Anda di halaman 1dari 47

(A)babilsitter

Karya Alifiana Nufi


Cetakan Pertama, Februari 2017
Penyunting: Dila Maretihaqsari
Perancang sampul: Titin Apri Liastuti
Pemeriksa aksara: Devi Rahmi & Achmad Muchtar
Penata aksara: Rio
Digitalisasi: F.Hekmatyar

Diterbitkan oleh Penerbit Novela


(PT Bentang Pustaka)
Anggota Ikapi
Jln. Plemburan No. 1 Pogung Lor, RT 11 RW 48 SIA XV, Sleman, Yogyakarta 55284
Telp. (0274) 889248 – Faks. (0274) 883753
Surel: info@bentangpustaka.com
Surel redaksi: redaksi@bentangpustaka.com
http://www.bentangpustaka.com

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Alifiana Nufi
(A)babilsitter [sumber elektronis]/Alifiana Nufi; penyunting, Dila Maretihaqsari.—Yogyakarta: Novela, 2017.
iv + 39 hlm; 20,8 cm
ISBN 978-602-430-046-3

E-book ini didistribusikan oleh:


Mizan Digital Publishing
Jln. Jagakarsa Raya No. 40
Jakarta Selatan - 12620
Telp.: +62-21-7864547 (Hunting)
Faks: +62-21-7864272
Surel: mizandigitalpublishing@mizan.com
PROLOG

P
lis, Hes. Dia udah terlanjur kirim duit. Dia maksa ikut. Gak mau duitnya dibalikin.
Rahesa mendecih pelan saat sepasang bola mata hitamnya membaca sederet pesan singkat dari
Erika, salah seorang dari dua orang perusak liburannya.
Kini dia tafakur memandangi secarik kertas kecil di genggamannya. Kertas berisi biodata seorang
peserta, oh, atau lebih tepatnya pengganggu liburannya ke Lombok.
Seharusnya, dia bisa menikmati liburannya dengan tenang tanpa memikirkan orang lain. Tapi, ini
semuanya berubah gara-gara mulut berbisa Nando. Sahabatnya di jurusan Sastra Inggris, yang lebih
tertarik membaca buku-buku karya Robert T. Kiyosaki daripada mendiskusikan karya Jane Austen.
“Seenaknya aja dia nge-share di forum ngajakin bareng ke Lombok pakai akun gue,” gerutunya pada
selembar kertas tak bersalah di genggamannya. “Untung udah buru-buru gue hapus thread-nya.”
Kesialannya belum berhenti setelah thread itu dihapus. Erika, sahabatnya yang manis, tapi belum
laku sekaligus partner in crime-nya Nando itu, terlalu pengin eksis dan update status di Twitter-nya.
Dan, entah dari mana seorang dengan akun @qnantea tahu dan me-mention gadis itu dan menyatakan
bahwa berminat ikut ke Lombok.
Tepat saat mendengus untuk kali kesekiannya, ponselnya berdering. Intro lagu “Haven’t Met You
Yet” milik Michael Bublé mengalun dari saku celana jins hitam yang digantungnya di belakang pintu
kamar indekosnya.
Segera dia beranjak dari kasur dan menjawab panggilan itu dengan ketus, “Apaan?”
“Galak banget, Hes,” kata Pemanggil dengan nada memelas. “Masih marah gara-gara gue bajak akun
lo?”
Rahesa masih diam tak menjawab. Hanya napas beratnya yang berembus, menandakan bahwa dia
masih marah kepada Pemanggil.
“Kalo gue bilang ‘gue yang bayarin tiket berangkatnya’ lo maafin gue, nggak?” Dari suaranya, Rahesa
bisa membayangkan pemuda itu tengah mengunyah Pocky cokelat kesukaannya dengan santai.
Raut wajah Rahesa berubah seketika. Seulas senyuman simpul terpatri di wajahnya, “Kita, kan,
temenan udah lama, Ndo. Masa iya cuma gara-gara itu gue marah sama lo?”
Nando mendecih pelan, lalu tertawa sumbang, “Biarin deh, duit buat beli tiket ke USS1 gue pake buat
bayarin lo, asal lo maafin gue.”
“Ngapain lo bolak-balik ke Singapura melulu? Masih banyak tempat keren di Indonesia yang belum
kita jelajahi, man,” kata Rahesa sok bijak.
“Iya deh, Pak Asdos,” jawab Nando mengalah.
“Jangan sebut-sebut soal itu!” seru Rahesa kesal. “Gue masih sebel sama Pak Wibi. Padahal, gue
asistennya, tapi kenapa skripsi gue malah dibikin ribet sama beliau.”
Nando kembali mengunyah Pocky-nya dengan santai, “Pak Wibi nggak pengin lo lulus cepet, kali. Biar
bisa bantuin dia terus.”
Rahesa diam tak menjawab. Dia tengah melamun memikirkan kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Memang tampaknya Pak Wibi mempersulitnya dalam mengerjakan skripsi. Hanya beberapa sumber
pustaka yang didapatkannya diterima, lainnya ditolak mentah-mentah. Malah, beliau memberikan
beberapa referensi tambahan dalam bahasa Belanda.
Iya, bahasa Belanda. Pak Wibi tidak tanggung-tanggung saat “mengerjai” mahasiswa bimbingannya.
Tapi seingatnya, tidak ada mahasiswa lain yang mendapat referensi dalam bahasa Belanda. Entahlah,
sepertinya Pak Wibi tak ingin otak Rahesa beristirahat barang sejenak.
Berterima kasihlah kepada Arend, teman Couchsurfing-nya yang berasal dari Belanda. Jika mereka
tidak bertemu di Bali beberapa bulan yang lalu, mungkin Rahesa masih berusaha memahami
terjemahan Google Translate yang bisa dibilang acak-acakan itu.
“Eh, lo udah hubungin orang yang kata Erika mau ikut itu?” tanyanya antusias yang membuat Rahesa
kembali dari lamunannya, “Kata Erika, sih, cantik, tapi gue minta nomor ponselnya nggak dikasih.”
Rahesa mendengus sinis, “Kalo elo, sih, sapi dikasih rok juga cantik.” Rahesa mendengar umpatan
keras dari seberang, membuat Rahesa tersenyum puas.
“Udah gue hubungi, tapi belom bales. Ini gue lagi nyari Twitter-nya,” lanjut Rahesa yang kini tengah
mengutak-atik laptopnya yang sedari tadi dia gunakan untuk men-download film seri Naruto.
“Lo bener, bro. Cantik avatarnya. Sayang, akunnya digembok, sok misterius banget. Mesti nunggu
dikonfirmasi dulu.”
Rahesa sengaja menekan kata ‘avatarnya’ menandakan bahwa dia tidak begitu percaya dengan
kecantikan gadis itu. Apalagi sekarang wajah cantik itu bukan karena dirawat, tapi karena diedit.
Nando terkikik pelan, setuju dengan Rahesa, “Bener juga lo. Kita, kan, belum ketemu dia. Bisa aja itu
foto udah diedit ribuan kali.”
“Tuh, kan, gue bilang juga apa. Definisi lo soal ‘cantik’ itu masih meragukan.” Rahesa tertawa keras
saat mendengar Nando menyumpahinya macam-macam sampai pemuda itu tersadar pemilik akun
@qnantea sudah mengonfirmasinya.
“Bro, udah dikonfirmasi, nih,” kata Rahesa yang tanpa sadar tersenyum. Tapi, senyum itu perlahan
pudar saat men-scroll kicauan gadis itu. Matanya kejang seketika saat membaca salah satu tweet yang
sulit dicerna.
yEaH,, sAAtnyA LiBOeRaNd 
YYY
Satu

“H es! Kinan hilang!” seru Nando dengan panik. Napasnya terengah-engah seperti baru saja dikejar
anjing herder sekompi.
Rahesa itu menatap lawan bicaranya dengan alis saling bertaut, “Bukannya dia ke toilet?” tanyanya,
yang dijawab Nando dengan gelengan cepat. “Sial! Dia bikin ulah lagi!”
“Lo udah coba telepon dia, Ndo?” Kali ini Erika yang menanggapi.
“Nggak aktif, Rik,” kata Nando meyakinkan. “Lagian, mana ada, sih, orang ke toilet bawa bawaan
segitu banyaknya? Dia bisa aja nitip barangnya ke kita, kan?”
Rahesa tampak setuju dengan ucapan Nando. Mengingat barang bawaan Kinanti luar biasa
banyaknya. Sepertinya dia belum pernah baca atau mengecek di internet, perbedaan antara liburan dan
pindah rumah.
Rahesa mendengus kesal mengingat gadis itu sudah membuat masalah semenjak hari pertama
mereka di Lombok. Mulai dari memaksanya menelan nyale2, tersesat di Desa Sade, pura-pura tenggelam
di Gili Trawangan, sampai sekarang kabur saat mereka baru saja akan menikmati Taman Narmada.
“Kamu, sih, Rik. Ngajak ababil3 segala,” dengus Rahesa kemudian.
Erika mendecih kesal, “Iya, gue salah. Tapi, gue nggak kira dia bakal senekat ini!”
“Kok, malah ribut, sih,” lerai Nando. “Yuk, cari sekarang. Udah sore, nih.”
“Oke, sejam lagi kita kumpul di tempat parkir,” kata Rahesa memutuskan dan semuanya langsung
berpencar mencari Kinanti.
Rahesa sendiri langsung menuju gerbang utama. Dia terus menggerutu tak jelas saat memasuki
Jabalkap, halaman setelah gerbang utama. Sebenarnya dia berlibur ke Lombok untuk beristirahat
sejenak dari bimbingan skripsinya, bukan untuk bermain petak umpet dengan gadis ababil di Taman
Narmada yang super luas ini.
“Sial! Kabur dari bimbingan si Botak, malah jadi pengasuhnya Ababil!” gerutunya tanpa
menghiraukan keindahan telaga kembar dalam Jabalkap, “Mana Narmada luas banget, lagi.”
Maksud hati ingin segera menemukan Kinanti, tapi Rahesa malah terbengong-bengong melihat
keindahan taman yang terhampar di hadapannya. Tanpa henti dia mengagumi Gapura Gelang, gapura di
sebelah selatan Jabalkap yang telah dibangun ratusan tahun silam ini.
Tiba-tiba saja Rahesa tersadar dari buaian keindahan Gapura Gelang dan menoyor kepalanya sendiri
pelan, “Gue, kan, harus nyari Ababil.”
Rahesa segera beranjak melewati halaman Mukedes menuju halaman Pesarean. Saking terburu-
burunya, dia sampai tidak memedulikan keindahan Sanggah Pura dan Balai Loji yang ada di halaman
Mukedes.
Begitu memasuki halaman Pesarean, mata Rahesa langsung dimanjakan dengan rerumputan hijau
nan asri. Di sana dia melihat sebuah bangunan berbentuk panggung yang seluruhnya terbuat dari kayu
dengan motif tumbuh-tumbuhan. Orang-orang menyebutnya Balai Terang, tempat istirahat raja.
“Mau, deh, tinggal di tempat yang tenang kayak gini,” gumamnya perlahan, lalu segera meninggalkan
tempat itu menuju Pura Narmada yang ada di sebelah timur Pesarean.
Saat memasuki Pura Narmada, seseorang menepuk bahunya perlahan.
“Excuse me, are you busy?” tanya seorang gadis bermata sipit dengan logat bahasa Inggris yang aneh.
Nih orang nggak lihat gue lagi sibuk apa?
“No, can I help you?” tanya Rahesa kemudian, dengan senyum sesopan mungkin yang tampak sedikit
dipaksakan.
“Please, take my picture here.” Gadis itu tersenyum dengan menunjuk latar Pura Narmada. Rahesa
mengangguk dan segera memotret gadis itu.
“Thank you very much,” kata gadis itu seraya membungkuk sembilan puluh derajat.
Rahesa tersentak saat gadis itu membungkuk. Dia menyadari sesuatu, “Jepang,” gumamnya tanpa
sadar membuat gadis itu heran.
Kenapa kita nggak ke Senggigi, Kak? Padahal, aktor Jepang kesukaan Kinan lagi syuting di sana.
Kata-kata Kinanti kemarin malam terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ya, dia tahu di mana harus
mencari gadis ababil itu.
“Sorry, I have to go now,” kata Rahesa segera mohon diri dan segera meninggalkan Pura Narmada
menuju tempat parkir seraya menghubungi seseorang, “Rik, kita ke Senggigi sekarang.”
Erika sendiri ternyata berada tidak jauh dari tempat parkir sehingga mereka tidak menunggu lebih
lama lagi untuk menuju ke Senggigi, yang memakan waktu kurang lebih satu jam perjalanan dari
tempat mereka sekarang berada.
Ombak pantai yang tidak begitu besar, garis pantai yang panjang dengan gradasi warna abu-abu ke
putih, menyambut Rahesa, Nando, dan Erika setibanya di Senggigi.
“Sumpah! Ini keren banget!” seru Erika tak bisa menyembunyikan kekagumannya. “Kenapa, sih, lo
nggak mau ke sini?” tanyanya kemudian.
Rahesa hanya diam. Dia punya alasan sendiri kenapa dia enggan mengunjungi pantai yang begitu
jernih dan bersih ini.
“Udahlah, mending kita cari Ababil sekarang, keburu gelap,” ajaknya untuk mengalihkan perhatian
Erika dan Nando. Mereka pun mengangguk dan segera berpencar.
Kepingan-kepingan memori setahun yang lalu kembali memenuhi pikiran Rahesa. Pantai yang bersih
tanpa sampah, snorkeling menyelami indahnya surga bawah laut Senggigi yang belum ternodai tangan
jail manusia, dan menikmati sunset dari kejauhan. Semua itu membuat hati Rahesa terasa nyeri.
Tanpa terasa mata Rahesa menangkap sesosok bayangan yang dikenalinya tengah menuju tempat
penitipan barang. Seorang gadis yang tidak terlalu tinggi, mengenakan kaus merah muda dengan lengan
sesiku dan celana jins biru muda selutut. Dan, yang paling mencolok mata Rahesa, Crocs Malindi warna
berry yang tampak serasi di kaki gadis itu.
“Kinan!” serunya keras membuat orang-orang di sekitar menatapnya, sedangkan gadis itu terkejut,
lalu tersenyum takut-takut. Rahesa segera berlari menghampirinya sebelum gadis itu kabur dan
membuat masalah lagi.
“Setop, Kak! Jangan marah dulu,” cegah Kinan saat melihat Rahesa seolah akan menyemburkan api
dari mulutnya. “Biar Kinan jelaskan dulu. Dan, Kak Hesa jangan nyela sebelum Kinan selesai ngomong,”
lanjut Kinan cepat saat melihat Rahesa akan membuka mulutnya.
“Tadi Kinan nyasar habis balik dari toilet di Narmada, tapi tiba-tiba ada segerombolan orang pakai jas
hitam kayak agen rahasia gitu deh, Kak. Mereka pukul Kinan sampai pingsan, Kak. Terus waktu Kinan
sadar, udah ada di Senggigi. Kak Hesa harus percaya!” serunya heboh dengan mata berapi-api.
Rahesa hanya berdeham menanggapinya. Kinan pun menatapnya dengan sungguh-sungguh, sampai
akhirnya gadis itu menyerah saat Rahesa menatapnya galak.
“Lo pikir gue anak TK yang percaya sama cerita lo? Kenapa nggak sekalian aja lo bilang ketemu
Doraemon terus dipinjemin ‘Pintu Ke mana Saja’?”
“Sori, Kak. Kinan ngaku salah. Kinan cuma pengin lihat Renji Nishikawa syuting di sini. Kan, jarang-
jarang tuh bisa lihat idola kita secara langsung,” jelas Kinanti panjang lebar seraya menatap Rahesa
takut-takut.
“Terus, kenapa nggak bilang? Kenapa kabur dari rombongan?” tanya Rahesa penuh selidik. “Dari
awal lo udah bikin masalah terus!”
“Kinan udah bilang sama Kak Hesa, tapi Kak Hesa malah marah waktu Kinan ngajak ke Senggigi.”
“Paling nggak, ponselnya diaktifin, lah. Biar yang lain nggak panik nyari lo!” sembur Rahesa tanpa
mengacuhkan Kinanti yang semakin menciut.
“Hancur deh, liburan gue gara-gara harus jadi pengasuh ababil kayak lo,” geram Rahesa menggeleng-
gelengkan kepalanya frustrasi.
Tunggu, kenapa Ababil nggak komentar sama sekali?
“Cantik, ya, Kak.” Alih-alih merasa menyesal karena mematikan ponsel, gadis itu malah mengalihkan
pandangannya dari Rahesa.
Rahesa mengikuti arah pandang Kinanti. Sial dia nggak merhatiin gue ngoceh panjang lebar.
Seperti déjà vu. Tempat yang sama setahun yang lalu. Sunset dengannya. Dengan Vannesa yang kini
bahkan enggan menyapanya. Vannesa yang kini tengah merintis kariernya sebagai model, Vannesa yang
dulu telah mengalihkan dunianya.
“Kok diem, Kak?” tegur Kinanti yang membuyarkan lamunan Rahesa, “Nyesal, ya, kemarin nolak
waktu diajak ke sini? Coba tadi Kinan nggak kabur, pasti Kak Hesa nggak bakal liat sunset secantik ini.”
Oke, tadi memang Rahesa sempat kasihan saat melihat Kinanti mulai menciut. Tapi sekarang, demi
Tuhan, gadis itu masih tetap cerewet dan menyebalkan seperti awal mereka bertemu. Mulai dari minta
tolong membawa bawaannya yang seperti orang pindahan, ocehannya selama penerbangan, alergi
makanan ini dan itu yang sempat membuatnya ingin menenggelamkan gadis itu di Tanjung Aan.
“Udahan yuk, kita balik ke hotel,” ajak Rahesa yang mulai tak nyaman dengan suasana sunset Senggigi
yang membuatnya teringat masa lalu.
Kinanti memohon dengan memasang muka melasnya, “Bentar lagi ya, Kak, please.”
Rahesa tidak mengacuhkan permintaan Kinanti dan terus berbalik meninggalkan Kinanti di
belakangnya.
Terdengar derap langkah gadis itu berusaha menyusulnya sampai tiba-tiba terdengar suara
berdebum yang lumayan keras.
“Wadaow!” seru Kinanti berlebihan yang membuat Rahesa berbalik dan berlari menghampirinya.
“Lo nggak apa-apa?” tanyanya panik.
Gadis itu masih menunduk dan merintih memegangi lututnya hingga membuat Rahesa semakin
panik.
Rahesa menepuk bahu Kinan pelan, “Nan, lo nggak apa-ap—.”
“Dor!” seru gadis itu keras yang membuat Rahesa tersentak, “Kinan nggak apa-apa, kok.” Senyum
tanpa dosanya membuat dahi Rahesa berkedut kesal.
Siapa pun, tolong gantung gadis ini di atas Burj Khalifa supaya menghentikan kebiasaannya membuat
orang panik lagi.
Rahesa segera menoyor pelan kepala gadis itu dan meninggalkannya, “Dasar ababil!”
“… Kak Hesa? Kak?”
Rahesa tersentak saat merasa seseorang mengayunkan tangan di hadapannya. Seperti tersedot
keluar dari lamuan, Rahesa menatap gadis yang ada di hadapannya ini dengan saksama.
“Kenapa, Kak? Kok, dari tadi Kinan lihat Kak Hesa aneh. Senyum-senyum sendiri terus menghela
napas lega gitu?”
Rahesa tersenyum simpul kepada gadis yang dekat dengannya hampir empat bulan ini. Gadis yang
semula dia jauhi karena menyebalkan, tetapi akhirnya malah Rahesa kini tak bisa jauh darinya.
“Gue cuma inget waktu kali pertama kita ketemu, Nan. Dari awal ketemu, lo itu udah bikin gue
jengkel dua kali.” Kinanti menyengir malu saat Rahesa mengingatkan tentang awal pertemuan mereka
yang bisa dibilang tidak mengenakkan.
“Lo bikin kami panik gara-gara nggak bisa ditelepon, udah gitu bawaan lo udah kayak mau pindah
rumah aja.” Rahesa berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Ah, satu lagi. Lo manggil gue pakai sebutan
‘Om’! Apa muka gue setua itu?”
Kinanti tersedak matcha latte-nya saat mendengar geraman tertahan Rahesa. Dia sendiri ikut
tersenyum geli mengingat awal pertemuan mereka di bandara.
Saat itu Kinanti terlalu asyik dengan komik yang dibacanya sehingga tidak memperhatikan sekitar.
Apalagi ditambah dengan dentuman musik yang memekakkan telinga, yang berasal dari earphone iPod-nya.
Kinanti tidak menyadari bahwa ponsel gadis itu berdering. Tanpa rasa sungkan lagi, Rahesa yang sedari
tadi sudah mengamati gerak gerik Kinanti dan yakin dengan ciri-ciri yang pernah disebutkan Erika, menarik
paksa earphone-nya hingga terlepas sebelahnya.
“Apaan sih, Om? Nggak sopan banget!” sembur Kinanti berang.
Dahi Rahesa berkedut menahan kemarahannya, “Tuh, handphone diurusin!”
Sepertinya Kinanti tersadar dan segera mencari ponsel dalam tote bag fuschia-nya yang terbuka sebagian,
“Ah, iya, Kak Erika,” sapa gadis itu ceria saat menerima panggilan teleponnya.
Mata Rahesa membulat sempurna, “Oh, jadi bener dugaan gue, lo yang namanya Kinanti! Nyusahin orang
aja!”
Erika dan Nando yang mendengar suara lantang Rahesa, menghampiri mereka, sedangkan gadis bernama
Kinanti itu hanya melongo masih belum menyadari kesalahannya.
“Kinanti, ya?” tanya Erika ramah walaupun sebenarnya dia ingin menggorok leher gadis itu.
“Kak Erika, ya?” Gadis itu segera berdiri dan menyalami Erika. “Kenalin, Kak, panggil aja Kinan.”
“Oh, iya. Ini Nando, ini Rahesa,” kata Erika seraya memperkenalkan kedua temannya.
Nando tersenyum simpul, sedangkan Rahesa masih memasang wajah garangnya.
“Dia ini temen Kak Erika?” tanya Kinanti seraya menatap Rahesa tak percaya, “Kirain ….”
“Apa?!” sembur Rahesa yang membuat Kinanti menciut.
“Ki … kirain, kirain ....” Gadis itu berusaha memutar otaknya dengan cepat, “Kirain artis, Kak. Habisnya
Kakak ganteng banget.”
Nando dan Erika menahan senyum, mereka tahu Kinanti mengatakan hal itu karena takut kepada Rahesa.
“Yuk, buruan check in,” ajak Erika seraya meninggalkan mereka bertiga.
“Eng … anu, boleh minta tolong nggak, Kak?” Kinanti memasang wajah paling memelasnya, membuat
Rahesa dan Nando paham dan mendengus kesal. Dua tas besar di samping kanan-kiri Kinanti itu sepertinya
harus diurus dulu.
Kinanti ikut tertawa kecil saat mengingatnya. Memang awal pertemuan mereka sangat tidak
mengenakkan. Tapi, entah kenapa setelah pulang dari Lombok, dia malah sering tanpa sengaja bertemu
Rahesa yang membuatnya semakin dekat dengan pemuda itu.
“Oh, iya, Kak, gimana bimbingan skripsi Kak Hesa sama Papa?” tanya Kinanti saat melihat map hijau
yang selalu dibawa Rahesa saat bimbingan skripsi.
“Great! Jauh lebih mudah daripada yang sebelum-sebelumnya. Nanti siang ada bimbingan lagi sama
Pak Wibi.” Rahesa tersenyum sesaat sebelum melanjutkan. “Doakan semoga lancar, ya.”
“Pasti, Kak.”
Rahesa tersenyum tipis mendengarnya. Entah kenapa saat mulai dekat dengan Kinanti, bimbingan
skripsinya bersama Pak Wibi yang sebelumnya seperti neraka, kini jauh lebih mudah. Sepertinya,
usulan Nando tentang mendekati Kinanti ada benarnya juga.
Rahesa kembali teringat percakapan mereka saat hampir berpisah di bandara. Jika Kinanti tidak
meminjam ponselnya, tentu saja Rahesa tidak akan pernah tahu gadis itu adalah putri dosen
pembimbingnya yang perfeksionis.
“Kak, serius deh, maafin sikap Kinan selama di Lombok, ya?” pinta Kinanti dengan muka sok imut ala
girlband Korea. Rahesa hanya menjawab dengan anggukan ringan.
“Kak Hesa udah maafin Kinan, kan?” tanyanya yang dijawab Rahesa dengan anggukan lagi. “Kalo gitu,
boleh dong, pinjem handphone. Pulsa Kinan habis.” Gadis itu tersenyum dengan polosnya, yang menurut
Rahesa sangat menyebalkan. Seharusnya dia tahu, setiap kali gadis itu bersikap manis, pasti ada maunya.
Rahesa mengangsurkan ponselnya dengan enggan. Kinanti menerima dengan sukacita dan tampak
menghubungi seseorang. Mata gadis itu terbelalak saat membaca sesuatu di layar ponsel Rahesa, tapi Kinanti
berusaha untuk tidak memedulikannya.
“Halo, ini Kinan, Pa. Oh, udah sampai. Iya, Kinan udah sampai, nih. Cepetan ya, Pa.” Gadis itu segera
mengakhiri percakapannya dan mengembalikan ponsel Rahesa.
“Makasih, Kak.”
“Oke,” kata Rahesa singkat. “Aku temenin deh, sampai dijemput.”
Kinanti mengangguk, lalu mencoba mencairkan suasana, “Kak Hesa kuliah jurusan Teknik Arsitektur, ya?”
Rahesa menatap gadis itu setengah heran, “Nando ya, yang bilang?”
“Ng … nggak sih, cuma asal nebak aja. Soalnya Kak Hesa lincah banget ngomentarin kerennya desain
Bandara Lombok pakai istilah yang Kinan nggak ngerti.”
Rahesa tersenyum simpul karena ternyata gadis ababil ini lumayan jeli memperhatikannya.
“Oh iya, Kak, si Botak itu siapa, sih? Tadi Kinan nggak sengaja lihat di call log-nya,” lanjutnya penasaran.
Rahesa kembali menatap gadis itu sebal karena mencampuri urusannya, “Dosbing gue yang galak dan
reseknya minta ampun.”
Kinan menahan senyum dan mengangguk tanda mengerti.
“Loh, Kinan, Rahesa. Kok, kalian bisa barengan gini?” tanya seseorang tepat di belakang Rahesa dan
Kinanti yang membuat mereka berdua refleks menengok ke belakang.
Mata Rahesa membulat sempurna saat melihat sosok itu. Pria setengah baya dengan rambut memutih dan
bagian tengah yang mengalami kebotakan parah.
“Kenalin, Kak. Ini papa Kinan, Aryo Wibisono,” kata Kinan tersenyum penuh arti, “Kak Hesa pasti udah
kenal, kan?”
Rahesa tersenyum canggung dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ingin rasanya dia terjun dari
puncak Rinjani. Dia mengutuk kebodohannya yang tidak menyadari bahwa nama lengkap gadis itu adalah
Kinanti Wibisono. Dan, ternyata benar, like father, like daughter. Ayah dan anak sama saja membuat
kehidupan Rahesa jungkir balik.
“Kak, Kak Hesa banyak ngelamun deh, hari ini. Gugup ya, mau bimbingan?”
Rahesa tergagap karena Kinanti memergokinya melamun. “Nggak, Nan. Udah siap, kok. Siap banget
malah. Berkat saran-saran lo tentang cara menghadapi dan cara baca tulisan Pak Wibi.”
“Apaan sih, Kak. Itu, kan, usaha Kak Hesa sendiri. Kinan cuma ngasih tahu cara ngadepin Papa kalo
lagi bad mood aja.”
Rahesa tersenyum tipis. Memang Kinan hanya memberinya saran tentang cara-cara menghadapi Pak
Wibi ketika sedang bad mood. Tapi, itu SANGAT berpengaruh pada kelangsungan bimbingan Rahesa
karena Pak Wibi itu bad mood sepanjang waktu.
“Oh, iya. Jadi ke panti, Nan?” tanya Rahesa yang dijawab Kinanti dengan anggukan, “Yuk, berangkat
sekarang.”
“Bentar, Kak. Dihabisin dulu, tahu. Udah bayar mahal, masa nggak dihabisin,” ucapnya seraya
menyesap cepat matcha latte kesukaannya.
“Udah di-upload ke Path belum?” goda Rahesa karena dia tahu kebiasaan Kinanti setelah stalking
media sosial gadis itu selama empat bulan ini. Setiap kali gadis itu nongkrong di tempat yang fancy, pasti
dia akan mengunggah foto makanan atau minuman yang dia pesan, dan juga check in di lokasi tersebut.
Tak lupa, menghubungkan postingannya ke Facebook dan Twitter-nya.
“Apaan sih, Kak. Yuk ah, berangkat,” ucapnya seraya menarik tangan Rahesa untuk segera berdiri.
Dan, Rahesa selalu saja merasakan desiran aneh di dadanya saat bersinggungan dengan Kinanti.
Ya, Rahesa menyukai Kinanti. Entah sejak kapan rasa itu muncul, dia sendiri tidak tahu dan tidak
bisa mencegahnya.
Kinanti yang manja dan masih labil itu memang sama sekali bukan tipe ideal Rahesa. Tapi, siapa yang
bisa menolak senyum ceria gadis itu. Senyum ceria yang mudah menular bagi orang-orang di
sekitarnya. Senyum ceria yang selalu dia suguhkan untuk menutupi kesedihan dan kesepian yang
selama ini dia rasakan.
YYY
Dua

“K esambet setan mana lo, Hes!” seru seseorang sembari menoyor kepala Rahesa. Rahesa yang tengah
mencatat sesuatu dari buku arsitektur setebal lima sentimeter, otomatis menoleh dan mendengus ke
arah pemanggil.
“Tolong ya, tuh mulut dikondisikan. Entar diusir dari perpustakaan baru tahu rasa lo!”
“Iya deh yang pengin jadi calon menantu Pak Wibi. Jadi rajin bener nongkrong di perpustakaan.”
“Lo sendiri, ngapain ke perpustakaan? Paling nganter Erika minjem novel, kan?” cela Rahesa dengan
pandangan mencemooh. Rahesa tahu, kemungkinan Nando datang ke perpustakaan sama saja dengan
menanti kemungkinan salju turun di Sahara. Hampir tidak mungkin.
“Tahu aja lo. Oh, iya, gimana bimbingan lo? Lancar, kan, sekarang?” tanyanya, yang dijawab Rahesa
dengan anggukan. “Tuh, kan! Apa gue bilang, deketin Kinan biar Pak Wibi luluh.”
“Tapi …, gue kayaknya kena karma deh, Ndo,” kata Rahesa agak ragu menyampaikan sesuatu yang
akhir-akhir ini dia pikirkan. Mulut Nando bahkan lebih ember daripada Erika yang jelas-jelas
perempuan. Untung saja mereka beda fakultas, kalau tidak, pasti berita Rahesa dekat dengan putri
dosen pembimbingnya sudah menyebar luas.
“Kenapa? Jangan-jangan lo jadi beneran suka sama Kinan, ya?”
Mata Rahesa membulat seketika, “Kok, lo tahu?”
“Newbie bidang percintaan macem lo ini, gampang banget ditebak,” kata Nando enteng yang
membuat alis Rahesa semakin bertaut. “Seorang Rahesa Narendra Rasjid yang jarang update di media
sosial, sekarang jadi sering wira-wiri di timeline sama beranda gue.”
“Terus, lagu-lagu yang lo update di Path itu …, aduh, ada ‘Friends, Lovers, or Nothing’-nya John
Mayer, ‘Sewindu’-nya Tulus sama ‘To Be with You’-nya Mr. Big.” Nando menggeleng-geleng dramatis
sebelum melanjutkan, “Man, lo udah tua kali, nggak usah main kode-kodean, kayak Erika aja!”
“Apanya yang kayak gue?” Erika tiba-tiba saja ada di belakang mereka seraya menenteng dua karya
Jane Austen.
“Nih, temen lo, Rik! Mukanya sih, boros, tapi kelakuannya kayak ababil. Sukanya kode-kodean.”
Erika tampak berbinar dan langsung duduk di hadapannya. “Jadi, beneran, Hes? Lo lagi suka sama
seseorang gitu?” tanya Erika antusias. Rahesa menjawabnya dengan anggukan ringan.
“Siapa? Siapa?” tanyanya tak sabar.
“Lo kenal kok, Rik. Coba lo inget-inget posting-an Path-nya, kalo Hesa nongkrong dan dengan
kejamnya nggak ngajak kita, siapa coba yang di-tag?”
Erika tampak berpikir sesaat, “Kinan? Serius lo suka sama Kinan?”
Belum sampai Rahesa menjawab, Erika tertawa terbahak-bahak sampai mendapatkan teguran dari
pengunjung lain.
“Karma does exist, ya. Dulu siapa ya, yang ngatain Kinan ababil? Sekarang sendirinya malah suka
sama dia.”
Rahesa menghela napas panjang melihat respons dari teman-temannya. Ternyata memang benar,
kita tidak boleh terlalu membenci seseorang karena kita tidak tahu bagaimana tangan Tuhan
membolak-balikkan hati kita.
“Gue awalnya nggak minat buat nurutin sarannya kunyuk ini.” Hesa melirik Nando yang mencebik
kesal. “Tapi, kayaknya emang takdir, deh. Gue ketemu dia waktu nganter titipan tante gue ke panti. Eh,
ternyata dia lagi ngajar di sana, man!”
“Bayangin! Kinan yang nyebelin banget waktu di Lombok, ngajarin anak-anak kecil bahasa Inggris
sambil nyanyi-nyanyi gitu. Gue aja sampai speechless.” Rahesa diam sejenak sembari memperhatikan
teman-temannya yang tampak antusias.
“Dari situ gue jadi tahu, ibunya meninggal waktu ngelahirin dia. Kakak-kakaknya juga kerja di luar
kota. Dia di rumah cuma sama Pak Wibi.”
“Jangan-jangan dia jadi kayak gitu karena Pak Wibi selalu manjain dia, ya?” sela Erika.
Rahesa mengangguk ringan, “Bisa jadi.”
“Ah, elo, Rik! Jangan disela dulu kali, biar Hesa nyelesaiin sesi curhatnya,” sembur Nando yang
tampaknya tertarik dengan curhatan Rahesa.
Rahesa tersenyum simpul sebelum melanjutkan ceritanya. “Ya, awalnya gue kasihan sama dia. Terus
jadi sering komentar di Path dia, merembet jadi sering BBM-an, kadang dia ngajak gue ke panti dan gue
ngajak dia nongkrong atau cari komik.”
“Sampai gue inget idenya Nando, ya … sekalian aja gue manfaatin. Eh, sekarang malah gue beneran
suka sama dia.”
“Dia-nya suka nggak sama lo?” celetuk Nando.
“Eng … kayaknya, sih, iya,” kata Rahesa ragu.
“Kok, kayaknya?”
“Gimana ya …, ini cuma perasaan gue aja, sih. Dia ngajak gue pergi kalo ke panti doang, itu pun nggak
pernah di-upload ke Path. Padahal, kalo gue ngajak dia pergi, gue selalu nge-tag dia. Lo sendiri tahu, kan,
waktu di Lombok, lagi jongkok nunggu angkot yang nggak penting aja dia upload, masa nongkrong sama
gue di tempat keren nggak di-upload?”
Rahesa mendesah pelan sebelum melanjutkan. “Padahal, kalo pergi sama selain gue, selalu dia upload
di Path-nya.”
Nando dan Erika berpadangan, lalu terkikik jail, membuat Rahesa mendengus kesal.
“Fix! Lo beneran masih newbie, nih!” Nando memasang tampang tak percaya yang dibuat-buat, “Lo
korban friend zone, man!”
“Enak aja!” sergah Rahesa tak terima.
“Makanya, daripada lo galau ngasih kode-kode yang nggak direspons, coba deh, lo nembak dia.” Kali
ini saran Erika terdengar lebih masuk akal.
“Entar kalo ditolak gimana?”
“Cemen lo!” seru Nando kesal. “Kalah sama anak SD yang manggilnya udah Ayah-Bunda, macem
udah nikah bertahun-tahun aja.”
Erika menengahi mereka berdua yang tampak akan ribut ini. “Gini deh, biar aman, lo nembaknya
habis selesai bimbingan Pak Wibi. Ya, kali aja ngaruh sama bimbingan lo.”
Nando mengangguk cepat tanda setuju. “Bimbingan skripsi lo masih lama, Hes?”
“Udah bab terakhir, sih, tapi kemarin disuruh revisi sama nambah kelengkapan macem abstrak,
daftar isi, sama kroco-kroconya itu.”
“Waaa … selamat, ya, Hes. Tinggal seupil lah kalo itu,” kata Erika ikut senang.
Rahesa tersenyum puas melihat respons teman-temannya. Setidaknya, pilihannya diterima baik
orang-orang terdekatnya. Sekarang, hanya tinggal dirinya yang memastikan kepemilikan hati Kinanti.
YYY
“Akhirnya, selesai juga bimbingan kamu, Hes.” Pak Wibi tersenyum simpul seraya menandatangani
blangko yang menyatakan bahwa selesai bimbingan skripsi. Sepertinya hari ini Pak Wibi sedang
bahagia. Jarang sekali beliau senyum selama mengajar, apalagi ketika bimbingan, sepertinya Pak Wibi
bad mood sepanjang waktu.
“Iya, Pak. Terima kasih atas bimbingannya selama ini.”
“Saya tahu, kamu jengkel sama saya karena bimbingan kamu lebih lama dibanding dengan teman-
teman kamu yang saya bimbing.” Rahesa berjengit ketika Pak Wibi tahu yang selama ini dia rasakan.
“Maaf, Pak. Saya—”
“Hesa, seandainya ada dua pedati, satu pedati ditarik keledai dan pedati yang lain ditarik kuda, mana
yang akan kamu cambuk supaya pedati itu bisa berlari lebih kencang?”
Rahesa berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Eng … kuda, Pak.”
“Kenapa kamu pilih kuda?”
“Ya, menurut saya karena kemampuan kuda menarik pedati, jauh di atas keledai, Pak.”
Pak Wibi tersenyum mendengar jawaban Rahesa. “Itulah yang membuat saya ‘mencambuk’ kamu
lebih keras dibanding dengan temanmu yang lain. Karena saya tahu, Hesa, kemampuanmu jauh di atas
rata-rata. Kamu sendiri tahu saya seperti apa, tidak mungkin, kan, saya asal pilih asisten?”
Jantung Rahesa terasa merosot hingga perut saat mendengarkan ucapan Pak Wibi. Dosen yang
selama ini dia anggap jahat dan sering dia jelek-jelekkan di belakang, ternyata begitu
memperhatikannya.
“Maaf, Pak. Saya yang salah.” Rahesa menunduk tidak berani menatap wajah Pak Wibi secara
langsung. “Jujur, Pak. Saya memang sedikit jengkel karena teman-teman yang lain sudah bisa wisuda
periode yang lalu, sedangkan saya masih berkutat dengan skripsi.”
Rahesa sedikit melirik wajah Pak Wibi, dia siap dimarahi karena ucapannya yang terbilang lancang.
Toh, Pak Wibi sudah menandatangani blangko pernyataan selesai skripsi. Ternyata wajah Pak Wibi
tidak menampakkan wajah jengkel, apalagi wajah marah. Diam-diam Rahesa menghela napas lega.
“Saya ingin kamu belajar lebih banyak, Hesa.” Pak Wibi berdiri, lalu menuju loker di samping kanan
mejanya. Diangsurkannya sebuah brosur kepada Rahesa. Sekilas dia melihat tulisan “Delft University of
Technology” di brosur itu.
“Ini maksudnya apa, Pak?” Rahesa sedikit linglung saat menerima.
Pak Wibi tersenyum lagi. Demi Tuhan, apa beliau salah makan hari ini?
“Mungkin kamu sudah tahu, sejak tahun lalu fakultas kita bekerja sama dengan Delft University of
Technology. Setiap tahunnya ada tiga mahasiswa yang mendapat beasiswa master di sana.”
Rahesa mencoba menebak arah pembicaraan Pak Wibi. Dia sedikit ge-er menunggu lanjutan kalimat
beliau, tapi dia sendiri tidak terlalu banyak berharap karena takut kecewa.
“Melihat usaha dan ketekunanmu selama ini, saya sendiri yang merekomendasikan kamu ke Kepala
Jurusan. Setidaknya kamu masih ada waktu untuk melengkapi syarat-syarat ujian skripsi, wisuda, dan
juga meningkatkan nilai TOEFL.”
Rahesa mengerjap tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Matanya bergantian menatap
brosur di genggamannya dan Pak Wibi yang ada di hadapannya.
“Pak, ini … serius?” tanyanya yang dijawab Pak Wibi dengan anggukan mantap.
“Memang perkuliahan program master menggunakan bahasa Inggris. Tapi, saya lebih tenang jika
kamu bisa sedikit menguasai bahasa Belanda. Setidaknya, itu banyak membantumu untuk keseharian
di sana.”
Rahesa tersentak mengingat beberapa referensi dalam bahasa Belanda yang diberikan Pak Wibi.
Rahesa semakin merasa bersalah dengan segala tingkahnya di belakang beliau selama ini.
Dia sadar, tidak ada seorang pendidik yang akan menyulitkan anak didiknya. Mereka melakukan hal
itu untuk kebaikan anak didik itu sendiri. Hanya, dia kadang terlalu malas dan menganggap itu semua
sebagai hal yang menyulitkan.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih.” Rahesa langsung bersimpuh dan mencium tangan Pak Wibi
dengan khidmat. “Maaf, Pak. Maaf, jika selama ini saya selalu menyusahkan Bapak selama bimbingan.”
Pak Wibi menepuk bahu Rahesa dan memintanya berdiri. “Anggap saja ini permintaan maaf saya
karena membuatmu menunda wisuda.”
Rahesa menggeleng keras, “Tidak, Pak. Justru saya harusnya banyak berterima kasih kepada Bapak.
Saya jadi lebih banyak belajar tentang hal-hal baru yang tidak ada di buku pelajaran.”
“Asal kamu jangan lupa kembali ke Indonesia ya, Hes. Negara kita membutuhkan pemuda-pemuda
dengan idealisme dan ide-ide kreatif sepertimu.”
“Pasti, Pak.” Rahesa mengangguk mantap.
Pak Wibi terdiam sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. “Hesa, apa benar kamu dekat dengan
putri saya?”
Mulut Rahesa megap-megap bingung menjawab pertanyaan yang begitu tiba-tiba.
YYY
Tiga

R
ahesa yang baru saja menyelesaikan mandinya, mendengar bunyi pesan dan getaran dari
ponselnya berkali-kali. Tanpa melihat pun, sepertinya Rahesa tahu, siapa yang mengiriminya
pesan dengan tidak sabaran seperti itu.

Erika : PING!!!
Erika : PING!!!
Erika : Hes, eh gila. Tadi Kinan ngajakin gue nyari kado .
Erika : Hes, lo lagi boker, ya? Kok, nggak bales, sih?

Rahesa mendengus membaca rentetan pesan dari Erika yang kadang tidak sopan itu.

Rahesa : Gue mandi, tapi iya, sih, sama boker hehehe  kok, lo bisa nebak, sih,  lo masang CCTV di
kamar mandi gue, ya?
Erika : Euw … jijay lo, ah!
Rahesa : Kinan nyari kado buat siapa, Rik?
Erika : Nggak usah sok pikun, deh! Minggu depan ulang tahun siapa coba? Lo mau kabur biar nggak
nraktir gue sama Nando?
Rahesa : Hah? Kado buat gue? Dia beli apa, Rik? iPhone 7?
Erika : Dih, maunya! Rahasia dong, biar surprise! Udah ya, gue mau kulineran sama Nando.
Rahesa : Udah sana jadian aja! Hampir empat tahun bareng terus tanpa status.
Erika : Jijay ah, lo! Nggak bisa ngasih saran yang lebih oke? Udah ah, gue mau dandan.

Rahesa tersenyum sendiri memikirkan ulang tahunnya minggu depan yang jatuh pada hari Sabtu,
yang berarti sepuluh hari dari sekarang.
Di usianya yang hampir menginjak dua puluh dua tahun, Rahesa sangat bersyukur dengan segala
yang dia capai.
Dia bisa bekerja di perusahaan developer walau hanya sebagai freelance surveyor, bisa mengunjungi
tempat-tempat impiannya dengan jerih payahnya sendiri, menyelesaikan skripsinya walau belum ujian,
dan yang tidak pernah ada dalam bayangan Rahesa adalah meneruskan program master di Delft
University of Technology.
Mungkin kebahagiannya akan lebih lengkap jika Kinanti mau menerima perasaannya. Tanpa sadar,
Rahesa tersenyum membayangkan Kinanti memberinya kado entah apa, saat ulang tahunnya minggu
depan.
Sepertinya dia harus mulai merancang sesuatu agar momen ulang tahun plus “penembakan” minggu
depan menjadi momen yang tidak akan pernah dia lupakan.
Kemungkinan besar Polaris Café cocok untuk dua momen itu, mengingat di sanalah mereka kali
pertama keluar bersama. Tentu saja Erika dan Nando tak perlu ikut. Cukup sumpal perut mereka
dengan Soto Kletuk Bu Mutik, pasti mereka sudah puas.
Rahesa kembali teringat percakapan absurd mereka di Polaris Café sepulang dari panti beberapa
bulan yang lalu.
“Jadi, lo baru aja masuk kuliah? Kirain masih anak SMA. Soalnya Twitter lo isinya alay gitu.”
“Oh, jadi Kak Hesa sering stalking akun Kinan? Cieee … ketahuan, nih, suka kepo-in Twitter Kinan.
Lagian, Kinan udah nggak nulis alay lagi sejak ketahuan Papa, kali, Kak.”
Rahesa salah tingkah mendengar Kinan yang kini menggodanya.
“Lo diem atau gue bilangin ke Papa lo soal tingkah lo di Lombok itu?” ancam Hesa.
“Iya, iya, ih sukanya ngancem.” Kinanti mengerucutkan bibirnya seraya menyesap matcha latte-nya.
“Kak, hari Sabtu besok Kinan sweet seventeen, nih, dateng ya, ke sini pukul 4.00 sore.”
“Beneran deh, lo kayak anak kecil, mana ada anak kuliahan yang sweet seventeen sore-sore. Jangan-
jangan entar lo kasih makan temen-temen lo Chiki-Chiki-an gitu, ya?” Rahesa kembali tertawa lebar.
“Ya udah, kalo nggak mau!”
“Dih, ngambekan. Kayak anak kecil banget. Gue nggak bisa, Adik Kecil. Gue Sabtu besok mesti lembur.”
“Kak Hesa udah kerja? Kerja di mana, Kak? Waaa … keren, padahal revisian skripsi aja belum kelar-kelar.”
Mata Hesa memicing ketika Kinanti menyinggung soal yang sangat sensitif baginya.
“Bantu-bantu di perusahaan developer punya temen Pak Wibi. Lagian, lo kok, tahu soal skripsi gue? Pak
Wibi cerita?”
“Papa pernah cerita, sih, soal asdosnya yang pinter.” Hidung Hesa mengembang saat Kinan menyebutnya
pintar. “Tapi sayang, revisian nggak kelar-kelar.” Bayangkan, habis diterbangkan tinggi, lalu dibanting ke
sumur bor! Dalem banget, Komandan!
Siapa yang menyangka, gadis yang menyebalkan itu kini malah memenuhi hatinya. Apalagi ditambah
Pak Wibi yang tampak tak keberatan dengan kedekatan mereka, beliau hanya berpesan bahwa Kinanti
masih labil sehingga sulit ditebak. Dengan mengabaikan hal itu, sepertinya Rahesa sudah merasa di atas
angin sekarang.
Dia sudah tak sabar melihat Kinanti menerima perasaannya. Tapi, sesaat kemudian Rahesa tertegun,
jika dia meneruskan program master di Belanda, bukankah mereka harus menjalani long distance
relationship? Apa mereka bisa menjalaninya dengan baik?
“Ah, itu dipikir nanti. Jadian aja belum,” gumam Rahesa tak rela pemikiran tentang long distance
relationship mengurangi kebahagiaan yang ada di angannya.
YYY
Kinanti is listening to “You Belong with Me” by Taylor Swift.

Jantung Rahesa berdebar tak karuan ketika melihat update Kinanti di Path-nya. Jangan-jangan lagu ini
ditujukan untuknya?
Melihat Kinanti yang baru saja update beberapa menit yang lalu, Rahesa pun menanggapi.
“Oke, Nan. Kalo lo suka kode-kodean gitu, gue juga bisa.”

Rahesa is listening to “Sahabat Jadi Cinta” by Zigaz.

Rahesa tersenyum sendiri menunggu komentar dari Kinanti. Sayangnya, hampir lima belas menit
berlalu, tak ada komentar dari gadis itu.
Akhirnya, Rahesa mengalah dan mengiriminya pesan.

Rahesa : Nan, Sabtu besok lo ada acara, nggak?


Kinanti : Nggak, Kak. Ada apa? .
Rahesa : Gue pengin ngomongin sesuatu, nih .
Kinanti : Wah, kebetulan, Kak. Kinan juga pengin cerita.
Rahesa : Oke, besok gue jemput pukul 7.00 malem, ya.
Kinanti : Jangan, Kak. Kita ketemuan aja di mana gitu.
Rahesa : Lo takut ketahuan Pak Wibi? Tenang aja, gue yang bakal minta izin, kok.

Kinanti tak membalas lagi pesan itu dan Rahesa mengartikan gadis itu setuju dengannya.
YYY
“Gila, Nan. Mau ngajak lo keluar bentar aja, rasanya kayak mau sidang skripsi.” Padahal waktu di
kampus, beliau kelihatannya nggak keberatan. Rahesa menambahkan kalimatnya dalam hati.
Memang baru kali ini Rahesa menjemput ke rumah Kinanti. Biasanya, mereka bertemu di kafe atau
di panti tempat gadis itu biasa mengajar.
“Ya gimana, namanya juga anak cewek satu-satunya, Kak. Pantes dong, Papa jadi overprotective gitu.”
Tak lama kemudian, seorang pelayan menghampiri mereka berdua dan menyodorkan dua buku
menu.
“Kali ini lo boleh pesen sesuka lo. Nggak cuma matcha latte aja,” Rahesa menyengir lebar saat melihat
tatapan heran Kinanti.
“Dalam rangka apa nih, Kak?”
Hah? Kok, dalam rangka apa? Bukannya dia udah nyiapin kado di tasnya itu, ya?
“Oh, iya lupa. Dalam rangka dapet beasiswa ke Belanda itu ya, Kak?” Kinanti lalu bertepuk tangan
sendiri dengan hebohnya. “Selamat ya, Kak. Kinan lupa ngucapin selamat. Padahal, Papa udah cerita
sejak beberapa hari yang lalu.
“Oh, iya makasih ucapannya.” Rahesa merasa sedikit ada yang mengganjal di hatinya. Tapi, dia
berusaha menepis itu semua dan berusaha berpikiran positif.
Setelah lama memilih, akhirnya mereka berdua malah memesan makanan yang sama seperti yang
biasa mereka pesan saat kemari.
“Oh iya, Kak Hesa mau ngomongin apa?”
Rahesa menimbang sejenak sebelum melanjutkan, “Lo dulu, deh. Bukannya lo bilang pengin cerita?”
Kinanti mengangguk dan mulai bercerita. “Kak Hesa pernah, nggak, sih, ngerasain deg-degan gitu
waktu ketemu sama seseorang? Selalu pengin ketemu dia, deket dia setiap waktu.”
“Pernah.” Sama lo, Kinan!
“Itu yang Kinan rasain sekarang, Kak.” Kinanti menatap Rahesa dengan intens dan itu membuat
jantung Rahesa berdetak lebih keras dari biasanya.
“Nan …, gue—”
“Kinan … suka sama senior Kinan, Kak.”
Jantung Rahesa merosot hingga perut saat mendengar penuturan Kinanti. Napasnya memburu
karena perasaannya yang tidak menentu.
Entahlah, campuran antara rasa senang karena ulang tahun, sedih karena ternyata Kinanti tidak
menyukainya, dan kesal karena salah mengartikan kode-kode yang gadis itu berikan.
“Kinan nggak tahu harus gimana, Kak. Padahal, Kinan kira selama ini kami dekat, ternyata kami
nggak sedekat yang Kinan kira.” Kinanti terus saja mencurahkan isi hatinya tanpa menyadari
perubahan wajah Rahesa yang sekarang tampak lebih pucat.
“Besok dia ulang tahun, Kak. Kinan udah nyiapin kado buat dia. Tapi, Kinan jadi ragu buat ngasih
kado itu, Kak.”
“Kenapa, Nan?” tanya Rahesa berusaha membuat suaranya sekasual mungkin untuk menghindari
kecurigaan Kinanti.
“Dia bilang udah nganggep Kinan kayak adiknya, Kak. Kinan, kan, jadi bingung.” Kinanti
mengerucutkan mulutnya dengan lucu. “Kalo menurut Kak Hesa gimana?”
“Jadi, lo kena kakak-adik-zone, Nan?” Karena alis Kinanti bertaut, membuat Rahesa harus
menjelaskan lebih lanjut. Dan, itu membuat hatinya terasa diremas-remas.
“Jadi, kakak-adik-zone itu salah satu cabang friend zone yang menyasar dua insan dengan jarak usia
yang berbeda.” Rahesa mencoba berkelakar agar Kinanti tidak menampakkan wajah suramnya.
“Ada juga yang namanya tukang-ojek-zone, itu salah satu cabang friend zone di mana salah satu pihak
hanya memanfaatkan pihak lain sebagai tukang antar ke sana kemari dengan dalih dibayar memakai
cinta.”
Kinanti memperhatikan Rahesa dengan saksama, membuat Rahesa melanjutkan usahanya untuk
membuat gadis itu tersenyum.
“Masih untung nih, Nan. Lo nggak kena pas-lagi-butuh-zone, itu cabang friend zone yang paling parah.
Soalnya pelaku bakal deketin korban cuma waktu butuh aja. Kalo waktu nggak butuh, sih, paling masuk
ke cabang tak-kasatmata-zone.”
Usahanya membuahkan hasil, Kinanti terkikik geli mendengar penjelasannya.
“Kok, kayaknya Kak Hesa paham banget, dunia per-friend-zone-nan? Jangan-jangan sebenarnya Kak
Hesa curcol, ya?” Kinanti tiba-tiba saja malah terkikik geli.
Iya lah gue paham. Gue, kan, salah seorang korbannya! Korban lo, Kinan!
“Ternyata benar dugaan Kinan selama ini. Pasti antara Kak Hesa, Kak Erika, dan Kak Nando ada cinta
segitiga kayak di drama Korea gitu.”
Rahesa melongo seketika mendengar penuturan gadis itu yang begitu absurd. Erika bisa ketawa
guling-guling kalau mendengar ucapan gadis ini. Kalau Nando, sih, masih ada kemungkinan menyukai
Erika, mengingat mereka lebih sering pergi berdua walau tanpa status yang jelas. Tapi, Rahesa mana
mungkin menyukai gadis itu? Mereka bertiga sudah seperti saudara yang ke mana-mana selalu
bersama.
“Oh iya, Kak Hesa mau ngomongin apa?” tanya Kinanti membuat Rahesa kembali mengingat sakit
hati yang beberapa menit yang lalu bisa dia lupakan.
“Nggak jadi ah, Nan. Nggak penting, kok.”
Bibir Kinanti mengerucut. “Kak Hesa ngambekan, ih. Cerita dong, Kak. Kak Hesa, kan, udah kayak
kakak Kinan sendiri.”
Oh, jadi gue masuk golongan kakak-adik-zone, nih.
“Oke ….” Rahesa menghela napas panjang. “Gue suka sama seorang cewek, Nan. Gue pikir kami
dekat, ternyata buat dia gue nggak lebih dari seorang kakak.”
“Kok kita samaan ya, Kak? Kena friend zone cabang kakak-adik-zone.” Kinanti menepuk-nepuk lengan
Rahesa turut simpati.
“Jangan-jangan, yang Kak Hesa maksud itu Kak Erika, ya?”
Rahesa tersenyum lemah dan menggeleng. “Erika itu seperti saudara buat gue sama Nando, Nan.
Nggak mungkin kami suka sama dia, apalagi sampai rebutan.”
Kinanti mengangguk maklum, “Terus, siapa dong, Kak? Kinan jadi penasaran. Bego banget dia udah
nyia-nyiain Kak Hesa yang kece badai gini.”
“Orang itu ada di depan gue sekarang.”
Kinanti tersedak seketika.
Universal Studios Singapore.
Cacing laut.
Singkatan dari ABG labil.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih yang tak terhingga kepada Allah Swt. pemilik segenap kalimat syukur yang selalu
memberikan segala yang terbaik untuk saya dan keluarga. Tidak akan pernah cukup rasanya syukur dan
terima kasih kami ucap untuk membalas segala nikmat-Mu.
For my life partner, Bisri Mustofa. Thank you for always supporting me. Love you to the moon and back
.
Untuk Bapak-Ibu yang menularkan hobi membaca sejak saya masih kecil, dan adik-adik yang
membuat saya semakin bersemangat untuk melengkapi koleksi bacaan.
Untuk teman-teman Kampus Fiksi yang selalu update lomba kepenulisan dan menyemangati satu
sama lain.
Untuk Mr. Rohani atas semua ceritanya yang menginspirasi dan kesabarannya dalam membimbing
saya menyelesaikan skripsi.
Untuk Tim Novela, Bentang Pustaka, terima kasih atas kepercayaannya hingga cerita ini bisa terbit
dan dapat dinikmati banyak orang.
Untuk Mbak Dila Maretihaqsari, editor yang telah mengoreksi cerita ini sehingga lebih nyaman
dibaca.
Dan, untuk semua pembaca, baik dari Wattpad maupun novel, yang telah memberikan apresiasi
untuk tulisan-tulisan saya, sehingga saya lebih bersemangat lagi dalam menulis.
Love,
Alifiana Nufi
Tetang Penulis
Alifiana Nufi lahir di Jakarta tanggal 25 Juni dan saat ini menetap di Blora, Jawa Tengah. Ia penikmat
How I Met Your Mother, Harry Potter, Naruto, dan variety show Running Man. Ia sedang berusaha
mewujudkan keinginannya untuk membangun taman bacaan.
Beberapa karyanya yang pernah terbit: antologi Curhat Move On (2012), antologi Ototo wa Koibito
(2013), dan novel Perfectly Imperfect (2015).
Ia bisa dihubungi di:
Surel: alifiana.nufi@gmail.com
IG/Twitter: @alifianufi
Wattpad: matchaholic
Table of Contents
1. PROLOG
2. Satu
3. Dua
4. Tiga

Landmarks
1. Cover

Anda mungkin juga menyukai