Anda di halaman 1dari 4

Cerpen

PADANG GURUN BERCERITA

Usikan angin panas, membelai paras ini. Usapan tangan yang berlebur debu pasir halus,
menorehkan kulit ini hingga keras.Tetesan keringat membasahi tubuh terus mengalir diperas
semangat yang melelahkan. Hirupan udara panas terus mempekat, hingga udara segar pun tak
terasa lagi. Hidung ini sulit untuk terasa bernapas. Sedangkan raga, ingin selalu membutuhkan
seteguk air, namun aku tahan. kejauhan 200 mil yang telah diraih langkah kaki ini, telah
menghabiskan setengah sebotol air yang tergantung di lingkaran kulit pinggang ini. Perlu ku irit
meneguhnya. Dahaga yang lemas ini harus ku tahan, meminumnya jika dahaga ini tidak lagi
berdaya. Inilah sebagian adegan dari pertengahan kisah padang gurun.

Pagi itu, ketika suara jangkrik masih bersenandu ria di penghujung malam, burung-
burung pun mulai siuman oleh udara pagi yang dingin masih saja lembab mencekik kulit ini.
Embun pun mencair, bergembul-gembulan dengan bening terang di atas sekelompok kelopak
dedaunan tumbuhan di sekitar taman rumah. Secuil sinar mentari pun mulai terpecah senyum
ketika dibelai bukit timur. Terdengar suara para si jago membuka lembaran pagi itu, dengan
senandunya yang penuh ria. Senandu itu menggemah, mengundang burung-burung yang masih
saja siuman dari lelapnya untuk turut berkicau mewarnai pagi itu. Dengan sekejab, kota megah
itu mulai berbising. Kota Median namanya. Bisingan kota itu mulai perlahan-lahan, merangkak
bersama waktu, dan menuai keributan di penghujung sunyi yang diantar rembulan malam.
Berbagai insan yang menobatkan dirinya sebagai pemilik kota megah itu, mulai siuman dari
mimpi malamnya. Mereka mulai mempersiapkan diri, memulai aktivitas mereka sebagai mana
mestinya. Aku adalah salah satu pewaris dan generasi pemilik kota megah Median itu. Aku
adalah Jams, anak dari seorang saudagar kaya. Ayahku adalah seorang pria sejati yang selalu saja
meraih mimpinya dalam kenyataan. ia selalu mengajarkan kepadaku tentang bagaimana meraih
mimpi dalam kenyataan. Aku selalu dikalungkan dalam lubuk hati ini dua kunci kehidupan yakni
setia dan jangan menyerah. Ia selalu berbisik kepadaku disaat ia mendekap aku dalam
pelukannya, berlarihlah terus dengan sekuat tenaga untuk meraih mimpimu, dengan
mengenggam kunci kesetiaan dan jangan menyerah. Mimpinya menjadi alas kaki dimana hidup
kami berpijak yakni seorang investor ladang gandum yang kaya dan pemilik saham terbesar
minyak bumi di Kota Median. Tidak kalah ibuku. Bagi ku ia adalah seorang malaikat yang tak
bersayap, yang memiliki wujud paras begitu indah. Ia selalu mengidealkan aku untuk menjadi
seorang pribadi yang tangguh seperti ayahku jika suatu kelak. Ia juga yang mewujudkan keluarga
kami sebagai keluarga yang zakinah dan penuh ketentraman serta bersinarkan kebahagian. Aku
selalu merasa dimanja oleh kedua orang tuaku dengan kelimpahan harta mereka. Hal ini karena
aku adalah satu-satunya harapan mereka. Aku adalah anak tunggal dari keluarga zakinah ini.

Pagi itu, suara bisingan kota Median seperti hari-hari sebelumnya. Setiap orang
berkesibukan dengan dirinya sendiri dan pekerjaannya. Suara mesin-mesin besar mulai
terdengar. Berbagai kendaraan bermator, mobil dan berbagai bunyi lainnya menimbulkan
bisingan yang semakin menjadi. Ahhhhh..!!! Bisingan kota itu membangunkanku dari mimpiku.
Sepertinya mimpi itu baru menyapaku pada penghujung malam. Seingatku, hanya aku dan sunyi
saja yang berperan dalam mimpi itu. Dalam adegan bunga tidur itu, aku seakan menyusuri suatu
padang gurun yang ujungnya tidak terhingga. Hanyalah dinding langit yang langkahku tidak
pernah ku capai. Di sana, aku berjalan di bawah naungan senja, yang mentari sudah pada sisi
barat. Langit itu diburami warna jingga yang ingin ditelan malam yang menyusuri. Aku hanya
bersama sunyi yang selalu menemaniku dengan setia. Entah mengapa, jiwaku merasakan teduh.
Dengan sunyi, aku berjalan dengan kaki telanjang di atas bentangan pasir halus yang hangat.di
bawah senja, sunyi itu menceritakan tentang misterinya padang gurun. Lalu, sekejab desuran
angin kencang mengamuk. Badai padang gurun berjalan sangat cepat ingin menghampiri aku.
aku mulai takut, dan terasa sunyi itu tidak lagi menggam tanganku. Dengan teriakan keras, aku
menjerit. Sekejab…. aku tersium. Ketika kebisingan menghampiri telingaku, aku pun sadar dari
mimpi misteri itu. “Ahh….Ternyata hanya sebuah mimpi..” Aku mendesah... Aku terbagun dan
aku hanya mendapatkan diriku yang sedang sendirian bersama waktu yang pada saat itu sekitar
pukul 08.30 wita.

Kedua orang tuaku telah terbiasa memanjakanku hingga melepaskan aku terus berbaring
setiap pagi, ketika mereka pergi ke tempat kerjanya masing-masing. Dalam diam dan tenang aku
pun berusaha mencari maksud dari mimpi yang menghampiri aku di penghujung malam tadi.
Dengan pertanyaan “apa maksudnya”, aku mencari tahu jawabannya dibalik refleksiku. Mengapa
di tengah keramaian kota yang membisingkan ini, aku dihampiri mimpi tentang kesunyian? Hal
ini terus membawa aku untuk terus mencari jawabannya.

Ketika aku beranjak dari ranjang, segera aku membilas wajahku dengan air di bilik kamar
kecilku dan bersantai di meja makan. Ketika aku yang sedang mencicipi sarapan pagi yang
sediakan ibu sebelum berangkat kerja. Seperti biasanya aku sambil membaca majalah-majalah
yang tersimpan di meja makan itu. Kebiasaan ini juga selalu dilakukan oleh ayah dan ibu. Aku
membuka sebuah majalah rohani, terdapat pada suatu halaman ‘Majalah Hidup’ itu, secuil cerita
pengalaman iman seorang Rahib Katolik tentang misteri padang gurun. Aku kaget dan dengan
penasaran. Selekas itu aku langsung membacanya. Diceritakan bahwa Para rahib di padang
gurun telah menobatkan diri mereka sebagai eremos (dari bahasa Yunani yang artinya ‘Penghuni
Padang Gurun’). Mereka tidak hanya seja menghuni di sana, melainkan dengan sederhana
mereka mengabdikan diri untuk doa, bertapa, berpuasa dan bermati raga secara khusut.
Kesunyian adalah sahabat akrab mereka. Karena keunikan hidup mereka dalam cerita itu, Aku
tertarik dan terus membacanya. Di sini aku mendapatkan jawaban di balik cerita misteri dari si
sunyi yang datang menghampiriku semalam dalam mimpi. Aku mendapat Inspirasi. Aku
dipanggil ingin menjadi rahib padang gurun atau eremos.

Waktu tidak terasa. Aku selalu menyibukan diriku dengan berbagai kegitanku di sekolah
dan berbagai kegiatan prifatku. Ternyata, tidak disadari aku sudah berada di penghujung musim
dingin. Kini waktunya musim panas. Udara dingin dan sejuk yang di kota median itu tidak terasa
lagi. Debuh pasir halus Kota Median yang di musim dingin malas berterbangan, kini bersama
pusaran angin serta hawa panas mengiriringinya, menari-nari diatas udara, berpergian kemana ia
menempel. Selaput kulit yang teduh yang selalu dibaluti udara dingin, kini terlihat keriput kering
dibias oleh panasanya hawa.

Suatu malam pada musim kemerau itu, karena hawa yang panas, aku dibawah oleh
keinginanku untuk menikmati udara di luar sendiriaan. Di bubungan istanah aku duduk sendirian
memandangi indahnya kelap-kelip lampu di kota median pada malam hari itu. dengan tenang
dalam diam dan batin, aku mulai beraleansi. kesunyian padang gurun datang dan menghampiri
aku lagi.

Tujuan harus kucapai. Aku tidak boleh jadi pengecut yang hanya lemah hingga bisa
sampai pada tujuan. …..(aku melihat kesendirian menguat ketika kita mencoba berhadapan
dengannya, tapi malah melemah ketika kita mengabaikannya) paulo coelho

Padang Gurun itu telah menorehkan sejarah dalam hidupku. Di sana, matahari selalu ku
anggap teman jelajah pada siang hari. Sedangkan bulan, bintang yang begaunkan awan putih
menjadi naungan pada kegelepan malam jika ku beristirahat. Raga ini selalu terlelap
berselimutkan dingin yang menusuk, sebab bekal yang ku bawa hanyalah makanan dan minuman
secukupnya.

Siang itu, kaki ini tidak dapat lagi melangkah dan semangatku terkikis hingga terkulai
akibat hawa yang membakar. Padang itu terus memangang tulang dan isi dagingku, sedangkan
penghujung bentangan pasir coklat itu, dari pandanganku saja belum terlihat batasnya. Ah, air
liur yang kupertahankan untuk menegukkan sedikit tenggorokanku yang kering, tak terasa
dimakan lenyap langit-langit mulut yang mengering. Telapak kakiku, bukan saja hendak tidak
mampu melangkah karena panas yang membias, melainkan kehalusan pasir panas itu turut
mengores tumit serta telapak kaki yang keras itu. darah menetes dan bekas luka mengering lagi
hingga bekasnnya terasa keras dan tanpa rasa. Tuhan….engkau belum meninggalkan aku kan?

Dari jauh termeram kulihat sebatang pohon kurma yang sungguh lebat daunnya,
menciptakan suatu naungan yang menyegukkan di bawah dahannya. Ternyata ini lontaran
jawaban sang Khalik, di balik pertanyaan ku yang menjerit. Pohon kurma itu terlihat sudah tua.
Ku hampirinya, bersandar di batangnya yang besar, sedang di balik pohon itu terdapat jurang
yang cukup terjal.
Merebahkan tubuh yang haus akan dahaga ini, sambil bersandar di pohon tua itu, aku
memandang domba-dombaku yang sedang berbaring di sekelilingku. Aku dan domba-dombaku
seperti sekelompok inisan yang sedang mencari kenyamanan di balik sebuah musibah besar.
Pohon yang beratapkan daun kering dengan sembilah daun yang dapat di hitung dengan jari,
menunjukan kebaikannya melalui kenaunganannya. memberikan sebuah naungan yang saya dan
domba-domba saling bertumpah tindis merebut di bawahnya. dengan adengan seru itu, yang
lantar mengengering saat diperas pori-pori tubuh, panas semakin membara, dan angin.
Ah….angin engkau selalu saja masih berteman dengan debu pasir halus, bahkan mulut dan
batang hidungku, menarik napas yang ngos-ngosan ingin dipuaskan oleh sebilas air, namun tidak
mendapat. Sabar….terus bergembala ketujuh domba ternakanku. Aku dikenal sebagai si miskin
gembala kotor. Aroma bulu domba hingga hajatnya seakan menjadi bagian dari hidupku. Aku
digelar si kotor yang miskin sebab aku selalu mengharapkan

Sinopsisnya.

Pengntar

*mengambarkan situasi Kota megah, dan sang orang Kaya yang memiliki seorang
Putra 26 tahun.

*Mimpi pemuda itu, berjalan bersama sunyian. (Gambarkan mimpi itu)

*Membaca sebuah Majalah tentang siatuasi padang Gurun (mendapat inspirasi


dari ini)

*Memutuskan pergi menjadi pengembara padang Gurun, namun tidak direstui


ortunya

*bersembunyi dan secara diam-diam menghilang ke padang gurun.

*menemukan situasi baru, sunyi di padang Gurun itu, yang awalnya baik,
pertengahan mengalami berbagai tantangan hingga iya bisa sampai Kota Yerusalem.

Anda mungkin juga menyukai