Anda di halaman 1dari 107

ANTOLOGI PUISI

AGRARIA
INDONESIA
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1. Barang siapa tanpa sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau
pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5 000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
ANTOLOGI PUISI
AGRARIA
INDONESIA
Surya Saluang (Ed)

Epilog: Abdul Hadi, W.M.

STPN Press
Bekerjasama dengan
Sajogyo Institute
ANTOLOGI PUISI AGRARIA INDONESIA
© Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2010
Hak cipta dilindungi undang-undang

Cetakan pertama, Desember 2010


ISBN:

Editor: Surya Saluang


Cover: Dany
Tata Isi: Ahmady Averoez

Penerbit:
STPN Press bekerjasama dengan
Sajogyo Institute

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional


JL. Tata Bhumi no. 5
Yogyakarta
Telp. (0274) 587239

Sajogyo Institute
Jl. Malabar no. 22
Bogor, 16151
Telp/fax. (0251) 8374048
Kata Pengantar Ketua STPN

Kata Pengantar v
vi Antologi Puisi Agraria Indonesia
Pengantar Editor

C
ukup sulit sebenarnya untuk menentukan, bagaimana
puisi-puisi di dalam buku ini disusun. Sedari awal, kami
tidak menetapkan suatu kriteria tertentu dengan ketat,
puisi-puisi seperti apa misalnya yang akan dimuat. Puisi di dalam
buku ini juga bukan puisi biasa. Disini, puisi yang kami sebut “biasa”
adalah puisi yang sepenuhnya lahir dari kegiatan kreatif secara
bebas. Sementara puisi-puisi yang terkumpul dalam antologi ini,
lahir dari situasi yang justru bertolak belakang dengan kebebasan.
Apa lantas kami menyebut ini sebagai puisi luar biasa?
Puisi dianggap rumit dan berat bagi sebagian kita. Puisi
juga bagi sebagian lainnya dianggap luar biasa, tidak umum
dan sunyi. Tapi tak jarang pula kita justru menulis puisi setelah
melewati pengalaman yang rumit dan berat pula hingga terantuk
sunyi. Dalam kesunyian, puisi kemudian menjadi lebih mudah
dimasuki. Jadi, mengapa pilihannya pada puisi? Mungkin sama
halnya dengan menanyakan, mengapa dalam situasi yang sulit
seseorang malah menulis puisi.
Demikianlah, puisi-puisi dalam buku ini lahir dari keterdesakan.
Situasi agraria yang sunyi dari keadilan, sunyi dari kesetaraan,
sunyi dari kesejahteraan rakyat desa, sunyi dari keberpihakan pada

Kata Pengantar vii


petani, dan seterusnya. Berpuluh-puluh, ratusan, ribuan buku
dan berbagai laporan penelitian mengatakan hal yang sama, ada
persoalan dengan kenyataan agraria kita. Namun semuanya juga
berujung pada sunyi yang lainnya, buku-buku dan berbagai laporan
penelitian yang hanya tertata rapi di atas rak berdebu. Keadaan tak
semakin membaik. Puisi-puisi dalam buku ini kemudian mencoba
membuka jalan dalam sunyi.
Penulis-penulis dalam buku ini beragam, mulai dari anak SD
hingga orang-orang dewasa. Semuanya adalah pelaku dari berbagai
kerumitan agraria di negeri ini. Mungkin itulah kelebihan bahasa
puisi, semua umur bisa setara dalam ungkapan. Anda tentu bisa
menelusuri sendiri dalam buku ini. Karya-karya yang merekam
situasi agraria dari beberapa tempat, Ujung Kulon, Tasikmalaya,
Garut, Cilacap, Kulon Progo, Gorontalo, Makassar, Sapeken, dan
Madura. Masih banyak tempat lain dengan kekhasan persoalan
agrarianya masing-masing yang belum berhasil dirangkum dalam
usaha ini. Berbagai keterbatasan masih meliputi penyusunan
antologi ini. Terlepas dari itu, setidaknya usaha kecil ini bisa
memberi cermin yang lain pula, ketika puisi mulai bicara.
Setelah mempelajari semua puisi yang ada, kami menangkap
adanya beberapa kesamaan minat dan pengalaman agraria di
dalam berbagai karya ini. Sekiranya jika bisa kami sebut sebagai
pengalaman kolektif agraria. Pengalaman bersama, meliputi- yang
kami istilahkan, Tanah-tanah basah, Tanah-tanah kerontang, Tanah-
tanah urban, dan Tanah-tanah lengang. Ada empat penandaan,
basah, kerontang, urban dan lengang. Kiranya itulah tematik utama
dari diksi-diksi yang terkumpul dalam buku ini, menandai tematik
situasi agraria di sekitar kita. Persisnya bagaimana penandaan itu
terhubung, semua kita tentu bebas mendeteksi dengan modus
pembacaan beserta pengalaman sendiri pula. Sebagai pengalaman
bersama, kami kembalikan juga pada sidang pembaca untuk

viii Antologi Puisi Agraria Indonesia


merangkai buku ini agar hadir ke dalam sistem penandaan yang
lebih luas. Selamat menikmati sajian sederhana ini!

Surya Saluang

Kata Pengantar ix
Daftar Isi

Kata Pengantar Ketua STPN .............................................. v


Pengantar Editor ................................................................ vii
Daftar Isi ............................................................................ xi

Tanah-tanah basah
Jalan yang Kupilih ....................................................... 2
Pasir Bak Emas ............................................................ 3
Sore Mulai Tiba ........................................................... 4
Bumi Pertiwi ............................................................... 5
Rangkaian Kata Sederhana
: Pak Awa Belender ..................................................... 6

Tanah-tanah kerontang
Berita Buruk Buat Penguasa ........................................ 10
Surat pada Penguasa .................................................... 11
Akupun Bisa Beri Janji ................................................ 12
Di Sanalah Bersama Keluargaku Tak Berdaya .............. 13
Hak Yang Terampas ..................................................... 14
Jeritan Anak Petani ...................................................... 15
Ratapan Anak Sekolah ................................................. 16
Desaku ........................................................................ 17

Daftar Isi xi
Arti Hadirmu .............................................................. 18
Butanya Mataku .......................................................... 19
Pengorbanan Seorang Petani ........................................ 20
Rintihan Petani ........................................................... 21
Penderitaan ................................................................. 22
Realita Hidup Orang Desa .......................................... 23
Untukmu Petani .......................................................... 24
Raih Keadilan Petani ................................................... 26
Seruan Petualang ......................................................... 27
Suara dari Gunung ...................................................... 28
Syair Pesisir ................................................................. 29
Pejuang Pesisir ............................................................. 30
Pejuang Sejati .............................................................. 31
Perjuangan Ayah.......................................................... 32
Semangat Perjuangan .................................................. 33
Aktivis Tua .................................................................. 34
Suara Hati Nuraniku ................................................... 35
Makan Malam Bersama Ayah
:Munir! ........................................................................ 37
Sembilu-Nya ............................................................... 38
Tiga Kuli dalam Satu Puisi .......................................... 39
Lewat Puisi Aku .......................................................... 40

Tanah-tanah urban
Ngungsi ...................................................................... 42
Cilacap ( 1 ) ................................................................ 43
Maafkan Aku Bumi ..................................................... 44
Kota Ini
-Cilacap ....................................................................... 45
Pengemis dan Keindahan Kota .................................... 46
Risalah Pedagang Pisang ............................................. 47

xii Antologi Puisi Agraria Indonesia


Tukang Kebun............................................................. 48
Musnahlah Sudah Harapanku ..................................... 49
Pesan Seorang Ibu kepada Anaknya Sebelum Anaknya
Pergi ke Pusat Perbelanjaan Terbesar di Kota itu .......... 50
Wajah Pribumi ............................................................ 52
Reklame Satu Musim .................................................. 53
Sumur Tepi Tubuhku................................................... 54
Rekayasa Tubuh Berdaun Plastik ................................. 55
Tanahku Rp. 6.000,- ................................................... 56
Bor .............................................................................. 57
Di Kota Mati Rumahku .............................................. 58

Tanah-tanah lengang
Hati Ini Ibarat Tanah................................................... 60
Pisuhan Anak Perahu .................................................. 61
Titip Rindu Untuk Kebebasan .................................... 63
Sketsa .......................................................................... 65
Masih Adakah Harapan ............................................... 66
Nasib Wargaku ............................................................ 67
Penderitaan Petani ....................................................... 68
Petaniku ...................................................................... 69
Perjuangan .................................................................. 70
Mereka yang Dilupakan .............................................. 71
Bisikan Alam ............................................................... 72
Kesaksian Pagi ............................................................. 73
Mentari Pagi ................................................................ 74
Seorang Perempuan Tua Pembawa Kepis ..................... 75
Di Punggung Kita ....................................................... 76
Sajak Para Pemondok .................................................. 77
Anak-Anak Petani........................................................ 78
Yang Berbiak dalam Tanah .......................................... 80

Daftar Isi xiii


Epilog
Sajak-sajak Anak Tani ......................................................... 85
Tentang Editor ................................................................... 91

xiv Antologi Puisi Agraria Indonesia


pasir itu menyala bak emas
diperebutkan dan ingin dikuasai
tanpa peduli dengan nasib rakyat sendiri
(Widodo, 2008)

Tanah-tanah basah
Jalan yang Kupilih

teriris hatiku
melihat ke arah itu
bagaimana nasib kami
tertindas tiada arti

dimana perasaanmu
kami ada disini
kami berdiri di atas tanah kami
mencari nafkah
untuk keluarga kami

biar panas terik


menyinari kulit kami
hingga membakar ari kami
kami tak gentar

inilah jalan yang kami pilih


hidup di asal kami
bertani di pesisir

2 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Pasir Bak Emas

aku mencari sesuatu


suatu ketentraman hati
aku berjalan di gelapnya malam
terfikirkan yang menyala siang tadi

ketika keadilan
tengah dipertaruhkan
dan tak lagi dihiraukan
ketika suara kami tak lagi didengar

harta dan kekayaan berkilau


pasir itu menyala bak emas
diperebutkan dan ingin dikuasai
tanpa peduli dengan nasib rakyat sendiri

dimana kami harus meneruskan hidup


ini tanah kami!
kami tak rela kau ingin menguasainya
kami lawan walau apapun!

Tanah-tanah basah 3
Sore Mulai Tiba
Widodo

indah kupandang ombak laut selatan


dan hamparan pohon cabai melambai-lambai ke arahku
indahnya alam ini selalu memberi kehidupan nyata

sayang kesadaran manusia hanya sebatas materi


sehingga lupa kehidupan nyata
pesisirku marilah kita teriak bersama-sama
usir segala bentuk perusakan alam
hancurkan tambang besi!

4 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Bumi Pertiwi
Anisa Widya. S

ketika mentari telah menampakkan diri


itulah waktu untuk kami maju dan berdegap hati
dengan bambu runcing yang selalu menyertai
tibalah kami di pertaruhan nyawa ini
untuk memperjuangkan bumi pertiwi

walau kami tau semua itu tak mudah


tetapi kami yakin, badai bernyawa pasti musnah
tergelincir oleh licinnya batu
terseret oleh derasnya arus
dan tak akan menemukan jalan yang lurus

bumi pertiwi
percayalah pada kami
bahwa kami tak akan berdiam diri
melihat badai bernyawa terus beraksi
karena kami cinta akan pesisir ini

Tanah-tanah basah 5
Rangkaian Kata Sederhana
: Pak Awa Belender
Hanz

pada pagi kutitipkan harapan


bersama mentari yang tak berhenti
menyinari isi bumi

rumput-rumput menari menyambut kedatanganmu


embun pagi senantiasa menjadi sahabat sejati
dalam menjalani hari-harimu

di atas tanah kau mencari ilmu kehidupan


di bawah tanah kau mencari sedikit nafkah
untuk anak istri di rumah
tanah yang paling berarti bagi hidupmu
yang tak dapat terpisahkan
dan dipisahkan

kutitipkan kehidupan pada setiap pohon


yang hijau berdiri kokoh
pada setiap yang kau tanam di atas tanah

hanya cangkul yang setiap hari kau pegang


hanya tanah yang setiap hari kau rawat
tapi perjuanganmu teguh
harapanmu tinggi
cita-citamu mulia

6 Antologi Puisi Agraria Indonesia


kau tuntun anakmu memikirkan kehidupan
menggambarkan masa depan
agar tak terulang sejarah kelammu

sekolah adalah jalan terang agar sejarah tak terulang


kau banting tulang, olah tanah agar anakmu bersekolah
sekolah yang mengenalkan kejamnya masa depan
sekolah yang memaksa kita berfikir kritis
sekolah yang melatih kita untuk melawan
segala bentuk penindasan

sayang sungguh sayang


selalu saja ada sekat gelap
yang menggunting apa yang kau perjuangkan
yang memutuskan apa yang kau harapkan
yang tak pernah peduli akan cita-citamu

tapi sekarang kau tak berjuang sendirian


kita dalam ikatan kekeluargaan
susah senang kita hadapi dan selesaikan bersama
dengan kepalan tinju
tegap teracung ke atas
mendobrak benteng gelap
dengan genggaman jemari
yang terangkai kuat
tak dapat terpisahkan
saling menggenggam,
mengisi kekosongan satu sama lain

Tanah-tanah basah 7
wahai petani

kau ibarat lilin
yang rela habis demi terang
(Ratna Wulansari, 2010)

Tanah-tanah kerontang
Berita Buruk Buat Penguasa
Fajar Al-Jaja

kabarkan kepada mereka


bahwa masih ada perlawanan
kabarkan pada mereka
bahwa rakyat butuh makan
kabarkan pada mereka
kalau buruh butuh kerja
kabarkan pada mereka
jika petani di desa butuh tanah
kabarkan pada mereka
bahwa penindasan bukan lagi zamannya
kabarkan pada mereka
andai rakyat marah dan memberontak
kabarkan pada mereka
Tuhan pun berpihak pada kami
kabarkan pada mereka
ini berita buruk untuk penguasa
kabarkan berita buruk ini pada mereka
bahwa penindasan akan melahirkan perlawanan
karena Tuhan pun bersama kami!

10 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Surat pada Penguasa
Mimik Hairati

dengan darah yang mengucur sepanjang


penderitaan yang bergeming
di tubuh rentaku
kukatakan pada kalian yang telah
dititipkan sayap oleh Tuhan
untuk terbang mengepak di atas kepalaku
bahwa matiku tinggal beberapa detak jantung lagi
dan aku tidak memiliki seserbuk gula untuk bekal
anak-anakku menyeberangi aspal

aku mohon pada kalian yang telah direstui langit untuk


menjadi pemimpin
jangan lagi sepetak tanahku kalian incar untuk pembangunan
hanya itu yang kumiliki!

Tanah-tanah kerontang 11
Akupun Bisa Beri Janji
Fajar Al Jaya

penguasa pandai berjanji


di depan kami mereka berbohong
kami dianggap kucing
akan diam bila mendapat sisa makanan

mereka pandai beralasan


di depan kami mereka soleh
mendekati kami
bila ada jabatan yang diinginkan

akupun bisa berjanji


janji penguasa adalah bohong
akupun bisa berjanji
janji penguasa adalah racun

12 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Di Sanalah Bersama Keluargaku Tak Berdaya
Jakaria Busman

di sanalah bersama keluargaku tak berdaya


melihat penguasa seenaknya merampas
tanah kami digusur tanpa beralasan
karena kami tak memiliki kekuatan

kami dilarang bertempat tinggal


dengan alasan tak masuk di akal
dipenjarakan bila kami melawan
karena mereka memiliki aturan

seenaknya saja mereka menggusur


bagaikan batu tanpa hati
kami tak mampu berkata lagi
karena rumah kami tak bisa kembali

Tanah-tanah kerontang 13
Hak Yang Terampas
Sohibul Hidayat

hidup ini sungguh menyedihkan


petani kini merintis kesakitan
menderita karna kehilangan tanah garapan
diambil penjajah gadungan
dunia ini kini mata duitan
tanah yang seharusnya milik petani
dirampas orang yang penuh uang
tak ada yang bisa diharapkan
kini petani jadi buruh terlantar
tak bisa makan minum
upah yang tak seberapa
malah ingin menyengsarakan petani
akankah hidup petani seperti ini
mana hak-hak petani yang kau janjikan
kami tak rela dijadikan budak perkebunan
kami ingin hidup dengan tanah garapan

kenapa tuan tanah masih ada


buka matamu lebar-lebar!

14 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Jeritan Anak Petani
Dadan Purnama

bagi manusia pintar dan terhormat


sebagai petani saya
tidak pernah menemukan dengan yang namanya kebahagian
keadilan, kesejahteraan
apalagi dengan yang dinamakannya kemerdekaan

di negara republik tercinta yang ada setiap hari,


setiap detik, hanyalah perintah untuk pengabdian,
membebaskan dan memuliakan orang-orang yang
jelas-jelas berhati iblis
tapi saya bukan budak yang tidak mempunyai kebebasan
hak dan keadilan yang selalu dihina,
dicaci-maki dan diperbudak

sekarang kami sudah besar


kami sudah pandai, sudah kuat
maka siapa yang berani menghalangi hak kami
sebagai petani
maka kematianlah baginya

Tanah-tanah kerontang 15
Ratapan Anak Sekolah
Elin EL

ada seorang gadis cilik berseragam merah putih


tangannya bersedekap memeluk buku di dadanya
pipinya basah, namun tak terdengar suara tangisan
begitupun isaknya tak terdengar
hanya goncang bahu memandang pilu
melihat bekas sekolah yang tinggal puing dan abu

kenapa?
mereka membakar sekolah kita
apa salah kita?
padahal kami tak ingin menjadi anak yang bodoh!

16 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Desaku
Ilyas

desaku
desa yang subur akan air mata
tangisan selalu hadir
kegelisahan
rasa takut
suram
hingga kebodohan
menghantui

kekayaan
kesuburan alam tak ada arti
karena negeri ini lebih kaya
akan tikus-tikus yang serakah
penjajah keadilan dan
pejabat yang tak tahu hitam dan putih

Tanah-tanah kerontang 17
Arti Hadirmu

arti hadirmu
merangkul kami
melindungi kami
menyejahterakan kami

ternyata semua palsu


kenyataan ternyata pahit
kami tak dianggap
hak kami dipinggirkan

tapi kami tak akan menyerah


kami akan terus berjuang
memperjuangkan hak kami
demi masa depan kami
demi anak cucu kami

ya Alloh Gusti
berilah kami kekuatan
untuk melawan
orang-orang yang tidak berperikemanusiaan

18 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Butanya Mataku
Noeryadin

kau tak pernah melihat terhampar sawah dan ladang


kau usik ketenangan kami
kau rampas tanah kami
kau kebiri kehidupan kami

pendidikan kau dzalimi


ekonomi kau kuasai
agama kau murkai
satu kata petani berjanji
penguasa dzalim harus dibasmi!

Tanah-tanah kerontang 19
Pengorbanan Seorang Petani
Saenah

wahai kau petani


yang rela berkorban
bagi nusa dan bangsa
dan negara indonesia

kau yang senantiasa menanam padi


dan bercocok tanam
sehingga kami bisa makan
itu karena jasamu

kami bisa terselamatkan


dari penjajah belanda
itu karenamu
semoga kami bisa membalas jasamu

2007

20 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Rintihan Petani
Sohibul Hidayat

di kala pagi menghampirinya


di saat matahari baru menampakkan diri
menyinari tubuh renta yang sedang berlalu
bergegas menuju tanah kehidupan

di pundaknya tersimpan simbolik kekuatan


yang selalu dibawa di saat diperlukan
kadang kala ia meringgis kesakitan
karna tak tahan membawa beban
yang begitu besar

raungan suaranya sungguh menyedihkan


rasanya ia ingin menangis
namun ia selalu tegar dalam setiap langkah
ia bagaikan pahlawan keabadian

kulit keriputnya selalu tersiram cahaya matahari


tubuhnya selalu ditaburi keringat perjuangan
matanya mengeluarkan percikan air yang perih
ia sungguh malang

cangkul kecilnya yang selalu ia bawa


ia pakai demi menghidupi keluarganya
tuan tanah yang selalu marah
tak jadi beban pengorbanannya

Tanah-tanah kerontang 21
Penderitaan
Yoyoh Khoeriyah

aku anak petani


yang hidup di tengah kesengsaraan dan penderitaan
tak punya rumah, tak punya uang dan tak bisa sekolah

aku berdiam di sebuah gubuk


jauh dari perkotaan
dan orang tuaku hanya bisa membawaku ke pengungsian
penjajah dan
penindasan,
begitu terus-terusan
padahal aku ingin mencari ilmu
ingin sekolah untuk menghilangkan kebodohan
dan ketidakadilan di negeri ini
tapi kenapa pemerintah tak peduli dengan kami
rakyat kecil

2007

22 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Realita Hidup Orang Desa

kita bersatu padu


bulatkan tekad
satukan tujuan
bahu membahu
memperjuangkan keadilan

jalanku terhenti
ketika mataku memandang
sebuah realita kehidupan
di mana hati tak lagi dihiraukan
logika jalan tanpa perasaan
merampas hak kaum lemah

akankah kau bahagia


bila usahamu terlaksana
di atas penderitaan kami
yang hanya orang desa

Tanah-tanah kerontang 23
Untukmu Petani
Redi Purnawan

berawal dari sebuah kata


landreform
landreform
landreform sekarang juga!
kata itu
keluar dari perasaan yang berabad-abad mereka pendam dalam
hati
berabad-abad mereka tumpuk di otaknya

karena selama ini mereka telah ditindas


dibodohi
dirampas hak-haknya atas tanah oleh antek-antek kapitalisme
dan kuku-kuku tajam neoriberalisme

apakah kita sebagai tunas bangsa


sebagai punggawa bangsa
akan diam saja?
akan tunduk saja?

tidak!
kita sebagai orang yang berfikir
kita sebagai orang yang berkeinginan
lebih baik melawan dari pada diam melihat mereka ditindas!
lebih baik bangkit daripada ada dalam kemunafikan!

24 Antologi Puisi Agraria Indonesia


marilah kepalkan tangan
rapatkan barisan
bulatkan tekad
berjuanglah demi kebebasan petani
demi kemerdekaan petani
demi kesejahteraan petani

Tanah-tanah kerontang 25
Raih Keadilan Petani
Teater Pena

wahai petani kita harus selalu berjuang


demi keadilan
walau rintangan menghadang
kita harus selalu berjuang melawannya
tanamkan keberanian
perjuangan sangatlah tak mudah
jika kita bergabung, bersatu dalam satu tujuan
keadilan akan dapat diraih
wujudkan persatuan
hilangkan keraguan
bertekadlah kuat
sampai titik darah penghabisan

26 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Seruan Petualang
Yoyoh Khoeriyah

hari demi hari telah kulalui


berbagai rintangan menghampiri
tapi aku tak pernah gentar melawan rintangan itu
hingga titik darah perjuangan aku habis
tak akan berkata ampun atau mundur

petani,
saatnya bersatu dalam satu tujuan!

Tanah-tanah kerontang 27
Suara dari Gunung
Ujang Muslihin

kau ambil mata pencaharian kami


kau hancurkan rumah kami
keluarga, agama bahkan kau bunuh setiap orang
yang menentang kepada kau
bencana yang kau berikan pada kami
akan menjadi bekal dan kekuatan bagi kami
yang akan menjungjung tinggi harkat
dan martabat petani indonesia
yang selalu kau dzalimi

28 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Syair Pesisir
Widodo

lihatlah sungai
keruh tercemar
seperti fikiran gubernur jogjakarta
yang tak mau mengerti apa lagi pahami
tentang cita-cita kami
tanah pesisir lama kami jaga
dipupuk biar sejahtera
kami rakyat bertani punya semangat berapi-api
punya semangat tiada kompromi
punya tenaga tak terhalangi
punya tenaga tuk tolak tambang pasir besi

Tanah-tanah kerontang 29
Pejuang Pesisir

semangatmu
selalu berkobar
ketika kau maju berperang
melawan ketidakadilan

senjata bambu
menjadi perisaimu
menghadapi musuh di depanmu
memperjuangkan pesisirmu

sungguh gagah
dan berani
tanpa gentar dalam hati
sorot matamu
memancarkan harapan
bahwa kita bisa maju ke depan

30 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Pejuang Sejati
Ai Susanti

memang tak mudah tuk jadi pejuang sejati


perlu pengorbanan dan tekad yang kuat
percaya diri dan dapat dipercaya
demokratis, etis dan sosialis
tak kenal lelah, malas hujan dan panas
tetap semangat, ceria dan tersenyum
menghadapi kawan-kawan seperjuangan
tahan cacian, ejekan dan rayuan
rayuan harta, martabat dan jabatan
dan harus bisa menjaga nama baik perjuangan
dan mengharumkan nama perjuangan
Serikat Petani Pasundan!

2007

Tanah-tanah kerontang 31
Perjuangan Ayah
Rosih

wahai ayah dan ibu


kau bekerja sepanjang hari
berangkat pagi pulang petang
tanpa kenal lelah

kau berjuang demi tanah


kau berjuang demi masa depan
kau berjuang demi anak-anak
kau berjuang siang dan malam

wahai pemerintah berikanlah tanah kami


jangan kau ambil tanah milik kami
jangan kau serakah
janganlah kau mau enak sendiri

walaupun kami selalu ditindas


tapi kami masih punya harga diri
walaupun nasib kami selalu susah
Tuhan tahu betapa mulianya petani

32 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Semangat Perjuangan
Ratna Wulansari

wahai petani
kau sungguh mulia
kau rela berkorban
kau berani berjuang

kau ibarat lilin


yang rela habis demi terang
kau tak seperti kumbang
habis manis mengingkari

wahai petani
kobarkanlah semangatmu
janganlah engkau ragu
teruslah berjuang
kemenangan
pasti akan berpihak pada yang benar

Tanah-tanah kerontang 33
Aktivis Tua
Dede Ahmad Mulyana

pagi masih terasa dingin


jalanan masih berkabut
gumpalan es masih membasahi dinding
tapi hatinya terasa dibakar

terbakar oleh darah


yang mengalir dalam nadi, menggejolak dalam jiwa
terketuk oleh detak jntung yang membantah
pagi menjadi panas

tak rela batin ini terpukul oleh jiwaku


walau darah dalam nadinya terkuras habis
walau saraf-saraf otaknya telah putus
untuk membangun jembatan di masa lalu

bergegas untuk menengok jembatan


yang dianggapnya telah keropos
kayu kecil yang menemani beberapa langkahnya
membuat ia sadar akan apa yang telah terjadi

jembatan yang utuh


rel yang kokoh
membuatnya nyaman
untuk pergi ke alam yang lebih bijak

34 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Suara Hati Nuraniku

Oleh warga Pandang Raya yang dibacakan ketika melakukan


demonstrasi di Pengadilan Negeri Makassar atas tanah mereka
yang akan dirampok oleh seorang pemodal berinisial GW.

Puisi ini saya tujukan kepada para penegak hukum yang masih
punya hati nurani. Ketika kami merenungkan nasib rakyat
akibat ulah oknum pengacara nakal, oknum para penegak
hukum.

Kami dari warga Pandang RW 03 Kelurahan Pandang,


mengharapkan hukum ditegakkan seadil-adilnya. Bukan
berdasarkan pada kertas dan penyampaian oknum pengacara
nakal yang selalu membuat masyarakat terombang-ambing,
tidak menentu, oknum yang memutarbalikkan fakta,
memutarbalikkan persoalan dan bertindak sekehendak hatinya,
tanpa memperhitungkan kesengsaraan masyarakat kecil yang
telah terampas kemerdekaannya dan merasa tertindas oleh
hukum yang tidak jelas.

Wahai para penegak hukum yang masih punya hati nurani.

Tolong kami dari kezaliman mafia


Tolong kami, hak kami,/tempat tinggal kami akan dirampas-
dirampok
Tolong kami mendapatkan kebenaran dan keadilan
Kami tahu bahwa kami bukan yang pertama, tetapi

Tanah-tanah kerontang 35
Mudah-mudahan kamilah yang terakhir mendapatkan
Perlakuan seperti ini
Kami berharap di negeri ini, yang sama-sama kita cintai,
ada kepastian hukum yang dapat memberikan ketenangan
kepada seluruh lapisan masyarakat

2010

36 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Makan Malam Bersama Ayah
:Munir!
Mahendra

Gumpalan tanah adalah rumahnya. seperti siang yang panjang.


berkisah tentang kehidupan yang sesungguhnya; tentang apakah
yang mereka mimpikan? Beritaberita yang tak berpihak terus saja
menjadi kanakkanak nakal, menghilangkan tubuhnya pada aspal,
senja dan stasiun: dimana kita pernah menguburkan munir.

Di atas meja, malam terhidang bersama kesedihan. Seperti


mengantar kakek ke kuburan. Membawa gumpalan tanah yang
sama. Membawa sebuah koran dan nasi bungkus.

Di jalanan, kaki tentara berkisah tentang pemerintahan yang


korup dan otoriter, jaringjaring bahasa yang satu arah –sepeda,
becak, pejalan kaki dilarang melintas! Mobilmobil berlarian
menembus jalanan. Senapan memuntahkan beribu jarum
di jantung negeri. Bapak kembali tersedak duriduri ikan.
Dimintanya aku memukul punggungnya, seperti memukul
beduk saat maghrib tiba.

Di atas meja, batangbatang padi tumbang mencium tanah,


seperti diriku yang sedih mengenangnya:

Munir!

Sumenep, 2010

Tanah-tanah kerontang 37
Sembilu-Nya
Supriadi al-Soka

suara itu terdengar nyaring


untukmu bangsaku
perlahan kata lancang terucap
demokrasi, demokrasi, demokasi
inilah isyarat kematian bangsa
adalah makna di balik demokrasi
diiris sembilu setajam kata
inilah bangkai yang tak bertulang

38 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Tiga Kuli dalam Satu Puisi
A. Warits Rovi

1
seorang kuli dengan legam belikat terbasuh peluh
napas tersengal. ada senyum yang mesti dipikul
bahu membatu. menatap sang saka setengah tak percaya
kabarnya kecut, diuntai takdzim sembahyang rumput
: demokrasi diancam maut

2
seorang kuli bekerja. menimbang maya dan nyata
susut senja. carutan lelah meliuk kawat dalam uratnya
jamjam begitu dusta

3
seorang kuli mencari ibu pertiwi
gengsi itu cemeti. lalu sebegitu pagi
ia berandai “o, mudahnya harta bila korupsi”

Gapura, 2010

Tanah-tanah kerontang 39
Lewat Puisi Aku
Anisa Widya S

lewat puisi aku berkata


hidup kami menderita
lewat puisi aku bersuara
nasib kami sengsara
namun aku tak pernah mengeluh
kaki kami tak akan lumpuh

waktu badai menerjang


semua itu tak akan menghambat para pejuang
dengan kegigihan dan keberanian
mereka melawan ketidakadilan
yang selalu menyelimuti kehidupan

dan kini kami berkata


walau kami hanya rakyat jelata
kami hanya manusia yang tak berdaya
tetapi, semangat kami akan terus berkobar
melawan badai bernyawa yang tersebar

40 Antologi Puisi Agraria Indonesia


apalah arti tanam teknologi
bila otak tersimpan di akar padi
(Daryono Yunani, 1995)

Tanah-tanah urban
Ngungsi
Daryono Yunani

malam dijilati api rontok benang otak


bongkah tercecer dan ngungsi
adalah sajak tanki cerobong instalasi
congkak di pelataran nurani

kini api begitu sempurna


apalah arti senyarik bumi
karena ketakutan di bawah sepatu
keberanian simpan di brutu
apalah arti tanam teknologi
bila otak tersimpan di akar padi

Cilacap, 3 Desember 1995

42 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Cilacap ( 1 )
Daryono Yunani

barat, tidur kalian tak lagi


atas air
dari kotaku terbayang menara
kumpulan kayu tancang
begitulah lumpur-lumpur yang
kau ciptakan pengingkaran pariwisata
selatan, nusakambangan punggungnya
tumbuh koreng
investasi menakutkan!
apalah Wijayakusuma
legenda kaum pinggiran,
karang yang terbangun berjuta tahun
tak mampu mendekap ombak sejak
pasir menjelma taburan uang
utara, sisa pohon bakau tak berdaya
bersetubuh dengan lumpur selebihnya
seikat hutan mandi minyak
timur, got dan selokan penuh kondom!

Cilacap, Januari 1998

Tanah-tanah urban 43
Maafkan Aku Bumi
Abdul Kadir

selamat pagi bumi! maafkan aku telah banyak membuatmu


terluka

maafkan aku, tanahtanah ini tak sanggup kujelmakan mawar


karena aku terkapar oleh gelegar industri yang semakin liar!

44 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Kota Ini
-Cilacap
Hizi Firmansyah

kata Ibu
dulu kota ini teramat kaya
sebelum sawah jadi rumah
matahari pagi bersemayam di mata petani

dulu kota ini teramat ramah


sebelum taman jadi perkantoran
lagu dolanan mengalir dekat
tercipta seribu rasa gembira
bagi anak anak
sejarah kota ini bagai kitab bergambar
melahirkan kenyataan ganjil
tentang hasrat melewati hari

seangkuh batang pohon


kenangan tentang kota ini bungkam
kekayaan dan keramahan menghilang
bagai guliran waktu pada musim
seperti puisi ini berhenti

Majenang, 2008

Tanah-tanah urban 45
Pengemis dan Keindahan Kota
A. Warits Rovi

di kaki swalayan
do’a dan lukaku melapuk pada tangan yang menadah
rintih pedih rampung menunggangi matahari
melewati lembar perasanku yang diciprati
ludah nasib sendiri
seperti ribuan kelelawar di cerai malam hari

aku sering diusir dan dipukuli demi keindahan kota


ehmm!, kota yang ada di indonesia
tak menemukan keindahan sebenarnya

kupungut berai sampah, sebab ia wasiat yang apa adanya


dari zamanzaman yang singgah di negeri kita

larut malam dari terminal ke terminal


dingin
gigil
sesungging gerak bulan tersibak di rambutku
mengurai malam lain ke batas kumandang isya
yang gugur ke hamparan tubuh

: uang ribuan lebih menggoda dari rasa kantukku

Banyuwangi, 26 Agustus 2008

46 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Risalah Pedagang Pisang
Khairul Umam

dalam rengkuh waktu yang semakin sulur


bentangkan jemarinya. lintasi bukitan dan ladangladang
akulah yang terkalahkan, terhimpit mimpi buruk
masa depan

dalam perjalanan menuju pulang


di bawah gedunggedung menjulang. tanpa tuan dan
ranggas matahari yang semakin menajamkan teriknya
peluhku adalah
pisangpisang setandan
yang raib dimakan musang

akulah yang terkalahkan. menunggu tengkulak datang


tapi sayang, pisangku sungguh tinggal
batang!

Gapura, 20-06-10

Tanah-tanah urban 47
Tukang Kebun
A. Warits Rovi

sepagi itu gigilku berbatang jarum


menenun udara subuh ke sampir kebun
dengan niat yang telanjang, pejam bayang memanjang
: demi anak isteri
memisahkan hari dan rasa perih
sebab ini inti proklamasi

lalu matahari lamban sekuncup kecubung putih


mematah runcing duri di bawah kaki

kemudian terik dan menyengat


membuatku paham pada hidup yang pekat

sabit, pacul dan cangkul menyuarakan wangi mawar


lantun ke palung dada yang memar
semasa ini, vasvas masih kosong
oleh janjijanjinya yang melompong

Bung Duwak, 2010

48 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Musnahlah Sudah Harapanku
Jakaria Busman

musnahlah sudah harapanku


saat ku pulang dari memulung
ku tak mampu berkata apa-apa
melihat rumahku merata tanah

hanya tangis yang kulakukan


tak rasa lapar sudah seharian
mulai terasa saat-saat kesepian
karena ku tak memiliki tempat peristirahatan

ku mulai kebingungan arah melangkah


pada siapa mengadu harapan
ternyata penguasa semuanya sama
sama-sama punya peluang besar melakukan kejahatan

Tanah-tanah urban 49
Pesan Seorang Ibu kepada Anaknya
Sebelum Anaknya Pergi ke Pusat Perbelanjaan
Terbesar di Kota itu
Syam SDP Terrajana

sebelum engkau pergi mengemis


di sana, anakku

pergilah ke lantai dasar


sebelah kanan paling ujung

mundurlah empat langkah,


serong sedikit ke kanan

nah, tepat di tempat parkir


mobil barisan kedua itu

jangan lupa taburkan bunga melati ini

di sanalah pusara bapakmu,


nak

delapan tahun lalu, ketika eskapator datang


meratakan

rumah rumah kumuh itu

50 Antologi Puisi Agraria Indonesia


mereka bahkan lupa
memindahkan puluhan kuburan di sana

yang tak akan pernah mereka


lupa, pasti soal bagaimana rupa tetek ibu yang sengaja ibu
pertontonkan karena
terlampau murka dengan kesemena-menaan itu

eits, jangan lama-lama


mejeng di sana anakku

ibu yakin, kutukan itu akan segera

… segera anakku

Tanah-tanah urban 51
Wajah Pribumi
Dengker

wahai kawanku satu bangsa satu tanah kelahiran


lihatlah anak-anak negeri kita
tersenyum dan tertawa
dalam hampa dan kekosongan
lihatlah anak-anak negeri kita
bersedih dan berduka
kerasnya akan kehidupan
bertelanjang dada, berkulit hitam, berwajah tua
karena matahari selalu mambakar badannya
tangan-tangan mungilnya mengais-ngais sampah
yang penuh noda dan kuman
demi mencari sebutir nasi yang masih tersisa
wahai kawanku mereka itu adalah wajah-wajah bocah
generasi bangsa kita
di manakah negaraku yang subur dan kaya ?

52 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Reklame Satu Musim
Khairul Umam

musim ini, tak lagi kulihat bungabunga bermekaran


di antara daun telingaku yang semakin mengeras
seperti gunung salju. beku. kaku
matahari memerah gelombang cahaya
melebur pipit jadi tanah, jadi humus tandus
menggelepar bersama ranggas padipadi lalu
begitu saja direnggut mulut raksasa yang tua
padahal itu makanan mereka

musim ini. sepertinya tak ada lagi kompromi


hanya sekedar kontrak
“sesuap nasi, setelah itu kau abdi”
daun telingaku semakin mengeras, selaputnya menipis dan
meletus
kepalaku meletus lalu
maut!

Gapura, 13-06-10

Tanah-tanah urban 53
Sumur Tepi Tubuhku
Abdul Kadir

aih, cerita apa yang mengapung.


di mataku burung-burung kehilangan kicau
dan lapisan awan yang dibayangkan semisal gelepar sayapnya
jelang musim

dari halaman belakang kudengar ayah menggerek timba


deritnya semisal sengal nafasnya
dan di depan pintu matahari dilukisnya serupa penolak balak
penolak balak dengan pohon beton meranggas
sumur-sumur besi menjarah jantungku.
“Diamlah, di sini akan kutambang tangismu.
Esok, matahari akan segera kita rebut”

aku selalu sangsi dan selalu ada yang menangisi


saban kali kupastikan sekujur tubuhku penuh besi
penuh lubang sunyi. bisul-bisul musim kemarau
dan di tepinya ayah masih menderek timba tua
timba karatan yang menyaru nafasnya sengal
semisal burung-burung yang berputar di jantung langit

di jantungku mereka kehilangan kicau

54 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Rekayasa Tubuh Berdaun Plastik
K. A. Humaidy

siapakah yg membuat tanahku berumput plastik


dengan batubatunya yang hancur
juga tubuh pohonpohon mengering
dan daunadaunnya berubah menjadi plastik
siapa yg merekayasa ini
mengotori halaman rumahrumah
juga sampai dalam dapur
dalam kamar mandi
dalam kasur dan bantal guling,
dalam makanan yang aku makan setiap hari
siapakah yang merekayasa ini
tanahtanah petani baunya menyengat hidungku
menjadi bau yang tidak enak dihirup pagi,
beras dan sayurnya yang kita makan
telah menjadikan tubuh gemuk
yang bercampur obatobatan
siapakah yang merekayasa tubuhku ini?

Tanah-tanah urban 55
Tanahku Rp. 6.000,-
Mimik Hairati

per meter Rp. 6.000,-


bagi anda yang berminat, silakan datang ke desaku
tersedia:
sumur gas yang berlimpah
kekayaan yang menjanjikan
pangkat
jabatan
kedudukan
kebahagiaan dunia
kepuasan lahir

ayo berbondong-bondong
di sini adanya banyak bos kaya
yang menghargai tanah Rp. 6.000,- per meter
bagi anda yang lebih kaya, bisa mengajukan
penawaran sampai Rp. 2.000,- per meter
dijamin puas!

56 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Bor
Mimik Hairati

bor, bor terus!

sampai tangan kalian menjelma takdir


yang memberi makan roh menderita

bor terus!
hingga kekayaan kalian akan menjadikan
porong seperti surga yang di bawahnya mengalir air jernih
bukan lumpur panas dan air mata
janin yang mengetuk rahim ibunya

bor, bor terus!


jangan hiraukan alunan tangis parau
membelah angkasa
karena kalian hidup untuk kalian sendiri

Tanah-tanah urban 57
Di Kota Mati Rumahku
Hizi Firmansyah

tak bisa juga menutup mata


melihat segalanya padam,
bukan karena hujan, bukan pula karena kematian
seperti tubuh sekarat yang terkapar di atas pesakitan
tubuhku tak ada guna untuk membela

tangan tangan penguasa teramat kuat mencengkram


rasa takut dan lapar
tak ada anak anak berdendang di taman
tak ada orang tua menuai suka jerih payahnya
tak ada pula malaikat berujud manusia
dengan lantang suara kebebasan

di kota yang mati rumahku


tanah tak lagi untuk hidup
di atasnya udara menebarkan racun kematian

Majenang, 2010

58 Antologi Puisi Agraria Indonesia


pada tanah, aku sebagai lubang hitam manusia
(Mahendra, 2010)

Tanah-tanah lengang
Hati Ini Ibarat Tanah
Dede Ahmad Mulyana

telah tertanam bibit-bibit penyakit


telah punah jentik-jentik penawar
hati ini terpecah belah, terlempar tak tentu arah
ibarat gurun terhampar padang ilalang

tanah untuk kami


tak berarti gumpalan hati ini milikmu
kau layak tahu siapa kami
kami terlalu tahu apa isi hatimu

kau tak mampu mengubur dalam


tentang insan yang terbunuh
kau tak bisa memanipulasi
kami terlalu banyak benteng untuk kau dobrak

hati ibarat tanah


jika kau merebut tanah kami
mengotori hati ini
menggores hingga terluka
kami tak ijinkan kau hidup di atas tanah ini!

60 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Pisuhan Anak Perahu
Dian Soeto

Dari perut gaung ibuku, aku masih anyam bilik langit ronta,
akut airmata
Jarum-jarum tajam matanya kepung danging-daging rengsa
tanah-tanah yang diaborsi
sawah-sawah yang diinjak harga dirinya
karang-karang rontok bukit-bukit tempat
bangau bercinta
raib dalam tenggorokan singa dan nyawa
separuh beliung itu
Mereka berbicara tentang kelestarian dan sentosa sejuk dan
wangi surga
tapi tubuh ibuku masih nyinyir dalam almari saku celana
hingga tubuh itu meledak_
ke hilir orang-orang buta_orang-orang
berdarah
orang-orang serahim seibu sebapak

dari teluk persemayaman senja


di mana kidungan lahar jiwa angin merampas janin tanjung
penggalian rahim_
kembali menakik tubuh-tubuh kebak derita kebak nanah itu_
hingga degup jantungnya memacu ke armada kedap liang
paling liang

Tanah-tanah lengang 61
barisan gugus selaksa barisan imaji penyair
panorama nyiur semolek ranum bidadari
tapi istiadat karang rerumputan tanah pepohonan
tebas bersama ritual moyang yang dihengkang keluar
gelanggang masa depan

Di sini, pisuhan karat berbaur kemboja dan kematian


nyanyian pesisir dan tatanan bakau tersekat amarah amuk badai
lidah pantai yang termutasi
dan laut itu masih saja tafakur menunggu pasang surut dengan
wajah lesu.

Juni 2010

62 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Titip Rindu Untuk Kebebasan
Susilawati

Aku berjalan melintasi kerinduan yang telah lama ku titipkan.


Tinggallah bersama hati yang telah kubisikkan hari itu.
Hanyalah sebuah kata yang kurangkai, menjadi sebuah paragraf
yang mungkin sulit untuk kau pahami. Cerita dan hatiku,
tercipta bukan untuk menangis meratapi nasib. Kerasnya
hidup, membuat nuraniku tergerak bahwa aku sungguh
menyimpan kepedihan ini dan bukan untuk aku pertahankan:
dimana tanah-airku?

Ceritaku berada di ambang akhir yang penuh dengan senyum


indah menyambut kemerdekaan yang sesungguhnya. Aku
berjalan bersama mereka, bersama tanah-airku, bukan atas
kuasamu para amanat negeri tanpa nurani dan kemanusiaan,
mengubah nasib kemiskinan negeri ini dengan bisik palsu.

Maka ijinkan. Ijinkan aku berjalan. Hari ini kebebasaan, hari


ini satu langkah menyambut kemerdakaan yang tertunda.

Hari ini untuk bisa bersekolah


Hari ini untuk bisa punya tanah
Hari ini untuk bisa bertani

Tak seperti kala itu, zaman di mana ibu hanya mampu


menangis, melihat anaknya ingin bersekolah. Zaman ketika
petani bertelanjang kaki memanggul derita, menitipkan hidup

Tanah-tanah lengang 63
pada sesuap nasi di atas tanah tuan, yang membisikkan kata
“Ini adalah amanah negeri”. Warisan Orde Baru yang mengaku
sebagai penyelamat negeri. Hingga sampai saat ini, cerita itu
berserakan di pasir-pasir dan kerikil bukit-bukit itu, sampai
berujung kata, “Revolusi”.

Bisikan itu berubah menjadi teriakan yang melabrak sistem


penjajahan baru negeri ini.
Negeri yang katanya tanah air kita bersama?
Juga penjajah yang dari sekitar kita saja?

64 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Sketsa
Mimik Hairati

kembali lagi kita seperti pejuang


yang harus merengek melawan gumpalan
asap yang mencair dari air mata
para fakir yang patah

sawah yang seharusnya membentang


memberi seteguk senyum
kebun yang harusnya berada di sekeliling
memberikan kemudahan pada mereka
denyutan nadi yang tak pernah luruh
kini semata-mata hanya tumbal
karena gedung berias yang menjanjikan kemenangan itu
adalah sketsa bengis

ah, kita tak boleh berhenti berjuang!

Tanah-tanah lengang 65
Masih Adakah Harapan

sinar matahari di ujung barat


mulai menghilang sinarnya
hari berganti malam
gelap sudah

bulan berganti menyinari bumi


sinarnya memancarkan cahaya
terbersit dalam hati
akankah masih ada harapan
untuk hari esok lebih baik

akankah hati mereka akan berubah


memihak kami
demi kami yang hanya rakyat kecil
yang hanya ingin ketentraman
dan kedamaian
tak ingin menjadi korban keegoan
segelintir orang yang tidak berperasaan

66 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Nasib Wargaku
Anisa Widya. S

dalam masa pembangunan ini


dalam negara berkembang ini
mengapa masih ada penguasa yang berdzalim
mementingkan diri sendiri
menindas rakyatnya dengan sesuka hati

aku heran dengan semua ini


tak ada satupun yang bisa mendengarkan
jerit kami
dan tak ada yang mempedulikan nasib kami
hingga kami hidup dalam derita penindasan ini

apakah mereka tak bisa melihat nasib kami?


kami yang selalu merasakan kedzaliman ini
kami yang selalu merasakan hinaan ini
hanya bisa merenung dan berdoa pada sang Ilahi

Tanah-tanah lengang 67
Penderitaan Petani
Tita

terkadang ku bertanya
mengapa pemerintah melakukan seperti itu
padahal kita butuh keadilan
petani butuh kesejahteraan
dulu mereka berjanji bahwa akan berusaha
untuk masyarakat, untuk rakyat miskin
tapi mengapa petani kita selalu menderita
selalu hidup sengsara tapi mereka senang
makan enak tidur pun enak

68 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Petaniku
Ami

di saat waktu yang telah berlalu


kuterdiam teringat orangtuaku
berjuang melahirkanku
meski perang datang menyerbu

saat itu ibuku terdiam membisu


seakan terlihat sedang keliru
hanya karena mencari jawaban satu
diriku atau petani yang bersatu

tekad yang bulat


waktu yang singkat
serta keinginan yang melekat
kini menjadi semangat

karena kekompakan semua petani


dengan sepenuh semangat kami
akhirnya kini membawa arti
bahwa petani tak bisa dikambinghitami

Tanah-tanah lengang 69
Perjuangan
Ai Pupah, St Nurjanah, Aisyah

teriakan ayam membangunkan tidur


pulasmu
mentari terbit menyambut
kehadiranmu
kicauan burung menyapa senyum
indahmu
hembusan angin mengiringi
langkahmu
tuk pergi menghadap tuanmu

tapi itu tak menyurutkan semangat


hidupmu
kau tanamkan benih keikhlasan
di ladang tuanmu
tuk sesuap nasi di perutmu
walau tak seberapa hasil jasamu

caci maki yang terkadang kau


dapatkan
yang kau dengar, yang kau
rasakan
terkadang tak membuatmu berdaya
panasnya matahari menyengat tubuh
rentamu
membakar!

70 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Mereka yang Dilupakan
Abu Al-wafa

sesak dadaku
menyaksikan ketidakadilan menjamur
semakin hari semakin subur
di setiap musim dan setiap waktu

hak-hak yang terabaikan


membuatku enggan tuk hadapi
dunia hari esok
para pemimpin yang dzalim
membuatku takut untuk membuka
mata setelah bangun tidur
dan harus menyaksikan kekejaman
dunia menyiksa para rakyat kecil

para petani
bukan besi yang tiada hati
bukan binatang untuk ditaklukan
diperlakukan seperti yang
diinginkan
merekalah manusia yang selalu
dilupakan
diasingkan berbagai macam orang
demi kepentingan

Tanah-tanah lengang 71
Bisikan Alam
Taupiq ismail

di saat sang surya bersinar


menyapa mimpi indah
menembus cakrawala
menerangi jagad raya
di bawah terik matahari tempat petani bekerja
pohon rindang pun menawarkan untuk berlindung
burung-burung berkicau
matahari pun berkata;

berjuanglah
berjuanglah, dan
berjuanglah

72 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Kesaksian Pagi
Lela Sari

teriknya sang surya


jadikan saksi
duyunan rakyat-rakyat jelata
semangat persatuan
pekikan harapan-harapan
akan lurusnya keadilan
di muka bumi

Tanah-tanah lengang 73
Mentari Pagi
Tita

kesungguhan mentari menyinari alam


menyaksikan keajaiban dunia yang penuh

di dalamnya banyak hamparan petani


himpunan kaum miskin yang menangis
kebinasaan dan tak berkeadilan

74 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Seorang Perempuan Tua Pembawa Kepis
Daryono Yunani

dengan seser dan kepis di pinggang


perempuan tua itu meraup kehidupan
yang terpendam lumpur tua
dan akar bakau

seser
kepis
keringat dan
hidupnya
saling berkelahi

nasibnya meloncat-loncat
berputar di atas sepuluh
kepala cucunya.
siang yang merangkak
matahari menjadi sedikit ramah
di tengah jalan itu,
ia takut menghitung buruannya

Cilacap, Hutan Payau. 1992

Tanah-tanah lengang 75
Di Punggung Kita
Mimik Hairati

bagai cinta yang disapu kipasan badai, sayang


hari ini tepat ketika fajar menghimpit jejak petang yang tak
berjabat
kita dilahirkan kembali sebagai bambu tumpul
yang tiada daya untuk meruncing

bagai cinta yang jatuh di lingkaran gelap, sayang


kuceritakan kembali padamu dengan bahasa keteguhan
yang tak dapat dimaknai oleh siapapun kecuali hatimu dan
hatiku
yang menginginkan kita bersua dalam kebebasan yang hakiki
bahwa dulu sang saka dipaksa berkibar di puncak hotel Yamatto
meski setiap orang berebut maut

tapi sekarang di punggung kita sendiri


kita adalah orang lain
yang berpijak di tanah mereka yang bersaku

76 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Sajak Para Pemondok
Hizi Firmansyah

entah berapa lama


lantai rumah ini mengenal kedua telapak kakiku
seperti aku mengenal rasa dinginnya

entah berapa lama


dinding dinding rumah ini mendengar kelu kesahku
tentang rasa ingin memiliki dengan keringatku
seperti aku mendengar ringkikan dindingnya
saat angin menerpanya

entah berapa lama


atap rumah ini melindungiku
melindungi malaikat kecilku dari hujan dan matahari
seperti aku melindunginya dari binatang pengerat dan hujan

sudah setengah dari umurku


kuhabiskan untuk mengenalnya
tanpa sedikitpun memiliki
dan tinggal menghitung kapan aku meninggalkannya

di atas tanah yang tak kenal pemiliknya


aku seperti burung yang sarangnya harus berpindah
setengah dari umurku tak lagi mampu memiliki
hanya untuk sekedar menunggu waktu

2009

Tanah-tanah lengang 77
Anak-Anak Petani
Lukman Hakim AG

dan
:akulah anak-anak petani itu. anak yang terlahir di antara damai
dua musim gigil dan memungil.

akulah yang terlahir bertulang dari batang tembakau, batang


kelapa, batang siwalan, batangbatang dari segala batang
pepohon, juga buahbatang ayah-ibunda.
adalah batangbatang tanpa cabang dalamdalam.

akulah yang bertelinga dedaun. daun pinang, daun pisang,


daun kacobung, daun kesambi, daun peape.
daundaun rindu terkulum.

akulah anak petani itu yang lahir dengan darah muara ke


danau tempat para sapi memandikan diri setelah seharian
membongkar tanah di ladang.
airmataku, air mata kemarau. ludahku, ludah yang keluar
dari setetes cungkitan pucit bungkaleng. keringatku, keringat
tembaga air duapuluhlima, air terakhir yang akan mengkristal
garam.

akulah anak-anak petani itu. anak yang lahir melanglang ke


penjuru arah dengan sayap dalkuk yang pergi pagipagi dan
hinggap sare nanti.

78 Antologi Puisi Agraria Indonesia


akulah anak-anak petani itu yang kelak tidak akan
menggantung pegangan cangkul yang kerap menghilang
ketika banyak sederetan mesin mengepulkan asapnya ke semua
arah. hingga bapakku, ibuku, isteriku, anakku, pamanku
keponakanku juga semua vertikal horison, termasuk kau
menutup hidung ketika lubang-lubang dipenuhi bang-sabang
dan to-lato, hingga menbentuk sarang labalaba di teras rumah
muda yang dipajang atas nama bangun cinta. dan mata-mata
mengalirkan liurnya di pipi yang tak asing disapa taring
matahari dan ditasbih selimut dingin. walau tak sampai kering
mendenting.

akulah anak-anak petani itu yang kau pindah alirkan jaringan


sebenarnya,
disuntingkan hanya untukku. tapi dimana mengalir tak
sampai-sampai disini. jaringan-jaringan subsidi yang tak pernah
kutagih janji.

hidupku lebih damai dari janji. adalah damai jiwa petani yang
tak banyak mimpi asal kini ada yang akan digilas gigi dan yang
esok masih hendak mencari di ladang ilusi.

akulah anak-anak petani yang berdoa untuk negeri dengan


menanam menelan bebiji. menolak menjadi misteri. dan
perjuangan tak hanya sampai disini.

Songennep, 2008/2010

Tanah-tanah lengang 79
Yang Berbiak dalam Tanah
Mahendra

Lelakilelaki dan perempuan berdiam dalam tanah. Menggali


tubuhnya. Mengharap menemukan rumah muasal dirinya.
Lengannya gumpalan takdir yang bergerak antara bandul
nasib dan puisi abadi –neraca hujan, musim visa, sungaisungai
uang yang mengalir sebagai koprasi kehidupan. begitu
sederhana. Sesederhana tanah di pematang sawah; sapisapi
menyetubuhinya dengan semangat dan citacita, padi hidup
dengan janjinya.

Pada tanah: lelakilelaki menekur diri. mengeja lembab dan


sengak. Seperti mengulang setiap perjalanan sebagai kelahiran.
Seperti mengulang diri sebagai adam. Adam yang berjalan
dengan kakikaki tonggak ke dasar lautan.

Pada tanah kembali ke tanah! setelah 63 tahun pengembaraan


sebagai tubuh, tanah mendiami dirinya hingga lungkrah.
Tanahtanah serapah di ujung lidah para santo di lotengloteng
rumahnya; diamdiam membuat patung tanpa kepala yang tolol,
melemparkan dirinya ke dalam bakbak berlumpur, seketika
tanah menjadi serupa adam dirinya. tanganku tanah lain dari
sawah yang tak dikenal dalam peta. Nasib bergerak ke bawah.
lelaki berjalan dengan menyebut nama dewadewa.

Pada tanah: aku menjumpai adam dengan perut yang buncit.


Tangannya mengepalkan buah apel tanah berwarna coklat tua.

80 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Lumutlumut di sekujur tubuhnya terus memutih, jalan takdir
yang berayun dengan rantai besi. Pernah aku menyapanya
suatu kali, dengan suara bom dan buldoser. Tetapi hujan
menenggelamkan tubuh, batu, besi, kayukayu di beranda,
anakanak, juga pohon dan tanaman kami hingga semua adalah
mimpi. Hujan menjadi tanah di tubuh sun sehabis bercinta.

Aku kembali mengayun bandul ke kiri. Menciptakan sebuah


lubang dari ujung langit. Bintang berjatuhan. serupa komet
harley membenturnya. Tubuh kita dibungkus cahaya.
tanahtanah di sekitarnya pecah. Melemparkan semua benda di
dunia; meja, kursi, piring sendok berkeletokan, lemari, sandal,
sepatu, mobil, tongkat, pistol, computer, kramik, speker di
tangan demonstran, bendera, tiang listrik, papan reklame,
toa di masjid, botol coca cola, korek api. Ah, banyak sekali.
Api yang membakar rumah dan menghanguskan tubuhnya.
Mengitam. Hancur sebagai tanah dan mengembalikannya
sebagai tanah. Tanah yang berjalan sebagai nasib dan
kisahkisah.

Pada tanah: aku sebagai lubang hitam manusia.

Sumenep, 2010
Epilog
Sajak-sajak Anak Tani

S
ejak dulu apa yang kita sebut sajak atau puisi merupakan
media yang digunakan umat manusia untuk mengungkapkan
perasaan, pikiran, dan pengalaman-pengalaman hidupnya.
Sebagai salah satu bentuk pengucapan jiwa ia digunakan oleh
hampir semua lapisan dan kalangan masyarakat seperti ilmuwan,
tabib, sarjana, dukun, pendakwah agama, guru, pemimpin
politik, raja, ulama, petani dan nelayan yang berkearifan, tokoh
masyarakat dan pemimpin adat. Sebagai bentuk pengucapan jiwa
yang universal sajak sering dinyanyikan dengan iringan musik atau
ditembangkan sebagaimana tampak dalam tradisi macapatan yang
terdapat dalam masyarakat Jawa, Sunda, Madura, Bali dan Sasak
di Lombok. Sajak juga dilantunkan dalam acara perkawinan atau
melamar seperti kebiasaan bersambut pantun dalam masyarakat
Melayu atau Minangkabau.
Dalam upacara dan peringatan keagamaan tidak jarang
sajak-sajak yang dinyanyikan memainkan peranan penting
untuk menyampaikan berbagai pesan. Di Bali misalnya kita
bisa mendengar bait-bait sajak karangan Mpu Kanwa dari kitab
Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna) yang indah dibacakan oleh
seorang pedanda ketika memimpin upacara Yadnya atau kurban.

Epilog 85
Dalam majlis musyawarah ninik mamak di Minangkabau sudah
biasa petatah petitih atau untaian sajak berisi kearifan dibacakan
secara bersahutan oleh beberapa ninik mamak yang sedang
bermusyawarah.
Bukankah petatah petitih Minangkabau, seperti “Bulek aie di
pambuluah, bulek kato di mupakat” (Bulat air di batang bambu,
bulat kata di mupakat) adalah juga sejenis sajak yang mengandung
kearifan lokal. Begitu pula pantun Melayu yang diucapkan jika
dua orang bersahabat mau berpisah seperti: “Kalau ada sumur di
ladang/ Boleh saya menumpang mandi/ Kalau ada umur yang
panjang/ Boleh kita berjumpa lagi”.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w juga demikian.
Dalam perayaan ini syair-syair yang mengungkapkan kehidupan,
perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad dibacakan
dengan dinyanyikan. Syair-syair pujian kepada Nabi itu biasa
disebut qasidah atau mada`ih al-nabawiyah (tembang pujian bagi
Nabi). Yang terkenal di Nusantara ialah Qasidah Burdah karangan
Syekh al-Busiri dan Qasidah Barzanji karangan Syekh al-Barzanji
seorang sufi abad ke-17 dari Persia.
Kini melalui antologi kecil ini tersaji di hadapan kita sajak-
sajak yang ditulis oleh petani muda atau anak tani dari berbagai
tempat di tanah air. Berbicara tentang sajak-sajak petani saya
lantas teringat kepada Keinji Meizawa, seorang penyair Jepang
terkenal sebelum Perang Dunia II. Penyair ini tumbuh dan besar
di kalangan masyarakat petani di Jepang. Dia menggagaskan
sajak-sajak yang ideal untuk petani yang ditulis oleh para petani,
terutama dalam mensyukuri karunia Yang Maha Kuasa. Di Jepang
dan Tiongkok sudah terbiasa setiap musim panen atau musim bunga
diadakan upacara keagamaan dan adat disertai festival seni antara
lain dengan membacakan atau menyanyikan sajak-sajak sebagai
ungkapan syukur kepada Penguasa alam semesta. Tetapi Keinji

86 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Miyazawa hidup dalam masyarakat tani Jepang yang telah bebas
dari penindasan. Baik dari penindasan tuan tanah dan penguasa
feodal, maupun dari penindasan pemilik modal yang serakah.
Pemberontakan petani yang terjadi di Jepang pada akhir abad
ke-19, tepat pada zaman Restoraji Meiji, telah berhasil mengubah
nasib mereka dari kaum yang tertindas dan teraniaya menjadi
kelas masyarakat yang terbebaskan. Mereka menjadi pemilik sah
tanah-tanah pertanian yang mereka garap dan menjadi tuan pula
hasil panen yang diperoleh berkat jerih payahnya.
Keadaannya lain dengan di tanah air kita di Indonesia. Sejak
zaman kolonial hingga kini mereka didera oleh derita panjang
turun temurun. Perlawanan demi perlawanan yang sporadis dan
gegap gempita telah berlangsung secara berkesinambungan dari
daerah yang satu hingga daerah lain, namun keadilan belum pernah
memihak kepada mereka. Tuntutan akan perbaikan undang-undang
agraria yang memihak petani digemakan pula secara beruntun
semenjak negeri ini memproklamasikan kemerdekaan.
Sajak-sajak dalam antologi kecil ini hanya sekeping cermin
dari jerit lirih dan lantang yang telah disuarakan para petani selama
berkurun-kurun. Secara terbuka anak-anak petani dari generasi
baru mendedahkan secara terbuka kritik dan protes mereka
terhadap ketimpangan sosial, dan tindakan sewenang-wenang
yang ditimpakan ke pundak mereka. Dari sajak-sajak mereka yang
bersahaja kita dapat merasakan getirnya hidup sebagai lapisan
masyarakat yang terabaikan dan pada saat yang sama hak-haknya
terus dirampas. Mereka dipaksa menerima struktur kehidupan asing
dan berat yang diberlakukan tanpa belas kasihan kepada mereka di
bidang sosial budaya, ekonomi, dan politik. Dalam struktur yang
dipaksakan itu mereka menjadi komunitas yang tersisihkan dan
seakan-akan pula tampil sebagai massa tanpa kewarganegaraan.
Tetapi perjuangan menuntut hak hidup dan keadilan yang terampas

Epilog 87
masih terus berlangsung menentang kapitalisme yang serakah dan
industrialisasi yang bengis.
Sebuah sajak dari Kulonprogo misalnya, dengan lirih menggitik
kesadaran kolektif kita. Kata “mu” yang dimaksud dalam sajak
ini adalah negara atau pemerintah secara keseluruhan sepanjang
sejarah sejak berdirinya republik yang kita cintai ini. Oleh karena
kata “hadirmu” mesti dibaca sebagai hadirnya negara, yaitu Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Mukadimah
UUD 45, negara kita ini didirikan dengan tujuan antara lain
“Meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Tetapi semua itu sampai kini “jauh panggang dari api”
Begitulah penulis sajak “Arti Hadirmu” menulis:

Arti hadirmu
Merangkul kami
Melindungi kami
Menyejahterakan kami

Ternyata semua palsu


Kenyataan ternyata pahit
Kami tak dianggap
Hak kami dipinggirkan

Pada akhir sajaknya penulis mengatakan, “Ya Allah, ya Gusti/


Berilah kami kekuatan/ Untuk melawan/ Orang-orang yang tidak
berperikemanusiaan”.
Penulis lain dari Kulonprogo Anisa Widya S menulis dengan
meminjam ungkapan penyair Taufiq Ismail:

Lewat puisi akan berkata


Hidup kami menderita

88 Antologi Puisi Agraria Indonesia


Namun ia bertekad takkan mengeluh dan yakin petani,
sebagai kekuatan sosial dengan perjuangan moralnya, tak akan
bisa dilumpuhkan. Katanya, “…semangat kami akan terus
berkobar”. Sayang sebagaimana sajak-sajak lain dalam antologi ini
pada umumnya, sajak-sajak dari Kulonprogo ini terlalu lugas dan
ungkapan-ungkapannya belum diolah secara maksimal menjadi
pengucapan yang cukup puitik.
Dari Kulonprogo kita pindah ke Cilacap. Di sini Hizi
Firmansyah menorehkan kenangan atas kota kelahirannya yang
dahulunya merupakan sebuah desa yang hijau, ramah dan cukup
gemah ripah. Tetapi kini tanah kelahirannya itu tumbuh menjadi
kota yang udaranya tercemar, hiruk pikuk dan tak lagi ramah
disebabkan kehadiran industri. Katanya, “Dulu kota ini teramat
ramah/ sebelum taman menjadi perkantoran”.
Dalam antologi ini ada juga sajak-sajak dari Madura dan
Gorontalo. Beberapa sajak dari Madura tampak penulisnya telah
berusaha menemukan ungkapan yang relatif puitik. Kalau mau
dibahas semua tentu saja akan begitu panjang lebar. Yang jelas
nada sajak dari Gorontalo dan Madura itu sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan sajak-sajak dari Kulonprogo dan Cilacap.
Tantangan hidup yang dihadapi petani ternyata sama di empat
tempat itu karena corak kekuasaan yang dihadapi sama. Ada jerit
lirih, teriakan lantang yang tersekat, dan cercaan. Semuanya sekali
lagi diungkapkan dengan kata-kata yang bersahaja dan mudah
dipahami.
Selamat merenungi puisi yang telah anda baca ini. Segala
kekurangan pada sajak-sajak tersebut dapat dimaklumi karena
para penulisnya tidak pernah berpamrih menjadi penyair.

Abdul Hadi W.M

Epilog 89
Tentang Editor

S
urya Saluang, seorang pekerja seni dan peneliti sosial. Sembari
meneliti (partisipatif ), terakhir ia bersama beberapa kawan
menggerakkan Teater Unduk Gurun sebagai media kampanye
warga pesisir Kulon Progo. Ia menolak puisi koran dan pada tahun
2000 aktif bersama jaringan sastra pinggiran. Menulis esai, kritik
seni pertunjukan, mengeditori buku, dan sesekali melakukan aksi
performance art di berbagai keramaian kota. Tampilannya low
profile dan akan menikah dalam waktu dekat ini.

Tentang Editor 91

Anda mungkin juga menyukai