Bersama
Bersama
Mas Pram
Memoar Dua Adik
Pramoedya Ananta Toer
www.facebook.com/indonesiapustaka
KPG: 94S23509
ISBN 13: 978-979-91-0139-6
M E M O A R D U A A D I K P R A M O E DYA A N A N TA TO E R
www.facebook.com/indonesiapustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BERSAMA
MAS PRAM
M E M O A R D U A A D I K P R A M O E DYA A N A N TA TO E R
J akarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Bersama Mas Pram:
Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer
© Koesalah Soebagyo Toer & Soesilo Toer
KPG: 920-04-09-0235
Cetakan Pertama, April 2009
Penyunting
Candra Gautama
Perancang Sampul
Wendie Artswenda
Penataletak
Bernadetta Esti W.U.
Wendie Artswenda
Pengantar vii
Lampiran 475
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pengantar
juga kadang kain batik, digadaikan pula. Sebelum jatuh tem po,
kalau dapat uang dari Bapak, barang ditebus. Kalau tidak
dapat, barang terpaksa dibiarkan hilang.
Kalau uang m encukupi, dibelikan beras, dim asak cam pur
kacang m erah, ubi, atau singkong. Sehari cukup sekali. Kalau
tak cukup, cari sendiri kekurangannya. Kam i m enggali um bi-
um bian yang ada di sepanjang pagar pekarangan. Um bi-
um bian itu kam i gasak sam pai tandas. Sem entara itu, tiap hari,
pulang dari sekolah saya dan Coes ke Kali Lusi untuk gogoh,
m encari udang atau kijing (kerang sungai). Waktu itu di kali
m asih banyak ikan. Kadang-kadang kam i m encari gangsir atau
m enebah belalang di jalanan.
Kalau uang tak banyak, dibelikan jagung. Sem ua ikut
m engubah jagung kering m enjadi nasi jagung. Saya m enam pi,
m edangi (m enuangi air panas), m enum buk, ngay ak (m enapis)
sam pai m enjadi tepung, bahkan m em bikin bubur slam per (kulit
butir jagung). Itu pun tidak m enolong. Makan m enjadi sangat
tidak teratur dan sangat kurang, pakaian tinggal sepotong yang
m elekat di badan, dan berbagai penyakit m ulai m erajalela.
Karena itu, pada waktu pergi tidur perut kam i m asih lapar.
Kam i tidur ram ai-ram ai dalam satu ranjang peninggalan Ibu.
Mbak Oem m engajari kam i m engaji Al Fatihah, Al Ikhlas
(yang biasa disebut “Kulhu”), An Naas, Al Falaq. Sering kam i
disuruh ram ai-ram ai baca Kulhu em pat puluh kali. Kadang
www.facebook.com/indonesiapustaka
enam puluh kali. Sam pai tertidur. Sam bil baca kam i ingat
Ibu. Alangkah senangnya kalau kam i punya ibu. Kenapa Ibu
m eninggalkan kam i selagi m asih kecil-kecil? Ibu m eninggal
karena ia orang baik. Kalau orang jahat, oleh Tuhan tentu ia
dipanjangkan um urnya agar dapat m eneruskan perbuatan
jahatnya, dan akhirnya terperosok ke dalam neraka jahanam ,
Bagian Pertama: Blora 9
seorang m irip Mas Pram , pakai sepatu tinggi dan sem acam jas
hujan. J alannya tegap, berjingkat-jingkat, seperti ada per di
tum itnya. Yang lain, di sebelah kirinya, pakai kem eja lengan
panjang. Gagah juga, tapi agak m em bungkuk.
“Mas Pram !” tiba-tiba panggil Coes, ketika kedua orang itu
sem akin m endekat.
12 Bersama Mas Pram
“Eee, Liliek, ya? Sam a Coes? Dari m ana ini tadi?” kata
Mas Pram sesudah m eninggalkan percakapan, m endekat, dan
m engam at-am ati kam i.
“Mapag Mas Pram !” jawab Coes.
Mas Pram m erangkul dan m encium pipiku kiri-kanan, juga
Coes. Perbuatan itu saya anggap aneh, apalagi di tengah jalan.
Tidak ada orang Blora yang bercium an, kecuali m encium anak
bayi. Sesudah itu kam i disuruh bersalam an dengan orang yang
lain itu.
“Adikku, Dir. Ini Liliek, dan itu Coes,” kata Mas Pram .
Orang yang dipanggil Dir itu m engulurkan tangannya
bergantian kepada kam i—kam i bersalam an. Perbuatan itu juga
saya anggap aneh, sebab yang biasa bersalam an hanya orang-
orang dewasa. Kam i kan anak-anak?
Selanjutnya kam i pulang sam a-sam a. Mula-m ula m ereka
tanya ini-itu seperti biasa kepada orang dewasa, tapi sesudah
itu m ereka m engobrol lagi dengan asyik. Kam i tak tahu apa
yang diobrolkan.
Dalam hati saya berpikir: “Gagah sekali Mas Pram . Sepatu
dan jas hujannya bikin lebih gagah lagi. Kirim telegram lagi.
Saya bangga punya abang Mas Pram ! Tapi kok dia ndak bawa
apa-apa ya?”
Bapak ke luar kota, Mas Pram jadi tawanan Belanda, Mas Wiek
dirawat di rum ah sakit J epara karena ham pir putus tangannya
kena pedang, dan Mbak Koen ikut Mas Djajoes bertugas m iliter
di Tayu.
Berbulan-bulan tak ada berita dari Bapak. Saya pun heran,
bagaim ana kam i berlim a bisa terus hidup waktu itu.
18 Bersama Mas Pram
Rupanya darah itu sudah lam a juga keluar. Buktinya, di tem bok
bawah jendela kulon (barat) banyak noda darah m erah. Batuk
itulah yang akhirnya m em akukan Bapak ke rum ah, bahkan ke
tem pat tidur, dan selanjutnya m em bawanya ke rum ah sakit
Penditan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram Dilepaskan
MEI 1950 .
Saya tak m engikuti liku-liku peristiwa sebelum nya, tapi
pada suatu sore terdengar bel dokar “thing-klong, thing-klong”,
dan tak lam a kem udian dokar itu berhenti di depan buk kam i.
Boom dokar m endongak ke atas karena pancatan (injakan)
belakang diinjak orang dewasa. Boom turun lagi, dan sejenak
m endongak kem bali, kali ini lebih tinggi, tentunya karena
diinjak orang yang lebih berat bobotnya.
Mas Pram ! Istrinya!
Mereka bergegas, seperti orang m engejar bis di koplakan
(term inal dokar). Kam i pun bergegas m enyongsong, seperti
biasa kalau datang kendaraan lewat depan rum ah. Sebelum
kam i sem pat m engam ati m ereka, kam i sudah dipeluk dan
www.facebook.com/indonesiapustaka
dicium kiri-kanan. Kem bali terasa aneh dan ham bar. Cium an
itu untuk m em buktikan bahwa kam i dan Mas Pram bersaudara
dan saling m enyayangi. Betulkah? Saya tidak ingat apakah istri
Mas Pram juga m encium kam i. Mungkin karena perhatian
kam i terpusat pada Mas Pram .
Bagian Pertama: Blora 25
berdiri di belakang kursi, juga Coes dan Coek, sam bil ber-
pegangan sandaran kursi.
“Duduk, Nduk,” kata Mas Pram kepada Mbak Is, seolah
Mbak Is itu anaknya, bukan adiknya. “Duduk, Liek,” sam bung-
nya kepada saya.
Mbak Is seperti m acan luw e (m acan lapar) m enggeser
pantatnya ke kursi, sedangkan saya tetap berpegang pada
sandaran kursi.
Mas Pram m enanyakan keadaan sekolah kam i. Kam i
berem pat yang kecil-kecil m asih tetap sekolah, Mbak Oem
tetap di rum ah. Mbak Koen ikut Mas Djajoes yang bertugas di
Rem bang. Mas Wiek tinggal di asram a CPM di Cepu. Bapak
dirawat di Penditan.
Banyak yang ditanyakan Mas Pram . Sem ua dijawab Mbak
Oem dengan lancar, cepat, dan jelas. Mbak Oem m em ang
pandai bicara. Cum a ketika Mas Pram bertanya soal m esin jahit,
kelihatan Mbak Oem kesulitan m enjawab. Mesin itu, saya ingat
betul, m ereknya “Singer”, karena sering saya baca. Waktu Ibu
m asih ada, ia yang selalu m em akainya m enjahit. Saya ingat,
saya pernah dibuatkan kathok kodhok (celana gantung) oleh
Ibu, dan waktu saya m ulai sekolah, dibuatkan kantong sekolah
dari kain blacu lengkap dengan cangklongannya.
Mas Pram tam pak sedih.
Lebih kacau lagi Mbak Oem m enjawab, sewaktu Mas
www.facebook.com/indonesiapustaka
sakit m enjenguk Bapak. Mas Pram dan istrinya naik dokar. Dia
m engajak saya dan Coes ikut naik, tapi kam i enggan, karena
m erasa tidak akrab dengan Mas Pram dan istrinya. Kam i
katakan bahwa kam i sudah biasa jalan kaki ke Penditan yang
letaknya lebih jauh sedikit daripada sekolah kam i. Mbak Oem
juga jalan kaki. Mbak Is tinggal di rum ah bersam a Coek.
Bagian Pertama: Blora 29
m encari-cari.
Mas Pram m endekat, m encoba m enjabat tangan Bapak,
tapi karena seluruh tangan dilindungi selim ut, Mas Pram
m em bungkuk, m eraba-raba tangan Bapak di bawah selim ut
dan m em egangnya erat-erat. Terdengar suara tenggorokan
Bapak m enggerendeng.
Bagian Pertama: Blora 31
jalan ke sini ketem u Mbak Arvah, dan tiap pertem uan tim bul
rasa tak nyam an di hati. Saya tak sem pat lagi m ain. Tiap hari
saya disuruh m engulang pelajaran yang paginya diajarkan di
sekolah. “Harus itu m engulang,” kata Mas Pram . Saya tidak
lagi dianggap sebagai anak-anak, m elainkan sudah sebagai
orang yang punya tanggungjawab. Bahasa Indonesia dan
34 Bersama Mas Pram
bahasa Inggris saya m asih suka. Tapi Aljabar dan Ilm u Ukur,
saya benci bukan m ain. Begitu m engulangi kedua pelajaran itu,
terbayang tam pang Pak Suripan yang m engejek saya tiap kali
saya m elakukan kesalahan: “Kusalah, ya saaalaaah!” Saya benci
sekali pada guru itu, walau saya sendiri tak bisa m em astikan
benarkah sikap saya itu.
Kepada kam i dibagikan pekerjaan yang tiap hari harus
kam i lakukan. Mbak Is dapat bagian m em bantu Mbak Oem
m elakukan kerja di dapur, dan saya dapat tugas m engelap
m eja-kursi dan m enyapu rum ah. Seluruhnya, m ulai em per,
rum ah depan, sam pai rum ah belakang, term asuk kam ar-
kam arnya! Saya paling benci pekerjaan m engelap, terutam a
m engelap kursi berjeriji yang m esti digosok sela-sela jerijinya
satu-satu sam pai bersih. Rasanya pekerjaan itu tidak ada
hasilnya, dan m em ang tak kelihatan hasilnya. Lebih benci lagi
m enyapu kam ar-kam ar, karena kam ar-kam ar itu gelap, juga
tak kelihatan dan tak ada hasilnya.
Sore hari saya m esti m andi. Kalau tak ada air, m esti
m enim ba. Bak kam ar m andi besar, ham pir dua m eter kubik
isinya, m aka jarang penuh isinya, kecuali di m usim hujan. Pada
m usim kem arau waktu itu, sum ur sangat dalam , m enim ba dua
puluh tim ba sudah pedhot (putus) napas ini. Dan m andinya
terpaksa m enciduk dalam ; tiap kali m esti m em anjat dinding
bak. Em ber besar tidak punya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
SEJ AK ITU rum ah berubah jadi rum ah sakit. Kam i harus serba
bersih, tak boleh buang sam pah sem barangan, tak boleh ribut-
ribut tak m enentu.
Adanya Bapak yang sakit m em buat rum ah terasa sem akin
sesak, hingga, aneh, waktu itulah saya m erasa nyam an dan
kerasan berada di sekolah. Begitu sam pai di rum ah m ulai
berlaku disiplin rum ah sakit. Kam i bertiga—Mbak Is, saya, dan
Coes—m endapat tugas dua jam sekali m enunggui Bapak. Kam i
harus duduk tenang di kursi di ujung kaki tem pat tidur Bapak.
Kalau Bapak m em butuhkan sesuatu, kam i harus m elayani.
Dan kalau tidak sanggup m elayani sendiri, harus m elapor
kepada Mbak Oem .
Pada um um nya, seingat saya, saya tidak banyak pekerjaan,
www.facebook.com/indonesiapustaka
1 Dialog dipetik dari Bukan Pasar Malam, Lentera Dipantara, 2004, hlm. 86-87.
Bagian Pertama: Blora 41
Bapak.
“Terim akasih, Mas…,” cicit saya lagi.
Saya sungguh m encela sikap saya sendiri, dan saya sangat
m alu, tapi sungguh, itu adalah pengalam an yang tak terlupakan
bagi saya, hingga sam pai sekarang pun keringat saya selalu
m erebak dengan m elim pah kalau saya m enelepon.
Pawai
2 Koesalah Soebagyo Toer, “Mastoer Bapak Pramoedya Ananta Toer”, naskah tidak
diterbitkan, 1995.
46 Bersama Mas Pram
Mbah Krom o yang terkenal bodoh dan jarang datang, kali itu
m endapat tugas sebagai pengundang para tetangga. Untuk itu
ia khusus m engenakan sarung-kem eja pinjam an, rapi sekali,
tidak seperti biasanya, lengkap dengan peci hitam .
Malam nya, sekitar pukul setengah delapan, bapak-bapak
tetangga berdatangan, kebanyakan m em akai sarung, sebagian
48 Bersama Mas Pram
itu, tapi kalau tidak salah bukan Pak Sadir yang pintar m engaji
itu, m elainkan Pak Modin yang tinggal di dalan cilik lor.
Saya m em ang pernah m engaji pada Pak Irin yang punya
langgar di Wetan sana, tapi tidak pernah katam m em baca Al-
Quran, hanya sem pat m enghafal sekitar 17 surah pendek dari
J uz Am m a. J adi saya tidak tahu apa saja yang dibaca oleh
Bagian Pertama: Blora 49
bagiannya.
Sekarang m enghadang pekerjaan yang berat, yaitu
m engatur kehidupan.
“Saya akan bawa tiga orang ke J akarta—Koes, Liliek, Coes—
untuk saya sekolahkan. Mau kan, Nduk, Liek, Coes?”
Bagian Pertama: Blora 51
yang kotor: kulit diolesi m erata dengan sem ir, dibiarkan kering,
kem udian digosok dengan gom bal tersebut sam pai tam pak
m engkilat. Saya ingat, m enyem ir sepatu sandal waktu itu repot
sekali, karena perm ukaan kulit m erupakan jalur-jalur sem pit.
Pendek kata, sejak waktu itu kam i bertiga pergi sekolah
bersepatu. Mem ang sem pat kaki kam i lecet-lecet sedikit, tapi
tidak terlalu m engganggu, karena sepatu itu agak longgar, dan
sebagian terbuka. Di antara tem an-tem an tidak m enim bulkan
tanda tanya, karena sebagian tem an sudah bersepatu, dan lagi
sepatu itu tak begitu m encolok.
Akhirnya Mas Pram dan Mbak Arvah pulang kem bali
ke J akarta. Suasana m enjadi terasa lega kem bali karena
tak ada kungkungan disiplin. Walaupun begitu saya m asih
tetap m engelap dan m enyapu agar tidak terlalu m encolok
m eninggalkan sam asekali disiplin yang ditetapkan oleh Mas
Pram .
Sejalan dengan itu jiwa kam i sudah m ulai m erasa berada
di J akarta. Tapi kam i belum bisa m em bayangkan seperti apa
J akarta itu. Waktu itu tidak ada koran, tidak ada foto, tidak
ada radio dan televisi, tidak ada apa-apa. Cum a ada bayangan
kosong atau rem ang-rem ang dari m ajalah kanak-kanak
Kunang-Kunang yang pernah dilanggan oleh Bapak untuk
kam i. Salah satu tulisan dengan pelengkap foto-foto yang
kam i baca dalam m ajalah itu adalah tentang perpeloncoan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Di situ kam i lihat foto para studen perem puan dan lelaki
yang m engenakan topi badut, m em bawa ikrak (pengki), dan
m em ikul sepeda.
Kam i selalu diingatkan oleh Mbak Oem supaya m enyiapkan
diri. Maksudnya, apa saja yang akan dibawa ke J akarta—buku,
buku tulis, kertas, potlot, setip, pena, gagang pena, botol tinta
56 Bersama Mas Pram
m em biru tua. Dari ilm u Bum i kam i tahu bahwa dari Rem bang
kam i akan m elewati J uwana, Pati, Kudus, dan Dem ak. Di
J uwana dengan girang kam i m elewati Kali J uwana yang di
kiri-kanannya dipenuhi jaring angkat. Di Pati kam i senang
m elewati alun-alunnya yang luas, di Kudus kam i girang m elihat
rum ah-rum ah joglo dengan genting yang ada perhiasannya,
juga kebun tebu yang luas-luas, ada yang belum dipotong dan
ada pula yang baru dicangkul gulutannya dengan rapi seperti
penggaris, dan di Dem ak kam i suka sekali m elihat saluran air
yang banyak dan bening airnya, di m ana orang m andi dan
m encuci pakaian dan alat-alat lainnya dengan dam ai.
Begitulah sem uanya m enjadi perhatian kam i dan kam i
catat dalam kenangan dan hati kam i sebagai pengetahuan baru.
Sore hari kam i sudah sam pai di Stasiun Tawang yang besar
indah, dan dari sana kam i naik dua becak m enuju penginapan
di pinggir barat Alun-alun Sem arang yang sudah lupa saya apa
nam anya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
m enjanjikan.
Kam i jalan terus. Kata Mas Djajoes, ke Pasar Djohar.
Kam i m asuk pasar. Dan alangkah heran kam i bahwa pasar itu
bertingkat! Gedung sebaik itu, tapi orang jual buah-buahan
dan m akanan di tingkat atas. Sayang sekali, pikir saya.
Bagian Kedua: Semarang 65
Waktu itu pasar sudah agak sepi, karena sudah sore. Kam i
jalan saja berkeliling, sam pai kem put, lalu kam i keluar.
Senja cepat sekali turunnya, dan tahu-tahu hari sudah
gelap dan lam pu-lam pu m enyala di seluruh Alun-alun. Lalu
Mas Djajoes beli karcis, dan kam i m asuk pasar m alam . Seperti
dalam pasar m alam di Blora yang pernah saya lihat, di sana
banyak orang jualan barang, m akanan dan m inum an. Tontonan
dilakukan di dalam bangunan tertutup, m isalnya untuk hantu,
setan, gulat, dsb. dengan bayaran tam bahan. Tapi ada tontonan
yang terbuka tanpa tam bahan bayaran, yaitu orang Dayak
m akan daging m entah. Orang Dayak yang agak gendut itu
tentunya orang J awa juga, tapi seluruh kulitnya dicat hitam .
Ia cum a m engenakan cawat, duduk di atas sepotong pokok
pohon, dan di depannya m enggeletak seekor ayam utuh yang
sudah dibubuti bulunya. Saya m enunggu sam pai tiba saatnya
orang Dayak itu m akan ayam m entah. Lam a juga. Tapi akhirnya
orang Dayak itu m em otes sayap ayam dan m ulai m enggigit
daging m entah dan m em am ahnya pelan-pelan dengan sikap
m asa bodoh seolah-olah tak ada yang m enonton, tapi saya
rasa tetap saja orang Dayak itu m erasa jijik. Saya bahkan
m em bayangkan, sebentar lagi orang Dayak itu akan m untah,
tapi ternyata tidak juga, sam pai saya bosan m enunggu.
Kam i berputar-putar m engelilingi pasar, tapi perhatian
sudah m erosot karena kaki sudah pegal-pegal kebanyakan jalan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
J akarta.
Barangkali karena m asih lelah, m engantuk, dan kenyang,
saya tidak ingat apa saja yang kam i lihat sepanjang jalan itu.
Tahu-tahu kam i sudah sam pai di J awa Barat dan m elewati
persawahan yang luas-luas. Belum pernah saya m elihat
persawahan seluas-luas itu. Tentunya waktu itu kereta api
68 Bersama Mas Pram
“Istana Gam bir!” jelas pem uda berkacam ata di sisi saya,
yang kem udian saya ketahui bernam a Mat Cikrik. Saya hanya
m enggerendeng, dan becak m eluncur terus.
Tak lam a kem udian becak m em belok ke kiri, dan selang
lim a puluh m eter m em belok lagi ke kanan. Sam pailah kam i
di J alan Tanah Abang I, seperti bisa dibaca dari plang nam a
jalan itu. Tak sam pai tiga detik dari situ becak berhenti di
depan gang yang nam anya Kebon J ahe Kober Gang VIII. Dari
situ kam i berduyun-duyun dengan barang kam i m enyusuri
gang yang panjang tak henti-henti, di sisi kiri dibatasi dengan
tem bok tinggi yang dijajari warung-warung kecil atau kandang
ayam atau burung, dan di kanan berdem pet rum ah-rum ah
yang satu pun tak ada yang besar, dengan penerangan listrik
tanggung atau rem ang-rem ang. Di sisi itu berturut-turut kam i
jum pai Kebon J ahe Kober Gang I, Kebon J ahe Kober Gang II,
dan Kebon J ahe Kober Gang III. Sam pai Kebon J ahe Kober
Gang III (dan Kebon J ahe Kober Gang VIII m asih juga terus)
kam i belok kanan, bertem u dengan Kebon J ahe Kober Gang
VII di kiri, di m ana berdiri m asjid, dan kam i belok kanan lagi
sedikit, kem udian belok ke kiri, m asuk lanjutan Kebon J ahe
Kober Gang III.
Nah, selang satu rum ah, di situlah rum ah yang kam i tuju, di
kiri. Kam i m endaki pintu sem pit, sam pai di em peran kecil yang
di sisi kirinya ada warung yang penuh sesak dengan barang
dagangan kebutuhan sehari-hari, antara lain kayu bakar dan
www.facebook.com/indonesiapustaka
SAYA BARU tahu keesokan harinya bahwa kam i tidur berem pat
dengan Mas Djajoes di atas ranjang besi tanpa kelam bu,
sebagian kaki kam i m enggelantung. Ranjang itu berdiri di
pojok dalam , ham pir m em enuhi kam ar. Di dekat pintu yang
tak berdaun dan hanya bersekat gorden lusuh berdiri grobok
(sem acam lem ari) kecil. Di luar kedua barang itu m erupakan
ruang sem pit kam i untuk berlalu-lalang. Dapatlah saya
sim pulkan bahwa kam ar itu tidak boleh disebut cukup besar.
Lantai rum ah, term asuk kam ar kam i, dari batu bata.
Dindingnya, sekitar sem eter dari lantai, dari tem bok,
disam bung kepang (anyam an bam bu) yang ditem pel kertas
yang dikapur warna kuning m uda. Saya tahu itu, karena se-
bagian kertas itu sudah sobek atau m enggelem bung, dan dari
www.facebook.com/indonesiapustaka
itu jarang sekali. Di luar itu Pak Iljas dan Bu Iljas tak pernah
pergi ke m ana-m ana. Perkecualian adalah di tahun 1951 atau
1952, ketika Pak Iljas m engikuti kursus bahasa Inggris.
Mas Pram pagi berangkat ke kantor pukul 0 6.30 naik
sepeda ke Balai Pustaka. Maka sepeda itu sudah harus saya
lap sebelum kam i berangkat sekolah pukul 0 6.0 0 . Waktu itu
Bagian Ketiga: Jakarta 81
Tapi yang saya kagum i dan saya nikm ati benar adalah
kacang goreng yang terbungkus dalam kantong kertas ketat
dengan gam bar kacang dan capnya Lip Lip Hiong. Saya bukan
tak tahu kacang, lebih-lebih kacang goreng kesenangan saya.
Tapi yang bikin saya heran adalah, kok ada kum pulan kacang
yang begitu sem purna, seperti sudah dipilihi satu per satu. Dan
rasanya itu, sungguh khas dan gurih. Itulah untuk pertam a
kalinya saya m enem ui kacang seperti itu.
Acara jalan-jalan berikutnya adalah dengan Mas Pram
sendiri, kali itu naik trem listrik pada suatu sore. Naik dari
dekat J alan Tanah Abang I, ke utara m enuju Harm oni, sebuah
sim pang enam . Di Harm oni turun, lalu naik trem lain yang
datang dari jurusan Kota. Trem jalan ke tim ur m enyusuri J alan
Segara, terus ke tim ur m enyilangi jalan kereta api, m elewati
benteng Citadel, m enyusuri J alan Kantor Pos, dan sam pai
di depan gedung Schouwburg m em belok ke kanan. Dari situ
trem jalan lurus ke selatan, m elewati apa saja saya sudah lupa,
sam pai akhirnya tiba di Pasar Senen. Nah, di persim pangan
Medan Senen dengan J alan Kwitang itu ada halte di tengah
jalan, m em anjang, dan di situlah kam i turun.
Mas Pram tidak bercerita tentang apa saja yang kam i
lewati. Cum a kadang-kadang kalau ada yang dia rasa penting,
baru dia m enyeletuk m enyebutkan nam anya. Satu hal yang dia
sebutkan adalah jalan m enuju J alan Garuda di Kem ayoran,
www.facebook.com/indonesiapustaka
tak kuat lagi m elangkah. Dan... tak ada kesem patan m akan
kue atau m inum . Gantinya adalah kelenengan J awa kom plit
dengan pesinden yang katanya waktu itu sedang m oncer, yaitu
Nyi Tjondrolukito. Saya tak kenal karawitan J awa, tapi untuk
m elupakan rasa lapar dan haus rupanya boleh juga.
Yang sangat m enarik adalah jalan-jalan ke Pasar Ikan.
Beberapa kali kam i ke sana bersam a Mat Cikrik, yang sebagian
besar ditem puh dengan naik trem m enyusuri J alan Gajah
Mada, Kalibesar, dan lebih jauh lagi. Dan tetap tidak bosan
m elihat ikan beraneka warna, baik yang hidup m aupun yang
m ati, kerang dan karang, dan deretan pengem is yang m em adati
gang yang m enuju m asjid Luar Batang, diselang-seling orang
Koja yang m enawarkan serta m engoleskan m inyak wangi.
Dari Mat Cikriklah kam i m ulai tahu sedikit-sedikit tentang
J akarta: pelosoknya, m akanan dan m inum annya, bahasanya,
adat kebiasaannya. Kam i sangat berterim akasih kepada dia,
juga kepada Mbak Arvah dan Mas Pram yang m em berikan
kesem patan berkenalan dan bersahabat dengannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ketemu Pak Said
dengan sejum lah jajaran relnya, dan persis sesudah itu gedung
sekolah Tam an Siswa, J alan Garuda nom or 25, m enghadap ke
selatan. Hal itu jelas dari nam anya yang terpam pang dengan
huruf-huruf besar: “Tam an Siswa”.
Gedung itu kuno, tertutup rapat, dan sepi. Di depan
terletak sebuah patung dada dari batu yang cukup besar dan
pejal. Kam i belum tahu patung siapa itu, tapi kem udian kam i
ketahui patung Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan 45.
Kam i berjalan ke sam ping, dan di pintu sem pit di situ bertem u
dengan seorang tua yang langsung saja kam i tegur:
“Num pang tanya, Pak, di m ana rum ah Pak Said?”
“O, Pak Said? Ini jalan ini ke kiri, lantas ke belakang,”
sam bil m enuding.
“Terim akasih, Pak.”
Kam i ikuti petunjuk bapak itu, m enyisip di antara gedung
tadi dan gedung lebih besar yang m em anjang ke belakang,
dan di situ kam i tem ui rum ah kecil ny em pil di antara gedung
besar dengan pagar. Sesudah beberapa kali asalam u alaikum
(m enurut ajaran Mat Cikrik) m uncul seorang setengah um ur,
dem pak, bersarung, bersandal.
“Siapa, yaaa?” tegurnya m esra sam bil senyum m anis.
Kam i senang sekali bahwa ternyata itulah Pak Said sendiri.
Kam i m em perkenalkan diri dengan m engatakan bahwa kam i
adik Mas Pram oedya, dan ingin m asuk Tam an Siswa.
www.facebook.com/indonesiapustaka
“O, kalian adike Mas Pram oedyo, yo. Sem ua? Nam a kalian
siapa?”
Kam i m enyebut satu-satu.
“Apa kabar Mas Pram oe? Kok ndak pernah ke sini-sini?
Ha?”
88 Bersama Mas Pram
rum ah. Tapi ada perintah untuk m engaji dua kali sem inggu
pada sebuah m adrasah yang dipim pin dan diajar oleh seorang
haji yang saya sudah lupa nam anya di Gang VI. Inilah yang
m em beratkan, terutam a karena usia saya waktu itu sudah 15
tahun, duduk di kelas tiga SMP, sedangkan tem an-tem an sekelas
m asih um ur-um ur 7-8 tahun, m asih duduk di kelas 1-2 SD. Yang
90 Bersama Mas Pram
m akan kam i dijatah hanya yang ada di piring, tanpa tam bahan.
Itu barangkali ketika ekonom i Mas Pram m erosot. Saya ingat,
waktu itu perut saya belum m erasa kenyang.
Seperti biasa, selesai m akan kam i bergiliran m encuci
piring.
Sekitar pukul 15.0 0 kam i harus tidur siang, dan pukul
17.0 0 harus belajar sam pai pukul 20 .0 0 , saat untuk m akan
m alam bersam a lagi. Dalam m asa belajar itu kadang-kadang
ada kesem patan untuk m endengarkan radio. Sesudah itu
ada saja yang perlu dilakukan, tetek-bengek rum ahtangga,
dan pukul 21.0 0 kam i harus m apan tidur. Tidak dibenarkan
sesudah pukul itu kam i dalam keadaan m elek.
Dengan sendirinya acara hari Minggu agak longgar. Di
hari Minggu kam i bisa m endengarkan radio pagi hari. Atau
m endengarkan sandiwara radio atau pertunjukan wayang hari
Sabtu m alam . Tapi ada pekerjaan lain yang harus dilakukan,
yaitu m encuci pakaian dan m enyeterika. Sebetulnya pekerjaan
ini bukan hal baru bagi kam i, karena sejak di Blora sudah
dibiasakan oleh Mbak Oem . Dan lagi pakaian kam i tidak
banyak. Yang berat adalah m encuci kem eja pem berian Mas
Pram , kem eja dril tentara tebal bersaku tiga, yang biasanya saya
pakai tidur m enggantikan selim ut. Kem eja itu kelihatannya
peninggalan Mas Pram dari penjara.
Hari Minggu juga kesem patan untuk jalan-jalan m engenal
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lain kali oleh Pak Iljas saya disuruh beli cangcut. Seperti
dalam hal pom pa tetek, saya tak tahu apa itu cangcut.
“Cangcut itu apa, Pak?” tanya saya kepada Pak Iljas.
“He-e-e!” gerendeng Pak Iljas, seperti biasa, cam pur
ketawa. “Sudah! Bilang aja, cangcut!”
Begitulah, kam i jalan sam pai persim pangan Harm oni. Di
situ m enyeberang ke kanan, m elewati patung lelaki telanjang
(kalau tak salah bersayap) di pinggir Kali Ciliwung yang
diapit J alan Nusantara dan J alan Segara, lalu m asuk J alan
Nusantara. Gedung ketiga di J alan Nusantara itulah toko
Tabaksplant tem pat saya biasa m em beli tem bakau “Shag” atau
papier untuk Mas Pram . Sekitar seratus m eter dari situ ada
jalan penyeberangan ke J alan Segara. Nah, persis di tentang
jalan penyeberangan itu ada toko Tionghoa “Oen”, toko kue
enak-enak (kelihatannya) yang tak pernah kam i cicipi, karena
m em ang tak pernah beli. Selang sedikit dari situ ada toko besar
Van Dorp yang m enjual alat-alat tulis dan alat gam bar dan
juga buku-buku yang suka kam i am at-am ati. Menyusul J alan
Pecenongan. Lalu ada toko besar juga, bertingkat, nam anya
Belanda, tapi sudah lupa saya, apa, tapi kem udian berubah
m enjadi toko Djam batan. Di etalasenya dipam erkan berm acam
buku, terutam a atlas, yang selalu kam i am at-am ati. Sesudah
itu ada toko sepatu bagus-bagus, toko Hana nam anya, disusul
kem udian toko Com em o yang m enjual pakaian bagus-bagus,
www.facebook.com/indonesiapustaka
pakaian Eropa.
Nah, sesudah itu m elintang rel kereta api dari Stasiun
Gam bir di selatan ke Stasiun Kota, lewat Stasiun Sawah
Besar. Begitu m enyeberang, di kanan ada benteng Citadel
yang sudah saya sebut, dan di kiri ada bioskop Capitol yang
terletak di pinggir pintu air (sluis nam anya waktu itu). Dari
96 Bersama Mas Pram
orangtua tem an sekelas saya dan Mbak Is, nam anya kalau
tak salah ingat Ism iati, putri J enderal Suhardjo, kepala
rum ahtangga Presiden Soekarno. Ia tinggal di Istana,
karena ayahnya, kepala rum ahtangga Presiden. Kam i sering
m em bayangkan, alangkah senang kehidupan tem an kam i
Ism iati itu, yang tinggalnya saja di istana, dan ke sekolah
Bagian Ketiga: Jakarta 97
di luar Ism iati tadi, antara lain adalah Husin dan Syahm ardan
(yang kem udian m engubah bentuk nam anya m enjadi S.M.
Ardan) dari J akarta, Suprapti dan Sandjoto Pam ungkas dari
J awa, Elly Djuwaeli dari Pasundan, Yuliar dan pacarnya
Adjim ah, Buyung, dan Ariza Rivai dari Sum atra Barat, Nurbaiti
dari Lam pung, dan Sobron Aidit dari Belitung.
98 Bersama Mas Pram
ilm u kim ia. Dan yang santai itu guru ilm u sosial. Ada guru
(atau guru-guru) yang kerjanya m engobrol (bukan m engajar)
ngalor-ngidul dari awal sam pai akhir teng bel berbunyi tanda
pelajaran selesai. Para siswa sih senang-senang saja, tapi
kadang-kadang terpikir juga oleh saya: “Guru kok begitu?”
Tem an kam i ada yang rum ahnya sejauh rum ah kam i, di
Tanah Abang, biasanya m ereka naik sepeda. Ada juga yang
sedang jauhnya seperti di Cikini atau Menteng dan Sawah
Besar. Tapi kebanyakan m ereka tinggal di sekitar tem pat itu, di
Senen, Kepu, atau Kem ayoran itu sendiri. Di tiap perjum paan
atau perpisahan para siswa dan pam ong m engucapkan kata
“salam ” sebagai ikatan korps.
KAMI PULANG jalan kaki juga, m enem puh jalan yang sam a
sam pai m enyeberang rel di Citadel, sudah itu m em belok ke
kiri m enyusur jalan, saya sudah lupa nam anya, di pinggir
Kali Ciliwung. Sepanjang jalan itu ada rum ah bertingkat
dua sam bung-m enyam bung m enjadi satu. Yang suka kam i
herankan, rum ah gedung kok berdem pet-dem pet.
Di ujung jalan itu, di kanan, ada bangunan m iliter ber-
tingkat banyak, warna hijau, yang di depan selalu dijaga m iliter
Belanda totok berseragam dan bersenjata lengkap (waktu itu
www.facebook.com/indonesiapustaka
Tapi, yah, sekali lagi, yah, jalan keluar lain tak ada.
Begitulah, saya sem pat beberapa bulan m engenakan sepatu
perem puan, bekas, yang dipotong lidahnya dan dipendekkan
haknya, lancip di depan, dengan sol m enjorok ke dalam . Alkisah,
sesudah beberapa bulan dipakai—dasar sepatu bekas!—sepatu
itu pada lepas pakunya sehingga m enganga di depan seperti
buaya m akan bangkai. Dan untuk m elengkapi tragedi ini—
dasar sial!—tem an-tem an sekelas m engajak berpotret di depan
gedung Tam an Siswa. Sungguh, saya kasihan kepada diri saya
sendiri waktu itu, sebab di tengah kesibukan m em perebutkan
tem pat yang paling strategis waktu berpotret itu, saya “hanya”
m em ilih tem pat terdepan, yang jongkok, karena dengan
berjongkok saya bisa m engatupkan m oncong buaya yang
sedang m akan bangkai, dan m enutupinya dengan dengkul
saya, walau saya yakin m oncong itu akan tetap kelihatan.
Setelah itu habislah m asa dinas sepatu itu, digantikan oleh
sepatu yang lain. Tapi itu lain lagi ceritanya.
Saya kadang-kadang m asih bertanya dalam hati apakah
m asih ada tem an sekelas dulu yang m enyim pan foto itu, sebab
bagaim ana saya bisa m em esan foto itu kalau untuk beli sepatu
(bekas) saja tak ada uang?
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lewat Mana?
doger, atau m inum an, terutam a kopi. Ada juga orang jualan
klithikan (barang keperluan sehari-hari seperti benang-jarum ,
peniti, kancing, sikat gigi, tandpasta dan sabun, dan banyak
lagi lainnya, term asuk geretan, pipa dan alat m erokok yang
lain). Kam i tertarik barang-barang itu, karena barang-barang
itulah yang biasa kam i tonton di Blora di pasar, pada pedagang
Bagian Ketiga: Jakarta 105
sam pailah kam i di Pasar Sawah Besar. Nah, itulah yang asyik.
Banyak orang jual pakaian, yang baru m aupun yang loak. J uga
alat-alat, alat-alat apa saja: tukang kayu, tukang sepatu, tukang
leding, m ontir sepeda, m ontir m obil, m ontir radio—lengkap.
Makanan juga banyak. Mainan anak-anak juga banyak. Yang
kam i heran, di sini pun orang jual m inyak wangi seperti di Pasar
106 Bersama Mas Pram
m engobrol di rum ah-rum ah pun tak ada lagi. Kam i tak tahu,
sudah pukul berapa waktu itu.
Sam pai di rum ah suasana pun sudah sepi. Seluruh rum ah
pasti sudah tidur, karena sam asekali tak ada suara barang m au-
pun orang. Apa yang harus kam i lakukan? Mengetuk pintu?
Kam i takut m engganggu. Mas Pram dan Mbak Arvah tentu
Bagian Ketiga: Jakarta 107
sudah tidur sejak pukul sem bilan tadi. Pak Iljas dan Bu Iljas
lebih-lebih lagi, sebab m ereka tentu lelah sesudah bekerja
sepanjang hari. Mau m engetuk Mbak Is, m asak dia dengar?
Kam arnya di ujung belakang.
Entah bagaim ana, Coes ada saja tingkahnya. Ia m engutik-
utik grendel jendela sam ping bikinan Pak Tasim an, bapaknya
Mat Cikrik, yang m em ang tukang, tapi barangkali kelas sekian.
Tidak pernah Pak Tasim an bikin sesuatu persis ukuran. J adi
antara daun jendela dan am bang jendela m asih ada luang ko-
song. Dan begitulah, jendela sam ping itu bisa dibuka, dan Coes
m elangkah m asuk. Saya, tanpa berpikir lagi, ikut m asuk. Dasar
sudah lelah dan m engantuk. Ingat saya, m alam itu pun kam i
tak pakai m akan segala. Langsung saja tidur seperti bayi yang
tanpa dosa.
Esoknya, benar saja, kam i ditanya oleh Mbak Arvah, siapa
yang m em bukakan pintu sem alam . Tentu saja kam i m enjawab
tidak ada. Lalu bagaim ana bisa m asuk rum ah? Nah, di situlah
kam i plegak-pleguk m enjawabnya. Tapi seplegak-pleguk
apapun, akhirnya toh kam i harus m engakui bahwa kam i
m asuk rum ah lewat jendela. Pokoknya Mbak Arvah sam pai
m engatakan: “Nggak baik!” dan itu sudah cukup bagi kam i
untuk m em bayangkan diri kam i sendiri sebagai m aling lom pat
jendela.
Dan itu jelas tidak cukup. Siangnya kam i dilanjrat (diadili)
oleh Mas Pram . Kam i bertiga duduk berjajar kiri-kanan: Mbak
www.facebook.com/indonesiapustaka
Is, saya, Coes. Mbak Is yang tak ikut berbuat kena lanjrat juga.
Mas Pram duduk m enghadap kam i, diantarai m eja. Dan Mbak
Arvah m ondar-m andir sam bil senyum . Mas Pram m em berikan
peringatan keras kepada kam i agar tidak m elakukan hal seperti
itu, dan jangan sam pai m engulanginya. Kata-katanya kira-kira
begini:
108 Bersama Mas Pram
Santoso, dan tidak bisa m enjadi Santoso. Saya pun lain dengan
tem an lain yang barangkali kurang baik angka rapornya dari-
pada saya; yang sam pai tidak naik kelas m isalnya. Saya pun
tidak m ungkin m enjadi tem an-tem an lain itu. Saya m erasa bah-
wa saya adalah saya seperti adanya, dan orang lain adalah juga
orang lain seperti adanya.
110 Bersama Mas Pram
Dan ulangannya:
hal yang lucu. Ketika sedang sibuk m enem ui kam i, lewat orang
lelaki dari selatan ke utara (rum ah Anas Ma’ruf m enghadap
ke barat, ke bioskop Menteng) m enawarkan dagangannya:
“Trei!”
“Eh, panggil itu!” seru Anas Ma’ruf spontan kepada
pem bantunya.
Pem bantunya perem puan tergopoh-gopoh berlari ke luar,
m em anggil: “Bang! Sini!”
Si Abang segera m em utar sepedanya. “Trei!” serunya
gem bira.
Anas Ma’ruf diam saja.
“Trei, Tuan!” ulang tukang lotre dengan tekanan, sam bil
m engibar-ngibarkan lotrenya.
“Ha? Lotre? Siapa yang m au beli lotre?”
“Tadi? Pem bantu Tuan?”
“Ah, jadi ini tadi lotre? Saya kira patri!”
Seketika itu keluar kom entar Mas Pram sam bil senyum
ironis: “Nah, ngarang deh. Maka itu dengar dulu bunyi
patrinya!”
Saya pernah juga diajak ke Penerbit Gapura di gedung De
Unie, J alan Hayam Wuruk, Penerbit Pem bangunan di J alan
Gunung Sahari Raya, dan tentu saja Penerbit Balai Pustaka
di J alan Dr Wahidin. Selain itu ke gedung Yayasan Sticusa
(Stichting voor de culturele sam enwerking) di J alan Gajah
www.facebook.com/indonesiapustaka
pem beritahuan per surat pos bahwa ujian kam i tidak lulus, Mas
Pram dan Mbak Arvah hanya tersenyum tanpa m engatakan
apapun. Ujian itu sendiri bisa saya ceritakan dem ikian:
Untuk m em perebutkan beberapa lowongan sebagai juru
ketik itu ternyata yang datang lebih dari tiga puluh orang.
Walaupun saya tak ingin jadi juru ketik, banyaknya pelam ar
itu m engecilkan hati saya juga. Dan yang m engecilkan hati
juga adalah bahwa saya m erasa belum m ahir. Tapi yang paling
m engecilkan hati, bahkan boleh dikata m em bikin gentar,
adalah bahwa kepada para pelam ar diberikan m esin tulis
standar besar yang sudah tua pula, berarti lain sekali dengan
m esin latihan kam i. Maka, begitu saya m ulai, saya langsung
m em buat kesalahan, dan ketika hendak m em betulkan
kesalahan, terjadi lagi kesalahan lain, dan begitu berturut-
turut. Sejak itu saya yakin tidak m ungkin lulus. Tapi, ya itulah,
tetap saja ada bagusnya, yaitu sekarang saya bisa ceritakan,
berkat perintah Mas Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Mengarang (1)
Dan... pada suatu hari oleh Mas Pram saya dim inta
datang ke Balai Pustaka untuk m engam bil honorarium , kata
baru yang baru waktu itu saya kenal. Di sana m ula-m ula saya
m enem ui Mas Pram , yang lalu m em perkenalkan saya dengan
rekan-rekan sekantornya, a.l. kalau saya tak salah ingat,
124 Bersama Mas Pram
dim aksud Mas Pram dengan kem anusiaan itu, tapi tidak
juga m engerti. Ada sesuatu yang rem ang-rem ang, yang ada
hubungannya dengan m anusia, tapi apa itu, tidak bisa saya
m enangkapnya.
Saya pun tidak m engerti bahwa tujuan m engarang adalah
untuk kem anusiaan. Bagaim ana m ungkin untuk kem anusiaan
kalau yang saya dapat adalah kesenangan tulisan dim uat, dan
kesenangan dapat duit? Apa yang dibicarakan Mas Pram ?
Tapi seperti biasanya, apa yang pernah saya dengar dari
Mas Pram itu saya sim pan dalam hati, m ungkin pada akhirnya
saya akan m engerti, walau selang bertahun-tahun, atau bahkan
berpuluh tahun kem udian.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Membaca (1)
sendiri. Kalau tidak, enak saja orang yang tidak baca itu, tinggal
dengar dari orang lain.
Bagusnya, Mas Pram tidak pernah m inta saya m enceritakan
kem bali isi buku yang habis saya baca. Mungkin karena dia tak
punya waktu, atau sibuk dengan pekerjaannya. Tapi m ungkin
juga justru karena itu saya tidak biasa bercerita lisan pada
siapa saja.
Tapi ada satu buku yang m engesankan sekali bagi saya,
yaitu cerita yang lebih tebal lagi daripada Sebatang Kara, yaitu
Dari Kutub ke Kutub karangan Sven Hedin, m enceritakan
petualangan penulisnya yang m elakukan perjalanan dari
Swedia sam pai Tiongkok dan J epang yang jaraknya ribuan
kilom eter, penuh dengan ancam an alam dan bahaya m aut,
bertem u dengan gejala alam yang tidak um um dan binatang
liar yang aneh-aneh, dengan kendaraan apa saja yang bisa
ditem ui: kapal, gerobak, kuda, troika, dsb.
Pengalam an saya sendiri sungguh hanya setitik kecil
dibandingkan dengan pengalam an Sven Hedin. Apalah artinya
perjalanan terjauh yang pernah saya tem puh, dari Blora ke
J akarta, itu pun bertiga, diantarkan pula oleh Mas Djajoes,
naik kereta api diseling m akan dan tidur di hotel serta nonton
pasar m alam .
Saya jadi m alu kepada diri sendiri. Pulau J awa yang
panjangnya seribu kilom eter saja belum saya kenal. Saya
www.facebook.com/indonesiapustaka
kita ini.
Itulah untuk pertam a kali saya tahu bahwa kata Lord di
sam ping tuan berarti juga Tuhan, dan Yesus Kristus adalah
anak Tuhan. Cerita ini m em buat saya selalu bertanya-tanya:
“Apa iya sih?”
Belajar Mengoreksi
Di sam ping itu dia berikan satu lem bar daftar kode cara
m engoreksi, diam bil dari buku Typograie yang sudah saya
sebut.
Seperti diketahui, salah tulis dengan pensil di atas kertas
dapat langsung dihapus dengan setip, sesudah itu ditulis
kem bali kata yang benar. Dalam hal ini setip harus bersih,
138 Bersama Mas Pram
agar kertas tulis juga tetap bersih apabila kata yang salah
ditulis kem bali. Kalau setip kotor, biasa dibersihkan dengan
m enggosokkannya di perm ukaan kain yang bersih; biasanya
celana atau baju sendiri.
Kalau salah tulis dilakukan dengan tinta atau potlot tinta,
lebih sulit m enghapusnya dengan setip, tapi kadang-kadang
toh dilakukan. Kadang-kadang tinta sem pat m erasuk ke dalam
kertas, sehingga kata yang salah harus digosok kuat-kuat, dan
akibatnya kertas m engalam i aus, bahkan luka dan rusak.
Nah, m engoreksi proefdruk ala Typograie tidak perlu
serepot itu, karena lebih sederhana, asalkan kita hafal tanda-
tandanya. Tanda-tanda itu tidak banyak; paling-paling dua
puluh buah. Tapi dari dua puluh itu ada beberapa tanda yang
sering sekali terpakai, m isalnya tanda garis m iring untuk
m encoret huruf yang salah dicetak dan m enggantikannya
dengan huruf lain. Cara m enggantikannya bukan langsung
di dekat tem pat huruf yang salah dicetak, m elainkan di garis
pinggir sebelah kanan.
Saya ingin m enjelaskan apa yang saya m aksud ini sejelas-
jelasnya, nam un tanpa m em perlihatkan tanda-tanda yang
lazim dalam pengoreksian itu m ustahil kiranya, dan lagi
barangkali tidak ada gunanya.
Tetapi persoalan m engoreksi bukan hanya m engganti
huruf atau kata yang satu dengan huruf atau kata yang lain.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pram bisa saya sim pulkan bahwa pekerjaan ini sangat tidak
m enarik. Keuntungannya adalah bahwa sam bil m engoreksi
kita bisa m engikuti ceritanya. Tetapi karena titik perhatian
pada koreksian, m aka konsentrasi pikiran terbelah. Tentu
saja kadang-kadang ada m asalah yang sulit sekali dipecahkan,
karena tidak ada tanda untuknya dalam daftar. Dalam keadaan
140 Bersama Mas Pram
itu terpaksa saya bertanya kepada Mas Pram . Ini pekerjaan yang
tak saya sukai, karena Mas Pram pun tak suka pekerjaannya
diganggu, walau ia selalu m enganjurkan untuk bertanya kalau
ada kesulitan.
Paling sebal adalah kalau dalam proefdruk terdapat banyak
salah cetak, sehingga tanda-tanda koreksian bertum pang-
tindih, yang kem ungkinan m em bingungkan tukang cetak.
Nam un belakangan saya tahu, korektor tidak selam anya
berpegang pada apa yang ada dalam buku Typograie, yaitu
dengan m engoreksi langsung di tem patnya. Orang-orang
seperti itu jelas tidak akan lulus dalam ujian tipograi, walau
orang-orang tertentu bisa saja m enenggangnya.
Saya kira sebaiknya saya hentikan saja di sini uraian saya
tentang m engoreksi ini agar tidak m em buat pem baca bosan
lebih lanjut.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram dan Kerja (1)
Tapi lam a-lam a saya terbiasa dengan istilahnya itu. Lam a-lam a
kata ‘kerja’, sesuai dengan pengertian Mas Pram , saya paham i
sebagai m elakukan kerja kreatif, dan hasilnya berupa kreasi.
Mas Pram dem ikian tinggi m enilai kerjanya, juga waktu yang
ia curahkan untuk kerja itu, sehingga lam a-lam a terasa wajar
oleh saya kalau ia m em aki: “Setan, nggak bisa kerja aku!”
142 Bersama Mas Pram
Yang saya rasa aneh juga m ula-m ula adalah bahwa Mas
Pram kew etu (sam pai hati m engeluarkan) m akian dem ikian
kepada tam u, walau tam u sudah pergi, sudah tak kelihatan,
dan sudah tak m ungkin m endengar m akian tersebut. Saya
(dan kam i sem ua anak J awa) dari kecil diajari m enerim a
tam u dengan baik. Menerim a tam u dengan baik artinya m ene-
rim anya dengan sopan-santun, m em persilakannya duduk,
m enyam butnya dengan percakapan sam pai terlaksana sang
tam u m enyam paikan m aksud kedatangannya atau keper-
luannya, dan kita sebagai tuan rum ah m enanggapi m asa-
lahnya sam pai m asalah tersebut terpecahkan. Kadang-kadang
alur percakapan terhenti karena sebab tertentu. Nah, di situ
dianggap wajib bahwa tuan rum ah m enem ukan pokok pem -
bicaraan sehingga alur pem bicaraan bisa berjalan lancar lagi,
tidak tersendat sam asekali. Sebagai bagian dari m enerim a
tam u dengan baik adalah m enyuguhkan m inum an, dan kalau
ada dengan m akanan. Minum an yang paling dihargai untuk
tam u dewasa adalah kopi m anis, sudah itu juga teh m anis, dan
baru m inum an yang lain. J uga rokok. Ada kalanya tuan rum ah
tidak punya persediaan kopi, teh, atau gula, bahkan uang untuk
m em beli sem ua bahan itu tak ada. Di situ tuan rum ah dituntut
untuk m engusahakannya bagaim anapun caranya, kalau perlu
dengan m engutang pada tetangga. Dan ketika tam u akhirnya
m inta diri, dianggap baik bila tuan rum ah nguntapake (m elepas
www.facebook.com/indonesiapustaka
berm ata m erah seperti orang suka bergadang. Dan yang lebih
penting lagi, ia m engesankan sebagai penganggur dan suka
m enganggur. Kalau datang, selalu ia banyak om ong dan tidak
henti-henti. Kadang-kadang sam pai disuguhi m akan. Bahkan
ia sam pai pernah m enginap. Terpaksalah ia disuruh tidur
di pelbed, satu dari dua oleh-oleh Mas Pram dari Penjara
146 Bersama Mas Pram
am an bersarang.
Nah, dalam kesem patan m enem pel dinding seperti itu, Mas
Pram biasanya juga am bil bagian, paling tidak m em berikan
contoh kepada saya. Terus-terang, saya bukan tidak senang
dengan pekerjaan ini. Dengan m engerjakan hal itu kelihatan
sekali bedanya dinding sebelum dan sesudah ditem peli kertas
Bagian Ketiga: Jakarta 151
dan dikapur: dinding m enjadi bersih, dan ruangan jadi tam pak
cerah bercahaya. Kalau m engerjakannya pada hari Minggu, saya
bisa bekerja sepanjang hari, dari pagi sam pai m alam . Pernah
saya bekerja sam pai pukul sepuluh m alam , karena tanggung
akan m enghentikannya, sam pai Mas Pram berkom entar:
“Kuat am at kau kerja, Liek!”
Dia tidak m enghentikan saya, walau sudah lewat pukul
sem bilan m alam . Mungkin juga kata-kata itu dia m aksud
supaya saya berhenti kerja.
Yang bikin tanggung itu adalah aci, bukan bidang dinding
yang belum ditem peli. Aci harus dihabiskan, sebab kalau tidak,
ia akan basi keesokan harinya.
Mas Pram tidak pernah saya lihat m ain badm inton,
pingpong, apalagi tenis. Menurut penglihatan saya, Mas Pram
kerja isik tidak teratur. Dan saya tidak pernah melihatnya
langsung melakukan senam atau latihan isik. Tapi saya lihat
ia m enyim pan treksando di kam ar tidurnya, jadi m ungkin ia
m elatih diri di kam ar tanpa kelihatan orang lain. Karena itu
tam pak badannya kekar, walau sepanjang hari duduk m engetik.
Dan tidak tertutup kem ungkinan ia m elakukan senam juga di
kam ar.
Pada waktu Poedjarosm i sudah lahir (18 Oktober 1950 )
sering ia m enjahit pakaian untuk anaknya itu. Yang saya
m aksud bukan m enjahit popok atau sebangsanya yang m udah-
www.facebook.com/indonesiapustaka
antara kopling dan persneling itu. Maka sam pai lam a saya
tidak juga bisa m enggunakannya.
Dalam situasi seperti itulah pada suatu hari Mas Pram
m engatakan:
“Antarkan Mbak ke Kebayoran, Liek! Berani, kan?”
“Berani!” jawab saya setengah m antap.
Bagian Ketiga: Jakarta 155
“Pakek bajunya.”
Dokter lalu duduk m enulis resep.
“Am bil obat, ya. Vitam in sekian m acam , dim akan sekian
kali sehari, sebelum atau sesudah m akan dsb., dsb.”
Nah, obat atau vitam in itu m esti diam bil di apotik rum ah
sakit yang cum a ada satu untuk seluruh rum ah sakit. Antrenya
158 Bersama Mas Pram
ketahui.
Mas Her
SAYA DAN Mbak Is lulus ujian SMP negeri tahun 1951. Saya
m eneruskan pelajaran ke Tam an Madya yang setingkat SMA,
sedang Mbak Is oleh Mas Pram dim asukkan m enjadi pegawai
Balai Bahasa di bawah Kem enterian Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan, yang waktu itu berkantor di gedung Balai
Pustaka, jadi segedung dengan Mas Pram . Alasan untuk
m em asukkannya ke sana tentunya dapat diraba, tapi apakah
Mas Pram sudah lupa akan cita-citanya m enyekolahkan kam i
bertiga, saya tidak m em persoalkannya.
Penyakit yang biasa m enjangkiti gadis 18 tahun adalah
jatuh cinta atau kejatuhan cinta. Lebih-lebih lagi Mbak Is itu
barangkali berwajah cantik m enurut penilaian orang banyak.
Buktinya, sejak kecil, di Blora, ia dipanggil para tetangga
www.facebook.com/indonesiapustaka
dengan Ning Ayu. J adi sejak di Tam an Dewasa itu ada saja
yang m eliriknya, dan sebagian juga datang ke rum ah. Nah,
ketika ia m enjadi pegawai Balai Bahasa itu, sebentar saja sudah
terjadi satu dari kedua kem ungkinan jatuh cinta tadi. Siapakah
pem uda itu?
Bagian Ketiga: Jakarta 161
Nam anya Mas Her, yang waktu itu di sam ping m enjadi
pegawai Balai Bahasa berstatus sebagai m ahasiswa hukum
Universitas Indonesia, putra m antan m antri polisi. Tinggal
indekos di J alan J am bu, Menteng, tapi kem udian pindah
tinggal di rum ah uaknya di Bogor.
J abatan m antri polisi waktu itu cukup terhorm at. Karena
itu pula ia bisa m engindekoskan putranya di daerah Menteng,
daerah elit di J akarta. Kedudukan Mas Her sendiri sebagai
pegawai Balai Bahasa cukup terhorm at, term asuk statusnya
sebagai m ahasiswa hukum . Tetapi di m ata Mas Pram barangkali
sem ua itu tidak m encukupi. Barangkali ia ingat kata-katanya
sendiri: dokter-dokter, m eester-m eester!
Karena tinggalnya di Bogor, Mas Her nglaju kereta api
Bogor-Gam bir untuk bekerja, dan pada hari Minggu ngapeli
Mbak Is. Hari-hari biasa, pukul enam pagi ia sudah berangkat
dari Stasiun Bogor, dan hari Minggu pukul sem bilan atau
pukul sepuluh ia sudah sam pai di Kebon J ahe Kober, dan
paling lam bat pukul enam sore sudah naik kereta untuk pulang
ke Bogor.
Mas Her bersosok sedang, sim etris, tam pan, bersisir dan
berpakaian necis, berpendidikan. Sikapnya galant, correct,
walau pendiam . Di antara ciri-cirinya itu, pendiam nya yang
paling m encolok bagi saya. J arang saya m endengar suaranya.
Dan tahannya duduk itu... m inta am pun. Bayangkan, datang
www.facebook.com/indonesiapustaka
pukul sem bilan pagi, duduk, terusss duduk sam pai pukul lim a
sore, dan pada pukul lim a sore teng dia kem bali ke Gam bir.
Orang jatuh cinta m em ang berdasar banyak faktor, juga
m enanggapi cinta. Dan berdasarkan faktor-faktor itulah cinta
itu juga diuji dan diwujudkan.
162 Bersama Mas Pram
baru buat saya. Mesin diisi tinta khusus, dan diputar hingga
m enghasilkan lem bar stensilan, halam an dem i halam an.
Untuk itu digunakan kertas khusus stensil yang bisa dibeli per
rim . Satu rim biasanya terdiri atas 40 0 lem bar kertas kuarto
atau folio (yang seharusnya berisi 50 0 lem bar). Seingat saya,
tiap karangan dibuat stensilannya sam pai 50 eksem plar. J adi
Bagian Ketiga: Jakarta 165
tentang basa Indonesia”, oleh Pem uda No. 2 Th. IV, Februari
1954; 6). “Angkatan dan dunianya”, oleh Pem uda No. 1 Th.
III, J anuari 1953; 7). “Tentang Angkatan”, oleh Duta Suasana
No. 2, 20 -11-1952; 8). “Daya khayal, ketekunan, keperwiraan
dan ilm u”, oleh Pem uda No. 1 Th. IV, J anuari 1954; 9).
“Kesusasteraan dan perjuangan”, 1952; 10 ). “Mencari sebab-
Bagian Ketiga: Jakarta 169
sore hari itu. Ke tam an itu juga saya m engungsi untuk m ain
bola sendirian atau dengan Coes, kalau lagi rindu berm ain
dengan tem an bal-balan di Blora.
Rangkaian Sahabat Sastera
kam us saya. Pikir saya, kalau saban hari saya buka kam us,
lam a-lam a sem ua kata Inggris akan saya lihat artinya, dan
saya jadi tahu bahasa Inggris. Tapi aduh! Kam us itu sungguh
m iskin. Banyak kata tidak tercantum di dalam nya. Nam un
dengan kam us m iskin, tetap saya rangkaikan kata dem i kata,
saya coba tangkap artinya, dan saya tuliskan di buku tulis.
Di situlah saya m em pelajari arti kata dan gram atika bahasa
Inggris. Tidak ada hari tanpa saya m em baca kalim at Tolstoi
dan m em buka kam us m iskin itu.
”Sehari saya tam atkan satu kalim at, dua kalim at, tiga
kalim at, tergantung dari waktu yang tersedia. Tapi bisa juga
terjadi tidak satu kalim at pun tertam atkan.
”Itulah untuk pertam a kali saya m erasa bahwa kalim at
Tolstoi sulit, berbelit, berlarut. Tapi itulah juga untuk pertam a
kali saya m enyadari adanya keindahan dalam kalim at dan
cerita Tolstoi. ”The Tales of Sebastopol” adalah pertelaannya
m engenai Perang Krim (1853-1856) di m ana ia ikut am bil
bagian aktif. Di dalam perang yang m erupakan wujud
persaingan antarnegara-negara besar di Tim ur Tengah dan
di m ana Rusia dikeroyok oleh Turki Ottom an, Inggris dan
Prancis, dan belakangan juga Austria itu, ratusan ribu m anusia
m enjadi korban di m asing-m asing pihak, hingga Tolstoi
bukannya berbicara tentang perang khususnya, m elainkan
tentang m anusia di dalam perang.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dan itu terbukti, karena tidak lam a kem udian kam i bertiga
m endapat perm intaan/ perintah untuk m eninggalkan rum ah
yang sem pat em pat tahun kam i huni.
Bukan hanya saya saja yang tidak ikut cam pur dalam
urusan Mas Pram , juga Mbak Is dan Coes. Kam i ditam pung
dengan baik selam a em pat tahun dengan rasa terim akasih
yang tak terhingga. Kalau sekarang kam i harus pergi, kam i
akan pergi, karena itu dem i kebaikan suasana rum ahtangga
Mas Pram . Hubungan kam i dengan Mas Pram dan Mbak
Arvah tidak pernah terpengaruh oleh hubungan kekeluargaan
m ereka, juga hubungan kam i dengan Pak Iljas dan Bu Iljas.
Maka pada suatu hari, dengan becak, kam i ram ai-ram ai pindah
ke sebuah rum ah petak kontrakan m ilik Haji Daud. Dan dalam
hal ini pahlawannya tidak lain tidak bukan adalah... Mas Her!
Keteguhannya dalam m encintai Mbak Is terbukti m enjadi
blessing in disguise bagi kam i di saat yang m enentukan itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Rumah Kontrakan Haji Daud
yang baik-baik. Haji Daud sendiri pun orang baik. Rum ahnya
tidak jauh dari rum ah kontrakan. Kadang-kadang ia datang
m enjenguk untuk m engetahui keadaan kam i, dan m engajak
m engobrol.
Waktu itu kantor Mas Her di Pusat Bahasa sudah pindah
ke bekas Sekolah HBS di depan CBZ, yang juga m enjadi pusat
perkuliahan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sedangkan
kantor Mbak Is pindah ke J alan Kim ia No. 12, tidak jauh dari
sana. Karena itu m ereka pulang-pergi ke kantor bersam a-
sam a. Mas Sugeng pagi hari kuliah sejarah, dan sore hari
m engajar sejarah di SMA Budi Utom o. Coes naik ke kelas 2
Tam an Madya, belajar pagi, dan saya kuliah di J urusan Inggris
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saya m asuk di jurusan
itu karena m erasa tidak m enguasai bahasa Inggris sesudah
enam tahun belajar bahasa itu di tingkat SMP dan SMA, jadi
bukan karena suka.
Beberapa bulan sesudah kuliah, perpustakaan Fakultas
Sastra m enawarkan pekerjaan kepada beberapa m ahasiswa
lelaki-perem puan yang m au m enjadi student assistant,
sem acam relawan di perpustakaan di luar jam kuliah, dengan
im balan 125 rupiah per bulan. Uang im balan itu tidak banyak,
tapi untuk kantong m ahasiswa, ya lum ayan. Perpustakaan
waktu itu dikepalai oleh Ibu Ediati Surasno yang juga m asih
berstatus m ahasiswa di situ.
Saya m endaftarkan diri, dan diterim a. Ternyata paling
www.facebook.com/indonesiapustaka
tidak ada lim a m ahasiswa lain yang juga diterim a, a.l. Agah
Harganda, Machfudi Mangkudilaga, Achadiati Ikram (kalau
tak salah), dan Siti Sarwendah. Untuk kam i berenam dibuatkan
jadwal tugas, disesuaikan dengan jam -jam kuliah kam i. Tugas
kam i pada pokoknya adalah m engam bil dan m engem balikan
buku dari dan ke rak buku sesuai urutannya. Kelihatannya
188 Bersama Mas Pram
pam ong term aksud. Dan apa akibatnya? Masyaallah! Pam ong
tersebut m erasa saya kuliti hidup-hidup, dan ia perlukan waktu
tiga perem pat jam belajar itu untuk ganti m enguliti saya (tanpa
m enyebut nam a) di depan kelas dari teng m asuk sam pai teng
keluar.
Bagian Ketiga: Jakarta 191
Di rum ah koran itu saya baca, dan dibaca juga oleh anggota
keluarga yang lain, term asuk Mas Her. Esoknya saya bawa
kem bali ke perpustakaan.
Saya m endapat kesan bahwa Mas Her tidak m enyukai
Harian Raky at.
”Koran apa ini!” dem ikian kom entarnya negatif.
Saya tidak peduli waktu itu dengan aliran koran-koran
itu, tapi lam a-lam a, karena sering m em bacanya, tahulah saya
kenapa Mas Her tidak m enyukai Harian Raky at, yaitu karena
harian ini organ PKI, sedangkan Mas Her adalah sim patisan
PSI, dan kedua partai itu berm usuhan. Dari m ana saya tahu
bahwa Mas Her sim patisan PSI? Dari tanda gam bar partai
itu yang sering dibawanya pulang, dan dari cerita-ceritanya,
m isalnya tentang Ketua PSI waktu itu, Sutan Sjahrir, yang
sangat disanjungnya. Selam a m asa kam panye itu Mas Her
sering sekali rapat, dan pulang m alam . Dan pulang rapat suka
langsung m enem pelkan tanda gam bar PSI di m ana-m ana,
term asuk di dinding kam ar m andi kam i.
Perlu saya ceritakan bahwa m asing-m asing kam i di rum ah
itu punya sepeda, kecuali Mas Sugeng. J adi seluruhnya ada
em pat sepeda di rum ah itu, yang tiap m alam harus ikut m e-
m enuhi rum ah itu.
Pada m alam yang naas, ndilalah seorang tem an saya
m enitipkan sepedanya kepada saya, karena dia sudah lelah
www.facebook.com/indonesiapustaka
dan berm aksud pulang naik becak saja. J adi sepeda tem an itu
ikut m enam bah penuhnya rum ah kam i. Tengah m alam , ketika
kam i sudah tidur, Mas Her pulang dari rapat, dan langsung
m enanyakan sepeda siapa yang m enghalangi jalan itu. Saya
yang segera terbangun m enjawab bahwa itu sepeda tem an
saya.
200 Bersama Mas Pram
keributan itu. Sebagian bertanya apa yang terjadi. Saat itu juga
Mas Pram yang rupanya ikut terbangun bertanya dari jauh:
”Ada apa, Liek?!”
Saya sudah lupa apa jawaban saya waktu itu kepadanya,
tapi m alam itu saya diselam atkan Mas Pram , disuruh tidur di
rum ahnya, dan karena di rum ahnya hanya ada satu tem pat
Bagian Ketiga: Jakarta 201
situ tidak ada m asalah enggan, m alu, atau tak sopan. Sam pai
cairan dalam botol itu ludes, atau sam pai hari berikutnya.
Ke rum ah petak ini juga datang tem an-tem an baru Mas
Pram . Yang saya ingat di antaranya A.S Dharta, penyair
dan organisator Lekra, Rivai Apin, juga penyair, dan Trisno
Yuwono, penerjung payung dan juga penulis cerpen yang,
204 Bersama Mas Pram
siang saya sudah harus ikut m obil jem putan tem an-tem an,
dan pukul dua belas m alam baru selesai ikut m engantarkan
m ereka ke rum ah m asing-m asing. Dan baru sekitar pukul satu
m alam sam pai di rum ah.
Pada suatu m alam saya tiba di rum ah pada pukul itu.
Mengetuk pintu, dan tidak ada tanggapan. Karena m enduga
ketukan kurang keras, saya keraskan, tapi tetap tak ada
tanggapan. Mungkin kurang panjang? Saya perpanjang.
Tetap sam a. Mungkin perlu diulang? Saya ulang-ulang. Tetap
saja. Mungkin tidak dengar? Baik, saya pergi ke sam ping dan
m engetuk jendela kam arnya. Karena tetap tak ada reaksi, m aka
kesim pulan saya adalah: m ungkin tak m au bereaksi.
Waktu itu saya sudah langsung m em ikirkan untuk m encari
penginapan di tem pat lain, ketika saya dengar istri Haji Mam ak
m em ekik dari belakang rum ahnya: “Sudah dibuka!”
Ketika saya am ati, ternyata yang dibuka adalah pintu
belakang. Saya tak bertem u dengan siapapun di rum ah
itu. Maka sejak itu hubungan baik dalam keluarga m enjadi
am bruk. Di sini saya tidak m encari siapa yang salah dan siapa
yang benar. Persoalan saya adalah m enum pang atau tidak
m enum pang. Saya harus tidak m enum pang kalau saya tetap
m au suka dan bekerja untuk orang banyak tadi.
Saya pun m encari rum ah kontrakan, dan lewat anggota
“Gem bira” bernam a Mas Darm o, saya berkenalan dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka
tem annya yang bernam a Mas Sagi. Mas Sagi inilah yang
m enunjukkan rum ah kontrakan yang m enunggu pengontrak,
m ilik seorang engkong dan enyak Betawi. Sebuah rum ah gubuk
ukuran 3 x 2 m eter, lantai tanah, tanpa langit-langit, dinding
dari gedek tanpa lapisan, terdiri atas dua bagian: kam ar tidur
dan kam ar tam u, dengan uang kontrak sebulan Rp50 . Kam ar
Bagian Ketiga: Jakarta 207
saya sobek sarung palekat saya, saya gelar di atas papan, dan
untuk bantal saya gunakan ransel. Kurang apa? Ini m erdeka,
pikir saya, dan tidur sam pai pagi.
Di rum ah yang kem udian saya nam akan Rum ah Setan itu
(sebetulnya saya bisa bercerita banyak tentang rum ah ini, tapi
itu tidak relevan untuk m em oar tentang Mas Pram ini) saya
m eneruskan hidup saya, pelajaran saya, dan... pekerjaan saya.
Banyak sukanya, tapi juga banyak dukanya.
Nam un pada suatu hari saya m ulai m enyadari bahwa ada
yang tak beres dengan tubuh saya. Sepertinya tenaga saya susut
drastis hingga daya isik merosot, dan daya pikir jadi loyo.
Menyadari itu, saya pergi ke dokter praktik seorang Tionghoa
di depan bioskop Rivoli, Kram at. Dokter tanpa am pun
m enjatuhkan palu godam pada saya: harus suntik penstrep
delapan kali karena saya terkena bronkhitis.
Godam nya bukan penstrepnya, delapan kalinya, atau
bronkhitisnya, m elainkan biaya suntik dan dokternya. Tapi
tentu saja tak ada yang perlu disesali. Saya sudah sem pat
m eninggali rum ah itu dengan berani selam a delapan bulan,
dan selam a itu Mas Pram tak pernah m enengok. Itu pun
tak perlu disesali. Yang penting, dem i kesehatan, saya harus
m eninggalkan rum ah itu, dan pindah ke rum ah yang lebih
sehat. Pilihan saya adalah indekos.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Simpat Sembilan
m aupun tidak.
Ketika saya m em utuskan untuk indekos dan m encari
tem pat indekos, saya m enem ukannya di J alan Cem paka Putih
Raya No. 3, rum ah tem bok, gedongan, dengan bayaran m ahal,
tapi terbayar karena saya sudah punya gaji cukup, cum a saya
sudah lupa, berapa. Selain saya, ada beberapa pem uda lain yang
210 Bersama Mas Pram
suara Mas Pram dalam kelom pok itu m em ang dom inan.
Kenapa dipilih orang-orang itu, dan bukan orang-orang
yang sudah m atang berkecim pung dalam politik, hal itu
tak pernah dibicarakan. Pertim bangan Mas Pram m ungkin
praktis saja, karena orang-orang itulah yang sering m uncul
di rum ahnya (kini rum ah sendiri yang dibangun tak jauh dari
Bagian Ketiga: Jakarta 211
rum ah Haji Mam ak), sehingga gam pang untuk berkum pul
sem inggu sekali: Mas Wiek dan saya selalu singgah, Hidayat
m em ang sering m am pir (untuk ini ada cerita tersendiri),
J am hur dan seorang tem annya wartawan APB tinggal di depan
rum ah Mas Pram , dan Piet Santoso sering m em bantu Mas
Pram m engurus buku-bukunya.
Kelom pok ini, m enurut perasaan saya, tidak dim aksudkan
sebagai think tank atau sem acam itu, hanya sekadar sarana
m engecek dan m enguji suatu pendapat atau pendirian. Tentu
saja, sebagaim ana lazim nya, walau um um nya kesem bilan
orang datang berkum pul, bisa saja terjadi satu-dua orang
berhalangan datang.
Saya ingat betul, salah satu persoalan yang dibicarakan
adalah apa yang dinam akan Konsepsi Presiden.
Konsepsi Presiden adalah konsepsi yang dikem ukakan oleh
Presiden Soekarno dalam pidatonya pada 21 Februari 1957 di
depan para pem im pin partai dan m asyarakat, berisi gagasan
tentang pem bentukan kabinet gotong-royong (Kabinet Berkaki
Em pat), yaitu m asuknya wakil-wakil partai terbesar—PNI,
NU, Masyum i, PKI—dan partai-partai lain, ditam bah golongan
fungsional. J uga pem bentukan Dewan Nasional yang terdiri
atas wakil-wakil sem ua partai dan golongan dalam m asyarakat,
yang berfungsi m em berikan nasihat kepada kabinet, dim inta
m aupun tidak.
www.facebook.com/indonesiapustaka
waktu itu akan sudah terlam bat untuk bisa dikoreksi, bahkan
kem udaratan itu bisa dem ikian besar hingga m em bahayakan
kehidupan bangsa.
Kesim pulannya adalah dukungan kelom pok terhadap
konsepsi tersebut, dan itu dirum uskan dalam sebuah
keputusan, ditandantangani oleh sem ua anggota kelom pok,
dan disam paikan secara resm i kepada sebuah panitia yang
nam anya (kalau tidak salah) Kom ite Pendukung Konsepsi
Presiden. Saya yang m enyusun dan m engetik keputusan
tersebut, dan juga m enyam paikannya kepada Kom ite.
Kam i tahu, Konsepsi tersebut tidak pernah dapat
dilaksanakan, tapi itu sudah m asalah lain. Soal lain yang
dibicarakan oleh kelom pok dan diputuskan untuk didukung
juga adalah m asalah kem bali ke UUD 1945.
Masalah ini kem udian direalisasi dalam bentuk Dekrit
Presiden, yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 5 J uli
1959 untuk m em berlakukan kem bali Undang-Undang Dasar
1945 karena gagalnya Konstituante m enyusun konstitusi yang
baru.
Tindakan kem bali ke Undang-undang Dasar 1945 itu
diusulkan oleh TNI AD. Keputusan TNI AD itu diam bil dalam
pertem uan antara KSAD dan para panglim a territorium pada
Mei 1958.
Rincian Dekrit Presiden:
www.facebook.com/indonesiapustaka
4 Belakangan, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II Pramoedya Ananta Toer menulis:
“Melakukan peninjauan ke Banten (Saketi, Malimping, Bayah, Cikotok) untuk
menyelidiki benar-tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda
sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan
kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka.” (Pen.)
Harley Davidson
Dan di depan tak ada orang atau kendaraan lain. Kalau ada,
entah apa yang terjadi.
”Maaf, Mas, lupa,” kata saya gem etar.
Mas Pram diam saja. Bukan diam saja! Dia tak ada di bon-
cengan!
220 Bersama Mas Pram
5 Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer
(Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 231.
Bagian Ketiga: Jakarta 221
pam eran terjem ahan itu saya bacakan sendiri sebagai Ketua
OPI. Untuk m enjaga pam eran beberapa hari, saya m inta
bantuan para anggota IPPI yang waktu itu selesai berkongres di
J akarta, lelaki-perem puan, dari J akarta m aupun dari daerah.
Hadirin yang datang saya anggap cukup banyak waktu itu.
Saya m erasa bahwa pam eran itu cukup sukses dan m enjadi
224 Bersama Mas Pram
INPS dan hasil sepeda kum bang yang saya jual langsung di tepi
J alan Pecenongan saya serahkan sem ua. Itu belum m asalah
tetek-bengek lainnya. Dan yang pokok: acara akad nikah dan
pesta pernikahan. Ketika orkes keroncong m asih berbunyi
m alam itu, saya sudah dem ikian kehabisan tenaga dan m engan-
tuk sam pai tanpa m alu-m alu saya m inta izin kepada sem uanya
untuk tidur. Tapi dengan sendirinya saya tak bisa tidur—sam pai
tiga hari—karena bertekad belajar dulu sam pai tuntas.
Di situlah lalu saya teringat Mas Pram . Saya bukan tidak
ingat pesannya. Saya ingat. Tapi saya m erasa bahwa pesan
Mas Pram tidak benar. Dan saya m au m em buktikan bahwa itu
m em ang tidak benar. Kalau diam ati seluruh catatan ini, tidak
pernah saya m em bantah pendapat Mas Pram . Kali ini saya
m em bantahnya dengan perbuatan. Di hati saya terasa ada
sesuatu yang aneh. Ya, sesuatu yang tidak lazim . Tapi apalah
arti tidak lazim . Toh dunia ini terdiri atas yang lazim dan
tidak lazim , dan dua-duanya harus dapat dan bisa berserikat
m enjadi apa yang kita nam akan kehidupan. J adi, jadilah apa
yang akan terjadi.
Seandainya saya sem pat bertem u dengan Mas Pram waktu
itu, barangkali sem pat juga ia m elarang saya. Dan barangkali
saya akan m endengarkan kata-katanya. Bukan, bukan karena
kepergian saya untuk belajar. Bukan juga karena pernikahan
saya. J adi karena apa? Tentu pem baca m asih ingat ucapan Mas
Pram tentang perkawinan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Tapi diam -diam tentu saja saya m inta restu kepada Mas
Pram sebagai kakak tertua agar langkah-langkah saya benar-
benar bukan langkah kiri. Dan begitu saja saya berpisah dengan
Mas Pram tahun 1960 , sekadar dalam hati.
Menurut rencana, tiga hari sesudah pernikahan saya harus
sudah berangkat ke Moskwa. Tapi ndilalah, pesawat Air India
228 Bersama Mas Pram
6 Mengenai perjalanan saya ke Moskwa sudah saya tulis agak rinci dalam Kampus
Kabelnaya: Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet (Kepustakaan Populer Gramedia, 2003),
hlm. 12-17.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Indonesia, bisa cerpen dan sajak tulisan tem an-tem an, dan
tentu saja koran Bintang Tim ur yang begitu saja kam i bentang-
tem pelkan. Waktu itu koran-koran di Indonesia terbit hanya
em pat halam an, jadi sekali terbit ”Indonesia” m em bentangkan
halam an 1 dan 4 pada tanggal dua m inggu sesudah Bintang
Tim ur terbit, dan halam an 2 dan 3 sem inggu kem udian. Dalam
232 Bersama Mas Pram
di Moskwa dalam jum lah ratusan. Maka pada suatu pagi saya
pun m enem ui Boris Polevoi di kantor Serikat Pengarang Uni
Soviet, setelah lebih dulu m em buat janji.
Polevoi m enerim a saya dengan senang dan bergairah,
seperti kebiasaan orang Rusia m enerim a tam u. Ia didam pingi
sekretaris Serikat itu, Mariam Salganik. Nam a Mas Pram
waktu itu sudah besar di Uni Soviet. Ia pernah m engikuti
Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent (ibukota salah
satu Republik Uni Soviet) tahun 1957. Dan karya-karyanya
term asuk yang pertam a diterjem ahkan dan diterbitkan di Uni
Soviet di antara buku-buku sastra Indonesia, di sam ping Abdul
Muis dan Arm ijn Pane. Tapi dengan sendirinya pertem uan itu
m erupakan pertem uan penjajakan sem ata. Walaupun dem ikian
Polevoi berjanji akan m engurus perm intaan Mas Pram itu. Dan
sebagai tanda persahabatan, oleh Polevoi dititipkan sebuah
notes kecil dan sebatang pensil yang waktu itu m erupakan
barang-barang antik yang sangat dihargai.
Selanjutnya saya tak tahu (atau lupa) bagaim ana
perkem bangan m asalah ini. Tapi seingat saya Mas Pram tak
pernah m erasa puas dalam hubungannya dengan penerbit di
Uni Soviet.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Milik Rakyat Indonesia
1
Tentang kemelut ini sudah saya ceritakan dalam buku Kampus Kabelnaya:
Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet, (Jakarta: KPG, 2003).
Bagian Keempat: Moskwa 239
“KOESALAHSOEBAGYOTOER
3J A KABELNAYA DOM-1 MOSKWA 3-24 USSR
LIEK BERIKAN J G DIPINTA ISTRIMU TITIK KAU
MILIK RAKJ AT INDONESIA TITIK ISTRI DAN ANAKMU
TAK PUNJ A HAK ISTIMEWA ATAS DIRIMU PRAMOEDYA”
Sem ula saya m engira Mas Pram m enulis telegram itu tanpa
lebih dulu m enghubungi keluarga istriku, nam un kem udian
saya ketahui, Mas Pram m em ang m endatangi m ertua saya
(dan istri saya sudah tak tinggal di situ).
Menerim a telegram itu saya pun m em benarkan Mas Pram ,
walau dengan getir.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Rita, waktu itu Mas Pram dititipi salam oleh seorang pem uda
Indonesia yang konon adalah pacarnya.
Kirim salam hal yang biasa saja dalam pergaulan
antarm anusia. Yang istim ewa adalah Mas Pram waktu itu
bertanya kepada Rita:
“Boleh saya sam paikan langsung?”
Bagian Keempat: Moskwa 241
di m ana tinggal juga anak saya, Ruski. Waktu saya datang Ruski
sedang berm ain dengan tem an-tem annya di rum ah tetangga.
Um urnya em pat tahun waktu itu. Mertua saya m em anggilnya:
“Kiii, ini Bapak dataaang!” berulang kali. Anak itu tidak
segera datang, tapi akhirnya toh datang. Dan ketika datang, ia
langsung m endem pel pada em bahnya, tak m au m endekat.
248 Bersama Mas Pram
m obil. Waktu itu m asih banyak m obil m erek Gaz, Volga, dan
Moskvich di Indonesia. Bagian Perdagangan punya banyak
Gaz, lengkap dengan sopirnya.
Hanya saya katakan, saya baru bisa m engajar m ulai Agutus
bulan depan, karena saya harus m enengok dulu kota kelahiran,
Blora.
Bagian Kelima: Tahun 1965 253
Tentu saja, dalam kesem patan pertem uan dengan Mas Pram
berita itu saya sam paikan kepadanya. Dan apa kom entarnya?
“Pekerjaan begitu kok kau terim a!”
Kom entar itu dengan sendirinya m engecewakan diri
saya. Tapi saya berpendirian, walau secara um um kebutuhan
m anusia satu dengan m anusia lain sam a, secara khusus pasti
tidak sam a atau bahkan berbeda. Dengan dem ikian saya tetap
bertekad m enjalankan pekerjaan itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pilih Mana?
Tralala-la-la-la-la,
Pokoke m arhen m enang!
supaya saya m asuk PNI. Dia ceritakan, Mas Pram m akin lam a
m akin m enunjukkan tanda-tanda dekat dengan PKI. Tahun
sebelum nya, 1964, waktu Mas Pram m erencanakan perjalanan
keliling J awa Tengah untuk m em opulerkan Lekra bersam a
J oebaar Ajoeb, ia m em beritahu Mas Di rencananya singgah di
Blora dan m engucapkan pidato.
Bagian Kelima: Tahun 1965 263
kesenian. Pem uda Dem okrat dan gerakan wanita dari PNI juga
tak m au ketinggalan, sehingga panitia kewalahan m enam pung
sum bangan kesenian. Tak kurang dari 30 nom or kesenian
disum bangkan dalam acara itu: paduan suara, nyanyian
tunggal, tarian, dram a, deklam asi, dagelan, dll., term asuk lagu
Mas Pram ”Pam an Martil” lengkap dengan pantom im iknya.
Sam pai sore hari m enjelang acara, orang m asih m endaftar.
Sebuah spanduk dibentangkan di lapangan sebelah pabrik
Apotik Abdi berisi pem beritahuan tentang akan dibentuknya
Lekra Cabang Rawam angun disertai pesta kesenian, dan
ajakan untuk m enyum bangkan nom or.
”Kau nanti jadi pem bawa acara, Liek!” kata Mas Wiek.
Saya langsung m erasa bahwa Mas Wiek m em anfaatkan
kedudukannya sebagai kakak dan kepala keluarga, dan itu
tidak benar. Maka saya keberatan.
”Kan ada dari panitia? Saya kan bukan panitia?” kata
saya.
”Ada dari panitia. Kebetulan Liliek datang, sekalian
m em perkenalkan. Kan hebat, sarjana lulusan Moskwa tam pil
di sini, di pinggiran J akarta?”
”Lalu bagaim ana kedudukan tem an yang sudah
ditugaskan?”
”Itu urusanku. Lebih cocok Liliek. Sudahlah, Liliek saja.”
”Saya jadinya enggan.”
”Menunaikan tugas, enggan? Kam u, enggan? Coba, saya
www.facebook.com/indonesiapustaka
tanpa reserve.
Partai-partai, orm as-orm as, suratkabar, dan m ajalah-
m ajalah dapat m eneruskan kegiatan, asal dalam jangka waktu
yang akan ditetapkan kem udian m enyatakan kesetiaannya
kepada Dewan Revolusi Indonesia.
270 Bersama Mas Pram
karena dalam hal ini belum punya pendapat. Mem ang isu
tentang adanya Dewan J enderal yang m em usuhi revolusi dan
pem im pin revolusi sudah sering saya dengar.
3 Teks ini saya kutip dari buku Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966 (Jakarta:
CV Haji Masagung, 1989), hlm. 31-34.
Tamu yang Ditunggu
“Koesalah.”
“Mau apa datang ke rum ah itu?”
“Mau pinjam uang.”
“Uang apa?”
“Buat m enebus barang yang datang di Tanjung Priok. Itu
surat panggilannya.”
Bagian Kelima: Tahun 1965 277
tugas, dan apakah dia term asuk tentara yang baik? Tapi
m atanya yang curiga itu yang bikin saya tidak tahan.
Akhirnya dia bertanya:
“Nam anya ini: Koesalah Soebagyo Toer?” sam bil m elihat
kertas.
“Betul, Pak.”
278 Bersama Mas Pram
Dengan sigap saya cari obat itu, beberapa botol saya am ati,
dan ketem u. Dalam kesem patan itulah saya m elayangkan
pandangan ke depan rum ah. Tam pak di sana orang-orang
beringas yang terus berteriak-teriak. Satu orang m em egang
pentung yang bertanda m elingkar di ujung atasnya. Tiap kali
teriakan m em bahana, pentung diangkat, dan teriakan sirna.
Bagian Kelima: Tahun 1965 285
“Iya.”
Tapi sesudah berpikir sebentar, Mas Pram m engatakan:
“Ah, enggak, kau ikut aku saja, Liek! Adik saya ikut saya,”
tam bahnya kepada orang-orang itu. “Tapi kam i harus siap-
siap dulu.”
“Boleh,” jawab orang-orang.
Kam i pun bersiap: berpakaian lengkap, m em bawa m esin
tulis, beberapa buku, naskah-naskah yang sedang digarap,
kertas, dan karbon. Barang-barang itu kam i bawa begitu saja
karena terburu-buru. Kam i keluar dari pintu depan: Mas Pram
di depan, m enyusul saya, didam pingi orang-orang itu.
Begitu kam i keluar, langsung m assa m engepung kam i.
Mereka m erapati saya dengan senjata tajam terhunus: belati,
golok, keris.... Kalau waktu itu ada seorang gila saja di antara
m ereka, sudah pasti saya tak bisa lagi m enceritakan kejadian
ini.
“Kok begini saja tam pang pem bunuh jenderal-jenderal!”
ucap seorang gem as.
“Ya, pem bunuh jenderal!” sam but lain-lainnya.
Aduh, jadi saya ini dituduh m em bunuh? Dan jendral pula?
Sungguh m alang nasib saya. Di tangan orang-orang m acam
begini tidak m ungkin saya lolos dari m aut! Maka terserahlah
pada yang m em buat hidup. Saya hanya m enjalani.
Sejak itu sudah hilang pikiran tentang diam ankan itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka
ingat lagi dengan barang bawaan kam i, dan sejak itu kam i tak
berjum pa lagi dengannya. Tak seorang pun m engulungkannya
kepada kam i, dan tak seorang pun m engingatkan kam i.
Dari belakang bangunan itu kam i harus naik trap m enuju
ruangan berpenerangan, di m ana m enggeletak beberapa orang
lelaki dan perem puan di lantai, dan kelihatan tak bisa tidur.
290 Bersama Mas Pram
“O, jadi di rum ah saja ya, tinggal kasih instruksi pada anak
buah?”
“Instruksi apa?”
“Pak Pram yang tahu! Kalau m enurut Pak Pram , PKI bisa
bangkit lagi tidak?” cecar tentara itu.
“Ya PKI selam anya bangkit lagi.”
“Berapa tahun lagi akan bangkit?”
“Dalam tiga tahun. Paling lam a lim a tahun.”
“Apa dasarnya?”
“E, m aaf, ya, itu pangkat apa?” tanya Mas Pram sam bil
m enuding tanda pangkat tentara itu.
Plakkk! Tiba-tiba tentara itu m enam par m uka Mas Pram .
Begitu bertenaga, hingga m uka Mas Pram m encong ke kanan,
dan m atanya m enyorot m arah pada tentara itu. Tapi tentu saja
ia tak m engatakan apapun.
“Tanya pangkat kam u ya! Pura-pura bodoh lagi! Nah, jawab
pertanyaan saya: Apa dasar PKI bangkit lagi. Dan apa instruksi
yang kam u berikan pada anak buah! Saya kasih waktu lim a
m enit. Kalau salah m enjawab, tanggung sendiri!...”
Habis m engatakan itu, tentara itu pergi ke belakang: Prok-
prok!
Mas Pram m em perlihatkan wajah yang tak bisa saya
tafsirkan apa isinya. Sebentar kem udian ia m enoleh kepada
saya, katanya:
www.facebook.com/indonesiapustaka
halam an. Sam pai kapan, entahlah. Suatu pem andangan yang
tak m enarik untuk dilihat.
Hari sem entara itu sem akin terang. Dan terjadilah adegan
lain yang tak m asuk dalam nalar saya. Datang seorang tentara
jangkung berwajah ram ah, yang begitu m asuk segera m engenali
Mas Pram .
Bagian Kelima: Tahun 1965 293
“Lho, Pak Pram , kok ada di sini?” sam bil m engam at-am ati
“Nggak tahu ini, katanya diam ankan!” jawab Mas Pram
geli.
Mereka bersalam an.
“Iyalah, keadaan begini,” kata tentara itu, seolah
m em beritahukan kepada Mas Pram bahwa dia m em ang
term asuk orang yang direncanakan untuk ditangkap dan
ditahan, karena itu harap m aklum .
“Pak Pram sudah m inum ?” tanya perwira itu akrab.
“Ya belum !”
“Bisa suruhan orang, itu. He, anu!” perwira itu m em anggil
orang. Dan ternyata yang m uncul seorang pem uda tanggung
yang rupanya jadi kacung di tengah khalayak yang aneh itu,
“Ini Pak Pram beliin kopi, ini uangnya. Sam a pisang goreng
kek situ!” Dan perwira itu pun m erogoh kantong bajunya dan
m enyerahkan uang kepada si kacung.
“Tugas di sini?” tanya Mas Pram spontan.
“Yah, ada perlu,” jawab si tentara.
“Ini adik saya, baru datang dari luar negeri,” kata Mas
Pram m em perkenalkan saya, “ikut saya, karena katanya m au
diam ankan,” tam bahnya.
Saya disalam i oleh tentara itu, dan saya m enyam butnya.
Selanjutnya tentara itu duduk m enjauh, dan m em anggil
Mas Pram m endekat. Mereka bicara cukup lam a, yang
suaranya tidak saya tangkap sam asekali. Ketika Mas Pram
www.facebook.com/indonesiapustaka
kem bali ke tem pat sem ula, saya dipanggil tentara itu. Dan saya
pun m enghadap. Di situlah pewira itu m engatakan:
“Saudara adik Pak Pram , ya?”
“Ya, Pak.”
“Saudara nanti akan saya bebaskan, tapi dengan prosedur
yang biasa. Kalau kakak saudara, nggak berani saya m elepas,
294 Bersama Mas Pram
nanti orang m arah sam a saya. J adi biar saja sem entara dia di
sini.”
“Ya, Pak. Terim akasih.”
Apakah tentara itu m em ang tak tahu dan heran m elihat
Mas Pram , ataukah justru sengaja datang untuk m enjenguk
apakah Mas Pram sudah diam ankan, siapa yang tahu? Yang
jelas, tak lam a kem udian ia pergi lagi, dan selang beberapa
waktu datang lagi. Kam i kem bali duduk bengong m enunggu
kopi yang tak datang-datang. Dalam kesem patan itu Mas Pram
m engatakan kepada saya bahwa tentara itu orang yang pernah
m engawalnya waktu ia ditahan di RTM (Rum ah Tahanan
Militer) tahun 1961. Pangkatnya kapten.
Sejak itu saya m enunggu-nunggu kapan akan dibebaskan.
Tapi karena perwira tadi m engatakan dengan prosedur yang
biasa, dalam hati saya pun bertanya-tanya, dengan prosedur
yang biasa itu bagaim ana.
Tak lam a kem udian baru saya ketahui bahwa di dekat
para tahanan yang berjongkok tadi ternyata ada sem acam
kandang tahanan yang isinya sangat m engagetkan saya
karena berjubelnya, lelaki-perem puan. Tapi lebih kaget lagi,
ketika oleh seorang CPM (kelihatan dari baretnya) yang baru
datang, Nurse nam anya, saya diperintahkan untuk m asuk
kandang itu. Dengan sendirinya tak ada jalan lain pada saya
selain m em asuki kandang tersebut. Di situ beberapa orang
www.facebook.com/indonesiapustaka
“Ya, Pak!”
“Kam u kenal sam a orang ini?”
“Kenal, Pak!”
“Siapa nam anya?”
“Koesalah, Pak!”
Bagian Kelima: Tahun 1965 297
“Ada pertanyaan?”
Saya m engacungkan tangan.
“Apa kam i tidak diberi surat pem bebasan, Pak?” tanya
saya.
“Tidak ada surat pem bebasan!”
“Nanti kalau kam i ditangkap lagi, bagaim ana, Pak?”
“Ya bilang saja sudah pernah ditangkap di sini!”
Habislah tanya-jawab itu di situ. Turun dari ruangan, Mas
Pram dan Pak Moedigdo m elongok dari balik pintu kandang:
m inta dikirim sikat gigi, tapal gigi, sabun m andi dan cuci,
handuk, pakaian ganti, dan m akanan.
“J angan lupa beliin aku rokok, Liek,” pesan Mas Pram .
“Rum ahnya betulin, ya!”
“Iya!”
“He, sudah, pergi sana!” usir tentara yang jaga.
Kam i pun ngeloyor pulang. Karena tanpa bekal apapun,
terpaksa saya jalan kaki dari Lapangan Banteng sam pai
J alan Rawam angun, sekitar lim a kilom eter, dengan perasaan
khawatir sewaktu-waktu diam ankan lagi oleh tentara yang
lain.
Sam pai di rum ah baru saya ketahui bahwa kam i telah
kehilangan segalanya: Rum ah kontrakan Mas Wiek tem pat
saya m enum pang, dan rum ah Mas Pram , sudah diduduki
tentara, dan segala isinya sudah ludes. Sesudah itu berlangsung
www.facebook.com/indonesiapustaka
Selagi saya pegang gem bok, saya lihat dari ram kawat isi
rum ah sudah kosong. Terdengar bisik dari dalam rum ah petak
sebelah kiri:
”Dik Koesalah! Sini deh!”
Saya m enoleh, dan ternyata Pak siapa, saya sudah lupa
nam anya, pegawai im igrasi, yang entah kenapa tidak ngantor.
Kabarnya ia orang NU. Dia tinggal dengan istri, juga dengan
adik sang istri, yang sudah gadis. Tiap kali sang istri pergi, ke
pasar m isalnya, gadis itu ditangkringi bapak itu. Mereka juga
tetangga yang baik.
”Sudah pulang, ya?” dem ikian juga tanyanya.
”Ya inilah,” jawab saya asal saja. ”Mas Wiek ke m ana, Pak?”
sam bung saya.
”Nggak tahu! Dibawa tentara m alam itu juga. Sam a dengan
Dik Koesalah. Tapi sini, deh!”
Saya m asuk rum ah. Bapak itu m em balikkan badan,
m em buka lem ari, lalu dengan tangan gem etar m engulungkan
beberapa barang, sam bil ucapnya:
“Iniii... sengaja saya selam atkan. Barangkali diperlukan
oleh Dik Koesalah!”
Saya terim a barang itu: paspor saya, pisau kom ando, dan
rantai em as. Yang pertam a m em ang saya perlukan. Yang kedua
dan ketiga cum a m ainan, yang akan saya berikan kepada anak
saya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
habis pelajaran, hari Kam is itu saya sudah punya uang lagi.
Saya m erasa beruntung m enerim a pekerjaan m engajar, yang
ternyata m enjadi juru selam at saya. Di jalan saya beli handuk,
sabun m andi dan cuci, pasta dan sikat gigi, dan... tidak lupa
rokok kretek (saya sudah lupa apa m ereknya) dan roti kadet
untuk Mas Pram dan Oom Moedig.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 307
Saya diantarkan sam pai depan Lidikus, tapi sopir saya m inta
m em arkir m obilnya agak jauh. Sopir itu pem uda jangkung dari
Betawi. Rum ahnya di daerah J alan Kawi. Orangnya baik sekali,
sayang saya sudah lupa nam anya.
Pertam a kali datang, saya bingung juga apa bentuk m el
itu: lapor lisan ataukah tertulis. Sesudah m elewati pintu
gerbang darurat berupa pagar seng yang bisa dirapatkan-
direnggangkan, saya terbengong-bengong. Seorang tentara
tanya: “Mau apa?”
“Ini, Pak, katanya disuruh m el,” jawab saya.
“Ya itu, tulis nam anya,” katanya sam bil m enunjuk ke
m eja.
Ternyata di atas m eja di depan pintu belakang kantor
ada buku tulis yang waktu itu dalam keadaan terbuka,
lengkap dengan vulpennya. Buku tulis itu berisi kolom -kolom
untuk tanggal, nom or urut, nam a, alam at, jam datang, dan
tandatangan. J am m el sebelum pukul 0 8.0 0 , tapi waktu itu saya
tidak ditegur walau sudah pukul 10 .0 0 lewat. J adi saya diam
saja. Dalam hati saya sudah siap jawaban apabila ditanya.
“Sudah, Pak!” kata saya kepada tentara, sesudah m engisi
kolom -kolom .
“Ya sudah.”
“Tapi ini, ada titipan buat kakak dan pam an saya, Pak.”
“Siapa nam anya?”
www.facebook.com/indonesiapustaka
engah beberapa waktu lam anya di depan pintu m obil yang saya
bukakan, sebelum akhirnya naik.
Sopir m enghidupkan m esin.
“Nanti dulu,” kata saya kepada sopir. “J adi, bagaim ana?
Ada Mas Wiek?” tanya saya kepada Mbak Is.
“Mem ang ada tahanan di situ, tapi nggak ada yang nam anya
Waluyadi. Mungkin term asuk yang sudah dipindah.”
“Dipindah ke m ana?”
“O, iya, saya nggak tanya, dipindah ke m ana. Aduh!”
jawabnya m enyesal.
“Kalau begitu tanya dulu. Ini m obilnya undurkan sedikit,
Bang, supaya nggak terlalu jauh jalannya,” kata saya kepada
sopir.
Mobil m undur sam pai sedekat m ungkin dengan gerbang
Kodim , Mbak Is m em buka pintu, turun, lalu jalan lagi ke kantor
Kodim . Mobil m aju kem bali ke tem pat sem ula.
Lam a juga saya m enunggunya, seperti berabad-abad.
Dan ketika dari jauh kelihatan dia m uncul kem bali dari pintu
gerbang, saya m inta m obil diundurkan kem bali.
“Nah, bagaim ana?” tanya saya tak sabar.
“Katanya, barangkali, ke penjara Gang Tengah!”
jawabnya.
“Kurangajar!” m aki saya dalam hati. “Barangkali! Kalau
barangkali di Gang Tengah, barangkali juga di tem pat-tem pat
lain lagi. Konyol!”
www.facebook.com/indonesiapustaka
“Yah, paling tidak sudah ada tem pat untuk dituju,” kata
saya akhirnya.
Saya tidak bisa m enggunakan m obil terlalu lam a, bisa-bisa
sopir dim arahi oleh bos. Karena itu, sesudah m engantarkan
kam i pulang ke Hutankayu, sopir saya suruh lekas kem bali ke
kantor.
Keterlibatan Polisi
cap polisi.
Saya m asih traum a terhadap baju hijau, term asuk polisi.
Maka waktu itu saya m inta tolong kepada tem an saya, Sarip,
untuk m em inta tolong abang tirinya, Parjo, anggota Polisi
Pangkalan Udara Halim Perdanakusum a, untuk m engam bil
Ducati itu. Parjo juga saya kenal, di sam ping Sarip. Cerita Parjo
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 317
m enghardik.
Pem uda itu kontan m enunduk seperti cucurut, dan saya
yang hanya jadi penanggap ikut juga jadi pendosa yang harus
m engunci m ulut.
“Maaf, Pak...,” cicit pem uda itu. Adegan pun bubar.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 329
”Tidak boleh, ya!” sam bung Mas Pram . ”Merobek buku itu
biadab!”
”Apa, Papi?” Titiek.
”Biadab!” ulang Mas Pram . ”Biadab itu tak beradab, tak
punya kebudayaan!”
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 335
dengan ”seorang Belanda” yang baru kali itu kam i kenal. Maka
walaupun ia m encoba bicara banyak tentang m acam -m acam
hal di Indonesia, waktu itu kam i m em aksa diri untuk segera
m inta diri, dan rupanya disam but dengan gem bira olehnya,
karena dengan dem ikian ia bisa m elanjutkan kegiataan yang
terganggu oleh kedatangan kam i.
338 Bersama Mas Pram
Ada satu orang lagi yang kam i datangi sebelum itu, tapi
sayang sekarang saya sudah lupa, siapa. Kam i m inta diri tepat
pada waktunya, karena baru beberapa m enit kam i m enyusuri
J alan Gresik, tiba-tiba turun hujan deras, sehingga kam i ter-
paksa berteduh agak lam a di depan sebuah toko di dekat
Kantor Polisi Seksi VI.
Membangun Dua Rumah
MAS HER adalah pem ain badm inton yang andal, dengan
lawan-lawan m ain yang andal juga, antara lain Pak Harjono,
Pak Wongkar, dan Pak Sapri, pem ilik bengkel m obil selang
satu rum ah dari rum ah Mas Her. Di bengkel itu pula Pak Sapri
m em buat lapangan badm inton yang bagus, dan sekali dua kali
sem inggu, m alam hari, para pem ain andal itu m em am erkan
kehebatannya. Sering m ereka baru bubar pukul 11 m alam .
Mereka sangat m enikm ati perm ainan itu, diselang-seling
m engobrol politik, dan pulang ke rum ah m asing-m asing
dengan langkah gagah, m enunjukkan bahwa perm ainan itu
sangat berm anfaat bagi m ereka.
Sejauh kem udian saya ketahui bahwa m ereka bukan
sekadar pem ain badm inton dan pengobrol. Buktinya, jalan
www.facebook.com/indonesiapustaka
Gang Bulus tadi. Begitulah, Mbak Pram pun m ulai m enyim pan
uangnya di sana.
Sesudah sekitar setahun, terpikirlah oleh saya untuk m ulai
m em bangun rum ah itu. Dengan banyak pertim bangan, saya
putuskan m em bangun bukan rum ah terpisah, m elainkan
sebagai dasar letter L terhadap rum ah Mas Her, dengan ukuran
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 341
Nasi sekaligus beras jadi bubur, tak bisa lagi dikem balikan
jadi nasi. Tapi entah bagaim ana, saya waktu itu enggan
bercerita tentang proses pem buatan faktur oleh pem ilik
pangkalan. Saya begitu tersinggung oleh kelem ahan diri saya
sendiri, dan lebih-lebih oleh kenyataan bahwa saya tak akan
sanggup m em perbaiki hubungan baik dengan Mbak Pram
yang selam a itu saya anggap sebagai hal yang wajar. Saya
hanya m engatakan:
”Terserah pada Mbak Pram , m asih percaya pada saya atau
tidak.”
Mbak Pram tidak m em balas sekecap pun. Arang sudah
patah. Hubungan tak bisa diperbaiki lagi. Dan m elengkapi
kesialan itu, beberapa hari kem udian saya ditangkap Tim
Operasi Kalong.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Saya Ditangkap Lagi
pernah saya kenal, tapi sudah dengan penghuni lain, yang tetap
padat, sam pai saya tak kebagian tem pat dan terpaksa tidur di
pelataran. Dan sebulan kem udian dibawa (istilah serem nya
dijebloskan) ke penjara Gang Tengah, yang pada 1965 sudah
diubah nam anya m enjadi LP (lem baga pem asyarakatan), tapi
waktu itu diubah nam anya m enjadi RTC (rum ah tahanan
350 Bersama Mas Pram
sesudah itu tak ada kesem patan lagi buat bertem u dengan
m ereka, karena tak lam a kem udian m ereka diberangkatkan
ke Nusakam bangan dan selanjutnya ke Pulau Buru. Saat
pem berangkatan itu sem ua tahanan lain wajib dikunci di sel
m asing-m asing, dan dari jendela sel yang sem pit itulah m ereka
hanya bisa m elirik ke tengah lapangan, m elihat barangkali ada
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 351
Didikan ibu saya yang sem pat saya kenal sam pai usia
tujuh tahun hanya dua: jadi anak pandai dan jadi orang baik.
Tentang jadi anak pandai, sudah saya singgung di m uka,
saya cum a anak m agel (tanggung). Tapi m enurut saya, itu
terutam a bukan kesalahan saya sendiri, karena banyak lagi
faktornya. Adapun yang dim aksud jadi orang baik, tentunya
352 Bersama Mas Pram
Ketika G30 S pecah, dan Mas Pram dan Mas Wiek ditangkap
m iliter, keluar dalam salah satu harian angkatan bersenjata
berita bahwa Tim Kesenian Kostrad telah diselundupi kom unis,
dengan m asuknya adik Pram oedya Ananta Toer bernam a...
Coek.
Mem ang di m ana-m ana ada saja tukang jualan. Dan
tukang jualan itu berm acam barang jualannya, yang berbentuk
m aupun tidak, antara lain nyawa orang lain. Coek sadar betul
bahwa nyawanya sedang hendak dijual kepada m iliter yang
waktu itu m enjadi penebas nyawa terbesar. Begitulah, tanpa
pikir panjang lagi, pekerjaan di Marga Bakti yang m enjadi
sum ber hidupnya dia tinggalkan, dan kabur ke Sem arang.
Di Sem arang, di rum ah seorang ipar di daerah Bulu, entah
bagaim ana, ada tetangga yang m engenalinya. Mula-m ula
tetangga itu hanya m em perhatikannya kalau ia sedang keluar
rum ah. Lam a-lam a tetangga itu berani m enyebut PKI. Coek
terkesiap m endengar itu, tapi karena ia m endengar kurang
jelas, ia sangsi, benarkah yang didengarnya? J angan-jangan ia
hanya dengar-dengaran.
Lain waktu ia sengaja m em buka telinga lebar-lebar. Dan
tetangga itu m em ang sudah m enghadangnya. Kini dengan
jelas ia m endengar kata itu, PKI. J elaslah, di sini pun nyawanya
hendak dijual orang. Ia berpura-pura tidak m endengar itu.
Tapi hatinya sudah tak jenak lagi. Awalnya ia berm aksud pergi
www.facebook.com/indonesiapustaka
SELAMA ITU saya tak beranjak dari Inrehab Salem ba. Seorang
CPM berpangkat Kapten (sayang, nam anya saya sudah lupa)
pada suatu kali “m em eriksa” saya. Dengan gaya berahasia ia
m enunjukkan PV saya yang seolah dibubuhi huruf A dalam
lingkaran spidol. Huruf itu sudah dicoret dan didam pingi huruf
B. Dan ia m engajukan beberapa pertanyaan tentang “saudara”-
nya dari Garut yang, katanya, belajar juga di Moskwa. Mem ang
saya kenal dengan orang yang ditanyakannya itu. Lalu
berdasarkan tanya-jawab tentang “saudara”-nya itu ia ingin
m encoret huruf B dan m enggantinya dengan huruf C, tapi
untuk itu, katanya, ia butuh “insentif”.
“Berapa?!” tem bak saya langsung.
Dengan m alu-m alu ia m enyebut angka seratus.
www.facebook.com/indonesiapustaka
berbuat apapun.
Saya m endengar dia ditem ui orang yang resm inya paling
berkuasa di Indonesia waktu itu, yang nam a jabatannya sangat
sulit diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia, hingga kalau
kata itu bukan m iliter yang m enciptakannya, pasti tidak laku
ia di tengah m asyarakat, yaitu Pangkopkam tib (Panglim a
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 361
1
KASUS YANG boleh dikatakan terlalu dini m enyibukkan kam i
sesaudara dan m enguras tenaga kam i karena ruwetnya adalah
apa yang secara populer kam i nam akan Tanah ST (Sekolah
Tehnik—sic!), atau dalam dokum en tertulis disebut Kasus
Tanah STN (Sekolah Tehnik Negeri) 1. Untuk itu, lebih dulu
saya harus bercerita tentang akar persoalannya:
Nam a dr Sutom o tentulah tidak asing bagi pem baca.
Data yang terserap oleh saya m enunjukkan, ia lulus dari
Stovia (School tot opleiding van Inlandsche Artsen) atau lebih
populer disebut Sekolah Dokter J awa di Batavia tahun 1911,
dan sam pai tahun 1918 bekerja berpindah-pindah sebagai
Dokter J awa, a.l. di Sem arang, Tuban, Kepanjen, Blora, dan
www.facebook.com/indonesiapustaka
sam pai lahir Mas Pram tahun 1925. Sesudah itu (tahun 1925
itu pula) baru ia m em bangun rum ah sendiri di J alan Pasar Pari
(sekarang J alan Sum bawa) No. 40 . Sekolah IBO sem entara itu
berjalan norm al.
Tidak diduga tidak dinyana, Said Tirtonegoro m eninggal 12
Oktober 1926. “Kontrak” dengan sendirinya batal. Sem entara
itu gedung IBO harus dipindah dari tem patnya, karena tanah
desa itu akan digunakan untuk m em bangun balai desa.
Tidak diketahui kapan dibeli, tapi Toer m em iliki tanah
seluas sekitar 2.20 0 m 2 di J alan Galingsong (sekarang J alan
Halm ahera) No. 29. (Kem udian diketahui—berdasarkan
keterangan aparat desa m aupun Kantor Ipeda—bahwa tanah
itu sudah m enjadi m ilik Toer sebelum tahun 1930 .) Ke
tanah itulah gedung IBO dua kelas itu dipindahkan. (Sam pai
tim bulnya Kasus Tanah STN 1 ini, gedung tersebut m asih
berdiri.) Selanjutnya di atas tanah itu pula Toer m em bangun
gedung sekolah lim a kelas (terpisah dari gedung IBO). Tanah
inilah yang di dalam Kasus Tanah STN 1 disebut tanah A. Selain
tanah ini, Toer kem udian m em iliki tanah B seluas sekitar
1.20 0 m 2 , dan disusul tanah C yang m enghubungkan A dengan
B. Sekolah IBO diteruskan oleh Toer, tetap dengan nam a IBO,
tapi lebih m enyesuaikan diri dengan program Tam an Siswa.
J abatan kepala sekolah tetap dipegang oleh Toer.
Tim bul pertanyaan, dari m ana Toer m em iliki uang untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka
m em beli segala tanah itu? Sebagai guru, tidak ada jalan lain
selain dari hasil m enabung selam a m enjadi guru HIS, selam a
m enjadi kepala IBO dan m asih dibiayai oleh Said Tirtonegoro,
dari usaha tani, dan dari utang kepada seorang Cina, yang
kem udian diangsur pengem baliannya. Bulan-bulan pertam a
sesudah pendudukan J epang, Toer m asih m engangsur.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 379
2
MASALAH DIMULAI ketika Mbak Oem m erasa bahwa Ipeda
yang harus dibayarnya terlalu tinggi dan m em beratkan. Itu
terjadi tahun 1981. Mem ang benar, karena Ipeda itu berlaku
www.facebook.com/indonesiapustaka
No. 57, Utankayu, yang m asih sewilayah dengan Mas Pram dan
Mbak Is. Habis m agrib ia datang seperti orang m aju perang,
diiringi Mbak Pram . Kebetulan Mas Di m asih berada di rum ah
saya, juga Coes, jadi kum pul. Mas Pram m inta supaya Mbak Is
yang rum ahnya sekitar 10 0 m dari situ diundang juga.
382 Bersama Mas Pram
Coes….”
“Betul, Mas Pram , saya juga m inta m aaf sudah m enyusahkan
Mas Pram . Atas nam a adik-adik ini saya m intakan m aaf yang
sebesar-besarnya….” dst., dst. “Yang saya perlukan cum a surat
kuasa. Itu saja, agar saya bisa tatag berhadapan dengan siapa
saja...” dst. dst. tim brung Mas Di.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 383
3
SEPERTI SAYA duga, Mas Di tahu bagaim ana m elangkah. Se-
www.facebook.com/indonesiapustaka
m inggu saja sesudah tiba kem bali di Blora (14 J uni 1982) ia
sudah m enghubungi kantor Agraria Kabupaten Dati II Blora,
dan di situ ia m engulangi perm ohonan setahun sebelum nya (10
Juni 1981): Pemecahan Sertiikat Tanah. Kepala Kantor Agraria
m enyatakan bahwa “kasus ini sulit/ tidak bisa diselesaikan
dengan jalan m usyawarah di tingkat kabupaten”.
384 Bersama Mas Pram
7813514 tanggal 29 J uli 1982 beserta Gam bar Situasi No. 2996
tanggal 2 Agustus 1982 atas nam a Mashoedi, J ln. Maluku No.
36, Blora, yang diterim a oleh Mas Di tanggal 5 Agustus 1982.
Tidak diketahui apakah ini akibat surat tanggal 14 J uli 1982
tersebut, tapi Mas Di sendiri m enyatakan dalam salah satu
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 385
kuliah, kontrak rum ah, dsb. Bulan Septem ber 1986 tabungan
sukarela dinaikkan Rp50 0 , m enjadi Rp1.0 0 0 , karena selalu
tekor karena pem injam an.
Mas Pram ikut m enyetujui pem bentukan Dana Keluarga
ini, dan walau tak tetap, ia sering datang m enghadirinya dan
ikut m em bicarakan m asalah-m asalahnya. Misalnya, pernah
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 393
SEJ AK KAMI berem pat pulang dari tahanan, terpikir oleh saya
alangkah baiknya kalau kam i sesaudara berkum pul di rum ah
Blora peninggalan orangtua untuk m enyatakan rasa syukur
bisa berkum pul kem bali dalam keadaan lengkap delapan orang:
Mas Pram , Mas Wiek, Mbak Koen, Mbak Oem , Mbak Is, saya,
Coes, dan Coek, dengan keluarga m asing-m asing. Misalnya
dengan m enyewa satu bis pulang-pergi, sekalian m am pir ke
tem pat-tem pat yang kam i inginkan bersam a. Beberapa kali
gagasan ini saya sam paikan kepada saudara-saudara secara
terpisah, dan m ereka um um nya m enyam but baik gagasan
ini, term asuk Mas Pram . Tapi ada saja alasan untuk tidak
terlaksananya atau tertundanya gagasan ini. Soal waktulah,
soal biayalah terutam a, dan yang penting juga: Kalau sem ua
www.facebook.com/indonesiapustaka
m enikah lagi. Sayangnya m iliter tidak rela dan tidak tidur, ada
ET “m acam -m acam ”. Cakar m em ang untuk m encengkeram .
Kalau tidak, untuk apa punya cakar? Mas Wiek pun dikenai
penggada: dipanggil, diperiksa, dan... dilarang keras m engobati
orang. Sejak itu duyunan m ati, dan Mas Wiek pun ngam bek:
m anusia apapun, sak cindhil abange, dalam keadaan sekarat
pun, ogah dia ngobati. Bukan hanya itu, apapun alasannya, yang
nam anya m encari penghidupan, ogah dia m elakukan. Buku-
buku yang kam i kirim dari J akarta—pelajaran bahasa, kam us,
kliping—dibiarkannya m em busuk. Alat-alat pertukangan yang
kam i belikan dibiarkan jadi tanah. Mesin tulis yang diberikan
oleh Coek hanya dipakai m engetik tanda terim a. Televisi yang
kam i belikan dipersetankannya saja kalau rusak, dan akhirnya
jadi rongsokan sam asekali. Bergaul dia tak m au, dengan
tetangga kek, dengan saudara kek. Pernah saya m enganjurkan
kepada seorang tem an untuk m enjenguknya, dan tem an
itu disem protnya hingga terpaksa langsung hengkang. Dan
ketika suatu kali saya datang dari J akarta, didam pratnya saya
sekalian dan dikejar-kejar untuk “dibunuh”, sam pai orang
sekitar berm unculan untuk m enonton dan bertanya.
Ya, hidup m em ang berat, tapi m asalahnya bukan hidup
itu sendiri, m elainkan tatanan m asyarakatnya. Kalau dipikir,
kurang apa Mas Wiek m em bela negara Republik Indonesia
sam pai dia cacat, dipensiun, dan ketika terjadi G30 S dicabut
www.facebook.com/indonesiapustaka
saya m endengar riwayat bapak saya. Tapi satu sum ber saja
tentunya tidak cukup. Maka saya pun m encari-cari, barangkali
di antara tahanan ada yang pernah m engenal bapak saya. Yang
nam anya Pak Kasah, bekas m antri polisi tahun 30 -an, ternyata
pernah bertem u m uka dan berbicara dengan bapak saya dalam
suatu pertem uan guru.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 407
yang dapat bercerita tentang “kisah cinta” bapak dan ibu saya,
tentang betapa Bapak rajin sem bahyang sebelum dapat Ibu,
tapi m elalaikannya sam asekali sesudah itu.
Saya sem pat beberapa kali bertem u dengan Haji Sodik di
Desa Kam olan, Blora, rekan guru Bapak, yang bercerita bahwa
Bapak adalah Islam Syech Siti J enar, tapi pernah m engislam kan
orang Kristen, yang sesudah itu m enjadi ketua pertam a PNI
Cabang Blora dan kem udian digantikan oleh Bapak. Haji
Sodik juga yang m enyatakan bahwa ketika pem erintah Hindia
Belanda m engeluarkan Wilde Scholen Ordonnantie, sekolah
IBO (Instituut Boedi Oetom o) m em bentuk panitia untuk
m enentangnya dengan ketua Bapak, m engadakan rapat protes
dengan pem bicara Bapak dan Haji Sodik, walau m enghadapi
ancam an penjara dua tahun.
Saya sem pat bertem u dengan Pak Suripan, rekan guru
Bapak di SMP, yang m enyatakan bahwa waktu Belanda
m enduduki Blora, Bapak diangkat m enjadi guru SMP Blora,
sekaligus diterim a oleh luar. “J adi Pak Toer waktu itu sekaligus
m enjadi orang dalam dan orang luar. Dialah satu-satunya
orang yang dapat m em enuhi syarat itu: diterim a di dalam dan
di luar,” kata Pak Suripan.
Um um m engetahui, karena sudah sering disinggung oleh
Mas Pram sendiri dan diabadikan dalam koran, m ajalah,
atau buku, bahwa Mas Pram dendam kepada Bapak karena
www.facebook.com/indonesiapustaka
sam pai kelas dua. Kebetulan istri keem pat Haji Ibrahim (ibu
saya anak dari istri ketiga Haji Ibrahim ), jadi nenek tiri saya,
nam anya Azizah, ingin segera lepas dari anak tiri. Maka ibu
saya “dipaksa” kawin dengan bapak saya tahun itu juga. Kalau
dihitung bahwa anak m ulai m asuk HIS usia 7 tahun, m aka ibu
waktu itu baru berusia 14 tahun. Masih terlalu m uda m em ang.
Tapi ini praktik yang um um waktu itu.
Kejadian itu, m enurut Bu Liek, berlangsung tahun 1922,
jadi dapat disim pulkan ibu lahir “kira-kira” tahun 190 8. Ini
pun tentunya ada dokum ennya.
Ketika Ibu m eninggal tahun 1942, Mbah Azizah datang
dari Rem bang (Mbah Kakung Haji Ibrahim sudah m eninggal
tahun 1928). Saya ingat (usia saya 7 tahun waktu itu), Mbah
Azizah m arah-m arah sepanjang hari, terutam a terhadap Mas
Pram . Segalanya tak beres diurus! Belakangan Mas Pram
m em benarkan hal itu dalam percakapan dengan saya. Dan
baru sekarang terpikir oleh saya, m ungkinkah waktu itu Mbah
Azizah m engam bil dan m enyim pan segala dokum en tentang
Ibu, entah dengan alasan apapun?
Kalau itu tidak sejalan dengan faktanya, m ungkinkah
salah seorang saudara saya yang m enyim pannya, Mbak Oem
m isalnya, entah dengan alasan apapun juga, karena Mbak
Oem lah yang paling m em egang peranan dalam m engelola
rum ah itu sesudah Ibu m eninggal?
Dan kalau itu pun tidak sesuai dengan faktanya, m ungkinkan
www.facebook.com/indonesiapustaka
ilm u ekonom i.
Tapi dinam ika kehidupan J akarta m em buat tanahnya
digusur. Dengan cara ulet juga ia berhasil m em peroleh ganti
rugi yang pantas, sehingga akhirnya terbuka kem ungkinan
baginya untuk m engam bil pilihan: tetap tinggal di J akarta
atau m undur ke Blora. Sebagai ekonom ia terbiasa m enghitung
416 Bersama Mas Pram
MAS PRAM tam pak gelisah tiap kali saya jum pai. Dan bukan
hanya tam pak, ia pun m engungkapkannya dengan kata-kata:
“Aku gelisah saja belakangan ini!” Waktu saya m enjenguknya
bersam a Harsutejo pada 20 J uni 20 0 6, ia pun m engulangi kata-
kata itu. Itulah, saya hitung, sudah kelim a kali ia m engucapkan
kalim at itu. Dan selam anya kata-kata itu tak saya tanggapi,
seolah-olah saya tak m endengar apa-apa. Apalah yang bisa
saya katakan tentang itu?
Terpikir oleh saya apakah ini sudah bulan-bulan, m inggu-
m inggu, atau bahkan hari-hari terakhirnya? Tertanya juga
pada saya, apakah yang m em buatnya gelisah. Apa karena di
m asa revolusi ia pernah m endatangi dukun yang m em buatnya
kebal, seperti saya singgung dalam Pram oedy a Ananta Toer
www.facebook.com/indonesiapustaka
J AKARTA, 16 J uli 20 0 6
Sehari sebelum Mas Pram m eninggal terjadi kekisruhan,
karena Radio Utankayu m em beritakan telah m eninggalnya Mas
Pram hari itu, dan orang pun berduyun-duyun m engucapkan
belasungkawa lewat internet. Menyusul em ail Hersri Setiawan:
“Berita Pak Pram m eninggal tidak benar, saya, Hersri Setiawan,
siang tadi m enjenguk Pak Pram m asih bisa dengan segera
m engenali saya, dan m eneriakkan nam a saya. Baru saja saya
m enelepon ke keluarga Pak Pram , berita wafatnya Pak Pram
tidak benar, m em ang benar Pak Pram tidak di RS lagi, sekitar
pukul 19.0 0 tadi dibawa pulang ke rum ah (lam a) di J alan
Multikarya Utankayu J akarta.” Bung Waluyo dari Paris pun
m engirim em ail kepada saya: “Ini berita berseliweran begini…
www.facebook.com/indonesiapustaka
J ULI, 17 J uli 20 0 6
Di tengah kesibukan itu m enyerobot serom bongan orang
yang kelihatan penting, dengan pengawal m inta segera diantar
kepada keluarga. Karena kebetulan saya yang didekati oleh
sang pengawal, langsung saja saya antarkan kepada Mbak.
Ternyata orang penting itu adalah Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata J ero Wacik. Ia m engucapkan belasungkawa kepada
Mbak dll., dan sesudah itu rom bongan m engam bil tem pat
duduk di halaman dan mengobrol akrab dengan bintang ilm
Nurul Ariin.
Sebagai salah seorang kerabat Mas Pram , saya m erasa
perlu m enem ani, dan m em perkenalkan diri sebagai adik Mas
Pram . Menteri tidak m engajukan pertanyaan apapun selain
www.facebook.com/indonesiapustaka
m enyatakan: “Ooo….”
Tentu saja saat itu saya anggap sebagai kesem patan penting
untuk m encari inform asi. Saya m em berondongkan pertanyaan
kepadanya hingga akhirnya Nurul Ariin sempat undur ke
belakang. Isi jawaban atas berondongan saya:
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 425
J AKARTA, 18 J uli 20 0 6
Saya kaget, otom atis berdiri dan ikut m engiringkan
keranda. Beberapa langkah dari pintu depan berkum andang
lagu “Internasionale” yang keluar dari tenggorokan sejum lah
orang. Sebagai bekas penyanyi koor, saya bisa m erasakan bahwa
cara m enyanyinya buruk sekali: tidak serem pak, sebagian fals,
dan tidak sam a kata-katanya. Saya ingin tahu, siapa m ereka
itu. Saya am ati wajahnya satu per satu. Tak ada yang kenal!
J ustru wajah terakhir saya kenal, wajah Chaerul Sjam si.
Karena Chaerul Sjam si tem an yang sangat saya akrabi, saya
angkat tangan kepadanya sam bil tersenyum , dan ia m em balas
tangan saya dengan senyum juga sam bil terus m enyanyi. Saya
lihat ia lebih bersem angat m enyanyi. Waktu lagu kedua (yang
www.facebook.com/indonesiapustaka
tidak saya kenal) berkum andang, saya sudah ham pir keluar
dari pintu gerbang.
Karena pelayat sangat padat, hanya dari jauh saya dapat
m elihat keranda dim asukkan ke dalam am bulans dan tak lam a
kem udian berangkat.
428 Bersama Mas Pram
J AKARTA, 19 J uli 20 0 6.
Sopir cukup teram pil dan tahu lokasi; sem entara itu ia
terus m elakukan kontak dengan HP-nya. Karena itu kam i tiba
di Perm akam an Karet Bivak lebih dulu daripada yang lain.
Baru beberapa saat kem udian m obil am bulans tiba, disusul
m obil yang dikendarai oleh Mbak dan anak-anak. Dari jauh
saya sem pat m elihat, ketika pintu m obil Mbak terbuka, dari
dalam m obil Mbak langsung m elangkah ke dalam got beton.
Pinggulnya terbentur beton, tapi saya kagum , ia dapat segera
bangkit kem bali dan berjalan bersam a yang lain seperti tak
terjadi apa-apa.
Acara pem akam an berjalan seperti biasa. Massa tidak
banyak, sebagian besar orang m uda. Insan pers sibuk m elakukan
www.facebook.com/indonesiapustaka
J AKARTA, 20 J uli 20 0 6
Salah seorang pewawancara m engajukan pertanyaan
tentang rencana penyusunan ”Ensiklopedi Kawasan Nusantara”
yang diinginkan oleh Mas Pram . (Sebelum nya Mas Pram
menyebutnya ”Ensiklopedi Geograi Indonesia”). Saya sempat
bertanya dari m anakah wartawan itu, dan dijawab dari televisi,
tapi sesudah m encari-cari dikantongnya, ternyata ia kehabisan
kartu nam a. Saya sudah lupa dari televisi apa dia.
Pertanyaannya saya jawab: Mem ang dalam banyak
kesem patan Mas Pram telah m enyatakan bahwa ia m enyusun
bahan ”Ensiklopedi Kawasan Nusantara”, dan bahan itu
terakhir kali disebutnya sudah setebal lim a m eter. Saya pernah
dim inta untuk m enggarap ensiklopedi tersebut dan dim inta
www.facebook.com/indonesiapustaka
J AKARTA, 21 J uli 20 0 6
Peliputan pers m engenai m eninggalnya Mas Pram cukup
intensif. Koran, radio, TV, dan internet m enyiarkannya.
Sebagian hanya m enyatakan ikut berdukacita, sebagian
m enulis artikel. Harian Kom pas sam pai tiga kali m enulis.
Pernyataan belasungkawa dan tulisan lain lewat internet
(terutam a Wahana) m encapai tak kurang dari seratus sum ber
dalam beberapa hari.
Ada juga m asalah m enonjol yang diajukan, antara lain:
Kenapa jenazah diberangkatkan sekitar pukul setengah satu,
padahal m enurut inform asi awal sesudah ashar, berarti sekitar
pukul 15.15? Kenapa diperdengarkan lagu “Internasionale”
(lagu kom unis) dan lagu “Darah J uang” (yang baru saya ketahui
dari pem beritaan pers). (Belakangan saya baru tahu bahwa lagu
www.facebook.com/indonesiapustaka
ini adalah lagu Reform asi (1998) dan diciptakan oleh seorang
aktivis m uda yang nam a panggilannya Yayak.) Kenapa acara
pem akam an tokoh sebesar Pram cum a seperti itu, jelasnya:
tidak pantas. Kenapa yang nam anya Daniel Mahendra tidak
m uncul? Ada juga kom entar bahwa sam butan wakil keluarga
di pinggir m akam begitu lirih sehingga tidak terdengar.
434 Bersama Mas Pram
peroleh dari Ibu. Mbak Moek bilang, bukan dari Ibu, m elainkan
dari Bapak. Bapak, m enurutnya, punya ilm u yang lebih kom plit.
Masa m udanya yang m iskin m enyebabkan dia m enjadi
pengem bara m alam , pejalan kaki yang tangguh. J alannya
seperti angin, suaranya seperti halilintar, yang m enurut Mbak
Oem , m erupakan ilm u getak: siapa yang dibengoki langsung
rontok. Dan tatapan m atanya tak ada seorang yang m am pu
m engatasinya. Sem ua tunduk. Ia m am pu m enolak tenung dan
santet. Mas Moek sendiri pernah m enulis tentang usaha “kup”
atas Instituut Boedi Oetom o oleh seorang anak buah Bapak.
Anak buah itu m enenung Bapak dengan ilm unya, nam un
tenung justru kem bali dan m engenai istri sang pengirim hingga
m endadak m eninggal.
Data lain yang dikem ukakan Mbak Oem adalah tentang
isik Mas Wiek yang jauh berbeda. Ia sangat kuat, mandiri,
dan sangat cerdas. Menurut Mbak Oem , Mas Wiek selalu
jadi juara, baik di IBO m aupun ketika belajar di J akarta.
Bapak sangat bangga kepada anaknya yang satu ini. Apa
yang ia butuhkan dipenuhi, bahkan sebelum ia m em intanya.
Mungkin ini benar, m engingat satu cerita Mas Moek sendiri.
Perbedaan ini m em bawa cara hidup yang berbeda pula. Kalau
Mas Wiek pulang bawa berkat, jagung, ikan kali, atau yang
lain, Mas Moek tidak pernah, walau ia bisa bikin blondho,
bisa m enanak nasi, m enjahit celana dalam . Mas Liek pernah
www.facebook.com/indonesiapustaka
Satu lagi yang ingin kusam paikan adalah ram alan Bapak
yang m engatakan bahwa Mas Moek dan Mas Wiek punya rasi
bintang yang sam a, yaitu Aquarius. Menurut Bapak, m ereka
itu gem ar berbagai bentuk kesenian, dan kalau m ereka serius
bekerja, bukan tidak m ungkin bisa m enjadi orang yang
m um puni. Benar-tidaknya, sejarahlah yang m em buktikan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dagang
Aku tak ingat bagaim ana kem udian kios itu tutup. Yang
jelas, selam a Ibu m asih hidup pun, di rum ah, kam ar paling
depan dibuat warung kecil. Dan ternyata banyak dari anak-
anak Toer, entah bakat dari Ibu entah bakat dari Bapak, juga
gem ar nyam bi dagang. Yang kurang senang itu Mas Wiek.
Selepas dari Buru pernah kam i m inta dia m em buka kios, tapi
ternyata ia lebih suka bergulat dengan ilham dan m esin tulis.
Yang paling stabil berdagang sam pai tua adalah Mbak
Oem . Ia bahkan m erasa berhasil m enjadi ibu dan pendidik
anak-anaknya yang cukup banyak justru karena ditopang
hobinya berdagang. Sem asa rem aja, Mbak Oem bahkan
pernah berdagang lawe, bahkan sam pai pernah pergi ke Kudus
berhari-hari lam anya.
Tentang kegiatan dagang Ibu, Mas Moek sedikit-banyak
sudah m enyinggungnya, tetapi tentang Bapak belum pernah ia
m engungkapkan. Setahuku, sesudah Ibu m eninggal, ada suatu
m asa ketika teras rum ah sebelah kiri penuh dengan keranjang
bam bu dan karung goni berisi garam , terasi, teri halus, teri
kasar, gereh petek, peda, dan ikan asin lainnya. Aku tak pernah
tahu bagaim ana tiba-tiba Bapak bisa m enjadi pedagang ikan
asin. Kadang ia tim bang sendiri ikan itu kalau ada orang
datang, kadang orang yang datang itu yang m enim bang. Tak
jelas siapa m ereka itu. J uga tak jelas dari m ana sem ua barang
itu berasal, dan m ilik siapa.
www.facebook.com/indonesiapustaka
AKU MASIH ingat banget ketika itu: Ibu sedang sakit keras.
Kadang ditunggui Bapak di kam ar barat rum ah kam i yang
lam a, m aksudku rum ah yang dibangun Bapak sekitar tahun
1925. Dan peristiwa itu terjadi sekitar pendaratan tentara
J epang di Indonesia. Tidak ingat aku harinya. Dan lagi, m ana
m ungkin aku sekecil itu m em ikirkan hari dan tanggal?
Yang kuingat, Mas Moek datang. Mungkin m asa liburan
atau m asa genting, zam an perang. Dan ia datang m em bawa
oleh-oleh langka: gram ofon. Seingatku, yang punya alat hiburan
seperti itu cum a Meneer Bos, pem ilik toko dan penyewaan
alat-alat perkawinan, dan Mbah Bayan alias Sum ardi, anak
angkat Bapak. Dialah satu-satunya orang di Blora yang pernah
sekolah reparasi jam di Sem arang. Bapak juga yang m em biayai.
Dia pun tukang potong ram but satu-satunya di kota kam i yang
www.facebook.com/indonesiapustaka
orang yang bersua Nyi Kin m eraba kepalaku dan kepala Coek
disertai ucapan lirih:
”Sakake, cah, sem ene-m ene w is ditinggal ibune—Kasihan
sekali, kecil-kecil sudah ditinggal ibunya.”
Sedang yang dikasihani santai saja terus m brakoti cakar
ayam dan sayap, yang hari itu sungguh terasa nikm at.
Mas Moek Minta Maaf
orang dewasa; aku ingin lekas jadi dewasa. Selain itu terpikir
olehku, karena kesibukannya sebagai orang dewasa, tentu ia
kurang m em erhatikan peraturan yang baru diadakannya.
Ternyata sam asekali tidak!
Ketika aku pulang terlam bat dari m encari buah seri, ia
m em anggilku:
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 451
”Coes!”
Aku pun datang.
”Dari m ana?”
”Dari sekolah,” jawabku bohong.
”Pukul berapa sekarang? Melawan, ya? Apa kataku
kem arin?”
Dan plakkk! Aku ditem pelengnya.
”Sana pergi!”
Karena m erasa bersalah, aku pun ngeloyor, m encari
m akanan sam bil m enangis, sesudah itu m andi.
Di luar dugaan, habis m andi aku diseret ke koplakan,
diajak m akan soto dan m inum lim un! Bukan m ain. J adi, itulah
rupanya cara Mas Moek m inta m aaf.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Siapa di Jalan Tarakan?
TAK TERASA sudah lam a juga aku tak bertem u dengan Mas
Moek. Itulah sebabnya kepulangannya dari pem buangan
di Pulau Buru m enjadi sesuatu yang istim ewa dan langka
buatku. Mem bayangkan pertem uan kem bali yang akan terjadi
dengannya m em buatku m brebes m ili, m eneteskan airm ata.
Perpisahanku terakhir dengannya delapan belas tahun yang
lalu! Terjadi di rum ahnya di J alan Rawam angun 33 A, J akarta,
m enjelang aku berangkat ke Moskwa untuk belajar. Waktu itu
ia peluk aku erat sam bil berpesan:
”J aga nam a keluarga.”
Terus-terang, waktu itu aku tidak sepenuhnya m engerti
apa m aksud ucapannya itu. Sesaat sebelum nya, sam bil m akan
siang bersam a Alim in, tetangganya yang katanya seorang tokoh,
ia bertanya apakah aku tahu siapa Lenin, dan aku m enggeleng
www.facebook.com/indonesiapustaka
”Coes, tadi m alam kau ngom pol, ya? Sebelum sekolah, pel
dulu kam ar m akan!”
Padahal, cicak dungu pun tidak akan ngom pol di kam ar
m akan.
Atau, belakangan pernah ia bilang, kalau kawin nanti cari
wanita Spanyol. Kenapa wanita Spanyol, aku pun tak m engerti.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 457
dan m elam baikan tangannya, m enyebut nam aku. Tam pak juga
Eddy Abdulrachm an Martalogawa dan Karim D.P. Lalu, kurang
jelas bagiku, Sitor Situm orang atau Goenawan Moham ad.
Barisan tam u yang ingin m engucapkan selam at kepada Mas
Moek m endorong kam i dari ujung paling belakang m enjadi
ujung paling depan, dan sudah tam pak oleh kam i m uka Mas
458 Bersama Mas Pram
SUDAH SEJ AK kecil aku dengar, ketika rem aja Mas Moek
punya pacar di Mlangsen, di gang yang letaknya di depan
kantor pegadaian lam a. Ketika Agresi II Belanda tahun 1948,
entah kenapa pegadaian yang tak ada sangkut-pautnya dengan
perang itu ditrekbom hingga rata dengan tanah. Barang-barang
gadaian di dalam nya habis, tapi aku tak tahu dijarah atau
digondol peram pok. Logikanya, barang-barang itu diungsikan
dulu sebelum bangunan dihancurkan.
Ada dua kabar beredar tentang pacar Mas Moek: dia yang
dipoak (ditam pik) dan pacarnya yang diklew er (ditelantarkan).
Nam anya Sri Panular. Meski tak sekalipun aku pernah
m elihatnya, nam anya itu begitu m em pesona, m em bikin aku
kepincut. Soal lain yang bikin aku penasaran, kayak apa sih
www.facebook.com/indonesiapustaka
ingin m engganti kata berdoa itu dengan berkarya. Tapi aku tak
punya hak untuk itu.
Nostalgia
dapat nilai sem purna. Tapi di akhir tahun aku dinyatakan tidak
naik kelas. Aku m arah dan m alu besar: anak seorang guru,
penilik sekolah pula, tidak naik? Aku dendam kepada Bu Tien,
guruku, yang kuanggap sebagai biang keladinya. Ketika ia
m eninggal karena TBC, bukan m ain gem biraku. Aku m erasa,
dengan dem ikian ketidakadilan terlunasi. Baru beberapa tahun
kem udian kuketahui bahwa aku tidak dinaikkan atas perintah
bapakku sendiri.
Kam i kem udian m enuju gedung SMP 5 yang dulunya
gedung sekolah IBO yang dipim pin dan dim iliki oleh Bapak
Toer. Di situ Mas Moek m enam atkan pendidikan SD, dan
di situ pula ia diharuskan m engulang sekolah sesudah lulus.
Kalau kejadian itu tidak diceritakan oleh Mas Moek, aku pun
tak m engetahuinya.
Kam i disam but seorang penjaga sekolah yang tam pak
kesal m elihat kedatangan kam i. Tam pak ia ingin m engesankan
bahwa dialah yang berkuasa dan berwenang di situ. Mungkin
juga karena aku hanya bersandal jepit, sedangkan ia sendiri
bersepatu m engkilat, lengkap dengan pakaian seragam yang
rapi. Ia m enudingku angkuh dan m enyapaku kasar sam bil
sedikit berkacak pinggang:
”Ada keperluan apa?!”
Baru ketika aku katakan bahwa aku dan Mas Moek adalah
anak-anak dari orang yang fotonya tertera dalam m onum en
www.facebook.com/indonesiapustaka
LAMPIRAN
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 1
Kepada Yth.
Departem en Pendidikan dan Kebudayaan
Sekolah Tehnik, Negeri STN 1
J l. Halm ahera no. 29, Blora
Slibeg dapat dibuang m elalui saluran yang lebih dekat dan lebih
efisien. Pertimbangan ayah almarhum adalah untuk juga bisa
m em buang air genangan di bagian selatan gedung sekolahan
yang m enjadi rendah karena untuk m enim bun lantai gedung
sekolahan. Nam un saya juga m engerti sebabnya, karena
ordonansi waktu itu tidak m em benarkan halam an sekolah
Lampiran 479
kotor, apalagi tanah rendah ditim bun sam pah. Dem ikian saya
jelaskan duduk perkara selokan itu sebagai batas.
Saya tidak m enyerahkan A kepada siapa pun, karena A
bagi keluarga kam i m em punyai nilai spiritual, dia adalah
m onum en perjuangan ayah saya, terutam a ibu saya, sem asa
penjajahan Belanda. Saya sendiri sudah lam a m em punyai
rencana sendiri untuk A. Baik A m au pun gedung di atasnya
tidak m ungkin bisa dipertahankan tanpa jasa ibu saya
alm arhum , yang m enyebabkan ia m eninggal m uda dalam usia
34 tahun, sehingga adik-adik saya yang term uda tidak pernah
m endapatkan kasih-sayangnya.
II. Tentang Tanah A.
Saya telah pelajari sepintas lalu fotokopi surat-surat
term asuk pernyataan ayah alm arhum dan bapak Am ir
alm arhum . Surat-surat tsb. bukan saja tidak authentik, juga
tidak m em punyai kekuatan hukum . Hal itu dapat saya jelaskan
sbb.:
1. A tidak pernah jadi m ilik pem erintah Hindia Belanda,
pem erintah pendudukan Balatentara Dai Nippon atau pun
pem erintah RI. A tetap m ilik keluarga kam i bukan saja karena
authentisitas ipeda, juga hal-hal yang m engenai sejarah
keluarga.
2. Kekuasaan ayah alm arhum atas A didapatkan setelah
m enikah dengan ibu saya. Pelepasan hak atasnya harus
www.facebook.com/indonesiapustaka
m elalui persetujuan antara ayah dan ibu alm arhum . Dan itu
tidak m ungkin terjadi karena ibu m eninggal dalam bulan
J uni 1942, sedang penyerahan pada kekuasaan J epang (yang
notabene tidak authentik) terjadi pada 1944. Paling tidak ayah
alm arhum harus m erundingkan dengan saya sebagai anaknya
yang tertua yang pada 1944 sudah berum ur 19 tahun.
480 Bersama Mas Pram
Salam
(tanda tangan)
Pram oedya Ananta Toer
J akarta, 6 J uni 1982.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 2
dan diberinya ijin. Dengan dem ikian tanah desa bekas tem pat
bangunan dr. Soetom o dan sekitarnya m enjadi tanah darat.
Desa kem udian m em anfaatkannya jadi Balai Desa.
Mulai kem erdekaan nasional 1945 sewaktu M. Toer sudah
tidak m engajar lagi, tanah, bangunan dan peralatannya
dipinjam oleh pem erintah setem pat dan dipergunakan jadi
sekolah teknik negeri sam pai tahun 1985 ini.
Masalah yang tersisa dari perayaan besar Kebangkitan
Nasional tahun ini adalah:
Apakah tidak sebaiknya bangunan 2 klas dr. Soetom o yang
sam pai sekarang m asih berdiri di atas tanah yang dipinjam
oleh Sekolah Teknik Negeri itu dipindahkan kem bali ke tem pat
asal di kam pung Slibeg, di m ana pernah dibangun Balai Desa,
dipugar sebagai sem ula dan dijadikan m usium setem pat?
Sem oga sisa m asalah ini m endapat perhatian bagi
yang m asih punya perhatian.
Kepada Yth.
Redaksi Surat Kabar “Suara Karya”
J l. Bangka Raya No. 2
J akarta 12720
Horm at kam i,
(tanda tangan)
Alam at:
J l. Multikarya II/ 26
Kel. Hutan Kayu
J akarta Tim ur 13120
(putra keenam )
Alam at:
J l.P. Tendean Gg. Sum bangsih 14
Kel. Kuningan Barat
J akarta Selatan 127 10
494 Bersama Mas Pram
Catatan:
1. Surat ini dikirim kan kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
2. Tem busan dikirim kan kepada Pers Nasional dan m ereka
yang berkepentingan.
3. Berita yang senada berjudul “Depdikbud Mengalam i
Kesulitan Bangun di Lokasi SMPN 5 Blora” dim uat dalam
surat kabar “Suara Pem baruan” tgl. 31 J uli 1993 halam an VI
kolom 7-9.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 4
MONUMEN PENDIDIKAN
MASTOER IMAM BADJ OERI
PENDIRI SEKOLAH BOEDI OETOMO TH. 1922
BLORA
(tanda tangan)
ja. 20 J uli 1994
www.facebook.com/indonesiapustaka
498 Bersama Mas Pram
Foto-foto
sekeluarga.
Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer dan keluarga berfoto bersama di beranda rumah di Jalan Sumbawa
40, Blora.
Tahun 2002. Pramoedya Ananta Toer dan istri bersama keluarga besar (anak-anak,
menantu, cucu, dan cicit) di kebun rumah Jalan Warung Ulan No. 9, Bojong Gede,
Bogor. Berdiri paling kiri: Koesalah Soebagyo Toer.
504 Bersama Mas Pram
Tahun 2005. Pramoedya Ananta Toer mengucapkan selamat kepada orangtua pengantin pria ketika
Koesalah Soebagyo Toer mengawinkan putrinya, Uliek Mandiri, di Jakarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram
Mas Pram
Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer
KPG: 94S23509
KPG: 92004090235
KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) ISBN 13: 978-979-91-0139-6
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53677834, 53650110 ext. 3362-3364, Fax. 53698044
HP. 0815 9080 660, E-mail: kpg@penerbit-kpg.com
Situs web: http://www.penerbit-kpg.com
Untuk pemesanan langsung: Telp. 53677834 ext. 3901, 3902
E-mail: erni@gramediapublishers.com, wina@gramediapublishers.com
9 789799 101396