Anda di halaman 1dari 8

Makna Mencintai Indonesia

Oleh : Marusaha Simbolon


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Aku bernyanyi riang dihamparan luasnya danau toba. Aku selalu tertarik dengan lagu-lagu
bertemakan tanah air untuk menambah semangatku yang kian luntur termakan suasana. Tak
pernah terbayangkan sebelumnya kalau gelar sarjana pendidikanku dikampus top
mengantarkanku ke desa. Dulunya aku bermimpi menjadi seorang guru agar bisa mengajar di
sekolah swasta dengan gaji besar, terkadang ekspektasi tak sesuai dengan realita. Banyaknya
sarjana di negeri ini menambah beban para pencari kerja untuk mendapat pekerjaan yang
layak, ya begitulah di Indonesia. Aku harus beradaptasi mencoba mencari kenikmatan batin
dan menyendiri selama di desa seakan-akan hanya aku yang berperan di dunia ini.
Seminggu pertamaku di Desa Janji Martahan semua terasa asing dan tubuhku yang mungil ini
terasa tidak bergairah layaknya burung dengan bulu rontoknya. Apa yang dirasakan oleh
Generasi Z sepertiku adalah ketidaknyamanan. Demi sebuah sumpah yang terucap dari mulut
sebagai seorang sarjana Pendidikan akhirnya aku menunaikan tugasku dengan harapan aku
bisa hidup aman di desa meskipun hatiku tidak nyaman.
***
Suara bising terdengar dimana-mana. Terlihat keadaan kelas hancur bagaikan kapal pecah.
Batinku heran melihat keadaan sekolah di Desa ini, pertama kalinya aku melihat kelas
sehancur ini dengan murid-muridku yang kotor dan tidak menarik. Aku sangat membenci
diriku, mengapa nasibku seburuk ini. Aku menoleh, gerombolan anak yang sedang berkumpul
membicarakan pengalaman mereka selama liburan , kebetulan hari ini pembukaan semester
baru, dan seketika satu ruangan menatapku, bak serigala siap menghadang anak kijang.
Batinku semakin miris.
“selamat pagi anak-anak!” sapa ku menarik perhatian mereka.
“selamat pagi buuuuuuuuu!” teriak satu kelas bersahut-sahutan menjawab sapaan Bu
Angelin. Aku tersedak, aku semakin heran dengan kejiwaan siswa kelasku. Tadinya diam
sekarang sangat bersemangat menjawab sapaanku. Ternyata tidak hanya diriku yang
beradaptasi, anak-anak juga.
Beginilah keadaan sekolah di desa. Dipenuhi dengan anak-anak aktif yang dilengkapi oleh
anak-anak jahil, pintar, pendiam dan rajin. Satu kesamaan dari mereka adalah suka belajar
dan mencari hal-hal baru. Mereka adalah anak-anak pejuang, bagaimana tidak? Pulang
sekolah mereka akan membantu orang tuanya keladang, sebagian lagi membawa kerbau ke
padang rumput. Syukurnya, aku anak seorang PNS, seumur hidupku tak akan merasakan
penderitaan mereka. Aku termenung membayangkan nasib anak-anak desa ini, dan tiba-
tiba…..
“Ibu nanti sore sehabis pulang bantu bapak, Lena bisa tidak datang ke rumah ibu untuk belajar
matematika, aku tidak pandai perkalian ibu” Mohon Lena dengan polos dan sopannya. Tanpa
perlu berpikir panjang aku menyetujui permintaan Lena, kebetulan soreku selalu asyik dengan
diri sendiri.
“Bu guru sore ini mandi ke danau ya bu, bareng kami ya Ibu” ajak Natan dengan semangat.
“Wow, pasti seru banget mandi dengan murid-murid semenarik kalian. Ibu mau dong!”
jawabku tak kalah semangat dengan permintaan Natan.
“Ibu cantik, mama aku berpesan untuk mengajak ibu makan malam dirumah aku Bu. Mau ya
Bu…” Bujuk Jian dengan lucunya. Aku merasa percaya diri disebut cantik.
“mau dong, kalau Jian yang ngajak..” jawabku senang
Aku mulai berpaling dari awalnya tidak nyaman, kini mulai tertarik dengan anak muridku, jika
ini pertama kalinya aku di desa, bahkan ini pertama kalinya seakrab ini dengan anak-anak.
Sore adalah momen yang dinanti setiap hari. Anak-anak dengan berbagai permintaan menarik
dan lucu sangat sulit untuk ditolak. Jika tidak ditemani senja maka aku akan ditemani puluhan
anak-anak. Beginilah sore seorang guru yang sedang beradaptasi, lebih tepatnya guru yang
mengajar malah lebih banyak belajar….
***
Membumi melangit sama saja asal bersahaja
Mentari pagi bangkit dari singgasananya, tersenyum lebar berbagi sinar sehingga penduduk
desa bangun dan mulai beraktivitas. Burung-burung di udara turut mengucap syukur dengan
bernyanyi diatas ranting pohon, sebagian lagi terbang sejauh sayap bergerak. Tak lupa
segerombolan anak-anak akan menyergap pintu kecil rumah tempat tinggalku selama di Desa.
“Bu Guru… Bu Guruuuuuuuu……!” Panggil anak-anak dengan kencangnya.
“Ya ampun, anak-anak ibu cepat sekali berangkat ke sekolah, ibu belum mandi dan belum
makan juga. Ibu mandi dulu ya…” izinku lembut ke anak-anak.
Terlihat murid-murid mengenakan seragam pramuka. Aku tersenyum mendengar sayup-
sayup suara mereka menceritakan diriku. Sampai akhirnya aku menyulap penampilan diriku
menjadi seorang guru yang layak, dan berangkat bersama anak-anak menuju sekolah.
Hari ini anak-anak tidak belajar karena Kepala Sekolah akan mengajak anak-anak bermain di
taman sekolah. Ibu Desi adalah kepala sekolah favoritku. Bu Desi bersuku jawa-islam namun
hidup tentram selama puluhan tahun mengajar para anak-anak bersuku dayak-kristen. Beliau
mengajarkan padaku bahwa kemanusiaan tidak pernah memaandang perbedaan. Pagi ini
beliau berinisiatif mengajak anak-anak mengutarakan Impiannya. Ibu Desi Anak-anak dengan
polosnya menceritakan impian mereka. Aneh sekali rasanya untuk menangis mendengar
setiap impian anak-anak desa ini.
"Saya akan menjadi guru di masa depan." ucap Nia yang merupakan siswi favoritku karena
otaknya yang cemerlang.
"Saya akan menjadi Polisi untuk menangkap orang-orang jahat" sambung Doni dengan tegas
dan penuh harap. Lalu semua anak-anak mengutarakan impiannya. Tidak ada yang sama,
bahkan Mario bercita-cita sebagai Presiden.
Aku tertegun mendengar semua impian anak-anak, sampai akhirnya Bu Desi bercerita banyak
tentang perjalanan hidup beliau sementara anak-anak bermain sehabis berbagi impian.
"Beginilah anak-anak, selalu punya mantra yang buat aku nyaman hidup disini berpuluh-puluh
tahun. Aku lahir di Jakarta dan hidup dibawah kemewahan. Bapakku seorang Pejabat dan Ibu
seorang Dokter. Aku memilih menjadi guru karena aku bosan dengan kesibukan orang tuaku.
Aku ingin menyebarkan bahwa seorang guru adalah cita-cita yang baik. Seorang guru tidak
bisa berbicara besaran gaji, kita butuh hati yang tulus, maka ilmu sampai tidak ketus." Ucap
Bu Desi dengan senyum tulusnya.
Aku membalas tanpa kata, hanya senyum kagum. Ternyata ada saja orang-orang baik disetiap
sudut negeri ini. Aku malu dengan Bu Desi. Aku bahkan selama ini memilih menjadi guru
karena ingin mengajar di sekolah swasta dengan gaji yang besar. Malah semesta memilihku
merasakan keindahan ini.
Sinar Mentari mulai menutupi lenteranya dengan perlahan-lahan menjauhi sinarnya dari
pandangan bumi. Situasi disore hari sangat nikmat dipandang mata. Langit kekuning-
kuningan menghias di atas lintasan biru. Sejuk terasa disekeliling tubuhku. Angin riuh datang
didekatku dan pergi secepat kilat.
Aku berjalan menuju Rumah Bolon, Rumah Adat Batak Toba. Biasanya anak-anak akan
mengikuti kelas Budaya setiap malam minggunya. Hatiku sedang damai, kalau tidak aku akan
memilih menonton drama korea ketimbang belajar budaya Batak. Buru-buru budaya batak,
budaya sendiri tidak paham.
Kelas budaya kali ini terasa berbeda karena dihadiri Dina si Bunga Desa yang lama bekerja di
Luar Negeri setelah lulus dari Universitas Diponegoro. Aku baru tahu kalau generasi muda
desa ini ada yang kuliah di Universitas Diponegoro. Bangga sekali dan tak sabar melihat sosok
Dina yang pasti sangat cerdas dan cemerlang.
“Hai, aku dengar kamu guru baru di Desa ini, kenalin aku Dina.” Sapa Dina dengan tulus.
“ya bosan dirumah terus, pingin lihat-lihat aja sih…” jawabku ketus. Aku tetap saja egois, aku
takut jika Dina berpikir kehadiranku hanya ingin melihat dia, padahal benar adanya kalau dia
adalah alasan aku ikut kelas budaya malam ini. Gak salah kalau orang-orang sering
menyebutku si ratu ego.
Aku duduk disamping Dina, mungkin dia muak dengan aroma tubuhku yang sangat wangi.
Sebelum ke desa barang yang paling aku cari adalah pewangi, bagaimana agar aku tetap
wangi dan tampil beda setiap hari. Mulai dari shampoo, hand body, hingga parfum yang aku
kenakan lengkap di koper berisikan 15 KG bagasi pesawat. Dina terlihat melamun, aku yakin
dia memikirkan kenapa aku si anak Kota bisa datang kedesa menjadi guru, ternyata dugaanku
salah.
“Aku sedih dan kecewa. Banyak sekali generasi muda sekarang yang hanyut akan kenikmatan
budaya asing. Mereka tak ingin bahkan tak peduli dengan budaya disekitar mereka. Lihatlah
berapa orang yang hadir saat ini, bisa dihitung pakai jari.” Jelas Dina menegaskan
lamunannya. Aku tertampar dengan ucapan Dina. Aku menarik nafas dan mengangguk.
Malam yang kelabu, berbagai alat musik batak toba berbunyi dimainkan anak-anak yang
diajarkan para pegiat budaya, namun aku dan Dina asyik bercerita tentang kebudayaan batak.
Aku hanya mengangguk -anggukkan kepala seakan-akan aku mengerti dengan semua ucapan
yang ditumpahkan dina dari mulutnya yang suci itu. Nyatanya, berbagai pertanyaan
bergantungan dipikiranku. Betapa polosnya dirimu, batinku. Aku merasa janggal karena ini
pertama kalinya aku bertemu dengan generasi muda yang sangat peduli dengan kelestarian
budaya. Tersadar malam semakin larut, kelas budayapun selasai, aku dan anak-anak lainnya
kembali kerumah masing-masing.
***
Kujelajahi hamparan ilalang yang berbaris ramai seakan menyapa orang-orang, menyibaknya
menggunakan kaki dan tangan. Hembusan sejuk desiran angin menghantam dedaunan,
membuat ranting-ranting pohon menari berlayupan. Aku berada di Bukit Holbung. Dina
mengajakku kesini. Indah sekali! Danau Toba yang luas tampak gagah dan airnya bagaikan
cermin jika dilihat dari atas bukit ini. Seketika aku merenung, betapa kayanya Indonesia, ada
Bali dengan pantai dan sawahnya yang memikat hati, ada Pulau Komodo di NTT, Raja Ampat
di Papua, dan masih banyak lagi. Ini membuatku semakin cinta dengan Indonesia. Sementara
aku masih melamun, tiba-tiba Dina menepuk pundakku. Lagi-lagi aku terkejut ulah wanita
kurus berkulit hitam ini.
“Bung, kamu mau enggak jadi sahabatku.” Tawarnya
“Please don’t call me Bung.” Jawabku “Panggil bunga aja, Oke!” lanjutku ketus.
“jadi kamu mau gak jadi sahabatku….” Tanya Dina lagi
Pertanyaan itu seakan membuat semua berjalan dan bergerak. Dina memang wanita tanpa
ego dan rendah hati. Sikapku yang ketus begini saja, dia maklumi. Aku belajar banyak dari dia.
Tanpa perlu berpikir panjang aku mengiyakan permintaan Dina. Siapa yang gak mau jadi
sahabat Dina yang sangat baik dan perhatian.
Similar angin tetap berhembus. Matahari kian redup, suasana semakin dingin pertanda
musim hujan telah datang.
***
Aku senang sekali bisa jadi sahabat Dina. Seumur hidup aku baru bertemu perempuan yang
cantik dan aktif berbudaya. Pagi ini dia tampil elegan dengan busana ulos, kain batak toba.
Dina mengajak anak-anak menuju Bukit Holbung, bukit terindah di tanah batak. Pantasan
Dina mengajakku kesana kemarin, untuk memastikan keadaan Bukit. Anak-anak dengan
lincah berjalan menuju bukit Holbung, semua bersemangat dengan mengenakan ulos. Lalu
aku hanyut akan lamunanku….
Dulu sampai sekarang aku adalah anak yang tidak paham akan seni dan budaya. Aku
menganggap hal yang paling penting adalah belajar dan bermain tanpa perlu memahami dan
mendalami kebudayaan. Aku lahir di Makassar dan besar di pulau jawa. Bapak berdarah bugis
dan ibu berdarah jawa, namun kedua budaya ini tak membuatku menarik mendalaminya.
Sekarang aku merasa berbeda karena aku tidak pernah berbagi cerita tentang kebudayaanku
kepada anak-anak. Andai saja aku memahaminya sejak dulu, mungkin anak-anak akan sangat
antusias mendengarkannya.
“Menyedihkan….” Ucap Dina singkat.
Aku terkejut mendengar ucapan dina. Bagaimana mungkin Dina tau isi hatiku, ternyata tidak
tentang aku, namun perasaan kuatir Dina saat ini.
“aku sering merasa berbeda dengan teman-teman hanya karena aku giat dalam menyuarakan
pentingnya budaya ditengah-tengah generasi muda. Mereka menganggapku terlalu serius
dalam menggiati Seni dan Budaya Batak. Aku sedih melihat keberadaan generasi muda
ditengah arus globalisasi, apa kabar dengan budaya kita? Aku sungguh sedih.”
“Budaya telah lahir didalam jiwaku sejak aku kecil, bapak dengan aktifnya mengajarkanku alat
musik dan berbagai silsilah batak toba. Baik marga dan boru batak, semua diajarkan bapak.
Ibu mengajarkanku cara membuat makanan khas batak toba.” Ucap dina menatap kosong.
Aku iri dengan Dina karena memiliki hati yang tulus mempelajari budaya ditengah banyaknya
orang muda yang bahkan tidak peduli akan keberadaan budayanya sendiri, termasuk diriku
selama ini, bahkan untuk membuat tumpeng aku tidak sanggup.
Hari semakin terik namun semangat anak-anak tetap membara untuk bermain dan
mempelajari setiap materi budaya yang diajarkan Dina. Sungguh pengalaman yang
menyenangkan.
***
Sebulan lagi akan diadakan pentas seni dan budaya batak toba di Samosir. Pesta tahunan yang
akan sangat menarik perhatian masyarakat. Aku diajak Dina untuk bekerjasama dalam
kepanitiaan acara, namun semesta tidak mengizinkanku bergabung dalam kepanitiaan.
Telepon genggam yang berdering tengah malam tadi mengabarkan kalau bapakku sedang
sakit di Jakarta. Aku harus kembali ke Jakarta.
Waktu berjalan dengan sangat cepat. Setelah sekian purnama berlalu, akhirnya aku pulang ke
Jakarta dengan keadaan berat hati. Semua terasa berbeda dari semula aku datang ke desa
Janji Martahan. Awalnya merasa terpuruk karena denger kata Desa, ujung-ujungnya merasa
sesal dan rindu.
Sebuah bendera berwarna hijau terpampang di depan rumah, bapak telah tiada setelah 2
minggu aku menjaga di rumah sakit. Orang yang paling aku sayangi pergi meninggalkanku
untuk selama-lamanya. Aku menyesal belum belajar banyak kebudayaan Bugis dari bapak,
aku menyesal pernah menolak belajar tari bugis ketika bapak tawari les tari, aku menyesal
ketika aku menjadi generasi z yang sesungguhnya generasi lupa budaya. Aku harap semesta
mengizinkanku untuk memulai meskipun sudah terlambat.
Dina dengan sangat tulus mengucapkan rasa turut berduka cita melalui surat elektronik
kepadaku. Jika hatimu sudah membaik, kami siap menerimamu sebagai keluarga kami. Kami
sangat merindukanmu, penghujung Surel yang buatku menangis.
***
Kembali ke Samosir adalah keputusan yang baik untuk kulakukan, pesawat dengan cepatnya
mengantarkanku menuju pulau sumatera, dan perjalanan darat menuju samosir yang
memakan tenagaku. Tak sabar untuk melihat keadaan Samosir setelah 2 bulan meninggalkan
Samosir, berbagai pertanyaan muncul didalam hatiku.
Seakan mata terkunci, seakan waktu kembali berhenti, seakan air mata menggenang di
kelopak mataku. Semakin aku melangkah akhirnya tiba di sanggar seni dan budaya. Saat ini
keadaan sanggar jauh berkembang pesat dari dulu, penataan lokasi semakin indah, rumput
dan pohon menambah nuansa hijau, sedangkan alat musik yang berjejer menambah kesan
kemewahan. Anak-anak dengan ramainya bermain alat musik. Ada sulim (suling), husapi
(kecapi), dan tagading (gendang). Ternyata sanggar seni dan budaya semakin luas. Bagaimana
tidak? Semakin ku melangkah semakin banyak kegiatan yang ada, sekumpulan ibu-ibu dengan
lihai menenun ulos, kain asli batak toba. Di kejauhan tampak anak-anak sedang latihan drama
dengan properti yang sangat unik dan menarik.
Seseorang menepuk pundakku, aku kaget dan menoleh ke belakang. Ternyata Dina. Aku
langsung memeluknya dan meneteskan air mata. Jiwa-jiwa cengengku gak bisa tertutupi lagi.
“Thank you so much!” Ucapku
“Makasih buat apa?” tanya Dina bingung.
“Makasih telah menyulap keadaan desa menjadi seperti sekarang. Itu jauh dari dugaanku,
kamu hebat.” Pujiku pada Dina.
“Sudahlah, kamu cengeng sekali.” Ledek Dina menanggapi pujianku.
Akupun mengusap air mata dipipiku. Dina mengajakku mengelilingi Sanggar. Tak terasa langit
sudah berubah warna, kian gelap dan anak-anak sudah berpulangan ke rumah masing-masih,
namun aku sama sekali tidak bosan dan tak ingin kembali ke rumah, namun rasa lelah tak
pernah bersembunyi, selalu hadir tanpa diharapkan. Aku butuh Istirahat! Akupun pulang ke
rumah dan menemui barang-barang telah tersusun rapi di kamarku, pasti anak-anak yang
merapikannya. Aku ingin menemui anak-anak, namun tubuhku yang Lelah berhasil melawan
keinginan hatiku.
***
Sebuah kamera digital telah bergantung di leherku. Layaknya seorang wisatawan, aku
memoto dan merekam setiap aktifitas masyarakat. Mulai dari halaman rumah masyarakat
yang dipenuhi kopi yang sedang dijemur, hingga keadaan sanggar yang sangat memukau.
Indah sekali! Tersadar hanya aku wisatawan disini. Aku mulai kecewa dan sedih. Apa yang
kurang dari kekayaan dan keindahan Desa ? Tubuh kian lemas dan tak bersemangat. Akupun
beristirahat di tangga Rumah Bolon sambil melihat masyarakat sibuk dengan aktivitasnya.
Dina melihatku dan menghampiriku.
“Ada apa?” Tanyanya.
Aku tak menjawab. Aku menatap kedepan dengan tatapan kosong.
“Pernah gak sih ada wisatawan datang ke sini?” tanyaku tetap memandang kedepan.
“Enggak…” jawabnya singkat.
“sayang sekali, padahal tempat ini berpotensi sebagai tempat wisata. Tapi bagaimana ya
caranya?” Tanyaku.
“Internet!” jawabnya singkat. Ya ampun, Dina memang wanita cerdas yaaaa.
“Baiklah, saatnya aku yang bekerja. Aku pamit ya Din…” Ucapku dengan bersemangat dan
berjalan cepat menuju rumah.
Aku berjalan dengan semangat membara dan Dina tampak aneh melihatku yang tadinya
lesuh, sekarang berjalan dengan kecepatan ganda. Sesampai dirumah aku mengambil
Laptopku. Menulis blog dan memasukkan foto-foto terbaik bidikanku tadi. Lalu memindahkan
foto ke HP dan menguploadnya ke Instagramku. Aku menandai akun-akun wisata yang ada di
Instagram dan menggunakan hastag untuk menjangkau banyak Orang. Tak hanya Instagram,
Facebook dan Twitter pun turut berperan. Lalu bagaimana dengan YouTube? Tak perlu jasa
editing video, aku mengerjakan semua dengan tangan sendiri, mengedit video rekamanku
tadi menjadi video yang menarik dan memasukkannya di YouTube. Perlahan namun pasti,
akhirnya semua selesai.
Sebulan telah berlalu, usaha tidak menghianati hasil. Sedikit demi sedikit komentar positif
membanjiri akun sosial mediaku. Indah sekali! Ingin liburan kesana! Demikianlah gambaran
komentar yang tertera. Aku bangga sekali karena kemajuannya sangat pesat. Aku tersentak
kaget karena beberapa turis bertubuh tinggi beramput pirang berkulit putih berdatangan
kesini. Kemampuan Bahasa inggrisku yang tak diragukan lagi menjadikanku pemandu wisata
mereka. Bagaimana dengan Dina? Dia diundang Pemerintah untuk menerima penghargaan
Penggiat Budaya dari Dinas Pariwisata dan mendapat sumbangan untuk membangun
kemajuan sanggar. Dan senangnya, ketika dia akan mengikuti perjalanan keliling Indonesia
untuk berlibur sekaligus belajar berbagai Budaya di Nusantara yang dibiayai penuh oleh
Kementerian Pariwisata. Aku memang iri, namun kebanyakan bersyukur dan bangga bisa
memiliki Dina sebagai sahabatku.
***
Perjalanan Dina yang menyenangkan telah diceritakan padaku, namun ada ungkapan yang
membuatku sadar akan makna dari memiliki. Ya, aku sadar!
“Kamu tau tidak kalau makna dari Cinta berarti memiliki, memiliki tak sekadar ungkapan, tak
sekadar janji namun butuh aksi nyata. Aku Cinta budaya dan selalu berusaha memilikinya
dengan mempelajarinya, alhasil rasa itu mengajakku untuk beraksi menyulap keadaan desa
menjadi seperti sekarang. Jika kamu cinta akan budaya, cinta akan wisata, cinta akan
pertanian, cinta akan peternakan, mulailah melakukan aksi untuk kemajuan masyarakat.
Karena kita Generasi Muda Indonesia, generasi harapan bangsa ini.” Tuturnya dengan tegas
penuh semangat.
Aku terdiam, ternyata mencintai Indonesia tak cukup hanya mencintai lagu-lagu nasional
seperti diriku. Tak cukup hanya mengatakan kalau aku mencintai Indonesia hanya karena
menikmati keindahan alamnya. Tak berarti mengatakan aku Pancasila jika masih sering
berburuk sangka dengan budaya, agama dan ras yang lain. Aku sadar kalau aku belum
Indonesia secara utuh. Perpindahan dari Desa ke Kota, menjalin persahabatan dengan Dina,
hingga aku lulus sarjana diluar negeri menjadi kisah yang membentuk kepribadianku
sekarang. Saat ini aku tak ingin pergi keluar kota apalagi ke luar negeri untuk bekerja, namun
aku akan membangun sekolah untuk meningkatkan kualitas Pendidikan di desa ku.
Bagaimana mungkin kemajuan wisata dan budaya pesat, namun tidak dengan Pendidikan.
Aku ingin anak-anak hebat dari desa bisa melanjut Pendidikan ke luar kota bahkan keluar
negeri dan Kembali untuk membangun desa. Semua ini ku lakukan karena aku Cinta
Indonesia.
***
“Aku adalah orang Indonesia. Seorang pemimpi yang selalu menjaga budayaku dan mencintai
budayaku setulus hati. Aku adalah Indonesia seorang kaum awam yang setia dan siap
melakukan Perubahan.”
Sumpah itu tampak jelas di setiap dinding kelas di seluruh sekolah di Desa. Tekad yang kuat
dipuncak kejayaan Desa Janji Martahan.

Anda mungkin juga menyukai