Anda di halaman 1dari 203

AGARISH POV

Bunyi bel yang ditekan secara tidak sabaran


membuat Sephora yang sedang memotong daging
menghela napas berat. Ia meletakkan pisaunya dengan
sedikit bantingan dan berjalan menuju pintu, melihat
dari layar intercom siapa yang datang mengunjunginya
pada siang hari seperti ini. Dahi Sephora mengernyit
begitu wajah dengan senyum miring tunangannya
memenuhi layar intercom. Sephora menyentuh panel
LCD layar sentuh dan pintu terbuka secara otomatis.

“Manja banget minta dibukain segala. Biasanya juga


main nyelonong,” cibir Sephora begitu Agarish masuk ke
dalam apartemen.

“Pengen ngerasain gimana rasanya disambut istri


pulang kerja.”

Sephora memutar bola mata mendengarnya


sembari berjalan menuju dapur. Ia membiarkan Agarish
Flowers | 1
mengganti sepatunya dengan sandal rumah yang sudah
tersedia.

“Jam segini, kok, udah di sini? Nggak dipecat, kan,


lo?” tanya Sephora masih dengan nada mencibir. Ia
melanjutkan acara memotong beberapa bahan sayuran
dan daging segar.

“Bacot lo, Ra. Parah banget dah! Ini Sabtu. Kerja,


kerja, step gue!” decak Agarish. Ia menarik kursi kitchen
set yang berseberangan dengan Sephora, lalu
menghempaskan bokongnya di sana. “Lo masak?”
tanyanya dengan nada sarat tidak percaya. Mengenal
gadis itu sedari SMA, rekor keberadaan Sephora di
dapur tidak lebih dari lima menit. Paling sekadar
membakar roti atau membuat susu.

Biasanya merantau akan membuat sebagain orang


terbiasa hidup mandiri, seperti mulai belajar memasak
atau pun sekadar membereskan tempat tinggalnya

Flowers | 2
sendiri. Itu sama sekali tidak berlaku bagi Sephora. Ralat,
Haidar dan Mika juga masuk ke dalam daftar list.

Dengan jarak 11.791 dari tanah Ibu Pertiwi, Friona


masih mengontrol segalanya. Mulai dari pembantu yang
datang setiap dua kali sehari untuk membersihkan seisi
unit dan menu makanan sehat yang tersedia setiap
harinya, kecuali pada hari Sabtu dan Minggu, mereka
dibebaskan makan di luar sesukanya.

“Mau buat sop daging,” jawab Sephora sambil


memperhatikan tab-nya yang memutar siaran tutorial
memasak dari YouTube.

Agarish tak bersuara lagi. Ia memperhatikan dalam


diam apa yang sedang dikerjakan tunangannya. Namun,
yang namanya Agarish sejak kapan bisa sedikit bersabar.
Belum ada lima menit, ia sudah bergerak gelisah di
tempatnya.

“Lama banget, sih, Ra? Makan di luar aja gimana?


Yang itu buat entar makan malem. Jarangjarang ada
Flowers | 3
waktu kayak gini,” kata Agarish dengan tatapan
bosannya.

Sephora tidak mengindahkan. Ia tetap konsen


dengan apa yang sedang ia kerjakan, memotong daging
membentuk kotak-kotak membuat Agarish meringis.
“Buseet, Ra. Udah kayak daging yang siap disambungin
lagi. Jadi sebenernya lo mau buat sop apa persiapan
operasi?”

“Bagus gini. Lebih rapi.” Sephora membela diri.

Agarish memindahkan kursinya di sebelah Sephora,


ikut menonton layar tab. “Di video, potong dadu, Ra.
Tapi kalau Ibu, biasanya dipotong agak lebar gitu, nggak
tipis, nggak tebel.”

“Udah terlanjur,” jawab Sephora singkat. “Tunggu


aja sambil nonton TV. Grogi gue kalau ada lo.”

Oh, pantas. Jadi ini alasan Sephora jutek, ketus, dan


sedikit pendiam. Tak ingin memperluas masalah,
Agarish memilih menurut dan merebahkan dirinya di
Flowers | 4
sofa bed. Akhir-akhir ini, ia kurang tidur karena
pekerjaannya yang tak ada habisnya.

Sebenarnya Agarish sangsi untuk datang kemari saat


mendengar Sephora mengajukan cuti hari ini, takut
mengganggu istirahat gadis itu. Namun, mau bagaimana
lagi. Agarish sudah tidak bisa menahan rindu dan ingin
menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersama
tunangannya.

***

Sephora mengernyit saat menyicipi sop daging


buatannya. Sepertinya terlalu banyak lada, aromanya
juga cukup menyengat. Ia menaruh sendoknya asal,
kemudian bercakak pinggang dan mendesah lelah.
Ternyata susah sekali membuat makanan enak dalam
sekali coba.

Sephora mencoba mengirim pesan pada Queensha


yang berada di belahan dunia lainnya. Pukul setengah

Flowers | 5
dua siang, yang berarti pukul setengah satu dini hari di
Australia.

Sephora

Sha? Molor?

Bangun dulu

bentar.

Bales chat gue.

Aku tadi iseng buat sop, tapi rasanya

kepedesan, kayaknya

kebanyakan merica deh. Terus

gimana ini?

10 panggilan tak terjawab.

Sephora mengetukkan ponsel pada dahinya. Harus ia


apakan sop ini? Buang? Kan, sayang. Harusnya masih

Flowers | 6
bisa diperbaiki bukan? Satu pesan lagi ia kirimkan pada
Queensha.

Sephora

Sha, tolong dong bales chat gue. Lo

doang satu-satunya jalan keluar gue.

“Kenapa?” tanya Agarish yang menangkap


keresahan Sephora dari ruang TV. Berhubung ruang itu
tidak bersekat dengan dapur.

“Sopnya kepedesan, kebanyakan merica,” jelas


Sephora sambil meringis.

Agarish berdiri dan berjalan mendekati Sephora


ingin mencobanya. Cowok itu menciduk kuah sop
daging, lalu menuangkannya pada sendok. “Iya, pedes,”
komennya setelah menyeruput, rasa mericanya begitu
pekat di lidahnya.

Flowers | 7
“Terus ini diapain dong? Masak capek-capek masak
dibuang?” keluh Sephora.

“Dibilas? Kasih sabun, cuci, terus direbus lagi?” saran


Agarish dengan nada bercanda, yang dibalas Sephora
dengan cubitan pada perut cowok itu.

“Ngawur lo mah.”

Agarish tertawa menanggapinya. Ia bersandar pada


kitchen set, menatap Sephora dengan kedua tangan
terlipat di atas dada. “Terus maunya gimana? Gitu aja
nggak apa-apa. Dimakan pake nasi juga entar nggak
terlalu berasa,” ucapnya lembut, berusaha menghibur
tunangannya.

Memasak terdengar sepele, tapi patut diapresiasi.


Lagi-lagi, helaan napas berat keluar dari bibir tipis
Sephora. Gadis itu mengangkat panci dari atas kompor,
membawanya menuju wastafel. Ia membuang kuahnya
hingga tersisa sedikit, kemudian ia tambahkan lagi
dengan air dan merebus ulang hingga mendidih.

Flowers | 8
Agarish tak mengucapkan apa pun. Cowok itu
membiarkan Sephora berbuat sesuka hatinya.

Tak lama, masakan Sephora sudah matang kembali.


Gadis itu menaburkan bawang merah goreng diatasnya
yang menguarkan aroma sedap.

Sebelum Sephora mencobanya, Agarish sudah lebih


dulu berdiri di belakangnya, memeluk pinggang dan
menaruh kepalanya di atas bahu gadis itu. “Wajib gue
yang jadi pencoba pertama,” ucapnya di telinga
Sephora, membuat bulu kuduk gadis itu meremang.

Sephora menurut. Ia menaruh kuah di atas sendok,


mengibasnya dengan tangan sebentar baru
menyuapkannya pada Agarish. “Gimana?” tanya penuh
antusias.

Agarish tak langsung menjawab. Ia menunggu hingga


Sephora memakannya sendiri.

“Nggak ada rasanya,” ucap Sephora setengah


frustrasi bercampur rengekan kesal.
Flowers | 9
Tanpa mengganti posisi, Agarish mengangkat tubuh
Sephora dan membawanya duduk di atas sofa ruang
santai. “Istirahat dulu.”

Sephora menutup rapat mulutnya, tapi tidak


menolak saat Agarish menarik tubuhnya mendekat dan
melingkarkan tangannya di bahunya.

“Nggak apa-apa. Besok kalau ada libur lagi, mau


masak bareng? Kita sama-sama belajar. Lo belum kapok,
kan?” tawar Agarish.

“Yang bener aja,” dengkus Sephora.

“Udah, lo nurut aja. Apa yang gue omongin, pasti


bener,” balas Agarish. Tangannya mengusap-usap
kepala Sephora. Pandangan keduanya mengarah pada
jendela besar yang memperlihatkan kesibukan Sungai
Thames pada siang hari di musim dingin seperti ini.

Sephora mengangguk singkat. “Thank you, udah


ngertiin.”

Flowers | 10
Percakapannya dengan Gendis—Ibu Agarish
beberapa waktu lalu masih membayangi Sephora.
Wanita yang berhasil itu tidak hanya dilihat dari
pekerjaannya, tetapi juga bagaimana mengurus suami
dan anaknya. Paling tidak, harus bisa menguasi hal
paling dasar dari berumah tangga, yaitu bisa memasak.
Mengenyangkan perut suami dengan tangan kita
sendiri. Cara pengucapan dan tutur kata Ibu Agarish
yang kalem, memukul Sephora secara telak. Makanya, ia
berusaha keras untuk memasak.

***

Flowers | 11
EXTRA PART 1
“Karena semua kerja keras dan usahamu jauh
lebih penting dari hasilnya.”
***
Langkah kaki Sephora yang menuruni anak tangga
melambat saat melihat orangtuanya sedang menonton
berita di ruang keluarga. Mengetahui orang yang selama
ini kita sayang dan percaya membohongi dan membuat
skenario sedemikian rupa untuknya, menciptakan trust
issue baru dalam dirinya. Hal itu membentuk krisis
kepercayaan dalam diri dan menjadikannya sulit percaya
pada orang lain.

“Sini, Sweetheart.” Adrian menggeser duduknya dan


menepuk sofa di antara dirinya dan Friona.

“Makasih, Ayah.” Sephora tersenyum lebar.

“Sampai kapan kamu mau kayak gitu?” tanya Friona


setelah menaruh remot di atas meja. Layar televisi itu

Flowers | 12
mati dan ruangan seketika hening, hanya suara jarum
jam yang berdetak.

Sephora melihat orangtuanya bergantian dengan


kernyitan di dahinya. “Apaan, sih, Ma?”

Friona mencondongkan tubuhnya pada Sephora, lalu


menaikkan dagu anaknya hingga kedua mata mereka
bertemu. “Belum capek pura-puranya?”

Sephora menelan ludahnya kasar. Tatapan


matanya terlalu mudah untuk Friona baca.

“Mama sama Ayah di sini ada buat kamu.” Friona


melepaskan tangannya dari dagu anaknya, lalu
mengelus surai hitam kecokelatan Sephora. “So, can you
tell us anything?”

“I’m sorry,” ucap Sephora tercekat.

Adrian membuka kepalan tangan Sephora. Matanya


memanas saat melihat goresan di telapak tangan
anaknya. Dielusnya pelan goresan luka itu, menyalurkan

Flowers | 13
kenyamanan untuk Sephora dalam mengungkap apa
pun yang tengah dirasakannya.

“Truthfully… I really don’t know how to responds to


that. Aku udah nyoba biasa aja dengan kembalinya Ayah
yang buat keluarga kita utuh lagi. Tapi, kadang perasaan
bersalah dan pemikiran aneh terlintas gitu aja, bikin aku
nggak nyaman. Kayak aku lagi berbahagia di atas
penderitaan orang lain … Aku juga kayak nggak ngenalin
siapa Mama, aku ngerasa bersalah. Mama harus
ngelakuin banyak hal dan ngorbanin banyak orang cuma
demi aku.”

Sephora mengatur napasnya yang kian terasa sesak.


Ia tahu, kalimatnya pasti akan menyakiti hati kedua
orangtuanya. Tapi, baik Friona dan Adrian, tetap terdiam
dengan pandangan lembut, membiarkan Sephora
mengeluarkan apa pun yang selama ini mengendap.

“This gnawing feeling is too new for me. Berulang kali


aku coba memahami dari sudut pandang yang beda, tapi

Flowers | 14
tetep aja aku nggak bisa buka pikiran aku, dan maafin diri
aku sendiri. I got nothing. Aku nggak tahu harus mulai
dari mana.” Ada getir yang Sephora sembunyikan di balik
senyumannya setelah mengucapkan itu semua.

“Sweetheart, Mama hanya memperlambat


kenyataan yang ada dan memanfaatkan situasi yang
terjadi…. Siwi sudah mendapatkan apa yang dia mau,
Mama pun juga begitu.” Friona tersenyum lembut. Ia
menaruh tangannya di atas genggaman tangan Adrian
dan Sephora.
“Sebelum melakukan sesuatu, Mama sudah pikirkan dan
selidiki semuanya. Bagaimana masa lalu Siwi dan juga
siapa itu Indra. Ayah kandung Anna itu orang baik, Ra.
Orang yang bertanggung jawab. Waktu itu dia dijebak
temennya sampai jadi tersangka penipuan,” ungkap
Friona.

“Mungkin cara Mama tergolong kurang tepat atau


egois bagi kamu, tapi itu memang demi kebaikan

Flowers | 15
semuanya, Sweetheart. Yang mesti kamu perlu percayai,
semua pasti kembali ke tempatnya. Kayak Ayah kamu,
balik lagi sama kita. Mama yakin, Anna jauh lebih
bahagia bersama orangtua kandungnya, dia pasti
mendapat perlakuan baik dan kasih sayang tulus dari
Indra.”

Sekarang, mungkin Siwi dan Anna harus


menyesuiakan diri lagi dalam menjalani kehidupan yang
sederhana. Tapi Friona yakin, keduanya akan merasakan
kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Karena
sesuatu yang berawal dari kebohongan, akan selalu
diliputi rasa kekawatiran dan ketidaknyamanan.

Indra adalah pria yang mempunyai prinsip dan


sangat mencintai mereka. Pria itu bahkan menolak
semua bantuan darinya dan Adrian. Penuh tekad akan
berdiri di atas kedua kakinya sendiri untuk keluarganya.
Menembus waktu yang selama ini sudah terlewatkan.

Flowers | 16
“Jadi, kamu nggak perlu ngersa bersalah. Ngerti?”
tekan Friona sekali lagi. Sering kali penyangkalan tidak
pernah bisa menyelesaikan masalah, hanya akan
membuat masalah itu berputar di satu titik. Merespons
keadaan dengan benar adalah salah satu kunci untuk
menentukan hasil di masa depan.

Melihat mata Seohora berair, dada Adrian teremas.


Ia berlutut di depan anaknya, menggenggam lembut
tangan Sephora. “Bukan Sephora yang salah,” ucap
Adrian bergetar. “Ayah dan Mama yang salah di sini. Ego
kita berdua udah nyakitin kamu begitu dalam. Ayah
tahu, Ayah bukan seorang ayah yang baik buat Sephora,
Ayah jauh dari kata itu.”

Melihat Adrian menghapus sudut matanya dan sorot


matanya nampak rapuh, Sephora memeluk tubuh sang
ayah seerat mungkin. Ia melepaskan rindu bercampur
haru yang selama ini tertahankan. Ia menggeleng lemah

Flowers | 17
di tengah sesenggukannya. Rasanya ia tidak sanggup lagi
mendengar kata demi kata yang Adrian ucapkan.

“Ayah mau kamu tahu, Sephora. Kamu sangat


berharga buat Ayah. Ayah sangat mencintai kamu dan
Ayah selalu bangga punya putri seperti kamu,
Sweetheart.”

“Mama sama Ayah seneng dan bersyukur punya


kamu di hidup kita. Maaf karena terlambat
menyampaikannya…. Maaf udah bikin kamu kesulitan.
Kamu nggak harus selalu jadi yang terbaik di segala
aspek, biar gimana pun kamu, Sephora tetap anak Mama
dan Ayah. Kita akan selalu ada buat kamu, Nak,” ucap
Friona. Matanya memanas, dadanya nyeri melihat
bagaimana dua orang yang disayanginya bertukar peluk.

Friona ingin anaknya mendapatkan hidup nyaman


tanpa harus memikirkan banyak hal yang sebenarnya
tidak diperlukan. Ia ingin Sephora terbebas dari
belenggu kegelapan akibat keteledorannya. Maka dari

Flowers | 18
itu, Friona rela melakukan dan memberikan apa saja
untuk anaknya. Dan yang pasti, seorang pememang tahu
pasti kapan harus menyerang.

“Jadi yang terbaik dan mendapat juara satu itu emang


bagus, banget malah. Tapi, ada yang
lebih penting dari itu. Prosesnya…, usaha kamu.” Adrian
melanjutkan.

“Tapi, sering kali yang orang lihat itu hasilnya, bukan


prosesnya,” bantah Sephora.

“Itu, kan, orang lain, bukan kita. Kehidupan itu terus


berproses Sephora. Setelah kamu puas dengan satu hal,
kamu akan mencoba satu hal lainnya, lagi dan lagi. Bilang
apa pun yang kamu mau, tanpa harus nunggu kamu jadi
seorang pemenang karena semua kerja keras dan
usahamu itu jauh lebih penting dari hasilnya,” balas
Friona

Friona bergabung ke dalam pelukan anak dan


suaminya. “Maafin, Mama.” Tanpa bisa dibendung lagi,
air mata Fruona akhirnya pecah detik itu juga. “Maafin
Flowers | 19
Mama yang udah buat kamu nggak percaya diri dan jadi
kayak gini. Maafin Mama yang terlalu egois. Maafin
Mama yang udah ngelewatin masa kecil kamu dan malah
bikin kamu kesulitan. Mama janji, Mama bakal berusaha
buat jadi orangtua yang lebih baik lagi.”

Setelah pembicaraan yang dalam dan penuh emosi


ini, bagaimana bisa Sephora tetap bersikap defensi pada
kedua orangtuanya? Semakin ia memikirkannya,
semakin Sephora menyadari banyak hal yang terjadi
pada dirinya. Sephora menjadi lebih mengerti kehidupan
dan membentuk dirinya yang lebih kuat lagi. Tidak ada
orangtua yang sempurna di dunia ini, begitu juga ia
sebagai seorang anak.

“Jujur aja ya, Sweetheart. Ayah juga ngerasa


dipermainkan sama mama kamu. Padahal, kalau Mama
kamu bilang dari awal, nggak bakal ada kejadian rumit
seperti ini,” ucap Adrian diikuti tawa getirnya.

Flowers | 20
“Kalau kamu pinteran dikit dan nggak gegabah,
semua juga nggak bakal sejauh itu,” balas Friona tak suka
hanya dirinya disalahkan.

Sephora terkekeh di sela isak tangis. “Terima kasih,


Ayah sama Mama udah jadi orangtua yang hebat buat
aku.”

***
Haidar dan Agarish yang bersembunyi di balik pilar
menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan saling
membuang wajah, merasakan mata mereka memanas.
Keduanya sama-sama tak tahu harus melakukan apa
sekarang. Terlalu canggung bila tiba-tiba muncul di
tengah momen haru keluarga kecil itu yang sedari tadi
mereka saksikan.

Haidar terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri.


Buru-buru cowok itu berjalan masuk ke dalam rumah
dengan cepat menuju dapur.

Flowers | 21
“Lah, batuk, Pak Haji?” tanya Agarish sembari
mengikuti. Keduanya melewati ruang keluarga begitu
saja, mengabaikan tatapan kaget ketiga orang yang ada
di sana.

Friona bangkit, mengikuti Haidar dan Agarish ke


dapur. “Kenapa, Bang?” tanyanya ketika sudah ada di
hapadan Haidar. Ia memastikan keadaan keponakannya
itu.

“Nggak apa-apa, Ma,” jawab Haidar sembari


menaruh kembali gelas di atas stool bar. “Maaf, jadi
ganggu kalian.” Ia meringis tak enak di akhir kalimatnya.

“Nggak apa-apa. Orang udah selesai juga,” jawab


Friona. Ia memberi isyarat agar keduanya ikut
bergabung ke ruang keluarga.

Haidar menghempaskan bokongnya di sebelah


Sephora. Ia mengelus rambut Sephora, lalu tangannya
turun menghapus sisa air mata di pipi gadis itu. “Udah
tenang?”
Flowers | 22
Agarish yang masih berdiri canggung,
memperkenalkan dirinya secara sopan pada Adrian, lalu
duduk di kursi single. Ia mencibir dalam hati melihat
sikap Haidar yang penuh perhatian. Terkadang, ia
merasa dirinya seperti selingkuhan. Bisa-bisanya ia
mengenal mereka cukup lama, tapi tidak menyadari
keduanya bersaudara. Haidar seperti es yang mencair
bila berhadapan dengan Sephora. Suaranya yang
melembut saat bicara pada Sephora membuatnya geli
sendiri, belum bisa terbiasa dengan itu semua.

“Jadi nggak, Ra?” tanya Agarish.

Sephora yang bersandar di bahu Haidar, mendongak


menatap Agarish. Matanya membola, hampir saja ia
melupakan janjinya untuk bertemu Anna sore ini. “Ya
ampun, untung lo ingetin.”

“Agarish,” panggil Adrian, setelah cukup lama


mengamati pemuda itu, seperti pernah melihatnya di
suatu tempat.

Flowers | 23
“Ya, om?” sahut Agarish.

“Gimana tangan kamu, sehat? Masih aktif dia?”

Agarish tersedak air liurnya sendiri. Buru-buru ia


meminum minuman yang tadi Mbok Siti hidangkan
begitu ia dan Haidar duduk di ruang keluarga. Dirasa
cukup membaik, Agarish menatap Adrian gusar.
Wajahnya memerah hingga ke telinga karena malu. Ia
menatap tangannya sendiri, lalu menyembunyikannya
ke belakang punggung. “Sehat, kok, Om,” jawabnya
kaku.

Agarish kira, Adrian sudah lupa pada apa yang ia


ucapkan di UKS saat ia dituduh menghamili Anna,
ternyata daya ingat pria itu masih tajam.

“Ya sudah, di jaga baik-baik, ya,” ucap Adrian


yang disambut tawa seisi ruangan.

***

Mata tajam Sephora seakan menghunus Anna yang


duduk tak nyaman di tempatnya. Siang ini, keduanya

Flowers | 24
sedang berada di Alertes, menunggu pihak WO yang
direkomendasikan teman
Friona datang. “Udah, deh. Ayah gue yang ngasih duit aja
oke. Gue juga nggak ngerasa kerepotan. Berarti yang
nerima dilarang keberatan!”

“Kamu jangan gitu, Ra! Perbuatan baik kalian buat


aku makin malu dan makin ngerasa nggak tahu diri. Jadi,
tolong berhenti!” Anna menatap Sephora bergetar
takut. Namun, ia sudah bertekad untuk mengungkapkan
semuanya. Ia tahu Sephora bukan orang yang berpikiran
sempit.

“Aku benci diri aku dan kehidupan aku yang kayak


gini. Sampai-sampai, saking frustrasinya dan nggak kuat
nahan ini semua, aku lemparin semua ini ke kamu. Coba
aja dulu kamu mau nerima aku dan nggak cuekin aku.
Coba aja dulu aku nggak ada niatan buat jadi kayak kamu
biar Nichol ngeliat aku.” Anna menghirup udara dalam-
dalam. “Aku ngerasa, dengan ngebenci kamu, buat

Flowers | 25
beban hidup aku jauh lebih ringan. Tapi, kenapa kamu
malah makin ngulurin tangan buat bantu aku? Aku
ngerasa malu dan nggak pantes nerimanya, Ra.”

Sephora mendengkus. “Bagus, deh, kalo lo benci


sama gue. Karena gue, lebih benci sama lo!” Ia berdecak
gemas begitu melihat air mata Anna tumpah dan
membasahi pipi gadis itu. “Gue kesel, tapi juga salut
sama lo.”

“Aku?” Anna terkekeh getir di sela isak tangisnya.


“Apa masih ada hal bagus dari diri aku, Ra?”

“Kesabaran dan rasa tulus yang lo punya. Tapi, itu


juga jadi masalahnya. Sifat lo itu bikin orang lain dengan
mudah mempengaruhi lo. Sikap lo yang lemah itu, bikin
banyak orang pengen bully lo. Gue juga gedek dan males
ngeladenin lo karena terlalu sulit buat orang kayak gue
bedain, mana orang yang beneran baik sama orang
muna.”

Flowers | 26
Anna memilin jari jemarinya yang saling bertauta. Ia
menatap Sephora dengan sendu.
“Dengan kayak gitu, aku ngerasa punya temen, Ra.
Hidup aku, nggak semudah hidup kamu.” Anna
menghapus kasar pipinya yang berair. Ia sudah berusaha
menjadi orang yang Sephora sebutkan tadi, menjadi
egois dan mementingkan diri sendiri. Namun, yang
terjadi malah ia merusak dirinya dan masa depannya
sendiri. “Tapi, apa pun yang aku lakuin, rasanya tetep
salah, Ra. Aku baik, mereka nggak liat aku. Aku berubah,
malah jadinya kayak gini.”

“Nggak ada yang punya kehidupan yang mulus, Anna.


Gue pun juga kayak gitu! Sekarang lo pikir lagi, deh. Satu
teman yang ngerti lo banget atau banyak teman, tapi
rasanya lo tetep sendirian? Lagian, apa untungnya, sih,
dikenal banyak orang? Secara nggak langsung, hal-hal
kayak gitu buat lo jadi haus pujian dan mendorong diri lo
buat muasin ekspektasi mereka.”

Flowers | 27
Anna menerima tisu yang Richard sodorkan sembari
bergumam terima kasih. Cowok itu lalu kembali ke meja
biliar tempat yang lain berkumpul.

Satu sudut bibir Sephora terangkat melihat itu.


Matanya kemudian bertemu pandang dengan Agarish.
Sephora spontan berdecak sebal melihat cowok itu
tersenyum menyebalkan padanya. Sephora membuang
muka, ia dengan sabar menunggu apa yang mau Anna
ucapkan lagi padanya.

Setelah tangisnya mereda, Anna kembali menatap


Sephora. “Kamu bener…. Aku yang masih merasa kurang
saat udah banyak hal yang sebelumnya belum pernah
aku dapetin. Seharusnya, aku ngejaga apa yang udah aku
punya, bukannya malah ingin lebih. Aku yang terlalu
sibuk cari pengakuan orang lain dan jadiin masa lalu
sebagai alasan agar semua orang mengerti aku dan
maunya aku. Semua ucapan orang-orang yang bilang aku

Flowers | 28
bisa gantiin kamu di sisi Nichol, secara nggak langsung
buat aku terdoktrin bakal dapetin itu.”

“Setidaknya, lo udah tau kalau apa yang lo lakuin itu


nggak bener.” Sephora melengos, menggigit bagian bibir
bawahnya kuat-kuat. Ia menarik napas dalam, lalu
mengembuskannya perlahan. “Sorry kalo dulu cara gue
salah dan kekanakan. Bener kata Nichol, nggak cuma gue
yang ngerasain sakit, tapi lo juga.” Sephora mengambil
pelajaran dari masalah ini, bersifat masa bodoh memang
ada baiknya, tapi itu tidak dapat menyelesaikan masalah
dan malah memperumit keadaan.

Anna menggeleng. Meski terkesan tak peduli, tapi


nyatanya Sephora tak pernah benar-benar
meninggalkannya sendirian. Sudah banyak yang Sephora
lakukan untuknya. “Maafin aku sama bunda aku, ya,
Ra,” ucap Anna sungguh-sungguh.

Kesalahan menyadarkan dirinya. Kebebasan akan


menghancurkan hidupnya. Terkadang, kita sering lupa
Flowers | 29
bahwa hidup ada aturannya, tidak bisa terlalu bebas.
Tapi, orangtua pun harus paham kondisi anaknya karena
kebanyakan orangtua hanya mementingkan apa yang
dirasa benar, tanpa mau tahu bagaimana kondisi dan
apa yang anaknya itu mau.

Kita tidak bisa saling menyalahkan dan menuntut.


Karena pada dasarnya, setiap orangtua memiliki cara
sendiri-sendiri mengungkapkan kepeduliannya atau cara
dalam mendidik anaknya. Dan sebagai anak, kita
mempunyai hak untuk mendapatkan kasih sayang dan
perlakuan baik dari mereka.

“Gue juga minta maaf. Semua pasti juga berat buat


lo,” balas Sephora. “Biar gimana pun, ayah gue udah
anggep lo anaknya, makanya dia pengen biayain pesta
nikahan lo ini dan gue harap, lo nggak nolak. Bahkan,
mama gue juga mantau terus perkembangan pestanya.”

***

Flowers | 30
EXTRA PART 2
“Semua orang yang kita temui dan hal yang pernah
kita lakukan di sekolah, akan menjadi kenangan masa
remaja.”
***

“Selamat pagi menjelang siang semua, saya Sephora


Servant Navriel.”
Suara gemuruh tepuk tangan mengudara memenuhi
ballroom hotel bintang lima tempat diselenggarakan
acara perpisahan bagi murid kelas dua belas SMA
Werneshen. Sephora yang menjadi lulusan terbaik,
ditunjuk menjadi pembicara sebagai wakil dari jurusan
IPA.

“Merupakan kehormatan besar berada di sini


bersama semua orang untuk berbagi kegembiraan dan

Flowers | 31
kebanggaan. Tiga tahun yang lalu, kita masuk kemari
dengan berbagai perandaian serta membawa mimpi kita
masing-masing. Banyak tenaga yang kita curahkan,
begitu juga berbagai emosi pernah kita rasakan di sini.
Berbahagia, kebingungan, penuh tekad, dan semangat
yang menggebu. Namun, tiba-tiba terpatahkan begitu
saja dan mudah menyerah atas sesuatu.”

Sephora menarik napas pelan. Ia tersenyum ke arah


sahabatnya. “Time passed by so quickly. Akhirnya kita
sampai juga di titik ini. Lost precious memories that we
meet here will never be forgotten. Semua orang yang kita
temui dan hal-hal yang pernah kita lakukan, akan
menjadi kenangan di masa remaja kita.”

Mata Sephora mengedar menuju kursi yang


dikhususkan untuk para wali murid. Ia menemukan
kedua orangtuanya yang sedang menatap penuh haru
kepadanya. Segaris senyum tipis Sephora berikan untuk
Friona dan Adrian. Satu dari kebahagian yang saat ini

Flowers | 32
tengah ia rasakan adalah kelengkapan kedua
orangtuanya pada hari bahagianya. Ada rasa kepuasaan
tersendiri ketika ia berhasil membuat kedua
orangtuanya bangga.

“Sekian dan terimakasih semua,” tutup Sephora.


Selesai sambutan dari Sephora, Kepala Sekolah naik
ke atas panggung, bersamaan dengan wakil dari anak
OSIS yang membawa baki berisi penghargaan untuk para
juara umum.

“Selamat Sephora,” ucap Kepala Sekolah.


“Terima kasih, Pak.” Sephora tersenyum. Ia sedikit
membungkuk saat Kepala Sekolah memasangkan medali
kepadanya dan tangannya menerima piala
penghargaan. Kepala Sekolah secara bergantian
memberi penghargaan kepada para juara umum lainnya
yang mulai menaiki panggung.

Flowers | 33
“Selamat, ya, Ra. Akhirnya posisi pertamanya balik ke
kamu lagi,” ucap Nichol diselingi senyum saat berdiri di
sisi Sephora. “Aku denger kamu keterima di UK?”

Sephora menoleh dan membalas senyum cowok itu.


“Selamat juga buat kamu, ya, Nic. Kamu keterima juga,
kan, di Jerman?”

“Iya. Nggak kerasa besok kita udah jadi mahasiswa


aja. Kabarin, ya, Ra, kalo lagi main ke Jerman. Aku siap
jadi tour guide kamu.”

“Cukup deket juga, kan, ya? Nanti, deh, gampang.


Kamu juga kabarin aja kalo lagi ke London. Ada Mika
sama Haidar juga yang bakal kuliah di sana.”

“Iya.” Nichol masih mempertahankan senyumannya,


matanya menatap lekat Sephora. Mungkin dengan
terbentangnya jarak antarnegara, dapat membuat
Nichol perlahan mampu melupakan Sephora. Terlalu
menyesakkan baginya saat menyadari bahwa

Flowers | 34
hubungannya telah berakhir, tapi masih berharap
disatukan oleh takdir.

Selesai dengan serangkaian pemberian penghargaan


kepada juara umum, mulailah sesi foto.
Terhitung tiga foto diambil, tapi Kepala Sekolah nampak
masih ingin mengabadikan momen ini. Sephora yang
sudah lelah tersenyum hanya menatap tanpa ekspresi ke
arah kamera.

Tiba-tiba, suara gemuruh teriakan para murid


terdengar, membuat yang ada di atas panggung itu
celingukan mencari apa yang menjadi sumber
kehebohan. Ternyata ada seorang siswa yang
mengenakan tutup hoodie berwarna hitam berlari kecil
ke atas panggung dan menjadi pusat perhatian seisi
ruangan.

Sephora tersentak saat orang itu berhenti di


hadapannya. Ia merasakan jantungnya berdetak
kencang dan bibir kecilnya membentuk senyum lebar

Flowers | 35
begitu mengenali siapa pelakunya. “Agarish?” beo
Sephora.

Agarish mengulurkan buket berisikan lembar uang


sepuluh ribuan yang di masukkan ke dalam balon
transparan. “Gue bangga sama lo,” bisik Agarish.
Tangannya terulur ke atas menepuk pelan puncak kepala
Sephora, lalu kembali berlari menuruni panggung
mengabaikan suara sorakan yang semakin kencang.

Sephora terkekeh menatap kepergian Agarish.


Cowok itu selalu mempunyai seratus cara dalam
membuatnya kesal dan tujuh puluh lima persennya
membuat Sephora senang. Jadi, Agarish masih bisa
dikatakan unggul dan layak disayang.

***

“Astaga, kelakuan anak ini! Niru sopo toh, Le?” protes


Gendis akan perilaku bucin putra bangsunya begitu
mereka menyelesaikan sesi foto keluarga bersama.

Flowers | 36
Sepanjang acara berlangsung, Gendis lebih sering
menunduk dan menutup wajah menggunakan tas kecil
miliknya. Meski tak banyak orang yang tahu bahwa ia
orangtua dari Agarish, tetap saja ia tidak bisa duduk
tenang di bangkunya. Terlalu malu untuk mengangkat
kepalanya.

Acara kelulusan Agarish hanya dihadiri kedua


orangtuanya karena keluarganya yang lain, cowok itu
larang untuk hadir. Katanya, ini hanya acara kelulusan,
bukan acara pernikahan.

“Pacar kamu juara umum, kamu juara apaan? Nggak


malu kamu jadi cowok?” tanya Raska.

“Apaan, sih, Pak!” dengkus Agarish tak suka.


“Dapetin sang juara itu, juara di atas juara. Is another
level.”

“Haduh!” Gendis mencubit gemas lengan atas


anaknya. “Ngejawab terus!”

Flowers | 37
“Salah lagi, Bu?” Raut tengil Agarish berubah muram.
Ia menatap ibunya dengan tatapan pedih. Berbeda
dengan kondisi hatinya yang menyeringai melihat sang
ibu sudah nampak tak tega kepadanya.

“Udah, Bu, kita pulang aja.” Raska menepuk


punggung anak bungsunya dan mengucapkan selamat
sebelum mengajak istrinya berlalu menuju arah parkiran
hotel. Berbicara dengan Agarish tidak akan pernah ada
kata usai.

“Inget, pulang! Ojo keluyuran terus!” peringat


Gendis.

***
Selesai pada semua rangkaian acara kelulusan,
Sephora mendatangi orangtuanya. Gadis itu berlari kecil
sambil tersenyum lebar. Perlahan tangan Sephora
terlentang untuk memeluk Friona dan Adrian secara
bersamaan. “Yuk, langsung ke tempat foto aja!”

Flowers | 38
“Maaf, ya, Sweetheart. Mama nggak bisa lama-lama
di sini,” ucap Friona penuh sesal.

“Mama tuh dateng dari awal sampe akhir. Nggak


lama apanya? Lagian aku juga ngerti, kok, kesibukan
Mama di rumah sakit. Yang penting, udah ada Mama
sama Ayah di sini.” Sephora menggamit kedua lengan
orangtuanya, berjalan bersamaan menuju stand foto
yang sudah disediakan oleh pihak sekolah.

“Kebanggan, Ayah.” Adrian tersenyum hangat dan


mengelus rambut anaknya penuh sayang. Matanya
memanas melihat piala milik anaknya yang sedang ia
pegang.

“Ayah sama Mama juga kebanggan aku,” balas


Sephora.
Ketiganya tersenyum cerah saat sang fotographer
menghitung mundur ketika mengambil gambar. Tidak
hanya terekam dalam bentuk cetak, momen ini akan
mereka kenang dalam ingatan masing-masing.

Flowers | 39
“Ya udah, kalau gitu Mama sama Ayah duluan. Kamu
pulang sama siapa? Agarish apa Bang
Haidar?”

“Dibonceng Agarish, tapi juga diikutin Abang. Mama


nggak usah khawatir.”

Adrian mendengkus. Sekarang saingan untuk


mendapat perhatian dari Sephora bertambah. Jika
Haidar banyak diam, berbeda dengan Agarish yang
cukup agresif menggeser tempatnya.
Namun, ia juga tak bisa melarang.

“Ya udah, nanti telepon Ayah, ya, kalau sudah di


rumah,” kata Adrian.

“Iya.”
Sephora melambai begitu melihat kedua
orangtuanya menjauh. Ia mengamati sekeliling, mencari
keberadaan para sahabatnya. Beruntung Mika
memanggil namanya sambil mengangkat tangannya
tinggi. Dari jarak dua meter, Sephora dapat mendengar
tangisan Queensha.

Flowers | 40
“Padahal dulu pengen cepet-cepet ngelewatin ujian
sama pengen cepet-cepet jadi anak kuliahan. Tinggal
selangkah lagi, tapi… tapi, kenapa malah jadi galau gini.
Berat banget buat gue pisah sama kalian. Entar kalo gue
di sana nggak dapet temen-temen kayak kalian
gimana?” ucap Queensha dramatis dengan air mata
sudah menggenangi keseluruhan pipinya yang chubby.
Belva memeluk Queensha, disusul Franda, lalu Sephora.
Meski enggan, Mika turut ikut.

“Kita, kan, masih bisa kumpul bareng meskipun


nggak bisa tiap hari. Alat komunikasi juga udah banyak,”
ujar Mika berusaha menenangkan tangis Queensha.
Namun, sia-sia, gadis itu malah semakin mengencangkan
tangisnya.

“Lo nggak usah ngasih kalimat-kalimat manis yang


pahit di dalem!” ucap Queensha di tengah isakannya. Ia
menatap Mika dan Sephora bergantian. “Bisa-bisanya
entar gue nggak ketemu lo sama Sephoranya sama

Flowers | 41
sekali. Gue nggak mau! Kok lo bisa kejam banget, sih,
Mik, nggak ngomong ke kita-kita kalo lo daftar di London
juga?! Mana diterima lagi. Tahu gitu, kan, gue
mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari buat perpisahan
ini. Ikut kalian sekalian kalo bisa.”

“Diiiihhh!” Mika melepaskan pelukannya, kemudian


berkacak pinggang. “Lo-nya aja, Sha, yang terlalu fokus
sama Daniel. Sampe cerita sahabatnya sendiri serasa
angin lewat. Giliran baru sadar, gue yang disalahin! Saat
lo pacaran pusing mikirin cinta-cintaan, gue yang jomblo
ini belajar sampe mau mati rasanya. Pagi sekolah, sore
bimbel, malemnya masih ketemu tutor les.”

“Mika, maaf!” ucap Queensha penuh sesal. Ia mengurai


pelukan, lalu menubruk tubuh Mika.
Ia memeluk Mika makin erat saat gadis itu menggeliat
minta dilepaskan.
Mata Sephora tak sengaja bersibobrok dengan mata
Daniel yang baru saja melintas. Ia mengangguk singkat

Flowers | 42
untuk membalas sapaaan Daniel yang tengah tersenyum
kepadanya.

Daniel pernah datang ke rumahnya dan secara


pribadi, meminta maaf atas semua sikapnya yang sering
menyudutkan dan menyalahkan Sephora. Cowok itu
menjelaskan secukupnya, tidak terlalu detail akan alasan
yang dipunyanya. Meski begitu, Sephora tetap bisa
mengerti karena sebelum kedatangan Daniel, ia lebih
dulu mendengar keseluruhan ceritanya dari Queensha.

Masalah yang dimiliki Daniel sangat pelik. Cowok itu


memilik trauma akan apa yang menimpa adiknya saat
masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Terseret
pergaulan bebas dan diperkosa oleh temannya sendiri
hingga hamil. Tak kuat menanggung semua penderitaan
begitu berat di usia muda, gadis itu memilih mengakhiri
hidupnya sendiri dengan bunuh diri, membuat semua
anggota keluarganya menyimpan duka yang dalam.

Flowers | 43
Oleh karena itu, saat Daniel melihat Anna, ia seperti
melihat bayangan adiknya. Ia terlempar dalam kubangan
masa lalu. Daniel berusaha sebisa mungkin menjaga
Anna, tak peduli banyak orang salah mengartikan
sikapnya. Nyatanya, sekali lagi, ia menjadi sosok laki-laki
yang gagal.

Yang dapat Sephora tangkap akan sifat Daniel, cowok


itu hanya tak ingin dirinya berujung dalam rasa
penyesalan yang sama karena mengabaikan orang
disekitarnya.

Daniel dan Sephora memiliki alasan akan tindakan


mereka masing-masing. Tidak semua orang mampu
menjabarkan seberat apa beban yang ditanggungnya
dan ada beberapa alasan yang tetap mereka simpan
rapat. Setidaknya, ia dan Daniel sekarang sama-sama
sadar akan kesalahan dan mau belajar untuk
memperbaiki diri. Mereka mencoba menjadi dewasa
dengan membuang ego dan gengsi.

Flowers | 44
Satu fakta yang lebih mengejutkan lagi, ternyata
Daniel juga menaruh hati pada Queensha sejak awal
kedekatan mereka di kelas sepuluh. Namun, hubungan
keduanya terpaksa selesai bahkan sebelum memulai
karena cinta yang terhalang restu orangtua dan status
sosial. Ayah Queensha yang merupakan pemilik yayasan
werneshen, menginginkan anaknya memiliki hubungan
dengan orang yang setara.

Apalagi Pak Arka—kakak Daniel—juga baru satu


tahun mengajar di Sekolah ini. Itu pasti juga menjadi
sekian alasan Daniel menjaga jarak dari Queensha, agar
tak mengganggu karir kakaknya. Siapa pun bisa
menangkap kesedihan saat Daniel mencuri pandang ke
arah Queensha dari kejauhan.

Astaga, semakin dramatis saja kisah percintaan


mereka semua di saat kelulusan. Bukannya menemukan
titik temu, malah mendapati lubang hitam yang semakin
melebar.

Flowers | 45
Sephora dan Agarish akan menjalani Long Distance
Relationship. Belva sedang perang dingin dengan
Abiputra karena kurang setuju dengan keputusan cowok
itu yang tidak melanjut kuliah dan fokus pada bisnisnya.
Franda dan Kevin yang masih saja putus nyambung dan
sulit untuk bersatu karena perbedaan iman. Dan yang
terakhir Mika, dengan segala kesendiriannya.

“Nangis terus!” ujar Franda. Lama-lama ia risi


mendengar suara tangisan Queensha.
“Biarin aja, Fran…. Nangis tuh bisa mengeluarkan
hormon stres dan menghasilkan hormon endorphin
yang bisa membantu mengurangi rasa sakit secara alami
dan meningkatkan suasana hati,” kata Sephora.
Matanya berkilat jahil pada Queensha.

Queensha memijit pelipisnya yang tiba-tiba


berdenyut. Ia paling sebal jika sudah mendengar kalimat
memusingkan seperti itu. “Kayaknya gue kebanyakan
nangis, sampai kepala gue langsung nyut-nyutan pas
Sephora ngomong. Pusing, guys, pusing!”
Flowers | 46
Belva mengelus lembut bahu Queensha. Ia menatap
satu persatu sahabatnya. Mungkin setelah ini mereka
tidak akan bisa bertemu sesering dulu. Sephora dan
Mika akan berangkat ke London, Queensha melanjutkan
kuliahnya di Australia sesuai apa yang dimau
keluarganya, dan tersisa Franda juga dirinya yang masih
bertahan di Jakarta.

“Acaranya jadi, Ra?” tanya Belva pada Sephora.


Sephora berdeham mengiyakan sambil mengulurkan
kaca yang selalu ia bawa pada
Queensha. “Dateng, ya, lo pada. Ngeramein acara.”

“Ck, kadang tuh gue rasanya masih ada gedeg-nya


kalo inget kelakuan dia dulu. Polosnya ngeselin, mancing
orang buat bully. Eh, udah berubah, malah ngrepotin.
Gue tuh kadang ngerasa salah tau nggak kalo habis
bantuin dia,” ucap Mika menggebuh-gubuh.

“Ngeselin, sih, emang, tapi juga kasihan kalo diliat


dari latar belakangnya dia, apalagi sekarang dia nikah

Flowers | 47
sama orang yang nggak dia suka. Gue nggak bisa
ngebayangin gimana tersiksanya si Anna. Apalagi temen
yang dia punya juga tinggal Bianca sama Daniel,” sahut
Franda.

“Gue juga masih ada kesel, tapi bener juga kata


Franda, kasihan,” timpal Queensha selesai men-touch up
riasannya. Ia terlalu banyak menangisi perpisahan hari
ini dan kemarin, perpisahannya dengan Daniel dan
teman-temannya ini, jadi harus ekstra hati-hati pada
riasan yang menutupi bagian bawah matanya yang
menghitam dan sembab

“Jujur aja, sih, gue kasihan juga, tapi kadang juga


pengen ngetawain,” ucap Mika, lalu meringis polos.

“Yang emang harus dibantu, ya, dibantu. Bedain


masalah-masalah yang ada. Kalo kita telaah lagi,
masalah kita sama dia udah berlalu lama, bisa dibilang
nggak ada masalah malah. Cuma emaknya aja, kan, yang
suka bikin Sephora makan ati.” Belva menoleh pada
Flowers | 48
Queensha, lalu kembali berkata, “Lo juga udah tahu
kejelasan perasaan Daniel selama ini cuma buat lo, Sha.”

“Sesuai batasan sama sebisanya aja, sih, kita


bantunya,” ucap Sephora. Mau bagaimana pun benci
dan kesalnya kita terhadap orang lain, pasti di sudut hati
kita tetap ada rasa kasihan untuknya dan keinginan
untuk menolong.

“Bukan kita kali, Ra. Lo sendirian yang bantuin Anna


buat nyiapin acara nikahannya,” ucap Mika yang dibalas
Sephora dengan senyuman tipis.

Percakapan mereka terhenti karena kedatangan


kumpulan Agarish yang selalu membuat kehebohan.
Agarish bukannya mengajak bersalaman atau
mengucapkan selamat seperti yang lain, ia malah
menggendong Sephora dan memutar badannya.

Sephora terpekik, tapi detik bertikutnya gadis itu


tergelak begitu Agarish menurunkannya.

Flowers | 49
“Yang bentar lagi LDR, puas-puasin dulu,” cibir
Fabian.

“Udah-udah,” lerai Belva. “Ayo kita foto bareng-


bareng dulu!”
Semua menurut, mencari posisi masing-masing.
Agarish menarik tangan Sephora dan mengajaknya
berdiri berdampingan pada baris belakang paling ujung.

“Meskipun lo rapiin beribu kali, nggak bakal ada yang


berubah,” ledek Agarish saat melihat Sephora menyisir
rambutnya dengan tangan dan sebelah tangannya lagi
memegang cermin yang baru dikembalikan Queensha
kepadanya.

“Paling nggak, gue udah usaha bikin versi sedikit


lebih rapi dan lebih cantik,” balas Sephora.

“Lo nggak tahu kenapa gue bilangnya tetep sama?”

“Kenapa emangnya?” Sephora memasukkan kembali


cerminnya pada saku almamater sekolahnya dan

Flowers | 50
berganti merapikan letak dasinya, kemudian memeriksa
dasi milik Agarish juga.

Agarish sedikit menunduk, ia menyelipkan lembut


rambut Sephora ke ke belakang telinga.
“Karena lo Kes-nya gue,” bisik Agarish dengan suara
dalamnya. Kemudian ia menarik pinggang Sephora agar
lebih merapat padanya. Ssephora membalasnya dengan
menggamit lengan cowok itu. Pandangan mata
keduanya menatap ke arah kamera yang siap membidik.

“Ih, geli, Aga!” Sephora tergelak dengan wajah


bersemu malu. Ia memukul pelan bahu Agarish sekaligus
berganti gaya sesuai yang disepakati mereka untuk
melompat secara bersamaan. Stand foto yang mereka
nampak jadi yang teramai dibandingkan yang lain karena
kini, Nichol dan teman-temannya ikut bergabung.

Agarish tersenyum miring. Kepalanya menoleh


menatap lekat Sephora. “Lo seneng hari ini, Ra?”

Flowers | 51
“Seneng banget. Makasih juga, ya, buketnya.”
Sephora tersenyum lebar hingga ke matanya. Semua
barang miliknya ia titipkan pada Friona karena nanti ia
pulang bersama Agarish menggunakan motornya,
terlalu merepotkan jika harus membawa semuanya
sendiri.

Agarish semakin menarik Sephora mendekat


padanya, sedikit memberi remasan lembut pada
pinggang gadis itu. “Lo pantes dapetin itu!” bisiknya lagi.
Di foto terakhir, keduanya tak sengaja berpose saling
menatap dengan senyuman yang tak luntur dari bibir
mereka.

***

Flowers | 52
EXTRA PART 3
"Tergantung, kalo lo dalam empat tahun nggak
ngelamar gue, ya, gue aja yang ngelamar lo!”
ucap Sephora.
***
Agarish menatap malas pantulan Sephora pada
cermin di kamar gadis itu. Sudah lebih dari satu jam ia
menunggu, tapi masih belum ada tanda-tanda Sephora
akan menyelesaikannya riasannya. “Lama-lama gue
tinggal juga lo!” decaknya.

“Ya udah, hati - hati,” sahut Sephora santai, lalu


memoles lipstik di bibirnya. Ia memastikan sekali lagi,
alis, maskara, dan sapuan make up bagian matanya telah
sempurna. Sephora beranjak berdiri, mata abu gelapnya
melirik sekilas Agarish yang juga sedang melihatnya
dengan tatapan bosan. Tanpa mengucapkan apa pun,
Sephora masuk ke dalam walk-in closet untuk mengganti
pakaiannya.

Flowers | 53
“Ck, dasar betina!” Agarish merebahkan tubuhnya
pada ranjang dan mulai memejamkan matanya.

Tak lama, Sephora kembali muncul menggunakan


party wear dress berwarna dark grey selutut dan terbuka
pada bagian bahunya yang tersamarkan oleh rambut
hitam kecokelatannya yang bergelombang di bagian
bawah. Ia menenteng kemeja putih berlengan panjang
dan jas casual milik Agarish yang ia pesan khusus agar
serasi dengan outfit miliknya.

“Aga, bangun dulu, ih!”

“Hmmm….” Dengan malas, Agarish berdiri. Ia


menerima kemeja yang Sephora ulurkan kepadanya.
Salah satu bibirnya terangkat saat melihat Sephora
berbalik badan begitu ia akan berganti pakaian. “Nggak
mau curi-curi kesempatan, Ra?” tanyanya dengan nada
jahil sambil mengancingkan kancing kemejanya.

“Gue nggak suka nonton teaser, sukanya yang full


edition.”

Flowers | 54
Agarish terkekeh kecil menanggapinya. Selesai
berpakaian, ia menaruh kedua tangannya di bahu
Sephora, lalu memutar tubuh gadis itu agar kembali
menghadapnya. “Udah,” ucapnya, kemudian kembali
terdiam. Mata legamnya terus mengamati wajah serius
Sephora saat membantunya mengenakan jas.

"Harus pake ginian?"

“Nggak mau? Biar gue kasih ke Bang Haidar aja, deh,


kalo lo-nya rewel.”

“Dih, ngancem!” Agarish mendengkus. Jika Sephora


sudah dalam mode dominannya, ia bisa apa selain harus
menurut?

“Tau banget, sih.” Sephora menepuk pelan bagian


dada Agarish seperti membersihkan debu, kemudian ia
mundur satu langkah agar dapat mengamati
keseluruhan penampilan Agarish siang ini. “Perfect!”

Agarish menyukai gerakan sudut bibir Sephora yang


tertarik ke atas, apalagi jika senyum itu ditujukan

Flowers | 55
untuknya. Ia menarik pinggang Sephora mendekat
padanya, hingga aroma soft strawberry masuk dalam
indra penciumannya. “Puas banget kayaknya liatin gue?
Udah sayang belum, Kes, kira-kira sama gue?”

Sephora mendongak, membalas tak kalah dalam


tatapan Agarish. "Kalo lo bilang gue cantik, gue bakal
bilang gue sayang sama lo," ujarnya main-main.

Jemari Agarish mengelus pipi Sephora. "Lo selalu


cantik di mata gue, Kes. Mau tidur lo sambil mangap,
mata setengah kebuka, ileran, atau ngorok.” Agarish
berdecak. “Tetep cantik.”

Sephora mendengkus geli. Tangannya menangkup


jemari Agarish di pipinya. "Apaan?
Ngarang lo mah! Nggak ada, ya, gue kayak gitu!"

“Ck, ck, ck, ketika kejujuran masih aja


dipertanyakan,” keluh Agarish. Perlahan ia memajukan
wajahnya. Tangannya yang masih berada di pipi
Sephora, berpindah ke belakang kepala dan menarik

Flowers | 56
lembut tengkuk gadis itu untuk memutus jarak di antara
mereka, membuat dahi keduanya menempel. “May I?”
tanya Agarish setengah berbisik. Mata tajamnya
mengunci manik mata Sephora mendamba.

Sephora mengangguk kecil. Dengan degup jantung


yang menggila, ia memejamkan matanya begitu
merasakan embusan napas berat Agarish menerpa
wajahnya.

Bibir mereka mulai menempel, yang awalnya berupa


kecupan-kecupan kecil, menjadi lumatan penuh rasa,
tanpa adanya gairah. Agarish-lah yang lebih dahulu
membuka bibirnya sehingga menimbulkan gerakan.
Sephora sempat tersentak, tapi tak lama ia mengikuti
permainan, tangannya terangkat melingkar di leher
Agarish. Meski sama-sama kebingungan, keduanya terus
saling memagut. Dirasa pasokan udara kian menipis,
dengan tidak rela keduanya saling melepas.

Flowers | 57
"Pelajaran pertama kita, Kes," ujar Agarish sambil
mengusap ujung bibir Sephora dengan ibu jarinya. Satu
tangannya tetap melingkari pinggang ramping gadis
kesayangannya itu.

Sephora tertawa kecil. Ia mengibas wajahnya yang


terasa memerah. Dengan napas terengah dan detak
jantung yang masih memburu, Sephora melepas lembut
tangan Agarish di pinggangnya, lalu berdiri depan
cermin.

"Gara-gara lo, nih, gue harus pake lipstik lagi,” omel


Sephora sambil mengambil lipstik di atas meja riasnya.

"Bagus dong. Entar kalau mau hapus, gak perlu pake


remover. Lebih gampang juga tinggal manggil gue.”

Sephora mendengkus. Ia berbalik badan sambil


memperlihatkan dua lipstik berbeda shade dari brand
yang sama ke hadapan Agarish. “Bagus yang mana buat
gue pake?”

Flowers | 58
Agarish menggaruk kepala bagian belakangnya
bingung. Di matanya, yang disodorkan Sephora terlihat
sama. Ia mendesah putus asa begitu melihat Sephora
yang nanpak tak sabar menunggu jawabannya.

“Ini, deh.” Agarish menunjuk lipstik di tangan kanan


Sephora.

Sedikit menimbang, akhirnya Sephora meletakkan


kedua lipstik ia pegang, lalu mengambil lipstik dengan
shade warna yang berbeda, lipstik yang ia pakai
sebelumnya. Ia menyapukan liptsik itu ke bibirnya.

“Ck, buang-buang tenaga gue aja buat jawab!”


Agarish menepuk gemas kepala Sephora dengan
perlahan. Ia tidak mau mendengar gerutuan dan omelan
Sephora.

***

Sesampainya di tempat acara, Agarish berjalan ke


belakang bagian mobil. Ia membuka bagasi, lalu

Flowers | 59
mengeluarkan sebuah buket besar yang nampak
mentereng di bawah pancaran sinar mentari.

Begitu melihat buket yang dibawa Agarish yang


sudah berdiri di sisinya, spontan Sephora menutup
mulutnya. Matanya mendelik begitu melihat ekspresi
Agarish yang malah mengedipngedipkan matanya polos
sambil memegang buket berisikan kondom yang berjajar
rapi.

"Lo gila! Kado apaan kayak gini?" tanya Sephora tak


habis pikir. Ia mengamati sekitar yang mulai curi-curi
pandang ke arah mereka sembari menggeleng samar.

"Lo inget belanjaan kita waktu ke Indomaret? Yang


waktu kita ngikutin apa yang dibeli orang sebelum kita
dateng?”

Sephora terdiam sesaat, nampak mengingat-ngingat.


“Kenapa emang?” tanyanya saat sudah mengingat
kejadian itu.

Flowers | 60
“Daripada dianggurin, nunggu gue yang pakai juga
keburu expired. Ya, gue kadoin buat Richard aja. Biar
nggak kebobolan lagi.”

"Aga!" Sephora rasanya ingin menangis mendengar


pemikiran pacarnya. "Orang hamil mana bisa hamil lagi
sebelum lahiran, sih."

"Yakan bisa dipake habis lahiran. Ini namanya kreatif


dan inovatif, Kes. Memfungsikan sesuatu yang sudah
ada. Emang lo ngasih kado apa? Sok bener ngeritik
punya gue. Palingan juga nggak sebagus buket yang gue
pegang."

Sephora membuka kotak yang ia bawa dari rumah,


menampakkan sebotol Vodka yang dikelilingi hiasan
bunga-bunga segar dan berwarna-warni.

"Lo lebih gila, bego!" Agarish menyentil pelan dahi


Sephora.

Sephora meringis sambil memukul gemas tangan


Agarish. "Belum tahu dia," ucapnya sombong. Sephora

Flowers | 61
dengan angkuh menggeser sedikit tumpukan bunga itu,
lalu menampakkan apa yang tersembunyi di bawahnya.
Terlihat beberapa lembar dolar yang digulung kecil-kecil.

“Buseeet, Ra! Banyak bener!” Agarish geleng-geleng


melihatnya. Tak mau kalah, ia juga membuka salah satu
bungkus kondom yang ternyata sudah ia isi dengan uang
lembaran lima puluh ribuan. “Nggak semua gue isi, ada
yang lima puluh ribu, ada yang isinya seratus ribu, ada
juga yang kosong, tergantung rejekinya dia waktu mau
make aja.”

Haidar yang memperhatikan mereka mengembuskan


napas lelah. Kebetulan ia datang bersama kedua orang
yang masih berargumen soal hadiah pernikahan itu. Ia
memilih menepi, menunggu temannya yang lain.
Membiarkan kedua pasangan yang masih nampak asyik
sibuk pamer, mengejek, dan mengomentari isi kado
masing-masing.

***

Flowers | 62
Dekorasi pernikahan Anna dan Richard terkesan
simple dan elegant. Tak banyak undangan, hanya teman
dekat dan keluarga dari kedua belah pihak. Setelah
serangkaian acara, beberapa tamu berbaris untuk
memberikan selamat pada kedua mempelai, ada juga
beberapa yang sedang menikmati hidangan yang
tersedia.

Agarish menarik tangan Sephora agar melingkar di


lengannya, giliran mereka untuk mengucapkan selamat
kepada pengantin yang memakai pakaian serasi
berwarna putih.

"Selamat, Bor." Agarish bertos ala pria dengan


Richard.
Richard mengumpat kecil saat menerima buket yang
Agarish sodorkan penuh percaya diri. “Nggak sekalian
aja lo kasih gue flasdisk isian video bokep!”

“Nggak usah yang kayak begituan. Gue tahu lo udah


pro banget. Buktinya udah nyata, jadi.”

Flowers | 63
“Sh*t, sialan!” Richard memukul main-main bahu
Agarish. Anna yang berdiri di sebelahnya nampak salah
tingkah mendengar pembasan keduanya.

Sephora mengerutkan dahinya melihat interaksi


akrab keduanya. "Kalian kenal di mana, sih,
sebenernya?"

"Kenal di arena balap," jawab Agarish.

"Lo juga balapan, Ga?"

"Gue cuma tim hore, Ra. Richard jokinya, Rio


bosnya," jawab Agarish jujur. Ia hanya sesekali ikut
bergabung demi formalitas pertemanan.

Sephora mengangguk mengerti, lalu menatap sinis


Richard. "Udah mau jadi bapak, jangan banyak tingkah,
ya, lo!"

"Pacar lo galak, Ga," Richard berbisik. Masih teringat


jelas, bagaimana gadis ini memberinya tonjokan di mata
dan pipinya, lalu menyeretnya pada Adrian.

Flowers | 64
"Istri lo lembek," Agarish balik berbisik.
"Bukan lembek, dia cuma lemah lembut sedikit
bodoh," balas Richard.

"Bodoh banget, apalagi mau sama makhluk kayak


lo."
"Sialan, lo!" umpat Richard, lalu keduanya kembali
tertawa.

"Selamat buat lo. Gue bingung mau doain apa,


pastinya, sih, yang terbaik buat kalian semua. Tapi, kalau
sampai Richard macem-macem, lo langsung hubungi
gue, biarpun gue nggak di sini, tapi masih ada temen-
temen lainnya yang pasti mau bantuin lo!" ucap sephora
sambil menyodorkan kotak hadiahnya pada Anna.

Anna tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Padahal


mereka baru saja akrab, tapi Sephora sudah harus pergi.
“Makasih, ya, Ra. Semua ini ada juga berkat kamu.
Sukses, ya, Ra, kuliahnya.”

"Selamat," kata Agarish singkat.

Flowers | 65
Anna mengangguk ragu. Itu kalimat pertama yang
Agarish katakan padanya. Hawa dingin selalu ia rasakan
saat di sekitar Agarish. Entah apa yang membuat
Sephora mau dengan cowok yang memiliki kepribadian
berbanding terbalik dengan Nichol. Namun, satu yang ia
tahu, selama ini Agarish selalu ada di pihak Sephora dan
selalu mendukung Sephora hingga akhir dengan caranya
sendiri.

Richard mengembuskan napas lega begitu pasangan


itu turun dari panggung pelaminan selesai mengambil
foto bersama. Sephora benar-benar membuatnya siaga.
Ia menoleh pada Anna yang masih menatap kepergian
Sephora. "Na, capek?" tanyanya lembut. Beberapa
minggu terakhir, hubungan mereka membaik. Anna
terlihat mulai mau membuka diri, menerimanya dan
keadaan mereka.

"Aku nggak apa-apa, Richard." Anna tersenyum


teduh.

Flowers | 66
“Bilang, ya, kalo capek.” Ucapan Richard dibalas
anggukan oleh Anna.
Richard kemudian melirik sudut panggung
pelaminan. Ia mengelus dadanya sabar untuk kedua kali.
Setelah Agarish, kini datanglah pasukan yang lebih gila
lagi. Rio, Fabian, Justin, Grady, dan Abiputra mulai
menaiki panggung. Mereka mengalungkan lehernya
dengan berbagai macam rentengan kebutuhan dapur
dan rumah tangga. Mulai dari Royco, Masako, lada
bubuk, shampo sashet, Kispray, kecap, dan aneka
bumbu racik.

"Kenapa nggak kalian taruh meja terima tamu aja,


sih?" Richard menggerutu. Hanya Haidar yang normal
memberinya amplop, tapi entah apa isinya.

"Eittts… calon bapak gak boleh ngumpat!" Grady


mengingatkan dengan tatapan mata jenaka.

Flowers | 67
"Senyum dong!" ujar Justin jahil, membuat Richard
semakin menggeram kesal menahan umpatannya untuk
kesekian kali.

"Ya udah, yuk! Kita puasin makannya. Udah


ngasih amplopan juga, kan," ujar Fabian.

"Amplopan apaan, rentengan beginian!" Richard


mengibas-ngibas kasar rentengan yang melingkari
lehernya. “Udah, udah, sana lo pada!” usirnya.

"Itu rentengannya kalo dibuka bikin mata lo ijo.


Jangan main buang aja lo entar!" kata Abiputra
mengingatkan. Semua tahu Richard membutuhkan
banyak biaya untuk persiapan kelahiran anaknya
kedepannya, belum lagi untuk keluarganya juga. Untuk
itu, mereka semua sepakat memberi support secara
material dengan tidak secara terang-terangan agar tidak
menyinggung.

Rio yang berada di barisan terakhir, mengucap


selamat sekaligus maaf karena dirinya terpaksa

Flowers | 68
memancing Richard untuk datang ke Alertes, lalu
berakhir dengan cowok itu berada di tangan Sephora. Ia
sendiri tak punya pilihan lain saat tiba-tiba Mika datang,
lalu menyudutkan dan mengancam dirinya setelah
mendapat info entah dari mana ia berteman dengan
Richard.

“Kalo nggak gitu, mungkin gue nggak berdiri di sini


sekarang dan gue nggak nyesalin itu,” ucap Richard
sambil tersenyum pada Anna.

***
Sesekali Sephora mencuri pandang pada Siwi yang
terlihat menatap kosong pelaminan.
Wanita paruh baya yang biasa nampak angkuh setiap
bertemu dengannya itu, kini terlihat muram. Sephora
menghela napas beratnya, ia menyesap jus jeruknya
untuk menutupi senyum mirisnya. Keserakahan tidak
hanya menghancurkan diri kita sendiri, tapi juga
semuanya yang kita punya.

Flowers | 69
Di sebelah Siwi, ada Indra yang menatap haru pada
Anna, anaknya yang baru bisa ditemuinya setelah
delapan belas tahun. Pria paruh baya itu nampak
berwibawa dalam balutan jas.

"Kes." Agarish menarik pelan lengan Sephora


menjauh dari pandangan Siwi, menghindari sesuatu
yang mungkin dapat terjadi. Siapa yang tahu, tiba-tiba
Siwi menyerang Sephora dan kembali menyalahkan
gadis itu, tanpa peduli dapat menghancurkan pesta
anaknya sendiri.

“Eh, ke mana?”

“Makan kita,” jawab Agarish. Keduanya melangkah


menuju stan makanan.

“Gue tahu apa yang lo pikirin. Nggak bakal kejadian,


Aga.” Tadi, Siwi sempat menghadang jalannya saat ia ke
toilet. Masih dengan keangkuhan dan acuh tak acuh,
wanita paruh baya itu mengucapkan kata maaf, terima
kasih, dan bahkan memberikan selamat atas

Flowers | 70
diterimanya ia di UCL. Meski masih menyimpan dengki
dan kesal, Sephora tetap mengangguk sebagai jawaban.
Melapangkan dadanya atas semua yang sudah terjadi.

“Bagus, deh, kalo gitu. Tapi, gue laper.”


Agarish menurunkan tangan Sephora yang melingkar
di lengannya untuk ia genggam, kemudian telapak
tangannya yang besar menelusup ke sela-sela jari gadis
itu. “Bener-bener nggak bertepuk sebelah tangan, Kes,”
kata Agarish, dengan bangganya mengangkat tautan
tangan keduanya. “See? Omongan adalah doa,”
sombongnya.

Sephora tersenyum hambar mengingat pertama kali


Agarish mengantarnya pulang setelah ia menangkap
basah Adrian bersama Siwi dan Anna. “Ampun.
Penampilan gue parah banget waktu itu!” keluh
Sephora. Bagaimana penampilannya bisa dikatakan
masih baik-baik saja setelah menangis lama di pinggir
jalan.

Flowers | 71
“Kucel banget,” sahut Agarish enteng yang langsung
dibalas Sephora dengan mencubit perut cowok itu.
“Anjirrr!” ringis Agarish kaget. Tangannya yang bebas
mengelus bekas cubitan Sephora.

Mereka harus melewati sekumpulan tamu lainnya


yang asyik merekam Justin dan Grady di depan
panggung. Kedua cowok di panggung itu sedang
membawakan lagu Menikahimu dari Kahitna dengan
suara merdu mereka. Di samping visual keduanya yang
menjual, pesona anak band memang tidak dapat
dilewatkan.

"Ra, lo pernah kepikiran buat nikah di umur berapa?"

Sesampainya di stand makanan, ada beberapa


antrian di depan mereka. Sephora yang semula masih
melihat ke arah panggung musik, menoleh ke arah
Agarish. "Gue pengen nikah muda. Jadi, empat tahun
lagilah, ya,” jawabnya.

Flowers | 72
Agarish menarik satu sudut bibirnya, sedikit
membungkuk untuk menyamakan tingginya dengan
Sephora, lalu berbisik dengan suara serak dan dalamnya,
“Oke. Noted! Meskipun hubungan kita nggak seromantis
pasangan yang lain, tetep sama gue, ya, Kes.”

Sephora sedikit berjinjit dan mencondongkan


tubuhnya mendekat pada Agarish untuk balas berbisik,
"Tergantung, kalo lo dalam empat tahun nggak ngelamar
gue, ya, gue aja yang ngelamar lo."

Candaan Sephora membuat Agarish tergelak. "Sabar,


Kes. Kita sama-sama bujuk Tuhan biar ditakdirkan."
Melihat sekitar yang nampak sibuk dengan aktivitas
masing-masing, Agarish mencuri satu kecupan di pipi
Sephora yang membuat gadis itu mendelik sebal ke
arahnya.

“Kita melangkah bareng ke langkah selanjutnya, Kes,


ngenalin perasaan… cinta, mungkin?” lanjut Agarish
sedikit geli.
Flowers | 73
Mereka sudah melewati tahap saling suka dan kini,
berada pada tahapan saling sayang, meski tidak ada yang
mengungkapkan secara resmi. Tidak butuh waktu lama
bagi mereka untuk saling mengenal karena sejak awal,
keduanya adalah diri mereka sendiri. Tidak ada yang
dibuat dan tidak ada yang ditutupi, semuanya murni
bagaimana mereka adanya.

***

Flowers | 74
EXTRA PART 4
“Kekosongan mulai mengambil alih dan perasaan
kesepian merambatnya begitucepat, membuat
nalar melemah.”
***

Tata letak barang dalam ruangan beraroma kamomil


itu tetap sama dari pertama kali ia datang berkunjung.
Terdapat rak berisikan puluhan buku yang berjejer rapi
yang dikelompokkan berdasar warna dan ukurannya.

Foto Dokter Nina di tempat ikonik beberapa negara,


tergantung pada dinding dan semakin bertambah. Di
dekat jendela besar, terdapat Sansevieria atau Snake
Plant yang berjajar rapi dalam pot-pot mungil. Tanaman
hias dipercaya dapat membawa suasana positif dan
kegembiraan dalam hidup, bukan hanya untuk
mempercantik ruangan.

Perhatian Sephora tertuju pada akuarium persegi


panjang yang tingginya melampaui meja kerja Dokter
Nina. “Selain cat warna dinding yang berubah tiap
Flowers | 75
tahunnya, sekarang ada empat ikan yang jadi penghuni
ruangan Dokter,” komen Sephora tanpa sadar.

“Kamu selalu sedetail itu, Sweetheart.” Dokter Nina


tersenyum lembut, semakin memberikan kesan tegas
keibuan yang dimilikinya. Mata wanita yang menginjak
angka lima puluh tahun itu tetap awas tak lepas dari
Sephora yang sedang menyentuh pinggiran kaca
akuarium, menatap penuh minat pada ikan-ikan di sana.

“Saya suka suara gemricik airnya… damai.” Sephora


terkekeh begitu ada ikan mendatangi jarinya saat ia
mengetuk pelan kaca akuarium.

“Sephora… You have changed a lot.”


Sephora kembali tertawa kecil akan komentar
terang-terangan Dokter Nina. Ia mengangguk setuju,
sedikit banyak ia merasakan perubahan pada dirinya.
“Dokter memang yang paling mengerti saya.” Nada
suara Sephora terdengar riang.

Flowers | 76
Dokter Nina merupakan psikiater yang membantu
Sephora selama enam tahun masa-masa suramnya.

Dulu, melihat anak-anak dan mantunya yang terlalu


sibuk mengejar karir, membuat Opa Thomas dan Oma
Shopia memutuskan untuk mengasuh Sephora dan
Haidar di London.

Sephora tidak menampik, terkadang ada saatnya ia


merindukan Friona dan Adrian. Namun, kehangatan dan
kasih sayang yang diberikan Thomas, Shopia, dan Haidar
sering kali membuatnya terbuai dan teralihkan begitu
saja. Mereka adalah orang-orang yang menyayanginya
dan memperlakukannya dengan baik.

Namun, setelah sosok yang selama ini menggantikan


peran orangtuanya meninggal, dengan berat hati
Sephora harus tinggal bersama Friona dan Adrian. Dan
untuk pertama kalinya juga, ia menginjakkan kakinya di
Indonesia. Negara baru dan orang-orang baru, banyak
hal yang tidak ia ketahui. Semuanya terasa asing dan

Flowers | 77
membingungkan untuk anak berumur sepuluh tahun,
because no one told her how.

Yang Sephora lakukan hanya bersekolah, mengikuti


setiap kursus yang diatur Friona, dan mengurung dirinya
di kamar bersama buku-buku. Belajar adalah satu-
satunya cara agar otaknya tetap bekerja dan
membuatnya lupa akan hal-hal yang menyakitkan.

Sephora seperti tersesat. Kekosongan mulai


mengambil alih dan perasaan kesepian merambatnya
begitu cepat.

Setiap kali ia mendapat juara atau nilai bagus, Friona


dan Adrian akan memujinya dan berjanji membawanya
pergi bermain bersama untuk berlibur. Namun, hanya
beberapa janji yang dapat mereka kabulkan dari ribuan
janji yang terucap. Membuat Sephora merasa tidak
diinginkan, meragukan jati dirinya sendiri, dan
mempertanyakan apa arti kehadirannya di sini. Semua

Flowers | 78
itu bercampur menjadi satu. Secara perlahan,
mendorongnya melakukan hal-hal diluar nalar.

“Maaf, Dokter Nina, saya sempat menyia-nyiakan


jerih payah Dokter….” Sephora menelan ludahnya kasar,
pandangan matanya meredup mengingat apa yang ia
lakukan pada tubuh dan kehidupannya. “Saya sempat
kembali lepas kontrol dan melukai diri sendiri.”

Kepala Dokter Nina menggeleng pelan, senyum


meneduhkan tidak pernah luntur dari wajahnya yang
mulai banyak terdapat keriput. “Enam tahun yang lalu,
kamu datang karena menuruti apa pun yang mama
kamu katakan.” Ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas,
menatap tepat pada manik kelabu Sephora. “Tapi
setahun lalu, kamu datang atas keinginan kamu sendiri.

Kamu sadar gejala-gejala itu mulai kembali dan kamu


mengakuinya. Itu sangat bagus, Sweetheart.”

Dokter Nina menggenggam lembut tangan kiri


Sephora yang tanpa sadar sudah terkepal kuat. Orang
Flowers | 79
dengan gangguan mental memang tidak dapat sembuh
sepenuhnya. Sedikit saja ia dihadapkan dengan kejadian
yang dulu menjadi pemicu, maka range kesembuhannya
yang sudah ada di angka 80% dengan mudah merosot
menyentuh angka 20%. Yang berarti, semua pengobatan
dan terapi yang selama ini mereka jalani menjadi sia-sia
dan harus mengulang semuanya kembali dari nol.

“Sudah tidak bermimpi buruk?”


Adrian yang tak lagi peduli padanya dan Friona yang
sibuk dengan pekerjaannya, adalah sebagian dari faktor
pemicu Sephora. Yang membuatnya mendapat mimpi
ditinggalkan di tempat yang gelap, dingin, dan asing
dengan matanya bergetar ketakutan dan suara lirih
putus asa saat mengucapkan, “Tolong, jangan tinggalin
aku sendirian, aku takut, Ma, Yah… Apa yang salah sama
diri aku? Tolong kasih tau aku. tolong, jangan diem dan
ninggalin aku gitu aja. Aku bisa, kok, jadi anak yang
seperti kalian mau. Aku janji nggak akan buat kalian

Flowers | 80
kerepotan, nggak banyak nuntut, nggak manja. A-aku
bisa jadi anak baik yang akan buat kalian bangga ke aku.
Aku janji bakal jadi anak yang penurut.”

“Mama, Ayah! Comeback, jemput aku, please!”


Sekencang apa pun ia mengejar dan sekeras apa pun ia
memanggil keduanya, Sephora hanya bisa menatap
punggung Friona dan Adrian yang menjauh dan
menghilang ditelan kegelapan, tanpa sekalipun menoleh
ke arahnya.

Sephora akan terbangun dengan deru napas


memburu dan peluh membasahi dahinya, bersamamaan
dengan tetesan air mata. Tidak sampai di situ, setiap
malamnya setelah terbangun, Sephora hanya menatap
kosong langit-langit kamarnya. Ia tidak lagi bisa
memejamkan matanya. Perasaan cemas dan terlalu
takut untuk kembali tidur meliputi dirinya.

Namun sebaliknya, Sephora akan lebih mudah


tertidur di tempat yang ramai atau di sekitar orang-

Flowers | 81
orang yang membuatnya nyaman. Gadis itu
mendengkus jengkel pada kerumitan dirinya sendiri.

Sephora menggeleng. “Terakhir saya merasakan


trigger terberat saat pembagian rapor semester satu.
Melihat ayah tertawa lepas dengan keluarga barunya,
nilai saya yang turun, dan mama yang lebih sering
berada di rumah sakit. Lagi-lagi, saya kembali hampa…,”
ucapnya sendu.

“Meski rasanya seperti ditarik paksa keluar dari zona


nyaman, saya berusaha keras untuk berdamai dengan
keadaan. Saya tidak ingin menjadi anak yang
menyulitkan. Saya coba melihat sekeliling apa yang saya
miliki… ternyata banyak orang yang menyayangi saya
dengan cara mereka masing-masing. Selain orangtua,
ada sahabat dan seseorang yang sering membuat
jengkel hingga saya sering melupakan kekosongan itu.”
Sephora meringis malu di akhir kalimatnya.

Flowers | 82
Bila kebanyakan siswa akan berlibur pada liburan
semester, tidak dengan Sephora. Gadis itu mengurung
dirinya di kamar untuk membaca atau mengerjakan soal.
Di sela-sela waktu belajarnya, seringkali terlintas
pemikiran jelek yang membuat pikirannya kacau. Tanpa
sadar, tangannya terulur mengambil botol obat
penenang dan obat tidur yang diresepkan Dokter Nina di
lacinya. Namun, beberapa detik berselang, ia kembali
menarik tangannya menjauh dan hanya berakhir
menatap kosong. Kejadian seperti itu terus berulang
setiap harinya.

Hingga akhirnya Sephora yang merasa kesal pada


kerapuhan dirinya sendiri pun membuang botol-botol
itu. Sephora sadar, ia tidak bisa terus seperti itu. Biar
bagaimanapun, ayah dan mamanya memiliki kehidupan
tersendiri mereka. Ia juga sudah berjanji untuk menjadi
anak yang membanggakan dan tidak merepotkan
orangtuanya.

Flowers | 83
Dokter Nina terkekeh pelan, lalu tersenyum
menggoda. “Siapa pun seseorang itu, dia berhasil
mengecoh pikiranmu.” Dokter Nina tiba-tiba terlihat
bersemangat dan berbisik pada
Sephora. “Oh, iya. Bagaimana tentang Anna, saya dengar
kamu mau punya keponakan. Pacarnya mau tanggung
jawab?”

“Ish, Dokter bergosip.” Sephora mendengkus geli,


tapi tak urung menceritakan setiap bagian yang
melibatkannya dan bagaimana perasaannya ketika ia
mengetahui kehamilan Anna. Bukan kepuasan yang ia
rasakan, tapi malah sebaliknya, rasa bersalah yang lebih
dominan.

Nada muram Sephora berganti antusias bercampur


gemas saat menceritakan ia mencari dan menyeret
Richard yang menghilang ke hadapan Anna dan
keluarganya. Sampai kisahnya yang turut andil dalam
persiapan pernikahan Anna.

Flowers | 84
Jari telunjuk Sephora bergerak melingkari cangkir
berisi susu hangat. “Setahun ini, rasanya banyak
masalah yang ditimbulkan oleh orang-orang di sekitar
saya. Mungkin juga karena sikap saya sendiri yang egois
dan terlalu cuek.”

Sephora membuang napasnya resah. “Pikiran saya


bilang, semua yang saya lakukan untuk Anna, seperti
membantunya dan memastikan dia baik-baik saja
sebelum saya pergi, merupakan tindakan yang egois.
Hanya untuk menebus rasa bersalah saya padanya, agar
kehidupan baru saya di London tenang.”

Lagi-lagi, senyum menenangkan terpatri pada bibir


Dokter Nina. “Sephora, kamu tidak hanya memikirkan
diri kamu sendiri. Sejak awal, kamu peduli pada
sekeliling kamu. Hanya saja, tidak semua orang dapat
mengerti cara kamu menunjukkannya. Sebagian orang
akan menilainya abu-abu, bahkan hitam, atau beberapa
dari mereka tidak memedulikannya sama sekali. Namun,

Flowers | 85
point-nya… tindakkan yang kamu lakukan membantu
Anna secara terang-terangan, itu menunjukkan
perubahan secara nyata dan itu perkembangan yang
sangat baik.”

“Kamu ingat Sephora, saya sering mengatakan,


jangan selalu berusaha menahan. Ketika mau marah,
marahlah. Dan ketika memaafkan, maka maafkanlah.
Membicarakan hal-hal yang tidak penting, itu tidak
masalah, itu bukan sesuatu yang membuang-buang
waktu. Bicara dan ungkapkan sebanyak yang kamu mau
sesuai kadarnya, agar tidak ada hal yang mengendap di
pikiranmu.
Mendengarkan juga sama pentingnya, agar kamu dapat
menimbang dengan kedua sisi.”
Dokter Nina menatap Sephora lekat, seolah tengah
berusaha melihat isi pikiran remaja di hadapannya,
mencari informasi yang ia butuhkan. “And, you will get
through this,” lanjutnya dengan senyum lebar.

Flowers | 86
“I’m here now, with the power to shape my day and
my future. Seperti itu bukan, Dokter?” Sephora
menaikkan dagunya angkuh sebagai candaan.

Dokter Nina terkekeh pelan sambil mengelus surai


hitam kecokelatan milik Sephora. Ia membenarkan
posisi kacamatanya dan mengetik sesuatu di laptop,
nampak mengobservasi hasil progres terakhir.
Memastikan kliennya sudah dapat lepas dari
pengawasannya.

Pada beberapa kasus memang, sebagai ajang


relaksasi, mengobrol ringan disertai
pertanyanpertanyaan. Self injury merupakan kelainan
mental atau gangguan pada psikisnya, namun bukan
berarti gila. Bukan jenis penyakit yang terlihat nyata
sekali saat sedang mendapati trigger-nya, lalu menyakiti
diri sendiri di depan orang lain. Justru sebaliknya,
beberapa pasien akan diam dan menutupi kondisinya
serapat mungkin.

Flowers | 87
“Ah, saya pasti akan merindukan mengobrol
denganmu, tetapi saya akan lebih senang jika kita dapat
bertemu diluar sambil minum teh saat musim panas di
London.”

Sephora mendengus geli, ia mengira sedari tadi


mereka masih dalam tahap mengobrol biasa, tapi
ternyata sudah masuk tahap terapi. Dokter yang usianya
hampir menginjak lima puluh tahun itu memang ahli
menciptakan sesi psikoterapi seperti mengobrol dengan
teman lama yang mengasyikkan, bukan seperti
wawancara yang menegangkan.

Sephora dapat merasakan setiap arti tatapan Dokter


Nina kepadanya, tidak ada penghakiman dan
menyalahkan, tidak ada tatapan atau nada
meremehkan, malah terkesan excited setiap mendengar
kata-perkata yang ia ucapkan. Dokter Nina memberi
kesan menenangkan, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, dan semua akan baik-baik saja.

Flowers | 88
“Terima kasih, Dokter Nina.”

“Saya juga berterima kasih, kamu sudah percaya


pada saya untuk menceritakan pengalaman hebat kamu,
dan menjadikan saya salah satu saksi akan progress
kamu hingga menjadi calon
Dokter. Saya bangga padamu, Sweetheart.” Dokter Nina
tersenyum hangat, ujung matanya nampak berair saat
mengucapkannya.

***

Flowers | 89
EXTRA PART 5

“Bangga banget gue punya lo!” ucap Agarish pada


Sephora.

***
Ini hari Sabtu, suasana rumahnya sunyi dan sepi.
Selepas sesi psikoterapi, Sephora menolak ajakan Friona
untuk membeli tanaman hias. Ia terlalu malas berkeliling
dan akhirnya, Adrian mengantarkannya pulang lebih
dulu.

“Bang Haidar belum pulang, Mbok?” tanya Sephora


sambil menarik stoolbar, lalu mendudukinya. Ia
memakan anggur merah yang baru saja di cuci bersih
oleh Mbok Siti.

“Belum, Non.”

Sephora mengangguk dan bergumam terima kasih


setelah Mbok Siti mengambilkan piring untuknya. Ia
berjalan ke arah meja makan, kemudian memilih lauk
Flowers | 90
dan mulai memakan makanannya. Sebelum ia berangkat
ke rumah sakit tadi, Mika sempat menghubunginya
untuk menemani gadis itu mengurus dokumennya yang
kurang, berhubung Sephora tidak bisa, akhirnya Haidar
yang disuruh Friona untuk mengantarkan Mika.

Tepat selesai Sephora menyuapkan sendok


terakhirnya, ia mendapat pesan dari Agarish kalau
cowok itu sudah menunggunya. Setelah meneguk
minumannya, Sephora berjalan ke depan rumahnya. Ia
membelalakkan mata begitu melihat Agarish
menyender pada mobil pick up berwarna biru tua.
Cowok itu nampak santai, mengenakan celana pendek
selutut, kaos oblong, sandal flip-flop, dan juga kaca mata
hitam bertengger di hidungnya yang mancung.

“Yo, Ra, mobil PAJERO, nih! Panas nJobo njERO,


panas luar dalam!” Agarish memukul pelan badan mobil
begitu melihat Sephora mendekat ke arahnya. Ia
membenarkan letak kacamatanya yang merosot.

Flowers | 91
Sephora menatap tidak yakin mobil pick up yang
Agarish bawa. “Beneran aman, Ga?”
Agarish mendorong lembut Sephora untuk masuk ke
dalam mobilnya. “Tenang aja. Amanlah kalo sama gue.”

Selesai menutup pintu, Agarish berlari mengitari


mobil, lalu masuk, dan mulai menjalankan mesin mobil
begitu dilihatnya Sephora sudah selesai memasang
seatbeltnya. Ia mengendarai mobil pick up-nya menjauhi
area padat perkotaan, lalu memasuki daerah Jakarta
Utara yang masih terdapat lahan kosong juga
rerumputan hijau.

Sephora membuka kacanya lebar dan mulai


menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya.
“Ternyata di Jakarta masih ada tempat yang kayak gini,
ya?”

“Ada kali, Ra, tapi mungkin nggak terlalu banyak di


sini. Kalo di Jogja mah masih bejibun,” sahut Agarish
seadanya karena ia sendiri tidak begitu tahu. Ia mulai

Flowers | 92
memperlambat laju kendaraan begitu melihat bangunan
pabrik penggiling padi, salah satu bisnis yang Arlan kelola
di sini.

“Kita ngapain di sini?” tanya Sephora dengan


kernyitan pada dahinya. Ia menatap sekeliling yang
ramai akan pekerja dan suara mesin penggiling beradu
dengan suara speaker yang mengeluarkan lagu dangdut
koplo.

“Cari duit.” Agarish mengajak Sephora turun untuk


masuk ke dalam pabrik. Ia mengangguk singkat saat
beberapa pegawai menyapanya. “Lagi BU nih, Ra. Mau
open BO udah geli duluan, ya udah terpaksa kerja.”

Sephora mendengkus. Matanya menatap penuh


minat pada mesin penggiling padi dan melangkah
mendekatinya. “Butuh duit buat apaan?”

“Sunmori ke puncak. Udah nggak sekolah, mana mau


Mas Arlan ngasih duit jajan gitu aja.” Sephora dapat
mendengar nada kesal saat Agarish berbicara. “Punya
Flowers | 93
adek cowok nggak punya kelebihan apa-apa, bisanya
cuma minta duit, habisin nasi di rumah, kerjaannya nge-
game sama nongkrong. Semoga yang jelek-jelek stop di-
lo aja dan yang baik-baik, larinya ke anak gue.” Agarish
menirukan kalimat Arlan.

Sephora terkikik mendengar Agarish menirukan


Arlan mencibir cowok itu terang-terangan. “Mas Arlan
cuma ngungkapin fakta.”

“Gitu-gitu juga masih bisa dapetin lo!” Agarish


menarik pelan bahu Sephora agar tidak tertabrak kuli
yang sedang memikul karung beras.

Kepala Sephora mengadah bertepatan dengan


Agarish yang mengedipkan satu mata genit padanya.
Menutupi jantungnya yang sudah berdegup kencang,
Sephora menampol pelan pipi
Agarish. “Belagu!”
“Gimana lagi? Kenyataannya emang kayak gitu.”
Agarish menaikkan sebelah alisnya. Bibirnya

Flowers | 94
menyeringai jahil. “Eh, Ra. Lo juga nggak dibolehin ikut
sunmori, kan?”

Bahu Sephora merosot turun mengingat ia tidak


diizinkan meskipun ada Haidar yang akan menjaganya. Ia
boleh ikut, asal yang mengantar adalah mamanya atau
ayahnya sendiri menggunakan mobil. Mana seru kalau
seperti itu, yang ada dia jadi beban.

“Udah nggak apa-apa.” Agarish menepuk lembut


puncak kepala Sephora. “Entar gue liatin video sama
foto-foto selama di sana,” lanjutnya sombong, sengaja
memanas-manasi Sephora agar merasa iri.

“Mau boncengan sama cewek lain, ya, lo?


Makanya seneng banget gue nggak ikut!”

Agarish tergelak. Tanpa aba-aba, ia mengangkat


tubuh ringan Sephora ke atas tumpukan beberapa
karung beras. “Nggak mempan!” ledeknya. “Nggak
ngaruh. Gue bakal tetep berangkat. Gue tau lo cuma lagi

Flowers | 95
cari gara-gara biar gue juga nggak jadi berangkat.
Sekarang lo tunggu di sini bentar.”

“Lo mau ke mana?” Sephora menahan lengan


Agarish, melirik tak nyaman ke sekitar yang sedari tadi
banyak mencuri pandang ke arah mereka.

“Angkat ini.” Agarish menepuk karung beras seberat


5 kg yang ada di samping Sephora, lalu menunjuk ke arah
mobil pick up yang dikendarainya tadi. “Diangkat ke
sana.”

“Loh, ngapain?”

“Disimpen di gudangnya, Ra. Disini cuma buat


produksinya aja. Udah, lo jangan cerewet.
Aman di sini.”
Tanpa menunggu jawaban Sephora, Agarish mulai
memanggul karung beras di pundaknya, kemudian
menaruh dan menatanya di bagian belakang mobil yang
terbuka. Ia melakukan itu hingga bagian belakang pick
up terisi sesuai kapasitas dibantu pegawai lainnya.

Flowers | 96
“Berat banget, ya, Mas, cari duit itu?” Sephora
terkekeh sambil menghapus peluh di dahi Agarish
menggunakan tisu begitu cowok itu sudah berdiri di
hadapannya.

“Gini doang mah, kecil.” Agarish menaikkan kedua


alis tebalnya. “Olahraga yang menghasilkan money.
Kayak gini tuh cuma kalo lagi panen aja, Ra. Bisa dibilang
musiman, tergantung hasil produksi panennya juga.”

Sephora berdecak kagum kala ia mendengarkan


lanjutan penjelasan Agarish mengenai mesin-mesin yang
ada di sini. Tumben sekali otak Agarish dapat bekerja
dengan benar. Ia meluaskan pandangannya, beberapa
orang di depan nampak sedang mengeringkan gabah
dengan dijemur atau menggunakan mesin, beberapa
lagi memasukkan gabah yang sudah kering ke dalam
mesin penggiling. Sephora juga baru mengetahui,
ternyata beras terdapat mutu kelas yang bervariasi,
mulai dari medium sampai premium.

Flowers | 97
“Yuk, Ra!” Agarish menyelipkan kedua tangannya
pada lipatan ketiak Sephora untuk membantunya turun.

“Ke mana lagi?”

“Nganter berasnya ke gudang penyimpanan.”


Agarish mendorong pelan bahu Sephora kembali
menuju mobil. “Deket, kok,” lanjutnya.

Memang benar-benar dekat, hanya berjarak sekitar


500m dari tempat sebelumnya. Jika di pabrik
penggilingan tadi berisik, suasana di gudang
penyimpanan yang juga dijadikan tempat berjualan ini,
jauh lebih kondusif.

“Lo tunggu di sini aja dulu, ya, Ra, daripada ikut gue
bolak-balik,” nego Agarish.

“Iya, deh!”
Daripada berdiam diri melihat orang-orang berlalu
lalang, Sephora duduk di atas sebuah kursi plastik dan
membuka buku yang sempat ia bawa tadi. Menikmati
suasana yang ada di sini, gema tawa mengudara, obrolan
Flowers | 98
yang saling bersahutan, dan juga suara teriakan
beberapa orang bercampur menjadi satu.

Cukup lama ia berdiam diri hingga bacaannya habis.


Sephora menutup bukunya, matanya mengedar melihat
sekeliling untuk memastikan keberadaan Agarish, tapi ia
tak melihat pacarnya itu sama sekali. Terlalu larut dalam
bacaan, Sephora sampai tidak memperhatikan apa yang
Agarish lakukan.

Sephora mulai merasa was-was. Langit nampak


sudah berganti warna menjadi jingga, lampu-lampu
gudang sebagian sudah dinyalakan. Ia tersenyum paksa
kala karyawati memandang ke arahnya sebelum
beranjak pulang. Sephora bersyukur, ada beberapa
karyawan yang masih beres-beres sehingga ia tidak
sendirian berada di sini.

“Ih, Agarish mana, sih?! Kok nggak diangkat!”


Sephora menggeram kesal. Ponselnya ia tempelkan di
telinga sambil menggigit kukunya resah.
Flowers | 99
Menunggu panggilan ketiga, Agarish baru
mengangkatnya. “Kenapa, Ra?”

“Aga, lo di mana? LO NINGGALIN GUE, ANJIR?!”


cecar Sephora.
“Lo masih di sana, ya, Ra?! Ck, gue lupa kalo tadi lo
ikut. Gue otw!”

Sephora mengumpat lirih begitu Agarish mematikan


sambungan teleponnya. Ia menatap ponselnya sambil
menggerutu. Begitu kepalanya terangkat, ia tersenyum
kaku kala banyak mata yang mengarah padanya dengan
raut tidak terbaca.

Merasa canggung sendiri, Sephora akhirnya


melangkahkan kakinya keluar gudang. Ia duduk di kursi
rotan depan teras. Mengusap lengannya sendiri begitu
udara dingin mulai menerpa lengannya yang hanya
mengenakan kaos berlengan pendek.

Cukup lama menunggu, akhirnya Sephora


mendengar deru suara mobil mendekat. Ia buruburu
melangkahkan kakinya ke arah pagar untuk melihat apa
Flowers | 100
benar itu suara mobil pick up Agarish. Senyumnya
merekah begitu apa yang dipastikannya ternyata benar,
tapi senyum lega Sephora menghilang berganti dengan
raut wajah gelisah saat mobil itu malah melewatinya
begitu saja.

“Aga!” teriak Sephora kesal bercampur frustrasi.

Sephora mengambil kasar ponselnya untuk


membuka aplikasi Gocar. Ia juga bisa pulang sendiri
tanpa Agarish. Lihat saja nanti, pintu rumahnya akan ia
tutup rapat untuk cowok itu.

***

Tawa Agarish pecah mendengar teriakan Sephora. Ia


melihat dari pantulan spion saat bibir Sephora mencebik
dan komat-kamit seperti sedang membaca mantra.
Tangan kirinya mengganti perseneleng mobil menjadi R
bersamaan dengan kaki kirinya menginjak kopling. Lalu,
kaki kanannya menginjak gas agar mobil berjalan
mundur.

Flowers | 101
“Mbak Sephora?” Agarish turun dari mobil sambil
mengulum senyumnya. “Yuk! Sesuai aplikasi, kan,
Mbak?”

Sephora tak merespons. Gadis itu bahkan


membuang muka dan memutar tubuhnya
membelakangi Agarish.

“Ngambek-ngambek.” Agarish terkikik karena


Sephora mendiamkannya. Ia menarik Sephora masuk ke
dalam pelukannya. Agarish mengelus punggung Sephora
dengan rasa puas karena berhasil mengerjai Sephora.
“Kasihan ketinggalan.”

Sebenarnya, pekerjaannya sudah selesai sedari tadi.


Namun, saat melihat Sephora begitu fokus pada
bukunya, Agarish memutuskan untuk menunggu di
gudang produksi hingga gadis itu mencarinya sendiri.

Begitu ia mendapat telepon dari Sephora, ia


menjawabnya dengan nada semeyakinkan mungkin jika

Flowers | 102
dirinya sudah pulang lebih buru, lalu buru-buru pergi ke
mini market terdekat sebelum menjemput Sephora.

“Oh, cup, cup, cup, Kesnya Mas Aga.” Agarish


mengarahkan telunjuknya pada mulutnya sendiri,
meminta agar karyawan yang melihat tidak
mengeluarkan suara tawanya karena ia sendiri pun juga
sedang menahan tawa mati-matian.

“Sebel!” Sephora mencubit pinggang Agarish sebagai


bentuk pelampiasan.
Sephora yang sedang kesal dan merengek manja
padanya membuat Agarish bertambah gemas sendiri. Ia
menguraikan pelukan mereka, mendorong lembut bahu
Sephora untuk masuk ke dalam mobil.

“Awas lo ninggalin gue kayak gitu tadi!” sungut


Sephora. Wajahnya sudah memerah karena emosinya
yang campur aduk.

Flowers | 103
Agarish tergelak sambil mengambil Yakult dalam
bungkusan yang ada di atas dashboard mobil dan
memberikannya pada Sephora. “Minum, Kes, minum!”

Sephora meminum Yakult-nya dengan tak sabaran.


Sesekali matanya menatap Agarish tajam meski tak
segalak tadi. Gadis itu hampir saja tersedak minumannya
saat merasakan sesuatu pada bahunya, ia menoleh ke
samping, ternyata Agarish sedang memakaikan jaket
yang sedari tadi cowok itu sampirkan pada punggung
kursi kemudi.

“Selamat ya, Ra, buat hasil pemeriksaan lo hari ini


tadi sama Dokter Nina.” Tak ada lagi wajah tengil yang
Sephora lihat pada wajah Agarish, hanya senyum tulus
dan meneduhkan yang ia dapati. “Bangga banget gue
punya lo!”

***

Flowers | 104
EXTRA PART 6
“Tutup matamu dan bayangkan bagaimana
dirimu di masa depan?!”
***
Semua anak-anaknya sejak kecil tak pernah
bertingkah aneh, penurut, dan jalannya selalu lurus.
Sehingga ia dan suami selalu percaya akan pilihan-
pilihan mereka. Namun, si bungsunya itu berbeda,
pembawaannya yang santai dan jalan pikirannya yang
sulit ditebak membuat Gendis sering dilanda
kekhawatiran akan masa depan anaknya kelak. Apalagi
setelah mendengar Agarish tidak lolos tes perguruan
tinggi negeri jalur undangan maupun jalur tulis.

“Agarish!” desis Gendis gemas karena anaknya tak


menghiraukannya.

Agarish mengangkat wajahnya setelah berhasil


membuka bungkus Pocky. “Dalem, Ibu?” jawabnya
kalem.

Flowers | 105
“Terus kuliah kamu ini gimana?” Gendis meremas
bantalan sofa, melihat anaknya yang malah asyik
mengunyah snack milik Gala sambil bersandar pada
punggung sofa, menatap ke arahnya santai.

“Ya, nggak gimana-gimana, Bu. Nanti coba daftar lagi


ke kampus yang lain. Kan masih ada jalur mandiri, masuk
swasta juga nggak masalah.” Kedua orangnya tuanya
mendidik semua anaknya tidak terlalu kaku, juga tidak
dilepaskan begitu saja. Mereka akan menegur,
mengomeli, ataupun memarahi secara langsung bila
anaknya berbuat salah, meski sering kali nada yang
mereka pakai terdengar terlalu keras.

“Kuliah di Jogja aja. Nanti Ibu yang cariin kampusnya.


Kamu tinggal ngomong mau masuk jurusan apa atau
sekalian Ibu pilihin jurusannya? Kalau kamu di sana, Ibu
jadi gampang ngawasinnya.”

Nah, kan, mulai lagi. Agarish berdecak dalam hati.


Terlahir menjadi bungsu dari empat bersaudara,
Flowers | 106
membuatnya selalu dipandang seperti anak kecil yang
bisanya hanya main-main, menghabiskan uang, dicap
pengrusuh yang butuh pengarahan, dan selalu harus
didampingi. Sekeras apa pun Agarish berusaha, stereotip
pada dirinya tidak pernah berubah di mata keluarganya.

“Ibu—”

“Kalau kamu tetep di sini, bikin Ibu nggak tenang,


Mas-mu kerja, Mbak Hana bentar lagi juga mau lahiran.
Nggak ada yang ngawasin kamu di sini. Kalau kamu kayak
gini terus, bikin Ibu kepikiran.”

“Ibu mikirnya yang positif-positif aja buat anaknya


itu, jangan dibikin pusing. Meskipun kesel, tetep harus
doain yang baik-baik buat anaknya.” Agarish tersenyum
simpul, membuat Gendis menghela napas berat.

“Doa Ibu, ya, nggak cukup kalau nggak dibarengi


usaha kamu!”

“Kalau udah jalannya, takdirnya, bakal jadi, Bu. Ya,


toh?” ujar Agarish.

Flowers | 107
“Bapak,” desis Gendis, mencolek lengan suaminya
yang sedari tadi hanya berperan sebagai pendengar.

Raska melirik istrinya yang sedang melotot padanya.


Ia menyeruput kopinya sejenak, sebelum mulai
bersuara, “Males, ya, males aja! Kok, ya, pake sembunyi
dibalik kata takdir…. Kudu ngelewatin jalannya, rutenya
dulu biar bisa sampai tempatnya. Nggak ada ceritanya
ujukujuk sukses. Kehidupan nggak selalu dipenuhi
keberuntungan.”

“Jangan sampai di masa depan kamu menyesali


perbuatanmu yang sekarang, Agarish. Seusia kamu
harusnya lebih produktif, bukan malah males-malesan.
Nggak ada yang ngelarang kamu seneng-seneng karena
manusia emang butuh hiburan, tapi tetep harus tau
waktunya.” Raska membenarkan letak kacamatanya. Ia
berdeham singkat. “Selagi kamu main-main, di luaran
sana banyak yang lagi belajar mati-matian buat
menggapai puncak mereka. Kamu yang suka

Flowers | 108
malesmalesan, rebahan, main, nge-game, scroll HP, mau
dapet porsi yang sama ama mereka? Jelas nggak
mungkin!” lanjut Raska dengan nada mencemooh.

“Nggak usah daftar jalur mandiri. Buang-buang


waktu kalau ujungnya kamu nyepelein waktu tesnya.
Langsung ikut Ibu sama Bapak aja balik ke Jogja!” ucap
Gendis.

“Iya-iya,” jawab Agarish tanpa minat. Ia langsung


berdiri untuk berpamitan begitu mendengar deru mobil
Sephora di depan rumahnya.

“Agarish! Ibu belum selesai ngomong!” geram


Gendis. “BELAJAR, NAK, BELAJAR! ORANG LAIN LAGI
BERJUANG, KAMU MALAH MAIN TERUS!”

“Aku udah paham, Ibu,” jawab Agarish sambil


berlalu.
Pada beberapa waktu, Agarish dibuat terdiam dan
tidak dapat membantah kata-kata keluarganya. Dibuat
menurut secara pasrah tentang apa yang sudah mereka
Flowers | 109
atur untuknya. Semakin menjalaninya, semakin Agarish
mengerti bagaimana cara menempatkan diri. Daripada
terlalu serius menurut dan berakhir melelahkan, lalu
memberontak, Agarish lebih suka menuruti apa kata
keluarganya sebagai hobi.

***

“Hai, Aga! Lihat apa yang gue punya!”


Suara ceria Sephora membuat sudut bibir Agarish
tertarik ke atas. Ia menepuk pelan puncak kepala
pacarnya sebelum mengikuti langkah cewek itu ke
belakang mobil untuk membuka bagasi yang
menampakkan dua sekuter listrik lipat di dalamnya.

Agarish menaikkan sebelah alisnya. “Jadi, malem-


malem lo ke sini cuma mau pamerin ini?”

“Emang itu tujuan gue. Udah dibeliin mahal-mahal,


ya kali nggak di pamerin.” Sephora menyibakkan
rambutnya, lalu mengangkat dagunya angkuh.

Flowers | 110
Agarish berdecak. “Gue tahu, ya, Ra, harta di dunia
ini cuma titipan doang, tapi punya lo kebanyakan, anjir!”
ucapnya bercanda.

“Kalau itu, sih, gue juga bersyukur. Kan emang nggak


bisa milih.” Sephora mengedipkan sebelah matanya.

Agarish terkekeh geli sembari menggeleng samar.


“Terus ini ada hubungannya sama lo yang nggak diizinin
ikut sunmori?” Agarish menunduk untuk membuka
sekuter itu. “Beli dua juga buat apaan coba?”

“Sebagai ganti karena nggak ngasih izin ikut kali.


Biasa, kalau bukan manipulatif, kan, bukan mama gue
namanya.” Sephora tersenyum puas melihat sekuternya
sudah terakit sempurna. Ia menahan tangan Agarish
yang akan mengambil sekuter satunya, lalu menyuruh
cowok itu mundur karena ia akan menutup pintu bagasi.

Agarish menatap Sephora dengan pandangan


bertanya. Tapi, ia tetap menuruti apa yang cewek itu
katakan.
Flowers | 111
“Itu yang satu punya Bang Haidar. Kita pake ini aja
buat berdua. Lebih seru daripada naik sendiri-sendiri,”
terang Sephora. Dari dulu, baik Mamanya ataupun Mami
Haidar yang merupakan kakak kandung Friona, selalu
bertindak adil. Mereka selalu memberi atau membelikan
sesuatu untuk keduanya masing-masing.

Mengerti akan penjelasan Sephora, Agarish


mengangguk. Keduanya mulai menyusuri kompleks yang
sepi, hanya sesekali mereka berpapasan dengan motor
atau mobil yang melintas. Keadaan sekitar yang sunyi,
tak membuat keduanya ikut terdiam, malah sebaliknya.
Mereka nampak asyik mengobrol dan bercanda.

Merasa lelah karena terus menerus berdiri, Agarish


menghentikan sekuternya di depan gerobak nasi goreng
di depan kompleks. “Mau nasi goreng atau mie goreng?”

“Gue minum aja, ya, air mineral.”

Flowers | 112
Agarish menarik kursi plastik kosong dan memberi
kode agar Sephora segera mendudukinya. “Gue pesen
dulu. Tunggu bentar,” pamit Agarish.

“Iya.”
Tak lama, Agarish kembali dengan dua botol air
mineral dan memberikannya pada Sephora yang sedang
menunduk berbalas pesan. “Chat dari ibu gue, ya?”
Tanpa mendengar jawaban gadis itu, Agarish tahu.
Karena bukan pertama kalinya Gendis mengirimkan
pesan atau menelepon pacarnya untuk membicarakan
keluh kesah tentangnya. “Sorry, kalau Ibu buat lo
keganggu.”

Sephora menyimpan ponselnya pada saku celana,


lalu menatap Agarish lamat. Tangannya terulur untuk
menepuk pelan lengan atas Agarish menenangkan.
“Nggak apa-apa, kita jadi imbang. Satu sama,” jawabnya
ringan, lalu terkekeh. Memaklumi bagaimana
kekawatiran seorang ibu pada anaknya, sebagaimana

Flowers | 113
Friona juga sering meneror Agarish dengan berbagai
larangannya dan juga menanyakan banyak hal
tentangnya.

Agarish menanggapinya dengan dengkusan geli.


Percakapan keduanya terhenti sesaat begitu penjual
mengantar pesanan mereka.

“Kalau mau cobain, itu sendoknya,” kata Agarish.

Sephora tersenyum lebar melihat ada dua sendok di


atas piring. Perlakuan kecil seperti ini selalu membuat
hatinya menghangat. Alih-alih memaksa Sephora makan
atau mau ambil pusing dengan kerewelannya masalah
makanan, cowok itu lebih suka membiarkan Sephora
melakukannya sendiri.

“Belum makan tadi di rumah?” tanya Sephora.

Agarish menelan makanannya dan menggeleng.


“Belum juga ambil piring, udah dibuat kenyang duluan
denger omelan, nasehat, sama sindiran orang serumah,”
jawab Agarish yang disambut gelak tawa Sephora.
Flowers | 114
Agarish sedikit menggeser piringnya ke arah Sephora
begitu gadis itu mengangkat sendok ingin mencoba
rasanya. “Jadi, apa yang mau lo omongin?” Agarish
mengelap mulutnya menggunakan tisu, lalu meneguk
minumannya setelah makanannya habis. Ia
mencondongkan duduknya ke arah Sephora. Meski
Sephora terlihat biasa saja, tapi Agarish tetap bisa
melihat gurat ragu bercampur cemas yang gadis itu coba
sembunyikan.

“Nggak apa-apa, Kes, ngomong aja. Biar gue


tampung sekalian,” lanjutnya pengertian. Berhadapan
dengan seseorang yang sedang merasa gagal dan down
memang bukan hal mudah. Niatnya memberi semangat,
bisa saja diartikan lain. Niatnya mendiamkan untuk
memberi ruang, dikiranya tidak peduli. Belum lagi harus
memilih kata dan berhati-hati dalam bertindak, agar tak
menyinggung.

“Tau banget, sih!”

Flowers | 115
“Lah, berkat lo, kan, gue jadi suhu-nya masalah
begituan.” Agarish tersenyum mengejek yang disambut
Sephora dengan tawa renyahnya, sama sekali tidak
tersinggung. Sephora memang memiliki mental illness,
tapi berusaha untuk tidak menjadi beban bagi yang lain
dengan sifat egoisnya. Maka dari itu, Agarish merasa
nyaman-nyaman saja dekat dengan gadis itu.

“Coba, deh, buat posisi lo senyaman mungkin, terus


pejamin mata. Relax”

Kening Agarish berkerut mendengarnya, tapi tak


urung mengikuti apa yang cewek itu katakan. Ia
menyandarkan punggungnya pada dinding di
belakangnya, lalu perlahan memejamkan matanya.
“Udah,” ujarnya memberitahu.

Sephora bertopang dagu dengan kedua sikunya


bertumpu di meja, menatap lekat wajah
Agarish. “Coba bayangin, gimana diri lo di masa depan!”
pintahnya. Tangannya terulur untuk menutup kedua

Flowers | 116
telinga Agarish, menghalau suara samar-samar
kendaraan yang melintas.
Membiarkan cowok itu meresapi dirinya sendiri.
Untuk sesaat, suasana terasa hening.

Dirasa cukup, Agarish menangkup kedua tangan


Sephora, menurunkannya lembut bersamaan dengan
matanya yang terbuka perlahan. Mereka terdiam.
Sesaat, saling mengunci pandangan dengan tangan
masih bertautan.

“Lo emang selalu kelihatan santai, tapi bukan berarti


lo nggak punya impian atau target dalam hidup.”
Sephora tersenyum menenangkan. “You have to trust
yourself too. Be confident,” bisiknya.

***

Sephora tidak hanya memercayainya, tapi juga


memberinya dukungan penuh. Namun, rasanya terlalu
banyak, hingga untuk bernapas saja Agarish kesusahan.

Flowers | 117
Apalagi seisi rumah bersekongkol dengan gadis itu untuk
melaporkan setiap gerak-geriknya.

“Mau ke mana?” dengkus Sephora. Jemarinya


mengetuk stang motor Agarish, menghalau cowok itu
agar tidak bisa kabur. Senyum lebar Sephora
mengembang begitu mendengar desahan lelah Agarish.
Begitulah yang terjadi pada Agarish saat mencoba kabur
dari jadwal lesnya.

Gabut-nya orang pintar memang sangat


menyeramkan. Seperti Sephora contohnya. Gadis itu
malah mengikuti les tambahan untuk mengisi waktu
luang setelah kelulusan. Les tambahan yang juga Agarish
ikuti untuk mengejar ujian mandiri masuk kampus.
Berhubung Agarish lintas jurusan, ia jadi satu kelas
dengan Sephora. Namun, sekelas dengan Sephora bukan
hal yang baik, ruang gerak Agarish malah jadi semakin
menipis. Seringkali saat Agarish menoleh untuk ikut
bercanda dengan teman barunya kursi di belakang,

Flowers | 118
Sephora akan segera menoleh padanya dan membuat
tawa lepas Agarish berubah menjadi tawa kaku, lalu
spontan tubuh Agarish akan kembali menghadap papan.

Setiap kali layar ponsel Agarish saat dalam mode


horizontal, bukan lagi suara “Welcome to Mobile
Legend” yang ia dengar, tapi kalimat pacarnya yang
mengatakan “Welcome to Integral” dan rumus-rumus
lainnya yang masuk ke dalam indra pendengarannya.

Agarish mengerti banyak yang harus ia kejar dengan


waktu yang relatif singkat. Tapi, tolong biarkan ia
sejenak saja mendinginkan otaknya yang sudah berasap.

***
“Hey, Aga. Please, focus and stop looking at me!”
Sephora mengetuk dahi Agarish menggunakan pulpen
begitu mendapati cowok itu sedari tadi menatapnya
tanpa kedip.

“Dih, mbaknya siapa, ya?” dengkus Agarish.

Flowers | 119
“Peri.” Sephora tersenyum culas. “Udah, deh, nggak
usah gondok. Yang pertama, ubah mindset lo, Aga.
Tanamin di otak lo kalau belajar itu kegiatan yang
menyenangkan dan bukan beban.”

Agarish berdecak sambil membuang muka. Rasanya


ingin pergi menjauh dari sini. Ia sudah lelah. Kapasitas
otaknya sudah di ambang maksimal. Ia kesusahan untuk
mengikuti pola belajar Sephora, Mika, dan Haidar yang
ambis.

“Ngeluh terus! Banyak maunya, tapi nggak gerak.


Ngomong doang, action nggak! Buat yang ngerasa aja,
sih,” cibir Mika.

Sephora tertawa kecil mendengarnya. Ia menepuk


ringan paha Agarish yang duduk di sebelahnya agar
kembali fokus. Seperti biasa, setiap pulang bimbingan, ia
akan mengajak Agarish belajar bersama dengannya,
Mika, dan Haidar di rumah. “Tenang aja. Entar juga bakal
kecanduan, kok,” kata Sephora.
Flowers | 120
***

Alertes berganti dengan rumah Sephora dan tempat


bimbingan belajar. Game-nya kini berganti dengan video
pembelajaran. Kebebasan dan kesenangannya
terenggut paksa. Di setiap sudut kamar Agarish, Sephora
tempelkan notes rumus dan beberapa istilah yang harus
ia hapal. Mau tak mau, ia membacanya begitu kertas-
kertas itu tertangkap indra penglihatannya. Bahkan saat
tidur pun, Agarish seringkali mengigaukan urutan unsur
kimia.

“Aga, udah tahu median?” tanya Sephora di tengah


sesi belajarnya yang kesekian kali di rumah gadis itu.

Agarish menaikkan sebelah alisnya sebagai respons


tidak mengerti.

Sephora menarik buku tulis Agarish, lalu menuliskan


kata median di sana. “Jadi, median itu, nilai tengah dari
satu ukuran pemusatan data. Kayak lo gitu, hadir di
tengah-tengah kehidupan gue.” Sephora menggambar

Flowers | 121
bentuk hati di akhir tulisannya, lalu mengangkat
kepalanya agar bersitatap dengan Agarish, detik
berikutnya keduanya tergelak geli bersamaan.

Setelah tawa mereda, Agarish balik bertanya,


“Singkatannya kiloram apaan, Ra?”

“Kg. Why?”

“Kalau di tambah N, jadinya apa?”


Pulpen Sephora kembali menari-nari di atas kertas
kosong, lalu memberikannya pada Agarish selesai ia
menuliskan jawabannya.

Kg + 1n

= 9,8n + 1n
= 10,8n. Jadi, 1kg = 9,8n

“Lo nulis apaan ini, anjir! Kg ditambah N, KGN,


KANGEN, Kes!” semprotnya gemas.

Kemudian keduanya tertawa lepas, tidak


memedulikan Mika dan Haidar yang menatap garang
dan penuh kejijikan pada mereka.

Flowers | 122
Harus Agarish akui, semua ini memang menyiksa.
Namun, semakin lama, metode yang Sephora terapkan
padanya perlahan mulai ia nikmati. Ternyata jika sudah
mengerti, mengerjakan sebuah soal tidak
sememusingkan itu dan ada rasa bangga saat ia berhasil
memecahkannya.

Jadwal belajar yang fleksibel, suasana belajar yang


nyaman, dan juga penjelasan Sephora yang sederhana.
Belum lagi bantuan dari Mika dan Haidar tak luput
semakin mempermudah dirinya.

Sekali lagi Agarish akui, dirinya terlalu lama bersantai


dan mengakibatkan perjalanannya terhambat. Hingga
berakhir seperti kura-kura yang sedang berusaha
mengejar langkah para Kancil.
Tapi tidak apa-apa, ia pasti bisa mensejajarkan dirinya.

***

Sudah saatnya. Segala usaha Agarish selama ini


dipertaruhkan di sini. Ia menarik napasnya dalam dan

Flowers | 123
membuangnya perlahan. Ternyata, bertempur saat
sudah mengisi penuh amunisi untuk memperjuangkan
mimpinya, terasa lebih mendebarkan daripada saat ia
tidak memiliki persiapan apa pun.

“Milih kampus itu nggak bisa asal-asalan, Ga. Kalau


bisa, masuk yang terbaik. Kenapa harus ambil yang
baik?” Itu ocehan Sephora sambil memberinya catatan
detail beberapa kampus yang dapat ia pertimbangkan.

Karena tidak semua perguruan tinggi negeri


menerima jalur lintas jurusan, atas pemikiran yang
matang, juga saran dari berbagai pihak, Agarish
memutuskan untuk berkuliah di salah satu kampus
swasta di Jakarta.

“Gugup?” tanya Sephora yang pagi ini bersikeras


ingin ikut mengantar dan menunggunya sampai selesai.

Agarish mengangguk dan terkekeh hambar.

“I know you can do that, Agarish.” Sephora


mengedipkan sebelah matanya. Berdoa dalam hati,
Flowers | 124
semoga apa yang didapatkan Agarish sepadan dengan
usahanya. Ia terus menatap punggung Agarish hingga
memasuki ruang ujian.

***

Flowers | 125
EXTRA PART 7
“Jangan korbankan mimpimu untuk
seseorang.”
***
Mendengar suara bel pertanda tes berakhir, Sephora
segera memasukkan kembali bukunya ke dalam tas. Ia
duduk di bangku yang melingkari sebuah pohon rindang
yang berhadapan dengan ruang ujian Agarish. Ia
membalas senyum pacarnya yang baru keluar sedang
melangkah ke arahnya.

“Gimana?” tanya Sephora sambil mengulurkan


sebotol air mineral pada Agarish.

“Ck, percaya aja, deh. Gue nggak mungkin malu-


maluin lo, Kes.” Agarish selesai meneguk habis
minumannya. Ia merangkul bahu Sephora sembari
berjalan menuju parkiran motor. Agarish mendengkus
tak suka menyadari banyak mata yang memandang
pacarnya. “Nggak bakal kuliah di sini juga cewek gue,”
batinnya mengolok.
Flowers | 126
“Cemburu, Ga?” tanya Sephora yang merasa gerak-
gerik Agarish posesif padanya.

“Nggak. Cuma risi aja liat mata mereka. Lagian, lo-nya


juga nggak bakal mau sama mereka. Udah betah banget
sama gue soalnya.” Sephora tertawa geli mendengar
jawaban Agarish.

Sampai di parkiran, Agarish naik ke atas motornya


dan mengulurkan helm pada Sephora, lalu memakainya
untuk dirinya sendiri. Tak lama setelahnya, motor sport
hitam itu melaju perlahan bergabung dengan
kerumunan kendaraan lainnya.

“Pegangan yang bener, Kes.” Agarish membawa


tangan Sephora untuk melingkar di pinggangnya.
“Besok-besok, kalau lo udah berangkat, kita nggak bisa
lagi kayak gini. Nggak langsung pulang nggak apa-apa,
kan? Pengen muter-muter dulu biar lamaan bareng lo-
nya.”

“Aga!” sentak Sephora tak suka.

Flowers | 127
Agarish menaikkan kedua bahunya tak acuh, merasa
tak ada yang salah dengan kalimatnya.
“Thanks for your support dan udah ngertiin gue, Kes.”
Agarish menepuk pelan helm yang Sephora kenakan.

“Me too,” jawab Sephora sambil menaruh dagunya


di bahu Agarish. “Aga, lo nggak pengen nahan gue biar
nggak pergi gitu?”

“Kalau seumpama gue yang pergi? Lo juga nggak


bakal ngelarang gue berangkat dan ngelepas
kesempatan itu gitu aja, kan? Gue tahu itu mimpi lo, Ra.”

“Tapi, kan, LDR pasti berat. Kalau kangen gimana?


Gue nggak bakal bisa peluk lo secara langsung dong?
Kalau harus dijeda dulu, nanti keburu basi. Entar kalau lo
kesepian terus ngelirik cewek lain, gimana? Eh, tapi bisa
aja gue juga kayak gitu sih,” ujar Sephora.

Biasanya, melihat orang-orang clingy dengan pacar


mereka, membuat Agarish geli dan geleng-geleng
kepala, tapi kini ia jadi mengerti bagaimana rasanya.

Flowers | 128
Ternyata menyenangkan, seperti ada kupu-kupu yang
beterbangan di dalam perutnya.

“Makanya peluk.” Agarish mengeratkan tangan


Sephora melingkar di pinggangnya. “Entar kangennya
diawet-awet, jangan boros-boros.”

***
Fokus Sephora terbelah, antara obrolannya dengan
teman-temannya dan sikap Agarish yang
mendiamkannya. Ia menatap tangannya yang sedari tadi
bertautan dengan Agarish. Cowok itu sama sekali tak
bersuara selama menjemputnya di rumah hingga sampai
Bandara. “Aga,” panggilnya pelan.

Agarish menoleh sambil menaikkan sebelah alisnya.

“Nggak apa-apa,” jawab Sephora. Ia masih


menengadah untuk memperhatikan ekspresi Agarish
yang juga masih menatapnya.

Flowers | 129
Agarish mengangguk singkat, lalu kembali mengobrol
bersama teman-temannya yang sedang mengantar
keberangkatan Haidar.

“Kalau kalian pulang, kabarin, ya? Biar kita bisa


kumpul bareng lagi,” kata Franda.

“Lo ngomong apaan, sih?! Pastilah kita ngumpul


lagi!” decak Mika.

“Janji, ya? Walaupun kedepannya siapa pun dari kita


bakal punya temen baru, kita masih saling
berhubungan?” desak Queensha.

“Halah, palingan entar juga pada punya temen baru


lo pada. Temen lama mah diinget doang, sekadar nanya
kabar, pasti berat banget tuh jempol buat ngetik,”
kompor Fabian.

“Bener banget tuh! Pasti, sih, yang kayak gitu, relate


banget,” Rio menimpali. Di akhir kalimatnya, ia tertawa
puas melihat Queensha yang semakin menangis.

Flowers | 130
“Iya-iya, kita janji. Ngapain, sih, dengerin duo
kampret itu!” jawab Sephora sebal. Ia mendongak, lalu
mengibas wajahnya, menghalau air mata yang berada di
sudut matanya untuk tidak menetes.

“Gue gaplok lo pada!” Mika sudah siap dengan


tinjunya. Buru-buru Rio dan Fabian menjauh dengan
tawa yang masih menggema.

“Gue pasti kangen banget sama kalian. Baik-baik, ya,


di sana,” ujar Belva. Ia bersandar pada dada Abiputra
karena tak sanggup menopang tubunya sendiri.

Dulu, ia sempat mengira di awal perkenalan Sephora


dan Mika akan menjadi bagian dari anak-anak kelas atas
yang suka mem-bully karena pembawaan Sephora yang
terkesan angkuh dan Mika yang nampak bossy. Namun,
ternyata berbanding terbalik dengan apa yang
dilihatnya. Mika yang suka bergosip dan tak segan
mendekat lebih dulu menjadi perantara keakraban
mereka semua.
Flowers | 131
“Kita yang mau pergi, kenapa Abiputra yang malah
dapet pelukan?” Sephora tertawa menutupi dirinya yang
ingin menangis.

Mika mendorong tubuh Abiputra ke belakang, lalu


memeluk tubuh Belva yang disusul lainnya. Abiputra
memilih mundur memberi ruang.

“Gue juga pasti kangen banget sama kalian. Sering-


sering kasih kabar!” ucap Queensha sambil terisak.

Friona melangkah mendekat sambil tersenyum kecil


melihat tingkah para remaja itu. Terbiasa bertemu
hampir setiap hari dan selalu bersama selama tiga tahun
lamanya, pasti berat untuk mereka berpisah. Ia
mengusap bahu anaknya lembut. “Check-in dulu. Entar
ngumpul lagi sama temen-temen, keburu antreannya
panjang,” ucapnya.

“Iya.” Sephora mengurai pelukan mereka. Ia mundur


satu langkah, lalu menoleh pada Agarish yang juga
sedang menatapnya. Sephora mengayunkan tautan
Flowers | 132
tangan mereka yang sedari tadi tidak terlepas. “Bentar,”
pamitnya pada Agarish.

Agarish berdecak, lalu melepasnya secara perlahan.

“Are you ready going to UK?” tanya Mika sambil


merangkul bahu Sephora menuju petugas check-in,
suaranya terdengar penuh semangat.

Mika dan Sephora sudah berteman sejak SMP.


Sephora yang selalu mengikuti Mika saat bersosialisasi
dan Mika yang selalu mengikuti langkah Sephora dalam
hal pendidikan. Sephora banyak membantunya hingga
Mika diterima di UCL dan berkat Friona juga,
orangtuanya mengizinkan Mika untuk melanjutkan
pendidikan di luar negeri.

“Go!” jawab Sephora sambil membalas rangkulan


Mika. Ia merasa emosinya saling bertubrukan. Antara
tak sabar bagaimana menjalani kehidupan barunya di
London dan juga tak rela harus meninggalkan Indonesia.

Flowers | 133
Ia menoleh ke belakang, matanya menatap nanar
kepergian Agarish yang entah ke mana.

Haidar yang ada di belakang mereka menggeleng


samar. Tugasnya selama di London sepertinya akan
bertambah dengan adanya Mika di sana. Jika adiknya
nampak garang diluar dan menggemaskan di dalam,
berbeda lagi dengan Mika yang garangnya luar dalam.

***
Ransel hitam yang tercangklong di bahu kiri Agarish
mengundang tanya dari semua orang sekembalinya dari
parkiran terminal tiga internasional. Dengan santai, ia
mengeluarkan amplop cokelat besar dan
menyerahkannya pada Haidar selagi Sephora dan Mika
masih berurusan dengan petugas Bandara.

“Isinya?” tanya Haidar, merasa ragu untuk menerima


barang itu.

Agarish menarik paksa tangan Haidar, lalu menaruhnya


di atas telapak tangan cowok itu.

Flowers | 134
“Lo buka, tapi jangan dikeluarin!” Semua sahabatnya di
sana langsung mengerubungi Haidar, lalu terkekeh
begitu melihatnya isinya.

“Lo yang bener aja, Ga!” Haidar berdecak, menatap


Agarish kesal.
“Kapan gue nggak pernah nggak bener, sih?” Agarish
tersenyum miring. “Itung-itung penebusan dosa yang
udah nyembunyiin status lo sama Sephora,” balasnya
tak mau kalah. Haidar sangat tertutup jika menyangkut
tentang kehidupannya, apalagi keluarganya. tak heran
jika tdak ada orang yang tahu bahwa mami Haidar
adalah kakak perempuan Friona.

“Jaga bener-bener, ya, Dar. Jangan sampai Sephora


tahu dan jangan sampai tuh barang rusak.
Gue bakal butuh bantuan lo di saat-saat tertentu selama
kalian di sana,” lanjutnya. Raut tengil Agarish berganti
dengan wajah serius.

Haidar yang geram, langsung menggeplak kepala


Agarish menggunakan amplop cokelat itu.

Flowers | 135
Namun, tak urung juga ia masukkan ke dalam tas
jinjingnya.
***

Jika biasanya kakinya melangkah ringan saat


mendekati Sephora, kali ini Agarish merasa langkahnya
memberat begitu jarak mereka kian dekat. Matanya
menatap lurus kepada Sephora yang juga sedang
menatapnya.

Agarish mengulurkan tangannya yang langsung


disambut oleh Sephora begitu keduanya sudah
berhadapan. Agarish mengeratkan genggamannya,
sesekali mengelus tangan Sephora menggunakan ibu
jarinya.

“Udah waktunya, ya,” ucap Sephora dengan senyuman


yang dipaksakan. Sekali lagi,
Sephora mengipas matanya yang memanas berusaha
untuk tidak menangis. ”Gue harap, kedepannya kita
bakal jadi versi yang lebih baik bareng-bareng, ya, Ga?
Terlalu berat nggak, sih, permintaan gue?”
Flowers | 136
Sephora bergidik sembari mengelus lengannya
dengan tangannya yang bebas. Ia merinding akan
ucapannya sendiri yang terkesan berlebihan dan
melankolis. Namun, ia sendiri juga tak bisa
menahannya, kata itu meluncur begitu saja dari
mulutnya.

“Geli, ya, Ga?” Sephora tertawa kaku sambil


menggoyang tangan mereka yang masih bertautan. Ia
harus mendongak untuk membalas tatapan lekat
Agarish. “Lo masih mau nungguin gue, kan, Ga? Gue
pengen egois kali ini karena gue nggak bisa bayangin,
orang yang bakal gantiin posisi gue bakal sebahagia apa
waktu sama lo.” Sephora pikir, suaranya akan tetap
terdengar ringan, tapi ternyata hanya suara pelan
seperti tercekat.

“Kenapa lo cuma diem aja?” Sephora memukul


kencang dada Agarish, meluapkan rasa kesalnya yang

Flowers | 137
tertahan. Ia tidak mau berangkat dengan membawa
beban pertanyaan akibat keterdiaman cowok itu.

Melihat Agarish masih terdiam dan tubuh cowok itu


menerima begitu saja setiap pukulannya, tangan
Sephora terhenti di udara. Ia turunkan tangannya
dengan lemas. Kepalanya mendongak, mencoba
mengartikan tatapan Agarish yang masih saja
menatapnya lekat.

“Ngomong, anjir!” maki Sephora.

Merasa Agarish tak lagi menghiraukannya, Sephora


melepas kasar tautan tangan mereka, lalu berbalik
badan untuk menyusul Haidar, Mika, dan kedua
orangtuanya yang sedang menunggu untuk menuju ke
lounge bandara.

Baru dua langkah, tubuh Sephora terhuyung ke


belakang karena tarikan Agarish di lengannya. Cowok itu
membawa masuk Sephora ke dalam pelukannya,
merapatkan tubuh mereka, dan mendekap Sephora
Flowers | 138
erat. Ia menghirup aroma rambut Sephora dalam-dalam.
Terlalu berat untuknya melepaskan kekasihnya pergi.

Agarish menyadari tingkahnya begitu kekanakan.


Alih-alih menikmati sedikit waktu yang mereka miliki, ia
malah membuangnya begitu saja. Padahal, baik
meninggalkan atau ditinggalkan, keduanya sama-sama
bukan suatu yang mudah.

“Hei, Kes…, denger. Kita cuma berjarak, bukan pisah.


Dan gue, bakal selalu nunggu lo di sini,” bisik Agarish
menenangkan.

“Tapi, lo kenapa diemin gue dari tadi? Gue, kan, jadi


kepikiran.” Isakan kecil lolos begitu saja dari mulut
Sephora. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya
mendobrak keluar. “Jadi nangis gini, kan!”

Agarish menghapus air mata Sephora menggunakan


ujung hoodie yang dikenakannya. Ia menangkup wajah
Sephora dan membuat pandangan mereka kembali
bertemu. “Karena kalau gue buka mulut, gue pasti minta
Flowers | 139
lo lebih lama lagi di sini, Kes, buat habisin waktu bareng
gue,” ucap Agarish dengan suara seraknya.

Satu tangan Agarish masih singgah di bahu Sephora


dan sebelahnya lagi, ia gunakan untuk membuka
resleting ransel dan mengambil sebuah buket dari sana.
“Buat lo,” ucap Agarish.

Untuk kesekian kali, Sephora dibuat menangis terisak


dan tertawa pada waktu bersamaan. Berkat buket
pemberian pacarnya yang berisikan Tolak Angin yang
berjajar rapi. Ia tak bisa banyak berkata, apalagi
memprotesnya. “Makasih, Aga.”

Agarish mengangguk. “Baik-baik, ya, di sana. Inget,


semembosankan apa pun hubungan kita kedepannya,
hukumnya wajib tetep sama gue, Kes. Dan jangan
sampe, lo nyari kenyamanan sama yang lain! Maaf, buat
sementara, gue cuma bisa jagain lo dari jauh.”

“Ih, posesip juga mas-nya.” Sephora terkekeh sambil


mencubit perut Agarish.

Flowers | 140
Malam itu, Agarish melepas Sephora terbang
melanjutkan tujuan untuk menggapai mimpinya.

***

Flowers | 141
EXTRA PART 8
“Komitmen saja tidak cukup dalam sebuah hubungan

jika tidak dibarengi dengan komunikasi.”

***

Awal-awal kepergian Sephora, semua masih terasa


normal dan biasa aja. Keduanya menikmati kesibukan
sebagai mahasiswa, beradaptasi dengan lingkungan dan
orang-orang baru di sekitarnya.

Sephora berjengit saat Haidar menempelkan segelas


minuman dingin di pipinya. Cowok itu tidak bersuara
lagi, hanya duduk diam di sampingnya sambil
menyeruput ice americano pesanannya, membiarkan
adiknya kembali fokus pada Macbook-nya.

Tak lama, Mika datang menyusul. Dengan gerakan


tergesa, gadis itu melepas coat-nya dan menyambar
minuman Haidar hingga tandas. “Akhirnya, keguyur air
juga kerongkongan gue,” ucapnya legaan sambil
menyandar pada punggung kursi.
Flowers | 142
Haidar yang kalah gesit dengan Mika, berakhir
dengan tangan yang menggantung di udara, menatap
datar gelasnya yang telah kosong.

“Gila banget Mrs. Allota. Tuh orang kayaknya punya


dendam pribadi, deh, sama gue. Nggak ada habisnya,
anjir, tugasnya. Mana gue mulu yang diincer. Mika, you!
Mika, come here! Mika, faster! Mika, Mika, Mika, sampe
enek gue sama nama sendiri!” cerita Mika menggebu-
gebu.

Untuk kedua kalinya, tangan Haidar kembali


menggantung di udara karena Mika yang lebih dulu
menggeser piring milik Sephora ke hadapannya dan
memakan taco berisi campuran daging ayam, daging
sapi, sayuran, dan buah delima itu begitu saja.

“Ehm, enak!” puji Mika setelah menelan gigitan


pertamanya. “Eh, eh, Ra. Lo tau nggak, sih—”

Sephora yang hafal kalimat pembuka gosip Mika,


segera menutup layar Macbook-nya dan beranjak sambil
Flowers | 143
membereskan barang bawaannya. “Gue balik duluan,
ya. Agarish udah nelpon nih.” Ia menggoyangkan ponsel
di tangannya.

Tanpa menunggu jawaban, Sephora sudah lebih dulu


berlalu dari sana. Ia mendorong pintu kafe
menggunakan bahunya. Tangan kirinya sibuk mamasang
Airpods, sedangkan tangan kanannya memegang
segelas kopi yang tersisa setengah.

“Halo, Aga,” ucapnya begitu mengangkat panggilan


cowok itu.

“Hai, Kes. Lagi di mana?”

“Ini baru keluar dari kafe, mau balik ke apartemen.”


Ia dan Haidar memutuskan untuk tinggal di apartemen
yang jaraknya dekat dari kampus, daripada harus tinggal
di rumah peninggalan kakek dan nenek mereka.

Sephora tersenyum tipis begitu melihat dari kaca


transparan, bagaimana wajah frustrasi Haidar
menghadapi celotehan Mika. Ia memandang lurus

Flowers | 144
dedaunan yang berguguran. Sephora menikmati hawa
dingin musim gugur London .

“Kangen banget gue, Kes, sama lo,” ucap Agarish.


Cowok itu sedang berada di parkiran kampus dan akan
menuju Alartes. Helm yang dikenakan Agarish sudah
dipasangi interkom sehingga tak menghambat
kominukasinya dengan Sephora. “Ck, kapan, sih, lo
duduk lagi di boncengan gue,” gerutu Agarish sambil
menepuk jok belakang motornya yang kosong.

***
London, dua tahun kemudian.
Agarish dan Sephora masing-masing berkegiatan dari
pagi sampai sore dan sampai rumah, bukan saling
memberi kabar, mereka lebih memilih tidur untuk
melepas lelah. Bangun kembali, hanya untuk kembali
disibukkan mereka masing-masing. Jarak dan waktu
yang membatasi, membuat keduanya tanpa sadar sering
saling mengabaikan dan hanya berkirim pesan ketika

Flowers | 145
akan tidur. Menjalani long distance relationship
sangatlah tidak mudah. Ada saat mereka sampai pada
fase menyebalkan dan membosankan.

“No calls? I understand. No text? I understand. No


time for me? I understand. But when, you see me with
someone—“

Agarish yang pernah mendengar terusan kalimat itu


dari TikTok yang diputar Rio segera bangkit dari
rebahannya. Ia duduk bersila di atas kasur dan menatap
serius layar laptop-nya. “Ck, ngomong apa lo, Ra?”

“When… you see me with someone else, I hope you


understand.” Sephora menaikkan kedua bahunya tak
acuh sambil memutar-mutar kursi belajarnya santai.

“Siapa? Palingan juga Haidar.” Agarish tersenyum


miring. “Kenapa, sih, lo malem ini? PMS? Biasanya juga
biasa aja. Gue nge-game, lo belajar. Lo sibuk, gue juga
nggak pernah komplain.”

Flowers | 146
Malam itu, keduanya bertengkar hebat. Tidak ada
yang mau mengalah. Keduanya samasama keras kepala
dan merasa berada di pihak yang benar.

“Gue ngajakin lo ngomong gini, biar masalah kita


selesai, bukan buat berantem!” geram Sephora.

“Lah? Yang nyerang duluan, kan, lo!” Agarish


mengangkat tangan menyerah. “Okay. Iyaiya, gue yang
salah. Besok gue nggak akan kayak gitu lagi…. Sekarang
kita tenangin diri dulu masing-masing. Lo juga istirahat,
udah lewat tengah malem, kan, di sana?”

“Nggak usah merasa lo yang paling tersakiti, deh,


Ga. Dan bilang ‘ya udah, gue minta maaf, nggak gitu
lagi, deh.’” Sephora berdecak tak suka. “Harusnya, kalau
lo ngerasa gue salah, ya bilangin juga.”

“Anjir! Gini salah, gitu salah. Mau lo apa, sih,


cantiknya gue? Kayaknya harus gue bawa ke ketok magic
nih!” Agarish membuang napasnya kasar.

Flowers | 147
“Kita udahan aja, deh, Ga….” Cukup lama Sephora
menimbang, akhirnya satu opsi yang beberapa hari
terlintas di kepalanya terucap juga.

“Ra!” tegur Agarish tegas, kilat matanya berubah


dingin sesaat. Ia berusaha keras menurunkan egonya
dengan melempar sedikit candaan. “Nggak usah minta
aneh-aneh. Gue getok juga pala lo! Nggak ada putus-
putus! Gue nggak mau! Entar kalau kita putus, percuma
dong gue jaga lilin, tapi nggak ada yang keliling.”

Keterdiaman Sephora membuat Agarish tertawa


hambar. Nyatanya, gadis itu nampak semakin meradang
karena tanggapannya terkesan main-main.

“Itu udah keputusan gue!” ucap Sephora.

“Bisa nggak, sih, kalau ada masalah tuh selesaiin aja


masalahnya, bukan selesaiin hubungannya. Kita udah
komit, loh, Ra. Dan ini bukan pertama kalinya kita cek-
cok, tapi buktinya kita bisa lewatin itu. Tiga tahun, Ra,
tiga tahun kita bareng-bareng.”
Flowers | 148
“Virtual terlalu susah buat kita, Aga,” kata Sephora
lemah. “Sampai kapan kita bohongin diri kita sendiri?
Baik lo maupun gue, kita sama-sama tahu, kalau selama
LDR, kita terus-terusan berusaha keras buat kelihatan
baik-baik aja. Kita pendam masalah kita sendiri, kita
berusaha memaklumi dan nahan ego. Padahal apa? Kita
kesepian, kita ngerasa kosong. Terus apa gunanya kita
lanjutin hubungan itu?”

Tangan Agarish mengusap lembut layar Macbook-


nya tepat di bagian wajah Sephora, mata gadis itu
memerah menahan tangis.

“Kita lakuin itu cuma buat satu sama lain nggak


khawatir dan ngerasa nggak berguna karena nggak bisa
selalu ada.” Sephora nampak begitu emosional malam
ini. “Dan, putus itu jalan terbaik. Masih banyak hal yang
perlu kita pusingin ke depannya daripada perkara hati.
Kalau lo butuh, gue bakal tetep ada. Kalau kangen, gue
di sini buat lo. Kita jalan berdampingan di lingkaran

Flowers | 149
masingmasing, jadi nggak ada kewajiban dari kita buat
saling ngasih kabar atau jaga perasaan satu sama lain.
Biar nggak ada yang terkekang dan sakit hati kalau
kedepannya salah satu di antara kita nemuin orang
baru.”

Agarish menatap Sephora teduh. Ia berusaha tenang


dan tak ikut terprovokasi. “Percaya sama gue, kita cuma
lagi sama-sama capek aja, Kes.”

***

Asap tak berhenti mengepul mengelilingi Agarish


yang saat ini tengah termenung di kursi bagian outdoor
Alertes. Ia menyesap vape-nya dalam, lalu
mengembuskannya, berharap dengan itu dapat
mengurai ketidaknyamanan hatinya dan meringankan
pikirannya. Terhitung sudah sebulan semenjak
pertengkarannya dengan Sephora, keduanya masih
saling memberi kabar, ucapan basa-basi, kemudian
kembali hening. Awalnya masih terasa biasa saja, tapi

Flowers | 150
semakin lama rasa rindu itu semakin nampak dan
menjadi-jadi.

Semua yang ada di situ saling memandang, bertanya


satu sama lain karena keterdiaman Agarish yang nampak
murung dan terkesan suram.

“Bau patah hatinya nyampe sini, nih,” ledek Justin.

“Napa dah?” sahut Febian. “Putus atau gimana?”

“Ck, nggak ada putus-putusan! Cewek gue cuma lagi


bertingkah doang!” jawab Agarish nyolot.

“Heleeeeh!” seru mereka bersamaan.


Rio berjalan ke arah panggung kecil yang sedang
melakukan live musik di sana. Ia meminta pada band
untuk menyanyikan sebuah lagu khusus untuk Agarish.
Selagi Rio kembali menuju meja teman-temannya,
iringan musik Gejolak Asmara dari Nassar mulai
mengalun. Cowok itu mulai mengangkat tangannya dan
tersenyum lebar pada teman-temannya.

Flowers | 151
“Senyummu sungguh menawan, wajahmu ayu
rupawan, ke mana mata memandang!” Rio bernyanyi
tanpa memedulikan kualitas suaranya.

“Hanyalah dirimu yang selalu terbayaaanggg~,”


lanjut Fabian sambil memukul-mukul meja.

“Ayaya!” seru Justin. “Oppa Agarish kiyowo.”


Grady, Abiputra, dan Fabian ikut berdiri. Mereka
menyanyi keras-keras sambil menunujuk Agarish,
mengejek kegalauan cowok itu.

“Sungguh memesona.

Ayaya, saat memandangmu hati bergetar.


Ayaya, kau sungguh jelita.

Ayaya tak dapat kulupa.

Ayaya, padamu aku benar-benar cinta.”


“Anj*ng!” maki Agarish. Mau tak mau, ia terkekeh
juga melihat kehebohan teman-temannya dan
memutuskan untuk menaruh ponselnya di atas meja,
lalu mengikuti kegilaan temantemannya.”

Flowers | 152
***

London, dua bulan kemudian.


Sephora bukan tipe yang tertutup untuk urusan
asmara. Ia dengan mudah menerima orang yang datang
dan pergi di kehidupannya. Maka dari itu, ia tidak segan
membuka hati untuk cowok lain setelah hubungan
sebelumnya selesai. Tapi, ia juga bukan tipe perempuan
yang bercabang atau memiliki banyak cadangan karena
baginya, satu hati sudah lebih dari cukup.

Seperti hari-hari sebelumnya, Sephora lebih memilih


menyibukkan diri dengan belajar daripada
memusingkan percintaannya dengan Agarish yang
sudah mulai tak jelas arahnya. Ia membuka lembar demi
lembar buku kedokteran yang tengah ia baca. Begitu
sampai lembar kelima, tangannya terhenti. Ia terdiam
sesaat setelah mengingat fakta dua hari ini tidak ada
kabar dari Agarish.

Flowers | 153
Ia mengambil ponselnya dari dalam laci meja belajar
untuk melihat, barangkali ada notifikasi dari Agarish.
Namun, ternyata nihil. “Ngilang ke mana, sih?”
gumamnya,

Sephora menimbang. Haruskah ia menelepon cowok


itu atau tidak. Ia mengetuk dahinya menggunakan
jemarinya dengan resah. Ini sudah pukul tujuh malam,
yang berarti pukul tiga sore di Jakarta.

“Telepon, nggak, telepon, nggak,” monolognya.


Banyak pertanyaan berseliweran dalam otaknya. Apa
Agarish akhirnya melepaskan? Apa cowok itu mulai
dekat dengan gadis lain? atau malah sesuatu terjadi
kepada cowok itu?

Mendengar bel apartemennya berbunyi, Sephora


meletakkan ponselnya, lalu melangkah ke arah pintu. Ia
melihat layar intercom, nampak seorang pemuda
menyender di samping pintu sambil menunduk, tangan
kirinya memecent bel dengan tidak sabaran.
Flowers | 154
“Who?” tanya Sephora begitu pintu apartemen
terbuka.
Keduanya terdiam dan saling mengunci pandang.
Sephora bahkan mengerjapkan matanya berkali-kali
untuk memastikan ia tak salah mengenali orang.

“Aga?” ucap Sephora masih tidak percaya. Orang


yang sering menganggu pikirannya itu, kini berdiri tepat
di hadapannya.

“Kalau nggak lo kasih masuk, gue masuk sendiri,


deh.”
Tersadar ia terlalu lama memandangi Agarish, buru-
buru Sephora membuka pintu lebarlebar, membiarkan
Agarish masuk sambil menarik koper miliknya.

“Lo, kok, bisa ada di sini?” tanya Sephora, sebelum


menutup pintunya kembali, ia menyempatkan diri
memastikan Agarish hanya seorang diri.

Bukannya menjawab, Agarish malah berbalik badan


dan memeluk tubuh gadis itu dari belakang.

Flowers | 155
“Aga!” Sephora terhenyak, tubuhnya menjadi kaku.

“Gue belum terlambat, kan, Ra?” Agarish semakin


mengeratkan tangannya di pinggang
Sephora saat gadis itu berusaha melepas pelukannya.
“Gue kangen banget sama lo, Ra. Rasanya gue udah
hampir gila karena harus nunggu dua bulan dulu buat
datengin lo,” lanjut Agarish. “Gue sadar, kalau gue
emang belum bisa bagi waktu. Gue masih suka main-
main dan terlalu ngegampangin sesuatu. Please, Ra,
maafin gue.”

Suara lembut Agarish yang bergetar membuat Sephora


mengigit bibirnya menahan isakan.
“Aga, gue juga—”

“Iya, gue tau,” sela Agarish lebih dulu. “Gue tahu


kalau lo juga ngerasa kalau posisi kita kemarin sama-
sama salah. Jadi…, lo masih mau, kan, Ra, coba sekali lagi
bareng gue? Kita samasama belajar lagi buat saling
ngerti dan memperbaiki komunikasi kita.”

Flowers | 156
Agarish memutar badan Sephora. “Janji sama gue…
sekesel apa pun lo, marah aja, ya, Kes. Nggak usah bawa-
bawa putus.”

Sephora membalas tatapan Agarish, mencari


kejujuran dan menemukannya dalam sorot matanya
yang serius. Agarishnya yang suka berbuat semaunya,
tapi selalu ada untuknya dan mau memperjuangkannya.
Pelupuk mata Sephora terasa berat dan hatinya diliputi
perasangan hangat.

Ia langsung membalas pelukan Agarish tak kalah erat.


“Gue kira lo udah nggak peduli lagi sama gue.”

Agarish berdecak. “Ck, bisa-bisanya lo punya pikiran


kayak gitu.”

“Habisnya lo ngilang gitu aja.”

“Ya, kan, gue lagi nyamperin lo ke sini, Kes. Gue udah


ngalah, nih. Awas lo masih ambekambekan lagi!”

“Nggak ngambek!” Sephora memukul punggung


cowok itu kesal.

Flowers | 157
Agarish terkekeh, lalu menunduk tepat di telinga
Sephora. “Inget, Kes! Gue nggak bakal ngelepas cewek
yang gue sayang gitu aja.”

***

Memasuki musim semi, London akan mengalami


waktu siang jauh lebih lama daripada waktu malam.
Suhu udaranya antara dua belas hingga delapan belas
derajat celcius. Sephora mengajak Agarish menikmati
senja di balkon kamarnya karena di musim ini, terkadang
matahari baru terbenam pukul 20.00 waktu setempat,
sembari melihat langit berwarna oranye-keunguan dan
matahari yang mulai terbenam di balik Tower Bridge.

Agarish semakin mengeratkan selimut yang


membungkus badannya. Ini bukan pertama kalinya ke
London, tapi tetap saja dirinya belum bisa berdamai
dengan suhu udara di bawah dua puluh derajat celcius.

“Are you okay?” Mata Sephora nampak khawatir. Ia


ikut masuk ke dalam selimut, lalu memeluk pinggang
Flowers | 158
cowok itu dari samping. Ia menyandarkan dagunya pada
bahu Agarish. “Kalau kayak gini belum cukup bikin lo
anget, mau gue ambilin Tolak Angin?”

Tawa Sephora meledak begitu melihat semburat


merah menjalar di pipi pacarnya. Dulu, saat pertama
kalinya Agarish ikut Friona dan Adrian berkunjung ke
sini, cowok itu terserang flu hingga demam tinggi.
Agarish menolak segala jenis obat dan tak mau dibawa
ke rumah sakit. Akhirnya Friona menelepon Gendis
untuk membicarakan jalan keluarnya. Dan akhirnya,
Agarish baru sehat setelah meminum Tolak Angin dan
kerokan sesuai yang Gendis sarankan. Beruntung, isi
buket yang Agarish berikan untuk Sephora masih ia
simpan.

“Jadi, sebenernya tuh dulu buket itu buat diri lo


sendiri, ya, Ga? Gayaan buat gue, ternyata cuma nitip
doang,” ejek Sephora.

“Ra!” decak Agarish.


Flowers | 159
“Iya-iya, nggak lagi.” Sephora meredakan tawanya.
”Gimana kuliah lo, Ga?”

“Nggak gimana-gimana. Gitu-gitu aja.” Agarish


mengelus bahu Sephora lembut. “Jangan marah,”
ucapnya dengan nada rendah. Meski bibir gadis itu
belum mengucapkan apa pun, tapi ia tahu, otak picik
Sephora sedang merencanakan cara untuk
menaklukkannya. “Gue bukan lo yang terbiasa
terencana dan penuh kepastian, ngelakuin segala hal
dengan setting waktu, Ra,” kilahnya.

“Kuliah bukan cuma tentang kelulusan dan ijazah,


tapi juga ilmunya, Ga.” Sephora memperingatkan
dengan nada lembut. Agarish ini harus sering-sering
diluruskan, jika tidak, cowok itu akan masa bodoh dan
hanya menikmati hidupnya begitu saja.

Agarish meringis. Pasti Gendis cerita bagaimana


nilainya yang semakin hancur pada tiap semesternya.

Flowers | 160
“Tenang aja. Demi lo, gue pasti bakal lulus tepat waktu,
meskipun rada berat, sih, kalau harus cumlaude juga.”

“Jangan demi gue, tapi demi diri lo sendiri,” peringat


Sephora.

“Ya, kan, kedepannya dalam kehidupan gue, tetep


ada lo dan buat lo juga, Kes,” elak Agarish.

Sephora menengadah, menatap Agarish lekat-lekat.


“Kalau gitu, buat buktiin omongan lo, selagi di sini, ikut
summer class, ya?”

“Gue ikut gituannya kalau udah di Jakarta ajalah.”


Agarish mendesah dramatis. “Gue jauhjauh ke sini
pengen habisin waktu lebih banyak sama lo, Kes.”

Sephora mengelus pipi Agarish lembut. “Nggak.


Kesayangan gue mesti nurut kali ini.”

Agarish menaikkan salah satu alisnya, bibirnya


tersenyum miring penuh rencana “Boleh.
Asal….”

“Asal apaan?” tanya Sephora.

Flowers | 161
Agarish menahan senyumnya. Hidungnya ia
gesekkan pada hidung Sephora, lalu menyusuri pipinya
dan berhenti tepat di depan bibir Sephora. “I want this.”

Sephora mengangguk perlahan, lalu merangkulkan


tangannya di belakang leher Agarish dan menariknya
mendekat. Detik berikutnya, Agarisih mulai menyatukan
bibir keduanya. Ciumannya terasa halus dan mendesak
dalam waktu bersamaan.

Perlahan dan penuh kelembutan, ciuman Agarish turun


menuju cekungan di dasar leher
Sephora. Gadis itu mengerang dan memiringkan
kepalanya memberi akses lebih kepada Agarish.
Tangannya yang semula ada di pinggang Sephora,
perlahan naik mengelus bahu gadis itu lembut dengan
gerakan teratur, lalu menurunkan kerah leher kaosnya
dan mengigit pelan bahu Sephora yang terbuka.

Mungkin karena sekian bulan tak bertemu dan juga


kondisi yang mendukung membuat hormon

Flowers | 162
testoteronnya meningkat. Sephora sudah tidak dapat
berpikir jernih dan terlarut dalam cumbuan mereka.

“Your kiss should’ve been sloppy…,” komen Sephora


dengan napas terengah saat merasakan Agarish
menghisap kulit lehernya hingga meninggalkan bekas
merah keunguan di sana.

Agarish menghentikan aktivitasnya sejenak dan


berdeham serak. “Masuk, Kes. Di sini terlalu dingin.” Ia
membantu Sephora berdiri dan menggandeng tangan
gadis itu masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu
pembatas balkon.

Mata Agarish masih berkilat penuh damba. Ia


merengkuh pinggang Sephora, keningnya menekan dahi
gadis itu dengan lembut. “And why about the sloppy kiss,
Kes?” tanyanya dengan seringai jahil. Satu tangan ia
pakai untuk menyingkirkan helain rambut ke belakang
telinga Sephora.

Flowers | 163
“Hmmm.” Sephora nampak terdiam beberapa saat.
“Of course, I like it,” jawabnya mainmain, kemudian
terkekeh geli.

Namun, dalam sekejap, tawanya dibungkam Agarish


dengan kecupan di bibirnya. Kecupan yang kembali
menjadi lumatan penuh gairah. “Pelajaran kedua kita,
Kes,” ucap Agarish di sela pagutan keduanya.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuat keduanya


dengan berat hati melepaskan diri dan saling bertatapan
dalam kebingungan. Namun, saat mendengar suara
siapa yang berteriakan di balik pintu, baik Agarish dan
Sephora sama-sama menegang.

“AGARISH! GUE TAHU LO DI DALAM! CEPET BUKA


PINTUNYA! KELUAR LO
BANGS*T!”
***

Flowers | 164
EXTRA PART 9
“Setelah memperbaiki komunikasi, pemahanan dan
saling mengerti adalah kuncinya.”
***
Sephora buru-buru melepaskan diri dari Agarish. Ia
menepuk pipinya dan memperbaiki penampilannya
sehingga Haidar tidak curiga. Ia mengulum bibirnya yang
agak membengkak, ini bukti yang tak terbantahkan atas
apa yang baru saja mereka lakukan barusan.

“Ck, tau dari mana tuh orang, gue ada di sini,” dumel
Agarish.
Sephora menggeleng sama bingungnya. Ia menarik
napas dan mengembuskannya perlahan. Gadis itu
menetralkan debaran jantungnya yang menggila.
Gedoran pintu yang semakin keras membuatnya segera
membuka kunci kamarnya.

Flowers | 165
Tangan Agarish mencegah tindakan Sephora. “Dia
nyariin gue, bukan lo,” cegahnya, lalu mengambil alih
untuk membuka pintunya.

Baru saja ia memutar handle pintu, Haidar sudah


lebih dulu membuka dan mendorong pintunya hingga
terbuka lebar. Matanya memindai seisi kamar kemudian
berhenti pada Sephora yang berdiri mematung di
belakang Agarish.

“BANGS*T LO, YA!” Haidar maju, tanpa aba-aba


mencengkeram kerah baju Agarish.

“Tunggu, Bang! Ini nggak kayak yang kamu pikir. Kita


belum sejauh itu!” Sephora berusaha memisahkan
keduanya.

“BELUM? TERUS KALAU AKU NGGAK DATENG, KALIAN


AKAN? IYA?” Wajah
Haidar nampak semakin kusut penuh amarah, tampak
sama sekali bukan seperti Haidar yang biasanya pandai
membawa dirinya. Penampilannya pun nampak

Flowers | 166
berantakan, terlihat jelas cowok itu buru-buru kembali
dari Manchester.

“Biar pun Haidar nggak berpengalaman, dia juga


bakal bisa bedain, mana bekas gigitan nyamuk sama
yang habis cipokan!” ucap Mika memanas-manasi
sambil bersedekap dada. Ia menatap malas
pemandangan di depannya.

Sephora melotot tajam pada Mika. Mika juga kesal


sendiri, begitu mengetahui dari Justin bahwa Agarish
mendatangi Sephora kemari, Haidar langsung keluar dari
stadion dan mengabaikan pertandingan liga Inggris yang
sedang mereka tonton.

“BANGS*T LO, ANJ*NG!” Haidar melayangkan tinjunya


pada wajah Agarish, membuat Agarish terhuyung ke
belakang. “GUE UDAH PERNAH PERINGATIN LO,
JANGAN MACEMMACEM SAMA ADEK GUE!”
“Lebay banget, sih! Adek lo itu nggak apa-apa. Dia
udah gede, bisa jaga dirinya sendiri!” ucap Mika ringan.

Flowers | 167
“Mending lo urus tuh percintaan lo yang berdebu!”
ejeknya pada Haidar.

Pukulan Haidar jelas tidak bisa diremehkan. Agarish


meringis. Ia mengusap sudut bibirnya yang terasa perih.
Dan mulai semenjak itu, Haidar seperti elang yang
mengintai mangsanya, penuh kewaspadaan dan siap
menerkam kapan saja saat Agarish sedang berdekatan
dengan Sephora.

***

Majalengka, satu setengah tahun kemudian.


Masuk semester tujuh, semua mahasiswa di kampus
Agarish diwajibkan menjalani Kuliah Kerja Nyata atau
KKN. Agarish mengiyakan saja saat Justin
memasukannya ke dalam daftar anggotanya untuk KKN
di sebuah desa. Meski lokasi desa tempat KKN mereka
fasilitasnya nampak kurang memadai karena harus
melewati jalanan rusak dan berkilo-kilo meter untuk

Flowers | 168
mencapai kota terdekat, setidaknya sinyal di desa ini
dapat diakses tanpa batas.

“Nungguin Sephora, lo?” tanya Justin saat melihat


Agarish sudah bersiap menjauhi kumpulan.

Agarish tersenyum kecut. Adanya perbedaan waktu


mengharuskan keduanya untuk pintarpintar mencari
celah kosong ditengah kesibukan agar komunikasi
mereka tetap terjalin. Ia sudah mengurung dirinya di
dalam kamar, jauh dari bising teman-temannya di
halaman rumah yang menjadi tempat tinggal sementara
mereka selama KKN.

Begitu layar Macbook-nya menyala, ia sudah


disambut dengan tangisan Sephora. Kini, yang bisa ia
lakukan sekarang hanya sebagai pendengar. Rasanya
seperti mempunyai dua kehidupan karena saling
menukar cerita. Saling menceritakan apa yang hari ini
mereka lakukan, apa yang mereka rasakan, berbagi

Flowers | 169
solusi atas masalah masing-masing, dari yang sepele
hingga khasus berat.

Dan kali ini, apa yang bisa membuat Sephora hingga


seperti ini? Tentu saja nilai yang tidak memuaskan.
Sedikit info yang ia tahu, ujian mahasiswa sistem blok itu
bisa lebih dari tiga kali.
Ada ujian tulis, ujian lisan, dan OSCE.
“Lagi di apartemen sama siapa?” tanya Agarish.
Sudut hatinya meringis ngilu karena ia tidak bisa berada
di samping gadis itu ketika terpuruk. Namun, sudut hati
lainnya menghiburnya. Setidaknya, Sephora masih
menganggap dirinya ada dan tak berusaha menutupi apa
pun darinya.

“Ada semua, tapi di kamar mereka sendiri-sendiri.


Tiga ujian berturut-turut bikin kualahan,” jawab Sephora
serak.

Flowers | 170
Selagi menyimak cerita Sephora, Agarish
mengetikkan pesan pada Haidar. Ia memaksa
sahabatnya itu melakukan permintaannya.

Agarish Bumi
Demi adek lo, Ngab!

Haidar menggeram kesal, tapi tidak bisa menolak. Ia


mengambil amplop cokelat besar yang dulu dititipkan
Agarish kepadanya. Dengan berat hati, Haidar memakai
topeng bergambar wajah Agarish yang sedang
tersenyum lebar menuju kamar Sephora.

“Lo make apaan, anjir?” tanya Mika yang kebetulan


keluar dari kamarnya untuk mengambil minum. Gadis itu
tidak bisa menghentikan tawanya.

“Diem!” sahut Haidar ketus.


Mika mengangguk. Namun, ia tetap tertawa, tapi kali
ini tanpa suara. Ia mengikuti langkah Haidar masuk ke
dalam kamar.

Flowers | 171
“Nangis aja nggak apa-apa, jangan ditahan,” kata
Agarish sabar. Ia mengangkat ibu jarinya begitu melihat
Haidar dan Mika sudah berdiri tepat di belakang
Sephora. “Bentar,” ucapnya tanpa suara.

“Kan makin nangis guenya.” Sephora makin terisak.


Ia masih menenggelamkan tangannya di atas lipatan
tangan, tak menyadari kedatangan Haidar dan Mika.

“Ya, nggak apa-apa. Sekali-kali nangis boleh, ya, kan?


Lo nggak harus selalu kuat dan nangis, bukan berarti
lemah. Mau peluk nggak, Kes?”

“Jauh…,” rengek Sephora manja di sela isak


tangisnya.

“Dih, kata siapa? Orang gue ada di belakang lo.”

Sephora mengangkat kepalanya dan menoleh ke


belakang. Ia tersentak kaget melihat perwakan tubuh
yang sangat ia kenali. Itu Haidar, tapi bagian wajahnya
terdapat topeng wajah Agarish yang sedang tersenyum
lebar.

Flowers | 172
“Bebas peluk kapan pun,” suara Agarish kembali
terdengar.
Haidar merentangkan kedua tanganya,
mempersilakan adiknya untuk masuk ke dalam
pelukannya. “It’s okay. Masih bisa dicoba lagi,” ucap
Haidar lembut.

Sephora tertawa di dalam tangisnya. “Abang,


makasih, ya.”

Agarish mengetuk layar Macbook-nya, meskipun


Sephora tak bisa melihatnya. “Tok, tok, tok…, permisi,
saya, loh, yang berjasa besar, kenapa nggak diucapin
makasih juga?”

Sephora mendengkus geli. “Iya, iyaaa. Makasih,


Agasayang.”

“Nggak rugi, kan, lo punya gue, Ra?” Agarish


tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
Memang, ya, orang datar kayak Haidar, tuh, nggak perlu
ngelakuin effort lebih udah bisa ngehibur orang.

Flowers | 173
“Ikutan dong!” Mika langsung memeluk tubuh
belakang Haidar, membuat cowok itu menegang kaku
dan Mika menyeringai penuh kepuasan.

***

Siang ini Agarish dan kelompok KKN-nya baru saja


mengikuti kegitan gotong-royong bersama warga desa.
Agarish mengambil ponselnya di atas karpet bersama
dengan barang-barang lainnya. Ia mengernyit dalam
begitu melihat isi chat-nya dengan Sephora nampak
berbeda dengan yang tadi malam.

“Siapa yang bajak HP gue, anjir?!” Agarish menatap


teman-teman kelompoknya berang. Ia menelisik satu
persatu. Berani-beraninya ada yang sengaja mengirim
foto dirinya yang nampak intens dan saling membalas
senyum dengan Mia, teman satu kelompok KKN-nya.
Padahal, kenyataan dibalik foto itu adalah jarak ia dan
Mia berjauhan. Hanya saja karena pengambilan angle

Flowers | 174
yang tepat, menjadikan foto itu terlihat intens seperti
itu.

Agarish mengumpat keras begitu melihat notifikasi


jika Sephora sudah membacanya.

“Sh*t!” makinya pada diri sendiri. Berulang kali ia


menelepon gadis itu, tapi tidak ada jawaban. Puluhan
pesannya hanya terbaca tanpa ada balasan.

Sedikit ragu, Aldo mendekati Agarish dan menepuk


bahu cowok itu. “Udahlah, Bro. Dari situ lo juga bisa tahu
gimana perasaan dia ke lo. Gimana cara dia menyikapi
hubungan kalian.”

Agarish menoleh cepat. “Lo yang ngirim?”

“Iya, gue. Takut banget lo kayaknya. Niat gue baik,


mau bantu lo.”

“Lo bantu apa?” Ada kilat kemarahan yang sama


sekali tidak Agarish tutupi.

“Percaya, kok, sama yang virtual. Padahal, yang nyata


juga ada. Ya, nggak, Mi?” Aldo bersiul menggoda Mia.

Flowers | 175
“Apaan sih?” Mia mendengkus sembari tersenyum
malu.

“Bangs*t!” Tanpa bisa ditahan lagi, Agarish


melayangkan tinjunya di wajah Aldo hingga cowok itu
tersungkur. Ia tidak peduli akan jeritan para gadis yang
berteriak ketakutan. Barusaha bangun, tubuh Aldo
malah kembali tersungkur karena Agarish menendang
kuat bagian perutnya.

“Ga, g-gue cu-ma ber-canda. Prank. Ka-kalau cewek


lo per-caya sama lo, dia pasti ngertiin,” ucap Aldo
terbata.

Mata Agarish menggelap. Ia menarik kasar kerah


baju yang Aldo, memaksa cowok itu kembali berdiri. “Lo
pikir hubungan gue sebercanda itu, hah? Siapa lo ngatur-
ngatur tentang perasaan orang lain, anj*ng!”

“Ya, kan, ya….” Aldo nampak gelagapan kehilangan


kata-kata.

Flowers | 176
Tangan Agarish yang mengepal terhenti di udara
ketika Rio dan Justin berusaha memisahkan mereka,
lebih tepatnya menjauhkan Agarish dari Aldo.

“Kontrol emosi lo!” bentak Justin. Sebagai ketua


kelompok, ia berusaha menyadarkan Agarish yang sudah
seperti orang kesetanan dan membuat kondisi kembali
konsudif. Untuk pertama kalinya, ia melihat kemarahan
Agarish yang seperti ini. “Daripada ngeladenin Aldo,
mending sekarang lo usaha hubungin Sephora lagi. Kalau
perlu, tanya ke Mika atau Haidar,” lanjutnya.

“Haidar pasti tahu Sephora di mana,” Rio


menambahkan.
Agarish mengembuskan napasnya kasar sembari
mengacak rambutnya frustasi. Mungkin sebagian orang
membuat lelucon ataupun melakukan prank agar
hubungan mereka tidak monoton. Tapi, Agarish tidak
menyukai hal seperti itu. Baginya, itu hanya mencari
penyakit dan menimbulkan masalah.

Flowers | 177
Dari awal kuliah, Agarish masih saja dingin dan tak
ingin memiliki banyak kontak dengan para gadis. Kecuali
teman kelas atau yang sekelompok dengannya, ia masih
memiliki toleransi untuk itu.

Tangan Agarish terkepal erat di kedua sisi tubuhnya.


Semalaman, ia berusaha menenangkan Sephora yang
menangis karena mendapat nilai B dalam ujiannya dan
dengan entengnya, Aldo merusaknya. Ia menatap
berang Aldo yang sedang dibantu Franda dan temannya
yang lain untuk diobati di dalam rumah.

Melihat status chat Sephora yang masih saja online,


Agarish mencoba peruntungannya. Ia kembali
menelepon Sephora.

“Angkat, Ra!” mohonnya dalam hati. Detak jantung


Agarish berdegup cepat. Tubuhnya menegang dan
gelisah pada waktu bersamaan.

Dering ke empat, Sephora baru mengangkatnya. “Ya,


Ga?”

Flowers | 178
“Lo marah, Ra? Foto ta—”

“Aga!” potong Sephora lebih dulu. “Gue baru sampai


kampus. Iya, tadi di jalan gue sempet lihat. Cemas
banget lo kayaknya,” kekeh Sephora.

Agarish mendengkus. “Ra!”

“Iya, deh, iya.”


Agarish mulai menjelaskan kejadiannya secara detail.
Ada perasaan lega saat mendapatkan respons tenang
dari Sephora, tapi siapa yang tahu isi kepala gadis itu?

“Jarang atau bahkan hampir nggak, akan ada kondisi


yang sempurna saat kita jalani long distance
relationship, London sebelas ribu kilometer jauhnya dari
Jakarta. Belum lagi kita harus menyesuaikan perbedaan
waktu. We just have to make the most out of the
situation, karena kita komit buat lanjut dan pastinya gue
percaya sama lo!” ucap Sephora dengan nada lembut.

***

Flowers | 179
Flowers | 180
EXTRA PART 10
HAPPY ENDING

Bali, dua tahun kemudian.

“Sejak kapan Franda sama Justin sedeket itu?” tanya


Mika.
Semenjak berpisah saat lulus SMA, para sahabat itu
memiliki agenda rutin untuk liburan bersama. Tidak
mengharuskan untuk ikut, hanya yang bersedia dan bisa
ikut saja. Kini, Bali menjadi tujuan mereka kali ini.

Rio mengikuti arah pandang Mika. Ia tersenyum


lebar melihat bagaimana perhatiannya Justin saat
membantu Franda menuruni bukit curam untuk sampai
di Diamond beach. “Loh?
Belum denger?”
Sephora yang duduk di antara keduanya ikut
menatap dalam diam kedekatan keduanya yang
terbilang cukup intim untuk seorang teman. Ia terhenyak

Flowers | 181
saat Mika tiba-tiba sedikit mendorong bahunya mundur
agar lebih leluasa mendengar berita terbaru dari Rio.

“Apa-apa?” todong Mika tidak sabaran.

“Cinlok waktu KKN,” bisik Rio main-main.

“HAH? Lo yang bener aja, anjir!” decak Mika tak


percaya.
Rio menggosok telinganya akibat teriakan Mika.
“Gue saksinya! Gue satu kelompok KKN sama mereka.”
Ia menyenggol bahu Sephora agar ikut bersuara,
meyakinkan apa yang ia ceritakan pada Mika memang
benar adanya. “Tanya noh Sephora. Cowoknya KKN
sama siapa aja!”

“Kok lo nggak bilang-bilang, sih? Kebiasaan banget


kalau nggak ditanya nggak ngomong nih orang!” Mika
memukul bahu Sephora.

Sephora mendengkus. “Ya, gue kira lo pasti udah tau


duluan.” Biasanya juga dirinya yang mendapat gosip dari
Mika. “Mereka emang KKN bareng, tapi Aga nggak
Flowers | 182
pernah ngomong juga kalau Franda sama Justin sempet
ada apa-ada di sana. Waktu gue tanya gimana keadaan
Franda, dia cuma bilang Franda aman sama Justin. Ya
udah, gue nggak tanya lagi,” terang Sephora. “WAH,
PARAH LO, RA! Masa lo nggak ngerti arti aman yang
Agarish omongin?!” decak

Mika akan ketidak pekaan Sephora. “Terus-terus,


gimana tuh? Kevin gimana?” tanya Mika tidak sabaran.

Haidar yang duduk di sebelah Mika menggeleng


samar akan sesi pergosipan ini. Ia meraup wajah Mika
dengan tangannya hingga gadis itu melotot kesal.
“Apaan, sih?! Ganggu orang gosip aja! Kalau nggak mau
denger, sana jauh-jauh!” ujarnya mengusir.

Haidar mengangkat kedua bahunya tak acuh dengan


raut datarnya. Tidak punya pilihan selain tetap duduk
diam di sini karena teman-temannya yang lain masih
menuruni tebing.

Flowers | 183
“Gimana, Yo?” tanya Mika lagi. Ia menggeser
duduknya menghadap ke arah Rio. Jadilah Sephora
duduk dihampit Haidar dan Rio.

“Bayarlah!” Rio tersenyum tengil yang langsung


dihadiahi Mika bogeman di bahunya. “Ehh, busyeeet!
Malam-malam minum jamu, siangnya dikasih buah tin.
Lama nggak ketemu, masih aja suka nyakitin.” Rio
mengusap bahunya yang nyeri. “Lo mah bukannya harus
di rukiyah, tapi dikawanin biar jinakan dikit! Grady aja ke
mana-mana udah bawa popok bayi, masa lo kalah?”

Sephora tergelak mendengarnya, sedangkan Haidar


tersenyum tipis. Grady yang dulunya selalu klimis, kini
sudah menjelma menjadi papa muda yang lebih sering
mengenakan kaus oblong dan jeans belel sambil
menggendong bayi perempuan satu tahun. Bukan hal
yang mengagetkan jika Grady menjadi yang cepat
menikah setelah Abiputa dan Belva karena pada

Flowers | 184
dasarnya, laki-laki itu memang memiliki sisi mengayomi
dibalik sifat main-mainnya.

“BACOT LO! Ya kali gue nikah cuma buat nyaingin


Grady! Lagian dari dulu juga gue nggak mau sama dia.
Dianya aja yang ngejar-ngejar gue!” jawab Mika terang-
terangan.

“SOMBONG AMAT! Ya, kalau nggak bener, nggak


usah nyolot dong, bos!” ucap Rio, lalu terkekeh.

Mika memutar bola matanya kesal. “Lo bertele-tele


banget, anjrit. Tinggal ngomong gimana ceritanya Justin
sama Franda deket waktu KKN, malah muter-muter
dulu. Nyampe Texas juga nih kita lama-lama!”

“Iya-iya, ya ampun. Tuh pasien lo tau nggak ya


kelakuan dokternya beringas kayak gini,” keluh Rio.
Detik ,kemudian ia memukul mulutnya sendiri begitu
mendapati kepalan tangan Mika sudah berada di depan
wajahnya. Buru-buru ia menjelaskan. “Mungkin
keseringan bareng jadi deket tuh orang dua. Mungkin,
Flowers | 185
ya… mungkin? Perasaan, kan, cuma mereka yang tahu.
Kalau dipikir lagi, mending sama Justin, kan, daripada
sama Kevin yang jelas-jelas nggak seiman? Bukan belain
Justin karena dia temen gue, tapi daripada sama
tingkahnya Kevin, kalau ada masalah suka kabur-
kaburan. Mending juga naklukin pakboy.”

“Mending darimana—”
Omongan Mika menggantung begitu Queensha
datang bersama seorang cowok. Gadis itu menyapa
mereka semua yang sudah tiba lebih dulu.

“Wah, emang kita nggak bakal paham gimana cara


kerjanya waktu,” ucap Rio takjub. Ia kembali bicara
setelah Queensha berlalu dari hadapan mereka. “Lo
nggak cemburu, kan, Dar?”

“Nggak!” jawabnya singkat. Kenapa orang mudah


sekali salah mengartikan kebaikan seseorang. Ia sedikit
memberi perhatian dan memedulikan Queensha bukan
karena menaruh hati,. tapi Queensha adalah teman
Flowers | 186
dekatnya semasa SMP. Sikap manja gadis itu
mengingatkannya pada Sephora, apalagi pada masa itu
ia dan Sephora sedang berjauhan.

“Bagus, deh!” Rio menggaruk belakang kepalanya


canggung. “Grady yang dulu bucin Mika, malah nikah
duluan. Queensha yang dulu ngejar-ngejar Daniel,
pulang dari Aussie udah bawa tunangan. Lah, kita napa
masih pada sendiri aja, dah. Perasaan muka nggak malu-
maluin buat dibawa kondongan. Kerjaan? Ada. Duit?
Ngalir. Warisan? Nggak usah ditanya, gunung aja kalah
gedenya,” lanjutnya dramatis.

“Itu kalian, bukan gue!” sanggah Sephora jutek


sambil membenarkan kaca mata hitamnya yang
merosot.

“Enam tahun pacaran masih gini-gini aja, lebih parah,


sih,” ucap Mika dengan nada becanda.

Flowers | 187
“Ma… ma… mau dibawa ke mana… hubungan kita~”
Rio mulai bersenandung ringan mengejek Sephora
menggunakan lagu Mau Dibawa Kemana milik Armada.

“Jika kau terus menunda-nunda,” sahut Mika ikut


bernyanyi dengan mimik wajah tersakiti yang dibuat-
buat.

Ketiganya lalu dengan serempak menatap orang


yang sedari tadi diam tak bersuara. Merasa
diperhatikan, Haidar mengangkat sebelah alis bertanya.

“Lanjutin, Bang. Biar sekalian aku nampungnya,”


pinta Sephora.

“Harus?” tanyanya datar. Mendapati anggukan dari


ketiganya, ia menatap sekeliling gusar, lalu berdehem
singkat. “Dan tak pernah nyatakan keseriusan,”
lantunnya tanpa minat.

“Yaaaaaah!” seru Mika dan Rio bersamaan.


Keduanya masih ingin melanjutkan liriknya.

“Mau dibawa kemana hubungan kita

Flowers | 188
Ku tak akan terus jalani

Tanpa ada ikatan pasti

Antara kau dan aku~”

“Tenang, Ra. Tuhan nggak bakal salah ngasih jodoh,”


ucap Rio masih dengan sisa tawanya.

“Tuhan emang nggak bakal salah, tapi kadang waktu


dan orangnya aja yang kurang tepat.” Mika
menambahkan.

“Oh, iya?” Sephora mengeluarkan ponselnya, lalu


memutar video yang memperlihatkan bagaimana Mika
dan Haidar berciuman di kabin pesawat saat
penerbangan London-Bali mereka. “Kadang Tuhan juga
biarin umatnya ngelihat sesuatu yang nggak pernah kita
sangka-sangka.”

Wajah Mika dan Haidar nampak pias. Keduanya


terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri.

“WAH, ANJ*NG! GILA!” Rio shock bukan main. “Gue


kira lo masih nyimpen hati buat Queensha, ternyata

Flowers | 189
diem-diem… kalian…,” tunjukknya pada Mika dan
Haidar. “KOK BISA?!”

Sephora tersenyum miring. Ia mematikan layar


ponselnya, lalu berdiri sambil menepuk bagian belakang
celananya, membersihkan pasir-pasir yang menempel.
“Itu… mungkin salah satu cara Tuhan nunjukkin
jalannya.”

“Tak perlu kau tanya lagi. Siapa pemilik hati ini. Kau
pasti dirimu.” Sephora berjalan menjauh sambil
melanjutkan lantunan lirik yang mereka nyanyikan tadi
tanpa memedulikan Haidar dan Mika duduk salah
tingkah.

Umurnya memang semakin bertambah dan teman-


temannya satu persatu menikah. Namun, itu bukan
suatu masalah untuknya karena menikah dan berumah
tangga, bukan ajang perlombaan baginya. Setidaknya
memiliki kekasih seperti Agarish sudah cukup untuknya.

Flowers | 190
“Durasi berapa detik tuh?” tanya Rio sambil
mengejar Sephora yang penuh kemenangan. “Bagi link,
Ra!”

***

Agarish mendesah lega begitu pekerjaannya selesai.


Ia mengucek matanya yang terasa berat karena menatap
layar Macbook dari pagi hingga menjelang sore. Seberat
ini ternyata menjadi orang dewasa. Di tengah liburannya
yang seharusnya dipakai bersantai, masih ada saja hal-
hal yang harus dikerjakan, membuatnya tertahan di vila
seorang diri.

“Demi lo nih, Ra,” ucapnya sambil menutup layar


laptopnya. Ia terkekeh geli pada dirinya sendiri, tak
menyangka dirinya bisa sejauh ini.

Mengingat bagaimana hopeless ia tiga tahun lalu


membuatnya meringis ngilu. Seorang mahasiswa yang
hanya tau bersenang-senang tanpa memedulikan masa
depan. Ia mengira tak berbeda jauh dengan Sephora
Flowers | 191
karena semua orang itu bernilai sama. Hingga akhirnya
Agarish tersadar, jika dirinya sudah melenceng jauh dari
jalur. Sejak itu, ia mulai serius mengejar
ketertinggalannya dan bertekad menyejajarkan dirinya.
Biar bagaimanapun, ia menyukai Sephora.
Agarish tidak bisa menerima jika dirinya tidak cukup
layak.
Itu semua tidak mudah, tapi tidak ada kata
terlambat. Slow progress however still progress. Your
effort now, will pay off in the future. Selagi bisa, tetap
berusaha keras.

Setelah lulus kuliah dengan IPK yang terbilang tinggi,


Agarish kembali bingung harus ke mana. Fresh graduate
yang kehilangan arah. Hingga Adrian menawarkan
pekerjaan untuknya. Tentu saja ia tidak bisa masuk
begitu saja karena Ayah Sephora hanya memberikan info
jika di kantornya terdapat lowongan. Untuk bisa
diterima, harus menggunakan usahanya sendiri.

Flowers | 192
Friona tidak mengiizinkan Sephora kembali ke
Jakarta selama pendidikannnya belum selesai. Jadi, ia
dan kedua orangtua gadis itu yang sering berkunjung ke
sana. Lelah LDR, akhirnya Agarish mengambil langkah
berani. Satu tahun kerja, akhirnya ia berhasil mendapat
beasiswa melanjutkan S2-nya di London. Dua bulan
berikutnya, ia bertemu dengan teman satu kelas ketika
mengikuti summer class yang menawarkan untuk
magang di konsultan arsitektur di sana, sebuah
pencapaian yang luar biasa baginya.

Meski sudah tinggal di negara yang sama dengan


Sephora, bahkan tinggal di unit apartemen yang
bersebelahan, pertemuan mereka sangat terbatas.
Selain dirinya yang sibuk kuliah dan bekerja, gadis itu
juga mempunyai jadwal koas yang padat dan menguras
tenaga.

Flowers | 193
“Just focus on that. Do our best to make this work,

okay? I will support you and we’ll be fine,” ucap Sephora

kala mereka mengobrol bersama.

Dalam mencapai sesuatu, memang harus ada yang


dikorbankan, bukan? Mengorbankan kebersamaan
mereka untuk masa depan itu worth it. Jika sudah begini,
keduanya jadi tahu arti sebuah kegigihan. Sephora yang
selalu menemaninya dan ia yang bucin pada gadis itu.

Agarish keluar dari kamar, berniat menuju dapur


untuk mengambil minum.

“Gue kira lo ikut anak-anak ke Nusa Peninda?” tanya


Abiputra yang sedang bersama Belva di dapur vila yang
mereka sewa.

“Gue kira lo juga ikut mereka.” Agarish mendengkus


melihat kemesraan keduanya. Mentang-mentang
pengantin baru, jadi nempel terus. “Biasa. Kerjaan
dadakan, nggak bisa ditunda,” jawabnya dengan nada
lelah.

Flowers | 194
“Yakin diem di vila aja? Nggak masalah lo kalau
Sephora di sana make bikini dan diliatin orang banyak?”
goda Abiputra.

“Orang tuh anak di sana malah tiduran,” balasnya


sambil terkekeh mengingat foto Sephora yang sedang
berbaring di atas pasir pantai dengan buku yang
menutupi wajahnya. Meski tidak bisa ikut, ia masih bisa
meminta teman-temannya yang di sana untuk
mengirimkan foto candid Sephora.

Agarish menarik kursi meja makan dan


mendudukinya setelah mengambil minum. “Dulu lo
ngelamar Belva gimana caranya, Bi?”

Abiputra dan Belva langsung menghentikan


gerakannya mememotong sayuran. “Kenapa emang? Lo
mau ngelamar Sephora?

“Iyalah. Udah jalan sejauh ini, ya kali nggak sampai


pelaminan. Bingung banget gue. Sephora emang nggak
pernah nuntut hal-hal yang romantis, tapi dia juga
Flowers | 195
bakalan ngambek kalau gue nggak nyiapin apa-apa
waktu ngelamar dia.”

Abiputra menggaruk tengkuknya yang tak gatal,


merasa tersindir karena dulu ia tidak memiliki persiapan
apa pun saat melamar Belva. Ia hanya menanyakan apa
Belva bersedia menjadi istrinya saat sedang makan siang
bersama dan langsung memasangkan cincinnya begitu
diterima.

“Jadi diri lo sendiri aja,” saran Abiputra. “Emang bikin


bingung juga, sih, tapi hal kayak gitu jangan sampai bikin
langkah lo jadi maju mundur.”

“Karena cewek butuh kepastian,” Belva


menambahkan dengan nada bijak.
***

Setelah dua hari menjelajahi Nusa Peninda,


keesokkan harinya mereka pindah ke vila di kawasan
Kuta. Perjalanan yang memakan waktu cukup lama
membuat mereka baru tiba sore harinya. Seperti tidak

Flowers | 196
memiliki rasa lelah, selepas membersihkan diri mereka
langsung mengunjungi finns beach club yang terletak di
pinggir Pantai Canggu untuk menikmati keindahan
sunset yang penuh warna hingga menggelap.

“Habis ini ke mana lagi?” tanya Agarish yang seakan


mengerti teman-temannya tidak akan kembai ke vila jika
belum dini hari.

“Mau coba naik 5GX Reverse Bungy,” jawab Mika.

“Apaan?” tanya Agarish tak mengerti.

Mika men-scroll ponselnya, lalu memutar video


memperlihatkan wahana yang berbentuk seperti bola
logan dan hanya bisa dinaiki maksimal tiga orang.
Permainan itu seperti ketapel raksasa yang dilemparkan
ke udara, dilepas dan melesat tinggi.

“Nggak ada yang lain?”

“Ya, terserah lo mau ikut apa nggak. Palingan Rio


sama Fabian mau langsung ke club,” terang Mika.

Flowers | 197
Berwisata bersama bukan berarti harus pergi ke
mana pun bersama-sama, karena ini bukan study tour
yang diharuskan mengikuti kegiatan sesuai jadwal yang
tertera.

Agarish menghela napas pasrah. Matanya kembali


memandang hamparan pantai di depannya.

“Kenapa?” tanya Sephora pada Agarish yang sedari


tadi nampak gelisah seperti memikirkan sesuatu.

Agarish menggeleng. “Nggak apa-apa. Dingin nggak?


Anginnya kenceng di sini.”

“Gue oke, kok.”

Agarish mengangguk. Tangannya terulur menuju


bahu Sephora, merasakan kulit gadis itu yang terasa
dingin dan mengelusnya lembut.

***

Begitu semua setuju untuk berkeliling sepanjang


jalan Legian, akhirnya mereka sampai di depan wahana
5GX itu. Setelah melihatnya secara langsung, sebagian
Flowers | 198
dari mereka memilih mundur dan menjadi penonton
saja.

“Nggak-nggak. Gue tunggu aja di sini,” tolak Agarish


saat Sephora menarik tangannya.

“Cobain dulu, Aga,” rayu Sephora.

“Coba-coba… kalau nggak cocok, gue tinggal lompat


gitu aja dari atas maksud lo? Ck, nggak bener lo, ah.”

Sephora tergelak. “Badan doang gede, ternyata nyali


seujung kuku,” ledeknya.

“Bacot, bacot, bacot, gue nggak peduli, weeek!” ucap


Agarish masa bodo.

“Kalau kayak gini aja lo nggak berani, gimana mau


ngelindungin adek gue,” ucap Haidar.

“WOOOO!” teriak mereka serempak. “PANAS,


PANAS, GASLAH, GA! MASA NGGAK!”

“Ck, AYOK!” gas Agarish kesal.

Flowers | 199
Begitu ia sudah duduk dan tali pengaman mulai
terpasang, saat itulah penyesalan Agarish tiba.
Wajahnya memucat dengan degup jantung menggila.

“Slow, Ga. Entar lo teriak yang kenceng atau ketawa


buat ngilangin serangan panikmya.” Sephora yang duduk
di tengah menepuk pelan tangan Agarish yang
mencengkeram erat tali pengaman. Abiputra yang
duduk paling ujung tidak bisa menghentikan tawanya
melihat nyali temannya yang menciut.

Sesuai request mereka yang tidak ingin diberi aba-


aba, begitu asap mengepul, detik berikutnya benda yang
mereka naiki itu melambung ke udara dengan kecepatan
200km/jam, kemudian jumping meluncur ke bawah dan
kembali ke atas, begitu seterusnya.

Jika Sephora dan Abiputra berteriak, lalu tertawa


puas. Teriakkan Agarish yang paling kencang terdengar.
Jantungnya berdebar tak karuan, belum lagi badannya
yang terasa melayanglayang, terlempar ke sana kemari.

Flowers | 200
“Kakinya di tekuk aja, Aga. Senderan duduknya!”
teriak Sephora mengingatkan.

“Apaan?! Nyawa gue udah keluar masuk ini


rasanya!” keluh Agarish.

“Udah gue bilang gue nggak mau ikuuuuut!”


teriaknya. Ia semakin kesal setiap kali ia meneriakkan
itu, kakinya terangkat membuat dirinya seperti
terombang-ambing. “LO HARUS
TANGGUNG JAWAB, RA! POKOKNYA KALAU UDAH
TURUN, LO HARUS TERIMA
LAMARAN GUE!”

Sephora menoleh. “Hah?”

“Kita udah pacaran berapa tahun?” tanya Agarish. Ia


bernapas sedikit lega begitu wahana mulai turun ke
bawah dangan perlahan.

“Jalan enam tahun,” jawab Sephora tak yakin.

“Lo bosen nggak, sih? Dalam waktu selama itu, kita


masih tetep pacaran?”

Flowers | 201
Alis Sephora semakin berkerut mendengarnya, tak
paham kemana arah pembicaraan cowok itu.
“Maksudnya apaan, sih? Lo mau putus?”

Agarish menatap lekat mata keabuan milik Sephora.


“Nikah, yuk, Ra, sama gue?”

Sampai petugas melepas tali pengamannya, Sephora


masih saja terdiam. Abiputra memilih menyingkir
memberi ruang untuk keduanya berbicara.

“Ra, mau nggak lo? Lama amat, sih, jawabnya?”


tanya Agarish tak sabaran. Detak jantungnya lebih
menggila lagi daripada menaiki wahana.

“Lo serius? Gue diem karena takut salah denger.”

“Ck, gue selalu serius kalau soal lo ataupun kita!”


Agarish menggaruk kepalanya salah tingkah. “Gue tau,
momen kayak gini harusnya diucapin dengan cara yang
romantis, tapi—”

Flowers | 202
“Gue mau!” sela Sephora cepat. Enam tahun waktu
yang cukup lama untuk mereka beradaptasi dan saling
menerima.

Semakin mengenal, semakin kita tahu segala


kelebihan dan kekuranganya. Masing-masing dari
mereka memutuskan untuk terus lanjut, saling menjaga,
dan memperbaiki diri.

Agarish tak bisa menyembunyikan senyum


bahagianya. Ia menarik Sephora masuk ke dalam
pelukannya, lalu mengangkatnya memutar.

“Kebiasaan, ih!” kekeh Sephora.


Mengurai pelukan mereka, Agarish mengambil cincin
yang sudah ia siapkan dan memasangkannya di jari
Sephora. “Selamat! Mulai saat ini, anda akan terjebak
bersama saya seumur hidup!”

***

END
Flowers | 203

Anda mungkin juga menyukai