Anda di halaman 1dari 188

Menunda

Kalah
MENUNDA KALAH
©Wahyu Budi Nugroho

Penyunting : Sony Adams


Pemeriksa aksara : Maulana Yusuf Bahtiar
Penata aksara : Vitria
Perancang sampul : Zulkarnaen DS

Hak cipta dilindungi undang-undang


Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Histeria
Yogyakarta, 2017

ISBN: 978-602-6673-27-5
Cetakan pertama: Januari, 2018

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini


dalam bentuk apa pun (seperti cetakan, fotokopi, microfilm, VCD, CD Rom,
dan rekaman suara) tanpa adanya izin penulis dari penerbit.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72


Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. 
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan
Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. 
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada (ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Isi di luar tanggung jawab Distributor & Percetakan.


Buat almarhum sahabatku,
Ayok.

3
“Aku menempelkan jariku pada eksistensiku—tak ada

baunya. Dimanakah aku? Benda apa yang dinamakan

dunia ini? Siapa yang memancingku pada benda ini,

dan kini meninggalkanku di sini? Siapakah aku?

Bagaimana aku bisa berada di dunia? Mengapa tidak

dibicarakan dulu denganku?”

[Søren Kierkegaard]

4
Daftar Isi

Daftar Isi 5

I Jogja 7

II Ambiguitas 12

III Piano Concerto No. 21 17

IV rHanee3Y 21

V Yang Tak Tampak 26

VI Mengarus 37

VII Mengarus 2 44

VIII Penjelasan Prof. Koen 50

IX Perjumpaan 60

X Hitamnya Hitam 67

XI Motif 74

5
XII Jalan-jalan Pembebasan 79

XIII Duel Raksasa 89

XIV Momen Puncak 95

XV Cinta 107

XVI Itu Ardi 113

XVII Libido 121

XVIII Candu 128

XIX The Lost Paradise 136

XX Beautiful Mind 138

XXI Epoche 158

XXII Sisifus 164

XXIII Absurditas 179

Tentang Penulis 185

6
I

Jogja

J ogja masih saja memikat. “Jogja”, “Yogya”, atau apalah kau


menyebutnya. Tapi, sependek pengetahuanku, terminus
formal tuk menandainya adalah “Yogyakarta”, sedang
apabila kau malas berucap, cukuplah dengan “Yogya”, jika
kau masih juga enggan mengempotkan sedikit mulutmu ke
depan, “Jogja” juga boleh.
Yogyakarta Berhati Nyaman. Betul kiranya slogan ini.
Tiap orang yang pernah menyinggahinya pastilah punya
kesan tersendiri. Aku yang sedari TK hingga kuliah berada
di sini pun memiliki “Jogjaku sendiri”, itu adalah tempat
khusus (baca: spesial) dimana kita benar-benar berasa di
Jogja.
Jogjaku adalah gerbang masuk menuju alun-alun
Keraton sedari arah Malioboro. Sedangkan, mantan pacarku

7
asal Magelang misalnya, Jogjanya adalah pintu masuk
Stasiun Tugu dari arah Timur. “Bener-bener berasa di Jogja
kalau di sini”, ucapnya lewat mulut kecil imutnya itu. Duh,
masa lalu kelabu! Tapi memang, menurutku bangunan
itu punya auranya tersendiri. Bangunan tua berarsitektur
Belanda yang berdiri kokoh di tengah deru modernisasi
Kota Gudeg, keteguhannya seolah berkata pada tiap
mereka yang memandang: “Eh, apa lihat-lihat?! Aku
masih di sini. Dulu, sekarang, dan sampai kapanpun juga!”.
Kupikir, kekokohannya dikarenakan berjuta memori yang
disimpannya, seiring ber­ja­lannya waktu, kepadatannya
kian menjadi saja, seakan rekam jejak memori itu menjadi
suplemen tuk ajek berdiri tegak. Terbukti, goncangan
dahsyat 5,9 SR 2006 lalu tak membuatnya gentar. Eh, aku
lupa bertanya, “Dimana Jogjamu???”.
Jogja, yang juga ku suka dari kota ini adalah hendak ke­
manapun serasa dekat; Hendak ke gudang buku, kau tinggal
ke shopping belakang Taman Pintar; hendak kongkow
bareng teman atau pacar, kau tinggal ke sekitaran Gedung
Agung atau Monumen 1 Maret; hendak menghibur diri atau
sekedar cuci mata, sudah tentu, tinggal kau tapaki jalanan
Malioboro; hendak berburu batik murah atau jajanan pasar,
kau tinggal melancongi Pasar Bringharjo. Dan, kesemua
tempat-tempat itu berdekatan satu sama lain.
Begitu pun, bea hidup di sini sangatlah murah. Hingga
kini, kau bisa sekedar menghabiskan sepuluh ribu perak
per hari tuk menyambung nyawa. Empat ribu perak

8
bertukar mie instan+telur di pagi hari, dan enam ribu perak
lagi bertukar dua “nasi kucing” angkringan di malam hari,
minumnya air putih, dan makannya cukup dua kali sehari
saja, kita takkan mati hanya karena makan dua kali sehari,
itu pun uangmu masih sisa seribu hingga dua ribu perak.
Lebih dari itu, Warga Jogja paling pandai beramah-
tamah. Betul tuh lirik Jogja Hip-Hop Foundation: “Jogja..
Jogja.. tetap istimewa.. Istimewa negerinya, istimewa
orangnya”. Agaknya, ini berkelindan dengan eksistensi Jogja
sebagai Kota Pelajar dan indikator perubahan Indonesia.
Pelajar dicirikan dengan sikapnya yang sabar, halus, dan
terutama ogah berkelahi. Tapi kalau orang yang sabar,
halus, dan ogah berkelahi ini sudah marah… Indonesia siap
bergolak! Googling-lah catatan sejarah, Malari 1974 dan
Reformasi 1998 ber-rahim di Jogja.
Jogja tak cukup menyandang gelar “Kota Berhati
Nyaman”, Kota Gudeg, pun Kota Pelajar, juga didaulat
sebagai kotanya pariwisata! Wuih, ini nih, variatif betul
buatku, dari gunung sampai pantai, ada semua. Kau
kepanasan? Datangi Kaliurang; jikalau kedinginan, kunjungi
satu pesisir saja di Selatan Jogja. Yap, ada tiga puluhan lebih
pantai di Jogja, asal tak datang malam-malam. Hehe.
Yakinlah-sumpah, tiap mereka yang pernah meng­
injakkan kaki di kota ini pastilah bakal dijangkit virus
mala­rindu suatu hari kelak. Jika sikon tak memungkinkan
tuk kembali, paling-paling Yogyakarta-nya Kla Project yang
jadi tumbal.

9
Namun Sob, tak dapat kupungkiri, berbagai keistime­
waan Jogja di ataslah yang membuatnya sedikit sumpek-
sesak sekarang ini. Para penuntut ilmu yang telah
mencicipi asyiknya studi di kota ini enggan pulang ke
kampung halaman. Begitu pun, manusia-manusia dari
antah-berantah menginvasi Jogjaku tuk menyambung
hidup. Alhasil, Jogjaers1 sarat bersaing ketat dengan para
pendatang.
Jogjaers yang beruntung adalah mereka yang mampu
mempertahankan kedaulatannya. Aku salah satunya. Mes­
ki­pun memang, itu tak menyoal perut, tetapi otak keron­
congan yang memerlukan asupan bergizi dari pemasok
yang terjamin. Kedaulatanku di ranah pendidikan, kurebut
sebangku dari perguruan tinggi terbaik di negeri ini.
Aku masuk Fakultas Hukum. Tapi, aku dihukum rasa-
rasanya. Aku yang tak dapat bicara lugas di depan banyak
orang, masuk Fakultas Hukum? Itulah yang terpikir olehku
saat ini. Jujur, dulu aku hanya menjiplak isian Donny.
Departemen Hukum pilihan pertama, dan Departemen
Matematika pilihan kedua, padahal kami anak IPS.
“Selama kau masih mengotak-ngotakkan ilmu, kau
takkan berkembang. Semua sarat kembali ke filsafat, induk
segala ilmu”, ucap Donny padaku. “Aku ingin seperti Russell,
Bertrand Russell, ialah yang seharusnya mewarisi gelar
genius universal sepeninggal Aristoteles, bukannya Max

1
Sebutanku buat orang-orang asli Jogja, serasa maksa memang.

10
Weber. Ia filsuf terbesar abad ini, Dewa Bahasa dan ia juga
Dewa Matematika”, tambahnya.
“Mati aku, segalanya nyaris sempurna!”. Aku dan
sahabatku dipertemukan kembali di bangku kuliah.
Terbesit harap tuk mengobati gagapku lewat bimbingnya
di fakultas ini, sedikit demi sedikit. Tapi, apalah daya, Dewa
Pengetahuanku justru mati sia-sia.

11
II

Ambiguitas

M uak-marah rasaku, sedih sudah tentu. Sahabatku,


Donny, meregang nyawa semalam tadi. Entah kapan
tepatnya. Pagi ini ibunya menelpon, sembari menangis
terisak padaku, mungkin masa histerisnya sudah lewat.
Pastilah histeris, Donny cuma putra semata wayangnya.
Anak yang berbakat, aku pun menjuluknya “Dewa
Pengetahuan”.
Tak satu pun mengira Donny gagal dalam UAN.
Apalagi di mata pelajaran yang membesarkan namanya:
Matematika.
Aku masih ingat betul, juga teman-teman lainnya,
ketika Mr. Titus meledak hebat akibat Donny asyik sendiri
dengan gadget-nya.
“Ei, kau! Sudah berasa pintar kau, ya?!”

12
“Seperti yang Bapak lihat…”, balasnya tenang. “Beri saya
soal tersulit, dan akan saya buktikan sekali lagi”
“Aih, sombong kau!”
Mr. Titus mulai menulis di papan putih, itu adalah soal
Olimpiade Matematika Zurich tahun lalu. Ia tahu, hanya
sedikit saja yang bisa menjawabnya.
“Kerjakan ini!”
“Lalu, apa yang saya dapat jika bisa menyelesaikannya?”
“Apapun maumu! Kalau perlu aku sujud di depanmu!”
Dan... Donny pun mampu menyelesaikannya kurang
dari lima belas menit. Sebagaimana perjanjian awal, ia
bebas bertingkah jika bisa menjawabnya. Donny merokok
di kelas, dan Mr. Titus tak pernah bersujud di hadapannya.
Jelas, bisa jatuh ia punya harga diri.
Sejak saat itu nama Donny melegenda, terminus “D-o-
n-n-y” berasosiasi dengan kejeniusan sekaligus pembang­
kangan. Ia ajek menuai pro-kontra di sekolah, setidaknya
hingga kematiannya.

-------

Betul, shock benar aku pagi ini. Serasa ditimpa “Lahar


Merapi”. “Mas … Donny meninggal…,” duh, kalau teringat
isak lirih ibunya itu, ngilu aku.

13
Kalau sekarang aku biasa-biasa saja, itu karena aku
be­lum sadar benar. “Bener nggak sih Donny meninggal?”.
Sama seperti pagi tadi, di sela shock, aku masih tak yakin.
“Ah, bercanda!” Rasa-rasanya Donny masih ada. Mungkin
juga, ini respon mafhum ketika mendapati informasi orang
terdekat kita tiada. Antara percaya atau tidak.
Selasa pagi tadi, kupicu sepeda motorku, tak sempat
pula kujawab tanya bunda: “Hendak kemana, Nak?”.
Aku ngebut, sebisa dan secepat mungkin mencapai
ke­d iaman Donny. Tak kuhiraukan banyaknya klakson
menyapa. Meskipun memang, hampir mati juga aku dicium
truk yang melaju liar. Itu terjadi di perempatan Tegalgendu
menuju Kotagede. Aku pun menerobosnya, peduli setan.
Jantungku dag-dig-dug kala hampir sampai di muka
rumah Donny. “Bener nggak sih?”, pertanyaan itu masih
saja menggodaku. “Jangan-jangan ini cuma akal-akalannya
saja”, jawabku sendiri bercampur harap. Kadang, gurauan
Donny memang keterlaluan.
Dan… kabar itu benar adanya…
Sejurus pasca kulalui daun pintu rumahnya, Bu Linda
lari dan mendekapku.
“Mas! Donny, Mas!”, ia berteriak histeris.
Mungkin, kedatanganku merubuhkan ketegarannya.
Bagaimana tidak, di samping aku orang yang begitu dekat
dengan putranya,dan juga perawakanku tak jauh berbeda

14
dengan Donny, tulang rahang kami juga mirip, kulitku saja
yang sedikit lebih gelap.
Aku mematung. Tak ada yang bisa kuperbuat, bahkan
berucap sepatah pun.
Tangisku pecah.

-------

Donny ditemukan tak bernyawa sekitar pukul tujuh


pagi di kamarnya. Sang ibu curiga, biasanya puteranya
itu mulai beraktivitas pada pukul empat pagi. Ya, Donny
biasa sekedar tidur tiga-empat jam sehari. Sedari pukul
empat hingga jelang masuk sekolah ia biasa menulis syair,
sajak, atau cerpen. “Ei Sob, bener tuh kata Dan Brown: Jika
tak berada di kursi pada pukul empat atau setengah lima
pagi, kita benar-benar kehilangan waktu terbaik dan paling
kreatif di hari itu”, ucapnya suatu kali padaku.
Pagi itu, tiga hingga empat kali Bu Linda mengetuk pin­
tu kamarnya, namun tak ada respon. Ia tahu, jika anaknya
tengah mengetik, ketukannya kan berbalas suara tinggi
sedikit malas, “Yaaaaa…???”. Kala itu, hanya samar-samar
lantunan musik klasik yang terdengar dari kamar Donny.
Segera Bu Linda mengangkat telepon seluler, tapi
handphone Donny tak aktif. Alhasil, diambilnya kunci
duplikat.

15
Pemandangan tragis yang bakal menggoncangkan rasa
dan pikir tiap ibu di dunia pun terhelat. Sebuah bas­kom
dipenuhi darah mulai mengental terletak tepat di bawah
pergelangan tangan kiri Donny. Ya, ia menyayat perge­
langan tangan kirinya, bahkan baskom itu tak cukup besar
menampung tetes demi tetes darah Donny yang mengucur
sepanjang malam. Di sekitarnya, karpet kuning ternoda
merah.
Ada satu ambiguitas di situ. Pemandangan miris yang
terbungkus alunan manis “Piano Concerto No. 21 Mozart”.
Rasaku pada lantunan itu tak pernah sama lagi setelahnya.

16
III

Piano Concerto No. 21

P iano Concerto No. 21. Bersama Donny kali pertama


kudengar lantunan ini. Eh, indah benar waktu itu.
Di tepian Pantai Parangtritis kami berada, dihias kilau
perak air laut yang diterpa surya. Sesekali, kutilik ombak
berkejaran di ha­dapan. Ei, sepoi angin tak luput menambah
bungah suasana.
Kala kuhadap pandangan ke arah timur, tampak tebing
panjang menjulang menantang Samudra Hindia, siang
sebelumnya kami ke situ. Berdiri di puncaknya membuat
Donny berteriak lepas menirukan Jack di moncong Titanic:
“I am the king of the world…!!!”. Hehe, emang gila betul tuh
anak. Padahal kami tak sendiri, banyak pelancong di sana,
ada juga tuh yang menghardik kecil, “Ih, norak”, tapi Donny
tak ambil pusing.

17
Dari dulu, tebing itu selalu jadi ciri paling kentara
Parangtritis. Kala TVRI hendak tutup siaran, juga stasiun-
stasiun televisi lainnya, di mana Indonesia Raya atau Rayuan
Pulau Kelapa ajek didendang, jika ada tebing angkuh
menjorok nan menantang laut lepas. Nah, itu Parangtritis!
Di sore yang hampir gelap itu, kami mengunduh izin
Ratu Pantai Selatan tuk menikmati berandanya. Ombak
ber­ke­jaran berpadu dengan Piano Concerto No. 21 adalah
ektase tertinggi di hari itu.
“Eh, eh, coba kau dengar bagian ini,” pungkas Donny.
“Hmmm, manis…” responku sambil menghayati dengan
mata terpejam, dagu tak lupa sedikit aku tengadahkan.
Donny lah yang membuatku suka lantunan musik
klasik. Sebelumnya aku tak tahu-menahu. Eh, ternyata
asyik juga. Selera musiknya memang berbeda dari anak
kebanyakan, untuk group band, ia suka The Beatles, Rolling
Stones, Queen, dan Led Zeppelin.
“Dewa itu imitasi Queen! Changcuters itu cuma niru
Rolling Stones!”, ucapnya dulu padaku saat jam pelajaran
kosong. Kami berdiskusi tentang dunia musik tanah air.
“Jadilah pelopor, bukan peniru”, itulah yang ditegaskannya.
Penyanyi solo tempoe doeloe juga digemarinya
beberapa, sebut saja: Sinatra, Ray Peterson, dan Procol
Harum. Untuk musik klasik, ia suka Canon in D Major
kompos Johann Pachelbel, Air on the G String besutan
Johann Sebastian Bach. Namun tetap, Piano Concerto No.

18
21 menjadi kegemaran akutnya. Jika sudah mendengarnya,
ia dapat memutarnya berulang-ulang, begitu pun saat kami
di beranda Nyi Roro Kidul, juga di malam kematiannya…

-------

“Ren, Tuhan memberkati persahabatan kita…”


“Betul Don, kita dipertemukan lagi di bangku kuliah,”
“Tak tahulah aku Ren, kalau tak bertemu lagi
denganmu,”
“Maksudmu?”, jawabku
“Kau tahulah, aku bukan tipe orang yang mudah akrab.
Tak ada yang bisa memahamiku sebaik dirimu, bahkan
ibuku pun salah memahamiku…”
“Kau punya banyak penggemar, Don…”
“Mereka cuma menyukai tindakanku, tapi tidak
diriku…”, ujar Donny
Aku terdiam menyimak perkataannya barusan. Benar
juga ucapnya. Mungkin memang, segala sesuatunya telah
dicipta berpasang-pasangan: ada pusat, ada satelit; ada
bumi, ada bulan; ada pemimpin, ada pengikut; ada Hitler,
ada Hess; ada Marx, ada Engels; ada Steve Jobs, ada
Wozniak; ada Donny, dan ada aku…
Insaf benar diriku, relasiku dengan Donny sekedar
memposisikanku sebagai satelit, atau jika hendak dikata

19
lebih gamblangnya yaitu “pengekor”. Tapi, memanglah
demikian diriku. Aku takut dan gemetar jika berada
di depan, aku lebih nyaman di belakang. Segala yang
kuketahui, aku memang membutuhkan orang-orang seperti
Donny. Aku bukanlah inisiator, orator, atau imperator. Aku
cuma pengikut, tak lebih.
Entah sudah berapa puluh kali Piano Concerto No. 21
diputar. Sedari sore hingga gaung Azan Maghrib menyelip
ke bulir pasir Parangtritis nan lembut. Pasir-pasir itu
beribadah dengan caranya sendiri.
Takkan kulupa momen itu. Diskusi kecil dari hati ke
hati peneguh ikatan persahabatanku dengan Donny. Pun,
momen awal perkenalan gendang telingaku dengan Piano
Concerto No. 21.
Piano Concerto bak permainan libido yang tak pernah
usai, bukan permainan serampangan layaknya sepasang
hewan yang “ber-uh-oh” dan lupa segalanya, melainkan
beritme nan penuh kehati-hatian, nikmat cecap di setiap
suar-nya. Dentingnya mengajak kita naik, dan naik,
kemudian turun secara perlahan, demikian seterusnya.
Indah nian.
Ei, cobalah ei, kau dengarkan. Lantunan ini tak bisa
tidak menyedot semesta pikir dan semesta rasamu.
Memanglah, Wolfgang Amadeus Mozart … citara surga.

20
IV

rHanee3Y

“k A9h, qvwh 9aG’h s4H d1Z3mPvt ea”


Alay!. Itulah Rani, adikku. Sarat kuterima kenyataan
bahwa adikku menjadi alayer, lihat saja facebook-
nya: rHanee3Y’h Ingiend’h Dichintha’h-Tag’hIngiend’h
Dicakithie’h. Ditulisnya pula tempatnya bekerja: “PT
Mencari Cinta Sejati”. Ughht...!!
Aku Reno, dan adikku, Rani. Nama kami tak jauh ber­
beda, setidaknya di inisial: “RN”. Rani menginjak bangku
kelas tiga sekolah menengah kejuruan, dipilihnya Jurusan
Tata Boga. Jurusan yang tepat karena ia mewarisi bakat
memasak ibuku. Sekali pernah kutandingi keduanya lewat
nasi goreng, namun tak pernah lagi kubuatkan meski
mereka memohon tanpa ampun. Maklum, tak tahulah
mereka bumbu rahasiaku: “85% micin”. Itu jelas tak baik

21
buat kesehatan mereka, meski rasa tak pernah bohong.
Hehe.
“Heh, sapa tuh komen pake sayang-sayang?!”
“Mana Kak? Nggak ada kok…”
Sejurus kumasuki kamar Rani. Ia paham kalau kalah
sigap dariku.
“Halaah, tadi, ada temen cowokmu yang komen pake
sayang-sayang,”
“Mana??? Nggak ada kok, Kak?”, Rani masih saja
berkilah.
“Kamu telat ngapusnya tuh, aku dah liat dulu”, kini ia
tak dapat mengelak.
“Ssssttt…!”
“Ren, jangan lupa jemput ayahmu jam empat nanti,”
ucap Ibu sembari melangkah menuju arah kami.
“Yak, siap Bu!”
“Kenapa kok pada ribut?”
“Kakak nih Bu, mau pinjem internet, punyanya lemot,
padahal baru Rani pake…” Jiah! Pandai nian nih alayer
nutupin situasi.
“Reeeno…”
“Iya Bu…”

22
Kutuai lagi tatapan khas itu, tatapan ibu kala tak meres­
tui tindak-tandukku. Ia tak berkata-kata, juga tak ngomel
berantai ucapan pedas, cukup dilayangkannya tatapan itu,
dan aku mulai menilai diriku sendiri.
“Aduh, duh…!” tiba-tiba ibu kesakitan.
“Kumat lagi ya Bu, migrainnya?”
“Air, air!” Jika migrain ibu kumat, hanya ada ia dan
dunia yang berputar di sekelilingnya.
Rani beranjak dengan sigap, ia sudah seperti petugas
911 saja tiap situasi seperti ini. Ia pun tahu jika yang
dimaksudkan ibu tak sekedar segelas air, tetapi beserta
obatnya. Meskipun memang, akhir-akhir ini obat itu tak
begitu manjur.

-------

Malam sehabis Isya.


Pasca kami sekeluarga bersantap malam, kukuntit
Rani yang melangkah masuk menuju kamar tanpa sesekali
menoleh ke belakang.
“Eits! Tunggu dulu”, ucapku sambil menjaga pintunya
tetap menganga, ayah dan ibu melihat dari kejauhan.
“Ouuuw tidak bisaaa, you pikir aku orang udah lupa
ya?”
“Apa sih, Kak…???”, balas Rani tampak memelas.

23
“Itu yang sore tadi, belum rampung interogasiku,”
“Duuuuh. Tutup dulu pintunya,” Rani menyerah.
“Iya, itu pacar Rani Kak, Yafi namanya,”
“Ketahuan ayah nyahok kau!”
“Pliiisss Kak, jangan bilang-bilang yaaa. Plisss...!”
“Dah berapa lama kamu pacaran ma dia?”
“Empat bulan, Kak. Jangan bilang-bilang ya, Kak…”
“Hmmm, pinter ya sekarang maen belakang,”
Sekarang kutahu, ini perkara yang belakangan mem­
buat­nya jarang minta dijemput. Eh, rupa-rupanya…
Teringatku akan pesan ayah kala Rani mulai
mengenakan seragam biru-putih.
“Adikmu Rani sudah meranum. Ia tumbuh cantik jelita
layaknya ibumu”
“Ah, biasa aja Yah!”
“Itu karena kamu liat dia tiap hari!”
“Oh gitu ya?”
“Iya! Nah, kamu sebagai kakak yang baik, harus bisa
menjaga adikmu dengan baik pula…”
Getar perasaannya sampai ke dadaku. Kegusaran
seorang ayah terhadap putrinya yang mulai bertumbuh
de­wasa dalam kondisi masyarakat serba anomi; tak

24
jelas­nya nilai-norma; pun budaya kosmopolit yang serba
boleh—chaos.
Setiap pagi, semenjak Rani mengenakan seragam
biru-putih, kala dirinya telah membonceng mantap di
belakangku, ayah selalu berteriak: “Bisa!”. Ia menirukan
sebuah iklan pendidikan di TV. “Apaan sih, Yah?!”, balas Rani
sesekali. Kata itu, meski tertuju padanya, namun tidak bisa
tidak, tetap mengusikku.
Bisa, “Bisa menjaga adikmu dengan baik…”.

25
V

Yang Tak Tampak

“I bu turut berduka sedalam-dalamnya untukmu…”


“Iya Bu, terima kasih…”
“Andai saja Donny masih… Ah, sudahlah…”
Hari pertama masuk kuliah, ospek tepatnya. Wajar
kira­nya ibu turut bersedih, anganku tuk kembali bersama
Donny sirna sudah. Tapi, ada satu kebenaran yang tak
diketahui ibu dan banyak orang lainnya, bahwa Donny
mati bunuh diri.
Ya, Ayah dan Ibu Donny memintaku merahasiakan ihwal
kematian putranya. Apa yang diketahui khalayak selama
ini adalah Donny meninggal akibat lemah jantung. Alibi
yang dibangun bersandar pada kebiasaannya bergadang,
tak henti-hentinya menenggak kopi hitam layaknya Mbah

26
Surip, dan terakhir, sudah tentu, ketidaklulusannya dalam
Ujian Nasional yang membuatnya begitu tertekan.
Hingga kini pun aku masih dibingungkan dengan mo­
tif tindakannya, “dewa pengetahuanku” meregang nyawa
dengan menyayat nadi pergelangan tangan kirinya. Ada
apa gerangan? Apakah ia tertelan dengan perkataan-
perkataan besarnya selama ini? Pernah suatu kali, masih
di kelas Matematika Mr. Titus, Donny berkoar padanya:
“Kau hanyalah dillettante2 matematika, bukan ahli atau
pakar, sedangkan aku, aku hidup di dalamnya, di dalam
Matematika, juga di ilmu-ilmu lain, akulah pewaris Russel!”.
Tapi sepertinya bukan itu, pernah pula diucapnya
pada­ku: “Sob, tak ada salahnya jadi pembual. Kalau bualan-
bualanmu terwujud, setiap orang bakal menaruh hormat
yang teramat-sangat padamu. Tetapi jika bualan-bualanmu
tak terwujud, kau akan diingat seumur-umur”. Anak ini
memang sudah putus saraf malunya.
Apakah Donny kualat? Who knows. Tapi yang jelas, tak
hanya Donny yang membenci Mr. Titus, melainkan seisi
kelas, namun tak sebesar kebencian Donny juga, sih.
Mr. Titus mengajar dengan metode klasik. Ditunjak-
tunjuk dengan sekenanya siswa-siswi tuk mengerjakan soal
di depan kelas, sedang ia tahu, anak IPS paling lemah dalam
hal hitung-menghitung, kecuali aritmatika—menghitung
duit.

2
Penggemar suatu disiplin ilmu

27
Jika siswa sudah tak berkutik di hadapan papan
putih, dan memang, sebagian besar akan seperti itu,
kecuali Donny dan aku, mulutnya yang lebar bakal mulai
menghardik tiada henti. Bebarengan dengannya, ia
mendikte siswa tuk merampungkan soal. Dalam sikon
ini, tak ada lagi yang bisa diperbuat kecuali menyerahkan
diri secara total kepadanya. Fenomena ini kami istilahkan
dengan “diperobot Titus”. Belasan tahun ia menjadi guru,
belasan tahun ia gunakan metode itu, dan belasan tahun
pula metodenya tak membuahkan hasil apapun, mengapa
ia tak pernah merubahnya???
“Si Titus tak tahu pedagogi pendidikan. Pendidikan
yang baik menurut Freire, harusnya dibangun berdasarkan
dialog—pendidikan dialogis. Bukannya komunikasi satu
arah seperti ini, menempatkan guru sebagai penabung,
dan siswa sebagai celengan. Ini pendidikan ‘gaya bank’
yang mematikan potensi siswa”, ucap Donny padaku saat
salah satu teman kami tengah diperobot Titus. Ia pun
menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan Titus selama
ini lebih menjadikan siswa sebagai wadah pelampiasan
emosi dari beragam persoalan pribadi yang sama sekali
tak berkaitan dengan mereka. Itulah mengapa, kemarahan
Donny kerap kali tersulut akibat tak tega melihat teman-
teman diperobot olehnya.
Donny pun pernah menyebar agitasi pada teman-teman
melalui note facebook guna melawan Mr. Titus, namun
tampaknya teman-teman kadung mensakralkan adagium

28
“guru pahlawan tanpa tanda jasa” sehingga mentolerir
segala polah Titus: mereka tak menyukainya, tetapi
ikhlas mengalah deminya, ketimbang ia yang berprofesi
mulia sebagai guru sarat terluka hatinya karena menuai
pembangkangan para muridnya. “Mereka terhegemoni oleh
konstruksi-konstruksi yang tak bertanggung jawab!”, kata
Donny ketika mendapati agitasinya sepi respon.
Dalam note yang diberinya judul “Titus Katarsis”,
Donny memaparkan analisisnya tentang Mr. Titus yang
menurutnya didera semacam penyakit kejiwaan berjuluk
katarsis.
Katarsis adalah bentuk penghempasan kekalutan
pada orang lain. Sebagai misal, apabila hati kita terluka
dikarena­kan seseorang mengatai kita bodoh, maka upaya
guna menyembuhkannya adalah dengan balik mengatai
orang lain bodoh—bisa orang yang sama atau berbeda, tapi
umum­nya pada orang yang berbeda. Begitupun, seorang
pe­cinta yang tersayat akut hatinya karena dicampakkan,
dapat menyembuhkan keperihan hatinya dengan balik
mencampakkan orang lain.
Dengan demikian, katarsis lebih menemui bentuknya
sebagai upaya “balas dendam” guna mencapai keimpasan.
Namun uniknya, balas dendam tersebut tak harus
dilancarkan pada orang yang sama, melainkan dapat pula
pada orang yang berbeda, yang sama sekali tak tahu-
menahu atau berkaitan dengan kesakitan kita.

29
Mr. Titus, menurut Donny, memiliki problem serupa.
Entah dahulu atau saat ini ia tengah dikuasai atau ditunduk­
kan oleh sesuatu kekuatan yang tak dapat dielaknya,
atau bisa juga dahulu atau saat ini ia tengah berupaya
menguasai atau menundukkan sesuatu yang tak jua dapat
dilakukannya. Alhasil, kamilah yang menjadi tumbal.
Lebih jauh menurut Donny, katarsis yang mendera
Mr. Titus dapat disebabkan oleh hal-hal sepele, seperti
ketertundukkan Mr. Titus terhadap sang istri. Ya, dunia
ini memang penuh hal-hal tak terduga. Dalam salah satu
episode acara hipnotis di televisi yang pernah kusaksikan
misalnya, seorang security berwajah angker dan berbadan
tegap mengaku jika perihal yang paling ditakutinya di
dunia ini adalah sang istri, bahkan ia kerap menangis
bila tersambet omelannya. Siapa sangka, pria dengan
perawakan seperti itu pasrah bongkokan di hadapan sang
istri.
Di samping itu, katarsis pada diri Mr. Titus bisa juga
disebabkan oleh track-record masa lalunya. Sang ayah yang
terlampau dominan misalkan, sehingga membuat dirinya
bak marionette3, sepenuhnya dikontrol dan dikendalikan.
Pun, masih banyak lagi faktor yang memungkinkan
kekatarsisan pada diri Mr. Titus.

3
Boneka yang dikendalikan lewat benang yang diikatkan padanya.

30
Intinya, melalui note tersebut, Donny hendak mempro­
vokasi teman-teman tuk menolak keberadaan diri mereka
sebagai jamban kekalutan Mr. Tikus, eh, Titus.

-------

Ospek. Garing. Bayangan Donny masih saja meng­han­


tuiku. Entah mengapa, upaya orang lain tuk menunjukkan
belasungkawanya justru kian memperlemah diri kita, layak­
nya ibuku sepagi tadi.
Pernah kuingat, dulu sewaktu kecil saat diriku menjadi
bahan olok-olok, seorang teman berbelas kasih dan berkata
pada yang lain, “Eh, kalian jangan ngejekin Reno kayak gitu,
kasihan…”. Dan, seketika pasca empati itu tersebut terucap,
aku menangis. Tangisku bukan dikarenakan ejekan demi
ejekan yang dilancarkan, tetapi justru karena ada seseorang
yang mengasihaniku. Aku kasihan kepada orang yang
mengasihaniku. Artinya betapa kasihan dan nelangsanya
diriku—aneh.
Boleh juga kita pikirkan, bisa jadi ucapan belasungkawa
memang out of sense. Orang lain berupaya menunjukkan
kesedihan mendalam sebagaimana yang kita rasakan,
dengan harapan, kita tak sendirian saja menghadapinya.
Namun, bukankah hal tersebut justru kembali mengingatkan
kesedihan yang kita alami. Dengan kata lain, justru melipat­
gandakannya? Hitung saja berapa banyak orang yang
mengucapnya, dan itulah besaran jumlah kesedihan yang

31
kita tuai, lebih besar bahkan, mengingat “sedih” dapat
beranak-pinak. Pun yang menjadi pertanyaannya adalah
mungkinkah seseorang benar-benar bisa merasakan apa
yang kita rasakan? Memahami pemahaman kita tentang
apa yang tengah kita hadapi? Muskil.

-------

Di lapangan nan luas aku beserta ribuan maba4 lainnya


dikumpulkan. Kami sudah seperti kawanan domba saja
pagi itu. Namun, tak ada domba tersesat, kecil memang
kemungkinannya, lapangan itu merupakan tempat terpo­
puler di kampus, baru kemudian rektorat.
Sore hari di lapangan itu adalah tempat yang riuh.
Berjejal aktivitas di sana: ada yang bermain bola, joging,
kongkow, pacaran, berdiskusi, membawa kiriknya5 jalan-
jalan, pun ada pula yang sendirian saja memainkan gawai.
Mungkin, ini juga yang membuatnya masyhur yaitu menjadi
ruang publik yang ideal. Beberapa tahun terakhir warga
Jogja memang dilelahkan oleh sampah-sampah visual
yang bertebar di sana-sini kota. Beragam spanduk, banner,
berikut pamflet komoditas konsumtif menindas psikis
mereka yang tak memiliki daya beli mumpuni. Nyaris
tak ada ruang publik yang bebas dari ekspansi pemodal.
Beruntung, lapangan ini masih.

4
Mahasiswa baru.
5
Kirik dalam bahasa Jawa berarti “anjing”.

32
“Assalamualaikum Wr. Wb., Salam Sejahtera, Om
Swastiastu…”, sang rektor menyapa kami.
Ribuan mahasiswa dengan jas semi-hijau lumut
khidmat mendengar sambutannya. Ihwal yang terkesan
dari tiap-tiap mereka adalah kebanggaan solid tanpa
celah, kepala sedikit menengadah, tatapan mata mantap
ke depan, seolah masa depan gemilang telah pasti dalam
genggaman. Sambutan rektor yang “membesarkan” hanya
membuat mereka kian menjadi-jadi saja. “Eh, ini aku, satu
dari jutaan sperma yang menang menggulati hidup!”, itulah
yang tersirat dari gestur masing-masing mereka.
Aku sendirian saja, acak-adul seluruh departemen
dan fakultas berkumpul di lapangan ini. Sebetulnya,
kulihat Dandi selang tiga baris di depan, ia teman SMA-
ku dari kelas IPS yang berbeda. Dan ia menjadi cibiran
kawan-kawan pasca berhasil menjebol-masuk kampus
ini. Di sekolah, ia tergolong siswa “lah-loh”, bahkan nyaris
tak lulus UAN di nilai Matematika dan Ekonomi, namun
semua terkejut kala dirinya berhasil merebut sekursi di
Departemen Manajemen. Sekali lagi, dunia memang tak
adil, Dandi nyaris membuat teman-teman bunuh diri. Aku
berat menghampirinya. Entah, aku sedang malas saja.

-------

Apèl selesai, kepulan debu berkejaran bebarengan


dengan derap langkah ribuan mahasiswa meninggalkan

33
lapangan menuju fakultasnya masing-masing. Beruntung,
Fakultas Hukum tak jauh-jauh amat. Setibanya tadi, telah
kuparkir motor di fakultas.
“Yak, keluarkan tugas kalian masing-masing” ucap
salah seorang senior, agaknya ia panitia ospek, lagaknya
begitu berkuasa.
Aku dan maba lainnya telah ditugasi membuat esai
singkat ihwal alasan kami memasuki Departemen Hukum,
bahkan sebelum kami benar-benar memasukinya. Pasca
daftar ulang, kami telah didata para senior melalui stan-
stan kecil.
Sembarang saja kutulis, aku ingin menjadi seperti
Adnan Buyung Nasution, Albertina Ho, dan terutama Prof. J.
E. Sahetapy. Aku tak benar-benar serius, hingga kini, masih
saja ku tak tahu-menahu mengapa memasuki departemen
ini, alasanku yang sejujurnya hanya satu: mengikuti Donny.
Meskipun memang, figur yang kusebut belakangan, Eyang
Sahetapy, aku punya ketertarikan khusus terhadapnya,
bukan sebagai Pakar Hukum, melainkan karena ia kerap
mengumbar kata “bajingan” di televisi. Yakinlah-sumpah,
ia keren sekali kala mengucapnya, tanpa tedeng aling-aling!
Prof. J. E. Sahetapy: kekerenan yang tak lapuk dimakan usia.

-------

34
Aww! Silauw!
Siapa dia??? Aku tertegun. Kami—aku dan maba
lainnya—membuat lingkaran dan memperkenalkan diri
masing-masing. Sudah tentu, saat gilirannya adalah momen
yang kutunggu-tunggu, mungkin bukan aku saja, tetapi juga
para “adam” lainnya di sini, sudah pasti.
“Saya Sekar, ehm, Sekar Ayu. Dari Bandung…”
O h ! Ku k i r a A l y s s a S o e b a n d o n o j a d i t e m a n
seangkatanku! Duh, kalau kalian lihat wanita ini, 11/12
deh sama Icha! A-s-e-l-i!

-------

Sesampainya di rumah…
Kubuka facebook (FB), segera kucari namanya—
Sekar Ayu. Duh, mau tak mau home harus terbuka da­
hu­l u. Itu, adikku Rani, mengganti namanya menjadi:
RHanee3Y’y4nK’t3rcaKitie (baca: “Rani yang tersakiti”).
Ught! Miris pula statusnya: “Kamu jahad banged”. Ya, miris-
miris culun.
Segera kutembahkan FB Sekar Ayu sebagai teman,
Alyssa Soebandono kelasku. Ku klik photos. Aih, sayang
beribu sayang, seluruh album digemboknya, kecuali
tag photos. Tampak di timeline-nya, cukup banyak pria
mengucap terima kasih karena telah dikonfirmasinya.

35
Wajah-wajah mereka tak asing, para maba yang selingkaran
denganku sepagi tadi.
Dafuq!

36
VI

Mengarus

T iga bulan sudah kusandang status “mahasiswa”.


Sebentar lagi midsemester, dan Donny belum juga
tergantikan.
Selama tiga bulan lamanya pula, rajin ku-like setiap
sta­t us FB Sekar Ayu. Aku enggan mengomentarinya,
malu be­rcampur takut kalau-kalau ia tak membalasnya.
Ha­rapku tak muluk-muluk, cukuplah ia tahu, aku selalu
mem­­perhatikannya.
Kegiatan ekstrakulikuler selalu punya daya tarik ter­
sendiri, dan memang cukup banyak kumpulan kegiatan
mahasiswa di sini: dari pecinta alam, arung jeram, BEM,
jurnalistik, dan lain sebagainya. Namun sebagaimana
kau tahu, sejak dulu perkumpulan agamis selalu menjadi
yang terasertif ketimbang lainnya. Itupun terbagi dalam

37
banyak aliran (baca: organisasi). Mungkin kuat memang
kepentingan mereka tuk menanamkan ideologinya.

-------

Ridho. Ia teman seangkatanku. Berbagai komentarnya


di kelas sangatlah cadas, dosen pun kerap mengerutkan
dahi kala meladeninya. Ia merupakan kader salah satu
organisasi agamis di kampus ini, bahkan telah memiliki
keanggotaan semenjak duduk di bangku SMA.
“Hukum Indonesia adalah Hukum Kafir, buatan
Belanda! Pancasila itu thogut, buatan manusia!”,
komentarnya suatu kali di kelas. Tak hanya satu-dua kali
ia memaksa dirinya menjadi pusat perhatian, terlampau
sering bahkan. Well, mungkin Tuhan memang meridhoinya.
“Ada batu bisa bicara”, balas singkat Dr. Metal, Dosen
Pengantar Ilmu Hukum. Jawaban singkat yang tak kalah
cadas. Kami seisi kelas diajak tuk berpikir bahwa Ridho
adalah batu. Dan memang, Ridho tak ubahnya batu.
Kepalanya keras, saking kerasnya, otaknya seakan tertutup
rapat bagi setiap wacana baru.
“Ren, ikutlah halaqah,”
“Hah? Hala…, hala-koh???”
“Iya, kajian rutin di maskam6 tiap malam senin,”
“Oh…”
6
Maskam: Masjid Kampus.

38
“Kutunggu ya lusa, wassalamualaikum!”
Ridho berlalu begitu saja, tanpa menanti jawabku.
Kenapa aku? Hmmm, mungkin karena akulah satu-satunya
teman seangkatan yang tak berwajah sinis kala bertemu-
papas dengannya. Memang, wajahku cenderung tanpa
ekspresi di keseharian kampus, pun saat presentasi kelas.
“Kamu nggak bisa jadi pengacara handal, Mas”, ucap Dr.
Metal kala diriku usai bicara. Peduli amat, memang aku tak
bercita-cita menjadi pengacara, batinku.
Cukup lama ku menimbang, hmmm tak ada salahnya
juga menghadiri halaqoh yang ditawarkan Ridho.

-------

Lusa hari…
“Apakah kalian nasionalis?!”, Ridho bertanya pada
kami. Malam itu di maskam, kami bertiga—termasuk
diriku—duduk bersila mendengar ceramah Ustaz Ridho
yang lantang lagi subversif.
Ada Amri di situ, anak Departemen Arkeologi, seorang
lainnya adalah Cahyo, anak Departemen Ilmu Ekonomi.
“Wajah-wajah tanpa inisiatif ”, itulah yang kulihat dari
tam­pang keduanya, mungkin juga diriku, karena menjadi
bagian dari mereka. Bisa jadi juga di mata Ridho, kami
adalah manusia-manusia pasrah yang bebas dicekoki.
Bak galon ko­song yang bisa diisi apa saja seperti teh, kopi,
bahkan comberan.

39
Ridho melanjutkan ceramahnya…
“Jika kalian seorang nasionalis, kalian adalah muslim
yang kufur! Paham nasionalisme tak ada dalam Islam!
Paham ini berasal dari Barat, dari Napoleon Bonaparte!
Napoleon tahu, jika Islam diserang secara fisik, ia justru
semakin kuat, buktinya Romawi dan Persia yang menyerang
Islam lewat kekuatan militer, pada akhirnya justru dikuasai
Islam”.
Kami mendengarkan Ridho dengan seksama, menarik
juga, ia memadukan paparannya dengan narasi sejarah.
“Pernah suatu kali, Napoleon mengumpulkan seluruh
prajuritnya di sebuah koloseum. Ia menggelar karpet
yang luas, kemudian meletakkan mahkota di tengah-
tengahnya. Napoleon pun berseru pada seluruh prajurit,
“Siapa gerangan yang dapat mengambil mahkota ini tanpa
menginjak karpet?!”. Pada awalnya, tak ada satu pun yang
bisa, hingga muncul seorang prajurit yang menyanggupinya.
Bagaimana caranya? Ia menggulung karpet itu terlebih
dahulu, barulah setelah dekat, ia mengambil mahkota itu”.
Aku, Amri, dan Cahyo terbengong mendengar mantap­
nya paparan Ridho. Kami bak anak-anak TK yang tak sabar
mendengar lanjutan cerita Hans and Gretel tutur ibu guru.
Dalam sikon ini, jelaslah siapa ibu guru kami: Ridho.
Seketika, Napoleon pun berteriak: “Nah! Inilah cara
menghancurkan Islam! Jika kita menyerangnya secara fisik,
ia justru semakin kuat. Kita harus ‘menggulungnya’ terlebih

40
dahulu, yakni dengan memasukkan ide-ide di luar Islam,
salah satunya nasionalisme!”
“Mulailah Napoleon membuka peta luasnya Kekha­
lifahan Islam, ia mengincar teritori terujung, dan itu adalah
Mesir. Tanah Nabi Musa a.s menjadi korban pertama
disuntik­kannya paham nasionalisme oleh ‘anjing’ Napoleon
beserta pasukannya! Hadis hubbul wathan minal iman -
‘cinta tanah air sebagian dari iman’, barulah dikenal dunia
Islam pasca Napoleon menginvasi Mesir. Hadis itu palsu!!!”
Aku menelan ludah, mungkin juga Amri dan Cahyo,
kami betul-betul terperanga mendengar rentetan
penjelasan Ridho yang tanpa tedeng aling-aling. “Jadi,
selama ini… nasionalisme yang didengungkan guru-
guruku sejak TK hingga SMA, adalah paham sesat barat
yang sengaja disun­tikkan guna memecah belah imperium
Islam???”, aku hanya bisa membatin, masih bergetar hebat
jiwaku tuk berkata-kata.
Namun, rangkaian paparan Ridho di atas belum men­
capai klimaks. Ia kembali melanjutkan…
“Segera setelah Mesir diracuni paham nasionalisme,
ia terlepas dari jaring Kekhalifahan Islam. Demikian
seterusnya hingga berlanjut ke wilayah-wilayah
Islam lainnya. Nasio­n alisme bak virus nirpenawar, ia
mengkontaminasi secara halus nan tak kasat mata, hingga
pada akhirnya, tersisa satu wilayah Islam dengan teritori
yang sangat terbatas: Turki. Dan, akibat ‘anjing kudisan’

41
bernama Mustafa Kemal Pasha, hancurlah Kekhalifahan
Islam yang telah berdiri kokoh menguasai peradaban
dunia selama tiga belas abad lamanya!!! Anjing kudis
itu, si Pasha, hobinya main wanita, ia mati karena sifilis,
jasadnya disemayamkan di sebuah peti marmer karena
bumi menolaknya! Sejak tahun 1924, umat Islam di se-
antero dunia tak memiliki sistem pemerintahannya sendiri:
Khilafah…”
Aku serasa tersetrum tegangan listrik dua juta volt!
Suasana malam maskam yang teduh dan sejuk seketika
menjadi gerah. Hatiku bergemuruh hebat. Ada kemuakan,
kejengkelan, dan tentunya kemarahan besar.
Marah! Bahwa selama ini sejarah agamaku disembunyi­
kan oleh orang-orang yang tak seharusnya melakukannya.
Marah, karena agamaku nyatanya benar-benar sengaja
dihancurkan dan dicabik-cabik oleh Anjing-anjing Barat.
Dan marah, karena aku tak dapat berbuat sesuatu pun
tuk mencegahnya. Malam di maskam kala itu, kurasakan
ber­m ega ton kesedihan. Tangis ratusan juta umat
Islam seantero dunia kala kekhalifahan Turki Utsmani
dihancurkan oleh anjing nasionalis bernama Mustafa Kemal
Pasha. Allahu Akbar…!!!.
Ridho menutup halaqah malam itu dengan sebuah
simpulan. Bukan, bukan simpulan, tapi penegasan tepatnya.
“Konsep Islam adalah ‘internasionalisme’, bukannya
nasionalisme. Buktinya, dakwah Rasulullah tak

42
menyebabkan antarkabilah, suku, atau bangsa saling merasa
superior, melainkan terayomi satu sama lain. Nasionalisme
adalah paham picik, sempit, ia bakal menghantarkan kita
pada chauvinisme: kecintaan membabibuta terhadap
bangsa, wrong or right my country, dan pada akhirnya…
fasisme.”
Pandanganku mengenai Ridho berubah 180 derajat
sejak halaqah itu. Ia benar-benar memiliki dasar atas segala
kebatuannya selama ini. Aku mulai berpikir, dosen-dosen di
departemen lah yang dangkal pikirnya, tak mengkaji ihwal
dari sudut yang sama sekali berbeda.

43
VII

Mengarus 2

A ku masih tertarik mengikuti halaqah Ridho. Jelas


kudapat hal baru darinya. Bersamaan dengannya,
paras Sekar Ayu tergerus dari mega-megaku. Ridho juga
yang mengingatkanku: “Tak ada pacaran dalam Islam,
tetapi ta’aruf…” Pastilah Sekar yang mengurai bebas
indah-rambutnya bukan tipe wanita seperti itu—akhwat
yang doyan ta’aruf. Sejak saat itu, tak pernah lagi ku-like
status-status FBnya.
Apakah aku telah menemukan pengganti Donny?
Terlalu dini tuk menjawabnya. Dulu, sekedar dibutuhkan
tempo seminggu tuk mentautkan pikir dan rasaku, bahwa
lelaki ini, Donny, bakal menjadi sohib karibku. Sementara
Ridho, ada semacam perasaan yang membuatku berjarak
dengannya, namun belum kutahu pasti apa itu.

44
Halaqah minggu kedua.
Amri dan Cahyo masih berpartisipasi, pun dengan
tam­pang nir-Inisiatif pada keduanya. Setelah membaca
basmallah dan Al-fatihah, halaqah pun dimulai. Paparan
materi Ridho tak kalah subversif dari minggu lalu:
“Demokrasi dalam Perspektif Islam”.
“Abdul Qadeem Zalloom mengatakan, democracy is a
system of kufr. Ya, demokrasi adalah sistem kufur. Sama
seperti nasionalisme, Islam tak mengenal demokrasi. Sering
orang menyamakan musyawarah-Islam dengan demokrasi,
keduanya sangatlah berbeda! Musyawarah-Islam berpijak
pada Alquran dan As-sunnah yang artinya segala keputusan
yang dicapai melaluinya haram bertentangan dengan Quran
serta Sunnah. Sementara, musyawarah-demokrasi berpijak
pada rasio dan suara terbanyak. Kebuntuan di dalamnya
selalu diputuskan lewat voting”
Ada yang sedikit berbeda dari Amri, ini malam
diba­wanya catatan. Dengan muka serius, didengar dan
dicatatnya baik-baik kata demi kata yang terlontar dari
maharisi-nya7 itu.
Sama seperti minggu lalu, aku sekedar bengong men­
dengar penjelasan Ridho. Bagaimana tidak, ia kembali
mengemukakan wacana baru, sesuatu yang selama ini aku
berbeda persepsi mengenainya, juga banyak orang.

7
Maharisi: guru spiritual The Beatles di India.

45
“Omong-kosong jika esensi demokrasi adalah vox dei
vox populei, mendengar suara Tuhan di balik suara rakyat,
yang ada suara Tuhan kalah dari suara rakyat. Coba kita
tengok negara-negara barat sana: freesex dibolehkan, aborsi
dilegalkan, kawin sesama jenis dimafhumkan, sedang Bibel
sendiri melarang kesemua itu. Ini bukti nyata jika suara
Tuhan kalah dari suara manusia, dan ini terjadi dalam alam
demokrasi!”
Suara Ridho mulai meninggi dan meninggi, seperti
malam-malam biasanya di maskam, ada beberapa
kelompok kajian di situ, khusus akhwat biasa menempati
lantai atas. Setelah kuamati, kamilah kelompok kajian
dengan “pem­bicara” ternyaring dan terhiperaktif. Gerak
tubuh Ridho ajek menyertai di setiap ucapannya, terlebih
pada kalimat-kalimat yang ditekankannya. Tubuhnya
meliuk ke kanan dan ke kiri, tak jarang ke depan, juga ke
belakang. Ridho menari dengan pikiran-pikiran nakalnya.
“Islam memiliki sistem pemerintahannya sendiri,
yaitu khilafah, khilafah-Islamiyyah! Tapi, sebagaimana
sudah kusampaikan minggu lalu, sistem pemerintahan ini
dihancurkan oleh Mustafa Kemal Pasha!”
Tampak jika pembicaraan kami hendak mencapai
klimaks. Mudah saja, itu terlihat dari Ridho yang mulai
mengacung-acungkan telunjuk kanannya, sama seperti
minggu kemarin, juga kesehariannya sewaktu berkomentar
di kelas.

46
“Kita umat Islam, memiliki kewajiban untuk mengem­
balikan tegaknya khilafah-Islamiyyah…!!!”
Dari kejauhan, beberapa kelompok kajian menoleh
ke arah kami. Maklum, barusan suara Ridho cukup
menggelegar.
“Bukankah khilafah sistem pemelintahan masa lalu?
Bisakah ditelapkan di ela sekarang???” tersembur tanya
dari Amri, ia memang tak bisa mengucap huruf “R” dengan
baik dan benar.
“Kenapa tidak??? Demokrasi pun sistem pemerintahan
masa lalu, bahkan jauh lebih tua timbang khilafah.
Demokrasi adalah sistem zaman batu!”, balas Ridho mantap.
Seolah ia pernah menjawab pertanyaan ini sebelumnya,
atau bisa juga ia sekedar menirukan jawaban tersebut dari
rekan-rekan seniornya di organisasi, mungkin dulu ia turut
mengajukan pertanyaan serupa pada musyrif-nya8.
“Kelak ketika khilafah bangkit lagi, negara-negara
seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei, hanya akan
menjadi bagian dari provinsi-nya. Pemerintahan umat
Islam sedunia, entah akan berpusat dimana esok, namun
banyak Pakar Timur Tengah mengatakan jika Indonesia
adalah negeri yang paling memungkinkan tuk mewujudkan
cita-cita mulia itu”, tambah Ridho.
“Kenapa, Mas?”, tanya Amri.

8
Julukan guru dalam halaqah.

47
“Negeri ini tengah mengalami euforia demokrasi, an­
daikan kita dilarang menelurkan wacana negara Islam,
tinggal dibalik saja: Lho, katanya demokrasi?. Kedua,
wilayah dan sumberdaya alam negeri ini sangatlah besar,
andaikan terjadi perang badar antara hizbullah dengan
hizbusyaitan sebagaimana diramalkan hadis 9, maka
wilayah Indonesia memungkinkan menjadi tempat eksodus
saudara-saudara kita dari seantero dunia. Muslim dari
Suriah, Irak, Palestina, semuanya! Eksodus menuju satu
tempat tuk berkonsolidasi dan menyiapkan perang besar
dengan hizbusyaitan yang dipimpin oleh Dajjal. Sementara
kita akan dipimpin oleh al-Mahdi dan Isa a.s putra Maryam.”
“Akan tegak khilafah dengan manhaj kerasulan. Manhaj,
metode: cara-cara rasul!”, tukas Ridho. “Mereka yang tak
mene­gakkan Islam dengan cara-cara nabi, pastilah akan
gagal!”
“Jadi, paltai-paltai Islam yang ada di pallemen itu…”
susul Amri. Ia menjadi peserta halaqah tercerdas yang
memahami arah pembicaraan Ridho.
“Ya, mereka semua omong-kosong! Yang dicari
hanyalah harta dan kekuasaan! Sering, Rasulullah ditawari
jabatan dan kekuasaan oleh para kafir-Quraisy asalkan
beliau meng­h entikan dakwahnya, namun Rasulullah

9
Diriwayatkan bahwa kelak dunia akan menghadapi perang besar antara
mereka yang pro-Islam dengan mereka yang anti-Islam. Mereka yang mendukung
Islam tergabung dalam hizbullah, sedangkan mereka yang ber-vis-à-vis dengannya
tergabung dalam hizbusyaitan. Istilah “hizbullah” di sini tak mengacu pada
gerilyawan muslim yang terdapat di Libanon sana.

48
istiqomah meno­laknya. Bisa saja, Rasulullah memanfaatkan
jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk berdakwah,
namun Beliau tak melakukannya. Masuk parlemen bukan
cara dakwah Rasul. Kalian jangan mau masuk organisasi
Islam yang sekedar menjadi underbone partai tertentu.
Kalian sekedar diperalat tuk menggelembungkan suara
mereka. Organisasiku adalah organisasi transnasional
yang ada di lebih dari empat puluh negara dunia. Kami
tak memiliki ikatan politik dengan pemerintah setempat.
Niat kami suci nan murni: mengembalikan kejayaan
khilafah-Islamiyyah…!”
Kini aku tahu ihwal yang menyebabkan rasaku tak
bisa seketika tertaut dengan Ridho. Ia tak menjadi dirinya,
melain­kan merepresentasi organisasinya, kelompoknya.
Aku tak bersentuhan langsung dengannya, melainkan
dengan kelompoknya. Ia tak otentik.

49
VIII

Penjelasan Prof. Koen

Eko Prasetyo (25), gantung diri akibat skripsinya


tak kunjung selesai. Winarso Riyadi (23), gantung
diri di plafon rumah karena putus cinta dengan
kekasihnya. Irfanati Syahidah (15), gantung
diri karena diputus pacar lewat SMS. Tjen Alvin
(22), melompat dari lantai tujuh Imperium Mall-
Pluit dikarenakan kesulitan mengerjakan tugas
kuliah. Hardiman (21), nekat bunuh diri di Danau
Singkarak akibat terbentur bea kuliah.
Dan masih banyak lagi.

B elakangan media tanah air diramaikan seputar pembe­


ritaan maraknya aksi bunuh diri. Miris, mayoritas
pelaku tindak tersebut berusia belia. Percik memori jalan

50
kematian sahabatku pun kembali menjilat: Apakah cara
kematian seperti ini memang sudah digariskan-Nya?.
Pertanyaan di atas pula-lah yang mendorongku meng­
ikuti seminar Prof. Koen di Fakultas Psikologi. HTM-nya
luma­yan juga buat mahasiswa S1, Rp 25.000,-. Hmmm, tak
apalah kusisihkan saku bulanan yang tak seberapa, jarang-
jarang bisa melihat dirinya secara langsung, lebih sering
lewat layar TV.
Prof. Koencoro, atau yang lebih akrab disapa “Prof.
Koen”, merupakan salah seorang intelektual kenamaan
negeri ini. Ia adalah Guru Besar “Psikologi Sosial”
Universitas Gadjah Mada. Di samping bersahaja, Prof. Koen
juga dikenal sebagai akademisi yang “galak”. Tak tanggung-
tanggung, sedari anggota legislatif, menteri, bahkan
presiden sekalipun, pernah disemprotnya. Potretnya yang
terpopuler adalah saat menunjuk muka mantan presiden
SBY dalam Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia di
Jimbaran-Bali. Jelaslah: Prof. Koen bukan intelektual yang
bisa dibeli.
Pukul 11.30 seminar dimulai, bersamaan dengan ram­
pung­nya hari kedua mid-semester. Aku selesai empat puluh
menit lebih awal. Bukan karena seluruh soal terjawab di
luar kepala, tetapi dengan mendayagunakan common sense
yang bebas teori. Ya, ya, aku cuma ngawur menjawab soal.

51
Jujur, pasca bersentuhan dengan wacana Ridho, geliat
belajarku kian terbenamkan saja di fakultas ini.
“Wuuuz…!”, sorai pecah sejurus pasca ku beranjak
me­n ing­­galkan kursi berpapan putih. Mereka kira aku
mahasiswa jenius: salah besar.
Pukul 11:25. Auditorium telah ramai. Di parkiran
kulihat mobil berplat nomor RI-32, pastilah ada menteri
di sini. Prof. Koen belum tampak, dan nyatanya seminar
diundur hingga pukul 12:15. “Memberi kesempatan hadirin
untuk menunaikan sholat zuhur”, itulah dalih panitia. Jam
manusia-manusia Indonesia: jam karet.
12:20. Prof. Koen memasuki ruangan. Seluruh mata
ter­tuju padanya. “Oh, ini toh profesor yang sering marah-
marah di TV itu…”, seseorang berucap di belakangku.
Ia langsung mendudukkan diri di podium. Karuan,
pem­bawa acara celingak-celinguk kebingungan, sedang mo­
derator pun urung menampakkan diri. Eh, itu, moderator
jalan setengah berlari dari bangku depan tuk menyusul
Prof. Koen.
“Meng-urai akar per-masalah-an tin-dak bunuh diri di
kalang-an re-ma-ja tanah air”, sambil melengok ke samping-
belakang; tanpa salam, tanpa sapa, dan tanpa basa-basi;
Prof. Koen membaca judul seminar yang direfleksi
proyektor. “Bukan, bukan ini judulnya. Ini salah judul”,
ucapnya enteng. Hadirin pun tertawa dan menggelengkan

52
kepala melihat tingkahnya yang spontan. Satu hal yang
pasti: Prof. Koen belum kehilangan pesona.
“Well, saya ingin mengajak Anda sekalian kembali ke
belakang menemui seorang tokoh asal Perancis, Emile
Durkheim, mungkin arwahnya juga sedang di sini”, tawa
ha­dirin kembali pecah.
Sepertinya para partisipan seminar tahu betul jika
sebentar lagi hiburan santai nan berbobot bakal tersaji di
hadapan mereka, meskipun memang, seketika si Prof. dapat
membalik suasana dengan letupan-letupan emosinya.
Tetapi bagaimanapun juga, kemarahannya pun menjadi
hiburan tersendiri, kemarahan yang logis dan mendasar.
Kuat kurasa, menyimaknya secara langsung jauh lebih asyik
ketimbang menyaksikannya di layar kaca.
“Menurutnya, terdapat tiga tipe bunuh diri…” Prof. Koen
melanjutkan, “Bunuh diri egoistik, altruistik, dan anomie.
Bunuh diri egoistik disebabkan oleh lemahnya ikatan
sosial, masyarakat demikian atomistik dan individualistik:
loe-loe, gue-gue. Jadi, saat individu mempunyai masalah,
ia menanggungnya seorang diri, tanpa ada tempat tuk
berbagi…”
Hadirin mendengarkan dengan seksama, sedang
pembawa acara dan moderator masih juga clingak-clinguk.
“Sebagai misal, jikalau Anda sekalian melancong ke
Negeri Swiss, ada sebuah jembatan yang dijaga 24 jam
nonstop oleh polisi setempat karena kerap digunakan

53
para pemuda-pemudi di sana untuk bunuh diri. Walau
memang, Swiss menjadi satu-satunya negara di dunia
yang melegalkan bunuh diri, bahkan mereka memiliki
LSM10 sendiri untuk itu. Tiap tahun permintaan bunuh
diri meningkat, namun LSM tersebut hanya mampu
mengeksekusi lima hingga enam ratus orang per tahunnya.
Di sana, untuk bunuh diri secara legal, tidaklah asal, ada
syarat dan ketentuannya, seperti provider pulsa…”. Dan,
keseriusan partisipan seminar dalam menyimak penjelasan
Prof. Koen pun tercampakkan oleh candanya.
“Terlepas dari semua itu, kultur sosial di Swiss memang
keras”, hadirin kembali tenang. “Anak-anak yang telah
berusia 17 tahun diharuskan mencari kerja dan tempat
tinggal sendiri, akibatnya banyak dari mereka yang stres.
Itulah mengapa, angka bunuh diri muda-mudi di sana
begitu tinggi. Inilah tipe bunuh diri egoistik, terdapat
dalam masyarakat yang ikatan sosialnya lemah: atomistik,
individualistik.”
“Sebaliknya dengan bunuh diri egoistik, bunuh
altruistik terjadi karena ikatan sosial masyarakat terlalu
kuat. Alturistik dari kata ‘altruis’, yaitu orang yang gemar
mengorbankan dirinya demi orang lain. Bunuh diri ini
masih dibagi dalam dua bentuk, yakni akibat ‘kewajiban’
masyarakat, dan akibat ‘dukungan’ masyarakat.”

10
Lembaga Swadaya Masyarakat.

54
“Dulu, dalam masyarakat India kuno, istri diwajibkan
ikut mati bersama suami, karena nilai-norma sosial yang
berlaku mengharuskan demikian. Inilah tipe bunuh diri
altruistik akibat kewajiban sosial. Kalau sekarang, suami
mati, istri kawin lagi.”
“Anda masih ingat Film Titanic? Di situ kapten kapal
menolak masuk skoci, mengapa? Karena jika dirinya
selamat, ia justru akan dicemooh seumur-umur, bahkan
hingga anak-cucu. Begitu pula dengan fenomena Mbah
Maridjan yang menolak turun dari Merapi. Ini bukan soal
perkara Mbah Maridjan tak paham vulkanologi atau mati
konyol sebagaimana dikatakan banyak orang. Lebih dari itu,
Mbah Maridjan memikul status dan peran sebagai seorang
juru kunci, Juru Kunci Merapi. Justru ketika dirinya ikut
turun: jatuh harga dirinya!”
Hadirin terkesima mendengar penjelasan Prof. Koen.
Tampaknya si Prof. memberi sudut pandang baru bagi
mereka, begitu pun pada diriku. Fenomena mati konyolnya
Mbah Maridjan tak sesederhana seperti yang tampak
selama ini, terdapat penjelasan sosio-psikologis yang rumit
di dalamnya.
“Nah, ini, apa yang dilakukan oleh kapten kapal Titanic
dan Mbah Maridjan adalah wujud bunuh diri akibat du­
kungan masyarakat, begitu pula pada kasus seorang pra­
jurit yang mengorbankan dirinya di medan perang demi
menyelamatkan kawan-kawannya”, pungkas Prof. Koen.

55
“Terakhir menurut Durkheim, bunuh diri Anomi (tan­pa
aturan). Tipe bunuh diri ini memiliki motif yang tak jelas,
dzwaq ‘kacau’: pelakunya sekedar merasa puas mem­
pertontonkan aksi bunuh dirinya di hadapan khalayak…”
“Namun yang terpenting, sekaligus menjadi tonggak
baru kajian mengenai suicide, adalah terbitnya novel
penulis ternama Jerman, Johann Wolfgang Goethe di
tahun 1774, The Sorrows of Young Werther. Novel ini
membawa masyarakat Jerman larut dalam gelombang
bunuh diri massal. Meskipun memang, kaum intelektual
sangat terlambat merespon fenomena ini, baru pada awal
dekade 1970-an D. Phillips mencetuskan istilah Werther
Effect guna menunjuk pada bunuh diri yang disebabkan
oleh media. Waktu itu, ia tengah melakukan penelitian
tentang meningkat drastisnya angka bunuh diri di Amerika
Serikat akibat kematian Megabintang Hollywood, Marilyn
Monroe…”
“Kuncinya di sini! Harusnya awak media tak meliput
pemberitaan mengenai bunuh diri! Itu hanya akan mem­
perparah situasi. Semakin media meliputnya, semakin
banyak pula korbannya. Dengan meliputnya, media sama
saja memberikan contoh berikut mendorong seseorang tuk
melakukannya, ada demonstration effect di situ!”
“Ini juga brengseknya media, cuma bisa ngikutin
mau­nya pasar! Dulu ketika kasus Prita diliput dan menuai
animo publik, tiba-tiba seluruh media berisi pemberitaan
serupa, muncul Prita-Prita lainnya. Pun saat nenek siapa

56
itu, saya lupa namanya, dipidanakan karena dituduh
mencuri satu-dua buah cokelat, tiba-tiba seluruh media
mengangkat kasus serupa, obyeknya saja yang berganti:
kayu kering, sandal, dan macam-macamlah!. Saya sangsi
benar jika semua itu murni korespondensi, sama seperti
fenomena sinetron atau film yang berbau religi dulu: mati
dirubung belatung lah, mati di kuburnya ada ular lah, liang
kubur berisi genangan air bauk lah, macam-macamlah
pokoknya! Seiring berjalannya waktu, karena masyarakat
sudah bosan, tak ada lagi sine­tron atau film-film seperti
itu. Kan jadi kelihatan kalau dulu kepentingannya cuma
pasar, bukan dakwah. Kalau dakwah, ya lanjut terus dong
sampai sekarang, konsisten meng­ingatkan tak peduli rating
rendah atau tinggi.”
Awak media di auditorium ini terkekeh malu. Mudah
saja menandai keberadaan mereka, seragam mereka begitu
mencolok, ada yang berwarna merah, biru, juga hitam,
bergerombol pula. Belang mereka ketahuan.
“Ini pun saya yakin, media-media yang datang dan
meliput seminar ini hanya ingin mengambil beberapa cuplik
perkataan saya dibungkus bersama reportase-reportase
tentang maraknya fenomena bunuh diri dewasa ini. Maka
dari itu, saya mengantisipasinya dengan mengatakan ini”.
“Sementara ini dari saya, agar tak terjadi ‘penindasan
laten’, kita kembangkan lewat diskusi, selanjutnya saya
kembalikan pada moderator”. Akhirnya moderator meng­
unduh makna keberadaannya.

57
Sebetulnya, perhelatan ini lebih memiripkan bentuknya
sebagai kuliah umum: “Kuliah Umum Prof. Koen”, dengan
tema seputar maraknya aksi bunuh diri dewasa ini. Pem­
bicara asal Kementerian Pemuda dan Olahraga tak tampak,
entah mengapa, sehingga menjadikan Prof. Koen pembicara
tunggal.
Segera setelah moderator membuka katup diskusi,
tangan-tangan menyembul menunjuk eternit dari barisan
bangku depan hingga belakang. Tak semua dari mereka
betul-betul berniat mengajukan pertanyaan. Agaknya,
mampu menyita perhatian Prof. Koen barang sesaat saja
sudah cukup bagi mereka.
“Senang sekali saya bisa mengikuti seminar ini dan
menyimak langsung penjelasan Prof. Koen. Sejak dulu, saya
selalu mengagumi pemikiran-pemikiran Prof…”
“Langsung saja, Mbak” belum sampai ibu-ibu ini
menye­lesaikan kalimatnya, Prof. Koen memotong. Karuan,
wanita itu tampak bodoh di hadapannya.
“Ehm, begini Prof., ehm. Akhir-akhir ini banyak orang
menjadikan tempat-tempat publik seperti mal untuk
melancarkan aksi bunuh diri, apakah Prof. melihat sesuatu
yang spesifik dari fenomena ini?”
“Simpel, karena mal mudah dijangkau dan terbuka bagi
seluruh lapisan masyarakat kelas atas, menengah, hingga
bawah. Dengan melancarkan aksinya di mal, perhatian
publik yang dituai pelaku lebih luas, pun kemungkinan

58
disorot media lebih besar. Ini terkategori dalam bunuh
diri anomi. Pelaku bangga dan puas mempertontonkan
aksi bunuh dirinya, ia senang menjadi terkenal, meskipun
kepo­pulerannya semu…”
Pukul 14:30, seminar rampung. Dua cermin diskusi
dan tujuh orang penanya semua menjadi ‘orgasme’, meski
Prof. tak sampai meletup hebat.
Ada yang menyita perhatianku tadi, salah seorang
pe­nanya asal Fakultas Filsafat, aku lupa namanya. Ia tak
bertanya tepatnya, tetapi memberikan respon melalui
pernyataan retorik.
Dikata olehnya, “Harusnya bunuh diri tak menjadi
ihwal tabu. Setiap manusia mempunyai pilihan bebas untuk
tetap atau tidak melanjutkan hidupnya. Hidup bukanlah
kewajiban, tetapi hak. Bagaimana jika seseorang telah
kehilangan makna hidupnya, sedang ‘makna’ merupakan
perihal ter-urgen dalam kehidupan manusia. Jika hidup
sudah tak bermakna, pantaskah untuk tetap dijalani???”.

59
IX

Perjumpaan

H ari cerah. Jamuan seminar tadi nyatanya belum jua


mengenyangkan perutku. Indahnya hari seperti
melonggar dan memanjangkan usus. Ingin kulahap seisi
dunia. Di sinilah aku, foodpark kampus.
Sambil menanti bakwan kawi dan es teh yang
kupesan, sejumput buku kukeluarkan dari tas. Itu
adalah Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi karya Andrea
Hirata. Aku memang sangat terlambat, kubelinya empat
hari lalu, sedang novel perdana Hirata telah terbit lima
tahun sebelumnya. Kata banyak orang tulisannya begitu
menginspirasi dan menggerakkan, sengaja kubeli tuk
menggenjot semangat belajar yang kian keok.
Aneh memang, sebagian diri ini menolak asupan-
asupan pengetahuan dari bangku kampus sekuler. Namun,
sebagian yang lain memaksa tuk terus mencari makna

60
di balik semua itu. Mungkin, itu dorongan rasa bersalah
karena orang tuaku telah menggelontor bea yang tak sedikit
tuk mendudukkanku di sini. Pastilah, rasa itu selalu ada.
Beruntung, seminar Prof. Koen barusan cukup menjadi
starter bagiku. Orang besar memang punya auranya
sendiri…
Pesananku tiba, tapi belum sampai kucicip kuah
bakwan kawi pertamaku, tiba-tiba seseorang di samping
berkata mengagetkan: “Itu sampah itu!”.
Aku shock. “Hah? Es teh dan bakwan kawi ini sampah?!”,
responku spontan. Ibu-ibu penjual bakwan kawi juga ikut
kaget, rahasianya terbongkar.
“Bukan, bukan, itu…!”, sambil menunjuk ke arah dua
buku Hirata.
“Hah???” Aku masih juga blank. “Apa maksudnya???”,
batinku.
“Iya, itu sampah itu! Buku-buku itu cuma jual mimpi!”
Segera kusadari bahwa pria ini adalah mahasiswa
filsafat pengaju pertanyaan retorik pada Prof. Koen tadi.
“Buku-buku itu tak bertanggung jawab, hanya
mengajak orang terus bermimpi dan bermimpi, tanpa bisa
meraihnya”, lanjutnya.
“Bukankah sudah banyak orang terinspirasi dan
berubah hidupnya karena buku ini???”, balasku normatif.

61
“Itu hanya segelintir saja. Hanya bagi mereka yang
memiliki akses dan kapasitas finansial mumpuni…”
Ucapnya barusan membuatku berpikir. Ia pun
melan­jutkan.
“Beasiswa luar negeri, semudah itukah? Kau tahu
kocek yang harus dirogoh untuk mengikuti tes IELTS11?!
Setidak­nya dua juta rupiah. Itu pun kalau lulus dalam sekali
tes. Umumnya sponsor menghendaki poin 6 atau 6,5; dan
jarang sekali orang kita dapat lulus dalam sekali tes, jarang
sekali! Kebanyakan mereka mencapai poin yang ditentukan
setelah berkali-kali tes. Tiga kali tes: enam juta, empat kali
tes: delapan juta, lima kali tes: sepuluh juta!. Mereka yang
mampu lulus dalam sekali tes pun biasanya telah cukup
lama mengambil kursus bahasa Inggris. Kursus dengan bea
yang tak sedikit…”
Aku benar-benar menyimak perkataan orang ini.
“Belum lagi lembaran-lembaran sertifikat yang
harus diterjemahkan oleh sworn translator ‘penerjemah
tersumpah’, ratusan ribu! Tak sedikit pula sponsor yang
menghendaki aplikasi dikirim langsung ke negaranya,
jutaan rupiah! Lantas siapa yang bisa melakoni semua
tahapan itu kalau bukan mereka yang berpunya?! Itu baru
satu aplikasi, muskil pula seseorang dapat lolos beasiswa
luar negeri hanya dengan satu aplikasi, umumnya mereka

11
International English Language Testing System, sejenis TOEFL yang saat
ini sering digunakan sebagai prasyarat beasiswa luar negeri.

62
lolos setelah berulang kali, belasan, bahkan puluhan kali
mencobanya!”.
“Terlebih, era ditulisnya novel-novel itu oleh Hirata,
jauh berbeda dengan sekarang. Kini, beratus-ratus lembar
yang ada di dalamnya tak lebih dari kebohongan belaka,
sampah!”
“Berjuta-juta orang diajaknya melambung ke langit
tertinggi, namun setelah mereka menjumpa lugunya
realitas, tubuh mereka dihempas keras ke tanah, hancur
berserak mimpi bak habis terhantam rudal Israel. Tak
ada yang tersisa kecuali getir keputusasaan, absurdnya
kehidupan, dan kesakitan yang menjadi. Bermega ton
kepedihan akibat bual mimpi yang terlampau tinggi…”
“Oh ya, siapa namamu?”, orang ini sepertinya tak
tertarik padaku, sedang aku begitu tertarik padanya.
“Alfi”
“Aku Reno”, kami bersalaman.
“Mahasiswa sini?”, tanyaku basa-basi.
“Iya, Filsafat”
“Oh, aku Hukum” tiba-tiba aku menjadi agresif, men­
jawab tanpa ada yang bertanya. Bisa jadi, show-off juga,
kompensansi diriku yang terus-menerus diceramahinya,
setidaknya passing-grade departemenku jauh lebih tinggi.
Kebanggaan semu mahasiwa baru yaitu menilai kepandaian
berdasarkan departemen yang dimasuki.

63
Pesanan Alfi tiba, namun ia masih juga berkata-kata.
“Kita, sekarang ini, hidup dalam lautan simulacra. Apa-
apa yang tampak di hadapan tak sebagaimana adanya, it
is what it is not. Jangan tertipu. Kerap kita dengar, cerita
tentang orang-orang sukses yang dulunya hidup miskin,
menderita, serba kurang. Tapi sebetulnya, itu hanya
segelintir saja. Kisah-kisah seperti ini sengaja direproduksi
dan dipoles terus-menerus sehingga menjadi kebenaran
tersendiri, kebenaran palsu, seperti ideologi.”
“Tetapi, untuk apa?”
“Jelas, agar mereka yang hidupnya kurang beruntung,
seolah memiliki kesempatan yang sama untuk memperbaiki
nasib. Padahal, hal-hal seperti itu bersifat kasuistis. Aku
benci mengatakannya, tapi semua itu lebih dikarenakan
‘Faktor X’: keberuntungan…”
“Hmmm…”
“Faktanya, tetap saja, sebagian besar mereka yang
mapan dan sukses lahir dari kelas menengah dan kelas
atas. Kita tak bisa menyangkalnya. Ada mekanisme yang
diistilahkan dengan ‘habitus’ oleh pemikir Perancis, Pierre
Bourdieu, untuk menjaga kestabilan itu. Begitu pun, kalau
kau baca kajian aparatus ideologi-nya Louis Althusser,
selalu ada aparatus-aparatus penguasa yang siap-sedia
menjaga reproduksi kelas sosial tetap berada di jalurnya.
Hanya sedikit saja, sangat sedikit saja, yang bisa melenceng
keluar dari jalurnya…”

64
Aku termenung mendengar rangkaian penjelasan Alfi
barusan. Otakku butuh rentang tempo tuk mengendap­
kannya, menyambung rangkai demi rangkai informasi yang
disampaikannya, belum lagi ucapnya di seminar tadi yang
masih menggangguku: “Jika hidup sudah tak bermakna,
pantaskah untuk tetap dijalani”. Ah, sudahlah, tak kuat lagi
kuterima asupannya, simpan saja buat lain waktu.
Bisa jadi, jumudnya otakku disebabkan luluh-lantahnya
semangat belajar yang mulai bertumbuh, terutama lancar-
serang Alfi terhadap karya-karya Hirata yang kuharap
mampu menjadi suplemen penyemangatku. Ini persis
ketika diriku berhadapan dengan Ridho, semesta pikir
bertanya ulang tentang apa-apa yang telah kuterima selama
ini. Ada perasaan ganjil di sini, keharusan untuk sekonyong-
konyong membuang hal-hal yang telah mapan dan sarat
beradaptasi dengan yang baru. Apakah ini, harga yang
harus ditebus untuk sebuah pengetahuan?! Galau.
Foodpark Lembah-UGM menjadi saksi perkenalanku
dengan Alfi. Kami bertukar nomor, segera kutahu, ini
sekedar momen awal dari banyaknya pertemuan yang bakal
terhelat di antara kami kelak.

-------

Ibu tak di rumah. Sepagi tadi telah diutarakannya pada­


ku, ia hendak bertemu bibi tuk mengurus pusara nenek
yang miring akibat tergerus hujan.

65
Rumah tak terkunci, pastilah Rani di dalam.
“Ran! Raaani…!” tak ada jawaban. Mungkin ia tidur
kelelahan. Beberapa hari lalu memang dibilangnya akan
ada praktikum. Atau, ia tak mendengar gara-gara headset
laknat itu.
Benar-betul, dua minggu terakhir ini, kami, aku dan
kedua orang tuaku, terganggu dengan kebiasaannya me­
ngenakan headset. Hampir setiap panggilan kami menguap
begitu saja. “Tak ada apa-apa, semua baik-baik saja”, kesanku
pada Rani saat mengenakan benda itu. “Hei, ini ‘apa-apa’!
Semua tak baik-baik saja, kami membutuhkanmu!”, ingin
sekali kuteriakkan itu ke daun kupingnya.
Kerontang kerongkongan mengalihkanku tuk tak se­
gera menilik Rani di kamarnya. Aku bersumpah, kali ini kan
kupekakkan gendang telinganya jika mengenakan headset.
Nanti, nanti…, sekarang kubutuhkan ancang-ancang, jus
alpukat yang ada di kulkas tampaknya menjadi kado isti­
mewa buat kerongkonganku yang tengah sekarat. Oh,
segarnya!
Ku melangkah tenang menuju kamar Rani. Kucengkram
lem­but gagang pintunya, kubuka pelan, dan…
Rani gantung diri di plafon kamar.

66
X

Hitamnya Hitam

P erlahan mataku terbuka. “Reno bangun…!”, suara


nyaring yang pertama kali kudengar, suara yang tak
asing: suara pamanku.
“Ran … Rani, Rani mana Om…?”, tertatih ku berucap.
“Kamu tadi pingsan…”, balasnya lirih.
“Hah, pingsan?”
“Iya, pingsan, siang tadi…”, ia masih belum menjawab
tanyaku.
Belum jua ku insyafi apa yang terjadi…
“Rani mana … Om?”, kembali bibirku berucap, kali ini
lebih kuat, meski masih bergetar-getar sedikit.
“Rani, Rani…”, paman urung melanjutkan, matanya
mulai berkaca-kaca.

67
Fragmen-fragmen siluet terngiang di kepalaku. Citra
seseorang yang begitu dekat dan kukenal seumur-umur,
melakukan tindakan yang … sumpah demi Tuhan tak ingin
kusaksikan, dan ia pun tak mungkin melakukannya!
“Tidak! Tidak mungkin! Bohong!”, aku berteriak parau
dan berlari tak tentu arah tuk mengetahui apa yang terjadi
sebenarnya. Besar harapku semua tak lebih dari bunga
bangkai tidur.
Namun, kali ini tak dapat kukhianati diriku sendiri,
semua bukan mimpi atau halusinasi. Tubuh terkujur kaku
tertutup kafan putih-putih tersaji di hadapanku. Kebenaran
makin gamblang manakala kedua orang tuaku meratap di
sampingnya; ayah yang membisu; ibu yang terus menangis
sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Tubuh
yang enggan bernafas dan sepenuhnya terselimuti kafan
itu, Rani…
Aya h m e n a t a p ku , t a k l a m a i a b e ra n j a k d a n
mendekapku. Aku menangis sejadi-jadinya. Tak pernah ku
menangis sehebat ini, dekapnya pun tak mampu meredam
kerasnya tangisku.
Jika ada hari terkelam bagi keluargaku, itu adalah
hari ini, hilang ia yang terkasih dan tercantik: Rani. Semua
takkan pernah sama lagi.
Rasa-rasanya baru sore kemarin ruang tengah menjadi
tempat yang hangat dimana kami; aku, adikku, dan kedua
orang tuaku, berbagi tawa serta haru-bungah hari. Tak

68
ada kesedihan, masing-masing kami menatap hari depan
dengan pijar mata lebar, menyirat keyakinan hadirnya esok
yang lebih baik, ditambah niatan belajarku yang mulai
muncul. Momen yang romantis, semua serasa selaras
sore itu. Masing-masing kami menjadi penguat bagi yang
lainnya: satu untuk semua, dan semua untuk satu.

-------

Semua tersayat, lebih-lebih diriku. Jika mengingat ucap


ayah untuk Rani di setiap pagi itu, duh!
“Bisa”. “Bisa” yang terbagi untuknya dan untukku.
Nyata­nya…, kami tak bisa, aku dan adikku, tak mampu.
Betapa mengecewakannya kami.
Di sini hitam, pun juga di sana: hitam. Mengapa hitam
begitu akrab dengan duka cita? Bukankah mereka yang
tengah berkelam hati baiknya dihibur dengan kecerahan,
keme­riahan, kesemarakan yang mewarna-warni?
Hitam-hitam itu sekedar mendistorsi alam pikirku,
Kepalsuan. Kutahu pasti, tak satu pun mereka merasa apa
yang kami, keluargaku rasakan.
Hitam yang sesungguhnya ada di sini, jauh di dalam
sini, di dasar hatiku. Ah, bagusnya aku mulai tahu dasar
hati­k u, tak pernah kuselam sedalam ini tuk melihat
atau menyentuhnya. Eh, ini hari semuanya hitam pekat
sekali: hitamnya-hitam. Dan, saat tangan kiriku mencapai
dasar, itu seperti kerak-kerak keras yang terkelupas.

69
Ingin kuambil barang sedikit saja, tapi, uh! Sakit nian, ini
seperi mengelupas borok yang belum kering sepenuhnya,
sebagian masih merekat kuat di kulit. Ini, ini… seperti
sakitnya sakit!
Dengung suara memanggilku, kucoba menggapai per­
mukaan sekuat tenaga. Kedua tangan dan kakiku terus
mengarung, tak ada apapun kecuali hitam di samping
kanan dan kiri, juga di atasku. Tak ada secercah cahaya,
bahkan se­kecil kunang pun. Tuhan, bagaimana bisa, hatiku
sepekat ini?
“Teman-temanmu ada di luar…” paman setengah ber­
bisik. Tanpa berkata-kata, aku melaluinya dengan pelan.
Ah, gelap-gelap12 dan hitam lagi. Satu yang berbeda
dan cukup menentramkan pandangku: Sekar mengenakan
hem biru langit.
“Turut berduka cita, Ren…”, Faisal berucap padaku. Ia
menjadi wakil dari yang lain, sedang yang lain hanya mena­
tap dengan mata sayu.
“Iya, terima kasih, Sal…” ribuan kali kudengar ucapan
itu. Rasaku masih sama seperti dulu, sewaktu orang-orang,
termasuk ibuku, mengucap belasungkawa ihwal kematian
sahabatku. Kalimat-kalimat itu sama sekali tak membantu.

12
Pakaian.

70
Sebaliknya, melipatgandakan keperihan, membuatnya
beranak-pinak.
Tak adakah, satu saja di antara mereka yang berucap
mantap, “Aku tahu, kau pasti baik-baik saja, kau orang yang
kuat”. Tentu, ucapan itu kan segera kubalas dengan senyum
simpul penuh kerelaan.
Pasca segerombol orang melakukan salat tanpa ge­
rakan rukuk dan sujud, ibu mendekati jasad putri cantiknya
itu, bibi berada di samping belakang, seperti berjaga-jaga.
Ibu ingin melihat wajah putri cantiknya untuk terakhir
kali: Rani.
Perlahan ia mendekat, satu tangan masih menutup
hidung dan mulutnya. Ibu terpejam menghimpun kekuatan.
Sesaat kemudian, tangisnya pecah lagi. Ia tak kuat, “Biarlah
… biarlah, aku hanya mengingat wajah Rani yang cantik dan
ceria itu, semasa hidupnya”, pungkasnya terbatah.
Ayah sama sekali tak menitihkan air mata. Ia memiliki
alasan bagus untuk itu. Diungkapnya padaku, “Jika kau
me­nangis, ibumu menangis, lalu siapa lagi yang bisa jadi
sumber ketegaran keluarga ini…?”
The time has come. Adikku yang terkasih, Rani,
diberang­katkan menuju tempat peristirahatannya. Dinding-
dinding tanah berukuran 1 x 2 meter dengan kedalaman
hampir 2 meter menjadi tempat berteduhnya hingga akhir
zaman.

71
-------

Jenazah diturunkan ke liang lahat, Ibu pun pingsan.


Liang Rani bersebelahan dengan pusara nenek yang
miring. Mungkin, serong pusara nenek ke arah kubur Rani
merupakan pertanda turut terguncangnya ia di dalam.
Nenek telah mengetahui jauh-jauh hari.
Papan-papan kayu dipasang miring berjajar, menutup
satu demi satu bagian tubuh layu Rani. Sembari terus
meni­tihkan air mata, ku kuatkan diri melihat wajah Rani
tuk terakhir kali. Satu papan tersisa menutup wajahnya.
Tuntas sudah pemandangan miris ini, kusempurnakan
pahitku dengan melihat parasnya yang dingin. Waktunya
benar-benar tiba, Rani ditimbun tanah.
Sengaja ku menjadi orang terakhir yang tinggal di
perku­b uran. Menurut agamaku, ruh orang mati akan
benar-benar meninggalkan alam dunia sesaat setelah
tujuh langkah pe­layat terakhir. Ya, semenjak ruh Rani
meninggalkan jasad­nya, ia ada di sekitar kami, menatap
kami yang meraungi keper­giannya, memandang kepiluan
keluarga besar kami, kese­dihan sahabat dan juga teman-
temannya. Namun kuyakin, yang terberat tetaplah…
menyaksikan dirinya sendiri. Entah bagaimana perasaannya
akan semua itu.
Telah cukup lama semenjak rombongan terakhir me­
ning­galkan tanah pemakaman, kini aku benar-benar sendiri

72
dan menjadi orang terakhir yang disaksikan Rani: kakak
yang tak berguna, sama sekali tak tahu-menahu persoalan
pelik yang tengah dihadapi adiknya.
Aku berdiri menatap pusaranya. Meski kutahu, ia bisa
ada dimana saja, di sampingku, atau di depanku. Akhirnya,
tiba bagiku tuk mengucap serangkai perpisahan,

“Selamat jalan Ran,


sampai bertemu di Hari Kebangkitan…”.

73
XI

Motif

A ku, ayah, dan ibuku, hanya itulah yang tersisa. Benar


kiranya, semua tak pernah sama lagi. Setahun berjalan
kami merindu masakan Rani, nyanyian nyaringnya di kamar
mandi, isak tangisnya kala menonton sinetron, dan masih
banyak lagi.
Aku sendiri, besar harapku mendengar lagi rengeknya,
tentu, saat kujahili. Lebih dari itu, aku rindu menjadi
tempatnya bersandar. Menjadi tumpuannya adalah momen
katarsis tersendiri. Aku serasa menjadi manusia yang bisa
diandalkan, memiliki semacam kekuatan spesial yang
berdayaguna bagi keluarga.
Meski telah lalu, ibu urung jua mengganti sprei kamar
Rani. Dilindungnya dengan plastik pembungkus, dan bila
aroma almarhum putri cantiknya itu berangsur hilang
dari penciuman, ia ajek menyemprotkan parfum Rani dari

74
ujung ke ujung. Aku dan ayah tak bisa berbuat apapun saat
menyaksikannya.
Ini tak hanya mengerikan, tapi di luar akal sehat.
Membayang kembali seorang siswi SMK membawa tangga
alumunium ke kamarnya, menjebol plafon hingga kayu
penyangga atap terlihat, lalu membuat simpul kematian
dari putusan kabel hitam yang entah diperolehnya dimana,
mengikat kuatnya pada kayu atap, dan terakhir, mengakrabi
simpul itu…
Ini bukan Rani yang kukenal, seakan ia dituntun
tuk melakukannya. Ia seperti orang kesurupan. Ya, Ia
kesurupan!.
Di sinilah aku, berebah di permukaan kasur adikku
yang terkasih. Ber-refleksi tentang bagaimana seorang
gadis lugu belia dapat melakukan tindakan konyol sekaligus
semengerikan itu. Bagaimana bisa?!

-------

Ada sesuatu di sini, sesuatu yang mengganjal kepalaku


saat kusibak bantal merah muda Rani. Kuangkat sedikit
kasurnya. Oh, diary Rani!
Tak pernah terpikir olehku sepercik pun tuk mencari
buku hariannya. Pastilah ia mengguratkan segala rasa di
sini.

75
Segera kubawa buku bermotif bunga-bunga tulip itu
ke kamarku. Kuambil pula tang dan catut, buku harian itu
tergembok.
Ku tutup pintu kamar, tak butuh waktu lama tuk
mering­s ek segelnya. Aku mulai mempelajari dengan
seksama.

-------

Tiba di tengah halaman diary, aku tahu segalanya. Ini


semua gara-gara Yafi! Ia menghamili adikku.
Geram, marah, kecewa; apapun yang membuat darahku
mendidih, semua meramu menyatu. Bajingan tengik itu
yang membuat Rani mengakhiri hidupnya.
Bangsat!!!

-------

Sempat terpikir olehku tuk membuat perhitungan.


Namun bagaimanapun juga, nama keluargaku kembali
dipertaruhkan. Cukup sudah orang tuaku menanggung
aib akibat kematian tak wajar putrinya. Aku tak boleh ha­
nya memikirkan diriku dan amarahku, tetapi juga mem­
pertimbangkan orang-orang dekatku: perasaan mereka.
Apa jadinya jika ayah dan ibu tahu bila Rani mengakhiri
hidupnya karena bunting, ini akan menjadi kepahitan
baru. Benar kata Adorno: “Membuat puisi setelah peristiwa

76
Holocaust adalah tindakan barbar”. Semua hanya akan
melipatgandakan kemuraman.
Aku tahu, dan aku merasa bersalah. Itu
adalah saat Rani mengganti nama facebook-nya—
“RHanee3Y’y4nK’t3rcaKitie”, pun dengan status yang
ditulisnya: “Kamu jahad banged”. Saat di mana Rani
menanggung beban yang tak semestinya ia pikul. Ia seorang
diri saja kala itu, dan aku justru menja­dikannya lelucon.
Dimana…, dimana lagi ia bisa menemukan tempat
tuk berbagi? Pastilah ayah jadi kalap jika mengetahui
kondisinya. Ia memang sosok yang tenang, namun ketika
naik pitam, setiap perkataan cadas dapat tersembur
dari mulutnya. Perkataan yang begitu menusuk dan
membutuhkan waktu tak terkira tuk memakluminya.
Aku masih ingat betul, saat duduk di bangku kelas 4
SD dan memperoleh nilai tiga dalam ulangan Matematika,
ayah berucap, “Kecewa aku punya anak bodoh sepertimu!”.
Kupikir, itulah titik nadirku. Memang, hujatnya membuatku
belajar lebih keras, dan saat duduk di bangku kelas enam
diriku ditunjuk mewakili sekolah dalam lomba cerdas-
cermat Matematika, ayah diam saja.
Mungkin, hujatnya memang menghantarkanku pada
pencapaian-pencapaian baru, namun perasaan tersakiti
dan terlecehkan itu terus membekas.

77
Ibu, ia sudah cukup berat menanggung sakit kepala
yang tak tentu dan terus mendera. Itu pula yang selalu
membuatnya was-was kala hendak melakukan aktivitas
sedikit berat. Pernah suatu kali, ia ambruk dan dilarikan ke
IGD. Migrain-nya bisa berakibat fatal, kata dokter. Tentulah
Rani yang perasa tak ingin itu terjadi.
Aku sendiri, hubunganku dengan Rani memiliki ambi­
guitas tersendiri. Terkadang, aku bisa menjadi kolaborator
yang menyenangkan; tapi tak jarang pula, kejahilan-
kejahilanku padanya memposisikanku sebagai “liyan”13.
Inilah yang mungkin membuatnya tak bisa sepenuhnya
mempercayaiku.
Kini, tak ada yang tersisa kecuali sesal yang tertelan.

13
Liyan: orang lain, pihak luar, atau orang asing.

78
XII

Jalan-jalan Pembebasan

A lfi dan Ridho, dua raksasa pemikiran yang mewarnai


nalarku. Alfi dengan ide-ide kebebasan usungannya,
dan Ridho yang istiqomah membesut nilai-nilai Ketuhanan.
Aku sadar, tak bisa terus-menerus berdiri di antara
keduanya. Pasca pertemuanku dengan Alfi di foodpark
tahun lalu, hubungan kami menjadi intens. Sebulan
sepeninggal Rani tepatnya, aku kembali terjun ke dunia
ide. Kupikir itu baik, guna menjaga otakku terus bekerja,
dan yang terpenting, mengusahakan makna dari rangkaian
tragedi yang menimpaku.
0878-6080-3629, kukirimi Alfi pesan singkat. “Bung,
sekiranya besok u ada waktu luang, bisa kita berdiskusi?”.
“Yak, besok jam dua-an ya, ku tunggu di taman Fakultas
Filsafat”. Perlu waktu cukup lama tuk menanti balasannya.

79
-------

“Jelas sekali, Islam melarang tindakan bunuh diri”,


ucap Ridho tegas. Ini malam aku menghadiri halaqah-
nya. Sengaja kudatang lebih awal dari yang lain untuk
mengkonsultasikan hukum bunuh diri dalam Islam. Tentu,
tak ku katakan jika adikku meninggal bunuh diri.
“Dikatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim bahwa: Barang siapa terjun dari
bukit untuk menewaskan dirinya, kelak ia akan masuk
neraka dengan keadaan terlempar jasadnya, dan ia kekal
di dalamnya”.
“Dikatakan pula bahwa: Barang siapa menenggak
racun, dan racun itu menewaskan dirinya, maka racun
itu akan tetap dalam genggamannya sembari terus
ditenggaknya dalam neraka jahanam. Ia pun kekal selama-
lamanya di dalamnya”.
Aku diam. Memang, telah kusangka sebelumnya jika
nantinya jawaban yang kuperoleh bakal seperti ini. Namun,
aku harus tetap berusaha menemukan celah toleransi dan
pengampunan. Mungkin, inilah naluriku sebagai seorang
kakak, naluri yang datangnya sangat terlambat. Besar
harapku menemukan pembelaan terhadap Rani, meski
cuma setitik pun. Sarat kuakui, itu untuk ketenanganku
juga.

80
“Tapi, bagaimana jika seseorang bunuh diri
dikarenakan orang lain?”, tanyaku pada Ridho. “Maksudku,
bukan karena kesalahan orang itu semata”
“Sama saja”, sahut Ridho cepat. “Apapun bentuknya,
yang namanya bunuh diri itu dosa besar, orang yang mela­
kukannya masuk neraka jahanam, juga kekal di dalamnya.
Kenapa sih? Antum mau bunuh diri???”
“Owh, nggak, nggak”, jawabku salting, aku tersedak oleh
ucapannya yang menodong. “Lalu, bagaimana dengan bom-
bom bunuh diri yang mengatasnamakan jihad, bukankah
itu sama halnya dengan bunuh diri?”
“Tidak, tidak, itu berbeda…” dan bla bla bla, aku tak
lagi antusias mendengar penjelasan Ridho, yang jelas, aku
berhasil mengalihkan pembicaraan.

-------

Pukul 14:30, Alfi belum terlihat. Kuhampiri pedagang


minuman keliling.
“Teh, yang dingin satu Pak” ada yang menyita per­
hatianku. “Ini boleh ngecer, Pak?”
“Iya, boleh Mas”
“Ini-nya satu juga” aku membeli sebatang rokok. Sudah
lama sekali sejak pertama kalinya aku merokok di kelas 2
SMA, itu pun sebatang tak habis, Donny tutorku.

81
Aku menghisap pelan, tak sampai merasuk paru ku
sebul lagi keluar. Aku berhati-hati benar, ku jaga agar tak
sampai terbatuk, maklum, supaya tak tampak amatir.
“Kau merokok juga?”, lancar suara mengarah padaku
dari samping kanan, dan itu Alfi. Saking fokusnya agar
terkesan “profesional”, sampai-sampai tak kusadari
kehadirannya.
“He’em, hehe” aku tak bisa merespon lebih.
Alfi duduk dan mengeluarkan sebungkus rokok dari
saku hem panjangnya. Disulutnya satu, dan buls… buuls…
buuuls… Asap mengepul seolah menandai dimulainya
perbincangan kami.
“Apa kabar?”
“Emm … baik”
“Sorry, ternyata tadi kuliahnya agak lama”
“It’s oke Bung, no problemo…”
“Gimana, gimana?” dengan gestur penuh gairah Alfi
me­nyerahkan forum padaku. Karuan, aku memang berniat
mengklarifikasinya.
“Dulu sewaktu seminar Prof. Koen di Fakultas Psikologi,
sebetulnya aku juga hadir dan menyimak perkataanmu”
bicaraku seakan melakukan pengakuan dosa. “Kau bilang:
hidup bukanlah kewajiban, tetapi hak. Apa maksudnya?”

82
“Oh, itu… Itu kudapat dari film Into Deep Blue Sea,
eh, The Deep Blue Sea. Ah, aku lupa judulnya. Tapi film itu
berdasar kisah nyata. Aduh aku juga lupa setting lokasinya
dimana, di Swiss sepertinya,”
“Film itu berkisah tentang eks-Pelaut yang mengalami
kecelakaan saat berenang di tepian pantai. Ketika ia me­
loncat-menceburkan diri, tubuhnya membentur keras
karang. Akibatnya, ia lumpuh, tak bisa berjalan, dan harus
meng­gunakan kursi roda di sisa hidupnya. Karena merasa
sekedar menjadi beban bagi orang-orang terdekatnya, pun
dirinya yang telah hilang asa dan seluruh kebanggaan diri,
terpikirlah olehnya untuk mengakhiri hidup. Tak satu pun
yang ada di benak dan pikirannya kala pagi, siang, ataupun
petang: kecuali bunuh diri…”
“Tak lama, media mengendus kisahnya, hasrat kuatnya
mengakhiri hidup lewat euthanasia (suntik mati), segera
memicu kontroversi di seluruh penjuru negeri. Baik
mereka yang mendukung maupun mencacinya berbaris
sambil membawa bermacam spanduk. Nah, di situlah
aku menemukan kalimat itu, salah seorang simpatisan
membawa plakat berbunyi, ‘Hidup bukanlah kewajiban,
tetapi hak...”
“Lalu, bagaimana kelanjutannya?” aku tak sabar
mengetahui akhir kisah eks-Pelaut yang frustasi ini.
“Ya itulah, setelah sekian banyak percobaan bunuh
dirinya gagal, ada seorang teman yang iba mendengar

83
langsung kisahnya, ia pun bersedia membantunya mela­
kukan euthanasia, tentu dengan semacam surat pernyataan
bahwa ia takkan dipersalahkan di kemudian hari; bahwa
mengakhiri hidup adalah murni keinginannya, tanpa pak­
saan pihak lain. Eks-Pelaut itu pun menyambutnya dengan
sukacita karena tak lama lagi ia akan terbebas dari jasad
cacat yang membelenggunya. Seingatku, setelahnya kisah
ini memicu reformasi Undang-undang Hak Asasi Manusia
di sana, itulah mengapa saat ini bunuh diri menjadi hal legal
di Swiss, tiap tahun banyak orang dari berbagai belahan
dunia datang dan mengakhiri hidupnya di sana…”
“Wow…”
“Ya, menarik kan?”
“Oh ya, satu lagi,” aku begitu antusias menanyakan
pernyataannya yang satu ini. “Emm, kau juga sempat bilang:
‘Jika hidup sudah tak bermakna, pantaskah untuk tetap
dijalani?’ Bagaimana bisa?”
“Tentu bisa, hehehe…” Alfi benar-benar berbicara
layaknya seorang pakar, ia sepenuhnya menguasai keadaan.
“Adagium itu diucapkan oleh Kirilov, tokoh utama dalam
novel The Possessed karya Fyodor Dostoyevsky, kemudian
dipopulerkan oleh Albert Camus lewat Mite Sisifus. Begini,
pada dasarnya keberadaan manusia di dunia memang tanpa
makna, tanpa tujuan. Kita ‘meng-ada’ begitu saja. Bahkan
bintang, bulan, matahari; ada begitu saja tanpa makna,

84
tanpa tujuan. Kitalah yang memberi makna atas hadirnya
benda-benda itu.”
Aku benar-benar bingung dibuatnya. Ini filosofi tingkat
tinggi!
“Eh, sepertinya kau benar-benar memperhatikanku
ya Ren dalam seminar itu?” sembari aku menelan ludah,
ucapnya yang barusan sukses membuatku kikuk.
“Ehm, heee,” salah tingkah, lagi-lagi, ught... Mungkin
ia telah menangkap gesturku: pengagum yang malu-malu.
“Coba kau perhatikan betul,” Alfi melanjutkan. “Saat
kita lahir, kita benar-benar ‘kosong’, orang tua kitalah yang
pertama-tama memberikan makna atas hadir dan adanya
diri kita, kemudian sekolah, lalu masyarakat luas. Mereka
ini merupakan sumber-sumber tempat pemaknaan dibuat,
dan ketika kita mengamini suatu makna yang mereka
berikan, sesungguhnya kita tengah meminjam makna
mereka, bukan menggunakan makna hidup kita sendiri.
Seorang tua yang alim misalnya, akan menyematkan makna
pada anaknya bahwa tujuan hidup di dunia ini semata-
mata adalah untuk beribadah kepada-Nya; sedang seorang
tua yang agnostik, akan menanamkan kepada si anak
betapa materi, kebendaan, berikut berbagai pencapaian-
pencapaian duniawi merupakan perihal terpenting dalam
hidup”.
“Dan seorang pencinta, akan menjadikan kekasihnya
sebagai makna hidupnya”, aku menyela Alfi.

85
“Betul. Nah, itu kau sudah paham”
“Dengan begitu, ketika sang pecinta kehilangan ke­
kasihnya, maka sirna pula segenap makna hidupnya. Tak
heran, tak sedikit orang memilih mengakhiri hidup ketika
ditinggal kekasih hati. Mereka telah kehilangan makna
hidup”, kurampungkan paragraf filosofis pertamaku.
“Sehr gut!”, Alfi memujiku dengan logat Bavaria, ia
membesarkanku, aku tersipu.
“Man is free, or rather, man is freedom. Manusia itu
bebas, bahkan, manusia adalah kebebasan itu sendiri”
,ucap Alfi. Ia pun segera melanjutkan, “Kalaupun Tuhan
ada, kebebasan adalah anugerah terbesar yang diberikan-
Nya pada manusia. Dengan lari atau menyerahkan
kebebasanmu, itu sama artinya melecehkan Tuhan.
Meskipun memang, lebih banyak manusia yang lari dari
kebebasannya…”
Alfi terhenti di kalimat itu, aku pun semakin terusik.
“Mengapa demikian?”
“Ya… karena di balik kebebasan itu, ada tanggung
jawab besar yang harus dipikul, dan kebanyakan manusia
memilih lari darinya. Kebebasan sebagai anugerah meng­
isyaratkan kebebasan kita untuk membentuk nilai dan
norma hidup kita sendiri, aturan-aturan hidup kita sendiri:
everything has been figured out, except how to live ‘segala
sesuatu telah ditetapkan, kecuali bagaimana untuk hidup’.

86
Kebanyakan manusia menjalani kehidupan orang lain,
bukan kehidupannya sendiri.”
“Dengan demikian, bunuh diri…”
Belum sampai kalimatku selesai, Alfi menyahut.
“Bunuh diri merupakan salah satu bentuk manifestasi
kebebasan manusia, bahwa ia memiliki pilihan bebas:
bertindak sebagaimana yang dikehendakinya…”
“Lalu, bagaimana dengan Tuhan, bukankah…?”
“Haha, Adam yang berada di hadapan-Nya saja bisa
membangkang, apalagi kita???” kali ini aku betul-betul
tampak tolol, Alfi sepuluh-dua puluh langkah di depanku.
Alfi melanjutkan…, “Ambilah misal sebuah rumah.
Rumah bisa dikatakan sebagai rumah apabila memiliki
atap, pintu, jendela, dan berbagai kelengkapan lainnya.
Artinya, eksistensi rumah bergantung pada kesemua
itu. Tuhan? Apakah eksistensi Tuhan bergantung pada
sesuatu? Pengakuan manusia, pemujaan, dan penyembahan
terhadap-Nya? Jika demikian, Ia belum layak menjadi
Tuhan. Eksistensi Tuhan harusnya tak bergantung pada
apapun. Peduli manusia mengakui dan menyembah-Nya
atau tidak, ia tetaplah Tuhan. Pun harusnya Tuhan tak perlu
marah jika manusia tak memuja berikut menyembah-Nya…”
Aku hanya terdiam. Otakku dipacu berpikir sangat
keras. Aku seperti anak kelas 2 SD yang dipaksa menerima
pelajaran anak kelas 2 SMA. Alfi mendestruksi seluruh
tatananku.

87
“Terkait dengan bunuh diri…” duh, Alfi melanjutkan,
padahal otakku belum siap menyimaknya lagi. “Tak ada
kondisi yang tak manusiawi dalam hidup ini, semua kondisi
adalah manusiawi. Jika hidupmu menderita, itu salahmu
sendiri, bukan salah orang lain, atau salah Tuhan: kau
memilih untuk terus melanjutkan hidup. Mereka yang
merengek dengan hidupnya adalah orang-orang yang
bersalah. Sarat kau insyafi, kau memiliki pilihan bebas tuk
mengakhiri penderitaanmu sekarang juga: bunuh diri…”
“Cukup, cukup, sebentar, sebentar. Pelan-pelan…” ia
yang berbicara, aku yang kelelahan. Sejurus kemudian,
terlintas ide cemerlang tuk mempertemukannya dengan
Ridho.
Rokokku habis tanpa dihisap.

88
XIII

Duel Raksasa

“K au tak fair, Bung. Sebelum kau buktikan kebenaran


kitab itu, kau cukil dulu ayat darinya.”
“Oke, tapi bagaimana dengan perbedaan gaya bahasa
antar keduanya?!”
“Coba kau baca analisis Maxim Rodinson, bisa saja ia
menuliskan salah satunya dalam kondisi mabuk akibat
khamr atau suatu penyakit”
“Kau terbakar di neraka!”
“Ei Bung, ganas nian persepsimu tentang Tuhan.
Tuhan bukanlah ‘seorang tua’ yang gemar menghukum.
Ja­ngan sampai justru kau benarkan perkataan Aldous
Huxley: ‘Dimana ada penganut agama yang taat, di situ
ada kekerasan’”

89
“Tak ada gunanya bicara denganmu, hatimu telah mati!
Allah menutup hati dan pendengaran mereka, sedang di
mata mereka terdapat tabir yang menutupi, dan bagi mereka
azab yang besar!”
“Tentulah, bagi orang-orang sepertimu: Bunda Theresa,
Mahatma Gandhi, Lady Di(ana), serta Romo Mangun
bertempat di kerak neraka. Tak disangsikan pula jika sejak
kecil kau terlampau banyak ‘dicekoki’ ayat-ayat tentang
neraka dan hukuman, bukannya ayat-ayat tentang pengam­
punan dan toleransi,”
Hampir satu setengah jam sudah kami—aku, Amri,
dan Cahyo—disuguhi perdebatan pemikiran yang begitu
berkualitas dan “mendidik” antara Alfi dengan Ridho. Tiba
benar hari yang kujanjikan: duel maut antara pengusung
nilai-nilai kebebasan vis-à-vis transendensi (Ketuhanan).
Menyaksikan keduanya bakal membawa kita pada
tempo yang telah silam, perseteruan hebat antar generasi
awal filsuf yang membrannya masih terasa hingga kini,
Epicurus versus Zeno. Epicurus yang meyakini bahwa
tindakan manusia adalah bebas sebebas-bebasnya, sedang
Zeno yang mengimani tindakan manusia sepenuhnya
diskenario oleh Tuhan.
Namun, ketenangan yang ditunjukkan Alfi selalu ber­
hasil membuatnya di atas Ridho. Benar kata seorang bijak,
kemarahan selalu menunjukkan kekalahan.

90
Malam ini Ridho mengusung tema Ekonomi Islam,
mem­bandingkannya dengan ekonomi kapitalis dan sosialis.
Wajah bungah tergurat jelas di rautnya ketika kubawa
seorang kawan. “Ia berhasil menjaring calon kader baru!”,
mungkin itu yang ada di benaknya. Nyatanya, asumsi
manusia memang kerap salah, justru orang inilah yang
kemudian meng­hantamnya dengan palu godam: Alfi.
“Sependek pengetahuan saya”, ucap Alfi merendah, “…
Ekonomi Islam pun pernah bangkrut, yakni ketika pajak
sekedar dikenakan pada orang-orang non-Islam, dan pada
akhirnya mereka semua memeluk Islam agar terbebas dari­
nya sehingga pemasukan negara-khilafah pun menurun
drastis…”
Sebetulnya aku kaget juga, Alfi bisa meladeni isu yang
diketengahkan Ridho. Memanglah filsafat, induk segala
ilmu, membuat pembelajarnya menerabas batas-batas
disiplin.
“Ya, betul, itu pernah terjadi, tetapi kemudian segera
diatasi Ibnu Taimiyyah dengan formulasi konsep-konsep
baru ekonominya”, Ridho merespon pernyataan Alfi. Lagi-
lagi, itu bukan pertanyaan, kalaupun iya, lebih menemui
bentuknya sebagai retorika, ihwal yang digemari Alfi—kau
boleh menjawabnya atau tidak, terserah.
Namun, sangat jelas jika Ridho berupaya menyembu­
nyikan informasi pada kami, ia tak mengatakkan jika

91
eko­nomi Islam pun pernah bangkrut. Kalau saja Alfi tak
meng­ungkapnya, tentulah kami tak tahu-menahu.
“Dan, sependek pengetahuan saya juga…,” Alfi melan­
jutkan. Ridho mulai mengeja adanya kejanggalan. “…
pemerintahan Islam dikenal korup karena melimpahkan
kekuasaan yang begitu besar pada satu orang, khalifah.
Begitu pula birokrasinya, tak berjalan efisien karena
lebih berbentuk ‘pemerintahan keluarga’, dinasti. Sering
kali, bantuan-bantuan yang ditujukan pada rakyat tak
sampai. Ini membenarkan pernyataan Lord Acton: ‘Power
tend to corrupt, and absolutes power, corrupts absolutely’.
Kekuasaan cenderung pada korupsi, dan pada kekuasaan
yang absolut, korupsi jelas terjadi…”
“Beberapa persoalan memang tetap ditemui dalam
sistem pemerintahan khilafah, karena bagaimanapun juga,
manusia yang menjalankannya, bukan malaikat. Ridho
menelan ludahnya sendiri. Lagi-lagi, kegemarannya makin
tampak: menyembunyikan informasi.
“Tapi, bagaimanapun juga,” Ridho belum sudi kalah. “…
agar menjadi rahmat bagi semesta alam, hukum Islam sarat
diterapkan secara total, dan oleh karenanya diperlukan
institusi bernama khilafah Islamiyyah (negara Islam), untuk
menerapkannya! Hukum Islam tak mungkin diterapkan
secara total dalam sistem pemerintahan liberal, alih-alih

92
sosialisme-komunis. Mengapa kini korupsi membudaya?
Karena hukum potong tangan-Islam tak diterapkan!.
Me­n gapa saat ini nyawa manusia melayang dengan
mudahnya? Itu karena hukum qishas, nyawa balas nyawa,
tak dijalankan! Dan mengapa HIV/AIDS merajalela? Itu
karena hukum rajam Islam tak diterapkan bagi mereka
yang berzina, pun hukuman mati bagi mereka penyuka
sesama jenis!”
Kami tahu, Ridho mulai berbicara di luar konteks. Alfi
sekedar tersenyum-senyum kecil. Tak lama kemudian,
disentilnya Ridho, “Yup, dan mereka yang dikenai sanksi
syariah Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanyalah
kawula alit, rakyat kecil…”
Melalui sentilan di ataslah diskusi antar keduanya kian
memanas, bahkan berlanjut hingga perdebatan sekitar
eksis­tensi Tuhan dan ranah yang begitu sensitif: akidah.
Sayangnya, diskusi ini terhelat dalam forum kecil, harusnya
berskala nasional dan dihadiri mahasiswa berbagai penjuru
nusantara.
Alfi urung bosan mengejutkanku, kali ini bukan karena
argumennya yang begitu logis dan menghujam, tetapi
karena disebutnya seuntai nama yang menggetarkan
diriku: Russel, Bertrand Russel. Ya, tokoh yang dulu kerap
digadang Donny.
“Mari kita cermati argumen Bertrand Russel. Sering
kali kita salah menggunakan konsep ‘ada’. Sebagai misal,

93
ketika kita berkata bahwa ‘pensil itu ada’, sesungguhnya
kita baru pada ‘tataran memiliki konsep’ bahwa pensil itu
ada. Jika suatu hari nanti kita betul-betul menemui benda
yang dinamakan, atau kita anggap sebagai pensil, barulah
dapat kita katakan bahwa ‘pensil itu benar-benar ada’.
Begitu pula, ketika kita menyeru bahwa ‘Tuhan itu ada’,
sesungguhnya kita baru berada pada ‘tataran mempunyai
konsep’ bahwa Tuhan itu ada. Kita baru bisa mengatakan
‘Tuhan itu benar-benar ada’ setelah menemui-Nya secara
langsung, mengalami-Nya. Ingat, ‘eksistensi mendahului
esensi’. Artinya, segala sesuatu barulah bisa dimaknai ketika
segala sesuatu tersebut eksis atau ‘ada’ terlebih dahulu…”
Aku pun memilih Alfi. Orang yang mengajarkanku
bahwa kepasifan mendayagunakan akal pun bakal dimintai
per­tang­gungjawabannya kelak.
Eh, apakah aku mengkhianati Ridho…?

94
XIV

Momen Puncak

H ebat dan bebas, itulah yang kurasa. Alfi mendorongku


tuk menjamah batas-batas pemikiran. Ia menggunakan
metode brainstorming ala Socrates, ini jelas berbeda dengan
metode brainwashing sebagaimana kerap digunakan para
teroris tuk mencari “calon pengantin”14.
Alfi merasa tak nyaman jika diriku terus-menerus
men­jadi pendengarnya, ia menyuruhku mencari dan mem­
baca langsung buku-buku yang dimaksudkannya. Jelas,
penge­tahuan yang diperoleh lewat pendengaran (baca:
diskusi) bersifat parsial, terpotong-potong, dan berpotensi
membahayakan diri sendiri: “Pengetahuan yang setengah-
setengah sangatlah berbahaya”, pungkas Alfi.

14
Julukan bagi calon pelaku bom bunuh diri.

95
“Kau tahu? Potensi manusia sesungguhnya tak ter­hing­
ga” aku selalu mencintai saat-saat ketika Alfi membe­rikan
motivasi. “Einstein, ia baru memanfaatkan 30% kapasitas
otaknya,”
“Einstein?!” aku terheran-heran. “Orang sekaliber
dirinya, baru 30%...???”
Alfi mengangguk kalem, ia melengkapi, “Penelitian
terbaru McGreggor, Pakar Neurobiologi, mengungkap
bahwa selama hidup manusia hanya memanfaatkan 4%
sampai 5% kapasitas otaknya”
“Gila!”, batinku menghardik. Aku serasa menjadi
manusia paling tak berguna di dunia ini. “Ku kemanakan
saja otakku selama ini???!!!”
Lewat pengawasannya sedikit demi sedikit, aku mulai
mempelajari filsafat. Ia memberi buku-buku yang tepat
bagi orang awam sepertiku. Itu penting, katanya. Banyak
orang ingin mempelajari sesuatu, namun memegang buku
yang salah. Akibatnya, ia tak tercerahkan, melainkan makin
ter­benamkan. Ilmu yang hendak ditujunya kian jauh dan
jauh. Alhasil, ia pun menjadi malas.
Lambat-laun, aku mulai menjadi pembelajar mandiri,
serasa kumasuki kelas akselerasi. Bahkan, sempat ku
terkejut karena mampu menyelesaikan buku setebal lima
ratus halaman-lebih dalam hitungan hari. Itu adalah Sejarah
Filsafat Barat karya Bertrand Russel. Sesuatu yang muskil
kulakukan sebelumnya. Dulu, tiap kali kulihat buku-buku

96
segede gaban, nyaliku langsung ciut, menyentuhnya saja
tak berani: “Aku tak mungkin membacanya, kapan aku bisa
merampungkannya?”. Kini, aku seperti para maniak Harry
Potter—expecto patronum!.
Dampak-ikutan darinya jelas, penggemblenganku
pada berbagai literatur filsafat membuatku serasa begitu
mudah melahap buku-buku pegangan kuliah. Tentu, filsafat
hukum menjadi mata kuliah favoritku. Karuan, di semester
dua ini Indeks Prestasi-ku jauh merangkak naik, kutempati
peringkat kedua kelas dengan IPK 3,88.
Aku terbebaskan, telah kurobohkan tembok-tembok
ketidakmungkinan diri. “Memang sudah semestinya de­
mi­kian”, ucap Alfi. “Dengan membaca, kau akan mulai
bercita-cita besar, menembus batas-batas yang selama
ini membelenggumu. Mengapa? Kenyataannya, membaca
adalah aktivitas yang memisahkan seseorang dari dunia.
Ketika kau membaca, kau tak melakukan apapun selain
berfokus pada aktivitas itu, kau sepenuhnya menjadi
antisosial. Namun, kerap kali tak disadari bahwa sesung­
guhnya kau tengah berbicara dengan dirimu sendiri. Setiap
narasi yang kau baca berasal dari dirimu dan kembali
padamu. Kau diajak untuk melampaui dirimu sendiri.”
Bersamaan dengannya, aku menjadi mahasiswa yang
cukup vokal di kelas. Tak ragu kujawab setiap pertanyaan
dosen, pun berargumen tanpa diminta, diskusi kelas su­
dah pasti aktif ku ikuti. Pemikiranku menjadi sistematis,
terarah, dan yang terpenting: sangat kritis. Dengan mudah

97
kutemukan celah kelemahan dari argumen lawan-lawan
bicaraku. Tentu, ini adalah hasil pembacaanku atas filsafat
yang selalu merayu tuk berpikir secara mendasar lagi ke
akar.
Kutahu, ini tak terhindarkan, saat di mana diriku sarat
berhadapan dengan Ridho.
“Konsep HAM yang kita gunakan saat ini berasal
dari Barat, merujuk pada Universal Declaration of Human
Rights. Jauh sebelumnya, berbagai konvensi serupa,
sesungguhnya dijiwai oleh semangat renaissance yakni
‘Pencerahan Eropa’ yang menggeser tatanan teosentris
pada antroposentris di mana manusia menjadi tolak ukur
atas segalanya. De­ngan demikian, HAM yang ada saat ini
semata-mata me­ru­pakan tafsir manusia, dan sama sekali
menafikkan Tuhan. Pertanyaannya, mengapa kita harus
mengikutinya? Bukankah kita tak memiliki keterkaitan
sejarah dengannya?!”
“Yak… mungkin ada yang mau menjawab pertanyaan
dahsyat teman kita yang satu ini…”, ucap Dr. Erebor lunglai.
Ia sudah bosan meladeni pertanyaan-pernyataan Ridho.
Dan waktuku benar-benar tiba.
Aku mengangkat tangan. “Yak, kamu…”. Ridho menoleh
hendak mengetahui siapa yang berani menyanggah
argumennya.

98
“Emm, memang, kini umat Islam dihadapkan pada
kons­truksi pengetahuan yang hadir dari luar, terutama
Barat. Namun apabila kita menilik konsep ilmu sosial
profetik cetusan Ismail Raji al-Faruqi, Roger Garaudy dan
Kuntowijoyo, faktual proses pengembangan pengetahuan
Islam tak sebatas pada skema ‘Pengilmuan Islam’ yang
terpaku pada alur ‘teks ke konteks’, tetapi terdapat juga
skema ‘Islamisasi Pengetahuan’ dengan alur sebaliknya,
‘konteks ke teks’. Saya kira, skema Islamisasi pengetahuan
jauh bersifat lumer, menghilangkan pengkotak-kotakkan
ilmu yang begitu kaku. Konsep ini membuka peluang yang
sangat luas bagi pengembangan keilmuan, baik dari dalam
maupun luar dirinya…”
“Mas, beri satu contoh konkret agar kami semua bisa
lebih memahami pernyataan Anda,” dengan penuh simpati
Dr. Erebor memintaku menyempurnakan argumen.
“Simpel. Bagaimana Khaldun mengislamkan pemikiran
Plato mengenai manusia sebagai makhluk sosial, al-Farabi
mengislamkan pemikiran Aristoteles tentang causa sui,
serta bagaimana Ali Syariati megislamkan simpul-simpul
penting pemikiran Marx. Ya, tinggal kita sesuaikan saja
Universal Declaration of Human Rights dengan nilai-nilai
Islam. Mudah.”
“Yak! Bagus sekali! Bagus sekali!” pekik-puji Dr. Erebor
membelah ruangan. Aku terbang ke langit tertinggi.

99
“Yak, itu, benar kata temanmu, eh, siapa namamu?”.
“Reno, Pak”. “Yak itu, kalau kita membanggakan ilmuwan-
ilmuwan besar Islam seperti Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan
Ibnu Sina; kita harus menerima pengetahuan Barat. Mereka
semua adalah filosof Islam yang mempelajari ilmu-ilmu
Barat. Dan sekali lagi, ini kampus kebangsaan, kalau segala
sesuatunya langsung dibenturkan dengan agama, itu ada
tempatnya sendiri, di UIN15 sana. Kalau perlu masuk saja
di Jurusan Hukum Islam”. Kelas tertawa mendengar ucapan
Dr. Erebor, karena itu adalah sindiran yang teramat keras
bagi Ridho.
Ridho, ia hanya tersenyum simpul. Sikapnya tak pernah
sama lagi padaku. Bagaimanapun, hanya ia seorang di
ruangan ini yang mengetahui metamorfosisku.

-------

Kuperoleh pengakuan, kumasuki lingkaran elit para


pemikir kelas. Ya, kupikir setiap kelas selalu memiliki bebe­
rapa mahasiswa menonjol yang pendapatnya ajek didengar
dan menjadi corong intelektual mahasiswa lainnya, ini
semacam Royal Society-nya16 kelas. Lebih dari itu, telah
kutemukan kunci tuk menjadi pengacara handal.
Kamarku mulai dipenuhi berak-rak buku. Tak
tanggung-tanggung, kuhabiskan empat jam sehari tuk

15
Universitas Islam Negeri.
16
Perkumpulan elit kaum intelektual Eropa: Max Planck, Albert Einstein,
dan Stephen Hawking tercatat pernah menjadi anggotanya.

100
membaca. Aku merambah berbagai disiplin ilmu: Sejarah,
Agama, Antropologi, Ekonomi, Politik, Psikologi, Sastra,
dan Ilmu-ilmu Sosial-humaniora lainnya. Aku betul-betul
menjadi manusia terdidik. Tak hanya itu saja, perlahan
tapi pasti, kurasakan getaran janggal yang kadang kuat
meraba. Aku serasa didorong tuk melangkah lebih jauh, dan
ketika getaran itu menyambar dengan hebatnya, barulah
kusadari: keselamatan umat manusia berada di pundakku.
Aku sejalan dengan Alberico Genili, Richard Zouche, dan
Ernest Utrecht.
Di sela kegandrunganku melahap buku dan mendis­
kusikannya dengan Alfi, kutuai lagi satu masukan berharga
darinya: “Ei Bung, membaca tergolong sebagai aktivitas
konsumsi, dan apapun itu, yang namanya konsumsi
berlebih pastilah negatif. Harus kau imbangi pula dengan
aktivitas produksi: menulis.”
Aku disambar petir. Lagi-lagi Alfi bekerja layaknya
buku, mendorongku melampaui diri sendiri.
Benar juga, gaung mereka tokoh-tokoh kenamaan
dunia masih kuat terdengar hingga kini, tak lain dan tak
bukan dikarenakan karya-karyanya. Seperti ungkap Pram:
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak
menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. ‘Verba
volant, scripta manent‘ (apa yang terucap akan hilang, dan
apa yang tertulis akan abadi).

101
-------

Aku belajar keras menulis seperti saat pertama kalinya


di bangku SD. Nyatanya, menyusun kalimat berkualitas
benar-benar tak mudah. Kini kusadari bahwa tulisanku
selama ini amburadul. Terlalu banyak pengulangan kata
sambung “yang”, kekacauan penggunaan kata depan “di-“
yang dipisah ataupun disambung, ambiguitas dihampir
setiap kalimat, paragraf yang berputar-putar, dan yang
terparah: peng­gunaan tanda baca, terutama ketiadaan
spasi pasca koma.
Membeli buku panduan menulis karya ilmiah tak
terhin­d arkan. Tetapi tetap, pembelajaran terpenting
dalam tulis-menulis bersumber langsung dari buku-buku
yang kubaca. Buku panduan menulis karya ilmiah sekedar
memahamkanku akan penggunaan tanda baca berikut
persoalan-persoalan teknis yang terdapat di dalamnya.
Sementara, kupelajari perihal lebih urgen lewat buku-buku
bacaan: gaya bahasa.
Tugas paper selalu menjadi momen sakral bagi
diriku yang tengah belajar menulis. Bagaimana tidak, ini
adalah saat di mana tulisanku go public. Ya, setidaknya
dibaca orang lain yang cukup penting dan berkualifikasi
menilainya: dosen.
Sebagai pemula, aku membutuhkan waktu yang sangat
lama tuk menyusun satu-dua kalimat ilmiah, alih-alih sepa­
ragraf. Kubaca dan kucermati seksama secara berulang, ja­

102
ngan sampai kalimat susunanku tereja ambigu atau terselip
kata-kata yang tak baku.
Ini adalah kali kesekian diriku memaksa diri begitu
keras—terakhir kali saat belajar ujian masuk perguruan
tinggi. Ketelitianku jauh mengalahkan para auditor BPK.
ku susun paper ilmiah dengan footnote yang begitu rumit.
Ibid., op.cit., dan loc.cit., ramai-sesak berjejal di setiap
kolom bawah halaman. Aku tergila-gila dengan objektivitas
layaknya Weber.
Tak lupa, penulisan kepustakaan kupelajari, ternyata ia
pun memiliki hukumnya sendiri! Masing-masing berbeda
untuk footnote dan bodynote. Pun semakin jauh kupelajari,
kutemukan bahwa penulisan referensi ilmiah memiliki
beragam gaya dan tradisi: Hardvard Style, British Standards
Institution, American Psychological Association Style,
Chicago Manual Style, dan masih banyak lagi.
Kewas-wasanku yang berlebih berangsur pudar
pada penulisan paper ilmiah kelima dan keenam. Benar
kiranya kata orang-orang tua, “Lancar kaji karena diulang”.
Tapi bagai­manapun, kecepatan menulisku masih jauh di
bawah rata-rata, meski telah berani kuadu secara ilmiah.
Alfi turut berkomentar terkait persoalan ini, “…memang,
kemampuan menulis bersifat otentik, tak bisa diperoleh
secara instan atau dalam tempo singkat. Keahlian ini akan
terus meningkat seiring kegigihanmu dalam berlatih.
Tujulah Charles Dickens, penulis tercepat dan berpengaruh
di zamannya…”

103
Tak diragukan lagi, Alfi memang berkualifikasi dalam
soal tulis-menulis. Ia bekerja sambilan sebagai editor
salah satu penerbit ternama kota ini. Tulisannya pun kerap
terpam­pang di berbagai media nasional. Ini menjelaskan
mengapa rokoknya tak pernah habis.

-------

Puas tak terperi. Kudapatkan nilai A dalam tugas paper


Hukum Perdata, nilai 80 pada Hukum Adat serta Sosiologi
Hukum. 80 adalah skor tertinggi untuk tugas paper. Sayang,
di sisa mata kuliah lainnya, paper tak dikembalikan,
namun tetap kukantongi nilai A, besar kemungkinan itu
pula nilai tulisanku. Hanya kutemui nilai B di satu mata
kuliah: Ekonomi Pembangunan. Saking terpesonanya diriku
pada konsep pembangunan “ultra-sosialis-radikal-realis”
ala Hugo Chavez dan kawan-kawan, kunafikkan konsep
pembangunan ekonomi lainnya.
Tak ada yang tersisa dariku. Aku telah bisa membaca
dan menulis—dengan sebenar-benarnya. Sering orang
menganggap sepele kedua kemampuan ini, tapi bukankah
cukup dengan keduanya ia dapat menuai perhatian dunia?
Mengubah dunia? Anne Frank dengan diary-nya, Sidney
Sheldon lewat I Dream of Jeannie, Rachel Carson yang
menulis The Silent Spring, atau Dan Brown dengan Da Vinci
Code-nya.

104
Mungkin, Jean Paul Sartre menjadi satu dari segelintir
orang yang paham benar akan arti membaca dan menulis,
seakan baginya, itu adalah anugerah terbesar dan terhebat
dalam hidup. Dan memang, dengan keduanya, ia menjadi
‘dewa’ atas dirinya sendiri. Sekedar terdapat dua bab utama
dalam mahakaryanya, Les Mots: membaca dan menulis...

-------

Kombinasi antara keaktifan di kelas dengan tulisan


ilmiah berkualitas tinggi memaksa para dosen tuk mem­
per­h atikanku. Secara pragmatis, ini yang terpenting:
mem­peroleh pengakuan mereka. Meskipun memang, tak
semua­nya, agaknya Prof. Maldade dan Dr. Tinente selalu
bersikap dingin terhadap siapa pun yang ditemuinya.
Aku selalu menyukai lirikan itu, lirikan mata para
dosen yang seakan berucap, “Ayo, sekarang giliranmu”—
ber­ko­mentar di kelas. Pasca kusambut lirikan itu, sejurus
mereka berkata, “Ya, bagus, bagus sekali”, seolah mereka
juga hendak berkata: “…ini baru muridku…”.
Tak ada lagi yang bisa menghentikanku. Telah kukuasai
rahasia dunia dan kujamin masa depanku. Ini hanya akan
semakin baik dan baik saja.
Alfi adalah sosok yang berjasa, lewat brainstorming-
nya, kugali segenap potensi diri. Satu quote Albert Camus
yang begitu digilainya: “Jangan berjalan di belakangku,
aku takkan memimpin. Jangan berjalan di depanku, aku

105
takkan mengikuti. Berjalanlah di sampingku, dan menjadi
temanku…”
Ia lebih baik dari Donny.

106
XV

Cinta

“C inta adalah sesuatu yang menggetarkan”, kata


Gibran. “Cinta bukan memiliki, tetapi menjadi”,
ungkap Erich Fromm. “Takkan habis cinta dikejar, karena
tak ada objek dari cinta”, ucap Lacan. “Orang yang jatuh
cinta adalah narsis”, tegas Derrida. “Cinta adalah keyakinan
yang buruk”, tutur Sartre.

-------

Duh duh duh, makin ku berupaya rasional untuk cinta,


makin ku menjadi irasional untuknya. Haha, entahlah,
persetan, yang penting ku bahagia. Aw aw aw, aih! Hahaha.
Ini betul-betul tahun keberkahan. Segala datang de­
ngan sendirinya, kehadiran-kehadiran yang… aduhai bisa
membuatku tersenyum-senyum girang sepanjang tahun,

107
semua bagai trigger yang tak dinyana-nyana. Ihwal yang
dulu begitu kuharap dan tak kunjung ku dapati, kini tiba-
tiba datang ketika segenap pikir dan jiwaku berfokus pada
hal lain, senangku betubi-tubi, aku dijamah cinta, idih,
auooo, hehehe.
Mungkin, pria pandai memang punya auranya sendiri:
caranya berbicara, menatap, berjalan, pun bertindak-
tanduk; jelas berbedalah dari pria lah loh. Lebih dari
itu, pria-pria seperti ini seakan kuat membawa hawa
“prospeknya” sen­diri. Itu, aroma kesuksesan di masa depan,
alias jaminan kemapanan hidup buat anak-istri.

-------

Semester demi semester berlalu, kecemerlanganku


kian menjadi, ajek kududuki peringkat pertama dan kedua
di kelas, dan aku menjadi mercusuar.
Pasca semester ini, kuambil KKN—Kuliah Kerja Nyata.
Kata orang-orang tua, KKN adalah tempat dimana kita bakal
menemukan jodoh, tapi sepertinya tidak buatku, itu kan
terjadi lebih awal.
“Kamu pinter ya…”, ucap Sekar di taman fakultas. Di
eyup-nya hari, kami berdua berdiskusi tentang tugas kuliah
yang diberikan dosen.
Mendengar ucapnya barusan, aku merasa besar. “Ah,
enggak, biasa aja…” aku merendah untuk meninggi, hehe.

108
“Gimana sih caranya, biar bisa langsung paham baca
buku?”
“Ya, langsung baca aja, Yu…”, tak kukatakan padanya
jika diriku memiliki tutor, Alfi. Tenang, bakal ku jaga
pesonaku. Jika rahasia-rahasiaku terbongkar, tak ada lagi
yang menarik. Ku buat seolah semua hasil jerih payahku
sendiri.

-------

Hari-hari berlalu, kami kian akrab. Aku dan Sekar bagai


sejoli yang tak terpisahkan, kami selalu bersama. Bahkan
beberapa teman menganggap kami sudah “jadian”. Hmm,
andai saja…
Telah cukup lama memang terpikir olehku tuk “menem­
baknya”. Tapi, apakah ia benar-benar menyukaiku? Atau
jangan-jangan, ia sekedar mencintai keluasan wawasanku?
Tulisanku? Caraku berbicara yang tenang dan meyakinkan
layaknya Mario Teguh?
Jujur, terkadang perasaan minder muncul saat berjalan
di sampingnya. Ia yang cantik, cerdas, anggun-mempesona,
dan berasal dari keluarga terhormat. Sedang diriku?
Tampangku tak ganteng-ganteng amat, biasa saja; latar
keluargaku pun kelas menengah, tak kaya, juga tak miskin.
Satu-satunya penghiburku adalah otak ini. Otak yang terus
kuasah hingga menjamah batas terliarnya. Tanpanya, aku
bukan siapa-siapa.

109
Namun bagaimanapun juga, cara orang-orang
meman­dangku turut menjadi penawar inferior-complex17
tersendiri. Inilah calon Begawan Hukum Indonesia, calon
Menteri Hukum dan HAM RI, calon Guru Besar Hukum
UGM; itulah yang kerap diucapkan teman-teman sekelas.
Bahkan seba­gian mereka telah memanggilku “Prof”; “Prof.
Reno”. Ya, lucu juga sih, tapi cukup menghibur memang.

-------

Ini tak tertahankan lagi. Rasanya sama seperti dulu


wak­t u diriku duduk bersebelahan dengannya. Sekar
menyi­bak rambut ke arah berlawanan, menyisakan pipi
dan lehernya yang kuning keputihan ke arahku. Angin
yang sesekali berhembus membawa aroma parfum dan
keringat tubuhnya ke penciumanku. Terang, konakku
mendidih, libidoku menyembul tak karuan. Nyaris kukecup
pipinya saat itu juga. Kalau bukan karena super ego-ku
yang berteriak lantang: “Jangan! Kau akan mengacaukan
semuanya!”, sudah kukecup pipinya.
Aku berpikir keras lagi sistematis, memetakan dan
mengeliminasi berbagai kemungkinan yang membuatnya
bisa menolakku. Begitu pun aku, sarat bersiap kalau-kalau
ia menolakku. Kutatap satu kolom rak, tampak buku Erich

17 Istilah ilmiah untuk “minder”.

110
Fromm berjudul The Art of Loving. Satu ucapnya yang
terkenal: “Cinta bukan memiliki, tetapi menjadi”. Yak,
persoalan ini telah teratasi—jika Sekar menolakku.
“Aku harus menulis cerpen”, itulah rekomendasi terbaik
otakku. Puisi? Ah, semua orang dapat membuatnya, bahkan
anak SD sekalipun. Bunga? Terlalu mainstream. Tempat
romantis? Terkesan dipaksakan, jika ia berniat menolakku,
ia bakal berpikir siapa yang bakal mengantarnya pulang.
Tetapi cerpen, tak semua orang dapat membuatnya.
Cerpen adalah simbol sistematisnya pola pikir, kecerdasan
mengolah kata, konsistensi, kematangan pribadi, dan yang
terpenting, pengorbanan serta cinta yang teramat-sangat.
Hal ini mengingat, dibutuhkan waktu berjam-jam, bahkan
harian di depan layar laptop untuk menuliskannya.
Cerpen. Ini sama seperti rahasia membaca ungkap Alfi:
fokus. Sekar akan terpisah dari dunia dan orang-orang di
sekelilingnya. Hanya ada dirinya dan cerpen itu. Cerpen
yang berisikan narasi seputar keindahannya, pemujaanku
terhadapnya, serta rencana-rencana besarku bersamanya
kelak. Khusus yang terakhir, itu sengaja kutulis guna
menunjukkan betapa menjanjikannya diriku—narsis.

-------

“Sophein”. Itulah judul cerpenku untuknya, tapi


tulisanku terlampau panjang untuk sebuah cerpen, ini lebih
memiripkan bentuknya sebagai novel pendek—dua puluh

111
empat halaman HVS A4. Tak kusangka, ide mengalir begitu
deras ketika menulisnya, ia benar-benar menginspirasiku.
Tak jadi soal, hanya saja pengorbananku kian tampak.
Sophein, dalam bahasa Yunani kuno berarti “cinta”.
Namun, orang-orang Yunani kuno memiliki beberapa tafsir
atasnya. Mereka membagi cinta dalam tiga bentuk; agape
untuk cinta kepada keluarga, philia untuk cinta kepada
teman, dan eros untuk cinta romantis kepada sang pujaan
hati. Jelas, eros adalah cintaku untuknya, untuk Sekar Ayu.

-------

Sore ini menjadi penentu. Berakhir atau berlanjutnya


kisahku dengan Sekar. Aku takut, dan gemetar...
“Ren…, harusnya kau tak perlu repot-repot membuat
tulisan ini…”, ucap Sekar lirih.

Dan…

Kami jadian.

112
XVI

Itu Ardi

I bu adalah ciptaan Tuhan pertama yang kita lihat di dunia.


Sebelum dirinya meyakinkan dengan susah payah bahwa
belai hangatnya tak lebih dari seatom pancaran kasih dan
sayang Tuhan di atas sana, Tuhan yang tak tampak.
“Yah, kenapa? Apa ibu teringat Rani lagi?” Sore sesam­
paiku di rumah, ibu menangis di dalam sana, sedang ayah
termenung di ruang tamu. Ibu memang masih sering
menangis sendiri kala teringat Rani.
“Bukan, bukan…” sahutnya lemas, “Ardi…”

-------

Itu Ardi. Kakak sepupuku. Seluruh catatan akademiknya


nyaris sempurna. S1 ditempuhnya dalam waktu 3,5 tahun,
sedang S2 sekedar 1,5 tahun. Ia pun mendapati predikat

113
magna-Cumlaude di setiap jenjang pendidikan itu. IPK 3.89
untuk S1, dan 3.91 untuk S2.
Aku tahu bagaimana paman dan bibiku menyambut
haru-bungah kelulusannya di jenjang sarjana dulu. Seolah,
anaknya bakal jadi orang besar seketika itu juga. Ya, setidak­
nya langsung berdikari alias mapan. Apalagi ia lulusan
perguruan tinggi favorit negeri ini: Gadjah Mada; Perguruan
tinggiku juga.
“Mungkin karena lulusan manajemen sudah
mem­bludak”
“Bisa jadi juga, Om. Tiap perguruan tinggi pasti punya
Departemen Manajemen dan Akuntansi…”
Aku turut menyimak perbincangan Ardi dan ayahku
kala itu. Sesekali, pandangku dan pandangnya bertemu,
namun tak ada sepatah pun yang terucap. Kulihat kelesuan
akut di sorot matanya, nyaris keputusasaan.
“Bagaimana dengan lowongan Kementerian-
kementerian?”
“Sudah kucoba juga, Om. Berulang kali malah selulus
S1 dulu…”
“Oh…”
“Anehnya Om, di setiap pengumuman terakhir, selalu
saja terlambat…”

114
“Hmm, ada tawar-menawar di dalem tuh…”
“Bisa jadi juga Om, akhirnya cuma buang-buang duit
aja Solo-Jakarta”
“Ya, moga yang satu ini keterima-lah ya!”
Dari gestur tubuh, tampak jika ayah tak berminat
melanjutkan percakapan. Ia enggan kalau perbincangan
barusan sekedar membangkitkan rentetan kesedihan
Ardi dalam mencari kerja. Momen yang tepat, ibu datang
menyuguh minuman dan beberapa jajanan kecil dalam
toples, topik perbincangan pun beralih seputar kabar-
kabari keluarga di Solo.
Setahuku, Ardi bekerja sebagai asisten dosen. Ia mulai
“bergerak” ketika dosen memanggilnya dalam proyek. Tapi,
jangan dikira gajinya besar. Tidak. Gajinya kecil alias pas-
pasan, itu pun sering dibayar telat.
“Ei, Di. Kau bisa ambil honormu besok”
“Terima kasih banyak, Pak”
Keesokan harinya…
“Aduh Di, aku lupa bawa honormu. Besok ya?”
“Oh iya Pak, tidak apa-apa”
Keesokan harinya…
“Aish, aku lagi-lagi lupa bawa honormu, Di. Duh, duh,
duh, besok ya…?”
“Iya, Pak…”

115
Dan demikian seterusnya…
Relasi yang terjalin antara Ardi dengan dosennya tak
ubahnya relasi antara Alice dengan sang Ratu dalam karya
Lewis Carrol, Through the Looking Glass. Ratu menawarkan
pekerjaan pada Alice dengan upah selai ‘di setiap hari
berikutnya’ (every other day). Disadari oleh Alice bahwa ia
tak pernah mendapatkan selai itu. Ratu pun berkata, “Hari
ini adalah hari ini, bukan hari berikutnya”. Bagus.
Realita negeri bernama Indonesia: otak dibayar murah,
pun dengan iklim kerja yang tak humanis. Harusnya setiap
atasan tahu, keterlambatan membayar gaji pun merupakan
bentuk penindasan psikis.
Jangan salah, selulus pasca-sarjana Ardi telah menyebar
CV tuk melamar posisi dosen di berbagai perguruan tinggi.
Namun tetap saja, “orang-orang titipan” punya posisi jauh
lebih kuat. Sedahsyat apapun CV-nya takkan mungkin
mengalahkan orang-orang titipan.
Segala yang terpenting di negeri ini adalah “titipan”.
Asal titipan, pastilah bonafit, tak peduli pekok atau pah-poh,
yang penting titipan. Mari kita resapi ucap bijak Patrick
Star: “Dunia memang tak adil, biasakanlah dirimu…”. Muak
kita dengan nepotisme.
Eh, Ardi eh, keringat juangmu tuk mengunduh status
sosial yang baik entah kan berakhir kapan. Dibilangnya
mereka, beragam pencaharian telah kau jajaki: sedari
asdos, pelayan café, surveyor, hingga MLM yang konyol itu.

116
Apa yang kau tuai? Kehidupan tanggung bertopang besar
pada belas ortumu. Eh, Ardi eh, upahmu cuma berlaku buat
dua minggu…
Kau sendiri tahu, Di. Kelesuan akutmu itu Di, tak
disebabkan oleh dirimu semata Di, tetapi juga manusia-
manusia di sekelilingmu, Di. Tetanggamu, orang-orang
kampung, teman-temanmu, bahkan sanak-familimu sendiri,
Di; merekalah penyumbang bergunung-gunung kelesuan
yang sesungguhnya, Di. Sumbangsih mereka tak terkira, Di.
Tiap kali kau bertemu-papas dengan mereka, satu
pinta kecil lubuk terdalammu: agar tak mengucap kalimat
itu. Kalimat itu, iya, kalimat itu. Kalimat yang seolah
telah mengakhiri perbincangan kala secuap pun belum
terlontar: “Kerja dimana sekarang?”. Sederhana sekali
kalimat itu, hanya terdiri dari tiga kata: ‘kerja-dimana-
sekarang’. Namun kalimat itu cukup tuk meluluh lantahkan
kedirianmu: eksistensimu. Kau dapati dirimu bak seonggok
daging yang tercampak, kalaupun nyawa kau punyai, itu kau
habiskan dengan sia-sia.
Terkadang, eksistensimu berontak tuk menolak
berbagai pelabelan mereka, atau setidaknya,
mengantisipasinya. Kau berupaya mempesona mereka
dengan mengucap seabrek kesibukanmu. Namun kau
sendiri tahu, semua itu omong kosong belaka. Kau tak

117
berbuat apapun untuk dirimu, juga orang-orang dekat
di sekelilingmu. Sekali lagi, kau rasakan dirimu hanya
menghabiskan nyawa dengan cuma-cuma.

-------

Jika memang, manusia terlahir sebagai homo faber18


yang kudu mengaktualisasikan dirinya lewat bekerja,
harusnya itu bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun.
Persoalannya, masyarakat kadung mendaulat kerja sebagai
aktivitas yang sarat menghasilkan duit.
Aku simak betul penjelasan H. Arvon tentang kerja.
Pertama, kerja itu asalkan mengeluarkan energi. Apapun itu,
asal keluar energi, itu kerja. Maka dari itu, Arvon berucap,
bersantai atau aktivitas apapun yang tak mengeluarkan
energi, itu bukan kerja. Kedua, asal sesuatu yang kau
lakukan tak asal-asalan, memilih dengan seksama mana
yang baik dan mana yang buruk, kau libatkan segenap cipta-
rasa-karsamu; nah, itu juga kerja. Maka dibilangnya: mandi,
makan, jalan-jalan, bukanlah kerja. Tak ada cipta-rasa-karsa
di situ. Ketiga, umumnya pandangan orang tentang kerja.
Kerja haruslah menghasilkan sesuatu, entah barang atau
upah. Barangsiapa bekerja tapi tak menghasilkan sesuatu
pun, itu bukan kerja.
Di sini, aku dan kau bisa memilih, konsep kerja mana
yang paling relevan bagi kita. The question is, kenapa kita

18
Makhluk yang gemar berkreasi atau mencipta.

118
harus ikuti pendapat banyak orang. Bukankah banyaknya
pendapat tak menjamin kebenaran. Itu kata Leibniz:
“Barang­siapa mencari kebenaran, janganlah menghitung
suara”. Segala yang kutahu: tak ada habisnya mengikuti
koar masyarakat.

-------

Tapi, mau bagaimana juga, cuma Ardi seorang yang


mengetahui perasaannya. Aku dan kau tak tahu-menahu
barang seatom pun. Ya, cuma Ardi yang mengalaminya.
Dia bukan boneka, dia manusia yang punya perasaan dan
pikirannya sendiri. Kupikir, inilah yang paling berharga
dari manusia, segala resepsi yang diterimanya kemudian
ditafsir dan diolah oleh semestanya sendiri, hasilnya pun
bakal berbeda bagi setiap manusia. Buat Donny misalkan,
wanita seksi adalah mereka yang berjalan tergopoh sambil
membawa bertebal-tebal buku; tak peduli berkulit hitam
atau putih; berwajah cerah atau kucel; pun langsing atau
gembrot. Ini sudah tentu beda dari wanita seksi anggapku.
Buat mereka yang sekedar ikut-ikutan, sesungguhnya
mereka tak ada, yang ada hanyalah orang yang diikutinya—
aku dulu juga tak ada karena sekedar mengekor Donny.
Itulah mengapa, Rene Descartes bertitah, “Cogito ergo sum”
yang artinya ‘Aku berpikir, maka aku ada’.
Kasihan Ardi, segala adalah simulakra baginya, apa
yang terlihat tak sebagaimana adanya. Kampus besar dan

119
terbaik di negeri ini, departemen favorit, IPK yang tinggi,
curriculum vitae yang menjanjikan, semuanya tak lebih
dari simulasi!
Keputusan Ardi tuk mengakhiri hidupnya adalah
benar, setidaknya menurut dirinya. Teringatku pada buku
motivasi Herbert N. Casson: You’re What You’re Thinking.
Ardi menemui ketiadaan guna akan eksistensinya.
Mengeliminasi dirinya sendiri adalah cara tercepat baginya.
Timbang wajib menenggak tetes demi tetes pahitnya
penghabisan nyawa yang tak kunjung datang?

120
XVII

Libido

A ku dan Sekar mengambil tempat KKN terdekat, terlalu


dekat malah: dalam provinsi.
Kami benar-benar tak terpisahkan. Pulang-pergi
bersama, pun selalu bergandeng tangan. Beberapa teman
memandang sinis, terutama para pria. Mungkin pikirnya,
mau-maunya Sekar denganku. Ku ampuni kealpaan mereka
yang tak mengetahui siapa aku sebenarnya.
Dua minggu pertama adalah rentang terberat. Kami
mengunjungi satu per satu tokoh masyarakat, baik yang
telah sepuh maupun masih bugar belia. Mencatat kegiatan
mereka, terutama jadwal kumpulan kampung: baik
kumpulan pemuda, ibu-ibu pengajian, PKK, ataupun rapat
berkala RT. Semua dilakukan guna menawarkan berikut
memasukkan program kerja kami.

121
Sebetulnya aku tak begitu antusias dengan kegiatan
semacam ini. Ucap bijak muncul dari mulut Wildan,
kawan dari Departemen Sosiologi, “Jangan petantang-
petenteng di depan masyarakat. Tanpa kita pun mereka
bisa menyelesaikan persoalannya sendiri”.
Beruntung, tema KKN di tempat ini tak berat-berat
amat, “Pengembangan Wisata Kuliner”. Kami beroperasi
di daerah Minomartani-Sleman, tepatnya sentra kerajinan
“pia-pia”. Itu sejenis bakpia, hanya saja telah dimodifikasi,
rasanya pun beragam, tak melulu kacang hijau, tapi ada
juga keju, coklat, durian, melon, strawberry, dan masih
banyak lagi.
Kami semua berjumlah dua puluh empat orang.
Empat belas wanita dan dua belas pria. Kupikir mahasiswa
Departemen Ilmu Komputer memiliki program kerja utama
termudah, membuat website tentang lokasi ini. Berbeda
halnya dengan program kerja mahasiswa Departemen
Hukum sepertiku, terlebih Sosiologi atau Ekonomi, kami
sarat melibatkan masyarakat. Bagaimanapun, tolak
ukur kesuksesan program diukur dari banyak-tidaknya
partisipasi warga. Bagaimana jika tak ada yang datang?

-------

Panas. Aku dan Sekar baru saja menemui salah satu


sponsor kami, sebuah perusahaan air minum berenergi

122
yang ada di daerah Godean, menagih janji dan kesediaan
mereka tempo bulan.
“Cari es krim yuk, Say”, ucap Sekar.
“Okay, sekalian cari buku ya,”
Ku tuju pusat buku Shopping, bersebelahan persis
de­ngan Taman Pintar. Di depannya terdapat para penjaja
makanan dan minuman, dari bakwan kawi, bakso, mie
ayam, dawet, dan yang terpenting: soft ice cream dengan
harga murah.
Setelah selesai, Sekar memintaku tuk mengantarnya
ke kos. Kami pun cabut.

-------

“Ayo , m a s u k a j a S ay,” a ku b a r u s a j a h e n d a k
mendudukkan diri di kursi teras kosnya.
“Bukannya nggak boleh ya?”
“Sssssttt…” Sekar memberi isyarat dengan jarinya.
“Boleh…, asal nggak ketahuan…” bisiknya lirih padaku. Ia
menggandengku masuk. Di siang yang terik itu, aku serasa
menjadi maling. Jujur, perasaan was-was menyergapku.

-------

Sekar menghidupkan AC dan menyalakan TV, kemudian


memberiku segelas air dingin dari dispensernya.

123
Tak lama, Ia menatapku dan berkata, “Kalau mau ke
kamar mandi…”, sambil ditunjuknya sebuah pintu berwarna
biru cerah dengan jari lentiknya. Tapi aku memang tak ingin
buang air kecil maupun besar, atau melakukan aktivitas
apapun berkenaan dengan kamar mandi. Aku hanya ingin
mendinginkan tubuh.
“Aku cuci muka dulu ya”, Aku hanya melihatnya dan
menggerakkan kedua alis.

-------

Sekar keluar. Aku tersedak. Ia sekedar mengenakan


tanktop dan celana dalam.
Sejurus, kurasakan Norwegian Wood - The Beatles
menjadi original soundtrack situasiku.
I once had a girl, or should I say, she once had me;
She showed me her room, isn’t it good, norwegian wood?
“Ayo temenin bobo’ siang”, Sekar memohon manja
sambil menarik lengan kiriku dengan kedua tangannya.
I sat on a rug, biding my time, drinking her wine,
We talked until two and then she said, “It’s time for bed”
Sumpah, inilah salting yang sesungguhnya. “Em, oh,
emh”, aku terbatah-batah. Masih dengan kedua tangannya
yang memegang erat lenganku, tak tahu kenapa, aku

124
hilang daya, tak kuasa ku tolak pintanya. Alhasil, ku jajaki
springbed ukuran tanggungnya...
Pegangannya baru terlepas sesaat setelah diriku benar-
benar berebah di permukaan kasurnya. Aku mematung.
Entah kenapa, tapi Mr. P-ku tak berdiri. Sepertinya ke-
nervous-an lebih menguasaiku. Wajar, ini kali pertamanya
buatku. Hal terbinal yang pernah kulakukan dengan sang
mantan hanyalah bergandeng tangan.
Tiba-tiba, Sekar merebahkan sisi tubuhnya padaku,
tangannya yang terlentang melingkari dadaku. Apa yang
dilakukannya hanya kian membuatku kikuk saja. Sumpah,
aku benar-benar tak tahu harus bagaimana. Senang ataukah
takut?
“I love you, Say…”, ucapnya lirih padaku. Lagi-lagi, aku
hanya diam.
Tubuhku masih membujur kaku, tapi bukan itu yang
terburuk, sesaat kemudian ia beranjak dan menduduki-ku.
“Punyaku” dan “punyanya” pun bertemu, untung masih
berbalut kain.
Kami saling menatap. Ia tersenyum kecil dan berkata,
“Hai cowok pinter,,,”. Entah apa maksudnya. Aku menelan
ludah. Sekar benar-benar menjadi perempuan binal. Tak

125
kusangka sebelumnya, sedang ku kadung mencintainya
setengah mati.
Ia memegang kedua tanganku, perlahan tapi pasti
ku tahu hendak didaratkannya kemana—payudaranya.
“Punyaku gede kan, Say…”. Sekali lagi, aku menelan ludah,
aku hanya bisa mengangguk kecil, segala yang kutahu:
kedua telapak tanganku berkeringat. What the…
“Kamu kok diem aja sih, Say…”, ucapnya lembut. Aku
masih tak menjawab dan sekedar tersenyum kaku.
Sekejap ia menukik, menciumi dinding leher kiriku.
Aroma parfum bercampur bau tubuhnya yang khas halus
menusuk hidungku. Kali ini tak dapat ku elak, benteng
beton pertahanan libidoku ‘jebol’.
Geliat sepasang kekasih dimabuk cinta yang dulu
hanya dapat kusaksikan lewat Film-film Hollywood kini
kualami secara langsung dan nyata. Aku menjadi aktor
film romantis, setelah sebelumnya serasa menjadi maling.
Ku dekap tubuh Sekar, ia pun makin garang
menciumiku. Perlahan ia naik dan naik, mencium dagu
dan pipiku. Sesaat, sentuh bibirnya menjadi basah. Uh, ia
menjulur sedikit lidah­nya, Mr. P-ku menjulang kuat.
Sampailah ketika bibirnya mengelus lembut bibirku.
Inilah ciuman pertamaku. Nafasku tersengal, pun jantungku
yang kian berdegup kuat. “Rileks aja, Say…”, Sekar
meya­kinkanku.

126
Tak ku nyana, lidahnya turut mendorong lembut masuk
ke liang mulutku, menggerayangi sekitarnya, dan hap! Ku­
tangkap dan mulai ku lumat-lumatnya. Itu terjadi begitu
saja, seperti insting atau naluri bawaan orok. Tak boleh
kusimpan dusta, ini memang permainan mengasyikkan.
Sekar mulai menggerakkan tubuhnya maju dan mun­
dur secara teratur, gesekkan antara ‘Lingga’ dan ‘Yoni’ pun
tak terelakkan. Aku dalam kewaspadaan penuh, ini tak
terta­hankan lagi. Aku benar-benar bercinta dengan Alyssa
Soebandono!
Tambora meletus untuk keempat kalinya…
And when I awoke, I was alone. This bird had flown.

127
XVIII

Candu

‘A ku ketagihan’. Jelas.
“Kontak fisik” hampir tak pernah absen di setiap per­
jum­paan kami. Aku serasa menjadi manusia utuh, setelah
sebelumnya ku asah otak tuk menghidupkan akal-budi dan
rasio, kini segenap hati dan rasaku.
Saat-saat di pondokan selalu menjadi yang terasyik.
Permainan kami benar-benar melahirkan sensasi
tersendiri.
Pernah suatu kali, ku hampiri Sekar yang tengah
bertugas di dapur, ia sendirian saja, karuan kumanfaatkan
kesempatan itu. Ku dekap tubuhnya dari belakang,
kemudian ku sentuh dan ku ikuti irama tangannya yang
sedang membusa perabotan.

128
Tak puas sampai di situ, ku ciumi lehernya. Ia mulai
meng­e­rang nikmat: “Ah…, ught…”, gelas dan piring tak lagi
menjadi fokus utamanya. Seketika, Sekar serong ke arahku,
ia berupaya meraih bibirku, permainan lidah pun dimulai.
Entah kenapa, tapi sepertinya Sekar memang tipe
wanita yang mudah terangsang. Bulu di sekujur tubuhnya
memang cukup lebat dibanding kebanyakan wanita
seusianya. Apakah mitos ini benar?!
Beruntung, sebagian kesadaranku masih terjaga, ku­
dengar derap langkah mendekat, buru-buru kutarik lidahku
dari mulutnya, pun dekapanku. Sekar sedikit terkejut dan
mulai membuka mata, ia menyadari situasi.
“Hayo, pada ngapain?!” Kiki menggertak kami.
“Nyuci. Emang ngapain?”, balas Sekar tangkas. “Iya,
bikin kaget aja” timpalku tuk meyakinkan. Kami membagi
peran.
“Oh, yaudah, hehehe…”
“Sini bantuin, malah nyengir Lu”, ucap Sekar tuk
meyakinkannya.
Kiki, mahasiswi Departemen Komunikasi ini seperti
memiliki obsesi tuk memergoki kami. Di tempat terbuka
pun ia kerap mengawasi kebersamaanku dengan Sekar,
beberapa kali ku tangkap basah lancar pandangnya,

129
mungkin ia mengidap voyeurisme19. But, it’s okay. Apa
yang dilakukannya justru mem­buat permainan ini kian
seru—kucing-kucingan.
Setelah ia berlalu, aku dan Sekar memulai dari awal.

-------

Sempat pula suatu kali, ketika aku dan Sekar menjadi


yang pertama tiba di pondokan, kami langsung berebah
dan berpeluk mesra di ruang tengah, tempat dimana tim
biasa menggelar rapat.
Kami saling lumat, mencecapi tiap mili daging lunak
tempat keluarnya bebunyian manusia. Ku akui, ia seorang
profesional. Memang, pernah diungkapnya padaku, sebe­
lum­nya ia telah tiga kali berpacaran. Sesaat, tersembul
tanya di benakku: “Apakah ia masih virgin?”. Ah, sudahlah,
cinta tak sebatas “bolongan”.
Super ego-ku telah mati, ataukah ia juga ikut
menik­matinya?.
Sekar kian garang, dipegangnya anuku yang
mengeras dan seolah takkan kembali seperti semula.
Mengimbanginya, kuremas-remas buah dadanya.
Ia mengerang lirih: “Uh…, oh…”, dan saat mulutnya
sedikit lebih terbuka, lidahku menjelajah lebih dalam tuk

19
Penyimpangan individu berupa kegemaran megintip orang lain yang
tengah melakukan aktivitas pribadi.

130
memancing lidahnya berada diapitan bibirku. Ku gerakkan
maju dan mundur dengan pelan, erangannya pun kian
sering.
Setengah jam berlalu. Kami masih saling lumat dan
remas, memberi dan menerima. Ini adalah rekor cipokan
terlamaku dengannya.
Aku terus berimprovisasi, ku singkap baju Sekar hingga
menunjukkan payudaranya yang kencang terbungkus bra
merah menyala. Aku berusaha melepasnya, masih dalam
posisi berciuman. Tak lama berselang, usahaku berhasil.
Ku putuskan tuk beralih mengakrabi buah dadanya
yang ranum dan puting coklat mudanya yang imut, ia
menye­tujuinya.
Sekonyong-konyong, ramai raung motor terdengar:
teman-teman datang! Kami kaget bukan kepalang.
Aku dan Sekar tergopoh berbenah diri. Malang, Sekar
tak punya cukup waktu. Bra-nya belum terpasang. Ia
tampak aneh memaksa diri bersandar pada tembok dan
seolah tak bisa beranjak darinya, bahkan menolehkan
tubuhnya barang sedikit. Ketidaknyamanan bercampur
was-was jelas tercetak di wajahnya. Beruntung, tak satu
pun menyadari.
Aku dan Sekar menyimpan momen itu dalam daftar
lelucon utama hubungan kami.
Eh, kami masih bersemangat mengulanginya.

131
-------

Lima puluh hari berlalu, KKN usai. Entah apa yang telah
ku hasilkan. Keseharianku hanyalah mencicip pia-pia dari
satu tempat pengrajin ke pengrajin lainnya.
Tapi jangan salah, program penyuluhan hukum dagang-
ku sukses besar! Dengan pembicara… diriku sendiri, haha.
Ramai pertanyaan warga ku tuai saat ku paparkan ihwal
hukum kecurangan produsen dan undang-undang perlin­
dungan konsumen.
Acara ini menginsafkan rekan-rekan pria betapa diriku
layak mendapatkan Sekar. Akulah satu-satunya penggagas
program sekaligus pemateri di dalamnya—mampus kalian!
Namun tetap, bagiku dan Sekar, momen paling
berkesan adalah aksi “curi-curi kesempatan” yang kami
lakukan (baca: mesum), hehehe.

-------

Kian hari, kami kian menyatu. Betul kata British Journal


of Psychology, “kontak fisik” antar pasangan memicu
senyawa oksitosin tubuh yang berdampak pada kian
kukuhnya perasaan keterikatan dalam hubungan. Aku tak
bisa tanpa­nya, pun demikian pula dirinya tak bisa tanpaku.

132
Menginap di kosnya menjadi kebiasaan baruku. Dua-
tiga hari seminggu ku lakoni pasti. Dan ketika ibu bertanya
dimana ku habiskan malam, kujawab singkat: “Alfi”.
Kos Sekar memang diperuntukkan bagi anak orang-
orang kaya, dengan bea sewa tujuh ratus ribu rupiah
per bulan, kenyamanan jadi jaminan mutlak. Berada di
dalamnya seperti berada di kamar hotel berbintang.
D a n nya t a nya , k a m i b u k a n l a h s a t u - s a t u nya
pasangan mesum di rumah sewa ini. Memasukkan (baca:
menginapkan) pria telah menjadi kebiasaan teman-teman
kos Sekar lainnya.
“Yang punya kos kan nggak tinggal di sini Say.”
“Lha terus tinggal dimana?”
“Di Jakarta, yang di sini pembantu, bersih-bersih”
“Terus kalau ketahuan???”
“Tinggal bayar. Kalo bayar nggak dilaporin ke RT,
dikasih tahu juga kapan yang punya kos dateng. Noh, kamar
sebelah pernah digrebek, ogah bayar soalnya…”
Rumah ini menyimpan rahasia. Agaknya, begitu pula
rumah-rumah di sekitarannya.
“Masukin aja…”, ucap lirih Sekar di tengah percumbuan
kami.
Aku tersentak, terhenti dan berpikir sejenak. “Nggak
ah…,”

133
“Kenapa, Say…” sambil dielusnya wajahku dengan
kedua tangannya yang lembut.
“Nggak apa-apa…”, kuharap jawabku tak menyakitinya.
Entah kenapa, aku hanya tak ingin saja. Meski memang,
ini saat tertepat tuk membuktikan apakah dirinya masih
virgin ataukah tidak. Oh tidak, tidak, aku tak peduli akan
hal itu! Aku membayangkan, bagaimana jika benar-benar
diriku lah yang nyata-nyata merenggutnya.
Aku terlalu mencintainya saja.

-------

Di suatu sore di salah satu perundakan Graha Sabha


Pramana, bermodalkan gitar tua ayahku, ku dendang
Woman karya John Lennon untuk Sekar Ayu. Lagu itu
merupakan manifestasi syukur dan sukacita-ku atas
kehadirannya yang telah mempercantik hari, dan tentunya
melengkapi diriku...

WOMAN
By John Lennon

Woman, I can hardly express


My mixed emotions at my thoughtlessness
After all I’m forever in your debt
And woman, I will try to express

134
My inner feelings and thankfulness
For showing me the meaning of success

Woman, I know you understand


The little child inside of the man
Please remember my life is in your hands
And woman, hold me close to your heart
However distant don’t keep us apart
After all it is written in the stars

Woman, please let me explain


I never meant to cause you sorrow or pain
So let me tell you again and again and again

I love you
Now and forever

Aku bertaruh, segalanya kan selalu indah mulai


sekarang.

Dan aku salah besar: ibu meninggal.

135
XIX

The Lost Paradise

I bu meninggal. Kesalahan diagnosis. Pusing kepala


kambuhannya selama ini bukanlah migrain atau penyakit
kepala biasa, melainkan kanker otak.
Ia roboh di dapur siang kemarin. Jatuh begitu saja,
seperti Stuart Sutcliffe yang ambruk sesaat setelah meminta
izin Lennon tuk mengundurkan diri dari The Beatles.
Kanker otak. Betul kata Carson, hanya manusia modern
yang bisa mencipta penyakit tanpa penawar seperti ini.
Pagi sebelumnya, aku pamit ke kampus guna mengurus
skripsi. Ya, semester ini aku mulai mengambilnya. Tahap
terakhir sebelum diriku menyandang gelar S.H. Tak tahu
kepada siapa lagi gelar ini harus kupersembahkan. Kan
selalu ku ingat ucap terakhirnya, “Kami bangga padamu,
Nak…”.

136
-------

Donny yang ku tengarai mengidap bipolar disorder.


Rani yang hamil di luar nikah. Ardi si penganggur abadi.
Dan kini, ibuku. Semua tiada.
Bagiku, kematian ibu adalah peristiwa terbesar abad
ini. Saat dikandungnya, segala kebutuhanku terpenuhi, pun
rasa aman dan nyaman, aku tak mengkhawatirkan apapun.
Inilah surga yang sesungguhnya. Belakangan ku sadari
bahwa segala yang ku perbuat di luar sana hanyalah usaha
tuk kembali ke rahimnya…
Tak kuat ku berlama-lama di sini. Maaf.

137
XX

Beautiful Mind

“B agaimana, Pak?” proposal skripsi, ku rampungkan


dalam semalam.
“Bagus, bagus sekali”, ucap Dr. Erebor, dosen pem­
bim­bing akademikku. Seolah, hanya dua kata itu yang
bisa diucapkannya padaku selama ini; “bagus” dan “bagus
sekali”. “Tapi ini larinya ke filsafat hukum, bukan bidang
saya”, tambahnya.
Aku termangu, namun batinku berucap penuh harap,
“Jangan…, jangan…”
“Ini bidangnya Prof. Maldade, coba nanti saya kontaknya
beliau, berkenan atau tidak membimbing skripsimu”, ucap
Dr. Erebor sembari membolak-balik halaman.

138
Mampus!
Ihwal yang tak kumau diucapnya juga. Semoga Prof.
Maldade menolaknya.

-------

“Gimana, Say?”, sapa Sekar sesaat setelah ku keluar


ruangan.
“Pak Erebor mau ngalihin ke Pak Maldade”, balasku
lemas.
“Eaaaaaaa”, ia mengejekku.
“Ah, kamu malah gitu,”
“Hehehe, muuph deh, cemungudh ea Sayooonk”, ia
masih mengejekku.
“Selamat”, itulah kata yang sering terlontar dari Maha­
siswa Departemen Hukum ketika mengetahui salah seorang
temannya mendapati pembimbing skripsi Prof. Maldade.
Karuan, ucapan selamat itu adalah ‘ejekan’. Kutahu
benar, ketika tahun lalu melintas di depan kantor
departemen, seorang senior menerima ucapan itu dari
teman-temannya. Ada pula salah seorang yang berkata,
“Selamat. Dua tahun”, itu artinya, ia telah menjadi
mahasiswa bimbingannya sela­ma dua tahun dan belum
lulus juga.

139
Selain dikenal dingin terhadap siapapun yang ditemui­
nya, Prof. Maldade dikenal pula sebagai dosen yang
teramat-sangat sibuk. Kerjaannya hanya dua: kalau tak
ke luar negeri, ke Jakarta. Ia turut mengajar di Monash
University, juga men­jadi staf ahli presiden bidang hukum.
Di tanah air, ia men­dapati julukan sebagai “Leslie Green
dari Timur”20.
Itulah mengapa, para mahasiswa bimbingannya
terseok-seok. Tak ada yang dapat mereka lakukan selain
berbuat tanpa berharap. Belum lagi “politik bumi hangus”
yang kerap dilakukannya.

-------

Betul. Asumsi manusia sering salah: Prof. Maldade


menerima proposalku. Namun, sepi kutuai ucapan
“selamat”; hanya dari seorang, bahkan itu pun dari Sekar.
“Ah, kalau buatmu sih kecil Prof. Maldade…”, kata Beni;
seniorku yang juga mahasiswa bimbingannya. Ia sudah satu
setengah tahun menjadi bimbingan Prof. Maldade.

20
Leslie Green adalah Guru Besar Filsafat Hukum Universitas Oxford, saat
ini ia masih aktif mengajar.

140
Aku hanya diam. Karena memang, tak tahu harus
bagaimana meresponnya.

-------

“Dasar Hukum Euthanasia dalam Perspektif Hukum


dan Moral Kontemporer: Legalisasi Euthanasia bagi Hukum
Formal Indonesia. Hmm…” Prof. Maldade membaca judul
pro­posalku. Pagi ini aku menghadapnya di departemen.
Masih juga ku berharap, ia mengurungkan niat tuk
mem­bimbingku.

-------

Euthanasia. Itu adalah ketika pasien atau seseorang,


dengan penuh kesadaran dan kehendaknya sendiri,
meminta bantuan pihak lain untuk mengakhiri hidupnya.
Ini adalah pengertiannya yang paling umum.
Secara etimologis, istilah “euthanasia” berasal dari
ba­hasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos yang
berarti “kematian”. Dengan demikian, euthanasia dapat
diartikan sebagai “kematian yang baik”. Kematian yang
baik seba­gaimana dimaksudkan di sini adalah kematian
yang tak menimbulkan rasa sakit, bilamana ada, itu pun
sangat kecil. Umumnya, suntikan berdosis tinggi atau pil
sianida digunakan dalam praktek ini. Dalam dunia modern,
praktek euthanasia diawasi dan dilakukan oleh tenaga
medis profesional.

141
-------

“Hmmm, berani… Ya, ya, bisa, bisa…”


“Aduh, mati aku,” batinku berucap.
“Bagaimana, Prof?”, tanyaku basa-basi tuk menghor­
matinya. Malas nian sebetulnya diriku. Bagaimana tidak,
di saat dosen-dosen lain mengapresiasi kecemerlanganku
di kelas, ia diam saja, bahkan seolah menganggapku tiada.
“You Reno yang aktif komentar di kelas itu kan?”, aku
terkejut, mataku sempat terbelalak menatapnya, tapi buru-
buru ku redam ekspresi itu dan bersikap normal, seakan
tak ada yang spesial, meskipun memang, hatiku meloncat
girang melampaui Mount Everest.
Lagi-lagi, asumsiku salah, ternyata ia memperhatikanku,
mengakuiku. Cihuuuy! Hahaha.
“Iya, Prof…,” aku menjawab dengan nada datar, me­
nyem­bunyikan meriahnya perasaanku.
“You tahu, pasal-pasal KUHP mana saja yang you
tan­tang?” telah menjadi kebiasaannya memanggil orang
dengan sapaan “you”.
“Iya, Prof. Pasal 344, 338, 345, serta pasal 359 KUHP,
Prof”.

142
“Mana dari sekian pasal itu yang paling jelas memuat
seriusnya persoalan euthanasia?”.
“Pasal 344 KUHP Prof, berbunyi: ‘Barangsiapa menghi­
lang­kan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,
yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”, aku
menjawab dengan mantapnya.
“You berniat mengajukan materiele toestingrecht21 ke
MK besok?”
“Saya siap, Prof!”
“Bagus. Lanjutkan.”
“Lanjutkan kemana, Prof?”
“Ke bab-bab selanjutnya, tak perlu ujian proposal”
“Hah…???”
Aku bengong. Tak perlu ujian proposal, langsung ke
bab-bab selanjutnya. Bablas…
Aku lupa mengucap terima kasih padanya.

-------

Mungkin benar kata Beni, di tangan orang yang tepat,


Prof. Maldade tak jadi soal, dan orang itu adalah aku.

21
Uji material.

143
Segera ku sadari bahwa Prof. Maldade adalah tipe
dosen bagi para pembelajar mandiri. Di tangannya,
mereka lebih bisa mengeksplor berbagai potensi diri,
pun mempersingkat masa studi. Ini tampak ketika dirinya
mengajukan pertanyaan padaku: “You berniat mengajukan
uji material ke MK besok?”, sama sekali tak terpikirkan
olehku sebelumnya. Sekonyong-konyong, langsung saja
ku iyakan. Ia mendorongku tuk tak mudah berpuas diri
dan bertindak lebih jauh. Tampaknya, ia bakal menjadi
pembuka katup keran ide-ide besarku.
Sebaliknya, bagi mahasiswa yang tak memiliki keper­
cayaan diri terhadap wacana keilmuan yang digelutinya,
Prof. Maldade bakal menjadi momok. Mereka bergantung
penuh pada dikteannya, terlunta-lunta mengikuti logika
dan alur pemikirannya. Alhasil, asa lulus cepat kian jauh
panggang dari api.

-------

Pasca merebus air dan membereskan rumah, kumulai


proyek besar pertamaku dalam hidup: skripsi. Ketiadaan
ibu mau tak mau membuatku sedikit-banyak harus meng­
gantikan perannya, terutama berkenaan dengan kebersihan
rumah serta ketersediaan lauk-pauk di pagi dan malam
hari.
Kurang-lebih pukul delapan, ku nyalakan laptop. Aku
memasuki bab dua skripsi. Targetku: menyelesaikan lima

144
bab skripsi dalam waktu sebulan. Semua kupersembahkan
untuk ibu.
Sekali lagi, aku dalam momen puncak, kobar se­
mangat­ku begitu besar hingga para dewa tak mampu
memadamkannya.
Jelang malam, aku masih saja mengetik, kamarku
berserak buku tak karuan. Sehabis santap malam, ayah
menghampiri dan memotret kamarku. Ketika kutanya
untuk apa ia mengambil gambar, dijawabnya singkat,
“Kenang-kenangan, Nak”. Whatever.
Sesaat setelah dirinya keluar, terdengar sayup-sayup
lantunan orkestra, makin lama makin kentara, lembut tapi
kuat.
Aku ingat! Lelantun orkestra ini muncul saat
Russel Crowe, dalam Beautiful Mind, diminta Pentagon
memecahkan sandi militer Rusia. Angka-angka segera
melayang bebas di atas kepalanya, menari-nari ke segala
arah, tanpa ber­singgungan satu sama lain.
Begitu pula diriku. Hanya saja bukan angka yang
menari kesana-kemari, melainkan narasi-narasi ayat dalam
berbagai pasal KUHP. Ini benar-benar orgasme intelektual,
aku tak bisa berhenti merangkai kata. Aku berada di salah
satu adegan Beautiful Mind.
Pukul dua pagi. Sesaat setelah ku teliti ulang footnote,
kurasa telah tiba waktuku untuk rehat dan melanjutkan

145
lagi nanti, lima atau enam jam kemudian. Aku telah menye­
lesaikan separuh bab.

-------

Sama seperti hari kemarin, pukul delapan, mulai


ku buka laptop, sejurus pasca diriku rampung mencuci
piring. Tak butuh waktu lama tuk menyadari bahwa inilah
yang bakal menjadi rutinitasku selama sebulan ke depan:
membereskan rumah, mengetik di pukul delapan pagi, dan
baru mengakhiri di keesokan harinya—pukul dua pagi.

-------

Hari demi hari berlalu, aku memasuki minggu kedua


pengerjaan skripsi. Karya ilmiahku telah sampai di separuh
bab tiga. Satu-satunya yang menghambat langkahku adalah
keharusan membaca beragam literatur terlebih dahulu,
baru kemudian menuliskannya. Andai saja dulu kubaca
lebih banyak buku, dan bukannya menghabiskan dua-tiga
hari seminggu bercumbu dengan Sekar, pasti langkahku
jauh lebih cepat ketimbang sekarang.
Tetapi, bukan itu yang terburuk, berbagai komplain
mulai kuterima. “Jangan terlalu memaksakan diri, Nak”
ucap ayahku di sela pengetikan skripsi yang tak terputus
sehari pun. “Harusnya ini bisa lebih cepat selesai, Yah”,
balasku meyakinkan dan menenangkannya.

146
Aku tahu, ia tak sepenuhnya mengkhawatirkan
kemaniakkan-ku, tetapi lebih karena terbengkalainya
ber­m acam pekerjaan rumah. Sore kemarin sepulang
kerja, ia kaget tak karuan ketika membuka rice cooker dan
mendapati beras tergenang air yang mulai keputih-putihan:
aku lupa menekan tombol “cook”. Begitu pula, talang rumah
yang sedianya telah kubenahi beberapa hari lalu belum jua
tersentuh hingga kini, satu plat seng yang menahannya
terlepas dan beberapa pekerjaan yang ku lalaikan lainnya.
Namun tetap, yang terparah datang dari Sekar. Ia mulai
ngambek karena tersingkir dari mega-megaku.
“Kamu ngerjain skripsi kayak orang kesurupan!”,
bentaknya padaku di telpon.
“Ini kan buat kita juga, Kar…”, aku berupaya
meredamnya.
“Ada yang kamu lupain nggak hari ini???”
Hufh. Aku lupa mengantarnya mencari kado untuk
temannya yang berulang tahun.

-------

Keberadaan perpustakaan pribadi begitu membantu,


itu adalah kamarku yang dipenuhi berak-rak buku. Aku
tak perlu bolak-balik perpus kampus tuk mencari berbagai
literatur yang kuperlukan. Meskipun memang, satu-dua
kali tempo hal itu tak terhindarkan, yakni ketika sumber-

147
sumber literatur langka memaksaku tuk menyambangi
perpus kampus. Bagaimanapun juga, aku telah menghemat
puluhan, bahkan ratusan jam lewat perpus pribadi.
Euthanasia. Hari demi hari ku bergelut dengannya.
Ada satu kasus unik yang kutemukan. Di tahun 2003,
seorang warga Cina, Wang Mingcheng, menderita kanker
perut yang tak mungkin lagi disembuhkan. Ia meminta
rumah sakit tempatnya dirawat melakukan euthanasia
terhadapnya, namun pihak rumah sakit menolaknya.
Alhasil, ia meninggal dalam kesakitan yang teramat sangat.
Gila, batinku. Apakah setiap manusia diwajibkan
me­nanggung akutnya penderitaan hingga akhir hayat,
sedang ia sendiri mengetahui pasti jika tak ada lagi jalan
keluar kecuali kematian. Kasus Wang Mingcheng kian
meyakinkanku bahwa moralitas maupun kemanusiaan
sejatinya bersifat subjektif, individual.
Moral, yang ajek bicara mengenai baik-buruk manusia
ditinjau melalui sudut pandang manusia lainnya, memuat
ambiguitas tersendiri. Bagi para dokter, tindakan Wang
Mingcheng buruk karena tak mensyukuri anugerah
kehidupan yang diberikan Tuhan. Sebaliknya bagi Wang
Mingcheng, negara selaku pembuat aturan larangan
keras euthanasia maupun para dokter yang mengikutinya
adalah jahat lagi kejam karena membiarkannya mati dalam
penderitaan yang tak terperi.

148
Melalui sudut pandang Wang Mingcheng, negara
mau­pun dokter berlaku tak manusiawi. Tindakan negara
terklasifikasi dalam state crime and violence, sementara
para dokter menegaskan profesinya sebagai “pemenjara
nyawa”. Mereka memaksa ruh untuk tetap terjebak pada
jasad sakit yang begitu menyiksanya.
Pertanyaannya, apakah negara serta dokter mengalami
penderitaan yang dirasakan Wang Mingcheng? Sekali-kali
TIDAK.
Wang Mingcheng menuai ketidakadilan.

-------

Jujur ku akui, ide skripsiku tak lepas dari sumbangsih


Alfi. Diskusi dengannya di taman filsafat beberapa tahun
lalu tentang hidup sebagai hak, dan bukannya kewajiban;
begitu menginspirasiku kemudian.
Ku lacak kembali film asal-mula tercetusnya kalimat di
atas. Film itu tak berjudul In the Deep Blue Sea atau Into Deep
Blue Sea sebagaimana dikatakan Alfi, tetapi The Sea Inside.
Diakuinya memang kala itu, sedikit lupa dengan judulnya, ia
pun telah mewanti-wantiku: “Pengetahuan yang setengah-
setengah sangatlah berbahaya”. Itulah mengapa, ia selalu
menyuruhku mencari langsung sumbernya.
The Sea Inside (2004), merupakan kisah nyata
mengenai seorang eks-Pelaut bernama Ramon Sampredo
asal Spanyol yang lumpuh dan tak dapat beraktivitas lagi. Ia

149
menghabiskan dua puluh enam tahun hidupnya di ranjang
dan kamar yang sama. Jelas, bagi orang sepertinya kematian
adalah jalan keluar dari hidupnya yang demikian absurd.
Ku temui pula, nyatanya kalimat sakral yang ku telisik—
”hidup bukanlah kewajiban, melainkan hak”; merupakan
slogan yang sengaja dibuat Ramon tuk memperjuangkan
pilihan bebasnya di hadapan pemerintah, Gereja Katolik,
serta masyarakat luas. Jika seseorang memiliki hak untuk
hidup, bukankah seharusnya ia turut memiliki hak untuk
mengakhiri hidup(nya)?

-------

Minggu ketiga. Ku masuki bab keempat skripsi. Masih


dengan tempo yang sama, membuka dan menyalakan
laptop di pukul delapan pagi. Namun, ada yang berbeda
pagi itu, tenggorokanku terasa gatal.
Benar kiranya, sore hari aku jatuh sakit.
Malam harinya, aku demam. Sudah tentu ayah
kewa­lahan. Ini kali pertamanya diriku merasa bersalah
sepanjang pengerjaan skripsi. Bagusnya, aku masih
memiliki superego.
Tubuhku tak kuat lagi setelah dua minggu lamanya
dipacu tuk bekerja hingga ke batas, sistem metabolisme-
ku kacau-balau, meski otak cantikku masih saja meminta
lebih dan lebih, menafikkan kondisi tubuh tempatnya
bersemayam.

150
Saat berebah dengan kondisi panas-dingin dan kepala
pening, kuterima pesan ini: “Aku nggak mau tahu, pokoknya
besok kita ketemu!”
Sekar tak mengetahui kondisiku, ia telah menutup
rapat pintu kompromi. Mungkin benar kata Engels, ilmu
pengetahuan takkan pernah berdamai dengan perempuan:
“Perempuan adalah perusak tenangnya pengetahuan”.
“Aku sakit…”, balasku singkat, terkandung harap juga
agar dirinya mengerti.

-------

Sekar menjengukku.
Gatotnya22 rencanaku telah menjadi keniscayaan, sejak
ibu meninggal bahkan. Sengaja tak kuberitahu ayah dan ibu
jika diriku telah memiliki pacar. Sengaja, sebagai kejutan di
hari wisuda nanti, bahwa aku telah memiliki pendamping.
Tapi apa boleh buat, segalanya telah berubah.
“Kamu sih…, morsir gitu…”
Aku tersenyum kecil, pening kepala membuatku tak
bisa mengangkat bibir lebih tinggi.
“Pokoknya aku mau, besok habis kamu sembuh, kita
refreshing”, ucapnya lagi.

22
“Gagal totalnya”.

151
Kali ini ku angkat satu alis, sembari terus menatap
wajah ayunya dengan sayu. Dari sisi manapun, ia memang
seperti Alyssa Soebandono.
Ayah pulang. Setengah kaget. Ada gadis cantik. Di
kamar putranya.
Sekar tersenyum padanya. Agak malu-malu. Dan
sedikit salah tingkah.
“Eeee, siapa ini…???”, tanya ayah penuh semangat.
Kebahagiaan tak dapat disembunyikan dari rautnya. Tapi,
mengapa ia harus bahagia? Dan untuk siapa ia bahagia?
Kami berdua hanya cengar-cengir. Tak butuh waktu
lama baginya tuk menangkap “sesuatu” di antara kami.
“Wah, wah Ren, kamu pinter cari cewek, tapi kamu
Mbak, bodo cari cowok”, ayah berkata spontan, kami pun
tertawa lepas, aku lupa jika tengah sakit.
Kehadiran Sekar di tengah kami benar-benar meng­
hangatkan suasana. Aku bahagia, dan aku terbaring hingga
empat hari ke depan.

-------

Tiga rumah peribadatan agama besar terpam­


pang di hadapanku: Islam, Hindhu, dan Budha. Betapa
har­monisnya…
Tapi, tunggu sebentar, mushola ini sangat unik,
berlantaikan pasir, dan berkiblat ke arah Selatan. Oh

152
ya, baru kusadari, inilah tempat ibadah Islam-kejawen,
berkiblat ke pantai Selatan.
Dahulu kala, sebelum Islam benar-benar menguasai
tanah Jawa, tepatnya sebelum Prabu Brawijaya V lengser
akibat diserang putranya sendiri, Raden Patah; masyarakat
Jawa melakukan kompromi terhadap hadirnya agama
baru—Islam, yang terjadi kemudian adalah akulturasi
antara Islam dengan Kejawen, mushola berkiblat ke arah
Selatan, inilah jadinya.
Pemeluk Islam daerah Jawa Pesisir Selatan memang
unik. Bagi mereka, budi pekerti jauh lebih penting
ketimbang ritual. Tak mengapa sholat lima waktu bolong-
bolong, pun puasa ramadhan, asalkan berbudi pekerti
baik, tak jadi soal—entah bagaimana hisab mereka kelak.
Ini adalah residu ajaran Kejawen yang masih bertahan
hingga kini, buah kesalahan Walisongo juga yang lebih
mementingkan kuantitas ketimbang kualitas. Sunan
Kalijaga menghasut Raden Patah tuk menyerang ayahnya
sendiri, andaikan Prabu Brawijaya V tiada, seluruh tanah
Jawa akan Islam, dan kun fayakun maka ‘yang terjadi,
terjadilah’.
Ya, di sinilah aku, di Pantai Ngobaran yang eksotis,
ber­sama Sekar. Ku tunaikan janji ber-refreshing dengannya
setelah sembuh, butuh kurang-lebih satu jam perjalanan
indah tuk mencapai Pantai Gunung Kidul yang begitu
mencerahkan jiwa ini. Pantai tempat Prabu Brawijaya V

153
melarikan diri dari kedurhakaan anaknya, kemudian muksa
(hilang) dengan membakar diri. Itulah mengapa, dinamakan
Ngobaran, berasal dari kata “api yang berkobar-kobar”.
Namun, masih saja, skripsi yang telah terbengkalai
lima hari lamanya menghantuiku. Terlintas definisi apik
euthanasia cetusan Van Hattum, “Euthanasia adalah proses
mempercepat…”. Entah kenapa, seolah aku diminta meng­
ulangnya saat itu juga.
“Mikir apa? Pikiranmu sepertinya lagi di tempat
lain…?”, cetus Sekar di ramai debur ombak menghantam
karang. Aku tertangkap basah. Memanglah, perempuan
makhluk yang tak bisa dibohongi. Merekalah CIA yang
sesungguhnya.
“Pikiranmu sepertinya juga sedang di tempat lain…?”,
balasku menantang, dan Sekar cuma tersenyum manis.

-------

Minggu keempat-kurang dua hari. Kembali kujamah


bab empat skripsi.
Segera jelas jika diriku menjadi pengikut Van Hattum
yang taat. Euthanasia adalah proses mempercepat kematian
pada penderita penyakit yang tak dapat disembuhkan,
dengan melakukan atau tidak melakukan tindakan medis,
dengan maksud membantu korban atau keluarganya

154
menghindarkan diri dari penderitaan saat menghadapi
kematian. Itulah definisi lengkap euthanasia tukas Van
Hattum. Aku lebih berfokus pada euthanasia aktif dalam
skripsi ini, yakni “diberlakukannya tindakan medis” pada
pasien.
Aku tak belajar dari sakit kemarin, tempoku tetap
sama: membuka laptop pukul delapan pagi, dan baru
mengakhiri keesokan harinya, pukul dua pagi. Satu hal
telah terbenahi, nasi dan lauk-pauk selalu tersedia bagi
ayah tercinta.Ssedang talang belum jua terjamah, berasa
nanggung membenahinya.
Memang, ayah sedikit berat melihatku larut lagi
dalam rutinitas, seolah ku berada di sangkar besi.
Padahal, skripsi adalah proyek ilmiah yang “bebas”;
bebas mengerjakannya sesegera mungkin agar cepat
selesai; bebas mengerjakannya dengan santai, pun dengan
bermalas-malas ria. Tapi bagaimanapun juga, semua yang
ku lakukan juga untuknya, untuk kami.

-------

Sebulan berlalu. Target tak tercapai!


Pening benar diriku, nyatanya semua tak semudah di
angan, terlebih ketika ku jajaki ranah pengkajian moral—
masih di bab empat.
Aku berhadapan dengan Immanuel Kant: “Bertindaklah
sehingga maksim tindakanmu menjadi model bagi seluruh

155
umat manusia”. Aku melawannya, bagiku, manusia takkan
mungkin menjadi teladan bagi sesamanya. Ku pinjam
pandangan filsafat eksistensialisme Sartre: tak ada manusia
yang konsisten, setiap manusia berada pada penciptaan diri
yang terus-menerus dan berulang-ulang.
Ini artinya, terlalu muskil membayangkan seseorang
menjadi baik seterusnya. Begitu pula sebaliknya, menjadi
jahat selamanya. Seseorang yang saat ini kita kenal baik,
tak menutup kemungkinan besok berubah menjadi jahat
dan demikian pula sebaliknya.
Pun, andaikata seseorang berupaya menjadi teladan
bagi sesamanya, maka ia cenderung menilai baik segala
yang dilakukannya. Tak peduli saat itu ia tengah menjadi
orang baik ataukah jahat melalui kacamata orang lain.
“Setiap tindakan manusia adalah rasional”, kupinjam
pernyataan Weber tuk menguatkan argumenku.
Aku sukses membalikkan moralitas pada tataran
subjektif.

-------

Selepas Isya. Tak tertahankan lagi. Aku serasa mau


mati. Telah satu setengah bulan lamanya. Kepala dari kaki,
kaki dari kepala.
Aku keluar kamar, dengan wajah pucat dan langkah
terpentang. Ayah tampak sibuk dengan hp-nya. Sesaat, ia

156
mengamatiku, kacamata diturunkannya sedikit, kekha­
watiran akut segera terpahat di rautnya.
“Eh, kamu nggak apa-apa kan???!”,
Aku tak menjawab, ada hal lebih penting tuk
kusam­paikan…
“Skripsiku selesai, Yah…”
Senyum bungah mengembang di wajahnya. Tak
perlulah ia berkata-kata tuk mengutarakan rasanya.
Bangga pada putranya.

157
XXI

Epoche

E poche. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani kuno


yang berarti, “tanda kurung kurawal”. Dalam metode
fenomenologi 23 , epoche berfungsi sebagai instrumen
guna melakukan “penangguhan sementara”. Artinya,
melalui epoche, kita diharuskan untuk terlebih dahulu
menghilangkan berbagai prasangka, penilaian, serta
asumsi-asumsi terhadap objek yang hadir di hadapan
kita. Menggunakan epoche dapat pula berarti menjadi
seseorang yang bebas kepentingan atau netral. Di sisi lain,
penggunaan epoche bukan berarti sama sekali menolak
pengalaman dan asumsi yang kita miliki, melainkan mulai
mempertanyakannya.

23
Metode yang dicetuskan Edmund Husserl untuk melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya—it is what it is.

158
Epoche, itulah yang seharusnya ku gunakan. Pasca
semalam ku rampungkan skripsi, langsung kutuju meja
Prof. Maldade keesokannya.
“Kamu belum tahu ya? Prof. Maldade ke Boston sam­
pai bulan depan”, ucap Mrs. Monik, asisten akademik
jurusan. Ucapan yang segera melepas tulang-tulangku dari
persendiannya.
Loyo dan ngilu. Itulah yang kurasa. Satu setengah bulan
lamanya, bekerja dengan ritme monoton, mengacau meta­
bolisme tubuh, memasok jantung dengan besaran cafein
tak terukur, dan hasilnya… sia-sia. Jika tahu begini, target
skripsi sebulan pun takkan tercapai, dan karena diriku
menyelesaikannya dalam satu setengah bulan, itu sama
artinya dengan dua setengah bulan. Absurd.
“Bu, saya bisa minta tolong di-sms kalau Prof. Maldade
sudah datang…?”,
“Oh iya, tulis nomermu di sini”
Aku pun berlalu.

-------

“Lho, kok pake footnote semua???”, hari yang dinanti


tiba. Prof. Maldade memeriksa hasil jerih payahku.
“Sekarang udah nggak zamannya footnote, tapi bodynote.
Coba you ganti dulu semua, you convert”, tambahnya.

159
Butuh tiga hari tuk mengonversi footnote-ku yang
rumit dan begitu teliti pada format bodynote. Andai sejak
dulu ku tahu jika ketelitianku kala itu sama sekali tak
bernilai, pastilah ku gunakan bodynote sedari awal, itu
sudah tentu menghemat banyak energi. Bagusnya lagi, Prof.
Maldade baru hadir dua minggu kemudian. Skripsiku pun
rampung dalam dua setengah bulan, dan dua minggu…
Responnya tak kalah cantik: “Oke, nanti kubaca ya.”
Begitu saja, tanpa kejelasan kapan ia selesai membacanya;
dan bagaimana cara ia memberitahuku jika telah selesai
membacanya. Aku digantung.
Kobar hasratku tuk menyelesaikan studi sarjana dalam
kurun waktu tiga setengah tahun belum jua pudar. Ini
artinya, skripsiku harus beres dalam enam bulan ini. Masih
tersisa tiga setengah bulan. Bisa lah!.
Kuatnya hasrat itu pula lah yang mendorongku kembali
menyambangi ruangan Prof. Maldade keesokan harinya.
“Eh, you kan baru kemarin ketemu saya”, baru saja ku
berdiri di ambang pintunya, dan kalimat itu yang segera
tercetus dari mulutnya.
“Oh, iya Prof...”, aku tak bisa berkata-kata lagi, yang
jelas, jangan sampai Leslie Green dari Timur ini marah, atau
semuanya bakal kian runyam.
“Minggu depan, minggu depan”, tukasnya.
“Oh baik, Prof.”

160
Bagus, setidaknya ia memberiku kejelasan, hehe.

-------

Buliran pasir waktu terus berguguran, berpacu dengan


ambisiku tuk segera merampungkan proyek ini. Bagai­
manapun, ini adalah pembuktian intelektual terpenting,
mungkin malah yang terbesar dalam rentang perjalanan
akademik-ku.
Sejauh ini, akulah pemegang Indeks Prestasi Kumulatif
(IPK) tertinggi di kelas—3,92. Di tiga semester terakhir,
indeks prestasiku “empat-bulat” alias summa-Cumlaude,
dan jika mampu ku tuntaskan studi dalam waktu tiga
setengah tahun, takkan ada lagi yang meragukanku, bahkan
Tuhan sekalipun.
Kehendakku tuk tampil di tengah khalayak bagai emas
kuning yang berpijar silau pasca ditempa bara benar-benar
tak bisa ditawar lagi. Bilapun ada metafor lain, itu adalah
kilau intan yang telah menusuk mata orang-orang dari
kejauhan. Aku akan tercatat dalam sejarah dunia, sebagai
pemikir besar asal Timur layaknya Khaldun, Ali Syariati,
Edward Said, Homi Bhabha, atau Tariq Ramadan. Kelak
reputasiku jauh menandingi Prof. Maldade.
Eh, apakah aku telah menjadi seorang megalomania?

-------

161
Manusia boleh berencana, Prof. Maldade yang
me­nentukan.
Mungkin, inilah saat yang tepat tuk mendengar
lantunan Gloomy Sunday, meski ini bukan hari Minggu,
tetapi Selasa. Namun di minggu ini, ujian batin dan mental
kembali mengelusku.
“You lebih ke euthanasia aktif ya?”
“Iya, Prof.”
“Why???”
Aku terdiam sejenak, menghimpun mental tuk beradu
argumen dengannya. “Karena model euthanasia yang
demikian relevan dengan nilai-nilai moral masyarakat mo­
dern Prof. kematian yang meminimalisir, atau tak menim­
bulkan rasa sakit…”
“Betul, tapi sayang sekali kalau skripsi you sekedar
berkutat pada euthanasia aktif, padahal baik euthanasia
aktif maupun pasif, itu udah sepaket: eu-tha-na-sia”
Leslie Green dari Timur kembali menegaskan, “Coba
you lihat Masokis, Puritanis, dan para penganut Purda:
mereka sakit dan menderita, tapi fine-fine aja toh. You tahu
Masokis?”
“Iya Prof., tahu”
“Apa?” ia mengujiku.

162
“Mereka yang memperoleh kenikmatan seksual lewat
rasa sakit,”
“Nah, itu you tahu. Artinya, rasa sakit tak selalu ber­
kelindan dengan kejelekan toh? Cobalah, you tambah sama
euthanasia pasif, sayang kalau dilewatkan,”
“Baik, Prof. Terima kasih banyak…”
“Ya, sama-sama,”
Nyatanya, skripsiku belum juga selesai.
Lemas.

163
XXII

Sisifus

M asukan Prof. Maldade sudah tentu berdampak


sistemik terhadap karya ilmiahku.
Tulisan ilmiah, apapun bentuknya: entah skripsi,
jurnal, proceeding, ataupun paper; ibarat organ hidup
yang memiliki rantai selnya sendiri. Satu saja rantai tak
tersambung, muskil tercipta kehidupan.
Masing-masing sel memuat informasi, penambahan
satu atau dua informasi saja mensyaratkan dibentuknya
rangkaian sel baru yang wajib mengait dengan sel-sel
sebelumnya demi menjamin kehidupan.
Inilah rahasia karya ilmiah, seni mengolah dan meng­
hemat informasi, semakin jauh kau membuka lembarannya,
semakin dalam pula informasi yang kau peroleh. Dan bagi
seorang perfeksionis sepertiku, ini adalah pekerjaan yang

164
melibatkan seluruh daya nalar hingga ke akar. Satu saja
informasi tak tersambung, keilmiahan dapat digugurkan,
buatku.
Penambahan objek kajian euthanasia pasif sama
hal­nya dengan perombakan pada latar belakang kajian,
penambahan rumusan masalah, tinjauan pustaka, dan yang
terberat: penulisan ulang bab pembahasan.
Pengkajian ulang perspektif moral kontemporer pun
tak terhindarkan olehku, utamanya berkenaan dengan
pema­nusiawian rasa sakit. Ini sudah tentu topik kajian yang
menantang, meskipun memang bernegasi dengan ambisiku
tuk segera lulus. Masyarakat modern dan pos-modern tak
lagi menerima rasa sakit sebagai keniscayaan. Apapun
bentuknya, rasa sakit berasosiasi dengan evil (kejahatan),
era santo telah berlalu.
Satu-satunya yang dapat ku lakukan adalah meng­
upayakan segalanya kembali pada tataran subjek lagi.
Dan melaluinya, kutahu benar jika kekacauan logika bakal
terulang—memposisikan subjek yang menentang struktur,
yakni nilai dan norma yang telah temapankan sedemikian
rupa.

-------

Kembali ku pada rutinitas silam: membereskan rumah,


membuka laptop pada pukul delapan pagi, dan aaargh,
monoton! Itu-itu saja. Sejurus ku sadari, aku yang tengah

165
mengkaji simpul-simpul penting kemanusiaan, justru
mendegradasi diriku sendiri, berlaku tak manusiawi
terhadap diriku, menjadikan tubuhku robot yang diprogram
tuk terus-menerus mengetik. Akulah robot akademik.
Tak butuh waktu lama bagi ayah tuk menyadari kejang­
galan ini. Itu terjadi ketika dirinya menyawangku tegang
di hadapan layar ketik. Namun seperti biasa, ia terlalu
sungkan tuk bertanya atau meyakinkan dirinya. Aku pun
enggan berkata-kata kepadanya, malu.
Karuan, bagian “latar belakang masalah” masih saja
me­nyitaku, semenjak pagi tadi. Nyatanya, mengedit
(baca: memperbaiki) tulisan jauh lebih rumit ketimbang
membuatnya sedari awal.
Tak diragukan lagi, tulisan bak organ hidup, gaya
bahasa menjadi ruhnya. Memasukan sisipan di sana-sini
seperti melukainya, terlebih ketika koherensi informasi
belum terbangun, ia terluka parah, malahan lebih buruk:
sekarat. Aku merasa berdosa pada tulisanku sendiri.
Dengan cara kerja yang sama, ketelitian tingkat tinggi
dan kontemplasi nalar yang mengakar, kurampungkan versi
baru skripsi setebal 250 halaman dalam waktu dua bulan.
Gila, ku lakukan pekerjaan yang sama untuk kedua kalinya.
Fortunetly, aku tak jatuh sakit, segera ku pasok vitamin
C dosis tinggi ketika badan mulai tak enak. Puji Tuhan,
sangat manjur. Meskipun memang, tetap saja, karya agung

166
selalu meminta tumbal, lagi-lagi Sekar dan ayah yang
menjadi korbannya.

-------

“Ini benar-benar mantap”, batinku. Kajian yang begitu


komprehensif mengenai euthanasia dalam perspektif
hukum dan moral kontemporer.
Aku segera berangan nantinya skripsi ini bakal
diterbit­kan dan menjadi buku pegangan wajib bagi seluruh
maha­siswa hukum seantaro nusantara. Seketika aku akan
terkenal dan tawaran beasiswa luar negeri bakal ramai
mengoyakku. Asal kau sadar, angan ini adalah kompensasi
atas tak tercapainya target studi tiga setengah tahun...

-------

Aku kembali menjadi setan untuknya.


“Kar…”, sapa lirihku berbalas kesunyian pekat; Sekar
menjadikanku hollow man.
Mulai ku bercakap tuk memahamkannya. Ku jelaskan
dan tegaskan sekali lagi bahwa yang ku lakukan juga untuk­
nya, untuk hubungan kami. Ku yakinkan dirinya bahwa
semua ini takkan lama, aku telah merampungkan skripsi
dan mengamini arahan Leslie Green dari Timur. Kini, satu-
satunya yang tertinggal hanyalah tanda tangan darinya tuk

167
membuka gerbang emas sidang skripsi. Setelahnya, ia dapat
memilikiku seutuhnya.
Entah mengapa, tapi sepertinya Sekar tak memahami
konsep cintaku. Bagiku, cinta adalah cinta. Cinta tak di­
ukur lewat banyaknya berkirim pesan singkat, seringnya
menelpon, atau kerapnya bertemu. Andaipun telah
sedekade lamanya tak berjumpa, jika cinta, maka akan
tetap cinta.
Perhatian dan pertemuan langsung seakan menjadi
kebutuhan akut baginya. Andaikan ia sadar, ia tak sedang
mencintaiku, tetapi mencintai dirinya sendiri. Betul kata
Derrida—orang yang jatuh cinta adalah narsis.
Lirikan berat mata Sekar tertuju padaku yang memang
mengharap pengertiannya. “Yaudah sana, buruan temuin si
Leslie Green-Tea!”, ucapnya judes. Tapi ku paham benar jika
amarahnya mulai surut. Tak pernah tahan ia berlama-lama
mendiamkanku, ehe ehe.
Aku pun beranjak, tak lupa mengecup keningnya ter­
lebih dahulu.
“Oh you. Sudah you rubah?” belum sampai tiba di
ruangannya, kami bertemu papas, tampaknya ia hendak
cabut. Nyaris saja!
“Sudah, Prof”, sambil ku sodorkan buntalan kertas tebal
kebanggaanku padanya.

168
“Bagus, bagus. Dua minggu lagi ya, saya sedang banyak
urusan”
“Oh iya, Prof.” memang, tak ada lagi opsi jawaban lain
bagiku.

-------

Tiga minggu lamanya, dan Prof. Maldade urung tampak


jua.
“Belum ada Mas…, beliau masih di Jakarta, besok saja
saya sms kalau beliau sudah kembali”, ucap Mrs. Monik
sedikit melow, ia merasa yang kurasa.
“Baik Bu, terima kasih banyak”
“Besok kalau ketemu Prof. Maldade, minta bimbingan
via e-mail Mas, biar gampang…”
“Oh iya ya, Bu?!” mengapa ini tak terpikirkan olehku
jauh-jauh hari. Hmm, mungkin juga karena ia tak pernah
membalas sms atau mengangkat panggilan teleponku
hingga ku pikir tiap komunikasi sekunder akan sia-sia
untuknya.
“Cari si Maldade, Bos???” Mirza, mahasiswa senior asal
Aceh menghampiri sesaat setelah ku keluar dari kantor
departemen. Ia dua tahun di atasku.

169
“Iya…”
“Dari kemarin nggak ada, janjinya lusa kemarin dia
mau ACC skripsiku”
“Sama, Bung”
“Berulang kali ku batalin tiket pesawat gara-gara dia.
Apa perlu kita laporin ke Ketua Departemen? Dekan?”,
Mirza menawarkan jalan keluar, tapi kepentingannya tuk
mencari pendukung lebih tampak.
“Jangan Bung, pengaruh dia lebih kuat ketimbang
dekan. Nanti kita sendiri yang susah…”

-------

Alhasil, bukan dua minggu seperti yang dijanjikannya,


tetapi dua bulan. Itu pun tak langsung menyelesaikan ma­
salah. Kabar baiknya: aku selalu ada untuk Sekar di rentang
itu.
“Skripsi you dimana ya, kemarin ku taruh di sini, kok
nggak ada ya?”
“Oh…”, aku cuma bisa melongo di ruangannya.
“Coba you print lagi ya”, ucapnya enteng, pun tanpa
rasa bersalah.
Kampret!
“Oh iya, Prof. Prof masih lama di sini? Saya print-nya
sekarang juga” aku tak berani memberinya soft file.

170
“Nanti dititipkan Bu Monik saja”
“Oh iya, Prof.”
Seketika ku teringat pesan Mrs. Monik, “Oh iya Prof,
saya bisa minta alamat e-mail-nya…?”
“Ya, ya, bisa, bisa”
Segera ku keluarkan catatan, dan ia menyodorkan
kartu nama.

-------

Sore hari. Ku kirimi Mrs. Monik pesan singkat: “Bu,


apakah Prof. Maldade sudah mengambil skripsi saya?”
“Maaf Mas, belum…”
Harusnya ia tak perlu meminta maaf, kita semua tahu
siapa yang seharusnya ‘meminta maaf’.
Jawaban serupa ku tuai dari Mrs. Monik keesokan sore­
nya. Ia pun melakukan yang terbaik: “Besok kalau sudah
diambil Pak Maldade, saya akan langsung sms Mas. Sabar
ya, Mas” begitu bunyi pesan singkatnya. Baik sekali, andai
orang-orang pintar memiliki karakter sepertinya, bukan
malah seenaknya.
Hari demi hari berlalu, pun memasuki minggu baru,
sama sekali tak ada kabar dari Mrs. Monik. Habis sudah
kesa­b aranku, ku kirimi Prof. Maldade e-mail beserta
lampiran skripsi dalam format pdf.

171
Dan, hingga minggu berikutnya… tak ada balasan.
Djancuk!

-------

“Mas, Prof. Maldade ada di departemen”, bunyi pesan


singkat Mrs. Monik.
Baru saja ku selesai membuat mie instan lengkap
dengan telur setengah matang, pesan singkat masuk di
waktu dan tempat yang salah. Tak ada waktu lagi, aku
segera mem­basuh muka dan menuju departemen.
“Oh you, skripsi you yang kemarin udah ketemu,
ternyata terselip di tumpukan itu”, sambil ditunjuknya
permukaan lemari dokumen besi.
Batinku pun menyalak penuh harap, “Ya, ya, langsung
saja, langsung saja, Prof. Aku siap ujian skripsi!”
“Emm, kemarin sudah saya baca. Ternyata begini toh
argumen you,”
“Ya, ya, langsung saja Prof, langsung saja!”, batinku
masih menyalak.
“Argumen you terlalu abstrak dan metafisis. You takkan
bisa ke MK dengan argumen-argumen seperti ini”
Pupus sudah harapku. Kalimat itu jelas menyirat
peno­lakannya.

172
Lagi-lagi, pertemuan kali ini tak menyelesaikan per­
soalan. Tak ku peroleh apa yang seharusnya telah ku tuai
sejak dulu.
Brengsek!

-------

Hampir setahun sudah ku menjadi mahasiswa bim­


bingan Prof. Maldade, entah apalagi yang harus ku perbuat,
ia kembali memintaku merombak skripsi. Parahnya, ia tak
mengatakan secara jelas bagian mana saja yang harus ku
revisi, ia hanya berkata berulang kali: “Skripsimu terlalu
abstrak dan metafisis”. Apakah ini artinya… aku harus
merubah lagi seluruh isinya?
Sementara, sebentar lagi Sekar memasuki bab lima—
simpulan dan penutup. Agaknya skripsinya bisa lebih
dulu selesai ketimbang punyaku, dan sepertinya memang
demikian, sedang ia mengerjakannya dengan khidmat.

-------

Cukup lama ku berefleksi, kusimpulkan bahwa argu­


menku terlampau condong pada subjek atau aktor pelaku
euthanasia. Sarat ku cari pasal dan ayat-ayat hukum lainnya
guna dielaborasi dengan argumen-argumen bernuansa
antroposentris24, barulah kemudian ku benturkan dengan
24
Berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, biasanya digunakan secara
berlawanan dengan istilah “teosentris” yang berpusat pada nilai-nilai Ketuhanan.

173
hukum formal kontra-Euthanasia. Titik tolakku tak lagi
ber­kutat pada vis-à-vis antara subjek dengan struktur,
melainkan subjek dan struktur yang melawan struktur.
Pemikiran tingkat tinggi, ini setara dengan desertasi
doktoral. Oh oh oh!
Kali ketiga ku lakukan pekerjaan yang sama, pun
dengan memperkosa sel otak hingga batas kemampuan.
Aku menjadi sangat serius, jauh lebih serius dari sebe­
lumnya, ini pekerjaan yang teramat besar.
Lambat-laun, kusadari perubahan pada diri: aku
menjadi sulit berekspresi. Saat ayah mengajakku bercakap,
bukan ekspresi ini yang hendak kutunjukkan, aku ingin
tampil lebih hangat dan antusias di hadapannya, tapi seolah
hanya inilah ekspresi yang kumiliki: dingin dan biasa-biasa
saja.
Kacau.

-------

Hari yang telah ditentukan tiba. Sekar bersiap


mengurus persyaratan wisuda. Ya, ia lebih dahulu lulus,
sementara diriku? Aku masih terjebak di bab tiga, implikasi
akut perombakan total skripsi.
Aku telah bersiap dengan momen ini, tak hanya sengaja
meluangkan waktu tuk menemani Sekar mengurus segala
keperluannya, karena memang, ini momen penting dalam

174
hidupnya; tetapi juga menyiapkan mental tuk bertemu
kedua orang tuanya, dan yang tak kalah penting, menahan
diriku agar tak histeris.

-------

Wisuda. Ku kenakan batik dan celana jeans. Batinku


masih saja menjerit, harusnya aku ada di barisan itu!
Perhelatan ini lebih cepat dari yang ku kira. Setelah
cukup lama berlalu-lalang di lautan fresh graduate, ku
temukan Alyssa Soebandono-ku, dilancarkannya pula
senyum simpul padaku.
Dan inilah momen ketika diriku wajib menyuguhkan
kesan pertama yang “teramat-sangat baik”.
“Mah, Pah, ini Reno…”
Aku tersenyum dan menjabat tangan kedua orang
tuanya. Perkenalan antara calon menantu dengan calon
mer­tua pun terjadi. Namun tak dapat ku pingkiri, was-was
masih juga menderaku, ketakutanku satu: kalau-kalau
senyumku tampak palsu atau tak tulus. Ini benar-benar
peran teramat berat bagi mereka yang tengah mengalami
masalah dalam berekspresi dan bertingkah laku.
“Sudah lulus kemarin ya, Mas?” sesaat ku sadar, perta­
nyaan inilah yang menjadi ketakutan akutku.
“Belum Prof, eh Pak” masih saja ku terbawa atmosfer
Prof. Maldade.

175
Sekar dan kedua orang tuanya tertawa lepas
mendengar jawabanku. Tapi tak mengapa, ini justru
mencairkan suasana.
“Ini adalah awal yang ‘teramat-sangat baik’…” nilai
batinku bulat-bulat. Haqqul yaqin.

-------

Aku dalam tekanan penuh, sudah tentu. Sekar telah


lulus, dan tak sampai sebulan lamanya, ia telah mendapat
pekerjaan di Bandung sana, di sebuah kantor firma hukum;
which is milik pamannya sendiri. Bagaimanapun juga, ia
telah mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Bohong
jika kabar ini sepenuhnya membuatku bahagia, sedikit-
banyak justru mengintimidasi.
Satu tahun tiga bulan, revisiku selesai. Aku dalam
kepas­rahan penuh. Ku tahu benar jika hasil jerih payahku
takkan langsung berbalas: ke Jakarta lah, ke luar negeri
lah, dan serangkai tetek-bengek kesibukan Leslie Green-Tea
lainnya.
Benar kiranya, baru dua bulan kemudian skripsiku
terjamah, sedang masukannya menyusul sebulan kemudian.
Terhitung, satu setengah tahun sudah.
“Aduh, argumen you kurang sistematis, kacau-balau.
Jangan ragu lah perbanyak sub-sub pembahasan”

176
Darahku mendidih hingga ke ubun-ubun. Kali ini
kesabaranku benar-benar habis. Ia telah melecehkanku.
Sesaat, ku rasakan kemualan akut tiap kali dirinya
meng­u cap kata “you”, betul-betul ingin muntah ku
mendengarnya.
Braaak…!!!
“Lantas maunya Bapak seperti apa?!” kubanting skripsi
ke mejanya, lalu ku muntahkan kata-kata di atas. Aku benar-
benar kalap. Tak lagi kupanggil dirinya dengan titel ‘Prof’,
kini panggilan itu serasa terlalu mewah untuknya.
“You cerdas, tapi you sombong! Menganggap diri setara
dengan para mahaguru Ilmu Hukum dunia!”
“Jangan panggil saya ‘you’! Saya punya nama!
R-e-n-o!!!” kemarahanku kian menjadi. “Bapak yang
sombong! Angkuh! Congkak! Menganggap diri Tuhan dan
mempermainkan kami semua! Anda manusia teregois
yang pernah saya temui!!!” Ingin sekali ku pentung botak
kepalanya, ku tusuk matanya dengan pena, dan ku robek
mulutnya dengan cutter.
“You have gone too far! You keluar sekarang juga! Dan
jangan harap you bisa ganti dosen pembimbing!”

-------

Sisifus terpergok Jupiter membocorkan rahasia pada


Asop dengan imbalan air keabadian, kejahatannya tak

177
hanya sampai di situ; ia turut merantai dewa kematian
sehingga kerajaan Pluto sepi. Alhasil, Sisifus dihukum
para dewa untuk mendorong sebongkah batu besar ke
puncak bukit. Batu itu menggelinding sendiri dikarenakan
beratnya; dan Sisifus diharuskan mendorongnya kembali
ke puncak bukit. Demikian seterusnya, dan berulang-ulang.
Para dewa memang pintar, tak ada hukuman paling
kejam selain melakukan pekerjaan yang sama sekali tak
berguna dan tanpa harapan secara berulang-ulang. Seperti
itulah diriku saat ini: Sisifus abad 21. Aku diminta terus-
menerus membenahi skripsi, sedari awal hingga akhir,
mengetik ratusan halaman, dan ketika telah rampung, aku
diminta mengulangnya lagi. Begitu seterusnya, tanpa secuil
pun kejelasan.
Tapi, apa dosaku? Apakah karena ingin menjadi agung
dan mulia? Bukankah Tuhan bertanggung jawab penuh
atas penciptaan manusia sehingga ia-manusia berhasrat
layaknya demikian?
Absurd.

178
XXIII

Absurditas

A ku merasa kecil, sangat kecil. Ini pertama kalinya kura­


gu­kan kemampuanku. Jangan-jangan aku memang tak
sepandai yang aku dan orang-orang kira???

Pelecehan demi pelecehan yang dilancarkan Maldade


benar-benar menjadikanku rendah diri. Kini aku sama
sekali tak memiliki kepercayaan diri. Aku kecil, sangat kecil.

Di saat-saat seperti inilah ku butuhkan guru-guru


seja­tiku: Donny dan Alfi. Tetapi itu tak mungkin, Donny
kau tahu sendiri, sedang Alfi telah hijrah ke ibukota,
meng­aktualisasikan dirinya di sebuah korporasi media
kenamaan tanah air.

Aku telanjang dan sendiri, di sini.

179
Tapi, yang terburuk kan segera tiba. Luap kemarahanku
pada Maldade dua bulan lalu seolah menjadi liang lahirnya
rentetan tragedi besar perjalanan hidupku.

-------

Ayah menjadi liar. Ia tak lagi mampu menahan dirinya.


Sosoknya yang dilaknat seluruh umat manusia telah
kembali. Hilang seluruh kebanggaannya padaku. Sama
sekali, hilang tak tersisa.

“Kamu kapan sih lulusnya?”, diucapnya kalimat itu


de­ngan nada merendahkan. “Ayahmu ini tak punya cukup
uang tuk terus-menerus membiayaimu kuliah”.

Pedas.

Ia tak tahu kondisiku, situasiku yang sebenarnya,


bahwa aku… bertengkar hebat dengan dosen pembimbing.
Sejak saat itu, tak pernah lagi ku jamah skripsi, ku biarkan
begitu saja, seakan tak pernah ku buatnya. Tentu, perkataan
yang keluar dari congornya bakal jauh lebih pedas jika
mengetahui hal ini.

Pernah suatu kali, saat diriku tengah berebah nyaman


menonton televisi, ia berkata, “IP-mu aja yang besar, tapi
prakteknya: noool besaaar! Apa kamu nggak malu sama
pacarmu?! Skripsi hampir dua tahun nggak jadi-jadi!”

180
“Aku malu,Yah.. dan please tutup mulut busukmu itu…”
aku hanya bisa membatin.

Apakah ia berniat memotivasiku? Jika iya, maka yang


dilakukannya sia-sia. Andaipun aku menjadi orang berhasil
karena perkataannya, aku akan tetap membencinya. Bukan
begini cara memotivasi.

Tidakkah tersisa setitik kebaikan saja padaku? Bahwa


aku juga telah menggantikan peran ibu dengan sukarela:
beberes rumah dan menyiapkan hidangan setiap hari.
Tetapi mengapa, seolah segala yang ada padaku hanyalah
keburukan di matanya. Ia benar-benar tak tahu berterima
kasih.

Tiap kali ia berbicara, bukannya meretas jalan solusi,


tetapi justru menambah runyam suasana. Benar kata
Sartre, setiap ayah bakal menghancurkan kehidupan anak
lelakinya. Beruntunglah mereka yang terlahir tanpa ayah.

Kini, kebanggaanku hanya satu: memiliki pacar cantik


asal keluarga terpandang, dan telah bekerja…

Segala menjadi jelas bahwa tolak ukur kesuksesan


seseorang adalah mampu-tidaknya menghidupi diri sendiri.
Bukan IPK yang tinggi, keaktifan di kelas, atau paper ilmiah
yang membuat pembacanya berdecak kagum. Semua itu

181
hanya ilusi, tak menjamin seseorang cepat lulus atau segera
memperoleh kerja.

Aku merasa kecil, sangat kecil. Segenap wawasan yang


ku miliki selama ini, berikut pencapaian-pencapaian yang
telah ku raih, serasa sia-sia. Aku teralienasi oleh wawasanku
sendiri. Wawasan yang tak berarti, yang tak mampu meng­
hasilkan rupiah sepeser pun.

Mungkin, inilah saat ketika roda kehidupan berputar


seperti kata banyak orang. Dahulu, Sekar begitu membang­
gakanku, kini sebaliknya.

Terpikir olehku tuk melamarnya, barulah kemudian ku


selesaikan studi sarjana lewat transfer transkrip nilai, aku
bisa ke perguruan tinggi Bandung yang memiliki Fakultas
Hukum. Tentu, aku harus berhutang pada ayahnya, lalu ku
cicil sedikit demi sedikit setelah bekerja. Jika Sekar benar-
benar mencintaiku, ia pasti menerima segala kondisiku.

Oh my ghost, kini aku benar-benar takut kehilangannya.

-------

“Ren…?”

“Kaaar, kangeeenh…!”, saat-saat Sekar menelepon


adalah pengobat segala sakitku.

182
“Emm, gimana perkembangannya? Skripsi?”

“Eh, kamu kapan ke Jogja?”, seakan tak kudengar ucap­


nya barusan. Memang, tak ingin ku bahas ihwal itu, ia juga
belum mengetahui perseteruanku dengan Maldade.

“Emm, belum tahu ya, emm kapan ya…”

Agaknya, tak perlu kutunggu dirinya ke kota ini tuk


mengungkap rencana baru masa depanku padanya.

“Eh, Kar…”

“Ren”, ia menyela.

“Ya?”

“Emm…, aku berpikir… Emm, hubungan ini takkan


berhasil…”

“Hah…?” tak kupahami arah pembicaraannya.


“Maksud­mu apa…???”

“Emm…, aku bertemu seseorang …”

“Lalu???”

“Dia putra teman dekat ayah...”

“Terus?!”

“Dia, emm, dia … melamarku…”

“Lalu, apa jawabmu?!”

183
“Aku setuju... Ayah dan ibu juga…”

Sekar mencampakkanku.

-------

Habis sudah. Tak ada yang tersisa. Inilah titik nadir


hidupku.

Skripsi yang tak kunjung selesai, ayah yang tak lagi ku


kenal, dan kasih yang meninggalkanku begitu saja…

Kemanapun ku melangkah, ku jumpai dinding-dinding


absurditas. Untuk apa aku hidup, jika hanya mencecap
kegetiran demi kegetiran seperti ini?

Kembali ku renungkan bahwa keberadaan manusia di


dunia memanglah tanpa tujuan. Ia hadir begitu saja, orang-
orang di sekelilingnya lah yang memberi makna beserta
tujuan hidupnya. Tak satu pun bayi terlahir ke dunia mem­
bawa makna serta tujuan hidupnya sendiri.

Benar kiranya, jika hidup sudah tak bermakna, apakah


pantas untuk tetap dijalani?

Manusia, problem yang tak pernah usai. Benar kata


Chairil Anwar: “Hidup hanya menunda kekalahan”.

184
Tentang Penulis

Wahyu Budi Nugroho adalah Sosiolog Universitas


Udayana yang mengisi waktu luang dengan menulis
cerpen dan novel. Baginya, waktu luang adalah rentang
masa paling berbahaya.

185
186
187
188

Anda mungkin juga menyukai