Anda di halaman 1dari 18

The Dance

of Love

A short story

From the author of My Bittersweet Marriage and

When Love is Not Enough

IKA VIHARA
Mara masih ingat, dan akan selalu i­­
ngat, bagaimana dia dan ketiga adiknya selalu berteriak
protes dan menutup mata ketika melihat orangtua mer­
eka sengaja berciuman di tengah rumah. Juga sangat
ingat bagaimana ayahnya menya­lahkan istrinya karena
mereka berdua sama-sama tidak ingat untuk menjem­
put Kallan, salah satu adiknya, di TK karena sibuk beker­
ja. Lalu gantian ibunya memarahi suaminya yang selalu
lupa menurunkan dudukan toilet. Seaneh apa pun ala­
san yang menyebabkan pertengkaran, kedua orangtua­
nya selalu bisa menemukan cara untuk berdamai di a­­
khir hari. Mulai dari menari berdua mengikuti lagu di
teras belakang sampai mengurung diri di kamar dan
meminta Mara mengawasi adik-adiknya.

That is the very best example of parents who


showed her true love. Love is more than just a word. It
is the ability to past the arguments and find a way to
getting lost in the very same someone’s eyes every day.
Orangtuanya tidak perlu menjelaskan kepadanya akan
pentingnya cinta dan bagaimana cara menemukannya.
Dengan sendirinya, Mara sudah mempelajari selama
menjadi anak mereka.

“Penny to your thought, Lolipop.”


Mara menyeringai dan kembali fokus pada layar
ponselnya. Siang ini, setelah keluar dari studio dan sele­
sai berlatih, Mara memilih duduk di Granola bersama
semangkuk es krim, untuk sekadar memberi apresiasi
kepada dirinya, yang akan menjadi soloist dalam per­
tunjukan spesial The Royal Danish Ballet. Sudah sangat
lama Mara menantikan peran ini. Dalam balet, Giselle
diceritakan sebagai sosok seorang wanita yang mening­
gal karena patah hati setelah mengetahui kekasihnya
menikah dengan wanita lain. Meski perjalanan cinta­
nya tidak begitu berwarna, Mara cukup membayangkan
bagaimana jika ibunya mengetahui sang suami bersama
wanita lain. Tidak melihat ayah dan ibunya tertawa ber­
sama membuat Mara merasa sakit. Rasa sakit itu yang
dia masukkan ke dalam setiap gerakannya.

“You are true ballerina, Mara.” Mara teringat


pada perkataan artistic director RDB, saat mengabari
bahwa dia menginginkan Mara menjadi Giselle-nya.

Mara berusaha fokus kembali kepada orangtu­


anya. “Aku sudah beli tiket pesawat buat pulang, Papa.”

Dia tidak akan melewatkan peringatan lima


puluh tahun meninggalnya orangtua kandungnya. Satu
cerita yang tidak kalah indah, tentang pasangan yang
memenuhi ikrar sehidup semati.
“Jangan bawa calon suami. Papa belum siap.”

Mara tertawa keras.

“Aku nggak punya pacar, Pa.” Dengan sega­


la kesibukannya, Mara tidak tahu kapan, d mana atau
bagaimana dia bisa menemukan cinta. Hari-harinya se­
lalu diisi dengan latihan—meski sudah profesional, seo­
rang balerina harus berlatih setiap hari didampingi guru,
supaya tubuh tidak lupa—dan keliling dunia. Menari
adalah hobinya dan Mara tidak menyangka bahwa balet
yang akan memberinya penghidupan dan kebahagiaan.

“Tidak perlu susah mencari, Sayang.” Edna*,


ibunya, ikut bicara. “Kamu dan pasanganmu akan ber­
temu dengan cara yang tidak terduga. Papa, orang yang
malas keluar rumah saja ketemu jodohnya. Jodohnya
datang sendiri ke rumah. Dia nggak usaha apa-apa….”

“Hei!” Ayahnya protes dan disambut tawa Edna.

“Dengan sendirinya, kamu akan tahu bahwa dia


adalah belahan jiwamu. Kamu akan bisa merasakan.
Kadang orang merasakan pada pertemua pertama.
Kadang setelah satu tahun berteman. Kadang perlu
waktu lebih lama. Seperti papamu.” Mendengar nasi­
hat ibunya, Mara mengangguk lega. Sejak masih kanak-
kanak dan menyukai cerita princess, sampai saat ini,
kepercayaan mengenai pangeran berkuda putih tidak
pernah memudar. Mereka akan datang saat belahan
jiwa berada dalam bahaya bukan? Tapi amit-amit, ba­
gian berada dalam bahaya tidak perlu terjadi.

“Papa mau kamu punya suami orang sini, Mara.


Setelah kamu puas menari, kamu akan pulang ke sini dan
tinggal bersama kami.” Bersamaan dengan itu, ayahnya
mendapat sikutan dari istrinya, dan mengaduh pelan.

“Aku janji, Pa. Aku akan kembali. Aku sudah ber­


pikir untuk mengajar di sana.”

Mara tidak ingat usia berapa dia meninggalkan


rumah. Masih kecil sekali. Menurut cerita ibunya, se­
jak kecil dia suka bergerak. Kelebihan energi, sehingga
ibunya memasukkannya dalam kelas menari. Supaya
gerakannya tidak sia-sia. Dia lulus dari The Royal Danish
Ballet School ketika memasuki masa remaja. Edna rajin
mencari informasi untuk mengembangkan bakat menari
Mara dan berakhir dengan diskusi dengan Jasper, sep­
upu ayahnya. Rencana awalnyanya dia dikirim ke Co­
penhagen untuk tinggal bersama dengan Jasper. Tetapi
ayahnya tidak sanggup hidup jauh dari anak perempuan
kesayangannya. Lima tahun orangtuanya mendampingi
hidup di Copenhagen. Salah satu adiknya bahkan lahir di
sini. Sebelum orangtuanya memutuskan untuk kembali
ke Indonesia.
“Rafka akan datang menonton penampilanmu,
Mara.” Ibunya memberi informasi yang sudah diketahui
Mara. Sudah jadwal rutin. Salah satu adiknya itu kuliah
di Jerman dan secara berkala datang ke sini.

“Ma, aku ini Kakak lho.” Mara menyuarakan ke­


beratan. “Kenapa malah aku yang diawasi?” Tugas dari
ayahnya, adik-adiknya harus memastikan keselamatan
Mara.

“Kalian harus saling menjaga,” jawab Edna sam­


bil tersenyum.

Mereka menghabiskan sisa obrolan mereka


dengan si kembar, Kallan dan Lane, yang tidak pernah
berhenti menggambar komik. Setelah bertukar ‘I love
you’, Mara melepas earplug dari telinganya dan mem­
buka buku yang sejak tadi terbuka di depannya. Meski
punya e-reader, Mara tetap suka membaca paperback.

“Sorry.” Sebuah suara mengganggu konsentrasi


membaca Mara.

Mara mengangkat kepala dan melihat seorang


laki-laki, dengan mata biru yang cerah dan hangat se­
perti langit musim panas, rambur berwarna cokelat se­
perti tanah yang terkena hujan pertama di musim gugur,
dan yang paling menarik adalah warna kulitanya. Se­perti
orang yang menghabiskan liburan musim panasnya di
pantai dan berjemur sepanjang hari. Lebih gelap dan
seksi. Bukan warna kulit, hatinya meralat, yang paling
menarik adalah senyumnya. Senyum di bibir dan di
mata.

Seandainya hari ini Mara jatuh saat berlatih,


keseleo, dan kesal karena harus istirahat beberapa hari,
setelah melihat senyum seperti yang masih ada di de­
pan matanya, dia yakin akan dengan mudah melupakan
ketidakberuntungannya dan mensyukuri hidupnya hari
ini. Kata tampan tidak mampu mendeskripsikan sosok
yang kini, tanpa menunggu izin, memindahkan cangkir
dari meja di sebelah kanan Mara ke meja Mara.

“Apa kamu orang Indonesia?” Sapanya dengan


bahasa Indonesia yang lancar, tetapi dengan aksen yang
tidak biasa. Tidak mengganggu. Tapi, seksi.

Tuhan, kenapa sejak tadi otaknya tidak bisa ber­


henti mengeluarkan kata seksi.

“Kamu keberatan aku duduk di sini?”

Seharusnya Mara protes karena ada yang me­


langgar privasi. Tetapi demi melihat senyum dengan
satu lesung pipit di sebelah kiri, Mara hanya bisa me­
ngangguk.

“Oh?” Kali ini laki-laki tersebut mengamati wa­


jah Mara dengan seksama. “Mara? Mara Hananto?” Bu­
kan terkejut, tapi laki-laki tersebut malah terlihat lega.

Mara tidak tahu dia harus menganggguk atau


berpura-pura menjadi orang lain. Dia sudah menari di
mana-mana, bahkan disiarkan di televisi, dan sangat
mungkin orang akan mengenalinya, meski dengan ram­
but digerai dan tanpa make-up.

“Adikku penggemarmu. Waktu itu kebetulan


kami sedang ada acara di Copenhagen dan kami seke­
luarga pergi menonton penampilanmu … nah, ini adik­
ku.” Dari layar ponselnya, laki-laki tersebut menunjuk­
kan foto satu keluarga, yang dia klaim diambil pada saat
makan malam sebelum pergi ke The Royal Theatre, lalu
bercerita banyak. Tanpa bisa dicegah, Mara mengingat
satu per satu nama yang disebutkan, seolah mereka
akan menjadi bagian dari keluarganya juga.

“Sorry, apa aku … kampungan?” Laki-laki terse­


but menghentikan cerita. Baru sampai mana tadi? Adik­
nya suka menari tapi lututnya tidak memungkinkan
setelah kecelakaan?

Kali ini Mara tertawa pelan. “Jarang ada orang


yang duduk di mejaku dan menceritakan keluarganya.
Terima kasih kamu dan keluargamu sudah datang me­
nyaksikan pertunjukanku.”
“Suatu kehormatan bagiku bisa menyaksikan.
Indah sekali. Aku belum pernah menonton balet sebe­
lumnya. Adikku, seperti kubilang, penggemar beratmu,
dan memaksaku pergi. Aku tidak menyesal. Bahkan
mungkin tertular. Menjadi penggemar. Selama bisa
mendapatkan tiketnya, aku akan datang ke setiap per­
tunjukanmu.”

“Oh? Thank you.” Mara tidak tahu harus me­


ngatakan apa.

“Atau aku lebih parah daripada adikku. Aku me­


masukkan namamu di internet dan mengirimkan surat
penggemar ke The Royal Danish Ballet. Aku harus ber­
saing dengan banyak orang bukan? Karena sampai seka­
rang belum beruntung.”

“Um … aku memang tidak bisa membalas


satu per satu.” Seandainya Mara lebih rajin membalas
semuanya, pasti dia tidak akan melewatkan surat dari
laki-laki ini. Apa tulisan tangannya berkarakter juga se­
perti wajahnya? Uh, Mara menggelengkan kepala.

“Setelah ini aku akan bisa tidur nyenyak.”

Mara mengerutkan kening. Apa hubungannya


surat penggemar dengan tidur?

“Karena aku sudah menyampaikan kekagu­


manku padamu. Bahkan secara langsung. Aku tidak per­
lu bergadang membanjiri media sosialmu dengan ko­
mentar dan berharap dibalas. Atau di-like, paling tidak.”

“Aku tidak setenar itu.” Apa dia pikir Mara artis


Hollywood? Berapa banyak penggemar balet di dunia
ini? Di negara ini? Mara menggelengkan kepala.

“Tidak semua orang bisa mencapai prestasi se­


perti ini, Mara.” Tatapan mata laki-laki ini berubah serius
dan dalam sekali. Tepat pada manik hitam mata Mara,
seolah sedang bicara kepada hati dan jiwa Mara. “So-
loist kulit kuning pertama setelah tiga puluh dekade?”

“Dan pendek.” Mara menutupi kegugupannya,


sama gugupnya dengan saat dia mengikuti audisi perta­
ma pada umur 15 tahun.

“Tidak ada yang salah dengan tinggi badanmu.


You are not short, just … cute size.”

“Dalam duniaku, 162 cm termasuk wrong type


body. Poorly proportioned.”

“Selama ini tidak menjadi masalah, kan? Karena


orang tahu kamu menari dengan hati, Mara. Dan ba­nyak
dari mereka yang menunggu-nunggu penampilanmu.
Jangan pernah menganggap apa yang kamu lakukan
adalah hal kecil. Kamu menginspirasi banyak orang.
Termasuk diriku saat melihatmu menari sebagai Nikiya.
Yang erat-erat menggenggam cintanya. Dan kesetiannya
diganjar dengan cinta yang abadi di kehidupan selan­
jutnya. Siapa saja yang skeptis pada cinta, akan kembali
percaya.”

Binar di mata biru tersebut meredup. Jika sebe­


lumnya seperti langit musim panas yang cerah, kali ini
tersaput awan gelap. Apa sedang patah hati?

“Aku sendiri, setelah melihat bagaimana kamu


membawakannya, percaya akan adanya cinta sejati un­
tuk setiap orang. Kalau tidak menemukan di dunia ini,
kita akan bersama dengan belahan hati kita di surga. Se­
andainya aku bisa menari seindah dirimu, aku tidak akan
memberikan peran Solor kepada laki-laki lain. Kamu
membuatku ingin menari bersamamu.”

Please, jerit hati Mara. Kalau pasangan menari­


nya adalah laki-laki ini, Mara akan lebih bisa menghayati
Nikiya. Bentuk tubuhnya tidak banyak berbeda dengan
pasangan menari Mara, yang memenuhi semua syarat
traditional and ideal ballet body. Learn and strong, rath-
er than bulky. Laki-laki dengan otot terlalu menonjol dan
menggembung tidak akan menarik perhatiannya sama
sekali.

Kalimat ibunya setengah jam yang lalu berputar


di kepala Mara. Bahwa Mara akan bisa merasakannya,
saat bertemu dengan cinta sejatinya. Laki-laki di depan­
nya, yang tidak dia ketahui namanya, yang baru pertama
kali menonton pertunjukkannya, menangkap dengan
hati pesan dari semua gerakan Mara yang bersumber
dari hati.

“Adikku pasti iri setengah mati kalau aku men­


ceritakan pertemuan kita hari ini.”

Mara menarik napas. Berusaha menghilangkan


pikiran bodohnya. Sama sekali dia tidak kenal dengan
laki-laki ini. Bagaimana mungkin dia sudah memikirkan
cinta sejati?

“Kalau adikmu ke Copenhagen….” Tadi laki-laki


ini menyebut bahwa keluarganya tinggal di Aarhus. “Dan
suatu saat nanti datang lagi ke pertunjukanku, beri tahu
aku, aku akan menemui kalian.” Tidak setiap saat ada
orang yang sangat ingin bertemu dengannya.

“Tentu saja. Aku jadi tidak pusing mencari ha­


diah ulang tahun. Aku akan mengajaknya makan malam
dan menonton penampilanmu. Kami tidak akan mele­
watkan Giselle. Sorry, stalking.” Wajahnya menyeringai
jenaka, membuat Mara ikut tersenyum. “Tapi bagaima­
na cara memberitahumu?”

“Bilang saja pada orang yang memeriksa tiket,


kamu ingin menemuiku. Dia akan mengaturmu, dan
adikmu, untuk menemuiku di ruang ganti. Aku akan
meninggalkan namamu….” Siapa nama laki-laki ini? Yang
sejak tadi menatapnya dengan … penuh penghargaan
dan kebanggaan? Sama sekali bukan tatapan seorang
penggemar kepada idolanya. Mara tidak bisa mengarti­
kan. Tidak saat ini.

“Møller**. Hagen Møller.”

Hagen Møller. Hampir saja Mara ingin menanya­


kan nama tengahnya. Tapi tidak perlu. Baginya nama
lengkap laki-laki ini adalah Hagen Wise-yet-sexy Møller.
Mara mengangguk dan mencatat nama laki-laki terse­
but pada halaman pertama novel yang terbuka di meja
di depannya. Laki-laki ini akan menjadi satu-satunya
orang, selain keluarganya, yang bisa menemuinya di be­
lakang panggung.

“Aku harus pergi.” Mara melirik jam di pergela­


ngan tangannya. Sore ini dia akan mengepas kostum dan
mengunjungi paman dan bibinya untuk makan malam.

“Aku tidak sabar menunggu penampilanmu se­


lanjutnya, Mara,” katanya. “Aku yakin kamu akan mem­
bawakan Giselle jauh lebih indah daripada saat kamu
membawakan Nikiya.”

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Mara sa­


ngat ingin menari dengan seluruh kemampuannya. Bu­
kan demi tidak mengecewakan orangtuanya, yang su­
dah banyak berkorban dan melakukan banyak hal untuk
kariernya. Tetapi demi laki-laki yang sungguh-sungguh
menyukai balet, karena dirinya.

“Aku tidak sabar bertemu denganmu lagi.” Ha­


gen ikut berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersala­
man. “Padahal kita belum berpisah.”

Mara tertawa. Kalau tidak ada janji, mungkin


Mara bisa mengobrol banyak dengannya.

“Apa kamu akan menganggapku, orang yang


bukan siapa-siapa ini, yang beruntung bisa duduk satu
meja dengan The Mara Hananto, tidak tahu diri kalau
aku ingin berteman?” tanya Hagen, menahan langkah
Mara.

Berteman? Seperti nasihat ibunya, berteman


dengan banyak orang, termasuk yang berasal dari luar
dunianya, akan semakin membuka kesempatan untuk
bertemu dengan belahan jiwa.

“Paling tidak, kita berbagi darah yang sama,


Mara. Darah Indonesia.”

“Aku tidak keberatan.” Setelah tersenyum sekali


lagi, Mara melangkah menjauh. Dari balik punggungnya,
dia tahu Hagen masih berdiri dan mengikuti langkahnya
dengan tatapan mata, sampai sosok Mara menghilang
dari jendela kaca.

Sudah, sudah, berhentilah berdebar dengan


semangat begitu, Mara memenangkan hatinya. Bera­
pa lama sampai dia akan bertemu dengan Hagen lagi?
Apa Hagen akan menjadi laki-laki pertama—di luar ke­
luarga—yang memberinya bunga setelah dia turun dari
panggung? He will be my many firsts, pipi Mara mema­
nas.

Mungkin Tuhan sedang merencanakan sesuatu


untuk mereka. Apa pun itu, Mara tidak sedang terbu­
ru-buru untuk mencari tahu. Mungkin dia dan Hagen
hanya akan berteman. Laki-laki itu teman mengobrol
yang baik. Atau mungkin Hagen adalah orang yang di­
maksud ibu­nya. Mungkin Hagen hanya akan hadir dalam
hidupnya sesaat saja. Tidak masalah. Yang penting ada
satu orang lagi yang mencintai dan menghargai balet­
nya.

Mara menengadah menatap langit Copenhagen


yang kelabu. True love isn’t always easy to find. But it is
well worth the wait.

mmmm
Catatan:

1. Bagaimana cerita ini? Apa perlu ada bagian


kedua? Aku ingin mendengar pendapat teman-
teman, jadi aku minta tolong untuk kembali
pada page www.ikavihara.com dan meninggal­
kan komentar di sana. Aku tunggu ya :)

2. Tokoh Edna dengan tanda bintang satu, adalah


salah satu tokoh dari naskah yang sedang kutu­
lis berjudul The Game of Love. Cerita seorang
gadis bernama Edna Atalia, 26 tahun, yang men­
jadi ibu pengganti bagi Mara, 3 tahun, setelah
kakaknya meninggal. Edna terpaksa menikah
de­ngan seorang laki-laki, multimillionaire, pemi­
lik game house bernama Basilisk. Game terakhir
yang dibuatnya kembali menyentuh megahits
dan membuat laki-laki tersebut semakin kaya.
Terjadi perubahan besar dalam hidup Edna,
dan Edna sibuk menerka permainan apa yang
sedang dimainkan suaminya, sampai Edna tidak
bisa menyelamatkan hatinya.

3. Tokoh Møller, dengan bintang dua, yang dimak­


sud adalah Afnan Møller tokoh dari novel My
Bittersweet Marriage, dari penerbit Elexmedia,
tahun 2016. Blurb dari novel tersebut adalah se­
bagai berikut:
Aarhus. Tempat yang asing di telinga
Hessa. Tidak pernah sekali pun terlin­
tas di benaknya untuk mengunjungi
tempat itu. Namun, pernikahannya
dengan Afnan membawa Hessa un­
tuk hidup di sana. Meninggalkan ke­
luarga, teman-teman, dan pekerjaan
yang dicintainya di Indonesia. Seolah
pernikahan belum cukup mengubah
hidupnya, Hessa juga harus berdamai
dengan lingkungan barunya. Tubuh­
nya tidak bisa beradaptasi. Bahkan
dia didiagnosis terkena Seasonal Af-
fective Disorder. Keinginannya pun­
ya anak terpaksa ditunda. Di tempat
baru itu, Hessa benar-benar meng­
gantungkan hidupnya pada Afnan. Af­
nan yang tampak tidak peduli dengan
kondisi Hessa. Afnan hanya mau ting­
gal dan bekerja di Denmark, menerus­
kan hidupnya yang sempurna di sana.

Kata orang, cinta harus berkorban,


Tapi mengapa hanya Hessa yang
melakukannya? Apakah semua pe­
ngorbanannya sepadan dengan keba­
hagiaan yang pernah dijanjikan Afnan
padanya?

Sedangkan cuplikan My Bittersweet Marriage


bisa dibaca pada page www.ikavihara.com.
Ikuti akun media sosialku dengan semua user
name ikavihara untuk info buku, give away
dan freebie.

Anda mungkin juga menyukai