Anda di halaman 1dari 161

Buku kedua dari Trilogi Mencari Sebuah Titik

Buku digital oleh:

Tory Nugroho Bicaksana


J A L A N Pulang

Penulis : Tory Nugroho Bicaksana

Ilustrasi Isi : Feri Widiy

Ilustrasi Sampul : PPT Creative

Tata Sampul : Konco Cerito

Tata Isi : Tukang Ketik Budiman


Untukmu,

yang rindu jalan pulang.


Tidak ada daftar isi hari ini.
Prolog
Adakah yang tahu, perjalanan kehidupan
seseorang bakal menjadi apa?

Yang bisa diketahui adalah ia mau jadi apa.


Tentang perjalanannya, ia bisa mempersiapkan,
mencari informasi dan tentu memperhitungkan dari
berbagai aspek yang dibutuhkan.

Sekitar 3 tahun lalu, saya ditanya oleh seorang


pelatih. Pertanyaan ini beruntun. Awalnya, setiap
peserta diminta untuk mengangkat sebuah kursi dan
menaksir berapa beratnya. Hasil taksirannya variatif.
Rata-rata menjawab +/- 20 Kg. Prinsipnya, setiap
peserta kemudian ditantang: apakah bisa
memindahkan kursi itu? Hampir seluruh peserta
bisa, tentu.

Jika kursi itu sekarang beratnya menjadi 5x


lipat lebih berat dari taksiran, apakah bisa? Sebagian
peserta masih menjawab bisa, saya tidak. Perlu
diketahui, kami tidak benar-benar memindahkan
kursi itu. Kami hanya memikirkan untuk
menyelesaikan masalah/tantangan itu dari tempat
kami berdiri.
Semakin lama, berat kursi ditambah. Sampai
mencapai angka yang besar. Sekarang berat kursinya
berton-ton. Saya sudah tidak mengikuti
tantanganya, tetapi tetap menyimak. Yang
bertahan, tinggal beberapa peserta.

Ketika peserta merasa tidak mampu. Maka


otomatis ia terhenti dari tantangan memindahkan
kursi. Padahal, waktu itu hanya persoalannya adalah
(bagaimana caranya) bisa atau tidak memindahkan
kursi jika berat kursinya adalah sekian dan sekian.
(Bukan bearti kami yang memindahkan sendiri).

Sang Pelatih bertanya kepada peserta yang


masih berdiri, peserta ini sanggup mengangkat kursi
tersebut. Dengan cara apa memindahkannya?
Ternyata oh ternyata, semua peserta yang sanggup
memindahkan kursi berpikir untuk menggunakan
alat berat crane.

Wah, kok saya nggak kepikiran?

Kok saya mikirnya kalau ada persoalan


semacam itu, berarti saya yang memindahkan bukan
alat. Ini nih, kalau mengukur persoalan dengan
perasaan. Belum jadi tersentuh titik persoalannya
udah nyerah duluan. Lha bagaimana mau mindahin
yang beratnya 20 kg x 100? Rasa-rasanya udah nggak
bisa. Mana mungkin? Itu sanggah saya.

Baru akhirnya saya terangguk, bahwa


pendekatan rasional sebelum emosional itu amatlah
penting. Hal ini pula yang membedakan manusia
dengan hewan.

Oh, Tuhan…

Saya masih tertegun. Belum selesai rasa heran


dan belum terbuka sempurna alur logika saya,
pertanyaan selanjutnya muncul, “Siapa yang di sini
sudah merasa sukses? Silakan berdiri.”

Beberapa peserta nampak ragu untuk berdiri.


Ada yang mantap berdiri, dan ada yang mantap
duduk menatap orang-orang yang berdiri dan ragu
mau duduk atau ikut berdiri. Saya, termasuk yang
duduk.

Saya pikir, saya belum cukup sukses. Huft.


Tangan saya kaitkan dilutut, setengah bersila.

Sang Pelatih bertanya kembali, tidak ada


gesture merendahkan, kaget, kasihan atau hal lain,
hanya ingin bertanya khusus yang tidak berdiri.
Pertanyaannya diulang sekali lagi, “Apakah ada yang
hari ini merasa sudah sukses? Silakan berdiri.”
Disusul dengan pernyataan dan pertanyaan tentang
apa itu sukses? Apakah kita yang duduk saat ini
memang belum sukses?

Sampai akhirnya saya sadar, bahwa sukses


adalah ketika harapan sudah sesuai dengan
kenyataan. Termasuk salah satunya adalah
mengikuti kelas tersebut adalah contoh sukses saya.
Maka, dengan malu-malu, saya beranjak berdiri.
Diikuti yang lain (meskipun tetap ada yang merasa
belum sukses juga).

Memang, pikiran kita bisa menjadi penjajah


pertama bagi apapun yang terjadi bagi diri kita. Tapi,
yang perlu diingat, sebagaimana yang diingatkan
pelatih saya, manusia adalah makhluk yang lebih
dari pikiran dan perasaannya. Pikiran dan perasaan
ada dibawah kendali manusia.

J A L A N Pulang merupakan serial kedua dari


Trilogi Mencari Sebuah Titik (2015). Tetapi, kabar
baiknya adalah buku ini bisa dinikmati sendiri tanpa
harus membaca yang dulu. Sebagaimana jika kamu
ingin memulai hubungan baru. Kamu tidak harus
tahu segala masa lalu seseorang itu.

Buku ini memang berkaitan dengan Mencari


Sebuah Titik. Tetapi, sekali lagi, kamu tidak perlu
tahu segalanya untuk melakukan perjalanan yang
baru ini. Sama ketika kamu mau menuju Jogjakarta
menggunakan bus Sumber Rahayu. Kamu tidak perlu
tahu jalur mana yang telah dilewati bus tersebut,
berhenti di mana, berapa lama perjalanannya, dan
hal lain yang mungkin itu berguna (tapi banyak
tidaknya). Karena tugas kita adalah melanjutkan
perjalanan dengan yang kita jumpa sekarang.

Jika beruntung, kamu akan menemukan kisah


perjalanan dari bus tersebut. Lewat orang yang ada
di dalamnya. Pun demikian dengan buku ini.

Sudah, mari naik, cari tempat duduk yang


nyaman dan mari kita cerita tentang perjalanan ini.

Yuk, pulang.
1. Sebuah Pilihan
Pulang adalah sebuah perjalanan baru.
Perjalanan tentang upaya untuk membuat makna
hal yang sudah terlewati atau bahkan untuk
melakukan pertanggung jawaban tentang hal yang
sudah dilalui.

Tidak ada masa lalu, yang ada hanyalah sebuah


cerita yang kita kenang hari ini. Yang terkadang, kita
masih membawa segala bentuk rasa yang perlahan
perlu kita lepaskan. Orang menyebutnya ingin
sekadar bernostalgia. Bercengkerama tentang suatu
hal yang pernah ada.

Tapi, tidak ada hal yang lebih menarik dari


sebuah cerita itu sendiri. Ya, cerita tentang masa lalu
yang kita balut dengan perasaan hari ini. Ini ironi.
Dan tidak ada yang lebih menarik selain menghadapi
hari ini dan menyukuri.
Apakah benar, jika seorang perempuan itu
telah menjadi ibu, mereka perlahan melepas
kebiasaannya waktu muda. Dan itu demi kembang
tumbuhnya kita?

“Tor..”

“Iya..Nang”

“Tidak ada pilihan lain selain melanjutkan dan


menuntaskan apa yang sudah kamu mulai.
Bukankah ini adalah cita-citamu, pilihan hidupmu?”

“Iya”

“Oh, masih ada satu pilihan jika kamu mau.”

“Apa?”

“Berhenti dan lupakan!”

“Tidak! Tidak Nang! Andaikan saya berhenti.


Bukan berhenti untuk selamanya. Saya hanya butuh
waktu sesaat untuk istirahat. Mengisi energi dan
melanjutkannya lagi!”

“Kamu yakin?”
“Iya, yakin! Aku hanya perlu tetap berjalan
meski pelan. Aku hanya perlu menulis meski hanya
sebaris. Ini adalah salah satu jalan yang aku pilih dan
telah Tuhan anugerahkan untukku.”

“Jika sudah begitu. Apa arti menulis untukmu,


Tor?”

“Aku teringat tentang kisah pohon kelapa yang


dibawakan oleh Tere Liye dalam sebuah seminarnya,
Pohon kelapa yang menjulang tinggi, berbuah dan
hidup di tepi pantai. Suatu hari, kelapa yang telah
tua jatuh ke bibir pantai. Hanyut dibawa samudra.
Dan terdampar di tepi pantai lainnya. Kelapa tua
yang jatuh tadi kemudian bertunas di tepi pantai
yang baru, bertahun-tahun kemudian kelapa tua itu
telah berubah menjadi pohon kelapa baru dan
menghasilkan buah kelapa lagi. Lalu, seperti
pendahulunya, kelapa tua jatuh di bibir pantai,
hanyut dibawa samudra kemudian terdampar di tepi
pantai yang lainya lagi, begitu seterusnya. Berulang
siklus seperti itu. Hingga siapa yang tahu, jika pohon-
pohon kelapa yang kita lihat di hawai, di bali dan di
pantai-pantai lainnya berasal dari satu pohon kelapa
yang tidak kemana-mana? Maka aku ingin seperti
pohon kelapa itu, menulis adalah menanam
kebaikan.”

“Jika sudah begitu, apa yang akan kamu


lakukan selanjutnya, Tor?”

“Aku memilih untuk tetap bergerak dengan


kata-kata. Memancing alam dengan kata, bikin kedai
kata, melancong ke luar negeri dengan kata-kata.
Dan menikmati diri untuk hidup di sini-kini. Menjadi
manusia seutuhnya.
2. Epilog Juang
Lanang mempertahankan senyum manisnya
dengan sejuta upaya agar tetap terlihat tegar.
Sebuah berita barusaja meluncur terbang dan
mendarat tepat di depan matanya.

Waktu itu baru pukul 9 pagi, di sebuah rumah


di kaki gunung Merapi. Duduk seorang perempuan,
ditemani kedua orang tuanya, Lanang di antara
mereka. Di meja, ada sepiring klepon, piring lain
berisi salak dan aneka makanan lain yang tiba-tiba
semua itu menjadi sangat tidak penting dan tidak
selera untuk dimakan. Karena, “Seminggu ini dia
baru saja menikah…” Gelas lamunan Lanang pecah.
Ia terbangun dari mimpi panjang. Menutup kran
harapan dan membuka penuh saluran kenyataan.

“…Dan rencananya kemarin sudah mau ikut


suaminya ke Sulawesi.” Kata Bapak Sujud mengkhiri,
menerangkan kondisi anaknya sekarang.

Lanang membetulkan tempat duduknya yang


baik-baik saja. Ia ambil sebuah klepon untuk
membuat manis suasana, setidaknya manis di mulut.
Meski kenyataannya sangat pahit. “Tidak apa-apa,
aku sudah mahir untuk menipu dan memanipulasi
diriku”, Lanang membatin.

Perempuan berwajah oriental, bermata sipit,


berpipi bakpao, berambut kuncir kuda, yang tengah
duduk di depan Lanang mengatakan satu-dua
kalimat yang hanya sedikit bisa diingat. “Iya, aku
baru saja menikah. Tidak ada yang aku kasih tahu.
Benar-benar tidak ada. Hanya pernikahan biasa.
Tidak ada pesta atau perayaan sejenisnya…”
Nurmala terdiam sesaat, mengambil jeda.

“…maaf nggak bilang sama kamu…” Lanang


tersenyum kecil. Senyum kecut, sekecut jeruk nipis.
Jika Nurmala memberi tahu kabar pernikahannya,
tentu hari itu Lanang tak akan datang ke rumah
Nurmala, tentu.

Dari belakang tirai penutup pintu ruang


keluarga dan ruang tamu, terdengar sayup-sayup
kaki. Langkah kaki yang pelan namun terdengar
jelas, sejelas kenyataan yang di depan mata. “Iya, ini
foto-fotonya. Ya di sini ini kemarin acaranya…”
Ibunda Nurmala menyerahkan dua album foto
kepada Lanang, sambil menunjuk kursi tempat
berlangsungnya pernikahan Nurmala. Lanang
menerima dengan penuh kekuatan.

Tiba-tiba waktu berjalan sangat lambat.


Nurmala, Pak Sujud dan istrinya nampak seperti
diorama sebuah museum. Mereka bicara perlahan,
sangat pelan. Diorama itu berganti adegan ijab qobul
Nurmala, kursi yang masih sama dengan ia duduk
sekarang dan beberapa ornamen yang masih hangat
berada di sana. Foto-foto itu menjadi hidup dan
menghidupkan. Sekaligus menjadi kematian bagi
tiap harapan Lanang.

Lereng merapi menjadi sangat dingin. Lanang


undur diri dari kediaman Nurmala dan keluarga, dari
harapan yang ia tanam, dari apa-apa yang memang
tidak menjadi haknya. Ia boleh tak mendapat
cintanya. Tapi ia telah mendapat kemenangan atas
dirinya sendiri.

Solo, 2013.

Nur, kuakui, aku memang tak pernah


mendengar kau mengucap kata “cinta” dan
“sayang” kepadaku kecuali satu ucapan. Ucapan itu
kau kirim lewat pesan singkat. Ketika kau kembali
menceritakan tentang masa lalumu dengan
suamimu sekarang, aku seperti kau tampar dan
tamparan itu seakan bilang kepadaku “Nang, aku itu
udah punya sejak pertama kali kita kenal.” Sayang,
kau menyembunyikan itu dan bahkan kau malah
bilang kalau kau belum punya siapa-siapa.

Nur, aku tahu, aku sangat berharap menjadi


kekasihmu. Aku pun selalu yakin dan selalu percaya
bahwa hasil dari setiap perjuangan kita ku pasti
positif. Jika tak kunjung positif, mungkin itu belum
sampai pada ujung perjuangan.

Ah.. tatapan matamu itu.

Aku selalu menjadi super yakin dengan


tatapan itu, tatapan yang tentu sekarang kau
berhak pancarkan untuk anak dan suamimu.

Kini tinggal doa yang mampu aku berikan,


suatu saat, aku akan ceritakan kepada semua orang,
bahwa aku pernah jatuh cinta dan tak pernah
mendapatkannya meski aku sudah
memperjuangkannya. Kelak, aku juga akan
menceritakan kepada anak-anakku, jika mencintai
bukan tentang sekadar memiliki. Nyatanya, tanpa
memiliki pun aku tetap bisa mencintai. Dan suatu
saat nanti, aku akan bilang kepada semua orang
cintailah cinta sebagaimana ia mengajarkan kepada
kita bahwa dengan cinta kita ini ada.

Terima kasih, Nur.

Nurmala memang sudah tidak mungkin untuk


menjadi istriku, tetapi lesung pipi yang muncul
ketika senyum itu kadang masih menyembul
sesekali. Mata sipit yang ia miliki pun masih
terbayang jelas, dan tentu saja jari-jari lentik nan
panjang itu seperti menari-menari dan menggelitik
pikiranku untuk selalu tetap mengingat dan
mencintainya.

Semalam Nurmala mengirim pesan, ia bilang


“maaf” dan sesekali basa-basi nanya ini dan itu. Aku
masih percaya, bahwa dia tidak sepenuhnya
melupakanku. Aku pun percaya akan ada satu ruang
dalam hatinya tentang namaku, tentang ceritaku,
tentang aku di sana, di lubuk hatinya. Atau, bisa saja
setiap kenangan itu dibuang jauh lalu kini telah lupa.

“Nur, kenapa dirimu malah menjadi seperti


awan yang menghalangi sinar mentari?”

Mestinya aku bahagia mendengar tentang


semua itu, harusnya aku dapat melihat pelangi, dan
harusnya pula aku bisa merasakan kesejukan karena
hujan telah datang setelah musim kemarau yang
panjang. Di mataku, masih ada senyum simpulmu.
Dalam hidungku, masih sangat jelas terasa harum
makanan kesukaanmu, di dalam hatiku jelas aku
masih mencintaimu. Tapi, inilah kenyataan itu Nur.
Aku sendiri yang bilang kepadamu, jika cinta tak bisa
dipaksakan. Sekeras dan sebesar apapun cinta itu.
Bukannya cinta memang tidak bisa dipaksa?

“Nur, mungkin perasaan para orang tua itu


juga sama sepertiku.”

Ketika datang seorang lelaki dan melamar


putri kesayangannya. Putri yang sekian tahun
dirawat, disayang, dan diberikan perhatian tetiba
ada orang asing yang (mungkin) sok pahlawan
datang.
“Mereka tidak tahu Nur, tapi kini aku tahu. Aku
tahu, rasanya melepas orang yang disayanginya
untuk orang lain.”

Aku mengibaratkan, rasa ini seperti seorang


yang memelihara seekor sapi. Orang tersebut
berhak merawat, berhak menjaga, bahkan
membesarkannya. Tidak sekadar berhak, namun
wajib. Tetapi, hanya sebatas waktu sampai suatu
saat nanti jika sapi itu diminati oleh orang lain untuk
dimiliki, dan menggantikan posisi sang perawat
untuk selamanya. Rasa ini, seperti rumput yang
tumbuh di antara padi. Walau disembunyikan
sedemikian rupa, para petani akan tetap
menemukannya.

“Nur, kau sudah begitu mafhum dengan


banyak hal.”

Salah satunya adalah bagaimana


memperlakukan pria, dan pria itu sekarang bukanlah
sembarang pria. Pria itu adalah yang sekarang telah
menjadi pelindung pertamamu ketika kau takut,
menjadi satu diantara sandaran yang ada, dan
menjadi hal yang wajib kau bangkitkan semua hal
yang mungkin selama ini tidur.
“Nur, aku tahu ini sulit. Tapi aku memilih untuk
membuatnya mudah.”

Kau tenang saja Nur, aku baik-baik saja. Aku


hanya perlu sedikit waktu untuk menyesuaikan
dengan kondisi ini. Kondisi di mana aku perlu segera
menerima kenyataan bahwa kau sudah menjadi istri
orang lain.

Kau tahu Nur, sehari setelah aku mengetahui


berita tentang pernikahanmu itu. Aku sudah bisa
membawa diri, tapi entah kenapa beberapa hari
setelahnya, keadaan berubah. Perubahan itu terjadi
ketika aku menyampaikan sebuah rasaku kepada
Ibuku, Ibuku bilang aku hanya boleh mencintai
dengan orang sekitar sini. Itu sama dengan ada batas
territorial terhadap wilayah pergerakanku. Oh..
mungkin ini hikmah kenapa ketika aku bermain
Futsal selalu di jadikan sebagai penjaga gawang.
Yang tak lain dan tak bukan adalah aku dibatasi dan
melatih fokusku.
Sama sepertimu Nur, kau pernah mengatakan
hal yang sama denganku waktu kita baru pertama
kali kenal. Kau bilang, kau akan dijodohkan. Dan kau
tahu Nur, aku memilih mundur bukan karena aku tak
mau denganmu, bukan karena aku tidak
memperjuangkanmu, tapi aku lebih berpikir pada
mu, keluargamu dan tentu (calon) suamimu.

Nur, semalam aku membaca buku “Surat


untuk Ruth”, membaca buku ini seolah membaca
kisahku sendiri. Aku tak mau bilang kita, karena aku
tak tahu apa yang kau pikirkan tentangku. Biarkan ini
menjadi ceritaku, tentangmu, persis yang aku
sampaikan kepadamu.

Nur, terakhir kali aku ke rumahmu itu


sebetulnya tidak hanya sekedar belajar tentang
pengelolaan ritel. Tapi aku memasang niat lain, niat
untuk mengatakan perasaanku kepada orang
tuamu. Tapi aku beruntung Nur, sebelum aku
katakan tentang niatku, orang tuamu lebih dulu
menyampaikan jika kau sudah bersuami.

Untung, tapi sekaligus itu menjadi pukulan


telak, Nur. Seperti TKO Muhammad Ali pada tahun
1964 ketika melawan Sonny Liston di Florida. Kala itu
Liston mengalami cedera di bagian lehernya. Dan
aku, pun mengalami cedera Nur, cedera pada bagian
hati dan pikiranku. Itu kenapa akhirnya aku
memutuskan untuk buru-buru pulang, karena
kupikir tidak pantas berlama-lama mertamu dengan
seorang wanita yang sudah bersuami dan suaminya
sedang tidak di rumah.

“Ah… Nur, tidakkah kau katakan sesuatu


untukku? Sebelum aku pulang?”

Kurasa, aku telah menang Nur. Memenangkan


pergulatan hati selama lima tahun terakhir. Aku
memang tak memilikimu secara jiwa, tetapi sorot
matamu itu milikku, Nur. Sorot matamu persis
seperti lembayung di pantai Siung Jogjakarta,
menelikung dari balik tebing yang tinggi nan curam,
tapi tetap terlihat cantik dan menarik ketika aku naik
di sisi tebing lainnya. Ini artinya Nur, aku tahu mata
itu hanya untukku.

Bangkit dari upper cut Muhammad Ali itu tak


mudah, Nur. Tapi dengan perlahan dan karena tak
ingin gontai di depanmu, aku bangkit. Andai kata,
aku tersungkur jatuh dalam perjalanan pulang, itu
tak jadi soal Nur, asal tidak tersungkur di
hadapanmu. Kau masih ingatkah, Nur? Ketika aku
bawakan sebungkus bakpia Telo ungu.

Katamu, “Ini makanan favoritku.”

Nur, kau tahu, kan, kenapa aku membawakan


sebungkus bakpia itu untukmu? Iya, kau benar Nur,
aku ingin menunjukan bahwa aku suka sama kamu
Nur. Dan katamu lagi, “Pipiku seperti Bakpao.”

Aku nggak bilang ya? Kau yang bilang itu


sendiri, dan aku tertawa mendengarnya. Kau tahu
Nur, malam itu aku melihat senyum terindah yang
pernah kulihat darimu. Aku baru sadar Nur, aku
hanya memilikimu ketika kita sama-sama di tanah
rantau. Ya, aku menemukan Shofieka Nurmala
seutuhnya saat di sana. Aku adalah pemulung yang
menemukan emas dan permata. Dan kedua
perhiasan itu adalah kau Nur.

Aku masih ingat betul, ketika aku berpamitan


untuk pulang ke Solo. Saat itu kau tak bilang apapun,
tapi air mata itu selalu berkata kepadaku, “Jangan
pergi.. Jangan pergi! Tunggu aku. Aku ingin katakan
sesuatu padamu.”

Kau tahu Nur, aku tidak pergi. Aku pulang


untuk kembali, kau tahu kan kenapa aku pulang?

“Maaf Nur, jika aku membuatmu menangis.”

Kata ini tak sempat aku sampaikan kepadamu,


kecuali aku hanya bilang “Kau kenapa menangis?”
Dan sekali lagi, kau hanya tersenyum atau lebih
tepatnya berusaha tersenyum dan segera menyeka
air matamu yang turun perlahan.

“Nur, aku membawa rasa ini pulang. Kau, yang


tenang.”

Aku pulang Nur, fotomu dengan seragam kerja


itu sudah aku simpan. Foto ini yang nanti aku
tunjukan kepada Bapakku. Aku belum tahu kondisi
bapak. Tapi, kabar terakhir dari mbak Atun,
mengharuskan aku untuk segera tiba di Solo. Dan
benar Nur, aku tiba di Solo setelah 8 Jam perjalanan
menggunakan kereta. Setengah tujuh pagi, aku baru
bisa menemui Bapak. Katanya, ini aturan jam jenguk
pasien.
Aku tak sabar menunjukkan foto dan boneka
yang kau berikan itu kepada bapak. Akhirnya, aku
ketemu bapak. Bapak bilang, “Cantik Nang” Itu
persis ketika aku selesai menunjukan fotomu. Aku
cerita tentang kau, tentang senyum simpulmu dan
tentu tentang rasaku padamu. Bapak belum tahu jika
aku adalah Pemulung. Yang bapak tahu adalah Kau
anak baik.

Kau tahu Nur, apa yang dikatakan Bapak selain


bilang kalau kamu cantik? Aku terpaksa menyeka
tetesan embun yang berasal dari kedua kelopakku,
karena sesaat setelah dia memujimu. Bapak bilang,
“Selamat ulang tahun nang..” Nur, andai kamu ada
di sisiku saat itu. Aku pasti merengkuh tanganmu,
dan aku genggam erat. Apakah begini perasaanmu
ketika aku datang ke kosmu?

Nur, itu adalah ucapan yang pertama dan yang


terakhir aku dengar dari bapak. Karena sepuluh hari
sepulang dari Rumah Sakit Bapak memenuhi
panggilanNya. Bapak berpulang. Nanti Nur, aku
ceritakan hal lain mengenai Bapak.
Nur, bagaimana perasaanmu ketika aku bilang
bahwa aku ingin kenal lebih dekat denganmu?
Kenapa kau dulu menerima pertemananku? Dan
kenapa kau jadi begitu mempesona diriku? Senyum
simpulmu itu sempat membuatku sulit untuk tidur.

Masih ingatkah, Nur? Kisah konyol kita


menonton bioskop seharga tiga ribu lima ratus perak
itu? Masih ingatkah, Nur, sewaktu membeli durian
dengan harga yang sangat murah sekali? Kau tahu
Nur, itu pertama kali aku makan durian. Sebetulnya
aku khawatir, apakah aku doyan? Dan ternyata enak
Nur, ah.. Ini pasti gara-gara kamu Nur, gara-gara kau
duduk bersanding di sampingku. Nur, kau lucu kalau
makan durian. Apakah kita bisa makan durian
bersama-sama lagi Nur? Ah, kurasa tidak. Ini hanya
khayalan Nur, kau sudah milik orang lain. Dan aku
tahu itu.

Padahal, kalau kau tahu Nur, aku selalu


mencari sebuah cara untuk bisa membuatmu
tersenyum bahagia dan percaya bahwa aku memang
cinta. Tapi, sayang. Berulang kali kulakukan,
berulang kali gagal. Kini aku tahu, meski tidak selalu
berakhir dengan kemenangan. Berjuang adalah
kemenangan itu sendiri. Menang atas diri sendiri.
3. Porter
Pasar Bubrah - Gunung Merapi, 2014.

Kuturuti maumu, ku-iya-kan maksudmu dan


kuambil foto sebanyak-banyaknya. Baik langsung.
Maupun tak langsung. “Lihat.. itu lautan awan!”
kutunjuk dengan jariku. Dengan hati-hati, kau
mencoba untuk melangkah. Melihat dari tempat
yang lebih tinggi. Kau minta untuk difoto. Aku
keluarkan ponselmu. Aku jepret. Satu kali. Dua kali.
Bahkan berkali-kali. Dan, satu gaya khusus yang tidak
boleh terlewatkan. Melompat! Aku bersiap, kau
bersiap. Aha! Aku mendapatkan dengan ekspresi
yang sangat natural. Seperti tidak ada rekayasa
sedikitpun. Kulihat kau bahagia.

Kau masih ingin difoto. Lalu kupinta kau untuk


duduk di sebuah bongkahan batu. Seperti bekas
monumen. Kau menatap matahari. Kau sekarang
seolah sedang berada di atas awan. Senyummu
merekah. Seperti merekahnya mentari pagi. Udara
sudah tidak begitu dingin lagi. Kau lepaskan masker
dan sarung tangan. Kemudian kau mengambil
secangkir teh yang aku letakan dari tadi. Kamu
minum, sesendok demi sesendok. Sebelum akhirnya
berhenti dan minta difoto lagi.

Aku mengambil posisi duduk. Tidak jauh


darimu. Menatap puncak. Memandang langit haru
biru. Cerah merekah. Segar bugar. Kamu mulai
bercerita tentang kisah adik perempuanmu yang
baru saja masuk ke sekokah akhir.

Kau ceritakan juga tentang aktivitasmu selama


ini. Tentang, keikutsertaanmu dalam sebuah
lembaga sosial. Tentang, malam takbiran di
kampungmu yang gagal dilaksanakan. Tentang,
lebaranmu di luar kota. Tentang, tetanggmu yang
sakit. Tentang, malam yang dingin. Dan, tentang
perut yang lapar. Tapi tidak bercerita soal kau yang
sudah punya pacar.

“Mas, foto lagi di sini. Liatin itunya” katamu


mengiba.

Sebentar lagi kita semua turun dan saatnya


mengantarmu kembali pulang dan memastikan
kamu aman hingga tujuan.
Semua bebanmu aku bawa. Mungkin, kalau
kamu menginginkan aku turut memikul beban
hidupmu. Aku ikut serta memikulnya.

Tapi, siapa yang bisa memikul berat beban


orang lain jika bukan diri kita sendiri? Mereka tidak
bisa membantu, kecuali sedikit. Karena beban
(tanggung jawab) itu milik kita pribadi. Aku hanya
porter hidupmu yang ketika kau selesai. Maka
selesai pula tugasku. Tak ada yang tersisa, kecuali
kenangan. Seperti ampas kopi, seenak apapun.
Nantinya ia akan dicampakan untuk secangkir kopi
yang baru.
4. Apa Itu Jodoh?
Ada yang bilang “Jodoh sama dengan langkah
yang dipermudah.” Benarkah?

Proses dalam menuju pernikahan itu selalu


menarik. Hampir di setiap pernikahan teman atau
tetangga saya yang menikah, hal pertama yang saya
tanyakan adalah bagaimana perjalanannya, kok
akhirnya menikah juga? Karena dari segi manapun,
semua kisah mereka mengandung hikmah,
melahirkan pemikiran dan kebijaksanaan.

Saya adalah salah seorang yang sangat setuju


dengan hadits kanjeng nabi yang soal pernikahan
yang tersohor itu. Ya, benar, “Pemuda, mampu,
menikah” tiga kata kunci yang membuat ingin segera
menikah. Tepatnya sejak tahun 2008 lalu, sebelum
lulus SMA. Pernah satu kali saya ditanya, “Apa
niatmu menikah?” Sebuah pertanyaan klise, namun
patut dan perlu untuk ditanyakan.

Kita akan mendapati sesuai dengan apa yang


kita niati, kan? Sudah barang tentu, memasang niat
baik untuk segala kebaikan itu masih sangat perlu
dan relevan bahkan keharusan. Karena (meski hanya
kadang-kadang) kita bisa terjebak dengan niat yang
kurang baik. Kenapa ingin menikah? Karena saya
mau kawin. Ini jawaban dulu. Selama bertahun-
tahun tidak bisa menjawab persoalan ini.

Menikah hanya untuk kawin? Nggak aneh. Tapi


masa iya hanya persoalan itu? Tapi setelah sekian
tahun, akhirnya bisa menemukan jawaban lain.
Bahwa kini, saya niat lillahi ta’ala.

Apakah masih ada yang mempertanyakan


menikah karena apa? atau bertanya kenapa manusia
perlu menikah?

Bukannya menikah diciptakan khusus untuk


manusia sebagai pemenuh jiwa, penentram hati,
juga supaya kita dapat berkasih sayang? Apakah ada
yang kurang tepat?

“Tor..” Terdengar suara Lanang di ujung


telepon.

“Iya, kenapa?”

“Tahu apa kamu soal nikah dan pernikahan?”


“Saya belum tahu. Makanya ini melakukan
pendekatan terhadap pengetahuan.”

“Lha masa kamu nikah hanya untuk kawin?”

“Itu dulu, Nang.”

“Sekarang?”

“Bismillah. Niat nikah.”

“Nah…”

“Nah piye lho, Nang?”


“Rapopo, paring lancar sekabehe. Cukup
ragate, Tor..”
5. Dialog Pendek
“Kamu tidak akan bisa selamanya hidup dalam
masa lalu. Awal mula sejarah kehidupan manusia itu
tercipta setiap waktu. Kita perlu menciptakan
sejarah hidup kita sendiri.”

“Sampai kapan?”

“Sampai kita akan merasa cukup atau Tuhan


yang akan mengatakannya.”
6. Kehendakmu &
KehendakNya
“Jangan pernah berpikir untuk membalas budi
(belum tentu Budi mau dibalas).”

Biarkan setiap peristiwa itu terjadi, kita maknai


dan kemudian kita pelajari. Misalkan ada yang
memang berbuat baik kepada kita, cukup doakan,
agar mendapat balasan yang jauh lebih baik dari
yang ia berikan kepada kita. Nah, persoalan balas
budi ini akhirnya saya ceritakan kepada Lanang. Ia
bilang, “Segala sesuatu itu tergantung kondisi hati
kita. Kalau hati sudah nyaman, mau ngapain juga
bakal enak.” Katanya ia sudah berkali-kali
mengalami hal demikian. Kabar baiknya lagi, kondisi
hati itu bisa kita kendalikan sendiri.

Lanjutnya, “Kalau sekarang kamu masih nggak


ngerti juga, saya sarankan, nggak usah dipaksain
untuk tahu dulu. Nanti malah pusing. Biarkan waktu
yang akan memberi tahu. Biarkan ia yang akan
menuntunmu kepada pencarianmu. Biarkan apa
yang menjadi kehendakNya bisa menjadi
kehendakmu. Dan apa yang menjadi kehendakmu
bisa menjadi kehendakNya.”
7. Bertemu atau Bertamu
Kita sudah sama-sama belajar dewasa.
Menyikapi situasi yang memang tidak bisa kita
paksakan. Bukan karena kau enggan untuk
mengikuti langkahku. Bukan pula aku tak mau
mengajakmu untuk mengikuti jejakku. Tapi semua
lebih kepada sikap pendewasaan diri. Apakah aku
tidak bersedih? Justru pertanyaan itu yang perlu aku
tujukan kepadamu. Aku tahu kau. kau telah
mengetahuiku. Bahkan, sekadar kekhawatiran yang
tak pernah kukatakan kepadamu pun kau tahu.

Lalu, aku berpikir. Bagaimana kau bisa


sebegitu kuatnya, sebegitu tegarnya. Aku tak bisa
bicara banyak hal tentang apa yang aku rasakan.
Biarkan rasa ini, membaur ke alam. Menciptakan
dimensinya sendiri. Mendorong partikel untuk
bersenyawa. Lalu senyawa-senyawa itu berubah
menjadi energi. Dan energi itu berubah menjadi satu
kata. Bertemu atau bertamu.

Beruntung, kita telah mafhum. Kita sama-sama


tahu diri. Meski gejolak rasa dalam dada menyeruak
ingin mendapat panggungnya. Tapi benarlah adanya
kata Prasetya M. Brata, mencapai tujuan tidaklah
harus dengan buru-buru.
Aku kembali memesan satu gelas es teh di
angkringan. Di sekelilingku, ada banyak penjual kaki
lima. Satu diantaranya sedang berbenah,
membereskan dagangannya. Mereka bertiga. Satu
orang berkoar kepada dua rekan lainnya. Sambil
menata kursi plastik, "Sholat mati.” "Ra sholat juga
mati."

Nampaknya dia muak dengan salah satu


rekannya yang duduk santai sambil merokok.
Sebelumnya, teman yang merokok itu bilang,
"Merokok mati. Nggak merokok juga mati.” Lebih
baik merokok sampai mati!" Tentu ini tidak ada
hubungannya dengan ulasan di atas. Tetapi,
barangkali begitu juga dengan perasaan kita
sekarang. Tidak terkait satu sama lain, nggak
terhubung.

"Dikatakan atau tidak dikatakan. Itu tetap


cinta." Kata Tere Liye. Aku tersenyum melihat
kenangan yang tetiba berkelebatan tanpa diminta.

Kini aku sepakat dengan Andrea Hirata, "Allah


tahu, tapi menunggu."
8. Masa Lalu & Kamu
Awalnya sederhana, tetapi berkat rasa yang
mengiringi jadilah berubah beraneka makna. Ada
yang dicap dengan label bahagia, duka, lara,
nestapa, suka, merana, derita, berkah dan lain
sebagainya atau bahkan tidak, bermakna apa-apa.
Meski sejatinya, tidak bermakna apa-apa adalah
makna jua.

Adakah yang menginginkan untuk melupakan


masa lalu? Jika ada, maka itu adalah mustahil.
Percuma menginginkannya. Barangkali, satu-
satunya jalan untuk bisa lupa adalah engkau terkena
amnesia. Lalu bagaimana sebaiknya memperlakukan
masa lalu? Diusir tak mau pergi. Dilupakan malah
semakin melekat. Apa harus jadi gila? Tentu tidak
semua.
Pun kalau misalnya kita benar-benar lupa
dengan masa lalu, terus dari mana kita belajar? Dari
mana kita mengambil sikap hati-hati? Bagaimana
kalau ternyata masa lalu menjadi satu dari bagian
terpenting kembang tumbuh manusia? Untuk tahu
kulkas bisa mendinginkan makanan dan minuman
tidak harus punya. Untuk tahu bahwa pisau bisa
menyebabkan pendarahan tidak perlu dengan
menyanyat.

Tapi, ternyata butuh tujuh tahun untuk


menyadari kehadiranmu.
9. Jeda
“Kamu baru saja membuatku bahagia. Bukan.
Bukan kamu yang membuatku bahagia. Namun,
memang karenamu aku kemudian memilih bahagia. Iya,
kamu.” :)

Aku hanya ingin jujur. Jujur dengan perasaan yang


aku rasakan sekarang. Jujur dengan apa yang tidak bisa
aku jelaskan dengan segala tulisan dan perkataan.

Aku bilang, "Entahlah.."

Padahal, aku sudah bilang kepada diriku sendiri.


Kepada sebagian rekan-rekanku. Kepada ibuku. Dan
kepada mereka yang sebagian mengenalmu. Aku tidak
mau lagi. Dan dengan sekuat tenaga, aku bertahan. Aku
terus maju. Aku terus mewujudkan mimpiku. Menjadi
penulis buku.

Hingga pada sebuah peristiwa yang entah


bagaimana aku mejelaskannya. Kau datang, menyapa.
Aku sapa balik. Kemudian kau pergi lagi. Kau balik lagi,
menyapa lagi. Minta tolong untuk ini dan itu. Sialnya, aku
tak pernah bisa menolak. Aku selalu katakan "Ya" pada
setiap permintaanmu. Apapun itu.
Aku lakukan apa yang bisa aku lakukan. Kupikir,
aku benar-benar telah meninggalkanmu. Tapi ternyata,
kau tetap hidup. Di sudut ruang hatiku.

Sampai pada sebuah kesempatan, akhirnya kita


kembali bersua. Untuk membeli makanan favoritmu
dengan tambahan cabai yang sudah pasti membuatku
enggan untuk mengicipinya. Seenak apapun itu.

Kau mulai bercerita tentang hari-harimu. Tentang


aktivitas di luar kampus. Dan mungkin masih ada hal yang
belum sempat kau ceritakan. Aku tahu, semua hanya soal
waktu. Jika saja kita punya kesempatan untuk
menghentikan waktu. (Ah, tapi, itu hal terkonyol yang
aku tahu. Meskipun, barangkali tidak ada yang tidak
mungkin di dunia ini)

Menghentikan waktu? Hmm… apakah kamu


pernah terpikir untuk sekali saja menghentikan waktu?
Tidak?

Ehm… Memang, siapa juga yang bisa


menghentikan waktu? Ini cuma misal, kamu bisa
menghentikan waktu, apa yang bakal kamu lakukan?

"Aku. Ah susah mas, apa ya?..."

"Ah.. kamu"

"Ya, pertanyaannya kek gitu. Bentar. Biarkan aku


mikir..."
5 menit berlalu. Tanpa perkataan apapun. "Mas,
aku tetap gak tahu. Tapi...." Dia kemudian menunduk.
Seperti menyentuh jantungnya, menunduk lebih dalam.
Ia terlihat menarik napas cukup dalam.

"Kurasa, aku ingin tersenyum sepanjang waktu."

"Ha..?"

"Iya” Aku ingin tersenyum meihat apa yang sudah


terjadi. Barangkali saat ini kita kotor, mas. “Mungkin juga
sedih, terpuruk, bahkan juga hampir putus asa..." Kali ini
ia membuka matanya. Menatap wajah lelaki itu penuh
makna. Seakan mantap bilang, ini suara hatiku.

"Tapi, mas. Sekotor apapun kita. Seburuk apapun


kita. Secompang-camping apa pun kita. Kita tetap punya
tempat untuk pulang." Lelaki itu pun tertegun. Berdiam
diri. Tak mampu membalas sedikitpun perkataannya.

"…Ya kita terima apa yang terjadi. Instropeksi lalu


perbaiki. Begitu seseorang mengajari aku, mas.."

"Kamu benar. Lalu apa hubungannya tersenyum


dengan menghentikan waktu?"

"Tidak ada, mas. Tiap makhlukNya mempunyai


kodrat masing-masing. Termasuk sang waktu. Biarkan ia
menjadi dirinya. Dan tugas kita, menorehkan cerita ditiap
waktunya. Senyum salah satunya..."
Matanya berbinar. Menatap senja yang mulai
hanyut ke peraduan. "... dan senyum merupakan 'freze
time' bagi tiap manusia."

Kamu benar. Mereka 'menghentikan' sementara


waktu yang mereka miliki. Hanya untuk sekadar
menggerakan otot wajah dan pipi. Hingga tiap tarikan
otot itu membuat sebuah ukiran yang apik. :)
10. Menjadi Sahabat Sang
Waktu
Aku berharap, hari ini nggak akan pernah
terjadi. Aku ragu, aku khawatir, aku ingin pergi. Aku
nggak tahu mau ngapain. Di sebuah tafakur yang
cukup panjang. Ada yang berbisik, bukan, bukan
berbisik. Tapi, ada yang mengalir. Perlahan ia
bergerak. Ia bilang, "Kun!" Pergerakan itu berulang
dengan gerakan tambahan, "Fayya Kun!" Dan sekali
lagi berulang, "Kun Fayya Kun!" Mataku menatap
langit-langit. Melihat ke arah luar. "Oh.. Keren!
Ternyata ruangan ini tanpa AC dan tanpa Kipas
angin. "Wow" Batinku. Aku beberapa kali ke sini,
tapi, baru kali ini aku sadar. Seperti baru mendapat
angin segar. Melihat kenyataan. "Yang terjadi,
terjadilah!"

Saya beranjak dari Masjid UNS. Menemui


adikku, Asma’. Saya katakan beberapa hal, kemudian
dia berbalik. Sebelum akhirnya kembali menemui
saya, "Berarti besok aku dijemput."

Saya bergegas. Berbalik arah. Menuju Grapera,


salah satu percetakan di Solo.
Saya bersahabat dengan waktu.

Entah jam berapa saya berada di sana. Tapi,


saya ajukan pesanan untuk dipakai segera. Mbaknya
berdiskusi dengan rekannya. Katanya, "Iya" Mereka
mengiyakan untuk melahirkan pesanan saya waktu
sore bagian surakarta.

Selesai? Belum.

Saya bergegas ke toko buku terkemuka di Solo


raya. Tentu tanpa melepas sebuah kewajiban bagi
sebagian umat manusia. Kewajiban di kala hampir
senja.

Untuk ke sekian kalinya, di bulan oktober ini.


Saya ke sini. Ke toko ini. Menjenguk, anak
kesayangan saya.

Pertama datang, ia berada di "New Arrival" Ia


di sana untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, sore
tadi, saya baru tahu. Jika ia sudah berpindah ke
tempat lain. Tempat yang (lagi-lagi) membuat saya
terkejut. Tak percaya. Saya pikir, dia pindah di rak
belakang. Ternyata, ia berpindah tak jauh dari
awalnya. Iya, kini ia berada di "Best Religion”
Allah… Allah... Allahu...

Saya mondar-mandir dari rak satu ke rak lain.


Dari buku satu ke buku lain. Dari diam baca berdiri
ke diam baca jongkok. Sempat beberapa kali untuk
keliling toko. Melihat, what the new here? Oh, masih
beliau, beliau dan beliau. Orang-orang yang sangat
produktif dan karyanya selalu memenuhi sudut
ruang toko buku ini.

Saya mengambil dua buku Mencari Sebuah


Titik. Saya pegang erat. Sempat saya foto di bawah
label barunya. Kemudian mengajarinya berdiri. Lalu
saya tinggal. Dia nggak bilang apa-apa. Mungkin, dia
bakal bilang “Bawa aku pulang, kak.” Kepada orang
lain.

Belum. Saya belum membayar mahar untuk


membawa pulang ia. Toh saya nggak akan
membawanya pulang. Melainkan, saya mengajak dia
berkenalan dengan lebih banyak orang (lagi). Di
acara bedah buku, sekaligus menjadi acara syukuran
untuk kelahirannya.

Saya pengen membayar dengan minta diskon.


Tapi, saya nggak rela. Saya nggak mau memotong
harga untuk karya saya sendiri. Saya ingin membayar
penuh harga dirinya. Seperti yang selama ini sudah
ia lakukan pada saya. Mau menerima saya dengan
segala kurangnya. Bahkan mau untuk jadi anak saya.
Aku sayang kamu, nak.

Saya masih tetap belum membayar. Masih


tetap memegang erat. Saya perhatikan petugas toko
itu. Menyiapkan susunan kalimat untuk bernegosiasi
dan strategi untuk mengajak si bungsu keluar jalan-
jalan, "bla… bla... dan ba." Oke, belum cukup. Saya
susun kalimat lagi, dalam hati, "Mas... bla bli blu be
bi ba…" Oh. Belum juga. Nggak tahu meski ngomong
gimana.

Oke. "Kun Fayya Kun" Oh, bukan. Bukan


kalimat itu yang saya ucapkan. Saya hanya
melakukannya, mengalir, menyampaikan maksud
dan tujuan dengan sangat sederhana. Diijinkan?

Belum. Saya masih menunggu. Untuk


beberapa saat. Petugas itu kembali dengan petugas
lain. Duduk dengan tenang dan menjelaskan. Saya
menyimak. Mengangguk dan setuju. Setuju dengan
kesepakatan yang diajukan pihak toko. Saya senang.
Saya bersyukur.
Bagus kamu, nak. Makasih udah nemenin
bapak malam ini. Besok kamu akan di bawa sama
orang lain. Bawa satu dari mereka untuk kembali
kepadaku ya, nak? Tahu maksud bapak, kan?

Dan, malam ini. Untuk pertama kalinya. Anak


saya ikut dengan saya, tanpa mahar. Nampaknya dia
senang. Sekarang, dia tinggal di sana. Di tempat di
mana kami bersua dengan teman-teman.

Malam ini pula, dia berpeluh sesak untuk


menuju Bandung. Sebuah layanan paket barang saya
pilih untuk mengantarnya. Semoga selamat, nak!

Kami disambut dengan kursi yang sudah


berjajar rapi. Ada sound system di sebelah kanan
kami. Ada 5 kursi yang menjadi tempat kami. Dan
tentu, dua buah meja untuk tempat singgah anak
saya.

"Ye... saya ketemu temen baru, Pak!"

"Siapa namanya, Si Putri Kunang-kunang."

"Oya?!"

"Iya... Seneng banget aku, pak."


"Hamdalaah… Bapak juga seneng."

"Pak, ternyata, Allah hanya ingin kita bahagia!"

"Oya...?"

"Iya.. Tadi aku tahu dari dia, Pak."

"Bagaimana dia bilang?"

"Ih, masa bapak nggak tahu?"

"Iya.. makanya, Bapak dikasih tahu."

"Katanya, Kehidupan ini bersifat pandir, Pak.


Tidak terlihat dengan jelas, mana batas bahagia dan
duka"

"Kamu terkesan?"

"Iya..."

"Jadi temen yang baik, ya?"

"Pasti, Pak"
"Yaudah, Bapak lanjut cerita dulu, ya?" Dan..
Alhamdulillah, syukurilah..

Acara bedah buku pun terlaksana. Hampir


tanpa kekurangan apapun. Semua sempurna.
Apresiasi dari pihak cafe, apresiasi dari temen Mbak
Titi Setiyoningsih. Apresiasi dari rekan-rekan
pemuda Dukuh Putat. Apresiasi kepada dua kritikus
yang lebih dari cukup.

Terima kasih...

Terima kasih...

Terima kasih...

Sampai jumpa di kesempatan yang


sebenarnya. Tak ada balasan yang lebih baik dari
sebuah doa yang tidak diketahui oleh orang yang di
doakan.
11. Bermesraan Dengan
Kenyataan
Sudah lebih dari setahun saya ambeien.
Setahun yang tanpa saya sadari tentunya. Setahun
pula yang akhirnya mengingatkan saya tentang arti
antusias, komitmen, dan tentu tentang sebuah
ketekunan. Ya, semua gegara makhluk yang
bernama ambeien.

Sepertinya ia memang menjadi alarm bagi saya


pribadi dan mungkin juga nanti bisa bermanfaat
untuk yang lain. Bagaimana tidak, ia sekarang
membuat saya untuk lebih disiplin di segala hal.
Termasuk soal makan, minum, jam istirahat dan
lebih-lebih soal pekerjaan.

Dua atau tiga minggu yang lalu, saya sudah


berencana untuk melakukan perantauan yang ke 4.
Tentu ini semua berdasar atas kenyataan yang
belum sesuai harapan. Tapi, saya masih merasa
beruntung. Karena keinginan yang emosional itu
tidak terjadi. Saya mengajak kemana hati ini ingin
pergi. Saya ikuti kemana naluri ini, dan ternyata
semua ingin tetap bertahan. Menghadapi kenyataan
dengan penuh harapan, keyakinan, dan tentu
dengan semangat juang yang tiada henti. Saya tidak
ingin menjadi sesat dengan berputus asa. Dan berlari
atas nama merantau. Tidak! Saya tidak mau! Yang
saya mau hanyalah menjadi manusia sadar diri dan
bertanggung jawab atas setiap pilihan dengan segala
konsekuensi.

Ini hidup saya. Pilihan saya, saya cumbu mesra


kenyataan. Saya peluk lebih lama hingga seakan tak
ada yang perlu ditangisi dalam setiap jengkal
kehidupan ini. Upaya untuk mewujudkan
kemandirian berdasarkan hobi, naluri dan hati lebih
penting dari pada sekadar menuruti emosi.

“Kau tahu kan, jika aku bukan orang yang


biasa dicoba? Jadi kau tak perlu repot-repot
melakukan ini itu untuk mengetahui hal tentangku.
Cukup kau tanyakan apa yang menjadi
pertanyaanmu. Juga menjadi maumu. Pun sudah
aku bilang, anggaplah aku ini sebuah halte yang kau
gunakan berhenti sesaat. Dan, kau berhak
melanjutkan perjalananmu lagi hingga tujuan akhir.
Perkara kenangan dan kerinduan yang tercipta itu
urusan belakang. Karena aku hanya sebuah
persinggahan, seperti halte.”

Perempuan dengan baju putih berlengan


panjang itu terdiam, menunduk tanpa sepatah kata.
Pandangannya menatap kearah kanan. Melepas
pandangan entah kepada apa, namun sesaat
kemudian ia berbalik menatap kearah kiri. Seperti
menggulung rol film yang ingin dia putar kembali.

“Tentu aku akan melepasmu. Aku anggap


misiku sudah selesai. Ya, misi yang aku bilang cukup
ambisius. Aku tahu ini sudah menjadi resiko dari apa
yang aku pilih. Aku sudah cukup untuk kecewa, pun
aku sudah cukup tahu tentang apa yang tidak aku
ketahui. Bagaimana mungkin melanjutkan
perjalanan jika salah satu diantara kita sudah
merasa tidak nyaman? Aku menghargai
keputusanmu.”

Suatu saat kau pasti menemukan hal baru,


teman baru, dan tentu pengalaman baru.
Pesan Moral: Jika kepedihan masih saja
menyelimuti hidup, bearti kita masih ada
kesempatan untuk membuat hidup menjadi lebih
bahagia.
12. Cinta Itu…
"Saat hati telah terpikat oleh cinta, semua kata
bijak akan kehilangan makna"

Kemarin siang, setelah beberapa kali ragu.


Akhirnya saya memberanikan diri untuk
mendekatinya. Bahkan, berdiam diri untuk beberapa
saat. Sebelum akhirnya, saya membawa satu dari
sekian buku yang tersusun rapi di rak yang sudah
disesuaikan dengan kategori masing-masing.

Sebuah karangan legendaris. Tak lekang oleh


waktu. Sebuah cerita yang ciamik. Layla Majnun.

Yang sudah pernah membaca, tentu tidak


asing dengan kalimat pertama dalam tulisan ini.

Kaum jomblo yang belum pernah merasakan


jatuh cinta, ada baiknya berkiblat pada satu karya
ini. Meskipun, akan timbul dua konsekuensi
sekaligus setelah membacanya. Konsekeunsi
pertama, si Jomblo akan menemukan semangat
baru. Untuk bisa merasakan gaung dari cinta. Atau,
konsekuensi kedua (resiko terburuk) adalah ia akan
semakin memantapkan dirinya menjadi jomblo akut.
Karena takut sengsara karena cinta. Bagi saya,
menderita karena melakukan itu lebih baik daripada
tidak melakukan tapi juga tetap menderita.
Setidaknya menderita karena perasaan yang semu.

Meski Tere Liye bilang, hakikat dari cinta itu


sama seperti perasaan lainnya, seperti marah, sedih,
benci, suka, dendam, sakit hati yang sifatnya hanya
sementara saja. Esensi memang bisa disamakan.
Tetapi, hirarki dari rasa cinta itu tak bisa
disamakan. Karena cinta sudah berubah menjadi
makhluk bernyawa. Yang dengan kekuatannya ia
bisa membunuh orang yang hidup, bahkan
menghidupkan orang yang telah mati.

".... Cintaku pada Layla tidak bersumber dari


bumi, ia menyala dengan kebenaran Surga, dan
akan abadi selamanya. Surgalah yang menuntunku
terbang bersama sayap-sayap cinta. Walau panah
dan tombak cinta melukai sayapku. Bagaimana
mungkin aku akan melepaskan diri, sedang Surga
telah menunjuk dan mengilhamkan cinta kepadaku."

Orang lain tak akan pernah memahami


sepenuhnya sebuah film. Sampai sebuah film itu
benar-benar selesai. Sama seperti orang lain tak bisa
sepenuhnya memahami perilaku orang yang sedang
di rundung cinta. Pun demikian dengan kita, orang
lain tak tahu, sampai kita benar-benar
menceritakannya. Sampai kita mau membukanya.

"...Wahai anakku, putus asa adalah penyakit.


Seperti pepohonan yang tumbuh di musim semi,
kebahagiaan akan muncul jika kita memiliki
semangat dan harapan..."

Tingkah Majnun membuat saya ikut


merasakan gejolak jiwa yang ia rasakan. Betapa gigih
Majnun berjuang mewujudkan cintanya. Betapa ia
rela menderita disiksa harapannya sendiri. Betapa ia
rela menjadi gila untuk menanggung resiko dari
sebuah keinginannya yang tinggi. "Layla!.. Layla!"
begitu ia selalu menyebut kekasih hatinya. Tetapi,
rasa sakit mana yang mampu menahan jika memang
sebuah keyakinan itu akan datang?

Dalam setiap sendi kehidupan, ada orang-


orang yang membawa kabar baik, tentang kita,
tentang mereka yang kita sayangi dan cintai. Bahkan
mengenai seorang yang selama ini diam-diam kita
dambakan. Seperti Ishaq, pemuda yang ditemui
Layla dalam taman tempat di mana ia tinggal. Ia
membawa kabar tentang Majnun, kekasih Layla.
Orang-orang seperti ini tidak pernah kita ketahui
rimbanya. Seolah ia didatangkan khusus untuk diri
kita. Setelah urusan beres. Mereka lalu pergi, entah
kemana.

Seperti Iksan Skuter bilang di lagu CINTA. Cinta


itu hati yang ada di tubuh kita. Tak bicara, tak
berkata tapi menggerakan semuanya.

13. Asu(m)si
Pagi ini Lanang pergi ke stadion Pandan Arang,
Kabupaten Boyolali. Ada pekerjaan untuk menjadi
wasit sepakbola U-13. Berkat kegiatan tersebut,
Lanang pun memberikan petuah.

Lanang : Pas masih dalam situasi memimpin


pertandingan. Sambil tetap menahan peluit di
tangan kanan. Saya kepikiran tentang pendidikan
yang baik kepada anak. Bagaimana caranya menjadi
ayah yang baik? Karena setiap anak punya potensi
masing-masing. Maka. Seandainya anak saya nanti
ingin bermain sepakbola. Maka saya ijinkan untuk
bermain di segala posisi. Dengan beberapa asumsi
seperti ini:

Pertama, jika menjadi penjaga gawang, maka


keberanian menjadi penting untuknya. mempunyai
feeling yang kuat terhadap arah bola. Dan tentu,
siap menjadikan bola adalah teman seperti bintang
kartun sepakbola dari jepang, Kapten Tsubasa.

Kedua jika menjadi pemain bertahan


(stopper/center back), tentu pelajaran dan hal dasar
yang perlu dikuasai adalah soal pengambilan
keputusan, tegas.
Ketiga, jika memilih menjadi gelandang
bertahan. Maka intuisi untuk menahan, memberi,
inovasi dan kreasi dalam permainan menjadi penting
dan utama.

keempat, jika pilihannya adalah gelandang


serang, selain kreatif tentu kita perlu menanam
sikap dermawan. Suka membagikan umpan terbaik
untuk bisa cetak gol untuk meraih kemenangan.

Dan, jika kita seorang penyerang, maka naluri


menikam, tanpa ampun, pembunuh bayaran, yang
siap mengkesekusi setiap peluang perlu untuk
dimiliki.

Saya merinding membayangkan apa yang


saya tuliskan di atas. Karena saya langsung kepikiran
dengan calon ibunya. (Ah… siapa ya calon ibumu
nanti ya nak?)

Siapapun, ia takan lepas dari kehidupan kita.


Dari perilaku kita. Dan tentu, dari amalan kita. Kita
tahu siapa diri kita. Kita tahu sejauh mana kehidupan
kita. Dan kita tak perlu menjadi pengadil atas
kehidupan kita sendiri. Setiap orang berubah. Dan
perubahan itu sebuah keniscayaan. Yang baik bisa
semakin baik, yang buruk bisa semakin buruk. Tapi,
tak jarang pula bisa berlaku sebaliknya. Yang baik
jadi buruk, yang buruk jadi baik. Semoga kita
termasuk dalam golongan orang-orang baik dan
terbaik.

14. Paradoks Persamaan


Banyak fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.
perang tagar di twitter, isu pemindahan ibu kota
Negara, sampai pada kematian para petugas KPPS
yang belum diketahui sebabnya. Selain
menimbulkan banyak perdebatan. Tentu hal
demikian juga membuat masyarakat menjadi salah
satu korban opini publik. Baik yang menyangkut
sosial, ekonomi, politik, artis, bahkan hingga
terorisme. Kita dibuat mengaminkan apa-apa yang
ada di tivi. Secara perlahan namun pasti.

Kemudian kita berjamaah untuk mencemooh.


Menyerang satu kelompok ke kelompok lain. Riuh di
dunia maya, geser ke dunia nyata. Energi tersita
hanya karena sosial media. Begitu seterusnya.
Hingga ada orang yang sadar serta bertanggung
jawab terhadap dirinya sendiri, lingkungan, dan
orang lain.

Saya pribadi masih belum berani menyuarakan


secara lantang apa-apa yang menjadi pemikiran dan
prinsip saya. Makanya, saya tidak buru-buru
mengatakan orang lain salah. Selain setiap orang
adalah benar menurut versinya. Manusia juga tidak
bisa melihat, mengatakan bahkan menilai seseorang
karena dasar satu perilaku saja.

gimana, masih memaksa untuk


menyamaratakan? Yang bisa kita lakukan adalah
menghargai tanpa mengintimidasi. “Kita tak akan
pernah bisa dan tak pernah mau untuk dibilang
sama.”

15. Ladang
Gosip
Allah memberikan anugerah pada orang-orang
di kampung kami dengan kesempatan untuk
menanam padi 2 kali dalam setahun. Bahkan
terkadang bisa 3 kali. Siklus sebenarnya, tak lebih
dari 4 bulan. Bagi orang-orang kami, sawah bisa
menjadi salah satu sarana untuk bicara. Hal yang
tidak bisa atau tidak biasa dibicarakan di luar
(sawah), bisa menjadi pembicaraan di sini. Sawah
sudah menjadi representasi dari alam terbuka.
Tetapi, menurut Lanang, orang-orang di kampung
kami tidak akan mengenal teori itu. Meraka hanya
tahu, bahwa selain ladang untuk menanam. Sawah
juga merupakan ladang gosip yang amat subur.

Masih kebiasaan orang-orang di kampung


kami, ada dua hal yang bisa menyatukan semua
keluarga dan masyarakat. Apa saja? Pertama adalah
lebaran. Kedua yang nggak kalah penting adalah
acara hajatan. Baik pernikahan atau perayaan acara
agustusan. Dan sekarang nambah satu daftar lagi,
yaitu panen padi. Karena mampu menghadirkan
sebuah suasana yang hampir sama.

Apa kesimpulannya? Jika kau ingin menggelar


hajatan, jangan pas musim panen. Apalagi pas acara
agustusan. Hehehe…

16. Ambein
Namanya Ambein. Tinggal di anus manusia.
Bisa di dalam atau di luar. Bisa besar, bisa juga kecil.
Berefek nyeri.

Ambein, warnanya merah merona. Kurang


lebih 6 bulan lalu Lanang mulai mengenalnya.
Awalnya, dia datang dengan mengetuk pintu
belakangnya. Pelan tapi terasa.

Ketika dicek, ternyata dia sudah berdiam di


sana. Nggak tahu sudah berapa lama. Dia makhluk
unik, datang ketika Lanang merasa lelah dan duduk
terlalu lama. Medio 2013, Lanang bekerja di sebuah
CV. Sebagai sopir. Perjalanan yang ia tempuh
lumayan jauh, bisa puluhan bahkan ratusan kilo.
Terjauh adalah ke Madura. Dan perjalanan terlama
adalah 16 Jam. Tanpa diganti.

Awalnya ya nyaman dan enak-enak saja,


karena selain bekerja, Lanang bisa kemana-mana,
lihat kota ini dan itu. Hampir tiap kota di Jawa Timur
sudah terlewati, sebagian juga sudah
terkunjungi. Sampai pada tugas di Kediri, Ambein
tadi muncul.
Lanang menyebutnya, "kado". Kado terindah
untuk sementara waktu. Kado itu yang akhirnya,
membuat Lanang mengambil keputusan untuk
melepas pekerjaan sopir itu. Memilih keluar dan
membuat karya. Beberapa pekan setelah itu, si
ambein masih saja sering menghuni pintu belakang.
Pernah suatu kali Lanang memeriksakan ke dokter di
sebuah rumah sakit.

Kata salah seorang yang memeriksa: "Ini tidak


berbahaya. Tidak perlu diberikan tindakan apapun.
TIDAK MEYEBABKAN KEMATIAN!".

Sebulan dua bulan dan hingga sekarang. Masih


saja Si A datang dan menjadi penghuni pintu
belakang. Apalagi jika badan lelah, seakan si A
menjadi sebuah tanda. Akibatnya, banyak hal yang
perlu dikurangi. Tidak bisa memforsir tenaga dan
pikiran. Mengontrol diri menjadi satu hal yang
penting baginya. Walau terkadang, masih suka
kelewat dan nggak mengukur kondisi kalau pas
melakukan sesuatu. Suka cuek.

Persis setelah 7 bulan dia tumbuh bersama


Lanang, akhirnya Lanang memilih mencoba untuk
menggali lebih dalam.
Apa hikmah dari kado ini?

Pertama, Tidak boleh banyak beraktivitas,


artinya saya perlu fokus. Kedua, Tidak boleh terlalu
lelah, mengatur mana yang penting dan mana yang
kurang/tidak penting. Belajar prioritas dan delegasi
tugas. Ketiga, Tamparan. Ambein menjadi tamparan
bahwa sekali lagi, kita tidak boleh "lompat-lompat".
Sebaiknya mulai berpijak. Mengakar, lalu tumbuh.
Biar segera bisa memberikan manfaat, kepada diri
dan orang tua. Juga sesama.
17. Pulang
Beberapa hari terakhir ini, rumah kami ramai.
Jauh lebih ramai dari biasanya. Penyebabnya, tiga
keponakan saya ada di sini. Sudah dua minggu.
Mereka tiga bersaudara, masing-masing usianya 9,
5, dan 3 tahun. Laki-laki semua. Dan mirip bapaknya
semua. Si kecil yang lebih suka dipanggil Dedek, suka
gemesin. Mulai dari bangun sahur hingga setelah
tarawih, keriuhannya tiada henti.

Salutnya adalah di usia yang segitu, masing-


masing sudah bisa mengerjakan urusannya sendiri.
Meskipun, namanya juga masih kecil. Ngambek dan
rewel itu hal biasa. Jangankan anak kecil, wong kita
yang dewasa saja kadang begitu kog.

Mas Fattah, yang paling gede. Dikirim ayahnya


ke salah satu pondok hafidz di daerah Tegal – Jawa
Tengah. Dua minggu sekali diantar jemput. Menurut
aturan baru bisa pulang setiap enam bulan sekali.
Mas Fattah ini, dulu lahir di sini, kampung ini. Rumah
kami. Waktu itu tangisnya pecah ketika Bapak masih
ada. Praktis, dia menjadi cucu pertama di keluarga
sekaligus menjadi keponakan pertama Lanang.
Dari tiga bersaudara ini, mas Fattah yang
paling doyan makan. Seperti pas buka beberapa
waktu yang lalu, setelah semangkuk es buah, disusul
kemudian dua potong bakwan. Lepas magrib, lanjut
lagi dengan makanan yang lain. Entah apa
makanannya waktu itu.

Beda lagi dengan mas Ilyas, keponakan Lanang


yang kedua. Yang satu ini suka sekali dengan yang
namanya emban (kata lain dari Gendong). Nggak
sama om atau mbah uti (panggilan sayang mereka
untuk nenek, ibu saya), hobinya minta di-emban.
Mas iyas begitu sering membahasakan dirinya ke
Dedek. Jika dibanding dengan Dedek dan mas
Fattah, mas Iyas yang paling betah untuk tidur.

Nah, Dedek ini yang menurut cerita


Lanang,adalah sosok natural tapi cerdas. Sopan dan
kadang menggelitik. Kalau Lanang telat sahur,
komen pertama yang ia sampaikan adalah “Om
bobok-nya kelamaan”. Dedek ini suka minta duduk
manis di pangkuan ketika Lanang sedang bermain
laptop.

Terkadang, Lanang merasa susah


berkomunikasi dengan mereka. Karena apa yang kita
larang malah mereka lawan. Memang, komunikasi
adalah poin penting untuk menjalin hubungan.
Apapun.

Kosa kata dan kekayaan kalimat Dedek yang


masih kurang, kadang kedengarannya lucu.
Cenderung aneh.

Oiya, rencana nanti malam mereka sudah mau


balik ke tempat tinggalnya. Sekeluarga. Lanang turut
serta mengantar. Ada sedikit perasaan sedih. Meski
sudah dua minggu di rumah, tapi rasanya kurang.
Tahu mereka mau pulang, dan tinggal hitungan jam
lagi di rumah ibu itu rasanya nggak enak. Jadi nggak
ada yang gangguin tidur lagi. Nggak ada yang minta
di emban. Nggak ada yang minta duduk manis.
Nggak ada yang minta dibuatin susu. Nggak ada yang
minta diambilin minum. Nggak ada yang manggil,
“Omm…” dengan suara nya yang khas. Keluh Lanang.

Tapi, ya begitulah kehidupan. Mau tidak mau.


Enak tidak enak. Kita akan kembali kedalam
kehidupan kita masing-masing. Roda hidup terus
berputar, ada yang pulang ada yang pergi. Ada yang
berpisah ada yang menemukan. Lagipula, perjalanan
setiap manusia juga diakhiri dengan pulang ke
hadiranNya.

Dulu, Lanang mengira ketika kita tahu soal


waktu itu akan membawa kita akan mempersiap diri
dan memperbanyak bekal. Tapi, ternyata semua itu
hanya omong kosong. Nyatanya, ditinggal mereka
balik ke kampung halaman, bahkan sampai
menghantarkannya pun masih sedih juga.
18. Mantra
Aku sampaikan kepadamu:

Percayalah dengan takdir yang kita bangun dari


sekarang.

Percayalah dengan impian yang kau bangun.


Percayalah dengan apa yang menjadi harapmu.

Dan percayalah bahwa akan ada satu waktu. Di


mana kita akan bertemu kembali.

Dengan satu pertemuan yang amat


mengesankan.

Kita tahu, ini bukan persoalan yang mudah.

Tetapi, bukankah kau yang selalu mengatakan


kepadaku bahwa kita tak pernah main-main?

Terkadang, mengambil jarak sesaat akan


membuat kita semakin tahu. Seberapa besar perasaan
kita dan seberapa banyak pikiran kita tentang kita.

kenapa aku setenang ini, kau tahu kenapa?

Karena aku yakin dengan takdir yang sudah


menanti di depan sana.

Berbahagialah, tersenyumlah.
19. Laki itu Gini
Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Tetapi, ada
suara yang berbisik tentang namamu, tentang
prestasimu, tentang hobimu, tentang ibu dan bapakmu,
tentang rumahmu, tentang impianmu yang belum
terwujud, tentang hal-hal lain yang berhubungan
denganmu. Mereka datang bergiliran, ada yang
rombongan ada yang sendirian, satu per satu.

Aku kembali mengingat, tentang waktu di mana


pertama kali kita bertemu. Aku memberikan kesan yang
kurang baik waktu itu, katamu. Aku menyamakanmu
dengan yang lain. Ehm, ya, aku mengakui itu. Tapi, bukan
begitu maksudku. Barangkali waktu itu aku lupa, bahwa
tidak ada seorang pun di dunia ini yang mau
dibandingkan satu sama lain. Apalagi perbandingan yang
digunakan tidak sejalan dengan apa yang sedang kita
pikirkan. Dan itu adalah hal bodoh yang pernah aku
lakukan. Kesan pertama yang kurang baik.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai menilai dan


melabelimu dengan prasangkaku. Yang ini, yang itu,
jangan-jangan begini, jangan-jangan begitu. Seiyanya,
aku pernah tahu bahwa ada satu waktu di mana kamu
bilang bahwa pernah ada rasa. Selebihnya tidak ada sama
sekali. Mungkin sampai hari ini. Pernah suatu waktu, hari
di mana aku menganggap itu hari yang penting untukmu.
Aku bergegas menuju tempat perantauanmu, dengan
membawa buku sebagai hadiah untuk hari itu. Ternyata,
kamu tidak ada. Dan aku biasa saja. Benar-benar biasa
dan bisa menerima. Meski ternyata, waktu itu kamu
sedang berada di tempat yang sebenarnya aku tak perlu
jauh-jauh datang ke tempat perantauanmu, kita bisa
ketemu. Mungkin.

Aku ingat, di satu malam, selepas isya. Aku ingat


malam itu aku tiba-tiba menuju kosanmu, membawakan
sebungkus makanan kesukaanmu dan beberapa kali
mengirim pesan agar kamu bisa dan mau menemuiku.
Aku ingat kejadian itu, tapi aku lupa, sebab apa yang
mengirimkanku ke sana. Aku hanya ingat kalau waktu itu,
aku punya salah. Dan makanan itu aku jadikan sebagai
tanda maafku. Sesederhana itu.

Juga ingat tentang, bagaimana waktu aku menuju


kota kelahiranmu. Berjam-jam dan beratus kilo meter aku
tempuh untuk bertemu dengamu. Dari desa ke kota.
Berharap, di hari pentingmu yang lain, aku bisa ketemu
dan memberikan hadiah buku (lagi). Selain ucapan terima
kasih, juga sebagai ucapan selamat atas hari pentingmu.
Meski canggung, akhirnya aku bisa memberikan hadiah
itu secara langsung. Aku lega. Terselip bahagia.

Malamnya, aku pulang ke rumah saudaraku. Aku


nggak menyangka. Jika keesokan harinya, kita kembali
bertemu. Di tempat yang berbeda, dengan suasana yang
berbeda pula. Itu pertama kalinya aku bertemu dengan
teman-teman yang biasanya hanya bersapa ria di grup
WA. Mungkin kamu juga ingat, jika hari itu aku
menyampaikan sebuah keinginan dengan canggung.

Orang-orang nggak tahu apa yang baru saja kita


bicarakan selepas dari toilet itu. Kamu hanya berjanji
akan mengirimkan kabar seminggu setelah hari itu. Aku
setuju. Seminggu kemudian, kamu tak mengirim kabar.
Sepuluh hari, sebelas, dan hampir dua minggu akhirnya
aku menanyakan tentang kabar itu. Kamu jawab,
lingkaranmu belum bulat. Aku maklum.

Hari berganti minggu, menuju bulan dan hampir


setahun. Aku sudah sangat jarang sekali menanyakan
kabarmu, menyapamu di sosial media atau hal-hal lain
yang bisa menjalin komunikasiku padamu lancar. Tapi,
bagaimana ceritanya, tiba-tiba kamu mengabarkan akan
pergi ke tempat perantaunmu dulu. Alasanmu, kamu
sedang liburan. Kamu mengajak ketemu dan aku setuju.
Dengan catatan, kamu memintaku untuk mengajaknya.
Lagi-lagi aku setuju. Aku nothing to lose. Selain kondisiku
yang tidak begitu baik, aku juga masih memakai alat
bantu jalan pasca operasi besar di kaki kanan beberapa
bulan lalu karena kecelakaan. Aku datang berdua. Aku
tersenyum melihatmu, sedikit canggung. Lama tak
jumpa. Apa kabar? Tanyaku waktu itu. Kita hanya
bertanya dan berbicara secukupnya. Kita jalan-jalan,
berfoto ria dan tentu makan bersama.
Keesokan harinya, kamu baru bercerita bahwa
sebenarnya kedatanganmu ke kota perantauanmu
adalah untuk menemui seseorang yang berniat baik
kepadamu. Tetapi, dengan alasan yang kurang jelas,
orang itu tidak bisa atau tidak jadi menemuimu.
Beruntungnya, kamu masih punya teman-teman yang
mengajakmu jalan dan keliling kota sebelah. Kamu piknik
dengan mereka. Jadi gelisahmu karena kawan-kawanmu
ramah.

Ini tahun ke lima kita kenal dan sekaligus menjadi


tahun seolah tidak pernah kenal. Kita berdua pernah
membuat rencana yang amat baik. Untuk amaliyah kita.
Untuk bekal akhirat kita, yang akhirnya, (semoga kamu
ikhlas) aku memintamu untuk mengikhlaskan hal itu.
Dan, tentang cita-citamu untuk membuat buku, selamat,
waktu yang telah menjawab dengan sempurna.

Ngomong-ngomong, aku ingin main lagi ke


tempatmu. Beberapa minggu setelah aku
menemuimu dengan sesekali candaan khasmu,
kepercayaan diriku menebal. Keyakinan untuk
melanjutkan jalan kian membentang. Maka,
kuhadiahkan sesuatu untukmu.
Katamu, aku berlebihan. Kujawab, tidak. Tidak
ada yang berlebihan untuk sebuah pembuktian.
Karena hal itu m, segala sikap berubah. Termasuk
sikapku. Dua bulan berlalu, kamu mengirm pesan.
Mengatakan bahwa kau ingin bercerita tapi ragu jika
aku menyikapinya dengan keliru. Hahahaha.. Maka,
hari itu juga aku menjelaskan banyak hal, tentang
maksud dan tujuan, tentang keinginan, tentang
harapan dan tentu tentang perasaan. Kamu hanya
diam. Tidak membalas satu pesan pun. Aku? Jelas
aku pun ikut diam, karena awalnya memang begitu.

Terima kasih telah menolakku berulang kali


dan telah mengambil keputusan untuk memblokir
semua jaringan komunikasiku. Yang perlu kamu tahu
adalah langkahmu membukakan langkahku untuk
mengambil jalur tanpanmu.

Aku jadi teringat Heni kawanku, ia


mengatakan: Jangan pernah melibatkan perasaan
dalam pertemanan. Apalagi pertemanan itu terdiri
atas laki-laki dan perempuan. Tapi, bukan bearti pula
terus kaku. Cuma, gimana caranya biar nggak
terjebak baper.

Bertemanlah secara professional.


20. Menjadi Bijak
Pernah suatu hari itu saya berniat untuk
memposting sebuah catatan tentang event Bedah
Buku yang saya laksankan 27 Desember 2014 lalu.
Tapi karena malas saya batal posting. Meskipun,
sudah menulisnya. (Biasa, kalian juga pasti tahu.
akan ada selalu pembenaran untuk setiap kesalahan.
Hanya sedikit yang bakal mengakui bahwa itu salah).

Satu waktu, Lanang sedang santai menikmati


es cincau. Menurutnya, es cincau itu nikmatnya
karena santan dan gula merah yang berpadu dengan
bongkahan es. Ketika ketiga jenis bahan itu
dicampur. Maka terjadilah reaksi perubahan warna
santan menjadi coklat. Belum lagi ketika penjual es
cincau menambahkan mutiara berwarna merah.
Akan terlihat sebuah pemandangan yang sangat
indah di dalam plastik. Tentu.

Dalam kenikmatan yang nampak sederhana


itu, pikirannya melompat ke suatu tempat, lalu
kemudian ia bilang:
“Bukankah setiap sesuatu itu mengandung
hikmah?”

“Iya”

“Bearti, es cincau pun juga mengandung


hikmah.”

“kalau iya. Apa hikmahnya?”

“Kandungan dari es cincau adalah tetaplah


menjadi diri sendiri di mana pun berada. Meski
dicampur santan, gula, mutiara dan batu es. Ia tetap
tidak terpengaruh sedikitpun. Ia tetap menjadi
cincau asli!”
21. Jejak Maknawi
“Kaki boleh lelah, badan boleh goyah, tapi asal
asa masih membumbung tinggi. Aku tak menyerah!”

Aku tidak tahu masa depan itu seperti apa.


Tapi, aku tahu mau menjadi apa. Aku pun tidak tahu,
langkah kaki ini, telah sejauh mana dan sampai pada
langkah berapa. Tapi, aku tahu, bahwa langkah kaki
ini telah berada di jalur yang tepat.

Manusia tidak akan pernah puas jika dia


sendiri tidak membuat batas. Manusia akan terus
berlari jika ia tak berhenti. Manusia akan selalu
mencari karena itu adalah intuisi. Manusia akan
terus mencipta tanpa jeda. Tapi, Itu mansia atau
industri?

Laut kuseberangi, gunung kudaki, langit


kujelajahi. Dan kamu, masih terus bersembunyi.
Tidakkah kau mau menampakan diri? Atau aku yang
tak jeli?

Kaki boleh lelah, badan boleh goyah, tapi asal


asa masih membumbung tinggi. Aku tak menyerah!

Hidup adalah perjalanan untuk kembali.


Kehidupan adalah ladang, laut, sawah, gunung,
impian, keluarga dan semua hal yang ada di muka
bumi. Lalu apa tugas manusia?

Ia berjalan di muka bumi dengan kerendahan


hati. Melangkah, berbuat, membuat jejak-jejak yang
bermakna. Beribadah kepada sang Maha Pencipta.
22. Mengeja Rejeki
Ini, tentang lanjutan kisahku yang selalu
menemui kejadian demi kejadian dengan berbagai
cara.

Dua atau tiga hari lalu sebelum saya menulis


ini: Saya pergi ke Solo dengan mengendarai motor.
Waktu itu ada keperluan membawa paketan
Blangkon untuk dikirim ke Pekanbaru, sekaligus
meninjau pesanan batik di pasar klewer. Pesanan
batik ini adalah pesanan yang kedua dengan jumlah
1000 potong. 1000 potong kain 2 meteran. Jadi ada
+/- 2000 meter kain batik yang saya pesan. Beberapa
waktu lalu, saya dipercaya juga dengan 1000 potong
kain batik. Tapi yang ini lebih panjang, sekitar 2400
meter. Karena tiap potong kain panjangnya 2,4 m.
Pesanan pertama berjalan sangat lancar. Komunikasi
dengan produsen santai, enak, jelas dan yang pasti
dapat dipercaya. Yang kedua ini agak membuat was-
was. Bukan agak lagi, sih. Tapi emang udah bikin
was-was. Seperti kamu lagi nunggu balasan pesan
doi, tapi ternyata doi itu ketiduran. Atau, kamu lagi
nungguin balasan pesan doi, tapi ternyata doi nggak
tahu di mana. Tapi, nggak deng. Saya lebih dari itu
rasanya. Khawatir, iya. Curiga, iya. Was-was apalagi,
jelas. Orang ini saya temukan di pasar klewer, solo.
Seminggu pertama semua baik-baik saja.

Minggu kedua mulai agak susah dicari,


ditanyain nggak jelas dan jawabannya selalu aneh.
Ehm, kek begini nih hati yang penuh curiga dan
takut. Waktu itu saya percaya bahwa kalau niat kita
baik, kemungkinan besar kita juga ketemu sama
orang-orang yang baik. Cuma, memang jalan untuk
ketemu dengan orang baik itu perlu halang
rintangnya. Dan, nggak semua hal yang kita inginkan
itu bisa dicapai dengan mulus dan sempurna. Selalu
ada warna yang nggak pernah kita inginkan
sebelumnya yang akan selalu menyertai dalam
kehidupan keseharian kita. Dalam hal apapun.

Saya jadi belajar, selalu tambah alokasi waktu


terhadap apa yang sudah disepakati diawal. Begini
misalnya, saya dan produsen sepakat bahwa
pesanan saya bakal jadi selama tiga minggu. Maka,
saya perlu menyampaikan kepada klien, kalau
pesanan baru jadi setelah 4 minggu ditambah
dengan waktu pengiriman. Begitu seterusnya.
Alokasi waktu + 1 minggu atau 5 hari. Selain
kepercayaan kita terjaga, kita juga nggak terlalu
terbebani dengan janji kepada klien.
Dan, kita bisa selalu berhati-hati dalam setiap
jual beli. Soal maqam manusia, saya kira nggak bakal
bisa menipu. Kumpulan orang-orang di sekitar kita
adalah cerminan dari apa yang ada di dalam diri kita.
Jika kita ketemu atau berkumpul dengan orang yang
A, barangkali kita memang mempuunyai irisan yang
A tersebut. Begitu seterusnya. Misalnya, kamu naik
bus Sugeng jurusan Surabaya. Meskipun kamu
turunnnya nggak di Surabaya, tapi, kan, kamu masuk
dari bagian di dalam bus itu. Otomatis, kamu berada
pada irisan yang sama dengan orang-orang yang ke
Surabaya.

Setelah urusan dengan blangkon selesai. Saya


bergegas menuju ke pasar klewer. Biasanya, milih
lewat belakang pasar, pengen parkir di sebelah barat
pasar klewer. Alasannya, jalannya lebih dekat
dibanding di kedua tempat parkir lain.

Eh, kok ya ada bapak-bapak yang membawa


dagangn dengan motor. Motornya bebek.
Dagangannya ditumpuk setinggi dua meter,
mungkin. Pokoknya, sama bapaknya yang duduk itu
lebih tinggi dagangannya. Nah, dagangan bapak tadi
itu miring ke kiri, mau jatuh. Lah aku terus buru-buru
nyandratne motor, terus tak tulungi bapake. Gur
goceki jane. Tapi bapake lek maturnuwun ora wis-
wis.

Lha ternyata to, kuwi dagangane isine


gendongan bayi, kasur bayi, kasur seng wes enek
slambune kae. Nah, aku kan terus dadi kelingan, nek
meh ngado mas Didik, eh dudu, ngado anake mas
Didik luweh tepate. Seng gek seloso pahing tanggal
piro kae lahir neng Kebumen. Mayan, due produk
Kebumen. Eh, maksudku, enek bibit unggul seko
kebumen siji. Meskipun, aku nggak ngerti, kuwi ncen
produk Kebumen opo produk Solo. Cuma memang
lahire neng Kebumen.

Eh, misale anak kui dititeni pas deknen


pembuahan. Lek meh ngeleng-ngeleng pie yo?
Buakakakak... aku rareti. Untung wae, pencatatan
sipil kui pangerten, kelahiran iku emang didelok
lahire seko ngendi. Eh maksudku, lahir nengdi. Tur
jenenge kae, yo Tempat lahir, dudu tempat
pembuahan. YA ALLAH…

Nah, bar tak ewai. Aku terus tuku, soale yo


kelingan kui mau. Kok yo delalah ya. Ngunukui terus
lho urepku ki. Nek ra ngene, mesti ngunu. Jane kabeh
mau ranek seng kebetulan. Cuma mungkin aku lali
ngomong, lali karo dongaku. Dadi seolah-olah kui
terjadi begitu saja. Padahal, kabeh kedadean mesti
enek alesan. Meski ora kabeh iso digawe penjelasan.

Terus gek bengi aku lungo karo kancaku,


deknen cerito soal rezeki. Terkhusus soal jodoh. Lha,
deknen cerita, nek kancane kancaku kui mau meh
rabi. Lha, tinggal itungan hari, kok mas calon
ngantene ki meninggal. Sampai akhire, deknen
dikandani ngeneki, sego seng neng ngarepmu kui,
durung karuan dadi rejekimu. Iso wae, pas awakmu
meh nyendok, segomu kesemplak, terus utah. Kowe
rasido mangan. Kui. Salah siji contoh nek durung
rejeki. (Aku nek kelingan cerito kui dadi merinding.
Bahkan nulis iki yo jek merinding wae. Ya Allah..
paringano ngapuro)

Tapi nek wes dadi bagiane awake dewe, kabeh


enek dalane lan ora kurang mergo.
23. Hadir – Menghadirkan
“Cuy.. sehat?”

“Nggak sengaja aku buka folder kamera. Eh,


nemu videomu”. Dua pesan ini saya kirim ke seorang
kawanku yang saya kenal beberapa waktu yang lalu.
Pesan itu terbalas beberapa jam kemudian. Biasanya
kalau nggak ngobrol soal film, ya ngobrolin orang
lain. Wkkwkw.

Malam itu agak beda, saya bertanya tentang


beberapa hal. Pertama, pertemuan seseorang itu
terjadi karena kita yang menarik atau karena apa,
missal karena satu frekeunsi yang sama mungkin?
Tak lama, ia membalas.

“Sementara ini, ga selamanya kalo ketemu


atau berinteraksi itu karena sefrekeunsi. Karena
diperjalanannya baru bisa kelihatan, yang bener-
bener sefrekuensi atau nggak. Kalau ketemu, kenal,
berinteraksi, ya udah jalannya emang begitu. Nah
setelah itu, kan melewati proses yang macem-
macem. Jadi pribadi yang berinteraksi.”
Saya sepakat. Saya mendapat poin dari apa
yang ia sampaikan. “Tetapi akhirnya, kita ada di
tempat yang jadi perhatian kita”

Sempat saya tanyakan, apakah sebagian dari


kita (kehadirannya) seperti matahari dan sebagian
yang lain seperti makanan penutup pada sebuah
hidangan? Kataku bertanya kembali. Dia jawab,
nggak. Dia percaya, bahwa setiap perilaku itu ada
niat baik di dalamnya. Mung kadang ora pas karo
awae dewe seng nyawang. Maling misalnya, niatnya
biar bisa beli beras untuk makan. Cuma, caranya
yang nggak betul.

Baik saja nggak cukup dan yang perlu disadari


lagi adalah bahwa benar dan kebenaran itu punya
banyak sisi. Semakin banyak orang, semakin banyak
sisi pandang, cara pandang dan kebenaran
internalnya masing-masing (tentu).
24. Gelembung
Aku suka sama kamu, itu kataku di mie ayam
pangsit malam rabu lalu. Itu adalah pilihan terakhir
dari sekian pilihan yang aku ajukan. Maklum, itu
makan malam bareng pertama kali kita. Aku
sebenarnya bingung waktu itu. Tapi aku nggak mau
mengaku. Aku juga tidak punya uang. Tapi, kalau
soal ini kurasa kamu sudah tahu. Aku bekerja. Tapi
ya begitu, aku belum pandai mengatur keuanganku
sendiri.

Kayaknya enak, nih. Kataku, ketika aku


menawarkan mie ayam pangsit yang terlewat oleh
laju motor kita. Aku tertawa kecil, hehe. Aku
memutar motor. Lalu kita berhenti. Nampaknya
pilihanmu tepat, kataku mengawali. Juga sebagai
bentuk apresiasi kecil.

Warung ini sedang sepi. Mungkin karena


memang sudah mau tutup atau karena hujan yang
tadi sempat mengejutkan kita berdua. Kamu bilang,
kita ke toko buku itu saja. Aku mau mencari pensil
dan buku agenda. Aku setuju. Dan aku menembus
hujan. Sepertinya aku juga telah menembus
sebagian ruang hatimu. Atau, aku sedang
melarutkan segala bentuk kenangan dan menerima
curahan bentuk rasa terbaru. Begitukah? Maka aku
geber motorku dengan secepat-cepatnya.
Mengurangi sebanyak mungkin cipratan hujan yang
bisa membasahi gaun panjangmu. Kamu itu unik,
cantik, pinter dandan, suka aneh, nyentrik tapi tetap
keren. Ini, kata-kataku yang belum atau mungkin tak
akan sempat aku sampaikan langsung kepadamu.

Galagasi. Aku membantumu mencari pensil


atau pulpen atau pena. Ih lucu! Katamu dengan
senyum yang amat manis ketika melihat aneka
pulpen beraneka warna pastel. Tapi, nggak ada yang
biru. Kau cemberut. Meminang-minang antara hijau
pastel dan merah muda. Aku diam. Ih, kok sekarang
nggak ada ya? Kan kemarin masih. Katamu ketika
melihat tumpukan buku agenda dengan berbagai
warna, bentuk dan motif. Aku bilang, kita bisa
mencarinya di toko sebelah kalau mau. Tapi, katamu
yang di sini lebih lucu dan menarik. Kau tutup
dengan senyum. Tentu. Ah, gigimu indah.
Senyummu manis. Tiba-tiba aku rindu kamu.

Di luar masih deras. Kamu belum juga


menemukan buku agenda atau pulpen yang kau cari.
Aku sibuk sendiri. Melihat permainan yang harganya
tiga atau lima kali lipat lebih mahal dibanding
dengan membeli lewat kelontongpedia atau
sejenisnya. Aku mengadu kepadamu, kamu malah
bercerita soal barang lain, katamu juga lebih murah
di sana. Oh, sepertinya di sini memang mahal. Tapi,
memang bagus, mas. Entah itu merengek atau itu
manja. Aku sulit membedakan.

Kulihat kamu sudah memegang satu pulpen.


Tapi, kau kembalikan pada tempatnya. Kau
mengajak turun, ke lantai dasar. Melihat buku-buku
diskon. Aku ke kanan. Kamu ke kiri. Pegawai toko
buku sudah mulai sibuk menata ulang dan
mengembalikan beberapa buku untuk disimpan
kembali. Aku masih menyempatkan diri untuk
melihat dan sesekali melirik buku apa yang hendak
kubeli. Meski tak harus sekarang. Aku mengambil
duduk di dekat tangga, aku melihatmu dari sini,
kamu masih begitu sibuk. Entah mencari buku resep
masak, buku kecantikan, buku horror atau entah
buku apa aku tak tahu. Senyummu kembali
merekah. Terpecah menjadi tawa kecil. Tawa ejekan
yang ditujukan kepadaku karena aku sudah
menyerah. Duduk. Dan seakan tawamu bilang,
segitu saja? Haha. Tapi, seketika itu juga, kau
menepi. Mengajak aku pulang. Kau paham.
Kamu bilang, mie pangsit ini enak sekali. Aku
sepakat tentang itu. Dan diam-diam aku mulai
mempraktekan pemikiran sesatmu mengenai makan
sehat seminggu setelah pertemuan itu. Aku masih
ingat betul, bagaimana dulu kamu sempat tergabung
dalam sebuah grup percakapan MIE LOVERs sebagai
bentuk totalitasmu untuk mendapatkan selera
makan mie ayam terenak! Aku terkagum-kagum.
Aku juga masih ingat betul, bagaimana kau
menceritakan proses pekerjaanmu, hobimu, hingga
persoalan-persoalan kecil yang aku hanya sempat
mendengarkan tanpa memberikan sedikitpun
tanggapan. Kecuali, anggukan kecil, senyum tipis dan
beberapa pertanyaan-pertanyaan kecil untuk
meluruskan persepsiku atas yang kamu ceritakan.

Aku lebih dulu habis. Kau menyusul beberapa


saat kemudian. Pangsitnya enak. Ada dagingnya. Iya,
sama. Punyaku juga. Sampai detik ini, aku masih
heran dan bertanya-tanya. Apakah yang kamu
lakukan kepadaku itu? Berdasarkan apa? Murni
pertemanan atau memang sempat ada rasa?
Pertanyaan ini tak pernah aku ajukan hingga
sekarang.
Esok pagi kita akan kembali ke rumah masing-
masing. Kita akan menumpang sebuah kereta. Dan
akhirnya kau mau bercerita tentang orang-orang
yang pernah hadir di kehidupan. Cerita yang sangat
aku nantikan tapi sungkan untuk aku tanyakan. Ya,
aku tahu. Itu ranah privasi yang tak semua orang
boleh tahu soal itu. Maka, aku menahan untuk
bertanya. Dan memilih menunggu.

Setengah perjalanan kita habiskan untuk selalu


bercerita. Tentu soal siapa yang pernah bersamamu
itu tak akan terlewat. Perjalanan ini. Peristiwa itu.
Cerita-cerita itu. Aku masih senantiasa menunggu
untuk kembali mendengar. Sayang, aku sedikit
bodoh waktu itu. Karena aku memilih untuk
mengalah pada kantuk dan menyerah untuk tidur
daripada selalu mendengarkan petuah, kisah, dan
mungkin bahkan lelah yang sebenarnya ingin kau
sandarkan kepada kursi kereta.

Aku dijemput babang tampan. Katamu ketika


turun. Aku khawatir. Babang tampan siapa? Tukang
ojek. Jawabanmu melenyapkan resahku. Aku
tersenyum, gelembung bias pecah. Menjadi
harapan-harapan baru yang perlahan
aku lempar ke langit. Sebagian bias
itu menamparku.

Pecahan itu membuat semakin jelas. Bahwa


gelembung kita berbeda. Gelembungku terbang ke
kota lain. Gelembungmu terbang mengikuti angin.
Membuat lama tidak bersua. Jangankan bersua di
dunia nyata. Di udara pun tidak. Beberapa hari
setelah gelembung membawaku kembali ke kota
lama, aku meniupkan gelembung ke arahmu. Untuk
menyampaikan undangan pernikahan.
25. Cinta Yang Mawujud
Lanang mengunggah sebuah poster berlatar
belakang hitam dengan tulisan ”SURAT AJAKAN
MENIKAH”. Gambar itu ia unggah dua kali dalam
kurun waktu yang berbeda. Unggahan pertama di
beranda facebook dengan sambungan status pada
hari itu juga. Yang kedua, ia gunakan sebagai sampul
header. Keduanya sama-sama mendapatkan respon
dari warganet. Beberapa diantaranya memang
dikenal, pernah bertemu bahkan berbincang secara
langsung. Responnya macam-macam, ada yang
mengirim emoticon tertawa hingga keluar air mata.
Ada yang berempati. Ada juga yang bertanya:
apakah sudah ada calon? menanyakan sudah ada
calonnya apa belum.

10 Februari 2017.

Hari keempat pasca pengangkatan pen


penyangga tulang di bagian pangkal paha sebelah
kanan dan sebuah baut sepanjang tiga centimeter di
lutut. Hari di mana, Lanang merasa ia diajak total
untuk istirahat. Baik secara fisik, mental dan/atau
pikiran.

Secara fisik ia belum bisa melakukan banyak


aktifitas. Hal yang ringan seperti urusan ke kamar
mandi saja masih kesulitan. Selain membutuhkan
alat bantu jalan, kaki juga bekas operasinya masih
sakit. Secara mental, Lanang mendapat supply
energi yang sangat sesuai dengan kondisinya.
Pertama, di perjalanan pulang dari Rumah Sakit ia
membaca artikel singkat berjudul Petuah Lama.
Artikel itu hanya satu paragraf. Dibaca satu kali
tarikan napas pun selesai. Tetapi, pelajarannya
untuk berkali-kali tarikan napas. Abadi. Artikel itu
bercerita tentang seorang anak kecil yang
mengadukan jari kelingkingnya kepada ibunya. Jari
kelingkingnya sakit. Berdarah. Terluka. Sampai
menangis. Tetapi, bukannya sang ibu langsung
memberikan empati dan simpati kepada anaknya. Ia
malah beretorika. Seperti bertannya: “Mana? Ini
jempolmu tidak apa-apa”.

Si anak merengek, “bukan jempol, bu. Tapi


kelingking. Ke-ling-king.”
“Mana? Jari telunjukmu tidak apa-apa, ini
baik-baik saja”, kata ibu kedua kali.

“Ibu… bukan telunjuk, yang sakit adalah


kelingking.”

“Mana nak, jari tengahmu tidak apa-apa. Jari


tengahmu tidak ada masalah.” Kata ibu
menenangkan.

“Ibu, kelingkingku yang sakit”, anak tak


menyerah.

“Mana? Ini jari manismu juga tidak apa-apa.”

“Kelingkingku, Bu. Kelingking.” Kata si anak


sambil menangis.

“Nak... Jika kau tertimpa sebuah musibah kecil,


lihat. Lihat..” Kata si ibu sambil menunjukan
keempat jari yang masih sehat, utuh, tak berdarah.

“….Keempat jarimu masih sehat, kelingkingmu


hanyalah perkara kecil. Ingatlah, masih ada nikmat
besar yang bisa kau syukuri. Jangan kau berfokus
kepada sakit yang kecil itu. Itu pegangan hidup!
Jangan sampai kesusahan mengusaimu.”
Maka, siang itu, Lanang mengatakan kepada
dirinya sendiri. “Ini hanya kaki kananku, semuanya
masih sehat, normal. Pun, sepuluh hari kedepan.
Semua akan kembali seperti biasanya.”**

Di Pusat layanan kesehatan tingkat


kecamatan. Lanang setengah berbaring di dipan
yang beralas spon dan berlapis kain. Entah itu kain
atau lebih tepat disebut karet. Atau gabungan dua
jenis bahan itu. Balutan di kakinya dilepas. Panjang
lilitannya satu meter. Di dalam lilitan itu, ada empat
kain kasa yang menutup bekas sayatan sepanjang 13
centimeter. Tepat di atas sayatan, ada semacam kain
yang mirip jaring laba-laba. Bedanya, anyamannya
presisi sekali. Dari sini juga satu setengah tahun lalu,
sebuah baut ditanam. Entah bagaimana para dokter
bedah itu melakukannya.

Hujan barusaja reda. Sisa-sisa hujannya


berhasil melarutkan beberapa kenangan dan
membawa harapan baru. Saya melihat adegan
dramatis. Bagaimana seorang ibu menatih anak
kesayangannya untuk berjalan. Gerimis itu ditahan
dengan payung berwarna merah putih. Keduanya
pun terpancar dari merahnya tekad sang anak untuk
pulih, kembali berjalan. Dan putihnya hati sang ibu
yang dengan sangat hati-hati membantu anaknya.
Mulai dari melindungi si anak dengan payung agar
terhindar dari rintik rindu sejan, membantu
memakai sandal, dan tentu, membantu naik ke
sepeda motor.

Sebuah pemandangan yang terkadang saya


lewatkan begitu saja. Ada trilyunan peristiwa di bumi
ini. Tapi hanya sebagian saja yang bisa kita nikmati
dan bisa kita maknai. Yang benar-benar kita terlibat
dalam rasa, raga dan jiwa. Peristiwa itu salah satu
yang bisa saya nikmati seutuhnya. Inilah cinta.
Ketulusan, pengabdian, pengorbanan, perbuatan.
Cinta yang telah mawujud. Walau hujan, walau ini
dan itu. Dua insan itu tetap memperagakan wujud
cintanya. Dengan caranya masing-masing.

Sepulang dari layanan kesehatan, saya kembali


melihat. Bagaimana insan tadi telah kembali. Sang
ibu yang masih tetap memutih jiwa lakunya dan si
anak tetap memerah. Ibu membantunya turun, si
anak tertatih menahan sakit. Sang ibu membantu
kembali memakai sandal. Tak lupa ia bilang hati-hati
ketika sang buah hati ingin turun dan masuk ke
rumah.

Sisa hujan masih tipis. Lembut menerpa alis


dan kumis. Hujan kali ini begitu romantis. Seperti
telaga cinta ibu yang tak pernah habis.
26. Berhenti Sejenak
"Aku sudah terlalu sering merasakan
kehilangan, Pur. Kehilangan dalam arti yang
sebenarnya." Wajahnya menatap dalam tenggelam
di kedua kelopak mata Purnama, teman dan sahabat
ngopi Sancaka.

"Tidak, kau tidak boleh menyerah. Kau hanya


perlu untuk bangkit, Ka." Purnama menekan dan
mencoba membantu mengangkat asa Sancaka yang
sudah tertunduk. Tidak hanya tertunduk, tetapi
sudah bertekuk lutut. Mungkin, jika Purnama jeli,
direlung hati Sanca sudah berkibar bendera putih.

Purnama, seorang perempuan yang


ditemuinya di “Kedai Konco Cerito” beberapa hari
lalu. Bertemu gegara karena tak ada meja kosong,
selain milik Purnama. Seolah alam sudah
menyiapkan kursi itu untuk mereka berdua, jauh hari
sebelumnya. Tidak ada cakap awalnya, mereka asyik
menikmati kopinya masing-masing.

Sanca memilih kopi bertekstur pekat, sejenis


Arabica namun kuat untuk dicecap. Purnama,
entahlah. Dari cangkirnya, terlihat sama.
Sanca menghirup dalam-dalam aroma kopi
miliknya. Purnama tidak begitu menghiraukannya.
Hanya sesekali ikut menyesap kopi miliknya yang
tinggal separuh. Sebuah buku tergelatak secara
sembarangan di atas meja. Sanca melihatnya.
Membaca sekilas, “Sebuah Seni Untuk Bersikap
Bodo Amat”. Tanpa sengaja mata mereka kemudian
beradu. Membuat kikuk dan salah tingkah.

“E.. maaf” Mereka mengucapkannya sama-


sama. Mereka kembali sibuk dengan dunianya
sendiri. Purnama kembali membaca bukunya. Sanca
melepas pandangan ke langit-langit kedai yang
dihiasi lampu berwarna kuning.

Bukan kedai kopi kalau tidak menghadirkan


obrolan-obrolan tertentu. Tak terkecuali Sanca dan
Purnama. Mereka sedang berdebat soal cara
menikmati kopi yang terenak menurut versi mereka.

Sanca bilang, enaknya kopi adalah ketika


kepulan asap berpindah dan menyelinap diantara
bulu halus hidung. Purnama terusik, karena
menurutnya kopi yang enak itu adalah yang
dinikmati ketika hangat. Pas panas, ia akan memeluk
cangkirnya, mengitari leher dan bibir cangkir dengan
ujung jemari lentiknya, sejenak diam, dihirup dalam-
dalam aroma kopi yang mulai memudar itu, lalu
diteguklah secara pelan. "Srruupppp."

Karena hal itu pula, mereka berdua akhirnya


memutuskan untuk bertemu, di tempat yang sama,
dan di meja yang sama. Tentu, dengan cara
menikmati kopi yang berbeda. Persis seperti segelas
kopi dalam cangkir, ia akan meninggalkan sebuah
kesan terhadap setiap peminumnya. Termasuk
Sancaka, ia terkesan dengan Purnama. Caranya
menikmati sebuah kesederhanaan, dengan cara
istimewa.

Sanca sendiri hanya seorang penikmat kopi


biasa, biasa menikmatinya sendiri. Jadi, wajar jika ia
terkesan kepada Purnama ketika takdir itu
membawanya untuk bertemu di Kedai Konco Cerito
– tempat curhat dan sambat bareng sahabat.

"Sancaka... Apa kamu benar ingin


menyerah?." Sanca terdiam, menatap kopinya yang
tinggal setengah.

"Sanca.. Apa kamu benar ingin menyerah?."


Sanca masih terdiam, ia terlihat menenangkan diri,
meneguk kopi yang tak lagi panas, seteguk. Lalu,
diletakan cangkirnya dengan pelan, kini ia peluk.

"Sanca…"

"Baiklah Pur.. Aku akan ceritakan kepadamu,


kalau kau bosan, kau boleh saja pergi meningalkan
aku sendiri. Iya biarkan aku sendiri."

Sanca masih memegang dan memandangi


cangkirnya.

"Sanca, aku akan mendengarkan ceritamu


sampai selesai. Janji". Sayang tatapan ketulusan itu
tak dapat diterima dengan baik oleh Sanca,
pandangannya keluar, menatap jalanan yang sudah
sepi.

"Pur, kamu tahu rasanya kehilangan? Kamu


pasti tidak tahu. Karena kamu belum merasakannya.
Aku kasih tahu kamu Pur. Kehilangan itu apa,
kehilangan itu seperti apa, dan bagaimana rasanya
kehilangan? Apalagi, kehilangan akan hal-hal yang
dicintai….”

“… Meski aku juga tahu Pur, bahwa esensi


kehidupan ini hanyalah titipan. Tetapi, jika berulang
kali kehilangan, apakah kamu juga akan tetap punya
penilaian hal yang sama?”

Purnama membenarkan kursinya. Tanda


keseriusan.

"Pur, saking seringnya aku kehilangan, aku


sampai lupa apa itu ada. Aku belum bisa
membedakan antara ada dan tidak ada. Sekarang,
semuanya sama Pur. Sama-sama yang nggak ada.
Kosong Pur, Kosong...”

“….Aku seperti Nakhoda yang kehilangan arah


mata angin, layarku masih berkembang Pur, tapi aku
kehilangan arah, aku hanya berputar-putar tanpa
tujuan. Hilang Pur. Hilang”

Sanca masih terus bicara, ia lupakan secangkir


kopinya, ia merasa mendapat sebuah wadah, ia
curahkan gundah hatinya dalam wadah itu.

"Sanca.." Purnama mencoba menyela.

Mereka terdiam sejenak. Purnama bangkit,


berpindah bangku, mendekat kearah Sanca. Kini,
Purnama berdiri tepat dibelakang bangku sanca.
Masih membisu, tak ada cakap diantara mereka.
Dengan kelembutan dan ketulusan seorang
perempuan, Purnama memeluknya. Pelukan
perhatian, pelukan kasih sayang. Purnama tidak
memberikan solusi. Tapi, pelukan itu melebihi
jawaban terbaik yang entah apa. Purnama telah
merangkul segala dendam Sanca. Mungkin, pelukan
itu bearti kamu nggak sendirian ka, ada aku disini.

Sesaat, sebelum melepas pelukannya.


Purnama berbisik, “Turunkan layarmu, lihat
sekelilingmu, nikmati setiap jengkal apapun yang
sudah Allah persembahkan untukmu, kau hanya
perlu berhenti sejenak. Lalu temukan tujuanmu yang
baru. Nikmati hidupmu seperti kau menikmati
kopimu.”
27. Jika Hanya Ada Satu
Orang Baik
“Yang ditemukan sendiri, itu lebih bearti.
Apalagi sandaran hati”.

Mau cerita apa?

Cerita tentang kesungguhanmu? Tentang


perjuanganmu? Tentang apa-apa yang telah, sedang
dan akan kamu lakukan tentang kesungguhanmu
itu? Siapa yang peduli? Orang lain nggak bakal ngerti
sedalam, sesungguh, seniat dan seberusaha apa
dirimu. Sampai mereka tahu sendiri atau kamu beri
tahu. Mata kita terbatas. Nggak kaya mata kucing.
Telinga kita terbatas, nggak kaya telinga gajah. Jadi,
sebaiknya kalem. Kepomu itu sebatas upilmu.
Sebanyak apapun kamu korek upil, ya paling
dapatnya segitu. Sak upil-Sedikit sekali. Jadi, sekali
lagi, kalem ya saudaraqu.

Kamu percaya nggak dengan idiom ini: Kangen.


Tapi nggak ngerti kangen dengan siapa? Yang pernah
ngalamin, gimana, kamu bisa jelasin ndak? Kek apa
gitu misalnya tuh kangen. Kangen itu subjektif apa
objektif? Kalau objektif, bearti harus ada bendanya
kan? Kalau kangen, tapi nggak tahu kangen siapa.
Bearti objeknya siapa dan di mana? Semu? Kosong?
Hampa? Tak bertepi? Ruang tanpa titik temu? Nggak
jadi kangen dong?

Atau memang sebetulnya rindu adalah ruang


imajinasi yang tercipta untuk kemudian menjadi
temu.

Kalau begitu, titik temu di ruang rindu itu bisa


jadi nyata? Seperti kita merindukan junjungan besar
kita, Nabi Allah Muhammad Shollahualaihi
wassalam? Begitu? Baiq. Jadi, meski tak tahu objek
rindu itu. Perindu tetap percaya akan yang
dirindukannya bakal ketemu. Terserah sang waktu
yang merayu dan kamu yang berupaya untuk tetap
menjadi perindu dengan menunggu atau perindu
yang berjalan menuju waktu temu.

Senin, 11 Februari 2019.

Lanang menuju kota Rokan Hilir bersama 3


rekan lainnya. Pakdhe Pur, Paklek Dewan dan
Seorang teman lagi, Trimo.
Pakdhe Pur sudah punya cucu. Dia adalah
tetangga desa di Jawa. Sepanjang perjalanan Lanang
dan Pakdhe banyak bercerita. Lebih tepatnya,
Lanang bertanya. Pakdhe Menjawab. Sejak pertama
kali ketemu, Pakdhe ini memang terlihat sebagai
sosok yang ditempa benar oleh hidup. Bijak
sikapnya, teduh pola pikirnya dan membuat tawa
kala bicara. Ingat kan, bahwa ada beberapa cara
untuk mengetahui sifat atau sikap seseorang.
Pertama, ajak jalan. Kedua, ajak menginap. Ketiga,
ajak bekerja sama. Tapi, ternyata, ketiga hal itu
tidaklah cukup saudaraqu. Itu hanya permukaan.
Kalau mau tahu bener ya tidak ada cara lain adalah
dengan berinteraksi, komunikasi. Diajak hidup.

Nah, jadi teringat pesan Ali Bapaknya Abu


Thalib. Bahwa, kamu tidak perlu menjelaskan
kepada orang yang membencimu dan kepada yang
menyanyangimu. Karena mereka tidak butuh itu.
TAPI, SETELAH HIDUP 29 TAHUN. SAYA PUNYA
ARGUMEN LAIN SOAL ITU.

Iya, kamu tidak perlu menjelaskan apapun


kepada pembencimu dan kepada yang
menyanyangimu. Dengan catatan, semua dalam
keadaan baik. Maksudnya gini, kamu murni dibenci
dan kamu murni disayangi. Tapi, kalau konteksnya
adalah kamu punya salah. Kamu udah berdiri di luar
sisi ‘saran’ sahabat Ali, saudaraku.

Kalau kamu salah, kamu perlu menjelaskan.


Perkara nanti diadili dengan seperti apa. Itu udah
lain perkara. Tugasmu adalah menjelaskan. Karena
aku ngalamin begitu, Je. Hahaha (akhirnya xurhat).

Gini, ada orang salah. Kamu pernah sayang dan


juga pernah benci. Bagiku, ini manusiawi. Yang
nggak manusiawi adalah ketika kamu benci nggak
pernah menyanyangi dan menyanyangi sampai lupa
diri kalau segala sesuatu itu gak boleh berlebihan.
Kudu seimbang.

Teruntuk orang-orang yang pernah singgah


tapi tak pernah sungguh. Ada beberapa yang perlu
aku tanyakan kepadamu (aku mewakili orang-orang
yang tidak pandai -alias bodoh tidak mengambil
sikap tegas- terhadap orang-orang yang pernah
singgah).

Tapi sebelum aku tanya kepadamu, ada


pertanyaan untuk diajukan dan dijawab secara
pribadi. SEBERAPA YAKIN KALAU DIA TAK
SUNGGUH?

Nah lhoo…

Kadang ki gur awae dewe seng ramudeng, nek


ra ngunu, awae dewe seng ke-ge-e-ran. Sopp ngerti
nek asline deknen wes bersungguh-sungguh, tapi
sikap awae dewe malah gur dadekne deknen
sekadar singgah? Ora nyalahne, tapi instropeksi
wae. Seng ngerti asline awae dewe yo awae dewe.
Wong lio mana tahu? Termasuk soal rasa, karsa,
cinta dan citra.

Dadi, sakdurunge nyalahne wong lio, cek lan


cek. Meskipun kadang, memang ada yang sikapnya
begitu.

Udah-udah sini, mari lanjut diskusi. Untuk yang


merasa pernah disinggahi tapi tak pernah ditenani.
Ya Allah, cabal yo. Kamu harus sayang sama dirimu
sendiri. Jomblo kan? Mau minta sayang sama siapa
kalau nggak diri sendiri dulu. Iya to? Kalau emang
nggak kuat, silakan sambat. Sekarang udah bisa
sambat secara online kok atau boleh juga sekadar
cerita ke konsultan gadungan ini.
Pukpuk.

Pertanyaannya adalah bagaimana cara


mengukur kesungguhan seseorang? Ada yang punya
jawaban? Kalau begitu, bagaimana kalau bikin
kesepakatan, bahwa tidak ada yang bisa mengukur
kesungguhan seseorang kecuali orang itu sendiri.

Yang bisa dilihat orang lain adalah sekadar


indikasi lalu dilabeli bahwa: Oh, ia sungguh-sungguh.
Dalam hal apapun.

Mbah Tedjo bikin quote begini, kalau masih


ada itung-itungan dalam cinta. Itu bukan cinta. Tapi
kalkulasi (matematika). Cinta tidak ada karena.
Karena cinta adalah cinta (Prasety M. Brata). Cinta ya
cinta, titik. Menolong ya menolong, titik (Mbah
Nun).

Jadi, sebelum bertanya dan menyatakan ke


orang lain, memang sebaiknya diuji dulu pertanyaan
dan pernyataan itu kepada diri sendiri.

Anggaplah ini sebagai kalimat penghibur, alam


semesta itu istimewa. Setiap hari bekerja,
berpendar, merajut, tumbuh, bersinergi, dan
seterusnya. Kita, bisa masuk dalam perputaran
energi itu, baik terlibat di dalamnya atau sekadar
srempet gudal. Nek pinggir, tur sitik. Tapi tetap
terlibat.

Dulu kawanku bercerita, bahwa jika ada 1000


orang pramuka, aku salah satunya. Jika hanya ada
100 orang pramuka, aku salah satunya. Jika hanya
ada 10 orang pramuka, aku tetap menjadi salah
satunya. Tapi, jika hanya ada satu orang pramuka.
Itulah aku orangnya.

Hari ini kita adopsi bahwa jika ada 100 orang


baik, kita termasuk di dalamnya. Jika hanya ada 10
orang baik, kita masih tetap berada di dalam orang.
Tapi jika hanya ada satu orang baik, pastikan itu
adalah kita.

“Kita sudah belajar sama-sama dewasa.


Menyikapi situasi yang memang tidak bisa kita
paksakan. Bukan karena kau enggan untuk
mengikuti langkahku. Bukan pula aku tak mau
mengajakmu untuk mengikuti jejakku. Tapi semua
lebih kepada sikap pendewasaan diri. Apakah aku
tidak bersedih? Justru pertanyaan itu yang perlu aku
tujukan kepadamu. Aku tahu kau. Kau telah
mengetahuiku. Bahkan, sekadar kekhawatiran yang
tak pernah kukatakan kepadamu pun kau tahu...”

“….Bagaimana kau bisa begitu kuatnya, begitu


tegarnya? Biarkan rasa ini, membaur ke alam.
Menciptakan dimensinya sendiri. Mendorong
partikel untuk bersenyawa. Lalu senyawa-senyawa
itu berubah menjadi energi. Dan energi itu berubah
menjadi satu kata. Bertemu atau bertamu.”

Terakhir, untuk menutup tulisan ini adalah


kamu yang baik, ketemu orang baik. Kamu yang
mungkin belum baik, semoga lekas jadi baik. Kamu
yang jadi baik karena niat baik, tetaplah baik. Mari
membuat sebanyak-banyak hal baik.
28. Benih-benih Cinta
Terkadang, kita memang berskap bodoh
dengan yang disebut benih-benih cinta. Yang
terkadang ia seperti serbuk sari dalam sebuah
kelopak bunga. Ia terbang mencari putik. Entah
kemana. Hinggap di satu bunga ke bunga yang lain.
Padahal, di area yang sama, di tempat yang sama,
putik itu menunggu untuk dijumpai dengan benang
sari.

Kita terlalu sibuk mencari. Hingga yang


datang menghampiri tak kita sadari. Kita terlalu
sibuk mengejar hingga yang sudah ada tak
membuat kita sadar.

Cinta, kehadirannya kadang tak terduga

Membuat orang yang diterpa menjadi


bahagia

Lupa akan nestapa

Tapi, jika cinta mendusta


Deritanya tak akan terkira

Bagaiamana mungkin kita bisa mengira


nestapanya cinta?

Bila kita sudah terlanjur terbuai dengan


asmara yang ditumbulkannya.

Jika kita sudah tahu cinta menimbulkan


nestapa,

Kenapa pula masih ada orang yang mau


berkorban untuk cinta?

Karena cinta membuat kita mampu seakan


hidup selamanya

Bagaimana jika cinta kembali berdusta?

Cinta tak pernah berdusta

Ia hanya berusaha mengatakan yang


sebenarnya.
29. Republik Kucing
Namaku Jimy. Hari ini aku 22 tahun. Kata
Ibuku, aku lahir pas hari jumat, tepat pukul satu.
Bidanku, seorang bidan desa yang sudah membantu
ratusan bayi membuka gerbang dunia. Dua kakakku
lahir setelah dibantu bu bidan desa ini juga. Soal
nama, itu sebetulnya adalah singkatan dari nama
hari, pukul kelahiran, nama ibu dan ayah. Jumat jam
siji lahir anake Marsi karo Yatno. Disingkat, Jimy.

Aku baru saja lulus kuliah. Sebetulnya aku ini


kemarin tidak mau kuliah. Tapi, berkat dorongan dua
kakakku yang dulu malas kuliah. Maka aku turuti.
Aku adalah sarjana pertama di keluarga. Bangga?
Bersyukur iya, bangga tidak. Keluarga selalu
mengajarkan sikap-sikap sederhana. Misalnya,
ketika pagi, Bapak keluar rumah dengan membawa
sapu lidi, ia taruh sapu lidi di dekat pagar. Nanti,
kakakku nomor dua menyusul. Mengambil alih sapu
itu. Lalu menari bersamanya.

Bapak kembali ke rumah, kali ini menuju


dapur. Terdengar suara gemericik air. Aku tahu, itu
suara bentura air kran yang ditampung ke dalam
panci. “Cethak”. Sebelum akhirnya menuju kamar
kakakku yang pertama, “Sudah sampai mana, Le?”.
Kakakku adalah penulis. 7 tahun lalu, dia menangis
sesegukan. Dia mengadu pada ibu, katanya: Naskah
tulisannya diejek kawan dan ditolak penerbit.
Bapakku yang baru pulang meladang, duduk tenang
di teras rumah. Selonjoran. Mengibas-ngibaskan
caping.

“Pak.. pak..” Panggil ibu dengan tetap


mengelus Mas Eko.

Entah hidup yang bagaimana yang telah bapak


lewati. Sehingga, Mas Eko yang sesenggukan cukup
dielus kepalanya sama bapak. Lalu kembali dengan
segelas air putih hangat.

“Kenapa Le”, kata bapak sambil duduk di


samping ibu.

“Naskahku ditolak”.

“Oh.. sini bapak lihat”

Mas Eko masih merajuk. Bapak melirik ibu, ibu


mengangkat bahu. “Le.. “ kata bapak lirih
menenangkan. Tulisan Mas Eko ditaruh, Bapak
memegang kedua bahu mas Eko. Mengelus lagi
kepalanya, “Mas Eko tahu ndak, dulu bapak juga
pernah ditolak…”

Mas Eko tertarik. Merasa dirinya tidak sendiri.


Ia menatap wajah bapak. Seperti mengatakan,
“ditolak? Bagaimana ceritanya?” Bapak sambut
tatapan mas Eko dengan senyuman khas bapak.

“Minum dulu”. Mas Eko duduk di samping


bapak. Ibu menunggui.

Entah apa yang waktu itu bapak katakan pada


Mas Eko, aku tidak tahu. Aku sudah berangkat
sekolah waktu itu. Mbak Dwi memboncengku
dengan sepeda kayuh merk kupu-kupu.

7 tahun berlalu, kakakku sudah menjadi


penulis. Beberapa karyanya di laminating sama
bapak, di pajang di ruang tamu. Kata bapak, ini cara
bapak untuk memotivasi anak bapak sekaligus cara
bapak untuk mengapresiasi kalian. Yang baru
ditanyakan bapak barusan adalah, untuk karya ke-7
mas Eko. Sebuah novel. Tentang Kopi, Gula dan Teh.

Setahun belakang ini, mahkluk tiga itu menjadi


primadona bagi kaum milineal. Aku salah satunya.
Haha.
Dulu, sejarahnya begini. Kopi lahir dari
kalangan atas. Tidak sembarangan orang bisa minum
kopi. Kalau pun ada, kopi yang diminum kaum kelas
bawah adalah kopi-kopi yang dibuat dari campuran
jagung dan beras yang disangrai. Kopi-kopi seperti
Sidikalang, Sindoro, Flores, Bali dan kopi daerah
lainnya tak bisa dinikmati secara biasa.

Tapi percayalah bahwa sejarah yang barusan


aku tulis adalah sejarah versiku, si Akar Rumput. Iya,
bapakku memberiku nama begitu. Aku belum tahu
makna sebenarnya, atau setidaknya apa maksud
bapak ketika memberi nama itu. Ketika kutanya,
bapak selalu bilang. Kamu akan menemukan di
perjalanan. Benar, aku menemukannya baru-baru
ini. Bahkan, ia jadi nama pergerakan. Coretan
jalanan, juga lagu-lagu yang mulai perlahan
dibungkam dengan undang-undang.

Suatu saat, aku ingin membuat pergerakan


juga. Bernama akar rumput. Yang bergerak diam-
diam. Yang selalu menyerukan dan menyuarakan,
bahwa kita, manusia yang diciptakan Tuhan ini.
Harus menjaga bumi. Yang harus ingat, andai,
seluruh isi alam bumi ini diubah jadi uang. Lalu,
katakanlah setiap orang telah memegang uang, tapi
tidak ada bahan pangan. Buat apa uang? Mau
mencetak makanan sintetis? Memang benar,
kecerdasan bisa dibuat. Tapi nurani tak akan pernah
bisa dibuat meski sampai kiamat. Makanya, aku
selalu bicara kepada kucingku, Kelor namanya.
Kucing jantan yang kutemukan di persimpangan
jalan, di gang Indonesia. Tempo hari. “Lor, kamu
harus bisa belajar jadi manusia.” Biasanya kelor
menjawab, “miiiuuw.. miiuuww” itu artinya dia
setuju.

Di ujung senja, Kelor membawa temannya.


Dua kucing betina dan satu kucing ras yang bulunya
lebat milik depan rumah. Kucing betina ini milik
orang kampung sebelah. Dia penjaga gang Malesa.
Dua kucing badung yang badannya gempal. Jalannya
bak atilt senam. Ekornya melangit. Matanya biru.
Bulunya hitam putih coklat.

Kelor memanggil mereka. Sepertinya bakal ada


konspirasi. Bagaimana menegakan Negara kesatuan
Republik Kucing. Doraemon presidennya. Nobita
wakilnya. Aih, ada-ada saja kelakuan kucing
sekarang.
“Kar, Akar..”. Bapak memanggilku kawan-
kawan. Sebentar, biasanya bakal ada cerita nih.

“Iya pak”. Aku bergegas, meninggalkan kamar.


Menurunkan kaki yang dari tadi aku balik badan,
kepalaku di bawah. Kakiku di atas. Ini adalah ritual.

“Kar..” Bapak mengawali sambil mengaduk teh


bikinan ibu.

Kemarin sore, pas setelah sholat magrib. Ada


pemuda yang mirip sekali dengan kamu.
Perawakannya dan gaya rambutnya. Belah samping
dengan minyak wangi mainstream yang dibeli di
toko ritel. Dia menyapa bapak, bertanya di mana
rumah Bapak Sufi. Kutanya dia ada perlu apa,
namanya, dari mana dan hal lain yang perlu bapak
ketahui. Bukan untuk curiga, tapi ini sikap waspada
yang memang dianjurkan agama.

“Terus gimana, pak?” Kataku tak sabar.

Namanya Agus, dia adalah anak Bapak Saiman


dan Ibu Hajah. Dari kampung samping, Kecamatan
Lungguh, Kabupaten Luas. Ya masih satu kabupaten
sama kita, le. Dia bilang, ia ingin bertamu. Mungkin
maksudnya melamar. Bapak riang. Seakan anak
bapak yang mau dilamar. Hahaha

“Ih bapak mah gitu. Terus apa hubungannya


sama aku pak? Mas Eko lebih perlu deh Pak”. Aku
menyangkal. Lagian ini masih pagi lho.

Biar. Mas Eko, kan lagi sibuk. Kamu tahu


sendiri. Mbak Dewi juga lagi bantu ibu setelah tadi
menyapu. Tinggal kamu kawan bercerita bapak.
Gimana? Mau kan?

“Mau pak. Tapi, apa nih?”

Hahaha. Kamu, le. Memang, mirip sekali


kakekmu. Gini le, si Agus cerita bagaimana akhirnya
ia memutuskan untuk silaturahim dengan keluarga
Bu Hajah. Dulu, sejak beberapa tahun lalu. Si Agus
sudah mau menikah. Tapi, menurut bapak, memang
kalau belum waktunya segala sesuatu tidak bisa
dipaksa. Setiap massa ada waktunya. Setiap waktu
ada massanya. (Ini bapak lupa kata siapa)

“Pak, bentar deh. Ini bapak nyuruh aku nikah?”


“Kalau kamu mau. Silakan, Le. Tapi ini cerita
belum selesai lho. Gimana lanjut?” Aku
mengangguk.

Agus berulang kali melamar perempuan.


Selama ini, dia melamar lewat perempuannya. Dan
berulang kali itu, ia ditolak. Katanya, dia
menghormati perempuan. Makanya dia lamar dulu
perempuannya secara langsung baru rencananya
mau ketemu orang tua. Pertemuan sama bapak
memang singkat, tapi kesannya padat. Dan ternyata,
sama anak bu Hajah ini lain. Dia datang langsung. Ini
cara terbaiknya. Kata Agus.

“Ehm gitu ya pak. Lha menurut bapak sendiri


gimana? Dulu sama ibu bapak lamar ibu dulu apa
langsung ke orang tuanya?”.

We le, bapak belum cerita soal itu ya. Dulu


bapak lamar dulu ibumu. Baru ketemu kakek
nenekmu setelah ibu setuju. Mendengar cerita Agus
itu seperti mendengar kisah bapak sendiri tapi dalam
versi lain. Makanya bapak simak ceritanya secara
penuh. Tapi, bapak tunjukan jalan menuju rumah bu
Hajah. Bapak saranin dia untuk menghubungi atau
ngabari putri semata wayang bu Hajah kalau dia mau
silaturahim. Bapak yakin, perempuan juga akan
paham dengan bahasa itu.

“Dia mau?”

Kayaknya begitu, le. Karena setelah itu ia lekas-


lekas mengambil gawainya dari dalam saku. Ia
sempat menyatakan ini kepada bapak, “Kita, sebagai
manusia, tak mengapa menyerah dengan pilihan,
kan, pak? Lalu berbalik langkah kembali ke jalan awal
untuk memulai”. Sebenarnya bapak nggak ngerti,
kenapa anak itu bertanya begitu. Bapak tidak
menjawab. Hanya mengelus punggungya dan
menepuk pundaknya. Kukuatkan dia. Lalu kami
berpamitan. Kamu punya pendapat le?

“Welah pak. Bapak ini lho.. tapi kalau bapak


bertanya kepadaku, ya aku jawab. Meski jawabnnya
adalah nggak tahu”

Jadi apa pendatmu le?

“Silakan menyerah. Silakan berbalik arah.


Tidak ada yang pernah salah. Yang salah adalah jika
manusia serakah. Nggak mau ngalah.”
30. Estetika Komitmen Untuk
Berkomitmen
Pada Komitmen.
Sebagai wujud serakah yang dibalut dengan
tujuan meraup hikmah, maka saya ngutang dua
buku. Pertama adalah Si Parasit Lajang, karya Ayu
Utami. Kisah seorang wanita yang di akhir usia 20-
an, memutuskan untuk tidak menikah dengan 10+1
alasan yang dibuatnya. Kedua adalah buku karya
Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, Rancang
Bangun.

Dalam Rancang Bangun, kedua penulis


menyajikan pemikiran sains terkini mengenai misteri
alam semesta dalam bahasa nonteknis yang
cemerlang sekaligus sederhana. (Kutipan dari
sampul). Selebihnya, saya belum selesai membaca.
Tapi, saya beranggapan. Semesta terkecil adalah
manusia dengan segala unsur yang ada di dalamnya.
Mulai dari panca indera, organ tubuh, sel dan segala
sesuatu yang beredar di dalamnya. Beberapa waktu
lalu, di twitter ada sebuah akun yang sambat dan
menyatakan ingin bunuh diri secara tersirat. Dan
beberapa hari kemudian, ditemukan seorang
mahasiswa yang tewas di kamar kosnya. Korban
tidak lain adalah seseorang yang menulis tweet
tersebut. Wahai netijen yang budiman, sabar sikit
kenapa? Nggak malah nantangin kek begitu.

Cangkeme awae dewe ki kadang kakean


nyacat lan bacot. Sambat diarani rakuat. Ra lanang.
Bandang nek wes mati, pie lek arep baleni?

Makanya, saya selalu berusaha menyikapi


segala persoalan yang dipersoalkan temenku, teman
curhatku, mantanku atau siapa pun itu, saya sikapi
dengan serius. Serius itu tidak selalu identik dengan
tegang, tidak identik dengan srudak-sruduk, tidak
identik dengan kamu selalu ada, tidak. Tapi serius itu
sikap.

Sikap yang gimana? Sikap yang waktu


dicurhatin itu reliable, sikap seng pas. Sesuai
konteks. Angel opo ora bersikap sesuai konteks kui?
Tergantung pribadi masing-masing.

Kalau ada kawanmu, teman chat, yang nggak


pernah kamu temui atau siapapun yang minta tolong
ke kamu, apalagi soal masalah. Saya minta kamu,
iyain. Minimal dengerin. Kalau dia bisa cerita, sukur.
Kalau nggak, paling tidak kamu sudah nemenin. Ra
peduli lanang po wedok.

Meskipun cuma sekadar nemenin dengan


telpon yang tidak bersuara. Atau syukur-syukur,
mbok jak ngopi, mbok jak jajan, mbok jak piknik,
utowo mbok jak ngopo wae. Ra ketang gur
nongkrong neng ngarep ngomah sinambi youtuban.

Gunane opo? Niati bismillah, kui ngibadah.


Nulung. Kadang wong ra butuh duit, tapi butuh
konco. Tapi wong seng ra butuh konco gur butuh
duite yo enek. Asal udu kowe, ok? Paling ora, nek
misal wonge ngawur pengen mati, ngawur pengen
leren seko urep, kowe ijek nengkono, kadang ra perlu
dicegah, neng yo ojo mbok tantang. Pokoe kancani.
Saiki opo pentinge urep nek dewekne wes rumongso
radue harapan go urep?

Terus iki, nek topik pembicaraanmu iseh


berkutat neng kapan lulus, kapan rabi, kapan duwe
anak, kapan tambah anak, lan hal kapan liane,
kapan cangkemu iso ngatur kui? Sesok tak lakban
lambemu, tak ketak sirahmu, tak jijek raimu. Wes
sering krungu, kan, tiap orang punya garis waktu
dewe. Raiso mbok olor, raiso mbok cendekne.

Nek wayahe tekan, mesti tekan. Opo meneh


duwe teken lan tekun. Tekan-tekan. Wes to. Kowe iso
menghormati ngunukui ora? Logikamu iso tekan
semono ora? Tekan ra tekan, aku ra peduli.

31 Januari 2019.

Saya mengukuhkan diri bahwa, saya telah


lebih baik daripada bulan kemarin dalam hal
menulis. Ini adalah tulisan ke-31, di bulan Januari.
Berbagai tema, berbagai tulisan, berbagai sudut
pandang dan berbagai cerita. Awal bulan januari
kemarin memang ada tagar berupa tiga puluh hari
bercerita, saya ikut menggunakan? Tidak! Yang saya
lakukan adalah komitmen untuk menulis setiap hari.
Bukan hanya post, tapi benar-benar saya tulis hari
itu, saya post hari itu juga.

Susah? Lumayan. Tantangan saya selama


menulis sebulan ini adalah di jaringan. Saya sangat
khawatir, jika tidak bisa post sehari satu. Cara
cerdiknya adalah menyempatkan menulis setiap
saat, setiap waktu. Di sela-sela istirahat, di sela-sela
makan, di sela-sela mau tidur, di sela-sela apapun.
Asal, bisa tetap menulis. Ide dari mana? Ada yang
saya siapkan semalam atau sehari sebelumnya. Ada
yang pas saat itu niat mau menulis, lalu terpikir.

Waktu itu saya mengirim artikel ke media


online. Jadi saya perlu menulis dua artikel dalam
sehari. Ajaib, ternyata bisa dan tulisanku juga
lumayan. Menulis dengan apa? Saya menulis dengan
HP kesayangan. Pernah, suatu saat saya menulis di
laptop. Tapi entah berapa tulisan tidak tahu. Yang
kuinget dan tercatat di catatan gawai lebih banyak.
Artinya, nulis di gawai, sunting di gawai bahkan saya
post lewat gawai. Nampak sesederhana itu. Banyak
yang baca? Terbanyak 92 pembaca dalam sehari.
Terendah, 4 kalau nggak salah.

Dan dua atau tiga terkahir ini saya tidak


membuat update tulisan. Baik di WA status maupun
di IG stories. Karena apa? Karena nggak mau dan
beberapa pertimbangan lain, misalnya, peduli setan
orang bakal baca atau tidak. Yang saya lakukan
adalah jika saya peduli, jika saya mau, ya saya cari
sendiri tanpa update-an status orang tersebut.
Meskipun tetap ada yang nanya, hari ini nggak
ada tulisan baru?

Apa yang bisa saya pelajari? komitmen dalam


diri itu lebih penting dan berpengaruh daripada
ribuan janji yang tertulis. Akhirnya saya paham
estitika dari komitmen untuk berkomitmen pada
komitmen.

Apa yang bisa saya bagi? Jika kamu suka


tantangan, tantanglah dirimu dengan skala terkecil,
lalu ulangi lagi tantangan itu sampai kamu sampai
pada tantangan besarmu. Jika kamu suka dengan
iming-iming, hadiah, maka berikan hadiah harian,
sesederhana apapun bentuk hadiahnya. Berikan.
Sampai pada kamu perlu untuk memberi dirimu
dengan penghargaan tertinggi.

Kita adalah makhluk serba bisa dengan


ketidakbisaannya. Kamu bisa jadi superior di satu
waktu, tapi di waktu lain juga bisa jadi inferior. Yen
enek istilah “aku karo kowe kui podo wae”. Ojo
percoyo. Awae dewe bedo, lahire, kembang
tumbuhe, cara berpikir, cara bersikap, perasaan,
pengalaman, dandan, katokan dan hal deng printil
lainnya. Kui bedo. Andai ada kesamaan, kui mergone
kowe, aku, lan liane gelem madakne, mudunke ego,
mudunke hasrat untuk a, b, c. Mergo opo? Mergo
nyadar, bahwa urep kui bersama, meski ora kudu
sama.
31. Dari Tiada Menjadi Ada
Ada dua film yang mau saya tonton. Tapi
waktu tayangnya, hampir bersamaan. Ditambah
bioskopnya berbeda. Film pertama adalah Milly &
Mamet; kedua adalah Keluarga Cemara. Juga sedikit
ada keinginan untuk nonton Bumblebee. Tiga
jadinya.

Tiga film itu punya kesan masing-masing. Lha


belum nonton kok udah berkesan? Iya, kesan
pertama dari Milly & Mamet tidak lepas dari Ernest
Prakasa yang jadi Sutradara. Gegara Susah Sinyal-
nya pada tahun 2017 lalu. Saya jadi suka dengan
karya-karyanya sekaligus jadi menantikan kelahiran
karya selanjutnya. Saya pengagum dan penikmat
garis lembut. Yang keras itu batu. Hatiku lembut.
Mudah tersentuh. Sejak saat itu saya
mengagendakan untuk nonton. Termasuk Milly &
Mamet.

Saya nonton nggak peduli itu film box office


apa nggak. Kalau saya mau, ya nonton. Kalau nggak.
Skip. Bye! Kaya hubunganku sama dia. Yang di skip.
Apah? Hubunganmu juga? Hahaha. Kasihan.
Ternyata samaa… hiks.
Kalau keluarga Cemara, berkesan karena ini
salah satu tontonan yang menjadi tuntunan. Entah
gimana orang-orang dulu itu berpikir. Kok bisa bikin
sinetron yang memorable begini. “Selamat pagi,
emak. Selamat pagi, abah” adalah lagu yang selalu
mengiringi pas mau mulai atau pas udah selesai. Ini
adalah film perindu.

Lain lagi dengan Bumblebee, serial


transformer ini hanya sekadar pelengkap. Ia mampir
lewat di otak, seperti bilang, “Bahas aku dong”. Ya
kali, mupeng bat.

Lha gimana, serialnya itu hanya saya tonton


lewat tv nasional yang kalau nyensor udah nggak
itung-itungan dan durasi iklannya naudzubillah
begitu. Durasi film sama iklannya malah panjang
iklannya. Iya nggak? Sukur-sukur, dapat salinan dari
laptop temen. Ya kamu tahulah, hiburan gratis dot
kom itu adalah oase bagi kaum-kaum takut hawa
dingin bioskop dan udik semacam saya. Omong-
omong, itu baru pembukaan lho. Sekarang dimulai.
Ini soal kawanku yang hobi bat nanya-nanya.
Bukan kepo lho ya. Wong ini nanya yang berbalut
curhat, kok. Semacam uji kompetensi dasar dalam
dunia hubungan antar manusia. Teman-teman, apa
yang kalian lakukan jika ada seorang teman kalian
menyatakan kalimat seperti ini, “Aku mau
menuliskan sesuasu sesuatu kepada mantanku.
Bisakah kau menjadi wakilku?”

Gelem ora, lur? Itu lak sama dengan


mendengarkan curhatnya, kan? Sama dengan
menjadi tempat penampungannya, kan? Menjadi
orang yang seoalah pahlawan lho…

Kok bisa?

Bisa. Karena pahlawan jaman sekarang bukan


seperti Bumblebee yang fantasi. Bukan Manusia
Kaleng yang bisa terbang dengan baju besi. Juga
bukan orang yang selalu memberi motivasi.
Pahlawan hari ini adalah orang-orang yang mau
mendengar. Orang-orang yang menyediakan waktu,
jiwa dan raganya untuk mendengar. Apalagi yang
didengar adalah suara rakyat. Suara para sopir truk.
Suara para petani sawit yang harga sawitnya melilit
pelit. Suara para penduduk di sekitaran Pabrik RUM
Sukoharjo. Suara masyarakat Kendeng. Suara
kebebasan. Suara-suara sumbang jalanan. Bukan
suara-suara yang dikumpulkan untuk kepentingan
politik doang.

Bajingan kalian. Kemana nuranimu? Apakah


sudah kau gagahi dengan nafsu birahi untuk
menyelematkan diri?

Maka, kusampaikan kepada siapapun yang ada


di muka bumi ini. Siapapun, dari golongan dan ras
apapun, jika kalian mau mendengarkan satu orang
(saja). Maka kalian sudah berhak menjadi dan
mendapat gelar pahlawan. Tak peduli, seremeh
temeh apa yang kalian dengar. Tak peduli sepelik
apapun delik yang mengulik telinga kalian. Tak
peduli serumit dan sesederhana apa persoalan yang
kalian dengar. Kau tetap pahlawan. Yang kau dengar
adalah orang yang kau selamatkan.

Kau telah menyelamatkan ia dari rasa tidak


dianggap. Kau selamatkan ia dari rasa bersalah. Kau
selamatkan ia dari rasa putus asa. Hingga mereka
menyadari bahwa rasa-rasanya memang mereka
tidak begitu.
Sampai kepada saat-saat di mana mereka
menemukan jawaban karena niat baik kalian yang
hanya mendengarkan. Dan orang-orang yang telah
mendapat ruang itu pun kembali menatap dunia
dengan amat seksama. Mereka menjadi hidup
sehidup-hidupnya. Melakuakan apa yang mereka
mau lakukan dengan antusias. Dan kini, mereka pun
menjadi pendengar sebagaimana apa yang telah
para pendengar lakukan. Berputar terus hingga
semua orang mau mendengar lebih banyak lagi
daripada sibuk berkata-kata hingga lupa mendengar.

Kebutuhan dasar manusia adalah mengada.


Dari mana ia mengada jika tak pernah dianggap ada?
Apalagi ada?

Tidak semua orang bisa menganggap dirinya


ada. Karena sebagian yang lain, butuh kau, butuh
kita untuk mengada. Sebagaimana sebuah lampu. Ia
ada, tapi tak pernah mengada jika tak ada aliran
listrik yang membuatnya nyala (menjadi ada).

Kawanku punya cerita, tapi ia tak bisa


bercerita (mengada). Maka saya ada untuk
menceritakannya. Sesederhana itu kita hidup.
Sehingga suatu saat nanti, meski kita sudah tiada.
Kita tetap ada karena telah mengada.
32. Kita Adalah Bagian Dari
Semesta
Sebentar, kamu bilang mau menikah? Yakin?
Kenapa? Karena usiamu sudah terlalu tua untuk
tidak menikah? Karena semua teman-temanmu
sudah menikah? Hah? Karena apa? Karena kamu
sudah ketemu dengan orangnya? Nah! Itu dia
jawabannya.

Ini kenapa ngomogin soal nikah (lagi)? Nggak


ada pembahasan lain? Kurang tema ya? Atau karena
kepalanya isinya nikah-nikah dan nikah?

Pertama, orang bicara soal itu karena paham


dan belum paham. Yang sudah paham bakal
memberi pelajaran yang belum paham bakal
bertanya soal pelajaran itu.

Tidak-tidak, saya sudah mau mengurangi


bahas soal ini. Mau biasa, yaudah gitu, tapi ada hal-
hal yang kadang membuat gelisah. Mungkin, ada
yang demikian juga, cuma mereka nggak bicara.
Atau bicara, tapi di kalangan orang-orang tertentu.
Nah, saya, bicara, menulis. Efeknya adalah ada
kemungkinan orang lain tahu. Termasuk bahas soal
pernikahan sejak 10 tahun lamanya.

Ini bocah dari dulu bahas kek gitu terus nggak


bosan apa? Ngebet banget cuy?

Iya. Saya pernah ngebet. Bukan nikah, tapi


kawin. Makanya saya belajar, saya crigis, saya
optimis sekaligus apatis. Di satu waktu saya bisa
berpikir sangat yakin. Sekaligus di saat yang sama
saya bisa mengatakan “Sekut nggak nih?. Masa
Sih?”. Dan itu berlaku di banyak hal.

Apa kamu nggak ada kerjaan lain? Ada, maaf,


banyak malah. Dari pagi hingga pagi. Eh itu kerjaan
apa matahari? Kok ada sepanjang hari? Kerjaan.
Emang sebagian pekerjaan tak terpaku pada waktu.
Seperti kerja jantungmu itu, kerja paru-parumu itu,
dan kerja-kerja organ tubuh lain yang tak pernah
terpacu pada waktu. Mereka bekerja dan mengabdi
pada sang Maha Satu.

Saya diingatkan berulang kali, bahwa saya,


kamu dan kita semua manusia itu punya kendali
penuh terhadap akal dan perasaan. Penuh. Di bawah
kontrol kita. Bahkan sebagian anggota gerak badan
kita pun kita bisa ngontrol. Cuma kadang-kadang,
masih saja membawa-bawa nama nafsu bila
melakukan kesalahan. Tapi dulu. Sekarang, kalau
mau salah, yaudah salah. Nggak perlu nyalahin si
nafsu apalagi setan.

Toh, besok para setan itu bakal ngacir sendiri,


dia bakal bilang, “Aku nggak menanggung dosa
kalian, kalian lah yang berbuat demikian”.

Jadi kalau saya berbuat salah, itu bukan salah


setan atau salah nafsu. Tapi saya yang goblok, takluk
sama mereka. Setan sama manusia kuat mana? Kuat
manusia.

Lah tapi banyak kejahatan dan kemungkaran?

Itu udah urusannya manusia sendiri. Dia yang


berubah jadi kek setan. Kamu mau ikut-ikutan jadi
setan? Sudah, biar setan dari golongan jin sudah
cukup. Kamu yang manusia, turunilah sifat-sifat
malaikat. Meski kadang bisa jadi setan juga. Kadang
lebih setan daripada setannya malah.
Beberapa waktu lalu, ada seorang kawan yang
bercerita panjang dan lebar sehingga jadi luas. Mulai
dari kelemahannya, dia yang tidak percaya diri,
mengatakan kurang berharga, ragu, terlalu jelek dari
segi perbuatan, dan hal lain yang sebetulnya ia ingin
diyakinkan bahwa apa yang dia yakini terhadap
dirinya adalah salah dan dia adalah sosok hebat,
kuat, tangguh, bertanggung jawab, pantang
menyerah bahkan sangat bisa menerima kisah
perjalanan masa lalunya.

Lanang, selaku teman yang diajak curhat


mengajukan beberapa pertanyaan. Siapa yang
mengatakan kamu tidak berharga? Kebetulan waktu
itu kawan Budi (kita sebut Blutut) sedang
menyiapkan pernikahan, Blutut merasa tidak pantas
dengan calonnya. Karena alasan dan hal yang dia
buat sendiri dalam pikiran. Lanang mengajukan
pertanyaan kedua, apakah calonmu pernah
mengatakan hal yang kamu katakan?

Tidak ada satupun kalimat yang keluar dari


Blutut, seperti yang dia katakan kepada Lanang. Ia
hanya butuh diyakinkan sekali lagi, bahwa, ia baik-
baik saja dan calonnya sudah menerima
sepenuhnya. Utuh.

Pernah nggak sih merasa tiba-tiba inferior


terhadap hal yang sebetulnya tidak apa-apa?

Siapapun kamu dan di mana pun kamu, jika


hidup dan membaca tulisan ini, saya mau
mengingatkan secara pribadi. Hidup kita pasti punya
peran. Perkara peran itu kita suka atau tidak. Jadi
pemeran utama atau bukan. Tapi, itulah peran kita.

Minimal kita bakal berperan pada hidup kita


masing-masing. Mana ada orang yang tiba-tiba jadi
pemeran utama?

Manusia diberi kebebasan untuk menjadi apa


pun dan di mana pun. Tapi sebagaimana gajah, kera,
kupu-kupu, ikan dan hewan lainnya. Jangan pernah
memaksa orang lain untuk berperan bahkan
memerankan seperti apa yang kita inginkan. Jangan
paksa ikan untuk memanjat, kupu-kupu untuk
berenang. Kamu? Jangan memaksakan perasaanmu
kepada yang tidak menginginkanmu.

Einstein pernah mengatakan bahwa, “Setiap


orang terlahir jenius”. Yang jadi persoalan adalah
semakin hari semakin banyak orang yang ingin
menyamakan gagasan, konsep, bahkan pekerjaan.
Apa-apaan ini?

Mohon ijin untuk menyampaikan, bahwa kita


berawal dari beragam tapi kenapa di sekolah kita
dibiasakan dan dianjurkan berseragam? (Entah siapa
yang pertama kali bilang, saya lupa).

Jangan-jangan, persoalan akan keberagaman


itu muncul dari sini. Dari sekolahan. Kau tahu, apa
yang menjadi persoalan setiap manusia? Dia tidak
tahu persoalan dan keinginannya. Andai tahu, dia
tidak bisa atau tidak sungguh-sungguh untuk
mewujudkan apa yang menjadi inginnya. Mungkin
bukan tidak bisa, tapi tidak mau menjalani
prosesnya. Atau hanya ingin mau enaknya saja.

Seorang kawan yang lain bercerita, “Aku


masih nothing di usia yang 25”. Dalam hati saya
bilang, kau masih 25, mas. Saya, sudah 29.

Maka terima kasih saya sampaikan atas


pernyataan itu, karena pernyataan itu membuat
saya menjadi tahu dan memberi jawaban untuknya
(meski sebenarnya, jawaban ini adalah untuk diri
sendiri). “Mulai apresiasilah hal-hal kecil. Jangan
mengukur diri dengan ukuran orang lain. Tidak ada
yang bisa menjatuhkan dirimu, selain diri kita sendiri
bersedia jatuh.”

Cintamu boleh kandas, mimpimu boleh belum


terwujud, pekerjaanmu boleh menyibukkanmu,
tulisanmu boleh resah, nyanyianmu boleh sumbang,
kau boleh diobrak-abrik kenangan. Bahkan, sajak
dan syairmu pun boleh ikut nestapa, tetapi jiwamu
tetap perlu untuk hidup dan dihidupi.

Satu pertanyaan dari saya, apa yang selama ini


masih kamu lakukan. Meski hidup tetap begitu-
begitu saja? Kau tidak peduli dengan apapun yang
terjadi, tapi kau tetap melakukan itu. Kau tidak
peduli dengan kondisi hatimu, kau tetap berkarya.
Bahkan, meski sedikit apresiasi, kau tetap menyala.

Mungkin sinarmu kecil, tapi menerangi. Kau


adalah nyala bagi dirimu dan orang lain. Mungkin
senyummu tipis. Tapi teramat manis. Sehingga yang
pesimis jadi optimis. Mungkin, pesan-pesanmu
singkat. Tapi teramat kuat. Sehingga kau jadi juru
selamat. Karena beberapa kalimat yang kau buat.
Tatapanmu teduh, karena kau tahu, keluh
sama dengan butuh. Maka kau hadir utuh, memeluk
tubuh. Mungin hari ini kau sendiri, esok kau
berkolaborasi. Hari ini kau sepi? Tenang, perubahan
ada di dalam keheningan. Bukan di keriuhan.

Gegap gempita suara klakson mobil, raung


ambulance di belakang sana.

Tetap setia pada moril, karena itu adalah


kekuatan kita.

Pergi ke Jakarta Naik Pesawat. Di Jakarta naik


bemo istimewa. Menjadi manusia adalah kodrat,
manusia yang memanusiakan manusia.

Kita adalah bagian dari semesta.

Ijinkan, ijinkan dirimu, ijinkan diri kita, untuk


melebur, membaur, berputar, berpendar, beredar,

menjadi manusia (seutuhnya).


Ucapan Terima Kasih

Untuk Emak, (Alm) Bapak, (Alm) Mase, Mbak


Shofi, Dek Lia dan Nana. Untuk setiap orang yang
kutemui, baik nyata atau sekadar mimpi. Energi dan
dukungan yang senantiasa memenuhi.

Dan untuk semua hal baik yang ada di bumi.


33. Jalan Pulang

Aku tujukan kepadamu, yang sedang bahagia,


kecewa, berduka cita, bersuka ria atau sedang
diam bersama sepi, memanjakan jiwa dan raga.
Untuk kamu yang hari ini, kemarin atau esok sedang
sendiri atau berdua. Bersama keluarga atau kolega.

Yang baru pulang nongkrong dengan kawan


lama, lanjut stalking ig stories hingga lupa. Bahwa
sepatu, jaket, tas, dan parfum masih menempel di
badan belum kau tanggalkan. Untukmu, siapa
pun dan di mana pun kamu, duduklah sebentar. Aku
bicara kepadamu.

Bagaimana kalau suatu waktu kita berdua


makan malam di nasi goreng kali lima sambil
bercerita tentang apa saja?

Atau jika kamu mau menu lain, aku ada


beberapa pilihan. Seperti nasi pecel, wedang ronde,
soto, tahu kupat, tengkleng atau kamu mau
ngerasain makan di Angkringan dengan segala
macam jajanannya. Gimana, mau pilih mana?

Atau kamu mau ngopi? Aku ada beberapa


rekomendasi jika mau. Oh, tidak suka kopi? Baik-
baik, sebentar, kalau begitu, kamu mau makan apa?
Pesen online saja? Janganlah. Kita kan mau makan di
luar, masa pesen online? Jangan bilang terserah, tapi
ya.

Hai kamu, di mana pun kamu sekarang.


Gimana, apa kita nonton baru makan? Film apa yang
kamu suka? Drama? Aksi? Fiksi? Humor?
Ehm… atau kita nonton di Nepliks sambil pesan
makanan online tadi? Seru kan? Kuotaku banyak,
lho. Gimana?

Hahaha, aku memang banyak nanya. Jadi


nggak perlu heran ya.

Hai, kamu. Ada yang perlu kamu tahu, dariku.

Aku menghargai kehadiranmu, aku


menghargai perjalananmu, dan menghargai masa
kita sekarang. Karenanya, aku katakan kepadamu,
bahwa, meski kau bukanlah yang pertama, tapi aku
pastikan kamu adalah yang terakhir.

Aku sudah berjalan dan bertemu banyak


orang. Ada yang berteman, ada yang sekadar jadi
teman chating-an, lalu hilang. Bahkan ada yang
sampai memblokir pertemanan.

Hai, kamu…

Apakah kamu mau menjadikan pengelana ini


berhenti? Tidak hanya sekadar singgah, tapi menjadi
rumah. Menjadi tempatku pulang dari perjalanan.
Tidak hanya kamu yang menjadi rumah, tapi aku pun
menjadi bagiannya, di rumah kita.
Hai, kamu…

Masih adakah ruang di dalam hatimu dari


perjalanan panjangmu? Aku lelah. Tapi tidak
menyerah. Hari ini, kau ada di depanku, ada di tiap
hembusan napasku.

Kau nyata, kau ada.

Maka, aku katakan kepadamu. Bahwa,


hidupku ada di sini-kini. Aku tak tahu masa depan.
Tapi aku selalu belajar, bahwa masa depan itu
sekarang. Bahwa masa depan itu sekarang ada di
depanku, bahwa masa depan itu adalah kamu.

Perjalanan ini, ternyata adalah perjalanan


untuk bertemu denganmu. Perjalanan yang menjadi
jalan pulangku. Tidak hanya tentang pertemuanku
denganmu, tapi dengan pertemuan demi pertemuan
lain yang tidak pernah aku sangka dan duga.

Terima kasih, telah mengajakku pulang.


Tentang Penulis

Tory Nugroho Bicaksana adalah penulis


jalanan. Buku pertamanya, Mencari Sebuah Titik
pernah menjadi bagian dari buku-buku terbaik
kategori agama di Gramedia Solo.

Ini buku kedua. Dirilis dalam bentuk digital.

Anda mungkin juga menyukai