namaku apalagi jika dipreteli agar bisa mengerti artinya. Sampai sekarang aku juga masih sibuk mencari arti dari namaku ya mungkin lebih baik aku biarkan agar menjadi misteri atau kenangan pemberian nama orangtuaku. Memang tak pandai aku untuk menafsirkan namaku tapi kukira lebih sulit untuk menafsikan hari esok. Panggil saja aku Zul.singkatkan! jelas tak perlu basa-basi. Kurasa diumur yang baru menginjak usia jagung. Aku akan meninggalkan huruf- huruf dalam kalimat ini seakan sudah lama dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang atau kelak mungkin masih ada tercecer huruf yang menyusun kalimatku, kalian bisa rapikan menyusunnya menjadi cerita kalian sendiri. Beginilah jadinya:
“ Hoaamm.....” Pagi kembali masih nyenyak
dalam selimutnya kini mulai terusik dengan kokok ayam yang membangunkanku. Aku berjalan menuju padasan1 di belakang rumah, Gelap dan hanya sebuah bola lampu bercahaya kuning sebagai sumber penaerangan. Dengan segenap kesadaran aku menghadap sang pencipta yang menguasai semesta dan seisinya termasuk tubuh dan hati yang lemah ini. lalu aku sandarkan kepada-Nya mengangkat tangan, menempatkan diri ini sehina mungkin dengan ketidaksempurnaanku : inna sholati wanusuki wamah yaya wamamati lillahirabbil alamin. Setelah sholat seperti biasa aku melakukan wiridan. Bercengkrama aku dengan Tuhan Yang Kuasa. lalu menerka hari yang akan berjalan. Sembari berusaha menafsirkan mimpiku.
Bunga tidur ini sangat nyata aku rasa. Aku
melihat wajah teduh seorang gadis dengan simpul manis di bibir yang bertegur sapa denganku dibawah pohon ketapang rindang yang tumbuh tepat di halaman depan perpustakaan. Kau datang laksana ilham tanpa salam, masuk kedalam hati. Sampai tak terasa menimbulkan sesuatu yang aneh dalam diriku.
“Ah apakah aku jatuh hati kepadamu Andin?’’
tanyaku pada diri yang seketika seperti anak kecil ini.
Mulutku tiba-tiba menggungamkan beberapa doa
dari hati.
“ya Rabb jika memang ia yang terbaik untukku
biarkan aku ikhlas mencintainya, izinkan perasaanku dan dia bermuara menuju rihda-Mu. Aku ingin memahaminya sebagaimana seharusnya aku memahaminya.”
Tak terasa matahari mulai menyingkap tirai kabut
yang perlahan menipis hingga akhirnya menghilang. Dari belakang aku mendengar suara Mama mulai sibuk menyalakan pawon untuk memasak. Aku beralih sibuk untuk menyapu rumah kemudian menyiapkan keperluanku untuk mengajar di sebuah yayasan inklusi di kota “P”. Komputer jinjing, buku catatan dan bekal yang telah disaiapkan oleh mama, tak lupa aku masukan kedalam tas. Secangkir kopi yang kemudian menemaniku yang sudah rapi di teras depan rumah sembari membaca warta hari ini. Harum bunga melati yang tumbuh di pekaranganku menambah gairah, apalagi sinar matahari yang menyibak daun daun mangga menuju kopiku yang masih ngebul. Ah engkau bumiku, pandai kau membuatku terpaku yang ditumbuhkannya bunga melati itu, apakah engkau yang menjadikannya harum? Atau matahari yang memasaknya melalui reaksi fotosintesis? Ah Ngawur meneh, meskipun bumi dan matahari yang telah menjadikan bunga itu tumbuh cantik nan harum. Aku hanya ingin menyapamu bunga melati, bumiku dan matahari yang selalu menaungiku, Selamat pagi semua, selamat pagi Andin yang telah hadir dalam mimpiku.
Hari baik pikirku, jam sudah menunjukan pukul
06.30 WIB. Aku mulai memacu sepeda motorku menuju ketempat aku bekerja yang jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 5 menit berkendara. Mulai aku membelah jalan bergelut dengan bocah-bocah sekolah yang mengayuh sepeda, memutar roda cita-cita menuju sekolahnya masing-masing.
Pabrik ilmu, pencetak anak bangsa yang
mengantongi ilmu pengetahuan yang diharapkan bukan hanya sekedar ijazah. Sudah sekian puluh tahun anak bangsa belum bisa bercerai dengan kedungguan bahkan yang berilmu pengetahuan tidak mengibakan kesengsaraan kemanusiaan lebih jauh lagi kita telah jauh tertinggal dari bangsa Eropa, Jepang dan Cina yang dianggap sebagai bangsa yang bisa meniru tapi kita hanya jadi bangsa penikmat semuanya yang telah mereka ciptakan.
Mataku bersambut dengan gunung Slamet yang
elok dimata, berhalaman padi keemasan yang mulai menujukan kesejahteraan untuk tuan tanah atau si penggarap sawah yang menggarap tanah tuannya.
Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara si Mbok
Inem yang menegurku.
“Zul mau berangkat kerja?” sapanya dalam bahasa
jawa yang kuterjemahakan dalam bahasa indonesia.
“Iya mbok” jawabku .
Aku teringat si mbok Inem yang selalu meminjam
beras dilumbung padi di desaku untuk menyambung hidup keluarganya. Makan pun hanya daun-daunan, daging menjadi lauk yang terlampau mewah untuk keluarganya. Hanya saat lebaran haji dimana daging hewan kurban berlimpah, mbok Inem dapat menyajikan daging diatas meja makan yang berbentuk bundar dari kayu nangka. Mbok Inem pernah bercerita bahwa dia terpaksa akan menjual hasil panenan tahun ini untuk menutupi hutangnya dan sisanya kembali di gunakan untuk menggarap sawah dan membeli pupuk. Aku dengar-dengar kini harga pupuk kembali naik bahkan harga sekarang tak mampu untuk membeli pupuk sekarung seperti tahun lalu.
Pagi itu seketika aku menjadi agak murung
memikirkan bagaimana bisa, bumi subur yang tersohor di berbagai penjuru dunia, bahkan telah menjadi rebutan bangsa lain selama berabad lalu untuk menguasainya. Dulu tenaga pribumi diperas untuk menggarap kebun dan sawah yang tadinya menjadi tanah milik mereka. Bumi tempat kita beranak-pinak sekarang menjadi saksi dimana telah menetes keringat dan darah bahkan ari mata penderitaan dalam krisis pangan, perbudakan hingga kematian. Tapi kini zaman telah berubah. ya, ya,yaa, lebih tepatnya zaman terus berjalan tetapi penderitaan masih saja tertinggal hingga masih setia menemani seperti penyakit genetik pada tubuh manusia. Terpaku pada setiap lapisan kehidupan. Engan untuk disembuhkan apalagi pergi.
Sekarang para petani yang memiliki tanahnya
sendiri tak mampu mencukupi kebutuhan makan untuk kesehariannya seperti si mbok Inem dan keluarganya. Apalagi untuk biaya sekolah anak- anaknya. Duh mbok! Mbok, apakah masih banyak orang sepertimu di negeri yang kaya ini. Kolam susu seperti syair lagu. Segalanya bisa tumbuh dan juga menumbuhkan harapan untuk merdeka dari penyakit kronis kemanusiaan yang disebut penderitaan. Segala diatasnya pula tumbuh kepandaian, kekuasaan yang berlebihan, memerintah, membudakan dan mempertahankan segala bentuk penderitaan.
“Zaman edan” . Seruku sembari menambah
kecepatan sepeda motorku. Sudah pergi kolonial dari bumi pertiwi. Engkau si mbok kenapa mesti menjerit di sejadi-jadinya dalam hidup yang singkat ini. Apakah orang orang sperti mbok Inem hanya bisa mengenal kata penderitaan?. Tak terasa sepeda motor ku sudah berada di parkiran. Ternyata baru aku yang telah sampai. Beberapa anak kelas VI yang mengikuti tambahan pelajaran pagi mulai berdatangan diantar oleh orangtua mereka, meramaikan suasana pagi di sekolah yayasan ini. Langakah kakiku menuju memasuki gedung dengan dinding berlatar warna biru tua. Ruagan kelas tempatku bekerja tidak jauh dari pintu masuk .
Kretek....Pintu kelas aku buka, kuletakan tasku
disudut ruangan kelas kemudian kupersilakan udara segar memasuki ruangan melalui jendela yang berdebu tipis. Hiasan origami burung berayun bak camar yang mengikuti arah angin bertiup. Lantai kelas yang nampak kotor pun aku sapu. Segala perlengkapan untuk keperluan mengajar telah aku siapkan. Tak lama kemudian datang guru kelas, bu Maria namanya.
“Selamat pagi Zul” sapa bu Maria dengan senyum
ramah. Suaranya bernada jawa alu
“Selamat Pagi bu”.
“Hari ini apa kau sudah siapkan bahan untuk
ketrampilan anak-anak?”
“Berses bu, sudah saya siapkan sebaik dan
selengkap mungkin. Lihat nih”.
Sekilas dia melihat keatas meja sambil merapikan
bawaannya di loker miliknya. Kemudian ia datang menghampiriku yang memeriksa buku absensi si sudut meja guru. “Zul nanti kita akan membuat perahu dari kertas lipat. Sudah ibu siapkan modelnya. Nanti kamu yang mempraktekannya di depan biar anak-anak bisa menirukan cara membuatnya.”
Ya memang aku bisa mengajarkan beberapa
keterampilan terutama yang berhubungan dengan motorik halus seperti melipat, menggunting, merobek ataupun sebagainya kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Selain itu aku juga mengajarkan mereka melafalkan doa sehari-hari. Karena mayoritas anak didik dikelasku beragama islam sedangkan bu Maria beragama Katolik.
Ya memang aku dan bu Maria berbeda agama
namun itu bukanlah menjadi sebuah batasan antara aku dan dia. Aku adalah muslim yang taat dan bu Maria adalah katolik yang taat pula setiap hari Minggu dia membawa anak-anaknya beribadah di sebuah gerja yang terletak dekat dengan puast kota “P”. Maka aku tak pernah membuat janji dengannya pada hari Minggu. Dengan perbedaan itu mengajarakanku bagaimana menempatkan diri dalam sebuah tata kehidupan dan dengan apa yang aku sebut toleransi. Aku bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menciptakan kita semua berbeda-beda baik laki-laki, perempuan, suku, bangsa dan agama.
Memang di negara dengan jumlah umat beragama
muslim terbesar didunia sekarang. Negara kita rentan sekali terusik isu SARA. Kebanyakan mereka belum memiliki pemikiran yang luas dan mendalam tentang ilmu agama yang kemudian diterapkan secara tepat dalam kehidupan, ditambah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang banyak mengandung pemberitaan hoax yang menimbulkan propaganda. Seperti layakya rumput gersang di musim kemarau, mudah sekali terbakar kebencian hingga kerusuhan. Dengarkan dan saksikan demontrasi-demontrasi yang diberitakan itu.
“ Mas Zul esuk-esuk wis ngelamunni apa?’’
terbangun aku dalam sekejap mendengar teguran bu Maria. Bu Maria sudah manyambut anak-anak yang datang. aku lihat di dalam kelas sudah ada beberapa anak yang hadir kemudian aku lihat arloji di tanganku seudah menujukan pukul tujuh pagi. Sebagai tanda sebentar lagi bel masuk akan segera bunyi.
Benar saja tak lama bel tanda masukpun
berbunyi, hari ini aku mendampingi Eko seorang anak yang memiliki kebutuhan khusus autis. Anak-anak yang sudah berangakat aku tuntun menuju lapangan untuk melakukan motorik kasar salah satunya adalah senam. Motorik kasar berguna untuk melatih otot-otot yang dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus agar tidak kaku serta kegiatan seperti senam berguna untuk melatih koordinasi otak dan anggota badan lainnya. Anak-anak antusias mengikuti setiap gerakan instruktur.
Usai senam pagi, sebelum masuk kedalam kelas
anak-anak diwajibkan untuk mencuci tangan terlebih dahulu. Karena anak berkebutuhan khusus memiliki kekebalan tubuh yang kurang dari anak normal, maka kebersihan menjadi hal yang diutamakan. “ sini nak ikutin pak Zul mencuci tangan, begini caranya.’’ kataku kepada Eko.
Bukannya dia menirukanku mencuci tangan
malah membuat basah baju yang aku kenakan dengan semprotan air yang ia mainkan.
“Sialan pagi-pagi sudah dibuat basah baju ini’’.
Kataku dalam hati.
Bukannya kesal aku dibuatnya. Aku harus sabar
dalam mengajari ia, supaya kelak dalam kehidupan sehari-hari ia dapat baradaptasi dengan masyarakat sekitarnya. Baik sikap maupun perilakunya. Aku harap masyarakat pun bisa menerima ia dengan kebutuhan yang ia miliki. “Kehidupan harus adil padanya.”
Setelah mencuci tangan anak-anak berbaris di
depan kelas, lalu masuk kedalam kelas dengan rapi menuju tempat duduknya masing-masing. Aku melihat eko sudah duduk rapi di tempat duduk miliknya, aku ragu apakah dia sudah bisa membaca namanya sendiri? Atau mungkin dia hanya terbiasa dengan bentuk papan nama yang tertempel di meja miliknya.
Semua anak telah siap untuk mengikuti pelajaran
hari ini. Semoga hari ini tidak ada yang tantrum. Baiklah mari kita berdoa untuk mengawali kegiatan pembelajaran hari ini. Eko ditunjuk untuk memimpin teman-temannya berdoa.
“Teman-teman mari kita berdoa. Sikap berdoa.
Berdoa dimulai”. Ya Tuhan bimbinglah kami dalam kegiatan hari ini. Aminnn” semua menirukan apa yang Eko ucapkan.
Bu Maria berdiri menuju kedepan kelas.
“ Anak-anak hari ini kita akan belajar membuat
perahu dari kertas lipat. nanti pak Zul yang akan mempraktikan cara membuatnya. Siapkan kertas lipatnya yukk.” Dengan semangat anak-anak mengambil kertas lipat di lokernya masing-masing. Secepat kilat mereka telah kembali menuju tempat duduknya.
Aku telah bersiap di depan mengantikan posisi
sementara bu Maria. “Baiklah anak-anak ikutin pak zul cara membuat perahu dari kertas.” Tak ada kesulitan bagiku untuk membuat perahu dari kertas lipat. Namun bila aku lihat masing-masing anak tak ada satu pun yang berhasil membuatnya.
Yah sekali lagi aku mempraktikannya secara
perlahan layakya sebuah pengerajin kapal pinisi yang tersohor. Bahkan kapalku lebih hebat dari kapal simbad yang menerjang gelombang dan badai. Kapal kertasku akan mengalir mngikuti arus. Ilmu dan keterampilan akan menjadi arah mata anggin untuk membaca peta bahaya. Mari nak sekarang aku akan membekali kau agar mampu berlayar mengarungi samudera kehidupan.
Aku lihat sekilas anak-anak sudah mulai bisa
mengikuti apa yang aku contohkan. Ya meskipun bisa dianggap mendekati bentuk kapal. Hahaha, tertawalah aku dalam hati. Tak terasa waktu pembelajaran akan segera habis, memang hari jumat waktu pembelajaran lebih pendek dari hari biasanya. Si Umar anak berkebutuhan autis yang sangat disiplin dalam waktu sudah menggendong tas miliknya merenggek minta pulang kepada bu Maria. Para wali murid sudah rapi berdiri di koridor tempat penjemputan. Eko kembali ia memimpin temantemannya untuk berdoa.
“Sikap berdoa, teman-teman mari kita berdoa.
Berdoa dimulai.”
“Ya Tuhan terimakasih atas bimbingan pelajaran
hari ini, Aminnn”
Setelah semuanya berdoa aku dan bu Maria
bergantian mengantar dan menjaga anak-anak. Aku sempatkan berbicara tentang perkembangan Eko hari ini kepada ibundanya.
“Bunda hari ini ananda Eko dapat mengikuti
proses pembelajaran dengan cukup baik. Ananda mampu membuat kerajian tangan perahu dari kertas lipat.” Konsentrasi ananda hari ini baik.”
“Wah syukurlah pak saya senang mendengarnya.
Pak Zul kenapa bajunya basah?”. Terkejut aku dengan pertanyaanya. Memang benar baju yang aku kenakan belum cukup kering.
Dengan nada bercanda aku manjawab. “ biasa bu
tadi tidak sengaja ananda Eko menyemprotkan air saat sedang mencuci tangan. “Hahaha...’’ aku dab ibunda Eko tertawa lepas menambah suasana keakraban diantara kita sembari memperhatikan Eko yang sibuk memainkan kapal buatnanya.
“Ya sudah pak Zul, saya dan Eko pamit pulang.”
“Baik bu, hati-hati dijalan. Hati-hati juga Eko di
jalan sampai ketemu lagi hari Senin.”
Semua anak-anak nampak telah pulang. Kelas
pun hanya ada aku dan bu Maria. Suara lantunan ayat suci Al-Quran terdengar dari pengeras suara Masjid. Bersiap-siaplah aku merapikan diri dan mengenakan pakaian terbaiku. Baju muslim putih motif bordir hijau berpadu dengan sarung hijau yang mampak serasi dipandang. Sedang bu Maria kulihat kembali sedang mengajar anak-anak yang beragama kristen katolik. Setelah mengambil air wudhu langkah kakiku bergegas menuju masjid untuk melaksanakan sholat jumat.
Sholat jumat telah usai, aku sempatkan
beristirahat sebentar di ruang perpustakaan sekolah karena ruang kelas tampak belum selesai digunakan oleh bu Maria. Kurebahakan badanku di bangku panjang yang terbua dari kayu jati. Angin sepoi dari kipas angin membuatku terlelap beristirahat. Kurang lebih seperempat jam beristirahat aku terbangun. Nampak terdengar suara perutku memanggil untuk diisi dengan bekal yang sudah aku bawa dari rumah.
Berjalan aku menuruni tangga perpustakaan,
tiba-tiba aku terkejut melihat Andin berada tepat di depanku. Sungguh aku menjadi salah tingkah, aku berusaha menutupi kegugupanku dengan sibuk mencari sepasang sendal yang aku kenakan.
“Zul nanti jangan lupa jam satu ada acara ngaji
bersama di lorong gedung sekolahan”. Sapa dia dengan senyum manisnya.
“ Baiklah A..aa..ann..din..” jawabku terbata-bata
seperti anak kecil yang baru saja belajar berbicara. Timbul desir dari tubuhku. Ah Andin mengapa kau buat aku jadi seperti ini. Benar tak mengerti apa yang aku rasakan. benarkah aku jatuh hati kepadamu? Tak berani aku untuk menatap matanya. Terlalu indah untuk dipandang. Bergegas ia meninggalkanku karena dipanggil oleh temannya. Ya aku pun kemudian beranjak dari tempat yang membuatku terpaku seketika saat Andin menyapaku tadi. Setelah berjalan beberapa langkah mataku dari kejauhan melihat kearah Andin yang sedang bercakap dengan temannya. Sialan dia melihat kearahku, takut ketahuan bahwa diam-diam aku sedang memperhatikannya,segera aku alihakn pandanganku menuju sekitar sembari mengambil langkah cepat menuju ruang kelas.
Sesampainya di ruang kelas ternyata bu Maria
telah selesai mengajar pelajaran agama. Aku meminta izin untuk mengambil makanan yang telah aku bawa dari rumah. Dia menawariku untuk makan bareng. Aku tunggu dia membereskan mejanya lalu mengambil bekal makanan dalam tasnya. Akhirnya kami makan bersama. Saat sedang makan tak ada percakapan diantara kami. Kami sibuk menerka rasa hidangan yang berada di depan. Tawa seketika pecah saat bu Maria bertanya kepadaku.
“ Lahap benar makan mu Zul? Engkau lapar apa
doyan ?”
“ya lapar sekaligus doyan bu. Hehehe.....”
“Kau mau nambah Zul, ayo barengan sama ibu”.
“Baik bu terimakasih, aku takut kalo nanti
makanannya habis sama aku hehehe.. aku mau nyuci tempat makan dulu habis itu aku akan ijin untuk mengikuti pengajian di lorong gedung.”
Terdengar Lantunan Ayat suci Al-Quran berasal
dari para peserta yang sudah memenuhi ruangan. Rupanya aku datang agak terlambat. Aku tempatkan diriku kursi yang masih kosong dan menyimak bacaan Al-Quran yang sedang dibacakan. Belum genap rasanya untuk mengambil nafas. Ustadz Baihaki sudah menunjukku membacakan ayat selanjutnya. Tak ada kesulitan bagiku karena dari kecil aku sudah belajar membaca di TPQ. Dapat pula aku pujian Ustadz Baihaki atas bacaan Al-Quranku. Lalu pada giliran selanjutnya adalah Andin. Saat Andin membaca Ayat suci Al-Quran hatiku begitu tenang. Sejuk laksana meminum air telaga al-haudh. Benar kau telah membuatku jatuh hati padamu Andin. jika mimpiku semalam adalah ilham yang diberikan oleh-Nya. Kini tumbuhlah separuh keping hatiku untukmu yang kuharap dapat menjadi kita. Tanpa kau sadari aku telah jatuh hati padamu Andin. Hari telah sore, matahari beranjak menuju cakrawala. Menciptakan jingga yang selalu indah dinikmati. Aku selalu rindu pada senja yang menuntun burung kuntul terbang dibawah kaki langit menuju sarang, semoga juga membawa salam untuk kasihku Andin. Senja mengantar kenanganku denganmu hari ini. kasihku mungkin ada dibalik senja. Namun tabir senja tak mampu menahan pesonamu duhai kasih.
Malam hari kusempatkan untuk menulis. Akan
ku jadikan Mbok Inem sebagai tokoh dari tulisanku. Benar.... kesejahteraan belum bisa menjamah orang separti Mbok Inem. Kesejateraan hanya angan untuk beribu tahun mungkin tak akan pernah tercapai, dan seperti penyakit turunan yang tak kunjung sembuh sampai sekarang. Lain kesejahteraan lain penderitaan. Penderitaan kini telah menjadi sahabat karib yang rupanya telah bersetubuh dengan setiap lapisan masyarakat. Harapan adalah imun dalam kehidupan yang membuat orang seperti mbok Inem bertahan. Hidup adalah harapan.
Hasil panen raya yang melimpah tentu menjadi
harapamu bukan mbok? Duh mbok lihat padi kuning itu merunduk, dia meratapi kesedihannya. Bagaimanapun ia ingin sekali membuat sang tuan tanah atau si penggarap sawah tersenyum. Namun apa daya meskipun belum cukup umur si padi telah disunting oleh tengkulak-tengkulak. Memang sistem tengkulak dan kartel beras menjadi ladang bagi si asu perut buncit yang tak punya hati nurani untuk para petani. Jatuh harga ketika mereka membeli kepada petani namun bagai buah pinang sangat sulit dibeli jika sudah ditangan mereka. kita telah mengendus kabar impor beras dari negara lain yang harganya jauh lebih murah dari beras lokal. kementrian-kementrian menjadi kalang kabut menyikapinya. saat dimintai keterangan mereka malah saling lempar tanggung jawab. Tenang... kita mampu menjadi lumbung beras untuk negara sendiri. Bumi para petani kita sudah sangat subur apapun ditanam baik didalam maupun diluar akan tumbuh bak kolam susu katanya. Camkan itu! asuu... jangan kau menjadi sumber kesengsaraan dan penderitaan mereka para petani.
Para petani seperti mbok Inem dan keluarganya
umumnya berpendidikan rendah. Suami mbok Inem hanya menyandang lulusan skolah dasar sedangkan mbok Inem lulus sekolah dasar pun tidak. Cara bertani pun mereka hanya menggunakan teknik turun temurun dari nenek moyang meraka. Kini persoalan di pertanian makin berkembang, Pertanian dan serangga cotohnya. persoalan ini seakan tidak akan ada habisnya. Serangga dapat menjadi lawan dan kawan petani. Serangga seperti lebah dan kupu-kupu dapat membantu penyerbukan tanaman namun disatu sisi dapat menjadi hama bagi tanaman seperti contohnya wereng. Suami mbok Inem perah mendapat penyuluhan seperti pengendalian hama terpadu (PHT). Sistem ini mempertimbangkan Pengetahuan dasar meliputi jenis hama, makanan, siklus hidup, habitat, serta musuh alami hama. Setelah semua dianalisis dengan tepat maka langkah pengendalian selanjutnya dapat ditentukan gnua menghentikan serangan hama. Namun kembali lagi dengan pendidikan yang rendah serta penyuluhan dari pemerintah yang kurang maksimal. Maka ia hanya ingin bagaimana hasil yang akan mereka penen melimpah dan hama yang merusak tananman mati dengan cepat. Alhasil dia meniru-niru petani lain sak-sake dewek menggunakan pestisida kimiawi berlebihan, Bahkan tak jarang dioplos agar cepat dalam membasmi hama seperti yang mereka yakini. Mungkin pemerintah harus melakukan penyuluhan yang sifatnya pendampingan untuk para petani. Baik itu melakukan penyuluhan mengenai segala hal yang berhubungan dengan pertanian mulai dari tanam hingga panen.
Belum lagi selesai masalah hama masalah
penanaman padi juga menjadi masalah yang perlu dibenahi. Sistem penanaman yang tidak memperhatian musim seringkali menjadi kendala dan mengakibatkan penurunan hasil panen bahkan gagal panen. Banyak sawah yang terendam banjir atau kekeringan yang tidak pada musimnya. Suami mbok Inem selalu menunggu temannya ketika awal proses pasca panen hingga sebelum tanam. Pemerintah dalam hal ini juga telah berupaya untuk membantu petani seperti subsidi benih, kredit istimewa, subsidi pupuk. Namun hal itu dirasa masih saja kurang. Keberadaan pupuk yang selalu menjadi misteri bagi petani dan untuk jalur distribusi hasil panen masih saja dikuasai para tengkulak.
Mbok, kini mereka bukan hanya mengincar
padimu mereka juga mengincar tanahmu mbok!. Tanahmu akan mereka beli dengan harga tinggi untuk mereka tanam lagi. bukan tanaman yang mereka tanam, pohon beton mbok! Kau tau untuk apa mbok? untuk kandang elite-elite. Pemerintah dalam masalah ini tak tau mana yang harus dibela. Para petani apakah para asu itu. bahakan asu pun telah menjadi peliharaan pemerintah yang siap melayani tuannya. Lahan terbuka hijau terancam menjadi putih dan jalan pun tak segan dibangun diatasnya. dalih untuk memperlancar pembangunan semua cara dihalakan tanpa perhitungan matang, semuanya dianggap serba gampang. Tak mungkin masalah ini tak kau lihat, hanya karena bergelimang kekuasaan engkau menutup mata dalam suatu segi kehidupan masyarakat.
Segalanya memang belum berakhir mbok, hidup
terus berjalan. Harapan adalah eliksir kehidupan untuk orang kecil sepertimu agar biasa bertahan. Kesedihan, kesengsaraan dan penderitaan akan terus berulang. Aku rasa hidup memang tak adil untuk para petani dan rakyat kecil. Ilmu pengetahuan harus mereka dapatkan, terlebih untuk anak-anak para petani. Generasi petani kelak haruslah berdasar ilmu pengetahuan, Ilmu pengetahuan untuk memperbaiki kualitas hidup. Maka janganlah kau buat biaya pendidikan semakin mahal, tak masuk akal. kau orang berjas jika sudah lebih berilmu dari pada para petani itu mulailah memikirkan masalah-masalah kehidupan dan menyumbangkan pikiran untuk mencari solusi atas penderitaan yang tak berkesudahan ini. kau setidaknya tidak hanya sekedar menunggu gaji bulanan dari pemerintah.
Seiring waktu berjalan, bertambah pula
kekagumanku pada perempuan bernama Andin. wanita yang ku kagumi itu hari ini tak nampak berangkat mengajar. Hatiku gelisah, tak punya pula nomor telepon atau alamat rumahnya. kenapa kau tak berangkat hari ini andin? apa kah kau sakit? Kuharap kau sehat selalu.
Menjelang sore hari tak ada kabar dari Andin. baik
darinya ataupun dari rekannya. Sore ini aku menerima upah atas pekerjaan yang telah kulakukan selama sebulan. Satu per satu nama karyawan dipanggil menghadap bagian tata usaha. seorang bagian tata usaha bertubuh kecil memanggil namaku.
“Pak Zulkarim silakan masuk”.
“ ini pak silakan diterima, dicek juga kalau ada
kekurangan.”
“Baik, terimakasih bu”.
Aku bersyukur atas apa yang telah diterima bulan
ini. Meskipun tak seberapa namun ini jauh lebih dari cukup. Jam sudah menunjukan pukul 4 sore, bel pulang telah bunyi. Nampak wajah cerah menerima hasil kerjanya selama sebulan. Pagi tadi ban motorku bocor terpaksa sore ini aku pulang jalan kaki menapaki jalan yang biasa aku lalui dengan sepeda motoku. Memang tak jauh rumahku dari tempat kerja. Kurang dari waktu tempuh jarum jam untuk mencapai seperempat putaran. Para petani terlihat dikejauhan sedang mengusir burung yang selalu menggoda sang dewi. Nampak orang-orangan sawah diatas bilah dan tanah untuk menakut-nakuti burung yang hinggap.
Terdengar dentingan mangkuk bersambut sendok
abang penjual bakso beradu dengan riuh kendaraan yang lalulalang. Sekejap aku hentikan laju gerobak baksonya, kukeluarkan beberapa lembar uangku dari dalam dompet untuk mendapatkan bakso itu. Bakso yang kubeli sengaja kubungkus untuk adiku di rumah. Beranjak aku meninggalkan abang penjual bakso.
Tidak lebih dari lima menit aku berjalan.
Panganganku tiba-tiba terpusat pada sepasang suami istri yang sudah lanjut usia sedang mendorong gerobak Telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan saat hari akhir
Andin mengundangku berkunjung kerumahnya.
Aku tak lupa alamatnya rumah berwarna hijau daun dan berpagar tumbuhan itu masih kuinggat selalu, dulu aku pernah mengantarkannya pulang ketika dia sedang duduk menunggu angkutan umum setelah pulang kerja.
Tiba aku didepan halaman rumahnya, bocah-
bocah kecil terlihat riang bermain disamping halaman rumahnya. Dekil tak beralas kaki bermain tulup2 di tangan mereka. Derap suara kaki mereka yang berlari laksana kuda perang. Terikakan mereka seperti komando dimedan perang diiringi Bunyi letupan dari mainan bambu itu.
Kulangkahkan kakiku memasuki teras rumahnya,
kuketuk daun pintu yang terbuat dari kayu nangka itu dan kuucapkan salam kepada penghuni rumah. Nampaknya suaraku kalah dengan teriakan bocah- bocah kecil itu. Untuk kedua kalinya aku ketuk pintu itu sembari mengucapkan salam. Terdengar jawaban dari salamku yang berasal dari dalam rumah. Krek... suara gagang pintu terdengar terbuka, kulihat Andin berdiri tepat dihadapanku, memakai pakaian putih dengan bunga-bunga kecil bertabur diatasnya. Hatiku bergetar tak pernah aku melihat bidadari yang diciptakan di bumi ini, surga pun tak mampu menahan pesonanya dan nampaknya bidadari surga sedang berbisik-bisik siapa diantara mereka yang lebih cantik dari perempuan yang berada didepanku. Mereka akan berkecil hati manakala bertemu dengan Andin. Wajah Andin tak bisa dieja dengan kata-kata, bukan pula kiranya pada bentuknya yang sempurna. Karena kesempurnaan hanya dimiliki oleh yang menciptakannya.
Suaranya yang lembut mempersilakan aku duduk.
Dia meminta diri untuk ke dapur mengambilkan aku minuman. pandanganku tertuju pada foto-foto keluarga yang berjajar di tembok ruang tamu. Wajah perempuan kecil yang manis, pikirku mungkin itu Andin saat masih masa anak-anak. Tak lama ia datang dengan membawa minuman ditangannya kemudian dia duduk dikursi yang berada disisi lain yang berada didekat jendela. Dari balik cahaya yang menjamah masuk kedalam ruangan aku melihat bayang-bayang Andin. Kami berdua membisu,