Anda di halaman 1dari 51

the Last fire

/like crazy/

Isco keluar dari ruangan rapat, bahkan sebelum rapat dinyatakan selesai. Dari luar
ruangan, dia bisa mendengar tepuk tangan dari karyawan yang masih berada disana,
ditambah sorak sorai karena baru saja Isco menyetujui ide mereka. Dia berbelok di ujung
lorong, menapaki beberapa anak tangga untuk mencapai pintu bercat krem dan
membukanya.

Beberapa hal lain masih butuh perhatian, selain rapat bersama para anak muda tadi.
Tangannya mengambil cangkir berisi air kopi yang sudah dia tinggalkan beberapa jam lalu.
Mengernyit, Isco toh tetap meminumnya. Untuk beberapa saat, dia duduk terpekur di balik
meja, memandangi layar komputer dengan tatapan kosong. Dia terkesiap saat pintu
diketuk dan Pras berjalan mendekat.

"Ini hasil installannya. Belum dites, rencananya besok karena udah sore juga," Pras
menaruh tablet di sisi tablet Isco.

Isco memerhatikan video dan mengangguk dengan hasilnya. Pras berdiri diam di sebelah
Isco. Tahu benar ekspresi persetujuan akan dia dapatkan dari Isco. Setelah empat bulan
bersusah payah membuat giant grass slide, akhirnya proyek itu akan rampung juga.

"Kita lihat aja sekarang," dia berdiri dan Pras mengikuti tanpa bantahan.

Mereka menggunakan golf cart untuk mencapai arena taman bermain yang belum selesai
sepenuhnya. Pras menyupir, sementara Isco duduk di sebelahnya. Dia menggunakan waktu
ini untuk memerhatikan pembangunan resort, sekaligus menikmati udara sore yang
menenangkan.

Keduanya kemudian turun, setelah Pras mematikan mesin. Isco melangkah mendekat
untuk benar-benar mengecek pembangunan grass slide. Beberapa pekerja yang masih
berada disana menyapa Isco dan menjelaskan hal yang masih perlu diselesaikan.
Diantaranya adalah pemasangan rumput yang belum selesai, juga mengenai
pinggiran track yang masih belum dilapisi pengaman.

"Pastiin semuanya oke, yang lain udah hampir rampung, kan?" Isco melihat Pras.

Asistennya mengangguk mantap. "Hanya tinggal ditrial aja, Pak." lapornya. "Udah
dicheck kok,"

Isco berdiri di tengah area grass slide dan mendongak, menatap ke arah puncaknya, dimana
nanti permainan akan dimulai dari sana. Dia tersenyum tipis. Dengan area luncur sebesar
ini, orang-orang pasti akan lebih puas bermain, tanpa khawatir akan bertabrakan dengan
pemain lain.

Dia berdecak saat kenangan menginvasi otaknya. Tak membiarkan itu terjadi, dia berbalik
dan keluar arena. Pras masih setia mengikuti. Isco melewati cart dan meneruskan
langkahnya. Niatnya untuk kembali ke resort batal karena dia ingin berjalan dulu mengitari
area wahana taman bermain yang sebentar lagi akan selesai. Proyek ini juga sama gilanya
dengan hotel resort yang sudah rampung dan sudah dibuka untuk umum.

"Kalau udah kaya, semuanya memang mudah ya, Pak." ujar Pras saat berjalan di sisi Isco.

Isco tertawa. "Kamu pikir proyek ini mudah?" tanya Isco. "Kamu nggak inget gimana usaha
aku ke Oma?"

"Tapi, waktu itu Bapak pasti yakin akan disetujui, kan? Sekarang, kalau Bapak mau bikin
bandara juga pasti bisa,"

"Kalau kamu di posisiku sekarang, pasti bukan itu yang kamu mau sebenarnya. Bukan
kekayaan atau tenar."
Isco baru saja mengutip pernyataan aktor Jim Carrey. Aktor komedian itu pernah berucap
dia berharap semua orang menjadi kaya, terkenal, dan mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Sampai mereka semua sadar, bahwa bukan itu bukan jawabannya. Bukan itu yang
sebenarnya diinginkan manusia.

Pras tertawa, lalu menerima panggilan telepon yang masuk.

"Di wahana bermain," lapornya. "Kenapa?"

Isco menoleh padanya dan menerima ponsel yang diberikan oleh Pras. Dia dengarkan
dengan saksama suara Inne.

"Umh, kami minta maaf, Pak. Ada sedikit masalah. Tamu di kamar 509 ingin bertemu Bapak
langsung,"

Dahi Isco berkerut. "509?" dia menelan ludah.

Isco menyerahkan ponsel Pras tanpa mendengarkan penuturan lebih panjang. Pras yang
tak paham, hanya mengikuti Isco yang berlari. Dia bahkan duduk di kursi penumpang saat
Isco buru-buru menyelakan mesin golf cart. Isco tak lagi memilih jalan yang bersih dari
material bangunan saat dia ingin segera kembali ke resort. Tak sampai tiga menit, dia
mengentikan cart di depan pintu masuk, yang disambut oleh petugas vallet.

Inne dan dua karyawan lain sudah menunggu Isco. Mereka kemudian mengikuti bosnya itu
untuk masuk dan melangkah ke dalam lift.

"Saya udah bilang Bapak lagi rapat dan punya agenda lain, tapi dia bilang nggak akan
berhenti sebelum ketemu Bapak. Takutnya, tamu lain keganggu sama beliau."

"It's okay," kata Isco.


Dia keluar lebih dulu, melangkah cepat di koridor, diikuti empat karyawannya. Pelan
namun pasti, ingatan 509 muncul di benak Isco. Angka itu terlalu familiar. 509 bukan
sekedar angka bagi Isco. Meski memang tak pernah terjadi apa-apa pada kamar itu, namun
ada kesepakatan tak tertulis dalam ingatannya. Jadi, apakah ini akan jadi pertemuan
pertama secara resmi dan jujur untuk mereka lagi?

Tangannya terulur mengetuk pintu, meski sebenarnya benda itu sedikit terbuka. Dia yakin
mendengar suara seruan, kemudian seorang karyawan membuka pintunya lebih lebar.
Menelan ludah, Isco masuk. It's now or never.

Tujuh bulan lebih dia berdamai dengan rasa rindu yang berkecamuk dalam hatinya. Dia
tahan rasa kesal dan marah pada orang-orang yang membuatnya seperti ini. Tujuh bulan
memang bukan waktu yang lama, tapi Isco menghitung tiap detik-detiknya. Berharap ada
satu panggilan, ada satu ajakan bertemu, atau ada satu sapaan secara tak langsung yang dia
dapat. Tapi, tidak. Tujuh bulan memenjarakannya.

Begitu jelas sosok itu dalam ingatan Isco. Masih teringat jelas kebiasaan Hanin. Suara tawa
puasnya kala membuat Isco naik pitam. Rayuan manjanya yang membuat Isco tak habis
pikir. Isco masih ingat aroma tubuh Hanin, wangi rambutnya setiap habis creambath, atau
sentuhan ujung jemarinya di wajah Isco. Kala dia menceritakan ini dan itu, memimpikan
suatu hal, juga saat dia mengoceh tentang hal yang membuat Isco geram. Hanin sudah
begitu lekat dengannya.

Hanin melepasnya dengan airmata malam itu. Jemari mereka adalah hal yang paling akhir
terpisah. Setelah itu, semuanya berubah. Awal perpisahan mereka, Isco masih bisa tenang
karena sekali dua kali dia mampir ke kediaman Firda dan memerhatikan Hanin dari jauh.
Namun, berlangsungnya hari, Isco tak lagi menemukan Hanin. Saat dia bertanya pada Ralin,
adik iparnya itu berkata Hanin sedang traveling. Tanpa menyebutkan nama tempat, teman
pergi, atau kapan kembali.
Jadi, rindu-rindu itu didekapnya sendiri. Kadang, diikatnya dengan doa. Dia benar tentang
Hanin adalah kebahagiannya. Karena setelah perempuan itu pergi, Isco hanya mencoba
melakukan yang terbaik saja untuk orang lain, bukan untuk dirinya. Dia tak bisa lagi lebih
puas setelah mendapatkan Hanin. Jadi, setelah Hanin ingin break, tak ada lagi dalam dirinya
yang ingin dia puaskan. Dia bertahan untuk keluarganya. Untuk karyawannya. Untuk apa
yang dia bangun sekarang.

Meninggalkan perusahaan dan mengurusi Augura Hotel and Resort adalah keputusan yang
diambil Isco, meski Wanda menentangnya. Tapi, Isco tetap pada pendiriannya. Perusahaan
itu sepertinya takdir Arnav dan pasti pria itu akan melakukan jauh lebih baik dari yang Isco
bisa. Saat ini, dia ingin membesarkan 'anaknya' yang ini. Dia berharap, dia akan menjadi
sangat sibuk dengan Augura dan lupa pada Hanin. Sialnya tidak.

Kemudian, hari ini datang. Hari yang sudah ditunggunya selama ini. Saat yang akan
melunasi semua kesabaran yang dia habiskan dalam bebatan rindu.

"Maaf, Pak."

Isco tertegun, refleks kakinya mundur satu langkah. He's trying his best and today included.
Dia masih harus menahannya lebih lama. Suka tidak suka, perempuan yang tengah berdiri
di tengah ruangan ini, bukanlah pusat kebahagiannya.

Mengerjapkan matanya dengan cepat, Isco segera menguasai diri. Beberapa suara
kemudian masuk secara bersamaan dalam gendang telinganya. Karyawan yang meminta
maaf karena harus melibatkan Isco dalam masalah ini. Pras yang menjelaskan siapa wanita
yang sedang membuat onar di ruangan ini. Juga si pemain utama yang kini mengoceh
tentang room service yang kurang memuaskan.

"Ibu Soraya,"
Berdeham, Isco tersenyum pada wanita itu dan menanyakan kabarnya terlebih dahulu.
Wanita itu menjawab dengan enggan. Isco mengangguk dan mengucapkan permintaan
maaf atas ketidaknyamanan yang dialami dan memberikan penawaran lebih baik.

Karyawan Isco tertegun memerhatikan apa yang dilakukan pria itu. Dia tak berbuat
banyak, namun mampu mengendalikan suasana. Urusan itu selesai beberapa menit
kemudian. Isco berpamitan dan dia berpesan pada karyawannya untuk
memberikan voucher spa sebagai ganti kekesalan Soraya karena tak mendapat merk air
mineral sesuai keinginannya.

"Dia hanya belum terbiasa dengan kualitas yang lebih baik," komen Isco saat dia berjalan di
lorong menuju ruangannya. "Kamu boleh pulang Pras."

"Bapak?"

"Aku sebentar lagi juga pulang,"

Pras mengangguk, lalu meninggalkan ruangan Isco. Sepeninggal asistennya, Isco menghela
nafas panjang seraya mengusap wajahnya. Sesak sekali perasaan dalam dadanya kini.
Menumpu dua tangan di lutut, dia membungkukkan badan, mencoba membawa udara
memenuhi rongga dadanya dengan cara seperti ini, hingga rusuknya terasa sakit.

Dia kembali menegakkan badan saat merasa kepalanya pusing. Memejamkan mata, Isco
menarik lagi nafas dalam. Sesak itu berganti dengan sakit akan harapan yang terlanjur
terhempas. Siapa yang menyangka dia akan sebegini parah saat ditinggal Hanin. Kalau
begini, semua ancaman Hanin benar. Dia akan merindukannya. Dia akan mencarinya. Dia
akan jatuh cinta.

Membuang pandangannya ke arah jendela kaca besar, dia melihat matahari yang kian
rendah. Suara debur ombak makin ganas terdengar. View ruangan Isco memang sengaja
diatur dan dibuat menghadap ke lepas pantai Augura. Jika selama ini, dia membuang
pandangan ke gedung lain yang sama tingginya dengan perusahaan Wanda, kini semua
berganti dengan bentang alam menyejukkan mata.

"So, it's only me, Hanin." lirihnya.

Mengusap kepala, Isco menarik tas dan meninggalkan ruangan itu. Dia pasati jendela-
jendela besar yang menampilkan laut lepas lewat senja seraya mengiringinya untuk
menuju lift dan mengantarnya ke lobi. Beberapa pekerja yang hendak pulang menyapanya,
ada juga yang mengajak Isco untuk duduk sebentar di kedai kopi. Isco menolak halus,
karena dia butuh mengistirahatkan jiwa dan raganya. Dia segera meninggalkan laman
khusus parkir miliknya saat mesin mobil sudah hidup.

Rumah yang kini dia tempati sudah selesai sepenuhnya. Taman-taman menuju pintu
masuknya sudah dipercantik dengan banyak pohon dan tanaman rambat. Di balik rumah
itu, cahaya jingga menerobos, seperti membelah diri menyambut kepulangan Isco.

Dia membuka pintu dan masuk. Diperhatikannya rumahnya sebentar, kemudian berurutan
menaruh tas, melepas jas, membuka simpul dasi, dan membuat dirinya merasa nyaman
dengan kemejanya saat ini. Kemeja berbahan linen berwarna putih itu dia buka kancing di
bawah lehernya, kemudian dua di pergelangan tangannya. Kakinya berkeliling untuk
menutup jendela yang terbuka. Menghidupkan lampu dan ke dapur untuk minum air putih.
Dahinya berkerut saat mendapati hidangan yang tertutup di atas meja. Tumben sekali Bu
Anggi memasak tanpa diminta. Berjanji dalam hati akan makan setelah mandi, dia berjalan
ke arah kamar.

Isco menoleh kanan dan kiri saat tangannya mampir ke handel pintu.

"Bu Anggi?" panggilnya memastikan.

Harusnya, tak ada orang di rumah. Bu Anggi pasti sudah pulang berjam-jam yang lalu,
karena beliau hanya bertugas membersihkan rumah. Tak mendapati sahutan, Isco
berdeham. Pasti perasaan ikut memanipulasi pikiran, hingga merasa ada orang di
sekitarnya.

Membuang nafas, dia turunkan benda itu dan angin laut kontan menyapanya. Isco
memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Tak sekali dua kali, saat dia melakukan ini,
Hanin muncul dalam benaknya. Dalam pikirannya, Hanin akan menyambutnya,
menceritakan apa yang terjadi padanya hari ini, menawarkan untuk memijat Isco, atau
perempuan itu akan mengerjainya. Selalu ada alternatif Hanin akan beradu urat
dengannya. Tak apa, karena itu menarik bagi Isco.

Membuka matanya, Isco menyadari awan menjadi lebih gelap dari sebelumnya. Jadi, dia
memilih menyalakan lampu lebih dulu baru menutup jendela. Matanya berkeliling pada
semua hal di kamarnya. Menelan ludah, Isco tak mengerti kenapa dia merasa ada yang
aneh dengan ruangan ini. Ranjang memang selalu rapi, karena dia bereskan sebelum pergi.
Namun, tak pernah serapi ini. Wangi kamarnya juga tak seperti biasa. Dia berdecak sambil
menggeleng. Otaknya memproses kehaluan untuk sejenak.

"When the time is right, Isco." lirihnya.

Helaian tirai putih melambai tinggi, seirama hembusan angin petang. Dari aromanya, Isco
menduga hujan akan turun. Meski baru tiga bulan penuh tinggal di Augura, dia sudah bisa
membaca aroma angin yang membawa hujan. Namun, sesuatu yang lain baru dia sadari.

Menelan ludah, Isco menyibak tirai agar dia bisa mendapati tampilan balkon kamarnya
lebih jelas. Angin ini, bukan hanya membawa aroma hujan. Ini sesuatu yang lebih dia
kenali. Lebih menyenangkan dari hujan.

"Hai, B." dia melambaikan tangan.

Menelan ludah, Isco tertegun. Dia tak mampu bergerak dari posisinya saat ini.
When the time is right, let's meet again.

Saat ujung tirai menganai wajahnya, barulah dia sadar. Ini halusinasi?

Memberanikan diri mematahkan ilusi, dia menyeret kakinya ke ujung balkon. Bayangan itu
masih disana, tersenyum padanya. Rambutnya beterbangan di sekitar wajahnya,
membuatnya begitu memikat. Persis dalam semua potret Isco selama ini.

"Hanin?" ujarnya pelan.

"I miss you like crazy."

Saat tubuh itu masuk dalam pelukannya, barulah semua saraf Isco bekerja. Aliran darahnya
berdesir begitu cepat, memompa ke jantung hingga dia merasa luar biasa. Semuanya
seperti bernyawa, menyambut suka cita untuk seseorang yang kembali begitu nyata. Begitu
erat didekap. Begitu dekat dan hangat.

Waktu-waktu itu seperti terganti. Siang malam, kehilangan berita itu sepertinya dibayar
lunas dengan pelukan erat menenangkan ini. Isco menolak untuk melepasnya, takut jika
pelukan ini terlepas, perempuan itu akan hilang terbawa angin. Dia tak ingin, jika sedikit
saja lengah dan melepas dekap, kekosongan yang akan menertawakannya.

Tapi, saat mendengar suara tawa dan pertanyaan bodohnya, Isco bisa bernafas lega. Dia
tenang. Waktu yang ditunggu telah tiba. Isco tak juga memungkiri, bahwa segalanya
memang terasa sangat baik. Begitu tepat waktu. Dia yakin. Hanin yang dipelukannya ini,
adalah tujuannya. Kebahagiannya. Lalu, semua seperti terlahir kembali.

"Kamu tahu nggak manfaat ciuman di bibir untuk suami istri?"

Dan, barulah home where the happiness is bermakna bagi Isco. His happiness is home.
/when the time is right/

Hanin masih ingat saat terakhir dia bersama Isco. Mereka berada di kamar Hanin
berpelukan. Dia sudah melihat Isco pada titik terendahnya. Menjadi sebuah kesalahan dan
kelemahan fatal bagi Isco tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Disaat yang sama, dia
juga menjadi sumber kebahagiaan pria itu.

Menjauh dari Isco adalah pilihannya untuk menata diri. Dia tidak bohong saat berkata dia
ingin menjadi pantas untuk pria itu. Setidaknya, dirinya bangga bisa berada di sebelah Isco.
Tak perlu dijelaskan bagaimana hancurnya perasaan Hanin saat melepas Isco pergi malam
itu. Meski, dia tahu Isco masih sering mengunjunginya secara diam-diam. Dan itu jadi
masalah.

Jadi, Hanin memutuskan untuk hilang dari radar Isco. Dia meminta pada ibu dan adiknya
untuk tidak memberitahu pada Isco kemana dia pergi. Dia ingin tenang. Ingin lepas dari
Isco untuk tahu seberapa jauh dia bisa pergi. Sebanyak apa yang bisa dia capai. Sesakit apa
rasanya berjauhan dengan lelaki yang dicintainya, juga untuk menemukan seberapa kuat
dia bertahan untuk dirinya sendiri.

When the time is right adalah waktu yang dijanjikan Hanin. Sangat tidak jelas, karena dia
juga tak bisa menjamin apakah dirinya akan jadi pantas?

Dalam persembunyiannya, dia mencoba belajar hal baru. Dia meningkatkan kemampuan.
Belajar membuat simpul dasi andalan Isco. Mencoba aneka resep baru. Mengikuti beberapa
program CSR sebagai relawan. Juga, belajar sinematografi dadakan.

Namun, itu semua ternyata tak berhasil mengalahkan rasa rindu Hanin pada suaminya. Di
penghujung waktu setelah kesibukannya, dia menemukan dirinya bercerita seolah ada Isco
di depannya. Dia ceritakan pengalamannya hari ini, seolah lelaki itu mendengarkan. Gila?
Hanin pikir begitu. Nyatanya, itu hanya rindu.

Enam bulan tak kunjung menemukan solusi, dia sadar kalau tempatnya bukan lagi jauh
dari Isco. Jadi, dengan keberanian yang sudah dia kumpulkan, dia akan kembali. Jika nanti
yang terjadi tidak seperti apa yang diharapkannya, maka dia akan melepas pria itu.
Misalkan Isco tampak baik-baik saja, atau malah sudah bersama wanita lain, Hanin mesti
mengakhirinya. Mengakui kalau dia dan Isco memang tidak pernah punya waktu dan
tempat yang tepat.

Dari informasi yang didapat Ralin, Isco sudah kini menetap di Augura. Lelaki itu tak main-
main dengan rencana melepas perusahaan dan membangun miliknya sendiri. Tanpa perlu
lagi mengeluarkan isi kopernya, Hanin langsung melesat ke Augura.

Rumah itu tampak seperti baru dari yang terakhir Hanin lihat. Sepertinya, Isco sudah
menyelesaikan pembangunannya baru-baru ini. Cukup lama dia berdiri di depan pintunya,
memikirkan apa yang akan dia katakan pada Isco nanti. Namun, pintu di depannya keburu
terbuka, menampakkan sosok wanita yang tak asing, namun juga tak bisa dikenali Hanin.

“Maaf, mau ketemu siapa, Mbak?”

Hanin menelan ludah saat tatapan wanita itu pindah pada koper besar di sebelahnya.

“Maaf, Ibu. Saya Hanin. Isco ada di dalam?”

“Hanin? Hanin istrinya Pak Isco?” serunya tak percaya.

Hanin mengangguk sekali. Tak diduga, wanita di depannya itu memeluknya erat. Dia
menepuk punggung Hanin bersamaan dengan tawa riangnya.
“Aduh, Mbak, lama amat sih baru bisa kesini? Kasihan Pak Isco setiap hari kesepian.”

Hanin meringis, seraya mengurai pelukan. “Iya, maaf, Bu?”

“Anggi,” katanya. “Saya yang ngurusin rumah bapak disini. Ayo masuk. Pak Isco sudah
berangkat kerja,” dia melebarkan pintu, bahkan turut menarik koper Hanin agar di masuk
lebih cepat.

Hanin tersenyum, mengikuti wanita itu melangkah ke arah ruang TV.

“Ibu kesini setiap hari?” tanya Hanin.

“Iya. Saya cuma datang pagi aja, beberes dikit sama bawain baju bapak ke penatu. Habis itu
saya kerja di resort. Kan pekerjaan utama saya disana. Duh, saya senang banget Mbak
sudah kembali.”

Hanin mengangguk lagi. “Iya, saya inget pernah ketemu ibu disana.”

Bu Anggi tersenyum lebar. Dia usap bahu Hanin. “Selamat datang, Mbak. Pasti Pak Isco
senang banget Mbak pulang kesini.”

“Makasih, Bu, sudah bantuin Isco,”

“Mas Isco sampe buat wahana kesukaan Mbak Hanin di resortnya,” Bu Anggi
bertepuktangan heboh. “Dia pasti bahagia banget ngelihat Mbak disini,” ulangnya.

Isco buat wahana kesukaanku?


“Wah, kayaknya dia cinta banget sama saya,” seloroh Hanin.

“Iya dong, Mbak.” Bu Anggi tersenyum. “Kalau gitu saya pamit dulu, mau kerja. Mbak
istirahat aja dulu. Pak Isco biasanya pulang sore, sekitar jam setengah enam. Apa saya perlu
kasih tahu Bapak biar pulang cepat?”

“Nggak usah, Bu. Saya mau nyiapin kejutan.”

Rasanya, waktu berjalan lambat saat Hanin menunggu kepulangan Isco dari resortnya. Dia
sudah membuat masakan andalannya yang paling baru yang sukses dia pelajari. Dia juga
sudah merapikan kamar lelaki itu. Menikmati sore hari di balkon kamar, Hanin merasa
sangat baik. Ya, entah bagaimana menjelaskannya, dia merasa lengkap. Dia merasa
disinilah tempatnya. Saat inilah waktunya.

Saat mendengar suara samar, jantung Hanin berdetak cepat. Kemudian, suara itu menjadi
jelas. Suara pintu yang terbuka membuatnya menggeser tubuhnya ke ujung balkon.
Menelan ludah, Hanin menautkan jemarinya menunggu Isco. Matanya fokus pada pintu
balkon yang terbuka. Harusnya Isco sadar, jika ada orang karena dia meninggalkannya
dalam keadaan tertutup.

Hanin menahan senyumnya saat melihat langkah kaki itu benar menuju balkon. Oh Tuhan,
ternyata Hanin begitu merindukan pria ini. Segala tentang pria ini.

“Hai, B.”
Lelaki itu tertegun. Hanin bahkan tak percaya bisa melihat lelaki itu lagi, kali ini dengan
perasaan bahagia yang meluap. Seolah tak percaya, lelaki itu melangkahkan kakinya ke
arah Hanin, bersamaan panggilannya.

“Hanin?”

“I miss you like crazy,”

Tubuhnya masuk dalam rengkuhan Isco, bahkan lelaki itu menolak melepasnya barang
sesaat. Hanin memejamkan mata, mengusap punggung Isco perlahan. Astaga, apa yang
telah dia lakukan hingga pantas bisa berada kembali dalam pelukan Isco?

"Kamu tahu nggak manfaat ciuman di bibir untuk suami istri?"

Hanin mendongak, membuat Isco menunduk. “Sayang,” panggilnya. “Kamu disini.”

Hanin mengangguk. “Pertama, ciumannya bisa mempererat kasih sayang,” Hanin berjinjit
sedikit untuk mencium bibir Isco sekilas. Lalu, dia tertawa.

Lelaki di depannya memalingkan wajah, sambil menahan tawa.

“Some kind of opening,” bisik Hanin.

“What do you mean?” tanya Isco pelan.

Hanin bersumpah dia bisa melihat netra hitam itu diselubungi cairan bening. Melihat itu,
dia tertegun. Tangan Isco masih menahan tubuhnya agar tak kemana-mana. Hanin
memindahkan tangannya menyentuh sisi wajah Isco. Pria itu tersenyum hangat, membuat
matanya hampir memejam.

“Aku pikir ini mimpi,” ujar Isco.

Jemari Hanin mengusap ujung mata Isco yang berair.

“Hanin, I miss you so much. Kamu nggak tahu gimana aku selalu berharap hari ini terjadi
lebih cepat, Sayang.”

Hanin meraba dada Isco, tepat dimana denyutan itu bisa dia rasakan di telapak tangannya.

“Thank you for coming back. Thank you for choosing me again.”

“I have no other choice, Isco. You are the only option.” ujar Hanin. Suaranya perlahan
bergetar. “Aku nggak mau nangis,” katanya. Namun, buliran bening jatuh bebas di pipinya.

Isco tertawa, gentian dia yang menyapu pipi Hanin dengan jemarinya. Lalu, direngkuhnya
sekali lagi tubuh itu. Dibalik sinar keemasan yang makin pekat juga angin laut yang
berhembus makin kencang, keduanya menemukan tempat satu sama lain untuk saling
mengisi waktu yang hilang.

Isco mengecup puncak kepala Hanin sambil meresapi bahwa waktu yang tepat memang
saat ini. Kebahagiannya sudah kembali.

“Hanin, I love you.”

“Kamu tahu-“
“Oh, enough with Haninpedia.” gerutu Isco.

“Kamu baru saja mengganti 20.000 sel lama menjadi sel baru karena bilang I love you.”

“Really?”

Hanin mengangguk yakin. “Luar biasakan kekuatannya? I love you, Isco.”

Lelaki itu kehabisan kata-kata untuk dia ungkapkan. Antara percaya dan tidak. Dia
melewati berbulan-bulan dalam kesendirian dan ketakutan jika perempuan ini tak kembali.
Lalu, tiba-tiba saja, Hanin kini ada dalam pelukannya dan begitu nyata. Dia berjanji tak
akan melepaskannya apapun yang terjadi.

Karena semua terasa benar. Waktu yang tepat. Bersama orang yang tepat dan di tempat
terbaik yang bisa dia bayangkan.

“Bu Anggi bilang, kamu bikinin wahana kesukaan aku di resort. Sebegitu cintanya ya sama
Hanin ini?” godanya dengan tawa yang akhirnya kini bisa didengar Isco lagi.
/leads to everything/

“Co, aku kasih tahu kamu ya, ternyata siput bisa tidur selama tiga tahun loh,”

“Harus banget ya bahas siput sekarang?”

Hanin tertawa, menyingkirkan wajah Isco dari ceruk lehernya. “Geli!” serunya sambil
menjauh.

Namun, usaha Hanin gagal lantaran Isco sudah menahan tubuhnya. Hanin terkikik geli saat
lelaki itu kembali menciumi lehernya. Disaat yang bersamaan, tangan Hanin mengusap
punggung telanjang Isco. Menit berikutnya, tawa itu berganti nafas berat dan erangan
pelan.

“It’s the opening you said.” bibir Isco menyapa milik Hanin. “And then what?”

“Leads to evertything,” jawab Hanin berani.

Dia menelan ludah, menarik wajah Isco agar mendekat. Kedua bibir mereka terbuka,
menyambut satu sama lain. Jarak dan waktu yang selama ini memisahkan mereka, harus
ditebus dengan perayaan yang layak. Meski bukan pertama kali. Isco memimpin
permainan, namun tak memaksakan egonya yang ingin dipuaskan. Hanin adalah segalanya
kini. Perempuan ini yang terpenting.

“Isco,” bisik Hanin saat mereka sudah lebih tenang. Dia berguling melewati Isco untuk
turun dari ranjang.

“Kemana?” tanya Isco.


Tatapan matanya mengkuti gerakan Hanin yang turun dari ranjang, mengenakan jubah
malamnya dan menarik koper.

“Jangan diberesin dulu,” kata Isco.

Hanin menoleh dengan kening berkerut. “Maksudnya?”

“Besok kita honeymoon,” ujarnya dengan senyuman jumawa.

Hanin tertawa pelan. “Apaan sih? Kamu bucin banget sama aku, ya?”

Isco tertawa. “Aku serius. Kita besok pergi honeymoon. Nggak mau?”

Hanin berbalik sepenuhnya kini, berjalan kembali ke ranjang. Dia duduk di tepinya,
menunduk menatap Isco yang terlentang. “Kamu serius?”

Isco mengangguk. “Let’s celebrate this,” ujar Isco. Ujung jemarinya menelusuri lengan Hanin
perlahan. “Let’s have a good time. Us.”

Hanin tersenyum. Dia menyugar rambut Isco. “Aku kok bisa bodoh banget ya, pergi enam
bulan dan melewatkan lelaki tampan ini?”

Isco mengangkat alisnya. “Aku juga penasaran,”

Hanin mengecup kening Isco. Isco bergerak cepat menahan wajah Hanin dengan dua
tangannya. “Welcome home, Honey.”

Kali ini, dia yang menghadiahi Hanin kecupan di dahi.


*

Pulan Rahsand adalah nama tempat yang disebutkan Isco secara acak waktu dia ditanya
rencana bulan madu- dulu sekali di awal pertama pernikahannya dengan Hanin. Dia ingat
betul menyebutkan nama tempat itu dengan amarah yang meluap, lantaran dia tak suka
sesi wawancara itu. Dia dipaksa untuk bermesraan dengan Hanin hari itu.

Namun, siapa yang menyangka, kesanalah Isco membawa Hanin berbulan madu yang
sesungguhnya. Terlintas begitu saja semalam. Saat dia menghabiskan waktu bersama
Hanin, dia ingin membuatnya lebih berkesan. Mengingat, mereka tidak pernah berbulan
madu. Kesempatan ini dianggap tepat.

Dia buru-buru menelepon asistennya untuk mendelegasikan beberapa pekerjaan selama


beberapa hari, juga meminta dibelikan tiket pesawat. Meski mendapat protes dari Pras, toh
dia adalah bosnya.

Jadi, disinilah mereka, di resort private yang susah payah didapat Pras. Pemandangannya
menghadap pada pantai berwarna biru cerah, hingga ujungnya kelihatan bersatu dengan
langit. Hamparan halaman hijau turut menambah kesan kemewahan bulan madu Isco
Hanin saat ini.

Wanita itu memeluk Isco dari belakang, mengecup rahang Isco seraya berjinjit. “This is
amazing. Selain tampan, kamu memang punya selera yang bagus. Aku harus akui itu.”
Hanin tertawa. “Termasuk dalam pilih pasangan hidup. Jago banget!”

Isco tertawa. “Aku tahu kamu nggak akan setulus itu, Hanin.” dia melepas tangan Hanin dan
berbalik. “Let’s make sure about one thing,”

“Apa?” tanya Hanin sambil mendongak, mendekatkan wajahnya ke Isco.


“You can swim, right?”

“Setelah aku berhasil menyelami hati kamu, masih nanya aku bisa berenang atau nggak?”
dia mengedipkan mata.

Isco menggelengkan kepala, lalu berlalu meninggalkan Hanin yang tertawa puas.

“Terserah!” gumamnya.

“Ayo kita mulai petualangannya,” Hanin menarik tangan Isco yang sudah merebahkan
tubuhnya di sofa.

“Istirahat dulu,” tolak Isco.

“Ih, sayang banget buang-buang waktu,” Hanin berdecak. “Oh, sampai lupa.”

Dia segera mengambil ponsel dan mulai membuat konten soal bulan madunya. Dia
mereview semua spot di huniannya saat ini.

“This is so beautiful, Bebs. Coba lihat,”

Dia menunjukkan pemandangan dari balkon kamarnya. Deburan ombak yang menghantam
bebatuan membuat efek yang luar biasa untuk videonya. Lalu, pada hamparan halaman
hijau di bawah sana. Bagian terakhir, dia arahkan kamera pada Isco yang tengah bersantai
dengan ponselnya di sofa.

“Ini dia biang semua ini,” dia tertawa. “Jangan ada yang komen ‘mau suami kayak Isco satu’,
atau ‘sisain yang kayak Isco satu’!” dia tertawa. “Karena dia satu-satunya, dan punya aku!”
Isco menoleh padanya sambil menggeleng. Sesi komentar live Hanin tumpah ruah dengan
rasa iri pengikutnya saat Isco tersenyum ke arah Hanin sambil melambai.

“Oouh,” seru Hanin. “Nanti aku review lagi ya, ada yang lebih penting sekarang.”

Masih dengan siaran yang masih berlangsung, wanita itu mendekati Isco.

“Han, kamu masih live.” Isco mengingatkan wanita itu saat dia menjatuhkan tubuhnya di
sisi Isco.

“Maafin,” ujar Hanin sambil menghentikan siaran langsungnya.

“Bikin malu aja,” semprot Isco.

“It still feels like a dream,” Hanin menatap Isco. “Meskipun kurasa aku masih butuh waktu
untuk jadi pantas, aku nggak bisa nahan untuk kembali ke kamu.”

“Kamu harusnya datang lebih cepat, Hanin. I told you,” Isco menyelipkan rambut ke
belakang telinga Hanin. “You are more than enough. Aku nggak butuh kamu jadi apa-apa
Hanin. I need you. You are my happiness. You are perfect.”

“How could you become this sweet, huh?” Hanin mengecup ringan bibir Isco sesaat. “Bikin
gemes tau!”

Isco tertawa. “Listen to this,” Isco melihat kembali ponselnya. “When two people are meant
for each other, no time is too long, no distance is too far, and nobody can keep them apart.”
“Nice thing to say.” Hanin kembali memberi kecupan di bibir Isco, seperti yang tadi dia
lakukan.

Isco menarik nafas. Dia membangkitkan tubuhnya, untuk berada di atas Hanin. Dengan
tangannya di sisi tubuh Hanin, dia menurunkan wajahnya perlahan, mengecup bibir Hanin
perlahan. Saat wanita itu menyambutnya, Isco seperti kehilangan kendali. Bibirnya mulai
menemukan tempat-tempat lain yang ingin dia kunjungi.

Hanin memejam, sesekali mengigit bibir bawahnya saat Isco tak bisa menahan dirinya
untuk menggigit atau menghisap kulit Hanin. Jemarinya meremas rambut Isco yang berada
di dalam genggamannya, sebagai reaksi spontan atas apa yang dilakukan Isco.

Lelaki itu bangkit, kemudian mendudukkan Hanin. Perlu beberapa detik tatapan bagi
keduanya, hingga tangan Isco menarik summer dress Hanin melewati kepalanya.
Kemudian, pakaian dalamnya. Jakunnya naik turun mendapati pemandangan di depannya.
Hanin mengulum bibirnya, lalu membantu Isco untuk membuka kancing kemeja yang
dipakainya dan semua bentuk kain yang melekat di tubuhnya.

“God!” ujar Isco saat Hanin lebih dulu mengecupnya.

“Isch- oh.” Hanin memejamkan mata, berusaha meredam suara saat jemari Isco memulai
petulangan pada bagian bawah tubuhnya. “Heumh,” gumamnya.

Isco mengambil tangan Hanin yang berusaha mencari pegangan dengan meremas tepian
sofa.

“Good, Hanin. Like that,” ujar Isco dengan suara serak saat wanita itu mulai mengimbangi
Isco.
Isco membiarkan Hanin naik ke pangkuannya. Dia meregangkan tangannya, berusaha
membagi sensasi ke seluruh tubuhnya. Sialnya, itu malah makin membuat Isco tak tahan.
Hanin terlalu menggoda seperti ini. Rambutnya jatuh di sekitar wajahnya saat dia
menunduk menatap Isco, ditambah peluh yang merambat di tubuhnya.

Hanin berpegangan pada dua bahu Isco, mengadahkan kepala saat pria itu memposisikan
Hanin di pangkuannya.

“Isc-“ Hanin melenguh saat tangan Isco berada di pinggangnya, membantunya untuk
bergerak.

“Oh, Hanin-“ erang Isco.

Mungkin karena jatuh cinta sama halnya dengan mengkonsumsi kokain, rasa candu itu tak
bisa dikendalikan. Hanin tak tahu kapan dan bagaimana mereka bisa berpindah ke ranjang
setelah keduanya seperti kehabisan tenaga di sofa setelah mendapat kepuasan bersama.

Kini, mereka berbagi cinta di atas ranjang. Isco mengecup sepanjang leher hingga terus
menerus turun ke bawah. Tawa kecil Hanin seperti bahan bakar bagi Isco untuk makin
membakar kedua tubuh itu dalam bara cinta.

“Iscooo...“ gumam Hanin.

“God, Hanin. You are perfect.” Isco menghentikan gerakan bibirnya.

“Come on, Isco!” rengek Hanin frustrasi. “Yeaah....”


“You like it?” tanya Isco seraya sekuat tenaga menahan keinginan untuk mulai memasuki
Hanin.

“As much aah... as you like it,” goda Hanin.

“Smart girl,” lelaki itu mengakhiri rasa ketergantungannya akan Hanin sekali lagi.

Lebih dalam, lebih intens, lebih lama.


/honeymoon date/

Mereka melewatkan makan jalan-jalan sore, mandi, dan dinner yang sudah direncanakan
hari itu. Di penginapan yang sangat luas itu, seperti sebuah ironi, mereka hanya
menghabiskan lebih dari lima belas jam di atas ranjang. Setelah semua hasrat tuntas,
mereka beristirahat. Terlalu lelah untuk melakukan apa-apa. Saat terbangun tengah
malamnya, Hanin meminta dipeluk Isco dan kembali tertidur hingga pagi.

“Hei,” sapa Isco dengan kecupan bertubi di wajah Hanin. “Hanin,” sapanya.

Hanin mendorong wajah Isco menjauh karena masih mengantuk.

“Wake up,” bisik Isco sambil memberi gigitan pelan pada telinga Hanin.

“Bucin,” gumam Hanin. “Aku masih ngantuk. Isco!” seru wanita itu saat Isco menarik
selimut yang membungkus tubuh Hanin.

“Hanin, I just want to make sure you are okay,” dia mengusap sisi kepala Hanin. “Bisa
bangun?”

Hanin menguap, matanya menyipit. “Dingin, Balikin selimutnya. Hei,” Hanin tak bisa
mendapatkan selimutnya kembali.

“Ayo keluar.”

“Balikin hei, ini aku nggak pake apa-apa,” Hanin bergelung-gelung di kasur, mencoba
mendapatkan selimutnya.
“Hanin, you just turn me on!” Isco menelan ludah. Dia kembali menutupkan selimut ke
tubuh Hanin.

Hanin tertawa, lalu duduk. Dia rapatkan selimut di tubuhnya. “Belum puas juga semalem?”
sindir Hanin dengan desisan.

Isco tersenyum miring. “Aku pikir kamu juga menikmatinya,”

“Sure!” Hanin menepuk pipi Isco pelan. “Thank you.”

Isco mengacak rambut Hanin. “Let’s get down,” katanya mengulurkan tangan.

Hanin mencoba merangkak agar bisa turun dari ranjang. Genggaman tangan Isco sedikit
membantunya untuk turun dari ranjang.

“You okay?” tanya Isco.

“Very well,” ujar Hanin.

“You sure?” Isco tak yakin.

“Mau ngetes di bathroom?” goda Hanin seraya menjatuhkan selimut ke lantai lalu berjalan
ke kamar mandi.

Isco mengikutinya masuk ke kamar mandi. “Mungkin nanti malam atau besok pagi.” dia
kembali membantu Hanin untuk masuk ke bathtube.
“Dasar oportunis,” Hanin menampung air dalam genggamannya dan menyipratkannya ke
tubuh Isco.

“Kan kamu yang nawarin. Aku dianggurin enam bulan loh,”

“Dasar gila!”

Meskipun tak punya cukup keberanian, Hanin tetap naik ke atas punggung kuda jantan
berwarna putih ini. Setidaknya, ada trainer kuda yang berjaga di sampingnya. Dia bisa
melihat Isco yang sudah mahir menunggang kuda menelusuri arena pacu untuk bersiap
keluar.

“Coba dielus dulu, Han. Diajak kenalan.” ujar Isco.

Tangan Hanin lalu mengusap kepala kuda itu. “Hai, hari ini kita teman ya,”

Trainer kuda yang memegang tali kuda itu tertawa pelan. “Santai aja, Mbak. Dia sudah
jinak, meskipun nggak terlalu suka dengan orang asing. Dia belum pernah celakain
wisatawan kok,”

“Selalu ada yang pertama, Hanin.” Isco menakuti. “Mungkin kamu yang pertama.”

“Ish, suami macam apa sih yang ngomong gitu?”

Trainer yang bernama Juno itu tertawa lagi. “Nggak papa, Mbak. Coba jalan, dihentak dikit
aja kakinya,”
Hanin menurut dan dia lumayan kaget saat kuda jantan bernama Champ itu bergerak maju
dengan pelan. Hanin tak berani menarik atau mengulur tali kekang di tangannya, takutnya
Champ akan kaget dan berlari.

“Oke, pelan aja, coba ditarik talinya. Jangan takut ya, Mbak. Soalnya, kudanya bisa ngerasa
yang bawa takut, dia juga jadi takut. Seimbang jangan lupa.”

“Oke,”

“Nah, udah lumayan. Ikutin aja gerakan kudanya, Mbak. Pelan aja, boleh ditarik lagi talinya
buat ngasih perintah.”

Hanin menarik nafas, dia sudah mulai rileks dan bisa menyeimbangkan tubuhnya.
Perlahan, dia bisa mengikuti gerakan kuda yang ditungganginya.

“Pelan-pelan,” Juno mengingatkan. “Oke bagus. Coba keliling dulu,”

Hanin makin percaya diri saat Champ menurut dan mudah untuk dikendalikan.

“Good job, Han!” seru Isco.

Hanin tak melihat Isco lantaran fokus pada kudanya. Dia melakukan satu putaran dengan
baik dan Juno mengijinkannya membawa Champ untuk keluar dari area latihan. Hanin
kemudian melanjutkan latihan di sekitar halaman peternakan. Isco sudah melakukan
berkali-kali putaran dengan kuda tunggangannya.

“Sekarang, nikmati, Mbak. Sepertinya sudah aman dan Champ sudah percaya sama Mbak
Hanin. Tapi tetap sabar dan pelan-pelan aja,”
Champ memulai dengan jalan biasa, lalu lari biasa atas perintah Hanin. Wanita itu merasa
senang bukan main saat bisa berada di belakang Isco dan mengikutinya tanpa ada kendala.
Isco lalu menghentikan laju kudanya untuk bisa berjalan bersisian dengan Hanin.

“Wah, berasa kaum royal kalau gini,” kata Hanin.

“Pikiran kamu tuh memang luar biasa,” ujar Isco. “Kita mau ke hutan pinus naik kuda,
bisa?”

“Hah?” Hanin kaget, membuat reaksi spontan dari Champ. Dia mengikik dan sedikit
menaikkan tempo larinya.

“Tenang, Hanin!” seru Isco.

Tapi, malah membuat Champ kaget. Kuda itu berlari memutar lumayan cepat, diluar
kendali Hanin. Isco dan Juno mencoba mengejar Champ yang berlari-lari di seputaran
halaman.

“Pegang talinya, Mbak.” teriak Juno. “Tarik sedikit, biar dia ngerem,”

“Nggak bisa!” seru Hanin.

Makin Isco dan kudanya mendekat, makin Champ berlari. Isco menelan ludah. Dia meminta
Juno untuk membantunya dan lelaki itu mesti usaha keras untuk bisa mendekati Champ
dan menenangkannya. Kuda itu sempat berontak saat Juno berhasil menarik talinya,
mengangkat dua kaki depannya ke arah Juno.

“Isco!” seru Hanin saat dia mendekap punggung kuda itu, takut terpelanting ke belakang.
“Tahan, Mbak.” perintah Juno. “Easy, Champ. Hei, ini Juno.” katanya sambil menepuk-nepuk
tubuh Champ.

Kuda itu mengikik sekali lagi sebelum dia menjadi tenang, namun masih tak berhenti
mondar-mandir di sekitar Juno. Isco turun dari kudanya dan mendekat. Dia membantu
Hanin untuk turun.

“Makasih, Jun.” ujar Isco seraya mengusap punggung Hanin yang masih turun naik dengan
cepat. “Hanin, kamu nggak papa?”

Hanin mengangguk dalam dekapan Isco. “Cuma kaget aja,”

Isco tertawa pelan. Hanin menatapnya dengan mata tajam. Dia baru saja memikirkan
rumah sakit yang akan dia kunjungi jika dia jatuh dari kuda, dan sekarang lelaki ini tertawa.

“Kamu lucu banget tadi,” ujarnya. “Sorry, but I can’t help.”

Hanin berdecih, lalu mendorong tubuh Isco menjauh. Mengambil nafas, dia mengusap
kepalanya. Dia melihat Champ yang sedang dibawa Juno berkeliling.

“Masih berani naik kuda?” tanya Isco.

“Kamu mau aku mati?” tanya Hanin sinis sambil berbalik melihat Isco.

“Canda, Sayang.” lelaki itu tertawa lagi. “Sama aku, mau? Kita satu kuda aja,”

Hanin melihatnya dan mengangguk dengan cepat. “Mau. Ke hutan pinus, kan?”
Isco menggeleng. Kemana amarah perempuan itu barusan? Mereka kemudian mendekati
kuda yang tadi ditunggangi Isco. Dia kemudian membantu Hanin untuk naik ke atas kuda,
lalu dia menyusul di belakang Hanin.

“Tunggu, ambil foto dulu,” kata Hanin. “Jun, tolong dong fotoin kita,”

“This is so you, Hanin.”

Perjalanan menembus hutan pinus itu mereka lakukan dengan tenang, meski tidak hanya
berdua karena Juno mengikuti di belakang mereka. Menelusuri di atas punggung kuda
terasa sangat baru bagi Hanin. Dengan keamanan yang didapat dari Isco berada di
belakangnya, Hanin sangat menikmati perjalanannya saat ini.

Pohon-pohon itu seakan membuka jalan saat langkah kuda menyongsong. Pohonnya besar
dan segar. Wangi khas pinus tercium saat angin berhembus. Daunnya bergerak seperti
menyambut mereka. Rupanya, ada beberapa pasangan juga yang menikmati wisata kuda
hutan pinus ini.

“Thank you, Isco.” ujar Hanin

“We deserve this,” kata Isco. “Just enjoy it.”

“I want to kiss you right now,” ujar Hanin sambil menolehkan kepalanya.

Isco mendengus, tanpa aba-aba, menyarangkan satu ciuman sigkat di bibir Hanin yang
tengah terbuka. Hanin meletakkan tangannya di bawah dagu Isco, menahan ciuman itu
untuk beberapa detik. Setelah ciuman mereka terlepas, Hanin tertunduk sambil tertawa
pelan.
/kamu lebih banyak sakitnya/

“I think this is the beginning of our new love.” kata Hanin saat mereka berjalan di tepi pantai,
dinaungi bintang malam itu.

Isco berjalan disisinya, mengenggam erat jemari perempuan itu. Mereka berjalan pelan,
menelusuri garis pantai bertelanjang kaki.

“Agreed,”

Isco memiringkan kepala melihat Hanin, lalu mencium pelipis perempuan itu. “Dingin?”
tanyanya.

“Nggak dong, kan ada kamu yang bikin anget.”

Hanin menghentikan langkahnya, membuat Isco ikut berhenti. Angin malam sedikit
menerbangkan rambut Hanin, hingga jemarinya sibuk untuk menyelipkannya di balik
telinga.

“Thank you for being ‘my dream came true’,” ujar Hanin bersungguh-sungguh. “For not
giving up on me. For trusting me. Thank you for being patient with me,”

Isco menarik nafas, mengelus dua lengan Hanin bersamaan. “Thank you for coming back. I
just need that. I don’t care about the right time, or the right place. I just know that you are the
right one for me. Makasih karena udah menabrakkan diri ke mobilku dulu.”

Hanin tertawa, kemudian memeluk Isco. Lelaki itu mendekapnya erat, mengecup puncak
kepalanya. Kemudian, dia mengakat tubuh Hanin untuk dia gendong. Mengaitkan dua
kakinya di punggung Isco, perempuan itu memiringkan kepalanya di bahu Isco, bersandar
disana seperti anak kecil.

“Isco,” panggilnya saat Isco melangkah, membawa mereka untuk kembali ke resort karena
cuaca yang makin dingin.

“Apa?”

“Kamu, apa mau punya anak?”

“Hah?” Isco menoleh sedikit, kaget dengan pertanyaan Hanin. “Kenapa?”

Hanin mengangkat kepala, kini bertatapan dengan Isco. Sebelah tangannya melingkar di
tengkuk Isco, sedang satunya mengusap pipi lelaki itu.

“Kamu nggak mau punya anak?” tanya Isco dengan dahi berkerut.

“Aku justru takut kamu yang nggak mau,”

“Hanin, aku nggak mungkin melewatkan untuk bisa melihat versi kecil kamu dan aku.” dia
tersenyum. “Akan ada anak kecil yang ceria dan nggak takut kayak kamu-“

“Bisa diandalkan dan sangat pintar seperti kamu.”

Isco mengangguk setuju. “Aku akan menunggu saat-saat itu, Hanin. I want a child, children.”

Hanin merapatkan bibirnya, mengulum senyum. Hanin memang tak pernah bertanya
sebelumnya, dia hanya menduga saja. Isco punya hubungan yang buruk dengan ayahnya,
kehilangan ibu di usia yang cukup muda. Hanin takut, masa lalu Isco akan jadi alasan untuk
tak memiliki tanggungjawab memiliki anak. Namun, yang tak diduga Hanin, pria yang kini
dia beri kecupan di bibir itu menginginkan anak.

“I love you,” bisik Hanin disela ciuman yang terpaut.

Isco menelan ludah. Membuka bibirnya, kemudian meraup bibir ranum yang baru saja
mengaku cinta untuk kesekian kalinya itu. Langkahnya menjadi terburu untuk mencapai
pintu resort, mendorongnya dengan kaki. Dia menunggu Hanin untuk mendorong pintu
dengan tangannya.

Tak ada waktu yang terbuang demi mencapai ranjang yang sudah menunggu. Tak
melepaskan pagutan, Isco menaruh tubuh Hanin ke ranjang bersamaan dengan tubuhnya
yang tertahan di atas Hanin. Isco mungkin bisa bersorak kegirangan lantaran dia berhasil
melucuti oversized kemeja Hanin dengan mudah.

Tawa pelan hadir Hanin hadir saat Isco menciumi lehernya, sesekali menghisapnya.

“I wanna be my daughter’s first love and my boy’s forever hero.” ujar Isco tak sabar. “I won’t
mess it up, Sayang.”

“I know you’ll be- aaw...” tangan Hanin menarik rambut Isco dalam genggamannya.

“Maaf, tapi kamu memang harus dan akan lebih banyak menanggung sakitnya.”

Isco mempertemukan dahi mereka. Dengan nafa terburu yang saling mereka tukar, tatapan
keduanya seakan berkomunikasi. Saat melihat mata Hanin sedikit berair, Isco
mengecupnya.
“Aku belum pernah ngasih tahu kalau aku suka mata kamu, kan?” ujar Isco.

Hanin tertawa. “Apa lagi?” tanyanya dengan nafas terburu.

“These, when they talk nonsense,” Isco mengecup bibir Hanin, melumatnya agak kasar.

“Whaw,” nafas Hanin makin terburu.

Isco menelan ludah. “Down to this,” bibir lelaki itu turun ke dagu dan sepanjang lehernya.

Hanin menahan nafas, memejamkan mata saat sekujur rambut halus ditangannya berdiri.
Bibir Isco yang merapalkan kalimat bahkan menambah sensasi rasa yang selalu terasa baru
bagi Hanin.

“Mungkin kamu juga suka bagian ini,” bibir Isco berdiam di perut Hanin.

Pelan dan sengaja menggoda, dia menyapukan ujung bibirnya pada perut Hanin, lalu
perlahan turun. Tangan Hanin terkepal disisi tubuhnya saat Isco membuat tanda pada
bagian paha Hanin, turun ke lutut, betis, hingga ujung jarinya.

“Kamu suka semuanya.” kata Hanin sambil menutupi wajah dengan dua tangannya.

Isco berdiri, menarik kaos melewati kepalanya, kemudian pakaian bawahannya.


Mengangkat alisnya, bibirnya tersenyum miring saat Hanin justru bangkit untuk berdiri.
Berdiri di tengah ranjang, dia mengulurkan tangan pada Isco. Tak menolak, lelaki itu naik
ke ranjang, menerima ajakan Hanin.
Saat berada di depan Isco, Hanin bisa lupa diri. Dia bisa meracau tentang apa saja.
Mengatakan semua hal yang dia tahu, meski Isco tak butuh informasi itu. Bahkan
melagukan syair yang sama sekali tak enak didengar. Di depan Isco, dia bisa menjadi lebih
dari pada yang dia pikirkan.

“God!” desis Isco saat Hanin ‘membalasnya’.

“This is my favorite,” ujar Hanin mengigit pelan bahu Isco setelah dia puas menciumi dada
Isco.

Mengerang pelan, Isco bisa ambruk jika Hanin masih ingin berlama-lama bermain
dengannya. Karena, kakinya mulai kehilangan kekuatan saat perempuan itu perlahan
membungkuk di depannya. Isco menahan bahu Hanin yang makin turun, membuat
perempuan itu mendongak.

Isco tersenyum, membawa tubuh Hanin untuk turun dan mendarat di ranjang. Dia ingin
malam ini terjadi dengan sempurna, meski sudah hampir gila menahannya.

“Let’s make it perfect.”

Hanin mengangguk. Memejamkan mata, Hanin menerima sapuan lembut bibir lelaki itu.
begitu perlahan, lembut, memabukkan, dan bikin ketagihan. Hanin tak ingin berhenti
dibuai oleh Isco.

“Hanin, Sayang-“ panggil Isco ditengah deru nafasnya yang menggebu. “So, this is the
beginning of our new love. I am gonna be inside you. You’ll be burnt.” godanya.

“I am ready.”
Jadi, begitu. Hanin hanya tahu dia tak bisa kehilangan Isco. Terjadi begitu saja, dia
menyadari bahwa Isco adalah the one baginya. Isco adalah rumahnya, dimana dia akan
menetap, akan diandalkan, dan merasa aman. Kepada Iscolah dia akan menyerahkan
segalanya. Kelamahan juga kekuatannya, sampai pada batasnya.

Jadi, semua terasa masuk akal. Semua penantiannya selama ini, menjadi single sepanjang
hidupnya. Rupanya, dia menyiapkan dirinya hanya untuk Isco. Satu-satunya. Terasa masuk
akal bagi Hanin, saat semua susah serta sakit sebelum ini, diganti oleh sosok yang kini
tengah memeluknya dari belakang dengan sebelah tangan. Memang, semuanya hanya soal
waktu yang tepat, hingga masuk akal.
/aku/

“Halo, bebs, ketemu lagi sama Hanin. Jadi, hari ini aku sama Isco mau main ‘Itu Aku’. Tapi,
aku sama bapak di sebelahku ini akan jawab pertanyaan kalian dulu, ya. Belum mulai,
@serena_1908,” kata Hanin tertawa. “Sabar atuh, nggak sabar ya. Kalian boleh nanya apa
aja, dan kami boleh jawab yang mana saja,”

Hanin menepuk pelan paha Isco, membuat lelaki itu mengangguk.

“Are you ready?” tanya Hanin.

“On your mark,” jawab Isco.

“Ih, gemes banget deh.” Hanin meremas jemarinya di depan wajah Isco merasa gemas
sendiri pada suaminya. “Oh iya, kalian udah lihat video honeymoon date kita kan? Aku
rekomen banget tempat kita stay itu ya, karena suasananya pas banget untuk sayang-
sayangan,” Hanin tertawa.

“Sini, aku bantuin,” ujar Isco saat melihat Hanin terlalu ribet dengan urusan scroll layar
ponselnya.

“Thanks.” Hanin menarik dirinya menjauh. “Oke, @susi.wa__ apa kabar? dan kak @alzyviar:
nggak mau nanya, cuma mau bilang semoga kalian baik- baik aja. Makasih banyak, iya kita
baik-baik aja. Sangat baik malah. Do you think so?”

“Of course,” jawab Isco.


“Nah ini pertanyaan rada mirip, kita rapel aja ya, @vwxyzzyzn: udah buat dedek gemes
belom? @p_listari: Hanin udah isi belum? sama @in.mik.ok: mau punya keturunan atau
childfree?”

Hanin menghela nafas sebentar sebelum tersenyum. Dia sisir ujung rambutnya asal, lalu
melihat Isco.

“Don’t do that!” ujar Isco dengan suara kecil.

“Apa?” tanya Hanin sembari menoleh sebentar ke kamera.

“Rushing your finger on your hair,” bisik Isco.

Hanin menutup mulutnya sambil tersenyum. “Aku jadi seksi banget ya?”

Isco tertawa pelan.

“Sorry bebs, ya ampuun iya sabar... tadi pertanyaan tentang anak ya. Kita nggak childfree,
karena bapak ini pengen punya Hanin versi kecil. Aslinya, Isco ini lucu banget nggak sih
menurut kalian? Aku udah pernah bilang, kan? Dia emang jarang bersikap romantis gitu,
tapi aslinya oh God, aku nggak tahu kebaikan apa yang aku lakukan di jaman dulu sampai
aku ketemu sama dia,” Hanin menelan ludah.

“You are too much,” potong Isco.

“I am being serious.” balas Hanin. “Doakan saja supaya kita cepat punya versi kecil Hanin
dan Isco ya. Masih diusahakan banget. Oke, next @anggesminilib: buat Isco gimana rasanya
pas break sama Hanin?” Hanin sontak melihat Isco.
“Rasanya, kayak aku nggak bisa bangun dari mimpi buruk.”

Hanin menelan ludah mendengar jawaban Isco yang langsung meluncur begitu saja. Dia
memang tak sempat bertanya pada Isco. Karena, saat dia lihat Isco baik-baik saja, itu sudah
cukup. Dia lupa menanyakan keadaan sebenarnya, apa yang dirasakan Isco.

“Sorry, Isco.”

“It’s okay,” jawab Isco sambil menggenggam jemari wanita itu. “You are here now.”

“Ah,” Hanin menarik nafas panjang.

Dengan sebelah tangan, dia mengipasi wajahnya, karena merasa matanya panas.

“Cengeng banget, sih.” goda Isco. “Aku yang bacain ya. @union127: Isco sayang banget ke
Hanin pas apa? Umh, ya pas begini, absurd nggak jelas. Tapi bikin aku happy, bikin aku
kebayang senyumnya. Atau kalau sesi Haninpedia. Aku nggak tahu dia bisa tahu sebanyak
itu darimana. Hey, you.” dia mengusap pipi Hanin dengan jempolnya. “You are amazingly
unbelievable.”

“I love you too.”

“Bukan itu!”

Hanin tertawa seraya mengusap matanya. “Iya, tapi aku mau bilang itu.”

“Ini kenapa jadi acara nggak jelas gini sih, Han?”


“Sorry, apa kita end aja, ya?”

“Whatever you want.”

“Eh, tapi kan tadi aku janji mau main sama kamu. Oke, beberapa pertanyaan lagi deh,
@urblurr: Isco cinta Hanin nggak? Ah, udah jelas jawabannya. Dia cinta sama aku. Aku
bucin sama dia. Atau kebalik ya, Sayang?” tanya Hanin.

“@mellanir0sieee: Nin, kamu kemana aja selama pisah sama Isco? You have to answer this!”

“Aku belajar bikin dimsum demi kamu.”

“Bisa aja ngelesnya.”

“@withartic Hanin masih suka jahil nggak? Masih!” jawab Isco langsung. “Nggak akan
hilang kayaknya.”

“Next, pertanyaan dari @saurusthe: How do you see, Hanin? Oh, ini pertanyaan untuk kamu,
B.”

Isco berdeham, lalu melihat Hanin sebentar sebelum kembali fokus melihat ponsel. “Dia
wanita yang menyebalkan, jahil, dan nggak bisa diduga-duga. Tapi, waktu aku nggak bisa
melihat dia, aku jadi sadar kalau ternyata aku takut kehilangan dia.” Isco menoleh pada
Hanin. “Semua hal menyebalkan tentang dia, nggak sebanding sama kehilangan dia.
Everything about her imperfection is what makes me fall in her.”

Hanin menelan ludah. Dia bisa seharian mendengarkan suara Isco. Dia bersumpah akan
membuat rekaman atas apa yang dikatakan Isco. Ini terlalu mengejutkan dan luar biasa.
“Isco-“ lirih Hanin sambil memegang erat jemari lelaki itu. “Aku pengen meluk kamu aja
rasanya seharian ini.” dia menggigit bibir bawahnya. “You are too sweet.”

“Bukannya masih ada sesi lain?”

“I can give up everything just to hear your confession like that.”

Isco menggeleng, lalu merapikan anak rambut Hanin. “Makanya cepat kamu selesaikan,”

Hanin tertawa sambil mendorong bahu Isco pelan. “Oke, beb, kita rasa udah cukup buat
QnA, kalau masih ada yang mau ditanyain, boleh DM aja, atau komen. Nanti di kesempatan
lainnya kita bisa jawab. Sekarang-“ Hanin menarik nafas. “We’ll play ‘Itu Aku’ games.”

“Alright,” kata Isco santai.

“Nah, nanti akan ada pertanyaan, kita akan nunjuk diri sendiri atau aku boleh nunjuk Isco
dan Isco boleh nunjuk aku, gitu ya. Simple banget pokoknya. Kita udah punya board disini,
ntar kita angkat. Paham kan, Sayang?”

“Paham.” jawab Isco sambil menunduk.

“Kejutannya, kita akan featuring seseorang yang bakal bacain pertanyaannya. Guess who?”

“Kamu serius? Siapa?”

“Siapa hayo? Ntar ya,” Hanin mendekat ke arah ponselnya dan menginjinkan seseorang
untuk masuk ke dalam sesi livenya.
“Hi, you,” sapanya sambil melambaikan sebelah tangannya.

“You are unpredictable, Hanin.” gumam Isco.

Pria di seberang sana duduk dengan latar belakang gedung perkantoran. Sepertinya, dia
sudah selesai dengan pekerjannya, kini tampak santai dengan kemeja yang tak lagi
berpasangan dengan dasi. Lengan baju sudah digulung sampai setengahnya. Rambutnya
juga tak lagi rapi. Namun, yang jelas, dia tampak rileks duduk bersandar pada sandaran
kursinya.

“Bro,” dia menyapa Isco.

“Kita akan featuring Arnav! Kalian tahu, dia sibuk banget loh, tapi bela-belain main recehan
aku sama Isco-“

“Aku nggak bela-belain!” sela Arnav. “Kamu maksa aku,”

Hanin tertawa. “Oke, tapi kamu setuju juga kan? Nah, beb, Arnav punya pertanyaan yang
aku dan Isco nggak tahu, Gimana? Kita mulai aja kali ya, takutnya kamu mau lanjut kerja.”

“Technically, I am done with my shit today. But, yeah let’s make this quick. Aku penasaran
sama Isco.” dia tertawa kecil. “Ready player?”

“Banget!” seru Hanin.

“Oke, cuma ada lima pertanyaan, nyantai aja. Question number one. Siapa yang paling suka
berantakan kalau habis mandi?”
Hanin menunjuk dirinya, bersamaan dengan Isco yang juga menunjuk Hanin.

“Hanin? serius?” tanya Arnav.

Hanin tertawa. “Iya, aku suka banget naruh sembarangan baju yang barusan aku coba gitu
misalnya, atau handuk. Nanti, Isco bakalan ngomel, baru deh aku beresin. Tapi, ya memang
aku yang berantakan.” Hanin menutup wajahnya. “Nav, kamu konspirasi ya, mau bikin
imageku jatuh?”

Arnav menggeleng. “Astaga, kasihan banget lelaki di sebelahmu itu. Oke, selanjutnya. Siapa
yang paling romantis diantara kalian?”

“Isco!” seru Hanin langsung menunjuk Isco dengan boardnya. “Sumpah! Meskipun dia
kelihatannya nggak ada bakat sayang sama orang, but deep down-” jelasnya berapi-api.

“Calm down, Hanin.” Isco berusaha menenangkan Hanin.

“Kamu tuh manis banget, B!” dia menangkup dua wajah Isco. “Nav, kamu tahu terakhir kali
dia ngapain? Dia nemenin aku marathon drakor, meskipun ocehannya bikin sakit telinga,
tapi dia tetap nemenin aku marathon delapan episode! Dia bikin satu wahana di resort
yang insipirasinya aku! Kurang romantis apa coba?”

“He is crazy! Totally!” umpat Arnav. “Welcome to Bucin World, Isco!”

“Dia ngambek kalau nggak diturutin!”

“Ih, tetap aja kan ya.”


“This two start to make me sick. Next, biar cepat, siapa yang paling rese kalau lagi sakit?”

Berbarengan, Hanin menunjuk Isco. Sedangkan Isco menunjuk Hanin.

“Oke, let’s hear your stories, guys.”

“Kalau Hanin sakit, semua serba salah. Ditanyain salah, nggak ditanya dibilang nggak
peduli. Minum obat nggak mau, tapi ngeluh mau cepat sehat. Dia banget!” tunjuk Isco.

“Lah, kamu kebalikannya. Ditanyaian nggak mau jawab apa-apa, kan aku bingung mau
ngapain. Pokoknya, kalau sakit dia jadi pendiem banget. Jadi susah, mau ngasih apa!”

“Aku nggak nyangka kalau Isco akan sampai pada level ini. He used to hide his emotion in
the past. But, now, I can see an ear to ear smile, his clear eyes and a gentle touch during this
session.”

“Shut up, Arnav!”

“You made a right decision, Isco. You did.”

Hanin tersenyum, menggenggam tangan Isco lalu mengacungkan jempol pada Arnav
dengan sebelah tangannya yang lain.

“Oke, pertanyaan keempat. Siapa yang duluan jatuh cinta?” butuh beberapa detik sampai
akhirnya Arnav berkomentar dengan nada takjub. “Waw!”

“Aku.” kata Isco.


Sementara Hanin menunjuk dirinya sendiri. “No way,” gumam Hanin. “Arnav, sorry,
kayaknya kita punya urusan yang lebih penting.”

Hanin menjatuhkan board yang dipegangnya, lalu mengambil milik Isco untuk dia jatuhkan
ke lantai. Ditangkupnya wajah pria itu dan diberinya Isco kecupan ringan di bibirnya.
Tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa detik, sampai Hanin kembali mencium Isco.

“Harusnya aku nggak pernah setuju buat gabung sama acara ini.” komentar Arnav.

“End your session,” bisik Isco.

Hanin mengedipkan matanya sekali, lalu mengambil ponselnya. Tak sempat mengatakan
apa-apa lagi, dia mengakhiri sesi livenya hari ini. Tak dia pedulikan bunyi notofikasi yang
datang beruntun, juga ringtone yang masuk.

Sekarang, dia hanya ingin melalukan ini. Memeluk tubuh lelaki di hadapannya.
Menghadiahinya dengan kecupan sepuas-puasnya. Memberi jeda untuk sekedar menarik
nafas, keduanya kembali bergumul di atas sofa.

Matahari petang meningkahi mereka dengan sinarnya. Masuk diantara celah jendela yang
tirainya beterbangan dihembus angin. Di penghujung hari itu, lelaki ini mengaku lebih dulu
jatuh cinta pada Hanin. Bagaimana Hanin bisa bersikap biasa saja setelah pengakuan itu?

“I can’t let you go!” bisik Isco saat dia mengecup daun telinga Hanin. “What should I do?”
katanya frustrasi.

“Then, don’t. Don’t ever let me go.”


Isco menahan wajah Hanin di depan wajahnya. Dia pasati wajah yang tak pernah bosan dia
lihat. Meskipun, dia sudah tahu detail wajah Hanin, namun melihatnya sedekat ini,
memerhatikan beberapa bintik cokelat di pipinya, atau tahi lalat di dekat telinga kirinya
memunculkan sesuatu seperti baru bagi Isco. Membuatnya excited, seperti baru pertama
kali.

Menarik nafas, dia menanamkan satu ciuman di dahi Hanin. Perempuan itu menunduk,
menaruh dua tangannya di dada Isco.

“I am glad we are in the same universe.” kata Isco. “Diantara milyaran juta orang di dunia ini,
di antara semua tempat yang indah di dunia ini, kamu dan aku di sini.” ujar Isco. “Takdir
kita tidak hanya bersinggungan. Tapi, bertemu. Berdua.”

“So, I can give you a real kiss.” Hanin menutup mata dan menanamkan satu ciuman di bibir
Isco.

Lelaki itu menyambutnya. Membelai bibir Hanin begitu lembut seraya mengusap belakang
kepala Hanin perlahan. Membuka matanya, Isco tersenyum dan mencium sudut bibir
Hanin. Perempuan itu tertawa, menunduk malu tak berani menatap Isco.

“Hanin,” panggilnya.

Mendongak, Hanin menatap mata Isco yang teduh, namun begitu bersinar.

“I am glad we went through fire to what we are now.”

**** ****
-end-
hi, ini tjitsar. aku mau bilang terimakasih banyak buat kalian yang sudah mengikuti cerita ini
dari awal di wattpad sampai berakhir disini.

so, here is the ending. kalau nggak sesuai sama ekspekstasi kalian, mohon dimaklumin saja.

sekali lagi, terima kasih buat dukungan kalian yang nggak berhenti. yang masih suka kirim
pesan, untuk doa, dukungan, dan kiriman semangatnya, semoga kalian baik-baik saja.

i love you so much.

thank you.

stay safe wherever you are

Anda mungkin juga menyukai