Anda di halaman 1dari 83

1

Pengantar
Penerbit

Assalamu’alaikum ...

Tidak terasa seri Kecil-Kecil Punya Karya”(KKPK) sudah berjalan


lebih dari sepuluh tahun. KKPK lahir pada Desember 2003. Penulis
yang pertama kali mengusung seri KKPK adalah Sri Izzati, 8 tahun,
yang masih duduk di kelas V SD Istiqamah, Bandung. Sri Izzati
membuat karya berjudul Kado untuk Umi. KKPK memang diniatkan
sebagai wadah yang dapat dimanfaatkan oleh anak-anak dalam
menciptakan prestasi pada bidang tulis-menulis.

Setelah karya Sri Izzati, pada Januari 2004 terbit kumpulan puisi
karya Abdurahman Faiz, Untuk Bunda dan Dunia. Tidak lama setelah
karya Faiz, muncul Dunia Caca (Putri Salsa) dan May, Si Kupu-Kupu
(Dena).

Ketika para pelopop KKPK beranjak remaja, seri KKPK tidak


pernah kehilangan penulis. Anak-anak yang semula hanya menjadi
pembaca KKPK, dengan penuh semangat mengirim karya tulis
mereka. Nama-nama baru pun terus bermunculan dalam seri KKPK.
Bukan jumlah penulis cilik saja yang semakin banyak, ide-ide baru pun
tumbuh menyemarakkan seri KKPK. Seiring berjalannya waktu, KKPK

2
tidak lagi berisi puisi dan cerita, ada juga yang mengirim kisah
nyata, reportase, sketsa, sampai komik.

Saat ini, hampir semua anak Indonesia mengenal KKPK.


Mereka senantiasa menunggu kisah-kisah baru Dri teman-teman
mereka yang menjadi penulis KKPK. Sebagian lagi dari mereka terus
berkreasi agar dapat menjadi penulis KKPK.

Semoga KKPK semakin dicintai anak-anak Indonesia.

Wassalamu’alaikum ...

Penerbit

3
Isi Buku

Sepuluh Detik Berharga


6

Doa Rara
19

Sabar Seluas Samudra


28

Malaikat Tanpa Sayap


32

4
Golden Mon
40

Ada Surga di Tangan Ibuku


47

Happy Mother’s Day, Mama!


53

Bu Nik Bukan Ibuku


61

Bidadari Bersayap Lidi


70

Ibu Juara Cinta


78

5
Sepuluh Detik
Berharga

Langit masih gelap. Kerlap-kerlip lampu di padatnya kota


terlihat kecil dari atas bukit. Di antara ribuan rumah tersebut,
ada satu rumah sederhana yang menjadi saksi bisu dalam
kegetiran hidup seorang anak.
Rahma berjalan santai menuju gerbang sekolahnya. Jan
di tangannya jelas menunjukkan masih pukul 05.30. tapi, dia
bersikeras untuk tetap berangkat dengan berbekal selembar
roti dan segelas susu di perutnya.
Angin berhembus perlahan, membuat rasa itu kembali
menyergap. Emosi rahma naik-turun diingatkan kenangan
lalu. Dia menyandarkan kepala di atas meja. Dingin yang dia
rasakan, seperti kelam yang menyergapnya dahulu. Rahma
mendengar suara gerbang di bawah terbuka. Dia bergegas
melihat dari koridor atas depan kelasnya. Dia terkejut.
“Bunda!” Rahma terkejut melantunkan kata tersebut.
Tapi, bukan suaranya yang keluar. Melainkan gadis yang
bersama bundanya tersebut, Rahma kecil.
Kenangan itu kembali terputar.

6
“Bunda, jangan lupa, ya, nanti bawain Rahma makan.
Nanti, Rahma bisa kelaparan pas stirahat kedua kalau Bunda
lupa,” gadis polos itu mengingatkan bundanya.
Bunda hanya mengangguk. Rahma sepertinya sudah
beribu kali selalu mengingatkan bunda seperti itu. Ya, peris
seperti itu.
Rahma berlari memasuki halaman sekolah. Dia sesekal
memberikan salamnya untuk guru yang lewat. Dia juga
mengintip kaca buram studio musik sekolahnya. Menatp
kagum gitar klasik berwarna silver yang tersimpan anggun.
Sesekali berkata “wow” saat melihat hasil eksperimen di
laboratorium sains. Lalu, kembali melanjutkan perjalanan
menuju kelasnya.
Di kelas, tak banyak yang rahma lakukan. Dia kembali
menuju studio musik dan menemui pembawa kunci studio
itu, Pak Farhan. Pak Farhan, guru musik yang terkenal sangat
lembut dalam mengajar.
“Rahma, sudah datang rupanya. Mau belajar dari mana
dulu? Mengenal kunci-kuncinya atau apa?” malah Pak Farhan
yang sibuk bertanya, dilanjutkan senyuman kagum melihat
gadis kecil itu. Sementara, Rahma sibuk mengagumi gitar
silver yang terkenal di seantero sekolah.
“Dari paling dasar. Senar EADGBE, aku datang!” Rahma
semangat mengawali pelajaran menyetem gitar.

7
Pak Farhan dengan senyum tulusnya mengajari Rahma
menyetem gitar. Tangan Rahma yang tergolong kecil susah
menggapai fret bagian atas. Tapi, dengan segala usaha gadis
itu, salah satu bagian penting gitar itu di kuasainya. Pak
Farhan sesekali tertawa melihat Rahma memasang muka
cemberut akibat besarnya gitar yang dipunyai sekolah itu.
“Lagi pula, kalau Rahma pakai gitar silver itu, Rahma bisa,
kok, Pak. Benar, deh! Rahma enggak bohong. Soalnya, Rahma
punya hubungan batin dengan gitar itu. Jadi, gitar itu bisa
menciut sendiri di tangan Rahma. Kalau ini, mah, enggak
bisa,” Rahma beralasan.
Pak Farhan hanya menggeleng dan memberikan gitar
kecil untuk Rahma.
“Nah, kamu pakai gitar yang ini dulu. Nanti, kalau sudah
tambah besar, baru pakai yang biasa. Kalau sudah
profesional, baru boleh pakai yang silver!” Pak Frhan
menyemangati Rahma yang sedikit kecewa. Tapi, wajah gadis
itu kembali cerah mendengar perkataan guru baik hatinya.

8
Waktu berjalan begitu cepat. Rahma yang dulu berusaha
payah memegang gitar yang biasa dipakai Pak Farhan, kini
sudah dengan lincahnya memainkan gitar tersebut.
Tangannya terampil naik-turun dari senar A ke G, B ke A, atau
sebaliknya. Tapi, yang membuat Rahma sedih adalah dia
bahkan sampai sekarang belum mempunyai gitar.
Rahma melangkah gontai menuju rumahnya. Dia tidak
dijemput karena katanya bunda sedang tidak enak badan. Dia
sekarang menyalahkan bundanya yang tidak ada. Padahal,
dia ingin merengek minta gitar klasik yang sangat
diimpikannya.
Sesampainya di rumah, Rahma membanting pintu
dengan keras. Terdengar suara terperanjat dari arah dapur.
“Rahma? kamu kenapa, Nak? Ada apa? Uhuk! Uhuk!”
terdengar suara bunda mendekati beranda.
Bunda kaget karena muka Rahma yang biasanya ceria,
kini tampak murung. Kakinya memainkan ujung sepatunya di
beranda rumah.
“Hahaha ... Bunda mau jadi badut, ya? Lipstiknya
belepotan? Hahaha ...,” seketika wajah Rahma yang
merengut cerah lagi.

9
Bunda menjadi tenang karena ternyata Rahma baik-baik
saja. Tapi, bunda tak memakai lipstik. Dia menuju kamarnya
dan memastikan apa yang ada dibibirnya. Sampai di pintu
kamar, bunda tak jadi masuk. Dia baru ingat kalau sedang
membuat agar-agar buah naga.
“Pantas jadi merah begini. Tapi, kok kayak warna darah
segar, ya?” bunda kembali berpikir. Tapi, mendengar teriakan
Rahma, bunda langsung menuju beranda lagi.
“Bunda, aku ingin punya gitar. Masa sudah lama
bermain, sampai sekarang di rumah belum ada gitar?”
Rahma mengutarakan isi hatiya.
Bunda bingung harus bagaimana. Mungkin dalam
hatinya, bunda berpikir bahwa ini adalah tanggal tua dan
keuangan rumah sedang memburuk.

Rahma mengusap penuh di dahinya. Dia berlega hati


karena keuangan itu tidak lagi memaksanya untuk mengingat
seluruh kesalahannya. Rahma bingung mau melakukan apa.
Sekolahnya akan masuk saat pukul 07.30 nanti. Tapi,
sekarang baru pukul 07.00. rahma memilih menuju studio
musik, tempat yang membuatnya seolah sulit bernapas.

10
Dengan mendatangi temat ini, artinya Rahma sedang
mengingat kembali masa lalu.
“Bila bermain piano, kita bisa bersembunyi dibaliknya,
dari hadapan penonton. Namun, berbeda halnya dengan
gitar yang benar-benar kita tidak tidak bisa bersembunyi
dibaliknya,” itulah kalimat Beethoven, sang maestro musik
yang dikenang sepanjang masa.
kalimat itu sekarang mendengung-dengung di kepala
Rahma. Rahma tergerak batinnya untuk mengambil gitar
silver itu. Dia memegang mantap body gitar dan
menidurkannya di pangkuan. Lalu, dia mengusap pelan fret
dari mulai menjentikkan senar. Rahma memejamkan mata
dan mulai memainkan lagu Moonlight Sonata karya
Beethoven.

Rahma kecil terperanjat senang. Hari itu ulang tahunnya.


Hari itu pula, dia mendapatkan gitar klasik yang diinginkan-
nya. Yang dia sukai adalah gitar itu terkesan elegan dengan
warna hitam legamnya. Saat itu juga, dia mulai memainkan
Eine Kleine Nactmusik karya Mozart.

11
Pada bait terakhir lagu tersebut, bunda jatuh pingsan.
Ayah dengan sigap membopong bunda ke kamar. Semua
terdiam. Semua hening. Hanya ada suara seteman gitar nada
E. Rahma kecil menunduk sedih.
Hari baru bagi Rahma. Tentu saja. Pada hari itulah, dia
harus berangkat seorang diri ke sekolah. Bunda sakit di
rumah. Kemarin, dokter sudah datang dan memberikan
keterangan. Hanya ayah yang diberi tahu. Dokter hanya
bilang kepadanya bahwa dia harus belajar bersabar.
Langkah Rahma semakin jauh. Saat disapa oleh Pak
Farhan pun dia hanya diam. Rahma kini membawa gitar
hiamnya. Pak Farham menyoba menghibur Rahma yang
tertunduk lesu.
“Rahma ... kalau Rahma sedih terus, berarti Rahma sama
saja membuat bunda Rahma menjadi sedih. Kebahagiaan
seorang anak adalah kebahagiaan seorang ibu juga. Satu hal
lagi, Rahma. Sebentar lagi kakak kelas mengadakan
perpisahan, kamu akan mengisi acara di sana. Susah memang
memainkan lagu terkenal menggunakan gitar. Tapi, Bapak
yakin Rahma pasti bisa!” Pak Farhan memberi nasihat untuk
menyemangati Rahma. Rahma mengangguk senang.
Aku pasti akan belajar dengan serius, batin Rahma penuh
tekad.
Rahma belajar penuh keseriusan. Dia selalu memainkan
lagu untuk bunda. Tapi, Rahma diminta memakai masker bila

12
masuk kamar bunda. Rahma juga heran, kenapa ayah selalu
tidur dengannya? Tapi, Rahma tidak terlalu memusingkan itu.
Yang penting bisa ketemu bunda itu sudah bagus, pikirnya
suatu kali.
Hari yang dinanti telah datang. Rahma siap dengan gaun
putihnya. Tentu saja bunda tidak ikut. Yang ikut hanya ayah.
Tapi, itu sudah lebuh dari cukup.
“Maka sebagai penutup acara ini, kita sambut gitaris kecil
kita yang terkenal dengan perpaduan nada-nadanya yang
indah. Dia akan memainkan lagu Moonlight Sonata karya
Beethoven. Kita sambut ... Anisa Aimannurrahma!” sambut
MC dengan suara lantang.
Rahma menaiki panggung. Lampu menyoroti tubuh
kecilnya. Payet-payet di gaunnya berkilau.
TEP! Rahma mengambil gitar.
JRENG! Tangan kecil Rahma yang lincah memulai
permainan gitarnya. Rahma memejamkan mata, menghayati
setiap petikan yang mengalun. Rahma percaya dengan kata-
kata Beethoven yang mengatakan bahwa gitar adalah
perpaduan antara piano dan biola. Dia percaya itu.
Turning terakhir. Tepuk tangan mengiringi bungkukan
badan Rahma. Lampu sorot padam dan digantikan lampu
ruangan.

13
“wah, indah sekali, Rahma! Siapa yang mengajari?” tanya
MC dengan ramah setelah pertunjukkan usai di belakang
panggung.
“Pak Farhan yang mengajari. Tapi, kenapa Pak Farhan
enggak ada?” tanya Rahma sambil melihat sekelilingnya.
“Kata siapa enggak ada?” tanya seseorang sambil
menutup mata Rahma dari belakang. Pak Farhan. Rahma
tersenyum senang. “Oh, ya, Rahma. Tadi, ada telepon dari
rumahmu. Ayahmu tadi juga izin pulang ke rumah. Ini,
handphone ini dititipkan ayahmu,” kata Pak Farhan sambari
menyodorkan handphone ke tangan Rahma.
“Terima kasih, Pak,” Rahma mengambil handphone itu
dengan senang. Dia langsung menelepon rumah.
“Rahma,” terdengar suara bunda. “Rahma bunda pengin
Rahma pulang sekarang,” lanjut bunda di seberang sana.
“Memangnya kenapa, Bunda? Bunda?” Rahma mulai
tersedat-sedat suaranya, menahan tangis. Dia takut ada
sesuatu yang terjadi terhadap bunda.
“Rahma ... Rahma ingat nasihat bunda? Belajarlah hidup
mandiri karena orang lain tak akan selalu bersamamu,”
bunda melanjutkan perkataannya.
Rahma panik dan segera keluar gedung untuk mencari
taksi.

14
“Hidup memang sulit, Rahma. Banyak rintangan dan
halangan. Tetapi, kita tidak boleh menghindari rintangan
tersebut. Hadapilah! Kamu akan mendapatkan kesuksesan,”
perkataan bunda terhenti.
Rahma semakin panik dan segera menyetop taksi yang
lewat dihadapannya. Rahma menyebut alamatnya dan
mengingat semua kebaikan bunda. Wajah bunda terlihat di
kaca depan.
“daun mengalami masa-masa indahnya. Ketika dia
berwarna hijau, melakukan fotosintesis.”
Rahma kembali mengingat masa-masa yang dilalui
bersama bunda. Ketika dia merengek minta dibelikan gitar
pun dia masih ingat. Tergambar jelas wajah bunda yang dia
katakan seperti badut. “Hahaha ... Bunda mau jadi badut, ya?
Kok, lipstiknya belepotan?” kata-kata itu kembali terngiang
dikepalanya.
“Tapi, ketika memasuki musim gugur. Dia itu mulai
mengerut. Yang tadinya segar menjadi layu tak bersema-
ngat,” bunda melanjutkan kata-katanya. Mulai diselingi batuk
berdahak yang membuat Rahma pilu mendengarnya.
“Bunda jangan lupa ya, nanti bawain Rahma makan.
Nanti, Rahma bisa kelaparan pas istirahat kedua kalau bunda
lupa.” Masih jelas pelafalan kalimat itu di mulut Rahma.
Masih terbayang pula wajah bunda yang tersenyum geli
melihat ulahnya yang polos.

15
“dan akhirnya, daun itu pun mulai menggelayut turun ke
bumi. Akan tertimbun tanah dan membaur bersama yang
lainnya.”
Kini, hanya terdengar suara helaan napas bunda dari
seberang. Tampak berat dan sangat sakit.
“Bunda ... Bunda tahan dulu. Rahma akan berikan waktu
untuk bunda.” Taksi melai memasuki perkampungan. “Bunda
ikut menghitung, ya! Rahma mohon, Bunda,” Rahma
tersedat-sedat suaranya.
Sepuluh ... sembilan ... delapan ... tujuh ...
“Rahma, jadilah anak yang berbakti dan membanggakan
dalam setiap mata pelajaran. Selalu membanggakan Bunda.”
Enam ... lima ... empat ...
Taksi sudah ada tepat di depan rumah Rahma. Rahma
membuka pintu mobil dengan kencang. Dia bergegas masuk.
Air matnya berjatuhan dengan deras.
Tiga ... dua ...
Terdengar suara rintihan di kamar.
“Bunda ...!” Rahma menangis sejadi-jadinya. Dia
memegang erat tangan bunda. Bunda balas memegang
tangannya.

16
“Rahma, jadilah anak yang baik dan membanggakan, ya,
Nak. Semua berasal dari sini. Darihati dan juga tekad. Bunda
harap, kamu enggak akan mengecewakan Bunda.”
Satu ...
Bunda menghela napas untuk yang terakhir kalinya.
“Bundaaa ... Rahma akan berikan apa pun untuk Bunda.
Terima kasih, Bunda atas sepuluh detik berharganya,” Rahma
nangis dipelukan ayahnya.

“Rahma, apa itu kamu?” tanya seseorang dengan suara


yang familiar.
Rahma barusaja menyelesaikan Moonlight Sonata. Dia
hanya mengangguk dan menaruh kembali gitar silver itu di
tempatnya.
“Pak Farhan, terima kasih atas semuanya, ya, Pak. Karena
Pak Farhan, aku jadi menghargai sepuluh detik itu,” Rahma
mengucapkan kata-kata tersebut sembari memeluk Pak
Farhan.
Rahma kemudian melangkah keluar menuju kelas.
“Hidup, aku tidak akan pernah terlihat bodoh di depan-
mu. Sekalipun kamu menjatuhkanku, aku akan tetap bangun.
17
Tapi, aku tidak akan balas dendam. Aku hanya akan
membuktikan bahwa aku bisa!” teriak Rahma di halaman
sekolah.
Mungkin, suara Rahma dikalahkan bel. Tapi,
semangatnya tak akan pernah terganti.

18
Doa Rara

Siang itu, usai pulang sekolah, Rara langsung berlari


menuju masjid. Tak lupa, dia membuka sepatunya yang
sudah jebol. Kemudian, dia segera menyimpan sepatunya di
tempat rahasia. Tempat dimana sepatu yang jebol tak akan
dilihat orang. Rara terlalu malu jika orang-orang
memerhatikan sepatunya.
Ibu juga, sih! Aku, kan, Cuma minta dibelikan sepatu
baru. Masa enggak bisa? Pelit banget, batin Rara kesal.
Setelah menyimpan sepatunya, Rara berlari ke ruangan
kecil di sudut masjid. Dia mengetuk pintu, lalu masuk sambil
mengucapkan salam. Teman-temannya tampak sibuk dengan
dunianya masing-masing, sampai tak menjawab salamnya.
“Ekheeem ...! Assalamu’alaikum,” ulang Rara.
“Eh, wa’alaikum salam, Rara,” jawab Hana.
“Wa’alaikum salam, Rara,” susul teman-teman Rara yang
lain.
Rara duduk di samping Hana yang asyik bermain game
pianodi ponsel canggihnya. Dia menghela napas. Bayangan
tentang ibunya muncul lagi. Bayangan tentang bagaimana

19
ibunya menolak untuk memberikan ponsel canggih
kepadanya. Padahal, kan aku butuh banget ponsel buat
internetan, batin Rara lagi.
“Mentoring jam berapa?” tanya Rara.
“Tadi, sih, katanya Teh Sarah bakal ke sini sekitar jam
satu,” jawab Hana, Masih asyik bermain game di ponselnya.
Rara memang aktif di eskul kerohanian Islam atau Rohis
sekolahnya. Hampir setiap pulang sekolah, dia selalu diam di
sekre, ruangan kecil di sudut masid bersama teman-
temannya. Setiap seminggu sekali, alumni rohis sekolahnya
selalu datang untuk mentoring.
Mulanya Rara masuk ke rohis bukan karena tertarik
melainkan karena tak ada pilihan eskul lain yang lebih bagus.
Tapi, setelah aktif di rohis, dia jadi begitu bersyukur. Teman-
teman di rohis selalu baik kepadanya. Tidak seperti teman-
teman di kelasnya yang sering meledek sepatu jebolnya.

Pukul 1 siang, para akhwat yang mengikuti rohis duduk di


labolatorium PAI yang sering dipakai untuk tempat shalat jika
masjid sudah penuh. Kebanyakan sedang asyik bermain
ponsel sambil menunggu Teh Sarah. Ada juga yng asyik tidur,
makan, mengobrol, serta menonton film di laptop. Yang

20
paling luar biasa, ada yang asyik tilawah Al-Quran di pojok
ruangan.
Rara sendiri ikut menonton film Harry Potter: Thae Half
Blood Prince di laptop milik Zahra. Rara memerhatikan laptop
Zahra yang berwrna ungu dengan hiasan kupu-kupu yang
membuatnya semakin lucu. Kontras dengan kepribadian
Zahra sehari-hari yang cuek.
Kapan, ya, aku bisa punya laptop sendiri? Di rumah
adanya laptop papa doang, batin Rara lagi.
Rara tak pernah meminta laptop. Tapi, di dalam hati, dia
benar-benar ingin punya laptop sendiri untuk menulis cerita-
ceritanya yang sering dibaca oleh keluarganya. Rara tak
pernah suka jika keluarganya membaca cerita-cerita yang
ditulisnya. Tapi, dia tak pernah meminta laptop. Karena dia
tahu, pasti akan ditolak lagi.
Ponsel saja enggak dibelikan, apalagi laptop, ucap Rara
dalam hati.
“Assalamu’alaikum,” terdengar suara lembut yang
langsung menarik perhatian belasan pasang mata.
“Walaikum salam. Teh Sarah ..., mau curhat!” seru Hana.
Membuat mentornya itu terkekeh.
“Sok, atuh! Ayo, mulai dulu mentoring-nya!”

21
Dengan sigap, belasan anak gadis di labolatorium PAI
langsung membuat lingkaran meski tak sempurna. Mereka
langsung mengeluarkan Al-Quran masing-masing.
“Kemarin sampai surat apa?” tanya Teh Sarah.
“Ali Imran ayat 50, Teh!” jawab Tera.
“Eh, iya! buka dulu mentoring-nya,” ingat Teh Sarah.
“Siapa yang mau buka?”
“Rara saja!” Hana langsung menunjuk Rara yang diam
melongo.
“Ih, kok, jadi aku? Enggak mau, ah!”
“Semua setuju Rara yang buka?” tanya Hana, disambut
anggukan teman-temannya yang lain.
“Sudah, Rara. Buka saja, kok, susah banget,” ujar Erin.
Rara menghela napas, “Ya, sudah. Marilah kita buka
acara mentoring ini dengan bacaan basmalah bersama-
sama.”
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.”
“Dilanjutkan dengan tilawah Al-Quran,” maka
mengalirlah suara lembut Rara yang membaca Al-Quran
meskipun hanya 2 ayat.
Setelah semua anak mendapat jatah masing-masing
barulah Teh Sarah berbicara.

22
“Sok, sebelum mentoring, tadi katanya Hana mau curhat
dulu. Mau curhat apa, Hana?” tanya Teh Sarah.
“Itu, Teh. Kemarin, aku sama Tera lihat ada anak yang
bikin status di Facabook-nya, kasar banget. Dia bilang
binatang gitu ke ibunya. Kan, ngeri, Teh. Belum lagi pas aku
lewat rumahnya. Aku dengar, dia teriak-teriak pakai bahasa
kasar ke ibunya. Ngeri, Teh,” cerita Hana.
“Iya, Teh. Terus, dia, teh, kayak pecahin barang gitu.
Habis gitu, dia keluar dari rumahnya. Aku dengar ibunya, teh,
kayak menangis gitu. Kasihan, Teh. Ada, ya, anak kayak gitu?”
Teh Sarah tersenyum, “Yang penting, mah, kita enggak
kayak gitu. Mending dari sekarang kita dokan dia setiap
selesai shalat. Semoga dia cepat sadar dan minta maaf
kepada ibunya.”
Rara terdiam sambil menatap Teh Sarah. Meski tak
pernah berteriak-teriak sambil mengucapkan kata-kata kasar
kepada ibunya, tapi Rara pernah mengomel dengan
menyebutkan sederet nama-nama binatang dalam hatinya
ketika dia kesal kepada ibunya.
“Nah, sebelum ke materi, Teteh mau tanya dulu. Yang
pertama kali mengajarkan kita bicara siapa, sih?” tanya Teh
Sarah.
“Orangua,” jawab Kayla.

23
“Ya, benar! Nah, terus setelah kita sudah diajarkan bicara
sama orangtua, kita balas jasa mereka dengan apa? Dengan
mengucapkan kata-kata kasar kepda mereka? dengan
menggunakan ilmu berbicara kita yang didapat dari orangtua
buat ngomong kasar kepada mereka? Nah, ini bukan cuma
buat anak tadi, tapi juga buat kalian. Karena Teteh yakin,
pasti ada salah satu di antara kalian yang pernah bicara kasar
kepada orangtua. Entah dalam hati maupun secara
langsung.”
JLEB!

Rara mengambil sepatunya dengan terburu-buru dan


segera berjalan pulang. Meninggalkan teman-temannya yang
masih asyik memakai sepatu sambil sesekali mengobrol.
Perkataan Teh Sarah beberapa jam lalu benar-benar
mengusik hatinya, membuat Rara merenung tentang segala
hal yang sudah dia lakukan kepada ibunya.
Kita balas jasa mereka dengan apa? Dengan
mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka?
Rara langsung menyeka air matanya yang mulai
mengalir. Dia kembali mengingat apa-apa saja yang telah di
ucapkan kepada ibunya. Itu membuat rasa bersalahnya

24
semakin menebal dalam hatinya. Rara berjalan dengan
tergesa-gesa menuju rumahnya.
Namun, langkah Rara langsung terhenti begitu melihat
tempat fotokopi paling lengkap yang pernah ditemuinya. Dia
mengeluarkan uang sepuluh ribu, lalu masuk dan menunggu
sampai salah satu pegawai menghampirinya.
“Mang, ada kartu ucapan, enggak?” tanya Rara.
“Sebentar!” pegawai itu masuk ke sebuah ruangan, lalu
keluar dengan membawa sebungkus kartu ucapan berwarna-
warni. “Mau yang mana?”
Rara memilih kartu ucapan di hadapannya. Dia memilih
dua kartu ucapan yang menurutnya paling cocok. Setelah
membayar dan menerima kembalian, dia langsung berlari ke
rumahnya. Dia tersenyum ketika ada ide melintas di
pikirannya.

Pukul 2 malam.

Rara mengambil kartu ucapan yang sudah dia tuliskan


untaian kalimat seperti surat di atasnya. Secara mengendap-
endap, dia pergi menuju kamar orangtuanya. Dia tak
membuka pintu karena yakin orangtuanya pasti terbangun.

25
Akhirnya, dia memasukkan dua kartu ucapan tersebut lewat
celah di bawah pintu.
Rara kembali ke kamarnya, mengambil air wudhu, lalu
melaksanakan shalat Tahajud yang beberapa malam ini selalu
menjadi kebiasaannya. Usai shalat, dia menatap langit-langit
kamarnya dengan kedua tangannya terangkat.
“Ya, Allah ... maafkan Rara yang surah jahat sama Ibu.
Panjangkanlah umur Ibu dan Ayah. Sehatkanlah mereka
selalu. Sukseskanlah pekerjaan Ayah. Maafkan Rara yang
sudah jahat sama Ibu ... maaafkan Rara. Maafkan Rara yang
sudah mengata-ngatai Ibu dalam hati. Maafkan Rara yang
selalu mengomel kepada Ibu. Terima kasih banget sudah
kasih Rara hidayah kemarin siang. Terima kasih banget ... Ya,
Allah. Rara janji bakal berusaha buat enggak ngomel-ngomel
lagi kepada Ibu. Maafkan Rara ... Ya, Allah. Aamiin.”
Malam itu, Rara melepaskan seluruh perasaan
bersalahnya tentang ibu. Malam itu, Rara begitu berharap
Allah mengabulkan doa-doanya. Malam itu, Rara berjanji
akan berusaha untuk tak mengomel lagi kepada ibunya.
Malam itu pula, seorang wanita paruh baya meneteskan air
mata membaca kartu ucapan di kamarnya.

26
Untuk Ibu, Malaikat Tak Bersayap.

Terima kasih sudah sabar dengan sikap Rara selama ini.


Terima kasih sudah mau mengurus Rara selama ini. Terima
kasih sudah mau sabar mendengar omelan Rara.

Bu, Rara minta maaf selama ini sering ngotot. Rara minta
maaf selama ini sering minta ini dan itu. Rara selalu ngomel ini
dan itu sama Ibu. Rara enggak pernah mau mengerti Ibu.
Maafkan Rara, Bu.

Salam sayang, Rara.

27
Sabar Seluas
Samudra

It’s time for dinner!


Tiba saatnya kami sekeluarga akan menyantap makan
malam bersama. Kami sekeluarga duduk mengelilingi meja
makan berbentuk bundar di ruang makan rumah kami. Ada
ayah duduk disamping bunda. Disebelahnya adikku yang
paling bungsu, Dik Amar. Di sebelahnya lagi, diriku sendiri.
Sementara di sebelah kiriku, kak Zahra yang cantik. Lalu,
abangku, Mas Angga. Di sebelahnya lagi adalah Om Adit, adik
bunda yang tinggal di rumah kami.
Namaku Rere, kelas 4 SD. Kalau Dik Amar masih kelas 1
SD. Kedua kakakku, Kak Zahra sudah kelas 6 SD dan Mas
Angga kelas 2 SMP. Sementara Om Adit kelas 3 SMA.
Kami duduk mengelilingi meja makan. Ayah memimpin
doa makan bersama. Setelah itu, bunda membuka tudung
saji. Barulah kelihatan menu yang terhidang di atas meja.
Di rumah, bunda adalah ibu rumah tangga sejati. Kami
tidak memiliki pembantu. Jadi, semua pekerjaan rumah,
bunda yang melakukannya. Termasuk menyiapkan makan
untuk kami, mulai dari belanja, memasak, sampai
menghidangkannya.

28
Ketika bunda membuka tudung saji, tampaklah
semangkuk besar sop sayuran dan tempe goreng yang masih
mengepul panas uapnya.
Komentar pertama datang dari ayah. “wah, enak, nih!”
katanya.
“kelihatannya saja enak. Tati, coba saja. Pasti nanti
kemanisan kayak kemarin pas bikin semur sohun, atau malah
keasinana,” sahut Kak Zahra.
“Ih, sop lagi, sop lagi! Bosan! Bunda enggak bisa masak
yang lain, apa?” Mas Angga merengut.
“Jangan-jangan ... kebanyakan merica lagi, ya? Bikin aku
kepedasan, tahu!” Dik Amar ikut menyahut.
Kulihat, bunda di pojokan senyum-senyum saja. Tanpa
amarah. Bunda memang manusia sepersabar.
“Masa bikin sop, tapi enggak bikin sambal. Memangnya
cabai masih mahal?” komentar Om Adit.
Diam-diam, aku melirik ke arah bunda. Tapi, bunda
masih senyum-senyum saja menanggapi komentar anak,
suami, dan adiknya. Tanpa komentar apapun, senyum saja.
Dengan wajah innocent, tanpa merasa kesal sedikit pun.
Mulailah ayah, diikuti kami semua satu per satu
mengambil piring, mengambil nasi dari magic jar, mengambil
lauk dan sayur, kemudian mulai menyanatap hidangan.

29
Aku makan dengan sangat lahab. Semua orang di
ruangan makan ini makannya sangat lahap . Terutama Mas
Angga dan Om Adit. Apa karena mereka laki-laki, jadi
makannya banyak, ya? Bahkan sampai tambah.
Akhirnya, selesailah acara makan malam bersama di
rumah kami. Rutinitas yang menyenangkan. Semua orang
sudah menghabiskan makanannya. Kak Zahra, Mas Angga,
Dik Amar, dan Om Adit sudah masuk ke kamar masing-
masing. Mereka melanjutkan belajar, main, atau apalah.
Sementara ayah meneruskan membaca koran sore di ruang
keluarga.
Aku berdiri terakhir kali dari dudukku. Aku melihat
bunda sedang membereskan piring-piring kotor, menaruhnya
di wastafel, dan bersiap-siap hendak mencuci semua
peralatan bekas makan kami sekeluarga.
Diam-diam, aku mendekati bunda yang berdiri di sisi
wastafel sambil mencuci piring.
“Bunda ...,” bisikku di telinganya.
“Kenapa, sayang?” tanya bunda sambil tersenyum.
“Aku heran. Kenapa masakan bunda diomeli, dicaci,
dicela begitu rupa, tapi bunda, kok, diam saja, sih?”
“Lho, bunda tidak pernah terpengaruh, kok! Sudah
biasa, kan?” jawab bunda. “Bunda tidak peduli celaan dari
orang-orang tercinta. Walau sejelek apa pun masakan bunda,

30
enak atau tidak enak ... tapi, lihatlah! Masakan bunda selalu
habis, tandas tak bersisa,“ bunda berkata sambil tertawa. “itu
sudah cukup bikin bunda bahagia. Itu bahkan sudah lebih dari
cukup,” tambahnya.
Aku mengangguk. Ya, ya, benar! Seluruh masakan bunda
selalu habis tak bersisa, walaupun bunda sudah memasak
dengan porsi jumbo untuk keluarga besar kami.
Ah, bunda, aku kagum kepadamu. Ajari aku bagaimana
memiliki sabar seluas samudra seperti yang bunda miliki.
Ajari aku untuk menahan amarah, tersenyum menanggapi
celaan, bahkan oleh orang-orang tercinta, ucapku dalam hati.
Sebelum kembali ke kamar, aku sempatkan untuk
mencium pipi bunda. “Terima kasih, ya, bunda. I love you,”
ucapku.
Cuma itu yang bisa kukatakan kepada bunda. Kasihnya,
kesabarannya yang seluas samudra itu terpatri di hatiku,
sampai kapan pun. Selamanya. Satu pelajaran berharga untuk
memiliki kesabaran seluas samudra, seperti bunda.

31
Malaikat Tanpa
Sayap

Rintik hujan memecah lamunanku. Aku termenung


menatap jatuhnya air hujan. Terbayang akan sosok yang
berarti dalam hidupku. Sosok seseorang yang tidak akan
terlupakan di dalam memoriku. Seseorang yang selalu
menerangi jalanku, ibu.
Aku sedang berada di taman. Langit sore sudah
meneteskan rintik air yang lama-kelamaan semakin deras.
Tetapi, aku tidak beranjak dari tempatku berdiri. Kubiarkan
air mata yang menetes bercampur dengan air hujan.
Tubuhku basah kuyup karena air hujan.
Aku membayangkan bagaimana dulu aku hidup dengan
orang yang amat kusayang. Tetapi, sekarang cerita itu hanya
tinggal kenangan. Kenangan yang terjadi sekitar dua tahun
lalu, sebelum ibu pergi meninggalkan dunia ini.
“An, apakah kamu tahu Menara Eiffel ada di mana?”
tanya ibu kepadaku suatu hari.
“Menara Eiffel? Hmmm ... tidak. Apakah berada di
Jakarta?” jawabku.
“Hahaha ...,” ibu tertawa kecil. “Kamu salah, An. Menara
Eiffel berada di Paris, ibukota Prancis. Itu kota mode dunia,
An. Hanya orang-orang pintar yang dapat ke sana.”

32
“Bagaimana keindahan di sana?” tanyaku.
“Hmmm ... di sana indah. Sangat indah. Ada Menara
yang sangat besar di sana,” jawab ibu.
“Apakah aku bisa ke sana?”
“Jika kamu pintar, kamu bisa ke sana. Jadi, belajar yang
rajin, ya!” ibu mengelus rambutku.
“Baik, bu!” aku mengacungkan ibu jariku.
Ibu, sosok yang sangat berarti dalam hidupku. Sosok
yang tidak kenal lelah menjaga, merawat, dan mendidikku.
Tidak ada kata lelah dalam kamusnya. Bagiku, dia adalah
sosok yang sangat hebat di dunia.

Kuseret langkah. Kugendong tas sekolah di punggung.


Rasanya, aku lelah setelah sepulang sekolah berbuat dengan
sampah.
Seorang murid dari Sekolah Pemulung. Jangan dianggap
Sekolah Pemulung adalah sekolah yang mengajarkan kita
tentang acara pulung-memulung. Sekolah itu, seperti sekolah
biasa. Yang membedakannya adalah di sana semua murid
mendapatkan pelajaran yang sama. Tidak ada tingkatan
kelas. Jika belajarnya pertambahan, anak berumur 15 tahun

33
yang bersekolah disana pun juga belajar seperti itu. Itu yang
membuatku senang bersekolah di sana.
TOK! TOK! TOK!
Kuketuk pintu rumahku dengan pelan.
KREEEK ...!
Sesosok wajah cantik yang membawa kesejukan muncul
dari balik pintu. Ibu.
“Assalamu’alaikum, bu,” aku mencium tangan ibu.
“Wa’alaikum salam, An. Masuk, yuk! Ibu baru saja selesai
memasak makan malam,” ibu menyambutku dengan senyum
hangatnya.
“Terima kasih, bu,” aku membalas senyumannya.
Aku buru-buru memasuki rumah dan menuju pancuran
yang terletak di belakang. Kubasuh wajah dengan air. Setelah
seharian wajahku terkena debu dan polusi, sekarang saatnya
untuk dibersihkan. Segar!
Setelah membasuh wajah dan mandi, aku makan malam
bersama ibu dan nenek. Di meja telah terhidang nasi beserta
tempe dan segelas air putih. Setelah berdoa, kulahap
makananku.

34
Aku merebahkan diri di kasur busaku, kasur yang sudah
tidak layak pakai. Setelah mengerjakan tugas sekolah,
biasanya aku tidur atau membantu ibu membuat kue untuk
berjualan besok. Tetapi, kali ini, aku memilih di dalam kamar.
KREEEK ...!
Pintu kamar terbuka. Sesosok wajah menyembul dari
balik pintu.
“An,” ibu memanggilku.
“Ya, bu. Ada apa?” aku bangkit dari kasur dan duduk di
pinggirtnya.
“Mau melihat bintang? malam ini langit cerah sekali”
ajak ibu.
“Boleh, bu,” aku berdiri dan menggandeng tangan ibu
keluar dari kamarku.
“Nenek ditinggal, bu?” tanyaku.
“Iya. Sudah tidur, tadi, sehabis makan malam,” jawab
ibu.
Kami sampai di bukit daerah rumah. Pemandangan
malam terhampar di depan mata. Langit-langit di penuhi
taburan bintang. Pancaran cahaya bulan membuat malam
lebih terang.
Kami menikmati keindahan malam itu dengan duduk di
atas rumput. Menikmati pemndangan malam yang indah.

35
“Lihat bintang itu, An!” ibu menunjuk satu bintang kecil
di antara bintang-bintang lainnya. “Bintang itu tetap bersinar
walaupun ada bintang-bintang lain yang lebih indah
cahayanya,” ujar ibu. “Dia terus berusaha untuk
memancarkan cahaya bintang yang lebih indah lagi. Kamu
tahu maksudnya, An?” lanjut ibu.
Aku menggeleng cepat.
“Itu artinya, kamu harus seperti bintang itu. Harus tetap
berusaha menjadi yang terbaik walaupun ada yang lebih baik
dari kamu. Selalu berusaha menjadi yang lebih baik lagi.
Mengerti, An?” jelas ibu. Aku mengangguk.
“Aku mengerti, bu. Suatu saat nanti, aku akan menjadi
bintang itu. Bintang yang selalu bersinar dan selalu berusaha
agar menjadi yang terbaik,” janjiku.
“Berusahalah, An. Ibu tahu, kamu pasti bisa. Selalu
berusaha seperti yang kamu katakan dulu saat kamu ingin
pergi ke Paris,” ibu mencium keningku, lalu kami kembali
pulang.

Aku tidak tahu, mengapa semua harus terjadi padaku?


Semua cobaan selalu diberikan kepadaku.

36
Seminggu yang lalu, ibu meninggal karena serangan
jantung. Sehabis pulang bekerja, ibu pingsan di depan
kamarnya. Aku dan nenek membawanya ke puskesmas, lalu
dirujuk ke rumah sakit. Di sana, aku baru tahu, jika ibu
terkena serangan jantung dan nyawanya tidak tertolong.
Aku menangis sejadi-jadinya di rumah sakit. Nenek
menenangkanku. Sekarang, aku seorang yatim piatu. Ayah
meninggal saat aku berumur 3 tahun. Sekarang, ibu
menyusul ayah.
Tak terasa, setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Aku
tidak ingin mengingat cerita itu. Kuusap air mataku dengan
telapak tangan. Aku merasakan ibu berada di sampingku.

Aku menatap langit malam dari balik jendela. Ribuan


bintang memenuhi langit cerah. Rasi-rasi bintang terbentuk
dengan indah. Cahaya bulan purnama menyinari bumi.
Aku termenung. Sudah hampir tengah malam, namun
kantuk belum merayapi mataku. Kuambil diary yang terletak
di atas meja. Kutuliskan sebuah puisi di sana.

37
Menatap ribuan bintang yang bertaburan di langit cerah

Bulan purnama memancarkan cahayanya

Langit cerah menambah kesejukan

Hari-hari kelam terhapus sementara

Nyanyian malam mengalun lembut

Semilir angin menerpa tubuhku

Rindu akan sosokmu

Sosok yang selalu kubanggakan, Ibu

Kuletakkan kembali diary itu di atas meja. Kutarik selimut


dan kupejamkan mata. Selamat malam.

Pintu kamarku diketuk. Muncul seraut wajah keriput dari


balik pintu. Nenek.
“Anindita, kenapa tidak tidur?” tanya nenek lembut.
“An belum mengantuk, Nek,” jawabku lesu.
“Mengingat ibu lagi?” tebak nenek. Aku mengangguk.

38
Air mataku sudah tak dapat lagi terbendung. Tangisku
pecah. Ya, ucapan nenek benar. Aku sedang mengingat ibu.
Aku rindu ibu. Kenangan bersama ibu seolah-olah tidak dapat
hilang dari ingatanku.
“Iya, nek,” jawabku pelan.
“Sudah, jangan diingat lagi. Jika kamu terus bersedih
memikirkan bu, nanti ibu tidak akan tenang di sana,” hibur
nenek. “Sekarang, lebih baik Anindita tidur saja. Besok, kan,
sekolah,” lanjut nenek.
Aku mengangguk dan memeluk nenek. Menangis sejadi-
jadinya seperti apa yang kulakukan dulu, saat ibu meninggal.
Sedih memang, jika terus mengingat ibu. Ucapan nenek,
benar. Jika aku terus mengingat ibu, ibu tidak akan tenang.
Mulai sekarang, aku harus mencoba menjadi lebih tegar. Aku
tidak akan mengingat kenangan-kenanganku bersama ibu.
Bukan berarti aku melupakan ibu. Aku hanya ingin ibu tenang
di sana.
Ibu adalah malaikatku. Malaikat yang telah menolongku.
Ibu adalah penyemangat hidupku. Ibu adalah malaikat tanpa
sayapku.

39
Golden Mom

Niki namanya. Kelas 4 SD. Umurnya 10 tahun. Dia


seorang gadis yang periang, ceria, humoris, dan pintar.
Namun, ada satu kelemahan yang di miliki oleh Niki. Dia
memiliki sifat malas dan manja. Orangtuanya harus menuruti
semua yang dia inginkan. Setelah dibelikan, Niki selalu
berkata, “aku janji tidak akan memintanya lagi.” itu sering
membuat ibunya kesal, tidak tahan akan sifat anaknya itu.
Niki baru saja akan masuk kelas, ketika temannya, Fani
berlari menghampirinya.mata Fani melotot, membuat Niki
kaget.
“Ada apa, Fani?” tanya Niki yang masih kaget melihat
raut wajah Fani.
“Itu, tuh, Susy!”
“Kenapa Susy?” Niki kembali bertanya.
“Dia itu punya sepatu baru yang beli di toko golden
shoes di pinggir jalan dekat supermarket!” seru Fani.
“Toko itu? Toko itu bukannya toko sepatu yang
sepatunya langsung diimpor dari luar negeri itu, kan?” Niki
juga ikut bersuara sedikit keras.

40
Anggukan kecil Fani yang menjadi jawabannya.
“Waaah ...! ayo, ayo, kita lihat! Sepatunya pasti bagus,”
segera Niki menggeret tangan Fani dan berjalan menuju
kelas.
Tampak hampir semua murid perempuan bergerombol
di bangku Susy sambil berdecak kagum. Niki segera
menerobos gerombolan tersebut dan datang di hadapan
Susy.
“Susy, benar kamu beli sepatu di toko golden shoes itu?”
tanya Niki. Dia tidak peduli murid-murid perempuan lain yang
menatap sebal kepadanya karena menerobos secara
langsung.
“Iya, dong! Papaku, kan, kemarin pulang kerja. Dia ajak
aku jalan-jalan. Aku minta di belikan sepatu. Sepatu lamaku
itu sudah sempit, kumal, dan enggak enak dipakai. Jadinya,
papaku belikan aku sepatu di toko itu. Gimana? Bagus, kan?
Ini diimpor langsung dari Amerika, lho! Papa bilang, harganya
hampir dua juta,” jelas Susy panjang lebar sambil
memamerkan sepatu pantofel berwarna hitam mengkilap
dengan satu hiasan berbentuk pita berwarna emas pada
bagian depan.
“Bagus banget! Keren, deh!” jawab Niki sambil tepuk
tangan pelan.
Beberapa detik kemudian, bel sekolah berbunyi. Semua
murid berbaris dengan rapi untuk masuk kelas.
41
Hmmm ... mungkin aku bisa kali, ya, minta sama mama
buat dibelikan sepatu kayak Susy. Mama, kan, selalu
menuruti apa yang aku mau. Aku pasti punya sepatu yang
lebih bagus dari Susy, batin Niki ketika berbaris.

Malam harinya, dia menghampiri mama yang sedang


menonton televisi di ruang keluarga.
“Ma,” panggil Niki. Mama menoleh.
“Ada apa?”
“Tadi itu, kan, ma ... Susy punya sepatu baru. Katanya,
sih, beli di toko dekat supermarket itu, ma. Sepatunya bagus,
deh!” curhat Niki.
“Lalu?” mama kembali bertanya.
“Aku dibelikan sepatu kayak Susy, dong, ma,” pinta Niki.
“Aku janji enggak akan meminta lagi setelah ini.” Itulah
kalimat yang sering diucapkan oleh Niki.
Mendengar itu, mama menghela napas.
“Bukannya menolak, nak. Tapi, bukannya sepatumu
masih bagus? Untuk apa membelinya lagi?” tanya mama.
“Aku, kan, pengin sepatu kayak punya Susy itu, ma.
Sepatu Susy itu bagus dan cantik,” kata Niki.
42
“Tapi, sepatumu masih bagus. Bagus banget malah. Bisa
dipakai ke sekolah. Buat apa harus membeli lagi? Itu, kan,
namanya boros,” sahut mama.
Niki tidak menyahut. Dia menundukkan pandangannya.
Mama menghela napas dan menyentuh kedua pundak
anaknya itu dengan kedua tangannya.
“Begini, nak. Kita tidak boleh hidup boros. Boros itu, kan,
sifatnya setan. Mama lebih suka kalau kamu minta dibelikan
buku-buku buat belajar kamu. Bukannya hal-hal yang enggak
penting dan enggak ada hubungannya sama sekolah,” nasihat
mama.
Dengan cepat, Niki berbalik dan berlari menuju
kamarnya, lalu menutup pintu dengan keras. Melihat hal itu,
mama menggeleng-geleng pelan dan kembali fokus pada
televisi.
Niki langsung tidur di ranjang. Dia menangis sesenggukan
di sana, merasa sakit hati karena baru kali ini permintaannya
tidak dikabulkan.
“Aku sebal sama mama. Huhuhu ...,” ucap Niki sambil
terisak.
Niki terus menangis hingga tertidur pulas di kamarnya.

43
Keesokan harinya ...
“Hoahmmm ...!” Niki menguap lebar. “Eh, aku tertidur,
ya?”
Entah siapa yang ditanyai oleh Niki. Yang pasti, tidak ada
jawaban untuknya.
Segera Niki turun dari ranjangnya dan lekas mandi. Dia
bersiap akan ke sekolah. Setelah itu, Niki mengeluarkan
sepedanya dari garasi. Dia berjalan menggandeng sepedanya
menuju pagar.
“Sudah sarapan, nak?” tanya mama yang melihat Niki
hendak berangkat sekolah.
“Tidak usah,” jawab Niki singkat.
“Tapi, kalau tidak makan, kan nanti kamu bisa lapar,”
kata mama.
“Aku bisa makan di sekolah,” balas Niki.
“Baiklah. Hati-hati dijalan, ya!” mama melambaikan
tangan, tetapi tak di balas oleh Niki. Mama hanya
menggeleng-geleng.

44
Siang ini, Niki tengah belajar untuk ujian hari Senin
besok. Sambil tengkurap di atas ranjang, dia membaca buku
dengan tenang. Tapi, terdengar suara mengganggu
konsentrasi belajarnya. Awalnya, dia tidak memedulikan
suara itu. Namun, suara itu semakin keras, membuat Niki
langsung beranjak dan keluar kamar. Niki mencari sumber
suara itu.
“Sepertinya, itu suara kucing,” Niki menebak-nebak.
Niki berjalan ke dapur mengambil lauk ikan yang masih
tersisa di meja makannya, lalu berjalan keluar rumah. Dia
menoreh ke kanan dan kiri mencari suara itu. Tatapannya
berhenti ketika melihat seekor kucing kecil. Lebih kecil dari
yang dia lihat sebelumnya.
Dengan hati-hati, Niki mendekati anak kucing itu. Dia
melempar danging ikan yang diambilnya. Tapi, anak kucing
tersebut malah menggeliat memeluk daging itu.
Niki memasang wajah sedih. “Kasihan sekali kucing ini.
Dia terus menjerit. Cara berjalannya saja masih pincang. Ya,
Allah ... sayangilah anak kucing ini. Anak kucing ini kehilangan
ibunya. Tolong sayangilah dia ... Ya, Allah,” doanya.
Sekarang, Niki paham rasanya bila tak ada mama di
sisinya. Jika mama tidak ada di sisinya, pastilah dia senasib
dengan anak kucing ini, menangis tersedu-sedu. Dengan
segera, Niki berlari menuju rumah dan menghampiri mama.
“Mamaaa ...,” seru Niki.
45
Mama heran melihat tingkah Niki, menoreh. Mama
langsung mendapat pelukan hangat dari Niki.
“Ma, aku janji ... mulai sekarang, aku enggak akan bikin
mama repot lagi. Aku bakal jadi anak yang patuh kepada
mama. Aku janji,” kata Niki.
Mendengar itu, mama tersenyum, mengelus puncak
kepala Niki dengan lembut dan membalas pelukannya.
Kini, Niki tidak perlu meminta sepatu yang dibeli di toko
golden shoes. Dia telah mempunyai golden mom yang
senantiasa mendampinginya hingga dewasa.

46
Surga di
Tangan Ibu

“Ternyata, kamu ada di sini!”


Bapak menggamit lengan dan membawaku keluar dari
pasar diiringi tatapan sepuluh pasang mata.
“Mau jadi apa kamu nongkrong di sini setiap hari?”
sembur bapak lagi, setelah kami sudah mendekati parkiran.
Bapak memberi helm kepadaku. Aku menurut dan
duduk di boncengan. Berbagai rasa berkecambuk. Aku harus
sudah siap menerima kemarahan bapak lagi setibanya di
rumah. Ah, andai ibu ada.
Benar saja, bapak kembali menghamburkan amarahnya
sebelum membuka pintu rumah. Kalimat-kalimat kemarahan
bapak tak sedikit pun melebamkan hatiku. Sudah biasa.
Setelah ibu pergi, bapak jadi pemarah. Bapak selalu marah-
marah kepadaku dan adik-adik. Ah, ibu, aku kangen.
Pergi sekolah merupakan sebuah kebebasan dan
pulangnya adalah sebuah penyiksaan. Seluruh pekerjaan
rumah ditimpakan kepadaku dengan alasan aku adalah
sulung, dan anak perempuan pula. Ketiga adik lelakiku nyaris
tak pernah diminta membantu. Rumah selalu dalam keadaan
berantakan, cucian numpuk, setrikaan menggunung, dan
piring-piring kotor menjulang. Namun, aku harus segera

47
menyiapkan makan, masak nasi, lauk pauk, dan sayur. Belum
lagi PR dan tugas sekolah yang harus segera ku selesaikan.
Sungguh membuatku keteteran membagi waktu. Ah, ibu.
Kenapa ibu harus pergi?

Beberapa bulan lalu, ibu dan bapak gagal panen. Padi


mereka habis oleh hama tikus. Padahal bapak dan warga
yang lain sudah memasang jebakan agar tikus-tikus itu tidak
sampai ke sawah mereka, apalagi sampai merusak padi.
Namun, rupanya jumlah tikus-tikus sawah itu sangat banyak.
Jebakan yang dipasang sama sekali tidak berpengaruh.
Mereka malah merusaknya. Beberapa sawah rusak dan habis
padinya, termasuk sawah ibu dan bapak.
Gagal panen, uang habis, menjadikan ibu nekat bekerja
ke lluar negeri. Aku tak tahu pasti, ibu akan pergi ke mana.
Yang ku tahu adalah sawah kami di sewa tahunan untuk
biaya keberangkatan ibu menjadi Tenaga Kerja Wanita atau
TKW.
Sebenarnya, bapak keberatan kalau Ibu harus kerja.
Apalagi sampai ke luar negeri. Bapak inginnya beliau sendiri
yang berangkat. Namun, menurut Lek Karjo, orang yang
bekerja di PJTKI dan sering mengretrut orang-orang kampung
untuk kerja di luar negeri, laki-laki lebih susah mencari kerja
48
di sana. Kalau perempuan, katanya lebih banyak di butuhkan.
Jadi, kemungkinan besar, ibu bisa segera diberangkatkan.
Akhirnya, dengan berat hati, bapak menyewakan
sawahnya selama setahun kepada Pakde Untung. Uangnya
untuk bekal ibu di penampungan PJTKI. Kami melepas
kepergian ibu dengan tangis. Betapa hampa setelah
bayangan ibu yang berjalan kaki menuju pangkalan angkutan
pedesaan semakin kecil dan kemudian hilang.
Baru kusadari setelah ibu pergi. Kalau pekerjaan ibu di
rumah selama ini sangatlah berat. Kukira bersih-bersih, cuci
baju, cuci piring, masak, dan mengurus segala urusan di
rumah adalah hal yang mudah saja. Padahal itu sangat berat.
Sampai kurasa ada surga di tangan ibu karena ibu mampu
menciptakan kedamaian di rumah ini dengan kedua
tangannya. Ibu mampu mengatasi segala sesuatu dengan
kedua tangannya. Ibu mampu mengatasi segala sesuatu
dengan kedua tangannya. Ibu juga membuat bapak tak
pernah marah-marah seperti sekarang ini.

“Apa? Belum jadi berangkat?” teriak bapak di halaman


rumah, mengagetkanku yang sedang lelap.
Pagi masih gelap. Siapa yang menelpon sepagi ini?

49
Aku beranjak bangun. Kulihat, bapak masuk rumah
dengan kusut. Aku siap-siap menerima amarahnya.
“Ibu enggak jadi pergi,” ujar bapak datar.
Seketika, jiwaku melayang bebas. Kalau tidak karena
wajah keruh bapak, tentu aku sudah jingkrak-jingkrak
kegirangan. Bahagia tak terkira mengetahui ibu akan pulang
lagi.
“Kenapa, pak?” tanyaku berusaha biasa.
“Enggak ada lowongan. Ibu sudah tiga bulan di
penampungan, sudah terlalu lama. Jadi, minta pulang saja,”
sahut bapak lemas.
“Jadi, uang hasil penyewaan sawah, masih utuh, ya,
pak?” tanyaku.
Tiba-tiba, bapak menatapku. Aku tak mengerti.
“Sudah diserahkan semua kepada PJTKI. Enggak bisa
balik. Alasannya buat biaya hidup tiga bulan ibumu di
penampungan, plus kursus bahasa dan keterampilan,” wajah
bapak semakin lesu.

Tak terkira kebahagiaanku, saat melihat bayangan


perempuan itu, perempuan yang melahirkan dan
50
membesarkanku dengan penuh kasih. Ibu, oh, tak bisa
tergantikan dengan sekarung dolar yang tadinya akan
dijemputnya di negeri orang.
“Bu, aku janji, aku enggak akan melawan ibu lagi,”
ucapku.
Aku memang sering melawan kata-kata ibu, sering susah
kalau disuruh, dan susah diatur. Setelah ibu memutuskan
hendak pergi jadi TKW karena panen gagal, aku baru sadar,
tugas ibu berat sekali.
“Maafkan ibu, ya! Ibu belum mampu membuat kondisi
ekonomi kita lebih baik,” ucap ibu.
“Aku lebih memilih seperti ini saja, bu, daripada ibu
enggak ada,” sahutku. Ibu tersenyum.
“Lagi pula, rezeki itu dari Tuhan, bu. Berarti Tuhan ingin
ibu di rumah saja, mengurus Bapak dan anak-anak,” bapak
ikut bicara.
Aku tidak tahu penyebab wajah bapak terlihat tetap
ceria, sekarang. Tidak seperti pagi tadi. Apakah karena ibu
sudah datang atau ada hal lain?
“Ibu percaya, kan, kalau rezeki dan hidup kita di atur
oleh Tuhan?” tanya bapak. Ibu mengangguk.
“Ibu memang lebih tepat ada di rumah. Biarlah uang
hasil menyewakan sawah itu hilang. Yang penting, bapak
dapat gantinya,” lanjut bapak lagi.

51
“Maksud bapak?” tanya ibu.
“Lek Bowo menyerahkan sawahnya kepada kita, bagi
hasil. Semua kebutuhan seperti bibit dan pupuk sudah
disediakan. Kita suruh menggarap saja,” jawab bapak.
Kami mengucap syukur bersamaan.
“Doakan sawah kita berhasil kali ini,” lanjut bapak.
“Ibu memang ditakdirkan kembali ke rumah. Rumah jadi
berantakan, hancur-hancuran kalau enggak ada ibu. Anakmu
masaknya juga ngawur,” ujar bapak lagi sambil mengerling
kocak ke arahku.
Ah, ibu memang segalanya. Aku sudah membayangkan
akan merindukan kembali pulang ke rumah setelah sekolah.
Tidak lagi mampir pasar karena segala kekacauan itu sudah
pasti tertangani dengan baik oleh ibu. Aku sayang ibu.

52
Happy Mother’s
Day, Mama!

“Ma, Lika kangen.”


Tepat pada hari ini, 22 Desember 2013, satu tahun
setelah kepergian mama. Mama, malaikatku telah tidur
dengan tenang setahun yang lalu. Perih rasanya mengingat
hari itu. Namun, mau bagaimana lagi? Itu sudah takdir yang
ditetapkan Tuhan kepada mama.
Sekelibat bayangan peristiwa terlintas di pikiranku.
Peristiwa pada hari itu, 22 Desember 2012.

21 Desember 2012.
Hari ini, hari yang cukup menegangkan. Tadi pagi adalah
waktu pembagian rapor. Alhamdulillah, nilai raporku bagus.
Aku senang karena membuat mama dan papa bangga. Ya,
walaupun papa tidak dapat mengucapkan selamat kepadaku
secara langsung. Papa memang sedang ada tugas di luar
negeri yang mengharuskannya menetap di Singapura selama
sebulan ini.

53
Oh, ya, namaku Alika Dania Putri. Umurku 12 tahun. Cita-
citaku membuat mama dan papa bahagia. Aku memiliki
kakak perempuan yang terpaut usia empat tahun denganku,
yang biasanya kupannggil Kak Rere. Setelah pembagian rapor
tadi, aku dan kak Rere pergi ke rumah nenek. Tentunya
setelah izin mama terlebih dahulu. Di rumah nenek, aku dan
Kak Rere membuat kue brownies. Kami membuatnya khusus
untuk kado spesial pada Hari Ibu besok, 22 Desember. Kami
memilih kue brownies karena brownies menggambarkan
kisah kehidupan. Manisnya kue brownies menggambarkan
kehidupan yang menis dan sedikit rasa pahitnya
menggambarkan kehidupan yang kadang juga terasa pahit.
Jam sudah menunjukkan pukul 23.57. sekarang, aku dan
Kak Rere sudah di depan pintu kamar mama untuk bersiap
memberi kejutan. Setelah jam menunjukkan pukul 00.00,
kami pun masuk ke kamar mama denganmengendap-endap.
Kami tidak ingin menimbulkan bunyi berisik yang membuat
mama terbangun.
Satu ... dua ... tiga ...
“Happy Mother’s Day, Ma!” seruku bersamaan dengan
Kak Rere yang membuat mama terbangun.
“Ya, ampun! Kalian mengagetkan mama saja,” ucap
mama dengan suara khas bangun tidur sambil mengelus
dada.

54
“Hehehe ... sorry, ma, kalau bikin kaget,” ucap Kak Rere
sambil tersenyum lebar.
“Kalian ngapain, nih, bawa kue ke sini malam-malam?
Kok, belum pada tidur?” tanya mama.
“Lika sama Kak Rere mau kasih kejutan. Kan, hari ini
tanggal 22 Desember. Tepatnya, Hari Ibu,” jawabku
menjelaskan. “Lika juga mau mengucapkan terima kasih
karena mama sudah mengandung Lika dan Kak Rere selama
sembilan bulan. Terima kasih sudah melahirkan Lika dan Kak
Rere walaupun nyawa taruhannya. Terima kasih karena
sudah merawat Lika dan Kak Rere dari kecil sampai sekarang.
You are the best, mom!”
“Happy Mother’s Day, Ma. We Love You!” lanjut Kak
Rere yang dibalas pelukan hangat kepadaku dan Kak Rere
oleh mama.

Hari ini sangat melelahkan seperti tebakanku. Aku


berangkat ke Dufan bersama keluargaku. Banyak wahana
yang kunaiki. Mulai dari bianglala, istana boneka, kora-kora,
halilintar, bom-bom car, kursi goyang, dan yang terakhir
roller coaster. Mama tidak ikut menaiki roller coaster dan
memilih menunggu di bawah saja.

55
Walaupun bermain cukup banyak, tak lupa kami
menjalankan kewajiban bagi umat Islam untuk shalat. Lalu
kami makan siang. Mama tidak boleh telat makan karena
memiliki penyakit maag yang cukup kronis. Pernah sewaktu
terlalu sibuk dengan suatu hal, akhirnya membuat mama
lupa makan dan harus di rawat di rumah sakit.
Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. sekarang, kami
sedang menunggu jemputan. Ya, kami tadi di antar oleh sopir
papa. Sebenarnya, mama bisa mengendarai mobil. Namun,
entah kenapa mama memilih di antar sopir. Tak berapa lama
kemudian, mobil yang dikendarai Pak Yono, sopir papa,
datang.
“Capek, ya, hari ini? Tapi menyenangkan banget!”
ucapku membuka pembicaraan.
“Iya, seru banget! Apalagi pas naik roller coaster. Itu seru
banget!” sambung Kak Rere.
“Semoga saja, ya, kita bisa ke sana lagi. Barengan sama
papa juga,” ucap mama.
“Aamiin,” ucapku dan Kak Rere, kompak.
Perjalanan sepertinya masih cukup jauh. Jalanan
lumayan macet, sedangkan sebentar lagi azan Maghrib akan
berkumandang. Untunglah, tak jauh di depan kami ada rest
area. Jadinya bisa shalat dan membeli beberapa camilan
untuk menemani perjalanan yang sepertinya memakan
waktu yang cukup lama.
56
“Mama, Kak Rere, bangun, dong! Shalat Maghib dulu,”
ucapku membangunkan.
“Hm, iya,” sahut Kak Rere. Sedangkan mama bangun dan
langsung membetulkan posisi duduk.
“Ya, sudah. Ayo, turun!” ajak mama dan menuruni mobil.
Setelah Shalat Maghrib, kami pergi ke minimarket ada di
rest area untuk membeli beberapa camilan. Pandanganku
beralih ke wajah mama yang sepertinya sangat pucat.
Buru-buru aku memilih camilan agar tidak memakan
waktu lama. Mungkin, mama sedang kelelahan.
“Ma, kok kayaknya mama pucat banget. Mama sakit?”
tanyaku setelah duduk di bangku mobil.
“Hm, mama cuma sedikit pusing, kok!” jawab mama.
“Enggak apa-apa, kok! Cuma pusing biasa. Kalian enggak
usah khawatir seperti itu,” ucap mama sambil tersenyum.
Tiba-tiba, aku melihat pandangan mama mulai tertutup.
Perasaan tidak enak melingkupi hatiku. Baru kusadari
kemudian. Mama pingsan.
“Ma ... mamaaa ...!” panggilku. “Kak, mama pingsan!”
seruku panik.
“Kita ke rumah sakit saja, ya?” usul Pak Yono sambil
menyetir.
“Iya, Pak,” jawabku dengan nada khawatir.
57
Sesampainya di rumah sakit, mama langsung di bawa ke
UGD. Papa tadi sudah kuhubungi. Ternyata, papa sudah
pulang dari Singapura tadi sore. Katanya kejutan untuk kami.
Sayangnya, rencana papa tak berjalan lancar, karena mama
masuk rumah sakit. Sakarang, papa sedang dalam perjalanan
menuju rumah sakit.
Dokter yang memeriksa mama keluar dari UGD.
“Keluarga Bu Daniar?” tanya dokter perempuan itu.
“Kami anaknya, dok,” ucapku dan Kak Rere bebarengan.
“Sa ... saya suaminya, dok,” terdengar suara ngos-
ngosan. Suara yang sangat ku kenal. Suara papa.
“Bisa ikut ke ruangan saya? Adik-adik juga boleh ikut.
Ada sesuatu yang harus saya beritahukan,” ucap dokter itu.
“Ya,” jawab papa singkat sambil berjalan mengikuti
dokter perempuan itu.
Aku merasakan firasat buruk yang kulawan dengan
membaca istighfar, seperti yang diajarkan mama. Mama
selalu mengataan, kalau firasat yang buruk datang, sebaiknya
membaca istighfar agar firasat itu perlahan hilang.
“Saya mau bertanya, apakah Bu Daniar pernah terbentur
benda yang keras?” tanya dokter itu yang dijawab oleh papa
berupa penjelasan.
Sangat kuingat, tiga hari yang lalu, mama pernah dirawat
di rumah sakit karena jatuh dari tangga.
58
“Untuk sementara, Bu Daniar harus dirawat intensif di
sini,” ucap dokter tersebut yang dibalas anggukan oleh papa.
Mama dipindahkan ke kamar rawat inap. Tak berselang
lama, mama bangun dari pingsannya. Membuatku merasa
lega. Wajah pucat mama tersenyum ke arahku yang kubalas
senyuman. Kebetulan, papa dan Kak Rere sedang keluar
untuk membeli makan malam. Sedangkan Pak Yono sedang
pulang.
“Alhamdulillah, mama sudah sadar. Masih pusing, ma?”
tanyaku yang dibalas geleng oleh mama. Kulihat, mama
langsung sibuk mencari sesuatu di tasnya, yang berada tepat
disebelahnya.
Sepucuk surat diberikan mama kepadaku. Mama
mengatakan agar tidak membukanya sekarang. Saat sibuk
dengan pikiranku sendiri, aku melihat mama yang sepertinya
sedang kesusahan bernapas. Aku panik dan langsung keluar
kamar untuk memanggil dokter. Dokter pun langsung
memeriksa mama. Sekitar lima menit kemudian, papa dan
Kak Rere datang dengan wajah tak kalah panik sepertiku.
Lima belas menit kemudian, dokter keluar. Baru satu
kata maaf yang keluar dari mulutnya, tangisanku langsung
pecah setelah menyadari sesuatu. Mama telah pergi untuk
selama-lamanya. Seketika, pandanganku mengabur. Wajah
Kak Rere yang penuh tangisan, menjadi hal terakhir yang
kulihat.

59
“Halo, ma! Maaf, ya, setelah Idul Adha kemarin, Lika
belum ke sini lagi. Lika sibuk mengurus sekolah baru Lika.
Enggak terasa, ya, mama sudah pergi selama satu tahun,”
ucapku sambil menghapus air mata di pipiku.
Aku meletakkan sebuket bunga di makam mama.
“Maafkan Lika enggak bisa menahan tangis kalau datang
ke sini, ma. Tapi, Lika bakal mencoba biar enggak menangis
lagi. Sebentar lagi, tahun bakalan berganti. Tahun ini berjalan
dengan baik, ma. Banyak pengalaman baru yang Lika
dapatkan. Walaupun sewaktu kelulusan kemarin, mama
enggak ada di samping Lika. Maaf, ya, ma. Lika enggak bisa
lama-lama di sini. Ada sesuatu yang harus Lika urus sekarang.
Happy Mother’s Day, Mama. I Love you so much,” ucapku
haru. Setiap kesenangan pasti selalu diiringi dengan
kesedihan.

60
Bu Nik Bukan
Ibuku

Aku memerhatikan sosok tinggi besar berjalan menuju


rumahku. Aku benar-benar takut sosok tinggi besar itu akan
mengamuk. Padahal, hari sudah menjelang maghrib. Tidak
baik kalau antartetangga, ribut.
Tadi, aku mengolok-olok Indah karena model rambut
barunya. Aku bilang rambutnya seperti rambut jagung.
Rambut yang semula lurus, sekarang dikeriting kriwil.
“Rambut jagung ...! rambut jagung ...!” aku dan Tina
tidak berhenti meneriakkan yel-yel rambut jagung.
Sore tadi, kami bermain kasti dan kebetulan Indah jadi
musuhku.
“Biar saja! Paling, kamu yang iri. Aku juga enggak minta
uang kamu untuk membuat rambutku sabagus ini,” Indah tak
kalah sengit membela penampilannya.
“Rambut jagung ...!”
“Rambut mi ...! rambut kriwil ...!” aku dan Tina sambung-
menyambung sambil tertawa mengejek.
Tiba-tiba, Indah mogok main dan berkacak pinggang di
depanku, “Aku akan adukan kalian kepada bapakku. Lihat
61
saja, dia sebentar lagi akan ke rumah kalian! Huaaa ... huaaa
... huaaa ...”
Indah tidak tahan dengan ejekanku. Dan keluar dari
permainan kasti dan berlari ke rumahnya sambil menangis
kencang-kencang. Kami pun mendadak menghentikan
permainan.
“Waduh, Tina. Gimana kalau bapaknya benar-benar ke
rumahku? Kamu, kan, tahu bapaknya Indah seram banget.
Tinggi besar dan enggak pernah senyum. Aduuuh ... gimana,
nih?” aku ketakutan.
“Lagian, kenapa, sih, kalian mengolok-olok Indah?
Harusnya, biarkan saja. Kan, itu rambut dia sendiri,” Wati
menyalahkan aku dan Tina.
“Spontan saja. Habis , melihat dia, jadi gimanaaa ... gitu.
Aku enggak menyangka kalau dia sampai menangis dan mau
nengadu kepada bapaknya,” Tina masih membela diri.
“Risiko kalian. Mau enggak mau, harus dihadapi kalau
bapaknya marah. Nanti, kalau bapaknya benar-benar datang,
minta maaf saja dan ajanji tidak mengulangi lagi,” Wati
bersikap bijaksana. Dia memang yang paling dewasa di
antara teman-teman sepermainanku. Sekarang sudah kelas
VIII. Sementara, lima temanku lainnya masih kelas V SD.
“Ya, aku menyesal sekali,” ucapku.

62
Apa daya, nasi sudah jadi bubur. Aku harus segera pulang
dan menerima risikonya.
“Winda, terus terang rsaja sama ibumu kalau kamu yang
salah. Jadi, nanti, ibumu bisa bantu kamu buat minta maaf
kapada Indah atau bapaknya.”
“Terima kasih, kak.”
Permainan bubar. Aku segera berlari ke rumah dan
menemui ibu. Aku katakan terus terang kalau tadi aku nakal
dan mengejek Indah. Jadinya, dia menangis dan
kemungkinan besar bapaknya marah.
Sekarang, bapaknya Indah sudah di depan rumahku.
Pintu depan sengaja belum ku tutup meskipun hari sudah
menjelang maghrib. Ya Tuhan ... yang akan terjadi, terjadilah.
Aku takut. Tapi, aku harus bertangung jawab atas keusilanku
sendiri.
“Assalamu’alaikum. Permisi,” salam bapaknya Indah
seperti suara petir yang menggelegar di telingaku.
Setelah menjawab salam, ibu mempersilahkan Pak Puji
masuk.
“Silahkan duduk, Pak!” ibu bersuara lembut, tidak ada
rasa gentar menghadapi Pak Puji yang mungkin akan
memarahinya.
“Winda, buatkan minum dan nyalakan lampunya. Nak!”
sedetik kudengar suara ibu memintaku membuat air minum.

63
Oh, kenapa mesti sebut-sebut namaku? Mestinya, ibu
bilang aku lagi pergi atau gimana. Bukannya dimintai tolong
untuk membuatkan air minum. Ini artinya aku harus kedepan
dan menemui bapaknya Indah. Oh, Tuhan ... tolong hamba,
aku berdoa dalam hati sambil melangkah ke dapur.
“Silahkan diminum, Pak!” dengan gemetar aku
menyajikan cangkir berisi teh hangat di depan Pak Puji.
“Terima kasih. Duduk sebentar di sini, ya!”
pangadilan akan di mulai. Pak Puji memintaku duduk di
samping ibu. Apa, ya, yang dibincang mereka tadi? Apakah
ibu tidak membelaku?
Aku tidak membuka mulut sedikit pun. Hanya diam
tertunduk memerhatikan kotak-kotak ubin di lantai.
“Bisa kasih tahu Bapak, kenapa Indah tadi menangis?”
suara Pak Puji biasa saja, tidak membentak-bentak seperti
yang kubayangkan. Aku menarik napas lega.
“Ma ... maafkan Winda, Pak. Winda yang salah. Tidak
seharusnya Winda mengejek rambut Indah. Sekali lagi,
maafkan Winda, Pak,” aku berkata terbata-bata.
“Tidak apa-apa. Nanti, Bapak sampaikan maafmu kepada
Indah. Indah pun kadang-kadang masih seperti anak kecil.
Besok-besok enggak usah saling mengejek, ya! Ibumu bilang,
kamu anak yang bak. Jadi, kejadian sore tadi, tidak akan
terjadi lagi.”

64
“Baik, Pak. Winda janji. Nanti, Winda akan temui Indah di
masjid. Winda mau minta maaf,”
“Saya pamit dulu, Bu,” Pak Puji beranjak dari tempat
duduknya.
“Terima kasih, Pak. Sekali lagi, saya minta maaf.”
“Enggak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak. Kalau
saya enggak ke sini, Indah akan ngambek sampai pagi. Yang
penting, dia sudah tahu saya ke sini.”

“Ibu, maafkan Winda, ya. Kalau enggak ada ibu, pasti Winda
sudah habis kena marah Pak Puji,” ucapku.
Malam ini, kami hanya berdua di rumah. Bapak sedang
dinas ke kota. Kakakku yang pertama sudah setahun ini kos di
dekat kampusnya. Jarak antara kampus kakakku dan rumah
kami sekitar empat jam perjalanan darat. Demikian juga
kakakku yang kedua. Dia juga memilih kos dan seminggu
sekali pulang ke rumah. Jarak rumah kami dengan SMA-nya
sekitar dua jam.
“Tadi sudah jadi ketemu Indah?”
“Iya, Bu. Winda dan Tina minta maaf barengan.”
“Terus?”
65
“Kami bersalaman sebelum masalahnya terdengar Pak
Ustad.”
“Hehehe ... takut kena hukuman, ya?”
Aku mengangguk.
“Bu, kalau Winda boleh tahu, tadi bicara apa sama Pak
Puji?”
“Maksudnya?”
“Teman-teman Winda cerita, bapaknya Indah seram dan
suka marah. Makannya, Winda sangat takut. Tetapi sore tadi,
tampaknya Pak Puji kalem-kalem saja. Ibu bilang apa?”
“Enggak ada. Cuma kalau ada tamu, apa pun tujuannya
harus tetap kita sambut dengan baik. Sebelum dia memulai
pembicaraan, ibu minta maaf duluan. Namanya juga anak-
anak, kadang rukun kadang bertengkar. Paling-paling, enggak
ada hitungan jam, juga sudah baikan lagi.”
“Terima kasih banyak, Bu,” aku memeluk ibu. Aku
menyayanginya karena dia selalu menjadi penolongku.
“Sama-sama. Itu karena ibu sayang banget sama Winda.”
“Ya, Winda tahu ibu menyayangi Winda dengan tulus,
meskipun ...”
“Ups, hari sudah malam. Kita tidur, yuk!” ibu memotong
ucapanku. Selalu saja aku tidak boleh mengucapkannya. Ibu
pasti sudah tahu lanjutan perkataanku.

66
Aku bangkit dari kursi dan mengikuti ibu ke kamar
belakang.
“Malam ini, Winda tidur sini saja katena ayah lagi enggak
di rumah. Swear, jani, ibu enggak akan cerita kepada teman-
teman kalau Winda masih suka tidur sama ibunya. Hehehe
...”
“Bu, boleh Winda tanya sesuatu?”
Ibu mengangguk.
“Apakah ibu kandung Winda juga sebaik ibu?”
Bu Nik, orang yang selama ini telah kupanggil “ibu” dan
menjadi pengganti ibu kandungku ini mengangguk pasti.
“Kami berteman akrab sejak kacil hingga dia menikah
dan melahirkan kalian bertiga. Jadi, ibu tahu betul sifat dan
kebiasaannya. Ibu yang baik pasti melahirkan anak-anak yang
baik seperti kalian. Ibu bangga bisa membantu Ayah
membesarkan kalian. Kalian tumbuh menjadi anak-anak yang
pandai dan tidak merepotkan,”
Bu Nik, ibuku yang sekarang, berhenti sejenak berkata-
kata, menelan ludah sambil menahan tetes air mata yang
akan jatuh.
“Winda sayang ibu. Winda tidak pernah merasa bahwa
ibu adalah pengganti ibu kandung Winda yang telah tiada.”
Ibu merangkulku erat.

67
“Ibu juga sayang Winda karena Winda adalah anak
perempuan kesayangan ibu, oke? sudah, ya! Kita bobo,
sekarang. Besok harus bangun pagi dan giliraan menguras
bak mandi. Ingat, kan?”
“Siap!”
Aku berangkat tidur di samping ibu. Rambutnya yang
mulai tumbuh uban satu per satu menebarkan harum melati.
Ibu memang selalu rapi, harum, dan bersih. Ini yang
sepatutnya kucontoh.
Aku melirik ibu sekilas. Matanya sudah mulai
dipejamkan. Bu Nik, ibuku yang sekarang, berkulit kuning
langsat dan berparas rupawan. Pernah suatu kali, temanku
mengejek kalau aku bukan anaknya. Aku menangis meskipun
aku tahu bukan anak kandungnya.
“Ibumu putih. Kok, kamu hitam?” ledek Ardi waktu itu.
“Biar hitam, tapi manis. Enggak boleh iri sama orang
manis,” balasku.
Bu Nik, ibuku ini mengajarkan aku untuk berani melawan
kalau ada kawan yang mengejekku.
“Gula, kali!” lanjut Ardi.
“Kenapa, sih, usil amat! Sudah bersyukur kita sehat dan
anggota tubuh kita lengkap,” aku tidak mau kalah.
“Kali saja anak pungut di ...”

68
“Ardi!”
Kedatangan guru kelas menolongku waktu itu sehingga
ejekan Ardi tidak berlanjut. Tetapi, aku terlanjur menangis.
Itulah anak perempuan. Meskipun berani melawan, tetapi
aku tidak bisa menahan air mataku keluar.
Aku baru mengetahui kenyataan yang sebenarnya ini,
tiga tahun lalu, saat umurku baru delapan tahun. Ibu kami
telah tiada saat melahirkanku. Tetapi, beruntung aku
mendapatkan ibu kedua yang selalu menganggap kami anak
kandungnya. Kakak-kakakku memanggilnya Bu Nik. Aku
kadang-kadang mengikutinya. Tapi, lebih sering aku
memanggil ibu daripada Bu Nik. Kata Kak Fendi, dulu dia
tidak mau memanggilnya mama, ibu, atau bunda karena Bu
Nik bukan ibu kandungnya. Tetapi berjalannya waktu
membuktikan kalau Bu Nik membesarkan kami sebagaimana
anak sendiri.
“Jangan lupa baca doa biar enggak mimpi buruk,” bisikan
lembut mampir di telingaku.
“Hm, iya. Winda hampir lupa.”
Ya Allah ... jaga ibu sebagaimana ibu menjaga kami.
Jadikan surga sebagai hunian terakhirnya atas semua yang
telah ibu lakukan dengan ikhlas untuk kami. Kami selalu
merindukan senyumnya seperti kami merindukan sinar
mentari yang mulai muncul di ufuk timur. Indah senyumnya
adalah bagian surga bagi kami. Amin.

69
Bidadari
Bersayap Lidi

Semburat senja menghiasi langit yang tengah bermain


bersama awan dan mentari yang mulai dipanggil untuk
pulang. Kini, awan dan langit tengah berlomba, memanggil
bintang dan rembulan. Azan Maghrib menjadi pengantar
mereka, kabarkan bahwa gelap akan datang. Tenang, bintang
dan rembulan siap berbagi cahayanya, pada malam setelah
sanja untuk jiwa-jiwa yang merindu syahdu malam.
Berkunjunglah nanti, ke sepertiga terakhir malam.
“Rina, sudah selesai bejar, nak?” tanya ibu saat melihat
putri sulungnya datang ke dapur dan turut membuat kue.
“Sudah, bu,” jawab Rina. “Makanya, Rina bantu ibu.”
Sejenak, suara yang terdengar hanya denting alat-alat
dapur.
“Nak,” panggil ibu lembut.
“Iya, bu?” Rina menghentikan pekerjaannya sejenak,
demi melihat wajah ibu yang memanggilnya.

70
“Tadi sore, ibu dipanggil sama Dinas Kebersihan di
Kecamatan, nak,” ibu membuka ceritanya. “Rina tahu, kan,
seberapa kotor taman kota, sekarang?”
“Rina tahu, bu. Hanya Bu Mun dan Bi Ijah yang masih
setia membersihkan taman. Padahal, taman kota, kan besar
sekali, ya, bu?”
“Ibu dapat tawaran membersihkan taman kota, nak. Tadi
pagi dan sore.”
“Ibu terima?”
Ibu mengengguk. “Sudah dari dua hari yang lalu, Rina.
Maafkan ibu, tidak sempat bilang kepada Rina. Ibu lihat, dari
kemarin, Rina sibuk dan lelah sekali,” ibu menghela napas
sebentar. “Ya, gajinya memang tidak seberapa. Tapi, insya
Allah bisa menambah pendapatan ibu.”
Rina hanya menanggapinya dengan senyum. Selanjutnya,
dia kambali berjubel bersama kue-kuenya.
Ibu Rina seorang pekerja serabutan. Pekerjaan rutin tiap
harinya adalah membuat kue, yang nantinya dijual ke kantin
sekolah-sekolah. Hasil yang ibu dapat tidak banyak, memang.
Oleh karena itu, ibu menerima pekerjaan apa saja yang
ditawarkan tetangganya. Mencuci, membantu bersih-bersih,
dan pekerjaan lain yang bisa dikerjakan ibu.

71
Ayah Rina, seorang tukang becak, meninggal dua tahun
silam atas perkara tabrak lari. Hanya ibu yang menghidupi
keluarganya. Ibu, Rina, dan Adit, adik Rina.

“Rina berangkat dulu, bu,” Rina mencium punggung


tangan ibu, diikuti Adit.
Rina membawa tiga loyang kue. Dua kotak untuk dijual di
sekolah Adit dan sekotak lagi dijual ke warung Bu Nini.
Sedangkan sekolah Rina tidak menerima titipan jualan.
Kalaupun iya, harus lulus berbagai tes agar bisa dijual ke
kantin sekolahnya.
“Belajar yang rajin. Hati-hati di jalan, nak!” ibu mengelus
lembut rambut Rina dan Adit. Selanjutnya membiarkan
kedua malaikatnya pergi untuk masa depan mereka yang
lebih dari ini.
Rina murid yang berprestasi. Atas beasiswalah Rina
dapat bersekolah di SD Kembang Jaya, sekolah dasar
terfavorit se-Kabupaten. Yang masuk hanya kalangan siswa
berprestasi atau minimal berduit.
“Ini uang kue kemarin. Alhamdulillah ludes, Rina,” ujar
Bu Nini sembari memberikan beberapa lembar uang ribuan.
“Alhamdulillah. Terima kasih, bu,” Rina pamit.
72
Pagi ini, Rina mulai lagi merajut mimpinya bersama
mentari pagi yang telah kembali dan kicau burung yang
berdendang. Serpihan-serpihan hatinya mulai menyapa pagi,
bersiap menyambangi hari.

“Eh, apa? Apa?” seorang anak tampak mencari-cari


informasi. “Rina yang pintar itu?”
“Kata siapa?”
“Eh, tahu dari mana?”
“Duh, segitunya, ya?”
Pagi-pagi begini, anak perempuan mana yang enggak
tertarik sama gosip. Apalagi kalu gosipnya baru diangkat dari
oven. Yakin banget, tuh, anak-anak perempuan centil yang
sok update, enggak mau ketinggalan satu detail pun dari
beritanya.
“Itu, tuh, orangnya!” tunjuk salah satu dari mereka.
“Issshhh ... enggak usah tunjuk-tunjuk, kami juga tahu!”
semprot salah seorang yang lain. “Kalau mau mengejek, yang
elite, dong! Begini, nih!”

73
Anak itu berjalan menuju Rina. Fokus mata anak-anak
perempuan yang tadi ramai bergosip, tak jauh dari bayangan
Rina.
“Hai, Rinaaa ...!” sapa sebuah suara dengan manis. “Eh,
Liza?” balas Rina. “Tumben pagi-pagi begini sudah samper
aku. Ada apa, atuh?”
“Begini, nih! Aku kesusahan belajar math. Mom sama
Dad juga suah cari guru privat ke mana-mana. Tapi, tetap saja
aku enggak mengerti sama rumus-rumus yang bejibun dan
susahnya perlu pakai banget dikasih ampun,” prolog Liza.
“Terus, nih, yaaa ... aku pikir enakan belajar bareng teman.
Jadi, aku pengin belajar bareng.”
“Oh, boleh! Kapan? Di mana?” tanya Rina lagi. Nada
suara Rina memang selalu rmah dan bersahaja. Tapi, sedikit
terkesan polos.
“Issshhh ... siapa lagi yang mau belajar bareng kamu!”
Liza meninggkan suara.
Penonton bingung. Rina kaget.
“Memang teman yang akau maksud, kamu? Orang aku
maunya belajar sama Salsya,” kini suara Liza bernada
congkak. “Iya, kan, Salsya?”
Salsya, anak erempuan culun berkacamata dan
penggemar buku yang kebetulan sedang berjalan di samping
Liza, terkaget, “Eh, eeeng ...”

74
Semua mata yang melihatnya, tertawa, demi
menyaksikan tingkah Salsya. Biar begitu, butik ibunya Salsya
adalah butik favorit se-Kabupaten.
“Mana mau aku belajar bareng anak tukang sapuuu ...!
yang ada .. nih, otak, nanti ikutan disapu, lagi. Bye!” tangan
kanan Liza mengenggol pundak Rina.
Teman-teman yang tadi menonton, melanjutkan olok-
oloknya kepada Rina. Rina tak acuh, meski sepotong hatinya
terluka. Tapi, dia harus tegar.
“Mereka Cuma iri sama kamu, kok, Rina!” Zelfa menarik
lengan Rina, memompa semangat gadis itu lagi.
Rina mengguratkan setipis senyuman untuk Zelfa dan
tutur nada dari bibir mungilnya.

“Rina?” tanya ibu bingung. Melihat Rina yang sudah


mengganti seragamnya.
“Biar Rina bantu, bu,” Rina menjawab tanya ibu. “Rina
sudah shalat Ashar, kok, bu. Jadwal buat besok juga sudah
disiapkan. Belajarnya nanti saja, bu. Selesai menyapu.
Sekarang, ibu istirahat saja dulu. Ini, Rina bawakan kue dan
teh hangat.”

75
Rina menyapu. Dia membiarkan ibu menikmati secangkir
teh tangat, yang kepulan asapnya mengudara, bersama
penat seharian bekerja. Allah, biarkan ibu mencicipi sedikit
waktu luang. Untuknya mengumpulkan tenaga. Untuknya
menyemai asa, ucapnya dalam hati.
PLETAK!
Terdengar bunyi kaleng soda membentur jalanan,
menggemakan nada yang memilukan. Ah, ada saja yang tega
membuang kaleng soda di saat jalanan baru selesai disapu.
“Sorry, sengaja,” sambar pembuat suara, Liza. “omong-
omong, bidadarimu enggak kece banget, ya?”
“kalau Bidadariku, mahir bikin baju. Jadi, bidadariku
gaunnya bagus,” sambar yang lain, Sarah.
“Bidadari kamu, tukang sapu!”
“Jangan hina ibuku!” Rina menekan kata-katanya.
Rina tahu, dia tidak boleh bersuara terlalu keras. Takut
ibu mendengar. Meski dia tahu, sekalipun dia berteriak,
ibunya tak akan mendengar. Ibu sedang beristirahat,
bercengkerama bersama Bu Mun, jauh dari tempat Rina
berdiri, sekarang.
“Sekalipun ibuku hanya tukang sapu, biarlah ibuku
menjadi bidadari bersayap lidi. Toh, ibuku tak pernah
menghina kalian. Peduli apa kalian tentang ibuku?” Rina tak
bisa menahan marahnya. Menatap ketiga kawannya, hanya

76
membuat sepotong hatinya terluka ... perih, makin perih, dan
amat perih.
Ibuku, tetap bidadari, kan? Meski sayapnya hanya
sebatang lidi.

77
Ibu Juara
Cinta

“Kepada pemenang, diharap ke depan!” panggil Kepala


Sekolah kepada pemenang lomba cerdas cermat tingkat kota.
Aku melihat ketiga temanku ke depan untuk menerima
piala dan piagam dengan wajah berseri-seri. Aku ingin seperti
mereka. Aku ingin punya prestasi. Tapi ...
Usai upacara bendera, kami kembali ke kelas masing-
masing.
“Lihat, Azka! Sepatuku bagus, kan?” pamer Maryam,
teman sebangkuku sambil menunjuk sepatu barunya.
“Iya, bagus,” kataku lirih.
Aku menunjuk sedih ke arah sepatuku yang sudah robek
di bagian atasnya. Sungguh, aku ingin punya sepatu baru. Aku
ingat ibuku yang hanya penjual pecel keliling. Beliau tidak
mungkin bisa membelikanku sepatu baru.
“Bu, kenapa aku tidak punya sepatu dan baju yang bagus
seperti punya teman-teman?” tanyaku kepada ibu ketika aku
di rumah.
Wajah ibuku hanya menyunggingkan senyum.
78
“Aku juga ingin seperti temanku yang memenangkan
lomba cerdas cermat. Tapi, aku tak sepintar mereka,”
lanjutku. Ibu duduk disebelahku sambil membelai kepalaku
dengan lembut.
“Nak, jika kamu menginginkan sesuatu, harus diawali
dengan usaha. Jangan lupa berdoa kepada Allah. Kamu bisa
berprestasi sesuai hobimu.”
Keesokan harinya di sekolah, teman-temanku ribut
sesuatu.
“Ada lomba menulis, lho!” teriak Wanda.
Aku ikut mendengar pembicaraan mereka.
“Syaratnya apa saja?”
“Mengirimnya ke mana?”
“Lihat saja di Facebok penyelenggaraannya,” jawab
Wanda.
“Aku mau ikut, ah!”
“Aku juga!” kata teman-temanku.
“Sayangnya, lombanya tinggal dua hari lagi.”
“Yaaa ...,” sahut teman-temanku.
Aku ingin ikut. Tapi tinggal dia hari lagi. Aku harus cepat-
cepat. Uang sakuku hari ini kusisihkan untuk pergi ke warnet.

79
Aku buka Facebook-ku yang sudah lama. Kucari akun
penyelenggara lomba menulis yang tadi dibicarakan teman-
temanku di kelas. Oh, ketemu!
Aku harus ikut. Aku memang suka menulis. Ibu
mengatakan kalau aku bisa berprestasi sesuai hobiku. Aku
mencatat semua persyaratan lomba dan segera pulang.
Sepulang dari warnet, aku membantu ibu merapihkan
rumah. Aku melihat seragam pramukaku di atas meja.
Kantung bajunya sudah tidak berlubang lagi.
“Ibu, terima kasih sudah menjahit kantung bajuku,”
ucapku kepada ibu yang sedang mencuci pakaian. Ibu
tersenyum.
“iya, nak. Kantung sakunya berlubang,” jelas ibu dengan
suara lembut.
Betapa perhatiannya ibu kepadaku. Setiap hari, beliau
menyiapkan makan dan mencuci baju-bajuku. Aku iingin
membahagiakan ibu.
SRET! SRET! SRET!
Aku mulai menulis di kertas. Sekali-kali, aku bingung
untuk mencari kata-kata yang bagus. Kutulis dan kuhapus
berkali-kali, sampai kertas di bukuku hampir bolong. Aku
tidak boleh putus asa.
Akhirnya, selesai juga cerpenku. Masih kurang bagus.
Aku janji, esok akan kuperbaiki lagi. fyiuuuh ...!

80
Tak terasa, hari sudah malam.
“Azka sedang apa? Sudah malam, kamu belum tidur.
Ayo, makan dulu!” kata ibu.
Aku segera makan.
“Bu, telurnya tinggal satu.”
“Sudah, itu buat kamu saja,” kata ibu sambil mengunci
pintu.
“Ibu sudah makan?”
“Sudah,” kata ibu.
Aku tak yakin ibu sudah makan telur. Tadi, kulihat ibu
hanya menggoreng satu telur. Aku jadi terharu.
Besok adalah hari terakhir lomba menulis.
Sepulang sekolah keesokan harinya, aku ke warnet lagi.
Aku segera menyalin tulisanku di Microsoft Word. Setelah
selesai, aku meminta tolong petugas warnet mengirim
tulisanku lewat e-mail.
Terkirim! Lega rasa hatiku karena tulisanku telah terkirim
beberapa jam sebelum lomba ditutup. Kini, aku tinggal
menunggu pengumuman lomba. Pengumumannya seminggu
lagi.
Rasanya, aku tak sabar menanti pengumuman lomba
menulis.

81
“Azka, selamat ya!” Rina tiba-tiba menghampiriku.
“Hai, Azka! Selamat, ya!” ucap Laila.
Aku heran, kenapa teman-teman mengucapkan selamat
untukku?
“Kamu ikutan lomba menulis, kan? Namamu ada di
pengumuman lomba itu. Selamat, ya!” jelas Winda.
Aku tak percaya. “Mungkin, salah nama,” kataku sedikit
ragu.
“Benar, ada namamu!” kata Rina.
Wanda mengeluarkan handphone dari tas miliknya. Kami
semua membaca pengumumannya lewat Facebook Wanda.
“Wow, itu benar kamu! Kereeen ...!” teriak Rina.
Teman-temanku yang lain mengelilingi kami. Ibu guru
juga ikut melihatnya. Semua memberiku selamat. Ini semua
berkat nasihat ibu.
“Bu, aku menang lomba menulis,”
“Benarkah?” tanya ibu yang sedang mengulek sambal
pecel untuk jualan esok hari. Aku mengangguk.
“Benar, bu. Nanti, aku dapat piagam dan uang banyak,”
kataku.

82
“Azka, tunggu dulu! Tahukah kamu, nak. Kamu sudah
punya prestasi.”
Aku mengangguk dengan bangga. Aku tidak kalah
dengan teman-temanku yang menjuarai lomba cerdas
cermat.
“Bu, jika uang hadiah lomba sudah dikirim, aku ingin beli
sepatu baru,” kataku dengan gembira. Ibu mengangguk
sambil tersenyum. “Ini semua karena nasihat ibu yang telah
membuatku tak pernah patah semangat. Terima kasih, ya,
bu. Tidak apa-apalah seragamku jelek atau tasku usang. Yang
penting, masih ada ibu di sisiku. Ibu adalah anugerah Allah
untukku,” kataku sambil memeluk ibu yang berurai air mata.
Aku sadar, cinta ibu kepadaku adalah nasihatnya. Berkat
nasihat ibu, aku bersemangat untuk ikut lomba menulis. Ibu
tidak memberiku sepatu baru atau piala maupun piagam.
Tapi, berkat kekuatan nasihat ibu, aku akan mendapat
piagam dan membeli sepatu baru. Terima kasih, bu.
“Kamulah juaranya, nak,” kata ibu sambil tersenyum.
“Bagiku, ibu juaranya,” kataku. Kami berpelukan.

83

Anda mungkin juga menyukai