengkungan itu
kelihatan indah karena berwarna-warni, bukan?”
jawab Pak Hadi dengan satu metafora yang
sederhana, sehingga mampu kami pahami.
Ya, kedisiplinan adalah sebuah ironi di madrasah
ibtidaiyah kami. Apalagi, jika berhubungan dengan
kemampuan orang tua murid.
“Tidak apa-apa. Pakailah pakaian yang kalian
miliki. Yang penting, kalian tetap harus sekolah…,”
tambah guru kami yang di senja usianya masih tetap
mengabdi bagi madrasah ini.

224
Sang Pelopor

Begitu arif, sedemikian pengertian, sang bapak


guru memberikan satu kemudahan bagi langkah
kami untuk meraih cita-cita. Di dalam kesulitan
hidup yang menghadang, pengertian semacam itu
begitu berarti bagi anak-anak desa seperti kami.
Sungguh, itu adalah sebuah memori yang tak akan
bisa lekang tergerus arus waktu.
Perbedaan warna pada baju kami bukanlah satu
masalah besar dalam menuntut ilmu. Bukankah
ilmu itu sendiri tercipta karena terdapat begitu
banyak hal yang tak sejalan dengan pemikiran dan
idealisme manusia? Bukankah keragaman justru
mampu memperkaya kehidupan akal dan batin
manusia? Ya, bagai taman di sekolah kami. Aneka
bunga yang tumbuh di sana tak pernah mengenal
perbedaan sebagai suatu penghambat atau jurang
pemisah untuk memberikan keindahan.
Di kejauhan, taman kami tampak seperti tangga
prestasi. Memang, pada dasarnya, kehidupan ibarat
sebuah tangga. Di kala manusia memulai sebuah
perjuangan, maka ia harus optimis dan bersemangat.
Ketika mencapai anak tangga paling puncak,
hendaknya dia tidak sombong. Sebaliknya, di saat
terjatuh atau gagal, tidak selayaknya ia menjadi patah
semangat.

225
Alang-alang Timur

Banyak orang mengartikan kesuksesan sebagai


suatu kebahagiaan, sedangkan kesalahan atau
kegagalan adalah kesedihan. Pendapat tersebut
tidak sepenuhnya benar. Bagaimanapun, hanya
orang yang menikmati proses yang dapat merasakan
kebahagiaan. Apa pun yang terjadi dalam hidupnya
–kekalahan, kesalahan, kesuksesan, atau kegagalan–
itulah kebahagiaan yang hakiki baginya.
Bagi diriku sendiri, sukses dan gagal sama
indahnya, sama-sama kuperlukan. Seperti bunga
bougainvillea. Ada merah, putih, bahkan warna hijau
daunnya pun kelihatan indah. Kukira, menanam
satu warna pada setiap kegagalan yang kualami akan
membuat taman kehidupanku kian elok. []

226
Sang Pelopor

20
Menanam Pohon
Pohon

“A nak-anakku, musim hujan sebentar lagi


akan datang. Untuk menyambut datang-
nya musim berkah itu, Bapak minta kalian mem-
persiapkan biji-bijian. Biji apa pun yang kalian punya.
Boleh buah-buahan, boleh juga biji tanaman keras
lainnya,” kata Pak Hadi di hadapan semua siswa.
“Aku punya biji jambu monyet!”
“Biji rambutan…!”
“Nangka…!”
“Semuanya boleh. Apa pun yang kalian punya,
bawalah besok. Bapak akan menyediakan plastik
penyemaiannya.”
“Bawa biji lamtoro boleh, Pak?”
“Biji lamtoro juga boleh.”

227
Alang-alang Timur

“Untuk apa biji-bijian itu, Pak Guru?”


“Biji-bijian itu nantinya akan kita semai di
plastik-plastik penyemaian. Setelah cukup besar,
nantinya akan kita tanam di lereng bagian tenggara
sekolah kita. Bapak melihat pohon di sana tidak
cukup kuat menyangga longsor dari atas. Rupanya,
hujan kemarin cukup besar, sehingga membutuhkan
lebih banyak pohon.”
“Kalau kami tidak punya biji-bijian, apa yang
dapat kami lakukan untuk membantu program ini,
Ustadz?” tanya Fikram.
Itulah kami. Kami biasa memanggil kepala
sekolah kami dengan sebutan siapa pun, sesuka
kami, asalkan sopan.
“Kalian boleh membawa apa saja yang kalian
punya. Kalian bisa membawa rabuk, ember, cangkul,
atau sabit. Besok, kita akan mulai bekerja saat jam
istirahat pertama,” kata Pak Hadi lagi seraya
menutup pengarahan pada Senin kali ini.
Kesempatan kali ini, kepala sekolah meniadakan
permainan di jam pertama hari Senin. Tidak seperti
biasanya. Sebagai gantinya, kami melakukan kerja
bakti. Sebagian membersihkan rumput-rumput liar
di halaman dan sekitar taman. Beberapa anak
menggali tanah untuk membuat lubang sampah.

228
Sang Pelopor

Kami membuat lubang penampungan sampah


di awal kemarau. Ketika musim penghujan datang,
biasanya lubang itu sudah dipenuhi sampah. Kami
pun akan menanam pohon pisang atau buah-buahan
kesukaan kami di lubang pembuangan sampah.
Otomatis, di pembuka musim hujan itulah kami
bekerja. Karena curah hujan masih jarang, maka
kami akan bergantian menyirami tanaman itu.
Diam-diam, aku menginginkan pohon pisang
itu sudah berbuah sebelum kami meninggalkan
madrasah ini. Aku bahkan sudah membayangkan,
kami mengunyah bersama pisang hasil kebun kami
sambil menyimak pelajaran Ilmu Alam atau
Matematika di bawah pohon sengon laut, tepatnya
di pojok sekolah. Atau, bisa juga sambil meng-
gambar dan menulis puisi di atas tikar pandan lusuh
buatan kakak kami di kebun sekolah. Mungkin,
pisang itu belum berbuah ketika kami lulus kelak.
Tak mengapa. Kami sangat ikhlas. Bukankah kami
pun sering memanen pisang yang ditanam kakak
kelas kami terdahulu? Alangkah indahnya persauda-
raan kalau kita mau saling memberi.
“Kenapa cara belajar anak-anak di sini sangat
berbeda dari sekolah kebanyakan, Ustadz?”
Begitulah pertanyaan Ustadz Fairuz kepada Pak
Hadi ketika baru beberapa hari mengajar di
madrasah ini.
229
Alang-alang Timur

“Biarlah anak-anak kita belajar sambil melaku-


kan, bukan membayangkan. Sebab, cita-cita mereka
lebih tinggi. Lebih bermakna bagi kehidupan
mereka…,” jawab Pak Hadi sembari tersenyum arif.
Waktu istirahat adalah saat yang kami tunggu
dengan tidak sabar. Sesekali, Seno melirik jam karet
murahan di tangan kirinya. Dia mengacungkan
kelima jarinya pertanda kurang lima menit. Namun,
waktu yang pendek itu terasa lama sekali. Kami
semua lega karena lonceng itu akhirnya berdentang.
Kami pun berhamburan ke halaman dengan tugas
masing-masing.
“Pertama-tama, kita campur dulu rabuk dan
pasir ini. Ingat, perbandingannya satu banding dua.
Rabuknya satu ember, sedangkan pasirnya dua
ember,” kata Ustadz Fairuz sambil tangannya meng-
aduk campuran tadi dengan cangkul.
Fikram dan Karang segera mengikuti apa yang
dicontohkan sang ustadz.
“Setelah tercampur semuanya, kita siapkan
plastik-plastik itu. Tapi, jangan lupa kita lubangi
dulu di beberapa bagian, untuk melancarkan aliran
udara dan air ke tanaman.”
“Bagaimana jika plastiknya tidak kita lubangi,
Ustadz?”

230
Sang Pelopor

“Ya…, airnya nanti menggenang, sehingga


bijinya membusuk,” terang ustadz muda itu sambil
mengambil beberapa lidi. Satu untuknya dan sisanya
diberikan kepada kami. Beliau menusuk-nusuk
benda lancip itu ke plastik penyemaian yang ber-
warna hitam.
“Setelah semuanya siap, kita masukkan campur-
an tadi ke plastik ini dengan sedikit ditekan supaya
padat. Sebelum kita tanam, biji-bijian ini kita cuci,
lalu kita keringkan supaya jamur dan kotoran yang
menempel hilang,” tambahnya lagi.
Kami segera mengikutinya. Satu per satu,
plastik-plastik itu pun akhirnya penuh terisi media
tanam. Kami melakukannya dengan bekerja sama.
Tentunya dengan pembagian tugas yang jelas. Ada
yang mempersiapkan plastik. Ada yang mengisi atau
meletakkan plastik penyemaian di depan taman,
membujur berurutan. Kami sengaja meletakkan di
sana untuk memudahkan kami menyiraminya setiap
pagi. Sekali berenang, Jawa, Bali, dan Lombok pun
terlewati. Begitulah hemat kami.
Lonceng tanda masuk berbunyi, sedangkan
pekerjaan kami belum selesai. Namun, kami tak
ingin meninggalkan begitu saja suatu pekerjaan
tanpa terselesaikan. Ya, kami tetap meneruskannya.
Ustadz Fairuz pun sudah meminta izin kepada Pak

231
Alang-alang Timur

Hadi untuk menggunakan satu jam pelajaran demi


merampungkan pekerjaan ini. Kepala sekolah yang
baik hati itu mengiyakan.
Usai mengisi semua plastik dengan media
tanam, kami pun mencuci biji-bijian yang kami bawa
dari rumah. Kami lantas menjemurnya di tengah
halaman sekolah dengan menggunakan kepang
hasil karya kakak kelas. Rencananya, siang nanti
setelah pulang sekolah atau besok, semua benih itu
akan kami tanam.

***

“Kita memang harus suka menanam, Nak. Itu


sangat penting untuk kelestarian lingkungan kita,”
kata Pak Hadi, keesokan harinya saat membuka acara
penyemaian benih.
“Begitu pentingnya menanam, Rasulullah
pernah bersabda bahwa apabila sangkakala telah
ditiup dan kiamat akan segera datang, sedangkan
di tangan kalian masih ada satu benih, maka
tanamlah. Kita akan memperoleh banyak manfaat
dengan menanam. Bahwasanya, pohon-pohon itu
akan senantiasa bertasbih dan bertakbir memuji-
Nya. Dan, kita akan bahagia manakala yang
menanam mereka adalah kita. Allah akan meridhai
apabila kita merawat pepohonan itu dengan teratur.

232
Sang Pelopor

Bahkan, sampai saat ini, kita masih makan sebagian


makanan yang ditanam orang tua kita. Buah-
buahan, misalnya. Bahkan, ketika orang tua sudah
meninggal, mungkin kita yang akan menikmati
hasilnya,” tambah beliau sambil tangannya meng-
ambil beberapa biji untuk ditanam di plastik
penyemaian yang telah berisi media tanam.
Mendengar nasihat Pak Hadi, aku pun mere-
nung. Kalau kita mau jujur, memanglah demikian.
Aku teringat, ketika bapakku yang sudah tua itu
mau menanam kelapa, seorang tetangga menegur-
nya.
“Oalah…, Pak Warsa. Bapak itu sudah tua. Kok
ya sempat-sempatnya menanam kelapa? Apakah
yakin akan sampai umur Bapak memetik kelapa
yang ditanam itu?”
Waktu itu, bapak hanya tersenyum dan meng-
atakan bahwa ia menanam bukan untuk dirinya,
melainkan untuk anaknya. Dan, benar saja. Sampai
sekarang, pohon kelapa itu masih berbuah lebat dan
bisa kami panen sebulan sekali. Ada beberapa pohon
yang kami tebang untuk memperbaiki rumah.
Orang tua ternyata memiliki cara tersendiri untuk
menabung amal jariah.
Kita memang harus menikmati masa menanam.
Menanam segala kebaikan yang kita miliki. Biji-

233
Alang-alang Timur

bijian yang baik jika ditanam di tanah yang baik,


niscaya akan tumbuh pepohonan yang baik pula.
Sebanyak apa pun yang kita tanam – apakah itu
kebaikan atau keburukan– sebanyak itu pula kita
akan menuai hasilnya. []

234
Sang Pelopor

21
Pembangkit Listrik
Tenaga Listrik

S inar mentari menyengat seisi jagat raya. Angin


sepoi rasanya tak sedikit pun membantu
mengurangi panasnya siang. Pohon-pohon merang-
gas, sehingga yang tampak hanyalah ranting-ranting
gundul tanpa daun. Kemarau tahun ini memang
sedikit lebih panjang daripada tahun kemarin.
Hanya sesekali, hujan kiriman sedikit memberikan
harap pada pucuk-pucuk yang mulai menyembul.
Lantaran perjalanan ke sekolah yang sangat jauh,
badan kami pun mandi keringat setiap hari. Namun,
kaki-kaki telanjang kami selalu menyusuri setiap
jalan setapak menuju rumah dengan semangat. Kami
melewati berpetak-petak sawah yang sangat luas,
lalu menyeberangi sungai yang tak pernah menge-
ring di musim kemarau.

235
Alang-alang Timur

Ya, kemarau telah tiba. Hanya pada musim


seperti inilah, kami berani menyeberangi sungai itu.
Sebab, di musim hujan, sungai lebar itu akan meluap
sepanjang hari, bahkan seperti tak pernah surut. Itu
berarti kami harus bangun lebih pagi jika tidak ingin
terlambat. Maklum, kami harus berjalan memutar,
melewati jembatan di ujung desa. Andai di atas
sungai ini dibangun jembatan, kami tak perlu
memutar terlalu jauh.
Sebelum berpisah di tikungan rumahku, Sulthan
mengundangku main ke rumahnya sore nanti. Men-
jelang ashar, ketika sampai di rumah sahabatku itu,
seperti biasa aku langsung masuk ke kamarnya.
Tentu saja setelah salamku dijawab.
Kamar Sulthan tak ubahnya sebuah labora-
torium, sekaligus ruang tidur. Ada kasur tipis di atas
dipan dan beberapa bantal bergambar “pulau tak
beraturan”. Kulihat temanku itu sedang asyik
dengan permainan barunya. Sebuah meja dengan
rangka besi yang sudah berkarat menghias pojok
kamar. Meja itu telah menggeser papan percobaan
yang dulu ditempatkan di sana. Mataku nyalang,
menyapu seisi kamar, namun tak kutemukan papan
itu.
Di atas meja besi tua itu, teronggok sebuah
mesin pompa air yang kini hanya berupa motor

236
Sang Pelopor

listrik sebesar genggaman dua telapak tangan orang


dewasa. Kepala pompa air yang biasanya terdiri dari
kipas putar untuk menyedot air sekarang diganti
dengan piringan bergerigi. Piringan itu menyatu
dengan dinamo yang aku sangat hafal bahwa dinamo
itulah yang digunakan di pancuran belakang
rumahku.
Pada puncak kemarau kali ini, air pancuran
hanya menetes, sehingga Sulthan berinisiatif meng-
ambil dinamo itu. Aku sendiri sejujurnya juga
sedang berpikir bagaimana agar dinamo tetap ber-
putar di segala musim. Sayang, ketika aku baru
sebatas berpikir, ternyata temanku itu sudah jauh
melangkah. Kuakui, aku kalah lagi dari sang guru
besar kelistrikan.
“Inilah, kawan yang kupikirkan kemarin,”
katanya sambil menunjukkan hasil karyanya.
“Hampir tiga bulan aku merangkainya.”
“Wah, hebat! Dari mana kamu dapatkan mesin
pompa itu, Than?”
“Dari Seno. Dia yang memberikan padaku.
Katanya, sudah tidak terpakai.”
Memang, kerusakan pompa air biasanya hanya
terjadi pada kepala kipas penyedotnya, sedangkan
bagian motornya sangat awet. Sulitnya mencari suku

237
Alang-alang Timur

cadang membuat orang malas memperbaikinya dan


memilih membeli yang baru.
“Sedangkan meja antik itu aku dapatkan di
bengkel dekat pasar itu,” imbuh Sulthan.
“Kamu sering main ke sana, Than? Kelihatan-
nya kalian sangat akrab?”
“Pak Pono, pemilik bengkel itu sangat baik dan
tak segan-segan berbagi ilmu. Aku sudah bisa meng-
ganti oli dan menambal ban. Sekarang, aku lagi belajar
bermain gerinda dengan piringannya yang besar itu.”
“Kalau boleh, besok aku ingin ikut belajar di
sana,” pintaku.
“Boleh saja!” kata Sulthan dengan yakin.
“Bangku eksperimen ini sudah sempurna belum,
ya?” tanyanya sambil mengamati beberapa sam-
bungan kabel.
“Kelihatannya sudah, Than.”
“Aku ingin segera mencobanya, Li!”
“Di mana akan kita coba, Kawan? Di sini tidak
ada yang pasang listrik.”
“Iya, ya? Rumah Pak Lurah sangat jauh. Rumah
Seno juga jauh.”
“Apalagi, meja ini sangat berat, ya?!” timpalku
sambil sedikit mengangkat meja berkarat itu. “Pakai
apa kamu membawanya ke sini?”
238
Sang Pelopor

“Pakai gerobak. Diantarkan Angga, anaknya Pak


Pono.”
Kami berdua diam dengan pikiran masing-
masing. Angin panas berhembus dari sesela langit-
langit rumahnya. Begitu gerah. Kalau bukan karena
tertarik dengan mesin aneh itu, aku tak akan pernah
betah tinggal di kamar pengap ini.
Sebentar saja mesin ajaib itu telah berada di atas
gerobak. Rodanya yang sedikit kempes melaju agak
zig-zag demi menghindari jalan-jalan berlubang.
Gerobak itu berderit kala berbenturan dengan
bebatuan kecil. Rasa penasaranlah yang mendorong
Sulthan begitu kuat menjadi kusir selama perjalanan
sejauh ini. Jaraknya tak kurang dari delapan kilo-
meter! Bahkan, jalan tak mendatar itu pun diter-
jangnya tanpa henti, walau sekadar mengelap peluh
di muka.

***

Setelah melintasi tikungan tajam, lalu berbelok


ke kiri, aku dan Sulthan bertemu rumah Seno.
Warna temboknya yang putih bersih seperti baru
saja dicat. Tak terasa, telah begitu lama aku tidak
belajar kelompok di sana. Rumah indah itu telah
meninggalkan banyak catatan dalam hidupku. Di

239
Alang-alang Timur

rumah asri itulah aku mengenal sebuah keluarga


kecil yang harmonis. Di antara anak, ayah, maupun
ibu dapat ngobrol dan tertawa layaknya teman.
Bahkan, terhadap teman-teman anaknya pun,
mereka begitu baik. Terlalu baik malah. Sungguh
sebuah keluarga bahagia yang ideal.
Tiba-tiba, aku merasa berdosa karena telah
meninggalkan kebaikan keluarga mereka. Di rumah
yang teduh itu, aku pernah makan, bermain, belajar,
tidur, serta mencecap kebahagiaan sebagaimana anak
kandung. Orang tua Seno termasuk dari sedikit
orang baik yang pernah kukenal. Mereka tak segan
merapikan kerah bajuku yang kurang rapi. Sering
pula mereka mempersiapkan sarung dan sajadah
untukku, tiap menjelang shalat Maghrib atau Isya
berjamaah di Masjid Nurul Huda.
Ketika melihat kami datang dengan gerobak,
orang tua Seno langsung bangkit menyambut kami.
Ibunya memanggil Seno, memberitahukan keda-
tangan kami berdua. Ayahnya terbengong-bengong
melihat alat yang kami bawa. Sebelum menurunkan
benda yang membebani gerobak itu, Sulthan minta
izin dulu.
“Maksud kedatangan kami mau mencoba ini,
Pak…,” kata Sulthan sambil jarinya menunjuk meja
antik itu.

240
Sang Pelopor

“Maksudmu apa, Nak…?”


“Begini, Pak. Saya kan buat eksperimen ini. Tapi,
di rumah kami tidak ada listrik, jadi kami bermaksud
mencobanya di sini.”
“Insya Allah aman, Pak!” tambah Sulthan demi
melihat rona khawatir di wajah bapaknya Seno.
“Oooh…, silakan! Tapi, ati-ati, ya…?!”
Perlahan, kami berdua menurunkan meja itu,
lantas mengangkatnya ke dalam. Seno membantu
kami membawakan kabel-kabel yang berjuntaian
tanpa bertutur itu.
Kami menaruh meja berat itu di sisi kamar
Seno. Warna meja itu sungguh kontras dengan
lantai rumah ini. Seno bergegas ke kamar, meng-
ambil stop kontak roll dan diletakkan di lantai.
Ujung kabel itu pun ditarik ke dalam. Tombol on
pada stop kontak lalu ditekan. Spontan, lampu
indikator menyala, pertanda benda itu sudah dialiri
listrik.
Sementara itu, Sulthan sibuk meneliti rangkaian
demi rangkaian sambil sesekali menutup sambungan
yang dianggap perlu. Aku dan bapaknya Seno hanya
melihat saja. Tak ada yang bisa kami lakukan, selain
mengamati kesibukan temanku itu.

241
Alang-alang Timur

“Kukira sudah beres!” ujar anak pintar itu


dengan mantap.
Sulthan menarik colokan ke stop kontak. Ketika
colokan hampir menyentuh benda hitam beraliran
listrik itu, aku menahan napas sejenak. Aku pun
memperhatikan motor listrik, lalu dinamo dan
lampu-lampu kecil secara bergantian. Aku tegang.
Semua tegang.
Aku tidak berkedip. Kira-kira, apa yang akan
terjadi nanti, aku tak bisa menerkanya. Ibunya Seno
pun berhenti menuangkan teh ke beberapa gelas.
Saat itu, jarum jam seakan berhenti pada suatu
horizon tertentu. Beberapa detik telah berlalu,
namun tidak terjadi apa-apa. Sulthan kembali
menyentuh colokan itu. Ketika hampir saja
kuhembuskan napas dari paru-paru, tenggorokanku
mendadak tercekat. Motor listrik itu pun berdesing
lembut, berputar seiring dengan perputaran dinamo
dan kipas pendingin di bawah siripnya.
Seketika, lampu pun menyala. Napas yang
semula hendak kuhembuskan akhirnya kutahan,
sehingga dadaku menjadi sakit. Aku pun terbatuk.
Tersedak karena euforia keberhasilan temanku. Aku
mengucek-ucek mataku. Kusadari, aku benar-benar
tidak sedang bermimpi. Dan, lampu-lampu itu

242
Sang Pelopor

sungguh menyala sempurna. Beberapa kegagalan


terdahulu telah menajamkan intuisi Sulthan dalam
menyikapi listrik kinetik.
Sulthan, si anak jangkung itu, hanya diam
mematung. Matanya tak berkedip. Segenap letih
yang dirasakannya semenjak tadi terbayar sudah
dengan nyala empat lampu itu. Dia memang telah
menghitung berapa daya yang keluar, berapa ham-
batan-hambatan yang terbuang, dan berapa jumlah
lampu yang dipasang untuk mengimbangi daya
yang dihasilkan dinamo.
Dalam kegembiraan, Seno melonjak-lonjak
kegirangan. Dia berjingkrak-jingkrak seperti
anak kecil, sedangkan orang tuanya hanya
melongo karena tidak percaya pada penglihatan-
nya sendiri. Sementara itu, Sulthan masih diam
sambil sesekali tangannya mengganti saklar,
sehingga lampu yang menyala pun bergantian.
Tampak keningnya berkerut, seakan memikirkan
sesuatu yang berat.
“Sungguh tidak efisien!” serunya, tiba-tiba.
Kata-katanya yang keras bertekanan itu mem-
buyarkan lamunanku. Baru saja khayalanku
membubung naik, lalu dengan spontan dibanting
ke lantai tanpa ampun. Pecah berkeping-keping.

243
Alang-alang Timur

“Maksud kamu apa, Than?”


“Benar-benar tidak efisien! Coba lihat! Pompa
yang memerlukan daya 350 watt dan 220 volt hanya
menghasilkan daya yang demikian kecil, sehingga
hanya bisa menyalakan empat lampu yang kecil
pula…!”
“Tapi, percobaanmu benar-benar sudah berhasil,
Kawan!” bantahku.
“Iya, tapi kerugian yang kita dapatkan. Daya
sebesar itu seharusnya bisa untuk menerangi dua
rumah sekaligus. Sedangkan ini? Yang dihasilkan
hanya empat lampu kecil yang hanya sanggup
menerangi ruang tamu saja!”
“Berarti dinamonya harus kita ganti yang besar,
Than!” teriakku.
“Ya! Betul itu! Kita ganti dinamonya yang lebih
besar.”
“Biar bisa menerangi dua rumah!”
“Ya, tapi lebih besar dari itu…!”
“Sepuluh rumah…?!”
“Aku ingin yang lebih besar lagi dengan tenaga
penggerak yang besar pula!!!” seru Sulthan, masih
tak puas.
“Untuk menerangi Desa Nengahan, Than?!”

244
Sang Pelopor

“Ya, untuk menerangi Desa Nengahan yang


belum dialiri listrik!!!”
“Juga Kampung Sawah?!”
“Ya, juga Kampung Sawah, sekolah kita!”
“Untuk menerangi jalan-jalan, Kawan. Biar
kalau malam hari terang benderang!”
“Ya, untuk menerangi jalan-jalan di kampung
kita!”
“Kita jadi juragan listrik, Sobat!!!”
“Ya, kita jadi juragan listrik!”
“Kita akan memasang tiang-tiang untuk
memasang kabel ke rumah penduduk!”
“Ya, kita akan lakukan itu!”
“Kita akan mendirikan PLTL pertama di
Indonesia, Than! Bahkan pertama di dunia!”
“Ya, kita akan dirikan PLTL. Tapi, ngomong-
ngomong, apa itu PLTL?”
“Pembangkit Listrik Tenaga Listrik!!!”
“Ya, aku setuju singkatan itu!”
Saat itu, kami telah menjadi pengkhayal yang
seakan-akan tidak menyentuh bumi. Kami bagai
orang yang belum terjaga dari tidur akibat overdosis
obat tidur atau semacam kecubung yang anti-

245
Alang-alang Timur

bangun. Jika belum disiram dengan satu ember air,


kami tak mungkin tersadar.
Sungguh aneh menjadi seorang peneliti. Barang-
kali, kalau perut tidak berteriak, kami akan terlupa
bahwa sudah dua hari belum menyentuh air dan nasi.
Atau, ketika ke belakang pun mungkin akan kami
lakukan dengan tang dan kunci inggris di tangan
kiri. Sementara itu, tangan kanan kami memegang
kertas, menggambar sketsa jaringan listrik dari satu
rumah ke rumah lain. Bahkan, berjalan sekalipun
dilakukan sambil memikirkan rangkaian macam
apakah yang akan kami susun, mengingat letak
rumah semua penduduk yang tak beraturan.
Dengan rangkaian seri, ataukah paralel? Shalat pun
mungkin tidak bisa khusyuk karena begitu banyak
pesanan pemasangan listrik yang sangat murah,
bahkan pajak bulanan juga murah atau mungkin
gratis.
“Bulan promosi!!!” teriak kami ke segenap
penjuru desa.
“Lembaga listrik di negeri kita mana bisa seperti
ini?!!” seru kami selanjutnya, mencoba meyakinkan
setiap orang.
Ya, berbagai kesibukan itu memaksa kami tak
lagi memiliki kesempatan memancing, bersampan,
mandi di kali, atau bermain gobak sodor. Sungguh,

246
Sang Pelopor

sekarang tidak ada lagi waktu untuk sesuatu yang


remeh-temeh. Kami pun tergiring pada paradoks
Edison pasal 8 ayat 2: “Jadilah peneliti, maka kau akan
menjadi gila dan tersisih.” []

247
Alang-alang Timur

248
Sang Pelopor

22
Nasib Gur
GuruuKami
Kami

R umah itu tidak begitu besar. Terkesan kecil


malah, bahkan bila dilihat dari jauh seperti
sebuah kubus mungil dikelilingi berpetak-petak
sawah yang menghijau di belakangnya. Di tengah-
tengah sawah, ada beberapa gubuk bersirap daun
tebu yang biasa digunakan untuk beristirahat atau
berteduh ketika turun hujan. Di antara kuningnya
tanaman padi, ditemukan banyak memedi sawah
yang dihubungkan dengan tali gedebok pisang dan
surai-surai plastik. Apabila ditarik, maka orang-
orangan itu akan bergerak-gerak, seakan mengusir
kawanan pipit yang mencari bulir-bulir padi.
Di sawah milik sekolah itulah, kami biasa
melakukan praktik menanam padi, mulai dari
mengolah tanah, tandur, mengarit, hingga mema-

249
Alang-alang Timur

nen. Semua kami lakukan hampir seharian penuh.


Kalau musim tanam tiba, yang masuk sekolah
hanyalah siswa kelas 1 sampai kelas 3. Murid kelas
4 sampai kelas 6 membantu tandur pari1. Walaupun
ada sebagian anak yang hanya bermain lumpur, kami
tak pernah dimarahi.
Ketika musim panen tiba, kami pun diperboleh-
kan ikut memanen. Tetapi, yang satu ini tidak wajib.
Soalnya, panen amatlah berat, membutuhkan
banyak energi. Meski begitu, kami melakukannya
dengan tertawa agar tidak cepat lelah. Sewaktu
membantu tandur dan panen, kami berpakaian
bebas. Bagaimanapun, sangat disayangkan andai
baju putih merah kami terkena lumpur.
Kendati badan gatal semua karena memanen
padi, itu bukanlah masalah bagi kami. Hati kami
merasa senang, itulah yang paling penting. Hampir
semua anak turun ke sawah. Hanya satu-dua anak yang
enggan berkubang lumpur. Namun, ketika melihat
kesenangan kami, mereka pun segera mencopot baju
putih merah dan turut bergabung dengan kami.
Kami tidak dapat bayaran, sepeser pun. Tetapi, kami
ikhlas melakukannya. Sebab, panen itu bukan untuk
orang lain, melainkan untuk sekolah kami.

1
Tanaman padi.

250
Sang Pelopor

Banyak sekali dana operasional sekolah yang


diambil dari hasil panen. Misalnya, untuk mem-
biayai sekolah lapangan dan membantu membiayai
percobaan-percobaan kami yang sekiranya berpo-
tensi bagi kemajuan bersama. Bahkan, sebagian dana
pengembangan PLTL yang digagas Sulthan pun
diambilkan dari panen. Sekarang, proyek tersebut
berhasil menerangi dua puluh rumah. Sumber
listriknya diperoleh dari rumah Seno. Kami menye-
butnya Pos I. Sekarang, sedang digagas untuk
mengembangkan jaringan yang lebih besar lagi.
Memang sangat mujur nasib Sulthan. Masih
kecil sudah jadi juragan setrum. Padahal, hampir saja
dulu mundur, kalau saja tidak dipaksa oleh kepala
sekolah kami. Saat itu, karena sulit meyakinkan orang
tua dan pamannya, anak itu kehilangan semangat.
Akhirnya, jalan takdir menuntun Sulthan ke
rumah Pak Hadi, kepala sekolah yang begitu
perhatian kepada semua siswanya. Beliau menyaran-
kan kawanku itu agar mencoba mengembangkan
jaringan yang kecil terlebih dulu. Setelah benar-
benar ada manfaatnya, barulah memperluas jaring-
an. Pak Hadi bahkan memberi Sulthan modal,
meski tak seberapa. Sulthan menolaknya karena
biaya proyek itu sangat besar. Dia pun kian terpuruk.

251
Alang-alang Timur

“Lakukan apa yang ingin kamu lakukan. Atau,


kamu mundur dan orang tidak pernah mengenal-
mu…,” nasihat Pak Hadi.
Setelah mendengar kalimat sakti itu, segera saja
Sulthan kembali bersemangat, terutama untuk
mencari solusi.
“Berapa pun biaya yang dibutuhkan untuk
proyekmu, itu tidak penting. Yang penting,
bagaimana caranya kita mendapatkan uang untuk
membiayai gagasanmu…,” lanjut Pak Hadi, tanpa
beban.
Kami berdua hanya terdiam sambil meng-
angguk-angguk. Kulihat Pak Hadi masuk, lantas
keluar lagi dengan membawa sebuah map berwarna
biru.
“Sekolah hanya bisa membantu sebagian. Untuk
kekurangannya, semoga pihak bank bisa mem-
bantu,” kata Pak Hadi lagi, kemudian menerangkan
mekanisme pembiayaan dari badan keuangan negara
dengan agunan sertifikat tanah yang dipegang
beliau.
“Lakukan! Atau, kau hanya akan menjadi debu
yang segera hilang kala tertiup angin!!!”
Ajaib! Demi mendengar kata-kata yang mirip
mantra itu, spontan tangan Sulthan merebut map
biru di tangan Pak Hadi, lalu segera berlari kencang.

252
Sang Pelopor

Jalan-jalan terjal tak dihiraukan. Beberapa kali


Sulthan jatuh karena tersandung batu, namun
bergegas dia bangkit lagi. Dia berlari melesat, seperti
anak panah lepas dari busurnya untuk mengejar
masa depan yang terang benderang.
Sesampainya di kantor sebuah bank di Bayat,
tidak ada yang Sulthan lakukan, selain menunggu
kami. Sebab, bank tidak akan pernah memberikan
uang kepada anak kecil. Hampir setengah jam dia
menunggu, hingga kami berdua datang dengan
bersepeda. Rupanya, kekuatan motivasilah yang
sanggup mendorong Sulthan berlari secepat jet
tempur supersonik.

***

Sawah-sawah itu telah memberikan segalanya.


Sebagai tempat kami belajar, juga bagi guru-guru
kami. Aku sungguh prihatin akan nasib mereka.
Sudah mengajar bertahun-tahun, namun tak
kunjung diangkat sebagai pegawai negeri. Kami
bahkan mendengar, pemerintah membuka lowong-
an guru secara terbuka untuk umum. Dan, itu
berarti para guru honorer, guru bantu, guru tidak
tetap, guru tanpa status, dan berbagai istilah lain
bagi pendidik yang masa depannya tak jelas akan
bertarung dengan mereka yang baru saja lulus

253
Alang-alang Timur

kuliah. Padahal, jika ditinjau dari pengalaman dan


semangat pengabdian, guru-guru itulah yang lebih
unggul.
Sebuah ironi yang begitu menyakitkan terka-
dang terjadi dalam proses penyaringan calon guru
yang berkualitas. Mereka yang tak memiliki
kredibilitas baik, atau yang menjadi guru karena
terpaksa justru diterima sebagai guru negeri, hanya
lantaran melingkari jawaban penyaringan dengan
cara mengocok pilihan A – E, seperti mengocok dadu
atau dengan menjatuhkan bolpoin pada satu
jawaban. Dan, yang membuat aku mau muntah,
setan telah menyetir mata pena mereka menuju
jawaban yang benar.
Mau jadi apa bangsa ini kalau penyaringan guru
dengan cara primitif tersebut terus dilakukan?
Sementara itu, mereka yang telah mengabdi selama
puluhan tahun dan jelas-jelas dicintai murid malah
tidak diterima. Bahkan, pernah ada seorang guru di
kecamatan yang rela tidak digaji sepeser pun, asalkan
dia bisa tetap mengajar. Karena, mengajar bagi dia
adalah ruhnya. Apabila pemerintah memaksa
mencatut sang guru dari panggilan hidupnya itu,
maka sungguh dia akan mati.
Realitas semacam itulah yang dialami guru-guru
kami. Dari sepuluh guru yang kami cintai, hanya

254
Sang Pelopor

Bu Kasmini dan Pak Hadi yang diangkat menjadi


pegawai negeri, sedangkan yang lain masih guru
honorer. Bahkan, ada dua pengajar kami yang jelas-
jelas tanpa status; tetap tidak, honorer pun tidak.
Merekalah Ustadz Zahid dan Ustadz Fairuz. Praktis,
mereka seperti ustadz yang mengajar mengaji,
namun nggak digaji. Hanya saja, mereka lebih
memiliki prestise karena mengenakan seragam.
Padahal, kedua guru tersebut lulusan sebuah institut
agama Islam yang terkenal di Yogyakarta. Indeks
prestasi mereka pun tidak mengecewakan. Hanyalah
jiwa dan semangat pengabdian yang membaja yang
menguatkan langkah kedua ustadz kami itu.
Ustadz Zahid dan Ustadz Fairuz telah mem-
buktikan cintanya kepada kami, anak-anaknya.
Selama ini, mereka mengajari kami ilmu tajwid,
hadits, dan ilmu alam. Hanya dengan dua karung
gabah kering yang mereka terima dua kali setahun
seusai panen, mereka begitu rajin dan tak pernah
mengeluh mendampingi kami semua. Itu pun tidak
gratis diperoleh karena mereka harus turun sendiri
ke sawah, mulai dari proses tandur hingga panen.
Bu Kasmini yang sudah tercatat sebagai pegawai
negeri adalah sedikit orang yang beruntung di
antara semua pendidik kami. Itu pun karena beliau
rajin mengikuti tes demi tes yang diadakan pemerin-

255
Alang-alang Timur

tah. Dari puluhan tes yang diikuti, akhirnya Bu Kas


diterima. Sebuah harga yang pantas dibayar
pemerintah atas jerih payahnya.
Namun, di antara kegembiraan itu, ada satu hal
yang membuat kami prihatin. Di usianya yang sudah
kepala tiga, sang ibu guru masih sendiri. Sebuah
ketidakadilan yang terpampang di depan mata,
tetapi aku tak tahu hendak protes kepada siapa.
Kepada Allah, ataukah kepada semua lelaki?
“Wahai lelaki! Apa yang kamu cari pada seorang
wanita, semua ada pada Bu Kasmini…,” teriakku.
Beliau cantik, cerdas, dari keluarga baik-baik,
bahkan shalatnya pun rajin. Tapi, sampai sekarang,
tidak ada satu lelaki yang berani melamarnya. Satu
yang menjadi keyakinan Bu Kas, suatu saat pasti ada
pria baik yang akan memperistrinya. Ya, hanya Allah
yang mengetahui segalanya.
Pak Hadi, sang kepala madrasah, tak jauh ber-
beda. Setelah 26 tahun mengabdi, baru kemarin
beliau diangkat secara resmi sebagai pegawai negeri.
Masa pengangkatannya bahkan lebih dulu Bu
Kasmini. Sebuah paradoks kehidupan yang pincang
tergambar jelas di negeri ini. Anak buah lebih dulu
diangkat sebagai guru negeri daripada kepala
sekolahnya.

256
Sang Pelopor

Sebenarnya, Pak Hadi bersedia diangkat sebagai


pegawai negeri. Tetapi, ada syarat yang harus
dipenuhi, yaitu menyerahkan semua aset madrasah
kepada lembaga tinggi pendidikan negara. Setelah
itu, madrasah hendak dijadikan sebagai SD negeri.
Apabila semua syarat diikuti, maka semua pengajar
di madrasah ini akan diusahakan menjadi pegawai
tetap. Itu adalah sebuah tawaran yang tidak pernah
dilaksanakan Pak Hadi. Sungguh tidak sepadan
andai madrasah beserta sawahnya ditukar dengan
selembar surat keputusan yang tidak berguna.
Sebuah harga yang terlalu murah bagi harga diri
kepala sekolah kami.
Bahkan, karena kegigihannya mempertahankan
status madrasah, Pak Hadi pernah dicoret dari daftar
guru honorarium daerah. Namun, beliau tidak
gentar. Kepala sekolah yang berhati putih itu tetap
mengajar. Baginya, jadi guru negeri atau bukan, ia
akan terus mendidik anak-anak. Bagaimanapun,
mengajar adalah napas hidupnya, juga jiwanya. Ia
tidak akan kelaparan, walau tak memperoleh honor
yang tidak seberapa itu.
Tetapi, Pak Hadi adalah orang yang konsisten.
Beliau menyatakan bahwa tanah, bangunan madrasah,
beserta sawah di belakangnya telah diwakafkan
untuk umat dan pengelolaannya diserahkan kepada

257
Alang-alang Timur

yayasan. Apa pun alasannya, sang kepala sekolah


tidak akan pernah menarik ucapannya itu.
Sementara untuknya, Pak Hadi hanya menyisa-
kan satu rumah dan tak lebih dari satu hektar huma
dan sawah. Beliau makan dari hasil huma dan sawah
yang diusahakan sendiri. Setelah sekian lama
berjuang, baru kemarin pemerintah mengakui jasa-
jasanya, sehingga akhirnya mengangkat beliau
dengan jabatan resmi Kepala Madrasah Ibtidaiyah
Kampung Sawah yang membawahi delapan guru
dan seorang tenaga tata usaha. Sebuah jabatan yang
tidak pernah dimintanya. Sebab, sejak 26 tahun
silam, beliau sudah menjadi kepala madrasah ini.

***

Rumah itu masih kokoh berdiri di tanah itu,


setegar yang mendiaminya. Di samping kanan dan
kiri ada ladang yang tak begitu luas. Pak Hadi
menanam kebutuhan hidupnya di sana, terutama
sayuran dan buah-buahan. Dari arah depan rumah,
terlihat dengan jelas kacang panjang yang merambat
di pohon ketela atau pohon pisang yang berselang-
seling dengan jagung yang hampir panen. Tepat di
kanan dan kiri, tertanam bayam, kangkung, dan
sawi. Kami sering diberi hadiah sayuran itu kalau
bisa mengerjakan soal atau juara ketika tes bulanan.

258
Sang Pelopor

Sayuran itu kami bawa pulang untuk dimasak ibu


di rumah. Tak jarang, kepala sekolah kami pun
menghadiahkan ketela, pisang, atau jagung ketika
musim panen tiba.
Di depan rumah, tepatnya di sisi kanan, tumbuh
pohon mangga yang buahnya sangat lebat. Ada
kisah lucu mengenai pohon itu. Melihat kami gemar
mangga dan setiap kali menginginkannya harus
bolak-balik meminta izin, maka lelaki yang masih
gagah di usia tuanya itu bersabda bahwa pohon
mangga itu sudah diwakafkan untuk siapa pun yang
menginginkan. Oleh karena itu, pada sebuah papan
di bagian bawah pohon tertulis: “Kalau mau ambil,
silakan. Tidak perlu izin.” Aneh bin ajaib. Pohon
mangga itu berbuah sepanjang tahun, seolah tak
pernah habis.
Pada suatu hari, bakda zhuhur, ada beberapa
anak yang mengambil mangga itu. Mereka begitu
berisik dan berteriak-teriak memekakkan telinga.
Padahal, waktu itu Pak Hadi sekeluarga sedang istirahat
siang. Bu Hadi yang merasa terganggu segera
berteriak memperingatkan, lantas mengusir anak-
anak itu. Saking marahnya, ibu yang selama hidup
bersama Pak Hadi belum pernah punya anak itu pun
merobohkan papan yang tidak bersalah itu. Anak-
anak akhirnya takut mengambil mangga itu lagi.

259
Alang-alang Timur

Sejak saat itu, pohon mangga arum manis itu


tidak pernah berbuah lagi. Rupanya, peristiwa
tersebut menyentuh hati Pak Hadi. Beliau pun
menyuruh istrinya bertaubat. Papan yang pernah
dihempaskan Bu Hadi kembali ditegakkan. Tak lama
kemudian, pohon mangga itu pun mulai berbunga.
Di halaman depan, tepatnya di samping kanan
dan kiri pintu, terhampar taman kecil yang agak
memanjang. Ada bermacam-macam bunga tumbuh
di sana, namun anyelir dan mawarlah yang mendo-
minasi. Beberapa melati dan euphorbia ikut menye-
marakkan keindahan taman. Bila berbunga,
wanginya pun tercium dari jauh.
Di sela-sela bunga itu, tumbuhlah serumpun
Foeniculum vulgare.2 Tumbuhan berkhasiat obat itu
memang bisa tumbuh di mana saja. Namun, akan
tumbuh sempurna apabila ditanam di dataran
tinggi. Bunganya yang kecil-kecil berbau harum,
terlebih jika di pagi hari. Apabila sudah masak, bunga
itu menghasilkan biji yang begitu lembut. Biji itulah
yang biasa dimanfaatkan untuk bumbu soto.
Di samping kiri rumah, tumbuh Acalypha
australis3 liar yang tak terawat. Tumbuhan ini

2
Herba adas.
3
Herba anting-anting.

260
Sang Pelopor

biasanya hanya dijumpai di musim hujan. Tapi, di


taman yang selalu basah, herba tersebut dapat
tumbuh subur. Batangnya tegak dan berambut, daun
tersusun berselang-seling, bunganya yang kecil
muncul dari ketiak daun dalam rangkaian malai,
sehingga sering juga disebut anting-anting. Daunnya
biasa digunakan untuk mengobati dermatitis dan
disentri.
Di sisi agak kanan, di sebelah tanaman mawar,
ada semak yang tumbuh tegak. Tingginya kira-kira
dua meter, memiliki cabang yang sangat banyak dan
berbulu lembut. Pluchea indica.4 Daunnya bertang-
kai pendek, tersusun berselang-seling, berbentuk
bulat telur dengan ujung lancip bergerigi. Bunganya
yang berwarna ungu tumbuh dari ujung cabang dan
ketiak daun, berbentuk bonggol, terkadang ber-
gagang atau duduk. Konon, tumbuhan itu bisa
mengobati nyeri rematik dan menghilangkan bau
badan.
Memang, terdapat banyak sekali tumbuhan obat
di sini. Taman yang lebarnya tak lebih dari setengah
meter itu seakan berjejalan, berbagi tempat dengan
aneka bunga. Pernah suatu kali kami menawarkan
bantuan untuk membersihkan taman itu, tapi Pak

4
Beluntas.

261
Alang-alang Timur

Hadi tidak mengizinkan. Kata Pak Hadi, semua


herba yang tumbuh di sana memang sengaja
ditanam sebagai apotek hidup. Apabila sewaktu-
waktu ada orang yang membutuhkan, ia tinggal
memetiknya. []

262
Sang Pelopor

23
Listrik dan Kegilaan
Sulthan

“P ara ilmuwan berpendapat bahwa listrik


adalah suatu fluida yang mengalir seperti air
dari satu tempat ke tempat yang lain. Sebenarnya,
sejarah kelistrikan sudah dimulai pada masa Yunani
Kuno. Thales telah menemukan bahwa dengan
menggosok batu amber, batu lempeng itu bisa
menarik bulu-bulu seperti yang kita lakukan
manakala menggosokkan penggaris mika ke
rambut, sehingga penggaris itu dapat menarik
potongan kertas yang kecil-kecil.
“Sekitar abad VIII, pengarang berkebangsaan
Romawi menulis tentang percobaan sederhana yang
serupa dengan kelistrikan di dalam bukunya, Natural
History. Pemikir kuno ini telah menemukan listrik
statis. Sampai sekitar abad ke-17, orang masih

263
Alang-alang Timur

bingung dan mencoba memahami listrik. Mereka


mengamati fenomena alam yang bisa memandu
berpikir tentang listrik. Alam adalah kitab kauniyyah
yang tergelar, termasuk tentang listrik. Dunia
menyediakan berbagai materi sebagai pembelajaran
kelistrikan. Sebagai contoh, awan, kilat, dan petir.
Awan adalah materi dasar penyedia arus negatif dan
arus positif, sedangkan kilat dan petir memberikan
reaksi listrik.
“Benjamin Franklin memperlihatkan bahwa
kilat adalah listrik. Sesuatu yang aneh dan baru pada
waktu itu. Sejak saat itu, listrik telah menjadi
fenomena yang sangat menarik. Segera setelah itu
para ilmuwan seakan berlomba menciptakan
penemuan-penemuan baru tentang listrik. Mereka
berpendapat bahwa listrik adalah sesuatu yang ada
dan dapat diadakan dengan alat dan cara-cara
tertentu.”
Sulthan terus mencerocos tidak terkendali.
Kata-katanya sungguh membius kami yang men-
dengarkan. Entah dari mana dia dapat ilmu itu. Satu
yang kutahu, kitab kelistrikan itu telah mem-
pengaruhi jiwanya. Koran dan majalah bekas di
rumahnya pun begitu. Bagi Sulthan, semua bacaan
tersebut adalah bagian dari sejarah perjalanan
hidupnya. Ya, dia begitu akrab dengan koran dan

264
Sang Pelopor

majalah yang biasanya untuk membungkus tempe.


Makanan dari kedelai itu menjadi tulang punggung
keluarganya. Namun, salah satu dari majalah itu pula
yang dulu membuat Sulthan terpental dari SD negeri.
Suatu kesalahan yang tidak pernah dilakukannya.
Selanjutnya, meluncurlah nama-nama yang
kami belum pernah mendengarnya. Namun, anak
itu mengenal mereka sebagaimana mengenal
anggota keluarganya.
“Galvani membuat terobosan baru, bahwa listrik
dapat membuat otot hewan bekerja. Dia melakukan
percobaan pada katak mati. Galvani berpendapat,
semua hewan, termasuk katak, mengandung fluida
listrik. Namun, gagasan ini ditentang Volta –
Alessandro Volta – yang melakukan percobaan pada
hewan dan logam. Volta menemukan bahwa listrik
dapat diciptakan tanpa bantuan hewan. Volta
percaya pada gagasannya, bahwa muatan listrik
dihasilkan ketika dua logam yang berbeda saling
bersentuhan dan membentuk suatu rangkaian
listrik. Dia menyebut temuannya sebagai listrik
logam.”
Memang, setelah percobaan PLTL-nya berhasil,
Sulthan bagai orang yang tidak kukenal. Kadang,
dia merenung. Di saat lain, anak itu mencoret-coret
kertas, menggambar semacam sketsa atau rangkaian

265
Alang-alang Timur

listrik, lalu membuangnya. Namun, setelah itu, dia


akan membuatnya lagi, hingga bukunya yang tipis
itu tinggal beberapa halaman.
Dan, yang lebih gila lagi, setiap omongan
Sulthan selalu kami perhatikan layaknya ceramah
sang khatib Jum’at saat menyampaikan indahnya
surga dan ngerinya neraka. Di bawah pohon sengon
laut, dia berceramah, sedangkan kami seperti makmum
yang tunduk takzim kepada imam. Kami duduk
melingkar mengelilingi Sulthan. Sementara itu, dia
berdiri mepet pohon sengon sambil tangannya
bergerak-gerak mengikuti alur bibirnya. Pan-
dangannya kosong, tampaknya yang berbicara
bukanlah Sulthan. Lihatlah, Kawan! Anak itu bagai
kerasukan penunggu pohon sengon! Kami bahkan
lebih parah karena mempercayai semua ucapannya.
“Aku ingin mengenal listrik dari mereka yang
telah merumuskannya,” katanya, pagi itu, lantas
berhenti sejenak untuk menarik napas. Mungkin,
dia pun tengah mengumpulkan energi demi
melanjutkan kalimat-kalimat berikutnya. Maklum,
ada berjuta ide yang berjejalan menyesaki rongga
otaknya semenjak lama.
“Ketika dua logam yang berbeda dihubungkan
dengan zat yang disebut elektrolit, maka listrik akan
dihasilkan. Ini adalah gagasan dasar tentang baterai

266
Sang Pelopor

yang pernah dilontarkan Volta, lantas dikenal


sebagai pilar Volta. Alat itu adalah tumpukan yang
terbuat dari perak dan piringan kardus yang
direndam dalam elektrolit – cairan garam – dan
piringan seng yang disusun secara bergantian. Aku
tahu, ini adalah percobaan yang luar biasa yang
dilakukan pada waktu itu. Penelitian Volta menan-
dai munculnya cabang ilmu pengetahuan baru
tentang elektrokimia, yaitu gabungan antara listrik
dan kimia. Lalu, penerus Volta – Humphry Davy –
membuat eksperimen semacam ini, tapi lebih besar.
Dia menggunakan metode elektrolisis, yaitu mele-
watkan arus melalui senyawa-senyawa kimia.”
Belum usai Sulthan menguraikan pendapat-
pendapatnya mengenai pemikiran para ilmuwan
favorit, lonceng masuk telah berbunyi. Namun, kami
yakin, besok dia akan melanjutkan kisahnya. Seperti
sebuah novel yang bersambung atau semacam
sinetron, supaya pemirsa penasaran, maka anak itu
pun bersabda, “Ada apa selanjutnya? Tunggu besok!”
Bahkan, demi mendengarkan dongengnya,
kami rela tidak makan bekal yang kami bawa dari
rumah. Terkadang, bekal itu kami bawa pulang dan
baru kami makan di rumah. Praktis, bekal itu hanya
berekreasi atau numpang jalan-jalan ke sekolah.

***
267
Alang-alang Timur

“Pada awalnya, antara listrik dan magnet adalah


sesuatu yang tidak ada hubungannya. Selama
bertahun-tahun, para ilmuwan mempercayai
pendapat itu. Sampai sekitar abad ke-19, para
ilmuwan mulai menyelidiki keterkaitan antara
keduanya. Ramognosi – Gian Dominica Ramognosi
– melakukan percobaan dengan menggunakan pilar
Volta dan jarum magnet untuk membuktikan
hubungan antara magnet dan arus listrik. Dua puluh
tahun kemudian, Orsted – Hans Christian Orsted –
melakukan percobaan yang memperkuat dugaan
hubungan antara listrik dan magnetis. Dalam
eksperimennya, ketika kawat dihubungkan dengan
baterai dan arus listrik dihidupkan, maka jarum
kompas bergerak lemah, lalu kembali ke posisi
semula. Dari percobaan itu, Orsted menyimpulkan
bahwa arus listrik menghasilkan medan magnet.
“Lantas, sepuluh tahun kemudian, seorang
ilmuwan dari Inggris, Michael Faraday, menemukan
hasil yang berlawanan dengan temuan Orsted, yaitu
magnetisme dapat menghasilkan listrik. Jadi, dua
penemuan tersebut telah meletakkan dasar-dasar
kelistrikan dan magnetisme yang kita ketahui
sampai sekarang, yaitu generator – dinamo – dan
motor listrik. Faraday membuat dinamo dengan cara
melilitkan gulungan kawat pada sebatang besi dan

268
Sang Pelopor

mengalirkan listrik melalui besi itu untuk meng-


hasilkan magnet. Selain itu, dia pun membuat
gulungan yang berlubang, lalu menggerakkan
magnet keluar-masuk hingga menghasilkan listrik.”
Paradoks Edison pasal 3 ayat 3: “Keingintahuan
akan membawamu berjalan dan berjalan untuk mencari
jawabannya.”
Kami manggut-manggut mendengarkannya
tanpa berani menyela dan bertanya. Bagaimanapun,
kami takut membuyarkan konsentrasi Sulthan. Ya,
anak itu telah menjadi semacam oase dari sedikit
orang yang cerdas di negeri ini. Bahkan, dengan
menjadi juragan setrum, dia telah berhasil membuat
sebuah laboratorium di belakang rumahnya.
Walaupun tak lebih baik dari kandang ayam karena
hanya terbuat dari bambu dan beratapkan sirap daun
tebu, Sulthan sangat kerasan tinggal berlama-lama
di laboratoriumnya.
Sayang, karena ceroboh saat bermain-main
dengan lidah api, maka laboratorium itu pun ter-
bakar. Api menjalar cepat dan melahap semuanya
tanpa tersisa. Sulthan hanya sempat menyelamatkan
sebuah dinamo besar yang kemudian diketahuinya
sudah rusak. Dia segera berlari memutus arus dari
rumah induk agar apinya tidak menjalar ke mana-mana.
Hanya sedikit komentarnya tentang peristiwa itu.

269
Alang-alang Timur

“Sayang, ibuku tidak melihat api sebesar ini


karena belum pulang dari jualan tempe di pasar.”
Lantaran belum memiliki dana lagi, Sulthan
akhirnya menjadikan kamar pengapnya – yang
minim lubang angin – sebagai laboratorium
sementara.
“Aku akan membangun laboratorium lagi, suatu
saat nanti…,” ujarnya, sangat yakin.
Praktis, kamar sempit itu dapat saja berubah
menjadi gudang, laboratorium, atau tempat tidur.
Tergantung pada situasi apa kamar itu digunakan.
Gulungan kawat kerap kali bercampur dengan
celana kotor, dinamo, serta begitu banyak kertas
sketsa atau bertumpuk majalah bekas. Semua
bermuara pada satu kata: semrawut. Tidak kurang,
tidak lebih.

***

“Sampai abad ke-19, para ilmuwan dari berbagai


negara menyelidiki listrik tak lebih dari sekadar
keingintahuan belaka. Mereka belum menemukan
cara memanfaatkan energi itu. Di kemudian hari,
menjadi sesuatu yang dapat membelokkan nalar dan
logika. Dengan melewati berbagai percobaan dan
kegagalan, mereka akhirnya memiliki gambaran

270
Sang Pelopor

tentang listrik. Ya, abad listrik telah dimulai. Seperti


kapal yang telah meninggalkan pelabuhan, lantas
melaju menghantam ombak ketidaktahuan dan
menghancurkan gelombang kebodohan.
“Joule -James Prescott Joule – membuktikan
bahwa listrik adalah energi serupa panas dan cahaya.
Terang benderang seperti matahari yang tak
terhalang awan. Dia melakukan percobaan tentang
listrik dan panas. Hasilnya, hambatan dari rangkaian
listrik dapat digunakan untuk mengubah energi
listrik menjadi energi panas dengan jumlah yang
sama. Inilah yang disebut kekekalan energi.
Menurut teori itu, energi tidak dapat diciptakan atau
dimusnahkan seluruhnya. Banyak orang bingung
dengan teori ini. Tapi, itulah ilmu pengetahuan yang
telah merontokkan nalar dan logika. Energi selalu
ada, seperti alam semesta. Dia selalu berputar
mengelilingi matahari tanpa kita tahu berapa energi
yang dibutuhkan untuk sekali putaran. Namun,
hanya Allah yang selalu menjadi pusat dari seluruh
energi semesta. Tak semua orang memahaminya,
kecuali dengan keimanan yang kuat bahwa Sang
Maha Pencipta adalah muara energi yang ada di
dunia ini.
“William Sturgeon mengembangkan elektro-
magnetik praktis dengan cara membungkus

271
Alang-alang Timur

sekeping besi ladam berulang-ulang dengan kawat.


Ketika kawat itu dialiri listrik, maka ladam akan
mengangkat logam yang beratnya berlipat-lipat.
Kemudian Joseph Henry mengembangkan pene-
muan ini dengan menciptakan elektromagnetik dan
motor listrik yang lebih besar. Pada tahun yang sama,
Thomas Alfa Edison adalah orang pertama yang
membuat prototipe pembangkit listrik, sekaligus
membangun pembangkit listrik permanen pertama
di dunia. Pembangkit ini menghasilkan listrik yang
sangat besar dengan mesin uap. Sejarah listrik dunia
pun tertulis di berbagai buku, bahwa percobaan
Edison dilakukan dengan seribu kali kesalahan,
sepuluh ribu kali kegagalan, dan sepuluh ribu kali
dia berusaha bangkit dari keterpurukan.”
Begitulah semangat yang dibagikan paradoks
Edison pasal 3 ayat 1: “Jenius adalah 1% inspirasi
dan 99% kerja keras.”

***

Ketika mendengar kepintaran Sulthan men-


dongeng, Pak Hadi pun tertarik dan memintanya
menerangkan di depan kelas. Maka, sahabatku itu
pun maju dengan membawa kapur warna-warni di
tangan kiri, sedangkan di tangan kanannya tergeng-

272
Sang Pelopor

gam kapur putih. Dia memulai ceritanya dengan


membaca basmalah.
Seusai kalimat pembuka itu, kisah Sulthan
segera meluncur dengan saksama dan teratur.
Kalimat-kalimatnya enak didengar, bahasanya pun
penuh makna. Namun, itu hanya sebentar. Anak itu
terdiam dan menarik napas panjang. Matanya
terpejam seketika seperti mengingat-ingat sesuatu.
Seiring dengan terhembusnya napas, kalimat-
kalimat aneh keluar dari mulut. Suaranya berubah,
mirip suara yang kami dengarkan di bawah pohon
sengon.
Ya, Sulthan kerasukan lagi! Kata-katanya
berputar-putar dan tidak berirama. Sesekali, dia
berpaling menuliskan nama atau istilah beserta
artinya. Goresannya sangat bagus, belum pernah aku
melihatnya. Tulisan itu bukan tulisan dokter
miliknya. Pahatan itu begitu urut dan rapi, indah
dipandang mata. Antara huruf g, h, atau k sangat
simetris, tidak terlalu panjang, tidak pula terlalu
pendek.
Deretan nama dan istilah yang tadi diungkap-
kan Sulthan tidak asing bagi kami. Maklum, selama
setengah bulan ini, kami menjadi santrinya di bawah
pohon sengon. Meski begitu, kami tetap memper-
hatikannya, bahkan sekadar menggeser kursi, kami

273
Alang-alang Timur

tak berani. Teman di depanku pun harus rela


meringis-ringis karena menahan pipis. Tapi, dia
hanya berani meringis di dalam hati, takut suaranya
mengganggu teman yang lain. Namun, aku adalah
orang yang peka. Aku bisa mengerti dengan jelas
rona penderitaan dari peluh sebesar kedelai yang
ditiup itu.
Sulthan masih terus memberondong dengan
berbagai ungkapan motivasi dan percobaan yang
dilakukan para guru spiritualnya. Bahkan, ketika
lonceng tanda istirahat telah berbunyi, dia masih
terus melindur. Lihatlah, Kawan! Teman kita telah
tuli…!
Usai lonceng berdentang, barulah Sulthan
berhenti berkisah. Pak Hadi menepuk pundaknya.
Dia pun membuka mata seperti orang yang ter-
bangun dari mati suri. Melihat kanan dan kiri
dengan bingung. Demi menutupi kebingungannya,
dia mengucapkan hamdalah dan salam penutup.
Tanpa dikomando, kami pun menghambur
keluar kelas. Sayang, belum sampai kaki kami
melangkah keluar, lonceng tanda masuk berbunyi.
Tapi, Pak Hadi memang sungguh bijak.
“Istirahatlah barang lima menit untuk menye-
garkan otak kalian…,” ucapnya yang kami sambut
dengan sukacita. []

274
Sang Pelopor

24
Pergur uan
erguruan
di Negeri Awan

N egeri itu terletak di selatan Pulau Jawa.


Jajaran rumah penduduk tertata rapi, ber-
selang-seling dengan hamparan sawah yang meng-
hijau. Walaupun termasuk negeri miskin, namun
penduduknya hidup rukun dan damai. Negeri yang
jauh dari bising jalan raya. Orang-orangnya sangat
ramah dan baik hati, saling bertegur sapa bila bersua,
bahkan sangat santun terhadap pendatang.
Di sebelah utara berderet pegunungan yang
memanjang dari Trenggalek, Pacitan, hingga
Imogiri, Bantul. Pegunungan itu bagai raksasa
sedang tidur yang selalu memberikan air untuk
penduduk di sisi utara dan selatan. Gunung dengan
ngarai-ngarainya menawarkan pemandangan yang
sangat indah. Di antara celah-celah sempit, mengalir

275
Alang-alang Timur

dengan bening sungai-sungai yang banyak ikannya.


Sekali tangan masuk ke dalam air, maka ikan-ikan
itu akan mendekat.
Pegunungan itu tampak hijau di sisi barat dan
timur. Tanahnya pun sangat subur dengan pokok-
pokok kayu yang rapat tanpa sela, seolah hamparan
kain beludru yang bergelombang. Sayang, pegu-
nungan di atas negeri itu tampak hijau hanya di saat
musim penghujan. Memang, tanah karst adalah
tanah yang tak mampu menahan air. Akibatnya, di
musim kemarau seperti ini, hutan-hutan menjadi
gundul. Pepohonan meranggas, hingga dedaunan
yang tersisa hanya sedikit.
Di sisi selatan, Samudra Hindia dengan jilatan-
jilatan lembut ombaknya mencium pantai. Sesekali,
kalau sedang murka, gelombang itu bergulung-
gulung mengerikan. Tapi, para nelayan sudah akrab
dengan berbagai karakter alam di sana. Seperti hafal
nama-nama anaknya yang sepuluh secara berurutan,
sebab merekalah yang memberikan nama itu.
“Alam adalah sahabat kami setiap hari. Kami
kenal betul sifatnya,” kata salah satu nelayan di suatu
sore, ketika hendak pergi melaut.
Ya, ternyata mereka lebih terbiasa daripada
kekhawatiran kami. Setiap hari, ratusan nelayan,
bahkan lebih, pergi dan pulang melaut dengan

276
Sang Pelopor

menggunakan perahu tempel tradisional. Perahu itu


kembali dengan selamat setelah semalaman
terombang-ambing ombak di laut lepas. Hasilnya
pun melimpah.
Samudra Hindia memang kaya akan beragam
ikan dengan berbagai ukuran dan bentuknya.
Anehnya, kesenjangan terlihat begitu nyata di
kampung kecil itu. Nelayan yang bersusah payah
mencari ikan tetap saja hidup melarat, sedangkan
mereka yang hanya duduk di daratan justru hidup
berlimpah. Orang-orang berduit itu tuan perahu
atau rentenir yang meminjamkan modal melaut
kepada para nelayan.
Setelah pulang dari menjual ikan hasil tangkap-
an, nelayan harus segera membayar utang kepada
lintah darat dengan bunga berlipat-lipat. Sebuah
siklus kehidupan yang memprihatinkan. Nelayan
seperti budak yang terus bekerja untuk menumpuk
kekayaan rentenir. Sementara itu, nasib masyarakat
yang mencari penghidupan di laut itu cenderung
memprihatinkan. Mereka bahkan tak kuasa meng-
endalikan hidup dan masa depan mereka sendiri.
Dan, ini harus dihentikan!
Nelayan berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri. Kuncinya adalah modal. Nelayan tidak
punya kuasa atas modal, sehingga meminjamnya

277
Alang-alang Timur

kepada saudagar dengan bunga yang telah ditentu-


kan. Tanpa disadari, mereka justru menggadaikan
diri kepada para saudagar dan rentenir. Begitulah
lingkaran setan itu terus berputar.
Waktu terlewati. Tahun pun berganti. Namun,
nasib nelayan tidak berubah. Dia tetap melaut,
menjual hasil tangkapannya, dan membayar utang
kepada pemilik kapal. Sesuatu yang paling menye-
balkan adalah menunggu nasib, sampai ada tangan-
tangan yang lebih perkasa mengentaskan dia dari
lembah ketidakpastian.
Pantai itu sangat elok dengan pasir putihnya.
Butir-butir lembut itu senantiasa bersih bagai
mutiara perawan yang masih alami. Setiap kaki
menginjaknya, segera saja sebanyak itu pula ombak
menghapusnya. Jejak-jejak itu pun segera hilang,
bagai tak pernah tersentuh. Beberapa ketam dan
kerang laut terdampar, lantas kembali ke laut biru
kala ombak besar menghampiri, sebelum terpungut
oleh tangan-tangan kami.
Laut laksana macan raksasa yang sedang
berbaring. Ia akan memberikan apa pun yang kami
mau: ikan, kerang, ketam, rumput laut, dan airnya
yang asin. Namun, dia akan marah kala kesuciannya
diusik. Ombak besar akan datang menghajar dengan
ngeri, atau melahap segalanya hingga tak bersisa.

278
Sang Pelopor

“Karena itu, kami tidak pernah mencemari laut.


Kami hanya mengambil sesuai kebutuhan kami.
Kami tidak boleh serakah…,” kata seorang nelayan.
“Mencari ikan dengan bahan peledak adalah
pantangan buat kami. Itu hanya akan menyeng-
sarakan anak cucu kami,” lanjutnya, bijak.
Di pantai indah itu tidak ditemukan sedikit pun
sampah plastik. Hanya ada sedikit daun-daun
pandan yang sesekali dipermainkan ombak. Pantai
ini selalu menyanyikan irama yang sama setiap hari,
tanpa lelah. Seandainya ditambah satu lagi irama
pengiringnya – semacam gitar – maka lengkap
sudah kemesraan itu. Daun-daun pandan yang ber-
gesekan dan sinar rembulan di tengah malam adalah
surga yang tidak dapat dibeli dengan dolar maupun
rupiah yang terus melemah akibat kebijakan instan.
Ya, irama pantai telah didendangkan. Hati kamilah
yang menyanyikan. Sungguh musik alam yang
menghanyutkan jiwa-jiwa pendengarnya.
Sedikit ke utara, kira-kira sepelemparan batu,
berjajar bukit-bukit cadas yang menantang dengan
gagah. Bukit-bukit itu timbul tenggelam di antara
pepohonan jati yang mulai meranggas, seolah saling
berkejaran. Batu-batu sebesar gajah tampak
menonjol di sisi kanan dan kirinya. Angin kering
yang panas kembali menjatuhkan satu demi satu

279
Alang-alang Timur

daun yang tersisa. Praktis, bukit-bukit merah


kehitaman itu serupa kepala yang gundul tanpa
rambut. Hanya ada batang-batang kayu dengan
dahan-dahan menengadah ke atas, seakan memohon
kepada Sang Penguasa Langit supaya lekas diberi
hujan.
Walaupun bongkahan tanah yang meninggi itu
gundul, namun keindahan tak terelakkan oleh
kebohongan mata. Sebab, mata adalah jendela hati.
Bila hati berkata indah, maka mata tak mungkin
berdusta.
Di sebelah utara, terhampar sebuah lembah
yang hijau. Lembah itu seakan berdiri di celah antara
sepasang raksasa yang tengah tidur. Lembah itu
memanjang dari barat dan bertemu Samudra Hindia
di sisi timur. Ketika pagi menjelang, kabut tebal
menyelimuti tempat itu. Andai dilihat dari atas,
bukit itu tampak seperti sebuah perkampungan di
atas awan.
Bukit-bukit itu seolah menyatu dan hanya
dipisahkan oleh celah yang sempit. Jadi, untuk
sekadar mendaratkan ikan, nelayan lebih memilih
pantai di sebelah barat yang luas. Praktis, pantai di
depan celah itu bersih dari aktivitas melaut. Hanya
ada hamparan pasir putih, lapangan voli, serta sebuah
ayunan yang tampak berkarat diterpa angin pantai.

280
Sang Pelopor

Celah sempit itu mirip pintu gerbang dari dunia


yang berbeda; dunia lembah dan samudra.
Di dalam lembah itu, berderet acak rumah-
rumah penduduk yang rata-rata sudah permanen,
meski sangat sederhana. Bahkan, beberapa masih
berdinding bambu tempo dulu. Di pinggiran
lembah, berpetak-petak sawah tampak dihias
berbagai tanaman. Dengan melihat luasnya deretan
sawah itu, dapat dipastikan bahwa mayoritas warga
lembah adalah petani. Hanya beberapa yang
mencoba mengais rezeki dengan menjala ikan atau
membuat garam. Di sebelah barat lembah, bukit-
bukit itu benar-benar menyatu dengan kelokan
kehitaman sebuah jalan raya yang seolah membagi
daerah ini menjadi dua bagian. Jalan itulah jalan
darat satu-satunya menuju luasnya dunia di luar
sana.
Tepat di tengah-tengah lembah, berdiri dengan
anggun sebuah masjid. Tempat manusia bersujud
itu begitu besar dan sejuk. Kubahnya yang tinggi
seolah bersaing dengan hijaunya keindahan di
sekelilingnya. Di depan masjid, memanjang dua
bangunan yang tak begitu luas, menyisakan ruang
kosong di tengah-tengahnya. Di sanalah terdapat
kolam kecil dan taman yang memanjang, mem-
bentuk sebuah garis kecil dengan warna-warni

281
Alang-alang Timur

bunga yang merekah kompak. Sementara itu, di


bagian paling depan, sepasang pintu gerbang dengan
pilar-pilarnya tampak menjulang kokoh.
“Anak-anakku, bangunan yang ada dalam
bayangan kalian itu adalah sekolah. Lebih tepatnya,
pondok pesantren. Pak Hamdani, adik Bapak, ber-
susah payah membangun pondok itu lima belas
tahun yang lalu. Dari pembebasan lahan sampai
mendirikan bangunan di atasnya. Dia bekerja tak
kenal lelah. Bapak menginginkan kalian semua
melanjutkan sekolah ke sana. Dari tsanawiyah
sampai aliyah ada di sana,” ucap Pak Hadi kepada
kami.
“Berarti kita harus meninggalkan orang tua
kami, Pak?” tanya salah seorang temanku.
“Itulah kemandirian, Anakku. Kalian sudah
besar. Sudah saatnya kalian belajar mandiri, lepas
dari bayang-bayang siapa pun, termasuk orang tua
kalian.”
“Apakah tempat itu sangat jauh, Ustadz?”
Fikram menyela.
“Tidak. Tidak terlalu jauh. Besok, Bapak akan
mengantarkan kalian ke sana.”
“Selain gratis, kalian bisa belajar sesuai kom-
petensi kalian. Dan, yang lebih penting, kalian juga

282
Sang Pelopor

bisa belajar ilmu agama,” tambah Pak Hadi dengan


penekanan di akhir kalimatnya.
Sekilas, senyum sang kepala sekolah tersung-
ging begitu berarti bagi kami. Memberikan satu
harapan yang seolah tak pernah putus ia pijarkan
untuk masa depan setiap anak didiknya. []

283
Alang-alang Timur

284
Sang Pelopor

25
Ledakan

S enja merangkak naik dalam diam. Matahari yang


tadi membakar seisi bumi sudah kembali ke
peraduannya. Langit malam dipenuhi ribuan titik
cahaya yang kerlap-kerlip di ketinggian sana. Lebih
dari dua ribu bintang dapat dilihat dengan mata
telanjang. Tetapi, lebih dari jutaan, bahkan bermiliar
bintang tersebar di angkasa raya. Bintang itu seperti
kunang-kunang yang selalu memberikan cahaya bila
gelap datang. Meski tak seterang rembulan, tapi
cahaya kecil itu sangat berguna bagi nelayan.
Bagaimanapun, gemintang adalah kompas alam
menuju jalan pulang.
Bintang adalah benda angkasa yang tak pernah
ingkar janji kepada nelayan. Dia akan senantiasa
menuntun para pelaut itu menuju anak dan istri yang
setia menunggu hasil tangkapan demi berputarnya

285
Alang-alang Timur

roda kehidupan. Bila dilihat dari tanah lapang,


bintang tampak seperti berjalan perlahan-lahan dari
timur ke barat. Sebenarnya, bumilah yang bergerak
memutar, bukan bintang. Bumi memerlukan 24 jam
untuk satu kali putaran, sehingga kita melihat
bintang kembali ke tempat yang sama dalam 24 jam.
Bintang memang benda langit yang konsisten!
Bintang-bintang lahir dan mati layaknya
manusia di seluruh jagat raya. Benda langit yang
berkedip-kedip itu bermula dari sekumpulan awan
raksasa dari debu dan gas. Materialnya terkumpul
dalam gumpalan-gumpalan yang disebut nebula1.
Masing-masing gumpalan itu mengandung percikan-
percikan gas yang menguap, lalu lenyap. Itulah
bintang mati. Demikian seterusnya, tanpa lelah
mereka berbagi keindahan dengan langit.
Karena jauhnya jarak antara benda-benda di
angkasa dan bumi, cahaya kecil gemintang memer-
lukan waktu lama untuk mencapai bumi. Berarti,
bintang yang kita lihat sekarang adalah bintang
yang dalam keadaan bercahaya sekitar 1800 tahun
silam. Cahaya indah yang kita nikmati malam ini
adalah cahaya yang meninggalkan bintang kira-kira
pada masa Romawi Kuno dulu.

1
Awan besar yang terdiri dari debu atau gas, berkilau karena memantulkan
cahaya atau energi panas dari bintang-bintang di dalamnya.

286
Sang Pelopor

Bintang-bintang yang kelihatan kecil itu tidak


tersebar acak di angkasa, melainkan mengelompok
dalam sebuah gugusan yang disebut galaksi, yang
terbentang luas di ruang angkasa yang kosong. Pada
mulanya, ruang angkasa tak lebih dari ruang hampa.
Namun, sejak Allah menciptakan bulan, bintang,
dan matahari, ruang angkasa bagai senantiasa
berpendar – baik siang maupun malam – memberi-
kan cahaya pada kehidupan.
Di malam hari yang cerah seperti saat ini, meski
tanpa rembulan, sebuah gugusan putih dan kabur
tampak terbentang di angkasa. Karena letaknya
begitu jauh, maka ia hanyalah serupa kabut di langit
luas. Itulah Bima Sakti. Ia terbentuk dari miliaran
bintang yang terlihat indah, seperti debu yang beter-
bangan atau semacam kabut tipis.
Langit memang tidak kenal lelah memberikan
pesonanya kepada siapa pun. Di sebelah tenggara
alam raya, bulan sabit tanggal satu memancarkan
cahaya yang sangat lemah. Cahaya itu lebih mirip
kumpulan seratus bintang yang membentuk cincin.
Kendati begitu lemah, sinarnya mampu memberi-
kan warna tersendiri bagi keindahan langit.
Bulan tanggal satu selalu sama seperti dulu,
bahkan sebelum manusia tercipta. Bulan sabit tipis

287
Alang-alang Timur

itu begitu kerap menjadi saksi berjuta peristiwa yang


dialami manusia di muka bumi. Mungkin, bulan
sabit itulah yang pertama kali menerangi hati Adam
ketika diusir dari surga. Bulan itu pun berteriak
menolak kala Ibrahim menyebutnya sebagai Tuhan.
Bahkan, sang rembulan itulah yang sedikit mene-
rangi perjalanan Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Namun, bulan hanya bisa diam saat umat
manusia berbuat banyak dosa seraya memanfaatkan
terang cahayanya. Sang bulan memang tak pernah
pilih kasih antara pendoa dan pendosa….
Bulan yang terang sebenarnya hanyalah sebuah
bola batu sangat besar dan dingin, namun bercahaya
karena memantulkan sinar matahari. Bulan berputar
perlahan-lahan mengelilingi bumi selama satu
bulan. Pada saat mengelilingi bumi, sebenarnya
bulan juga berputar pada porosnya. Bagian bulan
yang terlihat benderang dari bumi adalah sisi yang
terkena cahaya matahari.
Ketika mengelilingi bumi, bagian bulan yang
bercahaya tampak dari berbagai sudut, sehingga
seolah-olah terlihat berubah bentuk. Sebenarnya,
mata manusialah yang tertipu, sebab bulan tidak
pernah berubah sama sekali. Ketika tanggal satu,
bulan berada pada satu garis lurus antara bumi dan
matahari, sehingga bagian yang dapat dilihat dari

288
Sang Pelopor

bumi hanyalah berbentuk cincin tipis yang sedikit


melengkung.
Kala berada pada titik paling jauh dari matahari,
bulan akan tampak bundar penuh. Inilah bulan
purnama; satu saat yang ditunggu anak-anak Desa
Nengahan untuk bermain di halaman Pak Lurah.
Bulan purnama adalah bulan nostalgia bagi siapa
saja yang pernah menikmati terangnya. Cahaya yang
lembut dengan sedikit keperakan seakan menghalau
kegelapan. Bola bundar itu telah memberikan
terangnya kepada dunia, tanpa pilih kasih, tak
membeda-bedakan status. Semua memperoleh
cahaya terangnya, tanpa terkecuali. Sang purnama
pun telah mengajari kita cinta dengan memberi.
Angin malam yang kering menggoyang pucuk-
pucuk daun. Suasana senyap. Tenang. Hening. Tak
ada suara-suara, kecuali nyanyian malam. Berdiri di
satu pijakan tanah, Sulthan mencoba memaknai
semua itu. Namun, tiba-tiba….
Dari tempat anak itu berdiri, tepat di atasnya,
terlihat semacam bola api raksasa. Sulthan mengira,
itu adalah kiriman teluh dari orang yang jahat. Tapi,
bukan. Kiriman santet tidak sebesar itu. Sebab, bola
api itu lebih besar dari yang pernah dilihatnya. Bola
menyala itu semakin lama kian terlihat berpendar
dan membesar. Cahayanya lebih silau dari rembulan.

289
Alang-alang Timur

Angin serasa berhenti bergoyang, seperti ada


tangan yang menghentikannya. Dan, suara malam
pun tercekat. Tidak ada gerak. Tidak ada suara.
Hanya ada benda asing dari angkasa yang terlihat
kian jelas. Bentuknya serupa komet, tapi lebih besar
lagi. Semula, Sulthan mengira cahaya terang itu
meteor yang nyaris menabrak bumi. Namun, dia
salah. Bagaimanapun, meteor akan terbakar di
atmosfer sebelum pernah mencapai bumi. Walaupun
kadang-kadang ada yang lolos, tapi besarnya tak
lebih dari sekepalan tangan.
Sesuatu yang dilihat anak itu bukanlah meteor.
Sungguh, benda angkasa itu lebih besar, bahkan
mungkin ratusan kali lebih besar. Atau, mungkin
itu matahari yang makin mendekat ke bumi dan
berarti akan segera kiamat!
Tetapi, yang Sulthan lihat itu benar-benar bukan
matahari. Andai itu mentari, pasti panasnya akan
sangat terasa, meski jaraknya masih jauh. Saat ini,
tidak ada panas sama sekali. Hanya saja, cahayanya
memang seterang matahari. Benda raksasa itu terus
mendekat, dan Sulthan panik sekali. Namun, belum
sempat rasa panik hilang, benda angkasa itu telah
sampai di atasnya. Sulthan bingung mau lari ke
mana. Baginya tidak ada tempat yang aman untuk
menyelamatkan diri seketika.

290
Sang Pelopor

Apa pun yang akan terjadi, dia hanya bisa pasrah.


Tapi, untuk mati sekarang, terus terang ia belum
siap. Masih begitu banyak dosanya yang belum
terhapus, masih banyak pula cita-citanya yang
belum terlaksana. Sulthan begitu ingin membangun
kembali laboratorium tempatnya bereksperimen.
Sulthan pun ingin sekali melanjutkan sekolah ke
negeri yang pernah diceritakan Pak Hadi, tempo
hari. Ya, dia ingin ke sana, ke lembah luas yang diapit
dua gunung. Dia juga belum seutuhnya merealisasi-
kan gagasan untuk menerangi semua sudut Desa
Nengahan dan Kampung Sawah. Apa pun yang
terjadi, Sulthan tidak mau mati sekarang! Titik!
Bola itu tak berhenti merangsek dengan
kecepatan penuh. Semakin mendekat, terus meng-
hampiri, dan….
Blaaaarrr…!!!
Ledakan yang maha dahsyat terjadi seketika.
Serupa supernova2. Mungkin, ledakan itu lebih besar
dari bom nuklir yang dijatuhkan Amerika di
Hiroshima. Seluruh bumi bercahaya, asap pun
membubung tinggi ke angkasa hingga menutupi
seluruh atmosfer.
Lama sekali kegelapan menyelimuti bumi. Tiada
yang lain, selain kelam. Setelah berjam-jam atau

2
Ledakan bintang yang begitu dahsyat.

291
Alang-alang Timur

mungkin berhari-hari, pekat akan menyelubungi


seisi bumi. Di kanan dan kiri titik ledakan muncul
serpihan cahaya kecil, begitu banyak. Seperti
bermiliar kunang-kunang menjadi satu.
Sejenak, suasana kembali benderang, bahkan
lebih terang dari siang hari. Saat itulah kehidupan
bagai kembali berjalan. Angin kembali berdesir
lembut, pohon-pohon pun menari-nari lagi. Sayup-
sayup, suara jangkrik mulai terdengar. Tidak ada
yang berubah setelah dentuman dahsyat itu, seolah
tidak terjadi apa-apa. Bahkan, madrasah reot tempat
Sulthan menuntut ilmu pun masih utuh. Padahal,
ia melihat bola angkasa itu seperti sengaja menuju
sekolah, seakan ingin melumat dan mengakhirinya.
Namun, Sulthan salah. Bola bercahaya itu hanya
masuk ke madrasah, tanpa meninggalkan bekas apa
pun.
Satu yang aneh, sekolah negeri tempatnya dulu
menuntut ilmu tiba-tiba hancur berantakan, bahkan
tanpa tersisa. Bagai ada kekuatan gaib yang meng-
isapnya, hanya menyisakan padang rumput yang
luas dan sebuah papan besar yang bertuliskan nama
sekolah dasar itu. Hanya itu yang tertinggal.
Sungguh, hanya itu. Mungkin, papan itu sengaja
ditinggalkan sebagai prasasti bahwa di sana pernah
berdiri sebuah sekolah. Sebatang pohon rindang

292
Sang Pelopor

yang berdiri di pojok halaman sekolah juga ikut


lenyap. Terisap entah ke mana.
Belum hilang rasa kaget Sulthan, dari arah
penjuru mata angin muncul begitu banyak orang
dengan berbagai macam ciri dan warna kulitnya. Dia
bahkan melihat orang berkulit putih terang dan
merah berduyun-duyun, juga orang yang bermata
sipit bersicepat sambil membawa buku dan pena
menuju madrasah yang catnya hampir mengelupas
itu. Mereka bersekolah di sana. Dan, yang membuat
Sulthan tidak percaya dengan pandangannya sendiri,
dialah yang mengajar mereka.

***

“Benarkah mimpimu itu, Sobat?” tanyaku,


spontan dan penuh rasa ingin tahu.
“Benar, Li! Demi Allah…! Tidak aku kurangi,
tidak aku tambahi…,” jawab Sulthan, jujur.
“Kalau benar, kira-kira apa maksudnya? Menu-
rutmu sendiri apa, Than?” lanjutku, kembali
bertanya.
“Menurutku, sekolah dengan sistem primitif
yang diterapkan SD yang dulu akan hilang. Lenyap.
Sebab, sistem itu telah membelenggu kreativitas.
Sedangkan sistem yang dicontohkan madrasah kita

293
Alang-alang Timur

akan berjaya, karena lebih memanusiakan siswa.


Bahkan, aku melihat lebih dari itu! Lebih canggih!”
begitu bersemangat, Sulthan coba membaca mimpi-
nya semalam.
Serasa dikejar penasaran menggunung, aku tak
ingin melepaskan rasa ingin tahuku, secuil pun.
“Maksudmu?” tanyaku lagi kepada sahabatku yang
berbeda itu.
“Sekolah masa depan akan diterapkan sesuka
hati muridnya. Mereka akan sekolah di mana pun
mereka mau. Apakah di dapur sambil memasak, di
ruang tamu sambil minum kopi bersama keluarga,
atau di kebun sambil menyirami tanaman. Mungkin
juga di sawah atau tambak. Pokoknya, di tempat
mana pun mereka suka. Waktunya juga kapan saja
mereka inginkan. Mereka bisa mulai sekolah jam
sepuluh atau jam sebelas, kalau lagi males bangun
pagi. Atau, barangkali setelah shalat Subuh sambil
tadarus…!” seakan tak putus, kata-kata Sulthan
mengalir begitu deras.
Aku mencoba paham apa yang dikatakan
temanku itu, tapi rasanya sulit. Sebenarnya, aku
sependapat dengan Sulthan bahwa sekolah yang
membunuh kreativitas atau menceraikan murid dari
alam dan lingkungan sosial harus ditutup, diganti
dengan perguruan yang membebaskan. Seorang

294
Sang Pelopor

siswa bahkan bisa dan berhak untuk berkata “tidak”


untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nurani-
nya.
Seiring dengan bergulirnya waktu, rupanya
kondisi Sulthan semakin parah. Kegilaannya kian
menjadi-jadi. Mungkin, obat penawarnya sudah
habis sehingga gilanya kumat, atau bisa jadi dia salah
obat. Ketika kambuh, anak itu ke apotek untuk beli
obat penawar gila. Namun, petugas apotek yang
kurang paham ceracauannya, justru memberinya
obat atau semacam kapsul putih kecil dengan tulisan
kecil pula. Orang hanya bisa membacanya dengan
kaca pembesar: “obat penambah gila 250 mg.”
Kegilaan Sulthan terus berlanjut, seiring dengan
semakin banyaknya rumah penduduk Kampung
Sawah yang teraliri listrik dengan penemuan gilanya.
PLTL benar-benar telah membuatnya gila. Dunia
pun ikut gila.
“Gila adalah ledakan cita-cita ditambah kerja
keras…!” kata Sulthan, suatu hari mengomentari
kegilaannya.
“Lalu, orang-orang bule yang sekolah di
madrasah kita?” tanyaku yang sok paham akan
keterangannya tadi.
“Aku tidak mau mendahului takdir, Li. Namun,
menurutku, Klaten adalah kabupaten strategis,

295
Alang-alang Timur

terletak di antara dua kota budaya terbesar di Jawa,


bahkan di Indonesia. Dengan tidak digarapnya
sektor pendidikan di Klaten, berarti Pemkab telah
mengkhianati fitrah geostrategisnya. Kalau mau,
Pemkab bisa mulai dari daerah-daerah yang letaknya
berdekatan dengan Jogja dan Solo. Dalam hal ini,
Prambanan dan Delanggu bisa jadi semacam pilot
project. Aku yakin, Klaten pun bisa mengejar keter-
tinggalannya dalam bidang pendidikan. Kalau pen-
didikan kita maju, kita tidak usah mengundang
orang luar negeri. Sebab, merekalah yang akan ber-
duyun-duyun mendatangi kita,” tambah Sulthan,
berapi-api.
Sementara itu, aku bertambah bingung dengan
arah pembicaraan ini. Harus ke arah mana kami
melanjutkannya? Ah, biarlah cita-cita kami yang
akan menuntun setiap kata dan kalimat yang
terucap, layaknya pengaruh paradoks Edison pasal
8 ayat 2: “Cita-cita adalah ledakan inspirasi ditambah
ribuan percobaan, atau akar kuadrat dari ribuan
kesalahan dan kegagalan.” []

296
Sang Pelopor

26
Syarat Kelulusan

P agi baru saja bergulir, membuka hari yang


sangat cerah di pertengahan musim kemarau.
Di pintu gerbang berupa tanaman teh-tehan,
bersurai-surai hiasan tampak menawan. Sementara
di halaman, berdiri kukuh tenda dengan kursi-kursi
berderet rapi di bawah naungannya. Tenda itu juga
berhiaskan aneka warna kertas yang dirangkai oleh
tangan-tangan terampil warga perguruan ini.
Sungguh hiasan yang panjang dan pendeknya
berselang-seling teratur.
Di ujung depan kursi yang berderet-deret itu,
sebuah meja kayu yang sudah lapuk ditutupi kain
bermotif, seakan ingin menyembunyikan diri dari
pandangan kami. Walaupun sudah uzur, kami tetap
merawatnya dengan baik, seperti merawat sebuah

297
Alang-alang Timur

barang antik. Meja itulah saksi sejarah perjalanan


Madrasah Kampung Sawah. Di atasnya, hasil karya
kakak-kakak kami terdahulu diletakkan berjajar. Ya,
benda antik itu telah banyak bercerita tentang semua
usaha yang dilakukan para pendahulu kami.
Meja itu tetap membisu dengan segala karya
yang ditempatkan di atasnya. Tanpa komentar, tanpa
mencela. Sebab, yang dinilai dari sebuah karya adalah
usaha, bukan hasil. Bahkan, meja itu juga pernah
menampung sebuah catatan yang menceritakan
tentang percobaan yang dilakukan salah satu
pendahulu kami; eksperimen tentang obat nyamuk
alami yang tidak menyesakkan dada. Hingga batas
kelulusan, ia tak pernah menyerahkan hasil
percobaannya. Hanya catatan kegagalan demi
kegagalan dari eksperimen itulah yang dia serahkan.
Namun, meja tua telah menyaksikan kepala sekolah
tetap memberikan kelulusan kepada siswa itu.
“Hanya ini yang dapat saya persembahkan, Pak
Guru…,” ucapnya seraya menyerahkan catatan
kegagalan eksperimennya.
“Tidak apa-apa, Anakku. Ini sudah cukup.
Kamu kunyatakan lulus. Pesan Bapak, jangan
berhenti mencoba!” kata Pak Hadi, mencoba tetap
memompakan semangat bagi sang murid. Sungguh
orang tua yang bijak.

298
Sang Pelopor

Seandainya punya mulut, mungkin meja itu


akan tersenyum sembari memperlihatkan giginya
yang putih bersih karena rajin gosok gigi.
Jarum jam belumlah menunjuk angka enam,
tapi kursi-kursi itu sudah terisi penuh, berselang-
seling antara orang tua wali dan anaknya. Hari ini
adalah hari yang bersejarah bagi madrasah kami.
Karena, di sinilah hasil karya kami akan diuji
sekaligus dinilai.
Hadir di bagian paling depan, Pak Hadi tampak
memakai jas lengkap dengan peci. Meski warnanya
sudah agak pudar, namun tetap terlihat rapi.
Sepatunya pun begitu. Selama aku sekolah di sini,
tak sekali pun kulihat beliau bersepatu selain yang
dikenakan hari ini. Sementara itu, dewan guru
memakai baju safari terbaik yang mereka miliki. Di
pelataran, pada deretan kursi, tampak beraneka
macam pakaian warna-warni. Ada yang pakai surjan
seperti laskar Mataram. Ada yang berkemeja lengan
pendek atau kaos. Bahkan, ada juga yang mengena-
kan sarung. Rupanya, anak ini baru saja disunat.
Di awal acara, semua berjalan seperti air yang
mengalir. Namun, tidak bagi dewan guru. Semua
anak begitu istimewa di hari ini. Bagaimanapun,
anak-anak telah berusaha membuat karya yang
terbaik.

299
Alang-alang Timur

Abadi maju dengan temuannya tentang pena-


war keracunan gadung. Menurutnya, obatnya sangat
mudah, yaitu degan ijo diminumkan dengan terlebih
dahulu membaca basmalah. Tidak boleh ada yang
kurang di antara keduanya.
“Dengan basmalah saja tidak sembuh. Begitu pun
jika hanya dengan degan ijo saja. Kalaupun sembuh,
tidak akan berkah,” jelas Abadi, lantas mundur dengan
bangga sekali. Menurutnya, penawar itu merupakan
gabungan dua pengobatan tertua di dunia.
“Pengobatan Jawa dan Arab,” katanya, mantap.
Setelah kursi berderit karena beradu dengan
tubuh Abadi, majulah teman-temanku selanjutnya.
Bardi dan kelompoknya menyerahkan sebuah asbak
batu yang diukir dengan tatahan-tatahan lembut.
Dewi maju ke podium dengan sebuah map biru di
tangan kanannya. Di hari istimewa itu, dia mem-
bacakan sebuah cerpen. Tapi, kukira itu bukanlah
cerpen, karena Dewi membacanya selama hampir
setengah jam. Atau, mungkin itu sebuah novel.
Ah, apa pun istilahnya, itu tidak penting, sebab
Dewi membacakan karyanya dengan sepenuh
penghayatan. Hari ini, Dewi berkisah tentang kakak
beradik Ayesha dan Ayash. Kedua anak itu tetap
berusaha berangkat ke sekolah, meski harus berjalan
di bawah todongan senjata Israel.

300
Sang Pelopor

Di jalanan Gaza yang tak begitu ramai, dengan tas dan


sepatu baru, Ayesha menggandeng adiknya melewati
kebun-kebun kurma yang tak begitu luas. Kebun itu
adalah sedikit tanah kosong yang ada di kotanya,
tampak menghijau di tanah yang tandus. Mungkin,
pemiliknya telah mempraktikkan pepatah kuno nenek
moyangnya. Katanya, kalau menanam kurma, tindihlah
tunas-tunas lemah itu dengan batu, lalu gantilah batu
itu seiring dengan pertumbuhannya. Maka, pohon kurma
itu tumbuhnya tidak ke atas, tapi ke bawah. Akarnya
akan menghunjam ke tanah dengan kuat dan dalam.
Walaupun tumbuh agak terhambat sehingga tampak
kerdil, tapi kurma itu tanaman yang sangat kuat.
Akarnya akan senantiasa basah dengan air. Meski
kemarau sangat panjang, dia akan senantiasa hidup.
Setelah melewati Pasar Khout Hanoum, mereka
menyeberangi jalan raya. Hampir saja sebuah sepeda
motor jelek menyerempet Ayash, tapi sang kakak segera
menarik tangannya. Sebenarnya, itu salah Ayash yang
menyeberang jalan dengan berlari. Dipeluknya sang
adik yang shock. Lalu, Ayesha menasihati adiknya
supaya berhati-hati ketika menyeberang jalan.
Tiba di sekolah, mereka berdua segera berpisah,
menuju kelas masing-masing. Hari itu ternyata hari
berduka bagi sekolah Ayesha. Sang guru sejarah, Umi
Dareen al-Akhrash, meninggal dunia. Suasana
berkabung membayang di wajah anak manis itu. Ketika

301
Alang-alang Timur

istirahat, mereka berdua dan semua teman asyik


mengunyah bekal. Namun, mereka makan dalam diam.
Masih terbayang dengan jelas, belum satu bulan yang
lalu, Umi Zaenab meninggal selepas mengajar. Ada dua
butir peluru bersarang di dadanya. Dan, sekarang guru
sejarah yang baik hati itu menyusul. Entah siapa lagi
yang akan bertemu nasib serupa.
Saat pulang, Ayesha dan Ayash melewati Pasar
Khout Hanoum lagi. Tapi, suasana telah berbeda. Banyak
sekali artileri berbendera bintang david berlalu-lalang
di jalan sempit itu. Penjual yang ketakutan segera
menutup tokonya. Dari arah berlawanan, arak-arakan
ribuan mahasiswa sedang berdemo menghujat kekejian
tentara Israel karena telah membantai dua bocah yang
baru belajar merangkak.
Foto-foto di koran bahkan memperlihatkan seorang
kakak tengah memangku adiknya yang masih sangat
kecil dan tertembus enam butir peluru. Tiga di kepala
dan lainnya menyebar di perut. Mereka seperti sedang
berangkulan. Yang lebih mengenaskan, hasil forensik
menyebutkan bahwa anak itu tertembak dari jarak yang
sangat dekat, tak lebih dari empat meter. Di bawah kiri,
terpampang jelas komentar Komandan Shinbet1,
“Tentara kami hanya membela diri.”

1
Badan Intelijen Israel.

302
Sang Pelopor

Sungguh sebuah komentar yang menyiratkan


kebodohan dan ketumpulan nurani komandan badan
intelijen Israel itu.
Ayash dan Ayesha berjingkat-jingkat melewati
tank-tank berpeluru penuh. Rupanya, mereka sangat
terbiasa dengan keadaan ini. Ketika telah melewatinya,
kedua anak kecil itu menarik napas lega. Mereka
berjalan dengan sedikit berlari menuju rumah. Dari jauh,
keduanya melihat rumah mungil itu melambai-lambai
memanggil diri mereka. Umi Fatheema pun bergegas
menyongsong dua buah hatinya.
Sayang, belum sempat kaki kecil Ayash menginjak
halaman rumah, sebutir peluru menerjang kepalanya,
tepat di bawah matanya yang lucu itu. Tembus. Peluru
itu bersarang di tubuh bocah yang penuh semangat
itu. Namun, peluru Israel rupanya belum puas membunuh
anak-anak tak berdosa. Ya, peluru itu terus melesak,
melukai sang kakak yang terpaku di samping Ayash.
Satu luka menganga di lengan kiri Ayesha. Peluru itu
pun tertanam di sana….

Sejenak, Dewi berhenti membaca kisahnya. Air


matanya menetes di sudut-sudut hati gadis kecil itu.
Setelah dipendam semenjak tadi, akhirnya mendung
di sepasang matanya menjelma hujan.
Bila boleh kucoba menebak cerita selanjutnya,
mungkin Umi Fatheema akan berlari dan memeluk

303
Alang-alang Timur

kedua anaknya sambil memekik, “Kami tidak akan


menyerah!!! Kami akan terus dan terus melahirkan
generasi yang senantiasa menjaga dan memper-
tahankan al-Aqsha…!”
Tak ada sedih, tiada air mata. Sebab, air bening
itu sudah mengering ketika melihat dengan kepala
sendiri ayah, paman, kakak, dan keponakannya
mengalami nasib yang sama. Esok pagi, koran akan
memuat wajah Ayesha dan Ayash disertai berbagai
komentar Israel, “Kami terpaksa melakukannya,
karena mereka membahayakan tentara kami.”
Komentar yang aneh dan tak masuk akal.
Memangnya anak sekolah bersenjatakan apa?
Apakah pensil, penggaris, serta setip dapat mem-
bahayakan nyawa para tentara Israel? Usai tragedi
itu, para pemimpin Arab akan meradang dan marah.
Ya, hanya itu yang dapat mereka lakukan selama ini.
Tak lebih. Sebab, bagi mereka, Palestina bukan
wilayah kekuasaan mereka. Gejolak emosi mereka
pun hanya sebentar. Ya, hanya sebentar. Tanpa ter-
bebani, para pemimpin Arab pun akan segera
membuka halaman selanjutnya yang lebih menarik.
Bibir tebal mereka tersenyum ketika memperoleh
kabar bahwa harga minyak akan naik.
Dewi tidak melanjutkan cerpennya, lantas
mundur dengan bahu terguncang berirama. Semua

304
Sang Pelopor

hadirin terperangkap di kisi-kisi jalanan Gaza.


Sungguh, Dewi menulis bukan dengan tangannya,
tapi dengan hati nuraninya.
Di pagi yang merangkak naik, Dewi telah
menorehkan peta jalan hidup yang mungkin akan
dijalaninya kelak. Menjadi cerpenis…. []

305
Alang-alang Timur

306
Sang Pelopor

27
Tabung Pembangkit
Pembangkit
Tenaga Listrik

A ku tahu, setelah anak yang memakai sarung


itu – Rustam – tibalah giliranku. Namun, aku
ragu untuk melangkah maju ke hadapan semua
yang hadir. Aku berdiri dengan beban dua ton meng-
himpit tubuhku. Hampir saja aku duduk kembali
sebelum Bu Kusmini memanggil namaku. Akhir-
nya, aku pun berdiri di tempat yang sedikit lebih
tinggi ini dengan hati yang belum sepenuhnya siap.
Ah, seandainya saja ada waktu lebih panjang….
Aku membacakan catatan kecil di halaman
tengah buku agamaku. Kumulai dari latar belakang
pemilihan kasus, semua kegagalanku dalam
melakukan percobaan listrik tenaga angin, hingga
akhirnya aku menemukan formula tabung kompresor.
Semua kubacakan dengan tuntas, tanpa ada satu pun
yang kututupi.

307
Alang-alang Timur

Sejarah teori: Waktu aku main di bengkel dekat


pasar, ada seorang pengendara motor yang ban bela-
kangnya bocor. Salah satu mekanik mencoba menambal-
nya. Dia memompa ban supaya kelihatan gelembung-
gelembung udara ketika memasukkannya ke dalam air.
Jikaadagelembungudara,berartiadabagianbanyangbocor.
Setelah selesai, ban itu dipasang dan dipompa
dengan kompresor. Sesekali, terdengar suara mendesis
kala pompa itu tidak pas menyentuh ujung dop. Terlihat
plastik dan debu beterbangan terkena angin yang kuat
itu. Setelah orang itu pergi, aku meminta izin memeriksa
ujung selang kompresor. Ketika kutekan, bagian
tengahnya menyemburkan angin yang lumayan besar.
Aku jadi berpikir, inilah yang kucari-cari selama ini. Angin
padat. Ya, angin yang dipadatkan dan dimampatkan di
dalam sebuah wadah sederhana. Pengalaman ini
menginspirasiku untuk membuat listrik tenaga angin.
Tujuan teori: Untuk menciptakan energi listrik di
daerah atau pulau terpencil yang belum terjangkau
jaringan listrik. Di sana, biasanya listrik berasal dari
genset yang digerakkan mesin diesel. Sebenarnya, kita
bisa membuat genset sendiri dengan bahan yang
sederhana, murah, dan mudah dalam pengoperasian-
nya. Inilah yang saya sebut sebagai genset alternatif
tenaga angin. Ini teknologi yang sangat sederhana
dengan angin sebagai sumber energi untuk menggerak-
kan dinamo atau generator.

308
Sang Pelopor

Bahan-bahan yang diperlukan: Pertama, sebuah


tabung udara yang tebal. Tabung ini bisa berasal dari
tabung elpiji, tabung kompresor, atau tabung minyak
kompor mi ayam yang sederhana. Kedua, sebuah
dinamo yang bagian bawahnya dilengkapi kipas
pendingin. Kipas pendingin itu untuk menjaga suhu
aktivitas tetap stabil. Dinamo ini harganya sangat variatif,
tergantung merek dan besar kecilnya daya. Ketiga,
pompa angin motor. Keempat, keran angin. Kelima, dop
motor. Keenam, kisi-kisi pemutar atau baling-baling.
Ketujuh, empat batang besi sebesar jari. Ukurannya
sedikit lebih panjang dari tabung yang diperlukan. Besi
ini untuk meletakkan para-para yang berfungsi untuk
menempelkan dinamo. Kedelapan, kabel, saklar, fitting,
dan lampu bohlam. Kesembilan, las. Terakhir, bor listrik.
Cara merangkai: Pertama, buatlah dua lubang di
tabung udara bagian atas untuk memasang keran angin
di sisi tabung dan dop motor di sisi yang lain. Las dengan
rapat. Lalu, las sisi-sisi tabung dan besi yang telah
dipersiapkan. Lebihkan sepanjang kira-kira 10 cm di
atasnya untuk membuat para-para. Lubangi para-para
sebesar sekrup sebanyak mungkin untuk memudahkan
menyetel letak dinamo.
Siapkan dinamo yang ujung asnya telah terpasang
baling-baling pemutar dan kipas pendingin di ujung
satunya. Lalu, pasang alat itu di atas para-para dengan
mengarahkan baling-baling pemutar tepat di muka keran

309
Alang-alang Timur

angin. Apabila baling-baling bisa berputar sempurna,


berarti pemasangan telah betul. Jika sebaliknya,
geserlah sedikit maju atau mundur berdasarkan letak
lubang sekrup. Selanjutnya, rangkailah kabel dengan
lampu-lampu yang telah disiapkan. Jangan lupa
sambungkan salah satu kabel dengan saklar untuk
memudahkan mengoperasikan alat ini.
Cara kerja: Pompa tabung udara sampai penuh.
Buka keran angin pelan-pelan. Buka menurut
kebutuhan, jangan terlalu lebar. Sebab, itu meng-
akibatkan boros udara dan bohlam cepat putus. Jangan
pula terlalu kecil, sebab nyala lampu menjadi kurang
optimal. Ketika keran angin dibuka, angin mengalir
dengan deras. Tekanan angin yang keras memutar
baling-baling dinamo, yang berarti kumparan dinamo
telah berputar. Ketika dinamo berputar, terciptalah
energi listrik. Dalam hal ini, dinamo mengubah energi
gerak atau kinetis menjadi energi listrik. Energi listrik
ini dihubungkan dengan satu atau beberapa bohlam
menurut kebutuhan. Lampu pun akan menyala.

Usai menjelaskan semua proses eksperimenku,


aku berhenti sejenak untuk sekadar menarik sekian
banyak oksigen ke dalam paru-paru. Cukup lama
berbicara membuatku seakan kehabisan napas.
“Tapi, saya minta maaf karena sampai sekarang
hasil riset ini belumlah sempurna…,” ucapku, lirih.

310
Sang Pelopor

Aku pun melangkah mundur, mengambil


sebuah tabung udara yang tak begitu besar. Ku-
pompa tabung itu dengan kekuatan penuh. Perlah-
an, kubuka keran angin. Dinamo berputar seiring
berputarnya baling-baling. Aku makin keranjingan
memompa. Dinamo itu berputar kian kencang, lalu
kutekan saklar di samping handle tabung udara.
Lampu pun menyala.
Seketika, tepuk tangan terdengar membahana
di aula sekolah. Ini adalah sambutan paling meriah
sejak tadi pagi. Aku makin semangat memompa
sambil sesekali menyeka keringat dengan ujung
baju. Pak Hadi mendekat, Sulthan menghampiri
seraya menyuruhku berhenti. Tak terduga, ber-
barengan dengan berhentinya upayaku memompa,
lampu pun padam. Aku terengah-engah kelelahan.
“Kayaknya ada yang tidak beres dengan tabung
ini, Li…,” ujar Sulthan yang diiyakan Pak Hadi.
Di bawah kata-katanya, aku seperti tersihir
takluk. Bagaimanapun, Sulthan adalah empu
setrum. Mungkin, dia tahu penyebab mengapa
angin di dalam tabung udara itu cepat berkurang.
Bergegas, Sulthan berlari ke gudang untuk
mengambil ember. Diisinya ember itu dengan air.
Dicelupkannya tabung eksperimenku ke dalam air
itu sampai bagian leher. Aku pun disuruh memompa

311
Alang-alang Timur

tabung udara. Benar saja. Gelembung-gelembung


udara keluar seketika dari body tabung itu.
Sekarang, aku baru tahu bahwa kebocoran itulah
penyebab udara tidak bisa tersimpan lama di dalam
tabung. Padahal, menurut perhitunganku, dari besar
tabung dikurangi keluarnya udara lewat keran,
maka paling tidak akan bertahan hingga dua jam.
Ya, dua jam!
Aku tertegun memandang rambut Sulthan
yang keriting itu. Air mata pun menetes tanpa
mampu kucegah. Kurangkul teman, sahabat,
sekaligus saudaraku itu. Hari ini, aku kalah lagi. Aku
harus mengakuinya….
Sore telah menjelang. Namun, belum semua
siswa memperagakan atau sekadar menyerahkan
hasil karyanya. Tahun ini, angkatan kami telah
mencatat sejarah baru bagi madrasah karena untuk
menguji dan menilai semua karya dibutuhkan
waktu lebih dari satu hari. Hal yang selama ini
belum pernah terjadi.
Biarlah pengalaman itu menjadi suatu pemicu
yang mungkin tak akan pernah kami jumpai di masa
mendatang. Pembangkit semangat berkarya,
sekaligus berpacu di antara berbagai keterbatasan
yang menghadang. Ya, begitulah arti dari salah satu
tahap perjalanan kami menempuh cita-cita di hari

312
Sang Pelopor

ini. Satu yang kami yakini, kami tak boleh berhenti


berproses, sebagaimana ungkapan paradoks Edison
pasal 20 ayat 1: “Jangan hanya menjadi konseptor yang
pandai berkhayal, tapi jadilah kreator dan nikmatilah
proses.” []

313
Alang-alang Timur

314
Sang Pelopor

28
Terobosan Motor Listrik
Full Charger

P agi ini, aku dipanggil kepala sekolah untuk


kembali memaparkan hasil eksperimenku
yang kemarin belum sempurna. Aku maju tanpa
teks. Hanya tabung udara yang kubawa serta ber-
samaku. Setelah menyempurnakan beberapa
kalimat terakhir, aku segera memompa tabung yang
sedikit berkarat itu, perlahan-lahan.
Dalam pemaparan kali ini, keanehan kembali
menyapaku. Sebab, meski aku berbicara tanpa
catatan, tahap demi tahap percobaan itu berhasil
kuungkapkan dengan jelas. Memang, rasa percaya
diri telah membuka simpul-simpul sarafku,
sehingga kata-kataku mengalir sangat lancar.
Setelah tabung udara kurasa penuh, perlahan-
lahan kubuka keran udara yang menonjol di atas

315
Alang-alang Timur

tabung itu. Lampu pun menyala, kendati redup.


Makin banyak udara yang keluar, kian teranglah
lampu, seolah ingin bersaing dengan terangnya siang
hari. Kembali, hadirin dan dewan guru bertepuk
tangan sambil berdiri. Ini adalah applause kedua
setelah puluhan, bahkan ratusan kali keterpurukan-
ku karena kegagalan demi kegagalan yang pernah
kulewati. Bukan. Bukan kegagalan, melainkan
kebelumsempurnaan yang satu saat nanti pasti
terbayar oleh keberhasilan.
Seperti halnya Edison saat merayakan keme-
nangannya dulu. Seorang wartawan bertanya
tentang apa yang dirasakan sang ilmuwan setelah
kegagalan ke-9.999. Seketika, mata Edison me-
merah. Ya, amarah menggelayuti sorot tajam
sepasang matanya.
Edison berkata dengan mantap, “Aku tidak
pernah gagal. Keberhasilanku yang kuraih pada
percobaan ke-10.000 itu adalah klimaks dari belum
sempurnanya semua upayaku sebelumnya. Jadi,
sekali lagi, jangan pernah bicara kegagalan. Itu
adalah proses. Aku tidak akan pernah berhasil kalau
aku berhenti di percobaan yang ke-9.999…!”
Ucapan Edison itu pun membuat sang wartawan
terdiam seketika, lantas segera meminta maaf. Kini,
apa yang pernah dikatakan Edison itu sanggup

316
Sang Pelopor

menyemangati diriku untuk terus maju. Kuanggap


kegagalan sebagai bagian dari langkah diri ini dalam
meraih masa depan.
Sungguh, pagi ini aku ingin sedikit menuliskan
legenda hidupku di tabung merah kecokelatan itu.
Mungkin, tabung listrik mikro itu akan menemani
belajarku di malam hari, demi merealisasikan cita-
cita besarku, yaitu menjadi sang penerus bagi
Madrasah Kampung Sawah.

***

Aryo mengemukakan hipotesis tentang peluang


bisnis kerupuk. Peluang itu meliputi produksi,
keagenan antardaerah maupun pengecer. Untuk
yang terakhir ini berpeluang sangat bagus. Sebab,
di luar wilayah Klaten, masih jarang dijumpai
kerupuk. Mungkin, keadaan ekonomi keluargalah
yang memicu jiwa wirausaha Aryo begitu menukik.
Selepas Aryo, Karang meninggalkan tempat
duduk dengan didampingi sang ayah. Dia memberi-
kan sebuah benda kotak tak begitu tebal yang
dibungkus kain mori. Ketika kain itu dibuka,
tampak dua buah daun jendela berkaca bening yang
tebal. Di kedua ujungnya tertulis kecil nama Karang.
Sekilas, aku berpaling ke jendela yang paling
belakang di dekat tempat dudukku. Jendela ruang

317
Alang-alang Timur

kelas kami. Hampir setahun ini, jendela itu tak bisa


dibuka karena bingkai kayunya melapuk. Aku pun
mengerti, Karang berbicara dengan karya, bukan
dengan mulutnya. Tanpa membuang waktu, dia dan
ayahnya segera mengganti daun jendela yang rusak
itu. Tak terasa, ada cairan bening di sudut mata Pak
Hadi dan dewan guru. Karang telah mengajari kami
tentang cinta dengan memberi, bukan dengan kata.
Setelah Karang mundur, Seno maju dengan
sepeda BMX-nya. Sebelum berbicara sepatah kata,
dia menunduk bagai orang yang tengah berdoa. Dia
seperti orang yang sedikit religius di pagi ini. Usai
mengucapkan salam – yang dibalas oleh hadirin –
Seno membaca basmalah untuk mengawali kuliah
paginya. Seno pun membacakan makalahnya:
“Motor Listrik Charger Otomatis.”
Latar belakang teori: Akhir-akhir ini, kebutuhan
akan kendaraan terus meningkat, baik di Indonesia
maupun di dunia. Ini berakibat terus naiknya
permintaan minyak bumi sebagai bahan bakar.
Padahal, bahan bakar tersebut otomatis dapat
meningkatkan kadar karbondioksida yang men-
cemari udara. Selain itu, minyak bumi adalah bahan
tambang yang tidak dapat diperbarui, sehingga
suatu saat akan habis. Oleh karena itu, perlu dicari
energi alternatif untuk motor.

318
Sang Pelopor

Sekarang banyak dikembangkan energi hijau


yang berasal dari biji-bijian. Energi hijau ini lebih
ramah lingkungan. Menurut saya, ini kurang efektif
karena bisa berbenturan dengan kebutuhan manusia
akan bahan dasar dan lahan, suatu saat nanti. Oleh
karenanya, sekarang adalah saat yang tepat untuk
mencari energi yang mudah, murah, dan tidak
berbenturan dengan kebutuhan manusia.
Kini sudah ada sepeda motor yang digerakkan
dengan energi listrik. Namun, motor itu ada batas
waktu maksimalnya karena keterbatasan cadangan
energi di accumulator. Pengembangan terbaru lebih
pada body dan kapasitas energi cadangannya. Saya
mencoba membuat prototype agar motor ini bisa
mengisi accumulator pada saat digunakan.

Sejarah teori: Pada tanggal 22 Maret, diadakan praktik


kelistrikan di saung belakang sekolah, lalu dilanjutkan
pada hari-hari berikutnya. Ada satu hal yang menarik
perhatian saya, yaitu perubahan energi listrik menjadi
energi kinetis yang ditandai dengan berputarnya motor
listrik kecil itu. Aku membayangkan, seandainya motor
listrik itu diperbesar dengan energi yang besar pula,
mungkin bisa mendorong roda motor sehingga bisa
berjalan.
Ketertarikanku yang kedua adalah perubahan
energi kinetis menjadi energi listrik yang ditandai

319
Alang-alang Timur

dengan menyalanya lampu yang disusun seri. Aku


membayangkan, seandainya dinamo diperbesar, mungkin
energinya juga akan lebih besar. Dalam percobaan ini,
saya menambahkan sebuah accumulator kering yang
berfungsi sebagai alat penyimpan energi. Dengan
begitu, alat tersebut menjadi lebih mudah dioperasikan.

Seno terus menyambung kalimat satu dengan


kalimat lain. Suaranya teratur dengan intonasi yang
pas, seolah semua perkataannya telah dipersiapkan
sebelumnya. Satu hal yang hilang dari temanku
yang doyan makan itu ialah gaya kocaknya. Di depan
hadirin, dia berbicara serius. Kurasa, itu sebuah
penghargaan untuk majelis ini. Harus diakui, Seno
adalah orang yang bisa membawa diri. Dia mengerti
dan bisa membedakan antara saat yang tepat untuk
membanyol dan mana yang tepat untuk serius. Kata-
kata dan iramanya sangat pas dan terkesan berhati-
hati. Sungguh sangat kontras dengan gayanya
keseharian yang ceplas-ceplos.

Bahan-bahan yang diperlukan meliputi sebuah sepeda,


satu accumulator kering sebagai penyimpan energi listrik
yang dihasilkan dinamo. Selain itu, dibutuhkan juga
dinamo yang akan mengubah energi gerak menjadi
energi listrik. Selanjutnya adalah motor listrik yang
mengubah energi listrik menjadi energi gerak. Yang

320
Sang Pelopor

terakhir, sebuah charger yang nantinya akan mengubah


energi listrik dinamo menjadi energi kimia yang disimpan
dalam accu.

Seno terus berlari. Tapi, dia berlari tidak untuk


bergegas mencapai titik finish. Sesekali, anak itu
berhenti untuk mengatur napas, seperti detik ini.
Suasana pun hening sesaat. Para hadirin bagai
terhipnotis oleh sosok gemuk Seno.

Ada beberapa cara untuk merangkai alat ini. Intinya,


bagaimana antara motor dan dinamo bisa bersinggungan
dengan roda belakang sepeda. Bisa dengan rantai atau
gigi-gigi yang melekat pada gear. Cara paling mudah
adalah dengan mengganti gear depan dengan motor
listrik, sedangkan pada garis lurus antara gear depan
dan garis belakang diberi dinamo. Sehingga, ketika
sepeda melaju seiring berputarnya motor, maka dinamo
pun ikut berputar.

Seno terus melaju dengan tekanan-tekanan


penuh, sambil sesekali tangannya menunjuk bagian-
bagian yang dimaksud pada sepedanya. Dia melesat
bagai anak panah. Sekali dilepas, Seno tak akan
pernah menoleh ke belakang sebelum menuju
sasaran yang tepat.

321
Alang-alang Timur

Cara kerja alat ini adalah ketika tombol on pada


saklar ditekan, dan gas (potensio)1 diputar, maka arus
akan mengalir dari accu menuju motor listrik. Semakin
besar potensio dibuka, kian besar pula arus yang keluar.
Dengan begitu, gas (potensio) juga berfungsi sebagai
pengatur laju sepeda. Waktu motor listrik melaju, maka
beriringan pula dengan berputarnya dinamo.
Dinamo yang berputar akan menghasilkan listrik,
lalu dihubungkan dengan charger. Charger mengubah
energi listrik menjadi energi kimia, lantas disambungkan
ke accu. Begitu seterusnya, sehingga arus di dalam
accu akan senantiasa penuh. Seberapa banyak arus
dikeluarkan, sebanyak itu pula arus akan diterima.
Semakin besar arus yang digunakan untuk memutar
motor, maka makin besar pula arus yang diterima accu.
Hukum kekekalan energi berlaku untuk alat ini.

Seno diam. Lengang. Rupanya, anak itu telah


mencapai finish dengan sukses. Sama sekali tak ada
lenguhan napas letih.
“Saya telah mencoba sepeda ini pergi pulang
Purwokerto – Klaten. Alhamdulillah, sepeda ini tak
pernah rewel, bahkan tanpa pernah mengisi ulang
arus. Mungkin, suatu saat nanti, saya akan membuat
sesuatu yang lebih simpel dengan membuat lilitan-

1
Pengatur keluarnya arus. Biasa digunakan untuk mengatur volume suara

322
Sang Pelopor

lilitan sendiri, yaitu roda belakang sebagai motor


listrik yang bertekanan dan roda depan sebagai
dinamo penyedia arus. Jadi, sambil melaju dengan
roda belakang, roda depan akan mengisi accu. Terima
kasih. Wassalamu ’alaikum…,” tutur Seno, meng-
akhiri rangkaian penjelasannya.
Tepuk tangan panjang pun menggema untuk
Seno. Suaranya seperti menampar-nampar tembok
sekolah yang catnya kelihatan baru itu. Itulah tepuk
tangan terpanjang pada pertemuan kali ini.
Pak Hadi menghampiri Seno seraya berucap
penuh bangga, “Terimalah takdirmu, Anakku.
Kamu lulus cum laude…!”
Seno telah mencoba memahat sebagian masa
depannya di madrasah yang atapnya hampir ambruk
ini. Di tempat inilah, kreativitasnya terasah dan
menemukan pelampiasan yang tepat. Mahakarya
sepeda motor listrik dengan charger otomatis. Motor
listrik masa depan. Dengan emisi buang nol persen,
tanpa bahan bakar, tanpa perlu men-charger. Jadi,
motor itu siap dipakai kapan pun, di mana pun, dan
di medan yang bagaimana pun. Selamat tinggal
motor bensin!!! []

323
Alang-alang Timur

324
Sang Pelopor

29
Sang Pendobrak
Pendobrak

G iliran Sulthan, anak itu kelihatan gugup dan


sesekali mengelap keringat di dahi. Kembali
dia membuka buku catatan di tangannya. Terka-
dang, Sulthan mencoretnya. Ada kala ia menuliskan
sesuatu atau menambahkan seperlunya. Edison
tanpa kacamata itu makin salah tingkah manakala
Seno telah mencapai kursi yang berada tepat di
belakangnya. Tangan usil anak bertubuh subur itu
menyenggol dagu, mempersilakan Sulthan untuk
maju. Namun, Sulthan bergeming. Terdiam dan
terpaku di bangkunya. Untuk mempersingkat
waktu, Tias pun berdiri, lantas menuju podium.
Langkahnya kecil-kecil, tapi pasti.
Siang yang panas pun sedikit dingin seiring
tampilnya anak lincah itu di panggung kehormatan.

325
Alang-alang Timur

Sebelum membacakan makalahnya, Tias sempat


mengajukan sebuah pertanyaan tentang apa yang
dilakukan terhadap nasi selamatan orang meninggal.
Memang, sudah menjadi kebiasaan masyarakat
ketika ada kerabat yang meninggal, maka akan
dibuatkan selamatan dengan memasak makanan
yang banyak – semacam pesta – yang kemudian
dibagikan kepada tetangga sekitar.
Tak disangka, pertanyaan itu dijawabnya sendiri.
“Menurut hasil survei saya yang melibatkan 120
orang responden, jawabannya bermacam-macam.
Sebagian kecil menyatakan, nasi selamatan dinikmati
untuk makan. Ada sebagian yang dijemur atau
untuk ternak. Sebagian lagi dibuang. Dan, yang
membuat hati saya miris, yang menyatakan nasi itu
dimakan tak lebih dari 12 orang yang berarti cuma
10%. Lalu, yang memberikan nasi itu untuk ternak
berjumlah 18 orang atau sekitar 15%. Sedangkan
sisanya, yaitu 90 orang atau 75%, menyatakan bahwa
nasi selamatan itu dibuang.”
“Kesimpulan yang dapat kita petik dari hasil
penelitian saya, yaitu terjadi pemborosan yang
mubazir dalam acara selamatan orang meninggal.
Benarlah sabda Rasulullah, bahwa kita tidak boleh
membebani keluarga yang berduka dengan kewa-
jiban memasakkan makanan. Bahkan, itu ada

326
Sang Pelopor

larangannya. Sebab, selamatan untuk orang


meninggal tak lebih dari tuntutan tradisi yang telah
mendarah daging, sehingga bisa mematikan logika
kita. Kita membuat masakan yang nantinya hanya
untuk ternak atau dibuang adalah perbuatan sia-
sia…,” ucap Tias, seakan tak terbendung. Tangannya
bergerak-gerak, turut meyakinkan bahwa uraiannya
itu benar.
Ya, gadis kecil itu telah mencoba mendobrak
tradisi dengan temuan ilmiahnya. Kami tercengang,
dewan guru mengangguk-angguk membenarkan-
nya. Walaupun begitu, ada sebagian hadirin tampak
tidak senang dengan temuan gadis pemberani itu.
“Bagaimana mungkin sebuah keluarga yang
kesusahan karena salah satu anggota keluarganya
meninggal, tapi masih dipaksa atas nama tradisi untuk
membuatkan slametan1 yang biayanya tidak sedikit?”
Tias masih memburu dalam kata-kata yang
begitu berapi-api, bagai politikus kampung
ngomong politik di kampung tetangga. Melesat
tanpa kendali.
“Bahkan, ada salah satu keluarga yang sangat
miskin yang untuk sekadar mengebumikan sang
anak yang meninggal saja harus ngutang. Bagai-

1
Selamatan.

327
Alang-alang Timur

mana mereka harus menetapi kewajiban yang


memberatkan itu? Kita harus bangkit bersama
untuk menentang tradisi ini. Sebab, memang tidak
ada manfaatnya. Hanya mudharat yang akan kita
dapatkan, bahkan dari segi agama pun demikian….”
“Lantas, solusinya bagaimana?” tanya Tias untuk
dirinya sendiri.
“Bagaimanapun, menciptakan konflik tanpa
dibarengi solusi hanyalah omong kosong. Saya
menawarkan sebuah penyelesaian yang lebih
bermanfaat. Seandainya sudah disiapkan dana untuk
selamatan, maka akan lebih bermanfaat jika uang
itu digunakan untuk membantu merenovasi masjid.
Atau, salurkan saja uang tersebut ke kas badan
wakaf. Kelak, akan digunakan untuk membebaskan
tanah demi pembangunan masjid, Puskesmas,
rumah sakit, atau membantu madrasah ini yang
atapnya sudah hampir roboh.”
“Saya tidak bisa membayangkan seandainya satu
desa, satu kecamatan, bahkan satu kabupaten
menyambut seruan saya ini. Niscaya tidak ada orang
Islam yang meminta-minta untuk membangun
masjid sambil membawa kotak infaq di jalan-jalan.
Bahkan, rumah sakit gratis dan sekolah gratis bukan
lagi mimpi. Tidak ada lagi anak cerdas yang berhenti
sekolah karena kekurangan biaya.”

328
Sang Pelopor

Tangan Tias masih menari-nari dengan berbagai


argumennya. Gayanya rancak seperti kijang yang
dikejar harimau. Menangkis, menghindar, dan terus
melaju, sembari sesekali menengok ke belakang
untuk melihat posisi penyerang.
“Ada dua efek positif apabila kita melaksanakan
program yang saya tawarkan ini. Pertama, efek
dunia seperti yang telah saya sebutkan tadi. Kedua,
efek akhirat. Insya Allah, sang almarhum atau
almarhumah akan senantiasa tersenyum karena
selalu memperoleh kiriman cahaya dari keluarga-
nya. Dia akan bahagia di alam sana. Sebab, amal
jariahnya tidak akan pernah terputus….”
Demikianlah Tias berbagi pemikiran dan
pemahamannya kepada semua yang hadir di hari ini.
Begitu jelas, begitu detail, dia berucap tentang semua
keyakinannya itu. Bagiku, Tias adalah seorang analis
sosial yang sedang bingung bagaimana caranya
memberikan pembelajaran kepada masyarakat
tentang tradisi selamatan bagi orang meninggal.
Dan, inilah saat yang tepat untuk memulai
perubahan. Bagaimanapun, hidup haruslah visioner.
Sungguh, gadis kecil pemberani itu telah men-
cungkil satu tradisi dengan tepat, hingga menem-
bus pusat kesadaran bahwa tradisi tak selamanya
bersumber dari kitab suci. []

329
Alang-alang Timur

330
Sang Pelopor

30
Pelangi di
Atas Kampung Sawah

S ulthan beberapa kali berdiri, kendati Tias belum


menutup uraiannya dengan salam. Seakan-
akan, Sulthan tak sabar menantinya. Menunggu
gilirannya tiba untuk berucap tentang segala
gagasan hebatnya. Tentu saja masih dalam lingkup
listrik yang selama ini selalu menjadi tema utama
favoritnya.
Ketika Tias menuruni podium, Sulthan pun
bergegas berdiri. Oh, lihatlah, Kawan! Gayanya
seperti diburu waktu yang tak memberinya sedikit
jeda untuk menyia-nyiakan kesempatan di depan
mata. Ya, anak itu sungguh bersemangat menyong-
song gilirannya berbagi ilmu dan pengalaman di
hadapan hadirin.

331
Alang-alang Timur

Latar belakang teori: Energi listrik adalah kebutuhan


vital manusia. Kebutuhan akan energi listrik dewasa ini
terus meningkat. Bahkan, sekarang ini lembaga listrik
negara terus menambah pembangkit baru untuk
mencukupi kebutuhan para pelanggan, seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk maupun kebutuhan akan
barang elektronik. Oleh karenanya, pemerintah atau
dalam hal ini lembaga listrik negara harus siap
mengupayakan energi yang berkelanjutan dan murah.
Energi listrik dengan menggunakan bahan baku
minyak bumi terbukti mahal. Cadangan minyak bumi kita
pun semakin menipis. Dengan demikian, haruslah
diupayakan suatu alternatif untuk mengurangi
ketergantungan kita terhadap energi listrik berbahan
baku fosil. Alhamdulillah, bumi kita, Indonesia, kaya akan
energi alternatif. Sayang, energi alternatif tersebut
belum kita manfaatkan secara maksimal.
Sejarah teori: Sejak ditemukannya dinamo dan
motor listrik, maka sejak itu pula sejarah elektromagnetik
dimulai. Berbagai teori pun berkembang, hingga
akhirnya disempurnakan oleh Thomas Alfa Edison yang
menemukan filamen tipis berpendar dan tidak terbakar.
Itulah yang disebut lampu bohlam.
Dalam praktik kelistrikan di sekolah ini, saya
melakukan beberapa kali percobaan dengan bantuan
teman-teman. Antara lain, listrik tenaga engkol yang
tidak bertahan lama kalau kita berhenti memutar

332
Sang Pelopor

pedalnya. Lalu, listrik tenaga pancuran yang hanya


menyala di musim penghujan. Berbagai kesulitan
menghadang kami. Akhirnya, terciptalah satu cara untuk
menghasilkan listrik dengan energi alternatif yang lebih
ajek.
Di samping energi alternatif berupa ombak, angin,
dan sinar matahari, sebenarnya ada energi yang bisa
dikembangkan manusia dari energi itu sendiri. Inilah
yang saya sebut Pembangkit Listrik Tenaga Listrik atau
PLTL dengan sistem pelipatgandaan daya listrik.
Pembangkit tersebut dibuat dalam rangka meng-
optimalkan energi yang sudah ada. Dan, penemuan ini
berdasarkan teori yang amat sederhana.

Sulthan terus menceracau tak keruan. Aku ingat


betul wajah aneh itu seperti yang kulihat di bawah
sengon, tempo hari. Lihatlah, Kawan! Temanku itu
kesambet jilid ketiga…! Sesekali, matanya terpejam.
Tampaknya bukan untuk mengingat-ingat, tapi
untuk menghimpun energi semesta dan menuntas-
kan percikan-percikan di kepalanya.
Sulthan, kukira, adalah serbuk TNT yang ujung
sumbunya telah dibakar. Semakin dekat api dengan
sumbu, maka percikan membara itu pun kian
membesar. Dan, ledakan dahsyat pun tak terelak-
kan. Ya, ledakan itulah yang kini tengah terjadi pada
diri Sulthan. Kubayangkan, gumpalan asap tipis

333
Alang-alang Timur

memasuki kepalanya. Asap yang lebih menyerupai


wajah orang-orang tak kukenal. Mungkin, mereka
adalah arwah Volta, Geovani, atau bahkan Edison.
Satu yang kutahu, yaitu wajah seseorang berambut
kribo dengan lidah menjulur. Dialah Einstein.
Posternya pernah kulihat tertempel di kamar pengap
milik temanku itu. Detik ini, Sulthan serupa sosok
lemah yang terjebak dalam otak manusia dewasa.
Dia tampak sangat tersiksa, tapi begitu menikmati
perannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab kekurangan


energi yang tengah melanda Indonesia dan dunia
dewasa ini. Di samping itu, untuk mencari alternatif
energi listrik yang tidak berbahan baku fosil. Teori yang
saya gunakan sangat sederhana, yaitu bahwa energi tidak
dapat diciptakan, namun juga tidak dapat dimusnahkan.
Energi adalah kekal. Energi hanya bisa diubah atau dialih-
kan menjadi bentuk yang lain. Misalnya, energi listrik
diubah menjadi cahaya, panas, dingin, gerak, dan lain-lain.
Tidak hanya itu. Sesungguhnya, energi listrik
adalah energi yang tanpa batas karena dapat dikem-
bangkan atau dilipatgandakan menjadi berapa pun kita
mau. Inilah yang saya sebut sebagai kinestetik
superelektron, yaitu sistem pelipatgandaan energi listrik
dengan menambahkan dua variabel atau komponen
utama berupa motor listrik dan generator.

334
Sang Pelopor

Sebagai contoh, sebuah rumah dengan daya listrik


22Ovolt/900 watt akan kita lipatgandakan hingga
seratus kali untuk menerangi seratus rumah yang lain.
Yang kita perlukan adalah motor listrik berdaya 220
volt/750 watt atau 800 watt dan sebuah generator
berdaya 220 volt/ 100.000 watt. Dengan demikian, hasil
akan lebih optimal sepanjang proses distribusi listrik ke
rumah-rumah penduduk. Penemuan ini sudah saya
terapkan di beberapa pos. Masing-masing memanfaatkan
pelipatgandaan energi listrik hingga sekitar seratus kali
lipat.

Sulthan, anak jangkung itu, terus saja berbicara


tanpa terkendali. Sesekali, dia mengungkapkan
keberhasilannya mendistribusikan listrik murah di
Desa Nengahan dan Desa Sawah dengan sangat
detail, dari pos satu hingga pos sepuluh. Semuanya
lengkap dengan waktu pendirian, tanggal mulai
beroperasi, serta berbagai kendalanya.
Semua Sulthan ceritakan dengan runtut hampir
di luar kepala, sambil sesekali diselingi istilah-istilah
terbaru yang tak pernah diucapkan sebelumnya.
Mungkin, dia sedang mengigau, sebab matanya
masih terpejam. Namun, ternyata dugaanku itu
salah. Tak berapa lama kemudian, matanya terbuka.
Kurasa, Sulthan telah meminum kapsul putihnya,
lima kapsul sekali telan, sehingga overdosis.

335
Alang-alang Timur

Hasilnya, dia pun mencapai puncak kegilaannya.


Seandainya gila itu ada sepuluh macam, barangkali
anak itu telah mengalami kegilaan kesebelas.
“Bekerjalah, Anakku! Sebab, semesta meng-
inginkan kau bekerja, bukan sekadar berkhayal.
Mencoba dan teruslah mencoba, sampai kau
menemukan legenda hidupmu sendiri,” nasihat sang
kepala sekolah, mengomentari kegilaan Sulthan
yang begitu terobsesi pada listrik.
Kupikir, otak Sulthan kini tengah berpendar-
pendar bagaikan lampu seribu watt. Ya, kegilaan
itulah yang mungkin membuat kawanku itu begitu
terpacu untuk menguak segala hal tentang listrik
dan seluk-beluknya.

Di dalam perkembangannya nanti, PLTL tidak hanya


akan menerangi seratus rumah. Tapi, juga akan
mengalirkan listrik dalam skala yang lebih luas lagi. Men-
cakup satu kecamatan, satu kabupaten, bahkan satu
pulau besar dan kecil di Indonesia. Apalagi, jika didukung
oleh semangat otonomi daerah, sehingga daerah atau
kota diberi keleluasaan dalam pengadaan energi listrik
sendiri. Monopoli energi listrik pun akan dikurangi atau
dibatasi oleh lembaga listrik negara.
Saya pernah membayangkan, Madura yang terdiri
dari empat kabupaten hanya akan membutuhkan

336
Sang Pelopor

beberapa megawatt saja yang nantinya di-relay dan


dilipatgandakan beberapa pos. Untuk itu diperlukan
beberapa gardu yang bertanggung jawab atas sekian
ratus rumah. Apabila yang saya pikirkan ini benar, maka
dapat dibuat semacam kesepakatan antara lembaga
listrik negara dan pemerintah daerah setempat.
Lembaga listrik negara sebagai penyedia energi pokok,
sedangkan pemerintah daerah sebagai pihak yang
merelay dan melayani distribusi energi pokok ke tiap
kabupaten atau kota. Sementara itu, kabupaten
berkewajiban mengurusi pelipatgandaan masing-masing
pos dan gardu pendistribusian ke masyarakat.
Penemuan saya ini juga bermanfaat bagi pabrik,
hotel, dan mal di kota-kota agar dapat mandiri
mengusahakan energi tanpa membebani pemerintah.
Mereka hanya membutuhkan beberapa ribu watt saja
dari lembaga listrik negara, lalu bertanggung jawab
mengembangkan sendiri menurut kebutuhan.

Sulthan terus menerjang dan membabat segala


rintangan. Dia melesat seperti seorang pelari men-
cium wanginya garis finish. Atau, bagai harimau
mengejar kijang yang berlari begitu kencang. Ah,
hidup hanya bermain-main di halaman surga,
Kawan! Tak usah terlalu serius!
Suasana berubah seketika. Semula, terang
benderang menaungi sekitar kami, lantas berarak

337
Alang-alang Timur

mendung seakan menyatu di atas madrasah. Seperti


sengaja ditiup oleh tenaga tak terlihat untuk mema-
yungi halaman madrasah dari panasnya terik
matahari.
Seiring dengan berakhirnya penjelasan Sulthan,
mendung itu semakin tebal. Gugusan awan kelabu,
bahkan kehitaman itu tampaknya dikumpulkan
tepat di atas Kampung Sawah, sedangkan daerah
lain masih cerah. Tak terhindar, hari pun menjadi
gelap. Petir lantas menyambar-nyambar, membuat
kegaduhan baru di halaman sekolah kami. Mendung
itu telah menjelma sebagai rintik-rintik air yang kian
menderas.
“Udan salah mangsa!”1 kupikir begitu.
Bukankah ini masih pertengahan Mei dan
belumlah memasuki musim penghujan? Meski
begitu, hujan turun sangat deras disertai angin yang
meliuk-liuk menerbangkan apa pun yang bisa
dibawa. Cucian, sampah, bahkan kursi di halaman
menjadi poranda setelah ditinggalkan orang-orang.
Seluruh hadirin memasuki kelas, sehingga nyaris
semua kelas penuh.
Sesekali, terdengar jerit tertahan anak-anak
manakala ada petir atau angin yang sangat kencang.

1
Hujan salah musim!

338
Sang Pelopor

Semua panik. Semua pasrah. Hanya doa yang


terucap dari hati yang galau. Satu yang membuatku
sesekali menahan napas, yaitu ketika angin berhem-
bus kencang. Aku hanya bisa berdoa tanpa henti,
semoga atap sekolah ini kuat menyangga genting-
genting yang beberapa bagian sudah bocor. Hanya
angin yang kukhawatirkan. Ya, hanya angin. Kalau
hanya petir, pasti dijamin akan aman karena Sukar
telah membuat penangkal gesekan listrik angkasa
itu. Oh, angin! Bersahabatkah dirimu dengan kami?
Rupanya, kekhawatiran kami tak terbukti sama
sekali. Tak berapa lama, hujan badai berangsur-
angsur mereda. Memang benar kata pepatah, bahwa
badai pasti berlalu dan harapan pun menjelang.
Alam kembali bersahabat. Hanya ada sedikit rintik
air yang enggan pergi. Tetapi, ajaib. Air hujan yang
tadi melimpah sehingga menimbulkan danau-danau
kecil di beberapa bagian halaman seperti terserap
cepat ke dalam tanah kering musim kemarau.
Genangan-genangan itu tak terlihat lagi. Langit
kembali cerah seolah tidak terjadi apa-apa. Kini,
hanyalah mendung tipis yang masih menutupi
matahari.
Tepat di atas madrasah kami, muncul pelangi
yang beraneka warna. Bulir-bulir hujan telah
membiaskan sinar mentari dengan sangat sempurna.

339
Alang-alang Timur

Subhanallah…! Ternyata, Allah memiliki rencana


indah untuk hujan yang dahsyat tadi. Kami pun
berlarian keluar kelas demi menyambut sebentuk
lengkung indah di langit. Sang pelangi. []

340
Sang Pelopor

31
Epilog I
(Tentang Desa Nengahan)
(Tentang

D esa Nengahan di masa kini masihlah sama


seperti dulu. Hanya saja, rumah-rumah,
jalan-jalan, kini telah terang benderang di waktu
malam. Antara siang dan malam bahkan tak jauh
berbeda. Sejak ditemukannya pengembangan teori
kinestetik superelektron, penduduk desa dapat
memanfaatkan fasilitas listrik dengan harga yang
sangat murah. Dengan hanya membayar iuran
sekitar Rp 2.800 dalam sebulan, masyarakat bebas
menggunakan listrik sepuasnya. Ya, selama ini meter
listrik memang dipasang, namun diabaikan.
Desa pinggiran yang terdiri dari sebelas kam-
pung dengan 960 kepala keluarga itu telah tercatat
sebagai desa mandiri energi. Dari rumah sebanyak
itu, yang pasang listrik dari negara tak lebih dari
dua belas rumah, lalu masing-masing dilipat-

341
Alang-alang Timur

gandakan hingga seratus kali. Hampir di setiap


kampung dipasang pos pengembangan. Masing-
masing pos lantas diperkecil lagi menjadi gardu yang
bertanggung jawab atas sepuluh hingga lima belas
rumah. Meskipun kampung kami mencapai berbagai
kemajuan, namun kami merasa sedikit bersalah.
Anak-anak kampung tak lagi berkumpul dan
bermain bersama di halaman rumah Pak Lurah kala
bulan purnama. Sebab, mereka memilih belajar dan
bermain di rumah sendiri.
Namun, optimisme selalu menghias kisi-kisi
dada kami, bahwa penemuan ini tidak sia-sia. Kala
bakda maghrib menjelang, Masjid Nurul Huda riuh
oleh anak-anak yang belajar iqra’ dan tadarus
bersama. Masyarakat pun berduyun-duyun di
sepertiga malam untuk menunaikan Tahajjud di
masjid pojok desa itu. Mereka bilang, shalat
Tahajjud bersama akan terasa lebih bermakna
daripada shalat malam sendiri. Padahal, sebenarnya
rumah mereka pun berhak digunakan untuk shalat.
Itu belum cukup. Ketika adzan Subuh meng-
gema dari berbagai penjuru mata angin, ber-
bondong-bondong manusia bersegera menuju satu
titik: masjid. Bahkan, ada yang dipapah, dituntun,
bahkan ditandu demi menyambut panggilan suci
itu. Lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak, semua

342
Sang Pelopor

berpakaian takwa dan bergegas mengejar dua rakaat


yang berpahala bumi dan seisinya: shalat Fajar.
Bayi-bayi yang belum belajar merangkak pun
segera melepas kehangatan susu ibunya untuk
memberi sang bunda kesempatan bergabung.
Dengan mukena yang berkibar-kibar tertiup angin
pagi, digendongnya si jabang bayi. Dalam pelukan
malaikat, bayi-bayi itu terlelap lagi tanpa pernah
sekali pun mengompol, seperti ada kekuatan yang
menahan kemihnya.
Mereka meninggalkan rumah dalam keadaan
kosong. Pintu-pintu juga dibiarkan tak terkunci.
Desa itu telah menjelma menjadi desa yang paling
aman di dunia, bahkan maling merasa segan mencuri
di rumah yang ditinggal beribadah ke masjid. Tidak
barakah, katanya.
Dalam balutan sunyi pedesaan, serambi masjid
di sayap kanan dan kiri telah penuh. Mereka meng-
gelar tikar dan koran di halaman masjid, lalu sajadah-
sajadah wangi pun dibentangkan di atasnya. Rupa-
nya, jalan yang benderang telah menuntun kebe-
ranian orang-orang untuk menuruti hati sucinya.
“Listrik murah. Dalan-dalan padhang njingglang!”1
kata seseorang seraya melangkah ke masjid.

1
Jalan-jalan terang benderang!

343
Alang-alang Timur

“Iya, aku jadi tidak takut shalat Subuh di


masjid!” ujar yang lain.
Apabila musim hujan tiba, Pak Zainudin selaku
takmir masjid mendirikan tenda-tenda abadi untuk
menaungi jamaah dari rinai hujan.
Iqamat dikumandangkan, shalat Subuh ber-
jamaah pun ditegakkan. Semua jamaah saling
berlomba untuk menggapai barakah di saat hari
masih dini. Bahkan, jika ada salah satu jamaah absen,
mereka akan menanyakan apa yang terjadi atau
membesuknya.
“Wahai Saudaraku! Adakah yang menghalangi-
mu mendatangi saat barakah itu?”
Jika memang sakit, para jamaah akan kembali
sambil membawa apa pun yang dimiliki: jagung,
ketela, mangga, atau pisang. Ada pula yang hanya
membawa diri. Bagaimanapun, membesuk dengan
hati yang bersih itu jauh lebih utama.
Usai shalat, terlihat tangan-tangan menengadah
khusyuk dalam doa di antara isak tangis yang
mengiringi kelalaian atas berjuta dosa. Allah,
ampunilah kami yang selama ini menyia-nyiakan
barakah waktu subuh-Mu…. []

344
Sang Pelopor

32
Epilog II
(Tentang Sang P
(Tentang elopor)
Pelopor)

“A ku ingin menjadi api!” teriak Seno.


“Api yang akan membakar apa pun, termasuk
Pak Guru!” tambah Seno.
Sejenak, hening mulai melingkupi taman tempat
kami duduk. Hanya ada hembusan angin lembut
yang membawa aroma wangi bunga-bunga. Tam-
pak satu atau dua daun dan bunga bougainvillea tua
berguguran menerpa wajah. Sang ustadz tampan
pun buru-buru menghalaunya. Guru yang selalu
dekat dengan muridnya itu terdiam. Dia mencoba
menebak-nebak arah pembicaraan Seno.
“Kalau kau jadi api, aku akan jadi air yang akan
membunuhmu sebelum sempat menghanguskan
apa pun,” ujar Ustadz Zahid, tenang dan yakin.

345
Alang-alang Timur

“Yeee…, Pak Guru curang! Oke, deh! Kalau


begitu, aku akan jadi air saja!” seru Seno, berusaha
mengejar kalimat gurunya.
“Kalau kau jadi air, aku akan jadi kemarau
panjang dan mengisapmu sampai habis. Ha…
ha…ha…! Dua kosong!” sahut Ustadz Zahid, tak
mau kalah.
“Yah! Pak Guru curang lagi! Kalau gitu, aku
ingin jadi pisang saja!”
Sang guru diam sesaat sebelum memutuskan
menjawab tantangan Seno. Dipandangnya wajah
murid yang paling bandel itu. Disusurinya letupan-
letupan kecil di benak siswa yang tak begitu cerdas
itu. Ya, guru penyabar itu tengah mencoba membaca
jalan pikiran Seno. Namun, nihil. Sosok di hadapan-
nya adalah Seno dengan wajah misterius yang seakan
tak pernah dikenalnya.
“Kalau kau jadi pisang, aku akan jadi monyet
yang memakanmu sampai habis, bis, bis, bis! Sampai
kulitnya!” kata ustadz yang tak merasa rendah ber-
canda ria dengan semua anak didiknya itu.
“Asyik…! Aku menang! Pak Guru jadi monyet,
ye…!” Seno bergegas memburu, menerjang, dan
berteriak-teriak kayak orang kesurupan.
Pagi pun menjadi gaduh. Beberapa murid segera
bergabung dengannya.

346
Sang Pelopor

“Pak Guru, monyet…!”


“Pak Guru, monyet…!”
Guru yang baru menyadari jebakan terakhir
muridnya itu hanya bisa tersenyum sambil garuk-
garuk kepala. Semakin dia menggaruk, kian renyah
suasana istirahat pertama itu.
“Monyet mencari kutu!” Seno tampak kalap
dengan kemenangannya kali ini.
Beberapa murid yang baru bergabung bahkan
mengiringinya dengan tetabuhan layaknya topeng
monyet. Beberapa guru tampak prihatin dengan
penderitaan sahabat mereka. Tetapi, tak ada yang
bisa mereka lakukan, selain hanya tersenyum.
Bagi sebagian orang yang baru mendengar
seorang murid mengatai gurunya dengan sebutan
“monyet” pasti akan mengira sebagai hal yang
kurang ajar. Namun, tidak bagi Ustadz Zahid. Bagi
beliau, panggilan itu adalah ungkapan sayang sang
murid selepas kekalahannya dalam diskusi.
“Kalau Pak Guru monyet, berarti…?” tanya
Ustadz Zahid kepada Seno, menggantung.
Seno pun berhenti melonjak, mencoba menang-
kap balasan gurunya.
“Berarti muridnya juga monyet! Kita semua
monyet! Yeee…, tiga kosong!” balas guru muda itu,
tampak puas.

347
Alang-alang Timur

“Gurunya monyet adalah Hanoman! Yaaa…,


dua-satu!” bantah Seno, tak mau menyerah.

***

Aku terlonjak bangun seraya tersenyum. Jam


di dinding menunjuk angka lima. Ketika rasa malas
dan kantuk menyergapku lagi, tidak ada yang
kulakukan, selain segera melipat selimut, lantas
berlari-lari kecil ke kamar mandi. Bagiku, jam segini
baru bangun adalah aib. Ketika kesadaranku telah
sempurna, barulah aku teringat bahwa aku harus
berangkat sekolah. Dan, sekolahku tak lagi di desa
ini. Itu berarti aku harus cepat-cepat mandi, lalu
melesat ke sana. Ya, aku tak ingin terlambat.
Beruntung, kini tengah kemarau, sehingga aku
bisa sedikit santai untuk sekadar mengunyah sarap-
an. Kala kemarau, sungai di samping rumahku surut,
sehingga aku bisa menyeberanginya tanpa rintang-
an. Ketika penghujan tiba, aku harus bangun lebih
pagi. Sebab, jalan yang kutempuh semakin jauh,
harus memutar dan melewati jembatan ujung desa.
Usai menyeberangi sungai yang airnya tak
seberapa melimpah, kususuri jalan setapak yang tak
begitu lebar. Kulihat Seno, Sulthan, dan Sukar
berlari-lari kecil menyambutku. Kami berempat

348
Sang Pelopor

pun berjalan beriringan sambil sesekali berlari saling


mendahului.
Belum jauh kami berlari, di kejauhan Pak Hadi
mengayuh sepeda kumbangnya dengan tangan kiri
mengempit koran bekas. Sebuah surat kabar yang
diperolehnya dari kantor kecamatan. Koran itu,
walaupun edisi yang telah lewat, selalu kami sambut
dengan sukacita. Bagi kami, setumpuk kertas lusuh
yang memuat informasi itu merupakan jembatan
untuk melihat dunia luas di luar sana. Kami biasa
membacanya bergantian di dalam kelas atau saat
istirahat. Praktis, koran itu pun kian lusuh karena
selalu berpindah tangan dari satu kelas ke kelas yang
lain.
Melihat sepeda onthel itu makin mendekat, Sukar
pun segera berulah seperti biasanya. Dia rentangkan
tangannya hingga menutup jalan. Kami mengikuti
anak itu membuat pagar betis di samping kanan dan
kirinya.
“Pak Guru, ojek sampai sekolah berapa, ya?”
tanya Sukar. Lagaknya sok kaya.
“Boleh. Kamu punya uang berapa?” ujar Pak
Hadi yang juga kepala sekolah kami dengan napas
terengah-engah.
Sukar terdiam. Ia hanya bisa tersipu malu dengan
senyum terkulum.

349
Alang-alang Timur

“Ya, sudah. Gratis, deh! Sama murid sendiri,


kok!” kata Pak Hadi lagi.
Kami pun menyoraki Sukar.
“Lagakmu saja, Kar…, Kar…!”
Kami cepat membonceng di sadel belakang,
berdua. Sementara itu, Seno dan Sulthan men-
dorong sepeda dari belakang sambil berlari-lari.
Sesekali, Seno yang bertubuh gempal tampak
tertinggal di belakang kami. Jika sampai di jalan yang
menanjak, dia akan berlari sekuat tenaga untuk
membantu rekan-rekannya.
“Pokoknya, jangan sampai berhenti!” batin Seno.
Kalau berhenti, maka dia tidak berhak mem-
bonceng. Begitulah kesepakatan kami. Karena itu,
Seno mengerahkan sisa kekuatan untuk menuntas-
kan tugasnya hingga mencapai tikungan kedua.
Di sebuah jalan yang tak begitu menanjak,
sebelum tikungan, Seno dan Sulthan melepaskan
dorongan mereka. Kini, tinggal kepala sekolah kami
yang berjuang sendirian, menyelesaikan kewajiban
di putaran pertama. Dengan energi cadangan,
dikayuhnya pedal sepeda sembari tersengal. Dia
takut kedua muridnya itu dapat hukuman seperti
kemarin, dari rumah sampai sekolah terus men-
dorong sepeda. Tapi, semangat itu tak menular
kepada dua siswa yang ditolongnya. Seraya melepas-

350
Sang Pelopor

kan dorongan, mereka bersorak dari belakang.


Rupanya, kedua bocah itu begitu yakin akan
semangat kepala sekolah yang ringkih itu. Sukar
yang duduk di tengah hanya terkekeh, seolah
penderitaan sang guru adalah hiburan baginya.
Dengan susah payah, akhirnya tuntas juga ronde
pertama ini. Namun, Pak Hadi tak bisa berlama-
lama puas sebab ronde kedua ternyata lebih berat.
Beliau harus memboncengkan Sulthan dan Seno
yang gendut.

***

Lonceng tanda masuk kelas berdentang.


Beruntung, kami telah sampai di sekolah. Kami pun
berebut memasuki ruang kelas. Sesekali, aku
menyeka bulir-bulir keringat yang terus membanjiri
keningku. Cepat kuambil air putih, lantas kuminum
beberapa teguk, sekadar untuk mendinginkan
tubuh.
Di ujung lorong, terdengar langkah kaki sedikit
berat, namun bersahaja. Tak salah, itulah langkah
Ustadz Fairus, guru Ilmu Alam kami. Ia adalah guru
yang inovatif dan mampu menggabungkan belajar
dan bermain. Prinsipnya, belajar sambil bermain,
bermain sambil belajar di mana pun kami suka.

351
Alang-alang Timur

Ya, kehadiran Ustadz Fairus menandakan bahwa


permainan akan segera dimulai. Seperti hari-hari
yang lalu, belajar kami adalah bermain, bermain
kami adalah belajar. Pagi itu, kami menginginkan
belajar Ilmu Alam di saung belakang sekolah.
Ustadz yang baik hati itu pun meluluskan perminta-
an semua murid. Dengan tertib, kami bergegas
menghambur keluar kelas menuju saung yang
beratapkan daun kelapa. Dan, permainan pun
dimulai! Sebuah keasyikan yang kami tunggu-
tunggu! []

352
Sang Pelopor

Tentang Penulis
Penulis

A lang-alang Timur adalah nama pena dari


Sugeng, penulis kelahiran Klaten, 8 Agustus
1979. Mulai belajar menulis semenjak TK, yaitu
menulis rangkai indah di bawah bimbingan Bu Sitti.
Usai menamatkan pendidikan terakhir di SMP
Negeri 1 Bayat, Klaten, ia melakukan satu lompatan
besar dengan berguru di universitas kehidupan.
Sebuah kampus yang tidak pernah memberikan
ijazah, apalagi gelar.
Dulu, penulis mengira, keterpurukan karena tak
bisa melanjutkan sekolah dan terlemparnya impian
ke keranjang sampah akan membuatnya mati. Mati
dengan napas yang masih berhembus. Hidup tanpa
makna. Tetapi, akhirnya ia tersadar bahwa masih ada
satu hal yang bisa dilakukan, selain merenungi nasib.

353
Alang-alang Timur

Yaitu, menyemangati adik-adik untuk tetap


bersekolah dan menjadi yang terbaik bagi bangsa.
Tidak seperti penulis yang merasa hanya menjadi
“pecundang”.
Seraya berusaha untuk terus menulis, kini ia
mengukir kehidupan bersama Yuliatie, seorang
wanita luar biasa yang sekaligus menjadi istrinya.
Sebagai ayah, penulis pun menempatkan diri sebagai
sahabat bagi dua mujahidah kecilnya, Ayesha Zalfa
Khairunissa dan Naila Ansharya Khairunissa.
Sang Pelopor, novel perdananya ini, telah menukik
alam sadar kita bahwa masalah pendidikan anak
bangsa bukanlah hal sepele yang dapat ditawar-
tawar. Satu kesalahan yang terjadi di dalam sistem
pendidikan akan berdampak luar biasa bagi masa
depan peserta didik. Sungguh, ini sebuah keyakinan
yang semoga dapat membentangkan jalan pere-
nungan bagi kita, demi terwujudnya legenda hidup
setiap anak Indonesia. Bagi pembaca yang ingin
mengakses buku-buku kami selengkapnya, silakan
mengunjungi www.divapress-online.com. []

354

Anda mungkin juga menyukai