Anda di halaman 1dari 166

Kumpulan Puisi Esai

Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah be-
Pengantar
ragamnya tema. Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari Jamal D. Rahman
erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang ba-
hagia, pengagum presiden yang kecewa, orang Kubu, masyarakat

Dari Singkawang
terasing, tokoh sejarah nasional dan lokal, sosok pemberitaan,
pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku
mistik, orang kota yang ingin bunuh diri, etnis minoritas merang-
kap pelaku transgender, warga Tionghoa Singkawang yang “di-

ke Sampit
jual” ke Taiwan, buruh tani, TKW, pemain band, politisi, perusuh,
dll. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah membuka katup
tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah

Dari Singkawang ke Sampit


mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”— disuarakan dalam
puisi konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak
begitu terlihat, tiba-tiba muncul dengan penuh warna.[]
Kumpulan Puisi Esai
Agus R. Sarjono, Ketua Juri Lomba Menulis Puisi Esai

Tema puisi esai bukan saja beragam, melainkan juga memberi-


Arief Setiawan
kan dimensi-dimensi baru pada puisi Indonesia modern, kalau
tidak membawa tema yang baru sama sekali. Puisi esai telah me- Arif Fitra Kurniawan
nyajikan tema-tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita Catur Adi Wicaksono
temukan dalam puisi Indonesia. Ini menggembirakan. Yang lebih Hanna Fransisca
penting lagi, karena tema puisi esai selalu merupakan masalah
Jenar Aribowo
sosial, maka puisi esai mengekspresikan tanggung jawab moral
dan komitmen sosial puisi Indonesia mutakhir. Dalam puisi esai
tema selalu berkaitan dengan fenomena faktual di luar puisi. Puisi
esai dalam buku ini mengemukakan kisah berbeda-beda, berikut
korban utamanya masing-masing. []
Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi Horison Ilustrasi
dan Jurnal Sajak
Isa Perkasa
DARI SINGKAWANG
KE SAMPIT
Kumpulan Puisi Esai

Hanna Fransisca
Arief Setiawan
Arif Fitra Kurniawan
Jenar Aribowo
Catur Adi Wicaksono

KUMPULAN PUISI ESAI 1


DARI SINGKAWANG KE SAMPIT

Kumpulan Puisi Esai


© Jurnal Sajak

Hak cipta dilindungi undang-undang.


All right reserved.

Editor dan Pengantar


Jamal D. Rahman

Ilustrasi
Isa Perkasa

Disain Sampul & Reka Letak


Andi Espe

Cetakan ke-1, Januari 2013


164 hlm. 13 x 18,5 cm

ISBN 978-602-17438-4-3

Diterbitkan pertama kali oleh


PT JURNAL SAJAK INDONESIA
Jl. Bhineka Permai Blok T No. 6 Mekarsari, Depok, Indonesia
Telp/Faks. 021-8721244
Email: jurnal.sajak@email.com

2 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Daftar Isi

Pengantar
Masalah Tema, Intrinsikalitas, dan Catatan Kaki
Jamal D. Rahman 5

Singkawang Petang
Hanna Fransisca 45

Ngati
Arief Setiawan 65

Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa


Arif Fitra Kurniawan 91

Suara-suara Ingatan
Jenar Aribowo 117

Jejak Cinta Madun di Kota Sampit


Catur Adi Wicaksono 139

Biodata Penyair 163

KUMPULAN PUISI ESAI 3


4 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Masalah Tema, Intrinsikalitas,
dan Catatan Kaki
Jamal D. Rahman

P uisi esai merupakan salah satu fenomena penting


dalam sastra Indonesia hari ini hingga beberapa
tahun ke depan, sebagiannya karena adanya sambutan
penuh antusias dari berbagai kalangan. Sejak digemakan
Denny JA di paro pertama tahun 2012, gagasan puisi
esai mendapat tanggapan dan sambutan relatif luas, baik
di ranah karya kreatif maupun di ranah kritik dan
pemikiran sastra. Di ranah karya kreatif, gagasan puisi
esai mendorong beberapa orang, baik penyair maupun
intelektual, untuk menulis puisi esai. Yang sudah terbit
di antaranya adalah Kutunggu Kamu di Cisadane (2012)
karya Ahmad Gaus dan Manusia Gerobak (2013) karya
Elza Peldi Taher. Lebih dari itu, di ranah karya kreatif
ini, antusiasme publik sastra terhadap gagasan puisi esai
terlihat terutama dari banyaknya peserta Lomba
Menulis Puisi Esai yang diselenggarakan oleh Jurnal
Sajak antara Juli-Oktober 2012. Lomba tersebut diikuti
oleh 428 peserta dari berbagai daerah Indonesia, dengan

KUMPULAN PUISI ESAI 5


panjang puisi masing-masing minimil 10 ribu karakter.
Sebagian dari mereka adalah nama-nama yang sudah
cukup dikenal dalam khazanah sastra Indonesia;
sebagian lainnya merupakan nama-nama relatif baru.
Dan, tak sedikit peserta dari profesi non-sastra, misalnya
aktivis, akademisi, dan peneliti sosial. Yang bukan
penyair tak ambil bagian, diktum Chairil Anwar itu, tak
berlaku di sini.
Banyaknya peserta lomba itu agak mengejutkan,
mengingat puisi esai merupakan bentuk yang tidak
lazim dalam tradisi umum puisi kita hari ini. Bentuknya
yang panjang (dan bersifat naratif) merupakan
tantangan tersendiri bagi para penyair yang kebanyakan
lebih terbiasa menulis puisi pendek. Di samping itu,
catatan kaki —yang mutlak dalam puisi esai— menuntut
ketekunan, ketelitian dan riset serius terhadap suatu
subjek, bahkan jika perlu penelitian lapangan. Tapi di
sisi lain, mungkin justru karena itu puisi esai membuka
peluang bagi banyak kalangan dari berbagai latar
belakang dan profesi untuk juga menulis puisi esai, dan
mengikuti lomba tersebut. Di atas semuanya, mutu
pemenangnya pun cukup menjanjikan bahwa puisi esai
punya harapan lebih baik di masa depan.
Di ranah pemikiran dan kritik sastra, sambutan
antusias terlihat dari cukup maraknya diskusi tentang

6 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


puisi esai, khususnya tentang puisi esai karya Denny JA
sendiri, Atas Nama Cinta (2012), baik dilihat dari capaian
estetik atau percobaan puitiknya maupun dari aspek
tematik dan relevansi aktualnya bagi Indonesia hari ini
dan masa depan. Hingga akhir tahun 2012 saja,
setidaknya sudah ada 34 esai yang mendiskusikan puisi
esai, ditulis oleh tokoh-tokoh lintas generasi dan lintas
profesi di berbagai media massa terkemuka lokal dan
nasional, di samping di forum-forum diskusi dan dunia
maya. Di antara tokoh-tokoh —penyair, ilmuwan,
kritikus, intelektual— yang ambil bagian dalam diskusi
itu adalah Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko
Damono, Ignas Kleden, Leon Agusta, Agus R. Sarjono,
Maman S. Mahayana, Arie MP Tamba, Anwar Putra
Bayu, Firman Venayaksa, Indrian Koto, Alex R
Nainggolan, Damhuri Muhammad, Zuhairi Misrawi,
Novriantoni Kahar, Sulaiman Djaya, saya sendiri, dan
banyak lagi.1 Pandangan mereka tentu beraneka rupa:
ada suara kritis; ada pula suara apresiatif.
Selanjutnya, ambil bagian pula D. Zawawi Imron
yang menulis pengantar untuk buku puisi esai Elza Peldi

1
Tulisan mereka, yang sebagiannya semula dimuat di berbagai media cetak
baik nasional maupun lokal, dapat diakses dalam http://puisi-esai.com/
category/puisi-esai-denny-ja/. Tulisan-tulisan terpenting kemudian
dibukukan, disunting oleh Acep Zamzam Noor (2013).

KUMPULAN PUISI ESAI 7


Taher, Manusia Gerobak (2013). Juga Acep Zamzam
Noor menulis pengantar untuk buku puisi esai kategori
pemenang hiburan Lomba Menulis Puisi Esai (2013),
sementara Sunu Wasono dan Nenden Lilis A menulis
pengantar untuk buku puisi esai kategori puisi esai
menarik dari lomba itu juga. Bisa dipastikan akan ada
lagi penulis-penulis lain yang bakal melibatkan diri dalam
diskusi yang asyik dan menantang ini. Sampai batas
tertentu, sambutan relatif luas terhadap gagasan puisi esai
tak pelak lagi menunjukkan antusiasme publik sastra
dalam menyambut gagasan “baru” di bidang puisi, sekali-
gus menjanjikan harapan-harapan baru khususnya dalam
bidang kritik dan pemikiran sastra kita. Dikatakan dengan
cara lain, gagasan puisi esai telah menggerakkan apresiasi,
kritik dan pemikiran sastra Indonesia dewasa ini.
Sekali lagi, puisi esai digagas oleh Denny JA. Dia
sendiri telah menulis 5 puisi esai bertemakan diskriminasi
sosial, dibukukan dengan judul Atas Nama Cinta (2012).
Denny JA telah merumuskan kriteria puisi esai, yakni
(Denny JA, 2012: 11):

Pertama, ia mengeksplor sisi batin, psikologi dan sisi


human interest pelaku. Kedua, ia dituangkan dalam larik
dan bahasa yang diikhtiarkan puitik dan mudah
dipahami. Ketiga, ia tak hanya memotret pengalaman
batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya.
Kehadiran catatan kaki dalam karangan menjadi sentral.

8 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Keempat, ia diupayakan tak hanya menyentuh hati
pembaca/pemirsa, tapi juga dicoba menyajikan data dan
fakta sosial.

Saya tidak akan mendiskusikan lagi konsep puisi esai


di sini, kecuali sehubungan dengan 5 puisi esai dalam
buku ini.2 Sebagai pemenang hiburan Lomba Menulis
Puisi Esai, kelima puisi esai tersebut tentulah memenuhi
kriteria teknis puisi esai itu sendiri. Dengan membaca
kelima puisi esai tersebut, sudah tentu kita bisa
mendiskusikan beberapa segi menarik dan menantang
tentang puisi esai secara umum —dengan segala
kelemahan dan kekuatannya. Namun di sini saya hanya
akan membatasi pembicaraan pada 3 segi yang menurut
saya sangat penting —bahkan paling penting— dari
kelima puisi esai dalam buku ini. Tiga segi dimaksud
adalah tema, intrinsikalitas puisi, dan catatan kaki.
Kesan dan kesimpulan-kesimpulan saya secara induktif
bisa ditarik ke tataran puisi esai secara general, paling

2
Saya telah mendiskusikan puisi esai dalam dua tulisan berbeda. Dalam
tulisan pertama (2012a), saya melihat gagasan puisi esai dari sudut Denny
JA sebagai ilmuwan sosial, dan arti pentingnya bagi puisi kita hari ini.
Dalam tulisan kedua (2012b), yang merupakan pengantar untuk buku puisi
esai Kutunggu Kamu di Cisadane karya Ahmad Gaus, saya mendiskusikan
problem teoritis fiksionalisasi fakta dalam puisi esai, atau lebih umum
problem teoritis hubungan fakta dan fiksi sebagaimana mengemuka dalam
puisi esai, khususnya karya Ahmad Gaus.

KUMPULAN PUISI ESAI 9


tidak sampai batas tertentu. Dalam batas yang lain
berlaku sebaliknya: kesan dan kesimpulan saya tentang
puisi esai secara deduktif akan ditarik ke puisi esai dalam
buku ini. Di samping itu, kesan dan kesimpulan saya
bisa pula berlaku hanya untuk (penulis) puisi esai
tertentu.

Tema: Perempuan sebagai Korban


Apresiasi terhadap puisi esai pertama-tama harus
diberikan pada temanya. Meskipun tema merupakan
unsur intrinsik puisi (yang untuk kelima puisi esai dalam
buku ini akan dibicarakan di bawah), pada hemat saya
ia perlu mendapat tempat tersendiri karena kedudukan
pentingnya dalam puisi esai, di samping hubungan
ekstrinsiknya dengan dunia faktual di luar puisi. Dengan
itu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa dalam
puisi esai isi lebih penting tinimbang bentuk, atau tema
lebih utama dibanding estetika. Tidak. Tapi bagaimanapun
tema tentu saja turut menentukan menarik-tidaknya atau
berhasil-tidaknya karya sastra serta arti penting dan
sumbangannya pada khazanah pemikiran dan gerakan
kebudayaan pada umumnya. Bahwa puisi esai telah
menyuguhkan tema yang cukup beragam —kalau tak
akan dikatakan berlimpah— dan secara umum menge-
mukakan simpati bahkan empati pada korban-korban

10 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


sosial, pada hemat saya hal itu telah memberikan nilai
penting tersendiri. Bagaimanapun puisi esai telah
memperkaya tema puisi Indonesia dengan tema-tema
yang sejauh ini nyaris tak terbayangkan dalam puisi kita.
Pada saat yang sama, ia memenuhi panggilan dan tang-
gung jawab moral puisi pada masalah sosial, manusia,
dan kemanusiaan kita secara umum. Dengan demikian,
sekali puisi esai mendayung dua-tiga pulau terlampaui:
memperkaya tema, memenuhi tanggung jawab moral,
menegaskan komitmen sosial, dan seterusnya.
Khususnya dalam hal tema, puisi esai adalah
Christopher Columbus: setiap saat mencari pulau baru,
dan begitu menemukan sebuah pulau ia akan berangkat
berlayar lagi untuk menemukan pulau baru yang lain
—dan sudah cukup banyak pulau baru ditemukan. Puisi
esai telah menjelajahi beberapa geografi tema baru,
dengan masalah sosial-budayanya yang kompleks, yang
diam-diam penuh benturan atau secara terbuka
mengandung konflik. Di tengah itu semua tentu banyak
individu menjadi korban dalam pertembungan lunak
atau perseteruan keras dalam kehidupan sosial yang
tenang atau penuh goncangan. Sebagian dari pulau baru
tema itu sudah sering dan santer kita dengar dari ber-
bagai sumber informasi, atau samar-samar kita dengar,
atau jarang bahkan tak pernah kita dengar sebelumnya.

KUMPULAN PUISI ESAI 11


Yang pasti, banyak tema puisi esai yang selama ini
jarang kita dengar dalam puisi kita. Kalau pun bukan
hal yang sama sekali baru, puisi esai setidaknya mem-
berikan dimensi-dimensi baru terhadap aspek tematik
puisi Indonesia.
Tema yang jarang atau bahkan tak pernah kita
dengar —apalagi dalam puisi— adalah mitos yang hidup
di kalangan orang-orang Tionghoa Singkawang,
Kalimantan Barat, yaitu bahwa Taiwan adalah negeri
para dewa. Karenanya, gadis yang beruntung menikah
dengan pria Taiwan dipercaya akan dilimpahi rejeki dan
kemakmuran atas restu para dewa. Maka orangtua pun
ingin dan memaksa anak-anak gadisnya berjodoh
dengan pria Taiwan, meski tanpa kemauan dan kesediaan
gadis itu sendiri. Salah satu konvensi perkawinan itu
adalah bahwa si pria Taiwan harus membayar uang susu
atau mahar dalam jumlah tertentu kepada orangtua sang
dara. Dari uang susu itu, orangtua membeli parabola dan
perabotan keluarga yang cukup mewah sebagai simbol
kemakmuran dan kesuksesan sosial, ekonomi, dan budaya.
Puisi esai Hanna Fransisca, “Singkawang Petang”, melukis-
kan derita tiga dara Tionghoa bersaudara yang dipaksa
orangtuanya kawin dengan pria Taiwan. Su Yin, anak
tertua, tidak mau mengikuti kehendak orangtuanya. Dia
memilih kabur ke Jakarta. Li Na, adiknya, dinikahkan

12 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


dengan pria Taiwan dan ikut sang suami ke sana, namun
kemudian tak ada kabar beritanya lagi. Susan, si bungsu,
juga dikawinkan dengan pria Taiwan dan ikut sang
suami pula ke sana, namun akhirnya bunuh diri.
Sementara itu, tema pelacuran sudah lama kita
dengar dalam puisi, antara lain puisi Rendra (“Bersatu-
lah Pelacur-pelacur Kota Jakarta”) dan F Rahardi
(“Sumpah WTS”). Tapi puisi dua penyair itu adalah suara
dari abad lalu, yang dari diksi dan masalah yang
dikemukakannya jelas mewakili bahasa dan masalah
zaman tersebut. Dan, bahasa menggambarkan persepsi
sosial zaman itu sendiri: mereka menyebut perempuan
penjaja seks sebagai pelacur dan wanita tuna susila —
yang secara sosial dan normatif jelas mengandung arti
dan konotasi negatif. Puisi esai mengemukakan sekali-
gus mencatat terjadinya pergeseran bahasa, dan dengan
demikian pergeseran persepsi sosial tentang perempuan
penjaja seks berikut masalah barunya yang muncul.
Dalam puisi esai “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa”, Arif
Fitra Kurniawan tidak terang-terangan menggunakan
diksi pelacur atau wanita tuna susila sebagaimana Rendra
dan F Rahardi. Diksi pelacur dan wanita panggilan (yang
berkonotasi negatif dan merendahkan itu) memang
digunakan, namun dalam sudut-pandang tokoh Raisa,
pekerja seks komersial. Dengan demikian, diksi tersebut

KUMPULAN PUISI ESAI 13


digunakan lebih sebagai ironi. Dalam catatan kaki puisi
esai itu, Arif menggunakan diksi pekerja seks komersial
(PSK), yang berkonotasi netral dan kian luas digunakan
dalam komunikasi sosial sejak sekitar sepuluh tahun
terakhir. Yang tak kalah penting, atau bahkan lebih
penting lagi, puisi esai Arif mengemukakan masalah
baru dan mengerikan yang dihadapi perempuan penjaja
seks, yaitu terjangkitnya virus HIV/AIDS. Raisa, tokoh
dalam puisi esai tersebut, adalah penjaja seks yang
akhirnya meninggal karena terserang virus mematikan
itu. Secara keseluruhan, puisi esai Arif memberikan
simpati pada Raisa sebagai korban sosial, ekonomi, dan
budaya.
Masalah tenaga kerja wanita (TKW) juga santer kita
dengar dari berbagai sumber informasi, dan sayup-sayup
dalam puisi. Dalam puisi esai kita dengar hal itu dari
puisi Denny JA (“Minah Minah Dipancung”). Masalah
TKW yang sering kita dengar adalah penyiksaan
terutama oleh majikan dan hukum pancung terhadap
TKW di Arab Saudi, seperti juga dalam puisi Denny.
Berbeda dengan itu, puisi esai “Ngati” karya Arief
Setiawan mencatat derita TKW di Hongkong. Ngati,
perempuan yang karena tekanan ekonomi rela
meninggalkan anak semata wayang dan suaminya demi
menjadi TKW di Hongkong, mengalami tekanan mental

14 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


akibat dipecat secara sepihak oleh majikannya, dan tentu
tekanan psikologis pula, apalagi berpisah jauh dengan
anak dan suaminya. Karena depresi berat, Ngati akhirnya
mengalami gangguan mental, dan dirawat di rumah
sakit jiwa. Itulah sisi lain derita TKW kita, yang jarang
atau bahkan tak pernah kita dengar. Dengan demikian,
puisi esai Arief Setiawan adalah suara sedih yang lain
atas derita TKW kita yang lain —yang kalaupun tidak
menghadapi ancaman nyawa seperti sering terjadi di
Arab Saudi— menghadapi ancaman gangguan mental
yang amat serius. Sudah tentu puisi esai itu bersimpati
pada tokoh Ngati itu.
Sementara itu, kerusuhan etnis Dayak dan Madura
di Sampit pada tahun 2001 —yang menelan banyak
korban secara mengerikan— merupakan berita besar
yang sudah sering kita dengar dari berbagai sumber.
Namun sejauh ini, sejauh saya tahu, tak ada puisi yang
mengangkat tema tersebut. Kalau pun ada, dibanding
besarnya peristiwa itu sendiri, secara kuantitatif kiranya
tidak berarti. Kita nyaris tak pernah mendengar
peristiwa besar itu dalam puisi kita. Adalah puisi esai
“Jejak Cinta Madun di Kota Sampit” karya Catur Adi
Wicaksono yang mencatat kerusuhan tersebut, puisi
mana melukiskan kerusuhan dan terutama korban
konflik antarsuku itu. Tokoh puisi esainya adalah

KUMPULAN PUISI ESAI 15


Madun, pemuda Madura yang merantau ke Sampit
hingga akhirnya jatuh cinta pada Serumpai, gadis Dayak
di sana. Mereka pun menjalin cinta-kasih dengan mesra.
Ketika terjadi kerusuhan, di mana orang Dayak mengusir
orang Madura dari Sampit, Serumpai membantu
menyelamatkan Madun. Pemuda itu terpaksa mening-
galkan Serumpai, pulang ke kampung halamannya. Dari
Madura, Madun berkirim surat kepada Serumpai,
mengemukakan rindu dan cintanya yang tetap menyala-
nyala. Tapi surat itu tak berbalas, entah kenapa. Maka,
Madun pun berangkat lagi ke Sampit untuk menemui
kekasihnya, namun sia-sia. Cinta mereka kandas. Di sini,
konflik etnis telah menelan korban jalinan cinta-kasih
Madun dan Serumpai, yang tak ada sangkut-pautnya
dengan konflik etnis itu sendiri.
Sudah sering pula kita dengar soal derasnya arus
urbanisasi ke ibukota Jakarta, yang antara lain didorong
oleh relatif rendahnya sumber daya ekonomi desa
(daerah) di satu sisi dan terpusatnya sumber daya
ekonomi di ibukota di sisi lain. Tapi toh ibukota tak selalu
menjamin kemakmuran orang yang terhimpit ekonomi
di desa atau daerah. Puisi esai “Suara-Suara Ingatan”
karya Jenar Aribowo mengisahkan tokoh Suti yang
mencoba mengadu nasib di Jakarta, tapi akhirnya
kandas. Meski terkesan artifisial dan klise, kisahnya

16 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


sendiri menyedihkan. Ayah Suti adalah korban
pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat krisis ekonomi
yang melanda Indonesia di tahun 1998, dan akhirnya
menjadi penarik becak. Karena tekanan ekonomi yang
berat, sang ayah meminta Suti berhenti sekolah. Tak
lama kemudian orangtua Suti meninggal dunia. Untuk
menyambung hidup, Suti terpaksa bekerja di Jakarta,
namun tak lama kemudian dia berhenti bekerja karena
tak tahan dengan intimidasi majikannya. Selanjutnya
dia pulang ke desa dan bekerja sebagai penjaga kios. Sang
pemilik kios kemudian menjadikan Suti sebagai anak
angkatnya. Jadi, siapakah yang dapat menolong rakyat
yang terhimpit kemiskinan, dan gagal pula mencari
penghidupan di ibukota? Jawaban puisi esai “Suara-
Suara Ingatan” jelas: bukan negara, bukan pula Jakarta,
melainkan sesama rakyat di daerah. Negara hanyalah
sesuatu yang absen dalam menyelamatkan warganya
sendiri dari tsunami kemiskinan. Maka rakyat hanya
mungkin diselamatkan oleh sesama rakyat. Jakarta
distereotifikasi sebagai ibukota yang kejam pula,
sehingga ibukota negara pun tak bisa membantu.
Terutama karena berbentuk cerita, puisi esai selalu
mengemukakan masalah sosial. Sudah tentu masalah
sosial dalam puisi esai memiliki kaitan referensial dengan
dunia objektif dan ekstrinsik di luar puisi esai itu sendiri.

KUMPULAN PUISI ESAI 17


Dalam arti itu, apa yang dikemukakan puisi esai meng-
gambarkan masalah-masalah sosial kita, sekaligus
menggambarkan pandangan, sikap, dan gagasan para
penyairnya khususnya tentang masalah yang mereka
bicarakan. Pertama-tama dapatlah dikatakan bahwa,
paling tidak di mata penyair, setiap masalah dalam puisi
esai merupakan masalah sosial yang penting, yang
menuntut kepedulian dan keberpihakan dunia puisi kita.
Maka tak pelak lagi puisi esai di satu sisi merekam
berbagai fenomena sosial kita. Di sisi lain, ia menyuarakan
kepedulian dan keberpihakan puisi terhadap beberapa
masalah sosial kita yang krusial, dengan korban-korban
kemanusiaannya yang serius, yang sebagiannya
berkaitan dengan politik dan sebagiannya lagi berkaitan
dengan budaya.
Dari pembicaraan tentang tema di atas, yang segera
tampak dari kelima puisi esai dalam buku ini bukan
hanya keragaman dan kebaruan temanya, melainkan
juga masalah-masalah sosial yang dikemukakannya
berikut manusia-manusia yang menjadi korban masalah
sosial itu sendiri. Setiap masalah sosial rupanya selalu
meminta korban manusia dan kemanusiaan. Yang
menarik adalah bahwa korban-korban masalah sosial
itu hampir semuanya perempuan. Raisa, Ngati, Su Yin,
Li Na, Susan, dan Suti adalah kaum perempuan yang

18 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


semuanya jadi korban persoalan hidup yang mereka
hadapi, persoalan mana merupakan masalah sosial.
Hanya Madun lelaki yang jadi korban. Tapi kita bisa
bayangkan, kekasihnya Serumpai adalah juga perem-
puan yang menderita setelah cintanya dengan Madun
kandas akibat kerusuhan etnis. Dengan demikian, dari
buku puisi esai ini satu hal jelas: korban pertama dan
utama setiap masalah sosial adalah kaum perempuan.

Intrinsikalitas Puisi Esai


Dari sudut estetika, tingkat keberhasilan puisi esai
bagaimanapun haruslah dilihat dari struktur intrinsik
puisi esai itu sendiri. Tema yang menarik sejatinya
didukung oleh intrinsikalitas puisi, atau sebaliknya
struktur intrinsik puisi yang baik akan memperkuat tema
dan gagasan yang diusungnya. Ada banyak peralatan
puisi yang mungkin dimanfaatkan penyair untuk
mencapai tingkat estetika tertentu, baik dengan setia
pada konvensi atau justru mendobraknya. Sudah tentu
penyair punya alasan dan pertimbangan tertentu kenapa
atau untuk apa dia setia pada konvensi, dan kenapa atau
untuk apa pula dia melanggarnya. Karena alat utama
puisi adalah bahasa, maka pertanyaan kita adalah
sejauhmana puisi esai mengeksplorasi bahasa untuk
mencapai keindahan dalam mengemukakan sebuah

KUMPULAN PUISI ESAI 19


gagasan, yang dengannya secara maksimal atau kurang
maksimal puisi esai mungkin memanfaatkan berbagai
unsur intrinsik puisi yang tersedia, misalnya metafor,
metrum, dan rima.
Selain bahasa, satu hal yang juga penting dalam puisi
esai pada hemat saya adalah struktur ceritanya. Sebab,
semua puisi esai sejauh ini merupakan puisi naratif.
Dengan demikian, cerita sesungguhnya merupakan unsur
intrinsik puisi esai, bahkan merupakan salah satu unsur-
nya yang sangat penting. Dan itulah juga yang membeda-
kan puisi esai dengan puisi pada umumnya. Sudah tentu
cerita mengandung unsur-unsur intrinsiknya sendiri, di
antaranya adalah tokoh, latar, cerita, konflik, klimaks,
bahasa, narator, tema, logika, dll. Dalam banyak hal
unsur-unsur intrinsik cerita berbeda dengan unsur-unsur
intrinsik puisi. Nah, kalau cerita mengandung anasir
intrinsiknya sendiri, dan puisi mengandung anasir
intrinsiknya sendiri pula, maka sesungguhnya ada
intrinsikalitas cerita dalam intrinsikalitas puisi esai,
dimana hubungan antara keduanya tentu saja begitu
kompleks. Maka itu, intrinsikalitas puisi esai sebenarnya
lebih kompleks dibanding intrinsikalitas puisi pada
umumnya. Namun karena berbagai keterbatasn, kita
tidak akan mendiskusikan masalah ini terlalu jauh di sini.
Cukuplah nanti disinggung serba sekilas sejauhmana

20 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


struktur cerita cukup meyakinkan dalam buku puisi esai
ini.
Pada hemat saya, puisi esai Hanna Fransisca sangat
berhasil dari sudut estetika bahasa. Puisi esai tersebut
sudah menjanjikan sejak dari judulnya: judul puisi itu
—”Singkawang Petang”— bukan saja indah secara rima,
melainkan juga membangkitkan suasana dan asosiasi
yang nanti sejalan dengan seluruh nada dan isi puisi.
Yaitu suasana petang di Singkawang. Suasana tersebut
menimbulkan asosisi yang sepintas tampak nyaman
namun sesungguhnya di balik petang itu ada gelap yang
bisa berpuncak pada gelap-gulita. Suasana muram
membayang sepanjang cerita, memperkuat nada dan
isi puisi —yang memang terasa sedih, bahkan pedih. Di
samping itu, puisi esai tersebut memanfatkan peralatan
puisi lainnya secara cukup maksimal, seperti rima dan
metrum yang terasa berteratap, larik-larik panjang dan
pendek yang efektif dan berirama, dan sebagainya.
Hal lain yang menarik perhatian saya adalah cara
Hanna menggunakan metrum di beberapa bagian
puisinya. Contohnya:

KUMPULAN PUISI ESAI 21


...
Di rembang petang minggu kedua. Lelaki pengunyah
pinang datang bertandang.
Aduhai dentang Singkawang. Seribu kuil membakar
dupa, seribu sumpah dibakar
neraka: bukankah ia terlalu tua? Mata keriput berlipat
birahi, dari umur berbau kubur.
Menarilah wahai samsara. Dosa dan dukana,
terhempas dara di ceruk padas. Genderang Dewa
menabuh perang. Di ladang-ladang, hamparan jagung
batang kerontang.
Tanah retak jalanan simpang. Perawanku. Perawanku.
Ada kelamin menggantung di kaki renta. Aduhai dara
Singkawang, tataplah muka jadikan suka. Abang
menunggu di negeri surga
....

Metrum yang digunakan Hanna sama dengan pola


metrum syair (atau pantun) atau memang mengikuti-
nya. Hal itu akan lebih terasa jika larik-larik yang ber-
pola metrum syair disusun sesuai susunan larik syair
(atau pantun), misalnya jadi begini:

Di rembang petang minggu kedua


Lelaki pengunyah pinang datang bertandang
Aduhai dentang Singkawang
Seribu kuil membakar dupa
seribu sumpah dibakar neraka:
bukankah ia terlalu tua?
...

22 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


hamparan jagung batang kerontang
Tanah retak jalanan simpang
Perawanku. Perawanku
Ada kelamin menggantung di kaki renta
Aduhai dara Singkawang,
tataplah muka jadikan suka
Abang menunggu di negeri surga.

Contoh bagian lain yang sangat dekat dengan pola


syair, bahkan dengan rima dan metrum yang sangat
teratur (maaf, Hanna, di sini saya susun dengan pola
syair tradisional):

...
Berlari girang kupu-kupu riang
Burung di dahan menanti pulang
Alangkah lapang langit Singkawang
Ribuan amoi berkulit terang
Siap dipinang menuju seberang
....

Dari contoh kutipan di atas kita lihat, dalam hal


metrum, puisi esai Hanna jelas sama dengan pola
metrum syair (atau memang mengikutinya) namun
dilesapkan sedemikian rupa sebagai puisi bebas, sehingga
penggunaan pola metrum syair itu terasa “modern”.
Sebagaimana penggunaan rima, penggunaan metrum
disebar di beberapa bagian puisi secara tidak teratur,
dengan susunan larik yang tidak teratur pula. Ya, Hanna

KUMPULAN PUISI ESAI 23


memang tidak mengambil dan tidak pula setia
sepenuhnya pada bentuk syair (atau pantun), namun
juga tidak meninggalkan sepenuhnya bentuk puisi
tradisional Melayu itu. Tentu saja hal itu menunjukkan
adanya kesinambungan bentuk puisi tradisional dalam
puisi Indonesia modern, sekaligus menunjukkan adanya
usaha menyesuaikan bentuk puisi tradisional dengan
konvensi puisi Indonesia modern itu sendiri.
Yang kurang meyakinkan dari puisi esai Hanna
adalah struktur ceritanya, terutama caranya menyelesai-
kan cerita. Sebagai cerita, terasa kisah tiga dara Tionghoa
Singkawang itu belum selesai, tidak tuntas, atau
diselesaikan dengan cara yang “mudah” dan begitu
“mendadak”, khususnya akhir cerita Su Yin dan Li Na.
Su Yin tiba-tiba kabur ke Jakarta. (Ah, alangkah
beraninya seorang dara Singkawang berusia lima belas
tahun tiba-tiba merantau ke Jakarta). Sementara Li Na,
setelah ikut suaminya ke Taiwan tak ada kabar beritanya
lagi. (Tak ada kabar beritanya lagi? Ya, itu hanya cara
menyudahi riwayat Li Na). Dari cara menyudahi kisah
tiga dara Tionghoa ini, hanya cara mengakhiri kisah
Susan yang cukup meyakinkan. Setelah ikut suaminya
ke Taiwan, Susan dikisahkan sebagai bukan siapa-siapa,
disiksa oleh suaminya, bahkan dijual sebagai pelacur.
Maka, kalau Susan akhirnya bunuh diri, kita tahu
sebabnya —dan itu masuk akal.

24 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Karena puisi esai sejauh ini selalu mengisahkan
sebuah cerita, dalam menulis puisi esai seseorang
mungkin cenderung membayangkan menulis cerita
pendek (cerpen) sebagai genre prosa (fiksi), disadarinya
atau tidak. Jika puisi esai adalah cerita, maka dalam
hal cerita tak ada beda antara puisi esai dan cerpen. Tidak
mengherankan kalau kalimat dalam banyak puisi esai
panjang-panjang, dan hubungan antarkalimat bersifat
koheren sehingga membentuk satu bait yang
mengemukakan sebuah gagasan, sebagaimana paragraf
dalam cerpen. Di samping itu, kalimat-kalimatnya
cenderung denotatif dan “terang-benderang”. Memang,
jika sebuah cerita pendek disusun berlarik-larik
sebagaimana lazimnya puisi dan dilengkapi dengan
catatan kaki sebagaimana dituntut dalam puisi esai,
maka cerpen tersebut dengan sendirinya akan jadi puisi
esai. Dengan demikian, yang membedakan puisi esai
dari cerpen pada akhirnya adalah struktur fisiknya, di
samping catatan kaki tentu saja.3 Tapi bagaimanapun
puisi esai pertama-tama adalah puisi.

3
Selain bisa dibandingkan dengan cerpen (prosa), puisi esai dapat pula
dibandingkan dengan monolog (drama). Sebagaimana cerpen, monolog juga
mengandung cerita. Karenanya, puisi esai dapat pula berbentuk monolog.
Contoh puisi esai berbentuk monolog adalah karya Wendoko, “Telepon”,
yang juga terpilih sebagai pemenang hiburan, dimuat dalam buku puisi esai
Dari Rangin ke Telepon, dibicarakan oleh Acep Zamzam Noor.

KUMPULAN PUISI ESAI 25


Kecenderungan itu terlihat dalam puisi esai Arif Fitra
Kurniawan, “Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa”. Dengan
kalimat-kalimat yang bersih dan terang, juga dengan
sintaksis yang rapi, larik-larik puisi itu terasa sebagai
prosa yang puitis, dan karenanya ia lebih terasa sebagai
prosa dibanding puisi. Berikut ini saya kutip dua bait
(maaf, Arif, di sini saya susun tidak lagi sebagai bait puisi
tapi sebagai paragraf prosa, dengan mempertahankan
penggunaan huruf kecil yang tentu disengaja sebagai
pelanggaran atas konvensi, yang memang lazim
dilakukan penyair, namun tidak lazim dilakukan oleh
pengarang cerpen):


namamu waktu itu raisa. memang bukan nama
sesungguhnya, katamu, sekedar ingin menyamarkan
kesedihan, seperti yang selama ini senantiasa media
massa lakukan. seseorang merasa perlu diinisialkan,
bukan karena ingin mengungkapkan berdasarkan
kebohongan tapi memang seringkali ada yang mesti
sedikit ditutupi dari kenyataan.

percakapan-percakapan kita terus mendengung,
merambat berkilo-kilometer menempuh waktu dan
ingatan. menghantam pikiran, sampai aku sadar, aku
masih sendirian di pojok taman. rupanya engkau benar-
benar tidak datang. aku curiga kota ini sengaja menyem-
bunyikanmu, raisa. aku jadi merasa kecil, terlampau
kecil untuk mengeluarkan jeritan. suaraku membentur

26 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


udara dan kembali lagi tanpa ada yang menimpali.
kenapa tuhan menciptakan cara mencintai seperih ini.
….

Dengan mengubah struktur visualnya, maka puisi


esai Arif Fitra Kurniawan di atas akan menjadi cerpen.
Ini memang merupakan satu hal yang menarik secara
teoritis: di manakah batas puisi esai dan cerpen? Apakah
keduanya akhirnya hanya dibatasi oleh struktur visual,
yaitu berlarik-larik dan berbait-bait pada puisi esai dan
tidak pada cerpen? Kiranya puisi esai tersebut menunjuk-
kan adanya ketegangan antara puisi esai di satu sisi dan
cerpen di sisi lain —hal ini mengingatkan kita pada Putu
Wijaya yang kadangkala membaurkan cerpen dan esai
dalam cerpennya. Tapi kita tidak akan mendiskusikan
persoalan teoritis ini di sini, sebab bagaimanapun puisi
esai pertama-tama adalah puisi, yang tentu saja lebih
menuntutnya bercorak puitis tinimbang prosais.
Dalam pada itu, puisi esai Arief Setiawan, “Ngati”,
dibuka dengan bait yang cukup menjanjikan, dengan
rima akhir yang teratur (aaaa) dan metrum yang relatif
teratur pula:

Dari arah pantura ia. Menentang segala


yang dianggap biasa bagi perempuan seusianya
perempuan muda yang tak mau menyerah pada senja
pada arah di mana cahaya seakan menyerah tak kuasa
….

KUMPULAN PUISI ESAI 27


Selain rima dan metrumnya, yang menarik dari bait
pertama itu adalah personifikasi yang digunakannya.
Di situ, senja, arah, dan cahaya dipersonifikasi sedemi-
kian rupa, yang dengannya bait tersebut mengemuka-
kan suatu gagasan dengan metafor atau perbandingan.
Perempuan muda dibandingkan dengan cahaya; hidup
yang berat —yang dihadapi perempuan muda— diban-
dingkan dengan senja dan arah. Dikatakan bahwa
perempuan muda itu tidak mau menyerah pada senja,
tidak juga pada arah, sebagaimana cahaya menyerah
pada senja dan arah itu sendiri. Jadi, perempuan muda
itu bukanlah cahaya yang mudah menyerah pada senja
dan arah setiap hari. Personifikasi dan metafor tersebut
membangkitkan dimensi-dimensi emotif tentang sosok
perempuan muda dan situasi batin serta masalah hidup-
nya, juga mengaktifkan asosiasi dan imajinasi pembaca
dalam membayangkan segi-segi yang musykil tentang
perempuan muda itu.
Hal serupa terasa dari bait yang melukiskan pera-
saan Ngati —perempuan muda itu— saat mendengar
kematian ayahnya di kampung sementara dia bekerja
sebagai TKW di Hongkong:

...
Seratnya yang putih gugur ditiup angin dari surga
Wanginya yang sengit menggetarkan curah dari lubuk
sukma

28 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Bersama tangis yang luruh
Bunga kamboja jatuh di atas kuburan

Hanya degup jantung yang terdengar di ruangan


Meninju sesal yang tinggal kenangan
Ngati tak mampu menatap wajah sang ayah lagi
Lekang ditimbun jarak puluhan ribu mil yang
membentang
....

Sayangnya, penggunaan metafor tidak dimanfaatkan


secara maksimal dalam puisi esai ini. Nyaris tidak
ditemukan lagi metafor, yang sebenarnya bisa efektif
misalnya untuk menggambarkan suasana batin sang
tokoh yang sulit digambarkan secara denotatif. Jadinya
bahasa puisi esai tersebut secara umum terasa terlalu
“langsung”, tidak merangsang dimensi-dimensi emotif,
tidak pula menghidupkan asosiasi. Tapi bagaimanapun,
Arief berusaha menjaga rima akhir pada banyak larik
puisi esainya, yang meskipun sama sekali tidak teratur
tetap membuat puisi tersebut agak merdu didengar.
Hal serupa terlihat juga pada puisi Catur Adi
Wicaksono “Jejak Cinta Madun di Kota Sampit”. Lariknya
yang pendek-pendek memang efektif secara sintaksis,
namun tidak cukup efektif dalam menghidupkan
suasana, membangun ketegangan, menggambarkan
kerusuhan dan konflik perasaan Madun dan Serumpai.
Efektivitas bahasa puisi bagaimanapun tidak hanya

KUMPULAN PUISI ESAI 29


diukur dari sintaksisnya atau kata-katanya yang sangat
hemat, melainkan juga dan terutama dari fungsinya
dalam menghidupkan asosiasi dan imajinasi. Dalam
puisi, kata-kata memang tak perlu banyak, larik tak
harus panjang, tapi justru di situ efektivitas bahasa puisi
sangat diuji: sejauhmana dengan sesedikit mungkin
kata-kata puisi mampu mengemukakan sebanyak
mungkin hal. Dan tepat di situlah tantangan puisi esai
Catur Adi Wicaksono.
Dalam mengisahkan cerita, puisi esai Catur Adi
menggu-nakan dua sudut pandang, yaitu sudut
pandang pen-cerita dan sudut pandang aku (Madun).
Sudut pandang pencerita (diaan) digunakan untuk
mengisahkan selu-ruh cerita, yang sayangnya dalam
beberapa hal meng-abaikan logika cerita. Misalnya,
bagaimana Madun bisa kembali ke Sampit dengan
mudah dan aman, tanpa kesulitan apa pun, tanpa rasa
takut pula? Tetapi, adalah menarik bahwa sudut
pandang aku digunakan untuk melukiskan perasaan aku
(Madun) itu sendiri, misalnya saat aku harus angkat
kaki dari Sampit dan terpaksa berpisah dengan
kekasihnya, Serumpai. Hasilnya cukup menarik:

30 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT



Aku harus berkorban
Sekalipun arah mata angin berlawan
Aku akan tetap berjalan
Bukankah cinta sejati harus diperjuangkan?
Ya, seperti kapal ini
Ia berjuang melawan arus air untuk sampai ke tujuan
….

Sebagaimana beberapa puisi esai yang telah dibahas,


bahasa puisi esai Jenar Aribowo (“Suara-Suara Ingatan”)
juga terlalu denotatif. Bahasanya sederhana, sama
sederhananya dengan struktur ceritanya. Nyaris tak ada
konotasi atau asosiasi berarti yang dibangun oleh bahasa
yang seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat cerita
dan keseluruhan isi puisi. Sebagai puisi, bahasanya terasa
terlalu prosais: polisemi dan ambiguitas makna bahasa
tidak dimaksimalkan. Terutama dalam prosa non-fiksi,
bahasa memang harus menekan serendah mungkin
polisemi dan ambiguitas makna bahasa, agar presisi
pemahaman pembaca bisa dijamin. Sebaliknya dalam
puisi, bahasa justru harus mengaktifkan polisemi dan
ambiguitas, antara lain lewat konotasi dan asosiasi, justru
agar pemahaman dan pernafsiran ganda dimungkinkan,
atau nuansa dan dimensi perasaan jadi berlapis-lapis
tanpa batas.
Contoh bahasa puisi seperti itu bagaimanapun dapat
kita kutip dari puisi esai Jenar Aribowo juga, yang

KUMPULAN PUISI ESAI 31


menunjukkan keterampilan teknisnya dalam mengolah
bahasa namun sayangnya tidak dia manfaatkan secara
optimal dalam seluruh puisi esainya. Satu bagian puisi
esainya melukiskan perasaan Suti ketika mendengar
ayah atau ibunya menyatakan bahwa jadi miskin itu
menyedihkan. Pernyataan tersebut terngiang-ngiang di
telinga Suti. Arief melukiskannya dengan cara yang
cukup menarik:


“betapa menyedihkan menjadi miskin, Nduk.”
suara itu menggema jelas dari tabung lampu pompa
yang gosong
dari tembok-tembok usang kamarnya
kalender robek
kaca jendela yang bolong
bahkan dari lumut-lumut subur di bibir sumur

maka dengan berat hati ia dekatkan diri ke setiap gema ini


mendengarnya khidmat dengan dua bola mata yang basah
dan bersinar buncah —seperti pucuk kembang turi di
pukul setengah enam pagi
….

Catatan Kaki: Fungsi Praktis dan Kognitif


Puisi esai harus dilengkapi dengan catatan kaki,
berisi keterangan dan informasi tentang fakta, data, dan
sejenisnya yang merupakan konteks atau acuan faktual

32 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


fiksi yang disampaikan dalam tubuh puisi esai, sebisa
mungkin lengkap dengan sumber rujukannya. Adalah
wajar kalau muncul pertanyaan kenapa puisi esai harus
dilengkapi dengan catatan kaki, hal yang tidak begitu
lazim dalam puisi di mana pun. Meskipun bukan tidak
ada contohnya dalam puisi Indonesia modern, perta-
nyaan tentang keharusan adanya catatan kaki itu kadang
bernada skeptis. Suara skeptis tentang catatan kaki
dalam puisi esai cukup santer saya dengar dalam beberapa
diskusi, misalnya di Madura dan Bandung. Atas
pertanyaan tersebut kita bisa mengajukan pertanyaan
balik: mewakili kepentingan siapakah pertanyaan itu,
kepentingan penyair ataukah pembaca? Mengandaikan
pertanyaan itu mewakili kepentingan pembaca yang
skeptis, saya menjawab dengan gampang: abaikan catatan
kaki jika ia tak berguna apalagi mengganggu. Bagi saya
pribadi, catatan kaki puisi esai cukup bermanfaat, dalam
beberapa kasus bahkan sangat bermanfaat.
Pada hemat saya, catatan kaki dalam puisi esai pen-
ting juga diperhatikan, karena puisi dan catatan kakinya
merupakan dwitunggal: keduanya memang berbeda, tapi
sesungguhnya tak bisa benar-benar dipisahkan. Menurut
Denny JA, puisi esai adalah eksperimen menjembatani
fiksi (yang disajikan dalam puisi) dengan fakta (yang
disampaikan dalam catatan kaki, lengkap dengan

KUMPULAN PUISI ESAI 33


sumbernya). Itulah sebabnya, catatan kaki merupakan
keharusan dalam puisi esai. Sapardi Djoko Damono
(2012) dan Leon Agusta (2012) telah mendiskusikan
masalah catatan kaki dalam puisi esai Denny JA. Sudah
tentu bukan tak ada contoh puisi yang dilengkapi catatan
kaki dalam puisi Indonesia. Tapi menurut Sapardi, dalam
puisi esai Denny muncul tarik-menarik antara fiksi
(cerita) dan fakta (berita). Puisi esainya merupakan kisah
yang berkaitan dengan berbagai isu sosial dan budaya,
namun ia tidak ingin pembaca sekadar menikmati
kisahnya, melainkan juga “lebih paham isu sosial”. Kata
Sapardi kemudian, “Itulah hakikat catatan kaki yang
disertakan-nya.” Dengan kata lain, menurut Sapardi,
hakikat catatan kaki dalam puisi esai Denny adalah untuk
mendorong pembaca tidak saja menikmati fiksi yang
diciptakannya, melainkan juga memahami isu sosial yang
langsung atau tidak dirujuknya. Sementara itu, Leon
Agusta (2012) menilai, catatan kaki berperan sedemikian
rupa untuk menciptakan “paru-paru” bagi kisah-kisah
yang disajikan. Lebih jauh dia mengatakan, “Catatan kaki
menjadikan puisi esai hidup dan bernafas, bukan hanya
sebatas lingkungan masyarakat sastra saja, tetapi
menerobos ke tengah masyarakat luas. Catatan kaki
menyajikan bukan hanya keasyikan menikmati dan
berpikir, tetapi juga banyak kejutan.”

34 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Tidak seperti catatan kaki dalam karya ilmiah, yang
menyebutkan sumber rujukan dan hanya sedikit sekali
memberikan keterangan tambahan, hampir semua
catatan kaki dalam puisi esai memberikan informasi
penting berkaitan dengan tema puisi esai itu sendiri.
Informasi tersebut merupakan konteks faktual, data dan
fakta, acuan budaya atau konseptual, informasi sejarah
yang relevan, dan lain-lain, termasuk sumber. Informasi
yang diberikannya pun relatif kaya dan dalam, menun-
jukkan hasil kerja riset atau penelitian lapangan yang
cukup serius. Dalam arti itu, catatan kaki merupakan
rekaman sejarah. Sudah tentu ia memberikan penge-
tahuan dan wawasan tersendiri terutama bagi pembaca
awam.
Bagi saya pribadi, catatan kaki dalam puisi esai ber-
manfaat, dalam beberapa kasus bahkan sangat berman-
faat. Ia mempermudah dan membantu saya untuk
memahami puisi esai dengan baik. Khususnya
menyangkut puisi esai yang mengangkat tema yang tak
begitu saya kenal apalagi sama sekali baru, catatan kaki
bahkan memberikan pengetahuan dan wawasan baru,
yang tentu saja memberikan suatu konteks pada puisi
esai. Lebih dari itu, terutama berkaitan dengan tema-
tema yang tidak saya kenal dengan baik, catatan kaki
tak bisa diabaikan sama sekali untuk memahami puisi

KUMPULAN PUISI ESAI 35


esai itu sendiri dengan lebih baik. Sekiranya saya merasa
cukup tahu tentang konteks faktual sebuah puisi esai,
atau saya merasa tak perlu tahu konteks faktualnya, toh
saya bisa mengabaikan informasi yang diberikan catatan
kakinya.
Membaca catatan kaki akhirnya merupakan
kenikmatan tersendiri. Dalam beberapa kasus, bahkan
saya lebih menikmati catatan kaki dibanding puisinya,
tentu kalau puisi itu sendiri buruk. Dalam konteks itu,
catatan kaki kadang-kadang berfungsi sebagai sekoci:
ia menjadi penyelamat ketika terjadi sesuatu yang gawat
pada kapal pesiar. Kalau puisi tak bisa memberikan
kenikmatan estetis; setidaknya masih ada harapan
catatan kakinya bisa memberikan kenikmatan kognitif.
Memang, sebagaimana puisi esai sejauh ini belum
benar-benar mencapai apa yang kita idealkan, catatan
kaki juga seringkali mengecewakan, antara lain ketika
informasi yang diberikannya tidak memadai, kurang
relevan, berlebihan, atau sumber rujukan yang diguna-
kannya bukan sumber kelas satu, yakni bukan sumber
primer —dan sejauh ini banyak puisi esai yang tidak
menggunakan sumber-sumber primer. Bagaimanapun,
puisi esai yang bagus tentu saja bagus dalam keseluruh-
annya, baik puisi maupun catatan kakinya. Dengan
demikian, puisi esai yang berhasil niscaya akan

36 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


memberikan kepuasan estetis sekaligus kepuasan
kognitif.
Dengan catatan kaki, puisi esai tidak membiarkan
pembaca meraba-raba sendiri dalam mencari konteks
faktual yang diacunya. Pada saat yang sama, puisi esai
tidak mengabaikan fakta yang merupakan sumber
inspirasi atau konteks historisnya. Tentu saja pembaca
akan menikmati dan memahami sebuah puisi esai sesuai
dengan inferensinya, yang mungkin sama mungkin juga
berbeda dengan informasi yang diberikan catatan kaki
puisi esai itu sendiri. Jika inferensi pembaca berbeda
dengan informasi yang diberikan catatan kaki sebuah
puisi esai, maka itu berarti puisi esai memberikan
inferensi lain yang pastilah memberikan kepada sang
pembaca kemungkinan lain untuk menikmati dan
memahami puisi esai itu sendiri. Dirumuskan dengan
cara lain, informasi yang diberikan catatan kaki akan
jadi inferensi pembaca yang dengannya ia bisa
memahami puisi esai dengan lebih baik.
Konsekuensi dari itu semua adalah bahwa puisi esai
mengandaikan kecanggihan literer sekaligus kecanggih-
an kognitif. Yang pertama adalah disiplin kepenyairan
(kesusastraan); yang kedua adalah disiplin keilmuan —
secara formal dan dalam sistem yang ketat disiplin
keilmuan dilembagakan terutama oleh dunia akademis.

KUMPULAN PUISI ESAI 37


Kecanggihan literer menyangkut penggunaan peranti
sastra (puisi dan prosa fiksi) secara efektif dan maksimal,
yang diaktualkan dalam puisi; kecanggihan kognitif
menyangkut pengetahuan seluas dan sedalam mungkin
tentang hal-hal faktual, historis, dan informatif yang
relevan dengan tema puisi esai, yang secara terukur
diaktualkan dalam catatan kaki. Kalau puisi esai adalah
sebuah eksperimen menjembatani fakta dan fiksi,
sebagaimana dikatakan Denny JA, maka puisi esai
mengandaikan juga satu hal: semakin canggih disiplin
kesusastraan sebuah puisi esai dan semakin canggih
disiplin kognitif catatan kakinya, maka semakin canggih
pula fakta dan fiksi terjembatani.

Akhirul Kalam
Sebisa mungkin saya telah mendiskusikan 5 puisi
esai dalam buku ini, dengan menekankan 3 aspek yang
pada hemat saya merupakan hal sangat penting dari
gagasan dan fenomena puisi esai. Karenanya, langsung
atau tidak, pembahasan berkaitan juga dengan puisi esai
secara umum.
Pertama, tema puisi esai bukan saja beragam,
melainkan juga memberikan dimensi-dimensi baru pada
puisi Indonesia modern, kalau tidak membawa tema
yang baru sama sekali. Puisi esai telah menyajikan tema-

38 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita
temukan dalam puisi Indonesia. Tentu saja hal itu
menggembirakan. Yang lebih penting lagi, karena tema
puisi esai selalu merupakan masalah sosial, maka puisi
esai mengekspresikan tanggung jawab moral dan
komitmen sosial puisi Indonesia mutakhir. Meskipun
merupakan unsur intrinsik puisi, dalam puisi esai tema
selalu berkaitan dengan fenomena faktual di luar puisi.
Puisi esai dalam buku ini mengemukakan kisah berbeda-
beda, berikut korban utamanya masing-masing, yang
semuanya mengacu pada isu-isu sosial. Walaupun
masalah sosial yang diangkat setiap puisi esai berbeda-
beda, namun korban utama dan pertama dari semuanya
sama: perempuan —dengan hanya satu pengecualian.
Kedua, untuk melihat keberhasilan puisi esai dari
sudut estetika, tentu saja pertama-tama kita harus
melihat unsur-unsur intrinsiknya. Yakni sejauhmana
berbagai peranti puisi digunakan secara maksimal. Akan
tetapi, intrinsikalitas puisi esai lebih kompleks dibanding
intrinsikalitas puisi pada umumnya. Di samping
mengandung unsur-unsur intrinsik puisi, puisi esai
mengandung unsur-unsur intrinsik cerita (prosa).
Karena puisi esai menyajikan cerita (fiksi), maka tentu
saja ia mengandaikan koherensi unsur-unsur intrinsik
cerita. Dengan demikian, dalam intrinsikalitas puisi esai

KUMPULAN PUISI ESAI 39


terkandung pula intrinsikalitas cerita, yang perlu dilihat
secara bersama-sama dalam mengkaji puisi esai. Dalam
konteks itu, ada puisi esai yang meyakinkan dilihat dari
unsur-unsur intrinsik puisi, namun kurang meyakinkan
dilihat dari intrinsikalitas cerita. Ada pula puisi esai yang
meyakinkan dalam hal koherensi cerita, namun kurang
meyakinkan sebagai puisi. Puisi esai yang lain kurang
meyakinkan baik dilihat dari intrinsikalitas puisi maupun
intrinsikalitas cerita.
Ketiga, karena catatan kaki merupakan keharusan
dalam puisi esai, bahkan merupakan unsurnya yang
sentral, maka catatan kaki merupakan unsur penting
pula dalam puisi esai. Catatan kaki punya fungsi praktis,
antara lain memberikan informasi sebagai konteks
faktual cerita atau gagasan yang dikemukakan puisi
esai. Catatan kaki bahkan bisa memberikan informasi
baru dan aktual, yang akan menjadi inferensi pembaca
dalam memahami puisi. Kalau puisi memberikan
kepuasan estetis, catatan kaki memberikan kepuasan
kognitif. Sebagaimana puisi menuntut digunakannya
peranti puitik secara maksimal, catatan kaki menuntut
digunakannya disiplin keilmuan secara maksimal pula,
antara lain studi atau riset sedalam dan seluas mungkin
tentang suatu subjek atas dasar sumber-sumber primer.
Dengan demikian, puisi esai yang berhasil akan

40 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


memberikan kenikmatan estetis dan kognitif sekaligus.
Apa yang dicapai puisi esai sejauh ini barangkali
belum benar-benar memuaskan. Tapi bagaimanapun,
gagasan puisi esai —yang belum lagi setahun
diluncurkan— telah mencapai perkembangan berarti,
tidak saja dalam bidang karya kreatif, melainkan juga
dalam bidang kritik dan pemikiran sastra Indonesia. Dan
itu menerbitkan harapan-harapan baru, harapan mana
merupakan sebuah horison: harapan kita selalu bergerak
maju begitu harapan sebelumnya telah dicapai. []

KUMPULAN PUISI ESAI 41


DAFTAR PUSTAKA

Acep Zamzam Noor (editor). 2013. Puisi Esai: Kemung-


kinan Baru Puisi Indonesia. Jakarta: Jurnal Sajak.
Denny JA. 2012. “Atas Nama Cinta: Isu Diskriminasi
dalam Puisi Esai”, Pengantar buku puisi esai Denny
JA, Atas Nama Cinta. Jakarta: Renebook.
Jamal D. Rahman. 2012a. “Percobaan Seorang Ilmuwan
Sosial” dalam Horison, Juli 2012.
Jamal D. Rahman. 2012b. “Fiksionalisasi Fakta: Masalah
Teoritis Puisi Esai”, Pengantar buku puisi esai
Ahmad Gaus, Kutunggu Kamu di Cisadane.
Jakarta: Komodo Books. Dimuat juga dalam
Jurnal Sajak, No. 4, 2012.
Leon Agusta. 2012. “Catatan Sekilas Tentang Puisi Esai Denny
JA” dalam Horison, November 2012.
Sapardi Djoko Damono. 2012. “Memahami Puisi Esai Denny
JA” dalam Denny JA, Atas Nama Cinta. Jakarta:
Renebook.

42 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Singkawang Petang

Puisi Esai
Hanna Fransisca

KUMPULAN PUISI ESAI 43


44 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Singkawang Petang

Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang.


Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan
dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke
pusat semesta,
o dewiku Kwan Im,1 Singkawang menggema dari dua
susumu,
hingga ketemu batu api
di pusar dara.

“Adik, naik kapal ke laut Taiwan, kupegang rambutmu


di bahu Abang. Bulan di geladak
lebih indah dan terang
dibanding langit Singkawang.”

1
Dewi Kwan Im adalah Dewi yang tidak mengenal putus asa, penuh Welas
Asih, atau dikenal juga sebagai Bodhisatva Avalokitesvara dalam ajaran
budhis.

KUMPULAN PUISI ESAI 45


(Bukan cinta mendayung perahu, Abang. Bukan.
Tapi terang kota dan gaun sutra, yang kaujanjikan
di Tanah Seberang. Akan kulumat bintang gemintang,
seribu surga seratus permata, lantaran dara Singkawang
pergi bersama Abang, semata
hanya untuk berperang).

“Lihat, lihat, buih ombak mencipta jarak.”


Lelaki sayang naik perahu. Di atap layar melihat peta.
“Kemarilah Adik, berhimpit Abang di atas sini.
Angin berdesau
dari utara, biarkan rambutmu
seliar naga.”

“Alangkah galak panas geladak


Dupa di gunung jadilah permata,
dupa di pantai jadikan surga.
Bukalah rokmu,
bukalah dadamu.
Di Tanah Seberang
segala Dewa akan kausayang.”2

2
Mitos yang dipercaya oleh orang-orang Singkawang, bahwa Negeri Seberang
(Taiwan) adalah negeri para Dewa, dimana gadis-gadis yang beruntung bisa
menikah dengan pria Taiwan akan dilimpahi rezeki yang makmur, serta
keselamatan atas restu para Dewa.

46 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Sebab dentang Singkawang sepanjang petang,
alis seribu dara
tegak membara. Dari rahim kulit Tionghoa, kemarau
gundul pepohon abu.
Di lorong pecinan kota dan desa, Apak dan Amak
menghunus batu melempar dupa,
di gerbang vihara mereka tersedu: “Cukup kami saja
pemikul samsara abadi,
dari leluhur sudra di kubur bisu —tanpa arak tanpa
warisan harta.3
Maka wahai Dewa Penjaja Asmara, Dewa Bumi
Pemberi Rezeki, Thian Agung Pemelihara Surga
Neraka, jadikan anak dara kami cahaya wajah pualam,
kulit terang purnama malam, payudara selembut
semangka dalam. Ajarkan mereka
asmara pemikat sukma, sisipkan azimat lezat dari
vagina seliat naga. Biarkan
mereka pergi dibeli lelaki, agar kami dilimpahi rezeki.”4

3
Kuburan yang makmur, ditandai oleh kemegahan serta banyaknya
persembahan. Hal itu juga menandakan tingginya derajat leluhur yang
dikubur, dan menentukan enak atau tidaknya mereka di alam kubur. Leluhur
yang nyaman hidup di alam kubur dipercaya dapat memberikan berkah
kemurahan rezeki bagia nak-anaknya.
4
Ada banyak orangtua di Singkawang yang mengharapkan agar gadis-gadisnya
bisa dipinang oleh lelaki Taiwan. Mereka percaya bahwa nasibnya akan
terangkat jika salah satu anak mereka bisa dipinang dan dibawa ke Taiwan.
Untuk itu, mereka bersembahyang di kuil secara khusus untuk meminta
agar Dewa memberi restu.

KUMPULAN PUISI ESAI 47


(Bukan cinta mendayung perahu, Abang, bukan,
tapi terang kota dan gaun sutra, yang kaujanjikan
di Tanah Seberang. Akan kulumat bintang gemintang,
seribu surga seratus permata, lantaran dara Singkawang
pergi bersama Abang, semata
hanya untuk berperang).

Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang.


Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan
dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke
pusat semesta,
o dewiku Kwan Im, Singkawang menggema dari dua
susumu,
hingga ketemu batu api
di pusar dara.

Akulah Amoi Petang serigala garang.


Kupanggul sabda dari bukit gundul tempat leluhur
terkubur, moyang abadi
penyimpan pesan perempuan setia, “Moi cucuku, dua
susumu kelak:
satu buat lelaki, satu buat anak lelaki. Tempatmu
duduk di depan Dewa Tungku,

48 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


bersama abu. Menunggu umur menyatu, hingga tiba
lelaki berharta
membelimu dengan perkasa. Ia akan memukulmu, ia
akan menidurimu.
Jangan kaubilang tak suka, sebab perempuan Tionghoa
tak harus punya rasa.”5

Di Singkawang gadisku matang. Kelokan sungai


menjelma kerling, ombak dan pasir menyeru rindu.
Angin di bukit
sepenuh asmara. Lelaki remaja perempuan dara, di
lorong madu tempat
bertemu. Dentang kelontang lonceng berdentang,
gedebur tambur dupa vihara,
ombak di teluk biarkan laju: kupungut satu, kutabur
mata seribu.

Peluklah Koko
Rebahlah Amoi

5
Nasihat dari leluhur, yang mengharuskan perempuan selalu tunduk dan
patuh di bawah kekuasaan lelaki. Anak perempuan sama sekali tidak punya
suara dalam keluarga.

KUMPULAN PUISI ESAI 49


Tapi rinduku dibelah tungku.
Amak memaku jantung di bahu: “Kaumakan cinta
remaja kencur, Moi? Biar kau mati. Biar Apakmu
mati. Biar Amakmu mati. Apa dibilang
tetangga bertandang? Apa dibilang kerabat mendekat?
Biar hidupmu hancur
biar susumu lebur!”
Tapi rinduku dibelah tungku.
Apak menyatu di dalam paku. Tulang belikat
digerus pekat, kepala hitam
pertanda kiamat. Ia bergelut kotoran babi dalam
sehari, seminggu dua makan terasi:
ditumbuk garam, vetsin dan nasi. Tak ada ladang
tempat menukar tulang. Tak ada
pasar tempat mengadu lapar. Di bahu palu memaku:
menatap kotoran got di lubang kubang. Ia bilang:
“Kita orang miskin. Minggu depan Mak Comblang
kuundang
datang.6 Usia lima belas sangat disuka. Bukankah kau
tak mau
jadi perawan tua?”

6
Mak Comblang adalah istilah untuk menyebut agen perjodohan. Agen-
agen ini biasanya berkeliaran untuk mencari gadis-gadis remaja, dan
menjodohkannya dengan pria-pria Taiwan yang datang ke Singkawang.

50 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Tapi rinduku dibelah tungku.
Di rembang petang minggu kedua. Lelaki pengunyah
pinang datang bertandang.7
Aduhai dentang Singkawang. Seribu kuil membakar
dupa, seribu sumpah dibakar
neraka: bukankah ia terlalu tua? Mata keriput berlipat
birahi, dari umur berbau kubur.
Menarilah wahai samsara. Dosa dan dukana,
terhempas dara di ceruk padas. Genderang Dewa
menabuh perang. Di ladang-ladang, hamparan
jagung batang kerontang.
Tanah retak jalanan simpang. Perawanku.
Perawanku. Ada kelamin menggantung di kaki renta.
Aduhai dara Singkawang, tataplah muka jadikan
suka. Abang menunggu di negeri surga.

“Ikutlah ke Negeri Seberang dengan Si Abang, Moi


putriku sayang, lima belas juta
rupiah uang susu akan dibayar Si Abang, lunas di tangan
tanpa potongan utang.”8

7
Rata-rata lelaki Taiwan memiliki kebiasaan mengunyah pinang, lebih-lebih
para pria tua. Maka istilah “pengunyah pinang” sangat dikenali di
Singkawang, yang bisa juga diartikan sebagai pencari jodoh.
8
Uang susu adalah mahar yang diberikan lelaki Taiwan kepada kedua orangtua
gadis. Harga mahar yang sepenuhnya menjadi hak milik orangtua gadis,
ditentukan berdasarkan tawar-menawar. Biasanya berkisar antara 5 hingga
15 juta rupiah, tergantung pada “kualitas” gadis yang ditawarkan, serta
kedudukan pria yang menawar.

KUMPULAN PUISI ESAI 51


“Terimalah tangan gagah Si Abang, Moi putriku
sayang. Bukankah kau senang
jika tetangga datang bertandang, dan bertanya
parabola siapa,
atap seng pengganti rumbia milik siapa,
piring dan gelas kaca punya siapa,
serta daging babi cincang dihidang di meja siapa.9

Peluklah Koko
Rebahlah Amoi

Akulah Amoi Petang serigala garang.


Kupanggul sabda dari bukit gundul tempat leluhur
terkubur, moyang abadi
penyimpan pesan perempuan setia, “Moi cucuku, dua
susumu kelak:
satu buat lelaki, satu buat anak lelaki. Tempatmu
duduk di depan Dewa Tungku,
bersama abu. Menunggu umur menyatu, hingga tiba
lelaki berharta

9
Parabola, atap seng, piring dan gelas kaca, adalah identitas kebanggaan
yang menandakan bahwa mereka kaya, atau setidaknya harus dianggap
kaya. Benda-benda itu memiliki gengsi yang tinggi di mata masyarakat.
Biasantya, orangtua yang telah berhasil menjodohkan anaknya dengan lelaki
Taiwan, dan telah menerima uang susu atau mahar, mereka akan segera
memasang antena parabola sebagai tanda bahwa mereka sukses.

52 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


membelimu dengan perkasa. Ia akan memukulmu, ia
akan menidurimu.
Jangan kaubilang tak suka, sebab perempuan Tionghoa
tak harus punya rasa.”

....
Aku lari nuju Jakarta

Li Na Adikku,
Susan Adikku:

Pucuk awan tak punya kaki. Matahari tetap pergi


meski tak ingin pergi. Bulan bundar langit purnama.
Cahaya senja
di bandar kuala. Semua tetap pergi.

Kenapa kau tak berani pergi


mencari diri
sendiri?

KUMPULAN PUISI ESAI 53


Li Na. Li Na.
“Sejak Cece pergi, Mbak Coblang
sering berkunjung ke rumah kami,” katamu dalam
surat sembunyi.
Usia tiga belas. Di liang pintu, mengintip Susan yang penuh
kembang. Di gorden jendela, engkau:
menatap luas dunia. Alangkah mesra pucuk angsana,
dua burung
jantan betina, membawa mesra entah ke mana. Di jalan
sering mencuri mata, ketemu Mei Lan: bibir ranum,
pipi halus aroma
cemburu (ia yang dipinang minggu lalu). Di warung
kopi bertanya Su Yin:
“Engkau cantik! Seperti Mei Lan.
Aku mau, seperti Mei Lan.“
“Aku Amoi. Engkau Amoi.
Kulitku gading. Kulitmu gading.
Namaku Su Yin. Namamu Li Na.
Aku juga
telah dipanjar lima juta jumlahnya, bulan depan usia
dua belas,
menikah nanti di Negeri Seberang. Tidakkah kaulihat,
atap rumahku kini
tumbuh parabola?“

54 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Li Na. Li Na.
Usia tiga belas. Berlari girang kupu-kupu
riang. Burung di dahan menanti pulang. Alangkah
lapang
langit Singkawang.
Ribuan amoi berkulit terang, siap dipinang
menuju seberang.

Mak Comblang. Mak Comblang.


Garam di laut telah lama surut. Ubi dan talas tak
cukup tuntas.
Lapar menggema di tebing runtuh. Tapi Dewa
menurunkan dada, pada gadis belia
seranum semangka. Alangkah lapang
langit Singkawang
ribuan Amoi berkulit terang, siap dipinang
menuju seberang.

Li Na. Li Na.
Pangeran berkuda, lihat ke lembah. Ada putri
berumah perak, berbaju sutra
bertahta mutiara. Dipuja seribu Dewa, dilumur madu
pria perkasa. Aku ingin
anggur dan apel, katamu.
Aku ingin kamar bunga dan kupu-kupu, katamu.

KUMPULAN PUISI ESAI 55


Aku ingin menjadi Dewi, dilumur harta punya segala!
Terbanglah harum rambutmu ke langit ungu.
Betismu panjang, lehermu jenjang.
Ada lesung siput di pipi, ada binar bintang di mata,
ada cahaya dari doa
yang dipanjatkan ibu di muka vihara: “Jadikan anak
dara kami cahaya
wajah pualam, kulit terang purnama malam,
payudara selembut semangka dalam.
Ajarkan mereka asmara pemikat sukma, sisipkan
azimat lezat dari vagina seliat naga. Biarkan mereka
pergi dibeli lelaki, agar kami dilimpahi rezeki.”

Susan:

Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang.


Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan
dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke
pusat semesta,
o dewiku Kwan Im, Singkawang menggema dari dua
susumu,
hingga ketemu batu api
di pusar dara.

56 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Engkau naiki
sayap burung api, yang terjun
dari lantai
sepi
dan aku
ditinggal di sini, menatap matahari
sendiri

...
“Mak Comblang sering berkunjung ke rumah kami,
semenjak Cece pergi,” katamu juga
dalam surat sembunyi.
Tajam belati.
Ketika engkau juga pergi. Tapi bukan
seperti matahari.

Susan. Susan.
Ada gagak di malam kubur. Apak dan Amak menyilet
nadi, mengutuk guntur:
“Anak durhaka, jika kau meniru kakakmu. Lebur susumu.
Hancur kelaminmu.10 Empat belas tahun usiamu, Moi.
Matilah Amak.
Matilah Apak.
Matilah.” Ai, Dewiku Kwan Im.

10
Kutukan kemarahan yang biasanya paling menakutkan bagi gadis-gadis
Singkawang. Kutukan ini akan terlontar jika batas kemarahan sudah tidak
bisa ditolelir.

KUMPULAN PUISI ESAI 57


Si Tua Renta memikul mimpi birahi. Ke Taiwan
kapal kami menuju. Menjadi suami-istri. Seperti gagak
di malam kubur. Demi Apak demi Amak. Bau
udara mulutnya, ai, mengapung tinja, ludahnya
memaki, memanjat susu.
Di rumah seberang: ia papa, tanpa cahaya. Ai, Dewi
Kwan Im:
Suamiku. Suamiku. Aku telah
menjadi pelacur bagi utang dan judi
berlipat umur.

Di Negeri
Seberang, ia bukan
siapa
siapa.

Di negeri
seberang, ia lelaki
penuh dengki
dan sakit hati

Di Negeri
Seberang, ia paku
tubuhku, pada lampu
malam biru, dan menjual kelaminku,
pada buruh zina
di pekuburan hina

58 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Susan. Susan.
Engkau naiki
sayap burung api, yang terjun
dari lantai
sepi
dan aku
ditinggal di sini, menatap matahari
sebelum engkau pamit
bunuh diri

Lina:

Adalah terang Singkawang. Kuda terbang


membawamu
pada tembang
kasmaran. “Ajaklah Adik ke Negeri Taiwan, Abang,
bahkan langit di geladak, lebih indah
dari hanya
langit Singkawang.”

Pada dua burung jantan dan betina. Pada pucuk


angsana dua.
Dari negeri jauh,suaramu menjauh. Kapal perahu,

KUMPULAN PUISI ESAI 59


sunyi udara, angin debu panas cuaca, tak lagi
kini jadi pertanda. Ke mana benang mencari layang.
Jejakmu lenyap dalam
ingatan. Hujan kemarau. Debu dan lumpur menyudut
di pintu dapur. Adakah
jamkai dan kaki babi akan datang di malam imlek di
meja Amak?11 Adakah arak
di hari Chengbeng akan dikirim di kamar Apak?12
Pada burung dan angsana,
sayap kupu di dahan-dahan.

Padahal engkau melangkah tenang, saat dipinang


bunga dan
baju pengantin. Padahal engkau melambai riang, saat
lelakimu mencium
wangi dermaga. Senyum remaja gadis belia,
meruntuhkan mega-mega. Tiga belas usiamu, dara
Singkawang.

11
Jamkai (ayam kampung jantan yang dikebiri) dan kaki babi adalah
persembahan wajib (dalam tradisi lama) dari menantu laki-laki pada
mertuanya pada hari perayaan seperti Imlek, Pecun, Moon Cake.
12
Chengbeng adalah hari sekar. Hari dimana anak-anak menunjukkan rasa
baktinya pada orangtua yang telah tiada dengan memberikan perlimpahan
jasa berupa persembahan berupa berbagai hidangan di atas kuburan orangtua
mereka.

60 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Vihara Cikung. Kuil Bumi Raya. Simpang empat
lorong kota. Teluk dan pasir.
Sungai dan bukit. Lembah hutan semak belukar.
Ladang kering.

Jejakmu
tak ada
Di mana-mana.

Di rumah deru, kotamu berdentang sepanjang petang.


Deretan toko dan jalan simpang. Kuil naga mengaumkan
dupa, menuju sunyi bagi pertapa. Sungai mengalir ke
pusat semesta,
o dewiku Kwan Im, Singkawang menggema dari dua
susumu,
hingga ketemu batu api
di pusar dara.

Singkawang, September 2012

KUMPULAN PUISI ESAI 61


62 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Ngati

Puisi Esai
Arief Setiawan

KUMPULAN PUISI ESAI 63


64 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Ngati

Dari arah pantura ia. Menentang segala


yang dianggap biasa bagi perempuan seusianya1
perempuan muda yang tak mau menyerah pada senja
pada arah di mana cahaya seakan menyerah tak kuasa

Ngati namanya. Nama yang tak biasa di telinga kaum


ibu kota.
Betapapun namanya kan selalu indah di mata kedua
orangtua

1
Jalur pantura dengan praktek prostitusi terbuka sudah lama ada. Wanita
panggilan juga bisa didapatkan dengan mudah di jalur pantura. Cukup
telepon dan negosiasi harga. Setelah ada kesepatan, maka PSK akan datang
di mana pun Anda berada. Sumber: http://berita.liputan6.com/read/266308/
Prostitusi.Rumahan.ala.Pantura.
Sepasang kakak-beradik, sebut saja Lala dan Lili, adalah PSK yang sejak
remaja menjalankan profesinya. Awalnya, sang kakak, Lala, yang terjerumus
ke kehidupan malam dengan menjadi pelayan tamu cafe. Perlahan tapi
pasti, Lala, menjelma menjadi PSK dengan alasan penghasilan yang lebih
besar dibandingkan penghasilan seorang pelayan.

KUMPULAN PUISI ESAI 65


Ya, akan selalu tetap indah! Seindah riwayat para dewa
pada alur Valmiki dalam kisah epik sepanjang
manusia pernah ada

Kenapa tak kauganti saja namamu?


sebut saja Dewi, Sinta atau Veti? Dekat dengan nama
aslimu!
Kata orang nama itu doa, kadang bisa membawa
keberuntungan –
walau sebagian lainnya menganggap tiada bermakna2

biar saja, namaku tetap Ngati… Ngati… Ngati!


Tegasnya pada sang bibi. Tempat di mana sang dara
bernaung merengkuh hirup di Jakarta. Mendayung,
mengarungi tantangan
dengan sebilah mimpi yang digenggamnya kuat-kuat

2
"What’s in a name? That which we call a rose by any other name would
smell as sweet” —William Shakespeare.

66 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


2

Waktu itu tahun 1996. Impiannya untuk mengecap


tanah ibu kota
digenapi setelah ia lulus SMEA. Dengan nilai di atas
rata-rata,
ia pun meluncur naik pit3 ke toko kertas di desa sebelah.
surat lamaran dan riwayat hidup digarapnya dengan
tulisan tangan.4
Dikayuhnya pit jengki, meluncur ke arah sebuah tugu
harapan.
Di sana! Jarak bermil-mil jauhnya umpama
selangkah yang sudah lumrah

Ia terjang angin yang sengit bersama segala iming-iming


dibungkamnya mulut manis sang paman —anak
buah kepala desa—
yang berniat memasukkan Ngati ke PJTKI garapannya5

Na’udzubillah. Ttidak, Bunda, saya tak sudi jadi


perempuan seperti itu!

3
Bahasa Jawa, artinya: sepeda.
4
Waktu itu masih banyak perusahaan yang meminta pelamar menulis
lamarannya dengan tulisan tangan.
5
Calo TKI dalam http://www.pikiran-rakyat.com/node/159705. Gerakan
PJTKI dalam merekrut calon TKI di desa-desa tergolong masif. Mereka
memiliki struktur perekrut hingga menjangkau pelosok perdesaan. Para
sponsor nakal itu membujuk warga agar bersedia menjadi TKI dengan
dijanjikan gaji besar.

KUMPULAN PUISI ESAI 67


3

Pergi setelah azan subuh ia. Dibantu sang ayah


dengan napas terengah
Batuk yang telah menahun, tak kunjung dapat sirna.
Sedang berobat ke dokter, umpama kata ganti —
‘uang yang terbuang percuma.’

Baik-baik kau di sana bersama Bi Par!


Ingat pesan orangtua dan guru ngajimu, Nduk!
wejangan sang ayah di terminal kecil itu
melarung semua harap yang terajut.
Bersama embun yang resah
pada bus yang sudah paruh baya

Baik, Ayah. Betapapun, kau tahu keputusanku


sudah selangkah lebih maju dibanding perempuan
mana pun
seusiaku di desa itu. Gumamnya yang tak pernah sempat
didengar sang ayah. Terbenam oleh haru yang
memaksanya
untuk diam membatu. Namun anehnya sang ayah
seakan mengiyakan
suara gaib itu…

68 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Assalamualaikum…!
Menjadi kata yang syahdu, penutup hubungan raga
bagi keduanya
Bersama angin kering dan debu yang hinggap di daun
siwalan6
Pergi ia dari sebuah titik kecil di daerah pantura pulau
jawa
Perpisahan yang tak sedikitpun mereka kenal ujungnya
Selaksa mimpi yang menghijab seluruh panca indra

Bibir merah cabai. Rambut hitam yang tergerai


Bedak putih di pipinya kini terurai
Serupa genangan anak sungai yang berderai
Ia menari dalam tawa orang-orang berkulit kuning
langsat
Di depan rumah makan dekat Victoria Park

6
Tumbuhan yang banyak terdapat di daerah pantura, dikenal dengan pohon
lontar. Dijadikan inspirasi juga bagi perajin batik sebagai motif yang unik.

KUMPULAN PUISI ESAI 69


Yang ada di matanya hanya kenangan:
Sebuah asa semasa duduk di bangku sekolah dasar sd
inpres dulu
Tentang bebek peliharaannya yang berjumlah puluhan
Tentang jahil sang kakak-kakak pada adik
yang masih ingusan dekat tambak juragan ikan

Menarilah bersamaku…
Ayo berdendang, hoi! Matahari jangan malu-malu
kau takut nyalamu sirna diguyur hujan?
Ayo sini menari bersamaku!
Teng…tang…tong… teng… tong… teng…tong…teng….
Wet… takowet… kowet… kowet
Wet… takowet… kowet… kowet….
Hahahaha…hahaha… bodoh kalian semua!
Isone mung ndeloke ae7

yang ada di matanya hanya kenangan


Tentang lelaki yang pernah memanjat degan
Tentang permainan jarit dan pasar-pasaran di depan
halaman
bersama Sri, Noh, dan Situm ketika mereka masih ingusan

Aku enggak mau pulang!

7
Bahasa Jawa, artinya: bisanya hanya melihat saja!

70 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


5

Sore itu setelah delapan tahun tinggal di Jakarta


Ia pamit pada sang bibi untuk menengok kedua
orangtuanya
di pantura. Setelah mengetahui habis kontrak kerja,
Ia pun berniat untuk tak lagi menginjakkan kakinya
di tanah ibu kota

Beginilah orang kota, sama sekali tak berperasaan


Sistem outsourcing! Habis manis sepah dibuang!8
Buruh selalu kalah. Tak ubahnya sapi perah
Bedanya kepalaku tak dipenggal
Pekiknya dalam hati menghunjam pada kosong
Pada dinding kamar yang bergeming

8
Outsourcing di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No 13 Tahun 2003).
Berdasarkan hasil penelitian PPM (2008) terhadap 44 perusahaan dari
berbagai industri), terdapat lebih dari 50% perusahaan di Indonesia
menggunakan tenaga outsourcing, yaitu sebesar 73%. Sedangkan sebanyak
27%-nya tidak menggunakan tenaga outsourcing dalam operasional di
perusahaannya. Hal ini menunjukkan perkembangan outsourcing di
Indonesia begitu pesat. Perkembangan outsourcing ini didorong dengan
adanya Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003.
Dalam Undang-Undang tersebut tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk
menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja
(outsourcing).

KUMPULAN PUISI ESAI 71


Hanya potret kusam dirinya
bersama Sri, Noh, dan Situm ketika mereka masih ingusan
tersenyum mengenakan daster ia
rambut dikepang dua
beberapa gigi susu yang sudah tanggal

Wis ben ae nduk, mangan ora mangan sing penting


kumpul 9
Kata sang ayah sambil menahan batuk yang menusuk
dadanya yang
kian bungkuk. Disambut ia oleh belaian tangan ibunda

(hari ini ulang tahunnya yang keduapuluh tujuh!)

Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan


penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja.
Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh
tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di
perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target
produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu,
baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab-
akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak lagi
mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa lembaga penyalur, buruh
memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, kini
harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management
fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia memperoleh
kucuran upah. Tentang sejarah outsourcing, baca: http://
breath4justice.wordpress. com /2012/01/09/sejarah-outsourcing/.
9
Bahasa Jawa, sekaligus prinsip hidup sebagian orang-orang Jawa. Artinya:
makan enggak makan yang penting berkumpul dengan keluarga.

72 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Su-bungsu! Meripatmu ya meripatku
Ala’mu ya ala’ku, bungahmu ya bungahku
Su-bungsu! Yen kaya apa ya tetep anakku…10

Untaian kata-katanya meruap menghangatkan seisi


ruang di dada
Ketulusannya adalah tenaga yang lama ia damba
Seakan jeda di tengah lenguh daging amis yang kian
terpuruk
Sedang pandangan matanya adalah sukma yang
membalut akar kiara
Meranggas sepanjang bantaran sungai Prawan, Pantura.

Hingga akhirnya, tibalah hari bahagia itu


Pardi, si pemuda pemanjat degan
Meminangnya dengan Al-Qur’an
Senyum segurat, alamat bagi pasangan
Yang sedang menggapai ihwal suci dua insan

10
Bahasa Jawa. Artinya: anakku yang bungsu, matamu adalah mataku,
keburukanmu adalah keburukanku, kebanggaanmu adalah kebanggaanku
jua, walau bagaimanapun kau adalah anakku, si bungsu!

KUMPULAN PUISI ESAI 73


Satu bagai dewi, satunya lagi bak baginda Sri Sultan
Di atas singgasana keduanya rekah
Melarung lara memagut tresna
Menjadi dwitunggal yang segera menyusuri ceruk dunia

Tiada yang mampu menghadang getar ini


Kita akan berhasil, punya banyak anak
Sampai kakek-nenek nanti, Kang Mas!

Tiada kata selain terima kasih kuucapkan kepadamu, Dik!


Mari kita serahkan semuanya
Pada pemilik semesta ini Yang Mahakuasa!

Sejurus anggukan sang dewi


Sejurus pula kecupan di keningnya yang kemuning
Kening yang selalu dirapalkan doa-doa
Kening yang dulu dibelai ibunda
Kini menjadi hak sang pemanjat perkasa
Sekaligus lekuk tubuh yang diberi rida oleh-Nya.

74 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


7

Pagi itu bulan Juli


Matahari memanjat reranting awan dengan
trengginasnya
Sepenggalah sudah pada pukul tujuh pagi
Serupa merayakan ruap getih sang jabang bayi
Yang genap bersama ari-ari

Pardi pun segera turun dari pohon petai11


Rimbun digelantungi untaian biji-biji legit
Siap menekur pada kepul sepiring putih nasi
Ikan teri, dan sambal terasi….
Siapa yang sanggup menahan cucur liur saat ini?

Alhamdulillah! Anakku laki-laki, Dik!


Ucap Pardi sambil mencium sang istri
Seketika dilafazkannya azan di telinga kanan,
kemudian ikamah
pada telinga kiri sang bayi!

11
Bersama ayah mertua (ayah Ngati) yang juga kuli tambak, Pardi adalah
seorang petani dengan sebidang kecil lahan dan empang. Di lahannya mereka
menanam petai, cabai dan umbi-umbian.

KUMPULAN PUISI ESAI 75


Tiada harap yang lebih indah bagi orangtua
pada anaknya yang baru berusia hitungan menit
kecuali menyaksikannya menangis

itu dia, anak kita normal, Dik!


Katanya sambil digenangi secawan derai bahagia.

Betapapun. kebahagiaan tak bisa ditawar dengan


seuntai petai
Atau setumpuk cabai yang dipanen dari pipir rumah
Betapapun, kebahagiaan tak bisa dibeli dengan dapur
yang tak mampu diasapi
Terlebih sang bayi tak lagi mencecap manisnya asi

Kita harus hijrah, Kang Mas! Katanya lirih


sambil mengais Firaz —anaknya yang terpejam
Seketika bulir-bulir hangat luruh
hampir jatuh menghunjam pada pipinya yang mungil
Pipi yang masih haus belaian ibunda
Belum mengenal alpa, kecuali simpul surga!

76 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Pendar lampu cempor di luar jendela yang temayun
seakan keraguan yang memancar di hati sang suami-
istri
Beratnya masa ini tak pernah terimpikan sebelumnya
Pardi pun murka

Mana janjimu, Gusti!


Katanya setiap manusia yang menjauhi perbuatan keji
akan diberi rahmat ilahi
Katanya setiap pasangan
setelah sah bersuami-istri
akan diberi masing-masing kelebihan rezeki12

Aah! Mana janjimu, Gusti?

Astagfirulloh! Kang Mas, jangan gegabah!


Ucap Ngati sambil mendekap tubuh suaminya
Sementara Firaz menangis
Ketiganya pun menangis…

12
QS 6, Al-An’am: ayat 151. Artinya: Janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan
janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami
akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi.

KUMPULAN PUISI ESAI 77


Kang Mas jangan lupa, janji Gusti Alloh itu pasti adanya!
bisa terpenuhi tapi ada syaratnya:
kita harus berdoa sambil berusaha!
Tak pernah Gusti Alloh mengubah nasib suatu kaum
kecuali mereka berubah….13

Berbekal uang yang dikumpulkan


Jerih sang suami yang beralih sebagai perajin gigi palsu
Ngati pergi ke imigrasi – setelah resmi bergabung
pada sebuah PJTKI resmi
Berbekal keterampilan empat minggu di penampungan
Ia pun terbang, jauh melintasi garis-garis pantai
mengendarai angin
Hongkong tujuannya!

Ia seakan burung elang yang baru mengepakkan


sayapnya di atas birunya laut
Dan hamparan hijau pegunungan yang membentang,
menjadi saksi atas
raganya yang melesat, tinggi bagai awan yang menderap

13
QS 13, Ar-Ra’d: ayat 11. Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah
keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak
ada pelindung bagi mereka selain Dia.

78 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Ahoi! Indah nian lukisan alam ini, katanya.
Terima kasih, ya Gusti! Terima kasih.

Bunda janji akan segera kembali, Firaz!


Bunda janji bawa oleh-oleh dan uang yang banyak!

Subhannalloh! Indah sekali ciptaanmu-Mu ini, Gusti!


Hamba tunduk pada-Mu. Hamba pasrah di tangan-Mu
Lindungi hamba, Gusti! Lindungi anak dan suami
hamba di kampung!
Sesungguhnya tiada daya dan upaya yang mampu
hamba perbuat
kecuali idengan izin dari-Mu!

Ngati terpejam
Diam-diam sesuatu yang hangat merembes
dari sela-sela matanya
Ia pun tiba di Hongkong International Airport
Bersama doa-doa dan harapan yang telah lama terperam

Tak akan kusia-siakan waktu dan raga yang jauh dari


orang-orang terkasih ini
Aku akan segera kembali! Gumamnya dalam hati.

KUMPULAN PUISI ESAI 79


10

Hey! Jangan bengong! Teriak seorang lelaki paruh


baya berwajah tiongkok
yang fasih berbahasa Indonesia
Di sampingnya seorang perempuan berambut pendek
membawa tas gendong. Weng dan Lia namanya

Adakah ia majikanku? Pikirnya


Ya Gusti, lindungi hamba dari makhluk mengerikan ini!
Lindungi hamba, Gusti!

Cepat masuk! Kita langsung ke tempat majikanmu,


bentaknya lagi
Ngati pun diam tertunduk manut
Setengah jam sudah pikirannya terbang ke langit
Melintasi laut dan kabut
Menelisik ke jendela di bibir rumahnya di Pantura:
Firaz sedang tidur siang
Pardi sedang khusuk mengikir
beberapa valplast dan akriklik, bakal gigi palsu

80 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


11

Lima belas menit kemudian


Mobil yang membawanya
Masuk ke kawasan rukan di Pennington Street
Setelah melewati Canal Road yang mahsyur
“the venice of east,” kata para pelancong

Tapi aku bukanlah pelancong!


Aku hanya seorang istri sekaligus ibu
yang rela dibentang ruang dan waktu.
Demi meraih apa yang disebut orang-orang
sebagai kebahagiaan

Salahkah aku?

12

Sang majikan ternyata dua orang lansia yang


ditinggal anaknya sibuk kerja
Tugas Ngati adalah merawat mereka berdua
Menyiapkan air mandi
menyuapi mereka bubur dan puding kacang hijau
hingga mengajaknya plesir ke taman dekat kota
Semuanya dipercayakan padanya seorang diri…

KUMPULAN PUISI ESAI 81


Mujurnya nasib Ngati, selaksa doa-doanya dipenuhi:
Majikan yang baik, gaji setimpal
Tak ayal membuatnya semakin
berbakti.

13

Ini Agustus kedua


Ia jauh dari Pardi, Firaz juga kedua orangtua…

Semuanya sudah rapi


Bubur sudah matang, puding tinggal didinginkan
Ia bersiap dengan mantel plastik untuk mengajak
kedua lansia itu mandi
Dari kamar, sayup terdengar dering telpon genggam
Tertera nama Kang Mas Pardi di layar

“Assalamualaikum! Iya, Kang Mas….”

“Penting, Dik! Kamu harus segera pulang.


Ayahmu masuk rumah sakit….”

82 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Seratnya yang putih gugur ditiup angin dari surga
Wanginya yang sengit menggetarkan curah dari
lubuk sukma
Bersama tangis yang luruh
Bunga kamboja jatuh di atas kuburan

Hanya degup jantung yang terdengar di ruangan


Meninju sesal yang tinggal kenangan
Ngati tak mampu menatap wajah sang ayah lagi
Lekang ditimbun jarak puluhan ribu mil yang
membentang

Innalillahi wa’innalillahi roji’un….

Hanya ruang kosong yang ada ditentangnya


Jam, hari, minggu, segala yang berhubungan dengan
waktu
musnah dilumat risik sembilu

Butuh dua puluh delapan hari untuk pulih ia


Sementara pekerjaan terus mengganduli
Ia ingin pulang
Memeluk Firaz, kang mas serta ibunda…

KUMPULAN PUISI ESAI 83


14

Pagi itu Lia datang bersama Weng


Dibawanya surat teguran yang lahir dari aduan pihak
majikan
Disebutkan bahwa sang majikan mau
memberhentikannya secara sepihak
Tak puas dengan hasil kerjanya selama beberapa
minggu belakangan

Ngati merunduk. Raganya ambruk


Hati yang sudah remuk
Tak mengizinkan sepatah kata pun berunjuk!

Ya Gusti, inikah jawaban atas doa-doaku


sujudku
tahajudku?
Tak puaskah Engkau merenggut ayahku?
Tak puaskah Engkau membentang jarak antara aku,
anak dan suamiku?
Tak puaskah Engkau menaruhku pada matra
kemelaratan yang kekal ini?
Tak puaskah Engkau, Gusti…

Ambil, ambil saja aku!


Biar, biar genap angkaraMu!
Ambil hamba, Gusti…
Ambil hamba….

84 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


15

Sedari sore distrik Causeway Bay diguyur hujan14


Lia menjenguknya seorang diri
Disuapinya Ngati beberapa helai biskuit
dan secangkir teh hangat tawar
Demi membasuh jiwanya yang kian hambar

Ini, Sayang, supaya kamu segera pulih! katanya lembut

Seketika, teringat belaian sang ibu, ia


Segala yang ada di kampung
Bangkit memenuhi wajahnya yang murung

Segalanya, ya segalanya!

14
Para TKI/TKW sangat meminati Hong Kong sebagai tempat tujuan kerja.
Memang, daerah ini memiliki perbedaan yang jauh dari daerah-daerah di negara
jiran lainnya. Selain memiliki kebebasan yang luar biasa, Hong Kong juga
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta ketegasan dalam penindakan hukum
yang berdasarkan laporan langsung dari para korban pelanggaran hukum. Namun
sangatlah disayangkan Hong Kong sejak menjadi daerah tujuan bagi para
TKW untuk bekerja, tidaklah sedikit sebagian para TKW melakukan berbagai
kegiatan yang tidak baik di luar tujuannya untuk mencari nafkah secara halal.
Banyak TKW melakukan tindakan yang justru menghilangkan budaya sosial
kepribadiannya yang santun dan bermoral. Ini terbukti dari berbagai keterangan
langsung oleh para mantan TKW Hong Kong yang sudah tidak bekerja lagi di
Hong Kong. Bukti ini juga terlansir nyata dari berbagai media di Hong Kong.
“Hongkong, Surganya Para TKW/TKI” dalam http://luarnegeri.kompasiana.
com/2011/06/03/kebebasan-hong-kong-surganya-para-tkitkw/.

KUMPULAN PUISI ESAI 85


16

Hari ini kamu sudah mulai bisa kerja, katanya lagi


“Namun ada yang sudah lama ingin kukatakan
padamu, Ngati!”
“Katakan saja!” jawabnya
“Aku ingin selalu menjagamu!”
Bukankah sebagai teman begitu, bagus? Balasnya dingin
“Tapi…
Aku benar-benar mencintaimu,
adakah kau tahu?”

17

Ngati bangkit. Matanya nyalang


Seketika raganya melesat
Seperti dihisap gumul awan
berarak-arakan.
Ia pun lenyap!

Bibir merah cabai. Rambut hitam yang tergerai


Bedak putih di pipinya kini terurai
Serupa genangan anak sungai yang berderai
Ia menari dalam tawa orang-orang berkulit kuning langsat
Di depan rumah makan dekat Victoria Park.

86 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


18

Menarilah bersamaku…
Ayo berdendang, hoi! Matahari jangan malu-malu
kau takut nyalamu sirna diguyur hujan?
Ayo sini menari bersamaku!
Teng… tang… tong… teng… tong… teng… tong… teng….
Wet… takowet… kowet… takowet… kowet… kowet….
Hahahaha… hahaha… bodoh kalian semua!
Isone mung ndeloke ae

yang ada di matanya hanya kenangan


sebuah kenang-kemenangan semasa ia duduk di bangku
sekolah dasar sd inpres dulu. Tentang lelaki yang pernah
memanjat degan untuknya.Tentang permainan jarit
dan pasar-pasaran
bersama Sri, Noh, dan Situm ketika mereka masih ingusan

Aku enggak mau pulang!


Aku enggak mau pulang!

KUMPULAN PUISI ESAI 87


Yang ada di matanya hanya kenangan
semasa ia duduk di bangku sekolah dasar inpres dulu.
Tentang bebek peliharaannya yang berjumlah puluhan.
Tentang tambak ikan yang menjanjikan warganya
kehidupan
Tentang Firaz
Tentang ibunda
Tentang kakang mas
Tentang harap yang meruap dan tinggal jadi angan!

Pekiknya melengking,
meregang raga yang tinggal tulang.
Digenggamnya gelang Shen Zen bermata hijau15
Pilinan butir-butir kesedihan

(RSJ Cimahi, sebelah barat kota Bandung)

Pulang bareng kami ya, Dik!

Bogor, Bandung, 11 Juli–18 Agustus 2012

15
Gelang kesehatan terbuat dari magnet yang banyak dijumpai di Hong Kong.

88 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa

Puisi Esai
Arif Fitra Kurniawan

KUMPULAN PUISI ESAI 89


90 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Bukan Lagi Rahasia Kita, Raisa

kata orang-orang, masa lalu selalu memiliki


banyak alasan untuk datang memeluk kita yang bimbang
mengambil serta meletakkan ingatan bahwa tidak ada
yang benar- benar menjadi kesedihan dan tidak ada
yang akan benar-benar menjadi kebahagian
sebelum telunjuk kita sendiri yang menentukan

waktu jakarta sudah menunjukkan pukul 3 pagi


di taman kota yang lembab dan gelap sebab
lampu-lampunya banyak yang raib dicuri,
di kota yang semakin sempit sebab ditumbuhi
subur prostitusi1 ini aku masih menabahkan diri
untuk tidak dihancurkan dingin dan sepi.

1
Prostitution is not an idea. It’s the mouth, the vagina, the rectum, penetrated
usually by a penis, sometimes hands, sometimes objects, by one man and
then another, and then another and then another and then another. That
what it is. (Prostitusi bukanlah sebuah gagasan. Prostitusi adalah mulut,
vagina dan anus yang dipenetrasi, biasanya oleh penis, tapi kadang tangan,
kadang aneka benda; oleh seorang lelaki dan kemudian lelaki lain dan lelaki

KUMPULAN PUISI ESAI 91


lain dan lelaki lain. Itulah prostitusi) — Andrea Dworkrin, Prostitution
and Male Supremacy, vol 1, 1993.
Dalam KBBI, prostitusi, pelacuran diartikan perihal menjual diri sebagai
pelacur, pertukaran hubungan seksual sebagai suatu transaksi perdagangan.
Sedangkan pelacur adalah perempuan yang menjual diri atau wanita tuna
susila atau sundal. Dari definisi tersebut disimpulkan bahwa perempuannya
yang bermasalah. Secara implisit, pelacurnyalah yang berkehendak menjual
diri. Faktor-faktor adanya jaringan trafiking, mucikari, preman, yang
melakukan penipuan, pemaksan, penganiayaan tidaklah tampak.
Bisnis pelayanan seks perempuan di Jakarta abad 21 ini telah berkembang
sedemikian pesat dibanding sebelum era reformasi 1998. Khususnya bisnis
seks kelas menengah ke atas. Uang yang berputar di bisnis ini mencapai
milyaran rupiah. Bisnis yang ada sekarang dikemas dalam bentuk yang
variatif (salon-salon, panti pijat, pusat kebugaran, diskotik, night club,
dll.). Informasi lebih lanjut bisa ditelusuri dalam buku Moamar Emka,
Jakarta Undercover dan buku tiga serinya, Sex and The City (2003), Night
Carnaval (2003), Forbiden City (2007).
Banyak yang berkata bahwa prostitusi adalah pekerjaan paling tua di
dunia. Lokalisasi secara resmi di Jakarta pertama kali diadakan tahun 1970-
an, yaitu di Kramat Tunggak yang terletak dekat pelabuhan Tanjung Priok.
Kramat Tunggak ditetapkan sebagai lokalisasi prostitusi dengan SK
Gubernur Ali Sadikin, yaitu SK Gubernur KDKI No. Ca.7/1/54/1972; SK
Walikota Jakarta Utara No.64/SK PTS/JU/1972, dan SK Walikota Jakarta
Utara No.104/SK PTS/SD.Sos Ju/1973. Sebelum Kramat Tunggak dijadikan
lokalisasi, pada tahun 1969 tercatat ada 1.668 pelacur dan 348 orang germo
di Jakarta. Pada saat Kramat Tunggak diresmikan sebagai lokalisasi, tercatat
ada 300 pelacur dan 76 orang germo.
Bentuk-bentuk prostitusi di Jakarta pada masa Hindia Belanda, terutama
sejak 1928 setelah praktik pergundikan dilarang secara tegas, secara garis
besar terbagi dua, yaitu prostitusi yang terselubung dan yang terang-terangan
(lokasinya jelas). Bentuk prostitusi terselubung banyak terdapat di jalan-
jalan dekat rumah-rumah orang Belanda di sekitar kota. Adapun prostitusi
yang terang-terangan adalah prostitusi di mana tempatnya telah tetap dan
pemerintah mengetahui keberadaannya, seperti di sekitar Jakarta Kota,
Stasiun Senen, dan juga di stasiun Jatinegara. Selain itu, sejumlah warung
makan, kedai-kedai kecil, dan tempat hiburan malam lainnya yang terdapat
di kota dan sekitar pelabuhan Tanjung Priok ternyata juga berfungsi sebagai

92 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


cuma ada sesekali sayup melintas suara kendaraan
dan aku yang tak henti membayangkan, engkau
berjingkat tergesa membawa lambaianmu
dari seberang jalan. engkau yang kemudian akan
duduk sambil membenahi dandanan.

beberapa kali pertemuan kita senantiasa


akan seperti ini; bergantian kau ataupun aku
akan diam lama seperti sebuah celengan.
membiarkan yang lain menjadi orang
paling tidak bisa menghentikan diri
: boros menghambur-hamburkan cerita suram.

tempat prostitusi, sebab di tempat-tempat tersebut dijumpai banyak gadis


cantik yang menjadi pelayan sekaligus berprofesi sebagai pelacur. Pada
dekade 1930-an, bentuk prostitusi semakin beragam dengan semakin
beraninya para pelacur orang Jepang, Rusia, Cina, Indo, dan juga pelacur
orang Indonesia beroperasi secara terang-terangan.
Praktik-praktik prostitusi sudah ada sejak masa awal penjajahan
Belanda, dikarenakan jumlah perempuan Eropa dan Cina di Batavia lebih
sedikit dibandingkan jumlah prianya saat itu. Bahkan, sejak masa J.P. Coen
pun telah berkembang praktik-praktik prostitusi walaupun secara tegas ia
tidak setuju dengan praktik-praktik semacam itu. J.P. Coen sendiri bahkan
pernah menghukum putri angkatnya, Sarah, yang ketahuan “bermesraan”
dengan perwira VOC di kediamannya. Sang perwira itu dihukum pancung,
sedangkan Sarah didera dengan badan setengah telanjang. (Artikel Lamijo,
mahasiswa Sejarah Universitas Gajah Mada, “Prostitusi di Jakarta dalam
Tiga Kekuasaan, 1930–1959: Sejarah dan Perkembangannya”).

KUMPULAN PUISI ESAI 93


2

aku ingat senyumanmu yang pernah mencuat


dari keremangan sebuah tempat hiburan.
dan aku, datang seperti lelaki kebanyakan
datang untuk melepaskan diri dari hiruk-pikuk kota
yang memberikan runyam pekerjaan. menenggak
alkohol,
mencari cara menjatuhkan diri di dada dan
selangkangan
milik perempuan. aku berharap itu semua bisa
menyelamatkan pikiran. aku tidak ingin mati dalam
kesendirian.2 —di hiruk-pikuk seperti ini, seseorang
berkemungkinan besar mati dalam ketakutan—

2
Ketergantungan seks adalah sebuah obsesi dan preokupasi terhadap seks,
dimana segalanya didefinisikan secara seksual atau dengan aspek
seksualitasnya dan semua persepsi dan hubungan diseksualkan.
Ketergantungan seksual adalah progresif dan fatal, destruktif bagi diri orang
tersebut, orang lain dalam ikatan atau hubungan orang tersebut. Orang yang
memiliki ketergantungan seksual menjadi semakin progresif dalam
berbohong, memikirkan kepentingan pribadi, terisolasi, penuh rasa takut,
bingung, mati rasa, dualistik, ingin mengontrol, perfeksionis, menolak
mengakui adanya masalah, kehilangan kewarasan, dan disfungsional…. Anne
Wilson Schaef, Escape from Intimacy: Untagling The “Love” Addictions,
Sex, Romance and Relationship, 1989: 11.

94 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


namamu waktu itu raisa. memang bukan nama
sesungguhnya, katamu
sekedar ingin menyamarkan kesedihan,
seperti yang selama ini senantiasa media massa lakukan.
seseorang merasa perlu diinisialkan, bukan karena
ingin mengungkapkan berdasarkan kebohongan tapi
memang
seringkali ada yang mesti sedikit ditutupi dari kenyataan

bunyi musik semakin keras dan berantakan, seperti


maskaramu. seperti birahiku.

kau kosong malam ini?, aku bertanya. aku tatap


mata engkau yang redup seolah tak bisa menolak
apa pun yang ditawarkan oleh garis hidup.

dan benar saja, engkau memang tak punya alasan


untuk menggeleng. berapa? tanya engkau,
memastikan aku bukan lelaki miskin. memastikan
aku membawa cukup uang untuk membayar apa
yang nantinya tubuhmu berikan.

KUMPULAN PUISI ESAI 95


sebegini tarifku semalam,engkau menggerakkan tiga jari.3
aku paham. aku mengecup pipi engkau. senyum dari
bibirmu
kecut dan merangsang.

dan berangkatlah kita ke sebuah hotel, tapi aku lebih


suka menyebutnya penginapan.
penginapan yang akan didatangi beberapa polisi
sebulan 2 kali untuk mengambil jatah uang jimpitan.
aparat keamanan memang seringkali begitu, selain
bertugas mengamankan, mereka juga kerap
mengaminkan
hal-hal yang menguntungkan.

3
Data dari komunikasi maya para lelaki pengguna jasa seks bayaran di Jakarta
tahun 2007 mengungkapkan paling murah adalah untuk pemakaian
perempuan lokal sebesar Rp 350.00 per jam. Biaya ini masih harus ditambah
dengan tips, minum, dan makan. Totalnya paling tidak Rp 600.000 harus
dikeluarkan. Bandingkan dengan upah buruh minimum di Jakarta yang
pada tahun 2008 hanya Rp 970.00 per bulan. Betapa tidak berhatinya
mengeluarkan hampir sebesar upah minimum sebulan hanya dalam waktu
1 malam. Industri seks di Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan
menghasilkan 1,2 hingga 3,3 milyar Dollar AS per tahun, atau mencapai 0,8
hingga 2,4 persen dari GDP kita- Indonesia. (Agnote, 1998.) Bandingkan
dengan data penghasilan dari trafiking perempuan untuk prostitusi di seluruh
dunia yang diperkirakan mencapapai 12 milyar Dollar AS per tahun
(Malarek, 2009 X111) Persentase penghasilan bisnis seks di Indonesia
cukup signifikan jika dibandingkan dengan penghasilan dunia.

96 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


tapi seaman-amannya penginapan di kota ini,
aku tetap masih percaya tak ada yang bisa
memberi rasa aman selain pelukan, raisa.

penginapan-penginapan itu cuma punya petugas


yang diharuskan terus tersenyum ketika menunjukkan
kamar nomer berapa yang akan kita gunakan sambil
tak lupa meminjam sebentar kartu identitas
sementara kita bekerja keras menahan napas.

inilah jakarta, jantung negara kita, raisa.


yang terus berjanji akan mensejahterakan penduduknya
dari himpitan ekonomi.4 kota yang siang malam
berdenyut,
dan selalu muncul di tayangan televisi.
yang selalu teguh kepada pendirian,
: akan tumbuh ribuan jika yang satu dipatahkan.

4
Pengemis, gelandangan, prostitusi dapat hidup dan bertahan selama
kehidupan kota yang tidak pernah berhenti terus berputar. Keberadaan
orang-orang yang berpenghasilan lebih, keramaian pasar dan pesatnya
perputaran uang di kota menjadikan mereka enggan untuk meninggalkan
kehidupan jalanan beserta kebudayaan kemiskinan mereka. Perlu sebuah
upaya memutus generasi prostitusi, gelandangan dan pengemis agar budaya
kemiskinan itu tidak diwariskan kepada anak cucu kita (Reza Hudiyanto,
Yang Tersisa di Tengah Kemajuan-dalam buku Kota-Kota di Jawa, 2010).

KUMPULAN PUISI ESAI 97


salon-salon, tempat spa, tempat pijat, diskotik
akan menjamur, menjadi penyakit
yang tak bisa disembuhkan.
inilah jakarta, ibu kota yang lebih sadis dari ibu tiri,
rimba buas bagi para penghuni,

kitalah, raisa, binatang penurutnya, yang tunduk


dan patuh pada pepatah: yang kuat bertenaga adalah raja,
yang menua dan lemah akan jatuh dan kalah,
itu undang-undang yang akan selalu kita kenang,
sebelum aku atau engkau nantinya terbuang.

di lapang ranjang, setelah kita membasahi diri dengan air


dari kamar mandi, kita berbaring dan membiarkan
hawa panas dari tubuh kita yang telanjang mencoba
melawan suhu pendingin ruangan. aku memeluk
engkau
yang tak pernah memiliki harapan pada apapun.
gerakan tubuhmu yang ular berbisa seperti hendak
berkata:
hunjamkan, hunjamkan terus. aku sudah tak tahu
dengan apa dan bagaimana rasa sakit dibuat.

98 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


tubuhmu memang sudah puluhan kali dijajah
oleh para penjamah, raisa. aku tahu, engkau cuma
menunggu waktu dimana aku akan menggelepar,
tertidur seperti bunyi telepon genggam yang sengaja
engkau beep- kan. senyap. sehabis di ranjang
dan percintaan tenaga aku habis engkau hisap.

pagi-pagi sebelum petugas hotel datang


mengantarkan kopi,
engkau sudah bangun. aku menatap rambut engkau,
kening engkau, leher engkau, serakan bra dan celana
dalam
berenda engkau. engkau menatap aku. mengerling.
tersenyum kecut. dan menangis. aku mendekat.
memeluk.
dan kita saling menatap dengan bibir terkatup.

matamu yang cekung itu basah. ada kelelahan luar


biasa di sana.
apa aku menyakitimu? aneh. kali ini engkau menggeleng.
hal yang aku kira mustahil.

tidak, aku cuma tiba-tiba bertanya, dengan cara apa


ya nantinya
Tuhan bisa memaafkan kita, aku terutama.

KUMPULAN PUISI ESAI 99


aku terhenyak, engkau seperti sedang memutuskan siapa
lebih kotor dari siapa. menangis dan berceritalah, raisa,
sebab cerita engkau lebih bisa aku terima daripada
cerita mulut para pejabat di penjuru kota ini yang
begitu tebal mengulum banyak janji.
berceritalah seperti tubuhmu yang jujur dan telanjang.
berceritalah meski sambil menangis, raisa.
aku akan lebih bisa mendengarnya.

dulu, aku beranggapan kemolekan tubuh


dan wajah itu berumur panjang,
tak akan ada kerut, tak ada lemak menggelambir
yang merusak dan menjadi musuh bagi perut.
tak akan ada kantung mata, tak akan
ada payudara yang turun terjuntai ke mana-mana.

aku masih enam belas tahun,5 aku masih sekolah


menengah
aku bunga mekar —semekar-mekarnya, dan kota
adalah taman mewah dengan banyak lampu sorot,
toko pakaian, mall dan plaza, kafe, diskotik,
tempat karaoke, peralatan elektronik yang terus
memicu hasrat untuk tampil menjadi si cantik.

100 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


5
Pada tahun 1995 tercatat ada 72.000 orang yang dilacurkan di berbagai
lokalisasi, 30% di antaranya adalah anak-anak; dan pada tahun 1998
meningkat menjadi 150.000 orang (Farid, 1998). Sebuah survei pada tahun
1992 menunjukkan bahwa 1 dari sepuluh orang yang dilacurkan berusia di
bawah usia 17 tahun (Agnote, Kyodo News, 18 Agustus 1998).
Data lain tentang perempuan yang dilacurkan adalah pada tahun 2003,
di Indonesia terdapat 190.000-270.000 perempuan yang dilacurkan yang
melayani 7-10 juta pria hidung belang (www.satudunia.oneworld.net). Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa diperkirakan jumlah perempuan
yang dilacurkan terus meningkat.
“Saya seringkali dihadapkan pada pekerja seks komersial (PSK) berusia
12-16 tahun, bahkan di usia segitu sudah ada yang sudah positif mengidap
HIV dan menjadi mucikari bagi teman-temannya,” ungkap psikolog Riza
Wahyuni, S.Psi., M.Si., dalam acara Seminar dan Berbagi Pengalaman
Dampak Perdagangan Manusia Ditinjau dari Aspek Medis, Psikologis dan
Sosial bertemakan “Save Our Children from Violence” di Fakultas Ilmu
Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin, 14-5-2012.
Menurut Riza, banyak di antara korban perdagangan manusia, terutama
PSK, tidak tahu-menahu bahwa mereka adalah korban. Hanya karena iming-
iming sejumlah uang, mereka bersedia diminta menemani para lelaki hidung
belang dan akhirnya mengidap sejumlah penyakit infeksi menular seksual
seperti sifilis dan HIV AIDS. (Sumber: /http/www.detikhealth-perdagangan-
manusia-indonesia-lewat-prostitusi-terbesar-ke-2-dunia.htm).
Pada bulan November 2008, polisi membebaskan 3 perempuan yang
disekap selama 2 minggu tanpa diberi makan oleh bos sebuah spa di Jakarta
karena menolak memberikan jasa seks. Dalam penggerebekan polisi,
ditemukan juga perempuan muda yang secara hukum masih anak-anak, di
bawah 16 tahun (Kompas.com, 19 November 2008).
Pada Januari 2008 polisi membebaskan 16 perempuan muda yang menjadi
korban penipuan, diperdagangkan, dan dipaksa menjadi budak seks. Mereka
dijebak dengan dijanjikan bekerja di kafe sebagai pengantar minuman. Namun
sesampai di Jakarta dipakasa bekerja di panti pijat dan memberi tambahan
layanan seksual (Detiknews.com, 15 Januari 2008).

KUMPULAN PUISI ESAI 101


dari situ awalnya, aku masuk ke dalam perkara-perkara
yang tak pernah sedikit pun aku perkirakan.
kota mengajari aku bagaimana bersenang-senang.
tapi ternyata aku ditipunya tanpa pernah merasa ditipu,
dan memang, penyesalan diciptakan tidak untuk dipikirkan
saat kita sedang melakukan sebuah perbuatan.

awalnya aku cuma ikut-ikutan, mengikuti bagaimana


teman-temanku berdandan, membeli lipstik, membeli
bedak, mengganti telepon genggam. kemudian kami
mencoba yang lebih menantang: merokok, mencoba
mencicipi minuman yang katanya bisa membuat kepala
dan dada kami deg-degan. kami jauh masuk ke dalam
kebebasan. cita-cita dan norma agama sudah mati
di kepala kami oleh obat-obatan terlarang.

kemudian kami ketagihan. mau tak mau mesti berjuang


keras menemukan cara bagaimana memenuhi
kebutuhan.

102 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


6

satu-satunya jalan adalah merelakan tubuh


kepada para lelaki yang membutuhkan pelukan,
para lelaki yang merasa tak betah
melihat istri sendiri di rumah,6
para lelaki lajang yang terus
digerus rasa penasaran. para lelaki yang
tak pernah ragu menghambur-hamburkan uang.

dari situ telingaku mulai belajar menerima


disebut perempuan panggilan.
ya, sebab memang beginilah, aku,
atau sebagian yang lain selalu di panggil-panggil
di pinggir jalan, di hotel, di tempat kebugaran
atau di sebuah rumah bordil.

6
Dalam ilmu psikoanalisa Freud, ada konsep yang disebut Madonna and
the Whore Complex (Kompleks Madonna dan Pelacur), yaitu sebuah
kondisi di mana si istri diasosiasikan sebagai ibunya atau tokoh Madonna
sehingga si istri tidak lagi memiliki daya tarik seks baginya (lelaki). Bagi
lelaki yang mengidap kompleks Madonna-pelacur ini, cinta dan seks tidak
dapat dicampur. Cinta adalah untuk si istri yang diasosiasikan sebagai ibu
atau tokoh Madonna, sedangkan seks untuk si pelacur yang tidak dapat
dicintainya. (Sumber: www.en.wikipedia.org)

KUMPULAN PUISI ESAI 103


melepas baju, melepas celana
di hadapan lelaki dengan perasaan menggigil.
kadang kami dijejer dalam ruangan berkaca, kami
dikenali dengan nomer di dada. kami sering
disebut para perempuan haus peminum sperma.7

aku merasa seperti ikan duyung di akuarium.


sepanjang jam berdiri mengenakan senyum,
mendekatlah. pilihlah aku, pilihlah aku.
barangkali rayuanku sama dengan doa para
calon bupati, yang berharap menang di dalam
pemilihan di suatu hari.

7
Para lelaki adalah “mata rantai yang hilang… dari rangkaian prostitusi dan
trafiking manusia untuk seks (the missing link in the chain of prostitution
and human trafficking). Tanpa adanya kaum lelaki yang bersedia
mengeluarkan uang untuk kenikmatan sesaat yang mengorbankan kaum
perempuan maka tak akan ada permintaan (demand), dan tanpa permintaan
tak akan ada penawaran (supply) perempuan sebagai pelayan seks.
Kontinuitas kebiasaan kaum lelaki yang mengunjungi tempat-tempat hiburan
seks perempuan adalah penyebab maraknya bisnis pelyanan seks
perempuan di kota-kota besar di Indonesia, terutama di Jakarta. (Victor
Malarek, The John’s, Sex for Sale and Then The Men Who Buy It, 2009).

104 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


7

lama-lama kami menjelma virus bagi kota


yang siang malam enggan tertidur ini.
kami menjadi musuh para ibu rumah tangga,
kami menjadi bisik-bisik bagi para tetangga
kami hidup dikutuk menanggung prasangka.8

apa sebenarnya yang aku cari di kegelapan ini?


pertanyan aku untuk kami.

8
Sejak awal 2000-an, banyak buku-buku yang ditulis oleh penulis profesional
atau wartawan lelaki yang menyoroti bisnis seks di Asia. Para penulis
lelaki itu memiliki kesamaan posisi, pemikiran bahwa memang mayoritas
yang ada dalam bisnis seks berlatar belakang kemiskinan. Artinya, mereka
secara implisit mengakui adanya aspek keterpakasaaan para perempuan
itu, akan tetapi, menurut para penulis ini, perempuan tersebut diuntungkan
dengan adanya uang dari layanan seks yamg dijualnya. (Lim, 2004; Emka,
2007; Sparrow, 2008).
Kritik pertama terhadap cara berfikir seperti ini adalah bahwa dengan
adanya keuntungan yang didapat para perempuan yang melakukan layanan
seks dengan imbalan uang tersebut, maka bisnis seks itu seolah sah-sah
saja. Inilah cara berpikir liberal kapitalis yang tidak melihat konteks historis
para perempuan tersebut. Konteks pertama yaitu, mayoritas para
perempuan ini adalah korban dari kemiskinan struktural. Konteks kedua,
para lelaki yang menggunakan pembenaran bahwa si perempuannya
diuntungkan tidak melihat adanya kemungkinan para perempuan tersebut
sebagai korban perdagangan seks yang mengalami kekerasan fisik, psikologi
dan jeratan hutang.
Kritik kedua adalah, para penulis tersebut tidak melihat efek negatif
dari dunia bisnis seks yang dijalani para perempuan tersebut. Efek negatifnya

KUMPULAN PUISI ESAI 105


8

akhirnya aku diusir dari rumah, setelah tahu


bertahun-tahun bersekolah anak kandung mereka
ternyata cuma bisa menjadi bau busuk dan sampah.
dan sampah memang sudah semestinya dibuang
bukan,
aku pandang pintu rumah sebelum pergi,

maafkan aku, ayah. aku dan tubuhku


terlampau rusak parah.
maafkan aku, ibu. aku melenceng jauh
dari doa dan cita-citamu.

adalah penyakit infeksi kelamin menular, atau Sexually Transmitted


Infections (STI), penyakit HIV atau AIDS, ketergantungan alkohol, narkotika
dan obat-obatan berbahaya (narkoba).
Kritik ketiga adalah “keuntungan” yang didapat para perempuan yang
dilacurkan tersebut berumur pendek. Para perempuan itu hanya laku sampai
umur tertentu. Berdasarkan pengamatan, hanya sampai maksimum umur
30 tahun. Kemungkinan yang terjadi pada perempuan yang tidak laku
adalah jika beruntung mereka mungkin sudah diperistri oleh seorang lelaki
kaya sebelum dianggap terlalu tua dalam lingkungan itu sehingga tidak bisa
dipakai lagi. Mungkin mereka meningkat menjadi mamasan alias mucikari
perempuan. Jika tidak beruntung mereka turun kelas ke bisnis pelacuran
yang lebih murahan yang masih menerima perempuan di atas 30 tahun.
Keempat, yang paling diuntungkan dalam bisnis seks ini adalah pemilik
hiburan mesum, mucikari, preman, dan oknum aparat negara yang memberi
perlindungan. (Sumber: Nori Andriyani, Jakarta Uncovered: Membongkar
Kemaksiatan, Membangun Kesadaran Baru, 2010).

106 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


langit di luar bening seperti akuarium.
aku ingin melayang dan berenang-renang di sana,
di tempat yang aku pikir tak ada hal menyakitkan.
tapi, tapi bagaimanapun yang salah akan selalu
mendapat hukuman. kepada langit segala hal
aku pasrahkan. aku terus terseok menyusur jalanan.

detik detik berjalan, jam jam berjalan


hari-hari datang dan pergi bergantian
setahun, tiga tahun, lima tahun,..

tapi aku tetap tidak percaya kepada masadepan,


seperti ketidakpercayaan para pelacur
kepada alat kontrasepsi, yang dinas kesehatan
dengung-dengungkan tiap bulan sekali
untuk memperkecil kasus aborsi.9
mencegah banyaknya bayi yang dibuang
di sungai atau di pinggir jalan seperti
yang mereka lakukan akibat pasangan lelaki
tak mau mengenakan karet pengaman.

9
Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Nafsiah Mboi, pada hari Senin, 25-6-
2012, melakukan rapat dengan Komisi IX DPR RI. Dalam rapat tersebut
Menkes juga mengklarifikasi kebijakan kampanye kondom-nya, dan
mengatakan bahwa hanya terjadi kesalahan penyampaian informasi kepada
masyarakat. Kebijakan kampanye kondom itu hanya ditujukan kepada

KUMPULAN PUISI ESAI 107


9

apalagi yang engkau minta untuk aku ceritakan?


kamar penginapan jadi terasa lebih dingin.
aku memelukmu sekali dan sekali lagi.
kemudian kita tertidur sembari memimpikan
anak-anak akan terlahir dari rencana kita.

anak-anak yang barangkali akan menjadi saksi bahwa


perasaan berdosa lebih bisa menghukum kita
dibanding aparat negara yang tak mampu adil
dan tak yakin
dalam menghakimi seorang tersangka,

golongan pelaku seks berisiko, seperti yang banyak terjadi di tempat-tempat


prostitusi, baik yang terselubung maupun tidak, dimana pekerja seks wanita
yang masih di bawah umur tidak bisa dibilang sedikit jumlahnya. Menurut
Nafsiah, di tempat-tempat pelacuran, 34 persen pekerja seksnya merupakan
perempuan berusia 15 sampai 24 tahun. Sedangkan untuk laki-laki yang mem-
beli seks itu sekitar 45 persen berusia dibawah 25 tahun. (Sumber: www.skalanew.
com-menkes-paparkan-situasi-dunia-pelacuran-indonesia.html).
Kasus aborsi dilakukan karena faktor sosial dan ekonomi yang saling
mempengaruhi. Faktor sosial yang paling berpengaruh adalah faktor profesi
perempuan sebagai pelacur atau hubungan seks tanpa melalui hubungan
resmi. Perempuan pelacur dan yang hamil di luar nikah umumnya tidak
menginginkan adanya kelahiran bayinya. Maka aborsi merupakan jalan
terbaik. Sementara, alasan ekonomi kasus aborsi dapat saja terjadi pada
keluarga yang tidak menginginkan anaknya lahir karena ekonomi keluarga
yang miskin. (Terrence H. Hull, Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan
Perkembangannya, 1997).

108 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


di dalam mimpi aku melihat diriku
sedang bertanya padamu, dengan apa cinta
bisa dipenjara. dan dari kita ternyata
tidak ada yang mampu menjawabnya

10

percakapan-percakapan kita terus mendengung,


merambat berkilo-kilometer menempuh waktu
dan ingatan.
menghantam pikiran, sampai aku sadar, aku masih
sendirian di pojok taman.
rupanya engkau benar-benar tidak datang.
aku curiga kota ini sengaja menyembunyikanmu, raisa.
aku jadi merasa kecil, terlampau kecil untuk mengeluarkan
jeritan. suaraku membentur udara dan kembali lagi
tanpa ada yang menimpali.
: kenapa tuhan menciptakan cara mencintai seperih ini

11

aku datangi lagi tempat-tempat hiburan malam,


aku datangi
rumah bordil, tempat karaoke, panti pijat,
salon kecantikan

KUMPULAN PUISI ESAI 109


aku telusuri mall-mall.
aku selalu berharap wajah engkau
aku temukan mengenakan senyum sekecut apapun.

atau barangkali engkau memang butuh menghilang


agar bisa aku rindukan.

aku tanyakan engkau kepada orang-orang


di pinggir jalan,
di lintasan rel kereta api, di tempat mangkal
perempuan yang
tiap malam didatangi banyak lelaki.
di perkampungan kumuh,
di antara rumah yang gentengnya miring
dan dindingnya
tak pernah rapat menghalau angin.

barangkali seseorang pernah bertemu dengan engkau.


aku tak perduli engkau kutemukan dalam
dandanan wajah sesedih sengilu apapun.

aku mencari engkau sampai ke kantor polisi,


lembaga rehabilitasi,
barangkali sebuah razia berhasil menangkap,
menyeret engkau
untuk dihadapkan pada undang-undang tentang
pelanggaraan kesusilaan.

110 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


aku mencari engkau diantara kemungkinan-kemungkinan
yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan.
bertahun-tahun aku tetap
yakin dan bertahan, aku engkau akan di pertemukan.

12

sampai suatu ketika, dimana aku disudutkan


rasa putus asa.
datang suara yang mengaku teman engkau
lewat telepon
genggam membisikkan sebuah berita.

seketika aku tak bisa dengan baik mengatur napas,


begitu tahu, ternyata engkau lama tak berdaya
habis dikuras oleh
HIV yang buas dan ganas.10

10
Berdasarkan data dari Yayasan AIDS Indonesia, kasus HIV positif di DKI
Jakarta hingga saat ini telah mencapai 3.870 kasus dengan korban tewas
mencapai 565 orang. Diperkirakan dalam beberapa tahun mendatang
jumlahnya akan meningkat hingga 2 kali lipat. Fakta ini diakui oleh sekretaris
Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KPAK) Jakarta Utara, Drs. Atma
Sanjaya, M.Si. Ia juga mengakui, jumlah kasus HIV positif di Jakarta Utara
dan Jakarta Timur relatif paling tinggi di seluruh wilayah DKI Jakarta.
“Daerah ini daerah pelabuhan, banyak laki-laki datang tidak bersama
istrinya. Tempat prostitusi bermunculan seperti Kalijodo di Penjaringan

KUMPULAN PUISI ESAI 111


di sebuah ruangan tempat engkau di rawat.
engkau berbaring
dibalut pakaian serba putih bersih. kepalamu nyaris
tanpa rambut,
tulang tangan engkau terlihat, bibir engkau kering
seperti habis
terbakar. apa kabar, bisik engkau di telingaku
yang hampir-hampir tak terdengar.

tak bisa kubendung kesedihan yang bertahun-tahun


tertampung dalam diriku. aku rengkuh tubuh engkau
yang ringkih.

dan Rawabebek di Cilincing,” ungkap Atma usai membuka seminar


Pencegahan dan Pengobatan Penyakit AIDS di Aula Puskesmas Penjaringan,
Rabu, 15-12-2010. Menurut Atma, kedua kecamatan tersebut yakni
Penjaringan dan Cilincing merupakan daerah dengan kasus HIV positif
terbanyak di Jakarta Utara. Selain banyak Wanita Pekerja Seks (WPS), di
wilayah tersebut juga banyak ditemukan WPS-TL (WPS Tidak Langsung)
yang membuat pengendalian HIV makin sulit dilakukan. “WPS itu yang di
lokalisasi sepertri Kalijodo dan Rawabebek, mereka memang menyediakan
diri untuk dipakai. Kalau WPS-TL itu yang di salon-salon, spa, dan sebagainya.
Mereka jual jasa yang lain, tapi kalau dibayar untuk melakukan lebih mau
juga,” tambah Atma yang pernah menjabat wakil walikota Jakarta Utara.
Penularan HIV yang terjadi di tempat-tempat pelacuran memang menjadi
perhatian KPAK Jakarta Utara, sebab korbannya tidak hanya pengguna
jasa WPS melainkan juga anak-istrinya. Istri yang setia bisa tertular jika
suaminya suka jajan, lalu menularkannya lagi ke anaknya saat hamil dan
menyusui. (Sumber: /http/www.detikhealth-penjaringan-cilincing-rawan-
hiv-karena-narkoba-prostitusi.htm).

112 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


jangan menangis. jangan menangis, katamu berusaha
meyakinkan bahwa keadaan akan baik-baik saja.

tapi aku tetap menangis. pelukanku semakin erat,


seperti hendak
memasukkan tubuhmu ke tubuhku.

engkau berbisik lagi,


bagaimana nanti ya, cara Tuhan memaafkan kita

engkau tersenyum, setelah itu senyap. senyap sekali.


mata engkau tertutup. bibir engkau terkatup.

13

aku masih di sini, di samping nama engkau yang


ditulis di nisan,
sehabis orang-orang pulang mendoakan sembari
menabur kembang.

: aku tidak bisa berdoa banyak, Tuhan.


semoga Engkau terus menjadi yang maha pengasih
lagi maha penyayang.
amiin.

Juli-Agustus 2012

KUMPULAN PUISI ESAI 113


114 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Suara-Suara Ingatan

Puisi Esai
Jenar Ariwibowo

KUMPULAN PUISI ESAI 115


116 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Suara-Suara Ingatan

di pagar rumah itu


kini bahkan tak tumbuh lagi pare dan kucai
kembang sepatu
soka
bougenvil
kantil
dan juga alpinia1 yang tiap pagi dulu tekun ia sirami
telah juga meranggas dan menghumus ke entah mana
rumah itu seperti bukan lagi tempat pulang baginya
ruang tamu yang biasanya bising oleh tawa bapak
dan ibunya
kini menjadi pendiam dan renta
ia cuma sesekali akan menjerit
ketika angin membikin daun jendela berderit

1
Lengkuas atau laos (alpinia galanga): jenis tumbuhan umbi-umbian yang
bisa hidup di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Umumnya
masyarakat memanfaatkannya sebagai campuran bumbu masak dan
pengobatan tradisional.

KUMPULAN PUISI ESAI 117


di rumah itu
suti akhirnya kembali datang
bukan lagi untuk pulang
melainkan sekedar untuk menjenguk kenangan
yang jika dilupakan begitu sayang

ia kini duduk di kursi kayu tua


memandang pilu senyap meja makan yang di atasnya
dulu kerap dipenuhi wangi ikan-ikan asin dan nangka
tak ada—meski—seekorpun lalat yang mau
bertandang menemani

debu-debu yang membikin segalanya dekil


dan ingatan-ingatan kecil di kepalanya
acap kali menjelma suara-suara pelan bapak dan ibu
di sepi itu
yang tanpa disadari membikin airmatanya labuh ke
dagu

118 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


3

“betapa menyedihkan menjadi miskin, Nduk.”2


suara itu menggema jelas dari tabung lampu pompa
yang gosong
dari tembok-tembok usang kamarnya
kalender robek
kaca jendela yang bolong
juga bahkan dari lumut-lumut subur di bibir sumur

maka dengan berat hati ia dekatkan diri


ke setiap gema ini
mendengarnya khidmat dengan dua bola mata
yang basah
dan bersinar buncah —seperti pucuk kembang turi di
pukul setengah enam pagi

Suti baca kembali satu demi satu


cerita-cerita lama yang pernah mukim di sana itu
hingga kemudian ia sadari
bahwa kemiskinanlah yang ternyata
sempat menjadikan dia sebagai perempuan paling sepi
di dunia ini

2
Singkatan dari en·duk/genduk, Jawa, panggilan (kata sapaan) untuk anak
perempuan.

KUMPULAN PUISI ESAI 119


di atas meja
ia kemudian bertopang dagu
memutar ulang lengkap kenangan
yang begitu enggan untuk disemayamkan

sembilan belas sembilan delapan


hiphiphura di layar kaca berubah menjadi huruhara
kerusuhan terjadi di mana-mana3
orang-orang saling jarah-menjarah
berkata-kata kotor
menjungkirbalikkan mobil
bahkan ada juga yang membunuh dan memperkosa
didalangi entah oleh siapa

3
Kerusuhan terjadi di Indonesia pada 13 Mei-5 Mei 1998, khususnya di ibu
kota Jakarta, juga di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis
finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa
Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei
1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan
dihancurkan oleh amuk massa —terutama milik warga Indonesia keturunan
Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan
Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa
dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan
diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam
kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang
meninggalkan Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan
_Mei_1998).

120 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


api menyala merah
darah menggenang setinggi kecambah
ada yang menangis
ada yang menjerit
ada yang juga tertawa
ada desing peluru
juga asap dan lemparan batu-batu
di chanel lain juga diputar berita
mahasiswa-mahasiswa berbondong-bondong lari
ke gedung DPR/MPR4
sebagian memblokir jalan
sebagian lagi bermain ludruk di bundaran HI
presiden dilengserkan, kaum kecil banyak yang gembira5
pemerintahan berubah, tapi ternyata kondisi Negara
malah bubrah
dampaknya bapak Suti kena PHK
masa depan mereka pun otomatis berduka

4
18 Mei 1998, gelombang pertama mahasiswa dari FKSMJ dan Forum
Kota memasuki halaman dan menginap di Gedung DPR/MPR untuk
menuntut Presiden Soeharto agar turun dari jabatannya. (http://
id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29).
5
21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada pukul
9.00 WIB. Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf
kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka
didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29).

KUMPULAN PUISI ESAI 121


tiga bulan bapak Suti masih bisa menghidupi keluarga
tapi tidak di bulan berikutnya ketika sisa gaji dan uang
pesangon habis
hingga akhirnya Suti pun dipaksa putus sekolah,
sebab kata bapaknya
mencari kerja sehabis itu amatlah susah

perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi, nduk


toh kelak kau tetap hanya akan bertemu dengan
dapur dan kasur saja

sejenak, dibiarkannya ruang keluarga


mengheningkan cipta
canda tawa di rumah mereka pun terpaksa ditidurkan

Bapak, apa memang perlu harus demikian?

Bapak Suti tinggi dan tidak terlalu tampan


konon katanya dia adalah seorang sarjana
tapi tetap saja di negara ini ijazahnya tidak berguna
Ia lantas terpaksa mengayuh becak
karena tak dapat-dapat kerja

122 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


demi tetap ada yang terhidang di atas meja makan,
tentu saja
kendati di ruang makan, daging sapi dan ayam kini
harus
diganti kerupuk dan ikan asin
dan durian harus diganti dengan jambu dan nangka

lebih baik hidup begini sederhana, sayang


daripada kita harus mengemis beras kepada tetangga

Bapak Suti merupakan seorang pekerja keras dan baik hati


tak akan pulang ke rumah jika kota belum
menyisakan hanya lampu-lampu redup dan sepi
tak pernah ia menceritakan sakit dan lelahnya
kepada Suti atau juga istrinya
hingga pada suatu petang
ia meninggal dunia saat mengantar pulang penumpang
penyakit jantung membunuhnya tanpa terlebih dulu
mengetuk pintu
ia diantar empat orang ke rumahnya
sebagai jasad yang sudah tidak lagi bernyawa

maka bermuramdurjalah kemudian Suti


oleh sebab tiada lagi sosok lelaki
yang setiap pulang kerja dulu acap
membawakan untuknya sekantung penuh gulali

KUMPULAN PUISI ESAI 123


sepuluh hari ibu Suti juga mengurung diri di kamar
lantaran berat duka yang dia emban
ia habiskan waktu dengan bersidekap tangan sembari
menatap kosong setiap sudut bilik seperti perempuan
hilang ingatan

kenapa setiap yang kau datangkan harus kembali kau


buat pergi, tuhan?

pelan-pelan Suti dan ibunya akhirnya bangkit berdiri


membanting tulang sebagai pencuci pakaian
tetangga-tetangganya
lima puluh ribu rupiah seminggu pun rela mereka jalani
asal kompor di dapur bisa tetap menyala
asal air tetap bisa dijerang
nasi tetap bisa ditanak
rumah masih bisa diterangi
dan canda tawa di dalam kamar masih bisa dihimpun
meskipun kali itu oleh hanya mereka berdua saja

124 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


7

kadang ibu Suti merasa bersalah membiarkan


anaknya menikmati
masa kanak-kanaknya yang tidak panjang
apalagi Suti kerap bercerita padanya kalau dia
kepingin lagi bisa seperti dulu;
membaca kisah Kartini dan Jenderal Sudirman
di depan kelas saat pelajaran sejarah;
menambah dan mengalikan angka bersama-sama
di jam matematika
membikin satu-dua puisi di jam bahasa;
memberi hormat kepada bendera bangsa yang
meniang saat upacara
tapi apa boleh buat
sekolah mahal
buku-buku mahal
ijazah mahal
apa-apa mahal!
meski sebenarnya negara berkewajiban membikin
dia pintar6
sayang, itu semua hanya sekedar koar-koar

6
Bila merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan dalam pasal
31 ayat 1 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan
pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti

KUMPULAN PUISI ESAI 125


kau tak perlu lagi berharap banyak buat menjadi
pintar, perempuan kecilku
di negri kita orang miskin dilarang menuntut ilmu
kamu cukup duduk diam di rumah saja
menunggu kedua tanganmu menjadi kekar
dan dua buah dadamu tumbuh membesar
katakanlah, kau cukup menunggu dirimu dewasa
agar bisa jadi babu di luar negri seperti tetangga
kampong kita,
atau mungkin mengabdi
kepada orang dari tanah air kita sendiri —yang lebih
keparat kalau soal memberi gaji
pemerintah mana mau tahu dengan melodrama
hidup kita yang picisan ini
yang di setiap kota di negeri ini punya seribu satu
cerita yang sama

pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan dalam UU


No. 20/2003 pasal 5, setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk
memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan
khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa
berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak
mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. (http://
timpakul.web.id/pendidikan.html); referensi lain: (http://id.wikisource.org/
wiki/Undang-Undang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia_Tahun_1945/
Perubahan_IV).

126 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


atau mungkin dua ribu
bahkan mungkin juga sepuluh ribu

tapi semoga saja kelak kita diberi oleh tuhan


kesempatan untuk menjadi kaya raya, sayang

suatu hari yang basah di musim hujan


tiga tahun setelah bapak Suti pergi
jalan-jalan di kampung dipenuhi kubangan
katak-katak beranak-pinak di mana-mana—
di pojok parit
di rimbun semanggi
di balik bengkel tambal ban—
membikin suara gaduh di ketika waktu hilang matahari
dan di antara riuh rendah suara-suara itu
Suti kembali diajak tuhan bermain-main
dengan rasa duka
dunia di hadapannya mendadak terasa lengang
begitu ia tahu bahwa ibunya juga turut berpulang
seperti bapaknya

tuhan, apa lagi ini?

KUMPULAN PUISI ESAI 127


9

kata orang-orang ibu Suti mati karena


menderita penyakit kangker otak
barangkali oleh sebab kebiasaan anehnya sendiri
yang ketimbang dengan sampo, ia lebih suka
mengeramasi rambutnya dengan bubuk deterjen
sisa mencuci
habis mau bagaimana lagi, uang untuk membeli sampo
bagi dia lebih berguna kalau dibelikan garam
atau gula saja

betapa menyedihkan menjadi miskin, Suti


kau bisa mati lebih cepat apabila tak kuat
maka besok kalau sudah besar nanti
kau menikahlah dengan orang yang kaya raya
supaya tak lahir lagi orang-orang bernasib seperti
kamu berikutnya

10

takdir kembali menuntun Suti kepada halaman kosong


yang membuat ia harus benar-benar lebih pintar
menulis cerita
sambil menahan segala sedu-sedan yang ada;

128 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


harus pandai melangkah dan mengubahbenahi
hikayat hidupnya
yang sejauh ini demikian gasal itu;
harus sedia belajar berdansa gembira
di bawah rinai gerimis;
memecah cadas dengan kuku-kuku;
dan teguh di antara hiruk-pikuk caci-maki
hingga tubuh dan hatinya mati rasa—
tak lagi merasa kuyup dan sering merinding
seperti biasa

karena ia sudah tak lagi punya siapa-siapa

11

suatu hari seseorang mengajak Suti hijrah ke kota


untuk bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah
makan
dan ia pun langsung menerimanya dengan tangan
terbuka

supaya bisa makan dan melanjutkan hidup


mau tidak mau harus bersedia
asal jangan jadi pelacur kelas kencur saja

KUMPULAN PUISI ESAI 129


lalu ditinggalkannyalah sendirian kemudian
kediamannya dibiarkannya tanaman-tanaman
di beranda depan membelukar
sebelum akhirnya mati sendiri-sendiri
ditenggelamkan air pasang yang kerap datang
setinggi mata kaki

12

Suti bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran di


Jakarta
dengan gaji dua ratus lima puluh ribu sebulan
dan jaminan makan tidur gratis di sana
tapi ia terpaksa harus bersedia bergumul
dengan daging dan minyak babi di dapur
kendati dalam kepercayaannya
hal itu merupakan dosa besar
yang bisa membikin imannya mumur

habis bagaimana lagi


tidak mungkin ‘kan setiap hari
tuhan akan mengirimiku lauk-pauk dan serantang nasi
seandainya aku tidak begini?

130 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


13

Suti hanya betah satu setengah tahun saja kerja di


Jakarta
dan terpaksa pulang kampung karena tidak tahan
diintimidasi
Ia kembali lagi kepada kediamannya yang kini kotor
dan lapuk seperti nisan kayu kedua orangtuanya
yang hampir tidak pernah ia kunjungi —bahkan meski
setengah tahun sekali

rumah itu kini reot


tidak mampu Suti memugarnya
dengan sisa uang yang ia kumpulkan selama bekerja
di kota
maka ia pun kembali pergi meninggalkannya
dan mencari kediaman lain yang bisa
menampungnya
ia pun bertanya tentang lowongan kerja kepada setiap
pemilik kios baju di pasar-pasar
sambil terus berharap ada yang mau berbaik hati
mempekerjakannya
dan membiarkan ia tidur di kiosnya setiap malam

KUMPULAN PUISI ESAI 131


lantas bertemulah Suti dengan pemilik toko baju
bernama Pini—
perempuan empat puluh lima tahun yang
keramahtamahannya serupa dengan mendiang ibunya
betapa beruntungnya Suti bertemu Pini
lantaran Pini berniat menjadikan Suti anak angkatnya
setelah lima bulan ia bekerja padanya

Suti bahkan kembali disekolahkan


diberi kesempatan untuk belajar apa saja yang ia mau
ia kini punya pundak Pini untuk memuarakan
airmatanya
punya tempat merapat ketika tubuhnya dilanda gigil—
punya ibu kedua yang didatangkan tuhan sebagai
keajaiban untuknya

tuhan selalu menghitung langkah kakiku selama ini


tuhan tidak pernah tidur
tuhan tidak pernah tidur
Bapak, Ibu, kalian juga tentu tahu itu
tuhan tidak pernah tidur

132 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


14

nasib baik itu telah menumpulkan mata Suti


yang selama ini runcing
membikin dia kembali menghafal lagu Indonesia Raya
yang liriknya pernah sempat ia lupa
juga kini ia lebih sering menengadahkan kepala
untuk melangitkan doa-doa
sesekali ia juga menyempatkan diri berkunjung
ke kediaman lamanya
sekedar untuk sejenak kembali menjadi perempuan
kecil yang cengeng—
menyibukkan diri mengemasi sisa masa lalu
di kediaman itu
yang selama ini terus membuat dia tak ingin lebih
cepat mati

aku ingin bisa berdiri tegak dengan kedua kakiku


sendiri, Ibu. menjadi perempuan besar yang tidak
melulu berurusan dengan dapur dan kasur
untuk bisa membalas budi kepada setiap yang pernah
menyapihku. terlebih kepada engkau yang kini telah
menjadi entah tanah atau abu. akan kutanam apa
saja bunga yang engkau suka di atas tanah tempatmu
berdiang, agar putik dan kelopaknya yang gugur
senantiasa mengirimimu doa-doa. demikian di atas
makam Bapak juga

KUMPULAN PUISI ESAI 133


15

dunia benar-benar terus berputar


seperti kata mereka-mereka
dan cerita-cerita benar-benar terus berganti
seperti halaman-halaman koran yang beritanya
tak melulu sama setiap ganti pagi
setiap orang punya cerita yang berbeda
punya masa lalu yang berbeda
dan masa depan yang berbeda

tapi cuma ada satu saja di antara sepuluh ribu


orang tak ber-ibu yang bisa bernasib seperti Suti
oleh sebab itulah kadang ia dengan sendirinya
meneteskan airmata
ketika menemui ia-ia yang lain —di marka jalan
di pasar-pasar
di terminal-terminal
juga di pinggir gedung-gedung besar —yang tidak pernah
menemukan jalan untuk pulang
dan tidak bisa menggambar sendiri dengan baik
peta hidupnya

134 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


jika tak ada yang benar-benar dengan tulus
mengulurkan tangan padamu
maka selamanya engkau tetap akan jadi seperti itu
sebab negeri ini adalah negeri yang tidak pernah
mau tahu
negeri yang tidak pernah bangun
negeri yang sengaja ditidurkan, sayang

Semarang, Agustus 2012

KUMPULAN PUISI ESAI 135


136 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Jejak Cinta Madun
di Kota Sampit

Puisi Esai
Catur Adi Wicaksono

KUMPULAN PUISI ESAI 137


138 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT
Jejak Cinta Madun di Kota Sampit

Dialah Madun
Pemuda tampan nan santun
Lahir di Pulau Garam
Kental adat, kental agama

Sejak kecil di pondok


Membaca Qur’an
Mendengarkan dakwah
Pagi sekolah, sore mengaji
Begitulah sehari-hari

Di dalam kapal ia duduk termenung


Hiruk-pikuk penumpang tak membuatnya gentar
Namun akhirnya ia pun mengalah
Pada nenek tua yang ingin duduk sejenak

KUMPULAN PUISI ESAI 139


Madun berjalan turun
Di dek kapal ia berdiri
Memandang hamparan laut
Mendengar deru air

Angin semilir merayap lembut


Menerbangkan ingatannya
Membawanya pada masa lalu
Tujuh tahun silam
Penuh kelam

November 1998
Sejak kerusuhan itu
Jatuhnya Soeharto
Perekonomian terpuruk
Tak terkecuali keluarga Madun

Beruntung ia sudah tamat Madrasah


Diikutinya program pemerintah
Untuk bekerja di pulau seberang
Yang mereka sebut Borneo

Pak, Bu, aku ingin merantau


Doakan anakmu ini
Agar sukses di tanah orang

140 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Tekad Madun sudah bulat
Ia ingin adik-adiknya sekolah
Bapak Ibunya juga bisa punya sawah
Ia berangkat bersama puluhan orang lainnya
Satu tujuan
Meraih impian

Di Tanah Dayak
Tepatnya di Kota Sampit, Kalimantan Tengah
Di sanalah Madun mencari nafkah

Madun bertemu Pak Jaka


Beliau atasannya
Yang mengajarkan dan memberinya pengalaman
Tentang jual beli pertanahan

Dun, tinggallah bersama Bapak


Kau masih terlalu awam mengenal masyarakat sini
Sanak saudara pun tak ada

Ia manut saja
Lagipula Pak Jaka ada benarnya
Meskipun beliau bukan penduduk asli
Setidaknya Pak Jaka dan keluarganya sudah
bertahun-tahun menetap di sana

KUMPULAN PUISI ESAI 141


Hari demi hari
Madun giat bekerja
Ditimbunnya rupiah demi rupiah
Berharap lebaran pulang ke Madura

Ya Allah, terima kasih atas rizki-Mu ini


Aku bisa menyekolahkan adikku
Meringankan beban bapak-ibuku
Dan Engkau juga membimbingku pada keluarga Pak
Jaka yang baik hati

Di mushalla kecil, Madun berdoa


Sedikit warga muslim tak mengecilkan niatnya
Di hadapan Sang Khalik
Bersujud penuh khusyuk

Waktu terus berlari


Di langit Sampit, ia bertemu bidadari
Serumpai namanya
Subhanallah...
Parasnya elok
Hatinya teduh
Tutur katanya lembut

142 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


5

Saat maghrib
Usai melantunkan doa
Disapanya Madun
Assalamualaikum...

Benar saja
Sering ia ke mushalla
Baginya, Madun adalah orang asing

Keduanya pun asyik bercengkrama


Saling tanya, saling pandang
Penuh rasa, penuh makna
Tak luput dari mata tajam malaikat
Melepas busur panahnya
Pada kedua hati
Madun dan Serumpai

Rasanya aku tak percaya


Jauh dari tanah kelahiranku
Aku berjumpa dengannya
Dan memang aku jatuh cinta
Ya Allah, jika memang dia jodohku, ridhoi kami

KUMPULAN PUISI ESAI 143


Siang berganti malam
Bulan menghilang, mentari pun datang
Madun dan Serumpai
Dua sejoli menjalin cinta
Di pematang sawah mereka bercanda
Di setiap tempat mereka singgah
Alam Sampit menjadi saksinya

Umpai, begitu Madun memanggil kekasihnya


Dan Serumpai memanggil A’dun

Berkali-kali Madun menghela nafas panjang


Kedua matanya tampak basah

Peristiwa itu
Segala yang terjadi
Menjadi serpihan yang tertinggal

Aku harus berkorban


Sekalipun arah mata angin berlawan
Aku akan tetap berjalan
Bukankah cinta sejati harus diperjuangkan?
Ya, seperti kapal ini
Ia berjuang melawan arus air untuk sampai ke tujuan

144 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Madun... Madun...
Sedari dulu tekadnya seperti karang
Tak peduli aral melintang
Berharap kapal sampai ke tujuan
Menemukan jejak langkah yang ia tinggalkan
Di Bumi Dayak, ia kembali

Hari-hari Madun bersama Serumpai


Bak dunia milik berdua
Hatinya berbunga-bunga
Di Sampit, Madun makin cinta, juga seisinya

Lengkap sudah hidup Madun


Banyak suku Madura yang hijrah
Mendengar kesuksesan teman-temannya
Kota Sampit semakin berhimpit
Serasa di tanah kelahirannya

Madun bisa mandiri


Membangun rumah seadanya
Kanan-kiri orang Madura
Menyebar hingga ke daerah-daerah
Mereka punya ladang dan hasil alam lainnya

KUMPULAN PUISI ESAI 145


Tapi...
Siapa yang menyangka?
Bahwa ini awal dari sebuah malapetaka

Februari, 2001
Dilihatnya kepulan asap hitam
Jauh terlihat beratus meter

Serumpai berlari
Rasa penasaran mengalahkan segalanya
Di tengah jalan ia dihadang

Balik, Nak! Ada kerusuhan!


Pulanglah!, perintah warga

Hati Serumpai tak karuan


Mendengar kabar Dayak dan Madura bertikai
Saling bakar
Adu senjata
Entah siapa yang memulai
Kerusuhan pun semakin menjadi

146 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Madura?
A’dun! Ya, A’dun orang Madura!
Ya Allah...

Diambilnya kerudung merah dan kuning


Ia berlari menuju hutan
Didapatnya beberapa helai daun sawang

Nafasnya menderu-deru
Langkahnya semakin cepat
Hanya satu, rumah Madun yang ia tuju

A’dun! A’dun!
Lari A’dun!
Dayak marah!
Ikat ini di kepala, selipkan daun sawang dan
berdoalah
Lari sejauh mungkin!

Lari? Kerudung merah kuning? Daun sawang?


Serumpai?
Madun tak mengerti
Apa arti semua ini?

KUMPULAN PUISI ESAI 147


Bum! Bum!
Dentuman seperti suara bom
Asap hitam semakin jelas
Bapak-bapak keluar rumah
Membawa celurit dan berjaga akan bahaya

Lari dan berdoalah!


Ya, ia ingat kata-kata Serumpai

Seperti mendapat tongkat estafet


Madun berlari dengan penuh tanya
Ke mana aku harus berlari?
Hutan?
Hutan!

Astagfirullahaladzim.... Astagfirullahaladzim...
Ya Allah, lindungilah hamba

Dua orang paruh baya bertelanjang dada


Tangan kiri menenteng kepala, tangan kanan
membawa senjata
Penuh darah
Sorot mata seperti singa yang bertemu mangsa

Ampun, Pak! Ampun...


Saya tak tahu apa-apa

148 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Mereka pun berlalu
Meninggalkan Madun menuju arah pertempuran

Rasanya tak mungkin ia berlari ke hutan


Berkali-kali Madun menyebut nama Allah
Berharap tak bertemu manusia menyerupai Dajjal

Pak Jaka!
Benar! Pak Jaka orang Jawa!

Ditempuhnya jalan menuju rumah Pak Jaka


Setidaknya Madun merasa aman di sana

Di depan rumah Pak Jaka


Dilihatnya tiang dengan kain warna merah kuning
Dua helai daun menyilang di pintu bertuliskan
“Uluh Itah Jawa”
Mirip!

Ya Allah, Madun! Bapak mencemaskanmu


Untunglah kau kemari
Dayak dan Madura rusuh
Mereka berkata Madura tak tahu adat
Seenaknya memakai lahan, merusak hutan
sembarangan

KUMPULAN PUISI ESAI 149


Tapi...
Kata Madura beberapa warganya dianiaya
Ditebas kepalanya
Ngeri!

Pak Jaka bercerita panjang lebar


Madun mulai paham
Kain merah kuning, daun sawang
Benda kepercayaan, tolak bala
Dianggap keramat oleh suku Dayak

Pantas saja!
Aku selamat dari maut
Ya Allah...

Di tempat lain, di rumah Serumpai


Ia tak henti-hentinya berdoa

Bismillahirohmanirohim
Ya Allah, Ya Tuhanku, lindungilah A’dun
Jauhkan dari segala marabahaya
Semoga pertikaian ini cepat berlalu
Tak ada lagi pertumpahan darah
Yang kami ingin hidup rukun dan damai

150 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


10

Suara sirine mendekati telinga


Dari balik jendela, Madun sungguh tak percaya
Dilihatnya gerombolan pemuda
Menggenggam celurit penuh amarah

Di mana bumi dipijak, di situ langit Madura


dijunjung! pekik mereka

11

Tiga hari, tiga malam


Situasi semakin mencekam
Listrik sering padam
Sampit seperti kota mati
Tak ada pedagang
Bahan makanan makin berkurang
Kabut memenuhi seluruh kota
Ketakutan melanda
Khawatir kerusuhan menyebar ke ibukota

Jerit tangis mewarnai peristiwa


Darah tumpah di mana-mana
Ibu-ibu tak tahu ke mana suaminya
Entah masih hidup atau sudah jadi jenazah

KUMPULAN PUISI ESAI 151


Dayak masuk rumah-rumah Madura
Madura pun siap dengan celuritnya

Owowowo.... Owowowowo...
Owowowo.... Owowowowo...
Mereka menepuk-nepuk mulutnya dengan telapak
tangan
Tanda kedatangan
Dayak pedalaman sudah masuk ke kota
Konon cerita, mereka kebal senjata
Satu di antaranya bisa terbang dan sebagainya
Panglima Burung
Panglima Kumbang
Begitu orang menyebutnya

Suku Madura menguasai Sampit


Dan Sampit dikuasai kembali oleh Dayak
Begitu seterusnya

Celurit dan mandau beradu


Aparat keamanan tak kuasa menahan
Peluru pun tak mungkin ditembakkan
Salah-salah malah mencoreng nama

152 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Begitu banyak massa
Membabi-buta, menebas kepala
Celurit pun serasa tumpul
Bagi mereka yang berilmu kebal

Ini tanah kami, Tanah Dayak!


Ini adat kami, Adat Dayak!
Seru warga Dayak lantang

Slup!
Sebuah tombak melesat ke punggung pemuda
Madura
Bass! Bass!
Sekali tebas, kepala terlepas

Korban berjatuhan
Tumpukan kepala terlihat di jalanan
Dulu manusia, sekarang seperti manekin berlumuran
darah
Besar-kecil
Tua-muda
Beraneka rupa

Warga yang lain diungsikan


Mereka yang Madura dipulangkan

KUMPULAN PUISI ESAI 153


12

Hari ketiga situasi mereda


Suku Madura pulang ke tanah asalnya
Berbondong-bondong meninggalkan hartanya

Madun ikut serta


Hanya ini jalan satu-satunya
Tak ada lagi pertikaian kedua

Hatinya bergejolak
Sedih, takut, trauma jadi satu
Ia ingin berpamitan dengan Serumpai
Tapi itu tak mungkin
Bisa-bisa kepalanya dipenggal bapaknya
Maafkan aku, Serumpai

13

Bapak-ibu Madun gelisah


Melihat berita di media
Etnosentris yang salah kaprah
Hukum negara tak dapat bicara
Hukum adat di atas segalanya
Konflik pun akhirnya pecah
Ratusan nyawa terbunuh sia-sia

154 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Pertiwi menangis
Pertiwi berduka
Melihat Madura dan Dayak jauh dari kata Bhineka
Tunggal Ika

14

Kapal mulai menepi


Berlabuh di pelabuhan Sampit
Madun sampai pada tujuannya
Dipandanginya setiap sudut kota
Beberapa tampak berubah
Sebuah kayu ulin raksasa dengan ornamen indah
menjulang tinggi ke angkasa
Tugu Perdamaian Dayak dan Madura
Dibangun di atas tanah kota

Madun tahu betul


Tidak mudah melupakan kenangan masa lalu
Trauma itu masih melekat
Sejak tragedi berdarah tiga tahun lalu
Ia meninggalkan sepenggal kisah manis di tengah-
tengah bahaya
Bersama Serumpai, bidadari yang dicintainya

Terakhir Madun berkirim surat


Dua tahun setelah peristiwa

KUMPULAN PUISI ESAI 155


15

Sampang, 20 Februari 2003


Assalamu’alaikum Warohmatullahi wa barokatuh

Umpai, bagaimana keadaanmu?


Aku harap kamu sehat wal’afiat
Aku pun juga begitu
Alhamdulillah baik-baik saja

Tepat 3 tahun
Sejak aku meninggalkan kota Sampit
Segala kenangan terukir jelas dalam ingatanku
Kenangan indah bersamamu
Takkan terkikis oleh sang waktu

Yang lalu biarlah berlalu


Tak ada dendam dalam diriku
Tanah Dayak juga menjadi bagian hidupku
Kerudung dan daun sawang pemberianmu telah
menyelamatkanku
Entah bagaimana aku membalas perbuatanmu
Allah pasti melihat kebaikanmu

156 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Umpai, maafkan aku
Aku pergi tanpa memberitahumu
Bukan maksud hati ingin sengaja
Tragedilah yang membatasi kita
Namun cintaku akan selalu ada
Untukmu, untuk Sampit tercinta

Umpai, tahukah kamu?


Sejak aku melihatmu
Matamu memancarkan ketulusan
Senyummu mendamaikan hati
Seribu kata tak dapat kulukiskan
Hanya doa yang sering kupanjatkan
Kelak kita mengikat janji pernikahan

Kutunggu surat balasan darimu


Wassalamualaikum Warohmatullahi wa barokatuh
Kekasihmu,
Madun

16

Berbulan-bulan hingga berganti tahun


Surat Madun tak kunjung mendapat balasan
Itulah mengapa ia kembali
Mencari Serumpai, kekasih hati

KUMPULAN PUISI ESAI 157


Diingatnya setiap lekuk jalan
Persis seperti ia datang pertama kali
Merantau, mencari rejeki
Di sanalah ia menemukan cinta
Jejak cinta Madun di Kota Sampit
Meski sulit, ia tetap berjalan
Beribu tanya menggelayuti pikiran
Akankah aku bertemu Serumpai?
Menyatukan kembali cinta yang sempat terpisah
Atau mungkin hanya sia-sia?
Oh Tuhan, hanya Engkau yang sanggup
memberikan jawaban....

158 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Catatan*

1 Konflik Sampit merupakan pecahnya kerusuhan antar etnis pada tahun


2001 di Indonesia. Terjadi pada bulan Februari dan berlangsung sepanjang
tahun itu. Pertikaian terjadi antara suku Dayak asli dan warga imigran
Madura. Peristiwa tersebut menelan ratusan korban jiwa dan kerusakan
rumah-rumah warga. (http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Sampit).
2 Penyebab konflik belum diketahui secara pasti. Namun berbagai spekulasi/
pendapat menyatakan bahwa:
a. Pertikaian itu bermula dari pembunuhan yang dilakukan oleh sejumlah
orang Madura terhadap seorang ibu warga Dayak yang sedang hamil
tua. Para pembunuh bertindak sadis. Mereka menyayat perut korban,
mengeluarkan bayi dari kandungan dan membakarnya. Kisah lain,
perseteruan terjadi setelah sekelompok warga Dayak menyerang
keluarga Matayo, pendatang Madura di wilayah kecamatan Baamang.
Pengeroyokan itu menewaskan empat orang dan melukai seorang
lainnya. Mengetahui ini, warga Madura emosi dan membakar belasan
rumah milik warga Dayak di sekitar lokasi (penuturan kepala Pusat
Penerangan Markas Besar Polri dalam jumpa pers di Mabes Polri
Jakarta kepada Liputan 6 SCTV).
b. Orang Dayak adalah masyarakat tradisional dan mempunyai sifat
pemalu terhadap warga pendatang. Itulah mengapa warga Dayak sering
mengintip dari balik pintu rumah mereka bila melihat warga pendatang.
Dayak sangat menghargai dan menjunjung tinggi adat. Mereka memiliki
sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat antarsuku Dayak.
Sebagian besar warganya tidak banyak yang mengenyam pendidikan.
Mereka terkadang merasa terbodohi dan sering mengalah. Dari kasus
pelarangan menambang intan di atas “tanah adat” mereka sendiri karena
dituduh tidak memiliki izin penambangan sampai kampung mereka
harus berkali-kali pindah karena mengalah dari para penebang kayu

* Penulis puisi esai ini tidak mencantumkan angka pada tubuh puisi.
Karenanya, catatan atas puisi esai tersebut dicantumkan sebagai Catatan
setelah puisi esai itu sendiri.

KUMPULAN PUISI ESAI 159


yang terus mendesak, mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya,
kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan
tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan
masyarakat Dayak menjadi korban kasus tersebut. Selain itu,
masyarakat Dayak tidak pernah menentang warganya yang ingin
masuk ke agama yang dibawa oleh warga pendatang. Mereka sangat
ringan tangan dan peduli terhadap sesama. Tidak pernah membawa
tombak, mandau, sumpit atau panah ke dalam kota Sampit untuk
“petentang-petenteng”. Sedangkan etnis Madura yang punya latar bela-
kang budaya “kekerasan” ternyata menurut masyarakat Dayak diang-
gap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai penda-
tang). Sering terjadi kasus pelanggaran “tanah larangan” orang Dayak
oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura.
3 Sebenarnya kasus-kasus pertikaian antaretnis Dayak dan Madura sudah
berlangsung lama sebelum pecahnya kerusuhan Sampit pada Februari
2001. Kasus-kasus tersebut terjadi pada 1972, 1982, 1983, 1996, 1997,
dan 1999 (sumber: Buku Merah: Konflik Etnik Sampit, Kronologi Kesepa-
katan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran, Lembaga Musyawarah
Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT).
Dendam kedua etnis terus berlanjut. Puncaknya terjadi pada tanggal 18-
20 Februari 2001. Di Kota Sampit, ibukota Kotawaringin Timur.
Tanggal 18 Februari 2001 pukul 01.00 WIB terjadi peristiwa pertikaian
antaretnis yang diawali dengan perkelahian antara suku Madura dan
sekelompok suku Dayak di Jalan Padat Karya. Lima orang tewas dari
pihak Madura.
Pukul 08.00 WIB terjadi pembakaran rumah warga Dayak oleh orang
Madura. Tiga orang Dayak tewas.
Pukul 10.00 WIB sebanyak 38 orang tersangka dari kelompok suku Dayak
atas kejadian tersebut diamankan di Mapolda dan disita 62 senjata tajam.
Kerusuhan berlanjut pada malam harinya dan ditemukan 4 mayat dari
suku Dayak di Jalan Karya Baru, Sampit.
Tanggal 19 Februari 2001 pertikaian masih berlanjut. Kota Sampit
sepenuhnya dikuasai oleh suku Madura yang menggunakan senjata tajam
dan bom molotov.
Tanggal 20 Februari 2001 kerusuhan makin memanas. Terjadi perkelahian

160 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


terbuka antara suku Dayak dan suku Madura. Suku Dayak Pedalaman
berhasil masuk ke kota, membantu warganya. Perang pun pecah. Ribuan
warga yang ketakutan segera diungsikan, baik yang non Madura maupun
sebagian Madura yang tidak terlibat pertikaian.
5 Jumlah korban meninggal dari kedua belah pihak sampai Rabu (28-2-
2001) menjadi 315 orang. Sementara korban luka-luka sebanyak 14 orang.
Menurut data Polres Kotawaringin Timur (Kotim), jumlah rumah yang
dibakar 583 buah dan dirusak 200 rumah. Sementara 8 mobil dan 48
sepeda motor dirusak.
6 Jumlah pengungsi sampai tanggal 24 Februari 2001 yang diangkut KRI
Teluk Sampit sebanyak 2.100 orang. Pada Minggu (25-2-2001), 3600
pengungsi diberangkatkan dengan KRI Teluk Ende, sementara 5.882
dengan KM Tilong Kabila. Pada Selasa (27-2) pengungsi yang diangkut
KM Binaiya sebanyak 3.000 orang. Dengan begitu total pengungsi yang
telah diungsikan ke Pulau Jawa sebanyak 14.552 orang.
Sementara itu, Pemda Kotim telah mengerahkan mobil-mobil
operasional, berupa truk-truk berplat merah untuk melakukan
penjemputan dan pencarian terhadap warga Madura yang masih
bersembunyi di hutan sekitaran Sampit. (Sumber: http://tempo.co/2001/
03/01/24446/ ).
7 Selama tragedi, ada beberapa keunikan menurut saksi sejarah kerusuhan
etnis tersebut. (Sumber: http://kompasiana.com/post/catatan/2012/02/
18/11-tahun-lalu-menjadi-saksi-tragedi-sampit-18-februari-2001/ ):
a. Menurut cerita, suku Dayak dapat mencium bau badan suku Madura
sehingga tidak salah sasaran dalam penyerangan.
b. Warga non Madura yang tidak mengungsi diminta untuk memasangkan
tali/ kain berwarna merah dan kuning di tiang-tiang rumahnya dan
ditambah daun sawang, tanda rumah bukan dari suku Madura.
c. Di rumah-rumah lain pun banyak tulisan uluh itah Dayak (artinya:
saya orang Dayak). Ada juga uluh itah Jawa (artinya: saya orang Jawa).
Hal ini dilakukan agar tidak terjadi salah sasaran pembakaran rumah.
d. Orangtua diminta untuk mengoleskan kapur sirih ke dahi dan ketika
malam memberikan gula merah kepada anak-anak mereka agar diemut
si anak.
e. Anehnya api yang membakar rumah orang Madura tidak mengenai
rumah orang Dayak.

KUMPULAN PUISI ESAI 161


f. Menurut cerita warga, mandau (senjata suku Dayak) bisa terbang dan
memangsa orang Madura yang melakukan perlawanan.
g. Suku Dayak memiliki ilmu yang kebal akan senjata tajam dan
mempunyai tradisi turun-temurun yang disebut ngayau, yakni
menebas atau memenggal kepala manusia (dari pihak musuh). Tradisi
ini bertujuan untuk menunjukkan keberanian, melindungi warga suku,
memperluas wilayah dan salah satu cara untuk bertahan hidup.

162 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Biodata Penyair

Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), lahir di Singkawang,


Kalimantan Barat, 30 Mei 1979. Menulis puisi, cerpen,
dan drama. Buku puisinya, Konde Penyair Han dan
Benih Kayu Dewa Dapur. Buku cerpennya, Sulaiman
Pergi ke Tanjung Cina. Karya dramanya, Kawan Tidur.

Arief Setiawan, penulis dan pecinta bahasa. Pengelola


http://arsetega.wordpress.com/. Tinggal di Bogor, Jawa
Barat.

Arif Fitra Kurniawan, menulis puisi, cerpen, dan


dongeng anak. Puisinya pernah dimuat di media cetak
dan cyber, di antaranya Suara Merdeka, Jawa Pos, Buletin
Sastra Pawon, Jurnal Tanggomo, Buletin Hysteria,
Kompas.com, Fordisastra.com. Dimuat juga dalam
antologi puisi Sepuluh Kelok di Mouseland, Tuah Tara
No Ate, Narasi Tembuni, Rendezvous, dan Kutukan dari
Rantau. Menghadiri forum Temu Sasta Indonesia (TSI)
4 di Ternate (2011) dan Ubud Writers and Readers Festival
(2012). Bergiat di Komunitas Sastra Lacikata, Semarang.

KUMPULAN PUISI ESAI 163


Jenar Aribowo, lahir di Semarang, 11 Desember 1985.
Mulai menyukai dunia tulis-menulis sejak pertengahan
tahun 2010. Karya-karyanya dimuat dalam blog pribadi-
nya Rumah Awan dan Kompasiana. Juga di dalam
berbagai buku antologi, di antaranya Munajat Sesayat
Doa (Leutika Prio, Jogja), Karena Aku Tak Lahir Dari
Batu (Sastrawelang Publisher, Bali), Monolog Angsa
(Tuas Media, Kalsel), dll.

Catur Adi Wicaksono, tinggal di Gubeng Klingsingan,


Surabaya.

164 DARI SINGKAWANG KE SAMPIT


Kumpulan Puisi Esai
Yang segera terasa dari Lomba Menulis Puisi Esai adalah be-
Pengantar
ragamnya tema. Aku lirisnya pun beragam: anggota punk, penari Jamal D. Rahman
erotis, pramugara, anak koruptor yang galau, koruptor yang ba-
hagia, pengagum presiden yang kecewa, orang Kubu, masyarakat

Dari Singkawang
terasing, tokoh sejarah nasional dan lokal, sosok pemberitaan,
pencuri coklat, pembunuh keji, santri korban pelecehan, pelaku
mistik, orang kota yang ingin bunuh diri, etnis minoritas merang-
kap pelaku transgender, warga Tionghoa Singkawang yang “di-

ke Sampit
jual” ke Taiwan, buruh tani, TKW, pemain band, politisi, perusuh,
dll. Hal ini menunjukkan bahwa puisi esai telah membuka katup
tematik berbagai urusan Indonesia yang selama ini tidak pernah

Dari Singkawang ke Sampit


mengemuka dan jarang –jika bukan “tabu”— disuarakan dalam
puisi konvensional. Kebhinekaan Indonesia yang selama ini tidak
begitu terlihat, tiba-tiba muncul dengan penuh warna.[]
Kumpulan Puisi Esai
Agus R. Sarjono, Ketua Juri Lomba Menulis Puisi Esai

Tema puisi esai bukan saja beragam, melainkan juga memberi-


Arief Setiawan
kan dimensi-dimensi baru pada puisi Indonesia modern, kalau
tidak membawa tema yang baru sama sekali. Puisi esai telah me- Arif Fitra Kurniawan
nyajikan tema-tema yang sejauh ini jarang bahkan tak pernah kita Catur Adi Wicaksono
temukan dalam puisi Indonesia. Ini menggembirakan. Yang lebih Hanna Fransisca
penting lagi, karena tema puisi esai selalu merupakan masalah
Jenar Aribowo
sosial, maka puisi esai mengekspresikan tanggung jawab moral
dan komitmen sosial puisi Indonesia mutakhir. Dalam puisi esai
tema selalu berkaitan dengan fenomena faktual di luar puisi. Puisi
esai dalam buku ini mengemukakan kisah berbeda-beda, berikut
korban utamanya masing-masing. []
Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi Horison Ilustrasi
dan Jurnal Sajak
Isa Perkasa

Anda mungkin juga menyukai