Anda di halaman 1dari 22

Kalau ada orang yang memanggil Zulkarim, ya

memang itu namaku. Tak perlu kalian menafsikan


namaku apalagi jika dipreteli agar bisa mengerti
artinya. Sampai sekarang aku juga masih sibuk
mencari arti dari namaku ya mungkin lebih baik aku
biarkan agar menjadi misteri atau kenangan pemberian
nama orangtuaku. Memang tak pandai aku untuk
menafsirkan namaku tapi kukira lebih sulit untuk
menafsikan hari esok. Panggil saja aku Zul.singkatkan!
jelas tak perlu basa-basi. Kurasa diumur yang baru
menginjak usia jagung. Aku akan meninggalkan huruf-
huruf dalam kalimat ini seakan sudah lama dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang atau kelak
mungkin masih ada tercecer huruf yang menyusun
kalimatku, kalian bisa rapikan menyusunnya menjadi
cerita kalian sendiri. Beginilah jadinya:

“ Hoaamm.....” Pagi kembali masih nyenyak


dalam selimutnya kini mulai terusik dengan kokok
ayam yang membangunkanku. Aku berjalan menuju
padasan1 di belakang rumah, Gelap dan hanya sebuah
bola lampu bercahaya kuning sebagai sumber
penaerangan. Dengan segenap kesadaran aku
menghadap sang pencipta yang menguasai semesta dan
seisinya termasuk tubuh dan hati yang lemah ini. lalu
aku sandarkan kepada-Nya mengangkat tangan,
menempatkan diri ini sehina mungkin dengan
ketidaksempurnaanku : inna sholati wanusuki wamah
yaya wamamati lillahirabbil alamin. Setelah sholat
seperti biasa aku melakukan wiridan. Bercengkrama
aku dengan Tuhan Yang Kuasa. lalu menerka hari yang
akan berjalan. Sembari berusaha menafsirkan
mimpiku.

Bunga tidur ini sangat nyata aku rasa. Aku


melihat wajah teduh seorang gadis dengan simpul
manis di bibir yang bertegur sapa denganku dibawah
pohon ketapang rindang yang tumbuh tepat di halaman
depan perpustakaan. Kau datang laksana ilham tanpa
salam, masuk kedalam hati. Sampai tak terasa
menimbulkan sesuatu yang aneh dalam diriku.

“Ah apakah aku jatuh hati kepadamu Andin?’’


tanyaku pada diri yang seketika seperti anak kecil ini.

Mulutku tiba-tiba menggungamkan beberapa doa


dari hati.

“ya Rabb jika memang ia yang terbaik untukku


biarkan aku ikhlas mencintainya, izinkan perasaanku
dan dia bermuara menuju rihda-Mu. Aku ingin
memahaminya sebagaimana seharusnya aku
memahaminya.”

Tak terasa matahari mulai menyingkap tirai kabut


yang perlahan menipis hingga akhirnya menghilang.
Dari belakang aku mendengar suara Mama mulai sibuk
menyalakan pawon untuk memasak. Aku beralih sibuk
untuk menyapu rumah kemudian menyiapkan
keperluanku untuk mengajar di sebuah yayasan inklusi
di kota “P”. Komputer jinjing, buku catatan dan bekal
yang telah disaiapkan oleh mama, tak lupa aku
masukan kedalam tas.
Secangkir kopi yang kemudian menemaniku yang
sudah rapi di teras depan rumah sembari membaca
warta hari ini. Harum bunga melati yang tumbuh di
pekaranganku menambah gairah, apalagi sinar
matahari yang menyibak daun daun mangga menuju
kopiku yang masih ngebul. Ah engkau bumiku, pandai
kau membuatku terpaku yang ditumbuhkannya bunga
melati itu, apakah engkau yang menjadikannya harum?
Atau matahari yang memasaknya melalui reaksi
fotosintesis? Ah Ngawur meneh, meskipun bumi dan
matahari yang telah menjadikan bunga itu tumbuh
cantik nan harum. Aku hanya ingin menyapamu bunga
melati, bumiku dan matahari yang selalu menaungiku,
Selamat pagi semua, selamat pagi Andin yang telah
hadir dalam mimpiku.

Hari baik pikirku, jam sudah menunjukan pukul


06.30 WIB. Aku mulai memacu sepeda motorku menuju
ketempat aku bekerja yang jaraknya tidak terlalu jauh,
sekitar 5 menit berkendara. Mulai aku membelah jalan
bergelut dengan bocah-bocah sekolah yang mengayuh
sepeda, memutar roda cita-cita menuju sekolahnya
masing-masing.

Pabrik ilmu, pencetak anak bangsa yang


mengantongi ilmu pengetahuan yang diharapkan bukan
hanya sekedar ijazah. Sudah sekian puluh tahun anak
bangsa belum bisa bercerai dengan kedungguan
bahkan yang berilmu pengetahuan tidak mengibakan
kesengsaraan kemanusiaan lebih jauh lagi kita telah
jauh tertinggal dari bangsa Eropa, Jepang dan Cina
yang dianggap sebagai bangsa yang bisa meniru tapi
kita hanya jadi bangsa penikmat semuanya yang telah
mereka ciptakan.

Mataku bersambut dengan gunung Slamet yang


elok dimata, berhalaman padi keemasan yang mulai
menujukan kesejahteraan untuk tuan tanah atau si
penggarap sawah yang menggarap tanah tuannya.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara si Mbok


Inem yang menegurku.

“Zul mau berangkat kerja?” sapanya dalam bahasa


jawa yang kuterjemahakan dalam bahasa indonesia.

“Iya mbok” jawabku .

Aku teringat si mbok Inem yang selalu meminjam


beras dilumbung padi di desaku untuk menyambung
hidup keluarganya. Makan pun hanya daun-daunan,
daging menjadi lauk yang terlampau mewah untuk
keluarganya. Hanya saat lebaran haji dimana daging
hewan kurban berlimpah, mbok Inem dapat menyajikan
daging diatas meja makan yang berbentuk bundar dari
kayu nangka. Mbok Inem pernah bercerita bahwa dia
terpaksa akan menjual hasil panenan tahun ini untuk
menutupi hutangnya dan sisanya kembali di gunakan
untuk menggarap sawah dan membeli pupuk. Aku
dengar-dengar kini harga pupuk kembali naik bahkan
harga sekarang tak mampu untuk membeli pupuk
sekarung seperti tahun lalu.

Pagi itu seketika aku menjadi agak murung


memikirkan bagaimana bisa, bumi subur yang
tersohor di berbagai penjuru dunia, bahkan telah
menjadi rebutan bangsa lain selama berabad lalu untuk
menguasainya. Dulu tenaga pribumi diperas untuk
menggarap kebun dan sawah yang tadinya menjadi
tanah milik mereka. Bumi tempat kita beranak-pinak
sekarang menjadi saksi dimana telah menetes keringat
dan darah bahkan ari mata penderitaan dalam krisis
pangan, perbudakan hingga kematian. Tapi kini zaman
telah berubah. ya, ya,yaa, lebih tepatnya zaman terus
berjalan tetapi penderitaan masih saja tertinggal hingga
masih setia menemani seperti penyakit genetik pada
tubuh manusia. Terpaku pada setiap lapisan
kehidupan. Engan untuk disembuhkan apalagi pergi.

Sekarang para petani yang memiliki tanahnya


sendiri tak mampu mencukupi kebutuhan makan
untuk kesehariannya seperti si mbok Inem dan
keluarganya. Apalagi untuk biaya sekolah anak-
anaknya. Duh mbok! Mbok, apakah masih banyak
orang sepertimu di negeri yang kaya ini. Kolam susu
seperti syair lagu. Segalanya bisa tumbuh dan juga
menumbuhkan harapan untuk merdeka dari penyakit
kronis kemanusiaan yang disebut penderitaan. Segala
diatasnya pula tumbuh kepandaian, kekuasaan yang
berlebihan, memerintah, membudakan dan
mempertahankan segala bentuk penderitaan.

“Zaman edan” . Seruku sembari menambah


kecepatan sepeda motorku. Sudah pergi kolonial dari
bumi pertiwi. Engkau si mbok kenapa mesti menjerit di
sejadi-jadinya dalam hidup yang singkat ini. Apakah
orang orang sperti mbok Inem hanya bisa mengenal
kata penderitaan?.
Tak terasa sepeda motor ku sudah berada di
parkiran. Ternyata baru aku yang telah sampai.
Beberapa anak kelas VI yang mengikuti tambahan
pelajaran pagi mulai berdatangan diantar oleh orangtua
mereka, meramaikan suasana pagi di sekolah yayasan
ini. Langakah kakiku menuju memasuki gedung
dengan dinding berlatar warna biru tua. Ruagan kelas
tempatku bekerja tidak jauh dari pintu masuk .

Kretek....Pintu kelas aku buka, kuletakan tasku


disudut ruangan kelas kemudian kupersilakan udara
segar memasuki ruangan melalui jendela yang berdebu
tipis. Hiasan origami burung berayun bak camar yang
mengikuti arah angin bertiup. Lantai kelas yang
nampak kotor pun aku sapu. Segala perlengkapan
untuk keperluan mengajar telah aku siapkan. Tak lama
kemudian datang guru kelas, bu Maria namanya.

“Selamat pagi Zul” sapa bu Maria dengan senyum


ramah. Suaranya bernada jawa alu

“Selamat Pagi bu”.

“Hari ini apa kau sudah siapkan bahan untuk


ketrampilan anak-anak?”

“Berses bu, sudah saya siapkan sebaik dan


selengkap mungkin. Lihat nih”.

Sekilas dia melihat keatas meja sambil merapikan


bawaannya di loker miliknya. Kemudian ia datang
menghampiriku yang memeriksa buku absensi si sudut
meja guru.
“Zul nanti kita akan membuat perahu dari kertas
lipat. Sudah ibu siapkan modelnya. Nanti kamu yang
mempraktekannya di depan biar anak-anak bisa
menirukan cara membuatnya.”

Ya memang aku bisa mengajarkan beberapa


keterampilan terutama yang berhubungan dengan
motorik halus seperti melipat, menggunting, merobek
ataupun sebagainya kepada anak-anak yang
berkebutuhan khusus. Selain itu aku juga mengajarkan
mereka melafalkan doa sehari-hari. Karena mayoritas
anak didik dikelasku beragama islam sedangkan bu
Maria beragama Katolik.

Ya memang aku dan bu Maria berbeda agama


namun itu bukanlah menjadi sebuah batasan antara
aku dan dia. Aku adalah muslim yang taat dan bu
Maria adalah katolik yang taat pula setiap hari Minggu
dia membawa anak-anaknya beribadah di sebuah gerja
yang terletak dekat dengan puast kota “P”. Maka aku
tak pernah membuat janji dengannya pada hari
Minggu. Dengan perbedaan itu mengajarakanku
bagaimana menempatkan diri dalam sebuah tata
kehidupan dan dengan apa yang aku sebut toleransi.
Aku bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Menciptakan kita semua berbeda-beda baik laki-laki,
perempuan, suku, bangsa dan agama.

Memang di negara dengan jumlah umat beragama


muslim terbesar didunia sekarang. Negara kita rentan
sekali terusik isu SARA. Kebanyakan mereka belum
memiliki pemikiran yang luas dan mendalam tentang
ilmu agama yang kemudian diterapkan secara tepat
dalam kehidupan, ditambah perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang banyak mengandung
pemberitaan hoax yang menimbulkan propaganda.
Seperti layakya rumput gersang di musim kemarau,
mudah sekali terbakar kebencian hingga kerusuhan.
Dengarkan dan saksikan demontrasi-demontrasi yang
diberitakan itu.

“ Mas Zul esuk-esuk wis ngelamunni apa?’’


terbangun aku dalam sekejap mendengar teguran bu
Maria. Bu Maria sudah manyambut anak-anak yang
datang. aku lihat di dalam kelas sudah ada beberapa
anak yang hadir kemudian aku lihat arloji di tanganku
seudah menujukan pukul tujuh pagi. Sebagai tanda
sebentar lagi bel masuk akan segera bunyi.

Benar saja tak lama bel tanda masukpun


berbunyi, hari ini aku mendampingi Eko seorang anak
yang memiliki kebutuhan khusus autis. Anak-anak
yang sudah berangakat aku tuntun menuju lapangan
untuk melakukan motorik kasar salah satunya adalah
senam. Motorik kasar berguna untuk melatih otot-otot
yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus agar
tidak kaku serta kegiatan seperti senam berguna untuk
melatih koordinasi otak dan anggota badan lainnya.
Anak-anak antusias mengikuti setiap gerakan
instruktur.

Usai senam pagi, sebelum masuk kedalam kelas


anak-anak diwajibkan untuk mencuci tangan terlebih
dahulu. Karena anak berkebutuhan khusus memiliki
kekebalan tubuh yang kurang dari anak normal, maka
kebersihan menjadi hal yang diutamakan.
“ sini nak ikutin pak Zul mencuci tangan, begini
caranya.’’ kataku kepada Eko.

Bukannya dia menirukanku mencuci tangan


malah membuat basah baju yang aku kenakan dengan
semprotan air yang ia mainkan.

“Sialan pagi-pagi sudah dibuat basah baju ini’’.


Kataku dalam hati.

Bukannya kesal aku dibuatnya. Aku harus sabar


dalam mengajari ia, supaya kelak dalam kehidupan
sehari-hari ia dapat baradaptasi dengan masyarakat
sekitarnya. Baik sikap maupun perilakunya. Aku harap
masyarakat pun bisa menerima ia dengan kebutuhan
yang ia miliki. “Kehidupan harus adil padanya.”

Setelah mencuci tangan anak-anak berbaris di


depan kelas, lalu masuk kedalam kelas dengan rapi
menuju tempat duduknya masing-masing. Aku melihat
eko sudah duduk rapi di tempat duduk miliknya, aku
ragu apakah dia sudah bisa membaca namanya
sendiri? Atau mungkin dia hanya terbiasa dengan
bentuk papan nama yang tertempel di meja miliknya.

Semua anak telah siap untuk mengikuti pelajaran


hari ini. Semoga hari ini tidak ada yang tantrum.
Baiklah mari kita berdoa untuk mengawali kegiatan
pembelajaran hari ini. Eko ditunjuk untuk memimpin
teman-temannya berdoa.

“Teman-teman mari kita berdoa. Sikap berdoa.


Berdoa dimulai”.
Ya Tuhan bimbinglah kami dalam kegiatan hari
ini. Aminnn” semua menirukan apa yang Eko ucapkan.

Bu Maria berdiri menuju kedepan kelas.

“ Anak-anak hari ini kita akan belajar membuat


perahu dari kertas lipat. nanti pak Zul yang akan
mempraktikan cara membuatnya. Siapkan kertas
lipatnya yukk.” Dengan semangat anak-anak
mengambil kertas lipat di lokernya masing-masing.
Secepat kilat mereka telah kembali menuju tempat
duduknya.

Aku telah bersiap di depan mengantikan posisi


sementara bu Maria. “Baiklah anak-anak ikutin pak zul
cara membuat perahu dari kertas.” Tak ada kesulitan
bagiku untuk membuat perahu dari kertas lipat.
Namun bila aku lihat masing-masing anak tak ada satu
pun yang berhasil membuatnya.

Yah sekali lagi aku mempraktikannya secara


perlahan layakya sebuah pengerajin kapal pinisi yang
tersohor. Bahkan kapalku lebih hebat dari kapal
simbad yang menerjang gelombang dan badai. Kapal
kertasku akan mengalir mngikuti arus. Ilmu dan
keterampilan akan menjadi arah mata anggin untuk
membaca peta bahaya. Mari nak sekarang aku akan
membekali kau agar mampu berlayar mengarungi
samudera kehidupan.

Aku lihat sekilas anak-anak sudah mulai bisa


mengikuti apa yang aku contohkan. Ya meskipun bisa
dianggap mendekati bentuk kapal. Hahaha, tertawalah
aku dalam hati. Tak terasa waktu pembelajaran akan
segera habis, memang hari jumat waktu pembelajaran
lebih pendek dari hari biasanya. Si Umar anak
berkebutuhan autis yang sangat disiplin dalam waktu
sudah menggendong tas miliknya merenggek minta
pulang kepada bu Maria. Para wali murid sudah rapi
berdiri di koridor tempat penjemputan. Eko kembali ia
memimpin temantemannya untuk berdoa.

“Sikap berdoa, teman-teman mari kita berdoa.


Berdoa dimulai.”

“Ya Tuhan terimakasih atas bimbingan pelajaran


hari ini, Aminnn”

Setelah semuanya berdoa aku dan bu Maria


bergantian mengantar dan menjaga anak-anak. Aku
sempatkan berbicara tentang perkembangan Eko hari
ini kepada ibundanya.

“Bunda hari ini ananda Eko dapat mengikuti


proses pembelajaran dengan cukup baik. Ananda
mampu membuat kerajian tangan perahu dari kertas
lipat.” Konsentrasi ananda hari ini baik.”

“Wah syukurlah pak saya senang mendengarnya.


Pak Zul kenapa bajunya basah?”. Terkejut aku dengan
pertanyaanya. Memang benar baju yang aku kenakan
belum cukup kering.

Dengan nada bercanda aku manjawab. “ biasa bu


tadi tidak sengaja ananda Eko menyemprotkan air saat
sedang mencuci tangan.
“Hahaha...’’ aku dab ibunda Eko tertawa lepas
menambah suasana keakraban diantara kita sembari
memperhatikan Eko yang sibuk memainkan kapal
buatnanya.

“Ya sudah pak Zul, saya dan Eko pamit pulang.”

“Baik bu, hati-hati dijalan. Hati-hati juga Eko di


jalan sampai ketemu lagi hari Senin.”

Semua anak-anak nampak telah pulang. Kelas


pun hanya ada aku dan bu Maria. Suara lantunan ayat
suci Al-Quran terdengar dari pengeras suara Masjid.
Bersiap-siaplah aku merapikan diri dan mengenakan
pakaian terbaiku. Baju muslim putih motif bordir hijau
berpadu dengan sarung hijau yang mampak serasi
dipandang. Sedang bu Maria kulihat kembali sedang
mengajar anak-anak yang beragama kristen katolik.
Setelah mengambil air wudhu langkah kakiku bergegas
menuju masjid untuk melaksanakan sholat jumat.

Sholat jumat telah usai, aku sempatkan


beristirahat sebentar di ruang perpustakaan sekolah
karena ruang kelas tampak belum selesai digunakan
oleh bu Maria. Kurebahakan badanku di bangku
panjang yang terbua dari kayu jati. Angin sepoi dari
kipas angin membuatku terlelap beristirahat. Kurang
lebih seperempat jam beristirahat aku terbangun.
Nampak terdengar suara perutku memanggil untuk
diisi dengan bekal yang sudah aku bawa dari rumah.

Berjalan aku menuruni tangga perpustakaan,


tiba-tiba aku terkejut melihat Andin berada tepat di
depanku. Sungguh aku menjadi salah tingkah, aku
berusaha menutupi kegugupanku dengan sibuk
mencari sepasang sendal yang aku kenakan.

“Zul nanti jangan lupa jam satu ada acara ngaji


bersama di lorong gedung sekolahan”. Sapa dia dengan
senyum manisnya.

“ Baiklah A..aa..ann..din..” jawabku terbata-bata


seperti anak kecil yang baru saja belajar berbicara.
Timbul desir dari tubuhku. Ah Andin mengapa kau
buat aku jadi seperti ini. Benar tak mengerti apa yang
aku rasakan. benarkah aku jatuh hati kepadamu? Tak
berani aku untuk menatap matanya. Terlalu indah
untuk dipandang. Bergegas ia meninggalkanku karena
dipanggil oleh temannya. Ya aku pun kemudian
beranjak dari tempat yang membuatku terpaku
seketika saat Andin menyapaku tadi. Setelah berjalan
beberapa langkah mataku dari kejauhan melihat
kearah Andin yang sedang bercakap dengan temannya.
Sialan dia melihat kearahku, takut ketahuan bahwa
diam-diam aku sedang memperhatikannya,segera aku
alihakn pandanganku menuju sekitar sembari
mengambil langkah cepat menuju ruang kelas.

Sesampainya di ruang kelas ternyata bu Maria


telah selesai mengajar pelajaran agama. Aku meminta
izin untuk mengambil makanan yang telah aku bawa
dari rumah. Dia menawariku untuk makan bareng. Aku
tunggu dia membereskan mejanya lalu mengambil
bekal makanan dalam tasnya. Akhirnya kami makan
bersama. Saat sedang makan tak ada percakapan
diantara kami. Kami sibuk menerka rasa hidangan
yang berada di depan. Tawa seketika pecah saat bu
Maria bertanya kepadaku.

“ Lahap benar makan mu Zul? Engkau lapar apa


doyan ?”

“ya lapar sekaligus doyan bu. Hehehe.....”

“Kau mau nambah Zul, ayo barengan sama ibu”.

“Baik bu terimakasih, aku takut kalo nanti


makanannya habis sama aku hehehe.. aku mau nyuci
tempat makan dulu habis itu aku akan ijin untuk
mengikuti pengajian di lorong gedung.”

Terdengar Lantunan Ayat suci Al-Quran berasal


dari para peserta yang sudah memenuhi ruangan.
Rupanya aku datang agak terlambat. Aku tempatkan
diriku kursi yang masih kosong dan menyimak bacaan
Al-Quran yang sedang dibacakan. Belum genap rasanya
untuk mengambil nafas. Ustadz Baihaki sudah
menunjukku membacakan ayat selanjutnya. Tak ada
kesulitan bagiku karena dari kecil aku sudah belajar
membaca di TPQ. Dapat pula aku pujian Ustadz
Baihaki atas bacaan Al-Quranku. Lalu pada giliran
selanjutnya adalah Andin. Saat Andin membaca Ayat
suci Al-Quran hatiku begitu tenang. Sejuk laksana
meminum air telaga al-haudh. Benar kau telah
membuatku jatuh hati padamu Andin. jika mimpiku
semalam adalah ilham yang diberikan oleh-Nya. Kini
tumbuhlah separuh keping hatiku untukmu yang
kuharap dapat menjadi kita. Tanpa kau sadari aku
telah jatuh hati padamu Andin.
Hari telah sore, matahari beranjak menuju
cakrawala. Menciptakan jingga yang selalu indah
dinikmati. Aku selalu rindu pada senja yang menuntun
burung kuntul terbang dibawah kaki langit menuju
sarang, semoga juga membawa salam untuk kasihku
Andin. Senja mengantar kenanganku denganmu hari
ini. kasihku mungkin ada dibalik senja. Namun tabir
senja tak mampu menahan pesonamu duhai kasih.

Malam hari kusempatkan untuk menulis. Akan


ku jadikan Mbok Inem sebagai tokoh dari tulisanku.
Benar.... kesejahteraan belum bisa menjamah
orang separti Mbok Inem. Kesejateraan hanya angan
untuk beribu tahun mungkin tak akan pernah tercapai,
dan seperti penyakit turunan yang tak kunjung sembuh
sampai sekarang. Lain kesejahteraan lain penderitaan.
Penderitaan kini telah menjadi sahabat karib yang
rupanya telah bersetubuh dengan setiap lapisan
masyarakat. Harapan adalah imun dalam kehidupan
yang membuat orang seperti mbok Inem bertahan.
Hidup adalah harapan.

Hasil panen raya yang melimpah tentu menjadi


harapamu bukan mbok? Duh mbok lihat padi kuning
itu merunduk, dia meratapi kesedihannya.
Bagaimanapun ia ingin sekali membuat sang tuan
tanah atau si penggarap sawah tersenyum. Namun apa
daya meskipun belum cukup umur si padi telah
disunting oleh tengkulak-tengkulak. Memang sistem
tengkulak dan kartel beras menjadi ladang bagi si asu
perut buncit yang tak punya hati nurani untuk para
petani. Jatuh harga ketika mereka membeli kepada
petani namun bagai buah pinang sangat sulit dibeli jika
sudah ditangan mereka. kita telah mengendus kabar
impor beras dari negara lain yang harganya jauh lebih
murah dari beras lokal. kementrian-kementrian
menjadi kalang kabut menyikapinya. saat dimintai
keterangan mereka malah saling lempar tanggung
jawab. Tenang... kita mampu menjadi lumbung beras
untuk negara sendiri. Bumi para petani kita sudah
sangat subur apapun ditanam baik didalam maupun
diluar akan tumbuh bak kolam susu katanya. Camkan
itu! asuu... jangan kau menjadi sumber kesengsaraan
dan penderitaan mereka para petani.

Para petani seperti mbok Inem dan keluarganya


umumnya berpendidikan rendah. Suami mbok Inem
hanya menyandang lulusan skolah dasar sedangkan
mbok Inem lulus sekolah dasar pun tidak. Cara bertani
pun mereka hanya menggunakan teknik turun
temurun dari nenek moyang meraka. Kini persoalan di
pertanian makin berkembang, Pertanian dan serangga
cotohnya. persoalan ini seakan tidak akan ada
habisnya. Serangga dapat menjadi lawan dan kawan
petani. Serangga seperti lebah dan kupu-kupu dapat
membantu penyerbukan tanaman namun disatu sisi
dapat menjadi hama bagi tanaman seperti contohnya
wereng. Suami mbok Inem perah mendapat penyuluhan
seperti pengendalian hama terpadu (PHT). Sistem ini
mempertimbangkan Pengetahuan dasar meliputi jenis
hama, makanan, siklus hidup, habitat, serta musuh
alami hama. Setelah semua dianalisis dengan tepat
maka langkah pengendalian selanjutnya dapat
ditentukan gnua menghentikan serangan hama. Namun
kembali lagi dengan pendidikan yang rendah serta
penyuluhan dari pemerintah yang kurang maksimal.
Maka ia hanya ingin bagaimana hasil yang akan
mereka penen melimpah dan hama yang merusak
tananman mati dengan cepat. Alhasil dia meniru-niru
petani lain sak-sake dewek menggunakan pestisida
kimiawi berlebihan, Bahkan tak jarang dioplos agar
cepat dalam membasmi hama seperti yang mereka
yakini. Mungkin pemerintah harus melakukan
penyuluhan yang sifatnya pendampingan untuk para
petani. Baik itu melakukan penyuluhan mengenai
segala hal yang berhubungan dengan pertanian mulai
dari tanam hingga panen.

Belum lagi selesai masalah hama masalah


penanaman padi juga menjadi masalah yang perlu
dibenahi. Sistem penanaman yang tidak memperhatian
musim seringkali menjadi kendala dan mengakibatkan
penurunan hasil panen bahkan gagal panen. Banyak
sawah yang terendam banjir atau kekeringan yang
tidak pada musimnya. Suami mbok Inem selalu
menunggu temannya ketika awal proses pasca panen
hingga sebelum tanam. Pemerintah dalam hal ini juga
telah berupaya untuk membantu petani seperti subsidi
benih, kredit istimewa, subsidi pupuk. Namun hal itu
dirasa masih saja kurang. Keberadaan pupuk yang
selalu menjadi misteri bagi petani dan untuk jalur
distribusi hasil panen masih saja dikuasai para
tengkulak.

Mbok, kini mereka bukan hanya mengincar


padimu mereka juga mengincar tanahmu mbok!.
Tanahmu akan mereka beli dengan harga tinggi untuk
mereka tanam lagi. bukan tanaman yang mereka
tanam, pohon beton mbok! Kau tau untuk apa mbok?
untuk kandang elite-elite. Pemerintah dalam masalah
ini tak tau mana yang harus dibela. Para petani apakah
para asu itu. bahakan asu pun telah menjadi
peliharaan pemerintah yang siap melayani tuannya.
Lahan terbuka hijau terancam menjadi putih dan jalan
pun tak segan dibangun diatasnya. dalih untuk
memperlancar pembangunan semua cara dihalakan
tanpa perhitungan matang, semuanya dianggap serba
gampang. Tak mungkin masalah ini tak kau lihat,
hanya karena bergelimang kekuasaan engkau menutup
mata dalam suatu segi kehidupan masyarakat.

Segalanya memang belum berakhir mbok, hidup


terus berjalan. Harapan adalah eliksir kehidupan untuk
orang kecil sepertimu agar biasa bertahan. Kesedihan,
kesengsaraan dan penderitaan akan terus berulang.
Aku rasa hidup memang tak adil untuk para petani dan
rakyat kecil. Ilmu pengetahuan harus mereka
dapatkan, terlebih untuk anak-anak para petani.
Generasi petani kelak haruslah berdasar ilmu
pengetahuan, Ilmu pengetahuan untuk memperbaiki
kualitas hidup. Maka janganlah kau buat biaya
pendidikan semakin mahal, tak masuk akal. kau orang
berjas jika sudah lebih berilmu dari pada para petani
itu mulailah memikirkan masalah-masalah kehidupan
dan menyumbangkan pikiran untuk mencari solusi
atas penderitaan yang tak berkesudahan ini. kau
setidaknya tidak hanya sekedar menunggu gaji bulanan
dari pemerintah.

Seiring waktu berjalan, bertambah pula


kekagumanku pada perempuan bernama Andin. wanita
yang ku kagumi itu hari ini tak nampak berangkat
mengajar. Hatiku gelisah, tak punya pula nomor
telepon atau alamat rumahnya. kenapa kau tak
berangkat hari ini andin? apa kah kau sakit? Kuharap
kau sehat selalu.

Menjelang sore hari tak ada kabar dari Andin. baik


darinya ataupun dari rekannya. Sore ini aku menerima
upah atas pekerjaan yang telah kulakukan selama
sebulan. Satu per satu nama karyawan dipanggil
menghadap bagian tata usaha. seorang bagian tata
usaha bertubuh kecil memanggil namaku.

“Pak Zulkarim silakan masuk”.

“ ini pak silakan diterima, dicek juga kalau ada


kekurangan.”

“Baik, terimakasih bu”.

Aku bersyukur atas apa yang telah diterima bulan


ini. Meskipun tak seberapa namun ini jauh lebih dari
cukup. Jam sudah menunjukan pukul 4 sore, bel
pulang telah bunyi. Nampak wajah cerah menerima
hasil kerjanya selama sebulan.
Pagi tadi ban motorku bocor terpaksa sore ini aku
pulang jalan kaki menapaki jalan yang biasa aku lalui
dengan sepeda motoku. Memang tak jauh rumahku
dari tempat kerja. Kurang dari waktu tempuh jarum
jam untuk mencapai seperempat putaran. Para petani
terlihat dikejauhan sedang mengusir burung yang
selalu menggoda sang dewi. Nampak orang-orangan
sawah diatas bilah dan tanah untuk menakut-nakuti
burung yang hinggap.

Terdengar dentingan mangkuk bersambut sendok


abang penjual bakso beradu dengan riuh kendaraan
yang lalulalang. Sekejap aku hentikan laju gerobak
baksonya, kukeluarkan beberapa lembar uangku dari
dalam dompet untuk mendapatkan bakso itu. Bakso
yang kubeli sengaja kubungkus untuk adiku di rumah.
Beranjak aku meninggalkan abang penjual bakso.

Tidak lebih dari lima menit aku berjalan.


Panganganku tiba-tiba terpusat pada sepasang suami
istri yang sudah lanjut usia sedang mendorong gerobak
Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang penuh kemuliaan saat hari akhir

Andin mengundangku berkunjung kerumahnya.


Aku tak lupa alamatnya rumah berwarna hijau daun
dan berpagar tumbuhan itu masih kuinggat selalu,
dulu aku pernah mengantarkannya pulang ketika dia
sedang duduk menunggu angkutan umum setelah
pulang kerja.

Tiba aku didepan halaman rumahnya, bocah-


bocah kecil terlihat riang bermain disamping halaman
rumahnya. Dekil tak beralas kaki bermain tulup2 di
tangan mereka. Derap suara kaki mereka yang berlari
laksana kuda perang. Terikakan mereka seperti
komando dimedan perang diiringi Bunyi letupan dari
mainan bambu itu.

Kulangkahkan kakiku memasuki teras rumahnya,


kuketuk daun pintu yang terbuat dari kayu nangka itu
dan kuucapkan salam kepada penghuni rumah.
Nampaknya suaraku kalah dengan teriakan bocah-
bocah kecil itu. Untuk kedua kalinya aku ketuk pintu
itu sembari mengucapkan salam. Terdengar jawaban
dari salamku yang berasal dari dalam rumah. Krek...
suara gagang pintu terdengar terbuka, kulihat Andin
berdiri tepat dihadapanku, memakai pakaian putih
dengan bunga-bunga kecil bertabur diatasnya. Hatiku
bergetar tak pernah aku melihat bidadari yang
diciptakan di bumi ini, surga pun tak mampu menahan
pesonanya dan nampaknya bidadari surga sedang
berbisik-bisik siapa diantara mereka yang lebih cantik
dari perempuan yang berada didepanku. Mereka akan
berkecil hati manakala bertemu dengan Andin. Wajah
Andin tak bisa dieja dengan kata-kata, bukan pula
kiranya pada bentuknya yang sempurna. Karena
kesempurnaan hanya dimiliki oleh yang
menciptakannya.

Suaranya yang lembut mempersilakan aku duduk.


Dia meminta diri untuk ke dapur mengambilkan aku
minuman. pandanganku tertuju pada foto-foto keluarga
yang berjajar di tembok ruang tamu. Wajah perempuan
kecil yang manis, pikirku mungkin itu Andin saat
masih masa anak-anak. Tak lama ia datang dengan
membawa minuman ditangannya kemudian dia duduk
dikursi yang berada disisi lain yang berada didekat
jendela. Dari balik cahaya yang menjamah masuk
kedalam ruangan aku melihat bayang-bayang Andin.
Kami berdua membisu,

Anda mungkin juga menyukai