Anda di halaman 1dari 6

Oasis Sendu

Menurutku dia gadis menarik yang pernah


kutemui sekali seumur hidup. Senyumnya seindah
bulan sabit, suaranya imut-imut lucu membuatku
tertawa geli setiap kali mengingatnya, tubuhnya yang
mungil sangat ringan ketika kugendong. Sebuah desa
kecil yang mempertemukan kita dan mengalami suatu
proses interaksi. Hari di mana ku melihat dia yang tak
aku bidik, yang tak aku cari. Ketika aku bersama UKM
Pecinta Alam memiliki program kerja membina
penduduk desa serta menguatkan pendidikan karakter bagi kaum perempuan di suatu desa
terpencil di lereng Gunung Kawi.
Setahuku penduduk desa di sana masih terikat dengan kepercayaan lokal yang mana
rata-rata masyarakatnya masih percaya dengan animisme dan dinamisme. Lebih
mengedepankan leluhur serta tradisi-tradisi nenek moyang sebelum masa Hindia-Belanda. Di
tempat itulah takdir mempertemukanku dengannya. Awalnya kupikir dia hanyalah bocah SMP
yang penasaran persoalan sosialisasi yang kuadakan dengan kawan-kawan. Namun kenyataan
berkata lain setelah aku berbicara panjang kali lebar dengannya.
“Konsum, konsum!” seru Satria selaku Sie Perkap usai memasang banner di Balai
Desa.
“Konsam-konsum lu kerja apa, Sat?! Cuma pasang banner doang!” Icha sebagai sie
acara geram dengan kelakuan Satria yang hanya bermodal pasang banner untuk berkontribusi.
Sementara aku yang mengawasi keduanya dari jauh hanya dapat geleng-geleng ketawa dan
sesekali tertawa. Mereka terlihat seperti air dan api walau tidak pernah menyatu tapi keduanya
saling melengkapi.
“Woi Ji, ketawa-ketiwi mulu stres lo?!” celetuk Bagas selaku ketua sub devisi
pengabdian masyarakat. Ntah sejak kapan dia nongol tiba-tiba di sampingku membantu anak-
anak perlengkapan.
“Berisik!” desisku tajam lantaran kututup laptop dan membawanya pergi dari hadapan
Bagas.
“Mau ke mana lu, Ji?” teriak Bagas.
“Cari angin!”
Letih dari keramaian saatnya sunyi dan sepi adalah tempat pelampiasan terbaik untuk
membuat banner, lagi. Anak-anak Pecinta Alam sudah seperti keluarga kedua setelah keluarga
inti. Aku merasa UKM Pecinta Alam memandang kami apa adanya, kami juga tidak memiliki
grup kecil untuk kepentingan pribadi. Aku sendiri pun terheran-heran saat memasuki unit
kemahasiswaan ini. Di mana solidaritas kita terjalin seperti rantai, jika berkarat maka akan
disambung dengan yang baru.
Selain menjalankan kegiatan inti kami yakni: pendakian, rafting, dan mading kami juga
melakukan program kerja salah satunya membina masyarakat yang berada di pelosok terutama
di daerah pegunungan. Banyak manfaat yang didapat dari kegiatan tersebut selain melakuakn
pendakian kita juga dapat membagi ilmu terhadap warga desa supaya bermanfaat. Jika kalian
bertanya-tanya kenapa aku membawa laptop karena aku ketua sub devisi visual IT di UKM ini.
Bruk!
Betapa terkejutnya diriku tatkala melihat seorang gadis yang memakai dress putih
dengan rambut panjang berwarna cokelat jatuh dari atas pohon. Aku menengok ke atas sambil
bertanya-tanya mana bisa gadis mungil ini jatuh dari atas pohon besar nan tinggi?
“Aduh!” Dia membersihkan gaunnya yang putih dari debu sembari menahan malu.
Terlihat jelas semburat merah di area pipinya.
“Kamu enggak apa-apa?” tanyaku. Secara refleks aku menutup laptop, mengulurkan
tangan, kemudian membantunya berdiri. Saat pertama kali kutatap matanya terselip sekelebat
desiran jahil di dadaku. Desiran aneh macam apa ini?! Seumur-umur aku tidak pernah
didiagnosa terkena serangan jantung.
“Te-terima kasih,” ujarnya terbata dan suaranya nyaris tak terbawa oleh angin. Aku pun
mengangguk tipis lantaran melanjutkan kembali desain yang akan kubuat. Sementara gadis itu
menatapku sekilas lalu kembali menunduk, berjalan perlahan-lahan, dan pergi meninggalkanku
seorang tanpa sepatah kata.
Esok harinya kami bersiap untuk acara sosialisasi mengenai pendidikan terhadap
perempuan. Seluruh kaum hawa mulai dari remaja hingga ibu-ibu rumah tangga diharapkan
menghadiri acara tersebut. Acara dimulai pada pukul tiga sore setelah shalat Ashar namun ada
hal yang mengganjal di benakku sedari tadi.
Semakin diabaikan malah rasanya semakin ada yang aneh, padahal aku cukup teliti
terhadap jadwal kegiatan maupun barang-barangku sendiri. mataku mulai memperhatikan
sekitar, sekilas memang tidak ada yang aneh. Para panitian UKM PA menjalankan tugasnya
msing-masing sesuai sie meski Icha dan Satria sering beradu mulut. Namun lensaku berhenti
pada satu titik. Anak perempuan yang jatuh dari pohon kemarin, dia mengintip di ambang pintu
Balai Desa.
Aku penasaran dengan gadis itu akhirnya aku samperin dia lantaran kutanyai. “Hai!
Acaranya dimulai jam tiga nanti, ada yang ingin disampaikan?”
“A-apa semua perempuan boleh mendapatkan pendidikan?”
Aku terhenyak sejenak. Apa maksud perkataan gadis ini? Tapi kuusahakan tetap
tersenyum dan bersikap seramah mungkin meskipun aku tidak tahu apa yang dimaksud.
“Semuanya bisa ikut kok, kalau kamu mau nanti jam tiga sore ya?”
Walau aku telah menyibukkan diri dengan UKM PA tetapi pandanganku tak lepas
darinya sedari tadi ia mengintip di balik pintu. Tatkala teman-temanku keluar masuk dia
bersembunyi dan pura-pura menyibukkan diri seolah ia tak tahu menahu soal kegiatan ini. Satu
jam setelahnya semua tugasku telah usai namun dia masih tetap di tempatnya.
Karena penasaran aku bertanya padanya. “Ada yang bisa kubantu?”
“Mas, boleh ikut aku sebentar?” bisiknya.
Entah dengan dasar apa aku mengiyakan permintaannya. “Boleh, kita mau ke mana?”
Dia membawaku jauh dari keramaian. Bahkan nyaris tidak ada orang hanya aku dan
dia. Nyaris saja aku merinding mengingat kejadian-kejadian aneh yang dialami pendaki, namun
aku mantapkan hati dan percaya kepada Yang Kuasa bahwa niatku hanya untuk menyalurkan
pendidikan gratis pada warga desa.
“Duduk Mas.” Dia memerintahkanku agar duduk di sampingnya dan aku menuruti
kemauannya. “Mas, kalau R. A. Kartini memperjuangkan hak-hak perempuan untuk
memperoleh pendidikan kenapa banyak perempuan di desaku banyak yang tidak boleh
bersekolah atau merantau ke kota padahal di sana sudah banyak perempuan kantoran?”
Luar biasa, aku ternganga mendengar ceritanya. Dia sepertinya berasal dari kalangan
terdidik. Aku berpikir mungkin di tidak bisa keluar dari desanya karena keterbatasan kaum
perempuan terhadap dunia luar. “Maka dari itu tujuan kita di sini buat memberikan pendidikan
bagi perempuan di desa ini. Ada hal-hal yang belum bisa dipahami oleh warga sini masalah
kesetaraan gender jadi kami membantu mereka membuka jendela dunia masalah kaum laki-
laki dan perempuan.”
“Nama Mas siapa?”
“Soesetyoaji biasanya dipanggil Aji, kalau kamu?”
“Kemuning Wijayanti, Mas.” Dia menjawab dengan malu-malu sambil menyelipkan
beberapa helai rambut di belakang telinganya.
Aku mengangguk sebagai tanda mengerti. “Kamu pernah ke kota?”
“Pernah Mas sekali, di sana rame banyak orang jualan ini-itu terus perempuan pakai jas
seperti laki-laki juga banyak! Aku pernah beli buku satu, bukunya R.A. Kartini itu katanya
bagus buat belajar sejarah.” Dia bercerita dengan amat sangat antusias. Sepintas terlihat kilatan
cahaya di mata indahnya hingga menciptakan badai pasir dalam kepalaku.
“Wih! Sendirian aja?” Aku mencoba agar tetap waras. Semoga dia tidak sadar bahwa
isi kepalaku telah mencapai luar galaksi.
“Iya Mas! Mas Aji tau enggak ....”
Dia bercerita panjang lebar dan setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan bebas
seperti burung yang terlepas dari sangkar. Menurutku dia tipe perempuan yang menarik dan
imut manalagi ketika melihatnya tertawa. Obrolan kami ngalor-ngidul tapi tetap nyambung,
kami jadi saling bertukar cerita, bersenda gurau, bahkan dia memintaku menggendongnya agar
sampai ke atas pohon. Kemudian ia memintaku mencicipi buah yang paling popular di lereng
Gunung Kawi ini.
Sampai sebuah suara seorang pria menggema di seluruh hutan memanggil-manggil
namaku. Sontak aku dan Kemuning langsung menghentikan dialog kami sejenak. “Ji, Aji! Lu
ke mana aja bego!”
Suaranya terdengar familiar pasti itu, “Gas! Sini!”
“Lu ngapain ke sini mau gue kick dari UKM?!”
Tampang Bagas yang sangar membuat gadis mungil itu takut hingga ia bersembunyi di
balik badanku. Aku mengabaikan pertanyaan Bagas lantaran mencoba menenangkannya.
“Enggak usah takut, dia temanku Bagas.”
“Siapa itu Ji, anak kecil? Cok lu pedofil!”
Aku geleng-geleng kepala sambil memijit pelipis, dasar Bagas punya mulut tidak bisa
dikondisikan. “Pedofil pedofil gigi lu kering, mana ada anjing!”
Hari terakhir program kerja Bina Desa, biasanya acara proker seperti ini mudah
membuatku jenuh. Namun selama tiga hari silam bagiku terasa menyenangkan bahkan lebih
menyenangkan dari rute pendakian. Kemuning, nama yang indah ketika diingat-ingat saking
cantiknya sampai sulit didefinisikan oleh perkata. Ingin bawanya ke tempat-tempat indah.
Tipikal klise ingin tahu pikirnya. Ntah ini ingin ntah ini sayang. Si hati rapuh tentang wahana,
oh lagi-lagi aku yang tak berkendali di oasis sendu.
“Mas, Mas Aji! Sini!”
Ah sial debaran di dadaku semakin menggila dari waktu ke waktu. Tak habis-habis dia
menghantui pikiranku. Jiwaku berbisik lirih ku harus memilikimu. Bagaimana mengatakan
supaya dia ikut denganku ke kota? Angin tolonglah aku sedang jatuh cinta tapi aku tak punya
nyali tuk katakan. Mantra cinta ini sungguh ajaib hanya dalam waktu tiga hari aku dapat jatuh
cinta dengan sangat dalam padamu. Sepanjang perjalanan beriringan kami saling berbagi cerita
maupun pengalaman masing-masing sambil sesekali bersenda gurau. Kadang-kadang dia
memintaku menggendongnya untuk mengambil buah di atas pohon.
Di tengah perjalanan kami dihadang oleh seorang pria berpakaian adat Jawi Jangkep
agaknya ia berasal dari keluarga Raden sekaligus pangeran di suku ini. Wajahnya nampak tak
suka dengan keberadaanku terutama ketika menggandeng tangan Kemuning. Aku mengangkat
sebelah alis dan masih bertanya-tanya.
“Ada masalah apa ya, Bang?” tanyaku ramah sambil menjabat tangannya. Namun di
sisi lain Kemuning nampak bergidik ngeri ketika aku melepas genggamannya.
“Siapa dia?!” tanya orang itu pada Kemuning. Gadis mungil iini ketakutan hingga tak
berani menjawab.
“Maaf, mungkin kau bisa berkata baik-baik dengannya. Lihat, dia ketakutan.” Aku
berkata baik-baik. namun siapa sangka niat baikku malah menjadi petaka. Pria yang tak
kuketahui namanya itu langsung menarik kerah kemejaku dengan kasar sampai aku kesulitan
bernapas.
“Kau tahu siapa perempuan yang bersamamu itu?” desisnya tajam.
Aku menggeleng kikuk lantaran memaku.
“Dia istriku bajingan!” orang itu mengpalkan tangan dan bersiap melayangkan pukulan
di wajahku. Aku memejamkan mata seakan bersiap untuk menerima balasan atas segala
perbuatanku. Mana mungkin gadis mungil ini sudah memiliki suami di tengah usianya yang
masih sembilan belas tahun.
“Cukup!” teriak Kemuning dengan suara bergetar. “Aku yang mulai duluan dan bukan
dia! Jadi hentikan!”
“Jadi kau menduakanku?!”
Dia makin murka setelah mendengar penjelasan Kemuning. Dia melepas
cengkramannya dan beralih pada gadis yang kusuka. Dia berjalan cepat dengan amarah yang
menggebu-gebu kemudian melayangkan tangan pada Kemuning. Sementara kedua tangan
Kemuning siap melindungi kepalanya. Secara refleks tubuhku bergerak begitu saja dan dengan
tangkas menangkis aksinya.
“Hei! Jangan kasar pada wanita!”
“Siapa kau?! Berani-beraninya kau memerintahku inilah sebabnya aku tidak suka orang
asing datang ke mari!”
Aku menatapnya tajam, perlahan kulepas genggamannya. Aku masih dalam keadaan
setengah sadar dengan apa yang kuperbuat sedangkan di sisi lain aku syok dengan pengakuan
bahwa Kemuning sudah bersuami. Tapi kenapa dia melakukan ini? Mengapa dia membuat aku
terbang tinggi kemudian dihempaskan ke tanah tanpa aba-aba? Di tengah lamunanku dengan
pandangan kosong mengarah ke depan. Suami Kemuning memaksanya pergi dengan kasar. Air
matanya berlinang deras, tak sengaja kudapati pergelangannya memerah tatkala ia bersi keras
memberontak. Kemudian ia merintih padaku, “Mas Aji tolong!”
Sayangnya aku bergeming, tubuhku mati rasa, menatap kepergiannya dengan tatapan
nanar membiarkan gadis kesayanganku di bawah pergi oleh seseorang yang seharusnya
bersanding dengannya dan bukan aku. Tahu begini jika bisa memilih tak bertemumu pasti itu
yang kupilih. Jika bisa kuhindari garis interaksi itu yang kupilih. Oh, lagi-lagi oasis sendu.
Alam dan seluruh energinya apa dalam ciptanya ada aku? Bila bukan untuk aku, hindariku dari
patah hati itu. Jika dia memang bisa untukku, sini dekat dan dekatlah dan jika dia memang
bukan untukku, tolong reda dan redalah. Aku yang tak kuasa mengendalikan hati, tak semua
kupilih
Ada yang menepuk pundakku dari belakang, sudah kuduga dia pasti Bagas yang
mengikutiku seharian penuh karena khawatir. Dan bodohnya aku melupakan satu hal yang
menjadi tradisi di desa ini. “Sudahlah, Ji, kamu pantas mendapatkan perempuan yang jauh lebih
baik darinya. Kau lupa kalau di desa ini dilarang jatuh cinta dengan penduduk lokal? Di umur
sembilan belas tahun, mereka semua sudah memiliki suami.”
“Tidak seharusnya aku melanggar peraturan itu,” sesalku.

Anda mungkin juga menyukai