Anda di halaman 1dari 516

Mas Pram

Bersama
Bersama
Mas Pram
Memoar Dua Adik
Pramoedya Ananta Toer

www.facebook.com/indonesiapustaka

KPG: 94S23509
ISBN 13: 978-979-91-0139-6

Koesalah Soebagyo Toer | Dilengkapi Oleh Soesilo Toer


www.facebook.com/indonesiapustaka
BERSAMA
MAS PRAM

M E M O A R D U A A D I K P R A M O E DYA A N A N TA TO E R
www.facebook.com/indonesiapustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BERSAMA
MAS PRAM
M E M O A R D U A A D I K P R A M O E DYA A N A N TA TO E R

KOESALAH SOEBAGYO TOER | DILENGKAPI OLEH SOESILO TOER


www.facebook.com/indonesiapustaka

J akarta:
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Bersama Mas Pram:
Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer
© Koesalah Soebagyo Toer & Soesilo Toer

KPG: 920-04-09-0235
Cetakan Pertama, April 2009

Penyunting
Candra Gautama

Perancang Sampul
Wendie Artswenda

Penataletak
Bernadetta Esti W.U.
Wendie Artswenda

TOER, Koesalah Soebagyo


Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer
Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2009
viii + 504 hlm. ; 13,5 cm x 20 cm
ISBN: 978-979-91-0139-6

Keterangan Gambar Sampul:


• Rumah keluarga Toer di Jl. Sumbawa 40, Blora, koleksi foto
Koesalah Soebagyo Toer.
www.facebook.com/indonesiapustaka

• Foto Pramoedya Ananta Toer oleh Rully Susanto.

Dicetak oleh PT Gramedia, Jakarta.


Isi di luar tanggungjawab percetakan.
Daftar Isi

Pengantar vii

Bagian Pertama: Blora 1


Bagian Kedua: Semarang 61
Bagian Ketiga: Jakarta 71
Bagian Keempat: Moskwa 229
Bagian Kelima: Tahun 1965 245
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 299
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 363
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 435

Lampiran 475
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pengantar

BANYAK KOMENTAR pem baca buku Pram oedy a Ananta


Toer dari Dekat Sekali yang m enyatakan bahwa isi buku
tersebut tidak cukup dekat, atau tanggung. Bahkan ada yang
m enyatakan, “Ibarat m akan bubur, baru sesendok sudah
habis.” Mereka m enghendaki supaya catatan tentang Mas Pram
dilengkapi, antara lain dengan uraian tentang m asalah yang
belum pernah disinggung oleh pem erhati Mas Pram , m isalnya
tentang hal-hal yang kiranya tidak dapat dianggap tabu untuk
dikem ukakan, seperti m asalah seks. Dengan dem ikian catatan
itu bisa menjadi biograi.
Menanggapi kom entar tersebut, saya ingin m enam bahkan
uraian tentang apa yang saya ketahui tentang Mas Pram sejak
saya kecil sam pai sekarang berusia 74 tahun, yang saya yakin
www.facebook.com/indonesiapustaka

belum diketahui um um . Harapan saya adalah agar uraian ini


dapat m elengkapi pengetahuan um um m engenai Mas Pram
sebagai tokoh yang m enonjol.
Nam un, terus-terang, saya sam asekali tidak berpretensi
untuk menyusun biograi atau bahkan menjadi ahli tentang Mas
Pram . Untuk itu sudah banyak pengam at yang bahkan sudah
bekerja lebih dari setengah abad. Tentang Mas Pram sebagai
pejuang tentunya dapat disim ak dan dipelajari lewat buku-
bukunya, dari pernyataannya yang tidak sedikit kepada pers
nasional m aupun internasional, juga dari sepak-terjangnya
yang juga dapat diakses secara luas oleh um um .
Khusus m engenai buku ini, saya tidak berm aksud ber-
cerita tentang orang lain biarpun saya sebut dalam buku ini,
khususnya diri saya sendiri, selain Mas Pram . Tapi karena
bercerita tentang Mas Pram m ustahil tidak bicara tentang
lingkungan dan latarbelakangnya, m aka saya harus bercerita
tentang lingkungan dan latarbelakang tersebut. Berapa
panjang pun uraian tentang lingkungan dan latarbelakang itu,
sasarannya tetaplah Mas Pram . Dengan dem ikian, lingkungan
dan latarbelakang itu, khususnya cerita tentang diri saya sendiri,
tidak lain daripada m edium uraian tentang Mas Pram .
Perlu saya ulangi di sini bahwa saya (dan kam i adik-adik
Mas Pram : Prawito Toer, kem udian m enjadi Walujadi Toer,
Mas Wiek; Koenm arjatoen Toer, Mbak Koen, yang kem udian
m enjadi Ny. Djajoesm an; Om iesafaatoen, Mbak Oem ,
kem udian Ny. Mashudi; Koesaisah Toer, Mbak Is, kem udian
Ny. Herm anu; Soesilo Toer, Coes; dan Soestyo Toer, Coek)
sem ula m em anggil Mas Pram dengan Mas Moek, dan baru
belakangan terbawa oleh arus nasional dan internasional
dengan m em anggilnya Mas Pram . J adi sebutan Mas Pram
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam buku ini sebenarnya seharusnya diucapkan Mas Moek.


Kam i baru m antap m enyebutnya Mas Pram sesudah ia pulang
dari Pulau Buru tahun 1979.
Koesalah Soebagy o Toer
Jakarta, April 20 0 9
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Pertama: Blora


www.facebook.com/indonesiapustaka
Punya Mas Pram

DARI KECIL di zam an Belanda (saya lahir pada 27 J anuari


1935), saya sudah tahu bahwa bapak saya guru. Ia disapa rekan,
kenalan, dan m uridnya dengan Meneer Toer, sedangkan ibu
saya disapa oleh para tetangga dengan Ndara Toer.
Rum ah kam i terletak di Desa J etis, di sudut barat-daya kota
Blora yang waktu itu m erupakan kota kecil pedalam an yang
sepi. Kenapa Bapak m em ilih tem pat itu, tidak pernah kam i
dengar ceritanya. Kam i pernah m endengar celaan kerabat kam i
dari pihak Ibu yang berkerum un tinggal di Kaum an: “Rum ah
kok di tengah sawah!” Mungkin karena ditinjau dari Kaum an
tem pat itu cukup ndesa.
Mem ang, penilaian m ereka tidak terlalu keliru. Rum ah
kam i itu hanya seratus m eter dari Kali Lusi. Sisi kanan rum ah
www.facebook.com/indonesiapustaka

dikenal sebagai dalan kebo (jalan kerbau). Mem ang, itu


jalan m enggiring kerbau untuk dim andikan di Kali Lusi, dan
jalan untuk pergi ke daerah persawahan di selatan kota yang
bernam a Kaliwangan.
Nam un yang m ereka cela barangkali bukan tem patnya
saja, m elainkan terutam a sikap Bapak yang seolah “tak m au
4 Bersama Mas Pram

kum pul” dengan saudara-saudara yang lain di Kaum an.


Tetangga kam i sem ua orang bersahaja. Di sebelah kiri, Pak
Suto, tukang kayu, Pak Atm o dan Pak Sim en, petani. Di bela-
kang, Pak Godek, blantik, dan Pak Sadir, tukang tem pe. Di
kanan, Pak Sukiban, jagal, Pak Wiro, tukang gali pasir, dan
Pak Sopir. Di depan, m em bentang tegalan luas, tapi agak ke
kanan tinggal Pak Sum o, petani, dan Pak Wiek, tukang tim ba
air. Saya bisa m enyebutkan yang lain-lain lagi, yang sem uanya
kaum pekerja. Karena itu, dari kecil tem an berm ain saya ya
anak-anak pekerja itu.
Meski dem ikian jangan dikira anak-anak itu bodoh diban-
dingkan anak guru, walau banyak dari m ereka tak bersekolah.
Saya tidak m alu m engakui bahwa guru saya di waktu kecil
sesudah ibu saya adalah Rigno, anak Pak Sum o, m eski usianya
terpaut sedikit saja dari saya. Ia banyak tahu. Ia tahu nam a
desa-desa di sekitar J etis. Ia tahu nam a Betawi, dan Betawi itu
katanya berasal dari “m am bet tai” (bau tahi), karena dalam
perang m elawan Belanda di Betawi tentara Sultan Agung m eng-
gunakan peluru kotoran m anusia terhadap tentara Belanda. Ia
tahu m akhluk halus seperti tuyul, sundel bolong, banaspati,
dll. Ia bisa m em buat layangan, bisa m em buat kekean (gangsing
dari kayu), bisa m em buat jerat betet, dll. Saya senang berkawan
dengan Rigno dan belajar dari dia apa-apa yang m enjadi
kebanggaannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Nam un ada kebanggaan saya yang tak bisa disam ai oleh


Rigno, yaitu kakak saya. Mem ang Rigno juga punya kakak,
em pat orang, tapi sem ua perem puan, dan sem ua tidak ke
m ana-m ana. Saya punya Mas Pram yang waktu itu ada di
Surabaya, yang “sekolahnya tinggi”, sekolah radio. Waktu itu
Bagian Pertama: Blora 5

tidak banyak anak Blora pergi ke Surabaya yang begitu jauh.


Lebih jarang lagi ke Betawi.
Kalau nanti Mas Pram pulang dari Surabaya, tentu ia pintar
sekali, dan oleh-olehnya tentu banyak. Itulah kebanggaan
saya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ibu Meninggal

TIDAK LAMA sesudah J epang m asuk, adik terkecil saya,


Soesanti, m eninggal. Menurut catatan laporan kepala desa
yang m asih tersim pan, peristiwa itu terjadi tanggal 4 J uni
1942. (Tapi m enurut ingatan Mas Pram , Mbak Oem , dan Mbak
Is, Soesanti m eninggal pada hari yang sam a dengan ibu kam i,
Oem i Saidah, tanggal 8 J uni 1942.) Ia hanya m encapai usia
tujuh bulan, disusul Ibu yang hanya m encapai usia 34 tahun
(lahir tahun 190 8).
Entah berapa lam a sesudah itu, Bapak m endatangkan
ibunya, Nenek Sabariah, dari Kediri, untuk m engurus kam i.
Zam an J epang adalah zam an yang sungguh tidak enak. Gaji
Bapak tidak teratur diberikan.
Karena Bapak jarang m em berikan uang, Mbah Sabariah
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak berdaya m em beri m akan cucu-cucunya. Terpaksa ia


ram ban (m eram u) di kebun kam i. Apa saja daun yang dapat
dim akan—daun singkong, daun ubi, daun bluntas, daun
babing (katuk)—dipetik, dikulub, dibum bui. Kalau tak ada
bum bu, dikasih garam . Tak ada garam , disuruh m akan tanpa
apapun. Ketika daun-daunan habis, Mbah Sabariah m enyuruh
Bagian Pertama: Blora 7

m em otong pisang yang sebetulnya belum cukup um ur. Pisang


kepok direbus sebagai ganti nasi. Tak ada lauk, jantung pisang
dijadikan lauk. Dan kalau nasi pisang tak cukup, kulit pisang
kepok direbus, digaram i, sebagai ganti nasi. Lam a-kelam aan
buah pisang habis. Mbah Sabariah m em erintahkan m enggali
dangkel (bonggol) anak pisang biji, dan dangkel anak pisang
kini m enjadi ganti nasi. Sem entara itu daun pisang—terutam a
pisang biji—dijual kepada tukang nasi dan tukang lontong.
Ketika pohon pisang tum pas, Mbah Sabariah kebingungan.
Mbah Sabariah tidak kerasan jadi pem im pin rum ahtangga
yang tak pegang uang. Sehari-hari ia cekcok dengan cucu-cucu
yang “nakal, berani terhadap orang tua”, sehingga pada suatu
hari, sesudah beberapa bulan di Blora, ia pulang ke rum ahnya
di Ngadiluwih, Kediri. Saya tak tahu apakah ada kesepakatan
dengan Bapak.
Sem entara itu Mas Pram dan Mas Wiek, pada 1942 itu,
sudah berangkat ke J akarta untuk sekolah. Kabarnya m ereka
ikut Pam an, adik Bapak terkecil, Moedigdo.
Pem im pin rum ahtangga jatuh ke tangan Mbak Oem yang
terpaksa m eninggalkan sekolah. Waktu itu ia baru duduk di
kelas lim a sekolah dasar, um ur 12 tahun. Terpaksa! Bapak
waktu itu lebih banyak di luar rum ah, dan Mbak Koen terus
sekolah.
Karena Bapak jarang m em beri uang, m aka cara m en-
www.facebook.com/indonesiapustaka

dapatkan uang cepat adalah dengan m enjuali barang berharga


yang m asih tersisa, seperti lem ari, m esin jahit, dsb. Dan ketika
barang yang berharga habis, barang yang kurang berharga
pun terpaksa digadaikan atau dijuali oleh Mbak Oem sebagai
penanggung jawab rum ahtangga untuk m akan sehari-hari.
Perhiasan satu-satunya yang m asih ada—anting atau kalung—,
8 Bersama Mas Pram

juga kadang kain batik, digadaikan pula. Sebelum jatuh tem po,
kalau dapat uang dari Bapak, barang ditebus. Kalau tidak
dapat, barang terpaksa dibiarkan hilang.
Kalau uang m encukupi, dibelikan beras, dim asak cam pur
kacang m erah, ubi, atau singkong. Sehari cukup sekali. Kalau
tak cukup, cari sendiri kekurangannya. Kam i m enggali um bi-
um bian yang ada di sepanjang pagar pekarangan. Um bi-
um bian itu kam i gasak sam pai tandas. Sem entara itu, tiap hari,
pulang dari sekolah saya dan Coes ke Kali Lusi untuk gogoh,
m encari udang atau kijing (kerang sungai). Waktu itu di kali
m asih banyak ikan. Kadang-kadang kam i m encari gangsir atau
m enebah belalang di jalanan.
Kalau uang tak banyak, dibelikan jagung. Sem ua ikut
m engubah jagung kering m enjadi nasi jagung. Saya m enam pi,
m edangi (m enuangi air panas), m enum buk, ngay ak (m enapis)
sam pai m enjadi tepung, bahkan m em bikin bubur slam per (kulit
butir jagung). Itu pun tidak m enolong. Makan m enjadi sangat
tidak teratur dan sangat kurang, pakaian tinggal sepotong yang
m elekat di badan, dan berbagai penyakit m ulai m erajalela.
Karena itu, pada waktu pergi tidur perut kam i m asih lapar.
Kam i tidur ram ai-ram ai dalam satu ranjang peninggalan Ibu.
Mbak Oem m engajari kam i m engaji Al Fatihah, Al Ikhlas
(yang biasa disebut “Kulhu”), An Naas, Al Falaq. Sering kam i
disuruh ram ai-ram ai baca Kulhu em pat puluh kali. Kadang
www.facebook.com/indonesiapustaka

enam puluh kali. Sam pai tertidur. Sam bil baca kam i ingat
Ibu. Alangkah senangnya kalau kam i punya ibu. Kenapa Ibu
m eninggalkan kam i selagi m asih kecil-kecil? Ibu m eninggal
karena ia orang baik. Kalau orang jahat, oleh Tuhan tentu ia
dipanjangkan um urnya agar dapat m eneruskan perbuatan
jahatnya, dan akhirnya terperosok ke dalam neraka jahanam ,
Bagian Pertama: Blora 9

itu kata Mbak Oem . Kam i berharap, m udah-m udahan tidak


benar Ibu m eninggal, dan pada suatu kali ia akan datang
m enem ui kam i.
Mbak Oem m enjadi ibu kam i. Ia m engajari kam i m engaci,
m encuci, m enyeterika, bahkan m em intal law e (benang pintal)
setiap hari agar sesudah sebulan ia bisa m enjualnya ke pasar
dan kam i bisa m akan enak sehari itu. Kadang-kadang kam i
teringat juga Mas Pram dan Mas Wiek, dan berharap m ereka
tiba-tiba datang dan bawa oleh-oleh.
Pernah datang wesel dari J akarta, dan kebetulan Bapak
tidak pulang. Oleh Mbak Oem tandatangan Bapak dipalsu, dan
kam i dapat m enikm ati hasilnya. Untung saja tidak terjadi apa-
apa. Pegawai kantor pos pun tidak curiga. Kam i berterim akasih
kepada Mbak Oem atas keberaniannya. J uga kepada Mas Pram
dan Mas Wiek atas kirim annya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ada Telegram

PROKLAMASI USIA saya 10 tahun, kelas tiga Sekolah Rakyat


(SR). Indonesia m engalam i perubahan. Bangsa Indonesia tidak
lagi dijajah, sudah m endhireng pribadi (berdikari). Buktinya,
m obil-m obil berkeliling dengan coretan “Milik Republik
Indonesia”. Sesekali sirene kota m endengung, dan para pem uda
bersiap dengan bam bu runcing, keris, dan bendo (golok) untuk
m enangkap J epang yang berusaha m eloloskan diri. Bendera
Merah-Putih berkibar di m ana-m ana, bahkan lencana Merah-
Putih disem atkan di dada. Pem uda-pem uda berjalan gagah,
sebagian m engenakan pakaian seragam , m enyisipkan pistol,
topinya m iring, pakai sepatu lars, pakai ram but dan jenggot
panjang. Pertem puran dengan J epang, Inggris, Belanda: di
Sem arang, di Surabaya, di Salatiga, dan Magelang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pada suatu hari datang telegram dari Mas Pram : “bapak


saya datang tanggal sekian”. Tulisannya dengan huruf kecil
sem ua, tanpa tanda baca.
Saya tahu yang nam anya kantor telegrap, di sebelah kiri
kantor pos, karena ham pir tiap hari saya m elewatinya pulang-
pergi ke sekolah. Kantor itu ham pir selalu tam pak sepi, lain
Bagian Pertama: Blora 11

dengan kantor pos. Tapi, m eski gedungnya lebih buruk dan


tua dibandingkan kantor pos, kantor ini lebih hebat kerjanya,
karena ia bisa m enyam paikan berita dalam sehari, tidak seperti
kantor pos.
Waktu itu, seingat saya, Bapak tidak ada di rum ah. Tele-
gram dibuka oleh Mbak Oem , dibacakan kepada kam i—Mbak
Is, saya, Coes, dan Coek.
“He, Mas Pram akan datang. Papag (jem put), Dik Liek.
Sam a Coes.”
Saya heran m endengar itu. Untuk apa dipapag? Kan sudah
besar, bisa jalan sendiri? Dan lagi stasiun kan jauh? Kan capek
dari sekolah?
Tapi keesokan harinya, sepulang sekolah, saya pergi juga
dengan Coes. Seperti biasa, kam i jalan ke tim ur, dari jem batan
Kaliwangan belok ke utara, sam pai alun-alun ke tim ur lagi.
Kam i tak lihat jam . Kam i percaya tidak terlam bat, karena
kereta dari Cepu sore hari datangnya. Kam i jalan pelan-pelan,
sam bil ny aruk-ny aruk debu, m em unguti cap rokok kalau ada.
Itu kegem aran kam i waktu itu: m engum pulkan cap rokok.
Sam pai di depan klenteng di Tem pelan, dari jauh kam i
lihat dua orang lelaki berjalan m enuju kam i.
“Eh, Coes, apa itu bukan Mas Pram ?”
“Yang m ana?” jawab Coes.
Dua orang itu terus berjalan sam bil om ong-om ong. Yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

seorang m irip Mas Pram , pakai sepatu tinggi dan sem acam jas
hujan. J alannya tegap, berjingkat-jingkat, seperti ada per di
tum itnya. Yang lain, di sebelah kirinya, pakai kem eja lengan
panjang. Gagah juga, tapi agak m em bungkuk.
“Mas Pram !” tiba-tiba panggil Coes, ketika kedua orang itu
sem akin m endekat.
12 Bersama Mas Pram

“Eee, Liliek, ya? Sam a Coes? Dari m ana ini tadi?” kata
Mas Pram sesudah m eninggalkan percakapan, m endekat, dan
m engam at-am ati kam i.
“Mapag Mas Pram !” jawab Coes.
Mas Pram m erangkul dan m encium pipiku kiri-kanan, juga
Coes. Perbuatan itu saya anggap aneh, apalagi di tengah jalan.
Tidak ada orang Blora yang bercium an, kecuali m encium anak
bayi. Sesudah itu kam i disuruh bersalam an dengan orang yang
lain itu.
“Adikku, Dir. Ini Liliek, dan itu Coes,” kata Mas Pram .
Orang yang dipanggil Dir itu m engulurkan tangannya
bergantian kepada kam i—kam i bersalam an. Perbuatan itu juga
saya anggap aneh, sebab yang biasa bersalam an hanya orang-
orang dewasa. Kam i kan anak-anak?
Selanjutnya kam i pulang sam a-sam a. Mula-m ula m ereka
tanya ini-itu seperti biasa kepada orang dewasa, tapi sesudah
itu m ereka m engobrol lagi dengan asyik. Kam i tak tahu apa
yang diobrolkan.
Dalam hati saya berpikir: “Gagah sekali Mas Pram . Sepatu
dan jas hujannya bikin lebih gagah lagi. Kirim telegram lagi.
Saya bangga punya abang Mas Pram ! Tapi kok dia ndak bawa
apa-apa ya?”

Catatan: Tem an Mas Pram itu di kem udian hari kam i


www.facebook.com/indonesiapustaka

ketahui bernam a Abdulkadir.


Jadi Tawanan

MBAK OEMLAH yang paling banyak berhubungan dengan


Bapak. Dia yang m atur (m enyam paikan, m elapor) kalau ada
apa-apa. Dia pula yang m encuci dan m enyeterika pakaian
Bapak, term asuk lancingan-nya (celana dalam ). Sem inggu
sekali Bapak m engganti jas dan kainnya. Dari kantong-kantong
jas yang lam a dikeluarkan isinya: dari kantong dada depan kiri
dikeluarkan arloji berantai dan berkuku m acan peninggalan
zam an Belanda, dari kantong perut kiri dikeluarkan saputangan,
dari kantong perut kanan dikeluarkan slepi (sem acam dom pet)
tem bakau dan klobot (kelopak jagung) serta korek api, dan dari
kantong dada dalam dikeluarkan uang, kalau ada.
Sem ua itu kem udian dim asukkan ke dalam kantong-
kantong jas baru (jas Bapak hanya dua) yang sudah dicuci
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan disetrika licin, m asing-m asing pada tem patnya. Tidak


boleh ada yang tertukar tem patnya. Dalam keadaan terisi, jas
bersam a kain dan sabuk ditata Mbak Oem di atas tem pat tidur
Bapak untuk dikenakan. Dengan begitu ada hubungan yang
ajek, pas, dan m apan antara Bapak dan Mbak Oem .
14 Bersama Mas Pram

Saban pagi Mbak Oem juga yang harus m enyediakan


sarapan Bapak dalam piring khusus: piring besar warna
biru, kelilingnya bergerigi, bergam bar kelenteng di tengah
panoram a Tiongkok di lingkaran tengah, berhias-hiasan dalam
petak-petak di sekitarnya. Isi sarapan itu sering terlalu sedikit
untuk piring sebesar itu. Bahkan seringkali itulah satu-satunya
sarapan di rum ah: anak-anak hanya boleh m encium arom anya.
Kalau ternyata sam pai siang Bapak tidak datang, sarapan
itu m enjadi bagian anak-anak. (Pernah karena kelaparan
Coes m enyerobot sarapan Bapak, dan Bapak ternyata hanya
m anggut-m anggut prihatin.)
J adi Mbak Oem juga m enjadi saluran kabar-kabar yang
diterim a oleh Bapak. Lewat Mbak Oem Bapak m enyam paikan
kabar bahwa kakak angkat kam i, Mas Soejono, yang biasa kam i
panggil Mas J ono, dulu ternyata m enjadi Heiho dan kem udian
gugur dalam pertem puran di Birm a. Kabar itu diterim a begitu
saja tanpa tam bahan, sehingga kam i pun tak tahu di m ana dan
bagaim ana kakak kam i itu dikuburkan.
Lewat Mbak Oem juga kam i tahu bahwa Mas Pram telah
m enjadi tentara, lalu tertangkap Belanda dan m enjadi tawanan.
Di m asa ini pula kam i m endengar bahwa Mas Pram m enjadi
pengarang. Kebetulan Mbak Oem m em ang suka m em baca.
Dialah yang m em baca buku-buku Bapak dan m enceritakan
isinya kepada kam i. Dia bisa bercerita thirik-thirik (runtut)
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan m enarik, hingga kadang-kadang saya heran sendiri kok


bisa-bisanya Mbak Oem bercerita seperti itu. Dengan cara itu
ia m enceritakan kisah-kisah Panji dan lakon-lakon Baginda
Am byah berm alam -m alam .
Mbak Oem juga yang m enyam paikan kepada kam i dan
m em bacakan isi karangan pendek Mas Pram berjudul “Malam
Bagian Pertama: Blora 15

Lebaran”, dan m engatakan bahwa Mas Pram telah m em buat


juga karangan panjang berjudul “Kem udian Runtuhlah
Mojopahit”.
Saya ingat, beberapa kali kam i m enerim a surat dari Mas
Pram dari penjara berupa kartupos yang ditulis bolak-balik
dengan tulisan kecil-kecil, sangat rapi, sehingga dalam ruangan
sesem pit itu term uat banyak hal. Isi surat itu m enanyakan
kabar kam i, terutam a m engenai sekolah dan pelajaran kam i,
dan akhirnya perm intaan agar kam i m enulis surat kepadanya.
Surat terakhir (kalau tak keliru sudah 1949) m em uat bagian-
bagian khusus untuk Mbak Oem , Mbak Is, dan saya. Surat itu,
seperti biasa, dibaca keras-keras oleh Mbak Oem .
Khusus kepada saya ia m enulis kira-kira begini: “Liliek.
Apa kabar, Liliek? Tulislah untuk Mas Pram , ya? Ceritakan,
bagaim ana sekolahm u, pelajaran apa yang m enarik Liliek.
Bahasa apa, riwayat apa? Mas Pram suka rindu pada Liliek.
Mas Pram suka terkenang dengan m ata Liliek yang pem im pi.
Tulislah untuk Mas Pram , ya?”
Saya tak pernah m em balas surat itu. Mem ang belum pernah
saya m enulis surat. Saya tak tahu apakah Bapak atau Mbak
Oem pernah m em balas suratnya. Saya cum a yakin bahwa pada
suatu kali Mas Pram akan pulang ke Blora lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belanda Menyerbu Blora

BERTAHUN-TAHUN BELANDA tak m am pu m enem bus per-


tahanan Republik di Tanggulangin di luar Kudus. Tapi tiba-tiba
pesawat capungnya m elayang-layang di angkasa Blora, disusul
deru pesawat pem buru dan pesawat pem bom yang besarnya
belum pernah saya saksikan sam pai waktu itu (19 Desem ber
1948).
Dentum an-dentum an m eriam m em bahana tak henti-
henti, entah di m ana pelurunya berjatuhan. Orang bilang Be-
landa sudah sam pai Medang, delapan kilom eter di utara Blora.
Para pem uda lari bertem perasan tak tentu arah. Sebagian
m asuk rum ah kam i. Mereka sibuk berceloteh tentang m asuk-
nya Belanda, tapi alur pem bicaraan itu sam asekali tak saya
m engerti. Tidak lam a Bapak datang, tapi anehnya ia tidak pe-
www.facebook.com/indonesiapustaka

duli dengan kam i. Tem an-tem annya rupanya lebih penting.


Dan tak lam a kem udian datang Dik Dig, sepupu kam i yang
lebih tua dari kam i, yang dengan terengah-engah m enyatakan
bahwa di kabupaten sudah terdengar tem bakan pistol.
Hujan tiba-tiba m engguyur. Tidak boleh tidak perm ukaan
air Kali Lusi pasti naik. Tanpa m engatakan sesuatu dan tanpa
Bagian Pertama: Blora 17

pesan, orang-orang yang tadi sibuk berceloteh kini m enghilang


satu dem i satu, term asuk Bapak dan Dik Dig. Dalam angan saya
terbayang bagaim ana m ereka m enerobos pekarangan kam i
dan pekarangan Pak Sadir di tengah hujan, dan m enyeberangi
banjir berpegangan batang pisang. Belakangan kam i m endengar
bahwa seorang tentara kintir (terbawa hanyut) oleh arus Kali
Lusi. Saya sam pai m enyesali: “Tentara kok kintir!”
Belum lagi Belanda tam pak, rum ah sudah sepi, tinggal
kam i anak-anak berlim a.
Tak lam a kem udian terdengar derum kendaraan berm otor,
m akin lam a m akin seru dan jelas. Kam i m engintip dari celah
pojokan dapur. Tam pak dengan jelas iring-iringan kendaraan
Belanda: diawali dua serdadu Belanda bersepeda m otor kiri-
kanan, m elaju perlahan. Disusul beberapa jip (waktu itu saya
belum tahu nam anya), beberapa brenkarir (juga belum saya
ketahui nam anya), beberapa tank besar dengan laras m eriam
yang m enyeram kan, beberapa pantserw agen (yang baru saya
ketahui nam anya kem udian), dan berturut-turut truk penuh
serdadu dan truk-truk penyeret m eriam . Ditutup dengan
beberapa brenkarir lagi.
Kam i gem etar.
“Aduh, bagaim ana ini? Negeri kita dijajah Belanda lagi!”
pekik Mbak Oem tertahan.
Tidak ada jawaban. Bagaim ana m ungkin ada jawaban?
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak ke luar kota, Mas Pram jadi tawanan Belanda, Mas Wiek
dirawat di rum ah sakit J epara karena ham pir putus tangannya
kena pedang, dan Mbak Koen ikut Mas Djajoes bertugas m iliter
di Tayu.
Berbulan-bulan tak ada berita dari Bapak. Saya pun heran,
bagaim ana kam i berlim a bisa terus hidup waktu itu.
18 Bersama Mas Pram

Pada suatu hari kam i diajak Mbak Oem ke Kam olan,


tiga kilom eter di selatan Blora. Ternyata itulah kini pasar
terbuka Republik. Kam i m enunggu di ujung pasar, di dekat
suatu rum pun bam bu. Tak lam a kem udian m uncul seseorang
entah dari m ana: bercelana pendek berbaju lengan pendek,
m engenakan caping dan tongkat kayu, dan tanpa alas kaki.
Di pinggangnya terikat bungkusan saputangan. Orang itu
m em egang kepala saya, sam pai saya kaget. Siapa orang itu? Ia
m engeluarkan sesuatu dari kantong baju, diberikannya kepada
Mbak Oem , dan tanpa m engatakan apapun kepada kam i, tiba-
tiba ia sudah m enghilang kem bali.
“Siapa itu tadi, Mbak Oem ?” tanya saya keheranan.
“Lho, Dik Liek ini bagaim ana? Itu kan Bapak?”
Alangkah heran saya bahwa saya tak m engenali bapak
sendiri.
Berbulan-bulan lagi tanpa berita. Tahu-tahu kam i dengar
Bapak ditangkap Belanda di Ngawen di barat Blora. Tapi
herannya, tidak lam a kem udian Bapak dilepaskan, dan sejak
itu m engajar di SMP yang m enum pang gedung di sekolah
Muham m adiyah, karena gedung SMP Blora III tem pat Bapak
m engajar dulu dipakai asram a serdadu Belanda. Mbak Oem
m engatakan, Bapak dilepas dengan syarat m au m engajar
kem bali.
Berlainan dengan sebelum nya, kini Bapak banyak tinggal
www.facebook.com/indonesiapustaka

di rum ah. Tapi sekarang ia banyak batuk, lebih-lebih di m alam


hari. Sebelum m atahari terbit Bapak sudah dibangunkan
batuknya, dan batuk itu tak m au berhenti sebelum Bapak
dengan sengaja terpaksa m enghentikannya.
Pada suatu hari Bapak m enyatakan keheranannya kepada
Mbak Oem , bahwa dari batuknya ternyata keluar darah.
Bagian Pertama: Blora 19

Rupanya darah itu sudah lam a juga keluar. Buktinya, di tem bok
bawah jendela kulon (barat) banyak noda darah m erah. Batuk
itulah yang akhirnya m em akukan Bapak ke rum ah, bahkan ke
tem pat tidur, dan selanjutnya m em bawanya ke rum ah sakit
Penditan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram Dilepaskan

TAHUN 1949 terjadi perundingan Indonesia dengan Belanda.


Kenapa Belanda m au berunding, saya juga heran. Tapi m enurut
dugaan saya, karena tentara Republik m elawan dengan hebat.
Saya dengar, di Medang ada pantserw agen Belanda yang di-
trekbom sam pai terjungkal ke kali. Di luar Ngawen, di dekat
pusat penum pukan kayu jati, kereta api digulingkan. Sem entara
itu di Kunduran, di kuburan, terjadi pertem puran hebat
antara tentara Belanda dan tentara Republik, dan beberapa
serdadu Belanda m ati. Sem ua itu saya dengar dari selentingan
percakapan Mas Wiek—yang sem entara itu sudah kem bali ke
Blora dalam keadaan cacat—dengan kawan-kawannya.
Kem udian saya dengar apa yang disebut Mas Wiek sebagai
Roem -Roijen Statem ents. Saya tak m engerti artinya, walaupun
www.facebook.com/indonesiapustaka

waktu itu saya sudah m ulai belajar bahasa Inggris di SMP


dengan guru Pak Ngoesm an. Tapi pokoknya terjadi rujuk
Indonesia-Belanda.
Dari percakapan m ereka saya dengar J enderal Belanda
yang bernam a Spoor m ati. Wah, ram ai dan girang sekali berita
itu ditanggapi oleh Mas Wiek dan kawan-kawannya.
Bagian Pertama: Blora 21

“Rasakna kow e. Sukur!” kom entar saya sendiri spontan


pelan-pelan waktu itu.
Tanggal 16 Agustus 1949 sore kam i diajak Mbak Oem ke
Kam olan, dan dari Kam olan m asih jalan lagi ke tim ur lalu belok
ke selatan m enyusur jalan kam pung yang jauhnya kata orang
sem bilan kilom eter dari Blora. Saya ham pir lupa nam a tem pat
itu, tapi kalau tak salah Ndoplang. Sesudah berjam -jam jalan,
akhirnya lepas m atahari terbenam kam i sam pai di lapangan
yang terang-benderang oleh nyala ratusan obor. Pasar m alam !
Di sana tentara gerilya m engadakan pasar m alam . Di sana
digelar m acam -m acam perm ainan dan pertunjukan, dan dijual
m acam -m acam m akanan dan m inum an. Di sana berkibaran
bendera Merah-Putih, besar-kecil, dengan m egah, bercam pur
dengan janur kuning, buah-buahan dan um bi-um bian. Di
sana banyak berkeliaran tentara dengan berbagai pakaian dan
gayanya, sebagian bersenjata, sebagian nglanthung (bertangan
kosong) saja, tapi sem uanya gem bira, gagah, dan optim is. Di
sana pula kam i bertem u Mas Djajoes, yang m em ang dasarnya
gagah, bersam a Mbak Koen. Kam i m engelilingi lapangan,
m engagum i segala yang baru kali itu kam i lihat. Sayangnya
kam i tak punya uang, sehingga kam i cum a sem pat m inum air
kendi dan m akan gem blong tela (getuk singkong).
Alkisah, pulangnya, kam i m esti jalan lagi sem bilan
kilom eter sam bil tidur, sam pai tiap kali m esti diingatkan oleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mbak Oem supaya m elek.


Dan… belum sam pai jenak tidur sudah dibangunkan Mas
Wiek.
“Bangun! Bangun! Mandi! Pakaian! Upacara!”
Hari sudah pukul enam pagi tanggal 17 Agustus 1949. Mata
m asih lengket dan badan sakit-sakit. Tapi kam i diperintahkan
22 Bersama Mas Pram

berbaris untuk upacara, di dalam rum ah! Pem im pin upacara-


nya Mas Wiek. Bendera Merah-Putih, yang waktu Belanda
m enyerbu saya m asukkan lepak (sejenis dom pet kaleng) dan
saya selipkan di bawah bufet, diperintahkan diam bil oleh Mas
Wiek, dan sebagai ganti pengerekan, bendera itu dipam pang-
kan di sandaran kursi sem entara kam i m enyanyikan lagu
Indonesia Raya dengan pintu tertutup.
Kam i m enyanyi lirih, takut kedengaran Belanda yang
sesekali berpatroli dengan jip m elewati dalan kebo. Nam un,
walau lirih, kam i m erasakan sem angat kem erdekaan hidup
lagi seperti waktu sesudah proklam asi. Dan ketika kam i
m engheningkan cipta, terbayang oleh kam i para pahlawan dari
Blora yang ikut gugur di front Sem arang dan Surabaya, seperti
anak Pak Karso Sate, Mas Darsim an, orang-orang Sam in, dan
banyak lagi yang lain.
Mas Wiek berpidato, m em inta kam i supaya tetap cinta
kem erdekaan, cinta Republik Indonesia, cinta tentara
Indonesia sebagai pagar negara. Negara Indonesia, katanya,
adalah “negara kalian-kalian di m asa datang”. “Kalian m em ang
m asih anak-anak sekarang, katanya, tapi akhirnya kalian toh
akan jadi orang dewasa yang m em im pin Indonesia nanti, di
bidang m asing-m asing.”
Kam i m em ercayai Mas Wiek yang pernah jadi tentara,
walau kini tangannya cacat. Sam a halnya kam i percaya kepada
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram yang juga pernah jadi tentara, walaupun sekarang


jadi tawanan Belanda. Kam i juga percaya kepada Mas Djajoes,
walaupun pangkatnya cum a kopral dan kem udian naik jadi
sersan.
Kem udian datang berita tentang KMB. KMB! Konferensi
Meja Bundar! Penyerahan Kedaulatan! Nam un yang lebih pen-
Bagian Pertama: Blora 23

ting daripada segalanya: Mas Pram dilepaskan oleh Belanda.


Kam i percaya, walau belum bertem u m uka dengannya. Lebih
percaya lagi karena suatu hari datang kirim an dari dia dua
lem bar foto pengantinnya berbingkai kertas tebal, sehingga
tinggal m enggantungkan saja di dinding. Satu foto Mas Pram
dengan istrinya, Mbak Arvah, duduk berdam pingan di depan
ranjang pengantin: Mas Pram m engenakan setelan jas berdasi,
bersunting karangan bunga di dada kiri, dan istrinya berkebaya
dengan riasan sederhana, berkalung karangan bunga juga.
Foto yang lain berem pat dengan m ertua Mas Pram : Pak
Iljas yang tenang berpeci dan Bu Iljas yang gem uk kekar.
“Tak seorang pun tersenyum !” itulah kesan saya sewaktu
m elihat foto itu.
Di bawah kedua foto itu tertulis rapi: ”J akarta, 15 J anuari
1950 ”.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Datang

MEI 1950 .
Saya tak m engikuti liku-liku peristiwa sebelum nya, tapi
pada suatu sore terdengar bel dokar “thing-klong, thing-klong”,
dan tak lam a kem udian dokar itu berhenti di depan buk kam i.
Boom dokar m endongak ke atas karena pancatan (injakan)
belakang diinjak orang dewasa. Boom turun lagi, dan sejenak
m endongak kem bali, kali ini lebih tinggi, tentunya karena
diinjak orang yang lebih berat bobotnya.
Mas Pram ! Istrinya!
Mereka bergegas, seperti orang m engejar bis di koplakan
(term inal dokar). Kam i pun bergegas m enyongsong, seperti
biasa kalau datang kendaraan lewat depan rum ah. Sebelum
kam i sem pat m engam ati m ereka, kam i sudah dipeluk dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

dicium kiri-kanan. Kem bali terasa aneh dan ham bar. Cium an
itu untuk m em buktikan bahwa kam i dan Mas Pram bersaudara
dan saling m enyayangi. Betulkah? Saya tidak ingat apakah istri
Mas Pram juga m encium kam i. Mungkin karena perhatian
kam i terpusat pada Mas Pram .
Bagian Pertama: Blora 25

Mas Pram langsung m asuk pendapa dan duduk di sana,


disusul oleh istri. (Baru esok harinya ia m asuk em per, m eng-
am ati busut di ujung barat, yang waktu itu sedang m enggu-
nung, kem bali m engam ati rum ah depan, m enjenguk sudut-
sudut dan jendela dan pintunya, kem udian ganti m asuk rum ah
belakang dan m elongoki kam ar-kam ar. Ia lam a berhenti di
jendela kulon dan m enebarkan pandangan ke kebun, entah
apa yang dim atkannya. Dan dari situ m asuk dapur, sam pai
ayam -ayam bertem perasan lari, takut ditangkap. Sesudah itu
baru m asuk kebun.) Lalu kem bali ke rum ah depan dan duduk
di kursi yang bersandaran jeriji.
Barang-barang bawaan m asih m engonggok.
“Itu barang-barang dim asukkan,” perintah Mas Pram .
Kam i celingukan.
“Masukkan ke kam ar Bapak, Dik Koes,” kata Mbak Oem
kepada Mbak Is, yang oleh Mbak Oem selalu dipanggil Dik
Koes.
Tanpa diperintah, saya ikut m engangkat ransel hijau ber-
petak-petak cat kuning, dan m enaruhnya di dekat m eja di
kam ar kulon Bapak.
“Itu ganti sandal dulu,” kata Mas Pram kepada istrinya,
yang waktu itu sudah duduk di kursi (tapi belum dapat kam i
hafal nam anya, karena aneh di telinga kam i). Istri Mas Pram
kiy et-kiy et (berdecit-decit) dengan sepatu jinjit (sepatu berhak
www.facebook.com/indonesiapustaka

tinggi) yang sangat tebal solnya.


“Kok tinggi am at, apa ndak berat, ya?” pikir saya.
(Belakangan baru saya tahu sepatu itu nam anya kelom geulis,
dan ketika saya angkat… lho… kok enteng am at!)
Mbak Oem duduk di depan Mas Pram . Mbak Is dan saya
26 Bersama Mas Pram

berdiri di belakang kursi, juga Coes dan Coek, sam bil ber-
pegangan sandaran kursi.
“Duduk, Nduk,” kata Mas Pram kepada Mbak Is, seolah
Mbak Is itu anaknya, bukan adiknya. “Duduk, Liek,” sam bung-
nya kepada saya.
Mbak Is seperti m acan luw e (m acan lapar) m enggeser
pantatnya ke kursi, sedangkan saya tetap berpegang pada
sandaran kursi.
Mas Pram m enanyakan keadaan sekolah kam i. Kam i
berem pat yang kecil-kecil m asih tetap sekolah, Mbak Oem
tetap di rum ah. Mbak Koen ikut Mas Djajoes yang bertugas di
Rem bang. Mas Wiek tinggal di asram a CPM di Cepu. Bapak
dirawat di Penditan.
Banyak yang ditanyakan Mas Pram . Sem ua dijawab Mbak
Oem dengan lancar, cepat, dan jelas. Mbak Oem m em ang
pandai bicara. Cum a ketika Mas Pram bertanya soal m esin jahit,
kelihatan Mbak Oem kesulitan m enjawab. Mesin itu, saya ingat
betul, m ereknya “Singer”, karena sering saya baca. Waktu Ibu
m asih ada, ia yang selalu m em akainya m enjahit. Saya ingat,
saya pernah dibuatkan kathok kodhok (celana gantung) oleh
Ibu, dan waktu saya m ulai sekolah, dibuatkan kantong sekolah
dari kain blacu lengkap dengan cangklongannya.
Mas Pram tam pak sedih.
Lebih kacau lagi Mbak Oem m enjawab, sewaktu Mas
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pram m enanyakan lem ari besar dengan kaca benggala yang


dulu selalu berdiri di tengah pendapa. Lem ari itu kebanggaan
keluarga, terbagi atas tiga bagian, kiri-kanan bersap-sap,
penuh buku dan kertas. Di situ disim pan buku-buku Bapak
yang biasa dibaca Mbak Oem . Bagian tengah, entah kenapa,
tak ada sapnya. Di dasarnya ada tum pukan kertas, jadi cukup
Bagian Pertama: Blora 27

lega untuk bersem bunyi kalau kam i m ain dhor-dhoran (petak


um pet). Pada m usim layangan, saya suka cari kertas layangan
di situ. Suatu hari, ketika saya sedang m encari-cari kertas tipis,
datang Bapak dengan wajah kereng. Saya begitu ketakutan dan
langsung m enutup pintu lem ari itu kem bali. Anehnya, Bapak
hanya m engatakan: “Aja nganti kleru beslit, lhooo!—J angan
sam pai keliru beslit, ya!”
Seingat Mbak Oem , lem ari itu diangkut orang sewaktu
Bapak kalah m ain judi. Bapak m em ang pejudi tangguh, walau
ia guru dan kepala sekolah. Ada yang bilang Bapak tahan tiga
hari berturut-turut duduk. Tentu saja Mbak Oem m ogok-
m ogok, susah m enguraikan hal itu. Pokoknya, suasana waktu
itu jadi tak enak, Mas Pram lebih sedih lagi. Akhirnya Mas
Pram bertanya:
“Pukul berapa jam bezoek Bapak?”
“Bagaim ana, Mas?” tanya Mbak Oem tak m engerti.
“J am berapa m enengok Bapak?”
“O, itu, jam lim a biasanya.”
Sam pai di situ sem ua bubar karena harus siap-siap pergi
ke rum ah sakit.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Di Rumah Sakit

SORE ITU juga Mas Pram m enyuruh Mbak Is m em beli m inyak


kayu putih dan doklonyo, dan m enyuruh saya m encari dokar.
Mbak Is m em inta saya m enem ani, karena tak tahu di m ana
barang-barang itu bisa dibeli. Belum pernah! Yang dinam akan
doklonyo itu pun baru kali itu kam i m endengarnya. Kam i urut
toko dan warung dari jem batan Kali Lusi di selatan sam pai
koplakan di utara, dan baru didapat di toko Cina persis depan
pasar. Saya tak tahu harganya. Yang saya tahu, botol doklonyo
lebih besar-panjang daripada botol m inyak kayu putih. Dengan
gem bira kam i lekas-lekas pulang m enyam paikan perolehan
kam i.
Karena saya dim inta m encari dokar, dari koplakan itu pula
kam i m engam bil dokar untuk Mas Pram dan istrinya ke rum ah
www.facebook.com/indonesiapustaka

sakit m enjenguk Bapak. Mas Pram dan istrinya naik dokar. Dia
m engajak saya dan Coes ikut naik, tapi kam i enggan, karena
m erasa tidak akrab dengan Mas Pram dan istrinya. Kam i
katakan bahwa kam i sudah biasa jalan kaki ke Penditan yang
letaknya lebih jauh sedikit daripada sekolah kam i. Mbak Oem
juga jalan kaki. Mbak Is tinggal di rum ah bersam a Coek.
Bagian Pertama: Blora 29

Bapak dirawat di kam ar nom or 6 dalam deretan kam ar


yang m em bujur dari depan ke belakang, m enghadap ke tim ur.
Letaknya agak di depan, tak jauh dari ruang penerim aan pasien
dan ruang pem eriksaan dokter.
Bapak sendirian di kam ar itu, m enggeletak m em bujur ke
barat. Waktu kam i bertiga m em asuki kam ar, Bapak sedang
sendiri, tertutup selim ut lerek-lerek sebatas leher, m atanya
terpejam , ram butnya yang ny am bel w ijen (cam puran hitam
dengan putih) tam pak kacau. Mendengar pintu dibuka dan
langkah-langkah kaki, Bapak m em buka m ata dan m encoba
m engarahkan pandangannya pada kam i.
Bapak m encoba tersenyum kepada Mbak Oem di depan,
lalu kepada saya dan Coes. Tapi saya rasa senyum annya
sangat susah diwujudkan. Saya belum pernah m elihat Bapak
tersenyum . Yang saya tahu dan hafal, Bapak selalu tam pak
serius, tidak cem berut m em ang, tapi lebih tepat dinam akan
kereng. Sepertinya ia m enyim pan sesuatu. Karena itu pula
barangkali para m urid dan siapa saja takut kepada Bapak. Tapi
waktu itu saya m erasa bahwa usaha Bapak itu sungguh suci-
m urni, dan saya m erasa bahwa barangkali dalam jiwa Bapak
sedang terjadi sesuatu perubahan yang waktu itu saya pun tak
bisa m enebak apa.
“Dos pundi, Bapak?—Bagaim ana kabar, Bapak?” ujar
Mbak Oem lirih.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak tidak ingin m enjawab, dan wajahnya yang tadi


m encoba m enciptakan senyum tiba-tiba kem bali pada sikap
kereng, seolah ingin m engucapkan hal yang tak m enyenangkan.
Bapak m enggelengkan kepala lem ah, lalu m erem . Bapak
kelelahan karena m em buka m ata. Dadanya naik-turun dengan
cepat, dan tiba-tiba Bapak batuk. Tidak keras, tapi tidak tuntas.
30 Bersama Mas Pram

Tiap kali hendak selesai, disusul batuk berikutnya, dan begitu


seterusnya. Sem entara itu tenggorokan tersum pal dahak, dan
itu yang m enggerakkan Mbak Oem segera m engaut kaleng
dari bawah m eja dan m enadahkannya ke depan m ulut Bapak.
Bapak m em elengoskan m ukanya ke kaleng, dan dengan susah-
payah m engeluarkan dahak yang sebagian tum pah ke lungsung
bantal.
Napas Bapak jadi tersengal-sengal. Matanya sekali terbuka
lebar, sehingga tam pak urat-uratnya yang bersilang-siur, sekali
m erem . Beberapa kali lagi Bapak m engulangi pengalam an yang
m enyiksa itu bersam a Mbak Oem , sam pai akhirnya Bapak
kehabisan tenaga. Bapak m erem lagi. Mbak Oem m em betulkan
letak selim utnya yang agak tergeser.
“Ngunjuk, Bapak?—Minum , Bapak?” bisik Mbak Oem ke
dekat telinga Bapak sam bil m engam bil gelas dari m eja.
Bapak tidak m enjawab. Tidak.
J ustru waktu itulah Mas Pram dan Mbak Arvah (akhirnya
saya bisa m engucapkan nam a itu) m asuk. Saya juga heran, apa
yang terjadi kok yang jalan kaki lebih dulu sam pai daripada
yang naik dokar? Tapi pertanyaan itu segera saja terlupakan.
Mbak Oem berbisik dengan ditahan ke telinga Bapak:
“Bapaaak, Mas Pram datang! Bapaaak, Mas Pram
datangngng!!!”
Tiba-tiba m ata Bapak m em buka lebar, dan langsung
www.facebook.com/indonesiapustaka

m encari-cari.
Mas Pram m endekat, m encoba m enjabat tangan Bapak,
tapi karena seluruh tangan dilindungi selim ut, Mas Pram
m em bungkuk, m eraba-raba tangan Bapak di bawah selim ut
dan m em egangnya erat-erat. Terdengar suara tenggorokan
Bapak m enggerendeng.
Bagian Pertama: Blora 31

“Bapaaak!” ujar Mas Pram , tidak disam bung dengan kata


lain apapun, seolah satu kata itu saja sudah cukup.
“Mam -Pram ?!” tanya Bapak dengan m ata lalang.
“Ya, Bapak!” jawab Mas Pram tegas-m antap, suara yang
keluar dari badan yang sehat.
“Ka-pan da-tangng?”
“Tadi, Bapak! Dan ini perkenalkan, m enantu Bapak!” Mas
Pram bahagia sam bil m enunjuk istrinya.
Mbak Arvah m elangkah ke depan. Ia m enyem bah Bapak,
tindakan yang tam pak aneh sekali oleh saya. “Mungkin itu adat
di J akarta,” pikir saya.
Bapak m encoba tersenyum seperti tadi, tapi gagal.
Rupanya karena sem ua itu badan Bapak m enjadi panas.
Bapak m enyorotkan pandang ke Mbak Oem .
“Iring-na!—Miringkan!” katanya.
Mbak Oem segera m enyingkap selim ut. Di situlah saya
baru tahu bahwa Bapak hanya m engenakan kim ono putih
m enghadap ke punggung. Bersam a Mbak Oem dan Mas Pram ,
saya ikut m enarik badan Bapak pelan-pelan, yang ternyata
berat bukan m ain, kaku seperti papan, dihadapkan ke guling
yang diganjalkan ke bagian dada dan perut. Dan begitu kim ono
tersingkap, apa yang saya lihat? Alas tidur Bapak hanya perlak
seperti perlak bayi, dan punggung Bapak yang rata lurus seperti
perm ukaan papan, terkelupas selebar-lebar telapak tangan.
Mbak Oem kem bali m enyelim uti Bapak. Bapak tak
www.facebook.com/indonesiapustaka

m engeluarkan suara apapun, dan tak m enggerakkan anggota


badan apapun. Sunyi tanpa gerak.
Sesudah beberapa lam a dalam keadaan m iring, tiba waktu
bagi kam i untuk m engem balikan badan Bapak ke keadaan
telentang. Waktu itulah, saya ingat, Bapak m engeluarkan arloji
entah dari m ana, dan m enatapnya lam a-lam a.
32 Bersama Mas Pram

“Mas Pram , kalau Bapak m elihat arloji, artinya kita sudah


waktunya pulang,” kata Mbak Oem tiba-tiba kepada Mas
Pram .
Saya m erasa bahwa ucapan Mbak Oem itu aneh sekali, tapi
herannya, saya pikir, benar juga.
Dan Mbak Oem , Mas Pram , m aupun Mbak Arvah m em ang
tak ingin berlam a-lam a m engganggu istirahat Bapak: m ereka
saling pandang, saling m engerti, dan sam pailah waktunya
untuk m eninggalkan ruangan dan berpam it kepada jururawat.
Bapak tinggal sendiri lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pulang

TANPA TERASA sudah lewat beberapa hari sesudah itu.


Sebaliknya, m ulai terasa ada sesuatu yang janggal dalam
kehidupan kam i sehari-hari di rum ah. Biasanya, sepulang
dari sekolah, m akan, saya copot pakaian dan langsung m ain di
kali. Kalau lagi waktunya, kam i naw u siw akan (m engeringkan
petak kali untuk diam bil ikannya), atau gogoh (m enangkap
ikan, terutam a udang, dengan tangan kosong), m andi iseng
di belik (sum ur buatan di dasar sungai), atau sekadar duduk-
duduk di bawah rum pun bam bu sam bil m engobrol dengan
tem an sam pai hari m ulai gelap, atau terpaksa pulang kalau
dipanggil Mbak Oem disuruh ini-itu.
Sejak Mas Pram dan Mbak Arvah datang, sepertinya
rum ah m enjadi penuh orang. J alan ke sana ketem u Mas Pram ,
www.facebook.com/indonesiapustaka

jalan ke sini ketem u Mbak Arvah, dan tiap pertem uan tim bul
rasa tak nyam an di hati. Saya tak sem pat lagi m ain. Tiap hari
saya disuruh m engulang pelajaran yang paginya diajarkan di
sekolah. “Harus itu m engulang,” kata Mas Pram . Saya tidak
lagi dianggap sebagai anak-anak, m elainkan sudah sebagai
orang yang punya tanggungjawab. Bahasa Indonesia dan
34 Bersama Mas Pram

bahasa Inggris saya m asih suka. Tapi Aljabar dan Ilm u Ukur,
saya benci bukan m ain. Begitu m engulangi kedua pelajaran itu,
terbayang tam pang Pak Suripan yang m engejek saya tiap kali
saya m elakukan kesalahan: “Kusalah, ya saaalaaah!” Saya benci
sekali pada guru itu, walau saya sendiri tak bisa m em astikan
benarkah sikap saya itu.
Kepada kam i dibagikan pekerjaan yang tiap hari harus
kam i lakukan. Mbak Is dapat bagian m em bantu Mbak Oem
m elakukan kerja di dapur, dan saya dapat tugas m engelap
m eja-kursi dan m enyapu rum ah. Seluruhnya, m ulai em per,
rum ah depan, sam pai rum ah belakang, term asuk kam ar-
kam arnya! Saya paling benci pekerjaan m engelap, terutam a
m engelap kursi berjeriji yang m esti digosok sela-sela jerijinya
satu-satu sam pai bersih. Rasanya pekerjaan itu tidak ada
hasilnya, dan m em ang tak kelihatan hasilnya. Lebih benci lagi
m enyapu kam ar-kam ar, karena kam ar-kam ar itu gelap, juga
tak kelihatan dan tak ada hasilnya.
Sore hari saya m esti m andi. Kalau tak ada air, m esti
m enim ba. Bak kam ar m andi besar, ham pir dua m eter kubik
isinya, m aka jarang penuh isinya, kecuali di m usim hujan. Pada
m usim kem arau waktu itu, sum ur sangat dalam , m enim ba dua
puluh tim ba sudah pedhot (putus) napas ini. Dan m andinya
terpaksa m enciduk dalam ; tiap kali m esti m em anjat dinding
bak. Em ber besar tidak punya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kalau saya tak kelihatan sebentar saja karena dipanggil


tem an atau ny olong m ain sedikit, sudah ditanyakan: “Di m ana
Liliek?” Dan disuruhlah Mbak Is atau Coes m em anggil saya.
Bukan hanya itu. Kam i disuruh m engepel lantai yang
bertahun-tahun tidak pernah dipel sam pai tanahnya tebal
beberapa senti, sam pai terpaksa dikeruk dengan w angkil
Bagian Pertama: Blora 35

(pacul kecil). Dan airnya m enggunakan karbol. Baru kali itu


kam i tahu yang nam anya karbol dan disuruh m em belinya.
Rum ah jadi bau rum ah sakit. Mem ang rum ah jadi bersih, tapi
keringnya lam a, dan baunya pun lam a hilang.
Sejak itu m akan kam i teratur. Kadang-kadang kam i bahkan
m inum susu. Mas Pram banyak uang. Tentang itu saya percaya.
Bagaim anapun tak enaknya ada Mas Pram , dalam hati saya
percaya kepadanya. Dan segalanya pasti beres.
Pada suatu hari, tanpa saya duga, datang m obil am bulans
hijau yang pakai tanda palang m erah. Saya tahu m obil itu
nam anya am bulans, karena tertulis pada dindingnya. Bagus,
ram ping, dan baru. Mulai dipakai sejak Belanda m enduduki
Blora, dan kini dipakai terus oleh Penditan.
Dari dalam dikeluarkan Bapak. Bapak! Digotong oleh
pegawai rum ah sakit.
Apa Bapak sudah sem buh? Kalau belum sem buh, kenapa
sudah pulang?
Para tetangga berkerum un dengan wajah bertanya, dan
sebagian m em ang bertanya kepada saya!
Mana saya tahu, lha wong saya sendiri juga heran. Tapi
dalam hati saya pun m erasa bahwa Bapak belum sem buh.
Bahkan m asih sangat sakit. Buktinya m asih digotong begitu!
Bapak dibaringkan di kam ar kulon belakang.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bapak Sakit di Rumah

SEJ AK ITU rum ah berubah jadi rum ah sakit. Kam i harus serba
bersih, tak boleh buang sam pah sem barangan, tak boleh ribut-
ribut tak m enentu.
Adanya Bapak yang sakit m em buat rum ah terasa sem akin
sesak, hingga, aneh, waktu itulah saya m erasa nyam an dan
kerasan berada di sekolah. Begitu sam pai di rum ah m ulai
berlaku disiplin rum ah sakit. Kam i bertiga—Mbak Is, saya, dan
Coes—m endapat tugas dua jam sekali m enunggui Bapak. Kam i
harus duduk tenang di kursi di ujung kaki tem pat tidur Bapak.
Kalau Bapak m em butuhkan sesuatu, kam i harus m elayani.
Dan kalau tidak sanggup m elayani sendiri, harus m elapor
kepada Mbak Oem .
Pada um um nya, seingat saya, saya tidak banyak pekerjaan,
www.facebook.com/indonesiapustaka

karena kegiatan Bapak paling-paling batuk dan m engeluarkan


dahak. Untuk itu saya harus m enadahkan kaleng ke dekat
m ulutnya, m em benahi tum pukan bantal dan letak selim ut. Soal
m akan dan m inum , itu urusan Mbak Oem . Tapi m anadahkan
kaleng itu ada sulitnya juga. Kadang-kadang lam a Bapak tak
bisa m eludahkan dahak, sehingga saya harus m enunggu lam a,
Bagian Pertama: Blora 37

sam pai-sam pai tanpa sadar saya ikut m em encong-m encongkan


m ulut.
Sesudah di m ulut pun hanya dengan tenaga ekstra dahak
dapat disem burkan ke kaleng. Sering dahak berupa benda
panjang yang m enjela dari tenggorokan ke m ulut, ke luar m ulut,
dan bersam bung ke dalam kaleng, sehingga perlu dipotong
dengan bibir yang gem etar pucat. Warna dahak m ulai kuning
keruh, kecokelatan, sam pai cokelat, tidak lagi putih jernih.
Waktu itu saya m erasa kasihan juga pada Bapak. Napasnya
pendek-pendek, begitu pendek hingga sepertinya tak ada lagi
udara yang m asuk. Dalam keadaan itu boleh dikata Bapak
tak pernah berbicara apapun. Anehnya, ketika saya sedang
bertugas, Mas Pram duduk di sam pingnya dan m engajaknya
bicara. Tentu sukar berbicara dengan Bapak waktu itu, tapi
justru waktu itulah saya m endengar Mas Pram m engucapkan
kepada Bapak kata-kata m endesak ini: “Bapak, rum ah ini akan
saya bangun!” Dan karena rupanya Bapak tidak m endengar,
atau Mas Pram ingin m engulanginya, ia katakan lagi: “Rum ah
ini akan saya bangun!”
Bapak, saya ingat, tidak m engatakan apapun. Malah hanya
m em ejam kan m ata.
Mas Pram m engucapkan kata-kata itu tentu untuk
m enghibur hati Bapak. Maklum lah, selam a lebih dua puluh
lim a tahun rum ah itu tak pernah diperbaiki atau dikapur.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tiang-tiangnya m engsol, dindingnya clorengan, lantainya


boncel-boncel karena gerak tanah dan m enjalarnya akar
pohon. Bahkan dapurnya pernah am bruk saking tuanya (dapur
itu m erupakan rum ah tersendiri), sam pai tetangga yang tidak
suka Bapak m enyukurkannya.
38 Bersama Mas Pram

Tapi bagaim ana Bapak bisa m erasa senang dalam keadaan


seperti itu? Saya m erasa waktu itu keadaan tak tertolong lagi.
Tapi tentu saja Mas Pram m engucapkan niatnya tidak sem -
barangan, m alah tentu dengan m aksud baik, karena dilakukan
dengan tegas, keras, jelas, bahkan m endekati janji atau sum pah.
Karena itulah saya m endengarnya dengan jelas pula. Dan saya
percaya Mas Pram akan bisa m elaksanakannya.
Seingat saya, sedem ikian jauh tidak ada tetangga yang
datang m enjenguk selain beberapa orang.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bapak Meninggal

TANGGAL 25 Mei 1950 , ketika saya sedang bertugas, Bapak


m em anggil saya: “Liek!”
Saya pun bergegas m endekatinya, berucap: “Dalem ,
Bapak?—Saya, Bapak?”
“Ma Mam uk undangen m rene!—Mas Pram panggil ke sini!”
“Inggih, Bapak!—Ya, Bapak!”
Saya langsung berlari m encari Mas Pram . Saya bahkan
m erasa khawatir m eninggalkan Bapak sendirian, takut
dipersalahkan kalau terjadi apa-apa. Kebetulan Mas Pram
sedang duduk-duduk di pendapa, sehingga panggilan Bapak itu
bisa terus saya sam paikan, dan Mas Pram pun segera datang.
Mas Pram lalu duduk di kursi di pinggir tem pat tidur.
“Ya, Bapak?” kata Mas Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak m em buka m atanya sekejap, napasnya tersengal-


sengal, kem udian m atanya m erem -m elek berulang kali.
Waktu itulah, di tengah proses yang panjang, saya m elihat
Bapak m enunjuk dinding tim ur dengan telunjuk kanan, dan
m endengar antara lain percakapan ini:
“Tahu engkau apa itu?” kata Bapak.
40 Bersama Mas Pram

“Dinding, Bapak,” jawab Mas Pram .


“Bukan, bukan dinding. Itu tim ur.”
“Ya, Bapak, tim ur.”
“Di sini, anakku—di sini ada sem bilan puluh sem bilan
jagung yang disayem barakan. Mengerti?”
“Tidak m engerti, Bapak,” jawab Mas Pram .
Saya terbengong-bengong. Bapak bicara tentang apa?
Kemudian, beberapa waktu sesudah itu, Bapak mengulangi:
“Di sini ada sem bilan puluh sem bilan jagung yang disa-
yem barakan. Mengerti?”
“Mengerti, Bapak,” kata Mas Pram kali itu.
“J agung itu ditem bak dari sana—dari jurusan tim ur. Tapi
tak sebutir pun di antara jagung yang sem bilan puluh sem bilan
itu kena. Mengerti?”
“Mengerti, Bapak.”
“Baiklah. Tak ada yang kena, Anakku. Itu adalah berkah
kekuasaan-Nya. Mengerti?”
“Mengerti, Bapak.”1
Saya m asih m erasa heran dan tidak m engerti apa yang
dibicarakan Bapak. Karena itu saya heran kok Mas Pram
m engatakan m engerti. Ah, barangkali Mas Pram m em ang
m engerti, pikir saya, m ungkin akhirnya nanti saya toh akan
m engerti juga. Saya berusaha betul m em aham i m aksud Bapak
itu, tapi tak berhasil. Hal itu m alah bikin saya bingung. Kam i
www.facebook.com/indonesiapustaka

sem ua ikut m enyaksikan percakapan yang aneh itu.


Akhirnya oleh Bapak kam i sem ua disuruh pergi.
Kam i sem ua lega, sebab m erasa sudah terjadi percakapan
antara Mas Pram dan Bapak, dan kam i bisa beristirahat.

1 Dialog dipetik dari Bukan Pasar Malam, Lentera Dipantara, 2004, hlm. 86-87.
Bagian Pertama: Blora 41

Tidak berapa lam a kem udian datang Mbak Is tergopoh-


gopoh m engabarkan kepada Mas Pram bahwa ketika ia m ene-
ngok Bapak, ternyata Bapak sudah m eninggal. Kam i serentak
m enyerbu ke kam ar, dengan m em beri kesem patan kepada Mas
Pram untuk m endekati Bapak dahulu. Mula-m ula Mas Pram
m em anggil-m anggil Bapak di dekat telinganya, kem udian ba-
rangkali m erasa yakin bahwa Bapak telah m eninggal, kelopak
m atanya ditangkupkan, m ulutnya dikatupkan dan diikat entah
dengan apa, saya sudah lupa, dan kedua tangannya ditum -
pangkan ke dada. Sesudah itu, yang m engherankan saya karena
tak saya duga-duga, Mas Pram m engangkat telapak tangan
kiri-kanan ke dekat telinga dan m engum andangkan pekik ini:
“Allaaahu Akbarrr…!”
“Allaaahu Akbarrr…!”
“Allaaahu Akbarrr…!”
Disusul dengan jerit tangis para m baky u dan saudara yang
lain.
Saya m ula-m ula tidak m erasakan apapun yang istim ewa
dari m eninggalnya Bapak, tapi karena barangkali terpengaruh
oleh tangis para saudara yang begitu riuh, akhirnya dengan
sendirinya saya pun m enggabungkan diri, sehingga seluruh
rum ah dipenuhi orkes tangis.
Khusus saya ditugaskan oleh Mas Pram untuk m enelepon
Mas Wiek yang waktu itu berdinas di Cepu. Saya tahu asram a
www.facebook.com/indonesiapustaka

CPM di sebelah kelenteng, dan saya jalan sendiri ke sana.


Sam pai di sana saya m enem ui seorang m as-m as yang
sedang berjaga sendirian di kantor depan.
“Ada perlu apa, Dik?” sapanya.
Saya sam paikan keperluan saya berhubung dengan m e-
ninggalnya Bapak.
42 Bersama Mas Pram

“O, Adik adiknya Mas Prawito, ya? Itu teleponnya. Telepon


saja,” katanya sam bil m enunjuk pesawat telepon.
Saya tersenyum kecut karena belum pernah m enelepon.
“O, belum bisa, ya? Mari Mas tolong!”
Dia lalu m endekati pesawat telepon, m em utar angka, dan
sebentar saja sudah bicara dengan Mas Wiek. Dia tidak banyak
bicara, lalu: “Ini, adiknya m au bicara! Ini, Dik!” kepada saya.
Gagang telepon diserahkan kepada saya, dan saya dekatkan
ke telinga, m eniru dia.
“Hallo!” kata suara di seberang sana.
Saya m erasa bingung m endengar suara yang aneh itu, dan
tak sanggup m engucapkan perkataan yang juga aneh di telinga
saya itu.
“Hallo!” ulang suara itu. “Hallo!!”
Keringat m ulai m erebak di perm ukaan tubuh saya, tapi
tetap saja m ulut saya tak m engucapkan sesuatu.
“Sam paikan saja beritanya, Dik!” tegur m as yang baik itu.
“Bicara!”
Keringat m ulai m engguyur badan saya.
“Lho, bagaim ana? Sam paikan saja! Sini!” kata m as itu
sam bil m endatangi saya, lalu m engam bil-alih gagang telepon.
“Bagaim ana tadi? Bapak m eninggal, ya?” sam bungnya.
“Ya…,” jawab saya dengan suara tikus.
Lalu oleh m as itu disam paikan berita tentang m eninggalnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bapak.
“Terim akasih, Mas…,” cicit saya lagi.
Saya sungguh m encela sikap saya sendiri, dan saya sangat
m alu, tapi sungguh, itu adalah pengalam an yang tak terlupakan
bagi saya, hingga sam pai sekarang pun keringat saya selalu
m erebak dengan m elim pah kalau saya m enelepon.
Pawai

SEJ AK ITU berduyun-duyun orang datang m elayat: tetangga,


kenalan, saudara. Datanglah Pak Barsah, adik Bapak, dan
Bu Barsah, juga Mbah Bayan, anak pungut Bapak. Dan juga
saudara-saudara yang lain, kebanyakan lelaki.
Meja-kursi pendapa dikeluarkan, walau waktu itu m alam
sudah m enyelim uti, dan sebagai gantinya digelar tikar yang
dipinjam entah dari m ana saja. Lalu dipasang lam pu gaspom —
barangkali Mbah Bayan yang m endatangkan—sehingga
pendapa yang biasanya tem aram karena disinari lam pu m inyak
itu m enjadi terang-benderang.
J enazah Bapak dibaringkan di atas balai-balai di pendapa,
diselim uti kain batik.
Kam i anak-anak m enikm ati benderangnya pendapa, dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

duduk-duduk di atas tikar; kalau lelah duduk, m em baringkan


diri, dan kalau lelah berbaring, duduk lagi, sam pai akhirnya
di tem pat itu pula kam i tertidur dengan keyakinan bahwa
sebagian orang akan m elek sepanjang m alam .
Gaspom ternyata tidak dinyalakan sepanjang m alam .
Buktinya, ketika kam i terbangun esok harinya, kem bali
44 Bersama Mas Pram

pendapa hanya diterangi lam pu m inyak. Sejak itu perem puan-


perem puan tetangga berdatangan, m ulai sibuk dengan urusan
m asing-m asing, di dapur, di rum ah belakang, di halam an.
Seolah sem ua sudah m engerti tugas m asing-m asing tanpa
petunjuk apapun.
Kursi-kursi ditebarkan di halam an, karena m akin banyak
orang yang m em butuhkan duduk. Kursi tetangga pun
didatangkan, dari Pak Sum o, Pak Sukiban, Pak Sopir. Baru kali
itu saya saksikan cam puran beraneka kursi yang begitu banyak
di satu tem pat. J um lah kursi tetap tak m encukupi, karena
pelayat m em bludak sam pai ke jalan raya, hingga kebanyakan
orang berdiri saja sam bil m engobrol di dekat onggokan pasir
Pak Wira.
Mas Djajoes waktu itu bertindak sebagai juru potret.
Dengan tustel Kodak yang disewanya dari foto studio Kwan
ia m engabadikan beberapa adegan yang m enurutnya perlu di-
potret. Tidak banyak m em ang, paling-paling, kalau tak salah,
hanya dua puluhan.
Bapak dim andikan di halam an, di ruangan buatan yang di-
bentuk dengan kain sprei dan kain batik. Saya sem pat m enje-
nguk, bahkan justru ketika kain penutup sedang disingkap, se-
hingga terlihat oleh saya sebagian tubuh Bapak yang telanjang.
Waktu itu terpikir oleh saya: “Kalau begitu, m alu juga ya kalau
orang m eninggal!”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Saya tidak m enyaksikan ketika Bapak akhirnya dipocong


dan dibaringkan kem bali di pendapa, di atas bandosa, entah
dari m ana. Tapi saya m elihat sewaktu jenazah diangkat dan
diletakkan kem bali agak ke barat, dan bapak-bapak pelayat
m enyem bahyangkannya. Seingat saya, sem bahyang waktu itu
tidak ribut.
Bagian Pertama: Blora 45

Waktu jenazah sudah dipikul untuk diberangkatkan ke


m akam , kam i anak-anak dim inta untuk ikut acara brobosan,
yaitu berjalan di bawah bandosa dari kiri ke kanan, kalau tak
salah tiga kali, dan jenazah pun diberangkatkan. Katanya, itu
supaya kam i tidak teringat saja kepada Bapak.
Ternyata pelayat yang m engiringkan jauh lebih banyak da-
ripada yang tadi duduk-duduk dan berdiri bergerom bol. Para
pelayat itu tam pak tidak terburu-buru, m elainkan berjalan san-
tai dengan jarak santai pula, sehingga iring-iringan begitu pan-
jang, sepanjang jarak dari rum ah kam i di J etis sam pai m akam
“Sasana Lalis” di Kunden. Kem udian hari, rekan Bapak, Pak
Suripan, m elukiskan kejadian itu dem ikian:
“Dalam pandangan politik, Pak Toer adalah seorang yang
taat dan kokoh. Dia tidak gam pang ikut sini ikut sana. J ustru
karena itu pandangan orang kepadanya tidak pernah berubah.
Tidak m engherankan kalau waktu Pak Toer m eninggal begitu
banyak orang m elayat. Pawainya begitu panjang, belum pe-
rnah hal itu terjadi sebelum nya. Ya, betul-betul itu pawai!
Di Blora ini cum a ada tiga orang yang dilayat begitu banyak
orang, yaitu Pak Toer, Pak Ratm odjo bekas guru Zending, dan
Nyah Atak.”2
Suasana di m akam “Sasana Lalis” m enyerupai suasana ke-
tika seorang pem uda Blora untuk pertam a kali gugur di front
Sem arang tahun 1945, yaitu anak Pak Karso Sate. Pidato-pi-
dato diucapkan, tapi saking penuhnya orang, saya tidak m en-
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengarkan apa-apa, dan juga tidak m elihat siapa-siapa saja.


Saya m enunggu sam pai akhirnya para pelayat kem bali ke
rum ah m asing-m asing.

2 Koesalah Soebagyo Toer, “Mastoer Bapak Pramoedya Ananta Toer”, naskah tidak
diterbitkan, 1995.
46 Bersama Mas Pram

Waktu itulah Mas Pram m em anggil kam i adik-adiknya.


Mas Pram berjongkok di sam ping m akam yang m asih basah
tertim bun bunga, dan kam i ikut berjongkok di sam ping-
sam pingnya. Mas Pram berdoa, kam i pun berdoa. Cukup lam a,
sam pai akhirnya Mas Pram berdiri, dan kam i pun ikut berdiri,
lalu pulang tanpa m enengok-nengok lagi, sesuai pesan orang.
www.facebook.com/indonesiapustaka
La Ilah Illlllallah!

SEJ AK ITU orang boleh dikata tak m eninggalkan rum ah kam i.


Mbok Godek dan anaknya Nyam i, Mbok Slam et, Mbok Asih,
dan entah m bok-m bok siapa lagi yang lain—ada kalau sepuluh
orang—sibuk dengan beras, sayuran, dedaunan, lelaukan,
air, keranjang, pecah-belah, dan entah apa lagi. Orang
keluar-m asuk pekarangan tak henti-henti m em bawa ini-itu,
m enerobos pagar di belakang rum ah atau lewat pintu depan.
Meja-kursi tidak juga dim asukkan, m alahan m eja-m eja
yang tertinggal ikut dikeluarkan juga, digantikan dengan tikar
lebih banyak lagi. Mbah Bayan m endatangkan lam pu gaspom
satu lagi, yang sejak sebelum m agrib sudah dinyalakan.
Beberapa kali lam pu-lam pu itu m eredup, dan oleh Mbah
Bayan dikutik-kutik hingga benderang kem bali. Satari, anak
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mbah Krom o yang terkenal bodoh dan jarang datang, kali itu
m endapat tugas sebagai pengundang para tetangga. Untuk itu
ia khusus m engenakan sarung-kem eja pinjam an, rapi sekali,
tidak seperti biasanya, lengkap dengan peci hitam .
Malam nya, sekitar pukul setengah delapan, bapak-bapak
tetangga berdatangan, kebanyakan m em akai sarung, sebagian
48 Bersama Mas Pram

pakai peci, duduk m elingkar di bawah penerangan lam pu yang


bikin pendapa seperti siang. Mereka sibuk bercakap-cakap.
Sebagian m em bicarakan Bapak alm arhum , sebagian lagi
m em bicarakan kam i anak-anaknya. Tentang Bapak m ereka
bicarakan kebaikannya, terutam a peranannya sebagai guru dan
kepala Instituut Boedi Oetom o, juga pengalam annya ditangkap
dan dilarikan ke Mantingan, Rem bang, J uwana, sam pai Pati,
dan akhirnya dibebaskan oleh tentara Siliwangi. Tentang
kam i m ereka bicarakan kasihannya. Disayangkan: anak
banyak— m ereka hitung sem bilan sam pai sepuluh, term asuk
yang pertam a dan terakhir yang m eninggal waktu bayi—sudah
m enjadi yatim -piatu, ditinggalkan m ula-m ula oleh Bu Toer
waktu anak tertua baru berusia 17 tahun, dan sekarang oleh
Pak Toer ketika dari sem ua anak itu baru Gus Pram oe yang
m entas (berdiri sendiri). Untunglah ada Gus Pram oe yang
tinggal di J akarta dan sekarang—untungnya—sem pat datang
di Blora.
Ketika para tetangga sudah kum pul m em enuhi pendapa,
dan suaranya sibuk seperti lebah m em enuhi angkasa, satu
suara m engatasi sem ua suara yang lain dan tiba-tiba suara
lebah sirep. Saya tak m enangkap apa yang dikatakannya, tapi
waktu itulah Mas Pram m engatakan dalam bahasa Indonesia:
“Silakan!”
Saya sudah lupa, siapa yang m engim am i pengajian waktu
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu, tapi kalau tidak salah bukan Pak Sadir yang pintar m engaji
itu, m elainkan Pak Modin yang tinggal di dalan cilik lor.
Saya m em ang pernah m engaji pada Pak Irin yang punya
langgar di Wetan sana, tapi tidak pernah katam m em baca Al-
Quran, hanya sem pat m enghafal sekitar 17 surah pendek dari
J uz Am m a. J adi saya tidak tahu apa saja yang dibaca oleh
Bagian Pertama: Blora 49

bapak-bapak itu. Surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, An-Naas, dan


Al-Falaq jelas saya tahu. Tapi ibu-ibu di dapur m em bisikkan
bahwa yang dibacakan antara lain adalah surah Yasin.
Sem ua bapak itu m engaji dengan sungguh-sungguh dan
dengan suara penuh, suara bariton, bahkan ada yang bas,
hingga kedengarannya m engerikan sekali, dan saya yakin
suara bersam a di kota yang sunyi itu bisa didengar dari jarak
beberapa kilom eter, apalagi kalau angin bertiup, seperti suara
jedor yang sering kam i dengar di tengah m alam . Tapi yang
paling m engesankan saya adalah ketika jam aah m engulang-
ulang kata “La ilah illlllallah!” disertai gerak kepala ke kiri ke
kanan puluhan kali—“la” jatuh kepala ke kiri, dan “illlll” jatuh
kepala ke kanan—hingga terasa seolah suara itu m elam bung-
lam bungkan jiwa Bapak ke surga. Kesungguhan bapak-bapak
itu saya anggap sebagai penghorm atan yang tulus kepada
Bapak. Tentang itu saya yakin betul, karena sewaktu bubaran
m enenteng berkat dalam bungkusan daun jati bersalut
keranjang buah, tidak seorang pun yang tidak bersalam an
dengan Mas Pram sam bil m engatakan: “Kepareng, Gus!”
(Perm isi!) atau “Sugeng dalu, Gus!” (Selam at m alam !), m alah
ada yang m engatakan: “Assalam ualaikum !”, yang sem uanya
dijawab oleh Mas Pram dengan bahasa Indonesia: “Selam at
m alam !”
Sem entara itu suara “La ilah illlllallah!” terus terngiang di
www.facebook.com/indonesiapustaka

telinga saya. Sam pai sekarang pun!


Rapat

ESOKNYA KAMI sem ua disuruh berkum pul oleh Mas Pram di


pendapa. Kam i belum m asuk sekolah. Kam i duduk m elingkar
di atas tikar yang digelar di sisi barat. Sem ua saudara hadir,
term asuk Mas Wiek, Mbak Koen, dan Mas Djajoes. J uga Satari,
Pak Barsah, dan Bu Barsah. J uga Mbak Arvah. Itulah untuk
pertam a kali kam i dikum pulkan seperti itu.
Mas Pram m em im pin rapat. Ia m enyatakan bersyukur
bahwa sem ua pekerjaan terlaksana baik sehubungan
m eninggalnya Bapak. Sesudah rapat nanti kam i harus
m engepel lagi seluruh rum ah, m em bersihkan perabot rum ah,
dan m erapikannya di tem pat m asing-m asing. Mengem balikan
barang-barang pinjam an dari tetangga. Dan untuk selanjutnya
kebersihan harus dijaga tiap hari, m asing-m asing m enurut
www.facebook.com/indonesiapustaka

bagiannya.
Sekarang m enghadang pekerjaan yang berat, yaitu
m engatur kehidupan.
“Saya akan bawa tiga orang ke J akarta—Koes, Liliek, Coes—
untuk saya sekolahkan. Mau kan, Nduk, Liek, Coes?”
Bagian Pertama: Blora 51

Mbak Is dan saya bergum am m engatakan m au. Coes yang


sebetulnya tak m au bergum am m au juga.
“Sekarang bulan Mei, tahun pelajaran m asih jalan. Kalian
berangkat untuk tahun ajaran baru, jadi sekitar Agustus. Masih
ada waktu buat siap-siap.”
Sam pai di situ Mas Pram berhenti. Sem ua m enunggu-
nunggu apa lagi yang akan dikatakannya. Kem udian:
“Di J akarta banyak orang pinter, dokter-dokter, insinyur-
insinyur, m eester-m eester. Kalian juga m esti seperti m ereka.
Tetangga saya banyak yang punya radio. Di rum ah juga ada
radio. Kalian bisa m endengarkan radio, belajar dari situ.…”
Diam lagi. Kem udian:
“Waktu lulus sekolah Boedi Oetom o, saya m au m eneruskan
sekolah yang lebih tinggi, tapi nggak dikasih Bapak. (Mengge-
rendeng seperti m inta m aaf kepada Bapak.) Saya sekolah cum a
sam pai kelas dua SMP. Mau terus, nggak ada biaya. Biaya m esti
cari sendiri. Tapi kalian saya sekolahkan. Saya akan tanggung.
(Menengok pada Mbak Arvah. Mbak Arvah tenang saja.)
Diam lagi.
“Belajar itu perlu. Kalian tahu Muham m ad Yam in?”
Saya belum pernah m endengar nam a itu, m aka saya diam
saja. Lingak-linguk ke kanan-kiri. Tak seorang pun tahu!
“Muham m ad Yam in bisa dicontoh. Di rum ah tak ada lam pu,
dia belajar di pinggir jalan, dengan penerangan lam pu jalanan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Saban m alam . Sam pai lulus dan m endapat gelar Meester in de


Rechten. Ada banyak contoh lain.”
“Mereka belum tahu apa itu Meester in de Rechten!” celetuk
Mas Wiek sam bil senyum .
“Ahli hukum !” kata Mas Pram .
52 Bersama Mas Pram

“Nah, ada yang m au bicara?” sam bung Mas Pram .


Tak seorang pun berm aksud bicara.
“Oom Sah, kalau m au bicara silakan.”
“He-he-he-he,” ketawa Oom Barsah seperti biasa.
“J adi untuk Oom Sah khusus, saya m inta tolong dalam hal
rum ah ini. Nanti akan saya kabari lebih lanjut. Dik Djajoes
nanti yang saya m inta m engantar tiga anak ini ke J akarta,
karena Dik Djajoes yang paling m udah m endapat cuti. Bisa,
Dik Djajoes?”
“Bisa saja!”
“Tante? Silakan!!”
“W is cukup! Mung, barang-barang kuw i piy e?—Sudah cu-
kup! Cum a, barang-barang itu bagaim ana?”
“Ooo, iya!”
Yang dim aksud oleh Bu Barsah adalah agem an (pakaian)
Bapak—jas, kain batik, dan blangkon—yang ternyata sudah
ditum puk di atas m eja.
“Kalau ada yang m enghendaki, silakan m ilih sendiri. Kalau
saya, kalau nggak ada yang keberatan, saya ingin m enyim pan
keris ini.”
Mas Pram m em perlihatkan keris bersarung yang selam a itu
tersim pan di lem ari pakaian Bapak. Saya m enyangka Mas Pram
akan m encabut keris itu untuk m elihat bilahnya, tapi ternyata
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak. Dan tidak ada yang m em perdengarkan suaranya.


Sebetulnya ada beberapa keris dan tom bak sim panan Ba-
pak, tapi hanya satu yang dikeluarkan Mas Pram . J as, blang-
kon, dan kain batik dibagi-bagi, cum a saya lupa di antara siapa
saja.
Bagian Pertama: Blora 53

Dengan terbaginya barang warisan Bapak itu selesailah


rapat. J adi yang akan pindah ke J akarta cum a kam i bertiga.
Coek tetap tinggal di Blora bersam a Mbak Oem dan Mas Wiek,
sebagai penunggu rum ah.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Sepatu

SESUDAH BEBERAPA m inggu tinggal di Blora, dan m enge-


luarkan banyak uang sehubungan dengan sakit dan m ening-
galnya Bapak, saya m enyangka tentulah Mas Pram kehabisan
uang. Ternyata tidak. Buktinya, beberapa hari m enjelang
pulangnya ke J akarta, kam i bertiga—Mbak Is, saya, dan Coes—
m asih diajak beli sepatu. Mem ang sam pai waktu itu—usia
Mbak Is 17, saya 15, dan Coes 13 tahun—belum pernah kam i
m em akai sepatu.
Saya tak lagi ingat berapa harga sepatu itu, tapi kam i
m em belinya di Toko Tik, satu dari beberapa toko kelontong
terkenal di Blora. Kam i m em beli sepatu sandal yang bagian
depannya berupa jalinan kulit warna cokelat, sam a untuk kam i
bertiga. Kam i beli juga sekalian sem ir sepatu m erek Kiwi warna
www.facebook.com/indonesiapustaka

cokelat yang ada gam barnya binatang aneh tak berbuntut,


hingga terasa oleh saya itu adalah binatang jadi-jadian.
“Sepatunya m esti sekali-sekali disem ir supaya awet,” kata
Mas Pram .
Saya juga baru m engerti waktu itu bahwa sepatu perlu
disem ir. Menyem irnya dengan secarik gom bal bersih, bukan
Bagian Pertama: Blora 55

yang kotor: kulit diolesi m erata dengan sem ir, dibiarkan kering,
kem udian digosok dengan gom bal tersebut sam pai tam pak
m engkilat. Saya ingat, m enyem ir sepatu sandal waktu itu repot
sekali, karena perm ukaan kulit m erupakan jalur-jalur sem pit.
Pendek kata, sejak waktu itu kam i bertiga pergi sekolah
bersepatu. Mem ang sem pat kaki kam i lecet-lecet sedikit, tapi
tidak terlalu m engganggu, karena sepatu itu agak longgar, dan
sebagian terbuka. Di antara tem an-tem an tidak m enim bulkan
tanda tanya, karena sebagian tem an sudah bersepatu, dan lagi
sepatu itu tak begitu m encolok.
Akhirnya Mas Pram dan Mbak Arvah pulang kem bali
ke J akarta. Suasana m enjadi terasa lega kem bali karena
tak ada kungkungan disiplin. Walaupun begitu saya m asih
tetap m engelap dan m enyapu agar tidak terlalu m encolok
m eninggalkan sam asekali disiplin yang ditetapkan oleh Mas
Pram .
Sejalan dengan itu jiwa kam i sudah m ulai m erasa berada
di J akarta. Tapi kam i belum bisa m em bayangkan seperti apa
J akarta itu. Waktu itu tidak ada koran, tidak ada foto, tidak
ada radio dan televisi, tidak ada apa-apa. Cum a ada bayangan
kosong atau rem ang-rem ang dari m ajalah kanak-kanak
Kunang-Kunang yang pernah dilanggan oleh Bapak untuk
kam i. Salah satu tulisan dengan pelengkap foto-foto yang
kam i baca dalam m ajalah itu adalah tentang perpeloncoan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Di situ kam i lihat foto para studen perem puan dan lelaki
yang m engenakan topi badut, m em bawa ikrak (pengki), dan
m em ikul sepeda.
Kam i selalu diingatkan oleh Mbak Oem supaya m enyiapkan
diri. Maksudnya, apa saja yang akan dibawa ke J akarta—buku,
buku tulis, kertas, potlot, setip, pena, gagang pena, botol tinta
56 Bersama Mas Pram

dll.—supaya dikum pulkan di satu tem pat agar nanti tidak


dicari-cari. Kam i bertiga tidak biasa m ewadahi sem ua itu,
karena m em ang kam i tak punya wadah, tas atau yang lain,
apalagi koper. Karena itu, Mbak Oem m em beli dua besek besar
dari bam bu yang bisa m enam pung segalanya bercam pur-baur,
term asuk pakaian, m akanan, dan air m inum dalam botol.
Waktu itu Mbak Is duduk di kelas 3 SMP, saya di kelas
2 SMP, Coes di kelas 6 SR. J adi m enjelang pergi ke J akarta
saya naik ke kelas 3 SMP, Coes lulus ujian SR akan m asuk
SMP kelas 1, sedang Mbak Is tidak lulus ujian SMP, jadi akan
m engulangi belajar di kelas 3 SMP. Saya agak sedih juga Mbak
Is tidak lulus ujian. Tapi seingat saya m em ang dalam pelajaran
ia agak kurang m aju. Tapi apa boleh buat. Di J akarta nanti ia
akan terpaksa duduk sekelas dengan saya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ke Semarang

SAAT UNTUK berangkat m akin dekat, dan sejalan dengan itu


bayangan tentang J akarta pun sem akin tebal. Yang terutam a
m em anggil-m anggil adalah penerangan listrik, radio, jalan
beraspal yang lebar-lebar lengkap dengan m obilnya yang
bagus-bagus—m enurut cerita Mas Wiek yang pernah tinggal di
J akarta. Menurut Mas Wiek juga, di J akarta ada kereta yang
dijalankan dengan tenaga listrik, nam anya trem atau trem
listrik, yang m elaju di jalan raya. Di J akarta pun banyak becak
yang bagus-bagus.
Buah di J akarta m acam -m acam , tidak cum a pisang,
pepaya, kedondong dan m angga kalau lagi m usim , seperti di
Blora. Dan buah-buahan itu oleh tukang buah selalu dilap agar
bersih dan tam pak m engkilap m enggiurkan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dari J akarta sudah datang poswesel dari Mas Pram untuk


biaya perjalanan. Dan sudah datang pula surat dari Mbak
Arvah yang m enyatakan kegem biraannya bahwa kam i akan
datang. Ia terutam a m enyatakan gem bira bahwa saya dan Coes
akan datang sebagai adik-adik lelaki, karena ia hanya punya
seorang adik perem puan.
58 Bersama Mas Pram

Mas Djajoes pun sudah m engam bil perlop dari kesatuan-


nya untuk m engantarkan kam i. Khusus untuk saya ia m eng-
hadiahkan sepatu bot tentara, seperti yang biasa dipakai
tentara Belanda, dari jatah pem bagiannya. Masih baru dan
m engkilap.
“Nanti di J akarta dikecilkan,” kata Mas Djajoes m enerang-
kan. Sepatu bot itu ikut m enyesaki besek perjalanan kam i. Baju
kam i cum a satu, di luar yang kam i pakai, jadi tidak m enyita
tem pat.
Maka pada suatu pagi di awal bulan Agustus 1950 kam i pun
berangkat dari Stasiun Blora m enuju Rem bang. Perjalanan
Blora-Rem bang (jarak 36 km ) sudah beberapa kali kam i alam i,
karena Ibu berasal dari Rem bang, dan saya pernah diajak Ibu
m enengok Nenek di Rem bang, dan sesudah itu dengan Coes
pernah berdua ke sana, dan dengan Rigno dan dua orang tem an
lagi pernah naik sepeda sam pai Bangli, beberapa kilom eter
tim ur Rem bang. Rum ah Nenek di pinggir Alun-alun Rem bang,
di selatan m asjid kota.
Yang paling kam i kenal adalah perjalanan Blora-Mantingan
(jarak 17 km ) karena sering kam i lalui. Di Mantingan ada kolam
renang bagus yang sering kam i datangi berom bongan anak
sekolah. Dan tak jauh dari sana terletak Desa Bulu, tem pat
m akam RA Kartini yang juga pernah kam i datangi. Kiri-kanan
jalan ada hutan jati yang sangat rim bun, m asih penuh binatang
www.facebook.com/indonesiapustaka

liar. Kadang-kadang puluhan m onyet berom bongan pindah


dari satu tem pat ke tem pat lain, m enyeberangi jalan. Saking
banyaknya sam pai-sam pai suaranya seperti hujan deras.
Di Rem bang kam i ganti kereta api Rem bang-Sem arang.
Melewati ladang pem buatan garam , di m ana kadang-kadang
Laut J awa tam pak m em biru m uda dan m akin ke tengah m ak
Bagian Pertama: Blora 59

m em biru tua. Dari ilm u Bum i kam i tahu bahwa dari Rem bang
kam i akan m elewati J uwana, Pati, Kudus, dan Dem ak. Di
J uwana dengan girang kam i m elewati Kali J uwana yang di
kiri-kanannya dipenuhi jaring angkat. Di Pati kam i senang
m elewati alun-alunnya yang luas, di Kudus kam i girang m elihat
rum ah-rum ah joglo dengan genting yang ada perhiasannya,
juga kebun tebu yang luas-luas, ada yang belum dipotong dan
ada pula yang baru dicangkul gulutannya dengan rapi seperti
penggaris, dan di Dem ak kam i suka sekali m elihat saluran air
yang banyak dan bening airnya, di m ana orang m andi dan
m encuci pakaian dan alat-alat lainnya dengan dam ai.
Begitulah sem uanya m enjadi perhatian kam i dan kam i
catat dalam kenangan dan hati kam i sebagai pengetahuan baru.
Sore hari kam i sudah sam pai di Stasiun Tawang yang besar
indah, dan dari sana kam i naik dua becak m enuju penginapan
di pinggir barat Alun-alun Sem arang yang sudah lupa saya apa
nam anya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kedua: Semarang


www.facebook.com/indonesiapustaka
Jalan-jalan

MAS DJ AJ OES tentara bagian adm inistrasi, karena itu ia


banyak tahu urusan. Itu rupanya yang m em buat dia tak pernah
kelihatan canggung m enghadapi sesuatu: di stasiun, di hotel, di
pasar, m enghadapi siapa saja. Sosoknya seperti orang kantoran,
tapi ia pun suka m enyandang senapan. Pernah, selagi piket, ia
pulang m enyandang sten gun (nam a ini dia beritahukan pada
kam i langsung). Gagah dan pantas sekali.
Sam pai di penginapan ini pun ia tak canggung sam asekali.
Sebentar saja kam i sudah m apan di sebuah kam ar. Tem pat
tidurnya pakai seprei putih bersih, dan kasurnya em puk,
tidak seperti kasur kam i yang sejak zam an Belanda tak pernah
diganti, dan itu pun sudah sering kena om pol.
Dan tak lam a kem udian untuk kam i sudah dibawakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

m asing-m asing sebuah baki om preng yang berpetak-petak, dan


di tiap petak itu ada nasi, sayur, lauk, sam bal, dan sebagainya.
Saya heran sekali m elihat baki m acam itu, tapi yang penting
isinya enak-enak, hingga dalam waktu singkat sudah dadal
sesam bal-sam balnya, m asuk ke dalam perut kam i. Belum
pernah saya m akan seenak itu.
64 Bersama Mas Pram

“Mum pung m asih ada waktu, kita jalan-jalan. Ndak usah


tidur. Nanti m alam saja tidur,” kata Mas Djajoes tenang.
Kam i disuruh m andi, sudah itu m engenakan pakaian
sebelum nya.
Dengan sendirinya saya tak tahu arah perjalanan kam i.
Pokoknya kam i ikut saja dengan Mas Djajoes. Tapi yang
m engherankan kam i, jalan m obil lain dengan jalan kendaraan
lain: dokar, becak, atau sepeda. J alan m obil lebar di tengah, dan
di kiri-kanannya ada jalan yang lebih sem pit untuk kendaraan
lainnya. Keduanya jalan aspal.
Lalu di pinggir jalan itu banyak gedung-gedung besar. Dan
ada yang di dalam nya berm obil.
“Mobil ini dijual lho. J adi Dik Liek kalau m au beli, bisa,”
kata Mas Djajoes.
“Ha? Mobil? Dijual? Mobil kok dijual?” kata saya.
Kam i bertiga terbengong-bengong.
Kam i jalan terus, m enyusuri tepi alun-alun. Di situ
banyak sekali orang yang pada m enata barang dagangannya.
Kelihatannya akan ada pasar m alam . Lapangan itu dipagari
dengan pagar gedek, tapi dari pintunya tam pak bahwa di
tengah lapangan itu ada m acam -m acam panggung, bangunan
dari bam bu dengan dinding dari gedek. Ada juga dreim olen
seperti yang pernah kam i lihat di Blora.
“Nanti terakhir kita lihat pasar m alam ,” kata Mas Djajoes
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enjanjikan.
Kam i jalan terus. Kata Mas Djajoes, ke Pasar Djohar.
Kam i m asuk pasar. Dan alangkah heran kam i bahwa pasar itu
bertingkat! Gedung sebaik itu, tapi orang jual buah-buahan
dan m akanan di tingkat atas. Sayang sekali, pikir saya.
Bagian Kedua: Semarang 65

Waktu itu pasar sudah agak sepi, karena sudah sore. Kam i
jalan saja berkeliling, sam pai kem put, lalu kam i keluar.
Senja cepat sekali turunnya, dan tahu-tahu hari sudah
gelap dan lam pu-lam pu m enyala di seluruh Alun-alun. Lalu
Mas Djajoes beli karcis, dan kam i m asuk pasar m alam . Seperti
dalam pasar m alam di Blora yang pernah saya lihat, di sana
banyak orang jualan barang, m akanan dan m inum an. Tontonan
dilakukan di dalam bangunan tertutup, m isalnya untuk hantu,
setan, gulat, dsb. dengan bayaran tam bahan. Tapi ada tontonan
yang terbuka tanpa tam bahan bayaran, yaitu orang Dayak
m akan daging m entah. Orang Dayak yang agak gendut itu
tentunya orang J awa juga, tapi seluruh kulitnya dicat hitam .
Ia cum a m engenakan cawat, duduk di atas sepotong pokok
pohon, dan di depannya m enggeletak seekor ayam utuh yang
sudah dibubuti bulunya. Saya m enunggu sam pai tiba saatnya
orang Dayak itu m akan ayam m entah. Lam a juga. Tapi akhirnya
orang Dayak itu m em otes sayap ayam dan m ulai m enggigit
daging m entah dan m em am ahnya pelan-pelan dengan sikap
m asa bodoh seolah-olah tak ada yang m enonton, tapi saya
rasa tetap saja orang Dayak itu m erasa jijik. Saya bahkan
m em bayangkan, sebentar lagi orang Dayak itu akan m untah,
tapi ternyata tidak juga, sam pai saya bosan m enunggu.
Kam i berputar-putar m engelilingi pasar, tapi perhatian
sudah m erosot karena kaki sudah pegal-pegal kebanyakan jalan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Akhirnya kam i berhenti m elihat orang m ain lem par gelang.


Orang, istilahnya, m em beli gelang rotan beberapa biji—berapa
harganya saya sudah lupa—lalu satu per satu gelang itu dari
jarak tertentu dilem parkan ke ujung-ujung tongkat dari rotan
juga. Di bawah ujung tongkat itu teronggok barang m acam -
66 Bersama Mas Pram

m acam , ada sabun dengan tandpasta, tandpasta dengan sikat


gigi, sikat dengan kain, sisir dengan serit dsb. Kalau kita bisa
m em asukkan gelang itu ke ujung tongkat, kita m endapat
hadiah barang-barang yang teronggok di bawahnya.
“Ah, itu kan ndak jauh, m asak ndak bisa m asukkan?” pikir
saya.
“Senang juga kalau dapat barang-barang itu!” pikir saya
lagi.
“Mau nyoba?” tanya Mas Djajoes yang tahu bahwa saya
tertarik.
“Mau!”
Lalu saya dan Coes dikasih uang pem beli gelang-gelang itu,
dan kam i pun m em beli, m asing-m asing dapat em pat biji.
Barang yang kelihatannya gam pang itu—aduh!—ternyata
sukar. Padahal jaraknya cum a sekitar dua m eter saja. Sebal
saya bukan m ain. Tapi saya lihat Coes pun tidak berhasil
m em asukkan satu pun. Saya sangat kecewa.
“Mau nyoba lagi? Tapi terakhir, ya?” kata Mas Djajoes.
Mas Djajoes m em ang m as yang baik. Kam i diberi uang lagi.
Dan… gagal lagi! Hati saya tam bah panas. Berbagai perasaan
bercam pur m enjadi satu: m alu, sesal, jengkel, dan entah
apa lagi. Tapi sesal apapun tak berguna, dan dengan sem ua
perasaan itu, ditam bah dengan lelah dan m engantuk, kam i
pun pulang ke penginapan. Sam pai di sana, lepas pakaian dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

sepatu, dan—sudah—bleg, tak ingat apa-apa lagi.


Ke Jakarta

BANGUN-BANGUN KEESOKAN harinya, Mas Djajoes sudah


m andi dan sedang m elap sepatunya dengan seprei putih itu.
Sikapnya tenang saja, seperti biasa, sam pai terpikir oleh saya:
“Begitulah barangkali tentara, seenaknya, dan tak ada yang
m em arahi.”
Barangkali Mas Djajoes pun m elihat tanda tanya pada
wajah saya, karena dia langsung m engatakan:
“Ndak apa-apa, toh akan kita tinggalkan, dan lagi pasti
akan digantikan dengan yang baru. Sana, m andi. Yang lain
sudah m andi.”
Pagi itu sekali lagi kam i m akan dari baki om preng seperti
kem arin. Enak sekali, dan habis juga. Selanjutnya kam i ke
stasiun dan naik kereta api yang m em bawa kam i langsung ke
www.facebook.com/indonesiapustaka

J akarta.
Barangkali karena m asih lelah, m engantuk, dan kenyang,
saya tidak ingat apa saja yang kam i lihat sepanjang jalan itu.
Tahu-tahu kam i sudah sam pai di J awa Barat dan m elewati
persawahan yang luas-luas. Belum pernah saya m elihat
persawahan seluas-luas itu. Tentunya waktu itu kereta api
68 Bersama Mas Pram

sedang m elintasi daerah sekitar Cikam pek sam pai Krawang


yang m enurut pelajaran sejarah ditanam i padi atas perintah
Sultan Agung dalam rangka serangan tentara Mataram atas
Batavia. Persawahan itu m erupakan lautannya, sedangkan
desa-desa m erupakan pulau-pulau kecil di tengah sam udra.
Pulau yang satu dengan pulau yang lain dipisahkan oleh selat-
selat yang lebar, hingga apabila sebuah perahu m endatang ke
sesuatu pulau, dari jauh sudah tam pak belaka.
Sem entara itu, waktu kereta berhenti di Cikam pek, ke
dalam kereta m enyerbu para pedagang m akanan dan m inum an.
Pedagang m akanan m enjual terutam a kacang tanah dan pisang
godok, dan pedagang m inum an m enjual air teh. Begitu banyak
anak-anak, pem uda dan ibu-ibu m enenteng cerek dan sebuah
gelas sam bil m enawarkan dagangannya dengan m eneriakkan
teriakan yang oleh saya terdengar seperti “rete, rete, rete!”,
hingga m ula-m ula saya tak m engerti apa yang sesungguhnya
m ereka tawarkan. Dan ketika kam i m enjajal m inum an itu,
ternyata cum a air teh! Waktu itu terpikir oleh saya, alangkah
sengsaranya hidup m ereka itu: jualan saja cum a air teh, dan
tidak m anis pula!
Sejak itu m ata kam i sudah terbuka lebar. Kereta terus
m enderu ke barat, m elintasi kam pung-kam pung, kebun-
kebun penduduk, dan rum pun-rum pun bam bu. Sayang hari
sudah m ulai gelap, sehingga sem ua hanya m erupakan onggok-
onggok benda yang tak jelas seluk-beluknya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sam pai di J atinegara kereta berhenti untuk m enurunkan


penum pang. Saya ingat benar nam a J atinegara itu dari
pelajaran Ilm u Bum i karena m engandung nam a J ati, tum buhan
yang sangat saya kagum i dan banyak tum buh di Mantingan
dan Randublatung. Tapi ternyata di J atinegara sam asekali
tidak tum buh jati.
Bagian Kedua: Semarang 69

Lepas Stasiun J atinegara, kereta m elewati viaduk J ati-


negara. Di situ saya m engagum i deretan m obil yang m enyinar-
kan lam punya m asing-m asing, sehingga tam pak seperti pesta
cahaya. Dan ketika kereta m elewati Stasiun Manggarai, saya
kagum akan luas dan panjangnya stasiun itu.
Sam pai di Stasiun Gam bir kereta berhenti. Orang berduyun-
duyun turun. Saya di tengah duyun-duyunan itu, tapi m asih
sem pat m enikm ati kabel listrik yang bersilang-siur di udara
Gam bir. Dalam bayangan saya, seolah angkasa Gam bir waktu
itu dirajut dengan kabel-kabel itu, indah sekali kelihatannya.
Sam pailah kam i di J akarta, kota besar, ibu kota, di m ana
kam i akan tinggal, dibesarkan, disekolahkan, untuk m enjadi
dokter-dokter-m eester-m eester, dan entah apa lagi, dan sesu-
dah itu entah apa lagi pula. Yang jelas, di kota ini kam i akan
tinggal bertahun-tahun, m ungkin berpuluh tahun, m ungkin
selam a hidup, m enim ba ilm u, m enghim pun berbagai peng-
alam an, sehingga hidup kam i m enjadi lebih baik dan lebih
berarti daripada yang sudah-sudah. Dan yang penting juga,
bagaim ana untuk selanjutnya kam i dan Mas Pram saling
berhubungan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Ketiga: Jakarta


www.facebook.com/indonesiapustaka
Kebon Jahe Kober

MAS PRAM ternyata m enunggu kam i di peron bersam a seorang


pem uda berkacam ata, agak pendek sosoknya. Sebentar saja
kam i sudah jum pa, dan m ereka m em bantu m em bawa bawaan
kam i, besek-besek itu. Mungkin karena beratnya bawaan itu,
m asih di peron, Mas Pram sudah berteriak keras: “Caaak!!!”
Saya m ula-m ula tak m engerti apa m aksud teriakan itu, tapi
m akin dekat ke pintu luar m akin jelas artinya, karena waktu itu
Mas Pram berteriak lagi: “Becaaak!” kepada gerom bolan tukang
becak yang sudah pada m engacungkan jarinya sam bil m em ekik
juga: “Becak! Becak! Becak!” m enawarkan becaknya.
Tukang becak berebut m enyorongkan becaknya. Mas Pram
m engam bil dua becak saja, jadi bisa dim engerti penuhnya
becak-becak itu, tapi m asih m uat, karena kam i waktu itu m asih
kecil-kecil dan bertubuh kurus pula. Dan sebentar kem udian
www.facebook.com/indonesiapustaka

becak-becak itu sudah m eluncur (betul-betul m eluncur!) di


jalan aspal khusus untuk kendaraan di luar m obil, di sisi kiri
jalan yang lebar dan rata sekali, diapit deretan pohon m ahoni.
Kam i m elihat m obil, trem , tam an, gedung pertem uan um um ,
tam an lagi, dan sebuah istana yang njenggereng (m erum uk)
besar berm andi cahaya lam pu listrik.
74 Bersama Mas Pram

“Istana Gam bir!” jelas pem uda berkacam ata di sisi saya,
yang kem udian saya ketahui bernam a Mat Cikrik. Saya hanya
m enggerendeng, dan becak m eluncur terus.
Tak lam a kem udian becak m em belok ke kiri, dan selang
lim a puluh m eter m em belok lagi ke kanan. Sam pailah kam i
di J alan Tanah Abang I, seperti bisa dibaca dari plang nam a
jalan itu. Tak sam pai tiga detik dari situ becak berhenti di
depan gang yang nam anya Kebon J ahe Kober Gang VIII. Dari
situ kam i berduyun-duyun dengan barang kam i m enyusuri
gang yang panjang tak henti-henti, di sisi kiri dibatasi dengan
tem bok tinggi yang dijajari warung-warung kecil atau kandang
ayam atau burung, dan di kanan berdem pet rum ah-rum ah
yang satu pun tak ada yang besar, dengan penerangan listrik
tanggung atau rem ang-rem ang. Di sisi itu berturut-turut kam i
jum pai Kebon J ahe Kober Gang I, Kebon J ahe Kober Gang II,
dan Kebon J ahe Kober Gang III. Sam pai Kebon J ahe Kober
Gang III (dan Kebon J ahe Kober Gang VIII m asih juga terus)
kam i belok kanan, bertem u dengan Kebon J ahe Kober Gang
VII di kiri, di m ana berdiri m asjid, dan kam i belok kanan lagi
sedikit, kem udian belok ke kiri, m asuk lanjutan Kebon J ahe
Kober Gang III.
Nah, selang satu rum ah, di situlah rum ah yang kam i tuju, di
kiri. Kam i m endaki pintu sem pit, sam pai di em peran kecil yang
di sisi kirinya ada warung yang penuh sesak dengan barang
dagangan kebutuhan sehari-hari, antara lain kayu bakar dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

arang yang sudah diwadahi keranjang-keranjang.


“E-e-e! Datang, ya?” sam but Mbak Arvah dengan wajah
berseri dan segera m enyalam i kam i. Ia m engenakan kain
kebaya. “Capek, ya? Dik Koes, Liliek, Coes! Nah, salam an dulu,
dan kenalan sam a Bapak dan Ibu.... Be! Pok Mile!” serunya.
“Ini, anak-anak dari Blora udeh dateng!”
Tak lam a kem udian Pak Iljas m uncul di pintu.
“E-e-e!” seru Pak Iljas bercam pur ketawa, dan pada bibir-
nya tersungging senyum , m enyalam i kam i satu per satu. Geng-
gam annya tidak erat, sepertinya tangan itu cum a disodorkan,
dan sudah.
Agak lam a kem udian baru Bu Iljas yang tam bun keluar.
Rupanya ia terham bat pem beli di warungnya.
“Ini Koes, ye? Dan ini Liliek am e Coes? Ya udeh, langsung
aje ke kam ar. Pan capek? Biar lekas istirahat!”
Mat Cikrik m enggotong satu besek kam i, dan satu lagi
diangkat oleh Mas Djajoes m asuk kam ar yang ditunjuk oleh
Mbak Arvah.
“Ya udah, Be, Cikrik pulang dulu!” saya dengar Mat Cikrik
berpam itan.
“O, iye, Mat. Mekasih, ye?” jawab Pak Iljas.
Kam i m enggerom bol di dalam kam ar, sedangkan Mas
Djajoes keluar lagi. Saya tak ingat lagi, apa yang terjadi sesudah
itu, sebelum akhirnya kam i m enggeletak dan berangkat tidur.
Tapi yang terasa aneh oleh saya: Bahasa Indonesia m ereka (Pak
Iljas, Bu Iljas, Mbak Arvah, Mat Cikrik) m enceng bunyinya.
Dan Mbak Arvah m em anggil bapaknya dengan Be, dan ibunya
dengan Pok, Pok Mile (Milah). Aneh juga.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Kamar dan...

SAYA BARU tahu keesokan harinya bahwa kam i tidur berem pat
dengan Mas Djajoes di atas ranjang besi tanpa kelam bu,
sebagian kaki kam i m enggelantung. Ranjang itu berdiri di
pojok dalam , ham pir m em enuhi kam ar. Di dekat pintu yang
tak berdaun dan hanya bersekat gorden lusuh berdiri grobok
(sem acam lem ari) kecil. Di luar kedua barang itu m erupakan
ruang sem pit kam i untuk berlalu-lalang. Dapatlah saya
sim pulkan bahwa kam ar itu tidak boleh disebut cukup besar.
Lantai rum ah, term asuk kam ar kam i, dari batu bata.
Dindingnya, sekitar sem eter dari lantai, dari tem bok,
disam bung kepang (anyam an bam bu) yang ditem pel kertas
yang dikapur warna kuning m uda. Saya tahu itu, karena se-
bagian kertas itu sudah sobek atau m enggelem bung, dan dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

sobekan itu kelihatan kepang m encongak. (Belakangan saya


ketahui dinding itu dua lapis, luar-dalam m enem pel pada
kerangka dinding yang terbuat dari bam bu utuh.)
Langit-langit (yang belakangan saya ketahui disebut sotoh)
sam a juga, dari kepang bertam bal kertas. Di situ m enem pel bo-
la lam pu (yang kem udian saya ketahui berkekuatan 25 watt.)
Bagian Ketiga: Jakarta 77

Di depan ranjang, agak tinggi, terdapat jendela kecil, tak


sam pai setengah m eter persegi. Waktu saya berdiri di ranjang
dan m elongok ke jendela itu, ternyata di bawah situ terdapat
saluran air berpagar bam bu, dan di luar itu sudah pekarangan
kecil tetangga.
Seperti biasa, pagi hari saya berlari ke belakang.
Tapi alangkah herannya saya, karena ternyata rum ah itu
tak punya kakus. Lho, bagaim ana?
“Mau ke belakang, Liek? O, m esti keluar. Itu, ya, ke kiri,
dekat aja, ada gang itu ke kiri. Di situ, tidak jauh, di kanan, ada
kakus um um . Ke sana deh. Ada yang jaga.”
Itulah hari pertam a saya m enghirup udara pagi di J akarta.
Di depan warung Pak Iljas tum buh pohon jam bu darsana
yang sedang berbunga, sebagian putik dan benangsarinya
m em enuhi pelataran yang sekitar satu m eter lebarnya. Saya
teringat pekarangan kam i di Blora. Rupanya di J akarta rum ah
serba kecil, dan pekarangan pun sem pit-sem pit.
Saya m encari tem pat yang ditunjukkan Mbak Arvah.
Tidak sukar. Dari jauh saya lihat bangunan seperti benteng
Belanda, dan itulah yang saya pastikan sebagai kakus um um
itu. Walau dem ikian, belum pernah saya m em enuhi hajat di
kakus um um .
Saya lingak-linguk sam bil m endekati benteng. Tiba-tiba
keluar dari baliknya seorang tua gundul bercelana pendek.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Melihat saya, ia tam pak heran—barangkali bertanya dalam


hati, siapa anak kerem peng ini?—bertanya:
“Mau apaaa, ha?”
“Mau buang air, Pak,” jawab saya m enghindari kata
lain yang m enurut saya kasar. Tapi alangkah kaget saya, dia
m enjawab:
78 Bersama Mas Pram

“Buang air apa buang taik?”


Saya jadi ingah-ingih tak bisa m enjawab. Kata-kata itu
m em buat saya sakit hati dan teringat selam anya kepada dia.
Tapi bagaim ana lagi, keperluan saya cum a satu, m aka saya pun
m engam bil em ber, lalu m encari lubang yang kosong.
Sungguh saya tak habis pikir, bagaim ana m ungkin satu
rum ahtangga tidak punya kakus. Di J akarta! Tidak jauh
dari istana! Dan bagaim ana kalau orang sudah kebelet?
Dan bagaim ana kalau orang banyak datang sekaligus? Dan
bagaim ana kalau sakit m encret? Ya entahlah. Orang m em ilih
itu, artinya itulah yang bisa dilakukannya. Itulah yang
disetujuinya. Itulah yang dim ufakatinya.
Kem udian saya ketahui, sem ua orang itu m em ang tak
punya kakus sendiri, dan m engandalkan kakus um um . J adi,
itulah yang dipilih orang banyak itu. Dan rupanya itu cukup
nyam an untuk m ereka. Ya sudah.
Kem udian saya ketahui bahwa penghuni Kebon J ahe
Kober Gang V, sepanjang gang panjang itu, buang air di got
yang berbatasan dengan Pem akam an Belanda. Bakda isya
m ulailah sebagian dari m ereka dengan nyam an m em untahkan
kandungan yang tak dikehendakinya, diteruskan ram ai-ram ai
sekitar subuh, hingga bila sekitar waktu itu kita lewat gang itu,
tidak boleh tidak, lubang hidung kita pam pat oleh baunya yang
khas.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Untung Mas Pram cukup segera m erasakan keadaan


itu sebagai hal yang tak nyam an. Tidak lam a kem udian dia
m em buat kakus, kam ar m andi, dan dapur di pekarangan yang
tersisa di belakang rum ah. Ayem lah saya.
Rumah dan Penghuni

RUMAH KAMI itu sam a juga dengan yang lain-lain, kecil:


pekarangannya kecil, bangunannya kecil, kam ar-kam arnya
kecil. Tapi walau kecil tetap ada rinciannya. Secara um um
terbagi tiga, m em bujur ke belakang, m asing-m asing selebar
sekitar dua setengah m eter.
Bujur pertam a, dari depan ke belakang: warung, kam ar
tidur Pak Iljas dan Bu Iljas, dan kam ar kam i. Bujur kedua:
em peran dengan m eja kursi tam u, ruangan cadangan dagangan
dengan m eja radio, dan ruang m akan tanpa sekat. Bujur ketiga:
ruang kerja tem pat Mas Pram bekerja, kam ar Mas Pram dan
Mbak Arvah, dan dapur dan kam ar m andi.
Di depan rum ah ada pekarangan selebar sem eter, di
sam ping kanan pekarangan selebar tiga m eter, dan di belakang
www.facebook.com/indonesiapustaka

bujur ketiga pekarangan sekitar tiga m eter.


J adi, dilihat dari tem patnya, kam ar kam i m asuk bujur
Pak Iljas, dan kam ar itu m enjadi kam ar keluarga, kam ar
belajar, dan sekaligus kam ar tidur kam i. Kam i keluar rum ah
dari kam ar itu, dan m asuk rum ah m enuju kam ar itu. Kam i
m enikm ati percakapan antarsaudara, m em bicarakan “Tanah-
80 Bersama Mas Pram

air” dan “sanak-saudara” yang baru kam i tinggalkan di situ,


kam i belajar di kam ar itu, bahkan beristirahat di ranjang itu,
dan kam i tidur siang m aupun m alam bertiga di situ juga: saya
di tengah, dan di kiri-kanan saya Mbak Is dan Coes.
Pada suatu m alam terjadi kecelakaan, saya dikagetkan
Mbak Is yang sam bil m enunjuk saya m engatakan: “Masukkan
itu!”
Pak Iljas dan Bu Iljas m uslim dan m uslim ah yang saleh.
Mereka bangun sesudah subuh, m engam bil air wudhu dan
bersem bahyang, dan sudah itu m em buka warung di sela-sela
ngupi (m inum kopi sam bil m akan kue kecil), dan nyetel radio.
Sepagi itu sudah ada saja orang berbelanja. Maka di tengah
ngupi, Pak Iljas m elayani pem beli, sam pai sem ua terlayani,
lalu kem bali ngupi, dan begitu seterusnya sepanjang hari,
sam pai pukul delapan atau sem bilan m alam , diselingi m akan
siang dan m akan m alam . Seraya m elakukan sem ua hal itu, Pak
Iljas m endengarkan siaran radio, terutam a warta berita pukul
enam dan pukul tujuh pagi.
Bu Iljas m em bantu Pak Iljas m elayani pem beli, dan m enata
acara ngupi, m akan siang dan m akan m alam . Kecuali kalau
Pak Iljas pergi kulakan di Pasar Tanah Abang sekali atau dua
kali sem inggu, Bu Iljas m enjadi penjaga dan pelayan utam a
warung. Pekerjaan tam bahan Bu Iljas adalah kondangan, kalau
ada orang ngaw inin, ny unatin, atau ada orang m eninggal, tapi
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu jarang sekali. Di luar itu Pak Iljas dan Bu Iljas tak pernah
pergi ke m ana-m ana. Perkecualian adalah di tahun 1951 atau
1952, ketika Pak Iljas m engikuti kursus bahasa Inggris.
Mas Pram pagi berangkat ke kantor pukul 0 6.30 naik
sepeda ke Balai Pustaka. Maka sepeda itu sudah harus saya
lap sebelum kam i berangkat sekolah pukul 0 6.0 0 . Waktu itu
Bagian Ketiga: Jakarta 81

disiplin pegawai baik. Ia pulang pukul 14.0 0 atau pukul 14.30 .


Sesudah m akan siang dan tidur siang, ia kerja di ruang kerja
sam pai pukul 21.0 0 . Ia lakukan hal itu tiap hari, kecuali kalau
lagi ada tam u—yang jarang terjadi—atau kalau ia pergi nonton
ilm bersama Mbak Arvah—yang juga jarang. Di kantor itu
terdapat m eja tulis dan satu lem ari buku. Waktu itu bukunya
belum banyak.
Mbak Arvah m em im pin pekerjaan rum ahtangga, terutam a
dalam m enyiapkan m akan dan pakaian. Pekerjaan m asak,
m encuci pakaian dan neliska (m enyeterika) dilakukan oleh
pem bantu—Pok Mile (Milah) nam anya—seorang gadis
tetangga yang tidak buruk m uka, kuning langsat kulitnya,
nam un tidak juga kawin, dan tiap hari datang untuk m elakukan
pekerjaannya.
Dan siapa yang berbelanja? O, tiap pagi tukang sayur yang
m em ikul barang dagangannya ajek datang dan dengan pekik
“Ui!” m em beritahukan kedatangannya, lengkap selengkap-
lengkapnya. Di situ para tetangga ram ai-ram ai berbelanja
sam bil berceloteh ram ai tentang tetek-bengek dan tetek tidak
bengek. Kadang sam pai berlarut-larut. Mbak Arvah term asuk
penceloteh yang tangguh. Lalu, sebentar kem udian datang
tukang sapu got yang m em bersihkan seluruh sam pah got,
term asuk seluruh sam pah yang tadinya m engotori tubuh para
penghuni Kebon J ahe Kober Gang V.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Jalan-jalan Lagi

SEMENTARA MAS Djajoes belum pulang ke Blora, kam i


dianjurkan nonton Pasar Gam bir, sem acam pasar m alam yang
konon diadakan tiap tahun sejak zam an Belanda di Lapangan
Gam bir sisi selatan. Di sana waktu itu m asih tum buh banyak
pohon trem besi besar-besar m eneduhi angkasa pasar m alam
tersebut. Waktu itu m asih bulan Agustus, dan seingat saya
Pasar Gam bir itu sudah dihubungkan dengan ulang tahun
proklam asi kem erdekaan Indonesia.
Saya tidak begitu terkesan oleh pasar m alam itu, m ungkin
karena sudah pernah m elihat pasar m alam di Blora dan
Sem arang. Tapi yang saya ingat adalah banyaknya orang jualan
plem bungan (balon tiup) yang dihubungkan dengan sem acam
peluit dari bam bu sederhana. Tiap penjual m em encet-m encet
www.facebook.com/indonesiapustaka

plem bungan itu, m em perdengarkan suaranya yang buruk tanpa


iram a sam asekali, ributnya bukan m ain, hingga m engganggu
pendengaran. Saya pikir waktu itu, sungguh orang-orang itu
tak punya jiwa seni, dan tak punya rasa tenggang-m enenggang
terhadap tetangga.
Bagian Ketiga: Jakarta 83

Tapi yang saya kagum i dan saya nikm ati benar adalah
kacang goreng yang terbungkus dalam kantong kertas ketat
dengan gam bar kacang dan capnya Lip Lip Hiong. Saya bukan
tak tahu kacang, lebih-lebih kacang goreng kesenangan saya.
Tapi yang bikin saya heran adalah, kok ada kum pulan kacang
yang begitu sem purna, seperti sudah dipilihi satu per satu. Dan
rasanya itu, sungguh khas dan gurih. Itulah untuk pertam a
kalinya saya m enem ui kacang seperti itu.
Acara jalan-jalan berikutnya adalah dengan Mas Pram
sendiri, kali itu naik trem listrik pada suatu sore. Naik dari
dekat J alan Tanah Abang I, ke utara m enuju Harm oni, sebuah
sim pang enam . Di Harm oni turun, lalu naik trem lain yang
datang dari jurusan Kota. Trem jalan ke tim ur m enyusuri J alan
Segara, terus ke tim ur m enyilangi jalan kereta api, m elewati
benteng Citadel, m enyusuri J alan Kantor Pos, dan sam pai
di depan gedung Schouwburg m em belok ke kanan. Dari situ
trem jalan lurus ke selatan, m elewati apa saja saya sudah lupa,
sam pai akhirnya tiba di Pasar Senen. Nah, di persim pangan
Medan Senen dengan J alan Kwitang itu ada halte di tengah
jalan, m em anjang, dan di situlah kam i turun.
Mas Pram tidak bercerita tentang apa saja yang kam i
lewati. Cum a kadang-kadang kalau ada yang dia rasa penting,
baru dia m enyeletuk m enyebutkan nam anya. Satu hal yang dia
sebutkan adalah jalan m enuju J alan Garuda di Kem ayoran,
www.facebook.com/indonesiapustaka

tem pat sekolah kam i di Tam an Siswa.


Waktu itu jalan-jalan cukup sepi, walaupun m enurut Mas
Pram di J akarta sudah ada 5.0 0 0 m obil. Buktinya, waktu itu
Mas Pram sem pat bingung, m au terus ke m ana seturun kam i
dari trem di tengah persim pangan itu. Akhirnya kam i diajak
84 Bersama Mas Pram

jalan ke selatan m enyusuri J alan Kram at. Di situ ada beberapa


restoran besar yang seingat saya cukup sepi. Sam pai-sam pai
saya m engira akan diajak m akan di restoran. Dan kebetulan
saya sudah lelah dan lapar. Tapi, ya begitulah, dari depan
restoran itu kam i balik kanan jalan, naik trem yang berhenti
di halte di tengah persim pangan dari J atinegara, dan pulang
lagi.
Yang agak santai adalah kalau yang m engajak jalan-jalan
Mat Cikrik atas perm intaan Mbak Arvah atau Mas Pram . Mat
Cikrik adalah anak tetangga, pem uda yang lebih tua sedikit dari
saya, sim patik, dan berusaha m enggunakan bahasa Indonesia,
walau pada pokoknya bicara J akarte. Kacam atanya tebal,
tapi itu sam asekali tak m engurangi harga dirinya. Ia boleh
dikata pem andu yang baik, yang selalu m em berikan inform asi
tentang apa yang kam i lihat. Dan, yang penting juga, ia rupanya
sudah disangoni oleh Mbak Arvah, sehingga ia tak pernah
ragu-ragu m em beli karcis, beli m akanan atau m inum an yang
kam i butuhkan. Dialah yang m em perkenalkan kam i dengan
kue pancong, cincau, ketoprak, ketupat sayur, dengan buah
duku, gohok, berm acam buah ram butan, yang nglotok, yang
tak nglotok, dan dia juga yang m engajari kam i m enelan biji
ram butan supaya perut kam i terasa kenyang.
Mula-m ula kam i diajak m asuk Gedung Gajah yang tak jauh
letaknya dari Kebon J ahe Kober. Kam i jalan kaki ke belakang,
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enyusuri Gang VI sam pai di warung Cina m acam warung Pak


Iljas, dan dari situ m enyusuri gang sem pit sekali dan sam pai
di J alan Tanah Abang II. Nah, dari situ m enyeberang ke J alan
Museum , dan tinggal belok kanan sedikit sudah sam pai.
Saya ya heran ya kagum m elihat barang apa saja di
m useum itu. Begitu banyak dan beraneka, sam pai kaki ini
Bagian Ketiga: Jakarta 85

tak kuat lagi m elangkah. Dan... tak ada kesem patan m akan
kue atau m inum . Gantinya adalah kelenengan J awa kom plit
dengan pesinden yang katanya waktu itu sedang m oncer, yaitu
Nyi Tjondrolukito. Saya tak kenal karawitan J awa, tapi untuk
m elupakan rasa lapar dan haus rupanya boleh juga.
Yang sangat m enarik adalah jalan-jalan ke Pasar Ikan.
Beberapa kali kam i ke sana bersam a Mat Cikrik, yang sebagian
besar ditem puh dengan naik trem m enyusuri J alan Gajah
Mada, Kalibesar, dan lebih jauh lagi. Dan tetap tidak bosan
m elihat ikan beraneka warna, baik yang hidup m aupun yang
m ati, kerang dan karang, dan deretan pengem is yang m em adati
gang yang m enuju m asjid Luar Batang, diselang-seling orang
Koja yang m enawarkan serta m engoleskan m inyak wangi.
Dari Mat Cikriklah kam i m ulai tahu sedikit-sedikit tentang
J akarta: pelosoknya, m akanan dan m inum annya, bahasanya,
adat kebiasaannya. Kam i sangat berterim akasih kepada dia,
juga kepada Mbak Arvah dan Mas Pram yang m em berikan
kesem patan berkenalan dan bersahabat dengannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ketemu Pak Said

RUPANYA MAS Pram m erasa cukup satu kali m enunjukkan


kepada kam i jalan ke sekolah kam i, lalu m enyuruh kam i jalan
sendiri ke sana m enem ui Pak Said, kepala sekolah.
“Bilang sam a Pak Said, kalian m au sekolah di Tam an Siswa,
dan aku yang nyuruh,” kata Mas Pram . “Dan sam paikan salam
kepada Pak Said.”
Dengan sendiri tim bul berm acam -m acam pertanyaan di
hati kam i, tapi dalam hati kam i bertekad berhasil. “Kam i toh
bertiga?” pikir kam i.
Maka pada suatu sore berangkatlah kam i bertiga naik
trem m enyusuri jalan yang pernah kam i susuri bersam a Mas
Pram , turun di depan gedung Schouwburg (yang kem udian
diubah nam anya m enjadi Gedung Kom edi, lalu Gedung
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kesenian). Dari situ kam i jalan kaki m enyusuri J alan Dr


Sutom o, m em otong J alan Gunung Sahari m em asuki J alan
(kalau tak salah) Gunung Sahari I, m em otong J alan Bungur
dan m em asuki J alan Garuda. Dari situ kam i urut nom ornya.
J arak sekitar seratus m eter kam i tem ukan Stasiun Kem ayoran
Bagian Ketiga: Jakarta 87

dengan sejum lah jajaran relnya, dan persis sesudah itu gedung
sekolah Tam an Siswa, J alan Garuda nom or 25, m enghadap ke
selatan. Hal itu jelas dari nam anya yang terpam pang dengan
huruf-huruf besar: “Tam an Siswa”.
Gedung itu kuno, tertutup rapat, dan sepi. Di depan
terletak sebuah patung dada dari batu yang cukup besar dan
pejal. Kam i belum tahu patung siapa itu, tapi kem udian kam i
ketahui patung Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan 45.
Kam i berjalan ke sam ping, dan di pintu sem pit di situ bertem u
dengan seorang tua yang langsung saja kam i tegur:
“Num pang tanya, Pak, di m ana rum ah Pak Said?”
“O, Pak Said? Ini jalan ini ke kiri, lantas ke belakang,”
sam bil m enuding.
“Terim akasih, Pak.”
Kam i ikuti petunjuk bapak itu, m enyisip di antara gedung
tadi dan gedung lebih besar yang m em anjang ke belakang,
dan di situ kam i tem ui rum ah kecil ny em pil di antara gedung
besar dengan pagar. Sesudah beberapa kali asalam u alaikum
(m enurut ajaran Mat Cikrik) m uncul seorang setengah um ur,
dem pak, bersarung, bersandal.
“Siapa, yaaa?” tegurnya m esra sam bil senyum m anis.
Kam i senang sekali bahwa ternyata itulah Pak Said sendiri.
Kam i m em perkenalkan diri dengan m engatakan bahwa kam i
adik Mas Pram oedya, dan ingin m asuk Tam an Siswa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“O, kalian adike Mas Pram oedyo, yo. Sem ua? Nam a kalian
siapa?”
Kam i m enyebut satu-satu.
“Apa kabar Mas Pram oe? Kok ndak pernah ke sini-sini?
Ha?”
88 Bersama Mas Pram

Kam i tidak bisa m enjawab.


“Kalau m au m asuk, nanti Tam an Dewasa tanggal sekian.
Kalian m asih di SMP to? Koesaisah kelas...? Koesalah kelas...?
Soesilo kelas...? Ya, sudah, begitu saja ya. Datang saja tanggal
sekian. Pukul tujuh pagi. Cari kelas m asing-m asing. Sekarang
Pak Said ada perlu, yo.... Salaaam .”
“Perm isiii!”
Begitulah, kam i ketem u Pak Said tanpa dipersilakan duduk,
begitu saja berdiri di depan rum ah. Tapi yang penting tujuan
pokok sudah terlaksana. Dan itulah untuk pertam a kali kam i
m endengar kata “salam ”.
Sam pai di rum ah, kam i laporkan kepada Mas Pram dan
Mbak Arvah pertem uan kam i dengan Pak Said.
“Bagus. Disam paikan tidak, salam saya?”
“O, ya, lupaaa! Tapi kelihatannya kenal sekali sam a Mas
Pram . Dan tanya, kok ndak pernah datang?”
“J adi, m ulai tanggal sekian kalian sekolah di sana. Dan
ingat, cum a ada uang sekolah dan uang iuran kelas. Tidak ada
uang transpor dan uang jajan. Kalian jalan kaki ke sekolah.
Alat sekolah cari sendiri. Nanti diajari.”
Kam i tak berkom entar apa-apa.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Disiplin Rumah

SEIRING MASUKNYA kam i ke sekolah, m ulailah disiplin


diterapkan di rum ah. Kam i harus bangun bersam aan dengan
bunyi beduk subuh. Kebetulan, seperti sudah saya sebut, m asjid
tidak jauh dari rum ah kam i, jadi tidak ada alasan untuk tidak
m endengar beduk tersebut setiap kali ia ditabuh. Mulailah
acara m em bersihkan dan m enata rum ah: m elap, m enyapu
rum ah, m engepel, m enyapu halam an, m encuci piring kalau
m asih ada, m em bersihkan got, dan m elap dua sepeda—sepeda
Mas Pram dan sepeda Mbak Arvah. Sem ua itu kam i lakukan
bergantian bertiga. Baru sesudah itu m em bersihkan badan,
m enata alat-alat sekolah, dan m akan pagi.
Tidak ada perintah atau suruhan untuk bersem bahyang, dan
itu agaknya m eringankan kam i dalam m elaksanakan disiplin
www.facebook.com/indonesiapustaka

rum ah. Tapi ada perintah untuk m engaji dua kali sem inggu
pada sebuah m adrasah yang dipim pin dan diajar oleh seorang
haji yang saya sudah lupa nam anya di Gang VI. Inilah yang
m em beratkan, terutam a karena usia saya waktu itu sudah 15
tahun, duduk di kelas tiga SMP, sedangkan tem an-tem an sekelas
m asih um ur-um ur 7-8 tahun, m asih duduk di kelas 1-2 SD. Yang
90 Bersama Mas Pram

m em beratkan juga adalah saya disuruh m engikuti dari awal lagi


pelajaran tentang m engam bil air wudhu dan bersem bahyang,
dan untuk pelajaran m engaji diwajibkan m em baca surah-surah
pendek dari Juz Am m a. Sem ua itu sudah pernah saya pelajari
dari Pak Irin di Blora. Malunya bukan m ain, karena seringkali
tem an belajar saya yang kecil-kecil itu lebih lancar daripada
saya dalam segala hal. Saya sem pat m engikuti Maulid Nabi
di m adrasah itu, dan sem pat diolesi m inyak wangi oleh Pak
Haji. Untunglah sesudah itu Pak Haji m enyatakan saya lulus
m adrasah dan m em bebaskan saya dari pelajaran.
Sekitar pukul 0 6.0 0 kam i sudah berangkat ke sekolah.
Pelajaran berlangsung dari pukul 0 7.15 sam pai pukul
13.0 0 .
Kam i sam pai di rum ah kem bali sekitar pukul 14.0 0 , dan
m enunggu kedatangan Mas Pram dari kantor. Seperti sudah
saya katakan, waktu itu disiplin pegawai negeri m asih baik,
yaitu tutup kantor pukul 14.0 0 . J adi Mas Pram tiba di rum ah
paling cepat sekitar pukul 14.30 , dan barulah kam i m akan
siang bersam a dengan m enggelar tikar di lantai dapur dan
ruang m akan Pak Iljas. Cara ini kadang-kadang m em buat kam i
m engeluh, karena kam i sudah lapar, lelah, dan m engantuk
sepulang dari sekolah.
Pada suatu hari, saking laparnya, tanpa m em ikirkan m ilik
siapa itu, kam i (saya dan Coes) m enjolok buah jam bu darsana
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang tum buh di pekarangan Pok None dekat pagar kam i. J am bu


itu sebetulnya dari jenis yang setahu saya kurang enak, warnanya
m erah m uda, dan kadang-kadang dim akan dengan garam dan
ulekan cabai. Tapi karena perut lagi kosong dan m ulut sudah
pahit, jam bu yang kurang enak itu terasa m enyegarkan di lidah
kam i; badan jadi terasa sehat, dan m ata jadi nyalang.
Bagian Ketiga: Jakarta 91

Lagi sibuk m enyantap jam bu tak sah tersebut, entah


bagaim ana, terasa ada orang yang m em perhatikan. Kam i
m enoleh ke belakang, dan... ya Allah... Pak Iljas! Alangkah m alu
kam i. Dan lebih m alu lagi karena Pak Iljas tidak m engatakan
apa-apa, hanya m em perhatikan kam i sam bil geleng-geleng,
tangannya di punggung. Kam i pun lekas-lekas m em beresi
galah dan hengkang dari tem pat itu.
J enis m akanan kam i sangat sederhana, paling sering nasi
putih dengan sayur asam dan lauk ikan asin. Kalau tidak, sayur
bening bayam dengan lauk tem pe goreng atau tahu goreng.
J enis lain adalah sayur sop dengan lauk kerupuk atau rem peyek.
Sem ua itu biasanya dilengkapi dengan lalapan dan sam bal. Di
antara lalapan, yang sering tam pil adalah m entim un, kol, dan
cai-sim . Dari jenis-jenis lalapan ini cai-sim yang tidak saya
kenal, karena di Blora tidak ada. Nah, pada suatu hari saya
ingin tahu rasanya cai-sim itu. Saya ulurkan tangan untuk
m engam bilnya, tapi alangkah kaget saya, karena m endadak
Mas Pram m enegur:
“Eh, itu buat Mbak!”
Dengan sendirinya saya segera m enarik tangan saya.
Sayangnya, sam pai sekarang saya belum pernah m enanyakan
alasannya kepada Mas Pram m aupun Mbak Arvah.
Yang sangat baru buat kam i adalah gado-gado dan
karedok. Saya segera saja cocok dengan kedua jenis m akanan
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu. Bagaim ana m ungkin tak cocok dalam keadaan kekurangan


itu, lebih-lebih di Blora di m asa pendudukan J epang dan
revolusi?
Variasi m akanan di sini boleh dikata tidak m engalam i
pasang surut. Artinya, tidak pernah kam i alam i m akan m ewah
atau bahkan sangat m ewah. Sebaliknya ada m asanya, ketika
92 Bersama Mas Pram

m akan kam i dijatah hanya yang ada di piring, tanpa tam bahan.
Itu barangkali ketika ekonom i Mas Pram m erosot. Saya ingat,
waktu itu perut saya belum m erasa kenyang.
Seperti biasa, selesai m akan kam i bergiliran m encuci
piring.
Sekitar pukul 15.0 0 kam i harus tidur siang, dan pukul
17.0 0 harus belajar sam pai pukul 20 .0 0 , saat untuk m akan
m alam bersam a lagi. Dalam m asa belajar itu kadang-kadang
ada kesem patan untuk m endengarkan radio. Sesudah itu
ada saja yang perlu dilakukan, tetek-bengek rum ahtangga,
dan pukul 21.0 0 kam i harus m apan tidur. Tidak dibenarkan
sesudah pukul itu kam i dalam keadaan m elek.
Dengan sendirinya acara hari Minggu agak longgar. Di
hari Minggu kam i bisa m endengarkan radio pagi hari. Atau
m endengarkan sandiwara radio atau pertunjukan wayang hari
Sabtu m alam . Tapi ada pekerjaan lain yang harus dilakukan,
yaitu m encuci pakaian dan m enyeterika. Sebetulnya pekerjaan
ini bukan hal baru bagi kam i, karena sejak di Blora sudah
dibiasakan oleh Mbak Oem . Dan lagi pakaian kam i tidak
banyak. Yang berat adalah m encuci kem eja pem berian Mas
Pram , kem eja dril tentara tebal bersaku tiga, yang biasanya saya
pakai tidur m enggantikan selim ut. Kem eja itu kelihatannya
peninggalan Mas Pram dari penjara.
Hari Minggu juga kesem patan untuk jalan-jalan m engenal
www.facebook.com/indonesiapustaka

J akarta bersam a Mat Cikrik atau Mas Pram sendiri.


Pada suatu m alam , Mat Cikrik m engajak saya dan Coes
nonton ilm layar tancep (saya sudah lupa apa namanya waktu
itu). Kam i m au, dan diizinkan Mbak Arvah. Dengan sendirinya
kam i tak berani lam a-lam a: sebelum pukul sem bilan sudah
pulang. Toh itu ditanyakan Mas Pram kepada Mbak Arvah: “Ke
Bagian Ketiga: Jakarta 93

m ana anak-anak?” Dan kam i pun ditanya langsung oleh Mas


Pram , sepulang kam i. Dengan sendirinya kam i katakan sudah
m endapat izin dari Mbak Arvah.
Terus-terang, penerapan disiplin seperti itu, yang sam a-
sekali tak kam i kenal di Blora, sangat m enekan kam i. Kadang
terpikir oleh saya, barangkali selam a di penjara Mas Pram
didisiplinkan seperti itu. Saya, dengan sendirinya, kadang-
kadang m elanggar disiplin itu, m isalnya dengan tidak tidur
siang atau m elek sesudah pukul sem bilan m alam , bahkan
sam pai pukul 23.0 0 , terutam a kalau ada pekerjaan rum ah
yang harus digarap.
Sem entara itu kam i m erindukan kebebasan kam i di Blora,
ketika kam i bisa m ain bola atau m ain di kali sepulang dari
sekolah, atau m ain petak um pet atau gobak sodor di kala
bulan purnam a. Nyanyi-nyanyi lagu dolanan. Atau sekadar
m engobrol ngalor-ngidul dengan tem an-tem an. Di Kebon
J ahe Kober kam i tak punya tem an kecuali Mat Cikrik, itu pun
tidak selalu bisa kam i hubungi. Maka hiburan kam i adalah
m enulis surat. Alangkah nikm at dan gem bira hati kam i kalau
sepulang kam i dari sekolah m endapati surat di ranjang kam i,
dari Rigno, Kirm an, atau Bari. Tapi alangkah jarang surat itu
datang, karena alangkah jarang juga kam i berkesem patan
m enulis surat.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bersekolah

SUDAH SAYA sebutkan, kam i berangkat ke sekolah sekitar


pukul enam pagi. J alan kaki, walau seandainya ada biaya kam i
bisa naik trem , lalu disam bung jalan kaki sekitar tak sam pai
satu kilom eter lagi.
Kam i m enyusuri J alan Mojopahit di m ana terletak apotik
Rathkam p tem pat kam i (saya, Mbak Is, atau Coes) suka beli
obat atau alat-alat kedokteran. Biasanya beli obat. Tapi pada
suatu hari, ketika anak Mas Pram yang pertam a, Poedjarosm i,
sudah lahir, saya pernah disuruh beli pom pa tetek oleh Mbak
Arvah. Pom pa saya tahu, tapi tetek saya tak tahu.
“Pom pa tetek itu apa, Mbak?” tanya saya.
Mbak Arvah kontan tersenyum lebar, tapi dia tak
m enjelaskan selain akhirnya m engatakan:
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Pokoknya bilang aja, beli pom pa tetek gitu. Sana pasti


ngerti,” katanya.
Begitulah, saya turuti pesan Mbak Arvah, dan berhasil
m em bawa barang itu pulang, tapi tetap saja saya tidak m engerti
barang apa itu.
Bagian Ketiga: Jakarta 95

Lain kali oleh Pak Iljas saya disuruh beli cangcut. Seperti
dalam hal pom pa tetek, saya tak tahu apa itu cangcut.
“Cangcut itu apa, Pak?” tanya saya kepada Pak Iljas.
“He-e-e!” gerendeng Pak Iljas, seperti biasa, cam pur
ketawa. “Sudah! Bilang aja, cangcut!”
Begitulah, kam i jalan sam pai persim pangan Harm oni. Di
situ m enyeberang ke kanan, m elewati patung lelaki telanjang
(kalau tak salah bersayap) di pinggir Kali Ciliwung yang
diapit J alan Nusantara dan J alan Segara, lalu m asuk J alan
Nusantara. Gedung ketiga di J alan Nusantara itulah toko
Tabaksplant tem pat saya biasa m em beli tem bakau “Shag” atau
papier untuk Mas Pram . Sekitar seratus m eter dari situ ada
jalan penyeberangan ke J alan Segara. Nah, persis di tentang
jalan penyeberangan itu ada toko Tionghoa “Oen”, toko kue
enak-enak (kelihatannya) yang tak pernah kam i cicipi, karena
m em ang tak pernah beli. Selang sedikit dari situ ada toko besar
Van Dorp yang m enjual alat-alat tulis dan alat gam bar dan
juga buku-buku yang suka kam i am at-am ati. Menyusul J alan
Pecenongan. Lalu ada toko besar juga, bertingkat, nam anya
Belanda, tapi sudah lupa saya, apa, tapi kem udian berubah
m enjadi toko Djam batan. Di etalasenya dipam erkan berm acam
buku, terutam a atlas, yang selalu kam i am at-am ati. Sesudah
itu ada toko sepatu bagus-bagus, toko Hana nam anya, disusul
kem udian toko Com em o yang m enjual pakaian bagus-bagus,
www.facebook.com/indonesiapustaka

pakaian Eropa.
Nah, sesudah itu m elintang rel kereta api dari Stasiun
Gam bir di selatan ke Stasiun Kota, lewat Stasiun Sawah
Besar. Begitu m enyeberang, di kanan ada benteng Citadel
yang sudah saya sebut, dan di kiri ada bioskop Capitol yang
terletak di pinggir pintu air (sluis nam anya waktu itu). Dari
96 Bersama Mas Pram

situ kam i m enyusuri J alan Pos yang sejajar dengan sudetan


Kali Ciliwung, sam pai Schouwburg di kanan dan Pasar Baru di
kiri. Selanjutnya sudah saya ceritakan.
Kam i tiba di sekolah sebelum pukul tujuh, jadi tak sam pai
satu pukul di jalan, dan kaki kam i pun belum terasa lelah.
Sepanjang jalan itu ada saja yang kam i perhatikan, yang
m enarik perhatian. Misalnya kam i, terutam a saya dan Coes,
m enghafal plat-plat m obil atau m enghitung jum lah m obil
m erek tertentu. Kadang-kadang m ain tebakan dari jauh apa
m erek m obil tertentu. Coes selalu unggul dalam tebakan
itu. Tapi ada m obil yang m ereknya susah kam i ingat, seperti
Studebaker. Sedangkan m erek Ford, Chevrolet, Willys kam i
sangat hafal.
Di J alan Dr Sutom o kam i ham pir selalu beriringan dengan
seorang gadis dewasa, kelihatannya sudah pegawai, yang jalan
pelan-pelan dan, di depan sekolah SMP atau Kantor Statistik
bertem u dengan seorang pem uda dewasa yang datang dari
arah berlawanan, kelihatannya sudah pegawai juga. Mereka
selalu tersenyum di saat jum pa. Lalu m ereka berdua berbalik
ke arah datangnya gadis dewasa. Kam i m em bayangkan,
alangkah saling cinta m ereka itu, dan alangkah bahagia. Tapi
selanjutnya kam i tak tahu, ke m ana arah m ereka.
Kadang-kadang (jarang sekali!), berhenti m obil sedan
di sam ping kam i, dan kam i dipersilakan naik. Itulah m obil
www.facebook.com/indonesiapustaka

orangtua tem an sekelas saya dan Mbak Is, nam anya kalau
tak salah ingat Ism iati, putri J enderal Suhardjo, kepala
rum ahtangga Presiden Soekarno. Ia tinggal di Istana,
karena ayahnya, kepala rum ahtangga Presiden. Kam i sering
m em bayangkan, alangkah senang kehidupan tem an kam i
Ism iati itu, yang tinggalnya saja di istana, dan ke sekolah
Bagian Ketiga: Jakarta 97

diantarkan m obil, jadi tentunya segalanya baik-baik saja dan


beres tak kurang suatu apa. Saya ingat, waktu pertam a dan
kedua kali dibonceng m obil itu, m em buka pintunya pun saya
tak bisa, dan alangkah m alu perasaan saya waktu itu. Tapi
yang kam i rasakan sangat m engecewakan adalah kalau m obil
itu jalan terus m elewati kam i, padahal kam i tahu, pasti m ereka
m elihat kam i bertiga berjalan kaki sebagaim ana biasa.

SEKOLAH KAMI adalah gedung kedua yang m em anjang


ke belakang di sam ping rum ah Pak Said. Sebetulnya bukan
gedung, karena tak berdinding, yah, sem acam speelloods
(ruangan berm ain) di sekolah kam i di Blora dulu. Di hari
belajar, ruangan itu disekat-sekat dengan sekesel gedek
setinggi dua setengah m eter m enjadi kelas-kelas. Seperti biasa
terjadi di tengah anak-anak, sekesel itu banyak bolongannya,
tem pat anak-anak m engintip kelas lain. Kadang-kadang
bolongan itu cukup besar, sehingga suasana kelas lain begitu
saja tam pak gam blang. Bukan hanya itu, suara guru dan m urid
dari dua jurusan kedengaran belaka, bahkan dari em pat kelas
sekaligus.
Tem an sekelas kam i di kelas tiga Tam an Dewasa (TD)
cam puran dari daerah-daerah di Indonesia, yang saya ingat
www.facebook.com/indonesiapustaka

di luar Ism iati tadi, antara lain adalah Husin dan Syahm ardan
(yang kem udian m engubah bentuk nam anya m enjadi S.M.
Ardan) dari J akarta, Suprapti dan Sandjoto Pam ungkas dari
J awa, Elly Djuwaeli dari Pasundan, Yuliar dan pacarnya
Adjim ah, Buyung, dan Ariza Rivai dari Sum atra Barat, Nurbaiti
dari Lam pung, dan Sobron Aidit dari Belitung.
98 Bersama Mas Pram

Bagaim ana bisa saya ingat nam a tem an-tem an itu?


O, ada sebabnya. Husin karena perkasa isiknya. Dia suka
m engangkat-angkat dan m engayun-ayunkan saya. Karena
entengnya barangkali? Syahm ardan karena sangat tenangnya.
Suprapti karena cantik dan jam bulnya yang besar dan karena
rum ahnya bagus di J alan Menteng, Sandjoto Pam ungkas
karena nam anya bagus dan orangnya gagah dan karena dia,
kalau tak salah, pacar Suprapti, Elly Djuwaeli karena cantiknya
setengah m ati dan bibirnya selalu basah, Yuliar karena selalu
runtang-runtung dengan pacarnya yang juga cantik dan
berjam bul besar, Buyung karena nakalnya, Ariza Rivai karena
tipis bibirnya dan selalu berceloteh, Nurbaiti karena cantik
sekali, pinggangnya selalu diikat erat-erat supaya ram ping,
tiap istirahat m esti m asuk WC untuk m engeratkan ikatan
pinggangnya, dan suka m enyontek, dan Sobron Aidit karena
periangnya.
Suasana pergaulan sangat baik, tidak ada sikap m em beda-
bedakan dari m ana pun asal siswa. Saya dan Mbak Is selalu
datang berdua, dan tem an-tem an selalu m elihat kam i berdua,
walau bangku kam i berlainan. Seingat saya, tidak pernah saya
tak m asuk sekolah karena sakit. Sebaliknya, kadang-kadang
Mbak Is tidak m asuk sekolah karena berbagai alasan. Maka
tem an-tem an pun bertanya:
“Mana em pok lu?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mula-m ula saya bengong m endapat pertanyaan itu, tapi


lam a-lam a terbiasa juga.
Guru (atau di sini disebut pam ong) kam i juga datang dari
berbagai daerah, dan juga baik-baik. Tidak ada di sini guru
jahat. Yang ada di sini guru serius dan guru santai. Yang serius
biasanya guru ilm u eksakta seperti aljabar, ilm u pasti, dan
Bagian Ketiga: Jakarta 99

ilm u kim ia. Dan yang santai itu guru ilm u sosial. Ada guru
(atau guru-guru) yang kerjanya m engobrol (bukan m engajar)
ngalor-ngidul dari awal sam pai akhir teng bel berbunyi tanda
pelajaran selesai. Para siswa sih senang-senang saja, tapi
kadang-kadang terpikir juga oleh saya: “Guru kok begitu?”
Tem an kam i ada yang rum ahnya sejauh rum ah kam i, di
Tanah Abang, biasanya m ereka naik sepeda. Ada juga yang
sedang jauhnya seperti di Cikini atau Menteng dan Sawah
Besar. Tapi kebanyakan m ereka tinggal di sekitar tem pat itu, di
Senen, Kepu, atau Kem ayoran itu sendiri. Di tiap perjum paan
atau perpisahan para siswa dan pam ong m engucapkan kata
“salam ” sebagai ikatan korps.

KAMI PULANG jalan kaki juga, m enem puh jalan yang sam a
sam pai m enyeberang rel di Citadel, sudah itu m em belok ke
kiri m enyusur jalan, saya sudah lupa nam anya, di pinggir
Kali Ciliwung. Sepanjang jalan itu ada rum ah bertingkat
dua sam bung-m enyam bung m enjadi satu. Yang suka kam i
herankan, rum ah gedung kok berdem pet-dem pet.
Di ujung jalan itu, di kanan, ada bangunan m iliter ber-
tingkat banyak, warna hijau, yang di depan selalu dijaga m iliter
Belanda totok berseragam dan bersenjata lengkap (waktu itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

m asih ada Misi Militer Belanda). Nah, di situ kam i m enye-


berang ke kanan, ke Tam an Chairil Anwar. Di situ kam i bertem u
dengan trem listrik yang datang dari Stasiun Gam bir m enuju
ujung J alan Majapahit, m elewati depan Istana Presiden, dan
seterusnya ke Harm oni.
100 Bersama Mas Pram

Dengan sendirinya, sam pai di situ biasanya kam i sudah


lelah, lapar, dan m engantuk, karena hari sedang sepanas-
panasnya. Maka kadang-kadang kam i nekat naik trem dari
Tam an Chairil Anwar. Dasar sial, tukang karcis selalu m enagih
bayaran, dan kam i, karena m em ang tak punya uang, m enjawab
nekat juga: “Saya turun di depan situ!” sam bil m enunjuk halte
berikut. Dan sam pai di Deca Park kam i pun benar-benar
turun, untuk kem udian jalan kaki lagi. Lum ayan, ada jarak
sekitar 150 m eter yang terlam paui tanpa jalan kaki. Nam un
kenekatan dem ikian jarang kam i tem puh. Kam i ham pir selalu
berjalan kaki, dengan kesadaran bahwa m em ang dem ikianlah
harusnya. Itu tugas, dan tugas harus dilaksanakan dengan
penuh tanggungjawab.
Peristiwa yang langka adalah kalau ada tem an yang m em -
boncengkan kam i dengan sepedanya. Saya katakan langka,
padahal sebetulnya am at sangat langka atau langka bukan
m ain. Maklum lah, kam i kan bertiga, sedangkan tem an-tem an
itu rum ahnya kan berpencar. Tapi sungguh m ati, pernah kam i
diboncengkan tem an. Bukan bertiga, tapi berdua, karena Coes,
entah kenapa tidak bersam a kam i. Waktu itu kam i (saya dan
Mbak Is) dibonceng oleh dua tem an yang rum ahnya di Tanah
Abang. Sayangnya, m ereka m em boncengkan kam i hanya
sam pai di persim pangan Kebon Sirih dengan Tanah Abang
Raya, di m ana ada pegadaian. J adi kam i harus m eneruskan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pulang dengan jalan kaki juga. Tapi bagaim anapun kam i


berterim akasih kepada tem an-tem an itu, yang nam anya saya
sudah lupa.
Lagi-lagi Sepatu

BERBULAN-BULAN J ALAN kaki pulang-pergi ke sekolah tiap


hari, sekali jalan sekitar lim a kilom eter, jelaslah bahwa akhirnya
sepatu sandal kam i bejat. Kam i m asih sem pat m em perbaikinya
pada tukang sol sepatu, waktu sepatu itu baru rusak. Tapi
sesudah bejat, tak ada jalan lain kecuali m enggantinya. Apa
akal?
Dengan sendirinya teringat oleh saya sepatu tentara
pem berian Mas Djajoes. Sekaranglah tiba waktunya untuk
m engecilkan sepatu itu. Nah, tiap hari kan ada saja tukang
tol sepatu m engedari gang-gang kam pung J akarta, yang khas
dengan pekiknya: “Soll patukkk!” Pada seorang soll patukkk
itulah sepatu pem berian Mas Djajoes saya tenteng baik-baik,
dan saya tanyakan apakah bisa dikecilkan. J awabannya bikin
www.facebook.com/indonesiapustaka

saya kaget dan kecewa:


“Ah, itu m ah kagak bisa!” walau ia am at-am ati juga sepatu
itu, seperti m engam ati-am ati ikan m as.
“Kenapa kagak bisa?”
“Ya kagak bisa atuh!”
“Ya kenapa kagak bisa atuh?”
102 Bersama Mas Pram

“Ya lain atuh citakannya!”


Saya tidak lagi kecewa sekarang, tapi jengkel. Saya pikir
Soll Patukkk itu jual m ahal, karena tak ada saingan. Maka
sepatu lalu saya bawa ke depan Istana. Di depan istana itu
dulu berjajar tukang sol sepatu m enjajakan jasanya di bawah
pohon-pohon asam . Ada kalau dua puluh orang. Satu per satu
saya datangi m ereka, dan satu per satu m enggelengkan kepala
dengan wajah cem berut. Sebagian bahkan tak m au m enyentuh
sepatu itu sam asekali.
Yakinlah saya bahwa m em ang sepatu itu tak bisa dikecilkan.
Heran saya, kenapa Mas Djajoes tak tahu soal itu? Lalu untuk
apa sepatu itu dibawa jauh-jauh, berat-berat, dan m em enuhi
ruangan dalam besek waktu itu? Heran saya juga, atau bodoh
saya, kenapa tak terpikir oleh saya untuk m enjual sepatu itu,
dan dengan hasil penjualannya m em beli sepatu yang lebih
m urah. Dasar tak punya jiwa dagang atau usaha! Dan ketika
saya sam paikan hal itu pada Mbak Arvah, dia pun hanya heran
kenapa tak bisa. Tapi....
“Kalau begitu, pilih itu sepatu Mbak yang cocok!” katanya.
Kepada saya ditunjukkan sim panan (bukan koleksi)
sepatu Mbak Arvah yang sem ua sudah tua, tapi m asih baik.
Mbak Arvah, saya yakin, bukan pengagum m ode. Sepatunya
serupa sem ua, yaitu sepatu tutup dari kulit hitam atau cokelat,
berlidah di depan sebagai riasan, berhak tinggi.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Potong aja lidahnya, sam a haknya dipendekin!” sarannya.


Saya kurang berkenan dengan sarannya itu, sebab bagai-
m anapun itu sepatu perem puan: lancip di depan, dan hak
sepatu perem puan itu walau tidak tinggi kan selalu m enjorok
ke dalam , tidak seperti sol sepatu lelaki yang lurus ke bawah.
Bagian Ketiga: Jakarta 103

Tapi, yah, sekali lagi, yah, jalan keluar lain tak ada.
Begitulah, saya sem pat beberapa bulan m engenakan sepatu
perem puan, bekas, yang dipotong lidahnya dan dipendekkan
haknya, lancip di depan, dengan sol m enjorok ke dalam . Alkisah,
sesudah beberapa bulan dipakai—dasar sepatu bekas!—sepatu
itu pada lepas pakunya sehingga m enganga di depan seperti
buaya m akan bangkai. Dan untuk m elengkapi tragedi ini—
dasar sial!—tem an-tem an sekelas m engajak berpotret di depan
gedung Tam an Siswa. Sungguh, saya kasihan kepada diri saya
sendiri waktu itu, sebab di tengah kesibukan m em perebutkan
tem pat yang paling strategis waktu berpotret itu, saya “hanya”
m em ilih tem pat terdepan, yang jongkok, karena dengan
berjongkok saya bisa m engatupkan m oncong buaya yang
sedang m akan bangkai, dan m enutupinya dengan dengkul
saya, walau saya yakin m oncong itu akan tetap kelihatan.
Setelah itu habislah m asa dinas sepatu itu, digantikan oleh
sepatu yang lain. Tapi itu lain lagi ceritanya.
Saya kadang-kadang m asih bertanya dalam hati apakah
m asih ada tem an sekelas dulu yang m enyim pan foto itu, sebab
bagaim ana saya bisa m em esan foto itu kalau untuk beli sepatu
(bekas) saja tak ada uang?
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lewat Mana?

MALAM LEBARAN tahun 1950 sungguh m alam bahagia buat


saya dan Coes. Malam itu kam i dapat hadiah Lebaran, dan boleh
jalan-jalan. Tanpa buang kutika, kam i berdua m eninggalkan
lingkungan kam pung dan m ulai m engukur jalan. Kam i tidak
naik kendaraan apapun, pergi m aupun pulangnya. Kam i ingin
tahu, apa saja yang dilakukan orang di J akarta pada m alam
takbiran tersebut. Kam i sudah terbiasa jalan kaki pulang-pergi
ke sekolah, m aka tidak ada soal jalan kaki sam bil m enonton
apa saja kegiatan orang m alam itu.
Dari J alan Tanah Abang Raya kam i m asuk dalam
Mojopahit sam bil berhenti tiap kali ada yang m enarik. J alan
Mojopahit jalan toko-toko m ahal, tapi ada saja di depan-depan
toko itu orang jualan ini-itu: m akanan seperti kue pancong dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

doger, atau m inum an, terutam a kopi. Ada juga orang jualan
klithikan (barang keperluan sehari-hari seperti benang-jarum ,
peniti, kancing, sikat gigi, tandpasta dan sabun, dan banyak
lagi lainnya, term asuk geretan, pipa dan alat m erokok yang
lain). Kam i tertarik barang-barang itu, karena barang-barang
itulah yang biasa kam i tonton di Blora di pasar, pada pedagang
Bagian Ketiga: Jakarta 105

kelontong, dan di pasar m alam , kalau lagi ada pasar m alam .


Satu-dua ada juga yang m enjual pakaian, dengan penerangan
lam pu jalan dan satu-dua lam pu toko yang sinarnya m enyerobot
ke luar.
Sam pai di Harm oni kam i jalan terus ke utara m enyusur
J alan Gajah Mada. Itu jalan yang tak baik dan berbahaya untuk
jalan kaki sebetulnya, karena di situ ada rel trem yang m enuju
ke Kota, dan cukup tinggi frekuensinya. Kam i sudah tahu itu,
karena sudah pernah pergi ke Pasar Ikan bersam a Mat Cikrik,
tapi kam i ingin m engam atinya dari dekat, walau pada m alam
hari. Dengan sendirinya tidak banyak orang jualan di situ.
Paling-paling tukang tokok di sudut-sudut. Tidak jauh dari
Harm oni ada J alan Alaydrus ke kiri, dan di awal jalan itu ada
kios m akanan dan m inum an, lengkap dengan es Petojonya.
Dan ke kanan ada J alan Batutulis.
Kam i tidak belok ke kiri atau ke kanan, karena kam i tahu
di kedua tem pat itu tidak ada apa-apa selain perm ukim an
penduduk. Kam i jalan terus ke utara dengan waspada, sam bil
tiap kali m enghindari trem yang lewat.
Barulah di persim pangan berikut kam i m em belok ke
kanan. Itulah J alan Sawah Besar. Persis sebelum jalan itu
ada hotel besar, Hotel J acatra. Dan sepanjang J alan Sawah
Besar itu disusuri jalan trem yang m enuju Pasar Baru dan
selanjutnya ke Gunung Sahari. Berjalan beberapa waktu di situ
www.facebook.com/indonesiapustaka

sam pailah kam i di Pasar Sawah Besar. Nah, itulah yang asyik.
Banyak orang jual pakaian, yang baru m aupun yang loak. J uga
alat-alat, alat-alat apa saja: tukang kayu, tukang sepatu, tukang
leding, m ontir sepeda, m ontir m obil, m ontir radio—lengkap.
Makanan juga banyak. Mainan anak-anak juga banyak. Yang
kam i heran, di sini pun orang jual m inyak wangi seperti di Pasar
106 Bersama Mas Pram

Gam bir. Penjual m inyak wangi m engejar-ngejar pem beli, dan


kalau sudah terkejar bukan sekadar ditawari, tapi juga diolesi
tangannya dengan m inyak. Kam i berdua yang jelas m asih anak-
anak ikut dikejar juga. Sem ula saya sam pai m enyangka bahwa
m endapat olesan m inyak wangi itu harus m em bayar. Kalau
tidak, kenapa begitu getol m ereka m engoleskan m inyaknya?
Kan terbuang sia-sia saya. Indera pencium an saya rupanya cu-
kup tajam , karena saya cukup dapat m encium baunya, walau
hanya sepintas lalu.
Yang saya sangat tertarik adalah saputangan. Lipatannya
bagus-bagus, dan m odelnya pun indah, dengan garis-garis yang
berwarna-warni. Saya pikir, harganya tentu bisa dibayar dengan
uang yang kam i kantongi. Tapi sesudah banyak m enim bang
dan ragu-ragu, akhirnya saya tidak jadi m em belinya.
Kam i jelajahi pasar itu sam pai di ujungnya benar, baru se-
sudah itu balik kanan jalan. Di situlah baru kam i sadari bahwa
kaki kam i cukup lelah juga. Maka kam i putuskanlah untuk
pulang. Kam i m enem puh jalan yang sam a, tapi sam pai di ujung
J alan Sawah Besar kam i langsung m asuk J alan Hayam Wuruk,
sam pai Harm oni kem bali. Sam pai di situ kam i tidak m enyusuri
J alan Mojopahit di sisi kiri, di m ana terdapat gedung Societeit
De Harm onie, tapi seperti biasa, di sisi pertokoan.
Sam pai di kam pung Kebon J ahe Kober kam i lihat suasana
sudah sangat sepi. Tidak ada lagi orang lewat, bahkan orang
www.facebook.com/indonesiapustaka

m engobrol di rum ah-rum ah pun tak ada lagi. Kam i tak tahu,
sudah pukul berapa waktu itu.
Sam pai di rum ah suasana pun sudah sepi. Seluruh rum ah
pasti sudah tidur, karena sam asekali tak ada suara barang m au-
pun orang. Apa yang harus kam i lakukan? Mengetuk pintu?
Kam i takut m engganggu. Mas Pram dan Mbak Arvah tentu
Bagian Ketiga: Jakarta 107

sudah tidur sejak pukul sem bilan tadi. Pak Iljas dan Bu Iljas
lebih-lebih lagi, sebab m ereka tentu lelah sesudah bekerja
sepanjang hari. Mau m engetuk Mbak Is, m asak dia dengar?
Kam arnya di ujung belakang.
Entah bagaim ana, Coes ada saja tingkahnya. Ia m engutik-
utik grendel jendela sam ping bikinan Pak Tasim an, bapaknya
Mat Cikrik, yang m em ang tukang, tapi barangkali kelas sekian.
Tidak pernah Pak Tasim an bikin sesuatu persis ukuran. J adi
antara daun jendela dan am bang jendela m asih ada luang ko-
song. Dan begitulah, jendela sam ping itu bisa dibuka, dan Coes
m elangkah m asuk. Saya, tanpa berpikir lagi, ikut m asuk. Dasar
sudah lelah dan m engantuk. Ingat saya, m alam itu pun kam i
tak pakai m akan segala. Langsung saja tidur seperti bayi yang
tanpa dosa.
Esoknya, benar saja, kam i ditanya oleh Mbak Arvah, siapa
yang m em bukakan pintu sem alam . Tentu saja kam i m enjawab
tidak ada. Lalu bagaim ana bisa m asuk rum ah? Nah, di situlah
kam i plegak-pleguk m enjawabnya. Tapi seplegak-pleguk
apapun, akhirnya toh kam i harus m engakui bahwa kam i
m asuk rum ah lewat jendela. Pokoknya Mbak Arvah sam pai
m engatakan: “Nggak baik!” dan itu sudah cukup bagi kam i
untuk m em bayangkan diri kam i sendiri sebagai m aling lom pat
jendela.
Dan itu jelas tidak cukup. Siangnya kam i dilanjrat (diadili)
oleh Mas Pram . Kam i bertiga duduk berjajar kiri-kanan: Mbak
www.facebook.com/indonesiapustaka

Is, saya, Coes. Mbak Is yang tak ikut berbuat kena lanjrat juga.
Mas Pram duduk m enghadap kam i, diantarai m eja. Dan Mbak
Arvah m ondar-m andir sam bil senyum . Mas Pram m em berikan
peringatan keras kepada kam i agar tidak m elakukan hal seperti
itu, dan jangan sam pai m engulanginya. Kata-katanya kira-kira
begini:
108 Bersama Mas Pram

“Apa yang kalian lakukan itu? Macam m aling! Kan ada


pintu? Kan bisa ngetuk? Kalian ini m aunya apa? Kalian aku
bawa ke sini ini untuk belajar. Aku sekolahkan. Aku biayai.
Kalian tahu, waktu aku lulus Budi Utom o, lulus SR, aku m inta
disekolahkan sam a Bapak, nggak dikasih! Malah disuruh
ngulangi lagi kelas tujuh! Kalian nggak usah m inta, aku
sekolahkan. Mau jadi apa kalian.... Huk-huk-huk!”
Mas Pram m enangis. Airm atanya bercucuran. Itulah
untuk pertam a kali saya m elihat dengan am at jelas Mas Pram
m enangis. Saya sungguh m enyesal dengan langkah saya itu.
Tapi apalah yang bisa saya katakan? Sem ua sudah begitu
jelas.
Rupanya itu pula yang terpikir oleh Mbak Is m aupun
Coes. Maka siang itu kam i bertiga cum a bisa bungkam seribu
basa. Kam i jelas tak m engulangi perbuatan itu. Dan kam i pun
sebetulnya tak punya jiwa ke situ.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pelajaran Sekolah

SAYA TIDAK pernah m enonjol dalam pelajaran. Itu barangkali


bukan kekhususan saya, tapi ciri um um kam i dalam keluarga.
Sebabnya? Untuk sem entara saya sim pulkan, karena ekonom i
keluarga tidak m endukung. Saya ingat, angka rapor saya di
SR di Blora didom inasi angka enam , disusul satu-dua angka
tujuh dan satu-dua angka lim a. Tidak ada angka delapan. J uga
tidak ada angka em pat. Di kelas 5 SR ada tem an sekelas saya,
Santoso nam anya, cerdas dan tangkas bukan m ain. Pertanyaan
apa saja dalam m ata pelajaran apa saja yang diajukan guru,
dapat dijawabnya. Dan cepat. Bahkan kadang-kadang sebelum
ditanyakan guru, dia sudah m enebak jawabannya. “Kok ada
anak yang begitu pinter?” pikir saya.
Tapi saya tidak iri padanya. Saya m erasa, saya lain dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Santoso, dan tidak bisa m enjadi Santoso. Saya pun lain dengan
tem an lain yang barangkali kurang baik angka rapornya dari-
pada saya; yang sam pai tidak naik kelas m isalnya. Saya pun
tidak m ungkin m enjadi tem an-tem an lain itu. Saya m erasa bah-
wa saya adalah saya seperti adanya, dan orang lain adalah juga
orang lain seperti adanya.
110 Bersama Mas Pram

Saya kadang-kadang m erasa m alu, Bapak seorang guru, tapi


kepandaian saya sam asekali tidak ada istim ewanya. Pernah,
kebetulan Bapak m engajar di kelas saya. Bapak m engajukan
pertanyaan tentang pelajaran yang diberikannya m inggu yang
lalu. Ditunjuk satu anak untuk m enjawabnya. Tidak bisa. Oleh
Bapak saya disuruh berdiri di sam ping bangku. Anak kedua
ditanya, juga tidak bisa, juga disuruh berdiri. Begitu terus
berturut-turut sam pai ham pir setengah kelas berdiri. Datang
giliran saya, aduh, belum -belum pun saya sudah tak bisa m en-
jawab. Sungguh saya m erasa m alu. Dan lebih m alu lagi ketika
giliran m endapat sabetan penggaris di telapak tangan, saya
m endapat bagian paling keras dari Bapak!
Maka ketika saya m elanjutkan pelajaran di Tam an Dewasa,
Tam an Siswa, Kem ayoran, tidak ada m asalah dengan angka pe-
lajaran saya. Angka enam m elulu. Yang penting bagi saya ada-
lah disiplin dalam m engikuti pelajaran. Mengikuti disiplin pe-
lajaran berarti tidak ada m asalah dengan guru, dan yang penting,
kita m endapat kesem patan m enghayati pelajaran apapun yang
diberikan oleh guru. Maka tidak pernah ada perasaan waswas
m enghadapi pertanyaan guru, m enghadapi ulangan, m aupun
ujian. Bahwa saya datang dari daerah, Blora, tidak pernah juga
m erisaukan saya. Saya yakin tingkat pelajaran sam a antara
Blora dan J akarta, karena bapak-bapak dan ibu-ibu guru yang
m engatur m asalah ini tentu sudah m em ikirkannya.
Yang tidak saya duga adalah bahwa Mas Pram berkepen-
www.facebook.com/indonesiapustaka

tingan m engetahui m asalah ini. Pada suatu hari dia bertanya:


“Bagaim ana pelajaranm u?”
“Yaaa, biasa,” jawab saya kaget.
“Biasa bagaim ana? Nom or satu nggak?”
“Ya, enggak.”
“Harus nom or satu! Caram u belajar bagaim ana?”
Bagian Ketiga: Jakarta 111

Saya gelagapan tidak bisa m enjawab. Bagaim ana-bagai-


m ana? Pertanyaan bagaim ana itu kan sukar dijawab. Apa m ak-
sudnya dengan bagaim ana? Selagi saya m ikir-m ikir bagaim ana
cara m enjawabnya, sudah didahului Mas Pram :
“Itu gunanya m engulang. Mengulang bukan cum a m eng-
ulang! J uga m endului. Mesti m endului pelajaran di kelas. J adi
ada di depan. Guru bicara, kita sudah tahu lebih dulu. Liliek
begitu nggak?”
Bagaim ana m au begitu? Ini saja baru dengar sekarang.
J adi, saya lalu m erasa sangat bodoh, karena ternyata ada
cara-cara untuk belajar, yang sam pai waktu itu sam asekali tak
pernah terpikir oleh saya.
Tapi barangkali benar juga yang dikatakan Mas Pram
itu. Diam -diam saya bukan hanya m engulang, m elainkan
juga m endahului. Tapi m endahului itu kan kalau ada buku
pegangannya. Kalau tidak ada, apanya yang didahului? Dan
buku pegangan waktu itu sangat langka. Dan untuk m ata-m ata
pelajaran ilm u eksakta, yang nam anya m endahului itu sukar
sekali, karena berarti m em ecahkan persoalan sendiri sebelum
guru m enguraikannya dan sebelum seluruh kelas pernah
m endengarnya.
Tapi untuk pelajaran yang ada buku pegangannya, m en-
dahului itu m em ang berm anfaat. Buktinya pada waktu ulangan
sekarang, Nurbaiti yang duduk di sam ping saya ham pir selalu
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enyontek garapan saya. Mungkin karena ia m erasa garapan


saya pasti benar atau lebih dekat benarnya. Dan m ungkin
angka delapan untuk Aljabar dari Pak Proyo adalah buah dari
praktik m endahului itu. Dan angka sem bilan untuk J awa Kuno
dikelas satu Tam an Madya dari Pak Atja juga m ungkin buah
dari praktik itu. Tidak tahulah.
Ke rumah Teman Mas Pram

SEPERTI WAKTU kam i diajak bertiga jalan-jalan naik trem ke


Kram at, oleh Mas Pram kam i pun diajak berkunjung ke rum ah
tem an-tem annya. Maksudnya tentu agar kam i m engenal dan
dikenal tem an-tem annya, di sam ping supaya kam i m engenal
seluk-beluk J akarta.
Begitulah pada suatu sore Mbak Is dan saya diajak ber-
kunjung ke rum ah H.B. J assin di Gang Siwalan No. 3, Tanah
Tinggi. Kam i naik dua sepeda: saya dibonceng Mas Pram , dan
Mbak Is naik sepeda perem puan Mbak Arvah. Coes tidak ikut.
Apa sebabnya, saya tak lagi ingat.
Saya m erasa bahwa rum ah yang kam i tuju itu cukup jauh.
Tiap kali saya m enyangka bahwa kam i sudah sam pai di tujuan,
nam un m eleset. Dan saya tak m em bayangkan sesuatu pun
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang m enyenangkan; sekadar m engikuti kehendak Mas Pram .


Itu sebabnya barangkali wajah saya waktu itu m enyebalkan.
Akhirnya toh kam i sam pai juga di Gang Siwalan. Masuk
gang yang ingat saya sem pit, sam pai di rum ah yang kecil, dan
ketika tuan rum ah keluar, orangnya m ungil berkacam ata,
berkulit keputihan. J assin m enyam but kam i dengan senyum
Bagian Ketiga: Jakarta 113

lebar, m enandakan adanya hubungan akrab dan serasi antara


Mas Pram dan J assin.
Rasanya tak ada urusan khusus Mas Pram dengan J assin
waktu itu. Buktinya percakapan hanya sekitar hal-hal um um .
Kam i, m ula-m ula Mbak Is, kem udian saya, diperkenalkan
kepada J assin. Dan seperti lazim nya, J assin m enanyakan na-
m a, sekolah, dan kelas kam i. Waktu kam i m enyebutkan nam a
kam i, J assin m engatakan:
“Nam anya ham pir sam a, ya?”
Kam i diam saja.
Dan waktu kam i m enyebutkan sekolah kam i, J assin
m engatakan:
“Muridnya Pak Said, ya?”
Kam i pun diam saja, hanya senyum sam bil m enunduk.
Saya ingat, kam i sem pat disuguhi teh m anis, yang terpaksa
kam i reguk habis waktu kam i bertiga m inta diri tak lam a
kem udian.
Sam pai di rum ah, saya dan Mbak Is dipanggil Mas Pram .
Seperti waktu kam i bertiga dilanjrat gara-gara saya dan Coes
lom pat jendela, kali ini kam i berdua harus duduk di hadapan
Mas Pram .
Belum -belum wajah Mas Pram sudah m enunjukkan
ekspresi tak senang yang terpendam . Lho, apa sebabnya? pikir
saya sam bil m enunduk.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Kalau berhadapan dengan orang itu jangan nunduk


m acam pesakitan!” tudingnya. “J elek sekali kesannya dengan
J assin itu! Pandang m atanya! Ngerti?”
Tidak ada jalan bagi kam i selain m enjawab: “Ngerti.”
Sebetulnya kam i, terutam a saya, tidak m engerti. Dari kecil,
dari pewayangan, saya sudah tahu bahwa ksatria ada dua
114 Bersama Mas Pram

m acam : yang m ukanya m enunduk (istilahnya kem udian saya


ketahui: ruruh), dan yang m ukanya m endongak (istilahnya
lany ap). Yang baik adalah yang ruruh, yaitu rendah hati,
tidak m enonjolkan diri, seperti Bam bang Prabakusum a dan
Bam bang Priyam bada. Yang kurang baik itulah yang lanyap,
yaitu tinggi hati, som bong, seperti Bam bang Wisanggeni
dan Bam bang Caranggana. Itu sebabnya ada lagu kroncong
berjudul “Satria Sejati” yang liriknya:

Satria sejati, seorang y ang berjasa,


Denganlah rela hati, m enolong sesam any a,
Budi dan pekerti serba ram ah dan tam ah,
Mem bela dengan brani, jika tidak bersalah.

Dan ulangannya:

Itulah tabiat seorang satria sejati,


Tak pernah som bong, selalu m erendahkan diri.

Saya heran sekali dengan pendapat Mas Pram , bahwa kam i


harus m enatap m ata orang, yang berarti lanyap. J anggal sekali
rasanya bahwa saya harus m enatap m ata H.B. J assin, orang
dewasa yang punya nam a, dan terhorm at. Tapi karena saya
selalu percaya kepada Mas Pram , m aka pendapat itu sem entara
www.facebook.com/indonesiapustaka

saya sim pan dalam hati.


Selanjutnya saya pernah diajak Mas Pram berkunjung
ke rum ah Wiratm o Sukito di J alan Cideng Tim ur, ke rum ah
Ram adhan K.H. di sam ping J alan Cidurian, ke rum ah Taslim
Ali di J alan Kebon Sirih, dan ke rum ah Anas Ma’ruf di J alan
Kediri. Nah, ketika bertam u di rum ah Anas Ma’ruf itulah terjadi
Bagian Ketiga: Jakarta 115

hal yang lucu. Ketika sedang sibuk m enem ui kam i, lewat orang
lelaki dari selatan ke utara (rum ah Anas Ma’ruf m enghadap
ke barat, ke bioskop Menteng) m enawarkan dagangannya:
“Trei!”
“Eh, panggil itu!” seru Anas Ma’ruf spontan kepada
pem bantunya.
Pem bantunya perem puan tergopoh-gopoh berlari ke luar,
m em anggil: “Bang! Sini!”
Si Abang segera m em utar sepedanya. “Trei!” serunya
gem bira.
Anas Ma’ruf diam saja.
“Trei, Tuan!” ulang tukang lotre dengan tekanan, sam bil
m engibar-ngibarkan lotrenya.
“Ha? Lotre? Siapa yang m au beli lotre?”
“Tadi? Pem bantu Tuan?”
“Ah, jadi ini tadi lotre? Saya kira patri!”
Seketika itu keluar kom entar Mas Pram sam bil senyum
ironis: “Nah, ngarang deh. Maka itu dengar dulu bunyi
patrinya!”
Saya pernah juga diajak ke Penerbit Gapura di gedung De
Unie, J alan Hayam Wuruk, Penerbit Pem bangunan di J alan
Gunung Sahari Raya, dan tentu saja Penerbit Balai Pustaka
di J alan Dr Wahidin. Selain itu ke gedung Yayasan Sticusa
(Stichting voor de culturele sam enwerking) di J alan Gajah
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mada. Sesudah itu sering saya disuruh m engantarkan surat ke


ketiga penerbit tersebut, sedangkan ke Yayasan Sticusa hanya
untuk m engikuti acara-acara yang diselenggarakannya, seperti
pemutaran ilm, pagelaran musik, atau ceramah.
Belajar Mengetik

SAYA TERMASUK anak yang tak m engenal m esin. Mesin yang


pertam a kali saya ketahui kerjanya adalah m esin tik, karena
diharuskan belajar m enggunakannya oleh Mas Pram .
“Bisa m engetik itu harus!” katanya m em erintahkan. “Dan
m esti sepuluh jari, nantinya bisa tutup m ata!” tam bahnya.
“Begitu m esin nganggur, pakek belajar!” tutupnya.
Untuk itu Mas Pram m enggam bar untuk kam i denah letak
toesten m esin tulis. Dan itulah juga untuk pertam a kali saya
tahu, bahwa m engetik itu ada aturannya. Saya kira ngawur
saja.
Toesten dibagi m enjadi dua bagian: untuk tangan kiri
dan tangan kanan. Telunjuk tangan kiri m enuding huruf
f, selanjutnya tiga jari di sebelah kirinya m enuding ketiga
www.facebook.com/indonesiapustaka

toetsen di kirinya. Telunjuk tangan kanan m enuding huruf j,


dan selanjutnya tiga jari di sebelah kanannya m enuding ketiga
toetsen di kanannya. J em pol kiri-kanan m enuding ke toets
spasi, dan dapat bergantian m enekan toets panjang tersebut.
Toetsen di atas dan di bawah toets f m enjadi tanggungjawab
telunjuk kiri, dan begitu berturut-turut toetsen di sebelah
Bagian Ketiga: Jakarta 117

kirinya m enjadi tanggungjawab jari-jari di sebelah kirinya.


Toetsen di atas dan dibawah toets j m enjadi tanggungjawab
telunjuk kanan, dan begitu berturut-turut toetsen di sebelah
kanannya m enjadi tanggungjawab jari-jari di sebelah
kanannya. Sem entara itu barisan toets huruf g ke atas dan ke
bawah m enjadi tanggungjawab telunjuk kiri, sedangkan toets
huruf h ke atas dan ke bawah m enjadi tanggungjawab telunjuk
kanan. Dengan dem ikian seluruh jari, seluruhnya sepuluh,
punya fungsi. Yang teringan tanggungjawabnya adalah jem pol
kiri-kanan, padahal jem pol adalah jari yang paling kuat,
sedangkan yang terberat tanggungjawabnya adalah kelingking
kiri, padahal kelingking adalah jari yang terlem ah.
Sam bil berlatih m engetik, keletak-keletik, saya suka m ikir-
m ikir sendiri, apa sebab pem bagian tugas jari-jari itu dem ikian
rupa. Seharusnya jari yang kuat diberi tugas terberat, dan jari
yang lem ah diberi tugas teringan. Kenyataannya kelingking
kiri ham pir selalu bekerja, sebab ham pir tidak ada kata yang
tak m engandung huruf a. Cobalah am bil kalim at terakhir
ini: dari enam belas kata di dalam nya, cum a tiga kata yang
tidak m engandung huruf a, lain-lain kata m engandung huruf
a belaka, bahkan kadang-kadang lebih dari satu. Pada waktu
pertam a kali belajar m engetik itu, terasa sekali beban jari
kelingking kiri itu, pegal, m alahan kadang-kadang sakit.
Baru belakangan terpikir oleh saya bahwa itu m ungkin
www.facebook.com/indonesiapustaka

karena pem buat m esinnya bukan orang Indonesia. Seingat


saya, m erek m esin tulis Mas Pram waktu itu adalah “Olim pia”
kecil. Saya tak tahu buatan negeri m ana “Olim pia” itu, yang
penting adalah siapa pem buatnya. Yang jelas, tentunya
m esin tulis sudah ratusan tahun um urnya, sem entara bahasa
Indonesia belum lagi dikenal. Seandainya penem u m esin tulis
118 Bersama Mas Pram

itu orang Indonesia, tentunya akan diperhatikan keluhan orang


Indonesia ini.
Mas Pram , seingat saya, tidak pernah m engontrol sam pai
seberapa jauh pelajaran m engetik kam i. Ia rupanya tahu beres:
pokoknya harus bisa, dan pada waktunya dapat dim anfaatkan
hasilnya. Atau m ungkin ia m engontrol lewat bunyinya, dan itu
bisa dilakukan dari jauh.
Yang pernah ia berikan petunjuk adalah bahwa setiap kali
tangan beristirahat m engetik, letak tangan harus kem bali pada
posisi sem ula: jari telunjuk kiri lekas m enunjuk huruf f, dan
jari telunjuk kanan m enunjuk huruf j. Dan yang lebih penting
dari itu, katanya, duduknya harus tegak, dan harus ada jarak
cukup antara m esin tulis dengan badan.
“Kalau nggak, bisa bongkok kalian!” katanya m eng-
ingatkan.
Mas Pram m engetik cepat sekali. Kam i tentunya harus
m encapai kecepatan itu pula, dan kam i m em ang berusaha ke
arah itu.
Pada suatu hari dium um kan oleh Radio Republik Indonesia
(RRI) bahwa RRI m em butuhkan beberapa orang juru ketik,
dan yang berm inat supaya datang m elam ar ke gedung RRI di
J alan Merdeka Barat No. 4 dan 5.
Kam i, Mbak Is dan saya, diperintahkan m elam ar.
Sayangnya kam i belum cukup berlatih, sehingga m erasa sendiri
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahwa belum waktunya m elam ar jadi juru ketik. Tapi keadaan


itu justru baik buat kam i, sebab kalau m engetik kam i baik, dan
lulus diterim a sebagai juru ketik, apa kam i harus m eninggalkan
sekolah kam i yang baru tingkat SMP? Barangkali juga Mas
Pram hanya ingin supaya kam i m encoba kem am puan kam i,
sam bil m encari pengalam an. Maka ketika kam i m enerim a
Bagian Ketiga: Jakarta 119

pem beritahuan per surat pos bahwa ujian kam i tidak lulus, Mas
Pram dan Mbak Arvah hanya tersenyum tanpa m engatakan
apapun. Ujian itu sendiri bisa saya ceritakan dem ikian:
Untuk m em perebutkan beberapa lowongan sebagai juru
ketik itu ternyata yang datang lebih dari tiga puluh orang.
Walaupun saya tak ingin jadi juru ketik, banyaknya pelam ar
itu m engecilkan hati saya juga. Dan yang m engecilkan hati
juga adalah bahwa saya m erasa belum m ahir. Tapi yang paling
m engecilkan hati, bahkan boleh dikata m em bikin gentar,
adalah bahwa kepada para pelam ar diberikan m esin tulis
standar besar yang sudah tua pula, berarti lain sekali dengan
m esin latihan kam i. Maka, begitu saya m ulai, saya langsung
m em buat kesalahan, dan ketika hendak m em betulkan
kesalahan, terjadi lagi kesalahan lain, dan begitu berturut-
turut. Sejak itu saya yakin tidak m ungkin lulus. Tapi, ya itulah,
tetap saja ada bagusnya, yaitu sekarang saya bisa ceritakan,
berkat perintah Mas Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Mengarang (1)

“BELAJ AR NGARANG, Liek!” kata Mas Pram pada suatu hari.


“Nanti dim asukkan Kunang-Kunang.”
Kunang-Kunang adalah m ajalah kanak-kanak yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka. Mas Pram jadi redakturnya.
Saya tahu itu, karena saya lihat sendiri dia yang m erancang tata
letak m ajalah itu, yang kadang-kadang dia bawa pulang. Tata
letak itu rancangan letak huruf, foto, karikatur, vignet, dsb.
untuk m ajalah, dalam suatu kom binasi yang enak dipandang
sehingga pem baca m ajalah m erasa senang m em bacanya.
Huruf ada berm acam -m acam : ada yang besar, sedang, kecil,
ada yang tegak dan m iring, ada yang kurus dan gem uk, ada
yang pakai hiasan dan tanpa, pokoknya banyak m acam nya, dan
m asing-m asing ada nam anya. Saya tahu itu, karena saya lihat
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram punya buku khusus dalam bahasa Belanda bertitel


Typograie yang m enguraikan m asalah itu. Foto juga begitu,
berm acam -m acam . Kadang-kadang foto yang bentuknya
persegi atau persegi panjang itu dengan sengaja digunting-
gunting, dibentuk sekehendak redaktur. Karikatur dan vignet
dipadu dengan tulisan dan foto, sekehendak redaktur juga.
Bagian Ketiga: Jakarta 121

J adi sebelum m ajalah terbit dalam bentuknya yang biasa itu,


sudah ada dalam bentuk rancangan yang dibuat oleh redaktur.
Maka bisa dim engerti, kekuasaan redaktur sangat besar dan
m enentukan.
“Ngarang apa, Mas?” jawab saya.
“Apa saja,” kata Mas Pram santai, tapi seperti biasa, dengan
penuh m uatan, bahwa kata-katanya pasti dilaksanakan.
“Iya, ya, kan di SR dulu kam i pernah disuruh guru m engarang
‘Cita-citaku’. Dan di SMP pernah disuruh m engarang ‘Kejadian
yang tak kulupakan’,” pikir saya. Mem ang, untuk dua karangan
itu saya hanya m endapat angka enam . Mungkin karena,
seingat saya, kedua karangan itu tak m enarik. Saya sendiri pun
tak tertarik dan tak suka. Tapi ada dongeng yang diceritakan
Bapak di kelas, yang barangkali m enarik untuk diceritakan
kem bali. Dongeng itu kira-kira dem ikian:
Konon, zam an dahulu, seluruh m akhluk di perm ukaan
Bum i ini oleh Tuhan diberi um ur sam a rata, tiga puluh tahun.
Sesudah berjalan beberapa waktu lam anya, m anusia datang
m enghadap kepada Tuhan.
“Ada apa kam u, m anusia?” sabda Tuhan.
“Ya, Tuhan, m ohon am pun, saya ada keluhan. Sekarang
Tuhan berikan kepada saya um ur tiga puluh tahun. Itu tidak
cukup, karena pada um ur dua puluh tahun saya baru bisa
m enanam pohon kelapa, dan pohon kelapa itu baru berbuah
www.facebook.com/indonesiapustaka

setelah um ur sepuluh tahun. J adi waktu kelapa tanam an saya


m ulai berbuah, saya sudah m ati. Tidak bisa saya m enikm ati
hasil tanam an saya sendiri.”
“Lalu, apa m aum u, m anusia?”
“Tolonglah, Tuhan, um ur saya ditam bah.”
Baru saja selesai Manusia bicara, datang kuda.
122 Bersama Mas Pram

“Ada apa kam u, kuda?” sabda Tuhan.


“Ya, Tuhan, saya punya keluhan kepada Tuhan.”
“Apa itu?”
“Um ur yang Tuhan lim pahkan kepada ham ba itu terlalu
banyak, Tuhan.”
“Sebabnya?”
“Sehari-hari ham ba disiksa oleh m anusia. Disuruh narik
gerobak, m em bawa barang yang berat-berat, term asuk m anusia
bersam a anak istrinya, kadang-kadang cucu-cucunya. Dan
kalau ham ba jalan pelan karena lelah, dicem etinya ham ba, dan
kalau ham ba tetap jalan lam bat karena habis kekuatan ham ba,
m alah dihajarnya perut ham ba kuat-kuat.”
“J adi kam u m inta um urm u dikurangi?”
“Ham ba, Tuhan.”
Sesudah itu m enyerobot saja datang anjing.
“Aduh, aduh, ndak kuat aku kalau begini terus, Tuhaaan!”
tangis anjing.
“Lho, kam u kenapa, anjing?”
“Itu lho, anak-anak Manusia itu jahatnya bukan m ain.
Dikiranya kena lem par kayu itu ndak sakit. Eee, m ereka
nglem par m alah pake batu. Iya kalau cum a kena kaki, kalau
kena m oncongku? Kan nyonyor m oncongku? Kalau kena m ata
ini? Kan picek m ataku? Ndak berperikebinatangan anak-anak
m anusia itu. J adi, yah, bagaim analah, gitu, Tuhan, baiknya.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Maum u bagaim ana? Kuda m au pengurangan um ur. Kalau


kam u?”
“Ya, ya, ya! Aku juga m au itu! Asyik!”
Dan tanpa aba-aba apapun juga, m elom pat saja m onyet ke
tengah m ereka.
Bagian Ketiga: Jakarta 123

“Beta juga ada persoalan penting, ya Tuhan! Persoalan


beta ini lain dari yang lain. Dan Tuhan pasti sudah tahu. Tapi
persoalannya tetap sekitar ulah m anusia dan anak m anusia
juga. Masak, ya Tuhan, sudah beta dirantai pinggang beta ini,
m asih dijolok-jolok, dicocok-cocok, sam a anaknya si m anusia
itu juga. Dan, bayangkan, ya Tuhan, yang dicocok-cocok itu
ininya lho! Kan bahaya, bisa-bisa beta....”
“Ya sudah, tidak usah m acam -m acam . Kam u m au dikurangi
apa ditam bah um ur?”
“Ya kurangi atuh. Eeeh!”
Singkat kata, karena Tuhan adil, keputusannya pun adil:
kuda, anjing, dan m onyet m asing-m asing dikurangi 10 tahun
um urnya, m enjadi m asing-m asing berum ur 20 tahun, dan
kelebihan tiga puluh tahun itu ditam bahkan kepada m anusia,
sehingga um ur m anusia m encapai 60 tahun.
Dongeng itulah yang saya pakai sebagai latihan m engetik,
dan hasilnya saya sam paikan kepada Mas Pram .
Alangkah kaget, dan alangkah gem bira, bahwa ternyata
dongeng “saya” itu dim uat dalam Kunang-Kunang. Sungguh
m engagum kan bahwa “saya” bisa m endongengkan kem bali,
dan dongeng itu bisa dim uat dalam sebuah m ajalah yang
dibaca anak-anak di J akarta dan di m ana-m ana. Saya sangat
bahagia. Sam pai berulang-ulang dongeng itu saya baca, tidak
bosan-bosannya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dan... pada suatu hari oleh Mas Pram saya dim inta
datang ke Balai Pustaka untuk m engam bil honorarium , kata
baru yang baru waktu itu saya kenal. Di sana m ula-m ula saya
m enem ui Mas Pram , yang lalu m em perkenalkan saya dengan
rekan-rekan sekantornya, a.l. kalau saya tak salah ingat,
124 Bersama Mas Pram

penyair Taslim Ali yang berkam ar sendiri, pengarang Akhdiat


Kartam ihardja, pengarang Saleh Sastrawinata, dan sekretaris
redaksi Kunang-Kunang Mas Waloejo. Sesudah itu saya
diantarkan ke pejabat keuangan, seorang tua beram but jarang
beruban yang kam arnya seperti kerangkeng, lengkap dengan
kawat pagarnya. Diantar Mas Waloejo, saya m enerangkan
akan m engam bil honorarium untuk dongeng yang dim uat
dalam Kunang-Kunang.
“Siapa nam anya?” tanya bapak beram but jarang beruban.
“Koesalah. Koesalah Soebagyo Toer.”
Di tengah kawat itu ada lubang persegi, dan lewat lubang itu
disodorkan selem bar daftar kepada saya. Bapak itu m enunjuk
nam a saya dalam daftar supaya saya m enandatanganinya.
Tandatangan saya waktu itu m asih belum ajek, panjang
m acam orang bertolak pinggang. Saya senang tandatangan
saya diperlukan untuk m enerim a uang untuk hasil kerja saya
sendiri. Lim a belas rupiah! Itu tidak sedikit untuk seorang
siswa SMP! Dengan uang itu saya bisa naik trem , bisa beli
m akanan kalau kepengin, atau m inum an kalau lagi haus.
Selanjutnya saya tulis dongeng-dongeng yang lain, saya
uraikan cara m em buat m ainan yang pernah saya lakukan
sendiri, bahkan dengan gam bar-gam bar yang saya buat
sendiri dengan kertas gam bar, tinta dan pena yang saya beli
dengan uang saya sendiri. Kadang-kadang saya tulis lelucon
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan cerita saya sendiri (tentang piknik m isalnya). Sem uanya


untuk Kunang-Kunang, hingga ham pir tiap terbit m ajalah itu
m em uat karya saya. Sam pai tiba saatnya Mas Pram keluar dari
Balai Pustaka, dan tem patnya digantikan oleh Mas Waloejo,
dan tulisan saya m enjadi jarang dim uat.
Belajar Mengarang (2)

BUKAN HANYA kepada saya Mas Pram m enganjurkan belajar


m engarang, tapi juga kepada Mbak Is dan Coes. J adi kam i
bertiga sudah pernah m enulis, dan sudah pernah tulisan kam i
dim uat dalam m ajalah.
Ia pun m enganjurkan kam i untuk bertanya kepadanya
kalau ada kata-kata atau soal yang tak dim engerti.
“Tanya, kalau ada yang sulit!” dem ikian perintahnya.
Saya pernah m em baca cerita bergam bar terbitan Balai
Pustaka tentang “Perang Aceh” pem berian Mas Pram . Di situ
banyak disinggung peranan Marsose yang berperang di pihak
Belanda.
“Apa itu Marsose?” tanya saya.
“Marsose itu pasukan gerak cepat yang dilatih perang
www.facebook.com/indonesiapustaka

antigerilya. Dibentuk oleh J enderal Van Heutsz untuk


m enundukkan Aceh,” jawab Mas Pram .
”Itu orang Indonesia?”
”Yang pokok orang Indonesia.”
”Kok orang Indonesia?”
”Ya begitulah. Adu dom ba,” kata Mas Pram santai.
126 Bersama Mas Pram

Lain kali, dari buku pelajaran bahasa Prancis pem berian


Mas Pram saya m enem ukan kata le hublot, yang diartikan
tingkap dalam bahasa Indonesia. (Buku itu rupanya buku
pegangan Mas Pram m em pelajari bahasa Prancis di Penjara
Bukitduri, dibawa pulang, dan diberikan kepada saya. Saya
di SMP sebetulnya belum belajar bahasa itu, tapi karena rasa
ingin tahu, saya pelajari juga.)
”Apa itu tingkap?” tanya saya.
”Tingkap itu jendela di kapal atau kapal terbang. Dari m ana
kau tem ukan kata itu?” tanyanya.
”Dari buku bahasa Prancis Mas Pram itu.”
”Kau udah belajar Prancis?”
”Belum . Ingin tahu saja.”
”Bagus itu. Kata Prancisnya le hublot, dibaca ublo.”
”Begitu, ya?”
Lalu, di J alan Tanah Abang Raya saya lihat ada satu-
satunya (barangkali) hotel di J akarta yang m em akai nam a
”Hotel Pension”.
”Apa arti Hotel Pension itu?”
”O, itu hotel bulanan.”
”Tinggalnya bulanan?”
”Iya.”
”Bayarnya juga bulanan?”
”Bulanan.”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kadang-kadang Mas Pram m em baca karangan saya, ter-


utam a sesudah saya m ulai m enulis cerita pendek. Pada suatu
hari ia m enerangkan perbedaan arti antara “di tengah jalan”
dan “di tengah perjalanan” dari tulisan Mbak Is.
“Di tengah jalan itu di tengah jalan tem pat orang berlalu-
lintas. J angan jalan di tengah jalan, nanti ketubruk m obil. Di
Bagian Ketiga: Jakarta 127

tengah perjalanan itu di tengah perjalanan dari satu tem pat


satu ke tem pat lain, m isalnya di tengah perjalanan dari Blora
ke Rem bang.”
Itu sih soal Mbak Is. Saya sendiri sudah m engerti beda-
nya.
Yang agak serius, pada suatu kali saya m enulis cerita pen-
dek tentang seorang pem uda yang jatuh cinta kepada seorang
gadis. Bahannya dari kenyataan diri saya sendiri, tapi akhir
cerita saya tutup dengan pem uda itu kena serangan jantung
karena bertepuk sebelah tangan.
“Ini kok pesim is am attt!” tuduhnya. “Tulis lagi!”
Saya kaget m endengar kom entarnya itu. Pertam a, karena
tidak m enyangka Mas Pram akan m em baca cerita saya itu.
Kedua, saya anggap biasa saja ada orang m engalam i kecelakaan
karena cinta. Kan di dunia ini banyak peristiwa: ada yang
m enyenangkan, ada yang m enyedihkan. Senang dan susah itu
kan biasa dalam hidup. Tidak ada orang hidup senaaang saja,
atau sediiih saja. J adi apa salahnya nulis cerita seperti itu?
“Mengarang itu penting!” kata Mas Pram m ulai.
Diam sebentar. Kem udian:
“Kau tahu, apa tujuan m engarang?”
Dengan sendirinya saya celingukan m enghadapi perta-
nyaan itu. Apa sih tujuan m engarang? Ya tidak tahu. Saya kan
pertam a kali m engarang karena dorongan Mas Pram sendiri.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dan belum pernah saya m em ikirkan hal itu, kecuali karena


senang tulisan dim uat di m ajalah, dan dapat duit! Untuk apa
m engarang?
“Mengarang itu untuk kem anusiaan!” jelas Mas Pram .
Saya, terus-terang, tidak ngerti apa yang dim aksud dengan
kem anusiaan. Saya m ikir-m ikir, m em bayangkan apa yang
128 Bersama Mas Pram

dim aksud Mas Pram dengan kem anusiaan itu, tapi tidak
juga m engerti. Ada sesuatu yang rem ang-rem ang, yang ada
hubungannya dengan m anusia, tapi apa itu, tidak bisa saya
m enangkapnya.
Saya pun tidak m engerti bahwa tujuan m engarang adalah
untuk kem anusiaan. Bagaim ana m ungkin untuk kem anusiaan
kalau yang saya dapat adalah kesenangan tulisan dim uat, dan
kesenangan dapat duit? Apa yang dibicarakan Mas Pram ?
Tapi seperti biasanya, apa yang pernah saya dengar dari
Mas Pram itu saya sim pan dalam hati, m ungkin pada akhirnya
saya akan m engerti, walau selang bertahun-tahun, atau bahkan
berpuluh tahun kem udian.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Membaca (1)

SAYA TIDAK pernah m erasakan m em baca sebagai kewajiban


pribadi. Kalaupun saya m em baca, itu karena tugas dari sekolah.
Tapi di Kebon J ahe Kober ini saya m ulai m em baca sebagai
kewajiban pribadi atas dorongan Mas Pram untuk m enam bah
ilm u di luar sekolah.
“Orang yang nggak baca, sem pit penglihatannya,” kata Mas
Pram . “Baca saja buku-buku yang ada ini,” katanya.
Yang dim aksudnya adalah buku-bukunya sendiri yang
terjejer rapi dalam satu lem ari buku berpintu kaca dua, dapat
digeser ke kiri ke kanan. Buku-buku m ilik Mas Pram ya
hanya satu lem ari itulah. Kebanyakan terbitan Balai Pustaka,
Pem bangoenan, dan Poestaka Rakyat. Terbitan Balai Pustaka
um um nya buku sastra, asli dalam bahasa Indonesia m aupun
www.facebook.com/indonesiapustaka

terjem ahan: prosa, puisi, sandiwara. Ada juga buku sejarah


dan buku pengetahuan um um . Sebagian lagi dalam bahasa
asing: Inggris dan Belanda. Term asuk buku ensiklopedi tiga
buah tebal-tebal, titelnya W inkler Prins, yang sering dibuka
dan dibaca.
130 Bersama Mas Pram

Kebetulan saya m endapat tugas m enyapu dan m em ber-


sihkan ruang kerja Mas Pram , sehingga tiap kali saya bisa m em -
buka-buka buku-buku itu dan m engam at-am ati m ana buku
yang m enarik.
Saya tidak akan m erinci nam a buku-buku itu, karena terlalu
banyak. Mula-m ula saya baca buku cerita anak-anak. Ternyata
buku-buku itu m enarik dibaca. Terbayang oleh saya, isi buku
itu adalah satu dunia tersendiri, yang dengan m udah dapat
saya m asuki dengan m em bacanya. Dengan m em baca buku itu
saya m erasa m em iliki satu harta besar yang tidak diketahui
oleh tem an-tem an sekolah saya, sehingga saya m erasa lebih
kaya dari m ereka. Selesai satu buku, saya ingin m em baca buku
lainnya, dan begitulah terus-m enerus, sehingga m akin banyak
buku yang saya baca, sem akin saya lebih kaya daripada tem an-
tem an saya.
Saya ingat, di antara buku anak-anak yang saya baca adalah
cerita bergam bar berisi sejarah Perang Aceh yang sudah saya
sebut di depan. J uga Kancil y ang Cerdik. J uga Si Dul Anak
Betaw i karangan Am an Datuk Madjoindo.
Di antara cerita terjem ahan adalah Cerita Pinokio karangan
Colodi, penulis Italia, Cerita Iw an Pandir karangan penulis
Rusia Leo Tolstoi, dan satu buku tebal yang bikin saya bangga
karena berhasil m em bacanya sam pai selesai, yaitu karangan
pengarang Prancis Hector Malot bertitel Sebatang Kara.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Di tengah kesibukan m em baca itu, pernah Mas Pram


m engingatkan:
“J angan cum a dibaca. Kalau habis baca, m esti bisa juga
ceritakan kem bali!”
Wah, ini yang sulit. Cerita sam a siapa? Dan lagi, itu kan
m enghabiskan waktu. Biar saja orang yang ingin baca, baca
Bagian Ketiga: Jakarta 131

sendiri. Kalau tidak, enak saja orang yang tidak baca itu, tinggal
dengar dari orang lain.
Bagusnya, Mas Pram tidak pernah m inta saya m enceritakan
kem bali isi buku yang habis saya baca. Mungkin karena dia tak
punya waktu, atau sibuk dengan pekerjaannya. Tapi m ungkin
juga justru karena itu saya tidak biasa bercerita lisan pada
siapa saja.
Tapi ada satu buku yang m engesankan sekali bagi saya,
yaitu cerita yang lebih tebal lagi daripada Sebatang Kara, yaitu
Dari Kutub ke Kutub karangan Sven Hedin, m enceritakan
petualangan penulisnya yang m elakukan perjalanan dari
Swedia sam pai Tiongkok dan J epang yang jaraknya ribuan
kilom eter, penuh dengan ancam an alam dan bahaya m aut,
bertem u dengan gejala alam yang tidak um um dan binatang
liar yang aneh-aneh, dengan kendaraan apa saja yang bisa
ditem ui: kapal, gerobak, kuda, troika, dsb.
Pengalam an saya sendiri sungguh hanya setitik kecil
dibandingkan dengan pengalam an Sven Hedin. Apalah artinya
perjalanan terjauh yang pernah saya tem puh, dari Blora ke
J akarta, itu pun bertiga, diantarkan pula oleh Mas Djajoes,
naik kereta api diseling m akan dan tidur di hotel serta nonton
pasar m alam .
Saya jadi m alu kepada diri sendiri. Pulau J awa yang
panjangnya seribu kilom eter saja belum saya kenal. Saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

belum pernah ke m ana-m ana. Tak tahu kota Solo, J ogja,


Surabaya. Belum tahu Karang Bolong di pantai Sam udra
Hindia, Terowongan Ijo, terowongan paling panjang di J awa,
dan Pulau Nusakam bangan di m ana konon tum buh bunga
Wijayakusum a. J uga belum tahu pantai Pacitan yang konon
bergoa-goa. Saya belum pernah lihat debur om bak Sam udra
132 Bersama Mas Pram

Hindia yang katanya puluhan m eter tingginya. Saya hanya


pernah berm ain di pantai Rem bang yang sangat teduh,
bahkan boleh dikata hanya beriak. Aduh, saya ingin sekali tahu
sem ua itu. Saya ingin m enengok ujung barat di Ujung Kulon
sam pai Sem enanjung Blam bangan di ujung tim ur. Alangkah
senangnya kalau saya bisa m em andang pulau garam , Pulau
Madura, walau hanya dari jauh, dari pantai J awa Tim ur.
Biarlah keinginan saya hanya segitu, dibandingkan dengan
keadaan saya sekarang yang hanya nongkrong di Kebon J ahe
Kober yang sem pit dan pengap.
Tapi keinginan ini saya pendam sendiri. Diam -diam saya
ingin nanti, entah kapan, keliling Pulau J awa, naik sepeda,
sendiri, dengan cara Sven Hedin, dengan biaya yang bisa saya
peroleh sepanjang jalan, entah bagaim ana caranya, sam pai
kem put keliling J awa. Berapa bulan ya dibutuhkan waktu
untuk itu?
Saya tak pernah m enyam paikan keinginan ini kepada
siapa-siapa, apalagi kepada Mas Pram . Satu-satunya yang saya
ajak bicara adalah Mas Wiek. Dan apa kom entar Mas Wiek?
“Kesehatanm u itu nggak m em ungkinkan!”
Dan, herannya, saya setuju dengan pendapatnya itu. Yang
betul adalah, nyali saya yang tak m em ungkinkan. Hanya
bagusnya, kegem aran saya m em baca tidak terhenti karenanya,
bahkan sem akin m eningkat.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Membaca (2)

SESUDAH BANYAK m em baca buku anak-anak, dengan


sendirinya saya m em baca juga karya sastra. Dan Mas Pram
tidak pernah m elarang m em bacanya, bahkan m em baca
apapun. Ia m alah m engatakan, saya perlu baca sajak-sajak
Chairil Anwar, yang m enurutnya bagus, terutam a sajak
“Aku”, di m ana terdapat kata-kata “Aku ini binatang jalang/
dari kum pulannya terbuang”. J adi saya bacai sajak-sajak
Chairil Anwar yang terhim pun dalam – kalau tak salah– Yang
Terem pas dan Terkandas. Tidak seluruhnya saya paham i, tapi
saya rasakan dalam sajak-sajak itu adanya sem angat hidup
yang m enyentak-nyentak dan indah. Tiga Menguak Takdir
juga saya baca, him punan sajak tiga orang penyair: Rivai Apin,
Takdir Alisjahbana dan Asrul Sani. Mas Pram tidak pernah
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enguraikan sajak-sajak itu kepada saya. Rupanya terserah


pada saya, kesan apa yang ditim bulkan oleh tiap tulisan.
Di antara sandiwara yang saya baca adalah karangan Utuy
Tatang Sontani, Bunga rum ah m akan dll., juga kum pulan
sandiwara karangan Abu Hanifah Taufan di Atas Asia dan
Usm ar Ism ail Sedih dan Gem bira.
134 Bersama Mas Pram

Di antara tulisan prosa yang saya baca adalah cerita-


cerita karangan I Nyom an Pandji Tisna, a.l. I Sw asta Setahun
di Bedahulu, Sukreni Gadis Bali, dan Ni Raw it Ceti Penjual
Orang, cerita-cerita karangan Ham ka, a.l. Di Baw ah Lindungan
Ka’bah, Tenggelam ny a Kapal Van der W ijck, dan kum pulan
cerita pendek yang sem uanya sedih, rom an-rom an Nur Sutan
Iskandar yang saya rasa sem uanya m em bosankan, tapi saya
baca terus karena ingin tahu isinya, dan rom an-rom an Abdul
Muis, di antaranya yang sangat m engesankan saya adalah
Salah Asuhan.
Cerita-cerita terjem ahan juga saya baca, a.l. yang m em ikat
adalah Im an dan Pengasihan yang terdiri atas beberapa jilid,
karangan pengarang Polandia Henryk Sienkiewicz, kum pulan
cerpen karangan Rabindranath Tagore dari India, Tam u
dan Cerita-cerita Lain dan Mow gli Anak Didikan Rim ba.
Buku karangan orang India juga yang saya baca adalah Dari
Panggung Sejarah Dunia karangan J awaharlal Nehru yang
kem udian m enjadi Perdana Menteri India, berisi surat-surat
Nehru selam a ia ditahan oleh pem erintah kolonial Inggris
kepada putrinya, yang kem udian juga m enjadi Perdana
Menteri India.
Itulah sebagian dari buku-buku yang ada dalam lem ari Mas
Pram . Dengan sendirinya akhirnya saya m enggerayang buku-
buku lain yang bukan sastra. Saya m ulai baca buku tentang
sejarah, pertambangan, psikologi, ilsafat, keluarga berencana,
www.facebook.com/indonesiapustaka

bahkan buku besar tebal tentang kesehatan, sebuah disertasi


yang titelnya Ilm u Kesehatan dalam Hukum Sy arak Islam
karangan Dr Ram ali. Saya m erasa sendiri bahwa buku-buku
itu belum waktunya saya baca. Buktinya, saya tidak m em aham i
isinya. Tapi buku ilsafat seperti Alam Pikiran Yunani jilid I
Bagian Ketiga: Jakarta 135

dan II karangan Moham m ad Hatta oleh Mas Pram dianjurkan


saya m em bacanya. Maka selanjutnya saya pun m em baca buku
Pem bim bing ke Filsafat karangan Sutan Takdir Alisjahbana,
yang tidak saya mengerti samasekali isinya, juga buku ilsafat
karangan orang Belanda Dr Beerling.
Saya bahkan m encoba m em baca buku Man en Vrouw
yang saya yakin ditulis dalam bahasa Belanda, tapi dengan
sendirinya saya tak m engerti isinya.
Mungkin Mas Pram m erasa juga bahwa perbendaharaan
perpustakaannya terbatas. Maka pada suatu hari ia bicara
tentang Perpustakaan USIS yang waktu itu terbuka untuk
um um di J alan Segara, yang letaknya kira-kira di depan toko
buku Djam batan yang pernah saya sebut terletak di J alan
Nusantara.
Pada suatu hari saya bersam a Coes singgah di perpustakaan
itu. Di sana saya lihat begitu banyak buku tebal-tebal, juga
m ajalah, koran, dan brosur. Ada m ajalah berbahasa Indonesia
nam un nam anya—kalau tak salah—Inggris, yaitu Miscellany .
Ada juga brosur-brosur berbahasa Indonesia yang dapat
diam bil oleh pem baca secara cum a-cum a, m isalnya tentang
George Washington atau tokoh-tokoh besar Am erika yang lain.
Saya senang sekali bisa m engam bil brosur itu, karena dengan
dem ikian saya m ulai m em iliki buku sendiri yang bukan buku
pelajaran.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pada suatu hari saya m em injam m ajalah anak-anak


berbahasa Inggris, dan berusaha m em bacanya. Di situ ada
sebuah tulisan tentang beruang beserta potret beruang itu.
Tulisan itu saya baca berulang-ulang untuk m em aham i artinya,
lalu saya coba m enerjem ahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Hasilnya saya serahkan kepada Mas Pram , yang oleh Mas
136 Bersama Mas Pram

Pram kem udian dim uat dalam Kunang-Kunang juga beserta


fotonya sekalian. Waktu itu Mas Pram m alah bertanya:
“Ini beruang bener apa m ainan?”
Mem ang beruang itu m irip beruang m ainan.
“Kan ceritanya beruang bener?” kata saya.
Dan begitulah, Mas Pram m ulai m engerti bahwa saya dapat
m em aham i teks Inggris. Mungkin karena itu dia berikan pada
saya suatu hari buku berbahasa Inggris, titelnya The History of
Our Lord. Pengarangnya siapa, saya sudah lupa.
“Ini, baca!” katanya tentang buku kecil berwajah cerah itu.
Saya baca, dan alangkah kagum saya, kok saya m engerti?
Mem ang tidak sem ua kata saya paham i, tapi saya bisa
m enangkap isi ceritanya. Yang hebat sayakah, atau penulisnya
yang bisa bercerita begitu baik dengan bahasa yang begitu
sederhana sehingga saya yang baru kelas 3 SMP bisa
m em aham inya?
Yang bikin saya kagum bukan hanya itu, tapi juga
berm acam -m acam m ukjizat Yesus Kristus seperti diceritakan
dalam buku itu, yaitu waktu ia berjalan di perm ukaan laut,
m em bagikan roti kepada ribuan orang dari “seketul” roti
saja, m enyem buhkan orang sakit hanya dengan m engatakan
“bangkitlah”, dan orang sakit itu pun bangkit. Terbukalah
pikiran saya bahwa ada m anusia yang hebat seperti itu, dan
ada dunia yang lain daripada yang teraba oleh pancaindera
www.facebook.com/indonesiapustaka

kita ini.
Itulah untuk pertam a kali saya tahu bahwa kata Lord di
sam ping tuan berarti juga Tuhan, dan Yesus Kristus adalah
anak Tuhan. Cerita ini m em buat saya selalu bertanya-tanya:
“Apa iya sih?”
Belajar Mengoreksi

TANPA SAYA duga sam asekali, saya diserahi tugas yang


sam asekali asing bagi saya, yaitu m engoreksi yang nam anya
proefdruk (cetak-coba) buku-buku Mas Pram yang akan
diterbitkan oleh Balai Pustaka, a.l. Keluarga Gerily a, dan
Gapura, a.l. Pertjikan Revolusi. Ini tentunya pekerjaan korektor
di kantor penerbitan. Mas Pram m engam bilnya m ungkin agar
ia dapat m engoreksi sendiri secara lebih teliti. Pada gilirannya
ia m enyerahkan kepada adik-adiknya untuk m elatih adik-
adiknya m enguasai keteram pilan baru. Mem ang pekerjaan itu
bukan hanya kepada saya diberikan, m elainkan juga kepada
Mbak Is.
Dengan sendirinya Mas Pram m em berikan contoh
dahulu beberapa halam an cara m engoreksi naskah tersebut.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Di sam ping itu dia berikan satu lem bar daftar kode cara
m engoreksi, diam bil dari buku Typograie yang sudah saya
sebut.
Seperti diketahui, salah tulis dengan pensil di atas kertas
dapat langsung dihapus dengan setip, sesudah itu ditulis
kem bali kata yang benar. Dalam hal ini setip harus bersih,
138 Bersama Mas Pram

agar kertas tulis juga tetap bersih apabila kata yang salah
ditulis kem bali. Kalau setip kotor, biasa dibersihkan dengan
m enggosokkannya di perm ukaan kain yang bersih; biasanya
celana atau baju sendiri.
Kalau salah tulis dilakukan dengan tinta atau potlot tinta,
lebih sulit m enghapusnya dengan setip, tapi kadang-kadang
toh dilakukan. Kadang-kadang tinta sem pat m erasuk ke dalam
kertas, sehingga kata yang salah harus digosok kuat-kuat, dan
akibatnya kertas m engalam i aus, bahkan luka dan rusak.
Nah, m engoreksi proefdruk ala Typograie tidak perlu
serepot itu, karena lebih sederhana, asalkan kita hafal tanda-
tandanya. Tanda-tanda itu tidak banyak; paling-paling dua
puluh buah. Tapi dari dua puluh itu ada beberapa tanda yang
sering sekali terpakai, m isalnya tanda garis m iring untuk
m encoret huruf yang salah dicetak dan m enggantikannya
dengan huruf lain. Cara m enggantikannya bukan langsung
di dekat tem pat huruf yang salah dicetak, m elainkan di garis
pinggir sebelah kanan.
Saya ingin m enjelaskan apa yang saya m aksud ini sejelas-
jelasnya, nam un tanpa m em perlihatkan tanda-tanda yang
lazim dalam pengoreksian itu m ustahil kiranya, dan lagi
barangkali tidak ada gunanya.
Tetapi persoalan m engoreksi bukan hanya m engganti
huruf atau kata yang satu dengan huruf atau kata yang lain.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ada m isalnya dua huruf atau kata yang terbalik letaknya,


sehingga agar benar letaknya harus dipertukarkan tem patnya.
Ada huruf atau kata yang satu m enem pel pada huruf atau kata
yang lain, sehingga perlu dipisahkan. Atau sebaliknya huruf
atau kata yang satu perlu dipersatukan dengan huruf atau kata
yang lain.
Bagian Ketiga: Jakarta 139

Garis baru biasanya dibuat agak m enjorok ke badan teks.


Nah, kadang-kadang garis baru itu tidak atau kurang m enjorok
ke badan teks. Ada caranya untuk m em buatnya m enjorok.
Huruf itu ada ukurannya, yang disebut punt. Huruf yang
kecil, kecil juga angka puntnya, begitulah sebaliknya. Kadang-
kadang di tengah teks dengan huruf 8 punt nyelonong huruf
10 punt; itu harus disam akan. Atau kadang-kadang salah satu
kata dalam badan teks perlu dicetak m iring, nah, untuk itu
ada huruf-huruf m iring yang istilahnya cursief. Ada juga kasus
m unculnya tiba-tiba huruf bodoni nam anya, yaitu huruf yang
gem uk, seperti juga m anusia ada yang gem uk, di sam ping yang
kurus.
Uh, banyak sekali m asalah yang dihadapi oleh seorang
kerektor. Itu juga rupanya perlu ditulis buku tebal sekitar 30 0
halam an untuk petunjuk. Dan pekerjaan korektor itu pekerjaan
yang penuh tanggungjawab. Kalau sam pai dalam buku terdapat
banyak salah cetak, dialah yang m enjadi tum pahan kem arahan
pem baca. Maka m engoreksi proefdruk tidak cukup sekali.
Sesudah dikoreksi satu kali, proefdruk diserahkan kem bali
kepada tukang cetak untuk dibetulkan, dan kadang-kadang
pem betulan itu m asih m engandung kesalahan juga dan harus
dibetulkan sekali lagi. Begitulah selanjutnya. Makin teliti
seorang korektor, tentunya m akin baik.
Dari pengalam an m engoreksi proefdruk buku-buku Mas
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pram bisa saya sim pulkan bahwa pekerjaan ini sangat tidak
m enarik. Keuntungannya adalah bahwa sam bil m engoreksi
kita bisa m engikuti ceritanya. Tetapi karena titik perhatian
pada koreksian, m aka konsentrasi pikiran terbelah. Tentu
saja kadang-kadang ada m asalah yang sulit sekali dipecahkan,
karena tidak ada tanda untuknya dalam daftar. Dalam keadaan
140 Bersama Mas Pram

itu terpaksa saya bertanya kepada Mas Pram . Ini pekerjaan yang
tak saya sukai, karena Mas Pram pun tak suka pekerjaannya
diganggu, walau ia selalu m enganjurkan untuk bertanya kalau
ada kesulitan.
Paling sebal adalah kalau dalam proefdruk terdapat banyak
salah cetak, sehingga tanda-tanda koreksian bertum pang-
tindih, yang kem ungkinan m em bingungkan tukang cetak.
Nam un belakangan saya tahu, korektor tidak selam anya
berpegang pada apa yang ada dalam buku Typograie, yaitu
dengan m engoreksi langsung di tem patnya. Orang-orang
seperti itu jelas tidak akan lulus dalam ujian tipograi, walau
orang-orang tertentu bisa saja m enenggangnya.
Saya kira sebaiknya saya hentikan saja di sini uraian saya
tentang m engoreksi ini agar tidak m em buat pem baca bosan
lebih lanjut.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram dan Kerja (1)

WAKTU KAMI baru datang di J akarta, Mas Pram bekerja


di Penerbit Balai Pustaka. Mem enuhi disiplin kerja kantor
pem erintah waktu itu, ia berangkat sekitar pukul 0 6.30 ,
jadi sekitar setengah jam sesudah kam i bertiga berangkat ke
sekolah, dan pulang sekitar pukul 14.30 . Sesudah m akan siang
dan istirahat tidur siang selam a dua jam , sekitar pukul 17.0 0 ,
ia m ulai kerja.
“Setan, nggak bisa kerja aku!” dem ikian m akinya sehabis
m elepas tam u kalau tam u tersebut sam pai m enyita banyak
waktunya sehingga ia tak bisa m engetik.
Saya m ula-m ula m erasa aneh bahwa m engetik itu ia
nam akan kerja. Dalam bayangan saya waktu itu, orang kerja
adalah kerja isik, menggerakkan badan demikian rupa hingga
keringat bercucuran. Hasilnya tidak begitu penting untuk saya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tapi lam a-lam a saya terbiasa dengan istilahnya itu. Lam a-lam a
kata ‘kerja’, sesuai dengan pengertian Mas Pram , saya paham i
sebagai m elakukan kerja kreatif, dan hasilnya berupa kreasi.
Mas Pram dem ikian tinggi m enilai kerjanya, juga waktu yang
ia curahkan untuk kerja itu, sehingga lam a-lam a terasa wajar
oleh saya kalau ia m em aki: “Setan, nggak bisa kerja aku!”
142 Bersama Mas Pram

Yang saya rasa aneh juga m ula-m ula adalah bahwa Mas
Pram kew etu (sam pai hati m engeluarkan) m akian dem ikian
kepada tam u, walau tam u sudah pergi, sudah tak kelihatan,
dan sudah tak m ungkin m endengar m akian tersebut. Saya
(dan kam i sem ua anak J awa) dari kecil diajari m enerim a
tam u dengan baik. Menerim a tam u dengan baik artinya m ene-
rim anya dengan sopan-santun, m em persilakannya duduk,
m enyam butnya dengan percakapan sam pai terlaksana sang
tam u m enyam paikan m aksud kedatangannya atau keper-
luannya, dan kita sebagai tuan rum ah m enanggapi m asa-
lahnya sam pai m asalah tersebut terpecahkan. Kadang-kadang
alur percakapan terhenti karena sebab tertentu. Nah, di situ
dianggap wajib bahwa tuan rum ah m enem ukan pokok pem -
bicaraan sehingga alur pem bicaraan bisa berjalan lancar lagi,
tidak tersendat sam asekali. Sebagai bagian dari m enerim a
tam u dengan baik adalah m enyuguhkan m inum an, dan kalau
ada dengan m akanan. Minum an yang paling dihargai untuk
tam u dewasa adalah kopi m anis, sudah itu juga teh m anis, dan
baru m inum an yang lain. J uga rokok. Ada kalanya tuan rum ah
tidak punya persediaan kopi, teh, atau gula, bahkan uang untuk
m em beli sem ua bahan itu tak ada. Di situ tuan rum ah dituntut
untuk m engusahakannya bagaim anapun caranya, kalau perlu
dengan m engutang pada tetangga. Dan ketika tam u akhirnya
m inta diri, dianggap baik bila tuan rum ah nguntapake (m elepas
www.facebook.com/indonesiapustaka

atau m engantarkannya) sam pai pintu gerbang. Dan sebelum


sam pai pintu gerbang, tuan rum ah harus tetap m enyuguhi
sang tam u dengan pokok pem bicaraan, sam pai akhirnya sang
tam u benar-benar sudah tidak lagi m enjadi tam u kita.
Sem ua itu ternyata oleh Mas Pram diabaikan saja, bahkan
dipersetankan. J elaslah bahwa kam i, terutam a saya, m erasa
Bagian Ketiga: Jakarta 143

kurang enak m endengar m akian itu, nam un dengan sendirinya


juga lam a-lam a terbiasa. Untungnya, m enurut penilaian saya,
Mas Pram term asuk orang yang tak banyak didatangi tam u.
Tetangga apalagi, sangat jarang m endatanginya, m ungkin
karena m ereka m elihat Mas Pram selalu sibuk dengan m esin
ketiknya waktu ia ada di rum ah. J adi m akian tadi, walau tidak
boleh dikatakan hanya sekali-dua diucapkan, tergolong tidak
sering diucapkan.
Di antara tam u yang saya ingat pernah datang adalah
Ahm ad Djan, penulis cerita anak-anak dari Palem bang, pelukis
Zaini, m usikus Am ir Pasaribu, penyair Rivai Apin, penyair
Sitor Situm orang. Ajip Rosidi dan S.M. Ardan, penyair dan
penulis cerpen yang waktu itu m asih pelajar di Tam an Siswa
Kem ayoran, saya yang m em perkenalkan m ereka dengan Mas
Pram . Saya ingat, waktu itu pagi sekitar pukul 10 .0 0 , dan
m ereka m enunggu sam pai lam a sebelum akhirnya ditem ui
oleh Mas Pram yang waktu itu sibuk m engetik.
Pada waktu jatuh saat sem bahyang m agrib dan isya, Mas
Pram biasanya berhenti m engetik beberapa waktu, untuk
kem udian dilanjutkan lagi sam pai sekitar pukul 21.0 0 . Sesudah
pukul itu ia m em baca buku, biasanya sam bil tiduran.
Dalam hal jadwal waktu Mas Pram , selalu saya katakan
“sekitar”, sebab tentu saja jadwal itu bukan jadwal m ati. Hari
istim ewa adalah hari Minggu dan hari raya lain.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Seingat saya, Mas Pram tidak lam a bekerja di Balai


Pustaka, tidak sam pai setahun. Menurut Mbak Arvah, ia tidak
kerasan kerja di situ, bahkan sering bentrok dengan rekan
kerja, “berantem ” istilah khas Betawi yang baru untuk pertam a
kali saya ketahui dari Mbak Arvah. Mbak Arvah bahkan pernah
m engatakan bahwa Mas Pram ke kantor m em bawa pisau lipat
144 Bersama Mas Pram

dalam rangka berantem . Dalam ingatan saya, m asih terbayang


pisau lipat yang m em ang pernah saya lihat itu.
Ketika akhirnya Mas Pram m eninggalkan Balai Pustaka,
kebanyakan waktunya dia habiskan di rum ah. Siang hari boleh
di kata sepanjang hari ia kerja di ruang kerjanya, di luar jam
tidur siang. Kadang-kadang, seperti pernah saya singgung,
mereka nonton ilm, di gedung bioskop Capitol atau Astoria
dekat Pintu Air.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram dan Kerja (2)

SEPERTI SAYA katakan, Mas Pram tidak lam a bekerja pada


Balai Pustaka. Dengan dem ikian, sesudah itu sehari-hari dia
lebih banyak berada di rum ah. Waktu itulah sering datang
tem annya yang bernam a Ahm ad Djan, pengarang buku anak-
anak dari Palem bang. Saya tahu itu, karena saya m em baca
kedua buku yang ditulisnya dan diterbitkan oleh Balai Pustaka,
satu di antaranya bertitel Perang Sum pitan. Menurut saya,
kedua bukunya itu kurang m enarik, dan setahu saya tidak
pernah dibicarakan orang.
Saya tak tahu di m ana Mas Pram berkenalan dengan Ahm ad
Djan, m engapa berkenalan, dan untuk apa ia bersahabat
dengan orang itu. Orangnya berperawakan gem uk dem pak,
tam pak jarang m andi, berpakaian lusuh, berwajah m esum ,
www.facebook.com/indonesiapustaka

berm ata m erah seperti orang suka bergadang. Dan yang lebih
penting lagi, ia m engesankan sebagai penganggur dan suka
m enganggur. Kalau datang, selalu ia banyak om ong dan tidak
henti-henti. Kadang-kadang sam pai disuguhi m akan. Bahkan
ia sam pai pernah m enginap. Terpaksalah ia disuruh tidur
di pelbed, satu dari dua oleh-oleh Mas Pram dari Penjara
146 Bersama Mas Pram

Bukitduri. Saya kadang-kadang berpikiran buruk m engenai


orang itu, jangan-jangan ia berpenyakit kotor.
Tapi anehnya, ternyata Ahm ad Djan adalah kom panyon
usaha Mas Pram dalam m endirikan perusahaan iklan. Saya
tak punya gam baran apapun m engenai perusahaan m acam
ini. Yang jelas, saban hari dari pagi sam pai sore bapak itu—
m ula-m ula bersam a seorang tem annya—bekerja di rum ah.
Apa kerjanya? Yaitu m em buat tulisan terbalik di atas kaca
berukuran sekitar 60 x 40 cm dengan berm acam kata, satu
di antaranya yang sangat saya ingat adalah “Dodol Garut”.
Dengan sendirinya kaca bertulisan itu m akin lam a m akin
banyak. Selanjutnya diapakan kaca-kaca itu, entahlah, karena
belum pernah saya m elihat kelanjutannya.
Tapi bapak itu saya lihat bekerja dengan sungguh-sungguh,
dengan diam , sekali dua kali m akan bersam a Mas Pram dan
Mbak Arvah, dan sore hari pulang entah ke m ana, untuk
esoknya datang kem bali m eneruskan pekerjaannya.
Bagaim ana kelanjutan “perusahaan” itu saya tak pernah
tahu. Yang saya tahu, akhirnya bapak itu tak datang-datang
lagi, dan kaca-kaca itu pun m enum puk m enjadi sam pah yang
m engotori rum ah yang sem pit itu.
Nah, selam a ia bekerja itu, dan sesudah kepergiannya, Mas
Pram bekerja juga sendiri: m engetik. Tidak ada hari tanpa
m engetik. Saya kadang-kadang berpikir, kok ada saja yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

diketiknya. Dan kok tahan am at duduk. Mem ang kadang-


kadang ia bangkit lalu m enyanyi-nyanyi. Saya tahu dua lagu
yang disukainya, yaitu “Ave Maria” karya kom ponis Prancis
Charles Gounod, dan “Waktu Hujan Sore-sore”, lagu rakyat
Maluku. Lagu “Ave Maria” hanya didendangkannya, rupanya
karena lagu itu sangat sulit untuk orang biasa yang bukan
Bagian Ketiga: Jakarta 147

penyanyi, dan lagi dalam bahasa Prancis. Sebagai selingan ia


dendangkan lagu-lagu wals, terutam a karya kom ponis Austria
J ohann Strauss. Lagu “Waktu Hujan Sore-sore” dinyanyikannya
penuh. Kedua lagu ini term asuk dalam him punan berbagai
m acam lagu yang ditulis tangan Mas Pram dalam buku tulis
yang diberikannya kepada saya, peninggalan dari Penjara
Bukitduri. Rupanya selam a m eringkuk di Bukitduri ia pelajari
juga lagu-lagu itu.
Kadang-kadang ia bangkit untuk kem udian berjalan
m ondar-m andir dalam ruang kerja yang sem pit itu sam bil
berpikir. Sudah pada waktu itu saya m erasa bahwa itu bukan
kebiasaan orang Indonesia. Belum pernah saya m elihat orang
Indonesia m elakukan hal itu. Entah diperolehnya dari m ana
kebiasaan itu.
Kadang-kadang, hasil ketikan Mas Pram dicabut di tengah
jalan, direm as-rem as, dan dicem plungkan ke keranjang
sam pah. Mem ang kadang-kadang saya lihat lam a ia berpikir,
walau sudah siap duduk di depan m esin tulis, dan baru ia m ulai
m engetik. Terkesan oleh saya, waktu itu belum siap ia m engetik
www.facebook.com/indonesiapustaka
148 Bersama Mas Pram

atau m engarang, atau bahkan m em aksakan diri m engarang.


Kegiatan itu sering ia selingi dengan m em buka kam us, ensi-
klopedi, atau buku-buku lain, sehingga sem ua itu bertebaran
di atas m eja, kursi, dan balai tem pat tidur dalam ruang kerja
itu.
Melihat jam kerjanya yang begitu padat, jarang saya
m endapat kesem patan untuk m em bersihkan ruang kerja itu:
m enyapu dan m elap m eja-kursinya. Tidak jarang barang-
barang yang bertebaran itu untuk beresnya saya pindahkan,
dan sesudah itu saya ditanya:
“Mana kertas yang di sini tadi?”
Atau katanya:
“J angan suka pindah-pindah buku!”
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram dan Kerja (3)

TENTU SAJ A Mas Pram bukan hanya suka kerja otak; ia


pun suka kerja isik. Kalau ada barang-barang rusak, ia suka
m em betulkannya sendiri, terutam a barang-barang dari kayu.
Untuk itu ia punya alat-alat tukang yang terus dilengkapinya.
Untuk m em beli alat-alat itu, saya yang biasa disuruh. Sam pai
sekarang saya m asih ingat sebuah toko di Pasar Baru, tem pat
saya biasa m em beri alat pertukangan itu, seperti palu yang
baik (yang pakai kait), pahat lebar dan pahat lengkung, juga
serut dari besi.
Alat-alat disim pan dalam kotak khusus. Kadang-kadang
saya pun m enggunakannya, entah dengan m aksud sendiri,
entah karena disuruh. Dan sesudah selesai m enggunakannya,
alat harus saya kem balikan ke tem patnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Habis pakai harus dikem balikan ke tem patnya!” begitu


tekan Mas Pram .
Dan ada satu kalim at lagi sehubungan dengan kerja ini:
“Kerja itu harus selesai!”
Kadang-kadang saya berpikir, betul juga, kerja harus
selesai, jangan berhenti di tengah jalan.
150 Bersama Mas Pram

Suatu hari Pak Iljas m em utuskan untuk m engganti


kertas dinding yang sudah banyak rusak. Seperti sudah
saya singgung, dinding bagian atas rum ah ini terbuat dari
gedek yang ditem pelkan dari dua arah dengan paku pada
kerangka bam bu. Lalu untuk kerapian dan keindahan, gedek
itu ditem peli kertas putih yang ukurannya tidak standar,
entah di m ana Pak Iljas m em belinya. Kalau kurang, kertas
ditam bah dengan kertas tik. Menem pelnya dengan aci encer
yang m ula-m ula dioleskan m erata ke gedek, lalu kertas diolesi
m erata juga dengan aci hingga kertas itu rapat sekali duduknya
pada gedek. Dem ikianlah kertas itu ditem pelkan ke dinding
lem bar dem i lem bar, sam pai seluruh gedek tertutup dengan
kertas putih. Pada waktu m asih basah, kertas itu tidak sedap
dipandang m ata, karena seperti kertas belepotan, tapi sekitar
sejam kem udian, ketika sudah kering, kertas itu tam pak rapi
dan enak dipandang m ata. Dan kalau sudah kering sekali, baru
kertas itu dikapur dengan kapur berwarna, biasanya krem atau
cokelat m uda.
Kertas dinding seperti itu tahan terpakai sam pai tahunan.
Sesudah beberapa tahun biasanya rusak karena kertas itu
terkelupas dari gedek, dan itu biasanya karena gedeknya
lem bab. Atau karena kertas itu dilubangi tikus yang sering
bersarang di dalam nya. Mem ang cara m em buat dinding gedek
seperti itu m em berikan kesem patan bagus pada tikus untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

am an bersarang.
Nah, dalam kesem patan m enem pel dinding seperti itu, Mas
Pram biasanya juga am bil bagian, paling tidak m em berikan
contoh kepada saya. Terus-terang, saya bukan tidak senang
dengan pekerjaan ini. Dengan m engerjakan hal itu kelihatan
sekali bedanya dinding sebelum dan sesudah ditem peli kertas
Bagian Ketiga: Jakarta 151

dan dikapur: dinding m enjadi bersih, dan ruangan jadi tam pak
cerah bercahaya. Kalau m engerjakannya pada hari Minggu, saya
bisa bekerja sepanjang hari, dari pagi sam pai m alam . Pernah
saya bekerja sam pai pukul sepuluh m alam , karena tanggung
akan m enghentikannya, sam pai Mas Pram berkom entar:
“Kuat am at kau kerja, Liek!”
Dia tidak m enghentikan saya, walau sudah lewat pukul
sem bilan m alam . Mungkin juga kata-kata itu dia m aksud
supaya saya berhenti kerja.
Yang bikin tanggung itu adalah aci, bukan bidang dinding
yang belum ditem peli. Aci harus dihabiskan, sebab kalau tidak,
ia akan basi keesokan harinya.
Mas Pram tidak pernah saya lihat m ain badm inton,
pingpong, apalagi tenis. Menurut penglihatan saya, Mas Pram
kerja isik tidak teratur. Dan saya tidak pernah melihatnya
langsung melakukan senam atau latihan isik. Tapi saya lihat
ia m enyim pan treksando di kam ar tidurnya, jadi m ungkin ia
m elatih diri di kam ar tanpa kelihatan orang lain. Karena itu
tam pak badannya kekar, walau sepanjang hari duduk m engetik.
Dan tidak tertutup kem ungkinan ia m elakukan senam juga di
kam ar.
Pada waktu Poedjarosm i sudah lahir (18 Oktober 1950 )
sering ia m enjahit pakaian untuk anaknya itu. Yang saya
m aksud bukan m enjahit popok atau sebangsanya yang m udah-
www.facebook.com/indonesiapustaka

m udah itu, m elainkan kem eja, celana, atau celana panjang. Ia


m em bikin pakaian itu dengan m ahir, rupanya sudah terlatih
sejak di Blora. Dan dia tam pak m enikm ati kegiatan jahit-
m enjahit itu.
Belajar Naik Motor

SEKITAR AKHIR tahun 1951 Mas Pram m em beli sem acam


sepeda berm otor, yang waktu itu biasa disebut bromiets
atau sepeda kum bang atau m obilette, buatan Belanda m erek
“Kapitein”. Kalau tidak salah, pem belian dilakukan dengan
m engangsur.
Mobilette itu isiknya sepeda, hanya diberi perangkat mesin
yang digerakkan dengan bahan bakar bensin. Kekuatannya
50 cc, kecepatan m aksim um 35 km / jam . Kalau kehabisan
bensin, kalau m esin m ogok, bisa disetel sebagai sepeda, dan
dapat dikayuh dengan kaki. Karena sosoknya sepeda, m aka
pengayuhan tidak seberapa berat, walau tetap berat. Tapi
karena berm esin, m engendarai m obilette harus dengan izin
m engem udi.
Beberapa waktu sebelum ada sem acam SIM, Mas Pram
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enem pelkan kata “Percobaan” pada pelat nom ornya di depan


dan belakang. Sejak waktu itu saya diharuskan ikut m encoba
m engendarainya. Cara m engendarai: disetel dulu m esinnya,
lalu digenjot kuat-kuat sam pai m esin hidup dan digas. Sangat
sederhana. Tapi karena saya m em ang buta m esin, yang sese-
derhana itu pun susah saya m enguasainya.
Bagian Ketiga: Jakarta 153

Pada suatu hari saya ditugaskan m em bonceng Mbak


Arvah, entah ke m ana, saya sudah lupa. Tapi seingat saya kam i
m enyusuri J alan Tanah Abang Raya, m em belok ke kiri m asuk
J alan Museum , di ujung J alan Museum m em belok ke kanan
m asuk Medan Merdeka Barat. Nah, sam pai di perem patan
teringat ada sesuatu yang ketinggalan, dan harus diam bil
dahulu. Maka kam i m em belok ke kanan m asuk J alan Budi
Kem ulyaan. Lewat rum ah sakit Budi Kem ulyaan kam i harus
m em belok kem bali ke kanan. Di situ ada dua jalan: sebelum
sungai, dan sesudah sungai. Karena sebelum sungai saya
anggap lebih sepi, saya m asuk jalan itu. Kalau tak salah, jalan
itu nam anya J alan Tanah Abang Tim ur. Di ujung jalan itu ada
kios es.
Karena belum biasa, saya tak lagi m elihat tanda verboden
di awal jalan itu. Nah, padahal di kios itu sedang duduk
beristirahat beberapa orang polisi lalu-lintas. J elaslah kam i
diceg-gem eg (ditangkap dengan m udah) oleh polisi-polisi
itu. Suratnya dim inta, lalu seorang di antaranya ny engklak
m otornya, dan kam i diperintahkan m engam bil surat itu di
hop-biro.
Saking bingungnya, saya tak sem pat ngom ong apapun
dengan pak polisi itu. Pokoknya m obilette saya genjot balik
ke hop-biro yang terletak di Medan Merdeka Barat sam bil
m em boncengkan Mbak Arvah. Saya m asih bisa m em ba-
www.facebook.com/indonesiapustaka

yangkan betapa sengsara saya waktu itu: badan sekurus itu,


m em boncengkan Mbak Arvah yang cukup gem uk, dan naik
m obilette pula, yang lebih berat daripada sepeda biasa.
Syukurlah kam i bisa sam pai di hop-biro, dan Mbak Arvah
turun dari boncengan. Dan di sinilah saya akui kehebatan Mbak
Arvah, karena m asih di pekarangan depan hop-biro dia sudah
154 Bersama Mas Pram

sem pat m engobrol dengan seorang polisi lalu-lintas (entah


yang tadi m enangkap kam i atau bukan), pendek kata surat
m otor itu sudah langsung ada di tangan dia, dan kam i langsung
bisa hengkang m eninggalkan para polisi yang “cari m akan” itu.
Sam pai sekarang saya tak pernah tanya, bagaim ana m ungkin
surat m obilette itu bisa kem bali ke tangan Mbak Arvah.
Mas Pram tidak pernah m em perm asalahkan peristiwa
itu. Dengan m obilette itu selanjutnya kadang-kadang ia pergi
sendiri. Tidak pernah m em bonceng saya, kecuali pada waktu
m engajari saya, dan tidak pernah juga m em boncengkan Mbak
Arvah. Mungkin karena sepeda kum bang itu kurang begitu
nyam an untuk santai berdua.
Tidak lam a kem udian m obilette itu diserahkan kepada Pak
Iljas. Di tangan Pak Iljas m alahan banyak m anfaatnya, karena
Pak Iljas bisa m enggunakannya untuk kulakan ke Pasar Tanah
Abang, dan di bongengan m obilette itu bisa dipasang tas besar-
besar kiri-kanan untuk barang dagangan.
Sebagai gantinya, Mas Pram dapat sepeda m otor sungguhan
m erek “Spartak” 150 cc. Itu, yakin percaya, sudah tahun 1954.
Dari m ana dia dapat sepeda m otor itu saya tidak tahu. Pokoknya
saya diharuskan bisa m engendarainya. Nah, dengan m obilette
yang begitu sederhana saja saya m engalam i kesulitan, apalagi
dengan m otor dan katanya pakai tali kopling, pakai persneling,
dan pakai gas. Bagi saya sungguh tidak m asuk akal hubungan
www.facebook.com/indonesiapustaka

antara kopling dan persneling itu. Maka sam pai lam a saya
tidak juga bisa m enggunakannya.
Dalam situasi seperti itulah pada suatu hari Mas Pram
m engatakan:
“Antarkan Mbak ke Kebayoran, Liek! Berani, kan?”
“Berani!” jawab saya setengah m antap.
Bagian Ketiga: Jakarta 155

Bagaim ana tidak setengah m antap? Saya belum punya


rijbew ijs (SIM). Dan yang lebih penting lagi: saya belum tahu
bekerjanya m esin! Dan Kebayoran Baru itu dari Kebon J ahe
Kober kan tidak dekat?
Tapi karena sudah bilang “berani”, ya harus saja jalani. Dan
di sini sekali lagi saya puji kehebatan Mbak Arvah, yaitu kok
berani diboncengkan oleh saya yang dem ikian keadaannya itu.
Tahu tidak, jarak Kebon J ahe Kober-Kebayoran Baru pulang-
pergi itu saya tem puh dengan.... hanya persneling satu! Minta
am pun.
Dan sepanjang jalan tidak ketem u dengan polisi “cari
m akan”!
www.facebook.com/indonesiapustaka
Penyakit TBC

IBU SAYA m eninggal karena TBC, bapak saya m eninggal


karena TBC, dan m bakyu saya Koem arjatoen sedang dim akan
TBC, dan kini sedang m enularkan TBC-nya pada suam inya,
Mas Djajoesm an. TBC m enjadi m om ok besar bagi Mas Pram .
Maka tidak heran kalau begitu kam i tiba di J akarta, salah satu
perintahnya adalah:
“Kalian m esti periksa dokter setengah tahun sekali!”
Dan apa hakikat perintah itu?
Kam i harus m enyam paikan surat izin sakit ke sekolah,
dan esoknya pukul enam kam i harus sudah berangkat ke CBZ
(Centraal Burgerlijke Ziekenhuis, kem udian nam anya Rum ah
Sakit Um um Pusat, disingkat RSUP) di J alan Diponegoro.
Untuk itu kam i naik trem ke Harm oni, ganti trem ke J atinegara
lewat Pasar Baru dan Pasar Senen, turun di ujung J alan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Diponegoro, dari situ jalan kaki sedikit. Kam i belum tahu


tata kerja rum ah sakit itu, jadi sebelum pukul tujuh pagi kam i
biasanya sudah sam pai di RSUP, sebelum petugas penerim a
pasien datang. Sebentar kem udian m ereka datang, dan kam i
pun m endaftarkan diri. Kadang-kadang saja para petugas itu
sudah datang, dan kam i bisa langsung m endaftar.
Bagian Ketiga: Jakarta 157

Seingat saya, waktu itu pasien tidak banyak, nam un karena


bangku tunggu lebih sedikit lagi, m aka kadang-kadang kam i
terpaksa duduk di lantai, m enunggu kedatangan dokter.
Dokter kadang datang pagi, kadang siang, pokoknya tak
m enentu. Biasanya paling cepat pukul sepuluh, jadi selam a
paling sedikit tiga jam , dari pukul tujuh sam pai pukul sepuluh
itu, kam i hanya duduk terbengong-bengong sam pai kenyang
bosan. Anehnya tidak ada pikiran sedikit pun untuk m engisi
waktu. Pikiran disibukkan oleh kem ungkinan penyakit dan
kedatangan dokter. Dan ketika akhirnya dokter datang, dan
nam a dipanggil, adegannya biasanya dem ikian:
“Ada apa?” tanya dokter.
“Sakit dada, Pak.”
“Buka baju.”
Saya m em buka baju.
“Di bagian m ana?”
“Di sini, Pak,” sam bil m enunjuk bagian dada yang m ana
saja.
Dokter m em asang stetoskop ke telinga, lalu m enekan-
nekankan lubang stetoskop itu ke dada sam bil sekali-sekali
bilang: “Tarik napaaas...” dan kadang-kadang m enekan-nekan-
kannya ke punggung. Sesudah itu ia m engam bil alat sem acam
palu, dan dengan alat itu ia m em alu urat di bawah tulang lutut.
Karena paluan itu, kaki m endadak m enendang sendiri. Dokter
diam saja.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Pakek bajunya.”
Dokter lalu duduk m enulis resep.
“Am bil obat, ya. Vitam in sekian m acam , dim akan sekian
kali sehari, sebelum atau sesudah m akan dsb., dsb.”
Nah, obat atau vitam in itu m esti diam bil di apotik rum ah
sakit yang cum a ada satu untuk seluruh rum ah sakit. Antrenya
158 Bersama Mas Pram

m inta am pun—tanpa aturan, tanpa sopan santun, tanpa segan-


segan. Walhasil sesudah berjam -jam disiksa penantian, kini
berjam -jam dianiaya kekurangajaran. Sering pukul dua siang
kam i baru dapat vitam in, sesudah tenaga di badan habis, dan
lapar dan haus m endera.
Sam pai di rum ah ditanya Mas Pram :
“Bagaim ana? Dapat obat apa?”
“Dapat vitam in!”
Sudah. Mas Pram tidak tanya-tanya lagi.
Begitulah bertahun-tahun, tiap setengah tahun.
Pada suatu kali, salah seorang pam ong Tam an Siswa, Pak
Un nam anya, lulus sebagai dokter. Nah untuk beram al kepada
m asyarakat ia buka praktik di sebuah ruang kerja yang di J alan
Garuda 25 itu, terbuka gratis bagi para siswa.
Kesem patan baik bagi saya. Maka pada suatu sore saya pun
m encoba m em eriksakan diri. Kebetulan pasien tidak banyak,
m aka tanpa lam a m enunggu saya sudah dipanggil.
“Salam !” seru saya.
“Salam . Ada keluhan apa?” tegur Pak Un.
“Sakit dada, Pak!”
“Sekarang m asih sakit tidak?”
“Sekarang tidak, Pak.”
“Ya kalau tidak lagi sakit, tidak usah diperiksa!”
Dan Pak Dokter Un itu bergem ing, dengan wajah tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

bersedia berkom prom i sedikit pun. Kurangajar juga dia.


Mentang-m entang pam ong, dan m entang-m entang sudah jadi
dokter.
Keprihatinan Mas Pram ternyata tidak hanya sam pai
sekian. Pada suatu kali ia datangkan Mbak Koen dari Blora
untuk diobatkan pada dokter spesialis penyakit TBC di J akarta.
Bagian Ketiga: Jakarta 159

Kebetulan waktu itu Mas Pram sudah berhasil m enam bah


bangun satu petak rum ah dengan kam ar m andi dan WC-nya,
sehingga ada tem pat tidur untuk Mbak Koen.
Pada waktu-waktu tertentu Mbak Koen harus diantarkan
ke dokter spesialis di J alan Batu Tulis, seorang Tionghoa, dan
yang bertugas m engantar adalah saya atau Coes. Perintah Mas
Pram :
“Nanti di sana hidungnya ditutup saputangan!”
J adi begitu datang, selam a m enunggu, dan m eninggalkan
tem pat praktik dokter itu kam i selalu m engikat rapat-rapat
hidung kam i. Dengan sendirinya kam i selalu m enjadi tontonan
orang, tapi karena itu perintah Mas Pram , kam i pikir m em ang
begitulah harusnya.
Bukan hanya itu. Di rum ah Mas Pram m enegakkan per-
aturan khusus bagi Mbak Koen, yakni tiap pagi harus berjem ur
sebelum pukul sem bilan pagi, harus dim asakkan m asakan
khusus, dan alat-alat m akan harus dicuci dan dirawat sendiri.
Peraturan itu sungguh-sungguh m enam bah repot
kehidupan keluarga. Mungkin peraturan itu baik ditinjau dari
sudut kesehatan, tapi dari sudut perasaan, terutam a perasaan
Mbak Koen, barangkali tidak dapat diterim a. Karena itu saya
lihat dari hari ke hari Mbak Koen kelihatan sem akin sengsara,
sehingga bertam bah parah sakitnya, akhirnya ia tinggalkan
rum ah kam i dan kem bali ke Blora. Penyebabnya tidak saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

ketahui.
Mas Her

SAYA DAN Mbak Is lulus ujian SMP negeri tahun 1951. Saya
m eneruskan pelajaran ke Tam an Madya yang setingkat SMA,
sedang Mbak Is oleh Mas Pram dim asukkan m enjadi pegawai
Balai Bahasa di bawah Kem enterian Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan, yang waktu itu berkantor di gedung Balai
Pustaka, jadi segedung dengan Mas Pram . Alasan untuk
m em asukkannya ke sana tentunya dapat diraba, tapi apakah
Mas Pram sudah lupa akan cita-citanya m enyekolahkan kam i
bertiga, saya tidak m em persoalkannya.
Penyakit yang biasa m enjangkiti gadis 18 tahun adalah
jatuh cinta atau kejatuhan cinta. Lebih-lebih lagi Mbak Is itu
barangkali berwajah cantik m enurut penilaian orang banyak.
Buktinya, sejak kecil, di Blora, ia dipanggil para tetangga
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan Ning Ayu. J adi sejak di Tam an Dewasa itu ada saja
yang m eliriknya, dan sebagian juga datang ke rum ah. Nah,
ketika ia m enjadi pegawai Balai Bahasa itu, sebentar saja sudah
terjadi satu dari kedua kem ungkinan jatuh cinta tadi. Siapakah
pem uda itu?
Bagian Ketiga: Jakarta 161

Nam anya Mas Her, yang waktu itu di sam ping m enjadi
pegawai Balai Bahasa berstatus sebagai m ahasiswa hukum
Universitas Indonesia, putra m antan m antri polisi. Tinggal
indekos di J alan J am bu, Menteng, tapi kem udian pindah
tinggal di rum ah uaknya di Bogor.
J abatan m antri polisi waktu itu cukup terhorm at. Karena
itu pula ia bisa m engindekoskan putranya di daerah Menteng,
daerah elit di J akarta. Kedudukan Mas Her sendiri sebagai
pegawai Balai Bahasa cukup terhorm at, term asuk statusnya
sebagai m ahasiswa hukum . Tetapi di m ata Mas Pram barangkali
sem ua itu tidak m encukupi. Barangkali ia ingat kata-katanya
sendiri: dokter-dokter, m eester-m eester!
Karena tinggalnya di Bogor, Mas Her nglaju kereta api
Bogor-Gam bir untuk bekerja, dan pada hari Minggu ngapeli
Mbak Is. Hari-hari biasa, pukul enam pagi ia sudah berangkat
dari Stasiun Bogor, dan hari Minggu pukul sem bilan atau
pukul sepuluh ia sudah sam pai di Kebon J ahe Kober, dan
paling lam bat pukul enam sore sudah naik kereta untuk pulang
ke Bogor.
Mas Her bersosok sedang, sim etris, tam pan, bersisir dan
berpakaian necis, berpendidikan. Sikapnya galant, correct,
walau pendiam . Di antara ciri-cirinya itu, pendiam nya yang
paling m encolok bagi saya. J arang saya m endengar suaranya.
Dan tahannya duduk itu... m inta am pun. Bayangkan, datang
www.facebook.com/indonesiapustaka

pukul sem bilan pagi, duduk, terusss duduk sam pai pukul lim a
sore, dan pada pukul lim a sore teng dia kem bali ke Gam bir.
Orang jatuh cinta m em ang berdasar banyak faktor, juga
m enanggapi cinta. Dan berdasarkan faktor-faktor itulah cinta
itu juga diuji dan diwujudkan.
162 Bersama Mas Pram

Tadi saya katakan bahwa bagi Mas Pram Mas Her


barangkali tidak m encukupi. Dia terlalu orang biasa. Saya
pernah m endengar selentingan, entah dari siapa, “banyak
dokter dan m eester” itu tadi. Maka seingat saya, tidak pernah
Mas Pram njagongi (m enerim a tam u, m engawani tam u) kalau
Mas Her sedang apel delapan jam sehari di hari Minggu itu.
J ustru proses apel yang dem ikian panjang itu yang barangkali
m em buat Mas Pram sebal. Sem entara itu Mas Pram terus sibuk
dengan kerjanya. Pada suatu kali saya dengar selentingan lagi,
juga entah dari siapa, ancam an Mas Pram kepada Mbak Is:
“Putuskan hubungan dengan dia. Kalau tidak, pergi dari rum ah
ini!”
Mem ang m engherankan yang nam anya cinta itu (hal ini
baru saya ketahui kem udian). Cinta kiranya berkaitan erat
dengan naluri m em pertahankan diri, m engem bangkan diri, dan
m eningkatkan bobot pribadi. Karena itu dia tak bisa dilarang.
Nah, penolakan terhadap larangan itu sangat berm acam -
m acam bentuknya, tapi hakikatnya hanya satu, yaitu m enolak
larangan.
Bagaim anakah reaksi Mbak Is terhadap ancam an itu? Hal
ini rupanya m enjadi rahasia pribadi Mbak Is. Buktinya sam pai
sekarang saya tidak m engetahuinya. Yang jelas m ereka tetap
bertem u tiap hari Minggu, bahkan kadang-kadang (walau
jarang) pergi ke sesuatu tem pat, berdua, atau kadang-kadang
www.facebook.com/indonesiapustaka

m engajak kam i—saya dan Coes. Barangkali prinsip m ereka


adalah it’s now or never. Di sini kiranya Mas Pram m em aham i
bahwa kenyataan ada di atas segalanya.
Mimbar Penyiaran DUTA (1)

LULUS DARI Tam an Dewasa tahun 1951 saya m eneruskan


pendidikan di Tam an Madya (setingkat SMA) di sekolah yang
sam a, yang pelajaran-pelajarannya dilangsungkan sore hari.
Karena Mas Pram tidak lagi kerja di Balai Pustaka, saya bisa
m enggunakan sepedanya untuk pulang-pergi ke sekolah, jadi
tidak perlu lagi jalan kaki.
Entah kebetulan atau tidak, beberapa bulan sesudah
saya m asuk Tam an Madya, pada J anuari 1952, Mas Pram
m endirikan dan m engelola sebuah keagenan seni, budaya dan
sastra yang ia beri nam a Mim bar Penyiaran DUTA atau dalam
bahasa Inggris Literary & Features Agency DUTA (disingkat
L & F Acy DUTA). Keagenan dirancang untuk m enerim a
artikel seni, budaya, dan sastra dari para senim an, budayawan
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan sastrawan, serta m enyebarkannya kepada m edia cetak


(m ajalah dan suratkabar) di Indonesia (J akarta dan daerah)
dan luar negeri (Singapura dan Malaya).
Keagenan ini saya kira didirikan Mas Pram atas gagasan
sendiri, tapi dikom unikasikan dengan beberapa tem an yang
waktu itu datang bertam u. Sayang saya sudah lupa siapa saja
164 Bersama Mas Pram

tam u itu, tapi perusahaan ini perusahaan pribadi. Apakah


tercatat sebagai badan hukum , saya tidak tahu. Kalaupun
tercatat, saya tidak pernah m enem ui catatannya. Yang jelas,
kop surat dan am plop langsung dicetak dalam tum pukan
banyak, dengan cap yang dirancang sendiri dalam bentuk
yang agak aneh, yang m enurut citarasa saya waktu itu kurang
m enarik: di bawah terdapat tertulis ”DUTA” dengan huruf
kapital, di atasnya pintu gerbang m odel Yunani berpilar tiga,
dengan latarbelakang gunung m enjulang, lalu di atas gerbang
m elengkung tulisan ”Mim bar Penjiaran” dipayungi tengah
lingkaran yang serupa ram but m engom bak.
Saya tidak diikutkan dalam m enggagas dan m endirikan
keagenan ini, dan juga tidak diajak m em ikirkan cara m e-
realisasikan gagasan tersebut. Tapi saya ditetapkan m enjadi
sekretaris dan pelaksana kegiatan praktis keagenan ini. Ini
berarti banyak sekali.
Pertam a, saya harus m enerim a tulisan/ karangan dari
m ana saja (dari Mas Pram sendiri m aupun dari orang lain),
lalu m engetiknya di atas sheet. Merupakan hal baru bagi
saya bagaim ana m engetik di atas sheet, dan bagaim ana cara
m engoreksinya kalau terjadi salah ketik. Nam a-nam a alat
pun baru. Dan karangan biasanya m akan beberapa sheet: tiga
sam pai lim a lem bar.
Kedua, m em asangkan sheet ke m esin stensil yang juga
www.facebook.com/indonesiapustaka

baru buat saya. Mesin diisi tinta khusus, dan diputar hingga
m enghasilkan lem bar stensilan, halam an dem i halam an.
Untuk itu digunakan kertas khusus stensil yang bisa dibeli per
rim . Satu rim biasanya terdiri atas 40 0 lem bar kertas kuarto
atau folio (yang seharusnya berisi 50 0 lem bar). Seingat saya,
tiap karangan dibuat stensilannya sam pai 50 eksem plar. J adi
Bagian Ketiga: Jakarta 165

tiap terbit dibutuhkan kertas sekitar satu rim . Kadang-kadang


terbitan m em uat dua karangan sekaligus.
Ketiga, lem bar-lem bar karangan disatukan urut halam annya
m enjadi satu buletin, dilipat dua kali dan dijepret dengan
nices, ditem peli alam at lengkap m ajalah atau suratkabar, dan
ditem peli perangko untuk m ajalah atau suratkabar luar kota
atau luar negeri. Untuk itu kam i ada daftar nam a m ajalah dan
suratkabar.
Keem pat, buletin untuk luar kota atau luar negeri dibawa
ke kantor pos besar Pasar Baru untuk dicapkan, sedangkan
untuk J akarta saya antarkan sendiri per tangan. Untuk itu
saya m engarungi J akarta dengan sepeda Mas Pram . Saya
tidak ingat lagi seluruh alam at yang saya edari, tapi yang
m asih saya ingat antaranya adalah alam at m ajalah Pentja di
Nusantara II, m ajalah Siasat di Pintu Air, m ajalah Aneka di
Gunung Sahari, m ajalah Garuda di Gunung Sahari III (kalau
tak salah), m ajalah Mim bar Indonesia dan kem udian Zenith
di Cikini Raya, m ajalah Pem uda di Cikini Raya, m ajalah
Pew arta PPK di J alan Cilacap No. 4, m ajalah Duta Suasana di
Tanah Abang V. Selain itu buletin didrop juga di kantor Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), di Perpustakaan
Museum (dua eksem plar tiap terbit), dan kalau tak salah ingat
di Stichting voor de culturele sam enwerking (Sticusa) di J alan
Gajah Mada. Di antara m ajalah luar kota yang m asih saya ingat
www.facebook.com/indonesiapustaka

adalah m ajalah Braw idjaja di Surabaya dan m ajalah Pelopor


di Yogyakarta. Dan yang di luar negeri saya ingat koran
Utusan Melay u dengan huruf Arab gundul yang secara teratur
m engirim publikasinya ke DUTA.
Kelim a, apabila m ajalah atau suratkabar m em uat tulisan
DUTA dan m engirim uang honorarium per wesel pos, saya juga
166 Bersama Mas Pram

yang m engam bilnya. Untuk itu saya m em erlukan controlekaart


yang m enyatakan saya bisa m engam bil poswesel kirim an untuk
DUTA. Kalau m ajalah atau surat karena beberapa sebab tidak
m engirim honorarium , padahal m ajalah atau suratkabar itu
saya ketahui sudah m em uat tulisan DUTA, m aka saya juga yang
m enagih honorarium tersebut ke bagian adm inistrasinya.
Keenam , sem ua kegiatan itu m elibatkan uang, dan untuk itu
saya harus m enyelenggarakan buku keuangan agar uang yang
m asuk dan keluar dapat dipertanggungjawabkan. Beruntung,
sem asa di Tam an Dewasa kam i m endapat pelajaran Tata Buku
dari bapak pam ong yang sudah lupa saya nam anya, tapi ia
m em berikan pelajaran dengan baik sekali.
Ketujuh, kadang-kadang datang surat dari m ajalah atau
suratkabar atau dari pem baca. Maka saya harus m enyusun surat
m asuk dan m em bubuhkan tanggal penerim aan surat tersebut.
Kalau surat harus dijawab, saya juga yang harus m enuliskan
jawabannya. Di situlah saya harus belajar m em buat berm acam
surat, tergantung keperluannya. J adi secara um um saya harus
punya m ap khusus untuk surat m asuk dan surat keluar, atau
m enyelenggarakan adm inistrasi sendiri.
Kegiatan yang berm acam -m acam itu m em ang m enghabis-
kan waktu saya sebelum setiap hari berangkat ke sekolah, tapi
di pihak lain m em berikan pengalam an yang berharga untuk
m enangani pekerjaan lain yang lebih luas ruang lingkupnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mimbar Penyiaran DUTA (2)

SEPERTI SAYA tulis dalam pengantar Menggelinding 1


(Lentera Dipantara, 20 0 4), buletin dengan nam a Mim bar
Penjiaran DUTA itu berbentuk stensilan yang keluar aperiodik,
bergantung pada m asuknya artikel, dengan dukungan sebuah
m esin roneo kecil. Buletin bernom or urut, m em uat satu atau
lebih artikel, dan tiap nom or m em uat perm intaan kepada
m edia agar apabila m em uat artikel tersebut sudi m engirim kan
sejum lah honorarium kepada DUTA. Dengan dem ikian ada
kem ungkinan pengarang artikel m endapat honorarium lebih
besar.
Dalam kenyataan, buletin lebih banyak diisi dengan
tulisan Mas Pram sendiri, walau tidak sedikit m asuk tulisan
dari penulis lain seperti Haksan Wirasutiksna, Zaini, Am ir
www.facebook.com/indonesiapustaka

Pasaribu, Rivai Apin, dll. Haksan m enulis tentang soal-soal


ringan, Zaini pernah m enulis artikel berjudul “Tari Yanko”,
Am ir Pasaribu m enulis tentang m usik, dan Rivai Apin tentang
soal-soal budaya. Mas Pram sangat produktif waktu itu, dan
aktif m engisi buletin, term asuk ketika ia berada di Negeri
Belanda antara Mei-Desem ber 1953, ditandai paling dini oleh
168 Bersama Mas Pram

“Kapal Gersang” bertanggal Am sterdam , VI-1953, dan paling


lat oleh “Tentang Em ansipasi Buaya” bertanggal Am sterdam ,
XII-1953. Ia m enulis tentang apa saja yang ia rasa perlu ditulis:
reportase, wawancara, opini, juga cerpen.
Sam butan terhadap DUTA bisa dikatakan m eriah,
terbukti dari dim uatnya artikel-artikelnya dalam m ajalah dan
suratkabar di J akarta m aupun daerah.
Mim bar Penyiaran DUTA hidup dua tahun lebih sam pai
awal 1954.
Hiruk-pikuk politik peristiwa tahun 1965 dan rendahnya
kesadaran orang Indonesia tentang perlunya dokum entasi telah
m enghancurkan, bahkan m elenyapkan sebagian besar artikel
yang pernah dim uat dalam DUTA. Terbukti, Perpustakaan
Nasional yang m ewarisi Perpustakaan Museum Pusat tidak
m enyim pan sepotong pun buletin DUTA. Bahkan m ajalah-
m ajalah yang pernah m em uat artikelnya pun banyak tidak
ditem ukan kem bali.
Di antara tulisan Mas Pram yang m asih dapat ditem ukan
di situ hanyalah: 1). “Sepku”, dim uat oleh m ingguan politik
Pelopor, 27 J anuari 1952; 2). “Kam pungku”, oleh Mim bar
Indonesia, di m ana term uat kalim at: “Aku sudah tinggal dua
tahun di kam pung ini,” berarti tahun 1952; 3). “Galerie Le
Canard”, oleh Pem uda No. 10 Th. III, Oktober 1953; 4). “Pak
Kasur”, oleh Pem uda No. 12 Th. III, Desem ber 1953; 5). “Bicara
www.facebook.com/indonesiapustaka

tentang basa Indonesia”, oleh Pem uda No. 2 Th. IV, Februari
1954; 6). “Angkatan dan dunianya”, oleh Pem uda No. 1 Th.
III, J anuari 1953; 7). “Tentang Angkatan”, oleh Duta Suasana
No. 2, 20 -11-1952; 8). “Daya khayal, ketekunan, keperwiraan
dan ilm u”, oleh Pem uda No. 1 Th. IV, J anuari 1954; 9).
“Kesusasteraan dan perjuangan”, 1952; 10 ). “Mencari sebab-
Bagian Ketiga: Jakarta 169

sebab kem unduran kesusasteraan Indonesia m odern dewasa


ini”, oleh Duta Suasana No. 25, 10 J uli 1953; 11). “Offensif
kesusasteraan–1953”, 1953; 12). “Deinisi dan keindahan
dalam kesusasteraan”; 13). “Fam ili Tanus yang buta”, 1953;
14). “Perusahaan-perusahaan m ahasiswa Belanda”; 15). “Ada
hum anism e di Oranje Nassaulaan-5” dan “Kom unism e telah
m ati bersam a Lenin”; 16). “Sum ber cipta dalam kesenian”; 17).
“Sekitar realism e kesusasteraan dan keadaannya di Indonesia”;
18). “Kesusasteraan sebagai alat”; 19). “Rom an dan rom ance”;
20 ). “Prof. Dr Wertheim tentang kesusasteraan Indonesia m o-
dern; kegagalan kesusasteraan Indonesia m odern: kegagalan
revolusi”, oleh Pem uda No. 11 Th. III, Novem ber 1953.
Tulisan penulis-penulis lain belum ada yang ditem ukan
kem bali.
Padahal kalau diperkirakan tiap dua m inggu terbit satu
nom or buletin DUTA, dalam dua tahun diperkirakan di-
publikasi m inim al 50 tulisan. Artinya, yang dapat ditem ukan
kem bali hanya kurang dari 40 persen. Sem entara itu tulisan-
tulisan yang dim uat dalam m ajalah atau suratkabar daerah
belum dapat ditem ukan sam asekali.
Apabila benar ingatan saya bahwa buletin DUTA dikirim
juga pada Sticusa, m aka publikasi DUTA tentunya m asih dapat
ditelusuri di Negeri Belanda. Sem entara itu kalau dokum entasi
Utusan Melay u baik, tentunya m asih bisa ditelusuri lebih
www.facebook.com/indonesiapustaka

lanjut di Kuala Lum pur.


Mimbar Penyiaran DUTA (3)

KEGIATAN UNTUK DUTA, walau tidak selalu, banyak m eng-


habiskan waktu dan energi saya, terutam a apabila sekali
waktu saya harus juga m om ong Ros, atau saya harus juga
berbelanja ke Pasar Petojo Enclek (yang sem ula saya sangka
nam anya Petojunclek, karena cara m enuliskan nam a itu terlalu
berdekatan).
Saya tak ingat lagi kenapa pada akhirnya Mbak Arvah
tidak berbelanja pada tukang sayur yang tiap pagi m engedari
kam pung. Kalau tidak salah, jarak m engandung ketiga anak
Mas Pram (Ros, Etty, dan Neni) cukup dekat, sehingga Mbak
Arvah ham pir selalu kelihatan m engandung, dan juga selalu
kelihatan lelah. Bangunnya tidak lagi dini, sehingga pada waktu
tukang sayur m engedar ia m asih tidur. Begitu bangun, waktu
www.facebook.com/indonesiapustaka

m atahari sudah benderang, ia lalu duduk di kursi, m em anggil


saya untuk m enyuruh belanja. Dan sesudah saya datang, sering
ia bertanya seperti kepada diri sendiri: ”Beli apa ya, Liek?” atau
”Masak apa ya, Liek?”
Saya tidak pernah m engusulkan ini atau itu, m enunggu saja
sam pai akhirnya terpikir olehnya sendiri, akan beli apa atau
Bagian Ketiga: Jakarta 171

belanja apa. Kalau belanjaan banyak, saya catat nam a-nam a


barang di secarik kertas. Kalau tidak banyak, saya hafalkan
saja. Paling kesal adalah kalau sudah selesai belanja, dan tiba-
tiba Mbak Arvah m engatakan: ”O iya, Liek, lupa, belum beli ini
atau itu. Gi deh lagi!” Dan saya pun berangkat lagi.
Waktu itu belanjaan m asih dibungkus daun pisang, daun
teratai, atau kertas koran, dan diikat tali yang dibuat dari
gedebok pisang. Cara m engikatnya antik, karena m elibatkan
gigi si abang yang diperingiskan. Yang biasa berjualan waktu
itu orang lelaki, dan jarang orang perem puan. Di sini saya tak
bisa m elukiskan cara m engikat belanjaan itu karena rum itnya.
Pasar Petojo Enclek tidak seberapa jauh dari Kebon J ahe
Kober, naik sepeda paling delapan m enit. Yang m akan waktu
adalah belanjanya, karena saya harus m em arkir dulu sepeda di
tem pat yang am an, karena sibuknya penjual m elayani pem beli,
dan karena saya harus m elam piaskan kegem aran saya dulu:
m akan cendol es yang dikepruk dulu di atas kain gom bal yang
kum al.
Yang lebih m enghabiskan waktu dan energi adalah m eng-
edari pelanggan DUTA. Ya, bayangkan kalau saya dari Tanah
Abang I harus ke Gunung Sahari, kem udian ke J atinegara,
kem bali ke Tanah Abang lewat Cikini Raya. Belum m am pir-
m am pirnya. Sam pai kadang-kadang saya m elam un: ”Alangkah
senang kalau saya bisa punya sepeda balap, tentu pekerjaan ini
www.facebook.com/indonesiapustaka

bisa saya selesaikan dengan lebih cepat!” Lebih-lebih kalau saya


harus m engantarkan surat yang sifatnya ”m inta honorarium ”,
dengan pesan dari Mas Pram : ”Harus ketem u orangnya!”
Kalau ada pesan seperti itu, tidak berani saya pulang
sebelum ketem u dengan orang yang dim aksud. Saya pernah
berjam -jam m enunggu di toko buku Pem bangunan di Gunung
172 Bersama Mas Pram

Sahari untuk bertem u dengan (kalau tak salah) Sudjatm oko.


Mula-m ula waktu saya pakai untuk m elihat-lihat buku-buku
yang dipajang di rak-raknya. Waktu itu Pem bangunanlah
m em elopori penerbitan pocket-book, buku ukuran kantong
dengan bundelan lak, tidak seperti biasanya dibundel jahit. Tapi
sesudah sem ua buku dilihat, apa tidak setengah m ati m enunggu
orang yang belum tentu akan datang? Tapi untunglah, waktu
itu hidung Sudjatm oko nongol, dan saya bisa m em bawa pulang
honorarium yang sangat diidam kan Mas Pram itu.
Saya pun pernah m enunggu sam pai em pat jam kedatangan
Anjar Asm ara di kantornya di De Unie. Berkali-kali saya
bertanya pada sekretaris apakah bapak itu sudah datang;
m aksud saya, barangkali beliau m asuk dari jalan lain. Tidak
juga. Sam pai beberapa kali saya bertekad pulang saja, tapi tiap
kali saya batalkan. Tapi syukur juga bahwa akhirnya Anjar
Asm ara m uncul, dan dengan sedikit rewel akhirnya dapat
m engabulkan perm intaan Mas Pram .
Tentu saja pernah juga terjadi saya kehabisan waktu
sam asekali, sehingga tak ada kesem patan untuk m enangani
DUTA atau yang lain apapun, yaitu ketika tiba saat untuk
m enghadapi ulangan. Dalam keadaan seperti itu saya nekat
”kabur” dengan m engatakan akan m engurus DUTA, tetapi
dalam kenyataan saya ngendon di bawah pohon di Tam an
Chairil Anwar, m engulangi pelajaran yang akan diulangkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

sore hari itu. Ke tam an itu juga saya m engungsi untuk m ain
bola sendirian atau dengan Coes, kalau lagi rindu berm ain
dengan tem an bal-balan di Blora.
Rangkaian Sahabat Sastera

PADA HARI ulang tahun DUTA yang pertam a, J anuari 1953,


dibuka cabang penerbitan, yang dim aksudkan m enerbitkan
Rangkaian Sahabat Sastera yang ”m enghidangkan kisah-kisah
dalam negeri yang baik dan juga kisah-kisah dari kesusasteraan
dunia”. Dalam kerangka itu diterbitkan buku pertam a
berukuran saku Gulat di Djakarta, karangan Mas Pram sendiri.
Buku kecil yang terdiri atas 86 halam an ini dicetak dengan
kertas kasar m odel kertas stensil, dengan kulit yang dirancang
oleh Ahm ad Djan, m elukiskan dua orang pem uda yang sedang
bergulat.
Seperti tertera di halam an 4, buku itu dicetak 5.0 0 0
eksem plar. Tapi sam butan pem baca dan dunia sastra waktu
itu, saya ingat, agak dingin. Ada pem beritaannya, tapi di m ana
saja, perlu dilakukan penelitian tersendiri.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Karena itu, pem asarannya pun sangat seret. Saya diperin-


tahkan m em asarkan buku itu kepada penum pang kereta api
jurusan Surabaya yang berangkat dari Stasiun Gam bir sekitar
pukul 0 5.15. Menurut Mas Pram , para penum pang itu butuh
bacaan, dan m em ang biasanya m ereka m em beli suratkabar,
m ajalah, atau buku untuk dibaca dalam perjalanan.
174 Bersama Mas Pram

J adi, pukul 0 4.30 saya sudah berangkat m engayuh sepeda


ke Stasiun Gam bir, m enitipkan sepeda itu, lalu m enjajakan
buku kepada para penum pang. Tidak satu pun terjual selam a
berhari-hari saya m enjajakan itu, sehingga saya (dan m ungkin
Mas Pram juga) putusasa dan kam i (atau terutam a saya)
m enghentikan usaha tersebut. Mungkin tidak lakunya, karena
saya kurang provokatif dalam m em ikat pem baca, yaitu hanya
m engatakan ”Gulat di J akarta! Gulat di J akarta!” sam bil
m em perlihatkan kulit buku yang m enurut saya kurang m enarik
itu. Mungkin juga karena tam pang saya kurang m eyakinkan
sebagai penjaja buku.
Saya m enjajakan buku itu bukan hanya di kereta api,
m elainkan juga ke toko-toko buku, di antaranya yang saya
ingat sekali adalah toko buku di J alan Majapahit (kalau tak
salah ingat, nam anya Pustaka Antara), di J alan Pecenongan,
dan di ujung J alan Pasar Baru. J uga tak seorang pun berm inat
ikut m em asarkannya. Dan, sekali lagi, m ungkin saya penjaja
yang buruk, atau bahkan sangat buruk.
Yang m engesankan (dan di sinilah kebodohan saya, atau
barangkali kengototan saya!), ketika saya m enawarkannya
kepada penjual buku yang m enggelar dagangan di em peran
J alan Majapahit. Ketika saya tanya pedagang buku itu apakah
ia bersedia m em asarkan Gulat di Djakarta, ia m enjawab m au.
Apa kalau saya drop sepuluh eksem plar ia tak keberatan,
www.facebook.com/indonesiapustaka

ia tidak keberatan. Dan ia bersedia m enandatangani tanda


terim anya. Dari hasil penjualan buku itu ia bersedia m endapat
persentase sekian persen.
Sem inggu kem udian saya datang untuk m engecek.
Pedagang itu bukan hanya tidak m em bayar hasil jualannya,
m elainkan bahkan kabur sam asekali entah ke m ana. Ketika
Bagian Ketiga: Jakarta 175

saya laporkan kepada Mas Pram pengalam an pahit saya itu, ia


hanya diam sam bil m endongakkan rahangnya.
Saya tidak tahu hasil pem asaran yang lain, khususnya
yang dilakukan oleh Ahm ad Djan dan Mas Pram sendiri.
Tapi, bagaim anapun, sebagian buku itu tetap jatuh ke tangan
pem baca. Buktinya, sebagian dari yang saya tulis ini bersum ber
pada buku Gulat di Djakarta yang saya peroleh dari tangan
pem baca.
Sebagai nom or dua dari Rangkaian Sahabat Sastera
direncanakan terbit karangan pengarang Rusia Ivan Turgenyev,
Cinta Pertam a, dan nom or tiga karangan pengarang Rusia
juga, Aleksander Pushkin, Ibrahim dan Peter Akbar.
Rencana ini, seingat saya, tidak terlaksana. Sebabnya,
logisnya adalah karena gagalnya penerbitan buku pertam a.
Tapi m ungkin juga karena beberapa bulan kem udian (Mei
1953) Mas Pram berangkat ke Belanda dalam rangka kerjasam a
dengan Sticusa.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram ke Negeri Belanda

BULAN MEI tahun 1953 Mas Pram sekeluarga—dengan Mbak


Arvah dan dua anak perem puannya Poedjarosm i yang waktu
itu berum ur dua tahun dan adiknya Etty Indriarti—berangkat
ke Negeri Belanda dengan kapal J ohan van Oldenbarnevelt
dari Pelabuhan Tanjungpriok. Beberapa waktu sebelum nya
saya diajak ke kantor Sticusa di J alan Gajah Mada. Saya
diperkenalkan dengan seorang tuan Belanda yang ditem uinya,
yang tidak saya ingat nam anya. Selanjutnya Mas Pram berbicara
agak lam a dengan tuan itu dalam bahasa Belanda. Saya hanya
m enunggu di sam ping m ereka sam pai akhirnya kam i pulang.
J adi saya tidak ada urusan apapun dengan kepergian Mas
Pram ke Belanda. Dengan m engajak saja ke Sticusa, barangkali
dia hendak m enunjukkan bahwa ada rencananya untuk pergi
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan tinggal di Belanda, dan kini rencana itu dalam tahap


realisasi. Sesudah itu, di rum ah, ia berpesan supaya selam a
ia sekeluarga absen satu tahun lam anya, DUTA tetap saya
jalankan seperti biasa.
Dan m em ang, walaupun karangan dari pihak lain berhenti
m asuk, karangan Mas Pram sendiri bertubi-tubi datang,
Bagian Ketiga: Jakarta 177

kadang-kadang dua kali sem inggu. Karangan ia kirim lewat


sarana satu-satunya waktu itu, pos. Karangan berupa ketikan di
atas kertas doorslag kuarto, dengan pita biru. Kadang-kadang
disertai surat tentang apa-apa yang perlu saya lakukan. J adi
kepergian Mas Pram ke Belanda tidak m engurangi kesibukan
saya dengan DUTA.
Seringnya datang surat dari luar negeri ini m enyebabkan
saya m ulai m enjadi pengum pul perangko, jadi m engulangi
kesukaan saya waktu kecil: m engum pulkan cap rokok.
Sesuai pesan Mas Pram , perangko tidak boleh cacat, berarti
cara m elepaskannya dari am plop tidak boleh sem barangan,
m elainkan dengan m erendam nya di air, m encopotnya, lalu
m engeringkannya. Mas Pram m engatakan, perangko luar
negeri m ahal harganya. Ia bahkan pernah m enyebut harga yang
m enggiurkan. Kata-katanya itulah yang pernah m endorong
saya untuk m em bawa sejum lah perangko luar negeri dan
m enawarkannya pada pedagang perangko di Pasar Baru yang
waktu itu bertindak seperti pedagang asongan, seperti juga
pedagang uang asing. Tapi alangkah kecewa saya, karena
pedagang itu sam asekali tidak m enghargai koleksi perangko
saya, dan sejak itu tidak pernah lagi saya m enawarkan perangko
saya kepada siapapun.
Di Belanda Mas Pram tinggal di Am sterdam . Walaupun
kelihatannya produktif (lihat pengantar Menggelinding I),
www.facebook.com/indonesiapustaka

kelihatannya ia tidak kerasan. Waktu itu saya sudah m erasa


bahwa Mas Pram tidak kerasan karena alasan yang sam a dengan
waktu ia keluar dari Tentara Siliwangi dan dari Penerbit Balai
Pustaka, yaitu ia m esti m enduduki jabatan yang m em buatnya
harus tunduk pada sesuatu yang dianggapnya tidak adil, atau
m enjadi produsen hal sem acam itu. Situasi dem ikian ini terus
178 Bersama Mas Pram

berulang padanya, dan ada istilahnya yang barangkali pas,


yaitu ”m asuk ke dalam hirarki, yang harus m enindas ke bawah
dan m enjilat ke atas”.
Tidak m engherankan kalau sebelum enam bulan (Desem ber
1953) Mbak Arvah, Ros, dan Etty sudah pulang duluan. Waktu
itu kam i bertiga ikut sibuk, karena kam i harus m enjem putnya
ke kade entah berapa di Tanjungpriok, di tengah ”pesisir”
yang m enyem ut banyaknya, dan m em bawanya dengan m obil
sewa sam pai J alan Tanah Abang I. ”Pesisir” adalah istilah
yang diberikan oleh Pak Iljas. Saya m ula-m ula terbengong-
bengong m endengar istilah itu. Saya bertanya dalam hati: Apa
hubungannya ”pesisir” dengan pesisir?
Sesam pai di rum ah, para tetangga datang m engerubung
Mbak Arvah, Ros, dan Etty yang baru pulang dari ”Negeri” dan
m em bawa oleh-oleh yang waktu itu belum ada di Indonesia:
apel! Sem entara itu Ros glelang-gleleng (jual tam pang) sam bil
m akan buah ”ajaib” tersebut.
Adapun kepulangan Mas Pram , sungguh m ati, saya tidak
ingat sam asekali. Kalau tidak salah, dia naik kapal terbang.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Belajar Menerjemahkan

SUDAH SAYA singgung di depan bahwa saya m encoba


m enerjem ahkan pertam a kali dari sebuah m ajalah anak-anak
yang saya pinjam dari perpustakaan USIS. Mas Pram rupanya
m elihat bahwa kem am puan saya di bidang itu perlu didorong.
Selain itu kepada saya perlu ditunjukkan buku yang baik untuk
dibaca dan diterjem ahkan untuk kepentingan pem baca sastra
Indonesia. Buktinya, pada suatu hari ia sodorkan kepada saya
buku The Tales of Sebastopol karangan Leo Tolstoi, katanya:
”Ini buku bagus. Terjem ahkan!”
Sebagaim ana sudah saya tulis dalam pengantar saya untuk
terjem ahan novel Kebangkitan karangan Leo Tolstoi:
”Itu tahun 1952. Dalam bahasa Inggris! Padahal pengajaran
bahasa Inggris di sekolah m enengah waktu itu (khususnya di
www.facebook.com/indonesiapustaka

sekolah partikelir!) sungguh m engenaskan. Saya baca. Aduh,


tidak m engerti!
”Tapi saya tak putusasa. Dengan uang saku yang langka,
saya beli kam us Inggris-Indonesia yang waktu itu sam a juga
m engenaskan, terbitan Medan. Buku Tolstoi itu saya baca kata
dem i kata. Dan tiap kata yang tak saya m engerti, saya cek di
180 Bersama Mas Pram

kam us saya. Pikir saya, kalau saban hari saya buka kam us,
lam a-lam a sem ua kata Inggris akan saya lihat artinya, dan
saya jadi tahu bahasa Inggris. Tapi aduh! Kam us itu sungguh
m iskin. Banyak kata tidak tercantum di dalam nya. Nam un
dengan kam us m iskin, tetap saya rangkaikan kata dem i kata,
saya coba tangkap artinya, dan saya tuliskan di buku tulis.
Di situlah saya m em pelajari arti kata dan gram atika bahasa
Inggris. Tidak ada hari tanpa saya m em baca kalim at Tolstoi
dan m em buka kam us m iskin itu.
”Sehari saya tam atkan satu kalim at, dua kalim at, tiga
kalim at, tergantung dari waktu yang tersedia. Tapi bisa juga
terjadi tidak satu kalim at pun tertam atkan.
”Itulah untuk pertam a kali saya m erasa bahwa kalim at
Tolstoi sulit, berbelit, berlarut. Tapi itulah juga untuk pertam a
kali saya m enyadari adanya keindahan dalam kalim at dan
cerita Tolstoi. ”The Tales of Sebastopol” adalah pertelaannya
m engenai Perang Krim (1853-1856) di m ana ia ikut am bil
bagian aktif. Di dalam perang yang m erupakan wujud
persaingan antarnegara-negara besar di Tim ur Tengah dan
di m ana Rusia dikeroyok oleh Turki Ottom an, Inggris dan
Prancis, dan belakangan juga Austria itu, ratusan ribu m anusia
m enjadi korban di m asing-m asing pihak, hingga Tolstoi
bukannya berbicara tentang perang khususnya, m elainkan
tentang m anusia di dalam perang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Tidak terasa, tiga tahun lam anya saya m engaduk-aduk


bahasa Tolstoi dalam buku yang hanya sekitar seratus halam an
itu tanpa ada hari perei satu kali pun (seingat saya!).
”Itu tahun 1955. Naskah terjem ahannya kem udian saya
serahkan kepada redaksi m ajalah bulanan Pem uda terbitan
J awatan Pendidikan Masyarakat. Saya yakin terjem ahannya
Bagian Ketiga: Jakarta 181

banyak kekurangan, tapi saya m erasa, hasil kerja saya patut


juga diuji. Dan naskah itu ternyata dim uat setahun kem udian,
berturut-turut, dalam 12 angsuran (Februari 1956-J uni 1957).
”Tahun 1955 itu juga saya tem ukan cerita pendek
Tolstoi dalam kum pulan cerita-cerita pendek dunia yang
disederhanakan bahasanya (simpliied) terbitan Am erika,
dalam Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Saya sudah lupa judulnya dalam bahasa Inggris, tapi itu adalah
cerita Bashkir, yang kem udian saya ketahui m erupakan salah
satu Republik otonom di Rusia. Sesudah saya terjem ahkan,
cerita itu dim uat dalam m ajalah Kisah (di bawah redaktur
H.B. J assin) dengan judul ’Manusia tidak begitu banyak
m em butuhkan tanah’.” (hlm . xix-xx)
Pengalam an saya m enerjem ahkan The Tales of Sebastopol
sungguh m enguras tenaga, m elelahkan. Karena itu, untuk
m enghibur hati, saya cari cerita dalam bahasa Inggris yang
sependek-pendeknya. Dan alangkah senang bahwa ada cerita
sependek-pendeknya yang saya m aksud itu.
Seperti sudah saya ceritakan dalam buku saya Kam pus
Kabelnay a:
“Tahun 1957 secara kebetulan saya m em baca cerita
pendek Rusia berjudul ‘Vanka’ karangan Anton P. Chekhov
dalam terjem ahan Inggris. Cerita itu pendek saja, tapi sangat
m engesankan. Apa yang m em buat saya terkesan? Pertam a,
kepolosan anak Rusia dalam cerita itu, Vanka, yang sangat
www.facebook.com/indonesiapustaka

m encintai kakeknya. Kedua, lingkungan hidup dan negeri


yang dam ai tem pat Vanka dan kakeknya hidup. Dan akhirnya,
pengarang cerita itu sendiri, yang telah m am pu m enulis cerita
yang begitu indah. Saya pun bertanya kepada diri sendiri:
‘Masyarakat m acam apakah dan negeri m acam apakah Rusia
itu? Dan pengarang m acam apakah Chekhov itu?’
182 Bersama Mas Pram

”Cerita itu pun saya terjem ahkan ke dalam bahasa


Indonesia, saya kirim kan ke m ajalah Sastra di J akarta, dan
dim uat. Pem uatan itu m endorong saya untuk m em baca
cerita-cerita Chekhov yang lain, yang kem udian juga saya
terjem ahkan dan saya m uatkan dalam m ajalah tadi. Sejak
itulah saya m encintai Chekhov, kesusastraan Rusia, dan negeri
Rusia, di sam ping negeri saya sendiri.” (hlm . 3)
Selanjutnya tidak pernah lagi saya berhenti m enerjem ahkan.
Saya beranggapan, m enerjem ahkan karya tulis apapun, di
bidang apapun, adalah penting kalau suatu bangsa ingin m aju
dan tidak ketinggalan dari bangsa-bangsa lain. Dan secara
um um , lebih praktis m enerjem ahkan karya-karya tersebut
daripada m engajarkan bahasa asing kepada seluruh angkatan
pelajar dengan m aksud agar m ereka dapat m em baca dan
m em aham inya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Konflik Keluarga

DIAM-DIAM, TERNYATA rum ahtangga Mas Pram m engalam i


gonjang-ganjing. Padahal secuil pun tidak pernah saya
m endengar pertengkaran m ereka, m elihat sedikit pun wajah
m ereka yang m enunjukkan bahwa di antara m ereka telah
terjadi keretakan hubungan. Retaknya hubungan itu secara
nyata terungkap pada saya lewat peristiwa pada suatu sore.
Waktu itu Mas Pram sedang duduk sendiri di depan
m enghadap gang sam bil m erokok. Saya berm aksud m enyapu
ruangan. Mas Pram m enunjukkan gelagat hendak bicara
dengan saya, m enoleh kiri-kanan, seolah hendak m engetahui
apakah Mbak Arvah ada di dekat-dekat situ. Sesudah itu ia
m enunjuk dengkulnya dengan tangannya yang m em egang
rokok, sekaligus dengan anggukan kepalanya, m engatakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan nada ditekan: ”Ini nam anya punya bini!”


Dengkul kanannya waktu itu tam pak m enjela telanjang,
karena celana piam a yang dipakainya sobek m em anjang dari
tengah paha sam pai tengah tulang kering.
Kalim at itu tentunya m erupakan ekspresi kekecewaan yang
sudah lam a m enum puk, dan tiba saat itu kesem patan yang
184 Bersama Mas Pram

tepat untuk m elam piaskannya. Tapi kalau diperhatikan lebih


seksam a, Mbak Arvah tentunya juga m em iliki kekecewaan-
kekecewaannya sendiri. Sejak pengantin baru di Blora, ia
langsung m enyaksikan betapa banyak adik Mas Pram , yang
keadaan ekonom inya begitu m orat-Marit. Mbak Arvah m enjadi
saksi juga waktu Mas Pram berjanji kepada Bapak, saat beliau
sedang sakit keras: ”Rum ah ini akan saya bangun!” Dan Mbak
Arvah m enjadi saksi juga waktu di dalam rapat keluarga Mas
Pram m em utuskan untuk m em bawa kam i bertiga ke J akarta
dan m em biayai pendidikan kam i.
Mbak Arvah bukan hanya m enjadi saksi, m elainkan
juga m enghayati pelaksanaan sem ua niat Mas Pram itu tadi.
Dan sudah saya ceritakan di atas, Mbak Koen pun pernah
didatangkan ke J akarta untuk diobatkan pada dokter spesialis
penyakit paru-paru.
Sem ua itu di tengah ekonom i seorang pengarang yang
baru m ulai m enapaki jenjang kepengarangan, dan di m asa itu,
ketika apresiasi pem baca sastra nasional belum seberapa, dan
pem baca internasional apa lagi, tentunya m erupakan beban
berat bagi Mbak Arvah. Maka tidak m engherankan kalau
akhirnya ia pernah m engucapkan kalim at ekstra keras kepada
Mas Pram , yang seolah m erupakan palu godam bagi putusnya
ikatan perkawinan m ereka (saya m endengar kalim at ini dari
m ulut Mas Pram sendiri, nam un tidak akan kalim at itu saya
tuliskan di sini).
www.facebook.com/indonesiapustaka

Saya kaget m endengar kalim at sekitar celana piam a yang


sobek tadi, tapi bungkam seribu bahasa, karena m em ang tidak
pernah saya ikut cam pur dalam urusan Mas Pram , lebih-lebih
dalam urusan rum ahtangga yang m asih jauh dari urusan saya.
Tapi dinilai sepintas lalu, kalim at tadi tentu m engungkapkan
proses yang sudah cukup jauh.
Bagian Ketiga: Jakarta 185

Dan itu terbukti, karena tidak lam a kem udian kam i bertiga
m endapat perm intaan/ perintah untuk m eninggalkan rum ah
yang sem pat em pat tahun kam i huni.
Bukan hanya saya saja yang tidak ikut cam pur dalam
urusan Mas Pram , juga Mbak Is dan Coes. Kam i ditam pung
dengan baik selam a em pat tahun dengan rasa terim akasih
yang tak terhingga. Kalau sekarang kam i harus pergi, kam i
akan pergi, karena itu dem i kebaikan suasana rum ahtangga
Mas Pram . Hubungan kam i dengan Mas Pram dan Mbak
Arvah tidak pernah terpengaruh oleh hubungan kekeluargaan
m ereka, juga hubungan kam i dengan Pak Iljas dan Bu Iljas.
Maka pada suatu hari, dengan becak, kam i ram ai-ram ai pindah
ke sebuah rum ah petak kontrakan m ilik Haji Daud. Dan dalam
hal ini pahlawannya tidak lain tidak bukan adalah... Mas Her!
Keteguhannya dalam m encintai Mbak Is terbukti m enjadi
blessing in disguise bagi kam i di saat yang m enentukan itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Rumah Kontrakan Haji Daud

RUMAH KONTRAKAN Haji Daud itu terdiri atas enam petak,


berdiri kira-kira di belakang rum ah Haji Mam ak (Achm ad)
di J alan Rawam angun No. 39, m enghadap ladang kangkung
yang di m asa hujan tergenang air dan di m alam hari banyak
orang m encari kodok hijau dan m em ancing belut. Kam i
tinggal di petak terkanan yang m em iliki halam an depan,
belakang, dan sam ping kanan. Kam ar m andi berpetak dua di
belakang, di dekat sum ur gali, dan kakus di atas kali kecil yang
m engalirkan airnya ke ladang kangkung. Suasana di sekitar
m asih kam pung.
Rum ah itu terdiri atas em pat ruang: beranda, kam ar
depan, kam ar tengah, dapur. Keem pat ruang dihubungkan
dengan pintu tem busan um um . Penghuni kam ar tetap, dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

di sana-sini terjadi perubahan kecil: Di beranda kosong, di


kam ar depan Mas Sugeng, adik Mas Her, Mas Her, dan saya
di lantai, di kam ar belakang Mbak Is dan Coes, dan di dapur
pem bantu Sum .
Para tetangga yang sekontrakan sem uanya orang Sunda,
dan kebanyakan m asih fam ili Haji Daud. Mereka tetangga
Bagian Ketiga: Jakarta 187

yang baik-baik. Haji Daud sendiri pun orang baik. Rum ahnya
tidak jauh dari rum ah kontrakan. Kadang-kadang ia datang
m enjenguk untuk m engetahui keadaan kam i, dan m engajak
m engobrol.
Waktu itu kantor Mas Her di Pusat Bahasa sudah pindah
ke bekas Sekolah HBS di depan CBZ, yang juga m enjadi pusat
perkuliahan Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sedangkan
kantor Mbak Is pindah ke J alan Kim ia No. 12, tidak jauh dari
sana. Karena itu m ereka pulang-pergi ke kantor bersam a-
sam a. Mas Sugeng pagi hari kuliah sejarah, dan sore hari
m engajar sejarah di SMA Budi Utom o. Coes naik ke kelas 2
Tam an Madya, belajar pagi, dan saya kuliah di J urusan Inggris
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Saya m asuk di jurusan
itu karena m erasa tidak m enguasai bahasa Inggris sesudah
enam tahun belajar bahasa itu di tingkat SMP dan SMA, jadi
bukan karena suka.
Beberapa bulan sesudah kuliah, perpustakaan Fakultas
Sastra m enawarkan pekerjaan kepada beberapa m ahasiswa
lelaki-perem puan yang m au m enjadi student assistant,
sem acam relawan di perpustakaan di luar jam kuliah, dengan
im balan 125 rupiah per bulan. Uang im balan itu tidak banyak,
tapi untuk kantong m ahasiswa, ya lum ayan. Perpustakaan
waktu itu dikepalai oleh Ibu Ediati Surasno yang juga m asih
berstatus m ahasiswa di situ.
Saya m endaftarkan diri, dan diterim a. Ternyata paling
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak ada lim a m ahasiswa lain yang juga diterim a, a.l. Agah
Harganda, Machfudi Mangkudilaga, Achadiati Ikram (kalau
tak salah), dan Siti Sarwendah. Untuk kam i berenam dibuatkan
jadwal tugas, disesuaikan dengan jam -jam kuliah kam i. Tugas
kam i pada pokoknya adalah m engam bil dan m engem balikan
buku dari dan ke rak buku sesuai urutannya. Kelihatannya
188 Bersama Mas Pram

sangat sederhana pekerjaan ini. Beratnya adalah kalau buku


terletak di tingkat atas, sehingga kam i harus naik-turun
tangga. Apalagi kalau buku itu berdebu, atau lagi kalau buku
tidak ada di tem pat karena salah m em asukkan. Kalau itu yang
terjadi, bisa kam i basah kuyup karena keringatan. Pekerjaan
lain adalah m em asukkan buku baru dalam daftar buku besar,
m em berikan nom or pada buku, atau—yang paling tidak saya
sukai—m em bersihkan rak.
Walau dem ikian saya senang bekerja di perpustakaan itu
karena suasananya baik sekali. Ibu Ediati seorang kepala yang
sangat bijaksana dan m anusiawi. Tidak pernah ia m arah. Kalau
m enyuruh, selalu ia dahului dengan kata ”tolong”. Dan sekali-
sekali ia m borong gado-gado di dekat fakultas untuk m akan
bersam a. Saya senang juga, karena di situ saya bisa m em baca
buku-buku sastra yang waktu itu sangat langka di toko buku
dan perpustakaan, hingga kadang-kadang saya m erasa terlalu
banyak m em buang waktu untuk sastra Indonesia daripada
untuk bahasa Inggris. Tapi dari m em baca buku-buku sastra itu
saya m enulis resensi yang kem udian saya kirim ke m ajalah-
m ajalah, dan itu m enjadi sum ber lain penghasilan saya.
Kadang-kadang saya tem ukan cerita yang saya senangi, dan
saya terjem ahkan ke bahasa Indonesia.
Kesenangan lain adalah saya bisa m em baca berm acam
koran secara gratis, bahkan kadang-kadang m em bawanya
pulang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dem ikianlah, walau lepas dari m engurusi DUTA, m om ong


dan belanja, kesibukan saya tidak berkurang. Dan selam a ber-
bulan-bulan tidak ada kontak kam i dengan Mas Pram . Tapi
alangkah kaget kam i ketika suatu sore tiba-tiba Mas Pram
m uncul di kontrakan kam i. Hari m endung, dan gerim is sudah
m ulai.
Bagian Ketiga: Jakarta 189

”Aku ikut tinggal di sini!” katanya singkat.


Waktu itu ia hanya m em bawa buku-buku dan pakaiannya.
Tentu saja tidak ada kata lain daripada ”Selam at datang!”
Tanpa diuraikan, kam i pun tahu bahwa rum ahtangga Mas
Pram sudah am bruk.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Menjadi Guru Gadungan

KARENA TULISAN atau terjem ahan saya suka dim uat di


m ajalah, dan para pam ong dan siswa Tam an Siswa adalah
pem baca m ajalah tersebut, saya dikenal sebagai siswa yang
suka m enulis. Itu sebabnya pada suatu hari Pak Said m em inta
saya bergabung dalam redaksi m ajalah siswa yang dicetak
stensilan, bulanan, Suluh Sisw a. Di situ ternyata sudah ada
tem an sekelas saya, Syahm ardan, dan seorang lagi tem an
sekelas juga yang nam anya saya sudah lupa. Kadang-kadang
tulisan saya m enyerem pet kehidupan sekolah Tam an Siswa
dan para pam ongnya.
Pada suatu kali, tulisan saya yang m em uat sentilan tajam
pada seorang pam ong yang tak saya sebut nam anya dim uat
dalam m ajalah Garuda, dan ternyata m ajalah itu dibaca oleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

pam ong term aksud. Dan apa akibatnya? Masyaallah! Pam ong
tersebut m erasa saya kuliti hidup-hidup, dan ia perlukan waktu
tiga perem pat jam belajar itu untuk ganti m enguliti saya (tanpa
m enyebut nam a) di depan kelas dari teng m asuk sam pai teng
keluar.
Bagian Ketiga: Jakarta 191

Dengan sendirinya saya takut sekali waktu itu kalau-kalau


ada akibat yang lebih jauh daripada sekadar kulit-m enguliti.
Maka tiga perem pat jam penuh saya m eringkuk seperti tikus
kena perangkap. Selam a itu diam -diam saya berharap (walau
sia-sia tentunya) tem an-tem an sekelas tidak m engerti apa
yang sedang dibicarakan oleh pak pam ong tadi. Tapi anehnya,
dan sungguh saya tak paham bagaim ana jalan pikiran pak
pam ong, begitu istirahat dan saya keluar kelas, pak pam ong
m enem ui saya dan... m inta m aaf telah m em bicarakan saya di
depan kelas! Sungguh besar hati dan lapang dada pak pam ong
itu, sam pai m ulut saya terkunci tak bisa m engatakan apa-apa
selain: ”Sam a-sam a, Pak!”
Tapi yang juga tidak saya m engerti dan tidak tahu adalah
bahwa sebuah tulisan bisa dem ikian m em buat heboh, walau
ruang lingkupnya kecil saja waktu itu. Kejadian ini, dan
beberapa kejadian lain, m em berikan pelajaran kepada saya
untuk lebih berhati-hati dalam m enulis.
Sem entara itu Pak Said rupanya cukup m em berikan
perhatian pada kebiasaan saya m enulis. Ketika saya lulus dari
Tam an Madya ia langsung m engatakan kepada saya:
”Sekarang ganti Kosala m engabdi pada Tam an Siswa!”
Maksudnya saya disuruh ganti m engajar.
Aduh! Saya m engajar? Mengajar apa, dan m engajar siapa?
Saya ini apa, kok m engajar? Mengajar itu kan ada ilm unya,
www.facebook.com/indonesiapustaka

ada didaktiknya? Apa saya nanti takkan dituduh sebagai guru


gadungan? Pendek kata, banyaklah pertanyaan tim bul dalam
hati saya.
Tapi ya itu, inilah yang dinam akan jalan hidup. Singkat
kata, setahun sesudah keluar Tam an Madya saya harus
192 Bersama Mas Pram

m engajar Tam an Madya kelas 1 dan 2 untuk m ata pelajaran


Kesusastraan Indonesia, sem inggu sekali. Rupanya begitulah
tradisi di Tam an Siswa: Siapa dianggap bisa m enerapkan
sistem am ong, dia dim inta tenaganya untuk ikut m em bantu.
Untung waktu itu ada buku pegangan Kesusasteraan
Indonesia tulisan Basariah Sim orangkir-Sim andjuntak jilid I
dan II, dan karangan Zuber Usm an, di sam ping karangan A.
Teeuw, Pokok dan Tokoh, yang sem uanya pernah saya baca
dan pelajari selam a belajar di Tam an Madya.
Dengan sendirinya yang saya pakai pokok pegangan adalah
karangan Basariah yang m enjadi pokok pegangan kam i juga:
jilid I untuk kelas 1, jilid II untuk kelas 2.
Waktu itu saya m asih m em akai celana pendek, dan badan
saya kecil-kurus, sedangkan sebagian siswa sudah m enjadi
pegawai pem erintah atau swasta di pagi hari. Tapi tentu saja
saya harus tabah. Dan dalam m engajar saya lebih banyak
m engandalkan naluri. Tiap kali m engajar saya m em injam
celana panjang Mas Pram yang katanya ia beli di Hongkong
waktu singgah di sana. Celana gabardin itu terlalu panjang dan
longgar, sehingga harus saya sabuki baik-baik supaya tidak
m erosot. Akhirnya, karena selalu saya pinjam , celana itu saya
”nasionalisir”, dan selanjutnya m enjadi m ilik saya.
Mem ang ada saja yang m au m enguji pengetahuan dan
kem am puan saya dalam m engajar, tapi setahu saya, tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

ada yang m engecewakan saya. Pada suatu hari Mas Pram


bertanya:
”Bagaim ana ngajarnya?”
”Biasa saja.”
”Sudah terjadi perdebatan belum ?”
”Ya sudah.”
Bagian Ketiga: Jakarta 193

”Menang nggak? Kalau berdebat harus m enang.”


Saya m enjawab sudah karena waktu itu teringat oleh saya
siswa bernam a Ud. Saya m enerangkan apa yang nam anya
susastra. Susastra adalah tulisan yang indah, jadi susastra adalah
sejenis kesenian, suatu karya yang m engandung keindahan.
Selanjutnya saya berikan contoh-contoh lain bentuk kesenian.
Waktu saya beri kesem patan kepada siswa untuk bertanya, Ud
m engajukan pertanyaan: Bunga itu kesenian atau bukan? Saya
jawab, kalau Tuhan kita anggap sebagai m anusia, m aka bunga
itu term asuk kesenian, sebab yang kita bicarakan adalah karya
m anusia.
Kalau ditim bang baik-baik, tentu saja kasus ini belum
boleh dinam akan perdebatan, paling-paling unsur kecil
perdebatan, begitulah. Tapi yang penting barangkali prinsip
yang dikem ukakan Mas Pram itu. Mungkin, itulah prinsip dia.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Makna Perkawinan

AGAR BISA nyam an, Mas Pram m engerahkan tukang kayu


untuk m enutup dinding depan beranda, dengan jendela di
tengah, dan di kiri-kanan jendela dibuat rak buku m asing-
m asing terdiri atas lim a saf. Untuk tidur ia beli seperangkat
ranjang besi, dan untuk ”kerja” sudah ada m eja kodian beserta
kursinya. Di beranda yang sem pit itulah kini tiap hari ia ”kerja”.
Sem ua penghuni punya kesibukan m asing-m asing m enurut
waktu m asing-m asing, tapi ada hari istim ewa ketika seluruh
keluarga kum pul di kam ar belakang untuk m enikm ati m akan
siang dan m alam . Dalam acara seperti itu sem ua duduk di dua
bale kiri-kanan, yang pada m alam hari m enjadi tem pat tidur
Mbak Is dan Coes.
Dalam kesem patan seperti itu ada saja kom entar Mas
Pram tentang m asakan hari itu. Saya ingat, yang paling
www.facebook.com/indonesiapustaka

dikom entarinya adalah sayur asam dipadu dengan sam bal


terasi pedas dan goreng tem pe ham pir kering.
”Masaknya berhasil!” katanya.
Pada suatu hari, ketika kam i baru saya m ulai m akan, m asuk
seekor kucing yang rupanya m erasa m enjadi penghuni rum ah
petak, karena itu m inta juga bagiannya.
Bagian Ketiga: Jakarta 195

”Ngeong! Ngeong!” kata sang kucing, yang lalu m enggeli-


beti kaki para pem akan. Mas Pram term asuk yang digelibeti.
Maka, jangan tanya dosa, kucing seketika itu juga dicengkam
tengkuknya oleh Mas Pram dengan tangan kiri, dan dilontarkan
ke luar jendela (kam ar belakang itu berjendela). Kucing
m elayang di udara, dan jatuh di peceren yang sedang hitam
airnya.
”Blakkk!” bunyinya, dan seketika si kuning-putih itu pun
m enjadi hitam oleh peceren. Tapi dasar kucing, ia rupanya tak
m engerti dibenci Mas Pram . Ia m asuk kem bali ke rum ah lewat
pintu depan yang kebetulan dibiarkan terbuka, dan: ”Ngeong!
Ngeong!” lagi.
Kali itu saya terpaksa beraksi dengan sapu lidi. Pintu saya
tutup sehingga kucing cum a bisa berngeong-ngeong di bawah
jendela.
Nah, di rum ah itu pula Mas Pram sesekali m endapat tam u
pacar yang rupanya sem entara itu sudah dia dapat, wanita
cantik Indonesia tapi berkulit putih. Keistim ewaannya adalah
suka m em bawa rantang panjang berisi m asakannya sendiri
yang m em ang istim ewa. Dengan sendirinya Mas Pram tam pak
bahagia m endapat kunjungan pacar. Saking bahagianya,
kadang-kadang tak tertelan m asakannya. Maka kam ilah yang
ganti bahagia dapat m enyantap m asakan istim ewa itu.
Rupanya Mas Pram pun sudah sem pat beberapa kali
www.facebook.com/indonesiapustaka

m engadakan kunjungan balasan kepada pacarnya itu.


Buktinya, ia sem pat m em uji di depan kam i kebersihan dan
kerapian rum ah pacarnya itu.
”Kalau cari istri, perhatikan rum ahnya, bersih dan rapi
enggak!” dem ikian katanya yakin dengan m aksud nuturi.
”Dan, jangan kawin sam a orang Sunda!” tam bahnya.
196 Bersama Mas Pram

”Apa itu bukan diskrim inasi?” jawab saya, dalam hati


cum a.
Pada suatu hari pacar Mas Pram datang lagi, lengkap
dengan rantangnya. Entah apa yang ada di benak Mas Pram
kali itu, sehingga beberapa waktu kem udian dia bilang kepada
saya:
”Ikut nonton yuk, Liek!”
Maksud Mas Pram m enonton di bioskop Metropole yang
waktu itu memutar ilm Amerika Million Dollars Merm aid
yang dibintangi Esther William s yang terkenal cantik dan
m enggiurkan.
”Saya nggak suka pertunjukan kem ewahan,” kata saya.
”Ya, tapi itu kenyataan hidup. Harus dilihat,” jawab Mas
Pram .
Pendek kata, saya kem udian ikut berangkat naik becak
pulang-pergi untuk pertunjukan sekitar pukul 16.0 0 . Dengan
sendirinya saya duduk di tengah, ny em pil di antara m ereka
berdua.
Habis pertunjukan sudah sekitar pukul 18.30 , hari m ulai
gelap. Ndilalah di rum ah hanya ada pem bantu. Saya buru-buru
m em bawa lam pu teplok ke depan agar m ereka tak kegelapan.
Begitu saya nyalakan lam pu, alangkah kaget saya: Mas Pram
sedang nguy el-uy el pacarnya di ranjang. Dengan sendirinya
saya langsung m undur teratur.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Peristiwa itu m enunjukkan bahwa perpacaran m engalam i


kem ajuan pesat. Saling kunjung sem akin sering. Kadang-
kadang saya atau Coes disuruh m engantarkan surat atau yang
lain ke rum ah sang pacar, sehingga kam i pun m enjadi kenal
dengan keluarganya. Akhirnya hubungan diresm ikan dalam
bentuk pernikahan tanggal 19 Februari 1955. Saya ingat,
Bagian Ketiga: Jakarta 197

pernikahan dilakukan sore hari. Tidak banyak tam u yang


hadir. Tapi di antara tem an Mas Pram saya ingat betul hadir
Ram adhan K.H., Nugroho Notosusanto, Rd. Lingga Wishnu
M.S., Sobron Aidit, S.M. Ardan, dan Sukanto S.A. Kam i
sekeluarga datang ke acara itu.
Usai pernikahan turun hujan deras, konon suatu pertanda
baik. Kendati dem ikian, beberapa waktu sebelum nya Mas
Pram sem pat berkata:
”Kawin sam a saja dengan berak!”
Saya kaget m endengar itu. Taruhlah, m em ang benar
ucapan itu, tapi bagaim anapun kurang enak hal itu diucapkan.
Tapi seperti biasa, saya hanya diam , tapi m encatatnya dalam
ingatan.
Saya bahkan pernah m endengar ia m engatakan:
”Kalau ini juga nggak beres, aku buang juga!”
www.facebook.com/indonesiapustaka
Rumah Kontrakan Pak Ja

SESUDAH KAWIN untuk yang kedua kalinya, ada beberapa


waktu lam anya Mas Pram tinggal di rum ah m ertua. Sem entara
itu Pak J a yang rum ah kontrakannya tak jauh dari rum ah
kontrakan kam i m em buat satu petak tam bahan yang di-
cadangkan untuk Mas Pram . Rum ah itu terletak di belakang
toko Haji Dulok (Haji Dullah) di pinggir J alan Rawam angun.
Karena tanah untuk m em bangun petakan itu tidak m encukupi
(dan itu pun sudah dengan m em bongkar sebuah rum pun
bam bu), m aka petakan itu berbentuk segi tiga, m engerucut ke
belakang, terdiri atas tiga ruangan: ruang tam u dengan kawat
pagar di depan, kam ar tidur, dan dapur. Lantai dari tanah, yang
belakangan dipelur. Kam ar m andi dan WC bersam a seperti
yang lain. Di situlah kem udian pengantin baru itu tinggal.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1955. Tahun ingar-bingar kam panye pem ilihan


um um pertam a. Waktu itu, seperti telah saya singgung, kadang-
kadang saya m em bawa pulang koran dari perpustakaan, m ana
saja di antara koran yang sedang tersedia: Indonesia Ray a,
Duta Masy arakat, atau Harian Raky at. Karena Mas Her
berlangganan Pedom an, saya tidak m em bawanya pulang.
Bagian Ketiga: Jakarta 199

Di rum ah koran itu saya baca, dan dibaca juga oleh anggota
keluarga yang lain, term asuk Mas Her. Esoknya saya bawa
kem bali ke perpustakaan.
Saya m endapat kesan bahwa Mas Her tidak m enyukai
Harian Raky at.
”Koran apa ini!” dem ikian kom entarnya negatif.
Saya tidak peduli waktu itu dengan aliran koran-koran
itu, tapi lam a-lam a, karena sering m em bacanya, tahulah saya
kenapa Mas Her tidak m enyukai Harian Raky at, yaitu karena
harian ini organ PKI, sedangkan Mas Her adalah sim patisan
PSI, dan kedua partai itu berm usuhan. Dari m ana saya tahu
bahwa Mas Her sim patisan PSI? Dari tanda gam bar partai
itu yang sering dibawanya pulang, dan dari cerita-ceritanya,
m isalnya tentang Ketua PSI waktu itu, Sutan Sjahrir, yang
sangat disanjungnya. Selam a m asa kam panye itu Mas Her
sering sekali rapat, dan pulang m alam . Dan pulang rapat suka
langsung m enem pelkan tanda gam bar PSI di m ana-m ana,
term asuk di dinding kam ar m andi kam i.
Perlu saya ceritakan bahwa m asing-m asing kam i di rum ah
itu punya sepeda, kecuali Mas Sugeng. J adi seluruhnya ada
em pat sepeda di rum ah itu, yang tiap m alam harus ikut m e-
m enuhi rum ah itu.
Pada m alam yang naas, ndilalah seorang tem an saya
m enitipkan sepedanya kepada saya, karena dia sudah lelah
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan berm aksud pulang naik becak saja. J adi sepeda tem an itu
ikut m enam bah penuhnya rum ah kam i. Tengah m alam , ketika
kam i sudah tidur, Mas Her pulang dari rapat, dan langsung
m enanyakan sepeda siapa yang m enghalangi jalan itu. Saya
yang segera terbangun m enjawab bahwa itu sepeda tem an
saya.
200 Bersama Mas Pram

”Kenapa di sini?” tanyanya sengit.


”Dia titip, karena sudah lelah,” jawab saya.
”Apa nggak tahu rum ah sudah sem pit? Kenapa dipenuhi
lagi?!”
”Dia titip cum a m alam ini, Mas.”
”Aaaah! Ndak bisa! Keluarkan!”
”Keluarkan ke m ana? Ini kan m alam ?”
”Keluarkan!”
Saya tidak berm aksud m enjelek-jelekan ipar saya yang
sudah alm arhum itu. Saya hanya m au m enggam barkan situasi
yang m elatarbelakangi uraian tentang Mas Pram . Malam
itu, entah benar ia kecewa karena terhalang oleh sepeda itu,
entah karena apa yang terjadi dalam rapat, entah pula karena
jengkel kadang-kadang m elihat Harian Raky at yang suka saya
bawa pulang, ataukah karena sebab yang lain lagi, tiba-tiba ia
m em bentak saya:
”Pergi dari sini!”
Dengan sendirinya saya kaget. Barulah saya m enyadari
lem ahnya kedudukan saya di rum ah itu. Walau dem ikian saya
toh harus m em bela diri dengan kata-kata sendiri. Tapi itu
rupanya justru m enyangatkan kem arahan Mas Her.
”Pergi, pergi, pergi!” usirnya sam bil m enghalau saya dari
dalam rum ah hingga saya terdesak ke belakang.
Saya dengar para tetangga pada bangun m endengar
www.facebook.com/indonesiapustaka

keributan itu. Sebagian bertanya apa yang terjadi. Saat itu juga
Mas Pram yang rupanya ikut terbangun bertanya dari jauh:
”Ada apa, Liek?!”
Saya sudah lupa apa jawaban saya waktu itu kepadanya,
tapi m alam itu saya diselam atkan Mas Pram , disuruh tidur di
rum ahnya, dan karena di rum ahnya hanya ada satu tem pat
Bagian Ketiga: Jakarta 201

tidur, saya tidur seranjang dengan m ereka. Riwayat berulang,


apa boleh buat.
Lam a saya berusaha sekuat tenaga untuk bisa tidur, tapi
dengan sendirinya sukar sekali. Mereka pun ikut tak bisa
tidur. Beberapa jam kem udian m ereka m asih m em bicarakan
saya apakah saya sudah tidur. Mas Pram dengan tepat m enga-
takan:
”Pura-pura tidur!”
www.facebook.com/indonesiapustaka
Rumah Kontrakan Haji Mamak

SEJ AK ITU beberapa waktu lam anya saya m enjadi anggota


keluarga Mas Pram , tapi sam asekali tidak berarti lebih baik,
karena rum ah itu lebih kecil dan sem pit. Kalau hujan turun,
dari pojokan terbelakang rum ah itu m enyem bur air tanah yang
turun dari tanah yang lebih tinggi letaknya di belakang rum ah
itu. Maka seluruh rum ah pun m enjadi seperti gua di zam an
purbakala.
Tapi tentu saja tetap ada kenikm atannya. Misalnya, di
depan rum ah itu terdapat sum ur um um dan di dekatnya kam ar
m andi um um . Di sekitar sum ur itu tiap hari, ham pir sepanjang
waktu, ibu-ibu rum ahtangga, para gadis, anak-anak, dan juga
bapak-bapak sibuk m encuci pakaian, sayuran, dan m akanan.
Atau sekadar m encuci tangan atau kaki. Di situ m ereka
www.facebook.com/indonesiapustaka

berceloteh tentang segala m acam tetek-bengek kehidupan,


suka-duka hidup sebagai rakyat kecil yang harus hidup pas-
pasan. Karena sum ur adalah lokasi luar dan sekaligus dalam ,
m aka adegan-adegan di situ pun cam puran luar dan dalam .
Saya kadang-kadang m elihat Mas Pram m em perhatikan
tingkah-laku orang-orang itu sam bil m erenung di depan m esin
Bagian Ketiga: Jakarta 203

tulisnya. Seringkali di tengah rentetan m esinnya yang biasa itu,


tiba-tiba m enyusul suasana hening. Kalau pada waktu itu kita
tengok, terlihatlah bagaim ana Mas Pram m erenung dengan
m ata ke arah sum ur itu. Saya yakin, sebagian dari percakapan,
cerita, atau adegan di sekitar sum ur itu pasti m erepet di dalam
m esin tiknya. Term asuk adegan bagaim ana orang bergegas ke
kakus dengan pakaian apa adanya. Dan tidak salah, apa yang
kem udian terkum pul dalam Tjerita dari Djakarta itu sebagian
adalah dari kejadian di sekitar sum ur itu.
Kenikm atan lain Mas Pram tentunya adalah kelakuan
Pak J a pem ilik rum ah kontrakannya, yang berdiam tepat di
petak kirinya, sehingga segala percakapan keluarga itu bisa
didengarnya. Pak J a adalah penjaga m alam di sebuah kantor
di Tanjung Priok. Ia bekerja beberapa hari berturut-turut,
sesudah itu libur beberapa hari pula. Dan entah bagaim ana,
kadang-kadang ia m em bawa pulang botol-botol “Bols”, m i-
num an keras yang konon jagonya m inum an orang-orang
Belanda. Maka botol-botol itu pun dipeluk-peluknya seperti ia
m em eluk anaknya waktu m asih kecil dan ia sendiri m asih m uda
perkasa. Teguk dem i teguk cairan itu m elewati tenggorokannya,
sendiri saja, dan m ulailah cerita panjang tentang kejayaan dan
kem eranaan Pak J a terbuka lebar bagi telinga siapapun yang
m au m endengarnya, karena sebagai jawara Pak J a tak bisa
diganggu, juga dalam bercerita, juga dalam m abuknya. Dan di
www.facebook.com/indonesiapustaka

situ tidak ada m asalah enggan, m alu, atau tak sopan. Sam pai
cairan dalam botol itu ludes, atau sam pai hari berikutnya.
Ke rum ah petak ini juga datang tem an-tem an baru Mas
Pram . Yang saya ingat di antaranya A.S Dharta, penyair
dan organisator Lekra, Rivai Apin, juga penyair, dan Trisno
Yuwono, penerjung payung dan juga penulis cerpen yang,
204 Bersama Mas Pram

untuk waktu itu, dapat dikatakan berani m elukiskan adegan


syur. Di m asa itulah Mas Pram m engerjakan terjem ahan buku-
buku Soviet, a.l. Kisah Manusia Sejati karangan Boris Polevoi,
Kisah Seorang Prajurit Soviet karangan Mikhail Sholokhov,
dan Ibunda karangan Maksim Gorkii.
Mas Pram m engontrak rum ah petak Pak J a, saya yakin,
tidak sam pai satu tahun. Penyebabnya bisa jadi karena waktu
itu terbuka kem ungkinan untuk m engontrak rum ah yang lebih
perm anen, yaitu rum ah kontrakan Haji Mam ak yang beradu
punggung dengan rum ah Pak Haji sendiri, yang terletak di
J alan Rawam angun No. 37, beberapa puluh m eter dari rum ah
Pak J a. Rum ah itu lebih besar, m em anjang ke belakang, dengan
sum ur bersam a keluarga Haji Mam ak, dengan kam ar m andi
dan WC sendiri, dengan beberapa jendela kaca untuk kam ar
tam u dan jendela kayu untuk tiga kam ar tidurnya. Lantai
rum ah dari tegel bersih, dan sehat, karena letaknya tinggi.
Saya pun diajak pindah ke rum ah baru itu. Dengan dem ikian
saya ikut m eninggali rum ah yang agak norm al. Itu penting,
karena waktu itu saya sudah punya koleksi buku saya sendiri,
terutam a buku-buku sastra, bahasa, dan budaya. Dan... saya
pun punya m otor Ducati buatan Italia, walau tw eedehands,
alias bekas.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Rumah Setan

ORANG HIDUP m em ang ternyata tidak pernah sepi dari


persoalan. Kalau dipikir, apa kurangnya hidup saya waktu
itu: ada kam ar sendiri walau m enum pang, ada pekerjaan, ada
alat transportasi, dan ada buku-buku kegem aran saya. Tapi
apa persoalan kali ini? Karena saya m asih m enum pang! J adi,
m enum pang itu, percayalah, m erupakan persoalan tersendiri.
Waktu itu saya tergabung dalam Ansam bel Nyanyi dan
Tari “Gem bira” pim pinan (waktu itu) Titi Bronto K. Atm odjo.
Seperti ditunjukkan oleh nam anya, kegiatan organisasi ini
di bidang nyanyi dan tari: Dengan penyanyi tunggal, duet,
trio, kuartet, koor kecil atau koor besar perkum pulan ini
m enyanyikan lagu-lagu nasional, daerah, dan internasional di
panggung nasional, daerah, m aupun internasional. Saya hanya
www.facebook.com/indonesiapustaka

am bil bagian dalam koor besar, tapi di situlah saya m erasa


m enghayati apa arti “suka” dan apa arti “bekerja untuk orang
banyak”. Dengan suka dan bekerja untuk orang banyak itu
saya m enjadi hidup, dan bersedia untuk hidup lagi, dan itu
ternyata tidak bisa dipadukan dengan yang nam anya hidup
m enum pang. Kalau lagi ada pertunjukan, m ulai pukul tiga
206 Bersama Mas Pram

siang saya sudah harus ikut m obil jem putan tem an-tem an,
dan pukul dua belas m alam baru selesai ikut m engantarkan
m ereka ke rum ah m asing-m asing. Dan baru sekitar pukul satu
m alam sam pai di rum ah.
Pada suatu m alam saya tiba di rum ah pada pukul itu.
Mengetuk pintu, dan tidak ada tanggapan. Karena m enduga
ketukan kurang keras, saya keraskan, tapi tetap tak ada
tanggapan. Mungkin kurang panjang? Saya perpanjang.
Tetap sam a. Mungkin perlu diulang? Saya ulang-ulang. Tetap
saja. Mungkin tidak dengar? Baik, saya pergi ke sam ping dan
m engetuk jendela kam arnya. Karena tetap tak ada reaksi, m aka
kesim pulan saya adalah: m ungkin tak m au bereaksi.
Waktu itu saya sudah langsung m em ikirkan untuk m encari
penginapan di tem pat lain, ketika saya dengar istri Haji Mam ak
m em ekik dari belakang rum ahnya: “Sudah dibuka!”
Ketika saya am ati, ternyata yang dibuka adalah pintu
belakang. Saya tak bertem u dengan siapapun di rum ah
itu. Maka sejak itu hubungan baik dalam keluarga m enjadi
am bruk. Di sini saya tidak m encari siapa yang salah dan siapa
yang benar. Persoalan saya adalah m enum pang atau tidak
m enum pang. Saya harus tidak m enum pang kalau saya tetap
m au suka dan bekerja untuk orang banyak tadi.
Saya pun m encari rum ah kontrakan, dan lewat anggota
“Gem bira” bernam a Mas Darm o, saya berkenalan dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

tem annya yang bernam a Mas Sagi. Mas Sagi inilah yang
m enunjukkan rum ah kontrakan yang m enunggu pengontrak,
m ilik seorang engkong dan enyak Betawi. Sebuah rum ah gubuk
ukuran 3 x 2 m eter, lantai tanah, tanpa langit-langit, dinding
dari gedek tanpa lapisan, terdiri atas dua bagian: kam ar tidur
dan kam ar tam u, dengan uang kontrak sebulan Rp50 . Kam ar
Bagian Ketiga: Jakarta 207

m andi terbuka berdinding kaleng-kaleng bekas, langsung di


pingir sum ur gali, dan air m andi m asuk kem bali ke sum ur.
Kakus agak jauh di atas em pang yang ditanam i ikan m ujair.
Rum ah itu terletak di belakang rum ah di J alan Hutankayu
(sekarang J l. Utankayu) No. 66. Saya bertekad tinggal di rum ah
itu. Titik!
Maka pada suatu hari saya lapor kepada Mas Pram :
“Mas, saya berm aksud pindah dari sini.”
“Ke m ana?” tanya Mas Pram kaget.
“Ada. Di Hutankayu,” jawab saya tenang.
“Kesehatanm u itu nggak baik!”
“Saya m au belajar berdiri sendiri,” kata saya.
Saya yakin Mas Pram sebetulnya tidak m encari jawaban.
Kalau seorang pem uda sudah bertekad untuk tinggal sendiri,
ia tidak akan kem bali.
Maka saya angkutilah banda saya—pakaian dan buku—
m ondar-m andir dengan ransel pem berian Mas Pram sejak di
Kebon J ahe Kober tahun 1950 , naik Ducati. Beberapa kali saja
sudah tuntas. Lalu dari sebuah pangkalan di dekat situ saya
beli enam papan kayu duren, dua kotak sabun, dan belasan
batu bata. Tiga papan saya tum pangkan berjajar di atas dua
kotak sabun dengan jarak tertentu, dan dengan papan yang
lain beserta batu bata saya bikin rak buku. Di situlah buku-
buku saya berjajar.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ternyata si enyak tahu alam at tukang rantang yang bisa


m enyediakan m akanan sederhana dua kali sehari dengan
bayaran cum a Rp35. Saya carilah rum ah yang ditunjukkan si
enyak itu, dengan gam pang ketem u, dan sore hari itu juga saya
sudah bisa m enikm ati m asakannya. J adi m alam itu pula saya
bisa m enggeletakkan diri dengan perut terisi. Untuk kasur
208 Bersama Mas Pram

saya sobek sarung palekat saya, saya gelar di atas papan, dan
untuk bantal saya gunakan ransel. Kurang apa? Ini m erdeka,
pikir saya, dan tidur sam pai pagi.
Di rum ah yang kem udian saya nam akan Rum ah Setan itu
(sebetulnya saya bisa bercerita banyak tentang rum ah ini, tapi
itu tidak relevan untuk m em oar tentang Mas Pram ini) saya
m eneruskan hidup saya, pelajaran saya, dan... pekerjaan saya.
Banyak sukanya, tapi juga banyak dukanya.
Nam un pada suatu hari saya m ulai m enyadari bahwa ada
yang tak beres dengan tubuh saya. Sepertinya tenaga saya susut
drastis hingga daya isik merosot, dan daya pikir jadi loyo.
Menyadari itu, saya pergi ke dokter praktik seorang Tionghoa
di depan bioskop Rivoli, Kram at. Dokter tanpa am pun
m enjatuhkan palu godam pada saya: harus suntik penstrep
delapan kali karena saya terkena bronkhitis.
Godam nya bukan penstrepnya, delapan kalinya, atau
bronkhitisnya, m elainkan biaya suntik dan dokternya. Tapi
tentu saja tak ada yang perlu disesali. Saya sudah sem pat
m eninggali rum ah itu dengan berani selam a delapan bulan,
dan selam a itu Mas Pram tak pernah m enengok. Itu pun
tak perlu disesali. Yang penting, dem i kesehatan, saya harus
m eninggalkan rum ah itu, dan pindah ke rum ah yang lebih
sehat. Pilihan saya adalah indekos.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Simpat Sembilan

TAHUN 1957. Oleh seorang tem an saya ditawari m enjadi


penerjem ah di Kedutaan Cekoslowakia. Pekerjaannya m e-
nerjem ahkan tajuk rencana koran-koran Indonesia ke
bahasa Inggris, dan tulisan-tulisan tentang Cekoslowakia ke
bahasa Indonesia untuk kem udian dim uat dalam m ajalah
Tjekoslow akia Sekarang yang diterbitkan oleh Kedutaan Besar
Cekoslowakia sebulan sekali. Saya m au asal diperbolehkan
kerja hanya dari pukul 7 sam pai 11, dengan gaji separo saja,
yaitu Rp60 0 , karena m asih harus ikut kuliah.
Syarat saya itu diterim a. Begitulah, tiap hari pukul 6 pagi
saya sudah m eninggalkan Rum ah Setan untuk bekerja dan
belajar. Karena perjalanan itu pulang-balik m elewati rum ah
Mas Pram , seringlah saya m am pir ke rum ahnya, ada keperluan
www.facebook.com/indonesiapustaka

m aupun tidak.
Ketika saya m em utuskan untuk indekos dan m encari
tem pat indekos, saya m enem ukannya di J alan Cem paka Putih
Raya No. 3, rum ah tem bok, gedongan, dengan bayaran m ahal,
tapi terbayar karena saya sudah punya gaji cukup, cum a saya
sudah lupa, berapa. Selain saya, ada beberapa pem uda lain yang
210 Bersama Mas Pram

juga indekos di situ. Saya yakin waktu itu sudah m enginjak


tahun 1958, sebab salah seorang pem uda itu tiap pagi
m endengarkan dengan teliti berita radio m engenai peristiwa
besar di Sum atra, yaitu pem berontakan PRRI (Pem erintah
Revolusioner Republik Indonesia yang dibentuk 10 Februari
1958 dan dium um kan oleh Perdana Menterinya Mr Sjafruddin
Prawiranegara pada 22 Februari 1958). Pem uda asal Sum atra
itu m em ang berkepentingan m endengarkan selalu siaran
radio, karena dengan terjadinya pem berontakan itu hubungan
Sum atra-J awa terputus, dan aliran uang m ahasiswa Sum atra
dari orangtua jadi terputus.
Waktu itu juga rupanya Mas Pram m ulai m enaruh per-
hatian pada politik. Ia m engusulkan dibentuknya kelom pok
diskusi untuk m em bicarakan m asalah-m asalah hangat dalam
perpolitikan Indonesia. Kelom pok itu, saya ingat betul,
dinam akan Sim pat Sem bilan. Sim pat singkatan dari Sim pang
Em pat, dan Sem bilan karena anggotanya sem bilan orang:
Mas Pram sendiri, Mas Wiek (Walujadi Toer), saya, guru
sekolah SMA di Rawasari Hidayat Wikantasasm ita, tiga orang
wartawan APB yang berkantor di Gang Tengah, seorang di
antaranya bernam a J am hur Yusuf, m ahasiswa UI Piet Santoso,
dan seorang lagi yang sekarang saya sudah lupa nam anya.
Nam a itu diusulkan oleh Mas Pram , dan diterim a sesudah
m em pertim bangkan beberapa nam a usulan lain. Saya ingat,
www.facebook.com/indonesiapustaka

suara Mas Pram dalam kelom pok itu m em ang dom inan.
Kenapa dipilih orang-orang itu, dan bukan orang-orang
yang sudah m atang berkecim pung dalam politik, hal itu
tak pernah dibicarakan. Pertim bangan Mas Pram m ungkin
praktis saja, karena orang-orang itulah yang sering m uncul
di rum ahnya (kini rum ah sendiri yang dibangun tak jauh dari
Bagian Ketiga: Jakarta 211

rum ah Haji Mam ak), sehingga gam pang untuk berkum pul
sem inggu sekali: Mas Wiek dan saya selalu singgah, Hidayat
m em ang sering m am pir (untuk ini ada cerita tersendiri),
J am hur dan seorang tem annya wartawan APB tinggal di depan
rum ah Mas Pram , dan Piet Santoso sering m em bantu Mas
Pram m engurus buku-bukunya.
Kelom pok ini, m enurut perasaan saya, tidak dim aksudkan
sebagai think tank atau sem acam itu, hanya sekadar sarana
m engecek dan m enguji suatu pendapat atau pendirian. Tentu
saja, sebagaim ana lazim nya, walau um um nya kesem bilan
orang datang berkum pul, bisa saja terjadi satu-dua orang
berhalangan datang.
Saya ingat betul, salah satu persoalan yang dibicarakan
adalah apa yang dinam akan Konsepsi Presiden.
Konsepsi Presiden adalah konsepsi yang dikem ukakan oleh
Presiden Soekarno dalam pidatonya pada 21 Februari 1957 di
depan para pem im pin partai dan m asyarakat, berisi gagasan
tentang pem bentukan kabinet gotong-royong (Kabinet Berkaki
Em pat), yaitu m asuknya wakil-wakil partai terbesar—PNI,
NU, Masyum i, PKI—dan partai-partai lain, ditam bah golongan
fungsional. J uga pem bentukan Dewan Nasional yang terdiri
atas wakil-wakil sem ua partai dan golongan dalam m asyarakat,
yang berfungsi m em berikan nasihat kepada kabinet, dim inta
m aupun tidak.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dasar Konsepsi ini: Dem okrasi liberal dengan sistem


m ultipartai ternyata telah m enim bulkan perpecahan yang
terus-m enerus. Karena itu harus digantikan dengan dem okrasi
yang lain, di m ana kita sem ua dapat bekerja untuk m encapai
suatu konsensus dan tidak saling berkonfrontasi. Representasi
politik juga ditam bah dengan m asuknya golongan fungsional.
212 Bersama Mas Pram

Dalam konsep ini Presiden Soekarno m enyam paikan gagasan


perlunya suatu kabinet gotong-royong, term asuk PKI di dalam
kabinet itu.
Presiden Soekarno m engum um kan Konsepsi Presiden
sebagai konsepsi politik dem i persatuan bangsa, yang isinya
m engajak sem ua golongan untuk bersatu dan duduk bersam a
di satu m eja (alle leden van de fam ilie aan tafel), jangan sam pai
ada satu partai pun yang tertinggal dari pem erintahan. J adi
Konsepsi Presiden itu terdiri atas dua pokok: Pertam a, bentuk
kabinet koalisi yang terdiri atas wakil-wakil sem ua golongan
politik penting, term asuk kelom pok kom unis. Kedua, bentuk
Dewan Nasional yang tersusun m enurut garis fungsional
dengan wakil-wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha,
agam a, wanita, pem uda, angkatan bersenjata, polisi, dsb.
Kam i dalam kelom pok, seingat saya, tidak ada keberatan
dengan m asalah itu. Pertam a, tentang prinsip persatuan. Bung
Karno m em ang selalu m engum andangkan persatuan. Tanpa
persatuan m ustahil cita-cita bangsa dapat terlaksana. Ini hal
yang logis dan juga benar. Sem ua pihak bisa m em benarkan,
walau dalam praktik, dem i kepentingan tertentu, tidak
dapat m endukungnya. Prinsip ini berlaku m utlak di segala
zam an, di sem ua tem pat, dan dalam m asalah apapun. J adi
juga berlaku untuk Indonesia. Kedua, prinsip keterwakilan.
Kalau Indonesia m au m enerapkan prinsip dem okrasi,
www.facebook.com/indonesiapustaka

apapun nam anya, seyogyanya m engutam akan keterwakilan


yang adil. Tanpa keadilan m ustahil dem okrasi bisa berjalan.
Mungkin bisa berjalan secara terpaksa beberapa waktu, tapi
akhirnya akan terasa pincang jalannya dan harus dikoreksi.
Atau kalau dipaksakan terus dengan tangan besi, m udaratnya
akan kelihatan kem udian dalam kehidupan bangsa, dan
Bagian Ketiga: Jakarta 213

waktu itu akan sudah terlam bat untuk bisa dikoreksi, bahkan
kem udaratan itu bisa dem ikian besar hingga m em bahayakan
kehidupan bangsa.
Kesim pulannya adalah dukungan kelom pok terhadap
konsepsi tersebut, dan itu dirum uskan dalam sebuah
keputusan, ditandantangani oleh sem ua anggota kelom pok,
dan disam paikan secara resm i kepada sebuah panitia yang
nam anya (kalau tidak salah) Kom ite Pendukung Konsepsi
Presiden. Saya yang m enyusun dan m engetik keputusan
tersebut, dan juga m enyam paikannya kepada Kom ite.
Kam i tahu, Konsepsi tersebut tidak pernah dapat
dilaksanakan, tapi itu sudah m asalah lain. Soal lain yang
dibicarakan oleh kelom pok dan diputuskan untuk didukung
juga adalah m asalah kem bali ke UUD 1945.
Masalah ini kem udian direalisasi dalam bentuk Dekrit
Presiden, yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 5 J uli
1959 untuk m em berlakukan kem bali Undang-Undang Dasar
1945 karena gagalnya Konstituante m enyusun konstitusi yang
baru.
Tindakan kem bali ke Undang-undang Dasar 1945 itu
diusulkan oleh TNI AD. Keputusan TNI AD itu diam bil dalam
pertem uan antara KSAD dan para panglim a territorium pada
Mei 1958.
Rincian Dekrit Presiden:
www.facebook.com/indonesiapustaka

1. Bubarkan Dewan Konstituante; 2. Menyatakan UUD 45


berlaku kem bali bagi seluruh bangsa dalam seluruh negara;
3. Menyatakan UUD 1950 tidak berlaku lagi; 4. Mem bentuk
dengan segera suatu Majelis Perm usyawaratan Rakyat
Sem entara (MPRS), terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditam bah dengan wakil dari daerah dan
214 Bersama Mas Pram

dari Golongan Karya; 5. Segera m em bentuk suatu Dewan


Pertim bangan Agung.
Sim pat Sem bilan m em bicarakan dan kem udian m enyim -
pulkan perlunya langkah kem bali ke UUD itu secara berdikari.
Dari dua kenyataan itu saja, yaitu m asalah Konsepsi Presiden
dan Dekrit Presiden, bisa diketahui bahwa Sim pat Sem bilan
berum ur paling tidak dua tahun (1957-1959), bahkan m ungkin
lebih.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ke Banten

PADA 9 April 1957 oleh Presiden Soekarno dilantik Kabinet


Djuanda (Kabinet Republik Indonesia ke-16) di Istana
Merdeka. Kabinet itu, yang kem udian dinam akan Kabinet
Karya atau Zaken Kabinet, m encakup dua departem en baru,
yaitu Departem en Urusan Veteran dan Departem en Urusan
Pengerahan Tenaga Rakyat untuk Pem bangunan; yang kedua
dipimpin oleh A.M. Hanai.
Saya sebutkan secara khusus Departem en Urusan Penge-
rahan Tenaga Rakyat untuk Pem bangunan (kem udian disingkat
Departem en Petera), karena bersam a Mas Pram saya sem pat
m eninjau salah satu proyek departem en baru tersebut, yaitu
pem bangunan (kem bali) jalan utara-selatan Saketi-Malim ping
di Banten yang waktu itu m asih disatroni gerom bolan DI.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kapankah hal itu berlangsung? Saya ingat, proyek itu


dilaksanakan masih di bawah Menteri A.M. Hanai. Karena
kabinet ini baru bubar pada 5 J uli 1959 sejalan dengan Dekrit
Presiden tentang kem bali ke UUD 1945, dan sebelum bubar pada
25 Juni 1958 Menteri A.M. Hanai dibebaskan dari jabatannya
dan diangkat sebagai Menteri Negara, m aka peristiwa itu tentu
216 Bersama Mas Pram

terjadi beberapa bulan sesudah terbentuknya kabinet, tapi


sebelum Menteri Hanai mengundurkan diri. Saya sebutkan
”beberapa bulan sesudah terbentuknya kabinet” karena sebagai
kem enterian baru ia tentu harus m enyusun dan m enyiapkan
segalanya dari awal, baik gedung, peralatan, struktur organisasi,
m aupun personelnya. Betapa sibuk m ereka saat itu, karena
banyak kenalan dan tem an ikut terlibat di dalam nya, a.l. tem an
sekelas, bahkan salah seorang m urid saya, di Tam an Siswa.3
Saya m engikuti rom bongan wartawan yang disusun oleh
Departem en Petera, terdiri atas wartawan Antara, wartawan
APB, wartawan INPS (Indonesian National Press and Publicity
Service), wartawan Petera sendiri, dan Mas Pram . Tidak ada
wartawan Aneta.
Tenaga yang dikerahkan secara sukarela waktu itu
anggota organisasi-organisasi “progresif-revolusioner”, a.l.
CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan (IPPI
Ikatan Pem uda Pelajar Indonesia). Saya sudah lupa nam a-
nam a organisasi lain. Saya hanya ingat CGMI karena di sana
saya bertem u Hardojo—yang kem udian m enjadi ketua CGMI
(1963-1965)—dan ingat IPPI karena saya bertem u dengan
Tatang Hartm an, salah seorang pengurus IPPI Bandung.
Tujuan rom bongan adalah m eninjau kegiatan pem bangunan
jalan tersebut.
Para sukarelawan tinggal di kiri-kanan jalan yang di-
www.facebook.com/indonesiapustaka

bangun (kem bali), dan berangsur-angsur pindah m engikuti


proses pem bangunannya. Di situ juga m ereka m em bersihkan
badan, m em asak, m akan, dan beristirahat. Kerja sukarelawan

3 Dalam Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Lentera Dipantara, 2004) Pramoedya


Ananta Toer membuka pengantarnya dengan kata-kata: “Cerita ini adalah hasil
kunjunganku beberapa waktu lamanya pada akhir 1957 di Banten Selatan.” (Pen.)
Bagian Ketiga: Jakarta 217

terutam a m engangkuti batu untuk m engeraskan jalan yang


waktu itu dilakukan dengan m esin stoom w als. Waktu kam i
tinjau m ereka sudah berhasil m engeraskan beberapa kilom eter,
dan m alam harinya ada m obil dicegat dan dibakar DI.
Kam i naik jip Petera. Saya turun di Saketi dan m enginap
di kem ah bersam a para pem bangun, dan jip m eneruskan
perjalanan ke Malim ping. Beberapa hari kem udian saya
m enyusul m ereka ke Malim ping. Dan di sana saya ketahui
m ereka sudah m elakukan kunjungan ke Bayah dan Cikotok,
bekas tam bang em as. Mas Pram sem pat m em bawa pulang
beberapa m onster batu m engandung em as. Di sana juga kam i
bertem u dengan beberapa m ahasiswa Bandung yang dengan
antusias bercerita tentang petualangan m ereka di hutan
Malim ping m engum pulkan jenis-jenis anggrek yang sangat
langka, yang dalam kesem patan itu pula m ereka perlihatkan
dan hadiahkan kepada kam i.
Kam i pulang dengan kereta api dari Rangkasbitung.
Kereta sangat padat waktu itu, sam pai ada orang-orang yang
nangkring di jendela, bahkan di atas gerbong.
Hasil kunjungan kam i: Mas Pram m enulis novel Sekali
Peristiw a di Banten Selatan, dan saya m enulis reportase yang
kem udian dim uat dalam m ajalah terbitan Petera dengan nam a
(kalau tak salah) sam a.4 Wartawan Antara dan APB m enulis
dalam buletin m asing-m asing. Wartawan Petera, seingat saya,
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak m enulis laporan.

4 Belakangan, dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II Pramoedya Ananta Toer menulis:
“Melakukan peninjauan ke Banten (Saketi, Malimping, Bayah, Cikotok) untuk
menyelidiki benar-tidaknya ada boulyon-boulyon emas disembunyikan oleh Belanda
sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di dasar tambang mas Cikotok, dengan
kesimpulan, bahwa semua itu omong kosong belaka.” (Pen.)
Harley Davidson

SUDAH SAYA katakan bahwa saya buta m esin, khususnya


m esin sepeda m otor. Waktu kam i pindah ke rum ah kontrakan
di J alan Rawam angun, saya m asih belum bisa m engendarainya.
Dan karena sesudah itu tak ada kesem patan untuk m em egang
sepeda m otor (sepeda m otor m ilik siapa pula?), m aka pergaulan
saya ya hanya dengan sepeda onthel alias kereta angin. Mem ang
ketika Mas Pram ikut pindah ke J alan Rawam angun, sepeda
m otornya dibawa, tapi selam a itu tak pernah ada kesem patan
saya untuk m enjajal naik sepeda m otor lagi.
Barulah sesudah saya sering singgah ke rum ah Mas Pram
sehubungan kegiatan Sim pat Sem bilan saya ditanya:
”Kau m asih bisa naik m otor, Liek?”
”Nggak lagi,” jawab saya tulus.
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Kenapa? Ayo belajar lagi! Pem uda sekarang (kok) nggak


bisa naik m otor!”
”Sekarang?”
”Sekarang! Keluarin m otornya itu di belakang!”
Saya tak bisa lagi m enolak. Dengan hati ketir-ketir saya
tuntun m otor itu ke depan. Saya sudah lupa sem ua teori yang
Bagian Ketiga: Jakarta 219

pernah disam paikannya kepada saya. Apa yang nam anya


kopling, tali kopling, apa yang nam anya persneling, gas dan
rem di kepala saya cam pur-aduk. Tangan kanan-kiri dan kaki
kanan-kiri pun cam pur-aduk. Untungnya Mas Pram m au
m engulangi keterangannya dalam beberapa patah kata.
”J angan lupa, kopling dilepas sedikit-sedikit, pelan-pelan.
Ngerti?”
”Ngerti!”
Dari rum ah, Mas Pram di depan, saya di belakang. Sam pai
m ulut gang m em belok ke kiri, terus sam pai Pasar Genjing, dan
m em balik m enuju Stasiun Kram at. Sebelum stasiun m em balik
lagi, dan sebelum Pasar Genjing balik lagi pula.
”Nah, kau di depan!”
Kam i tukar tem pat.
”Awas, buka kopling pelan-pelan!” diingatkannya.
Saya buka kopling pelan-pelan sam pai pol sam bil digas,
tarik tali kopling, kecilkan gas, m asuk persneling dua, gas,
lepas kopling pelan-pelan lagi sam pai pol, m asuk persneling
tiga, gas lagi, tarik tali kopling, gas dikecilkan, persneling dua,
persneling nol, rem , brenti di depan m asjid.
”Nah, gam pang, kan? Ulangi!” kata Mas Pram .
Tahu-tahu saja sepeda m otor itu m elom pat tidak kira-kira:
roda depan naik ada kalau satu m eter. Untung pantat saya
tetap di sadel, dan kedua tangan saya tetap m em egang setang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dan di depan tak ada orang atau kendaraan lain. Kalau ada,
entah apa yang terjadi.
”Maaf, Mas, lupa,” kata saya gem etar.
Mas Pram diam saja. Bukan diam saja! Dia tak ada di bon-
cengan!
220 Bersama Mas Pram

Motor saya rem dan saya hentikan. Saya m enanti. Dan


sam bil tersenyum Mas Pram jalan m endekati saya.
”Ada-ada saja!” kom entarnya. ”Ayo lagi!” sam bungnya.
Begitulah terus diulang-ulang. Mem ang tidak hari itu juga.
Saya senang bahwa sebagai orang yang buta m esin akhirnya
saya bisa m enjinakkan m esin. Ketika Mas Pram m engajak
saya ke Sukabum i,5 dan di jalan pulang ditim pa hujan lebat,
ya dengan m otor Spartak itulah. Waktu itu ia terus berada di
depan.
Nah, pada suatu hari Mas Pram punya berita besar:
”Motorku udah ganti, Liek!” katanya bangga.
”Ganti apa, Mas?”
”Harley Davidson!”
”Baru?”
”Mana ada Harley Davidson baru? Pasti bekas!”
”Kenapa?”
Mas Pram m enjelaskan, tapi saya sudah lupa, bagaim ana
penjelasannya. Yang m asih saya ingat, orang baru bisa
tahu nikm atnya bersepeda m otor kalau sudah naik Harley
Davidson.
”50 0 cc! Dan kekuatannya sam a dengan jip!” ucapnya
bangga.
Tapi sam asekali bukan itu yang penting! Yang penting, saya
sendiri harus m erasakan nikm atnya naik Harley Davidson.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Badan begini kerem peng! Mendorongnya saja tidak kuat. Tapi


nanti dulu!

5 Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer
(Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. 231.
Bagian Ketiga: Jakarta 221

”Coba, Liek!” kata Mas Pram m em persilakan, seperti Pak


Lurah m em persilakan Pak Cam at.
Saya starter. J lung! Deng-deng-deng-deng!
Tok-cer! Dan bunyinya itu: halus, teduh, penuh hikm at.
Dan putaran gasnya: lincir, rengngng!
Dan tarikannya: seperti bukan m enarik, tapi m endorong.
Dan tak perlu ngebel: cukup m em ainkan gas: reng-reng-
rengng.
Begitulah saya m ondar-m andir m engendarai kendaraan
ajaib itu antara Pasar Genjing dan Stasiun Kram at, bahkan
m enyeberang rel, belok kiri m elewati belakang rum ah pacar
saya di dekat bengkel Departem en Pekerjaan Um um .
Lha, persis di belakang rum ah pacar saya kendaraan ajaib
itu berhenti ajaib. Mogok!! Aneh! Apa akal saya? Ya tidak
ada kecuali m em inggirkan m otor yang m enghabiskan tenaga
itu, dan m encoba m enstarternya lagi. Berulang kali. Lagi dan
lagi sam pai saya m andi keringat, dan habis tenaga di badan.
Dengan ngos-ngosan saya pegang gas, tak habis pikir, kenapa
tiba-tiba m otor ajaib itu ngadat. Untuk m engistirahatkan
badan, saya layangkan m ata ke sana kem ari dengan harapan
Mas Pram datang m enolong.
E, betul. Dari jauh Mas Pram tam pak m engangguk-angguk
sam bil tersenyum .
”Kenapaaa?” katanya sesudah dekat.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dikutik-kutiknya saluran bensin, distarter, jlung, dan...


deng-deng-deng-deng!
”Mau lagi?” kata Mas Pram .
”Aduh, sudah capek!”
Kam i pun pulang.
Pameran Buku Terjemahan

TAHUN 1959, dengan beberapa orang tem an dari HBIM


(Him punan Budaya Indonesia Muda), a.l. Herm an Maktal,
Bam bang Supriyo Anggodo, Agah Harganda, ditam bah
beberapa tem an lain, a.l. Syaiful Anwar seorang guru SMA,
dan seorang Tionghoa penerjem ah dari INPS yang saya sudah
lupa nam anya, kam i m endirikan organisasi penerjem ah
dengan nam a Organisasi Penerjem ah Indonesia (OPI). Setelah
dua tahun bekerja sebagai penerjem ah, saya m erasa bahwa
perlu ada kontak antarpenerjem ah untuk tukar inform asi,
tukar pengalam an, dan m ungkin juga tukar order. Sem ua
itu berdasar keyakinan bahwa penerjem ahan karya ilm u
pengetahuan, ilsafat, dan sastra dari bahasa asing ke bahasa
Indonesia adalah perlu sekali kalau bangsa Indonesia tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

m au ketinggalan dari bangsa-bangsa lain.


Hasil terjem ahan saya sendiri, di sam ping The Tales of
Sebastopol karangan Leo Tolstoi, dan cerpen-cerpen Anton
Chekhov, adalah sebuah brosur tentang negara Hongaria dan
October Day s (Hari-hari Oktober) karangan N. Krupskaya.
Bersam a Herm an Maktal dan Agah Harganda saya m ener-
Bagian Ketiga: Jakarta 223

jem ahkan Love Stories karangan pengarang Tiongkok Lin Yu-


tang yang saya m uatkan dalam berbagai m ajalah. Selain itu,
selam a dua tahun bekerja di Kedutaan Cekoslowakia, sudah
berhasil saya terjem ahkan sekitar 2 x 12 x 32 halam an m ajalah
atau 718 halam an m ajalah, belum terjem ahan tajuk rencana
ke bahasa Inggris. Dan saya m asih terus bekerja sebagai
penerjem ah, dan juga m enerjem ahkan bahan-bahan yang
saya senangi. Tidak salah kiranya kalau waktu itu saya m ulai
m engaku sebagai penerjem ah.
Saya catatkan OPI sebagai anggota Organisasi Pengarang
Indonesia (OPI) yang sekretarisnya waktu itu Pak Saleh
Sastrawinata, Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN) yang sekretarisnya waktu itu Pak Anas Ma’ruf, dan
J awatan Kebudayaan J akarta yang waktu itu dikepalai oleh
Pak Achdiat K. Mihardja.
Tahun itu pula OPI m enyelenggarakan Pam eran Buku
Terjem ahan untuk m enggugah m inat m asyarakat pada m asalah
terjem ahan di gedung Balai Budaya, J akarta. Pam eran terdiri
atas pam eran buku dan pam eran naskah terjem ahan dari
segala bidang. Buku kam i peroleh dengan m endatangi para
penerbit yang berm inat. Dan ternyata sam butan sangat baik,
sehingga untuk acara pam eran itu terkum pul buku untuk satu
gedung itu.
Pidato pem bukaan tentang m asalah terjem ahan dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pam eran terjem ahan itu saya bacakan sendiri sebagai Ketua
OPI. Untuk m enjaga pam eran beberapa hari, saya m inta
bantuan para anggota IPPI yang waktu itu selesai berkongres di
J akarta, lelaki-perem puan, dari J akarta m aupun dari daerah.
Hadirin yang datang saya anggap cukup banyak waktu itu.
Saya m erasa bahwa pam eran itu cukup sukses dan m enjadi
224 Bersama Mas Pram

kebanggaan tersendiri bagi saya. Pada hari terakhir datang


tam u berom bongan, yaitu J oebaar Ajoeb, Oey Hay Djoen (kalau
tak salah ingat), Njoto, dan... Mas Pram . Mereka sangat tekun
m em perhatikan sem ua eksponat. Khusus Njoto, ia sangat teliti
m em buka-buka naskah terjem ahan yang kebanyakan dari saya.
Saya tidak kenal Njoto dan juga belum tahu ketokohannya.
Maka saya agak heran ketika beberapa waktu kem udian dia
m endekati saya, dan dengan suara lirih m engatakan:
“Yang itu tidak usah [sebetulnya].”
Saya kaget.
“Yang m ana, Pak?” tanya saya.
Kam i bersam a-sam a m endekati naskah yang dim aksud,
dan ia m enunjuk Cerita-cerita Cinta Lin Yu-tang!
“Kenapa, Pak?” tanya saya pelan.
“Kuo Min-tang,” jawab Njoto m asih tetap lirih.
Untunglah hari itu hari terakhir pam eran, dan jam terakhir
pula, sehingga tidak ada buntut m asalah. Beberapa waktu
kem udian pam eran dan gedung ditutup dengan upacara
singkat. Rom bongan itu pulang naik m obil, kecuali Mas Pram
yang terpisah naik m otor.
“Kau naik apa, Liek?” tanya Mas Pram .
“Belum tahu; naik becak barangkali.”
“Aku bawa m otor; sam a-sam a kita. Kau di depan.”
Walhasil m alam itu (sekitar pukul 22.0 0 ) saya m engendarai
www.facebook.com/indonesiapustaka

Harley Davidson 50 0 cc itu. Untunglah J akarta waktu itu belum


seram ai sekarang, dan lagi sudah m alam , jadi jalanan agak sepi.
Walau dem ikian saya tetap harus hati-hati, karena penguasaan
saya atas m otor itu belum m antap benar. Sam asekali tidak
salah kom entar Mas Pram di belakang saya waktu itu:
“Kok m otor ini m inggir m elulu!”
Berpisah

TAHUN 1960 adalah tahun yang krusial bagi saya m aupun


Mas Pram . Banyak peristiwa seolah tum plek jadi satu dan
dipadatkan dalam satu jangka waktu yang sem pit. Waktu
itu Mas Pram sedang m engadakan perjalanan keliling
negara-negara sosialis. Untuk keperluan apa, dan siapa yang
m em biayai, saya sudah lupa. Tapi entah dari siapa— m ungkin
dari dia langsung—saya m endengar bahwa di Cekoslowakia ia
m endapat pengalam an yang tak m engenakkan. Dalam sebuah
ceram ah di hadapan m ahasiswa di Praha ia telah m engucapkan
sesuatu yang negatif tentang m iliter Indonesia, dan itu oleh
salah seorang m ahasiswa—yang kem udian ternyata inform an
atau intel m iliter—dianggap m enyinggung m iliter dan perlu
dilaporkan ke J akarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sejak itu—di dalam perjalanan—Mas Pram dibayangi


penangkapan. Dalam sepucuk telegram ia m em beritakan akan
pulang tanggal sekian dan m inta dijem put di lapangan terbang
Kem ayoran. Saya jem put, dan ia tidak datang. Belakangan
datang lagi telegram , saya jem put lagi, dan tidak datang lagi.
Begitulah dua-tiga kali terjadi sam pai akhirnya saya tak sem pat
226 Bersama Mas Pram

lagi m enjem put karena saya sudah harus berangkat ke Moskwa


untuk belajar lim a tahun lam anya. Kem udian terpikir oleh
saya apakah telegram -telegram itu disengaja buat m engecoh
petugas yang akan m enangkapnya? Waktu itu sudah bulan
Septem ber.
Sem entara itu, tanggal 6 Septem ber 1960 , saya m enerim a
surat dari USSR Friendship University, bunyinya dem ikian:
“Mr. Kusalah Subagio Tur
“The Adm ission Com m ittee of Friendship University hereby
inform you that you have been adm itted to take the entrance
exam ination to be held at the end of Septem ber in Moscow.
“You have to obtain a Soviet visa on producing your passport
and this letter of notiication at any Soviet Embassy, Legation
or Consulate.
“Please let us know the date of your departure to enable us
to book you a ticket for lying to Mosnow from Djakarta.
“Adm ission Com m ittee.”
Itu berarti bahwa dalam waktu tiga m inggu saya harus
m engurus surat izin dari orangtua atau wali, surat izin belajar
ke luar negeri dari Departem en Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudajaan, surat kesehatan dari World Health Organization
(WHO), surat iskal dari Inspeksi Keuangan Djakarta, paspor
dari Kantor Im igrasi Djakarta, dan visa dari Kedutaan Besar
URSS di Djakarta.
Betapa sibuknya saya waktu itu, tak bisa saya m em ba-
www.facebook.com/indonesiapustaka

yangkan sekarang. Dan itu belum ditam bah kesibukan lain


dalam hubungan pernikahan yang harus saya lakukan sebe-
lum berangkat: m engurus surat m enum pang kawin, m engurus
undangan dan iklan pernikahan, pakaian pengantin, terpal
teratak dan barang-barang pecah-belah, dan... biaya pernikah-
an. Karena tak ada tabungan, gaji terakhir sebagai wartawan
Bagian Ketiga: Jakarta 227

INPS dan hasil sepeda kum bang yang saya jual langsung di tepi
J alan Pecenongan saya serahkan sem ua. Itu belum m asalah
tetek-bengek lainnya. Dan yang pokok: acara akad nikah dan
pesta pernikahan. Ketika orkes keroncong m asih berbunyi
m alam itu, saya sudah dem ikian kehabisan tenaga dan m engan-
tuk sam pai tanpa m alu-m alu saya m inta izin kepada sem uanya
untuk tidur. Tapi dengan sendirinya saya tak bisa tidur—sam pai
tiga hari—karena bertekad belajar dulu sam pai tuntas.
Di situlah lalu saya teringat Mas Pram . Saya bukan tidak
ingat pesannya. Saya ingat. Tapi saya m erasa bahwa pesan
Mas Pram tidak benar. Dan saya m au m em buktikan bahwa itu
m em ang tidak benar. Kalau diam ati seluruh catatan ini, tidak
pernah saya m em bantah pendapat Mas Pram . Kali ini saya
m em bantahnya dengan perbuatan. Di hati saya terasa ada
sesuatu yang aneh. Ya, sesuatu yang tidak lazim . Tapi apalah
arti tidak lazim . Toh dunia ini terdiri atas yang lazim dan
tidak lazim , dan dua-duanya harus dapat dan bisa berserikat
m enjadi apa yang kita nam akan kehidupan. J adi, jadilah apa
yang akan terjadi.
Seandainya saya sem pat bertem u dengan Mas Pram waktu
itu, barangkali sem pat juga ia m elarang saya. Dan barangkali
saya akan m endengarkan kata-katanya. Bukan, bukan karena
kepergian saya untuk belajar. Bukan juga karena pernikahan
saya. J adi karena apa? Tentu pem baca m asih ingat ucapan Mas
Pram tentang perkawinan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tapi diam -diam tentu saja saya m inta restu kepada Mas
Pram sebagai kakak tertua agar langkah-langkah saya benar-
benar bukan langkah kiri. Dan begitu saja saya berpisah dengan
Mas Pram tahun 1960 , sekadar dalam hati.
Menurut rencana, tiga hari sesudah pernikahan saya harus
sudah berangkat ke Moskwa. Tapi ndilalah, pesawat Air India
228 Bersama Mas Pram

yang m enjalani rute J akarta-Bom bay-New Dehli-Tashkent-


Moskwa sem inggu sekali itu tiga kali m enunda perjalanan,
sehingga baru paruh kedua bulan Oktober saya berangkat,
m eninggalkan istri yang m enurut rencana akan m enyusul saya
setahun kem udian. Waktu itu tetap Mas Pram belum tiba di
J akarta.6
www.facebook.com/indonesiapustaka

6 Mengenai perjalanan saya ke Moskwa sudah saya tulis agak rinci dalam Kampus
Kabelnaya: Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet (Kepustakaan Populer Gramedia, 2003),
hlm. 12-17.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Keempat: Moskwa


www.facebook.com/indonesiapustaka
Tidak Terputus

WALAU DIPISAHKAN oleh jarak tak kurang dari lim a ribu


kilom eter, hubungan saya dengan Mas Pram sam asekali
tidak terputus. Kebetulan waktu saya m eninggalkan J akarta,
terjem ahan saya, novel Cekoslowakia Nikola Suhaj Penyam un
(judul asli Nikola Suhaj Lupezhnik), dim uat berturut-turut di
harian Bintang Tim ur. Bersam aan dengan itu bagian-bagian
tulisan Mas Pram , ”Hoa Kiau di Indonesia”, dim uat pula. Itu
sebabnya, walau biaya posnya m ahal, paling tidak sem inggu
sekali saya m endapat kirim an Bintang Tim ur Minggu.
Untuk m em anfaatkannya secara m aksim al, di Kam pus
Kabelnaya kam i terbitkan koran dinding berbahasa Indonesia-
Inggris-Rusia dengan nam a ”Indonesia”. Dalam bahasa
Indonesia kam i isi tulisan apa saja yang m asuk tentang
www.facebook.com/indonesiapustaka

Indonesia, bisa cerpen dan sajak tulisan tem an-tem an, dan
tentu saja koran Bintang Tim ur yang begitu saja kam i bentang-
tem pelkan. Waktu itu koran-koran di Indonesia terbit hanya
em pat halam an, jadi sekali terbit ”Indonesia” m em bentangkan
halam an 1 dan 4 pada tanggal dua m inggu sesudah Bintang
Tim ur terbit, dan halam an 2 dan 3 sem inggu kem udian. Dalam
232 Bersama Mas Pram

bahasa Inggris kam i isi kutipan-kutipan tentang Indonesia dari


buku-buku yang ada, dem ikian juga dalam bahasa Rusia
Saya katakan ”kam i”, karena resm inya koran ini diterbitkan
oleh organisasi m ahasiswa Indonesia PPI (Persatuan Pelajar
Indonesia, Zem lyachestvo indonyeziiskikh studentov), tapi
dalam kenyataan kam i berlim a, yaitu saya bersam a em pat
orang lain: Zakirm an, Rahardjo Sudim an, Im an Satoto,
dan Kang Genong (yang nam a sebenarnya Karsono), yang
m engerjakan. Saya pem im pin redaksi yang serabutan, artinya
kalau perlu m engerjakan yang lain-lain, term asuk m engetik
teks bahasa Rusia. Yang lain-lain pem bantu serabutan juga.
Yang agak khusus adalah Im an Satoto dan Kang Genong yang
m engurusi layout dan ilustrasi.
”Indonesia” terbit tiap Senin pagi pukul 0 8.0 0 , sejam
sebelum pelajaran dim ulai. Kam i m enyiapkan m alam Senin,
biasanya sam pai tengah m alam . Karena Im an Satoto dan Kang
Genong tinggal di asram a lain, di Storozhevaya, m aka m ereka
m enginap di kam ar kam i, dan paginya langsung m engikuti
kuliah, karena perkuliahan diselenggarakan di kam pus
kam i. Begitulah, tiap Senin pagi orang Indonesia (terutam a)
berkerum un di depan koran dinding itu, yang kam i biarkan
sam pai satu m inggu m enjelang terbit nom or berikutnya.
Kadang-kadang, karena sudah tak ada lagi pem baca, hari
Kam is sore koran dinding sudah kam i gulung.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1962 Mas Pram m ulai m em im pin lem baran


m ingguan ”Lentera” di Bintang Tim ur. Ini m em perkokoh
kontak kam i dengan Bintang Tim ur. Dengan dem ikian kam i
di Moskwa bisa m engikuti pem beritaan m engenai peristiwa-
peristiwa besar. Kalau sebelum nya kam i bisa m engikuti
berita-berita seperti kedatangan kosm onot Uni Soviet Germ an
Bagian Keempat: Moskwa 233

Titov di Indonesia, Peristiwa Cenderawasih, yaitu percobaan


pem bunuhan atas Presiden Soekarno di J alan Cenderawasih,
Makassar, Pertem puran Laut Aru, di m ana MTB ”Macan
Tutul” bersam a Kom odor J os Sudarso ditenggelam kan oleh
Angkatan Laut Belanda, m aka kini kam i bisa m engikuti berita
tentang Peristiwa Idul Adha, yaitu percobaan pem bunuhan
atas Presiden Soekarno di lapangan rum put di depan Istana
Merdeka, tertangkapnya pem im pin DI S.M. Kartosuwirjo di
Majalaya, penyelenggaraan Asian Gam es ke-IV di J akarta,
pem berontakan Partai Rakyat Brunai di bawah A.M. Azahari,
dan lain-lain.
Di bidang khusus, saya ingat, kam i m engikuti berita
tentang polem ik sekitar karya plagiat HAMKA, berita tentang
Manifesto Kebudayaan (yang disingkat Manikebu) dan polem ik
di sekitarnya, serta polem ik ram ai sekitar Badan Pendukung
Soekarnoism e (BPS).
Sem ua itu m em buat kam i yang belajar di Moskwa m erasa
tetap dekat dengan m asalah-m asalah di Indonesia dan tidak
m erasa ketinggalan dari m ereka yang tinggal di Indonesia
sendiri.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Hubungan Jakarta-Moskwa

HUBUNGAN J AKARTA-MOSKWA tahun 1960 praktis


dilakukan hanya lewat pos yang biasanya berjalan dua m inggu.
Sebagai orang yang banyak m endapat pengalam an baru,
dengan sendirinya saya banyak m enulis surat kepada istri,
saudara, dan handai-taulan, di antaranya kepada Mas Pram .
Mas Pram sendiri tidak selalu m elayani surat saya. Itu dapat
dim engerti, karena isi surat saya toh tidak selalu penting, dan Mas
Pram tentunya lebih m engutam akan karangannya. Lagi pula,
setahu saya, Mas Pram bukan orang yang suka berkorespondensi.
Tapi di antara surat yang ditulisnya kepada saya berisi
perm intaan tolong agar saya m engusahakan honorarium buku-
bukunya yang telah diterjem ahkan ke dalam bahasa Rusia.
Untuk itu saya harus bertem u dengan Ketua Serikat Pengarang
www.facebook.com/indonesiapustaka

Uni Soviet (Soyuz sovyetskikh pisatelei), Boris Polevoi.


Boris Polevoi pengarang Soviet terkenal. Karyanya yang
m onum ental adalah Povest o nastoy ashchom chelovy eke,
tentang contoh kegigihan dan keberanian m anusia Soviet
(yang kem udian diterjem ahkan oleh Mas Pram dengan judul
Kisah Manusia Sejati). Cerita lain yang diterjem ahkan Mas
Bagian Keempat: Moskwa 235

Pram adalah Kisah Seorang Prajurit Soviet (judul Rusianya


saya lupa) karangan Mikhail Sholokhov, pengarang novel dan
cerita pendek yang kuat, yang sebagian kem udian diterbitkan
dalam bentuk kum pulan tulisan.
Waktu itu ada tiga karya Mas Pram yang sudah
diterjem ahkan ke dalam bahasa Rusia, yaitu Keluarga Gerily a
(m enjadi Sem y a partizanov), Di Tepi Kali Bekasi (m enjadi Na
beregu reki Bekasi), dan ”Yang Sudah Hilang” (m enjadi ”O
tom , chto proshlo”). Yang ketiga adalah salah satu judul cerita
yang term uat dalam kum pulan Cerita dari Blora.
Uni Soviet waktu itu tidak m enjadi anggota sesuatu konvensi
internasional hak cipta. Sebetulnya ada paling tidak dua
konvensi internasional m acam ini, yang penting di antaranya
adalah Konvensi Bern (resm inya bernam a International
Convention for the Protection of Literary and Artistic Works),
yang untuk pertam a kali ditandatangani di sebuah konferensi
internasional di Bern, Swiss, tahun 1886. Indonesia (kalau
saya tidak salah ingat) waktu itu sudah m encabut keanggotaan
yang sem ula dim ilikinya berdasarkan warisan dari Hindia
Belanda. J adi tidak ada kewajiban bagi pihak Uni Soviet untuk
m em bayar kepada pengarang yang bukunya diterbitkan dalam
bentuk terjem ahan di Uni Soviet. Untuk m em inta izin pun
tidak ada kewajiban. Sebaliknya, pihak di luar Uni Soviet bebas
m enerjem ahkan dan m enerbitkan buku-buku yang terbit di
www.facebook.com/indonesiapustaka

Uni Soviet dalam bentuk terjem ahan dalam sesuatu bahasa di


luar Uni Soviet.
Walau dem ikian, hubungan antarm anusia sangat penting.
Lebih-lebih hubungan persahabatan antarnegara Republik
Indonesia dan Uni Soviet waktu itu sedang sebaik-baiknya.
Salah satu buktinya adalah bahwa kam i m enjadi m ahasiswa
236 Bersama Mas Pram

di Moskwa dalam jum lah ratusan. Maka pada suatu pagi saya
pun m enem ui Boris Polevoi di kantor Serikat Pengarang Uni
Soviet, setelah lebih dulu m em buat janji.
Polevoi m enerim a saya dengan senang dan bergairah,
seperti kebiasaan orang Rusia m enerim a tam u. Ia didam pingi
sekretaris Serikat itu, Mariam Salganik. Nam a Mas Pram
waktu itu sudah besar di Uni Soviet. Ia pernah m engikuti
Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent (ibukota salah
satu Republik Uni Soviet) tahun 1957. Dan karya-karyanya
term asuk yang pertam a diterjem ahkan dan diterbitkan di Uni
Soviet di antara buku-buku sastra Indonesia, di sam ping Abdul
Muis dan Arm ijn Pane. Tapi dengan sendirinya pertem uan itu
m erupakan pertem uan penjajakan sem ata. Walaupun dem ikian
Polevoi berjanji akan m engurus perm intaan Mas Pram itu. Dan
sebagai tanda persahabatan, oleh Polevoi dititipkan sebuah
notes kecil dan sebatang pensil yang waktu itu m erupakan
barang-barang antik yang sangat dihargai.
Selanjutnya saya tak tahu (atau lupa) bagaim ana
perkem bangan m asalah ini. Tapi seingat saya Mas Pram tak
pernah m erasa puas dalam hubungannya dengan penerbit di
Uni Soviet.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Milik Rakyat Indonesia

SELAMA DI Moskwa, saya curahkan waktu saya betul-betul


untuk belajar. Saya bertekad m enyelesaikan pelajaran ini
dengan baik. Sebelum nya, enam tahun waktu yang saya buang
untuk kuliah di Indonesia, tanpa hasil, karena direpoti oleh
banyak m asalah, yang pokok di antaranya biaya. Sekarang
biaya disediakan, jadi tak ada alasan untuk tidak berhasil.
Untuk itu kesulitan apapun, kecil atau besar, harus saya retas.
Saya pun ingin m enyenangkan hati Mas Pram yang pernah
kecewa ketika tahu saya tidak lagi kuliah. Saya pun ingin
m em enuhi—secara tak langsung—kehendak Ibu yang m enurut
Mas Pram , pada zam annya, m enghendaki agar ia nantinya
belajar di Eropa.
Saya juga sependapat dengan pendirian pem im pin bangsa
www.facebook.com/indonesiapustaka

Indonesia Bung Karno, bahwa revolusi yang dicetuskan


bangsa Indonesia tahun 1945 belum selesai, dan karena itu
harus diselesaikan. Revolusi Indonesia bukan gagal. Buktinya,
bangsa Indonesia sudah berhasil secara politik m em bangun
negara Republik Indonesia dengan wilayah dari Sabang sam pai
Merauke (dengan catatan Irian Barat m asih dalam sengketa
238 Bersama Mas Pram

dengan Belanda). Revolusi Indonesia juga bukan sudah selesai,


justru karena Irian Barat m asih dalam sengketa, dan justru
karena m asyarakat adil dan m akm ur belum tercipta di bum i
Indonesia. Saya, sebagai salah seorang pem uda Indonesia yang
sadar akan hal itu, harus ikut aktif m enyelesaikan revolusi
Indonesia. Karena status saya adalah m ahasiswa, m aka dengan
sendirinya belajar baik m enjadi tugas pokok. Dan karena saya
adalah m ahasiswa tugas belajar, m aka nanti kalau sudah tam at
belajar harus bekerja baik m endukung pem erintah dalam
m elaksanakan program -program nya.
Revolusi Indonesia adalah revolusi kiri yang prorakyat,
yang antipenghisapan dan penindasan dari kaum penghisap
dan penindas dalam bentuk feodalism e, kolonialism e,
kapitalism e, dan im perialism e. Karena revolusi Indonesia
adalah revolusi kiri, m aka untuk m em enangkannya harus
bersekutu dengan kekuatan kiri, baik di dalam negeri m aupun
di luar negeri. Di dalam negeri bersekutu dengan kaum kiri
lain, dan di luar negeri bersekutu dengan negeri-negeri sosialis
dan negeri-negeri yang baru berjuang m em bebaskan diri dari
kolonialism e. J adi revolusi belum selesai. Perjuangan harus
jalan terus.
Itulah suasana hati dan pikiran saya waktu itu. Itulah
suasana hati dan pikiran rakyat Indonesia yang sadar waktu
itu. Dan itu pula kiranya suasana hati dan pikiran Mas Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka

Maka tidak m engherankan, ketika saya m engalam i kem elut


rum ahtangga,1 jawaban Mas Pram atas perm intaan saya justru
sesuai dengan suasana hati dan pikiran tersebut.

1
Tentang kemelut ini sudah saya ceritakan dalam buku Kampus Kabelnaya:
Menjadi Mahasiswa di Uni Soviet, (Jakarta: KPG, 2003).
Bagian Keempat: Moskwa 239

Tanggal 1 Desem ber 1962 saya layangkan surat tiga


halam an folio ketik rapat kepada Mas Pram , di m ana antara
lain saya tulis:
“Kalau m as Muk bersedia, bantulah saja m entjairkan
tuntutan istri saja ini. Tapi saja kira jang pokok bukanlah disitu.
J ang pokok ialah m enghantjurkan pandangan keluarganja yang
kolod, jang saja kira dipim pin oleh pendapat [...]-nja. Keluarga
ini sam asekali djauh dari kehidupan revolusioner, karena itu
dem ikianlah djalan pikirannja.”
Sebagai jawabannya, awal tahun 1963, saya m enerim a
telegram Mas Pram . Isinya:

“KOESALAHSOEBAGYOTOER
3J A KABELNAYA DOM-1 MOSKWA 3-24 USSR
LIEK BERIKAN J G DIPINTA ISTRIMU TITIK KAU
MILIK RAKJ AT INDONESIA TITIK ISTRI DAN ANAKMU
TAK PUNJ A HAK ISTIMEWA ATAS DIRIMU PRAMOEDYA”

Sem ula saya m engira Mas Pram m enulis telegram itu tanpa
lebih dulu m enghubungi keluarga istriku, nam un kem udian
saya ketahui, Mas Pram m em ang m endatangi m ertua saya
(dan istri saya sudah tak tinggal di situ).
Menerim a telegram itu saya pun m em benarkan Mas Pram ,
walau dengan getir.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Kau benar, Mas Pram ,” begitu kata saya dalam hati.


Tokoh Misterius

SELAMA DI Moskwa saya sem pat berkenalan akrab dengan


seorang wanita Rusia yang sebelum kedatangan saya sudah
akrab dengan orang Indonesia. Untuk orang Rusia, ia
dapat dikatakan m ungil, tapi m ontok. Cerdas otaknya, luas
pengetahuannya, jinak-jinak m erpati pergaulannya. Bisa bicara
Indonesia, Inggris, Spanyol, dan waktu itu sedang m em pelajari
bahasa J awa. Pengetahuannya tentang bahasa Rusia bagus
sekali, karena itu bisa diajak berkonsultasi. Nam anya Rita.
Saya m engenal dia atas inisiatifnya sendiri, yang langsung
m engundang saya ke rum ahnya. Ia m erasa dekat dengan saya
karena dia m engenal Mas Pram , bukan hanya karena buku-
bukunya, m elainkan karena pernah bertem u langsung dengan
Mas Pram , waktu Mas Pram berkunjung ke Moskwa. Menurut
www.facebook.com/indonesiapustaka

Rita, waktu itu Mas Pram dititipi salam oleh seorang pem uda
Indonesia yang konon adalah pacarnya.
Kirim salam hal yang biasa saja dalam pergaulan
antarm anusia. Yang istim ewa adalah Mas Pram waktu itu
bertanya kepada Rita:
“Boleh saya sam paikan langsung?”
Bagian Keempat: Moskwa 241

Dan Rita yang langsung m enangkap m aksud pertanyaan


itu langsung m enjawab:
“O, boleh.”
Dan salam pun disam paikan.
Kalau tidak ada yang istim ewa, m asakan Rita m enyam paikan
cerita itu kepada saya? Sem entara itu, m akin lam a bergaul
dengannya, m akin saya ketahui dua hal tentang dia: pertam a,
bahwa dia ini sem acam “piala bergilir” orang Indonesia,
dari kecil sam pai besar, walau seberapa jauh, itu m ustahil
saya ketahui. Dan kedua, ada yang m encurigakan padanya.
Misalnya, pada suatu hari saya tem ui kedua tangannya penuh
rajah.
“Lho, kenapa tangan itu?” tanya saya kaget.
“Latihan!” jawabnya enteng.
“Latihan apa?” tanya saya lebih kaget.
“Latihan diiris.”
“Pakai apa?”
“Silet!”
“Silet?”
“Ya silet!”
Mula-m ula saya anggap dia m ain-m ain, tapi m elihat sepak-
terjangnya yang lain, lam a-lam a saya pikir: “Mau jadi apa
kek, itu urusanm u.” Urusan saya adalah m endapat konsultasi
bahasa Rusia dan bahasa Spanyol, dan m elangsungkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

hubunganku dengan Mas Pram . Lho, kok bisa? Iya, karena


dalam perjalanan waktu, ternyata Rita sem pat m enjadi pacar
seorang tokoh Lekra yang sangat m enghargai buku dan barang
seni, mencintai ilmu pengetahuan dan ilsafat. Buku-buku
yang dianggap si tokoh baik, terutam a dari orang Lekra juga, ia
beli belaka, dan ia hadiahkan kepada si cantik idam an hati itu.
242 Bersama Mas Pram

Tiap buku hadiah ia sertai kalimat mesra, falsai, monumental


tulisan tangan, dan dengan sendirinya tandatangan tokoh
tersebut. Dan tiap bukunya itu “dipam erkan” Rita kepada saya.
Dengan cara itu, buku Mas Pram yang baru tidak pernah lolos
dari catatan saya. Maka di tengah hubungan pos yang langka
waktu itu, saya sem pat m em injam dan m em baca dari Rita buku
Boris Polevoi terjem ahan Mas Pram Kisah Manusia Sejati dan
Kisah Seorang Prajurit Soviet. Saya juga sem pat m em baca
Panggil Aku Kartini Saja jilid I dan II. Salah satunya bahkan
sem pat hilang (barangkali diserobot oleh tem an), hingga saya
sem pat kirim surat kepada Mas Pram m inta dikirim i buku itu
untuk m engganti buku Rita yang hilang.
J adi saya tahu perihal perpacaran Rita dengan tokoh Lekra
tersebut dari buku-buku itu. Dan lebih m eyakinkan lagi, tokoh
Lekra yang waktu itu sudah m enjadi pejabat negara, pada
suatu kali singgah di Moskwa.
Kam i m ahasiswa Indonesia selalu girang m enyam but
kedatangan orang Indonesia di Moskwa. Seboleh-bolehnya
tam u-tam u seperti itu, besar kek, kecil kek, kam i tanggap,
karena kam i selalu m erasa haus inform asi tentang Tanah-air
dengan segala m asalahnya. Dalam m engejar inform asi ini,
waktu, tenaga, dan uang transpor tidak kam i persoalkan.
Begitulah, kam i yang tinggal di kam pus Kabelnaya sudah
m endapat pem beritahuan bahwa tokoh negara itu akan
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enyediakan waktu untuk berbicara di hadapan m ahasiswa


Indonesia di kam pus Donskoi, pusat Universitas Persahabatan
waktu itu. J arak antara kedua kam pus itu satu jam perjalanan
trem , dan waktunya pas kuliah. Maka dengan m engorbankan
kuliah, pada waktu yang telah ditentukan kam i sudah berkum pul
di tem pat. Tapi alangkah kecewanya, karena sam pai waktu
Bagian Keempat: Moskwa 243

habis tokoh tersebut tidak m enam pakkan batang hidungnya,


dan tanpa pem beritahuan soal penyebabnya. Ternyata, pada
saat ia dinanti-nantikan para m ahasiswa, si tokoh ngendon di
rum ah Rita. Saya heran. Lekra kan waktu itu organisasi yang
tergolong paling kenal disiplin? Kok bisa pem im pinnya bikin
telodor m acam itu?
Tapi dari m ana saya tahu itu? Ya dari siapa lagi kalau bukan
dari Rita?
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka

Bagian Kelima: Tahun 1965


www.facebook.com/indonesiapustaka
Perkenalkan, Adik Saya!

TAHUN 1965 tahun bahagia buat saya, karena tahun itu


saya berhasil m enyelesaikan kuliah di Moskwa. Pertengahan
bulan J uni saya m em pertahankan skripsi, dan pertengahan
bulan J uli bersam a sekitar tiga puluh lulusan lain pulang ke
Indonesia. Sebetulnya saya m asih berhak tinggal di Uni Soviet
sam pai bulan Oktober, tapi sem angat pengabdian pada Tanah-
air m endorong saya untuk segera pulang. Kam i pulang kem bali
dengan pesawat “Air India” dengan bagasi norm al (20 kg),
sedangkan barang-barang lainnya (terutam a buku) diangkut
dengan kapal.
Di lapangan terbang Kem ayoran, sekitar pukul 16.0 0 , saya
dijem put oleh Mas Wiek yang untuk keperluan itu m em injam
m obil dari kantor. Dengan m obil itu saya dibawa langsung ke
J alan Purwodadi No. 22, tem pat tinggal m antan m ertua saya,
www.facebook.com/indonesiapustaka

di m ana tinggal juga anak saya, Ruski. Waktu saya datang Ruski
sedang berm ain dengan tem an-tem annya di rum ah tetangga.
Um urnya em pat tahun waktu itu. Mertua saya m em anggilnya:
“Kiii, ini Bapak dataaang!” berulang kali. Anak itu tidak
segera datang, tapi akhirnya toh datang. Dan ketika datang, ia
langsung m endem pel pada em bahnya, tak m au m endekat.
248 Bersama Mas Pram

Percakapan dengan m antan m ertua tak perlu saya


ceritakan di sini. J uga segi psikologis pertem uan saya dengan
anak saya. Yang penting, saya sudah bertem u dengan m ereka
dan m enyam paikan apa-apa yang perlu, karena m obil
pinjam an bersam a sopir harus selekasnya kem bali ke kantor.
Kam i m eneruskan perjalanan ke rum ah kontrakan Mas Wiek
di J alan Rawam angun, m enaruh barang dan m elepas sopir
dengan m obilnya, lalu saya diantarkan Mbak Marie, istri Mas
Wiek, ke rum ah Mas Pram .
Mas Pram ternyata tidak ada di rum ah. Ia sedang m elatih
koor di rum ah Pak Lem an, kata Mbak Maem unah. Saya pun
diantarkan ke rum ah Pak Lem an di sebuah gang dekat Pasar
Genjing. Di situ saya lihat Mas Pram sedang m elatih koor
anak-anak m enyanyikan lagu-lagu ciptaan Mas Pram sendiri.
Waktu itu sudah sekitar pukul 19.0 0 . Begitu saya m uncul, Mas
Pram m enghentikan latihannya:
“Kau, Liek?” katanya.
Saya m engulurkan tangan, tapi dia m em eluk saya erat dan
m encium i m uka saya.
“Kenalkan ini, adik saya yang baru datang dari Moskwa!”
katanya kepada orang banyak. “Sarjana bahasa Rusia, cum
laude,” tam bahnya bangga. Pak Lem an m enyalam i saya,
juga kedua anak lelakinya yang sudah pem uda, dan pem uda-
pem uda lain. Sem ua saya salam i, term asuk anak-anak yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

tadi sedang dilatih.


Latihan koor dilanjutkan, antara lain dengan lagu “Pam an
Martil”. J udul lagu ini kalau tak salah sudah pernah saya baca
di “Lentera”. Karena itu saya tidak begitu heran m endengarnya.
Isinya kisah tentang seorang pejuang kem erdekaan, terdiri
atas beberapa bait, tanpa ulangan. Kelihatannya baru hari itu
Bagian Kelima: Tahun 1965 249

lagu tersebut diajarkan, karena itu anak-anak belum lancar


m enyanyikan. Apalagi lagu itu disertai dengan gerak-gerik
badan, sem acam tari, yang dipandu juga oleh Mas Pram .
Sem entara itu saya duduk m enyaksikan dan m endengarkan,
sam bil sesekali bercakap-cakap dengan para pem uda. Menurut
keterangan m ereka, tem pat itu m em ang rum ah Pak Lem an
yang dipakai sebagai tem pat berkum pul anak-anak Pem uda
Rakyat, juga anak-anak TK yang dikelola oleh Gerwani. Di
sam ping lagu-lagu, dilatihkan pula tari-tarian, antara lain
kalau tak salah tari “Genjer-genjer” dan tari “Tani”.
Menurut keterangan para pem uda itu, pada bulan
Agustus nanti di RT itu akan didirikan cabang Lekra. Acara
peresm iannya akan m encakup pula m alam kesenian. Latihan-
latihan itu dim aksud untuk m alam kesenian tersebut.
Diharapkan saya bisa ikut aktif dalam acara itu.
“Mudah-m udahan!” jawab saya.
Tak lam a sesudah itu, karena sudah lelah, saya m inta
perm isi dulu, dan pulang ke rum ah Mas Wiek, di m ana untuk
sem entara saya akan tinggal. Latihan berjalan terus.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Membalas Budi

SEPERTI SUDAH saya tulis, untuk belajar di Moskwa saya


di antaranya harus m inta izin kepada Kem enterian PPK
(Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan). Itu berarti saya
m ahasiswa ikatan dinas, dan dengan dem ikian saya harus
m enandatangani perjanjian dengan pem erintah dengan
syarat-syarat tertentu, antara lain selulus pendidikan saya
harus bekerja pada pem erintah dalam jangka waktu yang
ditentukan: dua kali m asa belajar (5 tahun) ditam bah 1 (satu)
tahun, ditam bah wajib kerja sarjana 3 (tiga) tahun, total 14
tahun.
Selam a saya berada di Moskwa, Kem enterian PPK sem pat
dipecah m enjadi dua, yaitu Departem en Pendidikan Dasar dan
Kebudayaan (PDK), dan Departem en Perguruan Tinggi dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ilm u Pengetahuan (PTIP). J adi setiba kem bali di Indonesia


saya harus m elapor kepada PTIP. Dan laporan waktu itu
diterim a dengan cepat. Saya sam pai heran. Sem ua sarjana
ikatan dinas langsung diterim a sebagai pegawai tinggi dengan
golongan F II lengkap dengan gaji, ditam bah pem bagian beras
30 kg, walau tanpa m eja. J adi, sam bil m enunggu penem patan
Bagian Kelima: Tahun 1965 251

oleh PTIP di lem baga yang m em erlukan, sarjana ikatan dinas


“wajib” datang pada akhir bulan untuk m engam bil gaji.
Sem ua ini sangat m enggem birakan. Hanya sayangnya, angka
inlasi waktu itu amat tinggi hingga gaji yang saya terima
tidak sebanding dengan keperluan yang harus saya im bali
dengan gaji bulanan. Sering gaji itu langsung habis sesudah
saya m asuk toko koperasi untuk m em beli m acam -m acam
kebutuhan rum ahtangga seperti m inyak goreng, ikan asin,
biskuit, sabun m andi dan cuci, dll. Saya sam pai lenger-lenger:
kok gaji pegawai tinggi begini kecil? Soal ini pernah saya
sam paikan kepada tem an yang selam a ini tinggal di Indonesia.
Dan apa jawabannya? Mem ang di Indonesia ini kita tak boleh
m engandalkan satu gaji!
Nah, dalam situasi dem ikian itulah pada suatu kali saya
m enerim a katebelece dari Oleg N. Kondrashkin, salah seorang
penyusun Kam us Indonesia-Rusia yang terbit tahun 1961
dan bekas guru kam i yang m engajar Sejarah Perkem bangan
Masyarakat. Kondrashkin kini bekerja di Bagian Perdagangan
Kedutaan Besar Uni Soviet, yang kantornya ada di J alan
Madura No. 49, J akarta. Isi katebelece kira-kira: Tolonglah
tem an-tem an saya Saudara ajar bahasa Indonesia.
Perm intaan ini saya terim a bukan sem ata-m ata sebagai
sum ber pendapatan. Pertam a, Kondrashkin guru yang baik,
sikapnya sangat baik terhadap m ahasiswa Indonesia dan rakyat
www.facebook.com/indonesiapustaka

Indonesia um um nya. Bahkan tanpa itu pun, karena ia bekas


guru, sudah sepantasnya saya m em balas budi kepadanya.
Kedua, lim a tahun penuh saya m endapat kesem patan belajar
di Moskwa dengan dicukupi segala kebutuhan saya, sehingga
pelajaran dapat saya selesaikan dengan lancar dan dengan
angka yang baik. Itu berarti pengorbanan rakyat Soviet,
252 Bersama Mas Pram

karena di negeri sosialis berlaku perekonom ian rakyat.


Bukankah itu jasa yang tak terkira besarnya untuk saya, yang
telah terpaksa m enghentikan kuliah di Indonesia karena tak
m am pu m enanggung biayanya? Dan yang terakhir, tentu saja,
pekerjaan itu m em berikan sum ber penghasilan yang dapat
m enutup ketim pangan gaji saya sebagai pegawai negeri. Maka
dalam pertem uan di J alan Madura itu, pekerjaan langsung
saya terim a. Saya m engajar dua kelom pok, m asing-m asing
terdiri atas enam orang cam puran lelaki-perem puan, dua kali
sem inggu, setiap kali satu setengah jam .
Walaupun waktu itu belum ada buku panduan untuk
m engajar bahasa Indonesia untuk orang Rusia, saya yakin
bisa m elaksanakan tugas itu dengan baik. J angankan buku
panduan untuk orang Rusia, buku panduan untuk orang
asing pun waktu itu belum ada. Soal m etode m engajar, saya
toh punya pengalam an m engajar bahasa Indonesia di SMP
(Sekolah Menengah Pertam a) dan kesusastraan Indonesia
di SMA (Sekolah Menengah Atas). Dan di Moskwa pun saya
punya pengalam an m em berikan kursus bahasa Rusia kepada
m ahasiswa-m ahasiswa Indonesia yang baru datang. Dan
dalam praktik m engajar bahasa Rusia, saya m endapat tugas
m engajar m ahasiswa dari Sailan.
Untuk pengajaran itu saya akan m endapat penghasilan
cukup, dan akan dijem put dan diantarkan pulang dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

m obil. Waktu itu m asih banyak m obil m erek Gaz, Volga, dan
Moskvich di Indonesia. Bagian Perdagangan punya banyak
Gaz, lengkap dengan sopirnya.
Hanya saya katakan, saya baru bisa m engajar m ulai Agutus
bulan depan, karena saya harus m enengok dulu kota kelahiran,
Blora.
Bagian Kelima: Tahun 1965 253

Tentu saja, dalam kesem patan pertem uan dengan Mas Pram
berita itu saya sam paikan kepadanya. Dan apa kom entarnya?
“Pekerjaan begitu kok kau terim a!”
Kom entar itu dengan sendirinya m engecewakan diri
saya. Tapi saya berpendirian, walau secara um um kebutuhan
m anusia satu dengan m anusia lain sam a, secara khusus pasti
tidak sam a atau bahkan berbeda. Dengan dem ikian saya tetap
bertekad m enjalankan pekerjaan itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Pilih Mana?

DI ATAS sudah saya ceritakan bagaim ana Mas Pram m engi-


rim kan telegram kepada saya di Moskwa. Peristiwa itu rupanya
m enjadi m im pi buruk baginya. Kalau m au dikatakan dirasakan
sebagai ganjalan, barangkali dem ikian. Karena itu beberapa
kali dia m engatakan: “Sudah kukatakan, jangan kawin sam a
orang Sunda. Banyak gadis lain. Kapan m au ikut aku?”
Perlu saya singgung di sini bahwa lim a tahun tinggal di
Eropa itu ada pengaruhnya juga terhadap pengelihatan. Pulang
di Indonesia, terkesan oleh saya (m aaf) gadis Indonesia kecil-
kecil, hitam -hitam , dan jelek-jelek. Mungkin karena keadaan
ekonom i Indonesia waktu itu sangat buruk. Kem iskinan boleh
dikata m erata diderita oleh orang Indonesia. Karena itu,
kebanyakan orang Indonesia kurus, kisut kulitnya, wajah tidak
www.facebook.com/indonesiapustaka

cerah. Sebaliknya rakyat Soviet waktu itu sedang bertekad


m em bangun dasar bagi m asyarakat kom unis yang m encita-
citakan “dari m asing-m asing orang m enurut kem am puannya,
untuk setiap orang m enurut kebutuhannya”. Tidak heran, di
mana-mana yang terlihat adalah isik yang gagah, tampan,
tegap, cantik, dan itu term anifestasikan selalu dalam prestasi
Bagian Kelima: Tahun 1965 255

Uni Soviet dalam Olim piade dan acara-acara pertandingan


olahraga yang lain.
Karena kesan itu tadi, saya agak berlam bat-lam bat untuk
urusan m em ilih istri. Di sam ping m asalah perasaan, ada
faktor ekonom i belum m antap benar. Anehnya, ada saja yang
ngglibet. Seorang di antaranya suka datang ke rum ah, dan...
ada saja alasannya untuk m inta diantarkan ke situ ke sana.
Mas Pram juga m elihat hal itu. Maka ia m engingatkan
saya: “J angan m au sam a dia. Uang sakunya pun nggak bisa
kau nyediain!”
Dan itu m em ang benar. Pada suatu hari saya “terpaksa”
m engantarkan dia ke suatu tem pat di J akarta dengan m obilnya
(waktu itu belum biasa orang berm obil-m obil). Pulang dari
m engantarkan, dia m engajak m am pir m akan di restoran Cina
di J alan Mangunsarkoro dekat rel. Itu di daerah Menteng,
elitnya J akarta. Sungguh m ati, saya tidak m erasakan enaknya
m akanan, karena terbayang berapa saya harus bayar karena
toh saya harus bersikap galant? Dan berapa ternyata? Saya
tak ingat berapa, yang jelas uang di kantong saya ludes, tinggal
uang receh. Nyaris saya m enderita m alu. Dan saya sangat
m enyesal telah bertindak sebodoh itu. Maka sejak itu saya
putuskan untuk tidak m elayani ajakannya untuk “antarkan”.
Dan pada suatu sore saya diajak Mas Pram m em bonceng
skuternya, sesudah seharian ia m engetik. Ia m em bawa bahan
www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk didrop di Bintang Tim ur: untuk lem baran kebudayaan


Lentera. Baru sesudah itu kam i m am pir di rum ah iparnya di
J alan Batutulis, tak jauh dari sana.
Ipar itu adalah kakak perem puan Mbak Pram . Saya tahu
ipar itu punya anak perem puan, di sam ping anak lelaki. Tapi
yang saya herankan, di rum ah itu kam i jum pai banyak gadis.
256 Bersama Mas Pram

Ada kalau sepuluh orang, m asing-m asing dengan potongan,


gaya, dan wajahnya. “Apa m ereka sengaja dikum pulkan
untuk saya?’ begitu pikir saya gede rum angsa. Dan sem uanya
diperkenalkan kepada saya oleh Mas Pram . J adinya saya
seperti berada di tengah pasar sayuran. Sem ua bagus dan jelek
sekaligus. Terus-terang, saya m asih terpengaruh oleh kesan
tadi.
Toh di jalan pulang, m asih di boncengan skuter, Mas Pram
bertanya: “Bagaim ana, udah pilih?”
“Pilih apa?” saya pura-pura bego.
“Cewek-cewek tadi!”
“Ya m esti lihat-lihat dulu!” saya ngawur saja.
Pertanyaan Mas Pram itu saya anggap aneh dan keterlaluan.
Dianggap seperti m em ilih ubi atau singkong saja.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Jor-joran

SEPERTI SUDAH saya katakan, saya pulang ke Indonesia


pertengahan J uli 1965. Waktu itu sedang berlangsung “jor-
joran” antarpartai untuk pam er kekuatan dalam bentuk
m em peringati hari ulangtahunnya. Selagi m asih di Moskwa,
saya sudah m endengar bagaim ana Partai Kom unis Indonesia
(PKI) m em peringati hari ulangtahun (ultah)-nya yang ke-45
(23 Mei 1965) secara besar-besaran.
Partai ini m engadakan rapat raksasa di Stadion Utam a
Gelanggang Bung Karno, dihadiri konon oleh lebih daripada
150 ribu pengikutnya. Dikum andangkan berm acam tuntutan,
antara lain: Ganyang 7 setan desa, Ganyang 3 setan kota,
Ganyang kabir, Bentuk Kabinet Gotong-Royong berporoskan
Nasakom , Bentuk Angkatan Ke-5, Adakan pem ilu ke-II,
Laksanakan Manipol dan Dekon secara konsekuen, Intensifkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

konfrontasi dengan Malaysia, Bantu Vietnam Utara, dan


Ganyang kebudayaan Barat.
Dalam kesem patan itu Presiden berkata: “PKI m erupakan
unsur yang hebat dalam penyelesaian revolusi, sedangkan
sebab yang m engakibatkan PKI m akin besar dan kuat ialah
karena PKI selalu bersikap konsekuen progresif revolusioner.”
258 Bersama Mas Pram

Dalam kesem patan itu juga Presiden m enggandeng tangan


Ketua PKI, D.N. Aidit, m enuju sekelom pok juru foto untuk
dipotret berdua sam bil bergandengan. Presiden berkata: “Telah
saya katakan dalam Kongres PKI yang ke-6 bahwa terhadap
PKI saya bersikap: “Ya sanakku y a kadangku; y en m ati aku
sing kelangan” (juga sanak juga keluargaku; kalau m ati aku
yang kehilangan).
Dalam perayaan itu gam bar Soekarno dan Aidit, diapit
gam bar pem im pin-pem im pin kom unis dunia seperti Engels,
Marx, Lenin, dan Stalin, m enghiasai Markas Besar PKI yang
belum ram pung.
Bulan J uli itu pula Partai Nasional Indonesia (PNI)
m em peringati HUT-nya di tem pat yang sam a, dan juga dihadiri
oleh Bung Karno. Gelora Bung Karno pun padat pum pat, tak
ada tem pat kosong.
Um um m engetahui, stadion itu dibangun oleh para ahli
dari Uni Soviet, lebih besar dan lebih indah ketim bang Stadion
Lenin di Moskwa. Kalau Stadion Lenin hanya m uat 90 .0 0 0
orang, Gelora Bung Karno m uat 10 0 .0 0 0 orang, dan kalau
Stadion Lenin tidak beratap, Gelora Bung Karno beratap
m elingkar indah. Sem ua itu atas perm intaan khusus Bung
Karno.
Sebelum dan seusai acara, m assa PNI tidak henti-henti
m enyanyikan lagu ciptaan Bung Karno:
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mari kita bergem bira,


Suka ria bersam a,
Hilangkan sedih dan duka,
Mari ny any i bersam a,
Leny apkan duka lara,
Bergem bira sem ua,
Bagian Kelima: Tahun 1965 259

Tralala-la-la-la-la,
Pokoke m arhen m enang!

Kalim at terakhir itu seharusnya berbunyi “Mari bersuka


ria”, tapi dalam rangka “jor-joran” itu tadi m ereka m elancarkan
sem boyan “Pokoke m arhen m enang!” dan itulah yang dipakai
m enutup lagu tersebut. Riuh-rendah bukan buatan.
Disusul dengan pantun Bung Karno juga, bunyinya:

Siapa bilang Bapak dari Blitar,


Bapak ini dari Pram banan,
Siapa bilang Indonesia lapar,
Indonesia bany ak m akanan.

Esoknya saya ikut naik kereta api J akarta-Surabaya yang


dicarter oleh PNI untuk pulang kam pung ke Blora yang telah
bertahun-tahun saya tinggalkan. Sebelum kereta berangkat,
sam pai kereta singgah sebentar di Cepu, sepanjang hari, tidak
sedetik pun orang berhenti m enyanyikan lagu yang sam a. Saya
sam pai heran, betapa kuat tenggorokan orang-orang itu.
Sesudah itu Nahdlatul Ulam a (NU) m erencanakan
m em peringati juga hari lahir (harlah)-nya. Saya tak ingat lagi,
apakah NU jadi m elaksanakan perayaan tersebut. Setahu saya
NU didirikan tanggal 6 Februari 1926, jadi tentunya perayaan
baru akan terjadi setengah tahun kem udian. Tapi saya ingat,
www.facebook.com/indonesiapustaka

spanduk-spanduk NU waktu itu sudah m em enuhi J akarta.


Dan kata “harlah”—yang bukan “ultah” dan bukan pula “HUT”
itu—sudah m ulai m enjadi trade m ark pem beda.
Saya lalu teringat kem bali m asa tahun-tahun 1955-1957.
Inilah intensiikasi dari apa yang saya namakan “pasang kuda-
kuda” itu.
Jadi Tawanan PNI

SEJ AK DI MOSKWA, diam -diam saya sudah m enjadi rebutan


antara Mas Pram dan Mas Di, ipar saya yang tokoh PNI di
Blora. Terutam a Mas Di-lah yang aktif ”m em perebutkan” saya.
Masih teringat oleh saya salah satu suratnya: ”Dik Liek putra
seorang tokoh PNI, m aka Dik Liek harus m enetapkan pilihan
untuk m elanjutkan cita-cita Bapak kita.”
Riwayat bapak saya m em ang boleh dikata revolusioner. Ia
seorang pendukung cita-cita Dokter Soetom o dengan Boedi
Oetom o-nya. Karena itulah ia m em utuskan m eninggalkan
kedudukan sebagai guru HIS Rem bang yang m apan, dan
sebagai gantinya m engam bil alih sekolah Boedi Oetom o Blora
yang baru berum ur lim a tahun (didirikan tahun 1917), hanya
terdiri atas dua kelas, dan terlantar karena ditinggalkan oleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dokter Soetom o yang sebagai dokter pem erintah dipindahkan


ke Surabaya. Ketika sekolah itu bangkrut karena pendukung
utam anya, Bupati Blora R.M. Said Tirtonegoro, m eninggal
tahun 1926, bapak saya m em bangun sekolah itu m enjadi
sekolah dasar tujuh kelas dengan m erogoh kantong sendiri,
tetap dengan nam a Instituut Boedi Oetom o (IBO).
Bagian Kelima: Tahun 1965 261

Boedi Oetom o itu kan perkum pulan kooperator. Maka


ketika Bung Karno tahun 1927 m endirikan Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI), dan pada 1928 diubah nam anya
m enjadi Partai Nasional Indonesia (tetap PNI), Bapak m enjadi
tokoh PNI Blora. Ketika PNI dibubarkan pada 25 April 1931 oleh
Sartono untuk m enyelam atkan para anggota, dan akibatnya
PNI pecah m enjadi dua: 1) Partai Indonesia (Partindo) yang
dibentuk 29-30 April 1931, dan 2) Golongan Merdeka atau
PNI Merdeka yang kem udian (akhir Desem ber 1931) di bawah
Sutan Sjahrir m em bentuk Pendidikan Nasional Indonesia
(PNI Pendidikan, atau Partai Pendidikan Nasional Indonesia
(PPNI), bapak saya tetap konsekuen m enjadi anggota Partindo.
Karena itu, dalam m engam panyekan Partindo, Bung Karno
dkk. pernah singgah di Blora (di J alan Slibeg, rum ah di sebelah
selatan rel, m enghadap ke barat), dan dalam kesem patan itu
tentu saja bapak saya hadir.
Kepartindoan bapak saya tentunya m enyeret serta adiknya,
yaitu pam an saya, Im am Barsah, yang sejak usia delapan tahun
ikut Bapak tinggal di Blora (beda um urnya dengan Bapak 18
tahun). Dan karena sesudah proklam asi yang hidup kem bali
adalah PNI, bukan Partindo, m aka Bapak m aupun Im am
Barsah pun m enjadi anggota PNI. Bulan J uli 1965, ketika
saya berkunjung ke Blora itu, Im am Barsah m enjadi Ketua I
sedangkan Mas Di m enjadi Ketua IV PNI.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Di pernah m enyatakan kepada saya ia m em peristri


m bakyu saya, Oem i, karena sejak sem ula kagum kepada
bapak saya, Mastoer, ingin m enjadi m enantunya, dan juga
m elanjutkan cita-citanya. Untuk itu ia berjuang m ati-m atian,
dan berhasil.
262 Bersama Mas Pram

PNI sangat kuat di Blora karena tradisi bapak saya beserta


Instituut Boedi Oetom o-nya. Maka tidak m engherankan kalau
beberapa hari kem udian saya diplekotho (diperkosa) oleh Mas
Di. Di gedung bioskop di sisi utara alun-alun diadakan acara
tem u m uka dengan saya ”sebagai anak Blora yang telah sukses
m enyelesaikan pendidikan di Moskwa”. Waktu itu gejala
dem ikian sangat langka. Untuk itu seluruh sekolah SMP dan
SMA (yang kalau tak salah ingat) baru ada satu, diliburkan.
Saya diboncengkan Mas Di dengan sepeda m otor (yang waktu
itu m asih langka juga) ke gedung.
Gedung tum pah-ruah dengan m urid dan guru. Sebagian
hadirin tak m endapat tem pat duduk, dan terpaksa berkeliaran
di luar gedung. Acara dibuka oleh Sukirm an, tem an m ain
saya sem asa kecil, yang waktu itu sudah m enjadi tokoh PNI.
Ia bercerita tentang m asa kecil kam i, m ain joretan (petak-
um pet), bioskop-bioskopan, m ain di kali dsb., dsb. Selanjutnya
saya dipaksa bicara tentang pengalam an m enuntut ilm u di
Moskwa.
Banyak pertanyaan diajukan kepada saya, yang m enurut
saya um um -um um saja sifatnya. Sem uanya m enghabiskan
waktu tak kurang dari em pat jam , dari pukul delapan sam pai
pukul dua belas lebih.
Yang khusus justru dari Mas Di, yang m alam itu
m em perlihatkan tanda-tanda ingin m enam bah tekanannya
www.facebook.com/indonesiapustaka

supaya saya m asuk PNI. Dia ceritakan, Mas Pram m akin lam a
m akin m enunjukkan tanda-tanda dekat dengan PKI. Tahun
sebelum nya, 1964, waktu Mas Pram m erencanakan perjalanan
keliling J awa Tengah untuk m em opulerkan Lekra bersam a
J oebaar Ajoeb, ia m em beritahu Mas Di rencananya singgah di
Blora dan m engucapkan pidato.
Bagian Kelima: Tahun 1965 263

”Saya larang Mas Pram m engucapkan pidato di Blora!”


kata Mas Di kepada saya, m enunjukkan kekuasaannya. ”Tapi
Mas Pram m benthung (bersiteguh). Dia tetap datang bersam a
J oebaar Ajoeb. Dan m engucapkan pidato di depan orang-orang
PKI. Ya tidak ada jalan lain. Saya suruh m atikan aliran listrik.
Kacau jadinya.”
”Batal acara itu?” tanya saya.
”Ya ndak tahu. Itu saya yang m em erintahkan! Seluruh
kota!”
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ndhelik

DI TENGAH suasana ”jor-joran” yang m elahirkan istilah


dan praktik ”ofensif revolusioner” itu, Mas Wiek dan kawan-
kawannya bertekad m em bentuk Lekra (Lem baga Kebudayaan
Rakyat) Cabang Rawam angun yang akan diresm ikan tepat
pada 17 Agustus, dipadu dengan acara kesenian.
Perlu saya singgung bahwa istri Mas Wiek adalah wanita
m uda yang pintar sekali bergaul. Orangnya berani, fasih bicara,
dan berwatak ngem ong. Maka dalam lim a tahun (sejak 1960 )
tinggal di lingkungan itu, banyak yang telah ia capai. Mulai
anak-anak kecil sam pai orang dewasa berkerum un seperti
laron di sekitarnya. Ke m ana ia pergi, ke sana juga laron itu
bergerak. Itu pula yang m em ungkinkan dibentuknya Lekra
Cabang Rawam angun, di sam ping PR (Pem uda Rakyat) dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

kelom pok-kelom pok kesenian yang sudah ada.


Sebagai bagian dari ”ofensif revolusioner’ di tingkat
nasional, di tingkat Rawam angun pun terjadi persaingan ketat
dengan unsur-unsur Nasakom yang lain, khususnya dengan
gerakan Pem uda Ansor dan gerakan wanita Fatayat NU.
Anehnya, rasa persaingan itu m ereka ungkapkan pula dalam
Bagian Kelima: Tahun 1965 265

kesenian. Pem uda Dem okrat dan gerakan wanita dari PNI juga
tak m au ketinggalan, sehingga panitia kewalahan m enam pung
sum bangan kesenian. Tak kurang dari 30 nom or kesenian
disum bangkan dalam acara itu: paduan suara, nyanyian
tunggal, tarian, dram a, deklam asi, dagelan, dll., term asuk lagu
Mas Pram ”Pam an Martil” lengkap dengan pantom im iknya.
Sam pai sore hari m enjelang acara, orang m asih m endaftar.
Sebuah spanduk dibentangkan di lapangan sebelah pabrik
Apotik Abdi berisi pem beritahuan tentang akan dibentuknya
Lekra Cabang Rawam angun disertai pesta kesenian, dan
ajakan untuk m enyum bangkan nom or.
”Kau nanti jadi pem bawa acara, Liek!” kata Mas Wiek.
Saya langsung m erasa bahwa Mas Wiek m em anfaatkan
kedudukannya sebagai kakak dan kepala keluarga, dan itu
tidak benar. Maka saya keberatan.
”Kan ada dari panitia? Saya kan bukan panitia?” kata
saya.
”Ada dari panitia. Kebetulan Liliek datang, sekalian
m em perkenalkan. Kan hebat, sarjana lulusan Moskwa tam pil
di sini, di pinggiran J akarta?”
”Lalu bagaim ana kedudukan tem an yang sudah
ditugaskan?”
”Itu urusanku. Lebih cocok Liliek. Sudahlah, Liliek saja.”
”Saya jadinya enggan.”
”Menunaikan tugas, enggan? Kam u, enggan? Coba, saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

m au dengar, apa alasan enggan?!”


Saya tak ingin berdebat tentang m asalah yang peka
pem ecahannya itu, apalagi sudah kelihatan tanda-tanda Mas
Wiek akan m enggugat ”kerevolusioneran” saya. Sebagai ketua
panitia tentu ia punya wewenang organisasional dan m oral
untuk m engam bil langkah dem ikian.
266 Bersama Mas Pram

Karena itu akhirnya saya usulkan pem ecahan aneh ini:


”Baiklah, saya m au asal tidak tam pil di depan um um !”
”Maksudnya bagaim ana?”
”Ya saya bicara dari dalam panggung!”
Barangkali—sekali lagi barangkali—itulah satu-satunya
kasus di Indonesia, di m ana pem bawa acara ndhelik
(m engum pet) di belakang panggung. Dan anehnya, usul aneh
itu diterim a oleh ketua panitia pem bentukan Lekra Cabang
Rawam angun, yang kem udian m enduduki jabatan ketua.
Begitulah, m alam itu saya m enunaikan tugas sam bil
ndhelik. Saya baru sebulan berada kem bali di Indonesia, dan
tak m au dikesankan orang banyak sebagai anggota Lekra.
Dilihat jum lah hadirinnya, tak sangsi lagi acara m alam itu
sukses. Tapi karena banyaknya penyum bang, saya didesak oleh
banyak pihak untuk m endahulukan nom ornya, term asuk dari
rom bongan anak-anak TK yang sudah pukul sepuluh m alam
belum juga berkesem patan tam pil. Terus-terang, saya juga
bingung waktu itu, karena berunding dengan panitia sudah
tak m ungkin lagi. Terlebih sem ua penyum bang itu kan unsur-
unsur Nasakom yang ”progresif-revolusioner” belaka?
Maka, sekiranya gejala alam tidak m enunjukkan
keperkasaannya m alam itu, acara bisa berakhir sam pai pukul
dua dini hari (satu hal yang tidak um um waktu itu). Untung
sekitar pukul sebelas tiba-tiba turun hujan dengan derasnya,
www.facebook.com/indonesiapustaka

hingga acara di lapangan yang tanpa peneduh sam asekali itu


langsung terhenti.
Esoknya Mas Wiek m elanjutkan wewenangnya:
”Kau juga yang nulis laporannya buat Harian Rakjat,
Liek!”
Kalau Berhasil, Jago!

DAN BENAR: Apabila dalam satu keluarga bersim aharajalela


purbasangka dan bukan saling pengertian, bencanalah yang
m enanti. Terjadilah peristiwa politik m ahabesar di Indonesia
(di tengah keluarga bangsa Indonesia), yaitu pergantian
kekuasaan dengan cara kekerasan dan rekayasa. Polarisasi yang
terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia waktu itu m ewujud
dalam bentuk yang agak lain, nam un kakikatnya sam a.
Peristiwa itu sungguh dahsyat, belum pernah terjadi
di Indonesia, bahkan di dunia. Enam orang jenderal m ati
sekaligus, dan m ayatnya dicem plungkan ke sum ur m ati.
Pastilah ada yang tidak beres dalam peristiwa yang nam anya
“Gerakan 30 Septem ber” itu.
Mulai tahun 1962, bertepatan dengan diselenggarakannya
www.facebook.com/indonesiapustaka

Asian Gam es ke-IV, di Indonesia m ulai ada televisi, tapi baik


Mas Wiek m aupun Mas Pram belum punya televisi. Untuk
kom unikasi inform asi, ilm u pengetahuan, dan hiburan m ereka
m asih m engandalkan Radio Republik Indonesia (RRI).
Maka m ereka m endengar tentang terjadinya Gerakan Tiga
Puluh Septem ber pada 1 Oktober 1965 pun dari RRI. Saya
268 Bersama Mas Pram

m endengarnya dari radio Mas Wiek pengum um an di bawah


ini, karena waktu itu saya m enum pang tinggal di sana:

PENGUMUMAN GERAKAN 30 SEPTEMBER


(Diucapkan lewat RRI J akarta pukul 0 7.10 tanggal 1 Oktober
1965)

Pada hari Kam is tanggal 30 Septem ber 1965 di ibukota


Republik Indonesia J akarta telah terjadi gerakan m iliter
dalam Angkatan Darat dengan dibantu oleh pasukan-pasukan
dari angkatan-angkatan lainnya. Gerakan 30 Septem ber yang
dikepalai oleh Letnan Kolonel Untung, Kom andan Batalyon
I Resim en Cakrabirawa, pasukan pengawal pribadi Presiden
Soekarno ini ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota apa
yang m enam akan dirinya Dewan J enderal. Sejum lah jenderal
telah ditangkap dan alat kom unikasi yang penting-penting
serta obyek-obyek vital lainnya sudah berada dalam kekuasaan
Gerakan 30 Septem ber.
Dewan J enderal adalah gerakan subversif yang disponsori
oleh CIA dan waktu belakangan ini sangat aktif terutam a
dim ulai ketika Presiden Soekarno m enderita sakit yang serius
pada m inggu pertam a bulan Agustus yang lalu. Harapan
m ereka bahwa Presiden Soekarno akan m eninggal dunia
sebagai akibat dari penyakitnya tidak terkabul.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Oleh karena itu untuk m encapai tujuannya Dewan J enderal


m erencanakan pam eran kekuatan (m achtsvertoon) pada hari
Angkatan Bersenjata 5 Oktober yang akan datang, dengan
m endatangkan pasukan-pasukan dari J awa Tim ur, J awa
Tengah, dan J awa Barat. Dengan terkonsentrasinya kekuatan
m iliter besar ini di J akarta, Dewan J enderal bahkan telah
Bagian Kelima: Tahun 1965 269

m erencanakan untuk m engadakan coup kontra revolusioner.


Letnan Kolonel Untung m engadakan gerakan yang ternyata
telah berhasil dengan baik.
Menurut keterangan yang didapat dari Letnan Kolonel
Untung Kom andan Gerakan 30 Septem ber, gerakan ini
sem ata-m ata gerakan dalam Angkatan Darat yang ditujukan
kepada Dewan J enderal yang telah berbuat m encem arkan
nam a Angkatan Darat, berm aksud jahat terhadap Republik
Indonesia dan Presiden Soekarno. Letnan Kolonel Untung
pribadi m enganggap gerakan ini adalah suatu keharusan
baginya sebagai warga Cakrabirawa yang berkewajiban
m elindungi keselam atan Presiden dan Republik Indonesia.
Kom andan Gerakan 30 Septem ber itu selanjutnya
m enerangkan bahwa tindakan yang telah dilakukan di
J akarta terhadap Dewan J enderal akan diikuti oleh tindakan-
tindakan di seluruh Indonesia yang ditujukan kepada kaki
tangan dan sim patisan-sim patisan Dewan J enderal yang ada
di daerah-daerah. Menurut keterangan Kom andan Gerakan
30 Septem ber, sebagai follow up tindakannya akan dibentuk
Dewan Revolusi di Pusat, sedangkan di daerah-daerah
akan dibentuk Dewan Revolusi Propinsi, Dewan Revolusi
Kabupaten, Dewan Revolusi Kecam atan dan Dewan Revolusi
Desa. Anggota Dewan Revolusi itu akan terdiri atas orang-
orang sipil dan m iliter yang m endukung Gerakan 30 Septem ber
www.facebook.com/indonesiapustaka

tanpa reserve.
Partai-partai, orm as-orm as, suratkabar, dan m ajalah-
m ajalah dapat m eneruskan kegiatan, asal dalam jangka waktu
yang akan ditetapkan kem udian m enyatakan kesetiaannya
kepada Dewan Revolusi Indonesia.
270 Bersama Mas Pram

Dewan Revolusi Indonesia yang akan dibentuk oleh


Gerakan 30 Septem ber akan dengan konsekuen m elaksanakan
“Panca Azim at Revolusi”, m elaksanakan ketetapan MPRS,
putusan-putusan DPR-GR dan putusan DPA. Dan Revolusi
Indonesia tidak akan m engubah politik luar negeri Indonesia
yang bebas dan aktif dan anti-nekolim dem i perdam aian di Asia
Tenggara dan dunia. J uga politik m engenai Konferensi AA II
dan Conefo serta konfrontasi terhadap “Malaysia” tidak akan
berubah dan KIAPMA2 serta kegiatan-kegiatan internasional
yang sudah ditetapkan akan dilangsungkan di Indonesia tetap
akan diselenggarakan.
Letnan Kolonel Untung sebagai Kom andan Gerakan 30
Septem ber m enyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia supaya
terus m em pertinggi kewaspadaan dan m em bantu Gerakan
30 Septem ber dengan sepenuh hati untuk m enyelam atkan
Republik Indonesia dari perbuatan-perbuatan jahat Dewan
J enderal dan kaki tangannya, agar dapat m elaksanakan Am anat
Penderitaan Rakyat dalam arti kata yang sesungguhnya.
Kepada para perwira, bintara, dan tam tam a Angkatan
Darat di seluruh Tanah-air, Kom andan Letnan Kolonel Untung
m enyerukan supaya bertekad dan berbuat untuk m engikis
habis pengaruh-pengaruh Dewan J enderal dan kaki tangannya
dalam Angkatan Darat, jenderal-jenderal dan perwira-
perwira yang gila kuasa, yang m enelantarkan nasib anak
www.facebook.com/indonesiapustaka

buah, yang di atas tum pukan penderitaan anak buah hidup


berm ewah-m ewah dan berfoya-foya m enghina kaum wanita
dan m engham bur-ham burkan uang negara, harus ditendang
keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukum an setim pal.

2 KIAPMA: Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing.


Bagian Kelima: Tahun 1965 271

Angkatan Darat bukan untuk jenderal-jenderal, tetapi m ilik


sem ua prajurit Angkatan Darat yang setia kepada cita-cita
revolusi Agustus 1945. Kepada pasukan-pasukan Angkatan
Bersenjata di luar Angkatan Darat, Kom andan Letnan Kolonel
Untung m enyatakan terim akasihnya atas bantuan m ereka
dalam tindakan pem bersihan dalam Angkatan Darat dan
m engharapkan supaya dalam angkatan m asing-m asing juga
diadakan tindakan pem bersihan terhadap kaki tangan dan
sim patisan-sim patisan Dewan J enderal.
Dalam waktu singkat Kom andan Letnan Kolonel Untung
akan m engum um kan Dekrit I tentang Dewan Revolusi
Indonesia yang kem udian akan disusul oleh dekrit-dekrit
lain.”3
Karena berita itu saya anggap sangat penting untuk Mas
Pram , saya segera m enem ui dia di rum ahnya. Ternyata Mas
Pram belum m endengarnya, karena belum m enghidupkan
radio. Apa-apa yang m asih teringat oleh saya saya sam paikan
kepadanya, kem udian Mas Pram m enghidupkan radionya, dan
ternyata siaran itu diulangi pada pukul 0 8.10 .
“Siapa Untung ini? Kau tahu, Liek?” tanya Mas Pram
sesudah itu.
“Mana saya tahu? Saya kan nggak pernah kenal orang
m iliter?” jawab saya.
“Kalau berhasil, jago orang itu!” kom entar Mas Pram . Tapi
lebih daripada itu tak ada kom entarnya. Saya lebih buruk,
www.facebook.com/indonesiapustaka

karena dalam hal ini belum punya pendapat. Mem ang isu
tentang adanya Dewan J enderal yang m em usuhi revolusi dan
pem im pin revolusi sudah sering saya dengar.

3 Teks ini saya kutip dari buku Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966 (Jakarta:
CV Haji Masagung, 1989), hlm. 31-34.
Tamu yang Ditunggu

GERAKAN TIGA Puluh Septem ber ternyata hanya berum ur


sehari. Dari pihak yang konon m enjadi penyelam at revolusi
dan pem im pin revolusi ia berubah m enjadi pihak yang konon
m usuh revolusi dan pem im pin revolusi. Dalam beberapa hari
saja gerakan itu telah berubah m enjadi tertuduh pelaku kup,
pem bunuh tak berperikem anusiaan, kejam , bejat m oral, dsb.
Dalam beberapa hari itu juga tuduhan m enyasar ke PKI serta
seluruh organisasi yang bernaung di bawahnya, juga organisasi-
organisasi yang m enjalin kerjasam a erat dengannya, karena di
balik gerakan itu konon adalah PKI.
Kem arahan rakyat m elangit, dan dari hari ke hari terus
dipacu oleh m iliter, sehingga penghancuran atas harta benda
dan penyerangan terhadap pribadi-pribadi yang dianggap
www.facebook.com/indonesiapustaka

pendukung gerakan itu m enjadi sah. Dalam rangka inilah, kalau


tidak salah tanggal 5 Oktober, kantor CC PKI di J alan Kram at
Raya diserang dem onstran dan dibakar. Tindakan ini seperti
pekik kom ando untuk berbuat sam a terhadap kantor-kantor
sebangsanya. Selanjutnya penyerangan dan pem bakaran
m enjalar ke kantor-kantor dan rum ah-rum ah para pem im pin
Bagian Kelima: Tahun 1965 273

PKI. Rum ah D.N. Aidit di Tanah Tinggi bukan hanya diserang


dan dibakar, m alahan dikabarkan di sana ditem ukan uang
berkarung-karung. Saya bertanya dalam hati: “Apa iya sih?”
Waktu itulah Mas Wiek m enyatakan kekhawatirannya,
bahwa penyerangan dan pem bakaran bisa m enjalar terus,
bahkan bisa sam pai ke rum ah Mas Pram .
“Bisa sam pai ke sini itu!” katanya.
“Ah, saya kira nggak,” kata saya bodoh, “itu kan rum ah
tokoh-tokoh politik!”
“Eee, kalau nggak ada yang m enghentikan?”
Sejak itu saya hanya bisa khawatir, jangan-jangan dugaan
Mas Wiek m enjadi kenyataan. Mas Pram sendiri diam -diam
juga terus m enum puk kekhawatiran.
“Apa yang terjadi ini sih, Liek?” katanya putusasa.
Siapa yang tahu?
“Coba cari keterangan sam a Hay Djoen sana ge!”
Saya pun berangkat, naik m otor Ducati yang sem pat saya
beli tweede hands. Kebetulan kam i lulusan Moskwa m endapat
pem beritahuan bahwa barang kam i sudah tiba di Tanjung
Priok dan supaya diurus dan dibayar biaya adm inistrasinya.
Saya pikir, sekalian pinjam uang kepada Hay Djoen, m estinya
dikasih. Masak sih tidak dikasih? Ini kan penting?
Saya belum pernah tahu rum ah Hay Djoen, tapi alam atnya
ada, di J alan Paus, Rawam angun. Waktu itu Rawam angun
www.facebook.com/indonesiapustaka

m erupakan daerah baru: rum ah m asih jarang. J alan pun m asih


darurat.
Sebentar saja saya sudah m enem ukan rum ahnya, yang
seingat saya besar dan bagus, berpekarangan depan dan
sam ping, berpintu gerbang. Di depannya, di seberang jalan,
berderet warung-warung reyot.
274 Bersama Mas Pram

Karena pintu gerbang tertutup, m otor saya parkir di pinggir


jalan, saya buka pintu, dan m asuk. Seingat saya belum ada bel
listrik, dan sem ua pintu dan jendela tertutup, karena itu saya
m engetuk pintunya. Lam a saya m enanti tanpa ada suara atau
tanda-tanda adanya m anusia. Saya ulang-ulang m engetuk, sia-
sia.
Tidak putusasa, saya jalan ke sam ping kiri. Sam pai belakang.
Sem ua pintu dan jendela tertutup pula. Saya m engintip lewat
celah-celah gorden pintu dan jendela, kalau-kalau ada tanda-
tanda kehidupan. Tidak ada!
Tiba-tiba sebuah celah kecil m em perlihatkan adanya
m anusia yang m enggeletak di lantai. Cepat-cepat saya ketuk
di dekatnya. Tubuh itu m enggeliat. Saya yakin, sebentar lagi
tentu ia m em bukakan pintu. Tidak juga! Terpaksa saya ketuk
lagi. Dan ketika orang itu tidak berbuat apapun, barulah saya
tersadar bahwa rum ah itu pantas dicurigai. Saya pun kem bali
ke depan, keluar dari pintu gerbang, dan m enyiapkan m otor.
Tapi astagaaa! Dari dalam warung reyot m enyerobot dua
tentara bersenapan panjang m enodong saya. Di situlah saya
m erasa aneh m engangkat tangan, hal yang selam a hidup tak
pernah saya lakukan. Seorang di antaranya m engam bil tas
anyam an plastik yang waktu itu sedang m ode, diam bil isinya,
kertas-kertas.
“J alan!” perintah yang seorang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ke m ana?” tanya saya bodoh.


Tentara itu tak m enjawab, sekadar m enggerakkan senapan-
nya dengan wajah diseram kan. Tentara satunya kem bali m asuk
gubuk reyot.
“Motor saya?” tanya saya.
“Bawak!”
Bagian Kelima: Tahun 1965 275

Begitulah, jadinya saya tak m em peroleh inform asi,


sebaliknya jadi tawanan buruk yang harus digiring sejauh ada
kalau 30 0 m eter. Bagaim ana wajah saya waktu itu, tak tahulah.
Orang-orang yang m enyaksikan adegan itu pun tidak kelihatan
oleh saya. Untungnya m otor boleh saya tuntun, jadi saya tidak
perlu lagi angkat tangan. J ustru karena itu tidak ada yang saya
rasakan aneh.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Apanya Pramoedya?

SAYA DIHADAPKAN pada seorang kom andan yang pang-


katnya saya tak tahu, karena saya m em ang tak tahu tanda-
tanda pangkat tentara. Tapi nam a instansi itu sem pat saya
baca papan nam anya: Artileri Pertahanan Udara (Arhanud).
Sesudah m enyerahkan saya dan kertas-kertas saya, tentara
penggiring saya tadi m enghilang.
Sang kom andan m enatap saya tajam dengan wajah curiga.
Saya sungguh m erasa aneh dan jengkel, kok belum apa-apa
sudah curiga? Saya ini siapa? Dan apa saya ini punya tam pang
penjahat? Begitu pikir saya.
“Siapa nam a?” tanya kom andan sam bil m em eriksa kertas-
kertas saya.
“Koesalah.”
“Apa?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Koesalah.”
“Mau apa datang ke rum ah itu?”
“Mau pinjam uang.”
“Uang apa?”
“Buat m enebus barang yang datang di Tanjung Priok. Itu
surat panggilannya.”
Bagian Kelima: Tahun 1965 277

“Kenal yang punya rum ah itu?”


“Kenal!”
“Di m ana kenal?”
“Dia penerbit buku-buku terjem ahan saya.”
Begitulah tanya-jawab itu berkisar terus sekitar hubungan
saya dengan Hay Djoen. Sebetulnya tidak banyak yang saya
ketahui tentang Hay Djoen selain itu. Dan saya orang yang
jujur, karena itu dengan m udah saya m enjawab pertanyaan-
pertanyaannya. Tapi tidak berarti orang jujur tidak perlu
m enyem bunyikan sesuatu. J adi kalau perlu saya pun
m enyem bunyikan. Pertanyaan itu tidak henti-henti, dan
dengan sendirinya saya tak henti-henti m enjawab, kadang-
kadang dengan lam a berpikir dulu. Dem ikian, sam pai dia
m erasa cukup m engetahui hubungan saya dengan Hay Djoen.
Selanjutnya dia tanya hubungan saya dengan nam a-nam a
yang tertera dalam daftar penerim a barang di Tanjung Priok.
Dan karena barang itu datang dari Moskwa, dengan sendirinya
dia tanya latarbelakangnya. Dengan sendirinya juga pertanyaan
lalu ngom bro-om bro (m elebar dan m eluas, m enyangkut
banyak hal). Tapi bagusnya dia tidak m encatat sesuatu. Dan
saya tidak diharuskan m enuliskan sesuatu. Dan selam a itu
tidak ada orang lain yang m enyaksikan. Hanya sesekali seorang
dua orang prajurit lewat, dan cepat m enghilang lagi. Sam pai-
sam pai terpikir oleh saya, apakah dia cum a m elaksanakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

tugas, dan apakah dia term asuk tentara yang baik? Tapi
m atanya yang curiga itu yang bikin saya tidak tahan.
Akhirnya dia bertanya:
“Nam anya ini: Koesalah Soebagyo Toer?” sam bil m elihat
kertas.
“Betul, Pak.”
278 Bersama Mas Pram

“Itu apanya Pram oedya Ananta Toer?” m atanya m enyorot.


Saya m ak-deg. (J antung saya berdentam .) J adi dia sudah
tahu nam a Mas Pram . Saya langsung m enyim pulkan dalam
hati bahwa itu bukan kabar baik, m elainkan sebaliknya.
“Saya adiknya.”
“Adik betul?”
“Betul, Pak, adik kandung.”
“Rum ahnya di Rawam angun Utara?”
“Betul, Pak.”
“Di m ana dia sekarang?”
“Di rum ah, Pak.”
“Kapan di rum ah?”
“Ini tadi saya baru dari rum ahnya, Pak.”
Begitulah pertanyaan terus bergulir, hingga tak terasa untuk
itu telah habis waktu sekitar dua jam . Anehnya, tanya-jawab itu
berakhir begitu saja. Saya dilepas, bahkan kertas-kertas pun
dikem balikan. Dengan gem bira saya pun nguncluk (ngeloyor)
m enuju m otor, dan sekejap kem udian m otor sudah terbang
kem bali ke rum ah Mas Pram . Sepanjang jalan itu tak ada suatu
pun yang tam pak oleh saya. Saya tak bisa m em bayangkan, apa
yang terjadi sekiranya saya tak dibolehkan pergi, dan apa pula
akan terjadi dengan Hay Djoen, Mas Pram , m aupun diri saya
sendiri. Yang penting, saya lolos dari cengkeram an orang-
orang bersenjata api, yang dengan senjata itu bisa berbuat
www.facebook.com/indonesiapustaka

apapun terhadap diri saya.


Sam pai di rum ah, Mas Pram sudah tam pak tak sabar.
“Kok lam a am at, Liek?” tanyanya langsung, begitu saya
m em arkir m otor.
“Ora ngrasakna!—Tidak m erasakan!” om el saya dalam
hati. “Saya ditangkap tentara!”
Bagian Kelima: Tahun 1965 279

“Ditaaangkap?!” tanyanya tidak habis pikir.


Dan di situlah saya bercerita kepadanya dari awal sam pai
akhir. Cerita itu lebih m enggelisahkan Mas Pram .
“Kalau begitu, tanya sam a J oebaar, Liek! Tahu kan
rum ahnya?”
“Belum .”
“Di J alan Cisadane nom or sekian. Depan Pasar Cikini.”
“Ya harus cari....”
Saya pun berangkat ke rum ah J oebaar Ajoeb di J alan
Cisadane.
Saya belum pernah juga ke rum ah J oebaar Ajoeb, tapi
tentu saja rum ah itu bisa saya tem ukan, karena alam atnya
jelas benar. Cum a sayang rum ah itu dalam keadaan kosong,
dan anehnya, sem ua orang di sekitar rum ah itu yang saya tanya
apakah itu rum ah J oebaar Ajoeb, m enjawab: “Nggak tahu!”
Lho, m asak tak tahu tetangga sendiri? Sudah ketularan
kebudayaan kota? Apa takut dituduh kenal orang yang
nam anya J oebaar Ajoeb? J oebaar Ajoeb sudah m enjadi hantu
juga? Kalau begitu saya harus segera hengkang dari rum ah ini.
Siapa tahu tiba-tiba m uncul lagi tentara bersenjata. Bisa-bisa
saya tidak bisa lolos lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Malam yang Sungguh Kelam

DUNIA TERUS berputar, dem ikian kata orang dahulu. Dari


hari ke hari keadaan m akin m encekam : di sam ping berlakunya
jam m alam , tiap hari disiarkan berita-berita yang sem akin
m engkhawatirkan.
Tanggal 13 Oktober.
Hari itu Mbak Pram pulang ke rum ah orangtuanya di Sawah
Besar bersam a anak-anak. Mas Pram sendirian di rum ah,
dan saya dim inta m enem aninya. Sebelum nya saya sudah
m endengar bahwa Mbak m em ang suka m enginap bersam a
sem ua anaknya di rum ah orangtuanya, dan itu adalah tanda
bahwa di rum ah tak ada uang. Ngam beklah ceritanya.
Cerita itu segera m endapat pem benaran dari sam butan
Mas Pram , begitu saya tiba di rum ah Mas Pram sore itu:
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Beliin aku rokok, Liek!”


Saya pun segera pergi ke m ulut gang, m em beli dua pak
rokok kretek; m ereknya apa, saya sudah lupa. Tapi sore itu
saya ingat sekali, karena selain m esti m em beli rokok, saya
m em om pa air dan m erebus sop daging m anila. Saya m em om pa
air untuk m em enuhi bak kam ar m andi. Saya ingat m em om pa
Bagian Kelima: Tahun 1965 281

dengan m esin pom pa m erek “Dragon”, dan saya m enikm atinya


sebagai sarana sport. Karena itu bak yang cukup besar tersebut
saya isi sam pai penuh benar. Adapun sop daging m anila
m em ang dim asak oleh Mbak Pram , untuk tidak m eninggalkan
Mas Pram sam asekali tanpa lauk. Sop itu saya rebus dengan
api kom por m inyak tanah sam pai airnya ham pir habis karena
dagingnya m asih liat, dan ketika saya jajal, ternyata daging
tetap keras, sehingga saya tam bah air dan saya rebus ulang,
nam un... daging m em bandel, karena m anilanya... sudah tua!
Walhasil daging tak bisa dim akan, dan kam i m akan hanya
dengan kuahnya.
Sebagaim ana biasa Mas Pram m engetik di ruang kerjanya.
Waktu itu antara lain ia m engerjakan “Ensiklopedi Sejarah
Indonesia” yang judul-judul entry -nya sudah lengkap. Saya
tahu benar hal itu, karena beberapa waktu sebelum nya saya
dim inta m enawarkan naskah itu kepada sebuah penerbit; jadi
saya pernah m em egang langsung daftar itu dan m em buka-
bukanya. Saya sendiri waktu itu sedang m enerjem ahkan buku
tentang sepakbola di Uni Soviet, yang waktu itu tergolong
m aju, atas perm intaan sebuah penerbit swasta.
J am m alam . Pintu gerbang kam i tutup.
Habis isya kam i duduk di kursi m enghadap gang, di
seram bi depan, dengan lam pu tak dinyalakan. Kam i sam a-
sam a m em akai sarung: saya m engenakan singlet, Mas Pram
www.facebook.com/indonesiapustaka

m engenakan piam a. Mas Pram m enikm ati rokoknya sam bil


kakinya diangkat, ditum pangkan ke parapet depan. Kam i
m enikm ati keberduaan kam i dengan bercerita tentang m asa
lalu, tentang orangtua kam i, tentang keluarga, tentang luar
negeri, dan... tentang apa lagi kalau dua orang lelaki sedang
bertem u: tentang perem puan dan seks. Di situ dengan cerita-
282 Bersama Mas Pram

ceritanya Mas Pram m em buktikan kata-katanya sendiri bahwa


tak ada lelaki yang suci.
Sunyi senyap di sekitar.
Tiba-tiba m uncul seorang lelaki dari sebelah kiri. Orang itu
berjalan m elewati depan rum ah kam i. Kam i bungkam sam bil
m em perhatikan orang tersebut, yang agak gem uk bongkok
dan bundar kepalanya. Ia sam asekali tak m enengok ke arah
kam i, walau seharusnya atau logisnya dem ikian. Menurut
Mas Pram , orang itu tetangga depan rum ah agak di tim ur,
seorang tentara, berpangkat kopral atau sersan. Dia berjalan
ke barat, dan lam a tak m uncul lagi. Kam i m engobrol lagi, tapi
kelihatannya Mas Pram sudah terpengaruh oleh lewatnya orang
itu. Pem bicaraannya tertegun-tegun dan jadi tak bergairah.
“Apa yang akan terjadi, Liek?” tanyanya lakonis.
Terus-terang, saya tidak m erasakan apapun, walau m erasa
aneh bahwa di tengah jam m alam seorang tentara yang
berpakaian prem an keluar rum ah, dan kelihatan jalan santai.
“Wah, apa yang akan terjadi, ya?” ulangnya.
Rupanya daya cium nya sebagai bekas tentara m ulai
bekerja. Ia berjalan ke belakang. Agak lam a tak kem bali,
sehingga saya term angu-m angu kosong sendiri. Dan ketika
kem bali, katanya:
“Mencret aku, Liek!”
Saya diam saja. Mas Pram duduk lagi, dan kam i m engobrol
www.facebook.com/indonesiapustaka

lagi sam pai sekitar pukul setengah sepuluh m alam , ketika


tetangga itu pulang, lewat depan rum ah lagi, dan tak juga
m enengok lagi! Mas Pram ke belakang lagi, dan:
“Aku m encret lagi, Liek!”
Sesudah pem beritahuan yang kedua itu, obrolan kelihatan
sem akin kendor, dan saya m ulai m engantuk. Waktu itu
Bagian Kelima: Tahun 1965 283

sekitar pukul sebelas. Saya m inta diri untuk tidur duluan,


m eninggalkan Mas Pram yang tetap duduk, m elam un. Begitu
m em baringkan badan, tetap dengan sarung dan singlet, saya
langsung lelap seperti bayi.
Rasanya belum lam a saya tidur, sekitar satu setengah
jam , ketika terbangun oleh suara-suara yang belum pernah
saya dengar sebelum nya selam a hidup. Karena bunyi itu saya
langsung m elom pat dari ranjang dan keluar kam ar. Di ruang
tengah saya bisa m enangkap bahwa itu adalah bunyi bebatuan
besar yang dilem parkan ke rum ah kam i. Kebanyakan m engenai
dinding, tapi sebagian m enjatuhi jendela, bahkan ada yang
m elayang ke atap. Kebetulan tetangga di kanan rum ah sedang
m enyiapkan pem bangunan rum ahnya; pondasi sudah digali,
dan batu kali m enum puk di situ.
Dapat saya dengar, orang-orang itu berjum lah banyak,
m engitari rum ah: kanan, depan, kiri. Sam bil m enghujankan
bebatuan m ereka m engum andangkan pekik: “Ganyang PKI!
Hancurkan PKI! Gantung PKI! Bakar PKI!” dan m asih ada
yang lain lagi. Di tengah jam m alam , dalam jum lah besar,
m elem pari rum ah orang dengan batu, dan berteriak-teriak
dengan kata-kata yang m enganjurkan kekerasan—tidak bisa
ada tafsiran lain kecuali m aksud jahat. Dengan sendirinya saya
tak sem pat berlam a-lam a m endengarkan pekik itu, lalu lari
ke belakang. Saya berm aksud m eloloskan diri ke pekarangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

tetangga di belakang. Tapi pekarangan terbuka itu terang oleh


cahaya lam pu; saya takut ketahuan.
Di sisi kiri saya lihat ada pintu sem pit tak resm i yang bisa
dilewati m enuju belakang rum ah tetangga. Saya m enerobos ke
sana, tapi saya dengar di depan rum ah yang tak besar itu penuh
orang. Maka saya m enerobos pekarangan tetangga kedua di
284 Bersama Mas Pram

sebelah kirinya. Keadaan gelap. Sepertinya ada pintu m enuju


pekarangan depan, dan suasana agak sunyi, tapi sebentar
kem udian ternyata di situ ada orang juga. Kalaupun saya bisa
m em buka pintu itu dan m eloloskan diri dari situ, sudah pasti
saya ditangkap oleh orang-orang yang ngepos di situ.
Walau dem ikian saya tetap m eraba-raba m encari palang
atau grendel pintu. Waktu itulah saya m endapat bentakan
dahsyat dari tetangga belakang yang, ketika saya m enengok,
saya lihat bertolak pinggang, m em akai kolor dan singlet, dan
bersenjata: “He!!! Siapa!!!” Begitu kaget saya hingga saya
langsung m enggigil. Begitu takut saya waktu itu hingga m alu
kepada diri sendiri. Saya m erasa seperti tikus got yang diburu
ram ai-ram ai dan sedang dipojokkan. Untungnya orang itu
terhalang pagar tem bok. Kalau tidak, barangkali dia sudah
m eringkus atau m enikam saya. Dan bodohnya, orang itu tidak
berteriak m engerahkan orang, sehingga dengan bingung saya
bisa berlari kem bali ke pekarangan sendiri. J ustru waktu itulah
saya dengar Mas Pram m em anggil: “Liiiek!”
Saya kem bali m asuk rum ah, dan saya lihat Mas Pram sudah
disertai beberapa orang. Sayangnya saya tak ingat m ereka
berseragam atau tidak. Tapi saya lihat Mas Pram m em egangi
tangannya yang berdarah.
“Carikan obat m erah, Liek, itu di lem ari obat!” kata Mas
Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dengan sigap saya cari obat itu, beberapa botol saya am ati,
dan ketem u. Dalam kesem patan itulah saya m elayangkan
pandangan ke depan rum ah. Tam pak di sana orang-orang
beringas yang terus berteriak-teriak. Satu orang m em egang
pentung yang bertanda m elingkar di ujung atasnya. Tiap kali
teriakan m em bahana, pentung diangkat, dan teriakan sirna.
Bagian Kelima: Tahun 1965 285

Nanti teriakan kem bali m engguntur, pentung diangkat lagi,


teriakan sirna lagi, dan begitu seterusnya....
“Mau diapakan rum ah saya? Mau diapakan buku-buku
saya? Lihat! Rum ah ini kan penuh buku? Mau apa? Bicara, kan
bisa? Bukan begini caranya...!” begitu protes Mas Pram kepada
orang-orang itu sam bil m ondar-m andir.
Orang-orang itu diam saja beberapa waktu, hingga Mas
Pram sem pat m engulangi protesnya:
“Ha? Mau diapakan buku-buku saya, rum ah saya?”
“Bakar!” pekik satu suara dari luar.
“He, jangan dibakar! Nanti rum ah saya ikut terbakar!”
sahut suara lain.
Dan barulah salah seorang dari orang-orang itu m enjawab
dengan gaya sabar:
“Begini, Pak. Bapak lihat sendiri dem onstran itu....”
“Itu bukan dem onstran. Itu....” tukas Mas Pram . (Di sini
saya tak ingat apa yang diucapkan Mas Pram .)
“Begini saja, Pak. Bapak kam i am ankan...,” dan seterusnya,
yang saya sudah lupa apa kata-katanya. Pokoknya, Mas Pram
tak langsung m enjawab, walau akhirnya m engatakan:
“Tapi saya m inta escort!”
Orang-orang itu langsung m enangkap apa yang dim aksud
Mas Pram .
“Iya, akan kam i berikan!”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Pram ragu-ragu sebentar. Menoleh pada saya.


“Kau tunggu rum ah ya, Liek?” kata Mas Pram .
“Iya.”
“Berani?”
“Berani.”
“Rum ahnya betulin, ya?”
286 Bersama Mas Pram

“Iya.”
Tapi sesudah berpikir sebentar, Mas Pram m engatakan:
“Ah, enggak, kau ikut aku saja, Liek! Adik saya ikut saya,”
tam bahnya kepada orang-orang itu. “Tapi kam i harus siap-
siap dulu.”
“Boleh,” jawab orang-orang.
Kam i pun bersiap: berpakaian lengkap, m em bawa m esin
tulis, beberapa buku, naskah-naskah yang sedang digarap,
kertas, dan karbon. Barang-barang itu kam i bawa begitu saja
karena terburu-buru. Kam i keluar dari pintu depan: Mas Pram
di depan, m enyusul saya, didam pingi orang-orang itu.
Begitu kam i keluar, langsung m assa m engepung kam i.
Mereka m erapati saya dengan senjata tajam terhunus: belati,
golok, keris.... Kalau waktu itu ada seorang gila saja di antara
m ereka, sudah pasti saya tak bisa lagi m enceritakan kejadian
ini.
“Kok begini saja tam pang pem bunuh jenderal-jenderal!”
ucap seorang gem as.
“Ya, pem bunuh jenderal!” sam but lain-lainnya.
Aduh, jadi saya ini dituduh m em bunuh? Dan jendral pula?
Sungguh m alang nasib saya. Di tangan orang-orang m acam
begini tidak m ungkin saya lolos dari m aut! Maka terserahlah
pada yang m em buat hidup. Saya hanya m enjalani.
Sejak itu sudah hilang pikiran tentang diam ankan itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mereka m engam ang-am angkan senjatanya ke seputar


tubuh saya.
“J angan, yaaa...,” saya dengar seorang bersuara, yang
agaknya suara pem im pin.
Saya tidak lagi m erasa hidup waktu itu. Dan tak m elihat
siapa yang m em bawa, apalagi m engawal kam i. Yang saya tahu,
Bagian Kelima: Tahun 1965 287

saya terbawa arus yang tak m em ungkinkan saya m enyeleweng


ke kiri atau ke kanan, begitu rapatnya. Kam i dibawa m enyusur
gang ke kanan. Ketem u gang pertam a belok ke kanan, dan
ketem u gang lagi, ke kanan lagi. Akhirnya kam i sam pai di
sebuah lapangan kecil, di m ana sudah berkum pul sejum lah
orang. Keadaan setengah gelap. Di situ saya lihat ada beberapa
buah m obil.
“Am bil tali!” teriak seorang.
“Sudah, gantung di sini saja!” sam but lainnya.
Otom atis terjadi gerak sibuk orang-orang ke sana kem ari.
Barang-barang langsung diam bil dari tangan saya, lalu beberapa
orang tergopoh-gopoh datang m em bawa dadung (tali besar).
Tangan saya dilipat ke belakang, diikat dengan dadung.
Itulah untuk pertam a kali dalam hidup ini (usia saya waktu
itu tiga puluh tahun) saya berpikir tentang m ati.
Selam a itu, saking banyaknya orang, saya tak m elihat Mas
Pram sam asekali. Baru ketika kam i dinaikkan jip, saya lihat dia
dibanda (diikat tangannya ke belakang) juga.
“Berangkat!” perintah seorang.
Paling tidak ada tiga m obil yang waktu itu berangkat: jip
kam i di tengah. Dan baru saat itulah saya m elihat bahwa diri
saya diapit m iliter di sisi kiri, dan di depan saya, Mas Pram
yang diapit juga kiri-kanan. Sem ua tentara bersenjata laras
panjang, nam anya apa saya tak tahu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mobil jalan m enyusuri J alan Apotik Abdi ke utara. Menje-


lang akhir jalan itu, jalan m enyem pit, dan di situ berjaga sejum -
lah m iliter. Iring-iringan m obil berhenti sebentar, terjadi tukar
kata yang tak dapat saya tangkap, dan iring-iringan jalan terus.
Di ujung jalan iring-iringan m em belok ke kiri m enyusur J alan
Percetakan Negara. Menyeberangi rel kereta api Kramat-Senen.
288 Bersama Mas Pram

Nah, di dekat Pasar Mencos itulah tiba-tiba tentara di sisi


luar bertanya kepada Mas Pram :
“Di m ana keluarga Pak Pram ?!”
“Di rum ah m ertua!” jawab Mas Pram tenang.
“Oo, jadi sudah tahu ya, PKI berontak, m aka keluarga
disingkirkan?” tuduh tentara.
“Itu baru tuduhan PKI berontak, m esti dibuktikan dulu!”
tangkis Mas Pram .
“Baru tuduhan! Purra-purra nggak tahu!”
Sam bil m enekankan kata “purra-purra” itu ia
m enghantam kan popor senapannya ke wajah Mas Pram yang
duduk di sam pingnya. Seketika itu tubuh Mas Pram am bruk
ke kanan seperti kehilangan nyawa: pingsan. Darah m uncrat
dari pelipisnya.
“Gara-gara PKI saya beberapa m alam nggak tidur!!!” om el
tentara itu.
Sejenak kem udian Mas Pram sadar kem bali. Menoleh ke
kiri ke kanan seperti orang bangun tidur. Akhirnya m em andang
ke depan, ke arah saya.
“Nggak apa-apa, Liek!” katanya. “Kalau nggak, kau yang
jadi korban!” sam bungnya.
Selanjutnya tentara yang gem uk badannya itu terus
m engom el, tapi tak tertangkap oleh saya apa m aksudnya. Iring-
iringan jalan terus, m asuk Gang Tengah, sam pai di Salem ba
www.facebook.com/indonesiapustaka

belok ke kanan, terus, sam pai Senen. Di m ana-m ana keadaan


sunyi-senyap, hanya di sana-sini tam pak tentara cam pur sipil
berjaga.
Sam pai di J alan Kwini belok ke kiri, dan di tikungan Asram a
Angkatan Laut belok kanan. Nah, di situlah ada sebuah kantor
yang, kalau tak salah, berpapan nam a Direktorat Kehakim an
Bagian Kelima: Tahun 1965 289

Angkatan Darat. Iring-iringan m asuk pekarangan kantor itu,


dan berhenti. Melihat nam a kantor itu saya m erasa ayem
sedikit. Dan waktu itu juga tentara penjaga kam i turun dan
m em buka bak m obil supaya kam i bisa turun. Anehnya, begitu
turun ikatan tangan kam i dilepas, hingga waktu itu saya sem pat
gede rum angsa, dan m engatakan sam bil m enunjuk ke jip:
“Mesin tulis saya m asih di atas!”
“Diam , kam u! Cerewet!” bentak tentara penjaga.
Saya pun m engkerut.
Di pekarangan itu ada beberapa orang berpakaian seragam ,
kelihatannya perwira penting, sedang asyik bercakap-cakap
sehabis rapat m alam . Melihat rom bongan m obil kam i, m ereka
tam pak m asa bodoh saja. Barulah ketika seorang m elaporkan
sesuatu, seorang di antaranya bertanya heran:
“Kenapa dibawa ke sini?!” disusul perintah supaya kam i
dibawa ke sesuatu tem pat, tak jelas bagi kam i.
Kam i diperintahkan naik m obil lagi, tapi sudah tanpa
ikatan tangan, dan m obil berangkat lagi. Saya tak bisa m enduga
ke m ana.
Dari Direktorat Kehakim an Angkatan Darat kam i dibawa ke
sebuah bangunan di J alan Lapangan Banteng Barat. Bangunan
apa itu, saya pun tak tahu, karena keadaan gelap, dan kam i
langsung dibawa ke pintu sam ping, ke belakang bangunan itu.
Karena terheran-heran dengan suasana sekeliling, kam i tak
www.facebook.com/indonesiapustaka

ingat lagi dengan barang bawaan kam i, dan sejak itu kam i tak
berjum pa lagi dengannya. Tak seorang pun m engulungkannya
kepada kam i, dan tak seorang pun m engingatkan kam i.
Dari belakang bangunan itu kam i harus naik trap m enuju
ruangan berpenerangan, di m ana m enggeletak beberapa orang
lelaki dan perem puan di lantai, dan kelihatan tak bisa tidur.
290 Bersama Mas Pram

Mereka terus bergerak-gerak. Di sisi utara ada seorang lelaki


bertopi haji yang sedang bersem bahyang, dan sesudah selesai
ia duduk bersila, berdoa sam bil m erunut tasbihnya dengan
tertib. Kepalanya m enggeleng-geleng asyik ke kiri ke kanan.
Di dekatnya ada beberapa orang lain yang tidur di atas tikar,
berbantal lipatan baju.
Kam i disuruh duduk di bangku panjang m enghadap m eja.
Hanya itu. Selanjutnya apa, kam i pun tak tahu, sehingga kam i
hanya plonga-plongo tak tahu juntrungan. Tidak m engantuk,
karena dihadapkan pada teka-teki besar apa yang bakal terjadi.
Badan terasa lesu.
“Nanti kalau ditanya, bilang baru datang dari luar negeri
ya, Liek, jadi nggak tahu apa-apa,” kata Mas Pram pelan kepada
saya.
“Ya Mas Pram yang m engatakan!” jawab saya. Waktu
itu saya belum tahu bahwa dalam pem eriksaan tidak bisa
dilakukan hal seperti itu.
“Ya Liliek katakan sendiri nanti.”
“O, iya.”
Tak seberapa lam a kem udian datang tentara berseragam ,
m uda, kekar badannya. Dia duduk di depan Mas Pram ,
bertanya tajam :
“Pak Pram kenapa di sini?!”
“Nggak tahu. Katanya diam ankan,” jawab Mas Pram tulus,
www.facebook.com/indonesiapustaka

disertai senyum geli.


“Mem ang diam ankan! Karena PKI berontak, dan Pak Pram
terlibat! Ke m ana saja Pak Pram selam a ini?” tuduhnya.
“Lho, saya nggak ke m ana-m ana!” bantah Mas Pram .
“J adi, di m ana?”
“Ya di rum ah!”
Bagian Kelima: Tahun 1965 291

“O, jadi di rum ah saja ya, tinggal kasih instruksi pada anak
buah?”
“Instruksi apa?”
“Pak Pram yang tahu! Kalau m enurut Pak Pram , PKI bisa
bangkit lagi tidak?” cecar tentara itu.
“Ya PKI selam anya bangkit lagi.”
“Berapa tahun lagi akan bangkit?”
“Dalam tiga tahun. Paling lam a lim a tahun.”
“Apa dasarnya?”
“E, m aaf, ya, itu pangkat apa?” tanya Mas Pram sam bil
m enuding tanda pangkat tentara itu.
Plakkk! Tiba-tiba tentara itu m enam par m uka Mas Pram .
Begitu bertenaga, hingga m uka Mas Pram m encong ke kanan,
dan m atanya m enyorot m arah pada tentara itu. Tapi tentu saja
ia tak m engatakan apapun.
“Tanya pangkat kam u ya! Pura-pura bodoh lagi! Nah, jawab
pertanyaan saya: Apa dasar PKI bangkit lagi. Dan apa instruksi
yang kam u berikan pada anak buah! Saya kasih waktu lim a
m enit. Kalau salah m enjawab, tanggung sendiri!...”
Habis m engatakan itu, tentara itu pergi ke belakang: Prok-
prok!
Mas Pram m em perlihatkan wajah yang tak bisa saya
tafsirkan apa isinya. Sebentar kem udian ia m enoleh kepada
saya, katanya:
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Wah, berat juga nih, Liek!”


Saya hanya bisa diam . Adegan yang baru saya saksikan itu
m enggam barkan pada saya kedudukan kam i yang tak berdaya
di hadapan kekuatan jahat yang sedang m encak-m encak
berkiprah. Dan itu m erangsang seluruh saraf dalam tubuh saya
m enjadi rasa khawatir yang belum berwujud. Detik dem i detik
292 Bersama Mas Pram

m erayap. Gam baran dem i gam baran m enari-nari di depan


m ata. Detik m enjadi m enit, m enjadi dua m enit, m enjadi tiga
m enit....
Dan tentara itu tidak kem bali lagi. Untuk selam anya!
Sedikit dem i sedikit suasana m enjadi terang. Di sana-sini
m ulai terdengar kegiatan m anusia. Dan tidak lam a kem udian
terdengar truk m enderam -deram m undur, dan suara orang
berteriak-teriak. Saya m endengar sem ua itu, dan m enyaksikan
sem ua itu, tapi hati rasanya tak ingin m erinci kejadiannya,
karena m em ang adegan itu sangat m em uakkan, yaitu:
Truk itu ternyata berisi orang-orang yang diam ankan seperti
kam i. J um lahnya puluhan, m asih m uda-m uda, barangkali
m ereka anggota Pem uda Rakyat. Mereka diperintahkan turun
satu dem i satu, dan begitu sam pai di tanah, langsung dihajar
oleh dua tentara yang sudah siap untuk itu, disertai sum pah-
serapah yang m enjatuhkan m artabatnya. Ada yang diserang
perut atau kepalanya dengan tinju, ada yang ditendang
pinggang atau punggungnya dengan sepatu bot. Sebagian
cum a terhuyung-huyung, tapi sebagian lagi am bruk ke tanah.
Satu orang bahkan otom atis m enangis seperti anak kecil ketika
kena gebuk baru sekali. Sang tentara, sebaliknya, dengan giat
dan senang m elakukan sem ua itu, seolah tanpa itu dapat
dipastikan m ereka tidak akan naik pangkat. Habis dihajar
m ereka disuruh berjongkok dengan tangan di kuduk, di
www.facebook.com/indonesiapustaka

halam an. Sam pai kapan, entahlah. Suatu pem andangan yang
tak m enarik untuk dilihat.
Hari sem entara itu sem akin terang. Dan terjadilah adegan
lain yang tak m asuk dalam nalar saya. Datang seorang tentara
jangkung berwajah ram ah, yang begitu m asuk segera m engenali
Mas Pram .
Bagian Kelima: Tahun 1965 293

“Lho, Pak Pram , kok ada di sini?” sam bil m engam at-am ati
“Nggak tahu ini, katanya diam ankan!” jawab Mas Pram
geli.
Mereka bersalam an.
“Iyalah, keadaan begini,” kata tentara itu, seolah
m em beritahukan kepada Mas Pram bahwa dia m em ang
term asuk orang yang direncanakan untuk ditangkap dan
ditahan, karena itu harap m aklum .
“Pak Pram sudah m inum ?” tanya perwira itu akrab.
“Ya belum !”
“Bisa suruhan orang, itu. He, anu!” perwira itu m em anggil
orang. Dan ternyata yang m uncul seorang pem uda tanggung
yang rupanya jadi kacung di tengah khalayak yang aneh itu,
“Ini Pak Pram beliin kopi, ini uangnya. Sam a pisang goreng
kek situ!” Dan perwira itu pun m erogoh kantong bajunya dan
m enyerahkan uang kepada si kacung.
“Tugas di sini?” tanya Mas Pram spontan.
“Yah, ada perlu,” jawab si tentara.
“Ini adik saya, baru datang dari luar negeri,” kata Mas
Pram m em perkenalkan saya, “ikut saya, karena katanya m au
diam ankan,” tam bahnya.
Saya disalam i oleh tentara itu, dan saya m enyam butnya.
Selanjutnya tentara itu duduk m enjauh, dan m em anggil
Mas Pram m endekat. Mereka bicara cukup lam a, yang
suaranya tidak saya tangkap sam asekali. Ketika Mas Pram
www.facebook.com/indonesiapustaka

kem bali ke tem pat sem ula, saya dipanggil tentara itu. Dan saya
pun m enghadap. Di situlah pewira itu m engatakan:
“Saudara adik Pak Pram , ya?”
“Ya, Pak.”
“Saudara nanti akan saya bebaskan, tapi dengan prosedur
yang biasa. Kalau kakak saudara, nggak berani saya m elepas,
294 Bersama Mas Pram

nanti orang m arah sam a saya. J adi biar saja sem entara dia di
sini.”
“Ya, Pak. Terim akasih.”
Apakah tentara itu m em ang tak tahu dan heran m elihat
Mas Pram , ataukah justru sengaja datang untuk m enjenguk
apakah Mas Pram sudah diam ankan, siapa yang tahu? Yang
jelas, tak lam a kem udian ia pergi lagi, dan selang beberapa
waktu datang lagi. Kam i kem bali duduk bengong m enunggu
kopi yang tak datang-datang. Dalam kesem patan itu Mas Pram
m engatakan kepada saya bahwa tentara itu orang yang pernah
m engawalnya waktu ia ditahan di RTM (Rum ah Tahanan
Militer) tahun 1961. Pangkatnya kapten.
Sejak itu saya m enunggu-nunggu kapan akan dibebaskan.
Tapi karena perwira tadi m engatakan dengan prosedur yang
biasa, dalam hati saya pun bertanya-tanya, dengan prosedur
yang biasa itu bagaim ana.
Tak lam a kem udian baru saya ketahui bahwa di dekat
para tahanan yang berjongkok tadi ternyata ada sem acam
kandang tahanan yang isinya sangat m engagetkan saya
karena berjubelnya, lelaki-perem puan. Tapi lebih kaget lagi,
ketika oleh seorang CPM (kelihatan dari baretnya) yang baru
datang, Nurse nam anya, saya diperintahkan untuk m asuk
kandang itu. Dengan sendirinya tak ada jalan lain pada saya
selain m em asuki kandang tersebut. Di situ beberapa orang
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang m erasa kenal dengan tam pang saya m enyalam i saya


dengan gem bira. Sebaliknya, saya tak m engenal seorang pun
dari m ereka. Mereka gem bira karena m erasa bertem u dengan
kawan, walau di dalam kandang tahanan sekalipun. Absurd
sekali.
Akhirnya

SAYA SEMPAT beberapa hari tinggal di kandang itu tanpa


m andi dan berak, dan dengan sendirinya tanpa ganti pakaian.
Saya sendiri heran, kok bisa. Mungkin itulah yang dinam akan
darurat. Dalam keadaan tidak darurat tentunya m ana boleh
terjadi?
Hari kedua, siang, datang lagi truk m em bawa sekitar tiga
puluh orang berpakaian rapi. Mereka turun satu-satu, tapi
tidak seperti kem arin, m ereka tidak dijotos atau ditendang
dulu. Tapi m asyaallah, di antara m ereka ada yang saya kenal
betul, karena ia tak lain adalah pam an saya Moedigdo yang
tinggal di Gang Sawo, Kem ayoran, dan bekerja di Kantor Berita
“Antara”. Kalau begitu ini rom bongan wartawan “Antara” yang
diam ankan langsung dari tem pat kerja. Di antara m ereka ada
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang senyum -senyum kecil. Saya lihat ada wajah Wargono,


tem an kuliah saya di Fakultas Sastra UI tahun 1954, dan wajah
Santoso dari fakultas lain yang dulu suka datang ke Fakultas
Sastra m enem ui Wargono. Keduanya wartawan “Antara”.
Mereka diperintahkan langsung m asuk kandang, hingga
kandang m enjadi penuh sesak. Kandang itu berupa em pat kam ar
296 Bersama Mas Pram

berjajar ke belakang dengan em peran berupa los m em anjang.


Kam ar pertam a kam ar m andi, di depan kam ar keem pat ada
satu kakus terpisah. Kam ar kedua sam pai keem pat dipenuhi
tahanan, term asuk em perannya. Kam ar ketiga khusus untuk
perem puan. Ketiga kam ar itu tanpa pintu. Pintu berkawat
pagar hanya satu, ke depan, untuk keluar-m asuk kandang.
Pikiran saya dengan sendirinya m enghitung: tak kurang dari
150 tahanan. Dengan hanya satu kakus!
Entah hari keberapa nam a saya dipanggil oleh Letnan Nurse.
Saya diperiksa. Sebagaim ana biasa, ia tanya keanggotaan partai
dan organisasi. Dia m encatat di sana-sini jawaban saya, yang
kelihatannya hanya form alitas belaka. Tapi ada pertanyaan
yang walau enteng dijawab akibatnya cukup serius:
“Saudara kenal si Anu?”
“Tidak, Pak,” jawab saya spontan.
“Yang bener!” tantangnya kereng, kebetulan sosoknya
m em ang m enyeram kan.
“Betul, Pak!”
“He, panggil si Anu!” perintahnya pada pem bantunya.
Dari kandang keluar seorang pem uda jangkung yang loyo
jalannya.
“Saya Anu, Pak!” lapornya sam bil tetap berdiri di sam ping
saya.
“Anu, ya?” bentak Nurse.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Ya, Pak!”
“Kam u kenal sam a orang ini?”
“Kenal, Pak!”
“Siapa nam anya?”
“Koesalah, Pak!”
Bagian Kelima: Tahun 1965 297

“Kam u bohong, ya?! Ahhh!” dan seketika itu bogem


m entahnya yang perkasa m endarat di dada saya. “Ya sudah,
kem bali sana!” perintahnya sebal.
Kam i kem bali m asuk kandang, dan kem bali duduk di
lantai. Dengan sendirinya saya tanya pem uda loyo itu:
“Bung, kok Bung bilang kenal saya itu bagaim ana?”
“Kan m em ang kenal?”
“Di m ana?”
“Di rum ah Pak Lem an!”
Gila, ya m ana saya ingat? Ketem u sekali, di tengah orang
banyak, dan itu kan tiga bulan yang lalu?
Hari itu pula nam a saya dipanggil kem bali, di sam ping
nam a beberapa orang lain, term asuk Pak Haji yang pernah
saya singgung. Kam i dikum pulkan di tengah ruangan, disuruh
duduk di lantai tanpa alas, sedang Nurse berdiri bertolak
pinggang. Saya duduk di tikar yang ditinggalkan Pak Haji.
“Sini-sini-sini!” perintah Nurse sam bil m enggam it kam i
agar duduk m endekat.
Dalam hati saya m erasa tersinggung, dan ngotot tetap duduk
di tikar. Anehnya Letnan Nurse m em biarkan saja saya. Mem ang
isi dunia ini kadang-kadang m engherankan. Pokoknya, di
tengah suasana itulah Nurse berpidato kepada kam i dengan
penuh kem egahan dan wibawa. Isinya: Ia m au m em bebaskan
kam i, karena tidak terdapat bukti bahwa kam i terlibat dalam
www.facebook.com/indonesiapustaka

pem berontakan PKI. Dia m inta agar kam i m enjauhkan diri


dari unsur-unsur PKI, bahkan ikut m em berantas PKI sam pai
ke akar-akarnya. Untuk m em buktikan ketaatan dan kesetiaan
kam i kepada pem erintah, kam i harus datang m elapor dua hari
sekali. Pidato selesai.
298 Bersama Mas Pram

“Ada pertanyaan?”
Saya m engacungkan tangan.
“Apa kam i tidak diberi surat pem bebasan, Pak?” tanya
saya.
“Tidak ada surat pem bebasan!”
“Nanti kalau kam i ditangkap lagi, bagaim ana, Pak?”
“Ya bilang saja sudah pernah ditangkap di sini!”
Habislah tanya-jawab itu di situ. Turun dari ruangan, Mas
Pram dan Pak Moedigdo m elongok dari balik pintu kandang:
m inta dikirim sikat gigi, tapal gigi, sabun m andi dan cuci,
handuk, pakaian ganti, dan m akanan.
“J angan lupa beliin aku rokok, Liek,” pesan Mas Pram .
“Rum ahnya betulin, ya!”
“Iya!”
“He, sudah, pergi sana!” usir tentara yang jaga.
Kam i pun ngeloyor pulang. Karena tanpa bekal apapun,
terpaksa saya jalan kaki dari Lapangan Banteng sam pai
J alan Rawam angun, sekitar lim a kilom eter, dengan perasaan
khawatir sewaktu-waktu diam ankan lagi oleh tentara yang
lain.
Sam pai di rum ah baru saya ketahui bahwa kam i telah
kehilangan segalanya: Rum ah kontrakan Mas Wiek tem pat
saya m enum pang, dan rum ah Mas Pram , sudah diduduki
tentara, dan segala isinya sudah ludes. Sesudah itu berlangsung
www.facebook.com/indonesiapustaka

penantian panjang, 14 tahun, sebelum akhirnya saya dan Mas


Pram dapat m eneruskan obrolan kam i dalam suasana bebas
tapi terpenjara, di tengah negara Indonesia Raya yang sudah
m enjadi Penjara Raya Orde Baru.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang
Panjang
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
Diajak Masuk Mulut Buaya

BAIKLAH SAYA ceritakan apa-apa yang harus saya ceritakan


sesudah jalan sekitar lim a kilom eter itu. J arak itu boleh dikata
dekat kalau orang berniat jalan-jalan di pagi hari Minggu
yang sejuk dem i kesehatan badan. Paling ditem puh dalam
sejam . Tapi karena ditem puh di tengah hari kota J akarta yang
berdebu, dalam keadaan lapar, lelah isik dan jiwa, tanpa uang
sepeser dan tanpa identitas pula, hati ini kosong juga jadinya.
Sepanjang jalan terbayang keadaan rum ah Mas Pram
yang dhedhel-dhuw el (bongkar-bangkir) tertim pa batu. Tentu
dibutuhkan banyak biaya untuk m em betulkan. Dari m ana
uangnya? Tidak tahu. Pokoknya sanggup, itu yang penting.
Saya sendiri belum pernah punya rum ah. J angankan punya,
m erencanakan atau m em bayangkan saja belum . Yang terpikir
www.facebook.com/indonesiapustaka

oleh saya adalah bagaim ana m ewujudkan cita-cita sosialism e.


Kalau sosialism e tegak di Indonesia, dengan sendirinya
perum ahan tidak m enjadi m asalah. Maka, kalaupun saya
pernah m enggam bar rum ah m asa depan, itu sekadar khayalan
estetis yang lebih m engarah pada lam unan.
302 Bersama Mas Pram

Dengan sengaja saya m asuk gang 3 itu dari arah


Stasiun Kram at, karena dari situ dari jauh saya sudah dapat
m elayangkan pandangan ke arah rum ah itu. Dan itu pula yang
saya perbuat. Tapi alangkah kecewa saya! Dari jauh sudah
saya lihat baju hijau. Maka seketika itu pula padam segala
bayangan saya tentang rum ah, berganti dengan rasa gentar.
Walau dem ikian untuk balik kanan jalan terasa janggal. Maka
saya jalan terus seperti tak ada apa-apa. Pikir saya, kalau ada
yang m engenali saya, m atilah saya. Sam bil lalu, dari ujung
m ata saya terlihat beberapa tentara keluar-m asuk pintu depan
rum ah, dan di sam ping kiri rum ah m erem ang abu kehitam an
sisa bakaran. Saya jalan sam pai pertigaan, lalu m em belok ke
kanan ke jalan raya.
Dari situ saya ke rum ah kontrakan Mas Wiek tak jauh dari
sana. Saya bayangkan Mas Wiek segera m enyam but saya. Tapi
sekali lagi saya kecewa. Ternyata rum ah itu tergem bok dari
luar. Saya pegang gem bok itu, gem bok yang tak saya kenal.
Bu Sudia keluar dari rum ah petak di kanan rum ah petak
kam i.
”Sudah pulang, Dik Koesalah?” tegurnya.
”Sudah, Bu,” jawabku ham bar.
Bu Sudia adalah istri Pak Sudia, pegawai kantor pensiun
yang kam i dengar orang PNI. Mereka tinggal bersam a adik
Bu Sudia yang sudah gadis, yang sangat kedul (m alas), hingga
www.facebook.com/indonesiapustaka

ham pir tiap pagi Bu Sudia terpaksa berteriak: ”Eneeengng!


Tos beurang atuh, Neeeng!—Neng, sudah siang ini, Neng!”
Mereka tetangga yang baik. Tak pernah ada m asalah dengan
kam i. Mendapat jawaban saya itu, Bu Sudia m asuk kem bali ke
dalam rum ah.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 303

Selagi saya pegang gem bok, saya lihat dari ram kawat isi
rum ah sudah kosong. Terdengar bisik dari dalam rum ah petak
sebelah kiri:
”Dik Koesalah! Sini deh!”
Saya m enoleh, dan ternyata Pak siapa, saya sudah lupa
nam anya, pegawai im igrasi, yang entah kenapa tidak ngantor.
Kabarnya ia orang NU. Dia tinggal dengan istri, juga dengan
adik sang istri, yang sudah gadis. Tiap kali sang istri pergi, ke
pasar m isalnya, gadis itu ditangkringi bapak itu. Mereka juga
tetangga yang baik.
”Sudah pulang, ya?” dem ikian juga tanyanya.
”Ya inilah,” jawab saya asal saja. ”Mas Wiek ke m ana, Pak?”
sam bung saya.
”Nggak tahu! Dibawa tentara m alam itu juga. Sam a dengan
Dik Koesalah. Tapi sini, deh!”
Saya m asuk rum ah. Bapak itu m em balikkan badan,
m em buka lem ari, lalu dengan tangan gem etar m engulungkan
beberapa barang, sam bil ucapnya:
“Iniii... sengaja saya selam atkan. Barangkali diperlukan
oleh Dik Koesalah!”
Saya terim a barang itu: paspor saya, pisau kom ando, dan
rantai em as. Yang pertam a m em ang saya perlukan. Yang kedua
dan ketiga cum a m ainan, yang akan saya berikan kepada anak
saya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Terim akasih banyak, Pak! Wah Bapak sangat berjasa ini.”


“Ya cum a itu yang bisa saya lakukan m ah. Pikir saya teh,
barangkali diperlukan ku Dik Koesalah.”
“Sekali lagi terim akasih, Pak. Tapi siapa yang pegang kunci
gem bok itu, Pak?”
304 Bersama Mas Pram

“Ya tentara. Tapi kalau Dik Koesalah m au, bisa diantar ku


Yayat.”
Yang dim aksud dengan Yayat adalah cucu pem ilik rum ah,
anggota Gerakan Pem uda Ansor.
“Cum a ingin tahu saja kok. Lebih baik saya m enem ui Pak
RT, Pak.”
“J uga baik. Silakan.”
“Kalau begitu, saya m inta perm isi dulu, Pak!
Terim akasih.”
“Mangga....”
Saya lalu m enuju rum ah Pak RT, di salah satu petak
kontrakan Pak J aya. Saya sudah lupa nam anya. Kabarnya ia
orang PNI kanan yang sem pat m engerahkan anggotanya untuk
ngisin-isin (m em perm alukan) istri Mas Wiek sebagai anggota
Gerwani yang m elarikan diri, waktu yang terakhir ini berangkat
ke stasiun untuk pulang ke J awa Tengah.
Saya disam but dengan wajah sinis oleh Pak RT, dan
sinisnya itu berpengaruh pada selera saya.
“Sudah pulang?” tanyanya kaku.
“Ya, sudah. Ya itu, Pak, m aaf, m engganggu, saya datang
buat m engurus kartu penduduk.”
“Saudara kan bukan penduduk sini?!”
“Saya bekas penduduk sini, Pak, cum a lim a tahun terakhir
saya belajar di luar negeri. Sekarang m au m endaftar kem bali
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebagai penduduk. Ini paspor saya.”


“Kenapa tidak lekas m elapor?”
Pak RT tentunya sudah m endengar kedatangan saya
dari luar negeri itu, dan tentunya juga sudah m elihat sosok
saya, karena rum ahnya m enghadap ke gang m enuju rum ah
kontrakan Mas Wiek.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 305

“Karena belum bisa m enentukan, Pak, m au tinggal di


m ana. Ya itu keteledoran saya. m aaf.”
“Keteledoran itu kurang baik akibatnya. Tapi saya sebagai
Ketua RT harus m em bantu Saudara. Kita perlu lapor kepala
kom andan.”
“Di m ana, Pak?”
“Di situ,” ia m enunjuk asal saja, “tidak jauh.”
“Itu kom andan apa, Pak.”
“Ya kom andan tentara yang m enguasai rum ah-rum ah PKI
ini.”
“Kapan, Pak?”
“Ya sekarang.”
Di situ naluri saya segera berbicara.
“Wah, sekarang saya sedang buru-buru, Pak. Bagaim ana
kalau besok?”
“Terserah Saudara.”
“Kalau begitu besok saja, Pak. J am berapa, Pak?”
“Terserah!”
Beginilah kalau punya Ketua RT penganggur, pikir saya.
“Begini hari, besok, Bapak ada di rum ah?”
“Ada.”
“Ya sudah, besok saja, jam seperti ini ya, Pak. Perm isi.”
Besoknya saya tak datang. Lalu saya ngibrit ke rum ah
m bakyu saya di Hutankayu, jarak sekitar satu kilom eter dari
www.facebook.com/indonesiapustaka

sana. Di sana saya tidur bersam a kem enakan saya di kam ar


depan. Dalam hati saya m erasa beruntung telah ndhelik dalam
acara pem bentukan Lekra Cabang Rawam angun. Kalau tidak,
tentu saya m enjadi salah satu sasaran penting penangkapan
m iliter.
Mel

SAYA DIHARUSKAN m el (lapor diri) dua hari sekali ke instansi


yang kem udian saya ketahui bernam a Lidikus (penyelidikan
khusus) itu.
Mel yang pertam a hari Kam is. Waktu itu saya sudah
m ulai m engajar, tiap Senin dan Kam is. Hari Rabu, sesudah
dibebaskan, dengan sengaja saya datang ke Bagian Perdagangan
untuk m em beritahukan bahwa saya sudah pindah ke Gang
Wahab dan supaya dijem put di m ulut Gang Wahab. Gang
Wahab waktu itu—sebagaim ana gang-gang lain di J akarta—
m erupakan gang sem pit yang becek setengah m ati kalau turun
hujan. Mobil jelas tak bisa m asuk. Maka saya harus m enanti
jem putan di m ulut gang.
Pulang m engajar saya m inta diantarkan ke Lidikus untuk
m el. Dan karena honorarium untuk pelajaran dibayarkan tiap
www.facebook.com/indonesiapustaka

habis pelajaran, hari Kam is itu saya sudah punya uang lagi.
Saya m erasa beruntung m enerim a pekerjaan m engajar, yang
ternyata m enjadi juru selam at saya. Di jalan saya beli handuk,
sabun m andi dan cuci, pasta dan sikat gigi, dan... tidak lupa
rokok kretek (saya sudah lupa apa m ereknya) dan roti kadet
untuk Mas Pram dan Oom Moedig.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 307

Saya diantarkan sam pai depan Lidikus, tapi sopir saya m inta
m em arkir m obilnya agak jauh. Sopir itu pem uda jangkung dari
Betawi. Rum ahnya di daerah J alan Kawi. Orangnya baik sekali,
sayang saya sudah lupa nam anya.
Pertam a kali datang, saya bingung juga apa bentuk m el
itu: lapor lisan ataukah tertulis. Sesudah m elewati pintu
gerbang darurat berupa pagar seng yang bisa dirapatkan-
direnggangkan, saya terbengong-bengong. Seorang tentara
tanya: “Mau apa?”
“Ini, Pak, katanya disuruh m el,” jawab saya.
“Ya itu, tulis nam anya,” katanya sam bil m enunjuk ke
m eja.
Ternyata di atas m eja di depan pintu belakang kantor
ada buku tulis yang waktu itu dalam keadaan terbuka,
lengkap dengan vulpennya. Buku tulis itu berisi kolom -kolom
untuk tanggal, nom or urut, nam a, alam at, jam datang, dan
tandatangan. J am m el sebelum pukul 0 8.0 0 , tapi waktu itu saya
tidak ditegur walau sudah pukul 10 .0 0 lewat. J adi saya diam
saja. Dalam hati saya sudah siap jawaban apabila ditanya.
“Sudah, Pak!” kata saya kepada tentara, sesudah m engisi
kolom -kolom .
“Ya sudah.”
“Tapi ini, ada titipan buat kakak dan pam an saya, Pak.”
“Siapa nam anya?”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Pram oedya dan Moedigdo.”


“Pram oedya! Moedigdo!” pekik tentara itu ke arah pintu
kandang. Tapi ketika saya m enoleh ke pintu kandang, sudah
tam pak di balik pintu itu Mas Pram yang tersenyum , dan di
sekitarnya berlongokan wajah-wajah sendu dan senyum .
“Koes!” desis suara dari dalam , m ungkin itu Wargono.
308 Bersama Mas Pram

“Bagaim ana rum ahnya, Liek?” tanya Mas Pram .


“Ya sudah! Sana!” bentak tentara, sesudah kirim an itu
disam paikan.
Dengan sendirinya saya tak m enyebut bahwa rum ah sudah
diduduki tentara, karena rum ah itu cukup besar untuk m enjadi
asram a, bahwa Mas Wiek pun diam bil tentara, tapi rum ahnya
dibiarkan kosong karena terlalu kecil untuk ditinggali tentara.
Kam i bahkan belum tahu di m ana Mas Wiek berada.
Sebetulnya, kalau keadaan baik, dengan kata “beres” sudah
cukup buat Mas Pram untuk m em aham i soalnya. Dengan diam
saya, ia m engerti kebalikannya. Ya sudah.
Keluar dari Lidikus saya m inta diantarkan sopir ke
Batutulis, lalu sopir saya suruh kem bali ke kantor. Di rum ah
kakak Mbak Pram itu saya ceritakan pengalam an m alam
tanggal 13 Oktober itu, keadaan rum ah, rum ah kontrakan Mas
Wiek dan Mas Wiek sendiri, dan yang terpenting, bahwa Mas
Pram sekarang ada di Lidikus, di J alan Lapangan Banteng
Barat. Saya m inta supaya Mbak Pram segera m enjenguknya
agar dia tidak keburu dipindahkan ke tem pat lain, dan agar
lekas dapat berhubungan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Melacak Buku

PAGI PERTAMA (kalau saya tak salah ingat) kam i berada di


Lidikus, sudah ada koran (saya lupa nam anya) yang m em uat
berita tentang penyerbuan di rum ah Mas Pram . Koran itu
dibawa oleh salah seorang tentara, dan Mas Pram disuruh
m em baca. Waktu itu koran hanya em pat halam an tebalnya,
dengan huruf-huruf cetak buruk, tapi dengan headlines besar-
besar. Saya heran juga, penyerbuan terjadi sekitar pukul
setengah dua belas m alam , kok pagi pukul enam sudah keluar
beritanya di koran.
Tapi yang penting, yang ditonjolkan dalam berita itu adalah
bahwa Mas Pram m encuri buku-buku dari perpustakaan
Museum Pusat, dan bahwa buku-buku tentang Marxism e-
Leninism e telah dibakar oleh m assa. Berita itu tentu saja
www.facebook.com/indonesiapustaka

m erupakan kabar buruk buat Mas Pram , bukan tuduhan


bahwa ia m encuri buku, m elainkan pem bakaran bukunya.
Dalam am uk tentara dan polisi m alam itu, m ana m ungkin
ada seleksi? Tentu sem barang buku saja m enjadi korban. Saya
sem pat bertanya kepada Mas Pram (sebelum kejadian itu)
berapa jum lah bukunya, dan dia jawab 20 .0 0 0 .
310 Bersama Mas Pram

Dan saya catat di sini, di antara buku yang m enjadi


korban itu pastilah buku saya. Sebelum pergi ke Moskwa,
saya telah m engoleksi 2.0 0 0 buku, m ajalah, dan brosur dalam
bahasa Indonesia, J awa, dan Inggris, dan itu saya titipkan di
perpustakaan Mas Pram . Menurut perkiraan saya, tentulah
tidak sem ua buku itu dibakar; sebagian tentu diam bil oleh
para penjarah untuk kepentingan sendiri, dan sebagian lagi
dikilokan. Dengan perkiraan dem ikian, tentu toko-toko buku
di sekitar Rawam angun m enjadi penadahnya.
Rawam angun waktu itu m erupakan daerah pinggiran.
J alan Pram uka sedang dibangun, dan J alan Bypass (sekarang
J alan A. Yani) sedang dirintis. Dua pasar kecil ada di dekat
sana, Pasar Mencos dan Pasar Genjing. Ada juga Pasar J ohar
Baru, tapi waktu itu m asih terlalu kecil untuk m em iliki toko
buku.
Saya m ula-m ula m enuju Pasar Mencos yang terletak
di pertem uan Gang Tengah dan J alan Percetakan Negara,
di seberang m asjid. Di sana ada satu toko buku. Saya lihati
punggung buku-buku yang berjajar tegak di rak-raknya,
barangkali ada yang saya kenali. Satu-dua buku saya tarik dan
saya buka. Buku Mas Pram m udah dikenali, karena di halam an
judul terdapat cap nam anya. Cap itu, berupa cap tim ah, dipesan
dari Percetakan De Unie yang waktu itu m asih m enggunakan
m esin cetak Linotype. Tapi di toko buku itu tak satu pun saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

tem ukan buku Mas Pram atau saya.


Buku-buku saya lebih gam pang lagi dikenali, karena di
sam ping terdapat nam a saya di halam an judul (dengan m odel
cap yang sam a, karena m em ang m eniru Mas Pram ), juga di
halam an 10 , 110 , 210 , dst., kalau ada, dan terakhir di halam an
terakhir. Sistem ini saya tiru dari perpustakaan Fakultas Sastra
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 311

Universitas Indonesia, waktu saya bekerja di sana sebagai


student-assistant. Bundel m ajalah saya, terutam a m ajalah
Medan Bahasa dan Bahasa dan Buday a, dengan m udah dapat
saya kenali, karena pem bundelan saya lakukan di bengkel
pem bundelan Fakultas Sastra, jadi seragam . Maka dengan
segera dapat saya tem ukan bundel-bundel m ajalah tersebut di
dua toko buku yang ada di Pasar Genjing. Saya heran juga, kok
begitu lekas penjarah itu m elego barangnya, dan si pem ilik toko
kok berani m enjual barang yang jelas jarahan. Tapi dengan
sendirinya saya tak m em persoalkan m asalah itu dengan si
pem ilik toko. Satu-dua bundel yang saya anggap penting saya
beli kem bali, setelah saya belai-belai dengan rasa sayang.
J adi saya tak m enem ukan kem bali satu pun buku Mas Pram .
Dan saya tidak m elacaknya di toko-toko buku yang lebih jauh.
Kem ungkinan sebagian besar buku itu m enjadi korban pem -
bakaran, satu hal yang justru ingin dicegah oleh Mas Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mencari Mas Wiek

BERHARI-HARI SAYA m engalam i kebingungan bagaim ana


harus m encari tahu di m ana Mas Wiek berada. Terus-terang,
saya takut berhubungan dengan m iliter. Melihat baju hijau pun
suatu pengalam an yang buruk buat saya. Tapi tanpa diduga-
duga datang sepucuk kartupos dari Mas Wiek, yang ditujukan
kepada Mbak Is. Kartupos itu sudah lusuh, tapi yang penting
isinya: Dia berada di Kodim J atinegara, keadaannya sangat
buruk, berjejal-jejal di ruangan yang sem pit, dengan m akan
tak keruan. Ia m inta dibawakan pakaian.
Saya tak sangsi bahwa dia berada dalam tahanan. Yang
m engagum kan saya, bagaim ana dia bisa m em peroleh kartupos
lengkap dengan perangkonya, m enulisinya dengan tinta,
m em poskannya, dan surat itu dalam keadaan terbuka untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

dibaca siapapun. Dan, sam pai pada si alam at! Di tengah


kem elut saat itu!
Kepada Mbak Is saya katakan bahwa saya tidak dalam
kondisi untuk berhadapan dengan m iliter. Saya m inta Mbak
Is bersedia m aju. Sebagai wanita tentunya hal itu lebih pantas.
Mbak Is tidak m enolak, tapi ia perlu bertanya dulu kepada
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 313

suam inya, Mas Her. Mas Her—seperti sudah saya sebut—orang


PSI dan benci sekali pada PKI. Tapi karena Mas Wiek adalah
iparnya, kakak istrinya, ia m erelakan istrinya itu m encari
kakaknya: “Terserah!” Maka pada hari m engajar, Senin atau
Kam is, saya khusus m inta pada sopir untuk m engantarkan
saya ke Kodim J atinegara. Kam i tidak bawa apa-apa dulu; yang
penting m em astikan orangnya ada.
Mbak Is waktu itu sedang m engandung Hariswati delapan
bulan. Dari nam a bayi yang beberapa waktu kem udian lahir
itu pun bisa diketahui jalan pikiran dan aliran politik Mas
Her. Perut Mbak Is waktu itu sudah besar seperti genderang,
langkahnya pendek, tapi m asih cukup lincah. Saya m inta dia
duduk di sam ping sopir, dan saya di belakang. Saya m asih
ingat betul, dia m engenalan blus yang dijahitnya sendiri dari
kain yang saya bawa sebagai oleh-oleh untuknya dari Moskwa,
putih berm otif kem bang-kem bang kuning-cokelat. Kasihan
juga saya m elihatnya. Maklum , m obil Gaz saya suruh parkir
agak jauh di depan Stasiun J atinegara, dan dari sana ia harus
jalan ke gerbang Kodim , dan selanjutnya ke gedung Kodim
yang berhalam an luas itu, kem udian balik lagi ke m obil.
Sekali lagi saya m erasa beruntung punya pekerjaan
m engajar itu, karena dengan dem ikian saya bisa pakai m obil
tanpa m esti lapor kepada bos, dan sopir pun dengan senang
hati m au m enuruti perm intaan saya. Kalau tidak, bagaim ana
kam i akan m elakukan hal itu di saat yang serba kacau waktu
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu? Saya sudah kehilangan kontak dengan tem an-tem an yang


um um nya sudah buyar m encari selam at m asing-m asing atau
m asuk tahanan.
Ketika akhirnya Mbak Is berjalan m enuju m obil, saya
perhatikan betul, “genderangnya” naik-turun perlahan tak hen-
ti-henti, sam pai akhirnya ia tiba di sam ping m obil. Ia terengah-
314 Bersama Mas Pram

engah beberapa waktu lam anya di depan pintu m obil yang saya
bukakan, sebelum akhirnya naik.
Sopir m enghidupkan m esin.
“Nanti dulu,” kata saya kepada sopir. “J adi, bagaim ana?
Ada Mas Wiek?” tanya saya kepada Mbak Is.
“Mem ang ada tahanan di situ, tapi nggak ada yang nam anya
Waluyadi. Mungkin term asuk yang sudah dipindah.”
“Dipindah ke m ana?”
“O, iya, saya nggak tanya, dipindah ke m ana. Aduh!”
jawabnya m enyesal.
“Kalau begitu tanya dulu. Ini m obilnya undurkan sedikit,
Bang, supaya nggak terlalu jauh jalannya,” kata saya kepada
sopir.
Mobil m undur sam pai sedekat m ungkin dengan gerbang
Kodim , Mbak Is m em buka pintu, turun, lalu jalan lagi ke kantor
Kodim . Mobil m aju kem bali ke tem pat sem ula.
Lam a juga saya m enunggunya, seperti berabad-abad.
Dan ketika dari jauh kelihatan dia m uncul kem bali dari pintu
gerbang, saya m inta m obil diundurkan kem bali.
“Nah, bagaim ana?” tanya saya tak sabar.
“Katanya, barangkali, ke penjara Gang Tengah!”
jawabnya.
“Kurangajar!” m aki saya dalam hati. “Barangkali! Kalau
barangkali di Gang Tengah, barangkali juga di tem pat-tem pat
lain lagi. Konyol!”
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Yah, paling tidak sudah ada tem pat untuk dituju,” kata
saya akhirnya.
Saya tidak bisa m enggunakan m obil terlalu lam a, bisa-bisa
sopir dim arahi oleh bos. Karena itu, sesudah m engantarkan
kam i pulang ke Hutankayu, sopir saya suruh lekas kem bali ke
kantor.
Keterlibatan Polisi

BEBERAPA WAKTU kem udian saya perlukan datang ke Batu-


tulis untuk m enengok Mbak Pram dan m endengar kabar ten-
tang Mas Pram . Waktu itu anak-anak (seluruhnya lim a orang)
belum pada sekolah lagi. Yang terbesar, Titiek, baru berusia
sekitar sem bilan tahun. Adiknya, Lina, sekitar tujuh tahun, dan
adiknya lagi, Rita, sekitar lim a tahun. Terutam a Rita, aduh,
nakalnya dan jahilnya bukan m ain. Dia selalu m engganggu
m bakyu-m bakyunya dengan tangan dan kakinya, di sam ping
dengan celotehnya yang kacau dan jeritan-jeritannya yang
m elengking tak enak didengar telinga. Begitu berhasil disuruh
diam , saat itu pula ia m ulai m alang-m elintang lagi. Suara
ibunya tidak m am pu m enghentikan kenakalannya. Entahlah,
apakah itu salah satu pernyataan protes terhadap situasinya:
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak sekolah, tidak ada bapak, dan tidak di rum ah sendiri


pula.
Menurut Mbak Pram , ia sudah sem pat m enengok Mas
Pram beberapa kali di Lidikus, m engirim m akanan, pakaian,
dan barang-barang lain yang diperlukan. Dari Lidikus Mas
Pram dipindahkan ke Guntur, asram a polisi m iliter. Di sana,
316 Bersama Mas Pram

katanya, Mas Pram dan kawan-kawan dipaksa m erangkak di


jalan berbatu-batu. Itu bukan cerita Mas Pram sendiri, tapi
cerita seorang kawannya yang m enyam paikannya kepada
keluarganya, dan selanjutnya keluarganya m enyebarkannya
kepada ibu-ibu yang lain. Dari sana ia dipindahkan ke penjara
Gang Tengah, jadi seperti Mas Wiek juga.
Yang m enarik dari cerita Mbak Pram adalah keberhasilan-
nya m engetahui bahwa barang-barang berharga dari rum ahnya
telah diangkut ke kantor polisi seksi V di J alan Kram at Raya.
Dan... ia sudah m endatangi kantor polisi itu dan m em inta
barang-barang itu kem bali. Polisi bersedia m engem balikannya,
karena m enurut keterangan kom andan, polisi hanya
m enyelam atkan barang-barang itu. Di antara barang-barang
itu terdapat radio dan kulkas, dan... m otor Ducati saya! Motor
Ducati tersebut, yang m alam tanggal 13 saya tinggal di rum ah
itu, term asuk yang “diselam atkan” oleh polisi. Tidak term asuk
skuter Mas Pram , karena skuter itu sem pat dititipkan di rum ah
Mbak Is di Hutankayu dalam keadaan terkunci. Tapi tidak ada
satu pun buku! Sekali lagi berita buruk buat Mas Pram .
Kepada Mbak Pram diberikan surat untuk m engam bil ba-
rang-barang itu pada tanggal yang ditentukan. Lewat Mbak
Pram , kepada saya pun diberikan surat pengam bilan Ducati.
Saya sudah lupa isi surat itu, tapi itu bukan surat resm i,
m elainkan sekadar secarik kertas dengan tulisan tangan dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

cap polisi.
Saya m asih traum a terhadap baju hijau, term asuk polisi.
Maka waktu itu saya m inta tolong kepada tem an saya, Sarip,
untuk m em inta tolong abang tirinya, Parjo, anggota Polisi
Pangkalan Udara Halim Perdanakusum a, untuk m engam bil
Ducati itu. Parjo juga saya kenal, di sam ping Sarip. Cerita Parjo
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 317

sebagai polisi banyak, tentang keberanian dan ketegasannya,


terutam a yang m enyangkut pelanggaran susila. Orangnya
tam pan, suka bercerita dan m em baca cerita. Di antara yang
sedang asyik dibaca dan dilanggannya waktu itu adalah cerita
kom ik Nagasasra Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja.
Menanggapi perm intaan saya lewat Sarip, dia m enyatakan
bersedia. Saya pun ayem , karena polisi angkatan bersenjata
bagaim anapun lebih punya wibawa daripada polisi biasa.
Pada hari yang ditentukan, sengaja saya datang ke rum ahnya
di depan Gang Wahab sesudah gelap, dengan perhitungan ia
sudah sem pat sehari itu m elaksanakan perm intaan saya. Tapi
ternyata ia belum m engam bil Ducati itu. Alasannya, hari itu ia
ada tugas. “Besoklah!” katanya.
Besoknya saya datang pada waktu yang sam a. Ternyata
belum juga! Terpaksa saya m engeluh kepada Sarip, karena saya
khawatir keterlam batan m engam bil m otor itu bisa dijadikan
m acam -m acam alasan oleh polisi untuk berbuat lain dengar
m otor itu.
“Mas Parjo kelihatannya takut, Mas Liek!” kata Sarip.
“Wah, payah juga. Kalau begitu, tolong am bil surat itu
kem bali, biar saya sendiri yang ngam bil.”
Maka dengan surat itu saya pun nekat datang ke Seksi V.
Barang-barang Mbak Pram sudah diam bil pada waktunya,
entah bagaim ana caranya, sedangkan Ducati saya waktu itu
www.facebook.com/indonesiapustaka

saya lihat tersandar di tiang di belakang kantor polisi, lengkap


dengan kuncinya. Saya tak m engalam i kesulitan apapun, walau
datang terlam bat dua hari. J adi ternyata traum a saya itu tidak
beralasan.
Piet

MBAK PRAM bercerita tentang datangnya Piet m enem uinya.


Piet adalah m ahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indo-
nesia yang tinggal di asram a m ahasiswa Rawam angun, asisten
Mas Pram yang m engatur perpustakaan dan dokum entasi.
Tergantung dari waktunya, ia sering datang ke rum ah Mas
Pram untuk bekerja, seringkali sam pai seharian. Sosoknya
kurus jangkung, keperem puan-perem puanan, kadang-kadang
m enunjukkan kekenesan, tapi bicaranya jelas, teratur, satu-
satu. Itu m enjadi salah satu kekuatannya.
Dengan ditahannya Mas Pram , Piet kehilangan pekerjaan.
Ia terpaksa juga m eninggalkan kuliahnya. Tapi dengan
kekuatan yang dim ilikinya, ia berhasil berkenalan dengan yang
nam anya Pak J aka, bekas pejuang dari Laskar Bam bu Runcing
www.facebook.com/indonesiapustaka

di daerah Bogor, yang waktu itu tinggal di daerah Prum pung,


J atinegara. Pak J aka bersim pati pada Partai Murba, tapi secara
pribadi bersim pati pada Mas Pram .
Usia Pak J aka sekitar 45 tahun, tidak bekerja, karena
kesehatannya tak m em ungkinkan: penderita asm a akut dan
jantung. Ia hidup dari status resm inya sebagai direktur pabrik
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 319

penggilingan beras, bersam a istrinya yang m asih m uda, yang


konon dikawini sesudah m enodong bapaknya. Dalam waktu
senggangnya yang tidak sedikit, Pak J aka m elam piaskan bakat
alam nya dengan m enulis sajak-sajak perjuangan. Rupanya
bakatnya itu yang m endekatkannya pada Mas Pram , seperti
diungkapkan oleh Piet.
Nah, sebagai ungkapan sim pati kepada Mas Pram , Pak
J aka m enyatakan akan m enyum bang Mbak Pram tiap bulan
setengah kuintal beras. Piet m enyatakan, dialah yang akan
m enyam paikan beras itu kepada Mbak Pram . Tapi sam pai
waktu itu, belum pernah Piet m ewujudkan om ongannya.
Sem entara itu Piet datang m enem ui saya, m enyatakan
bahwa ia sem pat bercerita kepada Pak J aka tentang saya sebagai
ahli bahasa Rusia. Kebetulan, m enurut Piet, Pak J aka pernah
m endengar ahli biologi Rusia bernam a Tim iryazev (yang
selalu diucapkannya Tim izarev). Dia telah m enulis buku yang
fenom enal dan m onum ental berjudul Tum buhan (yang dalam
bahasa Rusia, saya tahu, bernam a Rasteniye). Isinya uraian
m engenai proses dialektis tum buhan m ulai dari biji sam pai
pohon, dan ke biji lagi. Pak J aka sangat antusias m endengar
adanya buku ini, dan m enganggapnya sebagai penjabaran
Marxism e dialektis dan historis di bidang biologi. Dia ingin
buku itu saya terjem ahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Piet m anyam paikan sem ua itu kepada saya dengan gaya
www.facebook.com/indonesiapustaka

ingin m em bantu saya. Dan m enghadapi bekas asisten Mas


Pram itu, saya pun ingin m enyatakan sim pati saya terhadap
rasa sim patinya. Saya katakan kepadanya bahwa buku
Rasteniye tidak saya punyai, tapi itu bisa saya pinjam dari
tem an-tem an insinyur pertanian yang tentu m em ilikinya. Yang
m enjadi soal adalah, “saya tak punya m esin tulis”, padahal
320 Bersama Mas Pram

terjem ahan itu tentunya harus diketik dengan m esin tulis.


Terus-terang, sebetulnya saya punya m esin tulis, tetapi alasan
itu saya kem ukakan untuk m engetahui apakah kuat keinginan
itu atau tidak.
“Pak J aka punya m esin tulis nganggur, Mas. Nanti saya
sam paikan,” kata Piet.
Betul, pada suatu kali, saya diajak Piet berkenalan dengan
Pak J aka di Prum pung, dan di situ langsung dibicarakan
tentang proyek terjem ahan itu. Dengan m enggebu-gebu Pak
J aka bicara tentang pentingnya m enerjem ahkan buku itu
untuk rakyat Indonesia. Untuk itu ia bersedia m enyediakan
dananya, dan m em injam kan m esin tulis. Dalam hati saya
m engom el: Dalam situasi politik yang kacau saat ini, kok ada
orang yang m au m em biayai penerjem ahan buku yang dem ikian
jauh jaraknya dengan kepentingan rakyat Indonesia. Tapi,
bagaim anapun, hubungan antarm anusia waktu itu m endorong
saya untuk m enerim a pekerjaan itu.
Mesin tulis standar saat itu pula bisa saya bawa pulang,
walau buku Rasteniye belum tentu saya peroleh, dan untuk
m em perolehnya pun m akan waktu banyak. Itu adalah bukti
tekad Pak J aka. Saya lalu m enghubungi tem an saya Ir Bagio, dan
beruntung dia punya buku itu, dan bersedia m em injam kannya
kepada saya.
Dengan sendirinya m esin itu ndongkrok di rum ah.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sem entara itu Piet datang m enem ui saya, ingin m em injam


m esin tersebut untuk, katanya, m engerjakan tulisan yang
sedang disiapkannya. Dia waktu itu sudah keluar dari asram a,
m engawini anak tukang nasi yang m enjadi langganannya, dan
tinggal di dekat asram a itu juga, di sebuah rum ah kum uh.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 321

Karena m em ang m enganggur, saya lepaslah m esin itu


untuk dia pinjam . Celakanya, m esin itu tak pernah kem bali.
Sam pai sekarang. Dan beras bulanan sum bangan Pak J aka
pun tak pernah diterim a oleh Mbak Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka
Komandan yang “Baik”

AKHIRNYA TIBA saatnya saya m engecek sendiri apakah Mas


Wiek benar ada di penjara Gang Tengah. Ternyata benar,
bahkan Oom Moedig dan Mas Pram pun ada di sana.
Waktu itu ada anggapan di kalangan um um , sudah dengan
sendirinya para tahanan m endapat m akan sedikit, bahkan tak
m encukupi kebutuhan kesehatan. J uga bahwa para tahanan
tak m endapat fasilitas apapun. Maka sudah dengan sendirinya
juga keluarga tahanan harus m engirim nya m akanan, obat-
obatan, dan kebutuhan lainnya. Kalau tidak, dapat dipastikan
tahanan itu akan m ati.
Penjara sendiri m em buka kesem patan kepada keluarga
untuk m engirim kerabatnya, tiga kali sem inggu: Selasa,
Kam is, Sabtu. Untuk itu Kodam (Kom ando Daerah Militer)
www.facebook.com/indonesiapustaka

m engeluarkan surat izin khusus. Untuk m engirim tiga kali


sem inggu tentu saja terlalu sering dan m ewah buat keluarga
tahanan yang rata-rata buruk ekonom inya. Sem inggu sekali
pun sudah tergolong baik. Banyak keluarga yang hanya
m engirim sebulan sekali. Bahkan ada yang setahun sekali, di
waktu Lebaran.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 323

Untuk m elayani penerim aan kirim an itu dikerahkan tenaga


tahanan. Maka saya bisa m engetahui adanya Oom Moedig di
situ, karena tem an saya Wargono, wartawan “Antara”, term asuk
orang yang dikerahkan tenaganya. Begitulah, tiap hari Kam is,
sesudah m engajar pukul 0 7.0 0 -0 8.30 , saya lekas pulang,
m enyerahkan uang belanja kepada Mbak Is yang lalu langsung
berbelanja di warung Pok Ya’am tak jauh dari rum ahnya,
m em asak, dan sebelum pukul 11.30 saya sudah harus sam pai
di penjara, m em bawa dua bingkisan: buat Mas Wiek dan Oom
Moedig. Isinya sam a, biasanya yaitu: nasi, sayur lodeh atau
asem , lauk tem pe atau tahu goreng, teri-kacang, dan sebotol
kecil kecap. Kadang-kadang buah, biasanya pisang.
Bingkisan itu diwadahi apa saja, m ulai tas plastik sam pai
keranjang rotan. Dan biasanya terdapat m angkuk, piring, botol,
kantong atau tabung plastik. Sesudah diterim a oleh si alam at,
tas dan sebagainya itu beserta tetek-bengeknya dikem balikan
kepada si pengirim . Tergantung pada petugas pengirim an dan
si alam at, proses pengirim an dan penerim aan kem bali tas itu
m akan waktu dari satu sam pai dua jam .
Para pengirim biasanya perem puan: gadis atau ibu-ibu.
Sebagaim ana biasa, m ereka selalu berceloteh tentang apa
saja, m ulai dari m akanan, keluarga, keadaan dalam tahanan,
sam pai obyek-obyekan. Di antara ibu-ibu itu pun berlangsung
jual-beli: bulgur, sagu kering, bekatul, dll. Pertanyaan yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

m endasar antara lain adalah: berapa jum lah tahanan. Ada


yang m endapat jawaban dua ribu, dua ribu lim a ratus, bahkan
sam pai m endekati tiga ribu.
Dilihat dari jum lah keluarga pengirim , dapat dipastikan
bahwa tahanan yang dikirim i m akanan tidak sam pai sepuluh
persen. Karena itu m ereka tidak heran m endengar ada tahanan
324 Bersama Mas Pram

m eninggal, dan bahwa yang m eninggal dinyanyikan lagu


“Internasionale”. Kalau ada keluarganya, si m ati diserahkan
kepada keluarga untuk dikuburkan. Kalau tak ada keluarga,
si m ati dikuburkan oleh RTC di sebuah pem akam an khusus
tak jauh dari RTC. Masih tahun 1965, kam i m endengar
m eninggalnya bekas Menteri Bahan Makanan, Pak Sojas,
kem udian disusul bekas perwira PETA yang m enjadi kom andan
asram a Rengasdengklok sewaktu Bung Karno dan Bung Hatta
diculik oleh para pem uda revolusioner pada 16 gustus 1945,
yaitu Um ar Bachsan.
Mas Pram m endapat kirim an dari Mbak Pram , sedangkan
Oom Moedig terpaksa saya kirim , karena Bu Moedig dan
kesem bilan anaknya sem ua dalam keadaan darurat.
Dengan sendirinya saya lalu sering bertem u dengan
Mbak Pram di halam an penjara itu. Maka kesem patan
m engirim kerabat itu m enjadi ajang pertem uan antarkeluarga,
antarkenalan, dan antartem an. Itu m enjadi hiburan tersendiri
bagi keluarga tahanan. Dari m ulut ke m ulut saya m endengar
bahwa Kom andan RTC waktu itu, Suratno, kom andan yang
“baik”. Buktinya, ia m engizinkan para tahanan bercocok
tanam di lingkungan bloknya m aupun di luar tem bok. Dengan
dem ikian para tahanan m em peroleh kegiatan yang bisa m enjadi
hiburan baginya, dan m em peroleh sayur-m ayur penam bah
ganjal perut. Dalam kesem patan m engirim m akanan itu, kepada
www.facebook.com/indonesiapustaka

keluarga dijual juga kangkung, bayam , atau sawi dalam ikatan


yang segar. Dan biasanya cepat habis, karena harganya agak
m iring. Diam -diam keluarga berkeyakinan, hasil penjualan
sayur-m ayur itu pastilah diam bil oleh petugas
Kesem patan bertanam di luar tem bok dim anfaatkan oleh
para tahanan untuk m encuci m ata dan m enghirup udara. Bulan-
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 325

bulan pertam a itu belum dikenal pertem uan keluarga. Perlu


saya sebutkan bahwa bidang tanah di luar tem bok penjara itu
dibatasi pagar kawat berduri. J adi, kalau m au m elihat tahanan
bercocok tanam , ya dari luar pagar kawat berduri itulah.
Pada suatu hari Kam is saya sudah m endengar bahwa
Mas Pram akan keluar untuk bercocok-tanam . Rom bongan
cukup besar, ada kalau dua puluh orang, tapi di antara orang
sebanyak itu hanya beberapa orang yang tam pak bekerja. Yang
lain berdiri-diri, m elongok-longok ke luar pagar kawat berduri
m encari keluarganya.
Saya lam a m engam ati m ereka satu per satu, tapi tidak saya
tem ukan Mas Pram . Baru sesudah ham pir sam pai pada orang
terakhir, saya lihat orang yang wajahnya ditutup saputangan
dan m em egang tongkat. Walau tertutup saputangan, tam pak
Mas Pram waktu itu ketawa-ketawa, m engangkat tongkatnya.
“Lagi ngapain?!” teriak saya dari jauh.
Dia tak m enjawab, atau saya yang tak m endengar
jawabannya.
“Masih saja nalurinya sebagai tentara!” pikir saya.
Waktu itu saya m engajak tem an saya Rasuan. Saya
m asih m au berseru lagi kepada Mas Pram , tapi dilarang oleh
Rasuan:
“Ah, sudahlah, Koes. Ayo kita pulang sekarang,” sam bil
ditariknya tangan saya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ya, saya tak m enyalahkan Rasuan. Mau datang ke halam an


penjara itu saja, m enem ani saya, sudah bagus. Maklum lah,
kakaknya anggota RPKAD.
Yang Aneh-aneh

DENGAN SENDIRINYA ada saja kejadian yang aneh di tengah


kegiatan kirim -m engirim itu.
Perlu saya singgung bahwa di depan pintu gerbang penjara
itu ada pos penjagaan polisi m iliter. Tentang sikap serem para
polisi itu jangan ditanya lagi. Sedangkan polisi biasa sudah
garang, apalagi polisi m iliter. Sialnya, sebelum m enyam paikan
kirim an, pengirim harus lapor dulu ke pos penjagaan. Di situ
nam a pengirim dicatat, juga nam a terkirim .
Nah, pada suatu hari, karena sudah m endekati pukul 11.30 ,
dan lagi karena m erasa sudah sering m elapor—artinya sudah
dikenal—, saya ngeloyor saja ke loket penyam paikan kirim an.
“He, m au ke m ana itu?!” bentak salah seorang polisi
m iliter.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Mau kirim !” seru saya sam bil berhenti.


“Sini!” sam bil m elam baikan tangan.
Saya m endekat.
“Mau besuk?” tanyanya.
“Saya m au kirim !”
“Mau besuk?” ulangnya.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 327

“Mau kirim ini,” sahut saya sam bil m enyorongkan m uatan


tangan saya kiri-kanan.
“Ya itu nam anya besuk!” bentaknya m elotot.
“Sok tahu lu!” m aki saya dalam hati, “orang m au ngirim
dibilang besuk!”
Lain waktu, ketika hujan gerim is, saya m engenakan jaket
dan baret. Dasar sial! Warna baret hadiah itu biru m uda, m irip
warna baret polisi m iliter. Saya didekati oleh Mbak Pram . “Dik
Liek, itu dipanggil!” katanya.
Di kalangan para pengirim saya sudah dikenal sebagai ipar
Mbak Pram . Maka Mbak Pram yang disuruh polisi m iliter itu
m em anggil saya.
“Sam a siapa?” tanya saya.
“Itu, CPM!”
Saya pun m engham piri polisi m iliter itu. “Celaka!” pikir
saya.
“Saya, Pak!” kata saya m elapor.
“Copot itu!” katanya m endelik. Dengan sendirinya tak ada
jalan lain bagi saya selain m em enuhi perintahnya.
Sesudah m em asukkan kirim an ke loket, saya biasa
m asuk warung Bu Sitorus di seberang jalan. Di situ saya
m engistirahatkan pikiran sam bil m akan pisang, singkong
atau ubi goreng, dan m inum kopi. Kadang-kadang ada juga
ibu-ibu beristirahat di situ. Salah seorang dari m ereka adalah
www.facebook.com/indonesiapustaka

ibu seorang pem uda yang kelihatannya sangat dia sayangi,


nam anya Sri Rahardjo. Kam i sering m engobrol panjang-
pendek tentang apa saja, hingga kadang saya rasakan dia itu
sebagai ibu saya sendiri. Tidak jarang kam i m engobrol tentang
hal-hal yang waktu itu tidak seyogianya dibicarakan. Maklum ,
selam a itu saya m erasa bahwa para tahanan itu adalah tem an-
328 Bersama Mas Pram

tem an saya sendiri. Nasib m ereka sam a dengan nasib saya


sendiri.
Pada suatu hari saya m engobrol dengan seorang pem uda
yang ternyata baru dibebaskan dari penjara itu.
“Wah m enarik sekali! J adi Saudara baru bebas dari situ?”
tanya saya.
“Ya, baru kem arin.”
“Kok ke sini lagi?”
“Ya ini saya m engurus surat pem bebasannya!”
“Eh, om ong-om ong, berapa sih jum lah tahanan di situ?”
“Uh, kabarnya dua ribu. Kapasitas norm al enam ratus. Ya
jadinya em pet-em petan. Satu sel tiga orang. Ada yang em pat
orang.”
“Terus, m akannya bagaim ana?”
“Sekarang lum ayan, sudah nasi. Sebelum ini bulgur, atau
jagung butiran. Kalau dihitung paling em pat puluh butir.”
“Tapi badan Saudara bagus begitu?” tanya saya.
“Saya sih, dikirim . Kalau enggak, bisa hongerudim kayak
yang lain-lain.”
“Heh, banyak om ong, ya, kam u?” tiba-tiba saya dengar
suara m enghardik dari belakang saya. Saking asyiknya, tidak
saya sadari ada wajah m enyeringai di situ lengkap dengan
kum is baplangnya.
“Mau kam u, saya jebloskan lagi ke situ?!” sam bungnya
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enghardik.
Pem uda itu kontan m enunduk seperti cucurut, dan saya
yang hanya jadi penanggap ikut juga jadi pendosa yang harus
m engunci m ulut.
“Maaf, Pak...,” cicit pem uda itu. Adegan pun bubar.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 329

Di warung itu pula saya sem pat bergaul dekat dengan


anggota Resim en Mahajaya yang ditugaskan di penjara, antara
lain Liem , Siregar, dan Perm ana, seorang Sunda yang tam pan
wajahnya, dan seorang lagi yang sekarang saya sudah lupa
nam anya.
Pada suatu hari, dari penjara itu saya m esti pergi ke
Salem ba. Dan kebetulan yang nam anya Liem itu perlu pergi ke
Salem ba juga.
“Kalau begitu m bonceng saya!” katanya.
“Boleh!” kata saya. Dan begitulah, saya m em boncengkan
Mahajaya itu.
Sam pai di Pasar Mencos, J alan Percetakan Negara itu
bercabang dua: Gang Tengah dan J alan Paseban. Kendaraan
verboden m asuk Gang Tengah dan harus m asuk J alan Paseban.
Tapi karena m alas m asuk J alan Paseban, saya terabas saja
larangan itu. Sam pai rum ah nom or 31, dari arah Salem ba
datang perwira polisi lengkap dengan tanda-tanda kebesaran,
m engendarai Harley Davidson yang um um waktu itu.
“Stop!” tudingnya sam bil m em inggirkan m otor.
Saya m enghentikan Ducati, dan Liem turun dari
boncengan.
“Kenapa m elanggar peraturan?”
“Peraturan apa, Pak?” tanya saya pura-pura bego.
“Pura-pura bodoh lagi. Saudara tak lihat tanda larangan di
www.facebook.com/indonesiapustaka

sana tadi? Lihat, sem ua orang jalan ke sana?”


“Yang m ana, Pak?” tanya saya tetap m em begokan diri.
“Betul-betul bodoh! Ayo lihat!”
Dengan kata-kata itu ia m em erintahkan saya m em arkir
m otor, lalu diajaknya kam i jalan kaki sam pai pertigaan Pasar
Mencos. Di seberang m asjid tam pak tanda verboden.
330 Bersama Mas Pram

“Itu apa?!” kata perwira polisi girang sam bil m enunjuk.


“O iya, baru lihat saya, Pak. Minta m aaf!”
“Ya, sekali ini saya m aafkan. Kalau Saudara ulangi, tahu
sendiri!”
Maka kam i bertiga pun ram ai-ram ai patah cingke, kem bali
ke tem pat m otor. Dia m em bodoh-bodohkan saya, padahal dia
sendiri yang bodoh. Apa karena di belakang saya ada Mahajaya
Liem yang seperti kerbau bodoh hanya senyum -senyum bodoh?
Ada-ada saja.
Tapi sekali m em ang pernah saya betul-betul bodoh.
Waktu itu saya sudah dalam perjalanan pulang dari penjara,
lewat J alan Pram uka. Tiba-tiba dari belakang m elintas truk
berm uatan tahanan. Salah satu wajahnya saya kenal. Saya
pun senang, dan saya kejarlah m ereka sekencang-kencangnya,
sam pai jarak tak sam pai dua m eter. Lalu:
“Mau ke m ana?!!” teriak saya.
Tak seorang pun m enjawab, hanya saling pandang di
antara m ereka sendiri.
“Mau ke m ana, ha?!!” teriak saya lagi.
Tetap sunyi-senyap. Barulah terpikir oleh saya, m ungkin
karena di dekat m ereka ada baju-baju hijau bersenjata. Harus
dem ikiankah sikap seorang tahanan? Ya, m ungkin, m ungkin.
Dan barulah saya m elam batkan m otor saya, dan truk pun
m enghilang ke J alan Bypass.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Cerita ini saya tutup dengan datangnya Bu Iljas dari


Kebon J ahe Kober. Bu Iljas sebagai penekun warung ham pir
tak pernah m eninggalkan rum ah. Maka kedatangannya ke
Hutankayu itu m enim bulkan tanda tanya besar bagi saya.
Dan m em ang soalnya besar, soal perut besar. Ceritanya, telah
terjadi “kecelakaan kerja” terhadap cucunya, dan karena saya
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 331

adalah oom nya, sedangkan Mas Pram sudah dipindah ke


penjara Tangerang, m aka sayalah yang dim inta m enjadi wali.
Dengan itikad baik, saya berikan janji kesanggupan saya
untuk m enjadi wali, dan dengan itu Bu Iljas yang dikawani
tetangganya pun pulang ke Kebon J ahe Kober.
Belum tiba saatnya untuk akad nikah, ternyata Mas Pram
telah dipindahkan kem bali ke penjara Gang Tengah. Ya,
walaupun pernah saya katakan bahwa Tangerang cukup jauh
dari J akarta, sesungguhnya ia cukup dekat untuk m em batalkan
keabsahan seorang bapak untuk m enjadi wali nikah.
Dan begitulah, pada suatu hari Mas Pram pun m enikahkan
anaknya di penjara Gang Tengah. Itulah yang sebaik-baiknya.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bertemu Mas Pram di Penjara

ATURAN PERTEMUAN tahanan dengan keluarganya tak


m enentu. Yang jelas, bulan pertam a di penjara itu seorang
tahanan harus disel, tidak boleh terim a kirim an apapun dari
keluarga. Dia harus m akan jatah, artinya m akan m akanan
yang disediakan oleh RTC, yang jum lahnya sangat sedikit.
Rupanya kebijakan itu sengaja diterapkan agar tahanan loyo
isiknya, dan dengan sendirinya loyo juga mentalnya. Dengan
sendirinya juga selam a itu tahanan tidak m ungkin bertem u
keluarga. Ada m asanya pertem uan hanya setahun sekali, pada
hari raya Lebaran. Sesudah itu ada kesem patan bertem u sekali
sebulan, dengan izin Kodam . Walau dem ikian, kesem patan ini
dapat dicabut, kapan saja keadaan dianggap gawat, m isalnya
ditinjau dari sudut politik, atau ada alasan teknis, m isalnya ada
www.facebook.com/indonesiapustaka

tahanan yang lari.


Saya beruntung dapat bertem u dengan Mas Wiek beberapa
kali. Dengan Oom Moedig tidak sekali pun, karena saya tidak
terhitung keluarganya. Dengan Mas Pram sekali saja dalam
tiga tahun, itu pun m em bonceng pertem uannya Mbak Pram .
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 333

Pertem uan itu berlangsung di sebuah ruangan khusus di


suatu ruangan. Dua orang petugas Hansip (pertahanan sipil)
duduk di ujung-ujung ruangan dengan pandangan bodoh.
Perlunya m endengarkan isi pem bicaraan, dan m engawasi
apakah tahanan atau sebaliknya keluarga m enyerahkan
sesuatu. Uang terlarang diserahkan langsung, harus lewat
petugas Uragam (urusan agam a) di loket pengirim an, terbatas
hanya Rp10 0 , dan harus dipotong 10 % untuk kas RTC.
Keluarga m enanti panggilan untuk m asuk ke ruang
pertem uan. Waktu itu Mbak Pram m em bawa anak-anaknya.
Ketika ia dipanggil untuk m asuk ruangan, saya kebetulan ada
di dekat situ, dan Mbak Pram bertanya:
”Dik Liek, m au ikut?”
Tanpa m enjawab, dan tanpa m enengok kiri-kanan,
saya pun nyelonong m enyatukan diri dengan m ereka tanpa
pula m em perhatikan para petugas. Keluarga-keluarga lain
dipanggil juga untuk m asuk ruangan, barulah para tahanan
didatangkan.
Mas Pram m uncul di pintu, tersenyum , m erangkul dan
m encium i istri dan anak-anaknya satu per satu. Baru dia
m enengok pada saya.
”Liek!” katanya, lalu dicium nya saya kiri-kanan seperti
ketika m asih bocah dulu.
Mas Pram dalam keadaan gagah, berisi, dan kekar
www.facebook.com/indonesiapustaka

tubuhnya. Saya m engagum i keadaan itu, tapi diam saja untuk


m em berikan kesem patan kepada anak-anak yang disapanya
dahulu.
Saya sudah lupa, apakah pada waktu itu Mas Pram
m enyam paikan saputangan hasil sulam annya sendiri.
334 Bersama Mas Pram

Pokoknya, di dalam penjara itu dia sudah sem pat m enyulam


saputangan untuk anak sulungnya, Titiek, dengan kalim at:
”J adilah insinyur kim ia”.
Dalam pertem uan itu tem a itu m uncul lagi.
”Papi m au Tieknong nanti jadi insinyur kim ia,” katanya.
”Kim ia apaan, Papi?” tanya Titiek bengong.
”Kim ia itu ilm u unsur atau zat. Air itu zat, udara itu zat,
api itu zat, lain-lain itu zat. Zat-zat itu bisa disatukan, bisa
dipisahkan. Itu nam anya ilm u kim ia. Nanti tanya lebih lanjut
sam a gurum u apa itu kim ia. Ya?”
”Em ang kenapa m esti jadi insinyur kim ia, Papi?”
”Karena kim ia itu penting, dan di Indonesia belum ada
insinyur kim ia. Tieknong nanti m enjadi insinyur kim ia yang
pertam a di Indonesia.”
”Kalau Lina jadi apa, Papi?” tanya Titiek tentang adiknya.
Saya lupa apa jawaban Mas Pram waktu itu, tapi waktu
itu Rita, anak ketiga, yang paling bandel, m enyerobot
m engatakan:
”Kalau Rita, kalau Rita....”
Belum lagi dilanjutkan, Rina m enyerobot m engatakan:
”Rita m aunya jadi insinyur robek! Sukanya ngerobek
buku!”
”Siapa yang m erobek buku?” sam bar Mas Pram .
”Ini!” tuding Lina pada Rita.
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Tidak boleh, ya!” sam bung Mas Pram . ”Merobek buku itu
biadab!”
”Apa, Papi?” Titiek.
”Biadab!” ulang Mas Pram . ”Biadab itu tak beradab, tak
punya kebudayaan!”
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 335

”Dia juga suka nyoret-nyoret buku!” tuduh Lina.


”Mencoret-coret buku juga biadab!” tekan Mas Pram .
Disusul dorong-m endorong dan tarik-m enarik antara Lina
dan Rita. Percakapan berlanjut dengan anak-anak yang lain,
disusul dengan Mbak Pram , dan terakhir dengan saya:
”Apa kabar, Liek?” tanyanya.
”Biasa. Kok sehat betul?” kata saya sam bil m em perhatikan
sosoknya.
”Berkat nyonya,” katanya m em uji istrinya. ”E, berhenti
m erokok!” sam bungnya segera.
”Bagus itu! Sudah tidak lagi kuning jarinya?”
”Tauk. Nggak m em perhatikan. Kau ingat saja?”
”Kan saya yang bertugas beli tem bakau?” kata saya
m engingatkan.
”O iya.... Tapi juga olahraga,” katanya m enyam bung tem a
yang sem pat terputus.
”Olahraga apa?” sam but saya.
”Angkat besi,” jawabnya bangga.
”Ada alatnya?”
”Ya bikin!” lebih bangga. ”Sam a dam bel!”
Tidak sebagaim ana layaknya, Mas Pram tidak m em pert-
ontonkan kesehatan badannya, seolah dengan sem ua kata
itu sudah cukup. Dan di situ pertem uan tersebut berakhir,
ditutup dengan acara rangkul-m erangkul dan cium -m encium
www.facebook.com/indonesiapustaka

lagi. Ternyata waktu setengah pukul itu selintas saja, apalagi


dipotong proses pem anggilan keluarga, pem anggilan tahanan,
dan acara di awal dan akhir pertem uan.
Bertemu Resink

NAMA J AN Resink sudah kam i kenal tahun 1950 sejak


kam i pindah dari Blora ke J akarta, sebagai orang Belanda
berkewarganegaraan Indonesia, tem an baik Mas Pram .
Ketika itu kami masih di SMP, dan revolusi isik belum lama
berlalu. Waktu Mas Pram bercerita tentang dia, saya heran,
kok ada orang Belanda yang m enjadi warganegara Indonesia.
Terpengaruh oleh suasana revolusi, saya m erasa bahwa
sem ua orang Belanda jahat. Dari pelajaran sejarah saya tahu
m ereka datang ke Indonesia, katanya, m au berdagang, tapi
nyatanya m alah m em erangi rakyat Indonesia, kem udian
berangsur-angsur m enjajah Indonesia. Sam pai-sam pai ada
pem eo ”Seperti Belanda m inta tanah, dikasih sehasta m inta
sedepa”. Som bongnya bukan m ain. Tapi ketika diserbu
www.facebook.com/indonesiapustaka

J epang, m ereka ngacir tidak m elawan. Saya m elihat sendiri,


betapa takutnya tam pang serdadu m ereka di Blora m enjelang
penyerbuan itu. Tapi ketika Bung Karno dan Bung Hatta atas
nam a bangsa Indonesia m enyatakan kem erdekaan Indonesia,
Belanda datang lagi, dan berusaha m enaklukkan kem bali dan
m enjajah rakyat Indonesia. Seperti saya ceritakan di m uka,
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 337

saya m enyaksikan sendiri sewaktu m ereka m enduduki kem bali


Blora dengan perlengkapan m iliter yang m ustahil dilawan
tentara Indonesia.
Tapi kam i—Mbak Is, saya, dan Cus—oleh Mas Pram tahun
itu juga disuruh datang m em perkenalkan diri kepada Pak
Resink di rum ahnya di J alan Gresik, daerah Menteng. Saya
sudah lupa naik apakah kam i waktu itu dari Kebon J ahe Kober
ke J alan Gresik, yang waktu itu terasa sangat jauh. Kam i tidak
m em buat janji dahulu untuk bertem u, dan hubungan telepon
tidak ada. Sam pai di sana kebetulan ia ada di rum ah. Kam i
pun m em perkenalkan diri sebagai adik Mas Pram . Begitu
m endengar nam a Mas Pram , ia langsung m engerti, dan
m em persilakan kam i duduk di depan. Kelihatannya dia sedang
m elakukan sesuatu—m em baca atau m enulis m isalnya—
sebelum kam i m engetuk pintunya.
Pak Resink bersosok sedang untuk orang Belanda, tidak
seperti serdadu-serdadu Belanda yang sering saya jum pai
sesudah m ereka m enduduki Blora. Waktu itu pun ia sudah
agak botak. Orangnya ram ah, tapi tidak banyak senyum .
Tapi tentu saja ia layani kam i dengan berbagai pertanyaan
elem enter tentang diri kam i. Sebaliknya, kam i tidak m engajukan
pertanyaan apapun kepadanya. Sebagai anak-anak yang baru
datang dari kam pung, kam i cukup clingus (kam pungan dalam
sikap dan tindak-tanduk) dan tidak m ungkin berbicara bebas
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan ”seorang Belanda” yang baru kali itu kam i kenal. Maka
walaupun ia m encoba bicara banyak tentang m acam -m acam
hal di Indonesia, waktu itu kam i m em aksa diri untuk segera
m inta diri, dan rupanya disam but dengan gem bira olehnya,
karena dengan dem ikian ia bisa m elanjutkan kegiataan yang
terganggu oleh kedatangan kam i.
338 Bersama Mas Pram

Dan sekarang saya m engusulkan kepada Mbak Pram untuk


berkunjung ke rum ah Pak Resink. Saya rasa hal yang wajar
sekali kalau tem an baik m endengar kabar tentang keadaan
kita. Dan kebetulan waktu itu saya baru m em beli m otor bekas
m erek Puch 250 cc, yang saya anggap sebagai kebanggaan,
karena m otor Ducati saya hanya 125 cc.
Mbak Pram setuju. Maka pada suatu hari, dari penjara
Gang Tengah, Mbak Pram saya bonceng ke J alan Gresik.
Tentu saja Pak Resink sudah kenal dengan Mbak Pram . Kam i
dipersilakan duduk di ruangan depan.
Saya berusaha bersikap hanya sebagai pengantar, dan
tidak m encam puri pem bicaraan m ereka, yang m ereka lakukan
dengan gaya lirih. Tam pak Pak Resink m em perlihatkan wa-
jah prihatin (m ungkin wajahnya m em ang dem ikian), sedang-
kan Mbak Pram —sebagaim ana biasa—m enunjukkan sikap
biasa saja. Tahun-tahun hidup bersam a Mas Pram telah
m enggem blengnya m enjadi wanita tabah yang siap m enghadapi
segalanya. (Mungkin pula wajah dan sikapnya pun selalu
dem ikian.) Kedatangannya ini pun bukan untuk m engadu atau
m engeluh, sekadar m em beritakan keadaan Mas Pram .
Kam i tidak lam a berada di ruangan itu, sekitar setengah
jam . Sebelum kam i pulang, Pak Resink m em berikan am plop
kecil kepada Mbak Pram . Menurut Mbak Pram kem udian,
isinya tidak banyak, tapi sebagai tanda persahabatan tentu saja
harus dihargai.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ada satu orang lagi yang kam i datangi sebelum itu, tapi
sayang sekarang saya sudah lupa, siapa. Kam i m inta diri tepat
pada waktunya, karena baru beberapa m enit kam i m enyusuri
J alan Gresik, tiba-tiba turun hujan deras, sehingga kam i ter-
paksa berteduh agak lam a di depan sebuah toko di dekat
Kantor Polisi Seksi VI.
Membangun Dua Rumah

MAS HER adalah pem ain badm inton yang andal, dengan
lawan-lawan m ain yang andal juga, antara lain Pak Harjono,
Pak Wongkar, dan Pak Sapri, pem ilik bengkel m obil selang
satu rum ah dari rum ah Mas Her. Di bengkel itu pula Pak Sapri
m em buat lapangan badm inton yang bagus, dan sekali dua kali
sem inggu, m alam hari, para pem ain andal itu m em am erkan
kehebatannya. Sering m ereka baru bubar pukul 11 m alam .
Mereka sangat m enikm ati perm ainan itu, diselang-seling
m engobrol politik, dan pulang ke rum ah m asing-m asing
dengan langkah gagah, m enunjukkan bahwa perm ainan itu
sangat berm anfaat bagi m ereka.
Sejauh kem udian saya ketahui bahwa m ereka bukan
sekadar pem ain badm inton dan pengobrol. Buktinya, jalan
www.facebook.com/indonesiapustaka

baru di depan rum ah itu—J alan Multikarya—m erekalah, atau


tepatnya Pak Saprilah, yang m em berikan. Nam a Multikarya
jelas m enunjuk pada berbagai kegiatan di bengkel tersebut.
Mengikuti pola itu, gang yang sejajar dengan jalan itu, yang
sem ula nam anya Gang Bulus, kem udian dinam akan J alan
Multikarya II, tem pat tinggal keluarga Mas Pram sekarang.
340 Bersama Mas Pram

Dan, belakangan m ereka berhasil m em bentuk Paguyuban RW


lengkap dengan akte notarisnya, yang tiap bulan berkum pul,
m akan-m akan, m engobrol, m enyetor uang sim panan,
m em injam m odal dengan bunga 3% sebulan, berpiknik, dll.
Paguyuban itu rapi betul jalannya, dan asetnya jutaan rupiah,
yang waktu itu terhitung angka yang besar. Dan setiap tahun
m em bagi-bagi bunga pinjam an.
Nah, pada suatu hari Mas Her bilang kepada saya:
”Dik Liek kalau m au bikin rum ah, sim pan saja dulu uang
pada Pak Sapri. Dia bisa dipercaya.”
Saya waktu itu m em ang terpikir m em buat rum ah di
pekarangan Mas Her yang luas seluruhnya 40 0 m 2 , dan
ia m aupun Mbak Is sudah m enyatakan tidak keberatan.
Dan uang hasil saya m engajar m em ang lebih dari yang saya
butuhkan setiap bulan. Waktu itu penghasilan saya m inim al
30 ribu rupiah sebulan. Kalau disim pan pada Pak Sapri, kan
uang itu tak terboroskan, dan lagi bisa dim anfaatkan juga oleh
Pak Sapri untuk bisnisnya entah apa saja. J adi, dasarnya saling
m enguntungkan dan saling percaya. Usul Mas Her pun saya
terim a.
Setelah berjalan beberapa bulan, saya sam paikan hal itu
kepada Mbak Pram , dan ia pun tertarik untuk ikut m enyim pan
uangnya pada Pak Sapri. Waktu itu Mas dan Mbak Pram
m em ang punya tanah kosong seluas 60 0 m 2 yang terletak di
www.facebook.com/indonesiapustaka

Gang Bulus tadi. Begitulah, Mbak Pram pun m ulai m enyim pan
uangnya di sana.
Sesudah sekitar setahun, terpikirlah oleh saya untuk m ulai
m em bangun rum ah itu. Dengan banyak pertim bangan, saya
putuskan m em bangun bukan rum ah terpisah, m elainkan
sebagai dasar letter L terhadap rum ah Mas Her, dengan ukuran
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 341

5 x 12 m . Untuk tukang saya kerahkan pem uda-pem uda PR


(Pem uda Rakyat) yang waktu itu banyak m enganggur dan
sudah sem pat belajar m enjadi tukang kayu, tukang batu,
dll., dan untuk konsultan saya gunakan tukang ahli dengan
pengalam an puluhan tahun, warga se-RT dengan Mas Her
yang nam anya saya sudah lupa. Di m ana perlu, m alam hari
saya datang berkonsultasi dengannya.
Sesudah rum ah itu berdiri, Mbak Pram m enginginkan
dibangun juga rum ah untuknya di atas tanah kosongnya.
Untuk rum ah seluas 6 x 9 m itu, saya gunakan juga tukang
Maksum . Dengan sendirinya, m enghadapi Mbak Pram bagi
saya tidak beda dengan m enghadapi Mas Pram . Mereka satu
dalam angan saya.
Mbak Pram m enyerahkan uang yang sudah ditarik dari Pak
Sapri serta urusan pem bangunan kepada waya. Dem ikianlah,
di luar jam -jam m engajar, m engirim Mas Wiek m akanan, dan
konsultasi dengan tukang ahli, saya m engawasi pem bangunan
rum ah Mbak Pram . Karena pengalam an m em bangun dua
rum ah itu saya sem pat punya langganan pedagang m aterial
di Gang Kram at Asem dan di J alan Pram uka. Saya datang
sendiri ke pangkalan m aterial, m em eriksa sendiri barang-
barangnya, m engecek harganya dan m encatat segala
pengeluaran dan pem asukan, serta kem ajuan pem bangunan.
Saya pun m endatangi pangkalan m aterial yang lain untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

m em bandingkan harga-harga barangnya. Menurut saya,


harga-harga pada langganan saya undha-undhi (tak banyak
berbeda) dengan harga-harga di tem pat lain. Pun pelayanannya
tidak m engecewakan. Kasus yang m engecewakan justru terjadi
dengan langganan di J alan Pram uka, yaitu ketika genting yang
saya pesan tidak bisa didatangkan pada waktunya, padahal
342 Bersama Mas Pram

waktu itu hujan sudah m engancam . Terpaksalah langganan itu


saya tinggalkan.
Nah, pada suatu hari langganan di Kram at Asem itu
m engatakan begini kepada saya, ketika sudah m enghadapi
faktur:
”Sebetulnya, kalau m au, Mas bisa enak dari sini.”
”Maksudnya?”
”Ini biasa. Ya sebagian buat Mas-lah. Mau kan?”
Terus-terang saja, ini hal baru yang tak pernah terpikir
oleh saya. Dan bangunan rum ah Mbak Pram waktu itu sudah
sem pat tertutup, dengan kam ar tam u, kam ar keluarga, dan
tiga kam ar tidur berderet ke belakang. Artinya, sedem ikian
jauh saya tidak terpikir untuk m engam bil keuntungan apapun
dari pekerjaan saya m enolong Mbak Pram , yang berarti juga
m enolong Mas Pram . Keterlaluanlah kalau saya m engam bil
keuntungan dari situ.
Waktu faktur itu saya terim a, ternyata harga dinaikkan,
walau kata pem ilik m aterial, harganya tetap. Selisihnya,
yang dikatakan enak itu, buat saya. Tapi di sinilah saya harus
m engakui kelem ahan saya yang tidak biasa m em protes dan
bersitegang dengan orang lain. Faktur itu saya terim a seperti
robot m enerim a bola dari pem bikinnya, dengan perasaan tak
keruan. Saya m engerti, perbuatan itu akan ada akibatnya buat
saya, dan sebetulnya bertentangan sam asekali dengan prinsip
www.facebook.com/indonesiapustaka

saya. Maka ketika saya m enyerahkan faktur-faktur yang


sudah terkum pul kepada Mbak Pram , ada terasa tidak enak di
perasaan.
Dan betul. Selang beberapa hari kem udian Mbak Pram
datang m enem ui saya di rum ah. Dia m em protes saya dengan
kenaikan harga-harga barang itu.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 343

Nasi sekaligus beras jadi bubur, tak bisa lagi dikem balikan
jadi nasi. Tapi entah bagaim ana, saya waktu itu enggan
bercerita tentang proses pem buatan faktur oleh pem ilik
pangkalan. Saya begitu tersinggung oleh kelem ahan diri saya
sendiri, dan lebih-lebih oleh kenyataan bahwa saya tak akan
sanggup m em perbaiki hubungan baik dengan Mbak Pram
yang selam a itu saya anggap sebagai hal yang wajar. Saya
hanya m engatakan:
”Terserah pada Mbak Pram , m asih percaya pada saya atau
tidak.”
Mbak Pram tidak m em balas sekecap pun. Arang sudah
patah. Hubungan tak bisa diperbaiki lagi. Dan m elengkapi
kesialan itu, beberapa hari kem udian saya ditangkap Tim
Operasi Kalong.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Saya Ditangkap Lagi

NAMA TIM Operasi Kalong dari Kodam V J aya bukan nam a


rahasia, buktinya tim ini sering dim uat di koran. Tim inilah
yang m enangkap Brigjen Supardjo, salah seorang pem im pin
G30 S. Tim ini pula yang m enangkap Sudism an, Sekjen PKI.
Tim dipim pin oleh Mayor Suroso, dan aktivitasnya m em ang
m elakukan penangkapan orang-orang yang dianggap terlibat
G30 S atau—anehnya—terlibat dalam PKI. Kenapa nam anya
dem ikian, kiranya jelas: kalong hidup di m alam hari, dan
warnanya hitam .
Begitulah, kalau tak salah, tanggal 3 Desem ber 1968,
tengah m alam , saya dikagetkan oleh bunyi gedoran di pintu
kaca depan. Begitu keras dan kasar, sam pai saya sem pat
m engum pat: “Kurangajar, ngetok pintu nggak kira-kira!”
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ketika pintu saya buka, ternyata Pak RT Daulay yang m aju,


diiringi beberapa orang berpakaian hitam -hitam :
“Saudara Koesalah, ini dari Kodam , ada perlu dengan
Saudara.”
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 345

Pak Daulay guru sekolah teknik di J atinegara. Ia orang


yang baik dan sim patik, karena itu selalu diusulkan jadi Ketua
RT, dan dia tak pernah bisa m enolak. Malam itu pun dia bicara
dengan saya lebih dengan nada prihatin. Adapun ia m engetuk
pintu begitu rupa (kalau m em ang betul dia yang m engetuk),
m ungkin lebih karena terhanyut oleh perasaannya.
“O, silakan!” kata saya.
Saya tak ingat rincian prosesnya. Pokoknya saya sudah
duduk di hadapan dua “kalong”, seorang di antaranya
m enyodorkan surat penangkapan.
Saya baca surat itu.
“Tapi surat ini sudah kadaluwarsa!” protes saya.
Mem ang dalam surat itu tertulis, m asa berlaku surat itu
akhir Oktober 1968, jadi sudah lewat sebulan lebih.
“Ya, tapi ada surat yang lebih um um !” kata kalong. “Ini!”
Ia m enyodorkan surat lain yang m enyatakan bahwa
m ereka adalah pelaksana Operasi Septem ber. Mem baca itu,
m engertilah saya, bahwa saya tak bisa m engelak lagi.
“Kalau begitu, saya m inta izin bersiap-siap!” kata saya.
“Silakan!”
Waktu itu seluruh rum ah sudah terbangun: Mas Her,
Mbak Is, ibu Mas Her, em pat anak, tidak term asuk dua anak
terkecil. Sem ua hanya tercengang berdiri berkeliling. Ketika
saya m asuk kam ar untuk ganti pakaian, kalong m engikuti
www.facebook.com/indonesiapustaka

dengan kedua tangan di kantong. Kalong lain m engam bil dua


m esin tulis, dua tustel, dan satu tas berisi dokum en-dokum en
penting. Melihat rak-rak buku saya, kalong itu bertanya:
“Ini belum pernah dioperasi?”
“Tidak,” jawab saya singkat.
346 Bersama Mas Pram

Ketika saya ke kam ar m andi untuk am bil handuk, kalong


m engikuti. Dari suara di sekitar, dapat saya m engerti bahwa
rum ah sudah dikepung. Saya berpakaian lengkap, m em bawa
tas perjalanan berisi pakaian ganti dan alat bebersih.
“Kam ar ini disegel. Dilarang buka!” kata kalong.
Saya m inta diri kepada Mas Her dan Mbak Is, ibu Mas Her,
dan anak-anak.
“Adik saya m au dibawa ke m ana, Pak?” pohon Mbak Is.
“Pokoknya ke Kodam . Nggak usah dicari-cari!” kalong.
“Oom Liek, tinggali saya uang!” pinta Mbak Is.
Barulah teringat oleh saya, Mbak Is tidak pegang uang
sam asekali. Waktu itu saya tak ingat orang lain, apakah Mbak
Is, Mbak Pram , atau Mas Pram sekalipun. Saya hanya ingat
diri saya sendiri.
Singkat kata, saya dibawa ke m arkas kalong itu di J alan
Gunung Sahari V. Di sana saya dilucuti dari “barang-barang
yang terlarang” seperti sabuk, tali sepatu dan sepatunya
sekalian, geretan, pulpen, dan... uang.
Saya ditaruh tanpa keterangan apapun di sebuah ruangan,
di m ana beberapa orang lain m enggeletak sejadi-jadinya di
ubin. Saya dapat satu kursi berjok rotan. J ok itulah yang saya
copot buat alas pantat, dan kepala saya rebahkan ke atas tas.
Saya m encoba tidur. Tapi ya am pun. Di kam ar sebelah
orang dihajar seperti dalam sandiwara radio, lengkap dengan
www.facebook.com/indonesiapustaka

ketawa ngakak si pem enang. Terus-terang, saya belum pernah


m em bayangkan adegan di sandiwara radio itu m em ang pernah
ada di dunia. Ternyata inilah buktinya. Di satu pihak pekik-
erang, di lain pihak pekik-girang, dan itu sepanjang m alam .
Sam pai hari terang!
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 347

Seorang tua yang peot m endekati saya:


“Lekra, ya?” tanyanya sam bil m enjeling.
“Bukan!” jawab saya singkat.
“Som bong! Di sini jangan som bong-som bong. Di sini ada
sem ua alat pem aksa. Maka jangan som bo-o-o-ong!” repetnya.
“Itu, tem anm u. Hancurrr!” sam bil m enunjuk tem an saya yang
sudah jadi kucing dim andipaksa.
Tapi saya tidak berm aksud bercerita tentang itu, saya m au
bercerita tentang pem eriksaan saya sendiri. Pagi itu juga saya
didekati seorang kalong. Dia katakan bahwa yang m em eriksa
kucing itu adalah Mem et dari CDB (Com ite Daerah Besar)
J am bi, Ketua Tim Pem eriksa (jadi yang ketawa ngakak sem alam )
Kam al dari Departem en Luar Negeri CC (Central Com ite), dan
yang m endekati saya tadi Kusnun dari Sekretariat CC.
“Dadi kabeh kancane dhew e, kok—J adi sem ua tem an
sendiri, kok,” katanya akrab. “Mulakna m engko terus-terang
w ae. Tinim bang aw ak rusak—Maka nanti terus-terang saja.
Daripada badan rusak,” sam bungnya.
Siang itu juga saya diperiksa oleh seorang m ahasiswa
sukarela, nam anya Indra. Itu barangkali sebabnya saya tidak
diperlakukan sebagai kucing. Tapi sesudah istirahat, dan
diperiksa lagi, datang yang nam anya Kam al, m engancam :
“Ha ini, Koesalah, tukang bohong. Putar dulu!”
Pada pokoknya, dari pem eriksaan itu ingin diketahui,
www.facebook.com/indonesiapustaka

apakah saya anggota PKI, apakah saya terlibat G30 S, apakah


saya ikut gerpol (gerilya politik) m asa itu.
Siapakah dan apakah pelindung saya m enghadapi sem ua
itu? Nol. Yang lain-lain pun tanpa pelindung. Maka diri
sendirilah yang harus m elindungi. Pegangan saya hanyalah
348 Bersama Mas Pram

jawaban yang dapat diterim a pem eriksa atas pertanyaan yang


diajukannya. Selain itu, siap disiksa. Entah bagaim ana, saat itu
juga dalam hati saya sim pulkan: paling sedikit disiksa, paling
banyak m ati! Ini peristiwa besar, tum bangnya pohon besar.
Tum bangnya pohon besar selalu m enim pa belebas di bawahnya.
Dan faktor luar yang penting juga adalah keberuntungan.
Walaupun saya ditanya tentang siapa saja saudara-saudara
saya, anehnya saya tak ditanya sedikit pun tentang Mas Pram .
Begitupun ketika pem eriksaan dilanjutkan oleh Mem et, dan
di penjara Gang Tengah oleh seorang Kolonel dengan badega
seorang Sersan-Mayor. Ketika PV (proses verbal) harus saya
tandatangani, saya dilarang m em baca halam an pertam a, yang
tentunya berisi tuduhan, dengan alasan “ini hak prerogatif
kam i”. Saya tidak m em protes, karena protes tidak ada dalam
kam us tahanan waktu itu. J ustru kem udian itu m enjadi senjata
saya waktu diperiksa oleh sang Kolonel.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Ramai-ramai Jadi Musuh Negara

DARI MARKAS Operasi Kalong, sekitar Maret 1969, tanpa


bertem u keluarga, tapi berkali-kali m endapat kirim an m akanan
darinya, saya dibawa ke Lidikus, antara lain bersam a Pak J aka.
Nah, pada suatu hari Pak J aka dengan antusias m engabari
saya:
“Eh, Koes, saya tadi lihat Piet. Piet itu, Piet yang kita
kenal...!”
“Di m ana?” tanya saya kosong.
“Ya di sini! Dia sudah jadi alat Kodam . J adi kita m asuk ini
karena dia!”
Seperti biasa, Pak J aka bicara penuh em osi, dengan getar
m ulut dan suara. Tapi saya tak tertarik. Nyatanya saya sudah
m asuk, m au apa? Di sini saya bertem u lagi dengan gedung yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

pernah saya kenal, tapi sudah dengan penghuni lain, yang tetap
padat, sam pai saya tak kebagian tem pat dan terpaksa tidur di
pelataran. Dan sebulan kem udian dibawa (istilah serem nya
dijebloskan) ke penjara Gang Tengah, yang pada 1965 sudah
diubah nam anya m enjadi LP (lem baga pem asyarakatan), tapi
waktu itu diubah nam anya m enjadi RTC (rum ah tahanan
350 Bersama Mas Pram

chusus), dan kem udian diubah lagi m enjadi lebih m entereng,


Inrehab (instalasi rehabilitasi).
Saya m ula-m ula disekap di Blok C, sesudah loyo, dua
bulan kem udian, dipindah ke Blok G. Di Blok G inilah keadaan
dem ikian rupa, sehingga saya ikut m enjadi m angsa kutu
kepala, kutu pakaian, dan kutu busuk. Kalau di zam an J epang
saya tak sam pai ikut m engalam i, kini di zam an Soeharto saya
tertangkap basah-kuyup. Tapi sebetulnya saya tak hendak
bicara tentang ini.
Waktu itu, dari m ulut ke m ulut, saya ketahui Mas Pram ada
di Blok R, dan Mas Wiek di Blok P. Seperti sudah saya ceritakan
dalam Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali, saya sem pat
berpandangan dari jauh dengan Mas Pram , sewaktu para
tahanan diberi kesem patan bersem bahyang J um at di lapangan
tengah RTC. Yang belum saya ceritakan adalah bahwa waktu itu
pula saya sem pat bertem u dan bersalam an dengan Mas Wiek.
Saya lihat, tak ada kekecewaan apapun pada wajah Mas Wiek.
Sungguh saya hargai sikapnya itu. Padahal sekitar Novem ber
1968 saya sem pat bertem u dengannya dalam pertem uan
keluarga di penjara itu, di m ana ia m engatakan dirinya term asuk
golongan C yang harus dibebaskan. Karena itu ia m inta dikirim
kem eja dan celana yang pantas, serta sepatu. Saya tak sem pat
m engirim inya, karena keburu ditangkap kalong.
Bersem bahyang J um at tentunya tiap m inggu, tapi
www.facebook.com/indonesiapustaka

sesudah itu tak ada kesem patan lagi buat bertem u dengan
m ereka, karena tak lam a kem udian m ereka diberangkatkan
ke Nusakam bangan dan selanjutnya ke Pulau Buru. Saat
pem berangkatan itu sem ua tahanan lain wajib dikunci di sel
m asing-m asing, dan dari jendela sel yang sem pit itulah m ereka
hanya bisa m elirik ke tengah lapangan, m elihat barangkali ada
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 351

di antaranya yang m ereka kenal. Maka terdengarlah seruan-


seruan: “He, Pak Bono, he, Pak Pujo, he, Pak Sofyan....” Saya
yang waktu itu ada di Blok G, karena itu terlalu jauh dari
lapangan, tidak m elihat apa-apa.
Manusia hidup bukan dengan niat sendiri, tapi selanjutnya
harus m enghidupi diri sendiri, dan untuk itu ia harus berjuang
dengan kem ungkinan berhasil atau gagal. Dalam perjuangan
itu ia m em peroleh atau sebaliknya kehilangan, keduanya dalam
jum lah kecil atau besar, kalau perlu kehilangan kem erdekaan,
seperti yang kam i alam i sekarang, bahkan pada akhirnya
wajib kehilangan segalanya, yaitu m ati. Kalau sekarang saya
m engikhlaskan diri kehilangan kem erdekaan, bagaim ana pula
saya takkan m engikhlaskan kedua abang saya itu. Saat itulah
dengan sendirinya terjalin lagu dalam angan saya:

Burung bangau terbang lalu,


Terbang satu-satu,
Tiada sangsi, tiada ragu,
Nuju pulau y ang baru.
Ref.: Tanah baru, pulau baru, terbanglah
burungku,
Tanah baru, pulau baru, terbanglah
burungku.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Didikan ibu saya yang sem pat saya kenal sam pai usia
tujuh tahun hanya dua: jadi anak pandai dan jadi orang baik.
Tentang jadi anak pandai, sudah saya singgung di m uka,
saya cum a anak m agel (tanggung). Tapi m enurut saya, itu
terutam a bukan kesalahan saya sendiri, karena banyak lagi
faktornya. Adapun yang dim aksud jadi orang baik, tentunya
352 Bersama Mas Pram

dalam pengertian kem asyarakatan, hubungan antarm anusia,


tapi dalam pengertian politik, tentunya tunduk pada undang-
undang negara.
Kam i bertiga orang-orang yang taat undang-undang
negara, berarti taat pada negara, bahkan pada zam an kam i
m asing-m asing dan sesuai um ur kam i m asing-m asing sem pat
am bil bagian dalam m em bela negara. Sekarang kam i bertiga
m enjadi m usuh negara. Apa yang terjadi?
Saya m enoleh kiri-kanan. Ternyata rakyat pun sudah
ram ai-ram ai m enjadi m usuh negara. Ataukah negara yang
sudah m enjadi m usuh rakyat?
www.facebook.com/indonesiapustaka
Coes Terpaksa Pulang

SEPERTI SAYA, Coes pun m endapat kesem patan belajar di


Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa di Moskwa. Dia dua
tahun lebih m uda dari saya, diterim a tahun 1962, dan belajar
di fakultas ekonom i. Sewaktu harus berangkat ke Moskwa, ia
berstatus pegawai BPK (Badan Pem eriksa Keuangan) di Bogor,
dan sekaligus sukarelawan Pem bebasan Irian Barat yang
dilatih kem iliteran.
Otaknya, setahu saya, cukup encer, jadi kalau tidak terjadi
suatu force m ajeure, tahun 1967 dia pasti akan sudah pulang.
Tapi ya itu. Karena terjadi G30 S, dia term asuk yang dicabut
paspornya oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di
Moskwa, tetapi karena statusnya m asih m ahasiswa beasiswa,
ia dapat m eneruskan pendidikan sam pai m endapat diplom a—
www.facebook.com/indonesiapustaka

istilah sekarang S1—, dan karena angka-angkanya cukup baik,


ia bisa m eneruskan pendidikan ke tingkat pascasarjana sam pai
m endapat gelar Doktor Ilm u Ekonom i.
Sem entara itu terjadi polarisasi di antara para m ahasiswa
beasiswa. Mem ang m ereka cerm in belaka dari m asyarakat
Indonesia di Indonesia: pendukung Soekarno atau Soeharto.
354 Bersama Mas Pram

Sebagaim ana pendukung Soekarno di Indonesia ditindas


habis-habisan, dem ikian pula pendukung Soekarno di luar
negeri, in casu di Moskwa. Kalau di Indonesia ada skrining
dan interogasi, di Moskwa pun ada. Tinggal m au atau tidak
untuk diskrining atau diinterogasi. Yang tidak m au, otom atis
dianggap m usuh negara, dan m enjadi m usuh negara.
Coes tentu saja m erasa sekelom pok dengan kam i bertiga
yang sudah m asuk bubu, nam un karena ia m erasa tak terikat
oleh organisasi apapun, ia bersikap seperti orang bebas. Sikap
seperti itu ternyata tidak disenangi oleh kelom pok-kelom pok
yang saling berkontradiksi.
Kadang-kadang, jarang, datang surat Coes lewat alam at
Kantor Mas Her. Cara itu dengan sendirinya kam i m engerti:
untuk m enghindari kecurigaan. Tapi tentu saja kam i m engerti
juga bahwa cara itu pun tidak sepenuhnya am an. Dalam surat-
surat seperti itu, walaupun disam paikan senetral m ungkin,
terasa juga bahwa lingkungan hidupnya di Moskwa sem akin
tak tertahankan. Hal itu saya dengar dari Mbak Is, kalau kam i
m endapat giliran pertem uan keluarga.
Dan sebagai petirnya, pada suatu pertem uan tahun 1973,
Mbak Is m engabarkan bahwa Coes sudah pulang, lewat
J erm an, dan di Lapangan Terbang Kem ayoran langsung
dijem put “petugas” yang m em bawanya ke sebuah rum ah di
daerah Menteng, dan dari sana ke tem pat yang dinam akan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Satgas (Satuan Tugas) Pusat di Gang Buntu, Kebayoran Lam a.


Tem pat itu kam i, para tahanan, kenal betul sebagai tem pat
yang ganas, tak kurang dari m arkas Tim Operasi Kalong,
karena kadang-kadang dari Salem ba ada yang “dibon” atau
dari sana “dibon” juga atau dikem balikan ke Salem ba. Mbak Is
sudah sem pat bertem u dengannya; m enurut dia keadaannya
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 355

“baik-baik saja”. Yang m engagetkan adalah bahwa “petugas”


yang m enjem put dia di Kem ayoran adalah orang bernam a
Giyon, bekas tem an kuliah kam i di Moskwa, yang waktu itu
sudah pulang duluan ke Indonesia.
Berita ini m enjadi ajang ram ai di Salem ba, karena tak lam a
kem udian orang bernam a Suwarto dikem balikan ke Salem ba
setelah “dibon” Satgas Pusat. Dengan sendirinya m erepet
tentang m asuknya Doktor Ekonom i dari Moskwa tersebut.
Tentu saja saya lalu kejatuhan abu hangat.
“Kenapa pulaaang?” protes m ereka kepada saya, seolah-
olah sayalah yang pulang.
“Lho, kok baliii? Piy e?—Lho, kok pulang? Bagaim ana?”
ujar seorang dari J ogja.
Tapi yang tak saya lupakan adalah ucapan Harjono yang
singkat padat: “Durak!”
Durak adalah kata Rusia untuk tolol atau goblok. Harjono
m em ang bekas pelajar di Moskwa, insinyur perm inyakan. Kata
itu seolah m enghunjam ke dalam jantung saya sendiri. Dalam
sekejap saya pun m enjadi pum punan ikan, yang hanya dengan
getir saja bisa saya layani.
Tapi yang m enjadi pertanyaan saya adalah bagaim ana
kiranya reaksi Mas Pram m endengar berita ini: adiknya yang
ketiga m asuk tahanan. Berapalah jauhnya Buru dari Salem ba
untuk telinga tahanan?
www.facebook.com/indonesiapustaka
Coek Melarikan Diri

COEK ADIK bungsu, beda em pat tahun dengan saya, dari


kecil sakit-sakitan. Di zam an J epang sem pat borokan yang
m em bikin tungkainya sam a besar dengan betisnya. Satu-
satunya obat cum a prusi yang tak m enyem buhkan, bahkan
sebaliknya m enyerikan, sehingga adik saya itu seharian hanya
bisa tiduran dan m enangis berkepanjangan. Kalau nyerinya
sedang reda, ia pun m enem bang berkepanjangan dengan
suara m endayu-dayu, m enyanyikan apa saja, terutam a lagu
yang m engungkapkan penderitaan: derita anak, derita hidup,
dan akhirnya derita cinta.
Nam un kegem arannya m enem bang dan m enyanyi itu
ternyata m em buka pintu pergaulan baginya, karena ia bisa
m enjadi anggota koor Tim Kesenian Kostrad (Kom ando
www.facebook.com/indonesiapustaka

Strategis Angkatan Darat). Kalau sudah m enggila, berjam -jam


ia ngglenggeng (m enem bang berkepanjangan) sam pai lupa
m akan lupa berak. Keanggotaan dalam koor juga m em bawanya
m enjadi peserta latihan yudo hingga sem pat m elewati beberapa
sabuk.
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 357

Ketika G30 S pecah, dan Mas Pram dan Mas Wiek ditangkap
m iliter, keluar dalam salah satu harian angkatan bersenjata
berita bahwa Tim Kesenian Kostrad telah diselundupi kom unis,
dengan m asuknya adik Pram oedya Ananta Toer bernam a...
Coek.
Mem ang di m ana-m ana ada saja tukang jualan. Dan
tukang jualan itu berm acam barang jualannya, yang berbentuk
m aupun tidak, antara lain nyawa orang lain. Coek sadar betul
bahwa nyawanya sedang hendak dijual kepada m iliter yang
waktu itu m enjadi penebas nyawa terbesar. Begitulah, tanpa
pikir panjang lagi, pekerjaan di Marga Bakti yang m enjadi
sum ber hidupnya dia tinggalkan, dan kabur ke Sem arang.
Di Sem arang, di rum ah seorang ipar di daerah Bulu, entah
bagaim ana, ada tetangga yang m engenalinya. Mula-m ula
tetangga itu hanya m em perhatikannya kalau ia sedang keluar
rum ah. Lam a-lam a tetangga itu berani m enyebut PKI. Coek
terkesiap m endengar itu, tapi karena ia m endengar kurang
jelas, ia sangsi, benarkah yang didengarnya? J angan-jangan ia
hanya dengar-dengaran.
Lain waktu ia sengaja m em buka telinga lebar-lebar. Dan
tetangga itu m em ang sudah m enghadangnya. Kini dengan
jelas ia m endengar kata itu, PKI. J elaslah, di sini pun nyawanya
hendak dijual orang. Ia berpura-pura tidak m endengar itu.
Tapi hatinya sudah tak jenak lagi. Awalnya ia berm aksud pergi
www.facebook.com/indonesiapustaka

ke Tlogo Bayem , ke rum ah seorang kerabat. Karena sudah


gelisah, ia pun balik kanan jalan, pulang.
Tetangga itu sengaja bersandar pada pintu gerbang
rum ahnya, dan dari tem patnya berdiri dilontarkannya
pandangan m engejek, berbisik ditekan:
358 Bersama Mas Pram

“He, PKI.... He, PKI lari...!”


“Kam u sendiri PKI!” serobot Coek, dan dengan kecepatan
lesus (angin berputar), dilipatnya lengan orang itu, dan
dibantingnya keras sam pai kepalanya ny ungsep ke got. Dengan
itu ia m enyalahi ajaran yang m endasari bela diri yudo, tapi
waktu itu ia m erasa jiwanya terancam , dan ia harus m em bela
jiwanya. Untungnya, ya, untungnya tidak ada saksi adegan
cerita “ilm” tersebut. Dan untungnya, orang itu ternyata begitu
pengecut, sehingga m eneriakkan kata PKI saja tidak berani.
Maka dalam sekejap Coek pun sudah m eninggalkan Sem arang,
tanpa sesuatu tujuan.
Ia tak tahu bahwa bukan hanya di J awa m iliter m enjadi
penebas nyawa, m elainkan di seluruh Indonesia. Maka,
m enurut perhitungannya, ia harus m enyelam atkan diri ke
tem pat yang paling jauh dari J awa. Begitulah, pada suatu hari
ia sudah berada di Irian Barat. Di Irian Barat pun ia tidak berani
tinggal di kota, m elainkan di sebuah pulau, Gag nam anya. Dan
di sana ia tidak berani m enam pilkan diri sebagai orang yang
m elek huruf. Ia m enjadi kuli angkut di sebuah perusahaan
m inyak. Ia pun tak berani m enggunakan nam anya sendiri,
yang pada orang lain m enjadi kebanggaan, dan m enggantinya
dengan Renggoyuwono yang sam asekali tak ada bau-baunya
Toer.
Kata orang, hanya Tuhan yang tahu, padahal di sini terbukti
www.facebook.com/indonesiapustaka

m anusia pun tahu. Buktinya, pada suatu kali seorang tem an


kuli bertanya kepadanya:
“Kam u adiknya Pram oedya Ananta Toer, ya?”
Saya tahu, itu bukan akhir pelarian Coek. Tapi sejak itu
saya tak tahu lagi di m ana ia m em bawakan diri. Yang jelas, kini
kam i genap lim a bersaudara m enjadi m usuh negara.
Salemba-Buru

SELAMA ITU saya tak beranjak dari Inrehab Salem ba. Seorang
CPM berpangkat Kapten (sayang, nam anya saya sudah lupa)
pada suatu kali “m em eriksa” saya. Dengan gaya berahasia ia
m enunjukkan PV saya yang seolah dibubuhi huruf A dalam
lingkaran spidol. Huruf itu sudah dicoret dan didam pingi huruf
B. Dan ia m engajukan beberapa pertanyaan tentang “saudara”-
nya dari Garut yang, katanya, belajar juga di Moskwa. Mem ang
saya kenal dengan orang yang ditanyakannya itu. Lalu
berdasarkan tanya-jawab tentang “saudara”-nya itu ia ingin
m encoret huruf B dan m enggantinya dengan huruf C, tapi
untuk itu, katanya, ia butuh “insentif”.
“Berapa?!” tem bak saya langsung.
Dengan m alu-m alu ia m enyebut angka seratus.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Saya tidak m enjawab. Dia m enunjuk nam a di dadanya


sam bil m enerangkan bahwa ia bisa ditem ui setiap waktu di
kantornya di J alan Guntur. Dan “pem eriksaan” pun selesai.
Dengan sendirinya hal itu saya sam paikan kepada Mbak Is
dalam suatu pertem uan. Mbak Is, karena m em prihatinkan diri
saya, m endatangi Kapten itu. Terjadi tawar-m enawar. Intinya,
360 Bersama Mas Pram

Mbak Is hanya bisa m engangsur em pat kali, dan saat itu ia


hanya bawa uang lim a belas ribu. Uang lim a belas itu dilahap
juga oleh Kapten gom bal itu. Selanjutnya Mbak Is saya larang
m enam bahnya.
Di Salem ba itu pula saya m enjadi saksi kebenaran ucapan
“tem bok bisa bicara”. Buktinya, saya bisa m endengar apa saja
berita tentang Mas Pram di Buru. Saya m endengar, seperti
ibu-ibu yang lain Mbak Pram dibujuk oleh m iliter untuk m au
m enyusul Mas Pram ke Buru. Dan Mas Pram m enolak tegas
dengan m engatakan: “J angan!” Ia berkeyakinan, begitu ia
m engatakan “Ya”, tidak ada seorang pun tahanan akan dapat
pulang dari Buru.
Saya m endengar reaksi Mas Pram tentang penangkapan
Coes. Ia m erasa bersalah telah pernah m enyam paikan anjuran
ibu kam i kepadanya untuk belajar di Eropa. Ia m erasa, dengan
m enyam paikan anjuran itu, seolah ia sendiri m enganjurkan
kam i belajar ke Eropa, dan itu kam i laksanakan, tapi sekarang
akibatnya kam i berdua m asuk tahanan.
Saya m endengar bahwa dari unit biasa Mas Pram dipindah
ke unit pokok yang nam anya Mako (m arkas kom ando) agar
lebih m udah diawasi. Saya m endengar bahwa di Buru seorang
perwira m enam par m ukanya tanpa ada kesalahan apapun.
Saya m em bayangkan, betapa ia m erasa direndahkan dengan
kejadian itu, lebih-lebih karena ia dalam keadaan tak bisa
www.facebook.com/indonesiapustaka

berbuat apapun.
Saya m endengar dia ditem ui orang yang resm inya paling
berkuasa di Indonesia waktu itu, yang nam a jabatannya sangat
sulit diucapkan oleh penutur bahasa Indonesia, hingga kalau
kata itu bukan m iliter yang m enciptakannya, pasti tidak laku
ia di tengah m asyarakat, yaitu Pangkopkam tib (Panglim a
Bagian Keenam: Tahun-tahun yang Panjang 361

Kom ando Operasi Pem ulihan Keam anan dan Ketertiban)


J enderal Sum itro. Sum itro tentu berlagak sebagai pem egang
kebenaran tertinggi, dan bersikap tahu segalanya, dan itu
sudah inal.
Saya m endengar datangnya wartawan yang bencinya
kepada PKI, Bung Karno, dan orang J awa setengah m ati, dan
beberapa orang tokoh Manikebu yang pernah m enjadi m usuh
polem ik Mas Pram . Saya m em bayangkan, betapa m ereka akan
m em perlihatkan sikap persahabatan, kederm awanan, dan
kehalusan budi yang palsu.
Saya m endengar betapa Mas Pram m endapat kunjungan
para pendeta dan pastor yang lebih m anusiawi daripada para
perwira Pusroh (pusat rohani) yang justru m enim bunkan siksa
ke atas kepala para tahanan yang tidak berdaya itu.
Saya m endengar Mas Pram m endapat hadiah m esin tulis
dari Negeri Belanda, tapi yang sam pai kepadanya hanyalah
abab (uap m ulut)-nya.
Saya m endengar Mas Pram m endapat surat dari Presiden
Soeharto, dan Mas Pram pun m enjawab surat itu. Saya
m em bayangkan seekor kucing yang sedang berm ain-m ain
dengan tikus yang sudah klenger dan sebentar lagi akan
dikerkahnya. Tapi saya yakin Mas Pram bisa m em balas surat
(alias perm ainan kucing yang kejam itu) dengan pantas, ya,
dengan sungguh pantas.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Saya m endengar desakan Presiden Am erika Carter


kepada Soeharto untuk m elepaskan para tahanan G30 S, dan
ketidakberdayaan Soeharto untuk m enolak “cam pur tangan”
tersebut, karena sesungguhnya ia hanyalah salah satu sekrup
kecil Am erika.
362 Bersama Mas Pram

Dan yang paling penting, saya m endengar tekad Mas Pram


untuk m enjadi lebih kuat lagi daripada kapan pun sebelum nya,
satu hal yang saya ragu apakah ada di antara m anusia di dunia
ini yang pernah m endengarnya, selain saya.
Begitulah, akhirnya, bagi kam i jarak Salem ba-Buru sesung-
guhnya am at dekat, seperti jarak antara tahu dan tak tahu, cin-
ta dan benci, loyal dan khianat, hidup dan m ati.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti
Berlalu
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
Satu-satu Pulang

DESEMBER 1977 m ulai rom bongan-rom bongan tahanan


G30 S dilepaskan, sesudah 12 tahun. Oom Dig dipulangkan
dari Nusa Kam bangan dalam keadaan sakit TBC dan ginjal.
Sebelum dipulangkan ia diinapkan dulu di Inrehab Salem ba,
dan saya sem pat m enem uinya. Seperti waktu diberangkatkan
ia m enolak gula-kopi dari saya, kali ini pun ia m enolak bantuan
apapun dari saya. Mem ang begitulah orangnya. Tapi kesan
saya, kendati m entalnya hebat, tubuhnya sudah ringsek.
Mas Wiek sem entara itu pulang dari Buru. Sekarang
m enum pang di rum ah Mbak Is. Dia cerita, di Buru dia bertem u
Yesus Kristus, yang m em erintahkan dia untuk selanjutnya
m engobati orang banyak dengan yang disebut “Holy Stream
Healing Larence”, dilengkapi dengan ilm u tentang tanam an
www.facebook.com/indonesiapustaka

tradisional yang sem pat ia pelajari di sana. Dengan “Holy


Stream Healing Larence” (entah apa pula artinya itu) ia berjam -
jam m enggeletarkan sajak-sajak yang ia ciptakan sendiri tanpa
m em pedulikan saat dan lingkungan apapun. Ia bayangkan,
sejak itu uang berjuta-juta akan m asuk kantongnya, bukan
dalam rupiah, tapi dollar, yang akan m enggantikan hidup
366 Bersama Mas Pram

kelaparan selam a ini dengan hidup penuh kem ewahan. Dengan


tekad itu ia persetankan kem am puannya sebagai pengarang,
penerjem ah, dan guru bahasa Inggris. Dia sudah ringsek.
Waktu itu terjadilah praktik yang oleh Harjono dinam akan
“jalan anjing”. Siapa di antara tahanan yang ingin pulang
dulu bisa, dengan m em berikan “insentif” itu. Berbondong-
bondonglah m ereka yang m am pu dipanggil oleh kom andan
atau perwira observasi. Kalau tercapai kesepakatan tentang
jum lah “insentif”, pulanglah tahanan duluan.
Ternyata Harjono m enem puh juga “jalan anjing” itu, dan
ketika dilepas oleh perwira observasi ia ditanya:
“Siapa lagi di antara sarjana itu, Pak?”
Dia sebutlah antara lain nam a saya dan nam a Handojo.
Asal saja! Walaupun konsinyes sudah longgar, bagaim anapun
penguasa tetap penguasa. Dalam kerangka itulah saya
berhadapan m uka dengan kom andan Inrehab, J odi, dan di situ
saya bertanya:
“Pak, kenapa saya bertahun-tahun ditahan di sini?”
Dan apa jawaban J odi?
“Pak Koesalah ini kan ada hubungan dengan abangnya,
Pram oedya Ananta Toer itu?”
Saya baru m endapat giliran dilepaskan dari Salem ba,
sesudah 10 tahun, tanggal 26 J uli 1978. Dari Salem ba kam i
dibawa ke Pom dam J alan Guntur.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Di aula Pom dam para calon bebas dilatih m engikuti upacara


m iliter dalam rangka “pem bebasan”. Isinya: pem bacaan
keputusan Kopkam tib tentang pengem balian tahanan ke
m asyarakat, pem bacaan sum pah oleh para calon bebas,
dan pidato sam butan dari Kepala Teperda (Tim Pem eriksa
Daerah).
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 367

Karena ini upacara khusus yang baru kali itu dialam i


peserta, diadakan latihan berat yang m em bosankan dan
m enjengkelkan, terutam a latihan m em baca sum pah. Berkali-
kali sum pah itu harus diulang dengan suara lantang-keras-
tegas (untuk yang beragam a Kristen dan Katolik dengan
m engacungkan jari telunjuk dan tengah), sam pai suara ham pir
habis dan badan ham pir am bruk (m aklum , tak biasa berdiri
berjam -jam ). Sum pah itu berbunyi: Tak akan m enyebarkan
m arxism e-leninism e, tak akan m engadakan kegiatan politik,
tak akan berkhianat pada pem erintah/ Negara R.I., tak
akan m enuntut pem erintah/ Kopkam tib atas tindakan yang
dilakukannya terhadap calon bebas, tak akan m au diperalat
oleh G30 S, akan berbakti kepada nusa dan bangsa… dan entah
apa lagi, seluruhnya ada tujuh butir.
Latihan dan persiapan yang kira-kira lebih dari dua jam itu
akhirnya ditutup dengan upacara sesungguhnya yang hanya
m akan waktu beberapa m enit.
Untunglah perwakilan dari Kodim sudah m enunggu di situ,
sehingga begitu upacara selesai rom bongan dapat langsung
berangkat ke Kodim , di m ana akan diadakan upacara sekali
lagi. “Bapak-bapak supaya duduk tenang-tenang saja m enanti
jam acara. Waktunya m asih banyak,” kata Kasi V (Kepala
Asisten V?) yang m enjem put kam i di Pom dam tadi. Ternyata
acara diadakan pukul 12.0 0 , padahal waktu itu baru pukul
www.facebook.com/indonesiapustaka

10 .0 0 . J adi selam a dua jam itu para bebasan seperti burung


dilepas, tapi sayapnya sudah rusak. Masing-m asing lalu cari
kesibukan sendiri: ada yang kencing, m erokok, m akan perm en,
m engintip keluarga dan penjem put, m elepas sepatu yang m ulai
bikin lecet kaki, atau… sekadar m enjelepah kecapekan di kursi
kaleng yang keras.
368 Bersama Mas Pram

Satu-satu para tam u berdatangan. Ternyata untuk acara


itu akan hadir Kom andan Kodim , Walikota, Kepala Kejaksaan,
Kepala Polisi dan Kepala Lapangan Terbang Halim . Kecuali
itu seluruh aparat pem erintahan J aktim —cam at-cam at, lurah-
lurah, dan kabarnya juga RW dan RT. Singkatnya, pesta besar!
Ditunggu juga kedatangan para calon bebas dari Nirbaya.
Acara di Kodim jadi sem acam sidang um um PBB: sederet
m eja pim pinan, di kiri-kanannya para pejabat besar-kecil, dan
di depan (diapit oleh para pejabat juga) para bebasan.
Rasanya jadi seperti barang yang dikeluarkan dari gudang
untuk dilelang, dan pem beli barang lelang tak usah m engajukan
penawaran, karena harganya telah m ati, bahkan telah lam a
m ati, dan ia harus m enerim a harga m ati itu dengan senang,
karena kalau tidak, ia pun tak dapat berbuat yang lain lagi.
Untuk saya sendiri acara itu selesai pukul dua siang.
Berarti sudah 11 jam lam anya saya m engikuti acara resm i hari
itu. Nyatalah, udara luar m em ang m ahal harganya.
Saya dijem put dan “ditanggung” oleh Mbak Is. Kalau
terjadi apa-apa dengan saya, Mbak Is-lah yang harus ditangkap
tentara sebagai ganti saya.
Mbak Pram ikut m enjem put.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Sesak dan Pengap

KESEMPATAN PERTAMA yang terbuka saya gunakan untuk


m enengok Coes di Gang Buntu, Kebayoran Lam a. Sebelum nya
sudah saya dengar dari tahanan lain bahwa di situ Coes suka
m enyanyi dan m em om pa air. Ini berarti sehat luar-dalam , saya
senang. Dan m em ang saya lihat wajahnya norm al. Tentang
gam paran, ya biasalah, sam a dengan yang lain.
Yang m erupakan surprise buat saya, seorang yang
nam anya Harjito ikut m enem ui. Harjito saya kenal baik sebagai
orang yang sangat baik. Dia redaktur m ajalah Pem oeda yang
diterbitkan J awatan Pendidikan Masyarakat. Dialah yang
selalu m elayani saya kalau saya m em asukkan karangan atau
terjem ahan, dan m engam bil honorarium nya, sebelum tahun
1960 . Kalau tak sem pat m enem uinya di kantor di J alan Cikini
www.facebook.com/indonesiapustaka

Raya, saya datang ke rum ahnya di J alan Hutankayu, dan di


situ saya selalu disuguh teh m anis, dan dengan om ongan
seorang bapak kepada anaknya. Orang begitu baik, dan
sekarang m enjadi interogator yang dibenci sem ua tahanan. Ya
sudahlah.
370 Bersama Mas Pram

Tapi tak lam a kem udian Coes dipindahkan ke RTM (Rum ah


Tahanan Militer) di J alan Budi Utom o, jadi tak perlu lagi saya
bertem u dengan Harjito yang m enim bulkan sedih m endalam
dalam hati saya itu. Coes dilepaskan dari RTM itu akhir tahun
1978, jadi sem pat m eringkuk selam a lim a tahun.
Sem entara itu Mas Wiek ditangkap m iliter lagi dan disekap
di salah satu rum ah di kom pleks m iliter Lapangan Banteng
Barat. Kem bali saya m engirim dia sem inggu dua kali. Tentara
yang m elayani kirim an baik sekali sikapnya. Uang pun bisa
disam paikannya.
Apa urusan Mas Wiek kali ini? Dia cerita sesudah
dilepaskan beberapa bulan kem udian ia ditangkap lagi karena
m engobati orang. Di situ ia disuruh m enyebutkan siapa saja
yang m enghubungkannya dengan pasien-pasien yang sudah
diobatinya. Artinya, m engobati orang itu terlarang bagi bekas
tahanan. Dan yang dia sam paikan juga: tidak pernah ia terim a
uang selam a ditahan itu.
Coek sudah kem bali dari pelariannya, dan kini m enum pang
di rum ah Mbak Is juga bersam a istri dan adik istrinya.
Begitulah, rum ah bentuk huruf L itu kini dihuni tak kurang
dari 15 orang: Mbak Is sekeluarga 9 orang, Coek sekeluarga
3 orang, dan kam i bertiga bekas tahanan 3 orang. Sesak dan
sum pek, tak beda dengan berada kem bali dalam tahanan.
Datang berita bahwa rom bongan besar tahanan Buru akan
www.facebook.com/indonesiapustaka

m endarat di Tanjung Priok. Itu, kalau saya tak salah, sudah


Desem ber 1979. Dengan sendirinya saya perlukan untuk ikut
m enjem put. Saya naik m otor yang saya angsur untuk dua
tahun, belum lunas, sam pai m asuk pelabuhan, tapi tidak
sam pai derm aga.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 371

Seperti pada waktu pelepasan saya, m ereka sudah dijem put


oleh Kodim m asing-m asing, jadi dari derm aga langsung naik
truk Kodim . Setiap tahanan saya am ati baik-baik, kalau-kalau
saya sudah pangling Mas Pram selam a sepuluh tahun itu:
wajahnya atau sosoknya. Satu-dua tem an saya kenali, tapi
sam pai orang terakhir tidak ada yang nam anya Mas Pram ,
sam pai tentara yang terakhir sudah pada m eninggalkan
derm aga. Seorang di antaranya Kapten J odi, bekas kom andan
Inrehab Salem ba. Saya cegat. Dengan keyakinan dia pasti ingat
abang saya itu, saya pun bertanya langsung:
“Pak J odi, di m ana abang saya Pram oedya?”
“Wah, itu bukan urusan saya,” jawabnya. Menjengkelkan
m em ang, tapi benar. Walaupun dem ikian, itu jawaban kurang-
ajar, m engingat bahwa ia pernah m akan uang saya, atau lebih
tepatnya uang kam i. Tapi ya sudahlah. Untuk m enghibur diri,
saya kuntit truk yang m engangkut tahanan ke Kodim Plum pang.
Di sana saya am ati sekali lagi satu-satu tahanan yang turun dari
truk. Mas Pram tidak ada, dan sekali lagi tidak ada.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Mas Pram Pulang

SUDAH ITU gelap-gulita, tak ada berita tentang keberadaan


Mas Pram . Bersam a dia ada juga tem an-tem an lain yang juga
m enjadi tanda tanya. Saya m ulai bertem u dengan m ereka yang
telah pulang duluan dari Buru dan lain-lain penjara. Dan tiap
pertem uan tentu disertai pertanyaan tentang raibnya orang-
orang itu.
Sam pai akhirnya—dari siapakah itu, saya sudah lupa—ada
kabar bahwa Mas Pram dan tem an-tem an sudah ada kem bali
ke Penjara Salem ba. Itu m asih bulan Desem ber 1979. Saya
segera m em acu m otor saya ke sana. Dan seperti kebiasaan
tahanan, m ereka sedang m enunggu keputusan, keputusan, dan
keputusan. Tapi sem entara itu suasana sudah seperti dagelan.
Mereka bergerom bol dan keluar-m asuk pintu gerbang, seolah
www.facebook.com/indonesiapustaka

penjara itu tak ada lagi penjaganya. Mereka ketawa-ketawa dan


senyum -senyum tanpa juntrungan. Saya ham pir tak m engenali
Hasjim Rachm an yang berubah sam asekali wajahnya; m enjadi
panjang karena tanpa gigi sam asekali. Tapi saya kenali
Sjarifuddin yang selalu berwajah kantoran. Saya kenali Mr
Suprapto yang berwajah njawani. Saya kenali sebagian yang lain.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 373

Mereka inilah yang selam a itu disebut orang-orang keras


kepala alias diehards. Kenapa pakai bahasa Inggris, itulah
kekenesan orang Indonesia yang suka sok cas-cis-cus bahasa
asing walau sesungguhnya tak m enguasainya. J um lahnya
sekitar 40 orang yang katanya kom unis-kom unis diehards,
walau barangkali tak seorang pun di antara m ereka itu kom unis,
apalagi diehards. Saya tidak berkepentingan untuk m enyelidiki
lebih lanjut kebenaran tuduhan itu. Tuduhan selam anya lebih
hebat dari kenyataan. Kepentingan saya sekarang m enem ui
Mas Pram . Dan m em ang ia ada di tengah gerom bolan itu.
Melihat saya, tegurnya:
“Eh, Liek! Bawa barang ini duluan, gi. Bisa?”
“Barang apa?” tanya saya heran.
Tanpa m enjawab ia m enghilang di balik pintu tebal itu,
dan m uncul lagi m em bawa tas antik dari karung goni, golok
panjang dengan sarungnya, dan caping dari bam bu. Dia ulurkan
barang-barang itu seperti—kata orang Melayu—m enating
m inyak penuh, dan dengan wajah bangga. Belakangan baru
saya ketahui bahwa tas itu jahitannya sendiri, dan golok—kalau
tak salah ingat saya—berselar VOC.
“Hati-hati bawanya!” pesannya.
Dengan itu berarti saya harus segera m em beritahukan
kepada Mbak Pram tentang kedatangan rom bongan orang
hilang itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

“Mas Pram sudah di Salem ba! Ini titipannya!” seru saya


bangga, begitu sam pai di Multikarya II No. 26.
“Eh, di m ana?” tanya Mbak Pram spontan, yang waktu itu
ada di beranda.
“Di Salem ba!”
374 Bersama Mas Pram

“Kok begitu?” kata Mbak Pram lagi, entah apa m aksudnya.


Yang jelas, ia lalu bersiap berangkat ke penjara.
Saya sudah lupa, selang beberapa jam ataukah selang
beberapa hari kem udian, Mas Pram tiba di rum ah. Tapi kalau
m engingat ram ainya orang waktu itu, tentunya selang beberapa
hari, karena untuk itu dibutuhkan persiapan. Bukan hanya
para sanak-saudara dan tetangga datang m engelu-elukan,
m elainkan juga handai-taulan dan m ereka yang bukan apa-
apa pun. Anak terkecil yang waktu ditinggal um ur beberapa
bulan, kini sudah pem uda tanggung yang jangkung. Sedangkan
anak sulung yang waktu itu baru sem bilan tahun, kini sudah
punya calon suam i yang siap nikah. Untuk m em antaskan
diri m enjadi m enantu seorang pengarang, ia bahkan sem pat
m enulis artikel tentang kedatangan calon m ertuanya, yang
dim uat dalam salah satu koran ibukota. Anak-anak m uda
tem an-tem an keenam anak itu, laki-perem puan, tak terhitung
jum lahnya. Mereka ikut bergem bira atas pulangnya bapak
tem annya, yang bertahun-tahun dipenjara dan dibuang oleh
pem erintah, tapi ini bisa pulang kem bali dalam keadaan sehat-
walaiat. Perhelatan mendadak itu melintasi siang, menembus
m alam , hingga kam ar depan yang beretiket “Selam at datang,
Papi tercinta” belum juga sem pat dim asuki.
Dari lontaran pertanyaan dan jawaban yang tanpa sistem
atau aturan dapatlah dirunut perjalanan keem pat puluh orang
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu, yang oleh pem erintah tak hendak dilepaskan, sebaliknya


hendak disem bunyikan dari pandangan um um dan terutam a
pandangan pers internasional. Mereka diturunkan di tengah
laut di utara Surabaya, didaratkan di Surabaya, diangkut ke
Sem arang, dilanjutkan ke Magelang untuk disim pan di benteng
Willem III, lalu dibawa kem bali ke Banyum anik, Sem arang,
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 375

dipindahkan ke Wism a Pandanaran, juga di Sem arang, untuk


akhirnya diupacarakan, dan baru sesudah itu dibawa ke
J akarta. Konon sedianya m ereka akan disem bunyikan di Nusa
Kam bangan. Bagaim ana pem erintah bisa punya keinginan
untuk m enyem bunyikan orang sebanyak itu, itulah yang
m engherankan. Maka kini pem erintah terpaksa m elepaskan
m ereka, tapi karena belum rela, digondeli buntutnya dalam
bentuk tahanan kota yang berlaku tak terbatas.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Kasus Tanah STN 1

1
KASUS YANG boleh dikatakan terlalu dini m enyibukkan kam i
sesaudara dan m enguras tenaga kam i karena ruwetnya adalah
apa yang secara populer kam i nam akan Tanah ST (Sekolah
Tehnik—sic!), atau dalam dokum en tertulis disebut Kasus
Tanah STN (Sekolah Tehnik Negeri) 1. Untuk itu, lebih dulu
saya harus bercerita tentang akar persoalannya:
Nam a dr Sutom o tentulah tidak asing bagi pem baca.
Data yang terserap oleh saya m enunjukkan, ia lulus dari
Stovia (School tot opleiding van Inlandsche Artsen) atau lebih
populer disebut Sekolah Dokter J awa di Batavia tahun 1911,
dan sam pai tahun 1918 bekerja berpindah-pindah sebagai
Dokter J awa, a.l. di Sem arang, Tuban, Kepanjen, Blora, dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Baturaja. Di Blora ia tentunya cukup lam a, karena di sana ia


sem pat m endapatkan jodohnya, seorang suster Belanda, dan
m endirikan sekolah Instituut Boedi Oetom o (IBO) pada 1917
(data lain m enyebutkan 1918). Perkum pulan Boedi Oetom o
sem entara itu sudah berdiri di Blora sejak 1914 atau 1915.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 377

Tahun 1918 ia dipindah ke Surabaya; setahun kem udian,


kita ketahui, ia bertolak ke Eropa untuk m engam bil spesialisasi
di Am sterdam , Ham burg, dan Wina sebagai Indisch Arts.
Sekolah IBO hanya terdiri atas dua kelas, dengan bangunan
yang berdiri di atas tanah desa, tapi agaknya cukup populer
di sam ping sekolah putri “Darm o Rini” yang didirikan oleh
Bupati Blora R.M. Said Tirtonegoro, dan sekolah zending yang
didirikan oleh Misi. Tapi ditinggalkan oleh tokohnya, agaknya
sekolah itu m engalam i kem erosotan m endekati kebangkrutan.
Dan pada 1922 Bupati Blora m enghim bau kepada siapa saja
yang sanggup untuk m em benahi sekolah tersebut.
Nah, bapak saya, Toer, yang waktu itu guru HIS (Hollandsch-
Inlandsche School), sekolah dasar pribum i berbahasa Belanda,
di Rem bang, bersedia m enangani sekolah tersebut. Bapak saya
jelas anggota Boedi Oetom o. Kalau tidak, m ana m ungkin ia
m eninggalkan status m apan sebagai guru HIS untuk susah-
susah m engurusi sekolah partikelir yang cum a dua kelas dan
ham pir am bruk pula. Kebetulan sem asa pendidikan guru di
Kweekschool di Yogya (1911-17), salah seorang gurunya adalah
Raden Ngabehi Dwidjosewojo, salah seorang anggota pengurus
besar pertam a Boedi Oetom o yang besar pengaruhnya, dan
tentunya berpengaruh terhadap ideologi bapak saya.
Tapi yang m enentukan kiranya adalah “kontrak” antara
Toer dan Said Tirtonegoro (anggota Boedi Oetom o Blora sejak
www.facebook.com/indonesiapustaka

awal). Menurut Mas Pram , Tirtonegoro m enjam in isi kontrak


dengan dana dari kantong sendiri dalam jum lah besar, dengan
kenaikan gaji tiap sekian tahun (tidak jelas, berapa). Begitulah,
Toer tahun itu juga (1922) m em boyong ibu Oem i Saidah yang
baru dinikahinya. Untuk sem entara ia tinggal di rum ah sewa di
Kam pung Mlangsen. Cukup lam a juga ia tinggal di Mlangsen,
378 Bersama Mas Pram

sam pai lahir Mas Pram tahun 1925. Sesudah itu (tahun 1925
itu pula) baru ia m em bangun rum ah sendiri di J alan Pasar Pari
(sekarang J alan Sum bawa) No. 40 . Sekolah IBO sem entara itu
berjalan norm al.
Tidak diduga tidak dinyana, Said Tirtonegoro m eninggal 12
Oktober 1926. “Kontrak” dengan sendirinya batal. Sem entara
itu gedung IBO harus dipindah dari tem patnya, karena tanah
desa itu akan digunakan untuk m em bangun balai desa.
Tidak diketahui kapan dibeli, tapi Toer m em iliki tanah
seluas sekitar 2.20 0 m 2 di J alan Galingsong (sekarang J alan
Halm ahera) No. 29. (Kem udian diketahui—berdasarkan
keterangan aparat desa m aupun Kantor Ipeda—bahwa tanah
itu sudah m enjadi m ilik Toer sebelum tahun 1930 .) Ke
tanah itulah gedung IBO dua kelas itu dipindahkan. (Sam pai
tim bulnya Kasus Tanah STN 1 ini, gedung tersebut m asih
berdiri.) Selanjutnya di atas tanah itu pula Toer m em bangun
gedung sekolah lim a kelas (terpisah dari gedung IBO). Tanah
inilah yang di dalam Kasus Tanah STN 1 disebut tanah A. Selain
tanah ini, Toer kem udian m em iliki tanah B seluas sekitar
1.20 0 m 2 , dan disusul tanah C yang m enghubungkan A dengan
B. Sekolah IBO diteruskan oleh Toer, tetap dengan nam a IBO,
tapi lebih m enyesuaikan diri dengan program Tam an Siswa.
J abatan kepala sekolah tetap dipegang oleh Toer.
Tim bul pertanyaan, dari m ana Toer m em iliki uang untuk
www.facebook.com/indonesiapustaka

m em beli segala tanah itu? Sebagai guru, tidak ada jalan lain
selain dari hasil m enabung selam a m enjadi guru HIS, selam a
m enjadi kepala IBO dan m asih dibiayai oleh Said Tirtonegoro,
dari usaha tani, dan dari utang kepada seorang Cina, yang
kem udian diangsur pengem baliannya. Bulan-bulan pertam a
sesudah pendudukan J epang, Toer m asih m engangsur.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 379

Tahun 1938, dalam rangka (m enurut kesim pulan Mas


Pram ) gerakan antifasis (yang tentu saja bersifat rahasia), Toer
m ulai m engajar kem bali ke HIS, kali ini HIS Blora. Kebetulan
ada guru HIS yang jatuh sakit, nam anya M. Hardjowinoto.
Pagi` hari Toer m engajar di HIS, sore hari di IBO.
Tahun 1942 J epang m enduduki Indonesia, dan sem ua
sekolah dinegerikan, term asuk IBO. Tidak diketahui apa
latarbelakangnya, tahun 1944 terjadi “penyerahan” jabatan
kepala sekolah IBO (yang sudah dinegerikan) dari Toer ke
Muham m ad Am ir, wakil kepada sekolah.
Tahun 1945, sesudah proklam asi kem erdekaan Indonesia,
bekas sekolah IBO dijadikan Sekolah Pertukangan, yang
kem udian berubah m enjadi Sekolah Tehnik (ST), dan akhirnya
Sekolah Tehnik Negeri (STN) 1. Nam un perlu dicatat bahwa
pada 1961 Mbak Oem (Oem i Safaatoen Toer, istri Mashoedi)
telah m em beli tanah B dan C dari bin Toer sesaudara. Sedang
selam a itu (sejak tanah A itu dim iliki oleh Toer sam pai
tim bulnya Kasus Tanah STN 1) tidak pernah ada pengalihan
hak m ilik atas tanah A, berarti tetap m ilik Toer.

2
MASALAH DIMULAI ketika Mbak Oem m erasa bahwa Ipeda
yang harus dibayarnya terlalu tinggi dan m em beratkan. Itu
terjadi tahun 1981. Mem ang benar, karena Ipeda itu berlaku
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak hanya untuk tanah B dan C, tapi juga untuk A. Berarti di


kantor agraria, tanah A, B, dan C m asih tercatat sebagai satu
kesatuan, dan sesudah dibelinya tanah B dan C, belum pernah
ada usaha untuk m em isahkan gabungan tanah B dan C dari
tanah A.
380 Bersama Mas Pram

Mashoedi (suam i Mbak Oem ) tentunya lalu m encari


keterangan m engenai status tanah STN 1 yang selam a itu tidak
pernah diurusnya. Ternyata m em ang A, B, dan C m enjadi
kesatuan, dengan nam a Mashoedi sebagai pem bayar Ipeda,
yang berarti juga dianggap sebagai pem ilik tanah tersebut.
Mashoedi lalu m engajukan perm ohonan (10 J uni 1981)
“Pemecahan Sertiikat Tanah”, jelasnya pemisahan tanah A
dari gabungan tanah B dan C.
Terjadi penelitian oleh Kantor Agraria, dan dalam
rangka itu diadakan pertem uan sam pai em pat kali (terakhir
berlangsung pada 19 Februari 1982) dengan pihak-pihak yang
berkepentingan (Mashoedi dan STN 1).
Dalam kaitan itulah datang seorang utusan (Carik Desa J enis,
Blora) bernam a Soeprapto m enem ui Mas Pram pada 31 Mei
1982. Ia m em bawa Surat Tugas No. 222/ I.0 3.58TI.0 47/ c.82.
Secara resm i ia m enanyakan kepada Mas Pram status tanah
A atau yang disebut STN 1, tapi di dalam m enyam paikannya
ada nada m enggugat Mashoedi yang seolah-olah “m engaku-
akukan” tanah STN 1 sebagai tanahnya. Mas Pram , karena tahu
betul bahwa tanah dan gedungnuya (5 kelas) itu m ilik Toer,
dengan tegas m engatakan: “Tidak ada yang berhak—term asuk
Mashoedi—atas tanah itu selain saya.”
Ucapan ini rupanya m enjadi senjata am puh Soeprapto dan
instansinya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Entah apa yang terjadi di Blora, yang jelas sesudah itu


Mashoedi datang ke J akarta pada 5 J uni 1982. Ia m em protes
ucapan Mas Pram kepada petugas, yang dianggapnya, pada
hakikatnya, m em ojokkan dia. Saya sudah lupa di m ana Mas
Di m engajak saya bicara waktu itu. Mungkin di rum ah Mbak
Is di J alan Multikarya I No. 16. Dalam hati saya langsung
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 381

m enyalahkan ucapan Mas Pram . Maka saya bertekad untuk


m enekan Mas Pram agar m au m em berikan surat kuasa kepada
Mas Di dalam m engurus status tanah tersebut. Menurut
hem at saya, status Mas Pram sebagai ET (eks tahanan) tidak
akan m em ungkinkannya m engurus tanah itu. Sedangkan
rum ahnya sendiri yang hanya beberapa ratus m eter dari
rum ahnya sekarang (dan notabene lengkap surat-suratnya),
tidak m am pu ia m em perolehnya kem bali dan tetap diduduki
m iliter. Apalagi tanah STN 1 di Blora yang 650 km jauhnya
dari J akarta. Mem ang STN 1 tidak dikuasai oleh m iliter, tapi
itu kan dikuasai pem erintah, ya apa bedanya dalam sebuah
pem erintah m iliter? Lagi pula Mas Di kan orang daerah. Dia
ada di tengah m asalah itu, dan ia sudah biasa bergaul dan
bergum ul dengan para penjabat daerah. Kebetulan dia m antri
pertanian dan bekas pejuang dari Divisi Ronggolawe. Dia tahu
bagaim ana dan ke arah m ana m elangkah.
Saya antarkan Mas Di ke rum ah Mas Pram . Sayang Mas
Pram tak ada di rum ah. Terpaksalah saya tinggali surat. Isinya
seperti terpikir oleh saya tadi: supaya Mas Pram sebagai
wakil para saudara m em berikan kuasa kepada Mas Di untuk
m engurus tanah STN 1, karena dia tentunya tahu cara-
caranya.
Dan apa yang terjadi? Mas Pram m eradang luarbiasa.
Waktu itu saya tinggal di rum ah kontrakan di Gang Duren I
www.facebook.com/indonesiapustaka

No. 57, Utankayu, yang m asih sewilayah dengan Mas Pram dan
Mbak Is. Habis m agrib ia datang seperti orang m aju perang,
diiringi Mbak Pram . Kebetulan Mas Di m asih berada di rum ah
saya, juga Coes, jadi kum pul. Mas Pram m inta supaya Mbak Is
yang rum ahnya sekitar 10 0 m dari situ diundang juga.
382 Bersama Mas Pram

“Saya nggak ngerti, apa yang dikehendaki adik-adik saya!


Kalau begitu uruslah sendiri tanah itu.”
Baru kali itulah selam a hidup saya bersikap m enantang
secara terbuka kepada Mas Pram . Saya katakan bahwa
m enurut pendapat saya (dan saya yakin akan hal itu), Mas
Di dapat m enyelesaikan soal tanah STN 1, sebab dia sudah
terbiasa bergaul dengan para pejabat di daerah. Dan kedua,
Mas Pram sebagai wakil keluarga Toer, sebagai saudara tertua,
sebaiknya m em berikan surat kuasa kepada Mas Di agar dia
punya pegangan sebagai tem pat berpijak.
“Ya, kan Mas Pram yang m em erintahkan kepada kam i
m enggunakan nam a Toer sebagai nam a keluarga?” sela Coes
bersem angat. “Dan Mas Pram juga yang m enganjurkan kam i
belajar di Eropa sam pai jadinya begini.”
Coes ingin m enyam paikan keluhannya, bahwa gara-gara
m enyangga nam a Toer kam i sem ua kejeblos dalam penjara, dan
terus m enderita akibatnya. Tentu saja kalaupun m engandung
kebenaran, kebenaran itu sedikit saja dalam ucapan Coes.
Sem entara itu Mas Pram lebih m eradang lagi.
“Coes, terim akasih banyak atas ucapanm u yang sopan
itu!” kata Mas Pram yang seketika itu bangkit berdiri hendak
hengkang. Untunglah Mbak Is segera m enangkap bahunya,
m engelus-elusnya, dan m engarih-arih-nya, m enyabarkannya.
“Sabaaar, Mas Pram …, sabaar…. Dan m aafkan adik saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

Coes….”
“Betul, Mas Pram , saya juga m inta m aaf sudah m enyusahkan
Mas Pram . Atas nam a adik-adik ini saya m intakan m aaf yang
sebesar-besarnya….” dst., dst. “Yang saya perlukan cum a surat
kuasa. Itu saja, agar saya bisa tatag berhadapan dengan siapa
saja...” dst. dst. tim brung Mas Di.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 383

Selam a itu, Mbak Pram hanya bungkam . Ekspresi wajahnya


m engatakan: “Kok begini, sih!”
“Ya sudah. Apa m aunya sekarang, aku tandatangani. Liek,
kau yang nyusun!” kata Mas Pram , lalu m em buka tem bakau
dan papiernya, seperti biasa.
Saya langsung m enangkap m esin tulis dan m erancang
konsep surat kuasa. Isi pokok: “untuk m eneruskan usahanya
m enyelesaikan perkara pem ecahan tanah keluarga tersebut
dalam Persil No. 9 klas II/ D seluas 0 ,328 ha di desa J etis
Kecam atan kota Blora No. Kohir: Bla/ Kt. Bl./ 7/ 134”.
Ketika saya tunjukkan kepada Mas Pram , ia tam bahkan
catatan: Surat kuasa itu berlaku “sam pai dicabut kem bali
oleh pem beri kuasa”. Lalu diparafnya untuk diketik bersih.
Dan dengan tam bahan lisan: “Dan selalu dilaporkan
perkem bangannya!”
Bubarlah rapat kilat dan m endadak itu. Coes sendiri tidak
m em inta m aaf. Tentunya karena ia m erasa sam asekali tidak
bersalah.
Esoknya, 6 J uni 1982, Mas Pram m enulis surat kepada
STN 1, berisi penjelasan rinci m engenai status tanah A, B, dan
C, seperti a.l. telah saya uraikan. Surat dibawa oleh Mas Di.

3
SEPERTI SAYA duga, Mas Di tahu bagaim ana m elangkah. Se-
www.facebook.com/indonesiapustaka

m inggu saja sesudah tiba kem bali di Blora (14 J uni 1982) ia
sudah m enghubungi kantor Agraria Kabupaten Dati II Blora,
dan di situ ia m engulangi perm ohonan setahun sebelum nya (10
Juni 1981): Pemecahan Sertiikat Tanah. Kepala Kantor Agraria
m enyatakan bahwa “kasus ini sulit/ tidak bisa diselesaikan
dengan jalan m usyawarah di tingkat kabupaten”.
384 Bersama Mas Pram

Maka pada 17 J uni 1982 Mas Di pun m engirim surat


kepada Gubernur J awa Tengah, Kepala Kantor Departem en
P dan K J awa Tengah, dan Kepala Kantor Direktorat Agraria
J awa Tengah. Isinya: agar ketiga pejabat tersebut sudi kiranya
m engusahakan penyelesaian tanah tersebut. Dalam surat itu
dinyatakan juga bahwa “kiranya tidak sulit m enyelesaikan
m asalah tersebut dengan jalan m usyawarah/ m ufakat, sehingga
kasus tersebut tidak m em aksa kam i untuk m enyelesaikan lewat
Pengadilan Negeri”.
Sem entara itu (14 J uli 1982) Mas Di m engirim surat kepada
Kepala Sekolah Tehnik Negeri Blora. Isinya tiga hal:
1. Mem beritahukan bahwa dirinya (Mas Di) pada
17 J uni 1982 sudah m engirim surat kepada Gubernur J awa
Tengah, Kepala Direktorat Agraria J awa Tengah, dan Kepala
Kantor Departem en P dan K J awa Tengah, m enyatakan bahwa
“tanah kam i beserta dua buah bangunan lam a, telah kam i
m inta kem bali”.
2. Dalam hubungan ini Mas Di m inta agar STN tidak
m engadakan perubahan dalam bentuk apapun “tanpa idzin
kam i sebagai pem ilik”.
3. Kalau usaha ini tidak berhasil, Mas Di akan “ajukan
perm ohonan kepada Bapak Menteri Dalam Negeri” dan “Bapak
Dirjen Agraria”.
Di luar dugaan, Kepala Kantor Agraria Kabupaten Blora
mengeluarkan Sertiikat (Tanda Bukti Hak) Hak Milik No.
www.facebook.com/indonesiapustaka

7813514 tanggal 29 J uli 1982 beserta Gam bar Situasi No. 2996
tanggal 2 Agustus 1982 atas nam a Mashoedi, J ln. Maluku No.
36, Blora, yang diterim a oleh Mas Di tanggal 5 Agustus 1982.
Tidak diketahui apakah ini akibat surat tanggal 14 J uli 1982
tersebut, tapi Mas Di sendiri m enyatakan dalam salah satu
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 385

suratnya, “dengan berliku-liku dan saya terobos ke Sem arang,


akhirnya berhasil”.
Dengan sendirinya kabar gem bira tersebut segera
disam paikannya ke J akarta, yaitu hari itu juga tanggal 5
Agustus 1982. Tapi anehnya kabar itu disam paikannya kepada
Mas Herm anu (suam i Mbak Is) dengan lam piran surat kepada
saya. Dalam surat itu disinggungnya juga bahwa Mas Di
sudah sem pat bicara dengan STN, dan STN m enyatakan ingin
m engusulkan kepada atasan untuk m em belinya.
Seyogianya kan Mas Di m enyam paikan kabar itu langsung
kepada Mas Pram sebagai pem beri kuasa? Dan, walau secara
lisan, Mas Pram sendiri kan sudah berpesan agar Mas Di selalu
m elaporkan perkem bangan usahanya? Maka dalam surat
tanggal 25 Agustus 1982 saya tulislah m engenai perlunya Mas
Di m enulis kepada Mas Pram . Surat kepada Mas Her tidak
salah, tetapi kurang taktis, karena ada m asalah psikologis. Mas
Her hanya akan m enyam paikan berita itu kepada Mbak Is, lalu
Mbak Is akan m enyam paikan kepada saya, dan selanjutnya
saya harus m enyam paikannya kepada Mas Pram . Ini kan bisa
m enim bulkan berbagai prasangka yang tidak perlu.
Lim a hari kem udian Mas Di sudah m enulis surat kepada
Mas Pram (30 Agustus 1982). Isinya, di sam ping m enyam paikan
berita yang m enggem birakan itu, m enyinggung nasihat seorang
ahli hukum di Blora agar sebaiknya pemecahan sertiikat tanah
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak dilakukan dulu. Selain akan m enim bulkan kesulitan,


karena biaya balik nam a cukup banyak. Itu m em ang benar.
Sedangkan untuk biaya yang selam a itu dikeluarkan oleh Mas
Di (Rp329.0 0 0 ) kam i tak sanggup m engiurnya, apalagi harus
m em bayar biaya balik nam a. Tapi yang lebih rum it lagi adalah
kalau sertiikat itu dipecah, dan tanah A diatasnam akan Mas
386 Bersama Mas Pram

Pram , Mas Pram akan m engalam i kesulitan karena jarak


J akarta-Blora, dan… (m enurut Mas Di) karena “kedudukan
Mas Pram sekarang ini m asih belum m em ungkinkan untuk
m engurus hal-hal sem acam itu”. J adi tepat seperti pernah
m enjadi pertim bangan saya. Dan lagi, kalau dengan nam a Mas
Pram , tidak akan lagi berarti Mas Pram cs., artinya dengan
sem ua adiknya, m elainkan Mas Pram seorang.
Akhirnya Mas Di m engusulkan penyelesaian tahap kedua,
yaitu apakah: 1. Tanah itu kita m inta kem bali; 2. Tanah itu kita
sewakan; atau 3. Tanah itu boleh dibeli pem erintah m anakala
dibutuhkan.
Eee, lhadalah! J awaban Mas Pram (7 Septem ber 1982)
terhadap berita yang baik itu dim ulai dem ikian: “Sudah sejak
sem ula saya tidak tahu-m enahu tentang sem ua m asalah di
Blora, karena m em ang tidak pernah diajak bicara sebagaim ana
m estinya. Karena itu sem ua saya kem balikan pada sem ua
adik saya dan Dik Hudi sendiri. Saya m erasa keliru telah ikut
m encam puri persoalan ini dengan pengetahuan saya yang
m inim tentang kehendak adik-adik saya, karena itu saya m inta
m aaf pada sem ua pihak.”
Diteruskan dengan: “Saya tidak m em punyai am bisi untuk
m em iliki m ilik siapapun term asuk m ilik orangtua saya sendiri.
Lagi pula sam pai sekarang ini pun saya belum pernah sem pat
untuk m em ikirkan diri saya sendiri. J uga tidak ada gunanya
www.facebook.com/indonesiapustaka

bagi siapapun untuk m em bicarakan soal kesakitan diri


sendiri.”
Surat itu difotokopi oleh Mas Di dan dikirim kannya
kepada saya. Anehnya, Mas Di tidak m arah m endapat balasan
dem ikian itu. Malah m enganjurkan kepada saya supaya kalau
bicara dengan Mas Pram “jangan sekali-kali m em aksa Mas
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 387

Pram ”. Kalau m enyam paikan m asalah ini “sebaiknya bersifat


iseng-iseng saja, sehingga Mas Pram tidak m erasa dipojokkan.”
“Kasihan pada m as Pram yang sekarang ini usianya sudah tua
dan m ustinya ia pantas dihorm ati sebagai wakil ayah kita,” dll.,
dll. Karena sudah terlalu terpengaruh oleh keberhasilannya?
Mungkin.
Sem entara itu saya datang ke rum ah Mas Pram
m enyam paikan isi surat Mas Di tanggal 5 Agustus 1982, jadi
sudah sangat ketinggalan zam an. Tapi anehnya, sekali lagi
anehnya, Mas Pram m enerim a itu dengan baik sekali. Ia
bahkan m inta disam paikan terim akasihnya kepada Mas Di
atas keberhasilan usahanya. Ia m inta usaha itu diteruskan
dengan pemecahan sertiikat. Tapi sebelum bicara tentang
ganti rugi, kita perlu bicara dulu tentang harga sewa tanah
beserta bangunannya. Dalam hubungan ini Mas Pram m inta
saya ikut m em ikirkan berapa sebaiknya harga sewa tersebut.
Saya m enjawab tidak punya gam baran sedikit pun, karena tak
punya pengalam an dan tak pernah m em ikirkannya. Akhirnya
Mas Pram m em berikan ancar-ancar harga sewa itu—berlaku
m ulai tahun 1950 , yaitu tahun penyerahan kedaulatan—antara
Rp15.0 0 0 -Rp30 .0 0 0 .
Mas Di m aju terus dengan m ove-nya yang baru (17
Septem ber 1982), yaitu m endesak Gubernur J awa Tengah,
Kepala Kantor Departem en P dan K J awa Tengah, dan Kepala
www.facebook.com/indonesiapustaka

Kantor Direktorat Agraria J awa Tengah untuk m elaksanakan


penyelesaian tahap kedua dalam Kasus STN 1 ini dengan
“Penyerahan Kem bali tanah beserta dua buah bangunan di
atasnya segera”.
Di sini Mas Di m engam bil langkah yang m enyim pang
dari wewenangnya. Ia m enyatakan dalam suratnya itu:
388 Bersama Mas Pram

”Apabila Pem erintah m engidzinkan, setelah tanah dan dua


buah bangunan kam i terim a kem bali, akan kam i dirikan
Sekolah Swasta sebagai partisipasi dari keluarga kam i dalam
m enunjang Pem bangunan bidang Pendidikan yang sekarang
ini sedang digalakkan oleh Pem erintah.”
Dasar desakan itu m em ang ada, yaitu telah dikeluarkannya
sertiikat (Tanda Bukti Hak) Hak Milik serta Gambar Situasi.
Tapi seorang pejabat yang biasa bertengger di kursi jabatan dan
tak m engenal m edan rupanya telah m engam bil keputusan yang
cukup kontroversial ini. Begitulah, dengan ditandatangani oleh
Sekretaris Wilayah/ Daerah, Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I J awa Tengah telah m engirim surat dinas kepada Kepala
Kantor Wilayah Departem en P dan K Propinsi J awa Tengah
di Sem arang tanggal 24 Oktober 1982, yang tem busannya
dikirim kan juga kepada Mashoedi J l. Maluku 36 Blora. Saya
katakan kontroversial, karena:
Di satu pihak ia m enyatakan: “Mem perhatikan surat
Saudara Mashoedi J l. Maluku 36 tanggal 17 Septem ber
1982 perihal tersebut di atas yang antara lain Saudara
juga m enerim anya (foto copy terlam pir), dengan ini kam i
m engharap laporan Saudara m engenai penyerahan tanah dan
gedung ST Negeri Blora kepada pem iliknya.”
Di lain pihak ia nyatakan: “Dalam hubungan ini perlu
kam i sam paikan agar proses penyerahan tanah dan gedung
www.facebook.com/indonesiapustaka

dim aksud tidak m engganggu jalannya pendidikan.”


Bagaim ana m ungkin kedua hal tersebut dapat dilaksanakan
sesuai dengan diktum nya? Ataukah dengan penuh kesadaran
keputusan tersebut diam bil, sedangkan realisasinya di lapangan
m asalah lain lagi? Sepintas lalu berita tersebut m erupakan
kem enangan bagi Mas Di, tapi dalam realitas m erupakan
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 389

pukulan m em atikan baginya. Buktinya, sesudah itu tidak ada


surat-m enyurat lagi antara Mas Di sebagai pihak yang diberi
kuasa dengan Mas Pram yang m em beri kuasa.
Sayup-sayup kedengaran: Mas Di ditahan. Kenapa?
“Karena ia berusaha m enyelam atkan m ilik PKI!”
Hubungan antara yang diberi kuasa dan yang m em beri
kuasa dengan dem ikian m enjadi rusak, dan itu m enyeret
saudara-saudara yang lain juga.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dana Keluarga

HAL YANG segera kelihatan akhir Desem ber 1983 pada


keluarga Toer adalah runyam nya ekonom inya. Maklum lah,
dari lim a orang lelaki, em pat orang baru pulang dari tahanan,
seorang baru pulang dari pelarian, kelim anya cenderung
bergerak di bidang tulis-m enulis, sedangkan dari pihak pe-
nguasa m enghadang peraturan-peraturan yang sifatnya m en-
diskrim inasikan bekas tahanan, sehingga rinciannya adalah
dem ikian:
Mas Pram , walau ia sudah pengarang yang m apan, bulan-
bulan pertam a sesudah pulang itu tentunya praktis belum
m enghasilkan, hingga di sini perlu saya sebutkan (tapi bukan
untuk m em banggakan diri) bahwa pernah ia berutang kepada
saya (jum lahnya saya sudah lupa), disertai kata-kata “tapi
jangan bilang-bilang sam a Nyonya”.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Wiek, karena terbentur larangan m engobati orang,


terpaksa saya kontrakkan warung dengan isinya di sebuah pasar
di Kam pung Am bon disertai uang bulanan selam a setengah
tahun, tapi karena gagal m engelola warung, terpaksa keluarga
m engam bil keputusan agar ia pindah ke Blora, m enghuni
rum ah dan tanah warisan bersam a Mbak Koen.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 391

Saya sendiri yang bertekad tetap m enekuni bidang yang


selam a itu saya geluti, terutam a terjem ahan, m esti kerja ekstra
keras untuk dapat hidup. Beruntung, lewat jasa baik Ajip
Rosidi, salah seorang kawan m asa m uda, saya bisa ikut dalam
proyek “Bank Naskah” yang dikelola oleh Dewan Kesenian
J akarta dan m enam pung terjem ahan karya sastra. Dalam Bank
Naskah itu tidak ada honorarium ataupun royalti. Yang ada
hanya “uang perangsang” yang jum lahnya waktu itu Rp50 0 per
halam an, jum lah yang sangat kecil. Tapi bagusnya, kita dapat
m em ilih sendiri buku-buku yang ingin kita terjem ahkan. Saya
terjem ahkanlah karya-karya Leo Tolstoi dari bahasa Rusia, a.l.
Anna Karenina dan Kebangkitan (Voskreseny iy e). Saya jatah,
hidup-m ati, tiap hari saya harus m enerjem ahkan m inim al 7
halam an, agar dalam sebulan (nonstop) saya dapat m enghasilkan
m inim al 210 halam an atau Rp10 0 .0 0 0 , satu jum lah yang cukup
(sederhana) untuk hidup bersam a istri. Dengan penghasilan
seperti itu saya m engangsur m esin tulis baby yang paling m urah.
Saya waktu itu bahkan belum punya m eja tulis, sehingga saya
terpaksa m engetik di m eja tam u dengan duduk di atas dingklik.
Saya lihat ada perasaan tak suka pada para pegawai adm inistrasi
di Dewan Kesenian J akarta yang m enangani “angsuran” saya
setiap bulan itu, tapi dengan sendirinya terpaksa saya abaikan.
Coes m enjadi pengajar ekonom i di Universitas 17 Agustus
(Untag) lewat jalur “diam ”, di sam ping m enjadi penyalur
buku tulis seorang pengusaha Tionghoa yang pernah bersam a
www.facebook.com/indonesiapustaka

dalam tahanan. Saya ikut m engedarkannya dari toko ke toko


m ulai dari Hutankayu sam pai Ciputat. Posisi lewat jalur
“diam ” itu kem udian “diusili” orang, sehingga terpaksa Coes
m eninggalkannya sebelum ia sem pat dipecat.
Coek sem entara itu bekerja sebagai tenaga kasar di peru-
sahaan Tionghoa pengekspor ikan hias, di Ciputat. Tiap hari,
392 Bersama Mas Pram

tanpa hari libur, ia m esti m enyiapkan ikan sendiri, m engurus


surat-suratnya, dan m em bawanya ke Cengkareng. Karena
penghasilannya m inim , terpaksa ia ny am bi berdagang m adu
dan bekatul.
Kelihatannya sem uanya bekerja, tetapi penghasilannya
pas-pasan alias tidak cukup, atau ram ai-ram ai m iskin.
Inilah asal-usul saran Mbak Is untuk saling bantu dengan
m engadakan pertem uan rutin disertai m enabung. Kebetulan
Mbak Is-lah yang paling berpengalam an m engenai beratnya
cara m engikatkan pinggang, terutam a dalam em pat belas tahun
terakhir m engurus saya. Saran diterim a dengan bulat, dan
dem ikianlah pada 1983 diputuskan m em bentuk Dana Keluarga
dengan keanggotaan Toer sesaudara dan anak-anaknya
yang sudah dewasa. Pertem uan tiga bulan sekali di tem pat
berpindah-pindah m enurut giliran, dan iuran sebesar Rp2.50 0
sebulan, dengan rincian Rp1.0 0 0 tabungan wajib, Rp50 0
tabungan sukarela, dan Rp1.0 0 0 tabungan kesejahteraan.
Seperti dijelaskan oleh nam anya, tabungan wajib bersifat
wajib, yang apabila anggota keluar akan dikem balikan kepada
pem iliknya. Tabungan sukarela sejum lah itu, tapi bisa ditam bah
m ana suka, disatukan dengan tabungan wajib. Tabungan
kesejahteraan dicadangkan untuk disum bangkan cum a-cum a
kepada anggota yang m em butuhkan, m isalnya punya gaw e atau
kesripahan (berkabung). Anggota pun bisa pinjam uang dari
Dana Keluarga, terutam a untuk m em bayar uang sekolah, uang
www.facebook.com/indonesiapustaka

kuliah, kontrak rum ah, dsb. Bulan Septem ber 1986 tabungan
sukarela dinaikkan Rp50 0 , m enjadi Rp1.0 0 0 , karena selalu
tekor karena pem injam an.
Mas Pram ikut m enyetujui pem bentukan Dana Keluarga
ini, dan walau tak tetap, ia sering datang m enghadirinya dan
ikut m em bicarakan m asalah-m asalahnya. Misalnya, pernah
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 393

dengan kehadirannya dibicarakan m asalah pem bayaran Ipeda


(iuran pem bangunan daerah), langgaran listrik, dan air leding
untuk rum ah Blora. Waktu itu, pertem uan di rum ah Mbak Is,
saya usulkan untuk ditanggung bersam a berlim a yang di J akarta
(term asuk Mbak Is), tapi Mas Pram bertekad m em bayarnya
sendiri. Waktu itu Ipeda rum ah Blora sebesar Rp150 .0 0 0 .
Pernah diputuskan untuk m em belikan Mas Wiek m esin
tulis agar ia m au m engarang atau m enerjem ahkan lagi, yang
ditanggung oleh Coek. Diputuskan juga untuk m em belikan
Mas Wiek alat-alat pertukangan agar ia dapat melatih isiknya
di m ana perlu. Dan dalam pertem uan di rum ah Coes di Kranji,
dengan hadirnya Mas Pram , diputuskan untuk m em belikan
Mas Wiek televisi bekas seharga Rp70 .0 0 0 -Rp10 0 .0 0 0 . Sem ua
keputusan itu dilaksanakan dengan baik. Saya bersam a Mas
Pram akhirnya m em beli televisi baru langsung di Blora.
Dari perjalanan waktu terbukti, keadaan ekonom i keluarga
ini lebih buruk daripada yang dapat ditolong dengan sebuah
dana seperti ini. Sebagian keluarga betul-betul hidup di bawah
garis kem iskinan, yang sesudah m em injam uang tanpa bunga,
tidak sanggup m engem balikannya, m em injam lagi dan tidak
sanggup m engem balikannya lagi, hingga m enggerogoti dan
m engancam keberadaan dana tabungan wajib. Beberapa kali
Mas Pram sem pat ngedrop dana dalam jum lah lum ayan, tetapi
tetap tidak m enolong.
Puncaknya adalah krisis ekonom i tahun 1998, ketika
www.facebook.com/indonesiapustaka

sebagian anggota untuk transpor pertem uan (sekeluarga) pun


tidak sanggup m em bayar, dan begitu berulang kali, sehingga
pertem uan tidak bisa diselenggarakan, dan Dana Keluarga pun
am bruk.
Mbak Koen Meninggal

SEJ AK KAMI berem pat pulang dari tahanan, terpikir oleh saya
alangkah baiknya kalau kam i sesaudara berkum pul di rum ah
Blora peninggalan orangtua untuk m enyatakan rasa syukur
bisa berkum pul kem bali dalam keadaan lengkap delapan orang:
Mas Pram , Mas Wiek, Mbak Koen, Mbak Oem , Mbak Is, saya,
Coes, dan Coek, dengan keluarga m asing-m asing. Misalnya
dengan m enyewa satu bis pulang-pergi, sekalian m am pir ke
tem pat-tem pat yang kam i inginkan bersam a. Beberapa kali
gagasan ini saya sam paikan kepada saudara-saudara secara
terpisah, dan m ereka um um nya m enyam but baik gagasan
ini, term asuk Mas Pram . Tapi ada saja alasan untuk tidak
terlaksananya atau tertundanya gagasan ini. Soal waktulah,
soal biayalah terutam a, dan yang penting juga: Kalau sem ua
www.facebook.com/indonesiapustaka

pergi, lalu yang tinggal di rum ah m asing-m asing siapa?


Akhirnya saya sim pulkan, m em ang barangkali gagasan
itu susah dilaksanakan. Bahkan kem udian terpikir oleh saya,
m ungkin m em ang lebih baik tidak terlaksana, m engingat
banyaknya kecelakaan lalu-lintas jalan raya sekarang ini.
Waktu Coes pulang ke Blora bersam a Mbak Oem , bisnya
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 395

berserem petan dengan bis lain hingga sem pat pahanya


terbakar. Angka di suratkabar m enunjukkan: korban tewas se-
tahun 11.0 0 0 jiwa. Kalau kebetulan kecelakaan itu m enim pa
bis sewaan kam i, tum paslah sekaligus keluarga Toer.
J adi begitulah keadaan berlarut-larut, sam pai akhirnya
pada 13 Septem ber 1985 kam i di J akarta m endapat berita ten-
tang m eninggalnya Mbak Koen di Blora.
Mbak Koen sudah lam a sakit TBC. Gejalanya sudah tam pak
pada 1948 ketika ia bersam a suam inya, Mas Djajoes, jalan kaki
dari Tayu ke Blora, di m asa berlangsungnya Agresi II Belanda.
Tapi tentu penyakit itu sudah diidap lebih dini, karena ibu kam i
m eninggal tahun 1942 karena TBC juga. Berulang kali sejak itu
Mbak Koen keluar-m asuk sanatorium , bahkan pernah di J akarta
ditangani dokter spesialis atas perm intaan Mas Pram . Sia-sia.
Penyakit itu sem pat m enggugurkan 2-3 kali kandungannya,
bahkan pada 27 Oktober 1953 sem pat m em bunuh Mas Djajoes
dalam usia am at m uda: 29 tahun. Karena sakitnya, Mbak Koen
terpaku di rum ah, hidup dari pensiun seorang sersan dan dari
menjadi penjahit amatiran. Meski isiknya luarbiasa kuat,
dengan sendirinya berangsur-angsur hancur. Dari seorang
gadis yang ayu m enik-m enik jatuh ringsek m enjadi nenek-
nenek yang tak keruan bentuknya. Hanya karena ketabahan,
keuletan, kehem atan, ia m am pu hidup m andiri dan sendiri
di rum ah orangtua (sebelum akhirnya disusul oleh Mas Wiek
www.facebook.com/indonesiapustaka

yang pindah dari J akarta). Dan seperti sudah m engerti bahwa


dirinya akan m ati, ia m engungsi jalan kaki ke rum ah Mbak
Oem , sekitar 10 0 m eter, dan di sana beberapa waktu kem udian
ia m engem buskan napas terakhir. Dialah yang akhirnya
m engum pulkan kam i sem ua di Blora, term asuk Mas Pram
yang biasanya sulit dengan waktunya.
396 Bersama Mas Pram

Kam i berhim pun di Blora baru 15 Septem ber, ketika Mbak


Koen alm arhum ah sudah dim akam kan di Sasana Lalis, di
deretan m akam bapak dan ibu kam i, dan kam i sudah m enyekar
untuk pertam a kali. Pada hari itulah kam i berapat atas usul
Mas Pram , dengan m engundang juga sesepuh kam i, Ibu dan
Bapak Im am Barsah, kakak langsung Oom Moedigdo, jadi
pam an kam i juga.
Di situlah a.l. dibicarakan warisan alm arhum ah berupa
pakaian, m ebel, m esin jahit, dan sepeda, yang kam i putuskan
ditugaskan pengurusannya kepada Mas Wiek. Dan di luar
dugaan kam i, ia m eninggalkan kalung em as, giwang m arkis
dan cincin, serta uang sebesar Rp30 .750 dalam bentuk
piutang, dan Rp47.60 0 dalam bentuk kontan, yang sem uanya
diserahkan kepada Dana Keluarga.
Rapat m em utuskan juga m em berikan sum bangan uang
bulanan untuk pem bayaran/ cicilan leding air, listrik, Ipeda
dan PRT (pajak rum ahtangga) rum ah Blora sebesar Rp15.0 0 0 ,
m em berikan sum bangan uang bulanan kepada Mas Wiek
sebesar Rp15.0 0 0 yang ditanggung rata oleh enam orang
(Mas Pram , Mbak Oem , Mbak Is, saya, Coes, dan Coek), dan
m em berikan sum bangan beras bulanan kepada Mas Wiek,
yang ditanggung oleh Mbak Oem .
Keputusan yang penting juga adalah: surat-surat
keluarga yang m em punyai nilai sejarah keluarga diserahkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pengurusannya kepada saya, dan surat-surat pribadi Mas Pram


kepada alm arhum ah diserahkan kem bali kepada Mas Pram .
Rapat selesai, dan esoknya kam i kem bali ke J akarta dengan
bis untuk m eneruskan hidup m asing-m asing.
Mas Wiek Ngambek

MAS WIEK m ulai tinggal lagi di Blora tahun 1982, sesudah


di J akarta gagal m engem bangkan keinginannya bergerak
di bidang pengobatan, dan gagal juga hidup dari m em buka
warung. Ia m enunggu rum ah warisan, berdua dengan Mbak
Koen, sam a-sam a tanpa tem an hidup, karena Mbak Koen
ditinggal Mas Djajoes yang m eninggal tahun 1953, dan Mas
Wiek ditinggal pergi istrinya selagi ia m eringkuk di Buru.
Hidup berdua tanpa pasangan, di um ur tua, dalam keadaan
sakit, tidaklah m udah. Segalanya harus dikerjakan sendiri.
Mbak Koen sudah 55 tahun, dan Mas Wiek 57 tahun, dan
um ur terus m elaju dengan kecepatan kuda terbang. Tapi Mas
Wiek sem pat m em barui tekadnya untuk m engobati orang. Dan
sejenak ia bahkan sem pat dianggap sebagai “dukun tiban”.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Orang berduyun-duyun datang dari seluruh Blora, bahkan


dari kota-kota di sekitarnya. Mem ang m engherankan, pasien
dukun selalu datang dari jauh.
Duyunan orang itu jelas m enjadi kebanggaannya, lebih-
lebih karena—walau bersifat sukarela—ia m endatangkan
juga sum ber ekonom i. Mas Wiek sem pat berkeinginan untuk
398 Bersama Mas Pram

m enikah lagi. Sayangnya m iliter tidak rela dan tidak tidur, ada
ET “m acam -m acam ”. Cakar m em ang untuk m encengkeram .
Kalau tidak, untuk apa punya cakar? Mas Wiek pun dikenai
penggada: dipanggil, diperiksa, dan... dilarang keras m engobati
orang. Sejak itu duyunan m ati, dan Mas Wiek pun ngam bek:
m anusia apapun, sak cindhil abange, dalam keadaan sekarat
pun, ogah dia ngobati. Bukan hanya itu, apapun alasannya, yang
nam anya m encari penghidupan, ogah dia m elakukan. Buku-
buku yang kam i kirim dari J akarta—pelajaran bahasa, kam us,
kliping—dibiarkannya m em busuk. Alat-alat pertukangan yang
kam i belikan dibiarkan jadi tanah. Mesin tulis yang diberikan
oleh Coek hanya dipakai m engetik tanda terim a. Televisi yang
kam i belikan dipersetankannya saja kalau rusak, dan akhirnya
jadi rongsokan sam asekali. Bergaul dia tak m au, dengan
tetangga kek, dengan saudara kek. Pernah saya m enganjurkan
kepada seorang tem an untuk m enjenguknya, dan tem an
itu disem protnya hingga terpaksa langsung hengkang. Dan
ketika suatu kali saya datang dari J akarta, didam pratnya saya
sekalian dan dikejar-kejar untuk “dibunuh”, sam pai orang
sekitar berm unculan untuk m enonton dan bertanya.
Ya, hidup m em ang berat, tapi m asalahnya bukan hidup
itu sendiri, m elainkan tatanan m asyarakatnya. Kalau dipikir,
kurang apa Mas Wiek m em bela negara Republik Indonesia
sam pai dia cacat, dipensiun, dan ketika terjadi G30 S dicabut
www.facebook.com/indonesiapustaka

sekalian pensiunnya, dan sepulang dari Buru tak diberi


kesem patan pula untuk hidup. Hiburan satu-satunya adalah
kalau bekas istrinya dengan besar hati m enjenguk bersam a
kedua anak atau m enantunya, nam un pertem uan yang langka
itu pun sudah teracuni pula oleh kesenjangan budaya sehingga
tak ditem ukan suasana dam ai yang sebetulnya didam bakan.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 399

Sepeninggal Mbak Koen tahun 1985, keadaan tentunya tak


tertanggungkan lagi buat Mas Wiek, dan waktu itulah tim bul
gagasannya untuk m eninggalkan sam asekali rum ah dan tanah
itu dengan m enjualnya. Peristiwa inilah yang saya singgung da-
lam buku saya Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali (hlm .
44-46), ketika m enyam paikan keinginan Mas Wiek itu kepada
Mas Pram , padahal saya tahu Mas Pram ingin m enjadikan
rum ah itu sebagai m useum dem i Bapak, dan di hari tuanya
ia ingin tinggal di Blora. Dengan ketus waktu itu Mas Pram
m engatakan: “Ya kalau m em ang m au jual, jual sana! Aku nggak
m au ikut cam pur! Aku nggak ada urusan dengan itu!”
Walau dem ikian ia tetap bersedia am bil bagian dalam
rapat yang saya usulkan, dan... di rum ah dia. Kam i waktu itu
sesaudara lim a orang di J akarta—Mas Pram , Mbak Is, saya,
Coes, dan Coek—dan di Blora dua orang—Mas Wiek dan Mbak
Oem . Itulah rapat resm i pertam a kam i sesaudara, dan topiknya
adalah: setujukah rapat untuk m enjual tanah warisan di Blora?
Kalau setuju oke, tidak setuju pun oke. Saya yang m em im pin
rapat, m enyusun kesepakatan, m em inta tandatangan
sem ua hadirin, selanjutnya m engirim kannya ke Blora untuk
ditandatangani oleh Mas Wiek dan Mbak Oem .
Rapat itu ternyata berjalan lancar. Dan m em ang, saya
kira, dem ikianlah selalu rapat orang Indonesia. Nanti di luar
rapat baru tim bul persoalan. Sem ua hadirin m engem ukakan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pendapatnya, setuju m enjual rum ah tersebut dengan tanahnya,


term asuk Mas Pram dengan sendirinya, dengan pertim bangan
a.l. Mas Wiek “yang selam a ini secara de facto m enjadi
penunggu bidang tanah dan rum ah tem pat tinggal tersebut
telah m enyatakan tekadnya untuk tidak lagi m enjadi penunggu
bidang tanah dan rum ah tem pat tinggal tersebut”.
400 Bersama Mas Pram

Yang unik di antara keputusan rapat adalah bahwa yang


dijual hanya tanahnya (sekitar 2.30 0 m 2 ), sedangkan rum ah
di J alan Sum bawa 40 , Blora, itu dibagi secara adil “di antara
ahli waris yang berm inat”. Gagasan ini datang dari Mas Pram ,
karena m enurutnya sayang sekali kalau rum ah yang terbuat
dari jati tua (dan um urnya sekitar 40 tahun) itu dijual. Lagi pula
dia yang m em biayai pem bangunannya sebagai pem enuhan
janji yang diucapkannya di hadapan Bapak yang sudah sekarat,
dengan arsitek Pak Barsah.
Singkat kata, Kesepakatan ditandatangani oleh kelim a
saudara yang ada di J akarta, lalu saya kirim ke Mbak Oem
di Blora untuk ditandatangani berdua bersam a Mas Wiek.
Dan bagaim ana kom entar Mas Wiek waktu dim inta ikut
m enandatangi Kesepakatan itu?
“Rum ah warisan kok dijual?”
Dengan dem ikian m asalah m enjadi m entah. Itu terjadi
sudah tahun 1993.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Sekali Lagi Kasus Tanah STN 1

TANGGAL 22 J uli 1993 di koran Suara Kary a m uncul berita


berjudul “Siswa SMP 5 Blora Belajar di Lantai”. Isinya m engenai
kunjungan kerja Kakanwil Depdikbud J awa Tengah disertai
Kabagren Kanwil Depdikbud J awa Tengah untuk m em antau
pelaksanaan penataran P4 di Kabupaten Grobogan, Blora, dan
Rem bang sehari sebelum nya. Dalam kunjungan ke SMP 5,
yang m erupakan penjelm aan STN 1 Blora, m ereka m endapati
anak-anak (160 orang) belajar di lantai, dalam gedung yang
“keadaannya sudah sangat m em prihatinkan”. Keadaan itu
disebabkan karena tanah di atas gedung tersebut sedang
m enjadi sengketa.
Kepala Sekolah SMP 5 Blora m enyatakan bahwa tanah
dan gedung itu sebenarnya m ilik Yayasan Budi Utom o, nam un
tiba-tiba pada 1982 muncul sebuah sertiikat atas nama H.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mhd. Setelah dilakukan penyelidikan ternyata ada unsur


kerjasam a antara pihak agraria dengan Mhd. J uga “dalam
sertiikat itu ternyata ada kalimat yang bekas ditipp-ex”. Luas
tanah dalam sertiikat itu disebutkan lebih-kurang satu hektar
ha, yang diperkirakan lebih luas dari tanah aslinya. Di sam ping
402 Bersama Mas Pram

itu jangka waktu permohonan dan turunnya sertiikat hanya


terpaut satu hari.
Kakanwil Depdikbud J awa Tengah m enyatakan, tanah
dalam sengketa itu harus segera diselesaikan. “Kalau m em ang
itu m ilik H. Mhd. hendaknya dapat diselesaikan di pengadilan.
Nam un, anehnya pihak yang m em iliki itu kok tidak m au diajak
ke Pengadilan, apa sebabnya,” kata Kakanwil.
Sem inggu kem udian, 31 J uli 1993, m uncul berita yang
sam a di Suara Pem baruan. Ada tam bahannya, yaitu, katanya,
di depan sekolah itu oleh yang m erasa m em ilikinya, yaitu
Keluarga Parm oedya Ananta Toer, dipasang papan yang
m enyebutkan bahwa tanah tersebut adalah m ilik Mashoedi
dengan HM No. 395.
Kakanwil Depdikbud dengan tegas m enyatakan bahwa
berdasarkan ile di Kandepdikbud Kabupaten Blora, tanah
dim aksud ada dalam penguasaan Depdikbud. Anehnya, ia juga
m engatakan: “Kam i berharap apabila keluarga Pram oedya
Ananta Toer tidak berkeberatan, akan lebih berm anfaat apabila
tanah tersebut dipakai untuk penyelenggaraan pendidikan
seperti sekarang ini. Nam un apabila tidak rela, dipersilakan m e-
nyelesaikan secara hukum di pengadilan.” Ditam bah dengan
kalim at: “Depdikbud juga m em iliki data atas pem ilik itu.”
Bertahun-tahun Mas Pram m elakukan klipping untuk
m enyusun “Ensiklopedi Kawasan Indonesia”. Berita dem ikian
www.facebook.com/indonesiapustaka

tentu tidak akan lolos dari pandangannya. Kam i berem pat—


Mbak Is, saya, Coes, dan Coek—langsung diundang di rum ahnya
untuk m em bahas berita tersebut. Rapat diadakan em pat hari
sesudah pem uatan berita oleh Suara Pem baruan, yaitu pada
4 Agustus 1993, pukul 0 7.15 sam pai pukul 0 8.45.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 403

Seperti dapat diduga, suara Mas Pram sangat dom inan


dalam rapat ini, karena dialah yang m erasa paling terpojok
oleh berita itu, sehingga rapat m enghasilkan putusan-putusan
sbb.:
1. Menyetujui konsep surat kepada Redaksi Surat-
kabar Suara Kary a, J l. Bangka Raya No. 2, J akarta 12720 (ter-
lam pir).
2. Menyetujui m engirim kan surat tersebut beserta
kliping beritanya kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
RI disertai surat pengantar yang isi pokoknya: “Apabila pada
pihak Pem erintah RI ada keinginan untuk berdialog guna m en-
dapatkan inform asi lebih lanjut m engenai isi surat tsb. kam i
bersedia untuk m enerim anya.”
3. Menyetujui m engirim kan surat tersebut beserta
kliping beritanya kepada pers nasional dan m ereka yang ber-
kepentingan dalam jum lah 10 0 lem bar, yang harus sudah siap
tanggal 5 Agustus 1993.
4. Khusus m engenai sikap terhadap tanah dan ba-
ngunan.
1). Kam i rela m enyerahkan tanah itu kepada Pem e-
rintah RI, selam a tanah itu dipakai untuk kepentingan pen-
didikan. Bila tidak, tanah harus diserahkan kem bali kepada
kam i. Untuk kepentingan tersebut Pem erintah m enyerahkan
sertiikat kepada kami.
www.facebook.com/indonesiapustaka

2). Apabila tanah itu dim anfaatkan oleh Pem erintah


RI, m aka nam a M. Toer harus dicantum kan dalam penam aan
lem baga yang m engelolanya. Adapun caranya, dapat dirunding-
kan lebih lanjut.
3). Bahan bangunan M. Toer (5 kelas) supaya ditim bun
di rum ah alm . M. Toer di J l. Sum bawa 40 , Blora, karena ba-
404 Bersama Mas Pram

ngunan itu didirikan oleh ayah kam i. Adapun bangunan Dr


Soetom o (2 kelas), terserah kepada Pem erintah RI cara peng-
gunaannya.
4). Bahwa ada orang yang m engaku punya hak atas tanah
tersebut, itu m enjadi tanggungjawab yang bersangkutan.
5). Apabila pihak Pem erintah RI m enghubungi
Keluarga Toer, m aka Rapat Keluarga Toer m enyerahkan
kebijaksanaan dialog dalam m asalah ini kepada Pram oedya
Ananta Toer dan Koesalah Soebagyo Toer.
5. Laporan tentang Keputusan Rapat Keluarga Toer ini
disam paikan secara tertulis kepada sem ua peserta, dan juga
kepada Prawito Toer (Walujadi Toer) dan Oem i Safaatoen Toer
(Ny. Mashoedi).
Surat ini saya tandatangani, sedangkan surat kepada Re-
daksi Suara Kary a ditandatangani oleh Mas Pram dan saya.
Isinya penjelasan tentang asal-usul sekolah Instituut Boedi
Oetom o (IBO), seperti saya tulis dalam “Kasus Tanah STN 1”
bagian 1.
Itu sungguh pekerjaan yang m endesak dan kilat. Kepada
saya hanya diberikan waktu sehari, m aka hari itu juga saya
harus m ulai bekerja, sehingga esoknya sem ua pekerjaan dapat
ram pung. Saya ingat, saya antarkan sendiri surat itu ke Suara
Kary a dan Suara Pem baruan. J uga surat kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Lain-lain saya sam paikan lang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

sung atau per pos.


Dan bagaim ana reaksi pers dan pejabat, terutam a Suara
Kary a, Suara Pem baruan, dan Menteri Pendidikan dan Ke-
budayaan?
Sunyi-senyap!
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 405

Sebaliknya sayup-sayup kam i dengar kem udian, tanah STN


1 atau SMP 5 “dihibahkan” kepada Pem erintah dalam sebuah
upacara oleh Mas Di tanpa pem beritahuan secuil pun kepada
pem beri kuasa atau kepada siapapun di antara kam i. Term asuk
kepada Mas Wiek yang tinggal di Blora, kecuali barangkali
kepada Mbak Oem ! Dan sebagai im balan pelipur lara, di depan
sekolah itu didirikan m onum en kecil (sekitar 2 m ) berisi potret
bapak kam i, Toer, dengan kata-kata: “Monum en Pendidikan
Mastoer Im am Badjoeri Pendiri Sekolah Boedi Oetom o Tahun
1922 Blora”, yang kem udian diprotes oleh Mas Pram dalam
surat kepada J aap Erkelens tanggal 20 J uli 1994. (Lihat
Lam piran 4)
www.facebook.com/indonesiapustaka
Memperingati 100 Tahun Bapak Toer

BAPAK KAMI, Toer, lahir tahun 1896, dan m eninggal tahun


1950 . Saya sem pat m enangi 15 tahun, tapi karena Bapak
jarang saba rum ah, kam i jarang bertem u, dan oleh karena itu
jarang bergaul. Mem ang antara Bapak dan kam i terbentang
jarak ratusan kilom eter, itulah sebabnya kam i praktis tak
m engenalnya.
Ketika saya dalam tahanan, baru tertanya dalam hati
saya, apa yang saya ketahui tentang bapak saya. Saya m alu
m engakui bahwa tidak banyak yang saya ketahui. Untunglah,
waktu saya berada di Blok Q, Oom Dig berada di Blok R yang
berbatasan, jadi tiap pagi sehabis sem bahyang subuh, saya bisa
“m em erhor”, m em eriksa, Oom Dig di atas tem bok pem batas
yang tingginya 2,5 m itu. Dari Oom Dig untuk pertam a kali
www.facebook.com/indonesiapustaka

saya m endengar riwayat bapak saya. Tapi satu sum ber saja
tentunya tidak cukup. Maka saya pun m encari-cari, barangkali
di antara tahanan ada yang pernah m engenal bapak saya. Yang
nam anya Pak Kasah, bekas m antri polisi tahun 30 -an, ternyata
pernah bertem u m uka dan berbicara dengan bapak saya dalam
suatu pertem uan guru.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 407

Begitu pulang dari tahanan, segera saya hubungi saudara,


pam an-bibi, saudara sepupu, rekan-rekan Bapak, baik guru
m aupun rekan separtai dan seperjuangan, lisan m aupun
tertulis. Hasilnya saya catat, saya banding-bandingkan,
saya susun, saya saling lengkapkan. Beruntung Pak Barsah,
adik Bapak di atas bungsu, m asih ada, sehingga saya dapat
m elayangkan surat pertam a (31 Agustus 1978, sebulan sesudah
saya pulang) dengan tak kurang dari 21 pertanyaan, dan dijawab.
Surat berikutnya (4 Oktober 1978) dengan tak kurang dari 23
pertanyaan, dan berjawab juga. Diseling dengan kedatangan
saya secara langsung ke rum ahnya di J alan Halm ahera 28,
Blora, dan bicara tentang asal-usul Bapak, yang kalau dirunut
terus akhirnya sam pai pada raja Majapahit Brawijaya terakhir
(yang tidak saya percaya).
Saya m asih sem pat bertem u dengan Haji Askandar Anwar,
Pensiunan Naib Kandat, Kediri, yang waktu itu sudah bongkok
udang, sudah tuli, dan m engaku sudah usia seratus kurang
tiga tahun, tapi tahun Hijrah. Ia m engaku dua tahun lebih tua
daripada Bapak, tapi tem an sekolah di sekolah desa partikelir
di Plosoklaten, Kediri, dan ketika di Kandat dibuka Sekolah
Angka Loro, m ereka pindah ke Kandat dan belajar bersam a
sam pai tam at, dan Bapak m eneruskan belajar di sekolah guru
di Yogya.
Saya m asih sem pat m enem ui Bu Hadisasm ito, adik
www.facebook.com/indonesiapustaka

perem puan Bapak, yang tinggal di Ngadiluwih, Kediri, yang


dapat bercerita tentang kebiasaan Bapak m em endam ubi dalam
abu panas dan kem udian m enghadiahkannya kepada pem -
bantu. J uga kesukaannya m em borong m ercon waktu liburan
sekolah guru di Yogya, dan m em asangnya dalam lubang galian
tanah. Saya sem pat m enem ui Bu Salam ah, adik tiri ibu saya,
408 Bersama Mas Pram

yang dapat bercerita tentang “kisah cinta” bapak dan ibu saya,
tentang betapa Bapak rajin sem bahyang sebelum dapat Ibu,
tapi m elalaikannya sam asekali sesudah itu.
Saya sem pat beberapa kali bertem u dengan Haji Sodik di
Desa Kam olan, Blora, rekan guru Bapak, yang bercerita bahwa
Bapak adalah Islam Syech Siti J enar, tapi pernah m engislam kan
orang Kristen, yang sesudah itu m enjadi ketua pertam a PNI
Cabang Blora dan kem udian digantikan oleh Bapak. Haji
Sodik juga yang m enyatakan bahwa ketika pem erintah Hindia
Belanda m engeluarkan Wilde Scholen Ordonnantie, sekolah
IBO (Instituut Boedi Oetom o) m em bentuk panitia untuk
m enentangnya dengan ketua Bapak, m engadakan rapat protes
dengan pem bicara Bapak dan Haji Sodik, walau m enghadapi
ancam an penjara dua tahun.
Saya sem pat bertem u dengan Pak Suripan, rekan guru
Bapak di SMP, yang m enyatakan bahwa waktu Belanda
m enduduki Blora, Bapak diangkat m enjadi guru SMP Blora,
sekaligus diterim a oleh luar. “J adi Pak Toer waktu itu sekaligus
m enjadi orang dalam dan orang luar. Dialah satu-satunya
orang yang dapat m em enuhi syarat itu: diterim a di dalam dan
di luar,” kata Pak Suripan.
Um um m engetahui, karena sudah sering disinggung oleh
Mas Pram sendiri dan diabadikan dalam koran, m ajalah,
atau buku, bahwa Mas Pram dendam kepada Bapak karena
www.facebook.com/indonesiapustaka

perlakuannya yang dinilai Mas Pram tidak adil terhadapnya.


Terutam a waktu ia disuruh m engulang belajar di kelas tujuh,
padahal ia sudah dinyatakan tam at, dengan kata-kata: “Anak
goblok. Sana kem bali!” Dan ketika sepulang dari Surabaya,
di Blora ia bercerita kepada Bapak tentang apa-apa yang dia
ketahui di Surabaya, Bapak m engatakan: “Ah, kam u tahu apa!”
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 409

Walaupun dem ikian Mas Pram tetap m em banggakan


Bapak. Ia berjanji kepada diri sendiri akan berlaku baik terhadap
anak-anaknya nanti. Selanjutnya dikatakannya, sekiranya
tinggal di kota besar, Bapak pasti m enjadi tokoh. Menurutnya,
Bapak telah banyak berbuat dan berjasa bagi m asyarakat
Blora khususnya. Ia bertanya, siapakah yang lebih berjasa
daripada Bapak? Tidak adil bahwa jasa itu kini dilupakan oleh
m asyarakat, dan orang tak m engenal nam anya.
Tentang kegiatan saya m engum pulkan bahan tentang
Bapak itu saya sam paikan kepada Mas Pram , di sam ping
kepada saudara-saudara yang lain. Karena itu, dalam rapat
tanggal 15 Septem ber 1985 di Blora sesudah m eninggalnya
Mbak Koen, Mas Pram m engusulkan dan diterim a oleh rapat,
agar surat-surat keluarga yang m em punyai nilai sejarah
keluarga diserahkan pengurusannya kepada saya.
Tanggal 27 April 1986 saya m enulis him buan kepada
sanak-saudara, handai- taulan dan tem an seperjuangan Bapak
Mastoer untuk m enyum bangkan bagiannya dalam “m enggali
kem bali m utiara karya yang pernah ditaburkan oleh Bapak
Mastoer di tengah keluarga, sekolah dan m asyarakat Blora”.
Tidak heran, ketika saya usulkan kepada Mas Pram
untuk m em peringati 10 0 tahun Bapak pada 5 J anuari 1996,
ia segera m enerim anya. Surat undangan dia dan saya yang
m enandatangani. Dalam surat undangan yang saya rancang
www.facebook.com/indonesiapustaka

itu saya tulis bahwa tujuan peringatan adalah untuk “m engirim


doa kepada beliau”, “m engenang riwayat hidup dan jasa-jasa
beliau kepada keluarga, Tanah-air, dan bangsa”, “m engung-
kapkan rasa terim akasih dan syukur kepada beliau atas segala
am al baik yang telah beliau perbuat bagi kita sem uanya”, dan
“m em perbarui tekad, agar kita sem ua tetap bersatu, m em bantu
410 Bersama Mas Pram

dan m em perteguh satu sam a lain dalam m enem puh kehidupan


yang sem akin m em prihatinkan dewasa ini”.
Hadir dalam acara itu putra-putri Bapak, para m enantu,
putra-putri Oom Dig, dan para cucu. Acara penting adalah
pem bacaan doa oleh cucu Bapak, Loekito Moham ad, di m ana
kelihatan Mas Pram ikut m enadahkan tangan. Diteruskan
dengan pem bacaan riwayat hidup singkat Bapak yang telah
berhasil saya susun dari lahir sam pai m eninggal, lalu dibacakan
berbagai m acam ciptaan Bapak: sajak, tem bang, lagu, konsep
pidato, dll. Walau Mas Pram diketahui antikebudayaan J awa, ia
sam asekali tidak m enentang pem bacaan dan pelaguan karya-
karya Bapak tersebut. Saya am bil bagian dalam m enyanyikan
ciptaan Bapak “Wahai ibu dan bapa” (dalam bahasa Indonesia),
“Bung-bung pait” (dalam bahasa J awa) dan “Kasusastran”
(tem bang m acapat dalam bahasa J awa).
Hasil kom unikasi saya dengan sem uanya itu kem udian
saya susun dalam bentuk dua naskah: “Mastoer: Bahan
Riwayat Hidup” (1996) dan “Mastoer Bapak Kita” (1996).
Naskah kedua itu kem udian m enjadi salah satu bahan Prof.
Dr Teeuw untuk m enyusun buku Pram oedy a Ananta Toer:
De verbeelding van Indonesië, yang kem udian oleh Pustaka
J aya diterjem ahkan m enjadi Citra Manusia Indonesia dalam
Kary a Sastra Pram oedy a Ananta Toer.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Memperingati 95 Tahun Ibu Oemi Saidah

DELAPAN TAHUN berlalu, tahun 20 0 3, sebelum akhirnya


terpikir oleh saya untuk juga m engadakan acara m engenang
ibu kam i Oem i Saidah. Kenapa sam pai sedem ikian lam a?
Mungkin karena tidak ada secuil pun catatan tertulis tentang
Ibu. Ini sangat m engherankan, dan juga m engecewakan. Dari
Ibu Salam ah (yang biasa kam i panggil Bu Liek, adik tiri Ibu)
saya m endapat keterangan bahwa Ibu belajar di HIS Rem bang.
Itu saja sudah m enunjukkan bahwa harus ada dokum en
tertulis tentang dia. Bahkan dokum en tentang kelahirannya
pun tentunya ada. Apalagi ia putri penghulu.
Bapak, yang waktu itu m enjadi guru HIS Kediri pindah
m engajar ke HIS Rem bang, m endengar dari rekan guru di
Kediri yang m engajar di HIS Rem bang tentang putri penghulu
Rem bang, Haji Ibrahim , yang waktu itu belum tam at HIS. Bapak
www.facebook.com/indonesiapustaka

terpesona m endengar cerita itu, dan bertekad m enjadi m enantu


Haji Ibrahim . Ia pun m inta dipindahkan ke Rem bang dan
m enyewa paviliun Haji Ibrahim . Setam at HIS, Ibu sebetulnya
m asih ingin m elanjutkan belajar di Van Deventerschool di
Sem arang. Bapak setuju m em biayai pendidikannya, tapi direk-
tris sekolah m enolak, karena Bapak bersedia m em biayai hanya
412 Bersama Mas Pram

sam pai kelas dua. Kebetulan istri keem pat Haji Ibrahim (ibu
saya anak dari istri ketiga Haji Ibrahim ), jadi nenek tiri saya,
nam anya Azizah, ingin segera lepas dari anak tiri. Maka ibu
saya “dipaksa” kawin dengan bapak saya tahun itu juga. Kalau
dihitung bahwa anak m ulai m asuk HIS usia 7 tahun, m aka ibu
waktu itu baru berusia 14 tahun. Masih terlalu m uda m em ang.
Tapi ini praktik yang um um waktu itu.
Kejadian itu, m enurut Bu Liek, berlangsung tahun 1922,
jadi dapat disim pulkan ibu lahir “kira-kira” tahun 190 8. Ini
pun tentunya ada dokum ennya.
Ketika Ibu m eninggal tahun 1942, Mbah Azizah datang
dari Rem bang (Mbah Kakung Haji Ibrahim sudah m eninggal
tahun 1928). Saya ingat (usia saya 7 tahun waktu itu), Mbah
Azizah m arah-m arah sepanjang hari, terutam a terhadap Mas
Pram . Segalanya tak beres diurus! Belakangan Mas Pram
m em benarkan hal itu dalam percakapan dengan saya. Dan
baru sekarang terpikir oleh saya, m ungkinkah waktu itu Mbah
Azizah m engam bil dan m enyim pan segala dokum en tentang
Ibu, entah dengan alasan apapun?
Kalau itu tidak sejalan dengan faktanya, m ungkinkah
salah seorang saudara saya yang m enyim pannya, Mbak Oem
m isalnya, entah dengan alasan apapun juga, karena Mbak
Oem lah yang paling m em egang peranan dalam m engelola
rum ah itu sesudah Ibu m eninggal?
Dan kalau itu pun tidak sesuai dengan faktanya, m ungkinkan
www.facebook.com/indonesiapustaka

pernah terjadi force m ajeure yang m enjadi penyebab lenyapnya


segala dokum en itu? Kalau ya, apakah bentuknya? Sungguh
tak terbayangkan oleh saya, apa itu.
Ketika gagasan ini saya sam paikan kepada Mas Pram
di rum ahnya yang baru di Bojong Gede, Bogor, ia langsung
m enyetujuinya.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 413

“Adakan saja. Aku yang nanggung biayanya,” katanya.


Dan seperti biasa, ia lalu m engulang cerita tentang Ibu.
“Ibu kita itu sangat m enderita. Perkawinan dengan Bapak
itu kan kawin paksa. Sem uda itu. Dan sem ua ditanganinya
sendiri. Dari seorang yang pegang sapu pun tidak boleh, sam pai
m em buat kecap, m em erah susu, dan m encangkul! Sam pai
buka warung! Bapak tidak pernah m au tahu. Asal ada orang
m enitipkan anaknya untuk dididik, diterim a! Dan tidak ada
yang bayar, karena m em ang anak orang m iskin. Nanti yang
m enanggung Ibu: m akannya, pakaiannya, dan segalanya...,”
m ulainya.
Dan karena m ulai bercerita tentang Ibu, orang yang paling
dicintai dan dihorm atinya itu, tak dapat lagi ia m em bendung
em osinya. Ia m enangis, m engibas-ngibaskan wajahnya agar
tak kelihatan tangisnya.
“Hebatnya, dalam keadaan m elarat seperti itu, dia anjurkan
aku belajar di Eropa!” sam bungnya.
Pendek kata, saya juga yang m enjadi panitia penyelenggara
acara itu. Keluarga Toer sudah m enjadi sekitar 80 orang. Sem ua
saya hubungi. J uga keluarga sem ua putra-putri Oom Dig, Pak
Barsah, Bulik Am ilah (adik kontan Bapak) dan... tem an m ain
saya di m asa kecil, yang sekarang ternyata tinggal di Depok,
Rigno, walau tidak sem ua bisa m eluangkan waktu. Dari Blora
cum a Mas Wiek yang tak bisa datang, dari Surabaya datang
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dik Wirjatoen (Bu Opiet) sesaudara, dari Belitung putra Bulik


Am ilah yang bernam a Abdoel Kahar berjanji akan datang, tapi
tiba pada waktunya ternyata berhalangan. Dan tem an saya
Rigno ternyata juga berhalangan datang.
Untuk acara itu Mas Pram m enam bah kursi duduk
beberapa set dan m em bangun kem ah beberapa biji di halam an,
414 Bersama Mas Pram

dan m enyediakan alat m usik (organ) yang ditangani oleh


m enantunya, Gunawan (suam i Rita).
Saya m em buka acara dengan m enguraikan riwayat hidup
Ibu Oem i Saidah. Mas Pram m enyusul berbicara tentang Ibu,
m engulangi apa-apa sudah sering ia tuliskan dan bicarakan,
nam un tetap aktual. Kem udian dalam rangkaian acara itu
dibacakan juga cuplikan tulisan Mas Pram tentang Ibu dari
buku Ny any i Suny i Seorang Bisu oleh cucu saya, Piranti Dyari
Asha (biasa dipanggil Asa).
Sam butan berturut-turut oleh wakil keluarga yang hadir,
dan ditutup dengan pem bacaan doa yang dipim pin oleh Loekito
Moham ad. J adi sem purnalah acara m em peringati 95 tahun
Ibu Oem i Saidah yang m encurahkan perhatian pada peranan
ibu dan perem puan um um nya bagi perkem bangan peradaban
dan kebudayaan m anusia, di m ana seorang ibu harus berilm u,
teram pil, bijak, kuat, tabah, dan banyak kualitas lain lagi.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Coes Pindah ke Blora

COES BEBERAPA waktu lam anya tinggal di J akarta. Sepulang


dari tahanan (1978) ia kawin dengan seorang anak tem an
setahanan, tapi gagal. Mem ang di kalangan bekas tahanan
G30 S terlalu banyak m asalah kalau dibandingkan dengan
di kalangan rum ahtangga yang biasa. Sudah saya ceritakan,
betapa berat ia m encari penghidupan. Karena m erasa bangkrut
dalam usahanya, ia m engundurkan diri ke Blora, beternak
ayam . Tak lam a kem udian ia kem bali ke J akarta.
Berkat keuletannya, ia berhasil m em iliki sepetak tanah
dengan rum ahnya di Kranji, J akarta Tim ur. Ia m enikah lagi
serta dikaruniai seorang anak lelaki ketika usianya sudah
di atas 50 tahun. Sesudah terpaksa m engundurkan diri dari
Untag, ia hidup dari m em buka warung kecil-kecilan, walau
pendidikannya telah m em berikan kepadanya gelar doktor
www.facebook.com/indonesiapustaka

ilm u ekonom i.
Tapi dinam ika kehidupan J akarta m em buat tanahnya
digusur. Dengan cara ulet juga ia berhasil m em peroleh ganti
rugi yang pantas, sehingga akhirnya terbuka kem ungkinan
baginya untuk m engam bil pilihan: tetap tinggal di J akarta
atau m undur ke Blora. Sebagai ekonom ia terbiasa m enghitung
416 Bersama Mas Pram

untung-rugi dan arus uang. Dan begitulah, akhirnya ia m em ilih


bersam a keluarga tinggal di Blora, di rum ah warisan. Itu terjadi
tahun 20 0 4.
Keputusan ini m enjadi blessing in disguise buat kam i,
sebab walaupun kam i kehilangan dia di J akarta, kehadirannya
di Blora m enjadi penawar hubungan kam i dengan Mas Wiek
dan juga penawar hubungan pem beri kuasa dan yang diberi
kuasa. Dan yang penting juga, dengan hadirnya Coes di Blora,
perasaan Mas Pram terhadap Blora m enjadi pulih kem bali.
Mas Pram pergi ke Blora untuk bernostalgia, sekalipun
biasanya ham bar, karena tidak ada lagi orang yang dikenalnya,
walau di dunia kepengarangan ia dikenal baik. Mas Pram
berjalan-jalan di kota Blora seperti anak hilang di tengah pasar
m alam yang tak dipedulikan oleh siapapun. Nam un ada yang
penting dalam kunjungan itu, yaitu m enyekar Ibu, Bapak, dan
Mbah Satim ah, prototipe Gadis Pantai itu, yang m erupakan
kekhidm atan tersendiri baginya. Lain-lain, walau ditaburinya
bunga, kiranya hanya sebagai pelengkap. Untuk m enyekar
sejauh 650 km itu ia kadang harus m enginap di hotel sekeluarga,
karena di rum ah warisan tidak ada sarana. Dan m akanan di
m asa kecil pun tak lagi begitu diinginkannya. Untuk sarapan,
ia tidak bisa lagi m enikm ati kue serabi, m elainkan roti berlapis
m entega dan gula pasir sebagaim ana ia sudah terbiasa
berpuluh tahun di J akarta. Dan ketika kebetulan pabrik roti
tak beroperasi karena listrik m ati, ia pilih tidak m akan sarapan
www.facebook.com/indonesiapustaka

daripada m anyantap m akanan lainnya.


Untuk m akan siang, ia tak m enginginkan tahu-lontong
atau sate kam bing yang m erupakan m akanan khas Blora,
m elainkan cukup superm i ditam bah sayuran yang diram u
sendiri. Untuk m akan m alam ia tak m enginginkan soto atau
rawon, m elainkan cukup m engulangi superm i siang tadi.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 417

Walau dem ikian, tarikan ke Blora itu rupanya m akin lam a


m akin kuat juga, sam pai akhirnya terbentuk keputusannya
untuk m em bangun paviliun, sebagian di antaranya dengan
bahan dari sisa-sisa kayu jati yang tadinya m em bentuk dapur.
Itulah dapur dan gudang, bagian dari rum ah yang dibangun
Bapak tahun 1925. Cukup besar, bahkan boleh dianggap
sebagai rum ah tersendiri. Di m asa revolusi, dapur dan gudang
itu pernah am bruk karena tak terawat, tapi kayu jatinya m asih
tetap utuh.
Gagasan pokok tentu saja dari dia, tapi perancang dan
pelaksana Coes. Coes yang biasa otak-atik akhirnya berhasil
m em bangun paviliun dengan kam ar tidur, kam ar tam u,
beranda, dan kam ar belakang. Di situlah akhirnya Mas Pram
suka m enginap dengan keluarga, m enerim a tam u, para
pem uda pengagum nya yang sem entara itu m ulai terbentuk
di Blora. Ia tidak m em perm asalahkan tanah STN 1 lagi. Ia
bahkan pernah m endatangi sekolah itu (yang sudah m enjadi
SMP 5) dan m enghadiahinya dengan buku-bukunya. Ia
rupanya sudah berdam ai dengan m asa lalunya, m asa lalu
yang keras terhadap dirinya, nam un kekerasan yang tiap
kali berm etam orfose sebagai karya sastra yang m enghilham i
siapapun pem bacanya.
Perdam aian itulah yang tiap kali m engantarkannya
berkunjung kem bali ke Blora. Guncangan m obil yang
paling halus pernya pada m obil Ford yang sengaja dibelinya
www.facebook.com/indonesiapustaka

m em buat pantatnya yang sudah tepos lecet-lecet, dan itu


tetap ditem puhnya dengan m em enuhi saran seorang tem an,
yaitu m engganjal jok m obilnya dengan ban m otor Vespa. Dan
dem ikianlah, kadang-kadang dua kali sebulan ia ke Blora,
kota yang sangat dicintainya dan pertam a kali m engilham inya
untuk m enulis.
Mas Pram Gelisah

MAS PRAM tam pak gelisah tiap kali saya jum pai. Dan bukan
hanya tam pak, ia pun m engungkapkannya dengan kata-kata:
“Aku gelisah saja belakangan ini!” Waktu saya m enjenguknya
bersam a Harsutejo pada 20 J uni 20 0 6, ia pun m engulangi kata-
kata itu. Itulah, saya hitung, sudah kelim a kali ia m engucapkan
kalim at itu. Dan selam anya kata-kata itu tak saya tanggapi,
seolah-olah saya tak m endengar apa-apa. Apalah yang bisa
saya katakan tentang itu?
Terpikir oleh saya apakah ini sudah bulan-bulan, m inggu-
m inggu, atau bahkan hari-hari terakhirnya? Tertanya juga
pada saya, apakah yang m em buatnya gelisah. Apa karena di
m asa revolusi ia pernah m endatangi dukun yang m em buatnya
kebal, seperti saya singgung dalam Pram oedy a Ananta Toer
www.facebook.com/indonesiapustaka

dari Dekat Sekali. Ada kepercayaan pada orang J awa bahwa


orang yang m em iliki “ilm u kebal” akan susah m eninggal
dalam sekaratnya. Untuk m enghentikan penderitaannya ia
harus disabet dengan daun kelor. Itu cum a bayangan saya,
seperti sering saya dengar dari orang yang tahu. Tapi kalau
bayangan saya ini benar, tentunya ada keengganan pada
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 419

Mas Pram untuk m em bicarakan m asalah yang dapat disebut


gugon tuhon (takhayul) itu. Dan lagi dalam satu kesem patan
ia pernah m engatakan tertusuk paku, dan ternyata m erasakan
nyeri juga.
Tapi yang m engharu-biru pikiran saya justru bukan itu,
m elainkan bagaim anakah saya m esti m enem patkan diri, dan
bagaim ana kelakuan saya sebagai adik lelakinya, sekiranya
Mas Pram nanti akhirnya m engem buskan napas terakhir.
Sam pai-sam pai keluar ucapan saya kepada istri: “Aku ora isa
m bay angke, piy e polahku upam a Mas Pram seda!—Saya tak
bisa m em bayangkan, bagaim ana tingkah-polah saya sekiranya
Mas Pram m eninggal!” Mendengar kata-kata saya itu, istri saya
tak berkom entar sam asekali. Tidak seperti biasanya. Tentu
karena ia pun m em bayangkan peliknya m asalah itu.
Eee, sem inggu kem udian, Kam is, sesudah saya m enengok-
nya di Bojong Gede, datang berita telepon dari Titiek bahwa
Mas Pram dirawat di Rum ah Sakit St. Carolus. Karena berita
itu sudah m alam , saya putuskanlah untuk m enengok esok ha-
rinya, J um at tanggal 28 J uni 20 0 6.
Saya sudah pernah m enjenguk Mas Pram yang dirawat di
rum ah sakit ini juga beberapa tahun sebelum nya, tapi kali ini ia
dirawat di unit gawat darurat di bagian belakang rum ah sakit.
Ketika saya sam pai unit di tingkat dua itu, sudah banyak
orang berkerum un. Sem ula saya tak bisa m em bedakan wajah
siapa saja itu, tapi sesudah saya am at-m ati, ternyata terutam a
www.facebook.com/indonesiapustaka

anak-anak, m enantu-m enantu, dan cucu-cucu. Banyak juga


orang lain, term asuk wartawan, tersebar di ruangan yang cukup
lapang. Saya jum pai adik Mbak Pram , Mbak Nonong, yang saat
itu pun ada di tengah penjenguk. Tidak lam a kem udian keluar
Yudi, anak bungsu Mas Pram , dari ruangan, dan m engajak
saya m asuk ruangan.
420 Bersama Mas Pram

Masuk ruangan harus lepas sepatu dan m engenakan khalat


putih. Di ujung terjauh ruangan, Mas Pram m em bujur di bawah
selim ut dengan napas tersengal-sengal. Mbak Pram duduk di
kursi dekat kakinya, di kiri-kanan kepala duduk juga di kursi:
Rita dan suam inya, Gunawan. Rita m em bacakan SurahYasin
dengan suara lirih, sedangkan Gunawan m em bisikkan kalim at
Sahadat ke telinganya sayup-sayup sam pai. Sem entara itu
Titiek dan suster datang dan pergi, sesekali m enengok layar
m onitor di atas.
Suasana dengan dem ikian sudah suasana m ati. Selam a
setengah jam saya berdiri tegak di situ, tidak satu gerak pun
diperlihatkan Mas Pram selain dada yang naik-turun sedikit
seiram a dengan sem buran napas yang sesak dan sedotan
napas yang juga sesak. Rupanya ada dahak yang m enghalangi
pernapasan itu. Terbayang oleh saya saat-saat terakhir Bapak
tahun 1950 yang juga terhalangi dahak yang akhirnya m engunci
sam asekali aliran udara.
Terngiang di telinga saya ucapan Mas Pram sendiri: Sejak
lahir m anusia sudah dijatuhi hukum an m ati.
Tiap m anusia wajib lahir dulu, sudah itu wajib m ati.
Dan kalau sudah saatnya m ati, sem angat baja setebal tujuh
sentim eter pun tidak m am pu m enolong, apalagi orang-orang
awam seperti saya, yang hanya bisa m em perhatikan dan
m encoba m eresapi m akna sem ua itu. Maka di ujung waktu yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

setengah jam itu saya pun keluar ruangan, dengan harapan


ham pa agar Mas Pram disem buhkan kem bali. Dan m em ang
dalam hati saya m erasa bahwa Mas Pram bisa m encapai um ur
lebih panjang lagi.
Saya pun m enjum pai sanak-saudara dan tem an-tem an
yang bersim pati kepada Mas Pram .
Meninggalnya Mas Pram (1)

J AKARTA, 16 J uli 20 0 6
Sehari sebelum Mas Pram m eninggal terjadi kekisruhan,
karena Radio Utankayu m em beritakan telah m eninggalnya Mas
Pram hari itu, dan orang pun berduyun-duyun m engucapkan
belasungkawa lewat internet. Menyusul em ail Hersri Setiawan:
“Berita Pak Pram m eninggal tidak benar, saya, Hersri Setiawan,
siang tadi m enjenguk Pak Pram m asih bisa dengan segera
m engenali saya, dan m eneriakkan nam a saya. Baru saja saya
m enelepon ke keluarga Pak Pram , berita wafatnya Pak Pram
tidak benar, m em ang benar Pak Pram tidak di RS lagi, sekitar
pukul 19.0 0 tadi dibawa pulang ke rum ah (lam a) di J alan
Multikarya Utankayu J akarta.” Bung Waluyo dari Paris pun
m engirim em ail kepada saya: “Ini berita berseliweran begini…
www.facebook.com/indonesiapustaka

harap ada penjelasan.”


Mas Pram m eninggal tanggal 30 April 20 0 6 hari Sabtu pagi,
pukul 08.55. Kami sekeluarga mendapat konirmasi tentang
dia pagi itu juga lewat telepon, dan segera bersiap untuk
berangkat ke Utankayu. Pukul 0 9.0 0 kam i berangkat. Agar
cepat, kam i bertiga (bersam a istri dan Uliek) am bil taksi dari
422 Bersama Mas Pram

J alan Kedondong, Depok. Ternyata terjadi kem acetan parah di


Tanjung Barat, sehingga baru sam pai di tem pat sekitar pukul
11.0 0 .
Sudah banyak orang m elayat—keluarga, tetangga, handai-
taulan. J enazah sudah dibujurkan di ruang tengah, dikelilingi
istri, anak, dan cucu. Sesudah m engheningkan cipta sejenak dan
m encium pipinya sebagai tanda perpisahan, dan m engucapkan
belasungkawa kepada Mbak dan seluruh kerabat dekat, saya
m engajukan pertanyaan kepada Mbak, akan dim akam kan
secara apa, dan kapan. Dijawab:
Akan dim akam kan secara Islam , m enurut keputusan
keluarga, sesudah ashar.
Saya ingat, Mas Pram pernah berpesan agar sesudah
m eninggal dibakar, dan abunya dibawa pulang. Kepada saya
pun ia berpesan dem ikian, dan itu saya catat dalam buku
saya Pram oedy a Ananta Toer dari Dekat Sekali. Tetapi
karena “keluarga” sudah m enetapkan dem ikian, saya tidak
m em persoalkan.
Di tengah kesibukan orang m engucapkan belasungkawa,
datang penyair Toga Tam bunan bertanya kepada saya di
hadapan istri (karena ia sudah m engenal kam i), apakah
sudah diatur acara pem akam an. Pem akanan untuk Mas Pram
seyogianya diatur dengan baik. “Itu tugas kita,” kata Toga. Saya
m em benarkan hal itu. Karena Titiek ada di depan kam i, dan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mbak pun ada di sam ping saya, pertanyaan kam i langsungkan


kepada Titiek. Titiek m enjawab, sudah diserahkan kepada
Daniel Mahendra, pengagum Mas Pram dari Bandung.
Saya m erasa lega. Sem entara itu Toga m enyatakan harus
pergi untuk suatu keperluan dan tidak dapat m engikuti acara
selanjutnya.
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 423

Para pelayat terus datang berbondong-bondong, keluar-


m asuk. Sebagian berjubel di seluruh ruang rum ah dari depan
ke belakang. Sebagian lagi duduk di lantai, di kursi yang
berjajar di halam an, dan di kursi yang juga berjajar di J alan
Multikarya II.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Meninggalnya Mas Pram (2)

J ULI, 17 J uli 20 0 6
Di tengah kesibukan itu m enyerobot serom bongan orang
yang kelihatan penting, dengan pengawal m inta segera diantar
kepada keluarga. Karena kebetulan saya yang didekati oleh
sang pengawal, langsung saja saya antarkan kepada Mbak.
Ternyata orang penting itu adalah Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata J ero Wacik. Ia m engucapkan belasungkawa kepada
Mbak dll., dan sesudah itu rom bongan m engam bil tem pat
duduk di halaman dan mengobrol akrab dengan bintang ilm
Nurul Ariin.
Sebagai salah seorang kerabat Mas Pram , saya m erasa
perlu m enem ani, dan m em perkenalkan diri sebagai adik Mas
Pram . Menteri tidak m engajukan pertanyaan apapun selain
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enyatakan: “Ooo….”
Tentu saja saat itu saya anggap sebagai kesem patan penting
untuk m encari inform asi. Saya m em berondongkan pertanyaan
kepadanya hingga akhirnya Nurul Ariin sempat undur ke
belakang. Isi jawaban atas berondongan saya:
Bagian Ketujuh: Tahun-tahun yang Pasti Berlalu 425

J ero Wacik datang m elayat atas perintah Wakil Presiden


J usuf Kalla, berarti resm i m ewakili pem erintah. Sebetulnya
ia baru saja pulang dari Kuwait, Tim ur Tengah, untuk acara
prom osi pariwisata Indonesia, tapi karena perintah itu, ia
langsung berangkat m elayat.
Pem erintah tidak alergi terhadap Mas Pram , juga tidak
alergi terhadap buku-bukunya. Sekarang ini bukan lagi Orde
Baru, tapi Orde Reform asi, jadi tidak m asalah. Mem ang belum
ada pencabutan larangan atas buku-buku Mas Pram , tapi buku
Mas Pram sekarang bebas diterbitkan, diedarkan, dan dibaca.
Tentang kem ungkinan pencabutan larangan, itu m ungkin
saja.
Percakapan kam i sem pat disela wawancara wartawan. Isi
wawancara kurang-lebih sam a. Tam bahannya, ada pertanyaan
wartawan: Apakah ada kem ungkinan pem erintah m em berikan
penghargaan kepada Mas Pram ? Dijawab: Mungkin saja.
Wawancara itu berlangsung sesudah jenazah dim andikan,
disantuni, dan kem udian disem bahyangkan.
Bicara tentang dirinya, J ero Wacik m engatakan, sejak
sekolah m enengah ia sudah m em baca buku-buku Mas Pram .
J adi baginya sekarang sebagai pejabat pem erintah, m asalah ini
bukan hal baru.
Menjawab pertanyaan saya tentang bagaim ana sejarahnya
bahwa dari seorang yang tak punya nam a tiba-tiba bisa m enjadi
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enteri, Wacik m enjawab, ia lulusan ITB, tapi kem udian


bergerak di bidang perhotelan. Dalam kedudukan itu ia
berhubungan atau m enjadi anggota Yayasan Toya Bungkah
di kawasan Sanur, Bali, yang didirikan oleh alm arhum Sutan
Takdir Alisjahbana, dan begitulah sekarang ia m enjadi “Menteri
Pariwisata”.
426 Bersama Mas Pram

Saya sem pat m engajukan pertanyaan, apa arti nam a Wacik.


Dijawab: Kata wacik berasal dari kata Sanskerta w acika,
yang artinya (kalau saya tak salah ingat) m em baca dengan
baik. Masih banyak lagi pertanyaan saya padanya, dan sem ua
dijawab dengan sim patik. Antara lain tentang alasan m engubah
Kem enterian PPK m enjadi Departem en Kebudayaan dan…
Pariwisata (!), yang m enim bulkan kesan m enyem pitkan m akna
kebudayaan.
Sayang, tiba-tiba, sekitar pukul 12.30 !, keranda dipikul ke
luar dari am bang pintu depan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Meninggalnya Mas Pram (3)

J AKARTA, 18 J uli 20 0 6
Saya kaget, otom atis berdiri dan ikut m engiringkan
keranda. Beberapa langkah dari pintu depan berkum andang
lagu “Internasionale” yang keluar dari tenggorokan sejum lah
orang. Sebagai bekas penyanyi koor, saya bisa m erasakan bahwa
cara m enyanyinya buruk sekali: tidak serem pak, sebagian fals,
dan tidak sam a kata-katanya. Saya ingin tahu, siapa m ereka
itu. Saya am ati wajahnya satu per satu. Tak ada yang kenal!
J ustru wajah terakhir saya kenal, wajah Chaerul Sjam si.
Karena Chaerul Sjam si tem an yang sangat saya akrabi, saya
angkat tangan kepadanya sam bil tersenyum , dan ia m em balas
tangan saya dengan senyum juga sam bil terus m enyanyi. Saya
lihat ia lebih bersem angat m enyanyi. Waktu lagu kedua (yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

tidak saya kenal) berkum andang, saya sudah ham pir keluar
dari pintu gerbang.
Karena pelayat sangat padat, hanya dari jauh saya dapat
m elihat keranda dim asukkan ke dalam am bulans dan tak lam a
kem udian berangkat.
428 Bersama Mas Pram

Saya hanya ikut arus, dengan tekad ikut m engantarkan


jenazah Mas Pram sam pai ke m akam . Pikir saya, nanti kan ada
taksi.
Massa pelayat bercam pur dengan m obil layatan. Di kiri-
kanan jalan berdirian karangan bunga di atas jagangnya
m asing-m asing. Satu-dua orang m enegur saya, sebagian
bertanya. Saya jalan terus.
Ketika sudah ham pir seratus m eter berjalan, barulah
teringat oleh saya istri dan Uliek. Dan baru teringat Menteri
J ero Wacik yang tadi saya tinggalkan begitu saja dan kini entah
di m ana pula beliau itu. Saya pun berbalik m elawan arus.
Di jalan balik itulah saya diseru oleh istri dan Uliek dan
dim inta bersam a m ereka ikut m obil Iyang, anak perem puan
terakhir Mas Pram . Saya m erasa entah bagaim ana waktu itu;
sepertinya jiwa saya tidak ada pada tem patnya.
Keluar dari kom pleks Perum ahan Kehakim an dan m asuk
J alan Pram uka, am bulans sudah tak tam pak. Mobil-m obil
berpacu seperti dikejar setan. Dalam pada itu tidak ada tanda-
tanda yang lazim bahwa itu adalah iring-iringan jenazah;
terutam a tidak ada rom bongan pengawal, bahkan tidak ada
bendera kuning.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Meninggalnya Mas Pram (4)

J AKARTA, 19 J uli 20 0 6.
Sopir cukup teram pil dan tahu lokasi; sem entara itu ia
terus m elakukan kontak dengan HP-nya. Karena itu kam i tiba
di Perm akam an Karet Bivak lebih dulu daripada yang lain.
Baru beberapa saat kem udian m obil am bulans tiba, disusul
m obil yang dikendarai oleh Mbak dan anak-anak. Dari jauh
saya sem pat m elihat, ketika pintu m obil Mbak terbuka, dari
dalam m obil Mbak langsung m elangkah ke dalam got beton.
Pinggulnya terbentur beton, tapi saya kagum , ia dapat segera
bangkit kem bali dan berjalan bersam a yang lain seperti tak
terjadi apa-apa.
Acara pem akam an berjalan seperti biasa. Massa tidak
banyak, sebagian besar orang m uda. Insan pers sibuk m elakukan
www.facebook.com/indonesiapustaka

peranannya, dan ketika jenazah dim asukkan ke liang lahat,


serentak m ereka m enyerbu ke bibir liang, sehingga saya tak
m elihat apapun. Waktu itulah sekali lagi berkum andang lagu
“Internasionale” dan disusul lagu yang kedua tadi. Saya tak
sem pat lagi m em perhatikan apakah penyanyinya sam a dengan
penyanyi yang tadi.
430 Bersama Mas Pram

Di antara hadirin, saya m elihat Loekito Moham ad di


kejauhan. Saya pikir, kalau nanti dim inta sam butan dari
keluarga, dia akan saya usulkan. Tapi m alang, ketika hal itu
terjadi, yaitu pem im pin acara m em persilakan wakil keluarga
m em berikan sam butannya, Loekito tidak saya lihat lagi ada
di tem pat. Karena saya tidak m endapat kuasa dari “keluarga”
untuk berbicara, saya pun diam saya sam bil lingak-linguk
apakah ada seseorang yang tam pil, m isalnya Yudi.
Beberapa detik berlalu. Orang-orang ikut lingak-linguk.
Tiba-tiba Iyang di depan saya m enoleh dan m engatakan:
“Oom Liek saja! Iya, Oom !”
Tidak ada kesem patan untuk m enolak atau berkelit. Kalau
saya m elakukan itu berarti m em perm alukan keluarga. Maka
saya pun tam pil. Saya bicara singkat. Pada pokoknya saya
m engucapkan terim akasih kepada para hadirin yang telah sudi
ikut m engantarkan Mas Pram dalam perjalanan yang terakhir.
Apabila ada kesalahan, baik sengaja m aupun tidak dari
alm arhum , supaya dim aafkan. Saya pun m inta kepada m ereka,
apabila ada m asalah, apalah bentuknya, supaya berhubungan
dengan keluarga.
Saya ucapkan juga terim akasih kepada penyelenggara
acara, dan di situ saya akhiri sam butan saya. Selanjutnya
berlangsung beberapa wawancara dengan pers. Di sela-sela itu
saya bertem u dengan Roger Tol dari KITLV, Monique Soesm an
www.facebook.com/indonesiapustaka

penerjem ah salah satu buku Mas Pram , dan Sulistyodewi


tem an kuliah di Moskwa dari Negeri Belanda, sam pai hujan
m engguyur m akam .
Meninggalnya Mas Pram (5)

J AKARTA, 20 J uli 20 0 6
Salah seorang pewawancara m engajukan pertanyaan
tentang rencana penyusunan ”Ensiklopedi Kawasan Nusantara”
yang diinginkan oleh Mas Pram . (Sebelum nya Mas Pram
menyebutnya ”Ensiklopedi Geograi Indonesia”). Saya sempat
bertanya dari m anakah wartawan itu, dan dijawab dari televisi,
tapi sesudah m encari-cari dikantongnya, ternyata ia kehabisan
kartu nam a. Saya sudah lupa dari televisi apa dia.
Pertanyaannya saya jawab: Mem ang dalam banyak
kesem patan Mas Pram telah m enyatakan bahwa ia m enyusun
bahan ”Ensiklopedi Kawasan Nusantara”, dan bahan itu
terakhir kali disebutnya sudah setebal lim a m eter. Saya pernah
dim inta untuk m enggarap ensiklopedi tersebut dan dim inta
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enyusun rancangan cara penggarapannya. Rancangan saya


susun dengan tim terdiri atas lim a orang, lengkap dengan
pem biayaannya. Tapi sam pai sekarang belum ada realisasi
atas rancangan tersebut karena biaya belum ada. Dokum en
rancangan itu pasti m asih tersim pan.
432 Bersama Mas Pram

Nam un saya katakan bahwa walau saya pernah di-


m inta untuk m enggarapnya dan m enyusun rancangan cara
penggarapannya, tidak berarti harus saya yang akan m erea-
lisasikan rancangan tersebut. Hal ini terserah pada ahli waris
Mas Pram , yaitu sem ua anaknya.
Kam i m enunggu hujan usai, lalu dengan taksi bersam a
beberapa wartawan m uda kem bali ke Utankayu untuk ikut
m enem ani para tam u yang terlam bat m elayat. Di sana saya
diwawancarai seorang wartawati (Ucu?) yang pada 29 April
20 0 6 m alam di Rum ah Sakit St. Carolus juga m ewawancarai
saya sesudah Oey Hay Djoen. Wawancara berkisar sekitar
keluarga dan kedekatan hubungan saya dengan Mas Pram .
Kam i baru pulang dengan taksi ke Depok sesudah pukul
sepuluh m alam .
www.facebook.com/indonesiapustaka
Meninggalnya Mas Pram (6)

J AKARTA, 21 J uli 20 0 6
Peliputan pers m engenai m eninggalnya Mas Pram cukup
intensif. Koran, radio, TV, dan internet m enyiarkannya.
Sebagian hanya m enyatakan ikut berdukacita, sebagian
m enulis artikel. Harian Kom pas sam pai tiga kali m enulis.
Pernyataan belasungkawa dan tulisan lain lewat internet
(terutam a Wahana) m encapai tak kurang dari seratus sum ber
dalam beberapa hari.
Ada juga m asalah m enonjol yang diajukan, antara lain:
Kenapa jenazah diberangkatkan sekitar pukul setengah satu,
padahal m enurut inform asi awal sesudah ashar, berarti sekitar
pukul 15.15? Kenapa diperdengarkan lagu “Internasionale”
(lagu kom unis) dan lagu “Darah J uang” (yang baru saya ketahui
dari pem beritaan pers). (Belakangan saya baru tahu bahwa lagu
www.facebook.com/indonesiapustaka

ini adalah lagu Reform asi (1998) dan diciptakan oleh seorang
aktivis m uda yang nam a panggilannya Yayak.) Kenapa acara
pem akam an tokoh sebesar Pram cum a seperti itu, jelasnya:
tidak pantas. Kenapa yang nam anya Daniel Mahendra tidak
m uncul? Ada juga kom entar bahwa sam butan wakil keluarga
di pinggir m akam begitu lirih sehingga tidak terdengar.
434 Bersama Mas Pram

Di internet terjadi debat sengit m engenai relevan


tidaknya lagu “Internasionale” dinyanyikan. Masing-m asing
pihak m em pertahankan pendiriannya, dan tentu saja tanpa
kesim pulan.
Ada juga yang m em persoalkan apakah tidak telah terjadi
sabotase atas pem berangkatan jenazah ke m akam . Artinya,
sabotase itu bisa kasar, dan bisa halus. Yang halus m isalnya
dengan m em bisikkan supaya lekas saja diberangkatkan supaya
m assa yang lebih besar tidak sem pat berkerum un. Toh jenazah
sudah rapi dan sudah disem bahyangkan. Dan lagi, jangan-
jangan turun hujan, karena cuaca tam pak m endung. Apapun
bisikan bisa terjadi, dan keluarga bisa m em benarkan, dan
itulah pangkal segalanya.
Saya berusaha m endengarkan sem ua reaksi itu dengan
tenang. Alasan saya: Saya m em ang adik Mas Pram , tapi ada
pihak yang lebih berhak untuk m engam bil keputusan, yaitu
Mbak dan anak-anak Mas Pram . Dan m ereka m em ang sudah
m engam bil keputusan tanpa keikutsertaan saya, antara lain: (1)
Waktu dokter St. Carolus bertanya apakah akan dipasang alat
untuk m engeluarkan dahak yang m engganggu di tenggorokan,
m ereka m em utuskan untuk tidak m em asangnya. (Menurut
keterangan Rina, itu adalah keputusan pertem uan yang dihadiri
oleh 11 orang. Dapat diduga m ereka adalah Mbak, anak-anak,
m enantu, dan entah siapa lagi.) (2) Ketika Mas Pram sudah
m eninggal, m ereka m em utuskan untuk m em akam kannya
www.facebook.com/indonesiapustaka

secara Islam , karena segan kepada keluarga (besar) dan kiri-


kanan. (3) Mereka m em utuskan untuk m em akam kannya
sesudah ashar.
Saya m enganggap sem ua itu sudah betul. Karena itu saya
bersikap m enahan diri dan tidak bercam pur tangan agar tidak
m engeruhkan suasana.
Bagian Kedelapan: Catatan Pribadi Soesilo Toer
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dongeng Lain tentang Mas Moek

TIAP KALI m am pir ke rum ah Mbak Oem aku selalu berusaha


m encari cerita m asa lalu keluarga Toer. Alasanku jelas,
pengetahuanku tentang keluarga ini sangat m inim .
Yang m asih kuingat, m enurut Mbak Oem , Mas Moek yang
selam a ini dikenal sebagai anak pertam a pasangan Toer dan
Oem i Saidah sebenarnya tidaklah benar dem ikian. Setidaknya,
Mas Moek adalah anak pertam a yang hidup, tapi bukan anak
pertam a yang lahir dari pasangan tersebut.
Bahkan m enurut pendapat Mbak Oem , bisa jadi Mas Moek
adalah anak ketiga. Hal itu didasarkan pada tahun pasangan
itu m enikah. Biasanya, hanya dalam beberapa bulan istri
sudah berisi. Itu pertam a. Kedua, m enurut pengalam an Mbak
Oem pribadi, ia pun sudah “tok-cer” hanya dalam waktu satu
www.facebook.com/indonesiapustaka

setengah bulan. Isi lagi, dan keguguran lagi dalam waktu


enam bulan. Baru kem udian lahir bayi pertam a yang hidup.
Di sam ping itu, Mbak Oem pun m em antau perkem bangan
keluarga Mbak Koen, yang m enurutnya lebih parah lagi.
Setahun bisa keguguran tiga kali. Ia m enam bahkan, orang-
orang yang sakit justru doyan dan rawan kepuasan. Ia pun
438 Bersama Mas Pram

m engaku m engam ati perkem bangan keluarga Mbak Is.


Ia yakin m enem ukan gejala yang sam a: terjadi keguguran
sebelum anak pertam a lahir hidup. Dan kesim pulan utam a
atas gejala itu, m enurutnya, karena perubahan status dari
nona ke nyonya, kurangnya pengalam an dalam kehidupan
berum ahtangga, term asuk kurang m am punya m asing-m asing
pihak m engendalikan em osi karena m inim nya sarana dan
prasarana m enyam but hari H-nya.
Kesim pulan penting lainnya, Mas Moek adalah anak
pertam a yang lahir hidup. Itu pun dalam kondisi kurang
norm al, artinya terlalu m uda atau terlalu tua. Kedua sebab
itu m engakibatkan si bayi lem ah. Dan karena lem ah, ia lebih
banyak berlindung dalam rangkum an Ibu. Di m ana Ibu berada,
di sanalah dia berada: di dapur, di dekat m esin jahit, di m eja
baca, di kebun, di pasar, barangkali juga di kam ar m andi dan
kakus. Dari situ ia m ulai hidup sebagai hom o sosial. Ia tirukan
apa saja yang pernah dilakukan ibunya.
Sem entara waktu berlalu, oleh kesadarannya sendiri, ia
berlatih olahraga. Kalau diperhatikan, hal ini m ungkin ada
benarnya. Seingatku, di sebelah rum ah dulu, di bawah pohon
m angga besar yang rindang dan dijalari pohon kara w edhus,
ada jagang ringen dan m eja beton tem pat para pem ain m em ulai
start. Seingatku, di sam ping anak-anak angkat Bapak, Mas
Moek berlatih ringen. Bukan itu saja. Dalam sejenis surat
www.facebook.com/indonesiapustaka

wasiat yang ditulis Bapak tentang Mas Moek, disebutkan bahwa


Mas Moek seorang anak yang kurang kuat isiknya, namun ia
bisa dan m am pu m em pelajari dan m engendalikan tubuh dan
kesehatannya sehingga m enghasilkan tubuh yang seim bang.
Menurut dongeng yang kudengar dari Mas Moek sendiri,
ia punya ilm u kebatinan berupa pati raga, yang katanya dia
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 439

peroleh dari Ibu. Mbak Moek bilang, bukan dari Ibu, m elainkan
dari Bapak. Bapak, m enurutnya, punya ilm u yang lebih kom plit.
Masa m udanya yang m iskin m enyebabkan dia m enjadi
pengem bara m alam , pejalan kaki yang tangguh. J alannya
seperti angin, suaranya seperti halilintar, yang m enurut Mbak
Oem , m erupakan ilm u getak: siapa yang dibengoki langsung
rontok. Dan tatapan m atanya tak ada seorang yang m am pu
m engatasinya. Sem ua tunduk. Ia m am pu m enolak tenung dan
santet. Mas Moek sendiri pernah m enulis tentang usaha “kup”
atas Instituut Boedi Oetom o oleh seorang anak buah Bapak.
Anak buah itu m enenung Bapak dengan ilm unya, nam un
tenung justru kem bali dan m engenai istri sang pengirim hingga
m endadak m eninggal.
Data lain yang dikem ukakan Mbak Oem adalah tentang
isik Mas Wiek yang jauh berbeda. Ia sangat kuat, mandiri,
dan sangat cerdas. Menurut Mbak Oem , Mas Wiek selalu
jadi juara, baik di IBO m aupun ketika belajar di J akarta.
Bapak sangat bangga kepada anaknya yang satu ini. Apa
yang ia butuhkan dipenuhi, bahkan sebelum ia m em intanya.
Mungkin ini benar, m engingat satu cerita Mas Moek sendiri.
Perbedaan ini m em bawa cara hidup yang berbeda pula. Kalau
Mas Wiek pulang bawa berkat, jagung, ikan kali, atau yang
lain, Mas Moek tidak pernah, walau ia bisa bikin blondho,
bisa m enanak nasi, m enjahit celana dalam . Mas Liek pernah
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enceritakan bagaim ana ia diajari m em buat bakiak oleh


Mas Moek. Pendeknya, pekerjaan yang berbau perem puan.
Mungkin karena segala kegiatan keibuan itulah ia m erasa
m endapat kepercayaan diri, yang hilang dari Bapak. Dan itu
berlanjut sam pai m enjadi kegandrungan kepada tokoh-tokoh
perem puan dalam banyak karyanya.
440 Bersama Mas Pram

Satu lagi yang ingin kusam paikan adalah ram alan Bapak
yang m engatakan bahwa Mas Moek dan Mas Wiek punya rasi
bintang yang sam a, yaitu Aquarius. Menurut Bapak, m ereka
itu gem ar berbagai bentuk kesenian, dan kalau m ereka serius
bekerja, bukan tidak m ungkin bisa m enjadi orang yang
m um puni. Benar-tidaknya, sejarahlah yang m em buktikan.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Dagang

SEINGATKU, SESUDAH Ibu m eninggal dan sekitar kedatang-


an balatentara J epang, Mas Moek ada di Blora. Ia buka kios di
Pasar Blora, di salah satu los yang paling pinggir dan tinggi. Kios
itu m enghadap ke tim ur dan dekat dengan undakan sem en.
Luasnya sekitar dua m eteran persegi. Di pojokan kios itu ter-
dapat kotak besar tem pat m enyim pan barang dagangannya.
Kotak itu digem bok bila kios tutup.
Yang kuingat, dagangannya adalah barang-barang bekas.
Ada sendok, garpu, piring, lam pu, gem bok, cetakan kue, ce-
takan m ainan dari tim ah, pisau, bahkan angkus dan kerekan
tim ba. Dari m ana sem ua itu, aku kurang tahu. Yang jelas, kios
itu tidak ram ai dan tidak juga sepi.
Yang paling kuingat adalah bagaim ana aku suka disuruh
Mbak Oem m engantarkan sarapan buat Mas Moek berupa nasi
www.facebook.com/indonesiapustaka

goreng. Dan aku biasa ke pasar m enerobos pintu belakang,


m elom pati kakus um um yang selam anya penuh kotoran
m anusia dan sam pah pasar. Mungkin karena lewat kakus itu
Mas Moek biasa m enolak sarapan, yang kem udian disuruh
m akan oleh siapa saja yang m em bawanya. Bagiku itu berarti
jatah dobel.
442 Bersama Mas Pram

Aku tak ingat bagaim ana kem udian kios itu tutup. Yang
jelas, selam a Ibu m asih hidup pun, di rum ah, kam ar paling
depan dibuat warung kecil. Dan ternyata banyak dari anak-
anak Toer, entah bakat dari Ibu entah bakat dari Bapak, juga
gem ar nyam bi dagang. Yang kurang senang itu Mas Wiek.
Selepas dari Buru pernah kam i m inta dia m em buka kios, tapi
ternyata ia lebih suka bergulat dengan ilham dan m esin tulis.
Yang paling stabil berdagang sam pai tua adalah Mbak
Oem . Ia bahkan m erasa berhasil m enjadi ibu dan pendidik
anak-anaknya yang cukup banyak justru karena ditopang
hobinya berdagang. Sem asa rem aja, Mbak Oem bahkan
pernah berdagang lawe, bahkan sam pai pernah pergi ke Kudus
berhari-hari lam anya.
Tentang kegiatan dagang Ibu, Mas Moek sedikit-banyak
sudah m enyinggungnya, tetapi tentang Bapak belum pernah ia
m engungkapkan. Setahuku, sesudah Ibu m eninggal, ada suatu
m asa ketika teras rum ah sebelah kiri penuh dengan keranjang
bam bu dan karung goni berisi garam , terasi, teri halus, teri
kasar, gereh petek, peda, dan ikan asin lainnya. Aku tak pernah
tahu bagaim ana tiba-tiba Bapak bisa m enjadi pedagang ikan
asin. Kadang ia tim bang sendiri ikan itu kalau ada orang
datang, kadang orang yang datang itu yang m enim bang. Tak
jelas siapa m ereka itu. J uga tak jelas dari m ana sem ua barang
itu berasal, dan m ilik siapa.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Yang paling kuingat justru lainnya. Untuk m engatasi lapar,


aku suka m enyerobot ikan pedanya, m em bawanya ke kebun
atau ke pinggir kali, dan di sana kunikm ati m entah-m entah.
Biasanya cukup seekor. Kalau kupaksakan dua ekor, kepalaku
biasa pusing dan aku m untah-m untah. Tak jelas sam pai
sekarang apakah Bapak tahu pencurian itu.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 443

Pada bulan-bulan pertam a kam i tinggal di J akarta, saya


lihat Mbak Arvah pun pernah berdagang. Entah dari m ana,
suatu hari datang setum puk dagangan berupa barang-barang
m engkilat, gem erlap, dengan warna-warna kontras. Kem udian
aku tahu, barang-barang itu adalah pakaian Bali. Entah dari
m ana. Yang jelas, kem udian aku sering diajak Mbak Arvah
m enawarkan barang-barang itu ke berbagai kenalannya. Pada
waktu yang lain aku juga disuruh m enagih utang. Akhir dari
kegiatan itu, seperti biasa: hangat-hangat tahi ayam .
Kalau m ertua Mas Moek, yang biasa dipanggil Cang Iljas
oleh para tetangga, m em ang pewarung tulen. Ketika kam i baru
tiba di J akarta, dibandingkan dengan warung lain, warung
m ertua Mas Moek itu term asuk paling besar dan paling laris di
Kebon J ahe Kober. Orangnya ram ah, sum eh, dan sangat sabar,
bahkan kunilai sangat derm awan. Setahuku, kekurangan
uang belanja Mas Moek dicukupi dengan ngebon di warung
m ertuanya ini. Coba saja bayangkan, berapa sih gaji pegawai
negeri dengan ijazah SD? Aku sedikit-banyak tahu sistem gaji
di zam an Orla. Dim ulai dengan yang tak bisa baca-tulis m asuk
golongan A, tam at SD—B, tam at SMP—C, tam at SMA—D, dan
seterusnya.
Yang kuingat, Mas Moek m enerim a gaji kurang dari Rp20 0 ,
walau dengan kedudukan m entereng: Redaktur Balai Pustaka.
Kabar yang kuterim a, entah dari m ana aku sudah lupa, atau
www.facebook.com/indonesiapustaka

m ungkin dari Mas Moek sendiri, kedudukan m entereng itu dia


peroleh berkat budi baik Menteri PDK Abu Hanifah. Prosesnya
sendiri aku tak tahu. Mungkin saja diperkenalkan oleh bujangan
bule gaek ahli bahasa J awa dan hukum adat, Hans Resink. Kan
dia juga yang m enyelundupkan naskah Mas Moek Perburuan
dari Penjara Bukitduri dan m engikutsertakannya dalam
444 Bersama Mas Pram

lom ba Balai Pustaka yang notabene sudah tutup. Segalanya


serba m isterius dan serba kebetulan. Kalau sekarang, itu
dikenal sebagai berbau KKN. Seperti diketahui, naskah itu
m em enangkan lom ba dengan hadiah seribu gulden. Dengan
dem ikian Mas Moek keluar dari penjara sebagai jutawan
kagetan. Bukan hanya karena uang hadiah, m elainkan juga
di penjara Belanda itu ia pun kadang dipekerjakan, antara
lain, sebagai penyedia kayu bakar, penebang pohon, pem asok
air, dan entah apa lagi. Untuk urusan itu para tahanan dapat
insentif resm i.
Yang jelas, gaji golongan B-nya itu harus dipakai untuk
m em biayai rum ahtangga dengan anak, plus kam i bertiga kakak-
beradik, plus Mbak Koen yang pernah berobat di J akarta, plus
pem bantu Yu Nyam i, prototipe Inem dalam “Cerita dari Blora”.
Bagaim ana hem at pun dikelola, penghasilan itu tak bakal
m encukupi. Dan utang di warung m ertua itulah jalan terbaik,
terselubung, dan term udah. Kalau sekarang ini kukenang
kem bali m asa itu, Mas Moek bagiku adalah pahlawan keluarga
sejati, pahlawan tanpa nam a.
Ketika di kem udian hari Mas Moek hidup m apan, gaya
hem atnya, terutam a terhadap adik-adiknya, tetap. Orang
banyak m enilai, karena ia kaya tentu kam i adik-adiknya pun
ikut jadi kaya. Tidak, tidak dem ikian. Ia selalu m engajari adik-
adiknya untuk m andiri dan tidak jadi pem inta-m inta. Aku
www.facebook.com/indonesiapustaka

sendiri seum ur-um ur tidak pernah m inta kepadanya.


Ketika aku pulang kam pung karena bangkrut, salah satu
sebabnya adalah justru anak pertam a Mas Moek. Waktu itu aku
pun tidak m inta kepadanya, dan langsung hengkang ke Blora
tanpa pam it kepadanya. Baru pada kepulanganku yang kedua,
yang m ungkin sam pai akhir hayatku, aku pam it kepadanya.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 445

”Kau m au ke Blora… sungguhan?”


”Yak!” jawabku m antap.
”Lalu pekerjaanm u, ngajarm u, rum ahm u, tanahm u,
warungm u?”
”Gam pang, bisa diatur,” jawabku gagah m eniru Adam
Malik bahwa sem ua bisa diatur, kecuali barangkali urusan
duit.
”Kalau m em ang benar, aku justru berterim akasih sekali
padam u. Kau m engurangi banyak beban pikiranku, terutam a
Wawiet (m aksudnya Mas Wiek). Kalau tidak, siapa yang
ngurus? Dia itu pejuang yang kalah. Kedua, m asalah rum ah.
Kalau tidak diurus… warisan terakhir itu akan….”
Ia tidak m elanjutkan kalim atnya, justru m em buang m uka
sam bil m enyedot ingus. Kebiasaan itu aku hafal banget: Mas
Moek sedang terharu. Aku langsung ingat pem ikirannya dalam
Bukan Pasar Malam tetang urusan rum ah: Kalau rum ah itu
rusak… penghuninya juga rusak.
Sesudah beberapa saat dan m am pu m engendalikan
em osinya, ia m ulai lagi:
”Tapi sekarang ini aku lagi paceklik, Coes, sori, gak bisa
ny angoni. Coba lihat sendiri, sem ua hengkang dari rum ah,
entah ke m ana. Paling gentayangan di m al. Yang bukan saja….
Mal itu budaya kem iskinan..... Masuk m al m enciptakan
seseorang jadi kaya…. Segala dibeli, entah dari m ana duit
www.facebook.com/indonesiapustaka

diperoleh..... Dulu, zam an ibu kam u, datang bulan itu sejenis


aib. Wanita berusaha m enyem bunyikannya. Sekarang… jadi
pam eran, jor-joran. Tahu tidak… aku pernah baca, di Am erika
sana… kertas toilet itu lebih banyak dibikin ketim bang buat
tulis-m enulis. Mal itu juga cerm in pem borosan. Gilanya, orang
bangga m asuk m al.”
446 Bersama Mas Pram

Dia tutup pem bicaraan sam bil m engibaskan tangannya,


pertanda m uak. Dan kepalanya digeleng-gelengkan sam bil
m atanya terpejam . Dalam m ata tertutup itu ia m eneruskan:
”J aga dirim u, nam a keluarga. Hidup hem at, rasional.
Tabung duitm u di bank. Tengok pesarean, sekar itu orangtuam u
yang m enderita.”
Sam bil duduk aku ditarik ke dalam pelukannya tanpa
bicara. Modal bongkaran warung yang kubawa pulang kam -
pung tam bah berat rasanya oleh tam bahan beberapa tetes air -
m atanya yang m em basahi pipiku.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Oleh-oleh

AKU MASIH ingat banget ketika itu: Ibu sedang sakit keras.
Kadang ditunggui Bapak di kam ar barat rum ah kam i yang
lam a, m aksudku rum ah yang dibangun Bapak sekitar tahun
1925. Dan peristiwa itu terjadi sekitar pendaratan tentara
J epang di Indonesia. Tidak ingat aku harinya. Dan lagi, m ana
m ungkin aku sekecil itu m em ikirkan hari dan tanggal?
Yang kuingat, Mas Moek datang. Mungkin m asa liburan
atau m asa genting, zam an perang. Dan ia datang m em bawa
oleh-oleh langka: gram ofon. Seingatku, yang punya alat hiburan
seperti itu cum a Meneer Bos, pem ilik toko dan penyewaan
alat-alat perkawinan, dan Mbah Bayan alias Sum ardi, anak
angkat Bapak. Dialah satu-satunya orang di Blora yang pernah
sekolah reparasi jam di Sem arang. Bapak juga yang m em biayai.
Dia pun tukang potong ram but satu-satunya di kota kam i yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

m em asang papan dengan tulisan “Barber”. Dan gram ofon itu


salah satu alat daya tarik usahanya.
Menurut penglihatanku di m asa kanak-kanak itu, usahanya
berhasil, bahkan bisa dikatakan laris. Aku suka datang untuk
bercukur, bahkan ketika ram but m asih tergolong pendek.
Maksud hati agar dibelikan sesuatu juga olehnya, karena
448 Bersama Mas Pram

m enurut perasaanku orangnya m em ang baik hati dan m em -


perhatikan kam i. Dan belakangan, tanpa disengaja, hal itu di-
benarkan oleh Mbak Oem . Katanya, ketika ia m enjadi perawan
tua, pernah ia djodoh-jodohkan dengan Mbah Bayan itu.
”Hiii, gila aku… tua… tongos, sudah kawin m ati, dan turun
ranjang tiga kali….”
”Tapi dia kan derm awan?” jawabku.
”Ya itu, karena ada m aksud….”
Pendeknya, oleh-oleh Mas Moek itu jadi hiburan besar.
Mas Moek bahkan m bany ol bahwa di dalam kotak bercorong
itu ada orang-orang kerdil yang kalau dikilik-kilik lantas
bernyanyi sem ua. Banyolan itu ia buktikan dengan m engajari
kam i bagaim ana m enjalankan gram ofon itu. Sederhana
dan gam pang ditiru siapa saja. J adi, aku pun segera bisa
m encobanya.
Yang kadang agak repot itu kalau m em utar alat onthel-
nya kurang kuat, sehingga di tengah nikm atnya lagu, tiba-tiba
suaranya m blondhoti, sum bang, m eliuk-liuk seperti orang
kecepirit. Kalau onthelannya ditam bah, ia pun segera m eraung
kem bali. J ustru pengalam an ini yang bikin kam i tak bosan-
bosan m em ainkannya.
Beberapa kali Bapak m em peringatkan kam i, tapi kam i tak
peduli, bahkan nekat. Beberapa hari sesudah itu Mas Moek
m enghilang entah ke m ana. Itu tidak apa-apa. Yang penting
www.facebook.com/indonesiapustaka

gram ofonnya ada. Aku sendiri bahkan m erasa lebih bebas.


Sem ua piringan hitam itu kam i—aku, Mas Liek, dan Coek—
coba.
Dari sem ua piringan hitam itu, ada satu yang sederhana
dan gam pang diingat syair lagunya. Aku suka lagu itu dan
sering m em utarnya. Syairnya, antara lain, berbunyi dem ikian:
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 449

“Kucing kurus m enggaruklah papan, papan digaruk di kayuan


jati….”
Mungkin karena sering diputar, Ibu yang sedang gerah
(sakit) m erasa terganggu, dan beberapa kali Ibu m elarang
m em utarnya. Tapi dasar anak-anak: larangan itu kam i
abaikan saja. Mungkin karena kesal, suatu kali Bapak keluar
dari kam ar, m engham piri kam i bertiga yang sedang m eriung
gram ofon. Gram ofon dim atikan, dan piringan hitam dengan
“Kucing Kurus” itu direnggut dan dibanting ke lantai. Kam i
pun bubar ketakutan. Nam un beberapa saat kem udian kam i
putar lagi lagu-lagu yang lain.
Kalau sekarang kuingat-ingat, bukan m ain kejam nya kam i
waktu itu. Apalagi belakangan ini aku m endengar bahwa waktu
itu Ibu m erasa prihatin dan sedih karena m enurut perasaannya
lagu itu m enyindir dirinya yang sudah kurus kering.
Aku tak ingat lagi bagaim ana akhir peristiwa itu, ke m ana
gram ofon itu, dan berapa lam a kem udian Ibu m eninggal
m eninggalkan kam i untuk selam anya. Yang kurasakan
sekarang cum a sesal, yang selalu m enjadi ironi hidup ini:
m enyesal sesudah terlam bat.
Seingatku, ketika Ibu m eninggal, aku dan Coek disingkirkan
dari rum ah oleh Nyi Kin pem bantu kam i yang setia. Sepanjang
hari itu aku dan Coek dijejali m akan enak, cakar ayam , sayap,
dan brutu. Itulah hari pertam a aku disebut anak piatu. Orang-
www.facebook.com/indonesiapustaka

orang yang bersua Nyi Kin m eraba kepalaku dan kepala Coek
disertai ucapan lirih:
”Sakake, cah, sem ene-m ene w is ditinggal ibune—Kasihan
sekali, kecil-kecil sudah ditinggal ibunya.”
Sedang yang dikasihani santai saja terus m brakoti cakar
ayam dan sayap, yang hari itu sungguh terasa nikm at.
Mas Moek Minta Maaf

WAKTU Mas Moek pulang ke Blora tahun 1950 , ia m em buat


peraturan yang kuanggap m erenggut kebebasanku: pulang
sekolah harus m akan, lalu tidur siang. Bangun tidur harus
m andi, lalu m ulai duduk belajar.
Peraturan ini tak bisa aku turuti. Pulang sekolah aku biasa
tak langsung pulang. Nglay ap dulu cari ganjal perut, biasanya
buah seri. Aku m enganggap, pulang buru-buru juga tak ada
gunanya: di rum ah belum tentu ada yang bisa dim akan. Maka
peraturan baru itu kuanggap tidak ada m anfaatnya, dan
kulanggar.
Waktu itu Mas Moek m asih pengantin baru. Ke m ana-
m ana ia m enggandeng istrinya, term asuk ketika m asuk kakus.
Sem ua itu m em buatku berpikir, alangkah senangnya m enjadi
www.facebook.com/indonesiapustaka

orang dewasa; aku ingin lekas jadi dewasa. Selain itu terpikir
olehku, karena kesibukannya sebagai orang dewasa, tentu ia
kurang m em erhatikan peraturan yang baru diadakannya.
Ternyata sam asekali tidak!
Ketika aku pulang terlam bat dari m encari buah seri, ia
m em anggilku:
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 451

”Coes!”
Aku pun datang.
”Dari m ana?”
”Dari sekolah,” jawabku bohong.
”Pukul berapa sekarang? Melawan, ya? Apa kataku
kem arin?”
Dan plakkk! Aku ditem pelengnya.
”Sana pergi!”
Karena m erasa bersalah, aku pun ngeloyor, m encari
m akanan sam bil m enangis, sesudah itu m andi.
Di luar dugaan, habis m andi aku diseret ke koplakan,
diajak m akan soto dan m inum lim un! Bukan m ain. J adi, itulah
rupanya cara Mas Moek m inta m aaf.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Siapa di Jalan Tarakan?

SEJ AK AGUSTUS 1950 kam i bertiga—Mbak Is, Mas Liek dan


aku—ikut Mas Moek di J akarta, tinggal di Gang Kebon J ahe
Kober III No. 8, Tanah Abang.
Suatu hari, sekitar tahun 1951, ketika aku sedang m elam un
bagaim ana m endapat uang jajan, Mas Moek berkata:
”Coes, ayo ikut!”
”Begini saja?”
”Begitu saja.”
Aku heran, karena waktu itu ia baru saja pulang dari
ngantor di Balai Pustaka. Biasanya, setiba ia di rum ah, kam i
m akan bersam a sekeluarga, lalu ia baca koran dan tidur siang
sebentar, kem udian tek-teretek-tek-tek-kring-jeglek, ”ngelus-
elus” m esin tulis di kam ar kerjanya. Kalau kehabisan inspirasi,
www.facebook.com/indonesiapustaka

ia berhenti, m elinting dan nglepus di depan pintu sam bil


m em andang langit di sana. Kuingat, jari-jem arinya sam pai
kekuningan karena nikotin. Setahuku, tak pernah ia berusaha
m em bersihkan kerak itu, dan bahkan terkesan bangga dengan
sim bol itu, yang dibawa ke m ana pun ia pergi.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 453

Sepeda J an Co dikayuhnya cepat m elipir kuburan Kober


Tanah Abang Satu, m elewati pabrik es Petojo, m enyisir jalan di
pinggir lapangan, m elewati pasar Petojo Enclek, tanpa bicara.
J alan Kaji di kanan dilewati, juga perem patan yang m enuju
Gang Houber. Sam pailah kam i di J alan Tarakan yang lebar
licin. J alan itu m enyem pit ke jem batan Kali Cideng. Beberapa
m eter setelah jem batan jalan agak m enurun, di situ sepeda ia
hentikan, dan kakinya bertengger di atas trotoar.
”Kau tunggu di sini,” pesannya, ”kalau ada sesuatu, cepat
beritahu aku, ngerti?!”
Aku m engangguk.
”Awas!” katanya sam bil ngeloyor m em asuki deretan rum ah
sederhana yang seingatku dipoles dindingnya dengan ter.
Sesuai pesannya, aku celingukan m encari sesuatu, tapi
tak sesuatu pun kulihat. Berarti sem ua berjalan lancar, dan
aku bisa m erasa bangga karena berhasil m enyelesaikan tugas
m ata-m ata dengan baik.
Beberapa saat kem udian, tak dapat aku m em astikan, ia
m uncul kem bali. Tak ada yang aneh dalam penam pilannya,
kecuali agak kusut dan sedikit loyo jalannya.
Sepeda disam barnya tanpa m engatakan apa-apa. Aku
sendiri pun langsung ny lengkrang ke boncengan. Ia m engayuh
sam pai ujung J alan Tarakan, m em belok ke kiri, berhenti di
depan sebuah rum ah di J alan Musi tanpa turun dari sepeda,
m engam ati rum ah, dan m enoleh padaku, katanya:
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Itu rum ah kontrakan J oebaar. Nanti kalau Mbak tanya,


bilang dari sini. Ingat nam a itu! Tahu, siapa dia? Yang dia
m aksud dengan Mbak adalah istrinya, Mbak Arvah.
Aku tak tahu. Nam a itu begitu asing, dan aneh
kedengarannya. Seperti kata sim bar, perm ainan anak perem -
puan dengan klungsu (biji buah asam ).
454 Bersama Mas Pram

”Pesanku,” kata Mas Moek, ”jangan bilang siapapun ten-


tang yang barusan.
Dengan sendiri aku pun m em eras otak, m encoba m enerka-
nerka, nam un tak berhasil. Siapakah orang yang tinggal di
J alan Tarakan itu? Kebetulan beberapa m alam sebelum nya
aku m endengar cekcok Mas Moek dengan istrinya.
Puluhan tahun rahasia itu kupendam rapat. Kini kuanggap
tak ada gunanya lagi ditutupi. Aku cedera janji kepadanya. Ya,
siapakah orang tinggal di J alan Tarakan itu? Yang jelas, untuk
tugasku itu aku m endapat persen sepuluh rupiah!
www.facebook.com/indonesiapustaka
Hari Pembebasan

TAK TERASA sudah lam a juga aku tak bertem u dengan Mas
Moek. Itulah sebabnya kepulangannya dari pem buangan
di Pulau Buru m enjadi sesuatu yang istim ewa dan langka
buatku. Mem bayangkan pertem uan kem bali yang akan terjadi
dengannya m em buatku m brebes m ili, m eneteskan airm ata.
Perpisahanku terakhir dengannya delapan belas tahun yang
lalu! Terjadi di rum ahnya di J alan Rawam angun 33 A, J akarta,
m enjelang aku berangkat ke Moskwa untuk belajar. Waktu itu
ia peluk aku erat sam bil berpesan:
”J aga nam a keluarga.”
Terus-terang, waktu itu aku tidak sepenuhnya m engerti
apa m aksud ucapannya itu. Sesaat sebelum nya, sam bil m akan
siang bersam a Alim in, tetangganya yang katanya seorang tokoh,
ia bertanya apakah aku tahu siapa Lenin, dan aku m enggeleng
www.facebook.com/indonesiapustaka

bertanya-tanya siapa itu gerangan. Ia juga bertanya tentang


kapal Aurora, yang kujawab dengan gelengan juga. Ia tidak
kelihatan kecewa, dan juga tidak m em berikan penjelasan.
Aku dibiarkan term angu-m angu, bahkan kem udian ditinggal
pergi. Belakangan baru ia m enyusulku ke beranda depan, dan
m engonggokkan jas bekas ke pangkuanku.
456 Bersama Mas Pram

”Pake itu, pengganti pakaian tidur.”


Selam a belasan tahun itu berpuluh kali aku m enulis surat
kepadanya, dan satu pun tak pernah dibalasnya. Buatnya
barangkali aku ini tak penting. Aku m em ang m erasa bahwa
ia m asih selalu m em perlakukanku seperti m asih anak-anak.
Aku ingat, waktu kecil aku ditim ang-tim angnya, dilem parkan
ke udara sam bil tertawa-tawa, dikitik-kitik dengan janggutnya
yang berjenggot pendek. Dan ia baru m erasa puas kalau aku
sudah m enggeliat-geliat geli dan m eronta-ronta. Dan m alam
m enjelang tidur, aku disuruhnya m enginjak-injak tubuhnya
dari tum it sam pai kuduk.
Seingatku, ia selalu njangkar nam aku. Bagiku itu bukti
nyata bahwa aku adiknya. Dan adik tetap adik, walau kem udian
kam i sudah ubanan dan m enjadi m anula. J adi, seperti pada
saudara-saudara yang lain, ia tetap m em anggilku dengan
Coes. Dan aku m enerim anya, seperti di m asa kecil. Kam i toh
dibedakan dua belas tahun: ia anak sulung, aku anak ketujuh.
Ia sudah bisa cari uang, ketika aku buang ingus pun belum
bisa. J adi aku ini taklukannya, seperti adik-adiknya yang lain.
Kalau perintahnya tak dituruti, ia m enuntut supaya perintah
itu ditaati. Aku ingat, waktu ia pulang tahun 1950 , dia m inta
dibuatkan kentang goreng sebagai ganti nasi. Padahal kentang
adalah m akanan istim ewa untuk Blora waktu itu.
Suatu pagi, m enjelang aku berangkat ke sekolah, ia m eng-
hardik:
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Coes, tadi m alam kau ngom pol, ya? Sebelum sekolah, pel
dulu kam ar m akan!”
Padahal, cicak dungu pun tidak akan ngom pol di kam ar
m akan.
Atau, belakangan pernah ia bilang, kalau kawin nanti cari
wanita Spanyol. Kenapa wanita Spanyol, aku pun tak m engerti.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 457

Kini, sesudah ia dibebaskan, kam i yang tinggal di Blora


harus m enem uinya. Ya, aku m em ang tinggal di Blora sesudah
di J akarta bangkrut kehabisan m odal. Di sini aku beternak
ayam buras. Hasilnya lum ayan.
Kam i harus m enem uinya, karena ini toh hari bahagia buat
dirinya, diri kam i sendiri, dan keluarga. Kam i toh cukup lam a
tak ketem u dengannya.
Kam i berangkat bertiga: aku, Mbak Oem , dan Han anak
Mbak Oem . Ongkos kendaraan m asih m urah waktu itu. Blora-
Kudus cukup dengan m enjual delapan sam pai sepuluh telur,
sedangkan Kudus-J akarta em pat puluh telur. Penghasilanku
waktu itu sehari sekitar dua puluh telur. Biaya dapur bersam a
Mbak Koen lim a telur. Beras dipasok Mbak Oem . Beres.
Bus m alam Garuda Mas bukan bis m ewah, m elainkan kelas
ekonom i. Sopir ngom preng di m ana saja, bahkan koridor bis
dijejali lem pengan kayu untuk penum pang om prengan. Penuh
sesak. Banyak orang m engorok, batuk, bersin, m endengkur,
term asuk diam -diam atau terang-terangan kentut, m enam bah
sem arak suasana.
Pagi harinya kam i bertiga sudah sam pai di rum ah Mas
Moek. Sudah banyak tam u di dalam . Sekilas tam pak Mahbub
Djunaedi yang sekitar dua puluh lim a tahun sebelum nya
m enjadi redaktur m ajalah IPPI, Pem uda Masy arakat. Kam i
sering bertem u waktu itu di Kebon Kacang. Ia pun m engenaliku,
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan m elam baikan tangannya, m enyebut nam aku. Tam pak juga
Eddy Abdulrachm an Martalogawa dan Karim D.P. Lalu, kurang
jelas bagiku, Sitor Situm orang atau Goenawan Moham ad.
Barisan tam u yang ingin m engucapkan selam at kepada Mas
Moek m endorong kam i dari ujung paling belakang m enjadi
ujung paling depan, dan sudah tam pak oleh kam i m uka Mas
458 Bersama Mas Pram

Moek yang ceria, banyak senyum , m em perlihatkan giginya


yang setahuku dulu selalu berwarna kekuningan.
Dugaanku ternyata m eleset. Kukira ia sudah tua renta dan
bongkok. Ternyata gem uk tegap berotot. Berarti ia sehat dan
penuh harapan. Aku sendiri kem udian m erasa m alu: orang-
orang yang besuk ke penjara berbadan kurus, letih, penuh ratap,
sedang yang di dalam penjara gem uk seperti sapi kebiri.
Makin dekat dengan Mas Moek aku m akin galau. Pikiranku
m elayang ke saat aku m enjenguk Bapak yang sedang dirawat
di rum ah sakit Blora tahun 1950 . Waktu itu kepalaku dielus
Bapak yang kem udian bertanya lirih:
”Kapan ujian?’
Aku tak sanggup m enjawab m elihat di sudut m ata Bapak
m engem bang air. Oh, jadi orangtua yang angker itu ternyata
dapat m enitikkan airm ata juga. Dan aku pun lari ke luar kam ar
sam bil m enangis sejadi-jadinya. Kini orang yang keras seperti
Bapak itu berdiri di depanku, dan aku m enubruknya terisak-
isak. Setan, seperti ketika berhadapan dengan Bapak dulu,
sekarang pun aku tak kuasa m em bendung airm ata ini. Tapi
ketika aku rasakan pelukannya tak sehangat yang kubayangkan,
aku pun ngeloyor pergi. Aku m asih dengar suaranya yang khas
bercam pur canda:
”Lho, kok m ew ek? Tua-tua cengeng! Siapa siiih?”
Waktu itu juga Mbak Mim in yang tak sem pat kusalam i
m enyahut dengan suara sedikit kecentit:
www.facebook.com/indonesiapustaka

”Lho, Piiih, itu kan Dik Coes?! Sudah pikun kali.”


Mas Moek m endekatkan telinganya ke m ulut istrinya,
seperti hendak m engerti apa yang diucapkan istrinya. Dan
ketika ia m engerti, ia pun m em buruku, m em elukku sekuat
tenaga. Terasa pipiku basah oleh airm atanya. Tapi aku sudah
kecewa.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 459

Sajian m ewah di m eja m akan terasa pahit di m ulutku.


Aku sadar bahwa aku tidak penting di m atanya. Bahkan
suratku pun tak pernah dibalasnya. Kenyataan m enunjukkan,
ia tidak ingat aku lagi, padahal dalam m im pi aku adalah adik
kebanggaannya. Itu pun kuketahui sesudah aku baca bukunya
Ny any i Suny i Seorang Bisu beberapa tahun kem udian. Mas
Moek m em ang pem im pi. Apakah aku m enggugatnya karena
dia tak m engenaliku? Menggugat seorang pem im pi adalah
sam a edannya dengan si pem im pi.
Esoknya kam i langsung pulang ke Blora. Seingatku, waktu
itu Hari Natal. Bis Garuda Mas yang kam i tum pangi di Alas
Roban ny eruduk m obil tangki gandengan dan m enabrak
tanggul di kanan jalan. Tak ada korban jiwa m em ang. Tapi
kaki kananku yang tertum pang di atas m esin m blony ok
terpanggang.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Napak Tilas

SUDAH SEJ AK kecil aku dengar, ketika rem aja Mas Moek
punya pacar di Mlangsen, di gang yang letaknya di depan
kantor pegadaian lam a. Ketika Agresi II Belanda tahun 1948,
entah kenapa pegadaian yang tak ada sangkut-pautnya dengan
perang itu ditrekbom hingga rata dengan tanah. Barang-barang
gadaian di dalam nya habis, tapi aku tak tahu dijarah atau
digondol peram pok. Logikanya, barang-barang itu diungsikan
dulu sebelum bangunan dihancurkan.
Ada dua kabar beredar tentang pacar Mas Moek: dia yang
dipoak (ditam pik) dan pacarnya yang diklew er (ditelantarkan).
Nam anya Sri Panular. Meski tak sekalipun aku pernah
m elihatnya, nam anya itu begitu m em pesona, m em bikin aku
kepincut. Soal lain yang bikin aku penasaran, kayak apa sih
www.facebook.com/indonesiapustaka

selera Mas Moek terhadap lawan jenisnya?


Di antara adik Mas Moek, hanya Mbak Oem yang seum ur
hidup tak pernah hijrah dari Blora. Maka kepada dia aku berusaha
m enggali inform asi tentang kekasih Mas Moek tersebut. Mbak
Oem justru bengong m endengar pertanyaanku:
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 461

“Ah, m asak ada...? Setahuku Mas Moek itu pem alu,


penakut. Maunya ngam plok terus sam a Ibu. Kam u tahu itu
dari m ana?”
”Cum a dengar.”
”Kalau Mas Wiek itu jagonya. Tukang berkelahi, dan
suka nggantha (berganti pacar). Dik Anjar, sepupu sendiri,
dipacari.”
Kesim pulannya, usahaku untuk m encari info dari Mbak
Oem tentang Sri Panular gagal. Maka aku pun berusaha sendiri.
Kadang aku iseng m elewati gang itu, nguping, bahkan tanya
sana-sini tentang Sri Panular. Tak disangsikan tentunya, ia
sudah tua dan gem brot, peyot, atau m alah sudah alm arhum ah.
Nam un aku yakin, pasti ada ciri khusus yang m asih tertinggal
yang pernah m enjadi kebanggaan, atau ciri yang m em bikin
lelaki kepincut kepadanya, apakah ram butnya, suaranya,
alisnya, langsingnya....
Entah sudah berapa puluh kali aku m am pir, nongkrong
di lokasi pengobatan alternatif yang terletak di gang depan
pegadaian itu. Nam un tidak pernah ada tanda-tanda kehidupan
tokoh yang kucari itu.
Sam pai pada suatu kesem patan, Mas Moek pulang lagi ke
rum ah di ujung J alan Sum bawa itu. Waktu itulah kuberanikan
diri langsung bertanya kepadanya tentang kisah lam a itu. Ia
pandangi aku, seperti biasa, tanpa ekspresi. Mungkin ia ogah,
www.facebook.com/indonesiapustaka

m ungkin juga tak m engerti pertanyaanku. Dari raut m ukanya


terpancar dam pratan.
Tak disangka, kem udian aku m enjadi langganan pengobatan
tradisional itu karena penyakit yang biasa m enjangkiti orang
tua: prostat, tum or, dan hernia sekaligus. Dan tanpa kuduga,
tem pat pengobatan alternatif itulah justru rum ah Sri Panular,
462 Bersama Mas Pram

salah seorang korban yang hilang dalam tragedi 1965.


Menurut buku Tanah Merdeka Berlum ur Darah yang
disusun kelom pok pem uda yang prorekonsiliasi, di Blora
dan sekitarnya terdapat kurang-lebih sepuluh ribu orang
yang m enjadi korban. Pernah juga kudengar di sekitar Blora
ini terdapat tujuh belas kuburan m assal. Di salah satu dari
kuburan itulah kiranya bersem ayam jasad Sri Panular, m antan
pujaan Mas Pram .
www.facebook.com/indonesiapustaka
Prasasti

DALAM LAIN kesem patan kam i berhenti di depan sebuah


bangunan beton setinggi kurang-lebih dua m eter yang m em uat
foto Bapak Toer seukuran sekitar 25 x 40 cm , lengkap dengan
nam a Kakek Im am Badjoeri di bawah foto tersebut. Itu adalah
bangunan m onum en dan prasasti bagi pendiri Instituut Boedi
Oetom o (IBO) tahun 1922.
Tak jelas siapa yang m erancang, dan tahun berapa
dibangun, karena tidak tertera di dalam nya. Tentunya itu
sesudah tahun 1985, ketika kam i berlim a waktu itu berm ukim
di J akarta m engadakan rapat di rum ah Mas Moek di J alan
Multikarya II No. 26, Utankayu, J akarta Tim ur.
Mbak Oem m enyebutkan bahwa prasasti itu ciptaan
Wiwiet, anak terkecilnya, seorang sarjana lulusan Malang.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Mas Moek tidak berkom entar tentang bangunan. Ia justru


m em andang m otto pendidikan yang tertera di bawahnya: Ora
et labora dan Tut w uri handay ani.
”Ah, itu sih m otto kaum Kristiani,” katanya sam bil
tangannya m engibas sebagai tanda tak setuju, juga m enolak,
”juga yang lain itu: Tam an Siswa... klenik!
464 Bersama Mas Pram

Aku tak paham ucapannya itu, walau aku sendiri anak


didik, bahkan anak em as, Tam an Siswa Kem ayoran, J akarta.
Kukatakan anak em as karena beberapa tahun aku oleh kepala
sekolah, Pak Said, dibebaskan dari pem bayaran uang sekolah.
Maka untuk m encoba m em aham inya aku bertanya ke
kanan-kiri, term asuk kepada Pak Rahm an yang gelar doktornya
diperoleh dengan disertasi tentang Tam an Siswa.
Penolakan prinsip pendidikan pada prasasti oleh Mas
Moek itu lain waktu kusam paikan kepada Mbak Oem . Dan
berapa waktu kem udian, prinsip pendidikan itu diubah. Kini
tercantum prinsip pendidikan yang baru: Belajar, bekerja dan
berdoa.
Perubahan itu pada waktunya kusam paikan kepada Mas
Moek. Tanpa ekspresi sedikit pun, ia m enggelengkan kepala,
katanya:
”Berdoa... ngem is itu!”
Dan aku sem akin tidak m engerti. Dan begitulah,
m otto itu tetap tertera dalam prasasti tersebut sam pai Mas
Pram m eninggal. Ketika kom entar terakhir Mas Moek itu
kusam paikan juga pada Mbak Oem , Mbak Oem pun tak kuasa
berbuat apa-apa lagi.
Sem entara itu, kecuali aku, tak seorang di antara adik-adik
Mas Moek yang pernah m enyinggung m asalah ini. Aku yang
ham pir tiap hari m elewati prasasti itu sudah gatal saja rasanya
www.facebook.com/indonesiapustaka

ingin m engganti kata berdoa itu dengan berkarya. Tapi aku tak
punya hak untuk itu.
Nostalgia

SUDAH PERNAH kukatakan bahwa tahun-tahun belakangan


sebelum m eninggal di rum ahnya di J akarta, Mas Moek
sering pulang kam pung. Aku m erasa, ini bukan alup-alup
(seolah m enginginkan m aut dengan m elakukan sesuatu
yang m elam bangkan m aut, seperti berkunjung ke m akam ),
m enurut istilah orang Blora, m elainkan sudah ny idam
terbelo (m enginginkan peti m ati). Cum a aku tak berani m e-
nyam paikannya kepada siapapun.
Suatu kali Mas Moek datang dari J akarta dengan tiga
m obil. Dua m obil keluarga dan satu m obil tam unya, seorang
wartawan m ajalah luar negeri, seorang penerbit Am erika
dengan sahabatnya, anak seorang pelarian dari ibukota
Latvia, Riga, yang m enetap di Australia. Kedatangan m ereka
www.facebook.com/indonesiapustaka

untuk m em buat gam baran yang lebih detail tentang situasi,


lokasi, dan tem pat-tem pat bersejarah untuk m elengkapi data
beberapa buku Mas Moek yang segera diterbitkan ulang. Anak
pelarian itu pelukis. Aku ditunjuk sebagai pem andu am atir.
Barang tentu yang pertam a dituju Mas Moek adalah tem pat
kelahirannya. Data yang diduga otentik m engatakan, sesudah
466 Bersama Mas Pram

Bapak Toer hijrah dari Rem bang ke Blora, yaitu sesudah


ia m enerim a tawaran Bupati Blora Said Tirtonegoro untuk
m elanjutkan m em im pin sekolah Boedi Oetom o di Blora yang
ditinggalkan oleh pendirinya Dr Soetom o, ia m enyewa sebuah
rum ah di J alan Kaliwangan yang sekarang bernam a J alan Mr
Iskandar. Rum ah sewaan itu terletak di utara Toko Ijo, sebuah
toko em as. Sekarang toko itu m enjadi show room penjualan
sepeda m otor Yam aha Mataram Sakti. Rum ah sewaan itu
sendiri sekarang m enjadi toko pakaian. Seingat Mas Moek,
rum ah itu m irip sekali dengan rum ah di sebelahnya lagi, sebuah
bangunan khas priayi Blora, terbuat dari jati. Rum ah terakhir
inilah yang oleh Mas Moek hendak dipinjam sem entara untuk
diabadikan sebagai tem pat kelahirannya.
Pem ilik rum ah yang hanya dihuni oleh seorang penjaga itu
sekarang tinggal di Kelapa Dua, Depok, J awa Barat. Dengan
jasa baik penjaga itu aku berhasil berhubungan lewat telepon
dengan pem ilik rum ah tersebut, yang ternyata adalah bekas
tem an sekelas Mas Liek di SD dan SMP Blora. Kenyataan ini
m em buat kom unikasiku dengan dia lebih lancar dan akrab,
lebih-lebih ketika kuceritakan kepadanya bahwa di waktu kecil
aku suka dibawa Ibu m am pir ke tem pat ibunya berdagang kain
cita di pasar Blora. Seingatku, ibu itu disebut Bu Salekan oleh
ibuku.
Sesudah m endapat izin dari pem ilik rum ah, beraksilah Mas
www.facebook.com/indonesiapustaka

Moek dalam berbagai pose untuk diabadikan. Ia pun m em inta


izin m asuk sebuah kam ar dengan jendela berjeriji kayu yang ia
pilih sebagai tem pat untuk dipotret dari luar. Waktu itu sam pai
terpikir olehku, Mas Moek barangkali tak bisa hidup tanpa
jeruji penjara. Ada banyak tem pat lain, tapi yang dipilihnya
justru yang m irip sel penjara.
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 467

Mungkin di um urnya yang sudah uzur sekarang, karena


sesuatu perkara, ia m em bayangkan bisa m asuk penjara lagi,
dan akan tercapailah cita-citanya m encapai um ur seratus tahun.
Waktu itu kukira ia m asih m am pu berkarya seperti ketika
berada di Pulau Buru. Di dunia bebas kukira ia m enanggung
beban lebih banyak dibandingkan di dalam penjara. Ini yang
kuduga m enyebabkan dia kecewa dan putusasa. Kebebasan
baginya justru m em enjarakan kreativitas. Bebas baginya
penjara baru dalam bentuk yang lebih kom pleks. Mungkin
benar seorang pem im pin yang pernah m engatakan: Lebih baik
duduk dalam penjara daripada duduk dekat pintu gerbang
penjara.
Sesudah puas di tem pat kelahiran di Desa Mlangsen, Mas
Moek m enilai tem pat lain yang paling m engesankan dalam
m enem ukan pencerahan pertam a adalah kuburan yang sudah
hilang di Desa J etis karena digantikan dengan rum ah-rum ah
sem i perm anen. Dulu jalan ini bernam a Galingsong, sekarang
J alan Halm ahera. Di tem pat yang ditunjuk Mas Moek, di
selatan sebuah jem batan kecil yang m engangkangi saluran
pem buangan air kota Blora, ia berbicara dengan nada sum bang
karena m enahan haru dan tangis. Di situlah m enurutnya dia
m erasa direndahkan m artabatnya sebagai m anusia. Ia m enjerit,
m elolong putusasa, m arah dan bingung, karena walau sudah
dinyatakan lulus sekolah, oleh Bapak dia disuruh m engulang
www.facebook.com/indonesiapustaka

duduk di kelas lagi karena dianggap m asih goblok.


Ini m erupakan kejadian yang pernah kualam i juga. Waktu
itu aku duduk di kelas em pat. Karena hidup yang jorok dan
liar, aku terjangkit penyakit kulit, patek, hingga tiga bulan
tidak m asuk sekolah. Hari pertam a m asuk lagi, entah disengaja
entah tidak, ada ulangan berhitung. Aku selesai lebih dulu dan
468 Bersama Mas Pram

dapat nilai sem purna. Tapi di akhir tahun aku dinyatakan tidak
naik kelas. Aku m arah dan m alu besar: anak seorang guru,
penilik sekolah pula, tidak naik? Aku dendam kepada Bu Tien,
guruku, yang kuanggap sebagai biang keladinya. Ketika ia
m eninggal karena TBC, bukan m ain gem biraku. Aku m erasa,
dengan dem ikian ketidakadilan terlunasi. Baru beberapa tahun
kem udian kuketahui bahwa aku tidak dinaikkan atas perintah
bapakku sendiri.
Kam i kem udian m enuju gedung SMP 5 yang dulunya
gedung sekolah IBO yang dipim pin dan dim iliki oleh Bapak
Toer. Di situ Mas Moek m enam atkan pendidikan SD, dan
di situ pula ia diharuskan m engulang sekolah sesudah lulus.
Kalau kejadian itu tidak diceritakan oleh Mas Moek, aku pun
tak m engetahuinya.
Kam i disam but seorang penjaga sekolah yang tam pak
kesal m elihat kedatangan kam i. Tam pak ia ingin m engesankan
bahwa dialah yang berkuasa dan berwenang di situ. Mungkin
juga karena aku hanya bersandal jepit, sedangkan ia sendiri
bersepatu m engkilat, lengkap dengan pakaian seragam yang
rapi. Ia m enudingku angkuh dan m enyapaku kasar sam bil
sedikit berkacak pinggang:
”Ada keperluan apa?!”
Baru ketika aku katakan bahwa aku dan Mas Moek adalah
anak-anak dari orang yang fotonya tertera dalam m onum en
www.facebook.com/indonesiapustaka

di depan halam an sekolah itu, sikapnya berubah drastis, yaitu


m em bungkuk dalam sebagai usaha m em inta m aaf. Bahkan
tanpa ditanya ia pun m engaku pernah bersekolah di IBO,
m engenal Bapak Toer pribadi, dan turut m elayat ketika Bapak
Toer m eninggal tahun 1950 .
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 469

Mas Moek m enolak ketika ditawari bertem u dengan


kepala sekolah, nam un ia berjanji akan khusus datang lain
kali. Alasannya: belum siap m ental. Ia dan rom bongan hanya
keliling seputar halam an sekolah dan bangunannya, tanpa
bicara. Sepertinya ia berusaha m engingat-ingat m asa lalu,
ketika ia m enuntut ilm u selam a sepuluh tahun pertam a. Ketika
ia m eninggalkan halam an sekolah itu, selintas kulihat m atanya
sebak oleh airm ata. Cengeng! sebutku dalam hati. Nam un aku
cukup m engerti perasaannya yang galau waktu itu.
Rom bongan kem udian kugiring ke Pesarean Sasana Lalis.
Pesarean ini konon adalah perm akam an anggota perkum pulan
priayi Blora. Sepengetahuanku, priayi adalah orang yang
berstatus sebagai pegawai guberm en. Mengapa Bapak Toer
yang orang swasta dim akam kan di Sasana Lalis, aku pun
bertanya-tanya. Mbak Oem pernah m engatakan, itu karena
Bapak pernah jadi guru HIS, dan karena secara sosial-ekonom i
pernah sangat terpandang dan m enonjol. Itu sebabnya m ungkin
ia kem udian diangkat m enjadi anggota luarbiasa.
Kam i sam pai di Sasana Lalis sudah siang. Di m akam itu
tam pak beberapa orang sedang m enyabit rum put. Di sana-
sini tam pak kepulan asap pem bakaran dedaunan kam boja dan
bam bu yang tum buh di sekitar m akam . Tahu ada rom bongan
datang, salah seorang m enyusul ke rum ah penjaga m akam ,
lelaki tua yang pincang dan tak bisa bicara Indonesia itu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Aku sudah puluhan kali bertem u dengannya. Ia bahkan


m engenaliku sebagai salah seorang anak Bapak Toer yang
paling sering m enengok kuburan itu. Yang kucatat dari dia
adalah doanya yang belepotan, cam puran bahasa J awa dan
Arab. Walau dem ikian aku tetap percaya dan m engagum inya.
470 Bersama Mas Pram

Sesudah kam i bersalam an dan m enyam paikan niat, ia pun


berjongkok dan m ulai berkom at-kam it. Langkah itu otom atis
diikuti yang lain, term asuk para tam u asing, tak terkecuali para
bule. Mereka m em ejam kan m ata dan berkom at-kam it juga.
Penjaga m akam m ulai m enyebut nam a-nam a penerim a
doa, bukan dengan urutan dari yang tertua ke yang term uda,
m elainkan dari urutan m akam tim ur ke barat: Mbak Koen,
Bam bang Boesono anak Mbak Oem yang m eninggal selagi
bayi, Soesanti adikku terkecil yang m eninggal beberapa jam
setelah Ibu Oem i Saidah, kem udian Ibu Oem i Saidah, Bapak
Toer, Pak Im am Barsah adik Bapak Toer, selanjutnya Mbah
Krom o Wedok yang disebut gadis pantai dalam novel Mas
Moek, dan terakhir Mbak Krom o Lanang suam i sam bungan
Mbah Krom o Wedok. Mas Djajoesm an yang dulu dim akam kan
di sisi barat Ibu Oem i Saidah kem udian dipindahkan ke Tam an
Makam Pahlawan yang terletak di sebelah tim ur Pesarean
Sasana Lalis.
Mas Moek diam seribu basa. Akulah yang m em berikan
keterangan tentang nisan-nisan yang buta tuli dan kenyang
dihujani jepretan kam era itu.
Aku tak ingat berapa kali selam a tahun-tahun terakhir ini
Mas Moek bersam a anak-istri dan kadang juga cucu m enyekar
ke m akam kedua orangtua kam i dan lain-lain ini. Tak pernah
terdengar doa dari bibirnya. Yang sering justru ia m enyedot
www.facebook.com/indonesiapustaka

ingus dari hidungnya dan ditelan m entah-m entah. Itu tanda


khas baginya bahwa ia sedang galau dan terharu. Aku yakin ia
tetap pem eluk agam a.
Walau ia sendiri m engaku pem eluk agam a statistik, aku
m enilai, dia berpegangan pada keyakinan. Aku ingat betul,
ketika Bapak Toer m eninggal, dia juga yang dengan inisiatif
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 471

sendiri m engum andangkan kebesaran Sang Pencipta. Karena


suaranya yang panjang, m engalun, dan m enggigil itu, tidak
lam a setelah suaranya ditelan m alam , para pelayat berduyun
datang m em banjiri rum ah kam i yang reot, kotor, dan gelap.
Dan kurang dari sejam kem udian rum ah itu telah terang-
benderang oleh lam pu gaspom yang dipasang oleh entah siapa
saja. Yang jelas, rasa turut belasungkawa m erebak ke seluruh
pojokan rum ah, pekarangan, bahkan desa itu.
Seingatku, Bapak m eninggal m alam J um at. Malam itu
juga dapur tua yang seluas lapangan badm inton itu penuh
orang yang sibuk bertandang. Tahu-tahu, entah dari m ana
saja, dapur itu sudah penuh beras, gula, kopi, teh. Ayam -
ayam yang sudah dipotong bergelim pangan m em antapkan
kesibukan dapur. Keesokan harinya, sejak subuh, pelayat
m akin m em bludak. Seluruh sekolah di Blora diliburkan.
Karangan bunga m enggunung. Ini kukira karena Bapak Toer
punya andil besar dalam sejarah Blora. Sekiranya ia m eninggal
sepuluh atau lim a belas tahun kem udian, situasinya akan lain.
Sam pai kadang-kadang terpikir olehku bahwa m ati pun perlu
saat yang tepat.
Beberapa kali kudengar Mas Moek berkeinginan
m em perbaiki m akam itu dengan keram ik sebagai rasa
terim akasih dan horm at kepada m ereka yang sudah tak
bisa m enuntut apa-apa, jadi yang tinggal hiduplah yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

bisa m elakukannya. Aku m endengarnya sendiri ketika Mas


Moek bicara dengan anaknya Astoeti. Mata Astoeti berbinar
m endengar usul itu, nam un ia berbisik kepada bapaknya yang
pasti tidak m enangkapnya. Waktu itu Astoeti m enyatakan,
royalti bapaknya sedang kedodoran. Ziarah itu pun dengan
m enjual perhiasan.
472 Bersama Mas Pram

Kudengar pula pem bicaraan dengan istrinya tentang


bagaim ana m em perbaiki m akam . Seperti selam a ini kukenal,
tak pernah sang istri lantas berubah ekspresi raut m ukanya.
Biasa-biasa saja, tak ketahuan setuju atau tidak, keberatan atau
tidak. Kukira ia m em ang dianugerahi wajah lem but, kalau tak
hendak dikatakan dingin. Segala peristiwa ia lakoni dan jalani
tanpa em osi. Alhasil pem bicaraan pun dingin dan m ati di situ.
Ada satu lokasi lagi di m ana Mas Moek ingin bernostalgia
dengan para tam unya, yaitu kuburan Cut Meurah, pahlawan
Aceh. Walau nam anya tidak sekondang Cut Nyak Dien, ia
juga telah berjuang dan jadi orang buangan sam pai akhir
hayatnya. Yang pernah kudengar, ia dibuang ke J awa bersam a
Cut Nyak Dien. Sesudah dioper ke sana keMari akhirnya
kesangsang di Blora. Mas Moek pernah cerita, Cut Meurah
hidup berkecukupan. Ia bahkan punya sepeda m erek Raleigh
yang waktu itu m erupakan barang m ewah. Ini sangat kontras
dengan yang pernah dialam i oleh em pat dari lim a anak lelaki
Bapak Toer.
Kuburan itu terletak di jalan m enuju Desa Nglangitan,
sekitar dua kilom eter dari Sasana Lalis. Ketika rom bongan
datang lengkap dengan bule-bulenya, para penyam but tua-
m uda lelaki-perem puan berham buran. Sem ua laiknya m em beri
pelayanan terbaik. Terharu juga aku m elihat antusiasm e itu,
apalagi aku sendiri baru pertam a kali datang ke situ.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Ram ai-ram ai m ereka m engantarkan kam i ke tem pat


yang kam i perlukan. J epretan kam era berkelebat, bisik-bisik
kom entar berkem bang. Makam itu term asuk yang paling
terpelihara. Mungkin juga paling banyak dikunjungi orang.
Pernah, katanya, rom bongan orang Aceh yang m engaku
keluarga pahlawan itu berm aksud m endanai pem bangunan
Bagian Kedelapan: Catatan Soesilo Toer 473

m onum en yang representatif, tapi kem udian tak ada


kelanjutannya.
Sore sekitar pukul setengah em pat rom bongan sudah siap
berkum pul. Merka akan berpisah. Bule-bule akan m eneruskan
perjalanan ke Sem arang dan Salatiga lewat jalur pantura,
sedangkan Mas Moek dan anak-istri m elanjutnya perjalanan
lewat jalur selatan: Blora, Wirosari, Purwodadi, Toroh,
Sum berlawang. Kudengar, kalau ada waktu m ereka juga akan
m am pir ke Kedung Om bo, waduk yang pernah jadi berita
nasional. Untuk m em bangun waduk raksasa itu beberapa desa
ditenggelam kan. Masyarakat banyak yang keberatan, m enolak
ditransm igrasikan dan direlokasi. Tarik urat dan dem o tim bul
berkepanjangan. Akhirnya Presiden turun tangan dengan
penggadanya yang m em atikan: siapa m enolak, berarti PKI.
Sebelum rom bongan berpisah, Mas Moek dan rom bongan
singgah sekejap di m akam keluarga yang sudah kupercantik
dengan vas dan bunga-bungaan. Mereka cukup puas. Mas Moek
m inta supaya m akam dijaga dan dirawat, dan aku berjanji.
Nam un janji tak terpenuhi, karena hanya dalam hitungan jam
sem ua telah dijarah tangan jahil.
Dalam kesem patan m enyekar berikutnya, ia tak
m engucapkan sepatah kata pun. Hanya sorot m atanya
m enuntut pertanggunganjawabku. Untuk itu aku tekor
beberapa ratus ribu rupiah.
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka
www.facebook.com/indonesiapustaka

LAMPIRAN
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 1

Pram oedya Ananta Toer, J l. Multikarya II/ 26, Utankayu,


J akarta Tim ur.

Kepada Yth.
Departem en Pendidikan dan Kebudayaan
Sekolah Tehnik, Negeri STN 1
J l. Halm ahera no. 29, Blora

Dengan Horm at,


Pada 31 Mei 1982 telah datang pada saya Sdr. Soeprapto
dengan m em bawa Surat Tugas No. 222/ I.0 3.58TI.0 47/ c.82.
Secara lisan telah saya terangkan sedikit tentang sejarah tanah
kam i yang dipergunakan oleh STN 1 serta selem bar surat
pernyataan tentang selokan sebagai batas tanah tsb. sebagai
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya pada
saya.
Pada 5 J uni 1982 telah datang pada saya Sdr. Mashudi yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

m enjelaskan keterlibatannya dalam soal tanah tsb.


Dari keterangan dua pihak yang saya terim a saya tarik
kesim pulan, bahwa sesungguhnya tidak ada terjadi sesuatu
pelanggaran hak. Sdr. Mashudi hanya berusaha m elindungi
hak-haknya sebagai seorang warganegara. Hanya tafsiran-
tafsiran yang tidak berdasar yang telah m em bikin kekeruhan.
478 Bersama Mas Pram

Sedang sem ua itu hanya bersum ber pada ketidaktelitian


pencatatan. Untuk jelasnya akan saya uraikan sbb.:
I. Kom plex Tanah Dalam Kekuasaan Hak Milik M. Toer
Alm arhum .
Kom plex ini terdiri dari 3 bidang tanah yang akan saya
sebutkan m enurut tuanya dalam kekuasaan hak m ilik ayah
saya alm arhum . A bidang yang sekarang dipergunakan STN
1, B bidang yang sekarang berdiri rum ah yang ditinggali Sdr.
Mashudi, jelasnya: suam i adik saya Oem isafaatoen Toer, dan C
bidang tanah kosong di tim ur A. Antara A dan C dibatasi oleh
Selokan.
Kom plex tsb. digabungkan jadi satu dengan aanslag pajak
tanah (sekarang: ipeda) satu. Dengan dem ikian ipeda untuk
seluruh kom plex tsb. tetap dibayar oleh keluarga saya di Blora
sam pai tahun 1982. Benar bahwa pada keluarga Mashudi telah
m endapat ijin dari kam i sesaudara untuk m em iliki bidang B
dan C sam pai batas selokan, tetapi karena keteledoran berbagai
pihak pem ecahan antara C+B dan A belum terlaksana sam pai
sekarang. Maka kericuhan m ulai tim bul.
Ada pun selokan sebagai batas dibuat tidak lam a setelah C
dalam kekuasaan hak m ilik ayah saya alm arhum , dikerjakan
sekitar tahun 1932, untuk m em buang air genangan dari daerah
Slibeg. Saya nilai pem berian ijin m enggali saluran di atas tanah
kam i itu sungguh suatu kesalahan taktis, karena air genangan
www.facebook.com/indonesiapustaka

Slibeg dapat dibuang m elalui saluran yang lebih dekat dan lebih
efisien. Pertimbangan ayah almarhum adalah untuk juga bisa
m em buang air genangan di bagian selatan gedung sekolahan
yang m enjadi rendah karena untuk m enim bun lantai gedung
sekolahan. Nam un saya juga m engerti sebabnya, karena
ordonansi waktu itu tidak m em benarkan halam an sekolah
Lampiran 479

kotor, apalagi tanah rendah ditim bun sam pah. Dem ikian saya
jelaskan duduk perkara selokan itu sebagai batas.
Saya tidak m enyerahkan A kepada siapa pun, karena A
bagi keluarga kam i m em punyai nilai spiritual, dia adalah
m onum en perjuangan ayah saya, terutam a ibu saya, sem asa
penjajahan Belanda. Saya sendiri sudah lam a m em punyai
rencana sendiri untuk A. Baik A m au pun gedung di atasnya
tidak m ungkin bisa dipertahankan tanpa jasa ibu saya
alm arhum , yang m enyebabkan ia m eninggal m uda dalam usia
34 tahun, sehingga adik-adik saya yang term uda tidak pernah
m endapatkan kasih-sayangnya.
II. Tentang Tanah A.
Saya telah pelajari sepintas lalu fotokopi surat-surat
term asuk pernyataan ayah alm arhum dan bapak Am ir
alm arhum . Surat-surat tsb. bukan saja tidak authentik, juga
tidak m em punyai kekuatan hukum . Hal itu dapat saya jelaskan
sbb.:
1. A tidak pernah jadi m ilik pem erintah Hindia Belanda,
pem erintah pendudukan Balatentara Dai Nippon atau pun
pem erintah RI. A tetap m ilik keluarga kam i bukan saja karena
authentisitas ipeda, juga hal-hal yang m engenai sejarah
keluarga.
2. Kekuasaan ayah alm arhum atas A didapatkan setelah
m enikah dengan ibu saya. Pelepasan hak atasnya harus
www.facebook.com/indonesiapustaka

m elalui persetujuan antara ayah dan ibu alm arhum . Dan itu
tidak m ungkin terjadi karena ibu m eninggal dalam bulan
J uni 1942, sedang penyerahan pada kekuasaan J epang (yang
notabene tidak authentik) terjadi pada 1944. Paling tidak ayah
alm arhum harus m erundingkan dengan saya sebagai anaknya
yang tertua yang pada 1944 sudah berum ur 19 tahun.
480 Bersama Mas Pram

3. Pada bulan-bulan pertam a kekuasaan J epang ayah kam i


m asih m em bayar angsuran hutang untuk A.
4. Pada 1943-awal 1945 pem erintah pendudukan
Balatentara Dai Nippon telah m em buat “drive” yang bukan
tanpa intim idasi terhadap penduduk lapisan atas dan
m enengah untuk m em enangkan “Perang Asia Tim ur Raya”
dengan jalan m enyerahkan harta-bendanya term asuk tanah,
gedung dan perhiasan. Paralel dengan itu adalah “drive” lain
untuk m endapatkan gadis-gadis buat hiburan balatentara
J epang dengan alasan untuk disekolahkan ke Tokyo. (Sewaktu
di Buru kam i ketahui m asih tersisa beberapa orang nenek dari
sejum lah 228 gadis lulusan SD yang dahulu diangkut dari
J awa).
5. Ayah kam i jelas tidak akan terbebas dari intim idasi
“drive” yang pertam a ini, karena ia adalah seorang terkem uka
dan tokoh sosial setem pat, disam ping itu pun juara-2 bahasa
J epang untuk seluruh Pati-Syuu (= keresidenan Pati). Sebagai
seorang nasionalis konsekwen yang non-koperatif terhadap
Hindia Belanda sejak 1923 tidak m ungkin ia m enyerahkan
sesuatu yang berharga pada fasis J epang, bagaim ana pun
dedikatifnya pada dunia pendidikan.
6. Sam pai ayah kam i m eninggal pada pertengahan 1950
tidak pernah disam paikan pada saya, sebagai wakil sem ua
anaknya dan juga kepentingan alm arhum ibu saya, tentang
www.facebook.com/indonesiapustaka

penyerahan A kepada siapa pun, pada hal saya m enungguinya


sam pai m eninggalnya. Reportase literer tentang ini pernah
saya tulis dan dium um kan dalam buku “Bukan Pasar Malam ”,
1951; dicetakulang di Malaysia, 1976; dibelandakan dengan
judul “Geen Groot Gezellig Feest”, Den Haag 1978; diinggriskan
di Cornell University oleh C.W. Watson dengan judul “It’s not
Lampiran 481

an all Night Carnival”, Am erika, 1973; diinggriskan University


of Queensland oleh Harry Aveling dengan judul “No Night
Market”, Australia, 1975; diingriskan oleh Sean Forster dengan
judul “Going Hom e”, 1967. Hanya untuk sekedar penegasan.
7. J elasnya A m asih tetap m ilik keluarga kam i. Sem ua
pernyataan penyerahan penggunaan pada pihak ketiga atau
kedua tidak m em punyai kekuatan hukum .
8. Sam pai sekarang bukan saja tidak pernah ada
penghargaan resm i terhadap perjuangan nyata ayah alm ar-
hum . J uga sam pai sekarang tidak pernah ada pernyataan
resm i penyerahan hak penggunaan A dan gedung-gedung di
atasnya, juga tidak pernah ada pernyataan terim akasih resm i
penggunaannya selam a 32 tahun ini– sesuatu yang sungguh
m engherankan.
9. Kepada Sdr. Soeprapto telah saya sam paikan sekedar
riwayat bagaim ana A dan gedung-gedung di atasnya berada
dalam kekuasaan hak m ilik ayah kam i yang garis besarnya
adalah:
a. pendirian Instituut Boedi Oetom o pada 1918 oleh
dr. Soetom o, dan kepindahannya pada tahun itu juga ke
Surabaya,
b. vakum pim pinan dan delegasi Boedi Oetom o pada ayah
kam i pada (sekitar) 1923,
c. perjanjian antara Boedi Oetom o dengan ayah kam i,
www.facebook.com/indonesiapustaka

d. Boedi Oetom o tidak m enepati janjinya,


e. Wilde Scholen Ordonantie 1933,
f. hapusnya Boedi Oetom o setelah berfusi dengan Partai
Bangsa Indonesia, yang setahun kem udian berubah nam a jadi
Partai Indonesia Raya alias Parindra, 1935-36,
482 Bersama Mas Pram

g. pendirian gedung baru di atas A yang sepenuhnya


atas pem biayaan ayah kam i sendiri dengan sem ua konse-
kwensinya,
h. audiensi protes terhadap wilde scholen ordonantie pada
Gubernur J endral B.C. de J onge (m enurut cerita ibu alm arhum ,
yang saya tidak m am pu m engukuhkan kebenarannya),
i. peraturan pem erintah daerah kolonial setelah wilde
scholen ordonantie yang m enyebabkan keluarnya m urid-
m urid yang m em bayar dari sekolah A, sehingga tinggal para
m urid yang tidak atau buruk m em bayar,
j. tim bulnya panitia yang bertujuan hendak m engusir ayah
alm arhum dari A dan pengusiran balik yang dilakukan ayah
terhadap bawahannya yang terlibat dalam panitia tsb.,
k. gerakan front/ liga anti-fasis yang m enganjurkan
kerjasam a antara pihak penjajah dengan gerakan anti-
penjajahan dalam m elawan fasism e internasional dan
perm intaan pem erintah kolonial pada ayah untuk kem bali
m engajar di HIS,
l. pagi hari ayah m engajar di HIS dan sore hari di A, yang
m enyebabkan m engapa Pak Am ir bisa m uncul dalam fotokopi
surat-surat yang saya terim a,
m . m asuknya kekuasaan fasis J epang dan m unculnya
“wilde scholen ordonantie” gaya baru yang bersifat m utlak,
n. akhirnya sem ua peram pasan J epang m enjadi cabar
www.facebook.com/indonesiapustaka

dan batal dengan lenyapnya kekuasaan fasis J epang m ulai 17


Agustus 1945.
Dengan dem ikian telah saya jelaskan, atas kem auan saya
sendiri dan atas tanggung jawab saya sendiri, tentang status
A, dan bahwa A m asih tetap dalam kekuasaan hak m ilik kam i,
sehingga pengubahan atas keadaan gedung-gedung di atasnya
Lampiran 483

m au pun penggeseran batas-batas tanah bisa dilakukan hanya


dengan persetujuan saya, sebagai wakil keluarga.
Tentu saja saya pun ikut m em ikirkan keadaan STN 1
sebagai lem baga pendidikan kota kelahiran saya, kota yang
telah m em besarkan saya. Saya akan m engajukan saran yang
barangkali saja bisa diterim a sebagaim ana akan saya jelaskan
di bawah ini.
Di sudut baratdaya J etis ada kom plex tanah atas nam a
saya yang terdiri dari dua bagian, yaitu A-1 yang di atasnya
ada bangunan yang saya bangun pada 1950 dan yang sekarang
ditinggali oleh adik perem puan saya, Koenm aryatoen Toer, dan
A-2 yang kosong. A-2 dalam kekuasaan hak m ilik saya pribadi
sejak sekitar tahun 1936. Sebelah selatan dan barat A-2 adalah
kebun kosong. Bila 3 kebun kosong itu dipergunakan oleh STN
1 tentu STN 1 dapat m em bangun gedung sekolah sendiri, dan
dengan dem ikian dapat m enyerahkan kem bali A pada saya
dengan A-2 sebagai pengganti tanah di baratdaya dan utara A
yang sekarang m enjepit A.
Saran ini juga didasarkan pada keharusan perluasan kota
dan sudah adanya kom plex sekolahan di depan A-1, di atas
tanah yang sem ula juga dalam kekuasaan hak m ilik keluarga
kam i dan yang saya tidak tahu bagaim ana sejarahnya sam pai
bisa lepas, padahal dahulu direncanakan oleh keluarga kam i
untuk pendirian sekolah tehnik.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Surat ini saya susun dalam keadaan terburu-buru karena


Saudara Mashudi, yang akan m em bawanya, akan kem bali
dari J akarta ke Blora pada 6 J uni 1982. Walau dem ikian saya
anggap sudah m ewakili saya, juga m em enuhi janji saya pada
Sdr. Soeprapto untuk m enulis surat sekedarnya. Sengaja saya
agak m em perinci soal-soal m engingat bahwa angkatan tua
484 Bersama Mas Pram

Blora yang m engetahui tentang ayah, keluarga kam i, Boedi


Oetom o dan seluk-beluknya sem akin lam a sem akin berkurang
dan yang m asih tinggal m ungkin sudah tidak banyak ingat
lagi. Di sam ping itu saya sendiri pun sudah m enginjak tua,
dan tentang um ur orang tak dapat m em astikan, jadi sebagai
anak tertua dari keluarga Toer, yang sedikit atau banyak lebih
m engetahui persoalan ini daripada adik-adiknya, surat ini
barang tentu m enjadi dokum en yang m em punyai arti.
Terim akasih atas perhatian yang diberikan.

Salam

(tanda tangan)
Pram oedya Ananta Toer
J akarta, 6 J uni 1982.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 2

Yang Tersisa dari Kebangkitan Nasional

20 MEI, Kebangkitan Nasional, tak pernah dapat dipisahkan


dari nam a dr. Soetom o.
Setelah lulus STOVIA Soetom o kontan diangkat oleh
pem erintah kolonial jadi dokter di rum ahsakit Zending di
Blora, J awa Tengah, dan di rum ahsakit ini ia bertem u dengan
janda, perawat di rum ahsakit itu, wanita Indo, yang kem udian
jadi istrinya.
Waktu itu Bupati Blora adalah R.M. Said Tirtonegoro,
seorang terpelajar yang m aju, pendiri sekolah gadis “Darm o
Rini”, 1914, sebuah debatingsclub, dan beberapa perkum pulan
setem pat seperti “Parukunan” dan “Sjafat-oel-Ichwan”,
www.facebook.com/indonesiapustaka

kem udian pun ia diangkat jadi anggota Volksraad dan m asih


tetap m enjabat bupati.
Dengan dorongannya Soetom o m ulai aktif kem bali dalam
organisasi dan m endirikan Boedi Oetom o cabang Blora. Pada
1918 Soetom o m endirikan sekolah “Instituut Boedi Oetom o”
baru, terdiri dari 2 klas, dibangun di atas tanah desa di kam pung
486 Bersama Mas Pram

Slibeg. Tanah tsb., walau terletak di dalam kota kabupaten


(sem asa kolonial: onderdistrict Blora-Kota, Distrik Karangjati,
Kab. Blora, Afdeling Blora, Keresidenan J apara-Rem bang,
Gewest J awa Tengah), untuk waktu lam a tidak dim anfaatkan
karena m erupakan tem pat genangan di m usim hujan. Dalam
segala hal sekolah dari 2 klas tsb. tertinggal jauh dari sekolah
gadis “Darm o Rini” yang 5 klas, dan yang juga m enjadi m edan
debatingsclub.
Tidak kurang dari 3 m acam perhim punan sosial didirikan
Soetom o di Blora, di antaranya perhim punan untuk studi
m asyarakat Sam in. Dengan kepindahan Soetom o ke Surabaya
sem ua perhim punan yang didirikannya habis pula riwayatnya,
term asuk Boedi Oetom o cabang Blora, yang m em ang sudah
tersorong ke sam ping oleh arus nasionalism e yang sem akin
radikal. “Instituut Boedi Oetom o” di atas tanah com beran itu
jadi sem akin m em ilukan.
Melalui seruan lisan m au pun tulisan Bupati m em anggil
tenaga yang sanggup m em benahi dan m engurus sekolahan itu
yang akan dijam in dari kantongnya sendiri.
Seorang nasionalis m uda, guru HIS Ram bang, M. Toer,
m enyediakan diri dengan m engurbankan pekerjaannya
sebagai guru negeri, dan pindah ke Blora. Nyatanya tak banyak
yang dapat diharapkan dari janji Bupati, yang tanpa diduga
m eninggal pada 12 Oktober 1926. Tanpa ada orang kuat di
www.facebook.com/indonesiapustaka

belakang, bukan saja jam inan sebagai guru m eruap ke langit


biru, bahkan desa pun m em inta kem bali tanahnya.
Dengan uang pinjam an dari beberapa sum ber, ditam bah
dengan sedikit dari sisa tabungannya, ia beli tanah seluas
2.30 0 m 2 dan m endirikan bangunan sekolahan dari 5 klas
dari kayu jati berdinding gedeg. Bangunan 2 klas dr. Soetom o
Lampiran 487

dipindahkan dari tanah genangan m ilik desa ke tanah yang


baru, yang berada barang 30 0 m di barat tem pat lam a. Pada
1931 sem ua dinding gedeg diganti dengan kayu jati, dilukisi
peta bum i Indonesia dan benua yang lim a dengan cat kayu.
Sekolahan ini tetap m enggunakan nam a “Instituut Boedi
Oetm o”. Adapun bangunan dr. Soetom o didirikan terpisah
dari bangunan M. Toer, dan dim anfaatkan untuk klas 1 dan 2
sebagai sem ula, kem udian pun untuk klas schakel (klas khusus
untuk lulusan sekolah desa 3 tahun, yang dipersiapkan dengan
bahasa Belanda untuk dapat m eneruskan ke klas 4). Dengan
gencar-gencarnya gerakan kaum nasionalis radikal setelah
berdirinya Partindo pada tahun-tahun pertam a dasawarsa
ketiga kom plex sekolahan ini m enjadi pusat kegiatan
pendidikan nasional setem pat, juga m enjadi tem pat berbagai
rapat, sedang khusus bangunan Soetom o m enjadi tem pat
pem berantasan butahuruf wanita di sore hari.
Dengan ditangkapinya para pem im pin nasional radikal
di J awa dan pulau-pulau lain, diikuti dengan VV (Vergader
Verbod—larangan berhim pun dan bersidang) dan WSO (Wilde
Scholen Ordonantie—Ketetapan tentang Sekolah Liar, yaitu
sekolah yang tidak m enggunakan kurikulum kolonial) “Instituut
Boedi Oetom o” m endapat pukulan, yang m enyebabkannya
tidak bisa pulih lagi sebagai sem ula. Karena intim idasi kolonial,
setelah WSO dicabut, terjadi eksodus m urid, sehingga yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

tertinggal adalah para m urid yang kurang m am pu m em bayar


uang sekolah atau yang m em ang tidak dikenakan bayaran
sekolah. Dem ikian berlangsung dari 1934 sam pai jatuhnya
Hindia Belanda pada 1942.
Pada 1932 pihak desa m inta pada M. Toer untuk m enerjang
tanah yang dipergunakan sekolah tsb. untuk saluran, 1 x 150 m ,
488 Bersama Mas Pram

dan diberinya ijin. Dengan dem ikian tanah desa bekas tem pat
bangunan dr. Soetom o dan sekitarnya m enjadi tanah darat.
Desa kem udian m em anfaatkannya jadi Balai Desa.
Mulai kem erdekaan nasional 1945 sewaktu M. Toer sudah
tidak m engajar lagi, tanah, bangunan dan peralatannya
dipinjam oleh pem erintah setem pat dan dipergunakan jadi
sekolah teknik negeri sam pai tahun 1985 ini.
Masalah yang tersisa dari perayaan besar Kebangkitan
Nasional tahun ini adalah:
Apakah tidak sebaiknya bangunan 2 klas dr. Soetom o yang
sam pai sekarang m asih berdiri di atas tanah yang dipinjam
oleh Sekolah Teknik Negeri itu dipindahkan kem bali ke tem pat
asal di kam pung Slibeg, di m ana pernah dibangun Balai Desa,
dipugar sebagai sem ula dan dijadikan m usium setem pat?
Sem oga sisa m asalah ini m endapat perhatian bagi
yang m asih punya perhatian.

J akarta, 30 Mei 1985


Pram oedya Ananta Toer
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 3

J akarta, 4 Agustus 1993.

Kepada Yth.
Redaksi Surat Kabar “Suara Karya”
J l. Bangka Raya No. 2
J akarta 12720

Dengan horm at,


Menanggapi berita berjudul “Siswa SMP 5 Blora belajar
di Lantai” yang Saudara m uat dalam “Suara Karya” tgl. 22 J uli
1993 halam an III kolom 1, kam i dari Keluarga Toer sebagai
pihak yang berkepentingan ingin m em berikan penjelasan
sbb.:

1. Sekolah Boedi Oetom o (nam a asli: Instituut Boedi


Oetom o, disingkat IBO) di Blora, J awa Tengah, didirikan oleh
www.facebook.com/indonesiapustaka

Dr. Soetom o, tokoh pendiri organisasi Boedi Oetom o (BO),


tahun 1917, sewaktu beliau m enjadi dokter Zending di kota tsb..
Sekolah itu terdiri atas dua kelas, terletak di J alan Pirukunan
No. 20 , desa J etis.
2. Tahun 1922 organisasi BO dan IBO dalam keadaan
terlantar, hingga Bupati Blora waktu itu, R.M. Said Tirtonegoro,
490 Bersama Mas Pram

anggota Volksraad, juga anggota BO, m elalui seruan lisan


m aupun tulisan m em anggil tenaga yang sanggup m em benahi
dan m engurus organisasi dan sekolah itu dengan dana dari
kantong Bupati itu sendiri, dengan janji gaji tertentu dan
kenaikan gaji sekian tahun sekali khusus untuk pem benahan
dan pengelolaan IBO.
3. Seorang anggota BO, guru HIS Rem bang, M. Toer,
m enyediakan diri dengan m engorbankan pekerjaannya sebagai
guru negeri dan pindah ke Blora m em im pin BO dan IBO tahun
itu juga.
4. Tahun 1926 R.M. Said Tirtonegoro m eninggal, hingga
IBO terlantar kem bali. Bahkan desa m em inta kem bali
tanahnya. M. Toer ikut terlantar.
5 Dengan pinjam an dari beberapa sum ber (a.l. dari seorang
Cina di Rem bang, kem udian seorang Cina lain dari Blora
bernam a Lie Tik Bo) dan tabungan sendiri, M. Toer m em beli
tanah seluas 2.80 0 m 2 tidak jauh dari tanah sem ula, yaitu di
J alan Galingsong No. 29 (sekarang J alan Halm ahera No. 29).
Tanah itu dibeli atas nam a ayah M. Toer, Im am Badjoeri,
naib Plosoklaten, Kediri. Kem udian di atas tanah itu M. Toer
m endirikan bangunan sekolah terdiri atas 5 kelas. Bangunan
Dr. Soetom o (2 kelas) dipindahkan ke atas tanah itu juga
secara terpisah. Kedua bangunan itu hingga sekarang m asih
tetap berdiri. Surat-surat resm i m engenai tanah dan bangunan
www.facebook.com/indonesiapustaka

disim pan di sekolah IBO.


6. Walaupun m em akai nam a Boedi Oetom o sam pai
datangnya J epang di Indonesia, sikap dan kurikulum IBO
selanjutnya m engikuti garis pendidikan Tam an Siswa yang
berpusat di Yogyakarta, karena itu ketika Tam an Siswa bersam a
kalangan pendidikan, kem asyarakatan, dan politik Indonesia
Lampiran 491

berjuang m elawan Wilde Scholen Ordonantie (Undang-Undang


Sekolah Liar) tahun 1932, IBO pun ikut m enggabungkan diri
dan m engadakan rapat um um m enentang pelaksanaan UU
tsb.. Seperti Tam an Siswa, IBO tidak bersubsidi, dan m enolak
tawaran subsidi dari pem erintah kolonial. J ustru karena
perlawanan tsb. M. Toer sem pat digerebek oleh Mantri Polisi
dan ditahan.
7. Tahun 1935 Boedi Oetom o bersam a partai-partai kecil
lain berfusi dengan Persatuan Bangsa Indonesia m enjadi
Partai Indonesia Raya (Parindra), dipim pin oleh Dr. Soetom o.
Kejadian ini dipergunakan oleh beberapa orang di Blora, a.l.
guru-guru IBO sendiri, untuk m enguasai pengelolaan dan
aset IBO, dan untuk m endem isionerkan kepala sekolah IBO,
M. Toer. Mereka datang ke rum ah M. Toer pada suatu m alam
untuk m elaksanakan niatnya, dan M. Toer pun m em berikan
penjelasan tentang status tanah dan bangunan. Ia pun
m enyatakan, bahwa janji m engenai gaji dan kenaikan gaji
periodik tidak pernah dipenuhi oleh BO sejak tahun 1926.
J adi tanpa bicara tentang pengelolaan dan aset BO, IBO
sesungguhnya m enanggung hutang terhadap pribadi M. Toer.
“Saya nyatakan di sini, bahwa tuntutan Tuan-Tuan ini keliru
dan salah alam at. Dan saya tegaskan di sini, guru-guru yang
ikut dalam aksi ini harus m eninggalkan IBO sekarang juga,”
dem ikian dinyatakan oleh M. Toer. Seluruh pem bicaraan yang
www.facebook.com/indonesiapustaka

berlangsung dalam bahasa Belanda, J awa, dan Melayu itu


didengar langsung oleh Pram oedya Ananta Toer, putra sulung
M. Toer, dari balik dinding. Keesokan harinya, sem ua guru
yang dim aksud dipecat dan tak dibenarkan m em asuki wilayah
IBO. Tindakan itu m em buktikan, bahwa kekuatan hukum
berada di pihak M. Toer.
492 Bersama Mas Pram

8. Kegiatan belajar-m engajar di IBO berjalan terus sam pai


J epang datang, ketika sem ua sekolah swasta dibubarkan oleh
J epang dan dinegerikan, term asuk IBO. Waktu itulah surat-
surat m engenai tanah dan bangunan IBO jatuh ke tangan
kekuasaan J epang.
9. Sesudah proklam asi, IBO tetap dipergunakan sebagai
tem pat kegiatan belajar-m engajar oleh Pem erintah Indonesia,
dan belum dikem balikan kepada pem iliknya, Keluarga Toer
sebagai ahli waris M. Toer yang m eninggal tahun 1950 .
10 . Penjelasan ini secara um um pernah diberikan kepada
Carik utusan Kelurahan J etis, Blora, yang datang kepada
Pram oedya Ananta Toer, di J akarta, tahun 1982, khusus untuk
m enanyakan riwayat kepem ilikan tanah dan bangunan IBO
itu. Kepada Carik, Pram oedya Ananta Toer pun berpesan
agar tidak dilakukan perubahan apa-apa terhadap bangunan
sekolah, bahkan m engusulkan agar m enjadikan bangunan
Dr. Soetom o itu sebagai Museum Kebangkitan Nasional Kota
Blora, dengan m em indahkannya ke atas tanah aslinya di J alan
Pirukunan No. 20 .
11. Tahun 1988, kepada Tim J aksa yang diutus oleh J aksa
Agung Republik Indonesia, Pram oedya Ananta Toer sem pat
m inta agar Tim J aksa m em bantu m engusahakan pengem balian
IBO kepada Keluarga Toer, tapi hingga kini perm intaan tsb.
belum ada hasilnya.
www.facebook.com/indonesiapustaka

12. Keterangan ini kam i tulis untuk m em berikan inform asi


sem ata, m engingat penderitaan yang pernah dialam i keluarga
kam i bertahun-tahun lam anya karena m em bela kelangsungan
hidup IBO, terutam a sesudah kasus Wilde Scholen
Ordonantie.
Lampiran 493

13. Kam i dalam hal ini tidak m engesam pingkan


kem ungkinan adanya inform asi yang lebih kaya dari pihak
m anapun dan dalam versi bagaim anapun.
Kam i ucapkan terim a kasih yang sebesar-besarnya atas
kesediaan Saudara untuk m em uat tanggapan kam i ini dalam
surat kabar Saudara.

Horm at kam i,

(tanda tangan)

Pram oedya Ananta Toer


(putra tertua)

Alam at:
J l. Multikarya II/ 26
Kel. Hutan Kayu
J akarta Tim ur 13120

Koesalah Soebagyo Toer


www.facebook.com/indonesiapustaka

(putra keenam )

Alam at:
J l.P. Tendean Gg. Sum bangsih 14
Kel. Kuningan Barat
J akarta Selatan 127 10
494 Bersama Mas Pram

Catatan:
1. Surat ini dikirim kan kepada Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
2. Tem busan dikirim kan kepada Pers Nasional dan m ereka
yang berkepentingan.
3. Berita yang senada berjudul “Depdikbud Mengalam i
Kesulitan Bangun di Lokasi SMPN 5 Blora” dim uat dalam
surat kabar “Suara Pem baruan” tgl. 31 J uli 1993 halam an VI
kolom 7-9.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Lam p iran 4

Penjelasan untuk Bung Jaap

TERIMAKASIH MENERIMA gam bar-gam bar potret dari


Blora.
Pada kaki tugu terdapat teks

MONUMEN PENDIDIKAN
MASTOER IMAM BADJ OERI
PENDIRI SEKOLAH BOEDI OETOMO TH. 1922
BLORA

Kalau yang dim aksudkan dengan Mastoer Im am Badjoeri


adalah ayah saya m aka perlu ada penjelasan. Nam a asli ayah saya
www.facebook.com/indonesiapustaka

m em ang Mastoer, tapi setelah m em asuki gerakan nasionalis


kiri telah m enghapus suku depan Mas, m ungkin baginya terasa
berbau feodal. Sejak saya ketahui pada tahun 30 nam a yang
dipergunakan adalah Toer, juga dalam surat-m enyurat resm i,
juga dalam pem beritaan koran-koran Surabaya dan Sem arang.
J uga dalam karya-karya-tulisnya sendiri.
496 Bersama Mas Pram

Ayah saya juga sem pat m engetahui bahwa nam anya,


Toer, telah jadi nam a keluarga. Pertam a karena beliau m asih
sem pat m em baca nam a saya sebagai pem enang pertam a untuk
Perburuan dari Balai Pustaka dan beliau sem pat baca cerpen
Blora dalam m ajalah Orientatie dalam terjem ahan Belanda
dan dalam bahasa aslinya. Kedua beberapa waktu sebelum
m eninggal m alah sem pat bertanya pada saya apa sekarang yang
saya tulis? Ketiga beliau tidak pernah m enyatakan penolakan
nam anya telah m enjadi nam a keluarga anak-anaknya.
J adi pencantum an nam a Mastoer, apalagi ditam bah dengan
Im am Badjoeri— nam a yang tak pernah dipergunakannya
baik dalam keperluan resm i atau pun pribadi jelas m elanggar
hak azasi alm arhum dan m erupakan kesewenang-wenangan,
m enodai kehorm atan yang bersangkutan, juga terhadap anak-
anaknya.
Tentang Boedi Oetom o. Kalau yang dim aksudkan pada
kaki tugu adalah nam a sekolah, jelas itu tidak tepat. Yang
benar adalah Instituut Boedi Oetom o (IBO) sam pai dibubarkan
J epang, 1942. Boedi Oetom o sendiri adalah nam a organisasi
yang kem udian berfusi dengan Partai Bangsa Indonesia yang
kem udiannya lagi jadi Parindra (1935).
Instituut Boedi Oetom o tidak didirikan pada 1922 tetapi
pada 1918. Pendirinya bukan ayah saya tapi dr. Soetom o.
Tentang m otto pada kaki tugu.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Sejauh saya ketahui ayah saya tidak pernah m enggunakan


m otto tsb. Ayah, walau m endapat pendidikan m asjid dan surau,
perilakunya lebih banyak seorang javanis, abangan, daripada
seorang m uslim sejati. Praktis dia tidak pernah terpengaruh
oleh gereja. Karena itu m engherankan adanya ungkapan
bekerja dan berdoa yang berasal dari gereja.
Lampiran 497

Aneh sekali bahwa pendirian tugu tsb. tidak pernah


diberitakan, apalagi dikonsultasikan dengan ahliwarisnya
yang syah.
Saya tidak m engerti m engapa Pem da Blora m elecehkan
kam i sebagai ahliwaris syah, yang tak pernah m enghibahkan
keabsahannya kepada siapapun juga. Pada kesem patan pertam a
Koesalah Soebagyo Toer akan m enyerahkan pada Bung J aap
dokum entasi m usyawarah kelurga m engenai latarbelakang
tindakan Mashudi-Pem da ini.
Terim akasih atas perhatiannya.

Pram oedya Ananta Toer

(tanda tangan)
ja. 20 J uli 1994
www.facebook.com/indonesiapustaka
498 Bersama Mas Pram

Foto-foto

Bapak Mas Toer (kemudian bernama Toer).

Nenek Azizah (istri keempat) bersama Kakek


Mas Moestamiruddin (kemudian bernama Haji
Ibrahim), penghulu Rembang, yang meninggal
tahun 1928.

Rumah di Jalan Sumbawa 40, Blora, didirikan


oleh Toer tahun 1925, kemudian dirombak
oleh Pramoedya Ananta Toer tahun 1950, dan
sekarang didiami oleh Prawito Toer (kemudian
bernama Walujadi Toer) dan Soesilo Toer
www.facebook.com/indonesiapustaka

sekeluarga.

Tahun 1949. Pramoedya Ananta Toer di pela-


minan bersama istri pertama, Arvah Iljas. Di
belakang: Mertua pria, Iljas (dipanggil Alijas), dan
mertua wanita, Milah (dipanggil Mile).
Lampiran 499

Tahun 1950. Adik-adik Pramoedya Ananta Toer. Dari kiri ke


kanan, belakang: Prawito Toer (kemudian bernama Walujadi
Toer), Djajoesman (suami Koenmarjatoen Toer); tengah: Oemi
Safaatoen Toer (kemudian Ny. Mashoedi) menggendong
kemenakan (putra Imam Barsah), Koenmarjatoen Toer
(kemudian Ny. Djajoesman), Koesaisah Toer (kemudian
Ny. Hermanoe Maulana), Koesalah Soebagyo Toer. Depan
(jongkok): Soesetyo Toer (kemudian bernama Setyo
Renggoyuwono), dan Soesilo Toer.

Tahun 1960. Berdiri dari kiri ke kanan:


Soesetyo Toer, Koesalah Soebagyo
Toer, Soesilo Toer. Duduk: Prawito Toer
dan istri, Marie.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1979. Di rumah Jalan Multikarya


II No. 26, Utankayu, Jakarta Timur
sepulang Pramoedya Ananta Toer dari
Buru. Dari kiri ke kanan: Pramoedya
Ananta Toer, Oemi Safaatoen Toer, Srie
Handono (putra Oemi Safaatoen Toer),
Soesilo Toer, Koesalah Soebagyo Toer.
500 Bersama Mas Pram

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer ikut bersimpuh di depan makam


ayah-bunda dalam rangka menyekar.

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer menaburkan bunga di atas


pusara Mbah Putri Satimah (prototipe “Gadis Pantai” dalam novelnya)
dan Mbah Kakung Sodikromo.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer dan istri Maemoenah Thamrin


menemui tamu di rumah keluarga di Jalan Sumbawa 40, Blora.
Lampiran 501

Tahun 1979. Pramoedya Ananta Toer dan keluarga berfoto bersama di beranda rumah di Jalan Sumbawa
40, Blora.

Tahun 1980. Berkunjung ke rumah


Bu Hartini. Kiri: Direktur Penerbit
Hasta Mitra Hasjim Rachman;
kanan: Pramoedya Ananta Toer.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1986. Pramoedya Ananta


Toer dan istri sedang berbicara
di rumah Oemi Safaatoen Toer.
Di sebelah kirinya: Istri Koesalah
Soebagyo Toer, Utati, seorang
ipar, putri Pramoedya, Rina, dan
seorang kemenakan.
502 Bersama Mas Pram

Tahun 1986. Pramoedya


Ananta Toer dan istri sedang
berbicara di rumah Jalan
Sumbawa 40, Blora, dengan
ipar, didampingi adik bungsu,
Soesetyo Toer.

Tahun 1986. Pramoedya


Ananta Toer duduk-duduk
di rumah Jalan Sumbawa
40, Blora, didampingi anak-
anak Koesalah Soebagyo
Toer—Uliek Mandiri dan
Uku Permati—dan menantu
Daniel Setiawan.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 1986. Pramoedya


Ananta Toer dan istri sedang
berbicara di rumah Oemi
Safaatoen Toer. Di sebelah
kanannya: Koesalah Soeba-
gyo Toer dan Mashoedi.
Lampiran 503

Tahun 2000. Pramoedya Ananta Toer berbincang-bincang dengan Editor Penerbit


Hasta Mitra Joesoef Isak dan Koesalah Soebagyo Toer dalam acara penganugerahan
“Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres” (Pemenang Bintang Seni dan Sastra)
dari Republik Prancis di Jakarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Tahun 2002. Pramoedya Ananta Toer dan istri bersama keluarga besar (anak-anak,
menantu, cucu, dan cicit) di kebun rumah Jalan Warung Ulan No. 9, Bojong Gede,
Bogor. Berdiri paling kiri: Koesalah Soebagyo Toer.
504 Bersama Mas Pram

Tahun 2005. Pramoedya Ananta Toer mengucapkan selamat kepada orangtua pengantin pria ketika
Koesalah Soebagyo Toer mengawinkan putrinya, Uliek Mandiri, di Jakarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka

Monumen Toer di depan STN 1


(kemudian SMP 5), Jalan Halmahera
No. 29, Blora.
www.facebook.com/indonesiapustaka
Bersama

Mas Pram
Mas Pram
Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer

Bersama Mas Pram mengungkap sisi-sisi kehidupan


Pramoedya Ananta Toer, novelis terbesar Indonesia, yang
jarang diketahui umum. Misalnya, tentang kehidupan
seksualnya, kegigihan kerjanya, pandangannya tentang
wanita dan perkawinan, aktivitasnya menjelang 1965,
sikapnya tentang Tuhan dan doa, cara dia mendidik adik-
adiknya, sampai percakapan-percakapan ketika dia
ditangkap tahun 1965.

Memoar ini adalah buku kedua Koesalah Soebagyo Toer yang


memaparkan kehidupan Pramoedya setelah Pramoedya
Ananta Toer dari Dekat Sekali. Ditambah catatan Soesilo
Toer, buku ini menyuguhkan inside story kehidupan Sang
Novelis yang lebih lengkap sejak masa kecil di Blora hingga
meninggal tahun 2006 di Jakarta.
www.facebook.com/indonesiapustaka

KPG: 94S23509
KPG: 92004090235
KPG (KEPUSTAKAAN POPULER GRAMEDIA) ISBN 13: 978-979-91-0139-6
Gedung Kompas Gramedia, Blok 1 Lt. 3
Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270
Telp. 021-53677834, 53650110 ext. 3362-3364, Fax. 53698044
HP. 0815 9080 660, E-mail: kpg@penerbit-kpg.com
Situs web: http://www.penerbit-kpg.com
Untuk pemesanan langsung: Telp. 53677834 ext. 3901, 3902
E-mail: erni@gramediapublishers.com, wina@gramediapublishers.com
9 789799 101396

Anda mungkin juga menyukai