Anda di halaman 1dari 8

Alkisah Sinta Menentang Rama

Emayama T. Dana

Psss! Bunga-bunga api kecil yang nampak meriah itu melentik ke udara ketika ranting
gosongku mengusik perapian. Kuah sayur dengan santan menggelembung bergantian itu
meletupkan wangi sedapnya untuk diendus tak sengaja. Kuraih centong dan mencelupkannya
dalam-dalam. Panci raksasa itu sedikit terguncang ketika centong kugoyang, melepaskan suara
singgungan berulang dengan batu penyangga. Duk-duk-duk-nya entah bagaimana seirama
dengan sahut-sahutan bincang antar ibu-ibu di sebelahku.

“Jan, Yu.1 Anak jaman sekarang itu mau ketemu sama-sama muda apalagi tua sudah
ndak sisa kramanya. Arep kenal opo ora kalau sudah tidak menggagas, lewat itu kalau tidak
langsung melengos, ya, pura-pura tidak melihat atau main hape! Jabang bayik2!” Seorang ibu
mendumel dalam bara kesal.

“Hoo, kan? Eh, tapi katanya kita itu—apa namanya—penduduk paling ramah di dunia.”
Suara ibu lain menimpali, masih sama membaranya.

“Alah, mbelgedes3! Ramah-ramahnya orang dulu. Mana sekarang coba? Lengas-lengos


pulang minta jajan,” seru Ibu yang pertama malah ditambah nada naik beberapa oktaf dan
hiasan tangan melambai-lambai mendramatisir.

Kusumpal mulutku untuk setidaknya jangan sampai memuncratkan ringisan. Rupa-


rupanya topik pertama rumpi itu membahas kemerosotan moral orang Jawa. Di celah-celah
menit berjalan untuk masak besar ngalangi di dapur desa, tak pas rasanya bagi mereka tanpa
mencicip satu-dua berita. Seakan topik itu ditawarkan untuk diobral mengisi diskusi panas
sambil mengelap daun pisang atau naik-turun memarut kelapa. Meski begitu, dahsyatnya tak
sejengkal-pun goresan sukses menyentuh ujung jari sang pemarut.

“Sudah setahun, ya,” celetuk seorang ibu lain yang gandrung menimbrung. Kedua ibu
tadi langsung menuruti hening, siap memeluk headline baru. Ibu lain itu lantas mendesis,
“Kutukan Karmin.”

Bagai disambar petir merah di tengah siang bolong, cengir yang awal tadi tak henti
tersungging di roman kaku dan pucat-ku direnggut dua kosakata itu. Kutukan Karmin. Dua
diksi itu melayangkan tamparan paling menyengat panasnya untuk jiwaku. Menjelma rentetan
alasan absah bagiku hari ini, menentang ujaran dan fitnah kebencian lalu merenggut kembali

1
Ya ampun, Bu panggilan kakak perempuan5
2
ungkapan Jawa panggilan Ibu6
3
ungkapan tidak peduli panggilan kakek8
4
ibu dengan umur lebih muda dari orangtua suami bulik9
harga kebenaran yang telah menanti. Di hari ngalangi, syukur panen setiap nelayan Banjarejo
ke pesisir Drini, oleh seorang bocah pendiam dan kuyu yang baru sebulan menyandang gelar
dewasa KTP. Ya, dia Bapakku. Karmin, Bapakku.

Dua belas purnama lalu, Banjarejo diricuhkan dengan pulangnya sebuah perahu
nelayan tanpa awak. Orang-orang bergunjing, membuang muka ngeri, hingga bersedu-sedan
kecil tanda mengenal kapal itu. Ibuk sendiri telah merobohkan seluruh bobot badannya, histeris
meneriakkan pertanyaan kemana Bapak pergi. Dipukul-pukulnya lambung perahu tanpa jiwa,
seakan telah lenyap segala kewarasannya.

Desingan angin laut bak mengalun, merajut buaian-buaian tangan sendu yang
memelikkan penalaranku bahwa Bapak sudah pulang. Tanpa raganya. Adik laki-lakiku
membeku, tak beda dari aku yang bahkan tak mampu melepaskan titah diri guna meratapi
kehilangan itu dengan raungan pedih. Jiwa ini tak paham. Tak mampu menjangkau aku.

“Ini pasti karena Karmin tetap diam saja ketika ia menemukan ikan wader saat ngalangi
kemarin. Lihatlah, dia mendapat karma mengerikan.” Seseorang berujar tanpa emosi.

“Ah, mengapa pula ia bersikeras ingin mencari tahu apa pasal hanya ada wader yang
berenang di perairan sana. Seharusnya ia singkirkan keras kepala-nya dan langsung pulang
seperti yang mestinya dilakukan.” Yang lain menanggapi.

Setiap insan warga Banjarejo paham untuk segera meninggalkan pesisir ketika ritual
gawar menangkap ikan laut malah bertemu dengan ikan wader. Hal itu menjadi mitos bahwa
ikan wader akan membawa sial pada desa itu bila acara tak segera dihentikan. Namun aku lebih
tahu dibanding siapapun, Bapak menggumamkan keheranannya ketika hanya menemui ikan
wader setelah berjam-jam menunggu. Sebab semestinya, paling tidak ditangkaplah satu-dua
ikan laut biasa yang mengisyaratkan bahwa perairan memang baik-baik saja.

Bapak bukannya mengabaikan pantangan apapun itu. Ia mencoba menelaah mengapa


laut yang begitu luas dan kaya kini hanya memberikan mungilnya wader untuk masyarakat
yang amat sangat bersyukur dan berbahagia tentangnya.

“Juna!” Aku memekik menyusuri tapak demi tapak tiap-tiap mulut ombak yang bagai
berupaya menumbangkan tungkai kaki. “Arjuna! Juna! Junaaa!”

7
tertawa serampangan
Sore hari yang hampir pekat itu, sejenak setelah pulang sekolah ketika kakiku baru saja
menyapa lantai rumah, bulik4 tetangga tergopoh-gopoh mendatangiku. Sejurus, ia dengan
panik menyatakan bahwa Juna, Adikku, berlari ke pesisir Drini dengan emosi yang menyentak-
nyentak. Kugoyangkan kepala pening sampai entah sejak kapan, kakiku nyalang melahap
pendeknya jarak ke pesisir, berkeras mengejar Juna.

“Juna!” Aku meraung. Tidak, tidak. Tak ada yang boleh terjadi. Juna akan tetap
bersamaku. “Arjuna!”

Sesekon, dua sekon, lalu secuil vokal merintih merangkaki gendang telingaku. “Mbak
Sinta....”

Kutolehkan kepala sambil mengambil langkah panjang, merendah ke arahnya yang


meringkuk di antara karang, lalu merengkuh erat-erat tubuh sepuluh tahun seorang Arjuna.
Menggigil, ia mendesak pelukanku lebih dalam, menuntut lebih banyak suam yang ditukarkan.
Sesengguk masih menunggui dada Adikku itu. Perlahan, kuelus dada lalu kepala plontosnya.

“Mbak5 Sinta—huk—Bapak itu orang yang manut, bukan? Bapak—huk—tidak akan


memberi kutukan. Bapak orang—huk—baik.”

“Benar....” Kucicitkan balasan untuknya.

“Bapak sayang kita—huk—dan desa juga. Bapak—”

Tak sampai ke ujung kalimat, kupotong ucapannya demi menghentikan desir nyeri yang
menghinggapi rongga dadaku bagai penyakit ini. “Benar, Juna. Benar. Kau benar sekali.”

Kujauhkan mukanya dari badanku dan kutemukan rona pucat di bibir dan pipinya.
Manikku betul-betul menatapnya. “Dimana Ibuk6?”

Arjuna mengusap kasar bulir asin yang mengarus di pipinya. “Ke pasar. Tadi siang.”

“Baiklah, Ibuk pasti akan kembali. Sekarang ayo pulang, mandi air hangat dan jangan
pernah menangis atas kepergian Bapak. Biarlah ia tenang,” ucapku tegas menutupi masygul-
nya batinku yang bak disayat ini.

Langkahku menuntun pelannya kaki Adikku menapak lemas. Luapan apapun itu yang
berdesakan di sela-sela lubuknya pun pernah kurasakan. Namun kini kusendat. Sebab intensitas
rasa yakinku berjaya membawaku menyeberangi spekulasi-spekulasi jahanam yang menyiksa,
kepada satu kesimpulan. Bapak tidak dan tidak akan pernah dikutuk. Oleh apapun itu.
1
Ya ampun, Bu panggilan kakak perempuan5
2
ungkapan Jawa panggilan Ibu6
3
ungkapan tidak peduli panggilan kakek8
4
ibu dengan umur lebih muda dari orangtua suami bulik9
Lantas hari ke hari melaju menuju bulan. Hingga kini musim telah berganti dimana
ikan-ikan melimpah berserakan di geladak setiap perahu. Setiap nelayan, istrinya, sampai anak
laki-laki bahkan perempuan akan memajang kehadiran di bibir pantai. Mendadak kekar oper-
mengoper kotak yang membawa macam-macam ikan segar ke pengepul, sederhananya
menukar dagingnya dengan rupiah. Telah lama pula sejak hari disematkannya ‘Kutukan
Karmin’ pada kejadian perahu pulang tanpa awak yang konon sebab kesalahan juru mudi-nya.
Lamanya tempo itu serta-merta khatam menjejaliku dengan bukti-bukti bahwa Bapak
sebenarnya murni polos dari dosa apapun yang dielu-elukan kesana kemari. Secercah
harapannya dimulai di akhir minggu pertama para nelayan menyambut rezeki dari lautan Drini.
Masa itu, para nelayan saling gumam-menggumam, membisikkan malu gara-gara hasil panen
yang merosot nyaris ke kerugian.

“Aih, bagaimana aku harus bilang pada istriku? Seorang nelayan biasa pun takkan cuma
mendapat iwak sesedikit ini. Sementara aku ini nelayan empat puluh tahun. Bagai senior tertua
dibanding siapapun,” lirih seorang nelayan pada temannya. Diusap wajah belang legam itu
dengan topi lunturnya.

Nelayan yang lain berdeham, menelan susah payah seraknya takdir hari itu. “Semakin
hari, semakin buruk saja angka yang ditunjukkan timbangan. Namun, eh, bagaimana bisa
nelayan-nelayan Pak Rama malah kebanjiran ikan, ya? Kau lihat?”

“Ah, jelas saja. Itu gara-gara nelayannya masih muda kekar. Mau beberapa hari disuruh
melaut saja, pulang-pulang masih perkasa.” Nelayan itu menjeda pikir. “Ikan-ikan yang
seharusnya bahagia ditangkap malah jadi mogok seperti ini. Ngalangi besok aku akan benar-
benar berdoa khusyuk. Ah, mungkin saja kutukan keparat itu.”

Lawan bicara nelayan itu menelengkan kepala, menggeleng-geleng lalu mendengus.


“Benar-benar kutukan Karmin. Kini laut, satu-satunya hidup kita, jadi memalingkan wajah
seperti tak sudi.”

Percakapan tukar kata selanjutnya apapun itu tak lagi kucerna dengan benar. Sebab
setelahnya kuarahkan tapak-tapak cepatku mendekati kios Pak Rama. Benar saja, si paling
bising hiruk-pikuknya, baik oleh pengepul atau pembeli biasa. Pun dengan gemerisik tiap
lembaran-lembaran merah yang bergesek dihitung oleh empunya. Namun karena itu, kusadari
satu hal setelah mengobrak-abrik ingatan payahku. Lokasi itulah tempat nelayan-nelayan muda
yang tak terlalu berpengalaman bergerombol, cringas-cringis7 saling membagi botol-botolan
kaca sirup penuh dengan bubuk putih seperti gula. Mereka bagai berpesta kala aku

7
tertawa serampangan
menyaksikannya malam hari itu saat aku terbirit-birit mencari bulik tetangga ke pengepulan.
Si anaknya meraung minta susu.

Cara paling masuk akal untuk seorang remaja yang belum pasti digubris adalah dengan
menggaet orang yang pasti digubris. Atau paling tidak, akan digubris. Jadilah dua minggu
sebelum ngalangi tahun ini, aku menegakkan badan dan memasang lengkungan sabit muka
paling memesona di hadapan suami bulik tetangga sekaligus sahabat melaut Bapak. Dan Mbah8
Tomo, seorang kuncen ngalangi yang acap kali bertandang ke rumah paklik9 tetangga.

Aku bertandang atas izin Paklik, membawa wakul dengan uba rampe-nya yang dijamin
sedap hasil bledugan sejak subuh. Kudorongnya mendekati hadapan Paklik dengan mata penuh
kerlingan harap. Lantas bibirku komat-kami, paparkan seluruh asumsi, dari sepanjang opini
hingga sekecil kontroversi. Kering seperti melanda rongga mulut, tetapi apalah artinya bila
kata-kata bak berluapan enggan menepi. Tak acuh lagi meski aku bagai pipit mencicit, kucing
mengeong, atau malah seorang bocah yang merengek. Semua tumpah, membaur, membulat
sebagai suatu keputusan akhir. Namun, belum usai orasiku hingga ke happy ending, dehaman
Mbah Tomo telah lebih dulu merobek pita garis finish. Mulutku ditinggalkan menganga,
menggantung di tengah kata-kata.

“Ucapan yang besar, Sinta. Upaya yang bagus pula. Akan tetapi, seseorang yang tidak
menaati aturan walau hanya himbauan sekalipun bukanlah sesuatu yang aman dibela,” ujarnya.

“Bapak tidak kembali bukan pasal kesialan ikan wader, Mbah. Bapak tidak kembali
karena memang tidak bisa kembali,” balasku tegar. Mengapa mulai tercium aroma kesia-siaan?

“Siapa yang tahu, Sinta? Karma tak berbicara sedetail itu. Kau mungkin mampu
menggiring opini kami, tapi apakah begitu untuk Banjarejo lain?” Bahkan kini Paklik pun ikut
menampik.

Kutundukkan pandangan, memaksa sisa jengkal otak untuk berpikir lebih gigih.
Namun, bagaimanapun aku mengorek-orek sudut nalarku, hanya batin yang tertumpah
mengaungkan Karmin sebagai nama Bapak yang begitu kudamba. Nyaris kulayangkan pamit
untuk menyelesaikan semua ini. Namun tak ada angin tak ada hujan, Mbah Tomo terkekeh
sendiri. Aku melirik tak sampai.

1
Ya ampun, Bu panggilan kakak perempuan5
2
ungkapan Jawa panggilan Ibu6
3
ungkapan tidak peduli panggilan kakek8
4
ibu dengan umur lebih muda dari orangtua suami bulik9
“Aku dan Paklik-mu ini akan membantu semampu dan sebenar-benarnya kami,”
katanya yang disusul jeda. Ia habiskan jeda itu menatapiku yang tak percaya. “Kau juga bisa
ikut melarung. Ucapkan kumulus sanubari-mu disana, niscaya Ia lebih cepat mendengar
tuturanmu.”

Melarung itu ada di penghujung ngalangi, menutup syukur panen dengan menyisihkan
sebagian hasil panen dan mengembalikannya ke alam untuk upaya menjaga suatu ikatan antara
manusia dengan alam guna saling memberi perlindungan dan rasa syukur atas apa yang telah
diperoleh. Dalam tandu kecil yang hanya cukup dengan satu porsi makanan besar, itu akan
dibawa ke tengah laut lantas dibiarkan tenggelam seakan ditarik oleh tangan-tangan tak kasat
mata dari dasar sana. Untung bagi yang berhajat dan diizinkan ikut lalu berdoa disana.

Bungah betul isi dada kala akhirnya telapak-telapak kaki ini kubawa pulang. Sukses
walau tak seratus persen. Rasa lega akan kenyataan bahwa kini Bapak sanggup kubela dengan
tanganku sendiri menceriakan roman sendu khas Sinta dan memaku kedua ujung bibir ‘tuk
terangkat bahagia. Hingga kudapati sebuah jip angkuh yang menduduki halaman depan
rumahku. Nyatanya, kulupakan satu hal.

Pak Rama mungkin tak akan tinggal diam.

Pria itu seakan berkampak, menggaetku dengan kekeh akrab memasuki rumahku
sendiri lantas mengayun daun pintu menutup. Semua adegan yang terjadi dengan pria serakah
itu bagai blitz yang kencang terputar. Aku bak terhipnotis dengan fakta bahwa mungkin pria
inilah yang mengambil Bapak pun dengan tumpukan lembaran merah yang ia sodorkan padaku.

“Sinta anak cantik, anak pintar, anak baik. Mau berapa?”

“Hape? Untuk goyang-goyang centil seperti di Toktok? Kamera depan licin?”

“Baik, kamu diam tapi, ya.” Dia kembali terkekeh pongah. “Mau tidak?”

Menggiurkan. Senyum simpulku menjawab tawaran Pak Rama. Tawanya kemudian


mengguncang buncit di tengah tubuhnya. Ia manggut-manggut. Semua sama saja, batinnya.

“Anak cerdas....” Dan segepok uang dibebankan ke atas pahaku. Berat.


-
Inilah harinya, Jumat Kliwon yang telah dinanti. Semua warga Banjarejo dalam balutan
lurik Jawa berduyun-duyun turun ke pantai, mencipta arus tilas jejak kaki yang panjang dari
ujung ke ujung. Nasi lauk-pauk dari masak besar tadi disusun untuk sesaji dan sisanya terbagi

7
tertawa serampangan
menjadi belasan bagian di atas tampah kecil untuk kenduri nanti. Empat pundak dari empat
orang senang hati menyangga sesaji itu untuk tampil gagah di antara pasukan-pasukan dengan
sebuah tandu kecil. Diiringi alunan bende dan gerakan reog gegrak, warga membawa sesaji
yang dibungkus anyaman daun kelapa melewati jalan yang naik turun menyisiri bibir pantai
dengan diiringi keprajuritan khas dari Gunungkidul.

Sampai di lokasi sakral dimana sebuah pohon tua dilapisi kain putih, arak-arakan benar-
benar selesai dan orang-orangnya akan menyebar menemukan posisinya masing-masing.
Kemudian, selendang kain ibu-ibu akan digantungkan di bagian depan dekat pohon yang
dikeramatkan sebagai syarat dimulainya prosesi Upacara Adat Tradisi Ngalangi Pesisir Drini.
Prosesi dimulai dengan ritual doa menghadap pohon tua. Pusat ritual ada pada selendang yang
kemudian diusap-usapi minyak wangi. Bagai merasuk, bau menyan tiba-tiba cukup tajam
ketika Mbah Tomo membakarnya bersamaan dengan peletakan sesaji dan melantunkan
mantera dalam hati.

Aku bersila di sebelah panggung, menyaksikan satu persatu orang-orang penting desa
menyampaikan basa-basi sambutan. Kuawasi baik-baik Pak Rama di sebrang sana yang
cengengas-cengenges santai. Mungkin hari ini bukan hari eksekusi, tetapi siapa bilang? Haha.
Segepok lembar merah Pak Rama itu tak cukup dahsyat menyingkirkan bayangan menggigil
Arjuna yang merintihkan perih batinnya kala itu. Tak menambal sedikitpun celah atas tak
pulangnya Bapak dari melaut. Bahkan melecehkanku sebagai generasi anak muda yang
dianggapnya lugu dan dungu untuk sampah semacam suap.

Pak Rama menapaki tiap anak tangga hingga mendarat pas ke atas panggung. Dagunya
mendongak dan celah sempit antara kelopak mata memancarkan sinar congkak-nya. Ia lafalkan
kata-kata lembut yang palsu bahwa amat dicintainya pesisir Drini, amat dihormatinya tradisi,
dan bla-bla-bla yang jelas kontras dengan akal bulus-nya kemarin.

Kukepalkan genggam tekad seraya mengangkat tubuh untuk berdiri tegak. Kuseret tas
pasar yang telah kusiapkan. Lantang kumenentang, “Omong kosong!”

Orang-orang menoleh heran dan menelisik tiap langkahku ke atas panggung, merebut
mikrofon yang dipakai Pak Rama. Kurogoh tas lalu kutarik keluar dua botol sirup dengan
bubuk putih yang memenuhinya. Botol-botol itu kuangkat tinggi-tinggi. “Bom ikan! Penyebab
jumlah panen ikan yang menurun drastis! Inilah bom ikan yang digunakan nelayan-nelayan
Pak Rama! Mengambil dengan serakah, merusak laut kita!”
1
Ya ampun, Bu panggilan kakak perempuan5
2
ungkapan Jawa panggilan Ibu6
3
ungkapan tidak peduli panggilan kakek8
4
ibu dengan umur lebih muda dari orangtua suami bulik9
Di sisi lain, paklik bersiul melengking meliukkan arah atensi kepadanya. Wajah-wajah
tercengang menyaksikan dengan betul ketika sebuah terpal disingkirkan dari sebuah perahu
tradisional mengilap yang penuh dengan bom ikan milik Pak Rama. Napas-napas tercekat.

Segera, kukeluarkan hal terakhir. Segepok uang merah itu kulayangkan ke atas lantas
kuhamburkan tiap-tiap lembarannya ke depan Pak Rama yang berdiri mematung lima langkah
di sampingku. “Tukang suap!” gertakku.

Pak Rama menggeram, gantian menghardik. “Ini karena kutukan Karmin! Bapakmu
yang keras kepala itu! Ikan-ikan tak lagi sebanyak dulu! Kutukan Karmin!”

Urat rahangku menegang tebal sebab pria itu tanpa tedeng aling-aling menghina
seseorang, seseorangku. Ketika semburan kemarahanku hendak menyerang Pak Rama, tiba-
tiba Mbah Tomo berseru menghentikan seluruh kisruh dengan kata-kata dalamnya. “Laut akan
murka!”

Para warga mulai menggumam cemas sementara Pak Rama mengangguk-angguk dan
tertawa lepas. “Itu karena kau, Sinta! Kau mengacaukan ritual ini!”

Mbah Tomo menghentakkan kaki. “Laut murka padamu! Kamu, Rama! Manusia
serakah!”
-
Angin semilir laut membelai ringan rona pipi lantas bermain-main centil dengan anak
rambut, menggelitik kulit. Ambil satu-dua hirup dalam-dalam, maka rasanya rongga dada ini
bagai dicuci bersih. Permukaan air biru yang terbentang tanpa batas pun nampak enggan diam.
Bergejolak. Kalau tidak naik, ya, turun. Membuat perahu bak ikut berdendang dengan
goyangan kalemnya. Yang berada di atasnya tentu akan memilih duduk takzim, meresapi
syukur yang mungkin bergema dalam lubuk atas tak terbatasnya rahmat ini.

Gema itu tentu menyentuhku, tetapi tidak dengan aku yang berada di atas perahu
melarung. Ada orang lain disana. Yang mungkin akan lebih bersyukur dibanding diriku.
Kupandang perahu itu yang kini telah menjelma titik di kertas biru menghanyutkan. Senyumku
sempurna terbit. Senyum seorang Sinta yang tak hanya menentang Rama palsu, tetapi
melawannya sekuat tenaga. Ah, lihatlah, kini perahu itu tak mampu terjangkau mata polos ini.

Mungkin, bila nurani ini telah lebih berani dan tegar, melarung akan kuperjuangkan
lagi. Untuk kemelut pekat yang bertalu-talu mendengungkan pertanyaan pelik ke jiwa ini.

Dimanakah pasar yang membuat Ibuk terus melangkah tanpa ingat pulang itu? []

7
tertawa serampangan

Anda mungkin juga menyukai