Anda di halaman 1dari 246

Tapal jarak

1
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan
pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar
rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah).

2
wahyu jaka saputra

Tapal jarak

Penerbit PT Creatif Publishing

3
Copyright © 2019

Tapal Jarak
Novel

Penulis: Wahyu Jaka Saputra


Editting: Nasya Arrahma
Desain Cover: Benny Saputra
Setting: Rahmat Kurniawan

Hak Penerbitan ada pada Creatif Publishing

Hak cipta dilindungi Undang-undang.


Dilarang mengutip, memperbanyak dan menerjemahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penulis.

2019

Perpustakaan Nasional
Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Creatif Publishing
TAPAL JARAK
Novel

13 x 19 cm

Sastra Djaka
Cetakan Pertama : Desember 2019

4
Salam!
Setelah selama 7 bulan naskah Tapal Jarak
rampung, salah seorang kawan mengajak saya mendaki untuk
mengistirahatkan otak sejenak, yang kemungkinan sudah lelah
memikirkan alur yang amburadul.

Hingga akhirnya setelah perjalanan berkelana


selesai, saya meminta kepada Mbak Nasya selaku editor dari
Creatif Publishing untuk membiarkan saya mengubah sedikit
alur cerita untuk mempermanis. Dengan janji 2 minggu sudah
selesai. Saya pun menggeber otak agar tetap mengingat kisah
yang saya dapat kala berkelana.

Tentu tidak mudah mengingat sebait-dua bait kalimat


yang terucap sepanjang perjalanan.

Tapal Jarak mengisahkan 2 anak manusia yang


jatuh cinta, yang satunya pembuat sedangkan yang satunya
lagi adalah penikmat. Dalam cerita ini pembaca akan
menemukan berbagai kalimat motivasi yang sudah dipikirkan
sedemikian bentuknya. Sebuah jurnal perihal petualangan,
politik, keindahan alam, dunia sastra, berhasil tergabung

5
menjadi satu buku utuh dari berbagai cerita teman serta riset
kala saya berkelana didunia maya.

Setiap kejadian yang dirasa kurang memuaskan,


saya harap bisa dimaklumkan, perlu riset yang berlebihan
melalui jalur internet.

Tapal Jarak adalah sebuah cerita fiktif yang akan


membawa pembaca mengeksplor perihal sastra dan alam di
pulau Jawa maupun Indonesia. Tentu dengan kebutuhan riset
dari berbagai sumber untuk menjadi cerita utuh sedemikian
rupa. Bila ada kesamaan nama tokoh, tempat maupun alur.
Percayalah, itu hanyalah unsur ketidaksengajaan, yang
mungkin saja kebetulan otak kita satu pemikiran perihal suatu
adegan kejadian. Dan maaf bila ada kesalahan dari unsur
kepenulisan maupun unsur ketidaksengajaan yang tadi sudah
kita bicarakan. Dan terimakasih untuk sumber yang dengan
senang hati membiarkan saya menari di pemikirannya untuk
kebutuhan riset agar alur terasa nyata. Tentu dengan syarat
mencantumkan sumber.

Kalian luar biasa!!

6
Beberapa hari ini, kau berbeda dari
biasanya.

Kau lebih sering merayu dengan kalimat


metafora. Ucapanmu begitu manis bak
kopi yang disuguhi gula berlebihan.
Terkadang penuh kekonyolan yang
mampu membuat hati terpingkal seraya
tertawa.

Ketahuilah,
Aku bahagia, sekaligus merasakan takut
yang mendera.

Bagaimana jika hal-hal itu akan menjadi


pertanda bahwa aku akan kehilanganmu?

7
Bagian Satu

8
Aku rindu masa-masa
kecil dulu. Masa-masa yang
telah lama aku tinggalkan. Masa
kecil yang penuh kenangan,
menyenangkan, karena yang
menyakitkan tak pernah mau ku
kenang, atau memang
sebenarnya tak ada yang
menyakitkan. Ah, bagiku
sekarang, semua kisah masa
kecil dulu menyenangkan.
Masa-masa yang aku habiskan
di “Omah Kulon” (sebutan rumah
kakek yang dulu menjadi tempat
tinggal ku, sebelum kakek
meninggal, sebelum rumah baru
ku dibangun, 100 meter di
sebelahnya).

Masa-masa yang aku habiskan bersama teman-


teman, anak-anak kampung yang hanya kenal keceriaan itu.
Ah, betapa indahnya. Betapa besar anugerah Tuhan,
anugerah pengalaman hidup yang begitu mengesankan itu.

Akan ku goreskan kenangan itu, tidak hanya di


dalam ingatan, tapi juga dalam guratan kata-kata yang ku
rangkai menjadi sebuah kisah. Kisah masa kecil ku. Begitu
banyak, hingga bingung harus memulai dari mana. Tapi

9
selebihnya, menulis kisah ini begitu mengasyikkan. Perjalanan
mengenang masa lalu. Masa kecil di tanah leluhur, Tanah
Jawa tercinta.

Ibuku bernama Dwi Rahayu. Anak perempuan satu-


satunya dari 4 saudara yang semuanya laki-laki. Ia adalah
Anak kedua. dibalik wajah cantiknya, ibu mempunyai kisah
kelam sendiri, tatkala ia harus memakai masker bila keluar
rumah dikarenakan sebuah beruntusan yang berada
diwajahnya membuat ia kerap dibuli. Seiring berjalannya waktu,
Ibu memberanikan diri untuk tampil pede. Hingga ia tumbuh
menjadi wanita tangguh! Bagaimana tidak? Ayahnya
(Kakekku) merupakan pemuda tegas, yang sudah terdidik
disekolah militer dulu.

Ibu diajarinya cara menjadi pemberani, seorang


hawa yang harus memiliki hati setangguh adam. Sedangkan
Ibunya (Nenekku) adalah wanita yang penyabar. Ibu diajarkan
cara menjadi wanita yang baik, wanita yang penuh kelembutan.
Ibu diharuskan menjadi wanita pintar agar tidak mudah
dibodohi. Cara nenek dan kakek menuntun anaknya untuk
menjadi tangguh dan bekerja keras melawan sepat manisnya
hidup.

Selepas SMA ibu tidak melanjutkan kejenjang yang


lebih tinggi, cita-citanya harus terputus tatkala kondisi
keuangan nenek dan kakek sedang menipis. Hingga membuat
ibu membuka warung tegal didepan rumah. Jangan ditanya!

10
Ibuku pintar memasak. Berbagai resep sudah ia
ciptakan, hingga pernah ia mengikuti lomba memasak yang
diadakan dikampung, sesekali ia mendapat juara kedua. Meski
awalnya malu dan tak tahu bagaimana cara menarik
pelanggan, lama-kelamaan ibu menjadi mahir kala seorang
tetangganya membawa teman-temannya untuk makan di
warteg milik ibu. Profesi itulah yang kini membuat ibu
membalikkan cita-citanya yang sebelumnya adalah arsitek, kini
harus berubah menjadi Chef. Nenek mengajari ibu memasak
sejak ia duduk dibangku SD, tidak diherankan jika ibu mahir
memasak hingga menjadi koki disebuah restaurant disalah
satu hotel.

Namun ibu harus berhenti dari pekerjaannya ketika


seorang pemuda tampan bernama Aksanapradja dengan gelar
insinyur datang melamarnya. Dijanjikannya sebuah
kebahagiaan hingga rasa nyaman. Ibu menerima tatkala
premuda itu seraya meyakinkan ibu dengan cara mengakrabi
kakek dan nenek.

Berjalan 2 tahun, aku lahir. Sebuah kemustahilan


bagi tetangga yang terus mengguncing perihal kelahiranku
yang dirasa tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Ibu sempat
divonis mandul setahun setelah pernikahan. Diberinya nama
Ryandra Putera Aksa. Namaku diambil dari nama depan bapak.
Ibu yang memiliki hobi bernyanyi kini tidak lagi membuatkan
lagu untuk bapak maupun teman-temannya. Dibuatkannya
lagu untukku meski lebih terdengar ke arah puisi. Diberinya

11
judul Senja Bersayap. Yang berarti keindahan yang selalu
dinantikan.

Bapak merupakan pria kaku, sifatnya dingin yang


kerap selalu melempar sendal ketika aku salah melakukan
sesuatu. Sebuah pelajaran yang membuat aku terdidik untuk
menjadi keras.

Bagi kalian yang tinggal dikota pasti sering bermain


ditaman-taman kota yang indah. Penuh dengan wahana
permainan dan tentu saja banyak juga yang menjual mainan
disana. Berbeda dengan kalian, aku adalah anak pedesaan
dimana tidak ada taman semacam itu di desa, apalagi desa
yang jauh dari kota.

Kebun, ya itulah nama taman yang ku pakai untuk


bermain. Tanah pekarangan kosong yang ditumbuhi beberapa
pepohonan kecil seperti pohon cengkeh dan serangga-
serangga kecil.

Ada banyak tempat seperti itu di desa yang bisa


kami pilih sesuka hati untuk bermain. Namun, sekarang sudah
jarang tempat seperti itu karena sudah berubah menjadi
bangunan-bangunan rumah.

Di kebun kami bermain apa saja mulai dari sepak bola, petak
umpet , perang-perangan, dan lain sebagainya. Kami bisa
main apa saja dan kapan saja sepuasnya. Tentu sehabis

12
pulang sekolah dan hari libur saja. Terkadang kami tetap
bermain sambil berhujan-hujanan. Apa saja yang ada di kebun
itu bisa kami jadikan mainan sesuai imajinasi kami.

Terkadang dikebun juga kami bermain sepeda


dengan kondisi tanah yang bergelombang membuat ini
menjadikan pengalaman masa kecil jatuh dari sepeda.

13
Ketika Cinta
Menyerang Jantungmu

BANDUNG merangkai harinya sendiri, tatkala hujan


menyiram Jalan Dago yang biasanya minim kata Hujan.
Sebuah Hujan yang sangat dirindukan setelah beberapa waktu
Bandung dilanda kemarau. Perpustakaan mini dijalan itu
menjadi santapan sore bagi para pemuda yang berlalu lalang
untuk menenggelamkan dirinya dalam serangkaian kalimat di
sebuah buku, Perpustakaan sederhana dengan 5 lemari
berjajar yang menjadi sandaran.

14
Wanita berambut hitam panjang yang memberikan sedikit
poni dibagian wajahnya itu mengunjungi perpustakaan tersebut
sambari menunggu jam sekolah, digenggamnya buku Bumi
Manusia yang kemudian ia baca dengan penuh keseriusan,
sesekali suara klakson kendaraan mengganggunya untuk
membaca.

Perpustakaan ini merupakan salah satu tempat favorit


bagi para pegiat buku, bukan hanya gratis, tapi tempatnya juga
nyaman untuk menghabiskan hari.

Baru saja membatu pada sebuah kalimat yang di tulis


oleh Pram dalam buku Bumi Manusia yang ditulisnya. Wanita
itu teriak histeris tatkala salah seorang pemuda terlibat
pertengkaran dengan penjaga perpustakaan karena kedapatan
mencuri 3 buah buku. Penjaga perpustakaan memanggil
security setempat yang siap membawanya ke kantor polisi.
Namun pria berkacamata bulat menolongnya dengan membeli
3 buku yang dicuri. Diberikannya buku itu untuk tersangka
maling yang sudah tertangkap.

“Saya ingin memberi buku ini untuk adik saya yang buta
huruf!” Jelas pencuri itu. Bagaimanapun ilmu tidak sebanding
dengan harta.

15
Bel sekolah berbunyi dengan nyaringnya pertanda
pelajaran akan segera dimulai. Kelas yang hanya diisi 24 murid
itu menjadi keluarga Lia disekolah. Wanita itu berlari kecil
menuju ruang guru, karena guru BK memanggil dirinya, siang
ini begitu panjang untuk Lia yang sudah terbiasa sekolah pagi
hari ketika masih berada di Klaten. Bandung merupakan kota
dimana ayahnya harus dipindah tugaskan, dan dengan
terpaksa Lia meninggalkan sang Ibunda di kota kelahirannya
seorang diri. Sang kakak sedang sibuk dengan kuliahnya di
daerah Yogyakarta, Fakultas yang dirinya minati adalah Sastra
Indonesia, memiliki Kakak yang menggiati fakultas sastra
merupakan nilai plus tersendiri bagi Lia yang merupakan
pegiat sastra.

“Lama kali ah kau ini.” Ucap sang guru dengan gelogat


Batak-nya yang masih kental.

“Kelas berapa kau?” Lanjutnya.

“3 bu.”

“Alah, macam anak sekolah dasar lah kau ini, cakap


kelas 12 saja, pakai di sederhanakan!”

“Iya maaf bu.”

“Darimana kau berasal?” Ucap wanita bertubuh gempal


itu dengan tangannya yang masih menari-nari di papan
keyboard laptop miliknya.

16
“Klaten bu.”

“Nah, kau bisa menulis puisi bukan?” Lanjut guru itu


dengan posisi duduk yang kemudian menghadap empat mata
ke arah Lia.

“Sedikit bu.” Ucap Lia menunduk.

“Kau mau ikut ibu lomba-kan?” Tutur guru itu,


diraihnya selembar kertas dari dalam sakunya.

“Lomba apa ya bu?”

“Macam mana kau ini, ya lomba puisi lah, mau kau


Ibu ikut sertakan lomba panjat pinang di Menara Eiffel?”

“Wahh mau banget Bu!” Seru Lia mencium tangan


wanita bertubuh gempal itu dan lari menuju kantin.

“Alah macam mana anak ini, dia mau ikut lomba


puisi atau panjat pinang? Halah, dasar manusia.” Wanita itu
mengembalikan kertas yang berisi formulir pendaftaran lomba
puisi kedalam sakunya.

Lia berlari menuju kantin yang kemudian terduduk


disamping salah seorang siswa yang sedang asik memetik
nada gitar, sebuah alunan musik dari Jikustik dimainkannya.
Suaranya tak kalah merdu dari penyanyi aslinya.

17
“Ujang, Lia dikongkong melu ing kontes puisi.” Ucap
Lia dengan gelogat Jawa-nya.

“Naon anu anjeun carioskeun ku abdi henteu


ngartos?” Jawab Ujang dengan bahasa Sunda.

“Kamu ngomong apa si?”

“Huhh, kau meledek atau apa? orang Sunda di ajak


ngomong Jawa!”

Lia tertawa kecil dan memukul lengan Ujang. Mata


wanita itu menangkap sesuatu dari balik kepala siswa lainnya
yang sedang berbincang.

“Enak tuh Jang!” Wanita itu memajukan alisnya


menuju es kelapa yang dijual kantin tersebut.”

“Kang!” Ucap Ujang memanggil pelayan kantin


tersebut lalu memesan es kelapa yang di tunjuk Lia.

“Hehe terimakasih Ujang”, Lia tersenyum, tangannya


tanpa sadar memeluk Ujang. Entah sebuah kebetulan atau
kesengajaan, jagat raya seakan berhenti bergerak dalam
beberapa detik. Sebuah pelukan sederhana yang dapat
memicu rasa yang luar biasa untuk Ujang yang sudah lama
jatuh hati kepada wanita yang memeluknya.

18
Ujang merupakan Tetangga Lia dirusun Buahbatu
Bandung, tetangga sekaligus orang pertama yang Lia kenal di
Bandung, Lia menganggap Ujang sudah seperti Kakaknya
sendiri. Sedangkan Ujang, Menganggap Lia sebagai
pasangan, walau belum pernah menyatakan.

Tidak selalu menyatakan cinta dengan kata


Ada saatnya tindakan yang utama, bukti yang kedua, dan janji
yang ketiga.

Bel sekolah berbunyi, matahari turun tahta, Tukang


ojek memadati sekolah Lia untuk mencari penumpang. Mata
Lia berkelana mencari seseorang, Angkutan umum perlahan
menepi di sisi pembatas jalan, “Angkot teh!” Ucap supir
menawarkan jasanya. Wanita itu berjalan masuk ke dalam
angkutan yang sudah diisi oleh 3 orang penumpang. Wanita itu
duduk di bagian paling belakang mobil angkutan umum, begitu
leluasa baginya untuk bergerak, tetapi ia lebih memilih
mengadukan kepalanya di jendela. Getaran mesin mobil tua
yang membawanya pulang dari sekolah membuatnya pusing.

Lia berharap sakit di kepalanya segera hilang.


Sialnya ingar-bingar obrolan ibu-ibu membuatnya semakin
pusing. Waktu terasa melambat bagi Lia, di ujung angkot

19
tempatnya duduk, Lia memainkan pena yang belum sempat
dikembalikan kepada Ujang.

Lama bersandar dan melamun, Lia mengangkat


kepala dan melihat ponselnya yang menuju pukul 17:13, Mobil
angkutan umum yang ditumpanginya menepi untuk
mengangkut 3 pemuda yang mengenakan seragam sepak
bola, perut mobil yang mengantar Lia pulang kini menjadi
pengap karena terlalu sesak. Ia harus duduk ber-empet
dengan seorang ibu yang membawa bahan pangan. Di
lihatnya lalu lalang kendaraan jalanan di mobil angkutan
umum. Tempat tujuannya sudah dekat. Lia menyimpan
ponselnya ke dalam tas berwarna hitam yang ia kenakan, lalu
merogoh recehan dari saku baju.

“Kiri, bang,” Ucap wanita itu.

Mobil angkutan yang membawanya pulang menepi


di depan Rusun tempat Lia tinggal. Keinginan Lia hari ini
adalah merebah pada kasurnya yang empuk, tubuhnya lelah,
matanya sayup, pikirannya kacau. Ditambah lomba puisi yang
akan ia ikut sertai.

“Assalamualaikum!” Ucapnya menyalami seorang


Pria tua yang sedang berdiri di beranda rumah, diciumnya
tangan pria itu.

20
“Waalaikum salam.” Pria itu masih membatu pada
koran yang digenggamnya. Secangkir kopi hitam pekat yang
sudah mendingin menemani pria itu membaca menghabiskan
sore harinya.

Langkah Lia terus menapak memasuki rumah


kontrak yang berada dilantai 3. Tidak diperdulikannya wajah
Pria tua yang sedang bersantai itu. Ia masih merekam jelas
sifat sang bapak yang kaku dan penuh emosional. Ia ingat
kejadian dimana bokongnya dipukul oleh sendal karena
kedapatan memelihara ayam. Ia ingat ketika dirinya harus
diikat di sebuah tiang listrik karena kedapatan bermain ketika
adzan magrib.

Direbahkannya tubuh yang lemah ibarat jatuh dari


tempat tinggi. Matanya yang coklat memandangi langit-langit
kamar yang di design penuh bintang oleh sang Bapak. Latar
kamar berwarna merah muda yang senantiasa membuatnya
menjadi sedikit tenang kala kelelahan.

Ditujunya Komputer jinjing yang berada dimeja


penuh buku. Diperhatikannya foto keluarga yang menjadi
wallpaper Komputer jinjing miliknya. Teringat akan sang Ibu
yang sudah lama tidak ia sapa. Tangan mungilnya menari di
papan keyboard menuliskan untaian puisi tentang Ibu di laman
blognya.

21
“Apa kabar bu, apa ibu baik-baik saja?” mata wanita
itu berbinar, tak tahan menahan air mata yang sudah
membanjiri kelopaknya. Sang ibu harus tetap dikota kelahiran.
Kegigihan ibu untuk berjualan mengurungi niat ibu untuk ikut
ke Bandung.

Aku ingat kala kau memberi aku asi ketika aku lapar.
Aku ingat ketika kau harus berhutang agar aku bisa jajan.
Aku ingat ketika kau harus sabar saat aku tercebur ke
comberan.
Aku ingat saat kau memelukku ketika ulang tahunku yang ke-
delapan.


Macet, seperti yang sudah wanita itu prediksi, jam
istirahat para pekerja membuat antrian panjang kendaraan
menuju gedung lomba. Lia menghela nafas. Sudah macet,
panas, wajahnya sudah terasa tebal karena debu jalanan dan
posisi duduk yang tidak nyaman.

Wanita itu memilih duduk dengan posisi


menyamping. Hal yang biasa ia lakukan jika bukan bapak atau
saudaranya yang membonceng. Terimakasih kepada driver

22
ojek bertubuh besar ini, membuat wanita itu sangat tidak
nyaman. Padahal perjalanan masih cukup jauh.

“Pak, pak. bisa berhenti sebentar?” Ujar Lia yang


lama-lama kasihan melihat driver ojek yang susah payah
membawa motor bebeknya dengan posisi duduk Lia yang
menyamping.

“Kenapa mba?” jawabnya saat berhenti.

Wanita itu turun dari motor dan menatapnya sebal.

“Saya ingin ganti posisi duduk, dan saya bukan mba-


mba!” Seru Lia ketus.

“Maaf, soalnya bingung mau manggil apa.” Kata


driver itu menggaruk helm. Lia hanya menunjuk jalan, tidak
peduli dengan alasannya.

10 menit berlalu, jalan yang wanita itu lalui mulai


lancar Ketika pahanya sudah mulai mati rasa.

“Jadi kerja dimana?” Kata si driver memecah


keheningan.

“Saya masih sekolah.” Balas Lia.

“SMA atau SMK?”

“SMA”

23
“Jurusan?” Tanya si driver membuat Lia mengernyit.

“Lagi sensus yah?” jawab Lia sarkas. Dia terbahak,


Lia pikir dia akan berhenti setelah itu.

“Asli mana?” tanyanya lagi membuat Lia hampir


mendorongnya. Lia hanya diam.

“Dari luar Bandung kan? soalnya tadi-“

“Klaten” Potong Lia.

“Saya juga orang sana” jawabnya antusias.

“Terus?”

“Berarti kita satu kampung!” Katanya dan berhasil


membuat Lia kesal. Lia kemudian bertanya pada si driver
dengan bahasa daerah Klaten. Dia hanya cengengesan tidak
bisa balas, dalihnya, dia tinggal lama di luar Klaten makanya
tidak terbiasa dengan bahasa daerah.

Ratusan orang memadati sebuah gedung untuk


mengikuti dan menyimak lomba puisi di acara gebyar bahasa
2010, Lia mengikuti lomba tersebut dengan membawa nama
sekolah, Hari ini terlalu panas untuk sebuah lomba, terlalu
gersang untuk mencari inspirasi, terlalu berkeringat untuk
sebuah puisi.

24
Lomba di mulai 1 jam lagi, wanita itu menggunakan
waktu yang lumayan panjang itu untuk makan sejenak
dibelakang gedung, sial! hanya ada satu bangku kosong, tepat
didepan pemuda berkumis tipis dengan brewok yang tidak
dicukur habis sedang asik dengan komputer jinjingnya.

“Sepertinya ia orang sibuk!” Batin Lia.

“Punten kang, boleh aku duduk disini? soalnya


hanya bangku ini yang kosong.” Ujar Lia yang membawa
semangkok soto di tangannya. Wajah muram dengan harap
pria itu memandangnya kasihan.

Pria itu menatap terpesona ketika melihat Lia


dengan rambut yang diikat asal ke belakang. Sebuah ransel
merah plus gantungan doraemon yang kalau Lia berjalan akan
mengeluarkan bunyi bel-bel kecil.

“Silahkan teh, dengan senang hati saya mah.”


Jawab pria berkumis tipis tersebut dan mempersilahkan Lia
untuk duduk. Bel-bel kecil gantungan doraemon itu seolah tiba-
tiba berbunyi sendiri di otaknya.

“Punten teh, kamu ikut lomba disini?” Pria itu


membuka obrolan.

“Oh iya kang! akang juga peserta ya?” Jawab Lia,


dengan jemarinya yang sibuk mengaduk-aduk soto agar
rasanya merata.

25
“Saya mah juri disini.”

“Masya Allah! Jadi aku berhadapan langsung


dengan juri-nya ya?” Lia sontak kaget karena tidak percaya
ucapan pria itu. Bagaimana tidak, ia berhadapan dengan pria
tampan berkumis tipis yang membuatnya terlihat manis dan ia
mengaku sebagai Juri! Orang yang akan menilai
penampilannya.

“Jadi punya nama?”

“Oh maaf kang, Adelia Fatmawati, panggil aja Lia.”


Ucap wanita itu mengulurkan tangan tanda berkenalan.

“Ku kira akang teh peserta juga seperti saya,


ternyata juri ya.” Lanjut Lia malu-malu

“Saya baru lulus 2 Tahun lalu.”

“Saya permisi dulu ya, kepala acara memanggil


saya.” Lanjutnya ketika melihat ponselnya berdering. Sebelum
akhirnya berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan meja
bernomor 2 itu.

Tatapan pria itu masih membayang diotak Lia,


seolah mereka akan dipertemukan kembali. Kantin di gedung
ini penuh dengan peserta maupun orang yang ingin
menyaksikan. “Siapa nama pria tadi?” Batin Lia yang kemudian

26
celingukan mencari pria itu, ah sial bodoh sekali, ia
memperkenalkan nama namun tidak mempertanyakan nama.

Kain Kebanggaan
Aku hanya kain
Membalutmu dalam kepolosan
Memperkenalkanmu dalam kesopanan
Membawamu dalam kehormatan
Aku hanya kain
Kau kibarkan aku diatas langit
Kau kibarkan aku dibawah laut
Kau kibarkan aku di atas akal
Kau menghormatiku sebab aku tanda
Perjuangan.
Sebab aku tanda kekayaan.
Sebab aku identitas.
Sebab aku Indonesia.

Penonton dan Juri bersorak tepuk tangan ketika


wanita itu selesai membacakan puisi miliknya. Mata Lia tertuju

27
kepada Pria berkumis tipis yang duduk dimeja depan. Pria itu
terlalu sibuk untuk mengetahui jika dirinya sedang disimak oleh
Lia.

Pria itu berusaha menyimak dengan seksama.


Sesekali, ia catat puisi semua peserta di sebuah buku coklat
berukuran telapak tangan. Buku itu menampilkan huruf-huruf
tiap kali ia menulis dengan pena miliknya.

Beberapa meter di sebelahnya, duduk seorang gadis


bertubuh mungil, berambut sebahu. Gadis itu beberapa kali
mencuri pandangan ke arah Pria itu. Celingukan dari balik
kepala-kepala yang berjajar di sebelahnya.

Pria itu mengenakan jaket pintarnya yang sedari tadi


tersampir di kursi. Jaket berwarna hitam pekat itu
menyesuaikan bantuk dengan tubuhnya. Ia kemudian
memasukkan buku ke bagian saku dada jaket, sebelum
akhirnya keluar dari ruangan.

Masih ada 34 peserta lagi, Lia menggunakan waktu


yang lumayan panjang untuk membaca buku yang disediakan
panitia. Sebuah Jurnal yang akan membantumu menggali
masa depan untuk mengubur masa lalu. Menjadi slogan buku
tersebut dan menarik rasa penasaran Lia untuk membacanya.
Halaman demi halaman memnbuat wanita itu tenggelam dalam
setiap kalimat yang dibacanya. Ia begitu menikmatinya,
tersenyum karena sebuah sajak, tertawa karena senggolan

28
kata, sedih karena indahnya puisi. Sebuah buku catatan yang
terbungkus cover abstrak dengan judul “Aksa rasa” berhasil
membuatnya melamun merenungi masa lalu, ia tersindir
dengan setiap kalimat dalam buku itu.

Perihal Kita
yang hanya sebatas Kata
Februari dulu, seorang Wanita yang dibalut jilbab
merah menjelaskan bertapa cerobohnya aku ketika jatuh cinta.
katanya, aku adalah manusia aneh. Yang lebih suka berjuang
dengan alam, ketimbang dengan dunia pendidikan. Yang lebih
suka menikmati kata ketimbang senja, yang lebih suka air
hangat ketimbang kopi. Bukan hanya wanita itu, Bapakku juga
bilang seperti itu, ketika dirinya bertanya apa cita-citamu, dan
ku jawab menaklukkan semua gunung di Nusantara. Bagiku
tidak masalah jika kita bisa mewujudkannya, bukankah cita-cita
adalah tujuan? Bukankah setelah cita-cita kita tercapai, kita
dapat mencita-cita kan hal yang lainnya?

Aku hanya sikumuh yang berjuang untuk bersih.


Sibuta yang berjuang untuk melihat
Si pincang yang berjuang untuk berlari
Si bodoh yang berjuang untuk pintar

29
Dan dari alam aku yang lemah ini belajar kuat.

Ketika Merapi sedang gersangnya, aku belajar untuk


menikmati panas. Hingga alam memberikan puncak untuk
hadiahnya.
Alam juga pelarian, Ketika kau dan aku saling
berjuang untuk diam. Saling menghilang hingga tenggelam
Kala itu kau datang sebagai asap, nafasku sesak entah
bagaimana ceritanya.

Perginya aku untuk mendaki, menjadi batu


loncatanmu untuk mencari.
Kau menggandengnya untuk menggantiku,
Aku menggandeng batang bambu dengan bendera
merah putih untuk menggantimu.

Kala itu merapi menjadi tujuan duka-ku untuk


memburai.
Ditemani sakitnya hati dan beberapa kawan yang
asik berbincang.

“Kau tak kehilangannya, dia yang kehilanganmu.”


Ucap seorang sahabat ketika aku sedang bernyanyi lagu Efek
Rumah Kaca yang tertuju padanya.

Dan diatas puncak aku tersadar bahwa kita hanyalah


sebatas kata.

Yang suatu saat akan terbuang, lalu terlupakan.

30

Lia tersenyum lalu tertawa ketika teringat saat dirinya


dicampakkan dengan alasan sedang ujian. Dibaliknya buku
tersebut untuk mencari siapa penulisnya. Ryandra Putra Aksa
merupakan nama yang berhasil membuat dirinya kembali
menertawakan masa lalu.

Peserta demi peserta telah membacakan puisinya


masing-masing. Arloji menuju pukul 14:12. Keringat mulai
membanjiri tubuhnya, kipas dalam ruangan ini mati. Lia masih
tenggelam dalam alunan indah sajak yang ditulis Ryan. Dunia
fiksi serupa pelarian paling menyenangkan. Kita bisa berada di
berbagai tempat yang selama ini hanya bisa diimpikan, dengan
wujud buku yang paling ia dambakan.


Di antara ratusan undangan, duduk seorang pria
yang tidak terpengaruh oleh tepuk tangan para guru dan murid
disekelilingnya yang begitu antusias akan perkembangan
murid dan temannya. Bagi pria itu, acara ini sepatutnya
menjadi ajang pembuktian untuk dunia sastra. Ia termasuk
golongan minoritas yang merasa kehadiran Lomba tulis
menulis malah kian menjadikannya kutu buku. Beberapa ratus
orang yang berpikiran sama dengan pria itu sedari dulu sudah

31
mendirikan komunitas, perpustakaan, bahkan membuat lomba
puisi mini.

“Hei” Ucap seseorang dari belakang.

Wanita itu melihat kebelakang untuk memastikan


bahwa orang itu memanggil dirinya atau bukan. Ternyata pria
diKantin tadi dengan kotak nasi yang di gendongnya.

“Eh, iya kang!”

“Baca buku apa?” Mata pria itu menuju buku yang


Lia genggam.

“Ini kang, bukunya Ryandra Aksa”

“Kurang lengkap tuh namanya, Kata ibu akang teh


kalo nyebut nama orang tidak boleh setengah-setengah.” Pria
itu duduk disebelah Lia.

“Sudah baca sampai mana?” Lanjutnya.

“Baru halaman awal kang.”

“Nama akang teh siapa? Lia belum kenal!” Tanya Lia


dengan tatapan antusias ke pria yang sedang membuka kotak
makanan yang ia ambil di belakang panggung.

32
“Lia sudah tau nama saya, yang kamu baca sampai
tertawa itu buku saya!” Jawab Ryan sambari mengambil
sesuap nasi

“Akang teh, yang menulis buku ini?”

“Enggak dong, saya mah cuma mikir”

“Sama aja dong kang”

“Beda atuh, yang sama itu kita”

“Kok kita?” tanya Lia bingung

“Kita sama-sama cinta Aksara” Jawab Ryan dengan


mulut yang dipenuhi nasi.

“Aku suka karya akang, Apa bukunya boleh aku


bawa pulang?”

“Saya suka kamu, Apa kamu boleh saya pinang?”


Jawab Ryan, lalu meminum air mineral yang dibawanya

“Apasi kang, aku serius tau!” jawab Lia


mengernyitkan dahi.

“Iya gapapa kamu bawa aja, kalo perlu sama


orangnya kamu bawa pulang.” Bisik Ryan ditelinga Lia lalu
berdiri dari duduknya.

33
“Mau ikut saya?” Lanjut Ryan.

“Kemana kang? pengumumannya belum selesai!”

“Tenang, Kamu juara!”

“Hah, Juara?”

“Kamu Juara di mata saya, mobil tua yang cerewet


itu pernah bilang, itu hanyalah sebuah piala kosong.” Ujar
Ryan dengan ucapannya yang mencoba menyeragamkan film
Cars, lalu mengulurkan tangannya.

Lia tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata


pun, Bebannya hilang, Lelahnya terbayarkan, Lia menggapai
tangan Ryan sebagi tanda bahwa ia ingin di ajak pergi, entah
kemana, mungkin ke langit, tempat seharusnya bintang
berada.

Lia mudah akrab dengan orang lain dan mudah


percaya dengan ucapan orang. Otaknya yang pintar
membuatnya begitu lugu dengan pergaulan, ia percaya bahwa
Ryan bukan orang yang jahat, atau setidaknya bukan orang
yang rese. Karena mood Lia yang sering berubah-ubah.

Keduanya berlari menuju mobil ditengah derasnya


hujan, Lia menggigil ketika berada dimobil karena pakaiannya
yang basah, Lia bahkan tidak bertanya mau ke mana. Ia hanya
mengikuti ke mana saja Ryan akan membawanya. Berharap

34
pikiran tentang guru Bk yang ia tinggal seorang diri di
perlombaan akan hilang. Bagaimana jika ia marah?
Bagaimana jika ia memanggil orang tuaku? Bermacam-macam
pertanyaan terkumpul menjadi satu di bahu Lia.

Ryan mengambil Jaket Tracktop dikursi belakang


untuk Lia pakai. Senyuman Lia membuat Ryan dengan
mudahnya Jatuh cinta, benar adanya bahwa pertemuan
sederhana mampu memicu rasa yang luar biasa. Bagi Ryan
hal seperti itu hanya ada di cerita-cerita fiksi atau di layar kaca
dengan ujung yang mudah ditebak.

“Saya tahu rasanya bertemu orang-orang baru,


namun saat denganmu saya bertemu rasa yang baru!” Ucap
Ryan yang terpesona dengan anggunnya Lia.

“Apasi kang, baru kenal udah gombal.” Jawab Lia


dengan lidah yang menjulur untuk meledek Ryan.

Mobil menuju jalan Dago, Jalan dago belum


menunjukan tanda-tanda macet, udara belum terlalu pengap.
Tidak ada pembicaraan ketika mobil melaju, Lia memandang
rintik-rintik air yang menggenang di jendela luar mobil, mereka
berdua berhenti di sebuah kedai kopi.

Mereka duduk di meja yang paling ujung. Lia


mencermati sekeliling. Semua orang berkelompok, hanya
mereka berdua yang tidak berkelompok. Ryan memesan

35
sesuatu pada seorang pelayan, entah apa. Pelayan itu
mengangguk-angguk. Gitar berkeliling, dipinjam oleh seorang
seumuran Ryan yang duduk disebelah mereka. Orang-orang
yang lainnya pun bernyanyi dengan suara yang tidak kalah
lantang dari orang sebelumnya.

And darling I will be loving you ‘till we’re 70


And baby my heart could still fall as hard 23
And i’m thinking ‘bout how people fall in love in mysterious
ways
Maybe just the touch of a hand
Oh me i fall in love with you every single day
And i just wanna tell you i am

“Suaranya bagus, ya?” Tanya Lia pada Ryan.

Ryan yang sedang tenggelam menikmati thinking out


loud dari Ed sheeren mengangguk.

“Kalau suaranya jelek, dia tidak mungkin main gitar!”


Lanjut Ryan.

“Terus main apa dong?”

“Main air” Jawab Ryan yang kemudian melakukan


Lipsying mengikuti nada yang orang-orang nyanyikan.

So honey now
Take me into your loving arms

36
Kiss me under the light of a thousand stars
Place your head on my beating heart
I’m thinking out loud
Maybe we found love right where we are.

Lia tertawa lepas. Begitu kerasnya hingga membuat


orang lain menoleh ke arahnya. Ia cepat-cepat tersenyum,
sambil mengangguk kepalanya sekali, meminta maaf.

Tidak lama kemudian dua gelas kopi khas Sunda ,


dibawakan ke meja mereka berdua oleh seorang Ibu pelayan.

“Kopi apa ini?” Tanya Lia.

“Sudah minum aja! enak kok.”

Ragu-ragu Lia cicipi kopi digelas berbentuk hati


tersebut, ternyata rasanya memang enak.

“Ini namanya kopi Sunda Hejo, yang merupakan


salah satu kopi asal Sunda, yang kini ditanam oleh peguyuban
tani wilayah pegunungan di daerah Bandung. Biji kopi ini
termasuk ke dalam jenis biji kopi Arabica dengan rasa yang
sedikit manis dan dikenal lebih nikmat dari kopi lain, serta
memiliki kafein yang lebih rendah dari biji kopi lain.” Jelas Ryan.

“Ihh gemes, pengetahuan akang luas juga ya.” Lia


tersenyum manja dan menatap Ryan yang sesekali membalas
tatapan Lia dibalik kopi yang sedang ia minum.

37
Hari kian sore. Satu persatu lelaki yang duduk di
kedai bergantian bernyanyi sambil bermain gitar. Banyak sekali
hal yang tidak Lia ketahui dijelaskan oleh Ryan, mereka
seakan –akan seperti sepasang puisi dan diksi, saling
melengkapi untuk memberi keindahan.

“Yuk pulang, biar saya antar!” Ucap Ryan


menawarkan.

Ryan menarik tangan Lia pelan. Lia mengikut saja.


Sebenarnya ia ingin menghabiskan hari lebih lama di tempat
ini, disudut kota ini. Tapi, hari mulai larut.

Mereka meninggalkan tempat itu, melaju menikmati


udara sore yang dingin karena tersiram hujan. Merasakan
hatinya yang sudah membaik dari sebelumnya.

“Terima kasih, kang” Tutur wanita itu ketika menutup


pintu mobil yang Ryan bawa.

Lelaki itu hanya menjawab dengan senyum.

“Sebenarnya, ada tempat yang lebih indah!”


Balasnya.

“Dimana?” Lia antusias

“Senyummu!” Ujar Ryan yang menutup kaca pintu


mobilnya.

38
Wanita itu hanya tersenyum, pakaiannya yang kuyup
kini sudah semakin kering tatkala hari semakin gelap.

Mobil membawa Ryandra Aksa Putra melipir


menjauhi rusun tempat Lia tinggal. Mentari bersembunyi di
ufuk barat, bersamaan dengan ramainya kendaraan berlalu-
lalang, Di lihatnya Notifikasi pesan yang berasal dari Ujang.

“Lia, aku sudah izin dengan ayahmu, aku ingin


mengajak kamu kesuatu tempat, aku tunggu dibawah jam
delapan.”

“Ujang teh dimana?” Ketik wanita itu.

‘Mesengger delivered’

Lia teringat akan Bu Rahma, Guru Bk yang ia


tinggal seorang diri di perlombaan. Perempuan paruh baya
bertubuh gumpal itu memang senang sekali marah-marah
pada mereka yang dianggapnya merugikan sekolah. Dicarinya
nama perempuan tersebut diponselnya.

“Maaf bu, saya pulang duluan, saya kurang enak


badan, tadi saya cari ibu tapi tidak ketemu, maaf sekali lagi
bu.” Ketik wanita itu.

“Tidak apa-apa, tadi ada cowok sudah minta izin


sama ibu untuk mengajak kamu pergi,” jawab perempuan
gumpal itu selang beberapa menit.

39
Nama Ryan menjadi sasaran pertama Lia, “Pasti
orang itu” Ujar Lia tersenyum, dan menuliskan beberapa pesan
lagi.

“Pengumuman nya bagaimana bu?” Tanya Lia.

“Entah, kamu pulang aku pun pulang.” Jawab


perempuan itu.

Direbahkannya semua lelah yang wanita itu


rasakan, Wajah dan wawasan Ryan menjadi bayang-bayang
dipikiran Lia. “Pasti enak ya, kalau kita naik gunung.” Batin Lia

Dibukanya buku karya Ryan yang langsung menuju


halaman empat puluh enam.


Sang merapi Gersang
Bila kau berfikir hanya orang kaya yang dapat
merasakan nyanyian alam, maka kau salah besar.

Bila kau berfikir hanya orang berpengalaman yang


dapat merayakan kemenangan diatas pucak gunung, maka
sekali lagi, kau salah besar.

40
Merbabu. Adalah gunung pertama yang ku daki
dengan niat mengambang. Kala itu pikiranku hanya tertuju
pada diriku yang masih pemula, apakah aku bisa?, apa aku
mampu?. Dengan harga tasnya saja yang hampir mencapai
satu juta.

Jalur Selo menjadi jalur idaman bagi pendaki karena


dihidangkan dengan indahnya sabana dan Gunung merapi,
dan di sabana itu ku teriakan namamu sekuat mungkin, seekor
burung menjawab teriakan ku dengan nyanyian indah, desir
angin melambai lambai ketika aku yang diterpa kemiskinan
karena hilangnya dompet menjadi tertawa.

Mungkin aku harus meminta maaf kepada sang


merapi gersang ketika diatas sana, karena telah menduakan
keindahannya denganmu, namun apa daya, aku sayang kamu,
dan aku mulai mencintai alam. Hingga kau mulai jenuh dan
menjauh karena hobiku, dan lagi-lagi merbabu yang menjadi
pelarian.

Kita hanya miskin harta namun tidak miskin cita-cita

Kita hanya takut lelah, namun ketika kau berjuang


hingga puncak semua akan indah.

Ketika kau mendaki, tidak perlu fokus untuk


mendapatkan puncak, tapi nikmatilah pendakianmu senikmat
mungkin.

41

Ponsel Lia berdering ketika ia sedang mandi untuk
membersihkan tubuhnya dari aroma matahari. Lia
mempersiapkan dirinya yang akan pergi keluar dengan Ujang,
sang Bapak jarang pulang karena harus selalu lembur untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Matahari bersembunyi tatkala
bulan mencari sinarnya, ribuan bintang hadir menjadi koleksi
indahnya malam ini.

Lia mendatangi ponselnya yang berada disebelah


kasur tidurnya. 5 panggilan tidak terjawab dari Ujang.
Ditatapnya jam dinding yang menunjukan pukul 20:33. Lia baru
ingat bahwa Ujang menunggunya.

Langit begitu terang dengan nyala bintang yang


benderang ketika Lia keluar dari kediamannya. Di kejauhan,
tampak Ujang sedang memainkan ponselnya di atas sepeda
motor yang ia duduki. Udara pengap khas kota besar tidak
membuat sesak malam ini. Perubahan dalam hidupnya akan
terjadi, Lia tahu itu pasti. Dan ia tidak sabar untuk bertemu
Ryan kembali suatu hari.

Ujang menunggu Lia keluar dari persembunyiannya.


Remaja tampan dengan rambut sedikit ikal yang konon
katanya melambangkan pemberontakan. Beberapa jerawat
menghiasi pipinya, tubuhnya tegap tinggi, dibalut kemeja flanel
yang biasa dipakai anak muda. Lia menghampiri Ujang,

42
mereka saling bertatap, seraya mengamati penampilan
masing-masing yang mereka kenakan.

“Mbak Lia ya?” Ujang menaruh ponselnya kedalam


saku celana jeans biru muda yang ia kenakan.

“Iya kang, ke Jalan Braga berapa yah kang?” Lia


mencoba menyeragamkan seorang penumpang yang bertanya
harga kepada tukang ojek.

“Gratis buat mbak mah, langsung berangkat kita.”

“Siap komandan!”

Gadis itu tertawa. Mereka pergi mengenakan motor


bebek yang Ujang bawa. Dibawanya wanita itu menjauhi
rusun, melewati jalan berlubang, melintasi areal persawahan.
Lia menjulurkan kepalanya, lalu menghirup dalam-dalam udara
yang asri, sungguh hangat suasana Braga malam ini.

Lima belas menit, mereka sampai di Kedai kopi


dengan latar perpustakaan, hanya beberapa pelanggan yang
datang, mereka duduk di meja depan panggung Band yang
sedang menyanyikan lagu indie. Lia merasa tidak familiar
dengan suara itu, seperti sudah pernah dengar, dilihatnya
pemuda yang bermain gitar dan bernyanyi irama burung pagi
hari. Wajah pemuda itu ditutupi topeng Anonymouse entah apa
maksudnya.

43
“Kamu mau Coffe?”

“Boleh deh, Kopi Sunda Hejo yah!”

“Kamu tau darimana kopi ini? baru aku mau nawarin


kamu kopi ini!” Ujang heran dengan tatapan mata elangnya
menusuk pandangan Lia.

“Biasa aja ah liatinnya!”

“Hei, lagi sibuk yah?” Seorang pemuda bertopeng


menghampiri mereka dengan gitar yang masih melilit
dipunggungnya.

Mereka memandang pemuda itu dengan heran, apa


mereka pernah kenal sebelumnya? apa dia orang jahat yang
sedang menyamar?.

“Oh maaf!” Pemuda tersebut membuka topeng dan


memperkenalkan diri “Ryandra Putera Aksa”

Keberuntungan seakan-akan berpihak kepada Lia,


padahal bintang sedikit redup malam ini, bulan masih mencari
jati diri dengan pemandangan hitam sebagai latarnya. Untuk
sebuah mimpi bagi Lia ini terlalu indah, bertemu dengan orang
yang ia kagumi tiba-tiba adalah hal yang luar biasa.

Pelayan datang dengan dua kopi dan satu botol


anggur merah. Karena selain kedai tempat ini juga bar.

44
“Jadi nama akang siapa?” Lanjut Ryan mengulurkan
tangan kepada Ujang.

“Ujang Rijik Ardiansyah” jawab ujang mengulurkan


tangan dan mempersilahkan Ryan untuk duduk.

“Kenapa kenalannya hanya dengan saya kang”


lanjut Ujang.

“Saya sudah kenal dengan teman kencan kang


Ujang” Jawab Ryan menuang sebotol anggur merah untuk
dinikmatinya.

Lia hanya diam, mulutnya tidak mengeluarkan


sepatah katapun ketika Ryan datang. Perasaan Lia bercampur
aduk kala itu. Bingung, bahagia menjadi satu paket komplit
makanan yang siap untuk Lia lahap dirumah nanti.

“Kenapa bingung gitu mukanya?” tanya Ryan


memandang Lia.

“Akang kenapa bisa ada disini?”

“Ini kedai teman saya, saya biasa bernyanyi untuk


pengunjung disini, tanpa bayaran, tapi buat hobi kan lumayan
bisa dinikmati orang”

“Saya kaya pernah bertemu kamu, tapi dimana yah?”


Ucap Ujang memikirkan pertemuan sebelumnya dengan Ryan.

45
“Di galeri seni, saat itu kang ujang beli buku saya
sebanyak 300 eksplar, yang akang bilang untuk
memberikannya kepada anak pinggiran yang kurang
membaca.” Jawab Ryan.

“Oalah iya, kebetulan banget bisa ketemu disini.”


Ujang tersenyum tanda kagum dengan Ryan.

Bagaimana tidak kagum. Ryan adalah seorang


penulis dirumah, seorang pemain musik di kedai, dan seorang
pendaki di alam liar. Ryan bercerita kehidupannya sebagai
seorang penulis, ada hal lucu yang dialaminya, yaitu ketika ia
sedang berada dalam perjalanan menuju lampung dengan
kapal Ferry, seseorang membaca buku yang ia tulis lalu meng-
copasnya untuk caption instagram, orang itu tidak tahu bahwa
karya yang ia copas adalah karya orang yang sedang berada
disampingnya.

Kami tertawa meikmati cerita Ryan, sesekali Ryan


tertawa dengan merebahkan kepalanya diatas meja karena
efek mabuk.

Menulis Untuk Hidup

46
Apa yang kau dapat dari menulis? Apakah ada
hasilnya? Apakah terjamin untuk masa depan? Apa hidupmu
akan sejahtera? Pertanyaan yang sering dilontarkan entah
oleh teman, keluarga, saudara, maupun tetangga. Dari menulis
aku belajar sabar, ketika naskah ditolak padahal kita sudah
mengumpulkan niat hingga berbulan-bulan, namun penolakan
datang hanya dalam satu menit. Tidak ada yang salah dengan
karya kita, mungkin hanya ada beberapa kata yang perlu
dibenahi.

Menulis mengajariku bersyukur. Ketika naskah


diterbitkan menjadi buku, ada rasa bangga tersendiri dalam
diri. Bersyukur adalah kunci sukses yang pertama, karena
selain campur tangan doa ibu, ada campur tangan Tuhan juga
didalamnya.

Dan dengan menulis kita mendapatkan sesuatu.


Seperti buku JK Rowling yang berjudul Harry Potter, ia
menjadi orang pertama yang menjadi Milyader hanya dengan
menulis.

Dan bagiku menulis bukanlah cita-cita, menulis


adalah hobi. Ketika kau bersedih maka menulislah agar suatu
saat kau dapat mentertawakan kisah yang kau tulis dulu.
Menulislah untuk hidup!!

47
Jam menuju pukul 21:19, Ryan sedikit demi sedikit
sadar dan mampu mengendalikan dirinya,

“Mungkin ia sedang ada masalah” pikir Lia.

Semakin malam kedai semakin ramai, bahkan


sampai ada yang pulang kembali karena tidak kebagian tempat
duduk. Bagi Lia yang istimewa dari kedai ini hanya dua,
perpustakaan di setiap sisi kedai dan orang yang sedang
termabuk di hadapan Lia. Mata Lia menuju buku bersampul
merah di sela-sela buku lainnya yang tertumpuk Sebuah Jurnal
yang akan membantumu menggali masa depan untuk
mengubur masalalu. Lia kenal slogan itu, sebuah buku
perjalanan yang ditulis Ryan. Covernya biasa-biasanya saja,
namun didalamnya ada motivasi yang luar biasanya.

Ujang entah pergi kemana, setelah izin beberapa


menit ke kamar mandi kini sosok Ujang tidak kembali lagi. Lia
mengambil ponselnya yang berdering didalam ransel yang ia
kenakan. Pesan dari Ujang.

“Lia maaf Ujang ada keperluan mendadak, tadi saat


Ujang mengangkat telepon tiba-tiba ada seorang bapak di
serempet mobil, jadi ujang mengantarnya ke Klinik terdekat
tapi tutup, sekarang ujang lagi dirumah sakit, jadi Lia minta
antar sama kang Ryan tidak apa-apa kan?” ketik Ujang dalam
pesan.

48
“Iya kang tidak apa-apa, hati-hati!” Balas Lia

“Ada apa Lia?”

“Ini kang, Ujang teh sekarang lagi dirumah sakit,


katanya ngantar orang ke-serempet tadi.”

“Jadi mau saya antar?”

“Tidak ngerepotin kang?”

“Sebenarnya ngerepotin sih, soalnya ada taggung


jawab besar!”

“Tanggung jawab besar?”

“Iya! lagi-lagi saya yang harus bertanggung jawab


mengantar salah satu bintang agar selamat sampai ke langit.”

Betapa matanya memancarkan cahaya senja ketika


Ryan menatapnya, jantungnya berdentum bagai orkestra,
bibirnya kelu tanpa kata. Seperti ada yang mengganjal. Ryan
mengambil gitar yang berada dsebelahnya, dipetiknya satu
persatu senar yang membentuk kunci C. Seorang pelayan
datang memberi Mikrophone kepada Ryan. Dimainkannya
“Aku Milikmu” dari Iwan Fals. Lia tersenyum tanda bahagia,
betapa malam yang panjang begitu singkat baginya.
Pengunjung Kafe begitu menikmati suara Ryan, tepuk tangan
dari para pengunjung menambah meriahnya malam ini.

49
Lia terharu dengan air matanya yang tiba-tiba keluar,
tidak ada sapu tangan maupun tissu yang dibawanya. Seorang
pemuda gimbal datang memberi tissu kepada Lia lalu duduk
didepan Ryan. Ryan selesai menyanyikan lagu, pengunjung
bergemuruh meminta Ryan bernyanyi lagi.

“Kamu kenapa nangis?” tanya Ryan sambari


memetik gitarnya dan bersandar.

Lia hanya tersenyum dan mengusap matanya


dengan tissu yang diberikan pemuda tadi.

“Aihh, cantik pula wantia kau!” Ucap pemuda itu.

Ryan mengangkat alisnya tanda setuju dengan


ucapan pemuda itu.

“Kenalin Lia, ini sahabat saya namanya Miko.” Ujar


Ryan memperkenalkan temannya. Miko mengulurkan
tangannya tanda berkenalan.

Miko adalah sahabat Ryan dari SMK, cowok gimbal


dengan brewok tipis yang menghiasi wajahnya, ia adalah
pemilik kafe ini. Kafe dengan design perpustakaan merupakan
rekomendasi dari Ryan, katanya menikmati kopi lebih nikmat
sambari membaca.

50
Aku menemukanmu disela puisi

Menjelma indah dalam wujud diksi

Hati yang meronta ingin diberi senyuman

Cinta kembal hadir dan memberi harapan

Aku tahu rasanya bertemu orang baru

Ketika denganmu,

Aku menemukan rasa yang baru.

51
Bagian Dua

52
Hari minggu diwaktu
kecil hanya diperbolehkan main
sampai dzuhur, itu juga saya
harus izin kepada orang tua
untuk bemain. Bapak membagi
waku bermain ketika hari libur.
Waktu pagi untuk bemain, dan
waktu siang harus dirumah,
karena waktu siang hanya
dipakai untuk makan, maka dari
itu saat hendak main diwaktu
siang sama teman-teman pasti
bapak menyuruh saya untuk
pulang dan sarapan. Tentu agar
anakanya tetap sehat dan tidak
sakit, ini adalah bukti kasih
sayang mereka terhadap
anaknya. Setiap saya bermain
juga pasti izin untuk pamit.

Bapak ibu juga mengizinkan saya bermain di waktu


siang, asalkan makan dirumah dan tidak lupa untuk shalat
dzuhur, pesan orang tua yang selalu ditanamkan pada saya
waktu kecil.

Biasanya kalau siang saya bermain klereng di


halaman rumah teman yang sedikit lebih luas. Ada banyak
jenis permainan kelereng, tetapi yang paling sering kami

53
mainkan adalah Ha’a. cara mainnya adalah dengan menaruh
sejumlah kelereng yang dijadikan taruhan, biasanya paling
sedikit dua kelereng dan paling banyak bisa sampai dua puluh.

Jumlah pemain tidak terbatas menyesuaikan


kapasitas garis kotak pembatas tempat kelereng taruhan.
Setiap pemain bergiliran mengenai kelereng yang berada di
dalam garis kotak. Jika ada kelereng yang keluar berarti
kelereng menjadi miliknya.
Satu pemain dengan pemain lainnya bisa saling
membunuh, maksudnya kalau kelereng pemain yang
digunakan sebagai induk bisa mengenai kelereng pemain lain,
seluruh kelereng yang sudah didapatkan oleh pemain yang
terbunuh langsung menjadi hak milik yang membunuhnya.

Terkadang saya sering kalah bermain, dalam


permainan sudah terbiasa menang ataupun kalah. Nah
biasanya setiap saya bemain kelereng banyak teman yang
ingin melawan saya, tidak tahu mengapa, padahal permainan
saya tidak hebat-hebat amat. Mungkin karena hal itu saya
menjadi incaran teman-teman.

54
Hilang Dan Temukan

PRIA Kumal itu terbangun dalam keadaan linglung.


Kepalanya terasa begitu menyakitkan seolah-olah kepalanya
akan terbelah. Tatkala ia menggerakkan tubuhnya sedikit, ia
merasakan pegal di sekujur tubuhnya, seakan tubuhnya telah
hancur diremas makhluk besar dan disatukan kembali, sinar
mentari menyusup melalui tirai abu-abu satin yang samar itu
dan mendarat dengan indah diatas sofa tempat ia tidur.

55
Masalah kemarin malam , akibat terbuai dalam perasaan
kesal, ia minum sedikit berlebihan. Hingga akhirnya ia tertidur
dikafe dan sedangkan Lia diantar oleh sahabatnya Miko. Ryan
memaksakan diri untuk membuka matanya, sambil menahan
sakit dikepala yang mengerikan. Seiring dengan pengelihatan
yang semakin jelas, ia menyadari ada seorang pria sedang
terduduk sambari membaca buku karyanya.

“Jadi bagaimana niatmu untuk mendaki gunung?” tanya


pria itu yang sadar orang yang tidur disebelahnya sudah
terbangun.

“Insyaallah minggu ini kalau ibu mengizinkan.” Jawab


Ryan menyibakkan sarung yang menutupi tubuhnya. Ryan
terbangun dari duduknya. Ketika telapaknya menyentuh lantai,
kakinya gemetaran selama beberapa saat dan hampir
membuatnya terjatuh. Sambil bertopang pada dinding, ia
perlahan berjalan ke arah kamar mandi selangkah demi
selangkah.

Ryan merupakan salah satu penulis termuda yang


berhasil mengangkat novel karyanya menjadi film layar lebar,
di usia 18 tahun Ryan sudah mampu menerbitkan 9 buku dan
di usia 20 tahun Ryan berhasil menaklukan 5 dari seven
summit indonesia, yaitu Puncak Indrapura gunung kerinci,
Gunung Rinjani, Puncak Mahameru Gunung semeru, Puncak
Rantemario Gunung Latimojong, dan Gunung Binaia puncak
tertinggi di pulau Maluku.

56
Harapannya adalah menjajaki kaki di Cartenz Pyramid,
Gunung Jaya Wijaya puncak tertinggi di papua juga Indonesia
Karena sebagai bentuk perbatasan negara antara Indonesia
dengan Papua Nugini dan dengan puncaknya yang dilapisi
salju menjadi impian Ryan untuk menjajaki kakinya disana.

Saat ia keluar dari kamar mandi, seorang pria dengan


uban yang menghiasi rambut serta kumisnya berjalan
menghampirinya. Figurnya yang masih gagah dan tinggi
menebarkan aura yang kuat namun mencekam ke seluruh
ruangan.

Ryan mengangkat pandangannya hingga mata mereka


bertemu dalam tatapan yang mendalam. Pandangan keduanya
begitu tenang dan senyap, menyerupai sebuah danau yang
kedalamannya tak bisa diketahui.

Bagaimanapun juga, itu merupakan pertama kalinya


mereka terlibat beradu pandangan. Di rasakannya sebersit
rasa malu dan diturunkan pandangan matanya, tak berani
menatap wajah lelaki itu. Dalam ingatan akan momen-momen
perdebatan ketika dirinya ingin mendaki gunung.

“Bagaimana kabar ibu?” tanya Ryan dan duduk dikursi


yang berhadapan langsung dengan pria itu.

57
Ibunda Ryan tinggal di Klaten untuk mengurus Ibunya
yang sudah rentan usia, tidak ada yang lebih indah ketimbang
bersama orangtua dimasa senja.

“Alhamdulillah baik, hanya nenek kamu kemarin masuk


rumah sakit kata ibumu penyakitnya kambuh.” Jelas sang Ayah
yang kembali membolak-balik buku Karya Ryan.

“Besok Bapak ada kerjaan di Jakarta selama 1 Bulan.


Bapak mohon kamu jaga Rumah srta adikmu, tinggalkan saja
kost kamu itu, disana lebih layak.” Lanjut sang Bapak dengan
matanya yang menatap Ryan.

Memiliki Bapak seorang pengusaha ada suka duka


tersendiri untuk Ryan, kurangnya kasih sayang sang Bapak
dan jarang pulang ke Rumah. Hanya uang yang ia kirimkan
bukan kasih sayang seperti yang diharapkan.

Ryan menganggap Kedai milik Miko lebih nyaman


dibandingkan kediaman orang tuanya yang kini hanya dipenuhi
dengan ampas-ampas ego. Pemuda itu sering menginap di
kedai setelah puas bernyanyi, atau setelah berkutat dengan
bukunya hingga tatapannya rabun, atau bercanda bersama
teman-teman bartender yang memang jarang pulang sejak
kedai ramai.

58
Jika berbincang dengan Miko, yang mereka bicarakan
pasti politik dan cinta. Miko selalu menyangkut pautkan buku
karyanya dengan isu politik dari buku Pramoedya.

Tapi, yang Ryan suka dari Miko, masa mudanya bukan


hanya romantisme maupun politik, melainkan juga tentang
sosial, Miko mengajarkan Ryan untuk menghormati orang tua,
terlepas dari ucapan maupun tindakan mereka.

Cintamu yang setinggi gunung


Ku balas dengan benci setinggi bukit

Sabarmu yang seluas samudera


Ku tilas dengan amarah seluas lautan

Kau ajari aku dengan berkepala dingin


Dan ku gunangan untuk menggapai kepala angin

Diambilnya ponsel yang sedari tadi bersandar dimeja,


tangannya mengelus layar mencari nama Lia. Ryan mencoba
mengajak Lia untuk mendaki Prau, berhubungan refreshing
untuk Ujian Nasional Lia minggu depan.

59
“Assalamualaikum Lia.” Salam Ryan membuka obrolan.

“Waalaikum salam kang” jawab Lia yang sedang


terduduk dikantin sekolah bersama teman temannya.

“Saya ingin ngajak kamu naik gunung mau?”

“Hah, serius kang?” Lia kaget sekaligus bahagia, ia ingin


sekali mendaki gunung, karena ia belum pernah naik gunung,
ia pun ragu dengan peralatan yang tidak ia punya dan kondisi
tubuh yang masih pemula.

“Tapi..” Lanjut Lia

“Tenang, nanti saya izin dengan orang tua Lia, dan


masalah peralatan, itu jadi urusan saya, yang penting Lia mau
atau tidak?” Potong Ryan.

“Mau kang, mau banget.”Lia begitu bersemangat karena


akhirnya ia bisa melihat kecilnya kota dari besarnya desa.

Di kedai ketika awal pertemuan. Ryan berkata kepada


Lia yang sangat ingin mendaki gunung karena cerita Ryan
yang kelihatannya asik berada di alam. “Rob Hall berkata; kita
hanya akan mendapatkan kesedihan dan penderitaan dalam
pendakian, saya mendaki karena saya bisa.”

“Nanti pulang sekolah saya jemput kamu, sekalian saya


izin dengan orang tua mu.”

60
“Siap kang” jawab Lia.

Telepon Ryan tiba-tiba mati karena lowbet, maklum ia


jarang mengecek kondisi ponselnya, karena ia jarang
bercengkrama dalam dunia maya. Ia bukan orang yang
sosialita.

Lia bukan kekasihnya, Lia hanya pujaan hatinya. Tapi


entah mengapa hanya dirinya yang selalu hadir dalam
lamunan Ryan, memberi imajinasi dalam setiap kerinduan,
memberi inspirasi dalam setiap puisi. Dan kali ini Ryan ingin
sekali mengajaknya bertualang mendaki gunung Prau, padahal
tak pernah terbesit sedikit pun untuk mengajak kekasihnya
yang lalu untuk menjajal mendaki ke puncak gunung.

Yaa, karena mantannya lebih suka bergelut pada


pasir-pasir pantai yang kering dengan panas jiwanya dan
bercumbu pada kerasnya batu karang, yang menyerupai
dengan keras hatinya. Sementara Lia, Lia adalah sosok yang
sejalan dengannya, lebih suka dingin beku dan sejuknya
aroma hutan cemara di pegunungan.

Sedang mantannya sangat keras hati dan emosional


sementara Lia sangat penyayang, begitulah ungkapan yang
tepat untuk menggambarkan karakter mereka.

Lia yang selama ini ia puja-puja yang tak sepuja


mantannya dulu, bahkan untuk jawaban "ya" dari bibirnya saja

61
mampu membuat hatinya berbunga. Karena jawaban itu yang
selama ini Ryan tunggu, jawaban yang menandakan dia mau
ikut dengannya untuk mendaki gunung Prau.

Mobil sedan membelah jalanan Dago dengan


cepatnya, didepan gerbang salah satu sekolah SMA Favorit,
Ryan mengehentikan kendaraannya. Ia memilih untuk
menunggu Lia diseberang jalan depan warung kopi yang biasa
disinggahi para siswa ketika pulang sekolah.

Seperti biasanya jalan Dago kembali ramai dengan


banyaknya Lalu lalang kendaraan. Ryan memutuskan untuk
kembali kerumahnya ketika sang bapak dipindah tugaskan di
Jakarta. Rumah yang jarang bercakap-cakap, pembantu
dirumahnya pun semuanya disibukkan dengan pekerjaannya
masing-masing. Mereka bahkan enggan untuk bertatap mata.

Sungguh rumah yang amat megah tetapi terasa


seperti kuburan. Didepannya Ryan dapat melihat sepetak
besar rumput yang sudah mengering, tatanan hamparan
bunga dan sebuah dedaunan gugur di hamparan jalanan.

“Kang!!”

Kemudian, terdengar suara yang tak asing yang tiba-


tiba muncul bersamaan dengan suara lalu lalang kendaraan.

Ryan mengalihkan pandangannya dari dedaunan


itu menuju ke arah sumber suara itu.

62
Di bawah cahaya senja. Ia melihat seorang wanita
mengenakan jaket dengan hijab yang melingkari mahkotanya.
Wanita tersebut nampak menawan dan berkelas.

Ryan harus mengakui, Lia sungguh telah memikat


hatinya.

Mereka menuju rusun buahbatu tempat Lia tinggal.


Dalam perjalanan Lia banyak bertanya perihal perjuangan
Ryan dalam menulis buku, gadis itu sedikit cerewet.

“Kang, aku boleh bertanya?”

“Silahkan.”

“Apa menulis itu berat? Aku takut jika suatu saat aku
menulis buku, lantas ada kesamaan 2 hingga 3 bait dalam
karyaku dan karya orang lain. Aku takut dibilang plagiatisme!”

Tawa Ryan hampir meledak mendengar pertanyaan


semacam itu. Namun, melihat ekspresi Lia yang tidak berubah,
Ryan berujung berdeham.

“Hmm, saya rasa, tidak ada yang berat didunia ini,


hanya manusianya saja yang rumit. Terlalu banyak berikir
sebelum memulai, maka itu negara kita tertinggal jauh dari
negara kecil sekelas Singapura.”

63
Lia terdiam tanpa kata. Beberapa detik kemudian,
mereka sampai pada kediaman Lia. Mereka parkir dan menuju
lantai 3 untuk meminta izin.

Sebuah rusun di daerah buahbatu, Bandung,


kedatangan tamu; Pria kumal, dengan rambut gondrong
bergelombang.

Seorang Pria menyambut mereka berdua didepan


pintu dengan gagahnya. Lia mencium tangan Pria itu lalu
memperkenalkan Ryan dan maksud kedatangannya. Ryan
meremas tangannya sendiri penuh gugup. Sesekali di liriknya
sang gadis yang berdiri di sebelah pria itu. Bapak berkumis
lebat itu duduk dikursi depan beranda kediamannya tanpa
melayangkan pandangan pada Ryan. Baru beberapa menit
kemudian ia bertanya dengan cara yang paling dingin perihal
rencana Ryan mengajak anaknya pergi ke Gunung Prau. Ryan
meyakinkannya bahwa mereka akan pergi berombongan; dan
ia juga akan menjaga wanita itu dengan segenap jiwa.

Sang bapak tampak acuh tak acuh, dari gelagatnya


seolah takkan memberi izin. Ia malah memalingkan wajahnya
dan mulai memegang wayang serta tulisan sastra jawa. Segala
sesuatu prihal sastra tentu saja merupakan sasaran empuk
untuk jadi bahan diskusi dimata Ryan.

Dan itulah yang ia lakukan, mencoba membuka topik


tentang dunia perwayangan yang mulai hilang. Sebagai

64
budaya seni tradisi, Wayang menurut Ryan mampu menjadi
sumber inspirasi dan nilai-nilai dalam budaya, ide, gagasan,
ekspresi dan perilaku.

“Fungsi wayang mampu menjadi perekat dan relasi


dari komponen masyarakat.” Katanya.

Selain minimnya dukungan dari negara, ia menilai


kreasi dan inovasi wayang untuk mendekatkan wayang ke
publik lewat kreator wayang juga masih sangat rendah. Oleh
karena itu, inovasi dan kreasi wayang sangat dibutuhkan agar
wayang tidak ditinggal penonton serta perlu adanya regenerasi
penonton wayang.

“Kalau tidak, maka wayang kehilangan stakeholder.”


Tegasnya

Obrolan meluas ke ranah dunia tulis menulis. Bapak


itu, untuk pertama kalinya, terkekeh di hadapan Ryan. Ia
terkesan mendengar teori dikurungnya Pramoedya versi Ryan,
lantas membalas dengan bernostagia seputar masa remaja
selagi dunia wayang diajarkan Bapak beliau untuk digelutinya.
Anak gadisnya mendeham, bapak berkumis lebat melirik.

“Jadi bagaimana? Boleh?” Tanya Lia.

Bapak itu mengembuskan napas yang membuat


kumisnya menari. Lehernya yang selaku besi dianggukan

65
dengan berat. Negosiasi berhasil, gadis itu diperbolehkan
berangkat.

66
Perihal arah langkah,

Meski akhirnya entah nanti bagaimana,


seseorang lebih memilih terus berjalan
daripada berhenti atau berbalik arah.

67
Bagian Tiga

68
Jam 10, masih bisa
dibilang pagi. Aku segera
menaruh tas dan berganti baju,
tapi lebih seringnya hanya
menaruh tas. Urusan ganti baju
adalah hal yang malas ku
kerjakan, bisa berjam-jam
beraktivitas baru aku mau ganti
baju, sampai kadang-kadang Ibu
dan Bapak jadi marah-marah
cuma perihal ganti baju. Yah
begitu lah aku. Anak bebal ini
sangat sulit dinasehati, tapi
bukankan itu wajar bagi anak-
anak seusia itu (beginilah anak
bebal, selalu mencari
pembenaran disetiap
kesalahahannya).

Setelah ganti baju (atau tidak ganti baju) sepulang


sekolah, aku langsung menghampiri Mbah (panggilan nenek
dalam Bahasa Jawa) yang sibuk membuat kerupuk puli.
Kerupuk yang sangat gurih dan nikmat, makanan kesukaan
keluarga ku. Aku melihat Mbah yang cekatan mencampur
bahan-bahan yang terdiri dari nasi (sisa kemarin), garam, dan
ragi puli. Bahan-bahan yang sederhana tapi mampu
menghasilkan sesuatu yang berharga. Mbah mencampurnya

69
hingga menjadi adonan yang siap digiling. Sebelum digiling
Mbah selalu memberiku segenggam kecil adonan itu untuk
dicicipi. Aku menerimanya dengan senang hati.

“Piye, enak?”, Tanya Mbah penasaran.

Aku mengangguk, “Enak tenan (enak sekali) Mbah”.

“Tidak kurang asin?” Tambah embah

Aku menggeleng, “Wis pas Mbah”.

Mbah tersenyum dan mulai menggiling adonan puli


itu. Setelah digiling, Aku membantu Mbah mengirisnya menjadi
kotak-kotak, macam kerupuk lah. Setelah itu, puli diletakkan di
atas tampah kemudian di jemur di atas genteng atau di atas
pagar. Sore hari tampah diangkat. Puli yang telah kering, di
goreng, jadilah kerupuk puli. Kerupuk itu kemudian di
masukkan ke dalam blek (toples kerupuk) dan siap dinikmati.
Kerupuk puli seakan menjadi bagian dalam hari-hari keluarga
ku, tak pernah kekurangan stok, karena Mbah selalu
membuatnya tiap hari (lebih tepatnya jika ada sisa nasi
kemarin ;)). Makan nasi tanpa kerupuk puli rasanya hambar.
Nonton TV tanpa ngemil kerupuk puli, rasanya gag asyik.
Begitulah kerupuk puli, camilan sederhana itu, menjadi sesuatu
yang sangat berharga bagi keluargaku.

70
Badai Senja di
Lereng Prau

PENDAKIAN kali ini dimulai dari kota kembang


bersama Lia, Intan dan Miko. Kali ini mereka menggunakan
kereta api yang berangkat menuju Stasiun Kiaracondong.
Perjalanan menuju stasiun berjalan dengan lancar dan mereka
langsung masuk ke stasiun untuk menunggu datangnya
kereta.

71
Akhirnya kereta tiba dan mereka siap berangkat
menuju Purwokerto. Perjalanan menuju Purwokerto ditempuh
selama 8 jam. Setibanya di Purwokerto semesta kurang
mendukung karena cuaca hujan, maklum karena mereka
mendaki bulan April yang merupakan musim peralihan. Perut
yang sudah keroncongan juga harus segera diisi segara. Ryan
dan Miko segera mencari makan di sekitaran stasiun.

Setelah mencari makan mereka harus melanjutkan


perjalanan menuju patak banteng dan mencari moda
transportasi yang sudah tak ada karena waktu menujukan
pukul setengah 11 malam. Akhirnya mereka bertemu dengan
pendaki lain yang juga menuju Prau dan mereka sudah
memesan pick up, setelah ngobrol-ngobrol dan menetapkan
harga patungan akhirnya mereka sepakat untuk berangkat
menuju Dieng bareng.

Perjalanan menuju Patak Banteng harus ditempuh


selama kurang lebih 3 jam. Belum lama berjalan hujan kembali
turun dan karena pick up tak ada penutupnya jadi mereka
harus memegangi terpal agar tak kehujanan. Ditengah
perjalanan hujan berhenti dan akhirnya bisa melihat jalanan
nan sepi di malam hari menuju Dieng. Ketika memasuki Desa
Patak Banteng udara dingin mulai terasa, Akhirnya pukul 2
malam mereka tiba di basecamp.

72
Esok paginya Ryan terbangun pukul 5 pagi dan
melihat kondisi cuaca di luar, yap semesta sepertinya
mendukung hari ini karena cuaca cukup cerah, Lia dan intan
masih tertidur sedangkan Ryan dan Miko melakukan packing
ulang untuk logistik dan keperluan lain.

Setelah semuanya siap, Mereka mencari makan di


sektiaran basecamp dan pilihan jatuh pada mie ongklok.
Sambil menunggu mie ongklok jadi, Ryan dan Lia melakukan
pendaftaran di pos penjagaan.

“Kang istimewanya gunung prau apa si?” Tanya


wanita itu.

“Gunung Prau atau Prahu disebut puncak seribu


bukit, karena bentuk permukaannya yang berbukit-bukit.
Dikenal dengan Bukit Teletubies dan padang bunga Daisy,
prau memang bikin pendaki betah berlama-lama. Mendaki
gunung prau bukan sekedar menikmati dingin dalam kabut
atau hangat dalam sinar matahari pagi. Banyak hal yang bisa
dilakukan setelah momen sunrise berakhir.”

Dua mie ongklok datang dibawa oleh seorang bapak


dengan kupluk yang dipakainya.

Setelah mengurus perizinan mendaki, Mereka


langsung menapaki kaki-kaki mengikuti jalur setapak yang

73
menghubungkan Patak Banteng dengan puncak Prau. Yaa,
jalur yang sangat terjal menguras tenaga namun tetap indah
untuk di lewatinya.

"Woow indah sekali kang!" Kata-kata dari bibir Lia


tepat di depan gapura pendakian, yang mampu memberi
gairah pada semangat Ryan yang makin menggebu.

"Hal-hal seperti inilah yang membuat saya jatuh hati


pada tempat-tempat dengan suasana serperti ini." Jawab Ryan
pada Lia.

"Berarti kita sehati kang, walau pengalaman ini yang


pertama kali buat aku, tapi aku suka dengan tempat-tempat
seperti ini." jawab Lia dengan bibir yang tersenyum indah
dengan mata yang berbinar memancar kesegala arah
menikmati bukit-bukit disekitar desa Patak Banteng.

Jawabannya mampu menggetarkan hati Ryan yang


telah lama beku, ia tak pernah merasakan sempringah seperti
ini, bahkan saat bersama mantan-mantannya dulu.

"Ini belum seberapa, di puncak sana kita akan


disuguhi pemandangan dari serpihan surga yang terlempar ke
dunia. Kita akan berada di negeri diatas awan seperti pada
dongeng-dongeng negeri khayangan." Jawab Ryan sembari

74
menunjuk ke arah puncak gunung Prau. Yang disambut wajah
Lia yang makin berbinar.

Wanita itu mendeham "Hmm, penasaran." wajahnya


makin merona penuh suka cita. Celana cargo hitam dengan
jaket parasut merah yang membuat Lia tampak anggun.

Dan Ryan pun hanya menganggukan kepala dengan


tatapan yang tak henti memandang wajah cantik Lia.

Dan tak bisa dipungkiri, semenjak kehadiran Lia


dalam hati Ryan, kini hidupnya tidak lagi terisi oleh lembaran
kertas kosong. Kehadiran Lia mampu melukis setiap harinya.
Ponsel yang dulu jarang diisi baterai, kini rajin di cek, untuk
memastikan penuh atau tidak.


“Ingat ya, jangan mengambil apapun kecuali
gambar, jangan membunuh apapun kecuali waktu, dan jangan
meninggalkan apapun kecuali jejak!” Ujar Ryan mengingatkan
Lia dan rombongan.

Lia hanya mengangguk paham, belum apa-apa ia


sudah dibanjiri keringat dibalik jaket parasut yang ia kenakan.

75
Di awal pendakian mereka akan melewati ladang
warga sampai di Pos 1. Pos 1 jaraknya sangat dekat hanya 10
menit dari basecamp. setelah melewati pos 1 hujan turun dan
mereka beristirahat sekaligus memakai jas hujan. Pos 1
terletak dibelokan jalur, dengan pos yang kecil dan beberapa
kursi panjang untuk beristirahat. Ryan mengajak Lia ke pos
untuk mengenakan jas hujan dan melapisi carrier dengan
parasut agar tidak ada air yang masuk

Ryan tak lama berhenti dan langsung melanjutkan


perjalanan dengan mengikuti ritme langkah Lia. Jalur menuju
pos 2 lebih di dominasi oleh tanah, namun teta dengan
pijakan-pijakan kayu yang memudahkan pendakian untuk naik.
Terdapat sekitar 6 warung yang masih tutup di sepanjang jalur
menuju pos 2. Maklum gunung Prau memang dianggap
sebagai gunung wisata, jadi akses menuju sumber makanan
dan air harus sudekat. Terlihat napas Lia mulai tak terkendali
dan Ryan menganjurkan untuk istirahat terlebih dahulu.

Setelah beristirahat sejenak mereka melanjutkan


perjalanan dan hujan masih terus turun mengiringi perjalanan.
Sekitar satu jam berjalan santai, da saling melontarkan lelucon,
tanpa sadar mereka akhirnya tiba di pos 2. Pos 2 hanya
memiliki papan penanda tanpa adanya gubug seperti pos 1.
Karena setamina belum terlalu terkuras, Ryan menganjurkan
untuk kembali melanjutkan perjalanan.

76
Medan menuju pos 3 mulai menanjak sedikit demi
sedikit. Jalur tanah yang licin akibat tersiram hujan menjadi
licin. Entah karena habis makan cemilan atau sudah terbiasa
dengan ritme pendakian Lia dan Intan berjalan lebih cepat.
Angin dingin yang berhembus dari puncak mulai Lia rasakan
ketika berjalan menuju pos 3.

Setelah berjalan sekitar 45 menit sampai juga di pos


3. Pos 3 sama seperti pos 2 tak terlalu luas tetapi cukup jika
membuka satu tenda sampai dua tenda. Terlihat Lia sudah
kedinginan akibat hujan, jadi Ryan memutuskan untuk tak
lama-lama berisitrahat.

Dari pos 3 medan sudah mulai curam dengan


tanjakan-tanjakan yang cukup terjal. Ryan mengingatkan Lia
untuk berjalan pelan-pelan saja yang penting konsisten.

“Fokus, jangan bengong!” seruan-seruan semacam


itu terdengar sepanjang perjalanan dari pos satu menuju pos 3.
Ryan cukup cerewet di pendakian ini, namun Lia mafhum
semua karena ia begitu ingin menjaganya.

"Aduh kang, cape. gak nyangka ternyata mendaki


gunung itu melelahkan ya." Lia mengeluh membungkukkan
tubuhnya sembari mengusap keringatnya yang sudah mulai
membanjiri seluruh wajahnya.

77
"Aaahh kata siapa, mendaki itu sangat
menyenangkan, bila kita bisa menikmati ritme-ritme yang harus
kita lewati, tergantung dari sudut pandang yang mana kita
melihatnya.”

“Coba kamu lihat, sekeliling kita yg gelap ini, walau


disini terlalu pekat tapi pandanglah keatas, disana terdapat
hamparan bintang yang menghiasi langit kita, dan juga lihatlah
ke bawah, disana juga terdapat kerlap-kerlip indah lampu kota
yang sungguh menawan, yang kadang terlupakan oleh kita
karena terfokus pada terjalnya jalur dan pekatnya malam yang
kita lewati ini.”

“Dan ini baru perjalanan malam, tapi saat fajar nanti


pemandangan akan jauh lebih indah dari yang kita
bayangkan." Miko membuka suara untuk menyadarkan Lia
akan indahnya alam sekitar.

"Waahh iyaa yaa kang, kok dari tadi aku gak ngeh
kalo ternyata pemandangannya sangat indah..." ucap Lia
dengan wajah yang kembali berseri. Sembari menyebar
pandangannya menikmati pesona Dataran Tinggi Dieng dari
ketinggian.

"Hmm... selayaknya kehidupan ini, kadang kita lupa


akan anugerah yang diberikan Tuhan pada diri kita, karena kita
terlalu fokus pada kekurangan kita." Ryan pun menjelaskan

78
dengan nada sok bijak sambil tersenyum manis melihat wajah
manis Lia yang makin manis.

“Okee, yuukk kita mulai lagi perjalanannya, yang


penting kita jangan terfokus pada getirnya perjalanan, tapi
fokuslah pada indahnya pemandangan yang disajikan disetiap
jengkal perjalanan ini." ucap Ryan menyemangati Lia.

"Okee kang." jawab Lia dengan gaya lincah dan


manja.

Pejalanan kembali dilanjutkan melewati jengkal demi


jengkal jalur yang kian menantang, Lia yang semula mengeluh
kini semakin antusias dalam melangkahkan kakinya ke tanah
yang lebih tinggi.

“Kamu masih kuat, kan? atau mau istirahat dulu?”


Ryan menggenggam lengan Lia ketika napasnya terdengar
mulai memburu.

Ryan tak segan untuk membasuh keringat di wajah


Lia yang sedang kepanasan dengan handuk kecil yang ada di
carrier. Sederhana memang, tetapi percayalah perhatian kecil
seperti itu berhasil melekat dalam ingatan Lia..

Perjalanan menuju camp area melewati bukit


teletubis dengan medan yang datar. Setelah 15 menit berjalan
dengan terus diiringi air yang turun dari langit.

79
Puncak gunung memang bukan segalanya, tetapi
bukankah hampir setiap pendaki pasti ingin mencapainya?.
Begitu juga dengan Lia. Disaat dirinya nyaris menyerah pada
sepertiga perjalanan menuju puncak Prau, Ryan dengan sabar
mengingatkan Lia bahwa sebenarnya ia masih mampu menuju
puncak bila Lia mau sedikit berusaha melawan mental yang
mulai melemah. Dan Ryan benar, meskipun harus memakan
waktu berjam-jam akhirnya Lia berhasil juga tiba di puncak
Prau dengan perasaan lega yang luar biasa.

Ketika tiba camp area masih sangat sepi dan Ryan


segera memilih tempat untuk membuka tenda yang tak terlalu
terkena angin langsung. Entahlah, Lia rasa dengan Ryan, Ia
mampu melakukan apapun.

Yaa, setiap langkah adalah menambah ketinggian,


begitulah gambaran tentang perjalanan mendaki gunung. Dan
setapak demi setapak, setelah hampir 2 jam perjalanan kini
sampailah di puncak gunung Prau.

Tak seperti di gunung-gunung lain, tak ada plank


penanda maupun tugu yang berdiri kokoh disini, kecuali plank
kecil yang terletak di atas tanah bertuliskan “puncak prau”.
Memang, di area tertinggi dari tanah lapang ini memiliki papan
kayu besar bertuliskan “Sunrise camp 2565 mdpl”.

80
Cakrawala menampakkan diri pada pukul 18:15 wib.
Fokus Lia dan Ryan langsung tertuju pada sunset di puncak
prau ini, dengan indahnya cahaya keemasan dari ujung barat.
Tak seperti gunung lain yang pernah Ryan jelajahi, Prau
ternyata menyajikan sunset yang sungguh indah.

“Subhanallah, keren banget kang viewnya.” sontak


wajah Lia berbinar-binar menyaksikan pemandangan dari
sunrise camp ini.

"Inilah surga yang tersembunyi itu, dimana Tuhan


sengaja menyembunyikannya dari hiruk-pikuk keramaian,
hanya untuk kita, kita yang mau berjuang mendaki. Yaa, hanya
para pendakilah yang bisa menikmati pemandangan seperti
ini." ucap Ryan sembari menatap wajah sendu Lia, dengan
kedua tangannya yang menyentuh pipi Lia.

Suasana pagi itu sangat syahdu, pesona sunset


dengan bayangan siluet gugusan Sindoro-Sumbing, dengan
lautan awan nan luas tanpa batas, dari kejauhan nampak
Merbabu-Merapi yang nampak kecil karena efek jarak yang
membentang. Dan puncak yang luas dengan bukit-bukit
berjejer menghijau nan indah. Inilah pemandangan khas
puncak gunung Prau.

Disaat mentari mulai merayap berganti pekat, Ryan


dan Lia duduk manis di bangku-bangku panjang di area camp

81
sunrise untuk menikmati keindahan momen ini detik demi
detik, tanpa sadar Lia menyandarkan kepalanya di pundak
Ryan, membuat hati Ryan dak dik duk tak menentu.

Ini adalah rasa yg entah kapan terakhir kali Ia


merasakannya, romantisme kehidupan yang telah lama hilang,
dan baru kali ini Ryan merasakan kabahagiaan dan kedamaian
jiwa yang syahdu.

Saat kau dan aku menatap setapak tanah yang


berliku, menanjak, dan menurun dengan curam. Tapi, kita
berdua tahu bahwa bagaimanapun beratnya, jalan ini dapat
kita lalui bersama. Selama jemari kita tetap bertaut, menarik
dan menjaga satu sama lain, saat kita terperosok meupun
tergelincir. Kita berdua tahu perjalanan ini tidak akan mudah,
namun kita percaya bahwa perjuangan ini layak untuk kita
lakukan. Karena pada akhirnya setiap perjuangan yang kita
lakukan akan terbayar lunas. Baik hamparan padang edelweis
yang sedang bermekaran abadi ataupun lautan awan yang
berarakan dengan gembira dibawah kaki kita.

82
“Kamu terlihat seribu kali lebih indah dalam
rengkuhan hutan dan lebih gagah saat merangkak menuju
puncak gunung. Mulai dari sini, saya akan mencintaimu seribu
kali lebih dalam.” Ucap Ryan memandang Lia dalam tenang.

Gadis itu kembali menyandarkan tubuhnya di


pangkuan Ryan, ketegangan yang terjadi di tubuhnya kini
sekejap berubah menjadi kedamaian dalam jiwa. Seperti
lembutnya awan yang membalut cakrawala. Ia tak peduli apa
yang akan terjadi esok hari. Yang jelas, disini, diatas awan ini
cintanya bersemi.

“Hanya padamu Lia, yaa hanya padamu.” Ujar Ryan


dalam hati dan memandang Langit yang mulai mendung

Setelah tenda siap Ryan mempersilakan Lia segera


masuk tenda. Di dalam tenda Ryan melihat pakaian Lia basah
dan segera Ryan menyuruhnya untuk mengganti. Karena akan
mengganti pakaian otomatis Ryan diusir dari tenda, walaupun
kondisi sedang hujan.

Setelah Lia mengganti pakaian Lia segera masak


karena Ryan terlihat sangat lelah, kelaparan, dan kedinginan.
Setelah makan, hujan perlahan mulai berhenti tetapi kabut
tebal masih menyelimuti tempat camp. Ryan pun keluar tenda
untuk mencari Miko dan Intan yang berpencar ketika dipuncak.
Setelah berputar putar Ryan belum juga menemukannya.

83

Pilihan yang lain


Kamu mentaku mnjadi penasihat? Nyatana aku idak
pandai mmotivasi diri sendiri, apalagi untuk orang lain?.

Biasanya ktika kita mminta al pada seseorang, maka


oang lain itu mmberikan apa yang dimintanya. Dalam hal in,
ktika seseorang kehilangan motivasi maka aka nada orang
yang mmbrikan deretan kata-kata hebat dalam kamusnya.
Mempercantuk bahasanaya agar yang diberikan oelhnya
mampu membangkikan semangatnya lagi. Tapi nyatanya aku
tidak bias seperti itu.

Jika kamu mminta itu pada saya, maka saya akan


mmberikan hal yang lain, bukan kata-kata yang manis nan
mnawan itu, mlainkan pilihan yang lain.

Saya hanya bias menemani kbebosananmu.


Mluangkan waktu snenak, mnuju tmapt-tmpat yang tak kita
rncanakan. Mlarikan diri k mpat yang menyenangkan, agar kau
sejenak mlupakanan masalahmu.

84
Setelah itu, aku hanya berharap bias mematikan
kebosananmu, lalu mnghidupkan kmbali semangat yang
mnggebu seperti biasanya. Saya tidak bisa memberikan apa
yang kamu minta, ahanya saja aku punya pilian lain untukmu.
Semoga kamu bisa mnrimanya. Itu saja.

Senja pun tiba tetapi hujan mulai turun kembali dan


Ryan segera kembali ke tenda untuk masak yang anget-anget.
Malam hari Ryan keluar kembali untuk mencari Miko tetapi
belum ketemu juga dan karena sudah mengantuk Ryan
akhirnya kembali ke tenda. Lia juga terlihat sudah mengantuk
dan bersiap untuk tidur. tapi Ryan harus keluar tenda sejenak
untuk memastikan guyline terpasang dengan sempurna karena
angin menerpa dengan sangat kencang malam itu.

Ditengah malam Ryan terbangun karena seperti ada


yang memanggil-manggil namanya, yap benar saja ternyata
Miko baru sampai dan mencarinya. Ryan pun keluar menuju
tenda mereka dan memasakannya karena semua sudah
kedinginan akibat kehujanan selama pendakian. Rupanya
semesta benar-benar tak mendukung sepanjang hari ini.

Esok paginya cuaca cukup bersahabat karena


matahari mulai terlihat dan akan menghangatkan tubuh-tubuh

85
pendaki. Ryan dan Lia bersiap menyambutkan sang surya dari
ujung camp.

Setelah puas berfoto dan menikmati sang mentari


Lia kembali ke tenda untuk menjadi koki dadakan. Di pagi itu
juga semua tenda menjadi jemuran dadakan bagi para
pendaki, setelah makan dan menjemur Ryan dan Lia berjalan
jalan menjelajah sekitaran tempat camp dan menikmati
pemandangan Prau.

Setelah puas berfoto dan mengelilingi camp area


mereka kembali dan packing untuk bersiap turun via jalur
Dieng. Kali ini mereka turun bertujuh karena teman Miko juga
turun lewat jalur Dieng, katanya kapok saat hujan lewat Patak
Banteng. Cuaca mulai berkabut ketika melewati Bukit
Teletubis.

Perjalanan turun ke Dieng lebih cepat dari naik, kami


hanya membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai di basecamp
Dieng. Setelah sampai mereka beristirahat dan bersih-bersih
sebelum melanjutkan perjalan ke Wonosobo. Di Dieng mereka
harus berpisah dengan teman Miko yang berasal dari
Semarang karena naik travel dari Dieng. Pukul setengah 3
mereka langsung menuju Wonosobo naik bus dari depan
tulisan besar Dieng karena mengejar bus yang ke Bandung
tapi sampai di terminal ternyata tiket sudah habis untuk hari ini
dan baru ada untuk esok pagi! Miko benar-benar lupa
memesan tiket jadi terpaksa harus bermalam di Terminal

86
Mendolo semalam. Esok pagi barulah mereka berangkat
menuju Bandung.

Kutulis untaian puisi dalam secarik awan, untukmu


kehidupan, untukmu alam, dan untukmu Ryan. Mengenalmu
adalah sebuah tragedi semesta yang begitu indah.
Diperlombaan puisi bulan lalu, aku memberanikan diri untuk
bertatap langsung dengan penulis ajaib yang bagaimana
ceritanya dapat membuatku kembali menertawakan masa lalu,
masa dimana hatiku kelu, dan masa dimana nestapa enggan
berlalu.

Kau tersenyum megah tanda kau suka caraku


bertemu orang baru. Apa kumis itu boleh untukku? Kau manis
mengenakannya. Apa rambut gondrong itu boleh ku jadikan
koleksi? Kau gagah ketika mengikatnya. Sungguh anggun kau
menjajaki kaki di berbagai gunung.

Apa boleh buat bila saat ini aku ingin menjadikanmu


sahabat atau jika boleh lebih, suatu saat ku harap tanganku
dapat kau genggam erat. Tanpa melepaskan. Dengan
keikhlasan.

87
Terlihat sepele memang, bagaimana bisa
kata yang keluar dari bibir seseorang
mampu begitu menguatkan, namun
sebaliknya bisa juga sangat menyakitkan.

Aku yakin, semakin dewasa seseorang


bisa memilah kalimat apa yang pantas
keluar dai mulutnya, minimal tahu
bagaimana untuk berkata baik, atau
diam.

88
Bagian Empat

89
Setelah menonton TV
kegiatanku biasanya bermain,
sendiri atau bersama teman.
Jika sendirian, aku bermain
bongkar pasang. Kadang
membuat rumah-rumahan dari
tanah atau batu atau bantal-
guling. Kadang bermain masak-
masakan dari pelepah pisang
dan membuat kue dari
campuran tanah dan air,
kemudian dipanggang alias
dijemur di bawah terik matahari
hingga kering. Berbagai bentuk
dan macam kue berhasil
kuciptakan, hanya bermodal air
dan tanah, kreatif bukan?! Ah…
andai laku dijual, sudah jadi
juragan kue aku sekarang.

Untuk masak-masakan biasanya aku melibatkan


pisau untuk mengiris bahan-bahan yang terdiri dari pelepah
pisang dan daun-daun tanaman. Tapi, jika Bapak melihatnya,
ia akan melarang dan menasehatiku panjang lebar bahwa
anak kecil tidak boleh mainan pisau, bahaya kalau teriris.
Sekali lagi, semuanya hanya masuk telinga kanan keluar
telinga kiri untuk anak bebal seperti ku. Nasehat dan

90
peringatan Bapak tak pernah kugugu. Akibatnya, jariku kerap
kali teriris pisau (benar kata Bapak). Belum sembuh luka di jari
telunjuk, datang luka teriris yang baru, muncul di jari tengah.
Belum sembuh luka yang di jari tengah, muncul yang baru di
kelingking. Begitulah, hingga banyak hansaplast yang
menghiasi jari-jariku.

Hal macam itu tak sedikitpun membuat jera, meski


perih saat darah mengalir dari jariku yang teriris. Saat
tanganku teriris, aku menangis, kemudian bersembunyi di
dalam lemari pakaian, merintih, menahan, takut ketahuan
Bapak. Ibu ku yang peka, segera menyadari, membimbingku
keluar dari lemari dan membalut lukaku dengan perban atau
hansaplast. Kemudian, mengajakku berbaring, mengipasiku,
atau kadang meniupi jariku yang di perban, dan memintaku
untuk tidak menangis lagi. Sebenarnya aku menangis bukan
karena sakit. Ah… rasa sakit macam ini sudah biasa. Aku
menangis karena takut dimarahi bapak.

Aku menatap wajah ibuku, memelas dan berkata,


“Ojo diomongne Bapak ya Buk! (jangan bilang ke Bapak ya
Bu!)”.

Ibuku mengangguk pelan.

“Janji ya!”, aku memastikan.

Ibuku mengangguk lagi.

91
Kemudian, perlahan-lahan kupejamkan mataku,
tertidur. Air mataku telah mengering. Dalam kelonan (dekapan)
ibu, aku merasa tenang. Tiupan ibu ke jemariku yang terluka,
begitu menyejukkan. Semuanya terasa tenteram. Sebenarnya
aku tak pernah bisa menyembunyikan luka teriris itu dari
Bapak. Meski Ibu tak pernah mengadukannya. Perban di
tanganku itulah yang selalu berucap tanpa kata pada Bapak,
memberitahu bahwa sekali lagi anaknya tak mengindahkah
nasehat-nasehatnya.

92
Menemukanmu

PAGI-pagi benar Lia telah berdiri di hadapan kalender.


Tak terasa waktu telah berlalu. Hari berganti hari, minggu
berganti minggu, bulan berganti bulan. Seminggu lagi anak
kelas 12 SMA akan menghadapi ujian akhir Nasional tepatnya
hari senin tanggal lima belas bulan empat.

93
Lalu minggu berikutnya disusul oleh ujian akhir Nasional
siswa menengah pertama. Lia tidak menyangka bahwa ia
sudah kelas 3 SMA dan ia harus melaksanakan ujian nasional,
Ia tak menyangka bahwa ia sudah akan masuk perguruan
tinggi saat ia lulus nanti.

Akhirnya hari yang menegangkan itu datang juga,


yaitu hari di mana seluruh siswa Sekolah Menengah Atas dan
Madrasah Aliyah di seluruh pelosok negeri ini menghadapi
Ujian Nasional. Sebenarnya Ujian Nasional tidaklah
menakutkan bagi siswa yang benar-benar serius kala belajar.

Pria tua beruban itu mengantar Lia dengan sedan


biru tua yang dikendarainya, menyalip kendaraan lain, tanda
bahwa ia sedang terburu-buru. Hari ini Lia akan menghadapi
Ujian Nasional beberapa hari. Setiap buku yang ia pelajari
semalam membuatnya begitu siap dengan pertanyaan
menyebalkan dalam secarik soal yang disediakan sekolah.

“Lia” ucap seseorang menghampiri Lia.

Lia mendongak mencari sumber suara yang tidak


familiar ditelinganya.

“Kemarin kamu mendaki bersama kang Ryan?”


tanyanya

“Iya, hmm ada yang salah yah?”

94
“Oh tidak, kemarin saya kerumah Lia tapi kata
bapak, Lia pergi mendaki.”

“Yasudah yuk masuk.” Jawab Lia.

Selama 3 hari ia harus berperang dengan kertas


yang akan menuntun ia ke masa depan. Sebuah cita-cita untuk
masuk fakultas sastra sepertinya akan segera terlaksanakan.

Ruang ujian yang berada di lantas 3 akan menjadi


saksi perjuangan Lia. Matanya fokus dengan soal yang
dihadapinya, tidak butuh waktu lama untuk mengisi soal
bahasa indonesia untuk Lia, dibacanya berulang kali soal dan
jawaban yang ia tuliskan, takut ada kesalahan.

Hari demi hari telah dilewati oleh seluruh peserta


Ujian Nasional. Disusul seminggu kemudian oleh para siswa-
siswi sekolah Menengah pertama dan Madrasah Tsanawiyah.

Berusaha untuk tetap hidup


Selepas nenek sakit, Bandung bukan tempat yang
sempurna untuk Ibu, diwajibkan untuknya pulang ke kampung
halaman untuk mengurus nenek. Entah mengapa nenek
enggan untuk tinggal di Bandung bersama kami. Katanya; ada

95
banyak kenangan indah selepas meninggalnya kakek di
gunung Arjuno. Kakek meninggal kala aku berumur 5 tahun.
Hobinya untuk berkelana diwariskan untukku. Karena kejadian
itu ayah gigih untuk selalu melarangku menaklukan gunung
,katanya jika aku menaklukan alam, maka alam akan
menaklukanku. Namun kata nenek jika kita mencoba
bersahabat dengan alam, maka alam akan menjadi sahabat
baik untuk kita singgahi.

Kakek dikatakan meninggal setelah hilang selama 4


hari, kala itu kabut menuntun ayah untuk berpindah jalur yang
membuatnya tersesat di ujung tebing dan ilalang tinggi. Kabut
memang membahayakan untuk pendakian, karena
kehadirannya mampu memudarkan jarak pandang, bahkan
headlamp pun tak mampu menembus ganasnya kabut.

Kakek bilang. Jika ingin menjadi pendaki, kau harus


siap ditaklukan alam, dan kau harus tahu cara berahabat jika
alam menaklukan kita.

Tak terasa sudah memasuki pertengahan Agustus,


tepatnya sudah 3 tahun Lia sekolah di sini. Di situ Lia banyak
mendapat teman-teman baru. Teman sebangkunya adalah
Zahra, gadis periang dengan kaca mata bulat sebagai hiasan.
Ia selalu tertawa walau badai topan datang menerpanya.

96
Kedua orang tuanya sudah meninggal ketika ia masih
sekolah dasar karena kecelakaan. Tetapi entah hatinya terbuat
dari apa, ia seolah tak ada beban, hatinya begitu kuat, seakan
cobaan hanya ia anggap sebagai angin lalu, berbeda dengan
Lia yang semenjak ia ikut sang Bapak pindah ke Bandung dan
meninggalkan sang Ibu, Lia menjadi pemurung dan kurang
bersosialisasi dengan orang-orang sekitarnya.

Pengumuman kelulusan akan diberitahukan sebulan


kemudian. Ini waktu yang cukup lama bagi para Siswa dan
siswi untuk merefreshingkan otaknya.

Ketika bulan yang ditunggu-tunggu itu datang, di mana


para siswa menjadi jantungan karena bula yang banyak
membuat orang tertawa juga menangis.

Lia lulus dengan nilai memuaskan, ia akan mendaftar di


kejuruan tinggi di Klaten, tempat ia lahir. pesta coret-coret
menjadi ciri khas yang identik dengan kelulusan.


Sudah 3 minggu semenjak Lia tidak bertemu Ryan. Ia
ingat satu tempat kala Ryan membawanya dulu. “Kedai kopi
itu, ya, pasti Ryan disana.” Ujar Lia yang kemudian
meninggalkan kerumunan pelajar yang sedang merayakan
kehilangan.

97
Dicarinya kendaraan umum yang siap menampung
remaja yang baru lulus menuju Jalan Dago di daerah Praga.
Kala itu masih cerah senyum mentari menyapa lalu lalang
orang yang siap menyampaikan semangatnya pada
pekerjaannya masing-masing.

Kafe tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa remaja


yag sibuk dengan laptopnya, kang Miko sibuk mengatur design
panggung yang kemungkinan akan diubah.

“Kang!” ujar Lia menyapa pria medan itu.

“Ehh Lia, apa kabar kau, tumben main kesini yah,


haha” Jawab Pria medan itu sembari menepuk pundak Lia,
tanda menyapa.

“Ah iya kang, hmm kang Ryan ada?”

“Ada”

“Dimana?”

“Ah bukannya dia selalu bersama kau?”

“Hilang semenjak 3 bulan ini!” Wajah wanita itu


muram.

“Akang tau rumahnya?” Lanjutnya.

“Tau!”

98
“Dimana?”

“Hatimu!”

Suasana sedikit hening kala miko menjawab pertanyaan


Lia dengan mata yang tajam, ada kejujuran dimatanya, ada
senyum di raut wajahnya. Namun jawaban itu tidak membuat
Lia menjadi tenang, melainkan risau.

Kala kabut hilang, dan awan sibuk


memantaskan.
Saya punya cerita, perihal alam dan sastra, perihal
dia dan kita, saat mendung mengganti pusarannya dengan
cairan kesejukan, ada rindu katanya, harus kutitipkan semua
perihal kau ditiap tetesannya. Berlebihan kah?, ku pikir tidak,
bukan puisinya yang berlebihan, tapi cinta saya. Kau terlalu
baik mengajari saya luka hingga luka itu berhasil untuk
menghapus saya

Menyadarkanmu hanya akan menyakitiku, dan


bersamamu adalah keinginanku.

Mungkin harus ku bawakan kau selusin harapan,


meski hanya kesia-siaan yang akhirnya aku rasakan.

99
Mungkin harus ku bawakan kau setangkai bunga
tidur, meski hanya ketidak pedulian yang membuat bunga itu
gugur.
Mungkin harus ku bawakan kau sebuah taman.
Meski hanya jawaban menyakitkan dengan nada kita hanya
teman.

Pada bagian ini Lia seperti terhipnotis, ia tak bosan-


bosannya kembali membacanya. Sebuah kalimat yang sulit
untuk dimengerti tapi seakan tahu isi hati.

Miko menghampiri Lia yang sedang asik membaca buku


di meja paling ujung dekat dengan panggung. Diberikannya
surat beramplop merah, bertuliskan Untuk Lia.

“Lia, ini kemarin ada surat dari Ryan!”


“Terimakasih.” Jawabnya, dibukanya amplop berwarna
merah itu dengan tergesa hingga membuat isinya ikut sobek.

Selamat malam, siang, sore, pagi.

Tergantung kamu membaca di waktu apa.

100
Perkenalkan saya Ryandra putera aksa, yang entah
bagaimana ceritanya telah jatuh cinta dengan sosok wanita
yang konon bernama Lia.

Apa kau mengenalnya? Kalau kenal, tolong beritahu


ia, maaf jika saya menghilang, tanpa ponsel saya tidak bisa
mengintip apapun prihalmu, yang saya tahu disini serba
keterbatasan, termasuk sinyal. Seminggu lagi saya akan
kembali, tunggu saya pulang. Setelah bendera merah putih
saya kibarkan di gunung Binaiya maluku.

Ryandra putera aksa

“Pasti, rumahmu hatiku.” Batin Lia.

Seorang pemuda berkacamata dengan rambut ikal


mengampiri Miko sambari membisik sesuatu. Pria kurus
dengan jaket kanvas berwarna krem itu adalah Dwi Alvian,
adik dari Ryandra Putera Aksa.

“Kak tadi bang Ryan ngasih kabar lewat telepon,


katanya kemungkinan ia akan pulang lebih lama karena
dokumenter tentang gunung BInaia yang harus di selesaikan,
ia tadi bilang sempat tersesat di hutan dan malah
menggunakan jalur yang tidak biasa untuk mencapai puncak,
jalur pendakian biasanya hanya membutuhkan waktu 20 Jam

101
karena untuk mempersingkat waktu ia kembali turun dan
memilih jalur awal yaitu dari Paliana.” Jelas nya.

Baru ingin bahagia karena Ryan akan tiba, Lia kembali


terfikir oleh Ryan yang terlampau nekat demi sebuah project
dokumenter. Walaupun itu sebuah pekerjaan sekaligus hobi
tetap saja ia egois dimata Lia, tanpa mementingkan
keselamatan diri sendiri ia malah memperkaya orang lain.

“Namamu Dwi Alvian yah?” Tanya Lia kepada pria yang


sedang mengobrol dengan Miko, Miko permisi untuk mengatur
design panggung yang akan di ubah. Serta banyaknya buku
yang sementara akan di gudangkan, Lia berminat untuk
membawanya dulu sementara.

“Iya kak, Namaku Dwi Alvian, panggil saja Alvi,


Tulisanku juga tak kalah bagus sama penulis yang bukunya
sedang kakak pegang.” Jawab Alvi dengan matanya yang
menuju buku yang ditulis oleh Ryan.

“Wah hebat yah, tidak adik, tidak kakak, semua penulis.”

“Ah, bisa saja pacar bang Ryan ini, hehe.”

Alvi memesan coffe susu untuk menemaninya


berbincang dengan Lia, perbincangan panjang yang akan
menjadi bahan bakar Lia untuk mencari tahu lebih dalam
tentang Ryan. Alvi merupakan pelajar SMP, pemuda yang
memiliki hobi yang sama dengan kakaknya Ryan, berkelana

102
dan menulis sepertinya sudah menjadi bibit tangguh dalam
keluarga Ryan.

“Nama kakak siapa?” Tanya Alvi

“Adelia Fatmawati, panggil aja Lia.”

“Tapi kok di puisi bang Ryan judulnya Puteri duyung


tawananku?”

“Hah, puisi apaan?” Lia kaget. Alvi mengeluarkan


selembar kertas sobekan yang mungkin ia curi dari buku Ryan.
Diberikannya lembaran itu kepada Lia, Judulnya memang
berhasil memporakpogandakan hati, tapi apa itu benar untuk
Lia?, atau hanya sebuah kiasan belaka?

Puteri duyung tawananku


Hujan bergema
Petir melerai
Sebuah pertemuan dua insan dengan berbagai pesakitan.
Pemberhentian terakhir dari sebuah pencarian.
Cintamu ku tahan
Hatimu ku tawan.

103

Sejenak melamun, Alvi membuyarkan lamunan Lia,


“Kenapa bengong kak? Kebawa perasaan yah?” Ledek Alvi.

“Eh, apasi!” Ujar Lia malu malu.

“Setahu saya, bang Ryan memang senang gombal di


sosial media, tapi saat ketemu kakak, dia gak pernah lagi
baperin wanita di sosial media." Jelas Alvi.

“Oh iya kak, bang Ryan sempat mengirm video.” Lanjut


Alvi menunjukan video yang direkam Ryan.

Hei, apa kabar?

Bukan kamu, tapi hatimu, apa masih ada saya


dihatimu? Jika masih tunggu saya pulang. Disini indah, serasa
tidak ingin dipisahkan dari tempat ini, tapi saya sadar, di
Bandung ada kamu yang harus saya bahagiakan. Kamu lihat
petani itu, ia sibuk mencangkul untuk menanam benih tanaman.
Dan disini pun, saya sedang mencangkul untuk memperdalam
cintamu untuk saya. Salam untuk bapak. Nanti kita cerita-cerita
lagi. Sampai jumpa.

104

Air mata yang mencoba dibendung akhirnya jebol juga,


ia tak sanggup menahan rindu yang serasa berat hinggap di
benak. Diputarnya berkali-kali linimasa video untuk
memastikan bahwa itu memang Ryan. Bukan orang lain yang
sedang menyamar menyerupai wajahnya.

Alvi hanya diam, ia membebaskan Lia untuk menangis,


setidaknya untuk meredam sedikit rasa rindu yang sudah lama
ia simpan.

Sudah 3 bulan tanpa kabar, dan sebuah rindu yang


tanpa dasar, nampaknya hanya akan bisa terobati dengan
pertemuan dua insan yang saling jatuh cinta.

Sudahi saja
Ku pikir ini hanya perasaan pribadi saja, tentang
dilema yang tak berkesudahan. Seringkali mungkin, rasa
kecewa itu sebagai hadiah dari Tuhan yang berlimpah-limpah.
Dengan kita yang semakin mendekatkan diri atau malah marah
pada-Nya. Sungguh Tuhan itu tanda cinta kepada hambanya,

105
mungkin saja ia cemburu sebab kita terlalu bahagia dengan
yang bukan pilihannya.

Hari-hari tentu berlalu dengan sendirinya, dan rasa


yang ditinggalkan tentu menyisahkan luka. Entah itu mampu
dengan sekejap dilupakan atau bahkan menjadi cerita
bertahun untuk dikenang. Bukan karna tak mampu beranjak,
hanya saja masih ingin mengenangmu lebih lama. Dan saya
masih merasakan bahagia yang kamu tingalkan. Tentunya
begitu.

Semakin dekat, antara kamu dengan harapanmu.


Sedangkan aku masih berdoa untuk bahagia yang bukan
milikku. Sungguh hati ini tak apa-apa, jika ada yang patut
berbahagia atas bahagiamu adalah aku. Dan pada harinya
nanti, akan saya sudah cerita-cerita yang tertahan pada tempat
yang masih sama. Bahwa hidup yang sekedar drama akan
saya sudahi nantinya. Melangkah bersama orang yang akan
segera saya temukan, meniti hati yang seharusnya saya miliki.

Sudahi saja, jika waktunya telah tiba.

Hari ini Lia akan berangkat ke Klaten, sang Bapak


sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik, tanpa memberi
kabar terlebih dahulu untuk memberitahu sang Ibu, mereka
berdua berniat untuk membuat kejutan untuk ibu.

106
Di tinggalkan seluruh barang barang yang kemungkinan
akan sangat ia rindukan, barang barang pemberian Ujang, dan
album foto bersama para sahabatnya yang berhasil menjadi
rumah kedua. Tetapi tidak untuk buku yang ditulis Ryan, Lia
membawanya dengan kotak merah yang berisi barang barang
penting. Ujang membantu Lia untuk berkemas, Ujang memang
sudah akrab dengan ayahnya Lia, mereka memiliki hobi yang
sama, yaitu Golf.

Sebelum berangkat ia berusaha untuk berpamit kepada


Ryan, tapi apa Ryan sudah menyelesaikan tugasnya? Ia
merubah niatnya dan mulai menulis surat untuk Ryan

Dititipkannya surat itu kepada ujang. Amplop merah


yang dibalur pita sebagai hiasan agar terkesan manis dimata
Ryan.

“Selamat tinggal Bandung, selamat tinggal Ujang,


selamat tinggal Ryan, selamat tinggal kang Miko, selamat
tinggal Alvi. Nanti kita cerita-cerita lagi.” Ujar Lia dalam hati.

107
“Kelak, saat kita suda sedikit merasakan
bahaga, kenanglah segala luka juga
kecwa dalam bentuk tawa.

Karna beberapa hal yang menyedihkan


tak sepatutnya kita rayakan dengan air
mata, apalagi dalam jangka waktu yang
lama.

108
Bagian Lima

109
Hampir tiap hari, aku
bermain dengan teman-teman
kampungku. Mereka ada banyak
sekali. Kadang mereka
membuatku tertawa, kadang
menangis. Tapi semuanya
bagiku indah, semua yang aku
lakukan bersama teman-teman
kampungku. Kami punya
tempat-tempat favorit untuk
bermain. Kami biasa bermain
petak umpet, gobak sodor, kasti,
beteng, atau patung-patungan di
tanah lapang yang terhampar di
depan rumah teman-teman
kampungku. Semuanya seru,
apalagi kalau sudah main kasti,
Bapak-bapak dan Ibu-ibu
penonton menyoraki dan kadang
tertawa terbahak-bahak melihat
aksi kami.

Sejatinya, permainan kasti adalah memukul bola


yang dilempar lawan sejauh-jauhnya, tapi yang kami lakukan
adalah melempar pemukul sejauh-jauhnya. Begitulah,
permainan itu tak pernah serius, tapi cukup untuk memuaskan
hati kami. Setidaknya kami pernah mencoba permainan

110
Jepang itu, meski acak-kadut kami tak peduli, yang penting
semuanya Happy.

111
Tempat hati berpulang

SENJA musim hujan tak kalah indah ketimbang dimusim


panas, menyala jingga dalam balutan awan sebagai hiasan.
Puncak hari itu terhalang kabut, rombongan Ryan berkali kali
naik turun untuk memastikan bahwa kabut telah hilang, demi
film Dokumenter yang memuaskan, ia rela bermalam malam
dengan kesunyian demi mencari sumber bintang yang
mungkin cocok dijadikan latar. Satu persatu laptop yang
dibawa rombongan untuk proses editing mati. Hampir putus

112
asa, Ryan mencari ide lainnya agar ia tak mengerjakan semua
tugas sekaligus ketika sampai dibawah.

Hujan turun, rombongan berharap kabut akan hilang


karena tersiram tetesannya. Benar saja, 3 jam hujan turun,
pemandangan khas gunung Binaiya Maluku mulai terekam
jelas. semua gambar yang sudah mereka pikirkan matang agar
proses shoot terlihat sempurna kini sesuai ekspetasi.
Dikibarkannya bendera sebesar 30 meter yang kemudian di
abadikan lewat Dron.

Seorang warga desa Piliana mengingatkan rombongan


agar tidak teriak ketika berada dipuncak, karena konon akan
mendatangkan badai. Sebagai tamu, tentu mereka
menghormatinya.

Tak terasa sudah 4 jam mereka berada dipuncak, ketika


sudah terasa cukup untuk bekal dokumenter, mereka turun
dengan perasaan tenang tanpa takut lagi kabut datang.

Selain berposisi sebagai dubbing, scripwriter dan porter


tim, Ryan juga bertugas untuk menjadi model kala dipuncak
untuk mengibarkan bendera sebesar 30 meter itu. Teringat
tentang Lia yang sudah lama sekali tidak ia kabari, “apakah ia
sehat? Apa dia gemukan? Ahh, kalaupun memang gemuk
tidak masalah, toh yang saya cintai kan hatinya bukan dirinya.”
Batin Ryan.

113
Seakan terburu-buru untuk mengejar pesawat yang esok
pagi mereka harus segera tiba di Bandara, Ryan tersandung
akar yang cukup besar ketika berada di pos1. Dilanjutkannya
lagi perjalanan turun dengan ritme yang sedikit pelan, “aduh,
kameranya!” seakan panik kameranya hancur karena tertiban
badan ketika terjatuh, ia langsung membuka keril dengan
terburu-buru berharap keadaan kameranya tidak seburuk
pikirannya. Beruntung, kameranya tidak lebam sedikitpun,
hanya tutup lensa yang lecet karena tergores pisau yang ia
bawa.

Sesampai dibasecamp Ryan memisahkan diri dan


berpamitan dengan pemuda desa sekitar yang juga ikut
berpartisipasi sebagai tim project dokumenter. mereka ingin
ikut karena katanya belum pernah ke puncak gunung Binaiya.
Dan tentu saja ini kesempatan bagus untuk Ryan dan
rombongan untuk mengetahui lebih lanjut tentang gunung
Binaiya agar proses shoot terlihat sempurna tanpa mengada-
ada.

“Bandung, aku pulang!” senyum Ryan merekah


ketika pesawat membawa mereka menjauhi Pulau Seram, dan
juga para sahabat di Desa Piliana yang antusias membantu
mereka menyelesaikan Dokumenter dan memberi mereka
penginapan sementara.

114

Pergi untuk pulang


Selepas rindu telah bermuara dalam pikiran, kau
hadir dalam mimpi dan memberi pelukan. Sebuah kehangatan
yang tiada bandingannya ketimbang sebuah api unggun yang
telah terbakar sejam yang lalu. Ku lihat bintang kesepian disini,
sinarnya tidak begitu terang kala summit sedang saya lakukan.
Tapi, apa kau juga kesepian? Lonceng kecil saat pertemuan itu
kini kembali berbunyi menemani perjalanan.

Ladang sunrise menjadi latar indah kala kau sedang


mampir dalam pikiran. Sekantong rindu menjadi bekal untukku
pulang. Dan saya harap, ketika Bandung telah saya singgahi,
sosokmu masih ada, dan kau belum berganti nama.

Maaf atas rasa khawatirmu karena sosok ini tiba-tiba


menghilang. Dan untuk hatimu, tolong dijaga, tempat itu adalah
alasan saya bertualang, dan alasan saya pulang.

Pesawat mendarat sempurna dan bandara ini masih sama


seperti semula, pengap dan hampa tanpa ada Lia. Dikejauhan

115
terlihat sosok Miko dan Alvi melambai-lambai. Tanpa pikir
panjang, Ryan memeluk Alvi dan bersalaman dengan Miko.

Diperkenalkannya satu persatu crew yang menemani


ia berkelana di puncak Binaiya. Ada Agus sebagai kameraman,
Nanda sebagai kameraman, Reyhan sebagai editor, juga Lutfi.
Sosok Lutfi menjadi yang paling berjasa disini, karena ia
bertugas sebagai sutradara. Ia menjelaskan apa apa yang
harus di rekam dengan logatnya yang cadel sekaligus gagap,
yang malah membuat Ryan dan crew yang lain tertawa. Tetapi
inilah hebatnya Lutfi, ia tak merasa sakit hati sama sekali, ia
malah senang, dan sialnya sekali kali ia malah membuat prank
menghilangkan diri sendiri yang membuat rombongan panik.
Dan ketika rombongan lelah mencari, ia malah muncul dari
atas pohon yang berada tepat di atas tenda.

Mereka berempat pamit dan setuju untuk menyelesaikan


tugasnya dirumah masing-masing. Mobil menjauhi bandara
menuju kedai yang sudah berubah 60%. Teringat Lia, Ryan
menanyakan kabar Lia lewat Miko, “Lia beberapa hari lalu
mampir kesini nanyain kabar kamu, dan makin kesini ia malah
tidak terlihat lagi. Dan satu lagi, kemarin kalau tidak salah ada
orang yang namanya Ujang, dia ngasih ini.” Jelas Miko dan
memberikan Ryan selembar kertas dengan amplop yang
dibalut Pita.

116

Mencintaimu? Aku mau.


Sebuah gedung petemuan yang berhasil
mempertemukan dua insan. Hari dimana segalanya serasa
berbeda dari sebelumnya, bertemu orang baru dan bertemu
rasa yang baru memang beda tipis, dan sialnya aku berada
diposisi yang kedua. aku menemukan rasa yang baru ketika
meihatmu, mata coklat dengan flanel yang selalu mempesona.

Akan ku rindukan segala perihalmu suatu hari nanti,


dan untuk cinta? Jangan takut, ia tak pernah mati, masih ada
untukmu, dan selalu untukmu.

Dilipatnya surat yang di tulis Lia, ditatapnya wajah


sang adik dengan jarinya yang sedang asik menari pada
sebuah catatan seukuran telapak tangan. Direbutnya catatan
itu untuk memastikan apa yang ia tulis.

“Dasar anak kecil!” batin Ryan dengan senyum


tengilnya.

117
“Apasi bang, kepo banget jadi manusia.” Balas Alvi
yang merebut kembali catatannya. Ryan masih ingat jelas apa
yang ia tulis, sebuah puisi cinta untuk kekasihnya Tiffa,
seorang gadis mungil dengan lesung dipipi.

“Bapak sudah berangkat ke Jakarta?” tanya Ryan.

“Sudah dua hari yang lalu, bi Inah juga pamit ingin


pulang kampung, katanya saudaranya meninggal.” Jawab Alvi
dengan tangannya yang masih menari.

Di ambilnya ponsel genggam yang belum terisi


baterai selama beberapa hari terakhir, di colokkannya charger
kedalam ponselnya untuk mengetahui keadaan Lia.


Kedai mulai dibuka, customers mulai berdatangan
dengan berpasangan. Di mainkannya gitar yang bersandar
pada dinding disebelah kursi yang ia duduki. Sebuah lagu Puisi
dari Jikustik di lantunkannya. Alunan indah untuk melepas
lelah, sebuah nada untuk mengawali kisah.

Karena tidak sabar untuk bertemu Lia, Ryan


bergegas menuju Miko untuk meminjam vespa coklat miliknya.
Dibawanya kendaraan antik itu menuju Rusun di jalan dago. Di
sebuah runsun di lantai tiga yang sudah kosong penghuni itu,

118
membuat penasaran Ryan, diketuknya beberapa kali pintu itu
sambari memanggil nama Lia.

Ujang yang melihat Ryan yang sedang berdiri di


beranda rumah Lia menghampirinya dengan kopi saset yang
ditentengnya.

“Kang Ryan!” Ujar Ujang yang berlari menuju Ryan.

“Kamu tahu Lia dimana?” tanya Ryan dengan jaket


levis balel yang dikenakannya.

“Lia 4 hari lalu pulang ke Klaten, kemungkinan


menetap disana,” jelas Ujang,

Ia tak habis pikir mengapa tak ada kabar dari Miko


ataupun adiknya perihal perginya Lia, apa memang Lia
sengaja untuk tidak bilang tentang kepergiannya? Atau dia
marah karena hilangnya kabar dari Ryan?, ujang kembali
dengan sur

“Akang tahu alamatnya?”

“Tahu, sebentar!” jawab Ujang yang kemudian


mencatat alamat Lia yang kemungkinan memang sudah Lia
titipkan jika suatu saat Ryan mencarinya.

119
Menepi untuk memperbaiki diri,
merapihkan kesalahan dan merutinkan
kebajikan.

120
Bagian Enam

121
Selang umurku
beranjak 14 tahun. Ibu kembali
melahirkan, seorang bayi lelaki
keluar dan membuatku cemburu
karena ibu harus membagi rasa
sayangnya. Ibu menjelaskan
bahwa Alvian merupakan adikku.
Yang berarti saudara yang harus
aku jaga. Bayi itu bernama Dwi
Alvian, yang namanya diambil
dari nama depan ibu. Kini lagu-
lagunya bukan lagi untukku,
melainkan untuk Alvian. Ia
menangis dijadikannya lagu, ia
tertawa dijadikannya puisi. Ia
ngompol dijadikannya syair. Ahh,
memang dasar seniman sejati.

Bapak mengajakku untuk melihat wajah Alvian


dengan tangannya yang mungil. Matanya berwarna coklat,
persis mirip ibu. “kenapa bukan perempuan?” tanyaku lugu.

Bapak hanya tersenyum lalu menggangkat alvian


yang terbaring di tempat tidur agar aku bila menyentuhnya.
“kuat gendong gak?” tanya bapak.

“Superman harus kuat.” Jawabku yang merasa jauh


lebih unggul ketimbang bapak.

122
Diberikannya Alvian kepadaku. Aku
menggendongnya, badannya ringan, seperti mengangkat tas
yang berisi 3 buah buku paket.

Alvian tumbuh menjadi pemuda tampan dan pintar.


ia mampu menghafal bahasa inggris ketika berumur 3 tahun.
Sedangkan aku, umur 3 tahun baru bisa berjalan.

123
Penjelajah Waktu

PUKUL setengah enam, Ryan bersiap untuk packing


barang barang yang akan ia bawa ke Klaten. Alvi tidak ikut
karena harus mendaftar ke jenjang sekolah selanjutnya. Dalam
rangka menjenguk sang nenek dan rindu akan belaian kasih
seorang ibu, Ia akan berangkat dengan mobil kijang milik sang
ayah setelah berpamit dengan Miko dan menitipkan sang adik
kepadanya untuk beberapa minggu.

124
Hari ini Bandung begitu ramai dengan pengendara
yang lalu lalang, panas seakan menjadi latar yang indah untuk
meninggalkan gersangnya Bandung untuk hari ini.

“Tunggu aku!” Tutur Ryan dengan pandangan yang


menuju surat yang Lia tulis.

Ia berfikir untuk sekalian bertemu dengan ibu Lia,


apakah sama cantiknya dengan anaknya? Berbagai deskripsi
keluar dari benak Ryan, tak sabar ingin segera sampai untuk
memeluk erat kampung halaman sang Ibu yang entah sudah
berapa bulan ia tidak berkabar dengannya.

Ponsel yang ia masukkan ke dalam saku celana


jeans birunya bergetar tanda ada panggilan masuk. Tertanda
sang Ibunda.

“Hallo, Luwak white coffe paswordnya!” ucap Ryan


menjawab telepon sang ibunda.

“Kopi-nya enak, Luwak-nya nyakar.” Jawab ibunda


Ryan lalu terkekeh dengan senangnya.

“Iraha anjeun angkat ka Klaten, nak?” lanjut sang


ibunda

“Ini Aa di perjalanan bu.”

125
“Ayah anjeun nuturkeun? Halo, halo..” Ujar ibu dan
sambungan telepon tiba-tiba mati.

Sial ternyata handphone milik Ryan lowbet. Ryan


memasukkan ponselnya kedalam saku celana jeans-nya tanpa
di charger terlebih dahulu. Di raihnya notebook dan bolpoint
yang berada di dalam ransel Converse berwarna hitam yang ia
bawa.


Kembali mengenang
Selamat jalan Bandung,tak akan kulupakan
panasmu kali ini, apakah kau kesepian sebab hujan tak
kunjung datang? Atau kau cemburu sebab senja bersanding
dengan malam?. Sekarang biarkan aku menghirup udara
kebebasan sebab Bandung sekarang tidak sebersih Bandung
dulu. Ku nikmati indahmu dari jauh sini. Dari kota tetangga
jauhmu Klaten, suatu saat aku akan kembali dengan aroma
kesegaran sebagai hadiah dari kota yang akan ku hadiri.
Jangan marah, Sebab kau kota lahirku, kota dimana aku selalu
berbagi keluh kesah.

126
Mobil itu melaju menjauhi Bandung, pak Imron yang
mengantar Ryan hanya diam. Ryan memang jarang pulang
kerumah, ia lebih memilih kamar Indekos yang ia design
layaknya perpustakaan pribadi ketimbang kamar dirumah
ayahnya yang bergitu rapih tanpa ada satupun buku.


Ryan membekap telinganya dengan earphones yang
tersambung dengan komputer jinjing, ia lebih memilih untuk
tenggelam dalam alunan nada Iwan Fals, dibandingkan lagu
dari Ed Sheeren yang disuguhkan pak Imron di dalam mobil.
Panggilan pak imron membuatnya melepaskan lagu “Jendela
Kelas Satu” yang sedari tadi terus berulang ditelinganya.

“Kang Ryan, maaf akang mau sarapan dulu atau


langsung masuk tol?” Tanya pak Imron yang merupakan supir
pribadi sang Bapak.

Ryan menoleh ke depan, di mana pria itu


berada .”Bapak lapar? Kalau lapar tidak apa-apa kita istirahat
dulu!” jelas Ryan yang kemudian memanjakan dirinya kembali
dalam lantunan nada Iwan fals.

Mobil berhenti di sebuah warung padang yang ramai


kendaraan besar seperti Bus, sepertinya ini adalah tempat
istirahat para supir bus. Dibakarnya Sampoerna Mild dengan

127
nikmatnya. Kini ia mencari keberadaan pak Imron dari balik
ramainya kepala di dalam rest area itu. Kakinya menapaki satu
persatu anak tangga untuk menuju keberadaan pak imron
yang berada di ruang atas, pria itu sedang lahap menyantap
nasi goreng dengan udang pesanannya. Hingga akhirnya ia
tersedak ketika melihat Ryan yang terduduk didepannya.

“Pelan pelan pak makannya!”

“Akang tidak makan?”

“Ah, saya mah gampang, bapak makan saja dulu


yang banyak biar gak ngantuk nanti.”

Ia ingat akan ponselnya yang belum ter-charger.


Diraihnya ponsel itu di dalam saku dan charger yang berada di
ransel converse hitam yang ia kenakan. Ingatan tentang Lia
kembali muncul, ia benar-benar rindu wanita itu. “Lia sedang
apa ya?” Batin Ryan.


Di putarnya film Sexy Killer dalam komputer jinjing
yang dibawanya. Wachdoc berhasil membuat Ryan jatuh cinta
pada dunia dokumenter, Dalam filmnya Watchdoc seolah ingin
menyadarkan penonton dengan mengangkat isu seksi yang
relevan dengan iklim Indonesia saat ini. Sebuah film yang

128
menyuguhkan fakta kelam dibalik terangnya lampu-lampu kota
yang dapat memberikan perspektif lain terhadap usaha
pemerintah memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia.

Ryan diajak ke pinggir kota Samarinda yang


memperlihatkan tempat tinggal para petani yang berada jauh
dari tambang batu bara. Petani itu mengaku selama bertahun-
tahun mengalami kritis air bersih, sebab tambang batu bara
menghancurkan jalur air bersih, baik untuk kebutuhan sehari-
hari, maupun bertani.

Sebuah film yang berhasil membuat pemikiran-


pemikiran baru perihal project gunung Binaiya yang ia kerjakan
kemarin. Dalam dokumenter gunung Binaia, Ryan serta crew
ingin memperkenalkan keindahan dibalik gunung yang
termasuk kedalam Seven Summit Indonesia seperti karpet
awan yang menjadi daya tarik sendiri bagi pendaki. Project
dokumenter didasari atas penelusuran tradisi lisan masyarakat
desa Paliana maupun lokal yang menarasikan keberadaan
manusia pertama, yang disebut sebagai Nunusaku yang
berada di pegunungan Binaiya, kawasan taman nasional
Manusea, tepatnya di puncak Gunung Murkele di ketinggian
2.755 meter di atas permukaan air laut, dan gunung Siale atau
puncak 3.305 mdpl.

Inisiasi Bonna salah satu pemuda asli dari desa


Paliana yang ikut serta dalam pembuatan project dokumenter
yang menginformasikan indikasi keberadaan pemukiman kuno

129
di pegunungan Binaiya, membuat Ryan serta crew lainnya
penasaran dengan pegunungan yang termasuk kedalam seven
summit indonesia itu.

Mobil terus melaju menuju jalan tol purbaleunyi.


Ryan tertidur dalam perjalanan panjang yang memakan waktu
7 Jam. Earphones yang masih bertengger ditelinganya terus
melantunkan satu persatu lagu Iwan Fals yang di koleksinya.
Pria itu memang senang dengan lagu karangan musisi legenda
yang bernama asli Virgiawan Listanto itu. Lewat lagu-lagunya,
ia memotret suasana sosial kehidupan Indonesia pada akhir
tahun 70'an hingga sekarang, kehidupan dunia pada umumnya,
dan kehidupan itu sendiri. Kritik atas perilaku sekelompok
orang (seperti Wakil Rakyat, Tante Lisa), empati bagi
kelompok marginal (misalnya Siang Seberang Istana, Lonteku),
atau bencana besar yang melanda Indonesia (atau kadang-
kadang di luar Indonesia, seperti Ethiopia) mendominasi tema
lagu-lagu yang dibawakannya.

Ryan terbangun ketika mobil berhenti untuk mengisi


bahan bakar di daerah Prambanan. Dilihatnya ponsel yang
sudah dalam keberadaan penuh itu, dicarinya nama Ibu
diantara puluhan nama yang ia simpan pada kartu ponselnya.
Kini sang ibu susah dihubungi, karena ini masih jam 2 dini hari,
dan kemungkinan sang ibu masih tertidur.

Hingga ia sampai didepan rumah bertema jawa itu.


Sang Ibu sudah menyambutnya dengan pelukan di depan

130
pintu. Dilihatnya jam carrera berwarna hitam yang menunjukan
pukul 4 dini hari. Pak Imron beristirahat sejenak dirumah
sebelum esok siang harus melanjutkan perjalanan kembali ke
Jakarta untuk menjemput ayah.

131
Ketika tidak ada lagi sehimpit ruang
didalam jiwa untuk teman

Ketika tidak ada lagi setitik jurang


didalam angan untuk pecundang

Ketika tidak ada lagi seladang cinta di


dalam hati untuk pasangan

Percayalah
Panorama bahagiaku
Sedang hancur!!

132
Bagian Tujuh

133
Tak jarang juga kami
menyatu dengan alam, dengan
tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Meski siang-siang, terik
matahari, panas, kami tak
peduli. Kami adalah sahabat
matahari, tak ada yang perlu di
takuti. Salah satu kegiatan kami
adalah membuat perangkap ikan
di parit-parit tengah sawah.
Menggiring ikan-ikan kecil
masuk ke dalam perangkap.
Berteriak senang saat
mendapati perangkap terisi
dengan ikan-ikan kecil
(meskipun sebenarnya yang
kami dapat saat itu adalah
kecebong-kecebong).

Memasukkannya dalam kantong plastik, bergantian


memegangnya, memandanginya yang bergerak gesit dalam
air, dan bernyanyi riang menapaki pematang sawah yang
becek. AH, hal sesederhana itu, mampu membuat hati kami
berbunga-bunga.

134
Sebab dan akibat

ARUNIKA membangunkan Lia dengan manjanya


yang begitu merona, tatkala seorang malaikat sedang
menyiapkan makanan untuk dibuat sarapan, Lia menuju
sebuah meja yang tertata rapi dengan banyaknya buku
memenuhi, maklum, Lia adalah pegiat sastra, ayahnya
merupakan moderator dalam dunia perwayangan, bakat
ayahnya tidak tertular kepada dirinya, melainkan kepada
kakaknya, di ambilnya satu buku bersampul lusuh, entah
karena sudah lama disimpan atau sudah lama tertiban

135
kenangan, sebuah buku yang ditulis oleh Ryan. kata Ryan
buku ini adalah sumber nyawa, tempat segala bahagia, suka,
duka, cinta, termasuk Lia ditulis olehnya.

Perkenalan Nona Senja


Aku kenal sosok manja itu, bibirnya bergincu, alisnya
bergerak maju tatkala aku menggandengnya menuju wahana
kora-kora, Wanita yang satu ini sangat mudah tersedu, apalagi
saat aku terluka karena tertusuk jarum ketika mencoba
memakai jilbab miliknya. Awalnya dia membenciku karena
tingkahku yang kerap sok jagoan disekolah, itu katanya.
Kataku, aku adalah murid paling pemalu disekolah, yang
menghajar satu persatu senior sekolah yang mencoba untuk
memalak dengan memaksa, lalu kabur karena malu jika ditatap
oleh guru BK yang super cantik itu.

Tapi apadaya guru Bk itu jika ku tandingkan


cantiknya dia dengan kau. Ku namai kau nona senja untuk
sementara, hingga aku mengenalmu dan mengenal dirimu.
Benar kata penyair ulung itu, “jatuh hati sesungguhnya adalah
ketika kau mampu membuat orang lain tertawa namun ketika
dihadapannya kau malah diam seribu bahasa.” Dan sialnya itu
terjadi padaku. Siapa yang harus bertanggung jawab jika aku

136
benar-benar jatuh cinta pada nona senja itu? hati tidak
mungkin ingin disalahkan. Sedangkan logika sedang cemburu-
cemburunya terhadap pikiranku yang selalu memikirkan
senyum itu. Senyum bak puteri kerajaan. Ayolah, perkenalkan
namamu dan bersandinglah denganku. Akan ku tunjukan
warna senja yang sesungguhnya. Secerah hariku, seindah
dirimu.

Lia merasa iri dengan wanita itu, apakah ia


kekasihnya? Apakah ia pernah menjadi bagian dari hidup Ryan,
atau hanya sebuah kalimat sederhana yang memang sengaja
ditulis agar hadir kata bahagia?.

Bapak dan kakaknya sudah menyantap terlebih


dahulu Ayam dan sayur bayam yang dihidangkan ibu dengan
lahapnya, yang ia tahu bukan karena mereka lapar, tapi karena
takut kehabisan masakan ibu yang super lezat bak spesalis
koki retaurant terkenal sejagat.

“Ehh, pelan-pelan dong pak makannya!” seru ibu,


ketika melihat Bapak yang tersedak.

“Makananmu ini loh bu, super lezat, ndak salah aku


menjadikanmu seorang istri” ujar Bapak lalu mengambil air
yang berada di sebelahnya.

137
“Hmmm, Jangan percaya bu, gombal dia” ledek
wanita itu kepada ayah.

“Sudah-sudah makan dulu, lihat kakakmu lia, sudah


habis 2 mangkok bayam ibu dimakannya, hadehh” cakap ibu
lalu mengambilkanku nasi.

Terdengar lantunan musik dari Rossa yang Lia


gunakan sebagai nada dering panggilan masuk dari dalam
kamar. Tertanda nomor tidak dikenal yang memang sengaja ia
sepelekan. Kini ponsel itu berdering semakin sering. Hingga
Lia menjawabnya dengan amarah karena orang itu benar-
benar berhasil mengganggu Lia.

“Sebutin tanggal lahir saya kalau memang anda


kenal dengan saya.” Tanya Lia yang terduduk di kursi meja
belajarnya.

“Kaya sensus.” Jawabnya.

Lia seperti mengenal suara itu, suara yang


dirindukan sebuah hati karena orang itu telah lama tidak
bernyanyi, suara yang dirindukan sebuah puisi karena orang
itu kini tidak pernah terlihat lagi dalam lantunan diksi.

“Kenapa diam?” lanjut suara itu.

“Kang Ryan yah?” tanya Lia

138
“Iya, dimana rumahmu? Aku kesana sekarang.” Pria
itu berbalik bertanya.

“Nanti aku sms alamatnya, kamu kapan pulang dari


maluku?”

“Kemarin, saat tau kamu pindah ke Klaten aku


langsung ke sana sambari menjenguk keadaan ibu.” Jelas
Ryan

“Aku rindu.”

“Lihat halaman terakhir di buku yang saya tulis!”

Lia yang bingung hanya menuruti apa yang di


perintahkan oleh pria yang berhasil menghipnotis dirinya itu.
Dibaliknya halaman terakhir dari buku bersampul merah itu,
sebuah tulisan aksara jawa dengan nama Adelia Fatmawati.
“Akang kapan nulisnya?” tanya wanita itu, dengan perasaan
yang berlompatan.

Sambungan terputus, kini pulsa yang menjadi


kendala. Tanpa berfikir panjang diketiknya sebuah alamat
untuk menunjukan Ryan jalan menuju Kediamannya.

“Perumahan Klaten Kencana nomor 37, Karanganom,


Gemblengan, Klaten, Jawa Tengah.” Tulis Lia.

139
Sebuah kabar gembira yang akan menyambut
harinya menjadi lebih berwarna. Kini, tuan rumah telah kembali.
Tuan yang akan berpulang kepada hatinya!. “Tetapi apa kang
Ryan mencintaiku? Atau hanya aku yang jatuh cinta
sendirian?.” Tanya hatinya.

Dan harus ku apakan semua janji yang telah kita rangkai?


sepat manisnya harus segera disulam agar tidak berbekas
kenangan, dan bila di buang, ketahuilah aku belum siap
kehilangan.

Sehari berselang, sebuah kata yang berlalu lalang


dalam komputer jinjing yang digunakan wanita itu kini menjadi
rutinitas harian untuk selalu menulis tentang Ryan. Sang bapak
sudah siap untuk menyapa temannya di sawah. Ibu sudah siap
untuk berangkat berjualan di pasar, pekerjaan yang memang
rutin di lakukan sang Ibu.

“Kak, tolong ambilkan sayur ibu dibelakang ya!” seru


ibu dari depan beranda rumah dengan sepeda motor yang
sudah sangat siap untuk digunakan.

Lia menuju 3 buah kantong kresek besar berwarna


merah berisi sayur yang terletak di atas meja makan.

140
“Nak Ryan jadi kesini?” tanya ibu. Sebelumnya Lia
telah menceritakan tentang Ryan kepada sang ibu, sosok
penulis, jurnalis, musisi, pendaki. Menjadi nilai plus dimata
sang ibu. ibu penasaran dengan sosok yang begitu membuat
anaknya terhipnotis, membatu pada sebuah buku bersampul
lusuh.

“Ndak tahu tuh bu dari kemarin ndak ada kabar.”

“Oh iya bu, hari ini aku ikut ke pasar ya” Lanjutnya.

“Yowis terserah kamu” Jawab ibu meng-iyakan.

Hari ini pasar begitu ramai oleh orang lalu lalang


mencari pangan, setiap penjual meneriaki satu persatu
jualannya dengan slogan unik miliknya. Sambari menunggu
sang Ibu kembali dari supermarket, wanita itu menyusun satu
persatu sayuran yang ia bawa dari rumah.

“Hai, peri kecil.” Ucap seseorang dengan tangannya


yang menutupi mata gadis itu.

“Ahhh, tolong” Lia teriak histeris berfikir ia akan


diculik. Atau di jual sebagai model daging segar. Sontak para
pengunjung pasar membalikkan pandangannya ke arah wanita
itu.

“Eh,. Kenapa teriak.” Ucap Ryan dan melepas


genggamannya dari mata Lia.

141
“Eh kang Ryan, Aku kira badut yang ada di film IT,
hehe.” Gadis itu masih terpaku dengan film horor yang
mengangkat petualangan sekelompok anak yang disutradarai
oleh Andy Muschietti.

“Kamu sendiri?”

“Sama Ibu.”

“Dimana? Yang itu?” Ryan menunjuk salah satu ibu


ibu yang sedang membeli ikan asin dengan berbagai
perhiasan membalut tubuhnya.

Lia tertawa tanda ia suka. Ryan yang terakhir kali ia


lihat sebulan yang lalu kini jauh berbeda. Rambutnya ikal
dengan brewok tipis yang tidak dicukur habis, membuatnya
sedikit dewasa ketimbang kemarin. Keahdiran Ryan masih
menjadi tanda tanya untuk Lia, dia tahu dari mana tempat ini?
Apa ayah yang memberi tahunya? Entahlah, ia tidak peduli
darimana asal informasi yang membawa Lia kembali ke dalam
mimpi.

Belum lama Ryan hadir sebagai penenang. Ibu hadir


dan memperhatikan pria kumal, dengan jaket levis denim yang
dipakainya?

“Loh, ini siapa? Kok tampan ya?” Rayu ibu


menggoda Ryan.

142
“Eh, ibu negara. Assalamualaikum Warohmatullahi
Wabarokatuh.” Ucap Ryan dengan nada seperti anak Sekolah
Dasar ketika ingin memulai pelajaran. Lia senang dengan
keakraban yang baru saja terjadi antara ibu yang segalanya
dengan pria kumal yang apa adanya.

“Waalaikum salam, kamu pasti Ryan? Orang yang


kata anak saya canggih dalam segala hal! Kapan sampai?”
sensus ibu dengan tangannya yang dicium Ryan.

“Iya bu, Barusan kok bu, dari Bandung ke Klaten kan


hanya butuh waktu 5 menit.” Ucap Ryan dengan senyum
menahan tawa.

Sontak Lia menginjak kaki Ryan sembari berkata


“Awas yah kalau bohong lagi!”

Sebelumnya di awal pertemuan Ryan berbohong


kepada Lia perihal panjang menara Eiffel yang menjadi
menara terbesar didunia. Ternyata menara Eiffel yang terletak
di Paris adalah menara terbesar kedua setelah tower tiang
listrik yang ada di kos-kosan tempat ia tinggal.

“Enggak kok, Suer deh, saya kesini naik roket.” Ujar


Ryan dengan mengangkat satu tangannya.

“Terus mana roketnya?” Tanya Lia.

143
“Tuhh.” Jawab Ryan dengan jarinya yang menunjuk
roket mainan yang ada di toko sebelah.

“Nak Ryan ini bisa saja.” Jawab ibu dan


membereskan belanjaan pasar.

“Oh iya bu, saya ingin ajak anak ibu Jalan-jalan


sebentar boleh kan bu? sekalian mau pamit pulang besok
pagi.” Ucap Ryan ke ibu.

“Cepet amat? Lia bilang kamu baru sampai kemarin.”


Tanya ibu ke Ryan.

“Iya bu, besok harus terbang ke Jakarta untuk


meliput kerusuhan Koja di tanjung priok.” Jawab Ryan dengan
tersenyum.

“Yaudah bu, Aku pamit dulu yah, takut kemaleman.”


Ucap Lia pada Ibu sambil mencium tangannya.

“Minjem bidadarinya dulu yah bu, Assalamualaikum.”


Ucap Ryan kepada ibu sambil mencium tangannya untuk
berpamitan.

“Hati-hati.” Ucap ibu dari kejauhan.

144

Petuah Bapak
Desir angin yang menjadikan dedaunan sebagai
penari dadakan kini mulai terasa, tidak ada lagi tanda-tanda
kota. Asri, leluasa, kini terasa kala kau hadir di depan mata.
Setiap langkah yang ku jamah dengan doa. Setiap tatapan
dengan rengkuhan harapan sebagai cahaya. Kini semua
terlihat jelas, sebuah puteri duyung yang ku tawan atas dasar
cinta. Setiap siripnya yang dijadikan buah tangan dari surga.

Senang mengenalmu.

Ditujunya sebuah sedan yang terparkir diantara


mobil lainnya. Hitam pekat yang menjadikannya gagah kala
berkendara.

“Silahkan masuk komandan.” Ucap Ryan tersenyum


dan membukakan pintu untuk Lia.

“Kita mau kemana?”

145
“Terserah kamu, sebagai supir pribadi, saya hanya
mengikuti.”

“Aku suka senja, bagaimana kalau bukit Cinta?”

“Ide bagus, tapi saya tidak tahu jalannya, hehe.”

“Dasar, katanya petualang, tapi tidak tahu daerah


kampung halaman sendiri.”

“Yah mau gimana lagi, saya pikun kalau didekat


kamu, sampai-sampai lupa kalau saya suka.”

“Suka apa?”

“Suka…. Bumi.”

Kini sedan itu melaju dengan keadaan normal,


berjalan melalui orang-orang yang sedang bergandengan
diantara trotoar jalan dengan taman dibelakangnya. Pukul 3
sore, april 2010, diingatnya bulan itu baik-baik, sebagai hari
dimana, keajaiban benar-benar nyata adanya.

Mobil itu berhenti di desa Gununggajah kecamatan


Bayat. Dan dilanjutkan dengan berjalan kaki ke atas bukit.

“Aku suka, dengan semua ciptaan tuhan, Entah


hujan, senja, pelangi, Dersik, Gemintang, maupun kamu.”
Ryan membuka obrolan

146
Keduanya berkeliling untuk melihat negeri di atas
awan, menikmati senja, bersenda gurau, dan hal-hal konyol
lain dari Ryan yang membuat Lia begitu bahagia.

Cukup lama keduanya berjalan menuju puncak dan


merebahkan sejenak tubuh yang lelah di atau garau pandang
sambari menunggu bahagia Lia yang lain datang, yaitu senja.

Entah mengapa, setiap kali melihat senja wanita itu


seperti tidak ada beban dalam pikiran, tidak merasakan gelihat
dalam angan, dan tidak ada penantian dalam harapan. Damai
saja rasanya, melihat awan yang hampir terbakar oleh
ganasnya matahari, merangkul satu sama lain begitu
menentramkan.

“Kang aku..” Belum selesai wanita itu berbicara,


Ryan menempelkan sebagian jarinya ke bibir mungil Lia.

“Sudah, nikmati saja Senja-nya, karena senja ini


milikmu.” Ucap Ryan yang kemudian berbaring di sebelah Lia.

“Saya ingin menjadi cita-citamu.” Ujar Ryan dengan


tangannya yang bersila untuk dijadikan bantal.

Wanita itu hanya diam tidak menghiraukan


perkataannya.

“Paling hanya gombal-nya.” Batin wanita itu.

147
“Sesuatu yang senantiasa kau kejar.” Lanjut Ryan
dan menoleh ke arah Lia.

“Akang terlalu berlebihan.” Jawabnya sambari


melihat jam yang menuju pukul 16:00.

Mentari memejamkan matanya, terlihat indah kala


Prambanan menjadi view yang sangat romantis. Awan
terbakar dengan warnanya yang memanjakan mata.

“Jika itu semua terlalu berat tolong izinkan saya


menjadi kasur di kamarmu, tempat yang pertama kali kamu
cari ketika ragamu merasa lelah.” Ryan bangkit dari posisi
tidurnya, kemudian membantu wanita itu untuk berdiri.

“Aku masih ingin bersamamu kang.” Jawab Lia


manja dengan memegang tangan Ryan dengan sangat erat.

“Nanti kita cerita cerita lagi, ingat ini bukanlah akhir


dari sebuah kisah, kita baru saja memulainya, dan dari sini
saya mulai sadar satu hal, akan alam yang mulai saya kasihi,
dan kamu yang mulai saya cintai.” Jawab Ryan dengan
senyum yang selebar kejujurannya.

“Kenapa begitu cepat?” Tanyaku gadis itu ke Ryan


dengan nada yang hampir tak bersuara, tak terasa air mata
yang sudah berusaha ia bendung akhirnya jebol juga.

148
“Sengaja biar kamu rindu.” Bisik Ryan di telinga
wanita itu dan memeluknya.

“Apakah aku mampu? Menahan sendiri air mata


yang jatuh ketika tidak ada lagi bahumu untuk ku sandarkan.”
Batin gadis it sambil memeluk Ryan dengan sangat erat.

“Sudah yuk pulang, bentar lagi Maghrib loh, Kamu


tidak lagi dapetkan?” Ledek Ryan.

149
Sebuah rindu yang tertinggal dalam
alunan sajak putih

Sebuah rasa yang tertanggal dalam


orkestra puisi yang menjelma sebuah
kisah.

Kini pelikmu ku peluk.


Dalam ornamen megah bernama hati.

150
Bagian Delapan

151
Di sawah-sawah yang
membentang luas, kami mencari
ciplukan (buah yang berbentuk
bulat sebesar kelereng,
berwarna hijau bila mentah, dan
berwarna coklat bila masak,
rasanya amat manis). Sering
juga kami menangkap capung
dan belalang, berlomba
mengumpulkan sebanyak-
banyaknya. Inilah salah satu
keahlian kami, menangkap
capung dan belalang yang
terkenal gesit, dengan tangan
kosong, dengan jurus yang
mengejutkan, bagi hewan
berkaki enam itu.

Kami memiliki keahlian menangkap capung dan


belalang, tak peduli yang sedang terbang di udara atau yang
hinggap di ranting-ranting dan pucuk daun tanaman, kami bisa
menangkapnya, tanpa jaring.

Salah satu temanku memasang kuda-kuda, siap


menangkap buruan. Ia berdiri, mematung. Tangannya
direntangkan, dengan telapak tangan terbuka ke atas. Matanya
berputar-putar mencari capung yang terbang ke udara,
berharap ada yang mau lewat di atas kepalanya. Tuhan

152
mengabulkan permohonannya. Tak berapa lama, seekor
capung bermanuver di samping tubuhnya. Naik. Menukik.
Terbang lagi. Dan akhirnya terbang melesat di atas kepala
temanku itu. Dengan cepat, secepat kilat, kedua telapak
tangan itu bertemu “puk” menangkup, capung itu dapat sekali
tepuk, hebat bukan. Manusia diciptakan dengan kelebihan
masing-masing. Kami diciptakan dengan kelebihan
menangkap serangga.

Ada yang lebih hebat lagi, beberapa temanku


bahkan bisa menangkap capung yang sedang terbang di udara
bagai menangkap gelembung balon. Mereka hanya tinggal
meloncat, melambaikan tangan, capung dalam genggaman,
luar biasa. Aku hanya bisa berhasil melakukan itu sekali dua
kali, selebihnya gagal.

Meski aku tak begitu mahir menangkap capung yang


sedang terbang di udara, aku mahir menangkap capung yang
sedang hinggap di ranting atau pucuk daun. Jika ada capung
yang hinggap, mataku fokus, tanganku mengambil ancang-
ancang beberapa cm di samping buruanku. Setelah aku
merasa waktunya tepat (naluri pemburu mode on), aku
menggerakkan tangan mendatar, cepat, pasti, sepersekian
detik, capung tertangkap. Shock, capung itu terkejut dengan
keadaannya sekarang, sayapnya terikat oleh dua jari manusia,
tak bisa terbang. Capung itu menggeliat, memberontak.
Percuma.

153
Aku memasukkannya ke dalam plastik yang telah
dilubangi kecil-kecil agar capung di dalamnya bisa bernafas.
Capung itu berputar-putar, mencari jalan keluar. Percuma.
Cukup lama. Putus asa.

Aku mengamati capung yang terdiam itu. Bola


matanya yang bundar dan besar berputar-putar. Sungguh lucu.
Warna tubuhnya sungguh menawan, di dominasi warna biru
cemerlang, berbelang kuning. Sayapnya bening, berwarna-
warni, bagai warna pelangi saat memantulkan sinar matahari,
sungguh cantik.

Aku duduk, sibuk memandangi capung tangkapanku.


Tak peduli dengan perlombaan menangkap capung itu. Satu
capung dalam genggaman, itu sudah cukup.

Capung itu mengepak-ngepak. Lemah. Entah


mengapa aku kasihan. Ia terlihat pasrah, matanya tak lagi
berbinar, sayu. Ia semakin lemah. Oh… aku tak ingin kalau
capung ini sampai mati. Makhluk cantik ini tak boleh mati, tak
boleh mati karenaku. Aku teringat kata Ibu, kalau aku tak boleh
menyiksa binatang, dosa. Oh… Tuhan, apa yang sedang aku
lakukan?

Akhirnya aku memutuskan. Kuambil capung itu dari


plastik, kujepit sayapnya dengan jariku. Kuangkat ke atas. Ku
bebaskan ia. Sayapnya mengepak, sejenak linglung,
terbangnya terseok-seok, namun dengan cepat ia

154
menyeimbangkan tubuhnya, terbang ke atas, dan seakan
menoleh ke arah ku, berkata “Terima Kasih”. Aku melambaikan
tangan dan membalasnya “Sama-sama” (jangan pernah
meremehkan imajinasi anak-anak, mereka pengkhayal yang
hebat).

Kemudian, capung itu melesat, gesit, ke angkasa,


tak terlihat. Aku menatap takzim kepergiannya. Aku merasa
lebih bahagia. Beberapa saat kemudian, temanku
menghampiriku, bingung, melihat tanganku yang kosong.

“Ndi kinjeng mu? Gak entuk belas? (Mana


capungmu? Tidak dapat sama sekali?)”, tanyanya heran.

Aku tersenyum dan berkata, “Sepertinya kita tidak


usah berlomba menangkap capung lagi”.

Aku menunjuk plastik yang dipegang oleh temanku.


Tiga ekor capung berebut tempat dan oksigen di dalamnya.
Sambil memasang wajah serius aku kembali berkata, “Kalau
mereka mati, arwah mereka akan menghantuimu tiap hari”.

Temanku bergidik, sambil tersenyum datar ia berkata,


“Ah… enek-enek ae awakmu (Ah… ada-ada saja kamu)”.

Aku hanya tersenyum, melangkah pergi. Di


belakangku temanku itu buru-buru membuka plastiknya. Tiga
ekor capung terbang. Bebas. Langit menyambutnya.

155
Hari-hari berikutnya aku rindu menangkap capung.
Kenikmatan dan ketegangan menangkap capung
menyergapku. Aku juga ingin melihat keindahan warnanya.
Akhirnya, jika tidak tahan, aku menangkapnya, hanya
melihatnya sebentar, lalu melepaskannya lagi.

Berbeda dengan capung, belalang mudah ditangkap.


Bagi kami mereka tak terlalu gesit. Tapi kami tak begitu suka
menangkap belalang. Selain tak ada kenikmatan saat
menangkapnya (karena terlalu pasif, tak banyak bergerak, tak
ada tantangan), belalang juga sering buang kotoran dan cairan
bau saat di tangkap. Alhasil, kami harus cuci tangan bersih-
bersih.

Semenjak itu, aku tak pernah menangkap capung


dan belalang lagi. Aku cukup bahagia melihat mereka terbang
sesuka hati, kesana-kemari, menghias angkasa. Ternyata
yang seperti itu lebih indah, melihat mereka bahagia. Tak ada
yang lebih bahagia melebihi kebebasan bukan?!.

156
Merangkak menuju
Masa depan

DUA hari berselang, pria kumal itu janjian dengan


Agus di bandara soekarno hatta, kameramen yang akan
membantu ia meliput kerusuhan di tanjung priok. Sebelumnya
Agus juga menjadi cameramen kala ia mendokumentari perihal
gunung Binaia.

157
Agus memiliki seorang kenalan di daerah Tanjung
priok yang kemungkinan tahu detail perihal kerusuhan koja
tersebut. Kerusuhan koja terjadi pada 14 april 2010 yang dipicu
oleh rencana eksekusi tanah kawasan makam Mbah Priok
yang ada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok
oleh Pemda DKI Jakarta.

Tindakan ini ditentang oleh warga yang kemudian


berubah menjadi bentrokan antara warga dengan Satpol PP.
Ia akan mewawancarai sementara orang yang Agus maksud
untuk melengkapi data tentang kerusuhan Koja.

Agus membawa mobill yang ia pinjam dari


pamannya, demi kemudahan proses meliput. Dicarinya berita
lebih lanjut di internet perihal kejadian yang mengakibatkan
terputusnya arus lalu lintas menuju cilincing dan arah
sebaliknya.

Dua jam kemudian, mereka tiba disebuah tanah


lapang yang dijadikan sebagai lahan parkir. Agus kluar dari
mobil mlangkah mnuju sebuah umah panggung di pinggir kali.
Tidak seperti Ryan yang terhuyung lemas karena baru bangun
tidur selama diperjalanan. Agus berjalan mantap disebelah
Ryan. Disorotnya langit yang lantas menyipitkan mata. Cuaca
terlalu panas, sinar matahai serasa membakar kulit. Agus
melambaikan tangan pada seorang lelaki pendek berjambang
yang berdiri di pintu rumah panggung kecil bercat putih itu.
Mereka berkenalan. Namanya adalah Syahdat. Ia adalah

158
pengikut Jamaah Al Haddad dan Saksi Mata. Mereka saling
bercanda sebelum akhirnya berbincang perihal Mbah Priok
dan kerusuhan yang terjadi di Koja.

Sambari menunggu 3 gelas kopi datang,


disiapkannya pertanyaan-pertanyaan untuk proses wawancara.
Agus sudah siap dengan kamera yang dibawanya. Ruang
tamu bertembok papan akan menjadi background wawancara.

“Sudah siap?” Tanya Ryan, dengan mata yang


menusuk tajam ke arah pria itu.

“Sudah.”

“Apa yang anda ketahui perihal latar belakang


kerusuhan ini?” Tanya Ryan memulai wawancara.

“Kejadian ini dilatar belakangi oleh sengketa ahli waris


Mbah Priok. PT Pelindo sebagai pemilik tanah meminta
bantuan Pemprov DKI untuk menertibkan lahan miliknya yang
digunakan ahli waris Habib Al Hasan Al Hadad, karena
dasarnya sudah kuat kita tertibkan.” Jelasnya.

“Detailnya?”

“Pihak ahli waris mengklaim kepemilikan tanah dengan


mendasarkan pada Eigendom Verponding di lahan seluas 5,4
Ha. Namun PN Jakarta Utara pada tanggal 5 Juni 2002 telah
memutuskan tanah tersebut secara sah adalah milik PT

159
Pelindo II. Hal ini sesuai dengan hak pengelolaan lahan
dengan luas 145,2 hektare. Kalau tidak salah sehari sebelum
kerusuhan Pemda DKI Jakarta berencana mengeksekusi
tanah sengketa, tetapi ditentang oleh warga yang berakhir
dengan pecahnya bentrokan antara aparat dengan warga.”

“Tetapi warga tahunya makam akan digusur, apa tidak


ada sosialisasi?”

“Kita nggak kurang sosialisasi, kita sudah sosilisasi


beberapa tahun bahwa yang akan ditertibkan hanya bangunan
liar yang dibangun tanpa alas hak yang sah dan tanpa izin,
karena lahan itu milik PT Pelindo II. kami sudah meminta agar
makam tidak dibongkar sama sekali karena sudah harga mati,
tetapi jika ingin dijadikan cagar budaya, harus disediakan
fasilitas seperti akses masuk untuk para jamaah dan di sekitar
makam tetap ada rumah yang menjaga makam. Saya harap
perundingan ini akan cepat selesai.”

Ryan terus memancing narasumber untuk mengetahui


detail perihal kejadian itu. Setelah wawancara resmi selesai
dan dirasa sudah cukup untuk melengkapi data tentang
kerusuhan yang terjadi di Koja, Ryan tertawa ketika melihat
sang narasumber sudah mandi keringat entah karena kipas
yang ia pasang dirumah sudah mati atau karena terlalu banyak
berfikir dalam sesi wawancara yang barusan terjadi.

160
“santai aja bang, kita tidak lagi sensus loh.” Ledek
Ryan yang kemudian meminum secangkir kopi. Lelaki itu
hanya tertawa dan lantas menggaruk kepala yang dibalut peci
hitam.

Ranum
Untuk sekarang, kita akan sering berada ditempat
yang berbeda, dengan masing-masing kesibukan yang
mustahil untuk ditinggalkan, dengan masing-masing kewajiban
yang rentan untuk tidak dibiasakan.

Kita mungkin terlalu kekanak-kanakan jika harus


menolak kadaan dan memanjakan diri untuk saling menemu,
disaat kita sedang berusaha unuk saling mampu.

Kita bukan lagi anak kecil yang baru belajar


mencintai, dengan kelebihan dan kekurangan yang ada,
dengan waktu yang semakin dewasa, kita dituntut untuk lebih
tahu jika masa depan lebih berharga daripada sekarang.

Kita, bukanlah sepasang kekasih yang tak tahu jika


romantis itu bukan bertemu, tapi saling membantu, kita bahkan
tertawa melihat mereka yang baru belajar mencinta, karena
kita, sudah pernah merasakannya lebih lama dari mereka.

161
Saat mereka memulai, kita sudah memulai. Saat
mereka menjalani, kita sedang menjalani. Dan saat mereka
berpisah, kita masih terus bersama dan menjalaninya dengan
baik.

Kita tidak sadar jika sekarang kita sedang tumbuh


menjadi orang yang berbeda, dengan pribadi dan sifat yang
saling dirubah oleh waktu.

Secara tidak langsung, kita mengajari mereka,


antara cinta yang asli, dan yang tidak.


Ryan menuju lokasi pada pukul 16;30 Bentrokan
yang terjadi di makam Mbah Priok, Koja, Jakarta Utara, sejak
siang tadi perlahan-lahan mulai surut.

Massa tidak lagi terlibat kericuhan, tetapi puluhan di


antaranya masih melakukan aksi bakar-bakaran dan
memereteli onderdil kendaraan yang sudah rusak. Mulai dari
ban, kursi, bodi mobil, hingga logam-logam dari mesin
kendaraan kemudian diangkut dengan diseret. Setelah puas
memereteli berbagai onderdil, massa langsung menggulingkan
dan membakar mobil tersebut. massa dalam kelompok-
kelompok ini kebanyakan berusia remaja. Mereka terus
berteriak-teriak sambil berjingkrakan.

162
Wawancara tertuju pada serang remaja yang
memakai sweeter merah dengan celana jeans “mengapa anda
ikut-ikutan? padahal anda bukan jamaah di Alhaddad.” tanya
Ryan kepada pemuda itu.

“Iya saya ikut datang ke lokasi karena diajak oleh


Majelis Ta’lim dideket rumah. Selain itu, sebagai anak kelas
sosial, saya harus ikut peduli sama makam tersebut karena itu
adalah cagar budaya yang harus dijaga dan dirawat bukan
untuk dihancurkan. Jadi hati saya tergerak untuk mendatangi
lokasi dari jam 7 pagi untuk mempertahankan makam tersebut.”
Jelas pemuda itu.

Ada rasa bangga tersendiri dihati Ryan ketika


meliput kerusuhan di Koja. Banyak pemuda yang sadar akan
kebenaran, mereka rela berpanas-panasan, dikeroyok, bentrok
hanya untuk melindungi kepercayaan yang sudah turun
temurun.

Ryan memutar-mutar kameranya. Letih ia


berdesakan di antara Agus dan pendemo yang lain. Kali ini ia
memutuskan untuk duduk sebentar sambil mencatat
keterangan-keterangan penting yang didengarnya beberapa
menit lalu. Meski ingatannya tergolong cukup baik, catatan
seukuran telapak tangan yang selalu setia menemaninya.
Antisipasi kalau-kalau ingatannya bermasalah. Tiba-tiba
matanya menatap pria berprawakan sedang yang nampak
tengah terduduk sambil memegangi sebelah matanya.

163
Pria kumal itu melangkah menuju lelaki tua ber-
seragam dinas yang terluka dibagian matanya, lelaki tua
dengan baret yang masih gigih mengais uang. Sebagian
tangannya memegangi luka lebam didekat mata, sebagiannya
lagi memegangi tongkat yang mungkin digunakan untuk
perlindungan diri. Terduduk di kursi panjang yang berada di
trotoar jalan.

Diberikannya sebotol air mineral untuk


menghilangkan dahaga.

“Terima kasih.” Ucapnya dengan senyum seperti


seorang bapak kepada anak, begitu tulus.

Pria kumal itu tidak berniat untuk menjadikan sang


bapak sebagai narasumber, seragam yang digunakan untuk
meliput menjadikannya seperti penjahat dimata sang bapak,
lelaki tua itu menyingkir dari duduknya ketika Ryan mencoba
duduk di sampingnya.

Menjadi jurnalis bukanlah suatu hal yang mudah,


semudah membalik telapak tangan, dikatakan tidak mudah,
karena dalam perjalanan karir Ryan menggeluti bidang
jurnalistik banyak menemui cobaan mulai dari yang pahit-pahit
sampai yang enak-enak. Enaknya terletak pada kepuasan
dirinya yang menghasilkan karya-karya yang dinikmati oleh
pembaca maupun pendengar.

164
Agus masih sibuk merekam dengan alatnya,
dijadikannya sebuah mobil yang sudah hancur sebagai latar
liputan. Salah seorang massa melempar batu dan mengenai
kepala Agus, ia teriak kesakitan. Kedua tangannya memegangi
kepala yang sudah banjir darah.

Bapak yang tadi terlihat cuek, kini berlari dan


membantu Agus, dibawanya masuk ke dalam mobil ambulance
yang sudah disiapkan jika ada korban kerusuhan.

Lantangkan hari ini, katakan pada diri sendiri,


“Jangan menyerah, Wanita yang kau cintai benci lelaki
pemalas yang mudah berputus asa!”


Koridor rumah sakit mulai pengap, banyaknya
korban kerusuhan yang mengakibatkan dokter harus bekerja
hingga tak sempat lagi beristirahat barang sejenak. Lelaki tua
menghampiri pria kumal yang sedang terduduk.

“Temanmu baik baik saja, hanya perlu perban.”


Ucapnya dan mengelus punggung pria kumal itu.

165
“Dari dulu saya benci sama pekerjaan yang kamu
geluti.” Lanjutnya dengan tertunduk.

Ryan menyimak lelaki tua itu.

“Memang apa yang salah dengan profesi Kuli tinta?”


batin Ryan.

“Banyak kasus oknum wartawan yang jadi pemeras.


Mereka melakukan pencemaran nama baik, dan saya adalah
korbannya. Mereka menulis 90 derajat dari fakta aslinya.
Ditulis di surat kabar bahwa saya adalah pengemis uang
pensiunan. Padahal saya suka rela mengabdi pada negeri.
akhirnya anak saya yang jadi korban bully di sekolahnya,
hingga ia meninggal bunuh diri.” Pria tua itu menahan tangis
dibalik lengan besarnya yang sudah keriput. Betapa oknum kuli
tinta abal-abal telah merenggut buah hati sang bapak.

Ryan hanya terdiam, membatu pada sebuah bangku


panjang, bersanding dengan pria tua yang suka hati bela
Negara. Ia teringat akan bapaknya yang melarang dirinya
untuk masuk fakultas Jurnalistik setahun silam. Namun
kegigihan serta pengetahuan Ryan mampu membuat sang
bapak percaya akan kemampuan buah hatinya yang keras
kepala. Slogan Hari ini kerja keras, besok istirahat mampu
merubah dirinya.

166
“Terima kasih pak.” Ucap Agus yang kedatangannya
merubah suasana.

Lelaki itu hanya tersenyum, dipakainya baret yang


sedari tadi hinggap di pundaknya.

“Saya permisi dulu, kerusuhan tidak akan reda kalau


petugasnya hanya diam.” Ujarnya dan berpaling dari mereka
berdua.

167
Jika sempat, mampirlah.

Ajai aku mngemas sgala barang-barang.

Entah, buku, selimut ksukaanku, rasa


bersalahku, dan aku.

Ku pikir kau yang paling mahi, sebab


sampai detik ini, kau pergi tanpa prnah
seikitpun merasa ada yang trsisa.

168
Bagian Sembilan

169
Selain bermain di
sawah, kami biasanya mencari
telur dalam jerami. Kegiatan ini
sangat seru. Hanya saja kami
tak bisa menikmatinya setiap
hari. Hanya waktu-waktu
tertentu, pada musim ayam-
ayam betina bertelur. Pak Poh
(panggilan bagi kakak Ibuku)
memiliki peternakan ayam.
Peternakan itu berada tak jauh
dari lapangan tempat bermain
kami. Area peternakan itu besar,
tapi ayam ternaknya tak begitu
banyak. Sehingga ayam-ayam
itu dibiarkan bebas tanpa di
masukkan ke dalam kandang-
kandang kecil.

Pak Poh membuat sebuah “rumah” bagi ayam-ayam


itu. Lengkap dengan jerami yang tebal dan berundak sebagai
alas serta atapnya. “Rumah” ayam itu setengah terbuka. Yang
dibatasi dinding hanya bagian belakang, samping kiri, dan
samping kanan. Rumah itu digunakan ayam-ayam untuk tidur,
berteduh, dan bertelur. Jika musim bertelur tiba, Pak Poh
memanggil kami, dan membagikan keranjang kecil pada kami.
Ia meminta kami untuk mengambil telur-telur yang ada di

170
tumpukan jerami di “rumah ayam” itu. Kami menerima tawaran
Pak Poh dengan senang hati. Kami berlomba mengumpulkan
telur-telur. Berhati-hati, jangan sampai menginjak telurnya.
Jangan sampai telurnya pecah, sayang.

Kami mencari dengan jeli, sampai ke sela-sela, ke


sudut ruangan, siapa tahu ada ayam yang termarjinalkan di
dalam kelompoknya, tak punya tempat, terpaksa bertelur di
sudut ruangan. Kasihan.

Setelah keranjang-keranjang kami terisi telur, kami


memberikannya kepada Pak Poh. Pak Poh tersenyum,
berterima kasih. Membawa telur-telur itu ke dalam, untuk
ditetaskan. Sebagai imbalannya kami mendapatkan
sekeranjang jagung untuk dibakar dan dimakan bersama-sama.
Ah… betapa nikmatnya.

171
Langkah Kaki

ALUNAN lagu You Raise Me UP dari Josh Groban


yang mengalun diruangan Rumah solo siang itu terdengar lain,
karena tidak keluar dari sebuah small orkestra malainkan dari
salah seorang pemain suling dan kecapi. Alat musik khas cina
dengan dentingan halus dari alat musik tradisional tersebut
tidak disangka bisa memainkan lagu-lagu barat.

172
Dua orang pemain musik yang menggerakan jari-
jemarinya di tubuh suling dan kecapi tersebut duduk disudut
taman belakang. Dua lampu lampion besar berwarna merah
menyinari keduanya sehingga memberikan efek dramatis.

Siang itu suasana di rumah Miko begitu ramai


dihadiri oleh para geng vespa maupun Cb yang ia geluti. Miko
tampak sibuk disalami oleh para tamu yang datang. Lain dari
acara makan-makan yang biasa terjadi sebelumnya, suasana
kali ini sangat jauh dari kesan formal dan basa-basi.

Rupanya saat ini adalah hari pernikahan Miko


dengan kekasihnya. Tamu-tamu yang adalah sahabat dekat
Miko dalam artian yang sesungguhnya. Mereka pun jadi tak
ada yang sibuk menjaga sikap atau jaim. Sapaan, “Apa
kabar?”, cerita lucu maupun curhat keluar dengan relaksnya
menjadi bahan pembicaraan yang tak ada habis-habisnya
sampai mereka lupa waktu dan lupa pulang.

Miko menghampiri pria brewok yang terduduk


dengan jas biru dikenakannya. Pria itu berdiri dan mengucap
selamat atas pernikahan miko dengan kekasihnya.

“Semoga seperti janji sang merapi yah.” Ujar pria itu.

Entah kebetulan atau apa, Miko ingin menjelaskan


tentang kejadian letusan gunung Merapi kemarin. Yang
memeluk daerah jawa tengah.

173
“Tahu berita hari ini?” tanya Miko.

“Perihal?”

“Merapi meletus kemarin, kabarnya banyak warga


yang sudah mengungsi dan sebagian lainnya belum
dievakuasi.”

Sebuah gelas dengan jus jeruk didalamnya kini


terlepas dari genggaman, membuatnya hancur berkeping-
keping. Dilihatnya sebuah ponsel yang berada dalam keadaan
mati.

“Ah sial!” Ujarnya menyadari ponselnya yang belum


di charger.

“Minjem ponsel!” ujar Ryan panik.

Miko memberikan ponsel pintarnya kepada Ryan.


Dicatatnya sebuah nomor milik ibunda untuk dihubungi.

“Halo, Ibu baik-baik saja?”

“Alhamdulillah, Ibu sekarang sedang ngungsi nak,


semua selamat.”

“Kamu jaga diri baik-baik, nanti kalau sudah stabil


ibu kabarin.” Lanjut sang ibu.

Sambungan mati.

174
Ryan mencoba mengingat nomor Lia yang sudah
berada di luar kepala, dihubungi tetapi salah sambung. Hampir
putus asa karena lupa akan nomor Lia, ia ingat sebuah alamat
yang Ujang beri sebelumnya,

“Kenapa tidak menghubungi lewat perumahan?”


Batinnya. Jari-jemarinya mulai mengetik satu persatu nomor
yang dimaksud.

“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?”


sambungan berhasil, terdengar suara lelaki menjawab
panggilan. Ryan menanyakan keadaan rumah bernomor 37 di
komplek perumahan karanganom.

“Semua warga perumahan sudah kami ungsikan,


hanya beberapa yang terkena luka bakar dan sudah
dievakuasi, untuk nama Adelia Fatmawati yang bapak cari,
nama tersebut tidak terdaftar di catatan pengungsian
manapun!”jelas orang itu.

“Coba bapak cek ulang pak, mungkin terselip


diantara nama lainnya pak!” Perintah Ryan, matanya berbinar,
tangannya gemetar. Pikiran buruk perihal hilangnnya Lia mulai
menghantui.

“Baik pak, mohon ditunggu, nanti kami hubungi


kembali jika ada keterangan perihal orang yang bapak cari!”
lanjut orang itu menutup sambungan.

175

Pergi hilang dan lupakan


Kemeja hijau dengan bau khas yang mudah dikenali,
kau hadir dengan sepatu kets hitam menapaki bumi. Sebuah
kencan sederhana yang mungkin untuk terakhir kalinya,
sebelum kau tenggelam mengejar mimpi.

Kita sama namun berbeda, sama-sama cinta namun


berbeda harapan. Aku memilihmu kau memimpikannya.
Sebelum selangkah lagi kau menghancurkanku, ku ucapkan
selamat jalan untuk berpamitan. Kini aroma parfum itu tidak
seharum kisah sang pujangga. Ditulisnya untaian puisi yang
senantiasa membuat hati berbunga-bunga.

Hanya tinggal aroma kehilangan, dalam langkah


yang paling ringan. Aku menyatakan. “semoga dengannya kau
bahagia. Dan semoga di doa-doaku, kau tak lagi ada.”

“Saya harus ke sana!” Ucapnya kepada Miko. Pria


gimbal itu kini telah mencukur habis rambutnya. Sedikit rapih
dan berbentuk.

176
“Hati-hati, nanti ketika acara resepsi telah selesai,
saya menyusul.” Ucapnya menenangkan. Ryan berlari ke
belakang rumah itu. Ditujunya sebuah kendaraan sedang
hitam yang ia gunakan untuk menuju ke resepsi pernikahan
Miko.

“Tunggu aku, semoga kau baik-baik saja.” Batinnya,


lalu membawa kendaraan itu menjauhi kota Bandung.

Dicarinya info perihal kejadian meletusnya gunung


merapi yang mengubur kota-kota disekitarnya melalui radio
dalam sedan yang ia kendarai.

“Selang dua hari sebelum merapi mengutuk janjinya.


Mbah maridjan dikatakan hilang oleh tim sar yang melakukan
evakuasi disekitar gunung. Merapi masih mengeluarkan sedikit
demi sedikit abu yang kemungkinan masih bertambah lebat
hingga esok hari. Jumlah korban untuk hari ini diperkirakan
berjumlah 187 orang dengan 67 luka-luka.” Dimatikannya
Radio itu ketika lampu merah sedang mengahalangi laju
kendaraannya.

Ponselnya berdering tatkala seandung Yang


terlupakan dari Iwan Fals berputar menemani perjalannya.
Tertanda Dwi Alvian.

177
“Ada apa?” tanya pria itu dengan tangannya yang
masih sibuk membawa kendaraan itu menjauhi kota
kelahirannya.

“Akang dimana?” suara wanita menjawab


pertanyaan, suara yang ia cari selama ini, sedan yang ia
kendarai mendadak berhenti pada ruas jalan hingga membuat
pengendara lain menabrak bemper bagian belakang.

“Kang?” tanyanya lagi.

“Ini Lia?” pria kumal itu memberanikan diri untuk


membuka suara.

“Iyah, maaf kang, ponsel Lia hilang saat kejadian itu,


jadi untuk sementara, Lia dan keluarga mengungsi di Bandung,
hingga kondisi kembali stabil.”

“Seperti janji merapi.” Batin pria kumal itu dengan


senyum lega yang akhirnya berhasil ia rasakan.

“Sekarang akang dimana?” tanya Lia.

“Saya diperjalanan menuju kedai, kamu disana?”


pembohongan yang pria itu katakan, untuk menutupi
kepergiannya yang sebelumnya akan terjadi.

“Iya, aku tunggu!” jawab wanita itu, menutup


sambungan.

178
Tidak jadi dirinya memaki merapi yang tanpa kabar
mengubur sebagian yang ada dibumi. Ini wanitanya aman
dalam dekapan, bukan lagi dalam angan yang sedari tadi ia
rasakan.

Ponselnya kembali berdering tertanda nomor yang


sebelumnya ia hubungi.

“Selamat siang pak, nama yang bapak cari, benar-


benar tidak ada di pengungsian manapun. Kami akan
menghubungi tim sar setelah bapak memberi tahu ciri-ciri
orang yang bapak cari.” Lelaki itu membuka sambungan.

“Dia cantik pak, rambutnya panjang, dengan poni


yang senantiasa membuat hati ini bimbang. Lesungnya
menjulang membuat sumur dalam yang sangat sulit untuk
ditimba. Saya mencintainya, tapi saya tidak tahu dia cinta saya
atau tidak. Jadi tolong dicari yah pak! Saya cinta dia.” Jawab
Ryan tertawa dalam hati. Dan sambungan dimatikan.

Seperti Janji Merapi


Katanya untuk bisa hidup kita harus sarapan,
katanya untuk bisa melangkah, kita harus bersanding dengan

179
harapan. Sepertinya merapi benar-benar menepati janji,
dibawanya edelweis yang benar benar indah sebelum akhirnya
ditenggelamkannya setiap jiwa yang menghalanginya.

Sedan itu berhenti di kedai Miko yang selalu buka


meski ini resepsi pernikahannya, katanya tidak ada halangan
untuk mengais uang. Dilihatnya gadis berambut panjang yang
sedang membatu pada buku Bumi Manusia.

“Hei, sudah lama?” Sapa Ryan.

“Satu jam yang lalu.” Gadis itu menoleh dan


menutup buku yang sedari tadi membuatnya membatu.

“Bagaimana keadaan keluargamu?” Ryan duduk di


sisi sebelah kanan gadis itu.

“Allhamdulillah, tuhan masih sayang aku.”

“Terimakasih.”

“Hah, terimakasih buat?” tanya Lia.

“Saya berterima kasih kepada Tuhan, bukan kepada


kamu.”

“Tapi karena apa?”

180
“Karena telah membiarkan saya untuk memilikimu?”

“Hubungan kita belum resmi, kalau belum ada


pengungkapan!” Lia memandang Ryan yang sedari tadi sudah
memandangnya terlebih dahulu.

“Jadi?” lanjut Lia.

“Ingin berkomitmen dengan saya?” tanya Ryan,


dengan tangannya menggenggam kedua tangan mungil milik
Lia.

Lia menganggukkan kepalanya dengan senyum


terindah yang diberikannya. Tangannya membalas genggaman
Ryan dengan lebih erat. Kepalanya mulai bersandar dibahu
Ryan.

“Aku mau!, aku mau apapun, asal ada kamu


didalamnya.” Jawab Lia.

Sebuah hubungan terjalin, kisah yang telah lama


dinantikan keduanya. Sebuah pengungkapan terindah dari
mulutnya. Lidah yang kelu kini menjadi lebih lancar mengeja
perasaan. Tangan yang kaku kini lebih leluasa menggenggam
kehangatan.

“Mulai dari sini, saya akan mencintaimu seribu kali


lebih dalam.” Lanjut Ryan mengelus kepala gadis itu.

181
Sakit yang menjadikannya puisi
Cinta yang menjadikannya penyair
Luka yang menjadikannya pemikir
Dan Lia
Yang menjadikannya berwarna.

182
Bagian Sepuluh

183
Sore hari, biasanya
kami habiskan untuk berkejar-
kejaran di padang rumput yang
di atasnya membujur rel kereta
api. Berlarian kesana-kemari.
Memetik dan mengumpulkan
bunga-bunga liar yang
menghiasi padang rumput
bersama teman-teman
perempuan. Kemudian
menyelipkan bunga itu di rambut
masing-masing. Menonton para
teman lelaki yang beradu
layang-layang dengan anak
kampung sebelah. Menyoraki
memberi semangat. Berteriak
“Yah” bila layangan teman kami
yang putus, dan berteriak “Yes”
bila layangan lawan yang putus.

Berjingkat-jingkat dan melambai-lambai jika kereta


api lewat, tak jarang penumpang dalam kereta melemparkan
sebungkus keripik dan balas melambai. Ah… kereta api yang
lewat sesingkat itu, mampu membuat kami saling berbagi
dengan penghuni dunia yang lain, berbagi keceriaan dan rizki.
Sungguh, bagaimana bisa aku melupakannya.

184
Permainan dan canda tawa kami harus berakhir saat
Ibu-ibu kami, dari kejauhan memanggil-manggil nama kami,
meneriaki kami untuk pulang. Kami berjalan beriringan, pulang.
Keringat membasahi baju kami, bau kecut, bau matahari. Saat
perjalanan pulang dari padang rumput, kami harus melewati
pematang sawah, meloncati parit kecil, dan hup, mendaratlah
kami di tanah belakang rumah-rumah kami (tepatnya rumah-
rumah teman kampungku, karena rumahku masih 500 meter
lagi dari situ).

Aku menggandeng tangan adikku, berjalan pulang,


menghampiri Ibu kami yang telah menunggu di depan gang.
Aku melewati ibu-ibu dan nenek-nenek yang berbaris, duduk di
tiap-tiap anak tangga depan salah satu rumah, saling pijet-
pijetan atau petan-petanan, senang. Bertemu juga dengan
Bapak-bapak yang pulang dari merumput, memarkir sepeda,
memanggul karung penuh rumput, lelah. Semua itu adalah
satu dari sekian panorama yang tak dapat kujumpai di kota,
tempatku tinggal dewasa ini.

185
Pena Alam

SOROT mata tamu tampak tertuju pada salah


seorang pria kumal yang sedang berdiri didepan panggung,
“Nah, sekarang giliran saya,” suara salah seorang tamu riang
terdengar, sambil menyodorkan sebuah buku. Ryan segera
menerima buku itu dan membubuhkan tandatangannya.
Tangan Ryan masih tetap energik menandatangani puluhan
buku Aksa Rasa yang disodorkan para tamu undangan di
Bimasena Club.

186
Malam ini adalah peluncuran buku versi bahasa
inggris dari Aksa Rasa yang ditulisnya pada 2008. Peluncuran
buku yang salah satu bagiannya membahas perjalanan Ryan
kala berkelana diseluruh puncak nusantara.

“Melalui versi bahasa inggris yang akan di


distribusikan internasional, semoga warga mancanegara dapat
melihat indahnya negeri kita.” Tutur Ryan, yang di dampingi Lia.

Acara dimulai dengan film dokumenter karyanya


yang menceritakan Pulau seram serta Gunung Binaiya. Mata
tamu undangan begitu antusian kala Ryan mewawancarai
salah seorang pemuda asli tentang sejarah pulau seram dan
pesona dibalik ke kelaman sejarahnya.

Garis finish kita tidak sama


Tidak semua sepeda yang melaju mengincar garis
finish yang sama. Karena ada yang rela mengayuh berkilo-
kilometer jauhnya hanya untuk menemui seseorang dibalik
garis finish itu.

Ketika seseorang berhenti saat kamu masih terus


melaju, bukan berarti dia tertinggal karena bisa jadi tujuannya
memang disitu. Ketika kamu mencapai garis finish dan puas

187
dengan pencapaianmu itu, belum tentu itu garis finish terakhir,
kraena bisa jadi banyak orang yang akan melampauinya.

Tak perlu memaksakan ukuran kesuksesan kita


pada orang lain. Karena jika dipaksakan, sombong jadinya.
Saat kita menyombongkan sesuatu, belum tentu orang lain
juga akan melihatnya sebagai sesuatu yang berharga. Belum
tentu semua orang menginginkannya.

Saat kita menyombongkan sesuatu, barangkali kita


sedang ditertawakan oleh orang yang lebih dahulu dan lebih
banyak memiliki apa yang kita sombongkan itu.

Saat kita menyombongkan sesuatu, barangkali kita


sedang dikasihani oleh orang yang punya garis finish berbeda.
Dikasihani? kok ada yang segitu sombongnya untuk hal yang
bagi mereka bukan apa-apa?

Silahkan kejar saja apa yang menjadi tujuanmu.


Silahkan nikmati proses dan hasilnya sepuasmu. Tapi jangan
paksakan semua orang untuk punya garis finish yang sama
dengan garis finish milikmu itu.


Teringat satu hal akan bencana yang menimpah
kota kelahiran ibunya, Ryan berfikir untuk menarik

188
penggalangan dari para tamu yang akan di sumbangkan ke
korban gunung merapi.

“Saya ingat suatu kejadian yang negara kita alami.


Letusan merapi yang memakan banyak sekali korban jiwa.
Rumah meraka dilahap ibarat santapan siang untuk sang alam.
Bencana alam yang terjadi di jawa tengah,
memporakpogandakan tidak hanya harta benda tetapi juga
nyawa manusia, kita semua ikut terhenyak. Mereka yang
terkoyak, terluka, kita ikut berduka. Pada saat itu kita
diingatkan bahwa bencana bisa datang kapan saja dan bahwa
manusia punya keterbatasan, sekuasa apapun dirinya. Kita,
yang jah dari wilayah musibah, patut merenung betapa
berharganya hidup yang diberikan Tuhan kepada kita. Betapa
kita perlu bersyukur atas segala karuniaNya, lewat suami, istri,
anak, saudara, kerabat, teman-teman, sesama, pekerjaan dan
kegiatan kita masing-masing, bahwa kita diberi sesuatu yang
sangat berharga: hidup itu sendiri! Kali inij pun saya ingin
meneruskan bantuan ini. Pasca bencana, mereka perlu
dibantu dalam pembangunan sekolah, penyediaan sarana-
sarana pendidikan, saya mengajak anda semua untuk
memikirkan hal ini, dan berbagi kasih anda dengan mereka.
Saya percaya, kepedulian anda membangun kembali masa
depan mereka.” Ujar Ryan.

Sebagian tamu di bagian depan tampak antusias


mendengarkan kata sambutan dari Ryan dalam kegiatan
peluncuran bukunya.

189
Sementara sebagian lagi asyik mengamati buku-
buku yang di jual Ryan. Berkaitan dengan kejadian bencana
alam gunung merapi di jawa tengah, sejumlah seniman yang
hadir berpartisipasi mengumpulkan dana dengan cara
melelang lukisan dan patung hasil karya mereka. Para tamu
yang hadir malam itu tidak hanya orang-orang dari kalangan
seni saja, tapi juga para pendaki dari berbagai daerah.

“Jadi, kami tak sekedar membeli barang seni saja,


tapi juga sekaligus ikut menyumbang,” ujar salah satu tamu
yang saat itu membeli salah satu lukisan bergaya abstrak.

Alhasil dalam peluncuran serta penjualan karya,


malam itu terkumpul dana sebesar Rp. 929.122.321 yang
kemudian disalurkan melalui Dana Bencana Alam.

Di depan pintu gedung tampak salah seorang pria


tua tampak gagah mengenakan jas hitam dengan pita dibagian
lengan memeluk Ryan.

“Selamat atas keberhasilan kamu, Bapak bangga,


sekarang seorang anak yang dulu bapak pandang sebelah
mata kini jadi anak yang berguna.” Senyumnya merekah
dengan jabat tangan yang semakin erat.

“Tanpa doa bapak dan ibu, saya bukanlah apa-apa.”


Balas Ryan yang kemudian kembali memeluk sang bapak
yang tak tahan lagi menahan tangisnya.

190
“Hari ini bapak ingin menjemput ibumu, doakan agar
mendapat kabar baik.” Ucap sang bapak memegang puncak
anak pertamanya.

“Selalu pak, hati-hati, terimakasih sudah mampir.”


Tutur Ryan.

Tanpamu aku hanyala batu.


Kini kalimat jangan lupa makan darimu akan selalu
saya rindukan. Kau sudah tampak letih menjalani hidup, kini
giliran aku yang mengingatkanmu, jaga kesehatan tak ada
yang lebih indah ketimbang kesehatan kalian, dua orang
malaikat yang sebagian cerita hidupnya terisi perihal saya,
anakmu yang kerap membuat onar kala memasuki jenjang
sekolah dasar.

Fakultas kedokteran yang bapak pilih, kiranya hanya


akan menjadi angan-angan. Anakmu dibesarkan dengan
selogan komperatif yang kakek berikan. “bagaimana bisa
seorang dokter menerima uang, padahal Tuhan yang
menyembuhkan!” kata kakek dulu.

Anakmu terlalu cinta sastra, hingga akhirnya berbaut


perihal apapun yang berhubungan dengannya. Kata ibu sastra

191
itu indah “kau menemuka segala hal yang tidak kau ketahui
jika kau ingin mencari.” Tutur ibu ketika saya memenangi salah
satu ajang menggambar saat taman kanak-kanak.

Tanpamu aku hanyalah batu yang mungkin akan


tenggelam hingga kedasar. Yang kemungkinan akan terkikis
lalu menghilang. Dihinggapi lumut hijau yang akhirnya menjadi
artefak dimasa depan.

“Yan ada yang ingin bertemu.” Ucap Lia antusias.

“Siapa?”

“Ada deh, sebentar lagi juga datang.”

Tampak salah seorang Pria tua yang tampak tak


asing dimatanya. Pria yang ia temui kala meliput kerusuhan
koja beberapa pekan lalu.

“Saya pikir hanya para seniman saja yang mampu


sesukses ini, ternyata seorang jurnalis juga bisa yah.” Ucapnya
menapaki satu persatu anak tangga menuju Ryan.

“Saya baru kali ini bertatapan dengan orang semuda


dan sehebat kamu.” Lanjutnya.

192
“Terimakasih pak, saya juga baru kali ini bertatapan
langsung dengan seorang ayah yang masih gencar mengais
uang dengan umur yang sudah rentan.” Ryan mencium tangan
pria tua itu, tangan berbau perjuangan.

“Selamat.”ujarnya.

Pria itu datang dengan Agus kameramen yang


sebelumnya menemani ia mendokumentari gunung Binaia dan
meliput kerusuhan di Koja.

“Selamat.” Ucap agus menjabat tangan Ryan.

Selang beberapa menit, Miko datang dengan wanita


berambut sebahu mengenakan kemeja yang sama seperti
yang dipakai Miko.

“Selamat kawan.” Miko memeluk Ryan dan menepuk


punggungnya dengan sedikit keras, memang dasar kekuatan
orang timur.

Ryan memperkenalkan satu persatu rekannya, mulai


dari pria tua yang mengajarinya untuk tabah, teman yang
pantang menyerah, hingga sahabat yang selalu ikhlas
membantu.

“Ada hadiah untuk kau.” Ucap Miko.

193
“Wah beruntung sekali saya, kamu yang menikah
saya yang mendapat hadiah.” Ujar Ryan dengan nada
bercanda.

“Bentuk apresiasi untuk keberhasilan musisi di kedai


saya.” Canda Miko dan membuat yang lain tertawa.

Diberikannya sebuah tiket pesawat menuju


Pontianak.

“Akhir pekan, kita taklukan gunung Bukit Raya.”


Tutur Miko bersemangat.

Ryan memeluk Miko tanda berterimakasih.


Sepertinya harapan untuk menaklukan Seven Summit Of
Indonesia, akan bertambah satu.

Gunung Bukit Raya dengan puncaknya yang


dinamakan Puncak Kakam memiliki ketinggian 2.278 meter
diatas permukaan laut. Bagi sebagian pegiat kegiatan luar
ruang di Indonesia mungkin gunung ini kurang begitu dikenal.
Karena sebab tersebut mungkin tidak lebih dari 10 tim dalam
setiap tahunnya yang pergi mendaki gunung ini.

Gunung yang berada didalam Taman Nasional Bukit


Baka Bukit Raya ini memiliki puncak yang dinyatakan sebagai
titik tertinggi Pulau Kalimantan bagian Indonesia. Gunung ini
terletak di dua provinsi yaitu Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Barat. Meskipun puncak gunungnya berada di

194
wilayan Kalimantan Tengah, akan tetapi jalur pendakian
terdekat dan sering digunakan adalah jalur dari Kalimantan
Barat.

Walaupun tidak terlalu tinggi tetapi pendakian


gunung bukit raya memiliki tingkat kesulitan lebih dibanding
gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa. Untuk mendakinya
kita harus menempuh perjalanan darat dan sungai selama 2
hari menuju ke kaki gunung, lalu jalan kaki selama 6 hari
pulang-pergi untuk bisa sampai ke puncaknya. Perjalanan ke
puncak gunung Bukit Raya akan melewati hutan rimba basah
Pulau Kalimatan yang dekat dengan garis khatulistiwa sambil
menikmati alaminya flora dan fauna yang sangat banyak
jenisnya.

“Saya ikut dong.” Agus membuka suara.

“Yang penting ada dananya.” Canda Miko.

195
Dan harusnya saya yang kau nanti hari
itu, kala hati saya terus menangadah
mengatuh doamu agar teraminkan,
namun sayang, dirinya hadir dan
membuat hati saya kembali terasingkan.

196
Bagian Sebelas

197
Selesai mandi, dua
gelas susu sapi rasa vanilla,
sebut saja Dancow, telah siap di
atas meja. Satu untukku dan
satu untuk adikku. Seperti biasa
aku berlari keluar rumah dengan
segelas susu di tanganku,
adikku mengikutiku dari
belakang. Aku menoleh ke
arahnya, tertawa licik, ia pun
demikian. Kami berkonspirasi,
ah tidak, tepatnya aku
merencanakan sesuatu dan
adikku setuju. Dan konspirasi ini
telah terjadi beberapa kali,
berhasil. Ibuku berteriak-teriak
di belakang kami, “Mau
kemana? Minum susunya,
jangan lari-larian!”.

“Kami minum di luar”, jawabku tanpa menoleh. Ibu


lagi-lagi percaya (Benarkah?).

Sampai di teras, aku berhenti. Menoleh pada adikku


yang telah berada di sampingku, tersenyum licik, adikku pun
demikian. Aku melangkahkan kaki, mendekati salah satu
tanaman, pohon bonsai. Dengan anggun, kuangkat segelas
susuku dan menuangkannya ke dalam pot bonsai yang terletak

198
setinggi dadaku itu. Cairan putih itu mengalir meresap ke
dalam tanah, cepat. Tak berapa lama kemudian, cairan putih
yang kedua mengalir, meresap ke dalam tanah, tak secepat
yang pertama. Cairan putih kedua itu dari gelas susu milik
Adikku. Kami berdua saling pandang, tersenyum puas.
Konspirasi selesai. Sejauh ini berjalan dengan lancar.

Kami masuk ke dalam rumah, memperlihatkan dua


gelas yang telah kosong kepada Ibu, tersenyum bangga, dan
berkata,

“Wis tak mimik buk (sudah aku minum Bu)”

“Pinter”, ucap Ibu sambil mengelus rambut kami, tapi


tiba-tiba ibu menggandeng tangan kami dan mengajak kami ke
teras. Astaga, menuju pohon bonsai yang baru bersendawa
karena habis minum susu itu.

Jejak-jejak cairan putih itu masih membekas, terlihat


jelas. Kami ketahuan. Konspirasi gagal. Ibu menggeleng-
geleng kepala, lalu berjongkok menatap kami berdua,
bergantian, berkata, “Kalian yang minum atau pohon bonsai ini
yang minum susunya?”

Kami diam. Sudah jelas. Pohon itu yang meminum


susunya, kenapa Ibu masih bertanya juga.Ibu melanjutkan,
“Wah, wah, begitu ya ternyata caranya. Kalau begini, pohon
bonsai ini yang gemuk. Lain kali minumnya harus di depan Ibu”.

199
Kami diam. Mendengarkan (benarkah?).

Ibu mendesah pelan, melanjutkan, “Susu itu tidak


boleh di buang-buang. Ibu dan bapak bekerja cari uang biar
bisa beli susu buat kalian. Jadi lain kali tidak boleh begini lagi,
mengerti?”. Ibu menasehati.

Kami berdua mengangguk pasrah, tak berani


membantah karena telah berbuat salah.

Tapi akhirnya mulutku berucap juga, “Habis rasanya


tidak enak bu, kayak mau muntah”. Adikku menggangguk
setuju.

“Kalau biasa minum nanti jadi tidak terasa kayak


muntah lagi. Makanya susunya harus diminum, biar terbiasa
sama rasanya”. Aku tak mengerti. Kalau tak enak, ya tetap tak
enak. Akhirnya aku hanya mau minum susu kalau dicampur
dengan sedikit kopi, atau susu rasa coklat, atau susu tanpa
dicampur air (Nah, yang terakhir ini yang paling nikmat).

200
Petualangan

EMPAT hari sudah mereka habiskan sejak memulai


perjalanan dari Pontianak, dan pendakian baru akan dimulai
hari ini. Rombongan harus terbangun pagi buta karna
mendapat kabar bahwa porter yang tadinya akan mengantar
dan menjadi penunjuk jalan selama pendakian tiba - tiba
mengurungkan niatnya dengan alasan karna kurang enak
badan, Ryan sedikit berasumsi

201
“Pastilah karna bayaran yang dia rasa kurang
banyak.” Ujarnya.

Tak ada waktu lagi untuk berlama - lama mencari


porter, karna sebenarnya pendakian harusnya dimulai dari
kemarin, Ryan tidak ingin menunda pendakian lagi sampai
besok atau bahkan lusa. Jadinya lelaki kumal itu berinisiatif
untuk mencari sendiri, dan akhirnya mendapatkan porter
pengganti yang bersedia mengantar. Namun drama masih
berlanjut, sang pendamping dari taman nasional bersikukuh
ingin mencari porter sesuai dengan pilihannya. Entah maunya
apa, maksudnya apa, kekesalan Ryan pada pendamping dari
taman nasional itu makin menumpuk.

“Memang kenapa pak, dengan porter yang kami


cari? Kurang besar badannya? Atau kurang besar
pengalamannya?” Ujar Miko kepada bapak yang sedang
bersandar di pohon besar.

“Saya sudah bilang, saya mempunyai porter yang


lebih baik. Temanmu juga sudah naik keatas beberapa jam
yang lalu.” Jawab porter itu dengan mata yang sama sekali
tidak memandang Miko. Benar-benar tidak sopan.

Diawali dari fakta bahwa utusan taman nasional itu


belum pernah sama sekali mendaki Gunung Bukit Raya, dan
berlanjut dengan kesektauan-nya mengenai banyak hal
tentang pendakian. Dan mungkin akan terus bertambah

202
dengan hal-hal lainnya. Disini Miko merasa sangat kecewa
dengan pengelola Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya
yang menugaskan orang yang tidak berkompeten.

Drama yang tak kunjung usai terus menerus terjadi


di pagi sebelum Ryan dan MIko memulai pendakian. Seringkali
pemahaman dari petugas taman nasional yang tidak merekai
mengerti; waktu terbatas, dia sengaja mencari porter ke desa
sebelah, yang mana membutuhkan waktu yang lebih lama dan
biaya tambahan untuk membayar jasa ojek. Bahkan dia
mengancam untuk melaporkan mereka ke pengelola taman
nasional dan tidak akan pergi mendamping hanya karna
masalah logistik, padahal sudah di siapkan dengan baik.


Matahari semakin naik dan terik, mereka pun
meninggalkan basecamp dibonceng para ojek. Ojek jadi pilihan
satu-satunya, mengingat waktu yang semakin siang dan jarak
yang lumayan panjang menuju pintu rimba bernama Korong
HP. Dibutuhkan waktu sekitar 20 menit menggunakan sepeda
motor, dan dua hingga tiga jam jika memilih berjalan kaki. Trek
yang dilewati adalah jalanan tanah bekas peninggalan
perusahaan logging yang jika hujan turun medannya akan
sangat menantang dengan tanjakan dan turunan tajam.
Beberapa kali MIko harus turun saat tanjakan, dan memegang

203
handle bagian belakang saat melewati turunan tajam nan licin
yang bisa saja membuat motor terpeleset dan jatuh.

Korong HP (450 mdpl), satu - satunya spot yang


terdapat sinyal seluler, mungkin itulah alasan disebut Korong
HP. Pendakian dimulai dengan doa bersama yang dipimpin
oleh miko agar setiap perjalanan diberi kelancaran dan selalu
dalam lindungan. Langkah kaki beranjak memasuki kawasan
hutan yang lebih rapat. Jalanan yang dilewati sangat rapat, kiri
kanan jalan hampir tertutup semak - semak yang cukup tinggi.

Rombongan hanya ada tiga orang. Ryan, Miko serta


sang porter dengan badannya yang besar, sudah bisa ditebak.
Porter yang satu ini, sudah sangat berpengalaman perihal
kehidupan di alam Liar. Itu karena semua emblem pegunungan
yang ada di rompi krem yang ia kenakan.

Ritme langkah mereka masih sangat santai sembari


menikmati hutan hujan tropis rapat khas Kalimantan. Trek pun
masih terbilang sangat bersahabat, masih landai, sesekali naik
- turun punggungan. Sekitar dua jam sepuluh menit berjalan,
akhirnya menemukan sebuah tanah lapang dengan sisa
batang - batang pohon tersusun rapih yang biasa dipakai untuk
pondasi membuat tenda darurat,. Artinya tanah lapang ini
biasa digunakan untuk berkemah. Tidak ada plang atau tanda
apapun di jalur ini, mungkin kurang diperhatikan karna sangat
sedikit pendaki yang berminat untuk mendaki gunung ini.
Karna sudah jelas, letaknya yang sangat terpencil dan biaya

204
yang mahal menjadi sebab jarangnya pendaki yang melakukan
aktivitas pendakian disini. Itu juga menjadi salah satu faktor
disarankannya menggunakan porter disetiap pendakian,
karena jalanannya yang kurang jelas, minim petunjuk, dan juga
banyak percabangan di sepanjang jalur. Bahkan saking
jarangnya didaki, dalam setahun bisa jadi hanya 5 - 10
rombongan saja yang mendaki Gunung Bukit Raya.

Ruang Nelangsa
Ruang yang kini kosong pernah menjadi saksi,
tentang sebuah asa yang entah bagaimana dia tumbuh dalam
dua insan yang hatinya masih penuh kebimbangan.

Saksi bahwa bahagia tak selamanya, karena sebuah


status hubungan. Meski hanya sekedar atas nama cinta
sebagai teman, suka duka itu tak pernah hilang.

Tentang sebuah tawa garing saat bualan itu terasa


kurang lucu karena topik obrolan itu mulai berkurang.

Saat semuanya menjadi jauh karena


kesalahpahaman, temu menjadi penengah yang baik, dan
dewasa menjadi keputusan yang adil.

205
Bisakah hubungan atas nama cinta sebagai teman
itu kembali seperti biasanya? Bisakah semuanya berakhir
pisah?

Jika saja semuanya bisa kembali seperti biasanya,


tetap saja berbeda karena ada hati yang sudah kecewa.


Miko pun membongkar sedikit perbekalan untuk
sekedar mengisi energi agar tetap kuat melanjutkan perjalanan.
Menurut porter, tempat ini adalah Hulu Sungai Menyanoi,
memang sering digunakan untuk berkemah karna terdapat
sungai kecil disampingnya. Sekitar jam 3 sore, perjalanan
kembali dilanjutkan menuju Sungai Mangan. Trek pendakian
masih naik - turun punggungan, juga melewati beberapa
sungai kecil. Mendekati camp Sungai Mangan, jalanan setapak
berubah menjadi menurun, dan setelah itu akan dijumpai
sebuah camp yang mampu menampung 4 - 5 tenda. Waktu
tempuh dari Hulu Sungai Menyanoi ke Sungai Mangan sekitar
1 jam dengan ritme jalan yang santai.

206

Mendalami kisah
Tentang perjalanan hidup orang-orang hebat,
terkadang kita sebagai manusia biasa-biasa saja akan
terpukau dengan hal-hal luar biasa yang pernah dijalani
mereka. Ada tokoh politik yang Berjaya dalam periode
kepemimpinannya, atau penguasa sukses yang meniti dari
minus dengan latar belakang keluarga yang kekurangan. Bisa
juga tentang perjalanan seseorang yang menjadi guru besar
bagi umat manusia.

Orang-orang hebat akan ada seseorang yang


membantunya untuk bertahan dalam fase-fase krisisnya,
kebanyakan seperti itu. Ada sahabat yang memperjuangkan
waktunya untuk menemani karib dalam berjalan melintasi
waktu menuju kesuksesan. Ada wanita yang melembutkan
harinya yang keras untuk tetap sejuk dalam menjadi pemimpin.
Ada pula keluarga yang memacu semangat untuk tidak
menyerah di tengah perjalanan.

Tidak mudah, tentu menjadi seseorang yang bernilai


mempunyai jalan cerita yang menakjubkan. Bahkan untuk
mencapai keberhasilan itu, bisa jadi kita tidak bisa melakukan
dengan cara yang sama. Karena setiap orang mempunyai
garis tangan yang berbeda. Setiap manusia berhak menulis

207
perjalanan cerita yang ia jalani sampai pencapaian akhir
hidupnya.

Belajar dari kisah orang-orang yang hebat, walaupun


kita tidak menjadi orang yang hebat, setidaknya jangan
menjadi manusia yang menyusahkan orang lain. Jadilah
manusia yang hebat, dengan kehadiran kita, dunia akan lebih
berwarna.


Hari kedua pendakian dimulai terlalu siang, maka
ritme jalan pun harus diatur cepat agar tidak bertemu malam di
perjalanan. Start dari camp Sungai Mangan (668 mdpl) sekitar
jam 09.30, kondisi hutan masih tertutup dengan kanopi -
kanopi hutan yang rapat dan pepohonan yang menjulang tinggi.
Jalanan mulai menanjak setelah meninggalkan camp Sungai
Mangan tempat mereka bermalam. Hutan dengan kondisi ini
menyebabkan pandangan terbatas, tidak ada pemandangan
yang bisa dilihat sama sekali, kecuali pohon, semak - semak,
atau tanah lembab tertutup dedaunan. Camp berikutnya
adalah Hulu Rabang (708 mdpl), mereka sampai disana
setelah melakukan perjalanan sekitar 3 jam. Hulu Rabang
merupakan camp dengan tanah yang datar dan cukup luas,
sangat cocok untuk dijadikan tempat bermalam karna selain
cukup untuk banyak tenda, juga terdapat sebuah sungai lebar
dengan air jernih yang melimpah.

208
Medan perjalanan berikutnya akan terus menanjak
dengan banyak batang pohon tumbang yang akan
menghalangi perjalanan. Sesekali mereka harus merangkak
dan memanjat batang pohon tersebut. Dan gangguan lainnya
datang dari drakula penghisap darah, binatang ini menemani
perjalanan dari mulai memasuki hutan. Setiap kali berhenti,
Ryan selalu memeriksa setiap bagian tubuh agar terhindar dari
serangan hewan tersebut. Kondisi tanah yang lembab
menyebabkan pacet sangat banyak berkembang biak disini,
dari awal pendakian bahkan hingga puncak akan ditemui
binatang ini. Macamnya pun berbeda - beda dari yang
berwarna hitam, loreng, dan bercorak.

Jalanan yang terus menanjak membuat langkah kian


melambat. Ditambah hal lain yang tidak biasa di gunung ini,
adalah hawanya yang sangat panas, mungkin faktor dari letak
geografis Kalimantan yang berada di garis equator dan juga
karna sangat tertutupnya hutan disini. Dilema antara harus
bertahan dengan mengenakan baju tapi banjir keringat, atau
melepas baju tapi harus siap dengan hisapan sang pacet yang
bisa kapan saja menempel di badan.

Kaki terus melaju walaupun perlahan, banyak faktor


menyebabkan pendakian hari kedua sangat melelahkan. 3 jam
lebih sudah berjalan, namun trek terus menanjak, tidak ada
satupun tanda - tanda lahan datar yang menunjukan sebagai
tempat camp berikutnya.

209
Jeritan suara perempuan yang mengejutkan, datang
dari arah depan. Jelas itu merupakan suara Anggey karna dia
adalah satu-satunya perempuan yang diajak untuk menemani
sang porter. Anggey merupakan gadis berjilbab dengan
wajahnya yang kecoklatan, sifatnya terbilang cuek, terbukti
saat mereka melakukan pendakian tidak ada pertanyaan
keluar dari wanita itu. Sang Porter pun bergegas maju untuk
segera menghampirinya. Sebelum menemukan Anggey,
beberapa sengatan di bagian badan terasa ditubuh Ryan
Rasanya ngilu. Sambil berteriak, Ryan berlari menjauh dari
tempat pertama dirinya mendapatkan serangan itu.

Akhirnya mereka menemukan Anggey dengan Agus.


Agus ikut pendakian sehari sebelum kami mulai mendaki.
Ryan janjian untuk bertemu dipuncak saja, karena sebeumnya,
ia tengah sibuk dijaka mutar-mutar oleh sang calo. Ternyata
sengatan tadi berasal dari kerumunan tawon yang sarangnya
tepat berada di tengah trek. Setelah memaksakan diri untuk
terus berjalan menghindari dari ancaman tawon, rombongan
memutuskan untuk mencari tempat untuk mendirikan tenda
karna sengatan dari tawon terus terasa dan menyebabkan
rasa lemas. Disulaplah medan yang miring menjadi camp
seadanya. “Yang terpenting malam ini Anggey beristirahat”
Ujar Ryan kepada sang porter, karna ia sangat tidak
memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan.

Sungguh bukan perjalanan yang biasa, semua satu


paket menjadi perjalanan dengan pengalaman yang baru dan

210
banyak cerita. Sesegera mungkin mencoba memejamkan mata
setelah semua bersiap untuk beristirahat, dengan harapan
rasa sakit akibat sengatan tawon tadi akan hilang pada
keesokan harinya.

Sinar langkah
Hari ini, tentangmu yang masih belum berakhir.
Seperti halnya lampu jalanan dipagi yang masih dini hari. Aku
jelas akan tahu siapa yang masih bersinar di gelapnya hari ini.
Iya kamu! Harusnya aku tidak berdiam diri disitu. Karna
cahayamu tidak bermaksud untukku. Ada orang lain yang
memang akan mengunjungi tempat itu.

Dia yang memang kau tunggu kehadirannya,


menemani gelap-terangmu tiap saat. Dan yang mendengarkan
suka-duka ceria harimu sampai habis waktu. Bukanlah aku.
Memang ada dasarnya dipersimpangan bukanlah tempat yang
layak untuk berhenti. Bisa saja aku berbelok ke kiri ataupun ke
kanan, mencari tempat yang selalu ku sebut sebagai rumah.

Juga berjalan ke depan melihat cahaya yang lain,


yang mungkin masih kosong tak berpenghuni. Tanpa perlu lagi
menatap baik jalan yang pernah aku lewati.

211
Harusnya begitu, harusnya seperti itu.


Rasa sakit karna gigitan tawon seketika hilang saat
Ryan terbangun, dilanjutkannya kembali perjalanan yang
masih panjang menuju titik tertinggi di Pulau Kalimantan. Ia
memulai perjalanan kembali pada jam 09.20 WIB. Dan yang
menjengkelkan, setalah 15 menit berjalan, dijumpailah sebuah
tanah lapang yang bisa jadi adalah camp Hulu Jelundung
(1.300 mdpl).

Sebuah pelajaran yang ia dapat agar selalu sabar.


Memang cobaan di hari kedua kemarin cukup berat, padahal
jika sedikit berusaha untuk terus mendaki, mreka tidak perlu
bersusah-susah untuk membabad tanah miring supaya bisa
digunakan untuk membuat tenda.

Tanjakan demi tanjakan berhasil dilewati. Semakin


lama berjalan, treknya semakin menanjak, sungguh menguras
tenaga. Tapi mendekati camp Linang trekpun berubah
melandai, melewati turunan panjang, lalu menanjak lagi.
Benar-benar dihajar naik-turun punggungan. Yang jadi
permasalahan adalah saat turun, turunnya bukan turun
sesungguhnya, tapi akan kembali melewati turunan dan
tanjakan lagi.

212
Dari Linang, jalanan masih terus menanjak. Setelah
berjalan sekitar dua jam, mereka berlima tiba di sebuah
percabangan jalur. Ternyata jalur ke kiri merupakan arah
menuju puncak, tetapi porter menuntun untuk mengambil jalan
lurus karena harus mendirikan tenda di camp selanjutnya yaitu
Sowa Tohotong. Tidak jauh dari percabangan. setelah
melewati sungai kecil ditemukan juga sumber air yang lebih
besar dekat camp. Tiba di camp Sowa Tohotong (1.557 mdpl)
sekitar jam 14.16, artinya perjalanan dari camp tawon sampai
ke camp terakhir ini menghabiskan waktu selama empat jam
lebih.

Selama pendakian ini, mereka mempunyai aktivitas


rutin sebelum tidur, yaitu membersihkan tenda supaya
terhindar dari pacet. Mendaki gunung ini seperti datang ke
kerajaan pacet, setiap detiknya pacet bisa saja menghampiri,
untuk mencumbu bagian tubuh, dan menghisap darahnya. Hal
unik lainnya, dan pertama kali terjadi di sepanjang sejarah
pendakian Ryan, Ryan tidur dengan kondisi kegerahan, tidur
tanpa sleeping bag, bahkan tanpa baju.

Pulih untuk siap dipatahkan kembali


Seperti halnya seorang penyair yang kadang butuh
rehat sejenak, sekedar menata ulang hatinya yang sudah

213
terlanjur retak, sebab terinjak oleh air mata kenangannya
sendiri, sebelum meneduhkan kembali kesepian atau
kesedihannya dalam secarik puisi patah hati.

Pun kepala kita,

Sesekali butuh istirahat pula dari buruknya ingatan-


ingatan masa lalu yang datang satu-persatu. Bersembunyi lalu
menampakkan diri diantara pelataran senja, di antara ruas
jalan yang pernah dilaluinya, atau diantara setumpuk puisi
yang membuatnya abadi disana.

Jika segala yang patah telah pulih kembali, tolong


persiapkan diri lebih baik lagi. Untuk segala kemungkinan
terburuk yang bisa mematahkan hatinya lagi.


Menuju Puncak Kakam, mereka harus kembali ke
jalur pertigaan yang dilewati kemarin. Dari pertigaan ambil arah
ke kanan, trek yang akan dihadapi menuju puncak yaitu trek
dengan tanjakan yang terjal. Vegetasi disini sudah mulai lebih
rendah dibandingkan pepohonan yang dilewati di perjalanan
dua hari sebelumnya. Serangan pacet pun akan berkurang
disini, mungkin disebabkan cahaya matahari yang mulai bisa
menembus kanopi pohon di daerah sini. Dalam perjalanan ke
puncak, mereka bertemu dengan beberapa pemburu kayu

214
Gaharu, mereka bisa bertahan berminggu - minggu di dalam
hutan hanya untuk mencari kayu tersebut.

Jalur pendakian berikutnya adalah hutan lumut yang


tebal dengan jalur setapak namun banyak percabangan. Jalur
ini mengharuskan kita merangkak serta merunduk, karena
terhalang cabang pohon yang turun melintas jalur. Harus lebih
fokus dan lebih teliti untuk memilih jalan, porter menyarankan
untuk tidak berpisah.

Selain menjadi salah satu gunung tertinggi di


kategori 7 summits of Indonesia, kawasan Gunung Bukit Raya
ini memiliki daya tarik dengan keanekaragaman flora dan
faunanya. Terdapat 817 jenis tumbuhan, diantaranya
Nepenthes, Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Ericadeae.
Terdapat juga tumbuhan obat-obatan, anggrek hutan, dan juga
tumbuhan endemik Rhododengron.

Pundakan-pundakan bukit jauh disana sudah mulai


terlihat, jalur mulai sedikit terbuka, dan suara di depan sedikit
menambah semangat untuk terus berjalan. “Sedikit lagi
puncak!” tutr Agus yang berjalan paling depan. tapi saat
sampai di ujung tanjakan, nyatanya dugaan Agus salah.
Tempat ini hanya merupakan salah satu titik tertinggi disini,
bukanlah puncak. Dari titik ini jelas terlihat hamparan hutan
lebat yang hanya tertutup pepohonan yang rapat. Sungguh
pemandangan yang tidak biasa, andai saja beberapa bagian
dari jalur pendakian ini tidak tertutup pohon, pasti jadi bonus

215
bagi para pendaki karena bisa melihat jajaran hutan
Kalimantan yang masih penuh dengan pepohonan tinggi.

Jalanan kembali menurun, dan masih melintasi


hutan lumut yang rapat. Lalu kembali menanjak, dan setelah
itu akan sampai di puncak sebenarnya, Puncak Kakam 2.278
mdpl. Puncak tersebut ditandai dengan adanya plang
bertuliskan "Taman Nasional Bukit Raya, Puncak Kakam 2,278
mdpl", juga terdapat 2 pondok pemujaan dengan banyak
barang di dekat pondokan tersebut. Hal yang berbada lagi
terdapat di puncak gunung ini, puncaknya hanya sebuah tanah
lapang di kelilingi pohon yang agak tinggi. Jadi memanjat
pohon jadi satu - satunya cara untuk melihat pemandangan
dari puncak ini, tapi belum tentu juga pemandangan akan
terlihat, karena sesekali kabut akan datang dan menghalangi
pemandangan. Sama persis saat Ryan dan yang lainnya
sampai di puncak. Seketika langit yang cerah, tertutup kabut
tebal yang enggan menghilang walau sudah kami tunggu lama.
Namun semua itu tidak menghalangkan rasa bersyukur Ryan
khususnya, telah diberi kesehatan, kekuatan, dan kesempatan
untuk bisa sampai di titik tertinggi Pulau Kalimantani.

Mereka sejenak melakukan ritual yang biasa


dilakukan saat sampai di puncak. Pak porter memimpin ritual
ini, dimulai dengan menaruh butiran-butiran beras di kepala
dan berdoa untuk segala kabaikan dan rasa syukur karena
telah sampai di puncak. Ada perasaan masih ingin tetap
berlama-lama di puncak, ego untuk menunggu kondisi akan

216
kembali cerah tanpa kabut, tapi terpaksa di lawan karna
mengingat waktu yang terbatas dan juga berpegang teguh
pada pemikiran; "Bahwa puncak dan cuaca cerah itu adalah
bonus!" selebihnya sudah bisa selamat sepanjang pendakian
dan bisa kembali pulang itu adalah nikmat dari pendakian
sesungguhnya. Akhirnya, rombongan memutuskan untuk turun
secepatnya dengan perasaan bangga karna berhasil sampai di
salah satu titik tertinggi dari titik-titik tertinggi lain 7 summits of
Indonesia.

Ingat puncak itu hanya bonus, mendapat pemandangan bagus


pun hanya bagian dari perjalanan, yang wajib itu kembali
pulang!.

Sesuai perjanjian kemarin sore, perjalanan akan


dilanjutkan pagi ini setelah menambah satu malam di Sowa
Tohotong. Setelah dari puncak, fisik Agus drop, sehingga
diperlukan istirahat ekstra sebelum melakukan perjalanan
turun.

Dari Sowa Tohotong mereka akan terabas sampai


basecamp Rantau Malam hari ini. Perjalanan turun diharapkan

217
bisa lancar dan lebih cepat dari jalur naik, karna beban di tas
masing-masing setidaknya sudah berkurang.

Bisa sampai di Hulu Rabang sekitar jam 11 siang,


membuat Ryan dan rombongan optimis bisa sampai di
basecamp sebelum langit gelap. Halangan-halangan seperti
tawon pun, tidak kembali ditemukan saat jalan turun. Hampir
seminggu berada di kedalaman hutan, ternyata membuat fisik
benar - benar tidak fit. Tas carrier padahal sudah lebih ringan,
namun bebannya terasa masih sangat berat di punggung.
Ditambah jalanan turun yang harusnya menurun, tapi disini
malah berundak-undak, yang menyebabkan perjalanan tetap
saja harus mendaki. Langkah kaki benar-benar sudah tak bisa
dikontrol, jalan sejalannya, bahkan sering berhenti untuk
menghela nafas dalam sesekali.

Benar - benar bukan gunung biasa, si mungil dengan


ketinggian 2.278 mdpl yang mampu membuat mereka
kewalahan.

Melewati sungai mangan langit mulai berubah gelap,


porter tetap memaksakan perjalanan agar bisa sampai di
basecamp malam ini juga. Fisik sudah jelas drop, pertama kali
ini rasanya kesal karna tak kunjung keluar dari hutan.
Mendekati maghrib trek mulai dikenali, rasanya hampir
mendekati pintu rimba. Dengan penuh haru, senang, sedih,
bercampur aduk, akhirnya berpapasan dengan adzan maghrib,

218
rombongan berhasil keluar dari hutan dan sampai di Korong
HP.

“Tabah! tidak hanya diawal, tidak juga di


pertengahan, tapi tabah sampai akhir!" Sebuah kalimat
penyemangat dari seorang Miko. Menemani sepanjang
perjalanan dari awal perjalanan hingga sampai puncak, dan
turun. Dikala fisik dan mental drop, yang diperlukan hanya
ketabahan, tabah sampai akhir!

219
Mungkin, aku bisa berhenti percaya kalau
itu hanya sekedar alibi untuk sebuah
kemungkinan yang pasti, kalau ternyata
kau tak pernah mencintaiku.

220
Bagian Dua Belas

221
aku pernah tertidur
beberapa lama. Ketika aku
membuka mata, semua orang
terlihat menangis dan mengucap
syukur yang terus diulang-ulang.
Semua terlihat berebut ingin
memelukku. Aku bingung,
kepalaku pusing, tenggorokan
serasa kering. Apa yang terjadi?
Apa aku telah melakukan
kesalahan yang fatal? Apa aku
mabuk-mabukkan? Apa aku
bermain terlalu lama?. Air
mataku tiba –tiba menetes,
ketika salah seorang di antara
mereka berkata “kau telah
kembali, jangan begini lagi, kami
semua takut.”

Dan aku yang tersadar bahwa beberapa hari lalu


koma karena tertabrak sepeda motor di persimpangan jalan
ketika ingin pergi bermain warnet. Ibu mencium keningku,
bapak meraih tanganku. Alvian yang sedari tadi tertidur tidak
menghiraukan.

“Anak bapak harus kuat, katanya ingin jadi


superman.” Ujar bapak dengan wajah tersenyum. Entah sudah
berapa lama tidak ku lihat senyum bapak.

222
Merangkak Kedepan

TERLIHAT salah seorang pria berjas coklat


mendatangi rumah yang berada di jalan Dago, rumah yang
ditinggali Ryan beberapa waktu lalu kini sudah ditempati oleh
orang lain. Lia menghampirinya seraya melambaikan tangan.

223
“Rama!” teriaknya dengan lari-lari kecil. Lonceng
kecil yang berada ditasnya memekakan telinga. Langkahnya
semakin cepat, hingga ditengah jalan raya yang ia sebrangi,
Sebuah sedan yang melaju dengan kecepatan yang terlewat
batas untuk jalan setapak menabraknya dan membuatnya
tidak sadarkan diri.

Seorang pria yang mendengar suara Lia yang


menjerit langsung menghapirinya, meninggalkan koper hitam
yang ia bawa. Sedan yang menabraknya sudah melarikan diri
entah kemana.

“Lia! Bangun Lia!” Ujar pria itu menepuk-nepuk pipi


Lia dengan harap ia akan sadar setelahnya.

Rama adalah mantan kekasihnya yang kini tengah


menjalani bisnis di dunia penerbitan. Pria berambut klimis yang
tersisir kebelakang itu membawanya ke dalam kamar
indekosnya untuk melakukan pertolongan pertama. Wajah Lia
yang tampak sudah berlumuran darah akibat berbenturan
dengan aspal jalanan di bersihkannya dengan air hangat.
Sesekali tangan pria itu mengelus rambut Lia yang terurai.

“Dasar bodoh, masih saja kayak dulu.” Ujarnya


tersenyum.

Tangan Rama semakin menjalar kebagian sensitif


tubuh Lia. Lia yang sedikit demi sedikit tersadar melakukan

224
pembelaan dengan cara menendang pria itu. Ia tak percaya
keperawanannya hampir terenggut oleh mantan kekasihnya
sendiri, sebuah niatan baik untuk silaturahmi kini kandas
termakan nafsu.

“Brengsek!” Lia mengambil stik baseball yang berada


disudut kamar untuk menjaga diri.

“Apa yang kamu lakukan?” Lanjutnya dengan nada


tersedu, air matanya mulai jatuh.

Rama yang sedang terduduk di lantai akibat


didorong Lia hanya diam sebelum akhirnya menangis.

“Maaf Lia, aku tidak ada maksud apa-apa maaf!”


wajahnya tertunduk seraya mengakui kesalahannya, sebuah
penyesalan yang mungkin tidak akan ia lupakan.

Pintu rumah itu terbuka dan muncul sosok Ryan


dibaliknya, hari ini Ryan akan melakukan penanda tanganan
naskahnya dirumah Rama selaku editing di penerbit tempat
Ryan memamerkan kepiawaiannya dalam hal tulis menulis.

“Lia?” mata Ryan tertuju kepada Lia yang


merupakan kekasihnya. Ia tak habis fikir apa yang kasihnya
lakukan dikamar rekan kerjanya.

“Kamu ngapain disini? Kepalamu kenapa berdarah?”

225
Lia berlari dan memeluk Ryan, tangisannya sedikit
kencang. Ryan yang tidak mengerti meminta Lia untuk
menjelaskan kejadian. Perihal apa yang membuatnya
menangis dan apa yang membuatnya berdarah.

Lia hanya bilang perihal kejadian kecelakaan yang


barusan menimpanya, ia menutupi perihal kejadian pelecehan
yang Rama lakukan. Mulutnya terasa kaku untuk bekata jujur,
ia tak bisa membayangkan kedua orang yang ia cintai di waktu
yang berbeda, akan bertengkar karena sebuah nafsu seksual.

Rama masih terduduk tatkala Ryan mengulurkan


tangannya untuk membantunya berdiri. Wajah yang penuh
penyesalan terus menerus mengeluarkan air mata.

“Jadi cowok jangan lemah atuh, kita cuma


kehilangan tulang rusuk, bukan kehilangan akal sehat.” Ujar
Ryan mencoba menenangkan.


Hari semakin gelap, Lia masih terduduk diruang
tamu, menunggu kekasihnya menyelesaikan tugasnya.
Membiarkan kebohongan terus mengganggu pikirannya. Ryan
sedang asik berbincang dengan Rama di bawah lantai yang
disugguhi dua buah kopi dan sebungkus nikotin, kejadian tadi
terasa begitu cepat, dimana yang wanita itu tahu bahwa ia

226
sedang dilecehkan sebelum akhirnya tersadar. Rama yang
terkenal penyayang kini menjadi orang yang paling kejam,
Rama yang ia kenal humoris kini menjadi orang yang ia kenal
brengsek. Sebuah masa depan hampir terenggut kala ia telat
tersadar barang 1 menit.

Matanya masih lebam akibat terpukul oleh air mata


sendiri, celana jeans yang ia kenakan menyelamatkan
hidupnya. Luka dikepala membuatnya pusing. Ia tersandar di
kursi paling ujung yang terapit dua bunga mawar sebagai
penghias. Dibukanya sebuah buku bersampul merah itu.
Mencari kalimat yang tepat untuk sekedar menjadi obat
penenang.

DTSFR
For me, its hard to say “Proud Of Myself” When
people ask me “Apa saja yang sudah saya capai selama
hidup?” dengan gamblang saya menjawab “Nothing!”.

Sedang berusaha menerapkan What I’ve done


yang kecil-kecil untuk lebih menghargai diri sendiri. Itupun
masih sulit untuk dilakukan. Setidaknya saya bangga dengan

227
diri saya sendiri. Se-menyesal itu saya jadi “aku” yang hidup
sekarang.

Sewaktu semua orang sudah mempunyai rencana di


tahun berikutnya, saya pun ada, tetapi diiringi keraguan dan
negatifitas sebesar 80% di dalamnya. Banyak hal yang saya
ragukan, termasuk;

“Apa saya masih mau hidup sampai tahun


berikutnya?”

“Apa Tuhan masih ingin memberi saya nafas barang


1 tahun?”

“Apa saya masih sanggup menghadapi kegagalan


yang akan saya bawa ke tahun berikutnya?”

Saya ingin membanggakan apa yang sudah saya


capai, tetapi kerap setiap kali kebanggan itu saya angkat, ada
banyak kisah kelam yang ikut pula terangkat. Jadilah
kebanggaan itu hilang dan berganti menjadi biasa saja. Tidak
bernilai lebih, bahkan tidak istimewa. Entah, entah apa yang
akan saya jadikan patokan dan tolak ukur dari segala
pencapaian.

Saya hanya merasa selalu merepotkan selama


hidup. Tidak berguna untuk sekedar membantu orang lain.
Bahkan cita-cita klise sewaktu sekolah dasar “ingin berguna
bagi orang banyak” saja tidak tercapai. Kepala saya sungguh

228
penuh dengan negatifitas dan kawan-kawannya. Saya tidak
mencintai diri saya sendiri. Saya tidak bangga dengan diri saya
sampai hari ini. Saya tidak pernah mencapai apapun.

Tidak pernah!!, atau barangkali belum.


Pintu yang sedari tadi tertutup rapat kini terbuka
lebar kala ia lihat sosok Ryan keluar dari rutinitasnya. Wanita
itu menutup buku sebelum akhirnya berdiri, Ryan memegangi
luka di wajah Lia, disimaknya baik-baik luka dibagian kepala
yang wanita itu alami.

“Kita ke dokter yah! saya tidak ingin wanita saya


terluka.” Ajak Ryan yang masih mengelus luka yang Lia alami.

“Aku tidak apa-apa kok! hanya luka kecil.” Wanita itu


meyakinkan kekasihnya, ia tidak ingin merepotkannya, teringat
kalimat yang ia baca beberapa waktu silam.

Yang namanya bergantung pada orang lain, pastilah tidak


akan baik. Kamu tidak akan tahu seberapa kemampuan dirimu
sendiri. Kamu tidak akan mampu mengurai gumpalan masalah
yang ada didepanmu. Kamu hanya tahu melangkah setelah
ada aba-aba. Berhentilah, dan mulailah yakin pada diri sendiri!

“Tahu tidak, apa yang membuat orang depresi


karena luka?” Tanya Ryan.

229
“Tidak, memang apa?”

“Mereka terlalu menumpukkan masalahnya pada diri


sendiri, tidak ingin berbagi, tidak ingin cerita, tidak ingin orang
lain tahu. Seakan ia adalah manusia paling hebat dimuka bumi,
yang bisa hidup tanpa bantuan dari orang lain. Mungkin
bergantungan pada orang lain tidak baik, tetapi selama kita
mampu membalasnya, itu sudah lebih dari cukup.” Jelas Ryan
yang menyadari bahwa wanitanya tidak baik-baik saja.

Lia hanya menunduk, memalingkan wajahnya dari


tatapan Ryan. Ia tahu bahwa mungkin Ryan tidak akan marah
perihal kejadian barusan, ia tahu bahwa mungkin Ryan akan
dengan sabar memaklumi kebohongan Lia.

Ia hanya bisa tersenyum, senyum yang rasanya


begitu menyebalkan untuk seorang Ryan.

“Yang paling menyebalkan dari kamu itu, senyummu


yang satu ini. Mungkin, itu adalah satu dari sekian keajaiban
yang Tuhan ciptakan di bumi dan memandanginya tidak
membuat saya jenuh sedetik pun.”

“Ah gombal.” Lia mencubit Perut Ryan hingga


membuatnya menjerit.

“Rasanya, setiap disenyumi olehmu membuat


jantung dan hati bertukar tempat dan jiwa saya goyah, hampir
roboh!.”

230
“Lalu yang tidak kamu sukai apa?”

“Yah senyummu itu. Senyum yang tidak terbatas


untuk saya!”

Tidak saling bahagia


Kamu pernah sangat jauh jatuh pada seseorang,
mengharapkannya, melakukan apapun untuknya, berharap
seakan-akan dia yang sebelumnya tak pernah mnganggapmu
ada, bahkan sama sekali tak mengerti akan kehadiranmu di
dunia ini, akan menjadi seseorang yang paling perhatian
untukmu.

Tapi setelah sekian lama, hanya sebatas harapan


dan doa, kamu mulai menemui titik jenuh yang tak mampu lagi
kamu lewati, kamu mulai melihat dinding yang terlampau tinggi
untuk kamu lampaui, kamu mulai bosan dengan semua usaha
dan perjuanganmu dulu untuk mendapatkan sekelibat
lirikannya, kamu seolah tiba-tiba lupa, jika dulu, kamu pernah
memperjuangkannya sampai titik dimana saat seandainya dia
tahu, dia mungkin tidak akan menyangka jika kamu akan
melakukakannya sampai dibatas itu.

231
Dan saat kamu dan dia sama-sama sudah saling
mengerti, kalian sudah terikat di masing-masing lain hati, yang
akan semakin berat pula kalian tinggalkan.

Karena apa? Karena sekarang kamu dan dia sudah


mendapat seseorang yang lebih baik dari masing-masing
kalian, seseorang yang lebih layak untuk ditangisi dan
diperjuangkan, seseorang yang tidak membuatmu menunggu
lama dan tersiksa terus-menerus, dan kamu tahu, jika
seseorang yang dulu kamu nanti-nantikan, memang terlihat
lebih bahagia dengan pilihannya, bukan denganmu.

Disini kita tahu jika Tuhan tidak pernah bercanda,


apalagi main-main dengan hambanya. Dia tau mana doa yang
pantas untuk diwujudkan dan yang tidak. Dia tahu mana hal
yang paling baik untuk diberikan pada seseorang yang baik.


“Ada yang ingin saya bicarakan.” Ryan menarik
tangan Lia menuju sepeda motor yang ia bawa. Langkahnya
semakin cepat, Lia yang pusing tidak sempat bertanya perihal
apa yang,membuat lelakinya terburu-buru.

Hari kian sore, matahari melangkah pergi,


menghadikan sepercik cahaya senja sebagai tanda berpisah.
Motor itu melaju melewati lalu lalang lampu taman yang
membias di pelataran surga. Mereka berhenti disebuah

232
perpustakaan, salah satu perpustakaan terlengkap di daerah
Bandung.

“kenapa ke sini?” Tanya Lia.

Ryan hanya tersenyum dan terus menggandeng


tangan Lia. Ditujunya sebuah lemari yang berada di ujung
ruangan. Ryan melepas genggamannya dan meraih satu buku
yang berada di atas lemari itu. Study tour to amerika menjadi
buku yang dipilih Ryan untuk ditunjukkan ke Lia.

Lia meraih buku yang di beri Ryan, seraya bingung


dan terus menatap buku itu.

“Aku tidak mengerti!”

Ryan tersenyum, diraihnya sebuah amplop yang


berada di kantung saku jasnya.

“Kamu baca!” Ryan tersenyum.

Sebuah amplop yang berisi surat beasiswa kuliah di


luar negeri, di bacanya berulang kali surat itu berharap ia tak
salah baca. Bimbang menjadi satu pikiran yang akan menjadi
teman santainya malam ini. Bagaimana tidak? Ia senang
kekasihnya berhasil menggapai cita-cita, dan dilain hal, ia tak
senang dipisahkan jarak oleh sosok yang sempurna.

233
“Saya dapat beasiswa di universitas yang saya
impikan.” Lanjut Ryan dengan matanya yang berbinar bangga.
Sebuah cita-cita yang ia impikan sejak lama, sebuah
pengalaman luar biasa dari seluruh perjuangan yang ia lalui
kini mencapai titik akhir.

Lia hanya tersenyum, mulutnya bungkam. Dilipatnya


kertas itu kembali dan diberikan pada Ryan.

“Selamat.” Ucap Lia

Ryan yang melihat wajah muram Lia kini menjadi


diam. Penjaga perustakaan mengahampiri mereka seraya
memberi kode sudah waktunya perpustakaan tutup. Ryan
memaklumi karena mereka berkunjung terlalu sore. Lia masih
terdiam sepanjang perjalanan menuju sepeda motor yang
terparkir diantara 2 buah mobil. Ia takut di lupakan, takut
diasingkan, takut rindu, sepertinya itu kata yang tepat untuk
mendeskripsikan keadaan Lia.

“Kamu tidak suka saya dapat beasiswa? Atau takut


rindu?” ujar Ryan tanpa memandang Lia yang berjalan di
samping kanannya.

Wanita itu masih terdiam tanpa memperdulikan


ucapan Ryan, sebelum akhirnya mereka sampai di kendaran
yang akan mengantanya pulang.

234

Hari yang dilupakan


Beberapa tahun telah berlalu setelah hari itu.

Siapa sangka waktu akan berjalan bgitu cepat, lebih


cepat dari kisah di masa lalumu mengingat bahwa kamu
pernah ada dalam rencananya. Naasnya dia melupakanmu
begitu saja, dan sayangnya kau masih begitu jelas mengingat
hari saat pesan terakhir adalah ucapan perpisahan yang begitu
tragis. Tanpa peluk hangat atau pemberian kenangan yang
setidaknya bisa membuatmu merasa pernah ada untuknya.

Sebait pesan singkat yang enggan sekali kamu


menghapusnya, tetapi melihatnya pun enggan. Berhari-hari
tersimpan dalam log-chat yang sengaja tak membiarkan orang
lain melihatnya. Cukup kamu yang paham betapa sakit itu
menggerogoti harapanmu.

Beruntunglah, waktu tak bersahabat pada hari itu.


Hingga ia beganti begitu cepat dan enggan kembali. Tak ada
cerita lagi tentang dia di hari-harimu, yang nampaknya rasa
sakit itu sedikit memudar seiring dengan hadirnya orang-orang
baru. Senyum bahagiamu kini terlihat jelas bahwa kamu benar-
benar yakin bahwa dia memang bukan yang tepat untuk selalu

235
diingat. Akan ada hari lain yang memang patut diingat, sebagai
hari yang membuatmu begitu jatuh, adalah hari yang pantas
untuk dilupakan.


“Saya tidak kemana-mana, saya hanya pergi
sebentar untuk menggapai yang lebih besar. Ada harapan
yang menanti saya untuk terus memperjuangkan.”

“Berapa lama kamu disana?”

“4 tahun mungkin.”

“Kenapa sangat lama?”

“Tidak selama saya akan mencintaimu.”

“Aku serius!”

“Aku juga serius.”

“Membayangkan jauh darimu adalah ketakutan yang


berulang kali aku mainkan. Aku merasa seperti bumi di saat
matahari tengah menanti, bergeser sedikit saja aku dari
posisiku, kita akan berubah.”

236
“Kamu tahu apa yang terjadi saat bumi menjauh dari
mentari?” Lanjut Lia dengan nada tersedu.

Ryan hanya diam, menggelengkan kepala tanda tak


tahu. Disimaknya wajah wanita itu baik-baik, wajah yang akan
ia rindukan, tidak akan ada lagi senada indah, tidak ada lagi
pelataran senja di lembang.

“Semuanya akan beku dan bisa kubayangkan


pertemuan kita yang nantinya hanya akan dihangatkan oleh
kata rindu.” Lia menangis, pertahanan mata yang sedari tadi
coba ia bendung, akhirnya jebol. Bongkahan mutiara yang
keluar dari matanya mengalir menuju muara sepi. Malam kian
gelap, mereka belum juga beranjak dari parkiran motor itu.

“Bisakah aku memelukmu dari jauh?” Lanjutnya


menyeka air mata dengan lengannya.

Ryan tersenyum dan mengangguk.

“Saya selalu mnjadi tmpat kamu pulang, entah 4


tahun kedepan, 4 atau 5 tahun kedepan. Saya harap wajah ini
masih sama, wajah yang seringkali membuat setiap langkah
terhenti, senyum yang sangat hebat dalam perihal
memanipulasi. Nanti kita cerita-cerita lagi, tentang gunung
yang kelak akan kita daki, kota yang akan kita singgahi, dan
tentang jarak yang telah kita lalui.”

237
“Jarak antara kita tak lebih jauh dari doa-doa saya
yang setiap malam menemanimu, tenang saja, akan tiba
masanya kita berpelukan sampai mentari pagi menyapa.”
Lanjut Ryan merekahkan tangannya, dan membiarkan wanita
itu menangis dipelukannya

“Jangan khawatir, kamu mempunyai kekasih yang


hebat.” Lia tersenyum sebelum akhirnya bermuara dipelukan
Ryan. Air matanya kembali berjatuhan. Dipeluknya tubuh itu
erat-erat, ia tak ingin ikatan itu lepas, ikatan yang telah ia
sulam dengan benang kepercayaan.

Kelak
Kutuliskan sajak ini sambil mengingatmu. Dalam
sendu sedang gerimis di depan teras rumahku. Akan jadi apa
kita bertahun-tahun dari sekarang, Tuan? Kelak ketika kau
memutuskan pergi dari hidupku, ingatlah aku sebagai proses
kau menuju masa depanmu. Lalu tersenyumlah karna meski
tak bersama, pelukku pernah mendamaikan jutaan gelisah.

Kelak ketika ternyata bukan aku yang mnyambutmu


di depan pintu rumah. Jangan bermuram durja, aku tahu
lelahmu lebih perlu perhatian dibandingkan sesal yang begiu
menyesakkan. Kelak ketika kita tak lagi berjalan beriringan,

238
jangan salahkan Tuhan. Tentu tak satupun dari kita yang ingin
menjadi makhluk tak tahu aturan.

Mari jalani masa kini dengan harapan atas beragam


kebaikan. Kelak ketika hanya puisi yang tersisa dari diriku.
Jangan membacanya sendirian saja. Buatlah secangkir
minuman hangat agar bukan hanya sunyi yang ada dalam
harimu, yang mulai rindu dekapan. Kelak mungkin semuanya
akan hilang, namun yang pernah saling sayang tak seharusnya
menghapus doa-doa kebaikan.

239
Terima Kasih
Terima kasih kepada Sang Pencipta yang telah
membuat semua ini terjadi.

Terima kasih Bapak Slamet Mujiono serta Ibu


Tukirah, Yang sabar mengajari saya cara menjadi pribadi yang
berguna.

Terima kasih para sahabat yang sudah banyak


membantu saya dalam menyelesaikan Novel ini. Terutama
Mbak Nasya yang telah membantu proses pengetikan novel
“Tapal Jarak” sampai mengingatkan agar saya tidak lupa untuk
menulis dimanapun berada.

Terima kasih penerbit Creatif Publishing yang telah


bersedia menerbitkan novel “Tapal Jarak” terima kasih atas
kepercayaannya.

Terimakasih untuk semua media yang telah


mengizinkan saya untuk menjelajahi setiap artikel untuk
keperluan riset, agar latar terlihat sempurna seperti dijaman
2010 dulu.

240
Terima kasih untuk para sahabat pena yang telah
menyumbangkan kisahnya dan menjadikan sebuah novel
perjalanan yang utuh.

Terimakasih untuk bang Topan selaku konter


Handphone yang senantiasa bersedia memperbaiki komputer
jinjing saya yang selalu berpenyakitan.

Terimakasih untuk salah seorang wanita yang telah


membuat saya jatuh hati lalu terluka. Tanpamu saya tidak akan
berkelana untuk melupakan. hingga membuat hati saya selalu
berdialog di laman blog, berkatmu saya dipertemukan oleh
mbak Nasya selaku editor dari penerbit saya Creatif Publishing
yang menghubungi via email untuk bergabung kedalam
keluarga Creatif Publishing.

Kelak kalian akan saya rindukan.

241
Wahyu Jaka Saputra
Jaka Alias Wahyu Jaka
Saputra, seorang remaja yang
berhasil menggapai mimpinya
menjadi penulis, kala diiming-
iming akan tenar, ia kerap tak
peduli “terkenal itu akibat
bukan tujuan.” Menjadi slogan
yang selalu tertanam di dirinya.

Tapal Jarak akan menjadi


buku ke-duanya setelah buku
Nestapa yang merupakan
kumpulan puisi, sekaligus novel
pertama yang mengangkat perihal Politik, Alam, serta
Sastra.
Pemuda yang tengah jatuh cinta kepada gunung ini
memang kerap meluangkan waktunya untuk menulis.
Serangkaian pemikiran dari Pramoedya Anantatoer
berhasil membuat pemuda ini berfikir kritis tentang
langkanya sebuah buku dari bumi yang semakin modern.

242
Agustin, Rizal. “Tabah Sampai Akhir”, diakses dari
http://www.mrizag.com/2015/08/pendakian-gunung-bukit-raya-
tabah.html, pada tangga 26 November 2019, pukul 23.34.

Besari, Fiersa. 2017. Catatan Juang. Jakarta:Media Kita.

Besari, Fiersa. 2017. Konspirasi Alam Semesta. Jakarta: Media


Kita.

Besari, Fiersa. 2018. Arah Langkah. Jakarta: Media Kita.

Dewi, “Dana Bencana Alam” Majalah Dewi, Edisi April 2005,


April 2005, hlm. 181.

Edt Ksp, “Bentrok Reda Massa Kunjungi Makam Mbah Priok”,


diakses dari
https://tekno.kompas.com/read/2010/04/14/20265068/bentroka
n.reda.massa.kunjungi.makam.mbah.priok, pada tangga 12
November 2019, pukul 22.10.

https://id.wikipedia.org/wiki/Iwan_Fals

https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Koja

https://id.wikipedia.org/wiki/Kopi_Sunda_Hejo

https://octharina.wordpress.com/kisah-masa-kecilku/

243
https://palu.tribunnews.com/2019/04/15/sinopsis-sexy-killers-
film-dokumenter-kisahkan-fakta-di-balik-terangnya-listrik-
segelap-batu-bara?page=2

https://touaregadventure.com/pendakiangunung-bukit-raya/

Itsnain. “Catatan Perjalanan Gunung Prau via Dieng”, diakses


dari dalam, https://berjalanterus.com/catatan-perjalanan-
gunung-prau-via-dieng/, pada tangga 23 November 2019,
pukul 22.15.

Mubarak, Husni. “Interview Tragedi Koja dan Jamaah Al


Haddad”, diakses dari
http://rumahnarasi.blogspot.com/2010/06/interview-tragedi-
koja-dan-jamaah-al.html, pada tangga 16 November 2019,
pukul 22.15.

Sanusi, Ayu. 2009. Jihad Cinta. Jakarta: Grafika Sinar


Sejahtera.

244
KUMPULAN PUISI
NESTAPA

245
246

Anda mungkin juga menyukai