Anda di halaman 1dari 69

/45/ cuma kita ada kita berdua

"Co,"

"Hm,"

Isco bergumam sambil terus membereskan barang-barang miliknya yang bertebaran di


lantai. Sementara, pelaku sebenarnya kini berbaring di ranjang mengawasi pekerjaan Isco.
Ya, akhirnya Hanin meminta Isco membereskan kekacauan yang dibuatnya sebagai ganti
gagalnya makan siang.

"Kenapa nggak ada foto kamu sama keluarga kamu disini?"

Isco melihatnya sesaat. Dia mendengus, lalu meletakkan maskot gelaran tertinggi olahraga
sedunia ke dalam lemari pendek, dekat meja kerjanya. "Kenapa? Sepenting itu foto
keluarga?"

Hanin menarik nafas. Dia selipkan tangannya di bawah kepala sebagai bantal. "Supaya bisa
dilihat kalau lagi kangen. Kamu nggak pernah kangen sama orangtua kamu?"

Isco menggeleng. Kali ini, dia mengambil pajangan yang dia dapat sebagai oleh-oleh
pertukaran mahasiswa dulu. Sudah lama sekali, tapi masih dia simpan dengan baik. Dia
atur di dekat piagam penghargaan yang pernah dia peroleh.

"Hati kamu pasti terbuat dari Wurtzite,"

"What the fuck is that?"

"Wurtzite itu material paling keras di dunia,"


"Kupikir hati malah dibuat lebih keras daripada apa tadi? Wurtzite, ya?"

"Sepertinya gitu,"

Hanin mendengar suara tawa pelan dari Isco. Lelaki itu menepuk bantal kecil dan
menaruhnya di kursi single dekat lemari. Melihat banyaknya barang yang dia sudah
dibereskan, luar biasa niat Hanin mengumpulkan semua demi menyerangnya.

"Co,"

"Apalagi?" sergah Isco. "Tidur aja kenapa?"

Hanin tersenyum tipis. "Kalau kita berantem hebat-" Hanin menarik nafas. "Apa kamu akan
mukul aku?"

"God, no!" desis Isco. Dia lihat Hanin. "Kamu ngomong apa? Kamu pikir aku apa?"

"Memangnya apa yang kamu pikirin kalau ada cowok mukul cewek?"

"Banci! Apa lagi?"

"Papa suka mukulin Mama kalau mereka lagi cekcok." Hanin menarik nafas, membuang
pandangannya.

Kening Isco berkerut. Kenapa tiba-tiba membicarakan keluarga?

"No way." ujar Isco.


Dia meletakkan buku yang dia pegang di kursi terdekat, bukan di rak. Dia kemudian duduk
lantai, namun tubuhnya sempurna menghadap Hanin yang berada di atas tempat tidur,
sangat dekat dengan posisinya saat ini. "Kamu juga dipukul?"

"Sering." jawabnya pelan.

"That's fucking coward! Kamu nggak lapor?"

Hanin tertawa pelan. Isco melihatnya tak percaya. Itu jelas Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Ada pasal yang mengaturnya dengan jelas. Pelakunya bisa terjerat hukum.

"Kamu takut?" tanya Isco.

Hanin mengangguk. "Semuanya baik-baik aja sampai you know, another woman. Aku tahu
kalau papa selingkuh dan nggak diam aja. Jadi, waktu aku bilang ke mama soal itu, aku
malah jadi bulan-bulanan mereka. Papa nuduh aku bohong. Mama nyalahin aku karena
udah bikin keluarga kami hancur,"

"Hah? Itu kan bukan salah kamu," komentar Isco.

"Mereka nggak peduli. Papa mulai nggak pulang ke rumah, kerjaannya di kantor mulai
berantakan. Mama mulai nggak sabaran, melampiaskan semua ke aku dan Ralin. Waktu
papa pulang, kerjaan mereka cuma berantem dan papa mudah banget main tangan."

Hanin tertawa pelan. "Hari itu, aku harusnya seminar proposal. Kesempatan terakhir. Tapi,
aku nggak datang karena wajahku ada lebamnya dan nggak bisa ditutupin. Papa ngancam
kalau cerita ke polisi akan makin nyakitin mama. Aku dan Ralin dulu iya-iya aja, karena
kami takut. Abis kejadian itu, papa makin parah dan aku nggak ke kampus, meski udah tiga
kali panggilan."
"Hanin, are you serious? Kamu biarin gitu aja? Come on!" Isco menggeleng, malah
terpancing emosi.

Hanin menghela nafas. "Mama masih nyalahin aku karena aku jujur soal selingkuhan papa,
soal main judi papa, dan keluarga papa akhirnya membenci mama karena nggak bisa
ngurus papa dengan benar. Ujungnya, aku yang disalahkan."

Isco menahan nafasnya untuk beberapa saat. Jadi, ini penyebab buruknya hubungan Hanin
dan Firda.

"Harusnya kamu seminar, harusnya kamu lapor ke polisi biar papa kamu tahu yang dia
lakukan salah!"

"Setelah aku pikir lagi, harusnya memang aku datang aja waktu itu. Biar bisa jadi cara bawa
papa ke penjara. Tapi, mama juga ngelarang aku pergi. Aku yakin, kalau aku pergi juga hari
itu, papa udah ngabisin mama dan Ralin."

"God, that was terrible," tangan Isco naik untuk menangkup telapak tangan Hanin.

"Bukannya keluarga harusnya jadi tempat paling nyaman untuk kita, ya?" Hanin berdecih.

"Nggak semua."

"Aku berusaha memperbaiki semuanya lagi. Aku minta maaf ke mama dan keluarga kami.
Tapi, nggak ada yang bisa aku baikin. Padahal, bukan aku yang salah. Gara-gara itu, aku
nggak selesai kuliah."

"Hanin-"
Hanin mengembuskan nafas. "Papa di penjara sekarang. Aku lapor ke kakekku waktu itu
dan dia langsung bawa aku ke kantor polisi." katanya. "Pacarnya nggak tahu kemana, bawa
uang dia. Dia ninggalin hutangnya ke kami. Mama masih beranggapan itu adalah salah aku.
Kalau aja aku tetap diam, papa mungkin nggak akan jadi temperamental. Kalau aku nggak
bilang apa-apa ke keluarga papa, pasti keluarga kami masih baik-baik aja. Aku nggak tahu
siapa yang benar dan salah."

"Of course you were right!" sergah Isco. "You did well dengan ngelapor."

"Did I?" Hanin menatap Isco.

Isco menggeser tubuhnya rapat dengan ranjang, jadi dia bisa berada lebih dekat dengan
Hanin. Dia pindahkan tangannya mengelus pelipis Hanin, merasa iba. Dia pikir, Hanin
hanya punya masalah biasa dengan Firda. Dulu, dipikiran Isco, masalah cinta tak direstui.
Konyol sekali. Dia juga tak pernah bertanya dimana ayahnya. Rupanya ini, luka yang
dipendam Hanin dan dia bawa kemana-mana.

"You did. You are," bisik Isco. "I am really proud of you."

"Tapi, mama masih nggak terima. Kamu lihat, kan? Dia masih begitu benci sama aku."

"Tapi, dia bikinin aku dimsum,"

"Mungkin karena dia sayangnya sama kamu,"

"Everything is going to be okay," Isco mengangguk, berusaha mendoktrin Hanin kalau


semuanya akan membaik. Dia dan ibunya terutama. "You did well. You are okay."

Hanin tersenyum. "Kenapa aku certain ini ke kamu, sih?"


"Thank you. Kukira sifat kamu yang belagu, sok kuat, dan nggak kenal takut itu, hasil
pencarian di internet,"

"Apasih," Hanin mendorong tangan Isco menjauh. "Garing banget,"

Isco tertawa. "Jadi, maaf sekali lagi karena nggak datang ke resto tadi siang."

Hanin menghela nafas, lalu mengangguk sekali. "Itu buku kamu masih banyak yang belum
diberesin,"

Isco tertawa lalu mengacak rambut Hanin sebelum berdiri. Dia kembali memunguti
bukunya di lantai, kali ini meletakkannya di rak seperti sebelumnya.

"Ceritaku, kayaknya kebalikan dari cerita kamu." Isco menatapnya dari tengah ruangan.

Kening Hanin berkerut. Kebalikan maksudnya apa? Ayahnya juga kriminal?

Suara dering ponsel membuat Hanin menoleh ke meja di dekatnya. Isco kemudian
mengambil ponselnya. "Kamu tidur aja, aku harus urus ini." dia keluar kamar.

"Kebalikan?" gumam Hanin. "Bagian mana?"

Dia yang kriminal?

-----

Tangan Hanin ditarik cepat, membuatnya tak tahu apa yang terjadi. Tiba-tiba, dia bernafas
di dekapan Isco. Dada pria itu naik turun dengan cepat, lalu umpatan keluar dari mulutnya.
"Idiot. Dia pikir keren kebut-kebutan di parkiran?" dia melepaskan tangannya, lalu
menunduk. "Kamu nggak lihat ada motor?"

Hanin menelan ludah. Dia melihat Isco, lalu celingukan mengamati jalan sekitarnya. Dia
menggaruk belakang kepalanya, mencoba berpikir. Benar, dia tak melihat ada motor. Dia
yakin sekali tidak ada motor.

"Aku nggak lihat," katanya bingung. "Lagian, ini parkiran mobil. Kenapa ada motor?" dia
berasumsi.

Isco mengangkat alisnya. Benar! Harusnya tak ada kendaraan roda dua di area parkir ini.
"Ck, tetap aja itu mata dikasih dua, masih bagus, ya dipake," rutuknya sambil berjalan lebih
dulu.

Hanin menoleh sekali lagi. Saat-saat seperti ini, dia selalu merasa ada yang mengikutinya.
Kejadian tak masuk akal, pesan aneh yang masih dia terima, atau seperti pengawasan dari
kejauhan. Berdecak, Hanin akhirnya menyusul Isco yang kini sudah mengambil troli dan
masuk ke dalam swalayan.

Hanin berjalan di sampingnya. Satu kejadian tak masuk akal lainnya juga terjadi disini.
Sepulangnya dari rumah Wanda, dia menelepon Bi Ani apakah dia membutuhkan sesuatu
untuk keperluan di rumah. Bi Ani tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengirimi Hanin
daftar panjang belanjaan, seperti yang dulu dia kirimkan pada Arnav.

Hanin sebenarnya hanya minta didrop saja oleh Isco, dia bisa belanja dan pulang sendiri.
Karena sungguh, ada banyak barang pribadi yang harus dia beli. Tapi, saat mesin mobil
dimatikan di area parkir tadi, Isco melepaskan sabuk pengaman dan bilang mau ikut. Hanin
ingin bilang tidak, tapi come on ini adalah kesempatan emas. Setelah setelan pilihan
akhirnya dipakai Isco, kini dia bahkan mau ikut belanja. Terserah kalau ini hanya
permainan Isco, tapi dia harus ingat yang menguasai api adalah Hanin.

"Itu nggak ada di daftar belanja Bi Ani," cegah Hanin saat Isco memasukkan tiga kotak
sereal.

"Ini buatku!" dia menatap Hanin.

"Oh," Hanin merapatkan bibirnya.

Dia lalu mengajak Isco menelusuri area fresh market, dimana sayur, buah, dan aneka
protein disediakan. Hanin membuka kembali pesan yang dikirim Bi Ani dan dengan lancar
memasukkannya ke dalam troli. Isco tak berkomentar aneh-aneh, selain pada penataan
sayuran yang dia pikir begitu ditumpuk oleh pihak swalayan.

"Gantian kamu dorong," ujarnya saat troli mereka hampir penuh.

Hanin hanya perlu menambahkan aneka bumbu masak dan kebutuhan sekunder rumah
tangga lainnya.

"Apaan?" tanya Hanin. "Nggak ada ceritanya cewek dorong troli kalau dia bawa cowoknya,"

Isco menggeleng. "What's wrong with emansipasi wanita?"

"Eh, emansipasi bukan gitu maksudnya! Emansipasi dalam kesetaraan gender berarti
wanita punya hak yang sama dengan laki-laki untuk mengaktualisasikan dirinya. Berkarir,
mengejar mimpi, dan menetukan pilihan atas dirinya sendiri,"
"Waw," Isco mengangguk-angguk. "Kalau begitu, kamu bisa tentuin pilihan kamu sekarang.
Kamu boleh tinggalin troli disini atau kamu bawa. Yang jelas, aku mau kesana," ujarnya
menunjuk section makanan ringan.

"Ya udah kesana sama-sama," kata Hanin tak mau kalah.

"Ya udah, ayo." kata Isco santai, tapi meninggalkan troli di dekat Hanin.

"Isco!" serunya, namun jelas diacuhkan lelaki itu.

Hanin menghela nafas, lalu mengambil pegangan troli dan mendorongnya. Menunda
membeli kebutuhan dapur lain, dia mengikuti Isco. Membiarkan lelaki itu memasukkan
makanan ringan yang sepertinya memang selalu distok di rumah. Beberapa lainnya, Hanin
pikir merupakan makanan kesukaan Isco.

"Kamu nggak beli?" tanya Isco saat Hanin patuh saja mengikutinya, tapi tak memilih apa-
apa.

Hanin melihat keadaan trolinya dan menggeleng. "Kayaknya udah banyak banget. Nanti
susah bawanya, belum lagi bayarnya,"

Isco berdeham. "Kamu pikir, ini nanti kamu yang bayar?"

Hanin mengangguk. Selama ini, setiap dia belanja kebutuhan rumah, selalu dia yang bayar.
Hari inipun termasuk.

"Nope, hari ini, aku yang bayar. Bahagia kan kamu aku ikut belanja?" Isco mengambil
pegangan troli dan mendorongnya. "Apalagi nih?" serunya.
Saat mereka dikasir, dari pintu besar yang terbuka lebar tampak hujan turun dengan deras.

"Co, beli payung sana. Ambil di bagian hardwear," ujar Hanin saat satu persatu barangnya
dihitung.

"Di mobil ada payung,"

"Ya sebelum sampe mobil kita udah basah," kata Hanin berargumentasi.

Isco memasukkan semua potongan keripik kentang yang tersisa ke dalam mulutnya. Lalu
mengunyahnya dengan cepat. "Kamu nanti tunggu di pintu depan, aku ambil mobil."
katanya sambil berlalu. Hanya beberapa langkah, dia kembali. Mengeluarkan dompet dan
mengambil kartu debit miliknya. Dia serahkan pada Hanin, sambil berbisik di telinga
wanita itu.

"1928374655." dia melihat Hanin. "Ingat?"

Hanin menggelengkan kepalanya cepat karena dua hal. Pertama, dia jelas tidak ingat.
Kedua, getaran suara Isco yang masuk ke dalam telinganya membuat dia seperti terbawa
ke tempat lain. Tempat dimana, hanya ada goresan berwarna cerah dengan ilusi
menyenangkan.

Isco berdecak. "1928374655." ulangnya kali ini, bahkan lebih lambat dari yang pertama.

Jangan gini dong, Hanin memelas dalam hati.

"Handphone kamu mana?"


Hanin bahkan tak merasakan tangannya merogoh ponsel dari saku rok yang dia kenakan
dan memberinya pada Isco. Sampai lelaki itu menjentikkan jari di depan wajahnya, barulah
Hanin mengerjap dan menerima kembali ponselnya. Saat itu pula, Isco beranjak.

"Bajingan!" umpatnya tanpa sadar. Hanin mendongak. "Oh, maaf. Maksudnya, iya itu lah
pokoknya, bukan kamu." dia tersenyum garing.

Hanin menyelesaikan transaksi lima menit kemudian dan trolinya penuh dengan kantong-
kantong belanja kertas berwarna putih. Dia mendorongnya ke arah pintu sambil
mengawasi orang-orang yang berlarian di bawah hujan guna mencapai pintu.

Bajingan bajingan sialan! rutuk Hanin dalam hati saat dia mendapati Isco berdiri
memegang payung di bawah hujan.

Lelaki itu berbalik melihatnya, lalu tersenyum. Jika dia tak memikirkan belanjaan yang
banyak ini, dia akan menuruni anak tangga dan menyongsong Isco untuk dia peluk. Pria itu
tampan, seperti yang selama ini dilihat Hanin. Dia mengenakan long sleeve berbahan tebal
dan celana jeans. Sepertinya, insting Isco bekerja dengan baik karena dia
memilih outfit yang sangat cocok dengan suasana dingin saat ini. Rambutnya sedikit
berantakan, karena dia memang tak mengenakan gel setelah mandi tadi. Malahan, sedikit
basah di puncaknya pasti terkena hujan saat dia berlari ke mobil mengambil payung.

"Boleh dibawa sampe sana nggak trolinya?"

Hanin mengangguk saja. Tak sadar kalau lelaki itu lebih dulu menaiki anak tangga,
dibandingkan dia yang punya rencana menuruninya.

"Kamu tunggu, aku masukin ini dulu ke mobil. Are you okay?" tanya Isco sambil menunduk,
memerhatikan perut Hanin.
Hanin menelan ludah. Berhasil memaksa otaknya bekerja keras, tangannya naik mengelus
perutnya. Menggigit bibir, Hanin membuang pandangan.

"Sakit perut?" tanya Isco lagi. "Kelamaan berdiri ya?"

Fuck! Hanin menggeleng. "Nggak papa." katanya kemudian. "Cepat sana, batas dropnya
nggak lama,"

"Duduk aja di kafe itu kalau capek, aku bawa ini dulu." Isco lalu membawa troli menuruni
tangga yang terletak di pojokan, bersebelahan dengan jalur difable. Lajur yang memang
dikhususkan untuk membawa troli turun.

"Gawat!" gumam Hanin pada dirinya sendiri.

Tatapannya tak lepas pada Isco yang memindahkan barang ke bagasi belakang mobil.
Perempuan itu tersenyum beberapa kali, saat Isco kesusahan menjepit tangkai payung di
bahunya, agar kedua tangannya bisa bekerja lebih cepat.

"This is not the game I want," Hanin menghela nafas.

Selesai. Isco menutup pintu bagasi, lalu membuka pintu penumpang bagian belakang. Saat
dia menutup pintunya, Hanin bisa melihat ada jaket di tangan Isco. Pria itu berjalan cepat
kembali menuju pintu masuk swalayan, menginjak anak tangganya satu persatu dan
berhenti di hadapan Hanin. Menjepit kembali payung dengan leher dan bahunya, dia
sampirkan jaket itu ke bahu Hanin.

"Kamu bisa taruh aja payungnya," kata Hanin.


"Oh," Isco tersenyum tipis, meletakkan payung dan mengambil jaket di bahu Hanin. "Pake,"
dia arahkan lengan jaket pada lengan kanan dan kiri Hanin. Kemudian, dia tutupkan
ponconya ke kepala Hanin.

"Ada nggak yang ngevideoin adegan ini? Bagus banget kalau jadi kontenku. Ha ha." Hanin
tertawa datar, coba menyembunyikan gejolak yang menari liar dalam hatinya.

Isco menoleh ke sekelilingnya. Tak ada sama sekali. Tapi, beberapa orang memang
memerhatikan mereka berdua. Bahkan, ada yang tersenyum malu pada Isco.

"Co, kamu tuh sama hujan ada apa sih?"

"Apaan? Ayo cepetan," Isco mengangkat payung, lalu merangkul bahu Hanin untuk turun.
"Careful,"

"Hujan itu kayak ngerubah kamu tahu," kata Hanin. "Pikiran kamu kayaknya dicuci jadi
bersih."

"Eh, mulutmu itu! Cepetan jalannya, ini aku basah!" serunya.

Hanin tertawa sambil mengikuti langkah kaki Isco yang cepat. Hanin cepat membuka pintu
dan masuk ke mobil.

"Rok Oma cocok juga dengan kamu," ujar Isco saat dia memastikan rok Hanin tidak akan
terjepit saat dia menutup mobil. "Seatbelt."

Dia kemudian berlari memutari mobil dan bersusah payah masuk, menahan payung,
menutup payung, baru pintu mobil. Dia mengusap wajah dan mengibaskan tangannya pada
bagian lengannya yang basah terkena hujan. Menarik nafas berulang kali, lalu menoleh
melihat Hanin.

"Nggak denger disuruh pasang seatbelt?"

"Kalau cewek bilang cinta duluan, itu termasuk emansipasi nggak menurut kamu?"

"Astaga," desah Isco. "Masih ngebahas itu."

Tubuhnya bergerak ke arah Hanin, sejalan dengan tangannya yang menarik sabuk
pengaman dari dekat bahu perempuan itu, menancapkannya pada slot di dekat paha Hanin.
Setelah itu, dia mengenakan untuk dirinya sendiri. Menghidupkan mesin mobil, mereka
bersiap pergi. Jam menunjukkan pukul lima lewat dua puluh saat mobil Isco bergerak.

"Mau mampir kemana dulu, nggak?" tanya Isco santai. "Jajan sore dulu mungkin? Eh, kamu
capek ya?"

"Are you playing a game?" tanya Hanin hati-hati.

"Game apa?" Isco menoleh sekilas, namun ada seringai tipis di wajahnya. "Among Us? Tapi,
lebih cocok Between Us, karena cuma ada kita berdua."
/47/ pertama dan terakhir

Hanin meletakkan sendok ke dalam mangkok yang berisi potongan buah dan mengikuti
Arnav berdiri. Lelaki itu berdeham, lalu tersenyum tipis. Dia mengangguk, memastikan
kalau apa yang dilakukan Hanin sudah benar. Dia tautkan tangannya dengan tangan Hanin,
lalu bergerak pelan.

"Pelan aja," katanya mengingatkan. "Kamu mundur dulu,"

Hanin menelan ludah, lalu mundur dengan langkah kaku. Saat Arnav kembali maju, dia
mundur dengan panik, membuat Arnav tanpa sengaja menginjak jemari kakinya. Lelaki itu
tertawa, lalu melepaskan tangannya.

"Aduh," Hanin meringis, tapi ikut tertawa. "Kenapa ada dansa-dansa segala sih?"

"Ya namanya juga gala, party, ada dong acara menarinya." tutur Arnav. "Masih mau nyoba?"

Hanin menegakkan tubuhnya lalu mengangguk. Dia tetap tak bisa tenang saat Arnav
menyelipkan tangan di punggung Hanin, sementara tangan lainnya menggenggam tangan
Hanin. Dia butuh mengerjapkan matanya berkali-kali, agar tetap fokus.

"Siap?" tanya Arnav.

"Tunggu," Hanin menarik nafas, karena sungguh susah untuk berkonsentrasi.

Arnav masih tetap menjadi lelaki yang ceria. Dipenuhi garis-garis tawa yang kerap muncul,
membuatnya menarik. Dia mencepol rambut gondrongnya acak, beberapa terlepas dari
ikatan berwarna hitam, dia selipkan di belakang telinga. Mungkin, saat lelaki suka
perempuan mengikat rambut acak, begitu juga wanita- menyukai cepolan acak yang dibuat
lelaki gondrong.

Dia masih mengenakan kemeja kantornya sore ini, namun sudah tak serapi saat dia pergi
tadi pagi. Tapi, tak sedikitpun mengurangi pesonanya. Sebelah lengannya dia gulung
hampir mencapa siku, sementara sebelahnya masih terkancing rapi. Dia menjelaskan kalau
dia baru saja memeriksa hotel untuk perhelatan ulang tahun kantor lusa malam.

Mereka menghabiskan waktu bersama, sampai Hanin bertanya akan seperti


apa anniversary kantor. Arnav menjelaskan panjang lebar dan dia merasa perlu bertanya
apakah Hanin bisa berdansa atau tidak? Instingnya bekerja dengan baik, karena
perempuan itu hanya pernah melihatnya di film, tanpa pernah melakukannya. Jadi, dia
menikmati potongan buah yang diberikan Hanin dengan cepat dan memberi Hanin kursus
singkat.

Hanin menyesuaikan langkahnya dengan kaki Arnav. Lelaki itu bertindak bijaksana dengan
membuat langkah kecil yang lambat, ditambah instruksi, agar Hanin tidak salah.

"Angkat wajah kamu. Nggak ada yang dansa sambil nunduk gitu,"

"Tapi, aku belum lancar. Makanya mau nyamain dengan kaki kamu."

"Look at me," kata Arnav pelan. "Trust me,"

Hanin patuh dan mengangkat wajahnya. Dia tidak bisa tidak ikut tersnyum saat lelaki itu
menampilkan satu yang terbaik. Hanin menelan ludah. Bahkan dari sekian banyak hal tak
mengenakan yang terjadi dalam hidupnya, setelah semua ketidakadilan yang dia terima,
dia tak percaya masih bisa melihat keindahan di depannya. Entah nikmat mana lagi yang
dia dustakan.
"Kanan," kata Arnav. "Mundur pelan,"

Hanin menggenggam tangan Arnav kuat, saat otak dan kerja tubuhnya tak selaras. Dia ingin
mundur, tapi malah bergerak ke kanan lagi. Arnav menahan dirinya agar tak menabrak
Hanin.

"Sorry," kata Hanin. "Aku tiba-tiba nggak tahu mundur gimana caranya,"

"Alasan banget," tembak Arnav. "Hei, santai aja,"

Santai, santai! Hanin menarik nafas panjang, lalu bergerak lebih dulu tanda dia sudah siap.
Arnav kemudian mengikuti perlahan. Kali ini, dia tak lagi memberi instruski. Beberapa kali,
tangannya mesti menarik Hanin agar melakukan langkah dengan benar. Pun, tak jarang
tubuh mereka makin dekat saat Arnav menarik punggung Hanin, karena salah membuat
langkah.

"Nanti, saat dansa semua orang akan tampil dengan penampilan terbaik mereka," tutur
Arnav. "Kita bisa iri dengan siapa saja, karena mereka mungkin tampil lebih baik dari kita.
Tapi, itu bukan masalah besar,"

"Kenapa?" tanya Hanin sambil begerak pelan.

"Selama pasangan dansa kamu hanya melihat kamu, nothing else is matter. Berarti di dalam
ruangan itu, tak peduli sebanyak apapun orang disana, kamu adalah pusat dunianya. Cuma
kamu yang paling dia pedulikan."

Hanin menunduk saat dia merasa pipinya panas. Dia pasti dengan tidak tahu malu tersipu
atas kalimat Arnav.
"Well done," puji Arnav saat mereka menyelesaikan satu kali dansa dengan baik.

Hanin menarik dirinya lebih dulu. "Do you have to be so good at everything?"

"No need to be good at everything."

"Tapi, kayaknya kamu bisa semua hal."

Arnav tertawa pelan, lalu menarik kursi untuk duduk. "Aku tipe yang suka belajar dan
kalau belajar harus kelar. Sebelum bisa, biasanya aku bakalan ngotot belajar terus."

"Kelihatan sih," Hanin mengangguk beberapa kali. "Kamu juga guru yang baik. Nggak
berhenti ngajar sebelum muridnya bisa,"

Arnav mengangkat alisnya. "Kamu siswa paling susah diajarin,"

Hanin tertawa. "Iya, aku belum bisa bawa mobil, loh! Ayo latihan lagi pagi-pagi," ajak Hanin.
"Kamu sibuk bener sih,"

"Sama Isco aja," Arnav mengibaskan tangannya.

"Dia emosian," kata Hanin. "Nggak bakalan bisa aku belajar sama dia. Ayo dong, besok pagi
gimana? Pagi-pagi gitu, sebelum rame simpang depan,"

Arnav mengembuskan nafas. "Aku ada janji makan malam dengan klien, terus balik ke
kantor. Firasatku bilang kalau aku bakalan pulang telat banget. Bisa jadi, paginya masih
molor. Kalau kamu mau bangunin, nggak masalah."

"Beneran?" wajah Hanin berbinar.


Arnav mengangkat alisnya. "Fine,"

"Oke, pagi-pagi banget ya. Subuh!"

"Mau ngapaian kamu subuh-subuh?"

Suara baru yang hadir membuat mereka menoleh. Hanin melambaikan tangannya pada
Isco yang bergabung dengan mereka di ruang makan.

"Ngapain?" ulangnya.

"Belajar mobil," jawab Arnav.

Isco melihat Arnav, lalu Hanin. Meminta jawaban dari perempuan itu. Tapi, Hanin
sepertinya tidak sadar, hingga dia mengambil mangkuk dan memasukkan potongan buah
ke dalamnya. Dia memberikannya pada Isco.

"Pak Sigit dan temennya udah sampe?" tanya Arnav.

Isco mengempaskan tubuhnya ke kursi. "Udah," jawabnya singkat.

Arnav lalu mengangguk dan berdiri.

"Nav, jangan lupa ya." pesan Hanin sebelum lelaki itu beranjak.

"Si Jon kenapa sampe kamu mau belajar mobil?" tanya Isco ingin tahu.

"Hm?" Hanin melihatnya. "Berasa keren aja kalau cewek bisa bawa mobil."
Isco mendengus. "Kamu mau tahu apa yang lebih keren dibanding cewek yang bisa bawa
mobil?"

"Apa? Aku?" tanya Hanin sambil tertawa pelan.

"Cewek yang bisa ganti ban mobil sendiri. Itu baru keren!"

Hanin menggetok meja dengan sendok. "Kamu mau tahu apa yang lebih keren daripada
kamu?"

Isco menggeleng. Dasar perempuan tak mau kalah. "Apa?" tanyanya sambil menjulurkan
tangannya.

Hanin mendorong gelas air putih miliknya dan Isco segera meneguk isinya sampai habis.

"Cowok yang mau ngajarin cewek bawa mobil tanpa marah-marah. Oh, ngajarin dansa
dengan sabar juga keren,"

Dahi Isco berkerut. Dia longgarkan simpul dasinya, lalu melihat Hanin. "Kenapa nggak
kamu sebut aja namanya sekalian?"

"Eee cemburu, ya?"

"Sudah mandi belum kamu?"

"Hm, mengalihkan topik," Hanin menyipitkan matanya.

"Aku tadinya mau ngajakin kamu dinner di luar, tapi nggak jadi."
"Jadi!" seru Hanin. "Aku udah mandi." jawabnya cepat. "Please?"

Isco menarik tangannya saat diincar Hanin untuk dia pegang.

"Isco," katanya. "Aku becanda aja, kamu serius banget. Yang ngajakin dinner lebih keren."
Hanin nyengir.

"Oke," kata Isco seraya berdiri dan meninggalkan Hanin sendirian.

Hanin pikir dia melakukan kesalahan saat hanya mengenakan dress santai dan berdandan
tipis malam ini. Harusnya Isco memberi tahu kemana mereka makan malam. Lelaki itu tak
memilih sembarang restoran untuk makan malam mereka. Hanin mengira dia hanya akan
dibawa ke resto keluarga atau resto di mall yang kerap penuh saat makan malam. Tapi,
mereka makan di restoran hotel bintang lima. Seumur-umur, ini pertama kalinya Hanin
masuk ke hotel ini.

Dia mengikuti Isco dan seorang pelayan menuju meja mereka. Hanin ingin memesan agar
Isco memilih tempat di dekat jendela, namun itu bodoh karena resto dibalut oleh dinding
kaca. Tak perlu duduk tepat di sebelah jendela jika hanya ingin melihat keadaan di luar.
Nyatanya, Isco memang tidak memesan di sebelah jendela, melainkan agak di tengah.

Kursinya lebih mirip sofa empuk berwarna abu-abu berhadapan dengan meja kayu
berwarna timber yang alami. Beberapa lampu kristal besar tergantung di langit-langit
dengan warna keemasan. Menghadirkan suasana yang hangat. Ada suara musik yang begitu
pelan, dibuat agar tak berisik dan menganggu pengunjung. Di atas meja, sudah tersusun
rapi peralatan makan yang Hanin bahkan tak tahu bagaimana urutan memakainya. Dia
melihat Isco, lelaki itu membuka buku menu dan membacanya dengan seksama.
"Kamu suka yang mana?" tanya Isco menatap Hanin.

Hanin terburu mengambil buku menu di dekatnya dan memeriksanya teliti. Sebagian besar
menunya adalah fine dining a la western yang pasti akan sangat enak. Jadi, dia memilih
menu yang diletakkan paling atas dengan lima bintang rekomendasi. Pelayan pergi setelah
mengingat pesanan keduanya.

"Aku dibawa kesini buat nememin kamu ngecek handphone ya?" sindir Hanin.

Isco tertawa, namun tak mengalihkan tatapan dari gawai di tangannya.

"Yah, dibanding handphone, aku emang nggak sepenting itu bagi kamu. Harusnya aku
sadar, ya."

Hanin mengigit pipi bagian dalam saat dia menyaksikan tubuh Isco yang kaku. Selanjutnya,
yang terjadi adalah Isco memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya dan menatap Hanin.
Perempuan itu menelan ludah, merasa tak nyaman saat perhatian Isco penuh pada dirinya.

"Maksudku-" Hanin kebingungan ingin membela dirinya.

"Sorry," kata Isco. "Tell me what did you do today?"

"Umh-" Hanin merapikan anak rambutnya yang sebenarnya baik-baik saja. Dia mendadak
lupa apa yang dia lakukan seharian ini. "Aku-" dia menarik nafas.

Dahi Isco berkerut, ikut bingung dengan sikap canggung Hanin. "Are you okay?"

"Aku bantuin Bi Ani masak. Baca buku, terus ke kantor start-up yang mau kerjasama
diantar Jon. Abis itu kita ke mall sebentar, beli sabun muka kamu karena udah abis. Aku
inget karena tadi pagi kamu ngeluh lupa beli pas kita ke swalayan. Abis itu aku tidur,
kayaknya dua jam deh, abis itu ya main."

Isco membasahi bibirnya, ingin berkata sesuatu namun pelayan lebih dulu membuat Hanin
bersemangat. Dia berterima kasih saat piring-piring sudah diletakkan dengan rapi.
Memerhatikan Isco menikmati hidangan pemuka berupa daging asap renyah dengan saus
jamur truffle. Hanin turut menikmatinya dengan bahagia.

Tak lama berselang, piring selanjutnya datang. Tampilannya yang cantik, membuat Hanin
merasa tak tega untuk memakannya. Dia bahkan sedih saat Isco sudah menggunakan pisau
untuk memotong daging di piringnya. Mungkin, karena sudah sering kali melihat makanan
yang cantik seperti ini, Isco tak lagi peduli.

Dasar berhati Wurtzite!

Hanin batal mengambil pisau saat piringnya diganti dengan piring milik Isco.

"Aku ragu kamu bisa motong dengan benar." katanya beralasan.

Hanin mengulum senyum. Dia mengambil garpu dan menusuk sepotong daging kecil.

"Aaa," ujarnya mendekatkan ujung garpu kea rah Isco.

"What the-" Isco menjauhkan wajahnya. "Hanin, please."

"Aaaa," Hanin bersikeras. "Pertama dan terakhir."


Isco akhirnya membuka mulut dan Hanin dengan senang hati memasukkan daging ke
mulut Isco. Dia tersenyum saat Isco mengunyahnya. Setelah itu, barulah dia menikmati apa
yang ada di piringnya.

"Kamu suka kesini, ya?"

"Tergantung," kata Isco.

Dia menahan tangan Hanin saat peremuan itu menuang begitu banyak saos ke atas
potongan daging.

"Jangan banyak-banyak. Nanti sakit perut, kasihan bayinya,"

Hell. No.

Bahkan, Isco dengan sendirinya memisahkan daging yang sudah terlumuri saos ke pinggir
piring Hanin. "Makan dulu yang itu," dia menunjuk pada daging yang belum terkena saos.
"Sayurnya juga,"

Hanin menelan ludah. Bukannya senang, dia malah gugup. Bahkan, ada rasa takut.

"Aku ketemu sahabat-sahabat lama Oma tadi, mereka diundang buat anniv besok. Makan
siang hasil delivery karena hari ini penutupan bazaar, aku jadi nggak bisa kemana-mana.
Oh, aku lupa!"

Apalagi ini Isco? Apa tujuan kamu cerita ini?

"Apa?" tanya Hanin.


"Aku beliin kamu sesuatu pas penutupan bazaar tadi. Nanti ingetin ya." kata Isco santai. Dia
kemudian menukar daging berbalut saos milik Hanin dengan miliknya yang plain.

"Isco-" gumam Hanin.

Lelaki itu mendongak, menunggu Hanin melanjutkan.

Kenapa kamu begini?

"Nggak," Hanin menggeleng, lalu kembali menikmati main coursenya.

Mereka menikmati hidangan macaroon, mangga, kacang pistachio, dan es krim kelapa
untuk makanan penutup. Hanin sangat hati-hati memecahkan hiasan di atas es krim yang
dibuat seperti sarang burung. Isco jangan ditanya, dessertnya sudah tinggal setengah.

"Han," panggil Isco saat Hanin sedang berkonstrasi dengan es krimnya. "Bisa kamu certain
awal kita ketemu? Karena aku nggak ingat sama sekali."

-----

Sore dan semalam adalah waktu yang aneh. Hanin bahkan tak mengerti apa yang baru saja
dia lewatkan. Entah karena terlalu cepat waktu berlalu, atau kejadian-kejadian itu hanya
ilusinya saja. Dekat tapi rasanya jauh, namun terasa jauh tapi dekat.

"Matiin alarmnya," keluh Isco masih dengan mata terpejam.

Hanin menarik nafas, dia bahkan tak sadar alarm sudah berbunyi dari tadi. Cepat dia
ulurkan tangan, menakan tombol agar benda itu tak bersuara lagi. Dia mendudukkan
tubuhnya, segera turun dari ranjang. Dia harus belajar mobil pagi ini.
Dia membersihkan wajahnya dan menukar pakaiannya. Setelah itu, dia duduk di sebelah
Isco.

"Co, aku mau belajar mobil ya," ujarnya.

"Hm," ujar Isco malas. "Hati-hati,"

Mendapat persetujuan dari Isco, Hanin melangkah keluar kamar. Dia lebih dahulu ke dapur,
meneguk air putih dan menyapa pekerja rumah tangga.

"Pagi amat, Mbak?" tanya Bi Fatma.

"Mau belajar mobil. Pak Jon udah bangun?"

Wanita yang umunya hampir sama dengan Bi Ani itu mengangguk. Hanin berterima kasih,
lalu dia menuju kamar Arnav. Dia ketuk sekali pintunya, namun tak ada jawaban. Sampai
ketukan tiga kali, akhirnya Hanin memutuskan untuk masuk ke dalam.

Ruangan itu gelap. Satu-satunya sumber cahaya hanya setitik biru dari televisi yang
diatur standby. Hanin meraba dindingnya dan menekan sakelar saat dia menemukannya.
Terangnya kamar itu tiba-tiba membuat si empunya bergerak di balik selimutnya. Hanin
bahkan melihat Arnav masih mengenakan kemeja semalam dan celana panjangnya. Dia
tidur tanpa sempat berganti pakaian.

"Arnav," ujar Hanin, namun matanya memindai kamar lelaki itu. Karena ini pertama
kalinya dia masuk ke sana.

Pada dasarnya, Arnav dan Isco memiliki selera yang sama soal perabotan. Dulu, kamar Isco
yang terletak di bawah juga ditata mirip seperti ini. Furnitur praktis dan efisien dipilih
keduanya. Bedanya, Arnav menambahkan banyak unsur lainnya. Dia membedakan warna
dinding kamarnya dengan warna yang kontras. Hitam, biru, dan merah. Juga gambar yang
langsung diaplikasikan di dindingnya sebagai media.

"Kamu udah janji mau nemenin belajar mobil," Hanin duduk di kursi pendek di depan meja
kerja Arnav.

Ada banyak berkas tersusun rapi. Tangan Hanin menyentuhnya, memeriksa satu persatu
dan bosan saat menyadari semua itu hanya laporan yang diselesaikan oleh Arnav.

"Arnav!" seru Hanin, kali ini sambil menarik selimut yang membungkus pria itu.

Arnav menguap, lalu memaksa matanya terbuka. Wanita itu berkacak pinggang, mungkin
sebal karena dia begitu sulit dibangunkan.

"Lima menit lagi, gimana?" tanya Arnav dengan cengiran lebar.

"Nggak!" seru Hanin. "Ini udah mau jam enam. Pasti rame bentar lagi," katanya. Dia
mendekati lelaki itu, menarik tangannya dengan susah payah.

Akhirnya, Arnav duduk. Terpekur mengumpulkan nyawa seraya membuka kancing


kemejanya satu persatu.

"Mau ngapain?" tanya Hanin bergeser ke dekat pintu.

"Hah?" Arnav mendongak. "Mau ngajarin kamu bawa mobil, kan?"

"Ya kenapa buka baju segala?"


"Oh," Arnav tertawa pelan. "Ya mau siap-siap. Kamu tunggu diluar dulu,"

"Kamu jangan tidur lagi, ya!"

"Oke,"

"Kalau dalam lima menit kamu nggak muncul, aku jalan sendiri,"

"Sabar atuh," Arnav berdiri dan berjalan gontai menuju kamar mandi. "Cuci muka doang
kok ini,"

Hanin meninggalkan kamar Arnav, menuju garasi. Jon dan supir lainnya sudah selesai
membersihkan mobil, kini sedang memanaskan mesinnya. Jon menyerahkan kunci mobil
pada Hanin saat diminta.

"Mundur pelan ya, Mbak," kata Jon mengingatkan.

Hanin mengacungkan jempol. Sambil mengecek spion, dia mundur perlahan. Jon tanpa
sadar mengikuti pergerakan mobil Hanin hingga benar-benar berhasil keluar dari
bangunan garasi. Dia berdiam di dalam mobil sambil mengamati pintu rumah, menunggu
Arnav keluar. Memeriksa jalanan sekitarnya, Hanin berpikir tak apa dia melaju sedikit. Toh,
Arnav tentu bisa menemukannya.

"Pak, suruh Arnav nyusul ya, aku jalan ke depan,"

"Tunggu aja, Mbak. Bentar lagi paling keluar,"

"Nggak papa. Ini aku palingan 10km/jam doang. Dia lari juga ntar keburu," Hanin
mengangguk, lalu memutar setir dengan pelan.
Perhatian Jon terbagi, memastikan Hanin aman sampai di jalan raya di depan rumah, juga
memerhatikan pintu, berharap Arnav cepat muncul. Saat akhirnya mobil Hanin bergerak
dari hadapan Jon, Arnav belum muncul. Jon memerhatikan bagian belakang mobil bergerak
meyakinkan, sepertinya Hanin memang sudah bisa. Tak akan ada masalah besar untuk
mencapai pertigaan depan. Apalagi jalanan masih sepi. Mentoknya, paling mobil akan
dihentikan Hanin karena dia bingung. Suara teriakan kemudian membuat Jon mendongak.

"Sama siapa Hanin bawa mobil?"

"Sendirian, Mas."

"Kejar!"

Arnav ikut mendongak saat dia keluar dari rumah dan mendengar perintah Isco. Lelaki itu
berdecak, lalu cepat berlari mengejar mobil Hanin. Jon kemudian ikut menyusul Arnav.

"Ck, ada-ada aja!" geram Isco sambil cepat menukar pakaiannya dengan kaos dan
celana training panjang.

Belum sempat dia meneliti penampilannya, suara teriakan Bi Ani membuatnya cepat keluar
dari kamar.

"Mas! Mbak Hanin kecelakaan!"


/48/ jangan bikin aku panik

Isco benar-benar tak tenang tidurnya saat Hanin mengatakan dia akan belajar mobil. Dia
tentu akan mengajak Arnav, seperti janji mereka kemarin. Usahanya memejamkan mata
sia-sia, karena kantuknya hilang bersamaan dengan keluarnya Hanin dari kamar. Dia
berbaring telentang, memasati langit-langit kamarnya.

Puas mengamati benda itu, Isco akhirnya duduk. Memeriksa ponselnya dan memastikan
tak ada emergency. Menurunkan kakinya, Isco berjalan ke kamar mandi. Dia bersihkan
wajahnya, bercukur, dan tersenyum tipis saat mengembalikan sabun wajahnya kembali ke
rak. Saat dia kembali dari kamar mandi, dia berjalan ke arah jendela. Nampak olehnya
mobil Hanin melaju, meninggalkan Jon yang mematung.

"Sama siapa Hanin bawa mobil?"

"Sendirian, Mas."

"Kejar!"

Isco cepat mengganti pakaian dengan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Kenapa Arnav
membiarkan Hanin pergi seorang diri? Kemana Bi Ani? Bukannya dia sudah pernah bilang
jangan membiarkan Hanin mengemudi seorang diri?

"Mas Isco!"

Dahi Isco berkerut saat mendengar namanya dipanggil. Dia abaikan kaca besar itu, demi
menjumpai pemilik suara yang berteriak nyaring. Belum sempat dia menginjakkan kaki di
anak tangga pertama, keterangan Bi Ani menyusul, memancing kepanikan menguasai
dirinya.
"Mas! Mbak Hanin kecelakaan!"

"Keluarin mobil!" serunya sambil berlari cepat menuruni tangga dan keluar rumah.
"Cepat!"

Berbelok, Isco menambah kecepatan larinya. Saat dia melihat Arnav berlari dari arah
berlawanan dengan seseorang dalam gendongannya, Isco merasa jantungnya seperti
ditarik paksa untuk keluar. Denyutnya seperti ada di telapak tangannya, bersamaan dengan
rasa panas yang tidak nyaman.

Isco berbalik ke belakang, menggantikan posisi Oyon di balik kemudi. Arnav bergerak cepat
membuka pintu belakang dan membaringkan Hanin disana. Dari kaca spion tengah, Isco
bisa bernafas lega karena Hanin masih membuka matanya. Hanya saja wajahnya pucat pasi.

"Aku urus mobilnya. Sorry," kata Arnav sebelum dia menutup pintu.

Isco menelan ludah dan memacu mobil dengan cepat saat dia melihat tetesan darah di
celana Hanin. Dia bunyikan klakson saat melewati pertigaan, dimana ada banyak orang
sudah berkumpul. Tak sempat lagi dia perhatikan tempat itu, karena penumpang di
belakang lebih penting.

Lengangnya jalanan pagi hari, membuat Isco bisa memacu mobilnya secepat yang dia
inginkan. Dia bahkan hampir menabrak sepeda motor saat menerobos lampu lalu lintas
yang mengharuskan dia berhenti. Menulikan telinga saat makian kasar dia terima. Untuk
saat-saat seperti ini, dia benci menjadi panik. Begitu mudah panik. Begitu mudah
mengingat kejadian yang harusnya tak lagi ada di otaknya.

Buku jarinya memutih di setir. Bulir keringat turun dari dahinya. Kenangan itu masuk
secara tak sopan ke dalam ingatannya.
"Isco,"

Isco mengetatkan rahang. Tak ada yang namanya damai jika masih suka menghantui
seperti ini. "Come on!" desisnya saat merasa rumah sakit tak kunjung dia capai.

"Let it be."

Isco bahkan memejamkan matanya saat dia mengerem begitu mendadak. Dia menoleh ke
belakang, untung Hanin tidak apa-apa. Membuka pintu mobil dengan cepat, dia memanggil
suster jaga untuk membantunya.

Tim medis bergerak cepat mendorong bed ke dekat mobil Isco. Pria itu membuka pintu,
kemudian seorang diri menggendong Hanin naik ke ranjang. Saat mata mereka bertatapan,
Isco menelan ludah.

"It's okay. Jangan nangis," kata Isco turut mengantar Hanin melewati pintu IGD. "It's okay."

Dia berhenti saat mencapai batas yang diperbolehkan. Mengembuskan nafas berkali-kali,
dia mengusap wajahnya. Kakinya kemudian melangkah menuju meja resepsionis dan
meminjam telepon disana. Dia menghubungi Arnav, satu-satunya nomor handphone yang
dia hafal. Lucu, tapi begitulah adanya.

"Paramount Hospital. Suruh Pak Oyon anterin dompet sama handphoneku." pintanya
sebelum mengakhiri panggilan.

Isco kembali menunggu di depan IGD sambil mencoba untuk tetap tenang. Isco mendongak
saat pintu terbuka.

"Bapak boleh masuk dulu," dia mengajak Isco untuk masuk.


Isco mengikuti dengan patuh. Dia membuang nafas perlahan saat mendapati Hanin
tebaring dengan senyum tipis.

"Betis sebelah kanan ibu memar, sepertinya kena benturan. Saya sarankan bapak ketemu
dokter ortopedi, untuk konsultasi lebih lanjut."

Isco mengangguk.

"Jadi, sekarang kita bisa pindahkan ibu ke ruang perawatan sambil nunggu dokternya.
Untuk luka yang lainnya sudah kita bersihkan, sepertinya selain kaki dan lengan ibu, nggak
ada masalah. Tapi, kalau nanti terasa ada yang sakit, bapak silahkan kasih tahu aja,"

"Isco," panggil Hanin.

Dokter jaga bergeser, memberi tempat pada Isco untuk mendekat.

"Aku nggak papa," kata Hanin dengan suara pelan.

Isco menatapnya tajam. Apa Hanin tidak dengar apa yang dikatakan dokter? Kakinya
terkena benturan dan masih bilang tidak apa-apa?

"Sebentar, kita cek dulu," kata Isco.

Hanin menelan ludah. Bukan memar yang dia pikirkan sekarang. Dia bahkan tak
merasakan sakit pada kakinya. Tapi, lebih parah dari itu. Ini bukan rumah sakit dimana
Vivian bekerja. Apa jadinya kalau semua kebohongannya terbongkar?

"Bapak bisa ke bagian administrasi dulu. Kita antar ibu ke kamar,"


Isco menggenggam tangan Hanin sebentar sebelum dia mengikuti dokter jaga keluar
ruangan.

Hanin mendesah saat ranjangnya di dorong keluar ruang tindakan menuju kamar
perawatan. Memasuki lift, dia memijit tulang hidungnya. Dia jelas ditabrak dengan sengaja.
Tidak sekali, tapi dua kali. Memejamkan mata, kejadian itu terputar kembali.

Mobil sengaja dia hentikan di pertigaan, memasang lampu hazard agar diketahui mobil
lain. Sayangnya, dia tak menyadari kalau mobil yang datang dari sebelah kanan dengan
kecepatan tinggi itu memang mengincarnya. Hanin tak sempat berpikir saat bagian depan
mobil hitam itu menghantam bagian pintu, sangat dekat dengannya. Hanin mendengar
bunyi remukan, juga kaca yang pecah.

Airbag mengembang. Hanin pikir, semua sudah berakhir. Dia hanya jadi korban
penabrakan, lantaran mobil hitam itu tidak tahu dia sengaja berhenti. Tapi, Hanin salah.
Suara decit rem yang terdengar bukan menandakan mobil itu kabur, melainkan mundur
untuk kembali menghantam mobil Hanin. Melihat itu, Hanin kontan menginjak pedal gas
untuk melaju, meski dengan airbag menutupi pandangannya. Bagian belakang mobil jadi
sasaran kali ini. Tubuhnya ikut limbung ke kiri, saat mobil tak bisa dia kendalikan dan
berhenti tiba-tiba. Dia membentur panel di bagian tengah mobil, sebelum berhasil bangun
lagi.

Hiruk pikuk kemudian dia sadari. Seseorang menariknya dari pintu sebelah kiri. Suaranya
sangat dikenal Hanin. Susah payah lelaki itu menarik tubuh Hanin diikuti pengulangan kata
maaf keluar dari mulutnya. Hanin bisa melihat langit biru cerah saat dia dibopong sambil
berlari. Dia bisa merasakan angin yang menerpa wajahnya, juga nafas terengah milik
Arnav.
"Kalau butuh apa-apa, bisa tekan ini ya, Bu. Sementara istirahat dulu. Dokternya datang jam
setengah delapan."

"Makasih, Sus,"

Hanin mendudukkan tubuhnya dan bersandar pada ranjang saat suster itu keluar. Dia
singkap selimut dan meringis saat melihat tanda kemerahan yang menyebar disana. Dia
tekan, dan rasa nyeri luar bisa membuatnya menarik nafas panjang. Luka terbuka di bagian
punggung kakinya sudah tertutup perban, juga sobekan di dekat sikunya.

Siapa? Kini, semua terror itu baru terasa nyata. Hanin berpikir, dia tidak akan dilukai
sejauh ini. Surat kaleng, pesan ancaman, beberapa kali diikuti hanya akan jadi gertakan.
Tapi, semuanya lebih serius daripada itu. Apa salahnya?

Dia mendongak saat pintu terbuka. Lelaki itu tampak kalut dan berjalan ke dekat Hanin.
Dia letakkan dompet dan ponsel di lemari pendek dekat ranjang. Untuk beberapa menit,
mereka hanya saling berpandangan. Hanin tak tahu harus mengatakan apa. Sampai
akhirnya, dia berdeham dan menunduk.

"Ada lagi yang sakit?" itu suara pelan Isco seraya duduk di tepi ranjang.

Hanin menggeleng. "Aku ditabrak," kata Hanin.

Isco menelan ludah. Dia merapatkan rahangnya menahan campuran emosi yang ingin
menampakkan diri. "It's okay. Yang penting kamu nggak papa,"

Hanin mengangkat wajahnya. Dia berharap menemukan wajah tulus Isco, tapi kenapa yang
dilihatnya justru percobaan menahan amarah.
"Maaf," kata Hanin.

Isco membuang muka untuk sesaat. Lalu, dia kembali menatap Hanin. "Perut kamu nggak
sakit?"

Hanin menelan ludah, lalu menggeleng pelan. "Tadi, sudah diperiksa, nggak kenapa-napa,"

Isco mengangguk. "Dokternya bentar lagi datang."

"Ini sebenarnya nggak papa, cuma memar aja," Hanin mengangkat kakinya, membuktikan
pada Isco kalau kaki itu tak perlu tindakan lebih lanjut. "Nih, aku bisa gerakin dan nggak
sakit. Nggak perlu ketemu dokter ortopedi segala,"

"Untuk make sure aja, Hanin." terang Isco. "Kalau memang nggak kenapa-napa yang bagus.
Artinya, kamu hanya butuh long dress buat ke anniversary besok malam."

"Aku udah siapin si dressnya di lemari, nggak usah khawatir. Nggak akan malu-maluin,"

"Bagus deh kalau gitu."

"Isco," panggil Hanin.

Isco memanjangkan tangan mengusap luka di dekat siku Hanin. "Lain kali, jangan bawa
mobil kalau sendirian. Jangan jalan sendirian malam-malam. Jangan bikin aku panik.
Rasanya nggak enak, nggak nyaman."

Suara ponsel membuat Isco berdiri. "Kamu istirahat dulu," katanya sambil berjalan keluar
dengan suara ponsel meraung di tangannya.
Hanin mengusap kepalanya. Dia butuh skenario. Sayangnya, dia tak membawa apa-apa.
Mana bisa dia menghubungi Vivian sekarang. Ya, ini saat yang tepat agar dia bisa selamat
dari kebohongannya sendiri. Ini waktu yang dia tunggu. Keguguran karena ditabrak adalah
alasan yang paling masuk akal. Tapi, dia butuh backup. Vivian tak ada disini. Dokter
kandungan pasti akan langsung tahu kalau Hanin tidak hamil.

Isco kembali lima menit kemudian, namun tak sendiri. Wanda hadir bersamanya.

"What the hell, Hanin! Istirahat aja kenapa, sih? Kalau jadi bengkak gimana?" dia menunjuk
kaki Hanin.

"Kamu nggak papa?" tanyanya. "Kok nggak istirahat? Malah jalan-jalan. Katanya kaki kamu
memar,"

"Nggak parah, Oma. Ini buktinya aku bisa jalan,"

Membuang nafas pelan, dia memberikan senyum untuk Wanda. Detak jantungnya naik
signifikan. Ini bukan Wanda yang biasa dia lihat. Apa dia terlalu cemas? Isco berdiri
memerhatikan kedua orang itu.

Perempuan itu berjalan pelan. "I am okay." kata Hanin. "Lebih baik kita pulang aja." dia
meremas jemari tangannya yang terasa dingin.

"Sopirnya kabur. Hanin bilang dia ditabrak, Arnav juga bilang begitu soalnya pintu mobil
remuk banget. Beruntung kakinya Hanin nggak kenapa-napa. Mereka di kantor polisi
ngecek rekaman cctv pertigaan itu," lapor Isco.

"Hanin, kamu hati-hati," ujar Wanda sambil duduk di sofa.


Sekarang mungkin? Hanin meraba perutnya. Belum sempat dia merintih, pintu terbuka lagi.
Seorang dokter masuk dan menyapa mereka. Memperkenalkan diri sebagai dr. Fairuz,
dokter ortopedi yang dijanjikan akan ditemui Hanin.

Meski membawa catatan milik Hanin di tangannya, dokter tersebut tetap memilih melihat
secara langsung keadaan kaki Hanin. Saat melihat Hanin bisa menggerakan kakinya dengan
baik tanpa rasa nyeri bahkan sudah bisa berjalan, dr. Fairuz mengangguk.

"Kayaknya nggak masalah ini. Tapi, kita ct-scan dulu nggak papa?"

"Dok, kalau-" sela Isco.

"Nggak usah, Dok," sela Hanin. Dia mengibaskan tangannya. "Saya bener-bener nggak papa.
Kasih obat saja,"

Hanin merasa ada keringat yang merayap turun di punggungnya. Tangannya tiba-tiba
bertambah dingin akibat akumulasi ketegangan dan cemas di dalam pikirannya. Belum lagi
tatapan Wanda yang tampak begitu mengawasi.

"Bagaimana?" tanya dr. Fairuz.

"Nggak papa kalau ibu hamil-"

"Isco, please?" lirih Hanin. "Aku nggak mau," dia menggeleng.

"Hanin lagi hamil. Apa nggak masalah?"

Hanin tahu benar apa yang dia mainkan saat pertama kali bertemu dengan Isco di rumah
sakit beberapa bulan lalu. Sosok Isco, tak pernah dia pikir ada di dunia nyata. Dia pikir
tingkah arogan, dingin, dan berkuasa itu hanya ada di novel roman picisan. Tapi, dia salah.
Dia menghadapi satu yang secamam itu.

Saat dia diterima Wanda di dalam keluarganya, Hanin tahu permainannya akan jadi lebih
rumit. Adalah api yang dia pilih sebagai karakternya dalam permainan ini. Dia akan
membakar apa saja di dekatnya demi mimpi hidup senang dan jauh dari Firda-ibunya.
Siapa sangka, dia menjalaninya dengan baik. Api itu makin besar, seiring dengan
kebohongan yang dia rangkai. Akting murahan yang dijajalnya ternyata cukup meyakinkan
semua orang di rumah itu.

"Hamil?" ulang dr. Fairuz sambil mengangkat chart di tangannya. Lalu, melihat Hanin.

Salahnya, api itu kini tak bisa dia kendalikan lagi. Takdir tak lagi bisa diajak bercanda. Batas
toleransi sudah habis. Dia sudah bersenang-senang selama ini, berusaha mencurangi
takdir, mengarang sandiwara, dan menjadi pemeran utama. Tapi, Hanin lupa, api yang
besar tentu akan jadi lawan. Api besar jelas lebih mudah terlihat.

"Ibu sedang hamil?" dia bertanya. "Tapi-"

"Dokter," lirih Hanin. Dia menggeleng pelan pada dr. Fairuz, berharap bisa bertelepati
dengannya. "Saya nggak papa,"

"Sorry, tapi dari keterangan disini-"

"Dia nggak hamil." sela Wanda.

Mereka bertiga melihat Wanda. Perempuan itu kini berdiri di tengah ruangan, pusat dari
semua hal disini. Wajahnya sedikit terangkat, merasa ucapannya benar.
"What?" Isco menggeleng, lalu melihat dr. Fairuz.

Dr. Fairuz melihat Isco lalu mengangguk. "Ibu Hanin tidak hamil."

Tanpa diduga Hanin, dialah yang habis terbakar.

Hanin melihat dengan jelas semua potongan kehidupannya selama lima bulan ini.
Kehidupan yang dia jalani, kebohongan yang di rangkai, masa depan yang coba dia gapai,
juga cinta yang perlahan berhasil dia semai.

Lalu, seperti juga bisa melihat kemana lima bulan ke depan, Hanin tahu dia akan berakhir
dimana. Mungkin, tak akan lebih baik dari ayahnya. Dia akan dibuang ke jalanan. Mungkin
sebelum itu dia akan dicaci maki, dihadiahi julukan sebagai pembohong, dijebloskan ke
penjara, atau juga kebencian yang tak akan hilang dari pria yang kini membuat hidupnya
berarti. Yang terakhir adalah yang paling ditakuti Hanin.

Dia menatap Isco. Dahi pria itu mengerut dalam, tapi tatapannya tajam pada Wanda.
Perempuan paruh baya itu mengembuskan nafas.

"Isco," lirih Hanin tanpa sadar.

Saat tatapan mereka bertemu, Hanin tak menduga akan melihat tatapan yang baru pertama
kali dia lihat dari sosok Isco. Dia bisa melihat Isco mencoba tenang, berulang kali menelan
ludah, juga membuang nafas.

Ruangan itu hening, sampai dr. Fairuz akhirnya menyadari ada yang sedang berlangsung di
ruangan ini. Dia berdeham pelan, meninggalkan ruangan itu dengan cepat.
Kaki Hanin berjalan pelan mendekati Isco. Tapi, secepat itu pula langkah Isco mundur. Dia
menggeleng pada Hanin, lalu mengusap kepalanya. Hanin berpindah pada Wanda. Wanita
itu menampilkan ekspresi datar di wajahnya.

"Oma," Hanin merapatkan bibirnya berjalan ke dekat Wanda.

Tanpa peringatan, satu tamparan bersarang di pipi Hanin begitu keras, hingga suaranya
membuat Isco mendongak. Suara benda jatuh terpantul ke lantai berkali-kali menjadi satu-
satunya suara setelah tamparan itu. Anting yang dipakai Hanin terlepas.

Hanin menahan rasa sakit yang teramat sangat di pipi, hingga menjalar pada telinga dan
belakang kepalanya. Dia usap pipinya pelan, lalu menunduk. Mengambil nafas, dia kembali
melihat Wanda. Selama lima bulan ini, dia hampir hafal wajah yang kini diliputi amarah itu.
Dia familiar dengan tatapan nyalang Wanda saat dia emosi.

Saat Hanin pikir Wanda akan membentaknya dengan segala macam kata-kata kotor, wanita
itu kembali menamparnya. Di tempat yang sama.

"Oma," ujar Isco saat melihat tubuh Hanin akhirnya jatuh ke lantai. Namun, dia tegakkan
punggungnya, tak ingin terlihat begitu lemah.

"Aku menunggu hari ini sejak lima bulan lalu. Aku nunggu bisa nampar kamu setelah
kebohongan kamu dan Vivian!" ujarnya penuh penakanan. "Kamu pikir aku bodoh, Hanin?"
dia mendekati Hanin.

Suara heels pendek, namun runcing membuat jantung Hanin bertalu-talu. Wanda tahu.
Sejak awal.
Dia merendahkan tubuhnya, mengambil ujung dagu Hanin dengan sebelah tangan. Satu
telunjuknya dia tempelkan ke tengah dahi Hanin. "Kamu nggak cukup pintar untuk
membohongiku." desis Wanda.

Kenapa dia diam saja kalau dia tahu? Apa maksud Wanda dengan berpura-pura ikut
bermain dalam kebohongannya? Kenapa tak dia bongkar dari awal?

Dia lepaskan dengan keras wajah Hanin, membuat Hanin meringis. Saat itu pula setitik
darah jatuh di lantai, berasal dari mulut Hanin. Wanda berdiri tegak, merapikan blazer
yang dia pakai.

"Bisa-bisanya kamu pikir bisa bohongin aku? Dasar bodoh!" hujat Wanda. "Keputusannya
ada sama kamu, Isco. Kamu mau usir dia, kamu mau pertahankan dia, terserah kamu."
ujarnya. Dia lihat lagi Hanin. "Takdir nggak begitu baik sama kamu, Hanin."

Hanin mendengar ketukan heels itu perlahan hilang dari ruangan. Jika dia pikir dia merasa
lega, dia salah besar. Karena, di atas itu semua, lelaki di ruangan ini lebih penting. Lelaki di
ruangan ini yang tak boleh tahu dia berbohong. Karena, Hanin tak tahu bagaimana bisa
berakting lagi di depan Isco.

Dia mendongak, membangunkan tubuh dengan bertumpu pada dua tangan. Lelaki itu
menatapnya. Matanya memerah, Hanin tak mau berasumsi dia sedih atau kecewa. Hanin
lebih baik menganggap kalau Isco diselimuti amarah. Hanin menelan ludah, merasakan
asin dan getir pada kerongkongannya.

"Maaf," katanya.
Isco merapatkan rahangnya. Berusaha keras sekali, nampak dari urat yang menonjol di
dekat leher dan pelipisnya. Sekilas, Hanin melihat tangan lelaki itu terkepal kuat di sisi
tubuhnya. Mungkin, jika Hanin lelaki sudah habis dia dihadiahi bogeman mentah.

"Brengsek!" desis Isco.

"Maaf." ulang Hanin. Matanya memanas.

Dia tak menemukan kata lain selain maaf. Dia punya banyak alasan yang bisa menjelaskan
posisinya, namun yang keluar dari bibirnya hanya maaf. Dia ingin Isco melihat keadaan
dari kacamatanya, memberi tahu Isco bahwa kehidupannya yang dulu sangat tak adil. Dia
hanya ingin hidup nyaman seperti orang-orang. Dia ingin mencurangi takdirnya. Tapi, yang
bisa diucapkannya hanya empat huruf itu.

Hanin terkesiap saat kaki Isco mendendang lemari pendek, membuatnya bergetar hebat.
Lelaki itu berbalik badan, mengusap kepalanya. Suara nafas yang keluar begitu kasar.
Hanin tak pernah melihat Isco semarah ini sebelumnya. Saat dia berbalik, langkah begitu
cepat mendekati Hanin dan berdiri tepat di depan wanita itu.

"Maaf," gumam Hanin.

Lolos begitu saja. Airmata pertama yang hadir di depan Isco.

"You should listen to your words. Maaf nggak cukup!" desis Isco. Sekuat tenaga dia coba,
agar tangannya tak naik dari sisi tubuhnya. "Kamu nggak pantas bilang itu!"

Hanin menelan ludah. Rencana hancur berantakan. Dia baru saja berhasil menambah daftar
orang yang akan menganggapnya penyebab semua masalah.
"Maaf." kata Hanin sambil menarik kakinya mundur, menjauh dari Isco.

Isco menarik nafas dalam. "Pantas saja mereka menyalahkan kamu dan ingin kamu pergi!"

Hanin mengangguk samar.

"Aargh!" seru Isco sambil berbalik. Dia berjalan ke pintu dan keluar. Bantingan keras
didengar Hanin saat dia menutup pintu.

"Shit!" gumam Hanin disela isakannya.

Harusnya dia kenal dengan rasa sakit ini. Harusnya, dia kebal dengan kebencian yang
hanya ditujukan padanya seperti ini. Sumber masalah. Bertahun-tahun dia hidup dalam
kubangan kebencian orang terdekat. Harusnya, rasa sakit ini tak membuatnya menangis,
tak cukup untuk membuat hatinya kebas. Rasa sakit ini harusnya bisa dia prediski,
seimbang dengan lakon yang dia mainkan.

Tapi,dia salah. Takdir tak seramah itu padanya. Ketentuan yang tak diketahuinya itu,jelas
tak suka dipecundangi Hanin. Hingga, dia mengenalkan rasa sakit yang baru untuk Hanin.
Rasa sakit yang membuatnya ingin mati saat ini juga.
/49/ mana yang lebih baik?

Isco tak ingin berhenti meski rasa sakit di dada mulai menyergapnya. Pacuan kakinya tak
ingin berjeda, meski dia sadar sudah berlari begitu jauh dari rumah sakit. Otaknya tak
menginginkan dia berhenti meski rasa panas sudah menjalar di sekujur kakinya. Ini terlalu
mudah. Berlari dengan kecepatan seperti ini tak membantunya lupa. Malah makin jadi.

Let it be, Isco. Let it be, Sayang. I am sorry.

Kenapa selalu dia yang disuruh mengalah? Kenapa harus selalu dia yang diminta
merelakan apa yang berharga dalam hidupnya?

Lari Isco baru berhenti saat tubuhnya mendarat sempurna di trotoar karena dia terjatuh.
Dia membiarkan seseorang menarik tubuhnya untuk bangun dan menanyakan
keadaannya. Isco mengangguk sebagai jawaban. Dia harap pria yang menolongnya
mengerti maksudnya. Isco menunduk. Dadanya seperti ingin pecah sekarang. Rasa sakit
dan panas melebur sampai kepalanya terasa mengembang.

Mengumpulkan tenaga, dia kembali bangkit. Kemudian, dia menarik nafas, kembali berlari
agar dia lupa dengan apa yang baru saja dia terima. Tapi, potongan kenangan yang dia
punya bersama Hanin malah mengiringi langkahnya. Makin cepat, makin cepat pula
kenangan itu berseliweran di otaknya. Parahnya, dia tak bisa memikirkan hal lain.

Saat dia berhenti lagi, kali ini dengan selamat dia atas kedua kakinya, Isco mengusap
wajahnya. kaos yang dia kenakan menempel sempurna pada tubuhnya. Tanda bahwa tak
ada lagi bagian yang kering. Dia menunduk saat merasa kakinya perih. Baru dia sadari,
sebelah sandalnya entah tertinggal dimana. Ada lecet pada jemari kanannya, akibat berlari
tanpa alas.
"Fuck!" gumamnya pada diri sendiri.

Dia menoleh ke sekelilingnya dan menyadari sudah berapa jauh dia berlari. Dia melangkah
ke sebuah taman, menjatuhkan dirinya di bawah naungan pohon besar. Dia perbaiki ritme
nafas jika dia tak ingin pembuluh darahnya pecah.

Kenapa adalah pertanyaan besar yang muncul di dalam kepalanya. Dia pejamkan mata.
Dari awal, dia tak ingin percaya pada kehamilan Hanin, apalagi jika dia adalah ayah dari
anak di kandungannya. Meskipun, dia tetap menyiapkan dirinya untuk dua hal. Kehamilan
itu bohong dan Hanin hanya membohonginya. Lainnya, adalah kehamilan itu benar dan dia
akan jadi ayah. Sayangnya, makin sering bersama Hanin, Isco menyiapkan diri untuk hal
terakhir. Menjadi seorang ayah.

Jadi, saat ternyata kebohonganlah yang terpampang di depannya, dia sama sekali tidak
siap. Meski, ini adalah kabar baik untuknya, karena tak ada yang harus dia
pertanggungjawabkan, tapi perasaannya untuk Hanin kadung tumbuh. Kebersamaan yang
membuatnya bahagia saat bersama Hanin begitu disukainya. Hingga, harusnya hari ini tak
pernah terjadi.

Dia membuka mata, menarik nafas panjang dan dalam. Kenapa Hanin harus melakukan ini?
Mengusap wajah, Isco tak pernah tahu sakit hati ini malah terjadi karena dia begitu percaya
pada Hanin. Dia ingin memarahi Hanin, tapi sudut hatinya begitu tak tega. Memang tak
banyak yang sudah Hanin lakukan untuk hidupnya, tapi soal Hanin membuat dia bahagia,
Isco tak mengada-ada. Dan hanya itulah yang dia butuhkan. Bahagia.

Dengan Hanin, dia merasa dibutuhkan, diterima. Dengan Hanin dia merasa tak sendiri.
Hanin selalu bertanya banyak hal padanya, mulai yang penting sampai yang tidak masuk
akal. Perempuan itu membuat Isco banyak berpikir, banyak sabar, dan mencoba banyak
hal. Perempuan itu memberinya warna lagi, setelah bertahun-tahun Isco hanya mengenal
warna hitam. Hanin melakukan semuanya seorang diri, tak peduli Isco benci.

"Why, Hanin? Why?" gumam Isco sambil menggeleng.

Karena bagi Isco, alasan untuk hidup bahagia dan kaya raya tidak cukup. Pura-pura hamil
untuk hidup mewah itu ide yang gila!

Dia membangunkan tubuhnya, lalu berdiri. Perlahan, mengembuskan nafas dan mencoba
tenang. Berusaha menerka-nerka apa yang sebenarnya diinginkan Hanin. Ditambah
pertanyaan besar lainnya. Wanda sudah mengetahui dari awal, kenapa tidak
memberitahunya? Kenapa Wanda malah memberi peluang pada Hanin untuk
memperpanjang dustanya? Isco tak mengerti.

Entah apa yang membawanya, tapi kakinya kembali ke rumah sakit. Memilih jalur tangga,
dia naik sampai ke lantai empat. Tertegun untuk beberapa saat di depan pintu. Dia toh
perlu mengambil dompetnya. Dia bisa mengabaikan Hanin. Itu mudah, meski sangat tidak
nyaman. Saat pintu dia buka, dia masih butuh jeda beberapa saat untuk melangkah masuk.
Namun, yang didapatinya membuatnya menelan ludah.

Kamar sudah rapi, seperti tak pernah ditempati. Hanin sudah pergi. Dia berbalik tanpa
sempat menutup pintunya ke meja resepsionis.

"Bu Hanin sudah check out, Pak. Dia titip ini untuk Bapak,"

Isco menerima dompetnya. "Dia sendirian?"

Suster jaga itu mengangguk, lalu kembali fokus pada layar komputernya. Baik, Hanin baru
saja membantunya. Dia pergi atas kemauannya sendiri. Dia pasti pulang ke rumah Firda.
Karena hanya kesanalah Hanin bisa pulang. Isco membuang nafas berat. Dia mesti
meluruskan beberapa hal. Yang paling penting saat ini, bertemu Wanda.

Hanin menelan ludah saat dia menerima informasi bahwa Vivian sudah tak lagi bertugas di
rumah sakit Clinic Center. Suster yang biasa standby di depan ruangan Vivian mengatakan
dia sudah dua pekan tak lagi berada di sana. Kabar yang beredar, dia pindah ke rumah sakit
lain.

Hanin cepat keluar dari rumah sakit. Dia tak mungkin salah. Wanda pasti ada di balik ini
semua. Vivian tak mungkin meninggalkan rumah sakit impiannya ini. Dia bekerja keras
agar bisa diterima menjadi dokter disini.

Berbekal uang yang berhasil dia pinjam dari Ralin, Hanin menyetop taksi. Dia sebutkan
sebuah nama apartemen pada supirnya. Setidaknya, Vivian harus ada di rumah sekarang.
Menahan nyeri yang perlahan menjalar di betisnya, Hanin mesti turun dari taksi dan
berjalan menuju pintu masuknya. Petugas keamanan mengenali Hanin dan mengijinkan dia
untuk naik ke unit Vivian.

Dia bunyikan bel beberapa kali, sempat pula menggedornya. Namun, tak ada jawaban apa-
apa. Hanin berjongkok di depan pintu apartemen, mengutuk dirinya. Harusnya, hanya dia
sendiri yang menanggungnya. Itu janjinya dulu saat Vivian menyurunya berhenti. Sekarang,
apa yang bisa dia lakukan.

Papanya benar, dia hanya sumber masalah.

"Hanin."
Hanin mendongak dan tersenyum tipis saat mendapati Vivian berdiri di depan pintu. Dia
bahkan tak sadar benda itu sudah terbuka. Dia berdiri dan segera memeluknya. Seakan
sudah tahu apa yang terjadi, pelukan Vivian tak kalah erat diterimanya.

"Aku yang salah," kata Hanin.

Vivian menghela nafas, mengusap punggung Hanin. "Kita masuk dulu," katanya.

Hanin mengelap wajahnya. Luar biasa pagi yang dialaminya. Secepat dan semudah itu
semua hangus terbakar.

"I told you," kata Vivian saat mereka sudah duduk bersila di atas karpet di depan tv.

Hanin memegang tangan Vivian, meremasnya sesekali. "Aku bodoh banget. Aku yang salah.
Aku janji sama kamu kalau aku yang akan tanggung jawab. Tapi, kamu malah ikut keseret
sama aku, Vy."

Vivian menelan ludah. Dia menggigit bibirnya. "Aku pindah rumah sakit karena hanya itu
yang ditawarkan Bu Wanda, atau aku nggak bisa kerja lagi."

"Ivy," dia melihat sekeliling apartemen Vivian. Ada beberapa koper yang disusun di dekat
sofa ruang tamu. "Di luar kota?"

Vivian mengangguk pelan. "Aku udah bilang kan kalau keluarga Mhair itu bukan keluarga
sembarangan? Sebenarnya, malam sebelum acara pernikahan kamu sama Isco, Wanda
sudah tahu semuanya. Dia tahu kamu nggak hamil."

Wajah Hanin berubah.


"Dia menemuiku malam itu dan langsung mengancam status profesiku, Hanin. Aku akan
diadukan dengan membuat diagnosa bohong. Aku nggak bisa apa-apa selain mengatakan
yang sebenarnya. Aku juga nggak tahu motif Bu Wanda kenapa dia nggak membongkar
semuanya dari awal."

"What?" Hanin meringis tak percaya.

"Pasti dia punya niat kenapa membiarkan kamu selama lima bulan ini. I am sorry aku juga
nggak bisa ngasih tahu kamu, karena beliau yang minta. Kamu harus tahu posisiku.
Sebenarnya, pindahnya aku ke rumah sakit lainpun jauh lebih baik. Aku bahkan nyangka
Bu Wanda akan langsung mengadukan aku ke Ikatan Dokter karena kebohongan, tapi
nggak. Dia ngasih aku waktu dua bulan untuk menyelesaikan kewajibanku di rumah sakit
lama, sebelum aku bisa pindah ke rumah sakit yang baru,"

"Tapi, di luar kota? Ivy, aku minta maaf banget."

Vivian menggeleng seraya dia menarik nafas. "Kamu nggak papa? Kaki kamu kenapa? You
look miserable, Hanin."

"Ivy, aku harus ketemu Oma dan bilang kamu nggak ada hubungannya dengan ini semua,"

"Aku juga salah sih," Vivian berdecak. "Harusnya aku nggak ikutin rencana kamu." dia
tertawa pelan. "It's okay, Hanin. I am okay,"

"I am not," Hanin menarik nafas sambil menyeka air matanya. "Aku minta maaf,"

"Hei," panggil Vivian. "Aku juga pernah nempatin kamu di posisi paling nggak enak.
Sekarang kita impas." kata Vivian. "Nggak papa. Rumah sakit baruku juga nggak seburuk
yang aku bayangkan. Aku udah kesana, dan it's fine,"
Hanin menelan ludah, lalu beringsut ke dekat Vivian. Perempuan itu menarik Hanin dalam
pelukan, meyakinkannya kalau apa yang terjadi padanya bukan salah Hanin sepenuhnya.
Dia juga turut mengambil keputusan waktu itu. Vivian tak bisa menyalahkan Hanin
sepenuhnya. Jadi, ya sudah. Seseorang harus menuai apa yang sudah ditanam.

"Someone blackmailed me," ungkap Hanin. "Tadi pagi mungkin adalah puncaknya. Aku
ditabrak orang nggak dikenal, lalu dibawa ke rumah sakit." Hanin kemudian menceritakan
kejadian yang dialaminya.

"Isco gimana?" Vivian melerai pelukan.

"Marah besar."

"Kamu curiga sama seseorang?"

"Aku nggak tahu. Yang ada di kepala aku cuma Oma. Tapi, buat apa?"

Wanda terlalu sibuk untuk mengurusi hal remeh macam ini. Apa yang akan dia dapat dari
mengancam Hanin seperti ini? Lagipula, yang paling dirugikan atas hal ini adalah Isco.

Hanya kesini Hanin bisa pulang. Hanya di tempat ini Hanin diterima. Malamnya, dia pulang
ke rumah Firda. Ibunya tak curiga sama sekali dengan kedatangannya, namun melihat
sesuatu yang aneh pada wajah Hanin, Firda jadi penasaran.

"Isco mukul kamu?" tanyanya spontan.

Hanin menggeleng. Pasti karena sudut bibirnya yang bengkak. Menghindari pertanyaan
lanjutan, Hanin segera masuk ke kamarnya. Dia berdiam diri di sana beberapa saat sampai
mendengar suara pintu kamar Firda yang tertutup. Barulah, dia keluar dan membersihkan
dirinya.

Di kamar, setelah membersihkan tubuh, Hanin bergelung di atas tempat tidur. Bodohnya
dan tanpa bisa dia kendalikan, air matanya meluncur begitu saja, membuat Hanin
terkesiap. Dia usap matanya sambil menarik nafas panjang.

Isco pasti kecewa. Isco pasti marah. Isco pasti membencinya.

Tak ditemukan jalan lain bagi Hanin selain pergi. Tanpa diminta dia akan pergi. Kerugian
yang dialami Isco, akan dia ganti secepatnya. Jadi, dia menyusun rencana untuk mengambil
barangnya ke rumah Isco besok pagi. Lebih baik begitu.

"Sorry," gumam Hanin pelan.

Dia membiarkan air matanya berjatuhan, tanpa ada kuasa untuk menghentikannya.
Menikmati jam-jam yang hilang memikirkan apa yang harus dia lakukan agar Isco
memaafkannya.

Membuka pintu kamar pelan, Hanin melangkah masuk. Dia menarik kursi untuk dia
letakkan di samping tempat tidur Firda. Dia duduk mengawasi ibunya yang terlelap.
Cahaya masuk dari lampu samping rumah mereka, melewati ventilasi jendela kamar Firda.
Cukup bagi Hanin untuk bisa mengamati wajah ibunya.

Hanin ingat bagaimana hangatnya suara tawa Firda, atau senyumnya yang khas. Yang tak
lagi dia dapati setelah berpisahnya dia dan Papa Hanin. Firda memang berubah menjadi
sosok yang dingin bagi Hanin, bahkan cenderung kejam. Sesekali, dia dapati Firda juga
begitu ringan mengayunkan tangan padanya. Mungkin karena dia kesal. Atau marah, atau
sedih.
Tapi, wanita ini juga yang Hanin tahu tetap mendoakannya. Tak pernah sekalipun Hanin
mendengar ibunya bersumpah yang jelek untuknya. Paling jauh, dia mengatai Hanin
seperti Papanya.

Disaat seperti ini, Hanin memang tak bisa tak menyalahkan dirinya. Kehancuran
keluarganya, jika dia tidak mengatakan yang sebenarnya, mungkin akan lain ceritanya.
Mungkin, akibat ini juga Hanin mendapat hukuman di dunia.

Hanin membuang nafas, diikuti buliran bening yang rupanya belum rela untuk disimpan
begitu lama. Dia usap pipinya. Sialnya, gelombang kesedihan itu malah menyerang balik
padanya, begitu hebat. Hingga tanpa sadar, suara sesunggukan ikut keluar.

"Hanin?"

Hanin menutup mulutnya, tak ingin Firda mendengar. Tapi, perempuan itu malah duduk
mencoba mencari penglihatan yang lebih baik. "Hanin?"

"Kalau aku pergi, apa semuanya jadi lebih baik?" tanyanya dengan suara raungan keras.

Firda bergerak turun dari ranjang untuk menghidupkan lampu kamar. Dia tertegun
mendapati anak perempuannya menunduk di kursi, mencoba menenangkan dirinya sendiri
dari tangisan yang merongrong.

"Mana yang lebih baik? Bohong atau bicara yang sejujurnya?"

Karena sungguh, dia berakhir dalam kepahitan. Bicara jujur dan berbohong.

"Kamu kenapa? Hanin!" desak ibunya sambil mendekat. "Kamu ada masalah apa sama
Isco?"
"Please, Ma. Please. Mama hidup lebih baik tanpa papa. Mama hidup lebih bahagia saat tahu
yang sebenarnya. Kenapa Mama masih nggak terima? Kenapa Mama masih nggak rela?"

Firda menunggu putrinya sampai dia tenang. Barangkali, ada pesan yang ingin
disampaikannya lewat sindiran-sindiran itu.

"Kenapa Mama nyalahin aku saat Mama tahu yang salah adalah papa?" Hanin meremas
jemarinya. "Kalau aku bohong dan nggak bilang semuanya, apa Mama akan baik-baik saja?"

"Kamu ngomong apa?"

"Aku sudah minta maaf sama Mama, berkali-kali. Aku minta maaf sama keluarga papa
seperti yang Mama mau. Tapi, Mama nggak peduli. Ma, bukan cuma Mama yang sedih. Aku
kehilangan dua orang sekaligus! Menjadi orang yang disalahkan!"

Firda menarik nafas. Hanin tak pernah selepas ini sebelumnya. Dulu, dia hanya mengomel
tanpa henti saat Firda menyalahkannya. Dia bahkan membentak ibunya tak tahu diri saat
Firda memintanya untuk minta maaf. Kini, dia tahu inilah yang ditahan Hanin bertahun-
tahun dihidupnya. Luka yang dia coba sembuhkan seorang diri. Firda tak memungkiri,
bahwa ada peran yang dia ambil untuk memperdalam luka-luka Hanin.

"Aku bohong ke keluarga Isco dan mereka tahu," Hanin menarik nafas.

"Maksud kamu apa?"

Hanin mengadah. "Maaf," katanya.

Dia berdiri dan beranjak. Namun, Firda menahan tangannya. "Kenapa, Hanin?"
"Aku pura-pura hamil," kata Hanin. Mata sayunya menatap mata Firda. Jelas sekali ada
kekagetan yang ketara di air muka ibunya. "Mereka tahu dan-" Hanin mengangkat kedua
bahunya.

"Kenapa?" desak Firda. "Kenapa kamu lakukan itu?"

"Karena waktu aku jujur, aku disalahkan! Jadi, aku bohong. Tapi, aku nggak berhasil juga.
Karena, aku nggak punya siapa-siapa yang bisa ngasih tahu aku kalau semuanya baik-baik
saja. Nggak ada yang ngasih tahu aku kalau aku melakukan hal yang benar. Aku nggak tahu,
Ma." suaranya menghilang diantara tangisan yang kembali datang. "Because you are not
here. You are everywhere but not here, beside me."

Hanin lelah. Dia melepaskan tangan Firda dan berjalan pelan meninggalkan kamar ibunya.
Dia bisa mendengar langkah Firda yang mengikutinya. Saat dia hendak menutup pintu,
Firda menahannya. Jadi, Hanin biarkan saja. Dia naik ke ranjang, menggelung tubuhnya
lagi.

"Mama akan dengerin cerita kamu besok pagi. Istirahat sekarang."

Saat pintu ditutup, Hanin menutup mulutnya karena kali ini dia yakin tangisnya akan lebih
pecah dari yang tadi.

-----

Firda tak bicara apa-apa, hanya tangannya yang sibuk mengompres betis Hanin. Sementara
Hanin, memerhatikan diam saja. Dia sudah menceritakan semua pada Firda pagi tadi, Ralin
juga turut mendengar. Untungnya, Firda tak mengatakan apa-apa. Mungkin terlalu kaget
dengan jalan yang dipilih Hanin.
"Kamu mau pisah sama dia?" akhirnya setelah beberapa menit, Firda memecah
keheningan.

Hanin diam. Jadi, Firda mengangkat wajahnya untuk melihat Hanin. Masih ada kemerahan
pekat pada bola mata anaknya. Firda tahu, Hanin menghabiskan waktunya menangis
semalaman, karena dia berdiri di depan pintu mendengar isakan Hanin. Dia mengangkat
alisnya, meminta Hanin menjawab. Hanin menggeleng lemah.

"Kamu sayang sama Isco?"

"Sayang," kata Hanin, terasa seperti berhasil melepaskan batu besar di kerongkongannya.
"Tapi, dia pasti benci sama aku,"

"Mama bisa telepon dia buat minta balikin kamu ke Mama,"

Hanin mendesah. Satu sisi tak rela, sisi lainnya berusaha membuat rencana bagaimana
membuat Isco memaafkannya. Intinya, tidak ingin berpisah dari Isco. Tolong, perasaan
sakit yang dia rasakan saat sadar telah membohongi Isco tak main-main. Jelas, itu tulus.
Jelas, dia jatuh cinta.

Firda menghentikan aktifitasnya saat mendengar suara pintu diketuk. Hanin menunggu
sambil berharap bahwa dialah yang datang. Tapi, percakapan yang didengar Hanin,
mematahkan harapannya. Dia berdiri dan berjalan keluar saat Firda memanggil namanya.
Di depan pintu, Bi Fatma berdiri dengan beberapa tentengan di tangannya.

Firda meninggalkan mereka berdua di depan pintu. Bi Fatma mengulurkan beberapa paper
bag pada Hanin, yang terakhir adalah sebuah cover cloth yang Hanin tahu apa isinya.
"Mas Isco mau Mbak Hanin pakai ini nanti malam. Ulang tahun perusahaan, Mbak harus
datang," ujar Bi Fatma. "Nanti malam dijemput sama Jon,"

Hanin berterima kasih sebelum Bi Fatma pergi dari hadapannya. Dia memerhatikan barang
di tangannya. Yang benar saja, Isco mau dia pergi sebagai apa? Istrinya? Atau seorang
pecundang?

Tapi, kenapa dia tidak pergi saja? Mungkin, ini bisa jadi penutup yang baik untuk ceritanya
bersama Isco.
/50/ you look fine

Tak disangka Hanin, Firda membantunya bersiap malam ini. Meski tak banyak bicara,
pekerjaan Hanin sedikit lebih mudah. Hanin mengenakan anting yang dibelikan Isco,
meminta Firda menggelung rambutnya, agar Isco bisa melihatnya. Dia tak mengijinkan
Hanin mengenakan flat shoes, karena itu akan mengacaukan gaun off
shoulder berwarna sacramento yang lembut.

Saat suara klakson mobil terdengar, Hanin menarik nafas panjang dan berdiri. Dari jendela
kaca, dia bisa melihat Jon bersiap di dekat pintu mobil. Jika dia meminjam kalimat di
internet, mungkin tatapan Firda saat ini mengatakan 'kamu jatuh, aku akan angkat.' Hanin
tersenyum tipis sebelum menerima clutch dari Firda. Perempuan itu merapikan anak
rambut Hanin, sebelum dia menunjuk pintu dengan dagunya.

Hanin melangkah keluar. Jon tersenyum padanya. "Mbak baik-baik aja?" tanyanya sebelum
membukakan pintu untuk Hanin.

"Iya, makasih, Pak." ujar Hanin. "Mobil yang kemarin-"

"Nggak usah dipikirin, Mbak."

Jon menutup pintu saat Hanin sudah berada di dalam. Dia berjalan memutar, untuk ikut
masuk ke mobil. Hanin duduk tenang, mengamati jalan yang sebenarnya sudah dia hafal.
Entah kenapa, terasa menenangkan melihatnya sekarang.

"Isco sudah berangkat?" tanya Hanin. Apa dia baik-baik saja?

"Sudah, Mbak. Tadi, pas saya jalan kesini, Mas Isco juga jalan. Nanti Mbak bisa ketemu
disana," ujar Jon.
Hanin mengangguk. Dia harus mempersiapkan dirinya. Bukan hanya untuk bertemu Isco,
tapi juga Wanda. Dia membuka clutchnya dan mengambil tisu, meremas benda itu dalam
tangannya. Dia berharap bisa lebih lama berada di dalam mobil, namun Mercedes
AMG berwarna putih sudah berbelok memasuki laman parkir. Berjajar di antara deretan
mobil mewah lainnya. Saat Hanin keluar, dia tahu persis siapa pemilik mobil yang terparkir
di samping mobil ini. Isco sudah tiba.

Hanin tahu, dia merinding untuk alasan yang bodoh. Dari yang didengar Hanin, sepertinya
Jon menghubungi Isco dan memberi tahu kalau mereka sudah tiba.

"Ayo, Mbak." ujar Jon memimpin jalan.

Hanin menarik nafas dalam, mengikuti Jon. Dalam beberapa saat, dia akan bertemu Isco.
Padahal, dia tak tahu apa yang harus dia katakan nanti. Jon membawa Hanin memasuki lift.
Tak berselang lama, benda itu berhenti bergerak. Denting berbunyi. Saat itu juga Jon
menggeser tubuhnya ke tepi, agar Hanin yang berada di belakangnya bisa berjalan keluar.

Jon mesti menekan tombol hold saat Hanin mematung di tempatnya. Hanin tak menduga
kalau Isco akan berdiri tepat di depan pintu seperti ini. Pria itu berdiri tenang, mengenakan
setelan yang begitu sempurna untuknya. Menelan ludah, perlahan dia menggerakkan
kakinya untuk keluar dari benda kotak itu.

Isco berdeham, berbalik dan berjalan. Hanin mengepalkan tangan mengikuti Isco berjalan
di belakangnya. Hanin bisa mendengar suara musik mengalun lembut, juga berpapasan
dengan tamu yang sudah lebih dulu tiba. Dia mesti berkali-kali menarik nafas karena deru
jantungnya yang meningkat. Dia menolehkan kepala ke belakang, berpikir sebaiknya dia
pergi saja.

"Hanin,"
Panggilan itu membuat Hanin menoleh. Dia berdeham, mengalihkan pandangannya. Tak
berani dia membalas tatapan Isco yang mengarah padanya begitu tajam.

"Calm down,"

Tenang? Bagaimana bisa dia menyuruh Hanin tenang, dengan tatapan setajam itu.
Sementara di dalam sana ada Wanda yang jika mengingatnya saja, pipi Hanin terasa
berdenyut.

"Ayo masuk,"

Hanin mengangguk, namun Isco tak bergerak. "Di sebelahku," kata Isco.

Hanin terkesiap, namun dia memberanikan diri. Mereka memasuki pintu secara bersama
sebagai pasangan. Hanin tersenyum saat seseorang menyambut Isco dan dirinya. Mereka
bersalaman, berbincang untuk beberapa saat sementara Hanin hanya mendengarkan saja.
Matanya hanya fokus pada bordiran di ujung-ujung gaunnya, tak berani beredar kemana-
mana.

Saat dia mendengar ucapan terima kasih, dia kembali mengikuti langkah Isco. Suasana
terasa canggung dan kaku di meja yang kini mereka tempati berdua. Sementara, empat
kursi lain masih kosong. Hanin sungguh tak tahu apa yang harus dia lakukan, sementara
Isco berkutat dengan ponselnya. Jika keadaan baik, maka dia akan menyindir Isco seperti
saat mereka dinner beberapa waktu lalu.

"Isco,"
Isco mendongak, menyapa balik seseorang yang menegurnya. Hanin tersenyum saat Isco
mengenalkannya pada rekannya itu. Hanin berakting menjadi pendengar yang baik dan
antusias, meski dalam hati dia ingin menyeberangi ruangan ini untuk mencapai pintu.

Dia memeriksa arlojinya saat musik yang dimainkan berubah menjadi lebih cepat. Hampir
pukul delapan malam. Hanin butuh melakukan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya.
Karena sungguh, berada sedekat ini dengan Isco, tapi tidak berkata apa-apa serasa
membunuhnya.

Saat beberapa orang berjalan tergesa menuju pintu, Hanin tahu bahwa Wanda akan segara
masuk ke ballroom. Menggigit bibir bawahnya, Hanin tak pernah merasa begitu
terintimidasi dengan kehadiran seseorang sebelum ini. Masuknya Wanda ke dalam
ruangan ini membuatnya begitu cemas. Diikuti beberapa orang di belakangnya, dia
menyapa beberapa tamu. Berhenti sebentar di beberapa spot untuk memastikan semuanya
baik. Hanin ikut berdiri saat Isco berdiri menyambut kedatangan Wanda bersama
rombongan di meja mereka. Kemudian, mata mereka bertatapan.

Dia tersenyum tipis, menerima ciuman di pipi dari Isco. Lalu, mendekat pada Hanin.
Perempuan itu mesti menahan nafasnya saat Wanda mencium pipi kanan dan kirinya.

"You look fine,"

Hanin menelan ludah. Mengangguk adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan. Wanda
menepuk bahu Hanin pelan, sebelum berlalu. Belum sempat Hanin melepas rasa kagetnya,
sebuah pelukan dia terima.

"I am so sorry," ujar Arnav. Dia melepas pelukan, memegang dua bahu Hanin dengan
lembut. Dia meneliti penampilan Hanin dari atas sampai ke bawah.
Hanin tersenyum tipis.

"Isco bilang kamu milih tinggal dengan Mama kamu sementara ini. Are you okay?"

Hanin mengangguk.

"Thank God!" Arnav menarik Hanin sekali lagi dalam pelukan.

Hanin memberanikan diri memeriksa Isco. Lelaki itu jelas menatap mereka berdua dengan
tajam. Dia mencoba tak menunjukkan betapa keras dia menahan emosinya.

"Masih ingat caranya dansa, kan?" tanya Arnav setelah dia kembali melerai pelukan.

"I think you better hurry now, Arnav." sindir Isco.

Dia tersenyum pada Hanin. "Enjoy the party."

Enjoy apanya? Gerutu Hanin.

Meja itu akhirnya dipenuhi oleh tamu yang semuanya dikenal oleh Isco. Hanin merasa tak
nyaman berada di sana, meski ada dua orang ibu-ibu juga. Mungkin, permasalahan
sebenarnya adalah lelaki yang berada di sebelahnya ini.

Acara dimulai dengan sambutan dari pihak kementrian yang hadir. Lalu, dilanjutkan
dengan sambutan dari Wanda. Acara seremonial itu dilajutkan dengan video tentang
perusahaan, kegiatan CSR yang dilakukan secara rutin, lalu pemberian kenang-kenangan.

"Aku ke toilet dulu," ujar Hanin saat ballroom bergemuruh dengan tepuk tangan. Saat ini,
acara penghargaan pada karyawan berprestasi.
Tanpa menunggu jawaban Isco, dia mengambil clutch dan berdiri. Meninggalkan ruangan
itu dengan cepat. Di depan cermin besar di dalam toilet, dia menatap dirinya sendiri. Hanin
mengurut dahinya, merasa bingung. What's next? Apakah dia harus lari dan meninggalkan
Isco? Atau berharap bisa memperbaiki semua dan Isco menerimanya? Tapi, kalau Isco
menolak? Ya, mana ada lagi tempat untuknya!

Hanin menyandarkan tubuhnya ke dinding, membuka heelsnya dan menunduk untuk


memijat pergelangan kakinya. Bagaimana tadi Firda bisa yakin sekali Hanin akan baik-baik
saja dengan heels lima senti ini? Dia jelas-jelas tersiksa. Hanin menyorongkan kakinya asal,
tanpa memasang strap pada pergelangan kakinya. Lagipula, tak ada juga yang akan peduli.
Dia kembali mendekati kaca dan mencuci tangannya. Dalam hatinya, dia mengeluh karena
jam begitu lambat berjalan.

Setelah mengeringkan tangannya, Hanin berjalan ke pintu. Dia tak bisa menyembunyikan
wajah kagetnya saat menemukan Isco bersandar di dinding, persis di depan pintu toilet
wanita. Terlihat sekali dia menunggu Hanin. Saat melihat Hanin, dia meluruskan
punggungnya.

"Kamu ngapain disini?"

"Kaki kamu nggak-" dia mendesah sambil berjalan mendekat.

Hanin gagal menarik kakinya, karena Isco lebih dulu menahannya. Dia berjongkok di depan
Hanin, memasangkan strap yang sebenarnya sengaja dibuka Hanin.

"It's okay," Hanin menggigit bibir bawahnya sambil sedikit menunduk agar Isco
menghentikannya. Tapi, pria itu dengan cepat menyelesaikannya.

"Ayo balik," katanya berjalan lebih dulu kembali ke ballroom.


Saat mereka tiba kembali di ruangan, para tamu sedang menikmati makan malam dan
makanan ringan. Hanin memerhatikan piringnya tanpa selera. Dia merasa hatinya baru saja
diamuk badai. Saat dia yakin tempatnya bukan disini, Isco malah seperti membuka celah.
Tak ada orang marah yang mau memasang strap heels, kan?

Hanin tersenyum sambil mengangguk saat ibu di sebelahnya menyuruhnya makan. Dia
paksa untuk menyapukan daging pada saos dan memasukkannya ke dalam mulut. Susah
payah dia menelan daging itu. Dia melepaskan garpunya setelah suapan kedua karena
khawatir dia justru akan memuntahkannya. Gantinya, dia mengambil sweet cake yang juga
tersedia di meja mereka.

Sekitar sepuluh menit setelah makan malam diselesaikan dan acara berubah, MC
mengundang para undangan untuk turun ke lantai dansa di dekat panggung. Panggung
utama yang awalnya hanya berisi podium formal kini sudah diisi formasi orkestra yang
memainkan alunan musik tempo sedang.

Hanin mengenali beberapa pasangan yang sedang menikmati diri di lantai dansa. Ada
Diana, sekretaris Isco yang terlihat sangat berbeda. Jessy juga ada di sana, bergabung
dengan teman-teman perempuan lainnya.

"Nggak gabung?"

Hanin menoleh, sambil meringis. "Masih kenyang, Bu." Kata Hanin.

"Kenyang apa? Makan aja nggak. Co, ajak dong Hanin dansa disana," godanya.

Isco hanya mengangguk sambil tertawa pelan. Hanin meremas tangannya di atas paha.
Harusnya ini waktu yang tepat untuk membuktikan teori Arnav. Dengan orang sebanyak
ini, apakah Isco hanya memerhatikan dia? Apakah hanya Hanin yang dia pedulikan? Tapi
apa mau dikata, teori hanyalah teori, karena pada prakteknya, melihat Hanin saja Isco
malas.

Dua pasangan yang tadinya berada semeja dengan Hanin turut ke lantai dansa yang kini
sudah penuh itu. Tapi, Hanin merasa lega, karena ada juga yang tetap berada di kursi
mereka. Hanin menggerutu pelan, saat lampu yang tadinya terang benderang kini perlahan
meredup. Musik tempo cepat berubah menjadi lembut. Gerakan konduktor memainkan
tongkat baton menjadi begitu slow.

Hanin menahan kepalanya untuk tidak menoleh saat Isco berdeham. Bahkan saat Isco
bangkit dari kursinya, Hanin tetap acuh. Mungkin, dia ingin pergi ke suatu tempat. Tapi,
saat sebelah tangan terulur padanya, dia mendongak.

Hanya formalitas. Pasti hanya formalitas.

Karena, baru saja seseorang menggunakan mikrofon di panggung, meminta Isco untuk
berdansa. Dia mematung, tak berkata apa-apa pada Hanin. Mungkin, dia ingin menjadikan
semua keputusan adalah milik Hanin. Jika Hanin menolak tangannya, maka dia akan malu
dan itu bukan pilihan yang bagus. Setelah apa yang dilakukan Hanin, menerima tangan Isco
dan berdiri adalah satu-satunya yang harus dia lakukan.

Dia membawa Hanin menjauhi meja mereka. Berdiri berhadapan, Isco menaikkan
tangannya yang tergenggam dengan milik Hanin. Menelan ludah, Hanin menunduk saat
tangan Isco terselip di punggungnya dan menariknya agar mendekat. Canggung, Hanin
meletakan sebelah tangannya di bahu Isco.

Seakan ini menambah kesulitan Hanin untuk fokus, parfum Isco terasa sangat
menyenangkan di hidung Hanin. Berdosakah dia kalau dia merasa rindu pada lelaki ini?
Bolehkah dia meminta sebuah kesempatan? Suara tawa sumbang terdengar dari dalam
kepala Hanin, seberapa penting dia pikir dirinya hingga pantas mendapatkan kesempatan
kedua dari Isco?

Hanin mengangkat kepalanya dan sontak kembali menunduk saat tatapan mata Isco tertuju
padanya. Dia harusnya merasa lega saat menunduk seperti ini bisa membaca arah kaki
Isco. Dia tidak akan mengacau.

Hanin benci lagu-lagu romantis yang mereka mainkan. Membuatnya ingin memeluk Isco,
meraung dan meminta maaf. Ingin diberi kesempatan. Tapi, lelaki di depannya ini begitu
dingin. Begitu tak tersentuh. Hanin mendongak lagi saat merasakan Isco meremas
tangannya.

"Kenapa kamu ngelihatin aku terus?" Hanin membuang pandangan ke kiri dan kanan. Dia
melihat Isco lagi.

Lelaki itu tak sekalipun melepaskan pandangannya dari Hanin.

"Lihat yang lain juga," gumam Hanin.

'Selama pasangan dansa kamu hanya melihat kamu, nothing else is matter. Berarti di dalam
ruangan itu, tak peduli sebanyak apapun orang disana, kamu adalah pusat dunianya. Cuma
kamu yang paling dia pedulikan.'

Benarkah hanya Hanin yang menjadi pusat dunia Isco sekarang? Benarkah hanya Hanin
yang dia pedulikan?

Hanin menelan ludah, menerima tantangan Isco. Keduanya tak tahu berapa lagu yang
dimainkan, sudah berapa lama mereka bergerak pelan mengikuti musik seperti ini, atau
berapa banyak kalimat yang mereka coba sampaikan lewat tatapan itu, sampai suara tepuk
tangan meriah membuat Hanin lebih dulu membuang pandangan dan melihat sekeliling.

Dia menarik dirinya. "Aku boleh ke rumahmu dan ambil barang-barangku?" tanya Hanin.

"Silakan." kata Isco sambil kembali ke kursinya.

Mereka menumpang mobil yang sama dalam perjalanan pulang ke rumah Isco. Namun, tak
ada percakapan sama sekali. Musik yang dihidupkan Pak Oyon dari player juga tak banyak
membantu. Suasana di dalam mobil itu terasa canggung, aneh, dan dingin.

Hanin menunggu Isco untuk turun lebih dulu. Dia sempat menyapa pekerja rumah tangga
Isco, yang rupanya diberitahu bahwa Hanin memilih istirahat di rumah ibunya untuk
sementara. Jadi, mereka mengira kedatangan Hanin artinya kepulangannya ke rumah.

"Aku mau ambil barangku, Bi. Kayaknya, aku mau lebih lama di rumah Mama."

"Lagi berantem ya, Mbak?" tanya Bi Ani dengan wajah sedihnya.

"Nggak kok. Aku naik dulu ya, Bi. Kasian Pak Oyon nanti kemaleman nganter aku,"

Bersusah payah Hanin menaiki tangga sambil mengangkat ujung dressnya. Pintu kamar
sudah terbuka saat dia tiba. Dia berdeham sebelum memasuki kamar dan menutup
pintunya. Isco duduk di sofa depan ranjang. Jasnya tergeletak di ranjang bersama dengan
dasi hitamnya. Hanin melewatinya langsung menuju dressing room.
Hanin mengusap kepalanya saat melihat bajunya yang tergantung rapi dalam jumlah
banyak. Belum lagi, koleksi tas dan sepatunya di bagian bawah lemari. Mana bisa dia
bereskan semua ini dalam semalam.

"Tapi, apa bener aku pisah sama Isco?" gumam Hanin. "Dia nggak bilang apa-apa, sih."
Hanin menatap ke pintu.

Menarik nafas, Hanin memberanikan dirinya berjalan kembali ke bedroom. Isco masih
duduk di sofa, dengan kepala mengadah dan mata tertutup.

"Isco," panggilnya pelan.

Lelaki itu membuka mata dan menoleh pada Hanin. Dua kancing teratas kemejanya sudah
terbuka, rambutnya juga berantakan. "Apa?"

Bagian terbaik dalam hidup Hanin selama lima bulan ini bukanlah tentang dia memenuhi
kebutuhan hedonismenya, bergelimang harta, dan tak kekurangan. Bukan pula soal
kontrak yang berhasil dia teken dan membuatnya menjadi famous selebgram. Tapi, bagian
terbaiknya adalah saat dia tahu bahwa dia menjadi alasan Isco bahagia.

Tak perlu waktu lama bagi Hanin untuk tahu Isco juga sama tak baiknya dengan dia.
Apapun yang dia simpan jauh di dalam hatinya, atau apapun yang coba dia tampakkan
kepada orang lain, Hanin tahu Isco berusaha begitu keras. Hubungannya dengan Wanda,
melakukan semua apa yang diperintah Wanda, urusannya dengan Arnav, tak dipercaya
untuk memimpin perusahaan, pastilah bukan hal mudah bagi Isco. Lalu, dia mengaku kalau
seseorang membuatnya bahagia dan orang itu Hanin.

"Kamu-" Hanin memilin bagian ujung lengan dressnya. "Do you want me to leave?"

Anda mungkin juga menyukai