Anda di halaman 1dari 6

FRANS DAN PULAU PALUE

“Kamu seperti membangun tembok yang terbentang tinggi Laura, sungguh aku telah berusaha
menggapaimu, tapi kamu memang tidak pernah mengizinkan aku untuk masuk.” Begitu yang dikatakan
Rio di sore hari itu. Nampak kekecewaan terpampang diwajahnya. Kami sudah berteman selama dua
tahun, bekerja di Rumah Sakit yang sama.

Selama ini ia berusaha mendekatiku agar kami menjadi lebih daripada teman. Aku bisa merasakan dari
tatapan matanya dan hangat caranya memperlakukanku, ia selalu ada saat aku membutuhkan. Tapi
sungguh aku tidak mau terikat hubungan lebih dalam dengan Laki-laki ini.

“Aku belum mau terikat dalam suatu hubungan Rio, aku lebih nyaman kita seperti ini. Pahit, memang
untukmu, tapi tidak bagiku”.

Aku melangkah pergi dari tempat kami duduk sore itu.

Aku tak perlu berpikir lama, saat memutuskan berhenti dari Rumah sakit tempatku bekerja dan lamaran
kerjaku diterima di pulau sangat terpencil Palue, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku
memutuskan segera berangkat.

“Mama, besok aku akan berangkat pagi hari, aku sudah memutuskan untuk kerja di Palue, selama
setahun”. Kulihat mata Mama berkaca-kaca, raut wajahnya yang terlihat semakin menua nampak
mengerut.

“Kalau begitu keputusanmu, sungguh Mama tidak bisa berkata apa-apa Nak, Mama tahu, Kamu
sudah bisa menjaga diri. Bahumu sudah kokoh setegar karang, hatimu juga harus luas seluas lautan,
karena kamu akan menumpang didaerah orang. Apalagi di pulau terpencil, harus pandai membawa diri
dan menjaga lisan”.

“Mama sebenarnya ingin kamu pergi setelah hari Natal, karena sungguh sepi hari Natal
tanpamu, Mama akan merayakannya berdua bersama adikmu, Adit”. Mama berkata datar.

Dalam hatiku aku sungguh bersyukur tidak melewati hari Natal tahun ini bersama Mama dan
Adit, Untuk apa merayakan Natal? dan mengenang pahitnya bagaimana Papa membuang kami seperti
sampah.

Di malam Natal, mama pasti akan mengajak kami berdoa agar Papa pulang. Aku sungguh muak. Aku
bukan anak kecil yang bisa ditipu seperti adanya kehadiran Santa Claus saat aku menjadi anak yang
baik, Aku tak percaya.

“ Sudahlah Ma, mau bagaimana lagi? Panggilan kerjaku sudah ada sebelum hari Natal tiba”. Aku
menjawab datar.
“ Apakah Rio sudah tau, kamu akan berangkat besok? Mama berkata sambil membantu memasukkan
pakaianku kedalam koper”.

“Sudah Ma, dia sudah tau”. Jawabku sambil memasukkan jersey Manchester united favoritku ke dalam
koper.

“ Mama bisa tebak reaksinya seperti apa, Rio anak yang baik, Mama bisa melihat ketulusannya”.
Sebelum Mama menyelesaikan kalimatnya, aku buru-buru memotong.

“ Sudahlah Ma, aku belum mau terikat dalam suatu hubungan saat ini, fokusku bekerja, jawabku datar.

“Laura, saat hubungan Mama dan Papa gagal, bukan berarti kamu harus takut menjalin suatu hubungan,
sudah beberapa teman lelakimu mendekati. Kamu selalu menjawab hal yang sama. Kamu cenderung
menghindar.”

“Dalam suatu keadaan, kamu mungkin tidak bisa mempertahankan suatu hubungan untuk tetap
tinggal, tetapi kamu selalu bisa mempertahankan cinta. Papa dan Mama mungkin tidak bisa
mempertahankan rumah tangga kami, tapi tidak dengan cinta Mama pada Papa”. Mama berkata sambil
berlinang airmata.

Aku terdiam, sepanjang malam itu. Terbawa sampai tidak bisa tidur, mungkin juga karena besok pagi
hari, aku akan berangkat. Terbayang wajah Rio sesaat, namun aku menepisnya. Besok aku akan tetap
pergi. Tidak ada yang bisa merubahnya.

Kudorong koper biruku di bandara Eltari Kupang, dalam waktu empat puluh lima menit
penerbangan. Aku akan tiba di bandara Frans Seda Maumere, dan perjalanan belum selesai karena
dilanjutkan dengan naik kapal Feri di pelabuhan Geliting, selama enam jam perjalanan untuk sampai
ke pulau Palue.

Setelah enam jam perjalanan, aku sampai di perumahan Kerica pulau Palue, rumah dinas
tempatku tinggal berada didepan pelabuhan Langa, terbentang luas pemandangan lautan biru yang
mengagumkan, tetapi juga menyeramkan melihat ada beberapa rumah yang tinggal reruntuhan, bekas
letusan gunung Rokatenda. Saat ini kepalaku masih pusing akibat mabuk laut pasca enam jam diatas
kapal.

“Mai ka?” (Mari makan) seorang gadis, masyarakat yang tinggal disamping rumahku menawariku ubi
Ohu dan ikan asin. Makanan khas penduduk lokal yang akan kamu temukan selama bekerja dipulau ini

“Mbolaso” (terimakasih) jawabku sambil mengambil sepotong ubi Ohu, Untungnya aku terlebih dahulu
belajar Bahasa Palue dari Kakak perawat tempatku bekerja dahulu.
Selama tiga hari aku berada di pulau ini, aku sungguh menikmatinya, walaupun disini listrik, sinyal dan
air serba kekurangan. Setiap harinya aku harus mengambil air di bak penampungan air hujan yang
terletak ditepi pantai, demi keperluan mandi, dan mencuci baju.

Sore ini, saat mengambil air, aku melihat seorang pria seusiaku memakai kemeja putih duduk ditepi
pantai, pandangannya jauh menatap birunya ombak.

“Bagaimana selama disini, kerasan? dia menegurku yang sedang menarik ember air. Aku tercekat, baru
kali ini kutemukan pendatang sepertiku dipulau ini.

“ Kerasan, jawabku. Hanya saja aku belum terbiasa dengan tidak adanya listrik di Pulau ini, saat malam
hari, rumah dinasku belum ada genset. Aku harus terbiasa tidur lebih awal. Jawabku datar

Dia mendekatiku dan berkata.” kamu harus jalan-jalan ke Poa Nua Kaju, berada di atas bukit sana, satu
jam dari sini. Sungguh menakjubkan, kamu akan melihat bagaimana magma gunung Rokatenda, dapat
menghasilkan air suling untuk dipakai warga.

Frans nama lelaki ini, selama seminggu ini kami berkenalan. Dia tidak mengatakan dimana dia bekerja,
mengapa ia sampai dipulau ini. “Rahasia” jawabnya.” Setiap tempat dan orang dapat menyimpan
kisahnya sendiri,bukan? hal ini disebut “misteri”. Jawabnya datar.

Setiap sore Frans selalu menungguku ditepi pantai, kami bercerita banyak hal. Frans mengajariku
bagaimana bertahan hidup dipulau ini, lebih dari teman-teman kerjaku di pusat kesehatan. Aku tidak
terlalu akrab dengan mereka.

“Coba kamu makan “ollo” (sejenis lemak babi yang diawetkan bertahun-tahun) kamu bisa
mendapatkannya di kampong Tuanggeo. Frans tersenyum datar.

“Ah takut sakit perutku nanti.” Jawabku ketus

“Tidak akan perutmu sakit.” Jawabnya sambil tertawa,” rasanya sangat enak, meleleh dilidah. Kamu
bisa menikmatinya, bersama nasi jagung sambil mendengarkan alunan music bethoven di pantai”.
Jawabnya ceria.

“Besok aku akan main ke Maumere, sungguh aku bosan disini. Aku kangen mie ayam dan Salome
(sejenis pentol khas NTT). Kataku kepada Frans yang sedang menulis diatas pasir.

“Kamu baru sebulan, dan sudah ingin kembali kekota? Sungguh lemahnya dirimu. Apa terlalu kurang,
makanan dipulau ini, sehingga kamu harus kembali kekota”? Frans melotot, terdengar kekecewaan
sekaligus kemarahan dalam tutur katanya.

“Tapi aku ingin kembali sebentar kekota. Sinyal disini sangat susah, aku hanya beberapa kali dapat
menghubungi ibu dan adikku”. Jawabku datar
“Ini pilihanmu Laura, jangan mengeluh. Kamu menerima gaji yang besar saat mengabdi dipulau ini.
Jangan kamu mencoba bermanja-manja untuk pulang”. Frans tersenyum ketus.

Aku berlari pulang ke rumah, meninggalkan Frans. Malam hari ini kulewati dengan perasaan sedih,
mengingat kasarnya kata-kata Frans ditambah dengan suasana rumah dinas yang sepi dan gelap, tanpa
listrik. Menambah sendunya malam ini.

Sayup-sayup kumelihat bayangan gelap masuk lewat jendela dan berlari kearah meja kamarku, secepat
kilat. Sungguh mengerikan. Bayangan gelap itu menghilang ditelan gelapnya malam. Aku berteriak
ketakutan namun tidak dapat bangun dari tempat tidurku, tubuhku terkunci. “ketindihan” menurut
kepercayaan orang disini.

Pagi ini, aku bangun dengan perasaan kalut. Seluruh isi tasku hilang entah kemana, dompet berisi
sejumlah uang, KTP, ATM. Semuanya hilang tak tersisa. Aku menangis seharian. Teman-teman di
Pusat Kesehatan, tempatku bekerja menghiburku “di pulau ini tidak ada yang namanya pencuri.
Mungkin ibu Dokter salah taruh”. Kata mereka menghiburku.

Beberapa hari setelahnya, aku mendapat tugas ke Maumere untuk mengikuti workshop kesehatan,
sungguh senang hatiku. Akhirnya, aku bisa memiliki kesempatan ke kota, dibiayai.

“Akhirnya, aku akan pulang besok ke Maumere, Frans”. Kataku kepadanya sambil menyerahkan kunci
ruang belakang. Aku titip rumah dinas ini kepadamu.” Berkataku sambil tersenyum

“kita lihat saja besok, Laura.” Frans tersenyum simpul lalu meninggalkanku. Menghilang dibalik
petangnya sore menjelang malam.

Malam ini aku tidur dengan perasaan senang, besok aku akan kembali kota. Di tengah malam, ku
melihat bayangan hitam menerobos masuk, singgah ke tubuhku. Wanginya seperti daging hangus. Aku
merasa sangat jijik. Bayangan itu menghilang. Dan tubuhku serasa terkunci seperti biasanya.

Keesokan Paginya, Aku merasa sekujur tubuhku panas. Aku menderita demam tinggi dan tidak bisa
meninggalkan pulau ini, sampai keadaanku sehat. Teman-teman dari Pusat Kesehatan tempatku bekerja
datang berkunjung. Mereka menyayangkan aku yang tinggal sendirian dan sakit seorang diri. Beberapa
wanita menawariku untuk tinggal dirumah.

“Tidak apa-apa, ada sahabatku Frans yang mengunjungiku tiap sore disini, kalian kenal Frans? Dia
pendatang sepertiku, kami sangat akrab”. kataku kepada mereka.

Frans? Fransiscoly? Nita, temanku bekerja yang merupakan penduduk asli Palue, Nampak terlihat
sangat kaget, dan aura wajahnya berubah menjadi kelabu.

“Aku tidak tahu siapa nama lengkapnya, nampaknya dia pendatang, usianya sama sepertiku. Dia tidak
pernah mau menjawab, jika aku bertanya lebih dalam tentangnya”.
Nita menunjukkan selembar foto dibuku catatannya,” apakah dia? Kubalas dengan anggukkan. Kulihat
wajah Frans tersenyum difoto itu, diantara Nita dan teman-temannya, menggunakan kemeja putih yang
selalu ia kenakan.

Nita meminta segelas air, lalu duduk dan menceritakan semuanya, seperti ada bongkahan batu
menyesakkan yang akan keluar dari dadanya.

Fransiscoly namanya, ia Dokter relawan pada pusat kesehatan dipulau ini, beberapa tahun yang lalu, ia
datang dari Bandung, dan sangat mencintai pulau ini. Selama dua tahun, dia tidak pernah pulang ke
Bandung. Bahkan saat pemerintah mengeluarkan waspada siaga letusan gunung Rokatenda, beliau tidak
beranjak. Berat hatinya untuk pergi meninggalkan pasien lansianya di daerah puncak gunung.

Nampak air mata dipelupuk mata Nita, “Frans ditemukan meninggal bersama beberapa pasien saat
letusan gunung Rokatenda menghantam Palue tahun 2013”.

Air mataku tak sadar tertumpah keluar diikuti Bulu kudukku yang merinding. Aku meminta beberapa
wanita menemaniku tidur dirumah malam ini, esok aku akan ke Maumere, dan memutuskan untuk
mengundurkan diri dari pulau ini.

Ladolaka, 20 oktober 2020

BIODATA PENULIS

Nama : Debora Natalia Ndaparoka

TTL : Bengkulu, 22 Desember 1994

Usia : 25 tahun

Pekerjaan : Dokter umum

Tempat Bekerja : Puskesmas Tuanggeo Kabupaten Sikka

Email : debora.slalutersenyum@yahoo.com

Wa : 082139599126

Alamat : Jln H.R Koroh, Sikumana Kupang- NTT

Instagram : @debora_ndaparoka

Hobby : Membaca dan Menyanyi

Anda mungkin juga menyukai