Anda di halaman 1dari 5

Sang surya tenggelam perlahan ke bawah garis cakrawala.

Semilir angin berhembus menerpa


wajahku. Gelak tawa anak-anak terdengar menambah keceriaan suasana soreku ini.
Kupejamkan mataku, kusandarkan punggungku pada kursi lapuk di beranda rumah kayu ini
dan kunikmati suasana ini seolah tak ada senja lain di esok hari.

“Kau mau dengar cerita, Kakek?” Pria tua di sebelahku membuka percakapan. Setidaknya
sudah tiga kali beliau menceritakan kisah-kisahnya padaku hari ini. Sepertinya cerita masa
mudanya akan menemani kami duduk bersantai sore ini.

“Sudahlah Dam, cucumu sudah terlalu besar untuk mendengar kisah-kisahmu itu.” Seorang
wanita tua datang dengan segelas teh panas dan senyum yang mengarah padaku, “Apa
maksudmu Limah? Tidakkah kau lihat cucu kecilku ini? Dia akan selalu suka cerita-
ceritaku.” Pria paruh baya itu bersikeras untuk tetap bercerita. Cerita-ceritanya sungguh
mengagumkan, hanya saja terdengar seperti bualan untuk remaja seusiaku.

Setelah mengantarkan secangkir teh milik sang lelaki tua, wanita tua berdaster lusuh itu
kembali masuk ke dalam dan membiarkan suaminya bercerita, setidaknya sekarang semua
orang tau bagaimana keras kepalanya pria tersebut.

***

Kupandangi hamparan lautan luas dari atas geladak kapal. Kunikmati hembusan angin laut
yang menerpa layar kapal, tak pernah terlintas dipikiranku untuk hidup di lautan. Sejak ayah
meninggal, aku menggantikannya menjadi tulang punggung keluarga, menafkahi ibu yang
sudah memasuki usia senjanya. Satu hal yang aku sesali dari menjadi awak kapal adalah
berpisah jauh ibuku.

”Seindah itukan hamparan lautan ini Dam?” Wak Iyen datang dengan membawa sepiring
ikan bakar. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Wak Iyen yang duduk di sebelahku. “Apa
yang kau pikirkan, Dam? Panggilan para awak kapal pun tak kau hirau.” Pria paruh baya itu
duduk di sebuah kursi plastik di sebelahku. Wak Iyen merupakan sahabat ayah, beliau lelaki
yang cukup perhatian, tegas, dan penyayang. Tak jarang duduk bersamanya mengingatkanku
akan sosok ayah. ”Terima kasih Wak, sudah membantuku dan ibu sejak ayah meninggal.”
Tawa Wak Iyen pecah mendengar ucapanku. “Tak perlu berterima kasih Dam, Ayahmu
adalah sahabat terbijaksana yang pernah aku miliki. Dia lelaki hebat Dam, Jadilah seperti
ayahmu.” Wak Iyen bangkit dan berjalan masuk ke bilik kapal. “Segeralah bersiap dan
makan malam bersama awak lain Dam. Jangan sampai kau sakit. Besok pagi kita tiba di
Padang, akan kutunjukkan pesona tanah Minang kepadamu Dam.” Wak Iyen tampak sangat
antusias akan perjalanan kami ke tanah Minang tersebut. Sebenarnya itu hal yang sangat
wajar untuk pelaut yang sudah dua hari menghabiskan waktunya mengambang di lautan.

Setibanya di tanah Minang, “Mari makan siang bersama! Aku yang traktir hari ini.” Seolah
sudah familiar dengan daerah ini, Wak Iyen membawa kami ke sebuah rumah makan di dekat
dermaga dan disana kami disambut dengan sepiring rendang, ikan asam padeh, gulai pangek
masin, dan daun singkong yang menggugah selera. “Salamaik makan.” Seorang pelayan
menghidangkan minuman yang telah kami pesan. “Tarimo kasih, Uni.”

Asap mengepul, aroma rempah khas masakan Padang itu membelai indra penciumanku
menggoda bak seorang cassanova yang memancing mangsanya. Perpaduan nasi panas dan
sepotong daging rendang yang tenggelam di dalam lautan gulai benar-benar penggoda
terbaik, ditambah daun singkong yang ikut melengkapi kenikmatan hari ini. Seolah tersihir
aku menikmati makan siangku hingga lupa diri. Makanan ini terlalu nikmat untuk dibiarkan
menunggu lama, kunikmati tiap suapan hingga suara detakan jam pun tak terdengar. Semua
makanan yang tersedia habis tak bersisa.

Wak Iyen mengacungkan tangannya memanggil seorang pramusaji wanita yang berlalu
lalang membawakan makanan kepada pelanggan yang mampir untuk menikmati masakan
khas tanah Minang di rumah makan ini. “Ni bara sadonyo ni?” Lelaki paruh baya itu
mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang untuk membayar makanan
yang mereka pesan.”Duo ratuih ribu da.” Dua lembar uang merah diulurkan kepada sang
pramusaji.

Suara lembut menyapa indra pendengaranku. Kualihkan pandangan ini kearah wajah manis
mempesona yang seakan memaksa mata ini untuk terus menatapnya. Tak sedetikpun
kubiarkan senyuman itu terbuang sia-sia. Senyum lembut memanjakan mata yang mengajak
sang pengamat umtuk ikut bergabung. Tak kusangka anak dara tanah Minang akan semenarik
ini. “Nona, boleh kutau namamu? Sepertinya anakku tertarik padamu.” Jatuh terlalu dalam
pada pesona gadis Minang membuatku tak sadar Wak Iyen menyadari gelagat aneh dalam
diriku. Gadis itu melihatku dan memberikan senyum malu.” Namaku Polimah, uda.” Seakan
mendapat kejutan ratusan juta. Rasa senang menyeruak ketika gadis ini memberi tau
namanya, tapi tak bisa kutampik rasa malu yang hadir ketika Wak Iyen memberikan
seringaian menggoda. Seperti anak dara yang terkena rayuan seorang bujang, pipiku
memerah dan menjalar hingga ke telinga. Segera kuberikan tatapan peringatan pada Wak
Iyen untuk segera berhenti menggodaku.

Hari sudah gelap tapi rupa sang gadis Minang belum menghilang dari ingatanku. Hingga aku
merasakan seseorang duduk disebelahku.” Kau masih mengingat si gadis Minang di rumah
makan tadi? Tak kusangka kau benar-benar menyukainya.” Siapa lagi kalau bukan lelaki
paruh baya sahabat ayahku. Aku tetap membisu, membiarkannya berbicara sendiri bak orang
yang tak waras.” Aku bisa melamarnya untukmu jika kau mau, Dam. Kita bisa menanyakan
soal dia kepada pemilik rumah makan.” Sontak saja ucapannya membuatku melihat ke
arahnya. “Terlalu terburu-buru untuk melamar wanita yang baru kulihat sehari Wak.”
Setidaknya aku tidak akan bertindak gegabah. Bagiku menyukainya tak berarti harus
menikahinya dalam waktu dekat kan? “Jika tak mengunjungi keluarganya minggu ini, kapan
kau akan kembali lagi ke tanah Minang ini, Dam?” Pertanyaannya membuatku terdiam, tak
tau harus menjawab apa. Aku bukan orang berada yang dapat berlibur ke sini di musim
liburan. “ Jika kau memikirkan ibumu, kirimkan surat padanya, kau bisa meminta izin. Kau
masih punya beberapa hari lagi untuk berpikir. Semuanya ada di tanganmu, Dam.” Itulah
kalimat penutup pembicaraan kami malam ini.

Hari-hari sudah berlalu, waktuku di Padang sudah hampir habis Setelah ini, aku akan kembali
berlayar ke tempat tujuan. Balasan surat ibu sudah teremas habis dalam genggamanku. Empat
hari yang lalu, aku benar-benar memikirkan saran Wak Iyen dan berakhir mengirimkan
sepucuk surat kepada ibu, meminta restunya untuk melamar seorang wanita yang kutemui di
persinggahanku di tanah Minang ini. Ibu tampak senang mendapat berita anak semata
wayangnya ingin melamar seorang gadis, bahkan ia meminta bantuan Wak Iyen untuk
melamarkan gadis manis tersebut untuk menjadi menantunya.

Selama di sini, Wak Iyen terus saja membawaku ke rumah makan itu, sekedar untuk
berkeliling. Hingga puncaknya kemarin, ketika lelaki paruh baya ini menanyakan tentang
sang gadis Minang kepada ibu pemilik warung makan. Fakta baru pun terungkap, sang gadis
Minang merupakan adik dari si pemilik rumah makan. Wanita pemilik warung makan itu
dengan bersemangat menceritakan tentang adiknya yang disukai oleh masyarakat.
Kerendahan hati, perilaku sopan, dan tutur kata lembut membuat para ibu-ibu di desa
berlomba-lomba memintanya kepada sang pemilik warung. Tak lupa juga Wak Iyen
menanyakan alamat rumah mereka, ingin bersilaturrahmi katanya.
Scene 1: di lapangan sekolah di kasih pengumuman libur . besorak-sorak kan. Waktu mau balek ke
kelas si nong ni dipanggel ma ibu gurunya kek pembimbing menan. Dukasi tau soal pameran lukisan
menan yang dibuatnya abes liburan nanti. Dianya mau nolak kan karena liburan tapi ibu ni yang kek
ikot ajalah kan abes libur. Yaudah oke tentang kebudayaan.

Scene 2: waktu pulang dia kan di kamar, pikirlah mau gambarin apa lah dia kan kok buntu.
Yauddahlah kan masih lama, turun ke ruang dapor mau lewat ruang keluarga. Ambel minum
dudoklah sama bapaknya. Jadi it utu kek my trip my adventure kan banyak ke daerah daerah abetu
dia kek apaan tuh . nah si bapak yang kek memang anak jaman sekarang kektulah .Abestu dia ngeh
iya juga ya gitu kan, dia pun merasa kalua dia kek krg kali pengetahuan sosialnya. Tiba-tiba si bapak
ajak dia kek kamu mau ikot liburan ke rumah nenek gak? Nenek suruh pulang . mau dia yaudah
okelah kan

Scene3: di rumah neneknya dia liat kan kek rumah kayu tapi lebih gimana gitu. Disitu lah dia liat org
kampong lebih ramah, abestu wkt dia dudok kan dia liatlah neneknya slalu pakek kaen batek. Rata-
rata org di desan lan menan. Abestu dia diajak ke acara syukuran menan. Abestu ada juga dia kan
lagi dudok ada yg dating kerumah neneknya antar makanan. Abestu diajak maen lah dia kan, baru
dia liat permainan anak desa. Disitulah dia ngeh kan apa yang bedain anak desa ma anak kota yang
terpengaruh modernisasi. Dia merasa ada ide kan, tapikan dia gada kanvas dia ambellah sketchbook
dia gambarin yang rencananya nanti dia salin ke kanvas.

Scene 4: dia udh plg lagi, ,iburnya gak lama lag ikan akhirnya dia tu ngelukis apa yang dia lihat. Dia
lakukan selama di desa, dan itu tuh diangkat ma muri sebagai lukisan pameran anak sma yang
menggambarkan generasi pemuda sekarang.

Anda mungkin juga menyukai