Anda di halaman 1dari 421

Intro

Hey semuanya perkenalkan nama aku Arip Hidayat, aku pemilik


YouTube Channel DAPUR PLUS PLUS dan UJANG ARIP. Jujur saja,
buku ini aku gunakan untuk mempromosikan dua channel tersebut.
Mohon di subscribe dulu ya guys sebelum kita mulai pembahasan di
buku ini. Dengan begitu aku semakin semangat lagi berkarya.

Awalnya, channel tersebut digunakan sebagai mediaku dalam berbagi


ilmu dan pengalaman. Namun aku masih menahan karya-karyaku
sehingga belum memberikan manfaat dan pengaruh secara massive.
Meski begitu, selalu saja ada teman yang berterimakasih atas
informasi yang kuberikan. Sejak adanya Corona yang memaksa untuk
WFH (Work From Home) dan saran dari seorang teman, akhirnya aku
memutuskan untuk mengembangkan lagi channel tersebut.

Channel UJANG ARIP aku gunakan untuk sharing hal-hal umum yang
kualami dalam hidup sehingga aku bisa memiliki kesempatan sejauh
ini. Aku ingin memberikan pandangan bahwa untuk mencapai sesuatu
yang besar harus dengan cara yang aplikatif. Aku tidak menyarankan
hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang saja seperti
investasi saham, reksadana, deposito dan cara-cara lain yang sulit
untuk dilakukan oleh beberapa orang. Sedangkan aku mau ngasih info
yang semua orang bisa melakukanya.

Channel DAPUR PLUS PLUS aku gunakan untuk berbagi ilmuku di


bidang cookery. Channel ini dikhususkan untuk sharing skill masak, ide
bisnis, resep, olahan makanan dan kewirausahaan yang mungkin bisa
kita temukan di indusri kuliner. Aku bangun channel ini bersama
istriku.

Orang tuaku bisa dikategorikan “sukses” saat ini karena hasil kerja
keras mereka mendirikan pabrik kerupuknya, tapi mereka mana
mungkin kepikiran untuk menyekolahkan anak ke luar negeri waktu
itu. Bahkan kami pernah hidup miskin dan menghadapi banyak
kegagalan sebelumnya yang hampir membuatku putus sekolah
setelah tamat Sekolah Dasar (SD). Meski begitu kami tidak pasrah,
selalu berusaha dan bekerja keras hingga Alhamdulillah hari ini
kehidupan kami jauh lebih baik.

Well, anggaplah saat ini aku sedang bersedekah ilmu. Karena segala
kesempatan dan kemudahan yang aku dapatkan memberikan aku misi
dalam hidup untuk memudahkan pula urusan orang lain. Aku
ngerasain gimana ALLAH SWT yang Maha Baik telah memberiku
banyak hal baik dalam hidup. Jadi aku sendiri bukan hanya sedang
membantu kalian yang butuh informasi. Aku juga membantu diriku
sendiri dalam membentuk karma baik.

Merupakan suatu kebahagiaan untukku dapat berbagi kepada


sesama. Aku yakin someday ada diantara kalian yang termotivasi dan
berhasil setelah membaca tulisan sederhana ini. Ketika hal itu
disyukuri, maka keberkahan akan mengalir dan itulah yang akan
menjadi ladang kebaikan untukku. Happy reading temen-temen.
PERSEMBAHAN PENULIS

Terima kasih kepada Tuhan yang Maha Baik ALLAH SWT yang telah
memberiku banyak kesempatan sejauh ini. Diberikan otak yang setiap
waktu rasa ingin tahunya meningkat, diberikan antusias untuk terus
berkarya, diberi kesempatan untuk membanggakan orang tua,
diberikan kemampuan untuk bisa berbagi dengan kerabat dan
tetangga, diberikan sifat ceria dan aksen ketawa yang aneh,
dipertemukan dengan teman-teman yang tidak pelit memberikan
informasi, dipersatukan dengan istri yang menjadi rekan kerja, rekan
diskusi dan traveling, dan diberikan kesempatan untuk menjalin
hubungan baru dengan kalian para pembaca buku ini.

Terima kasih yang teramat dalam kepada orang tua tercinta Bapak
Engkus Kusnadi dan Ibu Eti yang telah banyak bersumbangsih besar
terhadap perkembangan diriku. Aku merasakan semua level hidup
yang kita alami adalah cara ALLAH SWT membentukku hingga bisa
seperti ini. Kalian dengan kesederhanaan dan keterbatasan diri telah
menjadikan aku manusia yang setidaknya bisa berpikir bagaimana
cara untuk menjadi hebat. Kalian mungkin tak menyangka aku akan
seperti ini sekarang. Didikan keras yang diterima anak sulung, uang
jsajan yang sedikit, banyak mengerjakan pekerjaan rumah, dan
titahan yang memaksa lainya, telah menjadikan pemuda ini kreatif
dan tidak bisa diam untuk terus berkarya.

Aku nggak berani minta apapun lagi ke kalian, karena dengan didikan
dan pola asuh yang membentuk kharakterku yang seperti ini aku
merasa itu sudah lebih dari cukup. Kalian sudah cukup baik dalam
mendidikku. Sejak usia 23 tahun saat pertama kali aku ke luar negeri
aku sudah mendamaikan diri dan mensyukuri kalian berdua yang telah
menjadi orang tuaku. Mamah dan Bapa, terima kasih banyak. I love
you!!

Terima kasih kepada adik-adiku yang juga sedang berproses.


Harapanku adalah kalian juga bisa membaca tulisan ini. Tapi
bagaimanapun memberi nasihat kepada saudara sendiri kadang lebih
susah dari pada ke orang lain. Yang jelas setiap hari aku mendoakan
kalian untuk bisa menjadi mandiri dan hebat pada bidang masing-
masing. Bisa memaksimalkan potensi. Adanya kalian membuatku
bertekad untuk mampu berdiri kuat, agar kelak dimasa depan kita
dapat hidup damai tanpa adanya masalah mengenai duniawi seperti
harta warisan.

Terima kasih kepada guru-guru ngaji yang juga sering ngomel-ngomel


karena bandelnya diriku. Tapi mereka menyayangi dan selalu teringat
kepadaku. Saking terlalu dominan dan lucu kali ya. Maafkan aku yang
hingga kini ilmu tajwidnya masih jelek, duduk silanya gak bisa lama-
lama dan dulu suka bolos demi nonton telenovela atau bollywood.

Terima kasih kepada orang-orang yang sering memarahi dan


menjudgeku sebagai anak badeg/badung. Begitupun dengan guru
yang meragukan potensiku. Tidak apa, kalian adalah orang yang
berkontribusi dalam pola pikir dan semangatku untuk berkarya.
Teman-teman yang pernah memusihiku, memakiku. Aku berterima
kasih atas pengalaman tersebut karena tanpa kalian aku tak akan bisa
berlari mengejar kemajuan diri untuk melakukan perbaikan.

Terima kasih kepada kalian yang hadir dalam hidupku dan menjadi
keberkahan dengan memberikan ilmu yang berguna. Aku mungkin
kurang bagus dalam membina relationship ini. Tapi apapun kebaikan
kalian aku coba mengingatnya dan kudoakan agar mendapatkan
balasan yang besar dari ALLAH SWT. Kalian pula yang menginspirasi
aku untuk terus maju agar kelak bisa berguna.

Satu hal baik apabila tersampaikan pada moment yang tepat akan
mampu memberikan perubahan. Mungkin kalian gak memberikan hal
yang nampak, tapi cerita kalian mampu menginspirasi. Semoga kita
selalu diberikan kesehatan agar bisa terus menanam karma baik.
Kepada istriku Ryaniraffiyadita terima kasih sekali sudah mau
menerima diri dengan kriteria gila ini. Setiap diskusi denganmu
menjadi gairah. Membuka banyak kejutan-kejutan nilai hidup.
Semoga kita menjadi pasangan yang baik, penuh keberkahan dan bisa
berguna bagi banyak orang.

Kepada teman-teman pembaca semua, aku terima kasih sekali atas


apreasiasi dan waktunya yang telah diluangkan untuk membaca
tulisan ini. Aku minta maaf jika terkesan sombong atau ingin show up
pencapaian hidupku. Aku tidak ingin terkesan bahwa hidupku
terjamin baik selamanya, namun apa yang telah aku capai saat ini
semoga bisa dicapai juga oleh yang lain hendaknya. Sekali lagi mohon
dinikmati tulisan yang menggambarkan bagaimana caraku meniti
karir, ngumpulin uang selagi muda, belajar hidup di luar negeri yang
kurasa caraku ini sangat applicable atau mudah untuk dilakukan.

I love you semuanya!!

Perlu diketahui

Bekerja di luar negeri secara legal dan sesuai prosedur akan membuat
kalian tenang dan tidak buang-buang waktu. Usia semakin tua, apakah
kalian mau terus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran karena
kerja ilegal?

Jadi lebih baik gunakan waktu sebaik mungkin. bila perlu investasi
uang untuk bisa ke luar negeri, Kenapa nggak gitu loh.

Bekerja secara ilegal juga akan membuat image bangsa kita makin
buruk, sulit mendapatkan kepercayaan dari negara lain, sehingga
perlu dokumen dan prosedur yang rumit ketika mengajukan berbagai
izin, termasuk izin berkunjung sebagai turis.

Bekerja secara ilegal bisa membuat kalian terpaksa diam di negara


tersebut sampai kalian memutuskan untuk kembali. Bayangkan
bagaimana rasanya menahan rasa rindu pada kampung dan suasana
Indonesia. Hal ini bisa menyiksa psikologis kalian. Seandainya memilih
pulang, tentu saja kesempatan untuk tinggal di negara tersebut akan
hilang dan paspor kalian akan memiliki riwayat perjalanan yang buruk.

Tambahan jika kalian mendapatkan kejadian buruk seperti sakit,


kecelakaan kerja, atau tindakan kejahatan orang lain, maka akan
menyulitkan diri kalian sendiri ketika mengurusnya. Beberapa orang
mungkin akan mengambil keuntungan dari status ilegal kalian dengan
mengancam untuk melaporkan dan memberi upah kecil. Apa masih
mau hidup seperti dijajah begitu?
Beberapa orang akan menjawab “gak ada pilihan” atau “Bisa ke luar
negeri saja untung, saya hidup miskin di Indonesia mas.” Well, ketika
kalian dapat uang dari cara ilegal itu, jangan dulu dikirim-kirim ke
kampung terus dibuat beli ini-itu untuk keluarga yang akhirnya jadi
sampah doang. Tabung uangnya, jadikan modal untuk sekolah,
nambah skill yang bisa mengantarkan kalian untuk mengejar karir di
negara tersebut atau mencari negara lain yang bisa memberikan
kesempatan lebih baik dengan cara yang legal. Contohnya kuliah di
Canada atau Australia. Kuliah yang murah dulu, terus tingkatin dan
tingkatin lagi.

Seandainya tidak mampu sekolah lagi, kalian bisa tambah ilmu di


berbagai media, baca buku, nonton YouTube dan belajar keahlian
baru dari warga sekitar. Sehingga sekalipun harus pulang, kalian tidak
akan jatuh miskin menjual semua kekayaan hasil kerja di luar negeri.
Tapi ada hal yang bisa dikembangkan hasil dari pengalaman kalian.
Ngomong-ngomong, Sebelum lanjut jangan lupa subscribe Dapur Plus
Plus di YouTube!

Imigrant di Australia
Australia menjadi negara yang populer sebagai tujuan pencari rezeki
untuk mengubah kehidupan yang jauh lebih baik. Negara ini termasuk
ke dalam 10 urutan negara yang memberikan gaji tertinggi di dunia.

Aku sendiri sekarang sudah 4 tahun di Australia dan lewat tulisan ini
aku akan menjelaskan apa saja yang aku alami dan aku ketahui
berdasarkan informasi yang aku terima selama ini ya guys. Jadi terus
baca hingga selesai dan jangan lupa bantu aku kembangkan Channel
Dapur Plus Plus dengan cara subscribe channelnya di YouTube ya!!

Negara ini multikultural banget, semua ras dari berbagai belahan


dunia ada di negara ini. Jangan kalah sama orang-orang dari negara
lain yang berani invest money untuk pendidikan dan akhirnya bisa
tinggal di sini.

Kadang aku jealous sama orang-orang India yang banyak menempati


posisi-posisi bagus di berbagai instansi. Aku juga banyak menemui
mereka yang berani memilih sekolah dengan biaya fantastis untuk
bisa sekolah disini dan berharap bisa tinggal di sini. Mereka saja bisa
kenapa kita enggak.
Jumlah penduduk Australia 2019

Estimated resident
Place of birth
population
Total Australian-
17,836,000
born
Total foreign-born 7,529,570
[B]
England 986,460
Mainland
677,240
China[C]
India 660,350
New Zealand 570,000
Philippines 293,770
Vietnam 262,910
South Africa 193,860
Italy 182,520
Malaysia 175,920
Sri Lanka 140,260
Scotland[D] 133,920
Nepal 117,870
South Korea 116,030
Germany 112,420
Greece 106,660
United States 108,570
Hong Kong SAR[E] 101,290
Source: Australian Bureau of Statistics (2019)
Lihat orang-orang dari Philippines, India dan Nepal. Banyak banget ya,
populasi mereka itu tidak hanya mendominasi di Australia, tapi di
berbagai negara lain juga. kalian bisa cek saja data-datanya di negara-
negara lain. Indonesia jumlahnya tidak sebesar mereka.

Jadi tunggu apalagi. Ayo merantau dan rasakan keajaiban-keajaiban


hidup yang tidak akan kalian peroleh jika hanya berdiam diri di
kampung. Rasakan bagaimana cara bertahan hidup di tempat baru
dengan berbagai halang rintang memberikan banyak berpengaruh
pada pengembangan diri agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik lagi
ke depanya.

Bekerja di Australia

Negara Australia sudah transparant sekali mengenai data, semua


informasi sangat terbuka dan tertera di website milik pemerintah. Jadi
kalian bisa menggali informasi lebih dalam lagi untuk segala
kepentingan. Bagi temen-temen yang malas membaca seperti aku,
bisa bertanya kepada orang yang sudah tinggal di negara tersebut.
Misalnya ke aku. Tapi yang perlu diinget, jangan tanyakan pertanyaan-
pertanyaan dasar yang sebenarnya kalian sudah tau jawabannya atau
pertanyaan yang jawabannya bisa didapatkan dari video-videoku di
YouTube. Tidak ada pertanyaan yang bodoh ataupun tidak berarti.
Namun kalian harus mengerti juga, berapa banyak orang yang
menanyakan hal yang sama meski telah dijawab dan dijelaskan.
Kadang bikin bete, apalagi ketika sibuk dan lelah bekerja.

Jadi, selagi bisa dicari tahu sendiri, dan jika ada kendala silakan Tanya
dengan spesifik. Contohnya :

“halo Kak, selamat pagi. Aku Ujang Arip dari Dapur Plus Plus. Aku
sudah baca nih kak, untuk bisa ke Australia itu bisa pake WHV dan
Student Visa. Aku sudah tahu apa saja berkas yang dibutuhkan.
Kemungkinan aku bisa mengumpulkan itu semua dan aku ingin
memilih Kota Sydney. Menurut kakak ini gimana ya, Kak? Terus, aku
khawatir banget nggak bisa bayar kuliah. Kakak bisa sharing langsung
gak gimana caranya agar bisa bertahan? Terimakasih, Kak. Sukses
terus ya!”

Pesan seperti di atas kayaknya lebih menarik dari pada

“Assalamualaikum kak. Aku ingin sekali kerja di Australia, gimana cara


biar bisa kerja di sana ya kak?”

Aku mengerti mungkin kalian masih excited banget dengan informasi


yang baru kalian dapatkan. Tapi banyak sekali artikel yang memuat
informasi ini. Channel YouTube juga banyak yang ngehits loh. Aku
sendiri banyak sharing di channel Belajar dari Nol.

Buat kalian yang ingin tahu kesempatan apa saja yang bisa didapatkan
dari Australia. Kalian bisa berkunjung ke website Immigration and
Citizenship di link ini:

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-finder

Di sana dijelaskan secara garis besar program-program yang


memungkinkan untuk dicoba, sehingga kalian dapat mewujudkan
impian untuk tinggal di Australia. Ketika sudah mengetahui jenis visa
apa yang ingin diambil, kalian bisa mencari agen pengurusan visa atau
apply sendiri melalui link di bawah ini :

https://online.immi.gov.au

untuk yang memilih menggunakan agen, kalian bisa cari tahu sendiri.
Aku nggak bisa rekomendasikan karena memilih agen juga cocok-
cocokan. Menyesuaikan dengan budget yang kalian miliki. By the way,
jangan lupa subscribe ya, Guys!

Besaran gaji
Besarnya gaji yang diterima di setiap state, wilayah atau negara
bagian Australia memiliki rate yang berbeda. Namun perbedaannya
tidak terlalu signifikan. Kita ambil contoh pekerjaan di Darwin. Kalau
kerja di restoran dan hotel, gaji yang akan diterima kira-kira mulai dari
$21-$25 perjam saat weekday, $28 perjam pada hari Sabtu, dan $35
pada hari Minggu. Kerja di perkebunan $21-$23 perjamnya. Kerja
cleaner $25-$28 perjam. Dengan pendapatan yang besar ini, tentu
saja kalian sudah bisa membeli apapun yang kalian mau dan
mengaktualisasikan semua rencana. Makanya aku sangat mendukung
kalian untuk datang ke Australia, karena dengan begitu kalian bisa
memulai hidup jauh lebih gampang dan bisa mencapai sesuatu yang
lebih besar lagi dengan shortcut.

Aku juga bisa beli beberapa hal, terutama alat-alat pendukung


vloggingku dan juga membeli aplikasi-aplikasi berbayar. Makanya
dukung terus channel YouTubeku agar makin berkembang lagi ya
guys!!
Paspor

Just in case masih ada yang belum tahu, kalau ingin


berpergian ke luar negeri kalian harus memiliki yang
namanya paspor. Jadi ini sudah seperti KTP fungsinya ketika
di luar negeri tapi berbentuk buku. Setiap penerbangan internasional
kalian akan diminta menunjukkan paspor saat akan berangkat, juga
saat tiba di negara tersebut. Begitupun saat kembali ke Indonesia.
Pengurusan paspor dapat dilakukan secara online, kemudian
mendatangi kantor imigrasi yang ada di setiap wilayah.

Untuk nyari informasi tentang passport kalian bisa berkunjung ke


website https://www.imigrasi.go.id/

Visas
Visa merupakan otorisasi bersyarat yang diberikan oleh suatu wilayah
kepada orang asing, yang memungkinkan mereka untuk masuk, tetap
di dalam, atau meninggalkan wilayah itu. Visa biasanya dapat
mencakup batasan durasi tinggal orang asing, area dalam negara yang
mereka masuki, tanggal masuknya mereka, jumlah kunjungan yang
diizinkan atau hak individu untuk bekerja di negara yang
bersangkutan. Visa dapat diperoleh dengan mendatangi kantor
kedutaan negara yang akan dituju atau dapat juga dibuat melalui
online. Visa paling umum berupa stiker yang disahkan di paspor
pemohon atau dokumen perjalanan lainnya.
Saat ini ada 71 negara yang membebaskan pemilik paspor Indonesia
untuk berkunjung secara mudah. Beberapa negara tersebut
mengizinkan kita masuk hanya dengan membawa paspor, sedangkan
yang lainnya meminta kita untuk mengurus visa on arrival atau tanda
izin berkunjung yang didapat di bandara saat kita tiba di sana.Sisanya
dari total jumlah negara di dunia ini mewajibkan Warga Negara
Indonesia untuk mengurus visa sebelum berkunjung.
Visa Australia

Ada beberapa jenis visa yang memungkinkan Indonesian people


dengan mudah bisa datang ke Australia untuk mencari peruntungan
hidup. Berikut akan aku jelaskan satu persatu ya!

Work and holiday visa Subclass 462

Visa ini mengizinkan kalian bisa tinggal selama 3 tahun lamanya, tentu
ssaja ada prosedur yang harus diikuti untuk bisa tinggal hingga 3
tahun. Aku akan selalu meyakinkan kalian kalau hal itu mudah
dilakukan.

Aku tiba di Australia pertama kali menggunakan visa ini, saat itu
izinnya masih untuk satu tahun saja, sedangkan sekarang sudah bisa
3 tahun. Enak banget kan. Dalam setahun aku bisa mengumpulkan
uang hingga Rp 680.000.000 dalam hitungan kotor (sebelum di potong
pajak). Apalagi kalau dikasih izin selama 3 tahun. Usia sebelum 30 aku
bisa dapat uang hingga satu milyar kalau aku bisa nabung sampe 350
jutaan bersih.

Informasi mengenai visa Australia bisa kalian cari tahu di web ini :
https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-
listing/work-holiday-462

Visa ini dikhususkan untuk anak muda dibawah 31 tahun, sudah


menyelesaikan kuliahnya atau setidaknya masih aktif kuliah dan
sudah belajar 4 semester. Kalian tidak perlu pake agen untuk
mengurusnya. Cukup dengan mengikuti informasi terupdate dan
bersaing dengan jutaan anak muda lainya yang ingin datang ke
Australia saat pendaftaran onlinenya dibuka oleh direktorat jendral
imigrasi.

Step pertama yang harus dilakukan adalah mendapatkan surat


rekomendasi dari Direktorat Jendral Imigrasi dengan mendaftarkan
diri di website ini nih guys https://WHV.imigrasi.go.id/home. Gratis
tanpa dipungut biaya. Wawancaranya gampang, gak usah takut! Tell
them that you want to learn something incredible di luar negeri yang
kelak bisa bersumbangsih ke negara. Bisa dikatakan wawancara hanya
untuk verifikasi dokumen kalian saja. Gak ada pilihan gagal atau lolos.
Kalian akan lolos selama dokumen lengkap. Proses wawancara
dilakukan di gedung Direktorat Jendral Imigrasi yang ada di jakarta.
Dokumen yang harus dipersiapkan antara lain nih guys :
1. Paspor
2. KTP
3. Akta lahir
4. Kartu Keluarga
5. Ijazah atau surat keterangan mahasiswa aktif
6. IELTS dengan total nilai 4,5
7. bukti keuangan sebanyak 50 juta atau senilai dengan AUD
5,000 (fotokopi buku tabungan, rekening koran atau bank
statment yang dilegalisir bank)
8. foto paspor
9. formulir yang harus didownload dari situs di atas.

Setelah dapat surat rekomendasi, kalian harus cetak semua dokumen


ditambah surat itu dan diajukan ke Kedubes Australia melalui kurir,
kalian gak bisa kirim langsung ke alamat Kedubesnya ya. Harus lewat
kurir dan bayar biaya visanya di awal. Selama dokumen lengkap dan
ok pasti lolos.

Tunggu e-mail untuk medical check up. Mereka akan kirimkan hap-id
yang nanti diberikan kepada pihak rumah sakit yang
direkomendasikan untuk melakukan tes kesehatan. Selama kalian gak
punya penyakit di paru-paru seperti TBC, pasti aman. Mau kalian
pesek, tinggi, jelek, item, tamvan, keriting, tatoan, tindikan, gak
masalah.

Tidur dengan tenang dan tunggu saja dapat email yang membuat
kalian bisa sumringah dan sujud syukur. Setelah visa granted kalian
bisa berpikir mau kemana
dan merencanakan
perjalanya selama setahun.
Dalam periode setahun itu
kalian bisa pergi kapan saja
dan ke bagian manapun di
Australia. Visa kalian akan
dihitung dari awal mula tiba
di Australia dan berlaku
selama setahun.

Untuk apply visa kedua kalian bisa urus sendiri lewat online dengan
syarat-syarat tertentu, yaitu harus bekerja di wilayah utara atau diatas
Garis Carpricorn pada bidang hopitality dan farming.

Total biaya yang dihabiskan untuk mengurus visa ini adalah sekitar 12
jutaan di luar tiket pesawat. Termasuk biaya visa fee AUD 485 dan
IELTS 3.5 juta rupiah.
Selama di Autralia aku memilih Kota Darwin karena banyak yang
bilang kalau di kota ini gaji yang diterima lebih tinggi dari pada wilayah
lain. Aku setahun full kerja di restoran di Kota Darwin dan Palmerston.
Dalam sehari aku bisa kerja 8-12 jam selama 6 hari.

Aku pernah kerja di empat tempat dalam seminggu, tinggal dimana


saja, jadi kapan saja aku bisa kerja di tempat-tempat tersebut. Kalau
dirasa kinerja kita bagus dan dibutuhkan, akan selalu ada panggilan
untuk kerja. Jadi tinggal di cocokin jadwalnya. Negotiable banget deh.

Ini nih enaknya kalau kerja di Australia, kita tidak terikat dengan jam
kerja dan rutinitas yang kaku. Apalagi kerja di industri hopitality, kita
gak punya roster atau jadwal kerja yang tetap. Bisa kapan saja
dipulangkan sesuai dengan kebutuhan.

Bekerja di Australia juga membebaskan kita untuk bisa holiday kapan


saja kita mau. Namun jangan terlalu sering, karena bisa bikin kantong
jebol dan reputasimu jelek di tempat kerja. Kalian bisa bilang jika ingin
liburan setidaknya beberapa minggu sebelumnya.

Aku pernah dipertanyakan oleh sebagian orang terutama yang belum


tau aku “kerja apaan sih, bohong kali, kok enak banget bisa liburan
kapan saja.” Karena mindset orang Indonesia kalau kerja itu setiap
hari, dan dapat cuti cuma 11 hari. Gak mungkin sering pulang dan
holiday. Belum lagi biaya traveling itu mahal banget.

Ini yang membuat aku untuk berfikir ulang tentang hidup di Autralia.

Mendapatkan kerja

Cara melamar kerja di Australia pun gampang dan gak ribet. Pekerjaan
bisa didapat dari website seperti https://www.gumtree.com.au/ . Ini
adalah website yang serba ada, termasuk jika kalian mencari
akomodasi dan kebutuhan lainya.

kalau kalian ingin kerja di mining site dengan gaji besar dan pulang
pergi dijemput pesawat bisa melamar kerja di website berikut.

https://www.hays.com.au/

https://www.sodexo.com/home.html

http://www.compass-group.com.au/

kalian juga bisa mendatangi tempat kerjanya langsung dan


memberikan CV yang sebisa mungkin dirangkum dalam 1-2 lembar
saja.
Untuk jenis pekerjaan yang bisa diambil, akan susah mendapatkan
pekerjaan profesional yang sesuai dengan latar belakang pendidikan
di Indonesia. Jadi kusarankan ambil saja pekerjaan yang ada dan
mudah didapatkan bagi para imigran, daripada kelaparan karena
mempertahankan ego, mending ambil kerjaan apa saja yang bisa
menghasilkan 1-2 juta perhari.

Cari kerja gak butuh pengalaman kerja. Karena pemerintah Australia


sudah mengatur sedetail mungkin, sampai ke masalah pekerjaan ini.
Makanya pekerjaan yang mudah didapatkan itu adalah pekerjaan
yang tidak perlu skill luar biasa dan tanggung jawab yang ribet. Jadi
banyak sekali jenis pekerjaan yang mungkin kalian bisa bilang
rendahan tapi bergaji dua ratus ribuan perjamnya.

Trainingnya pun gampang sedangkan perkejaan lebih tinggi lahi


menuntut kalian memiliki sertifikat tertentu yang menunujukan kalau
kalian memiliki kompetesi yang valid ketika bekerja agar bisa
dipertanggung jawabkan semuanya.

Jenis pekerjaan
Beberapa pekerjaan bisa diambil oleh pemegang Visa WHV.
Diantaranya kerja di industry hospitality (pelayan, housekeeper, kasir,
all rounder, barista, bartender, unskillful cook, pembuat sandwich);
Farming (sayuran, buah, perkebunan, peternakan, tukang sembeli
hewan, kerja di pabrik daging); Cleaning (cleaning di sekolah, kantor,
tempat gym dan lainya); Retail (supermarket); dan kerja di
perusahaan.

Kalian perlu

Ada beberapa pekerjaan yang mengharuskan kalian memiliki


beberapa dokumen tambahan seperti :

1. SIM Card dan e-mail diperlukan untuk berkomunikasi tentang


pekerjaan dan pengiriman dokumen.
2. TFN atau Tax File Number harus dimiliki ketika bekerja, karena
gaji yang diterima akan dipotong psajak dan sesegera
mungkin dikirimkan ke nomor psajakmu.
3. RSA atau Responsiblity Service Of Alcohol digunakan untuk
kalian yang ingin kerja di bar atau serving alcohol.
4. White Card kartu ini dibutuhkan kalau kalian ingin bekerja id
bidang konstruksi
5. Vaccines diminta ketika kalian bekerja di tempat-tempat
tertentu, pabrik daging atau mining site
6. ABN atau Australian Business Number diperlukan ketika kalian
memiliki usaha sendiri

Kalau Cuma kerja di hotel atau restoran sih gak perlu ya! Santaai

Pasca WHV
Banyak para pemegang WHV ini yang bingung mau ngapain setelah
WHV, apalagi pikiranya masih idealis banget ngerasa di Indonesia bisa
hebat atau lebih menyukai tinggal di Indonesia, tapi tinggal di
Australia juga sangat mudah untuk melakukan apapun. Mau gonta-
ganti warna rambut, kelamin, sampai nyari modal buat oplas dapat
dengan mudah terealisasi. Jadinya galau merana.

Aku waktu itu kepikiran untuk sekolah cookery tapi belum 100 persen.
Akhirnya aku membeli tiket ke beberapa negara untuk menghibur diri
setelah setelah setahun penuh kerja mati-matian demi Dollar. Aku
traveling ke Iran, Nepal, Myanmar, Hongkong, Macau, Shenzen, dan
beberapa kota di Indonesia menjadi pilihan. Salah satunya Aku
berkunjung ke kota Padang. Aku menikmati indahnya Sumatera Barat,
dan saat itu pula aku mengatakan kalau suatu hari aku ingin tinggal di
sana dan ingin membawa orang tuaku ke sana.

Akhirnya aku mutusin untuk kembali ke Australia. Mengingat usaha


orang tua masih bisa mereka pegang dan mereka masih semangat
nyari duit. Jadi lebih baik aku biarkan, dari pada take over sumber duit
mereka. Yang ada berantem terus.

Student visa subclass 500

Visa ini gak kenal umur, tapi kalau masih muda tentu saja memiliki
peluang lebih besar. “bagaimana kalau sudah tuir dan gak pede lagi
bakal keterima visanya?” Logikanya, kalau sudah tua ambil sekolah
abal-abal atau jurusan-jurusan yang sembarangan, ya kemungkinan
besar ditolak. Pihak Australia akan berfikir ini orang mungkin saja
emang beneran mau belajar, tapi yang apply Student Visa itu banyak
dan siapa yang menjamin mereka sungguh-sungguh ingin belajar
bahasa. Pasti jawaban paling memungkinkan adalah bahwa ini orang
cuma pengen kerja doang di Australia. Kecuali jika mengambil bidang
pendidikan Bahasa Inggris di Universitas, itu beda cerita. Kalau hanya
setingkat college atau sekolah-sekolah biasa saja kemungkinan besar
ditolak. Sekalipun sungguh-sungguh ingin sekolah.

Tapi ada juga yang berhasil kok, dengan catatan mereka berkunjung
dulu dengan turis visa dan langsung convert ke study visa. Tapi perlu
diperhatikan bahwa :

CARA INI TIDAK MENJAMIN VISA KALIAN GRANTED


Baiklah, sekolah di Australia dengan bayar sendiri atau dapat beasiswa
tentu saja menguntungkan. Paling enak yang dapat beasiswa. Mereka
datang ke sini bersama keluarganya yang juga dapat izin tinggal, dan
merasakan hak-hak yang sama dengan penduduk Australia. Pasangan
mereka bisa bekerja sehingga bisa double income dan cara ini mujarab
untuk memperkaya keraajaan keluarganya.

Kuliah dibiayai dan masih boleh bekerja saat sekolah, pasangan kita
juga bisa kerja di sini. Bahkan mereka bisa bekerja di retail. Belum lagi
kalau bawa anak, anaknya bisa sekolah di Australia. Mantap dah. 2-4
tahun kuliah pulang-pulang bisa jadi miliarder. Naik jabatan pula
karena lulusan luar negeri.

Kita doakan semoga kemudahan-kemudahan yang diterima para


pemegang beasiswa ini bisa memberikan semangat dan kesadaran
untuk membangun dan memajukan bangsa kita agar lebih baik dan
menyajikan konten-konten luar biasa dalam meningkatkan kehidupan
masyarakat Indonesia. AAMIIN YA RABBAL ‘ALAMIN.

Bagi yang gak pinter seperti aku alias bodoh tapi aktif ngeYouTube
untuk berbagi informasi, semoga mendapatkan dukungan dalam
bentuk subscribe dan like pada channel Dapur Plus Plusnya. Ya sekolah
saja lah bayar sendiri. Yang penting kebayar dan masih bisa nabung
sedikit-sedikit. Setidaknya hidup seperti ini lebih baik secara financial
ketimbang di negara sendiri yang tiap hari makin runyam saja
beritanya.

Setiap mahasiswa yang datang membawa partner dan anggota


keluarganya, tentu saja mereka bisa bekerja juga dibawah student
visa. Jadi manfaatkan hal ini sebagai strategi memperbaiki hidup.
Tenang saja, kelihatannya mahal biaya kuliah di Australia. Tapi ketika
dapat penghasilan dari negara tersebut, semua biaya yang keluar di
awal akan terbayar bahkan masih ada uang lebihnya.

Enak bukan?

Pengurusan visa

Kalian bisa menggunakan jasa agency pendidikan untuk membantu


semua urusan visa ini. BANYAK AGENCY YANG TIDAK MEMBEBANKAN
FEE karena mereka akan mendapatkanya dari sekolah. Mereka juga
akan mereview dokumen kalian agar sesuai dan bisa disetujui oleh
pemerintah alias bisa granted.

Biaya yang kukeluarkan untuk pengurusan visa adalah sekitar 75 juta.


Mencakup biaya semester pertama ketika mendaftar di universitas
dan untuk mendapatkan COE (Confirmation Of Enrolment) sebagai
salah satu syarat visa. Jadi kita harus daftar dulu ke sekolahnya ya.
Didaftarin oleh agency dan kalian harus memberikan dokumen-
dokumen juga yang nantinya juga akan digunakan untuk apply
student visa.

Kalian bisa milih kampusnya di website milik Pemerintah Australia


atau tanya ke agen dan konsultasikan jenis sekolah apa yang kalian
butuhkan yang disesuaikan dengan kapasitas dirimu. Tiap jurusan,
tiap organisasi, memiliki harga yang berbeda. Kalian bisa cek di
internet seperti :

https://studynt.nt.gov.au/

https://www.study.sydney/learn/types-of-study

https://studyadelaide.com/

https://www.studyperth.com.au/

https://study.tas.gov.au/

Masih banyak lagi link kampus yang bisa dipilih. Jadi tinggal di
sesuaikan saja mana yang paling cocok. Untuk harga visa sendiri itu
sekitar AUD 620. Pengurusan visaku dibantu oleh Nona Fitria
(https://www.facebook.com/hungrybabe) yang bekerja di
https://www.studynet.com.au/
Nona Fitria membantu menerjemahkan dokumen dan mengurus
semua urusan visaku dari Sydney, Australia. Terima kasih, Nona. Kalau
kalian daftar ke dia, tolong kasih tau kalo dapat informasi dari aku ya.
Hehehe

Syarat Dokumen
1. COE
2. Paspor
3. KTP
4. KK
5. Surat dukungan dari orang tua
6. Statement of Purpose yang berisi surat pernyataan kenapa
ambil jurusan tersebut
7. Ijazah
8. akta lahir
9. buku nikah jika sudah menikah
10. SIUP orang tua atau nomor pajak
11. bukti keuangan (berupa fotokopi buku tabungan, bank
statement atau rekening koran) dengan nilai cukup fantatis
yang meliputi biaya hidup setahun + biaya kuliah setahun +
tiket PP.
12. Dan nilai IELTS dengan skor sesuai yang sesuai dengan jurusan
yang akan diambil.
13. Asuransi selama masa pendidikan harus dibeli diawal karena
bukti pembelianya nanti harus dilampirkan. Bisa diskusi
dengan agen kalian atau bisa langsung buka BUPA dan Allianz.

Setelah semua dokumen lengkap tinggal disubmit saja dan tunggu


undangan untuk melakukan medical check up. Di Indonesia, tarif
medical check up sekitar 1.2 juta rupiah. Sedangkan kalau melamar
dari Autralia dan harus melakukan medcheck di sini, biayanya sekitar
AUD 400.

Kuliah GUEEEHH

Karena selama ini kerja di industry hospitality dan aku suka banget
masak, aku memilih kuliah sesuai dengan passionku, masak. Selain itu
ada kesempatan untuk mendapatkan Permanent Residence kalau
sudah lulus dan mengikuti prosedurnya. Wah bisa makin lama lagi
tinggal di Australia.

Ok aku elaborate ya jurusan kuliahnya ya!!

Certificate III commercial Cookery


Kuliah ini ditempuh selama 1 tahun dengan biaya 74 juta per
semester. Biaya kuliah harus dibayarkan sebelum perkuliahan dimulai
dan tidak boleh dicicil. Biaya ini sudah termasuk berbagai macam
resources yang dibutuhkan selama perkuliahan, di luar dari seragam
dan satu set pisau.

Di semester pertama, aku belajar makanan umum yang berkiblat


kepada france cuisine. Tapi ada juga menu-menu yang sudah memiliki
pamor international dan sering ditemui di restoran. 70 persen
perkuliahan itu praktek. Jadi seharian bisa di dalam kitchen yang
memiliki fasilitas lengkap dan bahan-bahan yang berkualitas.

Tiap orang memiliki satu meja dengan bahan-bahan yang cukup,


sehingga lebih banyak melakukan individual tasks. Bahan yang
diberikan sesuai dengan menu apa yang akan diolah hari itu. Bisa jadi
ayam, ikan, daging dan bahan-bahan lainnya. Selain tugas individu,
juga ada tugas tim untuk menu-menu besar. Selain itu, kami juga
diberi pendidikan yang berkaitan dengan industri hospitality seperti
food hygyne, work safety dan work health. Jadi benar-benar dituntut
untuk menyesuaikan dengan standar negara maju.

Jadwal kuliahnya itu 2 minggu kuliah 2 minggu off. Dalam satu


semester bisa dibilang 4 bulan masa aktif dan sisanya libur.
Assessmentnya berupa praktik langsung dengan mengulang beberapa
makanan terpilih yang pernah dilakukan sebelumnya. Kalau bahas
ayam berarti nanti akan ada beberapa menu ayam yang akan diujikan.
Assestment lainnya adalah teori, duduk dikelas dan jawab pertanyaan-
pertanyaan. Jawabannya gak ribet jika kita menyimak apa yang
disampaikan oleh dosen. Tapi sayang banget gue sering ngulang.

Mengulang diperbolehkan hingga 3 kali. Selama masih salah, ya harus


terus dipikirkan jawabannya. Sesekali dosennya membantu mencari
jawabanya dengan memberikan clue untuk memancing jawaban dari
otakku.

Semester dua ngomongin tentang dessert. Di samping itu kami juga


harus melakukan restaurant service dimana akan ada beberapa kali
pelayanan makan malam untuk orang umum di restaurant milik
Charles Darwin University. Kami dibagi dalam kolompok Entree, Main
Course dan Dessert dan menunya selalu berubah-ubah. Seru banget
sih jadinya!
Di semester dua ini kita juga harus membuat satu set menu dan
mengkalkulasikan biaya produksi per item dan setiap item atau
kategori memiliki batasan biaya tertentu. Contohnya Entree harus
dibawah $2 ongkos produksi per itemnya.

Kalau kalian ambil kuliah masak, pastikan kalian juga bekerja di dapur
karena akan ada beberapa tugas yang datanya harus diambil dari
tempat kerja.

Di akhir pendidikan ada yang namanya cook out dimana kami harus
membuat satu set menu dan membuat makanan tersebut dalam
durasi waktu yang sudah ditentukan. Menu makananya pun hanya
boleh dibuat dari bahan-bahan yang disediakan atau telah ditetapkan
porsinya. Aku suka banget cook out ini. Kala itu aku terbesit untuk
ikutan kompetensi. Aku bangga pada diriku sendiri karena aku bisa
membuat makanan yang cukup complicated dengan baik dan mudah.

Certificate IV commercial cookery


Aturan baru bahwa untuk mendapatkan Permanent Residence dari
jalur chef harus menempuh pendidikan hingga certificate IV. Di level
ini, pendidikan akan ditempuh selama setahun dan biayanya pun
sama sekitar 74 jutaan per semester.
Dalam cert. IV ini, perkuliahan yang diberikan full teori dan membahas
tentang manajerial kitchen dan hal-hal yang menyangkut industri
hospitality. Materi yang berkaitan dengan kitchennya kami dapatkan
hanya 1 kali pertemuan per semesternya, namun tugasnya seabreg-
abreg. Kami harus membuat satu set menu yang sangat detail mulai
dari pembuatan produk sampai buat brandnya dan tampilan
presentasi produknya harus digambar. Kami juga harus mendata
menu yang ada di tempat kerja dan menuliskan semua resep dan
aktifitas pekerjaan kami.

Tugas berikutnya kami harus membuat menu yang sesuai dengan


berbagai macam dietary. Menu untuk orang diabetes, gluten free,
vegan, vegetarian, Islam, Kristen, Yahudi, Dan Hindu. Menu-menu ini
alhasil memperdalam wawasanku.

Di semester dua kami diminta untuk membuat program sustainability


yang berkaitan dengan aktifitas kitchen agar bisnis lebih ramah
lingkungan. Terus kami juga harus membedah tentang nutrisi yang
sesuai dengan kategori usia dan gender tertentu. Ditambah kami
harus menambahkan cycle menu yang diset perminggu untuk periode
waktu tertentu.

Kebayang kan, gila banget. Tapi tenang saja, dosennya akan


membimbing kalian hingga kalian paham dan bisa mengerjakan tugas
dengan benar,kok. Jangan ditanya lagi, aku sering banget dibalikin
tugasnya setelah sebelumnya dicorat-coret.

Pelajaran di luar manajerial kitchen adalah tentang staff and business.


Bagaimana kami diberikan project-project aplikatif lainya yang aku
sendiri suka sih. Semua hal yang berkaitan dengan industri hospitality
benar-benar diajarkan. Kalau dapat beasiswa mungkin akan lebih enak
lagi. Belajarnya bisa lebih fokus. Anganku adalah bisa kuliah dengan
serius, karena sumpah ini bagus topiknya. Aku suka!

Eh, guys, sudah subscribe Dapur Plus Plus belum di YouTube? Ajak
temennya juga dong!

Diploma Of Hospitality
Bisa dibilang ambil jurusan ini tuh seolah buang-buang duit. Karena
aku bekerja di dapur, jadi gak perlu banget belajar bagian front of
house. Tapi karena sudah kubayar dan aku ambil sepaket pas daftar,
aku lanjutkan saja. Aku juga malas mengurus cancelation visa dan
segala macam prosedurnya.

Di stage ini kami belajar tentang table manner. Cukup membosankan,


karena teori lebih banyak ketimbang praktiknya. Kami melakukan
praktek saat restaurant service. Student dari Certificate III commercial
cookery yang masak, dan kami yang hidangkan ke customer yang
sudah booking jauh-jauh hari untuk bisa dapatin dinner exclusive dan
murah itu.

Aku belajar cara nuangin wine, menyapa tamu, dan menata meja
tamu. Di luar dari itu, kami belajar ilmu lainya yang juga berkaitan
dengan hospitality dan ilmu dasar bisnis seperti akuntansi, presentasi
dan manajemen staff.

Sayang aku gagal satu unit karena telat submit perbaikan assessment,
aku tunangan kala itu dengan orang Padang Panjang, Sumatera barat.
Jadi aku belum dapat sertifikatnya dan harus ulang masuk kuliah. Tapi
gak mesti bayar.

Kesempatan Bekerja untuk Student

Sebagai student kita diperbolehkan kerja 40 jam totalnya dalam 2


minggu, jadi kalau misalnya minggu ini kerja 15 jam berarti minggu
depan boleh kerja 25 jam lagi. Minggu berikutnya lagi cuma boleh 15
jam lagi. Untuk itu akan lebih gampang dibilang 20 jam perminggu.
Tetapi ketika libur sekolah kalian boleh bekerja sebanyak-banyaknya
kalian bisa. Jadi make sure baik-baik ya ditempat kerja biar rezekinya
lancar.
Kota besar tentu memberikan kemudahan dan peluang kerja yang
lebih banyak dibandingkan kota kecil. Namun tidak semua kota
memberikan peluang Permanent Residence. Jadi, pikirkan baik-baik!

Terus-terusan menggunakan Student Visa juga tidak enak. Mau


sampai kapan kita terus sekolah? Someday pasti akan dipaksa pulang.
Jadi mending coba PR saja biar bisa tinggal lebih lama.

Tantangan

Tantangan kuliah di luar negeri tentu bahasa ya, jadi kurang bisa
menjelaskan banyak hal ketika diskusi atau kadang kurang percaya diri
karena takut salah. Namun seiring berjalan waktu dan banyak
interaksi, kemampuan bahasamu juga akan meningkat.

Kerja dan aktifitas lainya yang membuat lelah juga menjadi tantangan
karena ke kampus bawaanya jadi ngantuk banget, sehingga ilmu tidak
bisa diserap maksimal. Di sisi lain, kalau gak kerja takut gak kebayar
kuliahnya. Makanya pemerintah membatasi maksimal 20 jam kerja
perminggu, karena itu sudah paling relevan dengan kapasitas otak
untuk menyerap ilmu.
Memerangi rasa malas ketika banyak assessment dan berhenti untuk
menundanya juga merupakan tantangan yang cukup berat.
Untungnya proses pengerjaan assessment juga didiskusikan sama
dosennya dan dikerjakan bareng-bareng. Dosen memberikan
gambaran gimana menjawabnya dan kita memindahkan dengan
bahasa sendiri serta menguraikan maksudnya itu apa.

Jujur, selama menjadi student aku kurang bergaul dengan orang, jadi
kebanyakan homesick dan kesepian. Gak seperti saat WHV dulu.
Homesick juga menjadi tantangan bukan? Karena banyak yang
menyerah di pertengahan jalan karena tidak kuat menahan rindu
ataupun rasa sepi.

Tantanganku belum seberapa jika dibandingkan dengan teman-teman


yang kuliah ambil jurusa teknik, keperawatan, akuntan, MBA dan
lainya yang bayar kuliahnya nyampe 250 jutaan pertahun.

Kalian juga bisa bayangkan banyak orang dari negara seperti China,
Korea, Taiwan dan Jepang yang harus belajar ekstra dalam bahasa,
nulis latin dan belajar Bahasa Inggris. Lebih banyak lagi kan usaha yang
harus mereka lakukan?
Tips sukses
Lebih baik sebelum ke Australia kalian menikah dulu bagi yang sudah
punya pacar. Biar enak nanti di Australia bisa saling bantu. Yang satu
kuliah dan kerja, yang satu lagi bisa full bener-bener kerja. Ini
kesempatan bagus loh.

Kalau milih kuliah s1 ke bawah kesempatan kerja untuk masing-


masing Cuma 20 jam saja perminggu. Tapi untuk s2 ke atas, partner
bisa kerja sebanyak-banyaknya.
Graduated Visa Subclass 485

Ketika kalian sudah sekolah selama dua tahun di Australia dan memilih
jurusan yang mengarah ke PR, kalian bisa mendapatkan kesempatan
untuk tinggal di Australia 1.5 tahun – 2 tahun lamanya.

Berikut penjelasan mengenai visa ini berdasarkan website pemerintah


:

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-
listing/temporary-graduate-485

“This visa is for international students who have recently graduated


with skills and qualifications that are relevant to specific occupations
in Australia needs. It lets you live, study and work in Australia
temporarily.”

Nah dengan visa ini aku bisa kerja sakarep dewek di Australia. Penting
untuk diperhatikan, kalian harus memiliki kualifikasi bekerja pada
bidang yang ada di occupation list. Aku juga bisa ajak wanita yang baru
kunikahi untuk join bersama visanya. Seneng banget kan? Dua-duanya
bisa nyari duit.
Jadi sebelum memilih sekolah dan jurusan, kalian bisa check dulu nih
apakah jurusan kalian itu bisa nantinya mendapatkan Graduated Visa
dengan nyari tahu di link ini ya guys !

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/working-in-Australia/skill-
occupation-list

Semua effort yang sudah kita lakukan untuk bayar kuliah, waktu yang
sudah dicurahkan bisa terbayar dengan Graduated Visa ini sehingga
bisa mengembalikan modal yang sudah diinvestasikan sebelumnya.

So guys, jangan pernah merasa rugi ya untuk investasi diri. Kalau


semuanya berjalan mulus, ketika selesai Graduated Visa ini kalian bisa
apply yang namanya Permanent Residence. Harga visa ini adalah AUD
1.650.

Syarat graduated visa


1. Paspor
2. KK (transleted)
3. Akta lahir
4. Ijazah dan transkrip nilai dari CDU
5. Buku nikah
6. Surat keterangan baik dari pemerintah
7. Mengisi form 80, IELTS dengan nilai overall 6
8. Surat dari lembaga TRA (Trade Recognition Australia) yang
melakukan skill assessment.
9. Asuransi untuk apply Graduated Visa 485. Kalian bisa cek di
google “Insurance for 485 visa”.

Untuk police clearance kalian bisa apply online dengan biaya sekitar
AUD 50. Bisa kalian cek disini :

https://www.afp.gov.au/what-we-do/services/criminal-
records/national-police-checks

Pendaftaran TRA harus dilakukan terlebih dahulu sebelum apply


visanya. Apply TRA dapat dilakukan melalui
https://www.tradesrecognitionAustralia.gov.au/ dengan biaya
sekitar AUD 500 untuk step pertama. Jadi begitu kalian dinyatakan
lulus dan dapat ijazah, kalian harus langsung daftar biar tenang.
Karena gak bisa dijamin kapan akan direlease.

Syarat untuk apply TRA ini akan aku lampirkan dibagian akhir nanti ya
dokumen-dokumenya bisa disusun seperti yang punyaku ok. Bantu
aku juga dong dengan subscribe dan share channel YouTube Dapur
Plus Plus .
Proses apply visa
Aku coba untuk apply sendiri visa ini. Setelah lulus sekolah aku punya
waktu 3 bulanan sisa visaku. Aku nikah dulu sama gadis Padang
Panjang yang juga baru lulus kuliah S2 di Universitas Pertahanan
Indonesia, dia mendapatkan beasiswa guys. Jadi mampir ke channelku
dan berkenalan ya. Atau bisa follow instagramnya @ry_kdm.

Semua dokumen yang dimiliki langsung disubmit di website :

https://immi.homeaffairs.gov.au/help-support/applying-online-or-
on-paper/online

kalau belum punya akunnya, silakan dibuat terlebih dahulu.

Untuk apply visa ini sangat memungkinkan banget dilakukan sendiri


karena kata temenku kemungkinan untuk granted sangat besar. So,
jangan terlalu khawatir ya.

Ada beberapa tahapan yang harus dilalui dan itu detail banget
sehingga banyak bagian yang harus dengan sabar diisi. Kalian bisa
simpan dulu datanya setelah mengisi beberapa kolom kok, gak mesti
langsung disubmit. Jadi selama nunggu kelengkapan semua dokumen,
kalian bisa nyoba untuk mulai mengisi kolom-kolom lainya.
Ketika disubmit, kalau data masih belum lengkap, masa granted
visanya akan menjadi lebih lama atau bahkan bisa gagal. Jangan
sampai ya! Begitu kalian submit semua dokumennya, beberapa jam
kemudian kalian akan mendapatkan e-mail pergantian visa dari
student ke Bridging Visa A.

Bridging Visa A diberikan kepada orang yang dalam masa transisi


pindah status visanya. Seperti aku, Visa Studentku mau berakhir.
Ketika visanya berakhir, langsung dapat izin lagi pake bridging ini
sampai visa baruku keluar. Bridging A ini tidak memperbolehkan
kalian untuk keluar Australia, kalau kalian kepaksa banget harus
pulang, ya sebaiknya apply Briding B.

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-
listing/bridging-visa-a-010

Aku sendiri nunggu visanya hingga 2 bulan lebih lamanya saat masa
Corona. Niatnya bisa ngedulang dollar tapi malah gak berkutik
nasibnya. Kasian banget. Istriku juga gak bisa datang karena border
ditutup. Parahnya, 2 hari setelah ditutup visa turisnya baru granted
multiple. Kasian banget kan kita.

Akhirnya kami menyibukan diri ngeYouTube dan sekarang aku juga


masih berkarya sampai benar-benar pulih situasi dan kondisi di muka
bumi ini. Jadi mohon bantuanya ya guys untuk subscribe channel
Dapur Plus Plus. Plis banget.
TRA

Trade Recognition Australia menyatakan begini nih guys, “Trades


Recognition Australia (TRA) is a skills assessment service provider
specialising in assessments for people with trade skills gained
overseas or in Australia, for the purpose of migration and skills
recognition. Please refer to the three options below to assist you to
find the right program, to access detailed program information or to
progress a TRA application.”
(https://www.tradesrecognitionAustralia.gov.au/)

Jadi kalau mau diakui kemampuanya, kalian harus melakukan skill


assessment ini. Untuk jalur chef sendiri,terdapat 4 tahap. Tahapan
pertama harus kalian selesaikan setidaknya untuk lolos mendapatkan
Graduated Visa. Selanjutnya jika ingin mendapatkan PR, kalian harus
menyelesaikan 3 tahapan berikutnya.
Di stage pertama syaratnya nih

1. Form yang didapat dari website tersebut.


2. Paspor
3. Foto ukurang pasport
4. Ijazah dan transkrip nilai
5. Surat pernyataan dari tempat kerja kalau kita bekerja di sana
dengan tugas yang sesuai dengan level kerjaku di kitchen.
Boleh lebih dari 1 tempat kerja
6. Screen shoot bank account, aku sortir dulu income
moneynya yang Cuma dari perusahaan ku saja. Jadi lebih
gampang menunjukan kalau aku tiap minggu dapat income
dari perusahaanya. Bukti income yang sesuai dengan jumlah
payslip juga akan dilampirkan.
7. Semua slip gaji yang jika ditotalkan itu terakumulasi hingga
360 jam. Jika dibagi 20 jam perminggu berarti 18 mingguan
payslip, dan 18 transaksi uang masuk juga harus dilampirkan.

Semua dokumen ini harus disusun sesuai yang diminta atau kurang
lebih seperti di atas terus diexport dalam bentuk pdf dan di submit di
website TRA.
Stages berikutnya saat aku urus lagi ya guys. Jadi terus pantengin
YouTube channelku Belajar Dari Nol dan Dapur Plus Plus. Please
banget subscribe ya guys.
Penutup

Itu dia beberapa visa yang memungkinkan untuk temen-temen ambil


ketika ingin bekerja di Australia dan mencari peruntungan hidup di
tanah rantau.

Ada visa lainya juga, sih. Seperti Partner Visa :

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/getting-a-visa/visa-
listing/partner-onshore

Permanent Residence Visa :

https://immi.homeaffairs.gov.au/visas/permanent-
resident/evidence-of-residency-status

dan Citizenship Visa jika kalian ingin pindah kewarganegaraan menjadi


Australian.

Katanya ada juga visa yang diperuntukan bagi mereka yang mencari
perlindungan karena di negara asalnya mengalami tindakan yang
kurang baik atau mengancam keeksistensianya.

Buat temen-temen yang bener-bener pengen banget merantau dan


mengubah nasib. Ada banyak jalan untuk memenuhi semua
persayaratanya, banyak yang bisa bantu asalkan kita juga bisa
membuat brand image diri kita baik. Minta bantu keluarga dan
tunjukkan bukti nyatanya. Seperti yang aku lakukan, jelaskan dengan
baik ke orang tua, biar mereka paham dengan rencana yang telah
kalian susun, akhirnya kalian bisa mendapatkan restu serta dukungan
dari mereka.

Jangan pantang menyerah dan terus berdoa disertai melakukan


sesuatu yang berguna untuk dirimu sendiri. Kelak, di kemudian hari
akan mendatangkan rezeki dan kemudahan. Ingat ketika financial kita
oke, menjalani hidup pun akan terasa lebih mudah. Beribadah pun
bisa lebih banyak ya guys. Jadi ayo menjadi orang kaya raya dan sukses
makmur gemah ripah lohjinawi.

Bukan cuma duit yang bisa kita dapat, tapi kesempatan lainnya
terutama banyak hal yang bisa meningkatkan potensi dan kualitas diri
kalian. Merantau adalah cara dimana kita bisa makin berguna lagi
untuk diri sendiri dan sekitar dan bisa memaknai value-value hidup
yang terbentuk di masyarakat. Kita juga bisa memandang sesuatu
lebih bijak dari berbagai sisi. Sehingga kita bisa memperbaiki masa
depan bangsa agar lebih baik lagi ke depanya.

Makasih banget temen-temen sudah membaca karyaku sampai


sejauh ini. Semoga kalian makin jaya dan sukses terus. Doakan aku dan
keluarga agar bisa menjadi keluarga yang baik dan berguna lagi untuk
banyak orang. Jangan lupa untuk dukung channel YouTube kami agar
kami makin semangat lagi berkaryanya.

Di bagian akhir aku akan melampirkan beberapa dokumen yang


dibutuhkan untuk apply visa. Semoga ilmunya berkah dan menjadi
penyemangat agar kalian terus bergerak maju. Mohon maaf apabila
ada salah dalam penyebutan, perkataan atau tulisan yang kurang
berkenan.

I love you, guys.


BUKTI GAJI SAAT WHV

GAJIKU DALAM DUA MINGGU SAAT MENJADI SUSHI CHEF


RINCIAN GAJIKU DI SEBUAH CAFE JADI TUKANG CUCI PIRING,
TUKANG MASAK, DAN ALL ROUNDER
PAYMENT SUMMARY DALAM SETAHUN

TOTAL PENDAPATAN KETIKA JADI STUDENT DALAM SETAHUN. PAJAK


YANG DIDAPAT 3.880 BISA DICLAIM SEMUANYA KARENA STUDENT.
Bukti keuangan dan payslip untuk apply
graduated visa
Experience
Arip Hidayat 21 cafe the mall
11 August 2016 to 10 December 2016
Kitchen Hand

Free spirit resort


November 2016 to 14 August 2017
aripudin45@gmail.com Kitchen Hand for night shift

AIRPORT TAVERN
January 2017 to 11 July 2017
Kitchen Hand for night shift

0423510819 Sushi Izu


14 december 2016 to 14 August 2017
Sushi Maker, Food preparation

21 Cafe Smith Street


69 Wellington parade
11 July 2018 till now
alawa 0810
Breakfast chef, Kitchen hand, food preparation,
waiters, cooking pie, help chef pastry and all
rounder.

Darwin trailer boat club


3 september 2018 till now
Cook (deep fried and pan section)
REFERENCE

RUDI 043
Education
TON DTBC CHEF 04
Certificate III commercial Cookery 2017-2018
Charles Darwin University, Darwin, NT, Australia
Certificate Iv commercial Cookery 2017-2018
Charles Darwin University, Darwin, NT, Australia
Skills

Work fast and efficient, Knife


skill, Cooking skill, pastry, food
handling and hygine, RSA
DI BAWAH INI AKU SERTAKAN BEBERAPA BUKU
YANG SEBELUMNYA PERNAH AKU TULIS

JADI BIAR MAKIN SERU LAGI BACANYA AKU ATTACHED BUKU YANG
KU RILIS DULU BARENG TEMEN-TEMEN DAN BUKU SAAT AKU
SEKOLAH MEMAMASAK

GUYS, BANTU JUGA UNTUK SUBSCRIBE CHANNEL DAPUR PLUS PLUS


DAN CHANNEL UJANG ARIP DONG. BIAR CHANNEL KITA JUGA
MAKIN BERKEMBANG.

TERIMA KASIH.
Sekolah di
CDU
arip hidayat
Persembahan Penulis
Syukur alhamdulillah, Buku Merantau ke Australia terbit ditengah-
tengah kesibukan baruku sebagai suami dan bekerja di dapur untuk
mengejar step berikutnya agar bisa lulus skill assessmentku yang
nantinya bisa kugunakan untuk berkarir sebagai seorang chef.

Tiada Tuhan yang Maha Baik selain ALLAH SWT yang telah memberiku
banyak kesempatan baik. Diberikan otak yang setiap waktu rasa ingin
tahunya meningkat, diberikan antusias untuk terus berkarya, diberi
kesempatan untuk membanggakan orang tua, diberikan kemampuan
untuk bisa berbagi dengan kerabat dan tetangga, diberikan sifat ceria
dan aksen ketawa yang aneh, ditemukan dengan teman-teman yang
tidak pelit memberikan informasi, dipertemukan dengan istri yang
menjadi rekan kerja, rekan diskusi dan traveling, dan diberikan
kesempatan untuk menjalin hubungan baru dengan kalian para
pembaca buku ini.

Terima kasih yang teramat dalam kepada orang tua tercinta Bapak
Engkus Kusnadi dan Ibu Eti yang telah banyak bersumbangsih besar
terhadap perkembangan diriku. Aku merasakan semua level hidup
yang kita alami. Semua itu adalah cara ALLAH SWT dalam
membentuku hingga bisa seperti ini. Kalian dengan kesederhanaan
dan keterbatasan diri telah menjadikan aku manusia yang setidaknya
bisa berpikir untuk menjadi hebat. Kalian mungkin tak menyangka
aku akan seperti ini sekarang. Didikan keras yang diterima anak
sulung, uang jsajan yang sedikit, interaksi yang kurang, permintaan
mengerjakan pekerjaan rumah, dan titahan yang memaksa telah
menghasilkan pemuda ini kreatif dan tidak bisa diam menikmati
kesuksesan kalian.
Aku baru ssaja nonton Pak Nadiem Makariem menjawab pertanyaan
di YouTubenya Bang Deddy Cobuzer “kalau di rumah tangganya itu
orang tuanya yang berguru atau mendidik, itu mau sekolah sebagus
atau sejelek apapun itu anak bakal oke. Itu anak bakal baik.”

Aku gak berani minta apapun lagi ke kalian, karena dengan merasakan
hal seperti ini pun. Aku mengerti kalau kalian sudah cukup baik dalam
mendidiku. 8 tahun lalu aku sudah mendamaikan diri dan mensyukuri
kalian berdua yang telah menjadi orang tuaku. Mamah dan Bapa,
terima kasih banyak. I love you!!

Terima kasih kepada adik-adiku yang juga sedang berproses.


Harapanku adalah kalian juga bisa membaca tulisan ini. Tapi
bagaimanapun memberi nasihat kepada saudara sendiri kadang lebih
susah dari pada ke orang lain. Yang jelas setiap hari aku mendoakan
kalian untuk bisa menjadi mandiri dan hebat pada bidang masing-
masing. Bisa memaksimalkan potensi. Adanya kalian membuatku
bertekad untuk mampu berdiri kuat, agar kelak dimasa depan tidak
ada cekcok mengenai duniawi seperti harta warisan.

Terima kasih kepada guru-guru ngaji yang juga sering ngomel-ngomel


karena bandelnya diriku. Tapi mereka menyayangi dan selalu teringat
kepadaku. Saking terlalu dominan dan lucu kali ya. Maafkan aku yang
hingga kini ilmu tajwidnya masih jelek, duduk silanya gak bisa lama-
lama dan malah bolos demi nonton telenovela atau boliwood.

Terima kasih kepada orang-orang yang sering memarahi dan


menjudgeku sebagai anak badeg/badung. Begitupun dengan guru
yang meragukan potensiku. Gapapa, kalian adalah orang yang
berkontribusi dalam pola pikirku. Teman-teman yang pernah
memusihiku, memakiku. Aku berterima kasih atas pengalaman
tersebut karena tanpa kalian aku tak akan bisa berlari mengejar
kemajuan diri untuk melakukan perbaikan.

Terima kasih kepada kalian yang hadir dalam hidupku dan menjadi
keberkahan dengan memberikan ilmu yang berguna. Aku mungkin
kurang bagus dalam memaintain relationship ini. Tapi apapun
kebaikan kalian aku coba mengingatnya dan kudoakan agar
mendapatkan balasan yang besar dari ALLAH SWT . Kalian pula yang
menginspirasi aku untuk berbuat pula bagi orang lain. Satu hal baik
tersampaikan pada moment yang tepat akan mampu memberikan
perubahan. Semoga kita selalu diberikan kesehatan agar bisa terus
menanam karma baik.

Kepada istriku Ryaniraffiyaditaterima kasih sekali sudah mau


menerima diri dengan kriteria gila ini. Aku bisa seberkomitmen
kepadamu karena kecerdasan intelegensimu dan kedekatan dengan
keluargamu yang kamu refleksikan di beberapa moment yang kamu
upload di sosmedmu. Setiap diskusi denganmu menjadi gairah. Jika
aku tak mengatakan kalau kamu adalah jawaban semua doa. Rasanya
aku kufur nikmat. Kudoakan agar kau menjadi wanita hebat dan
banyak berkarya untuk masyarakat.

Kepada teman-teman pembaca semua, aku terima kasih sekali atau


apreasiasi dan waktunya yang telah diluangkan untuk membaca
tulisan ini. Aku minta maaf jika terkesan sombong atau ingin show up
pencapaian hidupku. Aku selalu suka akan cerita naik turunya hidup
seorang manusia. Aku tidak ingin terkesan bahwa hidupku terjamin
baik selamanya. Akan tetapi setiap detik ada kesempatan untuk
belajar dan encourage diri tentang makna hidup dan arti kesuksesan.
Apa yang terkesan sombong atau show up. Mohon dimaklumi. Sekali
lagi ini adalah tulisan yang menggambarkan bagaimana caraku meniti
karir, ngumpulin uang selagi muda, belajar hidup di luar negeri yang
kurasa caraku ini sangat applicable atau mudah untuk dilakukan.

I love you semuanya!!

Catatan penulis

Setelah tulisan pertama published tentang pengalaman


aku work and holiday di Australia selama setahun dengan total
pendapatan 680 juta dan segudang kisah. Kini kembali hadir
buku tentang perjuangan aku tinggal di Australia. Dimana uang
yang aku dapatkan tersebut, digunakan sebagai modal kuliah
dan di buku inilah kalian akan bener-bener mendapatkan
contoh yang blak-blakan dan bisa dilakukan hampir oleh semua
orang.
Sayang sekali jika informasi seperti ini kurang diketahui
oleh kebanyakan orang, padahal proses untuk sampai ke
Australia itu bisa dikatakan gampang. Apalagi Australia adalah
negara maju yang informasi tentang pemerintahan saja bener-
bener terbuka. Apalagi untuk migrasi ke Australia. Di website
Australia government tertera semua informasi yang
ditawarkan. Malah ini banyak diambil oleh orang-orang dari
negara lain seperti India, Nepal, China dan Philipina.
Kenapa sih aku ingin sekali berbagi kisah ini. Semakin
banyak orang Indonesia di Luar Negeri semakin bagus.
Misalnya Gaji yang diterima lebih besar dan dalam bentuk mata
uang asing. Dari gaji itu bisa ditransfer atau dibawa ketika
pulang ke tanah air. Bisa bikin usaha, bangun rumah, investasi,
hajiin orang tua, kasih ke kerabat dan menyumbangkanya. Tentu
ssaja apapun yang dilakukan dengan uang itu. Setidaknya bisa
berpengaruh untuk lingkungan sekitar.
Selain itu banyak sekali potensi yang bisa digali ketika
tinggal di luar negeri. Makin dimana-mana komunitas orang
Indonesia makin bagus lah. Indonesian People mendunia. Tentu
saja nantinya akan berkontribusi besar untuk kemajuan negara.
lihat ssaja seperti India dan China. Orangnya dimana-mana ada.
Oleh karena itu aku meyakinkan diri untuk tinggal dulu
di luar negeri agar bisa terus mengembangkan potensi dan
menjadi salah satu manusia yang bisa memberikan pengaruh
baik untuk masyarakat.
Salah satu pintu masuk ke Australia adalah dengan cara
menjadi seorang pelsajar di sekolah di Australia. Pilihanku
jatuh ke bidang masak-memasak. Yaitu; Certificate III
Commercial Cookery, Certificate IV
Comercial Cookery dan Diploma of
Hospitality Management.
Pendidikan akan kutempuh
selama dua tahun setengah
dengan biaya kuliah AU$ 7.400 per
semester atau AU$ 14.800
pertahun (biaya pertahun selalu naik).
Ibarat kata, tak ada
gading yang tak retak. Aku
sangat menyadari dengan segala keterbatasan ini, karya ini
jauh dari kata sempurna, jadi mohon maaf apabila kurang
berkenan.

Riwayat Pendidikan

Aku pernah putus sekolah. Setelah kelas 6 SD, Orang tua tidak

mampu membiayai sekolah karena mereka baru memulai

usaha kerupuknya di Karawang, Jawa Barat. Di tahun

berikutnya ibu bersikeras mendaftarkan aku ke SMP. Ada


perasaan kurang percaya diri, bahkan aku takut bertemu teman

SD yang sekolah di SMP yang sama.

Aku gagal masuk SMK negeri. Rasanya makin tambah kurang

percaya diri sama keberuntungan diri. Akhirnya kuliah di SMK

swasta jurusan mesin otomotif, entahlah itu ilmu nempel di aku

atau kaga. Aku sih lupa, apa yang sudah dipelsajari.

Lanjut kuliah di Karawang yang tak jauh dari rumah. Isunya

Universitas Singaperbangsa ini akan jadi universitas negeri.

Kenyataanya aku menjadi mahasiswa terakhir yang

mendapatkan ijazah dari Universitas tersebut saat masih

berstatus swasta. Teman aku yang skripsinya masih keteteran

belum kelar malah mendapatkan ijazah berstatus negeri. Aku

lulus sebagai sarjana ekonomi.


Pengaruh Membaca
Saat SMK aku memiliki sahabat yang begitu asik. Dia memiliki
bakat comedian yang alami, semua yang dia ucapkan bisa
menjadi tertawaan. Orangnya kreatif dan pinter. Dia sering
mengsajaku membeli buku komik one piece. Sedangkan aku
memisahkan diri ke bagian pengembangan diri, motivasi,
encouragement dan biograpi.
Awal-awal baca buku, tentu saja membosankan. Namun segala
sesuatu yang kita paksakan bisa menjadi aktifitas yang
konsisten dilakukan dan nantinya terbiasa. Bahkan menjadi
sebuah addiction. Hampir semua pembaca mengalami
susahnya mengawali kegemaranya membaca. Tapi semakin
lama membaca seperti hobi-hobi lainya. Bikin nagih!
Membaca pula yang membuat gue akhirnya menemukan banyak
informasi berharga. Salah satunya mengantarkan gue hingga
bisa sekolah ke Australia. Pantas ssaja ada yang bilang;
Reading makes immigrants of us all. It takes us away from
home, but more important, it finds homes for us everywhere. —
Jean Rhys
Books are the plane, and the train, and the road. They are the
destination, and the journey. They are home. —Anna Quindlen
Informasi yang kita baca mampu mendorong kita untuk makin
berkembang dan berpikir seluas jagat raya ini. Bahkan bisa
mengantarkan kita pada sesuatu yang lebih besar lagi.
Jika kamu pikir untuk menjadi manusia hebat atau luar biasa
karena turunan dan kekayaan orang tua yang mereka miliki. Itu
salah banget, karena banyak banget cara untuk menjadi hebat.
Membaca adalah salah satu langkah untuk menggali informasi
sebanyak-banyaknya dan kelak bisa membawa kamu ke
pencapaian hidup yang lebih besar lagi.
Jangan pernah berkata tentang nasib, karena untuk memiliki
nasib baik itu perlu banyak waktu dan upaya yang tercurahkan
semaksimal mungkin.
Selain informasi bagaimana bisa ke Australia dan sekolah di
Australia. Aku juga banyak membaca pengalaman orang lain
yang berjuang mati-matian di negara lain; Jepang, Korea,
German dan Canada. Ada banyak orang-orang baik di sana yang
berbaik hati menuliskan pengalamanya, itupun sangat
outspoken dan memungkinkan untuk bisa dilakukan oleh
siapapun dari setiap kalangan.
Backpacker
Backpacker, sebuah kata yang menurutku adalah salah satu

kunci/jendela pintu hidup. Sabtu pagi aku menyaksikan berita

pagi di TV One. Ada dua bintang tamu yang sedang

membicarakan Backpacker. Yaitu perjalanan yang dilakukan

perorangan ataupun kelompok dengan menggendong ransel

dan mengurus semua keperluan travelingnya seorang diri mau

di dalam negeri atau luar negeri. Sayangnya aku diminta beli

pelastik untuk bungkus kerupuk. Acara tersebut tidak full aku

saksikan.

Semua hal yang berbau backpacker aku cari di internet. Ketemu

sebuah grup yang pendirinya menjadi bintang tamu di acara

berita itu. Ternyata dia adalah sosok yang humble dan sabar

menuntunku. Dia adalah sosok yang sampai sekarang aku

kagumi dan rasa terima kasih ssaja tidak akan cukup. Terima

kasih sebanyak-banyaknya mba Elok Dyah Meswati dan


suaminya mas Arief Hendarto. Semoga selalu dilimpahkan

kasih sayang yang banyak.

Tahun 2013 menjadi pengalaman pertama backpackeran luar

negeri, ke 5 negara di Asia tenggara; Singapore, Malaysia,

Thailand, Laos, Vietnam. Seorang diri dan pertama kali naik

pesawat. Perjalanan ini sangat berpengaruh besar terhadap

perubahan diriku. Aku seperti mendapatkan power untuk makin

berkembang lagi.

Seorang diri ke luar negeri merupakan


Belajar bahasa Inggris
Bahasa inggris adalah bahasa yang multifungsi dan berguna ketika
kita berada dimanapun. Jadi mempelsajari bahasa ini adalah salah
satu modal untuk membuka pintu rezeki. Komunikasi dengan
cakupan luas mampu kamu lakukan ketika memiliki kemampuan
berbahasa.

Kalau kata dokter Aisyah tentang mengenal watak, tipe dan karakter
manusia. Setiap orang itu memiliki 5 karakter yang menonjol.
Kemampuan dalam bahasa menjadi salah satunya. Jika merasa sulit
dalam belajar bahasa mungkin karakter ini tidak cukup dominan di
diri.

Tidak semua orang mampu mastering bahasa. Paling penting adalah


terus belajar dan berlatih mengaplikasikanya. Gak usah patah
semangat kalau ujian bahasa nilainya jelek. Setidaknya kita cukup
mengerti dengan percakapan.

Mempelsajari bahasa juga tidak sebentar. Perlu banyak waktu


tercurahkan dan terus diasah terus-menerus.

Work and Holiday Visa (Subclass 462)


Terima kasih sekali kepada mas Nanang yang sudah sharing

tulisan mengenai work and holiday di Backpacker Dunia. Aku

sangat tertarik karena proses mendapatkan visa ini jauh lebih

gampang dari pada apply turis visa negara lain.


Bagi temen-temen yang baru lulus kuliah atau sedang kuliah

dan sudah melewati 4 semester, gak punya pengalaman kerja,

belum punya paspor, atau paspornya masih kosong. Apply visa

ini bisa banget. Asal semua prosedurnya diikuti pasti granted.

Beruntungnya, pemerintah Australia terus mengupgrade

ketentuan visa ini. Terakhir izin tinggal diperpanjang menjadi

tiga tahun dan denger-denger akan ada penambahan kuota dari

1000 menjadi 4000.

Tolong hal ini jangan dirusak dengan cara-cara ilegal atau

kurang baik. Karena nantinya akan berdampak terhadap nama

baik Indonesia. Di negara manapun ya!

Untuk mendapatkan visa ini, kalian tidak perlu bayar agen!

1. Buka website Direktorat Jendral Imigrasi Indonesia.

kalian bisa cari tahu apa yang namanya work and

holiday Australia. Di sana dijelaskan dengan bahasa

Indonesia.
2. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan surat

rekomendasi dari DIRJEN Imigrasi dengan cara register

secara online di website resminya. Kalian mesti

pantengin instagram, page atau website DIRJEN

Imigrasi untuk mengetahui kapan mereka membuka

regristrasi online.

3. Wawancara dan ferivikasi data, dimana kamu akan

diundang DIRJEN IMIGRASI yang tertera di websitenya

dan dalam bentuk PDF. Kalau semua dokumen dianggap

asli, maka surat rekomendasi akan dikirimkan ke e-

mailmu.

4. Apply work and holiday visa ke Kedutaan besar

Australia lewat VFS jakarta. Kayaknya pake kantor pos

juga bisa deh. Sekaligus membayar biaya visanya.

5. Jika dokumen diterima dan bukan abal-abal. Kamu akan

menerima surat undangan melakukan medichal check-

up di rumah sakit yang direkomendasikan. Kamu bisa


memilih. Bayarnya sekitar 1 juta. Yang dicek adalah

paru-paru, karena mereka sangat concern terhadap

penyakit TBC.

6. Granted visa dikirim lewat e-mail. Kalau biasanya kita

dapat sticker di paspor. Beda dengan Australia.

Informasi umum, visa ini bisa diapply oleh siapa ssaja dibawah

usia 30 tahun dan setidaknya sudah kuliah empat semester dan

masih aktif dalam perkuliahan.

Syarat mendapatkan visa


1. Paspor
2. KTP
3. KK
4. Ijazah
5. Akta lahir
6. IELTS

Pekerjaan untuk WHV


1. Farm
2. Cleaning
3. Housekeeping
4. Kitchen hand
5. Kasir
6. Pelayan
7. Gardening
8. All rounder
9. Penjaga toko
Opportunity

Di tempat kerja, aku bertemu banyak

orang dari berbagai negara. paling

banyak orang philipina, India, China,

Hongkong, Korea, dan Nepal.

Kebanyakan dari mereka, berangkat

dengan modal student visa atau visa

kerja sampai akhirnya mendapatkan Permanent Residence

visa.

Ratusan juta telah mereka keluarkan demi tinggal di Australia

sampai akhirnya mereka berhasil mendapatkan status yang

diinginkan dan tinggal di negara ini layaknya penduduk lokal.

Keuntungan materi tentu mereka dapatkan.

Ketika orang lain berbondong-bondong dan bersusah payah

untuk bisa tinggal di Australia. Kenapa kalian terus banyak

berpikir? Mulailah cari kemungkinan bagaimana bisa masuk


dan akhirnya berkarir di negara ini. Cari informasi yang logis

dan sesuaikan kapasitas diri, kemudian cari jalanya. Jangan

ditunda lagi, semakin ditunda, semakin rumit nantinya.

Jangan kalah dengan negara lain, setidaknya ketika kelak kamu

berhasil, akan banyak perbuatan baik yang bisa dilakukan. Akan

banyak peluang yang bisa diraih. Gak usah ragu lagi!!

Banyak orang yang memulai petualanganya sebagai student

dan kemudian mereka apply untuk Permanent Residence.

Banyak juga yang akhirnya mengganti kewarganegaraanya. So,

mungkin kamu tertarik.


Student visa

Jika kamu ingin pergi ke luar negeri, yang paling penting adalah

memiliki pasport. Pasport merupakan bukti identitas yang

diakui secara international. Dokumen ini wajib dibawa.

Pembuatan paspor sebaiknya lakukan sendiri, biayanya juga

murah. Syarat dan prosesnya bisa dilihat di internet. Mau e-

paspor atau bukan, semuanya bisa digunakan.

Selain itu tidak semua negara memperbolehkan WNI untuk

bebas masuk ke negaranya hanya dengan membawa pasport di

tangan. Kamu bisa cek mengenai; negara-negara bebas visa

bagi Indonesia, visa on arrival untuk Indonesia, atau negara-

negara yang membutuhkan visa untuk berkunjung.

Untuk Australia sendiri, WNI harus mengajukan visa terlebih

dahulu ke kedutaan besar Australia. Pemerintah Australia

memiliki banyak pilihan visa sesuai yang dibutuhkan si pelamar.


Masing-masing visa juga memiliki requarement tersendiri dan

semuanya jelas terpampang di website mereka.

Nah buat kalian yang sekarang sedang memikirkan untuk kuliah

di Australia dan ingin banyak bertanya tentang lika-likunya

mendapatkan student visa, atau ingin berdiskusi tentang

student visa. Aku bisa saranin untuk mencek persyaratan yang

dibutuhkan dan mulai mencicilnya. Jika semua sudah bisa

terpenuhi, langkah selanjutnya berdialog lebih serius dengan

agen pendidikan yang bisa membantu mengurusi proses

student visa dan urusan sekolahmu.

Di bawah ini adalah syarat yang aku urus ketika apply student

visa.

Syaratnya

Berikut ini adalah dokumen yang aku berikan saat apply student

visa;
1. KTP
2. Paspor
3. Ijazah SMK dan Kuliah
4. IELTS
Setiap jurusan kuliah, ada standar requrement yang
diminta oleh sekolah. Aku harus memiliki nilai IELTS
minimal 5.5 poin. IELTS memang perlu waktu ekstra
untuk belajar. Aku juga sempat stress untuk
mengejar nilai tersebut, padahal untuk
mendapatkan poin sebanyak itu tidak perlu high
english skill.
Aku sempat belajar di kampung Inggris, Pare, Kediri
untuk mengetahui lebih dalam. Meski singkat, Pare
cukup membantu juga. Apalagi aku bisa membangun
pertemanan dengan anak-anak muda yang sedang
mengejar mimpi mendapatkan beasiswa kuliah di
berbagai negara.
5. Transkip Nilai (SMK dan kuliah)
6. Akta Lahir
7. Kartu Keluarga
8. Slip gaji
Semua slip gaji yang aku dapatkan saat bekerja di
restoran dilampirkan untuk memperkuat alasan
kenapa ingin kuliah pada jurusan Cookery.
9. Surat Izin Usaha Perorangan /Slip Gaji orang tua
Bukti ini membantu memperkuat dari mana sumber
dana orang tua. Bagaimanapun mereka merupakan
penjamin keberlangungan aktifitas aku di OZ.
Pemerintah juga selektif dan akan melihat profil diri
kita secara lengkap. Agar negara mereka tetap
aman dan damai.
10. Tanda Daftar Perusahaan
TDP hanya bukti tambahan ssaja sebenarnya agar
lebih meyakinkan bahwa orang tua aku memiliki
usaha sendiri.
11. Bukti keuangan
Bisa menggunakan tabungan sendiri, orang tua atau
anggota keluarga yang masih dalam satu KK. Bukti
keuangan juga memiliki standar yang harus
dipenuhi. Misalnya harus memiliki dana untuk biaya
hidup pertahun + biaya kuliah pertahun + biaya
lainya (tiket pesawat kepulangan).
Agen meminta aku melampirkan dana minimal 350
juta rupiah yang terdiri dari ; 200 juta biaya hidup +
140 juta biaya kuliah + 20 juta biaya tiket kepulangan.
12. Statment of purpose
Surat ditulis oleh aku sendiri tentang penyataan
singkat diri dan alasan kenapa aku sekolah. Setelah
beberapa kali mencoba menulis, si Uni mengirimkan
format penulisan SOP. Aku perlu merombak dan
mengikuti format itu.
13. Surat pernyataan dukungan dari orang tua
Surat ini juga ditulis sendiri dan ditanda tangani oleh
pihak yang menjadi penjamin atau orang yang bukti
keuanganya aku lampirkan (ibu aku).

Tipsnya bikin list dari syarat di atas, terus ceklis syarat mana
saja yang sudah kamu penuhi. Jadi secara mudah, kamu sudah
tahu apa saja syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat
tambahan sebaiknya diskusikan dengan agen pendidikan.
Dibawah aku lampirkan beberapa contoh dokumen:
STATEMENT OF PURPOSE
My name is Arip Pudin Hidayat. I was born on April 7 th,
1991. I am Indonesian. I was currently living in Karawang, West
Java, Indonesia. I surely want to study general english in
Navitas Darwin and then continue to study certificate III
commercial cookery in Charles Darwin University. Previously, I
have ever lived in Darwin by work and holiday visa, so I
attempted to earn much money to pay the tuition and my
parents willing to sponsor me for other expenses.
I studied about engineering in high school in SMK Bina
Karya 2 Karawang. Then, I continued my study about business
management in Universitas Singaperbangsa Karawang. I
graduated as bachelor of economic in 2015. While, my hobby is
traveling, I have been traveling abroad since 2012. I also really
wanted to study abroad someday.

I have been working in my family business (culinary


business) as manager until now. In 2015, my parent allowed me
to go to Darwin. I worked as kitchen hand in 21 Café, Airport
Tavern, FreeSpirit Resort Caravan Park and I worked as Sushi
Chef in Sushi Izu Palmerston.

Consciously, I was more likely loved to work in the


kitchen when I was working in some workplaces throughout a
year. I was impressively comfort with the culture,
circumstances and hospitality. My boss and peers taught me
patiently. Apparently, I got my passion. In contrast, though I was
fast learner, but my English skill was poor. Unfortunately, I
could not do some jobs which need intensively communication
such as teller or waiter.
Moreover, I require more education about culinary. I
decided to study in Charles Darwin University for one year,
because I think I used to live there and I will be more
comfortable in Darwin. Darwin is like my second home town,
the weather as same as in Indonesia. I also have some friends
who was like family.

I have been interesting to be entrepreneur since I was


studying in university. So, after study in Australia, I hope I can
manage my family business professionally and I will open my
own restaurant or culinary business in Indonesia. Perhaps, I
could have good carrier as international chef later on. The
important thing I hope that study abroad will improve my
expertise and give me wonderful experience as international
student. Study abroad is one of my dream, when I saw the tuition
was slightly affordable, I was more believe that I could reach it.

I declare that the particulars given above are true and


correct in every detail. I understand that incorrect or misleading
statements may result in refusal of my admission and/or
student visa application.

Signature …………………………………………….
Date ……………………………………………

Financial Sponsorship Declaration


TO WHOM IT MAY CONCERN
I am Engkus Kusnadi. Resident of Indonesia do solemnly and sincerely

declare as follows:

That I am sponsoring my Son, Known as Arip Pudin Hidayat. Resident

of Indonesia and will be undertaking further studies in Certificate IV

Commercial Cookery and Diploma of Hospitality Management at

Charles Darwin University for roughly three years and I shall provide

him with full financial support during his stay in Australia which

Includes tuition fee of AUD 14,000 per annum and living expenses of

AUD 19,830 per annum.

Engkus Kusnadi

(+62852222222222

Karawang, 10 February 2017


Visa Section

Australian Embassy

Dear Sirs/Madam,

With this letter, I would like to inform you that I am the undersigned
:

Name : Eti

Occupation : House Wife

Relation : Mother

Would like to certify that :

Name : Arip Pudin Hidayat

Paspor No. : A4700000

Relationship : Son

He is planning to have study in Charles Darwin University on July


2017.

All kind of expenses during the study above purpose are fully covered
by my personal account.
Kindly grant his necessary visa(s) in order to have study in your
country. Your kind assistance will be very highly appreciated.

Sincerely Yours

(Eti)
Prosesnya

Dalam proses mendapatkan visa aku dibantu oleh Nona Fitria

yang bekerja di agen pendidikan bernama StudyNet. Aku

mengenal dia dari grup work and holiday

visa Indonesia. Dia juga pernah

merasakan WHV dan dia ingin membantu siapapun yang ingin

lanjut sekolah di Australia.

Saat aku tanyakan mengenai fee, dia dengan jelas mengatakan

bahwa fee akan mereka dapatkan dari sekolah. Jadi tidak

dibebankan kepada calon student. “wah lega dong rasanya.”

Selain itu, Nona membantu mentranslate semua dokumen yang

diperlukan. Sehingga, aku hanya perlu mengirimkan semua

scan dokumen yang diminta.

Aku perlu beribu-ribu bilang terima kasih kepada Nona, karena

dia sangat sabar dan bener-bener mau diskusi dengan aku


tentang rencana study ini. Sekalipun kita belum pernah ketemu,

tapi rasa percaya itu tumbuh dengan sendirinya.

Baik Nona ataupun aku, selalu make sure mengenai proses

aplikasi ini sampai tahap mana. Apakah perlu melengkapi

dokumen tertentu, apakah surat pernyataan yang dibuat itu

sudah sesuai, dan lainya. Kalau kita serius ingin sekolah,

memfollow up kapan ssaja juga perlu. Kemungkinan Nona sibuk

dan kamu belum dapat jawaban, sehingga perlu bertanya.

Jadi biaya yang pertama aku keluarkan adalah tentang

pengurusan dokumen, biaya scan ke warnet, print beberapa

lembar dokumen. Gak mahal sih.

Biaya berikutnya adalah tuition fee untuk satu semester di awal.

Untuk mengajukan visa student, kita harus melampirkan

Confirmation-of-Enrolment dari CDU. Untuk mendapatkan CoE

ini Nona mendapatarkan aku ke CDU dan aku diminta

membayar biaya kuliah setahun serta membeli asuransi.


Jurusan aku tahun 2017 masih mematok harga $7000 per

semester dan biaya asuransi atau OSHC $1428 untuk setahun.

Setelah membayar, aku akan menerima surat pernyataan

penerimaan mahasiswa. Surat ini yang kemudian dilampirkan

untuk mengajukan student visa.

Pengajuan visa dilakukan dari Sydney. Nona meminta uang

pembayaran visa sebesar $500. Aku tinggal duduk manis di

rumah tanpa pusing harus apply visa.

Masuklah email dari Australian Goverment berupa undangan

untuk melakukan medhical check-up. Ada beberapa rumah

sakit yang direkomendasikan. So, biaya transportasi ke Jakarta

dan juga biaya med-chek sebesar 1.200.000.

Setelah semua proses itu selesai. Visa granted dan tinggal

siapin diri untuk pergi ke Australia.


Biaya kuliah di CDU

Tahun 2017 persemester bayaranya sebesar $7000. Di semester

kedua mengalami kenaikan menjadi $7400. Biaya kuliah bisa

dilihat di website sekolah.

Biaya kuliah itu sudah termasuk semua bahan baku praktek dan

semua resources perkuliahan. Aku hanya perlu membeli satu

set pisau dan seragam.

Terima kasih kepada Kharis Kurniadi, senior WHV yang juga

melanjutkan kuliah di CDU yang telah menyumbangkan

beberapa seragam.

Biaya kuliah di Australia memang terkesan mahal. Tapi, coba

hitung atau pertimbangkan kembali tentang keuntungan yang

bisa didapat. Menurut aku sekalipun biayanya ratusan juta

pertahun. At least setiap bulan aku masih bisa nabung dan jauh
lebih besar dari pada aku kerja dengan posisi bagus di

Indonesia.

“sudah cape-cape kerja, duitnya dipake bayar kuliah.”

Pemikiran ini selalu ada dalam otak aku. Karena gaji yang

harusnya bisa disimpan, harus dipake untuk biaya kuliah.

Sayang banget kan.

Kalau pemikiran selalu seperti itu, ya sampai kapanpun semua

niat sekolah gak akan terwujud. Memang biayanya mahal, tapi

menurut aku cukup masih menguntungkan ketimbang tinggal di

Indonesia. Dengan upaya yang sama, belum tentu mendapatkan

hasil yang sama. Bahkan sisa semua biaya yang sudah

dikeluarkan untuk sekolah dan hidup, masih bisa menabung

yang mungkin nilai sebanyak itu jauh lebih sulit dikumpulkan

ketika tinggal di Indonesia.


Kuliah di Australia juga memungkinkan kita mendapatkan

sertifikasi atau ijazah dari luar negeri yang memungkinkan kita

bisa bekerja Australia atau di berbagai negara. Bagus kan.


Biaya Hidup

Dengan student visa yang sudah di tangan dan tujuan sekolah

sudah ada. Aku langsung mencari penerbangan yang cukup

affordable. Aku berkunjung ke Sydney terlebih dahulu, untuk

berlibur dan ingin bertemu dengan Nona dan kawan-kawan.

Setelah seminggu liburan, aku terbang ke Kota Darwin. Kota

yang sebelumnya pernah aku tinggali juga selama setahun, saat

work and holiday pada 2016.

Akomodasi

Di Darwin atau bisa juga secara general. Biaya penginapan

mulai dari $100-150 perminggu dan mostly share room, dengan

biaya segitu. Ada juga yang dapat private, namun jarang sekali.

Aku sendiri tinggal di sebuah flat yang disewa oleh Bobby

(Student juga). Ada ruang tamu yang dapat disekat dan

separately bisa dijadikan kamar.


Ruangan tersebut sangat luas untuk menampung semua

barang-barang aku yang seabreg-abreg. Perminggu aku harus

membayar $100. Kamarnya tidak memiliki AC, hanya sebuah

fan. Tapi aku bukan tipe anak rujit, jadi fine-fine ssaja.

Setahunan aku tinggal bareng bobby dan memutuskan pindah

ke city shared room bareng orang lain. Kalau sendiri harganya

160-180 exclude power bill (setiap 3 bulan bayar, totalnya akan

di split ke semua penghuni) atau 200-230 all included.

Sedangkan harga berdua bisa jadi 260-300 saja all included or

some places are excluded all bills.

Transportasi a

Aku menyadari bahwa mobilitas aku bakal cukup padat. Posisi

rumah juga membuat aku harus consider tentang transportasi

publik. “aku harus naik beberapa kali bus, aku juga harus

persiapan beberapa puluh menit sebelumnya ketika ambil bus.”

Ditambah aku juga harus kerja untuk bayar kuliah.


Akhirnya aku membeli mobil teman seharga $6000. Toyota yaris

hatchback keluaran tahun 2009. Bukan aku belagu beli mobil

yang agak mahalan. Aku pernah punya mobil ford tahun 1991

(mobilnya dikeluarkan sama seperti saat aku dilahirkan). Harga

beli mobilnya dan perbaikan saat rusak, jatohnya jadi mahal.

Sedangkan saat dijual kembali tentu saja harganya gak bisa

seharga total yang sudah aku keluarkan, belum lagi modelnya

sudah jadul. “Asu banget kan.”

Kalau punya kendaraan di Autralia, pemilik diharuskan

membayar regristrasi kendaraan. Bisa dibaya per enam bulan

ataupun pertahun. Nah setahun sekali sebelum bayar

tagihanya. Si mobil harus lulus uji kelayakan dari bengkel.

Artinya mobil harus masuk ke bengkel yang mau mengeluarkan

surat pernyatan layak itu. Kelayakan ini juga tergantung dari

kondisi kendaraan. Iya kalau bengkelnya baik, kalau nggak. Kita


diminta memperbaiki ini itu. Sudah mah bayar bengkel,

ditambah lagi bayar rego. Ini yang kadang jadi dilema.

Jika sebuah mobil belum berusia 10 tahun, masih dinyatakan

layak. Jadi tinggal membayar regonya ssaja. Jadi aku gak perlu

masukin mobil ke bengkel untuk minta suratnya sampai 2019

nanti.

Grocery

Seminggu sekali setidaknya belanja kurang lebih $100. Harga-

harga kebutuhan sebenarnya affordable dan gak jauh beda

dengan harga di Indonesia. beras, susu, roti, telur dan lainya.

Mungkin yang mahal adalah harga sayuran dan buah saja.

Maklum kalau di sini belanja gak bisa diketeng.

Untuk berhemat, kamu bisa ambil makanan di tempat kerja.

Kalau closing banyak makanan sisa atau beberapa tempat kerja

memperbolehkan kamu makan apapun yang dimau. Nah ada


beberapa bulan saking sibuknya aku pengen nasi pun ambil dari

tempat kerja. Hampir gak pernah masak.


Regulasi bekerja

Dalam dua minggu kita diperbolehkan bekerja selama 40 jam.

Misalnya begini, minggu pertama kerja 15 jam, di minggu kedua

kita boleh kerja 25 jam, namun di minggu ketiga harus kembali

bekerja 15 jam dan minggu berikutnya 25 jam. Jadi akumulasi

perdua minggunya harus 40 jam.

Agar lebih mudah, setiap minggu dihitung 20 jam ssaja. Hal ini

berlaku untuk semua student. Aku diperbolehkan kerja

sebanyak-banyaknya tanpa limitation, saat ada libur kuliah

nasional. Setiap wilayah bagian Australia memiliki rule yang

berbeda.

Seperti halnya work and holiday, kerjaan yang banyak diambil

adalah kerjaan casual; waiter, cook, housekeeping, cleaning,

dan lainya. Bahkan ada yang bisa magang di bidang yang relate

sama perkuliahan.
Mendapatkan pekerjaan juga hanya dengan selembar CV ssaja.

Karena aku memiliki pengalaman tinggal di Darwin, tempat

kerja aku yang sebelumnya. Mau menerima kembali aku untuk

bekerja. Aku akan membahas khusu kenapa aku bertahan

bekerja di sana.

Tidak semua student beruntung mendapatkan pekerjaan.

Banyak sekali aku mendengar tentang bagaimana strugelnya

beberapa teman kuliah dalam mendapatkan pekerjaan.

Menurut aku ini tergantung diri masing-masing, ada yang

mungkin belum menemukanya, ada juga yang tidak bisa

mengikuti tuntuntan cara kerja Australia dan mungkin melihat

attitude diri ketika bekerja.

Pekerjaan itu terkadang gampang dicari, namun bisa lama atau

tidaknya di suatu pekerjaan adalah karena upaya kita. Jika

upaya kita sudah maksimal dan benar-benar memuaskan, bos

mana yang gak suka, manajer mana yang gak suka, rekan kerja
mana yang gak suka. Dan itu berlaku sebaliknya. Ketika kita

kurang mendapatkan sesuatu, berarti ada hal yang perlu

ditingkatkan dalam diri kita.

Kenapa ambil Certificate III commercial cookery

Ada yang namanya SOL (occupation list) yang menjadi patokan

kenapa student mengambil jurusan tersebut. Pasti pada

akhirnya mereka yang kuliah di NT menginginkan Permanent

Residence. Aku juga tidak memungkiri kalau menjadi PR tentu

akan menguntungkan. Namun, aku lebih ke Nothing to lose saja

lah ya.

Asalkan aku bisa bertahan di Australia beberapa tahun lagi,

menabung dan mengunmpulkan uang untuk modal dalam

beberapa tahun.
Gaya hidup aku juga akan terpenuhi dengan tinggal di luar

negeri. Sekalipun ada beban bayar kuliah, rasanya aku masih

bisa nabung banyak untuk traveling ke luar negeri, ngegym,

koleksi peralatan masak, dan membeli tanah di kampung

halaman. Untuk urusan hobi pun bisa mulai aku seriuskan

seperti vlogging, writting, dan singing. Hahahhaa

Bagaimana aku gak bersyukur dengan apa yang aku alami

sekarang ini.

Aku juga gak akan menyangka kalau sudah melangkah sejauh

ini. Untuk bermimpi sekolah di Australi pun tidak ada sema

sekali. Sampai work and holiday menjadi batu loncatan aku

untuk menabung dan akhirnya mendapatkan modal untuk

kuliah.

Aku selalu yakin kalau upaya diri dalam berusaha

meningkatkan kemampuan bisa memberikan rasa exited dan


antusias untuk mencari tahu. Proses ini yang akan

membukakan dan mengarahkan jalan tersebut.

Bukan aku tidak mengakui ada jasa orang tua. Aku hanya ingin

memberikan gambaran ke kalian bahwa 100 persen yang aku

lalui ini tanpa orang tua ketahui, bahkan sama sekali tidak

membebani pikiran mereka tentang keinginan aku. Mereka tak

pusing mikirin biaya kuliah, bagaimana apply visa aku,

bagaimana aku dapat kerjaan. Semua itu aku coba usaha

sendiri.

Jika aku bisa, kalian juga pasti bisa.


Proses Belajar

Belajar tidak hanya praktik, tapi juga theory. Proporsinya bisa

20-30 persen theory dan sisanya praktik.

Kuliah akan dimulai dari jam 8.30 am hingga 4.30 pm. Terkadang

lebih dari jam 4.30 pm jika banyak item yang harus dibuat.

Certificate III commerial Cookery ditempuh selama 2 semester

atau satu tahun. Gak terasa sama sekali kalau dalam setahun

aku sudah menyandang status sebagai Cook. Jika dipadatkan,

sebanarnya kuliah masak ini sangat singkat sekali. Bayangkan

dua minggu kuliah, dua minggu off. Dalam satu minggu hanya

digunakan 5 hari, senin sampai jum’at. Berati dalam sebulan di

kampus hanya 10 hari. Jadi dalam satu semester totalnya 60

hari ssaja. (cek suka dan duka)

Dosen aku seorang chinese yang masa kecilnya mengenal bos

aku sekarang. Antonio begitu well prepare dan bersih ketika


mendemokan masak. Dia juga seorang yang memiliki value

hidup bagus, memiliki banyak pengalman, sehingga ketika dia

mengatarkan materi ada value-value yang disampaikan dan

bisa berpengaruh terhadap apa yang student akan rasakan di

masa depan.

Di awal-awal ada Jacob yang baru mengsajar. Beberapa

student mengeluh tentang caranya mengsajar. Aku sih santai

ssaja dan selalu berusaha melihat dia dari sisi positif. Dia

kenapa bisa jadi dosen, tentunya sudah memiliki banyak

pengalaman di industri ini. Sehingga aku selalu mendapatkan

respon baik denganya.

Dosen favorit katanya Jason. Lebih santai belajarnya.

Sayangnya dia tidak mengsajar di kelas kami.

Setiap materi perkuliahan akan dibagi berdasarkan block-block

unit. Aku sebagai student yang biasa saja gak pernah tahu saat
ini ada block apa, unit apa? Pokoknya asal semuanya lancar.

Yasudah lah ya.

Sebelum masuk ke materi

baru misalnya dari poultry ke

meat. Kita akan diberikan

beberapa dokumen yang telah di

print tentang materi tersebut.

Sebagian materi akan dibahas setelah kegiatan praktik atau ada

hari khusus membahas materi tersebut.

Materi tambahan lainya seperti tentang healts and safety work

yang menjelaskan bagaimana kerja sehat dan aman, work with

others, how to be coach, dan lainya.

Jangan ditanya kalau aku pinter mengenai teory. Aku banyak

mengalami strugle ketika menghadapi teori. Makanya di setiap

teory test pasti aku selalu ngulang. Namun saat praktek lancar-

lancar saja.
gampang kok belajarnya. Asal kuliah, asal mau dengerin, pasti

lulus.

Sebelum tes dimulai, hari sebelumnya dosen membahas

pertanyaan yang akan muncul. Semua jawaban untuk ujian

besok itu ada di kertas-kertas yang seperti aku lampirkan itu.


Peralatan Sekolah

Sekolah memberikan semua fasilitas dan bahan perkuliahan.

Akan tetapi student harus membeli peralatan dasar sendiri

seperti satu set pisau dan juga uniform kuliah.

Saat masa orientasi, ada beberapa toko yang menjual peralatan

dapur membuka stand di kampus. Mereka menawarkan semua

kebutuhan sekolah. Harganya pun tak jauh beda, tergantung

dari isi paketnya. Sepatu dan seragam dijual terpisah. Tinggal

menyesuaikan berapa banyak yang kamu butuhkan.


Suatu ketika ada temen aku kancingnya bajunya warna hitam.

Dosen aku kasih tau kalau semua student hanya boleh

menggunakan seragam putih, seragam hitam digunakan oleh

quliafied chef saja.

Practical

Masih banyak yang berpikiran bahwa kuliah aku ini sangat

mahal. Padahal jika dibandingkan dengan jurusan lainya, justru

paling terjangkau. Banyak teman aku yang mengambil jurusan

dengan biaya kuliahnya mahal, bahkan dua kali lipat.

Jika dilihat dari kegiatan kuliah yang kebanyakan praktek. Aku

bisa mengatakan kalau kuliah aku ini masih sangat murah.

Bayangkan semua bahan baku untuk memasak sudah

disediakan, peralatan memasak pun lengkap. Setelah

memasak, makanan boleh dibawa pulang atau dibuang. Dalam

sehari bisa memasak tiga atau empat menu makanan.


Theory

Dosen juga menjelaskan banyak hal

ketika mendemokan sebuah menu

masakan saat praktik. Apabila

masih ada waktu tersisa, biasanya

digunakan untuk mengulas teori.

Terkadang dalam satu minggu ada

1-2 assessment teori dan praktik.

Sebelum assessment, dikelas ada semacam membahas apa

ssaja yang akan keluar di pertanyaan esok harinya. Cukup

mudah memang, karena pertanyaan yang dibahas saat ini

hampir mirip dengan pertanyaan yang akan keluar di kertas

assessment.

Cuma, saking begonya aku dan gak mau banyak belajar pasti

banyak yang salah jawab. Jika salah beberapa pertanyaan atau

kurang komplit, dosen akan memanggil satu persatu lalu


mencoba menjelaskan dan bertanya kembali. Si mahasiswa

diminta unutk mengkoreksinya.

Sama sekali tidak sulit sebenarnya. Ini tergantung masing-

masing orang yang mau belajar atau tidak.

Suka dan duka

Aku jarang kumpul extra bareng temen. Pertemanan yang

terjalin hanya sebatas di kelas dan social media. Jarang sekali

ada suka dukanya tentang pergaulan ini.

Dalam masa belajar yang paling aku sesali adalah tidak

mencurahkan waktu untuk benar-benar belajar teori. Sekalipun

semua ujian telah aku lewati, namun tetap merasa lack of

knowledge. Di setiap assessment teori aku gak pernah

mendapatkan hasil 100 persen. Selalu ada yang perlu dikoreksi,

bahkan sampai ada yang harus mengulang ujian. Padahal

pertanyaanya sama sekali tidak sulit.


Assessment practical sendiri dilalui dengan baik. Satu kali

ssaja aku harus mengulang karena Bread Roll yang over

propped. Sehingga tidak mengembang saat proses pengovenan.

Setiap berangkat ke kampus aku selalu terkantuk-kantuk di

jalan. Belum lagi demo masak yang diberikan dosen memakan

waktu lebih panjang, karena ada beberapa penjelasan

tambahan yang muncul saat proses memasak. Sepanjang hari

harus berdiri mendengar dan menyaksikan dosen mendemokan

masakan. Badan jauh lebih capek jika dibandingkan bekerja di

restoran meski banyak mengangkat beban.

Sedikit duka juga ketika ada project grup dimana aku diberi

teman-teman yang memiliki attitude kurang baik. Menjelang

akhir kuliah ada yang namanya restoran service dimana

sekolah akan menerima tamu beneran untuk menikmati

masakan. Aku mendapati dua teman pria yang setiap saat


sering kena omel dosen. Bayangkan!! Kisah selanjutnya akan

aku tulis terpisah.

Suka lainya adalah bertemu dengan orang lain dari berbagai

kelas. Ada kelas international dan lokal.

Jadwal kuliah yang telah aku jelaskan di atas mengenai 2 weeks

study and 2 weeks off menjadi duka sebenarnya. Ketika off tidak

banyak yang bisa dilakukan karena student juga dibatasi jam

kersajanya. Selain itu tidak banyak tempat kerja yang bisa

memberikan kerja di beda-beda roster atau jadwal. Misalnya

ketika off diperbolehkan kerja pagi, sedangkan kalau ada kuliah

ya kerja malam.

Tapi bisa menjadi suka juga sebenarnya, karena batas kerja

yang diperbolehkan itu 40 jam per dua minggu. Sehingga saat

kuliah gak harus banyak kerja dan kerja banyak saat tidak ada

kuliah. Kembali lagi, ada gak perusahaan yang fleksible mau

memberikan roster semacam itu.


Sepengalaman aku, tempat kerja juga mau mempertimbangkan

tetang kondisi kamu ini jika kamu memang bisa diandalkan.


Advantages and disadvantage

Paling jelas sih aku bisa apply Graduated Visa selama jenis

pekerjaan aku ini masih ada di

occupation list. 1.5 tahun setelah

kuliah bisa kerja unlimitedly.

Jangka panjangnya bisa apply

Permanent Residence visa.

Menurut aku sekalipun gak mendapatkan Permanent Residence

setidaknya bisa coba peruntungan mendapatkan work visa yang

berarti bisa tinggal di Australia selama dua sampai empat tahun

lagi. Certificate yang dimiliki juga MUNGKIN bisa digunakan

untuk mendapatkan pekerjaan di negara lainya.

Bagi kamu yang suka traveling dan suka pekerjaan casual,

menjadi chef bisa menjadi pilihan yang cukup asik. Bisa kerja di

berbagai negara.
Kehidupan yang dijalani di Australia juga jauh lebih

menyenangkan dengan difasilitasi banyak hal. Sebagai student

tentu gak bisa nabung banyak seperti halnya orang yang

mendapatkan work and holiday visa atau work visa. Tapi jauh

lebih baik dan masih bisa menabung dari pada kerja di

Indonesia dengan upaya yang sama.

Kesempatan tinggal di Australia memberikan keleluasaan

untuk bergaul dengan banyak orang dari berbagai negeri.


Penutup

Terima kasih kepada ALLAH SWT SWT yang telah memberikan

aku banyak kesempatan baik dalam hidup ini. Kemudian kepada

orang tua yang financially gak bisa mendukung banyak, namun

aku tau kalau setiap nafasnya selalu ada suport berupa doa

baik.

Terima kasih kepada orang-orang yang selalu membagikan

kebaikan dalam hal apapun. Sharing hal-hal yang bisa membuat

orang lain terinspirasi. Tak ada kata kecil atau besar, bisa jadi

hal apapun dapat mengubah hidup orang.

Terima kasih kepada kalian yang mau meluangkan waktu

membaca. Jika ada tulisan yang dianggap menyombongkan diri

atau obviously kurang baik. Mohon dimaafkan karena that is no

on my purpose. Aku sangat outspoken. Jika berkenan silahkan

kirim masukan dan kritikan, bisa dikirim melalui media social

atau email aripudin45@gmail.com


Tulisan ini belum berakhir, akan ada tulisan lagi dimana aku

akan membahas perkuliahan yang aku lalui.

Mohon doanya agar tidak malas dalam pembuatanya.

Semoga kalian juga memaksimalkan apapun kesempatan yang

ada. terus menggali potensi diri dimanapun, di daratan

manapun. Semoga segalanya menjadi kebaikan buat banyak

orang.

Inget ya, peraturan selalu berubah, dokumen yang diminta

untuk student visa selalu ada tambahan baru, diskusi sama

agen pendidikanya ya dan lengkapi semua yang diminta. Don’t

be silly and wasting time, kalau gak sungguh-sungguh bisa

menuhi semua dokumen mending gak usah nanya.

Terima kasih guys!!!!


ANAK RANTAU
WORK AND HOLIDAY IN AUSTRALIA

Work and holiday visa merupakan cara legal yang


diberikan pemerintah Australia sebagai bentuk kerja sama
dalam bentuk pertukaran budaya. Kesempatan ini
diberikan kepada 1000 pemuda Indonesia setiap tahunya
dan dilaksanakan tanpa seleksi rumit.
Buku ini berisi cerita pendek dari beberapa orang
yang memiliki pengalaman tinggal di benua baru,
merasakan perjuangan hidup dengan bekerja di berbagai
bidang dan berbaur dengan budaya baru serta
menanamkan kemandirian hidup.
Australia tidak hanya menjanjikan dollar yang dapat
dengan mudah didapatkan. Kemudahan, keamanan, dan
gaya hidup bisa membuat siapa ssaja merasa betah tinggal
di sana. Bagi perantau seperti kami, work and holiday visa
merupakan batu loncatan untuk menabung dan meraih
impian selanjutnya.
Banyak jalan menuju sukses. Ambilah setiap
kesempatan yang hadir di depanmu dan teruslah belajar
banyak hal. Semoga buku ini bisa memberikan inspirasi.
No agen, No Calo!!
Terima kasih kepada semua teman-teman yang
telah meluangkan waktu demi terselesaikannya karya ini.
Kami meminta maaf apabila tulisan dalam buku ini
kurang sesuai ekspektasi. Kritik dan saran yang
membangun akan senantiasa kami terima demi
terciptanya rasa puas di hati pembaca.
NICKY CEMPAKA KARTAWIHARJA KUSUMA

“Success begins at the end of your comfort zone”. Itulah


tulisan yang terpaksa banget mesti gue baca tiap kali gue
jalan menuju tempat les Bahasa Inggris di Jalan Cimanuk
Kota Bandung, dua tahun silam. Tulisan itu tertera di
dalam sebuah spanduk iklan yang gue sendiri lupa iklan
apa. Saat itu gue lagi berdarah-darah ngambil les IELTS
intensif selama satu bulan demi mengejar score 4,5 untuk
apply Work and Holiday Visa (WHV), mengingat
kemampuan berbahasa Inggris gue yang terbilang cukup
parah. Dan barangkali tulisan itu benar adanya.
Setidaknya cocok buat gue yang memang harus melewati
berbagai batu sandungan yang tidak nyaman untuk dapat
meraih mimpi.
Tahukah Anda? Saking ngga punya duitnya saat
itu, untuk bisa bikin paspor saja gue mesti kerja ngambil
upah nyikatin WC di sebuah gedung instansi milik
pemerintah. Belum lagi urusan show money WHV yang
hampir bikin nyokap gue mati berdiri. Dan yang paling
menguras kesabaran, gue mesti nungguin granted-nya tuh
visa kurang lebih setahun sejak tanggal gue lodge karena
saat itu ada peralihan quota dari 100 ke 1000. Jadi lucky
banget tuh kalian-kalian yang apply WHV pas kuotanya
sudah gendut begitu, mana granted-nya bentar banget
pula... Wakakakak sirik juga gue...
Baiklah tanpa perlu berlama-lama, singkat kata visa
gue granted juga dan dimulailah petualangan paling seru
selama setahun menjelsajahi Terra Australis Nandum
Cognita ini. Nah, selama di Australia bisa dibilang gue
menghabiskan 95% kehidupan gue di daerah outback
dengan bekerja secara casual di berbagai farm. Secara
keseluruhan, hanya ada tiga tempat yang membekas
paling dalam di hati gue selama mengadu nasib di sana.
Tiga tempat itu Brisbane, Gatton, dan Ballina. Gue akan
bercerita lebih banyak tentang pengalaman hidup gue di
tempat-tempat tersebut.
BRISBANE
Pada tanggal 25 Oktober 2013 adalah pertama
kalinya gue menginjakkan kaki di negeri kangguru. Saat
itu gue hanya berbekal uang $400 atau sekitar Rp.5.000.000
dan sekardus makanan instan yang dibekali nyokap. Well,
sebenarnya gue dibekali lebih dari $400, tapi setelah gue
menyadari bahwa gue tidak bisa hidup tanpa smartphone
di antah-berantah kota yang super hectic itu. Akhirnya gue
memutuskan untuk membeli sebuah smartphone yang
menghabiskan setengah dari uang bekal. Alhasil dalam
sebulan pertama, gue harus hidup super hemat dengan
hanya mengandalkan makanan instan dari nyokap.
Beruntung saat itu gue langsung diterima bekerja di
sebuah restoran Asia sebagai kitchenhand yang
memfasilitasi gue makan siang dan makan malam gratis.
Masa-masa awal hidup di Australia dengan modal
yang pas-pasan tidaklah mudah kalau tidak bisa dibilang
pahit. Gue sendiri sempat merasakan yang namanya shock
culture sampai rasa frustrasi karena tak kunjung
mendapatkan pekerjaan. Kenapa gue memilih Brisbane?
Karena saat itu, ada teman dari teman gue yang
menawarkan sebuah pekerjaan di Griffith. Ketika gue
menanyakan dimana letak Griffith itu, dia menjawab di
Brisbane, dan sesampainya di kota itu barulah gue sadari
bahwa “Griffith” yang dia maksud berada di New South
Wales (sebab Griffith yang ada di Brisbane adalah Griffith
University)... Wakakakak...
Hari itu gue yang baru saja nyampe Brisbane
dengan kondisi masih jet lag, shock, dan banyaknya
gembolan di tangan langsung dibuat stress karena gue
nggak tahu kemana harus melangkah. Jarak antara
Brisbane ke Griffith di NSW lumayan jauh dan akan
menghabiskan banyak biaya yang membuat gue harus
berpikir ulang untuk kesana. Sekian jam lamanya gue
terlunta-lunta di kota itu tanpa tahu arah dan tujuan.
Belum lagi udara malam Brisbane yang sangat dingin
membuat badan gue menggigil karena harus menunggu di
halte bus. Gue menangis malam itu. Meratapi nasib sendiri
yang terlunta-lunta di negeri selatan yang jauhnya ribuan
kilometer dari rumah. Melihat bule-bule Aussie lalu-lalang,
berjalan berpasang-pasangan dengan pakaian terbaik
mereka sambil menenteng sebotol dua botol wine di tangan
dan tampak sangat berbahagia. Sementara gue kelaparan
dan kedinginan, dan mulai merindukan kampung
halaman. Merindukan nyokap dan daster lusuhnya.
Merindukan pacar, kaos rombeng, dan sandal jepitnya.
Hiks...
Beruntungnya di Brisbane ada seorang teman
sesama WHV holder yang sangat berjasa membantu gue
melewati masa-masa sulit itu. Dari mulai nyariin share
house, buka bank account, beli Go Card dan kartu perdana,
bahkan bantuin apply TFN alias Tax File Number yang kelak
akan sangat berguna di sepanjang “karir” gue di Aussie.
Tapi sayang, keberadaan gue di kota ini nggak
berlangsung lama. Pekerjaan gue di restoran Asia as a
kitchenhand itu hanya sanggup gue lakoni dalam seminggu
karena gaji yang dibayarkan tidak manusiawi dengan
standar upah di sana. Lagipula gue kurang menyukai
pekerjaan indoor dan kurang betah tinggal di kota besar.
Akhirnya gue memutuskan untuk menyingkir dari
Brisbane. Dibantu teman gue yang super baik itu, gue pun
nekad melangkah ke Gatton. Sebuah kota kecil yang
berjarak kurang lebih 90 km di sebelah barat Brisbane city.
Dari sini, petualangan sebagai “anak farm” pun dimulai.

GATTON
Banyak orang bilang Gatton adalah suburb yang
kecil, gue setuju. Tapi jika dibilang Gatton adalah kota
yang sepi, gue gak sepenuhnya setuju. Mengapa? Karena
kota ini akan sangat ramai di subuh hari, dipenuhi
kelompok-kelompok multi etnis yang lagi nungguin
dijemput juragannya (alias kontraktor) untuk pergi ke
farm. Gatton adalah salah satu surganya para backpacker
yang mencari pekerjaan secara casual di bidang pertanian
dan peternakan. Konon katanya, daerah Lockyer Valley ini
termasuk satu dari lahan pertanian tersubur di dunia.
Pengalaman gue di Gatton di mulai dengan
mendatangi Caravan Park yang terletak di mulut kota
Gatton. Di sinilah basecamp tempat berkumpulnya para
backpacker yang hendak mengadu nasib sebagai pekerja
farm. Suasana country di Gatton memang cukup kental
dengan rumput alam berwarna kuning dan aneka ternak
yang digembalakan. Saat itu gue dan teman gue
mendatangi Caravan Park untuk memperoleh informasi
tentang nomor-nomor kontraktor farm di Gatton yang bisa
dihubungi. Tak dinyana, seorang backpacker asal Italia
berbaik hati mau memberikan list nomor-nomor tersebut
tanpa pamrih apapun. Akhirnya gue mencoba
menghubungi satu-persatu nomor-nomor tersebut. Dari
sekian banyak yang gue hubungi, satu orang mengatakan
“ya”. Akhirnya tanpa pikir panjang, keesokan harinya gue
hijrah dari Brisbane ke Gatton menggunakan kereta. Kali
ini seorang diri.
Sesampainya di Gatton, gue langsung mengubungi
kontraktor asal Iran tersebut. Dia menawarkan gue
pekerjaan dengan syarat gue harus tinggal di share house
miliknya yang rate-nya sebenarnya sedikit lebih mahal dari
share house-share house di Gatton pada umumnya. Tapi gue
menyetujuinya karena dia menjanjikan gue untuk
langsung bekerja di keesokan harinya.
Esok paginya, pukul 04.00 subuh gue sudah siap di
halaman rumah bersama puluhan orang lainnya yang juga
menunggu jemputan. Mobil-mobil jemputan itu
membawa orang-orang ke berbagai destinasi yang
berbeda. Ada yang pergi ke farm onion, ada yang
diantarkan ke farmshallot, dll. Tapi tunggu punya tunggu,
sampai pukul 06.00 gue nggak dijemput juga. Alasannya
mereka kekurangan mobil untuk memfasilitasi semua
pekerja. Akhirnya dengan berat hati, sebagian pekerja
terpaksa pulang lagi ke rumah termasuk gue. Tapi satu
kebodohan pun terjadi. Saat itu gue baru menyadari
bahwasanya gue lupa meminta kunci rumah sama
kontraktor gue. Padahal saat itu semua penghuni share
house sudah berada di farm, kecuali gue. Akhirnya dengan
terpaksa gue harus menunggu orang-orang itu datang
sambil berjemur di depan rumah. Kira-kira pukul 10.00
ada satu orang penghuni share house yang pulang dari farm.
Tentulah saat itu gue sangat senang dengan kedatangan
dia setelah berjam-jam kedinginan menunggu di luar
tanpa melakukan apapun. Akhirnya gue pun masuk ke
dalam rumah bareng dia tanpa ada kecurigaan apa-apa.
Mulanya biasa saja, dia ngsajak gue ngobrol ngalor-
ngidul tentang hal-hal umum yang lama-kelamaan obrolan
tersebut menjurus ke hal-hal yang bersifat pribadi. Singkat
kata dia ngsajakin gue kawin dengan iming-iming ini itu.
Feeling gue mulai nggak enak dan gue mulai berusaha
menghindar dengan gesture sehalus mungkin. Tapi
kemudian dia merangsek masuk ke dalam kamar dan
berusaha melakukan kontak fisik yang tidak sepantasnya
dilakukan kepada gue. Untung saat itu pintu kamar masih
terbuka sehingga gue dapat dengan sigap mengambil tas
dan berlari ke luar rumah.
Di sepanjang jalan keluar dari rumah itu gue
menangis tersedu-sedu. Gue menelepon pacar di tanah air
dan menceritakan apa yang baru ssaja terjadi, lalu ia pun
sibuk menenangkan gue. Gue meminta dia untuk tidak
menceritakan hal ini kepada nyokap karena gue tau
nyokap pasti akan sangat khawatir. Akhirnya seharian itu
gue hanya duduk-duduk di taman sambil memikirkan
baik-baik langkah gue selanjutnya, karena gue tidak
mungkin kembali lagi ke rumah itu. Tiba-tiba gue teringat
akan sosok ibu yang gue kenal di dalam bus saat menuju
Gatton. Ibu itu adalah seorang student asal Lombok yang
sedang mengambil Master di jurusan Agriculture,
University of Queensland di Gatton. Ibu tersebut tampak
khawatir dengan kenekadan gue menjelsajah Gatton
sendirian mengingat gue adalah anak perempuan
bertubuh kecil dan mungil. Dan sebelum berpisah, dia
sempat ngsajak gue untuk tinggal secara gratis di
rumahnya dan menawarkan bantuan kapanpun gue
membutuhkannya. Namun saat itu gue tolak karena
merasa tidak enak. Akhirnya gue menghubungi ibu yang
baik hati tersebut dan menerima tawarannya. Sungguh
pertolongan Tuhan ada dimana-mana.
Singkat kata gue akhirnya tinggal di rumah ibu
tersebut selama kurang lebih satu bulan. Dari sanalah gue
akhirnya mulai mengenal komunitas orang-orang
Indonesia lainnya yang juga tinggal dan menetap di
Gatton. Luar biasa, ternyata persaudaraan dan
kekeluargaan antara sesama orang Indonesia di kota ini
sangat erat. Mereka saling mengunjungi satu sama lain
kapanpun ada kesempatan dan berbagi banyak hal. Dari
sini akhirnya gue mengenal orang-orang yang membantu
gue memperoleh pekerjaan di Gatton.
Sehari-hari di rumah itu kebanyakan gue habiskan
dengan bekerja di farm. Sisanya membantu sang ibu
menyelesaikan tanggung jawab rumah tangganya seperti
menjemput anak-anak sepulang sekolah, memasak,
menyapu, mengepel, cuci piring, dll sebagai balas jasa gue
atas budi baiknya yang luar biasa (semoga Tuhan
membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik). Selama di
Gatton, gue mengerjakan apapun yang bisa gue kerjakan,
dari mulai planting lettuce, picking onion, shallot, sampai
pickingcherry tomatoes. Untuk onion dan shallot, gue hanya
mampu melakoni pekerjaan tersebut selama beberapa hari
ssaja karena pekerjaan itu tergolong berat jika dikerjakan
sendirian oleh seorang perempuan. Ukuran tangan gue
yang kecil sangat menghambat gue untuk dapat meraup
bawang dalam jumlah yang banyak. Sementara pekerjaan
tersebut bersistem kontrak yang artinya, penghasilan yang
akan kita dapatkan berbanding lurus dengan kuantitas
dan kualitas bawang yang berhasil kita kerjakan. Belum
lagi gue mesti mengangkat sendiri bawang-bawang
tersebut ke dalam bin-bin berukuran besar. Dengan
demikian, seringnya dalam sehari gue hanya mampu
mengantongi $40 karena gue hanya mampu
menyelesaikan 1 bin seorang diri. Itu pun dengan sangat
bersusah payah.
Lain halnya dengan lettuce, sebenarnya di farm ini
gue bisa menghasilkan banyak uang dalam sehari karena
sistem kerja yang ditawarkan dihitung berdasarkan jam
atau perhour. Saat itu satu jam kerja dihargai $18 cash in
hand alias bersih diterima langsung di tangan tanpa
potongan psajak. Sementara dalam sehari gue mampu
bekerja lebih dari 12 jam walaupun pekerjaan itu bisa bikin
pincang kaki dan bikin encok pinggang gue di keesokan
harinya karena harus terus-terusan membungkuk. Namun
sayang, permintaan kerja di farm tersebut tidak
berlangsung setiap hari sehingga pendapatan yang masuk
tidak stabil.
Beruntungnya saat itu ada teman WHV asal Taiwan
yang menawarkan pekerjaan lain yang lebih cocok untuk
gue lakoni dengan penghasilan yang lebih stabil, yakni
picking cherry tomatoes. Walaupun upahnya tidak terlalu
bagus, tapi setidaknya di farm ini gue bisa memaksimalkan
kemampuan gue untuk bekerja karena tidak terhambat
oleh apapun kecuali cuaca summer yang sangat panas
sehingga gue bisa memperoleh penghasilan yang lebih
baik daripada mengerjakan onion dan shallot. Sama halnya
seperti onion dan shallot, sistem pickingcherry tomatoes juga
berdasarkan sistem kontrak. Saat itu satu bucket tomat
dihargai sekitar $9. Dalam sehari gue mampu
mengumpulkan 10-15 bucket yang berarti gue beroleh
penghasilan sekitar $100 lebih. It’s better than doing onion.
Satu hal yang sangat berkesan dari farm ini adalah
rasa pertemanan yang erat antar sesama pekerja farm.
Setiap harinya, hampir selalu ada teman-teman backpacker
yang datang dan pergi dan ada pula yang menetap lama di
farm ini sampai menghabiskan 2nd year visanya dia. Orang-
orang yang menetap lama tersebut biasanya adalah orang-
orang yang picking tomatnya patas banget, yang setiap
harinya mampu menghasilkan 50-100% lebih banyak dari
tomat yang gue hasilkan. Padahal sebenarnya,
kemampuan picking gue juga nggak bisa dibilang lambat.
Bisa dibayangkan kan cepatnya mereka? Dan mereka ini
adalah anak-anak muda asal Taiwan yang aslinya cakep-
cakep, tapi mereka sangat tahan banting di lapangan.
Terlebih lagi ketika kita semua harus menghadapi
kontraktor yang galak dan cranky-nya minta ampun. Tapi
yang paling berat dari farm ini selain cuaca adalah kita
harus memanggul sendiri bucket-bucket berisi tomat yang
full itu dan berjalan sepanjang kurang lebih 200 m untuk
mengumpulkan tomat-tomat tersebut ke dalam bin-bin
yang forklift-nya ditarik sendiri oleh kontraktor gue.
Pernah pada suatu hari ketika temperatur Gatton
mencapai 41ºC, saat itu gue kebagian picking di line yang
paling pojok, yang nggak ada kebun apa-apa lagi di
sampingnya. Luar biasa panas. Matahari jam 12 siang
nyemprot langsung ke kepala dan punggung gue. Bikin
otak dan tangan kram nggak bisa mikir dan ngapa-
ngapain lagi. Terus gue minta ke kontraktor gue untuk
pindah ke sisi yang ada bayangannya tapi nggak dibolehin
sama dia. Akhirnya gue balik picking lagi sambil nangis.
Melihat gue mewek begitu kontraktor gue akhirnya luluh
juga dan nyuruh gue tukeran tempat sama partner gue dan
meminjamkan topi yang lebih lebar. Sumpah baru kali itu
gue nangis karena matahari.
Kerja farm pas lagi hot hot-nya summer tuh
sebenarnya nggak banget. Belum lagi kalo pas di tengah-
tengah kerja tiba-tiba pengen poop, gue mesti poop di
semak-semak tanpa air. Hanya berbekal tissue basah dan
kantong kresek doang.Dan yang paling menyedihkan
adalah ketika jari-jemari gue kram nggak bisa digerakin
lagi saking kebanyakan picking. Sampai-sampai ngolesin
selai ke roti saja gue sudah nggak mampu lagi, dan itu baru
benar-benar sembuh setelah berbulan-bulan kemudian.
Pada pertengahan Januari 2014, gue memutuskan
quit dari farm tomat ini karena upah yang gue peroleh
setiap bulannya tidak mencapai target gue. Selain itu, di
saat yang sama, gue juga memperoleh tawaran kerja di
farm timun dari sesama teman WHV di Ballina yang
menjanjikan penghasilan yang lebih baik dan stabil. Well,
saat itu rasanya berat untuk meninggalkan kota Gatton
mengingat gue sudah memiliki banyak teman dan
keluarga yang begitu baik di sana. Tapi apa boleh buat,
kesempatan baik tak boleh ditolak bukan?

BALLINA
Sama halnya dengan Gatton, Ballina adalah sebuah
kota kecil yang berada di dekat perbatasan antara
Queensland dan New South Wales. Jika kamu mengenal
Gold Coast sebagai tempat wisata terkenal di Queensland,
maka untuk mencapai Gold Coast dari Ballina hanya
diperlukan waktu satu sampai dua jam ssaja dengan naik
mobil. Dan jangan lupa, di antara Ballina dan Gold Coast,
ada Byron Bay tempat wisata terkenal yang juga tak kalah
indah.
Ballina adalah kota pantai yang terkenal dengan
patung udangnya yang besar, The Big Prawn. Tempat kerja
gue sendiri sebenarnya terletak di Wardell, 15 menit
perjalanan darat dari Ballina City. Sepengetahuan gue,
tidak ada public transportation yang menghubungkan
Ballina dan Wardell kecuali bus-bus sekolah. Maka dari
itu, kehidupan gue selama berbulan-bulan di Wardell bisa
dibilang agak “terbelakang” karena mobilitas gue yang
terbatas. Gue cuma bisa pergi ke Ballina seminggu sekali
dengan mobil van yang biasa dipakai untuk mengantarkan
para pekerja ke farm. Itupun hanya untuk berbelanja
sembako untuk kebutuhan hidup selama seminggu. Jika
dibandingkan dengan dua kota sebelumnya, Ballina
adalah kota yang paling lama gue tinggali selama gue di
Aussie. Kurang lebih sembilan bulan gue habiskan di
tempat ini dan tentunya banyak sekali kenangan suka dan
duka yang gue alami selama menjsajaki peruntungan di
farm ini.
Wardell sendiri adalah sebuah tempat yang sangat
indah. Share house yang gue tempati menghadap langsung
ke sebuah sungai yang bernama Richmond River yang
setiap pagi dan sore harinya akan berkilau keperakan
karena tertimpa cahaya matahari. Setiap pagi, gue dan
teman-teman WHV lainnya akan naik sepeda beramai-
ramai menyusuri sungai ini untuk pergi ke farm yang
jaraknya 10-15 menit dari rumah, sementara yang lain
memilih naik mobil pribadi, atau beramai-ramai dijemput
dengan van.Dalam perjalanan itu, gue akan melewati
kebun-kebun tebu yang sangat luas, kebun sayur-mayur,
atau padang-padang rumput dengan sesekali diserang
burung Magpie saat musim kawin tiba. Teman-teman
yang bekerja di farm ini pun beragam, mulai dari
Australian sendiri, orang-orang Tonga dan Tuvalu dari
Pacific Ocean, anak-anak Taiwan, Hongkong, Ireland,
Germany, dan tentu ssaja Indonesia.
Sebagaimana kita tahu, timun membutuhkan cuaca
yang panas dan cahaya matahari yang cukup untuk dapat
tumbuh subur. Itulah sebabnya farm industry ini didirikan
di kawasan dekat pantai. Perusahaan tempat gue bekerja
ini adalah salah satu suplier utama Coles untuk timun di
Australia. Itulah yang menyebabkan kita semua sangat
sibuk setiap harinya, 7 hari berturut-turut dalam seminggu
tanpa libur di sepanjang tahun kecuali saat natal,tahun
baru, dan winter. Farm yang sangat luas ini terbagi atas dua
blok yang berbeda, blok lama dan blok baru. Di blok yang
lama ssaja, kami memiliki 12 shed yang masing-masing
shed-nya terbagi-bagi lagi menjadi 4 house. Ada tiga jenis
timun yang kami hasilkan setiap harinya di farm ini dan
harganya cukup mahal di pasaran yakni continental, green,
dan lebanese.
Pekerjaan di farm ini pun sangat banyak jenisnya
dan kita dituntut untuk menguasai hampir semua jenis
pekerjaan karena pembagian job yang terkadang random
meskipun pada dasarnya masing-masing orang memiliki
main job tersendiri. Dalam satu masa tanam, pekerjaan
tersebut dilakukan secara sistematis mulai dari
pembibitan, penanaman, peng-clip-an, pemutaran pucuk
tanaman (twist), pembabatan, pembasmian hama,
pemetikan, pemotongan daun, sampai
pengepakan/pengemasan. Gue sendiri memiliki tanggung
jawab di packhouse alias pengepakan. Baru setelah main job
gue selesai, gue dan teman-teman lainnya yang bertugas di
pack house akan “dilempar” ke outside untuk bergabung
dengan yang lain mengerjakan pekerjaan selanjutnya.
Sama halnya seperti lettuce, farm ini juga
memberlakukan sistem upah per hour untuk para
pekerjanya dengan rate $20/hour termasuk tax dan super
annuation yang kelak bisa diklaim kembali di akhir financial
year atau saat kita sudah kembali ke tanah air untuk super.
Jadi jangan takut membayar psajak di Australia karena
uang tersebut tidak akan hilang, alih-alih menjadi
tabungan kita sendiri. Nah, karena permintaan yang besar,
di musim-musim yang normal seringkali kami sangatlah
sibuk, terlebih lagi di waktu summer. Dalam satu hari, di
pack houses saja kami bisa mengerjakan 5-10 pallet timun.
Itulah sebabnya, kecepatan dan ketangkasan menjadi skill
yang mahal di industri ini karena mereka membayar
tenaga kita per jam. Lain halnya dengan sistem kerja
kontrak dimana kita dapat menyesuaikan tingkat
kecepatan sesuai dengan kemauan dan kemampuan kita
sendiri. Dalam sistem kerja per hour, “lambat” bisa berarti
“dipecat” karena “time” benar-benar berarti “money” bagi
mereka. Belum lagi kendala bahasa yang terkadang bikin
frustrasi karena intruksi-intruksi datang dalam bahasa
Inggris yang cepat dan sangat nggak jelas.
Sebenarnya gak banyak yang bisa gue ingat dan gue
ceritakan tentang Ballina selain kehidupan yang sangat
damai sekaligus sangat sibuk setiap harinya. Kehidupan
sehari-hari kami disini hanya berkutat di dua tempat ssaja,
yakni rumah dan farm. Selebihnya, jika ada waktu luang,
kami akan pergi ke pantai yang terletak di belakang farm.
Atau sekedar nongkrong-nongkrong di small shop sambil
ngelihatin orang-orang yang lagi pada mancing. Atau
sesekali ke bar nemenin teman gue main cassino. Tapi
kalau gue boleh jujur, sebenarnya gue sangat mencintai
tempat ini dibanding tempat-tempat lainnya selama gue di
Aussie. Gue merasa, di tempat inilah kerja keras dan
loyalitas gue dihargai dengan baik, lebih dari sekedar
uang.
Bayangkan, saking baiknya bos-bos gue di farm, di
malam perpisahan gue, manager, owner, dan istri-istri
mereka mengundang gue dan teman gue untuk dinner
bareng mereka. Mereka mengundang kita makan sebagai
bentuk terima kasih mereka atas kinerja orang-orang
Indonesia di farm. Nggak nyangka banget saat itu mereka
jemput kita berdua pakai limousine, traktir makan di
restoran bagus, dan mau share makanan bareng-bareng
sama kita. Sungguh malam yang hangat. Dan yang bikin
gue salut, betapa besarnya apresiasi mereka terhadap kerja
keras. Padahal gue di sana nggak lebih dari sekedar kuli
kasar.
Well, demikian sekelumit cerita gue tentang Aussie.
Salah satu pengalaman paling berharga yang pernah gue
jalani dalam hidup ini dan sangat gue syukuri. Gue
berharap suatu hari nanti gue bisa pergi ke sana lagi,
mungkin untuk benar-benar berlibur karena dalam WHV
ini gue sadar kalau gue terlalu menganaktirikan si “H”
saking fokusnya sama si “W” hehehehe... (maklum orang
miskin). Tapi gue nggak nyesel kok, setidaknya dari
penghasilan yang gue tabung selama setahun di sana,
akhirnya gue bisa mewujudkan impian nyokap gue untuk
membeli sebuah rumah. Alhamdulillah...
FAATIH NATASHA

Satu Tahun yang Merubahmu


Prof Kim dari Seoul National University
menyampaikan bahwa ada dua tipe anak muda yang
mudah untuk dikenali, yaitu tipe anak panah dan tipe
perahu kertas. Tipe anak panah adalah pemuda yang fokus
dan gigih untuk mencapai mimpi besarnya. Biasanya
mereka sudah menyusun rencana-rencana yang rapih,
detail, dan jelas sebagai panduan untuk bisa meraih
mimpinya. Salah satu contohnya adalah teman saya yang
bermimpi sebagai petinggi salah satu bank asing di
Indonesia. Berdasarkan rencana yang ia punya, ia telah
berada pada track yang sesuai untuk meraih mimpinya.
Mendapatkan gelar sarjana ekonomi, merintis karir di
dunia perbankan, dan sekarang menikmati masa mudanya
sebagai banker muda di Indonesia. It sounds like his life is
going smooth, and he looks enjoy it.
On the other hand, tipe perahu kertas dikenal sebagai
pemuda yang lebih terbuka dengan opportunities yang
mereka temui selama masa mudanya. Tak heran kalau si
perahu kertas memiliki lebih banyak mimpi dan terkadang
berubah-ubah. Karena banyaknya pengaruh dan
kesempatan baru yang mereka temui selama masa
mudanya. Tipe anak panah mungkin paling tepat
diasosiasikan dengan perjalanan masa muda saya.
Setelah lulus kuliah, saya memutuskan untuk tidak
berlama-lama membangun karir di Jakarta. Penatnya Kota
Jakarta saat itu, serta cerita keluhan teman-teman dekat
saya dengan pekerjaan serta kehidupan mereka membuat
saya merubah semua rencana. Rencana bisnis yang telah
saya mulai dengan salah satu sahabat terbaikku saat saya
masih kuliah di UI harus ditunda. Hati saya berkata lain,
saya begitu yakin bahwa hasrat untuk melihat dunia yang
lebih luas menjadi keputusan paling tepat saat itu. Ya,
travelling ke Australia sepertinya lebih menarik bagi saya.
Padahal dulu saya justru tidak pernah menjadikan
Australia sebagai salah satu negara seksi untuk
dikunjungi. Itulah mengapa saya lebih cocok
dikategorikan si tipe perahu kertas.
Sang “WHV” ers yang kutemui
Special thanks to Arek from Poland, Matthew from
Holland, and Karim from Argentina. Inilah mungkin yang
dibilang selalu ada alasan dan connection dengan siapa
kamu bertemu. Ketiganya adalah para travelers yang
datang ke Australia dengan work holiday visa. Saya dan
sahabatku Friska bertemu mereka di waktu yang tidak
bersamaan, dan berasal dari belahan dunia yang berbeda-
beda pula. Namun ketiganya berbagi pengalaman dan
bercerita tentang program yang sama yaitu work and
holiday visa di Australia. Arek resigned dari pekerjaanya
sebagai IT programmer di Warsaw karena ia tidak
menyukai pekerjaanya, dan hasratnya yang tinggi untuk
berkeliling dunia. Tidak jauh berbeda dengan Matthew
yang berhenti menjadi pasukan angkatan laut Belanda
karena penasaran dengan keunikan benua Asia. Sementara
Karim yang hampir sama dengan saya, setelah lulus kuliah
ingin menikmati keindahan dunia sejenak sebelum
kembali ke rutinitas normal yang sangat membosankan
katanya. Pengalaman mereka yang saya share ini, bukan
untuk meminta kamu keluar dari pekerjaanmu ya, tapi
saya ingin berbagi cerita travelling ala WHV. Program ini
bisa jadi opsi lain buatmu. It’s never too late to start over. If
you weren’t happy with yesterday, try something different today.
Yap, terlihat sungguh menarik saya pun membuat
rencana besar untuk travelling ke Australia dengan visa
ini. Mark Twain pernah bilang bahwa “ twenty years from
now you will be more disappointed by the things that you didn’t
do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail
away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails.
Explore. Dream. Discover.” Kapan lagi bisa berlibur, belajar,
tinggal, dan bekerja di Australia selama setahun pikirku
saat itu.

Orang tuamu setuju?


Rencana working holiday ini mengejutkan ayah
pada saat itu. Satu tahun di Australia adalah waktu yang
sangat lama pikirnya hanya untuk berlibur ke Australia.
Namun ibu terlihat lebih berbeda, beliau begitu yakin
bahwa rencana ini adalah rencana yang baik sebagai
pembelajaran hidup selagi masih muda pikirnya. Ibu
merasa bahwa pengalamanku kelak di Australia bisa jadi
bekal hidup yang baik untuk saya. Sambil bergurau ia
berkata, siapa tau jodohmu ada di Australia hehe..
Alasan yang saya sampaikan pada ayah saat itu
adalah akan sangat baik bagiku untuk belajar bahasa
Inggris dengan tinggal di Australia, jauh lebih murah
daripada aku harus les di Jakarta dengan biaya yang sudah
tidak masuk dalam logikaku. Apalagi dengan kemampuan
Bahasa Inggrisku saat itu, masih butuh waktu yang lama
untuk bisa lancar seperti halnya native speaker. Selagi masih
muda saya ingin melihat banyak peluang yang lebih luas
lagi di luar sana. Peluang-peluang yang mungkin bisa
membuat saya lebih baik. Saya juga bilang bahwa saya
ingin beristirahat sebentar dari hiruk-pikuk kehidupan
Kota Jakarta kala itu dengan bermimpi untuk dapat
berkeliling melihat si Australia dan bertemu orang-orang
baru yang lebih beragam lagi.
Kalau sekarang ayah bertanya kembali apa yang
telah saya dapatkan selama work and holiday di Australia,
bisa jadi beliau mungkin tersenyum jika mengingat segala
ketakutannya saat itu. Sekarang justru ayah yang
semangat untuk mendorong kedua adikku mengikuti work
and holiday di Australia.

Welcome to Straya, and the people are..


Kanguru, koala, daratan yang luas, opera house,
Sydney, Melbourne, Tony Abbott, Aboriginal people
itulah yang ada di benak saya mengenai Australia saat itu.
Namun ternyata Australia is greater dari yang
kubayangkan. Sama halnya dengan negara maju lainnya,
transportasi yang sangat modern, fasilitas umum yang
sangat baik, tata kota yang indah dan rapih, design gedung-
gedung megah yang cantik, aturan yang harus dipatuhi,
semuanya melengkapi Australia sebagai negara yang
sangat menarik buatku. Tingkat kesejahteraan dan
kedisiplinan disini sangatlah tinggi, mulai dari aturan
berlalu lintas maupun menggunakan fasilitas umum.
Disini ada yang namanya speed camera atau red light. Jadi,
di beberapa bahu jalan biasanya dipasang sign speed camera
yang artinya tidak boleh berkendara melebihi maximum
kecepatan yang telah ditentukan di area tersebut. Dan jika
melebihi batas maximum yang telah ditentukan akan
dikenai denda yang sangat besar. Karena kecerobohan
sebagai pendatang baru kala itu, akhirnya saya pun telah
menyumbangkan kurang lebih 1000 AUD kepada
pemerintah Australia karena lebih dari 3 kali tertangkap
speed camera. Untungnya kejadian ini tidak pernah terulang
lagi dan justru membuat saya menjadi lebih berhati-hati
dalam melakukan apa ssaja disini. 1000 AUD untuk
ketidaksiplinan itu rasanyaaa..wow !
Beragamnya orang-orang yang tinggal di Australia,
menjadikan negara ini seperti jendela dunia bagi saya. I like
to see the world by the eyes of others. It’s simply thing because
everyone has something special and has something to tell.
Bertemu teman-teman dari berbagai belahan dunia
membuat pengalaman working holiday ini sangatlah
berwarna. Bahkan saya memiliki teman yang berasal dari
salah satu bagian di Afrika yang nama negaranya pun tak
pernah kutahu sebelumnya. Satu hal yang saya pelsajari
dari beragamnya teman-teman yang kutemui ini adalah
kita tidak dapat mengeneralisir karakteristik atau
personality seseorang hanya berdasarkan dari mana mereka
berasal. Dengan bertemu teman-teman baru ini lebih
memberi saya perspektif luas mengenai dunia yang
sebenarnya ada di depan mataku. Bertemu orang-orang
baru disini terkadang seperti lembaran baru buat saya,
rasanya seperti lahir kembali dan menentukan
kepribadian seperti apa yang paling baik buatku. Bertukar
cerita, ide, saling bantu, having fun hampir semuanya
kudapatkan dengan mudah di Australia. Namun bukan
berarti tiada dukanya yaa. Mungkin paling tepat jika
kukatakan, saya telah teredukasi dan juga ikut serta
mengedukasi sekeliling dari pertemuan dengan beragam
teman-teman baru ini. Membuka pemikiranku terhadap
keberagaman, toleransi, dan juga menjadi tempat paling
baik untuk memberi informasi yang kupahami.
Tak heran, jika masih ada beberapa teman yang
masih bingung tentang Indonesia dan Bali (seperti : I am
going to Bali soon, but wait If I have time, I will come to your
country (Indonesia) as well. Zzz Bali is part of Indonesia mate),
atau tentang beberapa kabar buruk yang mereka lihat dari
media (She said “Indonesia? Ahhh I found so many kids are
smoking with their dads”. And I was like, whaat?). Hal-hal
seperti ini justru menjadi kesempatan baik buatku untuk
menjelaskan, bertukar, dan memberikan informasi yang
benar dan baik tentang Indonesia. Namun, ternyata
banyak juga yang sangat mengagumi Indonesia disini (hal
simple seperti : “Well, the best food ever is Tempe Mendoan”
one of friend from French said that. Or I do love your country,
dangdut, yes I love it). Well, bikin makin bangga sama
Indonesia.
Rasa toleransi dan kebiasaan mengapresiasi
sangatlah common di Australia. Disini hal-hal kecil di
sekitar kita perlu untuk diapresiasi sebagai bentuk
kesadaran diri kita akan anugerah Tuhan yang luar biasa.
Be grateful for the little things, and watch the big changes happen
in our life. Apalagi toleransi beragama, saya merasa sangat
beruntung disini.
Well, I did aupair, volunteer di child care, bekerja di
perkebunan pohon cendana, cleaning offices and houses
regularly, bekerja di mining camp, membersihkan hostels,
tim penolong masyarakat yang moving house, dan jalan-
jalan.
Sepertinya terlalu panjang jika saya menjelaskan
semua detail pekerjaan yang telah saya lakukan di
Australia. Oke, aupair? Kamu seperti kakak asuh untuk
anak-anak di sini. Program aupair sangatlah popular
dibelahan benua Eropa seperti Jerman dan Perancis.
Tujuan utamanya untuk merasakan bagaimana tinggal
dengan host family dari kebudayaan yang sangat berbeda
dengan budayamu. Oiya, program aupair juga dijadikan
sarana untuk belajar bahasa asing bagi para peminatnya.
Kamu tinggal setiap hari dengan native speaker yang
memaksamu untuk berkomunikasi dalam bahasa tersebut,
dan juga tidak sedikit host family yang juga membiayai para
aupairnya untuk mengikuti course bahasa tersebut. Dulu
host familiku adalah warga Australia asli dari NSWyang
menetap di kota Coffs Harbour yang terkenal dengan
rentetan pantai-pantai indahnya. Ayahnya adalah seorang
dosen IT dan ibunya adalah seorang pengacara, dengan 3
anak-anak lucu, Claire 11 yang hobinya menjahit dan
bermain net ball, Alexis 7 yang hobinya menggambar dan
bernyanyi, dan juga Aiden 6 yang hobinya bermain soccer
dan mengumpulkan koleksi apa ssaja terkait Rusia, he loves
this country so much.
Oiya, saya memilih untuk tinggal dengan keluarga
ini karena Alexis adalah gadis lucu dengan kebutuhan
khusus, ia tidak dapat berjalan normal, tubuhnya lemas, ia
juga tidak dapat berbicara normal seperti anak-anak pada
umunya. Tapi dia sangat istimewa, penyayang, dan sangat
perhatian pada saya. Ternyata keputusan saya memilih
keluarga ini sangatlah tepat, banyak sekali hal yang saya
pelsajari di keluarga ini. Belajar bagaimana keluarga ini
sangatlah mengapresiasi apapun yang mereka capai,
belajar tenang dan sabar mendidik Alexis dengan
kebutuhan khususnya, belajar dan memahami betapa
bertanggung jawabnya pemerintah Australia dalam
membantu anak-anak berkebutuhan khusus disini. Oiya,
keluarga ini memilih saya, karena mereka ingin anak-
anaknya belajar toleransi beragama dan menghadapi
semua perbedaan yang ada. Mereka adalah pemeluk
Christian sejati, namun kami tidak pernah ada masalah
terkait perbedaan agama ini. Justru semua perbedaanya
terlihat sangat indah dan bermakna. Bahkan Aiden adalah
yang paling rajin bertanya dan mengingatkanku untuk
sholat, well done kids.
Tingginya angka anak-anak yang dititipkan di child
care membuat bisnis ini sangat potensial di Australia. Di
“Little Hands Child Care” ini saya bekerja dengan
Samantha yang merupakan ownernya, Vanessa yang
merupakan warga local Coffs harbour dan juga Ale dari
Brazil. Anak-anak di child care ini pada umumnya
sangatlah mandiri, mulai dari bermain, makan, ke toilet,
dan juga tidur siang.
Disini saya mengsajarkan beberapa kebudayaan
Indonesia (request khusus dari Samantha) seperti
membatik, membuat wayang-wayangan, bernyanyi, dan
juga bercerita mengenai kebudayaan Indonesia. Salah satu
hal yang lucu adalah ketika saya menunjukkan peta
Indonesia yang sangat dekat dengan Australia, Jacob (3 yo)
bilang bahwa sore itu setelah his mom pick him up, dia akan
main ke Indonesia karena ternyata dekat sekali lokasinya .
Yang menarik lagi, di child care ini diberikan sesi
pemahaman mengenai perbedaan-perbedaan yang ada
salah satunya tentang hijab yang saya kenakan. Anak-anak
lucu disini ada yang bertanya (Apakah rambutmu basah?
atau apakah kamu memakai hijab ketika tidur? Or my
grandma has some scarfs at home, do you want one Natasha?
Menghabiskan waktu bersama anak-anak memang tidak
pernah membosankan, selalu ssaja ada cerita baru tentang
imaginasi dan tingkah lucu mereka. Dari pengalaman
disini, saya merasa bahwa sportivitas, kemandirian,dan
keberanian individu untuk menyuarakan pendapat
mereka telah disajarkan sejak mereka kecil.
Selanjutnya saya bekerja sebagai catering utility di
mining camp di Darwin. Kurang lebih ada 3000 pekerja
mining yang tinggal di camp ini, yang mana catering
service tempat saya bekerja menyediakan sarapan, lunch,
dan dinner buat mereka semua. Kebayangkan bekerja
untuk jumlah orang yang sangat banyak rasanya seperti
apa? Baiknya bekerja disini adalah, semua prosedur,
system, production process sudah ada dan sangat teratur.
Pihak management di tempat saya bekerja ini (Compass
Group) sangatlah bertanggung jawab dan peduli terhadap
semua karyawannya.
Sebagai tambahan karena mayoritas para pekerja
mining ini adalah kaum adam yang masih muda, jadi tidak
heran jika saya dan beberapa rekan selalu bersemangat
untuk kerja setiap harinya. Ditambah, keramahan orang-
orang Australia membuatmu merasa senang meski
pekerjaanmu melelahkan. Menariknya di Australia, kamu
yang hanya seorang pelayan bisa duduk dan ngobrol asik
dengan bosmu, karena memang kebanyakan orang disini
menganggap bahwa all of us is equal ☺

Do what you want to do !


Sebagai minoritas di Australia tentu memiliki poin
yang baik dan buruk. Point buruknya adalah bisa jadi
kamu mendapatkan beberapa pengalaman yang kurang
nyaman dari orang lain yang dikenal dengan “racism”.
Ada sekitar 3 kali pengalaman seperti ini yang saya
dapatkan selama tinggal di Australia. Salah satunya
adalah ketika berkunjung ke Opera House, seorang pria
datang kepadaku dan berkata “Your religion is s**t, back to
your country. And you, your people are terrorist”. Saya pun
bingung dan sedih pada saat itu, lebih merasa kaget dan
tidak percaya kok bisa ya di Australia ada orang seperti itu.
Well, they are everywhere, not only in Australia.
Berhijab di negara multiculture seperti Australia atau
negara-negara lainnya adalah tantangan untuk saya, jadi
justru pengalaman-pengalaman seperti ini malah
menguatkan saya dengan apa yang saya percaya dan yang
saya jalankan. Just show them that you care to listen what they
are saying, and respond it with love.
Suatu hari, selesai makan siang di Darwin CBD saya
bergegas menuju mobil. Seorang wanita Australian yang
cantik dengan penampilan professional yang
menunjukkan ia bekerja di salah satu kantor di sana tiba-
tiba menghentikan langkah saya. Dia tersenyum dan
kemudian menyentuh dengan lembut hijab yang saya
kenakan. Dan dia berkata dengan sangat tenang “Kamu
sangat cantik sekali dengan hijabmu ”, dan saya tersenyum
malu saat itu. Dia juga berpesan ”Don’t let anyone look down
on you, do whatever you want to do, wear whatever you want to
wear”. Wanita ini seperti menguatkan saya atas rights yang
saya miliki, dan juga membuka mata saya bahwa banyak
sekali orang-orang positif yang juga baik disekitarmu.
Yuk selagi masih muda !
Well, pereferensi kamu pergi ke Australia, Amerika,
Eropa bukanlah menjadi masalah. Selagi kamu yakin
bahwa banyak sekali hal-hal positif yang bisa kamu
lakukan selagi masih muda. Jangan lupa ya, kalau masa
muda itu cuma sekali, dan lakukanlah apa yang memang
kamu ingin lakukan. Kalaupun gagal, kamu juga masih
ada waktu untuk bangkit dan berubah. Keep positive
thinking guys.
Siapa tahu satu tahun berada di Australia bisa
membantu kamu untuk menentukan masa depan. Bisa
membantu kamu untuk lebih menikmati hidup, belajar
banyak hal baru, membuatmu lebih memaknai hidup,
lebih bersyukur dengan segala yang kamu miliki, bertemu
orang-orang baru, dan juga bisa membantu kamu
meningkatkan angka tabunganmu.
NONA FITRIA

My WHV Story
Sebenarnya saya sudah tahu tentang WHV dari
tahun 2010, karena waktu saya bekerja di Bali dan bekerja
untuk sebuah agen migrasi Australia terdaftar dari tahun
2008 yang memiliki kantor pusat di Perth, WA. Waktu itu
kuota masih 100 orang ssaja, dan saya sangat tertarik
untuk mengikutinya. Namun keinginan itu harus saya
pendam.
Pada tahun 2012, saya bersama sahabat saya tertarik
untuk ikut program ini karena kita ingin berkeliling
Australia dengan campervan, menggantungkan “dream
catcher”di spion depan, berkemah ala pocahontas dan
wuzzzzzzz keliling benua kanguru didalam VW combi
warna pink. Mungkin dia tidak sepinky saya, sudahlah
biasanya Tianri mau-mau saja hehe.
Saya ingat malam itu akan ada final piala sepak bola
entah eropa apa dunia, saya mengambil pesawat pagi jam
6 dari Bali, pesawatnya Mandala. Gak tau masih hidup apa
tidak itu penerbangan. Pagi itu hanya segelintir orang di
dalam pesawat, lebih banyak mbak-mbak pramugari dari
pada penumpangnya. Saya terlelap sejam kemudian sudah
sampai di Jakarta, saya asing dengan kota ini karena tidak
sering main kesini, paling mengantar klien ssaja itupun
tidak bisa berlama-lama. Saya mengambil bis damri ke
Blok M dan kemudian mengambil taxi ke Kuningan. Saya
sarapan di Mall depan kantor imigrasi, mencuci muka dan
menelepon teman-teman siapa tahu ada yang bisa disajak
ketemuan.
Saya membantu teman saya untuk apply visa ini
beberapa tahun lalu, dan dia sudah kembali ke Melbourne
untuk belajar. Dia bernama Erik. Saya menelepon dia
karena ingin bertanya dimana hotel terdekat untuk saya
menginap. Saya bilang bahwa saya sedang berada di
seberang kantor imgrasi karena keesokan harinya saya
ingin antri pagi-pagi. Karena waktu itu kuota masih 100,
jadi kalau tidak pagi nanti ga kebagian, rugi dong sudah
terbang dari Bali. Erik bilang, ga usah cari-cari hotel mau
nginep! Temen-temenku yang dari Jakarta sudah pada
antri dari hari ini! Sana cepat nyebrang dan ikut antri! Saya
pun langsung samber tas dan tiba-tiba jadi pelari cepat,
naik jembatan penyebrangan dengan deru debu yang
mengikuti dari belakang. Satu jembatan pun bergoyang
hebat karena saya larinya heboh. Sesampai di sana
memang benar sudah ada beberapa teman yang
mengantri, saya pun ikut panik dan bertanya bagaimana
prosedurnya tahun ini.
Mereka membuat daftar antrian, menulis nama
mereka dan saya pun ikut menuliskan nama saya dan
duduk gemetar karena catching up my breath. Saya
berkenalan dengan mereka dan berteman baik sampai
sekarang. Saya bertemu Citra, Marisa, Melia, Bang Ijo, dan
beberapa teman lainnya. Saya juga langsung
menghubungi sahabat saya untuk segera datang
mengantri karena semakin sore semakin banyak yang
datang dan menulis nama. Beberapa jam kemudian
sahabat saya datang dan saya girang bukan kepalang, wah
akhirnya kesampaian nih kita nanti road trip keliling
Australia.
Ternyata kabar antrian ini semakin berantai, gone
viral, menjadi trending topic, sehingga semakin malam
semakin ramai yang datang sampai ratusan sampai
hampir terjadi keributan. Karena kertas yang tempat kami
tulis nama tidak cukup menampung nama kita semua.
Banyak yang complain mengapa antri kok dari hari
sebelumnya, padahal pintu belum dibuka. Sampai
akhirnya ada ibu-ibu yang datang dan mensahkan kertas
antrian sebagai urutan interview besok.
Malam itu sangat horror, seperti TKI di
penampungan, ada yang membawa tikar dan kardus
untuk rebahan, ada yang ditemanin mamanya yang siap
mensuplay makanan, selimut dan kasih sayang. Kami
mencoba membunuh waktu dengan bermain kartu dan
bercanda riang. Saya tentu ssaja tidak membawa apa apa,
rebahan di lantai depan kantor imigrasi berbantalkan
ransel dan berteman dengan nyamuk mencoba terlelap
meski perut bernyanyi rap. Pak petugas keamanan
menjadi penyelamat, beliau memberikan nasi kotak sisa
tahanan imigrasi yang ditahan di ruang penjara imigrasi.
Saya pun menyantapnya dengan khidmat.
Ketika pagi menyapa, petugas kebersihan dan
keamanan menghalau kami dari depan kantor imigrasi
karena staff imigrasi mulai berdatangan dan perlu
menggunakan pintu yang dari tadi malam kita dudukin
dan tidurin untuk akses masuk ke kantor mereka. Kami
dikumpulkan di lapangan belakang seperti mau upacara
apel senin pagi. Selang beberapa menit, staff imigrasi
memberikan pemberitahuan mengenai jadwal interview
SRPI, dan saya bersyukur saya berada dalam jadwal
interview hari ini bersama sahabat saya. Saya melihat
banyak muka-muka yang kecewa dengan keputusan ini
karena mereka tidak bisa interview pagi ini atau nama
mereka sudah lewat dari angka 100, saya berharap
kuotanya dinaikkan sehingga semua bisa pergi ke
Australia.
Interview berjalan lancar dan saya bersama Tianri
pulang ke rumahnya di Bekasi. Tianri berkata bahwa
rumahnya dekat, tapi ternyata jauh banget, sampai saya
ketiduran berjam-jam. Oh ini rasanya tinggal di kota besar,
macet mulu. Begitu bangun, sampai dirumah dan
menonton tv, ada berita di TV tentang kemungkinan
kenaikan kuota. Wah semoga kesajaiban ini benar-benar
terjadi!
Setelah itu saya kembali pulang ke Bali keesokan
harinya dan H2C menunggu SRPI, seminggu berlalu,
sebulan berjalan, dua bulan lewat, tiga bulan lewat lagi,
empat bulan menguap… lima bulan patah semangat.
Sudah ah ga usah dipikirin. Saya pun membuat rencana
lain. Namun akhirnya di bulan Maret 2013 tepat setelah 8
bulan penantian, SRPI itu datang! Saya girang bukan
kepalang. Saya pun mengajukan aplikasi visa WHV ini
dan aplikasi dikabulkan ada bulan Mei 2013. Bukan berarti
saya bisa langsung capcuzcin, saya masih punya komitmen
dan janji di Bali yang harus saya tepati. Saya pun
menunggu sampai masa pengaktifan visa habis.
Saya berangkat WHV pada bulan Mei 2014 dan
bertahan di belantara Kota Sydney setahun penuh! Kenapa
sih saya menjadikan Sydney kota impian saya?
• Sydney adalah pusat dimana everything is
happening in Australia, hustle bustle life for
a busy bee like me!
• Sydney memiliki banyak Universitas,
College dan sekolah paling lengkap di
Australia yang menawarkan program
untuk siswa international. Karena saya
ingin berkarir dibidang pendidikan, saya
pilih Sydney karena ingin mengenal
lebih dekat kampus-kampus di kota ini.
Membuka jaringan baru dan mencicipi
rasanya sekolah di salah satu kota paling
keren sedunia.
• Sydney itu kota pelabuhan yang cantik,
semua sudut kota ini instagramable!
Siangnya menggoda, malamnya
menggairahkan.
• Sydney menawarkan 4 musim yang
ciamik for a full luar negeri experience bagi
orang udik seperti saya. Cuaca
bersahabat dan gak labil-labil amat,
summer nan hangat, autumn nan romantic,
winter nan dingin, dan spring yang cantik.
Bisa kekinian pakai boots dan ganjen
pakai coat in the right time pastinya ya.
Dan good mix between laid back style dan
smart casual. Karena saya mengincar
pekerjaan kantor tapi yang tidak strict
banget aturannya.
• Sydney punya tempat-tempat keren
yang bisa dikunjungi di satu state. Mau
salju ada Snowy Mountain dengan pilihan
resort seperti Mt. Selwyn, Thredbo dan
Perisher. Kalau mau gurun sahara di Port
Stephen atau Anna Bay, mau air terjun
dan caving ada Blue Mountain, bahkan
mau ke tebing khas kue pernikahan ada
di wedding cake rock yang fenomenal
itu. Berendam di Figure Eight Pool untuk
weekend ini, atau mandi di kolam tepi
pantai di Bondi minggu depan. Saya
sering bingung mau kemana karena
saking banyaknya pilihan.
• Tiap minggu selalu ada festival, minggu
sebelumnya ada night noodle market,
minggu lalu ada wine cellar door festival,
minggu depan ada mardi grass. Minggu
depannya lagi ada apa ya?
• Mau makanan Indonesia ada semua, dari
yang rumahan, café, warung, sampai
restoran fine dining siap meredam gairah
kekangenan akan masakan bunda dan
nusantara.
• Sydney memiliki tingkat multicultural
paling tinggi di Australia, setidaknya
kalau saya belum bisa ke Bangladesh
saya bisa ke Rockdale dulu, atau kalau
belum pernah ke Perancis kita bisa
mampir ke Leura di Blue Mountain. Mau
ke China? Yuk ke Hurstville! Sydney
bener-bener merupakan kota di antara
kota-kota di dalam kota!
• Sydney menawarkan malam tahun baru
paling megah dan meriah sedunia!
Sydney is the city of fireworks! Absolutely
stunning night you won’t forget, where all
the blasting colours fill up our skies, the
energy…the passion we put into it, definitely
will make you feel the multiple
fireworkgasm.
• Street musician and artist yang keren-
keren bisa kita lihat di titik-titik strategis
seperti depan three wise monkeys,
pojokan hydepark dan starbuck,
sepanjang sisi pelabuhan cirqular quay,
sepanjang lorong station central.
Pastinya menambah romansa cinta
bersemi di Sydney. Lebay.
• Last but not least, bertemu banyak teman
seperjuangan disini dan kalian adalah
kado terindah dari WHV

Sepertinya itu alasan-alasan utama saya memilih


Sydney. Kok kayaknya cuma ada bagus-bagusnya saja
ya….sebenarnya ga mau bilang sih hihihhi.
• Sydney ga banyak bulenya hahaha,
mental inlander banget seh. Lebih
banyak Asianya. Sering saya ditempat
kerja kalau naik turun lift penuh banget
ada 12 orang di dalam. Bulenya cuma
satu. Akomodasi di Sydney mahal.
Memang benar! Kalau mau hemat harus
berdempet-dempet sekamar berempat.
Tidak ada komen selanjutnya. Pindah
suburb kalau mau murah.
• Air minum dari keran rasanya aneh
kayak air kolam renang, sering dulu
minum air kolam waktu belajar renang
jadi tahu rasanya, terutama yang di city
ya. Tapi yang disuburb okelah masih
seger.
• Gaji di Sydney kecil! Yes, sad but true.
Saya pikir itu karena banyaknya tenaga
kerja yang ada dan persaingannya ketat
banget. Tapi jangan lose hope, banyak
WHV Sydneysiders yang dapat gaji
gede kok! Tergantung usaha, doa dan
keberuntungan ya.
• Saya ingin punya kebebasan kemana
saja tinggal naik motor, helm pake ga
pake, ke Indomaret pun kalau bisa naik
motor hehe eh ga da indomaret disini
tapi ada seven eleven lah. Sayangnya
biaya motornya mahal, psajak, asuransi,
dan aku gak begitu paham aturan
berkendara. Kebiasaan buruk nih!
Pernah punya motor beberapa bulan
tapi takut ditilang, lebih sering
dipinjemin ke temen-temen motornya.
Yah jadinya bergantung sama public
transport. Keretanya okelah tepat waktu
tapi klo weekend suka ada trackwork.
Ngeselin deh. Jadwal bisnya juga suka
ga jelas, kadang ada banyakan tiada
harapan. Pernah suatu malam kami
nonton film di suburb ga bisa balik ke
city dong. Karena sudah gak ada bis!
Harus jalan yang super jauh untuk
dapatin bisnya. Sepanjang jalan
mengutuk diri sendiri!
• Rasisme itu ada. Jujur saya belum
pernah dirasisin secara langsung tapi
lewat telepon pernah. Saya mengangkat
telepon di kantor dan kadang ada
telepon salah sambung, sayangnya
kadang mereka tidak memahami
Bahasa Inggrisku hehe. Mereka bilang
ngapain kamu kerja disini tapi ga bisa
Bahasa Inggris, pulang sana! Mulai
nanya-nanya nama asliku, darimana
asalku! Ah biarin saja gak lihat
mukanya ini. Oh ya aku punya nama
panggung macam artis, eh nama
English ding – Victoria biar mereka
gampang ngertinya dan aku tak perlu
mengeja ; Fitria. Aku juga sering dengar
di berita. Ibu-ibu yang suka marah-
marah di kereta dan menyerang orang-
orang yang tidak berkulit putih. Anak-
anak muda yang bergerombol dan
menghina orang tua yang bermata
sipit.
• Sydney is the capital of douchebags! Teman
bilang, kita itu traveling karena lari dari
sesuatu/seseorang atau mengejar
sesuatu/seseorang. Well, tidak munafik
aku ingin menemukan cinta juga di
Sydney. Dengan banyaknya pilihan
pria saya jadi bingung mau yang mana,
halah kayak mereka mau sama kamu
saja non! I used to live with 2 other
students from Malaysia and Vietnam, we
were once tinderellas, online platform made
it easy for us to meet new people. It turned
out none of us lucky enough to meet the
right person, most of us came back with the
same story – they are all douchebags! Lagi
apes kali ye…And my journey come to an
end when one of my matches is actually
someone I know. Damn it! Kami bertiga
waktu itu mencanangkan Sydney
adalah the capital of douchebag saking
keselnya dengan kehidupan asmara
kami yang payah! Kita kemudian
mencari jodoh dengan cara orthodox,
kenalan langsung saja ya hahaha.
Akhirnya saya bertemu seseorang yang
merupakan klien saya di kantor, saya
bisa melihatnya secara langsung, tidak
perlu swipe kiri or kanan, langsung
cipika cipiki saja. Plak! PS : mungkin
ada yang ketemu soulmate di online
platform ya, good on ya! Maaf gak
bermaksud menyinggung.
• Gumtree pervert alert! Aku adalah
pengguna gumtree sejati, kerjaaan
pertamaku kudapat dari gumtree,
kerjaan sampingan yang aku dapat
dengan menjual diri, eh mengiklankan
diri hahahah macam ngsajar, jaga toko
keju, sampai kerjaan cleaning dan baby
sitting aku dapat dari gumtree! Tapi
tidak semua respon positif aku dapat
dari sini. Selalu ada telepon atau sms
yang super aneh, biasanya diawali
dengan ; Are you open minded? Do you
want to be my part time girl friend? Do you
want to have fun and get paid? Do you want
to do a special cleaning job? – Yeah like only
wearing a g-string and stilettos?
• Ini yang terakhir yang saya ga suka
banget – banyak orang aneh di jalan-
jalan pusat kota Sydney. Ada yang
nungging ber-jam jam sambil pegang
botol kosong minta duit. Ada yang
menggunakan anjing untuk manipulasi
belas kasihan (menurutku mereka ga
mungkin gendong anak-anak dan
minta uang di lampu merah) jadi
sebagai gantinya mereka bawa anjing.
Kasihan anjingnya kan?
Sudah ah kira-kira itu semua yang gak saya suka
dari Sydney kalau banyak-banyak nanti kalian maalah gak
mau ke Sydney hihi. Tapi ya gini love and hate relationship
itu yang bikin saya betah disini. Dulu waktu WHV dan
waktu balik ke Australia juga pilih balik ke Sydney! Saat
ini saya tinggal di Suburb sekitar 20 menit dari pusat kota.
Home sweet home, always welcome untuk siapa ssaja yang
baik baik dan ga rese. Yang mau crash on beberapa hari
sambil nyari tempat yang lebih permanen bisa hubungi
saya ya sapa tahu pas ada yang kosong atau ga keberatan
di sofa– lewat couch request! *wink
Sampai jumpa di Sydney!
KHARIS KURNIADY

Sobat WHV-ers dimana pun anda berada, nama


saya Kharis Kurniady dari Bandung. Profesi saya sebagai
juru masak di Indonesia sejak tahun 2011 saat saya
menjalani masa training dari perkuliahan perhotelan di
Bandung. Beberapa kegiatan lain yang saya senangi adalah
travelling walau belum terlalu banyak tempat yang saya
kunjungi. Saya juga punya hobi berkenaan dengan sepeda
motor dan touring.
Pertama saya tahu WHV dari kaskus tahun 2011,
waktu itu kuotanya maksimal 100 peserta per tahun. Saya
berencana mengajukan WHV ini tahun 2012, tapi karena
satu dan lain hal saya tidak jadi mengajukan visa pada
waktu itu. Setelah melihat kondisi pada saat itu untuk
pengeluaran surat rekomendasi dari imigrasi tak kunjung
keluar hingga sampai akhir tahun sempat tidak terpikir
untuk mengajukan WHV lagi. Setelah februari 2013
ternyata ada kabar dari teman saya yang mendapat surat
rekomendasi dari imigrasi dan dinyatakan kuota per tahun
untuk Indonesia naik menjadi 1000 peserta. Setelah
mendengar kabar tersebut langsung saya membuat
persiapan untuk mengajukan visa ini, dimulai dari uang
jaminan dan segala bentuk transkrip nilai dari kampus.
Singkat cerita bulan juni 2013 saya mengajukan dan granted
bulan agustus 2013.
Mei 2014, Sydney adalah kota pertama yang saya
datangi sampai akhir masa WHV selesai. Saya datang saat
winter baru mulai yang kata orang lagi sepi kerjaan, tapi
yang namanya rejeki, kerjaan itu tetap bisa didapat selama
usaha dan pantang menyerah.
Minggu pertama saya dapat kerjaan di cafetaria
sebuah kampus ternama di Sydney sebagai juru masak.
Sebuah pengalaman yang menarik karena di tempat ini
menjadi pembuka mata pertama kali yang menunjukkan
perbedaan kualitas hasil pekerjaan yang diminta oleh
seorang bos di Australia. Walau pun saya memiliki
pengalaman bekerja di dapur profesional di Indonesia,
tetapi saya cukup terkejut saat masuk ke dapur sebuah
cafetaria yang notabene dapurnya cukup mungil. Tidak
bertahan lama di tempat tersebut saya keluar di hari ketiga
bekerja dan tentunya tanpa upah. Saya ambil sebagai
harga saya belajar pertama kali.
Setelah itu mencoba peruntungan di tempat lain
lagi. Saya melamar pekerjaan secara online ataupun drop
resume ke tempat – tempat yang dinilai potensial, tetapi
nihil hasil. Pernah satu kali saya mendapat panggilan
lewat telepon, disini kemampuan bahasa Inggris saya
ternyata konyol sekali, pertama yang saya tidak
perhatikan adalah, karena terlalu banyak lamaran yang
saya kirim, saya tidak tahu tempat mana yang menelepon
saya dan kedua saya tidak bisa menangkap apa yang
mereka katakan di telepon sama sekali. Alhasil tolakan lagi
yang saya dapatkan dan dari situ saya mulai belajar
mendengar via telepon melalui call center kartu sim.
Selama menunggu saya kerja serabutan, cleaning
apartemen, removal, tentu ssaja sambil drop resume ke
beberapa tempat. Satu hari saya tiba di daerah Darling
Harbour, saya mulai drop resume. Saat saya masukan
resume ke salah satu restoran, saya keluar dari restoran
tersebut, ada seorang pramusajinya berlari keluar
memanggil saya, dia bilang Executive Chef nya ingin
bertemu, saya langsung bersemangat, dan puji Tuhan
setelah wawancara, saya dapat kesempatan trial satu hari
dan akhirnya saya dapat pekerjaan di tempat tersebut
selama lima bulan sebagai line cook.
Pekerjaan yang kedua saya di Novotel Sydney
Central sebagai seorang commis chef, saya dapat
rekomendasi dari teman yang bekerja di sana pada waktu
itu yaitu Benz Satrio Utomo. Saya bekerja selama 6 bulan
di tempat ini sampai visa saya seminggu sebelum
kadaluwarsa. Pengalaman yang tak akan pernah terlupa di
tempat ini, saya bekerja sebagai breakfast chef. Pada saat
bulan desember bisa dikatakan sedang high season,
okupansi hotel tinggi. Setiap hari ada sekitar 600-800 pax
tamu yang datang untuk breakfast, hanya saya dan Benz
yang mengerjakan semua itu. Terlebih saat malam tahun
baru, kami pergi menonton acara kembang api, karena
memang kota Sydney terkenal dengan new year eve
firework-nya. Kami menonton hingga subuh dan kami
harus mulai kerja jam 5 pagi.
Selama WHV ini saya berkesempatan mengunjungi
kota Canberra menggunakan bus antar kota saat winter.
Kota ini dingin banget, waktu malam bisa sampai -7'C.
Saya juga pergi ke Melbourne menggunakan sepeda
motor, jaraknya kurang lebih 1000 km, ditempuh dalam
waktu 12 jam, berangkat pagi sampai sore, karena tidak
direkomendasikan berkendaraan saat malam hari. Lalu
saya pergi ke Darwin menggunakan pesawat, pertama
menginjak kota ini terasa seperti tidak di Australia, iklim
dan kondisi kotanya jauh berbeda dengan daerah selatan.
Kemudian saya ke Gold Coast dan Brisbane menggunakan
mobil bersama teman-teman, kita sewa mobil beramai-
ramai, dikenal dengan rute East Coast-nya, Sydney – Coffs
Harbour - Gold Coast – Brisbane. dan cukup banyak
tempat di Sydney yang bisa dikunjungi.
Ada suka duka yang saya dapat dari work and
holiday ini. Pertama, gue dapat pengalaman yang benar-
benar baru baik secara pekerjaan, pergaulan dengan
orang-orang dari seluruh dunia, dan petualangan baru.
Kedua, rekening tabungan terisi secara signifikan. Ketiga,
mendapat teman-teman baru dari tanah air tercinta
maupun dari negeri orang. Untuk dukanya, yang pasti
jauh dari keluarga dan sangat terasa saat jatuh sakit.
Bagi kalian yang baru memulai petualangan WHV-
nya, ada beberapa anjuran nih dari saya, tetapkan dulu
tujuan mengikuti program ini untuk apa, dari sini kita bisa
memilih kota dan kapan berangkat ke negeri kangguru ini.
Untuk yang mungkin tidak punya kerabat di negeri
kangguru jangan khawatir karena sekarang di setiap
tempat bisa dibilang selalu ada komunitas WHV, apalagi
di kota-kota besar di Australia.
Untuk memilih kota, disarankan untuk mengetahui
cuaca , kapan low/high season, sistem transportasi dan
biaya hidupnya. Untuk yang berencana punya kendaraan
atau mau sewa untuk road trip sebaiknya membuat SIM
internasional di Jakarta.
Pengaruh WHV untuk saya pribadi cukup besar,
pengalaman di Australia cukup membuka mata saya
bagaimana satu negara bisa menjadi besar karena
ketertiban, pembangunan dan disiplin yang mereka
terapkan di negeri mereka. Saya bekerja menjadi lebih
disiplin karena tidak bisa bermalas-malasan / curi-curi
waktu untuk istirahat karena bayaran disini per jam, saya
bekerja lebih efektif, menghargai hukum dan lebih
waspada di tempat kerja. Membuka relasi dan wawasan
ketika memiliki teman dari negara lain tentang budaya
mereka.
Terima kasih, sekian sepenggal cerita dari kisah
WHV saya.

Kharis Kurniady ( 8 Mei 2014 – 7 Mei 2015 )


EFI YANUAR

Panggil saya Efi. Sebelum berangkat ke Australia


dengan Work and Holiday Visa (WHV) saya bekerja di
sebuah media ekonomi berbasis di Jakarta. Setelah
beberapa tahun bekerja kejenuhan pun timbul. Penyebab
utamanya adalah gaya hidup yang terlampau monoton.
Informasi mengenai WHV saya dapatkan dari
seorang teman pada awal 2013. Sekilas saya memahami
tentang program ini. Setelah mencari tahu lebih lanjut saya
teringat akan seorang pejalan muda yang pernah
bersinggungan jalan di Thailand. Dia pernah ke Australia
dengan WHV dan saat itu ia sedang menikmati jerih
payahnya dengan berkeliling Thailand.
Dengan segala informasi yang saya dapat akhirnya
keputusan pun dibuat: WHV adalah jalan buat saya untuk
keluar dari zona kejenuhan. Selain itu, program ini
memungkinkan saya untuk menjadi perantau garis miring
ekspatriat di negara orang. Kesempatan ini tentunya tidak
akan disia-siakan begitu ssaja.
Ibu tidak terlalu senang dengan pilihan yang saya
buat. Rezeki ada di mana ssaja tidak hanya di Australia,
respon beliau atas alasan saya mau mencari uang lebih di
benua kangguru tersebut. Beliau benar juga, tapi, toh,
hidup yang saya jalani adalah milik saya sendiri jadi, ya,
dilanjutkan ssaja niatnya.
Jauh sebelum mengajukan visa, ibu kembali
mempertanyakan apa yang akan saya lakukan untuk
bertahan hidup. Dengan "nakal" saya menjawab menjadi
tukang cuci piring, tukang bersih-bersih, tukang pel,
tukang buang sampah, sampai jadi pengasuh bocah.
Kenakalan saya tersebut membuat muka ibu berubah
menjadi masam. "Aduuuhhh, nanti apa kata orang? sarjana,
kok, kerjanya kayak begitu. lebih enak di sini, kan?"
Tanpa disadari oleh ibu saya pernyataannya di
ataslah yang memantapkan niat saya untuk merantau.
Menempatkan pandangan orang lain (yang biasanya
selalu negatif) sebagai salah satu faktor pertimbangan
mengambil keputusan adalah hal yang bodoh. Saya sudah
hapus hal itu dari kehidupan saya. Tidak ada satu orang
pun yang bertanggung jawab atas hidup saya kecuali saya
sendiri.
Terlahir dalam keluarga berdarah minang, mau
tidak mau saya dekat dengan istilah merantau. Kakek saya
merantau sejak usia muda ke Jakarta dari desanya yang
sekarang hanya berjarak tiga jam dari ibu kota provinsi
Sumatera Barat. Ia bertahan, bahkan mampu menghidupi
keluarga kecilnya dengan layak. Ayah saya pun merantau
saat bertugas menjadi abdi negara. Sepupu-sepupu saya
pun tidak ketinggalan merantau sejak usia awal 20-an
yang pada saat itu saya masih meminta uang bulanan
untuk kuliah.
Pasangan saya pun seorang perantau. Sudah
bertahun-tahun ia hidup di tanah orang. Rintangan yang
dihadapinya di jalan membentuk dirinya menjadi seorang
pribadi yang menarik. Melihat banyaknya pengaruh
tersebut, saya pun ingin menyandang status perantau.
"Merantau itu urusan laki-laki," kata ibu saya. Sekali lagi
dia menambahkan "bensin" sehingga niat merantau justru
makin berkobar menyala.
Sebesar apapun niat yang saya punya, rasa was-was
tetap ssaja timbul. Sempat khawatir apakah saya bisa
bertahan. Kekhawatiran saya saat itu karena jumlah uang
tunai di kantong sangat minim. Saya takut kelaparan.
Rupayanya saya bernasib baik, semesta mendukung
harapan, tidak pernah sekalipun saya kelaparan. Setiap
hari saya selalu bisa makan walau hanya berbekal
makanan hampir kadaluarsa yang dijual di jaringan
supermarket dengan harga sangat murah.
Selama masa perantauan di Australia saya banyak
menghabiskan waktu bekerja di sektor perkebunan.
Pengetahuan saya tentang berkebun garis miring bertani
tidak ada. Hanya tahu nama segelintir tanaman gara-gara
sering belanja ke pasar. Itu sudah. Tetapi peluang bekerja
di sektor ini tidak bisa dipandang sebelah mata, mengingat
pertanian termasuk salah satu penyokong perekonomian
Australia. Melihat pengaruh eknominya yang cukup besar,
maka tidak heran kalau sektor ini diusahakan untuk selalu
bertahan dalam kondisi apapun.
Salain itu, yang menarik dari sektor pertanian
adalah kebutuhannya akan sumber daya manusia yang
tidak sedikit terutama pada masa panen. Jumlah
penduduk Australia yang tidak banyak ditambah
penduduknya yang tidak begitu tertarik berlelah-lelahan
bekerja di sektor ini (sama ssaja seperti di negara
manapun) maka peluang bagi pemegang WHV untuk
mendapatkan pekerjaan cukup besar. Maka dari itulah
saya terus-terusan berkutat dengan tanah, debu, dan
matahari.
Sudah menjadi rahasia umum kalau bekerja di
Australia memberikan peluang untuk membengkakkan
rekening tabungan. Duit adalah salah satu penguat mental
saya untuk bertahan di Australia. Kebetulan saya memiliki
sebuah proyek jangka panjang yang membutuhkan modal
tidak sedikit. Saya hanya bekerja sembilan bulan di tempat
yang memberikan upah menarik, meski demikian target
nominal dapat terlampaui.
Pertemuan pertama saya dengan industri
perkebunan Australia adalah dengan memetik cherry.
Waktu kedatangan saya yang berdekatan dengan musim
panen cherry membuat saya bisa dikatakan mudah
mendapatkan pekerjaan. Minggu ketiga di Australia saya
memutuskan untuk pergi ke pusat cherry Australia yaitu
Young, NSW. Saya bekerja hanya sebulan karena memang
hanya selama itulah musim panen cherry.
Minggu pertama bekerja saya rasanya mau
menyerah. Musim panas Australia bukan sebuah lelucon,
kadang mencapai 40 dersajat celcius. Dalam kondisi
sepanas itu saya harus berada di kebun memetik cherry,
belum lagi ditambah keranjang yang harus dipanggul
untuk menampung cherry petikan. Kadang saya
terbayang adegan film 12 YEARS A SLAVE soal buruh
yang berpanas-panasan memetik kapas.
Selesainya musim cherry saya pun mengucapkan
salam perpisahan kepada Young. Mobil saya pacu ke titik
perkebunan Australia lainnya, Griffith, NSW. Nasib baik
belum berpihak pada saya. Gara-gara saat itu berdekatan
dengan perayaan natal, jadilah banyak perkebunan yang
libur panjang sampai akhir tahun. Ketika mengetahui
masa liburan telah selesai, saya pun melancarkan strategi
jemput bola dengan berkeliling Griffith mengetuk setiap
pintu perkebunan berharap mereka membutuhkan
pekerja. Nihil.
Proses pencarian peruntungan pun lakukan saat
berkumpul dengan pejalan yang saya temui. Selama
sebulan pertama di Griffith saya mendirikan tenda area
perkemahan gratis yang dipenuhi banyak pejalan yang
juga mencari pekerjaan. Biasanya ketika malam tiba saat
banyak dari mereka yang sudah pulang bekerja dan
berkumpul. Saya pun ikut nimbrung, bukan sekadar
mengobrol sambil makan malam tetapi pertemuan ini
biasanya diisi dengan bursa transfer pekerjaan.
Begini, sektor perkebunan memiliki turn over
pegawai yang cukup tinggi. Pejalan yang bekerja di satu
tempat tingkat loyalitasnya terkadang sebatas seberapa
besar bayaran yang bisa mereka dapatkan. Jadi kalau saya
mendapat pekerjaan yang memberikan upah lebih
menarik pasti akan melepaskan apa yang dipunya saat ini
dan biasanya pekerjaan lama itu akan saya tawarkan
kepada teman-teman. Nah, saya pun berharap mendapat
limpahan pekerjaan juga. Beberapa kali saya mendapatkan
peruntungan dari pertemuan ha-ha-hi-hi itu.
Tidak hanya itu, kadang saya juga mendapat tips
untuk mendapatkan pekerjaan. Seorang pejalan asal
Perancis pernah menyarankan untuk menulis
BACKPACKER NEEDS JOB CONTACT 0405xxxxx pada
selembar kertas dan tempelkan di kaca mobil. Kemudian
parkirlah mobil di pusat kota seperti, taman,
perpustakaan, juga supermarket di mana banyak orang
berseliweran. Cara tersebut bekerja untuknya, tetapi tidak
buat saya.
Saya pun disarankan untuk datang ke working
hostel. Biasanya penyedia jasa akomodasi ini bekerja sama
dengan pemilik kebun sebagai penyuplai tenaga kerja.
Pucuk dicinta ulampun tiba, saya mendapatkan pekerjaan
untuk tiga bulan di pabrik beras.
Bosan menyandang predikat pekerja musiman,
saya bertekad mendapatkan pekerjaan yang dapat
dilakukan sepanjang tahun. Bisikan saya didengar
semesta, setelah musim panen beras selesai saya
mendapatkan pekerjaan di kebun ubi. Menariknya di
kebun ini saya bisa bekerja dalam musim apapun. Saya
berhenti hanya karena masa berlaku visa habis.
Pengalaman bekerja di perkebunan membuat saya
lebih disiplin dan awas dalam bekeja. Dikarenakan kami
bekerja dengan sistem bayar per jam maka ada standar
tertentu yang harus dicapai sesuai dengan upah yang
didapat. Kalau ssaja kami terlampau lambat maka tidak
segan-segan pak bos akan memberi kata-kata "cinta"
seperti, "hari ini terakhir kamu kerja di sini ya!". Nah,
ketakutan akan dipecat inilah yang membuat saya harus
bekerja sungguh-sungguh. Makanya tidak heran kalau
banyak pekerja perkebunan yang hanya memiliki tingkat
adaptasi tinggi. Disajari sebentar langsung bisa.
Bagi saya sendiri, pelajaran terpenting dari bekerja
di sektor pertanian adalah betapa "kejam" hidup ini.
Terkadang sebaik apapun pribadi kita tetapi bisa ssaja
dinomorduakan gara-gara penampilan fisik yang
dianggap kurang sedap dipandang mata.
Pernyataan saya itu memiliki alasan yang kuat loh.
Selain bekerja memanen saya juga pernah bekerja di
tempat penyortiran dan pengepakan hasil pertanian.
Tempat pengepakan adalah tempat yang kejam bagi
produk pertanian "buruk rupa".
Bagaimana tidak, saat mengepak kami harus benar-
benar jeli memisahkan hasil pertanian yang busuk dengan
tidak. Bukan hanya itu, tetapi kami juga harus menyortir
produk yang layak masuk katagori kelas satu (premium)
dan kelas dua. Biasanya pembagian kelas ini dikarenakan
bentuk buah atau sayur yang sajaib, warna yang tidak
sempurna, dan atau ukuran yang abnormal.
Terkadang saya tertawa melihat para pemegang
predikat kelas dua tersebut. Penampakan mereka
terlampau lucu bagi saya.Sayangnya, bentuk yang lucu
tersebut tidak membuat mereka mearik dari segi ekonomi.
Kenapa? karena mereka dianggap tidak laku di pasaran
gara-gara mereka aneh. Tidak jarang, gara-gara
penampilan mereka tersebut mengakibatkan nasib mereka
terhenti di tempat sampah.
Saya pernah berkomentar kepada teman kerja, “loh
walau bentuk mereka aneh begitu, mereka, kan, tetap ssaja
makanan. Sayang sekali kalau sampai dibuang!”
Tahu kah apa yang dijawab teman kerja saya saat
itu?
“Oke! Coba sekarang kamu ke supermarket, pasti
kamu akan menyeleksi sebelum membeli. Kamu pasti
mempertimbangkan bentuk sayuran yang kamu mau beli.
Kalau aneh sedikit ssaja pasti tidak kamu beli. Orang lain
pun seperti itu.”
Tidak hanya di dunia manusia, ternyata
penampilan memainkan peranan penting di dunia
pertanian. Dan, kita-kita jugalah yang menjadi
penyebabnya. Oh iya, terkadang ada yang menjual
komoditas pertanian yang berbentuk aneh itu loh. Tentu
ssaja dijual dengan harga murah.
Gara-gara pekerjaan ini, saya pun bertekad untuk
tidak terlalu kejam saat meyeleksi produk pertanian saat
belanja untuk konsumsi pribadi. Kecuali mereka busuk,
saya tidak peduli dengan bentuk dan penampakan luar
lainnya karena mereka pada hakikatnya adalah buah dan
sayuran yang layak dimakan.
Sebagai pekerja lapangan sudah tentu banyak
energi yang harus dikeluarkan. Pengalaman saya dengan
sektor perkebunana ini juga membuat saya lebih menaruh
empati pada petani, lebih khususnya yang ada di
Indonesia. Sebatas pengetahuan saya masih banyak petani
yang bekerja secara tradisional tanpa bantuan mesin
pertanian yang mapan seperti di Australia. Sudah pasti
tenaga yang mereka harus keluarkan lebih besar dari apa
yang sudah saya habiskan.
Rasa salut saya seketika meroket saat saya bekerja
di kebun bawang bombay. Masih dalam musim panas
yang mencapai 40 dersajat celcius di pedalaman NSW,
saya hanya sanggup bekerja dua hari. Apa pasal? Sungguh
pekerjaan yang terlihat hanya mencabut bawang dan
memotong akar serta pucuk daunnya itu bukan hal
mudah. Prinsip saya adalah seberat apapun pekerjaannya
akan dipertahankan asal bayarannya menarik. Memanen
bawang sangat jauh dari prinsip saya tersebut. Setelah
berlelah-lelahan selama sembilan jam saya hanya
mengontongi AUD 50.
Kejadian itu membuat saya menahan tangis. Sedih
tidak hanya karena saya menghasilkan sedikit uang, tetapi
juga teringat akan para petani bawang di Indonesia. Sudah
pasti mereka lebih sedih dari saya saat harga jual bawang
yang terpuruk, sementara mereka sendirilah yang bekerja
menanam, merawat, dan juga memanen. Angkat topi
untuk para petani yang terus bekerja dalam kondisi
apapun.
Sekarang, setelah perantauan di Australia selesai,
saya berterima kasih pada diri sendiri yang telah membuat
keputusan tepat dan tidak menyia-nyiakan kesempatan
yang berlaku sekali seumur hidup tersebut. Saya bahagia
karenanya. Benar itu apa kata si pembuat pernyataan
"lakukan apa yang bisa kamu lakukan sekarang, karena
bertahun-tahun yang akan datang kamu akan menyesali karena
tidak pernah melakukannya". Hidup pun cuma sekali, toh?
Selamat membuat keputusan dan menikmati
konsekuensinya!
Work and Holiday Visa or Working Visa
ARIP HIDAYAT

Aku mengetahui WHV pada tahun 2010 dari grup


Backpacker Dunia. Namun, Aku tidak optimis untuk
mendapatkanya karena syarat harus memiliki tabungan
uang sebesar lima puluh juta rupiah dirasa terlalu berat.
Akan tetapi aku ingin mencoba, maka dari itu aku
berusaha keras mengumpulkan uang dengan cara kuliah
sambil bekerja sebagai pencetak kerupuk sekaligus kasir di
usaha bapak. Dari situ aku belajar mengelola uang dan bisa
menabung sedikit demi sedikit. Selain itu, bahasa inggris
menjadi tantangan cukup berat, dua kali tes Toefl hasilnya
jelek. Pada tes ketiga lah, aku berhasil mendapatkan nilai
yang lumayan. Beruntungnya gelombang 55 masih boleh
menggunakan TOEFL sebagai syarat memiliki
kemampuan bahasa inggris, jadi biaya tes tidak terlalu
mahal.
Dukungan dari orang tua tidak sepenuhnya
kudapatkan. Bapak sepertinya tidak suka dengan
keputusan ini. Sebagai anak pertama, aku diminta
mengurus pabrik kerupuknya setelah lulus kuliah, tapi
aku berpikir lebih baik aku belajar banyak hal terlebih
dahulu di negara maju seperti Australia.
Aku yakin work and holiday ini merupakan
kesempatan bagus yang tidak boleh dilewatkan untuk
perkembanganku di kemudian hari. Apalagi jika aku
terjun sebagai entrepreneur “Akan kujadikan kesempatan
ini untuk menggali ilmu dan aku ingin melihat seberapa
mampu aku bekerja dengan baik dibawah pimimpian
seorang bos.” Oleh karena itu, aku memutuskan untuk
bekerja selama setahun di Australia.
Pada tanggal 10 agustus 2015 aku berangkat ke
Darwin, Northern Territory, Australia. Aku memilih
Darwin karena tiketnya lebih murah, rate gajinya tinggi,
bisa bekerja di farm dan persainganya tidak terlalu ketat.

Darwin, Northern Territory


Mencari pekerjaan di Darwin susah-susah
gampang. Katanya, jika datang saat wet season, harus lebih
bersabar untuk mendapatkan pekerjaan dan jam kerja
yang diberikan tidak akan sebagus saat dry season yang
biasanya antara bulan Mei-Oktober.
Kehidupan awalku di Darwin banyak dibantu oleh
Pak Rudi, warga negara Indonesia yang aku kenal lewat
grup WHV Indonesia. Beliau menawarkan tempat
penginapan, memberi pekerjaan cleaning rumah dan
tempat gym. Jadi cukup untuk menutup kebutuhan
awalku. Aku juga disajak bantu-bantu event konsulat
dalam rangka memperingati kemerdekaan NKRI.
Setelah sepuluh hari aku baru mendapatkan
pekerjaan di restuarant sebagai kitchen hand atau pencuci
piring dari website Gumtree. Bagaikan doaku dikabulkan,
Tempat ini sangat berkesan untuku karena di sana aku
begitu dididik untuk bisa melakukan banyak hal, budaya
kerjanya bagus, dan belajar dari worker behaviour. Bosku
seorang Asian yang tak pernah ragu untuk mengsajariku
banyak hal, workmateku juga kebanyakan Asian yang
menyenangkan, setiap hari aku bahagia bekerja dengan
mereka.
Restaurant berada di CBD Darwin, dimana selalu
sibuk saat breakfast and lunch, setiap harinya buka dari jam
6 pagi – sore. Biasanya aku kerja mulai dari jam 9 pagi –
closing atau kadang sesuai permintaan. Seminggu aku
kerja selama 5 atau 6 hari. Jarang sekali aku mendapatkan
libur pada hari Jum’at karena pada hari itu hampir semua
restaurant akan sibuk oleh pengunjung.
Bekerja di Australia dibayar perjam, maka setiap
detiknya harus berguna. Meski begitu ternyata bekerja di
Australia itu menyenangkan. Dari mulai hal sederhana,
seperti ketika tiba di tempat kerja. Para pekerja biasanya
saling menyapa , "hi happy boy, morning happy boy, how are
you today, do you want coffee?".
Saling menyapa ini membuat suasana hati lebih
nyaman dan dapat berpengaruh terhadap kinerja
seseorang. Contoh lainya ketika aku terlihat sibuk atau
kesusahan mengerjakan sesuatu, teman kerja sering
bertanya, "Are you alright? Are you ok?" Itu semua terasa
seperti basa-basi, namun bagus untuk mencairkan
suasana.
Pekerjaan utamaku adalah mencuci piring. Bedanya
bekerja dengan Asian yaitu kalau bisa bekerja dengan
cepat dan mampu mengerjakan banyak hal, mereka bisa
jatuh cinta. Disela-sela mencuci piring yang begitu banyak,
aku sering diminta mengupas kulit bawang bombai, kulit
wortel, kulit pepaya, kulit telor, kulit boiled prawn, kulit
jeruk, slice ham, memotong pig leg, packing barang yang
datang, belum lagi kalau closing, termasuk membereskan
meja dan kursi di luar dan terakhir ikut membersihkan
dapur.
Dalam seminggu ada hari-hari dimana café tidak
begitu ramai pengunjung, sehingga headchef selalu
memintaku pulang lebih awal. Aku tak bisa menolak
karena statusku adalah pekerja casual. Sedangkan kalau
kapal pesiar datang ke Darwin, seharian aku akan sibuk
hanya mencuci piring.
Aku bersyukur karena aku tak pilih-pilih kerjaan,
bahkan pekerjaan rendahan sekalipun pernah aku
lakukan. Bedanya di Australia ini memungkinkan untuku
belajar dari dasar mengenai bisnis di Negara maju karena
digaji dengan sangat baik.
“Sepertinya aku kuat untuk kerja malam.”
Kemudian aku mencari lowongan pekerjaan di Gumtree.
Lagi-lagi pekerjaan yang kudapat adalah kitchen hand di
sebuah Resort. Restoranya tidak terlalu sibuk dan
pekerjaanya jauh lebih mudah. Cuci piring, membuat garlic
bread dan cleaning area kitchen.
Semakin hari jam kerjaku berkurang banyak saat
wet season datang. Setelah berpikir keras, Aku
memutuskan pergi ke farm. Aku mendengar bahwa aku
bisa bekerja 6 hari dalam seminggu dan jam kerjanya
bagus.
Aku berpamitan ke semua pegawai di tempat kerja
pertamaku, tapi aku kabur tanpa berita di tempat kerja
keduaku. Sampai headchefnya memaki-maki diriku di
telpon.

Pekerjaan Farming Begitu Menantang


Singkat cerita aku tiba di Kota Katerine yang berada
di selatan kota Darwin. Sore hari aku dijemput para
pekerja farm yang baru pulang bekerja. Aku mendapatkan
sebuah kamar. Malam harinya orang-orang sibuk di dapur
sedang memasak. Aku pergi ke sana karena sudah lapar.
Kebanyakan dari mereka adalah orang Timor-timor yang
bisa mendapatkan seasonal visa, semacam visa yang
diberikan kepada mereka untuk bekerja di bidang
pertanian saat panen apapun. Tentu ssaja beberapa dari
mereka adalah orang Indonesia.
Ternyata semakin larut malam, aku sudah tak bisa
sabar lagi. Esok hari adalah hari pertama aku bekerja dan
harus mempersiapkan bekal. Untuk masak nasi ssaja luar
biasa lamanya. Setiap orang ngantri menunggu giliran.
Beberapa kali lampu padam karena dua microwave
digunakan berbarengan untuk memasak nasi. Aku sudah
agak jengkel.
Subuh, mandi dan mempersiapkan bekal.
Dibutuhkan satu jam perjalanan menuju perkebunan yang
saat itu akan digarap. Pekerjaanya adalah memasang
irigasi dengan cara merapikan dan mengunci selang air
agar tidak berpindah-pindah dengan menancapkan besi
yang berbentuk seperti kail pancing ikan. Pekerjaan ini
menuntutku untuk berdiri, memindahkan ranting yang
berserakan, berpindah line, dan berjongkok memasangkan
besi di tanah yang keras. Awalnya aku bisa mengikuti
ritme kerja, menjelang smoko atau sarapan pada jam 10
pagi, rasa haus begitu tak tertahankan lagi. Sedangkan air
minum berada di mobil yang selalu mengikuti pekerja dari
batas sisi perkebunan, cukup jauh dengan posisiku. Begitu
ada kesempatan aku lari sekencang-kencangnya dan
minum sebanyak-banyaknya, hingga aku sesak dada dan
muntah air.
Semakin siang udara terasa semakin panas, jika
dilihat di layar handphone suhu mencapai 39 dersajat.
Tenggorokan begitu kering, bukan hitungan menit tapi
detik. Rasanya saya ingin menggendong tabung air dan
menghisapnya terus menerus. Cuaca kala itu membuatku
merenung dan berpikir keras tentang perjuangan hidup.
Ketika sedang bekerja teman kerja di resort
menghubungi dan menceritakan tentang headchef yang
marah. Aku meminta maaf dan menjelaskan bahwa aku
hanya memiliki kesempatan setahun di Australia, aku
ingin banyak menabung uang. Aku bertanya jika aku
kembali ke Darwin, apakah bisa bekerja kembali. Tak lama
kemudian dia memberi kabar kalau aku diperbolehkan
kembali bekerja.
Setelah berpikir keras, akhirnya aku memutuskan
untuk kabur dari farm pada esok harinya.

Memulai Kembali
Aku menghilangkan rasa malu ketika kembali kerja
malam di resort, headchef menyambut kedatangan dengan
candaan. Aku juga meminta jadwal lagi ke restaurant dan
mencoba mencari pekerjaan lain.
Temanku Didik memutuskan untuk keluar dari
tempat kerjanya di Tenant Creek dan datang ke Darwin.
Banyak sekali pekerjaan yang dia lamar, membuahkan
hasil. Salah satunya, ketika dia melamar pekerjaan sebagai
sushi chef, dia diminta datang wawancara dan membawa
orang Indonesia lainya. Setelah mendengar itu, aku pun
ikut denganya untuk melakukan wawancara. Padahal
sebelumnya aku sudah melamar pekerjaan itu juga.
Manajer yang mewancarai kami adalah orang
Indonesia. Dia menjelaskan bahwa status pekerjaan yang
ditawarkan adalah casual worker, gaji yang diterima $23.6
pada weekdays, $28 pada hari sabtu, $35 pada hari minggu
dan 2 kali lipat saat public holiday. Siapa yang tak tergoda
dengan semua itu? Apalagi pekerjaan ini membuat sushi,
artinya ada skill yang akan kudapat.
Pada 14 desember 2015 merupakan hari pertamaku
menjadi sushi chef. Aku sama sekali tidak memiliki
pengalaman mambuat sushi bahkan tidak pernah makan
sushi sebelumnya. Sushi Izu merupakan sushi bar yang
berada di dalam supermarket Woolworth yang tersebar di
Australia. Sushi bar ini baru meluaskan pasarnya ke NT
pada tahun 2015 dan kebetulan saat itu wet season (sepi
kerjaan) jadi aku beruntung sekali mendapatkan pekerjaan
ini.
Seminggu training aku banyak banget melakukan
kesalahan karena grogi, sampai aku menjatuhkan pisau
dan mata pisaunya menusuk kaki. Setelah pulang ke
rumah aku melihat darah kering dan luka tusukan yang
sedikit dalam. Dalam membuat sushi, pisau tsajam
merupakan hal yang sangat penting, jadi jangan ceroboh
dengan yang namanya pisau. Aku hampir menyerah dan
ingin berhenti. Namun, setelah training usai, aku merasa
lebih baik karena bekerja dengan seorang leader dan 4
pekerja yang semuanya termasuk karyawan baru.
Di sisi lain Didik tidak menerima pekerjaan ini
karena alasan tertentu. Dua minggu kemudian dia
memutuskan untuk pindah ke kota lain, dia juga
memberikan pekerjaan malam sebagai kitchen hand di
Aiport Tavern yang lokasinya tak jauh dari rumahku.
Setiap harinya Airport Tavern membutuhkan seorang
kitchen hand. Ada seorang student yang hanya bisa bekerja
empat hari karena tidak boleh bekerja lebih dari 20 jam.
Kutawarkan diri untuk bekerja pada weekdays dan dia
dapat bekerja pada weekend yang rate gajinya berbeda,
tentu dia senang mendengarnya.
Bagaimana dengan pekerjaanku di resort
sebelumnya? Karena wet season aku menawarkan bekerja
saat weekend dan headchefku setuju karena yang aku lihat
restaurantya hanya rame saat weekend. Aku hanya bisa
berusaha memberikan jalan keluar yang terbaik. Aku
selalu mencoba berpikir bagaimana jika aku berada di
posisi dia. Aku tahu sangat susah mengatur jadwal dan
bekerja di saat sepi pengunjung itu bagiku serba salah.

Bekerja di 3 Hingga 4 Restaurant


Sejak desember aku bekerja di tiga tempat, jika
dihitung dalam seminggu pekerjaan malam sebanyak 20
jam dan di Sushi aku selalu mendapatkan 38 jam kerja,
kadang lebih. Sushi chef adalah pekerjaan utama yang
tidak mau aku lepas. Dua bulan jadwal kerjaku selalu
mulai dari jam lima pagi dan selesai jam dua siang.
Kerja jam lima pagi artinya paling pertama datang
ke toko. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah
mencuci beras dan memasak nasi di dua rice cooker besar.
Selama menunggu aku harus memasak tempura prawn,
chicken katsu, crab, menghitung sushi yang tak terjual dan
membuangnya, mengecek suhu penyimpanan barang,
menyiapkan coaping board, menata sushi ingredient, menata
meja kerjaku, melapisi bamboo math dengan pelastik
wrap, mengatur alat pengecek PH, membuat cairan
sanitaizer dan semua pekerjaan itu harus selesai kurang
lebih satu jam, hasilnya harus kutuliskan di form
perusahaan.
Sejam kemudian pekerja kedua datang dan nasi
matang, lalu dipindahkan ke wadah besar dan dicampur
dengan vinegar (vinegar yang sudah diracik perusahaan).
Akupun harus memasak nasi sebanyak 2 rice cooker lagi.
Tiga puluh menit kemudian aku harus mengecek PH nasi
untuk mengetahui kadar vinegar yang bercampur dengan
nasi apakah sesuai ketentuan atau tidak agar tidak mudah
terkontaminasi bakteri dan hasilnya dituliskan ke dalam
form. Jika tidak dan diketahui orang perusahaan, maka
semua sushi bisa dibuang.
Pekerja kedua sudah mulai membuat sushi dari
brown rice, sedangkan aku mulai membuat menu salad.
Salad itu dinamakan summer roll, bentuknya seperti
spring roll tapi ukuranya lebih besar. Awalnya membuat
summer roll begitu sulit, semakin lama aku semakin tahu
teknik membuatnya agar lebih gampang. Aku
bertanggung jawab terhadap urusan nasi, dua pekerjaan
aku harus lakukan berbarengan. Jika summer roll selesai,
maka aku berpindah membuat sushi.
Selama dua bulan pekerjaanku selalu seperti itu.
Bulan-bulan berikutnya, karena manejerku mendapatkan
laporan kalau kerjaku cepat, maka aku selalu mulai kerja
jam 6 pagi dan khusus membuat sushi. Perusahaan akan
memberikan jadwal jam 5 pagi kalau ada pekerja baru.
Aku harus mentrainingnya, karena aku dinilai mampu
melakukan semua tugas.
Aku tidak mau dibilang bahwa aku lebih baik dari
mereka. Aku justru senang karena dari situ aku dapat
mengerti bahwa semua orang itu punya kapasitas masing-
masing. Aku sudah terbiasa bekerja cepat di rumah dan
aku melakukan yang terbaik untuk diriku sendiri. Secara
tidak langsung, aku pun mendapatkan hasilnya. Manajer
selalu memberikanku jadwal weekend dan public holiday.
Kerja di suhsi bar kadang ribet juga, aku dituntut
untuk memperhatikan kebersihan. Pernah suatu ketika,
aku ke toilet untuk buang air kecil. Ketika selesai dari
toilet, si Top Manajer supermarket keluar dari toilet dan
melihat aku jalan keluar. Beberapa menit kemudian
leaderku menegurku “Arip, lain kali kalau kamu ke toilet itu
setelah melakukan apapun harus cuci tangan.” Aku merasa
malu dengan kejadian itu. Sebenarnya sebelum masuk
area toko, pekerja diwajibkan cuci tangan sebelum
mengerjakan sesuatu, jadi kupikir aku tak perlu cuci
tangan dua kali; di toilet dan di toko. Kejadian ini kadang
menjadi ejekan buat temen lainya.
Bisa dikatakan aku memiliki hari yang
menyenangkan bersama workmate di sushi, bahkan kami
sudah seperti keluarga. Mereka mengatakan aku ini gila,
konyol, lucu dan banyak mengetahui berbagai hal. Jika aku
mengobrol dengan teman dari jepang ya seputaran kartun,
soundtrack kartun, bahkan kami suka bernyanyi lagu
Doraemon ketika membuat sushi. Teman dari korea kaget
karena aku banyak tau tentang korea gara-gara drama.
Teman dari Taiwan malah heran aku bisa tahu beberapa
kata dari bahasa daerah. Sampai saat ini komunikasi kami
masih terjaga dengan baik dan itu merupakan suatu
keberkahan untukku.
Bulan april tiba-tiba bosku di restaurant
mengirimkan pesan melalui whatsapp, dia menanyakan
kapan aku mau balik lagi ke tempatnya. Awalnya aku
jawab kemungkinan tidak bisa, kemudian aku tulis pesan
baru, kalau aku bersedia kerja dua hari dalam seminggu.
Ternyata dia pun setuju dengan hal itu.
Aku kembali bekerja di restaurant, aku merasa
beban kerjaku banyak sekali melebihi sebelumnya.
Apalagi beberapa minggu lagi sudah termasuk dry season.
Dari mulai cleaning besar-besaran, merapikan stok barang
datang, dan disajari pekerjaan-pekerjaan lainya.
Hal yang paling memuakan adalah giliran closing
kitchen, aku harus mencuci piring kotor ditambah dengan
peralatan masak besar-besar dan banyak. Mencuci dan
menata atau mengembalikan barang ke tempatnya. Setelah
itu harus membersihkan mesin cuci piring dan lantai.
Kantong-kantong sampah yang besar dan berat harus
dibuang, lantai yang banyak makanan dan kotoran lain
pun harus dibersihkan, pekerja yang lain sudah pulang,
aku sendiri dalam sepi dan kelelahan.
Tiga bulan aku bekerja tanpa day off, terkadang aku
mengeluh tapi aku pun sayang melepasnya. Aku berusaha
menyemangati diri dengan mengatakan “ah, ini cuma
beberapa bulan sebelum pulang. Aku harus kuat!” bisa
dikatakan aku sudah mencapai titik kebosanan dalam
bekerja. Seringkali aku meminta pulang lebih awal atau
ngedumel ketika bekerja. Rasanya sudah malas memegang
air lagi.
Aku sering merasakan tangan merekah akibat
banyak main air di sink yang bentuknya sudah seperti
kuah soto lemak, mendapati luka-luka kecil di tangan
seperti luka gores dan luka irisan pisau sudah biasa.
Terkadang disela-sela kuku terasa sakit ngilu kemudian
mengeluarkan nanah, rasanya gatal dan sakit. Setiap hari
menyentuh air dan menata peralatan yang masih panas
(60-90 dersajat) sehingga tanganku pun menjadi kebal.
Setelah enam bulan aku kerja di sushi, aku
memohon untuk bekerja sampai visa berakhir yaitu
sampai satu setengah bulan berikutnya (14 Desember 2015
– 30 Juli 2016). Aku tidak mau kerja full seminggu sebagai
tukang cuci piring lagi. Aku memohon dan akhirnya
karena manajernya orang Indonesia, aku pun
diperbolehkan bekerja sampai akhir July.
Bulan juli pula aku diliputi kebingungan, restaurant
ingin memberikan sponsor. Bosku membuatkan janji agar
aku bisa mengobrol dengan pengacaranya. Bosku kecewa
dan marah karena aku gampang sekali berubah pikiran,
hari ini iya, lima menit kemudian bisa tidak. Seminggu
sebelum pulang aku menemuinya, bagaimanapun dia
sangat menginspirasiku. Aku ingin menjalin hubungan
yang baik, siapa tahu jika aku nanti kembali untuk sekolah,
aku bisa mendapatkan pekerjaan darinya.
Social Life
Kehidupan WHV di Darwin salah jika dikatakan
tidak menikmati hidup karena kebanyakan untuk bekerja.
Semakin lama banyak anak-anak yang mendapatkan
WHV memilih Darwin. Ada 7 orang tinggal satu kosan,
jadi rame banget. Kita sering undang teman-teman lainya.
Masak, makan, hang out, dan tertawa terbahak-bahak
sampai jadi pusat perhatian orang lain rutin dilakukan. Di
Darwin juga aku pergi ke clubbing beberapa kali untuk
mengetahui bagaimana kehidupan malam. Jika
berkumpul dengan anak WHV obrolanya kerjaan terus;
berapa jam kerja, sharing kerjaan, persoalan di tempat
kerja atau drama-drama di tempat kerja yang kadang lebih
menarik dari sinetron India. Ketika ada kesempatan untuk
berlibur, kami sering pergi ke Litchfield National Park dan
Berry Spring atau nongkrong di Casuarina Shoping
Centre.
Aku salut sama teman dan diriku sendiri, kerja 8
jam lebih masih bisa hangout gila-gilaan. Pernah aku
pulang clubbing jam 2 pagi, sedangkan jam 4.30 pagi aku
harus berangkat kerja hingga jam 2 siang. Sorenya jam 6
aku harus bekerja lagi hingga jam 10.

Advice
Selama kita mampu berbuat yang terbaik, lakukan!
Jangan merasa rugi, karena jika hari ini kamu tidak dibayar
untuk itu, banyak cara Tuhan melebihkan rezekimu
dengan cara yang lain. Bekerja dengan baik, menciptakan
nilai dirimu dan petik hasilnya kemudian.
Jangan berpikir mereka memanfaatkan atau
mengeksploitasi tenagamu, selama tugas itu membuatmu
belajar hal baru, lakukan! Karena bos ataupun rekan kerja
akan senang mengsajarimu skil lainya.
Bermimpilah yang mulia dan berdoa. Percaya
bahwa Tuhan akan mengarahkan jalan untuk meraihnya.
Segala rintangan dan kejadian membuat kita menemukan
impian itu. Jangan berkecil hati terhadap kejadian-
kejadian yang tidak enak, bisa jadi kamu tidak berjodoh
pada sesuatu hal atau waktu belum berpihak kepadamu.
Kejadian itu hanya menunda kamu agar kamu bisa
menemukan hal yang tepat di kemudian.
Sebisa mungkin jauhkan sikap iri hati, jika kamu
tidak mendapatkan seperti yang orang lain dapatkan pada
kesempatan ini. Kamu bisa mendapatkanya pada
kesempatan yang lain. Berusaha terus mengembangkan
potensi diri.
DIDIK SYAMSUDIN

Perkenalkan nama saya Didik Syamsuddin.


Sebelumnya saya adalah guru tetap yayasan di madrasah
ibtidaiyah. Jadwal mengsajar hanya empat hari dalam
seminggu dan mengsajar dari jam 7 sampai 12 siang,
perdatang Rp. 10.000. Jadi seminggu pendapatan saya dari
mengsajar adalah 40 ribu. Biaya bensin motor seminggu
lebih dari Rp. 50.000. hehe. Tapi alhmdulillah saya
menikmati pekerjaan tersebut karena bagi saya mengsajar
adalah kewajiban bagi orang yang berilmu. meskipun saya
hanya berilmu sedikit sekali, saya tergerak untuk
mengsajar dan tidak melihat berapa banyak uang yang
saya dapat. Selain mengsajar saya juga seorang petani dan
peternak, kesibukannya sama seperti sebagian besar
masyarakat desa yaitu mengurus sawah, sapi dan lain-lain.
Hidup sederhana dan tenang di lingkungan desa. Tapi.
Semua berubah semenjak monster luar angkasa menguasai
desa. Dan ultraman tidak sanggup mengusirnya.
Hahaha..
Takdir membawa saya untuk berpetualang di
Australia. Pertamanya saya hanya ingin backpackeran
keliling Indonesia. Menjelsajahi indahnya alam Indonesia
dengan tanpa modal. Untuk biaya hidup, saya pikir bisa
didapat dengan bekerja apa ssaja asal halal di tempat yang
saya singgahi di Indonesia. Manusia sudah terlahir dengan
garis nasib dan rezekinya masing-masing. Ayam ssaja
tidak berpendidikan tapi masih bisa hidup setiap hari
tidak pernah merasa kelaparan, apalagi saya yang sudah
memakan bangku sekolah dasar sampai sarjana, masak
harus takut kelaparan karena tidak medapatkan rezeki.
Saya suka jalan-jalan ke tempat baru yang belum
pernah disinggahi, dan keinginan ini semakin kuat setelah
saya menghadapi masalah rumah tangga yang rumit dan
berakhir dengan perceraian. Sebelum hasil sidang
perceraian diputuskan, keinginan saya semakin kuat
untuk mbambong (berkelana) dengan mantan istri yang
waktu itu masih berstatus istri. Terlalu rumit dan mbulet.
Bangun tidur pagi hari itu sudah beda dengan hari-hari
sebelumnya karena saya sudah berstatus cerai. Takdir
berkata lain. Apa boleh buat, manusia hanya berkewajiban
berusaha dan Tuhan yang berhak menentukan. Singkat
cerita pas saya baca-baca di internet tentang jalan-jalan
keliling Indonesia sambil bekerja, saya masuk ke sebuah
artikel yang berisi tentang jalan-jalan sambil bekerja di
Australia yang ditulis oleh Pratiwi Hamdana. Cling! Otak
saya mulai berpikir lebih keras, ini nih yang saya cari.
Jalan-jalan sambil bekerja di Australia. Informasi yang
lebih top markotop dari apa yang saya harapkan
sebelumnya yang hanya jalan-jalan di Indonesia. Waktu
kuliah saya memang bercita-cita kuliah di Australia. WHV
ini beda dengan beasiswa kuliah, kita tidak harus ribet-
ribet ‘belajar.' Sayang dilewatkan, ibarat sayur tanpa
garam. Hidup kalian terasa hambar tanpa merasakan
sensasi WHV-an di Australia dimana kesempatan ini
hanya bisa kalian peroleh sekali seumur hidup.
Saya berangkat ke Australia hanya bermodal $AUD
1000. Bisa dibilang pas-pasan. Kos-an saja minimum $AUD
100 seminggu. Namun waktu menginjakkan kaki di
darwin saya langsung cari kerja, apa saja asal halal dan
bisa menutupi biaya hidup di Darwin. Pekerjaan pertama
saya adalah cleaner di gym. Setelah dua kali bekerja atau
tepatnya setelah seminggu di Darwin, saya mendapatkan
pekerjaan dan harus pindah ke Tennant Creek. Remote
area yang berjarak sekitar seribu kilometer dari Darwin.
Saya bekerja sebagai allrounder di outback caravan park.
Allrounder itu kerjanya menjaga caravan park, apa ssaja
yang terjadi di caravan park itu menjadi tanggung jawab
saya. Apapun yang bos suruh, saya harus lakukan meski
kadang kerjanya bukan di caravan park. Kebetulan
yang punya caravan park bisnisnya banyak, si suami
punya perusahaan kontraktor membuat beton dan
perpagaran di NT dan si istri yg punya airport mini di kota
ini.
Dua bulan berlalu dan saya dapat tawaran jadi
tukang jagal sapi di perusahaan daging halal Queensland.
Tiket pesawat dan lain-lain ditanggung agen penyalur
kerja, asik dong pikirku. Berhentilah aku dari caravan park
dan pindah ke Darwin untuk mendapatkan berkas yang
harus saya bawa ke Charleville, Queensland. Sebulan di
Darwin saya mengikuti serangkaian jadwal dan proses
pemeriksaan dokter, menguras tenaga dan biaya yang juga
tidak sedikit. Sebulan tanpa pemasukan dan hanya
pengeluaran di Australia, bisa dibilang tekor. Saya pun
berangkat ke Queensland. Tiket pesawat dan biaya
mendapatkan berkasnyapun diganti oleh si agen penyalur
tenaga kerja, sekitar $AUD 1000.
Ketika tiba di Charleville, Queensland di rumah
temannya si agen tadi, dia bilang kalau saya belum bisa
kerja, harus menunggu sertifikat dari dokter dan
meskipun bisa kerja itupun hanya seminggu karena segala
aktiftas perusahaan akan diliburkan selama sebulan
dalam rangka natal dan tahun baru. Duaaarrr....
Hancur hatiku berkeping-keping, jadi artinya saya harus
menunggu bulan berikutnya untuk bekerja. Sedangkan
uang saya sudah running out. Lowongan pekerjaan di
sinipun sulit karena remote area, dimana penduduknya
sama sedikitnya dengan penduduk di Tenant Creek. Ya
sudahlah, mungkin bukan rezeki.
Dengan penuh drama akhirnya saya kembali ke
Darwin menggunakan uang sendiri. Kenapa
saya bilang penuh drama, karena di saat itu saya tidak
punya apa-apa. kerjaan gak ada, uang juga tidak ada.
Sedangkan saya ada di kota kecil antah berantah.
Tapi Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan menolong
saya melalui tante Rika dan Arip yg meminjamkan uang
untuk tiket pesawat dan lain-lain. Sekembalinya dari
Quenslands, di Darwin saya mendapatkan pekerjaan
sebagai kitchen hand di Airport Tavern. Pemasukan
mingguan saya anggap kurang karena jamnya sedikit dan
saya kesulitan mencari second job di bulan desember.
Akhirnya saya putuskan mencoba bekerja farming di
Katherine.
Drama kedua setelah halal meat company dimulai.
Kerja di farm NT pada bulan desember panas banget, dan
kerja di farm itu benar-benar di porsir kerja kita tiap
detiknya. Di hari pertama kerja saya sudah separuh mati,
berat banget jenderal. Bener kata temenku, farm itu kerjaan
nomer sekian jika sudah tidak menumukan pekerjaan lain
lagi. Penyesalan pun datang karena waktu itu saya sudah
ada penghasilan mingguan dari restoran, karena merasa
kurang sayapun mencoba peruntungan di farm ini
yang menjanjikan jam banyak. Bener jam kerjanya banyak,
tapi saya tidak kuat berpanas-panasan sambil bekerja
rodi. Gajinya pun lebih kecil dari kerjaan saya yang
sebelum-belumnya. Hanya karena jam kerjanya banyak
saya mau kerja di sini. Malam harinya setelah
hari pertama kerja saya telpon Arip (my guardian angel).
Curhat ngalor-ngidul dan saya bilang gak ada uang dan
terpaksa kerja gini, mau berhenti kerja tapi baru sehari. Ya
sudah, saya ikuti ssaja apa yang takdir kehendaki.
Besoknya sepulang kerja, bos bilang kalo saya suruh
siap-siap mau dipulangkan ke Darwin. Artinya saya
dipecat. Inilah pemecatan yang mengbahagiakan. Doa
saya terkabulkan. Saya tidak ingin lagi kerja rodi ginian,
cukuplah dua hari kerja farming meski tanpa gaji.
Bersyukur kepada ALLAH SWT karena saya telah
dikeluarkan dari tempat yg terkutuk itu (lebay. hahaha)...
Saya pun tiba di Darwin lagi, dan saya pulang ke
Indonesia untuk istirahat dari dua hari perang di farm
yang sangat tidak enak sekali. Rasanya seperti dua hari di
neraka. “Ya ALLAH SWT .. hamba tidak sanggup berada di
nerakanya dunia ini, apalagi di neraka yang sesungguhnya di
akhirat kelak. Tapii hamba juga tidak pantas berada di surga-mu.
Oleh karena itu pantaskan hamba berada di surga. amin...”
Setelah dua bulan di Indonesia. Saya kembali ke
Sydney, Australia. Konon kabarnya banyak kerjaan di
sana. Bener apa yg konon dikatakan. Kerjaan di Sydney
banyak, tapi gaji perjamnya bikin ngelus dada. Sudah biasa
dapat di atas 20$/jam, di Sydney hanya 17.26$/jam.
Itupun sudah lumayan dari pada temen-teman lain yg
kerja dibayar 10-14$/jam. Setidaknya lumayan lah dari
pada kerja di farm.
Seminggu di Sydney, Jane yaitu bos saya yang
memiliki caravan park atau tempat saya bekerja
sebelumnya menelpon, kala dia lagi butuh org. tanpa
banyak bicara saya mengajukan diri bagaimana jika saya
saja kembali bekerja di sana. Diapun mngatakan iya dan
meminta saya datang secepatnya jika ingin bekerja
kembali. Empat bulan saya tinggalkan dan awal maret
2016 saya kembali bekerja di Tenant Creek sampai visaku
berakhir. Gaji 23$/jam, free akomodasi/transportasi dan
jam panjang. alhmadulillah banyak dolar yg sy dapat di
sini.
Saya tidak pernah secara sengsaja berlibur di
Australia, karena saya ingin fokus mencari uang. Tapi
alhamdulillah karena drama yang terjadi saya jadi tahu
Katherine, Charleville, Brisbane dan Sydney.
Buat calon WHV, tidak usah khawatir berapa
banyak bekal ke Australia, tapi perbanyaklah bekal doa
tulus orang tuamu.
ZAM ZAM SUGIRA - MAKASSAR

Ujian sejarah akan mulai sebentar lagi, pagi itu


sudah aku siapkan sebaik-baiknya. Beruntung Tuhan
beriku bekal ingatan kuat, hampir tiap baris kuingat
semuanya. Sambil melewati kebun dan sawah warga, aku
menuju sekolah. Saat itu aku duduk di SMP kelas 2, aku
tinggal di desa kecil, tiap hari harus berjalan kaki menuju
sekolah, tidak jauh hanya 30 menit. Banyak yang
membahagiakan hati tinggal di desa, namun jika aku ingat
lagi, hal-hal baru yang bisa aku dapatkan atau pelsajari jika
aku tinggal di kota mungkin akan lebih banyak dan akan
lebih cepat kuketahui.
Aku merasa beruntung punya kesempatan dalam
hidup dilahirkan di desa, kalau tidak, mungkin ssaja aku
tak mampu memiliki mimpi yang tinggi seperti sekarang.
Keterbatasan keadaan yang pernah kutemui adalah
pemicu besar untuk membuat dan merilis mimpi-mimpi
yang kupunya. Lahir dari keluarga yang sederhana
membuatku harus sedikit bersabar dengan yang namanya
bersenang-senang. Orang tua tidak punya agenda tahunan
untuk liburan, hidupku tak se-fun itu.
Dari kecil aku ingin sekali naik pesawat. Aku sangat
pandai berimajinasi sambil memikirkan hal-hal yang ingin
kulakukan di kemudian hari. Beranjak besar, kuliah
hingga kerja, ternyata Tuhan belum mau mengabulkan
mimpiku untuk berkendara dengan pesawat, padahal aku
akan senang walau hanya 45 menit ssaja. Makassar adalah
kota dimana kuhabiskan banyak waktu, bekerja,
komunitas, bergaul, pacaran, ini dan itu. Aku sangat sibuk
dengan rutinitas. Pagi hingga malam. Mencari uang
hingga lupa jalan-jalan.
Semesta bagiku adalah kawan abstrak yang begitu
dekat. Jangan sebut aku gila jika sempat kau lihat aku
bicara sendiri. Mungkin aku sedang curhat dengan
semesta. Dia adalah pendengar yang baik dan juga
penyemangat. Dan mungkin dukungan semesta
sebenarnya adalah aku sendiri dari alam bawah sadar.
Mengetahui program Working Holiday Visa di
Australia di tahun 2013, oleh postingan rekan di social
media. Segera ku japri temanku itu. Bertanya ini dan itu,
hingga aku memulai mencari-cari beberapa artikel di
internet. Ternyata masih banyak hal yang perlu
dilengkapi, salah satu yang terberat adalah bukti
kepemilikan dana sebesar AUD 5000 untuk proses
pembuatan visa. Aku ingin, semua proses adalah hasil
usahaku sendiri. Setelah menghitung-menghitung uang
tabungan yang bisa kupunya dari gaji bulanan kala itu.
Akhirnya target yang kutentukan adalah bisa berangkat ke
Australia di tahun 2017,
Namun Tuhan dan semesta ingin aku merilis mimpi
ini lebih awal, di agustus 2015 akhirnya aku memegang
Visa bekerja dan berlibur. Ibu membantu untuk kebutuhan
dana yang diperlukan, hanya curhat ssaja dengan ibu saat
itu dan beliau dengan cepatnya mendukung dan
membantu kekurangan biaya.
Pertama kali merasakan naik pesawat yaitu saat ke
Jakarta untuk kebutuhan interview visa, well this is the fact..
it sounds so udik, Kadang aku merasa poor untuk hal ini tapi
aku punya kesyukuran yang besar dari apa yang telah aku
punya. Aku sudah punya alasan kuat untuk bisa resign dari
tempat kerja yang setelah dua kali pengajuan
pengunduran diri sebelumnya ditolak oleh atasan.
Kutetapkan berangkat di tanggal tiga November 2015
setelah usai bergabung di sebuah event literasi di Ubud,
Bali. Aku habiskan waktu seminggu di Ubud, dan kusebut
itu adalah bukan transit biasa.
Kota pertama yang aku tempati dalam perjalanan
ini adalah Perth, Australia Barat. Aku yang bukan traveler
hanya modal berani, bahasa Inggris seadanya, beberapa
dollar uang dan juga teman yang sudah siaga di bandara
menjemput, Umroh Rani namanya, kami memegang jenis
visa yang sama. Ia juga telah membantu mencarikan kamar
kost, kebetulan yang punya kontrakan juga dari Indonesia.
Letaknya sedikit jauh dari Perth CBD namun lokasinya
juga bagus untuk mencari kerja.
Perfeksionis adalah sifat yang aku bawa sejak dulu,
semuanya harus tampil diatas standar, mengerjakan
sesuatu penuh totalitas, memukau dan melakukan apapun
harus sempurna. Selain perfeksionis, aku juga mudah
merasa anxious, worry too much yang bikin aku gampang
sakit kepala. Karena melihat uang yang aku punya
perlahan keluar untuk kebutuhan makan dan kontrakan
sedangkan sampai hari kelima pun aku belum temukan
sebuah sinyal tempat kerja perdana. Khawatir dengan
kehidupan aku selanjutnya di negeri orang seperti apa,
hidup sudah sehemat mungkin, makan pagi siang malam
hampir sama, nasi dan abon yang kubawa dari Indonesia
seberat 2 kg. Berjalan dari ujung ke ujung Victoria Park
menyebar CV dari toko, café, resto dan segala macam. Hari
ke tujuh pun aku bertolak ke daerah Northbridge untuk
menyebar CV. Northbridge bisa dikatakan sekumpulan
orang Asia ada di sana, restaurant Chinese, Thailand, dan
Indonesia ada di sana. Dan akhirnya aku bertemu dengan
Manise Café, café yang menyuguhkan aneka minuman
dingin dan juga makanan ala Indonesia Timur. Aku
disambut hangat oleh Ci Susi dan juga Ko Ben, tepat hari
itu aku di minta untuk datang besok hari untuk mulai
kerja.
Aku bekerja di bagian belakang, keterbatasan
bahasa buatku belum percaya diri untuk berbicara dengan
customer yang datang. Akhirnya kumemilih menjadi
kitchen staff, mencuci piring dan juga bantu Ko Ben masak.
Lumayan kerja di tempat itu, setiap pulang bisa bawa satu
menu makanan. Tubuh yang biasanya kerja kantoran
kemudian langsung nyebur ke kerjaan yang lebih
mengandalkan otot, badan serasa remuk tiap saat setiba
rumah. Walau sudah bekerja di Café itu, aku pun tidak
berhenti mencari pekerjaan yang lebih baik di situs
www.gumtree.com.au, sebuah one stop website yang punya
banyak pilihan, salah satunya bisa untuk mencari kerja di
Australia.
Tak jarang adegan drama menghiasi hidup di awal-
awal perjalananku ini. Pertanyaan batin “kenapa gue
ngelakuin ini?” selalu muncul, kadang juga bingung
kenapa aku mau memilih hidup seperti ini, setelah itu
menertawakan diri sendiri.
Niat utama ke Australia dengan Visa Bekerja dan
Berlibur adalah aku ingin mencari uang,
mengumpulkannya dan kembali ke Indonesia untuk
membuka sebuah bisnis kecil-kecilan, sudah malas
menjadi karyawan di Indonesia. Hidup serasa habis di
kantor, penghasilan kecil, dan waktu berkualitas bersama
orang terdekat sangat minim.
Di hari ke-tujuh aku bekerja di Manise café,
membuat aku drop. Tiba-tiba vertigo muncul dan tidak bisa
berjalan seimbang, kepala pusing dan akhirnya
memutuskan untuk tidak ke tempat kerja. Pagi itu aku
memilih istirahat, dan tak lama kemudian telepon
berbunyi dari nomor yang tidak dikenali, ternyata itu
adalah panggilan kerja dari pemilik hotel di Margaret
River, WA sebuah kota kecil bagian selatan yang berjarak
270 km dari Perth. Tempat ini adalah surga bagi para
peselancar.
Si owner inginku berangkat besok dan akan
dijemput setiba di sana. Dibantu oleh kawan membeli tiket
di stasiun akupun berangkat esokan harinya, pekerjaan di
Manise Café aku tinggalkan begitu ssaja dengan mengirim
pesan singkat untuk ci Susi, sangat tidak sopan memang,
namun seperti ini yang harus kupilih untuk
keberlangsungan hidup. Selama kurang lebih lima jam
dalam bus sore itu, was-was setiba di Margaret River, tidak
ada kenalan, namun sang owner, Justin ternyata menepati
janji menjemputku di halte. Perkenalan singkat, aku
dibawanya melihat hotel dan diantar menuju hostel
terdekat. Aku akan bekerja di dua posisi, sebagai kitchen
hand dan juga housekeeper.
Saat itu aku masih vertigo, Margaret River juga
begitu dingin. Sebuah sambutan yang cukup dramatis.
Training kerja yang padat sambil menahan rasa pusing
adalah tekanan yang besar buatku saat itu, mulai kerja
pukul 06.30 dan berakhir pukul 23.00 dengan jeda tiga jam
istirahat diantaranya. Sambil bekerja, aku juga terus
mengonsumsi buah-buahan agar vertigoku cepat
menghilang. Ada satu momen yang masih sangat dalam
sampai sekarang, mungkin akan aku kenang selamanya.
Sepulang kerja aku jalan menuju hostel, dihampiri angin
sepoi dingin Margaret River, sekiranya 10 dersajat. Badan
sudah sangat capai tak tertahan, remuk dari atas sampai
bawah, apalagi vertigo yang belum hilang. Sudah tidak
bisa terbendung sedihnya, akupun menangis diatas kasur,
meratap begitu dramatis sambil membatin “gue ngapain sih
disini?!”.
Hotel ini adalah hotel bintang empat, dapurnya luas
seperti dua kali lapangan bulu tangkis sepertinya. Aku
bekerja menggunakan commercial dishwasher, piring-piring
kotor terlebih dahulu dibilas dengan air panas, belum lagi
entrée menu adalah tanggung jawabku. Multitasking dan
energy banyak adalah kuncinya. Buatku, pekerjaan kitchen
hand lebih berat dibandingkan dengan membersihkan
kamar hotel, paling tidak tekanan yang didapatkan tidak
sebesar jika bekerja dibawah pengawasan head chef yang
begitu teliti. Belum lagi jika shift malam aku harus
mengepel lantai dengan tiga kali bilasan air panas.
Selain fokus dengan mempelsajari semua hal
dengan pekerjaan baru, aku juga harus menemukan
rumah kontrakan secepatnya, tinggal di hostel lumayan
mahal, aku harus mengeluarkan AUD 29 per malam.
Akhirnya aku menemukan rumah kontrakan berjarak
tujuh menit dari tempat kerja. Martina adalah pemilik
rumah, dia pernah tinggal lama di Sumbawa dan pernah
berpacaran dengan orang Sumbawa ketika Ia masih muda.
Dia adalah land lord yang baik hati namun lumayan
cerewet mengenai kebersihan apalagi masalah
environment.
Aku tinggal sekamar dengan Chacha, visa kami
juga sama. Dia dari Bali dan bisa dikatakan dia sudah
seperti saudara sendiri. Ada banyak traveller keluar dan
masuk selama aku tinggal di sana tiga bulan, ada tiga
sekawan dari Jerman yang tinggal bersama kami beberapa
minggu. Martin si cowok cuek dari Denmark, dia kerja di
pabrik susu. Ada kenangan manis juga sama dia, pernah
disajak ke pantai pas di hari valentine kemudian tiba-tiba
dibawa kabur ke Cape Leeuwin, Augusta yang berjarak
kurang lebih 51km dari Margaret River. Namun hubungan
yang kami bangun hanya sampai sebatas saudara ssaja,
bukan hanya itu, Ia pernah mengsajakku ke dairy farm
tempatnya bekerja pada pukul lima pagi, merasakan
memerah susu sapi, memberi vaksin, dan juga minum
susu sapi langsung untuk pertama kalinya. Lelah juga,
namun cukup berkesan. Bukan hanya Martin yang ada di
rumah itu, ada Valerio dari Italy, dia chef handal dan
paling sering aku tagih masakan Italia. Ia bersama Chacha
pernah memberi dinner romantis di hari ulang tahunku
yang ke-26, saat itu Bang Martin sepertinya sudah tertidur.
Sayang yah
Banyak hal yang terjadi di Margaret River, beberapa
traveller yang aku temui, pernah ber-argue dengan Martina
si pemilik kamar kontrakan yang akhirnya aku dan
Chacha juga harus pindah dan tidak mengambil uang
bond total AUD 500. Namun kami ikhlaskan ssaja.
Di bulan Februari 2016, kerjaan di hotel sangat sepi,
kadang hanya kerja dua jam sehari, seperti menghabiskan
waktu ssaja, akhirnya aku memutuskan untuk pindah ke
daerah lain. Kuundang Audrey dan Jennifer untuk makan
malam di kontrakan baru dan bercengkrama sebelum aku
bertolak ke Perth, sebagai perpisahan kecil-kecilan.
Audrey dari Prancis dan Jennifer dari Italy, mereka adalah
rekan kerja di hotel. Kami bercengkrama panjang hingga
larut malam, Audrey mengabarkan jika lusa ia dan
kekasihnya akan berangkat roadtrip ke daerah selatan
Australia Barat selama sepekan, kebetulan masih ada space
untuk satu orang di dalam mobil. Ia mengsajakku sebelum
pindah ke Perth, akhirnya aku dengan senang hati
berangkat bersama.
Chacha saat itu lumayan khawatir dengan
keberangkatanku untuk roadtrip sepekan, belum lagi
Audrey adalah orang yang belum lama ini kukenal,
kekasihnya pun aku belum pernah bertemu. Namun aku
yakin semua akan baik-baik ssaja. Audrey menyiapkan
segalanya, mulai dari tenda kecil untukku tidur, selimut,
kulkas kecil, kompor, hammock, kursi, dan beberapa
peralatan camping lainnya, pokoknya aku hanya bawa diri
dan perentilan kecil.
Perhentian pertama yaitu di Gloucester National
Park, Pamberton. Ada tiga pohon Karri raksasa yang bisa
kami panjati hingga ke atas. Tangganya terbuat dari
tongkat bsaja yang ditancapkan ke dalam pohon,
disekelilingnya dipasang besi kawat untuk menahan
badan, namun ini bukan garansi bahwa kita akan baik-baik
ssaja jika memanjat. Audrey dan kekasihnya yang
memang sudah terbiasa dengan hal-hal beradrenalin,
tampak Audrey melaju ke atas dengan cepat kemudian
turun lagi, memberiku support agar yakin bisa sampai ke
atas, akhirnya aku memulai pijakan pertama, menghitung
satu per satu anak tangga namun sampai diatas sudah tak
tau ada berapa anak tangga yang terlewati. Di atas ada
rumah singgah untuk melihat-lihat, disitu kami
menyempatkan makan dari bekal sepagi tadi yang dibuat
sebelum berangkat. Pohon yang kami naiki ada dua yaitu
Gloucester tree dan Bicentennial tree karena yang satunya
sangat licin terkena air hujan. Konon tiga pohon ini adalah
yang tertinggi di jejerannya, di tahun 1947 digunakan
untuk melihat dan memantau kondisi jika terjadi
kebakaran hutan.
Jelang malam hari, Oliver, kekasih Audrey
berusaha mencari-cari tempat gratis untuk parkir dan
membangun tenda. Kami menghindari menyetir di malam
hari, sangat berbahaya. Kanguru berkembang liar di
Australia, mereka menyebrangi jalan tiba-tiba. Badan
mereka penuh otot, ekornya ssaja bisa mereka gunakan
untuk berdiri, jika tertabrak, mobil bisa masuk ke dalam,
penyok bertubi-tubi dan kadang kanguru masih ssaja
hidup. Setelah mengikuti petunjuk peta, akhirnya kami
menemukan lokasi gratis untuk makan malam dan tidur
hingga esok pagi. Australia begitu ketat, banyak papan
dipasang untuk tidak memarkir mobil sembarangan
sepanjang malam, karena juga disediakan tempat murah
berbayar namun traveler juga kadang berfikir untuk
mengeluarkan uang bahkan jika hanya $10 ssaja.
Tidak jarang kami melanggar aturan, kami sempat
tidur sepanjang malam diatas mobil di bawah bulan
dengan mata terbuka sebelah, memantau jika ada ranger
yang datang untuk memberi tilang. Ranger adalah mereka
yang melakukan pengawasan di kawasan tertentu. Mereka
kadang melakukan patroli, kalau sedang tidak beruntung,
pasti akan kedapatan dan kena denda.
Perjalanan dilanjutkan melewati Walpole,
Denmark, Albany, semuanya adalah pemandangan
pantai. Cuaca kurang mendukung, mendung dan dingin.
Di antara Denmark dan Albany kami beristirahat
semalaman, tiba-tiba aku datang bulan berbeda dengan
prediksiku, saat itu kami berada di tengah hutan, jarak ke
kota selanjutnya lumayan jauh tak mungkin aku kesana
merepotkan Oliver, khawatir akan tembus kemana-mana
terpaksa kain scarf kulipat-lipat sebagai pertolongan
pertama pengganti pembalut. Aku sebenarnya agak malu
menceritakan ini namun juga bisa jadi pembelajaran bagi
perempuan traveler untuk “bawa terus pembalutmu
kapanpun! Di manapun!”.
Setelah beberapa hari disuguhi pemandangan
pantai, kami membatalkan rencana menuju Esperance
dimana Pink Lake berada, kami bertolak menuju utara ke
kawasan Stirling Range National Park. Jejeran gunung di
depan mata, sudah cukup lama tidak melihat gunung
selama di Australia. Kami melakukan pendakian pertama
di Talyuberlup Peak, tidak begitu tinggi, bagi yang biasa
mendaki bisa berlari sampai ke atas. Pemandangannya
lumayan indah namun menurutku gunung di Indonesia
masih lebih indah.
Setelah turun, kami menuju ke bawah untuk
memasang tenda, kami harus membayar $10 untuk satu
malam, dengan fasilitas toilet umum dan juga bisa
memasak. Audrey memasang dua hammock, setelah disajar
Oliver akhirnya aku juga bisa membuat tendaku sendiri.
Ternyata Oliver masih ingin melanjutkan perjalanannya
untuk mendaki gunung selanjutnya, aku dan Audrey
kehabisan tenaga untuk melakukan pendakian lagi.
Audrey adalah perempuan lincah, tenaganya
seperti selalu ada, Ia pun tampak memiliki prinsip yang
kuat dalam dirinya, namun ternyata dia juga begitu
lembut, sore itu Ia mempersilahkanku duduk di dalam
hammock, memberiku bantal dan selimut sambil berkata
“you are my little baby sister”, aku terharu.
Malam demi malam kami lalui, perjalanan ini juga
memberikan rasa yang dalam, memaknai orang-orang
baru yang kukenal, berjalan bersama dan bergembira. Aku
belajar untuk mengurangi rasa khawatir di esok hari.
Bahwasanya akan baik-baik ssaja jika kita terus melakukan
yang terbaik.
Selain kesehatan, hal yang perlu dijaga saat roadtrip
adalah mood, sebenarnya aku juga selalu berperang dengan
yang satu ini, memiliki karakter ekstrovert dan introvert
dalam jiwa yang sama kadang memberi rasa yang kurang
menyenangkan hati. Perjalanan berhari-hari dan tidak
sendiri itu menuntut agar mood kita selalu di tempat yang
wsajar. Karena jika tidak, tentu akan mengganggu partner
travelling. Memutuskan untuk mengikuti sebuah rute
perjalanan dan bersama dengan orang lain, kita harus
menurunkan ego. Boleh jika kita ingin berpencar namun
tentu waktu berpencar juga pasti ditentukan agar tidak
membuang waktu lama untuk menunggu satu sama lain.
Tempat favorit yang paling menyenangkan di
perjalan ini adalah di Castle Rock, sebuah tumpukan batu
di atas gunung dengan pemandangan perkebunan
dibagian bawah, angin kencang serasa ingin
menerbangkan kita membuat degup jantung mengencang.
Sebelum menuju Castle Rock kami mampir semalam di
daerah Hyden, untuk melihat Wave Rock. Wave Rock
adalah sebuah batuan besar semirip ombak laut dengan
tinggi sekitar 15 meter dan panjang 110 meter, ini adalah
bagian dari Hyden Wildlife Park.
Wave Rock adalah destinasi terakhir kami dan
kemudian menuju kembali ke Margaret River, sebuah
memori yang sangat manis bersama Audrey dan Oliver,
aku tidak pernah merasa seperti obat nyamuk di tengah
pasangan ini, Audrey sangat bisa menetralkan keadaan
dan membuatku nyaman selama diperjalan.
Mereka mengantarku ke rumah kontrakan, Audrey
memeluk erat diriku seperti tidak bisa bertemu lagi. Yah,
itu adalah pertemuan terakhirku dengan Audrey sebelum
ke Perth mencari perjalanan baru. Audrey mencium
pipiku berkali-kali,
“Can I kiss you again?” begitu permintaannya. Dan
aku mengangguk berkaca-kaca.
Audrey mendekapku erat dan ada rasa yang begitu
besar. Mereka sangat pandai menikmati ke-lebay-an.
Sementara aku dan beberapa temanku berusaha
menghindari momen lebay sehingga sudah sukar
merasakan hal-hal seperti ini. Lebay yang kumaksud
adalah ekspresi yang muncul untuk mengapresiasi
momen-momen tertentu. Lebay dianggap hal yang tidak
baik sehingga orang yang sebenarnya ingin berekspresi
namun tertahan karena tidak ingin mendapat
penghakiman dari sekitar.
Kami bertiga berharap bisa bertemu kembali di
Eropa, namun aku butuh beberapa tahun lagi untuk bisa
kesana. We will see what will happen.
Setelah meninggalkan Margaret River,
meninggalkan Chacha, yang sangat doyan membuatkan
breakfast sehat, segelas smoothie dan seledri yang di cocol ke
dalam nutella, dan juga keluarga baru di Margaret River
yang aku di pertemukan dengan mereka di sana, selalu
merindukan undangan makan-makan gratis di sore hari.
Saat itu aku menumpang di mobil Mbak Ayu
menuju Perth, aku diberi tumpangan gratis dan juga
mampir lunch di Mandurah. Bagi traveler seperti aku, hal
yang didapatkan cuma-cuma adalah pertolongan Tuhan
yang begitu besar. Femi telah menyiapkan kamar baru
untukku selama dua minggu di Perth, Femi adalah salah
satu anak WHV yang sempat mampir di Margaret River
beberapa bulan lalu dan kami berencana bersama-sama
traveling ke utara Australia.
Setelah seminggu mencari tumpangan di situs
www.gumtree.com.au dan beberapa grup traveller di
facebook akhirnya kami mendapatkan sebuah travel bus
namanya Why Not Bus, sebuah bisnis kecil-kecilan anak
muda Australia yang cukup menyenangkan, dikelola oleh
Oliver dan Leo. Leo bertugas sebagai driver dan juga yang
mengelola semua perjalan, sedangkan Oliver untuk sesi
dokumentasinya. Kebetulan arah yang kami inginkan
sama dengan rute bus ini yaitu menuju utara Australia
Barat dari Perth ke Exmouth dan kembali ke Perth lagi.
Harga yang mereka pasang adalah AUD 400 untuk dua
rute, kami menawar dengan harga dibawahnya untuk satu
rute ssaja, namun mereka tidak bisa memberikan. Karena
kami tidak ingin membuang waktu lama di Perth,
akhirnya kami memutuskan untuk ikut dalam perjalanan
why not bus. Sebelum berangkat, diadakan meeting bersama
traveler lain yang akan ikut, kami ber-12 dan melakukan
perjalanan menuju Exmouth selama 10 hari.
Ada banyak kejutan-kejutan yang kudapatkan
selama perjalanan, kami berpindah dari kota satu ke kota
berikutnya di saat ada matahari dan menghabiskan malam
di lokasi-lokasi perkemahan. Meminimalisir untuk
menggunakan kendaraan di malam hari untuk
mengurangi resiko yang bisa ssaja terjadi, apalagi banyak
kanguru liar yang sering menyebrang jalan.
Aku termasuk orang yang butuh waktu untuk
berbaur dengan lingkungan baru namun bisa menjadi gila
jika sudah berada di dalamnya. Seringkali mereka
menawarkan minuman keras namun kutolak. Mungkin
karena bukan kebiasaan dan aku lebih suka meminum
minuman yang lebih manis.
Perjalanan dengan banyak orang memiliki
tantangan dan kesenangan yang berbeda, tentu ssaja
banyak hal yang dapat dipelsajari dari karakter-karakter
yang kutemui. Mulai dari makanan, selama perjalanan
kami memasak sendiri seadanya, kami mengumpulkan
uang dihari pertama untuk membeli persiapan makan
untuk beberapa hari, setiap hari kami bergotong royong
untuk menyiapkan makanan, tiga kali sehari.
Ada beberapa di antara mereka yang begitu curious
kenapa aku tidak memakai bikini, kenapa menggunakan
baju biasa di pantai, mengapa tidak minum alkohol,
makan babi dan pertanyaan-pertanyaan sejenisnya.
Mereka menganggap ini hal yang aneh. Pertanyaan-
pertanyaan seperti ini sudah seringkali kutemui, ada yang
kujawab dengan sebaik-baiknya kadang pun aku tidak
ingin memperpanjang pembicaraan. Namun, dalam
perjalanan ini aku berusaha menjelaskan se-simple
mungkin agar waktu yang ada kami nikmati untuk hal-hal
yang ringan ssaja.
Di perjalanan ini aku belajar banyak tentang
toleransi dan beberapa hal yang berhubungan dengan
emosi. Belajar menghargai karakter orang lain, pendapat
orang lain, bagaimana menjadi pendengar, kapan dan
bagaimana harus berpendapat. Aku yang begitu
perfeksionis kini belajar menjadi seorang yang lebih
memiliki sifat kompromi dan tentu ssaja perjalanan yang
begitu bebas ini mengsajakku jauh lebih dalam mengenal
diri sebenarnya seutuhnya. Di mana kelebihan,
kekurangan, dan juga apa batasan-batasan yang bisa
kulakukan dan bisa kuterima.
Hal-hal haru juga sering kudapatkan dalam
perjalanan ini, salah satunya ketika Maud salah seorang
traveler dari Prancis ingin memasak makan malam
untukku, karena frying pan yang digunakan hanya satu
dan bekas penggorengan babi, maka ia mencucinya
terlebih dahulu sebelum ia pakai untuk menggoreng telur
untukku. Hal ini sangatlah simple namun ini begitu
menyentuh. Betapa kami bisa menyatu dalam perbedaan.
Aku sangat ingat momen-momen gila yang kami
lalui di perjalanan ini, setiap malam kami malakukan
games yang penuh dengan canda, dan juga membangun
kedekatan kami. Mulai dari truth or dare, permainan cards
against humanity, war wolf, dan juga beberapa permainan
lain yang cukup di luar batas bagi budaya orang timur
yang aku punya.
Dari sekian games yang kami lakukan, truth or dare
adalah games paling favorit selama perjalanan, di sini aku
melihat betapa mereka melakukan games ini begitu total,
hingga permainan ini berubah menjadi dare ssaja tanpa ada
truth, karena kebanyakan memilih posisi aman.
Tantangan-tantangan yang dilakukan kebanyakan hal
yang ekstrim. Kami serasa berada di dunia yang kami
bangun sendiri dan tidak ada gangguan dari orang lain.
Sembari berjalan ke utara, aku tidak lupa selalu
memasukkan lamaran kerja dimana pun perhentian kami,
aku berniat agar bisa mendapat pekerjaan di sebuah road
house, road house biasanya berada di pedalaman Australia,
semacam tempat peristirahatan, ada motel, restaurant,café,
public toilet, dan mini market. Jam yang di tawarkan jika
bekerja di road house sangat berlimpah dan kebanyakan
menyediakan akomodasi dan makanan gratis bagi
karyawannya, jadi gaji yang diterima murni bisa ditabung,
karena kurangnya tempat hiburan atau perbelanjaan di
lokasi tersebut.
Sudah beberapa kali aku memasukkan lamaran
selama perjalanan tersebut, namun sepertinya dari
firasatku, akan tidak ada panggilan dari mereka. Hingga
kami tiba di sebuah tempat wisata bernama Coral Bay,
sebuah teluk yang sangat indah, saat itu cuaca sangat cerah
dan benar-benar aura pantainya membuatku tidak ingin
beranjak.
Teman-teman yang lain berenang, berjemur, dan
aku memilih masuk ke dalam resort, membawa selembar
kertas yang sudah lumayan terlipat-lipat setelah beberapa
hari perjalanan. Ini ada CV yang sudah kusiapkan dari
Indonesia, aku hanya menambahkan dengan tulisan
pulpen untuk pengalaman kerja yang telah kudapatkan
selama di Margaret River sebelumnya. Kuberanikan
masuk ke dalam receptionist dan memasukkan lamaran.
Aku berpesan jika mereka tertarik untuk
memperkerjakanku, mereka bisa menghubungiku setelah
dua hari, estimasi aku sudah berada di Exmouth dengan
sinyal yang baik.
Setelah meninggalkan Coral bay, kami
menghabiskan dua hari di sebuah tepi pantai yang begitu
indah, tepatnya di Camp 14 Mile Beach di Warrorra,
perjalanan ini bagai musik iringan DJ jika aku bayangkan.
Ada awalan dengan beat yang biasa ssaja kemudian
meningkat, meningkat lagi hingga klimaks kemudian
turun slow down, kemudian berdegup kencang lagi dengan
putaran seperti itu. Di tempat ini, kami melakukan hal
yang sedikit cooling down, menikmati sunset dan
membayangkan beberapa hari terakhir yang telah kami
lalui bersama, menyaksikan kanguru dan mengejarnya,
kami mengangkat tikar dan kursi ke atas bukit untuk
menikmati senja yang begitu menenangkan hati. Kami
merasakan nyamannya sebagai keluarga baru.
Keesokannya kami mengemas semua barang-
barang dan meninggalkan lokasi tersebut menuju
Exmouth. Masih ada destinasi terakhir di sana yaitu
mengunjingi Cape Range. Setelah itu, Femi berhenti di
Exmouth dan melanjutkan perjalanannya menuju Darwin.
Aku kembali ke Coral Bay setelah diterima bekerja di
Resort. Dan teman-teman lain melanjutkan perjalanan ke
Perth.
Enam bulan aku habiskan waktu di Coral Bay,
bekerja sangat santai hanya sekitar enam sampai tujuh jam
sehari. Aku bekerja sebagai Housekeeper, di bulan kedua
aku bertugas menjadi laundry attendant, kemudian di bulan
ke empat aku diangkat menjadi housekeeping supervisor.
Aku memilih untuk tidak begitu bekerja hingga malam
selama di sini. Bekerja pagi sudah sangat cukup untuk
keuanganku. Niatan untuk mengumpulkan uang
sebanyak-banyaknya berubah menjadi sebuah hal yang
bukan prioritas lagi. Namun ketika aku bertugas sebagai
supervisor, upah yang kudapat lumayan besar namun
memang dengan tanggung jawab yang besar pula.
Coral Bay adalah tempat yang begitu indah, aku
satu-satunya orang Indonesia di kota kecil ini. Bisa melihat
sunset kapanpun. Di sini juga aku bertemu dengan
sahabat-sahabat baru. Kami sering habiskan waktu
melihat senja di Hippie hill, sebuah bukit kecil yang
tersedia jok mobil bekas yang kami bisa duduk sambil
bermain gitar dan bernyanyi. Aku tinggal selama dua
bulan di dalam caravan yang sangat komplit, ada kasur
yang enak, air conditioning, dapur, toilet, dan kamar
mandi. Setelah itu aku meminta pindah ke akomodasi
yang lebih bagus yaitu tinggal disebuah container, di
dalamnya ada sofa, TV, dapur luas, kamar tidur luas, serta
kamar mandi yang bagus, dan yang terpenting adalah
hanya aku didalamnya.
Di sini aku bertemu dengan Naomi, sahabatku. Dia
mengsajarkanku banyak hal tentang sisi-sisi kehidupan,
kami saling menguatkan dengan masalah-masalah yang
kami hadapi dan tentu ssaja, dia bisa menerima kebiasaan-
kebiasaan khas orang timur yang aku punya. Ia juga
pernah menemaniku buka puasa, kami sering ngobrol
hingga larut malam. Namun, ia memutuskan
meninggalkan Coral Bay begitu cepat, kami hanya enam
minggu bersama. Tapi kami berjanji bisa bertemu di
tempat lain.
Setelah enam bulan bekerja dan hidup di Coral Bay,
aku bertolak ke Sydney selama seminggu sebelum visaku
habis. Hanya ingin melihat kota dan juga Opera House.
Sebenarnya jika aku punya waktu banyak aku ingin
roadtrip lagi hingga ke Sydney namun sisa visa hanya
seminggu jadi aku menggunakan pesawat menuju ke sana.
Work and holiday adalah visa yang sangat
menyenangkan, aku sangat sarankan agar anak muda
Indonesia merasakan visa ini. Banyak hal bisa di rasakan
dan pelsajari, terutama hal-hal tentang kepribadian kita.
Sangat baik juga untuk melatih skill berbahasa inggris juga
tentunya bisa merasakan bekerja dengan tekanan yang ada
di Negeri Kanguru ini.
FARA MUHAMMAD

Nama saya Fara, saya berasal dari Surabaya, Jawa


Timur. Di Surabaya saya bekerja sebagai bidan atau nama
kerenyaa Midwife (hohoho) selama hampir tiga tahun.
Ketika masih kuliah, paman yang berada di Australia
selalu mengsajak saya untuk datang dan bekerja di sana.
Tapi kendalanya saya tidak mengetahui bagaimana proses
ke Australia dengan niat bisa bekerja (bukan hanya
holiday).
Saya mencoba mencari tahu studi tentang midwife
di Australia, namun melihat biayanya yang begitu besar
akhirnya saya urungkan niat untuk ke Australia. Selang
berjalanya waktu, saya masih memiliki keinginan untuk ke
Australia. Saya kembali bertanya kepada keluarga yang
sedang studi di Australia, dia memberikan saran untuk
bertanya kepada temanya yang merupakan seorang
pengacara di Australia. Saya menceritakan keinginan
untuk bekerja di Australia sebagai midwife. Dia
mengatakan bahwa saya bisa bekerja sebagai midwife
dengan syarat harus mengikuti tes IELTS dengan skor 7 for
each band. Saya mencoba mengikuti IELTS preparation
tapi skornya jauh dibawah 7 dan berat sekali untuk
mendapatkan skor tersebut. Akhirnya, dia memberikan
saran untuk berangkat menggunakan work and holiday
visa sub class 462.
Ada sedikit pro kontra diantara keluarga dengan
rencana saya berangkat ke Australia. Sebagian keluarga
mengatakan "apakah kamu tidak menyesal meninggalkan
profesi kamu sebagai bidan di Indonesia. Di Australia kamu tidak
akan bekerja sebagai bidan, mungkin harus cici piring atau
bersih-bersih seperti pembantu." Sebenarnya berat juga
meninggalkan semua yang sudah kucapai, tapi saya
berpikir selama itu halal dan gaji yang bisa saya dapat
melebihi gaji profesi saya sebagai bidan. Kenapa tidak?
Saya pun ingin mencoba sesuatu yang baru dan saya
percaya apa yang saya perjuangkan selama ini, insya
ALLAH SWT akan memudahkan semua urusan saya.
Setelah resign dari rumah sakit tempat saya bekerja,
akhirnya saya berangkat ke Australia. Tujuan pertama
yaitu Darwin, di Utara Australia. Alasanya karena saya
memiliki nenek (tante mama) yang tinggal sendirian di
sana. Selain karena Darwin dekat dengan Indonesian saya
pikir peluang mendapatkan pekerjaan lebih besar di sana,
karena Darwin merupakan kota sepi, hehehhee. Sekaligus
ingin menemani nenek.
Setelah tiba di Darwin, saya mencoba melamar
pekerjaan. Sulit bagi saya menemukan pekerjaan, ketika
dipanggil untuk wawancara sebanyak dua kali, mereka
keberatan dengan hijab yang saya kenakan. Mereka ingin
saya melepaskan hijab dan diganti dengan topi. Saya tahu
Australia bukan negara Islam, tapi saya ingin menjaga
agama dan menjaga hijab saya dimanapun berada.
Hampir dua bulan lamanya, saya tidak
mendapatkan pekerjaan, akhirnya saya putuskan untuk
pindah ke Sydney, ke tempat tinggal paman. Saya
bersyukur punya keluarga di Australia, ada yang look after
dan tidak perlu menyewa tempat tinggal, selain itu tujuan
utama saya pergi ke Australia adalah mengunjungi
keluarga.
Di Sydney saya mendapatkan pekerjaan house
keeping hanya dalam beberapa hari sejak saya tiba.
Kebetulan saya juga mengambil short course (certificat III in
aged care) dengan harapan bisa bekerja sebagai assistant
nurse. Banyak suka duka bekerja sebagai house keeper,
sudah pasti capeknya bukan main. Tapi kalau lihat hasil
duitnya, jadi tidak perduli sama sekali dengan capeknya.
Karena saya mengambil course dan juga bekerja, tiga bulan
pertama benar-benar menjadi bulan tercapek.
Saya banyak menemukan hal baru dalam pekerjaan
ini, jadi tahu bagaimana membersikan noda membandel
dan itu bisa dipraktekan ketika di rumah sendiri. Selama
bekerja saya bertemu dengan teman seperjuangan, WHV
holder dari Indonesia yang sudah permanent resident. Saya
juga bertemu dengan beberapa teman kerja dari satu
bangsa, namun kurang cocok dengan mereka. Tapi itu
tidak menjadi kendala buat saya selama saya masih bisa
bekerja dan dapat uang tentunya. Mungkin bisa dikatakan
rezeki saya ada di Sydney bukan di Darwin.
Pada masa awal-awal bekerja, saya bertekad ingin
mengumpulkan uang untuk melanjutkan studi agar saya
bisa tetap tinggal di Sydney, selain itu saya sudah berniat
bahwa gaji pertama yang saya peroleh akan saya kirimkan
ke mama di Indonesia. Saya ingin mama berangkat umroh
dengan gaji tersebut. Karena mama sudah lumayan
berumur, saya ingin adik saya menemani mama ketika
umroh. Saya menceritakan hal ini bukan bermaksud riya
(menceritakan amal kebaikan yang sudah kita lakukan
dengan maksud ingin dipuji). Tapi saya ingin menjadi
inspirasi buat teman-teman semua tentang kesajaiban
sedekah dan bisa mengambil hikmah dari kisah hidup
saya. Akhirnya setelah tiga bulan bekerja, saya berhasil
mengumpulkan separuh biaya umroh mama dan adik
untuk deposit, sisanya akan saya kirimkan bulan
berikutnya.
Setelah saya mengirimkan uang, keesokan harinya
saya diperkenalkan dengan seorang citizen Australia yang
berasal dari Lebanon. Di akhir bulan December kita kenal,
dan minggu berikutnya dia datang ke rumah paman untuk
nadzor (proses melihat calon pengantin, istilah dalam
islam). Setelah itu kita ta'aruf dan alhamdulillah dia cocok
sama saya dan mengsajak menikah di bulan berikutnya.
Saya sempat keberatan waktu itu karena saya merasa
terlalu cepat tapi memang yang benar dalam Islam adalah
seperti itu.
Saya ingin keluarga hadir dalam pernikahan itu.
Alhamdulillah tepat tanggal 11 Maret 2016 kami
melangsungkan pernikahan dan dihadiri semua keluarga
inti kecuali saya kakak saya. Sekarang saya tinggal
bersama suami, dia sangat mencintai saya, bahkan
sekarang saya sudah berhenti dari pekerjaan sebagai
housekeeper. Karena suami tidak memperbolehkan saya
bekerja, kecuali jika bekerja sebagai midwife. Dia ingin
saya meneruskan studi sebagai midwife dan setelah visa
saya keluar.
Lihat! Betapa Maha Murahnya ALLAH SWT
menggantikan yang lebih banyak dari sedekah yang kita
keluarkan, apalagi khusus untuk orang tua kita. Saya tidak
hanya bisa tetap tinggal di Australia, tapi saya juga
berkesempatan melanjutkan studi sebagai midwife yang
saya cita-citakan selama ini. Mudah-mudahan ALLAH
SWT memudahkan urusan dari setiap kendala atau
masalah yang terjadi nantinya, insyaALLAH SWT .
Saya suka dengan Kota Sydney, orangnya ramah-
ramah, banyak orang Indonesia juga, dan yang paling
penting kebebeasan berhijab di kota ini. Mereka respect
dengan culture yang ada.
Semoga kisah nyata dari kehidupan saya bisa
memberikan inspirasi untuk teman-teman. Jangan pernah
menyerah, sebelum melakukan sesuatu karena hidup ini
memang butuh perjuangan dan janganpernah pelit dengan
uang, karena takut uang kita habis jika diberikan kepada
orang lain. ALLAH SWT akan menggantikan yang jauh
lebih dari sebelumnya dan dengan cara yang kita tidap
pernah duga sebelumnya. ALLAH SWT punya cara
tersendiri bagi hamba-Nya yang senantiasa selalu
mengingat dan bertakwa pada-Nya.
CERITA WHV ALA RINI

Nama saya Rini Ristiani, biasa dikenal di social media


dengan nama Rien Asagi. Saya lulusan dari Universitas
Islam Negeri (UIN) Jakarta, jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris dan sudah mengsajar ngalor-ngidul dan pindah-
pindah dari satu kota ke kota lainnya, kurang lebih 5
tahunan.
Tentunya untuk orang seperti saya, yang sudah
bergelut dengan bahasa Inggris di kegiatan sehari-harinya,
saya memimpikan untuk bisa tinggal di negara berbahasa
Inggris agar saya bisa sedikit begaya ngomong cas cis cus
layaknya bule. Awalnya gak pernah terpikir buat tinggal
di Australia, karena menurut gossip yang saya dengar,
orang Australia itu gak sopan, arogan dan urakan.
Australia, waktu itu, satu-satunya negara berbahasa
Inggris yang tidak mau saya kunjungi.
Tahun 2013, salah seorang teman memberitahu saya
tentang program Work and Holiday Visa. Saat itu saya
belum tertarik karena alasan di atas tadi dan alasan lainnya
adalah karena saya orangnya belum berani ambil resiko
untuk tinggal di Negara orang tanpa adanya pekerjaan
yang jelas. Sayapun urungkan niat untuk berpartisipasi
dalam program ini.
Tahun 2014, saya mendapatkan kesempatan untuk
sekolah singkat di salah satu negara di Eropa sana. Saya
berada di sana selama 3 bulan dan saat itu saya mencoba
peruntungan untuk bekerja sebagai Aupair (nanny). Saya
mendapatkan email dari beberapa keluarga di Eropa sana
namun ternyata syarat visa yang tidak memungkinkan
dan memang mungkin belum jodohnya saja. Sampai suatu
hari, saat saya masih berada di Eropa sana, saya
mendapatkan email dari salah satu keluarga di Canberra
sana yang menginginkan saya untuk menjadi aupair
mereka.
What Canberra? Setahu saya Canberra itu
ibukotanya Australia, dan setelah saya baca-baca
persyaratannya, ternyata saya harus menggunakan WHV
ini untuk bekerja sebagai aupair di Australia.
Mau gak mau akhirnya saya memutuskan untuk
registrasi WHV ini via website-nya imigrasi Jakarta. Jujur
ssaja, awalnya saya pusing dengan syarat-syarat WHV ini,
tapi setelah tanya-tanya dan baca-baca postingan di grup
WHV, saya pun sedikit demi sedikit mengerti tentang
proses yang harus dijalani.
Proses WHV ini sangatlah tidak mudah dan tidak
cepat. Saya harus menjelaskan kepada host family saya
kalau saya tidak mungkin datang cepat-cepat ke sana
karena harus menunggu jadwal interview dan segala
macamnya. Saya sempat takut juga kalau hostfam saya
berubah pikiran, tapi syukurnya mereka mau menunggu
sampai visa selesai.
Kenapa akhirnya saya memutuskan untuk ikutan
WHV ini? Jawabannya sih simple, karena waktu itu saya
sudah punya host family yang mau menampung saya. Jadi
saya tidak khawatir dengan akomodasi ataupun makan
karena semuanya diprovide dan saya pun mendapatkan
pocket money, walaupun tidak banyak tapi cukup lah buat
saya sendiri.
Kenapa ke Canberra? Ya karena host family saya
tinggal di sana. Saya akui tidak banyak anak WHV yang
tertarik untuk tinggal di Canberra karena walaupun
ibukota, kota ini adalah kota kecil layaknya kampung yang
hanya dihuni oleh sekitar 350 ribuan penduduk.
Bagi saya, saya selalu tertarik untuk tinggal di
ibukota suatu negara. Makanya saya tidak keberatan
ketika host family saya meminta saya untuk datang dan
memang ternyata keputusan tersebut sudah tepat.
Selama 6 bulan pertama, saya menikmati pekerjaan
sebagai aupair. Bagi yang belum paham tentang aupair,
saya akan memberikan gambaran sedikit tentang
pekerjaan apa ssaja yang saya lakukan.
Aupair itu sendiri dianggap sebagai cultural exchange
di mana kita tinggal bersama satu keluarga dan kita
diharuskan untuk menjaga anak-anak mereka saat mereka
bekerja ataupun bepergian. Aupair ini bisa dikatakan
sebagai unexperienced nanny karena kita tidak diwajibkan
untuk memiliki certificate nanny atau semacamnya.
Tugas seorang aupair biasanya mencakup hal-hal
yang dibutuhkan anak seperti antar jemput sekolah,
menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam
(kadang-kadang), mengantar anak swimming class atau
football, dan sebagainya.
Untuk saya sendiri, tugas saya hanyalah menemani
si anak asuh ketika orang tuanya tidak ada di rumah.
Kebetulan anak asuh saya berumur 12 tahun jadi saya
tidak kerepotan untuk ganti popok ataupun menyuapi
makan. Saya bisa katakan tugas aupair saya sangat
ringan.
Setelah 6 bulan focus di aupair, saya merasa jenuh
juga hanya bekerja di satu bidang ssaja. Awalnya saya
ingin pindah state dan mencari family lain, tapi hostmom
saya meminta untuk tinggal satu tahun dan setelah saya
pikir-pikir saya pun memutuskan untuk menjadi aupair di
family ini selama satu tahun.
Saya mulai mencari-cari pekerjaan sampingan
karena jujur saya butuh uang lebih untuk traveling dan
setidaknya untuk kirim-kirim ke orangtua. Maklum,
ekspektasi orangtua ketika tahu saya bekerja di luar negeri
adalah bahwa saya berpenghasilan super dan
berkewajiban untuk men-supply mereka.
Saya selalu tertarik untuk bekerja di bidang
hospitality dan sayapun melihat banyak teman-teman
WHV yang menggeluti bidang tersebut.
Saya mencari job vacancies via Gumtree dan
mendapatkan beberapa tawaran pekerjaan. Saya mengirim
email ke beberapa perusahan tersebut dan berharap agar
mendapatkan pekerjaan sesegera mungkin. Selang
beberapa hari setelah saya submit email, saya
mendapatkan panggilan telepon dari AHS Hospitality dan
meminta saya untuk datang keesokan harinya untuk
interview. Kebetulan saat itu sedang school holidays dan
hostmom saya libur kerja jadi saya punya waktu untuk
interview. Mungkin memang sudah jodohnya, sayapun
diterima bekerja sebagai room attendant di Hotel Realm,
Canberra.
AHS Hospitality ini adalah sebuah agen di bidang
perhotelan. Agen ini lumayan famous di kalangan anak-
anak WHV karena banyak di antara mereka yang bekerja
di bidang ini via agen tersebut.
Setelah itu, pekerjaan saya jadi rangkap dua. Pagi
hari setelah mengantar anak sekolah, saya bekerja sebagai
room attendant di hotel dan selesai sekitar pukul 2 siang
karena saya harus jemput anak pukul 3 sore.
Ke-hectic-an selalu terjadi di pagi dan sore hari. Saya
harus memulai pekerjaan di hotel jam 9 pagi sedangkan 30
menit sebelumnya harus mengantar anak sekolah. Jarak
rumah dan hotel sekitar 20 menit by bus. Tapi jangan
bayangkan bus di sini layaknya metro mini di Jakarta yang
bisa di-stop kapan ssaja dan bisa kebut-kebutan sesuka
hati. Di Canberra ini, bus tersedia setiap 20 menit sekali
ketika jam sibuk dan 30 menit sekali di luar itu. Saya harus
lari-lari kejar bus supaya tidak ketinggalan yang artinya
jika telat saya akan telat masuk kerja dan akan terkena
omel sang manager.
Kerja di hotel itu sungguh pekerjaan yang paling
melelahkan yang pernah saya lakukan, sialnya, saya
merasa lelah jiwa raga. Room attendant sendiri
bertanggung jawab untuk bersih-bersih kamar hotel yang
dalam sehari bisa mencapai puluhan kamar yang harus
dibersihkan. Di awal-awal bekerja, saya rasanya tidak
sanggup menahan rasa lapar dan haus padahal baru 2 jam
bekerja, plus, karena saya perempuan berhijab satu-
satunya, kadang kala saya capek dengar omongan partner
saya yang mempertanyakan kenapa saya berhijab.
Beberapa di antara mereka yang hanya sekedar bertanya,
ada pula sebagian yang men-tease saya untuk buka jilbab.
“This is Australia, open your headscarf and put it back
when you reach your home country”. Ada lagi yang bilang “I
want to see your hair, just open it”. Duh, kadang risih banget
saya dengernya. Kayaknya sudah berbagai alasan saya
utarakan ke mereka. Padahal Canberra itu multicultural, di
hotel pun yang kerja rata-rata dari berbagai negara dan
harusnya mereka memahami artinya perbedaan. Katanya
Negara bebas, tapi kenapa saya sedikit “berbeda” saja
dipertanyakan. Untungnya sih saya orangnya cuek, saya
cuma dengerin saja, toh kalau mereka capek ngomong juga
berhenti sendiri kok.
Walaupun banyak suka duka kerja di hotel ini, yang
terpenting buat saya adalah bisa mendapatkan tambahan
uang untuk jalan-jalan. Hehehe. Selama di Australia, saya
hanya berkesempatan mengunjungi 3 states saja; Victoria
(Melbourne), New South Wales (Sydney dan Newcastle)
dan Tasmania.
Berikut saya tuliskan catatan traveling saya:
1. Saya mendarat tanggal 28 Juli 2015 di
Melbourne dan hanya menghabiskan satu
malam ssaja hanya untuk menikmati
malam di Melbourne dan pagi harinya
jalan-jalan cantik di sekitar Federation
Square.
2. Pada tanggal 29 Juli 2015, saya berangkat
ke Canberra by bus Greyhound dari
Melbourne, menempuh perjalanan sekitar
8 jam. Tiket bus bisa dipesan via
greyhound.com.au
3. Pada Agustus 2015 (lupa tanggal berapa),
saya pergi ke Snowy Mountains bersama
teman-teman PPIA (Persatuan Pelsajar
Indonesia Australia) Canberra karena
waktu itu belum ada anak WHV selain
saya, jadi saya sok kenal ssaja bareng anak-
anak mahasiswa.
4. Tanggal 23-25 October 2015, untuk
pertama kalinya saya pergi ke Sydney
bersama hostmom dan anak asuh saya.
Hostmom nyetir sekitar 3 jam dari
Canberra. Dia harus menghadiri
conference selama 2 hari di sana.
5. November 2015, saya disajak hostmom ke
Hobart karena beliau menghadiri
conference selama seminggu di sana.
Selama di sana, saya bisa jalan-jalan
sekitar Hobart tapi tetep harus ngasuh si
bocah. Hostmom membawa saya ke
beberapa tempat di Tasmania seperti
Launceston dan Bruny Island. Buat saya,
Tasmania adalah tempat yang paling saya
sukai selama traveling di Australia.
6. Pada tanggal 31 December 2015, saya pergi
ke Sydney karena saya memiliki 2 minggu
off dan waktu itu itinerarynya adalah
Sydney dan Melbourne. Saya berencana
menghabiskan 2 minggu di 2 kota itu tapi
kenyataannya hanya 10 hari ssaja.

Saya rasa liburan Sydney-Melbourne ini adalah


yang paling berkesan buat saya. Kenapa? karena saat itu
saya benar-benar merasakan traveling dengan budget yang
pas-pasan bahkan bisa dibilang sedikit.
Saya menghabiskan minggu pertama liburan di
Sydney. Saya rent room selama seminggu dan tinggal
bersama teman WHV Sydney. Saya sangat well-prepared
saat itu. Nah, kebetulan saya booked kereta dari Sydney-
Melbourne tanggal 7 Januari 2016 dan saya tidak booked
hostel sama sekali karena teman aupair saya di Melbourne
bersedia meng-accommodate selama di sana. Jadi, singkat
cerita saya santai-santai ssaja, padahal saat itu saya hanya
mengantongi uang $70. Waktu itu saya belum bekerja
sebagai room attendant, dan hanya mengandalkan pocket
money yang hanya $220/week. Saya pikir uang $70
cukuplah buat beli myki (transport card Melbourne) dan
sisanya buat makan sehari. Saya berangkat ke Melbourne
hari Kamis dan hostmom biasanya transfer pocket money
hari Jumat malam. Oiya, walaupun saya liburan tapi saya
tetep dibayar lho karena dari awal hostmom sudah
menjanjikan bahwa saya mendapatkan libur selama 2
minggu dan tetap mendapatkan salary.
Lanjut cerita…
Perjalanan Sydney-Melbourne by train memakan
waktu kurang lebih 12 jam. Kalau saya bisa ngasih saran
sih, gak usah traveling pake kereta deh, sungguh
membosankan. Biasanya pake kereta lebih lambat
daripada pake bus plus susah sinyal karena kereta
menyusuri outback. Saya memutuskan naik kereta karena
waktu itu dapet sale tiket kereta via nswtrainlink.
Sewaktu di jalan saya mendapatkan kabar kalau
teman aupair saya gak bisa mengacommodate saya selama
di sana karena tiba-tiba dia memiliki acara. Duh, sayapun
kelimpungan nyari cara bagaimana agar saya ada yang
nampung. Saya cek-cek hostel rata-rata per night nya
$40an, dan saya cuma punya duit $70. Sumpah, saya gak
tahu lagi harus minta tolong sama siapa. Sayapun
memberanikan diri untuk sms hostmom saya dan minta
beliau men-transfer uang jsajan saya minggu itu,
walaupun sebenernya belum waktunya karena saat itu
masih Kamis malam. Percakapan di Whatsapp antara saya
dan hostmompun terpotong-potong karena sinyal yang
timbul tenggelam. Saya bilang saya butuh uangnya malam
itu juga tapi ternyata sms saya telat sampainya.
Pukul 6.30 pagi saya sampai di stasiun Southern
Cross Melbourne dengan keadaan yang masih luntang
lantung gak tahu arah tujuan. Untungnya, setiap kali
traveling saya selalu menyediakan bekal makanan supaya
saya gak kelaperan. Dan Alhamdulillahnya pagi itu saya
bisa sarapan dengan bekal yang saya punya, ya hanya
sekedar roti lapis selai kacang dan pisang.
Waktu itu saya teringat akan satu teman saya yang
saya kenal lewat Instagram. Kebetulan dia tinggal di
Melbourne karena suaminya sedang studi S2. Lalu saya
pun memberanikan diri untuk me-whatsapp dia dan
menceritakan apa yang sedang saya alami. Awalnya, saya
bertanya apakah saya bisa “nebeng” di tempat dia, namun
ternyata kondisi yang tidak memungkinkan jadilah tidak
bisa. Syukurnya, si Teteh ini menawarkan apakah saya
mau tinggal di rumah mahasiswa Indonesia yang
kebetulan mahasiswa tersebut sedang berada di Indonesia
dan kamarnya biasanya disewain. Akhirnya saya meng-
iya-kan karena harga sewa yang relative murah, hanya
$25/night dan saya hanya bayar untuk 2 malam ssaja aka
$50. Yup, uang saya jadi sisa $20 untuk beli Myki.
Hahahaha
Dari Southern Cross ke tempat yang dituju lumayan
agak jauh dan saya harus dorong-dorong koper gede yang
beratnya mungkin sekitar 15kg. Saya anaknya emang agak
rempong ya, bukan anak backpacker, jadi harus gerek-
gerek koper ke mana-mana.
Tempat tinggal mahasiswa tersebut di daerah
Brunswick, kurang lebih 30 menit dari city. Akhirnya
setelah menempuh jarak beberapa kilo dari Southern
Cross, saya sampai juga di rumahnya. Waktu itu, saya
benar-benar gak punya duit dan mikir liburan macam apa
ini. Hahahaha
Setibanya di rumah saya memutuskan untuk tidur
karena saya lelah jiwa raga. Sekitar pukul 3 sore saya
bangun dan cek rekening dan dengan senangnya saya
tersenyum lebar karena hostmom saya sudah transfer uang.
Yeay….
Akhirnya saya jadi liburan dan gak kelaparan di
kampung orang.
Saya mandi dan siap-siap menyusuri kota
Melbourne nan cantik jelita. Waktu itu masih Summer dan
saya menikmati waktu siang yang agak panjang di
sepanjang Yarra River dan Flinders Station. Yes, saya
traveling sendirian dan waktu itu untuk kedua kalinya
saya mengunjungi Melbourne.

7. Bulan Maret 2016, saya pergi ke Sydney


untuk bertemu temen Aupair saya di sana.
Kebetulan waktu itu libur Paskah yang
cukup lama jadi saya punya waktu off
beberapa hari.
8. Bulan May 2016, tepatnya sekitar tanggal
28, saya kembali pergi ke Sydney karena
kebetulan ada festival Vivid. Saya selalu
interested dengan festival apapun itu dan
mengusahakan untuk pergi kalau saya
ada waktu off. Saya hanya menghabiskan
2 malam ssaja dan hanya bisa
menyaksikan Vivid Sydney di sekitar
Opera House dan Harbour Bridge.
9. Bulan July 2016, beberapa hari sebelum
kepulangan saya ke Indonesia, saya pergi
ke Snowy Mountains, Perisher, sekitar 3
jam dari Canberra, bersama teman-
teman WHV dan student dari Sydney.
Untuk kedua kalinya saya pergi ke
Snowy Mountain dan saya sangat
merasakan kenikmatan bermain salju
yang tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Saya termasuk orang yang
sangat cinta dengan musim dingin
(Winter) dan orang yang doyan main
salju. Maklum, di Indonesia gak ada.
Awalnya saya berniat untuk travel ke Brisbane,
Perth dan New Zealand, tapi karena saya harus menabung
untuk traveling ke negara yang lebih jauh, jadi saya
urungkan niat itu. Bagi saya, New South Wales, Victoria
dan Tasmania sudah cukup mewakili keingintahuan saya
tentang Australia.

Suka Dan Duka WHV


Setiap perjalanan pasti ada senang dan sedihnya,
begitupun dengan WHV ini. Mungkin bagi saya WHV ini
banyak senangnya karena saya orangnya cinta dengan
yang namanya tinggal di luar rumah apalagi di luar negeri.
Walaupun Australia ini bukan negara yang saya damba-
dambakan, tapi setelah WHV ini berakhir, sayapun
merasakan jatuh cinta yang mendalam untuk Australia.
Suka yang saya dapatkan adalah saya bisa bekerja
dan mendapatkan uang yang banyak yang gak pernah
saya dapatkan di Indonesia sebelumnya. Saya bisa
traveling dan menyaksikan kehidupan bule-bule Australia
yang ternyata beda jauh dari apa yang saya dengar
sebelumnya, dan tentunya saya mendapatkan banyak
teman baru, baik dari Indonesia sendiri ataupun dari
negara-negara lainnya. Sedangkan rasa dukanya hanya
sedikit dibanding sukanya. Yang paling terasa sih
mungkin saat saya homesick dan jenuh dengan kehidupan
aupair saya, muak dengan tingkah laku si anak asuh dan
mungkin yang paling paripurna adalah kangen masakan
Indonesia yang jarang banget ditemui di Canberra.
Saya harap WHV ini terus berlanjut sampai waktu-
waktu yang tak terhingga dan semakin banyak kuota yang
tersedia untuk anak-anak muda Indonesia berkelana di
negeri Kangguru, interview dan surat rekomendasi yang
tidak terlunta-lunta dan semakin banyak promosi tentang
program ini sehingga WHV ini terkenal di seluruh negeri.
Untuk calon-calon WHV, mungkin syarat IELTS yang jadi
momok menakutkan, tapi semua itu terbayar ketika kalian
sudah berada di Australia. Walaupun katanya bisa pake
bahasa isyarat, tapi banyak kerjaan yang menuntut kalian
untuk berbahasa Inggris dengan cukup baik. Jadi
persiapkanlah matang-matang bahasa Inggris kalian, toh
gak ada ruginya kok.

Pengaruh WHV Terhadap Kehidupan


Setiap pergi ke luar negeri, saya pasti mendapatkan
banyak hal yang mempengaruhi hidup saya kedepannya,
begitu pula dengan WHV ini. Saya memulai WHV ini
dengan bekerja sebagai aupair di mana saya tinggal
dengan sebuah keluarga dari negara yang berbeda dan
dengan kebudayaan yang berbeda pula. Di sana saya
belajar bagaimana menjadi orang yang lebih toleran
terhadap perbedaan, menjadi orang yang tidak terlalu ikut
campur dengan kehidupan orang lain, bukan berarti cuek
tapi hanya membatasi diri, dan menjadi orang yang lebih
bertanggung jawab terhadap apa yang saya lakukan.
Saya menjadi lebih open-minded dan lebih receptive
terhadap perbedaan pola pikir ataupun gaya hidup dan
yang pasti saya mendapakan banyak pengetahuan tentang
western life dan bagaimana menyikapinya sekembalinya
saya ke Indonesia. Jujur saya senang tinggal di negara
barat tapi buka berarti saya melupakan kodrat saya
sebagai orang Indonesia. Saya tetap cinta keramah-
tamahan orang Indonesia dan pastinya masakannya.
Sesampainya di rumah, banyak orang yang
beranggapan saya menjadi orang yang ke-barat-baratan,
dan memandang level hidup saya yang menjadi lebih
tinggi. Saya bisa pastikan bahwa saya masih menyukai
ikan asin dan lalapan ketimbang steak atau pizza, dan saya
masih bisa berbicara bahasa Indonesia terlebih bahasa
Sunda dengan baik dan benar. Jadi, saya bisa pastikan
tidak ada pengaruh negative yang saya dapatkan
selama tinggal di Australia.
Jujur, saya bukanlah orang yang suka membuka
pengalaman pribadi untuk umum, dalam bentuk apapun.
Namun, setelah saya mendengar kalimat dari seorang
hairdresser di akun facebook saya yang mengatakan, “I
have to give it away to keep it “, saya sedikit tersadar
bahwa tidak ada salahnya untuk sedikit berbagi kepada
orang lain dengan harapan dapat memberikan inspirasi
dan motivasi di kemudian hari. Bukan hanya untuk
mereka, melainkan juga untuk diri saya sendiri. Disini saya
ingin berbagi tentang pengalaman pribadi saya sampai
saat ini menuntut ilmu di negeri orang dengan sejauh ini
menggunakan uang hasil jerih payah saya sendiri.
Semua ini berawal dari tahun 2013, di tahun kedua
saya bekerja sebagai quality control staff di salah satu
perusahaan farmasi jepang di Indonesia, sekaligus 2 tahun
setelah saya menyelesaikan Pendidikan Diploma 3 saya di
jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang. Di tahun
tersebut tante saya yang kebetulan seorang permanent
resident di Australia menginginkan saya untuk
melanjutkan studi saya di negara tersebut. Namun, ketika
itu saya masih sangat bersemangat untuk
mengembangkan pengalaman kerja di perusahaan
tersebut. Ketika itu saya hanya berfikir untuk bekerja dan
mengumpulkan uang.
Pada tahun 2014, saya mulai merasakan bosan
dengan rutinitas saya selama 3 tahun. Saat itulah saya
memutuskan untuk melanjutkan studi saya ke Australia.
Namun, kenyataan tidak pernah semudah apa yang
direncanakan. Meskipun saya bekerja untuk perusahaan
asing, kemampuan bahasa Inggris saya kurang mumpuni
untuk bisa memenuhi persyaratan masuk universitas di
Australia, tepatnya Charles Darwin University.
Persyaratan IELTS untuk program Bachelor of Engineering
adalah total 6 dengan each band min 6. Ketika itu IELTS
saya hanya 5.5. Saya tidak tahu apa yang harus saya
lakukan ketika itu.
Tahun 2014 pun berlalu dengan saya yang masih
tak tahu arah mana yang harus saya tempuh. Di awal
tahun 2015 saya memutuskan untuk mengikuti bimbingan
IELTS test selama 3 bulan. Namun setelah itu tante saya
mengusulkan untuk saya belajar bahasa Inggris langsung
di negara native speaker, dalam kasus ini adalah Australia
dengan menggunakan working holiday visa. Ketika itu
saya berfikir bahwa saran itu cukup baik untuk
diperhitungkan. Maka saat itu pun saya mengajukan visa
tersebut dengan waktu tunggu yang cukup lama. Saya
masih ingat pada saat itu proses yang saya lalui hingga
visa saya granted adalah kurang lebih 9 bulan. Saya sangat
bersyukur memiliki keluarga yang sangat mendukung
saya dalam hal ini, terutama ibu saya. Wanita terhebat
dalam hidup saya. Mulai dari mengurus paspor pada tahun
2014, apply visa hingga granted beliau tidak pernah lelah
dan megeluh untuk mendampingi dan memberikan
semangat serta doa untuk saya.
Mei 2016 saya berangkat ke negeri kanguru sebagai
working and holiday visa holder yang pada kenyataannya
adalah working the whole year untuk biaya kuliah saya tahun
berikutnya. Selama 1 tahun penuh di Australia saya hanya
bekerja, ketika teman – teman WHV lain menikmati
liburan mereka diwaktu senggang. Saya bekerja dan
mempersiapkan diri saya untuk IELTS test saya
selanjutnya yang saya tempuh pada desember 2016,
namun hasilnya masih dibawah persyaratan minimal.
Ketika itu om menyarankan kepada saya untuk tidak
bekerja full time agar bisa mempersiapkan test lebih
matang lagi. Tetapi, di sisi lain saya tidak bisa melepaskan
pekerjaan saya yang pada saat itu memiliki rate salary yang
cukup tinggi. Saya bernegosiasi dengan om, saya
mengusulkan untuk merubah status employee menjadi
casual yang notabene hanya bekerja 4 hari dalam 1 minggu.
Saya melakukan re test pada bulan januari 2017, namun
saya masih tetap gagal dalam writing. Pada akhirnya om
saya memaksa saya untuk cuti dari pekerjaan saya selama
1 bulan untuk benar-benar berkonsentrasi mempersiapkan
IELTS. Saya menuruti beliau pada saat itu, dan saya
mengikuti bimbingan IELTS yang diselenggarakan oleh
CDU dengan durasi 1 minggu. Pada saat itu saya juga
melakukan konsultasi dengan international student
consultant di CDU dan mereka menyarankan saya untuk
mengambil navitas yang merupakan sekolah bahasa
selama 10 minggu dengan biaya 10 kali lipat biaya IELTS
test. Ketika itu saya menolak saran mereka, saya
memutuskan untuk melakukan test IELTS sekali lagi
dengan resiko yang cukup besar. Saya belajar dengan om
saya yang kebetulan juga merupakan guru bahasa Inggris.
Dan setelah persiapan yang cukup melelahkan, akhirnya
saya menjalani test pada bulan Maret yang merupakan
deadline karena visa saya expired pada bulan Mei. Disinilah
titik yang menentukan apakah saya dapat lanjut study
ditahun ini atau tidak. Setelah menunggu selama 2 minggu
dengan perasaan yang campur aduk, hasil pun keluar dan
Alhamdulillah berkat kerja keras, percaya diri dan doa dari
ibu, saya mendapatkan 6.5. Yes!!!!.
Setelah mendapatkan hasil IELTS sesuai
persyaratan, perjuangan pun tidak semerta-merta
berhenti. Saya mendaftarkan diri untuk Bachelor of
Engineering dan mengajukan credits exemption agar bisa
menempuh pendidikan selama kurang dari 4 tahun. Dari
sinilah saya harus berjuang untuk memenuhi persyaratan
tersebut, mulai dari checklist mata kuliah yang sudah saya
tempuh di Indonesia hingga surat keterangan pengalaman
kerja dari perusahaan tempat saya bekerja di Indonesia
beserta list responsibilities saya di perusahaan tersebut.
Semua itu harus dalam bahasa Inggris. Saya melakukan
checklist mata kuliah saya sendiri selama 1 minggu dan
melakukan pengajuan penerbitan surat keterangan kerja
dalam bahasa Inggris kepada perusahaan yang saya
dapatkan 1 bulan setelah pengajuan. (-.-), itupun setelah
saya menghubungi HRD dan Manager saya beberapa kali.
Setelah semua persyaratan saya dapatkan, saya
langsung submit ke CDU. Dalam 2 minggu mereka masih
tidak memproses credits exemption saya. Akhirnya salah
satu teman saya menyarankan untuk memakai jasa agen
yang pada saat itu saya menggunakan jasa mbak Nona
Fitria yang berdomisili di Sidney. Bertepatan dengan
habisnya visa working and holiday saya. Pada bulan Mei
2017 saya kembali ke Indonesia dengan proses enrolling
saya yang masih berlanjut di Australia. Singkatnya, saya
mendapatkan CoE saya dari CDU pada akhir juni dan
sayangnya credits exemption saya ditolak dengan beberapa
alasan dari CDU sehingga saya harus menempuh 4 tahun
untuk pendidikan tersebut. God…saya benar-benar
kecewa dan sempat ingin menyerah pada saat itu. Namun
ibu saya bekata kepada saya, ”itu semua keputusan kamu,
tapi saran mama, jangan biarkan usaha kamu selama ini sia-sia,
coba konsultasi sama tante kamu, siapa tahu dia punya jalan
lain”.
Setelah kurang lebih satu minggu saya berfikir,
akhirnya saya mengumpulkan saran dari orang-orang
terdekat dan juga agen, dan saya memutuskan untuk
mencari jurusan lain yang bisa saya tempuh selama 3
tahun, mulai dari opsi untuk belajar di college yang ditolak
mentah-mentah oleh tante saya hingga jurusan nursing di
CDU yang seluruh keluarga saya sangat setuju terutama
ibu saya. Jujur, saya pribadi tidak begitu suka dengan
bidang sosial dan kesehatan. Tapi, ibu saya memang
sangat menginginkan saya menjadi seorang perawat sejak
saya lulus SMA.
Pada saat itu saya berfikir, tidak ada salahnya untuk
mencoba mengabulkan apa yang diinginkan oleh ibu saya
dari dulu, saat itu saya memutuskan untuk mendaftar di 2
jurusan, IT dan Nursing. Saya menulis 2 surat permohonan
enrollment kepada CDU dan menunggu hasilnya, surat
permohonan yang mendapatkan balasan tercepat, jurusan
itulah yang akan saya ambil. Ibu saya sangat senang pada
saat itu, karena paling tidak saya memperhitungkan
nursing, dan benar ssaja hanya dalam waktu sehari, yaitu
keesokan harinya saya langsung mendapatkan CoE untuk
nursing. Disitulah saya menyadari betapa mudahnya jalan
hidup kita apabila kita menuruti apa yang diinginkan oleh
seorang ibu selama itu hal yang baik. Kekuatan doa beliau
tidaklah main-main. Mendengar berita itu ibu saya sangat
senang dan tidak sabar menunggu keberangkatan saya ke
Australia (lagi) untuk menuntut ilmu. Setelah saya
mendapatkan CoE pada awal juli, saya langsung apply
student visa yang waktunya amat sangat mepet dengan
CDU’s orientation week yang jatuh pada pertengahan Juli.
Proses visa saya memakan waktu kurang lebih 2 minggu
dan saya langsung terbang ke Australia 3 hari setelah visa
saya granted. Ya, benar saya tidak mengikuti orientation
week karena saya datang ke Darwin setelah orientation week.
Disinilah perjuangan baru hidup saya dimulai,
yaitu sebagai seorang student yang juga harus bekerja
untuk biaya kuliah saya selama 3 tahun kedepan.
Perjuangan masih terus berlanjut, dan saya yakin, saya
bisa melalui semua ini, demi ibu saya. Selama ada
keinginan saya tidak akan pernah berhenti. Seperti moto
hidup saya,’I don’t stop when I am tired, I stop when I am
done!’.
Selelah apapun kita menghadapi kenyataan hidup
ini, jangan pernah berhenti, terus berusaha dan berdoa.
Saya tahu dan sangat mengerti bagaimana beratnya hidup
ini dan tidak memungkiri bahwa seringkali saya lelah dan
hancur, namun saya selalu mengingatkan diri saya untuk
tetap berusaha, meskipun satu-satunya tujuan hidup saya
selama ini diambil untuk selamanya. Yup, ibu saya
meninggal sebulan setelah saya kembali ke Australia.
Dalam waktu satu bulan itu pula saya bolak-balik Darwin-
Indonesia. Disela-sela banyaknya tugas dan kuis dari
semua mata kuliah, karena ibu saya sempat koma selama
10 hari, setelah akhirnya menyerah. Tidak dapat saya
pungkiri, saya sangat putus asa dan tidak bersemangat
untuk belajar. Saya sering bertanya-tanya, kenapa hal
tersebut terjadi diawal perjuangan saya untuk
membahagiakan beliau, disaat dukungan dari beliau yang
benar-benar saya butuhkan. Saya merasa dipermainkan
oleh kenyataan. Jujur, saya masih belum sepenuhnya pulih
dari semua kenyataan ini, karena mimpi saya dari awal
adalah membawa ibu saya tinggal di sini setelah saya
menyelesaikan studi saya. Tapi, kenyataan merampas
semua mimpi itu dari saya. Yup sekejam itulah kenyataan.
Namun, Saya tidak akan berhenti di sini, yeah.. life must be
go on, right? Tetap semangat dan selasaikan apa yang harus
saya selesaikan. Itulah satu-satu nya hal yang saya jaga
hingga saat ini. Like what I said, I will never stop till the end.
Let’s keep fighting. Never give up, no matter how hard and big
obstacles in front of us. We can fall so many times, but as long as
we have these feet to stand up again, don’t be tired to do so.
MUHAMMAD GHIBRAN PASADJO

Hai…
Nama Lengkap gue Muhammad Ghibran Pasadjo
panggil saja IBEL. (gak usah dibahas kok bisa nyambung
ke IBEL). Lahir di Luwu Utara 20 Juni 1986. Gue seorang
Ssajarana Ekonomi bidang Akuntansi di salah satu Sekolah
Tinggi Swasta di Makassar – Sulawesi Selatan. Gue
seorang akuntan di salah satu perusahaan BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) Bidang Pertanian selama 8 tahun.
Gue sudah bergabung di perusahaan tersebut dari jaman
masih kuliah dan status kepegawaian gue mulai dari
tenaga honor sampai jabatan terakhir gue adalah Kepala
Sub Bagian Akuntansi Wilayah Indonesia Timur.
Suatu hari gue ketemu sahabat dan dia
menceritakan tentang Work and Holiday Visa, dimana
program ini merupakan kerjasama Pemerintah Indonesia
dan Australia. Setelah mendengar semua penjelasan
tersebut akhirnya gue mencoba searching apapun di Mbah
Google yang berhubungan dengan Program WHV ini.
Setelah 3 minggu gue mencoba mengulik semuanya,
akhirnya sahabat gue memberitahukan kalau ada Group
Facebook yang didalamnya berisi semua hal yang
berhubungan dengan WHV mulai dari Senior yang sudah
lulus, masih berjuang ataupun teman-teman yang sedang
bimbang memulai langkah WHV ini.
Alasan gue ikut WHV karena ingin melepas penat
dari kegiatan gue yang monotan selama hampir 10 tahun.
Tidak mudah buat gue untuk ikut WHV, mulai dari harus
siapin mental buat resign di perusahaan yang secara
langsung sudah memberikan gue banyak hal. Mengingat
bahasa Inggris gue yang amburadul hingga gue
memutuskan pergi ke Pare (Kampung Inggris) untuk
belajar di sana selama sebulan dan juga meminjam duit
untuk memenuhi persyaratan 5.000 AUD sebagai salah
satu syarat WHV.
Setelah semua persyaratan bisa gue penuhin
akhirnya gue mendaftarkan diri ikut WHV Oktober 2014
dan VISA Granted 27 April 2015. Setelah granted dan setelah
diskusi dengan beberapa teman akhirnya 11 Agustus 2015
gue menuju Sydney – Australia. Sydney menjadi tujuan
pertama, karena sahabat gue memilih ke Sydney jadi
setidaknya gue yang tidak mengenal siapa-siapa di sana
masih ada yang bisa bantu. Yang menjadi dasar
pertimbangan gue, kota ini sudah sangat familiar di otak
gue dari kecil.
Tiba di Sydney gue gak langsung dapat kerjaan dan
itu berlangsung selama 2 minggu. Segala cara sudah
dicoba mulai dari keliling lingkungan sekitar menyebar
CV ataupun mencoba secara online. Tapi yang namanya
usaha gak akan pernah sia-sia. Untungnya gue ke Sydney
gak sendiri tapi bareng sahabat gue. Karena Informasi dari
teman ke teman akhirnya gue mendapatkan kerjaan
sebagai room attendant di salah satu Hotel, dan di hari yang
sama gue juga dapat kerjaan sebagai kitchen hand di salah
satu Indian Resto daerah Pyrmont (Kebayang ga ini lelah
nya gue ketiban 2 kerjaan di hari yang sama).
Sebenarnya kerjaan fisik seperti ini tidak membuat
gue kaget karna gue sudah terbiasa dengan jenis kerjaan
ini. Hanya ssaja intensitas kerjanya ssaja yang harus cepat
di adaptasikan. Gue ga akan banyak bercerita seputar
dunia housekeeping dan kitchen hand karena gue yakin
banyak orang yang bisa sharing akan hal ini. Gue
menjalani double kerjaan ini selama kurang lebih 4 bulan.
Suatu hari gue mendapat tawaran kerja dari
roommate gue di salah satu pabrik tahu dan tempe daerah
Eastgarden. Hmm…. Ini yang bikin gue excited ….. “ada
gitu ya pabrik tahu tempe di Australia” hahahaha. Dan
yang paling menggiurkan adalah jam kerjanya yang
panjang (good money di jaman gue).
Hari pertama bergabung di perusahaan ini gue
diposisikan sebagai Machine Operator Tofu. Hallloo…. Ini
tuh kasarnya gue di suruh jadi penjaga mesin, dimana jenis
kerjaan ini menjadi pengalaman pertama bagi gue. Kerjaan
ini sich lumayan menguras waktu, gue harus bangun jam
5 pagi demi mengejar bus jam 5.50 Pagi (telat dikit bisa
bablas) tiba di pabrik jam 6.35 gak bisa langsung kerja. Hal
yang pertama gue siapin ganti pakaian dulu (setiap pabrik
punya seragamnya masing-masing) abis itu bekal yang
gue bawa tiap hari harus dimasukin ke Freeze biar gak basi
(kebayang kan ini sudah makan waktu berapa menit).
Tepat jam 7 pagi adalah jam operasional pabrik,
berhubung gue ga mau buang-buang waktu biasanya
sebelum jam 7 gue dah finger print dan sudah
mengoperasikan mesin. Kerjaan gue ini di bilang mudah
ya mudah banget, di bilang capek ya mungkin capek
banget. Pagi gue nyalain mesin, ambil kacang di container
(ini untuk persiapan keesokan harinya), siangnya cuma
menjaga kestabilan mesin sambil tiap per 40 sampai 50
menit mengganti karung ampas tahu yang sudah penuh.
Dan ini terjadi tiap hari sampai closing. Yang membuat gue
lelah adalah kerjaan yang membosankan untuk menunggu
dan menahan ngantuk dan yang paling memporsir tenaga
adalah cleaning mesin.
Yah… cleaning…. Ini yang memporsir tenaga, gak
semudah yang gue bayangin. Proses cleaning ini ada
beberapa tahap, tapi gue gak bakalan memporsir pikiran
kalian untuk hal cleaning mesin. Hahahaha Australia salah
satu negara yang mempunyai aturan yang sangat ketat
tentang higenitas di pabrik. Dalam setahun bisa 2 sampai
3 kali mengadakan inspeksi ke setiap pabrik untuk
mengecek kelayakan operasional.
“Pembuat Tahu” yah inilah julukan gue selama
kerja di pabrik. Proses pembuatan tahu ini di kerjakan 80
persen oleh mesin gue cuma menyiapkan kacang
kedelainya dari gudang kacang sampai akhirnya berada di
bak pengelolahan kacang. Di pabrik ini gue disajarin cara
pakai forklift juga biar mudah ambil kacang ataupun buang
ampas tahu “secara satu karung itu mungkin 300 kilo
lebih”. Jam kerja panjang adalah satu-satunya alasan gue
memilih kerjaan ini. Start kerja jam 7 pagi dan pulang
kadang jam 9 atau jam 11 malam. Untuk 8 Jam pertama
dibayar sesuai upah minimum kota Sydney selebihnya di
bayar Overtime. Untuk 2 bulan pertama gue kerja dari
Senin sampai Sabtu dan Sabtu itu hitungannya overtime
karna normal kerja pabrik Senin sampai Jumat. Overtime
biasanya terjadi apabila adanya lonjakan permintaan dari
konsumen.
Selama WHV gue gak selamanya hidup dengan
bekerja. Tiap day off gue sempatin jalan-jalan mau di City
atau pun beberapa daerah sekitar Sydney yang notabene
banyak tempat alam yang mudah di jangkau dengan
transportasi umumnya yang sangat sangat membantu.
Work and Holiday hal ini yang selalu di benak gue, kerja
sambil liburan bukan kerja sambil kerja. Gue ga maksain
diri untuk bekerja selama setahun penuh karena itu sama
saja bohong. Lepas penat di Indonesia malah kerja keras di
negeri orang.
Melbourne dan Canberra menjadi tujuan berlibur
gue selain mengelilingi daerah seputaran Sydney. Sesuatu
pengalaman yang boom bagi gue adalah saat ke Snowy
Mountain, amazing bagi gue yang pertama kali lihat salju,
dan beruntungnya lagi gue tiba di saat saljunya turun.
Hal yang gue sesalkan selama WHV adalah pergi
tanpa insurance. Insurance menurut gue hal sangat penting
karena kita gak bakalan tau apa yang akan terjadi selama
WHV. Di pabrik gue ngalamin kecelakaan kerja
untungnya seluruh biaya di tanggung oleh perusahaan.
Coba kalo ga… bisa terkuras banyak duit gue buat
perawatan kecelakaan kerja. Hal lain yang gue pelsajari
selama WHV “say NO”. Dunia kerja emang penuh
eksploitasi ini terjadi dimana ssaja, akan tetapi untuk di
Australia kalian harus belajar untuk mengatakan tidak
“apabila” hal itu tidak mendatangkan keuntungan bagi
kalian. Hal ini bukan sesuatu yang tabu kok untuk
Australia justru ini adalah hal yang harus kalian terapkan
di dunia kerja.
Cash in Hand. Kerjaan ini harus hati-hati ya. Pastikan
jam kerja kalian harus di catat. Setiap gajian di Re-Check.
Kalo sudah ada 2 kali kekurangan gaji, saran gue mending
kalian cari kerjaan lain saja apalagi kerjanya sama orang
Asia.
Bagi kalian yang ingin sekolah di Australia
sebaiknya nyambi cari kerjaan yang sesuai dengan
background pendidikan kalian, gak ada yang gak
mungkin kok. Take a short course ataupun ikut komunitas
karena terkadang mengorbankan waktu untuk mencari
duit bisa mendatangkan rejeki.
Work and Holiday VISA (WHV) bagi gue suatu
kesempatan yang sangat berharga untuk melangkah satu
step kedepan. Mengetahui kebiasaan-kebiasaan orang lain
yang pada dasarnya jauh dari kebiasaan kita. Dan ini
semua tidak menghabiskan banyak biaya. Kesempatan
yang ada bisa membuka banyak peluang pekerjaan,
pertemanan, informasi, petukaran budaya dan masih
banyak lagi. Yang sudah selesai WHV bisa balik lagi
dengan beberapa opsi, yang gak memih untuk kembali
bisa memanfaatkan pundi yang telah di kumpulkan untuk
melanjutkan karirnya, membuka usaha di Indonesia
ataupun pergi traveling ke beberapa Negara lainnya.
AHMAD ADIB

Akhirnya, kedua kaki ini telah sampai di


Melbourne. Dengan sebuah nafas panjang, kuyakinkan
diri untuk mencoba sebuah peruntungan baru. Memulai
segalanya dari nol. Karir ataupun pendidikan yang sudah
kuidamkan semenjak lama, harus kusingkirkan sejenak.
Aku yakin, rencana Tuhan jauh lebih baik dibandingkan
rencanaku sebagai seorang hamba yang kecil. Dan
ternyata, ini benar bukan?
Selepas lulus dari sebuah kampus negeri di
bilangan Depok, aku mantapkan diri ini untuk
melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi di sebuah
negara yang sudah kuidam-idamkan semenjak lama,
Inggris. Selama tiga bulan lebih, aku melakukan
persiapkan dengan pergi merantau ke sebuah kampung
yang dimana ada nama negara idamanku, “Kampung
Inggris.” Namun, Tuhan memberiku sebuah kegagalan
dipercobaan pertamaku. Pada waktu itu, aku berpikir
untuk menysudahi ssaja mimpiku. Kukubur dulu dan
akan kugali-gali pada saat yang lebih tepat. Janjiku, pada
diri sendiri.
Selanjutnya, aku pun bekerja di sebuah kementrian
yang didalamnya terdapat sebuah lembaga yang
menyediakan beasiswa pendidikan tinggi lanjutan bagi
anak terbaik negeri. Lembaga ini sangat dikenal di
kalangan pelsajar Indonesia tentunya, bahkan dapat
dikatakan sebagai lembaga pemberi beasiswa yang paling
dikenal di Indonesia saat ini. Pekerjaanku selama kurang
dari satu tahun di sana berjalan dengan sangat lancar dan
baik. Aku diberikan sebuah tugas yang membuatku
terbiasa bertemu dengan tokoh nasional dengan reputasi
baik, terlebih riwayat pendidikannya. Selain itu, para
awardee yang setiap minggunya berganti juga tak kalah
hebatnya, karena kepada merekalah Indonesia
berinvestasi sangat besar, bukan?
Ditengah nyamannya bekerja, aku pun tersadar
dengan sebuah surel yang masuk mengingatkanku pada
jadwal wawancara visa bekerja dan berlibur Australia,
atau yang biasa disebut WHV (Work and Holiday Visa).
Selepas wawancara dan tes kesehatan, aku pun kembali
mendapatkan surel bahwa sudah diterimanya visaku.
Dengan kegundahan karena akan melepas pekerjaan yang
sudah kunikmati, aku memutuskan untuk siap bertualang
ke Australia.
Bersamaan dengan Tante Emil yang merupakan
teman baik ibuku yang ingin menjenguk anaknya di
Melbourne, aku pergi pada pertengahan Maret 2016
menuju kota dengan julukan “The Most Liveable City in
the World” ini. Selama hampir satu bulan lamanya, aku
mencari pekerjaan di Melbourne. Ini merupakan saat-saat
tersulit selama berada di Australia. Aku merasakan
bagaimana tidak mudahnya mencari pekerjaan disini,
pintu demi pintu restoran, toko, maupun swalayan aku
hampiri untuk sekadar memberikan curriculum vitae-ku.
Sudah banyak pula surel yang aku kirimi untuk melamar
pekerjaan. Ada beberapa balasan dari surel yang
menyatakan penolakan, pemberian jadwal interview,
namun sebagian besar tidak ada respon sama sekali. Aku
sangat gundah, aku sangat teramat gundah.
Australia, sebagai salah satu negara dengan biaya
hidup tertinggi di dunia, tentunya akan sangat
membutuhkan banyak uang untuk dapat bertahan hidup.
Aku pada saat itu tinggal bersama anaknya Tante Emil di
sebuah house sharing bersama dengan dua temannya dari
Nepal. Mereka sangat baik kepadaku dengan memberikan
penginapan gratis selama hampir satu bulan tinggal di
sana, bahkan juga memberikan makanan kepadaku.
Mereka bertiga merupakan mahasiswa yang juga bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup selama disini. Aku
merasa sangat tidak nyaman untuk terus bersama mereka,
aku harus segera mendapatkan pekerjaan. Sesegera
mungkin.
Ada salah satu email yang menerimaku untuk
bekerja sebagai kitchenhand di sebuah restoran China,
namun aku merasa sedikit kurang nyaman dengan isi email
yang menanyakan apakah aku mau bekerja dengan
restoran yang menyajikan babi. Aku menyadari bahwa di
negara dengan minoritas muslim seperti Australia ini akan
sangat sulit sekali mencari pekerjaan yang moslem friendly.
Aku termenung, bingung harus berbuat apa. Walaupun
beberapa orang menyarankanku untuk mengambil ssaja
pekerjaan tersebut dan tetap mencari pekerjaan lainnya,
aku putuskan untuk tidak mengambilnya. Aku tidak ingin
pekerjaan yang tidak berkah dan dan bertentangan dengan
agama yang kuyakini.
Salah satu usaha yang aku lalu adalah mencari
pekerjaan di tempat lain, tidak hanya di Melbourne,
termasuk state lainnya. Aku terpikir untuk pergi ke Perth
yang dimana ada tanteku yang menyatakan akan
menyediakan kamar untukku, ke Darwin dimana ada
temanku yang mengenalkanku akan WHV yang banyak
membantuku selama proses WHV bahkan hingga saat ini,
dan juga Sydney sebagai salah satu kota terramai di
Australia. Aku terus berikhtiar, aku yakin ALLAH SWT
selalu bersama hamba-Nya.
ALLAH SWT terlalu hebat dari apa yang bisa kita
bayangkan. Aku sangat bersyukur bahwa aku akhirnya
mendapatkan interview pekerjaan di dua buah agen
housekeeping dan sebuah restoran Jepang yang keduanya
berada di Sydney. Aku yakin, setidaknya ketiga calon
pekerjaanku ini memiliki peluang yang cukup besar. Aku
pun membeli tiket kereta dari Melbourne menuju Sydney
pada hari Senin, 4 April 2016. Satu hari sebelum
keberangakatanku, pada waktu solat ashar, aku berdoa
kepada ALLAH SWT semoga terus membimbingku dan
menunjukkan jalan yang terbaik yang harus aku lalui
selama disini. Tepat pada waktu itu, aku mendapatkan
kabar dari Tante Yela yang merupakan adik dari Tante
Emil yang sudah menjadi Permanent Resident di
Melbourne, bahwa ada sebuah pekerjaan di
Warrnambool.
Sebelumnya, aku juga sudah mendaftar untuk
bekerja di pabrik daging halal ekspor di Warrnambool
melalui agen yang kudapat dari temanku sesama WHV
Indonesia yang sudah terlebih dahulu bekerja di sana.
Namun agen tersebut menyatakan bahwa tunggu 2-3
minggu karena sedang banyak orang yang mendaftar
pekerjaan. Maka, kuurungkan ssaja niatku untuk bekerja
di sana. Namun Tante Yela melalui kenalannya di sana
mengatakan bahwa ada lowongan pekerjaan di pabrik
yang sama namun melalui agen yang berbeda.
Kutanyakan kepada temanku yang sudah di sana
bukanlah besarnya gaji, namun apakah ada waktu solat
yang diberikan karena aku tahu waktu kerja di pabrik
sangatlah padat. Dia menyatakan tidak tahu, namun ada
sebuah masjid perusahaan yang biasa digunakan bagi
muslim. Mendengarnya ssaja aku merasa sangat lega.
There will be something bigger and better coming, I believe it.
Keesekoan harinya, aku langsung membeli tiket
menuju Warrnambool untuk hari Selasa, 17 April 2016.
Warrnambool merupakan salah satu KotaVictoria yang
berada sekitar 300 km dari Melbourne. Sebagai country side,
sangat sulit mendapatkan penginapan di Warrnambool.
Namun berkat bantuan Tante Yela lagi, aku mendapatkan
kontak sebuah keluarga Indonesia muslim yang tinggal di
Warrnambool yang akan menjadi land lord-ku.
Selepas sampai di Warrnambool, aku dijemput oleh
Tante Heni, yang merupakan teman sekolah Tante Emil
dulu ketika di Indonesia, aku langsung diantar di pabrik
daging tersebut. Aku bertemu dengan Pak Khairul, orang
Indonesia yang akan menjadi land lord-ku yang juga
bekerja di pabrik daging tersebut. Kami sempat berbicara
sebentar dan aku langsung dipertemukan dengan agen
untuk mengurus pendaftaran bekerja. Selama satu
minggu, terdapat beberapa tes sebelum bekerja, yaitu tes
tertulis dan tes kesehatan yang terdiri dari tes kulit, telinga,
dan Q-Fever. Apabila semua tes telah usai, maka kita akan
ditempatkan di waiting room untuk menunggu pos mana
yang membutuhkan pekerja baru. Jadwal menunggu ini
bisa berbeda-beda, bisa satu hari, dua hari, satu minggu,
dua minggu, satu bulan, atau bahkan lebih.
Pada pelaksaan tes kulit, saya ditanya oleh salah
satu orang di sana yang saya kira merupakan dokter, dari
mana aku berasal dan agama apa yang kuanut. Aku jawab
bahwa aku orang Indonesia yang juga seorang muslim.
Selepas itu, aku kembali mengantri untuk tes telinga,
namun orang yang menanyakan padaku tadi yang
ternyata merupakan salah seorang manajer perusahaan di
sana, kembali menemuiku dengan seorang pria yang tidak
terlihat seperti orang Australia, namun seperti India. Dia
menyatakan bahwa aku harus disegerakan untuk tes
telinga dan setelah itu ditunggu untuk masuk ke sebuah
ruangan yang bertuliskan “Halal Meat Supervisor.”
Selepas tes telinga, aku masuk ke ruangan tersebut dan
ditanyakan oleh orang berparas India tersebut yang
merupakan Moslem Supervisor di sana, mengenai solat,
Al-Qur’an, dan beberapa pertanyaan dasar agama Islam.
Dia menanyakan kepadaku apakah tertarik untuk menjadi
moslem slaughter man atau penyembelih muslim. Dia
menerangkan bahwa pekerjaan ini harus seorang muslim
dengan pengetahuan muslim yang baik, tidak melakukan
hal yang dilarang agama yang mendapatkan spesial
perlakuan dari perusahaan dengan diberikan waktu solat,
dan dapat diberikan sponsor dari perusahaan sebagai PR.
Dengan senang hati dan sumringah, saya menyatakan
bersedia.
Selama berkerja di perusahaan yang bernama The
Midfield Group ini, aku disajarkan dari dasar bagaimana
caranya menyembelih dengan benar dan cepat. Kenapa
harus dengan cepat? Karena dalam satu menit, harus
menyembelih sebanyak 7 – 10 ekor kambing atau 1 – 2 sapi
dengan satu kali potongan. Terdapat empat chains
pemotongan, dua untuk small stock yang terdiri dari lamb,
mutton, dan small chalf dan dua lagi untuk cow dan bull. Di
setiap chain, terdapat dua orang yang menjadi moslem
slaughter man untuk 5000 - 7000 small stock dan 700 – 1000
cow dan bull setiap harinya. Kami para slaughter men
mendapatkan giliran 30 menit memotong dan 30 menit
mengasah pisau sekaligus cek kehalalan hewan potongan.
Selain itu, aku pun belajar bagaimana cara mengasah yang
sesuai agar dapat menghasilkan pisau yang sangat teramat
tsajam. Selain itu, aku juga disajarkan bagaimana menjaga
kehalalan kambing dan sapi sebelum dipasarkan. Salah
satunya adalah apabila terdapat sapi yang mati sebelum
disembeli dahulu, maka harus ditempelkan label “Non
Halal” dan terus dipantau oleh moslem slaughter man pada
semua proses produksi.
Hal yang menurutku sangat tidak terhingga adalah,
kami diberikan waktu untuk tetap beribadah ketika
bekerja. Seperti setiap pagi yang dimulai sebelum
berkumandangnya adzan shubuh, maka satu orang
bekerja dan satu orang bersiap solat dan setelah orang
pertama solat subuh, maka orang kedua pun bergantian
solat shubuh. Namun, keduanya tetap dihitung waktu
penuh dalam bekerja. Begitupun ketika solat dzuhur.
Bahkan, ketika pelaksanaan solat Jumat yang
membutuhkan waktu sekitar satu jam, salah satu Moslem
Slaughter man dari setiap chain mendapatkan waktu solat
dan ini bergiliran setiap minggunya.
Aku merasa sangat bersyukur dapat bekerja disini.
Salah satu kenikmatan untuk tetap beribadah adalah
ketika bulan Ramadhan. Kami para Moslem slaughtermen
terbiasa untuk mengaji ketika smoko time atau waktu
istirahat pada saat bekerja. Dimalam harinya, kami
melaksanakan solat tarawih berjamaah dan beberapa kali
berbuka puasa bersama pula. Pada saat perayaan lebaran
lalu, walaupun tidak diberikan hari libur, karena bukan
termasuk hari libur nasional di Australia, proses produksi
di semua chain diberikan waktu istirahat selama satu jam
untuk memberikan waktu bagi para muslim untuk solat
‘ied. Ternyata, muslim yang bekerja tidak hanya bekerja
sebagai moslem slaughter man, namun juga bagian lainnya.
Masjid sebagai tempat dimana kami biasa solat yang juga
menjadi Islamic Center of Warrnambool yang merupakan
sebuah working space yang diberikan dari pihak
perusahaan. Alhamdulillah ‘ala kulli haal
Australia, sebagai negara minoritas muslim,
bukanlah hal yang mudah bagi muslim untuk tetap hidup
berdampingan namun bisa tetap beribadah dengan baik.
Namun, satu hal yang akan terus kuyakini bahwa ALLAH
SWT selalu bersama hamba-hamba-Nya, termasuk aku.
Perjalananku selama beberapa bulan di Australia ini
menjadi salah satu perjalanan yang membuka mataku
lebih lebar akan kuasa-Nya. Dahulu, langkah kaki yang
kian terasa berat, senyuman yang kian memudar, dan air
mata yang kian banyak menetes, semua hilang disetiap
doa yang dicurahkan. Kita ialah makhluk yang terlalu
resah ditengah rahasia Tuhan yang begitu dahsyat.
Bahkan, apakah kamu tahu, bahwa kini aku tidak lagi di
Warrnambool?
Darwin, 12 Agustus 2016 pukul 01.01am
ALFI BAQIATUS SHOFI

Latar Belakang Ikut WHV


Nama saya Alfi Baqiatus Shofi, perempuan berusia
24 tahun yang berasal dari Kabupaten Jombang, sebuah
kabupaten kecil di Jawa Timur. Saya lulusan Teknologi
Pertanian, Universitas Gadjah Mada angkatan 2011. Saya
lulus di tahun 2015 dan sempat bekerja sebagai petugas
lapangan dalam program peningkatan produksi hasil
pertanian oleh pemerintah di Yogyakarta selama satu
minggu. Ya, hanya satu minggu ssaja dan kemudian saya
memutuskan untuk resign. Alasan utama saya resign
adalah karena saya tidak bisa membendung hasrat saya
untuk kuliah di luar negeri. Hasrat? Ya, bukan sekedar
keinginan tapi hasrat untuk melihat dunia lebih jauh.
Setelah itu saya memutuskan untuk belajar di
kampung Inggris Pare, Kediri, Jawa Timur. Di tempat
inilah saya belajar IELTS selama 3 bulan dan kemudian
memutuskan untuk mengambil tes pada bulan Maret 2016
secara terburu-terburu karena deadline pengajuan beasiswa
sudah sangat dekat. Hal yang pada awalnya saya sesali
namun pada akhirnya saya syukuri. Dua minggu setelah
tes, hasil pun diumumkan melalui website. Hasil yang
sangat tidak saya harapkan dan akhirnya membuat saya
urung untuk meneruskan aplikasi beasiswa saya. Satu
minggu setelahnya saya memutuskan untuk kembali
belajar writing IELTS di Pare secara private. Di tempat
kursus inilah saya bertemu dengan seorang teman, mbak
Delta Mentang. Ia berencana untuk mengambil tes IELTS
General dan menggunakan hasil tes tersebut untuk
mendaftar Working Holiday Visa di Australia. Saat itu saya
tidak tertarik dan saya juga tidak mencari tau lebih jauh
dengan prgoram tersebut. Sebulan setelah perbincangan
saya dengan Mbak Delta, saya memutuskan untuk
kembali ke Jombang dan belajar mengenai grammar di
sebuah tempat kursus di Jombang. Beberapa waktu
kemudian, saya mendengar beberapa teman saya berhasil
mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di luar negeri.
Belanda, Australia, Jepang, Inggris, dan California. Di saat
yang bersamaan, kekasih saya juga sedang menempuh
study di Australia. Hal tersebut membuat saya senang dan
sedih di saat bersamaan. Hal tersebut juga yang membuat
saya memutuskan untuk mengikuti program Working
Holiday Visa di Australia sebagai bentuk pelampiasan
kekecewaan saya terhadap diri saya sendiri karena
kelemahan saya di Bahasa Inggris. Pertimbangan lain
adalah dengan mengikuti program ini saya bisa belajar
bahasa Inggris di negara yang sehari-hari menggunakan
bahasa Inggris, sambil saya juga bisa menabung dan
berlibur. Setelah saya menghubungi mbak Delta untuk
mencari tahu lebih lanjut tentang program ini, saya
bergabung dengan group WHV di Facebook. Dari group
tersebut saya meluncur ke website imigrasi dan
mempelsajari lebih dalam lagi.
Pada tanggal 26 Juni 2016 saya mendaftar online di
website imigrasi kemudian visa saya dinyatakan granted
pada 25 Agustus 2016. Perjuangan yang tak mudah dan
juga membutuhkan biaya dan waktu yang tak sedikit. Saya
memutuskan untuk berangkat ke Australia bulan
Desember mengingat kekasih saya yang juga sedang study
di Brisbane, Australia akan mengikuti wisuda bulan
Desember 2017 (kalau lulus, dan alhamdulillah lulus tepat
waktu). Hal ini juga yang membuat saya memutuskan
Brisbane sebagai tempat persinggahan pertama saya dan
Australia menjadi negara pertama selain Indonesia yang
akan saya pijak.

Pengalaman Bekerja di Australia


Tanggal 17 Desember 2016, saya sampai di Brisbane.
Cuaca yang sangat panas dan saat musim libur membuat
saya kesulitan mencari pekerjaan. Sangat sedikit sekali
informasi lowongan kerja casula/temporary yang bisa
saya apply. Setelah sekitar 2 minggu menunggu, akhirnya
saya memutuskan untuk menggunakan aplikasi Airtasker.
Dari aplikasi inilah saya mendapatkan pekerjaan pertama
saya sebagai babysitter sehari. Saya hanya bekerja
menemani dua anak bermain di tempat bermain di sebuah
mall sambil menunggu sang ibu selesai berbelanja.
Pekerjaan ini tidak sulit tapi cukup melelahkan. Setelah itu
saya mendapatkan pekerjaan sebagai forthrightly cleaner di
sebuah unit. Saya bekerja membersihkan toilet dan kamar
satu kali dalam dua minggu saat akhir pekan. Pekerjaan ini
tidak terlalu melelahkan karena si pemilik room bekerja di
luar kota dan hanya menggunakan kamar tersebut sesekali
dalam beberapa minggu.
Gaji sebagai cleaner hanya cukup untuk kebutuhan
makan dan transportasi. Saya harus menggunakan uang
tabungan saya untuk membayar sewa kamar setiap
minggunya. Saya berjuang untuk mendapatkan pekerjaan
part time/full time/casual selama 2 bulan. Hal yang tidak
saya duga sebelumnya, begitu sulit mencari pekerjaan di
Brisbane. Alasan-alasan umum yang saya dapatkan saat
employee menolak aplikasi saya adalah karena saya
berhijab dan status saya yang hanya temporary. Februari
2017, saya memutuskan untuk menyerah dan kembali ke
Indonesia karena uang tabungan saya sudah menipis dan
ibu kekasih saya meninggal dunia. Sangat berat hidup
sendiri di Brisbane tanpa pekerjaan.
Panasnya Brisbane Banyak hewan liar,
di musim panas kadal, burung, posum, ayam,
bakan kangguru

Maret 2017, angin segar pun datang. Saya


memutuskan kembali ke Brisbane untuk bekerja di farm di
daerah Gatton. Pekerjaan yang saya hindari karena kondisi
fisik saya yang tak cukup kuat untuk bekerja di bawah
sinar matahari Australia yang sangat tidak bersahabat.
Beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Gatton
(saya mendapatkan job dari sunqld.com dan gatton
backpackers website), saya mendapat panggilan wawancara
di sebuah restoran sebagai dishwasher dan di sebuah hotel
sebagai casual cleaner (kedua lowongan pekerjaan ini saya
temukan di sunqld.com). Hal yang masih saya sesali adalah
saya langsung menerima pekerjaan sebagai dishwasher
karena restoran tersebut lebih dekat dengan tempat tinggal
saya. Seharusnya saya bisa mendapatkan dua pekerjaan
sekaligus dalam waktu bersamaan. Nasi sudah menjadi
kotoran, mau apalagi…. Pada akhirnya dishwasher adalah
pekerjaan long hours dan long times saya selama di
Australia. Dari pekerjaan saya ini saya belajar mengenai
food chain dan management restaurant meski secara fisik dan
mental saya sangat lelah. Bekerja dari pukul 11 pagi hingga
pukul 11 malam dengan jam istirahat 2 jam selama lima
setengah hari setiap minggunya, membuat saya lupa
dengan tujuan awal saya untuk improve IELTS. Semua
rencana saya untuk mengikuti kelas IELTS dan kelas food
safety selama di Australia hanya menjadi rencana karena
kondisi fisik saya yang terlalu lelah dan lemah. Payah!
Selama bekerja sebagai dishwasher saya juga mencoba
untuk mendaftar pekerjaan melalui Seek, JobActive, Spotless,
MLKA, Compass, bahkan saya juga mendatangi langsung
kantor AHS dan beberapa agen lainnya namun mereka
menyarankan saya untuk mendaftar melalui Seek.
Beberapa agen pencari kerja memberi alasan aplikasi
ditolak, adalah karena saya tidak memiliki driving license
(mobil).
Saya juga pernah mencoba mendaftar beberapa
perusahaan makanan, perkebunan, dan penelitian namun
mereka hanya membutuhkan seseorang yang dapat
bekerja minimun satu tahun kontrak. Saya sudah
mendaftar lebih dari 100 lowongan pekerjaan, namun
sebagian besar alasan saya ditolak adalah karena saya
memakai hijab. Hijab tidak safety bagi beberapa restoran
bahkan mengurangi keoriginalitasan restoran. Meskipun
posisi yang dibutuhkan hanya sebagai kitchen staff bukan
front staff. Seringkali saya ditelpon untuk datang
wawancara namun ketika saya konfirmasi kembali bahwa
saya menggunakan hijab, employee/manager seketika
membatalkan wawancara yang akan saya hadiri dengan
alasan sudah mendapatkan staff yang baru. Hari-hari yang
berat dan menyenangkan saya lalui di Brisbane. Oktober
2017, saya mendapatkan second job sebagai housekeeper di
sebuah keluarga muslim di Brisbane (saya mendapatkan
pekerjaan ini dari group Muslim Brisbane di Facebook).
Pekerjaan yang saya lakukan hanya mencuci, menyetrika,
dan melipat pakaian di akhir pekan. Pasangan suami istri
tempat saya bekerja tersebut (suami Australian, istri
Canadian) sangat baik dan sering berdiskusi dengan saya
mengenai hidup di Australia sebagai muslim.

Co-workers Break time mampir cucu


mata di taman
Asik, Seru, Suka, dan Duka Kehidupan di Australia,
Trust me, It is worth to try!!!
Pengalaman sebagai Working Holiday Visa holder
adalah pengalaman yang paling berkesan selama hidup
saya, saya mengalami banyak hal baru dalam hidup saya
yang saya anggap sebagai bagian dari pendewasaan diri
saya. Bekerja sebagai dishwasher di sebuah restoran Asia,
membuat saya harus ekstra dalam pengendalian diri. Saya
sering disebut bodoh oleh salah seorang koki di tempat
saya bekerja (memang dia menyebut semua orang itu
bodoh) karena kekurangan di bahasa Inggris saya dan
banyak lagi drama yang saya pikir tidak akan saya temui
lagi hal-hal seperti ini di Australia. Namun sepertinya saya
salah. Sikap-sikap judgemental, bullying, dan lain
sebagainya, muncul dimana pun kita berada, bukan faktor
di mana negaranya, tapi seperti apa pola asuh dari sebuah
keluarga.
Di Australia, saya juga belajar, manusia kaya,
manusia pintar, semua hal tersebut tidak menentukan
kualitas seseorang namun pola asuh kelaurga sangat
berperan dalam pembentukan karakter seseorang. Saya
juga belajar tentang ilmu parenting dan pola pendidikan
anak dari beberapa teman yang bekerja dan memiliki anak
yang bersekolah di daycare. Termasuk betapa asyiknya
mengsajak anak-anak belajar dan mencintai museum.
Lebih dalam lagi, sebagai seorang muslim, saya harus
mengatur waktu bekerja saya dengan sholat saya. Di sini
lah saya sangat bersyukur, saya masih diperbolehkan
sholat meski belum waktunya istirahat. Saya juga belajar,
bagaimana tetap bisa travelling dan bisa melaksanakan
sholat. Beruntung, di tempat-tempat terbuka terdapat
keran air yang bisa digunakan untuk minum dan wudhu
lalu dapat melakukan sholat di tempat umum asal tidak
mengganggu orang lain.
Sea Life Sydney, University of
menambah wawasan tentang Queensland, memiliki banyak
fauna laut spot foto yang tak akan ada
habisnya

Saya bertemu orang-orang yang tidak respect


terhadap saya bahkan menghina saya karena saya
berhijab. Namun di saat yang bersamaan saya juga
menemui banyak orang yang menghargai saya sebagai
muslim yang berhijab. Contoh, saya diperbolehkan sholat
di garasi mobil pemilik cafe sebelah tempat kerja saya.
Sang pemilik cafe adalah seorang perempuan Australia,
bertato, dan perokok. Namun kami sering bercerita dan
bercanda tanpa memandang perbedaan kami adalah
sebuah batasan dalam berteman. Bapak kos seorang
Australia yang sangat baik dan menganggap saya sebagai
teman baik bahkan mengurus keperluan claim tax saya
juga adalah contoh nyata masih ada orang-orang yang baik
terhadap saya. Bagi saya, berbuat baik kepada sesama
adalah pengenalan Islam yang sesungguhnya terlepas dari
masih banyak orang yang memandang negatif perempuan
berjilbab dan Islam. Sebagai muslim, saya menunjukkan
kepada teman-teman yang hanya mendengar mengenai
umat muslim melalui media, bahwa muslim sebenarnya
adalah muslim yang mengasihi sesamanya, mengasihi
alam.
Sholat di tempat Perayaan HUT RI
umum 2017 di Brisbane

Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah


saya dapatkan, WHV sangat menguntungkan bagi kalian
yang ingin hidup mandiri di luar negeri, belajar bahasa
Inggris lebih intensif, mengenal budaya-budaya lain,
memperkenalkan budaya Indonesia, belajar lebih ekstra
sabar dengan segala perbedaan, mendapatkan gaji banyak
(haha), dan mengenal siapa diri kita sebenarnya.

Tips Untuk Teman-Teman…..


Terakhir, saran untuk teman-teman yang akan
berangkat WHV, siapkan driving license (mobil), rajin-rajin
olah fisik supaya kuat, dan belajar idiom-idiom juga slang
Australi (biar kalo disajak ngobrol/becanda nyambung).
Pilih pekerjaan yang sudah pasti sebelum berangkat,
misalnya mendaftarkan diri ke Agrilabour. Semoga cerita
saya menjadi motivasi dan pembelajaran bagi teman-
teman, terutama muslimah berhijab. Stay strong :)
DINA ARIYANTI

Bismillahirohmanirohim. Perkenalkan nama saya


Dina Ariyanti, lahir dan besar di lampung, dan asli suku
lampung juga selama 23 tahun hidup di Bandar Lampung.
Pernah dan lulus kuliah hingga sarjana dari Universitas
Lampung. Setelah lulus kuliah sempat memiliki pekerjaan
sebagai marketing di salah satu bank BUMN di Indonesia
selama kurang lebih 15 bulan dengan gaji lumayan (ketika
capai target) tapi status kontrak kerja tidak jelas (bukan
pegawai tetap). Ketika kuliah selalu terlintas pikiran untuk
keliling dunia secara gratis dan dapat uang lalu
berselancar melalui dunia maya sampai menemukan cerita
tentang Work and Holiday Visa di Australia. Selesai
kuliah, mimpi WHV di sematkan sebagai impian dengan
beberapa persyaratan yg lumayan sulit jika hanya di
fikirkan tapi akan mudah jika di usahakan dengan niat yg
baik (WHV di tujukan buat saving money untuk
membahagiakan keluarga dan lanjut kuliah Aamiin).
Australia adalan negara pertama yang saya
kunjungi untuk traveling di negara lain. Negara yang besar
dan nyaman untuk tinggal dan hidup dengan keluarga
(berasa sedih kalo gak ada keluarga, jadi ga cocok sendiri
disini hahahaha).
Pertama sampai di Australia, saya memilih
langsung tinggal dan cari kerja di Australia bagian Utara,
tepatnya di Darwin, Kota Panas tapi menenangkan dan
membosankan. Mencari keberuntungan dan punya teman
seperjuangan untuk mencari kerja bersama dari awal
hidup di Aussie (Dita, namanya). Kita dapat kerja sebagai
cleaning office dengan boss yang berasal dari Indonesia
juga. Mendapat pengalaman kerja cleaning dan survive
dengan skill cleaning di Darwin sampai sekarang.
Sebenarnya banyak sekali tantangan dan
kebahagian dengan hidup merantau di negara lain.
Apalagi ini pengalaman pertama saya jauh dari orangtua.
Shock culture, pertemanan yang tidak sesuai ekspektasi dan
home sick. Yang lebih khusus saya rasakan disini, kita
sangat hidup mandiri, bertahan hanya sendiri, jadi saya
pun sebenarnya sangat tidak suka pada bagian hidup di
negara maju seperti ini, Individualis. Dan lainnya
homesick, rindu keluarga padahal tinggal pulang, tapi
beberapa dan kebanyakan anak WHV lebih senang kerja di
bandingkan pulang menemui orangtua (hanya pendapat
saya hahahaha).
WHV adalah salah satu hal yg harus kamu coba,
karena jika kamu ingin merasakan tantangan hidup, saving
money, kamu bisa peroleh dengan visa ini. Tapi semua
tergantung tujuan dari awal, karena kamu akan menemui
banyak kebingungan jika tidak tau arah apa yang kamu
ingin dapatkan dari WHV ini. Jika kamu tidak punya
tujuan ketika mendapatkan visa ini, bisa jadi kamu hanya
akan melewatka 2 tahun dengan kebanyakan liburan dan
pulang ke Indonesia tanpa membawa uang tabungan, jadi
tentukan arahmu dari sekarang sebelum memulai
perjalananmu di Aussie. Sampai jumpa di Australia. Tetap
ingat Indonesia, dan tetap cintailah negaramu sendiri,
karena kamu tidak akan pernah tau bahwa beberapa dari
kalian akan mungkin sangat mencintai Australia ketika
meraskan nyaman hidup di sini. Semangat!
NURDIAH AMALIA

@nurdiahamaliasam akun instagram tersebut


sering wara-wiri dengan #WHVIndonesia setelah
keberangkatan saya ke Australia. Orang-orang lebih
mengenal saya dengan manusia tukang posting dan
pamer, apalagi setelah menginjakkan kaki ke Australia.
Sejujurnya bukan pamer, saya hanya ingin menunjukkan
bahwa anak pesisir pantai Bulukumba (Sulawesi Selatan)
yang dari keluarga sederhana bisa jalan-jalan di Australia
tanpa membebani orang tua.
Perjalanan saya mengikuti Program Working
Holiday Visa berawal dari keisengan bertanya dengan
teman yang sudah lama di Australia. Waktu itu saya baru
ssaja lulus Kuliah dengan status magang di salah satu
perusahaan sertifikasi di Jakarta. Teman tersebut
menyarankan untuk mengikuti program Working Holiday
Visa lebih dulu di bandingkan dengan daftar kuliah di
Australia. Karena WHV hanya di dapatkan 1 kali dan
harus berada di bawah umur 30 tahun.
Dari informasi teman tersebut saya mulai daftar
dengan asumsi di panggil interview oleh imigrasi entah
kapan dan pasti lama. Ternyata Tuhan berkehendak lain,
dalam kurung 3 hari email panggilan inteviewpun datang.
Dramapun di mulai, telpon ayah dan ibu menjelaskan
program tersebut.
Saya bersyukur karena orang tua tidak bertanya
panjang lebar dan justru mendukung dan percaya bahwa
saya tidak mungkin menyalah gunakan izinnya. Hal
terberat yang saya rasakan bahwa saya harus
meninggalkan pekerjaan dan harus memulai zona baru
yang belum ada jaminannya. Parahnya, ini adalah
perjalanan saya keluar negeri.
Pesam saya jangan mengambil WHV jika ingin
hidup tanpa jaminan. Karena di WHV semua harus di
usahakan sendiri. Seperti pekerjaan, akomodasi, state yang
akan di tujuh. Semuanya harus di urus sendiri. Modalnya
cuman satu yaitu yakin dan percaya.
Sydney adalah tujuan pertama saya, karena teman
yang menginformasikan mengenai WHV ada di sini. Hal
itu menjadi salah satu pertimbangan saya, mengingat ini
kali pertama saya keluar negeri. Teman yang baik ini pula
yang menyiapkan akomodasi dan menjemput saya di
bandara.
Pekerjaan saya pertama kali yaitu sebagai waitress di
warung sushi. Pekerjaannya gampang-gampang susah.
Gampangnya karena kalian hanya melayani tamu,
susahnya factor bahasa. Ternyata bahasa Inggris orang
Australia agak sedikit beda dengan bahasa Inggris yang
sering kita dengar di movie. Cara mereka berbicara sangat
lancar sehingga kadang saya harus meminta maaf dan
meminta mereka untuk mengulang perkataan mereka.
Pekerjaan ini saya lakoni hanya 2 minggu karena gaji yang
kata orang-orang sangat rendah yaitu $12 perjam dan tidak
memenuhi syarat minimum wages Australia.
Alasan kedua karena saya harus berdiri kurang
lebih 10 jam. Pekerjaan tersebut saya dapatkan dari
keluarga yang kuliah di sini. Saran saya, ketika kalian
pertama kali ke Australia jangan memilih-milih pekerjaan.
Setidaknya kalian harus punya pengalaman terlebih
duhulu sebagai pertimbangan pekerjaan kalian
selanjutnya.
Menjadi WHV tidak selamanya bahagia seperti
yang kalian lihat di #WHVIndonesia. Khususnya ketika
mereka mengejar second year visa. Kit hrus rela bekerja di
bidang yang telah di tentukan oleh pemerintah Australia.
Pekerjaan yang saya ambil ketika mengejar second year
yaitu dibidang hospitality.
Saya bekerja sebagai all arounder di salah satu
motel terbesar di Darwin. Di tempat inilah saya belajar arti
perjuangan dan kesabaran. Tapi di motel inilah saya
merasa bahwa kemampuan bahasa inggris saya
meningkat. Dibayar layak dan di hargai. Tapi, sebelum
mendapatkan pekerjaan ini, saya juga pernah bekerja
sebagai picker buah selama 2 minggu di daerah Katherine
NT. Beliave me, duitnya banyak tapi siksanya tak
tertahankan. Saya kagum dengan teman-teman yang
bekerja di bidang tersebut dan cukup lama.
WHV bagiku adalah perjalanan hidup yang
mengsajarkan cara bersyukur dan menghargai orang lain.
Dibayar selayaknya sesuai kemampuan kalian. Di
Australia saya belajar menghargai semua pekerjaan. Di
Australia saya belajar mengenai penyamarataan
pekerjaan. Di Australia saya melihat BOS banting tulang
dibanting bawahannya.
Tapi, jangan harap semua anak WHV sama. Setiap
orang datang kesini punya tujuan yang berbeda. Ada anak
WHV yang ke Australia jalan-jalan. Ada yang datang ke
Australia kerja keras untuk dapat uang bayar hutang di
Indonesia. Ada yang datang untuk modal kuliah lagi. Ada
yang datang untuk cari modal nanti ketika balik
kekampung. Ada yang datang main judi hingga di jadi
buronan.
Benefit ke Australia menggunakan WHV yaitu
syarat yang tidak terlalu berat dan kalian bias jalan-jalan
kesemua state dan yang paling asyik kalian bisa bertemu
WHV dari seluruh dunia. So, sebelum ke Australia melalui
WHV perbaiki niat kalian. Jangan sampai Australia
menaklukkanmu, tapi buat Australia takluk padamu.
Berikut beberapa foto hasil perjalanan saya yang
mungkin akan memotivasi kalian untuk ke Australia,

My WHV Story
Explore, Dream, Discover!

Enlik Tjioe

Pengenalan Pribadi
Hai pembaca, nama saya Enlik Tjioe, saya berasal
dari Pontianak, Kalimantan Barat, namun saya tumbuh
besar di Bekasi, Jawa Barat. Saya kuliah di Universitas
Gunadarma kampus Kalimalang, mengambil jurusan S1
Teknik Informatika, dari tahun 2009-2013. Lulus dari salah
satu kampus swasta terbaik tersebut, saya bekerja sebagai
Game Programmer di perusahaan game developer asal
Jakarta, Touchten Games, selama kurang lebih tiga tahun.
Saya bersama tim Touchten mengembangkan game-game
mobile untuk platform Android dan iOS. Pengembang
mobile game asal Jakarta ini menjadi tempat terakhir saya
berkarir profesional sebelum memulai petualangan baru
saya bekerja casual (baca: kerja kasar) di Australia dengan
Work and Holiday Visa.

Berkunjung ke booth Nintendo di PAX Australia


2017
Alasan Memulai WHV
Saat itu, bulan Agustus 2016, saya sedang dilanda
rasa galau, berada di titik jenuh menjadi karyawan penuh
waktu di Jakarta selama kurang lebih tiga tahun. Saya
mulai mencari informasi tentang bagaimana saya bisa
bekerja di Australia, dan dipertemukanlah saya dengan
yang namanya Work and Holiday Visa. Saya pun mengikuti
meetup bulan Agustus dari grup WHV Indonesia. Pada
meetup saat itu hadir kak Irene, Arip Hidayat, Adhi
Sappareng, dan beberapa alumni WHV lainnya, yang
semakin menguatkan tekad saya untuk berangkat ke
Australia, terima kasih kakak-kakak alumni. Kemudian
saya menghubungi kakak sepupu di Sydney,
menceritakan niat saya ini pada kedua orang tua, dan juga
mempersiapkan hati untuk keluar dari Touchten Games,
tempat saya bekerja. Saya memutuskan untuk keluar dari
comfort zone saya dan mencoba bertahan hidup di negeri
yang asing bagi saya ini. Inilah awal mulai perjalanan Work
and Holiday saya di Australia.
Meetup WHV di Jakarta pada bulan Agustus 2016

Pekerjaan Pertama di Australia


Tanpa pengalaman bekerja casual (baca: kerja kasar)
sebelumnya di Indonesia, proses pencarian kerja di
Australia menjadi tantangan tersendiri. Ijazah, sertifikasi,
dan berbagai dokumen legal dari Indonesia lainnya,
sebagian besar hanya menjadi selembar kertas yang tidak
ada pengaruhnya sama sekali. Apa yang kebanyakan
employer harapkan dari pegawai barunya adalah sebuah
pengalaman kerja nyata di Australia khususnya di bidang
hospitality, bidang pekerjaan yang paling banyak
lowongannya di negeri kangguru ini.
Beruntungnya, saya punya keluarga yang begitu
mendukung selama di Sydney. Pekerjaan pertama saya
adalah menjadi seorang kitchen hand di Google Sydney
lewat perusahaan hospitality bernama Compass Group.
Kakak sepupu saya dan teman baiknya (Chef di Google)
menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menolong
saya yang kesulitan mencari pekerjaan saat itu. Tidak
tanggung-tanggung, rancanganNya jauh melebihi apa
yang saya bayangkan sebelumnya, bekerja di restoran
internal Google rasanya seperti Dreams Come True!
Bekerja sebagai kitchen hand menjadi tantangan
tersendiri bagi saya, kerja super berat, back pain, bangun
pagi-pagi buta, sambil kejar-kejaran dengan bus,
pengalaman-pengalaman fisik dan mental lainnya sudah
saya rasakan lewat pekerjaan ini. Sebelum saya
meninggalkan pekerjaan ini, Sous Chef Google yang saya
kagumi, mengingatkan bahwa saya harus selalu fokus di
dapur dan berusaha memberikan yang terbaik, "tidak
semua rekan kerja di luar sana seenak di sini, kamu harus siap
menghadapi segala situasi", kata beliau. Pesan tersebut selalu
saya ingat sampai sekarang, dan menjadi modal berharga
ketika saya bekerja selepas dari Google nantinya.

Foto bersama seluruh rekan kerja Google Food


Team

Bekerja di Alseasons Hospitality Agency Sydney


Satu bulan sebelum masa kerja maksimal 6 bulan
saya selesai di Google, saya mulai mencari pekerjaan
secondary sebagai upaya mengurangi masa jobless nanti.
Saya memilih Alseasons, sebuah agency bidang hospitality di
mana saya memiliki kesempatan untuk bekerja di berbagai
tempat yang berbeda. Saya apply pekerjaan langsung dari
website resminya, cukup upload CV dan isi biodata
beserta pengalaman kerja. Beberapa hari kemudian saya
pun ditelpon untuk interview. Karena pengalaman saya
sebelumnya adalah sebagai kitchen hand, diterimalah saya
sebagai casual staff dengan posisi yang sama. Sebagai
seorang kitchen hand, saya diwajibkan untuk
menyelesaikan Food Handling online course (bayar sekitar
$15), Police Check ($49), dan membeli seragam khusus
Kitchen Hand dari Alseasons. Saya juga diberi opsi untuk
mendapatkan Working with Children card supaya tawaran
pekerjaan lebih banyak, namun tidak saya ambil karena
saya akan segera meninggalkan Sydney dalam waktu
dekat. Waiter/Waitress, Chef, F&B Assistant, Event
Attendant juga merupakan pekerjaan yang tersedia lewat
salah satu agency terbesar di Sydney ini.
Sistem bekerja di agency adalah kamu akan
menerima telp/sms penawaran kerja yang bisa kamu
terima atau tolak tergantung ketersediaan waktumu. Lalu,
setiap kali selesai bekerja kamu harus mengisi timesheet
secara online. Di Alseasons, semua sistematis tersebut
tersedia lewat sebuah aplikasi berbasis web bernama
Alseasons eRoster. Kamu akan mempelsajarinya saat
induction pertama kali di Alseasons.
Pekerjaan pertama saya lewat Alseasons adalah
kitchen hand di sebuah restoran Prancis dalam gedung
megah AMP Sydney. Saya nervous dan kurang maksimal
dalam hari pertama bekerja ini, saya dianggap lambat di
hari pertama bekerja oleh bos saat itu. Alhasil, saya hanya
bekerja di hari itu ssaja dimana seharusnya saya mendapat
shift empat hari kerja di tempat tersebut. Saya langsung
berpikir, benar ssaja apa yang pernah dibilang oleh Sous
Chef Google beberapa hari sebelumnya, saya langsung
mengalaminya di hari pertama bekerja selepas dari
Google. Saya pun mendapat telpon dari Alseasons bahwa
client tersebut memberikan feedback negatif tentang
performa kerja saya. Saya pun berusaha meyakinkan
Alseasons bahwa memang saya nervous, namun saya
berjanji akan memberikan yang terbaik di pekerjaan baru
selanjutnya. Bersyukur saya tidak dipecat langsung oleh
Alseasons, dan masih diberi kesempatan untuk pekerjaan-
pekerjaan selanjutnya.
Pekerjaan kedua, saya bekerja di sebuah sekolah
swasta khusus anak laki-laki, menjadi seorang Kitchen
Hand di dining room internal sekolah. Saya berusaha untuk
tidak nervous lagi, dan mencoba beradaptasi di
lingkungan kerja baru sebaik mungkin. Di tempat ini juga
pertama kalinya saya melihat kitchen hand seorang
perempuan, wow dia sungguh luar biasa menghadapi
pekerjaan berat ini. Saya bekerja shift siang hingga malam
dan kali ini saya lebih percaya diri menyelesaikan tugas-
tugas yang diberikan. Pulang larut malam hingga
ketinggalan bus pertama kalinya saya alami di sini.
Pekerjaan ketiga saya bekerja di Aged Care alias
panti jompo. Yang menyebalkan adalah Alseasons
menelepon saya 1 jam sebelum pekerjaan saya dimulai,
dengan lokasi yang cukup jauh dari rumah dan masih
asing bagi saya. Saya cukup nekat untuk menerima
pekerjaan tersebut, dan akhirnya saya telat 30 menit
namun pihak Aged Care masih bisa memaklumi alasan
saya, beruntungnya saya. Hal lainnya yang membuat saya
jengkel bekerja di sini adalah rekan kitchen hand saya,
seorang emak-emak Pinoy, berisiknya minta ampun,
semua serba terburu-buru karena ocehannya tersebut,
rasanya seperti dikejar kaleng Pepsi raksasa dalam game
Pepsiman Playstation. "Gak apa-apa lah, itung-itung nambah
pengalaman kerja under pressure dan pahalanya juga besar
bantu di panti Jompo, dibayar lagi", pikir saya saat itu.

Pekerjaan selanjutnya, saya bekerja di dapur


internal sebuah perusahaan msajalah, Bauer Media. Kali
ini rasanya sungguh ringan, cucian tidak terlalu banyak,
dapur kecil, bahkan saya ditawari untuk mencicipi
makanan yang sedang mereka riset untuk dijadikan menu
dalam sebuah rubrik makanan di msajalah terbitan
mereka. Feedback positif pun saya dapatkan dari
Alseasons karena client puas dengan kualitas bekerja saya
di sana, yang padahal menurut saya malah terlalu santai.
Memang benar kata R.A. Kartini, “habis gelap terbitlah
terang”. Untuk merasakan kebahagiaan, kamu harus
merasakan bagaimana rasanya menderita terlebih dahulu.

Seragam Kitchen Staff di Alseasons

Bekerja di Emirates One&Only Wolgan Valley


Wow! Amboii! Aduhaii! Betapa bahagianya saya
saat itu ketika mendapatkan shift kerja 10 hari dari
Alseasons di sebuah resort mewah bernama Emirates
One&Only Wolgan Valley di kawasan Blue Mountain, 3
jam dari Sydney. Dengan rate yang sangat bagus + 1 hari
rate public holiday saat itu (Queen's Birthday awal Juni
2017), saya merasa inilah momen perpisahan yang pas
dengan Sydney sebelum saya pindah ke Northern
Territory. Infonya, ada sepasang orang kaya dari Tiongkok
yang melangsungkan pernikahan mereka di resort mewah
ini selama kurang lebih 10 hari.
Bekerja selama 10 hari di sini dengan akomodasi
gratis dan fasilitas mewah seperti kamar privat, internet
super cepat, ruang tamu dengan konsol game dan TV,
rasanya it's to good to be true. "Thanks God, how blessed i am",
pikir saya saat itu. Bekerja sebagai Kitchen Hand di sini
juga relatif mudah, plus bonus saya mendapatkan banyak
teman baik baru baik sesama pekerja dari Alseasons
maupun para pekerja full time di resort ini. Di waktu
luang, saya bisa melakukan bushwalking di kawasan resort
yang super luas. Kangguru dan wombat menjadi rekan-
rekan yang saya temui di sepanjang proses trekking saya di
sini. Indahnya Wolgan Valley, it's truly Work and Holiday
for me.
Sekawanan kangguru di depan penginapan Wolgan
Valley, menggemaskan sekali ya!

Petualangan Baru di Northern Territory


Kurang lebih 7.5 bulan saya menghabiskan working
holiday di Sydney, saya mencoba peruntungan
mendapatkan second year di Darwin. Rencana Tuhan
memang luar biasa, belum juga saya tiba di Darwin, saya
sudah diterima bekerja sebagai Kitchen Hand di sebuah
daerah pertambangan manganese di kawasan Tennant
Creek. Kurang lebih dua minggu saya bekerja di sini,
sebelum kembali ke Darwin untuk mendapatkan
pekerjaan Kitchen Hand lainnya.
Saya sempat drop CV di beberapa hotel-hotel
Darwin, namun rasanya memang jodoh saya di dapur,
benar-benar tidak ada panggilan untuk bekerja sebagai
Housekeeper di Hotel. Selama kurang lebih empat bulan,
saya bekerja sebagai Kitchen Hand di tiga restoran yang
berbeda di Darwin.

Bersama housemate, rekan-rekan WHV di Darwin


Suka Duka WHV
Mencari pekerjaan tanpa pengalaman di Australia
memang beresiko sekali. Kamu harus siap uang untuk
bertahan hidup tanpa penghasilan selama beberapa
waktu, menerima gaji underpaid di masa-masa awal
bekerja, bermasalah dengan rekan kerja atau bos, dan lain
sebagainya. Mental kamu akan sungguh-sungguh diuji di
Australia. Jangan kira semua yang Working Holiday itu
hidupnya senang-senang ssaja seperti yang biasa kamu
lihat di social media. Di balik semua itu, ada harga yang
harus dibayar mahal. Bekerja di hari libur, Sabtu/Minggu,
kerja hingga larut malam bahkan sampai pagi, gaji tidak
dibayar, kena penyakit, dan banyak lainnya. Tapi kalau
kamu bisa bertahan dari semua itu, percaya deh kamu
akan lebih bahagia melihat dirimu yang level up setelah
merasakan semua itu.
Benefit WHV
Ini salah satu visa terbaik untuk bekerja secara legal
di luar negeri. Bukan rahasia lagi, kalau Australia adalah
negara dengan upah minimum tertinggi di dunia. Upah
minimum per jam di sini secara legal adalah sekitar $17
(kurang lebih 170 ribu Rupiah). Jangan heran kalau kalian
melihat para buruh yang bekerja di Australia, bisa traveling
ke luar negeri setiap tahunnya.
Selain penghasilan yang jauh lebih besar dibanding
negara kita tercinta, benefit lainnya dari WHV adalah kita
bebas keluar masuk Australia, jalan-jalan keliling kota-
kota di Australia, tanpa batas. Visa ini tidak menuntut kita
untuk menetap di satu kota untuk jangka waktu tertentu,
kita bebas pindah sesuka hati. Kita juga bisa pulang
kampung ke Indonesia kapanpun kita mau selama satu
tahun visa ini berlaku.
Mulai akhir November 2016, WHV subclass 462
sudah resmi bisa diperpanjang untuk tahun kedua, dengan
syarat kita harus bekerja di daerah remote Australia
selama minimum 88 hari. Tentu sebuah kesempatan
berharga bagi mereka yang ingin memperpanjang masa
tinggal mereka di Australia dengan visa ini.

Pemandangan Sydney Opera House dari kolong


Harbour Bridge.

Tips Dan Saran Sebelum Memulai WHV


Berdasarkan pengalaman saya selama setahun
WHV ini, sangat disarankan kalian untuk mempersiapkan
diri dengan baik sebelum memutuskan untuk memulai
WHV di Australia. Kenapa? Sederhana ssaja, hidup di
Australia ini sangat keras. Tiap orang punya cerita dan
pengalaman yang berbeda-beda, ada yang dapat kerja
dalam waktu singkat, ada juga yang jobless mingguan
hingga bulanan. Ada yang WHV nya aman-aman ssaja,
ada yang merasakan kena tipu orang, gaji tidak dibayar,
bahkan yang paling parah hingga kematian, karena fisik
dan mental tidak kuat.
Sebelum memulai WHV, pertimbangkan baik-baik
keputusan kalian dengan kondisi saat ini. Jika sudah
bekerja, perkirakan jangka waktu dari resign sampai visa
granted, karena semenjak tahun 2017, visa ini semakin sulit
didapat karena kertebatasan kuota. Jika kalian masih
kuliah, fokus lanjutkan kuliah kalian terlebih dahulu
sampai mendapat kepastian visa. Faktanya, kalau WHV
sudah granted, kalian masih diberi waktu hingga 1 tahun
untuk berangkat ke Australia. Dan yang terpenting, rajin-
rajinlah Googling tentang persiapan apply WHV dan
berangkat ke Australia. Bergabung lah dengan grup
Facebook WHV Indonesia, dan baca pinned post nya, sangat
lengkap informasinya di situ.
Setibanya di Australia, segeralah buat TFN, akun
bank, dan beli no. HP Australia. Siapkan resumemu dan
kirimkan ke restoran-restoran baik secara offline (drop
langsung) atau online (via Gumtree, Indeed, Seek, dan
sebagainya). Bergabunglah dengan komunitas orang
Indonesia di Australia (misalnya di Sydney, ada The Rock)
dan juga komunitas lokal untuk menambah jejaringmu di
Australia. Faktanya, banyak orang yang diterima bekerja
karena rekomendasi orang-orang yang dikenalnya. Dan
yang terpenting, selalu ingat motivasi mu berangkat ke
Australia, minta doa restu keluarga dan teman-teman
terdekat, sehingga kamu tidak akan homesick maupun feel
lonely selama berada di negeri yang asing ini. If i can
survive, you also can survive, you can do it!
Penutup
Bagi saya, Working Holiday membuka mata saya
lebar-lebar melihat dunia lewat Australia sebagai negara
multikultural. Sebuah kesempatan berharga untuk
berkenalan dengan teman-teman baru dari mancanegara
di satu tempat. Saya juga belajar bagaimana Australia
mencoba berdamai dengan masa lalu mereka yang kelam,
khususnya dengan kaum indigenous. Pemerintah berusaha
sebaik mungkin untuk melakukan 'Rekonsiliasi' dengan
mereka, sebuah pelajaran berharga untuk Nusantara kita,
yang beberapa waktu belakangan ini kembali terpecah
belah.
Lewat pekerjaan yang dianggap 'remeh' oleh
kebanyakan orang, saya juga belajar untuk melakukan hal
yang kecil dengan cinta yang besar. Do what you love and
love what you do, itu mantra saya untuk bertahan selama
bekerja di Australia ini. Mungkin masa-masa awal di
Australia kamu akan merasakan pahitnya terlebih dahulu.
Tapi seperti kata pepatah, rasa senang atau bahagia akan
datang kemudian. Buang rasa gengsimu, dan selalu
tanamkan semangat untuk 'terus belajar', selalu bersyukur,
karena kamu akan menemukan 'harta terpendam
Australia' di kemudian hari. Explore, Dream, Discover!

Setahun Enam Babak


“Saya nggak suka Bali. Terlalu banyak turis. Dan
pedagang kaki lima itu juga kelewatan maksa. Dipikirnya
karena kita bule, pasti punya uang banyak,” kata seorang
perempuan kelahiran Adelaide, Australia, yang kira-kira
usianya 50an.
Tangan kanannya memegang kendali setir mobil
Van. Sementara tangan kirinya menggenggam muffin
blueberry. Sambil sesekali mengunyah muffin, dia berujar.
“Don’t take it personally, mate. Tapi Indonesia itu, negaramu,
ya ampuuuun, sering dikasih funding sama pemerintah
Australia. Buat apa coba? Buat
pengembangan tourism Indonesia. Bagi saya, yang orang
Australia ini nggak masuk akal!”
Saya tersenyum ssaja mendengar pendapatnya
tentang Indonesia. Rose, nama panggilan perempuan ini,
adalah tipikal orang yang asik disajak ngobrol. Apalagi,
dia memberikan tumpangan gratis dari Katherine menuju
Darwin, Northern Territory.
Selama dua setengah jam perjalanan melintasi
Stuart Highway, obrolan kami berdua tidak jauh-jauh
mengenai hubungan Australia Indonesia. Sesekali kami
juga menyinggung arti hidup dan makna traveling.
Temperatur udara di pertengahan November itu sekitar 38
dersajat celcius. Pengap. Roadtrip sepatutnya
membutuhkan obrolan menarik guna membunuh rasa
kantuk.
Bagian kalian, pembaca cerita ini, yang mencoba
memahami apa yang sebenarnya terjadi pada saya, mari
mundur ke Oktober 2016. Periode dimana ide Working
Holiday Visa ini muncul dalam benak saya.
Menjelang akhir tahun 2016, sebenarnya,
kehidupan saya di Depok-Jakarta stabil baik-baik ssaja.
Gaji dari pekerjaan sebagai reporter koran bisnis selama
empat tahun tidak membuat saya bergelimang harta, tapi
juga tidak melarat-melarat amat. Selalu ada teman yang
senang disajak hang-out tiap akhir pekan. Hidup serumah
bersama orang tua juga sepertinya ringan tanpa beban.
Selain itu, dua keponakan saya masih imut dan lucu-lucu.
Namun, sejatinya itu yang terlihat. Nyatanya tidak sama
dengan apa yang dirasa
Deadline pekerjaan wartawan begitu ketat. Meski
lagi ngopi-ngopi bareng teman, laptop tidak pernah
ketinggalan. Tak ketinggalan, masih harus ngasih kabar ke
orang tua, jika mau pulang pagi.
Sementara itu, Jakarta, dilihat dari sisi manapun,
kian sumpek. Selalu ada drama di jalanan. Intinya saya
mau rehat sejenak dari kegilaan ini. Lalu, saya mendengar
kisah beberapa teman yang telah menamatkan satu tahun
WHV di Australia.
Dipikir-pikir, kok pengalaman mereka lumayan
mengagumkan. Sepertinya mereka bawa banyak duit abis
kerja di perkebunan. Australia kan gede banget. Pasti
menjadi sebuah petualangan seru bisa berada di tengah-
tengah gurun.
Singkat cerita, visa saya lolos pada 7 November
2016. Berikutnya, saya giat mencari informasi sebanyak-
banyaknya soal peluang kerja di Australia. Bagi saya, kota
atau state pertama yang saya kunjungi harus menjadi
pondasi kuat. Kata lainya, modal saya cekak. Saya butuh
uang di awal perjalanan ini.
Tassie has taken my heart. Sampai kapan jua, saya
akan mengenang Tasmania (Tassie) sebagai tempat yang
‘hangat’, meski cuacanya hampir selalu dingin. Atas
rekomendasi seorang kawan, saya mengirimkan CV ke
agen tenaga kerja Agrilabour Pty Ltd pada awal Desember
2016. Ketika itu, ada lowongan pekerjaan di pabrik sebagai
pengepak sayuran.
Setelah mendapat kepastian diterima bekerja di
pabrik sayuran milik Harvest Moon, saya mendarat di
Tasmania pada 2 Januari 2017. Area tempat daerah saya
tinggal bernama Forth. Desa yang begitu hijau. Kota
terdekatnya adalah Devonport.
Pelan-pelan, saya belajar bagaimana iklim bekerja
orang Australia. Karena dibayar per jam, maka efisiensi
bekerja adalah kunci utama. Tapi, fokus saya juga tidak
melulu soal duit. Tassie punya taman nasional yang khas.
Di luar kehindahan alam, saya berani bilang museum
terbaik di Australia berada di Hobart, kota terbesar Tassie.
Tempat itu bernama Museum of Old and New Art
(MONA).
Pertengahan April, saya memutuskan untuk
pindah state. Ini karena Tassie semakin hari semakin
dingin. Hah. Tapi serius, musim panen buncis sudah
selesai. Tak banyak lagi pekerjaan di Harvest Moon. Saat
itu musim gugur. Dan saya tidak sabar untuk kembali
mencicipi kehidupan sebuah kota besar.
Melbourne menjadi pilihan petualangan
berikutnya. Ini lantaran saya kemakan omongan
para backpacker. Setiap backpacker yang pernah
mengunjungi Melbourne dan saya minta pendapatnya,
mereka selalu bilang, “Ada sesuatu tentang Melbourne, yang
akan kamu rasakan sendiri, kalau kamu sudah di sana,”
Yang saya rasakan adalah tingkat kompetitif yang
begitu tinggi. Selama dua pekan, saya rajin menyebar CV
ke restoran dan Café. Selama itu pula saya menganggur.
Pada pekan ketiga saya di Melbourne, barulah saya
mengatongi pekerjaan sebagai kitchen hand di salah satu
restoran cepat saji bergaya jepang. Mayoritas pekerja di
restoran ini memang orang Asia. Kemungkinan, hampir
70% pekerja adalah orang Indonesia.
Tapi jelas, saya tidak akan menyesal pernah tinggal
di kota yang mendapat predikat Most Liveable City in the
World. Kini saya mengerti apa yang orang-orang katakan.
Warga Melbourne sangat menikmati hidup. Anak-
anak muda yang menghargai seni. Tak ketinggalan,
transportasi yang sungguh efisien. Meski saya
memutuskan pergi, dalam hati ada keyakinan, kelak saya
bakal kembali ke Melbourne.

Butiran Debu
Pada Pertengahan Juni, saya memutuskan hijrah ke
Northern Territory (NT). Motivasinya adalah
mengumpulkan syarat 88 hari kerja untuk meraih yang
namanya WHV Tahun Kedua di Australia.
Saya melakukan road trip selama satu minggu dari
Melbourne menuju Alice Springs. Perjalanan ini saya
lakukan bersama dua orang teman backpacker asal Chilie
dan Jerman.
Akhirnya, saya merasakan juga perjalanan
melintasi Stuart Highway. Sebuah jalan tol yang lurus
membelah gurun bersemak. Ada perasaan asing sekaligus
letupan-letupan gairah saat menjejakan kaki di NT.
Pasalnya, selain jauh dari mana-mana, NT bisa dibilang
salah satu state paling menantang. Mulai dari peluang
kerja serta suhu udara yang ekstrem.
Saya membagi kisah NT dalam tiga babak. Pertama,
pengalaman bekerja selama tiga minggu di tempat
istirahat dan isi bensin. Orang Australia mengenalnya
dengannama roadhouse. Kita sebut ssaja Koala Roadhouse.
Letaknya ada di Lasseter Highway. Jalan tol yang
menghubungkan kota kecil Yulara dengan sejumlah
kawasan wisata terkenal seperti Uluru, dan Kata Tjuta.
Daerah sekitar Lasseter Highway ini terkenal
dengan tanah yang merah serta langit membiru. Saya
mendapatkan pekerjaan ini cukup mudah. Yakni dengan
mendatangi langsung Koala Roadhouse. Mungkin
lantaran gampang meraihnya, maka melepasnya juga
seperti menjentikkan jari.
Setelah bekerja selama tiga minggu, Saya
diberhentikan dengan alasan “not being good enough.”
Sempat kecewa sama diri sendiri. Roadhouse ini
sebenarnya tempat yang sangat menarik
bagi backpacker yang ingin merasakan kehidupan antah
berantah di Australia. Kita kerap mengenal the real
Australian Outback dari buku ataupun film-film. Bukankah
hal yang seru bisa mengenal lebih dekat secara langsung.
Apalagi, gaji yang ditawarkan pengelola Koala Roadhouse
ini lumayan menjanjikan.
Angin gurun tetap bertiup. Perjalanan saya harus
berlanjut. Persinggahan saya berikutnya adalah Alice
Springs. Sungguh, kota kecil di tengah gurun ini
menawarkan hal-hal di luar ekspektasi orang-orang.
Penduduk Alice Springs sekitar 30.000 jiwa. Kota
ini seperti dibangun dengan cukup efisien yang dipadu
megahnya bukit bebatuan. Dari sebuah bukit di tengah
kota bernama Anzac Hill terlihat bagian pusat kota yang
terkotak-kotak. Saat matahari terbenam, perbukitan
MacDonnell Ranges yang membelah timur dan barat kota
akan terlihat menguning kemerah-merahan.
Itu baru soal alamnya. Lantas, bagaimana dengan
peluang kerja? Seminggu saya menyebar CV di sejumlah
café dan hostel. Sejujurnya, ada periode dimana otak ini
berpikir, “where am I? what am I gonna do,?”. Ini biasanya
terjadi seditik dua detik setelah bangun tidur. Apalagi,
kalau bangunnya di hostel.
Marilah tegar menghadapai kenyataan. Hari
kedelapan saya di Alice, saya mendapat panggilan kerja di
salah satu café paling sibuk. Sebagai kitchen hand. Hampir
dua bulan saya bekerja di café ini.
Namun, tanpa ada tanda apa-apa, pada sebuah
pagi, saya mendapat SMS pemecatan dari salah seorang
chef café tersebut. Isi SMSnya persis begini : “Hey, farid we
decided that you not work for us anymore you got slow again and
again and I told you many times. Sorry,”
Semacam kesel juga karena berasa diputusin pacar
via SMS. Saya mampu nerima kalau hal-hal seperti ini
diungkapkan secara verbal. Tentu ssaja, saya datang
menghadap manajer. Semula, saya bersemangat ingin
mengkonfrontasi kenapa mereka seenaknya mecat-mecat
orang. Namun, pada akhirnya saya hanya memasang
muka lempeng karena apapun yang saya katakan,
keputusan manajer tidak akan berubah.
Babak ketiga cerita saya di NT berujung pada
Katherine. Pindah dari Alice ke Katherine bukan tanpa
alasan. Pasalnya, saya tergiur dengan peluang kerja di
pabrik mangga. Ketika itu, saya pindah ke Katherine pada
Agustus 2016.
Jika suhu cuaca di Alice masih bisa ditoleransi
menjelang akhir September lantaran tidak melebihi 35
dersajat celcius, maka cuaca di Katherine bagaikan
gabungan antara Surabaya, Jakarta, dan Pontianak. Titik
panasnya selalu mencapai 38 dersajat celcius. Dan tingkat
kelembabannya begitu tinggi.
Jujur, saya tidak melihat ada yang menarik dari kota
ini. Namun, Katherine menawarkan banyak pekerjaan di
sektor perkebunan bagi para backpacker. Pekerjaan ini pun
tergantung musim.
Ketika saya pindah ke Katherine belum ada
kepastian dari pihak Job Shop terkait pekerjaan di pabrik
mangga. Perlu diketahui, Job Shop merupakan agen
tenaga kerja yang legit untuk para backpacker yang ingin
mendapatkan pekerjaan di bidang perkebunan
serta hospitality.
Pikir saya, kala itu, jika saya sudah di Katherine,
maka peluang untuk mendapat kerjaan di pabrik manga
bakal lebih besar. Beresiko memang. Apalagi, saya punya
pengalaman kerja di pabrik (Tasmania) sebelumnya.
Datanglah saya dengan begitu percaya dirinya ke
Katherine.
Kenyataannya, saya menganggur tiga minggu
selama di Katherine. Ini lantaran pabrik terdekat dengat
tempat tinggal saya di Katherine butuh waktu lebih lama
untuk memulai produksi secara masal. Sebenarnya ada
pabrik lain di sekitar Katherine yang produksinya lebih
awal. Namun, lantaran saya tidak punya kendaraan, maka
pihak Job Shop lebih memilih pekerja yang memiliki
mobil.
Pertengahan Oktober pabrik manga Sevenfield
berproduksi. Betul ssaja, mereka tak menyia-nyiakan
musim manga ini. Jam kerja per hari rata-rata 11, 12 hingga
13 jam. Kerjanya seminggu penuh tanpa hari libur.
Inilah pekerjaan yang paling menyita energi saya di
Australia. Dengan jam kerja panjang itu, para pekerja
dituntut mengepak manga dengan kecepatan yang stabil
dan wsajah yang antusias. Masuk akal? Ya mungkin ssaja
kalau pekerjanya robot.
Konsekuensi dari jam kerja panjang itu adalah
pundi-pundi dollar yang, alhamdulliah, mendongkrak
tabungan. Kegirangan ini diimbangi dengan badan yang
pegel-pegel.
Sayangnya, euforia ini dipatahkan, lagi-lagi dengan
SMS pemecatan. Kali ini tanpa penjelasan yang berarti.
Hanya dua minggu saya bekerja di Sevenfield. Pihak Job
Shop pun tidak memberikan keterangan kenapa saya
diberhentikan. “They said, they just don’t need you anymore.”
Patah hati. Rasanya pingin makan rendang, nasi
uduk, sambel pedas, lalu tidur pulas. Tuhan sepertinya
punya rencana lain. Ketika dihitung ulang, saya
menyadari sudah punya 14 payslip gaji dari tiga pekerjaan
di NT. Dan ini cukup menjadi bekal mendaftar WHV
tahun kedua.
**********
Lalu apa yang terjadi berikutnya?
“So what it’s your plan, mate?” tanya Rose.
Pertanyaan ini membuyarkan pikiran saya yang tengah
kilas balik hidup selama 10 bulan di Australia. Jujur ssaja,
saya tidak punya rencana pasti. Yang saya mengerti kalau
mendengarkan kata hati, pasti kaki ini akan tahu kemana
mesti melangkah.
Rose menurunkan saya di Palmerston, area di
pinggiran Darwin. Dia tidak menikah, dan memilih untuk
tidak punya keturunan. Rose menolak sejumlah dolar
yang saya tawarkan atas jasanya mengantar saya. Dia
melambaikan tangan, tersenyum dan berucap singkat,
“Enjoy your journey.”
Ucapan itu kembali mengingatkan saya. Betapa
sederhana sebetulnya konsep menikmati sebuah
perjalanan. Sayangnya, rasa nikmat bisa menguap kala kita
lupa akan rasa bersyukur.
Saya hanya singgah beberapa hari di Darwin, untuk
selanjutnya bertolak ke Sydney. Cerita ini saya tulis di
tengah hiruk pikuk kota menjelang musim panas sambil
menyeruput es kopi seharga $8.
Saran yang dapat saya berikan bagi yang akan
datang ke Australia melalui WHV adalah terbukalah
dengan berbagai kemungkinan. Rencana bolehlah kalian
susun matang dan rapi jali. Namun jangan lupa bakal ada
kejutan di tiap babak. Kala itu terjadi, biarkan hidup
mengejutkan kita.
ALDINO TANZA

Pengalaman yang Tak Terlupakan di Australia


Hallo, perkenalkan nama saya Aldino Tanza, biasa
dipanggil Tanza. Saya lahir dan besar di Ibukota,
berdomisili di kawasan Jakarta Timur. Saya lulusan dari 2
(dua) kampus yang berbeda. Yang pertama D3 Bahasa
Inggris di Universitas Darma Persada, Jakarta. Setelah
lulus D3 saya bekerja di salah satu perusahaan swasta di
Jakarta, hingga 2,5 tahun. Kemudian saya melanjutkan
kuliah program ekstensi D3 ke S1 selama 1 (satu) tahun.
Kampus yang kedua ini adalah STIBA-IEC, Jakarta. Saya
mulai kuliah disini pada tahun 2010-2011. Setelah lulus
kuliah dan menjadi sarjana, pekerjaan tidak kunjung saya
dapatkan. Akhirnya saya buka usaha Counter Pulsa di
depan rumah Ibu saya. Selama berdagang, saya bersama
dengan Ibu dan adik dalam menjaga dan mengelola
Counter pulsa tersebut. Karena tidak kunjung mendapat
pekerjaan, saya mencari kesibukan lain selain berdagang,
yaitu dengan mengikuti program kuliah D1 Kapal Pesiar
di PT. Meranti Magsaysay, Jakarta. Sejak kecil, saya
memiliki banyak impian, salah satunya adalah mimpi
untuk bisa jalan-jalan keluar negeri.
Di awal tahun 2012, saya menjalani program kuliah
ini. Selama 4 bulan training di kelas, mulai dari belajar
Bahasa Inggris, kemudian belajar kuliner dasar, belajar
F&B Service, dan belajar hospitality. Setelah itu saya
mengikuti magang di hotel selama 6 bulan. Rampungnya
program perkuliahan kapal pesiar ini adalah 4 bulan
training dikelas + 6 bulan magang di hotel = 10 bulan.
Setelah saya mendapatkan sertifikat, saya langsung
melamar kerja di kapal pesiar.
Pengalaman kerja saya beragam, dulu sewaktu baru
lulus kuliah D3, saya pernah bekerja sebagai guru
pengganti setingkat SMP dan SMA pada salah satu sekolah
negeri di Indonesia. Saya bekerja selama setahun. Setelah
lepas dari itu, saya bekerja di kantor sebagai Customer
Service Representative selama 2,5 tahun. Setelah itu saya
mengajukan resign karena ingin melanjutkan kuliah dari
D3 ke S1 tersebut. Setelah lulus kuliah, saya mengikuti
program pelatihan kapal pesiar di Indonesia. Lulus dari
pelatihan, saya langsung melamar kerja di kapal pesiar
AIDA, yang merupakan salah satu anak cabang dari
perusahaan Carnival. Diakhir tahun 2013, saya berangkat
untuk bekerja di kapal pesiar AIDA. Masih teringat, di
bulan November tahun 2013 saya join di Funchal-Madeira,
Portugal. AIDA STELLA nama kapalnya. Selama 9 bulan 2
minggu saya berlayar dengan kapal AIDA, bertemu
dengan teman-teman baru selain Indonesia dari berbagai
belahan dunia ada dari Jerman, Philipina, India, dll.
Setelah habis kontrak, di bulan Agustus 2014 saya kembali
ke tanah air, melanjutkan berdagang.
Kemudian sambil melamar CPNS, tapi tidak dapat-
dapat. Saya telah mencoba melamar CPNS sejak bulan
September 2007, setiap kali ada buka lowongan, saya
hampir tidak pernah absen. Tapi selalu gagal tembus. Ya
sudah, saya lanjut ssaja kontrak kedua di kapal pesiar.
Sebenarnya kembali ke kapal pesiar adalah opsi terakhir
saya. Jujur, saya tidak ingin kembali ke kapal pesiar.
Memang benar jalan-jalannya mengasyikkan, bisa
travelling ke berbagai negara-negara yang berbeda, ke
negara-negara Eropa, Asia, Afrika, Benua Amerika, dll.
Salah satu impian saya pun jadi terwujud karena bekerja
di kapal pesiar ini, gajinya pun cukup besar jika
dibandingkan dengan gaji pekerja di Indonesia cukup
signifikan perbedaannya. Tetapi, saya jadi jauh dari
keluarga dan di sana kita bekerja seharian. Full selama 7
hari dalam seminggu dan minimal kerja adalah 10-13 jam
setiap harinya. Break setiap 3-4 jam bekerja. Durasi
breaknya pun bervariasi dari minimal 1 jam-10 jam,
biasanya suka terpotong-potong istirahatnya. Nah, di
kontrak kedua ini saya Join kapal AIDA BELLA. Sewaktu
saya join, kapal ini sedang berada di Santo Domingo,
Republik Dominika. Saya kontrak kerja di kapal pesiar ini
sejak bulan Februari 2015 - Desember 2015. Disinilah saya
mengetahui WHV Visa Australia ini. Awalnya saya punya
keinginan setelah habis kontrak dari Aida Bella ini, saya
ingin mencari kerja di darat luar negeri. Dimanapun itu.
Pada waktu itu, saya tidak terpikir ingin ke Australia.
Kebetulan teman saya yang bekerja di Aida Bella juga, dia
bilang bahwa pacarnya akan join disini juga, sebelumnya
pacarnya itu pernah kuliah di Australia, kata teman saya
itu. Sejak itu, saya mencari-cari visa Australia mulai dari
visa studi sampai ke visa bekerja. Sejak SMA, saya juga
memiliki impian ingin sekolah di luar negeri, namun
belum kesampaian hingga saat ini.
Singkat cerita, saya dapat visa yang persyaratannya
cukup mudah, yaitu visa bekerja dan berlibur / Work and
Holiday Visa (WHV). Masih saya ingat, ketika itu kapal
sedang bersandar di Southampthon, Inggris. Saya
browsing, dapat informasi ini. Tapi persyaratan yang
menurut saya agak sulit adalah Skor IELTS, karena saya
belum pernah tes IELTS sebelumnya. Juga bukti finansial
sejumlah minimal AUD $5000 atau yang setara. Hari demi
hari saya lewati di kapal pesiar, keliling-keliling Eropa
saya lalui dengan kapal pesiar. Sampai pada suatu ketika,
disaat kapal bersandar di pelabuhan sekitar Hamburg,
Jerman. Hari itu tanggal 15 Juli 2015 saya memberanikan
diri registrasi dan mengajukan Surat Rekomendasi
Pemerintah Indonesia (SRPI) melalui online,
di www.imigrasi.go.id
Saya dapat panggilan wawancara pada bulan
Oktober 2015. Saat itu saya masih terikat kontrak dan
bekerja di kapal pesiar, saya abaikan panggilan
wawancara tersebut karena masih bekerja di kapal. Sampai
pada tanggal 4 Desember 2015 saya pulang ke tanah air,
karena habis kontrak. Dua hari kemudian, saya mencoba
mendaftar online untuk tes IELTS, dan searching lembaga
penyelenggara resmi, saya mendapatkan 3 nama pada
waktu itu, yaitu IALF, British Council, dan IDP. Diantara
ketiga lembaga itu yang paling cepat jadwal
pelaksanaannya adalah IALF, lokasinya pun tidak terlalu
jauh dari rumah, yaitu di Kuningan, Jakarta Selatan.
Tanggal 16 Desember 2015 saya tes IELTS, empat hari
setelah itu atas saran dari Ibu saya, untuk mendatangi
kantor Ditjen Imigrasi guna meminta reschedule jadwal
interview SRPI. Saya bersama dengan Ibu bertemu dan
Pak Teguh. Saya bilang bahwa saya ingin mendapatkan
perubahan jadwal interview. Alhamdulillah di approve oleh
pak Teguh. Pada tanggal 28 Desember 2015, hasil tes IELTS
keluar, dan syukurlah nilai saya memenuhi syarat, diatas
dari persyaratan yang dibutuhkan oleh pihak imigrasi.
Pada tanggal 27 Januari 2016, saya dapat jadwal
wawancara SRPI, dan ternyata saya harus melakukan
interview pada tanggal 28 Januari 2016, yaitu keesokan
harinya. Jadi saya menyiapkan berkas pada hari itu juga,
termasuk bukti finansial di bank, saya buat pada hari itu
juga, untungnya saya sudah menyiapkan berkas-berkas
yang lain seperti Ijazah, Transkrip Nilai, dan IELTS dari
jauh hari sebelum jadwal interview. Adapun untuk bukti
finansial saya dapatkan dari hasil bekerja di kapal pesiar.
Proses interview berjalan dengan lancar, masih saya ingat
waktu itu diinterview oleh mbak Fidelia dan mba Dely
sebagai pemeriksa dokumen. Saya ditanya seputar
pekerjaan yang sekarang dijalani, lalu apakah ada saudara
atau kerabat yang saat ini tinggal di sana. Kemudian saya
di tes conversation dalam bahasa Inggris. Saya tidak merasa
kesulitan, mengingat latar belakang pendidikan saya
adalah Sastra Inggris, saya juga terbiasa berkomunikasi
dengan bahasa Inggris sewaktu bekerja di kapal pesiar.
Setelah interview selesai, saya menunggu kabar
dari pihak imigrasi, Akhirnya, pada pada hari Sabtu,
tanggal 27 Februari 2016 saya mendapat email dari Ditjen
Imigrasi, tepatnya dari bagian Direktorat Lintas Batas,
yang berisikan surat rekomendasi pemerintah Indonesia
(SRPI). Di hari senin, tepatnya tanggal 29 Februari 2016,
langsung saya melakukan pengajuan visa bekerja dan
berlibur atau Work and Holiday Visa melalui AVAC
(Australia Visa Application Centre).
Ada 2 cara untuk Lodge visa, yaitu: datang
langsung dan via kurir. Kebetulan saya tinggal di Jakarta,
saya memilih untuk datang langsung ke kantor AVAC, di
wilayah Kuningan, Jakarta Selatan dengan membawa
segala kelengkapan dokumennya, dan membayar visanya
langsung juga. karena kebetulan lagi sepi, Jadi cuma 10
menit selesai semua proses pengajuannya. Setelah 2 hari
berselang, yaitu hari Rabu, 2 Maret 2016, pukul 09.00 pagi
dapat email dari jakarta.students@dfat.gov.au isinya
adalah HAP ID utk medical dan dan list rumah sakit &
dokter yang ditunjuk dari seluruh Indonesia, untuk
melaksanakan medical.
Hari Kamis 3 Maret 2016 Medical Examination, dari
jam 08.00 WIB terlebih dahulu menelpon RS untuk making
appointment, saya pilih RS Premier Jatinegara alasannya
karena dekat dari tempat saya tinggal. Dapat jadwal jam
10.00 WIB nanti ketemu dengan dokter Jenly. Jam 09.30
WIB langsung datang ke RS yang telah ditunjuk Kedutaan,
saya bersama dengan Ibu saya (info dari yang saya dengar
kalau yang RS Bintaro terus diantar oleh Ibunya hasilnya
bisa lebih cepat, malah ada yang cuma 2 jam). Klo di RS
Jatinegara ternyata gak pengaruh, memang siy dokternya
ngobrol ama Ibu saya, tapi tetap saja hasilnya gak hari itu
juga. Dokter bilang hasilnya 2 hari. Tapi besok sudah bisa
ditanyakan tentang hasil rontgen dadanya.
Hari Jumat 4 Maret 2016 jam 13.00WIB siang, saya
menelpon RS Premier Jatinegara. katanya hasilnya bagus.
Dan akan dikirim ke pihak kedutaannya langsung. Jadi
saya tidak usaha mengambil hasil apa-apa dari Rumah
Sakit. Sudah dikirim langsung dari Pihak RS ke
kedutaan. Hari Senin 7 Maret 2016 jam 13.00WIB Visa
Granted. Thank's God Alhamdulillah.
Salah satu alasan kenapa saya memilih Australia
adalah, karena saya belum pernah ke negara tersebut, jadi
saya ingin mencobanya. Selama 2 kontrak saya bekerja di
kapal pesiar, saya telah mengunjungi dan berkeliling
berbagai negara dan benua, mulai dari benua Eropa, Asia,
Afrika Utara, Amerika Utara. Saya belum pernah
menginjakkan kaki di benua Australia sebelumnya, Dan
alasan yang paling mendasar kenapa saya memilih
Australia adalah, karena saya ingin sekali bekerja di darat
luar negeri. Saya pernah bilang sama salah satu teman
berkewarganegaraan India, sewaktu saya sedang bekerja
di kapal pesiar. Saya bilang sama dia, sehabis kontrak ini,
kedepannya pengen banget bekerja di darat tapi di luar
negeri, dan belum tahu dimananya, intinya saya tidak
berkeinginan kembali kerja di kapal pesiar.
Kota pertama yang saya kunjungi adalah Sydney-
New South Wales. Disini saya tinggal dengan orang
Indonesia juga, nama pemilik rumahnya Om Agus dan
tante Wati. Saya dapat informasi tempat tinggal (yang bisa
dibilang kost-kostan) dari Om Aam, beliau adalah teman
dari bapak saya di Indonesia. Om Aam ini dulunya tinggal
di Australia, nah teman-temannya masih tinggal di sana,
salah satu teman om Aam adalah om Didi, om Didi
memiliki adik perempuan, dialah tante Wati itu, tidak lain
dan tidak bukan merupakan ibu kost tempat saya tinggal.
Selama tinggal di sana, saya sering disajak jalan-jalan oleh
om Djudju, beliau adalah salah satu orang yang kost di
tempat om Agus & tante Wati. Setiap hari selama belum
dapat kerja, saya jalan-jalan dengan om Djudju, sekalian
explore Sydney lebih jauh lagi. Nah, dihari ke sembilan,
saya mulai dapat kerja di pabrik Jewel of India, saya dapat
info kerjaan ini dari temannya om Agus, yang bernama om
Endi Dharma. Om Endi adalah salah satu pemilik
distributor ayam potong yang terletak di wilayah Mascot,
Sydney. Om Endi mendistribusikan ayamnya ke pabrik
Jewel of India ini.
Om Endi turut membantu saya, dengan
mengantarkan saya ke pabrik Jewel of India ini, dan
bertemu dengan HRD atau perekrutannya. Berkat usaha
dari om Agus, bertanya kepada om Endi lah, dan bantuan
dari om Endi juga, Alhamdulillah saya dapat pekerjaan
pertama di pabrik ini, belakangan namanya menjadi Jewel
Fine Foods, pabrik ini sekarang pindah ke tempat yang
lebih besar. Tugas saya disini adalah sebagai Packer, saya
mengemas sup-sup yang akan di kirimkan ke supermarket
Coles dan supermarket jenis lainnya. Selain mempacking,
saya juga bekerja di bagian production, dengan
memindahkan kemasan sup yang telah diisi dengan
bantuan mesin tersebut, ke krat melalui rel berjalan, lalu
setelah dari krat, ditaruh di chiller, sebagai pendingin.
Saya juga membantu pada bagian preparation, atau
persiapan dalam memasak sup, terkadang saya juga
membantu menempelkan stiker pada kemasan sup
tersebut. Selama 6 bulan penuh, saya bekerja di pabrik ini.
Kebetulan rekan kerja saya adalah sesama orang
Indonesia, yang bernama Nidhal. Dia datang ke Sydney
dengan visa student, dan sekarang dia sudah dapat visa
sponsor kerja dari perusahaan.
Pekerjaan kedua saya adalah di Soul Origin (SO).
Soul Origin juga merupakan pabrik, lokasinya di dekat
stasiun Sydenham, tapi saya dengar saat ini juga sudah
pindah ketempat yang lebih besar. Pabrik ini
memproduksi bermacam-macam ada sayuran yang di
kemas didalam plastik, seperti kembang kol. Ada juga
pasta, ada juga dada ayam rebus yang belum dibumbui,
ada juga paha ayam yang sudah di oven dan dibumbui,
semuanya dimasukkan kedalam plastik yang di press,
kemudian di kirim ke kedai kopi yang bernama Soul
Origin. Makanan yang kami produksi nantinya akan
diproses menjadi sandwich, dll. Saya bekerja di pabrik ini
atas informasi dari rekan kerja sewaktu di pabrik pertama,
yaitu Jewel of India, rekan kerja saya yang bernama
Nidhal. Saya keluar dari pabrik pertama karena salah satu
larangan pada visa yang saya miliki, yaitu bekerja tidak
lebih dari 6 bulan pada satu perusahaan yang sama. Seperti
yang kita ketahui, visa yang saya miliki adalah Work and
Holiday Visa 462 (WHV). Di pekerjaan yang kedua ini saya
hanya bekerja selama sebulan ssaja, yaitu dari bulan
Oktober 2016-November 2016.
Pekerjaan ketiga saya adalah sebagai buruh tani di
Katherine-Northern Territory. Disini saya bekerja pada
kontraktor yang bernama Andrew Dalglish, Beliau
mendirikan A&A Mango Contracting. Saya mendapat
informasi tersebut dari teman sesama WHV yang benama
Dimas. Disini saya bekerja selama 94 hari. Pekerjaan saya,
memberi pupuk, mencabut tanaman-tanaman liar,
menanam dan menggunting pohon cendana, memotong
dan merapihkan batang pohon mangga, menyiram
pestisida disekitar pohon cendana. dll.
Suka duka di Aussie. Lebih banyak sukanya,
terutama ketika gajian tiba dan ketika hari libur. Terkait
homesick, saya sudah terbiasa jauh dari rumah. Karena
sebelumnya saya bekerja di kapal pesiar selama 2 kontrak.
1 kontraknya selama minimal 9 bulan. Tapi tetap ssaja,
saya selalu kangen akan orang tua dan adik-adik dirumah.
WHV ini begitu mengasyikan, karena ini adalah
salah satu impian saya, yaitu bekerja di darat luar negeri.
Benua Australia juga merupakan pertama kalinya saya
kunjungi. Sebelumnya, sewaktu bekerja di kapal pesiar,
saya tidak pernah mengunjungi negara ini. Sewaktu
pertama kali datang ke Aussie, Sydney adalah kota
pertama yang saya kunjungi. Saya mengeksplore kota ini
bersama dengan teman-teman WHV lainnya. tempat yang
sudah saya kunjungi adalah:
Opera House
Harbour Bridge
Darling Harbour
Snowy mountain, kira2 5 jam dari Sydney dengan
perjalanan darat menggunakan bis.
Blue Mountain
Wedding Cake Rock, menggunakan kereta dan naik
Kapal Ferry.
Morriset Park, kira-kira 2 jam dari Central Station,
menggunakan kereta.
Eight Pools, menggunakan kereta ke stasiun Otford.
Canberra Floriade Flower Festival.
Darwin
Katherine
Saat ini saya sudah menikah, dan tinggal di Jakarta
bersama istri. Alhamdulillah, saat ini istri sedang
mengandung anak pertama kami. Saya menikah 4 bulan
sepulang dari Australia, saya senang sekali dapat
membiayai pernikahan dengan biaya sendiri, tanpa
meminta pada orang tua. Thanks to ALLAH SWT , satu
persatu impian-impian saya terwujud.
Dengan work and holiday visa (WHV) teman-
teman dapat mengeksplore Australia lebih jauh lagi.
Kalian akan merasakan sendiri bagaimana susah dan
senangnya tinggal di Aussie (kebanyakan senangny siy..
hhe).
Untuk informasi mengenai cara mendapatkan visa
bekerja dan berlibur atau WHV versi saya, teman-teman
bisa cek pada blogku, di situs: www.tanzamiloen.com
Untuk foto jalan-jalannya ada di Instagram saya:
@aldinotanza
Facebook: Aldino Tanza Diningrat Miloen
Twitter: @aldinotanza
Terima kasih dan semoga bermanfaat
CHYNTIA ROSMANIAR

Umpan Besar = Ikan Besar


Setelah menyelesaikan studi S1 di daerah Jawa
Tengah, saya, Chyntia Rosmaniar, memutuskan untuk
kembali ke rumah di Bekasi. Saya adalah scholarship hunter
yang selama satu setengah tahun mendaftar berbagai
beasiswa untuk studi lanjut S2 di luar negeri. Saya bukan
dari kalangan keluarga dikategorikan “tidak-bisa-keluar-
negeri-kapan-ssaja“sehingga beasiswa adalah sala satu
cara untuk bisa mencoba kehidupan luar negeri. Namun,
setelah satu setengah tahun berjuang dengan beasiswa dan
mengalami kegagalan dimanapun, akhirnya memutuskan
untuk kerja kantoran. Perlu diketahui, sebelum kerja
kantoran, saya mengikuti kegiatan pemerintah yang tidak
terikat namun tidak gaji tidaklah seberapa.
Setelah mendapatkan pekerjaan sebagai admin di
suatu perusahaan swasta di daerah Kemang-Jakarta,
sayapun merasakan kehidupan pegawai kantoran. Dengan
bertempat tinggal di Bekasi dan harus menempuh
perjalanan minimal (minimal loh !!) dua jam perjalanan
sampai kantor dilalui setiap harinya. Berangkat pukul 5.30
dan sampai rumah sekitar pukul 9 malam hari. Awalnya
saya semangat kerja karena pekerjaan baru dan tantangan
baru. Setelah menjalani pekerjaan ini selama 4 bulan, saya
merasa sangat lelah baik fisik maupu mental. Dan
didukung dengan masalah keluarga yang mengharuskan
saya mengumpulkan uang dalam jumlah besar dalam
waktu singkat, akhirnya saya bercerita pada teman saya
dan mengusulkan untuk daftar Work and Holiday Visa
(HWV). Saya mencari tahu apa itu WHV dan apa ssaja
persyaratannya, dan akhirnya memberanikan diri untuk
mendaftar. Karena sebelumnya saya sudah mempunyai
IELTS, jadi hamper semua persyaratan sudah saya
kantongi.
Tidak seperti pejuang WHV lainya, proses yang
ditempuh untuk mendapatkan visa cukup singkat hanya
sekitar 3 bulan. Begitu Visa granted, saya langsung
mengajukan resign dan book tiket menuju Darwin. Sebelum
resign, saya masih mencoba keberuntungan untuk
mendaftar beasiswa untuk S2 di Jerman. Lalu mengapa
Darwin? Mungkin ada jodoh saya di Darwin (kidding),
karena Darwin mempunyai rate per hour lebih tinggi
dibandingkan negara bagian lainnya di Autralia. Sebelum
berangakat, saya sudah mencari kamar untuk tempat
tinggal selama di sana. Pertengahan November saya
berangkat menuju Darwin. Tanpa mengetahui
sebelumnya, bahwa november adalah wet season yang
peluang untuk mendapatkan pekerjaan terbilang kecil.

Gambar 1. Waterfront, Darwin


Sesampainya di Darwin, saya merasa sangat kaget
karena di rumah tersebut tidak ada pejuang WHV
perempuan selain saya (perempuan dan lelaki di gedung
terpisah), sehingga saya tidak ada teman untuk sharing
pekerjaan secara langsung walaupun ada teman yang
dapat ditanya melalui alat komunikasi. Pencarian
pekerjaan pun dimulai, baik melalui aplikasi maupun
dengan menyebarkan resume dari café, toko hingga hotel.
Saya menyebar resume dari pagi hingga siang hari,
sehingga saat waktu solat saya akan stay di masjid untuk
dua waktu solat dan sesampainya di rumah sore hari. Dua
minggu pun berlalu, saya mulai gelisah karena belum
dapat pekerjaan dan juga tidak ada teman untuk sekedar
mengobrol menghilangkan rasa lelah. Alhamdulillah,
setelah penantian panjang saya mendapatkan telpon dari
agen untuk bekerja sebagai housekeeper dan ditambah lagi
saya sudah mendapatkan teman kamar sehingga saya
tidak lagi merasa kesepian.

Housekeeper(1)
Saya bekarja sebagai housekeeper di hotel daerah
bandara dimana sedikit sekali bus yang menuju arah sana.
Awalnya, saya diantar oleh ibu kos atau teman kos setiap
paginya, namun saat pulang saya menunggu teman
housekeeper. Pada dasarnya, housekeeper adalah pekerjaan
untuk membersihkan kamar, mulai dari kasur, kamar
mandi, balkon. Selama seminggu training, jam kerja saya
lebih cepat dibandingkan dengan rekan kerja yang lain,
hingga membuat saya harus menunggu sejam atau dua
jam agar bisa mendapatkan tumpangan hingga halte bus
terdekat. Bahkan pernah saya pulang dengan jalan kaki
dengan menempun kurang lebih satu jam setengan
dengan suhu 37 – 38 0 C. Ini adalah masa-masa tersulit
dimana saya masih belum nerima kenyataan kalau saya
bekerja sebagai pengosek kamar mandi.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai sebagai
housekeeper. Akan tetapi, akhir bulan desember, waktu
kerja sering kali di-cancel. Hal ini sangat wsajar
dikarenakan sedikit turis yang datang dan “anak bawang”
akan menjadi orang pertama yang akan di cancel. Bukan
hanya di hotel saya, teman-teman saya pun banyak yang
mengalami peng-cancel-an. Hamper dua minggu tidak ada
pekerjaan dan akhirnya saya dan teman saya mencoba-
coba untuk melamar pekerjaan lainnya.
Karena terlalu gelisah dengan tidak ada pekerjaan,
saya dan teman saya memberanikan diri dengan bermodal
GPS berangkat ke Katherine. Katherina adalah kota kecil
yang berjarak sekitar 300 km dari Darwin. Kami sangat
bersemangat sepanjang perjalanan, semakin jauh semakin
sedikitnya rumah-rumah dan sinyal kami pun hilang.
Karena panasnya matahari, membuat salah satu ban mobil
bocor. Kamipun sangat panik, pasalnya kami berada di
tengan antah berantah dan tidak ada sinyal, harus
menganti ban mobil kami yang bocor.
Setelah setengah jam menepi, kami saja diam dan
saling pandang. Hingga akhirnya kami memberanikan diri
untuk memberhentikan mobil yang lewat untuk meminta
tolong. Penolong pertamapun dengan baiknya datang dan
bersedia memperbaiki ban mobil kami, namun karena
mobil yang kami terlalu tua, sehingga tidak ada spare-part
yang cocok untuk mobil kami, sehingga akhirnya
merekapun menyerah. Dengan keputusasaan, kami
mencoba solat dipinggir jalan dan (alhamdulillah,
memang kuasa ALLAH SWT ) penolong kedua
menghampiri (tanpa kami berhentikan) dan mencoba
menganti ban kami yang bocor dan ini berhasil. Hari pun
hampir larut malam, kami memutuskan kembali ke
Darwin.
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, teman saya
menawarkan untuk mencoba melamar pekerjaan di
Katherine melalui agen. Tanpa disangka, saya pun
diterima bekerja di Kebun lemon selama 3 minggu sebagai
picker untuk panen. Atas usulan teman saya, saya
mengajukan unpaid leave untuk 3 minggu dari hotel.

Picker
Pekerjaan di kebun adalah salah satu pekerjaan
yang didambakan oleh para pejuang WHV, karena
mempunyai jam yang panjang dan rate per hournya
cenderung tinggi. Meskipun banyak berita simpang siur
mengenai pekerjaan di kebun, tapi saya tetap ingin
mencoba bekerja disini. Kebun lemon ini mempunyai
pekerja tetap yang berasal Pulau Solomon dan hanya
merekrut 9 part-timer, 5 wanita dan 4 pria, untuk
membantu panen. Sesampainya di Katherine, saya di
jemput oleh agen memperlihatkan akomodasi dan kebun.
Sesampainya di akomodasi, saya sendiripun sangat
kaget. Biasanya akomodasi yang disediakan berada di
tengan kebun dan jauh dari kota. Akomodasi yang saya
tempati tidak bisa dikatakan layak untuk ditempati, ruang
kamar sangat berdebu, dapur banyak lalat berterbangan
dan kamar mandi yang berada di luar sangat kotor.
Pertama kali kami menginjak akomodasi di sana, kami
bergotong-royong untuk membersihkan dapur dan kamar
mandi agar membuat kami “nyaman” tinggal di sana.
Bekerja di kebun pun dimulai dari jam 6 pagi
hingga jam 3 sore dengan 30 menit istirahat pada saat
makan siang. Beruntungnya bekerja di kebun ini, jam
bekerja menetap sehingga saya dapat melaksanakan
shalat. Pekerjaannya sederhana, mengambil lemon yang
sudah matang dan ditaruh diwadah besar dimana wadah
tersebut dapat menampung 2 atau 3 orang. Sistem
bekerjanya secara berkelompok dan yang terdapat 4 atau 5
orang. Awal bekerja sebagai picker, hampir sekujur tubuh
terluka karena duri sangat panjang dan tsajam. Sehingga
dengan suhu yang panas kita harus tetap menggunakan
double pakaian agar terhindar dari duri. Meskipun sangat
capai, tapi saya lebih menyukai bekerja di kebun dari pada
menjadi housekeeper.

Gambar 2. Lemon Farm, Katherine


Kami mempunyai libur pada hari jumat, biasanya
pada malam jumat waktunya para pekerja tetap berpesta
hingga mabuk. Apabila pesta sudah berlansung, kami para
wanita akan berdiam diri di kamar hingga esok pagi agar
menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Lalu, pada
hari jumat hampir seluruh pekerja akan pergi ke pusat kota
untuk membeli bahan makanan untuk seminggu kedepan
dan mencari WiFi gratis. Pada jumat pertama saya
menerima berita terkait diterimanya pengajuan beasiswa
saya (alhamdulillah, akhirnya dapat juga !!!) dan bekerja
sebagai picker pun berlanjut.
Hingga akhir di minggu kedua, kami diinfomasikan
bahwa tidak ada pekerjaan lagi bagi kami. Dapat
dikatakan pemecatan secara halus, karena kami
mempunyai kontrak tiga minggu namun kami hanya
bekerja dua minggu. Akhirnya, saya beserta 3 teman
sekamar saya memutuskan untuk kembali ke Darwin.
Karena saya masih mempunyai satu minggu sebelum
bekerja sebagai housekeeper, saya mencoba menjadi cleaner
untuk rumah.
Cleaner
Pekerjaan cleaner yang saya tekuni yaitu
membersihkan dari rumah satu ke rumah lainnya setiap
harinya. Rumah-rumah yang dibersihkan ini merupakan
pelanggan reguler yang mempunyai jadwal setiap
minggunya. Rumah yang dibersihkan sangatlah besar
(seperti di sinetron-sinetron televisi) dan minimal 3 rumah
setiap harinya. Pekerjaan ini dimulai dari jam 9 pagi
hingga jam 5 sore bahkan sampai jam 7. Mengapa
perkerjaan ini membutuhkan waktu cukup panjang?
Karena sebagian besar waktu yang digunakan untuk
menempuh perjalanan dari satu rumah ke rumah lainnya.
Sehingga saat membersihkan rumah, kami dipaksa untuk
sangat cepat dan teliti. Lebih cepat dibandingkan
membersikan ruangan di hotel.
Dapat dikatakan, cleaner merupakan pekerjaan
terberat yang saya lakukan selama di Darwin. Disamping
tidak adanya waktu untuk istirahat pasti (kami hanya
beristirahat saat dalam perjalanan), ditambah hampir
setiap rumah memelihara anjing di dalamnya.
Beruntungnya saya, selama saya bekerja sebagai cleaner (5
hari) bertepatan dengan waktu PMS saya. Hal ini menjadi
salah satu keputusan saya untuk tidak melanjutkan
pekerjaan sebagai cleaner. Walaupun gaji yang di dapat
sebagai cleaner lebih besar dibanding sebagai housekeeper.

Housekeeper…(2)
Setelah serangkaian kejadian diatas, untuk pertama
kalinya saya bersyukur bekerja sebagai housekeeper (lama
banget yah bersyukurnya). Bekerja sebagai housekeeper di
bawah agen di Darwin, ratenya sangat kecil. Mungkin rate
saya merupakan rate terkecil diantara pejuang WHV di
Darwin. Sekembalinya menjadi housekeeper, manager saya
ganti menjadi lebih tegas dan teliti. Manager baru ini
membuat beberapa peraturan baru yang sangatlah tidak
wsajar, seperti memotong waktu untuk membersihkan
kamar check-out (regular) dari 22 menit menjadi 18 menit.
Di dunia per-housekeeping-an, semenit pun sangat
berharga. Ditambah lagi, hotel kami berbeda dengan hotel
lainnya dimana hotel lainnya terdapat houseman yang
bertugas membantu untuk memenuhi perlengkapan
ruangan disaat storeroom kosong. Apabila di hotel kami,
tedapat satu barang yang tidak ada (contoh: sarung bantal)
kami harus mencari sendiri ke area lain (karena hotel kami
sistemnya outdoor, sehingga area satu dengan lainnya
berjauhan) sehingga ini sangat memakan waktu.
Walaupun dengan peraturan-peraturan aneh, rate
kecil, hotel yang susah sekali dijangkau dengan angkutan
umum, tapi saya sangat menikmati sekali pekerjaan
sebagai housekeeper (emang kalau sudah beryukur,
mengerjakan apapun menjadi lebih mudah) dan yang
paling penting pekerjaan ini tidak menganggu waktu solat.
Semakin bertambahnya waktu, sayapun sudah mulai
terbiasa bekerja disini, bahkan saya bisa menyelesaikan
satu kamar regular hanya dengan 14 menit dan akhirnya
saya mendapakan jatah weekend, dimana weekend rate lebih
besar dibandingkan weekday.
Ditambah lagi, semakin banyak para pejuang WHV
yang diterima di hotel saya yang membuat saya semakin
betah bekerja di hotel ini. Sebenarnya, para housekeeper
baru yan diterima di hotel merupakan teman satu rumah.
Bayangkan 5 dari 8 penghuni rumah (yang perempuan)
bekerja di tempat yang sama. Disini saya merasakan
indahnya berbagi, karena semua penghuni rumah
mempunyai waktu kerja yang sama (pagi hari) sehingga
kami harus berbagi kamar mandi. Kami mempunyai
jadwal waktu mandi mulai jam 5.15 hinggal 6.45 dengan
jenjang waktu mandi 10 menit per orang. Hari-haripun
terasa menyenangkan, siang harinya kami bekerja dan
malam harinya kami habiskan (biasanya) makan malam
bersama dan sisanya mengobrol terkait permasalahan
yang kami hadapi. Percaya deh, ngobrol ngalor-ngidul
dengan teman (face to face) itu healing time banget. Karena
saya pernah merasakan sendirian di awal perjalanan dan
itu sangat membuat merasa cepat putus asa.
Setelah enam bulan berkerja di Hotel yang sama,
maka sayapun mengajukan perpanjangan waktu kerja.
Sebagai pejuang WHV, kita hanya dapat bekerja paling
lama enam bulan di satu tempat. Terkecuali di bagian
Utara Australia, kita dapat memperpanjang kerja waktu
kerja kita lebih dari 6 bulan. Nasib berkata lain, agen saya
tidak mengizinkan saya untuk tetap bekerja di hotel yang
sama. Akhirnya, saya dipindahkan di hotel di sekitar city
dimana hotel ini lebih kecil dibandingkan hotel
sebelumnya dan jam kerjanya pun lebih sedikit.
Kehidupan menjadi anak bawang terulang kembali. Saya
hanya mendapatkan jatah di weekday dan apabila kamar
yang dibersihkan sedikit, orang yang di cancel pertama
adalah saya.
Dengan keadaan seperti ini, bisa ssaja saya pindah
state untuk mencari pekerjaan baru. Karena sebagian besar
pejuang WHV bekerja (minimal 88 hari) di Darwin hanya
untuk memenuhi syarat mendapatkan visa tahun kedua.
Namun, saya lebih memilih untuk tetap tinggal di Darwin.
Selain waktu saya yang tersisa hanya tiga minggu (karena
saya harus balik ke Indonesia untuk mempesiapan studi
saya) ditambah lagi para WHV Darwin mempunyai rasa
kekeluargaan yang tinggi.

Kitchen hand di warung laksa


Ditengah kegelisahan karena dipindahkan ke hotel
baru, saya mendapatkan pekerjaan baru yaitu kithchen
hand. Ini pekerjaan paling menyenangkan selama saya di
Darwin. Warung laksa (hanya melayani take-away) ini
dibuka setiap sabtu di Parap market. Warung laksa ini
sangat digemari oleh penduduk Darwin, pasalnya warung
ini sudah dibuka sejak 20 tahun lamanya. Kebayang kan
betapa enaknya laksa di warung ini sehingga dapat
bertahan selama dua decade. Selama tiga pekan terakir
saya tingal di Darwin mempunyai dua pekerjaan.
Pekerjaan yang saya lakukan membantu segala
pesiapan (mulai dari potong memotong, menyaiapkan air
dan membuka warung) dan melayani pelangan.
Pekerjaanya mulai dari 8 pagi hingga 2 siang. Memang gaji
yang didapat tidak besar seperti pekerjaan lainnya, tapi
apabila ada sisa dari penjualan laksa (walaupun hanya
kuahnya) kami diperbolehkan membawa laksanya pulang
(ini kesenangan tersendiri bagi saya dan teman satu rumah
saya). Di lain pihak, Ibu penjual laksa sangat baik, pernah
satu ketika saya dan teman serumah saya ingin piknik ke
Litchfield, Beliau bersedia membuatan bekal untuk
perjalanan kami. Disini saya sadar, gaji besar bukanlah
yang terpenting melainkan situasi dan rekan kerja yang
terpenting.

Penghasilan tambahan
Saya mempunyai dua roommates yaitu Nurdiah
Amalia Sam dan Elisabeth Octiana Satiti. Kami sepakat
untung berbagi makanan bersama-sama. Sehingga
kamipun mempunyai uang kas untuk membeli kebutuhan
makanan kami. Uang kas yang kami kumpulkan bukanlah
bentuk dari penyisihan gaji kami sebagai kerja housekeeper,
melainkan kami melakukan aktivitas lain. Seperti
membagikan pamphlet dan mengumpulkan botol.
Pembagian pamphlet dilakukan, mulai dari mengambil
pamphlet di tempat percetakan, mengepak menjadi satu
eksemplar dan membagikannya dari rumah ke rumah
pada hari rabu dan kami menerima gaji di minggu
berikutnya.
Jadwal pengambilam sampah di daerah rumah
kami yaitu hari selasa, sehingga setiap warga akan
mengeluarkan sampah pada sore harinya. Setiap sore hari,
kami berkeliling untuk mengumpulkan botol bekas (ini
beneran mengambil botol bekasnya dari tong sampah loh).
Setelah botol terkumpul lalu dibersihkan dan dipisahkan
sesusai jenisnya. Satu botol bekas bernilai 10 cent,
pengumpulan botol lebih banyak menghasilkan uang
dibandingkan dengan penyebaran pamphlet. Ditambah
lagi, kami beberapa kali memenemukan alat masak masih
berfungsi dengan baik. Alat-alat masak yang kami
temukan, kami bersihkan kembali dan kami jual melalui
facebook (menguntungkan bukan ?). Pernah suatu ketika,
kami menemukan laptop kecil yang masih berfungsi
dengan baik hanya membutuhkan charger baru untuk
mengoperasikannya kembali.
Hal-hal seperti diatas mengsajarkan saya bahwa
apapun pekerjaanya sangat patut dihargai. Yang biasanya
kita selalu meremehkan pekerjaan pemulung, tukang
bersih-besih atau apalah itu, tapi dengan mengikuti WHV
kita bisa mengetahui, bahwa setiap pekerjaan mempunyai
andil tersendiri dalam siklus kehidupan. Apabila kamu
merasa hebat, coba deh ikut WHV apakah hebat yang
kamu maksud sama dengan hebat dengan orang lain
maksud. Setidaknya dengan mengikuti WHV, kamu tidak
akan mempunyai ego tinggi dan mengatakan“saya lebih
hebat dibandikan yang lain“. Karena dari sini saya belajar
semua orang itu hebat di bidangnya masing-masing.
Jangan takut tidak ada teman, saya yang awalnya
merasakan kesepian pada akhirnya mendapatkan teman-
teman yang layaknya keluarga di akhir pengunjung WHV.
Terlebih lagi jangan takut dengan hal-hal yang belum tentu
terjadi, seperti; kalau nanti ga betah gimana? kalo nanti ga
gabisa imbangi pekerjaan sini gimana? kalo nanti makanan
ga cocok gimama? Jangan kebanyakan berpikir buruk,
bukannya prasangka ALLAH SWT itu prasangka
hambanya ☺

Gambar 4. Perpisahan

Saat ini saya sedang berjuang meraih master saya di


Jerman (minta doanya yah teman-teman untuk kelancaran
studi saya). Akan tetapi, hingga saat ini saya masih jatuh
cinta dengan segala sistem yang dianut oleh Australia.
Keinginan saya setelah menyelesaikan studi adalah
melanjutkan WHV. Beruntungnya, saya sudah
menyelesaikan persyaratan untuk mengajukan 2nd year
visa. Pasti kalian akan bertanya, apakah saya tidak sayang
dengan ilmu master saya? Jawabannya tidak, karena
impian saya menjadi pengusaha. Sudah susah-susah
belajar masa masih harus kerja kantoran lagi (kapok saya
kerja kantoran). Lebih baik membuka usaha dan bekerja
untuk diri sendiri dibandingkan menjadi bawahan orang
lain. Tidak ada salahnya mengorbankan satu tahun saya
untuk bekerja banting tulang kembali. Bukankah untuk
mendapatkan ikan yang lebih besar kita membutuhkan
umpam yang lebih besar.

Anda mungkin juga menyukai