Anda di halaman 1dari 9

Langit sore sudah menunjukkan keindahan cahayanya.

Waktu yang selalu


ditunggu oleh penikmat senja. Perpaduan warna jingga dengan langit biru
ditambah dengan garis samar warna merah jambu membuat penikmat senja
manapun enggan meninggalkan waktu untuk melihat keindahannya.

Sama seperti halnya seoran gadis di tepi danu kecil yang masih memakai pakaian
lengkap baju khas anak SMA . Putih abu-abu. Gadis itu tengah menengadahkan
kepalanya ke langit, matanya terlihat menerawang jauh seolah memikirkan
sesuatu yang berat.

Suara hembusan nafas yang terdengar berat dari sang gadis membuat siapapun
yang mendengarpun tahu, bahwa sang gadis sedang mengalami sebuah masalah
yang sepertinya sulit.

“Aku udah nebak kamu di sini.” Suara maskulin dari arah sampingnya membuat
sang gadis terperanjat kaget. Dia mengalihkan pandang kesamping dan
menemukan laki-laki bersetelan kemeja flanel yang sudah duduk tepat
disebelahnya.

“Kamu ngapain disini?” Tanya sang gadis, pandangan matanya mengarah


kedepan. Berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya karena kedatangan laki-
laki yang sedang berusaha ia hindari.

“Cerita kalau ada masalah. Jangan menghindar.” Ucap sang laki-laki mengabaikan
pertanyaan si gadis.

Sang gadis mulai tersulut emosi, dia memandang sengit Rafka, laki-laki
disebelahnya yang kini seolah ikut menikmati keindahan sore. “Mau kamu apa
sih? waktu kita pacaran, kamu nggak pernah menganggap hubungan ini ada.
Sekarang kamu datang dengan wajah tanpa dosa, dan menganggap selama ini kita
baik-baik aja. Aku muak.” Sang gadis menumpahkan emosinya kepada Rafka.
Padahal disini yang besalah bukan Rafka. Dia lalu beranjak dari duduknya maih
dengan emosi yang belum reda. Dia ingin menangis sekarang.
Keadaan semakin hening, hanya deru nafas emosi sang gadis yang terdengar, dia
berusaha mengusai emosinya agar tidak menangis dihadapan sang mantan. Tiba-
tiba saja, tubuhnya sudah masuk dalam rengkuhan Rafka.

“Disa, nangis aja luapin emosi kamu. I’am here for you.” Rafka berkata lirih,
seolah mengerti masalah yang menimpa Disa. Disa sempat memberontak dalam
pelukan, tapi hangatnya pelukan Rafka membuat tangisannya semakin deras.

“Selama ini aku diam bukan berarti aku nggak tau masalah kamu. Aku diam
karena nunggu kamu cerita. Tapi kamu malah memilih pergi.” Bisik Rafka
membuat Disa semakin terisak ia mencengkeram kuat kemeja Rafka untuk
meluapkan emosinya.

“Aku harus gimana, Raf?” Ucap Disa disela isakkannya.

“Buktiin ke Ibu kamu kalau kamu pantas di jalur yang kamu ingin. Buktiin ke
Ibu kamu kalau dunia menulis memang pashion kamu.” Rafka menepuk pelan
punggung Disa untuk memberi ketenangan.

“Aku gagal, aku nggak bisa. SBMPTN aku gagal di jalur yang aku pengen , Raf. “
Ucapan lirih Disa membuat hati Rafka seperti ikut teremas. Sakit. Disa mengikuti
SBMPTN itu tanpa sepengetahuan Ibunya, karena jika sang Ibu pasti akan
menolak dengan keras rencana Disa. Disa ingin melanjutkan di Universitas
favorit impiannya di jurusan Sastra Indonesia, sedangkan Ibunya menginginkan
Disa melanjutkan di jurusan Fashion.

“Ibu nggak akan mau kuliahin kamu kalau kamu nggak lanjutin di jurusan
Fashion.” Ucapan Ibunya selalu terngiang di telinga Disa, maka dari itu dia
berusaha mencari beasiswa juga. Walaupun pada akhirnya gagal. Entah seperti
apa nanti nasibnya.

“Aku antar kamu pulang ya?” Kata Rafka pelan setelah merasa Disa mulai
tenang.Disa melepaskan pelukannya, hanya menggelengkan kepala sebagai
jawaban.
“Ayo aku antar pulang.” Disa akan menjawab, tapi tangannya lebih dulu ditarik
oleh Rafka.

“Raf, aku bisa pulang sendiri.” Disa mencoba melepaskan genggaman Rafka, tapi
sayangnya dia tidak bisa. Jalannya agak terseok karena langkah kaki Rafka yang
terlalu lebar

“Udah malem, angkutan umum ke rumah kamu udah nggak ada.” Rafka
menjawab santai.

“Aku bisa dimarahin Ibu.” Kata Disa mencoba mencari alasan.

“Fine, aku turunin kamu di gang komplek.” Rafka memilih mengalah.

“Nggak mau aku antar sampai depan rumah aja?” Rafka bertanya lagi ketika
sudah berada di dalam mobil, Rafka sambil menghidupakan gas mobilnya.

Disa meninju lengan Rafka. “Mau bikin aku makin dimarahin sama Ibu?” Kata
Disa sebal. Ibu Disa memang orang yang sangat tegas mungkin karena beliau
harus menjalani dua peran sekaligus, yaitu sebagai Ayah dan ibu sekaligus.
Kecelakaan tiga tahun lalu, membuat Ayahnya dan sang Kakak meninggal.

Peraturan dari sang Ibu membuat Disa tidak boleh pacaran, tidak boleh pulang
malam, tidak boleh main melebihi jam yang sudah di tentukan dan peraturan
lainnya yang membuat Disa merasa tidak bisa menikmati masa mudanya.

“Siapa tau aja setelah Ibu kamu lihat aku, kita bisa pacaran tanpa backstreet.”
Rafka mengedikkan bahunya santai yang malah membuat Disa ingin meninju
wajahnya yang tampan.

“Siapa juga yang mau balikan.” Kata Disa sadis.

“Emang aku udah setuju kalau putus?” Pertanyaan dari Rafka membuat Disa
membisu.

***
Selama perjalanan menuju rumah Disa, keadaan di dalam mobil hening. Disa yang
sibuk dengan pemikirannya, dan Rafka yang fokus menyetir. Keadaan tentu saja
canggung, apalagi setelah adegan pelukan yang membuat Disa semakin merutuki
kebodohannya.

“Raf, aku turun depan aja.” Kata Disa tiba-tiba ketika sudah dekat dengan gang
perumahannya.

Rafka menuruti ucapan Disa untuk menurunkan di gang perumahan Disa. Dulu
sewaktu mereka berpacaran, Rafka nekad menurunkan Disa di depan rumah dan
berakhir dengan amarah Ibu Disa yang sedang ada di depan rumah.

“Terimakasih untuk tadi, Raf.” Disa mengucapkan dengan ragu.

“Kita balikan?” Pertanyaan Rafka tentu saja membuat Disa terkejut.

“Maaf, aku nggak bisa.” Ucap Disa dengan lirih. Disa bersiap membuka pintu
mobil, tapi tangannya di tahan oleh Rafka.

“Karena Ibu kamu?” Disa bisa melihat raut terluka dari wajah Rafka, tapi asal
Rafka tahu, Disa pun sama terlukanya.

Air mata Disa hampir saja luruh kembali, tapi sebisa mungkin ia tahan.
“Aku nggak bisa. Dan sampai jumpa lain waktu, Raf. Baik-baik di negeri orang.”
Disa mengucapkan salam perpisahan itu dengan senyum paksaannya. Rafka akan
pergi ke Inggris untuk melanjutkan pendidikannya.

“Aku pulang dulu. Bye.” Disa buru-buru keluar dari mobil dan berjalan cepat
menuju rumahnya, ia menggigit keras pipi dalamnya untuk menahan tangisannya
agar tidak luruh. Mungkin ini pertemuan akhir mereka.

Sesampainya Disa di halaman rumah, ia menarik nafas dalam. Bersiap diri


mendengarkan kemarahan Ibunya.

“Kenapa baru pulang?” Belum sepenuhnya Disa menutup pintu, pertanyaan dari
sang Ibu yang sedang duduk dengan santai di ruang tamu.
“Habis belajar kelompok.” Jawab Disa berusaha santai, padahal dalam hatinya
sudah berdisko dengan jahatnya. Disa melanjutkan jalannya menuju kamar.

“Nggak habis pacaran, kan?” Tanya sang Ibu yang membuat langkah Disa
berhenti.

“Aku nggak punya pacar. Dan aku juga udah putus sama laki-laki yang kemarin
Ibu bilang pacar aku.” Jawab Disa masih membelakangi sang Ibu.

“Itu memang yang seharusnya. Tugas kamu sekarang belajar dan berlatih design
yang baik untuk ikut tes susulan biar masuk Universitas Fashion Designer di
Jakarta. Bukan mikirin anak orang.” Ucap Ibu Disa dengan nada tegasnya.
Sedangkan Disa hanya bisa menahan napas untuk membendung emosinya yang
masih menggebu.

“Kalau orangtua ngomong itu dengerin. Kamu jangan main sembarangan sampai
nggak tahu waktu. Jangan jadiin kerja kelompok buat jadi alasan lagi. Kamu itu
udah lulus. Tugas apa yang kamu kerjain?” Ucapan sang ibu membuat Disa
menegang di tempat. Dia salah memberi alasan, Disa merutuki alasan ngawurnya.

“Maaf, Bu. Disa pamit ke kamar.” Setelahnya Disa berlari menuju kamarnya
yang berdekatan dengan ruang tamu. Rumah Disa memang rumah sederhana satu
lantai.

RAFKA

Nggak salah kan, Dis, kalau aku masih berharap sama kamu? Aku tau aku
salah. Aku bodoh juga berharap sama kamu yang jelas udah susah aku raih
lagi. Aku juga makin bodoh lagi kalau berharap kamu mau nunggu aku 5
tahun lagi. One four three 

Once again, hancurin rasa takut kamu demi mengejar impian kamu. Kamu
udah banyak tertekan selama ini. Kamu harus membela impian kamu selagi
itu baik. Tuhan akan mudahin jalan kamu jika ada niat besar dalam diri kamu.

Pesan dari Rafka yang baru saja Disa buka membuatnya berfikir, “Kamu yakin
nggak nunggu aku selama itu?” Tapi nyatanya Disa memilih mengabaikan pesan
itu dengan senyum miris yang menghiasi. Dan nyatanya juga, Disa tidak berani
menentang perintah Ibunya. Memang selama ini seperti itu, kan?

****

Beberapa Minggu kemudian

Selama beberapa minggu setelah dinyatakan gagal SBMPTN, Disa mengurung


diri di kamarnya. Kegagalan itu sangat membekas di benak Disa menimbulkan
rasa trauma dan putus asa. Ingi rasanya ia keluar mencari ketenangan, tapi
keadaan seolah menghentikan niatnya. Ibunya pun tak tahu jika Disa sudah berani
mengambil langkah sejauh itu. Yang Ibunya tau, di dalam kamar Disa belajar.

Didalam kamar selama beberapa minggu ini, Disa selalu berkutat dengan laptop,
melanjutkan tulisannya untuk di update di blog pribadinya yang sempat terhenti
karena persiapan ujian nasional dan paksaan dari Ibunya untuk belajar fashion.
Disa seolah termotivasi dengan perkataan Rafka, “Buktiin ke Ibu kamu kalau
kamu pantas di jalur yang kamu mau.” Karena itu juga. Disa kembali
mendapatkan mood menulisnya.

“Disa!” Teriakan sang Ibu Disa dari luar kamarnya, membuat Disa mau tak mau
membuka pintu.

“Kok kamu belum siap-siap?” Kata sang Ibu ketika melihat penampilan Disa
yang masih menggunakan piyama, padahal jam sudah menunjukkan pukul
sembilan siang.

“Mau kemana, Bu?” Tanya Disa bingung ketika mendapati Ibunya sudah
berdandan dengan cantik.

“Hari ini kita ke Jakarta buat tes mandiri. Kamu kok pelupa gitu sih?” Sang Ibu
mengernyit tak suka. “Udah sana cepat mandinya.” Sang Ibu sedikit mendorong
tubuh Disa masuk kedalam kamar.

“Bu, tesnya masih bisa besok.” Disa mencoba menghindar dari kenyataan, karena
pada akhirnya dia menuruti ucapan sang Ibu untuk berkuliah di jurusan fashion.
“Cepat mandi dan siap-siap. Kita menginap di hotel dekat kampus. Jangan
bantah.” Ibu Disa medudukkan diri di ranjang Disa.Sedangkan Disa masih
mencerna semuanya, Haruskah dirinya mengubur mimpinya untuk menjadi
novelist hebat? Disa menghembuskan nafas pelan mencoba mengusir rasa sesak.

“Kenapa kamu masih berdiri di sini. Cepetan mandinya.” Kata sang Ibu dengan
nada tegasnya.

“Bu, Disa harus banget ya lanjut di fashion designer? Itu bukan pashion Disa,
Bu.” Disa hampir menangis mengatakan nya.

“Kalau kamu lanjutin di sastra, mau jadi apa masa depan kamu?” Ibu Disa
berdiri, dan menatap tajam Disa.

“Buktinya Disa bisa, Bu. Disa juga punya impian yang ingin Disa wujudin.” Disa
hampir menjerit, tapi ia tahan. Tapi tidak dengan air matanya yang sudah
mengucur deras di pipinya.

Satu tamparan keras mendarat tepat di pipi Disa, mata sang Ibu menatap tajam
Disa yang memegang pipinya sambil tertunduk dalam. “Tau apa kamu tenang
impian? Ayah kamu ingin kamu jadi designer hebat.” Kata Ibu Disa dengan
dingin, matanya menyipan luka, Disa tau itu.

“Designer bukan impian aku. Itu impian Kak Ana, Bu. Aku nggak bisa seperti
Kak Ana, karena aku bukan Kak Ana.” Disa memuntahkan semua unek-uneknya
kepada sang Ibu. Dari dulu, Ana memang yang selalu menjadi kebanggan
keduaorangtua Disa, Disa bisa menerima karena memang nyatanya Ana yang
lebih unggul dalam bidang apapun dibanding dirinya.

Disa luruh kelantai, memegang kaki Ibunya yang sedikit gemetar, “Aku ingin jadi
penulis, aku ingin mendirikan penerbitan buku. Bukan menjadi designer atau
pemilik butik mewah, bukan itu yang menjadi impian Disa. Disa bisa, Bu.” Ujar
Disa mencoba meyakinkan sang Ibu yang hanya terdiam.

****

Lima Tahun setelahnya


Seorang pemuda dengan balutan jas mahalnya, menatap seorang perempuan yang
berada disudut coffe sedang menghadap laptop dihadapannya, merasa tak asing
dengan ragu ia mendekati sang perempuan mencoba memastikan tebakannya.

“Disa?” Panggilnya pelan, perempuan di depannya menatap kearah sumber suara.

“Rafka?” sang perempuan berkata dengan nada terkejut.

“Sejak jadi penulis yang banyak penggemar, kamu jadi lupa sama suami gitu ya?”
Sindir Rafka, ikut duduk dihadapan Disa.

“Kamu ada meeting disini? Kenapa nggak bilang dari pagi?”

“Bukan meeting, tadi kebetulan lewat lihat mobil istri jadi ikutan mampir.”

“Jadi boss enak ternyata.” Sindir Disa dengan halus.

“Jadi istri bos lebih enak, kan?” Rafka menaikkan sebelah alisnya menggoda sang
istri.

“Gimana target tahun ini? Banyak buku dari penulis terkenal yang akan naik
cetak, kan?” Tanya Disa mengalihkan pembicaraan.

“Nggak usah bicarain masalah kerjaan lah, sayang. Mau makan aku tuh.” Ucap
Rafka dengan manja, membuat Disa mendengus jengkel.

Rafka dan Disa menikah dua tahun lalu, setelah lama berpisah dan masih sama-
sama menunggu, keduanya memilih kembali bersama. Dan keduanya juga sepakat
membangun bersama perusahaan penerbit buku yang mulai bersinar namanya dari
bawah. Meskipun Rafka pemilik perusahaan dibidang elektronik ternama. Tapi
dia ingin membangun penerbitan buku yang sudah lama menjadi impian Disa
benar-benar dari bawah.

Terkadang hidup memang sehebat ini. Tanpa ada yang menduga bahwa impian
yang dulunya mustahil untuk diraih, kini nyata di genggaman. Asal ada niat besar
dalam diri kita, Tuhan akan membantu umatnya dengan senang hati. Jangan takut
menghadapi impianmu, kawan.

Anda mungkin juga menyukai