Anda di halaman 1dari 11

Aku tertegun mesra menatap langit.

Menikmati indahnya pesona ciptaan Tuhan di malam


minggu kelabu. Rasanya tak pernah jemu aku duduk dibawah pohon jambu di depan rumahku.
Musim ini, udara malam selalu bersahabat dengan suasana hatiku, dingin.

Musim hujan berkepanjangan, setiap sudut desa Nampak basah, segar dan sebagian
nampak kumuh. Katanya hujan adalah bagian dari anugerah Tuhan, tapi entahlah mengapa tak
jarang anugerah itu berwaajah seram menjadi bencana di desaku, banjir dan longsor. Beruntung,
rumah ayahku didirikan diatas tanah yang agak berbukit, jadi tak ada banjir yang menyambangi.
Tapi, bukan pengecualian untuk tak terjangkit longsor.

Malam terasa membeku, angin pelan berhembus menerobos sela-sela dedaunan basah.
esok pagi akan kusapu tepian jalan yang mulai kumuh pasca longsor, terlalu kotor untuk dilalui
orang, pikirku. Lama aku termenung lagi, betapa mengenaskannya desaku dimusim penghujan.
Tak seperti dulu, dimana udara segar berhembus penuh kedamaian. Kini semua telah dirusak
oleh tangan-tangan jahil manusia. Ketamakan mendera tanpa disadari.

Dua tahun setengah aku pergi meninggalkan desa ini. Semenjak lulus SLTA aku
dititipkan pada bibiku di kota. Setiap libur semester seperti ini aku selalu menyempatkan pulang
dan menengok suasana desaku. Aku selalu membandingkan kehidupan di kota dengan di desaku.
Menerawang setiap sudut desaku. di tempat bibi tak pernah kekurangan air, padahal di sini kan
di desa, seharusnya air melimpah disini. Tapi mengapa justru sebaliknya? pikirku seketika itu
saat aku berlibur di musim kemarau. Aku berfikir lagi, yah.. tak ada lagi hutan yang dulu
menjadi tempat bermain yang menyenangkan saat aku masih SD. Yang ada sekarang hanya
bekas hutan yang kini gersang termakan illegal loging. Ingin sekali rasanya aku menjadi kepala
desa dan mengadakan pembaruan untuk desa ini yang lebih maju. Ah.. its dreaming.

Bapakku tengah sibuk menonton siaran berita di televisi. Dia sangat antusias melihat
pergolakan politik yang terjadi di Indonesia. Negeri yang katanya subur dan makmur, namun
pada kenyataannya kering kerontang. Negeri yang lapar dimana padi tumbuh subur di dalamnya,
negeri yang kekurangan gizi dimana buah-buahan melimpah, negeri yang miskin dimana sumber
daya alamnya melimpah. Bapakku adalah sosok yang sangat membanggakan bagiku, dia adalah
salah seorang pengurus kantor desa. Meski hanya sebagai sekretaris desa, dia memiliki mimpi
yang mulia atasku sebagai anaknya dan desa tercintanya ini.
Tak kuat berada terus diluar, aku masuk ke dalam rumah. Menyaksikan bapak yang
tengah asyik dengan TV-nya. Aku mencoba mendekat padanya, acranya apa sih pak? tanyaku
basa-basi.

ini lo le, lihat berita. Banyak terjadi longsor dan banijr dimana-mana le, ternyata gak
Cuma di desa kita saja. Musim hujan yang harusnya berkah malah jadi momok menakutkan le

hutannya aja udah pada gundul pak, pantas saja jadi begitu pak.. timpalku memberi alasan

iya le, kamu tahu sendiri kan masyarakat disini hidupnya tergantung dengan hasil kebun sahut
bapak menjelaskan

tapi pak.. apa harus menebang pohon-pohon di hutan dan menggantinya menjadi lahan garapan
perkebunan? struktur tanahnya tak sesuai pak.. akhirnya nambah masalah baru kan pak? Iya kan
pak? aku betanya setengah memaksa bapak agar setuju dengan pendapatku.

tentu tidak harus begitu le, tapi lihat anak muda seusiamu disini, mereka tidak ada yang sekolah
semua sudah dinikahkan oleh orangtuanya. Akibatnya setelah menikah tidak ada pilihan lain bagi
mereka selain bertani atau berkebun untuk memenuhi kebutuhan hidup, wong ya ndak punya
keahlian lain.., kata bapak menerangkan fenomena miris di desa kami.

lalu, dimana lagi mereka akan bertani? Ya di hutan itu le.. mereka tidak cukup pintar untuk juga
memikirkan dampak lain yang akan timbul akibat tindakannya. Bapak tidak bisa menyalahkan
mereka sepenuhnya le jelas bapak mencoba menampakkan kebijaksanaannya.

Aku terdiam, aku hanya mampu mendengarkan setiap penjelasan bapak dengan seksama.
Ku cerna setiap kata yang keluar dari pendapat bijaknya, pak.. kalau boleh berharap aku ingin
sekali mengubah cara pandang masyarakat desa kita

itu harapan yang baik le, bapak akan mendukung semua keputusanmu selama itu baik untuk
kamu dan orang lain ujar bapak sembari menepuk pundakku lembut, senyumnya yang khas
menyiratkan kebanggaan pada putranya yang mulai berfikir maju.

Percakapan kami terbatas sampai disitu. Aku masih mengambang dengan pemikiran dan
kenyataan yang ada. Sekali lagi, aku membandingkan kehidupan di sini dengan kehidupan di
tempat bibiku.., desaku sangat jauh tertinggal. Hanya segelintir orang yang memiliki kamar
mandi pribadi di rumahnya, selebihnya harus mengantri di mbelik dan sumur desa dengan
payahnya. Tak hanya sampai disitu,tak ada WC di rumah penduduk. Mereka biasa membuang air
di kebun. Dulu semua itu kuanggap hal yang biasa, tapi sekrang setelah aku mengenal pola hidup
diluar lingkup desaku, aku mengerti betapa miskinnya desaku.

Masih kuingat saat aku harus beradu dengan peluh saat SD dan SMP, aku harus
menembus bukit berjalan kaki ke sekolah dengan jarak yang tidak dekat. Bisa dipastikan aku
berjalan 7 km tiap harinya. Dan kini sekian tahun berlalu, tak banyak yang berubah dari desaku..
akses ke sekolah masih sulit, mungkin itu yang menjadi alasan para pemudanya enggan
bersekolah. Dan aku, sampai detik ini hanya mampu menyadari naifnya desa ini. Aku belum
mampu mencipta perubahan.

Besok aku sudah harus kembali pergi menjauh dari desaku dan kembali berhadapan
dengan bisingnya suasana kota. Liburan berikutnya, akankah ku temui lagi desaku yang gersang
kerontang karena kemarau panjang? Ah, mimpiku masih diangan-angan. Kelak saat sekolahku
usai, saat aku telah pandai, saat aku mulai mengerti banyak hal.. aku akan mewujudkannya.

le,, hati-hati di jalan. Jangan lupa shalat tahajjud ya, wanita paruh baya itu berpesan sangat
sederhana, berujar lembut penuh kasih. Kemudian ia mencium hangat kening dan pipiku, ya..
aku mengerti isyarat mata dan peluknya, ada rindu yang belum siap dilepasnya. Tapi disisi lain
ada harapan mulia yang ia perjuangkan lewat hadirku kelak. Dia ibuku yang luar biasa.

bangun le.., ayo shalat subuh, ada suara lagi, aku cukup bingung tapi suara kali ini sangat jelas.
Ku buka mataku, dan ternyata aku baru terjaga, suara dan cium hangat tadi hanya mimpi. Segera
aku bergegas bangun dan beraktifitas sebagaimana harusnya.

Jam dinding masih menunjukkan pukul 04:20, Bapak, Ibu dan aku melakukan shalat
subuh berjamaah. Satu hal ini yang selalu membuatku rindu kesederhanaan kami di rumah. Rasa
tentram bersama keluarga tak bias tergantikan dengan apapun, rasa sesak tiba-tiba merasuk
dadaku mengingat shalat ini mungkin yang terakhir untuk pecan liburan ini. Aku harus kembali
ke kota, dengan berat hati aku harus siap menjemput mimpiku disana.

mau berangkat jam berapa le? Tanya ibu dan jelas nada itu tampak berat.

jam 8 saja bu, usai sarapan.. nanti bapak bias mengantarku ke terminal kan bu? tanyaku manja.
bisa lah le.. jawabnya sembari meninggalkanku menuju dapur. Dan aku pun beranjak
mempersiapkan keberangkatanku nanti.

Jarak rumahku dan terminal cukup jauh, sekitar 18 km. letak kampungku yang terpencil
ini taka da angkutan umum maupun ojek. Kecuali dari arah kota tentunya dengan tariff cukup
mahal. Jadio setiap berpulang atau kembali, hanya jasa bapak yang kuandalkan.

Jarum jam seakan bergerak lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba saja ia sudah melukiskan
sudut menunjuk pukul delapan pagi. Aku, Ibu dan Bapak telah bersiap di depan rumah, kami
berdiri dengan beragam kecamuk rasa dalam diri masing-masing.

le, hati-hati dijalan, jangan ngantuk.. jangan lupa shalat sesibuk apapun sekolahmu pesan ibu,
yang masih menyebut kuliahku dengan sekolah, ah bagi beliau apa bedanya keduanya.., toh
sama-sama belajar dan membayar.

iya bu,, Adi berangkat ya bu.., assalamualaikum ucapku kemudian mencium telapak tangannya
yang mulai tampak mengkeriput.

waalaikumsalam, jangan lupa telepon kabari ibu le.. balasnya sembari mencium dan
memelukku. Ah,, sudah tidak pantas lagi aku menangis cengeng dalam suasana mengharukan
begini.

Kini aku duduk disebuah bus yang kutumpangi. Liburan kali ini terasa begitu cepat
berlalu. Sebulan sudah berlalu aku meninggalkan segala hiruk pikuk perkotaan demi
mendapatkan pelukan hangat sang ibu. Di dalam bus ku lihat pengamen kecil menyanyikan lagu
oplosan dengan fasihnya. Pikiranku menerawang lagi. Tak henti-hentinya aku memikirkan
nasib negeri ini, terutama desaku di tahun-tahun berikutnya. Masih seperti ini, atau semakin
majukah atau sebaliknya kah? Pikiran ini lagi-lagi meresahkannku.

Aku teringat lagi kata-kata ibu yang ke dengar dalam mimpiku tadi pagi. Satu lagi, aku
lupa memenuhi janjiku semalam,menyapu tepi jalanan desaku. Ah, begitulah manusia, lupa
adalah penyakit yang belum terobati dengan sempurna. Ku teringat dengan catatan kecilku,
sebuah puisi yang ku tujukan untuk desaku.
Ada yang bilang, tanahnya adalah tanah surga

Nyaman, dengan seluruh kemukjizatanNya

Sungguh benar, tanah surga

Katanya

Kemudian, tangan-tangan itu dating

Dengan dalih merawat namun jahat

Akankah akan tetap menjadi tanah surga?

Ah, biarkan rumput yang menjawabnya

Dan jangkrikpun tertawa

Bus yang ku tumpangi masih terus berjalan, memang jarak antara desa dan tempat
sekolahku bisa dibilang cukup jauh. Dengan menggunakan bus, membutuhkan waktu sekitar 4
jam waktu perjalanan. Kendaraan besar ini berhenti disebuah halte, ada beberapa penumpang
yang turun, dan tak sengaja aku melihat ada seorang nenek-nenek naik bersama cucu
perempuannya. Aku masih bersikapa biasa, sampai suatu ketika aku melihat nenek tersebut tidak
mendapat tempat duduk. Rasa kasihanku tergugah, aku berdiri dan mempersilahkan nenek
tersebut untuk duduk Monggo mbah, duduk ditempat saya saja. Simbah tersebut sedikit kagok
dengan tawaranku, mungkin beliau curiga denganku, maklum, baginya aku adalah orang asing.
Dengan sedikit proses diskusi yang cukup lama akhirnya Simbah pun menjawab Yasudah, mbah
mau duduk, tapi, sampean juga duduk disamping simbah ya. Dengan tawaran tersebut,
sebenarnya aku senang, akan tetapi, melihat cucunya yang tetap berdiri, ditambah dengan ia
seorang perempuan, maka ku persilahkan pula ia duduk di samping neneknya Maaf mbak,
silahkan duduk di samping mbah sini. Panggilan mbak ku ucapkan bukan karena ia berumur
lebih tua dariku, akan tetapi, sebagai rasa hormatku kepadanya. Enggih mas, saya berdiri saja
jawabnya. Apa apaan ini!!! Kok, jadi merinding. Suara yang terlembut yang pernah ku dengar
setelah suara ibu ku.
Tampilanya yang sederhana, dengan menggunakan jilbab sederhana, namun, karisma dan
suaranya, membuatku merasakan hal yang aneh. Setelah dengan negoisasi yang alot, akhirnya
perempuan itu mau duduk juga akhirnya.

Ketika perjalanan, mereka berdua menjadi teman ngobrolku. Simbah tadi bernama Siti
Karomah Ini cucu saya le namanya Faizatul Khumairoq, biasa disebut Faiz. Simbah ini mau
mengantarkannya kembali ke pesantren di Kota seberang.

Jantungku berhenti rasanya, bila mampu ku tuliskan mungkin bunyinya seperti ini mak
deg, mak tratap. Bagaimana tidak, perempuan yang berhasil mencuri perhatianku ini ternyata
juga mau kembali ke pesantren, dan juga di kota seberang, apakah satu pesantren denganku?
Aha, aku tak mau membayangkan sampai segitu. Aku masih ingat perkataan para pujangga itu
bahwa Endahe wanojo iku kang dadi jalaran batale toponing santri lan satrio agung (Indahnya
wanita itu yang menjadi sebab batalnya santri dan kesatria dalam menimba ilmu). Namun, tak
bisa dipungkiri, sifat alamiah sesorang cowok yang beranjak dewasa ini memang ingin sekali
berkenalan jauh dengan perempuan itu, ya, Faiz namanya.

Bus yang kami tumpangi berhenti, simbah dan cucunya tadi turun. Lho mbah, kok
tururn, kan pesantrenya di kecamatan setelah ini? tanyaku. Namun, dengan sigapnya Faiz
menjawab Kami, mau mampir dulu dirumahnya kerabat mas. Subhanallah, suara itu, sungguh
nyaman ditelinga ini. Kami pun berpisah.

Pondok Pesantren Tanwirul Mubarok

Seperti hari-hari sebelumnya, suasana pondok biasa. Sebuah pondok besar di pinggiran
kota Jombang. Para santri sejak pukul empat pagi telah berbondong-bondong ke masjid untuk
menunaikan jamaah subuh, ada juga yang berangkat pukul tiga untuk bermunajat kepada Allah.
Memang waktu sepertiga malam adlah waktu yang sangat hening untuk mendekatkan diri kepada
Allah, sebuah kecintaan luar biasa antara sang hamba degan sang Khaliq akan diterjemahkan
dalam tindakan sujud sambil mengalirkan air mata, sebuah penyesalan luar biasa atas apa yang
kemarin dilakukan.
Ialahi anta maqshuudii

Wa ridhooka mathlubii

Athinii mahabbataka

Wa marifataka

Wahai Allah, Engakaulah tujuanku

Dan hanya ridhoMu lah yang ku cari

Berilah kemampuan kepadaku

Untuk selalu mencintaiMu

Dan marifat kepadaMu

Jamaah subuh adalah aktivitas yang diwajibkan pondok tersebut, dan yang tidak
melaksanakan akan terkena tazir atau hukuman. Tidak heran jka setiap hari ada anak yang
membaca al Quran di depan ndalem (kediaman Kyai pengasuh pondok) sebelum berangkat
sekolah, bukan karena ia terlalu rajin, melaikan karena tidak ikut sholat Shubuh.

Apalagi aku, Farid, Harun, dan Hilmi yang tidak asing di telinga pengurus pondok.
Teman-temanku tadi, Farid, asal Bogor, tubuhnya besar dan tinggi putra juragan ikan, yang juga
penggemar berat sepak bola, jadi jangan heran jika setia kali ada pertandingan bola tim
kesayangannya, dia tidak pernah absen kena tazir. Harun, santri bertubuh subur, teman-
temannya memanggilnya gendut. Di samping itu, ia juga mendapat rekor kategori pecinta bantal,
karena sepondok tidak ada tidak ada yang bisa membangunkan ketika bantal sudah dikepala. Dan
yang terakhir adalah Hilmi, Hilmi Matin itulah nama lengkapnya. Namun, karena tubuhnya yang
paling kecil diatara teman yang lain, ia mendapat julukan gepeng. Tentang latar belakangnya
tidak banyak santri yang tahu termasuk aku, yang jelas ia berasal dari kabupaten Kendal.

Warung kopi milik bu Sub adalah tempat singgasana pertama sebelum ke sekolah. Di
sana, banyak santri putri yang hendak pergi sekolah. Warung kopi memang tempat yang paling
nyaman, disamping bisa merokok dengan tenang, warung kopi juga bisa dijadikan media diskusi
ala santri. Tak jarang permasalahan seputar pondok, pelajaran, bangsa, dan politik kerap jadi
bahan perbincangan. Bahkan masalah pribadipun menjadi bahan diskusi.

Di pondok Tanwirul Mubarok, semua santrinya diwajibkan ikut sekolah formal, dari
tingkat Mandarasah Ibtidaiyah sampai Madrasah Aliyah. Madrasah Aliyah terbagi menjadi dua
yaitu madrasah Aliyah Negeri (MAN) dan Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN). Status
MAKN lebih favorit dari pada MAN karena di MAKN pelajaran agama lebih diunggulkan,
belum lagi tambahan bahsa Arab dan Inggris yang mejadi bahasa keseharian di kelas. Kebetulan
aku sekolah di MAKN.

Kopi empat mak! pesan Farid pada bu Sub. Wah gila peng, kemarin aku lihat santri
putri yang cuantik sekali, kata Gendut memulai pembicaraan. ah, kamu ndut, kayak matamu
sudah bisa membedakan mana cewek cantik dan tidak aja? ejek Gepeng sambil menyalakan
rokok Dji Sam Soe yang sejak tadi dipegangnya.

Cantik mana sama yang aku lihat kemarin di depan gerbang sekolahan? sahud Farid
seakan tak mau kalah dengan Gendut. Ya jelas cantik yang kulihat donk! Matanya, bibirnya,
wahsempurna jawab Gendut sambil menirukan lagu favoritnya.

Wah kemarin aku juga lihat, mungkin malah lebih cantik dari yang kalihan lihat,
kacamatanya itu lo yang membuat dia semakin manis, kata Gepeng seolah tak mau tersaingi
oleh kedua kawannya. Hmm, berkacamata, lamunanku teringat kepada perempuan yang satu bus
denganku kemarin. Siapa namanya? tanyaku yang tiba-tiba ikut dalam perbincangan mereka.
Memang, biasanya kalau farid, Gepeng dan Gendut sedang berbicara cewek, aku memilih diam.
Tapi, untuk gadis yang berkacamata ini entah kenapa aku merasa tertarik dengan percakapan itu.

Gendut, Gepeng dan Farid hanya terdiam. Bagaimana tahu namanya, bertemu saja baru
sekali, itupun juga beberapa detik. Tapi sianr wajahnya benar-benar dapat menarik perhatian
ketiga sobat karib itu. Setelah diskusi agak alot tentang nama santri itu, keluarlah keputusan
bersama, yaitu mencari informasi tentang identitas santri tersebut.

Hmm lupa jalan ke sekolah ya mas, atau kangen dengan tabokan mautku?. Tiba-tiba
suara pak Toni, sang penguasa kesiswaan masuk ke warung lewat pintu belakang. Kami
berempat hanya bisa bengong saling pandang. Saking kagetnya, Gepeng tidak sadar sampai
memasukkan rokok yang masih menyala ke sakunya.

Hari ini adalah hari Senin, seperti biasa madrasah melakukan upacara bendera. Namun,
kami telah sepakat tidak ikut upacara. Karena sudah ketahuan WaKa kesiswaan, mereka harus
menerima ganjarannya. Berdiri semua! teriak lantang pak Toni. Akhirnya kami semua harus
berdiri di depan kantor sampai jam pertama habis.

Mau jadi apa kita diperlakuka seperti ini, Gerutuku kepada ketiga temanku. apa kita
harus berdiri disini sampai siang? ungkap Farid yang sudah merasa kelelahan. benar, kita
manusia bukan hewan, hukuman sih hukuman tapi jangan yang tidak mendidik seperti inni
donk! protes gepeng sambil membenahi tali sepatu sekalipun niatnya adalah untuk istirahat
sebentar.

Gelebuk, tiba-tiba suara orang jatuh membuyarkan percakapan mereka. Gendut


pingsan! teriakku. Lalu bersama Farid , ku bopong tubuh Gendut yang beratnya bukan main ke
kantor P3K. sedangkan gepeng langsung menuju kantor teapt di depan dia berdiri. Entah apa
yang mau dilakukannya.

Sesampainya di pondok, mereka langsung tidur, mengingat hari ini adalah hari yang
paling melelahkan bagi mereka. Bayangkan saja, berdiri empat jam di depan kantor sampai
Gendut pingsan.

Sore harinya mereka melakukan aktivitas seperti biasa yaitu mengulang kembali
pelajaran yang telah diterima di sekolah, atau yang lazim disebut taqror. Gimana cuy! Tentang
santri misterius yang kemarin kau ceritakan, udah tahu namanya belum? tanyaku di sela-sela
taqror. Wah tumben Ad, kamu tanya babakan wanita? ujar Gendut seolah tak percaya dengan
apa yang ditanyakan olehku.

Namanya Qusyairy ya Qusyairy, anak kelas 1 MAKN, jelas gepeng bersemangat.


kalau yang saya temui kemarin, namanya Tamsih, wah benar-benar cuuuaantik, apalagi
senyumnya wah bisa klepek-klepek kamu, kata farid yang tak mau kalah dengan Gepeng.
Eri, namanya Eri, saya berani taruhan kalau Eri lebih cantik dari pada Qusyairi ataupun
Tamsih kata gendut membela diri.
Kalian semua sudah kenalan tho? tanyaku meyakinkan. belum, tapi tahu dari teman,
jawab ketiganya serempak, seolah sudah dikomando. Tahu nggak cuy, kemarin waktu pulang
sekolah aku juga sempat melihat seraut wajah yang tidak kalah cantiknya dengan santri yang
kalian ceritakan. Dan, wajah yang kulihat kemarin sangat mirip dengan wajah gadis yang berada
dalam satu bus dengan ku ketika kemarin lusa berangkat ke pondok. Namanya, Faizatul
Khumairoq. Apakah itu benar dia ya?

Sejak awal, aku memendam rasa penasaran yang luar biasa dengan gadis yang
diceritakan teman-temanku. Jangan-jangan, ia adalah perempuan yang satu bus denganku. Entah
kenapa ada perasaan beda ketika pertama kali melihat tatapan mata disertai senyuman tipis yang
keluar dari bibir sang jelita. Kalau kata pujangga,

Pandangan pertama ibarat sebuah paku yang tertancap di dinding.

Sekalipun, di cabut, lubang bekasnya tak akan hilang dengan mudah.

Sungguh keadilanMu ya Allah. Engkau telah menciptakan dua pasang mata untuk
melihat, dua pasang telinga untuk mendengar, dua pasang kaki untuk berjalan, dua pasang tangan
untuk memegang. Tapi, kenapa ya Allah, engkau hanya menciptakan satu pasang hati untuk
diriku? Mungkinkah pasangan hatiku masih kau titipkan pada orang lain? Benarkah dia ya
Allah? Munajat tiap malam telah menghiasai keheningan malam. Aku tetap mencoba tenang
dalam butiran doa-doa yang keluar dari setiap nafasku. Entah apa yang akan terjadi padaku,
mungkin keindahan ciptaan Allah telah menghantarkan relung kesadarannya dan menghentikan
langkah yang selama ini jauh dari jalanNya. Atau malah sebaliknya, justru ini adalah ujian bagi
sang pencari ilmu sejati. Sungguh sebuah dilemma antara cinta sejati atau nafsu birahi. Aku terus
mencari petunjuk dikeheningan sepi, tatkala teman-temanku sudah terbang melayang entah
kemana.

Setiap hari Kamis sampai Sabtu, kelas 3 MAKN harus menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa percakapan. Dan yang ketahuan menggunakan bahasa selain itu, sanksinya
adalah berdiri di depan kelaas putri.

How are you pren? tanya Gepeng dengan cekikian meledekku yang memilih pura-pura
sakit sariawan dari pada harus berbicara bahasa asing. Wong ganteng gini kok dibilang ayu
jawabku tanpa dosa. Ternyata aku tak sadar kalau dibelakangku ada bu Titik, guru Bahasa
Inggris.

Anda mungkin juga menyukai