Anda di halaman 1dari 217

SARJANA

BODOH
ARIEF S.B

JERITAN PARA PENDAMBA TOGA


“Sarjana bodoh! Frase sederhana yang menampar setiap
orang yang mengagungkan toga. Membaca judulnya saja
sudah tertarik dan begitu membaca lembar demi lembar
isinya, saya tenggelam dalam tawa. Menghibur dan
mencerahkan.”
-- Isa Alamsyah,
Penulis buku humortivasi

“Setelah membaca lembar demi lembar, buku ini berhasil


membuat saya ketawa terbahak-bahak. Menghibur, kocak,
tapi tetap ada pesan moral-nya loh.”
-- Jeni shara,
Anggota komunitas bisa menulis

“MENARIK! Ini menarik untuk dibaca para pendamba toga


yang tergila-gila pada selembar ijazah. Buku yang membuka
fikiran bahwa kesuksesan belum tentu dapat diraih ketika
sebuah toga terpasang di kepala. Buku ini cocok buat kamu,
para sarjana yang hari ini hanya duduk diam termenung di
kursi rumahmu.”
-- Irfandi yusuf,
Mahasiswa Universitas muslim Indonesia - Makassar
Sarjana Bodoh – Jeritan Para Pendamba Toga
Penulis : Arief S.B
Penyunting : Amelina Junindar
Desainer Sampul : Arief andriatno
Tata Letak : Orbit Solution Creative

Copyright ©2015 Arief S.B


ISBN 978-602-73065-5-4
Hak Cipta dilindungi undang-undang

Cetakan pertama, September 2015


Cetakan kedua (Edisi revisi), Oktober 2015

Penerbit:
CV. Ajrie Publisher
Jl. Binuang 16 RT 07 RW 01, Kel. Kayu Kubu,
Kec. Guguk Panjang, Ngarai, Bukittinggi 26115
Email: ajriepublisher@gmail.com

50% dari keuntungan yang diperoleh dari penjualan ebook ini akan disisihkan
untuk bantuan sosial bagi anak-anak yang putus sekolah, serta bantuan
beasiswa bagi siswa/i yang datang dari keluarga tidak mampu. Dengan membeli
ebook ini, berarti Anda telah berpartisipasi di dalamnya.

“Mohon untuk tidak menggandakan sebagian atau seluruh isi di buku ini tanpa
ijin tertulis dari penerbit. Terima kasih.”
~Dipersembahkan~

“Untuk Mama yang sejak kecil menyusuiku dengan tulus,


walaupun aku harus rebutan dengan Bapak.”

Terima kasih. Anakmu masih ingin melihatmu tertawa.


Membaca buku ini dapat menyebabkan mahasiswa telat
LULUS. IPK rendah. Gangguan kecerdasan, dan berpotensi
menjadi pengangguran. AWAS! Buku ini berbahaya.
Dari sekian banyak tanda-tanda akhir zaman,
kedatangan buku ini merupakan salah satunya. Kenapa? Karena
buku ini merupakan tanda datangnya hari kiamat bagi mereka
yang menyembah ijazah dan toga. Aih.
Kenapa buku ini ‘oak-‘oak? Karena sebelumnya saya
didatangi sesosok makhluk dengan muka bercahaya. Kejadian
itu terjadi ketika saya sedang melakukan ritual rutin setiap
malam di kamar kontrakan.
Makhluk itu membawa pesan untuk dunia pendidikan.
Semacam perintah yang datang dari dewa toga yang disembah
oleh pengikut sarjana pengangguran. Makhluk itu berkata,
“Menulislah!”
“Apa maksudmu?” jawabku gemetar.

“Menulislah!” perintah itupun diulang.

“Apa yang harus saya tulis?” jawabku makin gemetar.


“Sesuatu yang bisa membuat para pendamba toga
kembali ke jalan yang lurus.”

“Hah? Tapi saya tidak bisa menulis.”

“Tulis saja b-e-g-o, ini perintah!”

“Ba-baiklah, tapi bolehkah saya minta satu


permintaan?”

“Ya, apa anak muda?”

“Maukah engkau membayar kontrakanku?”

Wush! Makhluk itu langsung menghilang.

Semenjak kejadian itu, saya seperti mendapatkan


sebuah hidayah yang datang dari langit; menuliskan cerita yang
akan menjadi bahan renungan para pendamba toga, agar
mereka kembali ke jalan yang lurus. Yaitu, jalan orang-orang
yang hanya berharap kepada Tuhan yang Maha Esa. Bukan
pada selembar ijazah. Asik.
Terima kasih untuk Mama, yang sudah mengizinkan
Bapak menyiksa malam-malamnya hanya untuk memproduksi
saya. Tanpa kolaborasi yang Mama dan Bapak lakukan, tidak
mungkin saya bisa lahir ke dunia ini dan menulis buku ini hingga
selesai.
Dan makasih juga buat Elsa Tipal, wanita yang
memberikan dukungan secara penuh setiap hari. Untuk
berbagai hal, termasuk untuk penulisan buku ini. Kamu yang
terbaik. Kita satu. Dalam hati; dalam impian yang sama. Tujuan
yang sama; pernikahan. Asik.
Buat kalian berdua yang rela berbagi ilmu denganku:
Rahmat Ibnu Umar & Darmawansyah Kahar. Kalian hebat,
saya belum bisa melampaui kejeniusan kalian dalam berpikir.
Terima kasih sudah menjadi teman diskusiku selama ini.
Dan untuk orang-orang yang sejak lama menunggu buku
ini terbit, memberi dukungan dalam bentuk doa dan masukan
yang membangun, tidak mampu saya menyebutnya satu-satu.
Tapi, bakal saya sebut yang ingat saja: makasih buat calon
gubernur Kendari (Irfandi Yusuf) dan calon Ibu gubernur (Alifia
Yusuf), calon Kabid industri Kabupaten Sigi (Arif Sucipto), calon
pengusaha percetakan (Imran al Imran), calon Ibu negara
(Maria Margareta), calon pengusaha butik (Ilha Mufti), calon
model (Jumriana Muiz), calon haji (Asul’aji), calon Ibu pendeta
(Agatha), calon pengantin baru (Ari Kusmiran), calon pengusaha
coto kuda (Ibu Firawati), calon penyanyi duo Malang (Soffy dan
Margareta), calon preman di Manggarai (Inggi) dan calon
istrinya (Nona Ida). Makasih atas dukungan kalian.
Biar keliatan alim, saya ucapkan terima kasih juga
kepada Allah SWT yang sudah menciptakan makhluk setampan
saya ke dunia ini. Hehehe.
Sekali lagi, terima kasih buat kalian semua. Satu
kebanggaan bisa menghadiahkan buku ini buat kalian. 

“Saya tidak akan memaksa kalian untuk membaca buku ini.


Karena, buku ini bukan untuk dibaca. Tapi untuk mengingatkan
bahwa di hidup kalian, saya pernah ada.”

Salam, dari orang yang selama ini kalian anggap bodoh dan
hina. @sarjanabodoh_
Pengantar Penulis ...7
Ucapan Terima Kasih ...9
Lahirnya Calon Pemimpin ...13
Geli Mas ...28
Akibat Salah Jurusan ...44
Ospek itu Haram ... 55
The Power of Brutal ...70
Gara-Gara Jkt48 ...79
Usulan untuk Pengawas Ujian …99
Berapa IPK-mu Nak? ...104
Pencerahan dari Pak Slamet ...114
Rindu Masa Kecil ...123
Saya Benci Bule ...138
Menulis Ulang Kehidupan ...148
Kejutan dari Tuhan ...167
Tips Mendapatkan Beasiswa ...183
Pendidikan itu Omong Kosong...188
Tulisan ini berasal dari suara bising. Di tengah himpitan
gedung-gedung kampus yang dipenuhi jeritan para pendamba
toga dan tangis para janda. Alah.
Sampai saat ini, saya masih bingung membuat paragraf
pertama yang baik itu seperti apa. Wajar saja, ini kan buku
pertama yang saya tulis hanya bermodalkan tampang saya yang
ganteng. Uhuk. Walaupun ganteng, sebenarnya saya ini bukan
personil boy-band. Tepatnya seorang mahasiswa yang kuliah
hanya untuk mendapatkan seorang mahasiswi. “Hidup
mahasiswi...” Teriak pake TOA.
Ada pepatah yang bilang ‘Tak kenal maka tak sayang’,
namun kelihatannya itu tidak berlaku di hidup saya, buktinya
saya belom kenal sama kamu, tapi udah sayang. Asik.
Ok, kita kenalan dulu…
Perkenalkan nama saya Anu, biasa dipanggil “Woi”. Jadi,
kalo kalian di jalan dengar orang berteriak, “Woiii jangan lari
loooh.” Nah, itu saya. Lagi dikejar-kejar warga. Maklum, selain
hidup sebagai mahasiswa teladan, saya juga punya pekerjaan
sampingan sebagai perampok warung pinggir jalan. Eits, jangan
salah paham, sebenarnya saya ngerampok hanya untuk
menyalurkan hobi kok. Bukan untuk membuat pemilik warung
hidup melarat. Karena seburuk-buruknya perampok adalah
perampok uang rakyat.
Saya adalah spesies makhluk hidup hasil dari kawin
silang antara Jokowi dan Dinosaurus, artinya, “Saya adalah
orang yang akan menjadi pemimpin di masa depan dan tidak
akan pernah melupakan sejarah.”
Oke. Itu bercanda. Kidding!!
Sebenarnya saya adalah anak yang dulu dilahirkan
secara paksa, karena ada sedikit masalah di kandungan Mama.
Menurut cerita dari seorang tetangga bernama Ibu Sri—yang
kebetulan waktu itu melihat proses kelahiran dari awal hingga
akhir—saya ini tua dalam kandungan. Jadi kebayang kan? Pas
saya lahir, udah kumisan gitu.
Oke, ini bercanda lagi…
Cerita sebenarnya begini, dahulu kala, di sebuah
kampung kecil di tengah hutan belantara. Tinggallah sepasang
suami-istri yang hidup penuh tawa dengan cinta mereka yang
gila. Berhari-hari, mereka menanti sosok buah hati yang akan
membawa harapan untuk masa depan yang lebih sejahtera.
Lebih lanjut, menambah koleksi mereka di rumah.

(Terjadi sebuah perbincangan di suatu sore)

“Pa, kalo anak kita laki-laki mau dikasih nama siapa?”


tanya Mama ke Bapak dengan nada lemah, sambil mengelus-
elus perutnya yang semakin membesar setiap harinya.

“Hem, kalo laki, Bapak kasih nama ‘Dhaji Surjana’. Biar


nanti di masa depan, anak kita ini bakalan jadi sarjana, Ma.”
Jawab Bapak dengan mantap, memperlihatkan rasa bangganya
pada jagoan kecilnya yang masih dalam perut itu.

“Kalo perempuan Pa?” Mama kembali bertanya.

“Siapa yah? Hem, kalo ‘Khindari Nara Tika’ gimana Ma?”

“Bagus Pa, emangnya artinya apa ya?”


“Gak ada artinya sih Ma, itu kan hanya plesetan dari
kata ‘hindari narkotika’, hehe.” Jawab Bapak sambil tertawa
memperlihatkan giginya yang sudah hilang satu.

“Hehe, lucu Pa. Semoga anak ini akan membawa


harapan untuk masa depan kita ya.” Mama tersenyum tulus.

Saya yang waktu itu mendengar perbincangan mereka


dari dalam perut, sangat khawatir sekali akan menjadi korban
ejekan teman-teman karena nama yang aneh itu. Mulai saat
itulah, saya memutuskan untuk tidak mau keluar dari perut
Mama hingga usia kandungan itu memasuki bulan ke-13.
Sempat juga terpikir untuk segera mengakhiri hidup
dalam kandungan dengan cara melilitkan usus Mama saya ke
leher. Namun hal itu urung saya lakukan, sebab dalam rahim
saya mendengar bisikan dari malaikat, “Jangan bro! Jangan
bunuh diri dulu! Di dunia, masih banyak hal yang bisa lo
lakukan, misal nyari gebetan atau gangguin istri orang.”
Bisikan itu akhirnya memberikan saya pencerahan. Menjadi
bahan renungan sepanjang waktu.
Waktu terus berlalu, hari berganti hari, bulan pun
datang bulan. Perut Mama saya terus memperlihatkan tanda-
tanda kebesaran Tuhan, sampai saat di mana semua mata
tetangga tertuju ke perut Mama saya.

“Bu Mince, kok belum melahirkan? Bukannya ini sudah


bulan ke-13 yah?” tanya Bu Sri memasang wajah keheranan.

“Iya nie Buu, saya sendiri juga heran. Kok belum keluar
juga yah? Berasa apa-apa juga enggak.” Jawab Mama tak kalah
heran.

“Coba periksa ke puskesmas aja Bu, takutnya ada


masalah dengan kandungan Ibu.” Bu Sri memberi saran.

“Maunya sih begitu, tapi gak punya duit Bu.”

“Oh kalo gitu, nanti saya panggilkan Mbah Sumi aja


gimana? Itu loh dukun beranak yang tinggal di kampung
sebelah. Untuk masalah ongkos Bu Mince tenang saja, aku
kenal baik sama si Mbah. Ntar saya urusi semua besok sore ya.”

“Wah, jadi gak enak nie Bu, merepotkan.”

“Ah, gak apa-apa kok, sudah semestinya kita saling


membantu.”
Keesokan harinya, sekitar pukul empat sore, Bu Sri
datang ke rumah membawa sesosok makhluk aneh,
mengerikan.

“Bu Sri, itu apa?” Mama kaget mendapati sosok


berjubah hitam dengan dandanan ala Ki Joko Bodo itu.

“Oh, ini yang namanya Mbah Sumi.”

“Eh, maap, maap, saya pikir tadi ... mmmm, mari-mari


duduk. Silahkan!” ucap Mama mempersilahkan mereka duduk.

“Oh ya Bu, gimana kandungannya, udah ada perubahan?”


tanya Bu Sri mencoba membuka obrolan.

“Belom ada apa-apa sih Bu. Gak berasa apa-apa nih,


nendang aja enggak.” Jawab Mama enteng.

“Hmmm, aneh juga ya. Bu Mince ngidam apa sih?”

“Ngidamnya kalo bisa dibilang agak aneh si Bu, saya


hanya gak suka ngeliat muka suami saya kalo tidur.”
“Loh, kok bisa Bu?” Bu Sri penasaran. Terpahat jelas
kerutan tiga belas di antara kedua alisnya.

“Muka suami saya jelek Buu.”

“Itu mah bukan ngidam Bu.”

“Hehehe, iya juga sih Bu. Oh ya, Ibu dan Mbah Sumi mau
minum apa? Biar saya siapin.”

“Aah, gak usah repot-repot Bu, yang ada aja.”

“Yang ada cuma air putih Bu. Ya udah, saya ambilkan


dulu ya.” Mama kontan berdiri kemudian berlari kecil ke arah
dapur. Bu Sri dan Mbah Sumi terdiam dan saling pandang
mendengar tawaran yang diiringi senyum tulus itu.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara gelas pecah


dari arah dapur. Sontak Bu Sri dan Mbah Sumi kaget, mereka
bergegas menuju tempat kejadian perkara, ‘alah’. Tiba-tiba
suasana berubah mencekam, suara teriakan Mama menggema
ke penjuru kampung waktu itu.
“Haduh, haduuh, tolong Bu! TOLOOONG!”

“Kenapa Bu? Kenapa?” tanya Bu Sri panik.

“Perut saya sakit …”

“Sepertinya bayinya ngamuk.”

“ADUH ... ADUH.” Teriak Mama makin keras.

“Gimana ini Mbah? Tolongin tetangga saya!” ujar Bu Sri


double triple panik.

“Hem hem hem.” Gumam Mbah Sumi tenang seraya


mengunyah daun sirih.

Bergegas Mbah Sumi mempersiapkan segala alat yang


diperlukan untuk menjalankan aksinya; mulai dari kembang
tujuh rupa, ayam jantan hitam, hingga gadget buat update
status, “Lagi ada pasien nih.”
Maap yang terakhir bercanda.
Saat itu, Mbah Sumi terlihat sangat berpengalaman,
tenang, dan tak banyak bicara. Diam namun menyegerakan
tindakan. Tidak seperti para pemimpin kita yang banyak bicara,
namun tak ada kerja nyata. Hem, semoga saja orang seperti
Mbah Sumi kelak bisa memimpin Indonesia.
Kenapa pembahasannya bisa jauh begini?
Ok, kita lanjut.
Mencoba menenangkan Mama saya yang merintih
kesakitan, Mbah Sumi dengan metode ala Uya Kuya mencoba
melancarkan aksinya. Untuk sebagian orang yang baru pertama
kali melihat aksi Mbah Sumi, pasti akan terheran-heran. Tapi
bagi orang kampung kami, menerapkan aksi hipnotis untuk
proses kelahiran yang tidak lazim seperti itu hal biasa. Sebagai
peringatan: “Jangan tiru adegan ini, karena hanya dilakukan
oleh dukun beranak yang professional.”

“Bu, tatap mata saya, tarik napas lewat hidung,


keluarkan lewat mulut. Sekali lagi, tarik napas lewat hidung
keluarkan lewat mulut. Saat Ibu melihat api, Ibu akan tertidur.”

Mbah Sumi menyalakan korek dan membakar bulu


ayam hitam yang dipegangnya. Bisa diduga, Mama pun tertidur.
Seperti itulah aksi Mbah Sumi dalam menangani kelahiran saya
waktu itu.
Saat Mama tertidur pulas, Mbah Sumi mencoba
mengajak saya ngobrol dari dalam perut. Sayang, saya juga ikut
tertidur. Hehehe.
“Ceritanya kok jadi aneh begini?”
Ok, cerita sebenarnya begini.
Saat Mama tertidur pulas, Mbah Sumi mencoba
melontarkan beberapa pertanyaan sebelum saya dikeluarkan
secara paksa dari dalam perut.
“Untuk bayi yang ada dalam perut, katakan apa yang
ingin Anda katakan, tapi jangan katakan yang tidak ingin Anda
katakan. Mengerti?”

“.....” saya diam.

“Ok, sekarang katakan! Kenapa sudah 13 bulan dalam


kandungan, Anda belum mau keluar juga?”

“.....” saya tetap diam.

Waktu itu, Mbah Sumi yang menangani Mama sempat


berputus asa. Entah kenapa kontak batin yang dia lakukan ke
saya tidak berfungsi dengan baik. Mungkin saja karena
mantranya salah. Yang jelas, kala itu saya memilih diam dalam
kandungan, ya kata orang “diam itu emas”. Saya berharap
ketika Mama melahirkan, yang keluar bukan saya, tapi emas
batangan. #orangkaya

Singkat cerita, Mbah Sumi nyaris habis kesabaran.


Lantas, dia langsung mengeluarkan keseluruhan tenaga
dalamnya untuk mengelurkan saya secara paksa. Cara terakhir
yang dia lakukan adalah dengan memberikan saya iming-iming.
Katanya kalo saya keluar sekarang, dia akan menjodohkan saya
sama Syahrini. #ulala

“Hem, kamu keluar sekarang! Kalo tidak keluar, saya


akan bakar Ibu kamu.” Sorak Mbah Sumi dengan nada
mengancam.

(Saya tendang perut Mama)


Duk! Artinya, saya gak takut.

“Belom mau juga? Ok, kalo gitu, bagaimana kalo Mbah


jodohkan kamu sama Syahrini?”
“Oe…oee…oeee...” tanpa berpikir panjang, saya
langsung keluar sendiri dari dalam perut Mama. Itulah ekspresi
bahagia yang mengudara waktu itu. Artinya? “Saya mau, saya
mauu, saya mauuu.”

Dengan perasaan bangga, Mbah Sumi mengangkat


tubuh saya dengan kedua tangannya macam baru
mendapatkan piala citra sebagai dukun beranak terbaik se-
Indonesia. Bu Sri tersenyum girang. Mama lalu pelan-pelan
membuka matanya setelah pengaruh hipnotis hilang dengan
sendirinya.

“Bu, itu anak saya?” tanya Mama setengah sadar sambil


menahan perih di daerah selangkangannya.

“Iya, Bu Mince.” Jawab Bu Sri dengan mata berkaca-kaca.


Mbah Sumi menyerahkan secara resmi tubuh saya yang waktu
itu masih berlumuran darah. Ia letakkan di dadanya, kemudian
dibalutnya dengan kain sarung punya Bapak.

Tak lama, Bapak datang dengan wajah seperti orang


habis kalah judi.
“Maa, Bapak pulang.” Teriak Bapak dari arah pintu
depan. Digantungnya senapan angin yang biasa dipakai untuk
berburu babi hutan. Beliau belum ‘ngeh', kalo di dapur sedang
terjadi hal yang mungkin tidak diduganya.

“Pak Dahlan, kami di sini, di dapuur. Cepat sini!” sorak


Bu Sri.

Bapak segera melangkahkan kakinya ke arah dapur;


melihat istrinya terbaring lemah di atas lantai.

“Kenapa ini Ma? Apa yang terjadi? Kenapa banyak


darah?” tanya Bapak cemas melihat keadaan istrinya.

“Lihat ini Pa. Jagoan kecil yang telah kaunantikan sejak


lama.”

“Anakku? Benarkah Ma?” reaksi Bapak seperti tidak


percaya.

Saat itu, hal yang dilakukan Bapak pertama kali adalah


menengok jenis kelamin saya. Entah sulit menduga apakah
kelamin jantan atau betina, alhasil Bapak memasang wajah
keheranan.

“Ma, kok kelaminnya GAK ADA?” tanya Bapak


mengerutkan dahinya. Heran.

“APAAAH?” semua orang kaget. Mbah Sumi dan Bu Sri


tanpa izin, pingsan.

“Masa sih Pak?” Mama saya pun ikut meneliti. Benar


saja, kelamin saya terlihat samar-samar. Hanya seperti
bongkahan upil yang menumpuk tidak beraturan. Sudah pasti
hal itu membuat semua orang keheranan. Bapak menduga kalo
saya adalah titisan dari dewa kelamin yang sengaja diciptakan
untuk menjadi pahlawan di tengah-tengah penyimpangan seks
anak remaja masa kini. Perihal kelamin ini pun sempat menjadi
bahan perbincangan orang-orang di kampung. Pernah juga
dinyatakan sebagai tujuh dari keajaiban dunia.
Bapak sebagai kepala rumah tangga dibuat kebingungan
menangkap keanehan yang terjadi. Urusan nama yang sejak
awal sudah disiapkan akhirnya dibatalkan. Dari hasil diskusinya
dengan Mama, Bapak mengambil kebijakan yang sudah
dipikirnya matang-matang. Tercetuslah nama “Arief” yang
artinya “bijaksana” sebagai jalan tengah, agar tidak terjadi
perdebatan panjang antara sepasang suami-istri yang lagi
dimabuk cinta itu. DAN, untuk menghargai kelamin yang ajaib,
Bapak akhirnya memanggil saya dengan julukan si ‘anu’.
Itulah awal mula lahirnya anak manusia yang akan
menjadi pemimpin di masa depan, yang akan berjuang
menaklukkan dunia, dan selalu peduli terhadap kebaikan
sesama.
Sahabat adalah segala-galanya, hanya sahabat yang tahu
benar bagaimana rasanya meremas indomie di akhir bulan
sambil menangis. Bagaimana rasanya mengerjakan tugas
dengan lembaran kertas berlapis-lapis. DAN, gimana rasanya
harus jauh dari keluarga, padahal kami tahu betul sosok Ibu
sangat dibutuhkan saat pulsa kami habis.
Dalam perjalanan menuju toga, saya punya dua orang
sahabat yang selalu menemani. Susah maupun senang, kami
selalu bersama. Saya yang susah, mereka yang senang. Seperti
itulah mereka. Kadang menyebalkan, kadang sangat
menyebalkan.
Sahabat pertama saya; Wano. Namanya harus saya
sederhanakan, susah ngetik nama asli dari orang asal Flores-
Nusa tenggara timur itu. Kan gak asik kalo saya harus terus-
terusan ngetik namanya yang aneh itu. Apalagi kita tahu sendiri
orang timur rata-rata namanya susah dieja. Kalo saya
contohkan dalam dialog, pasti jadinya kayak gini.

“Heh Anu, kaubayar sudah utang kau itu!” kata Igilius


Waryon Diaz.

“Saya belum ada uang ini kawan, sabarlah kau.”


Jawabku memelas.

“Kau stop tipu-tipu. Bayar sudah…!” teriak Igilius


Waryon Diaz sambil mengarahkan busur panah ke mukaku.

Mungkin kayak gitulah, ribet sekali pokoknya. Makanya


namanya saya sederhanakan menjadi ‘Wano’, biar gampang
ngetiknya. Setidaknya kalo saya sebut nama Wano, kuingat lagi
babi hutan peliharaan Bapak di rumah. Eh, maap No.
Sebenarnya tidak ada niat menghina. Justru bangga
punya sahabat seperti dia itu. Setidaknya Wano cukup
didamba-dambakan para wanita karena ketangguhannya dalam
bertarung. Mungkin, sudah tidak terhitung lawan yang telah dia
kalahkan, ratusan dosen killer sudah pernah dia buat tak
berdaya. Wano pernah bilang, “Kita ini banyak memiliki dosen
yang cerdas, pintar, dan terampil. Namun sayang, tidak banyak
dosen yang menginspirasi anak didiknya menjadi petarung-
petarung tangguh untuk menghadapi kehidupan yang lebih
nyata.” Dari situlah saya percaya, bahwa Wano memang benar-
benar petarung sejati.
Berikutnya...
Sahabat saya yang kedua; Maria, wanita berumur sekitar
20-an asal kota Makassar. Maria wanita yang tak bisa lepas dari
benda bernama buku. Ke mana-mana pasti bawa buku. Pagi
sibuk baca buku, siang sibuk nulis buku, sore dia habiskan
waktunya di perpus, bukan untuk baca buku, tapi mau ngerakit
bom buku. Buat pembimbing tugas akhirnya.
Maria tergolong mahasiswi jenius. Saking jeniusnya, dia
pernah melakukan sebuah penelitian tentang pengaruh limbah
industri terhadap tingginya angka pengangguran sarjana di
Indonesia, entah di mana hubungannya. Maria hanya bilang,
“Bahwa sarjana yang menganggur merupakan limbah dari
sistem pendidikan yang salah, dan harus mendapat perhatian
lebih dari pemerintah. Jika tidak, maka sarjana-sarjana itu
patut untuk didaur ulang.”
Kalo saya sendiri, mahasiswa rantau dari sebuah desa
kecil bernama Tondo di kota Palu-Sulawesi tengah. Bagi yang
belum tahu, desa Tondo itu terkenal dengan daerah penghasil
boyband terbaik di dunia. DAN, yang buat saya bangga,
boyband asal desa saya ini sudah diekspor ke berbagai negara
di Asia untuk dijadikan tenaga kerja Indonesia. Di antaranya:
Malaisya, Cina, dan juga Madura. Bukan hanya itu, kota Palu
terkenal dengan kekayaan alamnya yang luar biasa. Salah
satunya tambang emas. Jadi orang-orang kaya di kampung
saya, rumahnya tidak dibangun menggunakan batu bata,
beratap seng, dan berlantai keramik. Tapi menggunakan emas
batangan, beratap permata, dan lantainya berlapis mutiara.
Tetap, untuk perekatnya kami masih menggunakan lem nasi.
Yang jelas, kami bertiga ini berasal dari Indonesia Timur,
tempatnya orang-orang yang tak kenal kata mundur. Bukan
mereka yang suka tidur, karena kami butuh makan meskipun
hanya semangkok bubur.
Saat malam datang, kami masih suka meriang,
maklumlah kami bukan orang yang suka bersenang-senang.
Kami tahu harus bekerja keras untuk mendapatkan uang, agar
di hari esok menjadi seorang pemenang.
Wano. Rambutnya keriting. Bukan berarti dia sinting,
apalagi terus-terusan dianggap miring. Dia itu hanya laki-laki
tangguh yang sore suka nyari kepiting, dan malam suka buat
kliping kumpulan foto-foto seksi Ayu Ting-Ting.
Maria kulitnya cukup hitam. Wajahnya lumayan seram,
namun di hatinya, tersimpan kekuatan besar dari alam yang
membuatnya terus maju terbebas dari kehidupan yang kelam.
Inilah jeritan dari timur. Ungkapan hati dari orang-orang
yang kurang mujur, tapi tetap bekerja keras dan selalu jujur
agar hidup kami terus berjalan menuju makmur.
Merekalah sahabatku, yang saling merangkul untuk
mendapatkan sebuah benda pusaka peninggalan kerajaan
zaman dulu bernama ‘TOGA’. Tentunya tidak mudah bagi kami
bertiga untuk menemukan benda tersebut. “Karena di setiap
usaha, selalu saja ada masalah. Namun kami meyakini, di
setiap masalah selalu saja ada hadiah.”

Awal semester pertama, saya dan Wano tinggal di


sebuah kontrakan yang sama. Namun, baru beberapa bulan
bersama, kami berpisah karena ada perbedaan prinsip. Pisah
ranjang.
Masalah terjadi ketika Pak Ono (pemilik kontrakan)
datang menagih uang bulanan. Wano yang mempunyai indera
dengar yang baik—ketika mendengar bunyi langkah Pak Ono
menuju kamar kontrakan—langsung bergegas melemparkan
bom asap ke tanah. Dia menghilang seketika. Ternyata Wano
adalah seorang ninja.
Tok-tok.
“Assalamualaikum.” Suara salam terdengar dari arah
pintu kosan.

“Waalaikumussalam, eh Pak Ono. Mari masuk!” jawabku


menyapa pak Ono dengan senyuman yang agak dipaksakan.

“Dek, ada yang harus kita bicarakan, dan ini masalah


penting.” Air muka Pak Ono kelihatan lebih dari se-rius. Saya
hanya mengangguk dan men-set wajah tegang, persis orang
yang sedang nahan kentut.

“Kamu tahu sendiri, ini sudah masuk bulan ketiga.


Belum sekalipun kamu pernah membayar, mau sampai kapan?
Apakah kamu mau menunggu bantuan dana dari pemerintah,
hah?” ucap Pak Ono tegas.

Saya makin tegang, sepertinya si kentut sudah mau


keluar. “Maap Pak, saya tahu saya salah. Tapi sumpah, demi
dewa-dewi penghuni kontrakan, saya belum punya uang Pak,”
jelasku memohon.
“Stop tipu-tipu. Sudah tiga bulan kaununggak. Habis
kesabaranku.” Teriak Pak Ono. Kepalan tangan itu dengan
cepat menghantam permukaan meja. Praakk! Saya tersenyum.
Syukurlah bunyi kentut saya tidak kedengaran, tertutupi bunyi
keras dari pukulan meja. Lega.

“Anuu mohon Pak, berikan kesempatan terakhir.”

“OKE. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa Pak?”

“Buatkan saya seribu candi, dan candi itu harus selesai


dalam satu malam!“

“....” Hening. Tiba-tiba Pak Ono berubah jadi Roro


Jonggrang. Ia mengusir saya dengan jurus seribu bayangan.

Itulah sedikit cerita perih yang membuat saya tidak lagi


satu kontrakan dengan Wano. Kata pisah yang sudah terucap,
terlanjur menciptakan jarak yang buat kami sering merasakan
yang namanya rindu. Kalo sudah begitu, setiap kali mau tidur
kukirimi dia pesan.

Noo, jika jarak ini menyiksamu.


Izinkan belaianku menghapus
rindumu...

Lalu Wano balas.

Nuu, setiap malam ku menjerit,


dalam kamarku yang sempit,
terpendam rasa yang teramat
pahit... 

Aku tahu, aku salah. Aku tahu


keputusanku membuatmu terluka.
Namun ingatlah, meskipun sudah
tak tinggal di bawah satu atap, kita
tetap tinggal dalam satu hati… 
Nuu kamu harus tahu. Kadang
dalam gelap, ku tetap terlelap.
Satu hal yang kurang sedap
ialah wajahmu yang tak sempat
kulihat saat mentari pagi mulai
menatap.

Mungkin ini ujian dari Tuhan buat


cinta kita, Noo. Tetap Sabar
yah... Jarak hanyalah garis
pemisah, sedangkan cinta kita tak
akan mungkin bisa terbelah.

Iya Nuu. SMS-nya sudah dulu


ya. Saya mau cebok duluu‟

Nanti Hape-nya basah ni. Daa...

“.....”
Setiap kali ada waktu luang, saya buka dan baca kembali
SMS yang setiap saat saya kirimi ke dia. Paling tidak bisa
mengurangi rasa rindu di hati. Kadang saya merenung sejenak
sambil menatap SMS itu. Hanya ada satu pertanyaan terlintas
di pikiran.

“Apa mungkin saya …?”


Hem.

Cerita berbeda datang dari Maria.


Sahabat saya yang satu ini tinggal di rumah orang tuanya
dengan kehidupan super mewah. Maklum orang tuanya adalah
pemilik saham perkebunan kelapa sawit di daerah Sulawesi
Barat. Meskipun sudah mendapatkan kehidupan yang enak,
tidak membentuk Maria menjadi anak manja yang suka
belanja. Bahkan Maria ingin sekali mandiri, daripada harus
tinggal di sebuah istana namun tidak mendapatkan kasih
sayang dari keluarganya sendiri.
Maria seringkali menjadikan saya tempat curhatnya, dan
beberapa kali membahas masalahnya dengan kedua orang
tuanya di rumah. Yang masih saya ingat, Maria pernah berkata
kalo tinggal di rumah orang tuanya itu membuat kreatifitasnya
terbatasi. Sebab, orang tua Maria adalah tipe yang tegas. Suka
melarang Maria melakukan hal-hal yang menurutnya sama
sekali tidak ada hubungannya dengan keinginan mereka
berdua. Yah, yang saya tahu orang tua Maria itu sangat
mengharapkan kelak Maria bakal menjadi sarjana teknik
industri, mengikuti jejak orang tuanya. Walaupun orang tua
Maria cukup keras, sepertinya Maria cukup acuh dan memilih
menghindari hal-hal yang berhubungan dengan dunia industri.

“Nu, kamu tahu kan, saya sangat mencintai sastra. Tapi


kenapa orang tua selalu melarang saya melakukan semua hal
yang saya cintai sih?”

“Sabar Maria, mungkin orang tuamu menganggap itu


yang terbaik buat masa depanmu.”

“Tapi saya lelah Nu. Capek kalo harus terus mendengar


Bunda saya berteriak, jangan menulis buku! Kamu gak bakal
jadi penulis.”
“Cup...cup...cup, kacian anak Bunda. Sini sini, Anuu
peluk.” Kataku mencari kesempatan. Saat melihat Maria
menangis di pundak, saya hanya bisa terdiam. Berdoa dalam
hati semoga Ibunda Maria bisa mengerti dan mengubah
pandangnya terhadap kecerdasan dan pendidikan. Aamiin.

Di kampus, saya adalah seorang mahasiswa yang suka


marah dan gak mau ngalah. Suka melanggar aturan namun
benci sama tawuran. Itu sebabnya setiap kali dosen marah,
“Kamu kenapa terlambat?”

“Loh? Saya tidak lambat, Bapak saja yang terlalu cepat.”


*ditonjok

Sementara Wano, diberi julukan sang pemberontak


kampus. Sering berontak kalo WC umum penuh.

“Wooi buka pintunya! Saya sudah gak tahan!” pas


kebuka, ternyata di dalamnya ada Pak Direktur.
*kabur
Lain lagi dengan Maria; tipe mahasiswa yang aktif
bertanya kalo lagi nerima materi. Atau lebih dikenal dengan
sebutan mahasiswa kepo. Kalo di kelas, pasti hanya Maria yang
pertama kali bertanya, padahal kuliah baru saja dimulai, hem.

“Pak, saya mau bertanya?”

“Iya, silahkan Maria!”

“Pak, kuliahnya kapan selesai ya?”

“.....”
*dilempar granat

Bisa dibilang kami bertiga adalah mahasiswa yang paling


dicari-cari—WANTED. Sampe di majalah dinding, pintu wc,
hingga tiang-tiang listrik tertempel selebaran-selebaran yang
bertuliskan ‘buronan dosen’ terus di bawahnya ada foto kami
bertiga lagi telanjang dada. Hina sekali.
Nakal, brutal, banyak akal adalah gambaran nyata dari
kami bertiga. Musuh bebuyutan kami, namanya Pak Idam,
maap nama harus saya samarkan, takutnya dia gak mau baca
tulisan di buku ini, hohoho.
Pak Idam adalah dosen statistik, yang kalo marah
mukanya kayak angry bird.
Tuing! Penghapus papan melayang.
Jebreet! Kursi meja melayang.
Duaar! Kami bertiga melayang.
Sadis.

Dari waktu ke waktu, kami semakin resah dengan


kelakuan dosen yang satu itu. Sampai suatu hari, kami
membentuk suatu organisasi dan mengadakan rapat Munas-
Papeto (musyawarah nasional-para pendamba toga) yang
pertama kali diadakan di dunia. Diketuai oleh saya sendiri,
sekretaris ; Maria, dan Wano bendaharanya. Awalnya, saya
kurang yakin dengan jabatannya itu, melihat mukanya yang
mirip seorang koruptor.
Di rapat yang dihadiri sekitar 60-an mahasiswa sakit jiwa
itu. Kami mengangkat satu tema besar, dengan judul ‘Dosenku,
Menghambat Lulusku’. Tema itu didasari oleh rasa sakit hati
kami karena selalu dimahatirikan oleh dosen kandung kami
sendiri. Seperti sebuah ungkapan, ‘Sejahat-jahatnya Ibu tiri,
lebih jahat lagi dosen kami’.
Setelah lama berdiskusi untuk mendapatkan solusi,
diambillah sebuah kesimpulan bahwa organisasi ini melahirkan
seperangkat perjanjian yang dikenal hingga ke penjuru dunia
dengan sebutan ‘GELI’ (GErakan Luluskan mahasiswa
Indonesia), tagline-nya “Ah, Mas ... geli.”
Nantinya, gerakan ini akan mengajak seluruh mahasiswa
Indonesia untuk turun tangan dalam melunasi janji
kemerdekaan bangsa. Seperti yang tertera dalam UUD 1945,
“... memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ...”
Tentunya berdasarkan TRIHAMA perguruan tinggi yang
akan kami usulkan ke pemerintah demi keadilan para
pendamba toga.

ISI TRIHAMA (Tiga Harapan Mahasiswa)


1. Berikan beasiswa, cinta dan toga
2. Musnahkan dosen killer
3. Turunkan harga kontrakan

Keliatan seperti lima? Bodo amat. Namanya juga


mahasiswa. Banyak maunya. Ribet pokoknya.
Oke kita lanjut.
Sebagai mahasiswa pemimpin ‘Gerakan Luluskan
mahasiswa Indonesia’—yang akan melibatkan ratusan juta
lebih mahasiswa sakit jiwa di seluruh Indonesia ini—penting
bagi saya mendesak pemerintah untuk mewujudkan mimpi-
mimpi para pendamba toga tersebut.
Kebijakan-kebijakan sudah kami susun sedemikan rupa,
dengan berbagai pertimbangan yang sangat matang. Walaupun
cenderung memaksa, itu atas dasar kecintaan kami terhadap
dunia pendidikan di Indonesia. Maka, saya mengajak kepada
seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari
penjual bawang sampai penjual tempe, dari yang tinggal di
lubang sampai yang rumahnya gede, untuk ikut dalam ‘Gerakan
Luluskan mahasiswa Indonesia’ guna melunasi janji
kemerdekaan Indonesia. Gerakan yang akan sangat
menentukan, apakah janji kemerdekaan ini bisa kami raih
ataukah hanya akan meninggalkan pedih.

Mari turun tangan bersama-sama! Untuk mewujudkan


mimpi-mimpi para pendamba toga.
HIDUP MAHASISWI...!
AKAN JADI ORANG SEPERTI APA SAYA NANTI?
Pertanyaan itu terbersit ketika saya membaca sebuah
tulisan di koran pembungkus nasi kuning yang sedang saya
pegang waktu itu. Ada sebuah kutipan yang mengatakan
bahwa banyak sekali sarjana di Indonesia yang bekerja tidak
sesuai dengan jurusannya, sumpah. Tragis ya. Ketika semua
sarjana dengan bangga memperlihatkan gelar, kebanyakan
dari mereka malah kesasar.
Apa mungkin ini karena salah memilih jurusan? Bergegas
saya ke musala dan berdoa agar mendapat sebuah jawaban,
“Ya Allah, jadikan hamba ini orang yang lebih menghargai toga.
Aamiin.” *Tiba tiba jadi alim.
Saya pernah berbincang di suatu sore yang cerah, di
mana saat itu burung-burung beterbangan kayak layangan, dan
layangan beterbangan kayak burungan (saya ngomong apa sih
ini?). Duduk berdua dengan Maria sambil makan bakso di
warung Kang Anca (penjual bakso keliling yang suka dansa).
Kami berbincang perihal tujuan kuliah di jurusan kami saat ini,
manajemen dan teknik industri.

“EH, Maria kuliah di sini enak gak?”

“Biasa aja Nuu, sepertinya lebih enak makan bakso.”


Jawab Maria sambil mengunyah.

“Hehe, bisa aja, emangnya ada masalah ya?”

“Rumit kalo harus diceritain. Dari dulu, sebenarnya saya


pengen mendalami sastra. Karena Bunda lebih suka kalo saya
mendalami ilmu industry, mau gimana lagi. Sekarang saya
berada di kampus ini dan ketemu dengan makhluk aneh
sepertimu.”

“Wah, jangan-jangan kita jodoh Mar.


*Kontan saya disiram kuah
Hem, Karena gak mau memperpanjang masalah,
akhirnya saya mencari alasan untuk pergi.

“Maria saya pulang dulu yah, ada urusan mendadak nie.


Ayam saya di kos belum dikasih makan, kasian si Jambul udah
kelaperan.” Lalu saya berjalan ke arah Kang Anca.

“Kang, baksonya dibayar Mbak itu yah.” Kataku sambil


nunjuk Maria diam-diam, kemudian melangkah pergi bagaikan
ditelan bumi.

Di jalan pulang, saya teringat nasehat Bapak. “Dalam


hidup terkadang hanya ada dua pilihan, diatur atau mengatur.
Jalani hidup sesuai aturan Tuhan, dan ajak orang lain untuk
ikut dalam aturan tersebut.”
Melihat banyak orang yang salah dengan pilihannya atau
terpaksa mengikuti pilihan orang lain, sebagai orang yang
peduli, saya hanya bisa mendoakan agar mereka segera
kembali ke jalan yang lurus. Satu lagi, pada akhirnya kita
sendirilah yang akan bertanggung jawab atas pilihan kita.
*kesambet ustad.
Secara pribadi, tak ada masalah dengan jurusan yang
saya ambil saat ini. Dari dulu, saya memang berkeinginan
menjadi seorang pengusaha sukses di masa depan. Itu
sebabnya, saya wajib mempelajari hal-hal yang berhubungan
dengan dunia industri.
Saya tidak begitu mengerti apakah masalah salah
memilih jurusan ini berkaitan erat dengan yang namanya
passion atau memang sudah suratan takdir. Teman-teman saya
juga kalo ditanya jawabannya gak pernah bener, contohnya
Wano.
“Noo, passion kau apa sih?”

“Passion saya, mencari passion.” Itulah jawaban polos


dari seorang Wano.

Passion itu kan identik dengan bakat, nah bakat saya


adalah mencari-cari kesalahan orang lain. Pernah suatu hari di
salah satu mall di Makassar, ada peramal yang bilang kalo saya
bakal jadi dosen killer di masa depan.

“Nama kamu Arief ya?” tanya seorang peramal gaul


yang sering nongkrong di mall-mall.

“Iya Mbah. Jadi karir masa depan saya gimana Mbah?”


“Hem hem hem, SURAM! Mbah melihat kamu akan mati
mengenaskan.” Jawab si peramal dengan pandangan tajam
sambil menatap bola kristal.

“Kenapa Mbah, kenapaah?”


Sumpah saya takut.

“Akan tiba saatnya, semua mahasiswa yang hidupnya


menderita—karena IPK-nya kamu rendahin, laporannya kamu
revisi terus, judul TA-nya tidak kamu terima-terima, selalu
kamu buat begadang dengan tugas, hingga telat lulus dan
toganya gak jadi dijahit-jahit—akan MEMBALAS KAMU.
WAHAHA...WAHAHA...WAHAHAHA.”

“.....” Saya menganga. Bola kristal itu spontan saya


angkat dengan kedua tangan, lalu saya masukkan ke dalam
mulut peramal yang sedang tertawa di atas penderitaan orang
lain.

“Nie rasain!” terus saya berlari keluar mall seraya


berteriak mirip di sinetron-sinetron. “TUHAN, Anu gak mau jadi
doseeeeen.”
Prakk! Saya nabrak Pak Satpam. Kami bertatapan. Saling
suka, terus jadian.

Katanya, setelah lulus kuliah, harusnya kita bekerja


sesuai dengan jurusan. Kalo gak sesuai bidang jurusan, kita
bakal dianggap buang-buang waktu, tenaga, pikiran, materi,
bahkan upil, iyah sih, saya memang suka ngupil kalo di kelas.
Namun apa jadinya jika sudah kuliah bertahun-tahun, setelah
wisuda malah nganggur? Tentu gak mau dong. Kecuali ada anak
orang kaya yang mau ngelamar kita setelahnya. Setidaknya itu
bisa sedikit mengobati luka di dada.
Sebelum saya memutuskan menulis buku, saya aktip
nulis di blog. Saya pernah menulis ‘Renungan untuk Mahasiswa
Salah Jurusan’. Gara-gara postingan ini, saya hampir masuk
penjara karena dituduh melakukan pencemaran nama baik
mahasiswa di seluruh Indonesia. Meskipun banyak yang tidak
terima, sebenarnya postingan itu berdasarkan fakta yang
berkolaborasi dengan logika ngawur saya. Kurang lebih seperti
inilah postingannya:
Hallo-hallo para pendamba toga yang ada di penjuru

dunia, baik yang suka berselancar di dunia maya maupun yang

suka nonton videonya Ariel dan Luna Maya. Bagaimana kabar

kalian? Pasti baik kan? Tentunya dengan segala kelebihan dan

kekurangan kalian hari ini. Sudah pasti, kelebihan semester

dan kekurangan IPK. Hina sekali.

Oh yah, hari ini saya sebagai pengamat para sarjana

gagal—yang ada di dunia nyata maupun dunia gaib—akan

membagi sedikit pengetahuan kepada ade-ade yang belum

tahu apa-apa tentang kerasnya hidup menjadi para pendamba

toga. Ini tentang „akibat salah jurusan‟. Sebelum membaca,

saya sarankan untuk ambil wudhu terlebih dahulu, agar pikiran

bersih dan hati suci. Okeh, sudah?

Kita mulai saja pembahasannya.

Perlu ade-ade ketahui, hidup ini terlalu singkat untuk

menguji keberuntungan, mengukur kemampuan, bahkan

sekedar ikut-ikut teman. Maka diperlukan kecerdasan untuk

mempelajari kesalahan-kesalahan orang-orang terdahulu.

Untuk itu, marilah sejenak tundukkan kepala kalian seraya

membaca renungan di bawah ini:

 Saat mahasiswa hukum salah jurusan, mereka bakal

masuk penjara. Akhirnya pergi sewa pengacara.


 Saat mahasiswa ekonomi salah jurusan, mereka gak bisa

punya duit. Akhirnya ngemis di pinggir jalan.

 Saat mahasiswa mesin salah jurusan, mereka gak tahu

cara nyalain motornya yang mogok. Akhirnya motornya

didorong sendirian ke bengkel pinggir jalan.

 Saat mahasiswa pembangunan salah jurusan, mereka gak

bisa bangun kost-kostan. Akhirnya pergi mikul batu bata

pesanan orang.

 Saat mahasiswa kedokteran salah jurusan, mereka salah

minum obat. Akhirnya dilarikan ke rumah sakit dengan

ambulans.

 Saat mahasiswa pertanian salah jurusan, mereka gak tahu

cara macul. Akhirnya nangis di tengah hutan yang gundul.

 Saat mahasiswa peternakan salah jurusan, mereka gak

tahu cara merawat ayam. Akhirnya rejekinya dipatok

ayam.

 Saat mahasiswa bahasa Inggris salah jurusan, mereka

hanya tahunya no, yes dan oh my god. Akhirnya gak jadi di

lamar bule‟.

 Saat mahasiswa llmu politik salah jurusan, mereka sering

tidur di kelas. Akhirnya sering tidur juga saat rapat di

DPR.
 Saat mahasiswa kepolisian salah jurusan, mereka sering

kena tilang. Akhirnya sering nyetor duit ke kepolisian.

 Saat mahasiswa pangan salah jurusan, mereka lebih

sering makan indomie, akhirnya mati karena kekurangan

gizi.

 Saat mahasiswa psikologi salah jurusan, mereka bakal

kena gangguan jiwa. Akhirnya berteman sama orang-orang

gila.

 Saat mahasiswa lingkungan salah jurusan, mereka sering

buang sampah sembarangan. Akhirnya banyak dari mereka

yang jadi pemulung.

 Saat mahasiswa matematika salah jurusan, mereka sulit

hafal rumus. Akhirnya saat ujian keluar sesuatu dari anus.

 Saat mahasiswa manajemen salah jurusan, mereka sering

telat ngampus, namun cepat pulang. Akhirnya mereka lama

banget lulus.

 Saat mahasiswa agama salah jurusan, mereka gak bisa

ngaji. Akhirnya kalo dengar suara azan, mereka suka

bilang nanti, nanti, dan nanti.

 Saat mahasiswa olahraga salah jurusan, badannya gak

sispek, akhirnya malah kayak triplek.


 Saat mahasiswa teknologi salah jurusan, mereka gaptek,

bau ketek, muka penuh becek. Akhirnya masa depan

suram kayak softek.

Wohoho, tragis saat melihat para mahasiswa itu

menangis. Mereka menganggap tulisan ini sangat sadis. Namun

mengertilah, saya adalah orang yang sangat humoris. Sekian

renungan kali ini.

Ok ok, mungkin beberapa dari kalian gak suka sama


postingan saya waktu itu. Tapi, di buku ini saya mau
meluruskan masalah di atas. Sebenarnya saya menulis
postingan itu dalam keadaan tidak sadarkan diri. Jadi, kalo ada
yang merasa tersinggung, cobalah periksa isi hati kalian!
“Apakah saya termasuk mahasiswa-mahasiswa yang salah
jurusan atau tidak?”
Jika iya, “Cepatlah kembali ke jalan yang lurus!”
Eh maap, saya memang orangnya suka sekali mencari
kesalahan orang lain. Karena ketika kesalahan itu saya
umumkan, pastinya banyak sekali para pendamba toga di luar
sana yang bisa mengambil hikmah dari para terdahulunya.
Semoga generasi berikutnya tersadar akan dampak buruk yang
akan terjadi, saat salah mengambil jurusan. Oalah, kok saya jadi
sok bijak gini yah?
Oh ya, saya pernah mendengar seorang pengangguran
sukses berpendapat begini di bukunya: “Sebenarnya apa yang
kita pelajari di bangku kuliah itu, semuanya bisa digunakan di
dunia kerja. Kalo hitungan mate-matisnya, sekitar 75% bisa kita
gunakan di dunia kerja. Asal ... ‘kerjanya jadi dosen’. 25% -nya
lagi .... jadi asisten dosen.” Sial.
Percaya gak percaya.
Sebenarnya banyak mahasiswa di luar sana yang salah
dalam memilih jurusan, namun benar dalam mengambil
keputusan. Membuat mereka sukses tanpa gelar. Intinya,
semuanya harus diawali dengan doa, lalu diteruskan dengan
usaha. Seperti sebuah nasehat, Tuhan tidak akan mengubah
nasib seorang mahasiswa, jika bukan mahasiswa tersebut yang
mengubahnya. Jadi? Berjuanglah, jika jurusan yang saya jalani
sekarang membuat salah arah. Saya tetap percaya bahwa
semua akan berakhir indah, asal kita tidak mudah menyerah.
Masih ingat gak?
Kerasnya teriakan senior? Rasanya kena hukuman dari
senior? Dibuat malu sama senior? Yang laki rambutnya
dibotakin, yang cewek rambutnya dipitain. Yang lari dari
kodrat; rambutnya dibotakin, trus ditempelin pita.

“YAH OSPEK ....”

Sampai detik ini, saya belum mengerti apa hubungannya


penyiksaan di kegiatan ospek dengan kesuksesan seseorang.
Emangnya pernah ada orang sukses ditanya, “Bang, kau sukses
banget ya, ngomong-ngomong kunci suksesnya apa?”

“Oh itu, dulu Abang pernah disuruh push-up 50x sama


senior.”
“Hubungannya apa Bang?”

“Sekarang Abang paham, bahwa hidup itu naik-turun.


Kadang kita di atas, kadang di bawah, seperti push-up Dek.”

“…..” hening. Saya bingung di mana nyambungnya.

OSPEK. Panitia bilang ini bertujuan untuk mengenalkan


kampus kepada mahasiswa baru, tapi saya merasa kegiatan ini
bertujuan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa
bagaimana kehidupan di neraka.
Dinilai sebagai harapan untuk menanamkan sejak awal
rasa cinta mahasiswa baru kepada kampus, seperti itulah
kalimat Pudir III dalam sambutannya untuk mahasiswa baru
waktu itu. Awalnya kami semua setuju, tapi setelah tiga hari
tersiksa, bukan rasa cinta yang tumbuh, tapi rasa benci karena
keseringan di-bully dan dianggap babu.
OSPEK, hanyalah praktek balas dendam yang di
dalamnya dipenuhi napsu setan, yang mencoba merampas hak
asasi mahasiswa yang masih ingin hidup penuh kasih sayang.
Bukan jadi korban pelampiasan senior yang berlagak seram
kayak penjajah Belanda. Emangnya kalian mau ditusuk sama
bambu runcing? Ha?
Sabar-sabar!
Kalo membahas mengenai OSPEK, memang saya suka
emosian orangnya. Maklum dulu saya adalah salah satu korban
yang selamat dari keganasan ospek. Sempat dievakuasi karena
mati suri beberapa hari. Benar-benar tragis, semoga ke depan
ospek segera mendapatkan fatwa haram dari MUI (Mahasiswa
Ulama Indonesia) karena dianggap dapat merusak moral para
pendamba toga. *Alah.

Selain salat Subuh, OSPEK juga mengharuskan


mahasiswa baru bangun sepagi mungkin. Hal ini benar-benar
menyebalkan, apalagi saya termasuk anak muda yang sulit
disuruh tidur. Dan ketika sudah tidur, sayalah orang yang paling
sulit disuruh bangun. Hidup memang rumit.
Saya ingat sekali waktu itu, hari pertama ke kampus
dengan rambut botak, compeng dikalungin, pake papan nama
pula, lengkap dengan atribut aneh lainnya, seperti topi kerucut
yang bisa mengeluarkan kelinci. Entah apa maksud atribut aneh
itu, mungkin panitia beranggapan biar peserta terlihat kompak
seperti personil Jkt48. Kenapa tidak sekalian suruh saya cukur
bulu kaki saja, biar paha saya mulus kayak Nabilah.
Nasib sial menghampiri saya di hari pertama ospek, saya
terlambat. Baru juga sampai di gerbang kampus, saya sudah
dihadang oleh salah satu Kaka senior yang mengaku panitia
ospek. Ternyata ospek juga tidak bisa terhindar dari praktek-
praktek curang seperti ini.

“Hey, kamu kenapa terlambat?” teriak senior


memasang muka sangar.

“.....”

“Kenapa diam? Jawab!”

“.....”

“Push-up!” dia teriak pake TOA.

“Ba-baik Kak.” Lalu saya push-up dengan dua jari dengan


senior saya duduk di atas. Saya memang jago kungfu, okeh ini
bercanda.
Setelah hukuman pertama berakhir, saya digiring masuk
ke ruang aula. Di sana, saya melihat wajah-wajah mahasiswa
baru yang masih unyu-unyu-nya. Tak jarang saya duduk sambil
lirik-lirik manja dengan peserta ospek yang lain. Berharap ada
yang terpesona dengan ketampanan saya waktu itu. Tapi
sayang, jangankan ngajak kenalan, menyapa saya dengan
senyuman juga enggak. Mungkin mereka jijik ngeliat muka saya
yang mirip bulu ketek gajah.
Di hari pertama OSPEK, tidak banyak hal yang istimewa.
Kegiatan ospek hanya diisi dengan kegiatan pengenalan
kampus. Hal ini mengacu pada tujuan ospek itu sendiri, yakni
membantu mahasiswa mengenali seluk-beluk kampusnya.
Misal, fasilitas yang disediakan, organisasi mahasiswa, dan yang
paling penting; password wi-fi yang ada di kampus.

Besoknya…
Kembali ke kampus, dan lagi-lagi saya terlambat.
Terlambat memang sudah jadi kebiasaan buat saya. Sebab
filosofi yang saya anut, “Lebih baik terlambat asal cepat,
daripada cepat tapi terlambat.” Bingung? Samma, saya juga.
*Suka-suka Uya mode on.
Hukuman lagi-lagi tak dapat dihindarkan. Lagi, saya
dengar teriakan yang sama, dari orang yang sama.

“Heh, kamu kenapa terlambat lagi?”


“Maap kak, tadi nolongin nenek-nenek ketabrak becak
di jalan.”

“Kau stop tipu-tipu, cepat push-up!”

“Kak, tidak ada hukuman lainkah? Kenapa harus push-up


terus.”

“Kamu mau hukuman yang enak? Baiklah. Sekarang


kamu pergi ke Kakak yang lagi duduk itu.Tanyain ke dia, Kak
kapan lulus?” perintah Kaka senior.

“Gitu doang Kak? Ini mah gampang.” Lalu saya berjalan


ke arah Kaka yang dimaksud.

“Maap Kak, boleh nanya?”

“Ya kenapa?” jawab Kaka itu ramah.

“Kakak kapan diwisuda?”

“.....” saya malah ditonjok. Terakhir saya tahu, bahwa


Kakak itu adalah mahasiswa paling tua di kampus. Kejadian itu
membuat saya mengerti bahwa pertanyaan kapan lulus bagi
mahasiswa yang sudah uzur merupakan bentuk penghinaan.
Meskipun saya tahu mereka sudah hina, tapi kita tetep harus
menghormatinya.
#Catet.

Masih di hari yang sama. Kami para peserta disuruh


berkumpul di lapangan. Panitia OSPEK membuat suatu games
di tengah cuaca kota yang sangat panas, sungguh panas.
Matahari saat itu membuat ketek saya sedikit bekerja lebih
keras. Bisa dilihat dari pakaian yang mengeluarkan air saat
diperas.

“Panas yaa bro.”

“.....” kataku kepada peserta yang berdiri di sampingku.


Saya gak tau namanya sapa, hanya mencoba akrab ke semua
orang. Tapi gak disangka orang itu langsung pingsan. Mungkin
dia gak nahan dengan cuaca yang panas hari itu, atau bisa jadi
bau badan saya telah menghentikan detak jantungnya,
entahlah.
Sebenarnya saya ingin sekali punya kenalan, namun
entah kenapa semua orang menjauhi saya. Padahal untuk
ukuran anak muda umur tujuh belas tahun waktu itu, saya
lumayan tampan, walaupun belum mapan.
Mencoba mencari teman wanita, setidaknya yang mau
diajak kenalan, mata saya liar melirik peserta yang lain,
tentunya wanita dengan kriteria tertentu. Jika harus jujur,
sebenarnya saya lebih suka wanita yang pipisnya jongkok,
karena bagi saya itu lebih anggun daripada sambil berdiri,
apalagi angkat kaki satu.
Tak dinyana, Tuhan mengabulkan doa saya hari itu. Di
pinggir lapangan, muncul seorang wanita kriteria idaman:
cantik, seksi, putih dan yang paling penting lubang hidungnya
ada dua. Sudah pasti langsung saya jadikan dia target.
Meskipun awalnya saya sedikit ragu. Yah, melihat dari
pengalaman saya berkenalan dengan wanita memang selalu
gagal, keburu ditampar duluan. Sebabnya sudah pasti, saya
terlalu agresif di depan mereka. Belum apa-apa, udah nanya,
“Mbak, nanti kalo nikah, mau punya anak berapa?”
*ditampar
Okeh, saya janji sama diri sendiri hal itu gak boleh
terulang kembali. Lagian untuk apa saya hidup jika harus
mengulang kesalahan yang sama, dan untuk apa melakukan
kesalahan yang sama jika hal itu terus menyakiti hati seorang
wanita. Eaaa, eaaa.
Belajar dari kisah di sinetron-sinetron, bagaimana
dengan mudahnya sang cowok kenalan dengan cewek hanya
dengan modal tabrakan, tentunya hal itu bisa saya jadikan
pedoman. Saya dekati wanita tersebut, dan pura-pura tidak
melihat. Bisa diduga, kami berdua bertabrakan, dan? Kepala
wanita tersebut kebentur tiang gawang terus lupa ingatan,
okeh ini lebai.

“Aduh, kalo jalan pake mata donk.”

“Maap Mbak, bukannya jalan itu pake kaki yah?”

“Makan nie!”

“.....”
*Disodok topi kerucut.

Memasuki hari ketiga, di salah satu agenda, kami para


peserta disuruh menyimpulkan materi di hari sebelumnya.
Untuk hal ini saya menyerah, jujur saja dari hari pertama
sampai hari terakhir tak sedikitpun materi itu masuk ke kepala.
Lagian semua materi OSPEK itu sangat membosankan.
Seandainya ada materi tentang cinta, kegiatan ospek akan
berasa lebih hidup, karena tujuan utama mahasiswa kuliah
adalah untuk mendapatkan mahasiswi, simple.
Kuliah memang sederhana. Kalo bukan sibuk dengan
urusan cinta, mahasiswa akan lebih sibuk berselancar di dunia
maya. Sudah pastilah karena maen facebook dan twitter itu
lebih asik daripada mendengarkan dosen berceramah di depan
kelas.

“Okeh, semua tugasnya dikumpul.” Teriak Kakak Tatip.


Itu loh panitia yang mukanya kayak pentungan satpam
kompleks.
Saya melihat peserta yang lain maju ke depan untuk
mengumpulkan secarik kertas yang berisi simpulan materi
ospek. Sedangkan kertas saya, masih putih bersih seperti
wajahnya Syahrini.

“Heh kamu? Kenapa gak ngumpul?” seru Kakak Tatib.


Saya hanya diam pasrah. Kakak Tatib itu mendekat dan
merampas kertas yang ada di genggaman saya.

“Sini! Coba saya lihat. Lho, kok kosong?”


“A-anu kak, pulpen saya hilang. Jadi gak bisa nulis,”
jawab saya nyari aman.

“Alasan, sekarang kamu maju ke depan!”

“Mau ngapain Kak?”

“Cepat MAJU!” sorak Kak Tatib, membuat mata peserta


lain tertuju pada satu titik. Sudah pasti saya sangat malu. Saya
belum terbiasa menjadi pusat perhatian. Apalagi dipermalukan
di depan umum seperti itu, rasanya ingin sekali menjitak kepala
Kak Tatib. Tapi takut, dibalas dengan tendangan halilintar.
Berdiri di hadapan ratusan orang itu tidak mudah, saya
hanya bisa menundukkan kepala dan menulikan telinga dari
makian panitia ospek. Sesekali terdengar teriakan kejam dari
salah satu panitia.

“Sudah, bakar saja burungnya! Mau jadi mahasiswa kok


malas nulis tugas.”

Saya hanya diam, lesu. Dalam hati berbisik, jika ospek ini
sudah berakhir, saya akan dedikasikan hidup untuk jadi panita
ospek tahun depan. Siapa tahu, ada ade kelas yang kejebak di
hati, alah.
Tidak lama, seorang panitia memberi saya mic.
“Sekarang perkenalkan dirimu ke teman-teman yang lain!”

“Ba-baik Kak. Selamat siang.

“Siaaang.” Jawab semua peserta, serentak.

“Nama saya Arief, biasa dipanggil Anuu. Itu karena kata


Bapak, wajah saya mirip anuu. (Semua orang masang muka
jijik). Berasal dari kota Palu, Sulawesi tengah. Saya datang ke
Makassar tentunya untuk kuliah, dan untuk mencari benda
pusaka bernama toga, (semua orang nganga). Satu lagi, saya
mahasiswa yang sedang berjuang untuk mendapatkan cinta
seorang mahasiswi.” (Woooo) semua orang berteriak.
Kemudian saya balik nanya ke panitia ospek, “Trus apa Kak?”

“Sekarang kamu nyanyi!” perintah Kak Tatip membuat


saya gemetar. Hampir saja ngompol di celana, beruntung hari
itu saya pake pembalut. Loh??

Kalo melihat dari sejarah hidup saya, tidak ada satu pun
penghargaan yang saya dapatkan di bidang tarik suara. Terakhir
kali saya nyanyi waktu SMP di acara sunatan massal, hal itu
membuat teriakan ade-ade yang bakal disunat semakin keras
terdengar.
Karena tidak ingin berlama-lama menahan kemaluan
(baca: rasa malu), kreatifitas saya mulai bekerja. Saya berpikir,
daripada semua orang tahu suara saya mirip kentutnya
harimau, lebih baik pura-pura kesurupan. Cuman itu yang
terpikirkan di kepala. Tidak menunggu waktu lama, saya pun
mulai kejang-kejang, diikuti mata melotot, dan ditutup dengan
bunyi kentut, puuut.
(Tiba tiba suasana menjadi panik)

“Heh, kenapa nie bocah?” teriak salah satu panitia.

“Tolongin donk, tolongin!” seorang panitia mulai panik.

Suasana makin ricuh saat cewek-cewek abege ikut


berteriak ketakutan, “Aaaaa”. Ketupat (Ketua Panitia) mencoba
menenangkan para peserta ospek.

“Tenang! Tenang! Ini hal biasa, harap tenang!” sorai


ketupat pake TOA, sementara saya masih terus melakukan aksi
kesurupan.

“Aaaa. Aaaa. Eaaa. Berikan saya togaaa. Aaaaa...”


“Ya ampun, nie bocah kesurupan arwah mahasiswa yang
terobsesi toga. Jangan-jangan, ini arwah dari mahasiswa yang
kemarin bunuh diri karena gak jadi-jadi diwisuda?” kata
ketupat panik.

“APAAA?” teriak semua orang yang ada di situ.

“Udah-udah angkat saja, kita bawah ke rumah sakit.”


Usul salah satu panitia.

“Dasar bodoh, emang ini kena struk.” Semprot ketupat.

“Gimana panggil dukun saja,” sambung panitia yang lain.

“Gak boleh, itu dosa kata Pa Ustad.”

“Trus diapain nie bocah?”

“Udah buang ke laut saja. Siapa tau aja setannya gak


bisa berenang.” Saran panitia Tatib.

“.....” *semua orang menganga

Seperti itulah percakapan para senior yang berhasil saya


kelabui. Akhirnya saya dibawa ke sebuah ruangan dan
diistirahatkan di sana. Hari itu pun berakhir dengan indah, tak
ada hukuman, yang ada hanya senyuman. Ospek-pun berakhir
dengan kenangan terukir.
Sebenarnya masih banyak hal tentang ospek yang ingin
saya ceritakan, namun saya takut buku ini bakal tebel banget
kayak kumisnya Pak Raden. Saya hanya berharap, semoga ke
depan budaya menghukum seperti itu dihilangkan sajalah,
diganti dengan kegiatan yang lebih memotivasi peserta ospek
untuk belajar. Kalo perlu undang Om Mario Teguh untuk
memberikan motivasi agar peserta ospek tersemangati untuk
berprestasi.
Sebagai orang yang telah mengalami kejadian buruk
dengan ospek, alangkah baiknya peserta ospek diberi ilmu
pengetahuan yang cukup tentang minat dan bakat mereka.
Serta, penanaman karakter para pembesar dalam diri peserta,
agar anak muda seperti kami lebih menghargai proses dalam
perjalanan menuju toga. Ok, salam super.
“TOLOOOONG, TOLONG...!”
Terdengar teriakan keras dari belakang gudang
penyimpanan barang-barang yang sudah tidak digunakan di
kampus. Saya melihat seorang pemuda yang mukanya tidak
begitu jelas, badannya kekar dan rambutnya mirip sarang
tawon berlari kencang ke arah saya yang lagi asik duduk santai
di taman.

“Heh kau tolongin saya.” Kata pemuda itu tergagap.


Terlihat segerombolan pasukan anak muda berlari tak kalah
kencang dari arah yang sama. Mereka memegang senjata
tajam, mulai dari golok, keris, hingga jarum pentul. Sangat jelas
terlihat dari kejauhan wajah ganas mereka. Kalau saya
gambarkan, seperti Bapak kos yang mengamuk akibat saya
udah nunggak bertahun-tahun.

“Woy jangan lari, SINI KAU BENCONG.” Teriak


segerombolan anak muda itu. Mendengar teriakan, pemuda itu
kembali mengambil posisi start dengan gaya pelari profesional.
Dia bungkukkan badannya, lalu kepala mengarah ke depan
dengan sangat jantan, sedangkan posisi kaki kanan di belakang
dan kaki kiri di depan. Sedangkan saya bersiap mengambil alih
untuk memberi aba-aba.

“Satu duaa tigaaa! Lariii...!”

Dengan kecepatan tinggi, pemuda berpenampilan


preman itu melesat jauh tak terkendali dan menghilang begitu
saja meninggalkan jauh lawannya. Tidak lama, satu per satu
segerombolan anak muda itu pun menyusul, saya merasa
melihat adegan kayak di film-film aksi; di mana ada seorang
pemuda berbadan kekar sedang dikejar-kejar bencong yang
baru datang bulan.
Saya bengong melihat apa yang barusan terjadi, hanya
jejak kaki yang tertinggal. Keadaan lagi-lagi sepi. Saya kembali
duduk dan menarik napas panjang sembari berdoa agar tidak
ada kejadian aneh lagi yang mengganggu waktu santai saya di
taman. Pandangan saya seketika berhenti melihat sebuah buku
yang tertutupi debu tergeletak di tanah. Saya langkahkan kaki
dan meraih buku bersampul berwarna pink itu.
Ini buku apaan? Sampulnya ajah pink, pasti buku cewek.
Kalo cowok? Mungkin dia homo. Atau buku ini milik salah satu
pemuda yang main kejar-kejaran tadi? tanyaku dalam hati
mencoba menduga-duga pemilik dari buku berwarna pink itu.
Saya kembali duduk di tempat semula dengan beribu
pertanyaan tentang hak kepemilikan buku bersampul pink
polos itu. Tanpa berpikir panjang, saya buka perlahan. Baru
buka sampulnya, kejutan pun datang. Ada fotonya Bang Haji
Rhoma Irama di lembar pertama, jelas saya kaget ngeliat bulu
dadanya yang banyak kayak tugas kuliah.
Rasa penasaran saya berlanjut, lembaran kedua saya
buka. Dan kejutan kedua nongol. Kembali sebuah foto saya
temukan. Yang jelas bukan fotonya Bang Rhoma, apalagi
anaknya, karena bulu dada mereka sama-sama mengerikan
kayak muka dosen killer, eh maap Bang.
Setelah memperhatikan baik-baik wajah yang ada di foto
, ternyata buku itu milik pria yang tadi dikejar-kejar sama
segerombolan pasukan anak muda tadi. Kini kepergiannya dan
kehadiran buku ini makin membuatku bertanya-tanya.
“Siapa pemuda itu?”

“Ke mana dia pergi?”

“Kapan dia kembali?”

“Di mana dia tinggal?”

“Apa benar dia homo?”

Cerita barusan adalah kisah yang terjadi ketika saya


masih menjadi mahasiswa baru. Buku pink itu awal perjumpaan
saya dengan pemuda bernama Wano yang sekarang menjadi
sahabatku. Awalnya, saya gak nyangka Wano yang saya kenal
sekarang ternyata pemilik buku bersampul pink waktu itu. Ah,
tapi sudahlah, berkat nomer handphone yang tertera di
bukunya, saya bisa bertemu dia.

“Hei, ini buku kamu kan?”

“Oh iyah, makasih ya. Saya sempat stres kehilangan


buku diary ini. Makasih, makasih.” Kata Wano kegirangan.
“.....” Saya masang muka jijik.

“Oh iyah, saya Wano, kamu siapa?”

“Saya Arief, tapi lebih sering dipanggil Anu.” Kami


berjabat tangan. Wano menggenggam tangan saya erat seraya
tersenyum. Saya membalas senyum itu. Kami berdua saling
bertatapan dan mengedipkan mata. Kalo saya ingat kejadian
yang menggelikan itu, saya benar-benar curiga. Jangan-jangan
saya juga dulu hom ... Ah sudahlah.
Itu di awal semester. Sekarang siapa yang tak kenal
Wano? Darah kriminal dalam dirinya sudah mendarah daging.
Dari zaman jahiliyah sampe zamannya para alay berhasil
menguasai planet bumi seperti sekarang ini, orang sudah
mengenalnya karena ketangguhannya dalam bertarung.
Sekarang lawan terberatnya hanya ada tiga: pertama
Pak Idam; dosen yang telah merendahkan harga dirinya di
depan wanita yang dia cintai; kedua, masa depan yang tak
pernah terlihat jelas di matanya; ketiga, harga tiket konsernya
Bang Rhoma yang makin hari makin melonjak naik. Namun
jangan juluki dia petarung sejati, kalo dia tidak punya nyali.
Orang ini memang mengerikan, saat akhir bulan dia bisa
berubah menjadi sosok menakutkan karena ukuran kolornya
terlalu besar.
Kira-kira awal tahun 2013, saat itu saya dan Wano
sedang asyik ngobrol di depan kelas (biasalah anak cowok suka
ngobrolin trend celana dalam gitu). Kadang, lagi asik-asik
bercanda, tenggorokan suka berasa haus. Namun apa daya,
saya hanyalah anak dari keluarga miskin. Jangankan beli
minum, makan saja kadang harus mengais-ngais tumpukan
sampah. Sedangkan Wano, seorang anak yang gak pernah jelas
asal-usul keluarganya. Yah, menurut cerita yang beredar dari
mulut ke mulut, ia adalah anak dari keturunan dewa sabun;
semacam kepercayaan yang menyembah sabun gitulah. Jadi
jangan heran kalo Wano suka berlama-lama di kamar mandi,
mungkin dia sedang beribadah.
Dengan latar belakang keluarga seperti itu, sudah
pastilah hidup saya dan Wano setiap harinya tidak jauh-jauh
dari yang namanya kematian. Tapi kami percaya, kerasnya
hidup membuat kami berdua terdidik menjadi anak muda yang
tumbuh sebagai sosok tangguh, berani, mandiri. Meskipun saat
ini sedikit brutal, yah, kami sebut ini ‘the power of brutal’.
Haus tak dapat ditahan lagi, hal itu membuat kreatifitas
kami sebagai anak nakal berjalan dengan baik. Semacam
mendapat petunjuk dari setan, Wano mendapat ide brilian
ketika melihat Pak Idam berjalan ke arah kami. Ahaa.
“Kenapa kau Noo?”

“Saya ada idee.”

“Apaan?” tanyaku penasaran.

“Udah, kau duduk manis di sini. Lihat aksiku kali ini.”


Jawab Wano mantap.

Riang gembira, Wano berjalan ke arah Pak Idam. Waktu


itu, saya hanya melihat aksi yang dijalani manusia yang diberi
julukan ‘pembrontak kampus’ itu dari kejauhan. Ada perasaan
was-was sebab tahu bahwa ini adalah perjumpaan dua sejoli
yang dulunya mesra, namun akhirnya berpisah karena prinsip
hidup yang berbeda. Sempat khawatir, terlebih saya paham Pak
Idam tidak menyukai anak yang satu itu. Maklumlah, Wano
adalah anak yang suka buat ulah di kampus. Kasus paling
mengerikan yang pernah dia lakukan; pernah memasukkan
granat ke dalam kolornya Pak Idam. Benar-benar kejadian yang
mengerikan.
Tidak lama, Wano datang membawa segenggam
harapan buat perut kami hari itu.

“Kenapa kau senyum-senyum?” tanya saya ke Wano.


“Liat nie, apa yang saya bawa!” sambil menunjukkan
sesuatu yang dia selipin di balik bajunya.

“Buset, gila kau. Gimana ceritanya?” saya penasaran.

“Karena saya lagi baik hari ini, saya bakalan bagi sama
kau triknya, tapi ingat jangan kaupraktekkan saat bulan puasa!”

“Emang kenapa?”

“Ntar puasamu batal bego.”

“Eh? Iya-iya.”

“Bagus, jadi ceritanya gini. Waktu tadi ketemu Pak Idam,


saya masang tampang sedih gitu. Trus, saya bilang sama Pak
Idam kalo saya ingin berubah, saya ingin jadi anak baik-baik
mulai dari sekarang. Intinya, saya minta maaf sama dia atas
semua kesalahan yang saya lakuin tempo hari. Gak tahu
kenapa, Pak Idam percaya gitu aja. Biar keliatan bersungguh-
sungguh, saya salim ajah tangannya, lalu saya peluk erat-erat.
Diem-diem, saya ambil dompetnya. Dan lihatlah! Dompetnya
ada di tangan saya sekarang. Ahaha.”
“.....”

“Kenapa bengong? Ayok, beli minum!”


“Ta-tapi ... itu uang haram No.”

“Ah, jangan sok suci kauu. Nanti kita sumbangkan dua


puluh lima persen buat anak yatim dari hasil copet ini, biar
dosa kita dihapuskan.”

“.....”

Yah, seperti itulah Wano. Kadang ada untungnya saya


berteman ama orang kayak dia, selain bisa menjadi bodyguard.
Dia juga bisa saya suruh buat ngerampok kios, hanya untuk
ngambil mie instan dua bungkus saat akhir bulan. Hidup ini
memang mengharuskan kita untuk berusaha ya, inilah the
power of brutal. Menjadi nakal itu indah saat keadaan
mengharuskan. #Prinsipsesat
Selain bersahabat dengan Wano dan Maria, saya punya
satu sahabat lagi; namanya Asul’aji. Asul’aji ini orangnya suka
ngaji, kalo kuliah dia suka pake peci, tak jarang pake sarung
punya Pak Haji.
Asul’aji bukan mahasiswa biasa, selain suka ngaji, dia
juga sangat mandiri. Buktinya, saat ngampus dia suka bawa
gerobak bubur. Jam istrahat, dia suka berkeliling kampus untuk
jualan buburnya itu. Katanya, uangnya mau dipake buat naik
haji, sungguh mulia sekali.
Anak ini terlalu terobsesi dengan sinetron ‘Tukang Bubur
Naik Haji’, dia versi mahasiswanya. Saya selalu mendoakan dia
agar cita-citanya pergi ke tanah suci itu bisa tercapai. Paling
tidak saat dia pulang dari ibadah haji, dia bisa membawa
gantungan kunci.
Saya dan Asul’aji punya agenda tersendiri saat malam
mingguan. Kami suka pergi ke warkop buat nyari hiburan.
Kadang pergi berdua menjadi pilihan daripada harus galau
karena tidak ada pasangan. Sebenarnya kami tak serendah itu.
Saya punya cukup banyak deretan mantan yang saat ini sudah
tertanam dalam kenangan. Sementara Asul’aji, lebih memilih
sendiri karena berprinsip, “Saya tidak akan mencintai wanita,
jika tujuannya bukan untuk menikah.”
Hingga kini, memang belum ada yang mau diajak nikah
sama dia. Kasian sekali. Gimana ada yang mau diajak nikah,
belum punya pacar aja dia sudah niat poligami.

“Bro lagi di mana? Jalan yuk ke warkop!” kataku lewat


SMS. Setelah beberapa menit, hape saya bergetar; nada dering
lagu Jkt48 judulnya begadang. Bagi yang belum tahu, Jkt48
pernah duet sama Bang Aji dulu waktu bulu dada Bang Aji tidak
selebat sekarang.

Saya buka dan baca SMS-nya. Sedikit kaget karena yang


dia kirim bukan SMS, tapi ayat kursi. Mungkin Asul’aji berpikir,
saya adalah setan yang lagi menyamar buat ngajakin dia ke
seminar MLM (Multi Level Marketing); mendengarkan janji-
janji surga yang bisa membuat kaya bermodal pangku-pangku
kaki.
Karena SMS saya gak dibales, saya putuskan untuk
menelponnya. Lagi-agi saya kaget, RBT-nya bukan sesuatu yang
asing di telinga saya, “Jamaah, ooh jamaah alhamdu ... lilah.”

“Haloow.” Suara di ujung telepon.

“Woi, mau ke warkop gak?” tanyaku ke Asul’ aji.

“Boleh, tapi nunggu sebentar ya, ana mandi dulu.”

“Okey. Saya tunggu.”

“Okeh bro.”

“Sukron.”

Setelah hampir sejam saya menunggu, terdengar dari


kejauhan suara knalpot motornya Asul’aji. Cukup mudah
mengenali suara motornya yang mirip suara kentutnya Pak Haji
itu. Lagian motor seperti itu tinggal satu-satunya di dunia.
Untuk tambahan ilmu pengetahuan, motornya Asul’aji itu
keluaran tahun 70-an, yang kalo di-starter bisa buat betis kekar
kayak Agung Hercules. Tapi tetap keren karena di dopnya
banyak menempel stiker bergambar kepala unta dan kutipan
firman Tuhan. Yang lebih keren lagi, motornya dia beri nama,
Fatimah.

“Hee apa kabar loh?” tanyaku ramah.

“Baik lah. Udah jangan banyak omong, ayok naek!”


tanpa basa-basi lagi, saya naiki Fatimah dengan firasat bahwa ia
pasti berteriak sebab tak sanggup menerima beban dari dua
orang pria yang punya otot pantat yang lumayan keras. Sabar
yah Imah.

Setelah sampai di warkop, Fatimah kami parkir di


parkiran khusus motor tua (emang ada?). Biar gak kemalingan,
kami gembok rantainya dan kami tempelkan sebuah kertas di
lampunya bertuliskan, “Masih nyicil. Tolong jangan dicuri.
Orang yang punya motor ini juga lagi jomblo, tolong hargai
perasaannya.” Tulisan itu dibuat dengan harapan agar para
maling iba pada kami berdua.
Kemudian kami berdua masuk. Di ambang pintu, ada
mbak-mbak cantik menggunakan rok mini melempar
senyumannya pada kami berdua. Dengan ramah, dia menyapa
“Selamat datang Mas, silahkan duduk!”
Kami hanya mengangguk pelan dan menyungging
senyuman yang dipaksakan. Karena? Jijik ngeliat betisnya ada
bekas luka knalpot, mungkin dia cabe-cabean.

“Mau pesan apa Mas?” tanya si Mbak sambil melihat


mata saya dalam-dalam.

“Kopi susunya aja Mba satu. Susunya jangan kebanyakan


ya, ntar saya mabok.” Jawabku sembari melihat roknya dalam-
dalam.

“Oh iya Mas. Kalau Mas yang ini mau pesan kopi juga?”
tanya Mbak itu ke Asul’aji.

“Iya sama. Tapi jangan pake air biasa Mbak, kalau bisa
pake air zam-zam.

“.....” Hening sejenak. Dan saya melihat mbaknya


menarik napas panjang kemudian kembali bertanya.

“Mau pake susu juga?”

“Gak usah, saya maunya pake kurma.”


“.....” Mbak tadi langsung sesak dan dibawa ke rumah
sakit terdekat. Okeh, ini bercanda.

Tidak lama, pesanan kami pun datang. Dengan muka


keheranan, Asul membidik asap yang keluar dari kopinya.
Mungkin dia berpikir, dalam segelas kopi tersebut ada yang lagi
ngerokok, makanya keluar asep.

“Sul, cara mengaduk kopi yang bener gimana sih?


Diputar ke kanan atau ke kiri?” tanya saya ke Asul.

“Ke arah kiblat bro.” Jawab Asul singkat.

“Emang kenapa?”

“Biar sesuai syariat Islam.”

“Oooo.”

Seperti biasa, gak lengkap rasanya ke warkop kalau tidak


memanfaatkan wi-fi gratis. Ya, sebagai mahasiswa kreatif (kere
tetap aktif) pastinya sangat asyik berselancar di dunia maya.
Ingat yah! Dunia maya, bukan di badan Luna Maya, saya bukan
Ariel.
Sebagai anak muda, tentu penting buat saya
mengetahui berita-berita terkini yang lagi hangat
diperbincangkan. Pastinya, saya gak boleh ketinggalan
informasi penting yang bisa menambah wawasan, ini wajib.
Saat itu, di youtube lagi heboh-hebohnya tayangan tentang
depat capres di tahun 2014 kemarin. Sebenarnya saya
bukanlah orang yang ngerti politik, bahkan gak suka sama sekali
dengan politik. Namun dunia politik selalu saja menggelitik,
mungkin karena di dalamnya banyak kasus yang membuat
rakyat terusik, alah.
Ngomongin debat capres kemarin, tentunya masing-
masing orang punya jagoan. Kalo saya sendiri bersikap netral
waktu itu, gak memihak ke nomor satu ataupun dua. Karena
bagi saya pilihan yang tepat itu adalah pilihan yang didasari
oleh rasa cinta. Dan saya cintanya sama kamu, I lop u. Alah.
Maap-maap penyakit gombal saya lagi kambuh.
Sebenarnya waktu ngeliat video debat capres kemarin
itu, saya agak risih ngeliat setiap tahunnya masyarakat kita
pada heboh ngeributin para capres yang bakal memimpin
Indonesia. Lagi-lagi, kita terlalu disibukkan dengan hal-hal yang
gak penting seperti itu. Apalagi saat itu, tiap pendukung di
masing-masing kubu sudah saling menjelek-jelekkan.
Pendukung nomor satu bilang, “Jelek loe.” Pendukung nomor
dua membalas, “Eh, loe yang kurang cakep.” Padahal saat saya
ngelihat foto profil mereka di akun pribadi masing-masing, gak
ada tuh yang cakep. Malahan muka mereka mirip upilnya
Presiden.
Melihat hal itu, saya hanya bisa berdoa semoga
pemimpin kita yang sekarang bisa amanah menjalankan tugas-
tugasnya. Setiap kebijakan yang diambil bisa memudahkan para
mahasiswa untuk segera diwisuda. Walaupun saya tidak begitu
berharap banyak, karena kata Asul’aji, “Berharaplah hanya
kepada Tuhan yang Maha Esa, bukan kepada pemimpin yang
suka foya-foya.” Asik. Dan kalo mau mengeluarkan pendapat,
sebenarnya saya tidak suka berdebat tentang ‘Siapa pemimpin
negaramu, namun lebih suka berdiskusi mengenai ‘Dengan
siapa kamu berguru’. Sebab, saya yakin semua pemimpin di
negara ini pernah berguru dengan seorang guru. Itulah yang
membuat guru sangat mulia, karena darinya lahir para calon
pemimpin bangsa, lahir para generasi yang akan menciptakan
sejarah, dan lahir para anak muda yang mempunyai karakter
ksatria.
Tidak terasa malam semakin larut, layaknya dunia
malam, pengunjung datang silih berganti. Cuman kami berdua
yang tetap fokus dengan aktifitas malam itu. Lagi asik-asiknya
berselancar di dunia maya, tiba-tiba saya mendengar langkah
mendekat. Seorang pria berjaket kulit lengkap dengan kumis
tebal datang ke meja kami. Dia melemparkan sebungkus
rokok. Saya kaget, takut diperkosa saat itu, karena merasa
muka orang itu mirip dengan tersangka pencabulan anak di
bawah umur yang sering wara-wiri di tipi-tipi.

“Gak ngerokok Om,” kataku polos.

“Yang nawarin rokok siapa?” jawab om-om berkumis itu.

“Oh, kirain Om lemparin kami rokok mau nawarin.”

“Rokok sekarang mahal t-o-l-o-l, saya ngelempar itu biar


keliatan keren kayak di film-film coboy.”

“Om penggemarnya Coboy Junior?”

“Ngapain juga saya ngefans sama mereka. Mending saya


ngefans sama Super Junior.” Ujar om-om itu, seraya
menganggukkan kepalanya, seakan memperlihatkan rasa
bangganya terhadap boyband asal Madura tersebut.
“Lalu Om sebenarnya datang kemari mau ngapain?”

“Saya mau nawarin kalian sesuatu? Mau? Nih!” sambil


memperlihatkan sekantong kecil obat-obatan gak jelas.

“Ini apaan Om?”

“Ini namanya pil ekstasi.”

“Loh kok mirip obat mencret?”

“Dasar tolol, ini barang mahal tau!”

“Trus ini buat apaan?”

“Kalau kalian mau mencoba ini, kalian akan merasa


seperti di surga.” Jelas om-om itu memasang tampang iblis.

“Sul, kau mau gak?” tanyaku ke Asul.


Asul menggeleng.
Saya bingung melihat Om itu terus melemparkan
rayuannya biar mau nyobain burungnya, eh maksud saya
barangnya, pil itu.
“Om, ini berapa harganya?”

“Harganya 250 ribu sebiji.”


“Gila, mahal banget! Itu mah uang jajan saya setahun
Om.”
“Mau masuk surga gak?”

“Om, mendingan masuk neraka sekalian deh daripada


harus kesiksa di dunia karena kehabisan uang jajan.” Om tadi
pun langsung over-dosis ngedengar perkataan saya.
Emang dunia malam rada aneh, kalo gak kuat-kuat
nahan iman, bakal terjerumus ke dalam godaan setan.

Malam semakin larut, dan saya udah ngantuk berat. Tapi


Asul masih tak peduli dengan rasa ngantuk saya waktu itu.

“Sul, lagi ngapain sih? Asik banget kau dari tadi.”

“Ini bro lagi download.” Jawab Asul singkat.

“Download terus dari tadi, sebanyak apa sih video Ustad


Nur maulana yang kau download?”

“Udah bukan video ceramah bro.”

“Trus apaan?”
“Nie lagi download videonya tukang kerupuk naik haji.”

“Tukang bubur b-e-g-o.”

“Buburnya udah habis, sekarang jualan kerupuk.”

“Terserah kau deh. Ayok pulang!”

“Ok ok, tapi selesain ini dulu ya. Nanggung nie.”

“Iya iya.”

Setelah Asul selesai, kami pun pulang. Dalam perjalanan


menuju ke kos masing-masing, kami dan Fatimah dihadang
empat orang pemuda bertato. Mereka berpakaian hitam-hitam
dan berambut gondrong. Hampir mirip seperti personilnya
Metalicca, tapi yang ini versi orang timur.

“WOII, TURUN KAU! Serahkan semua barang bawaan


KAU?” teriak salah seorang dari mereka.
Empat pemuda itu mencoba merampas barang bawaan
kami. Satu-satunya barang yang ingin saya serahkan waktu itu
adalah Fatimah, tapi itu kan bukan motor saya. Mau saya kasih
tapi berasa kasihan, apalagi yang punya masih jomblo. Pasti ini
merupakan keputusan yang sangat kejam yang pernah saya
lakuin selama hidup.
Di tengah pergulatan yang seru, saya jatuh ke tanah.
Badan saya habis diinjak-injak empat pemuda itu. Namun
dengan tenaga yang tersisa, saya mencoba mempertahankan
tas yang di dalemnya ada laptop berisi kumpulan video Jkt48.
Saya masih pengen nonton, berat bagi saya kehilangan paha
mulusnya Nabilah.
Saya masih terguling ke sana kemari di atas tanah sambil
memeluk erat tas yang coba dirampas; sedangkan Asul’aji tak
tersentuh sedikitpun di atas motornya. Dia hanya terlihat
comat-camit gak jelas. Mungkin dia lagi ngebaca ayat kursi.
Sepertinya lagi-lagi, dia mengira empat orang itu adalah setan
yang lagi menyamar menjadi perampok. Tapi, hebat juga tu
anak sampai gak kesentuh gitu. Apa dia punya ilmu hitam ya?
Bodoh amat dah.

“Tolongin saya WOI!” teriak saya keras ke Asul. Spontan


Asul berbisik ke Fatimah seperti memerintahkan sesuatu. Saya
berpikir waktu itu mereka bakal melakukan sesuatu yang
hebat. Di khayalan saya, Fatimah bakal berubah menjadi robot
seperti film transformer gitulah. Yang menjadi pembeda kalau
di transformer, mobil berubah menjadi robot. Tapi kali ini,
rongsokan berubah menjadi robot. Namun ternyata yang saya
harapkan tidak terjadi, Asul malah nyalain motornya terus lari.
Terlalu tega untuk sebuah kejadian yang dapat berakhir dengan
sebuah kematian.

“Ampun … ampun, Bang.”

“Sini tas kau!”

“Tapi Bang ....”

“SINI!!”

“Tapi saya masih mau nonton Bang.”

“Nonton apa’an, hah?”

“Video Jkt48 Bang.”

“Sumpeh loh? Mau dong, mau mau!”

“Ya, abangnya ngondek.”


Setelah tahu bahwa dalam laptop itu banyak video
Jkt48, ke-4 pemuda itu malah makin ganas. Sepertinya mereka
juga ngefans berat sama Jkt48. Itu sebabnya mereka malah
makin gila dan terlalu bersemangat untuk mendapatkan isi tas
saya.
Saya hanya bisa minta tolong. Sayang, tak seorang pun
yang mendengar teriakan saya, karena tempat kejadian
memang sangatlah sepi. Pada akhirnya, tenaga saya tak
sanggup lagi melawan. Saya hanya pasrah setelah salah satu
dari pemuda itu menjepitkan golok tepat di bagian
selangkangan. Mampus.

“Cepat berikan atau saya sunat dua kali?”

“Ba-baik Bang, ampun Bang. Nih.” Kataku pasrah.

“Nah gitu donk, kan saya juga bisa nonton.” Si


penjambret itu nyengir.

Mereka pergi dan saya ditinggal terkapar di tengah jalan


tanpa terluka sedikitpun. Hanya saja, pakaian saya sobek akibat
cakar-cakaran sama empat pemuda itu. Alhamdulillah, saya
selamat dengan wajah yang masih tampan. Satu lagi, hape yang
ada di kantong celana gak mereka ambil, yeah.
Diam-diam, saya ikuti empat pemuda itu dari belakang,
beruntung mereka belum terlalu jauh. Waktu itu, saya melihat
mereka berjalan masuk ke sebuah lorong sempit dan berhenti
di rumah berwarna putih tanpa lampu teras di depannya. Dari
kejauhan, saya mengamati gerak-gerik mereka sambil menekan
tuts hp buat manggil Wano.

“Hallo Noo, ini saya Anuu. Kau di mana?”

“Kenapa? Saya lagi nongkrong sama teman-teman di


flyover nie.” Jawab Wano.

“Saya mau minta tolong, saya barusan dijambret.”

“APAA? Kau di mana sekarang? Saya bakal ke situ, saya


gak terima sahabatku diapa-apain!”

“Hmmm, di Jl. Sunu. Nanti kalau ada lorong kecil di kiri


jalan, kau masuk di situ. Tepat di ujung, ada rumah putih tanpa
bohlam di terasnya, di situ markas mereka.”

“APAAA...?”

“Apa sih teriak-teriak!”

“Biar dramatis.”

“.....”
“Udah kau tenang, saya ke sana sekarang. Sekalian saya
bawa rombongan.” Kata Wano.

“Oke-oke, jangan lupa bawa gorengan.”

“Apa sih?”

“Eh maap, maap.”

Sambil menunggu bala bantuan, saya juga memutuskan


untuk menghubungi Asul’aji. Biar bagaimanapun juga, saya
membutuhkan doanya malam itu. Dan cara termudah untuk
memanggil Asul adalah dengan membacakan surah Al-Fatihah,
ini salah satu cara terkeren yang pernah saya gunakan. Saya
tidak tau kenapa anak yang satu ini begitu ajaib, mungkin dia
adalah salah satu orang yang dimuliakan di muka bumi ini,
sehingga hubungannya dengan Tuhan sudah sangat peka. Itu
benar-benar terjadi, setelah saya membacakan surah Al-
Fatihah, suara Fatimah menggema dari kejauhan, sungguh
ajaib.
“Dari mana ajah kau, kau pengen saya mati apa?” kataku
ke Asul’aji kesal.

“Maap bro, beneran saya takut banget tadi.”


“Bencong loh.”

“Maap-maap, gak bakalan saya ulangi lagi deh.”

“Ok ok, sekarang kau jangan ribut. Ada tugas baru


untukmu. Ini rumah penjambret yang tadi, sekarang kau diam
di situ dan perhatikan sekelilingmu. Jangan sampai kita
ketahuan, suruh Fatimah diam! Wano bakal datang sebentar
lagi. Kita bakal grebek mereka rame-rame.” Asul mengangguk
pelan dan langsung menyuruh Fatimah diam. Ssssst.

Tidak lama dari situ, Wano dan rombongannya datang.


Saya tercengang, Wano membawa orang sekampung hanya
untuk menghabisi empat orang; benar-benar niat.

“Mana? Mana rumahnya?” seru Wano.

“Sabar kau Noo, kita masuk pelan-pelan.”

“Oke, hei semua, jangan brisik!” perintah Wano ke


teman-temannya.

“Okeh, penggerebekan malam ini biar saya yang pimpin.


Wano, kamu di depan! Asul liat belakang, dan yang lain lindungi
saya.” Perintah saya ke semua orang malam itu. Mereka
mengangguk dan mulai menjalankan tugasnya masing-masing.

“Assalamualaikuum.”

“Iyah, siapa di luar?”

“Ini saya, Asul.”

“Sul, ngapain pakai salam sih, kita kan mau grebek


markas penjahat.” Ucapku protes.

“Ingat, kita harus tetap sopan.”

Kami serempak mengangguk.

Terdengar langkah kecil dari dalam rumah menuju pintu,


perlahan-lahan pintu dibuka. Dan...? Jeeggeeerrrrrr!!! Pintu
ditendang. Seketika, suasana berubah seperti di film-film coboy
beneran. Wano mengeluarkan pistol mainan dari balik bajunya.

“Jangan bergerak! Angkat tangan kalian!” kata Wano


dengan sangat jantan.
Tanpa perlawanan serius, empat pemuda tadi tidak
berkutik melihat Wano menodongkan senjata di depan muka
mereka. Terlihat raut wajah ketakutan, mulut menganga
bahkan ada yang sampe ngompol di celana. Benar-benar
penggerebekan yang sempurna.

“Sini kau! Kau yang tadi ngambil laptop saya hah?”


Paks! Paks! Paks! Paks! Dengan semangat, saya menjitak
kepala mereka satu-satu. Bersyukur, laptop saya kembali tanpa
tergores sedikitpun. Keempat pemuda itu pun hanya bisa minta
ampun. Akhirnya, pengalaman saya malam itu berakhir setelah
Pak polisi datang dengan gagahnya.
Selain buat nulis, pulpen juga punya fungsi lain saat
ujian; buat nusuk mata pengawas ujian. Sayang, impian saya
yang mulia itu belum juga terwujud. Bukan karena saya
penakut, tapi lebih karena gak pernah bawa pulpen. Maklum,
saat ujian modal saya hanya satu; nekat.
Gak bisa dipungkiri, saya adalah orang yang paling
gelisah saat sorot mata pengawas ujian itu slalu tertuju ke
arahku. Seolah-olah ia menganggap saya tikus yang siap
dimangsa oleh burung elang. Padahal banyak tikus-tikus
berdasi di negara ini, tidak sepenuhnya bisa dibasmi meskipun
oleh burung garuda sekalipun. Uhuk.
Membahas mengenai ujian, emang gak akan pernah ada
habisnya. Saya tahu jelas, banyak mahasiswa yang menganggap
ujian sebagai hal yang mengerikan. Apalagi bagi mahasiswa
seperti saya, ujian adalah musibah dari penguasa, dan bencana
dari Mahakuasa.
Emang benar. Saya gak suka sama sekali dengan yang
namanya ujian. Bukan apa-apa, ujian itu hanya buat nakut-
nakutin doang. Contohnya, ujian nyali kayak di tipi-tipi itu, gak
mendidik, gak bermanfaat. Cobalah sekali-sekali buat ujian
nyali yang lebih mendidik. Pada saat ujian, kan pengawasnya
bisa bilang kayak gini sama peserta ujiannya:
“Ok, ade-ade, kertas ujian sudah di tangan. Waktu yang
kami berikan 90 menit. Di setiap sudut kelas, ada kamera 360.
Usahakan saat mengisi lembar jawaban, tidak bergerak di luar
jangkauan kamera. Juga tidak berada di luar angkasa, karena
itu kejauhan. Jika Anda tidak kuat dalam menjawab soal ujian,
silahkan angkat pantat Anda. Kami akan segera datang dan
menyatakan Anda tidak lulus ujian.” Ok, sepertinya itu sama
parahnya.

Kalo di masa depan nanti, saya ditakdirkan oleh Tuhan


menjadi pengawas ujian, sudah pasti saya akan membuat
sebuah ujian yang beda daripada yang lain. Misalnya:
1. Ujiannya berdasarkan bakat

Kenapa? Karena menurut saya, setiap mahasiswa itu punya


bakat yang berbeda-beda. Contoh:
 Mahasiswa yang bakatnya melukis. Mereka bisa
disuruh ngecat kelas. Kan lumayan habis ujian, kampus
kita terenovasi.
 Mahasiswa yang bakatnya tawuran. Mereka bisa
disuruh nyetak batu bata sendiri. Biar bisa ngebangun
kampus sendiri, terus dilempar sendiri.
 Mahasiswa yang bakatnya menyanyi. Mereka bisa
disuruh ngamen di lampu merah. Hal ini bisa
menghasilkan duit, lumayan bisa beli gorengan buat
yang ngecat sama yang nyetak batu bata.

Dengan ujian model begini, peserta ujian berdasarkan bakat
bisa lebih mandiri.

2. Ujian berdasarkan minat

Kenapa harus berdasarkan minat? Ya, sudah pasti karena saya


percaya, setiap mahasiswa punya minat yang berbeda-beda.
Contoh:
 Mahasiswa yang berminat menjadi politikus. Saat ujian
mereka bisa disuruh tidur di kelas, supaya ketika
mereka kelak jadi anggota DPR, mereka tidak suka
tidur lagi. Telah mengerti bahwa tidur saat ujian itu
tidak baik.
 Mahasiswa yang berminat jadi dosen. Mereka bisa
disuruh dengarin nasehat-nasehat dari Om Mario
Teguh. Biar kalo ngajar, bisa membuat para
mahasiswa bersemangat.
 Mahasiswa yang berminat jadi penulis seperti saya.
Mereka bisa disuruh nulis contekan yang banyak. Biar
bisa dibagi-bagi sama teman yang kesusahan. Yang ini
penting! Karena saling menolong itu adalah perintah
dari yang Mahakuasa, asik.

Dengan ujian model begini, peserta ujian berdasarkan minat


bisa membentuk sikap mereka ke arah yang lebih baik: rajin,
bersemangat dan suka menolong. Salam super.

3. Ujiannya berdasarkan hobby

Kenapa ujian berdasarkan hobby ini juga penting? Ya, hampir


sama dengan sebelum-sebelumnya. Saya yakin setiap
mahasiswa punya hobby yang beragam.
Contoh:
 Mahasiswa yang hobby makan. Mereka bisa disuruh
jualan donat. Hal ini bisa menumbuhkan semangat
kewirausahaan kepada peserta ujian.
 Mahasiswa yang hobby-nya balapan. Mereka bisa
disuruh jagain parkiran. Lumayan bisa menambah-
nambah penghasilan.
 Mahasiswa yang hobby-nya ngabisin sabun di kamar
mandi. Mereka bisa disuruh bersihin closed.
Mahasiswa seperti ini bisa jadi teladan, karena
menjaga kebersihan.

Saya yakin, ujian berdasarkan hobby bukanlah sesuatu yang


membosankan. Pasti, para peserta ujian melakukan semua itu
dengan rasa cinta di hati mereka.

Okeh, itulah impian saya jika suatu saat nanti


ditakdirkan jadi pengawas ujian. Lebih dan kurangnya mohon
dilebih-lebihkan. Eh, ngomong-ngomong, bakat, minat dan
hobby bedanya apa-an sih?

MARI KITA RENUNGKAN!!


-

“Mba, nasi kuningnya dong satu.” Pesanku ke Mbak


pelayan di kantin kampus.

“Mau yang warna apa; kuning muda, kuning tua atau


kekuning-kuningan?”

“Loh, emang bedanya apa?” tanyaku penasaran.

“Kalau kuning muda, rasa rempahnya tidak begitu


berasa. Hal itu dikarenakan pada proses pembuatannya
dikerjakan gadis-gadis perawan yang belum berpengalaman.

*Saya ngangguk
“Kalo kuning tua, agak kecut sih, karena tercampur
dengan air mata para Ibu yang ditinggal pergi suaminya.”

*Ngangguk lagi

“Kalo kekuning-kuningan, ini spesial, karena bahan baku


untuk makanannya diimpor langsung dari luar negeri. Lalu pada
proses pembuatannya dicampurkan dengan ingus gadis
perawan dan muntah para janda.”

“Hem, pasti lezat sekali. Ya sudah Mbak, tolong


dicampurkan semua warnanya.”

“Pilihan Anda tepat sekali!”

Penjual nasi kuning seperti itu hanya akan kalian


dapatkan di kampus saya. Emang agak aneh menu-menunya,
tapi keanehan itulah yang membuat makanan-makanan di situ
laris manis.
Hampir setiap jam istrahat, saya bakal nongkrong di
kantin. Biasanya bareng sama Wano dan Maria. Tapi hari itu,
saya sendirian. Berhubung para sahabat tiba-tiba saja
menghilang. Info terakhir yang saya dapat, Wano dan Maria
pergi jauh untuk nikah sirih, okeh ini bercanda.
Sebenarnya saya malas ngajak mereka berdua kalo
makan di kantin, ntar dimintai traktir lagi. Tapi, namanya
musibah memang sulit ditolak, lagi asik-asiknya makan pundak
saya ditepuk seseorang dari belakang. Plook! Sendok pun
ketelen.

“Wuih, yang makan gak ajak-ajak.”

“Apa sih luu, ngagetin aja.”

“Bagi dong!”

“Yeh beli sendiri!” semprot saya ke Wano yang datang


tiba-tiba dari arah belakang. Dia mencoba merampas makanan
saya dengan serakah.
Sempat terjadi perebutan yang sengit di antara kami
berdua. Wano mencoba merampok dan saya mencoba
mempertahankan. Akhirnya? Nasi kuning itu tumpah
berantakan.

“Dasar pengacau, baru juga 32 kali kunyah, nasinya udah


kau buat tumpah.” Kataku kesal.
“Yah, maap.”

“Maap-MAAP, cepat bersihin selangkangan saya!”


perintahku ke Wano dengan galak sambil menatap butiran nasi
yang nyangkut di daerah terlarang itu.

“Sekarang bos?”

“Iyalah. Emangnya kau mau nunggu neneknya nenekmu


punya Nenek bisa salto, baru kaubersihin apa?”

“Ba-baik bos.”

Setelah menghukum Wano dengan menyuruh dia jilatin


sisa-sisa makanan yang tercecer di lantai, saya dan Wano
memutuskan berkeliling kampus untuk mencari Maria. Kami
berdua sedikit khawatir dengan keadaan anak yang satu itu,
berhubung beberapa hari ini dia udah jarang begaol sama kami.
Mungkin Maria sudah sadar, kalau berteman dengan kami
berdua dapat membuat dia terjerumus ke dalam api neraka.
Di lorong-lorong kampus, saya menyuruh Wano
mengendus melacak keberadaan Maria. Setelah membiarkan
Wano melakukan aksinya, akhirnya Maria kami temukan
sedang duduk sendirian di taman, memegang secarik kertas
yang bertuliskan angka-angka dan huruf-huruf misterius.

“Mar, ngapain di sini sendirian?” sapa hangatku ke


Maria. Maria hanya tertunduk lesu.

“Sakit Mar?” sambung Wano dengan wajah khawatir.

“Gak, saya cuma pengen sendiri.” Jawab Maria tergagap.

“Mar, kalo ada masalah cerita dong sama kami. Jangan


dipendam sendiri, ntar hati kamu meledak loh.” Kataku
bergurau.

“Apa sih, jangan bercanda gitu dong! Lagi sedih nie.”

“Ya udah, cerita dong! Kamu kenapa Mar?”

“Lihat nie!” kata Maria memperlihatkan isi yang tertulis


di kertas yang ia remas-remas dengan penuh emosi itu.

Mampus, saya dan Wano langsung pingsan. Sadar


kembali setelah membaca dari ujung ke ujung, ternyata yang
dipegang Maria adalah kartu transkrip sementara prestasi
akademik, semacam daftar nilai dari semester satu hingga
semester akhir gitu. Kesimpulan yang dapat ditarik, Maria galau
ngeliat IPK-nya atau Indeks Prestasi Kumulatif-nya di bawah
dua koma. Sabar yah Maria. Puk puk puk, mencoba
memberikan semangat.

“Kamu gak bodoh kok Mar, hanya kurang pintar saja.”


Kemudian saya ditampar.

“IPK kamu gak rendah kok Mar, hanya kurang tinggi


saja.” Wano juga ikut ditampar.

“.....” Kami terdiam menganga, mengelus pipi kami yang


ternodai. 

Setelah kejadian buruk yang terjadi di taman waktu itu,


saya sendiri jadi trauma untuk mengetahui berapa nilai IPK
saya. Takutnya, hal yang sama akan terjadi pada hidup saya,
apalagi pas ngeliat nilainya Maria yang kebanyakan dapat C.
Membuat saya harus banyak-banyak minum es jeruk, biar
vitamin C dalam tubuh terpenuhi. Siapa tahu nilai C juga ikut
berkurang. Entah apa hubungannya.
Memasuki semester lima, saya memang sudah tidak
peduli dengan yang namanya nilai. Pokoknya peduli amat
dengan nilai. Tanpa harus dapat nilai dari dosen, saya sebagai
manusia sudah bernilai kok di mata Tuhan, pikirku.
pertama saja, IPK saya sudah sangat mengecewakan.
Nilai saya masuk ke deretan paling bawah yang menyebabkan
saya jatuh tersingkir ke seri-B klasemen sementara. Setelah
beranjak ke semester dua, IPK saya makin turun dan membuat
saya frustasi berhari-hari. Di semester berikutnya, saya pernah
mencoba melakukan percobaan bunuh diri dengan cara
menenggelamkan kepala di lubang closed karena melihat IPK
yang jauh dari kata layak. Semester-semester berikutnya, saya
hanya bisa pasrah menerima takdir Tuhan, mungkin IPK rendah
kini telah menjadi sebuah kutukan.
Masalah IPK rendah ini sebenarnya lumayan cukup
mengganggu, apalagi setiap semester Mama saya pasti nelpon
hanya untuk nanyain soal IPK. Kebohongan demi kebohongan
telah tercipta hanya demi menjaga perasaan orang tua.

“Berapa IPK-mu Nak?” tanya Mama dari ujung telpon.

“Jangan dulu telpon, Anu sekarang lagi ngejar layangan.”

“.....” Tut tut tut. Telpon saya matikan.


Semester berikutnya, Mama nelpon lagi …

“Hallo Nak, semester ini IPK-mu berapa?”

“Jangan dulu telpon Maa! Anu sekarang lagi sibuk


syuting film horor.”

“Loh, sekarang anak Mama jadi bintang film yah?


Berperan jadi apa?”

“Jadi batu nisan di kuburan Maa.”

“.....” Tut tut tut. Telpon saya matikan lagi.

Karena Mama bukanlah orang yang mudah menyerah


untuk mengetahui perkembangan anaknya di tanah rantau, di
telponnya lagi saya ...

“Nak cukup, sudah hentikan semua permainan ini.


Sebenarnya IPK kamu itu berapa?”

“Tenang Maa, IPK itu kan hanya titipan Tuhan, yang


pentingkan ilmunya.”
“Iya Mama tau, tapi sebenarnya IPK kamu itu BERAPA?”
Mama saya teriak.

“Sebelum Anu jawab, Mama sudah nonton berita


tentang Bu Sumi belum?”

“Belum, emang kenapa?”

“Hem, Mama tau, Bu Sumi itu meninggal kena serangan


jantung pas tahu IPK anaknya di bawah dua koma nol loh Maa.
Serem yah.”

“Nak, sudah dulu telponnya, Mama mau ngejar


layangan.”

“....” Tut tut tut. Telpon Mama matikan.

Perasaan malu akan selalu terlintas di benak saya kalau


berhadapan dengan orang yang bertanya hal yang sama seperti
yang dilakukan Mama. Dari pengalaman itu, saya paham kalau
pertanyaan ‘IPK kamu berapa?’ adalah salah satu pertanyaan
yang paling sensitif bagi mahasiswa seperti saya.
Tapi, apa ia Mama akan bangga hanya karena tau
anaknya punya IPK tinggi? Setau saya, Mama akan lebih bangga
kalau anaknya punya penghasilan tinggi daripada IPK tinggi.
Sejauh ini, saya udah sering melihat atau membaca kisah
dari sarjana-sarjana pintar yang akhirnya bekerja menjadi
bawahan dari orang yang gak lulus sekolah. Ini bukti bahwa IPK
tinggi bukan jaminan keberhasilan. Lalu Apa? Saya hanya punya
satu jawaban. Jika kamu tidak memiliki IPK tinggi, setidaknya
kamu harus punya semangat yang tinggi. Karena, semangat
yang tinggi akan membuat hidup kita melejit, asal kita mau
melewati masa-masa sulit.
Dan satu lagi, Kalau nilai kuliahku bermacam-macam.
Ada A, B, C, D dan E. Itu Bukan karna saya bodoh, tapi karna
cinta keanekaragaman. Seperti Indonesia. Berbeda-beda tapi
tetap 1. Merdeka!
“Dosen idaman itu yang setiap saat menyebar inspirasi,
bukan yang ngomong sendiri sepanjang hari. Dia selalu rendah
hati, bukan menyombongkan diri.”
Ungkapan barusan saya persembahkan untuk dosen
idaman saya, Pak Slamet. Semoga selalu Slamet dunia maupun
akhirat.
Semester lima merupakan kali pertama saya bertemu
dengan makhluk bernama Pak Slamet. Pertemuan kami waktu
itu agak sedikit ajaib. Jadi ceritanya, saat itu saya sedang buang
air besar di WC umum kampus. Kebetulan, si kuning waktu itu
berbentuk bongkahan yang lumayan keras. Hal itu membuat si
kuning sedikit kesulitan menembus saluran pipa menuju septic
tank. Sebagai pemilik resmi dari si kuning, rasanya gak tega
ninggalin dia ngambang sendirian di situ—walaupun kadang-
kadang saya suka nekat ninggalin aib itu di WC umum.
Segala upaya telah saya lakukan; ditiup pake mulut,
disodok pake sikat WC, sampe disiram-siram dengan kekuatan
tenaga dalam. Tapi tetap, si kuning hanya masuk sebentar, trus
nongol lagi, masuk sebentar terus nongol lagi, benar-benar
menguras emosi.
Namun tak ingin rasanya menyerah, saya putuskan
untuk mengangkat air se-ember gede, lalu saya guyur dengan
membaca mantra. “Bumi gonjang ganjing, kuning lebur
pening.” Ciat ciat ciat, *Byuur. Air dihempaskan dan si kuning-
pun pergi bagaikan ditelan bumi. Di saat itu, saya mengucapkan
kata, ‘slamet-slamet’.
Okeh. Cerita aneh barusan hanya fiktif belaka.
Sebenarnya gini …
Pak Slamet merupakan dosen mata kuliah
kewirausahaan; sebuah ilmu yang bertujuan untuk
menyebarkan semangat berwirausaha kepada para mahasiswa.
Agar nantinya bisa menjadi bibit-bibit baru pengusaha muda di
Indonesia, kurang lebih begitu.
Kewirausahaan adalah mata kuliah kesukaan saya,
bukan hanya karena saya punya kemauan besar untuk menjadi
seorang pengusaha di masa depan. Tapi juga karena saya suka
melihat penampilan Pak Slamet saat membawakan materi ini.
Santai, suka melawak, dan tak jarang Pak Slamet berubah
menjadi sosok Pak Mario Teguh yang bijak dan penuh cerita
inspiratif, membuat para mahasiswa termotivasi untuk terus
belajar.
Di satu kesempatan, Pak Slamet memperkenalkan kami
dengan sebuah ilmu pengetahuan yang beliau sebut ‘aritmetika
kesuksesan’. Katanya, ilmu ini sudah cukup populer dalam
dunia pengembangan diri. Juga, telah banyak digunakan para
pemikir dunia untuk mencari tahu, apa sebenarnya hal yang
paling berpengaruh terhadap sebuah kesuksesan itu.
Penjelasannya begini, jika a=1, b=2, c=3, ...x=24, y=25,
dan z=26, maka akan tampak jejeran huruf yang diartikan ke
dalam bentuk angka-angka gitu. Intinya, kita akan banyak
bermain dengan sederet huruf dan angka-angka untuk
mengetahui kunci dari kesuksesan. Nah, jumlah skor yang
diperoleh, diperlakukan sebagai persentase sebuah unsur atau
faktor penentu sukses. Namun jika skor yang didapat ternyata
melebihi angka 100 (yang berarti seratus persen) atau kelipatan
100 berikutnya, maka perhitungannya berlaku untuk angka
kelebihannya. Begitu penjelasan ringkasnya. Paham kagak?
“Enggak.”
“Sama, saya juga.”
Coba deh lihat tabel berikut ini

A=1 B=2 C=3 D=4 E=5 F=6


G=7 H=8 I=9 J=10 K=11 L=12
M=13 N=14 O=15 P=16 Q=17 R=18
S=19 T=20 U=21 V=22 W=23 X=24
Y=25 Z=26
Tabel: Aritmetika Kesuksesan

Bisa dilihat, jejeran huruf yang diartikan ke dalam


bentuk angka-angka itu. Nah, saya akan mencoba berbagi apa
yang telah saya dapatkan. Coba ambil contoh biar lebih paham:
misalnya kata motivation (motivasi). Kata motivation di sini kita
anggap sebagai penentu sukses seseorang. Nah, jadinya seperti
ini:

M O T I V A T I O N
138=38%
13 15 20 9 22 1 20 9 15 14

Kalo udah gitu, huruf yang diartikan ke dalam bentuk


angka itu, dijumlahkan! Berdasarkan perhitungan, total skor
yang diperoleh adalah 138. Di aturan mainnya, seperti
penjelasan di awal tadi; jika skor yang didapat ternyata
melebihi angka 100 (yang berarti seratus persen), maka
perhitungannya berlaku untuk angka kelebihannya, yaitu: 38—
yang berarti 38%. Dengan begitu, diperoleh fakta bahwa
motivation (motivasi) berpengaruh 38% dalam kunci sukses
seseorang.
Pak Slamet meneruskan penjelasannya dengan gayanya
yang khas. Diperlihatkanlah kepada kami beberapa faktor
penentu kesuksesan yang selama ini dipercayai banyak orang.
Di antaranya yang tertera di slide persentasenya adalah:
 LUCK (nasib)
 LOVE (cinta)
 MONEY (uang)
 LEADERSHIP (kepemimpinan)
 KNOWLEDGE (pengetahuan)
 HARD WORK (kerja keras)
Setelah diuji berdasarkan tabel aritmetika kesuksesan, hasil
yang didapat ialah:

UNSUR SKOR (%)


LUCK 47
LOVE 54
MONEY 72
LEADERSHIP 97
KNOW LEDGE 96
HARD WORK 98

Berdasarkan hasil perhitungan, keenam unsur di atas


juga bukanlah penentu. Bisa dilihat, karena tidak ada yang
benar-benar mencapai 100%. Melihat hasilnya, semua
mahasiswa yang saat itu asik mengikuti permainan ini dibuat
penasaran oleh Pak Slamet. Ditantanglah kami semua untuk
mencari tahu, apa sebenarnya faktor penentu kesuksesan yang
mencapai angka sempurna itu.
Teman sekelas pun dibuat berpikir keras. Melihat
teman-teman sibuk berpikir dan menghitung, saya hanya bisa
melihat hasil dari percobaan mereka, berhubung saya malas
mikir gitu. Diam-diam, saya melirik Maria yang sibuk dengan
kalkulator hapenya.

“Gimana hasilnya Mar?”

“IPK tinggi hanya 2% Nuu. Kasian sekali.”

“Buset. Cuma segitu? Parah-parah. Kalo kau Noo?”

“Ini aku lagi menghitung kata ‘gelar sarjana’ dan


kesimpulannya hanya 7%. Hahaha, kasian sekali sarjana-sarjana
itu. Pantes banyak yang nganggur.”

“Weleh-weleh, serem juga yah.”


Di tengah-tengah perbincangan kami bertiga, Asul’aji
datang memperlihatkan hasil dari perhitunganya.
“Hei bro, lihat nie. Ternyata setelah saya hitung-hitung,
‘ijazah’ menentukan 55% kesuksesan seseorang loh. Gimana
pendapat kalian?”

“Wah, info penting nie bagi para pendamba ijazah. Bisa


dibilang ijazah itu penting, bisa juga tidak. Sesuai
kebutuhanmu-lah. Kalo memang kuliah untuk cari kerja,
silahkan. Tapi kalo saya sendiri sih, mau bangun lapangan
pekerjaan. Ngapain kuliah tinggi-tinggi, kalo hanya mau desak-
desakan nyari lowongan, mending buat lapangan kerja yang
luas biar pengangguran di negeri ini makin berkurang.”

“Halah, blagu.”
*Kemudian saya dilempar kalkulator.

“Kau sendiri mana?” tanya Asul’ aji.

“Hem tunggu, saya belum kepikiran nie. Kira-kira apa


ya?”
Aha! Seperti menemukan kata yang tepat, akhirnya saya
tuliskan di kertas kata “sabun mandi”. Entah apa yang saya
bayangkan sampe terbersit kata itu di kepala. Dan ketika
melihat hasil perhitunganku, saya sempat nangis haru.
Ternyata sabun mandi cukup besar mempengaruhi kesuksesan
seseorang, bisa dilihat buktinya:
S A B U N M A N D I
19 1 2 21 14 13 1 14 4 9 98=98%

Benar-benar mengejutkan. Ini merupakan informasi


baru yang akan mengguncang industri sabun mandi di dunia.
Khusus untuk cowok-cowok yang suka menghabiskan sabun di
kamar mandi, teruskan dan lanjutkan aktivitas positif kalian itu.
Karena ternyata bermain-main dengan sabun sangat
berpengaruh terhadap kesuksesanmu di masa depan sebesar
98%. #Sebarkan.
Di akhir persentasenya, akhirnya Pak Slamet
membongkar rahasia kesuksesan itu. Beliau berkata, rahasia
kesuksesan itu bukanlah rahasia, hal itu adalah attitude (sikap).
Jadi, faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesuksesan
yang dimaksud Pak Slamet adalah attitude.

A T T I T U D E
100=100%
1 20 20 9 20 21 4 5

Jawaban itu pun menutup perkuliahan saat itu. Seluruh


mahasiswa tersenyum puas mendengar penjelasan Pak Slamet.
Memang ada benarnya, karena kalo saya lihat dari banyak
pengalaman orang-orang sukses di dunia ini, sikap merupakan
faktor penentu utama kesuksesan mereka.
Untuk itulah, kita harus memelihara sikap-sikap baik,
bukan menjadikan sikap negatif sebagai kebiasaan yang akan
menjerumuskan kita pada kegagalan. Seperti yang dikatakan
Pak Slamet di akhir persentasenya.
“Kesuksesan lebih banyak diraih oleh orang-orang yang
selalu bersikap positif. “Sikap positif adalah sikapnya para
pemenang, sedangkan sikap negatif adalah sikapnya para
pecundang.”
Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu ditendang
sekarang ku dibuang, dulu dulu duluu ku menderita. Sekarang,
aku makin siksaaa. #Nyanyi—Arief feat Tegar.
Setiap kali saya mendengarkan lagunya Tegar, saya
selalu teringat masa kecil saya dulu. Di mana kejadian masa
kecil sangat berdampak besar pada cara saya berpikir di masa
sekarang ini. Tidak sedikit yang bilang saya ini adalah orang
yang aneh. Kalo dipikir-pikir emang iya sih, karena saya sendiri
mengakui kalo otak kanan dan otak kiri saya memang tidak
berfungsi dengan baik. Mungkin ini karena kejadian buruk
tempo dulu yang menyebabkan benturan keras di kepala saya.
Begini kisahnya ...
Berawal dari perpustakaan sekolah. Dulu saya masih
kelas satu sekolah dasar, pokoknya masih kecil banget kayak
toge. Meskipun baru tumbuh setinggi toge, saya sudah
merasakan yang namanya cinta. Cinta itu memang mirip toge.
Walaupun awalnya kecil, tapi saat sudah bertemu dengan jenis
sayuran lain, dan diolah dengan resep yang namanya kesetiaan,
toge bisa saja berubah menjadi gado-gado yang punya banyak
rasa. Eaaa …
Waktu itu, saya sedang duduk santai bersama sahabat
saya, Adi. Adi adalah anak kecil yang punya hobby main-mainin
pasir sambil nyari sebongkah kotoran kucing untuk nakut-
nakutin cewek-cewek labil di sekolah.
Saya yang kala itu sedang duduk sambil membaca buku
di perpus (walaupun belum bisa baca), tanpa sengaja melihat
gadis imut yang rambutnya dikepang dua, dengan hiasan pita
warna-warni melilit di rambutnya. Senyum manis itu sungguh
memesona.
Pandangan saya belum terlepas. Hari itu saya berasa
berada di surga melihat lengkungan sempurna dari bibir
merahnya. Sebagai anak yang masih berumur tujuh tahun, saya
tidak mengerti dengan apa yang saya rasakan waktu itu.
Apakah ini yang namanya cinta? Kataku dalam hati.
Mencoba meyakinkan diri, saya benturkan kepala di
meja, aduh! Sakit. Ternyata kejadian itu bukanlah mimpi. Saya
menganga sempurna. Dan tiba-tiba, gadis imut itu pun
menghilang.

“Ke mana dia?” sambil nyari di sudut perpus, gak ada. Di


rak buku, di laci juga gak ada. Saya tanya ke Adi.

“Adi, lihat cewek yang tadi gak?”

“Nggak,” jawab Adi cuek. Maklum anak itu lagi sibuk


main tetris sambil ngunyah daun sirih.

Mulai dari kejadian di perpustakaan itu, saya menjadi


anak yang paling bersemangat untuk pergi ke sekolah. Kejadian
itu juga sudah mengubah motivasi saya dalam bersekolah; yang
awalnya ingin pintar membaca, berubah jadi ingin pintar
bercinta. Memang agak seram jika dibayangin.
Dengan penuh semangat waktu itu, saya berjalan
menelusuri jalan setapak yang mengarah ke sekolah. Jarak
rumah dan sekolah tidak begitu jauh, dan semakin berasa dekat
ketika saya berjalan sambil membayangkan wajahnya. Sungguh
tidak sabar rasanya ingin melihatnya lagi, kataku dalam hati.
Tiba di depan sekolah, saya merasa ada yang aneh.
Sekolah saya sepi, penjual somai langganan saya juga belum
datang, mungkin dia lagi sibuk selfie-selfie sama dagangannya.
“Kok sepi?” sambil lirik kanan-kiri, tetap sepi. Saya
heran, padahal saya berangkat dari rumah pukul enam pagi,
kok bisa gini? Masih keheranan. Tiba-tiba, pundak saya ada
yang nepuk dari belakang, sudah pasti saya kaget. Saya tengok
ke belakang dan melihat sosok seram.

“Aaaa!” saya menjerit seperti banci yang dikejar-kejar


satpol PP di lampu lalu lintas.

“Kamu ngapain di sini, Cuu?” tanya si Nenek dengan


suara parau.

“La-lagi nunggu teman Nek,” jawabku gemetar.

“Loh kamu gak tau ya?” kembali Nenek itu bertanya


sambil memasang wajah misterius.

“Tau apa Nek?” jawabku penasaran.


“Ini kan hari Minggu.”

“.....” Saya menganga. Sambil memandangi langit, saya


berteriak keras, “Tuhan apaaa dosakuuu?” tiba-tiba suasana
menjadi sangat dramatis. Angin bertiup kencang, daun-daun
berguguran, awan yang bertumpuk memberikan efek kilat.
Bulir hujan menetes satu per satu. Saya masih terpaku di depan
sekolahan, kulihat orang-orang lalu-lalang seperti figuran.
Terdengar lagu ‘kisah sedih di hari Minggu’ di ujung jalan.
Sedih, air mata di pipi bercampur dengan tetesan hujan.
Sampai akhirnya saya pun tersadar, Nenek yang tadi sudah
menghilang.

“Ke mana si Nenek tua tadi?”

“Apa dia arwah gentayangan penunggu sekolah? Atau


mungkin dia pulang untuk ngangkat jemuran?”
Sumpah, ini horor banget.

Bagai menelan pil pahit, saya pulang dengan raut wajah


tak karuan. Namun, usaha saya—untuk berkenalan dan melihat
wanita yang membuat saya terpesona itu—masih tetap
menggelora dalam dada. Inilah semangat juang untuk
mendapatkan cinta. Alah.
Singkat cerita, besoknya hari Senin, ya. Sudah pasti,
karena setelah Minggu pasti Senin, bukan begitu? Okeh, ini
pertanyaan tidak penting.
Besoknya, saya memberanikan diri untuk langsung
bertemu. Biar pertemuan itu memberikan kesan, saya
mempersiapkan hadiah biar gadis itu senang.
Awalnya saya bingung mau ngasih dia apa. Sempat
kepikiran mau ngasih batu nisan sebagai simbol bahwa cinta
saya ke dia ‘cinta sampai mati’. Tapi niat mulia itu saya
urungkan, karena takut dikubur hidup-hidup sama gadis imut
itu. Akhirnya, saya putuskan memberikan hadiah permen
pendekar biru, berhubung waktu itu uang saya memang hanya
ada seribu.
Dengan tergesa-gesa, saya mencoba mencari gadis imut
itu di setiap sudut sekolah. Tidak butuh waktu lama, saya
melihat gadis itu di taman. Langkah terhenti, saya melihat
sahabat saya, Adi, bersama dia di sana. Mengajak dia bercanda
di atas tumpukan pasir, sesekali mereka kompak mencungkil-
cungkil kotoran kucing sambil bergurau, “Iih, lucu yaa. Lucu.”
Terlihat mesra.
Saya kecewa. Permen pendekar biru jatuh terkapar di
tanah, saya membalikkan badan dan tak ingin lagi menengok ke
arah mereka bedua. Tak diduga, air mata itu jatuh diikuti ingus
yang juga menetes. Hiks, itu pertama kali saya merasakan yang
namanya cinta; penuh dengan luka tikaman di dada.

“TIDAK,” teriak saya histeris sambil berlari ke arah pintu


gerbang dengan perasaan sangat kecewa. Saya terus berlari,
berlari ke suatu tempat yang teramat sepi. Menenangkan diri.

Di bukit yang tenang, saya bersandar di sebuah pohon


kelapa sembari menahan sesak di hati. Saya mencoba
meluapkan semua kekecewaan dengan berteriak. Sungguh
sakit, di umur yang baru tujuh tahun saya sudah menerima
ujian yang begitu berat, lebih berat daripada harus
mengerjakan soal matematika.

“Mamaaa! Mamaaaa!” suara tangis saya di atas bukit


yang sepi. Tiba-tiba, praaaaak! Saya tergeletak di tanah
dengan darah segar di kepala. G-e-l-a-p.
“Nak, bangun Nak.” Terdengar suara yang masih samar
di telinga waktu itu. Saya buka mataku perlahan dan melihat
tubuh saya terbaring lemah dengan kepala terperban.

“Maa, Anu kenapa?” tanyaku ke Mama yang sedang


duduk di sampingku dengan raut wajah khawatir.

“Kamu kejatuhan buah kelapa Nak. Untung Bapak itu


menemukanmu dan membawamu ke rumah.” Jawab Mama
seraya menunjuk seorang Bapak tua berbaju coklat yang
sedang duduk di kursi.

“Udah, istrahatlah. Sudah terlalu lama kamu gak


sadarkan diri, Mama sampai khawatir memikirkanmu.” Saya
hanya mengangguk pelan.

Berhari-hari Mama merawat saya di rumah. Kehidupan


keluarga yang sederhana membuat saya harus menerima
semuanya. Saya mengerti orang tua tidak punya banyak rupiah
untuk ke puskesmas sekedar berobat. Jangankan untuk beli
obat, untuk makan sehari-hari saja harus rebutan dengan babi.
Meskipun begitu saya tetap bersyukur, belum pernah rasanya
bisa sedekat itu dengan Mama.
Benturan keras di kepala mengakibatkan hal buruk.
Terlambat saya sadari, kalo si otak mengalami cedera yang
cukup serius. Entah apa nama penyakit yang saya alami, yang
jelas hal itu membuat otak saya agak geser (baca: sinting).
Mengakibatkan saya menjadi anak yang teramat bodoh waktu
itu. Alhasil waktu sekolah, saya tidak naik kelas dua kali, karena
sulit membaca dan menghitung, ini serius. Sungguh hidup ini
akan berat, saat cinta tak dapat, pengetahuan pun tak
meningkat.

Dianggap aneh dan bodoh itu sakit. Lebih sakit


dibandingkan menelan biji durian, apalagi bareng kulitnya.
Namun, hal itu tidak menghalangi saya untuk menggapai cita-
cita. Bercerita soal cita-cita, saya ingat banget dulu saat belajar
bahasa Indonesia, ada guru nanya, “Anu, kalo udah gede mau
jadi apa?”

“Jadi power ranger Bu guru.” Jawabku riang.

“Loh? Kok pengen jadi power ranger sih Nuu?”


“Biar saya bisa melindungi Ibu dari monster kelamin
yang akan melukai hati Ibu.”

“.....” Ibu guru saya langsung terkena serangan jantung


mendengar perkataan itu.

Kalo saya ingat-ingat lagi, agak aneh sih, saya tidak tahu
kenapa harus mengatakan itu. Sampai detik ini, saya belum bisa
membayangkan moster kelamin itu seperti apa? Apakah itu
adalah monster berbentuk kelamin pria yang bisa
mengeluarkan racun untuk ngebunuh Ibu guru saya? Entahlah,
hal ini masih menjadi misteri Ilahi hingga saat ini.
Cita-cita saya dulu juga kadang berubah-ubah, sesuai
musimnya. Saat musim layangan, saya ingin jadi pedagang
layangan. Saat musim rambutan, saya ingin jadi pedagang
buah-buahan. Dan saat musim tawuran, saya ingin jadi korban
pukulan. Waktu kecil, saya memang terlalu polos untuk
mengambil keputusan.
Dari semua keanehan itu, ada juga cita-cita saya yang
bisa dibilang sedikit mulia, yaitu jadi seorang pemimpin di masa
depan. Walaupun mulia, tapi teman-teman saya masih juga
meremehkan. Contohnya waktu itu, ada guru PPKN yang
menanyakan hal yang sama dengan guru bahasa Indonesia
yang tadi saya ceritain.

“Anuu, kalo udah gede mau jadi apa?”

“Jadi pemimpin dong,” kataku sambil megangin kerah.

“Wah mulia sekali, pemimpin apa Nuu?”

“Pemimpin di keluarga kita kelak.”

Jawaban itu membuat guru saya kena struk ringan.


Teman-teman sekelas ribut kayak tawuran, “Wooooo.” Seperti
itu teriakan mereka. Saya heran, apa yang salah dengan itu?
Adi yang duduk sebangku, menegur saya pelan.

“Hee Nuu, gak salah kau?” Adi berbisik.

“Kenapa sih, Di?”

“Tobat Nuu! Guru kita laki-laki, LAKI ....”

Ya Tuhan, gombalan gagal. Sejak hari itu, nama saya


semakin tercoreng. Sudah gagal dalam urusan cinta, punya
kelainan di otak yang buat saya terlihat aneh; dan terakhir?
Dicap sebagai homo termuda di dunia, sungguh memalukan.
Karena sering direndahkan dan dikucilkan, saya lebih
suka berdiam diri di rumah daripada harus bersekolah. Dan
hadiah yang paling indah waktu itu adalah liburan. Yah ... itu
doang, saat libur sekolah saya bisa sedikit hidup damai di
rumah tanpa ejekan dari teman-teman.
Sebagai anak kecil dari keluarga sederhana, sudah pasti
liburan sekolah diisi dengan membantu orang tua. Kebetulan
Bapak saya adalah seorang pemburu, maka saat liburan saya
habiskan untuk membantu beliau berburu di hutan. Mulai dari
babi hutan, ayam hutan, hingga perusak hutan kami tembak
mati jika kelihatan. Bapak saya memang kejam, sejak kecil saya
dididik dengan sangat keras olehnya. Hal ini membuat saya
menjadi anak muda yang tak kalah keras dan bringas.
Sebagai seorang pemburu, dalam mendidik anaknya tak
jarang Bapak menatap saya seperti hewan buruan yang siap
dibidik. Pernah suatu malam, saya sementara diajari oleh
Bapak; Ilmu pengetahuan alam. Bapak saya bertanya, “Anuu,
ayam dan telur, duluan mana?”

“Mmm, duluan Pak Asep, tetangga kita Pa.” Jawabku


dengan pedenya.

“Kok Pak Asep?”


“Kan Pak Asep itu peternak ayam Pa.”

“.....” Hening. Bapak saya ke kamar ngambil senapan


anginnya.
*Kabuuur

Saya gak kebayang kalo cara mendidik seperti itu masih


diterapkan di perguruan tinggi, mungkin setiap minggunya ada
saja mahasiswa yang mati dengan penuh luka di sekujur
tubuhnya. Meskipun begitu, beliau tetap Bapak saya, sekeras-
kerasnya beliau mendidik saya, beliaulah yang selama ini
bekerja keras untuk membiayai sekolah saya.
Pernah suatu waktu, saya ikut Bapak ke hutan untuk
berburu, target buruan kami hari itu adalah babi hutan. Babi
hutan di desa saya memang cukup banyak, dan lumayan
banyak juga peminatnya. Karena saya seorang muslim, saya gak
makan begituan, bukan karena babi haram, tapi karena
keluarga kami vegetarian.
Sekitar pukul 4 sore saat itu, kami berjalan membelah
hutan. Dengan semua perlengkapan berburu: mulai dari
senapan angin, golok, karung, tambang dan kompas.
Di tengah perburuan yang seru, Bapak saya sempat
membidik segerombolan babi yang lagi asik ngerumpi; mirip
seperti para pemimpin yang berkoar-koar di hari anti korupsi,
tapi malah mereka sendiri yang mencuri. Maka pantaslah kalo
mahasiswa suka menjuluki pemimpin kita babi, itu karena ulah
dari mereka sendiri.

Dor dor dor!

Aksi Bapak menghamburkan peluru kayak di film-film


perang. Sudah pasti salah satu babi terkapar mati, kacian. Saya
melihat wajah babi itu sungguh mengenaskan, kepalanya bocor
tembus ke pantatnya. Bapak bilang, “Anuu ikat babi itu,
sebelum mereka kabur dan membawa uang rakyat lebih
banyaak!”

“Ba-baik Pak.” Saya ikat ke empat kaki babi itu dan saya
masukkan ke karung.

Singkat cerita. Hari itu kami pulang dengan perasaan


senang, meskipun buruan kami hanya satu ekor. Bapak selalu
mengajari saya untuk selalu bersyukur dan tidak berlebihan
dalam memanfaatkan kekayaan alam. Bapak memang selalu
membentuk cara berpikir anaknya sejak kecil. Seperti itulah
cara beliau mendidik anaknya. Kadang saya rindu masa-masa
itu, sekalipun banyak kejadian mengenaskan, namun selalu
tersimpan banyak pelajaran di dalam sana.
Sudah segede ini, saya banyak mendengar orang
membicarakan tentang keutamaan pendidikan. Ada juga yang
menganggap pendidikan hanya sebaris kata di buku tulisan.
Padahal menurut Bapak saya, “Pendidikan yang sesungguhnya
terdapat dalam kenangan indah di masa kanak-kanak. Dan
sudah sepantasnya seorang anak menjadikan orang tuanya
sebagai guru teladan.”
“Nak, daripada kerjaanmu main melulu. Mending Bapak
ikutkan kursus bahasa Inggris besok!” kata Bapak.

“Gak mau Pa, Anu gak suka.” Jawabku membantah.

“Pokoknya kamu harus mau! Kalo gak mau, Bapak


bakalan kurung kamu di kandang babi!” bentak Bapak
mengancam.

“Bapak! Kenapa harus belajar bahasa Inggris sih? Bahasa


Arab kan bisa? Bahasa alay kan bisa? Kenapa Pak? KENAPA?”
“Biar kamu bisa kawin sama BULE.” Jawab Bapak
mengheningkan suasana.

Di tengah-tengah pertengkaran hebat antara saya dan


Bapak waktu itu, Mama datang dari arah dapur.

“Kenapa ini Pak, ribut-ribut?” tanya Mama ke Bapak.

“Liat anak kamu! Dia sudah melawan sama orang tua,


anak gak tau malu.” Teriak Bapak tegas.

“Maa, Bapak maksa Anu belajar bahasa Inggris, Anu gak


mau Maa.” Adu saya ke Mama.

“Pa, anak kamu jangan dipaksa. Dia tidak bisa belajar


dalam keadaan tertekan.” Mama mencoba membela.

“Ah, Ibu sama anak sama ajah. Contohi bapakmu ini,


bisa bahasa apa saja; bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa
hewan, bahasa alien, semua Bapak tau.” Sambung Bapak
membanggakan dirinya.
“Bapak aneh, kok maksa Anu belajar bahasa Inggris
hanya untuk kawin sama bule. Anu gak mauu Pak, lagi pula
Mama Anu juga bukan bule.” Kataku masih membantah.

“HEH!!! Kata sapa Mama kamu bukan bule? Mama itu


dulunya bule, tapi sekarang sudah mengundurkan diri jadi
bule.” Bapak bersikeras.

“.....” Saya dan Mama yang mendengar ucapan Bapak


langsung pingsan seketika.

Entah salah makan apa Bapak waktu itu. Sepertinya


beliau terlalu terobsesi sama yang namanya bule. Mungkin
karena Bapak saya suka nonton bokep Amerika kali ya?

Seandainya Tuhan tidak pernah menciptakan bule,


hidup saya tak akan serumit ini. Pertama kali saya mengenal
bahasa Inggris pada saat kelas empat SD, pengetahuan saya
sangatlah kurang. Hingga sekarang, pengetahuan saya
terhadap bahasa Inggris sama sekali tidak berkembang. Yang
paling terekam di memori cuma; ‘Yes, no, dan oh my god’. Itu
pun belajar dari video bokep punya Bapak. Loh?
Sebenarnya gak ada yang salah dengan bahasa Inggris,
saya hanya gak pernah suka sama gurunya. Dari dulu hingga
sekarang, saya gak pernah bertemu pengajar yang bisa
menjelaskan pelajaran bahasa Inggris dengan cara sederhana.
Padahal Abang saya Albert Einstein bilang, kamu belum bisa
dikatakan hebat jika kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu yang
rumit dengan cara sederhana. Itu sebabnya, saya berasa
bahasa Inggris itu sulit, karena cara menjelaskannya rumit.
Sejak awal pembelajaran, saya gak tahu guru di depan kelas itu
ngomong apaan. Kadang saya beranggapan bahasa Inggris itu
semacam mantra pengusir arwah gentayangan di sekolah.
Rasa benci terhadap bahasa Inggris kebawa sampe
bangku kuliah. Masalahnya masih sama; bertemu dengan jenis
pengajar yang sama. Kalo ngajar suka baca mantra sambil
ngupil, dan upilnya dilempar ke dalam mulut mahasiswa yang
menguap. Kita samarkan saja namanya jadi Bu Ratna, biar
aman.
Bu Ratna ini satu dari sekian banyaknya contoh buruk
pengajar di Indonesia. Saat saya tahu jadwal kuliah besok
adalah bahasa Inggris, malamnya saya sering melakukan salat
tahajud sembari berdoa minta disakitkan sama Tuhan. Biar
besok gak bisa ikut kuliah.

“Tuhanku, lihatlah hambamu yang ganteng ini. Besok


adalah hari yang paling mengerikan bagiku. Tolong! Sakitkanlah
saja aku, masukkanlah penyakit ke dalam tubuhku. Saya lebih
memilih sakit karena-MU, dibandingkan harus terluka karena
dimaki Bu Ratna besok. Aamiin.”

Sesekali saya juga berdoa biar Bu Ratna yang sakit.


Emang agak ekstrem. “Tuhanku, sakitkan saja Bu Ratna,
masukkan penyakit ke dalam tubuhnya, biar besok dia gak
masuk mengajar. Jika itu tak sanggup Engkau kabulkan, aku
mohon, kali ini saja Tuhan. Turunkan musibah kepadanya, buat
bocor ban mobilnya. Jika belum sanggup juga Engkau kabulkan,
izinkanlah saya yang menyebar pakunya. Aamiin.”

Ada pemandangan berbeda ketika semua teman sekelas


melihat Bu Ratna. Kalo dosen yang lain mungkin akan santai
aja, masih bisa salto-salto di depannya, poco-poco di depan
kelas, nguap-nguap bahagia gitu. Tapi kalo Bu Ratna?
Semuanya hanya bisa diam menahan napas, nahan kentut,
nahan napas yang bau kentut. Pokoknya semua orang berubah
menjadi kaku melebihi foto Pattimura di uang seribuan.
Kalo Bu Ratna udah dalam kelas, saya ada di sudut kelas,
menyembunyikan tampang saya yang imut ini. Sengaja
disembunyikan. Takutnya, Bu Ratna bakalan minta poto gitu.
Ok ok, yang ini saya ngarang.
Sebenarnya kalo saya bertemu sama Bu Ratna, pasti
akan terjadi pertumpahan darah dalam kelas. Badan saya
penuh luka bacok, kepala saya penuh anak panah, kadang
celana saya diplorotin, terus burung saya dicabik-cabik secara
brutal. Ngeri deh kalo dibayangin.
Kalo Bu Ratna udah mulai ngajar, saya bakal diam seribu
bahasa, kadang juga pura-pura mati dalam kelas.

“Heh, kamu yang tidur di belakang, coba baca apa yang


di papan tulis, cepat!” perintah Bu Ratna.

“.....” Saya mangap sambil lap liur.

“Kenapa diam? Cepat!”

“.....” Saya diam sambil nelan liur.

“BACAAA!” Bu Ratna teriak.


“.....” Saya pura-pura mati. Kemudian papan tulis
melayang; sadis.

Memang sulit. Kalo pun dipaksa membaca, lidah saya


tetap gak cocok dengan huruf-huruf yang menyusun kata per
kata dari kalimat-kalimat yang membentuk paragraf-paragraf
gak jelas di papan tulis itu, alah.
Intinya? SAYA GAK TAAAUU.
Kalo sudah begitu, Bu Ratna akan menggunakan
mulutnya untuk memaki.

“Kalo kuliah yang benar, jangan cuma pacar yang


diurusi; gonta-ganti-gonta-ganti, emangnya celana dalem?”

“Belajar yang rajin, jangan maen twitter melulu. Baru


Ibu gak kamu follow lagi, follow gih!”

“Pikirin masa depanmu, jangan malah mikirin jodoh


melulu. Pikirin tuh gimana caranya biar bisa sukses, jangan
malah mikirin cara buat ngutang melulu. Kasian kan orang
tuamu di rumah? Udah tua, nunggu anaknya sukses, gak
sukses-sukses. Nunggu anaknya lulus, gak lulus-lulus. Apa kamu
gak sadar berapa banyak biaya yang orang tuamu keluarin
belajar di sini? Kalo kamu masih malas mending mati aja, hidup
kok bikin susah aja. Mati sana!”

“Tapi Anuu belum kawin Bu.” Kataku membela diri.

“Kawin dipikirin, di kepalamu kawin terus yang


dibayangin. Emang udah punya modal? Udah punya duit, hah?
Udah sukses? Sukses dulu sana, nanti juga cewek-cewek bakal
berjejer buat kawin sama kau. Paham gak?”

“Saya yakin kok Bu, bakalan sukses dengan cemerlang


kelak. Tapi gak harus pintar bahasa Inggris kan?” kataku
bersikeras.

“Jangan membantah, Ibu ini sukses karena pintar bahasa


Inggris, makanya kamu juga harus pintar bahasa Inggris, biar
kayak Ibu.”

“Loh? Itu kan Ibu, yang baik menurut Ibu belum tentu
baik buat saya. Kita berdua berbeda Bu, potensi kita berdua
beda. Saya mau jadi bos besar Bu, mau jadi pengusaha. Jadi
tidak harus pintar bahasa Inggris kan? Kalaupun nanti bakalan
ada bule yang nyasar di tempat usaha saya, saya bakal bayar
orang-orang yang pintar bahasa Inggris kayak Ibu buat jadi
assistent saya. Paham gak?”

“.....” Bu Ratna diam, lalu ngeluarin shotgun dari balik


bajunya. Saya kontan kabur dengan baling-baling bambu.

Yah, begitulah perdebatan hebat yang terjadi antara


saya dan Bu Ratna beberapa tahun yang lalu. Kadang sedih kalo
ingat pahitnya kejadian bersama Bu Ratna itu, seakan-akan
potensi saya yang lain gak dihargai, padahal kecerdasaan
seseorang itu kan beda-beda toh? Memang saya gak ahli dalam
berbahasa Inggris, tapi saya punya keahlian lain yang belum ia
lihat, lalu kenapa ia harus menghakimi?
Saya selalu berdoa agar Bu Ratna lebih menghargai
potensi dalam diri setiap mahasiswanya. Apalagi kita adalah
ciptaan Tuhan yang tidak mungkin dikurangkan di sisi yang satu
tanpa ada yang dilebihkan di sisi lainnya. Tuhan itu Maha Adil,
saya percaya itu.
Saya rasa, tidak perlu lagi saya bersedih memikirkan
perkataan Bu Ratna yang suka merendahkan itu. Harusnya
tetap optimis untuk menuju masa depan. Karena ‘masa depan
adalah milik orang-orang yang terus mengasah kemampuan.
Bukan milik orang-orang yang menggunakan otaknya hanya
untuk menghapal rumus & seluruh kata di kamus’.
Jauh sebelum mengenal aliran sesat dengan
menyembah toga seperti saat ini, dulu saya hanyalah sebuah
bercak di kulit yang membuat kehidupan orang lain gatal
berhari-hari. Ya, masih banyak yang menganggap saya sebuah
panu yang berkamuflase menjadi cacar air. Semua orang jijik,
dan selalu menjauhkan dirinya agar tak tertular penyakit
kebodohan yang selama ini saya idap.
Masa lalu saya hanya berisi coretan-coretan berantakan
yang masih dibaca setiap hari. Memang bukan sesuatu yang
indah untuk dikenang, banyak kepahitan yang memaksa saya
untuk menulis ulang kehidupan ini.
Masa lalu saya hanyalah sebuah kehidupan yang penuh
hinaan, makian, dan pengabaian. Orang-orang menganggap
saya macam barang rongsokan yang tak berguna lagi. Padahal,
setiap kehidupan yang penuh masalah masih bisa didaur ulang
agar lebih berarti.
Saat ini, kehidupan saya jauh lebih baik. Bisa
mengenyam bangku kuliah yang sebenarnya tidak pernah saya
harapkan. Hal itu membuat saya sangat bersyukur. Namun,
hadiah itu tidak terlepas dari semua hal yang saya lakukan
semasa kecil hingga saat ini. Sebab-akibat dari kisah yang saya
alami bermula sejak bertemu dengan seorang teman yang
membuka perjalanan saya terlibat dalam kehidupan yang
teramat keras.
“Adi…?”
Ya, Adi. Teman saya yang hobi mencari bongkahan
kotoran kucing itulah yang banyak mengajari tentang hidup.
Setiap hari kami berdua jalan bareng pulang dari sekolah. Entah
kenapa setiap kali dia melihat gelas bekas air mineral, selalu
saja dia masukkan ke dalam tasnya. Hal itu dia lakukan setiap
hari. Usut punya usut, ternyata gelas bekas mineral itu dia jual
ke tempat pengumpul barang bekas; semacam tempat
berkumpulnya sampah masyarakat yang akan didaur ulang dan
ditukarkan menjadi rupiah gitu. Ada botol bekas, kertas bekas,
besi, dan lain-lain. Bahkan koruptor juga ada di sana. Yang ini,
mungkin yang paling sampah.
Mulai saat itu, saya ikut-ikutan mengumpulkan barang
bekas untuk dijadikan rupiah. Sebenarnya, niatnya bukan untuk
ngebantu orang tua, tapi untuk nyewa play station. Maklum
anak kecil kan dunianya main. Anak kecil tanpa game itu
seperti Syahrini tanpa make-up, gak keren pokoknya.
Mau minta ke Mama, uangnya juga gak ada. Jadi
terpaksa saya mengikuti jejak Adi untuk mencari harta karun.
Tidak tau kenapa, kabar itu terlalu cepat beredar di sekolah.
Semua orang menghina dan meneriaki kami berdua, “Dasar
pemulung. Cuih.” Hempasan air liur itupun tumpah di wajah
kami berdua.
Emang rada aneh, semua orang menganggap pekerjaan
ini sesuatu yang hina. Padahal memulung lebih mulia daripada
harus mencuri kan?
Teman-teman sekelas yang menghina itu—setiap kali
mereka melihat wajah saya—mereka akan melemparkan
sampah minuman mineral ke muka saya. Setiap hari. Kadang
tas saya dimasukkan sampah, di laci meja juga penuh sampah.
Mereka melakukan itu untuk mempermalukan saya. Padahal,
hal itu malah membantu saya untuk mengumpulkan lebih
banyak sampah. Jadi wajar setiap kali pulang sekolah, tas saya
bukan hanya penuh dengan PR matematika, tapi juga penuh
dengan rupiah. Yang bodoh sebenarnya siapa?
Mama yang tidak tahu sama sekali saya melakukan hal
itu, awalnya sempat kaget.

“Nak, apa ini? Kenapa tasmu penuh sampah?”

“Itu Maa, Anu pengen maen PS kayak teman-teman


yang lain. Jadinya, jual sampah buat dapat duit Ma.”

“Ya ampun Nak, Maap, Mama tidak bisa memberikan


kamu uang yang lebih.”

Sejak saat itu, Mama jadi tahu. Sebenarnya beliau


ngelarang melakukan itu, tapi saya bersikeras untuk terus
mengumpulkan sampah setiap hari. Kadang di waktu sore atau
liburan sekolah, saya akan berkeliling kota ditemani Adi;
berjalan dari tempat sampah satu hingga tempat sampah
satunya lagi untuk mencari harta karun. Dua anak kecil di
tengah kota yang panas menggandeng karung di pundak. Hal
itu cukup membuat saya sedih, jika harus mengingatnya lagi.
Sejak masuk SMP, pekerjaan mengumpulkan sampah itu
saya tinggalkan. Sudah pasti karena saya sudah punya sedikit
rasa malu. Apalagi sudah cukup banyak wanita yang mendekati
saya saat itu. Gak mau rasanya dijauhi hanya karena para gadis
labil itu mencium bau sampah dari ketekku. Meskipun begitu,
tetap saja hidup dalam kemiskinan mendidik saya untuk
menjadi anak yang mandiri.
Keadaan finansial keluarga yang berada di bawah garis
kemiskinan, menuntut saya mempekerjakan diri sendiri untuk
menghasilkan uang, tidak ada ide yang lebih baik dari ini. Tanpa
sepengetahuan orang tua, setiap sore saya pergi ke sebuah
toko meubel kayu untuk membantu pemilik usaha
membersihkan serbuk sisa aktifitas produksi di meubel itu.
Untuk satu kali pembersihan, saya dibayar 5 ribu rupiah
oleh pemilik usaha. Upah segitu udah banyak di jaman dulu,
paling tidak bisa dibeIikan permen pendekar biru satu karung.
Dengan penghasilan 5 ribu rupiah setiap hari, membuat
saya tidak perlu lagi minta uang jajan sama orang tua. Setiap
kali diberi uang jajan, saya pasti menolak. Saya hanya bilang ke
Mama,“Ma, uang ini simpan saja buat belikan Bapak celana
dalem baru. Kasian Bapak, celana dalemnya sudah tak ada yang
sempurna.” Mama terharu dan memelukku.
Kadang saya merasa kehidupan ini tak adil, kenapa anak
lain mempunyai kehidupan enak; sedangkan saya harus
menghabiskan masa kecil dengan bekerja keras. Mengharapkan
kehidupan yang layak dari orang tua yang pekerjaannya tidak
jelas hanya akan membuat keadaan semakin sulit. Mungkinkah
Tuhan sengaja memberikan tekanan hidup sebegitu berat, agar
di masa depan nanti saya menjadi orang yang hebat?

Setelah lulus SMP, saya dimasukkan ke sebuah sekolah


kejuruan, SMK negeri 5 Palu. Di sini, hidup saya sedikit
berubah. Saya mendapatkan bantuan biaya pendidikan dari
pemerintah karena berasal dari keluarga tidak mampu. Bukan
hanya mendapatkan bantuan, di sekolah ini kemampuan saya
diasah.
Waktu itu saya mengambil jurusan kriya rotan; satu-
satunya jurusan rotan yang ada di Indonesia, begitu kata kepala
sekolah waktu itu. Berhubung Palu merupakan kota dengan
tanah yang banyak ditumbuhi tanaman rotan, maka
pemerintah membuat satu jurusan baru sejak tahun 2007,
dengan tujuan mengembangkan sumber daya manusia kota
Palu, Sulteng. Saya angkatan ketiga.
Saya yang waktu itu sama sekali tidak punya
pengetahuan sama sekali mengenai rotan, belajar dengan giat.
Karena terlihat lebih rajin dari anak yang lain, ada seorang guru
bernama Pak Syahril datang menemui saya dan mengajak
tinggal bersamanya. Sejak saat itu, kehidupan saya sedikit
berubah, sebab sudah benar-benar punya penghasilan sendiri
dari bekerja bersama Pak Syahril.
Pak Syahril adalah guru honorer sekaligus pengusaha
meubel rotan yang ada di kota Palu. Dia memanggil saya tinggal
di rumahnya untuk bantu-bantu pekerjaan di tempat usahanya.
Setiap hari selepas pulang sekolah, waktu saya habiskan
untuk bekerja menganyam kursi rotan. Saya beruntung, Pak
Syahril mau mendidik saya pelan-pelan hingga telaten
menganyam kursi rotan waktu itu. Kata Pak Syahril, “Kunci
sukses itu hanya ada satu, kesungguhan. Kalau mau ahli,
belajar yang tekun. Gak harus fokus digaji, tapi fokus untuk
mengembangkan kemampuan diri, InsyaAllah uang akan
datang sendiri.
Selama 3 tahun sekolah sambil bekerja, kemampuan
menganyam kursi rotan pun semakin hari semakin terasah. Hal
itu membuat pundi-pundi rupiah semakin mudah datang ke
saku celana. Namun namanya juga hidup, kadang di atas dan
kadang di bawah, Pak Syahril yang waktu itu lagi berada di
puncak kejayaan tiba-tiba bangkrut. Menurut cerita yang saya
dengar dari salah satu karyawan di tempat saya bekerja, Pak
Syahril lumayan punya banyak utang di bank. Akhirnya, utang
tersebut malah menjadi boomerang. Hal itu membuat saya
menganggur dan tak punya uang.

Saat dinyatakan lulus dari SMK, saya bingung mau kerja


apa. Rencana untuk melanjutkan ke perguruan tinggi terhalang
oleh biaya. Seandainya Pak Syahril tidak bangkrut, mungkin
saya punya uang untuk membiayai kuliah sendiri waktu itu.
Merasa sudah tidak punya harapan lagi untuk berkuliah,
saya mencoba mencari kerja di kota. Rencana Tuhan tak dapat
diduga memang. Pada saat mencari pekerjaan, saya bertemu
teman yang dulu sekelas dengan saya di SMK. Teman saya itu
sedang di tempat foto copy-an. Kebetulan saat itu saya juga
mau meng-copy surat lamaran kerja.

“Hei bro, apa kabar kau?” sapaku ke teman lama.

“Hei Anu, udah lama juga kita tidak ketemu. Kabar aku
baik. Kamu sendiri gimana?”
“Yah gitulah, bisa kau lihat sendiri. Dari dulu sampe
sekarang, saya tetap ganteng kayak Syahrul Khan.”

“Haha, gak berubah kau. Pede gila. Kerja di mana kau


sekarang?”

“Haduh, ini baru mau cari kerja, ngapain sih kau di sini?”

“Ou, ini, lagi copy berkas buat daftar beasiswa gitu,


emangnya kau tidak dapat kabar dari sekolah?”

“Gak, beasiswa apa sih?”

“Beasiswa bidik misi, bolehlah kau ikut. Siapa tahu saja


beruntung. Kata kepsek, beasiswa ini diperuntukkan bagi siswa
berprestasi yang datang dari keluarga tidak mampu. Alumni
juga boleh ikut. Lihat saja ni persyaratannya!”

Lalu saya meraih map berwarna pink yang diberi teman


saya itu, membacanya pelan-pelan. Dari pertemuan singkat itu,
akhirnya saya putuskan untuk ikut mendaftar. Setidaknya, bisa
membuka harapan agar kembali bisa membangunkan mimpi
yang selama ini telah terkubur. Tanpa disangka, tiga bulan
menunggu hasil seleksi, saya dikabarkan pihak sekolah kalau uji
berkasku lolos. Itu artinya bisa melanjutkan kuliah di perguruan
tinggi di kota Manado, berhubung saya waktu itu mendaftar
pilihannya di sana. Sedangkan, teman saya di tempat foto copy-
an, tidak beruntung dan dinyatakan gagal karena foto di
ijazahnya kurang cakep. Entah apa hubungannya.
Saya yang waktu itu kegirangan telah lolos seleksi,
dihadapkan kembali dengan masalah keuangan. Bayangan saya
tentang beasiswa bidik misi ini, awalnya begitu indah. Ternyata
musnah, ketika tahu bahwa biaya transportasi tidak ditanggung
pemerintah. Jelas, keluarga saya angkat tangan untuk hal ini.
Apalagi kita tahu, dari Palu ke Manado itu memakan biaya yang
lumayan tinggi. Setidaknya, uang sekitar 2 jutaan saya
butuhkan untuk biaya transpor, makan, dan juga kontrakan
untuk awal kedatangan di sana. Hal itu membuat saya terpaksa
mengalah oleh keadaan.

“Maa, kalo memang gak bisa biayai Anu ke Manado, ya


udah, kita relakan saja tu beasiswa. Toh, Anu bisa kerja dulu
buat ngumpulin duit. Ntar tahun depan baru Anu kuliah.”

“Janganlah Nak, ini kesempatanmu untuk kuliah. Mama


hanya punya ini, silahkan jual saja untuk biaya kau di sana.”

“Ma, ini kan perhiasan hadiah dari Bapak, janganlah


Maa.”
“Udah ambil saja.”

Mama saya merelakan kalung perhiasan yang diberikan


Bapak saat menikah dulu. Sebenarnya gak rela buat jual tu
kalung, namun saya berjanji ke Mama kalau nanti sudah sukses
bakal belikan Mama kalung emas segede rante kapal.

Perjalanan hidup baru dimulai. Dengan bangganya, saya


berpamitan pada kedua orang tua waktu itu.

“Paa, Maa, Anu pergi dulu.”

“Hati-hati di kampung orang Nak.” Kata Mama datar.

Gitu doang sih kata perpisahan yang saya dengar dari


Mama, sedangkan Bapak hanya tersenyum dan membisikkan
sesuatu.

“Ntar kalo udah dapat pacar di Manado. Kirimkan


fotonya lewat post ya.”

“.....” Kemudian kepala Bapak dijitak Mama.


Setelah berpamitan kepada kedua orang tua, saya
bersiap untuk pergi ke terminal tanpa diantar siapapun.
Dengan berat hati, melangkahkan kaki meninggalkan kampung
halaman yang sudah mengajari banyak hal tentang hidup. Di
pikiran saya waktu itu, saya harus sukses di tanah rantau. Harus
jadi mahasiswa terbaik di sana dan dapat gadis Manado yang
pahanya mulus kayak artis Korea. Dengan motivasi seperti itu,
saya dengan gagahnya memberanikan diri untuk pergi
mengejar cita-cita.
Ketika sampai di Manado, hal pertama yang saya
lakukan adalah mencari tempat menginap dan alamat kampus.
Dengan bermodalkan peta yang diberikan kepala sekolah, saya
menguji keberuntungan. Zaman dulu nyari alamat itu ribet,
apalagi saya belum ngerti dengan yang namanya internet.
Sebenarnya kalo ngerti, tinggal browsing aja di internet pasti
alamat kampusnya bakal mudah ditemukan. Tapi hal itu tidak
bisa saya lakukan dengan mudah, apalagi saya lupa membawa
kompas. Satu-satunya cara adalah bertanya. Ya iyalah.

“Maap, Buu. Tau alamat kampus ini gak?” saya bertanya


pada ibu-ibu yang ditemui di jalan.

“Oh ini Dank, ke sana jo ngana!” sambil nunjuk arah


jalan. “Kalau ngana sudah ketemu perempatan, belok kiri jo.
Habis itu belok kanan, habis itu belok kiri lagi. Nanti kalau
sudah lihat rumah yang warna temboknya nyanda bawarna, so
itu dia.”

“Alamat kampus Buu?”

“Bukan, itu rumah Pak RT. Maksudnya ngana nanti tanya


ke Pak RT, kampus yang ngana maksud ini di mana dank.” Kata
ibu-ibu itu dengan logat Manadonya.

“.....”

Setelah pergi dari hadapan ibu-ibu gak jelas itu, saya


ketemu dengan Pak RT. Ditunjukkanlah alamat kampus itu.
Beruntung, alamat tersebut tidak begitu jauh dari rumah Pak
RT. Yang paling beruntung dari yang beruntung; saya diizinkan
menginap di rumah Pak RT tersebut sampai benar-benar
mendapatkan kontrakan yang cocok. Berhubung hari sudah
mulai gelap. “Makasi ya Pak.”
Esok harinya, saya lupa hari apa. Yang jelas saat itu saya
berdandan rapi untuk menuju kampus yang selama ini diimpi-
impikan. Tugas pertama saya di awal masuk kampus adalah
memasukkan berkas pendaftaran ulang. Sama seperti
mahasiswa lain pada umumnya, setelah sampai ke depan
kampus kesan pertama yang saya rasakan adalah ‘waw’. Ini
pertama kalinya, saya melihat gedung gede, pokoknya tinggi
banget. Pohon kelapa di kampung saja kalah tinggi.
Setelah mencari ruangan untuk mendaftar ulang ke sana
kemari. Akhirnya ketemu juga sebuah kertas di dinding
bertuliskan ‘Pendaftaran Ulang Mahasiswa Jalur Bidik Misi’
terus dikasih arah panah gitu sebagai penunjuk arah. Dengan
semangat, saya masuk ke ruangan itu dan bertemu dengan om-
om yang mukanya mirip pantat kuda.

“Pak, saya Anu, eh maksud saya Arief. Mau memasukkan


berkas untuk mahasiswa bidik misi.”

“Oh iya, coba saya lihat!”

Setelah beberapa menit, Bapak itu memeriksa berkas


yang saya bawa. Dia mengatakan sesuatu yang hampir
membuat penyakit jantung saya kambuh.

“Maap Dek. Benar di sini untuk pendaftaran bidik misi,


tapi setelah melihat berkas kamu, sepertinya berkas ini masih
perlu dilengkapi!”
“Loh? Bukanya itu sudah lengkap Pak?” tanyaku heran.

“Coba lihat lagi. Berkas mengenai akreditasi sekolah


belum ada; laporan sekolahmu juga belum dilegalisir. Ade juga
perlu tahu bahwa kampus kami mewajibkan untuk
melampirkan sertifikat penghargaan yang pernah didapatkan
selama bersekolah.”

“Ta-tapi Pak. Menurut informasi yang saya dapatkan


dari sekolah, persyaratannya tidak seperti itu.”

“Oh iya benar. Namun, kampus kami punya kebijakan


tersendiri yang mengharuskan mahasiswa bidik misi
melengkapi hal tersebut.”

“Jadi sekarang saya harus gimana, Pak?”

“Sebelum bulan Juli, semua persyaratan harus Ade


lengkapi. Perkuliahan akan dimulai bulan Agustus. Ade masih
punya waktu sebulan untuk melengkapi semua. Kalau tidak
bisa, kami nyatakan Ade gugur.”

Saya terdiam. Yang saya pikirkan, bagaimana caranya


untuk bisa melengkapi berkas tersebut. Apalagi harus terpaksa
balik ke kampung untuk melengkapi semuanya, sudah pasti
saya tidak punya cukup banyak dana lagi untuk bolak-balik
Palu-Manado.
Melihat apa yang diminta pihak kampus, satu yang tidak
bisa saya penuhi adalah sertifikat penghargaan. Berhubung saat
di sekolah dulu, saya sama sekali tidak pernah mengikuti
perlombaan yang mendapatkan semacam sertifikat
penghargaan atau apalah. Kecuali, pernah menang di lomba
balap karung saat tujuh belasan, itupun hadiahnya hanya 1
buah buku tulis doang. 
Mungkin saya yang bodoh, karena informasi yang saya
dapat tentang kampus itu begitu kurang. Dari pihak sekolah
pun tidak memberi tahu secara detail. Kepala sekolah hanya
bilang, “Kamu datang ke sana hanya untuk masukkan berkas,
daftar ulang, lalu siapkan diri untuk belajar, itu.” Saya pikir akan
semudah itu, ternyata semua di luar dugaan.

“Okeh Pak. Saya siapkan berkasnya. Tapi bolehkah saya


mengirim berkas tersebut melewati pos? Saat semuanya sudah
siap, pasti saya akan balik lagi ke kampus ini.” Kataku dengan
sisa-sisa harapan yang tertinggal.

“Baik, kami akan menunggu.”


Akhirnya dengan sisa uang yang ada, saya kembali lagi
ke kampung.

Selama perjalanan, saya mencoba menyusun kalimat


yang tepat agar dapat menjelaskan apa yang telah terjadi. Saya
berasa gagal terlalu cepat, dan takut hal itu akan membuat
kedua orang tua saya kecewa berat—terutama Bapak yang
sangat menginginkan foto gadis yang bakal jadi mantunya.
Maap ya Pa.
Malu. Hanya rasa malu yang saya rasakan waktu itu,
apalagi saat kembali harus mengetuk pintu yang rasanya baru
beberapa hari yang lalu ditinggalkan.
Tok tok tok. Assalamualaikum Maa. Anu pulang.”

“Waalaikumsalam, loh anak Mama sudah pulang. Apa


yang terjadi Nak?”

“Maap Ma, maapkan Anu.” Saya langsung memeluk


Mama dengan kencang.

“Kamu kenapa Nak, cerita ke Mama?”


“Maap Maa, Anuu telah gagal menjadi anak kebanggaan
Mama. Maapkan Anuu.”

“Kamu kenapa sih Nak? Sudah kamu tenang dulu. Ayok


masuk!” Mama mencoba menenangkan saya yang menangis
seperti petani yang gagal panen. Saat semua suasana kembali
tenang, saya mulai menjelaskan semua hal yang terjadi.

“Ma, maapkan Anu. Anu sudah berusaha. Tapi Tuhan


punya rencana lain. Upaya Anu untuk bisa kuliah di Manado
beresiko gagal karena kurangnya beberapa persyaratan Ma.
Tadinya Anuu kembali untuk melengkapi persyaratan yang
kurang, hanya saja satu dari persyaratan itu tidak bisa Anu
penuhi.”

“Apa itu Nak?” tanya Mama memotong penjelasan.

“Sertifikat penghargaan Ma. Mama kan tahu sendiri,


anak Mama ini gak pernah dapat penghargaan apa pun dari
sekolah. Kalaupun Anu masuk 10 besar terus, itupun karena
teman sekelas Anu bego semua kan Maa. Jadi Anuu ini anak
terbego di antara yang bego.” Huhuhu. 
“Ya ampun Nak. Kalo itu mah Mama punya, kamu
tunggu di sini.”

Mama langsung bergegas masuk ke dalam kamar. Tidak


lama kemudian, keluar lagi sambil membawa sebuah map
berwarna merah muda.

“Ini nak. Ambil!”

Tanpa banyak bicara, saya langsung memeriksa isi dalam


map.
“Ya ampun Maa. Ini apaan sih?”

“Sertifikat Nak.”

“Yang Anu maksud sertifikat penghargaan, kenapa


sertifikat tanah yang Mama kasih?”
Ketika kehilangan harapan, saya mencoba bangkit dari
keterpurukan. Mimpi untuk bisa menginjakkan kaki di
perguruan tinggi, saya kubur dalam-dalam. Tak mau rasanya
memaksakan diri untuk mengikuti kemauan Bapak bermuka
pantat kuda itu.
Saya merasa memang sudah ditakdirkan untuk terus
merasakan yang namanya kegagalan. Gedung kampus dan
mahasiswi cantik saat itu hanyalah sebuah bayangan yang sulit
untuk jadi kenyataan.
Setelah merasa gagal, akhirnya saya mengubah fokus
hidup; yang tadinya ingin mengenyam pendidikan tinggi
menjadi keinginan untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi.
Kembali mencari pekerjaan? Yah, seperti itulah kegiatan yang
saya lakukan. Namun, mencari pekerjaan tidak semudah
membalikkan telapak lidah. Bagi lulusan SMK yang hanya punya
keahlian menganyam kursi rotan, mana ada perusahaan besar
yang mau nerima, ujung-ujungnya paling disuruh nyari kutu.
Saya sibuk ke sana kemari memasukkan surat lamaran,
meskipun pada akhirnya semua lamaran itu berujung pada
penolakan. Tapi, setelah sabar menjalani cobaan, akhirnya saya
diberi kejutan oleh Tuhan. Saya mendapatkan kabar dari
seorang teman sekelas saat di SMK dulu kalau Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia mengadakan sebuah
pelatihan kerajinan rotan, yang akan diadakan di sekolah dalam
waktu dekat.
Beberapa alumni terpilih; sekitar 10 orang alumni
(termasuk saya) dan 15 orang dari pengrajin rotan di kota Palu
dilibatkan sebagai peserta. Tujuan pelatihan ini sudah pasti
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di kota Palu
dan memberikan bantuan kepada peserta pelatihan berupa
modal usaha.
Saya seperti diberikan kesempatan untuk kembali
menata masa depan yang cerah ketika mendengar kabar itu.
Dengan bantuan dana sekitar tiga jutaan, membuka harapan
untuk segera punya usaha sendiri.
Benar saja, sebulan melakukan pelatihan, akhirnya saya
bisa juga memegang uang sebanyak itu. Tangan saya gemetar
memegang amplop, mata saya berkaca-kaca melihat lembaran
uang merah. Seperti baru saja mendapatkan rejeki dari kuis
berhadiah.
Tidak mau terlalu terlena, seminggu setelahnya saya
langsung menyusun rencana untuk berwirausaha. Karena
kemampuan saya adalah menganyam kerajinan rotan, maka
tidak ada pilihan lain selain melakukan itu.
Berhari-hari, saya menganyam dan menawarkan
kerajian rotan buatan saya ke orang-orang. Setiap harinya saya
berjalan dari rumah ke rumah, dari kompleks ke kompleks
mencari pelanggan. Awalnya tidak mudah, karena pengaruh
lokasi usaha yang tidak tepat, ya, waktu itu saya memulai usaha
dari dalam rumah sendiri yang jauh dari pusat keramaian.
Penolakan demi penolakan menjadi hal yang wajar,
namanya juga lagi belajar. Setiap kali percobaan tak jarang
produk saya tidak laku dijual. Untungnya, saya punya Bapak
yang selalu mendukung apa yang saya kerjakan. Tak segan
Bapak memberikan masukan.
“Gini loh Nak, kalau mau buat produk, yang unik. Coba
deh buat kayak gini!” kata Bapak sambil memperlihatkan hasil
desainnya ke saya.
“Bagus Pa. Ok, Anu buat yang ini.” Sambil menunjuk
kertas yang berisi coretan-coretan sketsa desain kerajinan
rotan itu.

Karena selalu menerima saran dari Bapak dengan baik,


akhirnya produk saya lumayan banyak yang suka. Tawaran dari
beberapa tetangga saya layani. Permintaan mereka sangat
beragam, ada yang memesan dibuatkan vas bunga, tudung saji,
dan ada pula yang tidak memesan. Ya, kebanyakan dari ibu-ibu
itu hanya meminta rotan utuh untuk digunakan memukul
suaminya yang ketahuan selingkuh.
Ketekunan itu membawa perubahan. Tanpa disangka,
produk yang dipromosikan dari mulut ke mulut itu cukup
terkenal di sekitar kampung. Ada kenikmatan tersendiri ketika
melihat orang-orang setiap hari berdatangan untuk memesan
produk yang saya buat. Saking banyaknya pesanan, ada
beberapa yang saya tolak karena tidak bisa memenuhinya tepat
waktu. Saya mencoba memberikan pengertian ke calon
konsumen, kalau pekerjaan ini masih saya lakukan sendiri dan
belum bisa menerima banyak. Takutnya mengecewakan
mereka. Kalau sudah kecewa, habislah saya dibakar massa.
Ada kepuasan tersendiri dalam berwirausaha, apalagi
saya masih sangat muda waktu itu. Kira-kira enam-belasan.
Faktor usia kadang menjadi celaan orang lain. Memang saat itu
banyak orang sekeliling yang meremehkan kemampuan saya.
Menurutnya, anak muda seperti saya masih harus banyak
belajar. Jangan sok mandiri dengan buka usaha sendiri.
Memang kalau mendengar semua hinaan itu rasanya ingin
membalas, namun saya memilih diam. Karna suksesku nanti
yang akan mendiamkan mereka.
Makin hari makin berubah. Salah seorang pegawai dari
dinas pariwisata menemui saya dan menawari untuk mengikuti
sebuah event pameran di Kab. Donggala, Palu. Katanya dinas
pariwisata bakal meresmikan salah satu tempat wisata
bernama Danau Talaga. Juga, akan diadakan beberapa acara
seru; lomba-lomba hingga pameran produk keunggulan
Sulawesi Tengah, seperti kerajinan dari kayu hitam, batik
bomba, dan masih banyak lagi. Tentu, saya tidak melewatkan
kesempatan itu.
Ketika tiba waktunya, produk buatan saya diangkut ke
tempat kegiatan. Waktu itu, saya membuat produk yang beda
dari yang lain. Burung merak untuk hiasan dinding dan gajah-
gajahan yang berfungsi untuk menyimpan pakaian kotor,
sebagai penarik perhatian pengunjung yang saya jadikan
andalan. Di sana saya bertemu banyak orang penting, seperti
Pak Bupati dan kepala-kepala dinas lainnya. Di salah satu
kesempatan, Pak Bupati datang ke stand saya untuk melihat-
lihat produk buatan saya. Mereka takjub.

“Ini buatan sapa?” kata Pak Bupati sambil menunjuk


burung merak yang menempel di dinding. Salah satu dari
karyawan pariwisata itu menunjuk saya, dan membuat semua
orang kaget.

“Loh kok anak kecil?” seperti itu kata mereka serentak,


membuat saya semakin terpojok minder.

Ukuran badan saya waktu itu memang masih kecil,


bahkan memiliki wajah yang sangat polos. Sudah pasti banyak
dari orang-orang meragukan hal itu. Namun setelah saya
menodongkan pistol ke kepala Pak Bupati, akhirnya dia mau
mengakui. Maap, bercanda.
Bertemu dengan orang-orang penting ternyata bisa
membuka peluang yang lebih. Salah satu pegawai dari dinas
perindustrian Kab. Donggala meminta nomor handphone saya.
Katanya, jika suatu saat nanti diadakan pameran seperti ini,
produk buatan saya akan kembali dipamerkan. Dan benar saja,
setelah dua bulan usai kegiatan peresmian tempat wisata itu,
saya sering dipanggil ke dinas Perindakop untuk menyetorkan
produk yang akan dipamerkan. Beberapa kali, produk buatan
saya dibawa ke Jakarta untuk dipamerkan di sana.
Hubungan dekat saya dengan orang-orang dinas
Perindakop, membukakan jalan menuju karir yang cemerlang.
Namun, kerja sama yang terjalin baru seumur jagung itu
tiba-tiba terhenti. Kepala bidang industri di dinas Perindakop
Kab. Donggala menelpon saya.

“Hallo Arip.” Suara di ujung telpon.

“Oh iyah Pak Nasir.”

“Besok kau datang ke kantor, ada hal yang mau saya


bicarakan!”

“Ba-baik Pak.”

Perintah itu terdengar misterius. Saya berpikir negatif.


Ada apa ini? Kenapa Pak Nasir tiba-tiba menelpon? Jangan-
jangan mereka bakal memutuskan kerja sama ini? Begitu pikir
saya waktu itu. Tidak mau berlarut dalam dugaan, saya
putuskan keesokan harinya berkunjung ke kantor untuk
memenuhi panggilan Pak Nasir.
Esoknya, saya berangkat. Bertemulah saya dengan Pak
Nasir di ruangannya. Harap-harap cemas, ketika melihat wajah
orang itu datar dengan tatapan kosong sedang asyik maen
poker di laptopnya.

“Assalamualaikum Pak.” Saya mengucap salam di


ambang pintu ruang kerjanya.

“Walaikumsalam, bagaimana kabar?” sapa Pak Nasir


ramah.

“Alhamdulilah, selalu baik Pak. Jadi, apa yang bakal kita


bicarakan kali ini Pak?”

“Oh iya, saya mau menawarkan sesuatu. Tunggu


sebentar.” Kata Pak Nasir sambil membuka laci mejanya,
mencari sesuatu yang penting.

“Nah, ini dia. Ambil ini. Baca baik-baik semoga kau


tertarik!” lanjut Pak Nasir seraya menyodorkan sebuah kertas
yang saya tidak mengerti bertuliskan apa.
Penasaran, saya buka lembar per lembar berkas itu.
Setelah membaca, ternyata itu adalah prosedur pendaftaran
untuk mengikuti penerimaan beasiswa tenaga penyuluh
lapangan industri kecil dan menengah. Sebuah program kerja
dari kementerian perindustrian R.I.

“Wah, ini formulir pendaftaran beasiswa ya Pak?”


seruku kaget.

“Yah. Bagaimana tertarik?”

Pertanyaan itu mengingatkan saya dengan kegagalan


waktu di kota Manado. Saya mencoba berpikir sebentar; kalau
saya ambil, takutnya bakal gagal lagi. Dan kembali Pak Nasir
mengulang pertanyaan yang sama.

“Bagaimana Arip, tertarik?”

“Boleh saya pulang dan membicarakan ini pada orang


tua dulu Pak?”

“Oh tentu saja, hubungi saya secepatnya. Jangan sia-


siakan kesempatan ini, karena saya melihat potensi dalam
dirimu.” Ujar Pak Nasir sambil tersenyum bangga. Kami
berjabat tangan.
Senang bercampur bimbang, perasaan yang saya bawa
saat balik ke rumah. Entah apa lagi pendapat orang tua tentang
hal itu. Trauma sih kalau mengingat kejadian yang banyak
menghabiskan biaya waktu itu. Seperti tidak ingin rasanya
mengulang kesalahan yang sama. Tidak ingin mengecewakan
lagi kedua orang tua. Apalagi di kepala saya sama sekali sudah
tidak punya pikiran untuk kuliah.
Sengaja saya simpan dulu kabar mengenai beasiswa itu.
Menunggu waktu yang tepat untuk bicara ke Bapak dan Mama.
Saya mengerti sekali perasaan mereka yang menginginkan saya
fokus bekerja. Itu adalah saat yang paling membingungkan
untuk tetap berwirausaha atau memilih kuliah.

Momen yang tepat akhirnya datang. Jam makan malam


saya pilih untuk membicarakan hal itu. Saya dan Bapak dengan
lahap mengunyah masakan Mama yang gak kalah enak dari
masakan Farah Queen—artis yang hobby masak di tivi-tivi itu.
Saya menunggu mereka semua selesai makan sambil
lirik-lirik makanan yang mungkin saja masih tersisa. Ketika saya
lihat Bapak menghela napas panjangnya seraya mengelus-elus
perutnya yang kembung, Nah inilah saat-nya.
“Pak, Ma, Anu boleh kuliah lagi kan?” mendadak
pertanyaan itu menyambar gendang telinga orang tua saya.

“APAA?” teriak mereka serentak.

“Iya. Anu pengen kuliah lagi.”

“Nak, Mama udah gak punya uang untuk membiayai


kamu. Lagian dengan kerjaan itu, kamu sudah bisa
menghasilkan Nak.”

“Ta-tapi Ma, Anu dapat tawaran untuk ikutan seleksi


beasiswa.”

“Ya ampun Nak. Beasiswa lagi ... beasiswa lagi. Sampe


kapan sih kamu berharap sama beasiswa? Mending nganyam
aja tuh!” keluh Mama.

“Udahlah Maa, biarkan anak kita menentukan pilihan


hidupnya sendiri.” Sambung Bapak.

“Pa, Ma, dengarin Anu dulu. Gini, beasiswa ini beda


dengan bidik misi. Beasiswa TPL itu merupakan program dari
kementerian perindustrian untuk mempercepat pertumbuhan
industri kecil di daerah pesisir. Nantinya, setelah wisuda, Anu
bakal dikontrak di dinas perindakop untuk jadi konsultan
industri kecil dan menengah selama dua tahun, Ma. Dan
setelah kontrak selesai Anu bakal lepas kontrak untuk hidup
mandiri sebagai wirausaha. Jadi sama ajah kan Ma? Ujung-
ujungnya Anu bakal jadi pengusaha juga. Intinya, pengusaha
yang cerdas bukan kayak sekarang ini, masih modal nekat.”

“Hem, ok, Mama bakal mengizinkan kamu ikut tue


program. Tapi jangan minta duit lagi!”

“Iya-iya. Lagi pula semua biayanya bakal ditanggung kok.


Kalo gak percaya baca ajah nie aturannya.” Tuturku sambil
menyodorkan formulir pendaftaran itu. Akan tetapi, Bapak dan
Mama menolak baca; buta huruf.

Melihat orang tua mendukung, pastinya saya bahagia.


Langsung saya telpon Pak Nazir malam itu juga, pake
handphone baru yang dibeli dari hasil wirausaha.

“Halo Pak, ini Arip mau bicara mengenai beasiswa


kemarin.”

“Oh iya, jadi gimana Dek?”


“Arip mau Pak. Besok Arip urus semua persyaratannya.”

“Ya, bagus. Buruan yah. Ikuti baik-baik prosedurnya.


Jangan sampe ada yang kelupaan. Terus kirim ke alamat
kementerian pusat lewat pos sesuai aturannya di situ. Jangan
sampe kaukirim ke alamat Ayu ting-ting ya.”

“Siap boz!”

Entahlah Tuhan sedang merencanakan apalagi? Apakah


hal itu merupakan wujud dari kesabaran ataukah Tuhan
bakalan menguji saya lewat kegagalan lagi. Yang jelas, saya gak
bakal mundur untuk mencoba setiap kesempatan yang datang.
Dalam waktu singkat, saya urusi semua persyaratan
yang ada. Persyaratan untuk beasiswa TPL tidak jauh berbeda
dengan beasiswa lain pada umumnya. Yang buat saya tertarik
dengan beasiswa ini adalah tujuannya; menciptakan bibit-bibit
baru pengusaha muda di Indonesia.
Setelah semua berkas siap, segera saya kirimkan semua
berkas itu ke alamat yang dimaksud. Rasa cemas masih ada,
masih takut ini merupakan awal dari kegagalan yang
berikutnya. Namun, saya coba hilangkan pikiran negatif itu dan
segera melangkah ke kantor pos terdekat.
Dua bulan setelahnya, saya mendapatkan kabar dari Pak
Nazir. Katanya sudah ada pengumuman hasil seleksi beasiswa
tersebut. Disuruhnya saya ngecek di alamat web kementerian
perindustrian. Penasaran, akhirnya saya bergegas menuju
warnet tak jauh dari rumah.
Layar komputer sudah di depan mata. Tadinya gak
ngerti mainin tue computer, saya ketiklah asal-asalan biar
keliatan pintar. Namun yang saya temukan malah alamat web
yang penuh dengan gambar-gambar aneh. Daripada
kebingungan dan malah menambah dosa, saya panggillah
mbak-mbak penjaga warnet itu, “Mbak, bisa minta tolong?”

“Iyah, ada apa?”

“Gini Mbak, saya mau lihat pengumuman beasiswa,


tolong dong cek-kan.”

“Oh iya, bisa-bisa. Mana alamat web-nya?”

Saya kasihlah alamat yang dikasihkan Pak Nazir waktu


itu. Tidak berapa lama, ketemu. Pas saya baca daftar nama-
nama peserta yang ikutan program itu, terdapat 60 orang yang
berhasil lolos. Saya melirik ke bawah dan ke atas mencari nama
saya. Akan tetapi, belum keliatan juga.
Saya ulangi sekali lagi, dan nama Arief ada. Pas saya
baca ternyata kepanjangannya Arif Sucipto. Bukan nama saya.
Karena nama lengkap saya adalah Arief Andriatno. Mampus
saya gagal. Ini gara gara si Cipto ni, pasti!
Saya lihat baik-baik lagi kan. “Mana nie Arief. Mana?”
gumamku dengan raut wajah was-was.
Mouse terus saya gerakkan ke bawah dan ke atas.
Mendadak mata saya terhenti di nomor urut ke 56. Saya
bengong beberapa saat mencoba memperhatikan. Ketika saya
sadar, ternyata nama di nomor urut 56 itu adalah nama saya.
Saya langsung nangis bahagia sampe air mata dan liur tumpah
membanjiri layar komputer.
Langsung saya berlari pulang ke rumah saking
senangnya. Ketika sudah setengah jalan, balik lagi ke warnet;
lupa bayar.
Pas sampe di rumah, gak sabar rasanya mau ngasih tahu
kabar gembira itu ke orang tua.

“Mama, Anu lolos Maa.” Saya teriak kegirangan. Mama


saya yang lagi jemur pakaian, sontak berlari ke arah suara
teriakan.
“Anu lolos Ma, Anu bakal kuliah lagi.”

“Benarkah Nak? Syukurlah.” Mama tersenyum, dan


langsung memelukku.

Kabar gembira itupun menjadi awal mula perjalanan


saya di kampus yang sekarang. Terjawab sudah semua rencana
Tuhan.

“Saat saya digagalkan, sebenarnya Tuhan sedang


mengarahkan saya pada keberhasilan. Saat kota Manado gagal
menjadi tempat mewujudkan harapan, sebenarnya Tuhan
sedang mengarahkan saya ke tempat yang lebih indah; itulah
hasil dari kesabaran yang tak kenal kata menyerah.
Saat saya tuliskan lagi kisah ini dan baca sendiri,
akhirnya saya mengerti. “Kalau sebenarnya Tuhan bukan hanya
memberikan apa yang kita inginkan, bukan pula apa yang kita
butuhkan, tapi juga memberikan apa yang sebenarnya TIDAK
KITA MINTA.”
Pernah suatu hari, ada Ade kelas yang nanya ke saya
gini, “Kak, kok Kaka bisa dapat beasiswa gitu sih?”

“Kenapa emang?”

“Kaka kan, bego.’ Kok bisa sih?”

Sumpah, Ade kelas saya nyolot. Untung papanya


ganteng, kalo enggak, udah saya jitak tue orang. Dengan sabar,
saya jelasin ke dia pelan-pelan. “Gini yah Adeku yang baik
hatinya, salam super. Jadi, dulu waktu Kaka masih sekolah,
Kaka sekolah sambil nyari duit. Nyari duitnya dengan cara
jualan beha, tau beha kan? Daleman wanita itu.
“Ehe-ehe.” Ade kelas saya ngangguk pasang muka jijik.

Saya lanjut cerita, “Nah, pada saat jam istrahat, saya


mulai keliling-keliling sekolah untuk jualan beha ke anak gadis
di sekolahan, sambil teriak-teriak, beha untuk siswaa. Beha
untuk siswaa...!”

“Neng beha siswanya! Yang gambar Hello Kitty lima


belas ribu. Kalo yang doraemon agak mahal sedikit, karena ada
kantong ajaibnya buat selipin duit, jadi harganya dua puluh
ribu, mau Neng? Gitu Dek.” Terangku sambil memperagakan
cara berjualan. Lalu ditutup dengan kalimat, “Intinya kalo kamu
mau dapet BEASISWA, kamu harus jualan BEHA SISWA.”

Mendengar penjelasan itu, Ade kelas saya langsung


kejang-kejang.

Memang cerita barusan tidak pantas untuk ditiru, dan


tidak nyambung juga. Tapi berikut ini merupakan penjelasan
sebenarnya.
Untuk para pendamba toga yang berkeinginan untuk
mendapatkan beasiswa dengan mudah, simak tips berikut ini
ya!

Pertama, kalian harus pintar!

Nah, untuk program beasiswa, biasanya syarat


utamanya; harus pintar. Untuk ini mudah saja, bergaullah
dengan orang-orang pintar, contohnya paranormal atau dukun.
Mereka adalah orang-orang yang sering disebut pintar. Cara
lain dengan minum tolak angin, karena orang pintar ... minum
tolak angin.

Kedua, selama sekolah harus masuk rangking 10 besar!

Syarat lainnya. Sebuah program beasiswa biasanya


mewajibkan calon penerima beasiswa harus masuk rangking 10
besar selama sekolah. Kenapa hal ini wajib? Jawabanya sudah
pasti, karena pemerintah gak mau tunjangan yang diberikan
setiap bulannya jatuh kepada orang yang salah. Takutnya,
uangnya bakal dipake buat masang togel.
Nah, untuk bisa masuk rangking 10 besar, kalian harus
lebih unggul dari anak lainnya. Caranya? Dengan menyogok
wali kelas saat waktu penerimaan rapor sudah dekat. Jika wali
kelas tidak mau memasukkan kalian ke urutan 10 besar, kalian
bisa mengancam wali kelas dengan melakukan praktek BOM
bunuh diri di depan kelas. Yakin dan percaya, wali kelas akan
menuruti mau kalian.

Ketiga, pernah punya prestasi!

Punya prestasi tak kalah penting dari syarat-syarat


sebelumnya. Untuk menjadi siswa yang berprestasi, hal yang
perlu kalian lakukan adalah menjadi pelajar yang aktif;
mengikuti lomba-lomba yang diadakan di sekolah. Contohnya:
lomba panjat pinang, lomba balap karung, atau lomba panjat
pinang sambil pake karung.

Keempat, kalian harus dari keluarga miskin

Kalo kalian anak dari orang miskin, berbanggalah! Kalian


punya kemungkinan besar untuk dapat beasiswa, kalo kalian
kaya? Miskinlah! Biar kalian punya kesempatan yang sama.
Ok, saya rasa ini cukup. Saya doakan semoga kalian
berhasil mendapatkan beasiswa dengan mengikuti tips ngawur
dari saya. Semoga sukses! Kalo hari ini kita berharap
mendapatkan beasiswa, semoga dengan sukses nanti kita
menjadi orang yang memberi beasiswa. Aamiin.

Catatan:
Jika tips ini tidak membantu, segera hubungi dokter.
Satu dari sejuta mimpi yang ingin saya wujudkan adalah
menjadi wisudawan terbaik, namun sepertinya sangat
mustahil. Bagaimana tidak, ketika baru saja memasuki
semester akhir, saya mendapatkan SMS yang bertuliskan
bahwa saya akan di-DO (drop out). Jelas saya kaget membaca
pesan teror itu. Dalam hati saya menggerutu, apa salahku? Apa
saya kurang ganteng Pak?
Saya mencoba acuh. Mungkin saja pihak akademi salah
ketik nama, pikirku. Tapi keesokan harinya, terjawab semua
dugaan itu. Di mading kampus, nama saya masuk ke dalam
daftar mahasiswa bermasalah versi on the spot.
“APA?” saya kaget. Merasa pengumuman ini adalah
tanda-tanda akhir zaman. Namun, saya mencoba mengontrol
diri untuk tidak bersedih. Bagi saya bersedih juga bukan solusi;
gelar sarjana dan ijazah bukanlah harga mati.
Setelahnya, saya mencari Wano dan Maria, karena
mereka juga ada dalam daftar. Ternyata kami ber-3 memang
kompak. Tidak lama, saya bertemu Maria di jalan.

“Mar, kau sudah liat pengumuman di mading belum?”

“Iya,” jawab Maria tertunduk.

“Udahlah Mar jangan sedih. Kita tak lantas jadi manusia


hina hanya karena gagal menyandang gelar sarjana,” nasehatku
menyemangati.

“…..” Maria diem.

“Eh, Mar. Wano mana?”

“Tadi pas lihat pengumuman itu, dia langsung ke


belakang kampus sambil lari-lari kaya di film-film India gitu.”
Jawab Maria.

“Ah, yang bener?”


Tiba-tiba terdengar teriakan dari kejauhan, “WOI AWAS
JATO! TURUN, TURUN!” teriak salah seorang mahasiswa.
Sontak hal itu membuat seluruh orang yang mendekat. Sampe
ada yang teriak histeris, saya pun penasaran ada apa gerangan.

“Ada apa itu Mar? Kok heboh banget tu bocah.”


Tanyaku dengan kernyit kening menggelayut.

“Tau, lagi ada demo kali.” Ketus Maria.

“Masa demo di belakang kampus sih?”

“Tau ah, lihat saja sendiri.”

Karena penasaran, akhirnya saya mendekat dan


menerobos kerumunan mahasiswa. Kebetulan ada Asul’aji juga
di sana.

“Ada apa sih ni, heboh banget?”

“Lihat tue Wano manjat tower, pengen bunuh diri.”


Jawab Asul’aji.

“Masya Allah. Woi turun! Ngapain kau di atas, ngejar


layangan?” teriak Saya ke Wano yang lagi frustasi. Wano sama
sekali tidak mengindahkan. Dia hanya menggelantung seperti
spiderman yang habis disunat. Pokoknya saat itu tatapannya
kosong seperti orang yang baru saja kehilangan kejantanan,
padahal itulah harapannya satu-satunya.

“Gimana nie Sul?” saya panik.

“Kirimi dia surah Al-Fatihah aja ya.”

“Ah, kau doa mulu. Ayo naek!”

“Hah? Saya kan takut ketinggian.”

“Ah, bencong kau.”

“Haduh gimana ni?” saya terus memikirkan cara


membujuk Wano supaya mau turun.

Kasihan dia, sudah jelek, masa harus mati dengan cara


tidak keren seperti itu. Loncat dari monas kek, dari menara
eiffel kek. Jangan dari tower juga kan? Ganggu jaringan aja.
Saya mencoba membujuk Wano turun dengan semua
hal yang ia sukai. “No, ayo turun! Kita maen layangan yuk.”

“.....” Wano diam.

“Noo ayo turun! Kita beli gorengan yuk.”


“.....” Wano tetap diam.

“NOO ayo turun! Kita nonton konsernya Bang Rhoma


yuk.”
“Serius Nuu?” mendadak Wano bersuara.

“Ia-ia.”

“Hore.” Wano langsung loncat dengan gagahnya.

Setelah berhasil meyakinkan Wano, kami pun pulang


untuk menunggu hasil rapat terakhir dari pihak akademi
mengenai keputusan pasti; apakah saya, Wano, dan Maria akan
dikeluarkan atau diberi kesempatan untuk memperbaiki diri.

Seminggu kemudian …
Hari yang ditunggu-tunggu itupun datang. Kami semua
dikumpulkan di ruang rapat. Wano dan Maria memasang
tampang tegang, sedangkan saya tetap ganteng dengan kemeja
batik dan celana bahan. Yoi, yang namanya pesona memang
gak harus ditutupi, walaupun dalam hati berasa ngeri.
Di ruangan itu, ada Pak Setiawan selaku Pudir I yang
sudah siap menyampaikan keputusan rapat seminggu lalu. Ada
juga beberapa dosen dan pegawai tata usaha di sana, entah
apa urusannya, mungkin biar terlihat lebih formal. Hal kayak
gini kan bisa disampaikan lewat SMS aja? Ya kali!
Kami semua diem, sesekali saling memandang, seolah-
olah saling prihatin satu sama lain. Padahal dalam hati, tidak
peduli sama sekali. Terlihat Pak Setiawan mulai menyalakan
microfon. Rambut belah sampingnya sedikit ia rapikan.
Terdengar suara batuk ganteng uhuk-uhuk, lantas rapat hari itu
beliau buka.
Seperti rapat pada umumnya, di awal Pak Setiawan
menyampaikan basa-basinya dengan kalem.

“Yang saya hormati, para dosen yang sempat hadir


maupun yang tidak mau hadir. Yang saya hormati, para
pegawai tata usaha yang sempat hadir padahal gak dipanggil.
Yang saya hormati, anak-anakku yang saya cintai maupun yang
tidak saya cintai. Assalamualaikum wr.wb. Dan ... salam super.
... Serentak kami yang ada di ruangan menjawab, “SUPER”.
Kurang lebih setengah jam kami mendengarkan Pak
Setiawan berbicara, yang beliau sampaikan seputar kehadiran
dan nilai IPK kami bertiga. Sesekali menyinggung mengenai
prestasi dan masa depan kami sebagai mahasiswa. Hingga
akhirnya, hal yang paling pokok itu pun dibahas.

“Jadi begini anak-anakku, Bapak sudah melihat nilai


kalian, dan mengecek kehadiran kalian. Semua itu sudah kami
bahas di rapat. Setelah kami pikirkan dengan matang-matang,
kami dari pihak akademi memutuskan bahwa di antara kalian
harus ada yang di E-L-I-M-I-N-A-S-I.”
Jeng-jeng! Tiba-tiba horor …
Mendengar itu,
Saya ketakutan ...
Maria ketiduran ...
Wano kesurupan ...
Oke bercanda.

“Sebenarnya Bapak berat untuk menyampaikan ini,


karena bagi Bapak kalian tetap kebanggaan kami. Kalian tetap
kecintaan kami, tanpa kalian mungkin tak akan pernah ada
rapat-rapat seperti ini. Jadi kita semua bersyukur bisa
menikmati snack yang sudah disiapkan di sini. Tapi bukan itu
intinya, saya harap untuk mahasiswa yang akan tereliminasi
tidak berkecil hati, walaupun sebenarnya mereka yang bisa
kuliah dan diwisuda memang pantas berbangga diri. Skill dan
pengalaman bisa kalian dapatkan dari mana saja. Untuk itu
jangan menyerah, walaupun akhirnya ada yang dikeluarkan,
Bapak harap setelah ini kalian tumbuh menjadi pribadi yang
lebih dewasa dan bijaksana.”

“Oke, Bapak tidak akan panjang lebar lagi. Itu tadi hanya
sekedar nasehat buat kalian. Sekarang Bapak bacakan nama
mahasiswa yang akan di-drop out. Berdasarkan keputusan
rapat, ditetapkan ....”

“Tunggu-tunggu Pak!” kataku memotong pembicaraan.

“Iya, kenapa Arip?”

“Bolehkan saya buang air kecil sebentar, Pak?”

“Ba-baiklah, kami akan menunggu kamu.” Jawab Pak


Setiawan cool.

(5 menit kemudian)

“Oke sudah? Bapak lanjut. Jadi berdasarkan keputusan


rapat, ditetapkan bahwa nama ...
“Tunggu-tunggu Pak!” mendadak Maria juga memotong
pembicaraan.

“Hem, ada apa Maria?”

“Bolehkah saya pipis juga, Pak?”

“Ya, boleh-boleh.” Jawab Pak Setiawan tetap cool.

(15 menit kemudian)

“Udah? Oke, Bapak lanjut lagi. Jadi berdasarkan


keputusan rapat, ditetapkan bahwa nama ....

“TUNGGUU..!” Wano teriak.

“Kamu kenapa lagi Wano?”

“Maap Pak, Wano juga pengen pipis. Boleh saya ke WC


kan?”

“Lem dulu ujungnya Wano, biar gak keluar! Izinkan


Bapak membaca ini sebentar saja, cuma sebentar, oke?” Pak
Setiawan mulai kesal.

“Ba-baik Pak.” Jawab Wano pasrah.


“Jadi berdasarkan keputusan rapat, ditetapkan bahwa
atas nama Inggilius Waryon Diaz (Wano) harus kami eliminasi
dari kampus ini; sedangkan sisanya, Arief Andriatno dan Maria
Margareta, diberi kesempatan untuk tetap tinggal di kampus
ini, dengan syarat:
1. Nilainya diperbaiki
2. Kehadirannya diperbaiki
3. Mukanya diperbaiki
Oke terima kasih.”
Tok tok tok! Bunyi palu sidang itu mengheningkan ruang
rapat. Kami bertiga bertatapan, entah harus senang atau sedih.
Kami berpelukan, Saya dan Maria meneteskan air mata,
menyesal. Wano? Memperlihatkan senyumnya. Dia terlihat
tegar. Dia menatap kami berdua. Tatapan itu terlihat seperti
tatapan seorang Ayah. Bahasa tubuhnya seolah
memperlihatkan dia tak apa-apa. Walaupun sebenarnya, saya
tahu dalam hatinya sangatlah terluka.
Kami bertiga berpelukan lagi. Dia menepuk pundak saya
pelan lalu berbisik, “Ini bukanlah akhir, ini adalah AWAL. Toga
bukanlah tujuan akhir, perjalanan menuju toga hanya
mengajarkan kita menyempurnakan AKAL.”
Pelukan itu dilepas, Wano menjauhkan dirinya. Sejauh
dua meter, kaki itu melangkah. Dia berbalik dan menatap kami
berdua. “Teruskan perjuangan kalian, saya titipkan harapan
orang tuaku untuk melihat anaknya menggunakan toga pada
kalian, jangan gagal ya! Saat wisuda nanti, undang saya. Saya
akan datang sebagai alumni yang gagal wisuda.” Kemudian
Wano berbalik dan pergi entah ke mana. 
Kata-kata itu terdengar penuh kekuatan. Saya dan Maria
tetap saja tak bisa berhenti menangisi apa yang barusan terjadi.
Bagaimana mungkin, detik-detik terakhir menuju wisuda,
sahabat kami harus dikeluarkan hanya karena nilai IPK-nya
rendah. Serendah itukah negeri ini memandang potensi
seorang anak manusia? Apakah hanya berdasarkan angka-
angka itu? Apakah nilai ujian itu bisa dijadikan tolak ukur?
Sementara, ujian kuliah saat ini tidak ada sama sekali
hubungannya dengan kepintaran, malah condong pada ‘DAYA
INGAT’.
Seberapa pun kuatnya saya memprotes keputusan itu,
saya tidak dapat mengubah takdir. Semoga Wano segera
menemukan takdirnya sendiri. Saya sangat yakin dia bisa
sukses di luar sana, tanpa harus memegang ijazah dan
menggunakan toga. Dia pasti bisa!
Semenjak kejadian itu hidup saya berubah, saya lebih
rajin ke kampus. Lebih sering juga pergi ke perpus untuk nilai
yang lebih bagus. Namun itu bukan jaminan, karena beberapa
bulan setelahnya, hidup saya kembali tak fokus. Kenapa?
Semenjak mengenal yang namanya tugas akhir dan masuk ke
dunia revisi, hidup saya semakin terasa basi.
Suatu hari saya pernah ngeluh di depan pembimbing
tugas akhir yang mukanya mirip Rano Karno. Ya, pembimbing
saya memang cakep. Senyumnya manis. Kumisnya menjuntai
indah. Saking panjangnya, sampai nyambung ke alis.

“Pak kalo mau ngegambar mukanya Naruto jangan di


atas laporanku donk! Kan kasian laporan yang saya kerjakan
berbulan-bulan di coret-coret seperti itu.” Saya mengeluh.

“Tapi hasil penelitianmu ini terlalu sederhana. Kau bisa


ganti dengan yang lebih bagus!”

“Ta-tapi Pak.”

“Sudah, tak ada tapi-tapian. Kalo kamu tidak ganti, kita


putus!” ucap pembimbing saya tegas.
“....” Saya terdiam pasrah. Gak mau putus secepat ini.
Akhirnya saya menuruti permintaannya. Sebab perkataan
dosen pembimbing itu sudah seperti firman Tuhan, pokoknya
harus dituruti. Jika tidak, kita bakal dilemparkan ke dalam
neraka Jahanam bersama para pendamba toga yang gagal
wisuda.
Gara-gara keseringan revisi, buku yang saya tulis ini jadi
terlantar berbulan-bulan. Sampai gak keurus sama sekali.
Untuk membuat satu paragraf saja, sudah gak kuat, karena isi
otak saya sudah terkuras habis untuk memikirkan tugas akhir
yang gak penting itu.
Kenapa gak penting?
Ngabisin duit buat ngeprint. Habis itu cuma dicoret-
coret gak jelas. Terpaksa, print lagi. Bawa lagi. Dicoret lagi. Print
lagi. Bimbingan lagi. Dicoret lagi. Lagi-lagi harus ngeprint. Bawa
lagi dengan sisa tenaga yang ada. Trus? Pembimbing bakal
bilang, ‘kayaknya judul kamu harus diganti! Karena sudah tidak
mengikuti zaman lagi’.
Astaga? Grrr. Kalo sudah seperti itu, saya nyerah.
Mending saya masuk neraka, daripada harus merasakan siksa
kubur lebih awal di dunia.
Saat ini di sela-sela mengerjakan tugas akhir, saya selalu
berandai-andai. Apakah seorang mahasiswa bermasalah seperti
saya bisa menjadi wisudawan terbaik? Ini pasti akan
menghebohkan dunia para pendamba toga. Bagaimana
mungkin seorang mahasiswa bermasalah seperti saya, bisa naik
ke atas podium mewakili suara hati para mahasiswa yang IPK-
nya rendah. Yang juga punya mimpi yang sama, yaitu dihargai
sebagai manusia yang juga memiliki potensi. Jika ini benar
terjadi, mungkin saya bakal berpidato kayak gini.

Yang saya hormati, seluruh calon-calon penghuni surga


yang ada di ruangan ini

Assalamualaikum wr.wb
Salam sejahtera bagi kita semua

Saya bisa menebak bagaimana perasaan teman-teman
yang IPK-nya tinggi di ruangan ini. Pasti dalam hati
kalian. “Sial, kenapa mahasiswa bego kayak dia bisa
jadi wisudawan terbaik sih.”

Ia kan?
Maap ya teman-teman. “Terkadang mahasiswa yang
IPK-nya tinggi, bisa dikalahkan oleh mahasiswa yang
punya semangat yang tinggi.”
....
Di awal pidato saya:

Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih, kepada


dosen-dosen yang saya cintai. Terima kasih atas ilmu
yang kalian berikan selama ini.

Dan ...
Saya juga ingin mengucapkan terima kasih, kepada
dosen-dosen yang tidak saya cintai. Terima kasih atas
latihan kesabaran yang kalian berikan selama ini.

Tak lupa,
Untuk Pak Basri & Ibu Rahmatia: pembimbing tugas
akhir saya yang beberapa bulan ini telah banyak
memberikan motivasi, inspirasi, dan juga revisi. Di
mana itu semua juga sangat baik bagi saya untuk
memperbaiki diri.
Yang paling utama …
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan,
karena sudah menitipkan saya di rahim seorang wanita
hebat yang sangat saya sayangi; Mama saya. Dan juga
untuk Bapak yang setiap malam berusaha membuat
saya saat itu. Tanpa kolaborasi mereka berdua,
mungkin saya tidak bisa lahir di dunia dan berdiri di
sini.
...
Di pidato ini, saya ingin bilang bahwa saya ini berasal
dari keluarga yang tidak berpendidikan. Dari seluruh
keluarga besar saya, hanya saya sendiri yang sempat
merasakan yang namanya pendidikan sampai ke
perguruan tinggi seperti ini. Orang tua saya adalah
orang yang tidak tamat sekolah. Mama saya hanya
sampai kelas dua SD; sedangkan Bapak hanya sampai
taman kanak-kanak. Itupun drop out dua kali.

Lalu, bagaimana dengan latar belakang pendidikan


orang tua saya seperti itu? Apakah saya akan
berpendapat bahwa mereka bukan orang yang
terdidik?
Tentu tidak! Bagi saya, seluruh dosen di kampus ini
kalah hebat dengan orang tua saya yang tidak tamat
sekolah itu. Kenapa? Karena mereka bukan hanya
memberikan saya nasehat, tapi juga memberikan saya
teladan. Dan bagi saya, teladan jauh lebih mulia
daripada nasehat.
...
Saya itu heran. Ketika ada dosen yang bicara di depan
kelas membawakan mata kuliah tentang bisnis; bicara
panjang-lebar mengenai tips berwirausaha-lah, strategi
wirausaha-lah. Ketika ditanya salah seorang
mahasiswa,

“Bapak sendiri berbisnis apa?”

Dosen kita bungkam. Tidak bisa bicara apa-apa. Itulah


yang membuat mahasiswa tidak terlalu menanggapi
dosen seperti itu.

Beda halnya dosen yang membawa materi tentang


bisnis, namun mampu mempertanggungjawabkan apa
yang ia katakan. Menjelaskan secara sederhana materi
tersebut sesuai pengalamannya. Sehingga, mahasiswa
sangat meresapi setiap ajaran yang beliau bawakan.
Tanpa diminta, kami sebagai mahasiswa sudah bisa
membayangkan dan mengambil hikmah dari
pengalaman dosen tersebut.

Dosen seperti inilah yang kita butuhkan, bukankah


‘GURU yang hebat adalah guru yang mampu
MENGINSPIRASI murid-muridnya untuk menjadi
petarung-petarung tangguh dalam menghadapi
kehidupan yang sebenarnya?’

Lalu kenapa kami disuguhkan cerita bohong?


....
Di akhir pidato ini, saya ingin bercerita sedikit tentang
kejadian yang dulu pernah saya alami.

Suatu hari, ketika saya sedang bermain kelereng


sendirian di halaman rumah. Saat itu sekitar jam tujuh
pagi kira-kira. Tiba-tiba Bapak saya keluar dari rumah.
Tidak pake baju, hanya pake sarung. Membuat bulu
dadanya yang cuma 4 helai itu keliatan.
Bapak saya bertanya, “Anuu, kenapa kau tidak pergi
sekolah?” tanya Bapak dengan wajah sangar.

“Ah, malas Pa. Di sekolah tidak ada guru cantik.”

Hening sejenak. Bapak saya mengepalkan tangannya. Ia


angkat setinggi bahunya, lalu ... jempolnya mendadak
nongol. “BAGUS, Itu baru anak Bapak. Bapakku
memperlihatkan rasa bangganya. Ia melanjutkan, “Nak
kamu tahu ...

“Pendidikan itu tidak penting ....”


“Pendidikan itu tidak perlu ....”
“Pendidikan itu omong kosong ....”

Pandangannya ia arahkan ke langit, seolah


memperlihatkan rasa bencinya terhadap dunia
pendidikan. Dengan gerakan cepat, matanya menatap
saya dengan penuh kemarahan. Kemudian? Ia
mengulangi perkataannya yang terakhir.

“Pendidikan itu omong kosong...! Kekosongan itulah


yang perlu kauisi.”
“PERGI SEKOLAH SANAA!!” bapak berteriak. Tangan
beliau sudah mendarat di atas ubun-ubun saya. Plok!
Saya nangis kena jitak. Huhuhu.

Kejadian itu membuat saya tersadar sekarang. Kata-


kata sederhana yang keluar dari mulut Bapak saya itu
mengandung arti yang sangat dalam.

“Kekosongan itulah yang perlu kauisi.”

Apa yang harus kita isi? Sudah tentu, batok kepala yang
keras itu perlu diisi dengan ilmu pengetahuan.
...
Untuk kalian semua yang ada di ruangan ini, saya harus
katakan dengan sangat tegas: bahwa saya tidak bangga
berdiri di sini sebagai wisudawan terbaik, ‘karena
tujuan dari saya kuliah bukan untuk menjadi kaum
terpelajar, tapi untuk menjadi orang yang tidak
pernah berhenti belajar.’

Terima kasih.
Wih. Pasti keren banget kalo saya bisa menyampaikan
hal itu di acara wisuda nanti. Orang-orang yang ada di
auditorium, yang tadinya sibuk main gadget akan fokus ngeliat
muka saya yang tampan. End? Diakhiri dengan tepuk tangan
dari semua undangan. Beberapa dari mereka akan mendekat
untuk minta tanda tangan.
Tapi ….
Pada kenyataannya, itu semua hanyalah khayalan, huh.
Hingga detik di mana buku ini dituliskan, saya masih disiksa
oleh tugas akhir yang tiap detik menunggu sentuhan.
Jadi ….
Izinkanlah saya untuk menyudahi kisah ini dan
berpamitan. Tidak ada jalan lain, selain harus fokus pada tugas
akhir yang berbulan-bulan terakhir ini menjadi beban.
Terima kasih ya teman, sudah mau membaca sepotong
kisah dari mahasiswa yang tidak pantas kalian jadikan teladan.
Saya sangat berharap, dengan datangnya buku ini di
tangan kalian, semoga saja di negeri ini tidak akan ada lagi para
pendamba toga yang terpenjara pada jurusan yang salah, tidak
ada lagi para mahasiswa pencinta IPK yang tidak berdaya
padahal memiliki ijazah, dan tidak ada lagi sarjana yang
menganggur hanya karena tidak memiliki kemampuan
menghadapi dunia kerja.
Nasehat yang terakhir untuk semua sarjana di negeri ini,
“Janganlah bangga dengan title di belakang nama-Mu,
banggalah dengan karya yang kau berikan untuk negeri-Mu.”

TIDAK ADA HAL YANG LEBIH INDAH DARI ITU.

Dan buku ditanganmu inilah yang menjadi bukti atas tulisanku


barusan. Sekarang giliranmu untuk menciptakan karya-Mu
sendiri. 
Dan, saya ANU.

Nantikan kisah kami


selanjutnya di buku
Saya Wano. “Sarjana Bodoh” #2”

Hallo, saya
Maria.

JERITAN PARA PENCARI KERJA


..BUKU INI BERDASARKAN KISAH

NYATA PENULIS..

Nama saya Inggilius


(Wano), asal Flores.
Motto hidup saya:
“Lebih baik gagal
wisuda, daripada gagal
menikah.”

Nama saya Maria, asal


kota Makassar. Motto
hidup saya: “Kita boleh
ber-IPK rendah, asal
jangan menyerah. Kita
boleh ber-IPK tinggi,
asal tetap rendah hati.”

Nama saya Arief (Anu),


asal kota Palu. Motto
hidup saya, “Kuliah itu
bukan untuk gelar, tapi
untuk belajar.”
Pria kelahiran Palu, 9
april 1993 ini, dulunya
adalah pelaku kesenian
tradisional ‘topeng
monyet’, dia berperan
jadi monyetnya. Merasa
penghasilannya dari melakukan berbagai atraksi itu
kurang, akhirnya dia memutuskan untuk banting setir
menjadi seorang penulis.
Pada tahun 2012, dia memutuskan merantau ke
kota Makassar untuk meraih cita-citanya sebagai tukang
gali kuburan. Kini, dia siap meloncat ke dalam kuburan
yang dia gali sendiri akibat tersiksa oleh tugas akhir yang
tak kunjung berakhir.
Cita-cita terakhirnya di dunia kepenulisan: dia
mengaku ‘masih ingin menuliskan nama seorang wanita
di sebuah undangan pernikahan’. Ia juga masih punya
impian membangun ribuan lapangan pekerjaan untuk
para pengangguran. Semoga tercapai.
Kiriman dari ECHA

Kiriman dari TITI


Kiriman dari NUNU

Kiriman dari INDA


Kiriman dari INHA

Kiriman dari UPY


Kiriman foto dari idola saya
“Bunda Asma Nadia” :)

Anda mungkin juga menyukai