Anda di halaman 1dari 5

Elegi Bunga Abadi

Oleh: Nurul Awali Fauziyah Hasbiyani

Kemari..

Kubisikkan syair indah tentang gadis yang amat kucintai..

Yang segala keinginannya selalu kupenuhi..

..

Saat bumi masih memejamkan mata, tangannya sudah cekatan menghimpun tubuh-
tubuh mungil di halaman rumahnya. Dihitungnya sulur-sulur yang baru tumbuh itu. Lalu,
dipisahkannya menurut jenis dan ukurannya. Jemarinya lembut mengulur membelai daun-
daun muda. Esok, ketika fajar telah membentangkan sayap, tunas-tunas kehidupan itu siap
menjejak. Agar sirna sengsara dan bumi melahirkan suka cita.

Kabut menggelayut memeluk tubuh rampingnya. Udara dingin membekukan telinga.


Angin resah tak kuasa menerbangkan tekad bajanya. Di bola matanya berpijar semangat
membara. Di raganya tersisip misi sesuci aroma bayi. Dan di hatinya terpatri jiwa ksatria
sejati. Inilah gadisku. Ia yang kunamai Anjani.

Wis pira, nduk1?

Papat seket, Pak2. Gadisku menjawab pertanyaan Bapaknya.

Di baan rumahnya yang luas terhampar empat ratus lima puluh bibit pohon. Masing-
masing seratus lima puluh untuk kaliandra merah, kaliandra putih, dan kedawung.

Nanti, enam ratus lima puluh bibit pohon akan disemai di hutan. Dan satu ton biji akan
disebar. Hutan di lereng Kelud akan kembali menghijau.

Bayang-bayang bukit gundul dan semak belukar.

Erupsi di awal tahun menghanguskan sebagian vegetasi. Banyak pohon muda yang
mati. Tetapi, gadisku akan segera memperbaiki. Atas amarahku, tetapi gadisku yang
memperbaiki

1
Sudah berapa Nduk
2
Empat ratus lima puluh
Mereka yang berbuat, tapi kenapa pula Gadisku yang harus menanggung akibat?

Siapa yang tak murka menyaksikan manusia-manusia itu berulah? Di atas punggung
bumi tempat kami berpijak, di bawah langit yang kami junjung tinggi, mereka tanpa dosa
melancarkan aksi. Atas nama kehidupan mereka mengeruk kekayaanku demi memenuhi
pundi-pundi pribadi.

Bagaimana tidak! Jutaan rupiah mereka kantongi hanya dengan mengeruk pasir-pasir di
hilir sungaiku. Tanpa izinku mereka lakukan dari pagi hingga petang. Begitu berulang
keesokannya menyisakan ceruk sungai yang semakin hari semakin dalam. Drumm.. druuum..
druuum.. Suara deruman mesin diesel penyedot pasir.menggelitik daun telinga. Sekejap,
pasir-pasir itu berpindah memenuhi bak truk-truk. Dengan pongah mereka membawanya
pada calon pembeli. Kemudian menjelma menjadi kaki-kaki penyangga gedung yang berdiri
angkuh.

Belum lagi sepotong puntung rokok yang dilepas ringan. Dibuangnya sembarangan.
Dikiranya biasa dan takkan menimbulkan apa-apa. Nyatanya, baranya kecil namun cukup
memantik api yang kemudian meletuskan kebakaran. Udara bulan Agustus yang kering dan
angin yang bertiup ke selatan membantu menyebar lidah-lidah api. Dari satu batang ke batang
yang lain, dari satu ilalang ke ilalang yang lain, kobaran itu menjalar liar. Lebih dari cukup
memanggang hutan lima belas hektar!

Kemanakah matanya tak mampu membaca papan larangan yang dibuat Gadisku?
Tulikah telinganya tak kuasa mendengar seruan Gadisku? Oh manusia, begitulah caramu
membalas budiku?

Maka, malam itu kuukirkan sejarah baru. Dengan restu bulat Ibu, kuberi pelajaran pada
manusia-manusia serakah itu.

Kabut kelabu bergulung-gulung. Petir menyambar-nyambar. Guntur berteriak


menggelegar. Bulan dan bintang-bintang bersembunyi ketakutan. Wush! Kulontarkan jutaan
kubik pasir beserta batu-batu dan kerikil-kerikil tinggi-tinggi menembus lapisan stratosfer.
Bukan yang dingin, kering, dan halus seperti yang mereka sukai. Tetapi yang tajam membara,
menyimpan percikan api. Kutiupkan jutaan ton kubik dan pasir-pasir itu terbang melayang,
mengapung di udara. Angin meniupnya jauh hingga provinsi sebelah.
*

Erupsiku menyisakan duka dan trauma. Lereng yang damai menjelma api, menjelma
arang. Desa yang tentram menjelma hampa, menjelma puing. Bukit yang hijau lenyap dalam
sekejap. Merusak benda, merugikan harta. Kejadian itu tak hanya membuat manusia-manusia
taubat untuk sementara waktu tetapi juga mengukir kesedihan menjalam bagi Gadisku.

Hari berganti hari. Bumiku terus berputar menggerakkan waktu. Sepasar3 setelah itu,
Gadisku menyambangiku. Ia datang bersama sekuntum bunga anggrek.

Buat apa ke sana? Keadaan kan belum aman. Nanti tiba-tiba ada lindhu 4 bingung
kamu! Pak Wo memeringati.

Bener itu. Hujan pasir saja baru berhenti. Bagaimana kalau ia datang lagi? Biarkan
Kelud menuntaskan hajadnya dulu. Istrinya menambahi

Omongan Pak Wo mungkin ada benarnya. Orang terkaya di Ngancar itu menyahut
setelah melihat Gadisku memotong batang anggrek di belakang rumahnya lalu bergegas
memacu sepeda motornya.

Kaliyan5 Bapak, Insya Allah aman. Balasnya.

Tiada seorang wargapun yang berani menentang Bapaknya. Sebagai juru kunci Wak
Ronggo amat dihormati warga.

Dengan dibonceng Bapaknya, ia mendatangiku. Setelah diparkirnya motor itu di


parkiran atas, Anjani dan Bapaknya bergegas mendekati puncakku. Lalu, sepotong anggrek
itu akan ia selipkan di kawahku. Di samping anakku6, ia bersimpuh. Dan seketika pecahlah
tangisannya.

Jika memang kehendakmu demikian, lapangkan hatiku. Luaskan kesabaranku

Segala yang telah terjadi sudah digariskan Gusti Kang Maha Suci. Kelud hanya
menjalankan sekaligus membawa peringatan agar manusia tidak meneruskan kerusakan
Bapaknya menimpali.

3
Lima hari
4
Gempa bumi
5
Bersama
6
Gunung Kelud memiliki anak, yang muncul setelah letusan tahun 2007 merupakan lelehan lava yang
menutupi kawah.
Alam berbicara. Bumi bersaksi. Semua ini jelas karena keserakahan manusia!
Pandangannya nanar. Bahunya terguncang. Sebutir Kristal bening bermuara di pipi. Sudah
berapa kali kubilang? Kurang berapa kali agar mereka tersadar?

Anjani benar. Tak terhitung lagi ia memberi peringatan. Pengunjung-pengunjung nakal


itu tak menghiraukan. Dipasangnya papan larangan membuang sampah dan puntung rokok
sembarangan di lereng, hutan perkemahan, kawah, dan puncak. Disebarnya tong sampah
bersama pemuda Sugihwaras lainnya. Diambilnya pula sampah-sampah itu. Dikumpulkan
lalu dipisah menurut jenisnya. Sampah plastik dan kertas dipisahkan lalu dibakar. Sedang
sampah dedaunan dan kulit buah disimpannya jadi kompos. Ah, gadisku, kau selalu nomor
satu!

Kelud akan kembali bugar. Ijo royo-royo7. Suaranya terdengar mengambang.

Gusti, dengar janjiku. Kabulkan permohonanku

Perempuan yang kunamai Anjani itu kini menggenapi janji. Lihatlah ia sekarang
menggali liang. Sekop mungilnya beradu dengan tanah gersang. Dibuatnya lahan itu penuh
lubang-lubang sedalam satu jengkal. Lagi-lagi matahari tidak sehati. Dipijarkan sinarnya
tepat di atas ubun-ubun. Meski udara sejuk kutiupkan, peluh tetap menetesi pelipisnya.
Tangan-tangan itu terus bekerja. Diabaikannya rasa nyeri menjangkiti sendi-sendi.

Kalau capek, Dik Anjani istirahat saja. Biar anak buah saya dan warga yang
menyelesaikannya.

Tidak Pak. Selama nyawa masih melekat dalam raga, semangat saya kan terus
membara..

Gadisku tidak sendirian. Dengan kemurahan hati Kepala Perhutani dan warga
Sugihwaras lainnya ditanaminya lereng dengan beraneka pohon. Jati dan meranti, oh aku
suka sekali. Akarnya yang panjang dan besar menyerap banyak sekali air hujan. Sengon dan
kedawung. Rimbun daun hijaunya sungguh menyejukkan mata.

Terima kasih banyak atas bantuan Bapak. Eh Mas Sis.

7
Hijau segar
Ia memaksakan seulas senyum hambar. Gadisku tahu bantuan itu kelak menuntut balas.
Tiada kebaikan yang didapat cuma-cuma. Ia akan menebusnya, meski dengan menukar
seluruh bahagia yang dipunya.

Menjelang senja, aku bisa melihat tunas-tunas pohon itu berjejer gembira.

Di rahimnya, semesta menumbuhkan cinta

Anda mungkin juga menyukai