Anda di halaman 1dari 452

http://facebook.

com/indonesiapustaka
http://facebook.com/indonesiapustaka

mencerdaskan, mencerahkan
Diterjemahkan dari

Home Sweet Anywhere


How We Sold Our House, Created a New Life, and Saw the World

Hak cipta © Lynne Martin 2014


Hak terjemahan Indonesia pada penerbit
All rights reserved

Penerjemah: Endang Sulistyowati


Editor: Nunung Wiyati
Penyelia: Chaerul Arif
Proofreader: Arif Syarwani
Desain sampul: Febrian Satriawan
Tata letak: Priyanto

Cetakan 1, September 2014

Diterbitkan oleh PT Pustaka Alvabet


Anggota IKAPI

Ciputat Mas Plaza Blok B/AD


Jl. Ir. H. Juanda No. 5A, Ciputat
Tangerang Selatan 15412 - Indonesia
Telp. +62 21 7494032, Faks. +62 21 74704875
Email: redaksi@alvabet.co.id
www.alvabet.co.id

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)


http://facebook.com/indonesiapustaka

Martin, Lynne
Home Sweet Anywhere/Lynne Martin;
Penerjemah: Endang Sulistyowati; Editor: Nunung Wiyati
Cet. 1 — Jakarta: PT Pustaka Alvabet, September 2014
456 hlm. 13 x 20 cm

ISBN 978-602-9193-53-4

1. Traveling I. Judul.
Untuk Tim, inspirasiku, cintaku,
dan sahabat baikku.
http://facebook.com/indonesiapustaka
daf

Daftar Isi
Perkenalan ix

Satu : Berkemas 1
Dua : Di Jalan 15
Tiga : Meksiko 21
Empat : Buenos Aires 63
Lima : Penyeberangan Transatlantik 97
Enam : Turki 108
Tujuh : Paris 144
Delapan : Italia 192
Sembilan : Inggris 239
Sepuluh : Irlandia 275
Sebelas : Maroko 317
Dua Belas : Kembali ke California 341
Tiga Belas : Portugal 366
Epilog : Jangan Menunda Apa Pun 407
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kurva Pembelajaran: Hal-Hal yang Tidak


Diajarkan oleh Buku Panduan 413
Ucapan Terima Kasih 429
Tentang Penulis 432

vii
http://facebook.com/indonesiapustaka
per

Perkenalan
O rang yang cerdas tidak berkeliaran di Jembatan
Columbia atau di mana pun di dekat perbatasan di
Laredo, Texas.
Namun, itulah yang aku dan suamiku, Tim, lakukan
pada suatu fajar bulan Juli yang cerah, saat dengan gugup
kami menunggu seseorang lewat agar bisa bertanya
bagaimana prosedur yang benar untuk menyeberangi
perbatasan ke Meksiko. Ekspatriat yang sering melaku-
kan perjalanan seperti yang hendak kami lakukan
menginstruksikan kepada kami untuk menggunakan
jembatan tersebut, dan bukannya melewati perbatasan
utama yang jauh lebih ramai dan terkenal dengan insiden
baku tembak antara bandar narkoba dengan penjaga
perbatasan. Namun, sulit untuk mendapatkan petunjuk
arah yang benar dari hotel kami yang kurang nyaman
http://facebook.com/indonesiapustaka

ke perbatasan tersebut. Dan, meskipun berangkat tidak


lama setelah fajar menyingsing, kami tidak tahu apakah
arah yang kami tempuh benar. Jalanan yang kami lewati
belum tertera di dalam peta kami, Google juga tidak
bisa membantu, dan staf hotel tidak tahu apa-apa. Tidak
perlu dikatakan lagi, semua itu membuat kami sedikit
gugup.

ix
LYNNE MARTIN

Semalam kami terjaga sampai larut untuk mencari


rute yang tepat, dengan mengandalkan iPhone dan laptop
kami. Perjalanannya akan menempuh waktu selama
sepuluh jam—jika tidak ada kejutan dalam perjalanan.
Kami harus memperhitungkan waktu dengan saksama,
menyeberangi perbatasan lebih awal sebelum jalurnya
menjadi terlalu ramai, agar kami bisa tiba di San Miguel
de Allende, kota pegunungan di pusat Meksiko sebelum
gelap. Orang yang cerdas akan menghindari berkeliaran
di Meksiko pada malam hari.
Akhirnya beberapa orang datang dan memasuki
gedung kantor perbatasan. Jadi, kami berhenti ber-
keliaran dan ikut masuk untuk mendapati petugas
perbatasan sedang asyik bercerita tentang kegiatan akhir
pekan mereka. Kami menghampiri mejanya dengan ragu-
ragu, sambil memegang erat dokumen pabean kami.
Seorang petugas, yang terlihat kesal oleh kedatangan
kami, melirik sekilas dokumen kami, meminta kami
membayar beberapa ratus dolar untuk biaya masuk,
mengecap paspor kami dengan stempel yang tintanya
sudah pudar, dan meminta untuk menunggu pintu
gerbang dibuka agar mobil kami bisa diperiksa.
Sekali lagi, dengan gugup kami harus menunggu
kedatangan petugas. Saat petugas itu datang, tugas
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk memeriksa dengan saksama mobil SUV kami,


yang dipenuhi koper dan hadiah untuk teman-
teman kami di Meksiko, yang sengaja kami samarkan
untuk menghindari biaya pajak yang tinggi, terbukti
terlalu berat untuk petugas itu. Setelah mengajukan
beberapa pertanyaan dengan asal-asalan, petugas itu
mempersilakan kami melewati rintangan terakhir yang

x
PERKENALAN

berdiri di antara kami dan gaya hidup baru kami sebagai


ekspatriat. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Melintasi perbatasan itu menjadi penanda langkah
pertama kami untuk menjadi pengelana internasional
penuh waktu dan akhirnya tinggal di tempat-tempat yang
ingin kami lihat. Selama bertahun-tahun, kami hanya
bisa bermimpi pergi ke tempat-tempat itu. Sekarang
kami benar-benar membuatnya menjadi kenyataan.
Namun, yang lebih penting lagi adalah, kemampuan
kami untuk menjelajahi dunia tanpa menyertakan
hal-hal familier dari tempat asal kami juga bersumber
pada kebahagiaan yang aku dan suamiku, Tim, rasakan
karena kami bisa bertemu lagi setelah berpisah selama
tiga puluh lima tahun.
Hubungan yang kami jalin selama dua tahun
pada 1970-an berakhir dengan menyedihkan karena
pemilihan waktu yang kurang tepat. Tim adalah
penulis lirik yang cerdas, tampan, dan seksi, menjalani
kehidupan bebas ala Hollywood dengan keuangan yang
tidak menentu. Aku adalah gadis bertubuh tinggi dan
berambut pirang dengan karier menjanjikan di bidang
Humas. Kami tetap berteman setelah menikah dengan
pasangan masing-masing, dan saat kedua pernikahan
itu berakhir karena alasan yang berbeda, kami bertemu
http://facebook.com/indonesiapustaka

lagi secara tidak sengaja dan langsung jatuh cinta.


Hubunganku dengan Tim yang bertahan selama dua
tahun sebenarnya terjalin dengan manis, tapi dengan
adanya dua gadis kecil dan rumah bergaya peternakan
di San Fernando Valley yang harus diurus, aku tidak
memiliki keberanian atau energi untuk menikahi Tim
dengan gaya hidupnya yang bebas walaupun aku sangat

xi
LYNNE MARTIN

ingin hidup bersamanya.


Tiga puluh lima tahun kemudian, aku membuka
pintu dan menyambut Tim di rumahku. Beberapa
hari sebelumnya Tim meneleponku, mengatakan dia
berencana mengunjungi Cambria, desa di pinggir pantai
Central California tempat aku tinggal selama lima belas
tahun. Aku tidak bisa mengantisipasi apa yang akan
terjadi selanjutnya. Aku pikir koneksi kami akan tetap
tersimpan di ruang yang pantas di dalam pengalaman
hidupku. Saat aku menerima permintaannya untuk
mampir sebentar agar kami bisa mengobrol tentang
kabar kami masing-masing, aku mengatakan kepada
diriku sendiri bahwa Tim hanyalah mantan kekasih
dari masa lalu dan sekarang Tim menjadi teman yang
berharga, tidak lebih.
Tidak juga. Begitu aku melihat Tim, tahun-tahun
perpisahan kami seolah menguap. Hatiku tahu bahwa
Tim adalah milikku, dan aku adalah miliknya. Semua
terlihat jelas. Kami memiliki masalah serius.
“Aku sangat senang bertemu denganmu, Tim,” kataku
sambil tersenyum. Sebelum Tim sempat menjawab,
suamiku, Guy, berteriak, “Siapa itu?” dari studionya di
bawah.
Suamiku adalah seorang ilustrator/artis terkenal,
http://facebook.com/indonesiapustaka

populer di kalangan semua orang. Kami memiliki semua


yang kami inginkan—pernikahan yang bahagia dan
saling mencintai, kehidupan yang nyaman, taman yang
sempurna, dapur yang mengagumkan, studio seni untuk
bekerja, dan ruang hiburan yang luas. Itu kehidupan yang
ideal, tapi ada satu realita yang sangat besar: penyakit
Alzheimer menggerogoti Guy dengan cepat.

xii
PERKENALAN

Tim datang pada momen saat pikiran Guy jernih.


Kami bertiga mengobrol di tengah kehangatan sinar
matahari sore, menikmati pemandangan Pasifik me-
lalui sela-sela pepohonan pinus yang berjejer hingga
ke Pantai Cambria. Pada saat itu, Tim sudah hidup
menetap selama bertahun-tahun dan memiliki bisnis
pabrik elektronik kecil, kehidupan yang jauh berbeda
dari kehidupan liarnya dahulu sebagai bintang rock.
Tim menghibur kami dengan cerita-cerita lucu tentang
industri yang sibuk itu. Obrolan kami berlangsung
lancar, tapi saat Tim mengatakan bahwa pernikahannya
selama dua puluh tahun sudah berakhir, aku merasakan
duniaku yang kubangun dengan hati-hati mulai goyah.
Saat Tim pergi, kami berpisah sebagaimana yang
biasa dilakukan oleh teman lama—kecupan singkat di
pipi dan pelukan sayang. Kami tidak bisa mengatakan
apa yang terlihat jelas. Waktu akan terus memisahkan
kami.
Itu adalah situasi yang mustahil. Suamiku mem-
butuhkan kesetiaan dan pengabdianku, dan tentu saja,
hatiku masih bersama suamiku. Kami saling mencintai
secara mendalam, dan selama dua puluh tahun aku
menikmati tanggung jawab untuk membuat kehidupan
kami berjalan dengan mulus dan berperan sebagai
http://facebook.com/indonesiapustaka

inspirasi Guy selagi dia mengejar kariernya yang sukses


sebagai seorang artis. Pikiran Guy yang mengalami
kemerosotan menghancurkan hatiku. Aku harus tetap
fokus, tapi keinginanku untuk tidak membiarkan Tim
lepas lagi dari jangkauan penglihatanku terasa sama
mendesaknya. Aku serbasalah, takut, dan bahagia. Aku
sedang jatuh cinta.

xiii
LYNNE MARTIN

Beberapa bulan berikutnya menjadi siksaan besar


untukku. Setiap hari kondisi pikiran Guy semakin
memburuk; akhirnya, demi keselamatan Guy sendiri,
dokter kami mengatakan bahwa Guy harus dimasukkan
ke klinik khusus untuk pasien Alzheimer. Guy sudah
mencapai tahap di mana dia membutuhkan tingkat
pengawasan yang tidak bisa kuberikan di rumah. Guy
berkata, saat kami memasuki ruang tamu, “Sayangku,
sungguh hotel yang bagus. Apakah kau tahu hotel ini
terkenal karena restorannya?” Aku putus asa. Saat
itu juga Guy dibawa ke klinik dan dia tidak pernah
lagi menanyakan tentang kehidupan kami dulu. Tiga
tahun kemudian, Guy meninggal dunia—dan akhirnya
kehidupan baruku dimulai.
Ide bepergian ke mancanegara penuh waktu terlintas
dalam pikiranku dan Tim beberapa tahun kemudian,
saat kami sedang menyesap minuman di teras rumah
seorang teman di San Miguel de Allende. Kami tinggal
di rumahnya yang indah dan bergaya kolonial selama
teman kami itu pergi. Pada saat itu, kami sudah bersama
lagi, akhirnya kami menikah dan menetap di desa
perkebunan anggur di pesisir pantai Central California,
dan kami bepergian sesering yang bisa kami lakukan.
Lidah api menari di perapian luar ruangan saat kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengobrol tentang ke mana tujuan kami selanjutnya.


Percakapan itu memberi kesempatan yang sempurna
bagiku untuk mengutarakan masalah sensitif yang
menjadi pertimbanganku selama beberapa waktu
belakangan ini. Aku akan berusia tujuh puluh tahun
pada ulang tahunku yang berikutnya, itu adalah tonggak
sejarah yang besar. Itu usia yang melewati paruh baya

xiv
PERKENALAN

(aku selalu menganggap diriku berada dalam tahap


paruh baya karena aku masih sangat sehat dan energik),
kecuali aku berencana untuk hidup sampai usia seratus
empat puluh tahun. Dengan hari besar yang akan
menjelang, aku merasa gelisah dan frustrasi karena ada
begitu banyak tempat yang ingin kudatangi, tapi bukan
sekadar untuk datang. Aku ingin merasakan pengalaman
hidup di tempat-tempat itu, bukan sekadar berkunjung
selama satu atau dua minggu. Yang menjadi masalah
adalah, aku menyadarinya selama berbulan-bulan sejak
ide itu terlintas dalam pikiranku, rumah kami yang
besar, beserta pengeluaran harian dan tanggung jawab
perawatannya. Memiliki rumah tersebut menghalangi
kami pergi terlalu lama dalam satu waktu. Namun, karena
hubunganku dengan Tim masih terasa relatif baru, aku
tak mengatakan apa-apa kepadanya karena khawatir jika
aku mengutarakan kekhawatiran rahasiaku, Tim akan
berpikir itu berarti aku tidak bahagia hanya bersama
dengannya.
Namun, hari itu di San Miguel, ide itu terus ber-
kelebat di dalam pikiranku hingga aku tidak bisa mem-
bendungnya lagi. Aku menarik napas panjang dan
berkata, “Kau tahu, Tim, aku tidak mau membuatmu
marah atau menyakiti perasaanmu, tapi aku harus
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengatakan sesuatu kepadamu. Aku tidak bahagia


tinggal di Paso Robles. Bukan karenamu, Tuhan tahu itu,
tapi aku menyadari bahwa ada banyak sekali tempat yang
ingin kulihat sebelum terlalu tua. Aku belum siap untuk
berhenti mengeksplorasi dunia, dan liburan selama
tiga minggu tidak cukup untukku. Aku rasa kita harus
mencari cara agar bisa bepergian lebih lama daripada

xv
LYNNE MARTIN

kita tinggal di rumah.” Aku memejamkan mataku agar


tidak melihat ekspresi wajah Tim, takut dia akan salah
menginterpretasikan perkataanku dan berpikir aku
tidak bahagia dengan kehidupan kami bersama.
Tapi, Tim justru tertawa terbahak-bahak. “Oh,
Tuhanku, kita berpikiran sama! Sudah berbulan-bulan
aku memikirkan hal yang persis sama, tapi aku takut kau
akan berpikir aku sudah gila. Aku pikir kau tidak akan
mempertimbangkan kemungkinan untuk pergi dari
rumah dan meninggalkan cucu-cucu kita.”
Aku menatap Tim dengan sorot tidak percaya—dan
dengan begitu, rencana kami pun tersusun. Kami akan
“meninggalkan masa pensiun” kami dan mencari cara
untuk bisa keliling dunia dengan bebas, menikmati
pemandangan dan tempat-tempat yang ada di dalam
daftar tak berujung kami yang sudah lama tersimpan.
Malam itu, kami terjaga hingga larut, dengan penuh
semangat mengoceh tentang rencana jangka pendek,
rencana jangka panjang, bagaimana kami bisa ke sana, ke
mana kami ingin pergi, dan lain sebagainya. Sudah sejak
lama sekali hati kami tidak terasa seringan ini. Rasanya
seperti sebuah keajaiban bahwa kami memiliki ide
yang sama dalam memenuhi impian untuk menjelajahi
dunia dengan bebas. Semua terasa mungkin. Aku bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

membayangkan diriku memilah-milah tomat di pasar


pinggir jalan Italia yang bermandikan cahaya matahari,
mengeksplorasi souks—pasar terbuka—yang gelap dan
misterius di Marrakech, atau membuat soufflé di sebuah
rumah perkebunan di Prancis, sementara Tim membuka
sebotol anggur putih lokal di teras. Itu terasa seperti
mimpi, di mana di dalamnya kami akan menebus tahun-

xvi
PERKENALAN

tahun yang tidak bisa kami jalani bersama.


Pagi berikutnya, pada saat duduk bersama untuk
menikmati kopi, kami dipersenjatai dengan buku
catatan panjang berwarna kuning. Realita keuangan dari
ide tersebut sudah kami pikirkan semalaman. Bukan
hal yang mudah menyeimbangkan kenikmatan hidup
yang susah payah kau dapatkan dengan kenyataan pahit
bahwa kau harus menabung uang yang cukup untuk
hidup saat kau sudah semakin tua. Kami tidak kaya raya,
tapi kami memiliki ahli keuangan cerdas yang mengelola
sedikit uang yang kami kumpulkan dan setiap bulan
dia mengirimkan kepada kami keuntungan dari hasil
investasi uang kami. Keuntungan itu, ditambah dengan
jaminan sosial kami, menjadi sumber pemasukan bulan-
an kami.

Khawatir tidak akan bisa bepergian cukup jauh,


kami membuat daftar setiap pengeluaran yang bisa
kami pikirkan—dan yang membuat kami terkejut
adalah pengeluaran bulanan kami saat itu jauh lebih
besar daripada yang kami pikirkan. Kemudian, kami
mengumpulkan perkiraan detail dari kemungkinan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pengeluaran kami nanti jika saat berada di luar negeri


harus tinggal di rumah atau aparteman sewaan, termasuk
setiap pengeluaran yang tak terduga. Angkanya sungguh
mengejutkan. Jumlahnya hampir sama. Jika rumah itu
dijual, kami bisa hidup dengan sangat nyaman di hampir
setiap negara di dunia.
Meskipun ide itu membuat kami bersemangat,

xvii
LYNNE MARTIN

kami berdua masih merasa gugup tentang apakah


kami bisa benar-benar melakukan tantangan semacam
itu. Seperti apa rasanya tidak memiliki rumah, tidak
memiliki tempat untuk bergelung di tempat tidur kami
sendiri dan memasukkan barang-barang di lemari
sendiri setelah menempuh perjalanan panjang? Seperti
apa rasanya hidup selama beberapa tahun di negara
orang? Bagaimana pengaruh rencana ini terhadap
kondisi emosi kami? Apakah stres yang timbul karena
berpindah tempat setiap beberapa bulan sekali ke negara
yang baru dan tanpa henti memulai sesuatu dari awal
akan merenggangkan pernikahan kami yang bahagia,
ikatan yang membuat banyak teman kami merasa iri?
Apakah keempat putri kami, yang sudah menganggap
kami plinplan karena sering berkeliling untuk mencari
tempat yang kami inginkan untuk menghabiskan masa
pensiun, akan mau berbicara kepada kami lagi jika kami
meninggalkan mereka selama bertahun-tahun? Apakah
kami siap menghadapi masa depan yang tidak pasti, jauh
dari zona nyaman, keluarga, dan teman-teman kami?
Akhirnya kami mengingatkan diri sendiri bahwa kami
tidak akan pernah memiliki kesempatan kedua untuk
mewujudkan semua ini. Keputusannya adalah sekarang
atau tidak selamanya. Kami memutuskan siap menerima
http://facebook.com/indonesiapustaka

tantangan itu, untuk berkata “ya” pada ide yang baru ini.
Yang menjadi masalah selanjutnya adalah se-
rangkaian detail kecil: apa yang harus kami lakukan
dengan anjing kami, perabotan rumah, dan mobil? Apa
yang bisa kami simpan dan apa yang sebaiknya kami
buang? Dan, apakah keluarga kami akan memaafkan
karena ingin pergi jauh dari mereka untuk waktu yang

xviii
PERKENALAN

lama? Membayangkan harus mengatakan kepada anak-


anak, yang memiliki hubungan sangat dekat dengan
kami berdua, tentang ide ini membuat kami ketakutan
hingga memutuskan untuk menempatkannya di bagian
terbawah daftar yang harus kami lakukan. Kami justru
memulai pembicaraan tentang ke mana kami akan pergi,
bagaimana kami akan bertemu teman-teman baru,
asuransi seperti apa yang kami butuhkan, dan semua
detail yang akan menghabiskan waktu selama beberapa
bulan untuk dipilah dan diidentifikasi. Saat aku berpikir
tentang daftar hal-hal yang harus kami pertimbangkan
sudah lengkap, pertanyaan lain terpikir olehku, “Oh,
Tuhan, apa yang akan kita lakukan dengan surat-surat?
Kita tidak akan memiliki alamat rumah?”
“Kau sangat benar,” jawab Tim, orang yang selalu
berpikiran tenang, sambil mengangkat bahu dengan
cuek. “Kita tidak akan memiliki rumah!”
Dengan kata-kata ajaib itu, kami melakukan pe-
tualangan menakjubkan yang akan membawa kami
ke gedung tinggi Buenos Aires; rumah pedesaan yang
tenang di San Miguel de Allende, Meksiko; apartemen
kecil dengan pemandangan Blue Mosque dan Laut
Marmara di Istanbul; apartemen menawan dengan
dapur besar yang terletak hanya beberapa blok dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sungai Seine di Paris; apartemen vila yang mengarah ke


Florence; rumah tiga lantai dari abad pertengahan di La
Charité-sur-Loire, Prancis; kamar berbalkon di samping
Sungai Thames di dekat London, apartemen di luar
Kota Dublin, yang berada di dalam mansion bergaya
Georgia yang sudah berusia tiga ratus tahun dengan
pemandangan langsung ke Laut Irlandia; apartemen

xix
LYNNE MARTIN

dua kamar dengan lantai keramik warna-warni di


Marrakech, Maroko; dan rumah tepi pandai di dekat
Lisabon, Portugal.
Ini bagian yang terbaik: kami tidak terburu-buru
untuk melihat semua pemandangan yang menakjubkan.
Dengan hidup seperti ini, kami memiliki komoditi
paling berharga di dunia: waktu. Kami sama sekali
bukan turis. Kami adalah penduduk lokal sementara
di tempat mana pun kami memilih untuk menurunkan
koper kami. Dan, karena sekarang tidak memiliki
rumah, rumah kami adalah di mana pun kami berada.
Bagaimana kami bisa tahu petualangan seperti apa yang
sedang menunggu kami?
http://facebook.com/indonesiapustaka

xx
Satu

Berkemas
S etelah perjalanan ke San Miguel, kami siap
untuk mengambil langkah nyata dengan rencana
baru saat kami kembali ke California. Kami hanya perlu
membuat beberapa keputusan dan setelah itu kami siap
untuk menjalankan rencana tersebut!
Tapi, tunggu. Tidak secepat itu. Aku dan Tim sama-
sama berzodiak Libra, terlahir pada bulan Oktober.
Dalam lingkaran astrologi, itu berarti kami berdua
adalah tipe orang yang sulit untuk membuat keputusan.
Dan, itu memang benar. Tapi, untung saja kami berdua
juga anomali astrologi karena terkadang pilihan besar
terasa mudah untuk kami. Kami memutuskan untuk
membeli mobil hanya dalam waktu beberapa menit
dan membeli rumah hanya dalam waktu sepanjang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sore. (Bukankah aneh anak-anak kami menganggap


kami plinplan?) Kami memutuskan untuk menikah
tanpa ada sedikit pun keraguan. Seperti halnya ke-
putusan untuk menikah, dalam waktu singkat kami
mengambil keputusan untuk menjual rumah agar bisa
berkeliling dunia selama beberapa tahun. Rumah itu
hanya akan menjadi beban untuk kami. Rumah kami

1
LYNNE MARTIN

terjual dalam waktu satu hari—saat harga pasar sedang


turun. Dengan pertanda semacam itu, kami tidak akan
membiarkan ramalan astrologi apa pun menghalangi
untuk mewujudkan kehidupan baru kami yang penuh
petualangan.
Jadi, inilah kisah bagaimana kami pergi dari sana ke
sini ... dan ke sini ... dan ke sini:
Kami ingin tinggal di Paris, mengeksplorasi Irlandia
sesuka hati, memiliki apartemen di Florence, mencicipi
seperti apa rasanya tinggal sementara di Portugal—
dengan kata lain, merasa bebas! Seperti yang sudah
kusinggung sebelumnya, dengan cepat kami menyadari
bahwa secara finansial akan sulit bagi kami untuk
sekadar mengunci rumah dan pergi selama berbulan-
bulan dalam satu waktu. Masalah pengurusan rumah
akan selalu mengusik kami, dan rumah besar yang
dibiarkan kosong akan menjadi target segala bentuk
tindak kejahatan. Lagi pula, pengeluaran bulanan rumah
akan membatasi fleksibilitas kami untuk memutuskan
ke mana kami akan pergi dan berapa lama kami akan
tinggal di sana. Menanamkan uang penjualan rumah ke
dalam investasi yang menguntungkan adalah tindakan
yang paling masuk akal jika kami ingin menikmati
kehidupan yang nyaman di luar negeri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Manajer keuangan kami memahami keputusan


kami untuk menginvestasikan uang hasil penjualan
rumah, dan bukannya menunggu kenaikan harga
rumah di pasaran. Secara teori, jika menunggu, kami
akan mendapati diri kami sudah terlalu tua untuk bisa
menikmati hidup di jalanan.
Seperti yang kukatakan tadi, rumah kami terjual

2
BERKEMAS

hanya dalam waktu satu hari. Sekarang tidak ada kata


mundur. Pembeli rumah kami hanya memberi waktu
selama empat puluh lima hari untuk mengosongkan
rumah, yang mendorong kami untuk bertindak cepat.
Sehari setelah rumah terjual, aku menemukan Tim di
kantor kecil kami yang nyaman, sedang duduk di depan
komputernya pada pukul 6 pagi. “Sayang, ada apa? Di
luar bahkan belum terang,” kataku.
Tanpa mengangkat kepalanya dari layar komputer,
Tim menjawab, “Apakah kau tahu bahwa tiket pelayaran
satu kali jalan dari Miami ke Roma harganya hanya
$2.300 untuk kita berdua? Itu lebih murah daripada
tiket pesawat dan kita akan mendapatkan kamar
serta pengalaman berlayar selama dua minggu! Ada
satu pelayaran yang berangkat tahun depan dari
Pelabuhan Lauderdale ke Roma. Apakah sebaiknya kita
memesannya?”
Sudah terbangun, sudah penuh semangat. Suamiku
tercinta.
“Apa maksudnya pelayaran satu kali jalan?” tanyaku,
sangat mendambakan kopi pagiku. Kepalaku sudah
mulai terasa berputar.
“Begini, perusahaan pelayaran memindahkan kapal
mereka dari satu belahan dunia ke belahan dunia yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

lain dua kali dalam setahun, dan pada saat itu mereka
memberikan penawaran harga yang menarik. Sejauh
yang kutahu, semua pelayanannya sama, tapi harganya
bisa setengah dari harga normal,” jelas Tim sambil
menyeringai. “Apakah kau ingin kamar di haluan kapal
atau di buritan?”
Masih setengah tidur atau tidak, aku tidak percaya

3
LYNNE MARTIN

dengan apa yang kudengar. “Tunggu dulu, Sayang,


kau tidak pernah menaiki kapal layar. Kau mengidap
klaustrofobia, dan kita juga jenis orang yang tidak bisa
menoleransi kebosanan. Meskipun kita berdua sangat
ramah, kita juga pemilih dalam berteman, jadi apa yang
membuatmu berpikir kita akan merasa bahagia berada
di hotel mengapung selama dua minggu?” Ini terlalu
berlebihan untuk bisa diterima oleh kepalaku yang
terasa berputar. Saat ini kopi adalah suatu keharusan.
Tim mengikutiku ke dapur untuk membuat kopi.
“Dengar, aku tahu ini penuh risiko, tapi berhubung
berencana melakukan semua hal gila ini, mengapa kita
tidak mencobanya musim semi mendatang? Jika tidak
menyukainya, kita akan menggunakan pesawat untuk
perjalanan selanjutnya. Coba lihat kabin ini.”
Tim membawaku lagi ke depan komputer walaupun
aku tetap menolak ide harus terkurung di perahu motor
raksasa hingga mendarat di Roma. Atau, kami mungkin
akan dipaksa untuk mengobrol sepanjang makan malam
oleh orang-orang yang terlalu lama berada di bar. Belum
lagi menonton Iceberg Follies atau drama musikal gila lain
yang ditayangkan kru kapal di tengah-tengah Samudra
Atlantik atau berpartisipasi dalam turnamen bingo yang
tidak ada habisnya. Itu bukanlah bayanganku tentang
http://facebook.com/indonesiapustaka

hiburan malam yang menyenangkan. Sejujurnya, semua


keenggananku berlayar berasal dari pengalaman buruk
saat melakukan pelayaran selama tiga hari ke Meksiko
yang penuh dengan pemabuk pembuat onar, dan aku
tidak yakin ingin mengulangi pengalaman itu. Dua
minggu di atas kapal akan terasa amat sangat lama
untukku.

4
BERKEMAS

Dengan lembut dan halus Tim menangkis setiap


alasanku karena, seperti biasanya, Tim sudah menger-
jakan PR-nya dan menyiapkan semua jawaban, bahkan
sebelum percakapan kami dimulai. (Kemampuan Tim
untuk menyiapkan jawaban atas semua pertanyaan
yang mungkin diajukan adalah kualitas yang sangat
kusyukuri.) “Ini pelayaran dengan lokasi makan bebas,
Sayang. Kita bisa menyantap makanan di kabin jika
tidak mau diganggu oleh penumpang lain. Kita juga bisa
memasang meja di mana pun kita mau. Kita tidak perlu
berada di dekat pertunjukan Joan of Arc on Ice jika kita
tidak mau.”
Temui Tim Martin, agen perjalanan yang luar biasa.
Dia menyuguhi lusinan foto pelayaran itu kepadaku;
layanan spa, tiga kolam renang, pemandangan indah
dari ruang makan, penumpang yang tersenyum saat
disuguhi minuman buah di kursi malas mereka.
Perlahan tapi pasti, Tim berhasil memengaruhiku,
dan sebelum tengah hari, Tim sudah memesankan
kabin dengan pemandangan laut untuk kami. Mimpi
kehidupan baru kami menjadi kenyataan. Dan, dengan
itu aku menyadari, aku memiliki pola pikir baru juga.
Merencanakan perjalanan menjadi pekerjaan penuh
waktu Tim, dan dia melakukannya dengan sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka

serius. Perjalanan itu selalu mengisi pikirannya. Selagi


mengantre di bioskop, Tim menyenggolku dan berkata,
“Hei, apakah aku sudah mengatakan kepadamu bahwa
kita bisa menyewa apartemen di depan pantai di Portugal
dengan harga kurang dari $1.800 sebulan? Kita bisa
pergi ke sana bulan Maret.” Tim menjelajahi internet
setiap hari, tidak peduli di mana pun kami berada

5
LYNNE MARTIN

karena rencana perjalanan itu terus berkelanjutan. Kami


selalu menyesuaikan masalah waktu, cuaca, keinginan
kami, dan biaya yang harus dikeluarkan. Merencanakan
kehidupan seperti yang kami jalani membutuhkan
waktu dan pengalaman yang tidak sedikit; itu sebabnya
sesekali kami masih membuat kesalahan.
Pada saat kami berdiri di dapur dan aku menyatakan
persetujuan untuk pelayaran pertamaku sejak bertahun-
tahun lalu, masalah pelayaran sekali jalan dan penyewaan
tempat tinggal masih menjadi urusan nanti. Masalah
yang lebih mendesak ada di hadapan kami. Agar siap
pada waktunya, kami bukan hanya harus membuang
barang-barang, menemukan rumah baru untuk anjing,
dan mengatur detail kecil dalam kehidupan sehari-hari
seperti urusan perbankan, surat, pakaian, cek kesehatan,
dan vaksinasi, kami juga harus menyiapkan semua
dokumen yang diperlukan untuk perjalanan pertama
kami—dan, kami memutuskan tujuan pertama adalah
Meksiko dan Argentina. Kesimpulannya, kami harus me-
nyumbangkan, menjual, menyimpan, atau membawa
setiap barang yang kami miliki—dalam waktu empat
puluh lima hari. Itu sudah cukup untuk membuat siapa
pun kewalahan, apalagi sepasang suami-istri berzodiak
Libra.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pada saat ini, sebelum bercerita lebih jauh, aku ingin


menyarankan siapa pun yang berniat untuk menjalani
gaya hidup baru yang menantang ini untuk bersiap
menghadapi momen-momen sulit secara emosional.

6
BERKEMAS

Meskipun hasilnya tak bisa dijabarkan dengan kata-kata,


jalan ini bukan untuk orang yang manja.
Menjadi orang yang tidak memiliki rumah rasanya
seperti orang dewasa yang memulai kehidupan baru
dalam ikatan pernikahan dan tinggal bersama. Akan
terjadi perang tarik-menarik: “Bagaimana jika kita me-
nyingkirkan sampah-sampahmu agar kita punya ruang
untuk BARANG-BARANGku?” Sulit untuk melepaskan
barang yang kau sayangi seumur hidupmu, tapi se-
benarnya kau tidak terlalu membutuhkannya. Dalam
waktu sebulan setengah (semoga waktu kalian lebih
panjang dari itu), kami harus mengatur lagi kehidupan
dan melepaskan masa lalu karena tidak akan praktis jika
menyimpan semua perabot dan barang kami. Lagi pula,
kami membayangkan akan menciptakan awal baru yang
menyenangkan setelah akhirnya kami bosan bepergian
dan memutuskan untuk menetap lagi. Membayangkan
akan tinggal dengan perabot baru yang ringan, terang,
dan modern di masa depan membantuku untuk bisa
mengucapkan selamat tinggal pada barang-barang lama
kami.
Aku bilang “membantu”, bukan “mudah”. Benar-
benar melakukannya, lain lagi ceritanya.
Setelah bertemu lagi dan menikah, kami sering ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

pindah-pindah, mencari tempat di mana kami bisa


merasa nyaman selamanya. Kami pernah mencoba Ohio
dan North Carolina sebelum kembali lagi ke California,
meninggalkan jejak buku, pakaian, dan barang kesayang-
an kami setiap kali pindah.
Kali ini, kami harus melakukannya dengan serius.
Hampir semua barang kami harus ditinggalkan. Kami

7
LYNNE MARTIN

saling berjanji bahwa gudang berukuran 3 x 4,5 meter


harus menjadi ukuran maksimum untuk menyimpan
barang-barang kami. Gudang seluas tiga belas setengah
meter persegi itu penuh dengan cepat, yang membuat
kami harus memilah-milah lagi barang-barang secara
brutal. Kami mencoba untuk memilah barang di setiap
ruangan, tapi dalam waktu singkat, setiap barang di
rumah masuk ke dalam tumpukan yang berlabel “sim-
pan”, “sumbangkan”, “buang”, dan “bawa”. Waktu empat
puluh lima hari menguap dengan cepat seperti gerimis
di Death Valley.
Suatu sore, aku mendapati Tim di garasi, sedang
menatap ke kejauhan, ada gulungan selotip besar di
tangannya dan sebuah kardus di kakinya. “Apa yang kau
lakukan?” tanyaku.
Tim tidak bergerak, dan kemudian aku melihat
tumpukan besar CD tua di lantai garasi. Sebagian besar
CD itu berkaitan erat dengan sejarah Tim di bisnis
musik, dan menandakan momen penting dalam hidup
dan karier Tim. Bahkan, ada sebagian CD yang liriknya
ditulis sendiri olehnya. “Yah, aku rasa Alwyn (putri Tim
yang tinggal di Texas dan memiliki ketertarikan yang
sama dengan Tim dalam bidang musik) mungkin mau
mengambil ini. Toh, semua lagunya sudah tersimpan di
http://facebook.com/indonesiapustaka

iPod-ku,” gumam Tim dengan sedih. Tim memaksakan


dirinya untuk tersenyum, tapi saat aku berjalan pergi, aku
melihat bibir Tim bergetar saat CD Elvis kesayangannya
masuk ke dalam kardus.
Setiap hari, kami mengumpulkan pernak-pernik
ke dalam kardus dan tas untuk diserahkan ke truk
amal AmVet. Setiap hari, Tim mengirimkan semobil

8
BERKEMAS

penuh barang pada badan amal dan membawa setruk


penuh lukisan serta perlengkapan dapur, yang aku
tahu akan kubutuhkan nanti ke gudang sewaan kami.
Pada hari-hari tertentu, rasanya seolah barang-barang
kami menggandakan diri secara ajaib selagi kami tidur.
Ruangan yang sebelumnya sudah kami kosongkan, tiba-
tiba saja dipenuhi lebih banyak barang. Aku duduk di
sana, menggaruk kepalaku, berpikir bahwa aku yakin
sekali sudah mengosongkan ruangan itu saat kali terakhir
menutup pintunya, tapi barang-barangku teronggok di
sana, seperti menantangku untuk membuang mereka
lagi.
Dalam waktu singkat, barang-barang itu terus me-
layang keluar pintu dan jatuh ke tangan teman-teman
dan tetangga kami yang menerimanya dengan senang
hati. Anak-anak kami mengambil sebagian besar
perabotan besar dan barang antik. Kami mulai merasa
sedikit sombong dengan perkembangan kami.
Namun, kami masih menangguhkan sepuluh ribu
keputusan lain. Suatu hari, aku masuk ke dalam ruang
kerja saat Tim sedang perang surel dengan pemilik
apartemen di Istanbul tentang tawaran sewa, dan aku
berputar dalam balutan rok berwarna madu sebatas
lutut yang menawan. Tim menggelengkan kepala dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

berkata, “Sayang, kau terlihat sensasional, tapi aku tidak


yakin kau akan membutuhkan rok itu di Florence pada
bulan Juli.”
Dengan sedih aku memasukkan rok itu ke dalam
tumpukan berlabel “sumbangkan”. Mantel kasmir elegan
milik Tim—sempurna untuk tinggal di Manhattan,
tapi tidak akan bisa dipakai di tengah panas terik Izmir,

9
LYNNE MARTIN

Turki—bergabung dengan rokku itu. Kami tidak pernah


ragu menyumbangkan pakaian itu—sampai aku menulis
kalimat ini.
Tapi, kami tidak menyerah. Dengan berkurangnya
isi garasi, sebagian rencana perjalanan kami sudah
mulai terbentuk, dan kami bisa lebih mengendalikan
kegelisahan kami. Meskipun dengan adanya drama-
penyortiran barang, kejengkelan yang menyertai pen-
jualan rumah, dan momen panik, ketidakyakinan, dan
keraguan kepada diri sendiri—“Apakah kami benar-
benar sudah gila dengan melakukan semua ini?”—
kami merasa sangat bahagia dengan petualangan baru
ini. Pertemuan kembali dan pernikahan kami sudah
menjadi hadiah yang tak terduga, kejutan manis dari
surga untukku di tengah-tengah kedukaanku karena
kehilangan Guy. Namun, kemungkinan akan berada
di jalanan secara permanen, merasakan kemewahan
bisa menghabiskan seluruh waktu bersama selagi
kami mengekplorasi tempat-tempat yang menarik dan
menantang diri kami sendiri dengan pengalaman baru,
hampir melebihi mimpi terliarku. Aku sudah tidak sabar
ingin menyelesaikan tahap yang membosankan ini.
Suatu hari, aku berjalan melewati Tim di lorong. Tim
sedang membawa setumpuk buku dan kertas, dan aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

bergegas menuju arah yang berlawanan untuk melakukan


tugas yang mendesak. Tim menatapku, menjatuhkan
semua barang yang dibawanya, dan menarikku ke dalam
pelukannya yang hangat. Kami berdua tertawa histeris
karena kegairahan yang membuncah. Kami benar-benar
MELAKUKAN ini!
Di tengah-tengah semua kegembiraan itu, ada satu

10
BERKEMAS

hambatan besar yang harus diatasi: menemukan rumah


baru untuk Sparky, anjing terrier Jack Russell kami
yang berusia delapan belas bulan. Menemukan rumah
untuk anjing hampir seperti menemukan pasangan
yang cocok untuk manusia: yang dikenalkan oleh teman
biasanya lebih cocok. Kami mengatakannya kepada
semua orang yang kami kenal, dan benar saja, teman
dari teman kamilah yang bisa menjadi majikan terbaik
untuk Sparky. Orang tersebut sudah memiliki lima
ekor anjing terrier dan masih menginginkan lebih, itu
adalah sesuatu yang tidak pernah bisa kami mengerti.
Enam ekor anjing kecil yang menyebabkan kekacauan
konstan rasanya sudah terlalu berlebihan untuk kami,
tapi orang tersebut sepertinya terlihat bersemangat
melakukannya. Begitu bertemu, Sparky dan majikan
barunya langsung berteman. Sekarang Sparky tinggal di
perkebunan anggur seluas delapan ribu meter persegi
dan menghabiskan hari-harinya dengan mengejar-
ngejar binatang kecil seperti kadal dan ular.
Mengurus detail keberangkatan bukan satu-satunya
tantangan kami, dan mengucapkan selamat tinggal pada
Sparky bukanlah satu-satunya perpisahan yang kami
takutkan. Saat akhirnya kami berhasil mengumpulkan
keberanian untuk menyampaikan rencana kami kepada
http://facebook.com/indonesiapustaka

keluarga, keempat putri kami mendengarkan dalam


kebisuan saat kami menjelaskan keputusan yang tidak
lumrah ini. Kami bisa memahami kekhawatiran dan
ketakutan mereka. Tapi, yang membuat kami lega,
setelah memikirkannya selama beberapa saat, mereka
justru sangat mendukung dan ikut bersemangat dengan
rencana kami.

11
LYNNE MARTIN

Teman dan kerabat juga sama syoknya saat kami me-


ngabarkan rencana kami kepada mereka, tapi kemudian
mereka juga mulai mengajukan semua pertanyaan yang
sudah kami antisipasi sebelumnya. Misalnya saja, orang-
orang terkasih kami mengkhawatirkan tentang apa yang
akan terjadi jika kami sakit atau terluka di jalan. Tanpa
memberikan terlalu banyak detail (karena kami memang
sudah memikirkan bagaimana mengatasi skenario
seperti itu), jawaban sederhana yang kami berikan hanya
dua: (1) kami akan melakukan hal yang sama di Portugal,
seperti yang kami lakukan di Paso Robles: pergi ke dokter
atau rumah sakit dan mengobatinya. Jawaban kami yang
sudah dilatih berkali-kali sebelumnya sepertinya bisa
menyakinkan mereka, dan dalam waktu singkat mereka
juga mendukung kami, atau setidaknya mereka cukup
sopan untuk berpura-pura antusias, bahkan sekalipun
mereka berpikir itu ide yang gila.
Dan, kami bukannya tidak memiliki kekhawatiran
sendiri. Meskipun tidak pernah ragu bahwa kami akan
merasakan pengalaman kehidupan baru yang menak-
jubkan, menjalankan rencana itu akan membutuhkan
banyak visi dan tekad kuat. Dan, juga keberanian. Emosi
yang campur aduk menjadi teman setia kami. Kami
sangat ingin memulai kehidupan yang baru ini, tapi
http://facebook.com/indonesiapustaka

kegelisahan tetap mengusik kegembiraan kami. Kami


harus terus mengingatkan diri sendiri bahwa ini adalah
kehidupan kami. Pada usia seperti kami, kami tidak akan
bisa mendapatkan kesempatan seperti ini lagi. Kami
akan memiliki banyak sekali waktu untuk beristirahat
saat nanti sudah tidak bisa bergerak lagi.
Kami juga mendapati bahwa sulit untuk orang bisa

12
BERKEMAS

mengerti bagaimana kami bisa menjalankan rencana


itu tanpa menjadi bangkrut. “Begini,” kata kami kepada
seseorang di pesta koktail yang dengan malu-malu
bertanya berapa banyak uang yang kami miliki tanpa
menanyakannya secara langsung, “sebenarnya tidak
ada bedanya berapa uang yang kau miliki jika kau
ingin hidup di jalanan. Ini masalah aritmatika, bukan
kalkulus: coba hitung saja pengeluaranmu saat ini, dan
cari tahu berapa besar biaya untuk tinggal di tempat-
tempat yang menarik, tambahkan biaya transportasi,
lalu bandingkan angkanya. Hampir sama. Jika punya
banyak uang, kau akan hidup dengan nyaman. Jika
uangmu tidak terlalu banyak, kau mungkin harus puas
tinggal di apartemen satu kamar dan lebih sering makan
di rumah. Bagaimanapun, keduanya tetap bisa menjadi
petualangan.”
Hingga hari ini, sebagian orang yang kami temui
menjadi defensif saat mereka mengetahui apa yang
kami lakukan, seolah pilihan kami mengancam pilihan
mereka. Mereka akan mengatakan, “Yah, aku tidak akan
PERNAH melepaskan perabotanku, anjingku, mobilku,
... (isi sendiri titik-titiknya).” Terkadang kami mendapati
diri kami harus menjelaskan bahwa kehidupan bebas
seperti ini tidak untuk semua orang. Kebetulan saja
http://facebook.com/indonesiapustaka

kehidupan itu cocok untuk kami pada tahap kehidupan


kami yang sekarang. Toh, tujuan kami berbagi kisah
tentang gaya hidup yang unik bukanlah untuk membuat
orang merasa terdorong untuk membuat perubahan
yang drastis dalam hidup mereka. Kami hanya ingin
menegaskan keuntungan dari memperluas cakrawala
kalian, dengan cara apa pun yang dirasa nyaman.

13
LYNNE MARTIN

Mungkin saja dengan mengunjungi kota lain, bergabung


dengan klub baru, atau mencari teman baru.
Setiap kali kami menceritakan rencana ini kepada
seseorang yang baru, kami akan merasa sedikit gugup
menunggu reaksi mereka, tapi dalam waktu singkat
kami sudah mulai terbiasa. Pertama-tama, mereka
akan terlihat tidak percaya, kemudian mengajukan
banyak pertanyaan, dan akhirnya bersemangat dan pe-
nasaran, terkadang bahkan diselingi oleh perasaan iri.
Reaksi mereka meyakinkan bahwa kami melakukan
sesuatu yang luar biasa dan itu menguatkan kami untuk
mempertahankan semangat yang kami butuhkan untuk
melompati tebing terjal menuju kehidupan baru.
http://facebook.com/indonesiapustaka

14
Dua

Di Jalan
H ari terakhir di rumah kami akhirnya tiba, jadi
kami bersiap untuk pindah ke rumah lain yang kami
sewa untuk sementara waktu di Cambria, kota asalku
dulu. Di rumah sewaan itu kami bisa merampungkan
detail terakhir, menyortir barang yang tidak kami jual
atau sumbangkan, dan bersiap untuk berada di jalanan
selama lima bulan, pertama-tama berkendara ke Meksi-
ko, kemudian terbang ke Argentina.
Tapi, kami sangat lelah. Kami hampir tidak mengucap-
kan selamat tinggal dan sampai ketemu pada rumah
yang sudah kami tinggali selama bertahun-tahun. Tim
pergi sekali lagi untuk menemui temannya di AmVet,
truk amal yang sudah menerima banyak sekali perabot
rumah tangga kami selama enam minggu terakhir ini,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan aku melakukan pemeriksaan terakhir dan pergi ke


rumah sewaan kami.
Aku harus mengatakan kepada kalian bahwa wanita
akan tahu bahwa persiapan pindahannya sudah sampai
ke penghujung yang getir jika tas besarnya sudah seberat
sepuluh kilogram. Pemeriksaan terakhir ke sekeliling
rumah yang kosong selalu menimbulkan kejutan, dan

15
LYNNE MARTIN

biasanya satu-satunya tempat penampungan yang ter-


sisa hanyalah tas. Hari ini pun tidak berbeda. Selain
membawa barang-barang penting yang selalu ada di
dalam tas, sekarang tasku juga berisi sepasang sepatu,
pembuka surat, sebelah anting mutiara, buku berisi
prangko 37 sen, gabus botol anggur, kunci gereja, dua
CD kosong, foto album kecil berisi foto cucu kami, dan
penopang buku dari tembaga yang selama ini digunakan
sebagai pengganjal pintu. Aku memasukkannya ke
dalam mobil, sekali lagi menoleh ke semak-semak
mawar yang akan segera menyambut pemilik barunya,
lalu melaju pergi.
Malam itu aku dan Tim berkumpul lagi di rumah
sewaan berkamar tiga yang terletak di tepi pantai. Mobil
kami penuh dengan barang yang aku-tidak-tahu-apa-
yang-harus-dilakukan-dengan-barang-ini-tapi-aku-
belum-siap-untuk-melepaskannya. Rumah sewaan
itu terlalu besar untuk kami berdua, tapi kami mem-
butuhkan ruang untuk membuat keputusan ter-akhir
dengan barang kami yang tersisa sebagai persiapan
untuk keberangkatan kami. Setiap barang harus dibawa
ke gudang sewaan, disumbangkan, atau dibawa bersama
kami.
Suatu hari, Tim berjalan masuk ke dapur saat aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedang memikirkan nasib enam buah tusukan bonggol


jagung. Tim melambaikan sebelah sepatu kulitnya.
“Sayang,” kata Tim sambil mengerutkan kening, “aku
yakin sekali pernah melihat pasangannya, tapi aku tidak
bisa menemukannya.”
“Ada di Kamar Horor,” jawabku tanpa mengangkat
kepala.

16
DI JALAN

Dalam waktu singkat, itulah sebutan untuk kamar


tamu kami. Di dalam Kamar Horor berserakan sepatu
bot koboi, mantel, kamera, CD dan DVD, tumpukan
kartu, pembuka botol anggur, peta, peralatan elektronik,
kantong plastik berisi pernak-pernik kecil, dokumen,
dan sepatu dengan masa depan yang tidak pasti. Sesekali,
aku atau Tim akan masuk ke dalam kamar itu dan
berusaha untuk merapikannya, hanya untuk keluar lagi
beberapa menit kemudian, mengumpat dengan suara
pelan, dan merasa kalah oleh tugas yang amat jahat itu.
Hari saat kami mengosongkan kamar itu dan
menutup pintunya menjadi tonggak sejarah dalam
hubungan kami.
Kami masih harus menghadapi dua keputusan pen-
ting: pakaian dan perlengkapan bepergian yang akan
kami bawa dalam perjalanan panjang kami.
Setelah banyak berdebat, kami bertekad bahwa kami
bisa bertahan hidup dengan hanya membawa dua tas
selempang besar dan dua tas tangan. Kami menggelar
acara fashion show privat untuk satu sama lain saat
kami berusaha menyortir lagi semua pakaian dan per-
lengkapan. Itu pekerjaan yang membosankan, tapi
antusiasme kami menyambut perjalanan ini sangat besar
dan membuat segalanya menjadi lebih menyenangkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saat minggu-minggu sebelum keberangkatan menge-


rucut menjadi hitungan hari, kami hampir tidak tidur.
Pukul 4 dini hari berubah menjadi pukul 7 pagi. Daftar
tugas berputar di dalam kepala kami, diperumit dengan
kasus kekontrasan serius tentang kebahagiaan atas
rencana kami dan kesedihan karena harus meninggalkan
keluarga kami.

17
LYNNE MARTIN

Dan, itu membawa kami pada tantangan besar


selanjutnya: bagaimana kami bisa tetap berhubungan
dengan teman dan keluarga, membuat pengaturan untuk
perjalanan kami, dan menulis blog yang rencananya
akan aku mulai saat kami berada di jalan? Kami
menghabiskan banyak waktu di toko elektronik Apple,
berbicara dengan penjual cerdas yang menurut kami
terlihat seperti anak-anak, dan kami pulang dengan
membawa laptop, iPhones, speaker mini, adaptor,
dan satu tas penuh aksesorinya. Ada cukup banyak
perlengkapan untuk menunjang komunikasi sekaligus
memberi kami hiburan di setiap negara yang ingin kami
lihat selama beberapa tahun ke depan. Semua peralatan
itu sangat canggih hingga kami mendaftar kelas Apple
untuk belajar cara menggunakan peralatan baru kami.
Aku memperhatikan bahwa sebagian besar murid lain
sudah beruban juga, terlihat bingung dan takjub saat
mereka mengoperasikan peralatan elektronik masing-
masing. Kami pulang dengan membawa pengetahuan
luar-dalam tentang peralatan elektronik modern, mem-
buat kami merasa sebagai masyarakat abad dua puluh
satu!

f
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bahkan, saat kami bergumul dengan masalah pakaian


dan peralatan elektronik, Tim selalu mencurahkan waktu
selama beberapa jam setiap hari untuk merangkum
rencana perjalanan delapan belas bulan.
Suatu sore, aku berjalan masuk ke ruang makan,
yang difungsikan Tim sebagai markas perjalanan kami.

18
DI JALAN

Samudra Pasifik tampak berkilauan di luar dan matahari


tenggelam yang dramatis mulai tampak, tapi perhatian
dan konsentrasi Tim terlihat sangat fokus hingga Tim
terlihat seperti orang yang sedang bersemedi di gua.
Tiba-tiba saja, Tim menggebrak meja dan menatapku
dengan senyuman lebar yang berseri-seri. Tim melompat
bangun dari kursinya dan memberiku pelukan serta
ciuman singkat. “Wow, terima kasih! Untuk apa itu?”
tanyaku.
“Sudah SELESAI!” teriak Tim. “Aku baru saja me-
mastikan pemesanan kita untuk mobil jemputan di
Buenos Aires! Semua sudah siap. Kita siap untuk per-
jalanan selama enam bulan ke depan.”
Kami membawa sisa barang terakhir ke gudang
sewaan. Kami merampungkan tugas-tugas kecil ter-
akhir dan mengembalikan kunci rumah. Teman dan
keluarga mentraktir kami makan siang, makan malam,
mengadakan pesta koktail, menelepon, mengirimkan
surel, hadiah, kartu, memberikan doa.
Akhirnya, Hari Keberangkatan tiba.
Dan, tiba-tiba saja kami sudah berada di mobil kami.
Hanya kami berdua. (Sudah waktunya kami mem-
biasakan diri dengan kondisi itu!) Kesunyian begitu
terasa saat kami menyusuri Highway 101 menuju Los
http://facebook.com/indonesiapustaka

Angeles, empat ratus kilometer ke arah selatan. Kami


larut dalam pikiran kami sendiri, masing-masing mem-
pertimbangkan besarnya langkah yang kami ambil.
Akhirnya kami mewujudkan rencana kami, yang mem-
buat kami sangat bersemangat. Sekaligus takut.
Untuk memecah ketegangan, Tim menyalakan iPod-
nya dan menekan tombol “putar balik”. Lagu “L.A.

19
LYNNE MARTIN

Freeway” yang dibawakan penyanyi country Guy Clark


memenuhi mobil dan membuat kami tertawa terbahak-
bahak. Kami melakukan tos, berbagi ciuman kilat, dan
pada saat itu, kami tahu kami akan lebih dari sekadar
baik-baik saja. Keraguan kami menguap, digantikan
oleh keyakinan bahwa kami mengambil langkah yang
tepat dan siap untuk apa pun yang terjadi kemudian.
http://facebook.com/indonesiapustaka

20
Tiga

Meksiko
S eminggu kemudian, kelelahan karena kurang
tidur dan perjalanan yang sangat panjang melintasi
negeri, kami sampai di perbatasan Jembatan Columbia.
Saat penjaga mempersilakan lewat, kami merasa sangat
lega. Akhirnya, kami memulai perjalanan sepuluh jam
yang sudah kami siapkan selama berbulan-bulan. Dan,
kami merasa ketakutan.
Selama beberapa kilometer pertama, kegugupan
kami meningkat. Kami tidak melihat apa pun di jalan
dua lajur selain kaktus dan pagar kawat. Kami benar-
benar sendirian. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan
kami di sini? Kami bersorak senang saat mobil lain
muncul. Kecil kemungkinan para bandit akan mencoba
melukai kami dengan adanya orang lain sebagai saksi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sekitar empat puluh delapan kilometer berikutnya,


kami membayar tol dan merasa lega saat memasuki
jalan raya yang ramai. Meskipun tujuan dari perjalanan
ini adalah untuk “memperluas cakrawala kami”, rasanya
tetap menyenangkan bisa melihat sesuatu yang familier,
setidaknya pada awal perjalanan.
Ironisnya, bagian paling dramatis dari pengalaman

21
LYNNE MARTIN

kami berkendara menjelajahi Meksiko tidak ada


hubungannya dengan kriminalitas yang merajalela di
negara tersebut—tapi dengan ketidakpedulian pen-
duduk lokal terhadap aturan lalu lintas. Di Meksiko,
batas kecepatan tidak ada artinya. Orang mendahului
satu sama lain dengan kecepatan mengerikan tanpa
keraguan sedikit pun. Kami merasa, orang Meksiko,
seperti halnya orang Italia, harus mengikuti Misa setiap
hari sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang takut
mati saat menyalip truk besar di tikungan tajam. Tidak
perlu dikatakan, kami terjebak di jalur lambat.
Jalan raya yang kami lewati memotong langsung
lembah lebar yang dibingkai oleh pegunungan tinggi.
Pegunungan itu membentang dari Nuevo Laredo, Sal-
tillo, sampai San Louis Potosi, tiga kota yang menurut
penasihat perjalanan kami harus kami hindari dengan
cara apa pun. Kami melihat dua barikade polisi/militer di
sisi jalan yang berlawanan. El Policia sedang memeriksa
semua kendaraan yang lewat. Kami merasa lebih aman.
Baru setelahnya kami tahu bahwa titik pemeriksaan
polisi/militer palsu adalah tempat favorit para penculik.
Terkadang ketidaktahuan bisa membawa berkah.
Kami terus melajukan mobil, pemandangan terlihat
mulai membaik dibandingkan Kota Laredo yang ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

debu. Jejeran pohon Joshua dan kaktus terlihat di


mana-mana. Kami melewati pertanian, peternakan,
kota kecil, dan proyek yang baru setengah jadi. Langit
tampak cerah dan tak berbatas, inilah Meksiko yang
kami cintai. Apa yang perlu ditakutkan di sana? Kami
mendengarkan musik, tertawa, mengobrol, menikmati
kudapan, bercerita—dan tersesat di tikungan Saltillo,

22
MEKSIKO

tempat yang diperingatkan oleh semua orang. Kami


mengambil belokan yang salah dan mendapati diri kami
berada di gardu tol sebuah tempat yang sepi, tempat
yang TIDAK ingin kami datangi.
Seorang wanita muda cantik turun dari kursinya di
dalam gardu kecil itu. Wanita itu menggunakan isyarat
tangan dan bahasa Spanyol yang cukup dasar untuk
bisa kami mengerti saat dia menjelaskan cara berputar
di jalanan depan dan memasuki lagi jalanan tol ke arah
yang benar. Kemudian, wanita muda itu mengenakan
denda kepada kami karena keluar di tempat yang salah,
tentu saja. “Adios!” teriak wanita muda itu saat kami
kembali melajukan mobil.
Saat kami melanjutkan perjalanan, medannya se-
makin terasa familier. Padang rumput hijau sudah
digantikan hutan kaktus. Desa-desa kecil mulai ber-
munculan dengan polisi tidur yang TINGGI dan toko-
toko kecil yang menjual segalanya. Kami sangat senang
melihat kedai kecil menjual tamales, taco, dan jagung
bakar ke penduduk lokal yang duduk di meja panjang
berlapis taplak plastik warna-warni.
Akhirnya, kami sampai di putaran San Miguel yang
ditandai dengan patung caballero yang ditempa secara
asal-asalan di bagian tengahnya. Tim memasang musik
http://facebook.com/indonesiapustaka

khas Meksiko di iPod-nya, dan kami berdansa di kursi


kami. Kami menurunkan jendela agar bisa menghirup
aroma unik Meksiko yang berasal dari tortilla yang di-
masak di atas lemak babi, cabai cincang yang digoreng,
bawang putih dan bawang bombai, serta asap mesin
disel sebagai tambahan.
Kami berhasil!

23
LYNNE MARTIN

Kami memulai perjalanan dengan tinggal selama tiga


bulan di San Miguel de Allende, salah satu tempat favorit
kami. Kami pernah memiliki rumah di sana sehingga
kami memiliki beberapa teman dan cukup familier
dengan kota yang berpenduduk delapan puluh ribu jiwa
itu. Sekali lagi, meskipun ingin berkelana jauh dari zona
nyaman, kami pikir akan lebih baik jika memulainya
dengan tempat yang lebih kami kenali. Semacam pe-
manasan untuk petualangan lain yang menunggu kami
di tempat baru.
Pada malam kedatangan, kami melewati jalur lalu
lintas pertama dan menyambung ke jalur lingkar yang
mengarah ke kota. Ciri khas San Miguel—rumah ber-
atap keramik merapat di sisi bukit, masing-masing
menegaskan pemandangan kota. Toko kecil milik
keluarga berdiri hampir di setiap blok. Sebagian toko
itu bahkan tidak memiliki papan nama sama sekali, tapi
menjual barang-barang kecil yang mungkin dibutuhkan
penduduk sekitar dalam waktu cepat: air botolan, kain
pel, kudapan, jarum jahit, oli, susu, lemon, bir. Jalanan
diselingi oleh mobil dan bengkel, tempat pembudidayaan
tanaman, tempat pembuatan batu bata, rumah kecil
http://facebook.com/indonesiapustaka

khas Meksiko di belakang dinding tinggi, dan beberapa


kompleks kondominium yang baru terisi setengah.
Pemandangannya membuat kami terpukau setiap
kali kami berbelok di tikungan pertama. Pada sore
hari, danau yang terletak beberapa kilometer di bawah
perbukitan kota tampak berkilauan, katedral pusat ber-
kelap-kelip seperti permata berwarna pink di mahkota

24
MEKSIKO

raja. La Parroquia, nama katedral itu, adalah simbol


kota, sebuah gereja yang bagian depannya dibuat ulang
pada abang kesembilan belas oleh tukang bangunan
lokal dengan menggunakan gaya gotik yang hanya
pernah dilihatnya melalui foto. Tidak ada gereja lain
yang seperti itu di Meksiko. Warna pink, emas, terakota,
dan mustard mewarnai kubah gereja lain yang tersebar
di San Miguel. Keramik berwarna merah dan taman
atap yang menghijau dengan tanaman bugenvil yang
menjulur ke bawah menyatukan seluruh pemandangan
itu.
Tim yang lebih banyak menyetir sementara aku
“nagrivate”, istilah yang kami ciptakan untuk pen-
jelasan yang kuberikan saat melihat layar GPS dengan
mengatakan dengan tenang dan santai (atau, yah,
terkadang tidak terlalu tenang) hal-hal seperti, “Di
persimpangan berikutnya kau harus berbelok menyiku
dan melanjutkan melalui jalan kecil, kemudian berbelok
lagi ke kanan.” Dan, aku akan mendapatkan dengusan
yang mengindikasikan bahwa sopirku memahami
maksudku. Aku bertindak sebagai komentator dan
mengoperasikan Victoria, GPS kami, yang berbicara
dengan logat Inggris yang kental. Seperti yang sebentar
lagi akan kalian lihat, Victoria ditakdirkan untuk men-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jadi tokoh paling penting ketiga dalam buku ini.


Meskipun pengemudi di San Miguel lebih sopan dan
lebih lambat, apa pun bisa terjadi di jalanan yang lebih
besar. Pengendara sepeda, anjing, keluarga yang terdiri
dari lima orang, anjing, atau sapi bisa tiba-tiba muncul
di jalan raya. Lebih dari sekali, truk, yang mengabaikan
lampu lalu lintas, melaju langsung ke arah kami, dan

25
LYNNE MARTIN

jagoan Kota Meksiko yang menaiki mobil SUV besar


bisa saja keluar dari jalurnya dan berhenti di depan kami
tanpa satu kali pun menoleh ke arah kami.
Aku belajar untuk tidak memekik atau menjerit saat
menghadapi situasi itu karena kehisterisanku mem-
perparah kondisi jantung Tim. Mengeluarkan suara-
suara ngeri semacam itu menjadi satu dari sedikit
kebiasaanku yang membuat Tim marah. (Saat kami
bersama lagi, tidak butuh waktu lama bagiku untuk
mengendalikan dorongan spontanku.) Di Meksiko—
dan, seperti yang juga kami temukan di banyak negara
lain)—akan lebih baik jika mengemudi pada siang
hari dan dalam keadaan sadar. Berdoa mungkin akan
membantu juga.
Jalur lingkar berakhir di persimpangan T yang
bahkan bisa membuat juara balap mobil seperti Mario
Andretti meringis. Belokannya tidak didesain dengan
baik, dan belokan ke kiri membuat jantung kami
berdebar-debar setiap kali kepala kami terjulur untuk
mencoba melihat mobil, truk, dan motor yang melaju
ke arah kami, sepertinya mereka tidak menyadari lampu
lalu lintas yang baru dipasang. Kami berhasil selamat
melewatinya, dan tidak lama kemudian kami disapa
oleh penjaga pintu gerbang perumahan tempat tinggal
http://facebook.com/indonesiapustaka

teman kami, Sally Gibson.


Sally menitipkan rumahnya yang bergaya kolonial
dan dipenuhi benda seni, dengan pemandangan yang
mengagumkan, taman yang indah, dan tiga orang staf
yang bekerja penuh waktu. Kami mempertimbangkan
menempati rumah teman yang kosong sebagai salah
satu pilihan yang bisa kami ambil saat berkelana keliling

26
MEKSIKO

dunia, jadi kami berpikir ini akan menjadi kesempatan


yang sempurna untuk mencobanya. Tempat itu sangat
ideal, rumah yang sangat nyaman dan tenang, di mana
kami bisa bersantai dan merencanakan masa depan.
Rumah itu menjanjikan ketenangan setelah begitu
banyak kegembiraan yang kami rasakan. Dan, kami
menempati rumah itu secara gratis!
Ada satu masalah kecil: Sally memiliki lima burung
beo yang besar dan eksotis, empat belas burung
kenari, enam kucing, dan Webber, anjing retriever-nya
yang besar, manis, dan berbulu keemasan. Para staf
bersyukur karena ada majikan yang bisa mereka layani,
tapi kami hanya majikan sementara mereka, yang juga
bertanggung jawab atas kesejahteraan emosional dan
keselamatan fisik mereka. Bukan sesuatu yang mudah.
Kami sering sekali mengunjungi Sally, menghadiri
pestanya yang selalu meriah, dan mengagumi binatang
peliharaannya dari kejauhan sambil menikmati segelas
anggur. Namun, karena sangat menyukai binatang,
kami berdua sudah tidak sabar ingin menjalankan tugas
merawat binatang-binatang itu.
Saat malam tiba, kami sampai di depan rumah
Sally untuk menjalankan peran baru sebagai penjaga
rumahnya. Kami menemukan kunci dan membuka
http://facebook.com/indonesiapustaka

pintu ukiran kayu yang mengarah ke halaman.


Halamannya dipenuhi tanaman dan ada air mancur
yang airnya mengalir ke sungai kecil di sekeliling taman
yang beraroma segar. Sally, yang memiliki kecantikan
khas daerah Selatan, sudah tinggal di San Miguel selama
hampir tiga puluh tahun. Sepertinya Sally terbiasa
hidup dalam kemewahan, seperti sebagian besar orang

27
LYNNE MARTIN

Amerika Utara yang pindah ke Meksiko. Hidup dengan


mewah di San Miguel membutuhkan biaya yang jauh
lebih sedikit dibandingkan di tempat lain di dunia!
Di bawah kanopi yang nyaman, kursi rotan dan sofa
kulit yang dihiasi bantal warna-warni mengelilingi meja
berukir dan lampu besi untuk menampung para tamu
yang ingin mengobrol beramai-ramai. Lukisan antik
bertema burung yang diberikan pencahayaan khusus
memberi aksen tambahan pada ruang depan itu. Aku
menghela napas, “Oh, Sayang, akhirnya kita sampai.
Kita melakukan hal yang benar. Ini seperti surga. Kita
bebas.”
Kemudian, neraka pun pecah. Webber, anjing seberat
tiga puluh satu kilogram, menyalak antusias, nyaris
membuatku jatuh tersungkur. Dua ekor kucing hitam-
putih berlari melewati kami dan menghilang ke jalanan
pedesaan yang gelap gulita. Sekelompok hewan berbulu
juga ikut bersuara. Lima ekor burung beo besar memekik
tidak senang karena invasi kami, sementara empat belas
ekor burung kenari, yang terbagi dalam lima kandang
yang tersebar di sekeliling rumah, menjadi penyanyi
latar untuk semua hiruk pikuk itu.
Tim membujuk kucing yang melarikan diri agar
kembali ke dalam dengan menggunakan trik lama,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yaitu mengetuk-ngetukkan kaleng makanan kucing,


sementara aku menutupi kandang burung kenari
dengan kain dan mengamankan burung-burung yang
lain. Aku membutuhkan bantuan Tim untuk menutup
kandang burung beo yang besar dengan kain, sinyal
agar mereka segera tidur. Chickie, burung beo yang
paling tua, paling cerdas, dan paling cerewet, bertingkah

28
MEKSIKO

seperti anak berusia tiga tahun yang menolak tidur.


Saat Tim mengulurkan tangan untuk menarik kain
di atas kandangnya, Chickie mengeluarkan paruhnya
yang besar dan tajam ke sela-sela jeruji, menarik kain
penutup kandangnya, dan memeganginya dengan kuat.
Bertarung melawan burung beo keras kepala mungkin
bisa menjadi kegiatan yang lucu dan menghibur untuk
seseorang yang tidak merasa kelelahan atau tidak
membutuhkan minum, seperti halnya kami. Setelah
memberikan pisang sebagai sogokan, akhirnya kami
berhasil menutupi kandang hewan cerewet itu. Saat kami
pergi dari sana, burung beo itu bernyanyi, “Chickie,
Chickie, hola! Chickie ¿como esta?”
Akhirnya kami bisa minum dengan tenang, lalu pergi
ke kamar yang dilengkapi tempat tidur berkanopi, kamar
mandi besar, dan teras pribadi, siap untuk menikmati
kepuasaan selama beberapa minggu dan mengambil
rehat dari tekanan yang kami hadapi selama enam bulan
terakhir. Ini adalah waktu dan tempat yang tepat untuk
merayakan kehidupan baru kami dan mulai membuat
rencana konkret tentang beberapa tahun ke depan.
Pada hari pertama berada di rumah Sally, kami
bisa dengan mudah larut dalam rutinitas. Pertama-
tama, kami harus berbelanja barang kebutuhan sehari-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hari di toko besar, agar bisa memiliki barang-barang


penting yang membuat kami merasa seperti berada di
rumah sendiri—kopi yang enak, beberapa botol anggur,
bahan makanan untuk makan siang, sup, pasta, dan
bumbu-bumbu yang sangat kami sukai. Beberapa tahun
sebelumnya, ada jaringan supermarket besar yang dibuka
di luar pusat kota. Hampir semua orang di kota datang

29
LYNNE MARTIN

ke sana untuk memelototi TV layar besar, menjelajahi


bagian pakaian, dan terkesima oleh banyaknya sayuran,
susu, dan daging yang dijual di sana. Supermarket itu
mengubah cara berbelanja orang Meksiko—biasanya
mereka harus pergi dan masuk di toko ayam, toko ikan,
dan pasar sayuran di pusat kota selama beberapa kali
seminggu. Mereka tidak perlu lagi membeli kebutuhan
sehari-hari dalam jumlah yang banyak dan membawa
pulang persediaan selama seminggu ke perbatasan
bagian Selatan. Supermarket yang besar itu menawarkan
banyak sekali pilihan, yang mungkin bisa menggusur
peran toko-toko serbaada yang menyediakan barang
kebutuhan sehari-hari, tapi aku rasa kebiasaan lama dan
kesetiaan yang mendalam, serta kurangnya transportasi,
melindungi toko-toko kecil itu dari kebangkrutan.
Bagaimanapun, tempat berbelanja favorit kami tetap-
lah pasar Selasa. Berada di pelataran parkir yang luas
dan berdebu di belakang gudang, pasar itu merupakan
gabungan pasar loak, pasar petani, dan pasar gelap yang
menyediakan CD dan DVD bajakan. Para pedagangnya
menjual ayam, daging, dan ikan segar, bermacam sayur-
an, buah, herbal, dan bunga. Para pedagang itu bisa
mem-fillet ayam atau ikan secepat kilat sambil terus
mengobrol seru dengan pedagang di kedai sebelah
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan tidak pernah satu kali pun salah memotong. Kau


sungguh beruntung jika memilih datang ke pasar itu
untuk mencari meja dapur atau meja rias, tali kekang
untuk keledaimu, pakaian dalam baru, atau kacamata
Chanel imitasi. Sangat sedikit yang tidak bisa kau temu-
kan di pasar tersebut.
Pemberhentian terakhir kami selalu kedai di mana

30
MEKSIKO

seorang wanita dari campos memegang pisau seukuran


sabit, mencacah sisa carnitas (potongan babi panggang
yang berair). Wanita itu akan mengambil keik jagung
besar, yang mirip dengan roti pita, tapi tanpa bahan-
bahan yang menyehatkan. (Peringatan untuk orang
yang ingin berdiet: ada lemak babi yang terkandung di
dalamnya. Banyak sekali.) Wanita itu akan memotong
rotinya, mengisinya dengan baging babi dan salsa
pedas pilihan pembeli, membungkusnya dengan ker-
tas minyak, lalu menyerahkannya kepada pembeli.
Wanita itu mematok harga 20 peso (sekitar $1,5) untuk
sebungkus gorditas de migajas. Dengan lembut kami
memasukkannya ke dalam kantong belanja kami yang
di bagian depannya terdapat gambar Frida Khalo, istri
Diego Rivera yang memiliki alis menyambung, atau
Our Lady of Guadalupe, dan bergegas pulang untuk
menyantapnya dengan bir dingin.
Karena kita sedang bicara tentang topik detail do-
mestik, sebaiknya aku mengatakan kepada kalian bahwa
kami butuh waktu cukup lama untuk membiasakan diri
dengan gaya hidup sebagian besar orang Amerika Utara
yang tinggal di San Miguel. Kami menyadari bahwa
pergi ke pasar bukan lagi menjadi salah satu kegiatan
“reguler” kami, seperti ketika tinggal di sana beberapa
http://facebook.com/indonesiapustaka

tahun lalu. Aku menganggapnya sebagai salah satu


aspek paling menarik dari situasi kami yang baru karena
aku suka merancang menu dan memasak sehingga pergi
ke pasar secara teratur menjadi sangat membosankan
setelah aku melakukannya setiap hari. Tapi, itu adalah
langkah yang diperlukan sebelum melakukan bagian
yang paling menarik, yaitu memasak. Tapi, staf Sally

31
LYNNE MARTIN

yang lebih sering mengambil alih tugas itu selagi kami


tinggal di sana. Kami merasakan kemewahan yang
tak terungkapkan saat ada orang lain yang siap sedia
mengambil alih rutinitas yang terasa membosankan,
dan kami berterima kasih kepada mereka untuk itu.
Sebagai tambahan, karena air di Meksiko bisa
mengacaukan perut, dan sayuran tumbuh di air itu,
semua makanan yang tidak dimasak harus terlebih dulu
dibersihkan dengan disinfektan. Proses itu termasuk
merendam selada, tomat, bawang, herbal, dan semua
yang dimakan mentah atau tidak dikupas ke dalam
larutan pembersih. Memang prosesnya memakan waktu
dan merepotkan, tapi sangat penting. Cairan disin-
fektan berwarna cokelat yang kami gunakan tidak akan
memengaruhi rasa makanan, tapi bisa menjamin orang
yang memakannya tidak perlu mondar-mandir ke toilet.
Meminum hanya air minum botolan selama di Meksiko
menjadi peraturan yang wajib dijalankan. Menggunakan
air minum botolan untuk menyikat gigi juga menjadi
kebiasaan yang cerdas.
Hampir semua orang Amerika Utara mempekerjakan
penduduk lokal untuk bersih-bersih dan merawat
kebun, setidaknya satu atau dua kali seminggu, seperti
yang Sally dan kami lakukan saat kami memiliki
http://facebook.com/indonesiapustaka

rumah di sana. Mempekerjakan penduduk lokal bukan


hanya tidak mahal, melainkan juga hampir dianggap
sebagai suatu kewajiban untuk siapa pun yang mampu
melakukannya karena ada banyak sekali orang Meksiko
yang membutuhkan pekerjaan untuk memberi makan
keluarga mereka. Meksiko adalah negara miskin, dan di
kota turis seperti San Miguel, sebagian besar keluarga

32
MEKSIKO

lokal mengandalkan pekerjaan sebagai pembantu rumah


tangga atau petugas bersih-bersih di hotel karena tidak
ada pekerjaan lain yang tersedia di kota itu. Ada banyak
ekspatriat, seperti Sally, memiliki staf yang datang setiap
hari.
Pada pagi kedua kami di sana, Angelica yang sopan,
dalam balutan celana berwarna beige dan kemeja putih,
datang pukul sembilan pagi tepat. Angelica membuat
kopi, memberi makan anjing, mengirim Lupe, asisten-
nya, ke ruang cuci dengan memberikan instruksi untuk
hari itu.
Tidak lama kemudian kami mendengar suara ketukan
pelan di pintu kamar kami. Angelica bertanya kepadaku,
dalam bahasa Spanyol sederhana untuk menyesuaikan
dengan kemampuan berbahasa Spanyolku yang terbatas,
apa yang kami inginkan untuk sarapan dan kami ingin
sarapan itu disajikan di mana. Kami meminta sereal,
buah, dan kopi disiapkan di teras. Pada hari yang indah
ini, kami merasa sangat istimewa ketika sereal Wheaties
dan pisang kami datang, diatur dengan indah di atas
meja yang diletakkan di taman dengan latar belakang
pemandangan perbukitan Meksiko. Ponciano, tukang
kebun di rumah itu, secara rutin memangkas semak-
semak di dekat patung perunggu yang juga berfungsi
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebagai air mancur.


Setelah Tim selesai sarapan, dia berdiri, mengambil
mangkuknya, dan berjalan ke arah dapur. Angelica
yang sedang merapikan lemari pajangan di dekat dapur,
berbalik, melihat Tim, dan menggelengkan kepalanya
dengan perlahan. Tidaaak. Seketika itu juga, Tim belajar
bagaimana orang Meksiko melindungi pekerjaannya.

33
LYNNE MARTIN

Tim berdeham dengan gugup, meletakkan mangkuknya,


memohon diri, dan dengan santai berjalan pergi untuk
mengelilingi taman, seolah sudah sejak lama Tim ingin
melakukan itu. Aku mengendalikan diriku cukup lama
untuk pergi ke bagian lain rumah sebelum membungkuk
untuk tertawa terbahak-bahak mengingat ekspresi wajah
Tim yang kaget. Latihan kami untuk hidup bergelimang
kemewahan baru saja dimulai.
Kami selalu membutuhkan waktu satu atau dua hari
untuk menyesuaikan diri dengan ritme San Miguel, dan
kami tidak masalah dengan itu. Warna terakota terasa
menenangkan dan membuat nyaman. Bersantai setelah
makan siang dan tidur siang sebentar telah mengubah
kami dari pengelana yang dikejar-kejar waktu menjadi
orang-orang yang puas saat bisa melakukan hanya
satu hal setiap hari. Tampaknya hidup sedang berjalan
dengan lambat di sini.
Namun, aku bertekad untuk tidak membiarkannya
terjadi lagi kali ini. “Tim, aku rasa sebaiknya kita mulai
bergerak pagi ini,” kataku saat kami sarapan pada hari
kedua berada di San Miguel. Kami menyantap sarapan
taco buatan Angelica: telur orak-arik yang berkrim
dan salsa segar yang digulung dengan tortilla jagung,
dilengkapi dengan chorizo dan mangga segar di bagian
http://facebook.com/indonesiapustaka

sampingnya. “Kita harus menebus beberapa obat di


Chelo, dan setelah itu aku tahu kau pasti ingin menyapa
Marcia. Marcia mengirimkan surel kepadaku tentang rok
dan atasan baru di tokonya. Kita bisa melihat film baru
apa yang dimiliki Juan, dan pasti akan menyenangkan
jika kita bisa pergi ke mercado untuk membeli sebuket
besar bunga segar! Oh, dan kita membutuhkan lilin.”

34
MEKSIKO

Tim mengintip dari atas kacamata hitamnya dan


tersenyum kepadaku. “Tentu, Sayang, kedengarannya
bagus, tapi tidakkah kau berpikir itu daftar yang terlalu
panjang untuk dikerjakan dalam satu hari?”
Perkataan Tim ada benarnya. Bukan hanya sindrom
mañana—pagi—San Miguel sangat menular (jika
tidak mendesak, itu bisa menunggu sampai besok; jika
mendesak ... itu bisa menunggu sampai besok), tapi
ketinggian San Miguel yang berada 6.500 kaki di atas
permukaan laut membuat tubuh kami membutuhkan
penyesuaian diri selama beberapa hari pertama. Kami
memberikan peringatan itu untuk mereka yang hendak
melakukan perjalanan ke sini untuk kali pertama.
“Yah, mungkin kau benar, tapi tidak bisakah kita
mencobanya dulu?” balasku, suaraku teredam oleh se-
gigitan besar chorizo.
Tim mengangkat bahu menyetujui usulku.
Kami bergerak cepat menurut standar kami, meng-
ucapkan selamat tinggal kepada Angelica dan staf
yang lain, dan sudah berada di jalan raya pada pukul
10.30 menuju ke kota. Begitu berada di sana, kami
berpapasan dengan parade yang sedang berjalan ke
arah El Centro. Ada lusinan taksi, bus, dan mobil yang
berbaris di jalanan, secara bergantian mereka berjalan di
http://facebook.com/indonesiapustaka

persimpangan empat arah dan membiarkan satu sama


lain berbalik jika memang diperlukan. Tidak ada seorang
pun yang membunyikan klakson. Pejalan kaki bersabar
menunggu giliran untuk menyeberang. Sungguh luar
biasa! Satu-satunya yang kami sesalkan adalah orang
Amerika Utara lain yang tidak terkesan oleh kesopanan
dan kebaikan negara ini. Cara orang Meksiko memang

35
LYNNE MARTIN

sulit untuk dimengerti oleh sebagian gringos—orang


Amerika Utara.
Pemerintah Meksiko menyatakan San Miguel sebagai
monumen nasional pada tahun 1920-an, dan pesonanya
masih dipertahankan sampai sekarang. Tidak ada lampu
lalu lintas, tanda neon, atau jaringan toko. Tempat itu
masih terlihat seperti empat ratus lima puluh tahun
lalu, dan sikap sopan penduduknya membuat orang
merasa betah. Bahkan, selama pertengahan abad
kesembilan belas, pemerintah Meksiko merancang
Las Courtesias, rencana untuk tingkah laku penduduk
sipil, yang diajarkan ke setiap orang Meksiko sejak
kecil. Misalnya, sungguh tak terbayangkan ada orang
yang lupa mengucapkan selamat pagi atau selama siang
kepada penjaga toko, atau lupa mengucapkan “gracias”
saat meninggalkan toko, tidak peduli ada transaksi yang
terjadi atau tidak. Semua percakapan harus dimulai
dengan pertanyaan tentang kondisi kesehatan keluarga,
dan pria masih harus membukakan pintu untuk wanita
dan berdiri dari kursi mereka saat ada wanita yang
masuk ke ruangan tempat mereka berada. Itu semua
bagian dari laju lambat kota ini. Kami harus mempelajari
lagi irama itu setiap kali kami datang ke San Miguel, tapi
kami merasa bersyukur karenanya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tim memasuki pelataran parkir, di mana seekor


anjing Labrador besar berwarna hitam dengan ikat leher
berwarna pink neon sedang tidur siang dengan lelap, itu
adalah kegiatan rutin si anjing setiap kali kami datang
ke sini. Tembikar besar berbentuk ayam yang mengilap
bertengger di atas garasi mobil yang sederhana. Sungguh
kota yang penuh warna.

36
MEKSIKO

Kami berjalan cepat, tindakan yang berbahaya untuk


dilakukan di jalanan batu berusia empat ratus tahun yang
sudah tidak lagi rata, dengan bebatuan yang menonjol
hingga setinggi tiga puluh sentimeter di beberapa
tempat. Aku pernah tersandung salah satu batuan yang
menonjol itu, dan menghabiskan setengah liburanku
dengan berjalan terpincang-pincang keliling kota sambil
memakai pelindung lutut berwarna biru terang yang tak
sedap dipandang. Dari pengalaman itu, aku belajar dua
peraturan bertahan hidup yang penting selama berada
di kota yang aku cintai ini: Jangan pernah mengalihkan
mata dari jalanan saat berjalan, dan tinggalkan sepatu
berhak tinggi di rumah. Tentu saja, gadis-gadis lokal
yang menawan berkeliaran di San Miguel dengan
memakai sepatu stiletto setinggi lima inci seolah mereka
sedang berjalan di runway. Aku nyaris gila saat harus
berjalan dengan memakai sandal tipisku dan menunduk
untuk memperhatikan setiap langkahku seperti prajurit
yang sedang melewati ladang ranjau. Tapi, aku lebih
memilih melupakan sepatu berhak tinggiku daripada
harus memakai pelindung lutut yang jelek lagi.
Pemberhentian pertama kami: toko lilin. Semua orang
di kota membeli lilin mereka di kamar mayat karena lilin
yang dijual di sana memiliki warna madu yang menarik,
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbakar untuk waktu yang lama, dan tidak menetes.


Awalnya aku merasa sedikit canggung menghitung uang
untuk membayar lilin di atas peti mati putih berlapis
satin, tapi lama-lama kau juga akan terbiasa. Setelah
mengobrol dengan pemilik toko tentang hari yang cerah,
kesehatan keluarga kami, dan kesehatan kami sendiri,
dan pembukaan restoran baru di Insurgentes, akhirnya

37
LYNNE MARTIN

kami melakukan transaksi pembelian. Melakukan basa-


basi itu menjadi alasan mengapa sulit bagi kami untuk
menjalankan lebih dari satu atau dua hal dalam sehari,
tapi toh, semua itu membuat kami lebih menghargai
hidup.
Kami terus menaiki bukit menuju kedai Juan, kedai
kopi lokal yang sebagian besar pengunjungnya adalah
orang Amerika dan Kanada. Tim sudah tidak sabar ingin
menyapa Juan dan melihat apa film terbaru yang tersedia
dalam kepingan DVD di sana. Juan, pria Meksiko yang
cukup populer sekaligus pemilik kedai itu, menyajikan
kopi yang lezat dan menyediakan stok DVD film, serial
TV, film asing, dan kesempatan mendapatkan hiburan
yang biasanya tidak tersedia untuk populasi gringo San
Miguel. Selama bertahun-tahun Tim dan Juan menjalin
pertemanan, terikat karena kesukaan masing-masing
terhadap film.
“Señor Teeeeem,” teriak Juan kepada kami, mengalah-
kan suara percakapan yang dipanaskan oleh kafein dan
alunan lagu James Taylor. “Kau kembali!” Keduanya
langsung larut dalam percakapan seru tentang film pada
masa lalu dan masa sekarang, sementara aku, sambil
meneteskan liur, terus menatap makanan dan minuman
lezat yang disantap pengunjung, bertanya-tanya berapa
http://facebook.com/indonesiapustaka

lama lagi kami bisa makan siang.


Tim puas mengumpulkan film-film yang dipilihnya
dan menambahkan setumpuk DVD ke kantong
belanjaan kami yang bergambar wajah Frida Kahlo yang
memiliki alis menyambung. Kami melangkah cepat
menyusuri jalan menuju Chelo, toko obat yang berada
beberapa blok di atas bukit. Saat ini, matahari sudah

38
MEKSIKO

beranjak naik di langit. Saat kami melewati bar Harry,


Tim berkata dengan santai, “Aku sangat haus. Kau mau
istirahat dulu sebentar?”
Aku ragu-ragu, otakku terasa berkabut karena panas.
Coba kita lihat ... hari pertama di San Miguel ... kepanasan
... kehausan ... Harry. Aku mengerti! Margarita! “Terima
kasih, Sir, aku tidak keberatan,” kataku sambil terkikik.
Kami berjalan melewati kursi tembaga antik yang
mengilap, yang menandai pintu masuk sebuah institusi
di San Miguel, di mana gringos dan orang Meksiko bisa
berbaur dalam atmosfer bergaya New Orleans untuk
minum, mengobrol, makan malam, makan siang, atau
jamuan pada hari Minggu.
Bob, pemilik tempat itu, sedang duduk di meja segi
empatnya. Bob ramah seperti biasanya, mengenakan
jaket, dasi sutra yang diikat longgar di lehernya, dan sepatu
mahal yang mengilap. Aroma mabuk melingkarinya
seperti halo. Bob sedang terlibat percakapan serius
dengan pengembang tanah lokal dan seorang pengacara
yang tidak kami kenali. Bisnis real estat, restoran, dan
bisnis lain menjadi topik hangat untuk para pemburu
gosip di San Miguel. Bob selalu menyenangkan dan
sumber berita terbaru di sini.
Saat Bob melihat kami, dia menepuk tangan Tim
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan mencium pipiku. Tampaknya pertemuan bisnisnya


sudah selesai. Jadi, kami masuk ke dalam untuk minum
dan mengobrol.
Teman-teman berhenti di meja kami, saling bertukar
cerita dan kabar terbaru. Waktu sejam menguap dengan
cepat. Saat melihat kami, Don Julio, pelayan favorit
kami yang pernah bekerja di hotel paling bagus di kota,

39
LYNNE MARTIN

melakukan ritual cium tangannya yang selalu membuat


kami berdua tertawa senang. Don Julio bertanya apakah
kami ingin disediakan meja khusus. Pada saat itu, kami
sudah kelaparan, dan kami ditemani oleh dua orang
teman, Merry dan Ben Calderoni (yang kami temui
saat mengobrol dengan Bob) diantar ke sebuah meja di
ruang makan dengan langit-langit tinggi dan atap kubah.
Ruang makan itu sangat bagus, lukisan besar dan taplak
linen putih menegaskan pengaruh dunia-lama Spanyol
di sini, dan jendelanya yang panjang dengan tirai yang
diturunkan mencegah panas dan suara dari jalanan
mengganggu pengunjung yang sedang menikmati
makan siang.
Merry adalah seniman yang lukisannya memiliki ciri
khas penuh warna dan ekspresif, kolasenya juga dikenal
dalam skala internasional. Merry dan suaminya, Ben,
seorang eksekutif real estat, adalah orang pertama yang
kami temui dalam kunjungan pertama kami ke San
Miguel bertahun-tahun lalu. Kami tinggal di penginapan
mereka, dan Ben bergabung bersama kami untuk sarap-
an, menghibur kami dengan kisah tentang tradisi San
Miguel yang hanya diketahui oleh penduduk lokal yang
sudah tinggal lama di sini. Untuk membantu kami
memahami hasil karya Merry, Ben menyarankan kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengunjungi La Aurora dan melihat studio Merry di


bagian belakang gedung tersebut. Kami pergi ke sana hari
itu juga dan dibawa ke sebuah ruang besar berdinding
bata. Ruangan itu memiliki panjang setidaknya delapan
belas meter dan lebar dua belas meter, dengan langit-
langit setinggi enam meter. Karena Merry bekerja dangan
kanvas yang sangat besar, ruangan itu cocok untuknya.

40
MEKSIKO

Setelah mengagumi lukisan Merry, Tim berkata, “Merry,


pagi ini Ben mengatakan kepada kami bahwa saat kalian
berdua kuliah di Texas, kau pernah menggunakan Ben
sebagai objek cambukanmu.”
Merry tertawa. “Aku sedang melakukan pertunjukan
cambuk, dari sanalah aku bisa membiayai kuliahku, dan
Ben menawarkan diri untuk menjadi asistenku. Dia
memberiku minum sebelum kami pentas. Masalahnya
adalah aku tidak mengatakan kepada Ben bahwa aku
tidak pernah meminum minuman keras sebelumnya,
bahkan segelas bir sekalipun karena aku ingin Ben ber-
pikir aku adalah wanita modern. Di sanalah Ben berdiri,
tiga setengah meter di depanku, berdiri menyamping
dengan rokok di mulutnya. Aku sudah melakukan itu
ratusan kali, tapi tidak dengan segelas tequila di perutku.
“Aku nyaris memotong hidungnya. Darahnya tidak
terlalu banyak. Hanya sentakan kecil di hidung, dan Ben
sembuh dengan cepat, tapi dia tidak pernah menawarkan
diri lagi untuk menjadi objek cambukanku.”
Saat Merry selesai bercerita, dia masuk ke dalam
kantornya dan kembali dengan membawa cambuk di
masing-masing tangan. WHACK! WHACK! WHACK!
Aku dan Tim melompat mundur saat kaleng cat kosong
berkelontangan ke lantai. Aku jadi bertanya-tanya se-
http://facebook.com/indonesiapustaka

perti apa pernikahan mereka.


Bertahun-tahun kemudian, kami masih menjadi
teman baik. Saat kami duduk bersama mereka, aku dan
Tim memesan arrachera, steik dengan bumbu perendam.
Jika dimasak dengan benar, arrachera, bisa sangat lembut
hingga tidak dibutuhkan pisau untuk memotongnya.
Kami pernah mengajak seorang koki profesional ke

41
LYNNE MARTIN

Harry’s untuk makan malam dan dia benar-benar


mengeluarkan suara nikmat saat mengunyah potongan
besar arrachera. Kami menyantapnya juga kali ini, tapi
kami berhasil mencegah diri kami mengeluarkan suara
yang menyerupai babi itu. Saat Don Julio mengantarkan
piring kami, dia bergumam, “Buen provecho,” salah satu
bagian dari tradisi keramahan di kota ini. Artinya lebih
dari sekadar bon appétit atau selamat makan. Secara
harfiah, artinya adalah doa agar orang yang menyantap-
nya bisa memanfaatkan makanan yang dimakan.
Saat kami menyesap tetesan terakhir kopi kami,
Merry dan Ben mengundang kami untuk makan malam
dengan mereka di tempat baru yang sedang populer
di kota—sebuah restoran yang ada di dalam arena adu
banteng. Aku tidak suka menonton adu banteng—tidak
pernah. Tapi, saat mereka meyakinkanku, berulang-
ulang, bahwa restoran itu menawarkan pemandangan
kota yang menawan, makanan yang lezat, dan tidak akan
ada pertunjukan adu banteng pada hari kami makan
di sana, aku menerima undangan mereka. Kami pun
membuat rencana untuk akhir minggu itu.
Setelah mengucapkan selamat tinggal dan berjanji
akan kembali lagi, kami melangkah keluar dari Harry’s
dan langsung disambut oleh sinar matahari sore yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

hangat. Kami berdiri di sana sejenak dan menengadah


ke Chelo’s yang ada di atas bukit. “Kau tahu, kita bisa
menebus resep-resep ini besok, dan aku yakin Marcia
sudah tutup sekarang,” kataku. “Aku bisa memetik
beberapa bunga dari taman Sally, jadi kita tidak perlu
pergi jauh-jauh ke pasar bunga, tapi aku merasa seperti
pemalas. Kita tidak melakukan APA PUN hari ini.”

42
MEKSIKO

Tim tersenyum.
Aku menghela napas. “Kita hanya bermain.”
Tim berbalik ke arah pelataran parkir, mengayunkan
kuncinya, dan mulai menuruni bukit. “Omong kosong,
kita melakukan DUA hal, dan itu dua kali lipat lebih
banyak daripada biasanya!” ujar Tim dari atas bahunya.
Aku mengikuti Tim menyusuri jalan, tertawa sepanjang
perjalanan kembali ke patung ayam yang menjaga mobil.
Mañana selalu cukup bagus di Meksiko.
Bukan berarti orang Meksiko pemalas. Kenyataannya,
sebagian besar orang Meksiko bekerja sangat keras. Tapi,
mereka sangat menghargai keluarga, lebih daripada uang
atau kekuasaan sehingga jadwal mereka tidak selalu
sepasti atau seterburu-buru orang-orang di negara lain.
Prioritas mereka lebih seperti orang Eropa dibandingkan
orang Amerika, dan itulah yang salah satu alasan yang
menarik kami datang lagi ke San Miguel.
Kami menghabiskan sore dengan bersantai di teras
Sally yang indah, menikmati matahari terbenam sambil
mengobrol berdua tentang rencana kami menghabiskan
tujuh bulan di Eropa setelah kami tinggal selama dua
bulan di Buenos Aires. Kami masih diliputi kepuasan
karena berhasil membuat lompatan besar, dan kami
sudah tidak sabar ingin mengeksplorasi semua kemung-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kinan yang terbuka di depan sana.


Kami juga membicarakan tentang rencana besok,
saat kami akan pergi untuk mengunjungi keluarga
“Meksiko” kami. Teman kami, Maribel, mengundang
kami untuk mengikuti acara membuat tamale tahunan.
Keluarga itu menjadi teman kami saat kami kali pertama
tinggal di San Miguel, dan selama bertahun-tahun kami

43
LYNNE MARTIN

mendapatkan keistimewaan untuk berbagi kebahagiaan


dan kedukaan bersama mereka. Maribel juga merupakan
manajer properti kami saat kami kali pertama tiba di sini.
Dalam waktu singkat, kami mengangkatnya menjadi
putri kelima kami. Saat pertemanan kami semakin
kuat, Maribel mengenalkan kami kepada keluarganya
dan tradisi mereka, yang sebagian besar melibatkan
makanan, seperti juga setiap budaya di dunia.
Namun, keluarga ini dibesarkan dengan tradisi
makanan sederhana hingga seni tingkat tinggi. Dua
kali dalam setahun, semua orang—mulai dari Lidia,
nenek yang sebaya denganku, sampai Regina, cucunya
yang paling muda—berkumpul di rumah Lidia yang
bercat pink untuk membuat ratusan tamale yang proses
pembuatannya rumit dan sulit. Kerumunan wanita—
sepupu, bibi, putri, dan terkadang orang luar yang
beruntung sepertiku—berdansa dengan anggun di
dapur yang dikenal sebagai “geng koki”. Ada semacam
radar alami membuat kami bisa bekerja bersama dengan
mudah dan tanpa batas di tempat yang sebenarnya
sempit. Kami akan menyingkir saat seseorang lewat dari
satu bagian ruangan ke bagian lain dengan membawa
mangkuk besar berisi ayam, atau jika salah satu dari kami
mencuci mangkuk dengan cepat dan menyerahkannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

kepada orang yang bertugas mencampur salsa, tanpa


bertabrakan dengan yang lain. Di dapur Lidia, kami
BANYAK tertawa, bahkan walaupun salah satu dari kami
(persisnya aku) tidak bisa berbahasa Spanyol dengan
fasih. Biasanya bahasa Spanyolku yang buruk membuat
yang lain terkikik geli. Tapi, mereka sangat manis, hingga
aku tidak keberatan menjadi bahan ledekan.

44
MEKSIKO

Bakat memasak Lidia sangat mengagumkan. Semua


yang dibuat Lidia, dari saus merah sampai flan dan
pozole, menjadi makanan terlezat yang pernah kumakan.
Tapi, saus merahlah yang paling membuat ketagihan.
Saus itu dioleskan di atas enchiladas, dituangkan di
sekeliling potongan ayam, dan dipanggang, diteteskan
di atas tamale, dan di masakan apa pun yang mem-
butuhkan ledakan rasa pedas cabai. Meskipun Lidia
sudah memberiku instruksi mendetail tentang cara
membuatnya, hasil buatanku tidak pernah bisa men-
dekati saus merah buatannya. Aku yakin bahwa saus
merah Lidia yang dituangkan di atas makanan apa pun
bisa disetarakan dengan pengalaman religius.
Pria dalam keluarga juga dilibatkan walaupun sebagian
besar kontribusi mereka hanya seputar meminum bir,
menonton pertandingan sepak bola di televisi, dan
mondar-mandir di dapur untuk mengambil keripik
tortilla dengan guacamole atau salsa segar. Tim sukses
di area solidaritas pria, dan kurangnya kemampuan
Tim dalam berbahasa Spanyol sama sekali tidak
memengaruhi kemampuannya dalam mengakrabkan
diri. Sejujurnya, kekuatan pria dibutuhkan untuk
mengurus panci-panci besar, yang dengan hati-hati
ditempeli ratusan tamale dan dipenuhi air panas. Karena
http://facebook.com/indonesiapustaka

panci itu sangat besar, kompor kecil Lidia tidak bisa


menampung panci tersebut, dan akhirnya panci-panci
itu didistribusikan ke dapur tetangga di sekitar mereka.
Para pria membawa panci-panci itu ke tujuan masing-
masing dan secara rutin memeriksanya sampai tamale
matang dengan sempurna. Kemudian, mereka membawa
lagi panci berisi tamale matang ke Lidia untuk dibagikan

45
LYNNE MARTIN

ke anggota keluarga. Masing-masing keluarga menerima


kantong tertutup untuk dimasukkan ke kulkas mereka,
dipenuhi dengan cukup banyak tamale untuk disantap
sampai sesi berikutnya sekitar enam bulan lagi.
Tamale yang dikombinasikan dengan masa (jagung
giling), lemak babi, dan bumbu—tiga kelompok makan-
an utama, sejauh yang kutahu. Adonannya diberi rasa
untuk melengkapi rasa bagian isinya, jadi biasanya dapur
Lidia menyediakan empat kuali dengan campuran: satu
manis, dua sedang, dan satu lagi superpedas dengan
tambahan cabai dan bumbu lain. Para pembuat tamale
menaburkan daun jagung basah ke telapak tangan
mereka, menuangkan sesendok besar masa ke atas
daun, dan slap! menekannya sampai gepeng, dan me-
nambahkan sesendok kecil ayam, daging, buah, atau
cabai pedas ke bagian tengahnya. Kemudian, dengan
lihai Lidia melipat bagian tepi daun dan mengikatnya
dengan tali rafia hingga menjadi bungkusan kecil yang
rapi.
Tidak lama kemudian meja Lidia dipenuhi jejeran
tamale, yang dikelompokkan berdasarkan isinya. Betapa
indahnya melihat semua makanan buatan tangan sendiri
ini. Keceriaan di dapur meningkat saat kami bersulang
dengan minuman yang paling berharga di sini: tequila
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang lezat.

Sore itu, setelah para pria membawa panci terakhir


tamale ke rumah tetangga, tiba waktunya untuk makan
malam dan masak lagi. Serius! Dapur Lidia, dengan

46
MEKSIKO

langit-langitnya yang tinggi dan bermacam meja yang


difungsikan sebagai area kerja, terus sibuk sepanjang
hari. Kami langsung memulai proses bersih-bersih.
Dengan beberapa lemari yang tersedia di sana, Lidia
menyimpan panci, penggorengan, piring, dan makanan
di sana sini dengan rapi dan bersih. Taplak meja plastik
bermotif bunga menutupi meja yang bisa menampung
delapan orang (atau sampai sepuluh orang jika anak-
anak duduk di atas pangkuan orang dewasa) diletakkan
di tengah ruangan yang sudah disapu dan dipel. Tangan-
tangan yang terlatih dengan cepat mengambil panci dan
penggorengan kotor. Hidangan makan malam mulai
dikeluarkan. Saus merah buatan Lidia yang termasyhur,
keju butiran khas Meksiko, wortel, bawang, kentang,
dan setumpuk besar tortilla berdatangan ke meja. Lidia
meletakkan wajan berat ke atas tungku pembakaran.
Aku mengamati semua itu dengan takjub.
Maribel, yang mengobrol denganku di meja, hampir
tidak melirik tangannya yang sedang mengiris bawang.
Saat aku melihat cacahan pisaunya menjauh dari
bawang, aku terkesiap dan mencengkeram lengannya.
“Hentikan, Maribel, kau membuatku gila!”
Maribel menatapku seolah aku memang gila. “Apa
yang kau bicarakan?” tanya Maribel dengan bingung
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan menjatuhkan bawangnya, yang sudah teriris sem-


purna sebesar seperempat inci, ke piring yang ada
di depannya. Aku menunjuk pisaunya dengan ngeri.
Dengan menggunakan pisau kecil bergagang plastik
yang setajam silet (seperti pisau yang dijual satu dolar
per tiga buah di The Dollar Store), Maribel mendorong
seluruh bawang ke tangan kirinya dan mencacahnya

47
LYNNE MARTIN

lagi, nyaris mengenai telapak tangan dan jari-jarinya.


Aku takut satu langkah yang salah akan membuat jari
indah Maribel terpotong.
Dengan sabar Maribel menjelaskan bahwa apa yang
dia kerjakan biasa dilakukan di Meksiko. Tidak ada
yang menggunakan teknik-Emeril, menekuk jarimu ke
telapak tangan untuk membimbing pisau dengan ruas
jarimu dan mencegah jarimu terpotong. Orang Meksiko
memasak dengan serius. Setiap kentang, wortel, dan
bawang menjadi kotak kecil yang seragam saat diiris
dengan teknik mereka yang membuat rambut orang
yang melihatnya berdiri karena ngeri.
Maribel terus mengiris bawang, tapi aku tidak sang-
gup melihatnya.
Ada empat masakan yang sedang dimasak di kompor
yang ada di samping dapur. Lidia berdiri di depan
penggorengan besar yang terbuat dari besi dan berisi
saus merah yang mendidih. Lidia mengoleskan saus
merah ke atas tortilla, mengeringkannya sebentar, lalu
memindahkannya ke piring dengan menggunakan jepit-
an. Anna, saudara perempuan Maribel yang berprofesi
sebagai arsitek dan mengemudikan mobil sejauh
delapan puluh kilometer dari Guanajuato, bertugas
untuk mengurus isian keju, menaburkan parutan keju
http://facebook.com/indonesiapustaka

di tengah-tengah tortilla dan menggulungnya hingga


menyerupai gelondongan kayu. Setelah menambahkan
sesendok saus merah dari Lidia, piring itu bergeser
ke Maribel. Maribel menambahkan sesendok penuh
sayuran yang sudah dicacah dan ditumis dengan men-
tega. Auriella, yang duduk di depan kompor keempat,
menambahkan ceker ayam. Kemudian, Auriella meng-

48
MEKSIKO

geser piring ke meja makan, di mana delapan orang yang


sudah kelaparan menunggu dengan penuh semangat
ditemani berbotol-botol Coke ukuran superbesar, bir
dingin, mangkuk yang diisi bermacam salsa, dan me-
nambahkan cacahan cilantro.
Jumlah kami sangat banyak sehingga orang yang
sudah selesai makan harus bertukar tempat dengan yang
baru akan makan. Akhirnya Lidia duduk di seberangku
untuk menikmati masakannya. Saat kami tertawa dan
mengobrol tentang cucu-cucu kami, mata cokelat
Lidia berkilauan. Bakat Lidia bukan hanya di seputar
dapur. Lidia bekerja sangat keras untuk memberikan
pendidikan yang layak untuk keenam anaknya, me-
mastikan semua anaknya lulus dari SMA dan bisa kuliah.
(Bukan perjuangan yang mudah untuk sebagian besar
orang di San Miguel, apalagi dengan kondisi ekonomi
seperti keluarga Lidia.) Inilah yang kami sukai tentang
berhubungan dengan orang dari semua kalangan di sini.
Teman-teman Meksiko kami menyukai saus mereka:
kaya akan aroma dan rasa, berbumbu, dan hangat. Saus
itu dijiwai oleh bahan rahasia, kebaikan yang mereka
sebarkan kepada kami tanpa batas setiap kali kami
cukup beruntung berada di dekat mereka.
Hal yang menarik tentang kami adalah bahwa aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Lidia tidak memiliki kesamaan bahasa, selain bahasa


Spanyolku yang sangat pas-pasan. Meskipun begitu,
tahun-tahun yang kami habiskan untuk belajar bahwa
mencintai anak dan cucu kami, berbagi ide yang sama
bahwa keluarga harus didahulukan, dan merasakan
kepuasan dengan memberi makan orang lain menjadi
ikatan yang menyatukan kami. Kegembiraan bisa

49
LYNNE MARTIN

bersama dengan teman yang menerima kita apa adanya


dan menyukai keberadaan kita di dekatnya, mampu
melampaui keterbatasan bahasa. Melihat makanan luar
biasa yang dihasilkan para wanita di dapur kecil Lidia
dengan peralatan yang sederhana (bukan peralatan
dapur yang modern dan mahal) mengingatkanku bahwa
uang, posisi, dan pencapaian tidak ada hubungannya
dengan kepuasan yang didapatkan orang di setiap
negara dari ikatan keluarga, tradisi, dan kasih sayang.
Lidia dan keluarganya menghasilkan makanan kelas
dunia di dapur yang tidak memiliki cukup ruang untuk
meja konter, tidak memiliki mesin pencuci piring,
atau tempat sampah, dan tidak ada lemari yang bisa
tertutup secara otomatis atau semacamnya. Kulkas Lidia
sudah tua, dan setiap dinding terlihat penuh dengan
banyaknya colokan yang terpasang. Dalam kunjungan
kali ini, kami membawakan mikser KitchenAid ber-
ukuran besar sebagai hadiah untuk keluarga mereka.
Pada keesokan harinya, saat kami berkunjung sebentar,
Lidia sudah menjahitkan penutup yang pas, lengkap
dengan ritsleting, untuk membuat mesin itu tetap bersih
dan aman. Dan, aku tahu mesin itu akan memproduksi
ratusan adonan tamale karena sekarang sudah menjadi
bagian dari keluarga mereka.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Malam itu kami pergi dengan membawa dua lusin


tamale yang dimasukkan ke dalam kantong plastik
dan sestoples saus merah untuk melezatkan semua
makanan. (Tentu saja kami berhasil menghabiskan
semua tamale itu sebelum meninggalkan San Miguel!)
Tapi, yang lebih penting adalah, kami pergi dengan
ikatan pertemanan yang semakin mendalam, dikuatkan

50
MEKSIKO

oleh kedekatan keluarga dan makanan yang menjadi


bahasa internasional kami.

Keesokan paginya, Tim kembali menyusun rencana


untuk tahun depan, menambah rencana enam bulan
pertama yang sudah kami mantapkan sebelumnya.
Pada saat itu kami sudah tiga hari berada di Meksiko,
dan sudah memesan tempat dalam pelayaran dari
Miami ke Roma pada bulan Mei, dan dari Barcelona ke
Miami pada bulan November. Itu adalah penutup dari
perjalanan kami selama tujuh bulan di Eropa. Kami
ingin mengunjungi Prancis, Italia, Spanyol, Portugal,
dan juga Inggris, dan kami sudah mengirimkan deposit
rumah untuk bulan Juni di Paris, bulan Juli dan Agustus
di Florence. Setiap hari kami menjelajahi internet untuk
mencari apartemen di Spanyol dan Portugal, sekaligus
mengumpulkan informasi tentang penerbangan di
Eropa, penyewaan mobil, tempat tinggal sementara
di hotel, dan semua urusan kecil lainnya. Secara ke-
seluruhan, kami merasa sangat yakin dengan waktu
yang kami habiskan di luar negeri—sampai seorang
teman baru memberikan kejutan yang mencengangkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Judy Butcher, pengelana asal Amerika yang belum


lama ini kami kenal melalui seorang teman, bergabung
dengan kami untuk menikmati koktail pada suatu sore.
Kami menyukai keceriaan Judy dan mendengarkan
kisah-kisah yang menghibur saat kami bersantai di
taman musim panas Sally yang beraroma segar. Dengan
kampung halaman di West Coast, Judy sudah pernah

51
LYNNE MARTIN

tinggal di Inggris, Prancis, Alaska, dan menghabiskan


waktu di Afrika. Judy adalah seorang wanita mandiri
yang berkelana keliling dunia, dan dalam waktu singkat
kami sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri.
Kelas seni membawa Judy ke San Miguel selama
beberapa bulan.
“Jadi, kami pikir sebaiknya kami menghabiskan bulan
September di Spanyol,” jelasku kepada Judy, setelah
menceritakan rencana kami untuk menjadi pengelana
internasional penuh waktu. “Tim belum pernah ke
Spanyol dan aku yakin dia akan menyukainya. Pada
bulan Oktober, kami bisa pergi ke Portugal. Tim sangat
menyukai negara itu dan aku belum pernah berkunjung
ke sana. Dari sana akan lebih mudah pergi ke Barcelona
untuk mengejar kapal yang sudah kami pesan.”
“Kedengarannya menarik, tapi apa yang akan kalian
lakukan dengan perjanjian Schengen?” tanya Judy.
“Perjanjian apa?”
“Kesepakatan Schengen—kau tahu, peraturan sem-
bilan puluh hari.”
Aku dan Tim saling bertukar tatapan. Apa itu
peraturan sembilan puluh hari? Di dalam rencana yang
kami susun dengan saksama, apakah ada sesuatu yang
kami lewatkan? “Tidak, kami tidak tahu apa-apa tentang
http://facebook.com/indonesiapustaka

peraturan itu. Apa itu?” tanya Tim setelah terdiam se-


jenak, ada jejak kecemasan dalam suaranya.
“Oh. Yah, itu sesuatu yang seharusnya kalian cari
tahu sebelum memastikan rencana kalian,” jelas Judy
dengan santai. “Sebagian besar negara di Eropa ter-
gabung dalam Kesepakatan Schengen. Kesepakatan
itu membatasi waktu yang dihabiskan warga negara

52
MEKSIKO

Amerika untuk berada di negara-negara Uni Eropa


selama sembilan puluh hari setiap setengah tahun. Itu
memang peraturan yang merepotkan, tapi tidak ada cara
lain untuk menghindarinya selain dengan mengajukan
visa menetap untuk waktu yang lama, atau mungkin
menggunakan visa belajar atau visa bekerja.”
“Lalu, apa yang terjadi jika kau mengabaikannya dan
mengatakan kepada mereka bahwa kau tidak tahu soal
peraturan itu?” tanyaku, selalu mencari rencana B.
“Ada orang yang melakukan itu dan berhasil lolos,
tapi aku juga pernah mendengar bahwa mereka berhak
menolak izin masuk lagi ke sana selama bertahun-tahun
jika kau melanggar peraturan. Dan, jika kau sedang
sial, mereka bisa memberikan denda atau bahkan me-
menjarakanmu,” jawab Judy serius.
Kami melongo tidak percaya. Ini tidak mungkin
benar! Bagaimana mungkin kami melewatkan informasi
sepenting itu? Mengapa mereka ingin menendang keluar
turis yang berkunjung ke sana, apalagi turis seperti kami
yang ingin menunjang perekonomian lokal?
Malam itu, kami langsung menyalakan komputer.
Yang membuat kami kecewa, semua yang dikatakan
Judy pada kami memang benar. Kesepakatan itu di-
tandatangani pada 1986, dan tujuan utamanya adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk mendukung perdagangan bebas dan memudah-


kan masyarakat Eropa untuk menyeberangi perbatasan
di negara-negara Eropa. Namun, peraturan itu tidak
berlaku untuk warga negara Amerika Serikat. Uni Eropa
mencoba untuk membatasi orang asing non-negara Uni
Eropa untuk berkunjung dan menetap untuk mencari
pekerjaan atau kesejahteraan, itu sebabnya mereka

53
LYNNE MARTIN

membuat kebijakan visa turis selama sembilan puluh


hari. Visa Amerika yang biasa bisa digunakan selama
sembilan puluh hari di negara-negara Eropa. Saat visa
yang berlaku selama sembilan puluh hari itu digunakan
(tidak harus secara berurutan), orang asing harus me-
ninggalkan negara-negara Uni Eropa selama sembilan
puluh hari berturut-turut sebelum diizinkan kembali
lagi. Sangat mudah bagi penjaga perbatasan untuk
melacak pergerakan seseorang dengan menggunakan
tanggal yang tertera di stempel paspor. Kami mencari
celah selama berhari-hari dan berkonsultasi dengan
semua orang yang kami pikir bisa memberikan solusi.
Namun, faktanya tetap tidak bisa dibantahkan bahwa
kecuali bisa mendapatkan visa kunjungan jangka
panjang, kami harus keluar dari Eropa setelah tiga bulan.
Akhirnya, kami menyadari bahwa menyerah adalah
satu-satunya jalan, dan kami mulai mengubah rencana.
Inggris, Irlandia, Turki, dan Maroko tidak termasuk
ke dalam Kesepakatan Schengen, berarti waktu yang
dihabiskan di sana tidak akan diperhitungkan dalam
peraturan sembilan puluh hari, jadi kami menyertakan
negara-negara itu dan melewatkan kunjungan ke Spanyol
dan Portugal yang merupakan bagian dari negara
anggota Uni Eropa. Dengan membuat pengaturan untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbang ke Istanbul, Turki, pada hari yang sama dengan


berlabuhnya kapal kami di Roma, kami hanya akan
membuang satu hari yang berharga dari jatah sembilan
puluh hari yang diberikan. Kami akan menghabiskan
waktu selama dua minggu pada bulan Mei di Turki,
kemudian sebulan di Paris, kurang dari dua bulan
di Italia, dan kami akan melanjutkan perjalanan ke

54
MEKSIKO

Inggris pada akhir Agustus; tinggal di sana selama bulan


September, dan pindah ke apartemen di Marrakech,
Maroko, pada bulan Oktober. Rencana itu memberi
kami waktu yang cukup untuk terbang lagi ke Barcelona
pada malam sebelum kapal kami berlayar ke Amerika
Serikat, ditambah dengan beberapa hari cadangan jika
ada kasus darurat yang tidak terduga.
Berkat Judy kami batal membuat pengaturan untuk
transportasi udara, rumah, mobil, dan hotel, yang pasti
akan memotong uang yang tidak sedikit jika dibatalkan.
Seketika itu juga kami menyadari bahwa guru terbaik
kami adalah pengelana lain.
Setelah Judy membantu kami menghindari krisis,
kami sering sekali bertemu dengan Judy di San
Miguel dan mengetahui lebih banyak tentang kisah
perjalanannya. Judy meninggalkan pekerjaan ber-
pengaruh di perusahaan bertaraf dunia, membeli
karavan, dan pergi ke Alaska, tempat dia mendapatkan
pekerjaan sebagai koki di kapal—perubahan yang
radikal dari pekerjaannya yang sebelumnya sebagai
pegawai perusahaan bergaji tinggi. Judy pernah tinggal
di Prancis bersama mantan suaminya dan memiliki
seorang putri yang kini tinggal bersama keluarganya
sendiri di California dan memiliki sejumlah anak tiri
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan keluarga tiri yang menyebar di seantero Eropa.


Judy juga pernah menjadi sukarelawan di Afrika selama
beberapa tahun, membantu membangun sumur untuk
komunitas pedalaman. Judy benar-benar seorang wanita
yang mencerahkan.
Seperti yang sudah kusinggung sebelumnya, Judy
tertarik dengan San Miguel, seperti juga sebagian besar

55
LYNNE MARTIN

penduduknya, karena bidang seninya yang aktif. Galeri


seni berdiri di setiap jalan di El Centro, tapi markas untuk
studio seni komersial dan profesional adalah Fabrica La
Aurora, pabrik tekstil besar yang berlokasi di pinggir
kota. Dibangun pada 1901 dan ditelantarkan pada 1930-
an, karya seniman, tempat itu mendapatkan fungsi
baru sebagai ruang pamer untuk seniman, fotografer,
pematung, pembuat perhiasan, serta pedagang tekstil,
dan barang antik. Kami sering datang ke sana karena
restorannya yang menarik dan karena Merry, teman
kami yang terkenal karena pertunjukan cambuknya dan
kanvasnya yang berukuran ekstrabesar, serta teman lain,
seorang pematung/pelukis Mary Rapp, memiliki studio
di sana. Mary Rapp tinggal di sana, di sebuah apartemen
luas yang penuh karya seni, berpencahayaan bagus, dan
bergaya internasional. “Aku menyukai perjalananku,”
ujar Mary suatu hari, saat jari-jarinya sedang sibuk
mengolah tanah liat. “Ada sekitar tiga ratus tangga dan
lalu lintasnya sepi.”
Keesokan harinya, kami mengikuti pola yang sudah
menjadi tradisi dalam perjalanan kami ke San Miguel
selama bertahun-tahun ini: mengunjungi “The Marys”
pada hari Kamis pertama kedatangan kami di kota dan
merayakan kembalinya kami di San Miguel dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyantap makan siang mewah yang ditemani sebotol


anggur Meksiko berkualitas. Saat kedua wanita itu me-
lambaikan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal
dari bagian depan gedung dan Merry berteriak, “Jangan
lupa—kami akan menunggu kalian di arena adu banteng
pada pukul tujuh besok malam!” aku tersenyum dan
mengangguk, teringat janji yang kami buat dengan

56
MEKSIKO

Merry dan Ben pada hari pertama kedatangan kami ke


sini.
Malam berikutnya kami melihat arena berwarna
abu-abu itu untuk kali pertama. Arena itu dibangun dari
bebatuan lokal dengan pintu lengkung di setiap beberapa
meter. Saat berjalan ke restoran yang menyambung
dengan bagian luar arena, kami melewati beberapa orang
pria yang sedang mengobrol seru di dekat salah satu
pintu lengkung. Dua di antaranya, dalam balutan setelan
bisnis, terlihat bukan seperti toreador—penunggang
banteng—sementara dua yang lain, bertubuh kurus dan
terlihat anggun, bahkan saat bersandar di dinding, fokus
mengamati si pria bersetelan berbicara, lebih terlihat
seperti penunggang banteng. Saat kami lewat dan sempat
menoleh ke arah mereka, aku menduga mereka sedang
membahas detail kontrak atau nasib salah satu banteng
pada pertarungan banteng malam ini.
Dinding arena menjadi bagian belakang restoran dan
menawarkan pemandangan San Miguel de Allende yang
memukau, bermandikan kilau pink dari cahaya matahari
sore, yang terlihat dari jendela besar. Raul, seorang
peternak yang terlihat berkuasa, adalah pemilik restoran
ini, dan dia juga yang mengantar kami ke kursi yang
sudah disediakan dan mencatat pesanan kami. Merry,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang selalu terlihat cantik, mengenakan denim dengan


aksesoris bebatuan pirus. Kali ini aksesori Merry tidak
termasuk cambuk, dan itu membuat kami sangat lega.
“Malam ini kami akan menguji beberapa ekor ban-
teng muda, hanya untuk melihat kemampuan mereka,”
kata Raul. “Kalian bisa duduk di sana dan aku akan
meminta seseorang untuk membawakan minuman ke

57
LYNNE MARTIN

sana. Kalian pasti akan menikmati pertunjukannya!”


Aku membenci saran itu. Membayangkan seorang
pria menusukkan benda tajam ke tubuh seekor binatang
sama sekali tidak menarik untukku. “Oh tidak ..., aku
rasa tidak, Raul, tapi terima kasih.”
“Señora, ini hanya akan menjadi percobaan kecil,
tidak lebih. Aku janji kau pasti akan bersenang-senang!”
seru Raul. Tim dan teman-teman kami mengangguk
setuju. Aku terperangkap.
Raul membawa kami menuruni bukit, lalu kami
melangkah ke dalam balkon. Balkon batu itu meng-
ingatkanku pada arena pada masa Roma kuno, seperti
yang kami temukan di Verona yang sekarang digunakan
untuk pementasan opera Verdi. (Tim sedang berusaha
mencarikan tiket agar kami bisa menonton Turendot dan
Aida di sana pada musim panas tahun depan.) Bagiku,
adegan pembunuhan, bunuh diri, dan pertarungan
berdarahlah yang langsung bermunculan di dalam
kepalaku.
Saat kami duduk, Raul berkata, “Señor Tim, jika kau
ingin mencoba menunggangi banteng, silakan saja!”
Aku sangat mengenal Tim-ku tersayang dan
seketika itu juga aku melihat kilau semangat di matanya
walaupun Tim mencoba menyembunyikannya. Aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

melihat lurus ke depan, tapi berbisik kepadanya, “Jika


kau melakukan ini, aku akan menceraikanmu. Sebentar
lagi kita akan pergi ke Argentina dan aku tidak mau
menyeret seseorang yang memakai tongkat ke Buenos
Aires, Sobat.”
Tim tidak mengatakan apa-apa, tapi saat akhirnya aku
melirik ke arahnya, Tim dengan pandangan anak berusia

58
MEKSIKO

sembilan tahun yang penuh hasrat balas menatapku.


Aku tahu aku sudah kalah dalam pertarungan itu.
Para pria yang kami lihat di luar sekarang berada di
dalam arena, pria yang bertubuh kurus memegang jubah
berwarna cerah. Mereka tertawa dan saling meledek.
Salah satu pria bersetelan bisnis menanggalkan jaketnya
dan menggendong bayi di lengannya. Aku sangat
ketakutan melihat dia juga memegang jubah berwarna
cerah di tangannya. Beberapa orang wanita bersandar di
dinding arena dan mengobrol dengan santai. Aku yakin
bayi yang sedang digendong itu anak salah satu dari
mereka.
Tiba-tiba saja, seekor banteng keluar dari kandang
di seberang arena. Banteng itu berjalan beberapa meter,
berhenti, dan mengamati sekeliling. Tanpa peringatan,
banteng itu mulai berlari. Sepertinya banteng itu tidak
terlalu besar, tapi larinya sangat kencang.
Banteng itu membidik pria yang berada paling dekat
dengannya, yang sedang memegang jubah menjauh dari
tubuhnya dengan satu tangan dan menggendong bayi
di tangan yang lain. Banteng kecil tadi menghambur
ke arah si pria dan menabrak jubahnya. Semua orang
tertawa dan bertepuk tangan. Jelas sekali ini bukanlah
sesuatu yang mengerikan untuk penonton yang ada di
http://facebook.com/indonesiapustaka

luar arena, tapi aku sangat terkejut hingga tanganku


terangkat ke udara seolah aku berada di konser musik
rock. Hanya pemikiran cepat yang mencegahku
menumpahkan margarita dinginku.
Pada saat itu, salah satu pria memberi isyarat kepada
Tim. Dengan penuh semangat layaknya anak kecil yang
harus ke kamar mandi, Tim berjalan ke arena. Lalu, Tim

59
LYNNE MARTIN

menoleh ke arahku dan berkata, “Oh, demi Tuhan, jika


pria itu bisa melakukannya sambil menggendong bayi,
aku pasti bisa melakukannya juga.”
Aku menghela napas. “Oh, pergilah, dasar orang tua
bodoh.”
Sebelum kata “tua” keluar dari mulutku, Tim sudah
setengah jalan menuruni tangga.
Saat kaki Tim menginjak tanah arena, salah satu
matador mulai bersenda gurau dengan temannya,
jubahnya melambai di sampingnya. Pria itu berbalik
tepat pada waktunya untuk melihat si banteng kecil
menyeruduknya tepat di bagian selangkangan. Pria itu
terhuyung ke belakang, tapi tetap berdiri. Aku hampir
tidak berani melihatnya.
Namun, bahkan kejadian itu tidak menciutkan
nyali pahlawanku, Señor Tim, yang berjalan memutari
si pria yang terluka untuk menjalankan takdirnya.
Tim menghampiri pria yang menggendong bayi,
yang menyerahkan jubah merahnya kepada Tim dan
memberikan instruksi cara menggunakannya. (Jika kau
masih ingat, Tim tidak bisa berbahasa Spanyol.)
Aku menenggak sisa margarita-ku dan memberi
isyarat kepada pelayan untuk membawakan segelas lagi
selagi aku menyesuaikan kameraku. Aku tahu jika aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak merekam Tim yang menjadi matador, hubungan


indah kami akan hilang dengan cepat seperti halnya
hidung Ben di ujung cambuk Merry. Mungkin ini satu-
satunya kesempatan dalam hidup Tim, ketika dia bisa
berada di arena adu banteng. Dan, jika tidak ada rekaman
untuk menjadi bukti, Tim pasti akan sangat sakit hati.
Ditambah lagi, setelah membuktikan besarnya cintaku

60
MEKSIKO

kepadanya dengan membiarkannya turun ke sana, aku


tidak mau mendengar tentang kegagalanku merekam
momen yang teramat penting itu dalam obrolan pesta
koktail sepanjang sisa hidupku!
Señor Tim menunggu dengan sopan saat pria yang
lain bergiliran menjadi matador. Akhirnya, instruktur
memberi isyarat agar Tim berjalan ke tengah arena. Aku,
Merry, dan Ben langsung berdiri, seperti yang kulihat
dilakukan orang-orang di arena adu banteng di televisi.
Aku memfokuskan kameraku dan menahan napas saat
banteng kecil itu menghambur ke arah suamiku. Tiba-
tiba saja banteng itu terlihat jauh lebih besar di mataku.
Aku ingin berteriak agar Tim berlari secepat kilat, tapi
aku mengertakkan gigiku dan justru mulai memotret.
Saat banteng melewatinya, Señor Tim berjinjit,
melengkungkan punggungnya dengan anggun, dan
mengangkat jubahnya. Tim sungguh luar biasa—dan
aku berhasil memotretnya! Suami dan pernikahanku
selamat.
Kami membiarkan pemilik arena dan para penam-
pilnya melakukan negosiasi dan berjalan lagi ke arah
restoran. Lampu San Miguel berkilauan dan begitu juga
mata sang matador baru. “Aku sangat bangga kepadamu,
Sayang,” kataku. “Kau sangat berani dan anggun.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tim membusungkan dadanya. “Yah, kau tahu,


banteng itu jauh lebih besar dari kelihatannya dari atas
balkon. Dan, dia sangat cepat!”
Aku tertawa. “Wah, sepertinya aku harus menambah-
kan ‘Pensiunan Matador’ di samping ‘Penulis Lirik
Pemenang Clio Award’ di dalam daftar riwayat hidupmu.”
Beberapa minggu kemudian, saat kami mengagumi

61
LYNNE MARTIN

bukti foto keberanian Tim di sela-sela sesi berkemas di


rumah Sally, diam-diam aku mengucapkan syukur karena
tongkat atau gips tidak menjadi bagian dari barang yang
akan kami bawa ke Argentina minggu depan. Begitu
tiba di Argentina, aku mendapati bahwa petualangan di
sana memberikan cukup banyak tantangan tanpa harus
ditemani oleh mantan matador pincang.
http://facebook.com/indonesiapustaka

62
Empat

Buenos Aires
T im bertengger di pinggiran bangku bersepuh
besi saat mengobrol dengan wanita ramping be-
rambut pirang yang duduk di sampingnya. Seperti
biasanya, Tim tampak bersemangat. Saat aku menuruni
tangga lebar di bawah kanopi bunga bugenvil untuk
menemui mereka, Tim melompat bangun dari bangku
dan berteriak, “Sayang, kemarilah dan temui Felicia. Dia
mengagumkan, dan dia bisa berbahasa Inggris!”
Aku sama sekali tidak memercayai wanita itu dan
dengan sinis aku menyapa “teman” baru Tim itu dalam
bahasa Spanyol. “Buenos tardes, Señora. Como esta
usted1?” tanyaku dengan curiga.
Felicia mengenakan jins putih ketat dan blus ber-
potongan rendah dengan warna terang, yang nyaris
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak menutupi dadanya, dilengkapi anting-anting


perak panjang yang berkilauan terkena pantulan cahaya
matahari. Kelihatannya Felicia menjalani kehidupan
yang berat setiap menit sepanjang empat puluh sekian
tahun hidupnya dan dia duduk terlalu dekat dengan

1Selamat siang, Señora. Apa kabar?—penerj.

63
LYNNE MARTIN

suamiku. “Sangat baik, terima kasih,” jawab Felicia da-


lam bahasa Inggris.
“Felicia mengatakan kepadaku bahwa arena balap ini
sudah ada selama bertahun-tahun. Kau tahu bagaimana
orang Argentina mencintai kuda mereka,” ujar Tim
sambil tersenyum lebar.
Aku bisa memahami kegembiraan Tim. Selama
berhari-hari kami hanya berbicara dengan seseorang
yang menyajikan makanan atau menjual sesuatu kepada
kami. Kami haus akan teman bicara, tapi bukan yang
seperti INI!
Aku berbicara dengan manis, “Sayang, aku melihat
taksi di sebelah sana. Permisi, Felicia, tapi kami punya
janji lain dan harus segera kembali ke Buenos Aires.”
Tim memelototkan mata kepadaku, tapi tetap
mengikutiku. Saat pintu taksi ditutup, Tim menggerutu,
“Itu sangat kasar. Sama sekali tidak seperti dirimu yang
biasanya. Felicia sangat informatif, dan aku senang
berbicara dengannya. Apa sebenarnya masalahmu?”
“Sayang, dia seorang pelacur. Menurutmu mengapa
dia nyaris duduk di atas pangkuanmu? Maksudku, kau
memang menawan, tapi itu adalah undangan yang
sangat jelas.”
Tim terlihat malu. “Wah, tentu saja! Akhirnya negara
http://facebook.com/indonesiapustaka

ini membuatku gila. Bagaimana mungkin aku tidak


menyadarinya?”
Dalam lima detik, Tim tertawa terbahak-bahak.
Dan, tidak lama kemudian aku juga ikut tertawa. Kami
tertawa dengan sangat keras hingga sopir taksi berwajah
masam menoleh dari atas bahunya untuk menatap kami.
Senyuman singkat sopir taksi itu memperlihatkan dua

64
BUENOS AIRES

taring emas, yang membuat kami tertawa lebih keras.


Setelah bisa bernapas normal, Tim berkata, “Serius, ini
yang terakhir. Sore ini aku akan menelepon Continental
dan kita akan pergi dari sini akhir pekan depan.”
Enam minggu sebelumnya, penerbangan selama
sepuluh jam dari Los Angeles membuat kami kelelahan,
dan sejak tiba di Argentina, kami tidak pernah pulih dari
rasa lelah itu. Aku tidak mengerti satu kata pun yang
diucapkan sopir taksi atau orang-orang di bandara, yang
semakin menambah kebingungan kami. Pada awalnya,
aku menganggap semua itu karena kelelahan. Aku
yakin setelah beristirahat sebentar, kemampuan bahasa
Spanyolku yang terbatas akan kembali. Tapi terkadang,
kenyataan tidak selalu sejalan dengan pemikiran positif.
Dalam perjalanan gila menaiki taksi dari bandara
(orang Argentina mengemudi seperti sebagian besar
orang Italia Tengah dan Selatan!), kami bisa mengerti
mengapa ada banyak orang yang menyebut Buenos
Aires sebagai Paris-nya Amerika Selatan. Kemiripan
fisik Buenos Aires dengan kota favorit kami terkadang
membuat terpesona, dan di beberapa tempat, sangat
mudah untuk melupakan bahwa kami sedang berada di
Amerika Selatan. Ternyata, terkadang itu bisa menjadi
sesuatu hal yang bagus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Palermo, tempat kami akan tinggal, membuat kami


merasa senang begitu kami tiba di sana. Tempat itu sangat
indah, area yang dijejeri pepohonan dengan bangunan
yang terawat dengan baik dan ada banyak sekali pilihan
restoran, toko kue, toko kecil, dan jasa layanan. Itu juga
merupakan area non-turis, persis seperti yang kami
inginkan.

65
LYNNE MARTIN

Marina, agen pemilik apartemen kami, sudah me-


nunggu di lobi. Marina masih muda, cantik, manis,
dan terburu-buru. Gadis itu mencium kami berdua
di masing-masing pipi—bukan ciuman ala Beverly
Hills atau ciuman Prancis, tapi kecupan penuh—dan
membawa kami ke atas. Butuh lima kali bolak-balik
untuk membawa barang-barang kami ke atas dengan
menggunakan lift kecil, yang hanya bisa menampung
satu tas kami. (Kemampuan berkemas kami belum
terlalu bagus sehingga pada fase awal petualangan ini,
kami membawa terlalu banyak pakaian dan peralatan.)
Marina berkeliling apartemen, mengoceh dalam
bahasa Inggris yang cepat tentang tombol lampu,
koneksi wi-fi, dan kunci, sementara kami berusaha keras
untuk memahaminya. Apartemen itu kecil, tapi terang
dan memiliki ventilasi udara yang cukup. Apartemen
itu dilengkapi ruang tamu dua lantai, dapur kecil, dan
kamar mandi tamu di lantai pertama. Kamar yang ada
di loteng memiliki kamar mandi pribadi dan meja kecil
yang merapat ke sudut. Tirai otomatisnya menutupi
jendela setinggi dua lantai. Balkon kecilnya dilengkapi
dua kursi bergaya Prancis dan meja kecil. Marina berdiri
di balkon dan menunjuk ke arah pintu masuk subway
dan toko serbaada. Kemudian, Marina memberi kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

senyuman menawan, melirik jam tangannya, dan me-


ngatakan tentang novio-nya—pacarnya. Marine men-
cium pipiku dan pipi Tim lagi. “Hasta Luego—sampai
ketemu.” Kemudian, Marina masuk ke dalam lift kecil,
yang tidak jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya,
lalu menghilang. Kami ditinggalkan di ambang pintu,
menggosok bekas lipstik di pipi kami sambil bertanya-

66
BUENOS AIRES

tanya apa yang harus kami lakukan terlebih dulu.


Ritual ciuman orang Argentina memiliki makna yang
hampir sama dengan keramahan orang Meksiko. Dari
pengalaman di Eropa, kami mengenal orang-orang yang
suka memberikan ciuman di kedua pipi, biasanya di antara
teman dekat. Meskipun begitu, kami membutuhkan
waktu untuk terbiasa dengan ciuman penuh di Argen-
tina. Saat kali pertama aku mengunjungi salon di
Buenos Aires dan petugas salonnya menghampiriku
dengan bibir dikuncupkan, aku langsung melompat
mundur. Semua orang mendapatkan dua ciuman pipi,
seperti yang biasa orang lakukan di banyak negara di
Eropa. Akhirnya kami mulai terbiasa. Aku selalu merasa
geli saat melihat Tim mencium pipi pria lain, sesuatu
yang tidak akan pernah dilakukan oleh pria di Amerika.
Aku sangat bangga kepada Tim dan kemampuannya
dalam mengadaptasi tradisi ini. Pria sejati harus mampu
berpartisipasi dalam adat istiadat lokal.

“Jadi, di sinilah kita,” kata Tim kepadaku setelah Marina


pergi. “Ayo, kita cari makan siang sebelum mencoba
untuk merasa betah di sini.” Tim sedang mengutak-atik
http://facebook.com/indonesiapustaka

mesin pembuat kopi, yang menjadi penyejuk untuk mata


lelahku saat kami kali pertama masuk ke apartemen dan
melihatnya di atas meja. Seteko kopi menjadi elemen
penting dalam kebahagiaan kami. Suamiku yang bak
orang suci selalu mengurus masalah kebutuhan kafein
untuk kami berdua, sebelum kami mengucapkan kata-
kata pertama setiap hari.

67
LYNNE MARTIN

Aku sedang membaca buku panduan penyewa,


mencari kode untuk internet. “Tentu,” gumamku, sambil
membuka komputerku. Tim mulai mengetuk-ngetuk
mesin espresso itu dengan tidak sabar. “Sial! Tidak ada
satu pun yang berfungsi. Kita harus membeli teko kopi
sebelum besok. Tolong telepon Marina, dan tanyakan
kepadanya apa yang harus kita lakukan.”
Aku mengambil telepon, menekan nomor yang
diberikan Marina tadi, dan mendengar suara rekaman
seseorang yang berbicara dalam bahasa Spanyol yang
sangat cepat. Aku tidak mengerti satu kata pun. Suara
“Y” yang digunakan untuk dobel “L” digantikan oleh
“sh”, jadi kata seperti calle, yang di Meksiko atau Spanyol
terdengar sebagai “kai-yay”, di Argentina menjadi “kah-
shay”. Kecenderungan cara bicara mereka juga lebih
mirip orang Italia dibandingkan orang Spanyol, yang
membuat turis semakin sulit untuk memahami mereka.
Itu dan tantangan linguistik lainnya nyaris membuatku
gila selama berminggu-minggu ke depan.
Aku tidak mendengar suara bip sebagai isyarat untuk
meninggalkan pesan, jadi aku menutup teleponnya.
Jelas sekali aku tidak mendengarkan Marina saat dia
memberikan instruksi tentang cara menggunakan
telepon, dan aku tidak pernah belajar cara menggunakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

telepon di Argentina. Jadi, kami mencari cara lain untuk


berkomunikasi.
Aku mengirimkan surel SOS kepada Marina tentang
mesin pembuat kopi dan kemudian kami pergi untuk
mencari makan. Pepohonan lacy jacaranda, yang siap
untuk mekar menjadi bunga-bunga berwarna ungu, me-
menuhi lapangan terbuka yang ada di bawah apartemen

68
BUENOS AIRES

kami dan menyingkirkan semua kejengkelan kami.


Mobil, taksi, sepeda, dan anak-anak sekolah yang lalu-
lalang membuat kami senang, dan untuk kali pertama
kami melihat orang yang mengajak anjing berjalan-
jalan dengan sangat profesional. Orang tersebut bisa
mengendalikan dua belas ekor anjing yang diajaknya
berjalan-jalan sekaligus. Di kafe-kafe pinggir jalan,
orang-orang yang terlihat seperti orang Amerika
dan Eropa bertubuh tinggi dan berwajah tampan,
menyandarkan tubuh ramping mereka di kursi anyaman
bambu berwarna cokelat dan hitam sambil menikmati
kopi berbusa dan kue. Orang-orang itu terlihat seperti
berasal dari West Village, tapi saat bicara mereka ter-
dengar seperti Spantalia, yang membuatku teringat
bahwa kami berada di belahan bumi yang berlawanan.
Otak kami yang lelah dan kacau berusaha untuk mencari
tahu apakah kami berada di Paris, Roma, Buenos Aires,
atau Manhattan.
Saat akhirnya kami memilih sebuah restoran, ke-
bingungan kami meningkat. Panel kayu berwarna gelap,
kuningan yang dipoles, dan lantai berwarna hitam-
putih mengatakan kami berada di Italia. Meja dan kursi
tidak nyaman yang diselipkan di area sempit, serta gelas
anggur yang cantik mengatakan kami berada di Paris.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Ini tidak mungkin Prancis atau Italia! Menunya ditulis


dalam bahasa Spanyol. Ditambah lagi, porsi makanan
yang diantarkan di atas baki pelayan berukuran raksasa,
membuatku merasa kami berada di restoran campur
aduk versi Amerika. Namun, saat pelayan memberiku
anggur yang sangat kental, aku tahu dengan pasti
kami tidak berada di Eropa. Cairan merah yang lezat

69
LYNNE MARTIN

itu berkilauan hingga ke tepi gelas anggur berukuran


besar, bukannya hanya dituang setengah gelas seperti
yang biasanya dilakukan di negara lain. Pelayan itu
membawakan kami Malbec, anggur lezat khas Argentina
yang memiliki skala rasa antara Cabernet Sauvignon
dan Merlot. Aku tidak terkejut mengetahui bahwa,
karena selalu meminum anggur merek itu selama enam
bulan berikutnya, Kebun Anggur Trapiche menambah
beberapa baris tanaman anggur.
Tim memesan hamburger, yang mungkin tidak
terdengar menarik tapi cukup masuk akal. Argentina
membuatku teringat kepada Ricardo Montalban, aktor
Latin tampan dalam iklan kuno Lincoln, berkuda dengan
pelana kulit Corinthan yang mewah, menggembala sapi
Texas.
Suamiku tersenyum penuh harap saat pelayan meng-
antarkan makanan yang menggunung. “Oh, Tuhanku,”
seru Tim, mengamati piringnya yang masih mengepul.
Dengan garpunya, Tim mengangkat seiris panchetta
yang berkilauan oleh lemak, untuk memperlihatkan
bagian bawahnya yang berisi kentang berbentuk wafel.
“Coba lihat ini,” ujar Tim, suaranya teredam oleh
potongan kecil panchetta yang tidak tahan untuk se-
gera dicicipinya. Akhirnya, Tim menemukan daging
http://facebook.com/indonesiapustaka

burgernya yang memiliki ketebalan setidaknya dua inci.


Daging itu diletakkan di atas roti ciabatta dan diberi
lelehan keju cheddar di bagian atasnya.
Aku tertawa. “Aku tidak percaya mereka meletakkan
telur goreng di atas semua makanan itu. Tapi lihat,
mereka memberimu selada dan tomat juga, jadi rasanya
pasti tidak terlalu buruk.”

70
BUENOS AIRES

Sementara itu, aku menyerang piringku yang berisi


pasta buatan sendiri yang tergolong ringan, ditaburi
pesto aragula dan banyak sekali keju parmesan parut.
Yah, mungkin Argentina tak seburuk yang kubayangkan.
Kami berjalan keluar dari gedung apartemen kami
setengah tersesat karena koma makanan. Kami melihat
toko pastri dengan lemari kaca yang memamerkan
empañades dan pastri, dengan kejamnya toko itu berada
di lantai dasar gedung apartemen kami. Aroma makanan
yang dipanggang terbawa sampai ke apartemen setiap
kali mereka menyalakan oven. Menahan diri tidak akan
ada gunanya; aku langsung tahu bahwa kunjungan ini
akan menghabiskan lebih banyak kendali diri daripada
uang.
Namun, godaan kuliner tidak berhenti sampai di
situ. Dalam jarak berjalan kaki santai dari apartemen—
kami membicarakan tentang jarak dua blok—kami
melewati delapan restoran, tiga toko roti, enam kedai
buah dan sayuran segar, kios bunga dan koran, dan dua
pabrik pasta. Pasta buatan rumah dari kedua pabrik
kecil itu dilengkapi saus autentik Italia pilihan pembeli,
dan ditaburi banyak sekali parutan keju Reggiano
Parmigiana segar. Pelayan toko akan membungkuskan
saus pilihan pembeli di kotak yang bisa dipanaskan di
http://facebook.com/indonesiapustaka

oven. Kami adalah orang-orang yang cepat belajar, dan


kami membawa pulang banyak sekali kantong mengepul
selama tinggal di sana.
Di depan pintu gedung apartemen kami, aku mencari-
cari kunci yang diberikan Marina dulu di dalam tasku
yang kelebihan beban.
Ada tiga jenis kunci berat berukir di dalam gantungan-

71
LYNNE MARTIN

nya. Kunci-kunci itu mengingatkanku pada kastil dalam


dongeng dan penjara zaman dulu. (Dalam beberapa
hari, aku memperhatikan bahwa setiap set kunci terlihat
sama persis seperti kunci kami: satu kunci biasa dan dua
kunci kuno. Apakah Buenos Aires hanya memiliki satu
pabrik kunci untuk semua bangunan yang ada di sini?
Aku tidak pernah tahu.) Kunci yang pendek memiliki
bentuk dan ukuran yang lebih familier. Kunci itu untuk
membuka pintu depan gedung apartemen. Tidak
masalah. Dua kunci lain memiliki panjang sekitar tujuh
setengah sentimeter, tebal, dan berat dengan lekukan
di ujungnya, dan kami tidak tahu untuk membuka apa
kunci itu. Setelah sekitar seminggu, kami mengetahui
bahwa kunci dengan bagian atas bulat adalah kunci
apartemen. Itu mengatasi setengah dari masalah kami.
Setengah yang lain adalah berusaha membuka pintu.
Kunci itu berderik di lubang pintu yang sangat besar,
sementara sang operator (Tim atau aku) mencari celah
yang tak terlihat dengan mengandalkan perasaan.
Lampu di lorong di luar lift dioperasikan dengan tombol
timer sehingga saat ujung kunci menyentuh celah di
lubang kunci, timer-nya akan mematikan lampu lorong
dan membuat kami diselimuti kegelapan. Tentu saja!
Saat hal itu terjadi beberapa kali ketika kami baru
http://facebook.com/indonesiapustaka

tinggal di sana, kami mencoba untuk memasuki


apartemen dalam kondisi buta. Tentu saja, sebelumnya
kami sudah menjatuhkan kantong belanjaan, tas, payung,
jaket, dan apa pun yang kami jinjing saat itu. Kemudian,
sering kali kunci keluar dari lubang pintu dan jatuh ke
lantai, membuat kami terkunci dari luar. Kami memulai
prosedur itu lagi, mencoba untuk memilih kunci yang

72
BUENOS AIRES

tepat, dan mengumpat sambil meraba-raba mencari


tombol lampu saat kami tersandung barang-barang yang
tadi kami jatuhkan ke lantai.
Kami tidak pernah tahu untuk membuka apa kunci
yang satu lagi.

Dari pengalaman kami di Buenos Aires, kami me-


nyimpulkan bahwa rutinitas hari pertama di kota
asing masih berlaku untuk kami. Tim selalu mengatur
transportasi di titik kedatangan kami untuk menghindari
situasi panik karena kendala bahasa, lalu lintas, atau
masalah yang tidak terduga. Begitu kami sampai di
apartemen, membayar dan memberi tip kepada sopir
yang mengantar kami, dan menyapa siapa pun yang
menyambut, kami menutup pintu dari dunia luar cukup
lama untuk menenangkan diri dan menarik napas. Ini
sangat penting untuk kami, apalagi karena kami sudah
tidak lagi semuda dulu. Kami membutuhkan waktu
untuk menyesuaikan diri dengan kelelahan, tantangan
bahasa, dan lingkungan baru.
Kami juga membuat daftar barang-barang penting
untuk diperiksa, seperti mengecek kondisi AC dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pemanas, bagaimana cara kerja peralatan di sana, dan


detail lain. Semakin lama kami berada di jalanan, daftar
itu menjadi semakin detail, dan aku mengharapkan kami
akan menambahnya lagi selama bertahun-tahun hidup
berkelana tanpa rumah tetap. Kami belajar sesuatu yang
baru setiap kali pindah. Pada akhirnya pengalaman
mengajarkan kami untuk mengulas daftar itu dengan

73
LYNNE MARTIN

manajer tempat tinggal sementara kami, sebelum kami


membiarkan orang itu pergi dari hadapan kami. Tapi,
saat kali pertama tiba di Buenos Aires, kami belum
mempelajari trik itu, dan kesalahan itu harus kami bayar
dengan waktu dan rasa frustrasi.
Selanjutnya, kami akan memeriksa ruang penyimpan-
an dan peralatan, serta membaca buku manual untuk
penghuni yang disediakan oleh manajemen gedung.
Biasanya buku itu berisi informasi penting tentang
apartemen tersebut, lingkungan sekitarnya, dan kota
tempat apartemen itu berada.
Dalam rutinitas kami, aku memeriksa persediaan
dapur dan mulai membuat daftar belanja. Biasanya,
kami menemukan ada beberapa barang yang tidak ada:
tidak ada gunting, tidak ada kertas untuk menulis, hanya
ada beberapa kantong teh yang sudah lama, spons dapur
yang sudah usang (dan berada di ruangan lain), dan
kurangnya waslap untuk mandi.
Kami juga mencoba mencari tahu cara kerja se-
mua barang. Apa pun yang memiliki tombol dan
kenop bisa sangat merepotkan jika dipelajari dengan
mengandalkan petunjuk berbahasa asing. Misalnya saja,
aku memperhatikan bahwa AC di apartemen Buenos
Aires kami berada sekitar tiga setengah meter di atas
http://facebook.com/indonesiapustaka

dinding ruang tamu yang terdiri dari dua lantai, tidak


bisa dicapai, baik dari lantai maupun dari kamar tidur di
loteng. Motor AC-nya tergantung di balkon kecil kami.
Aku sempat mencari alat pengatur suhu, tapi karena saat
itu masih awal musim semi, kami tidak membutuhkan
AC. Aku berhenti mencarinya dan melanjutkan dengan
tantangan tombol lampu. Ke depannya, aku menyadari

74
BUENOS AIRES

bahwa itu adalah kesalahan besar.


Biasanya kami juga mengalami saat-saat menegang-
kan dengan benda berteknologi seperti TV, kabel,
pemutar DVD, dan koneksi internet. Saat layar
memperlihatkan tulisan “Aucun Signal”, “No Seña”,
atau “Belirsiz” di sudut kiri atas layar televisi, Tim akan
bertanya melalui gigi yang digemertakan, “Apakah kau
menyentuh remote ini?”
“Tidak ada sinyal” terdengar dan terlihat sama
dalam semua bahasa. Itu berarti pengguna televisi
bisa menghabiskan beberapa menit berikutnya—atau
beberapa jam berikutnya—berurusan dengan penye-
lidikan elektronik yang tidak membuahkan hasil,
mencoba mencari tahu apa masalahnya dan di mana
masalahnya melalui percobaan dan kesalahan. Situasi
bisa membuat kami semakin gila jika semua petunjuk
yang ada dalam bahasa asing.
Salah satu keuntungan besar menghabiskan waktu
setidaknya selama sebulan di sebuah kota adalah kami
tidak perlu terburu-buru mendatangi objek menarik.
Itu sebabnya, pada hari pertama, biasanya kami tidak
berkeliaran terlalu jauh dari apartemen kami, dan harus
puas hanya melakukan tur ke lingkungan sekitar agar bisa
membeli barang kebutuhan sehari-hari, menemukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

ATM, dan mencari restoran lokal.


Pada hari kedua, kami akan mencoba pergi sedikit
lebih jauh dan mencari tahu tentang sistem transportasi.
Di Buenos Aires, taksi ada di mana-mana. Tapi, seperti
halnya sebagian besar kota metropolitan (Buenos Aires
memiliki tiga belas juta penduduk), jalanan sering
sekali macet dan pilihan yang terbaik adalah dengan

75
LYNNE MARTIN

menggunakan transportasi umum. Dan, juga jauh lebih


mudah.
Saat kali pertama kami meninggalkan lingkungan di
sekitar apartemen dan pergi ke area yang berpopulasi
lebih banyak di sebelah timur Buenos Aires, kami belajar
bahwa berjalan dengan kecepatan yang biasa tidak akan
ada gunanya. Setelah aku disikut oleh beberapa orang dan
didorong oleh orang yang ingin menyeberang sebelum
lampu lalu lintas berubah warna, kami mempercepat
langkah agar bisa menyamai langkah para pejalan kaki
lain. Buenos Aires adalah jenis kota yang keras, hampir
seperti Manhattan, tapi lebih rumit.
Kami menemukan pintu masuk subway dan me-
nuruni tangganya bersama dengan kerumunan orang.
Begitu berada di bawah tanah, kami merapat ke dinding
untuk mengamati yang lain. Penduduk lokal di stasiun
subway tahu apa yang mereka lakukan, dan orang baru
yang cerdas sebaiknya tidak menghalangi orang yang
lalu-lalang dengan terburu-buru. Pada hari pertama di
kota itu, kami menyadari bahwa dengan mempelajari
sistem subway, bagaimana cara memanggil taksi, me-
mesan bir, atau membeli bahan kebutuhan dapur, kami
bisa menghemat waktu dan perasaan malu dengan
mengamati bagaimana penduduk setempat menangani
http://facebook.com/indonesiapustaka

kehidupan sehari-hari.
Kami membeli kartu langganan, yang bisa diper-
gunakan untuk sepuluh kali perjalanan, mempelajari
peta, pergi ke Tempat Pemakaman La Recoleta, di mana
hampir lima ribu kubah berdiri di atas permukaan
tanah di dalam lahan seluas lima setengah hektar dan
dikelilingi tembok, menciptakan kota mausoleum kecil.

76
BUENOS AIRES

Tempat itu mengingatkan kami pada Kota Kematian


di New Orleans, yang pernah dijabarkan dengan
sangat detail oleh Anne Rice dalam bukunya Vampire
Chronicle. Sungguh mengerikan berjalan menyusuri
jalanan yang dijejeri pepohonan dan melewati rumah-
rumah yang dibangun untuk orang mati. Penempatan
menara bertema gotik di miniatur kapel membuat kami
terkesima, apalagi saat kapel itu menjadi latar belakang
apartemen dan gedung perkantoran modern. Pusat
perbelanjaan besar membatasi satu sisinya. Jalanan sepi
yang seolah membeku di tengah-tengah kota yang ramai
membuat bulu kuduk pengunjung berdiri.
Kami mencari nisan yang bertuliskan nama-nama
familier dan dengan cepat menemukan nisan mantan
wanita nomor satu di Argentina, Eva Perón, tokoh yang
menjadi inspirasi pertunjukan musikal Broadway, Evita!
Batu nisannya yang sederhana berdiri di antara penulis,
musisi, aktor, dan orang terkenal lain. Saat kami duduk
di kursi untuk beristirahat dan membandingkan catatan,
Tim berkata, “Apakah kau memperhatikan berapa
banyak benda disini dibangun untuk menghormati ang-
gota militer? Jelas sekali ada atmosfer militer di sini. Gaji
para jenderal pasti sangat tinggi jika mereka mampu
membeli lahan pekuburan di sini.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Mungkin mereka diberikan diskon karena, toh,


mereka juga yang mengendalikan segalanya, iya kan?”
jawabku, setengah bercanda.
Sejarah Argentina yang penuh pergolakan mem-
bangkitkan rasa penasaran kami. Kondisi politik dan
ekonominya belum juga stabil sejak negara itu di-
bentuk. Bahkan, selama tinggal sebentar di sana, kami

77
LYNNE MARTIN

bisa merasakan elemen dramatis dan temperamental


dari sejarah negara itu melalui penduduknya. Pada
suatu sore hari Sabtu, kami mengamati para gay dan
lesbian yang liar dan terlihat luar biasa berparade
dan melakukan festival jalanan dengan mengenakan
kostum yang sangat eksotis; lima belas menit kemudian
di Avenida Constitucion, ratusan wanita berorasi,
menangis, dan menuntut keadilan untuk orang-orang
yang “dihilangkan” oleh pemerintah antara tahun 1976
sampai tahun 1983. Pemahaman kami tentang orang
Argentina disimpulkan dengan lelucon tentang definisi
orang Argentina: orang yang terlihat seperti orang Italia,
berbicara seperti orang Spanyol, berpakaian seperti
orang Prancis, tapi berpikir dia orang Inggris. Tidak
heran mereka terlihat seperti orang yang melankolis
dan kebingungan! (Kami mengembangkan teori bahwa
kondisi ekonomi mereka yang dikenal tidak bisa di-
prediksi mungkin ada hubungannya dengan hal itu.)
Saat sore yang aneh itu berakhir, dengan gembira
kami bersantai di balkon kecil kami, menikmati minum-
an dingin, dan melihat apa yang dilakukan oleh tetangga
kami. Kami tidak terbiasa tinggal di apartemen yang
tinggi, di mana orang menjalani kehidupan mereka
dengan disaksikan secara jelas oleh orang lain. Di gedung
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang ada di seberang kami, ada penghuni yang hanya


menutup tirai jendela saat mereka berpakaian atau tidur.
Dengan cepat kami bisa mengetahui kebiasaan mereka.
Dinding merah apartemen pasangan itu didekorasi
dengan lukisan Italia dan koleksi tembikarnya yang
penuh warna membuat kami terkesima. Kami tidak
bisa menahan diri untuk tidak menoleh ke arah jendela

78
BUENOS AIRES

apartemen mereka saat mereka menonton TV layar


besar, menikmati koktail di ruang tamu, atau bergelung
bersama untuk mengulas biaya hidup mereka. Rasanya
seperti sedang menonton Rear Window, hanya saja tanpa
pembunuhan.
Secara keseluruhan, kami tidak menyaksikan ter-
lalu banyak drama, tapi suatu malam kami melihat
perdebatan sengit antara pria dan wanita di apartemen
itu. Pertengkaran itu terus memanas hingga membuat
kami khawatir.
“Ya Tuhan, Tim, apa yang akan kita lakukan jika pria
itu memukul wanitanya hingga terlempar ke seberang
ruangan?” tanyaku saat si pria bangun dari kursinya,
dan mengayunkan tangan kepada si wanita.
“Aku tidak tahu,” bisik Tim. “Kita bahkan tidak
tahu di mana pintu depan gedung itu, dan yang pasti
kemampuan bahasa Spantalia kita tidak cukup untuk
menelepon polisi dan menjelaskan apa yang terjadi.”
Kami menghela napas lega saat si pria sampai di
samping si wanita, melingkarkan lengan di seputar
tubuh wanita itu, dan menciumnya sebagai pernyataan
damai. Si wanita membalas ciuman itu, syukurlah.
Pada saat kami bisa mencari bantuan, si pria bisa saja
melemparkan si wanita dari balkon jika memang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dia mau! Kehidupan di sini sangat berbeda dengan


kehidupan di California, di mana melambaikan tangan
kepada tetangga saat menunggu pintu garasi terbuka
mungkin menjadi satu-satunya kontak kami dengan
mereka. Yang pasti kami tidak akan mengetahui warna
dinding ruang makan mereka.
Saat hari menjadi semakin panas, pepohonan

79
LYNNE MARTIN

jacaranda menyebarkan kelopak bunga ungunya ke


penjuru kota. Bunga-bunga itu melapisi jalanan dengan
keindahannya, dan sepertinya penduduk lokal menjadi
lebih ramah dan melankolis, yang membuat kami sangat
gembira.
Pada saat itu, kami sudah tahu bahwa ada harga yang
berbeda untuk orang yang berada di Argentina, pelajaran
yang memaksa kami untuk memutuskan apa yang
paling ingin kami lihat di sana. Misalnya saja, harga tiket
pesawat untuk penduduk lokal bisa lebih murah setengah
dari harga orang asing; sayangnya itu berarti kami tidak
mampu melihat sisi lain negara yang besar ini (hitungan
kasarnya, luas Argentina sepertiga luas Amerika Seri-
kat). Pilihan alternatifnya adalah bus malam, yang
tidak kami pilih karena beberapa alasan. Kami juga
mengetahui bahwa jika kami pergi ke air terjun Iguazu,
yang menjadi tujuan semua orang, kami harus terlebih
dahulu memasuki Chili, negara yang mengenakan biaya
$160 untuk visa turis. Keinginan kami untuk melihat air
terjun itu dikalahkan oleh biaya yang minim sehingga
kami terpaksa melewatkan perjalanan itu. Antara biaya
visa, transportasi, penginapan, dan makanan, kami bisa
menghabiskan cukup banyak uang dan tenaga untuk
melihat pemandangan yang spektakuler itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kami memutuskan untuk memuaskan diri dengan


mengunjungi tempat-tempat yang berada di kota tempat
tinggal sementara kami, dimulai dengan Teatro Colón,
yang dianggap sebagai salah satu dari lima gedung
opera terbaik di dunia karena akustiknya yang nyaris
sempurna. Setiap pemain opera klasik di dunia pernah
tampil di gedung yang sudah berusia seratus tahun itu.

80
BUENOS AIRES

Gedung opera, yang baru saja dibuka setelah direnovasi


selama tiga tahun dan menghabiskan biaya hingga $100
juta, merupakan sebuah ode untuk dekorasi klasik
Prancis dan Italia. Menaiki tangganya yang indah dan
menakjubkan menuju ke auditorium, dikelilingi oleh
kemewahan yang mencolok, membuat kami ingin
menjadi lebih dari sekadar pengunjung. Kami sangat
terpesona hingga nekat membeli tiket pertunjukan balet
hanya agar kami bisa duduk di kursi beledu merahnya.
Pakaian kami cukup pantas untuk menonton
pertunjukan. Tim terlihat tampan dalam balutan jas
dan dasinya, dan aku mengenakan gaun hitamku dan
kalung mutiara sehingga kami tidak akan membuat
malu diri kami sendiri di antara orang-orang elite yang
datang ke gedung opera. Pertunjukan baletnya sungguh
tak terlupakan, tapi tata panggung dan akustiknya-lah
yang membuat pertunjukan itu sempurna. Kami sangat
senang saat keluar dari gedung itu dan berbaur dengan
penduduk lokal Buenos Aires.
Saat kami menuruni tangga gedung opera dan
berjalan di tengah kegelapan malam, Tim bertanya,
“Hei, Baby, bagaimana jika kita berdansa sungguhan?”
Dan, kami pun pergi ke San Telmo, bagian Buenos Aires
yang ramai, di mana bar, restoran, dan toko vintage
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbaik bisa ditemukan. Tim melepaskan dasinya, dan


kami menyaksikan pasangan-pasangan muda berotot
menari Tango sampai dini hari. (Oh, baiklah, berhenti
menyeringai: kau tahu kami tidak bisa terjaga sampai dini
hari. Kami pulang pada tengah malam.) Rasanya sangat
menyenangkan melihat gadis-gadis cantik mengerutkan
bibir dan mengentakkan kaki mereka, kemudian pada

81
LYNNE MARTIN

akhirnya kelelahan dan bergelayut pada pasangannya,


membiarkan mereka mendominasi situasi. Setiap kali
muncul keinginan untuk ikut berdansa, keinginan itu
selalu dikalahkan oleh keyakinan bahwa salah satu
atau kami berdua akan berakhir di UGD jika mencoba
meniru gerakan-gerakan seksi mereka.
Pada pagi yang lain, kami menaiki kereta selama
setengah jam menuju El Tigre (nama jaguar yang diburu
pada awal tahun), sebuah delta yang diciptakan oleh
beberapa aliran sungai. Delta sungai itu cukup lebar,
dipenuhi oleh kapal berbagai ukuran, dan ada kota kecil
indah yang dilengkapi restoran, toko, dan banyak sekali
marina. Ada klub mendayung bergaya Inggris, rumah
sederhana, dan mansion elegan dari periode sebelum
Perang Dunia I, “Belle Époque”, yang bisa dilihat di
sana. Pengaruh masuknya orang Jerman dan Italia
jelas terlihat dan membedakan Argentina dari negara
Amerika Selatan yang lain, jadi selama tinggal di sana
sering kali kami merasa kebingungan tentang di mana
sebenarnya kami berada.
Kami makan siang di kapal dan merasakan ke-
senangan tersendiri dari melihat-lihat rumah orang lain
yang menghadap sungai. Kami memesan meja di buritan
kapal, tempat yang sempurna untuk menyesap anggur
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan memandangi air yang mengalir sepanjang siang. Itu


adalah hari paling damai dan tenang yang pernah kami
alami sepanjang kunjungan kami, aku dan Tim merasa
benar-benar bahagia setiap kali berada di dalam atau di
dekat air. Hari itu kami merasa sangat betah berada di
sana.
Dalam waktu singkat, kami menjadi ahli dalam hal

82
BUENOS AIRES

hidup seperti porteños, orang lokal Buenos Aires. (Arti


harfiahnya: ‘orang-orang pelabuhan—port.’) Kami ber-
kenalan dengan wanita yang mengelola toko kerajinan
di seberang jalan raya, setelah Tim menggunakan
pesonanya untuk menembus topeng dingin mereka.
Akhirnya kami menerima senyuman dan berhasil
mengobrol dengan mereka. Kami mulai mendapatkan
informasi di mana mencari barang-barang yang kami
butuhkan di toko serbaada, dan juga mendapatkan
keranjang beroda dua berwarna hijau terang untuk
membawa barang belanjaan kami pulang. Saat itu, kami
sudah menguasai sistem perjalanan dengan subway, dan
kami hampir selalu berhasil memasukkan kunci di celah
yang tepat di pintu apartemen kami. Kami menikmati
daging, keju, dan anggur yang disajikan dengan
indah—cukup berbahaya untuk garis pinggang kami—
dan bersumpah bahwa besok kami akan menyantap
makanan yang lebih sehat.
Acara jalan-jalan kami terus berlanjut. Setiap hari,
suhu meningkat sedikit demi sedikit. Kami berjalan-
jalan di taman yang indah dan mengunjungi museum
seni mengagumkan, yang menawarkan beberapa kejut-
an. Selama seratus lima puluh tahun terakhir, ada
banyak orang Eropa yang berimigrasi ke Argentina dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

membawa serta bakat seni mereka. Kami terkesima oleh


sejumlah karya seni langka yang dibuat oleh pelukis
favoritku yang dipamerkan di Museum Seni La Belles,
ada banyak karya seni yang belum pernah kulihat,
bahkan di katalog atau buku.
Sesekali kami berkunjung ke Puerto Madero, di mana
hotel dan restoran mewah berjejer di tepi jalannya yang

83
LYNNE MARTIN

lebar, dan menyabotase janji kami untuk berdiet dan


menyantap makanan sehat. Kami menikmati makan
siang dan makan malam di restoran seafood kelas
dunia, dan anggur Malbec mengalir tanpa henti di
tenggorokanku yang rakus—dan mengarah langsung ke
pinggulku.
Meskipun mulai merasa nyaman di kota, kami masih
merasa sedikit kesepian. Dengan cepat kami belajar
bahwa saat tinggal di lingkungan seluas empat puluh
meter persegi yang tidak ramah, sebaiknya kau sangat
menyukai pasanganmu. Meskipun kami tidak masalah
hanya berinteraksi berdua, situasi tidak mengenakan
dengan orang-orang Argentina terus muncul, hingga
membuat kami merasa bingung dan kesulitan.
“Aku tidak mengerti, Sayang,” kata Tim suatu malam,
saat kami duduk dengan lutut bersentuhan di apartemen
kecil kami sambil menikmati koktail dan menonton
tetangga kami makan malam di ruang merah itu. Malam
ini mereka menyantap daging babi cincang, dan mereka
terlihat sangat menikmatinya. “Aku tidak habis pikir
mengapa orang-orang ini sangat kejam kepada kita.
Maksudku, menjadi orang yang menyenangkan sangat
mudah untukmu, tapi aku harus berusaha sangat keras
untuk menyembunyikan kejengkelanku kepada semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang, tapi orang Argentina tetap memperlakukan aku


seperti sampah.” Tim tersenyum miris dan melanjutkan.
“Kau ingat hari itu saat kau meminta pelayan di
restoran China untuk membawakan segelas anggur
merah untukmu dan dia menolaknya? Aku masih tidak
mengerti ada masalah apa sebenarnya?”
Tim merujuk kunjungan kami ke Pecinan Buenos

84
BUENOS AIRES

Aires untuk makan siang. Aku meminta segelas anggur


kepada pelayan yang sedang tergesa-gesa, dengan
menggunakan bahasa Spanyol terbaikku dan disertai
dengan senyuman ramah, tapi pelayan itu menatapku
dengan mata dipicingkan. “Tidak,” kata pelayan itu
dengan cepat. Lalu, pelayan itu berbalik dan menghilang
ke balik tirai manik-manik menuju dapur, sementara
aku melongo kaget.
“Aku tidak tahu,” kataku. “Maksudku, mengapa
dia tidak bertanya apakah aku ingin bir saja atau
menawarkan setengah botol, apa pun selain mengatakan
‘tidak’. Itu hampir sama gilanya seperti sopir taksi yang
ingin kau tonjok itu.”
Saat kejadian itu, Tim memberikan pecahan besar
uang Argentina kepada sopir taksi. Sopir itu mengaku
tidak memiliki uang kembalian; jelas sekali si sopir
berniat untuk mengambil semua uang itu dan pergi.
Saat Tim mencoba untuk mencari jalan keluar lain, sopir
taksi itu menyilangkan lengan di depan dada, bersandar
di mobilnya, dan menolak untuk bergeser. Kemudian,
kami menawarkan untuk menggunakan uang itu
untuk membeli majalah dari pria yang mengamati
insiden itu dari depan kiosnya di pinggir jalan tempat
taksi itu berhenti, agar kami bisa menukarkan uang
http://facebook.com/indonesiapustaka

tersebut dengan kembalian yang lebih kecil, tapi pria


penjual majalah menolak menjual barang dagangannya
kepada kami. Tidak ada seorang penjual pun di sekitar
sana yang mau membantu kami, bahkan saat kami
menawarkan untuk membeli produk mereka. Akhirnya
Tim memberikan satu-satunya mata uang lain yang kami
punya, lembaran dua puluh dolar Amerika, nilainya dua

85
LYNNE MARTIN

kali lipat tarif taksi, hanya untuk membuat sopir taksi


itu pergi.
Setelah Tim membayar taksinya, aku menarik lengan
Tim dan membawanya menjauh dari sana. Tim sangat
marah dengan insiden itu, mengayunkan lengannya dan
mengeluarkan rasa frustrasinya dengan lantang hingga
aku takut seseorang akan memanggil polisi. Aku harus
mengajaknya jalan kaki beberapa blok sebelum Tim bisa
lebih tenang. Biasanya Tim yang bertubuh tinggi dan
berbahu lebar adalah orang yang baik dan penyabar. Tapi,
pada momen yang sangat langka, Tim bisa juga marah,
dan dia bisa menjadi, yah, sedikit mengintimidasi.
Aku mengerti alasan di balik sikap Tim itu. Se-
telah beberapa minggu menghadapi kekasaran yang
sebenarnya tidak perlu, misalnya saat seorang pria
muda secara sengaja menabrakku di trotoar, dan bagai-
mana kami berkali-kali mendengar kata “tidak” dari
orang lokal, bahkan sebelum pertanyaan kami selesai
diucapkan, Tim merasa sudah muak. “Kau sangat marah
hingga aku pikir kau akan melayangkan tinjumu,”
kenangku.
Tim menggelengkan kepalanya dengan murung.
“Ada sesuatu yang terjadi dengan budaya di sini yang
tidak kita mengerti. Apakah kau tahu mengapa segalanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

terasa sangat sulit di sini? Apakah mungkin kemampuan


beradaptasi kita sudah berkarat? Ya Tuhan, mungkin
sekarang kita sudah terlalu kaku dan terlalu tua untuk
hidup berkelana keliling dunia seperti ini.”
“Aku harap kau salah,” jawabku. “Masalahnya adalah,
kita sering bepergian dan aku rasa kita cukup fleksibel,
tapi aku yakin kita tidak pernah bertemu dengan budaya

86
BUENOS AIRES

yang seperti ini. Akan sangat menarik untuk melihat


apakah kita akan merasakan seperti ini di tempat lain.
Omong-omong, menurutku kau sangat luar biasa!”
Pada minggu keempat, kami benar-benar mem-
butuhkan sentuhan Amerika—sesuatu yang familier
untuk mengorientasikan kami di tempat asing ini
yang membuat kami menggelepar seperti ikan yang
dikeluarkan dari air. Suatu sore, saat Tim sedang ber-
ada di depan komputernya untuk membuat pesanan
mobil jemputan di Paris, yang menjadi kota tujuan
kami berikutnya, dia mengumumkan bahwa kami bisa
menonton pertandingan sepak bola klasik Alabama vs
LSU di bar di pusat kota. Aku senang sekali. Seumur
hidupnya, ayahku adalah penggemar Alabama sehingga
pertandingan mereka selalu terasa spesial untuk
kami. Kami berharap bisa menikmati obrolan santai
dengan turis Amerika lain atau ekspatriat sepanjang
pertandingan yang akan berlangsung seru itu.
Pada hari pertandingan, kami berjalan beberapa
blok ke stasiun subway, dan saat Tim membuka pintu,
keributan menghantam kami layaknya sebuah tembok.
Semua orang berteriak, yang terdengar cukup normal
kecuali satu detail kecil: pertandingan belum dimulai.
Jelas sekali, ada perubahan budaya bar sejak kali terakhir
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami menjadi pengunjung aktif mereka. Orang-orang


sudah tidak lagi berbicara kepada satu sama lain; mereka
berteriak. Atau, mungkin musik keras yang membuat
orang harus berteriak agar suaranya bisa didengar.
Atau mungkin, hanya mungkin, kami hanya semakin
tua dan renta.
Yang juga jelas terlihat adalah kami bukan hanya

87
LYNNE MARTIN

menjadi orang tertua—lebih tua sekitar tiga puluh


tahun—di ruangan itu, melainkan juga kelompok
minoritas pendukung Alabama. Para profesional muda
asal Amerika di tempat itu, mengenakan pakaian santai
berupa kaus Polo Ralph Lauren, merupakan pendukung
setia LSU Tiger. Bilik kami yang didominasi warna
merah dan berada di dekat pintu hanya diisi oleh tiga
orang, seorang pebisnis berusia lanjut dari Mobile,
ditambah pasangan suami-istri Martin. Kami duduk
bersama dan mencoba untuk berkomunikasi di antara
teriakan fans LSU. Sayap ayam, iga panggang, dan bir
menambah atmosfer “rumah” di tempat itu, dan kami
senang bisa merasakan lagi rasa dan aroma rumah.
Kami menonton, tapi tidak mendengar, LSU yang
mengalahkan Alabama. Pertumpahan darah di lapangan
terasa lebih mematahkan semangat dibandingkan
teriakan memekakkan telinga, yang meninggi beberapa
desibel setiap kali salah satu pemain mereka menyerang
salah satu pemain kami. Kami mulai merasa sangat lelah
dengan sikap liar dan kasar mereka.
Memasuki babak ketiga, ketika angka di layar
semakin membuat kami putus asa dan para penonton
yang dikuasai alkohol mulai tidak terkendali, keributan
terjadi di depan bar. Orang-orang berjatuhan dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bermacam jenis teriakan terdengar. Aku pernah meng-


habiskan cukup banyak waktuku di bar, tapi tidak pernah
menyaksikan perkelahian di sana.
Perkelahian itu berlangsung dengan menegangkan
... dan cepat. Hampir secepat kami menyadari adanya
perkelahian, dua orang pria bertubuh besar di pintu
depan menyeruak kerumunan dan sampai di bar. Dalam

88
BUENOS AIRES

hitungan detik, kedua pria itu melemparkan seorang


pria muda tepat melewati kepala kami. Mereka menarik
pria muda itu keluar pintu dan membanting pintunya.
Selama sepersekian detik, kami benar-benar bisa
mendengar suara pembawa acara. Kemudian, keriuhan
kembali terdengar dengan volume yang sama kerasnya
seperti sebelum terjadi insiden tadi. Namun, kami sudah
kehabisan kata-kata. Melihat perkelahian bar untuk
kali pertama setelah berusia enam puluh lima tahun
bukanlah kejadian yang bisa dianggap sepele.

Pada bulan November, suhu meningkat lagi pada sore


hari dan membuat kami merasa tidak nyaman. Karena
apartemen kami menghadap selatan, kami tidak bisa lagi
menunda mempelajari cara pengoperasian AC. Kami
mulai mencari-cari jawaban dengan serius, memeriksa
ke balik sudut, mengikuti kabel listrik, dan bermain
dengan tombol di dinding. Kami bahkan memeriksa
kompresornya di balkon, mencoba menemukan tombol-
nya. Tapi, tidak berhasil.
Karena aku masih tidak tahu cara menggunakan
telepon (walaupun sudah mencoba berulang kali!),
http://facebook.com/indonesiapustaka

akhirnya aku mengirimkan surel kepada Marina, ber-


harap kali ini dia akan menjawabnya.
Ajaibnya, Marina langsung menjawabnya. Ini bunyi
pesan darinya:

AC dinyalakan dengan tombol biru. Kemudian,


tekan tombol “mode” dan cari simbol dingin (salju)

89
LYNNE MARTIN

jika AC-nya tetap di panas (matahari). Jika kau


tidak bisa, Edoardo ada di pintu depan. Telepon
Edoardo untuk pertolongan- :)
Kabari aku soal itu.
Besos

Perburuan dimulai. Aku dan Tim mengulangi lagi


setiap tahap pencarian kami yang sebelumnya dan
bahkan berpikir untuk membongkar lantai papan.
Sekali lagi, kami gagal. Kami tidak melihat tombol biru
di mana pun di apartemen. Aku mengirimkan surel lagi
kepada Marina.

Di mana tombol birunya?

Marina langsung menjawab:

Ada di remote.

Remote? Remote apa?


Kami menemukan remote yang dimaksud. Bahkan,
kami tidak pernah kehilangan remote itu. Tentu saja
remote itu ada di sana. Kami mengesampingkan benda
kecil itu karena kami pikir itu remote pemutar CD yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

berada di rak lemari dapur. Remote itu memiliki tombol


biru, dan juga tombol “mode” yang menampilkan gam-
bar butiran salju seperti yang disebutkan Marina. Mesin
itu mulai berfungsi. Hidup memang indah!
Beberapa hari kemudian, Marina menerima undang-
an kami untuk menikmati anggur dan hors d’oeuvres.
Marina terlihat manis dengan sandal berhak tinggi

90
BUENOS AIRES

dan atasan tipis. Kami berdiri di balkon apartemen,


dan untuk kali pertama, orang-orang di apartemen
seberang menoleh ke arah kami. Tentu saja, Marina
yang menawanlah yang menarik perhatian mereka, tapi
kami tetap melambaikan tangan dan tersenyum. Kali ini
mereka membalas lambaian tangan kami. Aku yakin si
cantik Marina lebih layak menerima lambaian tangan
dibandingkan dua orang turis berusia lanjut!
Marina menceritakan kepada kami tentang pekerja-
annya sebagai asisten seorang politikus level menengah.
Marina juga bercerita tentang pacarnya, yang masih
bersekolah untuk mengejar gelar sarjana, dan selain
itu Marina juga bercerita tentang orangtuanya. Malam
itu, setelah menikmati beberapa gelas Malbec, Marina
bernyanyi untuk kami. Kami tidak tahu Marina bisa
bernyanyi, dan penampilan accapella-nya membuat
kami terkesima, seperti yang rutin dilakukan orang-
orang setelah makan malam saat kami tinggal di Irlandia
pada tahun sembilan puluhan. Marina mengatakan
kepada kami bahwa ibunya menuliskan sejumlah lagu
melankolis yang dinyanyikannya dengan suara parau.
Gadis itu penuh dengan kejutan; kami sangat terpesona
hingga Marina menjadi putri nomor enam untuk kami,
setelah Maribel di Meksiko. Kegembiraan Marina
http://facebook.com/indonesiapustaka

menerima status barunya sebagai putri kami membuat


kami merindukan anak-anak di rumah. Jika terus seperti
ini, kami bisa memiliki lusinan putri angkat, tapi kami
senang akhirnya bisa memiliki teman di kota ini.
Tim berkata, “Marina, sebelum kau pergi, aku
punya pertanyaan yang sangat serius untukmu. Kami
sudah berada di sini selama berminggu-minggu, dan

91
LYNNE MARTIN

kami mencoba sangat keras untuk bisa berbaur, untuk


memahami budayanya, dan menjadi tamu yang baik
sekaligus pengunjung yang fleksibel, tapi entah mengapa
kami tetap tidak diterima dengan baik.”
Tim menceritakan tentang insiden taksi, anggur
di restoran China, dan bencana Disco. Bahkan, Tim
juga menyinggung tentang insiden tombol biru, semua
contoh tentang masalah komunikasi yang terjadi selama
ini.
Marina mendengarkan dengan saksama, berpikir
sejenak, dan tersenyum. “Aku tahu apa masalahnya.
Kalian mengajukan pertanyaan yang salah.”
Kami menoleh pada satu sama lain. “Apa?” kata kami
berbarengan.
“Baiklah, akan aku jelaskan: memang benar bahwa
respons pertama orang Argentina untuk pertanyaan
apa pun adalah ‘no’. Itu bagian dari budaya di sini. Dan,
yang juga merupakan bagian dari budaya kami adalah
wanita harus terlihat ‘tidak bahagia’. Mereka cemberut
sepanjang waktu karena menunggu seorang pria datang
dan membuat mereka bahagia—belikan wanita hadiah,
makanan, dan apartemen!” kata Marina sambil tertawa.
Kami mengekpresikan ketidakpercayaan kami, tapi
Marina bersumpah itu memang benar. Itu menjelaskan
http://facebook.com/indonesiapustaka

ekspresi masam yang aku interpretasikan sebagai ke-


tidaksukaan. Sekarang kami mulai memahaminya.
“Nah, tetang pertanyaan tadi. Ini contohnya: dengan
taksi, pertanyaan yang tepat sebelum kalian menaiki
taksi adalah, ‘Apakah kau punya kembalian untuk uang
seratus peso?’ Jika dia bilang ‘tidak’, kalian cari taksi yang
lain.”

92
BUENOS AIRES

Kami melongo menatap Marina. Tiba-tiba saja, segala


sesuatunya jadi masuk akal. Selama ini kami membuat
asumsi berdasarkan kebiasaan kami di Amerika.
“Jadi, coba aku simpulkan,” kata Tim. “Jika Lynne
bertanya kepada pelayan di restoran China apakah
mereka menjual anggur dalam gelas, dan bukannya
langsung menduga mereka menjualnya, maka Lynne
akan mendapatkan respons yang lebih baik?”
Marina mengangguk.
Setelah Marina pergi, kami mengulas lagi situasi yang
selama ini membuat kami bingung dan frustrasi. Dalam
semua kasus, kami menyadari bahwa hasilnya akan
berbeda jika kami melakukan pendekatan seperti yang
disarankan Marina. Kami bersumpah akan mengingat
pelajaran itu dan menerapkannya.
Penjelasan Marina terbukti menjadi pelajaran yang
membuat hidup kami di luar negeri menjadi lebih
mudah. Saat mendapati diri kami berjuang keras di
lingkungan baru, kami menyadari bahwa kami tidak
mengajukan pertanyaan yang tepat sejak awal.
Kami juga merasa sangat lega saat menyadari bahwa
kami belum terlalu tua dan masih cukup fleksibel untuk
menaklukkan dunia. Kami hanya harus melepaskan
sebagian asumsi dan pengharapan kami, sekaligus
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengubah cara pandang kami.


Namun, saat keesokan harinya kami pergi ke arena
pacuan kuda, berharap akan menjalani sore yang penuh
kegembiraan bersama orang-orang yang menyemangati
kuda pilihan mereka, menikmati kebersamaan dengan
mereka dan bahkan mungkin melihat mereka tersenyum
kepada kami, ternyata kami harus kecewa lagi. Para

93
LYNNE MARTIN

penjudi itu terbukti sangat pendiam dan serius, para


wanitanya tidak pernah berhenti cemberut dan meng-
gerutu, dan pelayan yang menyajikan makanan seperti-
nya lulusan sekolah pelatihan yang sama seperti pelayan
di restoran China. Usaha kami untuk mengubah cara
bertanya dan menyebarkan pesona kami sepertinya tidak
mampu menghangatkan hati siapa pun di arena pacuan
kuda. Kami benar-benar kecewa karena kemampuan
baru kami tidak mendapatkan hasil seperti yang kami
harapkan.
Kami meninggalkan arena pacuan kuda lebih awal,
merasa kesepian dan frustrasi. Tidak peduli apa pun
yang kami lakukan, sepertinya kami tidak akan bisa
menaklukkan Argentina. Pada saat inilah kekasihku,
yang sangat ingin mengobrol dengan seseorang selain
aku hingga tanpa sadar mengajak ngobrol seorang
“kupu-kupu malam”, mengumumkan bahwa kami
akan meninggalkan Argentina dua minggu lebih awal
dari rencana. Selama dua hari itu, kami mendapatkan
pelajaran yang berharga. Yang pertama adalah, berhenti
dan ajukan pertanyaan yang tepat. Yang kedua, jangan
menyia-nyiakan waktu di tempat, di mana kami harus
berusaha keras untuk merasa bahagia.
Kami menelepon Alexandra, salah satu putri kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

di California, dan memberi tahu rencana baru kami:


kembali ke Amerika Serikat untuk merayakan Thanks-
giving. Kami mendengar teriakan senang di ujung lain
telepon dan janji mereka untuk membelikan kami kalkun
yang lebih besar. Hari itu juga kami mulai berkemas.
Baik atau buruknya pengalaman kami di Buenos Aires,
kami tidak menyesalinya.

94
BUENOS AIRES

Tentu saja, kami mengucapkan selamat tinggal pada


Argentina. Saat kami pergi, Tim mengantarkan aku ke
ruang tunggu eksekutif (kami menyadari bahwa menjadi
anggota mereka bisa sangat berguna jika kau berada di
jalan sepanjang waktu seperti kami) dan dia pergi ke lobi
utama bandara untuk menukar sisa uang peso Argentina
kami ke dollar Amerika. Lama setelahnya Tim kembali
dan duduk di sebelahku. Aku duduk di kursi melingkar,
mendengarkan pengalaman mengerikan pengelana lain
di Buenos Aires, sebagian pengalaman itu lebih buruk
daripada pengalaman kami.
Tim mengertakan giginya. “Mereka TIDAK mau
memberiku mata uang dolar.”
“Kau pasti bergurau. Bagaimana bisa?”
“Mereka bilang aku harus memberikan bon dari bank
saat menukarkan dolar Amerika ke peso,” jelas Tim. “Itu
gila ..., tidak ada seorang pun yang menyimpan bon
semacam itu. Lagi pula, jumlahnya hanya seratus dolar!
Pasti karena nilai tukar peso turun dengan tajam lagi
hingga tidak ada yang menginginkannya sekarang.”
Seorang wanita Argentina yang berpakaian rapi dan
duduk di seberang kami mendengar percakapan kami.
“Beberapa minggu lagi aku akan pulang ke Buenos
Aires,” kata wanita itu. “Aku akan membeli pesomu jika
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu bisa membantu.”


Tim berterima kasih kepada wanita itu dan menye-
pakati selisih nilai tukarnya. Mereka langsung melakukan
penukaran itu.
Berjam-jam kemudian di dalam pesawat, aku berkata,
hanya untuk memecah kesunyian, “Bukankah wanita itu
baik sekali mau menukar pesomu?”

95
LYNNE MARTIN

Tanpa menoleh ke arahku, Tim berkata dari sudut


mulutnya. “Tentu saja. Dia meminta harga dua kali lipat
dari yang ditawarkan pria di cambio—tempat penukaran
uang! Itu lelucon terakhir Argentina kepada kita!”
Aku menghela napas. “Ayo kita kembali ke Cambria
dan menikmati kalkun.”
Sudah waktunya memulai awal yang baru.
http://facebook.com/indonesiapustaka

96
Lima

Penyeberangan
Transatlantik
K ami pergi dari Buenos Aires ke California,
tempat kami menyewa sebuah rumah, berkumpul
lagi dengan keluarga kami, dan menyiapkan perjalanan
tujuh bulan kami ke Eropa, memberikan sentuhan akhir
ke rencana itu dan meributkan pilihan pakaian. Tidak ada
satu pun dari kami yang bisa tidur nyenyak saat waktu
keberangkatan semakin dekat. Percakapan batinku,
biasanya terjadi pada pukul dua atau tiga dini hari,
adalah pengulangan: Bagaimana jika kami tidak suka
berada di kapal selama empat belas hari? Bagaimana jika
kabin kami membuat kami mengalami klaustrofobia?
Apakah aku memiliki cukup blus dan sweter? Apakah
http://facebook.com/indonesiapustaka

aku sudah mengemas jepit jemuran? Apakah Tim akan


memBENCIku setelah tujuh bulan di jalanan? Apakah
aku akan membenci Tim? Apakah anak dan cucu kami
akan memaafkan kami karena pergi seperti ini?
Akhirnya, kami terbang ke Florida untuk berlayar
dengan kapal yang akan membawa kami ke Roma. Kami
tinggal bersama Amandah dan Jason, keluarga Florida

97
LYNNE MARTIN

kami, yang dengan sabar memaklumi kegelisahan dan


ocehan kami yang tanpa henti, memenuhi kebutuhan
kami akan printer, telepon, FedEx, dan mencarikan
barang-barang kebutuhan penting pada menit-menit
terakhir. Aku yakin mereka pasti merasa sangat lega saat
membantu mengeluarkan koper di pelabuhan saat kami
memulai perjalanan dengan kapal.
Begitu mereka pergi, kami diliputi atmosfer keceriaan.
Semua orang bahagia. Semuanya mudah! Petugas yang
membantu membawakan barang kami selalu tersenyum
dan bergurau dengan kami, dan membuat koper-koper
kami menghilang dengan cekatan.
Kami berjalan ke terminal pelabuhan, mencoba
untuk terlihat berpengalaman, senang, dan sedikit bo-
san. Sejujurnya, kami merasa gemetar dengan penan-
tian, ketakutan, dan kelegaan. Tim berbisik, “Aku tidak
pernah merasa seantusias ini seumur hidupku.”
“Aku juga,” gumamku melalui senyuman tipisku.
Kemudian, aku berhenti berpura-pura tidak acuh. “Oh,
Tuhanku; kapalnya besar sekali!” Aku terkesiap. Di
hadapan kami, berdiri kapal Mariner of the Sea, raksasa
sepanjang lebih dari tiga ratus meter yang akan membawa
kami dari Miami ke Roma. Kami seperti anak-anak
yang berada di Disneyland. Kami melihat ke sekeliling.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Penumpang lain yang berbaris untuk melakukan


pengecekan ulang terlihat bersemangat, santai, dan
bahagia. Petugas pencatatnya tersenyum, memberikan
dokumen yang sudah selesai diisi, dan menyerahkan
kartu identitas sementara kami selama berada di kapal,
satu-satunya mata uang yang kami butuhkan selama dua
minggu ke depan. Musik yang menjadi latar belakang

98
PENYEBERANGAN TRANSATLANTIK

terdengar menyenangkan. Tidak ada bayi yang menjerit,


tidak ada orang yang menghantam kami dengan barang
bawaan mereka, tidak ada troli yang lalu-lalang. Semua
kegilaan yang kami lihat di bandara tidak ada, dan
kami merasa tidak perlu membuat keputusan: hanya
ada satu pintu gerbang masuk. Penumpang dan krunya
sopan dan ramah. Saat melihat semua orang berseri-seri
oleh kebahagiaan, refleks kami dari Argentina bangkit
dan kegembiraan kami berubah menjadi kecurigaan.
Mengapa semua orang terlihat sangat bahagia? Apakah
orang-orang ini berada di bawah pengaruh obat-obatan?
Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
Namun, ada lebih banyak orang ramah yang me-
nyambut kami di atas kapal, dan topeng dingin kami
terlepas dengan cepat, berubah menjadi kegembiraan
tulus saat kami mengamati rumah baru kami. Area
umumnya berkilauan dengan gaya khas Las Vegas,
ruangnya yang lapang dan pencahayaannya yang terang
memberikan kesan glamor dan menyenangkan. Pada
eksplorasi awal kami, kami menemukan kolam renang,
bar, restoran, perpustakaan, ruang komputer, spa dengan
salon kecantikan, dan gym dengan pemandangan laut
yang menakjubkan, lengkap dengan kelas yoga, sauna,
dan Jacuzzi, seperti yang dijabarkan dalam iklan. Kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

menyusuri “jalanan utama” yang menarik dan terkesan


ceria, dengan jejeran toko, kafe, dan bar. Grup penyanyi
jaz bernyanyi secara langsung. Semua orang tersenyum
karena alasan yang kuat.
“Jadi, bagaimana pendapatmu sejauh ini?” tanya
Tim, saat kami berjalan di sepanjang koridor yang baru
dibersihkan untuk mencari kabin kami, kegelisahan Tim

99
LYNNE MARTIN

untuk mendengar pendapatku terlihat jelas. Aku menoleh


kepadanya dan tiba-tiba saja menyadari bahwa Tim
sudah tidak sabar ingin sampai di kabin kami. Saat kami
membahas tentang tugas Tim yang mengurus masalah
pengaturan, aku pernah berkata kepadanya, “Dia yang
tidak membuat rencana tidak boleh mengeluh,” tapi
komentarku itu tidak bisa menyingkirkan kekhawatiran
Tim. Jadi, sekarang aku bertekad untuk membuat Tim
merasa lebih tenang dan memujinya atas semua usaha
kerasnya walaupun aku sendiri merasa sedikit gelisah.
“Ini luar biasa, Sayang, dan aku tahu kabin kita pasti
akan sama luar biasanya. Kabin itu terlihat indah di foto
dan kau sangat cerdas memesankan kabin di haluan
kapal, agar kita bisa mendapatkan pemandangan yang
menakjubkan,” kataku memberikan semangat.
Tepat pada saat itu, kami sampai di lorong pendek,
dengan tiga pintu di ujungnya. Dua pintu bertuliskan
“kru”. Pintu yang ketiga bertuliskan nomor 2308: tempat
tinggal kami yang baru. Kabin kami adalah kabin
pertama di lengkungan kapal sebelum haluan, jadi kami
terselip di sudut kecil yang privat.
Saat aku membuka pintu kabin dan melihat ke dalam,
sofa santai di depan jendela membuatku senang, begitu
pula dengan tempat tidur berukuran king yang terlihat
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengundang. “Oh, Tim, ini luar biasa,” pekikku saat


aku berlari memutari kabin kami seperti anak kecil,
memeriksa semua fasilitas yang membuat tinggal di
kapal terasa seperti sedang bermain rumah-rumahan.
Semua barang bisa diseluncurkan, ditekuk, dan dilipat
di atas barang lain. Semuanya multifungsi. Sulit untuk
merasa tidak nyaman, apalagi saat pelayan datang

100
PENYEBERANGAN TRANSATLANTIK

beberapa kali sehari untuk membersihkan, merapikan,


mengisi ulang, membawakan es, dan membuat seni
melipat handuk yang lucu selagi kami dan penumpang
lain menghabiskan waktu di bar, di kolam renang,
berjudi, bermain kartu di ruang kartu, atau memukul
bola di kursus golf miniatur. Kursus golf miniatur di atas
kapal, astaga. Apakah ada alasan untuk tidak menyukai
kapal ini?
Pengeras suara di lorong kecil kami berbunyi. Sang
kapten menginformasikan kepada kami, dengan suara
berlogat Norwegia yang kental, bahwa semua orang yang
ada di kapal wajib menghadiri simulasi evakuasi. Selama
simulasi, aku memperhatikan bahwa para penumpang
sudah mulai berkenalan dengan satu sama lain; pada saat
makan malam, semua orang di kapal sudah mengobrol
secara berkelompok. Rasanya seperti kontes popularitas
di SMU, dan ada banyak orang yang mengincar posisi
raja dan ratu.
Setelahnya, kami berhenti dalam perjalanan “pulang”
untuk mengikuti pesta koktail pra-pelayaran. “Ini sangat
aneh, tapi aku baru memperhatikan bahwa orang-orang
sudah mulai membuat kelompok-kelompok sendiri,”
komentarku.
“Aku juga memperhatikannya. Ini seperti desa
http://facebook.com/indonesiapustaka

kecil dengan tiga ratus orang penduduk. Tapi, itu me-


mang ciri khas manusia. Secara alami mereka ingin
berinteraksi dengan manusia lain dan setelah itu ingin
kelompok mereka menjadi eksklusif. Ayam juga seperti
itu. Apakah kau tahu itu? Jika kau membawa ayam baru
ke kawanan ayam, yang lain pasti akan menyerang ayam
baru itu. Aku rasa ayam bukan satu-satunya unggas yang

101
LYNNE MARTIN

berotak.”
“Yah, aku rasa aku dan kau bisa mencoba menjaga
sedikit jarak dan tidak mendekati siapa pun sampai
merasa yakin kita ingin menjadi teman mereka,
setuju? Dua minggu adalah waktu yang panjang untuk
menghindari kontak mata jika kau membuat kesalahan.”
Tim tersenyum. “Rencana yang bagus.”
Semua jenis orang ada di kapal besar itu. Para pria
gay dengan gaya rambut trendi, pakaian ketat, dan
sepertinya lebih bersenang-senang dibandingkan yang
lain, dan orang-orang yang sudah terbiasa menaiki
kapal asyik saling bercerita tentang banyaknya kapal
yang sudah mereka naiki. Orang-orang ini berkumpul
sebelum makan malam di ruangan khusus yang di-
sediakan untuk menyimpan binatang peliharaan, dan
turun untuk makan malam dengan berpakaian lebih
mencolok dibandingkan yang lain. Ada kelompok pen-
cinta olahraga yang sering menghabiskan waktu di
gym, sementara orang yang hanya sesekali datang ke
gym harus menunggu giliran untuk bisa menggunakan
mesin treadmill yang dikuasai mereka. Kelompok
tukang pamer memakai celana renang pendek dan
bikini mini, berkeliling di jalur joging. Para pencinta judi
menghabiskan waktu mereka di kasino dengan mesin
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang tidak bisa membalas ucapan mereka, sementara


kelompok orang-orang kelas atas, yang membeli (atau
menyewa) tuksedo dan gaun, berpartisipasi dalam se-
tiap jamuan makan formal. Mungkin suatu hari nanti
kami akan pergi liburan dan berdandan seperti mereka,
tapi bagi kami, kapal ini hanyalah alat transportasi.
Kami lebih sering menghabiskan malam di bar yang ada

102
PENYEBERANGAN TRANSATLANTIK

di jalan utama, di mana kami bisa mengamati semua


kelompok lalu-lalang di depan kami untuk saling pamer
di ruang makan.
Malam pertama di kapal, kami makan malam
dengan kelompok yang terdiri dari delapan orang. Satu
pasangan, Pat dan George Mauch, asal Kanada, yang
akhirnya menjadi teman baik kami, sering bepergian
dengan kapal, jadi mereka memberi kami tips tentang
kehidupan di atas kapal. Saat salad kami datang, suara
mesin kapal berubah, dan aku menoleh keluar jendela
dan melihat kapal meninggalkan pelabuhan dengan
perlahan.
Kemudian, aku merasakan suara mesin menjadi
lebih stabil. Kami berada di laut! Aku menyadari kami
tidak akan bisa melihat daratan selama sembilan hari ...
pemikiran yang menakutkan.
Setelah makan malam, aku dan Tim berdiri di depan
pagar geladak dalam kesunyian, mengamati cahaya
bulan yang bermain di air, mendengarkan suara deburan
ombak yang menghantam badan kapal. Aku membawa
gelas anggur terakhirku, dan aku merasa sangat berkelas
menyesapnya di geladak. Hantu Deborah Kerr, Cary
Grant, William Powell, Myrna Loy, dan keglamoran
mereka ikut menemani kami. Semua momen dramatis
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan romantis yang kami saksikan di film kini muncul


dari tempatnya terkubur di dalam pikiran kami, tepat di
samping salah satu favoritku, Fred Aistair dan Ginger di
Paris. Ini sungguh menyenangkan.
Kami mendapatkan pelajaran berharga lain di kapal.
Dan, ada satu pelajaran yang terus kami bawa sampai
hari ini. Suatu malam, kami makan malam dengan

103
LYNNE MARTIN

Gerry dan Lorraine Singer, orang-orang yang kami


temui sore itu. Gerry terkena penyakit Parkinson dan
menggunakan tongkat, tapi kelihatannya keterbatasan
itu sama sekali tidak memperlambat mereka. Mereka
dua orang yang cerdas dan berpengetahuan luas, suka
menghibur orang lain, dan sudah pernah bepergian
ke mana-mana selama lebih dari lima puluh tahun
terakhir. Tidak peduli ke mana pun mereka pergi—
merangkak di reruntuhan, makan malam di ruang
makan, atau berkeliaran di jalanan yang sempit—kami
selalu mendapati Gerry dan Lorraine sedang tertawa,
mengamati semuanya, sambil berjalan dengan bantuan
tongkat di atas jalanan yang tidak rata, pelan tapi mantap.
Suatu hari, aku dan Lorraine saling mengirimkan surel
setelah pelayaran kami berakhir, Lorraine menulis, “Oh,
Gerry mengirimkan salam dan mengingatkan kalian
‘Jangan menunda apa pun.’” Itu adalah nasihat bagus
dari seorang pemberani.
JANGAN MENUNDA APA PUN sekarang berdiri
dengan huruf besar di atas meja komputerku dan
menjadi moto kami. Kami mencoba mengingatnya
saat kami tergoda untuk menunda melakukan sesuatu
karena kurangnya biaya, atau karena kami berpikir
itu terlalu sulit, atau karena kami terpengaruh oleh
http://facebook.com/indonesiapustaka

perkataan, ‘Mungkin kami terlalu tua.’ Jika Gerry bisa


melakukannya, maka kami pun bisa!
Setelah sembilan hari dibuat terpesona oleh roman-
tisme laut yang tak berakhir, aku melihat titik hitam
di cakrawala. Semua orang bersorak gembira, tapi aku
dipenuhi perasaan yang campur aduk. Aku sudah sangat
siap untuk melanjutkan sisa hidup kami, tapi pelayaran

104
PENYEBERANGAN TRANSATLANTIK

ini sangat menyenangkan hingga aku benci harus


meninggalkannya. Titik hitam itu semakin membesar
dan menjadi Tenerife, pulau terbesar di Kepulauan
Canary, Spanyol, yang berada di perbatasan pantai
Maroko. Dari sana kami akan berlayar melewati Selat
Gibraltar, menyusuri pantai Spanyol menuju ke Roma.
Saat kami mulai mengumpulkan barang-barang
kami dari tempat persembunyiannya di kabin, sempat
terpikir olehku bahwa akhir dari pelayaran transatlantik
ini terasa begitu melankolis. Selama hari-hari panjang
di laut, mudah sekali untuk terbiasa dengan lautan,
rutinitas, dan kepuasan yang sepertinya tidak akan
pernah berakhir. Aku merasa menyesal karena semua
itu akan segera berakhir, tapi dengan cepat aku dikuasai
oleh semangat untuk menantikan apa yang akan datang
nanti.
Semalam kami tidak bisa tidur nyenyak karena
terlampau bersemangat. Ketika turun dari kapal nanti,
kami akan memulai petualangan selama tujuh bulan ke
depan sebagai pengelana tanpa rumah. Ini akan men-
jadi ujian yang sesungguhnya dari ratusan jam yang
dikorbankan Tim untuk membuat perencanaan yang
matang.
Ada bus yang disediakan oleh pengelola kapal untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

membawa kami ke bandara. Keramaian itu terasa aneh


setelah terasing sekian lama di atas kapal dan kesunyian
sudah terasa seperti surga yang familier. Saat akhirnya
kami naik ke atas pesawat, Tim, suamiku yang mengidap
klaustrofobia, terjepit di kursi kecil yang ada di bagian
samping pesawat ... tanpa jendela. Tim terlihat sangat
merana hingga aku hampir tidak tega melihatnya.

105
LYNNE MARTIN

Malam kami menjadi lebih rumit karena barisan di


imigrasi dan pabean bergerak dengan sangat lambat.
Waktu menunjukkan hampir pukul 1.30 dini hari saat
akhirnya kami keluar dari area pabean di Istanbul,
kelelahan, berantakan, dan sedikit takut dengan negara
yang sepenuhnya asing ini. Sebagaimana di bandara
internasional mana pun, penumpang yang turun di-
pisahkan dari para penjemput oleh aula atau koridor
yang berujung di pintu geser. Saat pintu terbuka, aku
selalu merasa seolah sedang berada di panggung saat
tirainya terangkat: sorotan cahaya yang muncul tiba-
tiba, suara, orang-orang yang melambaikan tangan dan
memanggil keluarga atau teman mereka, dan sejumlah
orang yang memegang kertas dengan nama klien yang
akan mereka antar ke penginapan.
Pada saat itulah gumpalan terbentuk di tenggorokan-
ku. Apakah kami akan melihat tulisan “Martin” di salah
satu kertas itu? Saat ini hari sudah sangat larut hingga
kami takut sopir yang seharusnya menjemput memilih
untuk menyerah menunggu kami. Kami tidak tahu
siapa yang harus dihubungi jika sopir itu tidak ada
atau bagaimana kami bisa sampai ke tempat tinggal
sementara kami. Ditambah lagi, kami tidak memiliki
teman atau kenalan di Istanbul.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mata kami berkelana ke mana-mana. Tiba-tiba


saja, di sanalah dia, sopir kami yang masih muda dan
tampan, Kubilay, terlihat senang melihat kami seperti
juga kami senang melihatnya! Kubilay menjabat tangan
Tim, mengambil koper yang kutarik, dan membawa
kami ke udara malam yang segar. Kami terkesiap dan
meregangkan lutut kami selagi Kubilay mengangkat

106
PENYEBERANGAN TRANSATLANTIK

barang-barang kami ke dalam mobil minivan. Setelah


menutup bagasinya, Kubilay menghampiri kami dengan
membawa kotak kecil berwarna emas. Setelah mem-
bukanya, Kubilay berkata, “Silakan, ini Turkish Delight
buatan ibuku. Selamat datang di negaraku.”
Kami merasa tersentuh. Permen kenyal itu memanis-
kan mulut dan sikap kami, kebaikan pertama dari ribu-
an kebaikan yang akan kami terima dalam beberapa
minggu ke depan.
Kami melaju menembus malam di sepanjang jalan
raya yang modern. Cahaya lampu Istanbul berkilauan
di kedua sisi Bosporus. Asia berada di sebelah kanan
dan Eropa di sebelah kiri, dengan jembatan cahaya
yang menyatukannya. Akhirnya, kami meninggalkan
jalan raya dan beralih ke jalanan berbatu. The Blue
Mosque menjulang di atas bukit tepat di atas kepala
kami, keenam menaranya terang benderang oleh cahaya
lampu dan kawanan burung camar memutarinya seperti
sebuah mahkota bergerak.
Sungguh perkenalan yang spektakuler terhadap kota
itu dan awal dari petualangan kami di Eropa!
http://facebook.com/indonesiapustaka

107
Enam

Turki
B an mobil berdecit di jalanan berbatu Kota
Istanbul, tapi Kubilay memarkirkan mobil di jalanan
yang sepi. The Blue Mosque berjongkok seperti seorang
Sultan di atas atap di belakang kami, dengan tali kepala
dari burung camar yang berputar. Dua orang pria
mengobrol pelan di depan toko serbaada di seberang
jalan. Kami tidak habis pikir siapa yang datang ke toko
pada pukul 2.00 dini hari, atau apa yang ingin mereka
beli, tapi toko itu memang selalu buka.
Kubilay memohon diri dan menghilang ke balik
sudut saat aku dan Tim memijat badan kami yang pegal
dan mengamati jalanan di depan kami. Jalanan itu diapit
bangunan pendek berdinding plesteran dan sangat sunyi
pada dini hari seperti sekarang. Tidak lama kemudian,
http://facebook.com/indonesiapustaka

seorang pria muda yang mengenakan seragam pelayan


muncul dari balik sudut. Pria itu tersenyum menyapa
dan membukakan pintu gedung apartemen untuk kami.
Empat pasang sepatu—dua besar, dua kecil—tertata rapi
di karpet ala Turki yang ada di luar pintu apartemen yang
ada di bawah. Kereta dorong bayi diselipkan di bawah
tangga. Pria tadi membawa tas-tas besar kami menaiki

108
TURKI

tangga sempit yang berbentuk melingkar dan terbuat


dari semen tanpa membuat sedikit pun suara. Kubilay
mengikuti dengan membawakan barang-barang kami
yang lain, sedangkan aku dan Tim meredam suara napas
kami yang terengah saat menaiki tangga yang curam itu.
Pria muda tadi kembali ke pekerjaannya di jalan.
Kubilay memberi kami tur singkat ke sekeliling apar-
temen untuk mengenalkan semua peralatan yang ada
di sana dan menjelaskan tiga kunci yang diberikannya
kepada kami: satu kunci pintu dari apartemen ke aula
depan yang kecil, satu lagi kunci pintu yang mengarah
ke tangga, dan terakhir kunci teras pribadi kami. Kubi-
lay meninggalkan kartu namanya, menoleh dari atas
bahunya, dan berkata, “Jika membutuhkan apa pun,
kalian bisa meneleponku di nomor itu.”
Kemudian, Kubilay menghilang.
Kami hanya tinggal berdua di apartemen pertama
kami di Eropa—luasnya sekitar dua puluh tujuh
meter. Apartemen itu terdiri dari kamar berukuran
kecil, dapur mungil, kamar mandi, dan ruang tamu
mini yang sekarang penuh sesak dengan koper kami.
Semua peralatan, perabot, dan jendelanya masih baru;
di sana bahkan ada mesin pencuci piring! Tempat itu
seperti keajaiban efisiensi. Dengan gaya hidup kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang baru, pendekatan umum kami untuk akomodasi


adalah semakin sedikit waktu yang kami habiskan di
dalam apartemen, semakin tidak penting tata ruang dan
kenyamanan tempat itu. Untuk tinggal selama sebulan
atau lebih, kami bersedia menambah sedikit biaya
untuk tempat yang lebih besar, tapi untuk tinggal hanya
seminggu, apa pun yang tenang dan bersih, dengan

109
LYNNE MARTIN

kasur yang nyaman, sudah cukup untuk kami.


Kami menggunakan aplikasi senter di iPhone untuk
membuka kunci pintu yang mengarah ke luar. Teras
yang luas dilengkapi dengan kursi plastik jelek, tali
jemuran, dan bukti pendudukan burung camar, tapi
dengan adanya pemandangan Blue Mosque di satu sisi
dan Laut Marmara di sisi yang lain. Siapa yang peduli
dengan perabotan?
Saat melangkah keluar, kami terkesiap bersamaan
saat melihat pemandangan di depan kami, berbalik
untuk melihat ke semua arah, dan kemudian tersedot ke
dalam kesunyian yang penuh ketakjuban. Tim melaku-
kan tugasnya dengan sangat baik. Aku suka melihat
senyuman penuh kemenangan yang tersungging lebar
di bibirnya.
“Oh, Tuhan,” desahku. “Coba lihat itu, Sayang.”
Bulan purnama bersinar terang di langit yang ada di
belakang masjid, membingkai keenam menaranya yang
mengagumkan.
“Coba lihat kapal-kapal itu,” bisik Tim. Lampu dari
kapal tanker superbesar, kargonya yang menggunung
mendorong kapal ke dalam air, tampak terang benderang
saat mereka bergerak untuk berlayar. Lampu-lampu
menyala bak kalung permata di jembatan anggun yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

membentang di Bosporus. “Dan, itu adalah Asia,” lanjut


Tim, menunjuk lampu kelap-kelip di sisi lain.
Kami berpelukan dan berciuman untuk waktu yang
lama. “Tim,” kataku, “ini pantas dibayar dengan semua
kerepotan, stres, dan kegelisahan yang kita rasakan. Ini
persis seperti yang kita harapkan. Terima kasih.”
Kelelahan membawa kami kembali ke dalam apar-

110
TURKI

temen. Kami menjatuhkan diri ke atas tempat tidur tanpa


terlebih dahulu membereskan barang-barang kami. Tiga
jam kemudian, kami terbangun dengan kaget saat suara
muazin bergema dari pengeras suara di jalanan dekat
kami, memanggil semua orang untuk shalat Subuh.
Satu suara berasal dari kejauhan, kemudian terdengar
suara lain dari jarak yang lebih dekat, diikuti oleh lebih
banyak suara, sampai kami dikelilingi oleh suara itu.
Azan orang muslim, panggilan untuk shalat, terdengar
menggetarkan, memikat, dan indah. Kami berbaring
lagi dan mendengarkan. Suara azan itu memiliki kua-
litas nasal, dan walaupun masing-masing suara azan
memiliki nada yang berbeda, tapi semua suara itu men-
ciptakan keharmonisan yang terasa asing di telinga
kami. Itu suara yang membuat merinding, eksotis, dan
anehnya menenangkan. Dalam waktu singkat, suara
azan yang terdengar lima kali sehari menjadi sesuatu
yang biasa untuk kami karena terdengar dari semua
menara di semua masjid. Pada akhirnya, kami sudah
tidak terlalu memperhatikannya.
Kami tidur lagi sebentar dan terbangun untuk me-
mulai rutinitas hari pertama yang kami mulai di Buenos
Aires. Tim bergegas turun ke pasar kecil di sudut jalan
(sepertinya pasar itu tidak pernah tutup) untuk membeli
http://facebook.com/indonesiapustaka

kopi dan bahan-bahan sarapan, sekaligus untuk me-


mata-matai gudang mereka selagi aku memeriksa
rumah baru kami. Pemandangannya bahkan lebih me-
mukau pada siang hari. Di satu arah, laut berkilauan
di belakang atap-atap rumah kuno yang terbuat dari
keramik berwarna merah. Di arah yang lain, kubah
Blue Mosque berbentuk menyerupai bawang berwarna

111
LYNNE MARTIN

keemasan tampak menyala di bawah sinar matahari.


Apartemennya bersih dan koneksi internetnya cukup
bagus, memenuhi dua persyaratan utama kami.
Hanya kamar mandinya yang sedikit bermasalah. Aku
pasti terlalu lelah untuk memperhatikannya semalam,
tapi itu adalah kamar mandi tanpa tirai yang umum
digunakan di Eropa, dan hanya memiliki pancuran.
Orang yang mandi harus memindahkan semua barang
dari atas meja konter, menyimpan kertas toilet di tempat
yang aman, dan melemparkan pakaiannya keluar dari
pintu kamar mandi ke ruang tamu. Setelah mandi,
semua bagian kamar mandi, terutama lantainya, harus
dikeringkan dengan alat pembersih dari karet yang
disediakan oleh pihak manajemen. Idenya adalah orang
yang mandi dalam keadaan telanjang dan kedinginan
harus mendorong air ke saluran pembuangan di
tengah-tengah lantai kamar mandi. Sama sekali tidak
menyenangkan. Setiap pagi kami berlomba siapa yang
lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi. Orang yang
terakhir keluar harus mengeringkan air yang tersisa
dengan alat pembersih dari karet.
Kami berjalan-jalan di sepanjang jalanan yang dijejeri
pepohonan ke arah Blue Mosque. Toko-toko kecil
sudah buka sejak pagi, ibu-ibu yang memakai kerudung
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengantar anak-anak mereka ke sekolah, kafe luar


rungan dipenuhi oleh pria Turki yang meminum teh,
merokok, dan mengobrol. Bangunan rendah berdinding
bata mengingatkan kami pada East Village di New York,
tapi dengan warna yang lebih cerah. Produk tekstil
berwarna permata terlihat di mana-mana. Karpet,
mantel, jaket, payung, dan perabot didominasi warna

112
TURKI

merah, jingga, biru, dan hijau terang. Kami mencium


aroma kopi yang kental, roti yang dipanggang, dan
daging yang dibakar di atas arang. Sebagian aroma
lezat itu berasal dari apartemen, tapi aroma yang
mendominasi berasal dari restoran dan kafe kecil di
sekitar apartemen. Anak-anak kecil membawa baki
yang penuh dengan teko beruap, gelas teh yang penuh
dekorasi, dan piring dengan makanan menggunung di
atasnya, berkeliaran di jalanan untuk mengantarkan
sarapan ke para penjaga toko. Suasananya sangat sibuk,
dan sepertinya semua orang terlihat gembira. Orang-
orang tertawa dan mengobrol seolah mereka memiliki
waktu sepanjang hari untuk menghibur satu sama lain.
Ternyata kondisinya memang seperti itu.
Sebagian besar orang Turki yang kami temui akan
meninggalkan semua kesibukan yang sedang mereka
jalani untuk mengobrol dengan kami tentang semua
hal, mulai dari cuaca sampai kondisi politik di Amerika.
Kami orang Amerika mungkin mengasosiasikan Turki
dengan situs kuno, pantai yang berwarna biru kehijauan,
tekstil, rempah, menara, dan istana, tapi harta karun
yang sesungguhnya adalah orang-orangnya. Mereka
sangat ramah, cerdas, suka membantu, dan lucu.
Setidaknya sekali dalam satu hari pasti ada seseorang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang bercanda dengan kami, bahkan sekalipun kami


tidak memahaminya. Bahasa tidak menjadi masalah saat
semua orang berusaha keras untuk berkomunikasi.
Kami memasuki ruang terbuka yang menghubungkan
Blue Mosque dengan Hagia Sophia—gereja ortodoks
yang sekarang menjadi museum—dan akhirnya ber-
ujung di Topkapi Palace—kediaman utama Sultan

113
LYNNE MARTIN

Ottoman selama 400 tahun. Ketiga bangunan itu berdiri


di atas alun-alun besar yang berada di dataran tinggi
sehingga memberi mereka posisi yang sempurna sebagai
sebuah monumen. “Oh Tuhan, Tim, sejak dulu kau
sudah mengatakan kepadaku bahwa aku akan menyukai
tempat ini, tapi aku sama sekali tidak menyangka
betapa mengagumkannya semua bangunan ini,” kataku
saat aku berputar, mencoba untuk menikmati semua
pemandangan di sekelilingku.
“Aku senang kau menyukainya,” ujar Tim dengan
wajah berseri-seri. Menunjukkan kota yang mengagum-
kan kepada seseorang yang kau cintai bisa menjadi
kepuasan besar dalam hidup, hadiah terbaik yang bisa
dibayangkan. “Dan, aku sama sekali tidak terkejut!”
Saat kami sampai di pintu depan Blue Mosque,
seorang wanita melilitkan kain panjang di seputar
pinggangku dan mengikatnya dengan tali. Setiap wanita
nonmuslim di masjid harus memakai rok berwarna
biru. Aku mendengar setiap orang yang melangkah
masuk ke dalam mengeluarkan suara—suara terkesiap,
desahan, “wow” pelan. Mustahil untuk tidak merasa
terkesan dengan kubah yang menjulang ratusan meter
ke atas langit, ditutupi oleh jutaan mozaik. Kaca patri
memantulkan cahaya ke dalam, dan mimbar yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

berwarna keemasan berkilauan di satu sisi. Kubah


yang lebih kecil mengelilingi kubah yang lebih besar,
dan orang-orang shalat di tempat yang tidak boleh
kami lewati. Ruangan itu dilapisi karpet merah dengan
desain bunga berwarna biru, dan lampu gantung besar
diturunkan setinggi manusia. Warna dan cahayanya
sangat memukau. Aku benar-benar merasa takjub.

114
TURKI

“Jadi, bagaimana menurutmu?” bisik Tim sambil


menyeringai. Tim tahu aku terlalu terkesima untuk ber-
bicara ... yang kulihat adalah suatu keajaiban.
Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak bisa bicara.
Setelah pengalaman yang begitu menggetarkan, tentu
saja aku merasa lapar. Kami memilih restoran kecil yang
menarik yang sebelumnya kami lihat dalam perjalanan
ke masjid. Dengan cekatan kami diantarkan ke tempat
duduk, sebuah kursi nyaman dengan taplak linen warna-
warni, dan peralatan makan indah untuk menyantap
salah satu makanan terbaik yang bisa kuingat. Makanan
Turki, seperti juga sebagian besar hidangan Mediteranian
lain, sarat akan rasa minyak zaitun, domba, kacang,
dan yoghurt. Semua bahan-bahan itu muncul di meja
kami, disiapkan dengan menarik dan disajikan dengan
anggun. Aku menyukai hidangan pembuka berupa sup
yoghurt panas dengan daun mint kering dan lemon,
tapi bintang dari santapan malam itu adalah hidangan
penutupnya: buah ara rebus isi kacang walnut dengan
sirup semanggi! Pelayannya, pemilik restoran dan istri-
nya, dan kokinya menghibur kami dengan kisah-kisah
menarik dan lelucon lucu. Merasa puas dan senang,
kami siap untuk petualangan berikutnya.
Saat sore itu kami tiba di Topkapi Palace, kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

langsung mengikuti antrean panjang dan lambat untuk


membeli tiket. Tapi, akhirnya kami menyerah. Sebut
kami tidak sabaran, tapi menunggu menjadi siksaan
untuk kami, dan mengamati situs kuno tidak terlalu
menarik untuk kami. Kami bukanlah turis yang baik.
Meskipun sangat menghargai sejarah tempat yang
kami kunjungi dan biasanya kami mempelajari tempat-

115
LYNNE MARTIN

tempat itu sebelum menginjakkan kaki di sana, kami


bukanlah tipe orang yang suka membaca setiap plakat
dan memelototi setiap barang atau lukisan di museum.
Kami lebih menghargai monumen atau museum secara
keseluruhan, kemudian memfokuskan diri hanya pada
benda-benda yang menarik untuk kami. Pada usia
seperti sekarang, kami juga harus mempertimbangkan
stamina kami. Itu dan fakta bahwa, kami suka atau tidak,
energi dan waktu di dunia ini sangat terbatas. Selagi
kami membahas tentang pilihan kami, seorang pemandu
yang ramah dan penuh semangat, memberi tahu bahwa
dia bisa membantu kami melewati barisan dan melihat
tempat-tempat menarik di dalam istana hanya dalam
waktu satu jam. Persis seperti yang kami inginkan.
Tim dan pemandu itu menegosiasikan harga yang
sebenarnya tidak terlalu tinggi. “Berapa banyak orang
yang akan mengikuti tur?” tanya Tim.
“Delapan orang.”
Tim menoleh ke sekeliling. Tidak ada seorang pun di
sana selain kami. “Di mana mereka?”
“Berdiri di bawah pohon di sana, aku akan memanggil
mereka,” jawab pemandu itu.
Kami mengamati saat pemandu itu berjalan di
sepanjang barisan turis yang mengantre tiket. Dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

waktu lima menit, pemandu itu berhasil menarik enam


orang lagi, kemudian pemandu itu pergi ke bilik tiket,
di mana dia mendapatkan delapan tiket masuk untuk
kami dan mulai membawa kami ke dalam. Tampaknya
ada orang lain yang lebih menyukai tur singkat seperti
kami! Terkesan oleh keefisiensian pemandu itu, kami
semakin menikmati tur yang diberikannya. Pemandu

116
TURKI

itu memiliki banyak pengetahuan, cara bicaranya jelas,


dan sangat menghibur. Kami menjelajahi museum
sebentar, meresapi keindahan Istanbul dan The Golden
Horn, terpesona oleh permata yang ada di mahkota raja,
dan kemudian kami pulang ke rumah, untuk menikmati
koktail di teras plastik kami sebelum matahari terbenam.

Kami menyukai setiap menit yang kami habiskan di


Istanbul. Bertolak belakang dengan pengalaman kami
di Buenos Aires, kami menikmati kehidupan kami
dan merasa sangat bersyukur karena petulangan tanpa
rumah ini berjalan seperti yang kami harapkan. Yah,
kami menyukai hampir setiap menitnya, kecuali satu
hari yang dingin dan mendung, saat kami memutuskan
untuk mencari pasar rempah kuno. Kami memeriksa
peta dan tahu pasar itu tidak terlalu jauh untuk ditempuh
dengan berjalan kaki. Jadi, meskipun saat itu sudah
sore, kami memutuskan untuk mencoba mencarinya.
Namun, setelah berjalan beberapa blok, kami menyadari
bahwa kami tersesat. Jalanannya bahkan tidak tertera
di peta kami, jadi kami bertanya kepada penjaga toko
yang sedang berdiri di ambang pintunya untuk meminta
http://facebook.com/indonesiapustaka

petunjuk. Penjaga toko itu menunjuk ke arah yang ber-


lawanan, dan kami mengikuti instruksinya. Ini terjadi
beberapa kali. Orang terakhir yang kami tanya me-
yakinkan kami bahwa kami sudah dekat dengan tujuan
kami. Tapi, kami justru menjadi semakin bingung.
Awan semakin gelap. Tepat pada saat hujan turun,
kami menyadari bahwa kami sudah berjalan terlalu

117
LYNNE MARTIN

jauh untuk kembali ke rumah. Tidak mungkin kami


bisa menyetop taksi yang lewat dalam keadaan hujan
deras seperti ini, apalagi kondisi kami basah kuyup dan
berantakan. Sementara itu, karena sistem bus masih
menjadi misteri untuk kami, tidak ada harapan kami
bisa pulang dengan menggunakan bus. Dalam waktu
singkat, sekujur tubuh kami sudah basah kuyup dan
kami tersesat entah di mana.
Setelah berjalan kaki selama empat puluh lima menit
untuk mencari pasar, kami kelelahan, basah kuyup, dan
sangat kesal. Kami berteduh di sebuah restoran kecil dan
memesan minuman. Tempat itu becek oleh uap, pakaian,
dan rambut basah. Saat akhirnya hujan berhenti, kami
membayar minuman kami dan menanyakan arah ke
Blue Mosque, patokan kami untuk pulang. Pelayan itu
sedikit ketus karena kami tidak memesan makanan, dan
dengan kasar menunjuk ke atas bahu kami. “Di sana,”
katanya.
Kami melangkahkan kaki keluar, merasa jengkel.
“Aku tahu dia berbohong,” kataku dengan marah.
“Tidak mungkin kita sedekat itu dari rumah. Kita sudah
berjalan berkilo-kilometer!”
Tim meremas peta kami yang basah, membaliknya
dan mencoba memahaminya. “Tentu saja tidak,” gumam
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tim. “Itu berarti kita hanya berputar-putar saja.”


Namun, saat sampai ke sudut jalan, kami menengadah
untuk melihat burung camar terbang melingkari kubah
emas! Pelayan tadi tidak membohongi kami. Kami
tertawa seperti orang gila saat menyadari kebodohan
kami. (Seorang pria yang menunggu pelanggan di
pintu tokonya berkata dengan ketus, “Apakah kalian

118
TURKI

mabuk?” Hingga hari ini jika ada salah satu dari kami
yang tertawa terbahak-bahak, yang lain akan bertanya,
“Apakah kau mabuk?”) Lima menit kemudian, kami
berdiri di apartemen, meremas air dari celana jins kami.
Kami masih tidak mengerti bagaimana kami bisa sampai
ke apartemen dengan berjalan sambil tertawa terbahak-
bahak sepanjang jalan.
Keesokan harinya akhirnya kami menemukan Pasar
Rempah. Untuk pencinta makanan, pasar itu bagaikan
Mekah. Tepat di luar pasar di bawah tenda penuh warna,
terdapat tempat pengembangbiakan tanaman yang sangat
besar. Aroma herbal yang segar memaniskan udara, dan
kemudian kami berbelok di tikungan dan menemukan
pasar yang kami cari. Kombinasi aroma—safron, kari,
mustard, vanila, dan kurma—berputar hingga ke langit-
langit yang melengkung, saat ratusan orang memenuhi
koridor lebar, ocehan mereka dan teriakan penjual naik-
turun seperti ombak di laut. Bumbu halus dipamerkan
dalam tumpukan tinggi di masing-masing kedai pe-
dagang, dan saat kami menjelajahi pasar itu, sulit rasanya
untuk pulang dengan hanya membawa foto.
Kami menyerah pada dorongan hati dan membeli
beberapa bumbu. Pakaian kami akan selamanya berbau
bumbu pengingat sore itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kami juga menemukan Grand Bazaar, di mana ada


empat ribu kios yang menjajakan banyak sekali pakaian
indah, perhiasan, makanan, tekstil, dan pernak-pernik.
Pasar itu bahkan lebih lengkap dan lebih eksotis lagi,
dengan langit-langit dan dinding yang sepenuhnya
tertutup keramik indah, bendera yang sangat banyak
tergantung dari langit-langitnya yang seukuran stasiun

119
LYNNE MARTIN

kereta. Warna, tekstur, dan intensitas kerumunannya


sungguh memukau. Ada banyak sekali barang yang
dijual di sana hingga sekali lagi kami berjalan pulang
dengan tangan kosong. Dua orang Libra memang tidak
berdaya jika dihadapkan dengan banyak sekali pilihan.
Keindahan Istanbul yang mengagumkan diapit oleh
Hagia Sophia yang menjulang di salah satu ujung mal,
sementara di ujung lain berdiri Blue Mosque. Kedua
bangunan itu menjadi sintesis sempurna dari kekaisaran
Ottoman dan Bizantium di bawah satu kubah yang
sangat besar. Menjadi sebuah katedral Ortodok Timur
dari tahun 363 sampai 1453, kemudian berubah fungsi
menjadi masjid, dan berubah lagi menjadi katedral
Katolik Roma sampai 1931. Pada 1935, tempat itu
dijadikan museum. Mustahil menjabarkan makna
mendalam dari bangunan kolosal itu. Kami melongo
melihat dinding marmer dan kubah menakjubkannya,
dengan empat puluh jendela di bagian bawah kubah
untuk membiarkan sinar matahari masuk ke dalam
dengan bebas. Bangunan itu bertahan melewati waktu
dan gempa bumi, dan membuat takjub para ahli sejarah,
arsitek, dan insinyur teknik selama berabad-abad.
Kemegahan selalu membuat kami lapar, maka kami
pergi mencari makan siang. Berjalan dari harta karun
http://facebook.com/indonesiapustaka

arsitektur itu, kami mendapati diri kami berada di


Akbiyik Caddesi, jalanan turis, yang memanjang di
tengah-tengah area tua Kota Istanbul, dengan Hotel Four
Season di salah satu ujungnya. Hotel itu sangat tertutup
dan dijaga oleh satpam yang tidak membiarkan pejalan
kaki biasa seperti kami untuk melihat-lihat ke dalamnya.
Di ujung yang lain terdapat lingkungan di mana orang-

120
TURKI

orang seperti suami-istri Martin menghabiskan malam


mereka di Istanbul. Kafe pinggir jalan memenuhi
seluruh blok itu, yang setiap harinya dikunjungi oleh
orang Jerman, Amerika, Asia, Skandinavia, dan turis
lain dari segala usia. Malam itu, sejumlah anak muda
menikmati bir dari tabung yang diambil sendiri, tertawa
dan mengisap hookah yang warna-warni, pipa air, yang
memang disediakan di setiap meja. Biasanya, aku dan
Tim merasa puas dengan usia kami yang sudah tua,
dan kami menganggap diri kami cukup beruntung
karena bisa bernegosiasi dengan kehidupan dan lolos
dalam keadaan utuh. Tapi, di Istanbul, kami berharap
bisa menjadi muda lagi, memesan bir dalam tabung,
dan menikmati hookah sambil tertawa dan berbagi
cerita dengan anak-anak muda. Aku yakin kami akan
menikmatinya selama sepuluh menit atau lebih.
Tapi ternyata, kami harus puas dengan makan siang
di tempat yang biasa, bistro dalam/luar ruangan dengan
payung berwarna cerah dan meja kecil. Mereka semua
menyajikan kebab, nasi, bubur terung/tomat, roti pita,
buah-buahan yang dicelupkan ke madu dan pastri untuk
hidangan pencuci mulut. Kami terkesima melihat orang-
orang mengisap asap beraroma tembakau yang disaring
dengan air di dalam kontainer.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Beberapa jam kemudian, kami berjalan menuju


air. Jejeran toko kecil di tepi jalan yang terdapat di
wilayah tua Kota Istanbul, dan pemilik toko berdiri di
depan, menawarkan barang-barangnya dengan gaya
yang sangat persuasif. Salah satu pemilik toko berkata
kepadaku, “Oh, ayolah, beri kami sedikit uangmu,”
sementara seorang pria di jalanan yang kami lewati

121
LYNNE MARTIN

setiap hari berkata, “Selamat pagi, aku sudah menunggu


kalian!” Mereka orang-orang yang gigih dan ramah,
dua sifat yang membantu mereka menjual banyak
permadani menawan kepada para turis. Karena tinggal
di jalan secara permanen, kami tidak bisa mengoleksi
apa pun selain foto dan kenangan, tapi yang pasti, kami
menikmati melihat-lihat barang dagangan mereka
sekaligus mengalami kenangan yang menyenangkan
dengan para penjaga toko yang ramah. Bahkan, orang
yang tidak memiliki toko berhasil menemukan cara untuk
mendapatkan uang dari turis, apalagi di sekitar tempat
wisata terkenal. Aku melihat seorang pria duduk di kursi
sambil menjual setumpuk topi satin. Dia mengenakan
pakaian sultan regalia, terlihat sangat autentik kecuali
ponsel yang menempel di telinganya. Momen seperti
itulah yang membuat kami ingin menjadi pengelana
tanpa rumah! Dalam waktu singkat, pria penjual topi itu
menjadi bagian yang tidak bisa dihapuskan dari hidup
kami, orang yang akan kami ingat selamanya. Kesan
kecil itu yang ditambahkan ke dunia penuh keajaiban.

Setiap pagi, saat pergi dari rumah, kami melewati sebuah


http://facebook.com/indonesiapustaka

kantor agen perjalanan kecil. Kami mulai mengangguk


untuk menyapa Remzi, pemilik kantor yang bertubuh
kurus dan berkepala botak, yang sepertinya selalu ada
di sana sepanjang waktu, mengobrol dengan orang yang
datang untuk meminum segelas teh dengannya. Remzi
bisa berbahasa Inggris dengan baik dan tahu dengan pasti
bagaimana bersenang-senang di Turki. Asisten Remzi

122
TURKI

adalah seorang pria bertubuh besar dan berjenggot yang


selalu memakai kaus yang sama setiap hari. Suatu sore,
saat kami sedang melihat-lihat foto Pantai Turquoise
Turki yang dipajang di jendela kantornya, Remzi
mengundang kami untuk minum teh. Sejam kemudian,
kami sudah tahu nama semua cucunya, di Chicago
sebelah mana saudara lelakinya tinggal, dan pendapatnya
tentang pemilihan presiden Amerika Serikat yang akan
datang. Satu hal lagi: kami memesan tur sepanjang hari
dengan kapal di Bosporus yang harganya sangat mahal.
Tur itu terbukti cukup menyenangkan, tapi tidak sama
menghiburnya seperti Remzi sendiri, dan pertemanan
kami dengannya membuat semua pengeluaran itu tidak
sia-sia. Kami masih saling bertukar surat dengan Remzi,
dan berharap bisa kembali lagi ke sana untuk mengikuti
tur empat hari di Pantai Turquoise. “Telepon saja aku dan
semua akan diatur dengan sempurna,” kata Remzi pada
hari kami pergi dari Turki. Dan, aku memercayainya.
Kami dipusingkan oleh kesibukan-waktu-pindahan
pada hari terakhir kami di Istanbul. Kami masih
ingin melihat beberapa objek wisata di kota, dan kami
mulai berkemas agar bisa mengejar penerbangan pagi
keesokan harinya ke Izmir, jantungnya Turki. Tim ke-
luar dari apartemen dan berjalan keluar teras, meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

amati kapal besar berlayar ke arah samudra. Aku selalu


menjadi orang terakhir yang siap dan aku tidak suka
membuat siapa pun menunggu, maka dengan cepat
aku mengambil tasku dan menutup pintu apartemen di
belakangku. “Sudah siap,” kataku. “Di mana sebaiknya
kita makan siang?”
“Ayo kita kembali ke restoran tempat kita menyantap

123
LYNNE MARTIN

sup yoghurt yang lezat itu,” jawab Tim. “Aku akan segera
menyusulmu.” Tim melangkah masuk lagi ke lorong
dan memutar kenop pintu apartemen. “Kelihatannya
kau sudah menguncinya,” ujar Tim. “Tolong berikan
kuncinya kepadaku. Aku harus mengambil kacamataku
yang lain.”
“Aku tidak memegang kunci,” kataku, sedikit khawatir.
Kening Tim berkerut. “Bagaimana kau mengunci
pintu tanpa kunci?”
“Aku hanya menutupnya dan pintu itu pasti terkunci
sendiri,” kataku membela diri.
“Oh, Tuhan.” Tim berbalik dengan perlahan,
mencengkeram pintu yang mengarah ke tangga. Terkunci
juga. Kami tidak keluar dari apartemen sepanjang hari.
“Mengapa kau menutup pintunya? Aku baru saja keluar.
Aku belum siap untuk pergi,” tegas Tim dengan tajam.
Aku membalas, “Wah, maaf, Mister, tapi saat kau
pergi keluar dan kau membawa tasmu, aku menduga
kau sudah siap untuk pergi, dan bahwa kau membawa
kunci bersamamu seperti biasanya.”
Kami berjalan menjauh dari pintu dalam kebisuan
yang dingin untuk memikirkan pilihan selanjutnya.
Kami berdiri di teras lantai tiga pada siang hari dengan
kanopi kecil, sekitar setengah inci air di botol plastik,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan tidak mungkin kami bisa masuk ke apartemen atau


pergi dari gedung itu. Kami duduk di kursi plastik, yang
kami dorong ke bawah naungan kanopi kecil. “Dengar,”
kataku. “Aku membawa iPhone-ku dan masih ada
koneksi wi-fi, jadi aku bisa mengirimkan surel kepada
pemilik apartemen dan memintanya untuk membantu
kita.”

124
TURKI

“Ide yang bagus.” Setelah lebih tenang sekarang, Tim


terlihat menyesal karena telah membentakku.
Aku mengirimkan surel itu dan kami menunggu.
Dan, menunggu. Tidak ada jawaban. Kami sempat
berpikir untuk berteriak ke toko yang ada di bawah
untuk meminta bantuan, tapi kami tahu, kami tidak
bisa menjelaskan kepada orang berbahasa Turki yang
sedang bertugas di toko tersebut. Lagi pula, sangat
memalukan berteriak dari atap apartemenmu. Maka,
kami pun menunggu sebentar lagi. Setelah duduk dalam
kesunyian selama lima belas menit, menggeser kursi
kami lebih dekat ke dinding untuk menghindari sinar
matahari yang terik, Tim berkata, “Hei, kau punya Skype
di ponselmu. Coba telepon dia.”
Pemilik apartemen langsung menjawab. Aku men-
jelaskan masalah kami dan dia berkata akan mengirim-
kan Kubilay dan tukang kunci secepat mungkin. Kami
menawarkan diri untuk membayar jasa tukang kunci
itu, tapi pemilik apartemen tidak mau. Dia mengatakan
kepada kami bahwa hal semacam ini pernah terjadi
sebelumnya, yang sedikit mengurangi rasa malu kami.
Kami berbagi beberapa tetes air saat matahari
bersinar semakin terik. Aku mencoba untuk mengingat
apakah aku sudah mengoleskan tabir surya di kulitku
http://facebook.com/indonesiapustaka

setelah mengeringkan lantai kamar mandi tadi.


Kemudian, kami mendengar suara di tangga. Tukang
kunci membuka pintu di tangga dan pintu apartemen
kami. Tukang kunci itu dan Kubilay, yang menahan diri
untuk tidak terlalu meledek kami, pergi dalam hitungan
menit. Merasa lega, kami masuk lagi ke dalam apartemen
untuk mengambil kacamata Tim dan meminum air.

125
LYNNE MARTIN

Aku sedang mencuci gelasku saat mendengar Tim


mengumpat dari ruangan lain. “Ada apa?” tanyaku.
Tim menatapku dengan ekspresi malu. “Aku ingin
minta maaf. Aku merasa seperti orang yang sangat
bodoh. Coba lihat apa yang kutemukan di tasku.” Kunci
apartemen menggantung di jari Tim.
Kami tertawa terbahak-bahak. “Aku tidak akan pernah
mengatakannya kepada siapa pun,” kataku kepada Tim.
Dan, aku memegang janjiku. Sampai sekarang.
Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk mengucap-
kan selamat tinggal kepada teman-teman kami di
sekitar apartemen, Tim memanggilku dari balkon.
Dia menunjuk ke arah Kubilay, yang sudah menunggu
di mobil, dan aku pun bergegas pergi. Tidak berapa
lama kemudian, kami sudah dalam perjalanan menuju
bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Kusadasi,
kota yang ada di Laut Aegea. Letaknya hanya beberapa
kilometer dari Ephesus, tempat Kuil Artemis, salah
satu dari tujuh keajaiban dunia kuno. Tim, yang selalu
mengingat segalanya, mengatakan kepadaku dalam
diskusi kami semalam bahwa awalnya Ephesus berada
di dalam air, tapi seiring dengan berjalannya waktu,
tempat itu “berpindah” ke daratan karena dibangunnya
pelabuhan di sungai yang menyambung ke sana.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Dimulailah minggu kedua kami di Turki, yang kami


habiskan di jalanan, berbeda dari rencana kami yang
biasanya. Ada banyak bangunan kuno yang ingin dilihat
Tim, dan kami berpendapat bahwa menginap di hotel
lebih praktis daripada menyewa apartemen karena kami
hanya akan tinggal di sana selama beberapa hari. Kuil
Apollo yang mengagumkan di Didim menjadi salah satu

126
TURKI

tujuan kami, diikuti dengan tur selama beberapa hari di


Aegaea yang ada di Marmaris. Kami berpikir tempat itu
akan membuat kami lebih segar dan berkulit kecokelatan
sebelum kami pergi ke pemberhentian selanjutnya, Paris.
Setelah penerbangan singkat ke Izmir, kami menuju
Kusadasi.
“Tim, coba lihat ini,” seruku, saat Tim mengelak dari
gerobak yang ditarik oleh kuda poni dan menyingkir
dari bus penuh dengan turis yang melaju ke arah kami.
“Wilayah pedesaan mengingatkanku pada Central
California!” Aku sedang mengutak-atik Victoria, teman
GPS kami yang ikut bepergian bersama kami dan sibuk
mengunduh data agar dia bisa membuat debut di Turki.
Kami jatuh cinta pada Victoria, karena ia tidak pernah
berkata “mengalkulasi ulang”, tapi langsung mengubah
arah saat kami membuat kesalahan, dengan tenang
menginstruksikan kepada kami bagaimana memperbaiki
kesalahan agar kami bisa sampai ke tempat tujuan.
Peternakan keluarga tampak di kaki bukit, dan
tumpukan rumput kering serta pepohonan yang gundul
terasa familier. Gunung yang tidak terlalu tinggi mem-
bentang di sepanjang sisi kanan lembah dan ada satu
lagi di sebelah kiri, dengan hamparan lahan yang subur
di antaranya. Tidak lama kemudian, kami berbelok ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

arah kaki bukit dan mulai menanjak. Kegembiraan dan


antusiasme saat menaiki bukit, kemudian berhadapan
dengan laut—laut mana pun—membuatku menahan
napas setiap kali aku melihatnya membujur di cakrawala.
Bahkan, setelah satu dekade tinggal di dekat Samudra
Pasifik di California, laut masih membuatku terpesona.
Aku memekik senang saat melihat laut, tapi Tim

127
LYNNE MARTIN

yang malang tidak berani menoleh dengan adanya


kemudi mobil di tangannya. Aku berusaha keras untuk
meredam komentar-komentar riangku karena rasanya
itu tidak adil, mengingat Tim tidak bisa melihatnya, tapi
terkadang aku tidak bisa menahannya. Pada sebagian
besar waktu, Tim tidak mempermasalahkannya, tapi aku
tahu dia pasti lelah selalu menjadi sopir. Faktanya adalah
Tim mengemudi lebih baik daripada aku, apalagi karena
masalah penglihatan memengaruhi jarak pandangku.
Aku bisa menjadi navigator yang lebih baik karena aku
tahu cara membujuk Victoria melakukan tugasnya. Jadi,
karena kami bertiga menjalankan tugas masing-masing,
kami mampu menaklukkan semua jenis masalah lalu
lintas tanpa terluka sedikit pun.
Kami menepi agar Tim bisa melihat ke arah Ku-
sadasi, yang memperlihatkan teluk melengkung ber-
warna turquoise. Jalan di sepanjang tepi pantai di-
penuhi kondominium, hotel, dan restoran, pantainya
sendiri dijejeri oleh kapal layar besar yang merapat ke
pelabuhan. Toko permadani, toko pernak-pernik, toko
serbaada, dan marina yang penuh yacht mahal dan
indah mengisi kota tersebut. Saat kami melanjutkan
perjalanan, Tim sibuk mencoba untuk tidak menabrak
turis, yang berjalan mondar-mandir ke pantai, sekaligus
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghindari mobil, bus, dan sepeda yang lalu-lalang di


jalan.
“Hati-hati ada anak kecil yang menaiki sepeda!”
teriakku.
Tim memelototkan mata kepadaku. “Tolong
JANGAN lakukan itu,” bentak Tim. “Kau membuatku
kaget setengah mati jika berteriak tiba-tiba seperti itu!

128
TURKI

Aku juga bisa melihat anak itu.”


Aku menggigit lidahku.
Tentu saja, lima meter kemudian, selagi kami tertahan
di belakang barikade dan sulit untuk kembali ke jalan
raya, Tim mengeluh, “Mengapa kau tidak mengatakan
sesuatu tentang jalanan yang tertutup di depan?”
Aku menghela napas. Perjalanan terus-menerus
mengharuskan pasangan untuk bisa terus berpegang
pada kesopanan mereka, dan aku tidak mau mengambil
risiko ada salah satu dari kami yang mencari bandara
terdekat untuk pergi tanpa terencana!
Di dekat ujung jalan yang panjang dan sempit itu,
kami menemukan target kami, Caravanaserail Hotel,
bangunan besar berbentuk persegi yang dilengkapi
dengan menara, dibangun pada 1648 oleh seorang sultan
Ottoman untuk menampung rombongan militer. Sangat
berbeda dengan bangunan modern yang ada di jalan
utama, hotel itu hampir seperti sebuah bazar kota tua.
Tim pernah tinggal di hotel itu beberapa tahun
lalu. Tim sangat senang melihat reaksi takjubku saat
mengamati halaman luas, di mana meja-meja makan
yang tersebar di sana diduduki oleh orang Turki yang
mengenakan pakaian nasional mereka. Dua orang pria
memetiki daun-daun kekuningan dari pohon kecil,
http://facebook.com/indonesiapustaka

meja dan kursi ditempatkan di beranda lebar yang ada


di lantai dua, dan bunga bugenvil yang bermekaran
menggantung di dinding kuno. Sempurna. Menawan.
Karpet khas Turki digantung di dinding, menambah
kemewahan lembut dan warna cerah dari pemandangan
di hadapanku. Sebuah kamar di istana sultan ini menjadi
milik kami untuk dinikmati, yah, setidaknya selama tiga

129
LYNNE MARTIN

hari ke depan!
Saat kami ke meja resepsionis untuk melakukan
pendaftaran, Ali, pemilik hotel, memperkenalkan diri.
Tim menjawab, “Aku memang sudah merasa mengenal
Anda! Aku pernah tinggal di sini sepuluh tahun lalu saat
terjadi badai besar di sini.”
Ali menatap Tim cukup lama dan berkata, “Ah, iya,
aku juga mengingat Anda. Itu malam terburuk dalam
hidupku! Aku senang Anda kembali lagi ke sini setelah
pengalaman semengerikan itu.”
Lama setelahnya, ketika kami sedang bersantai di
beranda kamar kami yang mengarah ke halaman, Tim
membawakan aku segelas anggur yang kami beli di
jalan. “Jadi, ceritakan kepadaku tentang badai besar
yang terjadi saat kau berada di sini dulu,” kataku.
Tim tertawa. “Yah, Ali menutup halaman dengan
kanopi kanvas untuk membuat halaman tetap sejuk
pada siang hari, dan malam itu tempat ini dipenuhi turis
yang baru turun dari kapal pesiar. Beberapa ratus orang
sedang menikmati pertunjukan malam dan hidangan.
Kami sedang bersenang-senang saat hujan mulai turun,
pada awalnya hanya gerimis, tapi kemudian berubah
menjadi hujan deras—jenis hujan yang turun tiba-tiba
seperti yang pernah kita alami di Istanbul. Karena semua
http://facebook.com/indonesiapustaka

orang sedang menonton penari perut dan akrobat, tidak


ada seorang pun yang memperhatikan bahwa kanopinya
menampung air. BLAM!” Tim menggebrak meja untuk
memberikan penekanan. “Kanopi yang pertama roboh,
dan langsung diikuti oleh kanopi yang lain. Tempat itu
kebanjiran—kaki kambing di pemanggang dan orang-
orang yang sedang menyantapnya, alat musik, meja,

130
TURKI

peralatan makan, pelayan, dan para tamu basah kuyup


dan terendam banjir sampai seratus sentimeter.”
Saat ini, Tim mulai tertawa. “Aku tidak mengalami
semua itu karena aku menyadari apa yang akan terjadi
hanya beberapa detik sebelum kanopi itu roboh, dan
aku sempat berlari ke tangga. Ali datang beberapa jam
kemudian dan membawakan sandwich untuk semua
tamu karena malam itu tidak ada seorang pun yang
mendapat makan malam. Aku ingat keesokan paginya
aku bertemu dengannya untuk menyampaikan rasa
simpatiku, dan dia berkata, ‘Yah, tidak ada yang terluka
dan aku memang harus mengganti kursi-kursi itu.’
Aku rasa sikapnya bisa menggambarkan kepribadian
orang Turki, tidakkah menurutmu begitu? Mungkin
itu ada hubungannya dengan kondisi mereka yang
tinggal di peradaban kuno. Mereka belajar untuk tidak
mempermasalahkan hal kecil dan terus melanjutkan
hidup. Sama seperti kita, iya kan?”
Aku tertawa. Itu memang benar. Kami belajar untuk
tidak mempermasalahkan hal kecil.
Malam itu kami menikmati makan malam dengan
pencahayaan lilin di halaman, tempat yang misterius
sekaligus romantis, yang dulu menjadi persinggahan
para pedagang rempah. Mereka juga menampung
http://facebook.com/indonesiapustaka

binatang yang mereka bawa di tempat ini, untuk me-


lindungi binatang-binatang itu dari bahaya. Kamar
kami, yang berada di dekat tangga batu yang berjejer
dengan pot berisi bunga geranium berwarna terang
memang kecil, tapi didekorasi dengan keramik mozaik
dan langit-langit tinggi. Kami mencoba membayangkan
berapa banyak tamu yang pernah menginap di kamar

131
LYNNE MARTIN

ini lima ratus tahun dan berharap kami bisa mendengar


kisah mereka. Ini memang bukan hotel mewah! Dan,
kami merasa bersyukur karenanya.

Di Kusadasi, kapal besar berlabuh setiap hari dan me-


nurunkan turis yang kemudian digiring ke bus dan
dibawa menaiki kapal feri menuju ke Ephesus. Mereka
berkeliling di sekitar reruntuhan kuno, mengambil foto
satu sama lain saat berdiri di teater kuno atau bertengger
dengan penuh kebanggaan di sarkofagus besar yang
kosong. Keesokan harinya, kami melakukan hal yang
sama—tanpa melakukan tur dengan bus dan ditemani
pemandu berpayung—dan kami mencoba untuk
berjalan dengan lebih hati-hati di tempat suci itu.
Ephesus, sebuah kota kuno Yunani, yang memiliki
populasi lebih dari 250.000 jiwa pada abad pertama
Sebelum Masehi, berdiri pada masa kekaisaran Roma.
Itu adalah salah satu kota terbesar di dunia Mediterania.
Menjadi Situs Warisan Dunia, tapi, sulit bagi kami untuk
merasakan koneksi emosional dengan tempat itu karena
ada ribuan siku dan bahu yang menyenggol kami, dan
ada terlalu banyak tubuh yang memblokir pandangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami ke reruntuhan kuno itu. Meskipun demikian,


kami merasa terhormat bisa berdiri di tempat bangsa
Ephesus menerima surat St. Paul, dan duduk di kursi
batu teater di mana pernah ada dua puluh empat ribu
orang menonton pertunjukan sekitar dua milenia lalu,
di tempat yang diyakini sebagai teater luar ruangan
terbesar di dunia pada masa itu.

132
TURKI

Selanjutnya, kami mengunjungi Perpustakaan


Celsus, keajaiban arsitektur yang terdiri dari dua lantai.
Perpustakaan itu pernah menyimpan dua belas ribu
gulungan perkamen dan dibangun menghadap ke
Timur, agar ruang membacanya bisa memanfaatkan
sinar matahari pagi. Kami berhasil menyeruak ke-
rumunan turis untuk mengamati toko dan rumah
yang direkonstruksi dengan indah di sepanjang jalan.
Arkeolog menyediakan plakat informasi tentang peng-
huni bangunan itu dulu, yang menurut kami sangat luar
biasa. Saudara perempuan Cleopatra tinggal di salah
satu rumah itu dan dibunuh di tempat itu pula.
Kami tinggal lama di sana karena awan gelap sudah
bergerak dengan cepat. Tuhan tahu kami sudah belajar
tentang keliaran cuaca Turki di Istanbul dan melalui
pengalaman Tim sebelumnya di sini. Kami berlari ke
tempat perlindungan sultan untuk menikmati minuman
dingin di beranda. Hujan tidak mengikuti kami pulang,
jadi kami duduk untuk mengobrol di bawah cahaya
matahari sore, dan pada saat itulah dua orang pria asal
Australia menaiki tangga batu, diikuti oleh petugas hotel
yang membawa tas mereka. Tidak butuh waktu lama
bagi kami dan turis Australia itu untuk bertukar cerita
dan minuman, kami juga membuat janji untuk berbagi
http://facebook.com/indonesiapustaka

meja pada acara gala untuk turis keesokan malamnya di


hotel.
Acara koktail itu berisi makan malam dan percakapan
yang seru. Hugh, seorang pengacara, dan Mike, yang
menghabiskan kariernya dengan bekerja di kementerian
luar negeri Australia, adalah rekan dalam bisnis barang
antik di Melbourne. Setiap tahun mereka selalu pergi

133
LYNNE MARTIN

keliling dunia untuk mencari barang antik baru.


Malam berikutnya, kami menikmati makan malam
dan penampilan penari perut, pemain akrobat, penari
sufi, dan gadis penghibur. Semua itu disertai percakapan
panjang lebar di teras kami yang lantainya berlapis karpet,
sementara bulan yang besar menggantung rendah,
menerangi bangunan hotel yang tua dan anggun itu.
Kisah Mike tentang tinggal di India dan negara eksotis
lain sepanjang kariernya menarik perhatian kami. Mike
mengatakan kepada kami bahwa dia berada di Berlin
saat Tembok Berlin runtuh. Dia menyaksikan anggota
keluarga menangis dan saling berpelukan setelah ber-
puluh-puluh tahun tinggal hanya berjarak beberapa
blok, tapi tidak pernah diizinkan untuk melewati
tembok yang memisahkan mereka. Mata Mike berkaca-
kaca saat menceritakan pengalaman itu. Kami semua
tersentuh oleh ceritanya, dan kami mendapati bahwa
tidak ada satu pun dari kami yang ingin ada tembok
yang memisahkan kami dengan keluarga kami. Sungguh
mengagumkan mendengar pengalaman Mike secara
langsung, dan kami senang bisa mendapatkan teman
mengobrol yang baik. Cerita Mike tentang menyewa
perahu untuk berada di tengah Sungai Gangga pada
saat fajar, ketika para penganut agama Hindu datang
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk mandi di sungai suci tersebut membuat hatiku


tersentuh. Mike mengatakan itu menjadi kebangkitan
spiritual untuknya.
Setelahnya, saat obrolan sebelum tidur kami beralih
ke topik tentang kisah Mike, Tim berkata, “Astaga, aku
benar-benar tidak mengerti apa enaknya terbangun
sebelum fajar, menyewa perahu bocor dari seorang

134
TURKI

pria yang sama sekali tidak kau kenal, dan kemudian


menyaksikan segerombolan orang kelaparan mandi di
sungai.”
Suamiku memang orang yang sangat baik, tapi mung-
kin jiwanya perlu sedikit diterangi.

Setelah menjelajahi toko turis sepanjang pagi (“Del


Boy, Toko Jam Tangan Aspal Terkenal”, memenangkan
penghargaan Paling Lucu versi pasangan Martin, dengan
nilai tambah untuk kejujuran mereka), aku duduk
di sebuah meja kecil di beranda batu yang ada di luar
kamar kami. Aku bertekad untuk tetap berada di depan
komputerku sampai menyelesaikan tulisanku tentang
pelayaran transatlantik kami di blogku. Aku sudah
sampai di bagian favoritku—tentu saja, makanan—saat
aku mendengar suara klik yang familier. Setelah terdiam
sebentar, aku mendengar suara klik lagi, dan kemudian
diikuti suara terkekeh pelan. Aku menoleh ke pagar
lantai dua, yang dilapisi karpet Turki dari sutra yang
kami kagumi sepanjang sore. Ali, pemilik hotel, dan
seorang pria lain duduk di bawah pohon berdaun lebat,
bermain backgammon dengan sangat cepat hingga aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

sulit mengikuti gerakan tangannya.


Biar aku jelaskan: aku sangat menyukai backgammon.
Jadi, setelah berjuang sejenak dengan etos kerjaku
(yang kumenangkan), aku menuruni tangga batu lebar
menuju meja itu. Aku menjelaskan bahwa aku peng-
gemar permainan backgammon dan aku meminta izin
untuk menonton pertandingan mereka. Dengan sopan

135
LYNNE MARTIN

mereka mempersilakan aku untuk duduk dengan


mereka. Empat puluh lima menit berikutnya sangat
menghibur. Kedua pria itu merupakan pemain kawakan,
dan jelas terlihat bahwa mereka sudah bermain ratusan
kali selama pertemanan panjang mereka. Mereka me-
lemparkan dadu terkecil yang pernah kulihat dengan
kecepatan yang luput oleh pandangan mata, membuat
langkah berbahaya dan penuh risiko yang tidak akan
pernah kucoba. Atau, bahkan kupertimbangkan. Kami
sama sekali tidak bicara, tapi aku rasa mereka suka ada
wanita Amerika bertubuh tinggi dan berambut pirang
yang menjadi penonton mereka dan mereka bermain
dengan lebih agresif. Mereka sendiri jarang bicara satu
sama lain, tapi mereka tersenyum setiap kali salah satu
dari mereka membuat langkah cerdik atau langkah yang
keliru. Mereka tertawa kencang saat keberuntungan
mengubah permainan sepenuhnya.
Akhirnya, hati nurani mendorongku untuk kembali
ke kamar dan mengerjakan tugasku. Beberapa menit
kemudian, aku terkejut melihat pemilik hotel berjalan
melintasi teras untuk menghampiriku. Aku melihat
papan di bawah lengannya. Oh, Tuhanku, pikirku dengan
cemas. Dia ingin aku bermain backgammon dengannya
dan aku akan mempermalukan diriku sendiri.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sudah puluhan tahun aku bermain backgammon


dan cukup sering menang. Tapi, permainan Ali dan
temannya berada pada level yang jauh di atasku. Ali
menyodorkan papannya. “Ini hadiah dari hotel. Pemain
yang bersemangat layak mendapatkan papan permainan
yang terbaik.”
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku mengatakan kepada

136
TURKI

Ali bahwa itu salah satu kejutan termanis yang pernah


kudapatkan dan hadiah terbaik yang bisa kubayangkan.
Meskipun kami bepergian tanpa membawa banyak
barang, papan backgammon dari Hotel Caravanserail
pantas mendapatkan tempat tersendiri di koper kami
... tidak peduli apa pun yang terjadi! Kebaikan Ali yang
tidak terduga memperkuat kecintaanku terhadap orang-
orang Turki dan penghargaanku atas kebaikan mereka
kepada turis.
Setiap hari saat kami datang dan pergi melewati
halaman utama, kami selalu memperhatikan toko yang
terselip di bawah hotel. Tidak seperti toko pesaingnya
di bazar, di mana barang-barang ditumpuk tinggi dan
ditawarkan oleh penjual yang menarik perhatian turis
dengan berteriak-teriak, toko Tayfun Kaya lebih anggun
dan berkelas. Karpet yang membuat hotel terkesan
begitu mewah berasal dari mereka. Selain karpet, toko
itu juga menjual perhiasan mahal dan berselera tinggi.
Kami mengobrol dengan pemiliknya beberapa kali
dan mendapati bahwa pria itu jujur, sopan, dan bisa
berbahasa Inggris dengan sangat fasih.
Suatu hari saat kami melewati toko itu, pemilik
toko, sedang menunjukkan bagaimana ulat sutra meng-
hasilkan benang kepada sejumlah turis. Larvanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengambang di air setinggi paha, dan jalinan tali di


bawahnya bergerak maju mundur saat operator meng-
injak tuas dengan kakinya, menarik sutra dari larva
tersebut dan menggulungnya menjadi benang. Sungguh
mengagumkan melihat tahap paling awal dalam proses
pemintalan karpet sutra. Setelah presentasi itu, kami
berbicara dengan Tayfun, sang pemilik, tentang niat

137
LYNNE MARTIN

kami kembali ke Kusadasi untuk tinggal lebih lama.


Kami mengatakan bahwa penyewaan apartemen yang
kami lihat secara daring di Kusadasi sepertinya terlalu
mahal, dan kami tidak mengenal lingkungannya atau
realitas tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama.
“Ikutlah denganku, Teman,” kata Tayfun. “Masuklah ke
kantorku dan kita lihat apa yang bisa kulakukan.”
Pertama-tama, Tayfun memperlihatkan foto ke-
luarganya kepada kami, dua orang gadis remaja yang
luar biasa cantik dan istri yang terlihat seperti model di
New York.
Selanjutnya, Tayfun mengetik sesuatu di komputernya
dan menemukan situs lokal yang mengiklankan
apartemen dan kondominium dengan harga setengah
dari harga yang tertera di situs yang sama, tapi dalam
bahasa Inggris. Tayfun menawarkan bantuannya un-
tuk menemukan apartemen yang sesuai untuk kami
jika kami kembali ke sana nanti. Kami senang sekali
mengetahuinya, dan itu berarti suatu hari nanti, kami
akan menagih tawaran murah hatinya itu. Dengan cepat,
orang-orang Turki merangkak naik ke posisi teratas
orang-orang favorit kami.
Hari berikutnya, saat kami meninggalkan hotel,
Tayfun menemani kami berjalan ke lobi. “Ya Tuhan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tayfun, aku merasa bersalah karena telah menyita


banyak sekali waktumu,” kataku. “Aku berharap kami
bisa membeli karpetmu, tapi kau tahu kami bahkan
tidak memiliki lantai sendiri untuk meletakkannya.”
Tayfun menghentikan langkahnya dan tertawa. “Kau
bergurau? Aku tidak akan menjual satu pun karpet itu
kepada kalian. Karpet itu hanya dijual kepada turis.”

138
TURKI

Kami terkikik mengingat lelucon Tayfun saat


berjalan ke Didim, situs kuil Apollo, kuil Yunani kuno
terbesar keempat dan tempat di mana Oracle of Apollo
menyebarkan ramalannya. Reruntuhan kuil itu berada
di tengah-tengah lingkungan modern dan anehnya
tidak menjadi incaran turis, mungkin karena lokasinya
yang tidak mudah dijangkau. Bagian dasar seratus dua
puluh pilar berukir dan lengkungan besar bisa kami
nikmati sendirian dengan tenang pada sore musim semi
yang indah. Tidak seperti Ephesus, tidak ada turis lain
di situs ini.
Kuil kuno Yunani dari tahun 400 SM itu berada di
puncak sebuah bukit yang sangat tinggi sehingga musuh
mereka bisa melihat bukti kejayaan Yunani di belahan
dunia ini. Aku menyentuh desainnya yang rumit dan
membayangkan orang yang memahatnya dari batu tidak
pernah bermimpi bahwa hasil karyanya akan dikagumi
orang ribuan tahun kemudian. Kami duduk di tempat
Oracle meramal masa depan. Sungguh menggetarkan!
Keputusan kami untuk mengunjungi situs yang sepi
membuat kami bisa merasakan koneksi personal dengan
sejarah.
Aku berharap kekuatan meramal Apollo bisa menye-
lamatkan kami dari hotel berikutnya, tapi kenyataannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

tidak seperti itu. Keindahan bersejarah tidak cukup


untuk menebus malam menjengkelkan yang kami habis-
kan di Didim. Kami tidak membaca keterangan tentang
kota tersebut dan hotel yang kami tempati, pelajaran
yang akan selalu kami ingat selamanya.
Apa yang kami pikir akan menjadi dua malam di vila
tepi pantai ternyata menjadi satu malam di penginapan

139
LYNNE MARTIN

kotor dan berperabot minim di kota yang berisi ratusan


kondominium beton yang kumuh dengan model seperti
tempat persembunyian militer. Tujuannya? Untuk orang
Eropa yang ingin menghemat biaya. Hotel kami yang
menurut keterangan “berfasilitas lengkap” ternyata tidak
dilengkapi barang-barang kebutuhan penting seperti
handuk, selimut, atau AC. Setiap barang, bahkan yang
paling mendasar, dikenakan biaya tambahan. Tunai,
jika bisa. Semua keterangan itu tertulis dengan huruf
supermini di situs internet mereka, yang sayangnya
kami lewatkan dalam pencarian kami. Yang lebih buruk
lagi adalah, pihak manajemen sangat suka memasang
musik dengan suara yang luar biasa keras—ujian untuk
wanita yang tidur dengan memakai penyumbat telinga
dan masker mata. Pada saat siap untuk pergi, kami
mengeluhkan itu kepada pria muda yang bertanggung
jawab di sana, tapi pria itu muda itu terlihat seperti siap
untuk menyakiti kami secara fisik. Tidak perlu dikatakan
lagi, kami pun merasakan hal yang sama.
Kami pergi sehari lebih awal. Bahkan, keagungan
Apollo tidak mampu mendorong kami untuk menjalani
lagi semalam penuh siksaan.
Lagi pula, kami juga sudah tidak sabar ingin pergi
ke Marmaris, tempat ajaib yang sering diceritakan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tim sejak kami bertemu lagi dan menjalin hubungan


romantis.
“Sayang, Marmaris adalah tempat yang sempurna
untuk kita bersantai selama beberapa hari sebelum kita
pindah ke Paris. Aku bisa meyakinkanmu, teluknya
sangat memukau. Dua gunung menyatu di Aegea dan
pemandangannya sungguh spektakuler ....” Tim sering

140
TURKI

sekali mengoceh panjang lebar tentang tempat itu.


“Aku tergila-gila dengan hotelnya,” kata Tim.
“Sangat mengagumkan—pemandangannya indah di
mana pepohonan menjulur sampai ke air, kamar yang
indah, makanan yang lezat dan pelayanan yang bagus,
serta murah! Itu hal yang bagus karena kita tahu betapa
mahalnya biaya hidup di Paris. Kita akan bersenang-
senang di sana. Kita bisa membaca buku, berenang,
dan dimanjakan. Tempatnya tenang dan sunyi. Orang
Israel sering datang ke sini, jadi kau tahu segalanya akan
memiliki kualitas kelas satu. Makanannya fantastis. Kau
akan menyukainya.”
Meskipun aku sudah mendengar semua itu sebelum-
nya—Tim sering sekali mengulangnya karena dia
sangat terpesona oleh tempat ini—aku selalu merespons
dengan antusias setiap kali mendengarnya dan berpura-
pura itu kali pertama dia menceritakannya kepadaku.
Toh, kedengarannya memang menyenangkan—apalagi
setelah akomodasi terakhir kami.
Bangunan hotel dan pemandangannya memang
seperti yang diiklankan. Menawan. Petugas hotel ber-
seragam membawakan koper kami, resepsionisnya
efisien dan sangat membantu, dan lobinya yang besar
serta barnya yang mengesankan didesain dan diisi dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

beberapa set perabotan yang terkesan mengundang. Ini


pasti akan sangat menyenangkan!
Mr. Berseragam mengantarkan kami ke jalanan se-
tapak berpagar pepohonan dengan menggunakan mobil
golf, dan kami mengagumi vila kami yang memiliki
balkon dan teras depan yang menarik. Saat memasuki
kamar, kami menatap melewati balkon kecil kami ke

141
LYNNE MARTIN

arah laut dan pegunungan di belakang teluk. Suatu


kesempurnaan. Tim membuat pilihan yang sangat tepat.
Saat kami keluar ke balkon, mengambil foto pe-
mandangan di depan kami yang menakjubkan, aku
mendengar suara bum, kemudian bum-bum, kemudian
chuka-chuka-bum. Suara itu memanjang menjadi bum-
chuka-bum-chuka-bum-bum-bum. Musik Euro-trash
mengikuti kami! Suara itu menjadi teman setia kami
selama empat hari yang panjang.
Sepertinya sejak kali terakhir Tim datang ke sini,
orang Israel sudah digantikan oleh orang Rusia karena
penerbangan dari Moskwa ke sini hanya ditempuh
selama tiga jam dan tiketnya pun cukup murah. Orang-
orang bertipe seperti agen KGB dengan kepala botak dan
lengan bertato membawa istri dan anak-anak mereka
ke daerah Selatan untuk menikmati pantai selama
seminggu. Semua orang memakai pakaian seperti
yang sering dilihat di film-film disko tahun sembilan
puluhan; baju renang poliester dan kacamata besar.
Mereka menempati setiap inci area publik, menyebar
di lobi, di samping setiap permukaan yang kosong di
sekeliling kolam renang, dan mereka mendorong anak-
anak mereka untuk menggerakkan tubuh dan melatih
suara sesering mungkin. Karena makanan dan minuman
http://facebook.com/indonesiapustaka

keras termasuk ke dalam paket menginap, pesta dimulai


sejak sore dan baru selesai saat dini hari, selalu ditemani
dengan latar belakang musik bum-chuka-bum-bum.
Aku tidak yakin ada yang bisa menyelamatkan
kami dari musik itu. Tapi, ternyata mobil bisa. Kami
meninggalkan hotel hampir sepanjang hari, makan di
tempat lain, atau menyalakan AC pada malam hari untuk

142
TURKI

meredam suara bum-chuka-chuka-bum. Kami juga


berjemur, menikmati pemandangan yang memukau, dan
menikmati hidangan laut sebagai makan malam—tentu
saja, dengan biaya tambahan. Hidangan itu disajikan di
dermaga saat matahari terbenam, jauh dari bagian hotel
yang menyetel musik tanpa henti. Namun, dalam kasus
ini, biaya tambahannya menjadi nilai yang pantas.
Pada malam terakhir, kami mengucapkan selamat
tinggal pada Turki. Saat makan malam, kami bersulang
untuk teman-teman baru yang kami kenal di sana
dan untuk keajaiban arkeologi yang kami saksikan.
Turki memberikan banyak pengalaman dan aku ingat
bahwa aku pernah berpikir jika sisa perjalanan kami
bisa semenyenangkan dan semenarik ini, tanpa me-
ngesampingkan hujan badai dan terkurung di balkon,
aku tidak akan pernah meragukan keputusan kami
untuk menjadi pengelana tanpa rumah.
Tapi, hingga hari ini, suara bum-chuka-chuka-bum
masih membuatku tersenyum. Toh, yang kami inginkan
memang menerima dan menaklukkan tantangan!
http://facebook.com/indonesiapustaka

143
Tujuh

Paris
W anita di seberang jalan mengulurkan tangan
melalui pintu bergaya Prancis untuk merapikan
bunga geranium warna merah terang di pot besi tempa
yang ada di luar jendelanya. Di bawah pot itu, bunga
berwarna biru dan putih menggantung hingga tiga lantai
ke trotoar. Rumah berdinding batunya yang bergaya
modern terlihat seperti model rumah yang terpampang
di majalah Architectural Digest. Pemiliknya hampir sama
sempurnanya. Untaian kalung mutiara menghiasi sweter
kasmirnya yang berwarna beige, serasi dengan warna
rambutnya yang digelung sempurna.
Aku membenci wanita itu.
Dosanya? Dia tinggal menetap di Paris, sedangkan
aku hanya akan tinggal di sini selama sebulan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saat aku mengamati wanita itu, pintu lift di se-


berang aula gedung apartemen kami terbuka dan aku
membiarkan Tim masuk ke dalam apartemen. Tim
menyeringai dan terkekeh. “Apa yang lucu?” tanyaku.
“Yah, saat ini aku sudah melihat hampir semuanya,
dan aku harus pergi berbelanja baju.”
“Apa sebenarnya yang kau bicarakan?” Proses pikiran

144
PARIS

Tim sedikit sulit untuk diikuti karena otak Tim bekerja


jauh lebih cepat dibandingkan sebagian besar orang.
Aku menganggap itu sebagai bagian dari pesonanya ...
pada sebagian besar waktu.
“Aku pergi ke sudut jalan hanya agar bisa memijak
bumi, dan di sana, duduk di kursi di bawah sinar mata-
hari, ada seorang pria bertubuh besar dan berkulit hitam
yang menganakan kaftan panjang warna emas dan topi
fez yang serasi.”
“Lalu? Aku sering melihat pria Afrika mengenakan
pakaian seperti itu,” jawabku.
“Aku yakin tidak ada satu pun dari mereka yang
membaca sesuatu sekonservatif Wall Street Journal.
Menurutku itu sangat khas Paris!”
Ketika keanehan yang begitu bertolak belakang—pria
yang berpakaian sangat mencolok membaca surat kabar
serius—dicerna olehku, kami pun tertawa terbahak-
bahak. Setelah tawa kami berhenti, Tim berkata lagi,
“Aku harus berbelanja. Aku terlalu jinak untuk kota ini.”
Setelahnya, kami menemukan scarf pria bermotif
bunga warna pastel. Saat Tim mengenakan scarf itu
di seputar lehernya, bersama dengan topi baret dari
kunjungan sebelumnya dan kaus Viva La Resistance,
Tim terlihat seperti orang Prancis.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saat tiba di Paris sehari sebelumnya, dan Andie, pemilik


apartemen, membuka pintu untuk menyapa, kami
langsung tahu bahwa kami akan senang berada di Paris.
Andie adalah wanita yang cantik, bersemangat, dan

145
LYNNE MARTIN

bertubuh mungil, yang memiliki sekolah kursus bahasa


Inggris dan sudah tinggal di Paris selama tiga puluh
lima tahun. Murah hati, ramah, dan energik, Andie
benar-benar mengurus kami dengan baik. Seketika itu
juga kami tahu bahwa Andie ditakdirkan untuk menjadi
teman baik kami.
Apartemen kami yang hanya memiliki satu pintu
memang kecil, tapi sangat bersih dan didekorasi dengan
sangat indah. Apartemen itu juga dilengkapi koneksi
internet (horeee!) dan jendela besar yang membuat
ruang utama dan dapur terbukanya terlihat terang
dengan cahaya matahari. Di seberang jalan, di samping
gedung apartemen wanita cantik yang memakai sweter
kasmir, berdiri toko tiga lantai berdesain Prancis klasik
dengan sedikit sentuhan modern. Andie mengatakan
kepada kami bahwa ada beberapa nama arsitek terkenal
yang dibujuk oleh pemilik apartemen untuk memajang
karya mereka di seluruh struktur gedung. Aneh, tapi
menarik. Kami bingung dengan niat sang desainer, dan
sering sekali melihat penghuni apartemen keluar-masuk
dari apartemen kami ke seberang jalan. Keluarga bintang
film tampan Prancis dengan mobil besar menempati
apartemen itu, yang anehnya selalu tampak berantakan.
Sekali lagi, kami mendapati diri kami bisa menonton
http://facebook.com/indonesiapustaka

langsung kehidupan pribadi orang lain, seperti yang


kami alami di Buenos Aires.
Kami tinggal di distrik lima belas, lingkungan yang
ramah dan menawarkan semua yang kami butuhkan:
bistro, keju, anggur, daging, toko, kios koran, toko
bunga, toko sepatu, butik pakaian, stasiun subway, pasar
petani yang dibuka dua kali seminggu dan panjangnya

146
PARIS

sampai enam blok, dan kesempatan untuk tinggal


bersama penduduk lokal dan bukannya dengan turis
yang cenderung untuk tinggal di sisi kota yang lebih
mewah. Kami hampir tidak bisa tidur saking senangnya
bisa menemukan tempat seperti ini!
Paris dibagi menjadi dua puluh distrik, dengan
distrik pertama berada di tengah, dan sisanya memutar
ke arah luar searah jarum jam. Kami berada di ling-
karan geografis kedua, dari tengah, hanya beberapa
pemberhentian subway dari pusat kota. Tetangga kami
memperlakukan kami dengan baik walaupun kami
mendapatkan tantangan bahasa.
Ada banyak orang Prancis yang bisa berbahasa
Inggris, tapi karena sebagian dari mereka enggan
menggunakannya, kami belajar untuk berkata, “Pardo-
nnez-moi, Je ne parle pas français” (Maaf, aku tidak
bisa berbahasa Prancis). Permintaan maaf untuk ke-
tidaktahuan kami, disertai dengan senyuman ramah,
biasanya bisa membuat orang luluh. Sebagai balasannya,
orang tersebut akan tersenyum penuh simpati untuk
memaklumi ketidaktahuan kami dan berusaha untuk
berkomunikasi entah dalam bahasa Inggris atau dalam
bahasa isyarat yang dikenal secara internasional. Aku
berani bertaruh bahwa mereka berpikir yang seharusnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami katakan adalah, “Maaf, aku tidak bisa berbahasa


Prancis karena aku berasal dari negara dengan bahasa
yang sangat sulit sehingga hanya mempelajari bahasa
kami sendiri”. Itu membuatku semakin berterima kasih
kepada orang-orang yang berusaha untuk membantu
kami.
Kami tinggal di gedung apartemen dengan seorang

147
LYNNE MARTIN

penyewa lain, Madame Fanny Acquart Gensollen,


seorang pembuat keramik profesional yang memiliki
bengkel di ruang bawah tanah di samping ruang cuci.
Lorong yang mengarah ke sana memiliki salah satu lampu
otomatis yang biasa terdapat di lorong dan kamar mandi
umum untuk menghemat energi. Itu mengingatkan kami
dengan pengaturan lorong di apartemen Buenos Aires.
Kau bisa menyalakan lampu saat melangkah keluar dari
lift di ruang bawah tanah, tapi jika kau tidak sampai di
ruang cuci pada saat pengatur waktunya habis, kau akan
terjebak di tengah-tengah kegelapan total, tersandung
kaus kaki kotor dan pakaian dalam sambil berusaha
untuk tidak terjerembap ke lubang di lantai yang ada di
samping bengkel. Itu menjadi tantangan tersendiri.
Lampu otomatis bukan satu-satunya hal yang meng-
ingatkan kami pada Argentina karena Buenos Aires
sendiri memang dikenal sebagai Paris-nya Amerika
Selatan. Kedua kota itu sangat mirip sehingga selama
beberapa hari setelah kami tiba, kami terus berpikir
bahwa kami kembali ke belahan bumi sebelah Selatan.
Aku berbelok di tikungan dan melihat jalanan indah
dengan rumah-rumah bergaya Prancis berjejer di kedua
sisinya, dan langkahku langsung terhenti karena ngeri.
“Oh, Tuhanku,” kataku kepada Tim. “Coba lihat jalanan
http://facebook.com/indonesiapustaka

ini .... Selama sejenak tadi, aku pikir aku kembali lagi ke
Buenos Aires.”
“Aku juga sering sekali merasa seperti itu. Aku
terus menunggu ada orang yang menjawab setiap per-
tanyaanku dengan ‘Tidak!’” gurau Tim.
Namun, setelah beberapa hari orang-orang memper-
lakukan kami dengan sopan, perasaan itu menguap.

148
PARIS

Kami tahu kami benar-benar sedang berada di Paris.

Setelah Andie pergi pagi itu dengan janji akan terus


menjalin kontak dengan kami, kami memulai rutinitas
awal dengan berjalan-jalan di sekitar apartemen.
Kami membaca daftar menu, yang selalu dipajang di
luar restoran, dan kami senang sekali mendapati ada
banyak pilihan makanan di dekat apartemen. Kami
mengeluarkan liur saat mengintip jendela yang dipenuhi
cokelat dan pastri menggiurkan, terlihat sama indahnya
seperti permata di toko perhiasan. Kami melihat
cabang Carrefour, jaringan supermarket internasional
yang sepertinya ada di mana-mana, dan menemukan
beberapa apotek yang bagus. Kami juga menemukan
stasiun metro. Kami siap bertualang.
“Ah!” kami menghela napas bersamaan saat menemu-
kan bioskop hanya beberapa blok dari apartemen
kami. Kami senang sekali saat melihat sebuah toko
yang menjual bebek dalam semua bentuk yang bisa
dibayangkan, dan paté hati angsa, masih segar, dan
dalam bentuk kalengan. Toko itu berdiri di sebelah toko
keju berkelas dunia, dan di sampingnya lagi terdapat
http://facebook.com/indonesiapustaka

toko roti yang mengirimkan aroma menggiurkan ke


apartemen kami setiap hari. Hidup akan terasa sangat
indah walaupun kami tahu harus berjalan enam puluh
empat kilometer setiap hari untuk membakar kalori
yang disebabkan oleh semua makanan itu.
Untuk pengalaman makan malam pertama di sini,
kami memilih bistro khas Prancis di sudut jalan. Bistro

149
LYNNE MARTIN

itu memiliki dinding yang terbuat dari kayu mahoni


hitam, permukaan bar yang dilapisi seng, pelayan yang
memakai celemek panjang, dan meja yang dipenuhi orang
yang sedang mengobrol pelan sambil makan. Tempat
itu menjadi salah satu favorit kami, sebagian karena
aku mendapatkan kepuasan besar saat menyaksikan
Tim, yang selama ini selalu bersikeras menghindari
hati, berubah pendirian. Rasanya seperti menyaksikan
seseorang jatuh cinta. Tentu saja, ini bukanlah hati
cincang seperti yang biasa dijual di toko biasa. Ini
adalah hidangan hati unggulan: paté hati buatan sendiri,
autentik Prancis—halus, berkrim, gurih, ditemani roti
bakar garing yang disiapkan dengan sempurna. Mustahil
untuk menolaknya. Tim akan membutuhkan program
dua belas-langkah jika berharap bisa sembuh dari ke-
canduannya. Tentu saja, beberapa hari kemudian, saat
kami berjalan pulang setelah seharian memelototi karya
seni mengagumkan, Tim berkata, sambil mengunyah
bagian atas roti hangat yang baru saja kami beli, “Sayang,
apakah kau yakin kita punya cukup paté di rumah untuk
pesta koktail, atau kita harus mampir dulu di toko untuk
membelinya?”
Minggu itu, mempertahankan rencana kami tidaklah
semudah yang kami bayangkan, tapi kami tahu hidup
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan lebih sederhana jika mengikuti peraturan kami


sendiri. Kami sangat ingin pergi ke Champs Élysées atau
berjalan-jalan di Taman Luxemburg pada pagi kedua
kami berada di Paris. Namun, kami tahu, mengemas
dan mengisi dapur dengan stok yang memadai akan
memberi kami lebih banyak waktu luang nanti untuk
menikmati Kota Paris.

150
PARIS

Pada hari kedua, kami bertemu dengan teman


yang berasal dari Afrika, dan aku bisa melihat secara
langsung apa maksud perkataan Tim pada hari
pertama kami berada di sini. Pria itu menyusuri
jalan dengan mengenakan pakaian berwarna merah
terang, memegang koran Wall Street Journal terbaru
dan terlihat sangat elegan serta berpendidikan. Aku
berusaha untuk tetap terlihat tenang karena pria itu
mungkin akan salah mengartikan tawaku—aku tidak
bermaksud menertawakan pria itu, tapi koran yang
terlihat menyedihkan di tangannya. Koran itu sama
sekali tidak serasi dengan celana sutranya yang indah
dan, jubah mengembang, topi tradisional yang serasi,
yang saking tingginya topi itu hingga membuat kesan si
pria memiliki tinggi tubuh lebih dari dua meter.
Hari itu kami membeli keranjang dorong beroda
dua untuk membawa barang-barang belanjaan kami
ke apartemen, hampir seperti keranjang dorong yang
kami tinggalkan di Argentina. Sekarang kami membeli
keranjang semacam itu ke mana pun kami pergi, dan
kami meninggalkan jejak keranjang itu di apartemen
yang kami tinggali mulai dari Florence sampai Meksiko.
Keranjang dorong sangat dibutuhkan di kota besar,
jika kau tidak keberatan terlihat seperti nenek-nenek.
http://facebook.com/indonesiapustaka

(Percayalah kepadaku, setelah kau membawa kantong


plastik berisi barang kebutuhan sehari-hari yang berat-
nya mencapai tiga belas kilo sambil berjalan di jalanan
berbatu dua kali sehari, kau tidak akan peduli sekalipun
kau terlihat seperti keledai kecil.) Yang membawaku
pada kesadaran yang lucu: semakin lama kami tinggal
di tempat asing sebagai pengelana tanpa rumah, kami

151
LYNNE MARTIN

semakin tidak peduli apakah kami akan terlihat bodoh


atau naif di depan orang lain. Ego kami—apa pun
bentuknya dulu—kini sudah lenyap.
Aku rasa orang berusia lanjut lebih sulit untuk
mengubah kebiasaan, apalagi jika orang-orang di
sekitar mereka tahu dengan pasti apa yang harus
dilakukan, sementara mereka masih mencoba mencari
tahu. Sebagai bagian dari orang berusia lanjut (atau
aku lebih suka menggunakan kata “matang”) kami
percaya ada pengharapan bahwa kami tahu apa yang
kami lakukan sepanjang waktu. Tapi, kenyataannya
tidak seperti itu. Misalnya saja, sore itu di Paris, kami
mengalami kejadian tidak mengenakan saat mencoba
membeli tiket Metro (subway) pertama kami. Mesin
penjual otomatis tidak menerima kartu kredit kami, dan
mesin itu bahkan mengeluarkan lagi uang euro kami
saat mencoba menggunakan uang tunai. Orang-orang
yang berbaris di belakang kami menjadi tidak sabar
dengan cara khas orang Prancis—menghela napas pelan
dan mengetuk-ngetukkan kaki, bergeser terlalu dekat
ke kami, untuk mengatakan secara halus agar kami
bergegas! Akhirnya, seorang petugas memanggil kami
ke kantornya dan menjual tiket secara manual. Daripada
mengambil risiko dipermalukan lagi, kami memutuskan
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk selalu mencari petugas stasiun untuk membeli


tiket secara manual. Tentu saja, karena petugasnya tidak
selalu ada, akhirnya kami terpaksa mencoba mesin
otomatis lagi, mengambil risiko akan menerima ketukan
kaki dan helaan napas—dan membuat diri kami sendiri
merasa frustrasi. Akhirnya kami mengetahui cara yang
benar menggunakan mesin otomatis dan merasakan

152
PARIS

kepuasaan tersendiri saat bisa mandiri.


Setelah menjalani waktu cukup lama di jalanan, kami
menyadari bahwa kami harus belajar untuk bertahan
pada pilihan kami dan mengabaikan gumaman serta
tatapan sinis orang lain. Kami hanya berusaha untuk
tenang sampai berhasil menyelesaikan tugas dan tidak
keberatan terlihat seperti orang yang tidak tahu apa yang
kami lakukan ... karena, yah, kami memang tidak tahu!
Pada akhirnya kami berhasil mempelajari sistemnya,
dan itu memberi kami kepuasaan serta kepercayaan diri
untuk menguasainya, seperti belajar keahlian yang baru.
Kunjungan pertama kami ke pasar membutuhkan
waktu lebih dari sejam karena kami memelototi semua
kekayaan kuliner yang ada di hadapan kami. Sebagian
besar pasar di Prancis menjadi peti harta karun untuk
orang Amerika. Nampan keju yang dipajang dengan
indah menawarkan lima atau enam jenis keju biru, keju
kambing yang digulingkan di cacahan herbal, dan keju
bau (pengalaman religius untuk pencinta keju) yang
berbau sangat busuk dan terasa seperti surga di mulut.
Kami butuh waktu cukup lama untuk membedakan
rasa walnut, rapeseed, zaitun, dan minyak kacang,
membedakan cuka dari buah, anggur, dan bahan
misterius yang tidak kami kenali, ditambah bumbu dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat-tempat eksotis di seluruh dunia. Saat Tim melihat


bagian khusus yang menyediakan segala bentuk hati dan
bebek yang sudah disiangi, matanya berkaca-kaca. Kami
menemukan kaleng cassoulet bebek (kacang dan bebek
dengan saus kental yang membutuhkan waktu persiapan
selama berhari-hari); begitu kami mencobanya, pantri
kami tidak pernah kosong dari makanan yang satu itu.

153
LYNNE MARTIN

Bagian acar dan zaitun menarik perhatian kami selama


beberapa menit, bahkan bagian roti di toko serbaada
memberi kami pengalaman baru.
Bagian sayuran segar berisi buah persik yang matang
sempurna, beri yang segar, mengilap, dan semanis
permen, kentang kecil dengan kulit yang transparan,
dan buncis setipis tusukan gigi. Kami sangat menyukai
buah dan sayuran hingga kami lupa pelajaran yang
kami buat sendiri tentang mengamati yang lain terlebih
dahulu dan mulai memasukkan makanan itu ke dalam
kantong plastik kecil.
Saat kami tiba di meja kasir, memasang seringaian
lebar di bibir kami karena merasa puas dengan penemuan
kami, petugas kasirnya menatap kantong kami dengan
bingung. O-ow. Sambil tersenyum kepada kami, petugas
kasir berbicara kepada rekannya yang mengambil
kantong sayuran dan buah kami dan membawanya
pergi, sementara petugas kasir menghitung belanjaan
kami yang lain.
Baru kemudian kami mengetahui bahwa, di Prancis,
pembeli diharuskan menempatkan produk segar di
dalam kantong plastik, kemudian membawanya ke mesin
timbang, lalu menekan tombol dengan gambar produk
yang dibelinya. Akan ada stiker yang keluar dari mesin,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan pembeli harus menempelkan stiker itu ke kantong


plastik. Kami sangat sibuk memasukkan produk segar
ke dalam kantong hingga melewatkan semua prosedur
itu! Tapi, baik petugas kasir maupun pembeli yang lain
tidak mencibir kami. Dimaafkan atas kesalahan saat kali
pertama berbelanja di Prancis memberi kami satu alasan
lagi untuk jatuh cinta dengan negeri ini.

154
PARIS

Kami bergegas kembali ke apartemen, menyimpan hasil


perburuan harta karun kami, dan menyelesaikan urusan
membereskan barang-barang yang kami keluarkan dari
koper. Kami pantas mendapatkan hadiah. Maka, kami
pergi, keluar dari Metro di stasiun yang dekat dengan
Notre Dame, dan mulai mencari salah satu tempat
favorit kami, Au Bougnat, sebuah bistro tua di salah
satu jalanan kecil yang mengelilingi gereja besar. Kami
pernah makan di sana pada perjalanan kami bertahun-
tahun lalu. Meskipun hanya dianggap sebagai tempat
persinggahan turis oleh sebagian orang, kami mendapati
makanannya selalu lezat dan pelayanannya juga sangat
memuaskan.
Tim yang berjalan lebih dulu dan kami mulai me-
nyusuri sepanjang sungai. Orang-orang berjalan cepat
melewati kami dan kami mencoba untuk menyamai
langkah mereka. Berhati-hati dan waspada tidak me-
nyelamatkan kami dari beberapa sikutan dan nyaris
tabrakan, tapi tetap berjalan selama beberapa saat.
Saat menoleh ke sekeliling, kami mendapati bahwa
kami berjalan ke arah yang salah. “Sial,” maki Tim saat
berbelok ke kiri dan menuju jalanan yang lain.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Sayang,” panggilku dengan manis, “aku rasa kita


harus mengambil jalan yang lain.”
Setelah beberapa kali salah jalan dan nyaris tabrakan,
akhirnya aku bercetus, “Tidak bisakah kita duduk di
sebelah sana sebentar?” Aku menunjuk kursi kosong di
dekat kami.
Tim terus mengamati jalanan sebelum berkata,

155
LYNNE MARTIN

“Baiklah, aku memang butuh istirahat.”


Kami duduk dan aku menarik napas panjang be-
berapa kali.
Tim bisa merasakan frustrasiku dan berkata dengan
lembut, “Orang-orang di kota besar di seluruh dunia
memang terbiasa terburu-buru, Sayang. Mereka tidak
sedang liburan dan mereka tidak ada di sini untuk
menghibur kita.”
“Iya, tapi mengapa kita jadi sangat frustrasi dan kesal?
Apakah kita orang yang tidak toleran?”
“Tidak, kita hanyalah orang dengan proses belajar
yang lambat, dan kau sendiri yang bilang bahwa pe-
mandangan dari sana bisa cukup jelek,” jawab Tim. “Kita
hanya perlu menguatkan diri, Babe. Aku lebih buruk
darimu jika sudah menyangkut menerima fakta bahwa
budaya baru membutuhkan level kesabaran yang baru
pula.”
Aku menatap Tim dan mengangguk, berpikir betapa
tepatnya perkataan Tim. Jika ingin menjadi masyarakat
dunia yang sejati, kami harus meninggalkan peng-
harapan kami di rumah di gudang sewaan dan belajar
untuk lebih mudah beradaptasi! Di tempat itu juga, aku
berjanji untuk mengingatnya setiap hari.
Merasa lebih yakin, aku mencium pipi Tim dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

lembut. “Terima kasih. Kau sangat benar. Tunjukkan


jalannya, Master, bahkan sekalipun kau tidak tahu bagai-
mana cara mencapai tempat itu.”
Begitu kami menemukan restoran itu, kami tidak
dikecewakan. Daun bawang Tim yang hangat, ditambah
dengan telur rebus dan saus bawang, terasa selezat
tampilannya. Aku menikmati sepotong hati anak sapi

156
PARIS

yang lembut dan dibumbui secukupnya, masakan hati


terbaik yang pernah kucicipi. Kami menyantap pisang
goreng dengan es krim vanila di bagian sampingnya,
dan kemudian berjalan kaki beberapa blok ke Katedral
Notre Dame yang agung, yang mendominasi pulang di
tengah-tengah Sungai Seine.
Aku sering sekali melihat Notre Dame, selama musim
dan waktu yang berbeda, tapi tempat itu masih tetap
mampu melambungkan hatiku dengan kegembiraan.
Bagaimana mungkin permata dunia arsitektur bisa
begitu kokoh sekaligus begitu rapuh? Jendela besar yang
ada di sisi sebelah utara dan selatan memberikan efek
yang mendalam. Aku bisa membayangkannya kapan
pun aku mau dan terpesona oleh keindahannya. Aku
juga terus-menerus dibuat terkagum-kagum oleh kebun
mawar yang ada di sisi lain gereja, dan lengkungan yang
ada di sana.
Saat kami mengagumi pemandangan, aku menawar-
kan diri untuk mengambilkan foto pasangan muda
dari Asia dengan latar belakang gereja. Mereka pun
melakukan hal yang sama untuk kami. Foto itu menjadi
sangat penting untuk kami pada bulan-bulan mendatang.
Siapa yang tahu foto itu akan menjadi ilustrasi kisahku
yang dimuat di surat kabar internasional? Itu adalah
http://facebook.com/indonesiapustaka

contoh bagus dari kekuatan berkata “iya”.


Berkata “tidak” pada aktivitas konstan juga sangat
penting karena sesekali kami membutuhkan waktu
untuk memulihkan tenaga dan pikiran. Invasi Rusia ke
Marmaris, perjalanan ke Paris, dan tantangan untuk
merasa betah di tempat baru mulai terasa efeknya ter-
hadap kami pada saat kami selesai melakukan ziarah ke

157
LYNNE MARTIN

Notre Dame. Menjadi pengelana tanpa rumah bukan


berarti kami selalu menggunakan bingkai pemikiran
seperti saat sedang liburan. Kami membutuhkan kesem-
patan untuk merasa menyendiri seperti halnya di rumah.
Jadi, malam itu, kami mengunci pintu apartemen
kami, mengenakan pakaian yang paling nyaman, dan
selagi Tim mematikan semua sistem hiburan dan ko-
munikasi kami, aku memeriksa pilihan makan malam
kami. Cassoulet dalam kaleng sungguh tidak bisa di-
tolak dan aku menemukan salad lezat di kulkas yang
memohon untuk disirami sedikit cuka bawang putih.
Tim membeli roti Prancis dalam perjalanan pulang dari
Metro, kami masih punya paté yang lezat, jadi tidak ada
masalah.
Ini memberi kami kesempatan untuk menelepon
rumah. Kami cukup sering berbicara dengan anak-
anak dan teman-teman, dan kami sudah belajar untuk
menyiasati perbedaan waktu sembilan jam antara
Eropa dan California. Mereka sedang menikmati kopi
saat aku menghubungi mereka melalui Facebook atau
Skype, dengan ditemani segelas anggur Côtes du Rhône
pertamaku hari itu. Kami menyalakan Skype di komputer
dan mengobrol panjang dengan Amandah, putri Tim
yang tinggal di Florida. Kami sempat melihat Sean yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

berusia empat tahun berenang di kolam! Kami sangat


merindukan keluarga kami, dan kerinduan kepada
mereka menjadi satu-satunya bagian dari pengalaman
kami yang membuat kami sedih. Sungguh mengerikan
kami harus melewatkan banyak sekali acara keluarga,
dan kami tahu bahwa seluruh drama itu datang dan pergi
selagi kami tidak ada di sana. Terkadang kami haus akan

158
PARIS

pelukan dan ciuman mereka, pesta, dan koneksi yang


didapat dengan tinggal di dekat orang-orang tercinta
serta teman-teman. Kami rindu melihat secara langsung
terjadinya sejarah keluarga, tapi berkat teknologi
modern, mungkin kami telah menciptakan komunikasi
intim model baru. Saat kami bisa berkomunikasi, waktu
kami bersama jauh lebih intens dan indah, jadi mungkin
itu hanya cara yang berbeda untuk bisa berdekatan.
Setelah kami mencari tahu kabar terakhir keluarga
kami, Tim mengutak-atik peralatan elektronik dan tiba-
tiba saja berseru, “Berhasil!”
“Apa?” tanyaku.
“Oh, Tuhan, akhirnya aku berhasil. Kau lihat doo-
hickie ini?” (Tim adalah pakar dalam istilah teknologi.)
“Nah, ujung ini akan tersambung ke komputerku dan
bagian ini akan dimasukkan ke lubang di TV. Selesai,
Sayangku, dan kita bisa menonton When Harry Met
Sally malam ini juga!”
Sebut kami kuno, tapi kami menemukan keajaiban
dengan kabel HDMI. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana
kami bisa bertahan tanpa kabel itu sebelumnya. Sekarang
kami membawa-bawa “teater” mini yang menggabung-
kan komputer kami dengan kabel HDMI, dan pengeras
suara kecil. Semua peralatan itu muat di koper kami dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bisa dipakai di atas kapal, di apartemen, dan di semua


tempat lain setiap kali kami ingin bersantai dan merasa
berada di “rumah”.
“Nah, bersantailah dan biarkan aku menyajikan
makan malam untukmu langsung di atas sofa, dasar kau
penyihir teknologi,” kataku sambil tertawa.
Rasanya sangat menyenangkan menyantap cassoulet

159
LYNNE MARTIN

bebek, dengan ditemani anggur Bordeaux Prancis, sam-


bil menonton film klasik romantis Meg dan Billy saat
gerimis kecil membuat jalanan Kota Paris berkilauan di
luar.
Omong-omong soal hujan, kami hampir selalu
merencanakan acara jalan-jalan dengan berpatokan
pada cuaca. Karena sepanjang hari ini turun hujan,
bahkan sepanjang minggu, kami memutuskan untuk
menggabungkan berbelanja barang kebutuhan sehari-
hari dengan kunjungan ke bioskop yang kami lihat
pada hari pertama berada di sini. Kami membawa serta
keranjang dorong agar bisa berbelanja dalam perjalanan
pulang ke rumah, dan gadis cantik di konter tiket
dengan baik hati mau dititipi keranjang itu selama kami
menonton. Di dalam bioskop, kami melangkah masuk
ke dalam ruangan berwarna merah tua dengan kursi
beledu. Saat lampunya dimatikan, aku berbisik kepada
Tim, “Hei, lihat—di sana ada tanda toilet, tepat di depan
ruang pemutaran film!” Orang Prancis memahami
kebutuhan manusia untuk pergi ke toilet beberapa
kali sehari, dan mereka menempatkan toilet di lokasi
yang memang benar-benar dibutuhkan—misalnya di
dalam bioskop. Daripada dorongan alami memaksamu
menjauh dari layar (dan membuatmu melewatkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

bagian yang paling menarik di mana bom itu meledak


atau di mana pasangan itu akhirnya berciuman), kau
bisa melangkah diam-diam ke bagian belakang ruangan,
menggunakan toilet yang berada persis di samping
pintu, dan bahkan mencuci tanganmu sebelum bomnya
meledak atau sebelum bibir mereka bersentuhan. Di
Paris, kami pergi ke bioskop setidaknya seminggu sekali

160
PARIS

dan melihat beberapa film yang ditayangkan di Eropa


lebih dahulu, sebelum film itu ditayangkan di Amerika
Serikat. Rasanya menyenangkan menggoda teman-
teman kami dengan menceritakan film yang bahkan
belum mulai tayang di California.
Kecenderungan melakukan sesuatu secara spontan
juga memengaruhi kehidupan kami sehari-hari, dan kami
merangkul semua aspek dan masalah dalam perjalanan
dengan penuh semangat. Pada suatu hari, selama
perjalanan singkat ke toko Apple yang dilanjutkan ke
acara jalan-jalan ke sepanjang Rue Royale, tempat kami
memandangi Vuitton, Dior, St. Laurent, dan beberapa
orang nama besar lain. kami mengakhiri tur itu di toko
yang barang-barangnya masih terjangkau untuk kami:
The Gap.
Aku menemukan gaun santai dengan warna biru
navy-hitam yang langsung membuatku terlihat lima
kilogram lebih ringan, dan sweter berwarna biru navy
yang serasi untuk disampirkan ke bahuku ala Catherine
Deneuve. Celana pendek berbahan korduroi warna
mustard milik Tim terkesan sangat Prancis hingga aku
menyangka sebentar lagi dia akan mengoceh dalam
bahasa Prancis yang fasih.
Sekarang kau mungkin bertanya-tanya bagaimana
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami masih bisa berbelanja, padahal kami selalu ber-


pindah tempat dari satu tujuan ke tujuan lain sepanjang
waktu. Ini fakta tentang berkemas: kami bisa bepergian
tanpa membawa banyak barang karena sangat mungkin
menemukan pakaian untuk dikenakan di semua tempat
yang kami datangi! Kami hanya harus bersedia berpisah
dengan sesuatu yang lama saat membeli sesuatu yang

161
LYNNE MARTIN

baru. Peraturan kami adalah kami harus jatuh cinta


setengh mati dengan barang yang kami beli. Hanya orang
yang memiliki lemari permanen yang bisa memiliki
sepuluh sweter dan tujuh celana jins.
Pada akhir minggu pertama, kami sudah sangat jatuh
cinta dengan Kota Paris, hingga kami memutuskan
untuk kembali lagi ke sini tahun depan dan menetap
selama tiga bulan. Tempat Andie dan George sangat
populer hingga tempat itu sudah penuh dipesan hingga
tahun depan sehingga kami segera melakukan pencarian
apartemen lain di sekitar sini untuk tahun depan. Tahu
bahwa kami akan kembali lagi ke sini membuat kami
tidak merasa terburu-buru untuk melihat segalanya.
Jadi, kami sering kali berkeliling kota tanpa rencana,
memanjakan diri setiap hari dengan melakukan apa
pun yang kami inginkan. Jika turun hujan, kami hanya
berada di apartemen sepanjang hari untuk menulis
atau membaca, atau berjalan-jalan di sekitar apartemen
untuk menghirup udara Paris yang segar dan basah. Itu
adalah kehidupan yang mewah, dan kami menyukai
setiap menitnya.

f
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kami semakin menyukai tempo kehidupan orang


Eropa, apalagi pada hari Minggu, saat sebagian besar
orang berhenti melakukan apa pun. Mereka bermain
dengan anak-anak mereka, berjalan-jalan di taman,
pergi makan siang di luar, melakukan permainan, dan
mengendarai sepeda mereka. Lalu lintasnya tidak terlalu
padat dan sebagian besar toko tutup sehingga orang

162
PARIS

memiliki kesempatan untuk beristirahat.


Pada suatu hari Minggu, kami berjalan ke Taman
Luxemburg, yang mengelilingi istana Marie de Medici
yang dibangun pada 1611. Istana itu meniru Istana Pitti
di Florence, tempat Marie de Medici tumbuh besar
sebagai anak dari sebuah keluarga berpengaruh yang
pada abad sebelumnya membiayai Masa Renaisans Italia.
Taman Luxemburg adalah salah satu taman teramai di
Paris karena lokasinya yang berada di pusat kota, mudah
dijangkau oleh pejalan kaki, dan menawarkan banyak
kegiatan untuk segala usia. Orang Paris memanfaatkan
taman itu untuk berjalan-jalan pada hari Minggu,
piknik, dan menyewa mainan perahu layar untuk anak-
anak mereka, yang bisa mereka mainkan di Fontaine de
l’Observatoire yang ada di depan istana. Atau, anak-anak
bisa bermain gokar di sepanjang jalur yang memutari
pepohonan raksasa. Para pria bisa bermain boling Italia
di beberapa lapangan yang tersedia di sana, dan orang-
orang bisa berpiknik atau membaca buku di padang
rumput yang luas. Pasangan memadu kasih di kursi,
diamati oleh ratusan patung mengesankan yang tersebar
di lahan taman seluas dua puluh empat hektar. Sungguh
menakjubkan.
Di Paris, semua bisa menjadi alasan untuk makan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jadi, kami menyantap makan siang di sebuah kafe kecil


dan menikmati makanan sambil mengamati sekeliling
taman. Grup band mulai bersiap di paviliun di dekat
kami. Para pemainnya mengenakan setelah hitam
dengan banyak sekali rumbai emas, membawa alat
musik mereka, mengobrol dan bersenda-gurau saat
mereka merapikan alat musik dan kursi. Tidak lama

163
LYNNE MARTIN

kemudian Salvation Army Band mulai tampil, dan


mereka menghibur kami dengan konser sejam penuh.
Mereka memainkan semua jenis musik, mulai dari
musik rock sampai musik klasik, membuat Minggu sore
itu semenawan yang bisa kuingat. Seperti itulah hari
Minggu seharusnya berjalan.
Kami merasa menjadi bagian dari adegan hari itu,
tapi kurangnya kemampuan bahasa menghalangi kami
mengobrol dengan mereka yang ada di sekitar kami.
Perasaan terisolasi menjadi salah satu tantangan dalam
menjalani hidup nomaden. Tidak peduli betapa pun
kami menikmati kebersamaan kami berdua, kami adalah
makhluk sosial dan membutuhkan orang lain sebagai
teman. Tidak lama setelah kami memulai perjalanan, aku
menyadari bahwa orang-orang baru yang kami temui dan
orang-orang yang kami tinggalkan di rumah memiliki
kewajiban dan kesibukan masing-masing. Kami pun
tidak berharap mereka akan mengubah rencana hanya
karena kami muncul di hadapan mereka. Atau, mereka
tiba-tiba harus mengatur ulang jadwal hanya karena
kebetulan kami menelepon atau menghubungi melalui
Skype secara spontan. Itu salah satu harga yang harus
kami bayar untuk menebus kebebasan.
Namun, harus kuakui bahwa aku membutuhkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

sedikit obrolan antarwanita untuk membuatku merasa


normal. Masalahnya adalah, orang harus punya teman
wanita jika ingin melakukan obrolan antarwanita! Dan,
aku harus menemukan teman wanita, terutama wanita
Prancis. Maka, kami pun mulai mencari teman di Paris.
Kami memulainya dengan menghadiri pertemuan
para pengelana dan penduduk lokal yang diadakan

164
PARIS

oleh Jim, seorang penulis Amerika yang membuka


apartemennya untuk orang asing selama tiga puluh
tahun. Aku pernah membacanya di New York Times
dan membuat reservasi melalui surel, jauh sebelum
kami meninggalkan rumah. Itu adalah pengaturan yang
bagus. Dengan biaya tiga puluh euro, Jim menyediakan
makan malam seadanya dan beberapa botol anggur, tapi
yang paling penting adalah mendapatkan kesempatan
untuk bertemu orang baru. Jim memakai celemek
merah saat duduk di kursi bar yang ada di ujung meja,
mengumpulkan uang dan mengobrol dengan pendatang
baru, sementara tempat itu penuh dengan orang-
orang yang kebingungan. Dalam waktu lima menit,
percakapan menjadi sangat keras dan heboh, hingga
orang mungkin butuh penyumbat telinga! Semua orang
memiliki kisah untuk diceritakan. Kami bersenang-
senang di ruangan yang hanya cukup menampung dua
puluh orang—jumlah kami saat itu sekitar seratus orang.
Kami mengobrol dengan banyak orang Amerika yang
datang ke Paris, tapi saat kami berjalan ke arah stasiun
Metro, Tim berkata, “Wah, tadi itu lumayan, tapi aku
benar-benar membutuhkan orang yang ingin berteman,
bagaimana denganmu?”
“Tidak,” kataku sambil menghela napas. “Aku hanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

berharap Andie menelepon kita. Dia sangat baik dan


ceria, dan aku tahu kita akan bersenang-senang dengan
gadis itu. Aku rasa kami memiliki koneksi khusus
sejak hari pertama bertemu. Aku juga sangat ingin
bertemu Georges. Apakah menurutmu sebaiknya kita
meneleponnya?”
“Belum, Sayang,” kata Tim. “Tunggulah beberapa

165
LYNNE MARTIN

hari lagi. Kita tidak mau mengganggu mereka. Ingat,


mereka juga memiliki kehidupan, dan kita sekadar lewat
di sini.” Aku menghela napas dan mengakui bahwa aku
sependapat dengannya.
Yang membuat kami gembira, saat kami pulang,
aku menemukan surel dari Andie. Dia mengundang
kami ke pesta koktail besok malam. Kami senang sekali.
Akhirnya, kami menemukan teman baru di Paris!
Malam berikutnya, sambil mencengkeram botol anggur
dan buket kecil, kami membunyikan bel rumah Andie
pada pukul 6.00 tepat, merasa gelisah dan bersemangat,
seperti anak remaja yang melakukan kencan pertama.
Apartemen mereka luas dan nyaman, penuh dengan
cahaya, karya seni, dan kenangan-kenangan penuh
warna yang mereka bawa pulang dari perjalanan
berkeliling dunia. Pada satu waktu, apartemen mereka
menyatu dengan kamar mungil kami di bangunan
tambahan, jadi bisa dikatakan kami tetangga sebelah
tembok. Andie adalah wanita yang hangat dan
mengagumkan, seperti kesan yang kudapatkan pada
pagi pertama aku bertemu dengannya, dan Georges,
suami Andie yang tampan, pengertian, dan tipikal orang
Prancis, langsung membuat kami merasa nyaman.
Mereka berdua memiliki pengalaman menantang yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

membuat iri, sesuatu yang hampir terasa asing untuk


kami berdua. Mereka jauh lebih atletis dibandingkan
kami berdua. Mereka mendaki Gunung Kilimanjaro
pada saat bulan madu, sementara kami hanya berjalan-
jalan santai di jalanan San Miguel de Allende. Mereka
bersepeda, mendaki gunung, mengendarai motor, dan
lari maraton, semua kegiatan yang kami anggap eksotis

166
PARIS

dan mengesankan.
“Kencan” pertama kami dengan cepat berubah
menjadi pertemanan yang santai dan menyenangkan.
Saat minggu demi minggu berlalu, kami sering makan,
mengobrol, berjalan-jalan, dan tertawa bersama. Mereka
memberi kami gambaran tentang hidup di Prancis, yang
tidak akan mungkin bisa kami dapatkan tanpa bantuan
mereka. Topik pembicaraan kami menyangkut segala
sesuatu tentang Prancis: sejarah, politik, arsitektur,
bahasa, dan terutama makanan, sesuatu yang pasti
diincar orang waras saat berada di Paris. Aku bahkan
mendapatkan sedikit gosip. Tidak masalah sekalipun
aku tidak mengenal objek rumor itu secara pribadi.
Tetap saja aku merasa puas bisa mendengar tentang
kebodohan orang lain. Itu hal yang lucu, tapi entah
mengapa mengetahui lebih banyak tentang kehidupan
nyata orang-orang di sekitarku membuatku merasa
nyaman dan terikat, tidak seperti turis atau penonton,
tapi lebih seperti peserta dalam kehidupan kota yang
menjadi rumah sementaraku.
Suatu malam, saat sedang menikmati makan malam
menakjubkan di Le Dirigible, restoran yang cukup
terkenal di lingkungan tempat tinggal kami, kami
membahas tentang kepribadian orang Prancis dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

hubungan luar biasa mereka dengan makanan. Topik


itu mendorong Georges untuk memberikan contoh
kepada kami tentang sejumlah ungkapan sehari-hari
dalam bahasa Prancis yang berasal dari dunia kuliner.
Menurut kami ungkapan itu sangat lucu, dan Georges
menuliskannya untukku:
“Il y a du pain sur la planche”: “Ada roti di papan roti.”

167
LYNNE MARTIN

Atau, dengan kata lain, pekerjaan kita sudah dikerjakan


untuk kita.
“On a mange notre pain bland”: “Kami memakan roti
putih kami.” Atau, kami melakukan bagian yang paling
mudah terlebih dahulu.
“Ce n’est pas de la tarte”: “Ini bukan pai.” Terjemahan
lainnya: itu hal yang sulit. Kebalikan dari ungkapan
dalam bahasa Inggris. “A piece of cake!”
“Ca va mattre du buerre dans les epinards”: “Ini se-
perti mengoleskan mentega di bayam.” Atau, ini akan
membantu menyatukan ujungnya.
“Il pedale dans la chocroute”: “Dia menggenjot acar
kubis.” Apa yang kau rasakan jika menggenjot acar
kubis? Gagal total, kan? Nah, itulah artinya.
“Il s’est fait rouler dans la farine”: “Dia berguling di
tepung.” Yang merupakan ungkapan untuk mengatakan,
dia pernah melakukannya.
“Ca ne mange pas de pain”: “Itu tidak makan roti.”
Atau, itu bukan hal besar.
Jika masih belum terlihat jelas, orang Prancis meng-
anggap serius makanan dan anggur. Jika mereka tidak
memakan dan meminumnya, maka mereka mem-
bicarakannya.
Pertemanan kami “mange de pain”, hal yang penting,
http://facebook.com/indonesiapustaka

setidaknya untuk kami. Hubungan kami dengan Prancis


diceriakan oleh kesediaan Andie dan Georges untuk
menerima kami di dunia mereka. Kami akan selamanya
berterima kasih kepada mereka untuk ini, dan sampai
hari ini kami tetap menjadi teman baik. Sekarang kami
menganggap Paris sebagai salah satu rumah kami, dan
kami selalu datang berkunjung ke sana selama beberapa

168
PARIS

bulan setiap tahun untuk menguatkan kehidupan kami


sebagai pengelana tanpa rumah.
Sore berikutnya, aku sedang berada di kloset mungil
di kamar kami saat Tim bertanya, “Hei, apa yang kau
lakukan di sana?”
Aku menjulurkan kepalaku dari sudut untuk melihat
Tim sedang mengetik di depan komputernya. “Aku
sedang mencari sesuatu untuk dipakai besok. Aku
sedang kehabisan ide!”
“Sayang, apa pun yang kau kenakan pasti terlihat
bagus. Ingat, Julia tidak benar-benar ada di sana.” Tim
tersenyum sabar.
Hari Sabtu adalah hari besarku! Aku memutuskan
untuk menonton kelas demonstrasi di Le Cordon Bleu,
kursi untuk semua yang suci di dunia kuliner, kuil untuk
Julia Chid yang dicintai orang Amerika, dan puncak dari
perjalanan kuliner pribadiku.
Apakah aku pernah mengatakan aku mencintai
makanan? Aku ingin berjalan di lorong sempit itu sejak
seorang teman memberiku buku Mastering the Art of
French Cooking pada 1965. Setelah hampir setengah
abad, akhirnya mimpiku menjadi kenyataan. Sekolah
itu berada di dekat apartemen kami. Suamiku yang
baik hati memahami betapa pentingnya ini untukku,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan dia membantuku menemukan sekolah itu sehari


sebelumnya, sekadar untuk memastikan aku berada di
tempat yang tepat dan tidak akan sedetik pun terlambat
untuk momen besarku.
Aku menyalakan alarm walaupun itu tidak perlu.
Aku seperti anak enam tahun pada saat Natal, dan aku
tidak sabar menunggu untuk bangun dari tempat tidur

169
LYNNE MARTIN

dan pergi ke sana.


Keesokan harinya, saat aku berbelok di tikungan
menuju sekolah kuliner itu, anak-anak muda yang
mengenakan seragam koki berjalan masuk ke sana,
sambil membawa tas kulit berisi satu set pisau. Aku
merasa sangat iri dengan jalan yang mereka pilih untuk
masa depan mereka. Meskipun daftar penyesalanku
cukup pendek, aku rasa jika aku memiliki kesempatan
untuk mengulang semuanya, aku pasti akan mencari
cara untuk bisa bekerja di dapur. Menjadi ahli makanan
adalah pekerjaan paling menyenangkan yang bisa
kupikirkan! (Hal terdekat dengan cita-citaku itu adalah
saat aku memiliki perusahaan keju yang berjalan
dengan sangat baik. Itu adalah pengalaman paling
menarik dalam kehidupan profesionalku. Kau tidak bisa
membayangkan betapa sukanya aku bermain dengan
oven besar itu, mikser raksasa merek Hobart, dan
memiliki kulkas terbesar di dunia.)
Tidak lama kemudian, aku duduk di kursi stadion kecil
dengan cermin besar di atas meja konter, agar kami para
penonton tidak akan melewatkan apa pun. Para asisten
bergegas untuk menyiapkan mise en place untuk sang
chef, yang memasuki ruangan itu diiringi tepuk tangan
meriah. Sang chef sangat informatif dan menghibur,
http://facebook.com/indonesiapustaka

terutama saat bergurau dengan mengatakan bahwa


bebek diberi makan secara paksa untuk memperbesar
hatinya. Chef itu menggelengkan kepala tidak percaya
bahwa California melarang praktik semacam itu
karena itu berarti pemerintah mencegah orang-orang
California menikmati paté yang sesungguhnya. Tidak
ada komentar dari orang California yang satu ini karena

170
PARIS

aku tinggal bersama dengan seorang pecandu paté.


Chef menyiapkan hidangan lengkap, mulai dari
hidangan pembuka sampai penutup; setelah menyelesai-
kan setiap masakan, kami diperbolehkan untuk men-
cicipinya. Rasanya seperti menerima komuni di katedral
kuliner. Tentu saja, aku mampir di toko kecil yang
ada di dalam gedung sekolah untuk membeli celemek
terbaik (dan termahal) yang pernah kumiliki. Celemek
itu menyelubungi tubuhku hingga ke belakang dan
memiliki banyak sekali kantong serta kaitan khusus
untuk menyimpan termometer masakku. Aku merasa
sangat hebat dan profesional saat mengenakannya.
Pembuka botol anggur milikku, yang ikut bersamaku
ke mana pun aku pergi, bertuliskan label Le Cordon
Bleu dan membuatku sedikit bersemangat setiap
kali menggunakannya. Aku bersemangat beberapa
kali seminggu—setiap kali aku membuka sebotol
anggur! Aku merasakan kepuasan dalam hidup. Aku
berkomunikasi dengan jiwa koki favoritku, belajar
teknik memasak kelas dunia, dan saat aku kembali ke
apartemen, suamiku yang baik dan penyabar sangat
terkesan dengan ceritaku. Celemek baruku langsung
kupakai memasak malam itu juga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tepat sebelum kami meninggalkan California, aku


melihat sebuah artikel di Wall Street Journal tentang
pasangan asal California yang bertukar rumah dengan
orang-orang dari seluruh dunia untuk jangka waktu
enam bulan setiap tahunnya. Artikel itu menyebutkan

171
LYNNE MARTIN

bahwa mereka akan berada di Paris pada waktu seperti


yang kami rencanakan untuk datang ke sana, jadi aku
mengirimkan surel kepada Jim Gray yang menyarankan
agar kami makan siang bersama dengannya dan istrinya,
Carol. Kami bertemu di restoran La Vin L’Ami di dekat
apartemen kami dan menyantap makanan Prancis
favorit Tim yang baru, pipi sapi yang direndam bumbu
dan disajikan di mangkuk sup bergaya rumahan.
“Jadi, Jim,” kataku, sambil mengunyah paté dan
roti garing yang dipesan suamiku, sang pecandu paté,
sebagai hidangan pembuka, “Aku yakin ada banyak
orang yang memuji tulisanmu! Kau menulisnya dengan
sangat baik.”
“Aku terkejut,” ujar Jim. “Responsnya sangat besar,
dan artikel itu menjadi sangat populer hingga mereka
memintaku untuk menuliskan kelanjutannya. Aku
sedang mengerjakannya sekarang. Kau tahu, sungguh
mengagumkan melihat betapa tertariknya orang dengan
ide pertukaran rumah. Ide itu sangat berguna untuk
kami.”
“Sejujurnya,” lanjut Jim, “blog-mu juga sangat me-
nyenangkan. Setelah kau mengirimkan surel kepada
kami, kami mulai membacanya. Kami terkesima oleh
konsepmu dan tulisanmu juga sangat bagus. Jika kau
http://facebook.com/indonesiapustaka

mau, aku bisa mengenalkanmu dengan editorku. Mereka


orang-orang yang menyenangkan untuk diajak bekerja
sama dan aku yakin mereka akan tertarik dengan
kisahmu.”
Aku menyesap Bordeaux-ku dan tersenyum lemah.
“Terima kasih banyak. Kau baik sekali berkata begitu!”
Percakapan terus berlanjut, tapi otakku mulai

172
PARIS

berputar. Aku berpikir, Aku? Menulis untuk Wall Street


Journal? Kau pasti bergurau. Tentu saja, egoku naik sedikit
karena pemikiran itu. Siapa yang tidak mau merasakan
kebanggaan seperti itu? Aku selalu suka menulis dan
diam-diam juga memiliki ambisi, tapi aku tidak pernah
cukup berani untuk percaya bahwa akan ada orang yang
tertarik dengan apa yang kukatakan. Toh, aku selalu
menjadi inspirasi, bukan kreator, wanita di balik layar
yang membuat hidup berjalan dengan mulus untuk Guy
Deel, seorang artis terkenal, selama dua puluh tahun.
Bahkan, ada lelucon untuk itu. Aku, seperti halnya istri
para artis yang kukenal, menyebut diriku sendiri “istri
dari”. Itu adalah pekerjaanku dan aku merasa puas bisa
mengurus semua detail kehidupan kami, sementara
Guy fokus pada bisnis seninya. Guy bekerja sangat keras
dan dia sangat berbakat hingga usahanya terlihat sangat
mudah untuk orang yang melihatnya! Dalam peranku,
aku yang membuat semua pemesanan, mengatur uang,
mendekorasi ulang rumah, merencanakan perjalanan,
mengadakan pesta, dan mengatur jadwal. Aku juga
memberikan dukungan, inspirasi, dan penghargaan
dari pinggir panggung, dan aku akan dengan senang
hati menjadi pajangan pada acara jamuan makan atau
pameran yang diadakan untuk merayakan bakat Guy.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saat Guy meninggal dunia dan akhirnya aku menikah


lagi dengan Tim, sang penulis lirik, aku pikir aku akan
melanjutkan peranku yang sama seperti sebelumnya,
menawarkan atmosfer domestik yang akan mendukung
usaha Tim sebagai novelis. Tidak pernah terpikir olehku
bahwa aku akan mengambil peran sebagai kreator,
sementara suamiku menjadi inspirasi sementaraku!

173
LYNNE MARTIN

Akhirnya aku menulis dua bab contoh tentang ide


untuk menjalani kehidupan sebagai pengelana tanpa
rumah yang tercetus selagi kami berada di San Miguel
de Allende, tapi pada saat itu aku tidak memikirkannya
dengan serius. Tim sudah memesan tempat untuk
menghadiri konferensi Penulis California Selatan di San
Diego dalam perjalanan kami pulang ke California, dan
karena aku juga akan ikut ke sana, dia menyarankan agar
aku menulis satu bab dan garis besar rencanaku untuk
dia berikan kepada beberapa orang agen di konferensi.
Ide itu membuatku merasa sangat tidak nyaman karena
aku bukanlah orang yang suka menonjolkan diri—aku
adalah wanita di balik layar. Tapi, untuk menyenangkan
Tim, aku menulis beberapa bab. Lagi pula, itu bisa
memberiku kesibukan pada saat Tim mengerjakan
novel barunya. Kami suka membacakan hasil tulisan
kami pada satu sama lain sambil menikmati koktail.
Tim yang selalu antusias bahkan sampai mendorong-
ku untuk membuat kartu nama saat kami berada di
Meksiko, agar aku bisa membagikannya pada saat kon-
ferensi.
“Aku tidak membutuhkan kartu nama,” keluhku.
“Aku hanya iseng-iseng. Lagi pula, apa jenis pekerjaan
yang akan kutulis di kartu nama itu, ‘Koki Utama dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pencuci Botol’?”
Setelah terdiam sejenak, Tim berkata, “Tidak, kau
bisa menuliskan pekerjaanmu sebagai penulis artikel
perjalanan.”
“Apa? Apakah kau sudah benar-benar gila?”
“Dengarkan aku.” Tim memberikan senyuman maut
terbaiknya. “Kau sering bepergian, kan?”

174
PARIS

“Iya.”
“Kau bisa menulis, kan?” Senyuman maut Tim se-
makin lebar.
“Aku rasa begitu.”
“Nah, benar, kan—kau seorang penulis artikel
perjalanan!” Kami berdua tertawa mendengar logika
Tim, dan dengan enggan aku menyetujui ide untuk
membuat kartu nama konyol itu. Aku merasa malu setiap
kali memberikan kartu namaku di konferensi. Para agen
menganggap ide kami menarik dan memperlakukan aku
dengan baik, tapi pada saat yang sama, sepertinya mereka
menganggap tulisanku yang hanya dua bab tidak cukup
bagus untuk dibahas lebih lanjut. Syukurlah, tulisan Tim
bisa diterima dengan sangat baik dan dia pulang dengan
hari riang. Aku hanya merasa lega saat konferensi itu
berakhir karena dengan begitu kami bisa segera pulang
ke rumah dan menjalankan rencana baru kami.
Aku teringat pengalaman saat berada di konferensi
menulis itu saat aku mengumpulkan keberanian untuk
berkata, “Jadi, Jim, bagaimana caraku memasukkan
artikelku ke sana?”
Aku setengah berharap Tim akan tertawa atau
mencemooh ideku. Siapa sebenarnya penulis gadungan
yang duduk di sampingnya?! Tapi, Jim justru berkata,
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Hmmm ..., yah, menurutku sebaiknya kau menulis


artikel sebanyak 1.200 kata dan mengirimkannya melalui
surel kepada mereka. Tapi, jangan berupa lampiran,
mereka tidak suka lampiran.”
Itu saja? Jim membuatnya terdengar semudah seperti
membuat tulisan di blog yang kutulis untuk teman-
teman dan keluargaku. Mengumpulkan keberanian

175
LYNNE MARTIN

untuk menulis dan mengalami penolakan bertubi-tubi


bukanlah sesuatu yang ingin kuhadapi pada tahun-
tahun emasku. Tapi, mengabaikan suara pengecut di
dalam diriku dan mendorong keinginan besarku untuk
menciptakan sesuatu, aku berkata dengan berani,
“Terima kasih banyak. Aku sudah tidak sabar ingin
mendengar kabar darimu tentang pendapat mereka!”
Kami berpisah, berdiri di bawah paparan sinar
matahari bulan Juni yang hangat di luar restoran, saling
berpelukan dan berjanji untuk tetap menjaga kontak.
Pada saat kami kembali ke apartemen, aku berhasil
meredam semua efek percakapan tadi dan kembali ke
status awalku sebagai pendukung, dan bukannya pemain
utama.
Keesokan harinya, Jim mengirimkan surel kepadaku
untuk mengatakan bahwa editornya di Journal akan
dengan senang hati membaca artikelku.
Ups. Sekarang sudah terlambat untuk mundur.
Sang inspirator sudah membuka layarnya dan sedang
menapaki jalan untuk menjadi seorang penulis.
Asistenku di perusahaan Humas yang kumiliki
bertahun-tahun lalu pernah mengatakan kepadaku
bahwa dia selalu bisa tahu kapan aku menerima proyek
penulisan karena pada saat itulah aku memutuskan
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk menyeimbangkan buku cekku, membersihkan


mejaku, menyerahkan beberapa proyek kepada orang
lain, dan menajamkan semua pensilku. Halaman kosong
untuk seorang penulis sama seperti kanvas kosong
untuk seorang pelukis—penuh dengan kemungkinan
dan ketakutan bahwa semuanya mungkin tidak akan
selesai dengan baik. Keraguan yang sama, tapi dengan

176
PARIS

versi yang lebih ringan sudah menghantuiku sejak


memulai blogku, tapi kali ini berbeda. Ini adalah Wall
Street Journal. Ada seorang editor di sana yang bersedia
membaca kisahku. Kabar itu membuatku lemas karena
senang dan takut. Aku bukanlah orang yang seharusnya
melakukan ini. Ini adalah bagian Tim. Jadi, bukannya
menghadapi ketakutanku, aku memilih untuk melarikan
diri dan menemukan kegiatan lain untuk dilakukan.
Seperti biasanya, Paris memanggil, kami menjawab.
Kami makan siang di Le Timbre, yang dinamai sesuai
dengan prangko pos karena kursinya hanya berjumlah
dua puluh empat dengan ruang sederhana yang elegan.
Chris Wright, seorang koki Inggris, menyajikan masakan-
nya dengan gaya Prancis yang klasik, dan menyenangkan
sekali melihat Chris dan asistennya menari di dalam
dapur yang sangat kecil. Hal itu mengingatkanku kepada
para wanita yang berdesak-desakan di dapur kecil Lidia
di Meksiko. Tim menyantap habis paté goreng de foie
gras, sementara aku mendesah puas saat menikmati kaki
babi goreng yang diikuti dengan burung puyuh yang
disajikan di atas bubur kentang/apel, dan ditetesi saus
sitrus.
Sore itu, kami berjalan melewati Hotel de Ville, Balai
Kota Paris sejak tahun 1357. “Apa yang sedang dilakukan
http://facebook.com/indonesiapustaka

oleh orang-orang di kursi yang ada di halaman?” tanya


Tim.
Aku mengikuti arah pandangan mata Tim. Ada
ratusan orang yang duduk di kursi, sementara yang lain
duduk di meja yang dinaungi payung warna oranye
terang. “Aku tidak tahu. Sekarang pukul tiga sore hari
Rabu. Apa sebenarnya yang terjadi?” Kemudian, aku

177
LYNNE MARTIN

menyadari bahwa mereka menghadap ke arah sungai,


menunjuk, tertawa, saling bertukar komentar, dan,
tentu saja, meminum anggur. Kemudian, aku melihat
alasannya. “Oh, Tim, coba lihat TV berukuran raksasa
itu! Mereka sedang menonton pertandingan Prancis
Terbuka!”
Tentu saja, dengan gaya khas Prancis, orang-orang
itu lebih memilih menyaksikan pertandingan tenis
daripada bekerja dan terlihat sangat senang. Orang-
orang dalam balutan setelan bisnis duduk di kursi,
dan menikmati camilan kecil. Tidak ada seorang pun
yang terlihat gelisah atau khawatir tentang bersantai di
tengah-tengah hari kerja.
“Setelah beberapa minggu berada di sini, aku mulai
mengerti mengapa orang-orang terlihat sangat bahagia,”
kata Tim. “Aku rasa ungkapan yang sering kita dengar
memang benar: pada sebagian besar waktu, orang Prancis
bekerja untuk hidup, bukan sebaliknya, dan pekerjaan
yang mereka lakukan sepertinya sangat mereka hargai.
Apakah kau menyadari betapa sopannya mereka? Sopir
taksi, pelayan, bahkan orang-orang berseragam hijau
yang menyapu jalanan terlihat puas dengan pekerjaan
mereka. Mereka sopan terhadap siapa pun, dan aku
tidak melihat ada orang yang memperlakukan pekerja
http://facebook.com/indonesiapustaka

rendahan seperti warga kelas dua.” Tim mengambil


beberapa foto saat kami berjalan.
“Kau tahu, aku rasa kau benar,” kataku. “Orang-
orang di sini sangat sibuk, tapi mereka libur pada hari
Minggu, dan mereka berhenti bekerja pada pukul lima
sore, selain itu mereka juga mendapatkan waktu makan
siang dan makan malam yang panjang. Aku tidak

178
PARIS

yakin ada banyak orang yang masih berada di kantor


saat senja. Dan, jika melihat semua taman yang indah
ini ... masyarakat benar-benar memanfaatkannya. Kau
ingat saat kita melihat sejumlah keluarga piknik di tepi
Sungai Seine kemarin sore, menyesap anggur mereka,
menikmati suasana santai sambil menonton kapal dan
bermain dengan anak-anak mereka? Omong-omong,
aku benar-benar ingin melakukan itu sebelum kita
pergi.”
Saat kami melanjutkan perjalanan, aku banyak
berpikir tentang sikap orang Prancis, tentang uang
dan pekerjaan. Semua orang di negara itu berhak
mendapatkan delapan minggu liburan setiap tahun
walaupun perusahaan bisa membuat perubahan sesuai
kesepakatan bersama. Aku pernah berencana untuk
meminta dibuatkan sepatu khusus untuk kakiku yang
ekstra besar, dan pembuat sepatu mengatakan, “Sepatu
itu baru akan jadi tahun depan karena aku tidak bekerja
pada bulan Juli dan Agustus.” Bisakah kau bayangkan
orang Amerika yang memasang harga $250 untuk
membuat sepasang sandal mengatakan itu?
Kami mengamati banyak contoh yang menegaskan
bahwa budaya Prancis tidak melahirkan pengusaha
yang memiliki motivasi tinggi. Tapi, budaya Prancis
http://facebook.com/indonesiapustaka

melahirkan kekaguman terhadap anggur, seni, makanan,


musik, dan keindahan. Dan, jika pekerja Prancis tidak
menyukai sebuah keputusan atau kontrak, mereka akan
menutup seluruh jalanan Kota Paris untuk membuat
pendapat mereka didengarkan. Itu adalah sikap orang
Prancis terhadap tanggung jawab pribadi yang sangat
kukagumi.

179
LYNNE MARTIN

Kami menyeberangi jalan, lalu berjalan di sepanjang


sungai. Kami memiliki waktu kosong untuk singgah di
Musee D’Orsay, rumah untuk koleksi seni impresionis
terbesar di dunia. Dibangun pada malam Festival Dunia
tahun 1900 sebagai stasiun kereta, museum itu sendiri
merupakan sebuah karya seni. Bahkan, museum itu,
Montparnesse—kiblat tradisional untuk seniman—
dan Taman Luxemburg, menjadi inspirasi untuk film
karya Martin Scorsese, Hugo, yang bercerita tentang
seorang anak yatim piatu yang tinggal di ruang kosong
di belakang jam besar dan menjaga jam itu selalu tepat
waktu agar dia tidak dibawa ke panti asuhan. Stasiun
itu sendiri ditutup pada 1936 dan dibuka lagi pada
1986 sebagai sebuah museum. Ruangan yang besar
dan cahaya alami yang masuk ke dalam dengan bebas
di Beaux-Arts membuatnya menjadi tempat favoritku
untuk menikmati lukisan yang paling kusukai. Langit-
langit yang tinggi di bagian utama gedung menciptakan
keintiman di galeri yang menyatu dengan museum dan
menambahkan interaksi personal dengan semua karya
seni yang ada di ruangan itu. Kami menikmati koleksi
karya seni dan sekelilingnya yang mengagumkan.
Saat kami berjalan di sepanjang lorong di titik
tertinggi museum itu, di mana menara jam kereta me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nawarkan pemandangan menakjubkan ke arah sungai


Seine, mataku berkaca-kaca. Hal semacam itu memang
sesekali terjadi secara tiba-tiba, pada saat aku paling
tidak mengharapkannya. Saat aku kembali ke tempat-
tempat yang pernah kudatangi bersama mendiang
suamiku, Guy, atau melihat pemandangan spektakuler
yang aku tahu pasti akan sangat Guy sukai, aku teringat

180
PARIS

bagaimana penyakit Alzheimer merenggutnya dariku.


Perasaan itu sama sekali tidak menodai cintaku yang
teramat dalam terhadap Tim. Dalam banyak hal, me-
miliki pernikahan yang membahagiakan membuat
orang lebih mudah untuk mencintai secara utuh.
Tim meraih tanganku. “Oh, Sayang, aku ikut ber-
sedih. Ingatlah kehidupan indah yang dia jalani, dan
betapa beruntungnya dia karena memiliki karier yang
dicintainya. Dan, yang terbaik dari semuanya, pria
beruntung itu bisa menikahimu selama dua puluh
tahun!” Tim mengerti dan menghargai fakta bahwa Guy
sangat baik kepadaku, dan kami cukup sering membahas
hal-hal yang kami tahu akan disukai Guy. Sensitivitas
Tim hanyalah satu dari sekian banyak sifatnya yang
membuatku sangat mencintainya.
Tim tersenyum dan mengecup pipiku. Pria itu selalu
tahu cara membuatku merasa lebih baik.
Kami berjalan ke Montmartre, lingkungan seniman
yang berada di bukit tinggi di atas Kota Paris. Toulouse
Lautrec dan karya kontemporernya tergantung di sana.
Picasso, Salvador Dali, Van Gogh, dan banyak seniman
lain pernah tinggal dan bekerja di sana. Kami menaiki
tangga yang luar biasa banyak menuju Sacré-Coeur,
tempat ribuan turis menikmati pemandangan paling
http://facebook.com/indonesiapustaka

dikenang di Paris, garis langit Kota Paris membentang


berkilo-kilometer di bawah gereja. Tentu saja, begitu
sampai di puncak, kami baru menyadari ada kereta
gantung yang lebih efisien dan harga tiketnya cukup
murah, untuk membawa turis, yang mau repot-repot
membaca buku panduan Rick Steves mereka, ke puncak
bukit. Saat dengan iri kami memperhatikan kerumunan

181
LYNNE MARTIN

turis yang naik-turun kereta gantung itu, kami


mengatakan kepada diri kami sendiri bahwa jantung
kami yang berdetak cepat, tubuh kami yang berkeringat,
dan lutut kami yang pegal akan mendapatkan ke-
untungan dari olahraga berat yang kami lakukan tadi.
Namun, mendaki tidak memberikan keuntungan
pada rambutku yang sudah kusut. Saat aku pulang ke
apartemen dan melihatnya, aku tahu aku tidak bisa lagi
menunda meminta bantuan profesional.
Andie menjadi penyelamatku. Aku menjelaskan
masalahku kepadanya: di kapal selama dua minggu,
kemudian dua minggu di Turki, dan sekarang hampir
setengah bulan di Paris. Aku membutuhkan bantuan.
Aku tidak bisa lagi menyembunyikan rambut ubanku
dengan cara menyisir yang tepat, dan bagian samping
rambutku sudah menyerupai rambut George Washington
atau rambut Barbara Bush, yang memang mirip dengan
satu sama lain.
“Tidak masalah,” kata Andie. “Ada salon lokal yang
cukup bagus dan harganya masuk akal, tapi karena
kau berada di Paris dan membutuhkan penampilan
yang berbeda, aku rasa kau harus pergi ke Dessange
International. Harganya cukup mahal, tapi kau akan
menjadi wanita yang bahagia. Tempat itu sangat mewah
http://facebook.com/indonesiapustaka

hingga kau membutuhkan visa khusus untuk bisa


masuk ke sana! Kau ingin aku menelepon mereka untuk
membuatkan janji besok?”
Aku mengangguk lemah.
Beberapa hari kemudian, Tim menemaniku berjalan
di sepanjang jalan Champs Elysée menuju jalan utama
Franklin Roosevelt. Pergi ke Dessange International

182
PARIS

bukanlah tantangan yang sanggup kuhadapi sendirian.


Papan nama berwarna emas (camkan, kata emas berarti
bersepuh emas, berkilauan, dan mahal) menyatakan
bahwa kami sudah sampai di gedung neo-klasik di
jalanan yang megah. Kami menaiki tangganya yang
lebar dan memasuki lobi berlantai marmer, berdinding
cermin, dan dilengkapi lampu gantung kristal yang
besar dan berkilauan. Seorang wanita muda cantik be-
rambut cokelat dengan potongan rambut dinamis dan
senyuman indah menyapa kami dalam bahasa Prancis,
yang dengan malu-malu kubalas dengan bahasa Prancis
standarku. Wanita itu memberi isyarat kepadaku untuk
menunggu sebentar.
Aku pikir aku sudah terlihat cukup rapi saat
meninggalkan apartemen. Bahkan, aku mengenakan
pakaian terbaikku, memilih perhiasanku dengan hati-
hati, dan memoleskan sedikit make-up untuk me-
mastikan aku tidak terlihat menyedihkan di depan
para ahli tata rambut Prancis. Tapi, segera setelah
aku melangkahkan kaki ke dalam salon, aku merasa
seperti wanita gelandangan yang tidak cocok berada di
lingkungan mewah yang mengintimidasi ini. Setelahnya,
Tim mengatakan kepadaku bahwa saat wanita dari
lemari penyimpanan mantel datang menghampiriku
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk menawarkan jubah plastik putih, aku menoleh


dari atas bahuku ke arah Tim dengan sorot panik, seolah
wanita itu datang dengan membawa jaket pengikat
orang gila.
Untung saja, ketakutanku berubah menjadi ke-
gembiraan saat Roberto, manajer salon asal Italia yang
mengenakan setelan tak bercela, datang. Bahasa Inggris

183
LYNNE MARTIN

dan penampilan Roberto sama mengesankannya.


Roberto juga sangat hebat dalam menyambut tamu
hingga dalam waktu singkat ketakutanku lenyap dan
aku percaya bahwa tempatku memang di sana.
Roberto menyentuh sikuku dan membawaku ke ruang
utama salon, tempat para tamu dan teknisi dikelilingi
cahaya terang dari lampu gantung yang terbuat dari
kristal. Tas tangan Gucci dan Chanel berjejer rapi di
samping sepatu para tamu yang membuat semua wanita
iri, dan suara gunting serta obrolan ringan terdengar
di sela-sela alunan musik klasik yang menenangkan.
Tidak ada musik rock n roll, pop, atau hip-hop yang bisa
mengganggu para tamu di kuil kecantikan ini, seperti
yang sering kutemui di salon-salon yang ada di Amerika
Serikat.
Setelah membawaku ke kursi, aku dan Roberto
mengobrol singkat sementara Karen (Kah-reeen), seorang
penata rambut bertubuh tinggi dan berambut pirang,
menyelesaikan tugasnya menggunting rambut seorang
wanita elegan di kursinya. Kah-reeen menghampiri
kami. Roberto dan Kah-reeen membicarakan kasusku
dalam bahasa Inggris yang cepat, mengamati rambutku
yang sudah sangat berantakan. Mereka tidak mengatakan
hal yang buruk tentangku, tapi aku tahu mereka merasa
http://facebook.com/indonesiapustaka

kasihan kepadaku.
Kemudian, Roberto menjelaskan dalam bahasa
Inggris bahwa aku akan dikembalikan ke Kah-reeen
setelah warna rambutku diperbaiki, dan Roberto mem-
bawaku ke tangga besar melengkung yang dilapisi karpet
putih dengan susuran terbuat dari kuningan berpoles
menuju ruang pewarnaan rambut di ruang bawah

184
PARIS

tanah. Para tamu ditempatkan di kubikel terpisah,


masing-masing menghadap taman kecil yang indah di
luar jendela besar. Tas Gucci dan Chanel ada di samping
mereka, kaki mereka dihiasi Christian Louboutin dan
Jimmy Choo, rambut mereka yang sudah diberi warna
tidak dibungkus dengan kertas alumunium dapur seperti
yang digunakan di salon biasa, tapi dengan selofan indah
yang berkilauan. Mereka terlihat seperti keranjang
hadiah Natal yang menunggu untuk dikirimkan.
Roberto memanggil Raul, yang datang ke kubikelku,
menggelengkan kepalanya, dan berdecak saat dia
menyisiri rambutku yang berakar kelabu dan berujung
pudar dengan jari-jarinya. Raul dan Roberto terlibat
percakapan serius tentang situasi gentingku. Akhirnya,
dengan tepukan lembut di bahu dan senyuman me-
nawan, Roberto meyakinkanku bahwa aku berada di
tangan yang tepat dan bahwa Raul akan mengubahku
menjadi dewi.
Raul kembali dengan membawa baki perak yang
dipenuhi stoples dan kuas cat. Tidak lama kemudian,
aku terlihat seperti wanita yang lain, dengan kepala
yang berubah menjadi landak berambut bulu ayam. Aku
mengamati tamu yang lain menyesap sampanye mereka,
menikmati makan siang yang jumlahnya sangat sedikit
http://facebook.com/indonesiapustaka

(tidak heran mereka semua kurus kering), membuka-


buka majalah fesyen Prancis, sambil menerima perawat-
an manikur dari seorang wanita muda yang duduk
di kursi pendek, berusaha untuk tidak terlihat tidak
nyaman. Tidak ingin membuat diriku sendiri jadi
tontonan dengan meminta orang lain melakukannya,
aku pergi ke kamar mandi berlantai marmer dan

185
LYNNE MARTIN

memfoto diriku sendiri dengan kepala terbungkus


helm plastik. Aku pikir teman-temanku yang membaca
blog-ku harus melihat ini, dan seperti biasa, aku hanya
tertawa melihatnya. Terkadang aku adalah penonton
terbaik diriku sendiri.
Saat aku kembali, seorang gadis berpakaian serbaputih
membawaku ke area pencucian rambut. Di sinilah di-
mulainya pengalaman bak di surga. Kursi hangat me-
mijat tubuhku seolah aku sedang berada di spa, jauh
berbeda dari salon kecantikan yang biasa kudatangi, di
mana petugas yang mencuci rambut akan menggosok
kepalaku dengan sangat kuat (selalu lebih banyak di satu
sisi dibandingkan sisi yang lain) sambil mengobrol seru
dengan petugas lain yang juga sedang mencuci rambut
tamu lain di kursi sebelah. Selagi semua obrolan seru itu
berlangsung, sedikit demi sedikit leherku akan menjadi
kaku, karena ditopangkan di tepi westafel porselen yang
keras. Wangi sampo Dessange bertahan selamanya,
dan aku merasa sangat nyaman hingga aku pasti akan
tetap berada di sana jika mereka membiarkanku tinggal
lebih lama. Saat aku terbangun dari komaku yang mem-
bahagiakan, seorang gadis membungkus kepalaku
dengan handuk hangat dan melipatnya serapi dokter
bedah. Jika aku punya tas Gucci dan sepatu Christian
http://facebook.com/indonesiapustaka

Louboutin, aku mungkin akan rela menukarkan salah


satunya dengan pengalaman tadi.
Roberto muncul lagi, dan aku dibawa menaiki
tangga melingkar untuk menemui Kah-reeen lagi.
Kah-reeen menciptakan potongan rambut elegan dan
sempurna seperti yang kuimpikan. Setelah Kah-reeen
selesai, kami saling bertukar ciuman pipi dan aku pergi

186
PARIS

ke kasir. Biayanya membuatku terhuyung, tapi dalam


kondisi euforiaku sekarang, aku akan dengan senang
hati menyerahkan seluruh asetku untuk membayarnya.
Roberto memberiku amplop kecil, yang bisa kugunakan
untuk menyelipkan uang tip kepada gadis yang mencuci
rambutku, Raul yang mewarnai rambutku, dan Kah-
reeen teman baruku yang fantastis.
Tim menemuiku di lobi, di mana seorang petugas
mantel mengganti jubah linenku dengan mantel hitam-
ku yang praktis dan membosankan. Roberto meng-
antar kami ke pintu, dan sekali lagi aku menjadi wanita
gelandangan. Tapi, aku wanita gelandangan asal Amerika
dengan rambut paling bagus di Paris!

Selama sebulan berada di Paris, kami tidak pernah


berhasil pergi ke Menara Eiffel, ke Giverny, atau ke
rumah Monet yang indah yang letaknya tidak jauh dari
kota. Kami juga tidak jadi piknik di Sungai Seine karena
cuacanya tidak mendukung. Kami justru lebih sering
makan di rumah, memenuhi meja kecil kami dengan
bermacam makanan dari pasar lokal dan makanan
sisa dari pantri dan kulkas. Meskipun di sebagian
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat bulan Juni menjadi tanda awal musim panas,


di Eropa suhunya masih sangat dingin dan hujan turun
hampir setiap hari, yang merusak rencana kami untuk
piknik dan membuat rambutku kusut (aku tidak akan
pernah mau membuat Roberto, Raul, atau Kah-reeen
yang malang mengalami kengerian lagi saat melihat
rambutku). Atau, cuaca bisa menjadi sangat panas dan

187
LYNNE MARTIN

kering, membuat perjalanan singkat ke stasiun Metro


menjadi sesuatu yang sangat tidak nyaman. Turis yang
bijaksana selalu bersiap untuk menghadapi apa pun dan
menggunakan trik pakaian berlapis sebaik mungkin,
sesuatu yang akhirnya selalu kami lakukan. Kami juga
harus berjalan berkilo-kilometer mengelilingi kota kami
tercinta tanpa ada tujuan tertentu, bahkan berkeliaran di
Pemakaman Montparnasse pada sore hari, di mana para
penyair, penulis, dan komposer beristirahat bersama
dalam keharmonisan di bawah pepohonan. Biasanya
kami akan duduk di dekat kuburan budayawan besar
Prancis seperti Baudelaire, Sartre, dan Beckett.
Pada salah satu hari terakhir kami di Paris, kami
menikmati telur orak-arik yang berkrim dan berwarna
keemasan, bersama dengan roti Prancis sisa, crème
fraiche, kaviar kecil, madu, salmon asap, dan salad yang
berisi maiche, parsley, arugula, dan selada merah yang
bagian atasnya ditaburi walnut dan cuka cair. Saat kami
berada di tempat-tempat yang hanya ada makanan
“biasa”, terkadang aku membayangkan isi kulkas
dan pantri kami di Prancis. Aku menikmati segelas
sauvignon blanc sisa semalam, dan Tim menikmati
bir Jerman non-alkohol. Tim juga memilih musik jaz
lembut dari Madelaine Peyrox sebagai musik latar kami.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sambil menikmati semuanya, kami mengamati wanita


anggun yang sedang merawat bunga geraniumnya,
sementara ibu bintang film di seberang jalan naik ke
mobil BMW-nya dan melaju pergi. Kami merasa sangat
betah dan nyaman dengan lingkungan ini karena kami
benar-benar berhasil menjalani kehidupan normal
saat menjadi pengelana tanpa rumah! Hidup memiliki

188
PARIS

ritme; kami memiliki teman dan kehidupan sosial. Kami


berada di jalur yang tepat.
Karena sekarang waktu kami di Paris sudah hampir
habis, kami merasa sedih saat membayangkan harus pergi
dari sini. Meskipun kami sudah berusaha keras untuk
mengendalikan diri, barang-barang kami bertambah
dengan cukup signifikan. Yang menyelamatkan kami
dari kondisi terpuruk oleh kesedihan adalah keyakinan
bahwa kami akan kembali tahun depan untuk tinggal
selama tiga bulan di sini.

Sore itu aku mulai berpikir tentang apa yang kira-kira


pantas kutuliskan untuk dipublikasikan di koran sekelas
Wall Street Journal. Semua ketakutanku muncul lagi,
tapi saat aku mulai mempertimbangkan bermacam jenis
rangka kerja untuk tulisan itu, aku mulai mengerti bahwa
orang-orang mungkin akan tertarik dengan kehidupan
kami sebagai pengelana tanpa rumah, dan bahkan
mendapatkan pelajaran dari kisah dua orang berusia
lanjut yang melakukan sesuatu yang sangat berani dan
berbeda dari yang diharapkan orang terhadap mereka.
Hampir semua orang yang kami temui di sepanjang
http://facebook.com/indonesiapustaka

jalan sejauh ini merasa tertarik dengan apa yang kami


lakukan, dan pengunjung blog-ku meningkat sedikit
setiap harinya. Mereka semua memiliki banyak sekali
pertanyaan tentang bagaimana kami bisa melepaskan
barang-barang kami, tentang detail asuransi perjalanan,
visa, penginapan, transportasi, dan yang lebih penting,
bagaimana perasaan kami saat menjelajahi dunia tanpa

189
LYNNE MARTIN

memiliki rumah tetap. Berada dalam posisi di mana aku


bisa berbagi cara pensiun yang baru ini dengan banyak
sekali orang membantuku mengatasi ketakutanku dan
mendorongku untuk mulai menuliskan artikel untuk
Wall Street Journal! Aku meyakinkan diriku sendiri
bahwa itu hanya sebuah permintaan, dan penolakan
tidak akan menjadi akhir dari duniaku. Jika itu terjadi,
aku bisa mundur ke tempat aku merasa lebih nyaman
dan dengan senang hati menjalankan lagi peranku
sebagai “istri dari”.

Kami terjaga sampai larut malam, memeriksa lagi detail


terakhir, menelepon anak dan cucu kami karena tidak
akan bisa memprediksi kualitas akses internet kami
selama beberapa hari ke depan. Kami juga berusaha
menenangkan dan menguatkan satu sama lain dalam
menghadapi serangan gugup yang sudah bisa diprediksi
dan kegelisahan yang selalu berulang setiap kali kami
akan pindah ke tempat baru. Ini bukan sesuatu yang
serius, hanya kekhawatiran kami yang muncul ke
permukaan. Kami berdua memikirkan hal-hal seperti,
aku bertanya-tanya apakah tempat yang berikutnya akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

semenyenangkan tempat ini? Haruskah aku membeli


celana lagi yang seperti itu? Celana itu sangat pas di
tubuhku dan aku tidak akan pernah bisa menemukan
celana yang sama di tempat lain. Apakah Robin
terdengar marah kepadaku di telepon tadi, atau itu hanya
imajinasiku? Seberapa buruk lalu lintasnya setelah kami
mengambil mobil di Charles de Gaulle?

190
PARIS

Pada pukul 8.00 keesokan paginya, kami menerima


ketukan kejutan di pintu apartemen kami. Itu tidak
mungkin sopir yang akan mengantar kami ke bandara,
di mana kami akan menyewa mobil untuk melanjutkan
perjalanan; sopir itu baru akan datang tiga puluh menit
lagi. Itu juga tidak mungkin Andie dan Georges, yang
selalu bangun setelah pukul sembilan pagi. Tapi, di
sanalah mereka berdiri, dengan memakai pakaian
lari, rambut berantakan, dan ada gelas kopi di tangan
mereka. Mereka datang untuk mengantar kami!
Kami sangat tersentuh oleh kedatangan mereka dan
berjanji untuk bertemu lagi nanti, saling bertukar
ciuman pipi, dan bergabung dengan kami ke lobi. “Au
revoir!” teriak si wanita yang memiliki bunga geranium
sambil melambaikan selang berkebunnya. Aku balas
melambaikan tangan, merasa senang karena akhirnya
dia menyapa kami!
Aku menoleh ke ujung jalan. Di sana berdiri teman
Afrika kami yang terlihat gagah dengan kostum favorit-
ku, jubah ungu dengan garis warna emas. Aku bertanya-
tanya apakah pria itu benar-benar seorang pialang
saham karena membaca Wall Street Journal setiap hari.
Andie dan Georges meniupkan ciuman saat taksi
membawa kami pergi. Kantong berisi seprai kotor kami
yang harus dicuci teronggok di samping mereka di tepi
http://facebook.com/indonesiapustaka

jalan, sisa-sisa kunjungan kami yang luar biasa selama


sebulan di Paris. Kami sudah tidak sabar ingin kembali
lagi.

191
Delapan

Italia
K ami mengambil mobil Peugeot sewaan kami di
Bandara Charles de Gaulle dan berkendara ke arah
selatan melewati lalu lintas Kota Paris yang padat. Tidak
ada seorang pun yang berbicara kecuali Victoria, GPS
kami, yang memberikan petunjuk arah dengan logat
Inggris yang kental. Victoria tidak bisa diganggu, bahkan
saat salah, yang jarang terjadi untuk sebagian besar orang,
dan yang terutama untuk kami. Kami bersyukur Victoria
tidak mengatakan “mengalkulasi ulang” rute saat kami
menyimpang dari arahan yang diberikannya, berbeda
dari sistem GPS lain yang pernah kami coba. Justru,
tanpa mengatakan apa-apa, Victoria akan mengoreksi
kesalahan kami secara internal dan langsung memberi
kami rute yang baru. Sejauh ini, Victoria sudah berhasil
http://facebook.com/indonesiapustaka

menuntun kami menjelajahi Meksiko dan Turki, dan


pasti akan membantu kami melewati Prancis menuju
Italia, tempat kami akan tinggal selama dua bulan, dan
lanjut ke Inggris, Irlandia, dan Portugal. Kami sangat
bersyukur dengan adanya Victoria di sisi kami.
Victoria mengarahkan kami di sepanjang wilayah
pedesaan Prancis menuju Vezeley, wilayah Burgundy,

192
ITALIA

sebuah desa kuno yang terkenal dengan biaranya yang


sudah berusia sepuluh abad. Pemandangan sangat
indah hingga hampir terasa tidak nyata. Menara-menara
anggun menjangkari desa yang menawan, dan kawanan
sapi merumput di padang rumput luas di samping
kebun anggur yang subur. Aku membuat tenggorokanku
sendiri sakit karena terlalu sering berseru “Ooooooooh”
dan “Aaaah”. Seperti biasanya, Tim yang malang hanya
bisa sedikit menikmati pemandangan indah yang
kami lewati, tapi syukurlah Tim sempat melihat—dan
mengelak—dari pengemudi gila, hewan ternak yang
berkeliaran, dan gerobak yang ditarik kuda dengan
muatan ranting kecil. Kami gembira dengan nasib
baik kami—untuk bisa merasa sangat bebas, sehat, dan
dikelilingi oleh keindahan alam yang bisa kami nikmati
sepenuh hati.
Saat kami tiba di Vezeley, Hotel de la Poste et du
Lion d’Or tampak sesempurna yang kami bayangkan.
Hotel itu memiliki atap bergaya khas Prancis, penutup
jendela warna biru, bagian teras yang terbuat dari batu,
dan pot jendela dengan tanaman geranium merah di
bawah empat cerobong besar. Kami berjalan ke lobi
dan menemukan lebih banyak pemandangan menarik:
karpet mewah, perabot antik, lukisan, dan banyak
http://facebook.com/indonesiapustaka

sekali pajangan tembaga yang mengilap. “Kami sangat


senang bertemu Anda!” ujar gadis cantik di belakang
meja. “Kamar Anda berada di lantai empat. Kami
tidak memiliki lift, tapi tahun depan kami berencana
memasang lift setelah diadakan renovasi.”
Kegembiraan kami memudar sedikit. Kami tidak
tertarik dengan “tahun depan”, karena tahun ini cuacanya

193
LYNNE MARTIN

panas, tangganya terjal, kami sangat lelah, dan kami


membawa terlalu banyak barang untuk diangkut satu
per satu ke lantai empat dengan menggunakan tangga.
Kami mencoba untuk meminta kamar lain di lantai yang
lebih rendah, tapi tidak bisa.
Kami memiliki masalah. “Baiklah, ini yang bisa kita
lakukan,” kataku saat kami kembali ke mobil. “Kita
hanya perlu mengatur ulang barang-barang kita. Kita
tidak membutuhkan banyak barang untuk menginap
semalam, dan jika kita memaksakan diri untuk
mengangkut semua barang kita menaiki tangga setinggi
itu, akan ada paramedis yang dilibatkan.”
“Apakah kau benar-benar ingin membongkar koper
di pelataran parkir, terlihat seperti pengungsi? Pakaian
dalam dan kaus kaki berterbangan ke sana kemari?”
tanya Tim.
“Oh, tenang saja, Sayang!” godaku. “Aku tidak merasa
malu dan kita tidak akan pernah bertemu dengan orang-
orang ini lagi.”
Dengan begitu, kami memulai insiden memalukan
di pelataran parkir. Kami mengatur ulang barang
perlengkapan mandi dan pakaian dalam, memasukkan-
nya ke dalam tas yang lebih kecil. Turis lain terhibur oleh
pertunjukan kami, tapi kami hampir tidak memper-
http://facebook.com/indonesiapustaka

hatikan mereka. Kami menyeret koper berisi campuran


barang-barang ke lobi dengan napas terengah. Seorang
pria muda menatap kami dengan ekspresi cemberut dari
belakang mejanya. Pria itu tidak menawarkan bantuan,
tapi justru memberi isyarat kepada gadis di sebelahnya.
Tampaknya gadis itu bukan hanya bertugas sebagai
resepsionis, melainkan juga kuli angkut! Gadis itu

194
ITALIA

mengambil kedua tas kami dan membawanya menaiki


tangga, meminta kami untuk mengikutinya. Sepanjang
perjalanan menuju kamar kami di lantai empat, gadis itu
tetap bersemangat. Sedangkan kami kehabisan napas.
Setelah meletakkan barang-barang di kamar, kami
pergi menyusuri jalanan berbatu untuk bergabung de-
ngan pengunjung lain di gereja kuno. Selama tiga ratus
tahun, para jemaat berkumpul di sana untuk memulai
ziarah mereka ke kuil suci Santiago de Compostela
di Spanyol, salah satu pusat ziarah kuno yang paling
penting. Pada 1190, Richard sang Hati Singa dan Philip
II August bertemu di sana untuk bertempur dalam
Perang Salib Ketiga, ketika pemimpin-pemimpin Eropa
mencoba untuk merebut lagi Tanah Suci. Di dalamnya,
biarawati dan pastur berdoa, suara mereka yang ter-
dengar harmonis terbawa sampai ke langit-langit batu
yang melengkung. Di dalam bangunan yang hanya
diterangi cahaya lilin, kami bisa merasakan kehadiran
jutaan pengunjung yang pernah membanggakan iman
mereka di tempat suci ini. Kami berdua terkesima oleh
misteri dan kesyahduan gereja itu.
Tentu saja, semua keindahan itu membuat kami
lapar. Jadi, sebelum kembali ke hotel kecil kami yang
serba pas-pasan, kami mampir dulu di kafe luar ruangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang ramai. Tim membutuhkan sedikit istirahat setelah


petualangan mengemudi yang pertama di Eropa.
Setelahnya, di ruang makan hotel, pria yang sebelumnya
cemberut di meja resepsionis menyapa kami. Sekarang
pria itu mengurus bar dan bertindak sebagai maitre d’.
Sikap pria itu masih belum berubah. Pria muda lain,
yang kami lihat memarkir mobil lebih awal dari kami,

195
LYNNE MARTIN

muncul dengan membawa daftar menu.


Dalam keadaan bingung, kami merasa tema Menara
Fawlty yang diceritakan mereka tadi muncul ke per-
mukaan. Pelayan yang kami lihat sedang mendorong
troli barang-barang pembersih di lorong datang ke
meja. Saat ini kami benar-benar berharap John Cleese
melangkah menyeberangi jalan, seperti yang dilakukan
oleh Basil Fawlty, dan memukul Manuel, si pelayan
berwajah masam. Tapi, ternyata itu adalah gadis cantik
yang membantu membawakan barang-barang kami
tadi. Sekarang gadis itu menyajikan escargot pesananku
dengan puff pastry dan saus krim, begitu juga dengan
foie gras Tim yang sangat lezat. Steik kami dimasak
sempurna, sayurannya disiapkan dengan baik, dan
anggurnya lezat.
Kami sangat menikmati makanan kami, yang anehnya
sama indah dan lezatnya seperti makanan yang kami
santap di Paris. “Astaga, ini makanan yang luar biasa,”
ujar Tim. “Tapi, cara hotel ini dijalankan, aku tidak akan
terkejut jika ternyata kokinya juga merangkap sebagai
kepala tukang kebun atau teknisi listrik!”
Tampaknya di hotel pedesaan yang kecil ini semua
orang memiliki beberapa tugas. Yang pasti mereka akan
segera mengalami musim panas yang terik dan lama.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Keesokan paginya, setelah menikmati sarapan yang


luar biasa, disajikan dengan pelayan yang mengenakan
kostum karakter aneh, kami menyeret lagi tas kami ke
mobil Peugeot dan meminta Victoria untuk membawa
kami ke laut.
Tapi, pertama-tama kami harus mendaki Pegunung-
an Alpen, pintu gerbang antara Prancis dan Italia. Jika

196
ITALIA

bangsa Romawi bisa mendaki hingga ke puncak gunung


pada saat musim dingin brutal untuk menaklukkan
bangsa Gaul, kami pasti bisa melakukan hal yang sama
dalam suhu yang jauh lebih hangat. Yah, sedikit lebih
hangat. Kami berhenti beberapa kali untuk istirahat-
dan-mengagumi pemandangan, mendesah kagum
oleh keagungan tempat itu sambil mengobrak-abrik
mobil kami untuk mencari jaket. Saat melanjutkan
perjalanan, sepertinya ada sepuluh ribu terowongan,
bersama dengan curah hujan yang tinggi. Ini bukanlah
situasi yang ideal untuk penderita klaustrofobia seperti
Tim. Aku berbalik ke arah Tim dan meledeknya, “Hei,
coba lihat itu. Orang Prancis memasang lampu neon
biru di terowongan dalam jarak yang teratur. Lihat ...,
tujuannya adalah jika kau berada dengan jarak satu
lampu biru dari mobil di depanmu, mungkin kau tidak
akan menyebabkan penumpukan kendaraan di luar dan
mengalami sesak napas di dalam terowongan sepanjang
enam belas kilometer.”
Tim tertawa. “Terima kasih untuk imajinasimu
yang liar, Sayang. Kau selalu bisa membuatku merasa
nyaman!”
Orang Italia tidak memiliki aturan keselamatan
seketat itu. Saat kami sampai di sisi pegunungan, tidak
http://facebook.com/indonesiapustaka

ada terlihat lampu berwarna biru untuk membantu


para pria macho yang suka mengambil risiko. Semua
orang mengurus masalahnya sendiri, dan sebagian
lagi sangat terburu-buru hingga mereka melewati satu
sama lain begitu saja di dalam terowongan. Aku sering
memejamkan mataku dan mencoba untuk menahan
doronganku untuk menjerit. Inilah perkenalan kami

197
LYNNE MARTIN

dengan gaya orang Italia. Mereka menyetir sama seperti


cara mereka berbicara—sangat cepat.
Kami merasa sangat senang dan lega (dan lebih hangat)
saat mobil kecil kami mengantarkan kami dengan selamat
melewati pegunungan ke Santa Margherita, kota pantai
yang indah di Italia yang berjarak sekitar tiga puluh dua
kilometer dari Genoa, di dekat Portofino. Laut berkilauan
di bawah balkon nyaman di kamar kami, dan sebuah
kota kecil tampak di sisi lain teluk. Di bawahnya, jejeran
kursi pantai dan payung yang ditempatkan dengan rapi
memenuhi pantai. Pelayan berseragam melayani para
pemuda matahari, membawakan minum dan handuk
atas permintaan mereka. Seperti itulah hotel pinggir
pantai Italia yang selalu kubayangkan. Syukurlah, Tim-
ku tersayang melonggarkan anggaran kami sehingga
kami bisa menikmatinya dalam kemewahan. “Bermain
jadi orang kaya” begitu ibuku menyebutnya.
Saat ini, kami sudah semakin terbiasa merencanakan
liburan singkat di antara kunjungan yang lama, dengan
semangat yang sama dan untuk alasan yang sama seperti
liburan akhir pekan kami di Amerika Serikat: untuk
bersantai dan memulihkan diri. Bahkan, pengelana
tanpa rumah juga membutuhkan istirahat dari kesibukan
berbelanja, memasak, mencuci, tidak peduli di mana
http://facebook.com/indonesiapustaka

pun mereka berada.


Kami menghabiskan satu malam liburan lagi di
Livorno di sebuah hotel besar yang belum lama ini
diperbarui, sangat berbeda dari tempat-tempat lain yang
pernah kami tinggali. Hotel itu memiliki lorong marmer
yang sepertinya memiliki panjang berkilo-kilometer,
dan kamar-kamar indah dengan langit-langit tinggi dan

198
ITALIA

kamar mandi mewah, tapi fasilitas yang paling tidak biasa


adalah kolam renang kaca di puncak gedung. Sungguh
sesuatu yang langka: berenang sambil memandangi Laut
Mediterania. Makan malam matahari terbenam kami
di teras atap menawarkan akhir yang sempurna untuk
liburan kecil kami.
Seperti yang mungkin sudah kalian ketahui se-
karang, aku dan Tim jarang sekali bertengkar. Tapi,
keesokan harinya, lalu lintas Kota Florence yang
kacau mengeluarkan sisi terburuk kami. Putaran dan
persimpangan sangat padat, dan terkadang, ada empat
atau lebih rute yang mungkin dilewati di masing-masing
pintu tol. Berada di jalur yang salah terbukti bisa sangat
berbahaya karena sebagian besar jalan adalah jalan
satu arah; tidak ada istilah menyetir mengelilingi blok
dan kembali lagi. Di kota yang lebih modern, orang
akan membuat tiga kali belokan ke kanan, kembali ke
jalanan awal, dan berbelok di arah yang berlawanan.
Cara itu pasti berhasil. Tapi, tidak di kota tua karena
jalanannya memutari satu sama lain sampai turis benar-
benar tersesat. Florence sangat padat hingga di sebagian
besar jalan, mobil diparkir dengan setengah roda berada
di trotoar, hampir tidak menyisakan ruang untuk
kendaraan yang sangat kecil untuk lewat di tengah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tengahnya. Terkadang, spion samping kami berbenturan


dengan mobil yang diparkir saat kami berusaha untuk
melewati sisa ruang yang sempit. Tidak perlu dikatakan
lagi, kondisi itu membuat amarah mudah sekali meledak.
Keanehan itu menjadi hal yang wajar di Florence,
atau di Italia. Ada banyak kota di Eropa yang berdiri
ribuan tahun lalu bahkan lebih, dan sebagian besar kota

199
LYNNE MARTIN

itu dikembangkan dari pola lingkaran, di mana gereja


atau katedral ada di tengah-tengahnya dan semua jalan
menyebar dari tengah ke arah luar di segala arah, seperti
sinar matahari yang meninggalkan sumber cahayanya.
Setidaknya, itulah rencananya. Kelihatannya sederhana
di peta, tapi saat mengemudi langsung di jalanan
tersebut, hampir mustahil untuk bisa mengetahui arah
di depan.
Dengan kondisi seburuk itu, tugasku adalah mem-
program Victoria, melihat peta, dan mencari belokan
yang tepat untuk memperingatkan Tim. Tugas Tim
adalah untuk menaklukkan apa pun yang ada di
depan kami, manuver tajam kadang dibutuhkan untuk
mengantarkan kami ke tempat tujuan tanpa membunuh
siapa pun. Kami berdua sangat gugup hingga perkataan
kami menjadi lebih ketus.
“Hei!” teriak Tim pada hari pertama itu, saat aku
mencoba mencari jalan mana yang harus kami lalui.
“Kita akan melewati terowongan kecil itu atau TIDAK?”
Aku berusaha keras untuk membaca peta GPS, yang
terlihat buram karena terkena pantulan sinar matahari
yang terik. “Tunggu dulu, sinar matahari membuat
petanya jadi buram. Aku tidak bisa memastikannya.”
“Sebuah jawaban minggu ini juga boleh,” jawab Tim
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan sinis.
“Jaga mulutmu. Victoria tidak menunjukkan te-
rowongan sama sekali, tapi aku rasa daripada marah-
marah, akan lebih baik jika kau masuk saja ke dalam
terowongan itu,” jawabku dengan nada suara yang sama
tidak ramahnya.
Tentu saja, Tim mengabaikanku dan menjauh dari

200
ITALIA

mulut terowongan. Karena ulah Tim itu, kami harus


memutar lagi, berkendara hampir satu kilometer di
tengah lalu lintas yang padat, memutar lagi, dan ber-
pindah ke jalur cepat yang padat untuk memutari sebuah
monumen besar. Baru setelah itu kami bertemu lagi
dengan mulut terowongan tadi. Dan, semua kerepotan
itu tidak memperburuk suasana hati kami.
“Oh, hebat,” erang Tim, sekali lagi melajukan mobil
di jalanan. “Jalanannya ditutup dan aku tidak tahu apa
yang harus dilakukan sekarang.”
“Berputarlah secepat mungkin dan masuk melalui
Nazionale,” ujar Victoria dengan tenang. Aku memelotot-
kan mata pada layar GPS. Berputar di Florence hampir
sama mustahilnya seperti aku menjadi editor di New York
Times. Akhirnya kami mengabaikan instruksi Victoria,
menepi, dan mengeluarkan peta kertas. Dengan bantuan
peta dan GPS Victoria, akhirnya kami berhasil sampai ke
pusat kota dan menuju bukit tempat kami akan tinggal.
Begitu kami berada di tengah kota, aku memberanikan
diri untuk menoleh ke sekeliling. Keramik merah yang
terpanggang sinar matahari tampak di semua atap
gedung yang berwarna pink pucat, ochre, dan kecokelatan.
Di sepanjang jalan utama yang lebar, pepohonan tua
menaungi patung tembaga seorang jenderal yang me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

nunggang kuda dan patung marmer Dewa Romawi


yang dikelilingi patung malaikat. Kami melewati toko-
toko yang menjajakan perhiasan dan scarf sutra, dan di
hampir setiap blok berdiri toko gelato. Di kafe kecil yang
ada di pinggir jalan, orang-orang menikmati secangkir
espresso dan mengunyah pastri untuk menghabiskan
waktu pada sore hari.

201
LYNNE MARTIN

Suara klakson mobil yang sangat keras menyela


observasi turisku ... dan pemicu terakhir untuk membuat
amarah Tim meledak. Setelah berteriak dengan kata-
kata kasar dan memberikan sinyal tangan yang dikenal
secara internasional, tiba-tiba saja amarah Tim menguap
dan dia berkata, “Wow! Coba lihat. Itu pom bensin yang
diceritakan Martha dan itu toko makanan kecil tempat
kita seharusnya berbelok. Aku rasa kita sudah hampir
sampai.”
Jika dipikirkan lagi, aku tidak tahu bagaimana
kami bisa sampai ke rumah baru kami hari itu. Seolah
menyusuri Florence masih belum cukup berat, kami
harus berhadapan dengan tikungan yang ada di ujung
jalan setiap kali kami kembali dari berjalan-jalan di luar.
Tikungan itu sangat tajam hingga, selama kami tinggal
di sana, hanya dua kali Tim berhasil berbelok dalam
sekali putaran. Saat melakukan ratusan belokan lain,
Tim harus berhenti, mundur sedikit, dan mulai berbelok
lagi dengan arah yang berbeda, sambil terus mengawasi
kendaraan lain yang datang dan menyalip dari arah lain.
Atau, bisa kukatakan, menerobos. Sebelum berbelok
di tikungan berikutnya, sudut mati, Tim menekan
klakson untuk memperingatkan orang yang mungkin
muncul secara tiba-tiba dari jalan yang sangat sempit
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan membunuh semua orang yang terlibat. Orang Italia,


seperti halnya orang Irlandia, mengemudi seolah mereka
yakin akan adanya kehidupan yang membahagiakan
di alam setelah kematian (dan aku yakin banyak dari
mereka yang merasakan itu).
Saat kami tiba, yang menyambut kami adalah anjing-
anjing yang bersemangat, tuan rumah kami Francesco

202
ITALIA

dan Martha, tukang kebun, pelayan, dan tetangga yang


lewat. Mereka semua membantu membawakan koper-
koper menaiki bukit yang terjal untuk sampai di pintu
apartemen sewaan kami. Tiba-tiba saja, rasanya seperti
kami sedang berjalan ke adegan film Under the Tuscan
Sun.
Apartemen kami terbilang BESAR menurut standar
kami. Pada saat itu, kami sudah terbiasa tinggal di
apartemen yang hanya seluas empat puluh enam meter
persegi atau bahkan kurang. Tempat ini setidaknya me-
miliki luas hampir seratus meter persegi! Setiap ruangan
menawarkan pemandangan kebun anggur, vila, gereja,
kebun buah, jejeran pohon cemara yang membatasi
ladang yang menghijau, pemandangan yang biasanya
hanya bisa kulihat melalui gambar di kartu pos. Di
tengah lembah, Florence’s Duomo tampak berkilauan.
Di teras kami memiliki perapian luar ruangan, westafel,
dan meja bar untuk menjamu tamu. Biaya sewa kami
juga termasuk akses untuk menggunakan kolam renang
yang berada satu lantai di atas apartemen kami, jadi
kami bisa berenang sekaligus menikmati pemandangan.
Perfezione!
Francesco, yang merupakan seorang pengacara di
Florence, mengundang kami ke jamuan makan malam
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang diadakan besok di apartemennya dan Martha


yang terletak di bawah. Saat Francesco meninggalkan
kami, kami menikmati minuman dingin dan camilan
yang disediakan Martha sebagai hadiah penyambutan.
“Nah, ini baru luar biasa!” seru Tim. “Kami punya
waktu dua bulan di sini, jadi kita benar-benar bisa me-
nyesuaikan diri dan menikmati waktu kita. Kita bisa

203
LYNNE MARTIN

menulis pada pagi hari dan kemudian keluar sebentar


pada siang hari untuk berjalan-jalan. Aku yakin aku bisa
membuat kemajuan cukup pesat dengan bukuku selama
kita ada di sini, dan kau akan memiliki cukup banyak
waktu untuk menyelesaikan artikel Wall Street Journal
dan mengirimkannya. Kemudian, setelah itu, kita bisa
pulang ke rumah, berenang, menyiapkan makan malam
sederhana, dan menyantapnya di teras.
Syukurlah, Tim adalah orang yang sangat ter-
organisasi. Seseorang harus memikirkan semua itu. Aku
mengagumi semangat Tim.
“Sederhana adalah kata yang kuncinya di sini,”
jawabku. “Setelah sebulan di Paris dan empat hari di
jalanan, aku bisa melewatkan makan malam sama
sekali.”
Tapi, sementara itu, aku menenggak segelas besar
Chianti dan mengambil beberapa potong keju kambing
herbal dan mengoleskannya ke atas roti buatan rumah,
di bagian atasnya kutambahkan tomat yang dikeringkan
sinar matahari.
Martha, nyonya rumah kami, adalah saudara tiri
teman baik kami di Los Angeles. Mereka memiliki ayah
yang sama, tapi Martha 100 persen Italia asli dalam semua
hal. Wanita yang cantik dan dinamis itu menata rambut
http://facebook.com/indonesiapustaka

kelabunya dengan gelungan acak yang menarik dan


mengenakan pakaian tipis dan lembut yang cocok untuk
cuaca panas saat ini. Selama bertahun-tahun, saat Martha
datang mengunjungi saudara tirinya di California, yang
merupakan seorang komposer sekaligus teman baikku
dan Guy, kami menjadi saling mengenal dengan cukup
baik. Tahun lalu, aku dan Tim pernah tinggal di rumah

204
ITALIA

pedesaan Martha, kastil Porciano di Lembah Casentino


yang terletak sekitar sejam perjalanan dari Florence (iya,
aku memang baru saja mengatakan Martha tinggal di
kastil), tapi kali ini kami ingin merasakan pengalaman
tinggal di Florence, jadi Martha memberikan diskon
untuk menyewa aparteman selagi penyewa utamanya
sedang pergi cukup lama. Situasi kami terasa ideal, dan
kami duduk di kursi teras sambil mengamati langit
malam yang berwarna pink, dan di bawah kami tampak
lampu-lampu kota yang mulai hidup.
Keesokan harinya, Martha mengantar kami ke Essa-
lunga, supermarket besar di sana. Dengan gaya khas
Italia, Martha menggunakan penanda tertentu untuk
membantu kami mengingat rutenya. “Kalian lihat deret-
an pohon cemara yang ada di ujung sana?” Martha
bermanuver dengan tiba-tiba untuk menghindari motor
Vespa yang membawa sebuah keluarga yang terdiri dari
empat orang. “Di sanalah kalian harus memutar agar
bisa berbelok ke arah kiri di jalan itu. Dan, lihat,” lanjut
Martha, dengan semangat melambaikan satu tangannya
ke arah bangunan terakota dengan atap keramik, seolah
insiden nyaris tabrakan dengan motor Vespa tidak
pernah terjadi. “Di ujung bangunan ini, saat kau melihat
pohon pinus yang sangat besar, kalian harus belok
http://facebook.com/indonesiapustaka

kanan.”
Kepala kami berputar saat mencoba untuk meng-
ingat semua itu. Biar kujelaskan kepada kalian: mungkin
ada sekitar lima ribu pohon pinus dan enam ribu
pohon cemara di setiap wilayah di Florence. Selain
itu, semua bangunan memiliki warna terakota dengan
atap keramik. Martha berusaha sebaik mungkin untuk

205
LYNNE MARTIN

memberi petunjuk yang jelas kepada kami, tapi terbukti


kami adalah murid yang payah. Untuk waktu yang
lama, lokasi Essalunga tetap menjadi misteri layaknya
Bigfoot. Kami tahu bahwa setiap kali kami pergi untuk
berbelanja, kami pasti akan tersesat setidaknya satu kali,
terkadang lebih. Seperti kata orang Italia, così è la vita,
itulah hidup!

Malam itu, kami tiba di acara jamuan makan malam,


di mana dua belas orang dari lima negara yang berbeda
berkumpul di teras apartemen Francesco dan Martha.
Semua orang menguasai lebih dari satu bahasa—kecuali
kami. Apakah kami baru saja mendarat di bentangan
halaman majalah Bon Appétit? Kau tahu seperti apa
mereka: kelompok orang yang terlihat cerdas dan glamor
asyik mengobrol di sekeliling meja yang warna-warni,
cahaya lilin berkilauan ... dan sebagai kesan tambahan,
makanan asli Tuscan dan anggur lezat disajikan dengan
melimpah ruah. Orang-orang kaya Eropa bersikap baik
kepada kami, manusia yang kurang beruntung dan
menerjemahkan setiap perkataan mereka agar kami bisa
ikut berpartisipasi. Perbukitan yang ada di sekeliling
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami menggemakan setiap kisah yang diceritakan dalam


beberapa bahasa dan ditemani dengan gelak tawa (yang
terdengar sama, tidak peduli dalam bahasa Inggris,
Italia, Prancis, atau Kroasia).
Saat percakapan terus berlangsung, Tim mengatakan
tentang betapa tidak sabarnya kami untuk bisa sampai
ke Kota Florence yang mengagumkan. Bayangkan

206
ITALIA

keterkejutan kami saat para tamu, bahkan Martha


dan Francesco, menyesali kondisi Florence yang me-
nyedihkan.
“Apa maksudmu?” tanyaku. “Kami baru ke sini
delapan belas bulan lalu dan menginap selama beberapa
hari, dan tempat ini masih sama memukaunya seperti
sebelumnya! Istananya, patung yang indah, toko-
toko yang menarik, seni dan arsitekturnya yang tak
tertandingi ..., bagaimana mungkin itu sudah berubah?”
“Itu sebabnya kami ingin memperingatkan kalian,
agar kalian tidak terlalu kecewa,” ujar salah satu tamu,
Alta Macadam, seorang penulis artikel perjalanan yang
pernah mengedit lebih dari empat puluh buku Blue Guide.
“Kota kami mengalami pukulan ekonomi yang sangat
berat, jadi belakangan ini Florence terkena dampaknya.
Tidak ada cukup dana untuk mempertahankan kondisi
kota seperti sebelumnya. Kenyataan itu mematahkan
hati kami.”
Dejan Atanackovic, pria Serbia yang mengajar seni
visual untuk mahasiswa New York University yang
mengambil program belajar di luar negeri dan merupa-
kan salah satu penyewa apartemen Francesco dan
Martha, menyambung, “Kau tahu seperti apa Florence
sekarang? Menurut pendapatku, kota ini sudah berubah
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi Disneyland Renaisans besar, dan sangat kotor.


Rata-rata turis menghabiskan empat setengah jam untuk
melihat-lihat kota yang memiliki koleksi karya seni
terbesar dibandingkan kota mana pun yang seukuran
ini di dunia. Tapi, kota ini tidak memiliki cukup uang
untuk membersihkan jalanan dan mengurus para
gelandangan. Sungguh mengejutkan dan menyedihkan.”

207
LYNNE MARTIN

Yang lain ikut menggelengkan kepala dengan murung.


“Semua karena berlabuhnya kapal pelayaran di sini,”
komentar teman Dejan dari Kroasia. “Dari pelabuhan
orang-orang datang ke kota dengan menggunakan
bus atau mengikuti tur satu hari dari tempat-tempat
seperti Venesia atau Roma, membeli sepotong piza
dan gelato, mengantre selama berjam-jam untuk me-
lihat patung David, dan kemudian kembali ke bus
mereka, meninggalkan berton-ton sampah, tapi hanya
membelanjakan sedikit uang.” Kami tahu apa maksud-
nya. Kami pun pernah berpikir seperti itu tahun lalu,
saat kami melihat barisan orang yang tidak ada habisnya
untuk melihat patung David karya Michelangelo di
Accademia Gallery. Bukan seperti itu ide bersenang-
senang menurut kami. Seorang wanita di ujung terjauh
meja, yang mengajar sejarah seni di Venesia, melontarkan
beberapa komentar tentang kesamaan masalah dengan
Kota Venesia yang jauh lebih banyak dikunjungi turis.
Saat makanan sudah dibereskan dan kopi disajikan,
terjadi diskusi serius antara Dejan dan si pria Kroasia
tentang sifat dari realita yang menarik perhatian semua
orang di meja. Harus kuakui bahwa otakku yang lelah
sulit untuk mengikuti diskusi brilian itu. Mereka
sungguh kelompok yang mengagumkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Malam itu, saat kami duduk di teras kami (privat!),


hanya mengenakan piama dan losion anti nyamuk, kami
mengingat lagi kejadian tadi. “Malam-malam seperti
ini membuatku mengerti mengapa kita menjalani
kehidupan yang gila ini,” kata Tim. “Sudah lama sekali
aku tidak pernah mendengar percakapan makan malam
yang secerdas itu: seorang pendidik asal Serbia dan

208
ITALIA

ahli statistik asal Kroasia membahas apakah hitungan


dan probabilitas matematika bisa digunakan untuk
membuktikan atau menyanggah pendapat bahwa sekadar
memikirkan sesuatu berarti sesuatu itu bisa terjadi? Aku
tidak percaya bagaimana dia bisa bermain-main dengan
susunan kata-katanya hingga dia mengekspresikannya
dengan cara yang membuat satu-satunya jawaban yang
mungkin hanyalah ‘iya’. Itu trik pesta yang sangat hebat.”
Aku menyesap anggurku. “Iya, kau benar. Aku terus
menoleh ke sekeliling meja, mendengar sepotong-
sepotong percakapan yang menarik itu. Apakah kau
sempat berbicara dengan pembuat kapal yang melakukan
perjalanan transatlantik seorang diri dengan kapal layar?
Sungguh prestasi yang membanggakan! Tapi, mendengar
tentang kemerosotan Florence sungguh menyedihkan.”
Tim menuang tetesan terakhir Chianti ke dalam gelas.
“Yah, aku rasa sebaiknya kita melihatnya sendiri dalam
beberapa hari ke depan, setelah kita mengisi pantri kita.”

Keesokan paginya, kami melakukan rutinitas hari per-


tama kami, dan pergi berbelanja barang kebutuhan
sehari-hari. Kami duduk di dalam mobil di jalanan kecil
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang ada di luar vila, menunggu suhu mendingin dari


apa yang terasa seperti enam puluh lima derajat Celsius,
selagi menyiapkan diri kami secara mental untuk
menghadapi lalu lintas Italia lagi. Aku mengetikkan
instruksi ke GPS kami. Setelah menarik napas panjang
beberapa kali untuk mengumpulkan keberanian, Tim
mulai melajukan mobil menuruni bukit menuju jalan

209
LYNNE MARTIN

utama Bolognese (yang oleh Victoria dieja sebagai


BOWL AGH KNEES). Tim menaklukkan jalan sempit
dan tikungan mati dengan keberanian seorang Mario
Andretti, pembalap mobil terkenal. Sekali lagi, keahlian
Tim dalam mengantarkan ke tempat yang kami inginkan
membuatku memandangnya dengan takjub. Tim
bahkan bisa tetap tenang saat pengendara skuter melaju
zig-zag hanya beberapa sentimeter dari mobil kami dan
mengebut di jalanan yang ramai. (Bukan diam, ingat itu,
tapi tenang.)
Kami sampai di Pasar Essalunga tanpa mengandalkan
Victoria, yang sepertinya mengalami hari yang buruk.
Dan, kami tidak berhasil menemukan pohon cemara
yang pernah ditunjukkan Martha atau tanda lainnya.
Dengan kata lain, akhirnya kami hanya mengikuti
insting, yang mungkin menjadi semakin tajam karena
sering melakukannya. Essalunga tidak jauh berbeda
dengan semua supermarket besar, tapi dengan gaya khas
Italia. Dengan kata lain, tempat itu membingungkan dan
penuh dengan orang yang terburu-buru hingga mereka
tidak menghargai orang lain yang memperlambat
mereka.
Dengan cepat kami menyimpulkan bahwa berbelanja
barang kebutuhan sehari-hari di Essalunga bisa menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

olahraga yang membutuhkan keahlian dan tekad kuat.


Ini prosedur belanja di supermarket Italia: sebuah
mesin di tengah-tengah mengeluarkan sarung tangan
dan kantong plastik. Orang yang berbelanja mengambil
sarung tangan plastik, mengambil beberapa kantong
plastik, dan memilih barang yang ingin dibelinya. Tidak
boleh meremas barang yang hendak dibeli. Orang hanya

210
ITALIA

boleh melihat, memilih, dan memasukkannya ke dalam


kantong dengan menggunakan tangan yang terbungkus
sarung tangan plastik. Dan, tolong lakukan dengan
cepat.
Pada beberapa kunjungan pertama kami, aku terus
menyeret kereta belanjaan di sampingku, yang mem-
buatku sering didorong dan disenggol oleh pembeli lain.
Pada awalnya, itu membuatku sangat kesal. Aku tidak
pernah menyangka orang Italia sekasar itu! Biasanya Tim
(dengan bijaksana) tetap berada di bagian samping rak
jika situasi di dalam supermarket sedang sangat padat
karena alasan yang sudah jelas. Karena akulah yang
harus bertarung di setiap rak, sedangkan Tim hanya
mengamati di kejauhan, Tim bisa melihat pola yang
tidak bisa kulihat. Setelah beberapa kali pengamatan,
Tim menegaskan bahwa orang Italia memarkirkan
kereta dorong mereka di bagian tengah supermarket
dan berkeliling hanya dengan membawa kantong plastik
kecil untuk diisi dengan barang-barang yang mereka
butuhkan. Dengan begitu, mereka tidak akan saling
tabrak dan membuat kereta dorong mereka melaju ke
keranjang tomat. Bingo. Saat aku meniru metode mereka
dan bukannya mengikuti kebiasaanku di negara lain,
segala sesuatunya menjadi jauh lebih mudah. Beradaptasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan negara yang kita datangi adalah bagian penting


untuk menjadi pengelana yang baik—dan memudahkan
perjalanan kita. Aku terus mengingatkan diriku tentang
hal itu sepanjang waktu!
Kembali ke proses-pembelian di supermarket. Setelah
memilih buah dan sayuran, pembeli akan langsung ber-
baris di depan meja timbang. Belanjaan akan ditimbang

211
LYNNE MARTIN

dan pembeli menekan tombol bergambar, yang sesuai


dengan jenis barang yang ditimbang. Jika gambar
produk tidak ada di tombol yang tersedia, pembeli harus
mengetikkan nomor produk yang dibelinya, berbentuk
tulisan kecil-kecil di label harga di tempat pembeli
mengambil barang tersebut. Tidak mengingat nomor
itu berarti kau harus menyerahkan tempatmu di barisan
kepada orang di belakangmu. Tidak seperti orang
Prancis yang lebih pasif dan santai, mereka yang ada
di belakangmu sudah mendorongmu untuk bergegas
dengan tas belanjaannya. Sedangkan kau harus berjalan
lagi ke rak barang, menghindari sikutan pembeli lain dan
memperhatikan kakimu agar jarimu tidak terlindas roda
kereta dorong, kemudian mengingat nomor produk di
rak, dan memulai lagi dari awal. Akhirnya, mesin akan
mengeluarkan stiker label, yang harus ditempelkan di
kantong belanjaanmu.
Biasanya aku memilih hanya membeli barang yang
memiliki gambar di tombol mesin karena aku tidak
pernah bisa mengingat nomor. Selain itu, sepertinya
selalu ada janda Italia tua bertubuh mungil dan me-
ngenakan gaun bunga-bunga yang bernapas di leherku—
atau embusan napasnya naik ke leherku, mengingat
perbedaan tinggi tubuh kami—saat aku membuat diriku
http://facebook.com/indonesiapustaka

sendiri terlihat bodoh, membuat sarung tanganku


tersangkut di label harga dan kantong belanjaan saat aku
bergegas menempelkan label harga barang yang kubeli.
Pada saat itu, teman satu timku, yang mengamati dari
kursi, akan mendengus sambil tertawa geli. Butuh waktu
cukup lama bagiku untuk menyadari apa yang lucu.
Setelah beberapa kali kunjungan, kami mulai me-

212
ITALIA

nemukan polanya dengan sedikit kesulitan. Begitu kami


berhasil menaklukkan peraturannya, kami menikmati
tawaran menggiurkan dari pasar Italia. Sepanjang
musim panas, kami sering memakan buah persik manis
berwarna putih yang berbentuk seperti topi sultan,
melonnya berada pada puncak kematangan, ikan segar-
nya melimpah, dan tomat Italia yang sempurna yang
terasa seperti ditanam sendiri oleh tetanggamu. Roti
Tuscan, yang dibuat tanpa garam, adalah dasar dari
salad roti Tuscan yang diajarkan Martha kepadaku.
Kami juga membeli ham Italia, zaitun, dan makanan lain
yang menurutku merupakan makanan terbaik di dunia.
Makanannya sebanding dengan semua pengorbanan
untuk mendapatkannya, tapi pengemudinya tidak.
Setiap kami melangkahkan kaki ke dalam mobil, Tim
belajar cara lain untuk menyelamatkan nyawa kami.
Selama kami tinggal di sana, sepertinya kami menjadi
target semua pengemudi Tuscan. Pengendara motor
dan pengemudi yang suka kebut-kebutan menyerang
kami setiap hari, sepertinya tanpa alasan. Menurut
kami Tim mengemudi dengan sangat baik dan sopan
sehingga kami tidak bisa memahami alasannya. Saat
kami bertanya kepada Martha mengapa sepertinya
kami menjadi magnet masalah, Martha menatap kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan sorot kasihan dan menginformasikan kepada


kami bahwa tanda F biru di bagian belakang mobil
kami mengatakan kepada pengendara lain semua yang
harus mereka ketahui. F, sebagai kependekaan dari
France. Begitu Martha menjelaskan bahwa orang Italia
pada umumnya tidak terlalu menyukai orang Prancis,
dan bukannya tidak menyukai kami berdua, kami

213
LYNNE MARTIN

berhenti mempermasalahkannya dan hanya menerima


perlakukan itu.
Sial bagi kami, ada banyak orang Italia yang mengalami
suasana hati buruk sejak sebelum kami datang ke sana.
Penduduk lokal mengatakan kepada kami bahwa Italia
mengalami musim panas paling panas dalam dua ratus
tahun terakhir. Hari demi hari, suhu meningkat hingga
lebih dari tiga puluh tujuh derajat Celsius, dan suhu
nyaris tidak turun pada malam hari.
Panasnya sangat terik hingga kami hanya keluar
rumah dan berperan sebagai turis pada pagi hari.
Kemudian, kami akan kembali ke apartemen, di mana
kami bisa berada di dalam jangkauan beberapa kipas
angin yang kami nyalakan sepanjang waktu. Suatu hari,
saat kami menunggu malam agar kami bisa membuka
jendela, Tim berkata, “Aku merasa seperti tikus yang
hidup di oven zaman renaisans!” Tim benar. Tidak ada
hujan. Tidak ada embusan angin yang bertiup, kecuali
saat kami menepuk nyamuk.

Meskipun demikian, ada satu kenikmatan yang kami


syukuri pada siang hari yang selalu panas: kolam renang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang berkilauan. Kolam itu berada di tempat yang lebih


tinggi dari apartemen kami, memberi kami pemandangan
Kota Florence yang lebih spektakuler dibandingkan jika
kami melihatnya dari jendela apartemen. Pada hari-hari
ketika panasnya tidak seterik biasanya, kami membawa
minuman, makanan kecil, buku, dan komputer kami
untuk bersantai di bawah naungan pohon rindang.

214
ITALIA

Kami membaca, mengobrol, dan menulis saat jangkrik


memberikan musik latar yang sempurna untuk musim
panas, kemudian kami akan berendam di kolam renang
untuk mendinginkan tubuh.
Setiap hari, lampu perayaan Tuscan akan mengubah
bukit dan kota menjadi karya seni berwarna emas
berkilauan. Sangat mudah untuk mengerti mengapa
pelukis Italia memberi dunia hadiah yang sangat ber-
harga berupa lukisan langit yang mengagumkan dalam
karya mereka. Cahaya keemasan itu juga menarik teman
kami, Judy Butcher, ke Florence untuk mengambil
kelas seni di salah satu institut yang ada di sini. Kami
masih terus melakukan kontak sejak kami bertemu
dengan Judy di Meksiko, dan dia menjadi anggota
senior dari komunitas teman internasional kami yang
terus bertambah jumlahnya. Toh, kami akan selamanya
berutang budi kepada Judy yang mengatakan kepada
kami sejak awal tentang Kesepakatan Schengen. Judy
menyewa apartemen di dekat Sungai Arno yang berada
di jantung Kota Florence dari seorang wanita yang
ditemuinya di sebuah bus di Alaska.
Kami membuat janji makan malam di apartemen Judy
dan menemuinya di alun-alun Spirito Santo Church.
Pada saat itu, aku dan Tim sudah belajar cara parkir di
http://facebook.com/indonesiapustaka

stasiun kereta api, Santa Maria Novella. Bahkan, daya


tarik utama stasiun itu adalah pelataran parkirnya yang
terletak di bawah tanah, yang mudah untuk ditemukan
dan membuat mobil tetap sejuk. Namun, pada saat
kami menuju ke sana melalui Florence, menyeberangi
jembatan Arno, kami terengah dan berkeringat. Kami
sangat senang menemukan Judy sudah menunggu untuk

215
LYNNE MARTIN

membawa kami ke gedung apartemennya yang mungil


di sudut jalan.
Saat kami tertawa bersama dan merayakan per-
temuan kami lagi, Judy menekan tombol lift kuno yang
berbentuk seperti kandang untuk membawa kami ke
atas. Saat lift itu datang, klaustrofobia Tim muncul.
Kami terpaksa mendorongnya masuk ke dalam lift, dan
Tim berkata, “Yah, aku berharap benda ini tidak seperti
kelihatannya—lift ini berbentuk seperti peti mati!”
Memang benar—dengan ujung “kaki” yang cukup lebar
untuk anak kecil. Kami membiarkan Tim menaiki lift itu
sendirian.
Judy benar-benar sangat beruntung dalam perjalanan
busnya itu karena temannya, seorang seniman, telah
merenovasi tempat itu sepenuhya, membuatnya jadi
menghadap langsung ke taman bunga yang indah dan
dikelilingi atap antik dari keramik. Apartemen itu di-
dekorasi dengan gaya yang berselera tinggi, dilengkapi
dengan perabotan dan peralatan terbaru, dan yang ter-
penting memiliki pendingin udara. Jika aku tidak terlalu
terikat dengan Tim, aku mungkin akan meminta Judy
menjadi teman sekamarku yang baru!
Kami makan bersama beberapa kali selama Judy
tinggal di Florence, dan dia juga cukup sering datang ke
http://facebook.com/indonesiapustaka

apartemen kami untuk berenang. Suatu sore, saat kami


duduk dengan memakai baju renang kami yang basah
sambil menyesap minuman dingin, mencoba untuk
berkonsentrasi pada pemandangan di sekitar kami
dan bukannya pada suhu udara, Judy mengakui bahwa
antusiasmenya terhadap Florence menurun selama
kunjungannya kali ini, persis seperti yang kami rasakan.

216
ITALIA

Kami menghargai pendapatnya karena Judy adalah


seorang pengelana pemberani dan orang yang sangat
fleksibel yang tahu cara beradaptasi dengan situasi di
jalanan. Saat Judy berkata, “Kau tahu, sulit untuk jatuh
cinta pada Florence dengan kondisinya yang sekarang.
Aku sudah tidak sabar ingin segera menyingkir dari
panas, debu, dan kemacetan ini. Bahkan, aku berpikir
untuk pergi lebih cepat dan mengunjungi Jerman.” Kami
merasa seperti bayi Amerika yang suka mengeluh.
Bertekad untuk lebih fleksibel, kami terus mencari
cara untuk mengatasi panas yang terik. Suatu pagi,
saat aku menyesap kopiku, bertekad untuk menikmati
pemandangan Florence yang mengagumkan, selang
taman di dekat kakiku tersentak dengan sangat kuat
hingga membuatku melompat bangun dan menjatuhkan
cangkir kopiku. Tim berdiri di sudut terjauh teras,
siap untuk memulai apa yang akan menjadi ritual me-
nyiram harian kami. Tim menyentakkan selang itu
untuk membuatnya cukup panjang agar bisa ditahan
di atas kepalanya, dan dia berdiri di sana, tertawa dan
tersenyum, merasa senang dengan ide baru ini. Aku
terkikik geli dan bergabung dengan Tim dalam kontes
kaus basah kami.
“Setelah kita selesai bermain air, ayo kita keluar
http://facebook.com/indonesiapustaka

dari sini dan pergi ke kota,” ujar Tim. “Setidaknya kita


bisa mencari restoran ber-AC, dan mungkin kita bisa
berjalan-jalan sebentar.”
Tim menyiramku dengan lebih banyak air, yang
sangat kunikmati. Sudah sejak lama aku menyerah
berpenampilan glamor. Dengan udara sepanas ini,
rambutku jadi mudah lepek dan make-up-ku meleleh.

217
LYNNE MARTIN

Setelah mengeringkan badan, kami pergi ke Kantor


Turis di seberang jalan dari pelataran parkir “kami” di
stasiun, menemukan peta kota yang cukup lengkap,
dan pergi ke Duomo, sambil berjalan merapat ke
bangunan dan masuk ke dalam toko setiap kali kami
membutuhkan embusan udara dingin. Makan siang di
restoran yang dilengkapi AC mampu mengembalikan
lagi semangat kami, tapi pada pukul 2.00 siang, dengan
suhu udara yang terus meningkat, kami menyadari
mustahil bagi kami untuk mengunjungi museum. Yang
ada di dalam pikiran kami hanya kolam renang. Tapi,
fakta bahwa kami berhasil pergi sejauh itu membuat
seluruh petualangan tadi terasa seperti kemenangan
untuk kami.

Hal terbaik dari musim panas kami di Florence adalah


kunjungan putriku, Robin, selama sepuluh hari. Sudah
berbulan-bulan kami menantikan kedatangannya,
dan aku hampir tidak bisa tidur pada malam sebelum
pesawatnya mendarat. Kami sudah memenuhi rumah
dengan anggur dan makanan, memajang bunga di
apartemen kecil yang ada di atas apartemen kami,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tempat yang kami siapkan untuk Robin. Apartemen


itu memiliki dua kelebihan: akses langsung ke kolam
renang dan dua kata ajaib itu: AC. Kami pergi pagi-
pagi sekali untuk menjemput Robin di bandara, kami
sengaja berangkat lebih pagi agar memiliki waktu lebih
banyak untuk berkutat dengan lalu lintas yang semrawut
dan GPS Victoria yang sering bermasalah di sini, tapi

218
ITALIA

ternyata Victoria bisa diajak bekerja sama. Kami tiba di


bandara lebih cepat dari yang direncanakan.
Betapa bahagianya kami bisa melihat Robin kami yang
manis, cantik, dan ceria setelah berpisah lama sekali!
Kami bertiga berbicara berbarengan saat mengambil
barang-barang Robin dan pulang ke rumah. Tapi, rute
pulang langsung membungkam keceriaan kami. Di
Florence, karena ada banyak sekali jalan satu arah dan
jalan sempit, rute pergi dan pulang sering kali berbeda
total. Jalan yang dipilih Victoria untuk membawa kami
pulang mungkin jalur yang tercepat, tapi mengharuskan
kami mendaki bukit yang sempit dan terjal, dengan ujung
berupa tikungan yang sangat tajam, hingga pintu mobil
nyaris saja menggores dinding batu. Kami tidak bisa
mundur karena bukitnya terlalu terjal. Kami juga tidak
bisa maju tanpa menggores sudut bangunan di depan
kami. Dinding batu tinggi di seberangnya juga tidak
memiliki ruang yang cukup. Tim berusaha berbelok di
tikungan itu sesenti demi sesenti. Itu sangat mengerikan
hingga kami tidak sanggup bicara. Saat aku menoleh ke
kursi belakang, putri kami yang masih mengalami jet-
lag sudah menarik sweternya ke atas kepala. Sepertinya
aku mendengar Robin berdoa pelan.
Kami berhasil melewatinya, tapi lain kali jika kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

berada di sekitar sana, kami akan mengamati rute


dengan lebih hati-hati lagi untuk menghindari tikungan
neraka seperti itu. Saat kami menceritakan momen
menakutkan itu kepada Francesco dan Martha, mereka
menggelengkan kepala. Mereka sangat tahu tempat
yang kami maksud. Aku rasa mereka terkesan dengan
ketabahan dan kemampuan menyetir Tim karena

219
LYNNE MARTIN

bahkan sebagai penduduk asli sana, mereka sendiri akan


memilih jalanan lain yang lebih jauh untuk menghindari
tikungan maut itu.
Keceriaan dan selera humor Robin yang tinggi mem-
bawa perspektif baru yang lebih segar untuk hari-hari
panas kami, dan kami senang sekali bisa menunjukkan
hadiah mengagumkan yang dipersembahkan Florence
pada dunia. Bahkan, kondisi Florence yang menyedihkan
tetap tidak bisa menghapuskan keindahannya.
Martha dan Francesco mengundang kami untuk
membawa Robin ke Porciano. Perjalanan selama sejam
dengan menyusuri pedesaan, Lembah Casentino dihuni
oleh beberapa kastil dan banyak sekali kota indah di
sepanjang jalan. Orangtua Martha, yang bekerja sama
dengan pemerintah Italia, merestorasi menara kastil
pada tahun enam puluhan, membuatnya terlihat seperti
keajaiban modern yang muncul dari reruntuhan.
Saat kami berbelok di tikungan untuk mulai mendaki
bukit menuju kastil, Robin memekik senang, “Oh, ini
sungguh tidak bisa dipercaya. Aku pernah melihat foto-
foto kalian, tapi aku tidak pernah menyangka aslinya
semenakjubkan ini. Bukankah kalian pernah mengatakan
kepadaku bahwa Dante pernah tinggal di sini?”
“Katanya begitu, dan saat kastil itu diangkat untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

restorasi, mereka menemukan bukti bahwa manusia


tinggal di sini lama sebelum kastil tersebut dibangun
sekitar tahun 1.000,” jelasku. “Saat aku dan Tim tinggal
di sana, aku pernah sendirian selama beberapa menit.
Semua orang pergi keluar. Dalam kesunyian yang men-
cekam, aku yakin sekali aku mendengar orang berjalan.
Itu sedikit menakutkan, tapi sepertinya hantu-hantu itu

220
ITALIA

tidak berbahaya. Martha mengatakan kastil itu tidak


berhantu, tapi dia juga pernah mengatakan kepadaku
bahwa dia tidak pernah berada di sana sepanjang
malam sendirian. Saat dia datang ke sana sendirian,
dia menggunakan salah satu apartemen kecil di lantai
bawah kastil, tempat penduduk kota pernah tinggal.”
Saat kami tiba di kastil itu, Francesco yang elegan
sedang berbaring santai sambil membaca di kursi malas
yang ada di bawah pohon. Francesco menyapa kami
dengan ciuman di kedua pipi dan tawa renyahnya, lalu
dia membawa kami ke dalam. Bagian luar Porciano
terlihat seperti dalam dongeng, termasuk jendela Juliet
dan beberapa balkon kecil. Tempat itu sangat romantis,
dengan tanaman hijau merambat yang berubah menjadi
merah tua dan keemasan pada musim gugur. Berlokasi di
atas bukit, menaranya menghadap langsung ke seberang
lembah menuju kastil tetangga, di mana Dante pernah
menulis salah satu bagian Inferno. Mungkin Dante juga
seorang pengelana tanpa rumah yang berpindah tempat
dari satu kastil ke kastil lain.
Museum kecil dan area konferensi kini menempati
tiga lantai pertama. Ruang keluarga berada di lantai
empat dan terkesan sangat nyaman, dengan kursi
berbantalan empuk dan sofa bermotif ceria, meja
http://facebook.com/indonesiapustaka

kaca panjang dengan dua belas kursi, dan sofa jendela


berada di depan setiap jendela yang elegan. Dapurnya
kecil tapi efisien, dengan balkon yang menjorok keluar
dan pemandangan lepas ke arah ladang yang hijau dan
padang rumput yang dikelilingi perbukitan Tuscan.
Beberapa lantai di atas merupakan kamar tidur yang
didekorasi dengan indah dan mengarah ke sebuah teras

221
LYNNE MARTIN

yang sangat besar di bagian paling atas kastil, menjadi


tempat yang sempurna untuk pesta koktail. Keluarga
Specht, yang merupakan kerabat Martha, memasang lift
tapi hanya cukup mengangkut dua orang sekaligus. Saat
tiba waktunya mengganti atau memperbaiki perabotan,
para pekerja harus melakukannya di dalam kastil. Sangat
sulit membawa perabotan itu turun.
Setelah melakukan tur keliling kastil, Martha meng-
ajak kami pergi menaiki bukit ke hulu Arno, sungai
sepanjang dua ratus empat puluh satu kilometer yang
melewati Florence, sebelum mengalir ke Laut Tirenia
di dekat Pisa. Di sini, aliran sungainya hanya selebar
satu setengah meter. Sulit kupercaya bahwa sungai
kecil itu pernah menjadi jalur transportasi air yang
sibuk. Sungai itu mengalir ke kolam hijau yang letaknya
tidak jauh dari kastil, dinaungi pepohonan tua, dan
jatuh ke bendungan kecil sebelum mengalir sampai ke
Florence. Kami mengamati anak-anak bermain di tepi
sungai dan berharap kami bisa ikut melompat bersama
mereka. Rasanya sangat menyenangkan bisa melihat
orang bersenang-senang di tempat yang begitu damai.
Ketenangan daerah pedesaan memang sangat kami
butuhkan setelah menghadapi keruwetan kota, dan
kami senang bisa memberi Robin pemandangan yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

berbeda tentang Tuscany, pemandangan yang tidak akan


bisa dilihatnya dari bus tur.
Kami mengajak semua orang untuk makan siang di
Stia, desa di Tuscan yang luar biasa indah di kaki bukit,
dan memilih restoran favorit kami dari kunjungan
pertama kami ke sana. “Robin, kau akan segera merasa-
kan hidangan terbaik yang pernah kau santap,” kataku

222
ITALIA

kepada Robin dengan penuh semangat, saat kami me-


nuruni bukit.
Restoran kecil itu didekorasi dengan sangat indah
didominasi warna hijau lembut dan pink pucat, taplak
linennya rapi dan peralatan makannya mengilap.
Saking elegannya restoran itu hingga akan sangat cocok
berada di kota besar, tapi restoran itu justru berdiri
di sini, di sebuah desa kecil. Semuanya terasa alami
dan bersahaja—kecuali makanannya, yang melebihi
hidangan di restoran paling mewah sekalipun. Ibu
pemilik restoran itu menjadi kokinya, dan menyajikan
hidangan yang luar biasa lezat berupa dua jenis ravioli
buatan sendiri, satu dengan saus daging dan satu lagi
dengan saus krim. Risotto dengan saus bit juga sangat
lezat, dan aku menganggap hidangan penutupnya
berupa buah yang dikaramel dan diletakkan di atas kulit
renyah dengan tambahan es krim buatan sendiri menjadi
pengalaman yang tak terlupakan! Kami memesan semua
yang mereka tawarkan; jumlah totalnya lima belas
hidangan yang patut dikenang. Robin, yang duduk di
seberangku, memutar bola matanya sepanjang waktu
makan, sinyal khas keluarga kami yang berarti ‘Ini
adalah makanan terbaik yang pernah kumasukkan ke
dalam mulutku!’ Aku sangat bahagia melihat Robin bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

bersenang-senang di sini. Seperti biasanya, keceriaan


Robin mampu menghidupkan suasana, bahkan pemilik
restoran dan ibunya ikut bergabung bersama kami.
Setelah makan siang, kami berjalan-jalan ke gereja,
tempat Martha memperkenalkan kami kepada seorang
pastur bertubuh pendek dan gemuk. Pastur itu sangat
senang didatangi pengunjung dan dengan bangga

223
LYNNE MARTIN

mengajak kami berkeliling gereja kecilnya. Kami meng-


obrol dengannya sebentar. Saat dia pergi, Martha berkata,
“Ada orang-orang di desa ini yang ingin membunuh
pastur itu.”
“Mengapa bisa begitu?” tanyaku.
“Karena dia membunyikan lonceng gereja setiap
jam, tujuh hari seminggu. Dia memasang lonceng yang
diprogram secara otomatis dan suaranya sangat keras.”
“Wah, aku rasa itu satu hal yang harus kau biasakan
jika tinggal di sini.”
Martha tertawa. “Tidak, jika kau memiliki hotel di
sebelah gereja. Tidak pernah ada turis yang menginap di
hotel itu lebih dari satu malam. Pemilik hotelnya nyaris
bangkrut, dan tidak ada seorang pun yang bisa membuat
pastur itu berhenti membunyikan loncengnya. Setahuku
mereka akan mengadakan pertemuan warga lagi malam
ini walaupun aku ragu usaha mereka akan berhasil.
Sang pastur sangat keras kepala.” Martha mengangkat
kedua tangannya ke arah langit, dengan telapak tangan
menghadap ke atas, gaya khas orang Italia untuk me-
ngatakan “apa yang bisa kau lakukan?” sekaligus tanda
penyerahan seperti yang sering sekali kami lihat sejak
kami datang ke sana.
Sebelum Robin pergi, kami melakukan kunjungan
http://facebook.com/indonesiapustaka

singkat ke pusat kota untuk menunjukkan beberapa


tempat penting: Jembatan Ponte Vecchio, museum,
monumen, dan gereja utama. Kami mengantarkan Robin
ke Siena dan naik kereta ke Venesia, tapi dengan panas
yang menyiksa, perjalanan kami hanya berlangsung
singkat. Kami lebih banyak menghabiskan waktu di
kolam renang. Robin sangat baik hingga tidak mengeluh

224
ITALIA

walaupun liburannya berbeda dari yang kami harapkan


karena udara yang terlalu panas. Meskipun demikian,
rasanya menyenangkan sekali ada Robin di sini karena
kami jadi bisa fokus pada satu sama lain tanpa diganggu
oleh anak-anak dan kewajiban sosial. Kami memiliki
waktu untuk bermain kartu, mengobrol panjang lebar,
dan melakukan hal-hal kecil yang sudah lama tidak
pernah kami lakukan bersama. Dan, yang terbaik dari
semuanya, kami jadi sering sekali tertawa karena Robin
adalah salah satu orang terlucu yang kukenal. Sepanjang
hidupnya Robin selalu menghiburku dengan selera
humornya yang tinggi dan imajinasinya yang liar. Kami
sangat bersyukur Robin datang untuk liburan bersama
kami dan merasakan sepotong kehidupan baru kami.
Setelah kami mengantarnya ke bandara untuk me-
nempuh perjalanan pulang yang panjang dan lama,
aku dan Tim jadi lebih pendiam dan sedikit sedih.
Kami mengerjakan proyek pada siang hari, sambil
mencoba untuk tetap tenang dan menyibukkan diri dari
kebosanan. Udaranya terlalu panas untuk pergi ke kota
dan walaupun kami mencoba untuk pergi keluar kota
agar bisa merasakan perubahan pemandangan, ternyata
udara di sana sama panasnya. Kami pun bergegas pulang
untuk mendinginkan tubuh di depan kipas angin sambil
http://facebook.com/indonesiapustaka

menunggu matahari terbenam. Tim duduk di salah


satu ujung meja makan dengan kipas angin mengarah
langsung kepadanya, untuk membuat garis besar novel
detektifnya. Aku duduk di ujung lain, mengutak-atik
artikelku untuk Wall Street Journal. Selama lebih dari
sebulan, aku berusaha mengumpulkan keberanian un-
tuk mengirimkannya.

225
LYNNE MARTIN

Ide memindahkan tulisanku dari blog kecilku yang


sederhana ke Wall Street Journal membuatku ketakutan
setiap kali memikirkannya. Tim-lah penulis dalam
keluarga ini. Aku hanya amatiran, pekerja musiman!
Tim yang malang sudah sering sekali mendengarku
membacakannya hingga aku yakin dia pasti ingin
membenturkan kepalaku ke komputer jika aku mem-
bacakannya sekali lagi. Tapi, Tim justru berkata dengan
sopan, “Sayang, aku rasa mungkin sebaiknya kau me-
ngirimkannya sekarang. Tidak apa-apa.”
Aku menghargai dorongan Tim, tapi aku masih
takut akan membuat malu diriku sendiri dan diberi
tahu ‘Terima kasih, Nyonya, tapi tidak, terima kasih.’
Akhirnya, aku sendiri muak mendengarnya hingga
jariku menekan tombol “kirim” sebelum otakku bisa
menghentikannya.
Aku berpikir artikelku akan diabaikan dan mungkin,
hanya mungkin, suatu hari nanti seseorang akan cukup
murah hati untuk mengirimkan penolakan secara halus.
Namun, yang membuatku sangat terkejut, aku mene-
rima balasan hanya dalam hitungan jam: Wall Street
Journal menerima ide ceritaku! Kami sangat gembira,
tentu saja, dan kami tidak tahu seberapa besar kehidupan
kami akan berubah dengan kabar itu, atau bahwa bulan
http://facebook.com/indonesiapustaka

depan akan menjadi kali terakhir kami membuang-


buang waktu untuk waktu yang sangat lama. Kami
tidak tahu bahwa peran kami akan berubah. Namun,
malam itu sebotol Chianti dibuka dan sekali lagi kami
merasakan kekuatan dari berkata “iya”!
Keesokan harinya saat sarapan, kami merasa suhu
udara meningkat lagi dan aku berkata, “Kau tahu,

226
ITALIA

Sayang, aku menyadari bahwa kita sudah membayar


untuk tinggal selama beberapa minggu lagi di sini,
tapi aku tidak yakin akan sanggup bertahan lebih lama
lagi di tengah cuaca sepanas ini. Mungkin kita harus
mengulangi langkah kita di Buenos Aires dan pergi dari
sini. Bagaimana menurutmu?”
Tim memikirkannya. “Aku juga berpikir begitu. Dan,
aku bahkan sudah mencari beberapa kemungkinan lain,
tapi kita masih punya tiket opera di Verona. Aku benar-
benar ingin kita bisa menonton Aida dan Turendot di
arena Roma yang fantastis. Aku rasa sebaiknya kita
menunggu beberapa hari lagi, pergi ke opera, lalu baru
membuat keputusan, bagaimana?”
Tim membuat keputusan yang tepat. Kami berjuang
menghadapi kepadatan lalu lintas sepanjang jalan
menuju Verona, tapi semua itu harga yang pantas di-
bayar. Verona adalah kota pejalan kaki yang penuh
kegembiraan. Cuacanya lebih sejuk daripada Florence,
cukup nyaman untuk berjalan-jalan pada malam hari,
dan kami menyukai bangunan-bangunannya yang
indah dan jalanannya yang rapi dan dijejeri pepohonan.
Orang-orang yang ramah dan santai sesuai dengan
tempo kehidupan yang berjalan dengan lambat dan
tenang. Verona adalah kota yang romantis, reputasi
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu diperkuat dengan sejumlah pertunjukan karya


Shakespeare yang terkenal. Bahkan, kami menyeruak di
antara kerumunan turis untuk melihat balkon di mana
Juliet tidak pernah berdiri.
Pada waktu makan siang, kami berhenti di salah satu
restoran dari sekian banyak restoran yang menghadap
ke arena di satu sisi alun-alun. Makanannya sangat

227
LYNNE MARTIN

lezat. Kami memulainya dengan salad dingin yang


segar, makanan pembuka yang cocok dengan cuaca
panas. Kemudian, diikuti dengan piza yang luar biasa
lezat, dengan pinggiran yang dibuat dengan hati-hati
dan sempurna, jumlah kejunya tepat, dan ditambah
dengan saus khas Italia. Mata pelayan kami yang sangat
efisien berkilat dengan tawa geli, yang bahkan tidak
bisa disembunyikan dengan percakapan singkat. Kami
bergurau dengan pelayan itu, mengatakan bahwa malam
itu juga kami akan kembali untuk makan malam jika dia
bisa menyimpan kursi di barisan pertama untuk kami.
Benar saja, saat kami kembali untuk makan malam
sebelum menonton opera, pelayan itu melihat kami
dan mengantar kami ke meja untuk dua orang di posisi
yang paling strategis. Kami terkejut pelayan itu masih
mengingat kami.
Sekali lagi, makanannya mengejutkan dan membuat
kami puas. Risotto seafood-nya berkrim dan penuh
dengan kerang, udang, dan cumi-cumi lezat. Tim me-
nikmati pasta yang lembut dan kaya rasa, dan kali ini,
pelayan tadi memperlakukan kami layaknya teman
lama. Kami merasa tersanjung sekaligus sedikit bingung
karena pelayan itu memberikan begitu banyak perhatian
kepada kami.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Misteri terpecahkan saat pelayan itu membawakan


tagihan. Pelayan itu sempat ragu-ragu sejenak, kemudian
menunjuk cincin tengkorak perak yang dipakai
Tim setiap hari sebagai penghormatan untuk Keith
Richards dari Rolling Stones. Pelayan itu tersenyum dan
menggulung lengan kemejanya untuk memperlihatkan
gelang perang dengan hiasan tengkorak. Kami meng-

228
ITALIA

ekspresikan kegembiraan kami dan mengamati ge-


lang itu dengan hati-hati. Senyuman pelayan itu se-
makin lebar saat membuka kerah kemejanya untuk
menunjukkan kalung kulit panjang dengan liontin
tengkorak. Senyuman pelayan itu semakin lebar lagi saat
dia membuka dan menutup kemejanya dengan cepat. Di
baliknya—kau pasti bisa menebaknya—ada kaus dengan
gambar tengkorak hitam. Orang-orang menatap dengan
bingung saat kami bertiga tertawa terbahak-bahak
seperti orang gila! Siapa yang akan menyangka bahwa
cincin tengkorak akan membantu kami mendapatkan
meja terbaik di restoran dan perlakuan istimewa dari
pelayan sesama penggemar Rolling Stones? Itu bisa
membuktikan sekali lagi bahwa orang Italia, seperti
halnya orang di tempat lain, merespons kehangatan dan
rasa hormat, dan bahwa kami semua memiliki lebih
banyak kesamaan daripada yang terlihat sekilas!
Setelah makan malam, kami mendatangi arena.
Bagian depan arena yang terbuat dari batu berkilau pink
di tengah cahaya matahari terbenam, memberi lebih
banyak definisi terhadap lengkungannya yang anggun,
dan kami masuk melalui portal yang sama dengan yang
sudah menyambut jutaan pengunjung selama berabad-
abad.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tidak ada seorang pun yang akan melewatkan


kesempatan untuk melihat opera besar dengan latar
panggung yang begitu menakjubkan. Kami menemukan
kursi kami dan mengamati penonton yang lain saat
matahari mulai tenggelam. Empat lengkungan tinggi,
satu-satunya sisa dari tingkat aslinya, berdiri menjulang
di langit. “Sekarang lihat ini,” ujar Tim dengan bangga,

229
LYNNE MARTIN

seolah dialah sutradaranya. Pada saat itu ribuan lilin


kecil mulai menyala, dibawa oleh setiap orang yang
memasuki arena. Pemandangan yang mengagumkan itu
memberikan awal yang sempurna untuk sesuatu yang
tak terlupakan.
Sepertiga arena oval digunakan untuk panggung.
Colosseum kuno dibangun pada tahun 30 M untuk
menampung tiga puluh ribu orang. Pada satu titik, saat
dua ekor kuda menarik kereta perang ke panggung,
empat puluh orang berkostum tentara Romawi berdiri
tegak di atas tingkat paling atas, memegang obor tinggi-
tinggi sementara tiga ratus orang lainnya bernyanyi
dengan suara lantang. Selama dua malam, kami di-
tenggelamkan sepenuhnya ke dalam pertunjukan
cahaya, kostum, panggung, dan musik dalam skala
yang aku tidak yakin akan bisa kusaksikan lagi. Aku
sering melihat pementasan besar di New York, London,
Hollywood, dan Los Angeles, tapi kombinasi panggung,
latar, dan musiknya tidak seperti yang kubayangkan.
Tim, yang merupakan penggemar sejati opera dan
pernah pergi ke Verona sebelumnya, bukan hanya
menonton pertunjukan itu, melainkan juga melihatku
begitu mengagumi pertunjukan yang sangat langka.
Keesokan harinya, kami pergi ke Trieste, yang kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

pilih karena sering sekali ditampilkan dalam novel-


novel Perang Dingin yang kami baca pada tahun
enam puluh dan tujuh puluhan. Trieste membuat
kami teringat pada mata-mata yang mengendap-
endap sambil menyembunyikan wajahnya dengan topi,
menyerahkan informasi rahasia dan mengadukan satu
sama lain kepada Komunis. Sejarah kesustraan Trieste

230
ITALIA

juga menarik perhatian kami. Selama tinggal di Trieste,


James Joyce menulis sebagian besar cerita di Dubliners,
mengubah Stephen Hero menjadi A Portrait of the Artist
as a Young Man, dan mulai menulis Ulysses. James dan
penulis lain seperti Italo Svevo dan Umberto Saba sering
mengunjungi kafe kesusastraan, membuatnya menjadi
pusat budaya dan kesusastraan Austrian Riviera. Sebagai
pelabuhan ketiga terbesar di Adriatik, Trieste memiliki
sejarah yang kaya sejak masa kekaisaran Romawi, dan
itulah yang membuat kami penasaran. Itu bisa menjadi
petulangan baru yang menyenangkan.
Perjalanan ke kota berlangsung dengan dramatis.
Selagi berkendara melewati hutan, kami membuat belok-
an tajam. Tiba-tiba saja, jauh di bawah kami, terbentang
Laut Adriatik—sedatar panekuk dan berwarna biru
terang. Trieste melengkung di sekeliling teluk yang
dalam, dengan estat besar memeluk puncak tebing.
Teras-teras rumah berjejer hingga ke laut.
Tim memesan kamar di Hotel Duchi, yang sudah
menampung pengunjung Trieste sejak tahun 1873. Hotel
itu sangat elegan dan pelayanannya tak bercela. Hotel itu
berada di lokasi terbaik di kota, berada tepat di alun-alun
yang mengarah ke Laut Adriatik. Bangunan-bangunan
neo-klasik yang mengelilingi alun-alun tersebut sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka

besar. Saat lampunya menyala pada malam hari, bagian


eksteriornya terlihat seperti keik pernikahan. Kota
yang terletak di tengah-tengah Eropa terasa berbeda
dari tempat lain di Italia. Setelah kejatuhan kekaisaran
Austria-Hongaria, kota itu diambil alih oleh Italia, tapi
masih ada tampilan dan atmosfer Austria yang unik di
sana.

231
LYNNE MARTIN

Di dalam hotel, petugas berseragam navy dengan


epolet dan kancing emas yang mengilap berkeliling
dengan membawa kain pel untuk membersihkan lantai
kayu berwarna gelap. Perabotannya terlihat seperti
disiapkan untuk kedatangan raja. Kertas dinding ber-
motif bunga dan sofa berlapis beledu menambah sensasi
era lampau. Kamar kami dilengkapi perabotan antik dan
kertas dindingnya bermotif tanaman.
Pusat kota yang hanya bisa dilewati oleh pejalan
kaki memiliki kanal pendek, usaha yang gagal untuk
menandingi kanal di Venesia. Kami mengeksplorasi
plaza yang lebar dan gang-gang sempit, menikmati suhu
udara yang lebih sejuk dari yang kami rasakan selama
berminggu-minggu, tapi kami mendapati diri kami
sering sekali menoleh ke balik sudut untuk mencari
sosok tersembunyi yang membawa rahasia gelap! Kami
menikmati hotelnya dan menghargai keindahan kota
karena tempat itu sangat berbeda dari tempat lain yang
pernah kami lihat di Eropa, tapi ada perasaan melankolis
tentang daerah itu yang membuat kami sedikit gelisah.
Sejarah gelapnya selama Perang Dunia II—enam ribu
umat Yahudi dimasukkan ke kamar gas sampai mati di
sana—meninggalkan noda yang, untuk kami, tidak bisa
dihabiskan oleh keindahan fisik.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Florence masih sepanas kompor saat kami kembali ke


sana. Kami melemparkan tas ke dalam apartemen dan
bergegas pergi ke kolam renang untuk mendinginkan
tubuh. Saat kami berenang, Tim berkata, “Dengar, kita
hanya punya waktu beberapa minggu lagi di sini, dan
satu-satunya tujuan yang belum kita datangi hanyalah
La Boheme di rumah Puccini. Aku ingin kau melihatnya,

232
ITALIA

tapi laporan cuaca mengatakan malam ini suhu di


Lucca mencapai empat puluh derajat Celsius. Bisakah
kau membayangkan para pemain dengan memakai
mantel wol dan scarf pingsan di atas panggung karena
kepanasan?”
“Kita mungkin akan pingsan juga,” jawabku. “Bukan-
kah katamu kita harus berjalan cukup jauh untuk sampai
ke arena? Aku tidak yakin itu rencana yang bagus,
bagaimana menurutmu?”
“Iya, aku juga berpikir begitu. Menurutku kita berikan
saja tiketnya kepada Martha dan kita segera keluar dari
tempat ini. Aku sudah mempertimbangkannya dan aku
rasa aku menemukan tempat yang cocok untuk kita.
Letaknya tidak jauh dari Paris sehingga kita tidak akan
kesulitan mengembalikan mobil sewaan dan pergi ke
London. Apartemennya terlihat menyenangkan, berada
di kota kecil yang indah ... dan kamarnya dilengkapi AC.”
Aku mencium Tim dan berlari ke dalam apartemen
untuk mulai berkemas. Tim menyusul tepat di belakang-
ku. Saat ini kami merasa seperti tikus di lubang api,
berlari secepat mungkin untuk bisa keluar dari sana!
Kami menelepon Martha beberapa hari kemudian
untuk mengabarkan kepadanya bahwa kami sudah
tiba dengan selamat di kota tujuan berikutnya. Dan,
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami tidak terkejut saat Martha menceritakan kepada


kami bahwa putrinya, yang mengambil tiket pemberian
kami, mengatakan bahwa para pemain dan sebagian
penonton jatuh pingsan di tengah-tengah pertunjukan
karena panas yang ekstrem. Kami sangat senang karena
tidak menjadi bagian dari penonton itu, tapi kami juga
merasa kasihan kepada mereka yang menderita atas

233
LYNNE MARTIN

nama budaya.
Keesokan harinya kami sangat bersemangat untuk
pergi jalan-jalan hingga pengemudi gila di terowongan
tidak terlalu membuat kami kesal. Semakin tinggi kami
mendaki Pegunungan Alpen, suhu udaranya menjadi
semakin sejuk. Dalam waktu singkat, suhu udaranya
turun hingga dua puluh enam derajat Celsius. Kami
sangat gembira bisa terlepas dari udara yang panas
hingga, selama dua hari di jalanan, kami tidak pernah
bertengkar, bahkan saat kami tersesat, kelaparan, ter-
tahan oleh macet, atau terjebak hujan badai. Kami
merasa sebebas anak sekolah yang membolos.
Setelah melewati terowongan terakhir, kami berhenti
untuk makan siang di sebuah restoran besar yang menarik
perhatian karena kami merasa geli melihat patung
kertas berbentuk ternak berukuran asli di halamannya.
Setelah memesan sandwich daging sapi (apa lagi?),
kami melihat-lihat museum anak-anak mereka. Mereka
menunjukkan betapa baiknya mereka memperlakukan
hewan ternak dan betapa bahagianya ternak-ternak
mereka di peternakan. Kami juga melihat gambar anak-
anak yang memakan sandwich daging panggang dengan
lahap. Lucu sekali. “Aku tidak mengerti bagaimana cara
mereka menjelaskan kepada anak-anak bahwa Bossie
http://facebook.com/indonesiapustaka

harus disembelih sebelum bisa muncul di piring makan


mereka,” kata Tim saat kami pergi.
Kami berkendara ke La Charité Sur Loire, kota abad
pertengahan yang lengkap dengan menara dan jalanan
berbatu, rumah kami untuk beberapa hari ke depan.
“Aku menyimpan sedikit kejutan untukmu. Ada festival
blues yang diselenggarakan di kota ini sepanjang akhir

234
ITALIA

pekan! Akan ada musisi blues terbaik yang tampil, dan


aku sudah memesan tiket untuk kita berdua.” Tim me-
noleh kepadaku sambil menyeringai. “Bukankah itu
keren?”
“Yah, itu perubahan drastis dari pementasan Aida,
dan kedengarannya menyenangkan,” jawabku.
Pemilik bangunan berusia lima belas abad yang kami
tempati, Kelly dan Byron Harkers asal Amerika, membagi
bangunan besar mereka menjadi beberapa apartemen.
Apartemen kami berada di lantai paling atas, dengan
tangga batu yang melingkar. Teras privatnya yang kecil
menyambung dengan gereja abad pertengahan yang
mengagumkan, tempat festival berlangsung. Apartemen
kami bukan hanya luas dan indah, melainkan juga sejuk.
Di festival, kami bersenang-senang dengan men-
dengarkan seni Amerika yang diinterpretasikan oleh
musisi andal dari seluruh penjuru dunia. Bukan hanya
musik blues-nya yang menurut kami terbaik dari
yang pernah kami dengar, latar panggungnya juga
menakjubkan dan semua orang terlihat bersenang-
senang. Para penontonnya membuat kami terhibur
karena ada banyak di antara mereka yang mengenakan
pakaian sesuatu dengan kesan mereka terhadap konser
musik blues Amerika. Ada banyak orang yang memakai
http://facebook.com/indonesiapustaka

kaus dengan tulisan konyol yang menggunakan kata


“dude” dan menampilkan logo Harley Davidson
(pilihan yang aneh untuk kami). Lokasinya, di paviliun
gereja tua, yang TIDAK memiliki AC sehingga dalam
waktu singkat musisi dan penontonnya sudah mandi
keringat. Orang Jerman yang duduk di depanku terlihat
sangat kepanasan hingga dia menyiramkan airnya ke

235
LYNNE MARTIN

atas kepala. Aku tidak keberatan mendapatkan sedikit


cipratan airnya. Namun, pada akhirnya udara yang
panas membuat gerah pasangan Martin, yang datang ke
sana untuk mencari kenyamanan. Kami pergi setelah sesi
pertama dan langsung menuju rumah sementara kami,
di mana AC-nya menyala dan kami masih berada cukup
dekat untuk mendengarkan para musisi menyanyikan
lagu blues. Sungguh pengalaman yang menyenangkan.
Kami mengeksplorasi wilayah pedesaan, piknik
di tepi sungai, bahkan menaiki kereta ke Paris untuk
makan siang dengan teman kami, Andie dan Georges.
Kami merasa seperti warga negara dunia saat berjalan
di jalanan utama kota dan menaiki kereta tujuan Paris.
Pemandangan wilayah pedesaan Prancis terasa lebih
menarik saat Tim bisa menikmatinya juga. Perjalanan
kereta yang menyenangkan selama dua jam membawa
kami ke stasiun kereta di Bercy, di mana kami bisa
dengan mudah menaiki Metro untuk bertemu dengan
teman-teman kami. Kami menyusuri jalanan kecil yang
ada di samping Taman Luxemburg dan bertemu dengan
Andie dan Georges, seperti yang sudah direncanakan.
Aku juga sempat menghabiskan waktu selama dua jam
di Dessange, yang membuatku merasa sangat rapi dan
modern, siap untuk tujuan kami berikutnya, Inggris
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dingin dan diguyur hujan. Kami mengulangi per-


jalanan kereta untuk kembali ke La Charité dan merasa
seolah menuju kehidupan emas saat kembali ke dalam
apartemen kami yang sejuk. Hari-hari seperti itu, saat
segalanya berjalan dengan sempurna, kami bisa meng-
habiskan waktu dengan orang-orang yang kami kagumi,
dan kami merasa sangat puas, membuat waktu-waktu

236
ITALIA

sulit terasa tidak sia-sia.


Kami kembali dari Paris dengan penuh semangat.
Pengalaman kami di Italia menguatkan apa yang sudah
kami duga sebelumnya: teman baru dan perjalanan
menggairahkan kehidupan kami dan kami bisa mengatasi
hampir segalanya selama kami tetap tertawa dan
fleksibel. Kami juga memiliki resolusi baru. Kami sepakat
bahwa pada masa depan saat seseorang menawarkan
kami sewa tempat yang sangat menguntungkan, kami
tidak boleh membiarkan harga murah membutakan
kami dari detail yang lain. Sekarang kami tahu bahwa
Italia sangat PANAS—dan maksudku jauh lebih panas
daripada yang bisa kubayangkan—pada bulan Juli dan
Agustus, dan menyewa tempat dengan “pendingin
ruangan tradisional Italia” (berarti sama sekali tidak ada
AC) adalah kesalahan besar. Biasanya kami membuat
keputusan dengan berpegang pada anggaran kami. Tapi,
pada masa depan, tekad itu akan menyelamatkan kami
dari banyak ketidaknyamanan. Kami sudah menolak
beberapa tawaran menarik karena kami mempelajari
situasinya dengan teliti dan tahu bahwa kami hanya
akan menjerumuskan diri sendiri pada kekecewaan dan
kejengkelan.
Seperti yang sering kali kami temukan pada pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

tualangan kami, sangat penting untuk mendengarkan


suara hati. Kau tahu, yang berkomentar selama me-
nonton film horor saat kau melihat tokoh jagoannya
melangkah masuk ke ruangan berbahaya, ketika pem-
bunuhnya bersembunyi di belakang tirai, sementara
kau dan penonton lain menjerit dalam hati, Jangan
masuk ke sana! Aku rasa itu adalah pelajaran yang harus

237
LYNNE MARTIN

kita semua pelajari lebih dari sekali sebelum akhirnya


bisa memahaminya. Untung saja, tidak seperti pria
malang dalam film yang masuk ke dalam perangkap
sang pembunuh, kami bisa hidup lebih lama untuk
melakukannya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

238
Sembilan

Inggris
T idak, tidak, tidak—aku TIDAK akan melaku-
kannya. Aku tidak peduli apa yang dia katakan,
ini tidak akan terjadi!” teriak Tim sambil memukulkan
tangannya ke kemudi mobil.
Tim menatap tanda di depan kami dan kemudian
memelototkan mata dengan jengkel pada Victoria,
GPS kami, mengulurkan tangan dan mematikan mesin
mobil. “Bukan Jalan untuk Kendaraan Bermotor” begitu
bunyi tandanya. Kami bisa membacanya melalui kaca
depan mobil yang basah oleh air hujan setelah melewati
jalan aspal sejauh hampir dua meter, jalanannya berubah
menjadi kubangan lumpur hitam yang penuh lubang
tertutup air.
“Oke, oke, tenang dulu,” kataku, menepuk tangan kiri
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tim yang diletakkan di tuas gigi. Iya, tangan kiri Tim.


Ini hari pertama Tim mengemudikan mobil dengan di
sebelah kiri jalan, mengganti gigi dengan tangan kirinya,
dan belajar untuk melirik ke kaca spion yang berada di
sisi yang SALAH untuk semua orang di muka bumi
kecuali orang Inggris dan negara-negara yang mereka
taklukkan selama berabad-abad.

239
LYNNE MARTIN

Pagi itu, kami mengambil mobil di Bandara Heathrow


di London. Tujuan kami adalah sampai di Peternakan
Bucklawren, sebuah penginapan di Pantai Cornish, se-
belum hari gelap. Dan, mudah-mudahan saja dalam
kondisi utuh. Sepertinya mulai terlihat bahwa kami
membuat satu dari sekian banyak salah perhitungan
sepanjang perjalanan ini karena Tim dipaksa menguasai
cara mengemudi yang baru tanpa ada waktu untuk
latihan. Aku pernah mengemudi mobil di Irlandia saat
tinggal di sana selama beberapa tahun pada era sembilan
puluhan, dan seingatku mengemudi dengan cara seperti
itu tidak terlalu sulit. Tentu saja, saat itu aku masih muda
(dan itu sebabnya lebih bisa menguasai keadaan), dan
aku sudah sering sekali menjadi penumpang di mobil
yang dikendarai oleh sopir Irlandia yang berpengalaman,
aku juga sudah banyak latihan sebelum berani menyetir
mobil sendirian. Jadi, aku mendapatkan banyak sekali
bantuan sebelum benar-benar terjun langsung.
Perjalanan kami berlangsung dengan baik di M3,
jalan utama yang membentang dari Timur ke Barat.
Beberapa jam berkendara di jalan raya itu, Tim merasa
sudah bisa menguasai dasar-dasar mengemudikan mobil
di sebelah kiri jalan. Lalu lintas Inggris sangat teratur,
pengemudinya taat peraturan dan sopan, Victoria, GPS
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami, juga bekerja dengan sangat akurat, mungkin


karena dia berada di negara asalnya. Sungguh, Victoria
terdengar jauh lebih santai dibandingkan di Italia dan
Prancis.
“Kau tahu, Sayang, aku tidak yakin ini akan menjadi
masalah yang terlalu besar untukku,” kata Tim. “Kaca
spionnya memang membuat bingung [Tim tidak pernah

240
INGGRIS

bisa membiasakan diri untuk menoleh ke kiri saat dia


melihat kaca spion], tapi secara keseluruhan, tantangan
itu tidak terlalu sulit. Aku rasa aku sudah mulai terbiasa.”
Beberapa saat kemudian, saat kami keluar dari jalan
raya dan mendekati putaran yang pertama, segala
sesuatunya berubah secara dramatis. Di Italia dan
Prancis, kami masuk dan keluar dari putaran dari arah
kanan. Di sini, situasinya bertolak belakang, dengan lalu
lintas yang padat di sebelah kiri. Masalahnya adalah
pengemudi yang terbiasa menggunakan tangan akan
secara otomatis menoleh ke arah kiri untuk melihat
situasi lalu lintas. Dalam kasus ini, semua terjadi di
sebelah kanan, jadi dengan setiap manuver si pengemudi
diharuskan untuk meminta otaknya mengganti fokus.
Itu sangatlah sulit. Tuas gigi juga ada di sebelah kiri
pengemudi, dan seperti yang kukatakan sebelumnya,
kaca spion juga ada di sebelah kiri yang bisa membuatmu
bingung jika kau secara insting mengulurkan tangan atau
menoleh ke arah lain di tengah-tengah persimpangan
jalan yang ramai dan mendapati putarannya tidak ada
di sana.
Butuh usaha kami bertiga—aku, Tim, dan Victoria—
untuk bisa melalui putaran jalan. Kami sudah melatih
rutinitas kami lama sebelum sampai di putaran, aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

mempelajari peta GPS dan mengatakan hal-hal seperti,


“Baiklah, tiga kilometer lagi kau akan memasuki putaran
dan ambillah jalur keluar yang ke arah jam satu. Itu
jalur yang ketiga. Mengerti?” Aku berusaha keras untuk
berbicara dengan tenang dan santai.
“Iya,” jawab Tim dengan gigi dikatupkan, dan tangan-
nya mencengkeram setir mobil dengan sangat kuat.

241
LYNNE MARTIN

Hampir setengah perjalanan, kami mengambil jalur


yang salah. Kami memutar lagi, berusaha untuk tetap
berada di jalur yang akan melepaskan kami dari putaran
di arah yang tepat. Setiap kali kami mengambil belokan
yang tepat dan tidak ada seorang pun yang membunyikan
klaksonnya kepada kami, kami merasa berjaya.
Jalanan ke Bucklawren membawa kami melewati
desa-desa kuno, di mana pemilik pondok autentik
memamerkan taman mereka yang dirawat dengan
baik, kami juga melewati dusun pertanian, hutan,
ladang dengan pagar batu kuno yang dipenuhi tanaman
merambat. Pemandangannya sangat indah, sangat
Inggris, dan sangat menggelisahkan. Semakin jauh kami
menyusuri Cornwall, semakin kecil jalanannya. Pagar
batu itu merangkak semakin dekat dengan kami dan
menjadi semakin tinggi sampai jaraknya hanya tinggal
sekitar tujuh sentimeter dari bagian samping mobil hingga
mustahil untuk melihat ke arah belakang. Setiap mobil
yang datang terlihat seperti akan menabrak kami dari arah
depan. Secara insting Tim mengelak ke kiri dan menabrak
trotoar lebih dari sekali. Untuk menambah ketegangan,
langit berubah gelap: hujan gerimis menjadi semakin
deras. Tidak lama kemudian kami bisa mendengar suara
sapuan wiper kaca depan yang dipasang dengan kurang
http://facebook.com/indonesiapustaka

pas. Grrrriiiiinnnnnchhhhh, grrrriiiiiinnnnnnchhhhh,


grrrrrriiiiiiiinnnnnchhhhhhh. Sungguh suara yang cocok
untuk kondisi mental yang sudah gelisah.
Tiba-tiba saja jalanan menyempit menjadi satu arah,
tapi mobil-mobil masih melaju dari arah depan kami!
Kami melihat ruang kosong kecil yang berlumpur di
sepanjang jalan. Setiap kali kami berpapasan dengan

242
INGGRIS

mobil lain, seseorang harus mundur dan merapat ke


sisi sempit untuk membiarkan mobil yang lain lewat.
Sebagian besar orang mengendarai Range Rover atau
mobil four wheel drive lain yang terlihat sebesar pesawat
luar angkasa. Mundur dan merapat ke ruang yang hanya
setengah dari ukuran mobil mereka sepertinya tidak
mengusik mereka sama sekali, tapi itu membuat kami
ketakutan. Pada saat ini, aku dan Tim sudah berhenti
bicara. Suara terkesiap, erangan, atau helaan napas
panjang yang sesekali terdengar menjadi satu-satunya
bentuk komunikasi kami.
Pada akhirnya, antara instruksi yang dikirimkan
melalui surel dari pemilik penginapan dan Victoria,
yang akhirnya bisa memahami sistem jalanan kampung
halamannya yang aneh, kami masuk ke pelataran parkir
sebuah peternakan. Horee! Foto-foto di TheTripAdvisor
menampakkan pemandangan yang mengagumkan, tapi
melalui hujan dan kabut, kami hampir tidak bisa melihat
rumahnya, apalagi pemandangan seperti di foto! Kami
berlari dari mobil ke penginapan dan berdiri di depan
kanopi terasnya yang kecil untuk berteduh. Pada
saat itu, pintu terbuka dan pemilik penginapan, Jean
Henly, wanita bertubuh mungil yang menyunggingkan
senyuman ramah dan memakai celemek bergambar
http://facebook.com/indonesiapustaka

stroberi, mengajak kami masuk ke dalam penginapan.


“Kami sudah menunggu kalian. Cuacanya sangat me-
ngerikan. Masuklah ke dalam dan kita akan mengurus
barang-barang kalian nanti. Ikutlah denganku ke ruang
duduk. Apakah kalian mau kopi atau teh? Apakah kau
lapar?”
Kami merasa seolah ibu kami sedang menyambut

243
LYNNE MARTIN

kami pulang setelah mengalami hari yang berat di


sekolah. Jean membawa kami ke ruang tamu di dekat
perapian listrik dan membawakan kami kopi serta
biskuit buatan sendiri—ditambah dengan kabar baik
bahwa besok hari akan cerah.
Ada pasangan muda asal Inggris yang menempati sofa
di ruang tamu. Seorang gadis, dengan nama yang tidak
biasa, Fliss Mooncannon North, mengatakan kepada
kami bahwa sejak kecil dia sering datang ke Peternakan
Bucklawren. Kekasihnya, Sean Twomey, adalah seorang
mekanik. Saat hujan sudah mulai reda, kami merasa
sangat bersyukur saat Sean tidak membiarkan Tim
mengangkut sendiri koper-koper kami menaiki tangga
menuju kamar. Hari itu, kami mendapatkan semua
bantuan yang kami butuhkan.
Rumah tua itu terlihat khas Inggris: semak mawar
dan patung kecil, cangkir teh bermotif dan lukisan
bunga tergantung sedikit terlalu tinggi di dinding, tangga
berderit dan lantai kamar mandi yang berlapis linoleum.
Selimut dan handuknya tipis tapi sangat bersih. Rasanya
seperti berkunjung ke rumah nenek!
Sebagai tambahan, bangunan di sebelah peternakan
sudah diubah menjadi hotel dan restoran kecil. Betapa
beruntungnya kami: kami lebih memilih mati kelaparan
http://facebook.com/indonesiapustaka

daripada harus melewati jalan seperti tadi pada malam


hari hanya untuk mencari restoran untuk makan malam.
Setelah Jean memberi senter, kami berhasil menemu-
kan jalan ke bangunan sebelah dan bergabung dengan
sekumpulan orang di bar. Kami memesan makanan,
merasa lebih santai setelah menikmati minuman,
dan kemudian turun ke lantai bawah. Kami terkejut

244
INGGRIS

menemukan ruang makan yang menarik dan hangat, di


mana mereka menyajikan steik yang mengesankan untuk
makan malam. Hari itu berakhir dengan menyenangkan
walaupun dibumbui banyak drama, dan karenanya kami
merasa sangat bersyukur.
Malam itu, saat hujan mengguyur jendela kamar dan
kami menunggu rasa kantuk menguasai, aku berbalik
ke Tim dan menghela napas. “Aku tidak tahu, Sayang,
tapi setelah mengalami hari seperti ini, terkadang aku
bertanya-tanya apakah kita sudah kehilangan akal sehat.
Aku sangat lelah dan aku tahu kau juga sama. Apakah
menurutmu kita sudah berlebihan?”
Memang benar, kelembapan, udara dingin, dan
ketidakpastian sepanjang jalan telah membuat kami
kewalahan. Kejadian sepanjang hari membuat kami
mengkhawatirkan kemampuan kami dalam menghadapi
begitu banyak tantangan di depan. Kami tidak tahu
apakah apartemen kami di Inggris akan menjadi tempat
berlindung yang nyaman atau hanya sebuah gubuk
reyot (selalu melegakan jika tempat yang kami sewa
sesuai harapan kami), dan pindah ke tempat baru selalu
membawa serangkaian hambatan baru tak terduga yang
harus kami lewati. Masih ada London, Irlandia, Maroko,
dan beberapa lama di Barcelona yang harus kami datangi
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebelum bisa bersantai di kabin kapal dalam perjalanan


pulang ke rumah. Dan, siapa yang tahu akan seperti
apa pelayaran pulang kami? Merasa kelelahan tidak
membantu penampilan luar kami. Ditambah lagi, ulang
tahun kami berdua akan segera menjelang, dan kami
merasa sedikit rapuh. Meskipun merasa beruntung bisa
tetap sehat sepenuhnya, kami menyadari usia kami dan

245
LYNNE MARTIN

berkurangnya ketahanan tubuh kami seiring dengan


usia yang terus bertambah. Waktu yang kami butuhkan
untuk pulih dari stres dan kelelahan jauh lebih lama
dibandingkan beberapa tahun lalu.
“Tidak, aku tidak lelah,” jawab Tim dengan penuh
keyakinan. “Tapi, menurutku kita tidak boleh lagi
mencoba pergi sejauh ini dalam waktu satu hari, dan ke
depannya kita harus ingat untuk tidak membuat awal
yang terlalu berambisi. Tapi, aku yakin kau akan merasa
jauh lebih baik besok pagi dan siap untuk melihat apa
yang ada di sekitar sini!”
Tentu saja, Tim memang benar seperti biasanya.
Prediksi cuaca yang diberikan Jean kemarin juga tepat:
pagi yang baru memperlihatkan berhektar-hektar ladang
jagung. Di sela-sela daun dan batang jagung, Pantai
Cornwall tampak berkilauan di bawah sinar mata-
hari cerah. Angin bertiup dan membuat pepohonan
bergoyang, seperti yang kami bayangkan akan kami
lihat di wilayah ini. Semangat kami kembali setelah tidur
nyenyak di kamar kami yang nyaman, diikuti dengan
sarapan ala Inggris di ruang makan bergaya kuno. Serbet
linen dan peralatan makan bermotif lukisan tangan,
rak roti dari perak dan sosis yang lezat membuat kami
tidak ragu lagi: kami berada di Inggris! Antusiasme
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami untuk melihat Cornwall menggantikan semua ke-


khawatiran kami.
Sebagai penggemar kisah kriminal khas Inggris,
penggila buku-buku P.D. James, Ruth Rendell, dan
Elizabeth George yang berisi kisah misteri pembunuhan
yang rumit dan penuh warna, aku bisa meyakinkanmu
bahwa pemandangan Cornwall sering sekali muncul

246
INGGRIS

di buku-buku ber-genre itu. Seseorang selalu jatuh,


didorong, berjalan dengan murung, atau mendengar
suara tembakan dari tebing yang berdiri di sepanjang
Pantai Cornwall. Aku datang dengan pengharapan tinggi
dan persepsi tentang bagaimana rasanya bisa benar-
benar berada di sana. Tempat itu terbukti seperti yang
kuperkirakan sebelumnya, bahkan lebih: liar, romantis,
dan bahkan dipenuhi intrik dan ketegangan—dalam
kasus kami, menghabiskan hari dengan menghindari
Range Rover dan traktor yang melaju di sepanjang jalan-
an sempit dengan membawa tumpukan tinggi jerami.
Meskipun kami merasa gugup dan gelisah sepanjang
jalan, Tim berhasil sampai di tempat tujuan tanpa satu
pun goresan.
Sampai keesokan paginya. Kabut dan gerimis datang
lagi. Setelah menikmati sarapan memuaskan buatan
Jean, Tim dan teman baru kami, Sean, membawa
turun barang-barang kami ke pintu depan. Saat mereka
membawa barang pertama keluar, mereka men-
dapati ban depan sebelah kiri mobil kami kempes,
tampaknya ban itu rusak karena berulang kali melewati
lubang berbatu di jalanan yang sempit. Sean bergegas
mengganti ban kami. Tidak lama kemudian Robert,
suami Jean, ikut membantu. Aku mengintip keluar
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk melihat perkembangan mereka dan melihat Tim


sedang menirukan Tom Sawyer. Di sanalah Tim berdiri,
di bawah naungan pohon, mengisap cerutu sambil
mengamati dua pria lain berjongkok di samping mobil
untuk memasang ban cadangan. Aku ingin berpikir
Tim merasa malu kepada dirinya sendiri, tapi Tim
sama sekali tidak terlihat menyesal. Pemandangan itu

247
LYNNE MARTIN

membuatku merasa geli hingga aku memotretnya untuk


menjadi bukti “bakat” Tim dalam menyelesaikan segala
sesuatunya tanpa membuat tangannya sendiri kotor.
Kami mengganti ban cadangan dengan ban baru di
kota berikutnya dan pergi ke Bath, bagian lain di Inggris
yang menjadi referensi banyak sekali karya sastra.
Bayangkan Jane Austen di buku Harry Potter. Kau pasti
bisa mendapatkan gambarannya. Kami menghabiskan
dua malam di hotel/spa tua dan berjalan-jalan di kota,
di mana kami mengamati pemandian air panas Romawi
yang terkenal, menikmati arsitektur bergaya Georgia,
dan berbelanja sweter. Cuacanya menjadi semakin dingin
setiap harinya, kami berdua merasa sangat kelelahan dan
siap untuk menetap di rumah kami berikutnya di dekat
London. Kami menyusuri jalanan layaknya turis selama
tiga minggu terakhir dan kami sangat membutuhkan
waktu bersantai untuk memulihkan diri.
Sepanjang perjalanan, kami berhenti di pedesaan
Cotswold dan mengunjungi Stonehenge. Yang menyedih-
kan, tempat observasi astronomi kuno itu sudah
kehilangan misteri dan pengaruhnya karena kerapuhan
tempat itu terhadap sentuhan jail para turis memaksa
pemerintah Inggris untuk memagarinya. Sekarang ini
pengunjung hanya bisa melihat bebatuan besar itu dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

jauh. Terlebih lagi, banyaknya pengunjung yang datang


untuk melihat Stonehenge membuat banyak kedai
makanan, toilet, dan pusat informasi turis dibangun
di sana. Semua itu terlihat penting dan dibuat dengan
baik, tapi aku merasa beruntung bisa mengunjungi
Stonehenge dulu sekali dengan ayahku, saat orangtuaku
tinggal di London. Pada saat itu, kami hanya perlu

248
INGGRIS

memarkirkan mobil dan berjalan kaki menuju tempat


bebatuan besar itu berdiri tegak. Tidak ada pengunjung
lain di situs itu dan kami berdiri diam di sana untuk
waktu yang lama sambil memegang payung, bertanya-
tanya tentang orang-orang yang memindahkan bebatuan
itu sekitar lima sampai tujuh abad lalu dan menciptakan
lingkaran besar yang menyejajarkan titik balik matahari
dan penanda astronomi lain. Aku sangat bersyukur aku
dan ayahku bisa berbagi momen itu bersama.
Saat kami berkendara menuju London, Tim terlihat
jauh lebih santai di belakang kemudi, bahkan sesekali
Tim menoleh ke pemandangan yang kami lewati. Itu
perubahan besar dari kondisi Tim yang sebelumnya.
“Kau tahu, sejauh ini kita baik-baik saja, tapi aku
terus memikirkan apa yang kau katakan semalam, dan
mungkin tahun depan kita harus memikirkan ulang
cara kita merencanakan segala sesuatunya,” ujar Tim.
“Apa maksudmu?”
“Yah, terpikir olehku bahwa saat kita pada awal
perjalanan atau pada akhir setiap kunjungan ke sebuah
negara, kita melakukan kunjungan sampingan ke tempat-
tempat tertentu, kita menjadi turis. Kita memang suka
mengeksplorasi, tapi mungkin kita ingin melakukannya
dengan cara lain. Begini, kita bukan sepenuhnya turis
http://facebook.com/indonesiapustaka

karena turis akan pulang ke rumah. Setelah melakukan


perjalanan, mereka akan membongkar barang-barang,
menyimpannya, dan beristirahat. Kita tidak begitu. Se-
telah berkeliling di suatu tempat, bukannya beristirahat
di lingkungan yang familier, kita justru mencari rumah
baru dan menjelajahi wilayah sekitarnya.” Tim me-
nepuk lututku. “Itu pekerjaan yang berat, dan aku rasa

249
LYNNE MARTIN

kita bisa menemukan cara yang lebih mudah untuk


melakukannya.”

Aku sependapat. Secara konstan Tim memikirkan ulang


rencana kami. Pencariannya untuk pelayaran sekali
jalan, penerbangan, penyewaan mobil, dan semua detail
penting lain tidak pernah ada akhirnya. (Itu salah satu
alasan kenapa koneksi internet yang baik sangat penting
untuk kami!) Tapi, perhatian Tim terhadap detail
terbukti menjadi unsur yang vital untuk mendapatkan
kesuksesan dalam cara hidup seperti ini. Saat kami
memikirkan ke mana kami ingin pergi tahun depan,
kami menghadapi kejutan yang tidak pernah kami
prediksi sebelumnya, perubahan dan kesempatan yang
bisa mengubah rencana kami secara radikal. Kehidupan
kami mungkin tidak biasa, tapi yang pasti kehidupan
kami tidak pernah membosankan.
Kami merasa lega karena perjalanan antara Stone-
henge dan apartemen baru kami terbilang mudah. Kami
takut akan terjebak di dalam lalu lintas padat di ibu kota,
tapi kami bisa melewati London dengan mudah dan
menemukan rumah baru kami di dekat Hampton Court
http://facebook.com/indonesiapustaka

Palace. Tim sudah bisa membiasakan diri dengan ritme


pengemudi di Inggris, jadi menggebrak kemudi dan
mendapatkan teguran dari pengemudi lain sudah jarang
terjadi. Melewati jalanan berlubang sudah menjadi masa
lalu. Robin Hurblatt, pemilik apartemen, menyambut
kami di apartemen empat lantai yang diterangi cahaya
matahari. Ternyata apartemen itu menjadi tempat

250
INGGRIS

tinggal favorit kami. Kami langsung menyukai tempat


itu. Di dalamnya terdapat kamar tidur yang luas dengan
lemari penyimpanan besar, ruang utama yang sama
nyamannya, dapur terpisah dengan meja konter yang
besar, dan lift yang modern, ditambah dengan gedung
apartemen yang bersih dan terang. Lupakan taman-
taman yang terawat dengan baik di Cornwall—inilah
surga Inggris menurut versiku!
Setelah Robin pergi, aku berkata, “Oh, Tim, kali ini
kau benar-benar hebat! Tempat ini sempurna, dan aku
sangat senang kita bisa tinggal begitu dekat dengan
Sungai Thames! Lihat balkon mungil ini. Kita bisa
menyaksikan apa pun yang berlangsung di sungai itu.
Kita akan menikmati waktu yang menyenangkan di sini.
Bisa percayakah kau kalau kita hanya perlu berjalan
memutari gedung untuk mencapai pasar besar? Kita
benar-benar berada di tengah kesibukan masa kini!”
Tim tersenyum, senang upaya kerasnya dihargai.
“Hei, ayo kita berkeliling. Kita bisa membongkar
barang-barang kita nanti.” Kami pun berangkat, sangat
bersemangat untuk melihat lingkungan di sekitar rumah
sementara kami yang baru.
Kami berjalan menyusuri deretan jalan kecil yang
memanjang, mengapit kedua sisi Sungai Thames.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pepohonan berjejer di kedua sisi, rumah-rumah indah


dan pub ada di sepanjang jalan yang kami lewati.
Sekelompok pendayung meluncur dengan perahu
mereka sambil meneriakkan instruksi. Pejalan kaki,
orang joging, keluarga yang mendorong kereta bayi,
dan pengendara sepeda berbagi trotoar. Perahu layar
dan perahu motor bergerak di mana-mana. Karena di

251
LYNNE MARTIN

beberapa bagian lebar sungainya hanya tiga puluh meter,


butuh pengetahuan dan keahlian untuk bisa melewati
air dengan aman. Orang-orang bermain frisbee dengan
anjing mereka di ruang terbuka, dan anak-anak saling
berkejaran dan bermain di ayunan taman. Beberapa
blok dari apartemen kami, ada sebuah dermaga kecil
dengan pintu lengkung putih yang memukau, di mana
tulisan “Ferry” terpampang dengan cat berwarna biru
navy. Orang-orang yang ingin menyeberangi sungai
dengan cepat bisa membunyikan lonceng kecil yang
tergantung di tiang untuk memanggil petugas kapal
feri untuk menyeberangkan mereka. Tarif untuk sekali
menyeberang hanya satu pound.
Kami menemukan bangku kosong di dekat sungai
yang letaknya tidak jauh dari apartemen dan duduk di
sana untuk minum sambil menikmati pemandangan
kehidupan sungai. Tim berkata, “Sekarang kita akan
mendapatkan pengalaman yang sepenuhnya baru!
Aku punya firasat kita akan jauh lebih santai di sini di-
bandingkan sebelumnya. Aku rasa kita akan menikmati
menjadi bagian dari kehidupan sungai ini! Aku sudah
merasa seolah kita adalah bagian dari komunitas ini
hanya karena segalanya bergerak dengan sangat lambat
dan orang-orang berhenti untuk mengobrol.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Kau sangat benar,” jawabku, meraih tangan Tim.


“Setiap kali berada di Inggris, kita jadi begitu larut dengan
kesibukan di London hingga kita melewatkan dunia
yang sepenuhnya berbeda seperti ini. Kita akan suka
berada di sini. Kau membuat pilihan yang tepat, Sayang.
Dan, omong-omong, aku cinta padamu!” Tim meremas
tanganku saat kami bangun untuk meninggalkan kursi

252
INGGRIS

itu, yang menjadi “kursi kami” pada sore-sore musim


gugur bulan September itu.
Kami kembali untuk merapikan rumah baru kami.
“Begini saja—aku akan membongkar koper-koper kita
sementara kau pergi ke gedung sebelah untuk membeli
semua barang yang kita butuhkan untuk tinggal di sini,”
kata Tim. “Aku yakin kau bisa mendorong kereta belanja
menyeberangi gang kecil yang memisahkan gedung
apartemen ini dengan gedung toko di sebelah, dan se-
telah itu aku akan membantumu mengangkut barang-
barang belanjaanmu ke atas.”
Aku pun pergi dengan membawa daftar belanjaan ke
Tesco, cabang jaringan toko serbaada besar dengan toko
di seluruh penjuru Inggris dan Irlandia. Setelah tinggal
di empat negara berbeda, kami menjalani rutinitas
pindahan tanpa berpikir lagi. Aku menghabiskan
waktu sejam yang menyenangkan dengan membeli
semua barang yang kami butuhkan. Aku sangat suka
berbelanja bahan makanan karena aku suka makan,
dan untuk kali pertama dalam empat bulan terakhir,
labelnya berbahasa Inggris. Orang Inggris sangat sopan,
dan atmosfer belanja yang santai sangat kubutuhkan
saat ini! Pilihan barangnya memang tidak sebanyak
dan seeksotis yang ada di Prancis dan Italia, tapi jauh
http://facebook.com/indonesiapustaka

lebih mudah berbelanja di sini dibandingkan di kedua


negara itu. Aku mengisi kereta dorongku dengan barang
kebutuhan yang mendasar, seperti minuman anggur
dan cokelat, dan, oh iya, buah, sayuran, dan juga daging.
Setelah keluar dari toko, karena aku membeli banyak
sekali barang, aku berencana untuk mendorong kereta
belanjaanku ke sebelah dan membawanya lagi ke toko

253
LYNNE MARTIN

setelah kami menurunkan semua barang belanjaan.


Aku hanya perlu mendorong kereta menyusuri jalanan
melewati kantor pos kecil, lalu mulai menyeberangi
gang sempit.
Kereta dorong itu berhenti. Salah satu rodanya tidak
mau bergerak. Aku mendorong, lalu mendorong lagi,
sambil menggumamkan hal-hal yang tidak seharusnya
dikatakan oleh wanita seusiaku. Akhirnya aku me-
nyerah, aku berlari ke seberang jalan dan memanggil
Tim melalui interkom. Kami mengangkut barang-
barang belanjaanku ke gedung apartemen kami, dan
Tim menggotong kereta dorongnya ke depan toko. Aneh
sekali. Aku tidak pernah mendengar kereta dorong
mengalami kempis ban.
Saat lain kali aku menyeberangi jalan ke toko serba
ada, aku menengadah dan melihat papan besar yang
diterangi lampu neon. Isi papan itu menginformasikan
bahwa membawa kereta dorong keluar dari area toko
akan membuat roda kereta terkunci. Aku menoleh ke
kantor pos dan menyadari bahwa petugasnya, yang meja
konternya berada persis di balik jendela, pasti menikmati
pertunjukan Yankee kami saat berusaha sekuat tenaga
mendorong kereta dorong itu! Mungkin kami juga
menghibur sejumlah orang saat berusaha mencari tahu
http://facebook.com/indonesiapustaka

kebiasaan lokal di setiap negara yang kami datangi.


Selagi aku bertarung dengan kereta dorong, Tim
sudah mengeluarkan barang-barang kami dari dalam
koper dan mulai menyortir sisa detail pindahan. Tim
menyalakan internet, agar kami bisa memanfaatkan
koneksi cepat yang disediakan Robin. Dengan internet
kami bisa berbicara dengan keluarga dan teman kami

254
INGGRIS

menggunakan Skype dan FaceTime. Surel memang


alat komunikasi yang hebat, tapi tidak ada yang lebih
menyenangkan dari mendengar suara dan melihat wajah
orang-orang yang kau cintai. Sungguh luar biasa saat
menyadari betapa pentingnya detail kecil saat kau berada
jauh dari orang-orang tercinta. Penjabaran pesta ulang
tahun dan dansa pertama sekolah, kabar lokal (baik atau
buruk), rencana dan kekecewaan, bahkan laporan cuaca
bisa memberikan arti yang sepenuhnya baru setelah
berbulan-bulan berada jauh dari mereka. Salah satu
cucu kami menunjukkan trik barunya menirukan anak
anjing dengan tangan, dan itu menjadi kejadian utama
saat kami menyaksikannya secara langsung melalui
layar komputer.
Kami menghabiskan malam pertama di London
untuk menghubungi keempat keluarga anak kami, yang
mengingatkanku betapa berbedanya masa ketika ayahku
yang seorang pengelana sejati, bepergian berpuluh-
puluh tahun lalu. Setelah ayahku pensiun pada 1970-
an, mereka menjual rumah, menyimpan barang-barang
mereka di gudang sewaan, dan pergi berkelana selama
tujuh tahun. Mereka merencanakan perjalanan tanpa
bantuan internet: menemukan tempat untuk tinggal,
mengatur transportasi ... semuanya. Pada masa itu, kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

menulis surat dan mengirimkan foto sebagai bentuk


komunikasi. Kami harus mengatur waktu, berminggu-
minggu sebelumnya, untuk menerima telepon dari
Maroko, Italia, atau Yunani, dan dengan penuh semangat
kami akan bergantian melakukan percakapan singkat
dan mahal dengan mereka. Biasanya koneksi teleponnya
jauh dari sempurna. Mereka adalah pasangan yang sehat

255
LYNNE MARTIN

dan melakukan perjalanan besar keliling dunia saat


berusia delapan puluh tahun. Aku dan Tim menyebut
mereka sebagai pelopor, dan mereka pasti akan senang
mengetahui kami mengikuti jejak mereka keliling dunia.
Mereka sangat menyukai Inggris Raya sehingga rasanya
mereka seolah hidup dalam pikiran kami selama kami
tinggal di Inggris.
Kami menyukai kota kecil kami, East Molesey, tapi
juga sangat senang karena akan segera pergi ke London.
Stasiun Hampton Court adalah stasiun paling ujung di
jalur kereta api yang melewati wilayah tenggara Inggris.
Tapi, kereta api adalah cara hidup yang baru untuk
kami. Di film-film lama, aku pernah mendengar James
Stewart, Cary Grant, atau Ray Milland mengatakan
sesuatu seperti, “Ups, harus pergi, kami harus mengejar
5-o-2,” kemudian mereka memasukkan lagi jam saku
yang dipegang, tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa
suatu hari kami akan benar-benar mengandalkan kereta
sebagai sarana transportasi sehari-hari. Kami me-
miliki daftar jadwal kereta dan dengan cepat belajar
menyesuaikan kepergian kami dari rumah agar bisa tiba
di stasiun lima menit sebelum kereta kecil imut berwarna
merah muncul. Biasanya kereta itu dipenuhi orang yang
datang untuk melihat istana yang terkenal, yang menjadi
http://facebook.com/indonesiapustaka

asal nama stasiun tempat kami naik, di mana Henry VIII


pernah tinggal bersama dengan enam istri dan sejumlah
besar kekasihnya. Saat penduduk lokal dan turis keluar
dari kereta, kami menempelkan tiket Oyster Card kami di
mesin elektronik dan mencari tempat favorit di gerbong
belakang. Masing-masing dari kami membawa koran
Inggris dan secangkir kopi yang kami beli di stasiun.

256
INGGRIS

Rasanya menyenangkan bisa berpura-pura menjadi


penduduk lokal saat menikmati perjalanan selama dua
puluh lima menit ke Stasiun Waterloo, Grand Central.
Pada awalnya, stasiun yang sangat besar itu membuat
kami bingung dengan banyaknya toko, bar, kereta, turis,
dan pengendara sepeda yang ada di sana, tapi seiring
dengan berjalannya waktu, Waterloo menjadi sefamilier
stasiun yang ada di dekat apartemen kami. Sangat mudah
untuk pergi ke mana pun di London dan menyambung
ke semua kota di Inggris dengan menggunakan kereta
dan jalur bawah tanah, yang bisa kami lakukan tanpa
keluar dari stasiun. Untuk orang California seperti kami,
yang menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan
terperangkap di padatnya lalu lintas, transportasi umum
yang efisien tetaplah menjadi keajaiban modern untuk
kami.
Untuk pulang ke rumah terasa lebih rumit daripada
saat keberangkatan Kami harus sampai di stasiun tepat
waktu untuk mengejar kereta ... atau yang lain. “Yang
lain” yang kami maksud adalah harus menunggu selama
tiga puluh menit sampai kereta berikutnya datang, yang
sebenarnya tidak terlalu buruk jika itu terjadi siang hari.
Namun, pada malam hari, jika kami ketinggalan kereta
sebelum yang terakhir pada pukul 10.30, kami harus
http://facebook.com/indonesiapustaka

menunggu sejam sampai kereta terakhir datang, dan itu


berarti kami baru sampai rumah pada pukul 1.00 dini
hari. Aku tidak tahu apa yang akan kami lakukan jika
ketinggalan kereta terakhir, tapi aku bisa mengatakan
kepadamu bahwa menaiki Jembatan Waterloo dari
Covent Garden di tengah hujan gerimis yang dingin
setelah tidak bisa menemukan taksi, mencoba untuk

257
LYNNE MARTIN

mengejar kereta terakhir itu dari Stasiun Waterloo,


sangat tidak menyenangkan.
Setelah mengunjungi London yang padat untuk
berbelanja atau berjalan-jalan, kami selalu merasa senang
saat kembali ke rumah. Kami menyebut apartemen
dan balkon kecil kami sebagai “griya tawang” karena
apartemen kami berada di lantai paling atas gedung
empat lantai itu. Dari sudut pandang kami, mustahil
untuk tidak mengamati kegiatan di sungai setiap hari.
Kami sering menyusuri sungai, berjalan-jalan ke pusat
desa dan berhenti sepanjang jalan untuk mengobrol
dengan penduduk lokal dan orang-orang yang tinggal
di perahu, yang mengikat perahu mereka untuk pergi
berbelanja atau berjalan-jalan dengan anjing mereka.
Kami melihat para nelayan duduk di kursi kemah, dengan
kotak es dan tas ransel di samping mereka. Dengan
bangga mereka akan menunjukkan hasil tangkapan
mereka dan menjabarkan detail teknik mereka dalam
memancing. Terkadang logat mereka sangat kental
hingga kami hanya tersenyum dan mengangguk, tidak
memahami satu kata pun ucapan mereka, tapi kami
menikmati interaksi itu. Aku mengatakan betapa kami
menikmati hari Minggu di Eropa karena orang-orang di
sana benar-benar menjadikan hari Minggu sebagai hari
http://facebook.com/indonesiapustaka

libur, dan sungguh menyenangkan melihat apa yang


mereka lakukan dengan waktu senggang mereka. Hal
yang sama juga berlaku di Inggris. Orang Inggris senang
melakukan kegiatan di luar ruangan, dan pada hari
Minggu, jalanan di depan apartemen kami terasa hidup
oleh penduduk lokal dan orang London yang menikmati
hari yang menyenangkan di luar.

258
INGGRIS

Suatu kali, kami menemukan Klub Kriket East


Molesey, yang didirikan pada 1871 dan katanya me-
rupakan klub kriket tertua di Inggris. Pemandangan
yang kami lihat di sana tidak mungkin bisa lebih
autentik lagi. Para pemainnya memakai celana putih
yang berkilau, kaus, dan sweter berpotongan leher V.
Kursi penontonnya dipenuhi orang-orang yang me-
ngenakan pakaian santai tapi menarik. Mereka terlihat
seperti mahasiswa—celana khaki, kaus kotak-kotak,
ikat pinggang Ralph Lauren, dan kardigan yang hanya
disampirkan di bahu dan diikat longgar di depan leher.
Saat anak-anak bermain, para ayah dan ibu mereka
bersikap seperti yang dilakukan para orangtua di
Amerika Serikat. Semua orang bersorak, mendorong
William atau Percy untuk memukul bola dan berhenti
menatap kapal layar di sungai!
Di area Sungai Thames yang lebih jauh, di dekat
pintu tempat kedatangan Henry VIII dari London untuk
menikmati istana pedesaannya, kami menemukan
dermaga kecil untuk jalur feri lokal yang melewati
Hampton Court, Kingston, dan Richmond-on-Thames.
Pada suatu hari yang cerah, kami bergabung dengan
barisan penumpang yang menunggu perahu, membayar
ongkos kepada kapten, dan mencari tempat dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pemandangan yang bagus. Saat menyusuri sungai di atas


perahu, kami melihat estat mengagumkan dengan taman
yang dirawat baik dan halaman hijau yang mengarah ke
dermaga pribadi dan rumah perahu, di mana kapal-
kapal yacht menunggu sang pemilik yang hendak
melakukan pesta koktail di atas kapal. Orang naik-turun
di pemberhentian yang berbeda, dan kami menjadi

259
LYNNE MARTIN

semakin terkesima oleh kehidupan orang-orang yang


ada di sungai setiap hari. Bagi mereka, Sungai Thames
sudah seperti jalanan utama, hanya saja kendaraan yang
lewat mengambang di atas air dan bukannya melaju di
jalanan beraspal.
Sekali lagi aku merasa gembira karena kami membuat
pilihan untuk menghabiskan waktu yang panjang di negara
lain. Dari pengalaman-pengalaman yang kelihatannya
tidak berarti seperti mengobrol dengan nelayan, me-
nonton anak-anak bermain kriket, menguasai jalur
kereta api dari stasiun di dekat apartemen kami, semua
itu menambah petualangan dan kekayaan pengalaman
kami, sesuatu yang tidak pernah kuimpikan akan bisa
kudapatkan pada usiaku yang sudah lanjut.
Saat kami tiba di Richmond-on-Thames, kami
berjalan-jalan di sekitar sana, mencari restoran di mana
orang-orang duduk di bawah pohon dan menikmati
makan siang. Sebuah kafe dengan meja dan kursi besi
tempa yang diletakkan di bawah naungan pohon willow
dan sycamores yang rindang menarik perhatian kami.
Kafe itu berada di tepi jalan, menawarkan kursi-barisan-
depan untuk menonton perlombaan perahu layar
kecil. Anak lelaki dan perempuan memutari pelampung
menggunakan perahu layar kecil dengan lihainya saat aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

masuk ke dalam kafe untuk mengambil pesanan makan


siang kami, sementara Tim duduk di salah satu meja.
Saat aku kembali dengan membawa roti lapis dan
minuman, Tim sedang terlibat percakapan seru dengan
seorang wanita paruh baya yang terlihat menarik dalam
balutan gaun musim panas bermotif bunga dan duduk
di meja sebelah kami. Dari percakapan tersebut kami

260
INGGRIS

tahu bahwa wanita itu, Beatrice, tinggal di Richmond


seumur hidupnya dan pergi ke sungai setiap hari untuk
makan siang sendirian. “Suamiku, Harold, tidak mau
mengajakku ke mana pun,” ujar Beatrice dengan logat
Inggris yang kental. “Sungguh menyebalkan. Belum
lama ini aku pensiun dari pekerjaanku dan aku pikir
dia akan mengajakku berjalan-jalan, bahwa kami akan
bersenang-senang berdua, berkeliling dengan mobil,
pergi berdansa. Aku sangat suka berdansa! Tapi, dia
hanya ingin bermain golf dengan teman-temannya. Ini
hari yang indah, dan aku memohon kepadanya untuk
mengajakku makan siang di luar, tapi dia menolak
dan memilih pergi dengan teman-temannya. Dia tidak
akan kembali sampai waktu minum teh, jadi aku akan
sendirian sepanjang hari. Dia selalu melakukan ini.
Bahkan, anak-anak kami marah kepada Harold karena
memperlakukan aku seperti ini. Menurut kalian apa
yang harus aku lakukan?”
Kami saling bertatapan dan di wajah Tim aku bisa
melihat perasaan kasihan dan amarah atas ketidak-
pedulian suami Beatrice terhadap keinginan istrinya.
Kami merasa sangat sedih melihat seseorang merasa
begitu kecewa dengan pasangannya setelah menikah
selama bertahun-tahun. Banyak sekali ide bermunculan
http://facebook.com/indonesiapustaka

di dalam pikiran kami: Beatrice harus bergabung


dengan kelompok dansa; aktif di beberapa klub; kembali
ke sekolah dan mempelajari sesuatu yang benar-benar
diminati; melanjutkan hidup sampai Harold menyadari
kesalahannya.
Tim menuangkan saus tomat untuk kentang goreng-
nya dan bertanya, “Apakah belakangan ini terjadi per-

261
LYNNE MARTIN

ubahan yang memengaruhi sikap Harold?”


“Yah, dokter memberinya obat baru untuk mengobati
kanker prostatnya.”
“Kalau begitu, kenapa kau tidak menghubungi
dokternya dan mencari tahu apakah dokter itu bisa
mengubah resep agar Harold bisa diberikan obat yang
tidak akan membuatnya bersikap seperti ini?” Dr. Tim
menggigit roti lapisnya.
Aku dan Beatrice menatap Tim dengan bingung.
Memangnya apa hubungannya dengan obat? “Lalu,
sudah berapa lama dia memperlakukanmu dengan sikap
tidak acuh?” tanyaku, mencoba mengorek cerita yang
lebih mendetail.
“Wah, coba kuingat-ingat, sepertinya sejak empat
puluh empat tahun lalu, selama kami menikah. Ini
bukan sesuatu yang baru.”
Dan, itulah masalahnya. Jelas sekali, selama empat
puluh empat tahun Beatrice terlalu sibuk dengan pekerja-
annya hingga dia tidak menyadari bahwa dia menikah
dengan, yah, pria berengsek. Aku akan membiarkan Tim
pergi ke rumah mereka untuk memukul Harold tepat di
wajah, kemudian melompat ke atas perahu dan berlayar
pergi. Kami semua tertawa membayangkan adegan itu,
dan Beatrice menganggapnya sebagai ide yang bagus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tim? Tidak terlalu.


Saat kapal feri kami pergi ke Molesey, kami me-
lambaikan tangan kepada Beatrice. Kami masih se-
ring berbicara dengannya. Meskipun aku malu me-
ngatakannya, Beatrice memberi kami alasan untuk
tertawa karena membayangkan harus hidup selama
empat puluh empat tahun dengan seseorang dan

262
INGGRIS

tidak menyadari betapa tidak peduliannya orang itu


sungguhlah konyol, rasanya seperti menonton komedi
gelap. Kami bertanya-tanya apakah Beatrice melakukan
sesuatu tentang ketidakpedulian Harold atau hanya
mengabaikannya. Yang pasti aku berharap Beatrice
bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik! Mendengar
cerita seperti itu selalu membuatku menghargai Tim-ku
tersayang dan perhatiannya lebih daripada sebelumnya.

Bertemu dengan orang baru adalah pengalaman paling


menarik dari kehidupan berkelana yang kami jalani.
Undangan ke rumah seseorang untuk minum, makan
malam, atau bahkan sekadar menyeruput kopi jadi
terasa penting karena selama berada di jalan, kami hanya
bisa mendatangi restoran dan tempat umum sehingga
kami mendambakan bisa berada di dalam rumah
yang permanen walaupun hanya selama beberapa jam.
Omong-omong tentang rumah, saat orang bertanya
kepada kami apa yang paling kami rindukan setelah tidak
memiliki rumah, dengan kompak kami mengatakan,
perabot. Tentu saja, kami juga sangat merindukan
keluarga dan teman-teman kami, tapi kursi malas yang
nyaman yang sudah kau duduki selama bertahun-tahun
http://facebook.com/indonesiapustaka

berada di urutan kedua setelah keluarga dan teman-


teman kami! Coba pikirkan: orang waras mana yang
mau memasukkan perabotan mahal mereka ke tempat
yang rencananya akan mereka sewakan secara teratur
kepada orang asing? Sebagian besar rumah sewaan
kami sangat menarik, berada di lokasi yang strategis,
bersih, dan cukup lengkap, tapi tidak ada satu pun yang

263
LYNNE MARTIN

memiliki sofa atau kursi yang benar-benar nyaman.


Karena beberapa alasan, tempat tidurnya masih bisa
ditoleransi, tapi kondisi tempat duduknya yang biasanya
keterlaluan.
Kekurangan itu membuat sikap kami jadi sedikit
memalukan dalam beberapa kesempatan: Selama ting-
gal di East Molesey, teman lama kami, Margo dan Rick
Riccobono yang tinggal di London, mengundang kami
untuk makan siang pada suatu hari Minggu, untuk berbagi
joint, begitu sebutan orang Inggris dan Irlandia untuk
daging panggang (tunggu, tunggu dulu, tolong jangan
berpikiran kotor), dan menghabiskan sore di rumah
mereka yang luas. Setelah menyapa dan berpelukan,
aku dan Tim langsung menuju ruang tamu dan dengan
kasar menguasai kursi kulit yang lembut dan empuk.
Saat kami menghela napas nikmat, Margo dan Rick
menatap kami seolah kami sudah gila. Mereka duduk
di kursi itu setiap hari, jadi apa masalahnya? Saat kami
menjelaskan bahwa kursi yang empuk dengan sandaran
nyaman menjadi hal yang paling kami rindukan selama
berada di jalanan, dengan baik hati mereka membiarkan
kami menguasai kursi itu sepanjang sore. Mereka bisa
saja menyajikan makanan kucing untuk makan siang
dan kami akan tetap merasa senang, selama kami bisa
http://facebook.com/indonesiapustaka

menghabiskan waktu setengah jam lagi di kursi mewah


itu. (Sebenarnya mereka menyajikan makanan yang
sangat lezat untuk kami, dan bahkan kursi ruang makan
mereka juga nyaman untuk diduduki.)
Kami belajar untuk mengendalikan obsesi baru
kami terhadap perabotan nyaman dengan mengunjungi
rumah-rumah di mana kami sama sekali tidak bisa

264
INGGRIS

merasakan perabotannya. Kami menaiki kereta ke


Istana Windsor dan sangat menikmati dapurnya, yang
selalu digunakan dan masih digunakan sampai sekarang
oleh Betty dan Phil (maksudnya Ratu Elizabeth dan
Pangeran Phillip, untuk kalian yang tidak termasuk ke
dalam lingkaran dalam mereka) saat mereka sedang
berada di sana. Pada pagi yang lain, Tim mengajakku
melewati lalu lintas yang padat, kabut, dan hujan untuk
bisa sampai ke Istana Highclere, estat mengagumkan
tempat syuting serial televisi BBC yang sangat populer
Downtown Abbey. Istana itu, yang berada di tengah-
tengah lahan seluas lebih dari dua ribu hektar, adalah
rumah paling indah dan paling megah yang pernah
kami lihat. Kami menikmati kemewahannya yang tak
terkatakan. Secara personal, rumah itu, dengan lukisan
dan barang antiknya yang berharga, jauh melebihi
tampilannya di televisi. Saat matahari mulai muncul
pagi itu, dan kami sedang berkeliling taman yang indah,
Tim berkomentar, “Aku suka sekali melihat tempat ini.
Sayang sekali kita tidak boleh mencoba perabotannya,
tapi aku berani bertaruh tidak ada yang senyaman kursi
kulit milik Rick.”
Kami juga jadi jago mengejar kereta kecil kami yang
berwarna merah. Saat Inggris memberi kami hari-hari
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang indah, kami menaiki kereta dan mengeksplorasi


Kota London. Bangunan tua favorit seperti museum
Victoria dan Albert, atau Vic dan Al, begitu sebutannya,
merupakan museum seni dekoratif terbesar di dunia,
kami datangi pada suatu sore. Museum itu tetaplah
terkesan kuno, bahkan setelah ditambahkan beberapa
pajangan baru dan barang-barang mewah yang me-

265
LYNNE MARTIN

narik. Aku mengunjungi museum itu setidaknya sekali


dalam setiap sepuluh tahun sejak tahun 1960-an, dan
sepertinya museum itu selalu dipenuhi barang-barang
berharga yang disimpan di tempat yang tidak layak
oleh pengurusnya karena keterbatasan ruang. Bak
tinta, gelang renda yang dibuat dari rambut manusia,
dan kartu Natal dari abad kedelapan belas ditempatkan
bersama dengan perabotan, barang seni, karpet, dan
harta karun arkeolog yang sangat berharga. Kami bisa
menghabiskan waktu berminggu-minggu di sana. Kami
masuk ke Westminster Abbey untuk memberi peng-
hormatan kepada anggota kerajaan, pujangga, musisi,
dan rohaniawan. Sekali lagi kami terkesima kepada Elgin
Marbels yang ada di British Museum, Pantheon Yunani
besar yang dibawa pulang ke Inggris untuk “disimpan”
pada 1803 dan tidak dikembalikan ke Yunani. Museum
itu, yang indah dan mengesankan, berdiri di antara
jalanan yang dijejeri pepohonan di dekat sekumpulan
pub yang telah melayani para turis yang kelelahan
selama dua ratus tahun. Museum tetap memberikan
kesan mengagumkan dan menakutkan. Kami mencoba
untuk melihat satu porsi baru setiap kali kami datang
berkunjung, sambil menyimpan energi untuk melihat
benda-benda favorit kami.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Portobello Road, yang terkenal dengan pasar luar


ruangannya setiap Sabtu dan membentang sampai ber-
blok-blok, juga memberikan hiburan pada sore hari
untuk kami. Itu adalah kejutan yang bisa kutawarkan
kepada Tim karena aku sudah sering sekali datang ke
sana setiap kali mengunjungi London. Toko-toko yang
penuh dengan barang bekas berdebu berdiri di samping

266
INGGRIS

toko-toko yang menjual perhiasan antik yang berharga


sangat mahal, pedagang kaki lima menjajakan mainan,
dan galeri seni yang memamerkan lukisan berharga
tinggi karya seniman terkenal. Toko-toko yang terbuat
dari bata dan semen sungguh mengesankan, tapi
pedagang yang berjualan di tenda juga menawarkan
kesenangan lain. Aku dan Tim mengamati barang-
barang perak, buku tua, perhiasan antik yang ditemukan
secara misterius seperti pria yang biasa menghilangkan
gelembung di sampanye yang mungkin akan membuat
kesal wanita yang akan meminumnya, dan baki berisi
kacamata sebelah, teropong opera, dan ratusan barang
menarik lain. Pasar itu seperti surga yang menguji tekad
kami untuk tidak menambah isi koper. Sebagian kardus
di gudang sewaan kami berisi barang-barang kecil
menarik yang kubawa pulang dari Portobello tahun
lalu—botol kaca dengan penyumbat dari uang koin
kuno, tempat kartu dari bahan perak yang berasal dari
tahun 1948 dengan nama pemiliknya terukir di bawah
penutupnya, meja tulis kayu lipat yang bisa dibawa
ke mana-mana dengan botol tinta kuno dan penutup
kuningan. Membongkar pembungkus barang-barang
itu saat akhirnya kami tinggal menetap lagi akan terasa
seperti membuka kado Natal!
http://facebook.com/indonesiapustaka

f
Cuaca pada bulan September terus berganti. Itu berarti
kami harus menghabiskan sore dengan berkeliaran di
Jalan Oxford untuk mencari sweter dan jaket. Kami
memang sudah berencana untuk membelinya di London
karena tidak ada gunanya membawa-bawa pakaian yang

267
LYNNE MARTIN

tebal dan berat itu sepanjang musim panas. Jalanan yang


diapit oleh toko-toko itu mengarah ke trotoar tersibuk
yang pernah kami lihat, satu dari sedikit tempat di mana
kami menyadari bahwa pergerakan kami sudah jauh
lebih lambat karena faktor usia. London dipenuhi orang-
orang yang terburu-buru. Mereka tidak menoleransi
orang yang ragu-ragu. Pejalan kaki yang lain tidak
bermaksud mengganggu kami, tapi mereka cukup sering
menyenggol kami karena langkah kami yang lambat.
Ternyata cara paling aman adalah kami berjalan sendiri-
sendiri, dengan Tim di depanku untuk membuka jalan.
Saat harus membuat keputusan, kami akan berhenti di
samping gedung, bukan di tengah-tengah trotoar. Orang
Inggris cukup perhatian dengan menyediakan tanda
di trotoar dan tiang lampu, mengingatkan turis untuk
menoleh ke kanan sebelum menyeberang jalan.
Terkadang, kami tinggal lebih lama di London untuk
makan malam dan menonton pertunjukan. Menyak-
sikan pementasan drama atau musikal di London
terasa lebih nyaman. Teaternya lebih kecil dan lebih
intim dibandingkan di kota-kota lain, menciptakan
pengalaman yang lebih personal. Covent Garden,
pusat distrik teater, selalu ramai pada jam berapa pun,
selalu penuh dengan turis dan pengunjung teater, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dijejeri bar, restoran, dan toko kaus serta suvenir yang


tidak pernah sepi. Kami menikmati dua pementasan
musikal dan satu drama, dan setelahnya kami bergegas
menyeberangi jembatan ke Waterloo untuk mengejar
kereta terakhir di peron 2. Salah satu pementasan drama,
Chariots of Fire, sangat menghibur karena tata panggung
yang unik. Di dalam drama itu ada adegan yang meng-

268
INGGRIS

haruskan salah satu pemainnya yang bertubuh kekar


berlari-larian. Saat kami bertepuk tangan pada akhir
pertunjukan, para pemainnya juga ikut bertepuk
tangan, dan sebagian penonton naik ke atas panggung.
Olimpiade Musim Panas sudah berakhir seminggu
sebelumnya, dan atlet pemenang medali dari Inggris
diundang ke pementasan itu. Kami berbaur dengan para
penonton yang merayakan prestasi mereka. Malam itu
menjadi pengalaman yang patut dikenang. Mustahil
untuk tidak terpengaruh oleh euforia kebanggaan yang
kami rasakan di sekeliling kami. Aku selalu menganggap
orang Inggris pemberani. Sebagai anak yang mengalami
langsung Perang Dunia II, aku memiliki kenangan samar
tentang film-film tentang anak-anak yang mengais sisa
reruntuhan bangunan yang hangus karena dibom, dan
barisan pengungsi yang menaiki kereta untuk dibawa
menjauh dari London karena adanya serangan bom
dari pihak musuh. Jiwa nasionalisme sering berkobar di
Inggris. Ada semangat “aku bisa” yang menurutku sangat
mengesankan dan menyentuh. Penghargaan mereka
terhadap keberhasilan warga negaranya dan keteguhan
mereka memegang sportivitas selalu membuat hatiku
tersentuh sehingga aku harus menyembunyikan mataku
yang berkaca-kaca dan hidungku yang berair dari Tim,
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang mungkin akan menggodaku karena bersikap


terlalu sentimental dengan Inggris. Toh, Tim memang
100 persen Irlandia!
Tidak setiap hari kami bersenang-senang layaknya
turis. Tim terus menulis novelnya, sementara aku
merapikan artikelku untuk Wall Street Journal. Surat
kabar itu memintaku untuk menambah tulisan menjadi

269
LYNNE MARTIN

artikel dua ribu kata dan menyiratkan apa yang akan


terjadi di bab berikutnya. Inspirasiku, Tim, juga me-
nyarankan agar aku mulai membuat proposal buku. Jadi,
itulah yang sedang kulakukan, dengan campuran emosi
antara kegembiraan dan ketakutan akan penolakan.
Pada sebagian hari, tugas menulis dan tugas rumah
tangga menjadi hal rutinitas sehari-hari seperti saat kami
masih tinggal di California, diakhiri dengan hidangan
buatan sendiri seperti daging atau ayam panggang dan
menonton film unduhan di TV. Sekali lagi, kami merasa
seperti berada di rumah sendiri dan nyaman dengan
kehidupan-tanpa-rumah yang kami jalani, bahkan se-
kalipun sofanya tidak terlalu nyaman.
Cakrawala domestik kami juga menjadi lebih luas
dengan pergi berbelanja ke tempat yang berjarak berkilo-
kilometer dari apartemen kami, yang menyediakan
supermarket yang lebih besar dan lebih lengkap, apotek
besar, dan toko-toko lain yang menyediakan barang-
barang yang kami butuhkan. Suatu hari, saat aku
mencari-cari barang yang kubutuhkan di toko obat, Tim
menjadi bersemangat dan berkata, “Dengar, aku akan
pergi berjalan-jalan untuk melihat ada apa di sekitar sini.
Kau pergunakan saja waktumu di sini dengan santai.
Aku akan kembali sebentar lagi.” Aku menggumam
http://facebook.com/indonesiapustaka

setuju dan melanjutkan pencarianku.


Sekitar lima belas menit kemudian, Tim muncul di
sampingku sambil membawa kantung yang besar. “Apa
itu?” tanyaku.
“Kau tidak akan memercayainya.” Tim mengeluarkan
mantel tebal berwarna hitam dari dalam kantung itu dan
menyampirkannya di rak sampo. “Dua puluh pound!”

270
INGGRIS

pekik Tim dengan penuh semangat. Mantel itu sangat


pas untuk Tim, dengan panjang yang juga pas dan
terlihat hangat sekaligus bergaya.
“Bagaimana bisa?”
“Toko Salvation Army, Sayangku, ada di ujung jalan.
Ada satu untukmu juga!”
Aku tertawa dan kami bergegas pergi ke sana. Benar
saja, toko Salvation Army menyediakan mantel wanita
sebatas betis yang terasa lembut saat dipakai dengan
ukuran pas untukku. Kenapa tidak? Itu membuat kami
siap menghadapi musim gugur di Inggris dan bulan
Oktober yang dingin di Irlandia, masalah kami ter-
pecahkan hanya dengan uang sekitar enam puluh dolar.
Kami juga merasa bangga karena ikut berperan dalam
menyelamatkan bumi dengan membeli barang bekas.
Saat kembali ke apartemen, kami memeriksa mantel itu
dan mendapati bahwa mantel merek mine, merek mantel
bekas yang kami beli, biasa dijual dengan harga $400.
Kami merasa semakin bangga dengan kegeniusan kami.
Meskipun berusaha untuk meminimalkan isi koper
kami, pakaian dan perlengkapan lain yang kami bawa
dalam petualangan terus bertambah. Semua barang itu
penting untuk kami. Kami bukan penggila pakaian, tapi
kami berusaha untuk terlihat rapi dan pantas. Kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

harus mengingatkan diri kami sendiri bahwa kami


mungkin tidak akan bertemu dengan orang-orang ini
lagi—kami hanya akan bertemu dengan satu sama lain
secara konstan. Kami juga harus mengingatkan diri kami
sendiri untuk tidak mencampuradukkan segala sesuatu.
Terkadang, aku keluar dari kamar tidur, menatap Tim
dari kepala sampai kaki, dan berkata, “Pukul berapa acara

271
LYNNE MARTIN

pemakamannya hari ini?” karena sekali lagi kami terjatuh


dalam jebakan pengelana dengan mengenakan pakaian
hitam sepanjang waktu. Kami berpikir mengenakan
pakaian hitam adalah tindakan cerdas, tidak terlihat
kotor, bisa dipadu-padankan dengan pakaian apa pun
dan—iya—membuat kami terlihat lebih kurus!
Pada saat tiba di Inggris, setelah empat bulan di
jalanan, kami tahu sangat mudah untuk membeli
pakaian sesuai musim di hampir semua kota, terutama
karena kami bukan turis dan memiliki cukup banyak
waktu untuk berbelanja dengan cerdas dan hati-hati
seperti yang biasa kami lakukan di rumah. Itu sebabnya,
mencari sweter, blus, atau jaket tidak pernah menjadi
masalah besar untuk kami.
Sejak dulu (sampai sekarang) kami menyukai
pakaian ringan dan multiguna yang bisa tetap terlihat
rapi tanpa dikeringkan. Berdasarkan pengalaman kami
sejauh ini, pakaian semacam itu hampir tidak ter-
sedia di luar negeri, dan mesin yang mengklaim bisa
mencuci sekaligus mengeringkan terbukti tidak ber-
guna. Syukurlah, sebagian besar rumah sewaan kami
menyediakan rak jemuran atau metode lain untuk
menggantung pakaian yang sudah dicuci. Tapi, ada juga
rumah sewaan yang tidak menyediakan fasilitas itu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan pada hari pencucian, apartemen kami akan terlihat


menggelikan dengan pakaian dalam yang menghiasi
kap lampu dan celana jins bertumpuk dengan handuk
di meja makan. Sejak saat itu, tali jemuran dari nilon
menjadi salah satu barang berharga untuk kami. Kami
tidak malu menggunakan jins lebih lama dari yang kami
anggap higienis jika saja kami bisa menggunakan mesin

272
INGGRIS

cuci tanpa ada batasan waktu. Kami mendapati bahwa


selama tidak ada bukti berupa spageti makan malam
minggu lalu, kami bisa terlihat rapi dengan mengenakan
jins yang sudah dipakai berulang kali tanpa dicuci.
Tapi, lain halnya dengan sepatu, terutama untukku.
Aku meninggalkan California tanpa membawa sepatu
pesta karena kakiku sudah membesar dari ukuran 11
AA menjadi 11 ½ AAA selagi kami berada di Buenos
Aires. Itu adalah perubahan yang mengejutkan untuk
wanita seusiaku. Kami tidak bisa menemukan sepatu
pesta lain sebelum kami meninggalkan rumah, dan
begitu pula di Florence atau Paris. Kami mencari-cari
melalui internet dan akhirnya menemukan Crispin, toko
sepatu di London yang membuat sepatu khusus untuk
wanita-wanita berkaki besar, dan suamiku yang manis
dan perhatian bersedia menemaniku berbelanja di sana.
Kami menaiki kereta merah kecil kami dan pergi ke
Waterloo. Setelah beberapa kali berganti kereta, kami
berdiri hanya beberapa blok dari toko yang kami cari.
Jalanan tradisional bergaya Georgia terlihat seolah
sebentar lagi akan ada Henry Higgins yang melangkah
keluar dari salah satu pintunya yang elegan. Butik
ternama, penjahit eksklusif, dan toko desainer mewah
berjejer di kedua sisinya. Aku merasa gugup karena
http://facebook.com/indonesiapustaka

semuanya terlihat mewah dan mahal. Meskipun aku


mengenakan blazerku yang terbaik, aku masih merasa
lusuh. Apa yang aku lakukan di lingkungan yang penuh
dengan butik para desainer?
Akhirnya kami menemukan toko Crispin. Saat aku
mengatakan kepada penjaga tokonya apa yang ku-
inginkan, dia hanya menjentikkan jarinya dan berkata

273
LYNNE MARTIN

dengan ceria bahwa dia memiliki barang sesuai dengan


yang kubutuhkan. Dalam waktu singkat, dia muncul lagi
dan fantasi Cinderella-ku menjadi kenyataan. Sepasang
sepatu wedges Stuart Weismann ukuran 11 ½ AAA warna
hitam dari bahan beledu, dibingkai dengan pita elegan
dan gesper hitam yang elegan, terpasang dengan pas di
kakiku seperti sarung tangan yang lembut. Sepatu itu
sangat cantik—dan sangat mahal hingga membuat aku
dan Tim terkesiap. Harta karun itu tidak didiskon. Tapi,
karena tahu betapa aku membutuhkannya, suamiku
yang baik hati bersikeras agar aku membelinya.
Aku membuat permintaan bahwa saat aku mening-
galkan bumi ini, aku harus membawa sepatu Stuart
Weismann itu bersamaku. (Sekadar catatan, aku juga
ingin dipakaikan gaun Eileen Fisher pada acara pema-
kamanku.)
Sepatu itu sangat istimewa hingga layak dibawa ke
mana pun kami pergi. Jadi, kami terlihat seperti pengungsi
saat beberapa hari kemudian kami mengucapkan se-
lamat tinggal pada Inggris dan menaiki pesawat menuju
rumah kami yang berikutnya. Tim menjadi sangat ahli
mengemudi dengan tangan kiri hingga pada saat kami
menghadapi lalu lintas yang padat di sekitar Bandara
Heathrow, Tim sama sekali bergeming. Tim sungguh
luar biasa! Saat kami mengumpulkan barang-barang,
http://facebook.com/indonesiapustaka

Victoria-lah yang terakhir masuk ke dalam tas tanganku.


Aku tidak yakin, tapi sepertinya aku mendengar Victoria
merintih saat aku melepaskannya dari mobil Inggris.
Mungkin Victoria tahu dia akan pergi ke Republik
Irlandia.

274
Sepuluh

Irlandia
A wan gelap menggantung di langit. Mantel
wol hitam yang kami beli di toko Salvation Army
membuat kami merasa nyaman saat berdiri di pelataran
parkir mobil sewaan, menunggu petugas melakukan
pengecekan. Saat menengadah ke langit yang mendung,
aku menyadari aku tidak akan membutuhkan sepatu
Stuart Weismann-ku yang mahal di Dublin sama se-
perti ikan yang tidak membutuhkan sepatu bot. Tidak
mungkin aku akan mengambil risiko membiarkan
air mengotori sepatu yang cantik itu sehingga untuk
sementara sepatu itu harus disimpan di kotaknya. Saat
Tim menyalip truk kecil dengan mobil sewaan kami, aku
mendengarnya mengumpat, “Sialan! Ini mobil paling
kecil yang pernah ada. Aku yakin mesin jahit masih
http://facebook.com/indonesiapustaka

memiliki tenaga yang lebih besar.”


Tim memukulkan tangannya ke bagasi mobil. Mobil
itu sangat ringan hingga nyaris terangkat dari tanah.
Tapi, kau tidak akan menyangka, mobil Nissan hitam
yang kecil itu menjadi salah satu mobil favorit kami.
Mobil itu cukup kecil hingga Tim bisa melewati jalan-
jalan Irlandia yang kecil dan sempit, dan kami juga bisa

275
LYNNE MARTIN

memarkirkannya di mana pun. Dengan cepat kami


mendapati bahwa pengalaman Tim mengemudi di lalu
lintas Inggris yang cepat tapi teratur menjadi latihan
yang bagus untuk mengemudi di kedua sisi jalan, tapi
kebiasaan idealis orang Irlandia membutuhkan keahlian
baru. Orang Irlandia sangat giat dan tidak bisa diprediksi,
yang mengharuskan Tim untuk memiliki kegesitan yang
ekstrem. Setidaknya orang Irlandia masih lebih sabar
dibandingkan orang Italia atau orang Prancis!
Sudah lebih dari dua puluh tahun aku tidak ber-
kunjung ke Irlandia. Aku dan mendiang suamiku, Guy,
pernah tinggal di Dublin selama dua tahun selama Guy
bekerja di sebuah perusahaan film Amerika Serikat
sebagai pengembang visual, dan selama itu, aku jatuh
cinta dengan negara ini. Tim sudah mendengar banyak
sekali kisah tentang pengalaman menarikku di sini
hingga dia setuju untuk pergi ke sini. Leluhur Tim yang
berasal dari Irlandia menambahkan semangat Tim
untuk datang berkunjung, dan aku sangat bersemangat
ingin menunjukkan kepadanya negara yang kucintai ini.
Saat aku dan Tim pergi ke Galway, sekitar dua ratus
kilometer dari pantai barat, aku terkesima melihat jalan
tol dan lalu lintasnya yang padat. Segala sesuatunya sudah
berbeda sejak pertengahan tahun sembilan puluhan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saat aku tinggal di sana pada awal tahun sembilan


puluhan, jalanan ke Galway lebar dua arah. Lampu
lalu lintasnya berada di dekat desa kecil yang tenang,
memberi kesempatan kepada para pengelana untuk
singgah dan melihat-lihat pub, gereja, toko, dan pondok-
pondok yang bersih di sana. Pada saat itu, perjalanan
dari Dublin ke Galway membutuhkan waktu setengah

276
IRLANDIA

hari; sekarang kami bisa menempuhnya hanya dalam


waktu kurang dari tiga jam, bahkan sekalipun hujan
deras dan angin menantang mobil kami di sepanjang
jalan. Pemandangannya masih sehijau sebelumnya,
diselingi dengan reruntuhan gereja abad kedua belas
dan biara tua, pengingat akan amukan Oliver Cromwell
pada pertengahan abad ketujuh belas saat dengan brutal
dia menghancurkan sebagian besar negara ini, terutama
gereja serta biaranya dengan mengatasnamakan Gereja
Inggris. Meskipun perubahan jalannya cukup efisien,
aku rindu melihat kota-pedesaan karena kami melaju
cepat melewati tengah-tengah pulau di jalan raya yang
besar.
Saat tiba di Galway, kami menginap di apartemen-
hotel yang modern dan elegan di tengah kota, yang
sebenarnya kurang nyaman, tapi menawarkan peman-
dangan kota dan laut di seberang pelabuhan. Itu adalah
lokasi yang sempurna untuk melihat kota dan area
sekelilingnya. Malam itu, saat kami duduk untuk makan
malam di pub dekat apartemen, Tim mencondongkan
tubuh ke seberang meja dan berkata, sambil berbisik,
“Aku tidak memercayainya. Apa yang kau katakan
kepadaku selama bertahun-tahun ini ternyata memang
benar. Semua orang berbicara seolah ada alat penyadap
http://facebook.com/indonesiapustaka

KGB di botol merica.”


Perkataan Tim ada benarnya. Meskipun restoran itu
penuh dengan pengunjung, tapi suasananya jauh lebih
sunyi dibandingkan bistro kecil di Prancis di mana
semua hal, termasuk suara peralatan makan, diredam
oleh dindingnya. Menurutku orang Irlandia sangat
misterius, dan aku mengatakan pendapatku itu kepada

277
LYNNE MARTIN

Tim sebelum kami tiba, dan percakapan sunyi mereka di


pub atau restoran membuatku terkesima. Orang Irlandia
sangat percaya pada takhayul, dan ada seorang teman asal
Irlandia yang pernah mengaku kepadaku bahwa orang
Irlandia asli merasa yakin bahwa ada peri yang selalu
mendengarkan mereka. Tidak semua peri manis dan
baik seperti Tinker Bell, begitu kata mereka kepadaku.
Mereka juga memiliki sisi pendendam, apalagi terhadap
mereka yang mengoceh tentang keberuntungan baik.
Tentu saja, penyebabnya adalah sisa paranoid dari hari-
hari ketika IRA (Irish Republican Army) menjadi bagian
dari kehidupan sehari-hari mereka.
Ada kebiasaan aneh orang Irlandia yang datang
bersama makanan kami dan membuatku tersenyum.
Kentang tumbuk yang lembut menemani ikan segar
kami yang dipanggang dengan sempurna—di samping
setumpuk besar kentang panggang yang garing. Karbo-
hidrat ganda menjadi hidangan yang umum di hampir
semua restoran di Irlandia dan Inggris. Misalnya saja, di
banyak pub, lasagna disajikan dengan kentang tumbuk
dan hidangan pasta! Aku tidak tahu dari mana asal
keanehan kuliner itu, tapi ukurannya memang tidak
jumbo.
Keesokan harinya aku mengistirahatkan Tim dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

tugas menyetir dengan mengikuti tur bus menuju Burren,


salah satu pemandangan batu terbesar di Eropa. Kami
melanjutkan perjalanan ke Tebing Mohar, pemandangan
alam yang paling dramatis dan paling sering dikunjungi
orang di Irlandia. Tebingnya menjulang setinggi dua ratus
meter di atas ombak Samudra Atlantik. Angin dan hujan
yang dingin mengguyur dengan derasnya hingga kami

278
IRLANDIA

hampir tidak bisa berjalan tegak ke titik puncak. Dari


sana, segalanya terlihat menurun. Pemandu tur terus
mengoceh, memberikan terlalu banyak informasi. Di
setiap pemberhentian, kami terpaksa selalu menunggu
orang-orang yang terlalu egois untuk kembali ke bus tepat
pada waktunya. Momen-momen itu, bersama dengan
tempat-tempat makan siang membosankan yang dipilih
oleh pemandu tur, mengingatkan kami pada alasan
kenapa kami tidak suka mengikuti tur. Tapi, hadiah
yang kami dapatkan adalah pemandangan yang tidak
akan pernah kami lupakan, dan untuk kali pertama Tim
bisa menikmati pemandangan secara penuh. Malam itu,
dalam keadaan kedinginan dan kelelahan, kami sangat
senang bisa kembali ke Galway. Kami menghabiskan
malam yang menyenangkan di pub, menyantap dua
jenis kentang di antara para pengunjung lain yang saling
membisikkan rahasia mereka.
Angin yang dingin dan hujan es di Tebing Mohar tidak
membantu kondisiku yang sudah mulai menurun sejak
kami tiba di Irlandia. Kondisiku semakin memburuk
setelah kami menyusuri pantai Irlandia. Tim memesan
kamar di The Lodge, sebuah penginapan nyaman
di dekat pusat Kenmare, di Kota Kerry. Pemiliknya,
Rosemary Quinn, seorang wanita muda menarik yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

keluarganya tinggal di bagian sayap bangunan tua tapi


dirawat dengan baik itu, menyapa dan mengantar kami
ke kamar yang nyaman. Aku mengendus dan terbatuk-
batuk, merasa sangat merana. “Kau akan membutuhkan
sedikit bantuan dengan flumu itu. Duduklah, aku akan
kembali sebentar lagi dengan membawa obatnya,” ujar
Rosemary.

279
LYNNE MARTIN

Aku merasa sangat lemah hingga aku hanya meng-


angguk patuh selagi Tim membongkar barang-barang
yang kami butuhkan. Tidak lama kemudian Rosemary
kembali dengan membawa baki kecil dari perak. Aku
langsung tahu apa niatnya: seteko air panas, sepiring
irisan lemon dengan daunnya, dan mangkuk porselen
bermotif bunga yang berisi penjepit perak dan bongkah-
an gula. Di samping semua barang-barang itu ada
mug berukuran raksasa berisi wiski Jameson khas
Irlandia! Dengan cepat Rosemary menggabungkan
dua bongkahan gula, irisan lemon dengan daunnya,
dan wiski, kemudian Rosemary menuangkan air panas
hingga penuh. “Ini akan langsung mengobatimu,” ujar
Rosemary. “Kau pernah tinggal di Irlandia, jadi kau pasti
familier dengan manfaat wiski panas! Slainte—sehat.”
Rosemary memberikan ramuan itu kepadaku.
Aku masih ingat bahwa cuaca Irlandia yang dingin
dan liar mengharuskan kami sering pergi mencari wiski
panas di sela-sela perjalanan kami. Tidak pernah sulit
menemukan pub. Aku tidak yakin dengan kemampuan
menyembuhkan dari wiski panas, tapi begitu wiski
Jameson menyentuh targetnya, aku tidak peduli bahwa
aku sedang sakit. Obat orang Irlandia untuk flu dan
batuk jauh lebih enak daripada Nyquil.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Nah, di mana kita sekarang di sisi lain kabut pribadiku?


Oh, iya, Kenmare. Desa yang indah ini berada di dekat
Jalur Lingkar Kerry dan Jalur Lingkar Beara, jalanan
yang memutari tepi semenanjung besar yang menjorok
ke Samudra Atlantik, dua dari banyak sekali keajaiban
alam di Irlandia. Kenmare juga dikenal dengan makanan
lezat dan musik Irlandia-nya, tapi karena aku merasa

280
IRLANDIA

sedikit lemah, kami membatasi perjalanan menjadi


kunjungan singkat ke Celah Dunloe, jalanan sempit di
antara dua puncak berkarang tajam yang dilengkapi lima
danau dan pemandangan yang memukau. Perjalanan
kami melewati celah itu dan makan siang di pub lokal
menyerap seluruh energiku hari itu, dan malam itu
Perawat Tim memastikan pasiennya tidur setelah
meminum beberapa dosis air rebusan ajaib Rosemary.
Keesokan paginya, kami pergi ke Kinsale, kota tepi
laut yang pernah menjadi pusat pergerakan makanan
Irlandia. Kami memilih hotel besar yang modern di
luar desa, yang menawarkan pemandangan spektakuler
berupa padang rumput sehijau zamrud dan danau yang
berkilauan. Orang-orang menggelar resepsi pernikahan
dan jamuan makan di hotel seperti ini sehingga walau-
pun cuacanya dingin, pelayanannya sangat memuaskan.
Itulah yang dibutuhkan oleh dua pengelana yang basah
kuyup: pelataran parkir yang luas, kamar mandi yang
besar, pemanas di mana-mana, tempat tidur besar dengan
kasur yang empuk, tali jemuran di kamar mandi, dan
staf yang sigap dalam memberikan bantuan. Terkadang,
orang harus melupakan pesona demi mendapatkan
fasilitas cuci dan area parkir yang luas!
Sementara itu, artikel Wall Street Journal-ku akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbit sebentar lagi, pada minggu ketiga bulan Oktober.


Aku pikir aku sudah menyelesaikannya sebelum kami
pergi dari London, tapi saat aku membuka Mac-ku,
aku menemukan permintaan untuk penambahan foto.
Mereka ingin foto kami dengan koper-koper kami.
“Wow! Ini akan sulit,” kataku, sambil menatap layar
komputer. “Maksudku, kita tidak mengenal siapa pun di

281
LYNNE MARTIN

sini. Bagaimana kita bisa mengambil foto kita berdua?”


“Tunggu sebentar. Aku akan segera kembali.” Lalu,
Tim menghilang.
Sepuluh menit kemudian, Tim kembali sambil ter-
senyum. “Aku bertanya kepada petugas resepsionis
apakah aku bisa menyewa jasa seseorang untuk mem-
bantu kita, dan tentu saja dia bersedia. Ayo, kita berburu
lokasi yang bagus.”
Kami pergi mencari lokasi yang sesuai dan me-
ngeceknya dengan kamera iPhone kami. Setelah me-
milih beberapa tempat, kami kembali ke kamar untuk
menyiapkan diri sebelum melakukan sesi foto.
Saat kami memasuki kamar, aku hampir menabrak
Tim. Dia berhenti secara mendadak di depanku dan
menoleh ke sekeliling dengan ekspresi muram. “Hei,
tunggu dulu, aku baru saja menyadari sesuatu. Aku harus
mencukur jenggotku!” ujar Tim, dengan wajah sedih.
Tim sangat bangga dengan jenggotnya yang tumbuh
selama kami berada di Inggris. Itu bukan penampilan
Tim yang menjadi favoritku, jangan salah, tapi aku tidak
mau merusak kesenangannya. “Apa maksudmu, Sayang?
Aku yakin tidak ada bedanya untuk siapa pun jika kau
memiliki jenggot. Kau terlihat sangat tampan,” kataku
meyakinkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Coba pikirkan. Di foto lain yang kita kirimkan ke


koran, wajahku bersih. Aku ragu mereka ingin kau
mengirimkan foto dua versi diriku yang berbeda—satu
berjenggot, satu lagi tidak,” jawab Tim, masih terlihat
sedikit murung. Tapi, sebelum aku sempat mengatakan
apa pun, Tim pergi untuk melakukan pengorbanan besar
demi kemajuan karierku! Tim muncul lagi beberapa

282
IRLANDIA

menit kemudian dengan wajah yang semulus mug Paris-


nya. Aku tidak mengatakan bahwa diam-diam aku
merasa senang melihat wajah tampan Tim terlihat lagi.
Petugas resepsionis yang penyabar mengambil se-
rangkaian foto kami: di dalam, di luar, sendiri dan
berdua, semua hanya dengan upah dua puluh euro. Aku
mendapatkan foto yang kubutuhkan, ditambah dengan
suami yang berwajah bersih. Beruntungnya aku.

Setelah sesi foto selesai, kami melihat-lihat ke sekeliling


desa turis kecil dan menikmati makan siang di dermaga.
Kemudian, kami kembali ke tengah-tengah kota me-
nuju Dublin. Kami kelelahan, basah, dan siap untuk
bersantai setelah seminggu berada di jalan. Saat kami
melaju di jalanan, Tim berkata, “Kau tahu, kita pernah
mengatakan akan membahas tentang bagaimana kita
mengatur perjalanan kita setelah sampai di Irlandia, dan
aku rasa kita sudah belajar apa yang ingin kita ketahui.
Maksudku, lihatlah kita. Kau masih setengah sakit, dan
aku luar biasa lelah menyetir dan setelah itu menyeret
koper kita ke tempat baru setiap beberapa malam sekali.”
“Aku takut aku harus sependapat denganmu,” kata-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ku sambil menatap reruntuhan kastil Irlandia yang


bertengger tinggi di tengah-tengah ladang petani. “Aku
pikir merencanakan perjalanan dengan menggunakan
mobil saat kita tiba di suatu negara terdengar seperti
rencana yang bagus, tapi dalam setiap kasus—Italia,
Inggris, dan sekarang di sini—kita tiba di destinasi ter-
akhir kita dalam keadaan lelah dan membawa setumpuk

283
LYNNE MARTIN

pakaian kotor! Aku benci mengatakan ini, tapi aku rasa


kita harus mulai mempertimbangkan usia kita dan
beristirahat sebanyak yang bisa kita lakukan.”
Saat kami melanjutkan percakapan, kami sepakat
bahwa pada masa depan, kami akan langsung menuju
markas besar kami di negara mana pun yang kami
kunjungi, menyiapkan “rumah” kami, dan setelah itu
baru melakukan perjalanan pendek. Dengan melakukan
itu, kami hanya akan membawa beberapa potong
pakaian dan kebutuhan lain, dan kemudian “pulang”
ke rumah kami, seperti yang umumnya dilakukan oleh
para turis. Atau, penduduk lokal saat mereka melakukan
liburan singkat. Metode baru itu akan menghabiskan
biaya yang lebih besar karena kami harus membayar
rumah yang menjadi markas besar kami, ditambah
biaya menginap di hotel selama kunjungan singkat, tapi
kami memutuskan itu layak dilakukan, apalagi kami
bisa menghemat di area lain, misalnya meminum lebih
sedikit anggur dan mengurangi jadwal makan malam di
luar, untuk menghindari stres dan mencegah membuat
diri kami sendiri terlalu kelelahan. Sudah hampir
delapan belas bulan kami menjalani hidup sebagai
pengelana tanpa rumah dan kami mulai menyaring
pengalaman untuk mengukur kemampuan kami, yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan membuat petualangan ke depannya menjadi lebih


mudah.
Kami juga mulai menyadari bahwa sekarang kami
membawa pengetahuan dan pengalaman penting yang
bisa kami bagikan dengan yang lain. Hampir semua
orang yang kami temui di jalan merasa kagum dengan
gaya hidup kami, dan dimuatnya tulisanku di Wall Street

284
IRLANDIA

Journal menegaskan bahwa kami memang melakukan


sesuatu yang bermanfaat.
Saat kami mendekati Dublin, aku tidak mengenali
area itu karena sudah sangat berbeda dari dua puluh
tahun lalu. Jalan raya, jalan tol, dan persimpangan
jalannya hampir sama seperti yang ada di Los Angeles
atau Buenos Aires. GPS kami yang tepercaya, Victoria,
terus mengoceh, memberikan interpretasi liarnya ter-
hadap bahasa Irlandia (sebagai contoh, Victoria me-
lafalkan nama manajer apartemen kami, Siobhan,
sebagai “sigh-o-bahn”, tapi orang Irlandia menyebutnya
“Shiv-on”, yang terdengar seperti pelafalan “chiffon”).
Kami menikmati kelucuan fonetik itu saat Victoria
mengarahkan ke apartemen baru kami di Bray, daerah
pantai yang hanya berjarak dua puluh menit menaiki
kereta dari pusat kota. Kota itu terlihat bobrok, seperti
banyak kota pantai pada musim dingin, tapi saat kami
berbelok dan menaiki bukit, kami mulai melihat rumah
dan estat yang mengesankan. Saat kami sampai di
depan pagar besi berwarna hitam dengan aksen emas di
beberapa bagian, Victoria meminta kami untuk berhenti.
Saat pintu gerbang terbuka, untuk kali pertama kami
melihat Old Connaught House, mansion besar dua lantai
bergaya Georgia yang akan menjadi rumah kami selama
http://facebook.com/indonesiapustaka

sebulan. (Iya, kami tinggal di mansion sungguhan.) Tim


menemukan tempat itu di vrbo.com, situs pencarian
rumah yang kami gunakan selain homeaway.com
untuk semua rumah dan apartemen sewaan kami. Aku
menyarankan kami tinggal di tempat yang sepi di dekat
pantai agar kami tidak harus bergelut dengan lalu lintas
Dublin setiap hari. Bangunan berdinding batu abu-abu

285
LYNNE MARTIN

besar itu berdiri di tengah-tengah padang rumput luas


dan dikelilingi tembok batu yang kokoh. Jendela tinggi
berpanel berkilau oleh sinar matahari sore. Di belakang
gedung, ladang dan lapangan kuda membentang
sampai ke Laut Irlandia. Sungguh menyenangkan!
Kami melompat keluar dari mobil, sudah tidak sabar
ingin membuka pintunya (manajer propertinya sudah
memberikan kunci mansion itu kepada kami) dan
melihat keajaiban apa yang menunggu kami di dalam.
Tidak butuh waktu lama untuk melihatnya. Karpet
merah yang mewah terbentang di sepanjang lobi, yang
dulunya digunakan sebagai aula penerimaan mansion
tersebut, dengan lukisan menawan di dinding dan
tangga besar dengan susuran berpoles, semua sesuai
dengan era Georgia. Plunket, Menteri Hukum Irlandia,
membangun, Old Connaught House pada akhir abad
kedelapan belas. Ada banyak pepohonan di sana
yang sudah berusia lebih dari tiga ratus tahun. Jutaan
penonton juga pernah melihat rumah itu dalam film My
Left Foot karya pemenang Oscar Daniel Day Lewis.
Old Connaught dibagi menjadi sepuluh apartemen.
Apartemen di bagian ujung bangunan digabungkan
menjadi unit yang lebih besar dengan pemandangan dari
tiga sisi, dua kamar mandi, ruang makan formal, dan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dapur yang luas. Apartemen yang ada di tengah seperti


apartemen kami memiliki dua kamar tidur. Semua
apartemen itu berbagi pintu depan dan lobi, dengan
lorong yang mengarah ke sejumlah unit apartemen.
Apartemen-apartemen itu dijual sebagai kondominium,
jadi sebagian apartemen, seperti yang kami tempati,
biasanya disewakan pada musim liburan, sedangkan

286
IRLANDIA

apartemen yang lain ditempati oleh pemiliknya setahun


penuh.
Kegembiraan kami bertambah saat melihat lift
modern di sudut. Itu berarti apartemen kami kali ini
memiliki satu kelebihan dibandingkan apartemen
sewaan kami yang lain: Tim tidak harus mengangkut
koper-koper kami menaiki tangga berlapis karpet!
Liftnya terbuka di pintu apartemen kami yang ada di
lantai dua. Begitu kami berada di dalam rumah baru
kami, kami menemukan aula depan yang besar dan
elegan, kamar yang luas dengan tempat tidur ukuran
king yang nyaman, kamar tidur yang lebih kecil untuk
menyimpan barang-barang kami, dan gabungan ruang
tamu-ruang makan-dapur yang menawan. Setiap
ruangan memiliki langit-langit setinggi tiga setengah
meter dan jendela tinggi elegan dari era tersebut.
Ruang utamanya menghadap padang rumput hijau dan
memberikan pemandangan Laut Irlandia. Kami harus
memaksakan diri menjauh dari jendela untuk memulai
prosedur penyortiran, mencari tahu cara pengoperasian
mesin cuci, dan mendekorasi apartemen dengan kaus
kaki dan pakaian dalam basah sebelum kami pergi
membeli bahan makanan untuk mengisi dapur.
Saat pergi ke laut untuk berjalan-jalan, kami melihat
http://facebook.com/indonesiapustaka

bukti yang jelas bahwa tempat itu dipenuhi turis pada


sepanjang musim panas. Bahkan, pada bulan Oktober
yang dingin, jalanannya lebih dipenuhi pejalan kaki,
anjing dan pemiliknya, kereta dorong bayi, dan anak-
anak. Pub, toko es krim, hotel kecil, dan toko suvenir
berjejer di sepanjang jalan menghadap ke arah laut.
Ada banyak toko yang sudah tutup karena musim panas

287
LYNNE MARTIN

sudah berakhir, hingga pantai terasa lebih suram dan


melankolis.
Di ujung pantai kami menemukan Harbour Bar,
yang menerima penghargaan Bar Terbaik di Dunia
pada 2010 oleh The Lonely Planet Guide. Kami harus
membentengi diri kami sendiri sebelum menghadapi
tantangan berbelanja di pasar yang baru. Aku merayakan
kesehatanku yang membaik dengan menenggak sebotol
Guinness.
Mudah sekali untuk melihat kenapa Harbour Bar
mendapatkan penghargaan itu. Kami merasa seolah
sedang berlayar di kapal tua pada suatu sore yang sunyi.
Langit-langit, lantai, dan dindingnya berkilauan dengan
plat yang menggambarkan sejarah pub yang sudah
berusia seratus-empat-puluh-tahun. Barang-barang
bahari antik mendekorasi semua permukaan dinding,
dan api menyala di perapian berbingkai keramik,
dengan aroma khas Irlandia. Ya, kami benar-benar
berada di sini. Kami duduk di kursi kulit yang usang
tapi nyaman di dekat perapian. Tidak lama kemudian,
kami sudah terlibat percakapan seru dengan Mike, pria
bertubuh kurus dengan wajah menarik dan mata biru,
yang duduk di meja sebelah. Mike mengenakan topi
berkap dobel seperti yang digunakan Tim setiap hari
http://facebook.com/indonesiapustaka

sejak dia membelinya di toko suvenir di Tebing Mohar


pada perjalanan kami ke pantai barat. “Aku yang pergi
berbelanja untuk istriku setiap hari dan aku selalu
mampir ke sini untuk menikmati sebotol minuman
dengan Joseph,” ujar Mike, menunjuk si penjaga bar.
Percakapan kami beralih ke politik, membahas
tentang apa yang sering terjadi di Eropa. Kami terkejut

288
IRLANDIA

saat menyadari berapa banyak yang diketahui orang


Eropa tentang kebijakan pemerintah kami, begitu juga
dengan fakta bahwa mereka mengikuti tajuk utama di
koran Amerika. Media internasional yang membuat hal
itu mungkin. Cuaca di Dubai, kerusuhan di Brasil, atau
kecelakaan di Paris dikabarkan di koran dan TV, dan
kami baru menyadari kurangnya informasi semacam
itu di media yang ada di negara kami sendiri pada saat
berada di dunia luar untuk sementara waktu. “Jadi,
menurut kalian akan seperti apa? Aku dengar Romney
cukup bagus, tapi aku rasa Obama adalah figur yang
tepat.” Pandangan Mike mewakili pendapat banyak
orang Eropa yang berbincang dengan kami tentang
topik itu. Kami membahas tentang pemilihan presiden
yang akan diadakan sebentar lagi, dan disambung
dengan kondisi ekonomi di Irlandia. “Ah, kondisinya
sangat menyedihkan hingga aku memilih untuk tidak
berkomentar sama sekali,” ujar Mike. Mike menirukan
gerakan ritsleting yang ditarik tertutup di depan mulut-
nya. Itu gerakan yang sangat khas Irlandia hingga tawa
kami bertiga pun langsung meledak.
Saat kami memaksa menyeret diri kami menjauh dari
kehangatan dan kenyamanan Harbour Bar, Tim melihat
papan lempar panah kecil di sudut. Dia berhenti, meng-
http://facebook.com/indonesiapustaka

ambil sejumlah anak panah kecil, dan berhasil mengenai


lingkaran paling dalam pada lemparan yang ketiga.
Kehebatan Tim membuatku penasaran. “Aku tidak tahu
kau bisa melakukan itu!”
Tim tertawa. “Kau tahu, tidak sia-sia aku meng-
habiskan bertahun-tahun hidupku di industri musik
dengan berkeliaran di bar yang ada di Santa Monica.”

289
LYNNE MARTIN

Tim membukakan pintu untukku. Bakat tak terbatas


yang dimiliki oleh suami geniusku tidak pernah berhenti
membuatku terkagum-kagum.
Selama beberapa hari berikutnya cuaca terus
membaik. Angin tidak lagi bertiup kencang dan hujan
deras sudah berkurang menjadi gerimis. Kondisi itu
memberiku kesempatan untuk menunjukkan kepada
Tim beberapa tempat yang masih kuingat dengan sangat
jelas dari tahun-tahun aku tinggal di sana. Salah satu
tempat favoritku adalah Powerscourt, rumah besar
bergaya Palladian dengan enam puluh delapan kamar
yang dibangun pada 1700-an dan terletak di Pegunungan
Wicklow, sekitar dua puluh menit sebelah selatan
Dublin. Jalanan hutan dan tamannya yang memiliki
luas berhektar-hektar selalu terlihat indah sepanjang
tahun, apalagi pada musim gugur yang menampakkan
warna-warna memukau. Saat kali terakhir aku ke sana,
mansionnya belum direstorasi setelah kebakaran besar
yang terjadi pada 1974, yang hanya menyisakan puing-
puing. Aku merasa senang mendapati mansion itu
sekarang menjadi toko desain khas Irlandia, restoran,
dan pusat informasi turis. Dan, berdiri pula Hotel Ritz-
Carlton, yang baru dibangun di properti itu.
Kami berjalan-jalan di taman. Aku mendapatkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kepuasan besar saat melihat bahwa taman itu tampak


jauh lebih baik daripada sebelumnya. Jiwa tukang
kebunku bernyanyi riang karena taman bersejarah itu
dipertahankan dan dirawat dengan sangat baik. Kami
berdiri di anak tangga teratas tangga batu yang anggun,
menyerap pemandangan luar biasa dari taman berusia
dua setengah abad. Kami menunduk untuk melihat

290
IRLANDIA

semak bunga penuh warna di seberang danau buatan


dengan air terjun besar dan banyak sekali bunga lili, lalu
tatapan kami beralih ke Perbukitan Wicklow dengan
lusinan ladang kecil yang dikelilingi tembok batu tua.
“Nah, coba pikirkan, Sayang, kita bisa tetap berada di
sini untuk menikmati pemandangan menakjubkan ini,
atau kita bisa berada di bioskop taman di Paso Robles
untuk menonton Bruce Willis meledakkan sesuatu.
Pilihan yang sulit, iya kan?”
Aku tertawa dan berkata, “Tuan-Tuan dan Nyonya-
Nyonya, saya persembahkan suami saya, sang raja per-
nyataan yang meremehkan! Pilihan yang sulit ... tidak!”
Pada hari indah yang lain, kami berkendara ke
Pegunungan Wicklow dan Taman Nasional Wicklow
untuk melihat Glendalough—bahasa Irlandia untuk
menyebut “desa dengan dua danau”. Aku sudah sering
mengunjungi tempat itu, tapi tetap saja merasa senang
saat melihatnya lagi.
Jika seseorang tinggal di destinasi menarik seperti
Irlandia, hal itu bisa mendorong datangnya banyak
pengunjung. Ketika aku tinggal di Irlandia selama
beberapa tahun bersama suami pertamaku, Guy, kami
memiliki rumah besar dan taman yang luas, yang
menjadi alasan kenapa aku sangat suka tinggal di sana.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Jarang sekali bulan-bulan berlalu tanpa adanya teman


atau bahkan kenalan jauh yang datang berkunjung dan
meminta diajak berkeliling (tentu saja, kecuali pada
puncak musim dingin, saat mustahil untuk berada di
luar ruangan dan kami membutuhkan hiburan lain).
Teman lamaku, Fran Morris, datang dari Oklahoma, dia
dan aku menyalurkan kecanduan lama kami terhadap

291
LYNNE MARTIN

taman dengan mengunjungi Powerscourt dan Taman


Mount Usher di Wicklow, Taman Botani Nasional, dan
kami berjalan-jalan di taman di sekitar Dublin. Pasangan
suami-istri dari kampung halaman kami, Cambria,
California, singgah selama beberapa hari, dan putri
kami, Robin, juga datang berkunjung. Robin senang
sekali karena dia bisa libur sementara dari kuliahnya
untuk tinggal selama sembilan bulan bersama kami.
Teman-teman Guy dari Texas berhasil menemukan
jalan untuk datang ke rumah kami, dan kamar tamu
kami yang sering sekali terpakai pernah menampung
dua orang teman putri kami pada perjalanan pertama
mereka ke luar negeri.
Karena aku sering sekali mengunjungi Glendalough,
wanita yang bertugas di pusat informasi turis sampai
berkata, “Selamat sore, Mrs. Deel,” saat aku datang, yang
pasti akan mengejutkan siapa pun yang kubawa ke sana
hari itu. Rasanya menyenangkan bisa kembali lagi ke
tempat itu bertahun-tahun kemudian, dan melihatnya
dengan pandangan yang baru.
Saat kami berjalan-jalan di sana, keindahan alami
pegunungan, danau, sungai, dan hutan memesona
siapa pun yang kuajak ke sana. St. Kevin, sang per-
tapa, mendirikan biara pada abad keenam. Biara
http://facebook.com/indonesiapustaka

itu berdiri sampai abad keempat belas, saat Inggris


menghancurkannya. Reruntuhan indah itu menjadi
salah satu objek yang paling banyak dikunjungi orang
di Irlandia. Orang-orang yang lebih kuat daripada
kami mendaki hingga ke atas dua danau untuk sampai
ke tempat tinggal St. Kevin. Di sana, mereka juga
menemukan gua Zaman Perunggu, salah satu hasil

292
IRLANDIA

karya pertama manusia di Irlandia.


Kami berjalan di sepanjang jalur yang lebih mudah
untuk menyusuri hutan, di mana pepohonannya dilapisi
lumut yang sangat tebal hingga mustahil untuk tidak
percaya bahwa peri tinggal di sana. Kami mengakhiri
sore yang indah itu dengan menikmati daging panggang
di pub terdekat, dikelilingi pasangan Irlandia yang
membawa serta anak-anak, anjing, dan nenek mereka
untuk berjalan-jalan pada musim gugur. Tidak semua
orang Irlandia berbicara dengan cara berbisik, dan
kami suka berada di antara keluarga yang menikmati
kebersamaan pada hari yang indah. Irlandia sangat
cocok dengan kami, dan aku senang bisa berbagi tempat-
tempat yang aku cintai dengan Tim-ku tersayang.
Saat kembali ke apartemen kami yang bergaya
Georgia, kami menulis hampir sepanjang pagi dan
mencoba untuk menyeimbangkan kehidupan penulis
yang semakin sibuk dengan acara jalan-jalan setiap
kali kami punya kesempatan. Tim mencari lebih ba-
nyak percikan darah dan petunjuk saat menulis novel
kriminalnya, sementara aku sibuk memikirkan apa
yang akan tertuang dalam bab pertama buku yang
mengisahkan tentang pengalaman kami. Akhirnya aku
menerima fakta bahwa aku akan mencoba menulis
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan serius, dan setiap hari Tim mendorongku untuk


melakukannya. Aku merasakan kesenangan berbeda
saat menceritakan kisah kami, dan menulis menjadi
terasa menyenangkan.
Namun, untuk bisa menjualnya, aku membutuhkan
proposal buku. Aku memikirkannya untuk waktu yang
cukup lama, tapi tetap tidak membuat kemajuan yang

293
LYNNE MARTIN

berarti. Aku pun membeli buku berisi instruksi cara


membuat proposal, tapi hasilnya aku justru menjadi
semakin bingung. Setiap penulis memiliki ide yang
berbeda tentang bagaimana menciptakan peralatan
yang penting. Dan, setiap kali mencoba menyusun
setiap elemennya seperti sebuah biografi, deskripsi buku
itu, atau bahkan sinopsisnya, aku selalu merasa kecewa
dan frustrasi dengan hasilnya. Sepertinya tugas itu tidak
mungkin bisa diselesaikan, dan aku mulai merasa ragu
apakah aku akan pernah menghasilkan sesuatu yang
cukup bagus untuk diserahkan kepada seorang agen.
Tim duduk di meja makan kecil kami, dan aku mengubah
meja kopi menjadi meja kerjaku. Tidak ada satu pun
dari kami yang bisa menahan diri untuk tidak menoleh
ke jendela bergaya Georgia untuk melihat pemandangan
di luar. Setiap pagi, kami melihat kuda-kuda digiring ke
padang rumput di sepanjang tembok di bawah taman
kami. Musim gugur menegaskan kedatangannya dengan
lebih dramatis, dengan warna magenta, oranye, dan
merah yang melingkupi sekitarnya. Tempat itu luar biasa
indah—yang membuat kami sangat sulit berkonsentrasi
pada pekerjaan!
Suatu pagi, setelah sesi menulis yang panjang tapi
tanpa hasil, aku menutup komputerku. “Tim, aku mem-
http://facebook.com/indonesiapustaka

baca lima buku teks tentang membuat proposal, mencoba


untuk menyatukan semuanya menjadi sesuatu yang akan
menarik minat agen atau penerbit untuk membacanya,
tapi aku benar-benar frustrasi! Semua yang kulakukan
terasa amatiran untukku. Aku benar-benar tidak bisa
mengatasinya. Mungkin kita harus mempertimbangkan
mencari bantuan yang lebih profesional. Aku tidak mau

294
IRLANDIA

mempermalukan diriku sendiri.”


Tim beralih dari komputernya. “Aku rasa kau benar.
Jika artikel di Wall Street Journal menarik minat pembaca,
kau sudah harus menyiapkan proposalnya. Segala
sesuatunya bergerak cepat dalam bisnis penerbitan, jadi
kita harus mengambil keuntungan dari situasi saat ini.”
Seperti biasanya, Tim sudah memikirkan solusinya.
“Ingat Bob Yehling, pria yang mengedit [novel] Mental
Hygiene dengan sangat baik untukku? Kita bisa melihat
apakah dia punya waktu untuk membantumu.”
Serangkaian keberuntungan mengikuti kami. Per-
tama, Bob setuju untuk membantuku. Bob adalah pria
yang sangat sibuk dan juga seorang penulis buku, tapi
Bob memahami ketergesa-gesaan kami dan setuju untuk
memulainya sesegera mungkin.
Suamiku yang baik dan perhatian juga ikut mem-
bantu, melakukan riset tentang buku lain dalam ranah
perjalanan dan masa pensiun, serta menyediakan materi
yang mengagumkan untuk usaha Bob.
Karena aku menjadi sangat sibuk dengan bagian-
bagian lain seperti daftar isi dan membuat gambaran
bab yang diajukan sekaligus menyediakan bahan yang
dibutuhkan Bob, Tim mulai mengambil alih tugas rumah
tangga yang sebelumnya kulakukan. Setelahnya, Tim
http://facebook.com/indonesiapustaka

akan membuat lelucon bahwa jika kami berdua menjadi


penulis penuh waktu, kami akan mati kelaparan dan
pergi ke mana-mana dalam keadaan telanjang karena
tidak ada seorang pun yang sempat pergi ke pasar atau
mencuci pakaian kami.
Setelah menjalani beberapa hari yang intens, aku
merespons seperti yang biasa kulakukan saat merasa

295
LYNNE MARTIN

kewalahan dengan satu proyek: aku melarikan diri dan


membuat rencana untuk melakukan apa pun selain
membuat proposal itu! Ada banyak sekali pemandangan
dan pengalaman yang masih menunggu kami di Dublin,
dan aku tidak bisa menulis dengan baik sebuah bab
tentang sesuatu yang belum pernah kami lakukan, iya
kan? Aku menemukan cara menarik untuk menundanya
dengan alasan “riset buku”. Tidak sulit untuk membujuk
suamiku tersayang untuk bermain karena mengamati
orang memelototi komputer tidaklah terlalu menarik.
Selama dua tahun tinggal di Irlandia, aku memiliki
beberapa teman baik. Salah satunya adalah Brooke
Bremner, yang membesarkan anak-anaknya di sana.
Brooke memang sudah kembali ke Amerika Serikat,
tapi pesona Irlandia menarik Brooke untuk kembali.
Sekarang Brooke dan suaminya, David Glueck, membagi
waktu mereka antara Kenmare, Irlandia, dan rumah
mereka di Chicago. Mereka mampir di Dublin pada
perjalanan pulang ke Chicago, maka kami mengatur
waktu untuk bisa bertemu dengan mereka. Rasanya
sangat menyenangkan bisa bersama teman lama setelah
kami menghabiskan waktu yang cukup panjang di
jalanan. Kami berempat melakukan tur ke lokasi-lokasi
yang terkenal berkat peristiwa Easter Uprising pada 1916
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan The Rebellion pada 1921. Kami mendatangi Festival


Teater Irlandia untuk menonton drama The Talk of the
town, drama menarik yang ditulis Emma Donahue,
pengarang buku Room yang sangat kami sukai. Pujangga,
penulis, seniman, dan komposer Irlandia menikmati
dukungan finansial dan emosional yang aku harap bisa
diterapkan juga di negara kami. Di Irlandia, penghasilan

296
IRLANDIA

yang didapatkan oleh seniman visual, komposer musik,


dan penulis bebas dari pajak. Kesusastraan negara yang
sangat kaya dan sejarah musik terlihat di mana-mana!
Aku dan Tim sempat menikmati pertunjukan lain di
festival, dan kami suka melihat respons para penonton
yang cerdas.
Kami memilih untuk tinggal di Bray karena masuk ke
dalam kota lebih mudah dengan sistem kereta DART yang
melewati pusat kota. Begitu berada di sana, aku hanya
perlu berjalan kaki sebentar dari stasiun utama menuju
destinasi mana pun di Dublin. Kami bisa dengan mudah
menemukan parkir jalanan di dekat stasiun, awal yang
baik untuk perjalanan yang akan kami tempuh selama
dua puluh menit. Keretanya akan menyusuri pantai,
dan dalam setiap perjalanan kami selalu melihat sesuatu
yang baru—menara atau rumah yang tidak kami lihat
sebelumnya, orang-orang yang bermain di pasir, badai
yang melewati Laut Irlandia menuju Inggris, atau awan
yang menyala oleh cahaya dari matahari tenggelam.
Selalu ada sesuatu yang terjadi! Setiap perjalanan menuju
dan kembali dari kota menjadi kesenangan tersendiri
untuk kami, dan mengamati Tim menjadi semakin
terpesona dengan negeri ini menambah kebahagiaanku.
Meskipun Dublin adalah kota tua dan monumen
http://facebook.com/indonesiapustaka

bersejarahnya masih tetap sama, aku memperhatikan


ada beberapa perubahan dramatis. Galeri Nasional
Irlandia sudah diperluas dari bangunan aslinya yang
kecil di Merrion Square dengan menambahkan ruang
besar yang dipenuhi koleksi kelas dunia. Aku senang
sekali melihat negara ini sudah membuat investasi
semacam itu seiring dengan pertumbuhan ekonominya!

297
LYNNE MARTIN

Itu menjadi satu indikasi lagi dari rasa hormat dan


penghargaan Irlandia terhadap seni. Aku merasa bangga
karenanya. Jalan Grafton dan area di sekelilingnya,
yang menjadi pusat perbelanjaan dan musik di kota itu,
terlihat hampir sama, yang berbeda hanya berdirinya
restoran-restoran baru yang trendi dan toko dengan
merek terkenal seperti yang sering kami lihat di kota
besar lain di Eropa yang pernah kami kunjungi. Musisi
jalanan, banyak di antara mereka merupakan penghibur
kelas satu, mengalunkan musik di setiap blok. Kios
bunga, orang yang berpantomim, pembeli yang sibuk,
membuat tempat itu terlihat ramai pada pukul berapa
pun. Kafetaria Marks and Spencer di bawah menjadi
tempat yang sempurna untuk menyantap makan malam
lezat sebelum kami menaiki kereta untuk pulang ke
rumah. Aku senang melihat kejatuhan ekonomi global
dan penurunan apa yang disebut sebagai “Irish Tiger”,
atau kekuatan ekonomi Irlandia pada tahun sembilan
puluhan, tidak menghancurkan kota itu. Kota Dublin
justru menjadi semakin hidup dan semakin modern
daripada yang kuingat.
Selain Brooke dan David, kami bertemu teman
lamaku yang lain yang membuat kami merasa seperti
berada di rumah sendiri. Kami juga tidak perlu jauh-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jauh mencari teman baru; ternyata mereka ada di


sebelah kami di Old Connaught House. Suatu hari kami
bertemu Alan Grainger saat kami sedang mengangkut
barang-barang belanjaan ke dalam apartemen. Dengan
jenggot kelabu yang rapi dan rompi sweter trendi,
Alan terlihat dan terdengar seperti bangsawan Inggris
yang hidup di manor yang elegan. Kami menaiki lift

298
IRLANDIA

bersama, menyadari bahwa kami tinggal di lorong yang


sama, dan kami sempat membahas untuk berkumpul
selama tinggal di sini. Saat kami menyimpan barang-
barang belanjaan kami, aku berkata, “Oh, aku harap istri
Alan sama menyenangkannya seperti dia. Bukankah
menyenangkan bisa mengenal tetanggamu? Aku yakin
mereka tahu semua hal tentang rumah ini dan Irlandia!”
Keesokan harinya, Tim baru saja duduk di depan
mejanya untuk mulai meneliti fakta yang diinginkan
Bob saat aku berkata, “Kau tahu, Sayang, matahari ber-
sinar cerah dan ramalan cuaca mengatakan besok akan
turun hujan dan udaranya cukup dingin. Jadi, mungkin
sebaiknya kita pergi ke New Grange hari ini. Aku tidak
mau kau melewatkannya, dan pasti tidak menyenangkan
pergi ke sana saat hujan.”
Tim menyeringai kepadaku. “Astaga, kau sangat
mudah ditebak. Kau benar-benar tidak mau duduk dan
membuat daftar isi artikelmu, iya kan?” Sepertinya Tim
menjalankan peran barunya dengan serius.
“Aku sedang mengerjakannya,” elakku. Aku me-
ngetuk kepalaku dan melanjutkan, “Semua yang ku-
lakukan mengarah ke sana, dan saat aku duduk untuk
melakukannya, semua akan mengalir begitu saja.”
Sejujurnya, aku harap kebohongan kecilku akan terbukti
http://facebook.com/indonesiapustaka

benar.
“Oh, kalau begitu, baiklah. Kita akan pergi ke sana,
tapi besok kau harus benar-benar menyelesaikannya.
Artikel itu akan terbit Senin depan, dan kita harus sudah
menyiapkan proposalnya, sekadar untuk berjaga-jaga!”
Tentu saja, hujan datang lebih awal daripada yang
diprediksi oleh prakiraan cuaca, membuat Tim yang

299
LYNNE MARTIN

malang harus sekali lagi menghadapi lalu lintas yang


padat di jalanan pedesaan yang licin dan sempit. Itu
hukumanku karena menunda melakukan sesuatu
sekali lagi. Saat mobil kami berjalan dengan lambat,
aku menceritakan tentang New Grange kepada Tim.
“Yang membuatku kagum adalah tempat itu dibangun
pada 3200 SM sebagai situs pemakaman, itu berarti
lebih tua dari Stonehenge dan piramida di Mesir,”
kataku. “Saat kita sampai di sana nanti, kau akan me-
lihat bahwa jalanannya yang panjang akan memutari
gundukan berumput yang besar dengan batu putih
menutupi bagian luarnya. Saat kau melihat gundukan
itu, kau tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Bagian
luarnya terlihat seperti imitasi jelek dari perapian batu
tahun 1970-an, tapi sebenarnya seperti itulah orang
Neolitikum menutupi dinding luar bukit. Batu putih itu
sudah runtuh dan arkeolog menemukannya di sekitar
gundukan dan mendirikannya lagi!
“Aku sedikit khawatir bagaimana kau akan melewati
jalan sempit dan licin itu,” lanjutku. “Tempatnya sempit
dan mungkin akan ada banyak orang di sana.” Tim
mengangguk dan berbelok mendadak untuk meng-
hindari lubang di jalan.
Saat kami tiba di sana, ada sekitar dua puluh orang
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang menunggu di pintu, menatap ruang di atas lubang


tempat sinar matahari masuk. Sinar matahari menembus
masuk dan menerangi bagian tengah ruangan tepat
pada saat fajar setiap tanggal 21 Desember, titik balik
matahari musim dingin. Setelah tiga ribu tahun putaran
planet sedikit berubah, sinar matahari hanya bergeser
sedikit, tapi masih tetap mengenai target. Setiap tahun

300
IRLANDIA

sekelompok orang pilihan bisa menyaksikan kejadian


itu. Kami menunggu sampai semua orang beranjak,
dengan begitu Tim bisa menikmati munculnya lagi titik
balik matahari sebelum kami berjuang melewati jalan
sempit di tengah guyuran hujan bulan Oktober di luar.
Saat kembali, kami melihat pesan terselip di bawah
pintu kami. “Datanglah pada acara pesta koktail pada
pukul 6 malam.” Kartu pesan itu ditandatangani,
“Maureen dan Alan, tetangga sebelah.”
Kami mencari-cari pakaian untuk dikenakan pada
acara itu di antara stok pakaian kami yang jumlahnya
sangat menyedihkan. Kaus wol hitam Pendleton Tim
yang sudah tua (kami menyebutnya “wubie” Tim karena
dia memakai kaus itu sepanjang waktu seperti anak kecil
yang membawa selimut kesayangannya ke mana-mana)
menjadi satu-satunya pakaian yang pantas dikenakan
oleh Tim. Maureen dan Alan melihatku memakai sweter
panjang dan celana ketat, sebotol anggur di tanganku
menjadi satu-satunya aksesoris.
Maureen adalah tipe wanita dewasa yang memiliki
wajah sangat cantik hingga kau bisa menebak betapa
menawannya dia pada masa mudanya. Maureen masih
menawan sampai sekarang. Gelungan rambut kelabunya
ditata dengan sempurna, dan mata birunya yang besar
http://facebook.com/indonesiapustaka

penuh dengan kecerdasan dan kejailan. Kami semua


berbicara bersamaan saat berkerumun di aula depan
karena kami langsung terlibat percakapan seru yang
tidak pernah berhenti selama kami tinggal bertetangga
dengan mereka.
Apartemen mereka berbeda jauh dengan apartemen
kami. Mereka mengombinasikan dua ruang di ujung

301
LYNNE MARTIN

bangunan, jadi jendela bergaya Georgia-nya menjadi


jalan masuk untuk cahaya matahari dari ketiga sisi.
Variasi lukisan berbingkai yang menarik mendekorasi
dinding berwarna hijau pucat, dan pintu dobel yang
mengarah ke ruang makan menambah pencahayaan
di apartemen itu. Karpetnya mewah, dan tirai sutra
dua lapis membingkai jendelanya. Lengkungan di atas
pintu menjadi penyatu semua ruangan itu, sementara
perapiannya menjadi pemandangan yang menenangkan
pada malam yang dingin. Foto keluarga berbingkai
perak diletakkan di atas lemari di atas perapian dan
beberapa meja hias. Ruang duduk dan ruang makannya
yang terbuka memberi Maureen dan Alan pemandangan
langsung ke hutan, ladang, dan Laut Irlandia daripada di
apartemen kami.
Dan, mereka memiliki banyak sekali komoditas
favorit kami di muka bumi ini—perabotan! Aku dan
Tim ragu-ragu sebelum duduk, kami tidak ingin
teman-teman baru kami berpikir kami kampungan.
Saat Alan dan Maureen duduk di tempat yang jelas
sekali merupakan kursi “mereka” yang menghadap ke
perapian, dengan cepat kami duduk di dua kursi beledu
empuk dengan sandaran lebar yang serasi dengan kursi
pendek untuk sandaran kaki. Surga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Perjalanan menjadi topik yang menyatukan kami.


Kami menikmati kisah tentang perjalanan seru mereka
berkeliling dunia. Mereka, seperti banyak sekali orang
yang kami temui, memiliki hobi bepergian dan sudah
berkelana ke mana-mana sepanjang hidup mereka.
“Kesehatan kami membuat kami tidak mungkin lagi
melakukan perjalanan yang menantang,” jelas Alan, “jadi

302
IRLANDIA

adanya apartemen sewaan di sebelah apartemen kami


membuat kami sangat senang! Kami bisa duduk santai
dan bertemu dengan orang dari seluruh penjuru dunia
yang datang untuk tinggal di sana. Itu cara lain untuk
bepergian—tidak perlu berkemas, dan gratis pula!” kata
Alan sambil tertawa. Kami senang sekali bertemu orang-
orang yang ramah, orang-orang yang selalu berusaha
memperluas pandangan dunia mereka dan menemukan
cara untuk terus belajar dan merasakan tempat baru,
bahkan dari tempat duduk mereka!”
Kami menghabiskan banyak malam yang menyenang-
kan untuk meminum anggur dan mengobrol (craig,
begitu orang Irlandia menyebutnya) di ruangan yang
sangat menarik. Maureen, yang berasal dari Irlandia,
dan Alan, berasal dari Inggris, memiliki tiga putri dan
banyak sekali cucu. Alan adalah seorang penulis, dengan
dua belas buku yang sudah diterbitkan, dan kami mem-
bahas tentang buku terbarunya, Blood on the Stones,
novel thriller dengan latar Holocaust. Alan memiliki
bakat yang sama dengan Tim dalam mengingat hampir
semua hal. Alan terbukti bisa menjadi sumber informasi
tentang fakta sejarah, legenda, dan kisah lucu. Setelah
menyesap sedikit anggur, Maureen yang pada awalnya
terkesan kaku dan formal, ikut menceritakan kisah-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kisah lucu, sebagian besar tentang keluarga multirasial


Anglo-Irlandia-nya yang tinggal di kastil berusia tiga
ratus tahun di alam liar Irlandia dengan anjing penjaga
dan petani gila yang meninggalkan jejak tanah di atas
lantai batu mewah Irlandia dan karpet oriental kuno.
Saat kami meninggalkan rumah mereka, aku berkata,
“Kami sangat menikmati kunjungan ke sini dan kami

303
LYNNE MARTIN

sangat senang kalian telah mengundang kami! Kami


ingin sekali membalas undangan kalian, tapi seperti
yang kalian tahu, apartemen kami tidak memiliki
banyak perabot. Bisakah kami membawa makanan dan
anggur ke rumah kalian dan berpura-pura kami sedang
menjamu kalian untuk membalas undangan kalian kali
ini?” Rencana itu berjalan dengan sempurna karena
dengan begitu kami bisa menghabiskan waktu bersama
mereka tanpa merasa seperti orang yang kurang ajar.
Kami bersenang-senang sampai aku dan Tim tinggal
di sana lebih lama dari yang seharusnya, dan berjalan
terhuyung sejauh satu setengah meter ke apartemen
kami, terlalu terlambat untuk memasak makan malam.
Kami terpaksa hanya makan sup kalengan dan biskuit
sambil mengenang malam yang tak terlupakan bersama
Alan dan Maureen. Kami mensyukuri keberuntungan
kami. Siapa yang menyangka kami akan menemukan
tetangga yang cerdas dan lucu, yang bersedia berteman
dengan pengelana tanpa rumah seperti pasangan
Martin! Sungguh negara yang mengagumkan.
Beberapa hari kemudian, Alan dan Maureen meng-
undang kami untuk bergabung dengan mereka dalam
pesta makan siang yang akan menyertakan ayah mertua
dari salah satu putri mereka, yang tinggal di alam liar
http://facebook.com/indonesiapustaka

Skotlandia. Seperti halnya sang tuan rumah, tamu


mereka memiliki banyak kisah untuk diceritakan. Dia
pernah mendaki gunung dan melihat pemandangan
yang sangat ingin kami lihat. Kami jadi semakin ber-
semangat saat memesan anggur di restoran mewah yang
tidak akan bisa kami temukan sendiri. Saat pelayan
membagikan menu, aku memperhatikan buket bunga

304
IRLANDIA

musim gugur yang memiliki warna serupa dengan motif


peralatan makan porselennya. Maureen mengeluarkan
kacamata sebelah berbingkai emas dari kotak kulit kecil
di dalam tasnya. Dia menempelkannya ke depan mata
dan mulai membaca menu. Kecuali di film, aku tidak
pernah melihat orang menggunakan kacamata sebelah!
Itu sangat lucu hingga aku tidak berani melakukan
kontak mata dengan Tim, yang aku yakin pasti sedang
berusaha keras menahan tawa. Setelah menentukan
pilihan, Maureen memasukkan lagi kacamata sebelah
itu ke tempatnya dan akhirnya aku bisa mengembuskan
napas. Kami sama sekali tidak mempermalukan diri
kami sendiri.
Sore itu, aku mulai mengerjakan proposal bukuku
lagi. Bob sudah mengirimkan beberapa halaman untuk
diulas, dan aku ingin mengembalikannya lagi kepada
Bob secepat mungkin karena keesokan harinya Wall
Street Journal akan menerbitkan artikel pertamaku.
Kami tidak tahu apa yang akan terjadi setelah artikel itu
terbit.
Kami sangat bersemangat hingga sulit untuk ber-
konsentrasi. Jadi, kami mencoba untuk sedikit bersantai
dengan menonton acara TV. “Nah, Sayang, aku rasa
sudah waktunya tidur,” kata Tim, mematikan TV saat
http://facebook.com/indonesiapustaka

pergi ke dapur untuk membuat kopi untuk besok pagi.


“Aku hanya akan memeriksa surelku sebentar,”
ujarku. Waktu California delapan jam lebih lambat
dibandingkan waktu Irlandia sehingga kami sering me-
nerima pesan dari rumah pada tengah malam. Saat aku
membuka akun surelku, aku memekik. Merasa malu,
tapi iya, aku memekik.

305
LYNNE MARTIN

“Ada apa?” tanya Tim.


Pada awalnya aku kaget melihat banyaknya pesan
di kotak masukku. “Aku tidak tahu, tapi ada sekitar
dua puluh surel baru dari alamat yang tidak kukenali.
Apakah menurutmu surelku diretas orang?”
“Tunggu sebentar.” Tim menjatuhkan handuk di atas
meja konter dan bergegas menghampiriku. Dia melihat
layar komputerku dan mulai tertawa. “Kau tahu apa ini?
Ini bukan peretas … ini pembaca, Sayang! Lihat—tidak
ada lampiran yang mencurigakan dan nama mereka
terlihat normal. Mereka pasti pembaca Wall Street
Journal. Edisi daringnya pasti sudah beredar! Bukalah
salah satunya dan lihat apa isinya,” kata Tim dengan
bersemangat.
“Judul surelnya ‘menginspirasi’?” kataku, hampir
terlalu bersemangat untuk membaca. “Dear Lynne
dan Tim, aku baru saja membaca artikelmu dan aku
ingin kalian tahu bahwa kalian adalah inspirasiku,
pahlawanku! Kalian membuktikan bahwa orang bisa
melakukan apa pun jika mereka memiliki keberanian.
Teruslah bepergian. Bob.”
“Astaga,” seru Tim. “Lanjutkan, baca yang lain.”
“Dengarkan ini,” ujarku, menjadi semakin berse-
mangat. “Baru saja selesai membaca artikel di Wall Street
http://facebook.com/indonesiapustaka

Journal. Aku sangat iri kepada kalian! Aku menantikan


blog dan buku kalian! Bagaimana kalian bisa mengatasi
kendala bahasanya? Aku sangat terikat dengan rumah
kami. Aku sudah tinggal di sini selama empat puluh lima
tahun! Aku yakin aku akan menemukan semua jawaban
setelah aku membaca blog kalian yang sebelumnya.
Kalian menginspirasi kami! Teruslah menulis! Julie.”

306
IRLANDIA

Surat terus masuk ke dalam kotak masukku yang


terhubung dengan halaman kontak di situs blog
kami, dan dengan antusias aku membaca semuanya,
menyerap informasi yang mengharukan bahwa kisah
kami, kehidupan kami, telah benar-benar menyentuh
kehidupan orang lain. Akhirnya, setelah pukul 1.00 dini
hari, kami memaksakan diri untuk berhenti membaca
surel yang masuk dan pergi tidur, tapi kami sangat
bersemangat hingga kami berdua membaca buku Kindle
lama sebelum kami tertidur.
Keesokan paginya, kami langsung berlari ke depan
komputer. Hampir dua ratus surel masuk ke dalam kotak
masukku. “Coba periksa daftar tamu di situs internetmu,”
kata Tim. Aye, aye, Sir! Pembacanya sudah meningkat
tajam dari tiga puluh menjadi seratus sepuluh pembaca
hanya dalam waktu semalam.
Pagi itu kami tidak membutuhkan kopi kental Tim.
Jantung kami sudah berdebar-debar.
Aku membaca surel yang masuk. “Tim, aku harus
menjawab surat orang-orang ini. Mereka mengatakan
hal-hal yang pantas untuk direspons, dan hampir semua
pembaca memiliki pertanyaan tentang pelayaran satu
arah atau rumah sewaan atau sesuatu.”
“Kau benar,” jawab Tim. “Jika ada terlalu banyak surel
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk kau jawab sendirian, aku bisa membantumu.”


Aku tertawa. “Tentu …. Aku bisa membayangkan
kau menulis dengan basa-basi sepertiku: ‘Dear George,
terima kasih banyak sudah menulis surel kepadaku. Aku
melampirkan lima ratus artikel tentang pelayaran satu
arah, ditambah dengan instruksi tentang bagaimana
mendapatkan paspor. Sampaikan salamku kepada

307
LYNNE MARTIN

istrimu dan seluruh anggota keluargamu. Aku akan


mencintaimu selamanya, teman baikmu, Lynne.’” (Jika
sampai sekarang kau belum tahu, aku orang yang sangat
antusias.)
Tapi, Tim tetap membantuku. Sampai sekarang. Tim
memang tidak berbasa-basi, tapi Tim sangat ahli dalam
masalah praktis. Kami bertekad untuk menjawab semua
surel, dan kami masih melakukannya, tapi ada banyak
sekali surel yang masuk hingga terkadang kami butuh
waktu untuk membalas surel itu satu per satu.
Saat hari demi hari berlalu, banjir surat semakin tak
terbendung. Kami berdua duduk di depan komputer
selama berjam-jam, membalas doa dan dukungan,
menjawab pertanyaan tentang semua aspek kehidupan
kami di jalanan. Kami senang sekali karena orang-orang
menganggap kisah kami memberi inspirasi, bahwa kami
benar-benar bisa membuat perbedaan, dan bahwa ada
begitu banyak orang yang tertarik kepada kami. Itu
adalah pengalaman yang sulit dipercaya. Saat mengetik,
kami menyuapi satu sama lain, makanan yang bisa
dikunyah dengan mudah. Emosi kami campur aduk,
dan kami tidak bisa mengendalikannya. Setiap surel
yang masuk memenuhi hati kami dengan kebahagiaan
dan kekaguman.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tiba-tiba saja, Tim terkesiap dan kemudian memekik.


“Oh, Tuhanku! Kemarilah. Ini sulit dipercaya!”
Aku berlari ke samping Tim. Di layar komputer,
aku melihat halaman depan situs Yahoo. Di bawah lima
kisah utama di bagian atas situs tersebut, terdapat foto
pasangan Martin, yang menyeringai dengan taman
mawar Katedral Notre Dame menjadi latar belakangnya,

308
IRLANDIA

judul “Bagaimana Sepasang Pensiunan Berkeliling


Dunia” terpampang di bawah foto kami. Artikel tentang
kami terapit di antara artikel tentang Cina dan artikel
lain tentang bakat khusus seorang pemain sepak bola.
Tidak ada satu pun dari kami yang pernah bermimpi
bahwa Yahoo akan memilih kisah kami. “Ini hal paling
liar yang pernah kulihat,” seru Tim.
Kami terkesima melihat wajah kami yang menye-
ringai terus muncul di halaman Yahoo selama tiga hari
berikutnya. Pembaca situs internet kami dan jumlah
surel yang masuk terus meningkat, hasil yang tidak
pernah terbayangkan oleh kami. Saat versi daring Wall
Street Journal muncul, sebagian besar komentarnya
bernada positif, tapi ada perdebatan panas. Kami tidak
ikut campur dan membiarkan orang-orang itu berdebat
sendiri.
Kami menjawab setiap surel yang masuk. Tampaknya,
perjalanan kami telah mengirimkan pesan yang me-
ngena untuk orang-orang. Dari respons yang kami
dapatkan, sepertinya mereka yang hendak pensiun
menganggap ide kami merupakan cara yang segar
untuk menjalani sepertiga atau setengah terakhir hidup
mereka. Sebagian dari mereka mengatakan kepada
kami bahwa mereka merasa terperangkap, dan ide kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

memberikan dorongan yang mereka butuhkan untuk


mulai memikirkan masa depan mereka dengan cara yang
berbeda, untuk mencari rencana yang bisa membantu
mereka untuk bergerak di luar kebiasaan. Orang-orang
yang tidak bisa bepergian karena alasan kesehatan
atau alasan lain mengatakan mereka suka mendengar
tentang rencana kami dan sudah tidak sabar ingin

309
LYNNE MARTIN

membaca lanjutan blogku dan buku yang mengisahkan


tentang perjalanan kami. (Reaksi pertamaku terhadap
ide itu adalah “Wow!” langsung diikuti dengan
“Aduh!” saat aku teringat kondisi proposal bukuku.)
Yang mengejutkan adalah sebagian besar pembaca
kami adalah orang muda, sebagian dari mereka suka
bepergian pada usia dua puluhan, tapi sekarang mereka
fokus membesarkan anak-anak dan keluarga mereka.
Kami merasa terharu karena orang-orang seusia anak
kami juga menganggap kisah kami berharga. Banyak
di antara mereka yang mengatakan kepada kami bahwa
kami memberi mereka harapan bahwa suatu hari nanti
mereka akan bisa bepergian lagi setelah menunaikan
kewajiban kepada anak-anak mereka. Yang lain meminta
informasi yang lebih spesifik tentang detail rencana
besar Tim, dan kami memberikannya dengan senang
hati. Para pembaca menyebut kami “pemberi inspirasi”,
“pahlawan”, dan “pemberani”. Tidak ada satu orang pun
yang memberikan komentar menghina atau negatif.
Dan, itu menjadi inspirasi kami juga.
Ada hal lain yang datang ke surel kami: permintaan
wawancara oleh penulis blog, koran, majalah, dan
televisi. Setiap permintaan membuat kami melayang
tinggi, langsung diikuti dengan diskusi penuh ketakutan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tentang bagaimana menanggapinya. Aku berada dalam


kamp “jangan lakukan apa pun sampai kau memiliki
sesuatu (seperti buku) untuk dijual” karena itu yang
selalu menjadi panduan saat aku berkecimpung dalam
bisnis humas bertahun-tahun sebelumnya. Tim lebih
nekat dengan prinsip “serang selagi besinya masih
panas”.

310
IRLANDIA

Pada suatu malam, setelah berdebat sengit tentang


bagaimana merespons semua itu, Tim berkata, “Tunggu
dulu, jangan terlalu defensif tentang apa yang akan
kukatakan, tapi Rick Riccobono menyarankan agar kita
menelepon Sarah McMullen. Seperti yang kau tahu,
Sarah adalah pakar humas yang hebat, dan aku yakin
dia punya nasihat yang bagus untuk kita.” Rick, yang
merupakan teman baik Tim dan pemilik kursi kulit
nyaman yang sangat kami sukai di London, adalah pakar
dalam bidang hak cipta media dan bekerja di industri
musik internasional. Rick memiliki banyak sumber
informasi yang berguna dan dukungan saat kami
terseret ke dalam pengalaman baru ini, dan kami sudah
beberapa kali berbicara melalui telepon dengannya
tentang apa yang terjadi kepada kami. Saran Rick cukup
bagus untukku!
“Hmmm …, itu ide yang bagus! Aku tahu Sarah
sangat cerdas. Dulu kau pernah mengatakan kepadaku
bahwa Sarah bekerja dengan Elton John selama
bertahun-tahun. Dia bukan hanya berbakat, melainkan
pasti cukup tangguh untuk bisa bertahan di bisnis ini.”
Kami menelepon Sarah dan menyampaikan ke-
bingungan kami kepadanya. “Oh,” ujar Sarah dari
kantornya di Houston, “Aku rasa Lynne benar. Untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

sementara ini, simpan wawancara besarnya untuk nanti


saat kau sudah menerbitkan buku, itu strategi yang lebih
baik.”
Aku merasa kagum kepada Sarah sepanjang per-
cakapan itu. Bukan karena dia mengatakan aku benar,
melainkan karena dia sesuai dengan apa yang ku-
bayangkan selama ini: cerdas, lucu, manis, dan baik

311
LYNNE MARTIN

hati. Kami menjadi teman baik hingga Tim terpaksa


meninggalkan ruangan sambil menggelengkan kepala
saat aku dan Sarah terlibat percakapan antarsahabat
baik tentang rambut dan sepatu! Panduan Sarah dan
semangat kami atas kepopuleran kami yang baru
membuat momen puncak kami selama lima belas menit
terasa lebih menyenangkan. Sarah dan Rick selalu ada
untuk kami, menjadi pendukung kami, dan menawarkan
nasihat saat kami memintanya. Mereka seperti perahu
penyelamat kami di tengah lautan asing, dan kami
akan selamanya berutang budi kepada mereka. Selama
beberapa hari berikutnya, kami begitu sibuk membalas
surel hingga nyaris tidak saling berbicara, kecuali saat
membaca dengan lantang pesan-pesan tertentu yang
menyentuh atau lucu. Tentu saja, kami mengirimkan
tautan artikel itu kepada teman dan keluarga kami, dan
kami menikmati komunikasi intens melalui Skype dan
FaceTime dengan mereka. Kami hampir tidak tidur dan
menunda mandi sampai tengah hari. Obsesi kami sangat
besar hingga kami benci saat harus keluar apartemen
untuk membeli barang kebutuhan sehari-hari.
Suatu sore, aku menoleh ke sekeliling ruang tamu
kami yang berantakan dan tertawa terbahak-bahak.
Dengan perlahan Tim mengalihkan matanya dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

layar komputer. “Iyaaaaaaaaaaaaaaa? Ada apa?” Jelas


sekali pagi itu Tim tidak memeriksa rambutnya atau
jenggotnya di cermin. Aku bahkan terlihat lebih buruk
lagi. Kami berdua masih memakai piama pada pukul
11.00 siang.
“Coba lihat rumah ini! Biasanya memang berantakan,
tapi tidak pernah separah ini. Kita harus berhenti dan

312
IRLANDIA

merapikan diri!” seruku.


Izinkan aku menggambarkan maksudku. Meja
bukan hanya berisikan komputer dan buku catatanku,
melainkan juga stoples selai kacang yang masih terisi
setengah dengan pisau tertancap di dalamnya, remah-
remah biskuit mengotori tisu di bawahnya, dan biji apel
yang sudah kecokelatan di tatakan cangkir. Beberapa
kaleng kola kosong, bir tanpa alkohol, dan gelas anggur
yang terabaikan tersebar di sekeliling ruangan. Terendam
di dalam westafel, menunggu seseorang mengurusnya,
ada panci saus yang digunakan untuk memanaskan sup
kalengan.
“Ups …, kau benar. Biarkan aku menyelesaikan dulu
tiga surel yang dikirimkan kemarin, lalu kita bisa bersih-
bersih,” kata Tim dengan malu-malu.
Kami menghabiskan beberapa jam berikutnya untuk
membersihkan rumah dan diri kami sendiri. Saat kem-
bali dari toko serbaada, kami menemukan pesan lain
dari Andy dan Maureen. “Sudah berhari-hari kami tidak
melihat kalian. Waktunya beristirahat. 6.00 sore! Slainté
[salam dalam bahasa Irlandia], A dan M.”
Itu adalah dorongan yang kami butuhkan. Alan dan
Maureen menjadi penyeimbang saat kami terombang-
ambing di ombak kegembiraan yang menyapu kami.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Selama beberapa hari, kebersamaan dengan mereka


menjadi waktu istirahat yang kami berikan kepada diri
kami sendiri. Mereka menyapa kami di depan pintu
apartemen mereka dengan pelukan dan ciuman, lalu
membawa kami ke kursi merah kami di ruang tamu
mereka yang indah. Alan menuangkan minuman untuk
Tim dan memberiku segelas anggur merah, kemudian

313
LYNNE MARTIN

dengan sabar mereka mendengarkan cerita terbaru


kami tentang perhatian media yang baru saja kami
terima. Malam itu, api di perapian menyala dan angin
berembus di Old Connaught House. Kami bisa melihat
perubahan besar yang akan terjadi dalam kehidupan
kami, tidak semuanya mudah untuk dijalani. Penasihat
kami, Bob, Rick, dan Sarah terus membahas tentang
buku, TV, wawancara, sebuah masa depan yang terlihat
mengerikan dari tempat kami duduk di apartemen kecil
kami di Irlandia.
Malam itu, setelah malam menyenangkan kami
dengan Alan dan Maureen, kami berhasil membuat
semangkuk sup yang dimakan dengan biskuit. Se-
lama beberapa hari ke depan, saat hujan surat terus
berdatangan, aku diminta untuk menulis kolom tanya
jawab kecil oleh Wall Street Journal untuk menjawab
sebagian pertanyaan yang paling sering diajukan pem-
baca. Aku menyambut undangan mereka dengan senang
hati.

Tekanan untuk membuat keputusan semakin meningkat


saat hari-hari kami di Irlandia hampir berakhir.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Beberapa agen sudah menyatakan ketertarikan mereka


untuk mewakiliku, dan sebuah program TV besar sudah
menawarkan untuk menayangkan kami dalam salah satu
segmen acara mereka. Setiap hari membawa tantangan
baru yang harus dilewati, dan tim penasihat kami men-
jadi semakin berharga dengan setiap keputusan yang
kami ambil. Kami berusaha untuk selalu menyediakan

314
IRLANDIA

stok makanan di rumah, membuat tempat tinggal bersih


dan rapi, serta mencuci pakaian untuk bepergian di sela-
sela kesibukan kami di depan komputer dan berbicara
di telepon hingga larut malam. Perbedaan delapan jam
dengan California tiba-tiba saja menjadi masalah yang
serius karena tepat pada saat kami akan mengakhiri
hari yang panjang dan melelahkan, orang-orang di
California baru saja memulai hari mereka, siap untuk
bicara, mengajukan pertanyaan, dan membuat rencana.
Hari-hari menguap begitu saja.
Begitu pula dengan ruang gerak kami. Kami tidak
punya ruang gerak lagi. Pesanan kami untuk menginap
selama seminggu di Marrakech, Maroko, tidak bisa
dikembalikan, jadi kami harus melanjutkan perjalanan
tanpa tahu apa situasi terakhir internet kami. Pelayaran
satu arah kami, yang berangkat dari Barcelona, akan
menjadi klimaks dari perjalanan kami, tenggat waktu
yang tidak bisa ditunda karena semua pemesanan dan
rencana sudah dibuat sesuai jadwal pelayaran itu. Kami
bangun lebih awal dan tidur larut malam, kami berdua
kelelahan karena stres dan semangat yang menggebu-
gebu. Saat bersiap untuk pergi dari Irlandia, kami mem-
berikan mantel-mantel kami kepada seorang teman
dan menyumbangkan perlengkapan musim dingin lain
http://facebook.com/indonesiapustaka

pada badan amal setempat. Dan, aku menandatangi


kontrak dengan Dana Newman, seorang agen sastra
yang efektif dan penuh semangat, sekaligus pengacara
dengan catatan kesuksesan yang mengesankan dalam
bekerja sama dengan penulis-penulis nonfiksi. Itu
adalah momen yang tidak pernah kubayangkan saat
kami mencetak kartu nama di Meksiko!

315
LYNNE MARTIN

Kami meninggalkan Irlandia menuju Afrika, tepat


sebelum musim dingin datang dari Samudra Atlantik.
Dan, saat kami pergi, ada lebih banyak kekacauan yang
berkaitan dengan penerbitan terjadi dalam hidup kami,
sama ganasnya seperti Laut Irlandia pada bulan Oktober.
http://facebook.com/indonesiapustaka

316
Sebelas

Maroko
P anggilan untuk shalat bagi orang Muslim
terdengar dari pengeras suara yang terpasang di atas
atap keramik di seberang jalan, langsung dijawab oleh
ratusan pengeras suara lain seantero Marrakech. Asap
membubung keluar dari ambang pintu di mana para
pria sedang memanggang daging di atas kompor arang,
dan aku mengangkat kepala tepat pada waktunya untuk
menghindari tabrakan dengan gerobak keledai yang
muncul entah dari mana. Suara drum, suling pemikat
ular, teriakan pedagang, dan musik Arab terdengar sa-
ling bersahutan. Semua terdengar riuh.
Kami bergegas. Tim berjalan dengan cepat, bahunya
nyaris menyentuh dinding terakota yang mengelupas.
Aku mengikuti sedekat mungkin tanpa menginjak
http://facebook.com/indonesiapustaka

tumit kakinya, mataku tertunduk, mencoba untuk tidak


tersandung jalanan yang tidak rata. Aku meringis saat
lengan jubah seorang wanita menyentuh wajahku ketika
wanita itu melaju melewatiku dengan menggunakan
motor.
Tanpa menolehkan kepalanya atau memperlambat
langkahnya, Tim berteriak kepadaku, “Kita memang

317
LYNNE MARTIN

pemberani! Akhirnya kita terlalu tua untuk melakukan


sesuatu!”
“Kau benar, Sobat!” balasku tanpa menghentikan
langkahku dan kemudian aku terkikik, “Ada apa sebenar-
nya dengan kita? Kita terlalu tua untuk melakukan ini!
Seharusnya kita berada di rumah untuk mengasuh cucu-
cucu kita atau melakukan hal sederhana lain.” Crosby,
Stills, Nash, dan Young terus menyanyikan “Marrakech
Express” di dalam pikiranku.
Toko-toko kecil, kanopi usang mereka bertemu di
tengah-tengah jalanan yang sempit, menawarkan baki
berisi dompet sutra, kerajinan kulit, perhiasan, buah dan
sayuran, pipa air, pakaian, dan tembikar, membuat kami
nyaris mustahil melewati jalan itu saat hendak pergi
ke pusat kota. Penjaga toko berlomba-lomba menarik
perhatian kami, sebagian sampai menyentuh lengan kami,
membujuk kami untuk melihat-lihat barang dagangan
mereka. Kami menghindar dari gerobak keledai, turis,
wanita Afrika yang berjubah dan berkerudung panjang,
para pria yang mengenakan fez dan peci yang meminta
kami untuk mengikuti mereka, juga wanita dan anak-
anak yang mengemis uang. Momen yang hiruk pikuk,
panggilan untuk shalat bergema di mana-mana, bau
yang campur aduk—rempah, daging yang dibakar, roti
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang dipanggang, bau badan, manisan—membuat kami


kehabisan napas karena semangat.
Jalan souk (pasar) yang gelap dan sempit berakhir, dan
matahari yang menyilaukan mata mengagetkan kami di
Jemaa el-Fnaa, alun-alun yang besar dan kacau, salah
satu yang terbesar di dunia Arab. Inilah jantung Kota
Marrakech, di mana pawang ular, pedagang jus jeruk

318
MAROKO

segar, pria dengan monyet terantai, pesulap, peramal,


toko karpet, badut sirkus, dan pemain drum berkumpul
untuk menjalankan bisnis mereka di mana pun mereka
memilih untuk berjongkok. Begitu pula para pria dengan
kostum Berber yang penuh warna, memakai topi wol
berbentuk kerucut dan cangkir kuningan menggantung
seperti kalung, seniman tato hena, dan pedagang yang
menjual vas, topi, peta, dan kartu pos.
Kami berhenti untuk memperhatikan. Kesalahan
besar. Kami langsung diserbu oleh orang-orang ini,
yang ingin kami membeli sesuatu atau menyewa mereka
untuk menunjukkan jalan ke suatu tempat. Kami belajar
dengan sangat cepat untuk tidak melakukan kontak
mata dengan mereka, tapi terus berjalan lurus ke tempat
tujuan, hanya sesekali melirik ke bangunan berdinding
terakota pudar yang ada di sekeliling kami, menara
menjulang di sana sini, dan pegunungan berwarna ungu
tampak di kejauhan.
Tim melihat restoran dengan payung besar, dia
menarik tanganku, dan setengah menyeretku menyibak
kerumunan ke arah salah satu meja, di mana kami bisa
memesan apa pun hanya untuk mengisi waktu luang.
Saat pelayan datang, Tim menunjuk apa yang sedang
dinikmati orang di meja sebelah, dan mengangguk.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pelayan itu mengerti. Dengan cepat pelayan itu kembali


dengan membawa seteko metal berukir, dua gelas ber-
warna permata, dan sepiring pastri yang dicelupkan ke
madu dan ditaburi kacang serta rempah.
Kami sudah tiba di Marakech.
“Kota ini sangat memukau,” kataku sambil mendesah
dan menyesap teh kental. “Aku suka berada di tempat

319
LYNNE MARTIN

yang eksotis, tapi aku sangat senang kita memutuskan


untuk mencobanya sebentar sebelum memutuskan
untuk tinggal selama sebulan penuh di sini. Tentu saja,
kita memilih untuk tinggal di medina, bagian paling tua
di Marrakech, bukan di bagian kota yang lebih modern,
tapi tetap saja ….”
“Aku pikir mungkin sebaiknya kita pergi ke sana
besok, sekadar untuk mendapatkan gambaran tentang
bagaimana orang Eropa tinggal di sini,” ujar Tim. “Ini
lucu—kita memulai perjalanan ini di Istanbul, yang
merupakan tempat yang cukup menantang, dan kita
mengakhirinya di sini di Afrika, yang bahkan lebih
menakutkan lagi!”
Kami kembali melanjutkan perjalanan, kali ini dengan
lebih santai. Kami suka melihat para penghibur jalanan,
bangunan, dan toko-toko. Marrakech menguasai indra
kami sepenuhnya, tapi baru setelah kami menyerah
pada keriuhannya beberapa hari kemudian, kami mulai
bisa menangkap ritme dan menguasai jalanan dengan
penuh percaya diri.
Ini adalah fakta mendasar tentang Marrakech. Fakta
yang meningkatkan kesempatanmu untuk bertahan.
Lalu lintas tidak pernah berhenti di Marrakech, jalanan-
nya tidak rata, dan selalu ada godaan untuk berhenti
http://facebook.com/indonesiapustaka

memperhatikan apa yang kau lakukan. Terjatuh atau


menabrak adalah hal yang biasa terjadi pada orang yang
tidak hati-hati. Sangat mudah untuk tersesat di kota
berusia seribu tahun ini, yang semua jalanannya terlihat
sama untuk orang asing. Pemilik rumah sewaan kami
sudah memberi kami petunjuk dalam bahasa sebuah
negara di mana nama jalan seolah tidak berarti dan bisa

320
MAROKO

berubah di setiap blok: bahasa peta. “Susuri jalan sampai


kau melewati alun-alun dengan toko obat di sebelah
kiri. Akan ada dua lengkungan. Ambil lengkungan
yang sebelah kiri, dan ikuti jalan itu sampai kau
melihat masjid besar. Berbeloklah ke kanan memutari
masjid dan masuk melalui serangkaian lengkungan
berikutnya .…”
Kalian pasti memahami maksudku.
Kami menyusuri jalanan sempit yang hampir tidak
bisa dilewati satu mobil, tapi pengemudi yang lihai,
ahli dalam meliuk-liuk di jalanan satu arah, jarang
bersentuhan saat mereka melewati jalan tersebut. Kami
berbalik, menuruni beberapa anak tangga menuju gang
yang lebarnya tidak sampai tiga meter, dan sampai di
pintu gerbang berpaku setinggi tiga setengah meter.
Setelah menunggu sebentar, pintu gerbang itu terbuka.
Kami masuk ke dalam, sementara Marika, koki cantik
di rumah itu, bergeser ke samping. Aroma rempah dan
daging panggang mengikuti Marika dari dapur. Aku
akan dengan senang hati menyantap makan malam saat
itu juga! Mulutku berair. Aula depan yang berlangit-
langit rendah menambah keterkejutan yang aku rasakan
setiap kali kami berbelok di sudut menuju halaman.
Riad adalah rumah orang Maroko yang sudah diubah
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi sebuah hotel. Riad kami berada di bangunan


berbentuk persegi yang terdiri dari empat lantai, dengan
sepuluh kamar yang mengelilingi halaman tengah.
Atap kami terbuka ke langit, tapi ada kanopi yang bisa
ditutup saat turun hujan. Keramik berwarna-warni
mendekorasi dinding, dan tirai beraksen menghiasi
lengkungan Moorish di atas pintu dan pegangan tangga.

321
LYNNE MARTIN

Pohon zaitun dan tanaman berpot besar menambah


kelembutan dan tekstur tempat itu, apalagi ditambah
dengan permadani yang mendekorasi dinding. Keramik
kuno melindungi setiap lantai lorong yang mengarah ke
teras, warnanya semakin kaya dengan bertambahnya
waktu dan paparan sinar matahari. Bantalan dengan
sulaman tangan ditumpuk di atas kursi, dan karpet
berpola memperlembut langkah kami.
Patricia, pengurus rumah, menyalakan lilin di meja
dan di obor berukir yang tergantung di langit-langit dan
dinding. Lilin besar diletakkan di ceruk dan di sekeliling
kolam. Riad itu berkilauan oleh cahaya, memantul di
permukaan air yang berwarna biru gelap. Lampu meja
dan lampu gantung berkilauan di momen menjelang
sore.
Abraham, pesuruh yang bertubuh sangat tinggi dan
taman, menyapa kami dalam balutan busana Muslim
warna putih dengan aksen pita kecil. Berbicara dalam
bahasa Prancis, Abraham bertanya apakah kami ingin
teh, kemudian dia menunjuk ke arah balkon atap. Aku
menggumamkan sesuatu dalam bahasa Prancisku yang
payah dan memberi isyarat bahwa kami akan ke sana
sebentar lagi. Abraham pergi ke dapur, yang berada
persis di seberang teras, sedangkan kami membuka
http://facebook.com/indonesiapustaka

pintu kamar kami.


Dua orang wanita Jerman sudah masuk ke kamar
mereka di sebelah kamar kami, dan mustahil untuk
tidak mendengar obrolan mereka. Suara-suara juga
terdengar dari kamar di lantai dua. Tim menutup pintu
kamar kami yang terbuat dari kayu, dan aku menutup
tirai di depan jendela yang mengarah ke halaman. Tim

322
MAROKO

berbisik, “Tempat ini luar biasa indah, tapi aku merasa


seperti tinggal di asrama! Aku bisa mendengar semua
suara di bangunan ini.”
“Aku juga: Abraham sedang mengisi teko untuk
membuat teh, orang Prancis sedang menelepon, dan
orang baru sedang membuat rencana,” kataku. “O-oh,
pemilik tempat ini kembali dan dia hendak duduk di
ceruk yang ada di dekat pintu kita, mengisap rokoknya,
dan memanggil istrinya dalam bahasa Kongo. Aku
penasaran apakah mereka masih bertengkar tentang
perabot untuk apartemen mereka? Tapi, Tim, kamar kita
cukup besar dan nyaman, dan kita hanya tinggal di sini
selama beberapa malam, jadi sebaiknya kita bersantai
dan menikmatinya.”
Saat mendengar perkataanku, Tim tertawa dan me-
nyambung, “Aku rasa sebaiknya kau mencampur sedikit
scotch dengan teh itu. Waktunya minum koktail!”
Kami menaiki tangga, yang didekorasi dengan ke-
ramik dan susuran besi berukir. “Hei, apakah kau mem-
perhatikan bahwa kita merasa seperti berada di rumah
sendiri di sini?” tanyaku. “Coba lihat lampu meja itu,
keramiknya, lengkungannya, perabotan semennya,
bantalan bersulamnya, lantai keramiknya … kita seperti
sedang berada di San Miguel!”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Tentu saja,” dengus Tim saat kami sampai di


lantai atas. “Coba pikirkan—bangsa Moor menduduki
Spanyol, kemudian orang Spanyol pergi ke Meksiko dan
membawa serta kebudayaan mereka.” Sekarang aku tahu
bahwa di suatu tempat di dalam pikiranku, aku tahu
semua fakta tentang migrasi manusia, tapi keindahan
dari bepergian adalah sekarang aku tahu fakta-fakta itu

323
LYNNE MARTIN

dengan cara yang hanya bisa diketahui dengan berada


langsung di sana dan merasakan sendiri tawaran mereka.
Tim duduk di kursi rotan dan kami mengamati
balkon atap itu. “Oh, Tim, lihatlah kota ini! Dan,
bulan muncul tepat di sebelah sana! Tempat ini sangat
memukau,” gumamku.
Balkon itu adalah sebuah mimpi Maroko: sofa
yang nyaman dan kursi malas yang dekat dengan meja
kuningan. Lilin menyala di mana-mana. Tanaman
berbunga harum menjalar di dinding dan pepohonan
kecil menawarkan kesan privasi. Kanopi yang ada di
sepanjang satu sisi taman menaungi meja yang dilapisi
taplak linen, peralatan makan mengilap, dan piring
porselen. Kota membentang di bawah kami, bangunan
terakota berwarna pink dengan balkon atap seperti kami,
menara masjid yang menjulang ke langit, dan asap yang
membubung dari pemanggang dan api, menyebarkan
aroma daging ke seluruh penjuru kota.
Abraham membawakan teh dan gelas yang ber-
kilauan, bersama dengan beberapa piring zaitun, keju,
dan sandwich kecil. Aku mengucapkan terima kasih
kepadanya dengan bahasa Prancis yang payah dan dia
tersenyum. Saat Tim menuangkan koktail-ku, Annette
dan Gabrielle, tetangga kami di lantai satu, yang kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

temui saat mereka mendaftar masuk tadi, datang ke


balkon atap. Annette menerima tawaranku untuk ber-
bagi scotch. Gabrielle membawa anggur sendiri sehingga
waktu koktail kami dimulai lebih awal. Annette dan
Gabrielle adalah kawan lama, tapi hidup membawa
mereka ke wilayah Jerman yang berseberangan, jadi
mereka bepergian bersama setahun sekali untuk bisa

324
MAROKO

menghabiskan waktu bersama dan menikmati kebebasan


dari anak-anak dan pekerjaan mereka.
Annette yang merupakan perawat kepala dari
Hamburg, bisa berbicara dalam bahasa Inggris yang
nyaris sempurna. Dia satu dari sedikit orang yang
terlihat sangat nyaman dengan dirinya sendiri, selalu
menyunggingkan senyuman di bibir, dengan rambut
hitam pendek dan mata biru terang. Aku tidak pernah
melihat Annette tidak bersenang-senang. Sementara
temannya Gabrielle, yang tinggal di Bavaria, berbahasa
Inggris dengan sama menyedihkannya seperti kami
berbahasa Jerman, jadi kami tidak terlalu mengenalnya.
Gabrielle berambut pirang, mengenakan perhiasan dan
scarf yang indah, dan sering tertawa … itu kebiasaan
yang menarik perhatian kami. Gabrielle sudah pernah
melakukan hal-hal yang hanya bisa diimpikan oleh
sebagian orang, satu lagi kelebihan Gabrielle yang kami
kagumi. Sepanjang perjalan kami, Gabrielle adalah
orang Munich keempat yang kami temui. Dan, mereka
semua suka bersenang-senang!
“Kami sangat menikmati hari ini,” seru Annette.
“Kami berbelanja di sekeliling souk dan menikmati
makan siang di restoran Prancis yang indah yang kami
temukan di dekat alun-alun! Malam ini kami akan
http://facebook.com/indonesiapustaka

mencoba tempat lain yang direkomendasikan oleh


teman kami.”
Saat mengobrol, kami berspekulasi tentang pemilik
baru riad, Renauld, yang mengaku sebagai orang Swiss,
tapi sama sekali tidak bisa berbahasa Jerman. Annette
dan Gabrielle menganggap itu sangat mencurigakan.
Renauld menghabiskan waktu selama berjam-jam di

325
LYNNE MARTIN

meja yang ada di luar kamar kami, menatap komputernya


dan mengutak-atik angka. Kami tidak pernah yakin
siapa dia atau apa yang dia kerjakan, kenapa dia membeli
hotel ini, dan apa cerita antara dirinya dengan istrinya
yang berasal dari Kongo. Tapi, dari semua keanehan
itu, kami mengembangkan gosip baru, yang dipanasi
oleh atmosfer Marrakech itu sendiri. Atmosfer yang
misterius dan sedikit berbahaya memunculkan semua
ide romantis. Mata-mata terkenal dan kegiatan jahat
langsung terbayang dalam pikiran pengunjung saat
melihat belahan dunia yang gelap dan terlihat berbahaya
ini.
Pemain lain dalam drama hotel kami adalah Jack,
seorang pria tampan berusia empat puluhan yang
sepertinya menguasai semua bahasa. Sebagai manajer
hotel selama bertahun-tahun, Jack terlihat sangat ber-
kelas walaupun dia selalu memakai kaus dan celana jins.
Pemilik yang baru merasa kagum kepada Jack karena
dia bisa menjalankan hotel dengan sempurna dan para
staf menjalankan perintahnya tanpa sedikit pun ragu-
ragu. Jack mengobrol dalam bahasa Jerman dengan
Annette dan Gabrielle, berbicara dalam bahasa Prancis
yang fasih dan cepat dengan pasangan yang menginap
di lantai atas, memberi instruksi kepada para staf dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

bahasa Arab dan Prancis, dan berbicara dengan kami


dalam bahasa Inggris yang sempurna. Diam-diam,
kami memanggilnya Jack-yang-tahu-segalanya. Karena
memang itulah kenyataannya. Tidak peduli apa pun
pertanyaannya, baik tentang Marrakech, Paris, atau
bursa saham, Jack tahu jawabannya. Dia sudah tinggal
di Marrakech selama sepuluh tahun, dan dia sangat

326
MAROKO

tertutup tentang pengaturan hidupnya. Partnernya


seorang arsitek; aku membayangkan pria yang lebih
tua dan berkelas yang memiliki sebuah vila mewah.
Aku berkesimpulan pekerjaan utama Jack adalah
menyibukkan diri. Rasanya seolah kami tinggal di
apartemen Armistead Maupin di Tales of the City!
Malam itu, aku dan Tim menikmati makan malam
romantis di bawah sinar bulan di teras, menunya adalah
domba tagine yang dimasak dengan sempurna. Makanan
itu disajikan oleh Abraham, yang sepertinya tidak terlihat
lelah saat harus naik-turun empat rangkaian tangga.
Makanan kami sangat lezat hingga aku memberanikan
diri untuk meminta resepnya, yang langsung diberikan
oleh Jack-yang-tahu-segalanya pada keesokan harinya.
Hampir setiap pagiku diisi dengan menulis bagian
baru untuk proposal buku dan menyelesaikan artikel
yang kutargetkan, tapi pada sore harinya kami bisa
mengeksplorasi keajaiban Marrakech. Yang menjadi
tujuan utama kami adalah Taman Majorelle yang ber-
warna biru di Yves Saint Laurent, didesain pada tahun
1920-an oleh Jacques Majorelle, seorang pelukis dari
Prancis. Saint Laurent dan partnernya, Pierre Bergé,
merenovasi taman itu setelah dibiarkan menjadi re-
runtuhan selama bertahun-tahun. Surga itu terletak di
http://facebook.com/indonesiapustaka

tengah-tengah keriuhan Kota Marrakech. Warna biru


elektrik Majorelle, yang digunakan Yves Saint Laurent
pada bangunan, dinding, air mancur, dan jembatan,
menciptakan latar belakang memukau untuk ratusan
spesies tanaman yang berwarna perak-hijau. Di dalam
taman yang dikelilingi tembok, kami menikmati makan
siang yang lezat dan dibuat kagum oleh koleksi seni

327
LYNNE MARTIN

Maroko yang ada di museum kecil.


Kemudian, kami pergi ke wilayah Marrakech yang
lebih modern, Guéliz. Jika berniat untuk menyewa
apartemen selama sebulan, kami mungkin akan memilih
apartemen di sana. Meskipun kami menganggap Guéliz
menarik, dan situasi di sana tidak seriuh lingkungan
tempat tinggal kami saat ini, tapi tempat itu kurang
menggoda dan eksotis. Tempat itu berisikan toko-toko
yang sama dengan yang bisa kami temukan di hampir
semua kota di Eropa. Jalanan yang lebar diapit oleh
bangunan yang terlihat seperti bangunan Eropa, dan
trotoarnya yang lebar membuat kami bisa berkeliaran
di sana tanpa takut akan ditabrak oleh kendaraan yang
melaju kencang. Kami menemukan bistro kecil ala
Prancis dengan meja di luar ruangan dan kami merasa
seolah sedang bersantai di Ile de France! Meskipun
jalanan Guéliz lebih mudah untuk dilalui dan tidak
terlalu menantang, kami lebih dari siap untuk kembali
ke lingkungan kami yang lebih eksotis. Toh, sejak awal
tujuan kami datang ke Afrika adalah untuk bertualang.

Malam itu, di atap, kami mengadakan pesta koktail


http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan “para gadis”, begitu kami menyebut teman-


teman Jerman kami dalam percakapan akrab kami. Saat
kami mengobrol, Annette menatap Gabrielle dan Tim
secara bergantian, dan berkata dengan ragu-ragu, “Kami
punya satu permintaan besar.”
“Tentu saja,” jawab Tim.
“Kami ingin sekali pergi ke Jemaal al Fnz untuk

328
MAROKO

makan malam. Alun-alun pasti akan terlihat fantastis


pada malam hari—bagaikan dunia yang berbeda.
Penghibur siang hari akan digantikan oleh tenda-tenda
besar dengan ratusan restoran kecil di dalamnya. Kami
ingin pergi ke sana, tapi sejujurnya, sebagai dua orang
wanita yang pergi sendirian pada malam hari di negara
Muslim, kami merasa tidak nyaman. Bahkan, pada
siang hari, kami bisa merasakan tatapan mencela karena
kami berjalan tanpa ada pengawalan laki-laki, dan pergi
ke tempat itu pada malam hari tanpa ditemani pria
membuat kami gugup. Kami ingin bertanya apakah kau
keberatan ikut bersama kami?”
Sering kali aku dan Tim membahas tentang keadaan
wanita di sebagian negara Muslim, di mana mereka
tidak bisa bergerak dengan bebas, mengemudi, atau
mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi kepada
mereka, apalagi mengejar karier di luar rumah. Kami
jarang melihat wanita menikmati waktu di kafe pinggir
jalan, yang dipenuhi oleh kaum pria. Kami sependapat
bahwa kami merasakan penindasan fundamentalis yang
lebih kuat di Maroko dibandingkan di Turki.
“Aku akan dengan senang hati menjadi pengawal
kalian,” ujar Tim. “Kami memang berencana pergi ke
sana. Bagaimana jika malam ini?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

Saat memasuki alun-alun, kami berempat melongo


takjub. Asap dari seratus pemanggang berbahan bakar
arang mengambang ke langit malam, dan lilin menyala di
mana-mana. Aroma ikan, daging, dan rempah menggoda
kami. Suara drum, suling, dan manusia menyatu menjadi
melodi gila yang naik-turun seolah ada konduktor yang
mengaturnya. Pendongeng, pawang ular, topeng monyet,

329
LYNNE MARTIN

dan peramal, bersama dengan pedagang rempah dan


sayuran, membuka kios di sekeliling tenda besar yang
menutupi ratusan meja panjang yang dipenuhi orang-
orang. Keluarga, pasangan yang kasmaran, orang
tua renta yang mengenakan pakaian tradisional, dan
turis dari semua bangsa menikmati apa yang terlihat
seperti acara piknik besar-besaran. Aku terkesima oleh
pemandangan itu, merasa terharu bisa menjadi bagian
dari kegiatan lautan manusia. Itu adalah salah satu
pengalaman paling menakjubkan dalam hidupku.
Saat kami menyusuri lorong, pedagang dari setiap
restoran menyerang kami secara halus, melambaikan
daftar menu mereka dan meneriakkan kelebihan dari
apa yang mereka tawarkan. Kami bergurau dengan
mereka saat kami mengamati pengunjung lain di meja
panjang yang berlapis kertas menyantap ikan goreng,
ayam, daging, domba, kentang, terung, salad, teh, cola,
dan air. Yang paling terlihat jelas adalah tidak adanya
minuman beralkohol, yang memang tidak disajikan di
tempat-tempat umum di Maroko walaupun minuman
jenis itu tersedia di hotel dan restoran kelas atas.
Tim dan ketiga hareem-nya memilih meja. Seketika
itu juga, pelayan membawakan sepiring kecil zaitun,
roti, dan menu. Kami menyantap ikan goreng garing,
http://facebook.com/indonesiapustaka

sate ayam, domba, dan sayuran yang dimasak di atas


arang, terung dan tomat yang ditetesi minyak zaitun,
dan roti pita. Kami juga mencoba saus yang tidak kami
kenali dan tidak bisa kami identifikasi rasanya. Kami
memakan semuanya tanpa memedulikan apa pun.
Beberapa meter dari tempatku duduk, seorang
wanita berpakaian tradisional memberi perintah ke-

330
MAROKO

pada beberapa orang pemuda yang mengantarkan


makanan dari dapur ke pengunjung. Semua uang yang
dikumpulkan diberikan kepada wanita itu, dan wanita
itu pula yang memberikan uang kembalian kepada para
pemuda, yang mengembalikannya kepada masing-
masing pengunjung. Saat wanita itu duduk, matanya
bergerak ke mana-mana. Wanita itu juga cukup lantang,
dia meneriakkan teguran atau dorongan kepada setiap
pegawai, tidak melewatkan koki atau siapa pun dari
dominasi mata-elangnya. Dari jauh, wanita itu terlihat
seperti mimpi buruk untuk semua pegawai, monster
yang menjadi mandor, tapi saat mengamatinya, aku
melihat kilau di matanya dan aku menyadari bahwa
wanita itu sangat menikmati perannya di sana! Kasih
sayang wanita itu untuk orang-orang muda yang be-
kerja di sana terlihat jelas, dan sepertinya wanita itu
menganggap mereka seperti anak-anaknya sendiri. Aku
bertukar senyuman dengan wanita itu, dan aku meng-
angguk penuh pemahaman sebagai sesama ibu.
Saat kami berdiri, aku bertanya apakah aku boleh
memotretnya. Dia bersedia, dan aku memotretnya,
lalu dia memberi isyarat bahwa dia ingin melihatnya.
Foto itu membuatnya senang. Aku berjalan di belakang
kelompok kecil kami, merasa seolah aku sudah menemu-
http://facebook.com/indonesiapustaka

kan teman baru.


Kami berkeliaran di alun-alun dan berhenti di
sebuah kios, ketiga dindingnya yang setinggi tiga meter
dipenuhi ratusan sepatu sandal kulit berujung lancip
yang ditata dengan menarik di atas rak. Sepatu-sepatu
itu terlihat seperti kotak krayon paling besar dan paling
berwarna di dunia. Gabrielle ingin membeli beberapa.

331
LYNNE MARTIN

Perburuan dimulai! Setelah mencoba banyak sepatu,


Gabrielle memilih dua pasang dan bersiap untuk mem-
bayar kepada penjualnya, yang mendorong kami semua
untuk ikut membeli. Annette, sang penegak hukum,
ikut dalam percakapan dan meminta Gabrielle untuk
menahan dulu uangnya, kemudian Annette mulai
melakukan tawar-menawar, yang biasa dilakukan pem-
beli dan pedagang di Maroko untuk semua transaksi,
mulai dari taksi sampai perhiasan mahal. Setiap
buku panduan turis menyarankan pengunjung untuk
menegosiasikan harga di Maroko, tapi aku ragu ada
banyak di antara mereka yang sehebat Annette. Annette
menawar dengan harga yang sangat rendah. Pedagang
itu mendengus dan memberikan diskon lima persen
dari harga yang tertera. Annette bersikeras, menawar
dengan diskon dua puluh persen. Pedagang itu tertawa,
dan menurunkannya jadi lima belas persen. Tawar-
menawar itu terus berlanjut, atas sepasang sepatu yang
harganya hanya $20. Setelahnya, Annette mengaku
bahwa dia sudah mengamati penduduk lokal hari itu
dan mempelajari bagaimana mereka bertransaksi! Itu
sungguh penampilan yang mengesankan.
Akhirnya, aku mulai bosan (kalian bisa yakin bah-
wa tidak ada sepatu berukuran 11 ½ AAA di toko itu)
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan aku pergi ke toko sebelah untuk melihat-lihat


lentera kaca berwarna yang berkilauan. Saat yang lain
bergabung denganku, Annette mendapatkan kesuksesan
besar. Gabrielle mendapatkan dua pasang sepatu dengan
harga $20, dan bukannya masing-masing sepatu $20,
yang satu sepatu bermotif kulit binatang, sedangkan
yang satu lagi sepatu berwarna pink/oranye terang.

332
MAROKO

Bukan penghematan yang buruk untuk tawar-menawar


selama sepuluh menit!
Sejak saat itu, Annette menjadi penawar resmi kami.
Saat ada orang di dalam kelompok kami ingin membeli
sesuatu, kami menyerahkan barang dan uangnya kepada
Annette, dan dia akan menghampiri penjaga toko untuk
melakukan tawar-menawar. Kami suka melihatnya beraksi!
Suatu sore, Annete dan Gabrielle datang ke kamar
kami dan duduk di meja tempat aku sedang bekerja.
Aku berhenti untuk mengobrol. Abraham mengantar-
kan teh di atas baki yang indah. “Kami akan pergi ke
tempat pembuatan tato hena,” kata Annette, sambil
memasukkan potongan pastri kecil ke dalam mulutnya.
“Jack mengatakan kepada kami bahwa orang yang
memberikan pelayanan tato di alun-alun biasanya
menggunakan cat murahan yang bisa membuat kulit
iritasi, jadi dia merekomendasikan tempat yang tidak
jauh dari sini. Apakah kalian mau ikut pergi dengan
kami? Kami sudah membuat janji untuk sore ini.”
Aku pernah melihat wanita lokal membuat desain
rumit di lengan dan tangan orang, tapi aku tidak per-
nah punya cukup waktu untuk menyaksikan seluruh
prosesnya. “Iya, aku sangat ingin ikut,” jawabku. Aku
pantas mendapatkan rehat dari menulis. Aku me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mang terpesona dengan tato dan berpikir pasti akan


menyenangkan memiliki satu tato hena, apalagi karena
aku terlalu pengecut untuk membuat tato sungguhan
yang menggunakan jarum!
Kami menyusuri jalanan yang selalu ramai, dan
aku senang Annette dan Gabrielle sudah hafal jalan ke
sana karena sebelumnya mereka datang ke sana untuk

333
LYNNE MARTIN

membuat janji. Aku tidak akan pernah bisa menemukan


tempat itu sendirian. Tempat itu ada di jalanan kecil
yang penuh dengan toko dan penjalan kaki. Seorang
pria muda mempersilakan kami masuk dan membawa
kami naik dari lorong yang gelap ke balkon atap, yang
dinaungi kain warna-warni dan terasa lebih sejuk
dengan tanaman pakis dalam pot. Pria itu menyajikan
teh dan beberapa buku berisi desain tato hena. Kami
menyesap teh sambil mengagumi gambar-gambar itu
saat seorang wanita, yang kepalanya tertutup kerudung
sutra bermotif leopard, muncul dengan membawa kotak
peralatan kayu. Wanita itu tersenyum dan menarik
kursi kecil. Dengan menggunakan bahasa isyarat, kami
memutuskan bahwa pemimpin kami, Annette, akan
ditato lebih dulu.
Wanita itu menoleh ke pola yang dipilih Annette.
Kemudian, wanita itu meletakkan tangan Annette di atas
pangkuannya dan mengeluarkan jarum suntik dari kotak
dengan tangan yang ternoda tinta secara permanen.
Aku sempat ketakutan, sampai aku menyadari bahwa
wanita itu sudah memotong bagian ujung jarumnya dan
hanya menggunakannya sebagai alat melukis. Dengan
tinta berwarna cokelat gelap, wanita itu menirukan pola
rumit ke pergelangan dan punggung tangan Annette.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Sapuan tangan terlatih wanita itu meniru desain yang


dipilih Annette dengan sempurna. Wanita itu beranjak
ke tangan yang lain. Dalam waktu lima belas menit,
Annette sudah bisa mengagumi tato hena yang serasi
di kedua tangannya. Itu akan membuat pasien-pasien
Annette tersentak kaget saat dia kembali bekerja minggu
depan!

334
MAROKO

Aku memilih desain di salah satu pergelangan kaki.


Itu pilihan yang tepat karena saat hena mulai memudar
setelah beberapa hari, tato akan terlihat seperti penyakit
kulit. Aku tidak mau membuat takut orang yang duduk
semeja denganku di kapal dalam perjalanan pulang
minggu depan.
Saat kami sampai lagi di riad, Jack-yang-tahu-segala-
nya mengatakan bahwa jika kami ingin makan di hotel,
kami harus memberi tahu sebelum siang karena para staf
harus menyiapkan bahan-bahannya. Suatu pagi, kami
pernah mengatakan kepada pemilik hotel bahwa kami
ingin menyantap makanan yang lezat malam itu. “Apakah
kalian mau memesan Hammam?” bisik Renauld, sang
pemilik. “Sangat repot memasak makanan itu hingga
aku tidak suka memesannya untuk diriku sendiri, tapi
jika kau mau, mereka tidak keberatan membuatkannya.”
Hingga hari ini kami masih tidak mengerti bagaimana
dinamika kerja di riad kecil itu. Apakah Jack-yang-tahu-
segalanya menyerahkan semua kendali kepada sang
pemilik? Apakah sang pemilik menyerahkan semua
kendali kepada istrinya? Kami tidak pernah tahu.
Aku bertanya kepada Jack-yang-tahu-segalanya apa-
kah kami bisa mencoba hidangan Hammam. Lalu, Jack
bertanya apakah kami ingin berbahan daging sapi. Iya.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku bertanya lagi bagaimana menyiapkan masakan


itu. “Itu makanan kuno di Maroko. Kami memasukkan
daging sapi di guci tembikar dengan banyak sekali irisan
lemon, kemudian kami menutup guci dengan banyak
sekali kertas aluminium. Kemudian, Marika akan
membawanya ke Hammam, tempat pemandian umum
di ujung jalan, di mana guci itu akan ditempatkan di

335
LYNNE MARTIN

atas generator uap tempat pemandian tersebut. Guci itu


akan tersimpan di sana sepanjang hari, dan kami akan
mengambilnya pada malam hari. Aku tahu kalian pasti
akan menyukainya.” Kedengarannya seperti ide yang
hebat untukku, tapi tentu saja, aku adalah penyuka
makanan menantang yang pernah mencoba haggis di
Skotlandia, jadi hanya sedikit makanan yang membuatku
kehilangan selera.
Biar kukatakan kepada kalian—daging pemandian
umum itu sangat spektakuler. Malam itu, pemilik riad
bergabung dengan kami di teras atas, dan menikmatinya
lebih dari yang lain. Itu adalah makanan yang tidak akan
pernah bisa kutiru karena aku tidak yakin menyimpan
gucinya di bathtub panas akan memberikan efek yang
sama ….
Keesokan harinya, saat aku dan Tim berjalan-jalan
di salah satu dari sekian banyak taman yang luas dan
tenang di Marrakech, dengan pohon palem yang sangat
besar, Tim bertanya, “Apakah kau tahu bahwa di pantai
Atlantik Utara Maroko ada kambing yang memanjat
pohon untuk mendapatkan buah-buahan?”
“Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang
Maroko?” Aku langsung menyadari bahwa aku sudah
dijebak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Aku menonton Lawrence of Arabia,” jawab Tim


sambil tertawa, menikmati kebodohanku yang jatuh
ke dalam perangkap lelucon payahnya. “Jadi, tentu saja
aku tahu segala hal tentang gurun pasir ini.” Tim sangat
ingin menggunakan kalimat itu.
“Baiklah, itu sudah cukup. Sudah waktunya kita
keluar dari sini. Gurun pasir sudah menguasai kepalamu,

336
MAROKO

jika kau sampai berpikir sejauh itu.”


Memang benar, gurun pasir sudah memengaruhi
kami. Kami beroperasi dengan kondisi sensor yang
kewalahan karena atmosfer Marrakech yang bergejolak
hingga setelah beberapa hari, kami ingin sekali me-
nikmati malam di dalam kamar dengan tirai tertutup
dan merasakan makanan seperti di rumah. Kami ber-
tanya kepada Jack-yang-tahu-segalanya apakah dia bisa
menemukan restoran piza dan memesankannya untuk
kami. Itu kali pertama dalam sejarah hotel tersebut
mereka memesan piza dari luar, dan rasanya sangat
tidak enak, tapi kami sangat senang bisa menghabiskan
malam di kamar hingga kami tidak peduli! Kami
menyantap piza dan menonton film dari komputer kami
sambil memakai earphone. Satu contoh lain bagaimana
dan kenapa terkadang lebih sulit menjadi seorang turis
dibandingkan pengelana tanpa rumah.

Malam sebelum kami meninggalkan Marrakech, kami


menerima undangan dari Annette dan Gabrielle untuk
bergabung dengan mereka menyantap makan malam
di restoran yang mereka temukan. Annette, yang me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

rupakan seorang perencana hebat selain negosiator


ulung, meminta Jack-yang-tahu-segalanya untuk me-
mesan tempat. Kemudian, Annette mencari tahu cara
untuk sampai ke sana. Annette yang memimpin jalan,
dengan pelindung kami berjaga di barisan paling
belakang. Dengan lihainya Annette menyusuri jalan-
jalan kecil, dengan toko yang masih buka, dan barang-

337
LYNNE MARTIN

barang yang terlihat lebih menggoda lagi di bawah dan


di antara cahaya lampu yang berkilauan.
Perjalanan panjang yang kami tempuh tidak sia-
sia. Restoran itu terlihat seperti kastil bangsa Moor,
terang oleh lentera dan dijaga pria berjenggot tebal
yang memakai baju linen pitih dan memasang ekspresi
serius. Kami menaiki tangga menuju surga sang Pasha—
pemimpin militer. Lilin dan obor menyala di atas dek
atap besar yang tertutup tirai warna-warni dan tanaman
merambat yang berbunga, dengan meja yang diatur
sempurna. Bulan besar berwarna oranye tampak di
langit, menambah sentuhan romantis terhadap tempat
itu. Kami menikmati makanan favorit orang Maroko:
tagine domba dengan sayuran empuk dan rempah
eksotis, kuskus, terung, salad mentimun, dan pastri yang
lezat untuk hidangan penutup. Kami bersulang dengan
anggur Prancis yang lezat.
Setelah panggilan untuk shalat terdengar di se-
antero kota, kami memilih menggunakan taksi untuk
membawa kami pulang ke riad. Saat kami menghampiri
barisan taksi, sang negosiator melangkah maju untuk
berbicara dengan pengemudi taksi pertama. Mereka
sepakat dengan ongkos dua puluh dirham, sekitar lima
dolar. Tim duduk di depan, sementara aku dan kedua
http://facebook.com/indonesiapustaka

gadis lain berdesak-desakan di kursi belakang.


Sebelum sopir menyalakan mesin, dia mengatakan
bahwa dia akan melipatgandakan ongkos taksinya
menjadi empat puluh dirham karena taksi tidak boleh
membawa lebih dari dua orang.
“Tidak,” kata Annette.
Sopir itu bersikeras. Annette berkata dengan tegas,

338
MAROKO

“Sudah cukup. Keluar dari mobil ini, kalian semua.”


Kami memprotes. Annette memaksa. Kami menurut.
Saat kami berusaha keras untuk keluar dari
mobil Nissan kecil itu (tidak ada satu pun dari kami
yang bertubuh lentur, kecil, atau muda), sang sopir
menjulurkan kepala dari jendela. “Baiklah, Madam, dua
puluh dirham.”
Kami mengulangi aksi sirkus kami dan berhasil
berdesak-desakan lagi di dalam mobil. Tanpa anggur
yang kami minum saat makan malam, kami mungkin
tidak akan bisa melakukannya. Pada saat tiba di gang
depan riad, kami semua sudah berteman baik dengan
sang sopir—dan Annette memberinya empat dirham
tambahan (sekitar 50¢). Tawar-menawar sudah menjadi
bagian dari kehidupan di Maroko.
Keesokan paginya, Abraham membawakan barang-
barang kami ke dekat pintu depan. Di belakangnya
tampak Marika dan Patricia, diikuti oleh Renauld dan
Jack-yang-tahu-segalanya. Mereka semua berbaris di
depan kolam, berjabat tangan dengan kami saat kami
mengucapkan terima kasih atas keramahan mereka.
Kami semua menikmati kebersamaan selama seminggu
yang penuh warna.
Taksi melewati jalanan berbatu yang ramai, sopir taksi
http://facebook.com/indonesiapustaka

meliukkan mobilnya untuk menghindari pengendara


sepeda, gerobak, motor, dan turis yang tidak hati-hati.
“Yah, aku senang kita datang ke sini,” ujar Tim. “Ini
memang tempat yang harus kita lihat, tapi aku rasa
seminggu adalah waktu yang cukup untuk kita. Aku
kelelahan dan sudah tidak sabar ingin menempati kamar
hotel yang pintunya benar-benar tertutup, agar aku tidak

339
LYNNE MARTIN

perlu mendengar Marika dan Abraham saling bertukar


lelucon sambil mencuci piring sampai tengah malam.”
“Aku juga lelah, dan ingin sekali naik ke kapal setelah
dari Barcelona,” kataku. “Sudah waktunya kita pulang
dan membakar pakaian kita. Rok biru dan atasan
hitamku harus disingkirkan, dan jika aku melihatmu
memakai kaus berwarna lilac yang sudah pudar itu,
hubungan kita selesai!”
Hotel yang besar dan modern di pemberhentian
kami yang berikutnya, Barcelona, tidak mengecewakan.
Pintunya yang besar dan berat bisa tertutup dengan
rapat dan tidak mengundang orang untuk menguping.
Saat kau tidak memiliki rumah, terkadang hal kecil
bisa bermakna besar! Tempat tidurnya juga enak,
menawarkan tingkat kenyamanan yang tidak kami
dapatkan di riad kami yang indah, tapi sederhana.
Saat mematikan lampu, Tim berkata, “Kau tahu, aku
siap untuk mengambil rehat. Aku akan dengan senang
hati membiarkan orang lain membuat keputusan untuk
dua belas hari ke depan, dan aku akan sangat bahagia
bisa bertemu dengan anak-anak lagi. Aku tahu mereka
semua sudah berubah dalam waktu tujuh bulan. Apakah
menurutmu kita juga sudah berubah?”
“Aku benar-benar tidak tahu,” gumamku. “Saat ini
aku terlalu lelah untuk memikirkannya.”
http://facebook.com/indonesiapustaka

“Aku rasa kita akan mengetahuinya saat sampai di


sana.” Tim langsung tertidur.

340
Dua Belas

Kembali ke
California
A
“ pa yang terjadi dengan orang-orang menarik
yang berlayar bersama kita pada bulan Mei?
Kelihatannya kita akan mengalami dua belas hari yang
panjang dan membosankan,” kataku saat kami me-
lakukan tur keliling kapal Grandeur of the Seas. Dalam
beberapa jam ke depan, kapal itu akan berlayar dari
Barcelona menuju Miami.
“Mungkin orang-orang yang menyenangkan sudah
pulang atau mereka memutuskan untuk tetap di Eropa
sampai liburan Natal,” jawab Tim. Kami menunduk
untuk menghindari angin bulan November yang dingin.
“Aku mulai bertanya-tanya apakah ini benar-benar Royal
http://facebook.com/indonesiapustaka

Caribbean Assited Living Cruise yang banyak dipuji.”


Merasa senang dengan komentar konyolnya, Tim
menahan pintu untukku agar aku bisa masuk ke ruang
santai kapal. Aku memutar bola mataku untuk me-
respons komentar itu.
Alasan keluhan kami? Tongkat, alat bantu berjalan,
dan kursi roda ada di mana-mana. Memang, kami

341
LYNNE MARTIN

sendiri sudah tidak muda, tapi bisa dikatakan orang-


orang ini membuat kami terlihat muda. Para penumpang
kapal kali ini terlihat lebih tua dan lebih tidak dinamis
dibandingkan penumpang pelayaran transatlantik ter-
akhir kami ke Eropa. Hanya sedikit yang bisa diajak
bicara. Kami duduk di salah satu meja bar, mengamati
orang yang naik ke atas kapal. “Ini membuatku teringat
pada lukisan Norman Rockwell, yang menggambarkan
sebuah keluarga yang pergi ke pantai. Mereka bahagia
dan tertawa: anak-anak dan kakek mereka, ibu dan ayah
duduk di dalam mobil. Bahkan, anjingnya tersenyum,
kepalanya terjulur keluar jendela dengan telinga ber-
goyang tertiup angin. Kau ingat lukisan yang itu? Aku
rasa anjingnya jenis Cocker Spaniel.”
Tim tertawa. “Dan, di panel bawah menggambarkan
mereka yang pulang ke rumah dari pantai, dengan kulit
terbakar sinar matahari dan kelelahan. Semua orang
tertidur kecuali sang ayah yang harus menyetir mobil.”
“Yah, coba pikirkan. Saat kita meninggalkan Florida
pada bulan Mei, orang-orang menaiki kapal transatlantik,
sebuah pengalaman menyenangkan yang akan dikenang
seumur hidup, dengan petualangan seru yang menunggu
mereka di Eropa. Sekarang bulan November. Orang-
orang ini sudah ke sana dan melakukan itu—melalui
http://facebook.com/indonesiapustaka

tur darat ataupun berlayar, tidak masalah. Mereka lelah,


butuh potong rambut, bosan dengan pakaian mereka,
dan pulang ke rumah, di mana tagihan, anak-anak, dan
pekerjaan biasanya sedang menunggu mereka! Tidak
heran mereka terlihat sangat tidak bahagia.”
“Yah, yang pasti aku butuh potong rambut, dan aku
tahu kau akan suka mewarnai sedikit rambutmu sebelum

342
KEMBALI KE CALIFORNIA

kita kembali ke Florida.” Tim menyisiri rambutnya yang


hitam dan ikal.
Setelah tujuh bulan hidup tanpa rumah di Eropa,
kami siap untuk kembali ke Amerika Serikat dan kami
sudah tidak sabar ingin bertemu dengan anak dan cucu
kami. Makanan cepat saji untuk mereka yang tinggal
di Amerika dan negara Barat lain, tempat pemesanan
burger untuk dibungkus, terdengar seperti surga. Kami
sudah tidak sabar ingin melihat TV Amerika, tempat
pembuangan sampah, toko kelontong, wajah dan logat
yang familier, mobil besar, jalanan lebar, dan pelataran
parkir yang luas. Dalam kondisi kami yang luar biasa
lelah, semua itu terdengar seperti surga.
Aku terus mengalami kelebatan—apakah itu ke-
lebatan berupa kenangan masa lalu atau bayangan
masa depan, aku tidak yakin—yaitu kami akan pulang
ke RUMAH kami yang lama. Kemudian, aku akan
menggelengkan kepala dan mengingat bahwa RUMAH
kami adalah apartemen sewaan di dekat putri kami,
Robin dan Alexandra. Saat aku menceritakan kealpaan
sejenakku itu, Tim mengatakan dia juga mengalami hal
serupa. Berpindah tempat sesering yang kami lakukan,
pada saat-saat tertentu mudah sekali untuk melupakan
di mana kau berada dan ke mana kau akan pergi, apalagi
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengingat hari atau jalan tempat tinggalmu. Sungguh


membingungkan. Kami sudah lama sekali berada
di jalanan hingga kami tidak yakin apakah Amerika
Serikat akan terasa seperti negara asing! Terkadang aku
khawatir akan merasa kebingungan.
Kami berhenti mengamati orang dan kembali ke kabin
untuk menemukan tempat yang pas untuk menyimpan

343
LYNNE MARTIN

barang-barang kami. Kabin itu berada di tengah kapal


di dek dua, tempat yang sengaja dipilih Tim untuk
mengantisipasi kondisi laut pada pertengahan musim
gugur di Atlantik Utara. Beberapa hari kemudian, saat
gelombang laut menerjang kapal dengan kuat hingga
beberapa kru kapal terlihat khawatir, kami merasa
senang bisa beristirahat di kabin yang stabil. Kelebihan
Tim bukan hanya wajahnya yang tampan.
Saat membongkar barang-barang bawaan kami, aku
memperhatikan lampu teleponku berkedip. Itu pesan
yang memastikan acara makan malam kami dengan
pasangan dari Atlanta. Setelah artikel Wall Street Journal
terbit, seorang wanita mengirimkan surel kepada kami,
mengatakan dia dan suaminya akan menaiki kapal yang
sama dengan kami, yang berangkat dari Barcelona.
Mereka ingin bertemu dengan kami, jadi kami mengatur
pertemuan di restoran kapal yang khusus menyajikan
masakan Italia. Kami sangat bersemangat bertemu
dengan orang-orang yang telah membaca artikel tentang
perjalanan kami, dan kami menantikan untuk bisa
mendengar tentang pengalaman mereka juga. Menjadi
penulis ternyata sangat menyenangkan!
Kapal layar besar biasanya menyediakan beberapa
tema restoran, yang memberi kesempatan kepada pe-
http://facebook.com/indonesiapustaka

numpang untuk mengubah suasana dari ruang makan


besar tempat makan malam disajikan oleh kru kapal
setiap malam. Memang ada biaya tambahan, tapi itu
harga yang pantas untuk pelayanan restoran dan suasana
yang lebih intim. Di kapal kami ada restoran Italia, steik,
dan Asia.
Kami bertemu di salah satu restoran itu. Ginger

344
KEMBALI KE CALIFORNIA

dan suaminya, Tom, dalam perjalanan pulang setelah


sepuluh hari berlayar di Mediterania. Kami menikmati
hidangan Italia yang lezat dengan pasangan yang ceria
dan menarik itu, sambil bertukar informasi tentang
keluarga dan pengalaman selama bepergian. Kami me-
nikmati kebersamaan ini, dan aku dan Tim selalu senang
memiliki teman baru.
Setelah menyantap hidangan utama, saat kami ber-
alih menikmati hidangan penutup yang kurang me-
ngesankan, Ginger berkata, “Aku punya ribuan per-
tanyaan untuk kalian! Aku sangat ingin tahu bagaimana
kehidupan kalian yang tanpa rumah bisa berjalan.”
“Tanyakan saja, kami sama sekali tidak keberatan,”
jawabku.
“Yah, aku tidak bermaksud ingin mengorek-ngorek
kehidupan pribadi kalian, tapi aku hanya penasaran
bagaimana kalian bisa tahan selalu bersama sepanjang
waktu? Maksudku, kalian tidak memiliki kegiatan di
luar yang bisa mengalihkan perhatian kalian karena
kalian tidak pernah tinggal cukup lama di satu tempat
untuk bisa berbaur dengan komunitas di sana. Kalian
pasti menghabiskan seluruh waktu kalian hanya berdua.
Apakah itu tidak membuat kalian merasa bosan atau
jengkel satu sama lain? Aku dan Tom pasti akan saling
http://facebook.com/indonesiapustaka

membuat gila jika kami menghadapi situasi seperti


kalian!”
Pertanyaan yang bagus. Aku dan Tim saling ber-
tatapan. “Terkadang memang begitu,” kataku, “tapi Tim
adalah pria yang sangat baik hingga dia berpura-pura
aku adalah wanita yang menarik sepanjang waktu. Aku,
sebaliknya, mungkin merupakan orang yang sangat

345
LYNNE MARTIN

menyulitkan untuk dijadikan pendamping setiap hari.”


Aku tersenyum manis kepada Tim. “Sungguh, Tim,
tidakkah kau berpikir bahwa berada di dunia luar tanpa
ada orang lain untuk menjadi tempat bergantung telah
membuat kita semakin dekat?”
“Kita juga pernah bertengkar, Sayang,” kata Tim
sambil tertawa. “Ingat saat kita mengendarai mobil di
Italia?”
Aku tertawa sependapat dan dengan itu, Tim-lah
yang mendapat giliran untuk bercerita. Kali ini, Tim
menceritakan kepada Ginger dan Tom tentang Victoria,
belokan yang tajam dan sangat sulit di Florence, dan
momen gila kami di Cornwall. Kami pernah meneriaki
satu sama lain dengan cukup keras pada momen-momen
berat itu! Saat tawa kami mereda, Tim menambahkan,
“Tapi, sungguh, kami sangat beruntung bisa menjadi
pasangan yang sangat serasi, dan aku yakin berkelana
di luar sana tanpa adanya kesepahaman bisa menjadi
tantangan untuk banyak pasangan.”
“Aku menyukai kisah kalian, tapi aku tidak bisa
membayangkan bagaimana kalian melakukannya,” ujar
Tom sambil mengangkat bahu. “Apakah kalian tidak
khawatir dan sedikit takut tentang apa yang akan terjadi
kemudian? Maksudku, bagaimana jika apartemen
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang kalian sewa sangat buruk atau mobil yang kalian


sewa mogok, atau bagaimana jika salah satu dari kalian
jatuh sakit? Segala macam bencana terpikir olehku—
kerusuhan, abu vulkanik yang terjadi beberapa tahun
lalu, tsunami, flu burung. Apakah semua itu tidak
membuat kalian gila?”
Tim tersenyum penuh pengertian dan menoleh ke

346
KEMBALI KE CALIFORNIA

arahku. Tim terdiam, mencari-cari kata yang tepat untuk


digunakan, mata cokelatnya fokus dan lebih fokus lagi
saat dia memutar otak besarnya untuk mencari jawaban.
“Kau tahu, baru semalam kami membicarakan hal itu,
bagaimana sekarang kekhawatiran kami sudah jauh
berkurang dan kami menjadi lebih santai daripada saat
memulai perjalanan ini. Mungkin karena sekarang kami
sudah lebih berpengalaman. Situasi muncul dengan
sendirinya, tapi kami berhasil mengatasi semuanya
dengan baik. Tentu saja, terkadang kami juga merasa
khawatir. Kami takut akan mengalami kecelakaan,
apakah kami terlalu tua untuk melakukan semua ini,
hal-hal semacam itu. Tapi, hal buruk terjadi di mana-
mana. Tuhan tahu, kami berasal dari kota yang akrab
dengan bencana gempa bumi. Hidup penuh risiko, tidak
peduli di mana pun kau berada.”
Aku mengambil kesempatan saat Tim menarik
napas dan ikut menyambung. “Kami menertawakan
sebagian besar cobaan kecil yang kami hadapi, dan
jika situasi menjadi benar-benar buruk, kami memilih
untuk memperbaikinya atau meninggalkannya saja dan
melanjutkan hidup,” tambahku. “Tentu saja, kami sangat
beruntung karena semua berjalan dengan baik-baik saja,
dan kami tidak menyakiti diri kami sendiri sepanjang
http://facebook.com/indonesiapustaka

perjalanan ini. Sejauh ini, kami bisa menghindari


bencana alam, kecuali jika kau menghitung gelombang
panas dan udara dingin. Tapi sungguh, jika dipikirkan
lagi, bahaya yang mungkin kami hadapi di jalanan, bisa
terjadi juga di rumah.”
“Aku rasa kau benar,” kata Tom. “Mengemudi di
Atlanta mungkin sama berbahaya dan menakutkannya

347
LYNNE MARTIN

seperti mengemudi di Cornwall, tapi setidaknya posisinya


ada sisi kanan jalan.” Aku tertawa saat bayangan hari
pertama kami di Inggris, saat kami menghentikan mobil
di jalanan berlumpur di antah-berantah, berkelebat di
dalam pikiranku.
Sepanjang pelayaran, kami berkumpul beberapa
kali lagi dengan Ginger dan Tom, tapi kegiatan sosial
kami dibatasi oleh jadwal menulisku yang semakin
padat. Aku mendapatkan perintah dari Dana, agen
baruku yang tegas, untuk segera mulai menulis buku.
Pada saat itu, Dana sudah berbicara dengan beberapa
penerbit, dan salah satunya menyatakan bahwa mereka
memberi tenggat waktu sampai bulan Maret untuk
menyerahkan naskah. Aku juga diminta membuat esai
oleh Mark Chimsky untuk bukunya, dan Internasional
Living memintaku untuk menulis artikel untuk mereka.
Akhirnya terpikir oleh kami bahwa, tidak seperti orang
yang sedang berlibur, yang menganggap kapal layar
sebagai resor mengapung, bagian dari liburan mereka,
ini adalah rumah terapung kami yang kebetulan akan
membawa kami ke tujuan berikutnya.
Suatu hari, saat aku sedang mengetik di komputerku,
Tim kembali ke kabin dari berjalan-jalan di sekeliling
dek. Aku terlonjak. “Aku mulai tahu apa artinya demam
http://facebook.com/indonesiapustaka

kabin! Aku harus keluar dari ruangan ini, tapi tidak


ada tempat lain untuk bekerja karena kapal ini tidak
memiliki perpustakaan!”
“Aku siap membantumu, Madam,” ujar Tim sambil
menyeringai. “Ikutlah denganku dan bawa mesin itu
bersamamu.”
Serahkan kepada Tim untuk mencari restoran/bar

348
KEMBALI KE CALIFORNIA

besar di buritan kapal. Tempat itu kosong dan sunyi


pada siang hari, jadi aku berkemah di sana setiap hari,
mengalihkan pandangan dari pekerjaanku untuk me-
natap lautan, gelombangnya yang tinggi menghilang ke
cakrawala. Sebenarnya, itu bukanlah kantor yang terlalu
buruk—ada pemandangan indah yang bisa dilihat di
sana. Pada saat terjadi badai, kabut putih dan formasi
awan yang fantastis menambahkan kesan drama. Aku
tetap berada di perpustakaan pribadiku sampai waktu
minum koktail, saat Tim menyeretku keluar dari sana
untuk bersenang-senang. Butuh usaha keras untuk bisa
tetap fokus. Kepedulian dan kebaikan Tim kepadaku
saat aku mengeksplorasi dunia penulisan kreatif yang
selama ini digeluti Tim hanyalah awalnya. Kemampuan
Tim untuk memikul tugas sebagai pendukung selagi
aku menghabiskan sebagian besar waktuku tahun
depan untuk bergelut dalam proses penulisan buku ini
memberiku alasan lebih untuk mencintai dan meng-
hargai pria mengagumkan ini.
Akhirnya kapal berlabuh di Miami. Bayangkan
kegembiraan kami saat melihat putri Tim, Amandah, dan
cucu kami yang sangat berharga, Sean, sudah menunggu
kami di sana! Aku merasa seolah kami melangkah keluar
dari kereta dan bukannya berlayar ribuan kilometer di
http://facebook.com/indonesiapustaka

atas kapal. Bukankah aneh bagaimana manusia menjadi


terbiasa dengan wajah dan tempat yang familier dengan
begitu cepatnya?
Amandah dan suaminya, Jason, langsung membuat
kami merasa terikat lagi dengan kehidupan Amerika
kami. Kami mulai dengan merayakannya secara besar-
besaran di rumah mereka yang baru didekorasi ulang.

349
LYNNE MARTIN

Kehidupan mereka adalah kehidupan khas Florida:


dengan rumah eksotis dan kolam dengan danau di
bagian bawah taman mereka (aku tidak melihat ada
buaya yang berkeliaran, tapi memang ada buaya di
danau yang terletak di halaman belakang), dengan lantai
putih yang sejuk dan langit-langit tinggi yang cocok
dengan cuaca Florida yang lembap dan panas. Perayaan
Thanksgiving kami melebihi harapan, sebuah acara
keluarga yang santai: makanan lezat, menonton sepak
bola di TV, dan bermain dengan Sean, anggota termuda
dalam keluarga kami.

Setelah tinggal beberapa hari dengan Amandah, Jason,


dan Sean, kami terbang untuk bertemu keluarga Texas
kami: Putri Tim, Alwyn, suaminya, dan kedua anak
mereka yang luar biasa. Jackson adalah remaja yang
sedang tumbuh, sementara adik perempuannya, Faith,
adalah gadis dengan multitalenta, selalu menjadi pribadi
yang kreatif dan menghibur.
Kami terkejut dengan besarnya ukuran semua hal—
mobil besar, rumah besar, dan ruang yang nyaman di
antara mereka. Tidak adanya motor yang berkeliaran
http://facebook.com/indonesiapustaka

menjadi fakta yang menarik dan tingkat kebisingan yang


tinggi membuat kami terkejut selama beberapa hari
karena kami pernah berada di beberapa negara, di mana
segala sesuatunya sunyi untuk waktu yang lama. Suara
musik keras yang selalu terdengar di semua tempat
umum memang menjengkelkan, tapi mendengar bahasa
Inggris-Amerika di sekitar membuat kami nyaman.

350
KEMBALI KE CALIFORNIA

Kami bisa menguping tanpa harus berusaha!


Di rumah berukuran Texas mereka di Austin, kami
diberikan kamar pribadi dengan perbukitan Texas yang
indah. Yang menjadi kenikmatan puncaknya adalah
hidangan khas “Amurrican” berupa iga dan sosis,
steik dan ayam penuh hiasan, istana barbeque yang
besar dan sangat populer dengan musik country dan
berpanci-panci makanan yang disajikan dengan gaya
khas keluarga. Malam itu dan atmosfernya memberikan
pengantar yang sempurna untuk pemberhentian kami
yang berikutnya di Central California, di mana para
koboi dan anggur yang berkuasa.
Beberapa hari kemudian, kami tiba di apartemen
sewaan kami di Paso Robles, tidak jauh dari kedua
keluarga California kami, dan dengan cepat kami sibuk
dengan rutinitas. Meskipun kami suka hidup di jalanan
dan menikmati kesempatan untuk menyesuaikan diri
tinggal di tempat orang lain, menggunakan barang-
barang mereka, dan hidup berkelana, rasanya tetap
menyenangkan bisa mengambil lagi beberapa barang
kami sendiri seperti panci dan penggorengan, teko kopi
favorit kami, dan seprai serta bantal yang familier dari
gudang sewaan kami. Kami juga mengambil pakaian,
perhiasan, sepatu bot, dan mantel “baru” kami dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

gudang tersebut. Jubah mandiku yang besar, hangat, dan


empuk terasa senyaman mantel bulu cerpelai.
Tiba-tiba saja, semua hal yang berbau Amerika
membuat kami bersemangat. Dengan semangat baru,
kami menikmati prospek tinggal selama dua bulan di
kampung halaman. Hal-hal konyol seperti masuk ke
dalam mobil dan mengemudi tanpa harus berpikir di

351
LYNNE MARTIN

sisi jalan sebelah mana kami harus melaju, atau tidak


perlu lagi merasa bingung dengan konfigurasi putaran
jalan, mampu membuat kami senang. Memahami
label setiap barang di toko serbaada dan kemudian
memasukkan barang-barang belanjaan itu ke dalam
mobil tanpa harus mengangkutnya sejauh beberapa
blok terasa bagaikan sebuah keberuntungan. Berita di
TV Amerika menjadi tontonan yang menarik: kami
bisa memahami semua kata yang diucapkan, tapi
sering kali berita yang disampaikan terlalu gila hingga
kami mengganti salurannya ke BBC. Yang terutama,
kami berada di rumah dan bisa menghabiskan liburan
bersama keluarga dan teman-teman kami! Pemandangan
dari apartemen kecil kami memperlihatkan hamparan
kota dan perbukitan yang tertutup perkebunan anggur
di baliknya. Orang selalu berpikir area Napa di utara
California sebagai pusat perkebunan anggur di negara
ini, tapi Central Coast menyusul dengan cepat. Ada lebih
dari 140 jenis anggur di sini, dengan ruang pengolahan
anggur baru yang menghasilkan anggur hampir setiap
hari. Restoran dan barnya menjadi lebih mewah, dan
McMansion menghiasi wilayah pedesaannya. Ternak
dan perkebunan anggur berebut untuk mendapatkan
tempat di pemandangan yang mengagumkan itu.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kami membayangkan bisa bersantai dan menikmati


malam dengan putri-putriku dan keluarga mereka.
Tapi, selagi kami menikmati banyak sekali kesenangan
bersama keluarga selama liburan, di California waktu
seperti berjalan lebih cepat. Kami mendapati diri kami
lebih sibuk daripada saat berada di jalan, dan hari-hari
menguap dengan kegiatan sosial dan tugas lain.

352
KEMBALI KE CALIFORNIA

Selama kami pergi, putriku Alexandra dan suaminya,


Lee, membeli peternakan seluas sebelas hektar di
Templeton, California, tepat di sebelah selatan Paso
Robles. Pemandangan di sekeliling properti itu, berupa
perbukitan yang ditutupi pepohonan ek khas California,
sungguh memukau. Tanah mereka dilengkapi dengan
kolam dan pemandangan mengagumkan dari kebun
anggur dan peternakan. Ethan, yang baru masuk
sekolah menengah di sana, dan Elizabeth, gadis cantik
berusia sepuluh tahun yang sekolahnya hanya berjarak
satu setengah kilometer dari peternakan, sangat senang
dengan lingkungan baru mereka. Mereka suka mengurus
ayam, membersihkan kolam, dan menjalani kehidupan
sebagai peternak! Peternakan itu menjadi markas pesta
Natal dan Malam Tahun Baru untuk keluarga dan
teman-teman kami, bahkan dengan banyaknya debu
dan kotoran yang menempel di semua barang mulai dari
sikat gigi sampai kertas tugas sekolah anak-anak.
Sementara itu, putriku Robin, yang memiliki bisnis
kecil di pantai Cambria dan sibuk dengan kedua putri-
nya, Fiona dan Rory, menjadi tuan rumah untuk pesta
tradisional keluarga seperti hari biskuit tahunan kami
dan jamuan makan pada malam Natal.
Suatu pagi, di sela-sela acara keluarga yang sangat
http://facebook.com/indonesiapustaka

banyak dan jadwal menulisku, aku mengambil buku


catatan kecilku dan sebuah pena. “Sebaiknya kita meng-
aturnya. Kalender kita sudah semakin penuh,” kataku
pada Tim. “Aku sudah membuat janji pemeriksaan
dengan hampir semua dokter di kota ini, jadi kita bisa
melanjutkan perjalanan setelah tahu bahwa kita baik-
baik saja.”

353
LYNNE MARTIN

“Apakah kita BENAR-BENAR perlu pergi ke dokter


kulit?” tanya Tim, tidak ingin mengikuti terlalu banyak
pemeriksaan dokter. “Seumur hidupku aku tidak pernah
mendatangi dokter kulit, dan aku tidak mau membuang-
buang waktuku dengan pergi ke kliniknya yang jauh di
San Luis Obispo.”
“Aku tahu. Itu masalahnya, kita belum pernah ke
sana,” kata sang Bos. “Tapi, pada usia seperti kita se-
karang, kita benar-benar membutuhkan seseorang
untuk memeriksa kesehatan kita secara keseluruhan,
sekadar untuk memastikan.”
“Oh, aku tahu kau benar, tapi bertemu dengan dokter
penyakit dalam, dokter gigi, dokter spesialis jantung,
proktologis, penata rambut, manikuris, dan dengan
banyaknya tamu yang datang ke sini untuk mengucapkan
halo selagi kita ada di rumah, pesta dan liburan Natal,
kita bahkan terlalu sibuk untuk bisa berpikir.” Tim
menghela napas dan menuangkan secangkir kopi lagi
untuk kami berdua.
Aku mengambil setumpuk katalog pemesanan. “Ini
seharusnya menjadi waktu untuk ‘istirahat’ iya, kan?
Kita juga harus memutuskan pakaian dan barang apa
yang harus kita beli sebelum pergi. Selama beberapa hari
ke depan, sebaiknya kita mulai memesan pakaian untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

perjalanan selanjutnya atau kita tidak akan mendapatkan


barang-barang itu tepat pada waktunya.” Meskipun
Kota San Luis Obispo menawarkan keindahan yang tak
tertandingi dan anggur yang lezat, kesempatan untuk
berbelanja sangat terbatas di sana.
Aku menambahkan, “Dan, setelah itu aku HARUS
mencari waktu untuk menulis!”

354
KEMBALI KE CALIFORNIA

Tekanan yang muncul seputar penjualan bukuku


menjadi semakin besar setiap harinya. Dana sudah
memasukkan proposalnya ke beberapa penerbit yang
dia pikir akan cocok dengan jenis tulisanku. Yang me-
ngejutkan ada banyak penerbit yang menunjukkan ke-
tertarikan. Sepertinya masing-masing penerbit meng-
inginkan sesuatu yang berbeda: satu penerbit ingin
mengembangkan deskripsi di setiap bab, yang mem-
butuhkan waktu berhari-hari untuk bisa ku-selesaikan;
penerbit lain menginginkan tiga bab naskah penuh, yang
berarti aku harus menyelesaikannya, mengirimkannya
kepada Bob untuk diedit, diperiksa ulang, dan rapikan.
Sementara itu aku masih punya tenggat bulan Maret di
dalam kepalaku, yang membuatku merasa benar-benar
tertekan. Meskipun kami merasa sangat bersyukur
dengan banyaknya ketertarikan yang ditunjukkan atas
tulisanku, permintaan untuk proposal yang sudah
direvisi dan pertanyaan tentang apakah sudah ada pihak
yang menawarkan kontrak besar menambah panas situasi
yang memang sudah tegang. Kami mencoba dengan
sangat keras untuk mengingat bahwa kehebohan yang
terjadi akibat kisah kami hanyalah suatu kebetulan dari
kehidupan nyata kami, tapi sulit bagi kami untuk tidak
terlena oleh perhatian yang tiba-tiba saja membanjiri
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami.
“Dan, ingat, kita masih harus mengumpulkan data
yang diminta Konsulat Prancis untuk mengajukan visa
tambahan. Kita harus membuat rencana pergi ke LA
untuk pertemuan itu. Kita harus menginap di sana,”
ujar Tim. Aku menambahkan semua itu ke dalam daftar
panjang hal-yang-harus-kami-lakukan.

355
LYNNE MARTIN

Selama beberapa minggu berikutnya, kami ber-


pacu dari satu dokter ke dokter lain, sementara aku
menyempatkan diri untuk menulis bahan baru yang
kami butuhkan pada setiap menit dan detik waktu luang
yang kumiliki. Tim mengumpulkan bukti kestabilan
ekonomi kami, bukti bahwa kami tidak pernah me-
lakukan kegiatan kriminal, bukti kewarganegaraan,
dan status kesehatan kami, agar pemerintah Prancis
memperbolehkan kami tetap berada di Uni Eropa lebih
dari sembilan puluh hari, seperti yang termuat di dalam
Kesepakatan Schengen. Tim juga mengurus hal-hal kecil
dalam hidup kami, seperti urusan perbankan, pajak,
memperbarui investasi kami—dan, yang tidak boleh
dilupakan, merencanakan detail perjalanan kami untuk
satu atau dua tahun ke depan. Karena hampir sepanjang
waktu aku selalu menulis, Tim juga yang mengurus
belanja barang kebutuhan sehari-hari, mencuci, dan
hal sepele lainnya. Ini bukanlah momen istirahat dan
relaksasi seperti yang kami bayangkan.
Kami belajar bahwa kehidupan tanpa rumah tidaklah
sebebas seperti kelihatannya. Semua detail kehidupan
masih harus diurus. Tapi, untuk pasangan yang berada
di jalanan selama berbulan-bulan dalam satu waktu,
detail kehidupan untuk setahun harus diurus dalam
http://facebook.com/indonesiapustaka

waktu beberapa minggu. Saat kami pergi ke luar negeri,


kami tidak memiliki kewajiban terhadap keluarga selain
percakapan melalui telepon setiap beberapa waktu. Di
rumah, kami mendapati diri kami terlibat langsung
pada acara-acara dengan keluarga dan teman. Memang
menyenangkan, tapi pesta memakan waktu yang tidak
sedikit. Selalu ada yang ditukar: kemandirian dan kendali

356
KEMBALI KE CALIFORNIA

penuh atas kegiatan kami ditukar dengan kehangatan


dan kegembiraan bisa bersama dengan orang-orang
yang kami cintai!
Selain sibuk dengan proyeknya sendiri, Tim yang
malang cukup baik untuk mau mendengarkanku
membacakan hasil tulisan harianku setiap sore, dan
menawarkan masukan dan komentarnya untukku. Tidak
pernah satu kali pun Tim memutar matanya karena
bosan saat aku membacakan halaman demi halaman
materi baru yang kutulis. Aku tidak tahu bagaimana
Tim menemukan kesabaran untuk hidup dengan situasi
baru ini.
Seolah semua itu belum cukup membuat stres, kami
masih harus mengalami klaustrofobia. Kami menyewa
sebuah apartemen kecil pada musim semi sebelumnya.
Karena tidak mengantisipasi kebutuhanku akan tempat
yang sunyi dan privat untuk bisa berkonsentrasi selama
menulis buku, kami merasa apartemen kecil dengan
satu kamar tidur sudah cukup. Meskipun apartemen
itu menarik dan menawarkan pemandangan yang
spektakuler, tempat itu sangat kecil hingga kami hampir
bisa mendengar napas satu sama lain dari balik pintu
yang tertutup. Tim tidak bisa menonton berita atau
menelepon tanpa aku mendengarnya. Situasi yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

buruk. Kami mempertimbangkan untuk menyewa


kantor kecil, dan aku bahkan menghabiskan waktu di
perpustakaan umum agar bisa menulis dengan tenang.
Cara itu hampir berhasil, tapi kursinya sudah sangat
lapuk hingga bokongku sakit setelah duduk cukup lama
di sana, dan beberapa pengunjung perpustakaan tidak
bisa mengendalikan obrolan mereka walaupun sudah

357
LYNNE MARTIN

ditegur oleh pengurus perpustakaan.


Saat hari-hari berlalu dengan kami harus berdesakan
di apartemen kami yang kecil, Tim menjadi mudah
marah. Dan, aku menjadi sangat sensitif.
Suatu hari, saat aku sedang menyepi di sudut kamar
dengan pintu kertas tipis memisahkan kami, Tim
berteriak, “Aku TAHU! Kenapa aku bisa sebodoh ini?
Kenapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya?”
Pintu terbuka. Di sanalah Tim berdiri, menyeringai
untuk kali pertama sepanjang hari ini. “Ada apa dengan-
mu?” tanyaku, kesal dan gampang tersinggung karena
Tim baru saja mengganggu sebuah pemikiran besar.
(Bukan berarti aku bisa mengingatnya sekarang. Tapi,
sungguh mengejutkan bagaimana orang bisa mulai me-
mikirkan dirinya sendiri dengan terlalu serius.)
Senyuman Tim melebar. “Aku berhasil memecahkan
masalahnya—besok kau akan bisa menulis dan tidak
ada yang akan mengganggumu.”
“Bagaimana mungkin? Apakah kau membeli barak
perlindungan?”
“Tidak, aku baru saja memesankan headphones Bose
peredam suara tingkat tinggi. Itu yang terbaik. Selamat
Natal!”
Itu solusi yang sempurna. Aku terkesiap, dan ke-
http://facebook.com/indonesiapustaka

mudian menghambur ke Tim untuk memberinya


ciuman. Kami pergi makan malam di luar untuk me-
rayakannya.
Keesokan paginya, aku menunggu di depan pintu
seperti anak kecil yang tidak sabar menunggu kejutan
Santa Klaus pada tengah malam, hanya saja yang ku-
tunggu bukan Santa, melainkan pengantar paket FedEx

358
KEMBALI KE CALIFORNIA

yang membawakan headphones baruku. Tim sudah


mengubah hidupku lagi!
Akhirnya, aku bisa menulis dengan sunyi di mana
pun aku inginkan, termasuk dalam perjalanan panjang
saat Tim mendengarkan musik dan membawa kami
pulang pergi ke Los Angeles untuk pertemuan dengan
Konsulat Prancis. Baik penulisan materi buku maupun
pengajuan visa bisa selesai dengan baik.
Sejak saat itu, aku sering menulis proposal, artikel,
dan buku ini di mobil, pesawat, kereta, kapal layar dan
feri, di hotel, apartemen, dan sebuah pondok Irlandia
(yang sangat sunyi hingga aku tidak membutuhkan
earphones). Suatu sore, aku duduk di ruang tunggu
sebuah pusat perbelanjaan di Portugal dan menulis
hampir 1.000 kata untuk Bab Lima, sementara Tim
berbelanja sweter untuk kami. Orang mondar-mandir
di sekelilingku, tertawa, mengobrol, dan mendorong
kereta bayi atau kereta belanjaan. Semua itu tidak ada
bedanya untukku: aku duduk di sana dengan tenang
sambil menulis tentang perpaduan warna dan debu di
Maroko, sambil mendengarkan soneta Mozart di kuil
perbelanjaan yang penuh dengan toko produk Eropa
seperti C&A, Zara, dan Sephora.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Semua kerja keras kami terbayarkan saat isi proposal


yang baru diterima dengan baik. Sebelum kami kembali
melakukan perjalanan dalam fase baru kehidupan
tanpa-rumah kami, aku sudah menandatangani kontrak
untuk menerbitkan bukuku! Stephanie Bowen, editor

359
LYNNE MARTIN

berpengalaman di Sourcebook, Inc., penerbit yang


selama ini sangat kami sukai, memutuskan untuk
membeli bukuku, dan Dana mengatur kontrak yang
memuaskan semua pihak. Itu adalah momen yang
menggetarkan, bukti dari keberuntungan besar kami
dalam mengumpulkan tim berisi orang-orang cerdas
yang memberikan pengalaman dan energi mereka
untuk membantu kami menceritakan pada dunia
tentang kehidupan tanpa-rumah kami! Rick dan Sarah,
Dana dan Bob, dan begitu banyak orang lain yang turut
andil dalam membawa kami ke tempat yang begitu
menyenangkan di dalam hidup kami.
Setelah kami memberitahukan kabar gembira itu
melalui telepon kepada semua orang yang kami tahu
sangat peduli dengan proyek itu dan sebagian lagi yang
mungkin tidak peduli tapi cukup sopan untuk mem-
berikan dukungan, kami pergi keluar untuk menyantap
makanan lezat dan sebotol Zinfandel Paso Robles
yang sangat enak. Kami terjaga sampai larut malam,
membicarakan tentang keberuntungan besar kami dan
membayangkan apa yang akan dibawa oleh masa depan.
Kami merasa sangat senang karena urusan besar ini
bisa selesai sebelum kami meninggalkan Amerika lagi.
Sejak awal, aku dan Stephanie memiliki pandangan
http://facebook.com/indonesiapustaka

yang sama. Aku segugup anak sekolahan saat kali


pertama kami berbicara, tapi dari awal aku tahu bahwa
kolaborasi kami akan berjalan dengan baik. Stephanie
sangat antusias tentang kisah kami, kehangatan dan
keahliannya yang terlihat jelas memberiku inspirasi
dan kepercayaan diri lebih yang aku tahu akan sangat
kubutuhkan untuk menyelesaikan tugasku. Dan, coba

360
KEMBALI KE CALIFORNIA

tebak? Tenggat bulan Maret dibatalkan. Sourcebook,


dengan bijaksana, memberiku waktu sampai bulan Juni
untuk menyelesaikan proyekku. Pada saat itu, rasanya
seperti batu besar sudah terangkat dari bahuku. Masih
ada gunung yang harus kudaki, tapi setidaknya aku tidak
perlu melakukannya dalam waktu tiga bulan!
Beberapa hari kemudian, setelah kami pulih dari
euforia akibat kabar itu, aku berteriak, “Hei, Tim,” dari
kantor-kamarku, di mana aku sedang sibuk dengan
laptopku.
Tim terlonjak kaget dan nyaris menjatuhkan
komputer di atas pangkuannya. Alunan harpa yang
memainkan salah satu karya Bach terdengar melalui
earphones-ku, jadi aku tidak menyadari sekeras apa aku
berbicara.
Aku menoleh melalui ambang pintu untuk melihat
Tim menunjuk telinganya sambil meringis. Aku meminta
maaf, melepaskan earphones-ku, dan berkata dengan
nada suara normal, “Aku baru saja mendapat surel
dari Judy Butcher. Dia akan mampir ke kota ini dalam
perjalanan menuju San Francisco. Bukankah itu sangat
menyenangkan? Kita bisa mengajaknya ke Cambria
untuk bertemu Robin dan juga ke pertanian. Aku rasa
dia akan menyukainya, bagaimana menurutmu? Aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

yakin dia akan menyukai restoran Argentina yang buka


di samping taman.”
Tim mengangguk setuju dan memberi isyarat ke-
padaku untuk meneruskan pekerjaanku. Apakah inspi-
rasi adalah istilah lain untuk pengawas?
Setelah kami makan bersama di Florence, Judy
menghabiskan akhir musim panas di Jerman sebelum

361
LYNNE MARTIN

melakukan tur keliling Eropa untuk mengunjungi


keluarga dan teman-temannya. Kami sudah tidak sabar
ingin bertemu dengan Judy. Beberapa malam kemudian,
selagi menikmati Malbec dan makanan Amerika Selatan
yang sangat lezat, kami mengobrol tentang pengalaman
kami dan berbagi rencana masa depan. Entah kenapa
obrolan kami terasa lebih mudah dan lebih alami
dibandingkan obrolan dengan keluarga dan teman-
teman kami. Tentu saja, keluarga kami sangat tertarik
mendengar petualangan kami. Tapi, sepertinya sulit
bagi mereka untuk memahami kehidupan bebas kami,
misalnya saat kami membicarakan tentang bertemu
seseorang untuk makan siang di Berlin sesantai seperti
jika pertemuan itu terjadi di Los Angeles atau San Luis
Obispo.
Kami mulai menyadari bahwa kami sudah mengalami
perubahan besar sejak memutuskan untuk hidup tanpa
rumah. Pandangan dunia kami menjadi lebih luas dan
tempat kami di dalamnya menjadi lebih mulus. Saat
mengobrol dengan Judy, yang hidup di mancanegara
jauh lebih lama daripada kami, kami menyadari bahwa
hidup tanpa rumah telah membebaskan kami dalam hal-
hal yang lebih penting daripada meninggalkan panci dan
penggorengan di gudang sewaan. Kami jauh lebih berani
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan merasa sangat nyaman berada di situasi baru, tinggal


di negara yang bahasanya tidak kami kuasai, mencari
teman untuk menghibur dan menambah pengetahuan
kami. Kami lebih percaya diri dengan kemampuan kami
untuk berada di dunia, dan yang pasti akan dibutuhkan
drama yang lebih banyak untuk membuat kami kesal
sekarang ini.

362
KEMBALI KE CALIFORNIA

Kemudian, kami mengenalkan Judy kepada anak-


anak kami dan keluarga mereka. Selama Judy bersama
kami, kami merencanakan bagaimana kami bisa bertemu
di Paris pada musim panas tahun depan; Judy berencana
untuk membawa salah satu cucunya dalam tur keliling
dunianya. Judy memberi kami beberapa kontak penting
untuk pencarian apartemen di Berlin untuk bulan
Agustus, dan kami mengubah sedikit jadwal agar bisa
menghabiskan beberapa hari bersama Judy di sana.
Akhirnya, tiba waktunya untuk berpisah jalan. Setelah
kami mengantarkan Judy ke stasiun kereta di San Luis
Obispo, Tim berkata, “Kau tahu, ini sesuatu yang tidak
kita duga, bonus yang mengejutkan. Sepanjang waktu
kita bertemu orang yang memiliki kecintaan yang sama
dengan kita dalam bepergian. Dan, bagian terbaiknya
adalah, kita tetap berhubungan dengan mereka, dan kita
juga menantikan pertemuan dengan orang yang seperti
itu lagi. Sekarang kita sudah bertemu dengan Judy di,
berapa, tiga negara? Dan, pada akhir tahun ini, akan
menjadi lima negara. Bukankah menyenangkan jika
kita bisa mengumpulkan orang-orang yang pernah kita
temui di perjalanan? Itu akan menjadi pesta yang luar
biasa!”
“Itu ide yang bagus!” kata gadis yang selalu siap untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

berpesta. “Jika kita benar-benar merencanakannya,


mungkin kita bisa mengumpulkan banyak teman baru
kita di suatu tempat di tengah-tengah. Mungkin London
atau Paris. Aku akan memasukkannya ke dalam daftarku.
Tuhan tahu kita sudah pernah melakukan hal-hal gila.”
Kami menghabiskan beberapa minggu berikut-
nya untuk berkeliling, mengunjungi banyak dokter,

363
LYNNE MARTIN

pengacara, juga berbicara dengan petugas pajak dan


penasihat keuangan kami yang brilian. Kami melakukan
pemeriksaan medis: sama sekali tidak ada yang salah
dengan tubuh kami. Kondisi kami cukup bagus saat pergi
ke Eropa, dan kelihatannya berada di jalanan sangat
baik untuk kami karena kami pulang dalam kondisi
lebih sehat lagi. Kondisi keuangan kami juga bagus.
Rencana kami berhasil, dan kami tetap dalam batas
pengeluaran yang sudah kami atur sebelumnya, tapi itu
bukan kejutan besar. Kami memang sudah menyangka
akan seperti itu. Sebagian besar orang seusia kami sudah
belajar bagaimana cara hidup dengan pengeluaran yang
dibatasi!
Barang-barang yang kami pesan dari katalog dan
toko datang setiap hari: sepatu, tas, baju bepergian yang
mudah dibawa, semua barang yang kami butuhkan
untuk memulai petualangan lain. Kali ini, barang
bawaan kami bahkan lebih sedikit, dan kami mengganti
barang-barang yang penting: blazer baru untukku,
celana jins baru dengan satu ukuran lebih kecil (ehem)
karena aku berhasil menurunkan beberapa kilogram
berat badanku berkat jalan kaki yang kami lakukan, dan
jas hujan panjang dua lapis yang akan aku butuhkan di
Portugal dan Irlandia saat cuaca hujan yang dingin. Tim
http://facebook.com/indonesiapustaka

juga membeli blazer baru, dan topi Irlandia-nya masuk


lagi ke dalam koper, bersama dengan beberapa pasang
sepatu berjalan yang nyaman. Setelah berdebat selama
beberapa hari, Tim meletakkan topi jerami Panamanya
yang indah ke atas kepalanya dengan mantap. “Aku akan
memakai topi ini di Paris pada musim panas ini, bahkan
sekalipun itu hal terakhir yang aku lakukan,” tegas Tim.

364
KEMBALI KE CALIFORNIA

Kita berdua akan menyesali keputusan itu, pikirku.


Beberapa minggu kemudian, saat kami sudah be-
pergian lagi, Tim dan topi jeraminya yang memiliki
hiasan tali berwarna hitam menjadi mudah untuk
ditemukan di bandara yang penuh dengan orang yang
memakai mantel musim dingin warna hitam dan topi
wol. Usaha kami dalam menemukan tempat yang
aman untuk topi jerami itu di pesawat, kabin kapal,
kereta, taksi, dan kapal feri membuat kami gila, tapi
Tim terlalu keras kepala untuk mengakuinya. Yang jelas
aku tidak mau membuat Tim marah dengan mengeluh.
Itu menjadi lelucon familier “apa kubilang” yang kami
ceritakan kepada semua pasangan yang kami temui!
Kami membuat keputusan sulit tentang barang apa
yang harus dimasukkan ke dalam koper, dan menyimpan
sisanya ke dalam gudang sewaan kami. Kami menitipkan
mobil di peternakan keluarga, mengucapkan selamat
tinggal kepada keluarga kami sambil berurai air mata,
dan menemukan hotel di dekat Bandara Internasional
Los Angeles.
Keesokan harinya, kami duduk berseberangan di
lorong pesawat yang berangkat ke Florida. Topi jerami
Tim bertengger dengan nyaman di atas kabin. Aku
melihat penumpang lain memberi Tim tatapan tajam
karena mengambil ruang kabin yang berharga hanya
http://facebook.com/indonesiapustaka

untuk topi, tapi aku mengubur kepalaku di buku Kindle-


ku dan tidak mengatakan apa-apa. Topi itu adalah
masalah Tim, bukan masalahku.
Terkadang momen semacam itu sama sekali tidak
berarti apa-apa.

365
Tiga Belas

Portugal
T akdir telah menyatukan aku dan Tim setelah
berpisah selama beberapa dekade, tapi delapan belas
hari berlayar di Kapal Destiny dari perusahaan pelayaran
Carnival Cruise telah menguji takdir dan kesetiaan kami.
Begitu aku melihat ruangan berwarna cokelat dengan
lampu disko keemasan, aku sudah menduga kami
akan mendapatkan masalah. Aku tidak pernah me-
lihat sesuatu seperti itu sejak Viva Las Vegas. “Apakah
menurutmu Ann-Margret akan berjalan menuruni
tangga itu?” tanyaku.
Tim menoleh ke arahku dan terus berjalan, men-
dengus pelan. Setelah melakukan pengamatan lebih
jauh, terungkap bahwa kapal itu, saat dibuat pada 1996,
adalah kapal layar terbesar di dunia. Kapal itu telah
http://facebook.com/indonesiapustaka

mengarungi Karibia selama enam belas tahun dan


sangat butuh cat ulang dan tirai baru.
Brosur iklan perusahaan Carnival tidak menyebutkan
bahwa ini akan menjadi pelayaran terakhir Kapal
Destiny … atau penyeberangan transatlantik pertamanya.
Jika itu tidak cukup untuk membuat kami khawatir,
kami juga mengetahui beberapa fakta “menarik” selagi

366
PORTUGAL

berlayar menyeberangi samudra: baik kapal tersebut,


kru, maupun kapal lain milik perusahaan Carnival tidak
pernah melakukan pelayaran sejauh itu. Tujuannya yang
sebenarnya bukanlah Venesia, melainkan galangan kapal
di Trieste, masih setengah hari lagi perjalanan untuk
sampai ke Venesia. Baru kemudian kami diinformasikan
bahwa, setelah tiba di Trieste, semua penumpang akan
diturunkan dari kapal pada pukul sepuluh pagi, yang
berarti kami harus mulai siap-siap setelah fajar. Setelah
menurunkan penumpangnya, kapal itu akan melakukan
perbaikan besar-besaran yang menelan biaya sampai
$116 juta.
Kami tidak senang mendengarnya. Sebagai tambahan,
hampir semua penumpang yang kami temui terasa
seperti teman kencan yang kami traktir makan malam
dan minum, tapi bahkan tidak memberi kami ciuman
selamat malam! Kami benar-benar tidak merasakan
kedekatan dengan orang-orang itu. Kelihatannya ini
akan menjadi pelayaran yang panjang dan sepi.
Tapi, kami adalah petualang tanpa rumah dan
pengelana musiman, maka kami bertekad untuk mem-
buat diri kami bahagia dan merasa seperti berada di
rumah sendiri, dan bukannya terus merajuk. Kami
memasuki kabin, mengagumi ruangan yang terang
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan balkon kecil, lalu kami menyimpan barang-


barang dan merapikan kabin itu, bertekad untuk mem-
buatnya senyaman mungkin.
Delapan belas hari berada di dalam kapsul sepanjang
tiga ratus meter yang penuh dengan orang-orang mem-
bosankan menjadi tes kesabaran, bukan hanya untuk
penumpang, melainkan juga untuk kru, terutama kru

367
LYNNE MARTIN

dapur. Suatu malam, kru dapur menyajikan escargot di


atas piring porselen, masing-masing berisi cangkang
kerang dengan daging escargot lezat di dalamnya. Itu
adalah hidangan pembuka yang menggugah selera.
Tampaknya, makanan itu tidak sesuai dengan selera pe-
numpang yang lain, jadi malam berikutnya, koki yang
hemat menyajikan escargot tanpa cangkang di mangkuk
kecil. Kali ini, mereka menambahkan herbal sebagai
hiasan. Aku bisa membayangkan sang koki menatap
tumpukan escargot cokelat dengan dedaunan hijau,
sambil berpikir, Hmmm …, membosankan. Bagaimana
aku bisa membuat hidangan ini terlihat lebih menarik?
Solusi sang koki adalah menghias masakannya dengan
kripik kentang yang berdiri di tengah-tengah tumpukan
escargot. Secara visual penyajian itu tidak menarik,
tapi rasanya enak, hingga aku dan Tim tidak keberatan
menyantap escargot dua malam berturut-turut dalam
bentuk seperti apa pun. Tapi, aku merasa kasihan kepada
koki yang malang. Mencoba membuat sesuatu yang
menarik untuk seratus lima puluh orang penumpang
selama delapan belas malam secara berturut-turut bisa
membuat siapa pun kewalahan. Sekarang ini, aku sudah
merasakan salmon yang disajikan dengan semua cara
dan kombinasi yang mungkin, kecuali dicampur dengan
http://facebook.com/indonesiapustaka

pasta gigiku.
Sebelum hidangan penutup datang setiap malam,
kepala pelayan yang mirip Nicholas Cage, akan meng-
ambil mikrofon di depan mejanya. Dengan logat Eropa
Timur, dia akan mengumumkan, “Tuan-Tuan dan
Nyonya-Nyonya, pertunjukan dimuuuuuuulai!”
Beberapa orang wanita muda bertubuh kencang,

368
PORTUGAL

mengenakan pakaian ala Karibia, masuk ke ruang makan


dan melompat ke atas empat buah dasar tiang yang
ditempatkan di titik-titik strategis. Mr. Cage memberi
aba-aba untuk memainkan musik yang sudah direkam,
dan para wanita muda itu akan menari selama sekitar
lima menit. Setelah beberapa hari, bahkan penumpang
yang paling sopan sekalipun sulit untuk berpura-pura
tertarik menontonnya.
Setiap tiga malam sekali, Mr. Cage akan memerintah-
kan staf yang bertugas untuk meninggalkan pekerjaan
mereka dan mengambil posisi di sekeliling ruang makan
yang besar, berjejer di tangga, dan di pagar balkon
untuk menyanyikan lagu yang harus mereka pelajari
secara fonetik. Mereka berpura-pura menikmatinya,
begitu pula dengan para penumpang, tapi aku tahu
mereka merasa malu. Sekelompok orang Indonesia
dengan enggan menyanyikan “O Sole Mio” menciptakan
pengalaman teater yang tidak biasa, itu istilah halusnya.
Kami merasa malu dan sedih karena mereka dipaksa
melakukan ini.
Untunglah makanannya lezat, dan karena kami
meminta kepada Nicholas Cage untuk memberi kami
meja untuk dua orang, kami tidak perlu bersosialisasi.
Tapi, sayangnya, tidak ada restoran khusus di atas kapal.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Restoran Italia atau kedai steik akan menjadi variasi


yang menyenangkan dan yang pasti akan membuat
situasi menjadi tidak terlalu membosankan. Pada be-
berapa malam, kami lebih memilih memesan layanan
kamar daripada harus menyaksikan hiburan yang mem-
bosankan di ruang makan. Kami tidak keberatan makan
di atas tempat tidur, mengunyah BLT dan keripik kentang

369
LYNNE MARTIN

sambil menonton Lincoln di TV kapal untuk kali ketiga.


Setidaknya itu masih lebih menarik dibandingkan film
Love Boat, pilihan kami yang lain.
Aku sering pergi ke perpustakaan kapal saat tempat
itu tidak dipenuhi oleh anggota Klub Menyulam.
Tim akan membawakan earphone Bose-ku, dan men-
jemputku saat tiba waktu makan … atau yang lebih
baik lagi, saat waktunya pesta koktail. Seperti itulah
kami menghabiskan waktu di Kapal Destiny dan
kami bersyukur bisa sampai dengan selamat di Italia
tanpa harus meniup peluit di rompi keselamatan yang
berwarna oranye. Meskipun tidak takut terhadap alam,
aku masih memiliki rasa hormat yang sehat terhadap
laut. Tiba di tempat tujuan kami tanpa insiden selalu
pantas untuk dirayakan.
Saat kami berlabuh, tumpukan salju menutupi kota
kuno Venesia—fenomena yang menarik dan tidak biasa.
Tapi, cuacanya terlalu dingin untuk berjalan-jalan di
luar dan kami harus terbang ke Lisabon besok pagi-pagi
sekali sehingga kami menikmati kamar yang mewah
untuk kali pertama selama berminggu-minggu dan
makan malam tanpa ada penari Karibia atau pelayan
yang bernyanyi.
Yang membuat kami senang, pada keesokan harinya
http://facebook.com/indonesiapustaka

segalanya berjalan mulus, pertanda akan datangnya


hal-hal bagus. Bahkan, melakukan ritual bandara—
mengambil troli untuk tas, menemukan koper dan
meja penyewaan mobil, menemukan mobil sewaan
itu sendiri, dan memulai perjalanan dengan arah yang
benar—menjadi indikasi akan lima minggu ke depan.
Semuanya serba-MUDAH.

370
PORTUGAL

Begitu berada di Portugal, Victoria langsung me-


nyesuaikan diri dengan rumah barunya dan mulai
mengoceh dalam bahasa Portugis yang tanpa cela.
Saat kami mendaki bukit pertama yang mengarah ke
Lisabon, mataku terpaku pada layar GPS, berusaha
keras untuk tidak merusak kedatangan yang mudah itu.
Tim memerintahkan, “Alihkan pandangan matamu dari
benda itu. Saat ini aku tidak membutuhkan bantuan
GPS dan aku tahu ke mana tujuan kita. Coba lihat kota
ini! Aku sangat ingin menunjukkannya kepadamu!”
Beberapa tahun lalu Tim pernah mengunjungi Portugal
dan sangat ingin kembali ke sini.
Aku mengangkat mataku. Sungguh pemandangan
yang menakjubkan. “Oh, Tim, ini bahkan lebih indah
daripada fotonya. Ini seperti Istanbul yang bergabung
dengan San Francisco!”
Lisabon seperti gabungan dari semua hal terbaik
dari kedua kota itu. Kami mengendarai mobil di
bawah Águas Livres Aqueduct yang besar dan anggun,
dibangun pada akhir 1700-an. Di belakangnya, atap
keramik merah tampak di atas gedung-gedung yang
dicat dengan warna telur Paskah. Di latar belakangnya
adalah Sungai Tagus yang lebar, mengalir hingga ke
Atlantik. Kami menghampiri salah satu jembatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

terpanjang di dunia, dicat dengan warna yang sama


seperti Jembatan Golden Gate, yang menghubungkan
Lisabon dengan komunitas di sisi lain sungai. Di sebelah
kiri kami, sebuah kastil dengan desain rumit berdiri di
puncak bukit besar di kejauhan, dan di seberang sungai,
tidak jauh dari jembatan, berdiri monumen Yesus
Sang Raja, replika dari monumen yang lebih besar di

371
LYNNE MARTIN

Brasil. Tentu saja itu adalah pemandangan sensasional


yang tidak bisa dinikmati oleh Tim karena dia sedang
berusaha membawa kami menyeberangi jembatan tanpa
menabrak siapa pun.
Hari menyenangkan kami terus berlanjut, dengan
Victoria yang tanpa cela mengarahkan kami ke atas
jembatan menuju Costa da Caparica, kota pantai
kecil yang menjadi rumah baru kami. Dalam waktu
dua puluh menit, kami sudah memarkirkan mobil di
samping mobil manajer properti, yang langsung keluar
dari mobilnya dan membukakan pintu untuk kami.
Sudah lebih dari sejam kami tidak menginjak tanah.
Percayalah kepadaku, itu adalah statistik yang patut
diperhatikan. Itu adalah transisi termudah yang kami
buat dari bandara ke tempat tujuan selama bertahun-
tahun bepergian.
Kami selalu mengingat hari-hari yang berjalan
dengan mulus itu setiap kali segala sesuatunya berjalan
dengan kurang baik!
Semangat kami sedang menggelora. Saat manajer
properti membukakan pintu, kami bahkan lebih senang
lagi. Rumah itu besar, perubahan drastis dari apartemen
sempit dan serbaterbatas yang kami tempati di California
dan kabin kapal yang menjadi “takdir” kami selama
http://facebook.com/indonesiapustaka

delapan belas hari. Rumah itu dilengkapi teras privat


berpagar, ruang tamu berukuran besar dengan perapian
yang berbahan bakar kayu, dan ruang makan dengan
delapan kursi. Dapurnya mengagumkan dan memiliki
mesin pencuci piring. Di bagian luar dapur bahkan
ada area mencuci yang tertutup, dan dilengkapi dengan
mesin cuci. Tentu saja tidak ada mesin pengering, tapi

372
PORTUGAL

ada tali jemuran besar. Kamar yang bagus dan kamar


mandi tertutup menunggu di atas.
Itu adalah kehidupan yang mewah untuk kami,
apalagi rumah itu juga bersih dan, yang lebih penting,
harganya murah, di bawah biaya bulanan pengurusan
rumah kami. Dalam hal ini, dan masih banyak hal lain,
Portugal mengejutkan kami dan membuat kami senang.
Jalanan, kamar mandi, trem, bus, dan objek wisata dijaga
dengan sangat baik. Tentu saja ada banyak grafiti dan
area yang kurang aman. Negara itu menunjukkan tanda-
tanda kelelahan dan keguncangan ekonomi, tapi Lisabon
terbukti sebagai salah satu tempat paling higienis yang
pernah kami kunjungi.
Katarina, sang manajer, menjelaskan semua yang
perlu kami ketahui sebelum dia pergi. Katarina bisa
berbahasa Inggris dengan sempurna, yang merupakan
keuntungan untuk kami karena bahasa Portugis jauh
melebihi kemampuan orang biasa untuk memahaminya.
Bahasa Portugis sama sekali tidak mirip dengan bahasa
Spanyol, dan di telingaku terdengar seperti bahasa Eropa
Timur. Bahkan, teman baik kami, Clif Garrett, seorang
linguis dan profesor bahasa di sebuah universitas
ternama, menyarankan kepadaku untuk menyimpan
energi dan waktuku karena usahaku akan sia-sia. Aku
http://facebook.com/indonesiapustaka

hanya menghafal kata yang berarti ‘terima kasih’, ‘tolong’,


dan ‘permisi’. Karena hampir semua orang Portugal
yang kami temui setidaknya bisa berbahasa Inggris
yang patah-patah, dan mereka akan menggunakannya
dengan senang hati, itu sudah cukup.
Katarina menunjukkan kepada kami bagaimana me-
nyalakan pemanas dinding, yang memang ditempatkan

373
LYNNE MARTIN

di setiap ruangan. “Tekan saja tombolnya,” ujar Katarina


dengan percaya diri. “Lihat, lampu merahnya menyala,
dan pemanasnya akan langsung bekerja. Pemanas ini
akan membuatmu sehangat roti bakar.”
Beberapa jam kemudian, rumah sama sekali tidak
terasa hangat. Meskipun lampu merahnya menyala,
hanya ada satu pemanas yang bekerja. Rumah beton itu
ditutup setidaknya selama sebulan, jadi suhunya turun
dengan drastis saat matahari terbenam. Malam itu, suhu
turun hingga minus satu derajat Celsius, dan walaupun
perapian bisa menghangatkan kami di bawah, kamar
tidur terasa seperti kulkas. Aku pergi tidur dengan
memakai celana ketat penghangat, kaus, piama, sweter,
dan dua lapis kaus kaki. Aku tidak tahu apa yang dipakai
Tim karena aku sudah meringkuk di balik selimut pada
saat dia naik ke tempat tidur, dan aku menghabiskan
malam dengan punggung menempel di tubuh hangat
Tim. Kami menempatkan setiap selimut yang ada di
rumah itu di atas tempat tidur kami, saking tebalnya
lapisan selimut, kami sampai tidak bisa bergerak.
Saat kali pertama melakukan perjalanan ini, kami
sering merasa ragu-ragu untuk mengajukan keluhan.
Kami lebih memilih untuk pergi membeli pemanas
ruangan sendiri, hanya karena rasa sungkan. Tapi,
http://facebook.com/indonesiapustaka

pengalaman mengajarkan kami bahwa manajer properti


mungkin meminta kami menunggu perbaikan atau
memasukkan lebih banyak kayu bakar di perapian.
Kami bersiap untuk lebih pro-aktif dan bersikeras dalam
memperbaiki situasi tanpa merasa tidak nyaman. Ingat
tombol biru di Buenos Aires? Kami sudah belajar banyak
sejak hari itu.

374
PORTUGAL

Kami tidak punya sambungan telepon, tapi Skype


bisa bekerja dengan baik. Pada pukul 8.30 pagi, kami
menghubungi Katarina, menjelaskan masalah yang kami
hadapi di rumah sewaan, dan mengatakan kepadanya
bahwa kami ingin masalah itu diselesaikan sebelum
malam. Kami tidak mau menghabiskan satu malam lagi
dengan berpakaian seperti Pillsbury Doughboys. Dalam
waktu sejam, Katarina datang dengan dua radiator besar
yang efektif, setumpuk kayu bakar dan pemantiknya, dan
janji bahwa radiator yang lain akan segera diperbaiki.
Meskipun cuaca bulan Maret masih dingin, dengan cepat
kami merasa nyaman. Yang lebih baik lagi, kami tidak
membuang-buang uang untuk mengatasi masalah orang
lain atau menunggu selama berjam-jam sampai ada
seseorang yang muncul dan mengatakan kepada kami
akan butuh waktu berminggu-minggu untuk alatnya
datang dari Jerman, kesialan yang sering kami dengar
dari ekspatriat di beberapa negara saat ada peralatan di
rumah sewaan mereka yang rusak.
Pemanas portabel bekerja dengan baik selama kami
tinggal di sana, dan walaupun tagihan listrik pemilik
rumah mungkin akan membuatnya melongo kaget, kami
merasa nyaman. Tentu saja, baru tiga minggu kemudian
teknisi datang untuk memperbaikinya. Pria yang baik,
http://facebook.com/indonesiapustaka

tapi alat yang dibutuhkan tidak pernah datang selama


kami tinggal di sana.
Pada malam kedua, kami sama sekali belum mem-
bongkar koper atau menjalankan rutinitas seperti biasa-
nya. Aku menyiapkan babi panggang lezat, sayuran,
dan salad, ada serbet di pangkuan kami, mangkuk
cantik bermotif bunga di meja, dan bahkan lilin untuk

375
LYNNE MARTIN

menghidupkan suasana. Pemanasnya terus menyala,


kulkas dan pantri penuh terisi, dan api yang hangat
menyala di perapian yang ada di ruang tamu. Koneksi
internet cukup lancar dan kami mengisi baterai peralatan
elektronik kami dengan adaptor tambahan. Kami juga
mencoba semua peralatan. Semua bekerja dengan baik,
dan kami merasa sangat bangga kepada diri sendiri.
Tidak lama kemudian kami menemukan supermarket
besar di sebuah pusat perbelanjaan yang jaraknya sekitar
lima belas menit dari rumah. Kami mencari tempat
parkir dan berbelanja sambil mengamati penduduk
lokal, agar tidak mengulangi kejadian memalukan yang
kami alami di Italia. Kami membeli telepon lokal sekali
pakai dengan harga sekitar sepuluh dolar, meminta
penjaga tokonya untuk mengubah bahasanya ke bahasa
Inggris dan bukannya bahasa Portugis, mencari pom
bensin terdekat untuk referensi di masa depan, pergi ke
dermaga feri untuk memeriksa situasi parkir dan jadwal
kapal, serta mengirimkan pesan untuk mengabari semua
orang bahwa kami tiba di Portugal dengan selamat.
Kesimpulannya, kami berada di rumah, dan rutinitas-
rumah-saat-jauh-dari-rumah kami berjalan dengan
baik. “Aku tidak percaya betapa mudahnya semua ini,”
ujar Tim saat bersandar di dinding plesteran semen di
http://facebook.com/indonesiapustaka

teras kami keesokan paginya. “Sungguh, rasanya seolah


seluruh pengalaman kita terbayarkan di tempat ini. Aku
bangga kepada kita, Sayang.”
“Kita sudah banyak belajar, iya, kan? Jika saja aku
bisa menyelesaikan bukuku, kita akan bebas untuk
bermain. Aku rasa sebaiknya aku masuk ke dalam dan
mulai bekerja.” Berbulan-bulan membuat kesalahan dan

376
PORTUGAL

belajar mengatasi hampir semua situasi benar-benar


sangat berguna untuk kami! Kami belajar dengan cara
yang keras bagaimana mengajukan pertanyaan yang
tepat dan mencari solusi sebelum masalah itu muncul.
“Tunggu …, bagaimana menurutmu jika kita terlebih
dulu pergi keluar untuk makan siang?” tanya Tim.
Aku sudah berlari ke lantai atas untuk mencari
sepatuku sebelum Tim menyelesaikan undangan itu.
Seperti yang mungkin sudah kalian ketahui sekarang,
tidak butuh banyak bujukan untuk mengalihkan per-
hatianku dari pekerjaanku, apalagi jika sudah melibatkan
makanan dan minuman.
Kami berjalan ke ujung jalan setapak, dipagari
pepohonan palem yang berjejer, menikmati rumah-
rumah yang terlihat indah di kedua sisi jalan. Dinding
taman yang tertutup tanaman merambat mengingatkan
kami akan Meksiko atau Italia. Saat sampai di ujung jalan,
kami menunduk melewati hutan kecil, seperti yang kami
lihat dilakukan oleh penduduk lokal. Kami menemukan
jalanan berpasir, dengan bunga liar dan semak-semak
mendekorasi bagian tepinya, dan kami menyusuri jalan
itu menuju bukit pasir. Sungguh menyenangkan berada
di antara pepohonan setelah menghabiskan waktu yang
cukup lama di atas kapal yang gersang. Suara deburan
http://facebook.com/indonesiapustaka

ombak terdengar semakin keras. Sambil mengobrol,


kami menaiki tangga kayu. Di atas, kami berdiri mem-
beku, terpesona oleh apa yang kami lihat.
Ombaknya luar biasa! Serangkaian ombak besar di-
mulai ratusan meter dari pinggir pantai dan menghantam
tebing di bawah kami dengan ledakannya yang berwarna
hijau/putih/biru. Pantainya, yang membentang sejauh

377
LYNNE MARTIN

sebelas kilometer, hampir kosong, terlihat murni dengan


kesunyian musim dingin, hanya ada beberapa orang
peselancar yang sedang bersenang-senang. Aku tidak
bisa menunggu untuk menceritakannya kepada teman
dan editor kami Bob Yehling. Selain menjadi penulis,
guru, editor, pelari maraton yang hebat, dan pria yang
baik hati, Bob juga pencinta selancar air. Saat kami
menceritakan kepadanya tentang ombak itu melalui
telepon Skype, Bob berteriak iri. “Apakah kau tahu tahun
lalu Garrett McNamara menunggangi ombak terbesar
yang pernah ditunggangi peselancar di dunia tepat di
pantai itu?” seru Bob. “Tinggi ombaknya mencapai dua
puluh empat meter.”
Sungguh sayang sarana selancar sehebat itu disia-
siakan oleh dua orang usia lanjut yang tidak menyukai
olahraga.
Di sana ada jejeran panjang restoran berdinding
papan, masing-masing berjarak cukup jauh, yang mem-
bentang hingga ke puncak bukit pasir. Masing-masing
restoran memiliki teras tertutup yang besar. Kantung
jerami berwarna cerah dilemparkan ke pasir di sekeliling
meja rendah, sangat nyaman untuk dinikmati oleh
pengunjung. Daratan memeluk pantai dari tiga sisi, dan
kami bisa melihat Sungai Tagus mengalir menuju laut.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Itu pemandangan yang dramatis, menarik, dan dingin.


Kami bergegas ke Bar Kon-tiki, bar/restoran ter-
dekat, dan kami senang bisa berlindung di belakang
bukit pasir, duduk di meja yang melindungi kami dari
embusan angin dengan adanya dinding kaca yang kokoh
dan kanopi kanvas. Tiga generasi keluarga Portugis
berkumpul di teras, sudah menikmati makan siang hari

378
PORTUGAL

Minggu mereka: meminum anggur, mengobrol, tertawa,


dan menyaksikan anak-anak mereka bermain di pantai
pada sore bulan Maret yang tidak biasanya cerah. Kami
bisa mengetahui dari pakaian mereka yang bermerek
dan potongan rambut mereka yang bergaya bahwa
orang-orang ini tinggal di Lisabon yang ada di seberang
jembatan, di mana toko Gucci dan Prada mengumpulkan
uang di sepanjang jalan utama Liberdade.
Kami menyantap makanan dan menikmati waktu
makan siang yang panjang. Aku senang berada di sebuah
negara, di mana mereka mengerti cumi-cumi dengan
semua metode pengolahannya, sementara Tim sangat
puas menyantap salah satu burger terbaik yang pernah
dirasakannya. Saat langit di belakang bukit di sisi lain
Kota Lisabon mulai menggelap, kami bergegas pulang.
Cuaca berubah dengan cepat di belahan dunia ini, dan
kami baru saja sampai di rumah saat turun hujan deras
yang bertahan sepanjang malam. Itu membuat kami
tidur dengan sangat nyenyak.
Keesokan paginya, Tim terlihat gelisah. “Apakah kau
sudah membawa kuncinya? Aku membawa kamera. Di
mana jadwal feri itu? Aku baru saja memegangnya di
tanganku .…”
Kami mengalami rutinitas kepanikan sebelum pergi.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Aku mengancam akan menempelkan post-it kecil di


pintu depan, tapi Tim mengatakan tingkat kepikunan
kami belum separah itu (kalau begitu, kenapa kami
tidak pernah membawa telepon ke mana-mana? Aku
tanya kepadamu.). Kami hendak melakukan perjalanan
pertama ke Lisabon; karena kapal ferinya berangkat
tepat waktu, kami berlari keluar pintu.

379
LYNNE MARTIN

“Iya, iya, aku membawa kuncinya! Cepat keluar, aku


hanya akan mengambil tasku dan mengunci pintunya,”
kataku kepada Tim, sambil memakai jas hujanku.
Saat aku melihat kunci itu, tiba-tiba saja aku teringat
lagi kejadian mengerikan di Argentina: itu kunci model
kuno yang sama dengan yang memberi kami banyak
masalah di Buenos Aires. Jika kau memilih kunci
yang salah atau memasukkannya terbalik, tamatlah
riwayatmu. Tentu saja, pengunci mekanisnya tertanam
di dalam pintu yang berat, jadi kau harus melakukannya
dengan mengandalkan perasaan. Kami tidak pernah
berhasil melakukannya pada percobaan pertama, di
negara mana pun.
Tapi, kami menyukai kapal ferinya. Setelah naik
ke atas kapal, kami menaiki tangga besi menuju dek
atas yang tertutup agar kami bisa melihat segalanya.
Lisabon terlihat seperti keik pernikahan berwarna
pastel yang berkilauan oleh sinar matahari di belakang
jembatan merah yang besar. Sungguh pemandangan
yang menakjubkan! Kapal kargo, ditarik oleh perahu
motor kecil, datang dari arah laut. Kapal layar mondar-
mandir di sungai, mengelak dari kapal kargo yang besar
itu. Bahkan, penduduk lokal, yang menggunakan kapal
feri sesantai seperti saat kami menggunakan jalan tol,
http://facebook.com/indonesiapustaka

terlihat menikmati pemandangan.


Lisabon menjadi pelabuhan laut utama selama lebih
dari tiga ribu tahun, sejak masa Phoenisian. Lisabon
adalah ibu kota tertua di Eropa, jauh lebih tua daripada
Roma dan London. Tempat itu sarat akan sejarah.
Reruntuhan masa Phoenisian terkubur di bawah Katedral
Lisabon, dan patung Vasco de Gama, penjelajah besar

380
PORTUGAL

yang menemukan rute ke Timur dari Portugal, berdiri


di salah satu jalan utama di kota itu. Populasi yang
beragam muncul dari banyaknya penakluk yang datang
ke negara ini dan memutuskan untuk menetap. Orang
Muslim, Arab, Yahudi, Berber, dan Saqalibà menandai
populasi dengan gen mereka. Kunjungan kami terasa
seperti pelajaran sejarah yang menyenangkan tentang
negara yang tidak terlalu kami kenal.
Kami bertemu dengan pasangan lain di loket pem-
belian tiket selagi kami berempat mencoba untuk
memahami apa yang dikatakan oleh petugas yang ada
di dalam kotak loket itu tentang tiket dan jadwal. Begitu
naik ke atas kapal, mereka duduk di samping kami, jadi
kami mulai berbagi informasi dasar tentang perjalanan
itu. Yanni, yang merupakan orang Belanda, sudah
menikah dengan John, orang Inggris, selama tiga puluh
lima tahun. Mereka tinggal di Inggris dan memiliki dua
putra yang sudah dewasa. Mereka adalah tipe klasik
pasangan Inggris yang suka bepergian, dan seperti
halnya sebagian besar orang senegara mereka, mereka
juga pencinta kemping. Mereka menghabiskan beberapa
minggu sebelumnya di jalanan, mengemudikan mobil
melewati Prancis dan beberapa bagian Spanyol dengan
karavan mereka (apa yang kami sebut sebagai kemping).
http://facebook.com/indonesiapustaka

Mereka tinggal di Costa da Caparica selama beberapa


hari sebelum berlanjut ke sebelah utara Portugal dalam
perjalanan pulang ke Inggris.
Di luar, saat kami melewati garis pantai, ada kapal
derek, gudang besar (banyak di antaranya ditelantarkan),
dermaga beton yang kokoh, dan kafe serta bar kecil. Saat
kami mendekati Belém, pelabuhan Lisabon yang ada di

381
LYNNE MARTIN

sebelah barat terminal utama feri, Yanni berkata, “Lihat,


lihat—itu monumen Ferdinand Magellan yang terkenal,
penjelajah hebat dari Portugis!”
Orang di negara lain tidak hanya bisa berbicara
beberapa bahasa, tapi mereka juga menguasai sejarah,
baik sejarah negara mereka sendiri maupun sejarah
negara lain. Ada banyak orang Amerika Utara yang
tidak mendapatkan pendidikan semacam itu. Sungguh
memalukan. Aku tidak mau mengakui bahwa walaupun
aku kuliah di universitas yang bagus, aku tidak pernah
lagi mengetahui tentang sejarah Ferdinand sejak kelas
enam sekolah dasar, jadi aku hanya mengangguk malu
dan berkata aku memang sudah tidak sabar ingin me-
lihatnya.
“Bisakah kau membayangkan seperti apa rasanya
mendatangi kota ini dari arah laut?” tanyaku, dalam usaha
untuk berpartisipasi tanpa mengakui ketidaktahuanku.
Kami mengamati kapal layar melewati sungai menuju
pelabuhan utama. Aku yakin penumpang lain akan
terkesima melihat monumen Ferdinand Magellan, yang
menjulang setinggi 52 meter di sebelah utara sungai,
dan jembatannya, dengan menara setinggi 190 meter
dan panjang 1.000 meter. Di belakangnya, Christo Rei
berdiri setinggi 132 meter di atas air, lengan patung itu
http://facebook.com/indonesiapustaka

terentang untuk menyambut dan melindungi penduduk


Kota Lisabon dan pengunjungnya. Keindahan kota
yang terasa lembut menjadi latar belakang bangunan-
bangunan besar itu. Bahkan, dari dek kapal feri lokal, itu
tetaplah salah satu pemandangan terindah yang pernah
kulihat.
Yanni dan John berkemah di resor yang letaknya

382
PORTUGAL

hanya delapan ratus meter dari rumah sewaan kami.


Karena sangat menyukai kebersamaan dengan mereka,
kami sepakat untuk mengundang mereka minum koktail
dan makan malam besok, dan kami pun berpisah di
terminal feri. Mereka pergi untuk melihat pemandangan
Belém, sementara aku dan Tim berjalan kaki satu atau
dua blok untuk mengejar troli #15 yang terkenal, yang
akan membawa kami ke bagian utama kota.
Tiket kapal feri kami termasuk ongkos troli dan
layanan bus, jadi kami naik ke atas troli, menempelkan
tiket kami yang berwarna hijau ke mesin khusus, lalu
mencari kursi di mobil troli kuno yang mengelilingi
kota dari segala arah. Petugasnya membunyikan lonceng
mereka untuk menambahkan pesona kendaraan unik
itu. Kami turun dari troli dan berjalan menaiki bukit
terjal, melewati toko antik, toko desainer, dan kafe
kecil. Di puncak bukit, kami melihat Alun-Alun Rossio,
tempat pertemuan favorit di Lisabon, dengan dua air
mancur besar yang identik di kedua ujungnya dan
patung besar yang didedikasikan untuk Dom Pedro
IV di bagian tengahnya. Keramik hitam dan putih
mendekorasi trotoarnya, diatur dengan desain yang
rumit. Keramik Alun-Alun Rossio ini menipu mata
hingga membuat orang yang menginjaknya berpikir
http://facebook.com/indonesiapustaka

lantainya bergelombang. Itu pengalaman yang aneh.


Setiap kali kami berjalan di sana, kami terkesima oleh
ilusi optiknya. “Aku menyimpan bagian Portugal yang
ini sebagai kejutan untukmu,” kata Tim dengan wajah
berseri-seri saat aku melihat alun-alun itu.
Di dekat sana, kami menemukan kaki Avenida
Nationalidade, dan menghibur diri kami sendiri

383
LYNNE MARTIN

dengan memelototi bangunan yang indah dan bagian


depan toko. Saat kami bergerak ke jalanan yang sedikit
menurun, toko-tokonya menjadi lebih internasional dan
mahal. Saat papan nama Gucci, Prada, Burberry muncul,
kami tahu di mana orang-orang yang kami lihat di Kon-
tiki di Caprica berbelanja.
Seluruh bagian tengah jalan utama yang lebar itu
diisi oleh taman yang indah dan panjang. Pepohonan
yang anggun menunjukkan jejak pertama kerimbunan
tempat itu, dan sungai buatan manusia memutari
taman yang menarik itu. Setiap beberapa blok, orang
menikmati kopi dan pastri di bawah pohon di kafe-kafe
kecil. Seperti biasa, kami merasa lapar, jadi kami duduk
untuk mencicipi pastel de nata yang terkenal, puding
telur orang Portugal yang disajikan di atas kerak bundar
yang renyah. Aku menghabiskan makananku sebelum
Tim selesai mengaduk espresso-nya. “Kau kelaparan,
ya?” tanya Tim.
Aku merasa sangat (tidak) malu hingga bergegas
bangun dan mengambil satu lagi.
Sekali lagi kami menikmati bagian terbaik hidup
tanpa rumah, kemewahan bisa berkeliaran tanpa terlalu
banyak rencana, dan merasakan ritme negara yang
kami datangi tanpa harus terburu-buru melihat objek
http://facebook.com/indonesiapustaka

wisatanya. Kami mengamati bahwa orang Portugal


adalah pencinta keindahan dan warna, mereka terlihat
bahagia walaupun kondisi ekonomi mereka kurang baik,
dan bahwa mereka tahu bagaimana membuat pastri
yang lezat. Kami mampir untuk menikmati ikan bakar
yang lezat sebagai menu makan siang di restoran yang
berjejer di tepi jalan, dengan teras penuh dengan turis,

384
PORTUGAL

dan setelahnya kami menaiki troli lagi untuk kembali ke


pelabuhan.
Saat kami mengamati kru kapal feri melabuhkan
kapal tingkat berwarna merah dengan lihainya, aku
mendengar, “Halo, halo, kalian yang di sana!” Saat itu
juga, Yanni dan John mengundang kami untuk minum
teh, yang berubah menjadi sebotol anggur merah Spanyol
di karavan mereka. Dari karavan kecil mereka yang
super-efisien, mereka mengeluarkan kursi lipat, meja,
gelas anggur, keju, dan biskuit. Kami duduk di bawah
pohon, selagi John memberi kami tur ke sekeliling rumah
beroda mereka. Sungguh mengagumkan. Karavan itu
dilengkapi semua perlengkapan yang ada di RV besar
yang pernah kami lihat di perkemahan di Amerika
Serikat, mulai dari kanopi tempel, kulkas, westafel, dan
pemanas. Tapi, karavan tidak lebih panjang dari mobil
normal di Amerika, dan cukup kecil untuk bisa melewati
jalanan sempit di Eropa. Kendaraan inovasi Jerman ini
memanfaatkan setiap sentimeter yang ada.
Keesokan harinya kami menikmati peran sebagai tuan
rumah pada jamuan makan malam di rumah “kami”. Tim
membawa kami ke sebuah restoran yang ditemukannya
dalam salah satu penjelajahannya di Caparica, kota
pantai kecil kami, selagi aku tetap di rumah untuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

bertarung dengan bab tentang Inggris. Tugas seorang


pendukung tidak pernah selesai. Bangunan berbentuk
persegi itu berdiri di sepanjang trotoar jalan, masing-
masing restoran menawarkan makanan khas mereka.
Restoran yang kami pilih menawarkan hidangan ikan
kukus dengan kerang segar seukuran bakso yang diberi
saus keju kental, dan dengan lahap kami menyantapnya

385
LYNNE MARTIN

dengan roti khas Portugal yang renyah.


Saat kami menikmati makanan, teman-teman kami
menghibur dengan cerita tentang petualangan mereka
keliling dunia. “Aku rasa, selain Kilimanjaro, liburan
tergila yang pernah kami lakukan adalah berkemah
selama empat setengah bulan di Amerika Selatan di
dalam sebuah bus dengan dua puluh orang yang tidak
pernah kami temui sebelum perjalanan,” kata Yanni.
Saat kami mengobrol, aku menyadari bahwa per-
temanan yang kami kembangkan dalam perjalanan kami
berbeda dengan pertemanan di rumah. Sebagian besar
hubungan pertemanan itu dimulai dari dasar situasional:
pekerjaan, hobi, sekolah, atau pertemuan klub. Sebagian
bertahan lama, sebagian lagi tidak. Pertemanan jangka
panjang menawarkan kenyamanan karena berbagi
sejarah yang sama. Tapi, di jalan, ada momen tak
terjabarkan saat kami membuat koneksi dengan orang-
orang yang berjiwa bebas. Ikatan itu hampir seperti cinta,
pengenalan yang tidak membutuhkan eksplorasi dalam
untuk bisa didapatkan. Bertemu dengan pengelana
lain jauh dari rumah, di negara mana pun perjumpaan
itu terjadi, menciptakan atmosfer di mana mustahil
untuk bisa memutuskan ikatan pertemanan itu: tidak
ada aturan atau protokol dalam mengenal orang apa
http://facebook.com/indonesiapustaka

adanya dirinya. Aku merasakan tikaman rasa sesal saat


harus mengucapkan selamat tinggal kepada teman yang
kebersamaannya sangat kami nikmati karena walaupun
biasanya kami tetap melakukan kontak dan mencoba
untuk mencari cara agar bisa bertemu di tengah-tengah
saat kami berkeliling dunia, kami semua menjalani
kehidupan yang seperti arus air hingga sulit untuk

386
PORTUGAL

memastikan apakah kami akan bertemu lagi.


Saat aku larut dalam pikiranku sendiri, Yanni terus
bercerita tentang perjalanan mereka di Amerika Selatan.
Aku menoleh ke Tim, yang melongo mendengar cerita
Yanni. “Empat setengah bulan di dalam BUS?” seru Tim.
Kami pikir kami istimewa karena nekat menjual rumah,
membuang barang-barang, dan berkeliling dunia tanpa
memiliki tempat tinggal permanen. Tapi, kami tinggal
di rumah atau apartemen, bukan di dalam sebuah bus,
dan yang pasti kami tidak tahu bergantung kepada siapa
pun kecuali kepada satu sama lain! Orang-orang luar
biasa ini memberikan contoh lain tentang orang berusia
lanjut yang fleksibel dan cukup berani untuk mengambil
keputusan nekat dan menikmati petualangan di masa
senja mereka.
“Tapi, bagaimana kalian melakukannya?” tanyaku,
menelan potongan besar kerang dengan bantuan anggur
merah Portugal. “Maksudku, di mana kalian mandi,
tidur, dan makan?”
“Itu adalah petualangan bebas,” jawab Yanni. “Pihak
penyelenggara hanya menyediakan bus dan sopir, tapi
para penumpang harus mengatur sendiri rutinitas yang
disepakati bersama. Kami memasak dan berbelanja
secara bergiliran, jadi tidak ada satu orang yang me-
http://facebook.com/indonesiapustaka

lakukan semuanya, dan setiap tiga atau empat hari


sekali, kami menginap di hotel untuk mencuci, keramas,
dan semua urusan bersih-bersih, dan setelah itu kami
melanjutkan perjalanan lagi.”
“Terkadang sangat sulit untuk mempertahankan
kesabaran kami,” sambung John. “Sebagian orang bisa
sangat menjengkelkan, salah satu dari mereka bahkan

387
LYNNE MARTIN

gila. tapi hanya dengan cara itu kami bisa melihat


Amerika Selatan hingga sejauh itu, jadi kami berusaha
menoleransi mereka dan menikmati perjalanan.”
Malam itu, selagi badai mengamuk di luar, aku
dan Tim berbaring di atas tempat tidur yang empuk,
membaca Kindles kami, dengan pemanas yang menyala
tanpa henti. “Yah, aku senang kita bertemu dengan Yanni
dan John,” kata Tim, “dan perjalanan berat mereka di
Amerika Selatan adalah kisah yang mengagumkan, tapi
saat ini aku sangat bahagia kita tidak berada di karavan
kecil itu dengan angin yang bertiup sangat kencang
dan mengguncang-guncangkan satu-satunya tempat
bernaung.”
Bertemu teman baru menegaskan bagaimana kita
bisa belajar dari setiap orang yang kita temui. Semua
orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda. Apa yang
terlihat seperti petualangan untuk satu orang mungkin
akan dianggap sebagai siksaan oleh orang lain. Mungkin
menjadi pengelana tanpa rumah lebih seperti sebuah
sikap dan bukannya gaya hidup, dan arti kebebasan
pribadi tergantung dari setiap individu.

f
http://facebook.com/indonesiapustaka

Keesokan harinya cuaca masih belum membaik se-


hingga kami memasukkan lebih banyak kayu bakar ke
dalam perapian dan tetap berada di dalam rumah untuk
menyelesaikan tulisanku. Saat menjelang sore hujan
sudah reda, kami istirahat dari pekerjaan untuk membeli
beberapa barang di supermarket kecil yang ada di desa
itu. Kami berjalan keluar rumah tanpa membawa uang

388
PORTUGAL

atau kartu kredit (mungkin tempelan post-it memang


ide yang bagus), jadi Tim bergegas pulang lagi ke rumah
untuk mengambil dompetnya, sementara aku menunggu
di luar supermarket dengan barang-barang yang sudah
kami pilih. Tentu saja, hujan mulai turun begitu Tim
pergi. Aku menatap keluar jendela, merasa kasihan
kepada Tim saat aku merasakan kehadiran seseorang
di sampingku. Aku menoleh ke belakang, kemudian
ke bawah untuk melihat wanita Portugal tua bertubuh
mungil berdiri di dekat sikuku, membawa barang
belanjaannya di dalam dua kantong plastik kecil. Aku
pasti terlihat seperti wanita Amazon raksasa dari planet
Amerika. Wanita itu menengadah untuk melihatku dan
menyeringai. Aku tersenyum. Dia menyeringai lagi. Aku
tersenyum lagi. Akhirnya dia berkata, “Sheirwrish msh
durphloposhish parprikash dulneyetchki.”
Aku berkata, “Aku minta maaf, tapi aku tidak bisa
berbahasa Portugis.”
Wanita itu berkata, “Sheirishnaplak msh duphlopishis-
hyoa parparickshmuchtin dulneyetchkipush.”
Aku berkata, “Aku minta maaf, tapi aku tetap tidak
bisa berbahasa Portugis.” Aku terkikik mendengar le-
luconku sendiri.
Hal itu berlanjut selama beberapa saat sampai akhirnya
http://facebook.com/indonesiapustaka

wanita itu menggelengkan kepalanya atas kebodohanku


dan membawa barang belanjaannya pergi melalui salah
satu pintu, sementara Tim masuk melalui pintu yang lain.
Pada saat itu, aku sudah tertawa terbahak-bahak sampai
air mata mulai mengalir ke pipiku. Tim menatapku
dengan ekspresi kasihan yang sama seperti teman
Portugal-ku yang baru, menggelengkan kepalanya, dan

389
LYNNE MARTIN

pergi membayar belanjaan kami.


Lisabon bukan hanya memukau, melainkan juga
teratur. Kami tidak pernah merasa kewalahan, kecuali
saat kami terengah setelah mendaki salah satu bukit
yang terjal. Beberapa hari kemudian, menerima berkah
berupa hari cerah, kami menaiki kapal feri ke Belém,
di mana kami bertemu dengan teman-teman kami
dari perjalanan pertama kami ke daratan. Di sana kami
melihat Menara Belém, yang terlihat seperti keik ulang
tahun bergaya barok. Awalnya menara itu ada di pulau
di tengah-tengah Tagus, tapi sekarang menyambung
dengan daratan karena beberapa ratus tahun lalu
sungainya dialihkan setelah terjadi gempa bumi. Menara
itu dibangun sebagai bagian dari sistem pertahanan kuno
kota, dan menjadi satu dari sekian banyak keajaiban kota
tersebut. Selain itu, ada Museum Kereta Kuda Nasional
yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Bukan hanya
kereta kuda menakjubkan yang bisa dilihat di sana, me-
lainkan bangunannya sendiri sangat mengagumkan.
Tempat itu digunakan sebagai arena berkuda kerajaan
untuk Istana Belém, dan kami bisa membayangkan
anggota keluarga kerajaan duduk di atas balkon kerajaan
di lantai dua, menonton kuda-kuda bertanding. Saat
kami mengamati kereta kuda berlapis emas yang mewah
http://facebook.com/indonesiapustaka

dari abad ketujuh belas yang digunakan untuk upacara,


Tim berbalik ke arahku. “Aku penasaran berapa banyak
tenaga kuda yang dibutuhkan oleh kereta kuda ini. Pakai
tenaga kuda atau diesel, bagaimana menurutmu?”
Lanjutkan ke benda berikutnya ….
Kami berjalan pada sore yang cerah menuju Biara
Hieronymites yang ada di sekitar sana. Kami terkesima

390
PORTUGAL

oleh pilar berhias patung yang mengelilingi biara. Kami


menganggap tema kompleks mereka tentang pelayaran,
eksplorasi, dan perdagangan sangat menarik hingga
kami, yang biasanya lebih memperhatikan makan siang
daripada sejarah, mendapati diri kami melangkah per-
lahan ke sekeliling halaman yang luas untuk memper-
hatikannya secara mendetail. Gereja, kapel, museum, dan
biara menawarkan hiburan yang menarik untuk kami.
Karena museum-museum di Lisabon tidak dikenakan
biaya masuk pada hari Minggu, penasihat keuanganku
dua kali lebih bahagia. Dan, kalian tahu, kan, bahwa
kami menyantap makan siang yang lezat sebelum naik
lagi ke kapal feri? (Petunjuk: itu pertanyaan retoris.)
Pada keesokan harinya yang juga cerah, kami mem-
perluas wilayah penjelajahan dan pergi ke Almada
untuk naik kapal feri yang lebih besar, yang berlabuh
di terminal besar yang ada di bagian utama kota. Dari
sana, kami menaiki trem untuk mendaki bukit menuju
Kastil Moorish St. Jorge. Situs itu sudah ada sejak abad
enam SM. Reruntuhan yang kami kunjungi itu didirikan
sekitar dua ribu tahun lalu dan dibangun ulang oleh
pasukan Muslim pada abad kesepuluh. Dari tanjung,
kami bisa melihat pemandangan jembatan Lisabon,
monumen, atap keramik, dan sungai yang spektakuler,
http://facebook.com/indonesiapustaka

beserta semua kegiatan yang tidak pernah berhenti di


sana.
Saat Tim mengambil foto kota itu, akhirnya aku
berkata, “Baiklah, sudah cukup dengan foto-fotonya.
Sebentar lagi aku akan membeku. Aku harus segera keluar
dari sini.” Saat kau mempertimbangkan komentar ini
berasal dari orang yang sangat menyukai pemandangan

391
LYNNE MARTIN

indah dan sering kali lupa diri di depan keajaiban alam,


maka kau tahu udaranya benar-benar dingin.
Kami menggosok hidung yang membeku dan jari-jari
kami yang ngilu saat masuk ke pub Irlandia di dermaga,
tempat kami menguatkan diri sebelum menghadapi
perjalanan menyeberangi sungai. Sepanjang perjalanan
selama dua puluh menit, angin, kabut, dan udara dingin
tidak memengaruhi nakhoda feri, tapi kami terpaksa
menatap tajam ke arah cakrawala sepanjang perjalanan
untuk mencegah perut kami bergolak. Kami senang bisa
menyalakan api di perapian dan pergi tidur saat hari
yang indah berubah drastis menjadi badai berangin
yang besar, diselingi gemuruh petir dan kilat.
Kami juga membutuhkan istirahat—tamu akan
datang! Rick dan Margo Riccobono, teman-teman kami
dari London, sedang dalam perjalanan ke Portugal.
Kami sangat senang mendapatkan kesempatan untuk
bertemu mereka dan berterima kasih secara langsung
kepada Rick atas nasihat bagus yang diberikan dengan
cuma-cuma saat kegilaan seputar tulisan kami dimulai.
Karena kami tidak tinggal di sebuah rumah, dan tidak
pernah lagi menjamu tamu untuk waktu yang sangat
lama, persiapan kami menjadi acara itu sendiri. Kami
berhasil mendapatkan bahan-bahan untuk pesta makan
http://facebook.com/indonesiapustaka

malam sungguhan untuk empat orang, dan kami


mendekorasi kamar tidur tamu dengan bunga, membeli
tatakan piring dan serbet, dan berpura-pura menjadi
penghuni permanen rumah itu. Tentu saja, kami tidak
mungkin menyediakan perabotan yang nyaman! Kami
juga berhasil menjemput mereka tepat waktu di bandara
dan merasa seperti penduduk lokal dengan mengatakan,

392
PORTUGAL

“Coba lihat sebelah sana! Itu adalah saluran air yang


dibangun pada tahun 1700-an. Dan, di depan kalian ada
Jembatan 25 April. Rumah kami ada di sebelah sana!”
Semua orang suka menjadi orang sombong yang
cerdas, sekalipun mereka tidak mau mengakuinya.
Margo dan Rick merasa senang dengan cuaca yang
tiba-tiba cerah, apalagi setelah mereka mengalami
musim dingin di London, musim dingin terburuk dalam
beberapa tahun belakangan (dan kami juga, setelah
kedinginan semalaman). Sinar matahari dan suhu yang
berkisar sepuluh derajat Celsius membuat mereka ber-
semangat. Rick sangat menikmati tempat tidur gantung
hingga dia benar-benar mempertimbangkan untuk
melewatkan penerbangan pulang ke London! Teman-
teman kami di restoran pantai Kon-tiki menunjukkan
kemampuan mereka memasak ikan, dan kami membawa
tamu kami berkeliling Kota Lisabon. Tim sangat cekatan,
dia mengajak tamu kami merasakan makan malam
klasik khas Lisabon, di Restoran Café de Sao Bento.
Restoran steik klasik dengan gaya tahun 1900-an dengan
dinding dan dipan merah, didekorasi dengan lukisan
wanita dan pria dari periode itu dan foto Lisabon pada
masa-masa keemasannya. Tim mengatakan kepada kami
bahwa restoran itu dinobatkan sebagai restoran steik
http://facebook.com/indonesiapustaka

terbaik di kota dan bahwa hidangan klasiknya adalah


steik dengan saus merica yang di atasnya ditambah telur
goreng. Kami mengikuti semua saran Tim. Sejak saat itu,
setiap kali kami mengobrol, Margo selalu menyinggung
tentang makan siang itu! Sungguh hidangan yang luar
biasa untuk para karnivora seperti kami.
Saat pasangan Riccobono pergi, rumah kami men-

393
LYNNE MARTIN

jadi terlalu sunyi. Kami menyibukkan diri dengan


mengunjungi Sintra, area yang hanya berjarak lima
belas menit di luar Lisabon, yang menurut semua
orang tidak boleh dilewatkan. Sangat mudah untuk
memahami kekaguman mereka karena kastil dan estat
besar memenuhi seluruh area hutan. Tempat itu juga
menawarkan pemandangan paling romantis di Portugal,
yang penuh dengan hal-hal mengagumkan. Di antara
sekian banyak objek, kami menemukan Istana Pena
Nasional, salah satu contoh karya Romantisme terkenal
pada abad kesembilan belas.
Boleh aku mengatakan kepada kalian bahwa itu
juga salah satu contoh monumen yang paling sulit
dimasuki di dunia? Aku tetap terdiam agar tidak
mengganggu konsentrasi Tim saat dia membawa
mobil kami menyusuri jalan yang sepertinya hanya
memiliki lebar tidak sampai dua meter. Kami melewati
para turis, yang berjalan berdua atau bertiga tanpa
memedulikan keselamatan mereka, melewati kabut
tebal yang membuat para turis yang lewat tidak terlihat,
dan menaiki jalan menanjak yang membuat mobil kecil
kami dan mesinnya terbatuk-batuk. Atas ketekunan itu,
kami dihadiahi pelataran parkir di dekat pintu utama.
Istana itu sendiri merupakan campuran antara gaya
http://facebook.com/indonesiapustaka

arsitektur neo-Gotik, neo-Manueline, Islam, dan neo-


Renaisans, campuran kejutan yang luar biasa. Dambaan
para fotografer! Raja Ferdinand dan Ratu Maria II tidak
menahan diri dalam mengekspresikan selera mereka,
dinding berwarna pink, kuning, hijau, dan abu-abu ber-
lomba-lomba menarik perhatian pengunjung, dengan
jendela, dekorasi, dan gaya yang sepenuhnya berbeda.

394
PORTUGAL

Rasanya seperti berada di Disneyland orang Portugis,


tapi dengan pemandangan yang jauh lebih baik daripada
yang ditawarkan Anaheim! Yang terbaik dari semuanya,
menuruni gunung tidak terlalu menyeramkan dan
berbahaya, dan hanya dalam waktu tiga puluh menit,
kami sudah sampai di rumah untuk menghangatkan
kaki kami yang membeku.
Akhirnya, hari itu datang. Itu adalah momen ketika
aku tidak bisa lagi mempertahankan tempo cepatku.
Mata dan bokongku pegal, dan otakku sakit karena
berbulan-bulan menyusun cerita kami. Aku memutuskan
bahwa menjadi seniman jauh lebih berat daripada
menjadi pendukung. Aku menginginkan lagi pekerjaan
lamaku. Aku sudah setengah jalan dalam menyelesaikan
bukuku, dan aku sangat kelelahan hingga editorku,
Bob, dan Tim berkonspirasi, mengatakan kepadaku
bahwa semua penulis pasti pernah mengalami hal yang
sama, dan obatnya adalah rehat selama seminggu dari
proyek penulisan itu. Cerita rekaan mereka berhasil dan
dengan patuh aku membiarkan diriku dibawa ke pantai
Portugal, melewati jembatan besar, berlanjut ke arah
utara melalui hutan dan pegunungan, ini adalah waktu
istirahat sungguhan. Jalanannya menanjak sampai ke-
bun anggur mulai tampak di bawah pepohonan pinus.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Pemandangannya sangat menakjubkan, dan bahkan


hujan bulan Maret tidak bisa merusak hari yang indah
itu.
Pancurannya berhenti tepat pada saat kami melewati
pintu gerbang besar yang mengarah ke tempat parkir
yang melewati hutan di sepanjang aliran sungai, bebatu-
an, dan tepi sungai yang tertutup lumut dan tanaman

395
LYNNE MARTIN

rambat. Di sampingnya terdapat pohon palem tropis


yang eksotis dan pohon pakis yang lebih terlihat seperti
Maui daripada Portugal. Kami diberi tahu bahwa taman
seluas seratus hektar di sekeliling istana ditanami oleh
biarawan-biarawan Discalced pada awal abad ketujuh.
Koleksi tanaman mengagumkan yang berasal dari se-
luruh dunia memenuhi taman itu.
Kami melewati belokan tajam terakhir. Itu dia: Istana
Hotel Bussaco. Istana itu ada di puncak, terlihat sangat
romantis dengan gaya neo-Manueline yang umum
ditemukan di Portugal. Termasuk dengan ukiran hias
dan tanaman merambat, patung kecil, plesteran timbul,
lukisan keramik besar yang menggambarkan kisah cinta
dan pertempuran, kaca hias berwarna, permadani, ukir-
an kayu, batu, beton, dan talang air berbentuk gargoyle.
Itu baru di luarnya.
Kami disapa oleh seorang pria bertubuh gemuk
yang mengenakan seragam dengan epolet (aku tergila-
gila kepada pria dengan epolet). Aku terpesona oleh
tangga marmer besar berlapis karpet merah, lebarnya
sekitar tiga setengah meter, dihuni oleh setelan baju
zirah, dengan tirai yang menggantung dari langit-langit
setinggi sembilan meter, memberikan kesan lembut pada
jendela dengan kaca hias berwarna yang menakjubkan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kami kehabisan kata-kata.


Pelayan hotel membawa kami ke kamar sudut
yang besar di lantai dua. Kamar itu jauh lebih besar
daripada apartemen sewaan kami di Paso Robles. Kami
menengadah ke langit-langit setinggi empat setengah
meter, jendela ala Prancis yang elegan, dan balkon kecil
yang pagarnya dihiasi ukiran pita dan binatang, dengan

396
PORTUGAL

pemandangan ke taman formal dan hutan di bawah.


Klosetnya cukup besar untuk menampung seluruh
keluarga, dengan lemari tempel yang berlapiskan beledu,
rak sepatu dari kayu mahoni, dan gantungan kayu yang
indah.
Kamar mandinya yang bersih menempati ruang
seluas delapan belas meter persegi, dengan langit-langit
yang sama tingginya dan lampu hijau pucat Martha
Stewart, bathtub yang cukup panjang untuk dipakai
berendam oleh Kobe Bryant, dan tentu saja, handuk dan
jubah mandi yang lembut. Inilah liburan versiku.
Tim duduk di salah satu kursi beledu yang super-
nyaman, sementara aku sibuk dengan kebiasaan “oooh”
dan “aaaah” yang berlebihan. Meskipun Tim berpura-
pura tidak acuh, aku tahu dia sangat bangga dengan
dirinya sendiri karena memilih tempat ini. Kamar itu
butuh sedikit sentuhan modern, tapi aku memang
menyukai tempat tinggal aristokrat yang klasik, dan
tempat tidurnya sangat nyaman, hanya itu yang benar-
benar penting. Kami pikir akan lebih menarik meng-
gunakan perabotan asli dibandingkan tempat tidur
modern.
Suamiku tersenyum karena alasan lain: Istana Hotel
Bussaco ini sangat murah karena saat itu belum masuk
http://facebook.com/indonesiapustaka

musim liburan.
Seperti biasa, kami kelaparan. Saat kami memasuki
ruang makan bergaya barok yang menawan, kelompok
pencicip anggur mendominasi bagian tengah ruangan
yang elegan itu. Pelayan lain yang mengenakan seragam
dengan epolet mengantar kami ke meja yang romantis di
dekat jendela, di mana kami bisa mengamati kerumunan

397
LYNNE MARTIN

yang sedang mencicipi anggur sambil memandangi


taman yang luas di luar. Pelayan itu membawakan daftar
menu yang pasti akan menarik perhatian Julia dan
Paul Child. Selama sejenak, kami tersedot oleh pilihan
hidangan yang menggugah selera.
Semuanya sangat lezat. Terutama hidangan pembuka
pilihan Tim, yaitu ravioli babi hutan liar, dan dada
bebek pesananku, yang ditemani oleh kentang tumbuk
terbaik yang pernah melewati mulutku. Foie gras yang
ditumis (mungkin kalian masih ingat, Tim menemukan
kecintaannya terhadap bebek di Prancis) pesanan Tim
sungguh luar biasa.
Setelah menghabiskan makan siang, kami masih
memiliki waktu untuk mengamati apa yang terjadi
di meja besar di tengah ruangan. Mereka bukanlah
orang-orang yang turun dari bus tur, berharap akan
mendapatkan biskuit dan anggur gratis. Mereka adalah
pebisnis serius di bidang minuman anggur. Kami
mendengar setidaknya ada tiga bahasa, salah satunya
bahasa Inggris dengan logat Amerika yang tidak mung-
kin salah dikenali. Mereka berdiskusi, menuang anggur,
merasakan, dan, dari apa yang kulihat, membeli dalam
jumlah besar.
Aku menurunkan gelas anggur kosongku yang
http://facebook.com/indonesiapustaka

sangat besar. Gelas itu tadinya berisi anggur Syrah yang


lezat, yang kuhabiskan dengan nikmat. Saat meng-
angkat kepala, aku melihat beberapa orang pencicip
anggur sedang berdiri di dekat lemari antik yang
menawan. Sejumlah botol menarik perhatian mereka.
Mataku bertemu pandang dengan mata pria besar
berambut keriting, yang kepribadian dan semangatnya

398
PORTUGAL

kuperhatikan selama makan siang. Pria itu tersenyum.


Aku tersenyum. Kemudian, aku menaikkan gelas
kosongku dan alis mataku. Pria itu mengambil satu
botol dan dalam hitungan detik, dia sudah berdiri di
depan meja kami.
Aku meminta maaf. “Aku minta maaf, tapi aku
tidak bisa menahannya,” kataku. “Kalian terlihat sangat
bersenang-senang, dan kau tahu yang kalian cicipi
mungkin sangat enak.”
“Tentu saja kalian harus mencicipinya juga! Kami
mengadakan konferensi dua hari untuk memperkenalkan
anggur lokal kami kepada pembeli internasional.” Pria
itu menuangkan anggur ke dalam gelasku.
Selanjutnya datang Filipa Pato, seorang wanita muda
berambut gelap, yang berjalan ke sekeliling ruangan,
menawarkan anggur sambil mengobrol dengan tamunya.
Filipa mengambil segelas lagi dan menuangkan anggur,
menyikut saingannya dari jalannya. “Nah, itu baru layak
dicicipi,” kata Filipa bergurau. Dan, memang benar.
Anggur yang dibawa Filipa memang enak. Labelnya?
“Anggur Autentik, tanpa Makeup!’ Nah, itu baru ke-
beranian.
Dalam waktu lima menit, para pembuat anggur sudah
mengelilingi kami, berusaha menarik perhatianku,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan senang hari mendemonstrasikan seni mereka


kepada penonton—yang kebetulan hanya tahu sedikit
tentang anggur. Sebagai pencinta anggur, aku menikmati
beberapa jenis anggur merah dan bahkan anggur putih
yang lezat, yang terbuat dari anggur putih, rasanya
lebih kuat dan lebih terasa buahnya daripada anggur
putih yang biasa kuminum. Aku terbiasa minum. Dirk

399
LYNNE MARTIN

Niepoort, pria yang kali pertama menarik perhatianku,


menjadi pemain kunci dalam konferensi tersebut. Selain
memproduksi anggur Douro yang brilian, Dirk juga
berperan sebagai katalis dengan mendorong produsen
anggur untuk bekerja sama demi mendapatkan hasil
yang lebih besar. Penjabarannya, anggur itu dibuat
dengan mengambil cairan anggur yang sudah disuling
dan ditambahkan brendi ke dalamnya. Namanya sendiri
diambil dari kota pantai Porto, kota kedua terbesar di
Portugal, dan kunci kota tersebut ditemukan di mulut
Sungai Douro. Meskipun itu murni kebetulan, kami
ada di salah satu acara pertemuannya. Sepanjang sisa
kunjungan kami, aku melihat label itu di jendela setiap
toko anggur yang kulewati di Portugal!
Kami menghabiskan sisa sore itu dengan berjalan-
jalan di taman, air terjun, jalan setapak, dan hutan di
sekitar estat. Matahari bekerja sama pada saat yang tepat
sehingga kami bisa menikmati peninggalan arsitektur
dan holtikultura Portugal dengan pencahayaan sem-
purna.
Setelah menikmati sarapan yang disajikan oleh
pelayan yang sama, kami pergi ke tempat yang lebih jauh
ke Aviero, kota pantai indah, yang menjadi pusat dari
serangkaian kanal. Meskipun diterpa embusan angin
http://facebook.com/indonesiapustaka

dingin, para turis berbaris untuk dibawa berkeliling


dengan menggunakan gondola yang digerakkan oleh
mesin, sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan
gondola asli Venesia yang ingin mereka tiru. Di tambah
lagi, harus kukatakan, melihat pendayung gondola yang
bertubuh kekar tentu mengalahkan mesin Evinrude!
Kami melewatkan berkeliling dengan gondola modern,

400
PORTUGAL

tapi kami menemukan restoran yang menyenangkan


untuk makan siang, yang selalu menjadi prioritas kami.
Sebagian makanan orang Portugal kental dengan bahan
ikan dan minyak zaitun, tapi kurang dalam hal rasa, yang
menjadi kasus hari itu. Tapi, aku senang bisa melaporkan
bahwa anggur teman kami, Dirk, tersedia di restoran itu.
Setelah menikmati dua gelas anggur Redomanya yang
enak, rasa makanan yang hambar tidak menggangguku
lagi.
Saat kembali ke hotel mewah kami, kami mampir di
bar hotel, dengan lukisan besar, perabot yang nyaman
tapi terlalu banyak, dan langit-langit tinggi yang di-
kelilingi oleh lapisan emas. Saat kami duduk di bar, Tim
berkata, “Aku mau mengakui sesuatu.”
Oh, Tuhan, tidak ada istri yang mau mendengar
sesuatu seperti itu. Selamanya. Pikiran seperti ada
wanita lain, Tim ingin membeli mobil Porsche, Tim
benar-benar menganggapku gemuk, menyelinap masuk
ke dalam otak wanita saat pria mengucapkan kata-kata
itu. “Iyaaaaaa …?” jawabku, mencoba untuk terlihat
santai.
“Aku ingin sekali segera ‘pulang’ ke ‘rumah’ Portugal
kita di pantai di Caparica,” ujar Tim.
Aku tertawa terbahak-bahak. “Apanya yang lucu?”
http://facebook.com/indonesiapustaka

tanya Tim dengan bingung.


“Tidak ada.” Dengan cepat aku menenangkan diri
saat ketakutanku menguap.
Selama sejenak, Tim menatapku dengan sorot aneh,
kemudian melanjutkan. “Yang ingin kukatakan adalah
aku mulai memikirkan tempat-tempat di mana kita
tinggal, jika semua itu bisa disebut rumah. Maksudku,

401
LYNNE MARTIN

aku akan dengan senang hati kembali ke tempat tidur,


dapur, dan kehidupan kecil kita di Caparica ... seperti
pulang setelah liburan pada akhir pekan. Aku rasa itu
menarik, bagaimana menurutmu?”
Aku setuju. Kami menjadi sangat hebat dalam ber-
adaptasi hingga sekarang kami bisa merangkul gaya
hidup apa pun pada saat itu, dan merasa sangat nyaman
hingga tempat itu terasa seperti rumah untuk kami. Aku
tahu di mana letak semua barang, mulai dari pengupas
sayuran sampai kaus kaki tebalku, jadi tidak perlu ada
kepanikan saat pindahan! Secara otomatis kami tahu
di mana tombol lampu dan bagaimana kunci berfungsi
tanpa berpikir lagi. Itu adalah perubahan yang memakan
waktu.
Benar saja, saat kami sampai di Caparica pada keesokan
harinya, membuka pintu gerbang, mengeluarkan tas dari
mobil, memeriksa surel, memutuskan akan membuat
apa untuk makan malam, dan menjalani kehidupan
kami, rasa seperti kami berada di rumah kami sendiri.
Tempat mana pun akan terasa seperti rumah saat kami
bersama.
Kami tinggal di Caparica selama lima minggu, itu
menjadi rekor untuk kami. Kami sangat menyukai
orang-orang Portugal dan kehidupan di sini hingga kami
http://facebook.com/indonesiapustaka

sudah mulai merencanakan untuk kembali ke sini saat


sedang berkemas. Tapi, kami tidak akan merindukan
suara anjing yang menggonggong di sekitar sini … atau
satu-satunya tetangga yang berisik, yang tinggal tepat
di sebelah rumah. Pria itu muncul setiap Sabtu malam,
menyalakan televisinya terlalu kencang, mencuci mobil-
nya setiap Minggu pada pukul 3.00 sore—tidak peduli

402
PORTUGAL

hujan atau cerah—dan pergi tepat pada pukul 9.30


setiap Minggu malam. Meskipun pria itu membuat
kami kesal, jadwalnya yang teratur menjadi salah satu
cara untuk mengetahui hari. Rasanya menyenangkan
bisa merasakan rutinitas yang sama seperti yang kami
lakukan di rumah untuk sementara waktu, bahkan
sekalipun bagian itu tidak terlalu menyenangkan.
Salah satu hal yang aneh dengan kehidupan tanpa
rumah adalah kami jadi mudah untuk mengabaikan
kejengkelan yang mungkin akan kami anggap tak
tertahankan di rumah permanen kami, misalnya anak
kecil yang terus-menerus berteriak, kebisingan lalu
lintas, tetangga yang berpesta, atau suara motor yang
keras, yang selalu terdengar setiap hari pada pukul 7.00.
Kami tahu kami pasti akan pindah, jadi semua itu tidak
terlalu berpengaruh ke dalam kehidupan kami. Kenapa
harus mengkhawatirkan semua itu?
Pada pagi terakhir kami, Katarina datang untuk
mengucapkan selamat tinggal. Dia membantu kami
memasukkan barang-barang kami ke dalam mobil se-
ukuran mainan, dan kami pergi lagi. Kami mengharap-
kan perjalanan yang mudah ke bandara karena saat itu
hari Minggu Paskah, tapi saat sampai di jembatan, kami
kecewa melihat lalu lintas yang padat di kedua arah.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Tentu saja, saat itu turun hujan, seperti yang terjadi


hampir setiap hari selama lima minggu. Tanahnya
basah, dan orang-orang di mobil yang lain tidak terlihat
senang. Kami menyeberangi jembatan, tapi lalu lintas
tetap lambat, dan kami mulai khawatir akan kehabisan
waktu.
Kami melihat kendaraan darurat di sisi lain jalan.

403
LYNNE MARTIN

“Aaaah, lihat,” kata Tim, terlihat sangat lega, tahu


bahwa lalu lintas akan lancar di sisi jalan yang lain. “Itu
menjelaskan kepadatan lalu lintas. Mereka berhenti di
sisi itu karena ada kecelakaan, dan sisi kita bergerak
dengan sangat lambat karena orang-orang tidak bisa
menahan diri. Mereka harus menontonnya.”
Aku mengikuti arah pandangan mata Tim ke
seberang jalan. Seketika itu juga kami berhenti ber-
napas. Ada pepohonan yang berjejer di bukit di atas
jalanan. Salah satu pohon itu, tingginya sekitar tiga
puluh meter, mulai bergerak. Bagian atasnya berayun,
dan kemudian mulai terjatuh dengan perlahan, bagian
atasnya menyentuh jalanan lebih dulu. Rasanya butuh
waktu selamanya untuk pohon itu sampai ke jalan—dan
kemudian segalanya menjadi lebih cepat. Dalam waktu
sepersekian detik, pohon itu tumbang di tengah jalan,
mendarat di beberapa mobil, bagian atasnya ada di
pagar pembatas, hanya beberapa meter dari mobil kami.
Orang-orang berlarian dari lokasi kecelakaan yang kami
lewati beberapa detik sebelumnya. Aku melihat seorang
wanita yang berdiri di samping mobil pertama yang
terkena pohon tumbang, mulutnya terbuka. Wanita itu
menjerit. Karena kami terus bergerak maju, terdorong
oleh lalu lintas di sekeliling kami, kami tidak sempat
http://facebook.com/indonesiapustaka

memproses apa yang disaksikan oleh mata kami. Ruas


jari tangan Tim memutih karena mencengkeram setir
dengan sangat kuat.
Dalam sekejap, semua itu ada di belakang kami—
kecelakaan, pohon yang tumbang, mobil-mobil yang
kejatuhan pohon. Lalu lintas terus melaju seperti tidak
terjadi apa-apa. Selama sejenak, kami terlalu syok untuk

404
PORTUGAL

bicara, masing-masing dari kami menyortir kejadian itu


di dalam otak kami. Saat mendapatkan lagi ketenangan
diri, kami menyadari bahwa masing-masing dari kami
memikirkan keberuntungan kami karena lolos dari
maut, dan kemudian kami memikirkan kondisi alam
yang tidak pernah bisa diduga. Pengalaman itu semakin
menguatkan mantra kami: jangan menunda apa pun.
http://facebook.com/indonesiapustaka

405
http://facebook.com/indonesiapustaka
Epilog

Jangan Menunda
Apa Pun
K ehidupan nomaden kami membuat diri kami
hanya menunda satu hal: merasa tua. Aku tidak
bermaksud mengatakan kami menunda menjadi tua.
Tuhan tahu bahwa dengan setiap hari yang berlalu, kami
terkejut melihat perubahan yang kami lihat di cermin.
Hanya saja, kami tidak merasa tua.
Ada perbedaannya. Kami mensyukuri kesehatan dan
kestabilan keuangan kami—dua hal penting untuk para
pensiunan. Kami tahu akan lebih mudah bagi orang
merasa muda jika dia sehat. Kami mengejar kesehatan
dan uang sepanjang hidup, tapi kami tahu bahwa
kami tidak bisa mengklaim bahwa hanya atas usaha
http://facebook.com/indonesiapustaka

itulah kami mendapatkan semua keberuntungan itu.


Keberuntungan memberiku dan Tim gen yang bagus,
dan satu sama lain, dua hal yang selalu kami syukuri
setiap hari.
Sebelum memulai kehidupan “tanpa rumah”, kami
tinggal di tempat emosional yang oleh penulis Jess
Walter disebut “dataran tinggi luas antara kebosanan

407
LYNNE MARTIN

dan kepuasan” di dalam novelnya, Beautiful Ruins.


“Meskipun tidak merasa tidak bahagia, kami bosan.
Usia tua dan perasaan bosan bergelung di bawah pintu
dan di balik jendela.”
Kami tidak pernah lagi merasakan ancaman itu;
kami tidak melihat ke belakang. Kami lebih sehat, lebih
bahagia, dan lebih bersentuhan dengan dunia kami dan
diri kami sendiri daripada yang kami pikir mungkin
bisa terjadi. Kebosanan berdiri di sudut terjauh, di
luar jangkauan. Sementara untuk kepuasan? Menurut
pendapatku, orang terlalu mengagung-agungkan ke-
puasan.
Sebagian orang mungkin menganggap pemikiranku
dangkal, dan mungkin mereka ada benarnya. Tapi, ke-
nyataannya adalah aku lebih suka mengkhawatirkan
bagaimana kami bisa sampai dari Bandara Charles
de Gaulle di Paris ke apartemen kami pada jam sibuk
minggu depan daripada mengkhawatirkan apakah
serbetku akan serasi dengan taplaknya untuk acara
jamuan makan malam, apakah tukang kebun akan
memperbaiki selang air sebelum bunga mawarnya ber-
mekaran, atau apakah aku akan datang terlambat ke
pertemuan komite klub. Aku tidak menyarankan gaya
hidup kami untuk semua orang, aku juga tidak berpikir
http://facebook.com/indonesiapustaka

pilihan kami adalah yang terbaik. Yang aku tahu adalah


kami menjalani hidup seperti yang kami inginkan,
dan merasa sangat beruntung karena telah membuat
keputusan yang tepat untuk diri kami sendiri.
Saat memulai petualangan ini, kami tidak tahu apakah
kami akan menuju tahun-tahun penuh penyesalan
dan kekacauan atau perjalanan yang membahagiakan.

408
EPILOG: JANGAN MENUNDA APA PUN

Akan seperti apa dunia tanpa surga, di mana kami bisa


menarik selimut ke atas kepala dan bersembunyi sampai
menemukan ide yang lebih baik? Jam terus berdetak dan
kami ingin merasakan bagian terakhir kehidupan kami
tanpa terikat pada satu tempat. Di sinilah keberanian
berperan penting. Kami membutuhkan gabungan kua-
litas, yang patut dikagumi dan tidak menarik, untuk
menaklukkan ketakutan kami menyerahkan rumah
kami, sebagian besar barang kami, dan pendapat se-
bagian teman dan keluarga kami untuk mendapatkan
kehidupan baru tanpa terpengaruh apa pun. Kami sudah
cukup tua untuk tahu bahwa pilihan kami akan disertai
dengan konsekuensi yang tak terduga.
Sekarang, hasilnya sudah terlihat. Hidup di jalanan
sangat cocok untuk kami pada sebagian besar waktu.
Kekesalan dan kejadian buruk kecil yang kami hadapi
biasanya bisa ditaklukkan dengan kesabaran, tawa, dan
fleksibilitas. Terkadang, kami memecahkan masalah ha-
nya dengan menghabiskan beberapa dolar tambahan
untuk mendapatkan tempat yang lebih nyaman, atau
untuk naik taksi dan bukannya naik kereta bawah tanah
saat kami tersesat atau kelelahan. Ada hari-hari saat
cuaca, sakit, ketidaknyamanan, frustrasi, atau hanya
suasana hati yang buruk mengganggu kami. Lebih dari
http://facebook.com/indonesiapustaka

sekali kami merasa takut, dan terkadang aku sangat


merindukan keluargaku. Aku menjadi sentimental ter-
hadap hal-hal aneh seperti kebunku, yang sekarang
dirawat oleh wanita lain, atau wajan besi tuaku, yang
menungguku di gudang sewaan. Suatu hari nanti,
aku akan punya kebun lain, dan wajah besi itu akan
menghasilkan makanan lezat lagi setelah akhirnya kami

409
LYNNE MARTIN

memutuskan untuk tinggal menetap lagi.


Balasan untuk semua ketidaknyamanan dan ke-
rinduan ini? Menantang ide kami tentang arti “tua”.
Kami menahan momok itu sejauh mungkin, di tempat
yang seharusnya: di dalam pikiran dan sikap kami.
Tentu saja, kami harus menghadapi kenyataan: kami
tidak lagi mampu berlari menaiki tangga di stasiun
kereta bawah tanah London atau di stasiun Metro Paris;
kami memilih untuk berjalan di pinggir dan dengan
langkah perlahan. Kami tidak lagi bergadang sampai
dini hari; kami justru menggunakan waktu makan siang
selama dan sesantai mungkin. Penerbangan panjang
atau perjalanan dengan bus selama dua belas jam tidak
lagi menjadi pilihan untuk kami. Tapi, setiap hari, kami
belajar sesuatu, melihat sesuatu, merencanakan sesuatu,
bertemu seseorang, atau menyelesaikan masalah baru.
Untuk semua alasan itu, kami tidak menganggap diri
kami “tua”.
Tidak setiap orang berusia lanjut bisa atau ingin
mengikuti jejak kami dengan membuat perubahan
radikal dalam hidupnya. Tapi, kami berharap contoh
kami bisa membantu orang lain memahami bahwa “tua”
bukan berarti ‘selesai’ atau menyerah pada hidup penuh
dengan kebosanan dan rutinitas. Menjalani kehidupan
http://facebook.com/indonesiapustaka

tanpa rumah lebih seperti tindakan; itu adalah pola


pikir, sikap. Itu membuat orang bisa merangkul ide baru,
mengubah pola lama, atau mendapatkan teman baru.
Semua itu bisa memberikan kehidupan yang lebih segar
dan kegembiraan kepada orang dalam situasi seperti apa
pun.
Ada banyak orang yang menulis pada kami untuk

410
EPILOG: JANGAN MENUNDA APA PUN

mengatakan bagaimana mereka menemukan kehidupan


tanpa rumah versi mereka sendiri. Seseorang mengambil
rute perjalanan yang lebih jauh. Yang lain menemukan
tempat untuk tinggal di negara lain selama berbulan-
bulan pada satu waktu. Beberapa orang belajar bahasa
baru atau mengambil pensiun dini agar bisa memiliki
waktu lebih untuk mengejar mimpi mereka. Sebagian
teman kami tidak bisa bepergian atau membuat per-
ubahan. Tapi, dengan membaca blog kami dan ber-
interaksi dengan kami, mereka menikmati kepuasan
baru, mengingat lagi kenangan mereka tentang pem-
berontakan mereka sendiri di dunia (tidak peduli besar
atau kecil), atau mengejar dan menghidupkan kembali
ketertarikan yang sudah mereka tinggalkan karena
menganggap diri mereka “tua”.
Saat aku menulis ini, Tim sedang duduk di bawah
di rumah terbaru kami, sebuah pondok Irlandia yang
menawan di dekat Kerry, membuat rencana untuk masa
depan kami. Tim menggumam pada layar komputernya
saat dia membandingkan harga untuk pelayaran yang
rencananya akan kami lakukan tahun depan. Malam ini
teman kami, Maureen dan Alan, yang pernah menjadi
tetangga dekat kami tahun lalu di Dublin, akan menjadi
tamu makan malam kami. Obrolan kami saat makan
http://facebook.com/indonesiapustaka

malam nanti mungkin akan berkisar tentang apa yang


kami pelajari sejak kali terakhir bertemu mereka, dan
rencana kami untuk masa depan. Saat ini, yang menjadi
ketertarikan utama kami adalah Polinesia Prancis. Dan,
melakukan eksplorasi lebih jauh di wilayah Amerika
Selatan akan menjadi perjalanan yang menantang, dan
kami benar-benar ingin melakukannya walaupun kami

411
LYNNE MARTIN

memiliki pengalaman buruk dengan orang Argentina


yang suka berkata “tidak”. Australia dan Selandia Baru
membuat kami terkesima, dan Asia selalu menjadi
pertimbangan utama kami. Setiap hari kami merasa
bersyukur karena masih diberi waktu untuk melihat
dunia bersama setelah kami berpisah selama berpuluh-
puluh tahun, dan faktor utama dari kebahagiaan kami
adalah kami bisa terus berbagi pengalaman dengan
kalian.
Pada akhirnya, merangkul perubahan dalam dina-
mika hidup kami, menemukan fleksibilitas untuk
berganti peran sementara (pendukung dan penulis,
optimis dan realis, pemimpi dan pelaku), dan mengenal
ribuan orang yang juga sedang mengalami proses
untuk menemukan arah baru dalam kehidupan mereka
semakin menguatkan keyakinan kami akan kekuatan
mengatakan “iya”. Hingga hari ini, kami terinspirasi
untuk tidak menunda apa pun karena hidup terlalu
singkat dan terlalu manis untuk tidak dinikmati seperti
yang kalian inginkan. Kami berharap kalian akan me-
rasakannya juga.
http://facebook.com/indonesiapustaka

412
Kurva Pembelajaran:

Hal-Hal yang Tidak


Diajarkan oleh Buku
Panduan
B anyak orang bertanya kepada kami bagaimana
menciptakan gaya hidup tanpa rumah, dan kami
akan menjawabnya dengan senang hati! Untuk kalian
yang tertarik, ini beberapa tip, trik, dan pelajaran penting
yang kami pelajari di jalanan.

Hal Mendasar Sebelum Kalian Pergi


xVisa: Sangat penting untuk mencari tahu tentang
persyaratan visa untuk tempat-tempat yang ingin
kalian kunjungi. Sisihkan waktu untuk melakukannya
http://facebook.com/indonesiapustaka

dengan benar dan teliti. Tidak melakukan itu bisa


mengubah rencana penting yang sudah dibuat.
Selain itu, beberapa negara mengenakan biaya ter-
tentu untuk visa, yang mungkin bisa berpengaruh
pada pengeluaran kalian, jadi pertimbangkan itu saat
memilih destinasi. Yang juga penting adalah jangan
lupa memeriksa paspor kalian. Masa berlakunya

413
LYNNE MARTIN

harus lebih enam bulan dari tanggal kedaluwarsa.


Kalian bisa mencari tahu lebih banyak tentang hal
itu di situs ini: www.travel.state.gov/visa.
xMasalah Hukum: Buat surat perwalian atau setidak-
nya surat wasiat. Aku tahu itu memang pikiran yang
mengerikan, tapi keluarga kalian akan berterima
kasih jika sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
xUang: Atur dengan bank kalian agar semua tagihan
bisa dibayarkan secara daring. Itu membuat hidup
menjadi jauh lebih mudah saat kalian berada di luar
negeri!
o Miliki setidaknya dua kartu kredit, akan lebih
baik jika salah satunya menawarkan poin mileage.
Sebagian juga menawarkan bebas biaya peralihan
mata uang, yang bisa sangat berguna jika kalian
menggunakannya di luar negeri.
o Buat akun Paypal agar kalian bisa mengurus biaya
penyewaan selagi berada di jalan. Telepon mereka
sebelum kalian meninggalkan rumah untuk
mengatakan kepada mereka rencana perjalanan
kalian. Jika tidak, mereka tidak akan memotong
dari rekening bank kalian dan kalian akan di-
kenakan biaya transaksi mendadak.
http://facebook.com/indonesiapustaka

xSurat: Minta anggota keluarga atau teman yang


bisa dipercaya untuk menerima surat kalian, jika
memungkinkan, dan sisihkan waktu untuk meng-
hentikan langganan katalog agar mereka tidak ingin
membunuh kalian saat mereka harus menggali di
antara tumpukan katalog setiap hari untuk meng-
ambil surat kalian.

414
KURVA PEMBELAJARAN

o Atau, coba gunakan layanan surat. USA2Me.


com akan menerima dan menyortir surat kalian,
meneruskan paket, dan melakukan semua tugas
yang berhubungan dengan surat-menyurat de-
ngan biaya yang tidak terlalu besar, dan kalian
bahkan tidak perlu mengirimkan kartu ucapan
terima kasih atau khawatir mereka lupa mengurus
tagihan dokter gigi kalian.
xAsuransi Kesehatan: Medicare tidak menjamin
kalian di luar Amerika Serikat. Akan bijaksana jika
kalian mencari asuransi kesehatan internasional. Ada
sejumlah perusahaan asuransi yang menawarkan
polis untuk kondisi darurat yang besar. Mereka
juga akan mengevakuasi kalian jika diperlukan.
Ada banyak negara selain Amerika Serikat yang
menawarkan perawatan kesehatan yang bagus
untuk turis dengan biaya tertentu. Kalian mungkin
ingin memeriksa detailnya di tempat-tempat yang
rencananya akan kalian kunjungi sekaligus melihat
pilihan layanan kesehatan dan asuransi apa yang
tersedia.
xVaksinasi: Periksa rekomendasi Pusat Pengendalian
dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk tempat-
tempat yang akan kalian datangi: www.cdc.gov/
http://facebook.com/indonesiapustaka

travel. Departemen kesehatan di wilayah tempat


tinggal kalian seharusnya bisa memberikan vaksinasi
jika dibutuhkan. Sisihkan waktu yang cukup untuk
mendapatkan vaksinasi dan pulih dari efeknya se-
belum kalian pergi karena sebagian dari vaksinasi
itu sangat sakit!

415
LYNNE MARTIN

Transportasi
xKapal: Kami sangat merekomendasikan pelayaran
sekali jalan untuk sampai ke tempat yang kalian
inginkan dengan biaya murah. Dua kali dalam
setahun, perusahaan kapal layar akan memindahkan
perlengkapan mereka. Mereka akan menawarkan
harga yang jauh lebih hemat karena itu bukanlah
rute yang populer. Untuk informasi lebih, silakan
kunjungi:
o www.repositioningcruises.com
o www.vacationstogo.com
xMobil: Kami menggunakan dua perusahaan rental:
o CarRentals.com untuk penggunaan umum.
o Autofrance.net untuk penyewaan lebih dari tujuh
belas hari di Prancis. Ini adalah kesepakatan yang
bagus karena kalian akan mendapatkan mobil
Peugeot baru dengan harga sewa jauh lebih murah
dibandingkan penyewaan mobil standar Eropa
lain.
xTempat Tinggal: Kami memesan apartemen dan
rumah, jauh sebelum kedatangan dengan meng-
gunakan:
http://facebook.com/indonesiapustaka

o www.vrbo.com
o www.homeaway.com

Dan, ada sejumlah hal lain yang kami pelajari di


berbagai tempat yang kami datangi (diatur sesuai bab di
bawah ini):

416
KURVA PEMBELAJARAN

Bagian Tiga: San Miguel De Allende, Meksiko


xPerhatikan Langkah Kalian: Sepatu berjalan yang
bagus sangat penting di kota-kota tua. Trotoarnya
diaspal dengan batu dan direkatkan dengan beton
yang tidak rata. Jalanan sempit dan belokan tajam
ada di mana-mana. Jangan mengangkat kepala saat
kalian berjalan. Berhentilah berjalan saat kalian
ingin melihat-lihat jendela toko atau menatap gereja
yang menakjubkan.
xSantai Saja: Ketinggiannya hampir 2.000 meter.
Kecuali kalian manusia super, kalian akan terengah
seperti orang gila selama beberapa hari pertama, jadi
jangan memaksakan diri. Ingat, dalam kunjungan
ini, kalian bukanlah turis, kalian adalah pengelana.
Kita bergerak dengan tempo yang lebih lambat.
xRencanakan di Depan: Bandara Internasional
Léon berjarak sekitar satu jam lima belas menit dari
San Miguel. Kalian bisa menghemat uang dengan
menggunakan bus. Jika kalian ingin lebih santai,
sewa mobil yang biayanya sekitar $100. Apa pun
pilihannya, atur transportasi sejak sebelumnya.
Masukkan ke dalam daftar pengeluaran dan kalian
bisa memulai perjalanan dengan gembira. Kalian
http://facebook.com/indonesiapustaka

juga bisa terbang ke Meksiko dan menggunakan


bus ke San Miguel. Itu bisa menghemat biaya dan
menurut orang yang sering melakukannya, cara itu
cukup bagus.
xMasalah Kesehatan: JANGAN minum air dari
keran kecuali kalian yakin airnya sudah dimurnikan.
Gunakan air botolan—bahkan untuk menyikat gigi.

417
LYNNE MARTIN

JANGAN menyantap makanan yang belum dimasak,


tidak mengupas sayuran kecuali di restoran yang
memiliki reputasi bagus. Es di restoran tidak akan
menyakitimu sehingga margarita tidak masalah
buatmu.
xBersikap Baik: Orang Meksiko merespons ke-
sopanan. Jangan berteriak. Sapalah orang-orang saat
kalian memasuki toko atau restoran, dan gunakan
gracias dan por favor sesering mungkin.

Bagian Empat: Buenos Aires


xTentang Penerbangan Panjang: Kalian bisa mem-
buat diri kalian jauh lebih nyaman, bahkan tanpa
mengganti tiket ke kelas yang lebih tinggi. Untuk
harga yang lebih murah daripada kelas bisnis,
kalian bisa membeli tiket untuk kursi di dekat sekat
pemisah. Tempat itu menawarkan ruang dan privasi
yang lebih. Itu hal yang penting! Yang juga harus
diingat adalah meminum alkohol di pesawat bisa
memperburuk efek jet lag.
xMobil Jemputan: Nasihat standar kami juga berlaku
di sini. Keluarkan biaya tambahan untuk mobil
jemputan saat kau tiba. Sopirnya akan mengantar
http://facebook.com/indonesiapustaka

kalian ke apartemen kalian tanpa masalah, dan


kalian bisa memulai kehidupan tanpa rumah dengan
drama yang lebih sedikit. Biaya tambahan yang
kalian keluarkan tidak akan sia-sia. Berhematlah di
sampanye untuk menutup selisihnya.
xDaftar Pemeriksaan: Buat daftar semua hal yang
perlu kalian tahu sebelum pergi. Dengan sopan,

418
KURVA PEMBELAJARAN

desaklah agen atau pemilik untuk mengulasnya


dengan kalian sebelum dia meninggalkan apartemen.
Ini termasuk: memeriksa semua peralatan apakah
masih berfungsi, bagaimana membuka dan me-
nutup pintu serta jendela. Lihatlah panci dan peng-
gorengannya. Apakah bersih dan bisa dipakai?
Apakah ada teko kopi? Catat lokasi toko terdekat,
pilihan transportasi, dan telepon, ditambah barang-
barang khusus di negara itu. Kalian membutuhkan
daftar karena kalian akan terlalu lelah dan terlalu
bersemangat untuk ingat apa yang harus ditanyakan.
Percayalah kepada kami. Bawalah daftar itu ke setiap
negara baru. Ada contoh daftar yang bagus di situs
kami, www.homefreeadventures.com, yang sudah
ditambahkan dengan ide-ide hebat dari pembaca
kami!
xKalian Tidak Istimewa: Ingat bahwa kota besar
biasanya sibuk dan orang harus menjalani hidup
mereka. Bersiaplah untuk mengurus diri sendiri dan
menyingkir dari jalan orang. Jangan tersinggung jika
menerima perlakukan kasar. Kecuali kalian tinggal
di hotel, kalian tidak akan diperlakukan dengan jauh
berbeda di Buenos Aires.
xBahasa Spanyol Meksiko: Bahasa ini tidak terlalu
http://facebook.com/indonesiapustaka

berguna di Argentina. Logatnya sulit untuk di-


mengerti dan diucapkan. Pelajari bahasa Spanyol
Argentina sebelum kalian pergi. Jangan pernah
menggunakan gabungan bahasa Spanyol dan Inggris.
xKetidakbahagiaan: Jika merasa kepanasan, stres,
atau tidak bahagia, kalian mendapatkan izin dari
kami dan dari kalian sendiri untuk pergi lebih awal

419
LYNNE MARTIN

dari jadwal. Ingat, kalian tidak memulai kehidupan


ini untuk menderita, kan?
xAjukan Pertanyaan yang Tepat: Di Argentina,
jawaban pertama untuk semua pertanyaan kalian
biasanya adalah, “Tidak”. Bahkan, penduduk lokal
mengakui fakta ini. Kami tidak bermaksud kejam.
Begitu pula mereka. Susun pertanyaan kalian agar
ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan
berikutnya. Misalnya saja, akan lebih baik bertanya
kepada pelayan, “Apakah kalian menjual anggur
per gelas?” dan bukannya, “Boleh aku minta segelas
anggur?” Dan, sebelum kalian masuk ke dalam
taksi, tanya kepada sopirnya apakah mereka punya
kembalian!

Bagian Lima: Penyeberangan Transatlantik


xPilih Kabin yang Tepat: Perhatikan musim.
Misalnya, kabin balkon tidak akan berguna saat
musim dingin, tapi tinggal di kabin yang ada di
dek bawah akan membantu mengurangi risiko
yang mengharuskan kalian untuk mengikat dirimu
sendiri ke tempat tidur kalian pada malam hari!
xPilih Teman dengan Hati-Hati: Buat pengamatan
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan belajar selama hari pertama perjalanan kalian.


Jika kalian berteman terlalu cepat dan berubah
pikiran, tidak akan mudah menghindari mereka
secara halus di tempat dengan ruang terbatas.
xSembunyi: Semalam menggunakan layanan kamar
(gratis di atas kapal), jika dibutuhkan, bisa menjadi
terapi yang berguna!

420
KURVA PEMBELAJARAN

Bagian Enam: Turki


xLokasi, Lokasi, Lokasi: Jika kalian merencanakan
kunjungan singkat di Istanbul, akan lebih baik
menyewa tempat yang dekat dengan pusat kota
tua itu. Kalian bisa berjalan kaki ke sebagian besar
monumen dan menikmati rasa kehidupan yang
sesungguhnya di negara yang mengagumkan itu.
xSesuaikan Bentangan Perhatian Kalian: Jangan
mendaftar tur mendetail sepanjang hari jika kalian
tipe orang yang suka melihat sekilas. Terkadang,
membuat prioritas dan menyisihkan waktu untuk
berkeliaran adalah pilihan yang lebih baik.
xKunci!: Selalu periksa kunci kalian sebelum pergi
dari apartemen, apalagi jika tidak ada pengawas
atau petugas jaga di sana. Jika tidak, kalian akan
membuang-buang banyak waktu.
xBaca Ulasan: Manfaatkan ulasan terbaru sebelum
memesan sesuatu. Jangan mengandalkan ingatan
atau rekomendasi teman dari perjalanan mereka
sepuluh tahun lalu. Segala sesuatu bisa berubah.
Jika kalian tidak berhati-hati, musik rock’n’roll Eropa
yang bising bisa mengganggu kalian—atau mungkin
http://facebook.com/indonesiapustaka

makanan yang tidak layak dimakan.


xCari Teman Baru: Bicara kepada semua orang.
Kalian akan belajar dari pengelana lain tentang
tempat-tempat yang mungkin tidak pernah kalian
pertimbangkan sebelumnya, dan ambillah semua
ide yang hebat.

421
LYNNE MARTIN

Bagian Tujuh: Paris


xSantai: Nikmati keuntungan menjalani kehidupan
tanpa rumah. Berikan diri kalian sendiri hari-hari
“santai” untuk membaca, istirahat, dan bermalas-
malasan. Ini kehidupan kalian, bukan liburan saat
kalian harus mendatangi semua objek wisata yang
ingin kalian lihat dalam waktu empat hari.
xSingkirkan Ego: Jangan takut untuk terlihat bodoh
atau mengajukan pertanyaan. Biasanya orang me-
maafkan ketidaktahuan kalian dan kurangnya ke-
mampuan berbahasa Prancis jika kalian meminta
tolong dengan sopan.
xAmati: Hindari mempermalukan diri kalian sendiri.
Sisihkan waktu untuk mengamati penduduk lokal
beraksi. Kalian akan belajar menguasai subway,
toko serbaada, bioskop, dan restoran dengan ter-
lebih dahulu mengamati bagaimana orang lain me-
lakukannya.
xBeli Satu, Buang Satu: Kalian boleh membeli baju
baru, tapi sebagai gantinya singkirkan sesuatu. Jika
tidak, kalian akan bepergian seperti keledai angkut
setiap kali kalian pindah.
xPerawatan: Tanyakan kepada penduduk lokal ten-
tang salon kecantikan dan tempat perawatan kuku.
http://facebook.com/indonesiapustaka

Kalian mungkin akan beruntung; kalian mungkin


tidak akan beruntung. Bahkan, potongan rambut
terburuk sekalipun pasti akan tumbuh lagi.

Bagian Delapan: Italia


xMengemudi: Beli alat GPS yang bagus dan bawalah
bersama kalian. Perjalanan pergi dan pulang mung-

422
KURVA PEMBELAJARAN

kin tidak akan mengikuti rute yang sama di kota


berusia seribu tahun yang didesain hanya untuk
dilewati kambing, jadi kalian benar-benar mem-
butuhkan bantuan.
xUndang Anak-Anak: Kunjungan dari anak atau
cucu bisa melipatgandakan kesenangan kalian!
xDinginkan Tubuh: Jangan tinggal di Italia pada
bulan Juli dan Agustus tanpa AC. Orang Italia memiliki
definisi yang berbeda tentang ketidaknyamanan. Ingat,
panas yang kering bisa membuat kalkun matang.
xKeluar: Jika kalian merasa tidak bahagia, kepanasan,
dan menderita, lanjutkan perjalanan. Kalian sudah
besar.

Bagian Sembilan: Inggris


xMengemudi: Saat kalian tiba, beri waktu pada diri
sendiri untuk belajar cara mengemudi di sisi kiri.
Sebelum memasukkan kunci ke mesin, pelajari juga
konsep putaran—masuk melalui sebelah kiri dan
mengemudi searah jarum jam.
xPerjalanan Sampingan: Jangan melakukan per-
jalanan panjang ke Cornwall atau tempat mana pun
di negera itu pada hari pertama. Rencanakan jalur
http://facebook.com/indonesiapustaka

perjalanan di suatu negara setelah kalian cukup


beristirahat di rumah “permanen” kalian. Kalian akan
terlalu lelah karena bepergian dan terlalu terbebani
oleh koper-koper jika melakukan tur terlebih dahulu.
Bawa ban tambahan saat kalian melakukan tur tanpa
membawa banyak barang; tinggalkan barang-barang
kalian di “rumah”. Kecuali kalian masih muda dan

423
LYNNE MARTIN

tangguh, menyewa penginapan lebih lama akan


sangat membantu.
xKatakan “Iya”: Saat seseorang menawarkan kesem-
patan kepada kalian untuk pergi ke suatu tempat,
untuk melihat sesuatu, untuk melakukan sesuatu
yang baru, katakan “Iya” kapan pun memungkinkan.
Kisah terbaik kalian akan datang dari hal-hal yang
tidak pernah kalian harapkan, tapi tetap kalian coba!
Jangan menunda apa pun!
xTetap Berhubungan: Gunakan koneksi internet
untuk berbicara dengan teman dan keluarga me-
lalui Skype atau FaceTime. Mengobrol selama
tiga puluh menit bisa membuat kalian merasa se-
perti mengunjungi rumah dan bisa menjadi obat
penambah semangat untuk kalian dan mereka yang
kalian cintai dan rindukan.
xBerbelanja untuk Kelestarian Lingkungan: Jangan
malu. Toko barang amal memiliki barang-barang
yang bagus di sebagian besar negara. Saat musim
berganti, kalian bisa menambah pakaian kalian tanpa
menjadi bangkrut, kemudian daur ulang belanjaan
kalian dan nikmati bonus dengan merasa keren!
http://facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Sepuluh: Irlandia


xTempat Tinggal: Saat kalian mencari tempat untuk
tinggal, perhatikan semua yang mereka tawarkan.
Ini mungkin akan menjadi kesempatan kalian
untuk tinggal di pondok autentik Irlandia atau men-
dapatkan apartemen di bangunan bergaya Irlandia.
xMengemudi: Kecil lebih baik. Carilah mobil sekecil

424
KURVA PEMBELAJARAN

mungkin yang bisa mengangkut koper-koper kalian.


Jalanan sempit lebih mudah dilewati dengan mobil
kecil. Kalian juga akan menghemat bensin, itu per-
timbangan yang utama. Harga bensin di Irlandia
jauh lebih mahal dibandingkan di Amerika Serikat.
xPerjalanan Sampingan: Terkadang, butuh lebih
dari sekali untuk kita memetik pelajaran. Kami ber-
keliling Irlandia dengan membawa semua barang
kami dan menjadi kelelahan karenanya. Beristirahat
dulu di rumah sewaan, baru bepergian.
xBertemu Tetangga: Jika kalian beruntung, tetangga
baru kalian akan menjadi orang yang menarik,
informatif, memiliki rumah sendiri yang indah
dengan perabot yang nyaman. Jika tetangga sebelah
mengajak kalian mengobrol, undang mereka untuk
minum kopi atau segelas anggur. Orang Irlandia
suka mengobrol dan tertarik mendengar cerita
semua orang. Kalian mungkin akan mendapatkan
teman sejati!

Bagian Sebelas: Marrakech, Maroko


xJalan Satu Lajur: Jangan berjalan bersisian. Sepeda,
motor, atau gerobak mungkin akan menghancurkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

harimu.
xJangan Menanyakan Arah: Bersiaplah untuk
membayar jika seseorang menawarkan diri untuk
menunjukkan jalan kepada kalian. Mereka akan
mengharapkan tip. Kalian mungkin AKAN ter-
sesat di labirin kota, tapi di sanalah setengah ke-
senangannya. Jangan panik, tapi bersiaplah untuk

425
LYNNE MARTIN

membayar jika kalian membutuhkan bantuan.


xSemuanya Bisa Ditawar: Jangan membayar penuh
untuk apa pun. Tawar semuanya, termasuk ongkos
taksi, dan bersenang-senanglah selagi kalian me-
lakukannya karena penduduk setempat bisa sangat
menyenangkan.
xMakan Besar: Jangan biarkan kedai makanan luar
ruangan yang besar membuatmu takut akan me-
lewatkan kesenangan. Duduklah di meja berlapis
kertas dan nikmati makanan yang mereka sajikan.

Bagian Dua Belas: Waktu Istirahat


xPelayaran dan Mengobrol Santai: Setelah hidup di
jalan untuk waktu yang lama, gunakan perjalanan
pulang ke rumah untuk beristirahat, merenung, dan
mengunjungi pusat kebugaran untuk membakar ke-
lebihan berat badan.
xBuat Janji: Ambil keuntungan dengan berada di
“rumah”. Urus dokumen, pembukuan, pajak, dan
semua hal membosankan tapi penting, jadi saat
kalian pergi lagi untuk melakukan petualangan
tanpa rumah berikutnya, kalian juga akan bebas dari
kekhawatiran.
http://facebook.com/indonesiapustaka

xBuat Visa: Seperti yang sudah disinggung sebelum-


nya, uruslah visa jangka panjang selagi kalian berada
di rumah jika kalian akan pergi mengikuti rute itu.
Akan butuh waktu untuk mengumpulkan informasi
yang dibutuhkan, dan mungkin akan diperlukan
kunjungan langsung ke kantor konsulat. Rencanakan
di awal.

426
KURVA PEMBELAJARAN

xBelanja: Gunakan apa yang kalian pelajari saat kali


pertama pergi keluar: sortir barang-barang, perbarui
persediaan pakaian kalian, dan tinggalkan barang
yang tidak diperlukan di rumah.
xBerita Pelayaran: Sebelum memesan tiket, periksa
usia dan fasilitas kapal, dan apakah kapal itu pernah
mengalami masalah mesin atau struktur, atau apakah
ada keluhan tentang pelayarannya dari mantan
penumpang. Kualitas lebih penting daripada harga.
Delapan belas hari di kapal tua bukanlah penawaran
yang bagus.

Bagian Tiga Belas: Portugal


xJika Ada yang Salah, Katakan: Jika ada sesuatu
yang tidak berfungsi dengan baik di rumah sewaan
kalian, langsung perbaiki. Pemilik/manajer properti
ingin kalian bahagia. Jadi, jangan menderita dalam
kebisuan.
xPatuh pada Daftar: Seperti yang sudah kami sebut-
kan sebelumnya (memang sepenting itu), buatlah
daftar sebelum pergi dari rumah. Itu benar-benar
ide yang bagus. Hanya kelalaian kecil, seperti kunci
rumah, uang, atau kartu kredit, bisa menyebabkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kekacauan yang tidak perlu. Kalian tidak perlu


mengakui kelalaian kalian. Kami tidak akan pernah
mengatakannya kepada siapa pun.
xSingkirkan Kejengkelan: Jangan biarkan kejengkel-
an kecil seperti anjing yang menggonggong terus-
menerus, proyek pembangunan yang berisik, atau
tetangga yang kasar merusak kesenangan kalian.

427
LYNNE MARTIN

Kalian akan segera pergi dari sana. Beli penyumbat


telinga atau seset headphone yang bagus dan nyalakan
sekencang mungkin.

Dan, yang terakhir tapi sama pentingnya, ada dua hal


penting yang harus kalian lakukan ke mana pun kalian
pergi!
xIngatlah untuk Tertawa: Tidak peduli betapa me-
njengkelkan situasi kalian saat itu, kejadian yang ti-
dak menyenangkan saat bepergian membuat makan
malam di kemudian hari jadi lebih menyenangkan.
Cobalah untuk melihat kelucuannya saat kalian ter-
sasar jauh dari tempat yang sebenarnya ingin kalian
kunjungi, atau kaleng ikan kaper yang labelnya
dalam bahasa Jerman yang tidak kalian mengerti
ternyata berisi biji merica pedas, akan membuat
tamu makan malam kalian terkesiap dan berwajah
merah karena menahan tawa. Hal buruk di satu
waktu, akan menjadi kisah yang hebat di kemudian
hari!
xTuliskan Semuanya: Pastikan untuk membuat catat-
an. Terkadang bagian paling menarik dari pengalaman
kita bisa ditemukan pada momen-momen kecil, dan
kalian AKAN melupakannya seiring dengan ber-
http://facebook.com/indonesiapustaka

jalannya waktu, jadi buatlah catatan kecil setiap


hari sebelum kenangan itu menguap dari ingatan
kalian. Percayalah kepada kami, kalian akan sangat
bersyukur karena membuatnya.

428
ucapan

Ucapan Terima Kasih


Kolaboratorku termasuk semua orang yang mengendarai
bus, pesawat, kereta, kapal feri, kereta bawah tanah,
atau kapal bersama kami, semua orang yang berbagi
tawa, terkesiap melihat pemandangan indah, berlari
dari badai, atau memberi uang kepada pengamen
jalanan. Aku berterima kasih kepada setiap orang
asing yang memberikan kebaikan, bantuan, senyuman,
dan persahabatan mereka saat kami berusaha mencari
jalan kami di dunia. Kalian bersama kami setiap hari
saat petualangan menakjubkan kami terkuak. Kalian
memperkaya hidup kami!
Kami berterima kasih kepada orangtuaku, Wanda
dan Leonard Shomell, untuk contoh yang mereka beri-
kan. Mereka adalah inspirasi kami dan akan selalu
berada di dalam hati kami. Empat puluh tahun lalu,
http://facebook.com/indonesiapustaka

mereka membuka jejak internasional untuk kami tanpa


bantuan internet atau ponsel. Keberanian dan kesetiaan
mereka pada satu sama lain—dan tekad mereka untuk
bersenang-senang dan melihat dunia bersama pada usia
senja mereka—menjadi sebuah peta untuk kami. Daddy,
kau pasti akan sangat menyukai semua yang terjadi
kepada kami.

429
LYNNE MARTIN

Aku selamanya berterima kasih kepada Jim Gray,


penulis yang sudah berbaik hati memperkenalkan aku
kepada Glenn Ruffenach, editor di Wall Street Journal,
dan perkenalan itu membuka pintu untuk kesempatan
baru yang mengesankan. Bekerja dengan Glenn adalah
sebuah kehormatan untukku. Dia seorang pria sejati dan
jurnalis yang tidak ada duanya, bimbingan editorialnya
membuat pengalamanku dengan dunia penerbitan ber-
langsung dengan menyenangkan.
Bob Yehling, penulis California, peselancar, pelatih,
juara lari maraton, menebarkan sihirnya untuk me-
nyunting tulisan pertamaku, dan bukan hanya mem-
bimbingku untuk melakukannya, melainkan juga mem-
beriku pelajaran menulis secara privat. Kesabaran,
kebaikan, keahlian, dan bimbingan Bob adalah bagian
yang tidak tertulis dalam kontrak kami, dan sama
berharganya untukku seperti tugas penyuntingannya
yang luar biasa.
Dana Newman, agen kesusastraan/pengacaraku yang
mengagumkan, muncul dalam hidupku pada saat yang
sangat pas dengan membawa kualitas yang benar-benar
kami butuhkan: pengalaman, ketekunan, bimbingan,
dan koneksi yang tepat. dia memuluskan lintasan kami
dari konsep menuju realitas, dan terus mengarahkan
http://facebook.com/indonesiapustaka

kami melewati misteri bisnis penerbitan.


Yang mengarahkan aku kepada Stephanie Bowen,
penyunting senior di Sourcebook, Inc., yang mem-
banggakan kisah kami kepada atasannya, dan yang sen-
sitivitas editorialnya, bakatnya, seleranya, dan semangat-
nya membentuk naskahku menjadi buku Home Sweet
Anywhere. Kecintaan dan penghargaanku tak terbatas.

430
UCAPAN TERIMA KASIH

Nicole Villeneuve, humas senior di Sourcebook, Inc.,


yang mencurahkan bakat dan energinya untuk memasti-
kan buku Home Sweet Anywhere diberikan kesempatan
untuk bisa sampai pada para pembacanya.
Dan, ada pula bagian pendukung: Rick Riccobono,
yang suara basnya yang dalam selalu membuatku
nyaman, dan kepribadiannya yang hangat dan positif
membimbing kami dalam melalui lebih dari satu
momen menakutkan dan kepanikan saat proyek ini
mulai berjalan; Sarah McMullen, teman kami yang
luar biasa, yang mendorong dan mendukung kami saat
urusan dengan penerbit membuat kami kewalahan dan
memberikan segenap kemampuannya sebagai humas
kami yang brilian; Maureen dan Alan Grainger, yang
kehangatan dan anggurnya memberi kami stabilitas
dan kenyamanan saat kami membutuhkan “keluarga” di
negara asing; Mark Chimsky, yang memberiku mantra
menulis Colette saat aku rapuh dengan kelelahan dan
keraguan kepada diri sendiri; dan Andie dan Georges,
yang pada awalnya merupakan induk semang kami
dan kemudian menjadi teman sejati kami. Mereka me-
nyodorkan Paris kepada kami di atas piring yang dihiasi
pâté dan cinta.
Dan, tentu saja, terima kasih untuk putri-putri kami,
Robin Cloward, Alexandra Chamberlain, Alwyn Pinnow,
http://facebook.com/indonesiapustaka

dan Amandah Goldsmith, beserta keluarga mereka


untuk semangat, dukungan, dan cinta mereka yang tak
terbatas. Kami berterima kasih kepada kalian semua,
dan mungkin suatu hari nanti kami akan mengejutkan
kalian dengan membuat Home Sweet Somewhere!

431
Tentang

Tentang Penulis
Pada 2010, Lynne dan Tim Martin
memutuskan untuk menjual rumah
mereka, menyumbangkan sebagian
besar barang mereka, dan bepergian
keliling dunia sepanjang sisa hidup
mereka. Blog Lynne yang populer,
homefreeadventure.com, catatan ke-
hidupan nomaden mereka, menjadi artikel pembuka di
rubrik “Next” yang dimuat di Wall Street Journal pada
Oktober 2012. Itu adalah artikel Wall Street Journal yang
paling banyak dikomentari, masuk di halaman depan
Yahoo.com, dan dipilih oleh Huffington Post, Fodor’s
Travel Intelligence, Hacker News, dan yang lain. Tulisan
Lynne juga muncul di buku Mark Chimsky, 65 Things
to Do When You Retire, Internasional Living, Huffington
http://facebook.com/indonesiapustaka

Post, dan lain-lain.


Lahir di Texas dan dibesarkan di Chicago, Lynne
belajar jurnalisme di kampus dan bekerja di radio dan
televisi selama bertahun-tahun. Lynne mendirikan
Maynor and Associates, firma humas di Hollywood,
yang khusus menangani publisitas para aktor, televisi,
dan film. Firmanya berhasil mengantarkan film The

432
TENTANG PENULIS

Man Who Skied Down Everest memenangkan Academy


Award pada 1976 untuk film dokumenter terbaik. Di
kemudian hari, Lynne juga mendirikan perusahaan
keju yang hasil produksinya didistribusikan ke pasar
kelas atas di seluruh penjuru Amerika Serikat, sekaligus
salah satu pemilik firma perantara penyewaan peralatan.
Lynne adalah ibu/ibu tiri dari empat putri dan nenek
dari tujuh cucu.
Lynne dan suaminya, Tim, seorang novelis, pernah
tinggal di Meksiko, Argentina, Turki, Prancis, Italia,
Inggris, Irlandia, Maroko, Portugal, dan Jerman sejak
mereka menjadi pengelana tanpa rumah. Sekarang
Lynne tidak memiliki alamat permanen dan berniat
untuk tetap seperti itu sampai roda kehidupannya ber-
henti berputar sekitar tiga puluh tahun ke depan.
http://facebook.com/indonesiapustaka

433
http://facebook.com/indonesiapustaka

Anda mungkin juga menyukai