Anda di halaman 1dari 130

KESATUAN BANGSA SCHOOL

YOGYAKARTA

KESATUAN BANGSA SCHOOL

YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
PANITIA

Karya tulis adalah suatu hasil dari proses kreatif yang


bersatu dengan pengalaman, pengetahuan, dan respon penulis
terhadap segala yang terjadi dalam setiap sendi aspek
kehidupan. Sebuah karya tulis fiksi adalah karya yang jujur dan
pengalaman imajinasi yang apik dan diupayakan agar dapat
dinikmati oleh pembacanya.
Sejumlah karya pilihan dalam antologi ke-4 berjudul
“Gunung” membuktikan bahwa remaja SMP-SMA Kesatuan
Bangsa mampu mencipta sesuatu melalui karya tulis dan
menunjukkan bahwa mereka memiliki kepekaan menangkap
problem-problem sosial dan kemanusiaan yang dihadapinya.
Oleh karena itu, program antologi ini tentu akan terus kami
selenggarakan mengingat begitu pentingnya menciptakan
generasi yang peduli dan berbudi luhur. Melalui proses menulis
fiksi mereka berupaya dan menunjukkan degan karya. Selamat
menikmati karya putra-putri kami.

Bantul, 26 Oktober 2019


Bagas Satriaji Arifianto, S.Pd.
DAFTAR ISI

1. Pertemuanku Dengannya (Hanif Aviceina) -2


2. Wijayakusuma (M. Alsam T) -16
3. Samudra Cahaya (Adzka Emnaza Arief) -32
4. Kemanusiaan yang Tertunda (Aulia Davetta) -48
5. Padang Lavender (Daud Muhamad Azhari 5A) -56
6. Selendang Ibu yang Tak Terjamah (Najaf Shaf Ghaza) -64
7. Sendiri (Raditya Eka Putra) -71
8. Sayang dan Rindu Senantiasa Hadir (Tedy Ahmad S.) -80
9. Sombong (Adyatma W.) -89
10. Pengorbanan yang Indah (Farras Marfathul) -92
11. Petualangan Darmin dan Muki (Panji Merah B.) -94
12. Sang Nirmala (Wulan Maulani) -100
13. Let’s Not Fall In Love (Dwi Rizka) -105
14. Nuraga (Tiara Putri) -111
15. Trauma (Pramesthi L.D.) -116
16. Menjelang Ujian (Karunia Putri Nayla) -119
17. Berbeda (Puan Maharani) -124

1
Pertemuanku Dengannya
Hanif Aviceina (XI E)

Suara nyanyian jangkrik begitu merdu menghiasi


malamku. Suhu udara begitu dingin. Aku masih bertahan di balik
selindung kantung tidur yang menjadi satu-satunya benteng
pertahanan terhadap suhu dingin yang merasuki tubuhku. Sudah
dua hari aku tidak menemukan titik terang. Tak satu pun orang
yang berhasil kudapati. Aku tersesat. Hanya alam, dengannya
aku satu-satunya berjumpa. Namun, alam bukanlah hal yang
mudah dimengerti. Seperti halnya malam ini, ia mencoba
membunuhku dengan hawa dinginnya. Aku terbaring di dalam
tenda yang tertutup; memejamkan mata; berusaha tidur. Tak
peduli apapun yang terjadi, aku harus menghemat energi untuk
bertahan hidup sampai ada yang berhasil menemukanku.
Aku tak bisa tidur. Pikiranku selalu terbayang bagaimana
caranya menemukan jalan pulang. Aku menerka, bagaimana
bisa? Aku sebelumnya pergi dengan teman-temanku; mendaki
bersama, mumpung pekerjaan sedang libur. Belum saja sampai
puncak, sekarang aku harus bergelut dengan diriku sendiri;
menahan lapar. Persediaan makanan yang menipis membuatku
harus membatasi asupan makanan dalam sehari. Ke mana
perginya mereka? Aku tak bisa ingat. Aku terbangun dengan

2
darah segar yang keluar dari dahiku; hanya itu yang kuingat.
Segera saja aku lakukan pertolongan pertama untuk dahiku yang
terluka. Mungkin aku terjatuh. Namun saat itu sudah petang dan
aku sudah sendirian. Dataran di sini landai, penuh dengan
rerumputan yang menguning. Pepohonan hampir tidak kutemui,
bisa dihitung dengan jari. Segera saja kudirikan tenda sebelum
malam itu menjemput.
Kalau saja aku bisa mendapatkan sinyal, sudah
kugunakan telepon seluler sejak awal. Di sini jaringan internet
nihil. Telepon seluler terpaksa kutidurkan untuk menghemat
daya. Aku juga bisa saja berjalan menuju puncak, tapi setelah
kupikir-pikir lagi itu akan menghabiskan tenaga dan persediaan
makananku degan lebih cepat. Terlebih lagi, jalur pendakian
yang sebelumnya kutempuh bersama teman-temanku memang
tak pernah dilalui orang sebelumnya. Rumput liar masih
menjulur lebat di sana-sini. Gerombolan pacet pun tak segan
menyerbu kaki-kaki yang lezat. Begitulah yang ada dalam
benakku, terus menerus mengulang-ulang kejadian yang terjadi
hingga aku bisa berada di tempat ini.
Beruntungnya aku, hujan tidak pernah datang semenjak
aku menapakkan kaki di tempat ini. Kalau saja hujan datang,
lengkap sudah penderitaanku. Bagaimana tidak, tanpa hujan pun
aku sudah menggigil kedinginan. Tiba-tiba sebuah suara sayup-

3
sayup terhantar menuju gendang telingaku. Bisa kupastikan itu
bukan suara jangkrik yang setiap malam selalu hadir dalam
telingaku. Itu adalah suara yang hanya bisa dikeluarkan oleh
manusia. Cekrek... begitu bunyinya. Tidak asing lagi bagiku,
sudah barang tentu itu suara seseorang yang sedang melakukan
sesuatu. Aku segera beranjak dari kantung tidur tebalku,
membuka tirai tenda, dan mencari tahu sumber suara tersebut.
Kudapati seorang perempuan–tampaknya seumuran
denganku sedang mengarahkan sebuah kamera yang
dipegangnya ke langit; memotret. Ia mengenakan jaket khas
pendaki gunung. Rambut terurainya hanya sebahu, berada di
bawah naungan topi rimba. Sepertinya ia pendaki sepertiku.
Namun aku tak melihat ia membawa tas carrier1. Hanya sebuah
tas kamera selempang yang merangkul tubuhnya. Ia tidak terlalu
tinggi, bahkan lebih pendek dariku. Kulitnya cerah mengalahkan
sinar bintang yang masuk ke mataku. Kuhampiri dirinya
perlahan-lahan.
“Sudah larut malam, tidak membuat tenda?” aku
memulai percakapan. Ia tidak terkejut, mungkin ia sudah
menyadari keberadaanku ketika aku keluar dari tenda.
“Indahnya bintang-bintang yang bertaburan di langit
malam sudah cukup membuatku merasa di alam mimpi,”

4
katanya. Ia masih sibuk dengan kameranya. Matanya tak
kunjung beranjak dari viewfinder2.
Rupanya ia membawa tas yang lain. Ia kemudian mulai
mengeluarkan tripod dari tas tersebut dan memasang kamera di
atasnya. Tak lama kemudian, matanya kembali terpasang pada
viewfinder, mencari posisi yang pas kemudian menekan tombol
shutter. Kameranya mulai memproses gambar, cukup lama
karena ia menyetel kameranya dengan shutter speed3 yang
rendah untuk mendapatkan gambar bintang yang indah. Ketika
itu ia baru memalingkan wajahnya dari kamera menuju diriku.
“Kau mendaki sendirian?” tanyanya tiba-tiba.
“Ah tidak, sebenarnya aku bersama dengan teman-
temanku sebelumnya. Hanya saja terjadi sebuah musibah
menimpaku sehingga aku terpisah dari rombongan. Sepertinya
aku terjatuh, tapi aku tak bisa mengingatnya,” jawabku, “Aku
telah berada di sini selama dua hari, tak tahu arah; berharap ada
yang menemukanku. Dan kini kamu ada di sini, malam-malam,
sendirian?” tambahku.
“Aku bisa membantumu menemukan jalan pulang,”
sahutnya, “Aku ini fotografer jurnalis, tepatnya yang sering
membuat dokumenter. Aku sering berkelana ke mana saja
sendirian, mengambil gambar, apalagi di alam seperti gunung
ini. Aku sangat menikmatinya,” jelasnya.

5
Cukup tangguh juga ia, pikirku. “Lantas bagaimana kalau
ada sesuatu menimpamu, seperti yang aku alami ini?” tanyaku
penasaran.
“Ahaha.. aku sudah terbiasa mengalami hal seperti itu
kok, jadi tidak usah dikhawatirkan,” balasnya sambil sedikit
terkekeh. Tawanya begitu manis, sangat pas dengan wajahnya
yang juga manis. Menghilangkan presepsi anehku terhadap apa
yang dikatakannya.
“Kau ini benar-benar perempuan pemberani ya. Minder
aku dibuatmu. Aku saja berkelana bersama teman-teman masih
saja tersesat seperti ini,” celotehku.
Cekrek.. suara dari kamera milik perempuan juru potret
itu menandakan bahwa gambar hasil jepretannya telah selesai
diproses. Ia kemudian mengambil kamera itu dan memandang
hasil foto miliknya. Raut wajahnya tersenyum tanda puas. Tak
lama kemudian ia menyerahkan kameranya kepadaku;
menunjukkan hasil jepretannya.
“Memang, tak ada hasil jepretan perempuan lain yang
lebih bagus darimu,” pujiku.
“Berarti hasil jepretan seorang pria lebih bagus daripada
jepretanku?” tuturnya dengan bibir manyun.
“Eh.. eh.. bukan begitu sih,” balasku dengan sedikit ragu,
“Aku juga punya hobi memotret dan bagiku hasil fotomu ini

6
sangat menakjubkan. Kau bisa lihat sendiri kan, komposisi
framing-nya sangat pas, galaksi bima sakti terlihat jelas ditemani
dengan sebatang pohon yang menghiasi kekosongan di dalam
foto ini. Pencahayaannya pun sangat pas, ISO-nya tidak terlalu
tinggi sehingga tidak menghasilkan noise yang mengganggu
pandangan,” tambahku.
Ia tersenyum sekali lagi. “Aduh kau ini rupanya mengerti
juga tentang fotografi. Jangan berlebihan memujiku seperti itu
lah,” katanya dengan senyuman yang begitu menenangkan hati.
“Aku berkata jujur kok, eh.. ngomong-ngomong siapa
namamu? Kita bahkan belum berkenalan sejak tadi, namaku
Raka, pekerja kantoran, baru setahun lulus, masih bujang.”
kataku dengan mengulurkan tangan. “Aku Rukma,” jawabnya
singkat.
“Lantas mau kau apakan foto ini, Rukma?” tanyaku
sambil mengembalikan kamera kepadanya.
“Ah aku simpan saja sendiri, untuk bersenang-senang,”
katanya.
“Loh, katamu kau fotografer jurnalis, sudah semestinya
foto ini kau gunakan untuk membuat dokumenter bukan?”
tanyaku dengan mengernyitkan dahi.
“Ah, perkara itu.. sebenarnya aku tidak bisa
melakukannya lagi,” katanya.

7
“Kenapa begitu?” aku kaget mendengarnya. Apa yang
sebenarnya ia maksud?
“Nanti kau akan mengerti sendiri kalau sudah sampai di
rumah.” Aku benar-benar tidak mengerti maksudnya.
Karena malam sudah sangat larut hingga hari sudah
berganti –kulihat jam sudah menunjukkan pukul 12 malam
lebih– aku memutuskan untuk bertanya kepada Rukma kapan
dia akan beristirahat. “Rukma, ini sudah sangat malam, bahkan
hari sudah berganti. Apakah kau tidak ingin tidur dan
beristirahat? Aku bisa mempersilakanmu tidur di dalam
tendaku. Tak apa aku tidur di luar tenda, aku masih punya
kantung tidur,” kataku.
“Apakah tak mengapa jika aku merepotkanmu? Aku
memang tak membawa tenda karena aku hanya berniat untuk
berburu foto di daerah ini, tak sampai ke puncak, lantas pulang
kembali. Namun, karena aku bertemu kau yang butuh bantuan,
rasanya memang perlu aku menginap di tendamu,” katanya.
“Silakan saja, segeralah masuk tenda, aku akan tidur di
luar. Besok pagi-pagi aku akan membangunkanmu dan segera
memasak, lantas kita pergi bersama.” Aku mempersilakan
Rukma beristirahat. Ia pun segera mengemasi peralatannya dan
bergegas memasuki tenda. Aku pun segera berbaring di dalam
kantung tidurku. Demi kau aku rela bertahan di tengah dinginnya

8
malam ini, batinku. Aku mulai mengagumi perempuan itu. Ia
adalah perempuan yang amat berbeda dengan kebanyakan
perempuan di dunia ini; pemberani. Ah tidak bisa pulang pun
aku rela asalkan bersamamu. Aku mulai berkhayal, kemudian
terlelap.
***
Mentari mulai mengintip sedikit demi sedikit. Ia masih
malu-malu menampakkan dirinya. Ketika aku terbangun, aku
melihat ia sudah sibuk dengan kameranya, mengabadikan
momen ketika mentari masih mengintip di balik gunung.
Memangnya semalam dia tidak tidur? Gumamku dalam hati.
“Tampaknya kau sangat antusias memotret setiap
momen yang alam berikan kepadamu ya,” aku memulai
percakapan.
“Alam memang selalu punya cara untuk menghibur
setiap orang yang hidup di dalamnya,” sahutnya.
“Jadi, semalam tidak tidur?” tanyaku.
“Bisa jadi, siapa yang tahu?”
“Apa maksudmu?”
“Mungkin memang karena terlalu antusias, atau karena
insomnia? Seseorang bisa saja tidak tidur seharian kan?”
cakapnya.

9
Perempuan ini benar-benar membuatku bingung.
Kepribadiannya memang tidak bisa ditebak. Apakah ada yang
seperti dia lagi di dunia ini? Benar-benar sulit dimengerti.
“Ya sudah, karena matahari sudah mulai tampak, aku
akan memasak dulu. Kau cukup tunggu di sini saja, tidak usah
ikut memasak bersamaku. Anggap saja ini caraku membayar
jasamu untuk menunjukkan jalan keluar dari sini.” Aku segera
mempersiapkan peralatan memasak, mengeluarkan semua sisa
persediaan yang ada. Untunglah masih tersisa tiga bungkus mi
instan dan sedikit sayuran yang mulai layu. Sialnya, persediaan
gasku sudah habis. Aku harus mencari beberapa ranting dan
dahan pohon kering dahulu, baru memasak.
Ia duduk di atas batu, menungguku. Terdiam, bertopang
dagu. Mungkin bosan. Sesekali ia mengoperasikan kameranya,
mengarahkannya ke beberapa burung yang terbang ke sana
kemari. Kayu bakar sudah terkumpul, saatnya memasak.
Syukurlah pagi ini angin tak kencang. Tak perlu susah payah aku
membuat api. Beruntungya lagi, persediaan airku masih cukup
untuk membuat mi instan dan pelepas dahaga. Segera saja aku
buka bungkus mi instan, memotong-motong sayuran, membuat
masakan.
“Kemarilah, Rukma! Makanan sudah siap.” Aku berteriak
memberitahu Rukma yang sedang sibuk memotret hingga lupa

10
bahwa ia semakin menjauh dari tenda. Ia pun menoleh, segera
beranjak dari kesibukannya, berjalan ke arahku.
“Maaf ya, hanya ini yang tersisa. Oh ya, karena aku hanya
punya satu panci, kita makan bersama ya. Tidak apa-apa kan?” Ia
hanya tersenyum menatapku. “Ayo dimakan, untuk kebutuhan
energi supaya tidak jatuh pingsan,” aku mempersilakan. Namun
ia tak kunjung menyentuh peralatan makan. Aku pun heran.
“Ada apa? Mengapa tak dimakan? Tidak bisa makan mi?”
tanyaku memastikan.
“Tidak apa-apa kok, makanan ini untukmu saja. Aku
tidak lapar. Aku tak perlu makan. Lagipula kita tidak akan
berjalan terlalu jauh kok. Aku hanya akan mengantarkanmu
menuju jalur utama. Selebihnya, jalurku pulang berbeda dengan
jalurmu,” jelasnya.
“Bagaimana kau tahu kalau jalur kita akan berbeda? Aku
bahkan tak memberitahumu asalku sebelumnya.”
“Kau ini kan tersesat. Teman-temanmu pasti sudah
melaporkannya kepada pihak berwenang. Apalagi sekarang
berita sangat cepat menyebar di media sosial. Aku ini datang
sesudah kau, kan? Tidakkah kau menyadari itu?” ia menjelaskan.
“Ah, rupanya begitu. Jadi tidak apa nih aku makan
sendirian?” tanyaku memastikan.
“Tak perlu khawatir,” jawabnya mantap.

11
Dengan sedikit ragu, Aku pun menyantap makanan yang
kumasak sendiri.
“Baiklah, makanannya sudah habis. Sekarang saatnya
berkemas.” Aku segera merapikan barang-barang, melipat tenda,
memasukkan semuanya ke dalam tas. Tak perlu basa-basi lagi,
sebelum matahari terlalu tinggi, aku pun bergegas meminta
Rukma menunjukkan jalan. Ia kemudian berjalan di depanku.
Perlahan-lahan kami menuruni lereng. Beberapa kali jalanan
terjal, namun tak sampai membuatku terjatuh. Ia sangat lihai
dalam menapak. Tak pernah sekali pun terpeleset. Berkali-kali
aku hampir terjatuh oleh keisengan batu yang tak kuat
menahanku.
Tibalah saatnya kami dihadapkan oleh persimpangan
jalur. Rupanya ini yang dimaksud. Terlihat sebuah jalur utama
yang lebar di sebelah kanan, sementara jalur lain begitu sempit
di sebelah kiri. Rukma memberitahuku bahwa aku harus
berjalan ke arah kanan, sementara ia akan melanjutkan
perjalanan melalui jalur sebelah kiri. Tak lama kemudian, aku
pun mengucapkan terima kasih yang mendalam karena ia telah
hadir menyelamatkan hidupku. Sebelum kami berpisah, ia
memberikan sesuatu untukku. Sebuah kotak kecil berwarna
ungu berhiaskan pita di atasnya. Ia melarangku membukanya di
tempat ini.

12
“Apapun yang terjadi, jangan buka kotak ini sebelum kau
sampai di rumah.” Ia memastikan dengan nada yang tegas.
Ketika kutanya mengapa, ia tak mau menjawab. Aku pun
mencoba untuk bertanya dari manakah ia berasal, namun ia
menolak. Katanya begini, “Biar alam saja yang berhak
mempertemukan kita kembali. Jangan kau cari-cari aku. Kau
hanya akan menyibukkan dirimu sendiri.” Aku pun mengiyakan.
Sikapnya benar-benar membuatku bingung, tak perlu dipikirkan.
Kami pun berpisah. Lambaian tangan dan senyumannya
menutup kebersamaan kami, memulai kesendirianku berjalan
melewati jalur utama.
Tak lama kemudian, aku pun tiba di pos pertama, tempat
di mana aku memulai pendakian. Rupanya teman-temanku
masih di sana. Mereka pun berteriak dan memelukku. Ada pula
yang menangis. Petugas keselamatan pun segera menanyakan
beberapa hal terkait kronologis hilangnya diriku. Aku kembali
dengan selamat, itulah poin pentingnya.
***
Perjalanan pulang kuhabiskan untuk tidur. Hilang di
gunung sangat menguras tenaga. Beruntung aku selamat. Ketika
sampai di rumah, aku pun langsung memeluk kedua orang
tuaku. Tak terbayang betapa bahagianya mereka mendapatiku
masih hidup di dunia ini. Aku pun demikian. Setelah

13
membersihkan diri, membereskan peralatan mendaki, dan tentu
saja memenuhi kebutuhan nutrisi, aku pun teringat pesan
Rukma untuk membuka kotak itu. Ketika itu juga ayahku
berkata kepadaku, “Beruntungnya kamu nak, Ayah sangat
bersyukur kau masih hidup. Ini lihatlah koran hari ini, ternyata
tidak hanya kau yang hilang di gunung bersamaan.” Aku
terkesiap, mencoba menelan bulat-bulat apa yang dikatakan
ayah tadi. Langsung kusambar koran yang dipegangnya. Terlihat
berita utama koran tersebut dengan jelas.
“Dua Pendaki Hilang di Gunung, Satu Orang Selamat, Satu
Orang lagi Ditemukan Meninggal Dunia.”
Jantungku berdebar-debar membaca headline berita
tersebut. Apalagi ketika kubaca lebih dalam. Nama gunungnya
sama dengan yang kudaki. Sampai pada akhirnya pandanganku
jatuh pada kalimat: “Satu orang yang lain, dilaporkan bernama
Rukma Drupadi, ditemukan meninggal. Tim forensik masih
menyelidiki penyebab kematian perempuan tersebut.”
Sontak aku berlari menuju kamar. Mencari kotak
tersebut, kemudian cepat-cepat kubuka. Kudapati sebuah liontin
dan secarik kertas bertuliskan:
Jika kau memegangnya, tolong kembalikan pada ibuku.
Aku sangat menyayanginya.
–Rukma Drupadi.

14
Jebol sudah bendungan air mataku. Aku tak percaya apa
yang baru saja terjadi. Air mataku mengalir deras tak kenal
medan melewati kedua pipiku. Aku pun berpikir bagaimana
caranya mengembalikan liontin ini.

1. Carrier : tas yang digunakan untuk mendaki gunung.


2. Viewfinder : jendela bidik untuk melihat objek yang akan diambil oleh fotografer.
3. Shutter speed : kecepatan rana

15
Wijayakusuma
M. Alsam T (XI D)

"Yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur"


- Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945

Mentari telah sirna. Pertanda peranan biru telah usai,


kini hitam yang menggantikan perannya mewarnai langit.
Goresan bata yang membentuk pola engklek membisu, tidak ada
yang menggunakan. Anak-anak yang sedari tadi bermain, sudah
lama meninggalkan tepian sungai tempat mereka bersendau
gurau. Meninggalkan seorang anak yang selalu memandangi
sungai di depannya lekat-lekat. Anak perempuan yang tangguh.
Terlihat dari bagaimana ia memandang, tegas dan tajam.
Rambut panjangnya yang diikat ke belakang bergerak diterpa
angin malam. Pipinya terlihat membiru, lebam.
Hitam semakin pekat, malam pun semakin kosong.
Senyapnya malam tak membuat anak itu ketakutan. Hatinya
senang ketika sepi merasuk dalam jiwanya. Semakin larut
malam, semakin banyak orang yang mendatangi tepian sungai
itu. Ramainya bahkan menyaingi hiruk pikuk sang siang.

16
Samar, terdengar rentetan peluru dari hutan di seberang
sungai. Bau mesiu seketika merebak di udara, seakan
menegaskan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Beberapa
sinar obor terlihat menari-nari di sela belantara rimba. Letupan
senjata api semakin mendekat. Bau mesiu terasa semakin pekat.
Satu kompi prajurit terlihat terengah menyeberangi sungai,
menerjang dingin dan deras arus yang tiada memberi ampun.
Beberapa hembusan angin berlalu, satu kompi prajurit
tadi telah merapat ke tepian. Bantaran sungai itu semakin dibuat
sesak oleh kedatangan mereka. Seseorang dari regu tersebut
memisahkan diri. Lengkap dengan senjata di dada dan pakaian
yang basah oleh air, ia menghampiri anak yang duduk sendiri
sedari tadi. Orang tersebut mengulurkan tangannya, hendak
meraih pundak anak di depannya. Hatinya kalut, akalnya terus
berpikir apa yang harus ia katakan.
Satu tepukan membuat anak tersebut menoleh. Detik-
detik yang terjadi setelahnya seakan bergulir sangat lambat.
Atmosfer saat itu tiba-tiba saja terasa menjadi sangat berat,
menekan dada hingga menyesakkan nafas. Air mata terus
membasahi kedua bola netra, membuatnya tak tertahankan
untuk menetes. Dinginnya malam seolah luntur oleh kehangatan
pertemuan mereka.

17
“Hai nak, lama tak jumpa. Maukah kau mendengarkan
kembali cerita-cerita lama?”
“Tentu, karena memang saat inilah yang selalu kutunggu
satu tahun kebelakang.” jawab anak itu dengan suara bergetar.
“Baiklah, saya akan cerita. Saat ini cerita saya tentang
balada kerajaan yang berjaya di Selatan Jawa, bahkan hingga
detik ini.”
“Yogyakarta,” bisik anak tersebut dengan antusias.
“Tentu, tebakanmu memang tidak pernah meleset.
Baiklah, dengar baik-baik. Mungkin, kisah ini bisa
menyelamatkanmu”

Yogyakarta, 19 Desember 1948


Patung Dwi Naga Rasa Tunggal menjadi saksi
penyerbuan kota pagi itu. Tak terhitung berapa banyak manusia
kaukasoid yang merangsek masuk, berusaha untuk merebut
ibukota republik yang baru seumur jagung ini. Beberapa tokoh
penting dalam berdirinya bangsa ini ditawan, dibuang, dan
diasingkan dengan harapan agar cahaya eksistensi bangsa ini
padam.
Namun, nyawa bangsa ini bagaikan nyala api unggun.
Walaupun dari luar sudah tak terlihat nyala api, namun siapa
sangka di bagian dalam abu masih membara, menyala

18
memancarkan sinarnya. Soekarno, bapak pembaca teks
proklamasi berhasil mengirim surat kepada Syafruddin
Prawironegoro sesaat sebelum menjadi tawanan. Surat tersebut
berisi wasiat untuk memindahkan obor semangat bangsa ini dari
Yogyakarta ke Sumatera Barat agar senantiasa menyala. Estafet
kepemimpinan berhasil diraih, Bukittinggi berdinas sebagai
Ibukota.
“Bagaimana mungkin mereka bisa menang melawan
Belanda?”
“Apa pun bisa dilakukan. Tekadlah yang akhirnya akan
menentukan.”
Percakapan antara keduanya berlanjut, namun tak
berlangsung lama. Ketika semburat putih mulai nampak di busur
langit, percakapan mereka terhenti.
“Baiklah, seperti biasa, matahari akan segera muncul,
begitu pula dengan saya yang harus segera pergi.”
“Tunggu, ada satu lagi pertanyaan. Apa maksud dari Dwi
Naga Rasa Tunggal? ”
“Itu adalah candrasengkala, kalimat yang menyiratkan
sebuah masa, sama seperti…”
“Seperti apa?”
“Maaf saya tidak bisa menceritakannya.”

19
Sebuah peluru hampa ditembakkan ke udara,
menimbulkan suara kejut yang mengerikan. Seketika itu, satu
kompi tersebut berlari, bergerak menjauhi tepian sungai menuju
gelapnya hutan. Hening. Kepergian rombongan tentara tadi
menyisakan hening. Bahkan suara angin yang membelai lembut
rerumputan dapat terdengar dengan jelas.
Di sebelah kaki anak itu berpijak, tergeletak pelepah
pisang yang sudah mengering. Dipermukaannya tertulis aksara
jawa. Susunan huruf itu berbunyi “Nawa Diyu Rago Kenya”. Di
sampingnya juga tertulis kalimat "Long March Siliwangi".
Anak tersebut bingung. Apa hubungan kedua kalimat itu,
bahkan ia pun belum pernah mendengar apa pun tentangnya.
Dalam jalannya menuju rumah, ia gunakan untuk terus
memikirkan maksud dari untaian kata tersebut.
Rumah sudah terlihat di ujung jalan. Bangunan bergaya
jawa klasik itu tampak menawan. Dinding-dinding kayunya
terlihat kokoh. Di beranda rumah, Anak itu terus memandangi
pelepah pisang. Berpikir, apa makna dari frasa yang
tertulis. Anak itu terus saja menunggu di luar rumah, takut
jikalau amarah ibunya kembali melukai fisiknya.
Malam kembali menjelang seperti biasa. Kehadirannya
disambut oleh mekarnya bunga sedap malam. Anak tersebut tak
sabar untuk kembali bertemu dengan prajurit di tepian sungai.

20
Tak sabar untuk menanyakan banyak hal, merangkai kembali
mozaik masa lalu.
Saat itu, saat cahaya terakhir mentari runtuh, anak yang
biasa tinggal seorang diri di tepian sungai, bergegas pergi
kembali ke tempat peraduannya. Di sana ia menunggu dengan
hati yang sendu, kedatangan prajurit yang dirindu. Malam
semakin menjadi. Pertemuan keduanya akan segera terjadi. Satu
tepukan di pundak sudahlah cukup untuk merubah suasana hati
anak tersebut.
"Hai nak!"
"Hai! Senang bertemu kembali denganmu. Kali ini aku
yang akan memilih kisahnya
“Kisah apa yang ingin kau dengar nak?”
“Tentang Long March Siliwangi."
Tentara dihadapannya tersenyum tanda puas. Pesannya
kepada anak itu telah tersampaikan.
"Mengapa kau tiba-tiba ingin mendengar kisah itu?"
"Tidak ada, hanya ingin tahu”
“Sepertinya waktu akan membuka semua tabir kisah.
Baiklah, akan segera saya ceritakan. Cerita lama itu masih terkait
dengan cerita saya semalam”
Mata sayu tentara itu bergerak memandang langit.
Menerawang jauh, mencoba merangkai kembali kisah yang telah

21
lama terberai. Memutar jarum waktu, menapaki kembali masa
lalu.

Yogyakarta, 19 Desember 1948


Tepat setelah tentara Belanda berhasil menduduki
Yogyakarta, Jenderal Besar Sudirman yang bertindak sebagai
komandan, memberi komando kepada pasukan Siliwangi yang
sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta, sebagai
konsekuensi atas Traktat Renville. Dalam mandatnya, pasukan
Siliwangi diminta untuk kembali ke daerah asalnya, Bumi
Parahyangan. Dalam perjalanan yang menempuh jarak tak
kurang dari 600 kilometer, tak sedikit serdadu yang membawa
serta istri dan anak, bahkan yang masih bayi sekalipun.
Perjalanan ini sangatlah berbahaya, menantang jalur maut
selatan jawa yang masyhur akan kesulitan medannya. Melibas
suramnya rimba, menerjang ganasnya arus sungai, serta
memanjat deretan pegunungan dengan tinggi ratusan meter
mereka lakukan demi NKRI jaya sakti.
Tuhan rupanya tidak mengizinkan perjalanan mereka
berjalan lancar. Suatu ketika mereka dihadapkan pada sebuah
sungai di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sungai itu
sangatlah lebar, dalam, serta gelagat arusnya yang kuat seakan
tidak mengizinkan siapa pun untuk melintas. Kelompok batalyon

22
yang terhambat oleh sungai itu pasrah. Kepala-kepala mereka
tertunduk.
Namun, peribahasa “di mana ada kemauan disitu ada
jalan” agaknya memang benar adanya. Dengan tekad yang kuat
untuk melindungi ibu pertiwi, terbetiklah ide untuk
menjinakkan arus yang terlampau ganas. Para serdadu beserta
istri dan anak mereka mulai menyimpul kain-kain yang ada.
Sarung hingga selendang mereka pergunakan untuk membuat
tali. Satu orang memimpin di depan untuk menambatkan tali di
seberang. Tali berhasil tertambat, satu persatu mulai
menyeberang. Tambatan tali seadanya itu memang
mempermudah menyeberangi sungai, namun tak dapat
dipungkiri, tali itu bukanlah cara terbaik.
Kabut merayap, menutupi alur dengan sulurnya. Angin
tiba-tiba saja berhembus dengan derasnya. Jiwaku melayang
bersamanya, melintasi garis masa.
Malam itu, ketika rembulan dan mega menghiasi
dirgantara, satu persatu pekik teriak menggema. Jerit yang
sungguh membuat hati siapa pun pilu, termasuk diriku.
Derasnya arus menghantam tiap insan yang sedang berhijrah,
termasuk seorang ibu yang membawa bayinya. Netraku melihat,
air itu berdiri setinggi pundak ibu tersebut, membuatnya
kesulitan menggendong bayinya sembari bertambat pada tali.

23
Sungai itu berhasil mematahkan asanya. Derasnya arus
yang menerjang tak kuasa ditahan olehnya. Bayi dalam
gendongnya hanyut direnggut dinginnya arus. Ibu itu berteriak,
teriaknya menggetarkan hati siapa pun, bahkan aku yang tidak
ada pun ikut hancur mendengar jeritnya.
Seorang laki-laki yang sudah berjalan di depan melepas
pegangannya, mencoba menyelamatkan. Ia berenang mengikuti
arus, mengejar tubuh kecil yang bablas bersama air. Tubuh kecil
itu berhasil diraihnya, namun deras arus menghalanginya
kembali ke tali tambatan. Semakin lama tubuh laki-laki itu
bertahan, semakin lemah kakinya bertambat, kalah oleh kuasa
alam yang maha dahsyat.
Seorang remaja laki-laki yang sedang menunggu untuk
menyeberang, seketika terjun menantang arus, mencoba untuk
menyelamatkan. Keduanya kemudian saling sokong melawan
kuasa alam. Jengkal demi jengkal mereka lalui, mendekat ke tali
penambat. Ibu anak itu menangis, bibirnya terus merapal doa.
Memang alam takkan pernah dapat tertandingi, seberapa
pun kuasanya manusia. Deras arus itu berhasil membuat kedua
orang tersebut kehabisan tenaga. Kaki kaki mereka seakan tak
lagi sanggup untuk melangkah. Selisih jarak beberapa langkah
dari sang ibu, menggunakan kekuatan terakhirnya, kedua orang
tersebut menyerahkan bayi itu kembali ke buaian ibunya.

24
Arus menggempur pertahanan terakhir mereka. Tubuh
mereka perlahan pergi bersama derasnya arus. Kelompok
batalyon yang sedang menyeberang itu menangis. Batin mereka
tak sanggup merelakan kepergian keduanya. Hati ibu itu kalut.
Entah harus bahagia atau menderita. Kedua orang terkasih, kini
telah meninggalkannya untuk selamanya.
Seakan satu tidaklah cukup, sungai itu terus meminta
nyawa. Ketika Anak serta istri-istri prajurit itu tak kuasa
menahan derasnya arus yang menerjang, mereka hanya bisa
pasrah membiarkan tubuh mereka pergi bersama arus. Di lain
sisi, para suami dan bapak mereka hanya bisa menangis,
meratapi lenyapnya jiwa terkasih, yang seolah dipersembahkan
menjadi tumbal kemerdekaan. Namun, nurani mereka tetaplah
tangguh, setangguh pasukan Bhayangkara ketika melawan
serbuan musuh. Bagi para serdadu, istri serta anak-anak mereka
tidaklah ada harganya jika dibandingkan dengan kedaulatan
Indonesia.
"Sungai mana yang kamu ceritakan?"
"Sungai yang sedang kau pandangi saat ini."
"Maksudmu Sungai Serayu ini?"
"Tepat.”
Kabut tipis muncul berirama. Rona cakrawala yang mulai
memerah menandakan sinar sang baskara akan kembali

25
menghujani bumi. Mataku mulai sembab. Aku tahu, pertemuan
ini selalu diharamkan oleh sinar sang surya.
“Maaf, saya harus segera pergi.”
“Bisakah kau di sini sedikit lama lagi?”
“Maaf tapi saya tidak bisa menolak perintah atasan.”
"Aku mohon dengan sangat, ceritakanlah satu kisah lagi"
Peluru hampa kembali ditembakan ke awang-awang.
Seluruh kompi berlari kedalam hutan, menyisakan aku dan
prajurit di sampingku, kami duduk berdampingan.
"Baiklah akan kuceritakan satu kisah, kali ini tentang nama
seseorang, bukan lagi kisah heroik merebut kemerdekaan."
"Maksudmu?"
Tepat sebelum kedua bibirku mengatup, prajurit
disampingku telah mulai berkisah.
Nawa. Nama yang bagus nan sarat akan makna. Nawa, nama ini
adalah serapan dari Bahasa Belanda : nabij, bahasa dari negeri
yang bahkan letaknya berada di bawah permukaan air laut,
namun mampu membuat nusantara di bawah pengaruhnya
selama berabad-abad. Dalam Bahasa Belanda, nabij memiliki arti
dekat. Dekat di sini dimaksudkan sebagai doa. Doa agar anak
tersebut selalu dekat kepada alam, manusia, serta tentunya
dekat dengan bangsanya sendiri yang berdiri kokoh berkat jerih

26
upaya pejuang masa lalu. Perjuangan mereka kini terpahat indah
dalam riwayat bangsa.
"Namaku, bagaimana kau tahu."
"Maaf, waktu saya tidak lama lagi, saya harus bergegas."
Angin berhembus. Tiupannya membawa serta serbuk sari
terbang ke sana-ke mari. Serbuk kuning itu hinggap di kedua
bola netraku, membuatnya gelap untuk beberapa saat. Serdadu
di hadapanku berbisik.
"Maaf saya harus pergi sekarang, sebelumnya saya ingin
memperkenalkan diri. Idris, nama saya adalah Idris. Satu lagi
pesan dari saya, bacalah dari belakang. Itu akan
menyelamatkanmu"
"Tunggu! Janganlah pergi! Temani lagi malam-malamku
selanjutnya!"
Tak ada jawaban. Setelah netraku kembali mendapatkan
cahayanya, serdadu di hadapanku hilang, seakan terbang
bersama angin. Hari pun tiba-tiba saja berubah menjadi
benderang.
Anak itu berjalan kembali ke rumah. Sepanjang jalan ia
berpikir tentang pesan terakhir tentara itu. Ia mencoba
membaca kembali kalimat itu, mulai mengartikan dari belakang.
Sepertinya anak itu telah mengerti makna sepenuhnya
dari pesan tersebut. Ia berlari dengan wajah merah menahan

27
takut. Di dalam rumah yang sepi itu, ia jalan perlahan, bingung.
Ingin menyampaikan pesan tersebut tetapi takut akan murka
ibunya. Batinnya tertekan, keringat mengucur perlahan.
Semakin takut, degup jantungnya semakin cepat. Seulur tangan
merengkuh lengan anak itu, menariknya keras.
Eratnya cengkram memerahkan lengannya. Sebuah batu
lumpang menghantam kepala anak itu. Gelap. Seketika saja
semua menjadi gelap.
Malam selanjutnya anak itu kembali ke tepian sungai,
menunggu serdadu yang dirindu. Namun, lama anak itu
menunggu tak terbalas oleh kehadiran orang yang ditunggu.
Malam-malam selanjutnya ia kembali ke tepian sungai itu,
Sungai Serayu. Semakin banyak malam yang ia habiskan untuk
menunggu, sebanyak itu pula penantiannya tak terbalas. Sampai
tetes terakhir air mata anak itu terjatuh, mereka tak lagi
dipertemukan.
Dengan hati yang masygul, ia kembali lagi di penghujung
malam. Kali ini kesedihannya tak lagi dapat dibendung. Air
matanya menetes dari ujung mata membasahi wajah. Dengan
mengatupkan kedua tangan, ia berdoa dalam batin.
“Aku mohon, tolong pertemukan kami seperti dahulu.”
Alam seakan mendengar doanya. Angin berhembus.
Hamparan permadani hijau berayun seirama dengan hembusan

28
sang angin. Kabut perlahan merayap, menyelimuti alur dengan
sulurnya. Rembulan yang benderang menambah syahdu
suasana. Bunga wijayakusuma yang sedang sempurna
mekarnya, tampak bersiap untuk ikut berperan dalam kejadian
ini. Telapak tangan yang kasar itu kembali menepuk pundak dari
belakang.
“Hey nak, apa kabarmu?”
Nawa tersentak. Mulutnya terkunci tak dapat berucap.
Dari bola netranya saja, apa yang ia rasakan sudah dapat
tercermin.
“Nak, sebenarnya ada yang belum aku ceritakan tentang
Long March Siliwangi. Sebuah rahasia besar.”
“Saat itu situasi sangat sulit, memaksa beberapa dari
kami mengikat traktat dengan Sang Diyu, memohon agar
dimudahkan untuk menyeberangi alur Serayu. Sang Diyu
menyanggupi permintaan. Ide menggunakan tali sebagai
penambat adalah perintahnya. Namun tetap, tiada yang gratis.
Sang Diyu meminta bayaran. Tidak cukup, dari kami saja, ia
meminta lebih banyak. Sesuai kesepakatan ia akan
mendatangkan bencana di masa mendatang, menggenapi hutang
yang belum lunas. Namun, saya yang ikut dalam kesepakatan itu
keberatan.”

29
“Nawa Diyu Rago Kenya, dalam budaya jawa dikenal
sebagai candrasengkala, yaitu untaian kata yang menyiratkan
suatu garis masa. Nawa Diyu Rago Kenya memiliki arti : tawar
raksasa halangan gadis. Maksudnya, Permohonan saya kepada
sang raksasa untuk menjauhkanmu dari bencana. Dalam Nawa
Diyu Rago Kenya juga tersirat angka 9-5-9-1, sesuai dengan
watak perkatanya. Jika dibaca dari belakang maka akan merujuk
pada tahun 1959. Genap satu dasawarsa setelah peristiwa haru
itu berlalu”

Sungai Serayu, 1959


Tepat saat malam mencapai puncaknya, saat lembaran
tahun berganti, “Nawa Diyu Rago Kenya” benar-benar menjadi
kenyataan. Tahun 1959, satu dasawarsa setelah long march itu
berlalu, Sang Diyu kembali untuk menagih janji.
Sungai Serayu yang sedianya menjadi pujaan bapak tani,
malam ini tak lagi begitu. Arus yang bergulung layaknya ombak
di samudera itu datang dengan cepat. Besarnya ombak itu
melibas badan sungai, membuatnya tak lagi sanggup
menampungnya. Amuk sungai itu memaki segala yang ada.
Rumah-rumah terkoyak, dan pepohonan tercabut dari akarnya.
Para manusia yang sedang terbaring saat itu pun tak dapat
berbuat apa apa. Ganas sang bena mencabut nyawa mereka,

30
menyisakan tumpukan raga tanpa jiwa. Merebut harapan,
menghapus peradaban.
“Memang benar, Sang Diyu menyelamatkanmu dari
bencana ini. Tapi aku tak menduga, akan seperti ini caranya,
Maafkan bapak nak, Bapak benar-benar menyesal.”
“Bapak juga minta maaf karena tidak memberitahumu,
karena dalam kesepakatan itu bapak harus menutup mulut pada
siapa pun. Bapak hanya bisa memperingatkanmu lewat pelepah
pisang itu.”
“Tidak apa Pak, saya mengerti. Untuk mencapai tujuan
besar, perlu pengorbanan yang besar pula. Kini, Nawa bisa
berkumpul kembali dengan bapak, dan mas. Mungkin sebentar
lagi, simbok juga akan datang, menyusul. Keluarga kita akan
disatukan kembali, Pak”
Malam itu menjadi malam yang panjang. Segala urusan telah
terselesaikan. Bunga wijayakusuma yang benderang karena
memantulkan sinar sang candra, menyaksikan segalanya.
Merekam seluruh kisah, dalam kelopaknya yang hanya merekah
saat hari mencapai titik tergelap.

31
Samudra Cahaya
Adzka Emnaza Arief (XI C)

Panas sekali, hari ini matahari seakan sedang


mengamuk, membakar alas tandus, yang berada di sebelah
timur Wonosari. Tanahnya yang merah, nampak kering dan
pecah-pecah, namun masih sanggup memeluk dan menopang
akar-akar jati yang tetap kokoh berdiri di antara ribuan bukit
purba yang menaungi keduanya. Sejauh mata memandang tidak
ada tanda-tanda kehidupan selain rerumputan yang hampir
kering dan sejumlah belalang yang melompat-lompat di antara
daun-daun yang berguguran. Bahkan awan saja enggan datang
untuk singgah walau sebentar dan memilih untuk menjauh dari
terpaan panas sinar matahari yang siang itu sedang membara.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, amukan sang
surya perlahan-lahan mulai reda, berganti dengan semburat
halus warna senja, hingga akhirnya sampai kepada malam,
bersama rembulan dan jutaan bintang yang menghiasi langitnya.
Tak disangka-sangka, di tengah hening dan sepinya suasana, dari
kejauhan sayup-sayup terdengar suara kayuhan sepeda, seorang
pemuda, Satarji namanya. Dengan berbekal telo rebus yang ia
bawa dari rumah, ia kayuh sepeda onthel miliknya kencang-
kencang, menuju area perbukitan yang biasa ia jadikan sebagai

32
tempat untuk ngarit sekaligus bertamasya dengan kambing -
kambing kesayangannya.
Setelah sampai di bawah salah satu bukit, ia hempaskan
sepeda miliknya yang tanpa sandaran itu ke tanah. Tanpa pikir
panjang Satarji langsung melesat menuju puncak bukit yang ada
di depannya. Larinya yang membabi - buta, membuat
gerombolan belalang dan jangkrik yang bersembunyi di balik
rerumputan melompat - lompat ketakutan akan hentakan ganas
kedua kakinya.
Tidak lama memang buat Satarji untuk mencapai puncak
bukit, ia sudah terbiasa, dan sesaat setelah sampai di sana,
dengan santainya ia langsung ndeprok di antara tumpukan
bebatuan, lalu merapikan posisi duduknya, bersila, dan
bersandar pada batu besar yang berada tepat di belakangnya.
Sambil mengunyah secuil demi secuil bekal telo rebus yang ia
bawa, Satarji menengadah ke arah langit. Seketika wajahnya
langsung ditimpa oleh sinar rembulan, diikuti dengan mata
coklatnya yang berkilauan memantulkan gemerlap jutaan
bintang. Entah apa yang ia lakukan, tapi air mukanya sangat jelas
menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak merasa jenuh maupun
bosan duduk di atas sana selama berjam-jam.
Bahkan sampai larut malam, Satarji tetap duduk di atas
sana, ia sama sekali tidak tidur. Mungkin ia tengah mencoba

33
untuk meniru Nabi Muhammad yang sedang bertahannust di
dalam Gua Hira, menjauh dari keramaian kota dan menyibukkan
dirinya dengan beribadah serta merenung di tengah-tengah
kesunyian. Atau jangan-jangan, si Satarji ini sebetulnya adalah
orang gila ? yang kerjaannya lari-lari ke sana-ke mari tanpa
tujuan yang jelas, hingga kemudian lari-larinya tadi berakhir di
atas sebuah bukit di tengah lahan tandus yang tak ada
manusianya ?
Ah, tentu saja tidak, bisa dipastikan kalau si Satarji ini
tidak gendeng apalagi gila. Tetapi tiba-tiba, nampak oleh kedua
matanya, cahaya putih yang sangat terang muncul dari ufuk
barat. Hal tersebut hampir saja membuyarkan akalnya, dan
mungkin juga dapat membuatnya gila sungguhan. Ia mencoba
bertahan dengan sekuat tenaga. Namun lama-kelamaan, cahaya
putih tersebut bertambah terang, sangat terang, sampai-sampai
paparan cahaya itu menembus seluruh anggota badan Satarji. Ia
merasakan dirinya perlahan-lahan menghilang, melayang layang
di tengah kehampaan.
Tiba-tiba dirinya tersedot ke dalam suatu lorong yang
sangat gelap. Tak lama, lorong itu kemudian berpendar,
memancarkan sembilan warna. Merah, putih, hitam, hijau, biru,
kuning, abu-abu, ungu, dan jingga, semuanya muncul bergiliran
hingga jumlahnya tepat sembilan puluh sembilan, lalu redup dan

34
akhirnya menghilang. Satarji kembali berenang-renang di dalam
lorong kegelapan.
Namun kini dirinya merasa seperti ditarik lagi, kali ini
dengan tarikan yang berbeda, jauh lebih kuat. Ia kembali melihat
sepercik cahaya. Cahaya itu bergerak dengan sangat cepat dan
menjadi semakin dekat, lalu tiba-tiba pecah, membuka suatu
celah yang bentuknya melintang seperti robekan. Dari sana,
Satarji terlempar keluar, badannya seketika terhempas ke arah
gundukan pasir putih pantai. Jantungnya berdetak kencang,
kejadian tadi membuatnya sangat ketakutan. Dirinya juga dibuat
tambah kebingungan ketika melihat rembulan dan bintang-
bintang di atasnya bergerak dengan sangat kencang. Sehingga
seketika itu juga malam berganti menjadi pagi.
Satarji tahu bahwa tempat ini masih berada di sekitaran
pantai selatan. Namun ia masih kebingungan. Kenapa dirinya
tidak mendengar maupun merasakan adanya ombak atau
gelombang yang biasanya dengan ganas menghantam pasir dan
karang? Dengan ragu-ragu, dia menoleh kebelakang.
“Edan ! Kemana perginya air di lautan ?“ celetuk Satarji.
Tidak lama kemudian gelombong tinggi muncul dari
kejauhan, sangat tinggi, jika dikira-kira tingginya lebih dari
seratus meter. Gelombang itu bergerak sangat kencang,

35
gemuruhnya terdengar bagaikan ledakan, memecah gunung-
gunung karang yang menghalangi jalannya menuju ke tepian.
Satarji ketakutan, sekujur tubuhnya gemetaran. Saking
gemetarnya, Satarji tak dapat berdiri apalagi berlari untuk
menyelamatkan diri. Lagipula mau lari sekencang apa-pun,
sudah dapat dipastikan dirinya tidak bakalan selamat dari
terjangan megatsunami tersebut. Maka Satarji tetap duduk di
atas pasir, berdoa, serta pasrah dengan apa yang telah Allah
tuliskan pada Lauh Mahfuzh-Nya.
“Tenan wis, mati aku..“ bisiknya.
Satarji pejamkan matanya. Ia mulai merasakan dingin air
laut yang dengan perlahan menyentuh ujung jari kakinya. Otot
rahangnya mengencang, gigi-giginya gemertakan, hampir saja
Satarji mati jantungan. Tetapi aneh, Satarji sama sekali tidak
merasakan tubuhnya tenggelam maupun terseret ganasnya
gelombang, dan dinginnya air laut juga sudah tidak lagi ia
rasakan. Setelah beberapa detik menunggu dalam ketegangan,
akhirnya Satarji memberanikan diri untuk membuka kedua
matanya.
Nampak jelas di depannya, gelombang tinggi tadi
terbelah, melengkung menjadi dua bagian yang menyatu
kembali setelah melewati tubuh Satarji. Melihat hal tersebut,
ketakutan Satarji sedikit demi sedikit mulai sirna, bersyukur

36
dirinya masih diberi keselamatan oleh Yang Maha Kuasa. Ia
menunggu sambil melongo, nggumun dengan peristiwa
“ajaib” yang sedang terjadi di sekelilingnya. Setelah lumayan
lama, perlahan - lahan gelombang tadi mulai surut, dan akhirnya
gelombang yang masih agak tinggi tumpah ke arah Satarji.
Setelah agak tenggelam dan terseret sedikit ke lautan,
Sambil megap-megap Satarji mencoba untuk berdiri. Ia
kemudian berhenti pada posisi membungkuk seperti saat
sedang rukuk, sembari mencoba untuk menstabilkan irama
nafasnya. Namun seketika setelah ia tegakkan posisi berdirinya,
Satarji terperanjat, melompat sedikit ke arah belakang. Nampak
olehnya, sosok penyu raksasa yang di atas tempurungnya
melingkar dua ekor naga. Satarji mengenalnya, penyu raksasa
tersebut adalah Bedawang Nala, sosok yang akhir-akhir ini
kerap muncul dalam mimpinya.
“Naiklah ke atas tempurungku le,” ujarnya tiba - tiba.
Suara dari kata-kata Bedawang Nala menggema,
merasuk ke dalam hati Satarji. Entah kenapa, Satarji tiba-tiba
merasa tenang dan damai, beban-bebannya seakan terhapus
dengan begitu saja, dirinya juga merasa terikat dan sangat akrab
dengan Bedawang Nala. Satarji mengangguk. Salah satu naga
kemudian turun, menjemput Satarji dan menaikkannya ke atas.

37
Lalu Bedawang langsung bergerak, berenang jauh hingga ke
tengah samudra.
Hangat rasanya, ketika angin laut pagi hari mulai
menerpa tubuh Satarji, sehingga kering badan dan bajunya yang
basah setelah kejadian tadi. Ia pandangi sekelilingnya, lautan
luas yang seakan tanpa batas, dengan warna birunya yang
berkilauan memantulkan cahaya matahari memperindah
suasana dan menambah ketenangan dalam hati Satarji. Namun
seketika Bedawang berhenti, membuat Satarji yang sedang asyik
menikmati pemandangan terjungkal ke depan.
“Whuaduh!,“ teriak Satarji, yang kemudian diiringi
dengan tawa keras Bedawang Nala.
“Kowe ki kenopo to le?”
“Lha njenengan lak yo tau sendiri to.. Saya kejungkel.”
Jawab Satarji dengan agak jengkel, membuat Bedawang tertawa
lagi dengan lebih keras.
“Haduh.. jan.. wis wis, sekarang serius aku mau tanya,
kok kowe bisa - bisanya ke sini itu ada apa dan gimana ceritanya
?“
“Lha saya juga nggak tau, lha tiba - tiba saya,” belum
selesai Satarji berbicara, Bedawang langsung memotong.
“Bukan itu yang tak maksud, yang tak maksud itu adalah
alasanmu, alasan kenapa kok kowe yang masih muda seperti itu,

38
yang seharusnya menikmati masa mudamu dengan nongkrong
di café-café, jalan-jalan ke mal, bersenang-senang, menikmati
budaya ultramodern yang penuh fasilitas-fasilitas canggih,
kemewahan dan tentang trend-trend baru, pokoknya itulah yang
kayak gitu-gituan, lha kok kowe malah minggat ke tengah alas
kayak orang gendeng.“
“Bukan begitu.. eh, Ini saya harus panggil njenengan apa,”
jawab Satarji.
“Simbah, pakde, atau apalah, yang penting wajar dan
nggak neko-neko.”
“Ya sudah Pakde, begini,” lanjut Satarji. “Bukan berarti
saya dan beberapa dari kami tidak mengagumi fasilitas-fasilitas
modern serta perkembangan pesat teknologi dan tidak
ikut nongkrong bareng teman-teman. Sudah pasti iya, iya saya
jalan-jalan, bersenang-senang dan lain sebagainya, tetapi saya
tidak menyikapi kesenangan tersebut sebagai suatu kebahagiaan
atau kenikmatan yang sebenarnya atau yang sesungguhnya,
bahwa semua itu rasa dan sifatnya hanya sangat sementara.”
“Kami juga tidak mau menjadi budak-budak para
pengusaha besar dan para pemilik modal, yang menggiring kami
menuju arus-arus yang menjerumuskan, serta budaya
hedonisme dan lain sebagainya yang tak jauh beda.”

39
“Ya.. intinya kami bukanlah penikmat apalagi pecandu
narkoba “peradaban” yang makin lama makin gelap dan edan.”
“Maka dari itu saya pergi ke tengah alas, malam - malam,
atau pulang ke rumah, buat mencari ketenangan, kenikmatan
dan kebahagiaan sejati yang saya rasakan dalam sunyi,
pokoknya seperti itulah alasannya, De.”
Bedawang kemudian tersenyum.
“Tapi saya masih bingung, saya kok bisa sampai sini itu
gimana caranya?”
“Loh, bukannya kowe sendiri yang datang kesini?“
Bedawang kebingungan
Satarji hanya plonga - plongo, dirinya juga ikut bingung.
“Begini-Begini,” lanjut bedawang. “Yang aku tahu dan
aku rasakan adalah, kowe bisa sampai sini itu karena memang
ada sesuatu dari dalam dirimu, entah kowe sendiri sadar atau
tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja akhirnya membawamu
kemari, aku juga merasakan ada sesuatu yang agak mengganjal
dalam hatimu, yang menjadi alasan lain kenapa kowe pergi ke
alas itu, dan lagi - lagi, dengan sengaja atau tidak sengaja kowe
seakan memanggilku agar datang menemui awakmu“
“Hmm.. Sebenarnya saya memang punya banyak
pertanyaan yang agak mengganjal dalam hati dan pikiran saya,
maka dari itu saya pergi ke sana, ke tengah alas tadi, ya.. buat

40
merenungkan hal tersebut, dan mungkin, siapa tahu saya dapat
semacam ilham atau pencerahan“ Jawab Satarji.
“Nah itu yang tak maksud.” Sahut Bedawang. “Coba
sebutkan saja pertanyaanmu itu, sukur - sukur aku bisa
membantu, kalau bisa di sini kita juga saling belajar dari satu
sama lain, sinau bareng lah istilahnya, dan itu juga sebenarnya
sudah menjadi tugasku sebagai pamong bagi tempat ini dan bagi
siapa saja yang datang kemari.”
Satarji mengangguk - angguk.
“Begini, Pakde, akhir - akhir ini pikiran saya disibukkan
dengan sebuah pertanyaan, tidak hanya satu sebenarnya, tapi
salah satunya, yang membuat saya memikirkannya berulang
ulang adalah, kenapa manusia diciptakan ?”
“Ya.. sebenarnya saya sudah sering mendengar jawaban -
jawaban yang mengutip surat Az-Zariyat ayat 56, yang artinya,
dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku, ( menyembah atau beribadah ),
tetapi saya masih merasa seperti pertanyaan tersebut belum
sepenuhnya terjawab, ya seperti masih mengganjal di dalam
hati-lah rasanya.”
Bedawang tersenyum, lalu tertawa kecil.
“Maksudmu, kowe bertanya, apa karep, atau tujuan Allah
menciptakan kita semua ?”

41
“Kurang lebih seperti itu, Pakde.”
“Begini saja,” Lanjut Bedawang. “Sebelum masuk ke
dalam pembahasan yang lebih lanjut, aku peringatkan, jika
memang kowe percaya percayalah, juga sebaliknya, jika ingkar
maka ingkarlah, aku juga tidak punya hak apapun atas dirimu,
selain kewajiban untuk mencintai, masalah percaya atau tidak
percaya itu kembali kepada keputusanmu sendiri.”
Satarji mengangguk setuju.
“Pertama-tama, posisi dari jawaban mengenai
pertanyaan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai suatu hal yang
pasti, maksudku yang sudah pasti benar, karena, bagaimana kita
bisa tahu maksud atau karep-Nya Allah tentang pertanyaanmu
tadi?”
“Nah, mengenai hal tersebut, akan aku jelaskan lebih
rinci lagi nanti.”
“Sekarang, kita sederhanakan dulu jawabannya menjadi
perumpamaan – perumpamaan.”
“Sebenarnya ada banyak sekali kemungkinan, ada yang
mengatakan bahwa karena Allah itu “sendiri” maka Ia ciptakan
kita semua agar terjalin hubungan cinta, antara Dia dengan
makhluknya, sebagai sebuah bukti Rahman - Rahiim, dan
kedermawan-Nya, ada juga sebuah perumpamaan yang
mengatakan bahwa semesta dan realitas ini adalah suatu harta

42
karun yang tersembunyi, yang lagi - lagi merupakan
pencerminan dari kasih sayang, kebaikan, serta kedermawanan
Tuhan kepada makhluknya.”
“Intinya, alangkah baiknya jika kita selalu ber-
khusnudzon kepada Allah, serta memperbaiki semua aspek
dalam kehidupan kita, agar nantinya kita bisa kembali lagi
kepadanya dengan selamat, karena di luar itu sungguh tidak ada
guna dan manfaatnya.”
“Lalu, yang pakde katakan sebagai penjelasan lebih
lanjut itu yang seperti apa, dan bagaimana penjelasannya?”
Tanya Satarji.
“Mengenai hal tersebut, baca dan pahami dulu surat Asy-
Syura ayat 11, yang artinya Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya.”
“Dari situ, dapat kita simpulkan bahwa, semua pikiran,
pembicaran, bayangan, dan imajinasi kita tentang Tuhan, entah
secara persepsional maupun konseptual, hanyalah semata-mata
bentuk dari personifikasi-Nya, dan sifat-Nya yang 99 itu, juga
hanya sebagai penyederhanaan dari sifat - sifat-Nya yang
sebenarnya tak terhingga jumlahnya.”
“Tuhan itu impersonal, Tuhan itu tunggal, Ia memuat
segalanya, memuat apa, siapa, bagaimana, dan bukan sebaliknya,
Ia adalah hulu hilir dari segalanya, Tuhan juga tidak ada

43
“duanya”, sedangkan manusia hanya dapat memahami sesuatu,
jika suatu hal tersebut ada pembandingnya, atau ada “duanya”
manusia bisa merasa senang karena pernah susah, manusia
dapat memahami apa itu terang karena pernah merasakan
gelap, dan masih banyak lagi.”
“Kalau kita mencoba memahami Allah, serta tujuan dari
penciptaan, dengan pikiran, kata - kata, atau bahasa “lisan” ya
lama - lama kita gila sendiri dibuatnya.”
“Tengoklah surat Al-Hasyr ayat 21, kalau sekiranya Kami
turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah, itu baru Al-Quran lho, le, dan
gunung saja terpecah belah, apalagi kepala kita.”
“Maka gunakanlah cinta, Le, nyawiji-lah di dalamnya,
rasakan dan pahami, karena sesungguhnya kita ini berasal dari
cinta, hidup kita ini juga penuh dengan limpahan cinta, dan kita
akan kembali kepada-Nya dengan cinta pula.”
“Terima kasih atas penjelasannya, Pakde,” Ujar Satarji.
“Tapi saya ingin beberapa pertanyaan lagi.”
“Silakan, Le.”
“Karena kata - kata Pakde tadi yang menyinggung sedikit
tentang kebenaran, tiba - tiba terpikir oleh saya suatu
pertanyaan, yaitu, bagaimana caranya kita menemukan
kebenaran yang sejati?” Lanjut Satarji.

44
“Sebelum sampai kepada kebenaran sejati, aku ingin
bertanya dulu kepadamu.”
“Apakah ada, orang yang dengan sengaja melakukan
kesalahan? Maksudku, kesalahan yang berada di luar
ketidaksengajaan?”
Satarji diam sebentar.
“Mungkin ada, Pakde,” jawabnya dengan sedikit ragu -
ragu.
“Nah, begini, Le, aku tambahkan, Sebenarnya tidak ada
orang yang benar - benar melakukan kesalahan dengan sengaja.”
“Apakah kowe tahu apa yang ada di dalam alam
pikirannya?”
“Mungkin saja, yang kowe anggap salah itu adalah benar
menurutnya, juga sebaliknya, karena jalan pemikiran yang
berbeda.”
“Semua orang pasti berbuat “benar” menurut dirinya.”
“Dan bahwa, yang dia tuju arahnya menuju kepada
kebenaran juga, walaupun bukan kebenaran yang benar - benar
“benar”, karena kebenaran yang dia maksud dan lakukan adalah
kebenaran yang menurut versinya sendiri.”
“Nah, tugas kita bukanlah untuk saling menyalahkan
antara satu sama lainnya, tugas kita adalah bersama - sama
mencari kebenaran dari sudut pandang yang berbeda - beda,

45
sehingga tercapailah pemahaman akan manifestasi dari
kebenaran sejati yang pemiliknya tidak lain hanyalah Allah
semata.”
Satarji mengangguk paham.
“Begitulah kesimpulannya, Le,” kata Bedawang.
“Oiya, Pakde, ada satu.”
Belum selesai bicara, kata - kata satarji kembali dipotong
oleh tawa keras Bedawang Nala.
“Kurasa yang telah aku sampaikan tadi sudah cukup le,
pengetahuan dan kesadaranmu sudah cukup luas, aku yakin,
pertanyaan - pertanyaanmu itu nanti akan terjawab dengan
sendirinya”
“Ingatlah, Le, kita ini abadi. Maka lepaskanlah semua
yang membelenggumu itu.”
Suara Bedawang kembali bergema, memantul dalam
dinding sukma Satarji. Seketika, Ia merasa seperti terdorong
oleh suatu gaya yang entah datang darimana. Membuatnya
terlontar jauh, hingga ke ujung cakrawala, sangat cepat,
menembus jutaan lapisan fana ruang dan waktu.
Semuanya seketika ambyar, dan seperti orang tidur yang
kaget lalu tiba - tiba bangun, Satarji bingung ketika menyadari
dirinya sudah berada di halaman rumahnya, duduk di bawah
pohon mangga yang menaunginya dari panas matahari.

46
Satarji masih kebingungan. Layaknya orang yang tengah
kesurupan ia berlari keluar rumah, lalu melihat ke sekelilingnya.
Memastikan apakah semua hal yang terjadi dari awal hingga
sekarang ini adalah nyata, mengingat kembali kejadian yang
barusan dialaminya.
Semilir angin kemudian menerpa tubuh Satarji, sejuk
rasanya, menenangkan suasana dalam hati Satarji. Bersamaan
dengan tiupan angin, sehelai daun jati jatuh dari langit,
mendarat tepat di atas kepala Satarji. Ia ambil daun tersebut,
melihatnya, lalu perlahan - lahan tersenyum.
Dengan tinta emas di situ tertulis :
Spirit, find your way, in seeking lowness like a stream.
Reason, tread the path of selflessness into eternity.

Remember God so much that you are forgotten.


Let the caller and the called disappear.
~ Jalaludin Rumi ~

47
Kemanusiaan yang Tertunda
Aulia Davetta (XI E)

Pasir. Hal ini sudah mendarah daging di kaum kami,


mereka ada di makanan kami, tubuh kami, dan di semua hal
dalam kehidupan kami. Karena seperti tinta yang ditorehkan ke
kertas, hidup kami seperti tinta yang ditorehkan ke medium
pasir, menggantikan kertas. Karena itu jugalah aku terbangun,
karena pasir sudah menumpuk di atas anyaman yang aku pakai
sebagai selimut ini. Dan karena itu jugalah, aku tidak bisa
bangkit, berat yang dihasilkan dari tumpukan yang
mendudukiku ini, melarangku untuk bangkit. Di situlah aku
pasrah, menerima kenyataan bahwa aku akan menjadi salah
satu dari banyak jiwa yang dimakan oleh lautan pasir ini. Sebuah
sosok akhirnya menarik diriku, tetapi bukan hanya jiwaku,
tubuhku juga ditarik olehnya, dan di situ aku terkejut, kenapa
bukan jiwaku yang ditarik. Pada saat itulah aku menyadari
bahwa aku diselamatkan, bukan dijemput. Sosok yang aku kira
adalah penjemputku ternyata adalah tetua yang aku kenal dari
desa di dekat jurang yang kaumku namakan Ka’nyon. Hal ini
tetap saja tidak menenangkan batinku, karena terakhir kali aku
ke desa tersebut adalah saat hujan terakhir turun dan hujan di
sini bisa dibilang tidak pernah turun, tetua ini seharusnya sudah

48
meninggal. Apakah memang aku sudah dijemput? Apakah
mereka mengirimkan jiwa tetua ini untuk menjemputku agar
aku merasa masih hidup? Apakah jiwa tetua ini bosan dan
memutuskan untuk menjemputku saat penjemput yang sah
sibuk dengan hal lain? Jika pertanyaanku yang terakhir benar,
apakah pencabutan jiwaku illegal? Dan jika ini benar, bisakah
jiwa yang sudah dicabut ditindak pidana?
Sayangnya, semua pertanyaan itu luntur saat tetua itu
melihatku melongo di hadapannya dengan muka yang
menampilkan rasa takut, tetapi diiringi dengan keingintahuan.
“Bapak Tetua, terima kasih banyak sudah mencabutku
dari tubuhku, saya merasa sungkan karena saya tidak bisa
membalas kebaikan ini,” kataku spontan karena walaupun
jiwaku dicabut olehnya, kita harus tetap sopan kepada orang
yang lebih tua.
“Tidak usah begitu kaku, namaku Kada’luwarsa, panggil
saja Kada,” kata tetua dengan muka yang menyimpan suatu
perasaan.
Muncul keheranan dalam akalku, tetua di hadapanku
mengatupkan mulutnya, seperti menahan sesuatu yang sangat
ingin keluar dari tubuhnya. Pertanyaanku atas sikapnya itu tak
pernah ke luar dari mulut, karena angin berhembus
menerbangkan pasir ke segala arah.

49
“Ayo, kamu tidak mau menjadi bagian dari pasir dan aku
juga tidak,” kata tetua seiring memegang tanganku dan
menarikku.
Tarikan tersebut merupakan katalis bagiku,
menyadarkan pikiran yang kusut ini bahwa angin ini beda
daripada yang lain, di cakrawala terlihat kekacauan, hitam dan
merah bercampur, menggelinding dengan tenaga yang masif.
Teringat kembali di akal atas kengerian ini, yang
meluluhlantahkan wilayah yang tidak memiliki sesuatu yang
bisa diluluhlantahkan. Seperti mempunyai otaknya sendiri,
kakiku secara instan tergerak, berlari meninggalkan semua
posesi yang masih tergeletak.
Berlari, berlari, dan berlari. Sebenarnya hal seperti ini
sangat monoton dan membosankan, tetapi jika hidupmu
bergantung pada hal tersebut, kemonotonan tersebut terasa
kecil dan insignifikan. Ya, menambahkan rintangan bisa
membuat pelarian ini tidak begitu membosankan, seperti
menambah sambal pada makanan. Sayangnya, menginginkan hal
tersebut di situasi seperti ini itu seperti ingin bunuh diri.
Sehingga untuk sekarang aku menekan keinginan tersebut, demi
keselamatan diri sendiri.
Aku terbangun, kepalaku seperti terkena palu godam,
remuk dan rusak, telingaku tak terasa lagi fungsinya, walaupun

50
bentuk fisiknya masih utuh. Ku ubrak - abrik ingatanku ini,
mencari penjelasan atas apa lagi yang menimpaku ini.
Beruntungnya, di otak ringsek ini, masih ada yang bertahan dan
bisa menjelaskan.
“Hai kamu, tumben nyamperin,” sapa Otak ini/
“Ga usah basa-basi, jelasin aja semuanya,” perintahku ke
otakku sendiri. Ya, serusak itulah otakku, sampai hilang koneksi
antara aku dan otakku sendiri.
“Gini, kamu tahu tadi saat lari kamu punya temen, kan,”
jelas Otak
“Aku ga inget, makanya aku nanya kamu,” timpaku
“Oke, jadi gini, di sebelahmu itu ada tupai juga yang ikut
lari, nasibnya sama kayak kamu, tapi masalahnya, dia lebih
malang nasibnya daripada kamu,” kata Otak
“Dia kenapa,” tanyaku
“Dia lari di tempat yang tidak tepat, di bawahnya ada
ranjau, dan dia terbang, kamu juga, sih. Tapi bedanya, kamu
selamat, dia engga,” jelas Otak.
“Ranjau bisa melontarkan tupai,” tanyaku lagi.
“Ranjau ini bukan ranjau dari kita, ranjau ini berasal dari
zaman AD”, jawabnya

51
Angin menderu semakin keras, peringatan bahwa kengerian
tersebut sudah dekat, mendorongku untuk memutus
pembicaraan ini dan lanjut berlari.
Zaman AD, pikirku. Nama untuk zaman tersebut, AD, kita
ambil dari kertas - kertas yang bertunas dari dalam pasir. Zaman
tersebut menghasilkan instrumen perusak dan pencipta
termegah yang pernah kaumku temukan, sumber dari kekejian
terhina dan kemanusiaan termulia. Bahkan, pasir yang tak
berakhir ini merupakan hasil dari zaman tersebut. Semua
bermunculan dari bawah pasir, sebagai berkah, maupun
musibah, dan yang terpenting, segala jenis jiwa yang bertapak di
lahan pasir ini tidak mempunyai kemampuan untuk mengemban
kemegahannya, banyak yang terkorupsi jiwanya, sukmanya
jatuh kedalam lubang kehinaan yang tak berdasar. Bagaimana
caranya? Dengan mencabut paksa jiwa seseorang,
menghilangkan hak jiwa itu untuk hidup dan merasakan,
melarang jiwa itu untuk mengecap alam nyata lagi. Dan
akhirnya, zaman itu juga berperan dalam mengakhiri perjalanan
seseorang yang berada nan jauh di depan masanya.
Tertelanlah aku ke dalam kengerian ini, berpasir, gelap,
abstrak, ketidakaturan, kerancuan, dan penderitaan. Semua
tercampur - baur di dalamnya, semua yang masuk, tidak
terdengar lagi kabarnya, seperti pamanku yang mencari Garis

52
Hijau, dia terperangkap dalam kengerian ini di perjalannannya,
tak terdengar lagi kabarnya, bekasnya pun tidak, seperti ia tidak
pernah ada di alam nyata ini. Tak ada gunanya bagiku untuk
berlari, aku hanya akan berlari menuju kematianku. Diamlah aku
di dalam campuran ketidakjelasan ini, meratapi akhirku. Jika aku
tahu akhirku akan datang secepat ini, aku tidak sesemangat itu
saat memulai perjalanan ini, perjalanan mencari Garis Hijau
yang terkutuk, yang muslihat, yang fiktif. Tererosi kulitku,
rambutku, dan semua yang tidak tertutupi, dan yang menutupi
itu tererosi juga, dan sebentar lagi sukmaku. Kututup mataku
tapi kubuka lagi.
Cahaya biru berkedip terlihat di dalam pasir yang
memunculkan rasa keingintahuanku. Hembusan angin
mengungkapkan bidang yang berpijar biru, memicuku untuk
berjalan ke arahnya. Dengan rasa ingin tahu sebagai sumber
energi yang terakhir, kugerakkan kakiku yang sudah tak karuan
ini. Dengan beberapa langkah terakhir, aku bisa mendekatkan
diriku, tapi tak bisa lagi, kakiku menolak untuk diperintah, dan
mengalah kepada lelah. Terjatuh diriku, tanpa fondasi lagi yang
bisa menopang, begitu dekat dengan cahaya itu, tetapi begitu
jauh. Aku pusatkan semua tenagaku di jari - jariku, dengan
harapan bisa meraihnya, atau setidaknya, menyentuhnya
sebelum aku musnah. Banyak hal yang melintasi kepalaku di

53
saat ini, bagaimana nasib desaku, kemana perginya tetua itu, dan
kesadaran bahwa aku belum mati saat tertindis pasir di pagi itu.
Aku hidup, dan merasakan, dan realisasi bahwa aku tidak bisa
merasakan lagi, mengakhiriku, menghilangkan segala harapan,
memenuhiku dengan kecemasan dan keputusasaan. Akhir itu
sekarang.
Aku merasa diriku terhentak keras, semua terasa berat
dan aku terdorong ke atas sangat kuat. Lalu keringanan yang
amat sangat, tidak ada lagi beban, seperti aku tidak memiliki
massa. Melayang.
Tiba-tiba, ada sebuah cahaya yang menyoroti seluruh
badanku. Aku buka mataku untuk melihat wujud fisik dari
ketenangan ini, dan kulihat bola berpijar yang memancarkan
cahaya yang amat megah. Tetapi dikelilingi oleh kegelapan, dan
kegelapan tersebut dihiasi oleh kemerlap-kemerlap cahaya yang
amat kecil. Aku gerakkan kepalaku kebawah, untuk melihat apa
yang ada di bawah sana. Di bawah sana, keagungan, sebuah bola
raksasa, yang di permukaannya terlukis oleh warna-warna,
tetapi, sebagian besar terlukis dengan warna yang sudah terlalu
sering dilihat, warna pasir. Leganya, bukan hanya warna pasir
yang terlihat, tetapi hijau, lebih besar daripada garis hijau. Dan
aku sadar, cahaya biru yang sebelumnya tersebut
menyelubungiku, menyelamatkanku, dan menyadarkanku

54
bahwa dunia bukan hanya pasir. Zaman itu mengakhiriku, dan
melahirkanku kembali. Masih ada, kemanusiaan dalam Zaman
itu.
“Mohon sebutkan nama Anda, pengguna,” kata Cahaya
Biru tersebut, mengkagetkanku.
“Hum’aniti,” balasku.
Cahaya Biru ini, sebenarnya, hanyalah instrumen dari masa lalu,
dari masa yang menciptakan masa sekarang. Dan akan aku
pergunakan, untuk menciptakan masa depan, tetapi dengan cara
yang berbeda, cara yang lebih manusiawi, karena memikirkan
masa setelah masa ini, tidak serakah, seperti masa sebelum
masa sekarang, yang hanya memerhatikan masanya saja.

55
Padang Lavender
Daud Muhamad Azhari (XI D)

Kurebahkan badanku, menyingkirkan diri. Beralaskan


hijaunya ilalang, yang juga bersekutu menghilangkan
keberadaanku. Mataku mengerjap beberapa kali, menatap
birunya samudra antariksa. Sesekali, kawanan burung melintas
di atasku, berarak menuju ke timur. Rasanya, sungguh
menenangkan.
Kutolehkan kepalaku, menemukan bunga lavender
menyeruak dari balik semak belukar. Senyumku tertoreh, satu-
satunya yang kutemukan sejauh ini. Sedikit kuangkat kepalaku,
menilik lebih teliti lavender di depanku. Tanganku menyentuh
pelan bunga ungunya, aroma semerbak memenuhi indra
penciumanku.
Kugenggam batangnya, lantas kucabut perlahan.
Kudekap bunga tersebut erat. Rentetan ingatan tiba-tiba saja
membuncah dalam kepala. Semakin erat, melumatkan bunga
lavender dalam genggaman. Asap keunguan menguar dari
kepalan tanganku. Air mata mulai menggenang, bersiap untuk
meluap. Aku tak cukup mengerti. Setahuku, aku terikat dengan
ini, bunga lavender.
***

56
Terik matahari ditahan oleh rimbunnya pepohonan.
Menelisik lewat kisi dedaunan, berlanjut hingga ke permukaan,
membuat lajur-lajur cahaya. Angin melaksanakan tugasnya,
sebagai pembawa pesan dari antah berantah, sekaligus
mengayun pepohonan. Menciptakan alunan lembut nan
menenangkan.
Aku menyandarkan tubuhku pada batang pohon. Kedua
kakiku memijak kuat dahannya, menyeimbangkan diri. Mataku
fokus menyisir di kejauhan, mengintai pergerakan musuh.
Tangan kananku memegang tongkat bermahkotakan untaian
lavender. Senjata yang cukup mematikan untuk seorang
pengintai sepertiku.
Sesekali kukibaskan tanganku, mengusir kelu yang
kadang menjadi. Sangat membosankan memang, sedari tadi
sorot mataku tak menemukan kejanggalan apapun, membuatku
mengendurkan fokus. Kedua mataku tertutup saat bilah tajam
menyayat lenganku.
Sumpah serapah keluar dari mulutku, menyalahkan
semilir angin yang melelapkan. Kubekap luka sayatan di lengan,
menahan agar racun tak menyebar. Aku melompat turun,
bersembunyi di balik batang pohon. Setidaknya situasiku aman
untuk beberapa saat ke depan.

57
Aku menggigit bibirku keras, menahan teriak agar tak
keluar. Racun dengan cepat menyebar, menjalarkan rasa sakit ke
seluruh tubuhku. Kelu sudah seluruh tubuh ini. Dengan susah
payah kugerakkan badanku, duduk menyandar.
Untaian lavender tiba-tiba berpendar redup. Janggal
sekali, aku bahkan belum merapalkan mantra apapun.
Kejanggalan ini membuatku semakin awas. Mataku
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama, kutemukan
penyebabnya. Seseorang berdiri membelakangiku, memijak
jernihnya udara.
“Tak ada yang perlu kau takutkan. Meski sementara,
mantra ini akan memudahkanmu, carilah, teruslah mencari!”
***
Padam sudah lentera yang kujinjing, terkena tempias air
hujan. Jubah yang kukenakan ikut basah kuyup, tertembus air,
membasahi tubuhku. Aku terus melanjutkan langkah gontaiku,
menembus gelapnya malam tanpa suatu tujuan.
Sudah cukup lama aku berjalan. Langit semakin
bersedih, mengeluarkan semakin banyak beban yang
dikandungnya. Kencangnya embusan angin membuatku
menggigil kedinginan. Juga derasnya guyuran hujan, membuat
tubuhku semakin merana. Aku butuh tempat berteduh.

58
Syukurlah, sebuah gubuk kecil telah menantikan
kedatanganku. Tubuh lelahku ini butuh tempat istirahat. Aku
duduk berteduh di bawah naungan nyiur kering, bersandar pada
tiang penyangga. Agak tempias memang, tapi jauh lebih baik
dibanding sebelumnya. Cukup lama aku terduduk hingga
tersadar akan sesuatu. Deburan ombak memberitahukan
posisiku. Tak jauh dari sini, di depanku, terletak batasan antar
lautan dan daratan.
“Masuklah, tubuhmu butuh kehangatan.”
Aku menoleh ke sumber suara yang terdengar begitu
keibuan. Aku menurut katanya, masuk, lantas melangkah hingga
ke belakang. Aku duduk di dekat perapian, menghangatkan
tubuhku. Ia buatkan seduhan hangat untukku, juga beberapa
santapan ringan.
Kukeringkan pakaian dan tubuhku dengan kain darinya.
Seorang anak laki-laki menghampiriku malu-malu. Tangannya ia
tangkupkan, membuat ruang besar berisikan air berwarna
keunguan. Ia dekatkan tangannya ke mulutku. Aku menelan
ludah, ragu-ragu meneguk ramuan itu. Hangat, mengingatkanku
akan kehangatan yang telah lama tercerabut dariku.
“Istirahatlah, lantas besok lanjutkanlah perjalananmu.
Pergilah ke utara, menuju ke Padang Ilalang. Seseorang sedang
menantimu jauh di seberang sana. Butuh bertahun-tahun

59
memang, tapi tenanglah, tak akan ada perjuangan yang sia-sia.”
ucap wanita tersebut, yang nanti-nanti kuketahui bernama
Lembayung.
***
Tubuhnya menghilang begitu saja, digantikan butiran
salju yang jatuh menumpuk di tanah. Kelu sudah tak kurasakan,
menguap begitu saja dari tubuhku. Aku melangkah maju,
mengambil sebuah buku yang juga ia tinggalkan. Buku usang
berwarna kekuningan.
Aku membuka buku tersebut. Guratan aksara asing
memenuhi tiap-tiap lembarnya. Tongkatku kegenggam kuat-
kuat, merapalkan sebuah mantra. Tiap-tiap aksara menyusun
ulang bentuk dirinya, menjadi aksara yang dapat kubaca. Segera,
mataku mengikuti tiap-tiap kata yang tertulis. Sebuah kisah
sekaligus pesan darinya.
Kuhentakkan tongkatku ke tanah. Aku tak dapat
membiarkan ini. Jauh dari kata kenal, aku bahkan tak tahu akan
eksistensi dirinya. Namun, entah mengapa ingin sekali diriku
bertemu dengannya. Entahlah, kurasa, inilah takdirnya.
Aku yakin warasku sudah hilang, berlari menembus
garis perbatasan, melewati wilayah musuh, menuju ke Padang
Ilalang. Berkali-kali serangan mengarah kepadaku, berkali-kali
juga kurapalkan mantra, melindungi diriku, sekaligus

60
menghancurkan tiap-tiap serangan. Kakiku kelu, semakin susah
diajak bekerja sama. Napasku sudah tak karuan, membuat
tubuhku semakin hancur. Sebentar lagi, bertahanlah.
Tubuhku membungkuk, terengah hebat. Di depanku,
ilalang tumbuh tinggi menjulang, merambah tiap petak tanah,
luas tak berujung. Sampai sudah diriku di tempat ini, Padang
Ilalang. Kunormalkan detak jantungku sembari memandang ke
sekitar, mencari keberadaannya.
Kusibak ilalang setinggi dada, menyeruak masuk
perlahan. Sunyi senyap, selain ilalang ini, tak ada tanda-tanda
kehidupan di tempat ini. Sekali lagi, kurapalkan sebuah mantra,
membuat tubuhku berkamuflase. Tak butuh waktu lama, mataku
menangkap sesuatu di kejauhan. Lambaian tangan seakan
mengundangku untuk mendekat. Senyum tersimpul di bibirku,
mulai mengambil langkah.
Kuurungkan kakiku tuk melangkah. Dari balik
rimbunnya ilalang, muncul orang-orang bertongkat kelabu. Aku
mundur beberapa langkah, merunduk rendah, mengamati.
Jumlahnya sangat banyak, ada puluhan. Membuat tiga barier
lingkaran, berpusat pada tujuanku. Jantungku semakin berdetak
kencang.
Satu persatu mengacungkan tongkatnya tinggi-tinggi.
Kilatan cahaya keluar dari ujungnya, berkali-kali, memekakan

61
telinga. Awan kelabu melaksanakan tugasnya, berarak
menyembunyikan sang surya. Kesiur angin menyelinap lewat
kisi ilalang, memperkeruh keadaan. Semakin lama semakin
kencang, membuat roboh beberapa ilalang.
Puncaknya, kilatan cahaya bersatu, membuat lingkaran
raksasa di atas sana. Awan kelabu berpilin di dalamnya,
bergerak sangat cepat, membentuk aliran udara. Lalu, alirannya
menghujam ke bawah. Menyingkap tabir ilalang, merobohkan
semuanya. Terisak, seorang wanita berdiri di pusat lingkaran. Di
detik berikutnya, sulur kecokelatan menyeruak dari dalam
tanah, mengikat erat tubuh lunglainya. Aku meremas celanaku,
sedikit terisak. Kugenggam erat-erat tongkat di tanganku.
Berlari di atas rimbunnya permadani ilalang. Mengabaikan ujung
tongkat yang teracung padaku.
Kuhancurkan sulur teratas, membiarkan wanita di
depanku mengambil napas. Tanganku yang lainnya
mengibaskan tongkat, membentuk kubah pelindung transparan.
Gemeletuk gigiku terdengar cukup jelas. Kuhentakkan tongkatku
keras ke tanah, tuk terakhir kalinya merapalkan mantra, sebait
mantra terlarang. Timbunan ilalang di sekitarku bergoyang
pelan, bertransformasi menjadi perdu lavender. Efeknya
menyebar, bak mata rantai yang saling terhubung, mengubah
semua ilalang menjadi perdu lavender. Aku tersenyum puas.

62
Senyumku tak bertahan lama, selaras dengan mekarnya
tiap-tiap bunga lavender. Ia tersedak, tubuhnya perlahan
membiru, membuatku kepalang panik. Ia tersenyum lebar, aura
kebahagiaan terpancar dari mukanya, ia genggam tanganku
erat.
“Namaku Lavender, teruslah ingat, kumohon”
Aku terisak kencang. Sayangnya, ia tak melihatnya,
caraku mengubah padang ini menjadi lavender merah.

63
Selendang Ibu yang Tak Terjamah
Najaf Shaf Ghaza (XI C)

Langit kelabu mengambang rendah mengguyur tanah


tandus yang teramat kering. Tadinya Pepohonan tak lagi dapat
dikagumi karena tak mampu menopang badan, rerumputan
perlahan berhamburan di antara golekan angin, bebatuan kecil
ikut pula meramaikan suasana kala itu, sesaat serempak mereka
merangkul kebebasan dari kesengsaraan yang lama melanda.
Hanya sementara, sang angin tampaknya enggan memainkan
peran hingga hanya awan mendung yang masih asyik di
pentasnya alhasil air terus mengguyur tanah gersang tanpa ada
yang mengajaknya untuk berpindah haluan, ya setidaknya sudah
tidak seperti sedia kala, sayang tak ada yang mampu menyerap
genangan, rerumputan pepohonan? hanya tinggal individu kecil
yang tersisa, sehingga tanah seakan kembung akan air lantas
memuntahkannya kembali menjadi tumpahan lumpur dan
membasuh permukaan yang tadinya tampak lusuh. Derasnya
rintik hujan masih tak bosan menghantam bumi menciptakan
genangan yang kian mengangkat ranting-ranting pohon yang
berjatuhan, rerumputan terhempas ke sana-ke mari tak sedikit
pun yang mampu berdiam diri dari anugerah Tuhan dalam

64
amukan alam ini, tetapi entah mengapa ucapanku tak berlaku
pada ruang di bawah atap nipah itu.
Langit tampak temaram termakan oleh basa-basi dan
ocehan waktu. Jangkrik sibuk saling bercengkrama dengan
angin, garis-garis kuning kemerahan tumpah ruah di ujung
langit, rembulan tak sabar akan permainan perannya. Waktu
telah terlalu lama berakar di ingatan dan sudah teramat kelam
pula. Berubah 190 derajat dan mungkin lebih, mungkin ibu akan
senang melihat keindahan yang seharusnya tersaksikan oleh
kami berdua. Sejauh jiwa melirik himpunan rumput hijau dan
kelopak bunga merekah memenuhi hamparan wajah
permukaan, tak habis pikir, entah dari mana mereka?
Dan pemikiranku berujung pada permainan tangan sang
pencipta matahari. Hembusan angin menerpa lembut wajah,
seakan mengajak untuk menari dengannya. ku genggam erat
selendang yang hanya membuatku kian menderita di atas ubun-
ubun membiarkan alam melebur dalam hati, Berharap ibu
melihat segaris senyumku dan ikut melontarkan seribu doa
berbalut kasih.
***
Diacuhkan dan terabaikan oleh singgasana bodoh yang
hanya memutar kesengsaraan. Alasan apalagi yang membuatku

65
terdampar di tempat ini, ia bilang hanya tempat ini lah yang
paling indah untuk dituju.
Sejenak aku bergumam, “Definisi indah seperti apa yang
gerangan ibu maksudkan? bukankah tempat ini terlalu jauh dari
kata indah bahkan tak layak digolongkan sebagai kata tempat
karena jauh mata berkelana hanya hamparan tanah gersang dan
beberapa batang pohon kering yang menyelimuti tempat ini.”
Sepertinya ibu hanya bisa diam membisu menghindar dari
sesuatu yang tak kuketahui, ingin rasanya aku menanyakan satu
hal dari akar pemikiran yang masih gerah akan dahaga tetapi tak
pernah ku ucapkan sepatah pun pertanyaan itu dari benak, takut
pipinya kembali membasah. Beratap nipah dan berdinding
anyaman bambu yang diramaikan oleh terik mentari di celah-
celahnya, Tak segan pula pertanyaan melintas di benakku
tentang asal bilah-bilah bambu dan atap nipah itu, bukan tanpa
sebab di sini memang tak ditemukan rumpun bambu ataupun
pepohonan lain, hanya ada pohon beringin tua tak jauh dari
gubuk tuaku. Aku tidak tahu menahu tentang asal-usul kata-kata,
kisah yang lain dan bahkan tak juga tahu siapa gerangan
bayangan yang menjadi penyebab hadirnya jiwa ini selainnya,
tapi setidaknya jiwa ini masih memiliki satu keberuntungan
memiliki naungan di bawah cahaya pelita yang menyinari derap
langkahku, karenanyalah malam tak pernah merasa sepi dan kan

66
selalu ada lantunan nyanyian merdu penghantar mimpi.
Wajahnya sangatlah teduh dipandang, senyumnya teramat elok
seakan penuh dongeng yang tak sabar untuk di simak, Belum
lagi ketika aku merengek manja di pangkuan rembulan, selalu
ada tarian di mimik wajahnya.
Sekarang bukan lagi sebuah cerita, butiran air mata
berlinang di pipiku tiap kali aku mengingat wajahnya. Aku, gila!
Sekali lagi aku muak dipermainkan oleh dunia yang tampak
seperti khayalan yang kian merengut akalku. “Terserah, aku
tidak peduli dengannya!”
Apa sebenarnya maksud dari kehidupanku yang hanya
meneteskan tangis darah!
Bukan khayalan ataupun ilusi mata tapi sulit untuk dikatakan
nyata. Terduduk kaku membisu menahan isak tangis di depan
pohon beringin yang juga berpura-pura bisu menghadapku
seakan tak tahu-menahu tentang siapa yang menggantung lemas
di dahannya. Dapatkah aku menghukum dunia atau hanya dunia
yang terus menerus Menyiksa hidupku.
***
Sunyi dan hilang dalam remang-remang cahaya lilin di
gemerlapnya sang kaisar malam. Menggenggam erat selendang
ungu muda milik ibu berusaha menyatukan hati dengannya,
mencari segala jawaban dari semua pertanyaan yang tak henti

67
berhilir-mudik di pikiran. Angin terus menggoda ntuk
menggandengku. Ku ikuti selembar daun kering yang sedang
melintas di atas rambut, seakan menggiring ke suatu tempat,
kuikuti meski harus membuat rumput menunduk di tiap
langkahku, perlahan hingga jiwaku seakan berasa mengenali
suasana cekam ini tapi aku tak peduli juga dan kaki berhenti
mengayun maju, berusaha tegar dan tak termakan sedikit pun
oleh kesedihan ketika ku tersadarkan telah berada tepat di
depan pohon yang harusnya ku binasakan dari dulu. Tiba-tiba
Angin dengan riuhnya memutar deras membawa selendang
yang tadinya tergeletak di rambut tersangkut ke atas dahan yang
sama. Entah ini hanya sebuah kebetulan semata atau pemilik
selendang itu ingin menunjukan sesuatu padaku, sungguh aku
terkesima oleh beberapa kelopak bunga melati yang tiba-tiba
saja muncul bertebaran dengan semerbak wangi yang membius
suasana. Kucoba tuk menggapai selendang ibu namun janggal
rasanya untuk digapai padahal pohon ini tampak rindang,
bagiku selendang itu sangatlah berarti mungkin tak lain karena
ia lah salah satu saksi bisu selain pohon beringin ini. Berhasil
aku berhasil memanjat dan duduk di atas dahan, perlahan ku
buka lingkaran selendang yang memeluk erat, cukup sulit
memang untuk membujuknya dan perlu beberapa kali
menggolek tangan menulusuri arah ujung selendang.

68
Kucoba memicingkan mataku kembali sembari
mengerutkan kening karena tak percaya akan seseorang yang
tidak asing lagi dan menoleh kemari, mulutku kocar-kacir
kesana-kemari. Ia tak berkata sedikit pun hanya tersenyum
palsu sembari menunjuk mengarah arah rumah, aku tak peduli
sedikit pun akan yang ia tunjuk sampai-sampai tak tersadarkan
air mata kembali membekas di pipi.
“Sayang jangan lah hanyut dalam gelombang kesedihan,
menarilah, dan berangan dalam duniamu, biarkan ia merasuki
mimpimu, tetapi jangan hanyut dalam Bayangannya,” Ia
melantunkan nyanyian yang lama sekali tak bergeming di
telinga, kian lama suaranya kian lirih bersama memudar
sosoknya, ku sambungkan nyanyian dengan teriakan yang cukup
parau, “Kumohon sekali saja jelaskan semua arti kesengsaraan
ini, apakah aku hanya derita yang penuh siksaan bagimu?”
Tangan ini bergetar cepat berlawanan dengan irama jari-
jemari, aku rapuh di atas sini ,sekuat mungkin menggenggam
seutas kain yang terikat pada dahan di bawah dudukan, kali ini
aku tampak seperti seorang yang kehabisan akal, gila, dan putus
asa. Tubuhku terhempas ke bawah dengan ikatan selendang
menggantung di leher,

69
“Akhh, Bu sekiranya tunggu lah sebentar,” seketika sesak
dan sakit mulai terus menggerogoti saraf-saraf, sakit nian
rasanya. Detik ke-13 kehilangan kesadaran.
Putih terang dan hampa menyelimuti jagat raya.
Barangkali wanita dan makhluk 70.000 sayap di depan sana
sedang berdebat sengit membicarakanku, barangkali pula
kehidupanku hanyalah khayalan belaka yang dipenuhi oleh ilusi
duniawi, sirna sudah semuanya lenyap sudah kesengsaraanku.
“Tetapi masih adakah sekiranya sesuatu yang tertinggal
di dunia fana itu, semoga saja ia tidak gusar karena aku
mengabaikan ujung telunjuknya? Aku tidak peduli sekiranya ada
sesuatu di sana, masih pentingkah bagiku untuk kembali?”

70
Sendiri
Raditya Eka Putra (XI E)

“Five two niner Echo Bravo, Cleared to takeoff at runway 3R.”


“Cleared to takeoff, runway 3R. Niner Echo Bravo.”
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi saat kudorong
tuas hitam berlabel “throttle” penuh ke dalam. Dengan tenang
kukendalikan mobil bersayap ini hingga melayang diatas tanah,
terbang menuju Malang. Ya, hari ini adalah waktu liburan, dan
sudah kurencanakan dari bulan lalu untuk jalan-jalan ke Malang.
Yah, niatnya sih cuma ingin menghirup udara segar sambil
melepas penat. Awalnya aku berpikir untuk naik mobil ke sana,
tapi kok aku jadi kepingin terbang, ya? Maklumlah keinginanku
ini karena baru membeli sebuah pesawat kecil. Sembari
menambah jam terbang, hal-hal seperti ini jadi hiburan bagiku.
Setelah sekian lama mengincar lisensi PPL, akhirnya dapat juga.
Dan tentunya ini tidak boleh disia-siakan.
“Abdul Rachman tower, this is Cessna 172 Five two niner
Echo Bravo with information alpha, Request clearance to landing
at runway 6R.”
“Five two niner Echo Bravo, cleared to land at runway 6R.”
Akhirnya setelah dua jam terbang, aku sampai juga di
Malang. Ucok, teman dekatku yang ada di Malang, sudah

71
kuminta untuk menjemputku. Saat aku sampai di bagian
terminal bandara, kulihat dia sudah menungguku.
“Cok!” Seruku agar dia tahu. “Hah? Wah, Lu udah dateng
aja!” Sahutnya. Seusai beramah tamah dengannya akhirnya kita
sampai di mobil. Aku akan menginap di rumahnya selama di
Malang ini. Oh ya, di sana kudengar juga ada teman lama yang
sedang berkunjung juga, jadi kita tidak hanya berdua. Selama
perjalanan, kulihat Kota Malang sudah agak berubah. Dulu sejuk,
dan tidak terlalu ramai. Sekarang sudah padat, ditambah panas
lagi. Aku pun mengobrol dengan Ucok untuk menghilangkan
kebosanan.
“Bro, perasaan dari terakhir gue ke sini, kok kayak ada
yang berubah ya dari Malang?”
“Wajar, bro. Sekarang ini sudah ramai-ramainya orang.
Nggak kayak dulu lagi. Dulu enak, masih gak seberapa rame, tapi
sekarang waah, udah begini ditambah panas pula.” jelasnya.
“Btw, lu kemana aja, Ji? Gue udah lama nggak denger
kabar lu,” lanjutnya.
“Lu tau ga? Gue ke sini udah bisa naik pesawat sendiri,
Bro!” balasku. Kulihat dia merasa kagum denganku, sekaligus
terheran-heran. Mungkin karena memikirkan darimana
pesawatnya. “Bisa gitu, ya? Kan susah jadi pilot.” ujarnya.
Kujelaskan bahwa tidak sesulit itu sebenarnya, asalkan ada niat

72
dan usaha untuk menggapainya. Setelah beberapa lama akhirnya
kita sampai juga di rumahnya.
Kulihat rumahnya, sekilas tidak ada yang spesial, kecuali
halamannya yang memang luas. Jarang sekali ada rumah begini
di daerah ramai seperti ini. Begitu aku keluar dari mobil, udara
yang masih sedikit sejuk bisa kurasakan. Di rumah itu ada Andi
juga, teman kami dari SMA dulu. Sejenak kita temu kangen lalu
membawa barang-barangku ke dalam. Rencananya, aku disini
hanya tiga hari, jadi tidak banyak yang kubawa.
Kami berencana untuk mendaki Gunung Bromo.
Spesialnya, kami berencana untuk tidak lewat jalur turis alias
jalur yang bagusnya. Menurut kami, Ga ada gregetnya! Makanya
kami mencoba untuk melewati jalur yang biasa dilewati pendaki.
Soal perlengkapan? Tenang, kami juga sudah
mempersiapkannya. Singkatnya, malam itu kami pun tidur
untuk melepas penat.
Hari pertama, kami pun mencari-cari penginapan di
dekat sana. Mana bisa kami berangkat langsung dari rumah si
Ucok? Makanya kami mulai mencari, sekaligus menyiapkan
keperluan tambahan yang sekiranya belum ada tapi dibutuhkan.
Sorenya kami main PES menggunakan PS4 milik Ucok, dan
seperti saat SMA, Andilah yang menang. Memang untuk urusan

73
main bola, dia paling jago. Dan nampaknya masih bertahan
sampai sekarang. Kami pun tidur malam itu untuk esok harinya.
Keesokan harinya kami pergi ke penginapan. Kami pun
tiba di sana dan langsung check-in karena sudah pesan lewat
aplikasi. Setelah memindahkan barang, kami pun ke kamar dan
langsung rebahan, sembari tak sabar menunggu esok hari.
Rencananya kami akan berangkat dini hari untuk menyaksikan
matahari terbit. Saat jam 1 malam, kami pun meninggalkan
penginapan dan mulai menuju tempat mulai pendakian.
Sampai disana, kami melakukan persiapan, dan beli tiket
untuk masuknya. Kami pun mulai. Perasaan gembira begitu jelas
tergambar dalam hatiku. Kami pun mulai perjalanannya. Karena
masih gelap dan agar tidak hilang, kami selalu bersama. Ya
kecuali kalau ke toilet, sih. Singkatnya perjalanan ke pos pertama
berjalan dengan lancar. Kami pun istirahat dahulu, kemudian ke
pos 2. di pos kedua juga sama, lancar sesuai ekspektasi
Ada 4 pos yang harus kami lalui, dan setiap pos beda
jaraknya. Saat perjalanan ke pos 3, aku merasa ingin buang air
kecil. Saat itulah aku berpencar dengan temanku. Mereka bilang
akan menungguku, Dan aku tidak khawatir sama sekali. Aku
mengambil tempat agak jauh dari mereka karena aku tak ingin
orang lain melihatku. Tetapi, aku merasa ada yang aneh saat aku
selesai. Apa? Aku lupa jalan kembalinya! Duh! Mana gelap lagi

74
disini. Aku berusaha tenang, lalu kucoba cari cahaya handphone
mereka. Hasilnya? Gagal. Cahayanya tidak jauh beda dengan
bintang. Aku mengalami disorientasi spasial, dimana aku tak
bisa membedakan arah sama sekali karena kurangnya patokan.
Disaat yang sama, Temanku mulai khawatir. “Bro, lu
sadar ga sih? Kok si Aji lama banget ya?” tanya Andi. “Ga tau, tuh.
Coba kita cari di sekitar sini.” ujarnya.
“Ayo” ucap Andi.
Mereka pun mencari. Mencari. Dan mencari. Tapi
hasilnya nihil. Dan mungkin mereka berkesimpulan bahwa aku
sudah mendahului mereka untuk ke puncak. Jalan lah mereka
dengan agak kesal karena merasa dijahili. Aku bagaimana?
Tertelan dalam kebingungan dan ketakutan. Bagaimana kalau
aku tak bisa ditemukan? Mati disini? Jangan lah, aku masih ingin
hidup. Aku berprinsip bahwa firasatmu akan berdampak pada
tindakanmu. Jadi untuk bertahan, aku harus optimis bahwa aku
bisa bertemu lagi dengan mereka. Kulihat isi tasku, dan
untungnya aku ada GPS dan kompas. Kutekankan pada diriku,
bahwa aku tidak boleh percaya dengan instingku sendiri. Di
penerbangan juga ditekankan begitu, karena bisa saja insting
kita salah. Ku ambil senter dan lanjut jalan setelah mengarahkan
diriku sesuai GPS dan kompas. Berjalanlah aku dalam kegelapan
dan kedinginan udara. Waktu menunjukkan pukul 02.30, sudah

75
30 menit semenjak aku hilang. Sendiri, ditelan kegelapan malam
diatas benda ciptaan-Nya yang berukuran luar biasa besar ini.
Aku merasa kecil. Kecil sekali. Sejenak ku merenungkan akan
kehadiran-Nya. Meski agak takut dan terlihat sendiri, aku tahu
aku sebenarnya tidak sendiri. Tak lama kemudian sampailah aku
di tanah yang agak datar dan juga sedikit luas, tidak ditumbuhi
pepohonan. Aku istirahat sejenak disitu. Rasanya ingin ku
bersujud dulu pada-Nya. Salatlah aku sejenak disana, sembari
menyembunyikan rasa takutku karena aku tak sendiri meskipun
meskipun memang sendirian.
Setelah itu, aku berencana untuk mengarah ke pos
empat, langsung. Kurasa aku telah berjalan cukup jauh sehingga
melewati pos tiga. kuarahkan perjalananku mengikuti GPS dan
kompas. Aku berjalan, berjalan, dan terus berjalan. Namun,
hasilnya belum nampak. Namun aku tak menyerah. Aku jalan
terus, sampai hampir saja aku terperosok dalam jurang.
Kagetlah aku. Hampir saja aku mati. Aku berjalan menyusuri
jurang, dan akhirnya aku melihat seperti cahaya lampu. Aku
pastikan dengan berjalan lebih jauh, dan ternyata itu adalah
penerangan jalan perkebunan. Masalahnya, jalan itu ada di
seberang jurang. Bagaimana ini? Kulihat sekelilingku, dan
ternyata ada jembatan, namun tak berpenerangan. Aku
seberangi jembatan itu, sembari berhati-hati karena kayunya

76
ada yang sudah lepas. Sampai di seberang, kulihat ada penjaga di
sana. Awalnya bapak itu mencurigai aku karena seperti mau
mencuri, tapi aku menjelaskan bahwa aku tersesat.
“Oh, gitu to,” ucap bapaknya. Dia lalu menjelaskan bahwa
kebun ini masih agak jauh dari pos empat, tapi beliau tahu jalan
ke kebun ini yang terhubung dengan jalan ke penanjakan. ”mau
diantar?” dia menawarkan. “oh tidak perlu, pak. makasih pak.
Maaf ngerepotin lho pak.” kataku. “Sami-sami. mboten napa-
napa, kok.” balasnya. Aku lalu menyusuri jalan yang dia
sebutkan tadi. Perlahan aku diselimuti kegelapan, seiring
menjauhnya diriku dari kebun itu. Tapi aku yakin aku bisa. Lama
berjalan, waktu sudah menunjukkan pukul 03.30, pertanda
sebentar lagi akan subuh. Tak lama kemudian, aku melihat jalan
beton yang mengarah ke atas, tempat yang banyak lampunya.
Sepertinya aku tahu bahwa ini adalah jalur pendakian untuk
turis. Aku jalan ke atas, dan akhirnya aku tergabung bersama
orang-orang lagi! Lepaslah kekhawatiranku. Kupesan Indomie
rebus dan teh hangat agar tidak kelaparan. Lalu kulanjutkan
sampai penanjakan, dan salat subuh diatas dengan tayamum,
karena suhunya sedingin es!
Sementara itu, temanku masih ada di pos empat, pos
terakhir sebelum puncak. Mereka salat di sana. Setelah itu
mereka meneleponku, dan untungnya masih ada sinyal di atas

77
sana. Teleponku berdering. Kujawab panggilan tersebut. “Bro, lu
dimana? Kita nyariin nih.” ujar Ucok. “Lu ilang kah tadi?”
“Ga kok, ini gue udah mau sampe penanjakan. Emang sih
tadi sempet ilang, tapi untung masih tahu jalan,” ujarku. Mereka
lalu menyusul ke sana. Singkatnya di atas, kami sudah siap untuk
menyaksikan matahari terbit. Saat mataharinya muncul, rasa
kagum sekaligus syukur muncul dalam hati kami. Kami juga
berfoto di sana, dan juga merekam buat vlog pribadi si Ucok.
Setelah itu, kami turun. Kami kembali ke penginapan, istirahat
sejenak, dan kembali ke rumah Ucok. Kami pulang dengan
perasaan senang, lalu aku bersiap-siap untuk pulang besok.
Pagi hari jam tujuh, saatnya aku pulang. Kebetulan Andi
dan aku satu tujuan, ke Yogyakarta. Setelah Andi bersiap-siap
kami berangkat diantar Ucok ke bandara Abdul Rachman Saleh
Malang. Aku minta dia untuk ambil jalur masuk ke bandara,
bukan ke terminal. “Oh iya, ya. Lu kan ada pesawat sendiri.” ujar
Ucok. “Hah?! Yang bener?” Andi terkejut. Kuceritakanlah kalau
aku punya pesawat kecil untuk terbang sendiri dan aku sudah
mengantongi izin pilot. “Okelah, gue bareng ama lu,” pungkas
Andi. Setelah berpamitan dan serangkaian prosedur serta cek
kondisi, Kami menunggu satu jam setelah aku mengisi flight plan
ke Yogyakarta. Ucok balik ke rumah. Akhirnya kami pun
berangkat jam sembilan setelah semua siap.

78
“Abdul Rachman Tower, this is Cessna 172 five two niner
Echo Bravo, holding short at holding point Mike seven, request
clearance to takeoff at runway 6R.”
“Five two niner echo bravo, cleared to takeoff at runway
6R. Maintain runway heading until one thousand”
Kudorong tuas throttle penuh ke dalam, dan akhirnya
kami pun terbang. Andi agak merinding awalnya, tapi
berangsur-angsur tenang. Akhirnya kami pun pulang dengan
hati senang.

79
Sayang dan Rindu Senantiasa Hadir
Tedy Ahmad Sanjaya (XI C)

Di bawah sang surya cahaya jingga menyelimuti eloknya


langit, angin berhembus hangat menusuk jiwa mengajak rumput
berdansa indah dibalut kicauan merdu, hal sempurna yang
didambakan semua orang, termasuk aku yang duduk terdiam
tak berkutik melihat keindahan yang diciptakan zat yang tak
pernah mati. Di balik keindahan ini terdapat setitik kepedihan
yang mendalam, bukan karena rumput yang berdansa bukan
juga suara indah kicauan melainkan dirinya, seseorang yang
hadir hanya membuat kawah tak bertuan yang merusak
sinkronisasi hati. Kepedihan itu timbul begitu saja seiring
kepergian dirinya.
Aku yang dari tadi terdiam meratapi keindahan alam
serta kepedihan yang mendalam perlahan mendongakkan
kepala sembari tersenyum tipis kepadanya, Sudahlah! dengan
pikiran yang sedikit kacau aku perlahan beranjak pergi sambil
bersenandung ringan berharap beban yang ada tersapu bersih
dari pikiran. Senandung ringan yang berdengung sepanjang
jalan malah mengajakku ke salah satu tempat yang mampu
memicu konflik di batin. Tanpa mempedulikan hal itu. Sepasang
kaki mencoba melangkah menjauh darinya, menuju tempat yang

80
selalu aku rindukan akan keberadaannya, tempat inilah yang
mampu membuatku sadar bahwa kenyamanan tidak hanya fiktif
belaka.
Sampailah aku di depannya. Sepi! Tak terlihat satupun
benda bernyawa yang hadir di sekitarnya. Langit memudar,
hanya terlihat goresan monokrom yang menghiasi. Tik tik tik,
terdengar ringkih kesedihan menyelimuti seluruh raut wajah.
Sesegera mungkin aku melangkah, memasuki tempat tersebut.
Berdiri tegak tepat di wajahnya. Mulutnya begitu rapat tak ada
rongga yang mampu aku lewati. Aku mencoba mencari dimana
dia letakkan kunci tersebut. Tiba-tiba! Dia terbuka begitu saja.
Tanpa mempertanyakan apa pun aku bergegas menuju tempat
kecil. Tempat di mana aku menghabiskan masa dengan berbagai
kesibukan diri.
Pakaianku begitu lembab begitu juga dia yang dari tadi
menahan diri untuk mengeluarkan beberapa butir air. Tanpa
mempedulikan hal itu, aku dengan sigap mendarat di atas
gumpalan kapuk yang sudah dibekali sebuah pegas. Aku
mencoba mengambil jarak antar dirinya. Namun itu sia-sia, Tak
ada perubahan yang terjadi. Aku mencoba meraih beberapa
benda yang tergeletak di atas almari. Jari jemariku mulai
membuka beberapa aplikasi ternama, sembari menutup telinga
dengan sebuah musik.

81
Komikus ternama dikabarkan meninggal dunia karena
sengatan listrik! Pandanganku terpacu kepadanya. Dengan sigap
aku membuka notif tersebut. Dan benar, dia adalah komikus
terfavorit sekaligus teman masa kecilku. Badanku seketika kaku
tak berdaya terpaku akan layar yang menggelap. Aku tak
menduga hal ini akan terjadi begitu saja, dimulai dari dirinya
sekarang giliran sahabat sejak kecil. Entah, siapa lagi yang akan
terbaring diam di balik gundukan tanah.
Ting... ting… ting seketika layar ku penuh akan beberapa
pertanyaan yang sama. Aku tak cukup kuat untuk menjawab
mereka. Jari jemari mulai melawan irama. Terdengar beberapa
kali desis ringan tercipta olehnya. Tampak beberapa butir tirta
tengah bergelinang di balik kelopak.
Pukul 12 malam, tak ada yang berubah kecuali dirinya
yang mulai menghentikan aktivitasnya. Tampak beberapa
jalanan tandus yang sempat banjir akan air matanya. Tiba-tiba
tubuh terasa limbung, padahal diriku yakin dalam kondisi
prima. Sepertinya kau akan menyusulku! Terdengar bisikan dari
seseorang seolah-olah mengajakku terbang. Pandanganku mulai
kabur. Badanku seketika menghentikan aktivitasnya. Pikiranku
mulai melayang-layang entah kemana. Cahaya hitam tiba-tiba
terpapar di hadapan. Dia mendekat! Dia mulai mengambil alih
seluruh pikiran namun upayanya ku patahkan. Terjadi

82
pertempuran antara aku dengan dirinya. Terdengar beberapa
kali hentakan kelopak menepis serangan darinya. Tak cukup
tegar! Sendi demi sendi mulai melemah. Dan akhirnya terlelap di
pangkuan angin yang berhembus hangat.
Terlihat cahaya putih menghampiri. Dia tepat di pucuk
bibir. Aku mencoba memicingkan mata berharap mampu berdiri
tegak setelahnya. Akhirnya, dia berpaling, berganti tempat
dengan sebuah kotak. Pandanganku terpacu akan benda kotak
berisi Tiga orang sahabat tersebut. Badanku seketika membeku,
tetes demi tetes mulai berjatuhan membasahi seluruh pijakan.
Kapan aku bisa bertemu mereka lagi! Tiba-tiba hal itu terngiang
di kepalaku.
Aku mencoba melangkah sembari memeluk benda
tersebut. “Don Doni ngapain di situ, kamu kan masih sakit!”
terdengar suara familiar yang membelakangi. Aku yakin bahwa
itu dia. Tulang-tulangku mencoba menghadapinya. Dan benar,
mereka tepat dihadapanku, sesosok kekasih yang tengah bersila
sembari melambaikan tangan. Terlihat kebahagiaan terukir di
raut wajah mereka. Sontak tubuhku menanggapinya dengan
hentakan bibir. “Pa! Ma!” terdengar dengungan keras dari atas
pijakan. Tampak sesosok anak kecil berambut ikal berlari. Tetes
demi tetes mulai menyelimuti seluruh pijakannya. Tangannya
mulai melambai. Tampak Ia tengah mencoba mengulurkan

83
beberapa kain putih kusut semerbak bunga mawar. Tampak
sedikit kegelisahan di balik senyumannya. Pandangannya
terpacu akan kusutnya kain yang terbentang, namun dia sesekali
menoleh ke belakang sembari melontarkan senyum tipis ke
arahku. Jari jemarinya tengah beradu dengan ketatnya simpul.
Hasta demi hasta coba dia uraikan akan tetapi tak
kunjung usai. Tampak timbul mimik ketakutan di senyumnya.
Terlihat beberapa kali Ia mengangkat jari layaknya sebuah
isyarat. Aku tak mengerti apa yang hendak Ia katakan, akan
tetapi firasatku mengatakan bahwa aku hendaknya
mendongakan kepala mengarah langit-langit. Dan, benar tampak
seorang lelaki kekar penuh akan cahaya tengah mencambuk pria
paruh baya. Pria itu tampak lemah tak ada perlawanan yang Ia
lontarkan kepada lelaki tersebut. Aku mencoba meraih beberapa
benda yang hendak ku lempar kepadanya sebab telingaku
tampak bosan mendengar ringkih kesedihan berulang kali. Aku
mendapatkannya, benda berbentuk persegi berwarna hitam
pekat yang dibalut dengan selembar foto. Mencoba tak acuh
dengan hal itu aku mencoba mengambilnya dan hendak
melempar. Tepat ku dongakan kepala memandang pria tadi
berdiri, namun tak ada siapa pun lagi di sana. Aku mencoba
mondar-mandir melihat sesuatu yang ada di sekitar. Akan tetapi
tak ada hasil yang kutemukan.

84
Yang terlihat hanya sepotong garis lurus terbentang dari
pijakan. Dengan pemikiran yang bisa dibilang bodoh aku
mengikuti arah garis tersebut. Aku tak memperhatikan apa pun
yang terjadi disekitar, mataku terfokus akan tipis nya garis ini.
Tepat di ujung tanduk. Aku menghentikan langkah-langkahku di
hadapan seorang wanita bertubuh mungil tengah bersandar di
bangku taman. Aku tak tahu apa yang sedang Ia lakukan di sini.
Akan tetapi Ia tampak murung, terlihat tetes demi tetes
berjatuhan membasahi seluruh lantai. Aku mencoba melangkah
mendekatinya namun seluruh tubuhku enggan akan melakukan
yang ku hendaki. Mereka membeku tak ada respon yang
diberikan. Dan, memaksa pasrah akan keadaan, kubiarkan
wanita tadi menangis sampai Ia menyudahinya.
Angin mulai mengubah arah, langit-langit tengah
memudar, terlihat cahaya jingga sedang memanjakan suasana
yang tak lama lagi akan semakin liar. Aku di sini di tempat yang
sama, memandang wanita yang sedang asik menuangkan tetesan
air. Ia tak kunjung bosan. Tampak kawanan tirta mulai
memenuhi seluruh pijakannya. Kawanan itu mulai mengganas
terlihat beberapa kali mereka menjilat kakinya. Aku tak tahu
harus bagaimana. Seluruh badanku masih enggan bertindak.
Kecuali Dia, akan tetapi aku yakin dia tidak mampu membawa
perubahan sebab dia hanya mampu meringkih sedih sembari

85
menimpa pipi dengan kelembaban. Akhirnya aku biarkan dia
terlarut dalam keruhnya kesucian.
Setelah dirinya telah tiada, tubuhku kembali normal,
semua organ bergerak dengan semestinya kecuali engkau yang
tengah asik memainkan benda kotak berisi lembaran foto hitam
putih. Seluruh mataku mencoba mengajak diriku untuk
memantau siapa yang terjerat di balik hampanya ruangan.
Namun, Aku mencoba tak acuh akan siapa pun yang ada di sana
yang terpenting sekarang bagaimana aku bisa pulang. Aku tak
tahan lagi akan apa pun yang terjadi, semua yang ada disini
begitu menyeramkan.
“Woi tolong aku siapa pun itu!” jeritanku begitu lantang
tak ada jenis tembok yang sanggup menahannya, terdengar
segenggam gema menyelimuti ruangan ini. Selang lima menit
datanglah seseorang bertubuh kekar dibalut putihnya sayap
lengkap dengan trisula di genggamannya. Ia tampak kesal,
terlihat beberapa kerutan di raut wajahnya. Mulutnya mulai
bergumam membaca beberapa mantra yang hendak Ia lontarkan
kepadaku. Tak lama lututku melemah, pikiranku melayang entah
ke mana seketika pandanganku mulai kabur. Aku tak tahu apa
yang terjadi pada diriku. Tiba-tiba noda hitam menyelimuti
seluruh pikiran. Badanku mulai rapuh dan akhirnya terhanyut
dalam keheningan malam.

86
Yaasin Walquranil hakim Innaka laminal mur. Telingaku
mulai terpacu akan potongan doa yang tak asing. Doa-doa ini
biasanya dilantunkan untuk orang yang telah tiada. Namun,
mengapa doa ini dilantunkan sekarang? Apakah seseorang telah
terbaring diam dibalut kain kafan? Memikirkan itu semua
membuat diriku penasaran mengapa mata ku enggan
menampakkan dirinya. Padahal Ia selalu melihat apa yang
terjadi sebelumnya. Apakah dia kelelahan dan memutuskan
untuk berhibernasi? Entah itu benar atau salah aku tak tahu. Aku
memutuskan untuk mengingat kembali apa yang terjadi padaku
sebelumnya. Aku yakin terbangun dari dunia paralel ini suatu
hal yang mudah. Aku pun mencoba merangkai seluruh kisah
yang terjadi, semuanya ku uraikan satu persatu dengan teliti, tak
ada yang terlewatkan. Sampai lah di ujung kisah pada saat
seorang pria kekar bersama trisula di genggamannya
menghampiriku. Ia layaknya seorang dukun, yang gemar
bergumam sendiri membacakan beberapa mantra. Aku pun
mencoba mengartikan kata demi kata yang Ia gumamkan. Dan
akhirnya benang telah menemukan jarum yang tepat, walaupun
begitu aku belum mengetahui belum maksud dari kata Yang
telah terjadi biarlah berlalu jangan terlalu disesali sebab masih
banyak diluar sana yang hendak kemari.

87
Aku mencoba mengeluarkan bakat terpendamku untuk
mengartikannya. Ketika hendak mendapatkan jawabannya mata
ku sontak terbuka sayup. Terlihat seorang wanita tengah
menangis di sampingku, serta beberapa orang yang tengah
khidmat membacakan ayat suci Al-Quran. “Ma, jangan nangis, ini
Doni masih hidup!” Seketika seluruh keheningan menjadi ricuh,
terdengar beberapa kali jeritan keras. Semuanya lari
meninggalkan ku kecuali mereka, sepasang kekasih yang
senantiasa di sampingku sampai dunia memisahkan. Mereka
mencoba merangkulku dengan pipi yang telah lama basah
sembari melepas ikatan kain kafan yang menyelimutiku. Terlihat
kebahagiaan terukir di wajah mereka.

88
Sombong
Adyatma W. (VIII B)

Suatu hari di pagi yang cerah. Ada seorang laki laki yang
selalu murung bernama Vian. Vian berumur 15 tahun, yang
berarti ia kelas 3 SMP. Vian selalu diperundungkan. Setiap di
sekolah dia selalu dihina dan dijahili karena caranya dia
berpakaian yang sangat aneh dan badan yang kecil. Sekolah pun
diliburkan karena libur musim panas. Di sepanjang perjalanan ia
pulang sekolah ia bertemu seorang kakek-kakek membawa
karung yang sangat besar, kakek-kakeknya pun terlihat
keberatan. Ia pun mendatangi kakek-kakek itu dan ia berkata,
“Bolehkah aku membantumu, Kek?” lalu sang kakek pun
menjawab, “Sungguh mulia hatimu wahai anak muda” dan tanpa
basa-basi Vian pun langsung membawakan karungnya walaupun
ia juga keberatan.
Sesampai di rumah, sang kakek pun berkata, “Baik sekali
kamu wahai anak muda, sebagai tanda terima kasih, apa yang
kamu inginkan ?” tanya sang kakek. Vian pun berkata “Tidak
terima kasih kek, saya tidak mengharapkan imbalan.” Dan tak
lama Vian pun pulang. tiba-tiba tanpa sepengetahuan Vian
sebenarnya kakek-kakek itu adalah seorang penyihir yang
sedang menguji kepedulian manusia. Sang kakek pun memberi

89
Vian mantra yang membuat dirinya menjadi orang yang
berambisi sangat besar, tetapi mantra itu memiliki efek samping
yang kakek itu pun tidak tahu. Saat tiba di rumah Vian tiba-tiba
kepikiran bagaimana ia mengubah penampilan dan juga postur
tubuh.
Ia pun membuat jadwal kegiatan di rumah olahraga dan
belajar dengan giat. Sepanjang liburan musim panas ia
menjalankan jadwalnya secara rutin. Dia pun menjadi pemuda
yang gagah. Saat kembali ke sekolah teman-teman Vian pun
bingung dan heran. Banyak teman-teman yang biasanya
mengejeknya menjadi mendekatinya. Vian tidak
menghiraukanya. Ia berjuang dan berusaha untuk mendapatkan
prestasi di sekolah dan menjadi lebih baik di kelas. Tapi lama-
kelamaan Vian pun menjadi sosok yang begitu egois. Dia merasa
bahwa ia yang terbaik, ia pun balik menindas orang yang pernah
bersikap kasar padanya. Vian selalu membuat masalah sejak saat
itu. Singkat cerita Vian dikeluarkan dari sekolah karena banyak
mendapat masalah karena sifatnya sekarang.
Saat di rumah, orang tua Vian memarahinya karena dia
sampai dikeluarkan darisekolah mengingat kondiri
perekonomian keluarga sedang tidak baik. Vian pun beranjak ke
kamar. Vian putuskan untuk kabur dari rumah. Perasaan
bersalah dan frustasi, mememuhi kepalanya. Vian berlari tanpa

90
arah dan tiba-tiba ada mobil yang melaju cepat dan berhasil
menabraknya.
Vian mengalami pendarahan hebat. Mobil yang
menabrak langsung kabur. Sang kakek penyihir mengetahuinya
dan langsung mendatangi Vian. Sang kakek langsung
menolongnya lalu membawanya ke rumah sang kakek. Sang
kakek sudah mengetahui semua. Sang kakek menasihatinya dan
memberitahu kepadanya bahwa sang kakek adalah Vian di masa
depan. Vian kaget dan muncul banyak pertanyaan di kepalanya.
Vian dan kakek pun hanyut dalam perbincangan
meskipun satu jam setelah itu akan ada kejadian memilukan
yang akan Vian alami. Sesuatu telah penyihir itu persiapkan.

91
Pengorbanan yang Indah
Farras Marfathul (VIII B)

Dahulu hidup dua sahabat yang bernama Sarah dan Azri.


Mereka selalu berangkat ke sekolah bersama dan pulang
bersama. Suatu hari saat liburan mereka Pergi berjalan jalan ke
suatu tempat yang tidak banyak orang tahu. Mereka hanya pergi
berdua saja Sarah membawa snack dan makanan lainnya
sedangkan Azri membawa obat obatan dan tenda untuk
bertahan hidup. Saat sedang di perjalanan mereka
bertemu dengan makhluk aneh berambut panjang hingga
menutupi wajahnya. Karena ketakutan Sarah spontan langsung
memeluk Azri lalu Azri mencoba menenangkan Sarah setelah
Sarah tenang Azri mendekati makhluk itu, saat Azri mendekati
makhluk itu tiba tiba makhluk itu menghilang lalu Azri pun
kaget dan mencoba melupakan hal itu hari sudah mulai gelap
dan mereka memutuskan untuk bermalam.
Keduanya mendirikan tenda lalu akan berangkat tidur,
tiba tiba makhluk tadi muncul kembali dan menarik kaki Sarah.
Sarah pun terbangun dan menjerit, Azri mendengar teriakan
Sarah dan segera mendekati sumber suara namun saat Azri
datang makhluk itu menghilang. Azri mencoba menenangkan
Sarah yang sedang menangis lalu mereka pulang ke rumah.

92
Hari berlalu serentetan kejadian pun terjadi. Keduanya
akhirnya sempatkan bertanya kepada seorang para normal
tentag apa yang terjadi pada diri mereka. Ternyata mereka
berdua sudah diikuti oleh hantu itu sejak lama karena tempat
yang mereka datangi itu adalah tempat kramat dan tanpa
sengaja mereka merusak tatanan yang ada di sana.
Sampai akhirnya Sarah pun jatuh sakit karena setiap hari
diganggu oleh makhluk itu. Dia stres, hidupnya menjadi tidak
tenang. Mendengar Sarah sakit Azri pun langsung berinisiatif
untuk mencari cara agar Sarah bisa segera sembuh.
Tanpa sepengetahuan Sarah, Azri mendatangi tempat
keramat itu. Azri berhadapan langsung dengan hantu itu.
Wajahnya yang begitu bengis dengan senyum yang mengerikan
tidak membuat Azri gentar sedikit pun. Tampak mereka
bercakap-cakap.
Sebuah makam masih basah dan dihadiri banyak orang.
Sarah yang sudah bugar bersama teman-temannya luruh dalam
kepungan orang-orang. Terselip doa bagi Azri Amalia. Seorang
teman sejati dan berbudi luhur. Semoga amalnya di terima
disisi-Nya. Teringat Sarah akan mimpinya beberapa hari lalu, di
sana Azri berkata, “Aku baik baik saja.”

93
Petualangan Darmin dan Muki
Panji Merah Balakosa (VIII B)

Pagi yang cerah di hari Senin, Darmin berjalan menuju ke


sekolah untuk menuntut ilmu. Dia pun berangkat menggunakan
sepeda kesayangannya dan dia mengajak temannya bernama
Muki mereka berangkat dengan hati yang gembira ketika
mereka di perjalanan dia melihat sebuah kotak misterius
Darmin pun berkata, ”Kotak apa itu? Yuk, kita cek,” kata Darmin.
Mereka pun menghampirinya untuk melihat. Ketika mereka tiba
di kotak hitam tersebut si Muki berkata, ”Tombol apa yang di
kotak hitam itu?” Mereka pun penasaran dan menekan tombol
tersebut dan makhluk berkulit hitam pun keluar, kulit si
makhluk itu lebih hitam daripada kulitnya si Darmin. Makhluk
itu menatap mereka berdua dengan tatapan mata merah yang
mengerikan dan makhluk itu berkata, “Wahai makhluk bumi
maukah kamu ikut denganku?” jawab makhluk tersebut.
Si Darmin dan Muki berpikir sejenak dan makhluk itu
berkata lagi, ”Jika kamu menerima permintaanku aku akan
memberikan mainan yang sangat menarik. Si Muki dan Darmin
pun tergiur dan mereka mau menerima permintaan si makhluk
hitam itu. Setelah mereka menerima permintaan makhluk hitam
tersebut si makhluk hitam pun tertawa jahat dan membawa

94
mereka ke tempat yang sangat gelap dan mengerikan mereka
pun berjalan di sekitar tempat tersebut dan mereka pun sadar
bahwa mereka terpisah dan tersesat. Setelah beberapa jam
berputar mereka pun ketakutan dan hampir pingsan dan
mereka berdua bertemu satu sama lain mereka pun menemukan
senter kecil yang lampunya sangat redup karena baterai sangat
lemah. Mereka pun langsung beranjak mencari jalan keluar dan
melihat pintu besi yang sangat besar dan di sampingnya
terdapat tombol pin untuk membukanya.
Akhirnya mereka pun menghampirinya untuk dilihat dan
si Darmin berkata, ”Jika ingin membuka pintu ini kita harus
mencari kombinasi angka-angka tersebut.” si Muki pun
membalasnya, ”Sepertinya di sekitar sini ada kode mari kita cari
tahu kombinasinya.” Akhirnya mereka langsung bergegas
mencari kombinasinya ruangan hitam tersebut sangat kotor
mereka juga sangat susah untuk mencari tahu kombinasi angka
tersebut.
Setelah beberapa jam mereka pun menemukan sebuah
peti kecil yang terdapat kertas di atasnya yang bertulis, “Di
dalam peti ini terdapat dua kombinasi angka untuk
membukanya anda harus memecahkan kaca tersebut untuk
mendapatkan kuncinya dan kaca itu tidak dapat dihancurkan
sembarangan hanya bisa dihancurkan dengan besi yang sangat

95
panas.” Mereka pun bingung setelah lama berpikir, mereka pun
menyerah dan tiba-tiba makhluk hitam muncul memberikan
sebuah tongkat yang di mana tongkat itu jika diputar akan
keluar monster besi yang sangat panas.
Setelah lama berpikir si Darmin pun mendapat ide yang
sangat bagus si Darmin berkata, “Bagaimana jika kita putar
tongkat tersebut dan si monster besi akan keluar dan menghajar
kita dan kita pancing dia ke kaca dan kita putar lagi tongkat
tersebut agar monster tersebut kembali ke tongkat itu.”
Akhirnya mereka pun bergegas memutar tongkat itu dan
monster itu pun keluar dan menyerang mereka, mereka pun
langsung lari ke tempat kaca tersebut dan si Monster terpancing
untuk memukul kaca tersebut dan akhirnya kaca itu pecah dan
mereka langsung memutarnya kembali dan monster itu pun
hilang. Mereka pun langsung mengambil kunci tersebut dan
akhirnya peti itu pun terbuka di dalam benar terdapat dua
kombinasi angka dan dia membutuhkan satu kombinasi lagi dan
mereka pun langsung bergegas untuk mencari kombinasi angka
terakhir.
Kombinasi terdapat di dekat pintu besar tersebut yang
jika mereka ingin mendapatkannya mereka harus membunuh
monster besi yang sangat panas. Mereka diberikan pedang yang
bisa menyerap kekuatan alam akhirnya mereka pun menyerap

96
kekuatan air untuk mengalahkan monster itu. Mereka pun
memutar tongkat tersebut dan monster itu keluar dan mereka
berdua langsung menyerangnya akhirnya mereka pun menang
dan monster itu menjatuhkan kombinasi angka tersebut
akhirnya mereka pun membuka pintu tersebut. Di balik pintu itu
terdapat makhluk hitam itu yang sedang menunggu dan
akhirnya mereka pun datang dan makhluk hitam itu berkata,
“Jika kalian ingin menyelesaikan dan menerima hadiahnya
kalian harus mengalahkanku, mereka pun bertarung Muki dan
Darmin sedikit kewalahan dan Darmin ingat bahwa dia
membawa Al-Quran akhirnya dia pun membacanya walaupun
sebisanya.
Makhluk itu kembali menyerangnya dengan
kekuatannya yang menggelegar seperti asteroid yang menimpa
mereka. Si Darmin pun membaca lebih keras dan akhirnya
makhluk itu menyerah dengan penuh luka bakar. Akhirnya
mereka pun diberikan mainan yang dijanjikan dan mereka pun
diantar kembali ke dunia nyata dan hari sudah malam orang tua
mereka sangat khawatir. Mereka pun menceritakannya kepada
orang tuanya, mereka berdua pun senang dan bahagia karena
sudah kembali ke rumah mereka.

97
Mainan itu tergeletak di meja belajar Darmin. Tombol
merah di sisi tengah menyala. Mungkin akan Darmin tekan
besok pagi.

98
99
Sang Nirmala
Wulan Maulani (XI A)

Hujan deras turan tadi malam membasahi bumi yang


telah lama mengering. Kusenandungkan lantunan lagu yang
sering kudengar akhir-akhir ini. Belum banyak masyarakat yang
memulai aktivitasnya, karena memang saat ini masih pukul
setengah enam pagi. Udara yang menusuk tidak melunturkan
semangatku untuk segera sampai di sekolah. Tahun ini aku
memasuki bangku kelas delapan SMP. Aku tidak sabar bertemu
dengan teman-teman sekelasku.
Terlarut akan suasana yang menenangkan, aku tidak
sadar bahwa telah sampai di sekolah. Bahkan satpam yang
berjaga pun terheran-heran akan aku yang datang sepagi ini.
Kuletakkan sepedaku di tempat biasa ku meletakkannya.
Kulangkahkan kakiku menuju mading sekolah yang berada tepat
di depan ruang tata usaha. Di sanalah terpampang namaku serta
temen-teman sekelasku setahun mendatang.
***
Pembelajaran hari ini berjalan layaknya sekolah negeri
pada umumnya. Di hari pertama sekolah kita hanya akan
menemui jam kosong yang diisi dengan canda tawa maupun
kericuhan yang diakibatkan oleh teman sekelas kita. Hei,

100
lagipula aku belum memperkenalkan diri. Namaku Pandu Dwi
Aryatama, teman-teman biasa memanggilku Pandu. Aku
bersekolah di SMPN 1 Wonoasri. Sebuah sekolah negeri yang
terletak di desa dengan gedung yang disekelilingnya merupakan
hutan. Bukan sekolah hebat, tetapi aku nyaman belajar di
dalamnya.
Waktu pulang sekolah biasanya kuhabiskan dengan
bermain ataupun mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
Aku bukan murid yang pintar, tetapi setidaknya aku tahu kapan
waktuku untuk belajar atau bermain. Pulang sekolah kali ini
kuputuskan untuk pergi ke sebuah sungai yang terdapat di balik
hutan belakang sekolahku. Entah apa yang menyebabkanku
untuk pergi ke sana, tetapi sepertinya menghabiskan waktu di
sungai setelah semalam turun hujan terdengar menyenangkan.
Sepeda kesayanganku kutinggal di tempatnya semula
dengan tasku yang menggantung di setangnya. Perlahan aku
berjalan melalui jalan setapak yang terdapat di samping tembok
sekolah. Membutuhkan waktu kira-kira sepuluh menit untuk
sampai di sungai yang kutuju. Pemandangan yang ada di sana
memang tidsak mengecewakan. Dengan suara gemericik air
ditemani kicauan burung dan gesekan daun, percayalah rasa
kantukku datang sesaat setelah aku menyandarkan diri di salah
satu batang pohon.

101
***
“Hei, kau harus segera kembali ke rumahmu!” Sayup-
sayup kudengar suara anak perempuan berbicara di dekatku.
“Bangunlah dan kembali ke rumahmu! Atau kau tak akan bisa
kembali lagi selamanya.” Perlahan kubuka mataku yang terasa
sangat berat ini dan apa yang kulihat setelahnya sungguh
membuatku terkejut. Bangunan disekelilingku bukanlah sebuah
hutan di mana aku tertidur sebelumnya, melainkan sebuah kota
tua dengan arsitektur yang sangat mengagumkan.
“Hei, aku berbicara padamu. Siapa namamu?” Anak
perempuan di depanku bertanya dengan suara yang lebih
lembut dari sebelumnya. Akan tetapi ada yang aneh dengan
penampilan anak di depanku ini. Rambutnya panjang hingga
menyentuh pinggul dengan warna keperakan dan telinga yang
runcing di ujungnya. Penampilan yang sangat aneh menurutku,
bahkan aku sampai berpikir kalu dia sedang bercosplay menjadi
seorang peri.
“Aku tahu kau bingung dengan situasi yang tiba-tiba ini,
tapi percayalah aku bukan orang yang jahat. Oh iya, perkenalkan
namaku Argentum Ingga Rhanaksala.” Ucapnya sambil
mengulurkan tangan.

102
“Apakah kau tahu di mana aku berada sekarang?” Aku
bahkan belum menjawab pertanyaanya sebelum melontarkan
pertanyaan yang sejak tadi ada di benakku.
“Tenang saja sebentar lagi kau akan kembali ke tempat
asalmu. Akan tetapi sebelum itu, izinkan aku berbicara akan
suatu hal kepadamu.”
Dengan kondisiku saat ini tentu aku tidak dapat menolak
permintaan yang dilontarkan anak berambut perak ini.
“Dalam jangka waktu yang cukup lama, kedepannya kau
akan sering berada di tempat ini dengan waktu yang tidak bisa
ditentukan. Aku tidak bisa memastikan kapan waktu
kunjunganmu yang berikutnya, tetapi percayalah waktu itu akan
tiba tidak lama lagi. Aku akan menjelaskan semua yang kamu
tanyakan di pertemuan berikutnya, tetapi satu hal yang aku
minta bahwa kejadian ini hanya kamu yang mengetahui.”
“Apa-apaan ini?”
“Sampai jumpa Pandu. Kita akan berjumpa kembali tidak
lama lagi.” Dia tahu namaku? Aku bahkan tidak memberi
tahunya sedikitpun tentang identitasku. Semua yang ada di sini
terasa janggal.
“Darimana kau tahu namaku?”
“Tidurlah!”
***

103
Aku tersentak bangun dari tidurku ketika sehelai daun
jatuh tepat di mukaku. Baru kusadari kalau matahari sudah
mulai menurun dan langit berubah menjadi gelap. Aku bergegas
menuju ke sekolah untuk mengambil sepedaku. Di sela
langkahku aku teringat sepertinya aku tadi bermimpi, tetapi aku
lupa akan mimpi tersebut. Adakah dari kalian yang
mengingatnya?

104
Let’s Not Fall In Love
Dwi Rizka (XI A)

“ Aku tahu pasti perasaan yang kumiliki ini salah, namun aku
tidak bisa memungkiri ini semua. Teruntuk kamu, adikku sayang -
Arsen Davin Fernanda Aksa.“

Dengan hentakan pelan, seorang gadis kecil perlahan


berjalan memasuki rumah besar nan megah di hadapannya.
Mengenakan gaun merah muda pemberian sang ibunda, sambil
menggendong boneka beruang pink kesayangannya. Gadis kecil
itu menoleh ke arah sang Bunda yang masih sibuk menurunkan
koper koper besar itu dibantu oleh sang penjaga rumah.
Sejujurnya Ia tidak tahu pasti apa yang akan ia dan Bundanya
lakukan di rumah besar itu. Perlahan ia berjalan ke arah sang
bunda seakan ingin meminta penjelasan apa yang sebenarnya
sang bunda rencanakan saat ini.
“Bundaa,” pekiknya kecil seakan takut Bunda tidak
mendengarnya.
“Kenapa sayang?” ujar sang bunda lembut kepada anak
semata wayang nya tersebut.

105
“Apa yang akan kita lakukan disini?, ayo Bunda kita
pulang aja, Kila mau main sama bunda di taman depan sekarang,
kan waktu itu bunda udah janji mau ngajak Kila main, ayo
Bundaaa,“ paksa nya kepada sang bunda, berharap sang Bunda
segera memenuhi apa yang di pintanya tersebut.
“Kita tidak bisa kembali ke rumah itu lagi nak, rumah
inilah yang akan menjadi tempat tinggal kita sekarang, Kila
ngerti kan maksud bunda? Lagi pula, sepertinya bunda pernah
melihat ada sebuah taman di sekitar sini, nanti Bunda ajak Kila
main di taman sini saja, oke,” tetap dengan kelembutannya
berharap sang anak akan mengerti dan paham posisi mereka
sekarang ini.
“Baiklah bunda, tapi bunda harus janji bakalan bawa Kila
main ke taman itu, ya“ ucapnya lirih tapi berusaha mengerti
keadaan bundanya saat ini.
Sang bunda tersenyum sedih melihat putri semata
wayang nya tersebut, Anaknya yang masih berumur 6 tahun itu
tidak seharusnya merasakan keadaan seperti ini didalam
hidupnya. Ia merasa ini adalah kesalahannya yang menyebabkan
sang anak harus melewati keadaan seperti ini. Namun beginilah
takdir mereka, setelah sang suami yang tidak bertanggung jawab
meninggalkannya berjuang sendiri demi menghidupi anaknya
yang masih kecil, Ia akhirnya kembali dari keterpurukannya dan

106
memutuskan menikah dengan seorang bangsawan kaya raya
yang juga adalah teman lama nya tersebut.
Karena alasan itulah ia berada di depan rumah besar ini
sekarang, rumah yang ditinggali oleh suami barunya dan
seorang anak lelaki tampan yang ia bawa dari istrinya terdahulu.
Sejujurnya ia tidak mau merepotkan sang suami untuk
mengurus segala keperluan pindahnya secepat ini setelah
pernikahannya, ia berpikir bahwa masih perlu banyak waktu
untuk membiasakan hidup di tempat baru seperti ini, terlebih
mengenai sang anak. Putrinya tersebut perlu waktu mengenal
lebih sang ayah baru dan juga pemuda yang akan menyandang
gelar kakak lelakinya tersebut. Namun Sang suami tetap
memaksa agar mereka lebih cepat pindah kerumah nya itu, ia
beralasan agar Kila kecil dapat dengan cepat beradaptasi di
lingkungan barunya nanti.
***
Di waktu yang sama, seorang remaja nan tampan
menatap nanar dari atas balkon rumah besar nya itu. Terlihat
seorang wanita yang sedang menggandeng putri kecilnya
memasuki pekarangan depan rumahnya itu. Wanita itu adalah
wanita yang sama yang ia lihat di foto pernikahan ayahnya. Ya, ia
memang tidak hadir di pernikahan sang ayah, bukan berarti
tidak mendukung, namun memang sulit untuk melihat sang ayah

107
bersanding dengan seseorang selain almarhumah ibunya dulu.
Bahkan sekarang masih ada sebesit rasa tidak rela ketika
melihat ayahnya yang keluar menyambut wanita beserta gadis
kecilnya tersebut dengan hangat sambil menuntun mereka
masuk kedalam rumahnya itu. Namun ia buang perasaan itu jauh
jauh, ia sudah cukup dewasa untuk mengerti bagaimana
keadaan sang ayah kini, demi ayahnya ia belajar ikhlas untuk
menerima anggota keluarga baru yang akan hadir di
kehidupannya sehari hari nanti. Wanita yang akan bergelar
sebagai ibu barunya, beserta perempuan kecil yang akan
menyandang gelar sebagai adiknya tersebut.
***
“Apa yang sebenarnya sedang kupikirkan, bodoh Arsan,”
gerutunya sendiri ketika akhirnya sampai ke dalam kamarnya
setelah hampir 2 jam berkumpul di ruang keluarga dalam
rangka menyambut calon bunda dan adiknya tersebut. Namun
entah apa yang ada di pikirannya sekarang ini, yang pasti ia
sangat yakin bahwa fokusnya kini berubah ke arah gadis kecil
tadi, gadis yang masih setia menggendong boneka beruang
berwarna pink di pangkuannya tersebut. “Tidak mungkin!” ia
tidak mau mencap dirinya sendiri sebagai pedofil yang
menyukai gadis di bawah umur. Jarak umurnya dan gadis itu ia

108
perkirakan terpaut sekitar 10 tahunan. Tapi Arsan tak munafik,
gadis itu tampak cantik di umurnya kini yang masih belia.
“Dia masih kecil Arsan, dia adikmu ! hentikan pikiran ini
sekarang,” pekiknya terpendam di hati menyadarkan pikirannya
yang mulai tidak masuk akal ini. Yang kini harus ku pikirkan
adalah bagaimana aku bisa menjaga keamanannya dan
memastikan ia akan selalu baik baik saja ketika masuk ke dalam
keluarga ini. Aku berjanji untuk itu! Aku berjanji.
10 tahun kemudian…
“Kakak bisa balik sendiri, Bun. Bukan berarti 5 tahun di
Amrik kakak jadi lupa jalan pulang,” keluh ku kepada bunda. Ya,
10 tahun setelah kehadiran bunda dan Kila di rumahku, hidupku
jadi sepenuhnya berubah. Salah satunya seperti saat ini,
kembalinya aku setelah 5 tahun melarikan diri ke Amerika. Ku
sebut itu dengan melarikan diri, tepatnya 5 tahun yang lalu,
setelah perdebatan hebat dengan ayah akhirnya aku
memutuskan untuk melanjutkan sekolah ku di Amerika.
“Iya Arsen Davin Fernanda Aksa sayang Bundaaa!“ ujar
bunda di seberang sana, nada bunda sedikit marah tetapi
berhasil membuat ku terkekeh mendengarnya.
“Bunda tahu kamu gak akan mungkin lupa jalan pulang,
tapi bukannya lebih baik jika kamu ada yang nemenin dari
bandara? Pokoknya kamu ikutin kata bunda, bunda sudah suruh

109
Kila jemput kamu ke bandara sekarang sama Kang Muksin. Oke,
Sayang udah dulu, yahh Bunda ada sedikit keperluan di luar,
Bunda tunggu kamu di rumah. Dadahhhh,” ucap Bunda dengan
cepat. Namun bukan itu yang menjadi fokusku sekarang,
melainkan satu nama. Satu nama yang menjadi salah satu alasan
kepergian ku dari rumah itu dulu. Satu nama yang lima tahun ini
selalu memenuhi segala pikiranku. Bukankah maksudku adalah
melupakannya? Mengingat tidak lebih dari lima menit tadi
mendengar namanya saja sudah merobohkan pertahananku
yang sudah ku buat selama lima tahun lamanya. Dia Kila, Shakila
Fairuz Salhwaa, gadis yang menyandang sebagai adikku. Adikku
dan pujaan hati ku.

110
Nuraga
Tiara Putri (XI A)

Sebuah hal yang akan membuatmu takut dan penasaran disaat


yang bersamaan adalah ketidaktahuan.
***
Ini adalah hari terakhir dari segala perencanaan yang
sudah kami buat. Akhirnya, hari itu telah tiba. Hari dimana acara
yang bisa dibilang baru ini akan diadakan dan yang menjadi
penanggung jawab adalah kami, para siswa-siswi tim panitia
untuk acara ini. Terhitung sudah 3 bulan terakhir kami
mensurvey, mencari data, dan menimbang dimana dan
bagaimana acara ini akan berjalan. Mudah-mudahan saja acara
ini akan berjalan lancar. Tetapi entah kenapa, ada sebagian hati
kecilku yang merasakan sesuatu tak enak akan datang. Tapi
kupikir ini hanya kecemasan belaka, akibat dari kegugupan yang
aku alami. karena ya, acara ini baru diadakan lagi.
***
Hari sudah semakin siang, berarti acara yang harus kami
adakan akan dimulai beberapa jam lagi. Kurang dari 24 jam lagi
kami harus segera sibuk, untuk memastikan acara tersebut
dapat berjalan sesuai rencana, dengan peran dari masing-masing
kami. Ini bukan berarti pihak sekolah kami tidak turun tangan

111
sama sekali. Tetapi memang sekolah mencoba memberi kami
tanggung jawab penuh, untuk menyusun acara ini. Aku sudah
tidak sabar, namun aku juga takut. Bagaimana jika acara ini tidak
berjalan dengan lancar. Tapi ya sudahlah, yang penting semua
sudah dijalani. Aku masih melamunkan apa-apa saja yang
kemungkinan terjadi esok hari, ketika tiba-tiba ada yang
menepuk pundakku dan menegurku.
“Hi Nor. Kenapa bengong?” tanya seseorang itu.
Namanya adalah Rhea. Dia adalah satu orang terdekatku. Aku
sudah kenal dengannya sejak aku masih 10 tahun. Ya bisa
dibilang kami berdua tahu masing-masing diri kami. “Hmm…
Gak papa, kok. Cuman mikirin acara besok,” jawabku. “Lho,
emang kenapa? Memang ada apa?” tanya Rhea lagi. “Gak ada
apa-apa sih, semua persiapan juga sudah matang kan. Tapi entah
kenapa, perasaanku agak tidak enak, ya? Hmmm…. Mungkin
hanya karena gugup saja.” jawabku sambil tersenyum. “Heh,
emang kenapa? Iya mungkin kamu lagi cemas dan gugup aja.
Mudah-mudahan tidak akan terjadi apapun dan semua berjalan
dengan lancar. Ini adalah harapan untuk kita paling tidak kita
dapat dipandang sebagai siswa yang dapat bertanggung jawab
akan tugas-tugas yang sudah diberikan dan juga kita sudah
dapat membantu sekolah dengan mengadakan acara ini.”
Katanya. Aku hanya membalas senyum dan anggukan

112
mengiyakan. Yah, semoga apa yang aku rasakan tidak benar
terjadi dan mungkin ini hanya flek saja. “Sudahlah lebih baik kita
kembali membantu yang lain mengecek semua kesiapan untuk
acara esok hari.” ajaknya padaku. Lalu aku mengiyakan.
Sesampainya di tempat berkumpul, aku kembali
bertanya apa-apa saja yang belum di cek ulang, lalu katanya
mereka belum mencetak ulang bagaimana kondisi tempat yang
akan kita datangi esok hari. Berarti aku harus mengeceknya tapi
ya paling menggunakan denah saja. Pemetaan tempat tersebut
sudah dilakukan oleh tim dari panitia dibantu warga sekitar. Jadi
aku hanya mengecek ulang fungsi-fungsi tempat yang akan
dipakai besok hari melalui denah tersebut.
Semua persiapan sudah dicek dan sudah dipastikan
bahwa semua sudah terpenuhi. Semua sudah ada sesuai daftar.
Kini waktu sudah menunjukkan jam 18.05 yang artinya waktu
maghrib sudah tiba. Maka kami para panitia pun berniat
membubarkan diri untuk kembali kerumah dan bersiap untuk
acara besok. Karena kami disuruh datang lebih awal tepatnya
jam 04.30. Karena semua sudah berkumpul, kami pun lekas
berdoa sebagai penutup rangkaian kegiatan pada hari itu dan
memohon kesuksesan untuk acara di esok harinya. Kami pun
satu per satu pulang untuk istirahat.
***

113
.Sekitar jam 04.35 semua panitia sudah berkumpul. Kami
menyiapkan segala kebutuhan yang akan dibawa dan para
pembimbing yang akan membimbing warga sekolah juga sedang
diberi arahan. Aku rasa semua akan baik-baik saja.
Perjalanan kami pun segera dimulai. Kami menggunakan
4 bus pariwisata dan satu bus mini untuk mengangkut pihak
panitia dan para siswa-siswi dan guru lainnya. Perjalanan
memakan waktu sekitar 4 jam untuk sampai ke tujuan dan ya
memang tempat tersebut bisa dibilang jauh karena berada di
kaki sebuah gunung. Jadi kami para panitia masih
dapat mengistirahatkan diri dan kembali mengisi tenaga untuk
nanti.
Perjalanan 4 jam sudah kami tempuh dengan lumayan
mulus. Semua sampai dengan selamat hingga tempat. Saatnya
kami semua turun untuk pergi ke dalam tempat tersebut. Acara
akan diadakan selama 4 hari maka kami diharuskan untuk
menginap di tempat tersebut. Ketika menginjakkan kaki
pertama kali di sana rasanya sangat berbeda, sudah kuduga.
Hatiku kembali tidak tenang. “Ada apa ini,” tanyaku
dalam hati. Akhirnya kuputuskan untuk masuk terlebih dahulu
ke daerah pekarangan penginapan tersebut. “Penginapan ini
terlihat seram bagaimana pun juga,” lirihku kecil. “Hmmm…. Iya
benar katamu,” sebuah suara menyahuti. Aku tidak sadar jika

114
dari tadi sudah ada Estu di sebelahku. Ternyata laki-laki ini
sudah berada di sebelah sejak aku turun dari bus.

115
Trauma
Pramesthi L.D. (XI A)

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. “Silakan


masuk,” sambung seseorang dari dalam ruangan.
“Maaf, Pak Toni ada, Pak?”tanyaku.
“Enggak, silakan keluar!”
Karena intonasi yang begitu tinggi, yang membuat aku
kaget dengan cepat dan ketakutan langsung ku jawab, “Oh…oh
baiklah maaf.”
“Ya ampun kenapa sih dia bikin kaget orang aja deh. Kan,
bilang pelan-pelan juga bisa kali. Lagipula ngapain, yah OB di
dalam ruangan bos gitu,” gumamku sembari melihat-lihat area
kantor.
“Maaf, di mana Pak Toni? Kenapa OB yang berada di
dalam?” tanyaku kepada salah satu karyawan yang sedang lewat.
“Ya yang di dalam tadi itu Pak Toni. Beliau memang
begitu, suka berpura-pura berpenampilan seperti OB untuk
mengetes karyawannya.” pemuda itu menjelaskan.
“Maksudnya?”
“Ya, jadi kamu adalah salah satu dari sekian banyak
orang yang ingin tes wawancara di kantor ini oleh pak Toni. Pak
Toni itu orang yang sangat ramah dan pengertian, hanya saja dia

116
memiliki trauma yang begitu berat yang membuat beliau seperti
tadi contohnya. tiga tahun yang lalu, perusahaan ini hancur
karena ulah karyawannya. Dan itu yang membuat Pak Toni
bangkrut total. Nah setahu saya, sih dari sekian banyak orang itu
tidak ada yang keterima, dan hmmm sekarang giliran kamu.”
“Untuk ditolak juga maksudnya?” potongku.
“Kamu harus bisa meyakinkan Beliau, bahwa kamu bisa
membantunya,” sambungnya.
Setelah mendengar penjelasan dari salah satu karyawan
di sini, saat itu juga aku merasa bingung antara lanjut atau
mundur. Tapi hatiku masih terheran-heran, kenapa trauma bisa
membuat seseorang berubah drastis. Akhirnya aku memutuskan
untuk kembali berjalan untuk menuju ke ruang pak Toni.
sampainya didepan pintu ruangan, tanganku merasakan
gemetar karena ketakutan. Sampai-sampai aku tidak menyadari
jika pintu sudah terbuka lebar dan mata tajam sudah menuju ke
arahku.
“Per...permisi, Pak. Saya datang ke sini untuk mengikuti
tes wawancara karyawan baru,” ucapku sambil menunduk.
“Kamu tidak dengar tadi saya suruh apa? Keluar!” teriak
Pak Toni.
“Saya dengar pak, tapi tadi saya pikir saya salah ruangan,
tapi tadi saya bertanya ke salah satu karyawan di mana ruang

117
Pak Toni, dan karyawan itu menunjuk ruang ini, maka saya ke
sini lagi untuk bertemu dengan bapak.” jawab ku dengan sedikit
mengumpulkan keberanian.
“Kenapa kamu berani masuk ke ruangan ini lagi
sedangkan tadi saya sudah mengusir kamu?”
“Karena tujuan saya ke sini buat wawancara,, Pak. Saya
gak mau sia-sia jauh-jauh datang ke sini dari pagi dan pulang
tidak membawa hasil. Jika Bapak tidak menerima saya tidak apa-
apa Pak, yang penting saya sudah usaha di wawancara ini untuk
meyakinkan bapak. Tetapi dilihat dari hasil tes, daripada diusir
begitu saja,” jelasku dengan tegas.
Terlihat sekali perbedaan mata yang terpancar dari mata
pak Toni, tatapan tajam itu berubah menjadi sedih dan bingung.
Akhirnya Pak Toni pun mau untuk mewawancaraiku, walau
terkadang pertanyaannya itu sangat tidak wajar untuk
dipertanyakan. Tapi aku yakin itu pasti karena trauma yang
dialaminya dan beliau tidak mau itu terulang kembali. Tes
wawancara hari pun berjalan dengan lancar, dan sikap pak Toni
sudah menghangat kepadaku. Dan karena aku hanyalah orang
satu-satunya yang berani meminta wawancara kepada pak Toni,
maka hari itu juga aku diumumkan lolos untuk menjadi
karyawan di kantor itu.

118
Menjelang Ujian
Karunia Putri Nayla (VIII A)

Pagi hari buta azan maghrib berkumandang dan dengan


lantunan selawatan terdengar pada pagi hari ini sejuknya udara
dan dengan ramai nya warga menuju Masjid yang ada di sebelah
rumah ku masjid ini adalah Masjid Nurul Huda,masjid ini adalah
milik kakekku ,untuk warga yang beragama islam karena jarak
masjid dari tempat ku tinggal sangat jauh. Masjid ini dibangun
sejak 19 tahun yang lalu saat aku belum lahir.
Aku lahir di Medan 02 Januari 2002.Aku terlahir dengan
nama Muhammad Ryan Rovalno Harris.Saat ini aku sedang di
masa-masa penuh perjuangan menuju Ujian Nasional yang akan
menunjukkan kemana jalan hidupku nanti.Tapi Ujian Nasional
masih lumayan lama aku ingin menikmati masa sma ku bersama
teman-temanku ini.
Setiap pulang sekolah aku dan 5 kawan ku Veno, Angga,
Ezra, Alden, Arven. Selalu nongkrong di angkringan belakang
sekolah sambil bermain game online hingga larut malam. ibu ku
selalu memarahi ku karena pulang larut malam ia selalu berkata,
“Bukannya belajar untuk menyiapkan Ujian Nasional yang akan
datang malah bermain game online.” Aku tinggal berdua saja

119
bersama ibuku ayahku sudah meninggal 5 tahun lalu saat aku di
bangku kelas 2 SMP.
Dahulu ayahku adalah seorang profesor yang sangat
terkenal dan sangat amat jenius dan sering di panggil ke luar
negeri untuk mewawancarainya. Kakak pertama dan keduaku
memiliki otak yang sama jeniusnya juga dengan ayah ku. Kakak
pertama ku sekarang sudah bekerja sebagai doktor lulusan S2 di
Oxford University dan sekarang sudah bekerja di London
sebagai dokter Jantung. dan kakak keduaku sudah menjadi
diplomat untuk Indonesia di Australia, kakakku sangat jenius
keturunan dari kedua orang tua ku.
Sedangkan aku tidak pernah mendapatkan peringkat di
kelasku.Sedangkan nilai tertinggi ku adalah 70 saat aku di
bangku SMA. Aku sering merasa apakah aku anak kandung
mereka atau bukan kenapa aku paling bodoh di keluarga,aku
selalu berkata ini kah yang dinamakan takdir maka dari itu
takdir ku sudah begini tinggal ku nikmati saja.
Aku malas belajar karena kalau aku belajar hanya masuk
sementara di otak ku kemudian hilang lagi,mending aku bermain
saja sama sahabat-sahabatku bermain game online lebih
menyenangkan dari pada belajar lagi pula ujian nasional masih
lama.
H-9 Ujian Nasional

120
Setiap harinya aku menghabiskan waktuku bersama
teman-teman ku padahal waktu menuju ujian nasional telah
dekat. Saat aku mau belajar teman-teman ku selalu datang ke
rumah ku dan mengetuk Pintu rumah ku sambil berkata, "Ryan
main yuk masih lama UN nya gausah serius-serius nanti juga
bisa ngarang jawabanya."
Tapi ibuku memarahiku dan berkata kalau kamu pergi
main bersama mereka angkat baju-bajumu sekalian dan jangan
pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini, aku pun merinding
dan ketakutan saat ibu ku berkata seperti itu aku terus belajar
setiap harinya aku berangkat sekolah dengan jalan kaki karena
jarak rumah ku ke sekolah hanya 5 menit.
Saat ujian telah menginjak 5 hari lagi aku berangkat
sekolah dengan ceria dan penuh semangat karena masa SMA ku
sebetar lagi telah berakhir,tapi ada sedih nya juga aku akan
berrpisah dengan sahabatku jadi kami memutuskan untuk kabur
dari sekolah untuk jalan-jalan ke alun-alun kota untuk
bersenang-senang. Saat malam telah tiba aku pulang kerumah
bertemu ibuku yang wajah sudah pucat tidak tau penyebabnya
lalu aku berkata ke pada ibuku, “Ibu jangan lebay begitu dong.
Aku itu pasti pulang aku kan bisa jaga diri sendiri.”
Esok harinya aku melihat ibuku sudah tergeletak di
ruang tamu, aku langsung segera memanggil tetanggaku untuk

121
mengantarkan ibu ke rumah sakit atau puskesmas terdekat agar
ibuku cepat dapat pengobatan. Setelah tiba di rumah sakit Tirta
Kasih ibu ku dinyatakan meninggal dunia akibat serangan
jantung. Aku langsung menelepon kedua kakakku dan mereka
segera kembali ke Indonesia.
Dua hari setelah ibuku meninggal aku memutuskan
untuk belajar dengan giat dengan dukungan kedua kakakku. Aku
belajar dengan sepenuh hati untuk membanggakan kedua orang
tuaku yang sudah tiada. Pagi telah tiba, saatnya aku menjalani
Ujian Nasional ku untuk pertama kalinya. Ku ucapkan bismillah
di awal soal ulangan dengan penuh semangat mengerjakan soal
tersebut.
Ujian nasional tlah berlalu ku ucapkan alhamdullilah
kepada Yuhan Yang Maha Esa. telah selesainya ujian nasional ini
yang akan mengarahkan ku kemana jalan hidupku nanti.
Pengumaman hasil ujian nasional telah di pajang di mading
depan kelasku aku mencari setiap nama-nama yang tertempel di
mading, dan aku menemukan nama ku di papan mading tersebut
aku lansgsung melakukan sujud syukur di depan mading
tersebut nilai ujian nasionalku tertinggi di kabupaten, teman-
teman ku tidak percaya dengan nilai ku tersebut.

122
Mereka menyindirku dengan cara kasar kepada ku
mereka berkata, “Nilai terjelek di kelas kok nilai ujian
nasionalnya tertinggi di kabupaten sihh.” Dan ada juga yang
bilang kepadaku kalau aku itu pake dukun agar nilai ku bagus.
Tapi aku berusaha untuk tidak mendengarkan apa yang mereka
bilang kepada ku.
Hari kelulusan tlah tiba tangisan haru berlinang air mata
pelukan dan doa-doa yang kita panjat kan, ribuan bunga
terpeluk di tangan ku,lantunan lagu-lagu perpisahan pun
dilantungkan. Setelah acara perpisahan akhrinya selesai dan aku
pun mendaftarkan diri di Universitas Kedokteran terbaik di
Australia dan akhirnya diterima. Aku pun pergi ke Australia dan
menjalani kehidupan baruku.
“Hargai setiap waktu yang kau punya dan berusaha lah
semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang terbaik,
dan jangan mengeluh di setiap aktivitas yang akan kau lakukan.”

123
Berbeda
Puan Maharani (XI A)

Kehidupan masa putih merahku telah usai. Berganti


dengan datangnya masa putih biru dan menjadi seorang remaja
yang sudah mulai mencari jati diri. Memasuki masa putih biru
sangat menyenangkan dan berkesan, ditambah lagi dengan
teman teman yang sangat baik dan ramah kepadaku. Di masa ini
aku mempunyai teman yang sangat baik. Dia adalah Mawar.
Mawar ini orangnya ramah, tidak sombong dan juga baik
terhadap temanku lainnya. Aku mengenal dia memang sudah
dari kelas 7, namun kita mulai dekat waktu kelas 8 dan kelas 9
menjadi sangat dekat.
Dari kelas 7 hingga 9 kita memang tidak pernah satu
kelas, namun kelas kita berdekatan. Sebut saja aku kelas A dan
dia di kelas B. Terkadang aku sering main ke kelas dia untuk
sekedar mengobrol sebentar dengan dia atau teman kelasnya.
Dan aku pun juga satu bimbingan belajar bersama dia. Jadi
makin sering bertemulah kita. Melewati Ujian Nasional (UN) kita
menjadi semakin dekat karena adanya libur panjang. Libur
panjang kita habiskan untuk bermain bersama atau sekedar
jajan atau nge-mall. Terkadang aku yang mengajak, terkadang
juga dia yang mengajak. Di akhir libur panjang sudah waktunya

124
kita untuk mencari sekolah yang diminati. Kita memilih Sekolah
Menengah Atas (SMA) yang berbeda. Dia memilih sekolah negeri
dan aku memilih apa yang sudah dipilih ibuku.
Meskipun tidak berada di sekolah yang sama lagi, kita
masih selalu menyempatkan untuk bermain di hari Sabtu atau
Minggu. Kelas 10 dimana aku sangat semangat sekali pulang dari
asrama, aku selalu mengajak Mawar untuk pergi nonton ataupun
nge-mall. Naik motor berdua dan menghabiskan waktu di jalan
dengan bercerita atau sekedar bercanda garing. Sampai pada
waktu liburan panjang menuju kelas 11, makin seringlah kita
untuk bermain atau sekedar jajan bersama. Dan ketika aku ingin
mengajak Mawar pergi di malam hari ataupun sore hari, dia
pasti akan izin terlebih dahulu kepada ibunya. Jika dia tidak
diizinkan maka gagal pergi dan sebaliknya. Namun seringnya
sih, dia selalu mendapat izin ketika bermain bersamaku, entah
itu yang berangkat pada sore hari ataupun malam hari. Hal itu
menunjukkan bahwa aku sudah dekat dengan keluarga Mawar
dan keluarganya sudah percaya kepadaku. Tak hanya itu,
ayahnya juga pernah mengantar aku pulang dengan
membarengi ku naik motor hingga sampai rumah karena kami
pulang malam.
Sudah memasuki kelas 11, kami menjadi jarang main
entah karena alasan apa. Waktu kelas 10 memang pernah sekali

125
atau dua kali tidak bermain bersama tapi aku biasa saja, tidak
merasakan beda. Hingga pada akhirnya, dia mempunyai gebetan
yang satu sekolah dengan dia. Aku mengetahui itu karena dia
cerita. Awal dekat mereka memang bermain biasa layaknya dua
orang yang dekat pada umumnya. Namun ada satu waktu
dimana dia mengajak nonton film Danur. Awalnya aku tidak
mau, karena tidak suka pada film horror tetapi saat itu aku juga
ingin nonton bersamanya. Lalu aku menyetujui untuk nonton
film tersebut. Akan tetapi, selang beberapa menit dia
mengatakan bahwa dia sudah diajak nonton film oleh
gebetannya dan akhirnya aku tidak jadi pergi bersama Mawar.
Saat itu aku merasa sedikit kesal dengan dia, karena tidak jadi
nonton dan dia memilih gebetannya. Iya, aku rasa aku cemburu.
Setelah itu aku mencoba melupakan hal itu.
Hingga aku ingin mengajaknya melihat pawai baris
berbaris di daerahku. Dia setuju dan mau untuk pergi bareng
denganku. Namun sehari sebelum melihat pawai tersebut, dia
menge- chat ku menanyakan bagaimana kalau kita tidak jadi
pergi nonton pawai itu, karena Mawar kelupaan bahwa dia
punya janji dengan gebetannya tersebut untuk menonton pawai
itu. Disini aku merasa kesal. Aku cemburu. Lagi. Jika boleh jujur
berbicara dengannya, aku merasa tidak suka dengan Mawar
ketika dapat gebetan di kelas 11 ini. Entah, mungkin alasan ini

126
terlalu anak kecil untuk seumuran kelas 11 SMA. Tapi itu yang
terjadi dan aku rasakan.
Di tempat pawai, benar aku melihatnya dia dengan
seorang laki-laki yang tinggi. Setelah Mawar menggagalkan
nonton pawai denganku, aku merasa kesal dan ingin marah.
Hingga ketika dia menyadari keberadaanku, aku lantas pura-
pura tidak melihat dia dan aku lantas tidak bertegur sapa. Di
tempat itu, aku memang sedang duduk bergabung dengan
sekolah Mawar dan mengobrol dengan beberapa teman.
Memang Mawar sedang duduk di sekitar tempat itu juga. Dan
gebetannya juga sedang berada di daerah tempat itu. Sampai
ketika temanku mengajak pergi untuk nonton pawai lagi, aku
berjalan melewati di depan Mawar, tanpa senyum dan sapa,
tanpa menoleh dan tanpa mengajak bicara. Kesal. Marah.
Entahlah Mawar sadar atau tidak bahwa aku marah kepadanya.
Aku sempat mengirimi chat yang hanya kata “Y” kepadanya.
Ingin saja aku mengatakan jujur kepada Mawar, bahwa aku tidak
suka sikapnya semenjak dia mendapat gebetan. Tapi apa boleh
buat. Aku tidak boleh egois dan memaksakan kehendakku
sendiri ke dia. Oleh karena itu, aku sedang mencoba melupakan
dan mewajari hal tersebut dan membiarkan semua berjalan
dengan semestinya dan sewajarnya.

127
GUNUNG
Gunung menyimpan jutaan kisah yang
terlihat maupun tidak. Ketenangannya
membiarkan kita untuk terus masuk lebih
dalam, menyibak semak belukar, menyentuh
rumput, ranting, dahan, serta memahami
bahwa kita mengenal ia lebih lama. Gunung
menyediakan kehidupan dengan nafasnya
yang sejuk datang pagi-pagi mengiringi kita
bekerja, menjadikan pemandangan indah
dari setiap sudut yang hendak kita kunjungi.
Gunung menjadi satu-satunya tempat kita
berdiam, menyimak kata demi kata yang
selama ini kita abai dan membiarkan ia
menguap hilang dan kembali mengendap.

-Bagas Satriaji A.-

128

Anda mungkin juga menyukai